NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBANGUNAN PERDESAAN
BADAN LEGISLASI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA 2008
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ........................................................................................ ii BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................. 1 1.1. Latar Belakang ............................................................................... 1 1.2. Permasalahan................................................................................. 6 1.3. Cakupan Pembangunan Desa ....................................................... 14 1.4. Tujuan ......................................................................................... 14 BAB II. TINJAUAN TEORETIK DAN EMPIRIK .......................................... 16 2.1. Teori Pertumbuhan Ekonomi : Faktor-Faktor yang Menentukan Pertumbuhan ................................................................................ 16 2.2. Desa ............................................................................................. 18 2.2.1 Definisi .................................................................................... 19 2.2.2. Karakteristik Desa .................................................................. 21 2.2.3 Kewenangan Desa ................................................................... 27 2.2.4. Penyelenggara Pembangunan Desa ......................................... 29 2.2.5. Peraturan Desa ...................................................................... 30 2.2.6. Perencanaan Pembangunan Desa ........................................... 30 2.2.7. Keuangan Desa ...................................................................... 32 2.2.8. Lembaga Kemasyarakatan ...................................................... 33 2.3. Pembangunan Desa ...................................................................... 34 2.3.1 Definisi Pembangunan ............................................................. 34 2.3.3. Definisi Pembangunan Desa ................................................... 40 2.3.4 Sejarah Pembangunan Desa di Indonesia ................................ 42 2.3.5 Penelitian Mengenai Pembangunan Desa di Indonesia ............. 45 2.4. Data ............................................................................................. 58 2.5. Pengaturan Terkait Desa dalam Perpektif Hukum ......................... 65 2.6. Pengalaman Negara Lain dalam Pembangunan Perdesaan ............ 75 BAB III. ANALISIS HUKUM POSITIF ....................................................... 80 BAB IV. URGENSI PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG ....... 82 4.1. Landasan Filosofis ........................................................................ 82 4.2. Landasan Sosiologis ..................................................................... 83 4.3. Landasan Yuridis ......................................................................... 84 BAB V. RUANG LINGKUP DAN POKOK MATERI RANCANGAN UNDANGUNDANG .................................................................................. 85 BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 858
i
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Jumlah Penduduk di Bawah Garis Kemiskinan .......................... 2 Tabel 2. Banyaknya Desa Menurut Provinsi dan Status Pemerintahan... 19 Tabel 3. Tipologi bentuk keragaman Desa di Indonesia .......................... 24 Tabel 4. Banyaknya Desa Menurut Status Pemerintahan ....................... 58 Tabel 5. Banyaknya Desa/Kelurahan yang Memiliki Badan Perwakilan Desa/Dewan Kelurahan ........................................................... 59 Tabel 6. Banyaknya Desa Menurut Sumber Penghasilan Utama Sebagian Besar Penduduk ....................................................................... 59 Tabel 7. Banyaknya Desa yang Sebagian Besar Penduduknya Bekerja di Sub Sektor Pertanian ............................................................... 60 Tabel 8. Banyaknya Desa yang Mempunyai Sarana Kesehatan Menurut Jenisnya ................................................................................... 60 Tabel 9. Banyaknya Desa yang Memiliki Tenaga Kesehatan yang Tinggal di Desa Menurut Jenis Tenaga Kesehatan ................................ 61 Tabel 10.Banyaknya Desa yang Tidak Memiliki Sarana Kesehatan Menurut Kemudahan untuk Mencapai Sarana Kesehatan ........ 62 Tabel 11.Banyaknya Desa yang Memiliki Prasarana Transportasi ........... 63 Tabel 12.Banyaknya Desa Menurut Jenis Permukaan Jalan Terluas ...... 63 Tabel 13.Banyaknya Desa Menurut Jenis Prasarana Komunikasi ........... 63 Tabel 14.Banyaknya Desa yang Memiliki Sarana Perdagangan, Hotel dan Perbankan ................................................................................ 64 Tabel 15.Banyaknya Desa yang Memiliki Sarana Pemasaran Produksi dan Lembaga Keuangan Mikro ........................................................ 64 Tabel 16.Banyaknya Desa yang Memiliki Unit Usaha Masyarakat ........... 65
ii
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan konsep normatif yang dibangun oleh nilai-nilai (values) dan pengembangan (improvement) bersama. Dengan demikian pembangunan adalah perjuangan nilai-nilai dalam mewujudkan improvement
bersama.
Dalam
perspektif
ini,
ukuran
keberhasilan
pembangunan tidak pernah bersifat tunggal tetapi komposit. Dalam kerangka pembangunan tersebut, pembangunan tidak hanya sekedar sebagai pembangunan ekonomi dan tidak hanya mengejar pertumbuhan semata. Pembangunan nasional selama lebih dari tiga puluh tahun terakhir ini telah menjadikan ekonomi, khususnya pertumbuhan, sebagai pilar utama
pembangunan.
Akibatnya,
struktur
pertumbuhan
ekonomi
nasional yang tidak stabil akan mengakibatkan lemahnya struktur politik dan sosial yang sebelumnya dibangun dalam kerangka pertumbuhan tersebut.
Struktur perekonomian nasional yang hingga saat ini masih
rapuh, menyebabkan pertumbuhan perekonomian nasional sering kali dipengaruhi oleh kondisi politik yang terjadi di dalam negeri. Seharusnya perekonomian nasional mampu bertahan di tengah kondisi politik yang kurang kondusif. Hal ini berdampak pada pertumbuhan ekonomi saat ini yang belum mencapai pembangunan rakyat sebenarnya dan masih belum maksimal.
Kerana itu diperlukan pembentukan pondasi perekonomian
nasional kuat yang tidak lagi terlalu bergantung pada kondisi politik, namun dapat bertahan dan tumbuh sesuai dengan pondasi yang telah dibangun. Bila dikaitkan dengan pemikiran tersebut, hal ini terjadi karena kegagalan pembangunan nasional dalam mendefinisikan improvement yang hanya dimaknai sebagai akumulasi agregat ekonomi dan kegagalan dalam mendefinisikan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Oleh karena itu, bisa dimengerti apabila pembangunan nasional selama ini bias ke perkotaan. Selama ini pembangunan telah secara tidak langsung mengabaikan masyarakat pedesaan. Dengan kata lain, proses pembangunan telah
1
melahirkan persoalan disparitas dan ketidakadilan yang membebani masyarakat di pedesaan. Masyarakat di pedesaan memiliki tingkat kesejahteraan yang jauh lebih rendah dibandingkan mereka yang tinggal diperkotaan. Sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Jumlah Penduduk di Bawah Garis Kemiskinan TAHUN
GARIS KEMISKINAN
PENDUDUK DI BAWAH GARIS KEMISKINAN
(RP/KAPITA/BULAN) Kota
Desa
Jumlah (juta)
Persentase (%)
Kota
Desa
Kota+Desa
Kota
Desa
Kota+Desa
1976
4.522
2.849
10,0
44,2
54,2
38,8
40,4
40,1
1978
4.969
2.981
8,3
38,9
47,2
30,8
33,4
33,3
1980
6.831
4.449
9,5
32,8
42,3
29,0
28,4
28,6
1981
9.777
5.877
9,3
31,3
40,6
28,1
26,5
26,9
1984
13.731
7.746
9,3
25,7
35,0
23,1
21,2
21,6
1987
17.381
10.294
9,7
20,3
30,0
20,1
16,1
17,4
1990
20.614
13.295
9,4
17,8
27,2
16,8
14,3
15,1
1993
27.905
18.244
8,7
17,2
25,9
13,5
13,8
13,7
1996
38.246
27.413
7,2
15,3
22,5
9,7
12,3
11,3
1998
96.959
72.780
17,6
31,9
49,5
21,9
25,7
24,2
1999
92.409
74.272
15,7
32,7
48,4
19,5
26,1
23,5
2000
91.632
73.648
12,3
26,4
38,7
14,6
22,4
19,1
2001
100.011
80.382
8,6
29,3
37,9
9,8
24,8
18,4
2002
130.499
96.512
13,3
25,1
38,4
14,5
21,1
18,2
2003
138.803
105.888
12,2
25,1
37,3
13,6
20,2
17,4
2004
143.455
108.725
11,4
24,8
36,1
12,1
20,1
16,7
2005
150 799
117 259
12,4
22,70
35,1
11,37
19,51
15,97
2006
175 324
131 256
14,29
24,76
39,1
13,36
21,90
17,75
Sumber: BPS (berbagai tahun)
Apabila dilihat dari Tabel 1, terlihat bahwa garis kemiskinan di perdesaan lebih rendah dibandingkan di perkotaan sampai tahun 2006. Garis
kemiskinan
di
perkotaan
adalah
Rp
175,324/kapita/bulan,
sedangkan di perdesaan mencapai Rp 131,256 kapita/bulan, dengan jumlah penduduk miskin di perkotaan mencapai 14,29 juta dan jumlah penduduk miskin di perdesaan mencapai 24,76 juta. Ukuran paling nyata dari lemahnya pemaknaan dan praksis pembangunan yang telah berlangsung selama ini adalah lahirnya kemiskinan pengurangan
dan
pengangguran
kemiskinan
dan
struktural
di
perdesaan.
pengangguran,
Upaya
membutuhkan
pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan tersebut tidak saja perlu memadai
2
besarannya, namun juga tidak bias ke arah golongan masyarakat dan wilayah tertentu. Hal ini memerlukan adanya model pembangunan yang cocok dengan kondisi aktual. Model pembangunan ekonomi yang banyak diterapkan negaranegara berkembang adalah model pengembangan sektor rangkap (dual sector) yang diusulkan oleh Lewis (1954)1. Model ini didasarkan pada asumsi bahwa banyak negara berkembang memiliki perekonomian rangkap, yaitu sektor pertanian yang bersifat tradisional dan sektor industri yang bersifat modern. Sektor pertanian tradisional diasumsikan bersifat subsisten dan memiliki karakteristik yaitu produktivitas rendah, pendapatan rendah, tabungan rendah dan surplus tenaga kerja yang cukup besar, serta berada di kawasan pedesaan. Sektor industri diasumsikan memiliki teknologi maju, investasi tinggi dan berada di kawasan perkotaan. Orang
yang
pindah
dari
desa
ke
kota
akan
mendapatkan
peningkatan pendapatan yang pada gilirannya meningkatkan tabungan. Kunci
pembangunan
menurut
Model
Lewis
adalah
meningkatkan
tabungan yang diikuti dengan peningkatan investasi, yaitu pada sektor industri modern. Urbanisasi dari desa yang miskin ke perkotaan yang kaya akan memberi peluang bagi pekerja untuk mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi dan mengalokasikannya untuk tabungan dan investasi. Pertumbuhan di sektor industri dengan sendirinya akan menghasilkan permintaan tenaga kerja dan menyediakan dana untuk investasi. Pendapatan yang dihasilkan oleh sektor industri memberikan trickle down ke setiap aktivitas ekonomi. Schelkle mengkritik asumsi ekonomi tertutup yang digunakan dalam model pembangunan dualistik Lewis. Menurut Schelkle, suatu ekonomi yang bersifat tertutup akan menghalangi berbagai transaksi, terutama karena adanya proteksi dan perfect capital control. Dalam suatu ekonomi tertutup, capital flight akan menyebabkan tidak produktif. Hal ini akan mengurangi pendapatan petani ke depan. Apabila terjadi inflasi, pemerintah akan memakai tabungan rumahtangga sebagai alternatif aset
1
Lewis,W.A. 1954. Dual Sector Model of Development: The Theory of Trickle Down.http://www.bized.ac.uk/virtual/dc/copper/theory/th8.html.
3
keuangan domestik. Pengurangan tabungan akan mengurangi investasi, dan menghambat pertumbuhan.2 Pendekatan yang diusulkan Schelkle menggunakan sektor moneter sebagai sektor non-pertanian. Sektor moneter dinyatakan dalam suatu pasar kredit. Tingkat bunga ditentukan berdasarkan permintaan dan penawaran kredit. Tingkat bunga yang lebih tinggi akan mengurangi permintaan efektif karena distribusi pendapatan bergeser ke rumahtangga yang cenderung untuk meningkatkan tabungan. Dalam sektor pertanian, rumahtangga yang berpendapatan sangat rendah bergantung pada upah, dan tidak ada sisa penghasilan untuk ditabung. Permintaan efektif akan berkurang apabila terjadi kenaikan suku bunga karena kenaikan suku bunga akan meningkatkan tabungan yang dimiliki oleh rumahtangga berpendapatan tinggi dan menurunkan konsumsi. Dengan kata lain, distribusi pendapatan tidak terjadi melalui tabungan. Dalam suatu perekonomian dual, aset riil merupakan the medium of flight dari mata uang, sehingga berpotensi memunculkan inflasi. Inflasi secara berangsur-angsur akan menghilangkan basis produksi pertanian rumahtangga. Oleh karena itu, untuk menjaga kestabilan rumahtangga berpendapatan rendah, perlu dilakukan stabilitas moneter atau kebijakan perkreditan yang sesuai. Pembangunan perdesaan tidak mutlak hanya membicarakan sektor pertanian. Pembangunan perdesaan hendaknya ditinjau dalam konteks transformasi ekonomi, struktur sosial, kelembagaan dan cara-cara kerja di daerah pedesaan pada masa mendatang. Transformasi ini mencakup berbagai perubahan kelembagaan, sistem penyuluhan dan komunikasi pembangunan yang efektif. Semua ini perlu ditopang oleh investasi pemerintah yang memadai dalam infrastruktur serta penelitian dan pengembangan perdesaan3. Pembangunan
daerah
perdesaan
penting
dilakukan
secara
integratif. Pertumbuhan industri tidak akan berjalan lancar apabila perdesaan stagnan. Jika bisa berjalan, pertumbuhan industri tersebut 2
Schelkle, W. 1996. Dualism in Development Economics: Some Critical Remark and An Alternative Proposal. http://www.wiwiss.fuberlin.de/w3/w3lorenz/texte/dualism.pdf.
3
Perkins, D.H., D.R. Snodgrass, M. Gillis, and M. Roemer. 2001. Economics of Development. Fifth Edition. W.W. Norton and Co. London.
4
cenderung
menciptakan
perekonomian,
yang
berbagai
pada
ketimpangan
gilirannya
akan
internal
memperparah
dalam masalah
kemiskinan, ketimpangan pendapatan dan pengangguran4. Menurut Yudhoyono (2004), kebijakan fiskal dapat digunakan untuk
menanggulangi
masalah
pengangguran
dan
kemiskinan.
Peningkatan pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur dapat
menurunkan
pengangguran
secara
signifikan.
Pengeluaran
pemerintah untuk infrastruktur ternyata manfaatnya relatif kurang dapat dinikmati
di
pedesaan
jika
dibandingkan
dengan
perkotaan.
Ada
kemungkinan desain atau arah pengembangan infrastruktur yang terjadi bias ke arah perkotaan dan bukannya ke perdesaan. Sedangkan untuk mengatasi masalah kemiskinan, khususnya di kawasan perdesaan dimana jumlah orang miskin banyak berada, diperlukan kombinasi kebijakan
fiskal,
yaitu
peningkatan
pengeluaran
pemerintah
dan
peningkatan upah. Namun peningkatan upah ini hendaknya terjadi melalui peningkatan peluang kerja di luar sektor non-pertanian yang ada di pedesaan atau peningkatan peluang kerja secara umum.5 Pengembangan aktivitas-aktivitas perekonomian pedesaan, yang tentunya melibatkan investasi swasta akan membantu peningkatan upah dan daya beli masyarakat yang akhirnya dapat mempercepat penurunan kemiskinan. Dalam menanggulangi kemiskinan, kebijakan fiskal dalam bentuk peningkatan pengeluaran pemerintah untuk pembangunan sektor pertanian memang perlu dikombinasikan dengan kebijakan sektor lain.6 Dengan
kenyataan
tersebut,
pembangunan
perdesaan
dapat
dipandang sebagai bagian penting dari strategi pembangunan nasional untuk mengatasi kemiskinan dan pengangguran. Artinya, pembangunan perdesaan akan menjadi bagian integral dan sekaligus arus utama pembangunan nasional. Dengan strategi ini, pembangunan akan berjalan secara sinergi antara perkotaan dan perdesaan, serta antara pertanian, industri dan jasa.
4 5
idem.ditto. Yudhoyono, S.B. 2004. Pembangunan Pertanian dan Perdesaan Sebagai Upaya Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran: Analisis Ekonomi-Politik Kebijakan Fiskal. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
6
idem ditto
5
1.2. Permasalahan Migrasi merupakan mekanisme redistribusi penduduk. Dalam membahas
migrasi
kita
tidak
dapat
melepaskan
dari
urbanisasi.
Urbanisasi sebagai keadaan dan proses pemusatan penduduk di daerah urban (perkotaan) yang dipengaruhi oleh migrasi dari desa ke kota. Biasanya urbanisasi disebabkan oleh tiga faktor, yaitu pertambahan alami, migrasi desa-kota dan reklasifikasi daerah perdesaan (rural) menjadi perkotaan (urban). Secara teoritik ada dua faktor yang mempengaruhi migrasi, yang biasanya dikelompokkan menjadi faktor pendorong (push factor) dan faktor penarik (pull factor). Faktor-faktor pendorong tersebut terdiri atas: 1. Berkurangnya sumberdaya alam dan menurunnya permintaan atas bahan baku. 2. Terbatasnya lapangan pekerjaan di tempat asal, seperti akibat masuknya teknologi pertanian di perdesaan. 3. Adanya perlakuan diskriminasi politik, agama, dan suku di daerah asal. 4. Tidak lagi sesuai dengan adat/budaya/kepercayaan di tempat asal. 5. Alasan pekerjaan atau perkawinan. 6. Adanya bencana. Faktor-faktor penarik terdiri atas: 1. Adanya rasa superior atau kecocokan di tempat baru. 2. Kesempatan mendapatkan pendapatan yang lebih baik. 3. Kesempatan mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi. 4. Keadaan lingkungan dan keadaan hidup yang menyenangkan, baik iklim, fasilitas maupun prasarana yang lain. 5. Ajakan dari kerabat atau teman dekat. 6. Adanya aktifitas-aktifitas di kota besar, tempat hiburan, pusat bisnis, perbelanjaan dan pusat pemerintahan. Tetapi secara garis besar, sebenarnya ada empat faktor yang menyebabkan seseorang memutuskan untuk melakukan migrasi menurut Lee (1976), yaitu: 1) Faktor-faktor yang terdapat di daerah asal, 2) Faktorfaktor yang terdapat di daerah tujuan, 3) Rintangan-rintangan yang menghambat, dan 4) Faktor-faktor pribadi. Faktor-faktor pendorong dan penarik migrasi penduduk ke kota, ternyata sejalan dengan kebijakan pembangunan ekonomi yang lebih
6
berorientasi pada pertumbuhan dan konglomerasi. Arah kebijakan pembangunan ekonomi yang demikian semakin melebarkan kesenjangan dan ketidakadilan. Timbulnya dikotomi seperti Jawa-luar Jawa, Indonesia bagian barat-timur, desa-kota, sektor formal-informal, dan persoalan kemiskinan merupakan beberapa indikator kegagalan kebijakan politik ekonomi
pemerintahan
dalam
pemerataan
dan
keadilan
bagi
kesejahteraan masyarakat. Tetapi ketimpangan antardaerah pada provinsi-provinsi terjadi sebagai konsekuensi dari pembangunan yang terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Bali. Lebih dari itu, pengembangan provinsi-provinsi baru sejak 2001 dan desentralisasi diduga akan mendorong kesenjangan antardaerah yang lebih lebar. Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah daerah mempunyai kewenangan yang lebih luas dalam menentukan kebijakan dan program pembangunan yang terbaik bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kemajuan daerah masing-masing. Latar belakang demografi, geografis, ketersediaan infrastruktur dan budaya yang tidak sama, serta kapasitas sumberdaya yang berbeda, memiliki konsekuensi adanya keberagaman kinerja daerah dalam pelaksanaan dan pencapaian tujuan pembangunan. Perbedaan kinerja selanjutnya akan menyebabkan ketimpangan pembangunan antarwilayah, meningkatnya tuntutan daerah, dan kemungkinan disintegrasi bangsa. Ketimpangan perbedaan antarwilayah.
tingkat Data
pembangunan
antarwilayah
kesejahteraan BPS
tahun
dan
2004
dapat
dilihat
perkembangan
menunjukkan
dari
ekonomi
bahwa
angka
kemiskinan di DKI Jakarta hanya sekitar 3,18 persen, sedangkan di Papua sekitar 38,69 persen. Ketimpangan pelayanan sosial dasar yang tersedia, seperti pendidikan, kesehatan dan air bersih juga terjadi antarwilayah, dimana penduduk di Jakarta rata-rata bersekolah selama 9,7 tahun, sedangkan penduduk di NTB rata-rata hanya bersekolah selama 5,8 tahun. Hanya sekitar 30 persen penduduk Jakarta yang tidak mempunyai akses terhadap air bersih, tetapi di Kalimantan Barat lebih dari 70 persen penduduk tidak mempunyai akses terhadap air bersih. Data BPS tahun 2004 mengenai penguasaan PDRB (Pendapatan Domestik Regional Bruto) seluruh provinsi dan lajur pertumbuhan PDRB antarprovinsi menunjukkan bahwa Provinsi di Jawa dan Bali menguasai sekitar 61,0 persen dari seluruh PDRB, sedangkan provinsi di Sumatra
7
menguasai sekitar 22,2 persen, provinsi di Kalimantan menguasai 9,3 persen, Sulawesi menguasai 4,2 persen, dan provinsi di Nusa Tenggara, Maluku dan Papua hanya 3,3 persen. Selain itu, laju pertumbuhan PDRB provinsi di Jawa dan Bali pada tahun 2004 sebesar 10,71 persen, provinsi di Sumatra sebesar 7,78 persen, provinsi di Kalimantan 5,72 persen, provinsi di Sulawesi sebesar 11,22 persen, dan provinsi di Nusa Tenggara, Maluku dan Papua sebesar 4,34 persen. Kecenderungan persebaran penguasaan PDRB dan laju pertumbuhan yang tidak sama akan menyebabkan semakin timpangnya pembangunan antarwilayah. Ketimpangan pembangunan antarwilayah juga ditandai dengan rendahnya aksesibilitas pelayanan sarana dan prasarana ekonomi dan sosial terutama masyarakat di perdesaan, wilayah terpencil, perbatasan serta wilayah tertinggal. Ketimpangan antara kawasan perkotaan dan perdesaan ditunjukkan oleh rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat desa, tertinggalnya pembangunan kawasan perdesaan dibanding dengan perkotaan, dan tingginya ketergantungan kawasan perdesaan terhadap kawasan perkotaan. Hal ini disebabkan oleh minimnya akses pada permodalan,
lapangan
kerja,
informasi,
teknologi
pendukung,
dan
pemasaran hasil-hasil produksi di perdesaan. Ketimpangan juga terjadi antara daerah perkotaan dan perdesaan. Daerah perkotaan lebih berkembang dari segi ekonomi, karena terdapat investasi
negara
dan
swasta,
dan
fasilitas
infrastruktur
yang
terkonsentrasi tinggi. Peluang ekonomi dan fasilitas infrastruktur yang terdapat dalam suatu kota telah menarik lebih banyak orang dari perdesaan dan menambah masalah urbanisasi. Jika kota-kota gagal mengatasi masalah yang diakibatkan oleh urbanisasi, maka hal ini akan menciptakan
masalah
sosio-ekonomi
yang
lebih
banyak
lagi
bagi
perkotaan. Di sisi lain, kota yang mampu mengelola masalah urbanisasi dapat lebih banyak berperan sebagai pusat pertumbuhan bagi daerahdaerah di sekitarnya dan mengurangi masalah akibat kesenjangan yang tajam antara perkotaan dan perdesaan. Karenanya pemikiran yang dirintis oleh Simon Kuznets guru besar Harvard University masih dapat dipakai untuk melihat berbagai bentuk ketimpangan dan kesenjangan yang terjadi di Indonesia, baik antar daerah, Jawa-luar Jawa, dan desa-kota. Menurut Kuznets, proses pembangunan
ekonomi
pada
tahap
awal
umumnya
disertai
oleh
8
kemerosotan yang cukup besar dalam pembagian pendapatan, yang baru berbalik menuju suatu pemerataan yang lebih besar dalam pembagian pendapatan pada tahap pembangunan berikutnya. Kondisi pembangunan ekonomi yang dikatakan Kuznets sesuai dengan apa yang terjadi di Indonesia. Dimana pembangunan ekonominya hanya terpusat di kota, dan model pembangunan ekonominya pun lebih mengarah pada ekonomi biaya tinggi. Akibat pembangunan yang hanya terpusat di kota, maka terjadilah ketimpangan spasial. Wilayah Jawa dan kota-kota (metropolitan) menjadi wilayah yang terlalu padat dengan berbagai aktifitas di dalamnya, baik aktifitas ekonomi, sosial, pendidikan, politik, hukum, maupun aktifitas yang lain. Pembangunan perkotaan (aglomerasi)
menjadi
daya
tarik
yang
menjadikan
pembangunan
perdesaan ditinggalkan (marjinal). Sehingga perkotaan menjadi lahan baru
yang
semakin
sempit,
tetapi
semakin
kompleks
dengan
konflik/perebutan ruang yang tak terhindarkan. Dengan melihat bentuk ketimpangan yang ada di atas, maka dapat disebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi munculnya ketimpangan tersebut, yaitu: 1) Kepemilikan sumberdaya alam yang tidak merata antardaerah, 2) Sumberdaya manusia yang tidak merata, 3) Distribusi aset yang tidak merata, 4) Disparitas sosial-ekonomi, dan 5) Prioritas kebijakan yang bersifat top-down dan sektoral. Kelima faktor yang mempengaruhi munculnya ketimpangan spasial dan kesenjangan sosial baik antar daerah, Jawa-luar Jawa, dan desakota,
dapat
diperbaiki
dengan
membuat
prioritas
kebijakan
yang
menekankan pada 3 hal, yaitu: Pertama, pengembangan sumberdaya manusia, terutama di perdesaan, dan di daerah terpencil. Kedua, pembangunan infrastruktur dasar di daerah perdesaan dan terpencil, termasuk infrastruktur fisik (jalan, kesehatan.
Ketiga,
membangun
listrik, air), serta pendidikan dan daerah-daerah
perdesaan
melalui
kegiatan usaha pertanian dan nonpertanian. Pemerintah dapat berperan sebagai fasilitator untuk menstimulasi ekonomi perdesaan melalui berbagai cara, seperti penyediaan infrastruktur, pendidikan, kredit, dan lain-lain, yang mempengaruhi pengembangan kegiatan usaha pertanian dan nonpertanian, atau semisal program pembangunan baru yang pernah ditempuh Filipina yang bertujuan mencapai pertumbuhan ekonomi pesat dengan keadilan sosial dan kesempatan kerja penuh. Filipina menerapkan
9
strategi pembangunan yang bercabang dua, yaitu mobilisasi sektor perdesaan
yang
bertujuan
menciptakan
lapangan
kerja
penduduk
perdesaan, dan mendorong industrialisasi yang berorientasi ekspor, terutama industri kecil padat karya, agar industri di perkotaan mampu mendorong perkembangannya atas kekuatan sendiri tanpa bergantung pada perdesaan. Strategi mobilisasi perdesaan terlebih dulu terbukti berhasil di beberapa negara, seperti di Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Hongkong dan Singapura mampu mendorong industrialisasi di perkotaan7. Kedua strategi bercabang ini dapat direalisasikan sekaligus dengan upaya pembentukan agropolitan dan megapolitan secara terpadu dan terencana dalam kebijakan pembangunan nasional. Di mana agropolitan bertujuan mengembangkan ekonomi perdesaan yang kelak diharapkan menjadi penyangga bagi pengembangan megapolitan yang terpadu dengan daerah di sekitanya, terutama daerah-daerah perdesaan. Pembangunan nasional yang telah dilakukan selama ini meskipun secara
umum
telah
mampu
meningkatkan
kualitas
hidup
dan
kesejahteraan masyarakat, ternyata masih menimbulkan kesenjangan pembangunan antarwilayah. Ketimpangan pembangunan terutama terjadi antara Jawa-luar Jawa, antarkota dan antara kota-desa. Permasalahan lain adalah masih adanya kesenjangan antar wilayah perkotaan
dan
perdesaan,
pembangunan
perdesaan
masih
relatif
tertinggal jika dibandingkan dengan perkotaan, yang dicerminkan antara lain dengan rendahnya kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat perdesaan. Salah satu contohnya, baru sekitar 6,4 persen rumah tangga perdesaan yang telah dilayani infrastruktur perpipaan air minum, sementara di perkotaan telah mencapai 32 persen8. Beberapa masalah pokok yang perlu diprioritaskan penyelesaiannya adalah keterbatasan akses masyarakat perdesaan terhadap sumber daya produktif, kapasitas kelembagaan memadai,
sosial-ekonomi
serta
rendahnya
pembangunan kualitas
perdesaan
pelayanan
yang
belum
prasarana-sarana
permukiman perdesaan. Di samping itu, investasi yang lebih cenderung terkonsentrasi di perkotaan, terutama kota-kota besar dan metropolitan, menyebabkan
kian
meningkatnya
7
Harry T. Oshima, 1989: 167-169.
8
idem ditto
kesenjangan
ekonomi
perdesaan
10
dengan perkotaan yang berimplikasi pada munculnya berbagai masalah terkait dengan urbanisasi, eksternalitas negatif, dan lain-lain. Dalam
mewujudkan
sarana
pembangunan
pedesaan,
banyak
kendala yang akan dihadapi, yaitu masalah pengangguran, kemiskinan, kesenjangan, konflik sosial dan lain sebagainya. Masalah kemiskinan menyebabkan ketimpangan baik antar golongan penduduk, antar sektor kegiatan ekonomi maupun antar daerah. Dalam lingkup yang lebih luas, masalah kemiskinaan dan kesenjangan akan memicu kecemburuan sosial, dan pada akhirnya mengganggu kelangsungan pembangunan. Hal
lain
pembangunan.
yang
juga
terjadi
Pembangunan
adalah
perdesaan
terkait
merupakan
perencanaan bagian
dari
pembangunan nasional. Karena itu, pembangunan perdesaan merupakan dirumuskan dalam Musyawarah Rencana Pembangunan Nasional, dimana Indonesia menerapkan perencanaan pembangunan dari bawah (bottom-up planning), yang dimulai dari Musbangdes di desa sampai Rakorbang di kabupaten/kota.
Di
atas
pembangunan.
Prinsip
kertas,
konsep
tersebut
itu
terkait
mengandung dengan
prinsip
penempatan
kabupaten/kota sebagai wilayah pembangunan otonom, yang mempunyai kewenangan
untuk
mengelola
perencanaan
dan
pelaksanaan
pembangunan di wilayah yurisdiksinya. Dari tingkat bawah, proses dan isi perencanaan
pembangunan
masih
bersifat
elitis,
sehingga
peran
masyarakat secara aktif perlu dilibatkan. Peran serta masyarakat dipahami sangat berbeda menurut cara pandang orang maupun konteks kelembagaan, politik, dan sosialbudayanya.
Ada
yang
memahami
peran
serta
sebagai
proses
mengembangkan, memandirikan, menswadayakan, memperkuat posisi tawar-menawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi di segala aspek dan sektor kehidupan. Ada pula pihak lain yang menegaskan bahwa peran serta adalah proses memfasilitasi masyarakat secara bersama-sama pada sebuah kepentingan bersama atau urusan yang secara kolektif dapat mengidentifikasi sasaran, mengumpulkan sumber daya, mengerahkan suatu kampanye aksi dan membantu menyusun kembali kekuatan dalam komunitas.
11
Peran serta masyarakat desa dapat diamati dari beberapa sudut pandang. Pertama, peran serta dimaknai dalam konteks menempatkan posisi berdiri masyarakat. Posisi masyarakat bukanlah obyek penerima manfaat (beneficiaries) yang tergantung pada pemberian dari pihak luar seperti pemerintah, melainkan dalam posisi sebagai subyek (agen atau partisipan yang bertindak) yang berbuat secara mandiri. Berbuat secara mandiri bukan berarti lepas dari tanggung jawab negara. Pemberian layanan publik (kesehatan, pendidikan, perumahan, transportasi dan komunikasi) kepada masyarakat tentu merupakan tugas (kewajiban) negara secara given. Masyarakat yang mandiri sebagai partisipan berarti terbukanya
ruang
dan
mengontrol
lingkungan
kapasitas dan
mengembangkan
sumberdayanya
sendiri,
potensi-kreasi, menyelesaikan
masalah secara mandiri, dan ikut menentukan proses politik di ranah negara. Masyarakat ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan dan pemerintahan. Kedua, peran serta secara prinsipil berurusan dengan upaya memenuhi kebutuhan (needs) masyarakat. Banyak orang berargumen bahwa masyarakat akar rumput sebenarnya tidak membutuhkan hal-hal yang utopis seperti demokrasi, desentralisasi, good governance, otonomi daerah,
masyarakat
sipil,
dan
seterusnya.
Tetapi
persoalannya
sumberdaya untuk pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat itu sangat langka (scarcity) dan terbatas (constrain). Masyarakat tidak mudah bisa akses pada sumber daya untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan. Oleh karena itu, peran serta adalah sebuah upaya memenuhi kebutuhan masyarakat di tengah-tengah scarcity dan constrain sumber daya. Bagaimanapun juga berbagai sumber daya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat bukan hanya terbatas dan langka, melainkan ada problem struktural (ketimpangan, eksploitasi, dominasi, dan hegemoni) yang menimbulkan pembagian sumber daya secara tidak merata. Ketiga, peran serta terbentang dari proses sampai visi ideal. Dari sisi proses, masyarakat sebagai subyek melakukan tindakan atau gerakan secara kolektif mengembangkan potensi-kreasi, memperkuat posisi tawar, dan meraih kedaulatan. Dari sisi visi ideal, proses tersebut hendak mencapai suatu kondisi dimana masyarakat mempunyai kemampuan dan kemandirian memberikan voice, mendapatkan akses dan kontrol terhadap
12
lingkungan, komunitas, sumber daya dan relasi sosial-politik dengan negara. Proses untuk mencapai visi ideal tersebut harus tumbuh dari bawah dan dari dalam masyarakat sendiri. Namun, dalam kondisi struktural yang timpang masyarakat sulit sekali membangun kekuatan dari dalam dan dari bawah, sehingga membutuhkan intervensi dari luar. Hadirnya pihak luar (pemerintah, LSM, organisasi masyarakat sipil, organisasi agama dan perguruan tinggi) ke masyarakat bukan untuk menggurui, atau menentukan, melainkan bertindak sebagai fasilitator (katalisator)
yang
memudahkan,
menghubungkan, memberi ruang,
menggerakkan,
mengorganisir,
mendorong, membangkitkan dan
seterusnya. Hubungan antara komunitas dengan pihak luar itu bersifat setara, saling percaya, saling menghormati, terbuka, serta saling belajar untuk tumbuh berkembang secara bersama-sama. Keempat, peran serta masyarakat diharapkan masyarakat memiliki peran yang aktif sebagai pengambil keputusan dalam tahap pembangunan perdesaan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. Peran masyarakat tersebut dibatasi sesuai dengan mekanisme kerja dan kemampuan yang dimilikinya. Sebelum hal ini terjadi, diasumsikan masyarakat telah memiliki kemampuan yang cukup dan fasilitasi pemberdayaan masyarakat oleh pemerintah telah dilakukan. Peran serta masyarakat yang aktif ini akan meminimalisasi peran pemerintah dalam pembangunan, sehingga anggaran pembangunan yang dikeluarkan oleh pemerintah menjadi kecil. Hasil penelitian antara PSP3 IPB dan Bappenas Tahun 2004 menyatakan
bahwa
upaya
yang
perlu
dilakukan
untuk
dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan peningkatan pembangunan ekonomi pedesaan dimasa mendatang adalah9: 1. Peningkatan kemampuan sumberdaya manusia, peningkatan ini menjadi
9
sesuatu
yang
penting
kemampuan
sumberdaya
pendidikan
penduduk
karena
manusia akan
yaitu
dengan
meningkatnya
peningkatan
berpengaruh
pada
jenjang
kecepatan
[PSP3 IPB dan BAPPENAS] Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Perdesaan Institut Pertanian Bogor dan BAPPENAS. 2004. Kajian Pembangunan Ekonomi Desa untuk Mengatasi Kemiskinan. Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Perdesaan Institut Pertanian Bogor, dan Direktorat Permukiman dan Perumahan BAPPENAS. Bogor.
13
penyerapan adopsi teknologi, kemampuan untuk menggali informasi dan daya kreatifitas dan inovasi. Dengan peningkatan kemampuan tersebut akan lebih meningkatkan pendapatan masyarakat, yang akhirnya
akan
meningkatkan
kesejahteraannya
dan
dapat
mengentaskan kemiskinan. 2. Adanya penciptaan dan pengembangan lembaga ekonomi yang sudah ada, lembaga ekonomi ini seperti keberadaan koperasi, unit pelaksana
teknis
membantu
(UPT),
masyarakat
tempat dalam
pelelangan upaya
ikan
untuk
(TPI),
akan
meningkatkan
pendapatan. 3. Mengevaluasi peraturan-peraturan yang selama ini terkait dan berhubungan dengan masyarakat pedesaan, agar lebih berpihak pada
masyarakat
kecil,
dengan
demikian
campur
tangan
pemerintah paling tidak dibutuhkan untuk memberi kepastian hukum dan melindungi masyarakat kecil jika akan berhadapan dengan
golongan
masyarakat
yang
mempunyai
modal
dan
kekuasaan yang lebih besar. 4. Pemerintah supaya lebih aktif mendorong dan mancari alternatif matapencarian
pada
masyarakat
pedesaan
terutama
pada
masyarakat yang hidup pada desa dengan tipologi desa nelayan, desa jasa dan desa perdagangan. Peran aktif pemerintah tersebut terutama ditujukan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat melalui
suatu
pelatihan
atau
kursus
maupun
pendidikan
keterampilan, seperti pelatihan pengolahan hasil perikanan, bagi desa nelayan maupun pelatihan untuk berkreasi seni lebih tinggi terhadap hasil keramik dan gerabah pada masyarakat di desa dan sektor perdagangan. 1.3. Cakupan Pembangunan Desa Naskah akademis ini mencakup permasalahan dan upaya untuk mewujudkan pembangunan bagi masyarakat perdesaan di Indonesia secara adil. 1.4. Tujuan Adapun tujuan dari penulisan naskah akademis ini antara lain: 1. Membangun paradigma baru dalam usaha pembangunan desa.
14
2. Mengidentifikasi berbagai upaya dalam mewujudkan pembangunan bagi masyarakat pedesaan secara adil dan berkesinambungan. 3. Memberikan kejelasan mengenai pengembangan potensi desa sesuai dengan sumberdaya dan karakteristik desa masing-masing sehingga pembangunan yang dilaksanakan tepat sasaran dan optimal. 4. Menempatkan desa sebagai daerah yang memiliki kemampuan untuk menyokong keberadaan kota tanpa mobilitas sumberdaya manusia, sehingga
mampu
menjadikan
desa
sebagai
daerah
yang
berswasembada dan mampu menyumbang pendapatan pemerintah dari sisi demand maupun sisi supply.
15
BAB II TINJAUAN TEORETIK DAN EMPIRIK 2.1. Teori Pertumbuhan Ekonomi : Faktor-Faktor yang Menentukan Pertumbuhan10 Dalam sejarah pemikiran ekonomi, penulis ekonomi pada bagian kedua abad ke-18 dan permulaan abad ke-20. Lazim digolongkan sebagai kaum klasik. Selanjutnya, kaum ini dapat dibedakan dalam dua golongan, yaitu : 1. Golongan klasik saja. Merupakan
ahli-ahli
ekonomi
yang
mengungkapkan
analisisnya
sebelum tahun 1870. Tokoh-tokoh dari golongan ini adalah Adam Smith, David Ricardo, Robert Malthus, dan John Stuart Mill. 2. Kaum Neo klasik. Merupakan
ahli-ahli
ekonomi
yang
mengungkapkan
analisisnya
setelah tahun itu. Yang termasuk tokoh neo klasik adalah Carl Menger dan ahli ekonomi dari Austria yang lain, Alfred Marshall, Leon Walras, dan Knut Wicksel. Kedua golongan tersebut banyak mencurahkan perhatiannya kepada sifat-sifat kegiatan masyarakat dalam jangka pendek dan sedikit sekali menganalisis masalah pertumbuhan ekonomi.
Hal tersebut disebabkan
oleh pandangan mereka yang berkeyakinan bahwa mekanisme pasar akan menciptakan suatu suasana yang mengakibatkan perekonomian akan berfungsi secara efisien.
Dari pandangan ini selanjutnya mereka
berpendapat bahwa pembangunan ekonomi, walaupun berjalan secara perlahan,akan selalu berjalan dengan lancar dan teratur. Oleh sebab itu kaum
Neo-Klasik
sangat
sedikit
memperhatikan
masalah-masalah
pembangunan. Perbedaan terhadap masalah-masalah pembangunan berbeda sekali keadaannya di kalangan ahli-ahli ekonomi yang hidup pada akhir abad ke-18. dan bagian pertama abad ke-19. Mungkin pada saat itulah negaranegara maju mulai mengalami pembangunan ekonomi yang pesat, yaitu
10
Sukirno, S. 2006. Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah dan Dasar Kebijakan. Edisi Kedua. Cetakan Pertama. Penerbit Kencana Prenada Media Group. Jakarta
16
dengan munculnya industrial revolution dan terciptanya tahap lepas landas dalam pembangunan ekonomi negara-negara tersebut. Pandangan Adam Smith Menurut pandangan Adam Smith, kebijakan laissez-faire atau sistem mekanisme pasar akan memaksimalkan tingkat pembangunan ekonomi yang dapat dicapai oleh suatu masyarakat. Mengenai faktor yang menentukan pembangunan, Adam Smith berpendapat
bahwa
perkembangan
pembangunan ekonomi.
penduduk
akan
mendorong
Penduduk yang bertambah akan memperluas
pasar dan perluasan pasar akan meninggikan tingkar spesialisasi dalam perekonomian tersebut.
Sebagai akibat dari spesialisasi yang terjadi,
maka tingkat kegiatan ekonomi akan bertambah tinggi.
Perkembangan
spesialisasi dan pembagian pekerjaan diantara tenaga kerja akan mempercepat proses pembangunan ekonomi, karena spesialisasi akan meninggikan
tingkat
produktivitas
tenaga
kerja
dan
mendorong
perkembangan teknologi. Mengenai corak proses pertumbuhan ekonomi, Smith mengatakan bahwa apabila pembangunan sudah terjadi, maka proses itu akan terusmenerus berlangsung secara kumulatif.
Apabila pasar berkembang,
pembagian kerja dan spesialisasi akan terjadi, dan yang belakangan ini akan menimbulkan kenaikan produktivitas. nasional
yang
disebabkan
oleh
Kenaikan pendapatan
perkembangan
tersebut
dan
perkembangan penduduk dari masa ke masa, yang terjadi bersama-sama dengan kenaikan dalam pendapatan nasional, akan memperluas pasar dan menciptakan tabungan yang lebih banyak.
Tambahan pula,
spesialisasi yang bertambah tinggi dan pasar yang bertambah luas akan menciptakan teknologi dan mengadakan inovasi (pembaharuan). Maka, perkembangan ekonomi akan berlangsung lagidan dengan demikian dari masa ke masa pendapatan perkapita akan terus bertambah tinggi. Pandangan Ricardo dan Mill Ricardo dan Mill memiliki pandangan yang pesimis tentang akhir dari proses pembangunan dalam jangka panjang. Mereka berpendapat bahwa dalam jangka panjang perekonomian akan mencapai stationary state atau suatu keadaan di mana perkembangan ekonomi tidak terjadi sama sekali. Peranan penduduk dalam pembangunan ekonomi menurut Richardo dan Malthus adalah, perkembangan penduduk yang berjalan dengan cepat
17
akan memperbesar jumlah penduduk hingga dua kali lipat dalam waktu satu generasi, akan menurunkan kembali tingkat pembangunan ke taraf yang lebih rendah. Pada tingkat ini pekerja akan menerima upah yang sangat minimal, yaitu upah hanya mencapai tingkat cukup hidup (subsistence level).
Pada saat ini apabila dinyatakan teori pertumbuhan
kaum klasik, maka yang dimaksudkan adalah teori pertumbuhan yang dikemukakan
Ricardo.
Teori
ini
sangat
dipengaruhi
oleh
teori
perkembangan penduduk yang dikemukakan Malthus dan teori hasil lebih yang makin berkurang. 2.2. Desa Desa adalah salah satu basis dan sumber kegiatan dalam penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan. Kedudukan pemerintah desa yang selama ini masih kurang kuat harus segera diperbaiki agar dapat menggerakkan masyarakat desa untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan,
memiliki
kemampuan
dalam
menyelenggarakan
administrasi desa yang saat ini semakin luas dan kompleks, dan dapat menyelenggarakan
rumah
tangganya
sendiri
dengan
baik
dan
tertib.Jumlah desa di Indonesia dan status pemerintahannya dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan Tabel 2, jumlah desa di seluruh Indonesia pada tahun 2005 mencapai 57,667 desa dan Provinsi Jawa Tengah memiliki jumlah desa terbanyak seluruh Indonesia yaitu 6,163. Provinsi DKI Jakarta tidak memiliki daerah yang status hukumnya adalah desa.
18
Tabel 2. Banyaknya Desa Menurut Provinsi dan Status Pemerintahan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30.
Provinsi NAD Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DIY Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali NTB NTT Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan SulawesiTenggara Gorontalo Maluku Maluku Utara Papua Indonesia
Desa 5479 4017 97 1384 1063 2400 1086 1944 236 3924 6075 269 6034 1070 465 617 2436 1400 1201 1732 891 937 1378 2281 1363 355 785 665 3133 54717
Kelurahan 44 106 57 94 42 67 16 27 2 51 88 43 11 3 19 147 28 64 21 76 90 48 394 175 18 8 39 39 1817
Nagari 485 485
Lainnya 47 2 4 3 12 2 3 4 1 2 24 2 222 4 6 297 36 4 8 9 56 648
Jumlah 5523 4170 641 1482 1108 2479 1104 1974 238 3975 6163 269 6077 1081 468 640 2584 1430 1289 1755 1189 1031 1432 2872 1574 377 801 713 3228 57667
(Data BPS Podes 2005)
2.2.1 Definisi Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2005 tentang Desa, Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batasbatas
wilayah
yang
berwenang
untuk
mengatur
dan
mengurus
kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desa bukanlah bawahan kecamatan, karena kecamatan merupakan bagian
dari
perangkat
daerah
kabupaten/kota,
dan
desa
bukan
merupakan bagian dari perangkat daerah. Berbeda dengan Kelurahan,
19
Desa memiliki hak untuk mengatur wilayahnya lebih luas. Namun dalam perkembangannya, sebuah desa dapat ditingkatkan statusnya menjadi kelurahan. Dalam naskah revisi ditegaskan tentang definisi desa yang tidak jauh berbeda dengan sebelumnya: “Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan/atau dibentuk dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten/Kota”. Desa sama sekali tidak mempunyai kewenangan
yang
konkret
sebagaimana
dimiliki
provinsi
dan
kabupaten/kota, kecuali kewenangan romantik (hak asal-usul) dan kewenangan abstrak (kewenangan yang belum dilaksanakan oleh daerah dan pemerintah). Naskah ini sama sekali tidak mengakomodasi masukan dan tuntutan dari desa tentang perimbangan kekuasaan dan keuangan kepada desa, yang menjadi bagian penting dalam pembaharuan desa. Sampai saat ini belum ada kajian hukum yang mendalam mengenai desa.
Namun,
definisi
desa
dan
kedudukan
desa
dapat
ditelaah
berdasarkan masa pemerintahan di Indonesia, khususnya dari masa penjajahan Belanda. Di masa penjajahan Belanda, desa merupakan satu kesatuan wilayah berdasarkan adat-istiadat yang berkedaulatan dalam wilayah pemerintahan Hindia-Belanda. Pada masa penjajahan Jepang, kata kedaulatan dihilangkan, menjadi desa sebagai satu kesatuan wilayah
berdasarkan
adat-istiadat
sebagai
wilayah
administrasi
pemerintahan Timur Raya. Implikasi dari pengaturan ini adalah dibentuknya Rukun Tangga (RT) sebagai bagian dari pengawasan, pengendalian dan penggerakkan paling bawah. Pada masa kemerdekaan, definisi desa kembali seperti masa penjajahan Belanda, hanya saja kalimat “.... dalam wilayah pemerintahan Hindia-Belanda” diganti menjadi “.... dalam wilayah pemerintahan Republik Indonesia”. Namun keberadaan RT seperti di masa penjajahan Jepang tetap dipertahankan. Hal ini diperjelas dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, dengan ditambah
desa
sebagai
pemerintahan
administratif
ketiga
setelah
pemerintahan kabupaten dan provinsi. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, definisi desa masih tetap sama, hanya ditegaskan desa
20
sebagai pemerintahan administratif, yaitu “... merupakan pemerintahan otonom yang mengatur warga yang ada di wilayah otoritas hukum administrasi tingkat ketiga setelah pemerintah kabupaten dan provinsi.” Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965, kedudukan desa tidak memiliki perubahan, dan diberikan penegasan, yaitu “... desa sebagai
daerah
yang
memiliki
kekuasaan
hukum,
politik
dan
pemerintahan secara otonom.” Sedangkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun
1965
memperkuat
proses
demokratisasi
di
desa,
prinsip
kedaulatan, otonom dan adat-istiadat. Sehingga didefinisikan desa sebagai pemerintahan
swapraja
yang
mempunyai
kelembagaan
demokrasi:
eksekutif, legislatif dan mahkamah desa/adat. Desa juga memiliki modal sendiri berupa tanah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dan sebagai insenti birokrat desa. 2.2.2. Karakteristik Desa Daerah-daerah di Indonesia memang mempunyai keragaman yang luar biasa baik dilihat dari sisi kultur maupun kondisi geografis dan basis ekonominya. BPS menentukan kriteria suatu lokasi yang ditetapkan sebagai perdesaan atau perkotaan untuk menentukan adanya keragaman wilayah. Kriteria tersebut adalah: 1. Kepadatan penduduk per kilometer persegi. 2. Persentase rumahtangga yang mata pencaharian utamanya adalah pertanian atau non pertanian. 3. Persentase rumahtangga yang memiliki telepon. 4. Persentase rumahtangga yang menjadi pelanggan listrik. 5. Fasilitas
umum
yang
ada
di
desa/kelurahan,
seperti
fasilitas
pendidikan, pasar, tempat hiburan, kompleks pertokoan dan fasilitas lain, seperti hotel, biliar, diskotek, karaoke, panti pijat dan salon. Masing-masing fasilitas diberi skor. Atas dasar skor yang dimiliki desa tersebut, maka ditetapkan desa tersebut masuk dalam salah satu kategori, yaitu perkotaan besar, sedang, kecil dan perdesaan. Tipologi desa di Indonesia sangat beragam karena pengaruh sejarah pemerintahan adat dan pengaruh modernisasi birokrasi. Sesuai dengan
21
pemikiran dan konteks empirik yang berkembang di Indonesia, setidaknya ada tiga tipe bentuk desa: 1. Tipe ”Desa Adat” atau sebagai self governing community sebagai bentuk Desa asli dan tertua di Indonesia. Konsep ”otonomi asli” sebenarnya diilhami dari pengertian Desa Adat ini. Desa Adat mengatur dan mengelola dirinya sendiri dengan kekayaan yang dimiliki tanpa campur tangan negara. Desa Adat tidak menjalankan tugas-tugas administratif yang diberikan oleh negara. Saat ini Desa Pakraman di Bali yang masih tersisa sebagai bentuk Desa Adat yang jelas. 2. Tipe ”Desa Administratif” (local state government) adalah Desa sebagai satuan wilayah administratif yang berposisi sebagai kepanjangan negara
dan
diberikan
hanya
negara.
menjalankan Desa
tugas-tugas
Administratif
secara
administratif
yang
substansial
tidak
mempunyai otonomi dan demokrasi. Kelurahan yang berada di perkotaan merupakan contoh yang paling jelas dari tipe Desa Administratif. 3. Tipe ”Desa Otonom” atau dulu disebut sebagai Desapraja atau dapat juga disebut sebagai local self government, seperti halnya posisi dan bentuk daerah otonom di Indonesia. Secara konseptual, Desa Otonom adalah Desa yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi sehingga mempunyai kewenangan penuh untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Desa Otonom berhak membentuk pemerintahan sendiri, mempunyai badan legislatif, berwenang membuat peraturan Desa dan juga memperoleh desentralisasi keuangan dari negara. Dalam konteks perjalanan Indonesia mencari posisi dan bentuk Desa, ketiga tipe Desa yang telah diuraikan, dijadikan rujukan. Pertama, pemikiran para founding fathers yang termuat dalam konstitusi secara jelas mengikuti model
Desa
Adat,
yakni
mengakui
(rekognisi)
keberadaan
kesatuan
masyarakat hukum adat yang jumlahnya sangat banyak dan beragam di Indonesia. Kedua, pemikiran tentang Desa Otonom atau Desapraja atau Daerah Otonom Tingkat III, yang menempatkan posisi Desa sebagai subsistem
pemerintahan
kabupaten,
sekaligus
menerima
limpahan
kewenangan dan alokasi dana dari kabupaten. Menurut pakar Universitas Brawijaya dan IPDN, yang melakukan desentralisasi kepada Desa bukanlah pemerintah kabupaten melainkan negara melalui pemerintah pusat. Karena
22
itu,
kedudukan
Desa
harus
dipertegas
lebih
dulu
dalam
struktur
ketatanegaraan melalui konstitusi, kemudian diikuti dengan penyerahan kewenangan kepada Desa beserta alokasi dana secara langsung dari APBN.
Ketiga,
ide
dan
pengaturan
Desa
Administratif
(kelurahan)
yang
diterapkan pada masa Orde Baru. Di masa rezim ini, bentuk Desa Adat dihilangkan dan ide Desa sebagai daerah otonom tingkat III (Desapraja) juga dihilangkan, meski UU No. 5/1974 mengenal provinsi daerah tingkat I dan kabupaten/kotamadya daerah tingkat II UU No. 5/1979 memberi kesempatan perubahan status dari Desa-desa yang sudah urbanized di perkotaan menjadi kelurahan, yang membuat roh otonomi dan demokrasi menjadi hilang. Perubahan menjadi kelurahan memang memungkinkan perbaikan pelayanan administratif, tetapi di balik itu sangat memudahkan proses kapitalisasi, sebab status tanah kelurahan tidak lagi menjadi milik rakyat melainkan menjadi milik negara. Ketika investasi akan masuk ke ranah kelurahan, maka negara dan investor tidak lagi bernegosiasi dengan Desa dan rakyat Desa. Dari tiga tipe Desa seperti diatas, saat ini sebenarnya berkembang menjadi lima tipe seperti tergambar dalam Tabel 3. Tabel itu sebenarnya hendak mengatakan bahwa sebaiknya pengaturan Desa mengakomodasi gagasan optional village dalam bentuk lima tipe tersebut.
23
Tabel 3. Tipologi bentuk keragaman Desa di Indonesia Tipe Desa Deskripsi Ada adat, tetapi tidak Adat sangat dominan. Papua ada Desa. Desa tidak punya pengaruh.
Daerah
Tidak ada adat, tetapi Pengaruh adat sangat Jawa, sebagian besar ada Desa kecil. Desa modern Sulawesi, Kalimantan sudah tumbuh Timur, sebagian kuat. Sumatera Integrasi antara dan adat.
Desa Adat dan Desa sama- Sumatera Barat sama kuat. Terjadi kompromi keduanya.
Dualisme/Konflik Pengaruh adat jauh lebih Bali, Kalimantan Barat, antara adat dengan kuat ketimbang Desa. Aceh, NTT, Maluku. Desa Terjadi dualisme kepemimpinan lokal. Pemerintahan Desa tidak efektif. Tidak ada Desa tidak Kelurahan sebagai unit Wilayah perkotaan. ada adat administratif (local state government). Tidak ada demokrasi lokal.
Namun di antara opsi yang beragam itu tampaknya ada beberapa pilihan yang bersifat optional village. Dalam optional village, karakteristik Desa meliputi: Pertama, adalah integrasi fungsi pemerintahan Desa ke dalam pemerintahan adat sebagaimana terjadi di Sumatera Barat. Forum diskusi bersama Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara imur tampaknya juga mengarah pada bentuk Desa yang terintegrasi itu. Adapun disain kelembagaannya adalah sebagai berikut:
Secara prinsipil integrasi Desa dan adat (integrated village) adalah bentuk
Desa
otonom
(local
self
government),
dengan
tetap
mengakomodasi semangat dan pola self governing community.
Dalam integrated village, terjadi peleburan antara Desa adat dan Desa dinas menjadi sebuah institusi yang batas-batas wilayah yang jelas.
Nomenklatur Desa disesuaikan dengan nomenklatur lokal, seperti nagari, pakraman, lembang, negeri dan lain-lain.
24
Struktur pemerintahan integrated village mengakomodasi struktur adat yang ada
Struktur ini bukan dalam posisi dan pengertian sebagai
lembaga kemasyarakatan, tetapi sebagai struktur resmi pemerintahan Desa. Sebagai contoh di nagari Sumatera Barat terdapat wali nagari sebagai kepala eksekutif, Badan Perwakilan Nagari sebagai lembaga legislatif seperti Badan Perwakilan Desa dan Kerapatan Adat Nagari (KAN) sebagai institusi asli yang menjalankan fungsi peradilan adat dan wadah permusyawaratan besar para penghulu adat, serta Majelis Adat, Syarak dan Ulama sebagai lembaga pertimbangan bagi lembaga lain yang terkait dengan adat dan agama.
Integrated village tidak mengenal dualisme kepemimpinan, melainkan dipimpin oleh seorang pimpinan eksekutif seperti kepala Desa.
Kedua, adalah integrasi masyarakat adat dalam Desa. Dalam model ini, nilai, istitusi, dan mekanisme yang dikenal dalam masyarakat adat diakomodasi dalam pemerintahan Desa. Ketiga, adalah koeksitensi antara masyarakat adat dengan Desa, dimana masing-masing saling behubungan dan saling memperkuat. Dalam model ini,
Desa
administratif
menjalankan
kewenangannya
tanpa
harus
menidakan masyarakat adat. Keragaman desa juga dipengaruhi oleh konteks geografis dan sosiologis. Ada Desa pedalaman, Desa agraris, Desa pegunungan, Desa pantai dan Desa pedalaman, yang masing-masing Desa itu mempunyai karakter sosiologis yang berbeda-beda. Keragaman Desa secara geografis juga berpengaruh terhadap beragamnya basis penghidupan, kapasitas lokal dan kemajuan dalam mengelola pemerintahan dan pembangunan Desa. Tipologi yang beragam ini sebenarnya tidak berpengaruh secara signifikan terhadap model stuktur pemerintahan desa sebagaimana pengaruh yang kuat dari keragaman adat. Pengaruhnya akan terletak pada efektivitas implementasi peraturan. Desa-Desa perkotaan yang terbuka
akan
lebih
cepat
tersosialisasi
dan
lebih
efektif
dalam
menerapkan peraturan, sementara Desa-Desa pedalaman yang terpencil akan mengalami kesulitan untuk menjalankan peraturan, bahkan hampir tidak tersentuh negara. Untuk menjawab tipologi geografis yang beragam itu dibutuhkan beberapa skema:
25
a. Sebaiknya peraturan memuat positive list kewenangan Desa yang bersifat optional. Tidak semua daftar kewenangan diterapkan di seluruh Desa, melainkan Desa mempunyai kesempatan untuk memilih kewenangan
yang
sesuai
dengan
konteks
dan
kapasitas
lokal.
Berbagai ketentuan dan persyaratan (mulai dari pembentukan Desa, pemilihan kepala Desa, sampai dengan keanggotaan BPD) dibuat secara longgar atau fleksibel sehingga bisa dilaksanakan di Desa-Desa yang under capacity. b. Struktur keperangkatan desa juga dibuat secara fleksibel, sebagaimana selama ini mengenal pola minimal dan maksimal, sehingga desa akan menyusun struktur perangkat disesuaikan dengan kondisi setempat. c. Variabel geogragis dan demografis yang sangat beragam sebaiknya digunakan sebagai variabel penentu alokasi dana desa. Spiritnya adalah kebijakan afirmatif untuk memberikan alokasi lebih besar pada desa-desa yang secara geografis mengalami kesulitan dan terbelakang. Desa di Indonesia, menurut Tarigan (2006), dikategorikan atas swadaya, swakarya dan swasembada. Pembagian ini didasarkan atas jumlah penduduk, fasilitas yang tersedia dan kemudahan mencapai desa tersebut. Desa swasembada adalah yang paling tinggi hierarkinya, disusul oleh swakarya, dan yang terendah adalah swadaya. Desa swasembada memiliki fasilitas lengkap dan mudah dijangkau. Sebaliknya desa swadaya adalah desa dengan fasilitas yang minim dan tidak mudah dijangkau. Kebijakan yang diterapkan adalah bagaimana meningkatkan status desa tersebut dengan bantuan yang seminimal mungkin dari pemerintah. Artinya,
sedapat
Pemerintah
mungkin
berkewajiban
tanggungjawabnya, pendidikan
dan
seperti sarana
menggerakkan
partisipasi
masyarakat.
menyediakan
fasilitas
yang
menjadi
jalan
listrik,
telepon,
sarana
utama,
kesehatan.
Namun,
perlu
diingat
bahwa
kemampuan pemerintah juga terbatas dan melihat apakah pasar setempat akan
segera
memanfaatkan
fasilitas
tersebut
atau
tidak.
Dengan
demikian, untuk meningkatkan status desa maka tidak cukup hanya dari usaha pemerintah saja tetapi juga terkait dengan partisipasi atau kegiatan ekonomi masyarakat. Banyak jenis fasilitas lain inisiatif penyediaannya berasal dari masyarakat. Hal ini berarti peningkatan status desa erat kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi di desa tersebut. Oleh karena
26
itu, pertumbuhan ekonomi perlu dirangsang melalui pendekatan sektoral maupun pendekatan regional, yang kebijakannya tentu berbeda dari satu desa ke desa yang lain. Di sisi lain, perlu dilihat ciri-ciri spesifik suatu desa dan hierarki antardesa, yaitu desa mana yang dapat berfungsi sebagai perantara antara desa disekitarnya dengan kota, desa mana yang dapat dijadikan pusat pelayanan untuk desa lain disekitarnya, dan desadesa mana yang diperkirakan bisa cepat berkembang dengan sedikit bantuan pemerintah di masa yang akan datang. Desa yang berkembang kemudian akan mendorong desa tetangganya untuk turut berkembang, karena adanya keterkaitan kegiatan antardesa. Hal paling mendasar dan universal bagi seluruh desa adalah pengakuan dan kelembagaan hak-hak desa yang dulu mereka miliki. Yang paling dasar adalah hak desa untuk memiliki dan mengontrol sumberdaya alam. Desa berwenang melakukan kontrol atas pengembangan kawasan yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta. Rencana Undangundang Pembangunan Perdesaan sebaiknya juga memberikan standar universal yang harus ada dalam setiap opsi, yakni memasukkan nilai-nilai demokrasi, pluralisme, transparansi, akuntabilitas dan partisipasi. Nilainilai universal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya feodalisme dalam tata pembangunan desa.
2.2.3 Kewenangan Desa Kewenangan (authority) adalah suatu kekuasaan yang sah atau “the power or right delegated or given; the power to judge, act or command” (Ndraha,
2003:
menyarankan
85). bahwa
Namun dalam
dalam
perkembangannya,
membahas
kewenangan
Barnard harus
memperhatikan apakah kewenangan itu diterima oleh yang menjalankan (whether orders are accepted by those who receive them). Dari pemahaman ini jelas bahwa dalam membahas kewenangan tidak hanya semata-mata memperhatikan kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa, namun harus juga memperhatikan yang menjalankan dan atau menerima kekuasaan itu. Di dalam kewenangan tentu mengandung keputusan politik (alokasi) dan keputusan administratif (pelaksanaan) yang mencakup mengatur, mengurus dan tanggungjawab.
27
Meski desa tetap menjadi bagian dari subsistem pemerintahan kabupaten/kota, tetapi tidak ada teori dan azas yang membenarkan penyerahan kewenangan/urusan dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa. Di sisi lain, konstitusi juga tidak menetapkan desentralisasi kewenangan desa. Karena itu, kewenangan desa didasarkan pada azas rekognisi dan subsidiaritas, bukan pada azas desentralisasi. Kewenangan desa tidak lagi mengikuti skema penyerahan atau pelimpahan sebagian kewenangan dari kabupaten/kota, melainkan dengan skema pengakuan (rekognisi) dan subsidiaritas atas kepentingan masyarakat setempat. Berdasarkan skema ini ada dua jenis kewenangan desa yang utama: (a) Kewenangan asal-usul yang diakui oleh negara: mengelola aset (sumberdaya alam, tanah ulayat, tanah kas desa) dalam wilayah yurisdiksi desa, membentuk struktur pemerintahan desa dengan mengakomodasi susunan asli, menyelesaikan sengketa secara adat dan melestarikan adat dan budaya setempat. (b) Kewenangan melekat (atributif) mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat
pembangunan
dan
yang
tata
berskala
ruang
lokal
desa,
(desa):
membentuk
perencanaan struktur
dan
organisasi pemerintahan desa, menyelenggarakan pemilihan Kepala Desa,
membentuk
Badan
Perwakilan
Desa,
mengelola
APBDes,
membentuk lembaga kemasyarakatan, mengembangkan BUMDes, dan lain-lain. Selain itu, ada satu jenis kewenangan (urusan) yang bersifat tambahan, yakni kewenangan dalam bidang tugas pembantuan (delegasi) yang
diberikan
oleh
pemerintah.
Prinsip
dasarnya,
dalam
tugas
pembantuan ini desa hanya menjalankan tugas-tugas administratif (mengurus) di bidang pemerintahan dan pembangunan yang diberikan pemerintah. Tugas pembantuan disertai dengan dana, personil dan fasilitas. Desa berhak menolak tugas pembantuan jika tidak disertai dengan dana, personil dan fasilitas.
28
2.2.4. Penyelenggara Pembangunan Desa Sebagai kosekuensi pilihan yang beragam, maka pengaturan tentang kelembagaan dan penyelenggaraan pembangunan desa dibuat beragam juga pilihannya. Namun demikian UU ini perlu merumuskan standar norma yang bisa dipakai sebagai acuan dalam penyelenggaraan pembangunan desa. Standar dan norma yang harus diikuti adalah sebagai berikut: Pertama, Agar penyelenggaraan pembangunan desa dapat lebih peka dalam memahami aspirasi dan permasalahan yang dihadapi masyarakat, maka ada tujuh asas penyelenggaraan pembangunan desa yang ditekankan, yaitu: a. Asas kebersamaan dan gotong-royong; b. Asas efisiensi berkeadilan; c. Asas berkelanjutan; d. Asas berwawasan lingkungan; e. Asas kemandirian; f. Asas kesetaraan; g. Asas kemanusiaan; h. Asas kebangsaan; i. Asas kekeluargaan; j. Asas bhinneka tunggal ika; k. Asas ketertiban dan kepastian hukum; l. Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan; m. Asas kreativitas; n. Asas kearifan lokal; o. Asas integratif; p. Asas transparansi; q. Asas akuntabilitas; r. Asas efektivitas; s. Asas responsif dan peranserta aktif; t. Asas tanggung jawab negara; Kedua, Penyelenggaraan pembangunan desa dilakukan oleh Badan Perwakilan Desa, pemerintah desa dan masyarakat desa. Keanggotaan Badan Perwakilan Desa dapat dipilih atau berdasarkan musyawarah secara berjenjang sesuai dengan adat-istiadat dan tradisi setempat. BPD
29
mencerminkan perwakilan unsur-unsur atau kelompok-kelompok dalam masyarakat desa. Ketiga, Penyelenggaraan pembangunan desa dipimpin oleh Kepala Desa atau disebut dengan nama lain. Proses pengisian Kepala Desa dapat dilakukan secara pemilihan langsung atau musyawarah warga secara berjenjang sesuai dengan adat istiadat dan tradisi setempat. Kepala Desa yang dipilih secara langsung memiliki masa jabatan selama 6 tahun dan dapat dipilih kembali. Kepala Desa hanya bisa menjabat 2 kali masa jabatan 2.2.5. Peraturan Desa Sebagai konsekuensi atas penetapan kewenangan yang melekat pada desa, maka desa mempunyai kewenangan (mengatur, mengurus dan bertanggungjawab) untuk menyusun Peraturan Desa. Peraturan Desa disusun oleh Kepala Desa dan BPD sebagai kerangka kebijakan bagi penyelenggaraan
pembangunan
desa.
Penyusunan
Peraturan
Desa
merupakan penjabaran atas berbagai kewenangan yang dimiliki desa, tentu berdasarkan kepada kebutuhan dan kondisi desa setempat, serta mengacu pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Sebagai sebuah produk hukum Peraturan Desa tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan tidak boleh merugikan kepentingan masyarakat desa. Sebagai sebuah produk hukum, Peraturan Desa disusun secara demokratis dan partisipatif, yakni proses penyusunannya melibatkan partisipasi masyarakat. Masyarakat mempunyai hak untuk mengusulkan atau memberi masukan kepada BPD maupun Kepala Desa dalam proses penyusunan Peraturan Desa. 2.2.6. Perencanaan Pembangunan Desa Perencanaan
pembangunan
desa
merupakan
alternatif
komplementer atas keterbatasan perencanaan pembangunan desa. Oleh karena itu, perencanaan pembangunan desa mempunyai posisi yang sangat penting karena: (1) jika desa mempunyai perencanaan sendiri (yang dibimbing dengan kewenangan desa), maka ia akan tumbuh menjadi kesatuan pemerintahan dan masyarakat yang mandiri. Jika desa mandiri, maka akan menngurangi beban pemerintah kabupaten dan sekaligus mempercepat tujuan-tujuan penanggulangan kemiskinan dan kesejahteraan rakyat, (2) perencanaan pembangunan desa menjadi
30
sebuah instrumen untuk merespon secara cepat, efisien dan efektif atas masalah dan kebutuhan yang berskala lokal, (3) kejelasan tentang perencanaan pembangunan desa akan menggairahkan partisipasi dan kehidupan masyarakat desa, dan (4) perencanaan pembangunan desa berlangsung secara dinamis, partisipatif dan menjawab kebutuhan berskala lokal. Perencanaan pembangunan desa bukanlah perencanaan daerah yang berada di desa, melainkan sebagai sebuah sistem perencanaan yang berhenti di tingkat desa atau dikelola sendiri (self planning) oleh desa serta berbasis pada masyarakat setempat, dengan tetap mengacu pada perencanaan pembangunan daerah yang telah ditetapkan. Perencanaan pembangunan desa ini memiliki tujuan: (1) memotong mata rantai prosedur perencanaan bertingkat (bottom up) yang terlalu panjang; (2) membawa perencanaan agar dekat pada masyarakat di desa sehingga agenda pembangunan desa menjadi lebih partisipatif dan reponsif pada kebutuhan masarakat setempat; (3) membuat proses subsidiaritas dalam pembangunan
bekerja
di
level
desa,
sehingga
bisa
memperkuat
tanggungjawab, membuka proses pembelajaran dan membangkitkan prakarsa berdasarkan potensi lokal; (4) perencanaan pembangunan desa akan lebih efektif menempa keleluasaan, kapasitas dan kemandirian desa dalam
menjalankan
urusan
pemerintahan,
pembangunan
dan
kemasyarakatan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat; (5) membuat kepastian pelayanan publik dan pemerataan pembangunan sampai ke level desa yang dekat dengan rakyat; (6) menciptakan produktivitas, efisiensi dan efektivitas pembiayaan pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan desa. Perencanaan pembangunan desa memiliki sejumlah ciri, meliputi: a. Perencanaan pembangunan desa merupakan sistem perencanaan sendiri (self planning) yang menjangkau urusan-urusan pembangunan yang menjadi kewenangan dan tanggungjawab desa. b. Kewenangan desa yang sudah ditetapkan kemudian dicakup dengan perencanaan pembangunan desa, membutuhkan dukungan dana alokasi desa dari pemerintah. c. Perencanaan
pembangunan
desa
dibuat
dalam
bentuk
rencana
strategis sebagai rencana jangka panjang, rencana pembangunan
31
jangka menengah (RPJMDes), dan rencana pembangunan tahunan (RKPDes). d. Perencanaan pembangunan desa merupakan sistem yang terpadu dan dibuat sistem budgeter (budgetary system) di desa melalui skema APBDes. Artinya, kecuali perencanaan sektoral kabupaten maupun pelaksanaan
tugas-tugas
pembantuan
yang
menjadi
domain
pemerintah supraDesa, program-program pembangunan yang bersifat spasial dan berbasis desa sebaiknya diintegrasikan secara terpadu dalam perencanaan pembangunan desa dan dana program-program itu dimasukkan ke dalam APBDes (budgetary system). e. Perencanaan pembangunan desa dikelola untuk merespons secara dekat dan langsung berbagai kebutuhan masyarakat desa serta diproses secara partisipatif. Forum Musrenbangdes, LPMD, RT, RW, kelompok tani, kelompok perempuan, karang taruna, kelompok keagamaan
dan
lain-lain
merupakan
arena
yang
nyata
untuk
mewadahi proses perencanaan partisipatif di desa. Di internal desa, partisipasi pembangunan mensyaratkan adanya kelembagaan yang demokratis dalam struktur pengambilan kebijakan desa. f. Perencanaan pembangunan desa tidak perlu dibawa atau diusulkan naik ke atas, misalnya untuk memperoleh persetujuan. Musrenbang di kabupaten tidak lagi digunakan untuk menilai, menyeleksi atau menyetujui
usulan
dari
desa.
Dalam
konteks
perencanaan
pembangunan desa, kabupaten bertugas melakukan pembinaan, fasilitasi dan supervisi. g. Tanggungjawab perencanaan pembangunan desa diletakkan di tingkat desa. Desa menyampaikan dokumen-dokumen perencanaan dan pelaksanaannya kepada kabupaten sebagai bahan untuk melakukan pembinaan, fasilitasi dan supervisi.
2.2.7. Keuangan Desa Keuangan Desa memegang peranan yang sangat penting dalam penyelenggaraan pembangunan desa, oleh karena itu akan diperjelas mengenai kewenangan pendanaan dalam setiap kegiatan, penggalian sumber pendapatan desa, pengelolaan kekayaan desa, hubungan desasupra desa dalam penggalian sumber pendapatan desa, perencanaan dan
32
pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, pembentukan dan pengelolaan Badan Usaha Milik Desa. Selain keuangan desa bersumber dari lokal, juga bersumber dari pemerintah dan sumbangan pihak ketiga. Ada beberapa model transfer uang yang masuk ke desa bagi pembangunan desa: 1. Investasi:
dari
pemerintah
untuk
pengembangan
pembangunan
perdesaan. Anggaran ini merupakan kewenangan dan tanggungjawab pemerintah. 2. Alokasi: dana desa sebagai hak desa karena menyelenggarakan fungsinya. Alokasi Dana Desa (ADD) dialokasikan langsung dari APBN, yang posisinya sebagai salah komponen tetap dalam dana perimbangan yang
diterima
oleh
kabupaten/kota.
Dengan
demikian
dana
perimbangan yang diterima oleh kabupaten mencakup DAU, dana bagi hasil, Dana Alokasi Khusus dan juga Alokasi Dana Desa. Jumlah ADD untuk setiap kabupaten/kotaditentukan secara tetap namun beragam yang didasarkan pada perbedaan kondisi geografis, demografis dan kemiskinan. 3. Akselerasi:
dana
yang
digunakan
perencanaan pembangunan desa.
untuk
mempercepat
realisasi
Dana akselerasi lebih sebagai
affirmative action untuk desa-desa yang masih terbelakang. Dana ini tidak mempunyai perencanaan dan implementasi tersendiri, melainkan menyatu (integrasi) dengan perencanaan pembangunan desa, karena itu harus masuk dalam APBDes. 4. Insentif: dana ganjaran (reward) terhadap desa yang berprestasi dalam menyelenggarakan fungsinya. BUMDes merupakan alternatif yang dapat dikembangkan untuk mendorong perekonomian desa. Melalui alternatif usaha ini, diharapkan akan tercipta sumberdaya ekonomi baru untuk mengatasi keterbatasan sumberdaya alam desa. 2.2.8. Lembaga Kemasyarakatan Dalam ketentuan ini akan diatur mengenai tujuan pembentukan Lembaga
Kemasyarakatan,
tata
cara
pembentukan
Lembaga
Kemasyarakatan, tugas dan fungsi Lembaga Kemasyarakatan, hubungan Lembaga Kemasyarakatan dengan Lembaga Desa yang lain. Lembaga Kemasyarakatan adalah lembaga yang dibentuk masyarakat dengan
33
prinsip-prinsip
kesukarelaan,
kemandirian
dan
keragaman.
Karakteristiknya terdiri dari lembaga kemasyarakatan yang berbasis: kewilayahan, keagamaan, profesi, kebudayaan (termasuk adat istiadat), kepemudaan,
gender,
Kemasyarakatan
dan
adalah
kepentingan.
dalam
Fungsi
penguatan
utama
komunitas
Lembaga
dan
social
security/ketahanan masyarakat dan dapat membantu pemerintah desa dalam menjalankan fungsi administrasi kepemerintahan. 2.3. Pembangunan Desa 2.3.1 Definisi Pembangunan
Definisi
mengenai
pembangunan
berkembang
sesuai
dengan
pemahaman mengenai upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang terus berkembang. Sehingga tahapan mengenai definisi ini berkembang mulai dari ukuran ekonomi tradisional, sampai pemahaman yang ada saat ini. 1.
Ukuran-ukuran Ekonomi Tradisional11 Menurut pengertian akademis, istilah pembangunan (development) secara
tradisional
diartikan
sebagai
kapasitas
dari
sebuah
perekonomian nasional–yang kondisi awalnya kurang lebih bersifat statis dalam kurun waktu cukup lama-untuk menciptakan dan mempertahankan kenaikan tahunan atas pendapatan nasional bruto atau GNP (Gross National Product)-nya pada tingkat tertentu atau bahkan lebih tinggi lagi, jika hal itu memungkinkan. Ukuran lain yang mirip dengan GNP adalah GDP (Gross Domestik Product). Indeks ekonomi lainnya yang juga sering digunakan untuk mengukur tingkat
kemajuan
pembangunan
adalah
tingkat
pertumbuhan
pendapatan per kapita (income per capita) atau GNP per kapita. Indeks ini pada dasarnya mengukur kemampuan suatu negara untuk memperbesar outputnya dalam laju yang lebih cepat dari tingkat pertumbuhan penduduknya. Tingkat dan laju pertumbuhan GNP per kapita “riil” (yakni sama dengan pertumbuhan GNP per kapita dalam satuan moneter dikurangi dengan tingkat inflasi) merupakan tolok
11
Todaro, M.P. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Edisi ketujuh, jilid kesatu. Alih Bahasa Drs. Haris Munandar, M.A. Penerbit Erlangga. Jakarta.
34
ukur ekonomis yang paling sering digunakan untuk mengukur sejauh mana kemampuan ekonomis suatu negara. Berdasarkan tolok ukur tersebut, akan memungkinkan untuk mengetahui seberapa banyak barang-barang
dan
jasa-jasa
riil
yang
tersedia
bagi
rata-rata
penduduk untuk melakukan kegiatan konsumsi dan investasi. Pembangunan ekonomi pada masa lampau juga sering diukur berdasarkan tingkat kemajuan struktur produksi dan penyerapan sumber daya (employment) yang diupayakan secara terencana. Biasanya dalam proses tersebut peranan sektor pertanian akan menurun untuk memberi kesempatan bagi tampilnya sektor-sektor manufaktur diupayakan
dan
jasa-jasa
agar terus
pembangunan
biasanya
yang
secara
berkembang. hanya
Oleh
berfokus
sengaja karena pada
senantiasa itu strategi
upaya
untuk
menciptakan industrialisasi secara besar-besaran sehingga kadang kala mengorbankan kepentingan pembangunan sektor pertanian dan daerah pedesaan pada umumnya yang sebenarnya tidak kalah pentingnya. Jelaslah bahwa penerapan tolok ukur pembangunan yang murni bersifat ekonomi tersebut, agar lebih akurat dan bermanfaat, harus didukung pula oleh indikator-indikator sosial (social indicators) non-ekonomi. Contoh indikator sosial antara lain adalah tingkat melek huruf, tingkat pendidikan, kondisi-kondisi dan kualitas layanan kesehatan, kecukupan kebutuhan akan perumahan, dan sebagainya. Dari sekian banyak upaya-upaya untuk menciptakan indikator-indikator sosial yang berbobot guna mendampingi indikator GNP per kapita, yang paling menonjol adalah upaya UNDP yang kemudian berhasil menciptakan indeks pembangunan manusia. Menurut UNDP tahun 1990, fokus pembangunan suatu negara adalah penduduk karena penduduk adalah kekayaan suatu negara.12 UNDP tahun 1995 memberikan sejumlah premis penting dalam pembangunan yang
dimaksudkan untuk memperbesar pilihan-
pilihan bagi penduduk, tidak hanya untuk meningkatkan pendapatan mereka. Oleh karena itu, konsep pembangunan tidak harus terpusat
12
United Nation Development Programme. 1990. Human Development Report 1990. Oxford University Press.
35
pada penduduk secara keseluruhan, dan bukan hanya pada aspek ekonomi saja.13 2. Pandangan Baru Pembangunan Pengalaman pada dekade 1950-an dan dekade 1960-an, ketika banyak di antara negara-negara Dunia Ketiga berhasil mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun gagal memperbaiki taraf hidup sebagian besar penduduknya, menunjukkan bahwa ada sesuatu yang salah dalam definisi pembangunan yang dianut selama itu. Semakin lama semakin banyak ekonom dan perumus kebijakan yang meragukan ketepatan dan keampuhan “tolok ukur GNP” sebagai tolok ukur atas terciptanya kemakmuran dan kriteria kinerja pembangunan. Mereka mulai mempertimbangkan untuk merubah strategi guna mengatasi secara langsung berbagai masalah mendesak seperti tingkat kemiskinan absolut yang semakin parah, ketimpangan pendapatan yang semakin mencolok, dan tingkat pengangguran yang terus melonjak. Singkatnya, selama dekade 1970-an, pembangunan mengalami redefinisi. Mulai muncul pandangan bahwa tujuan utama dari
usaha-usaha
pembangunan
bukan
lagi
menciptakan
pertumbuhan GNP setinggi-tingginya melainkan penghapusan atau pengurangan
tingkat
pendapatan,
dan
kemiskinan,
penyediaan
perekonomian
yang
pembangunan
identik
terus
penanggulangan
lapangan
berkembang.
dengan
teori
ketimpangan
kerja dalam Hal
ini
konteks
disebabkan
pembangunan
ekonomi.
Penggantian atau penyesuaian definisi pertumbuhan yang kini lebih didasarkan pada konsep “redistribusi kemakmuran” itu merupakan slogan yang populer pada masa itu. Dalam konteks ini Profesor Dudley
Seers
mengenai
mengajukan
makna
serangkaian
pembangunan,
yang
pertanyaan kemudian
mendasar
berkembang
menjadi definisi baru pembangunan sebagai berikut : “Pertanyaan-pertanyaan
mengenai
perkembangan
pembangunan
suatu negara yang harus diajukan adalah : Apa yang terjadi dengan kemiskinan penduduk di negara itu? Bagaimana dengan tingkat
13
United Nation Development Programme. 1995. Human Development Report 1990. Oxford University Press.
36
penganggurannya? Adakah perubahan-perubahan yang berarti yang berlangsung
atas
penanggulangan
masalah
ketimpangan
pendapatan? Jika ketiga permasalahan tersebut selama periode tertentu sedikit banyak telah teratasi, maka tidak diragukan lagi bahwa periode tersebut merupakan periode pembangunan bagi negara yang bersangkutan. Akan tetapi jika satu, dua, atau semua dari ketiga persoalan mendasar tersebut menjadi semakin buruk, maka tidak bisa dikatakan negara itu telah mengalami proses pembangunan yang positif, meskipun barangkali selama kurun waktu tersebut pendapatan per kapitanya mengalami peningkatan hingga dua kali lipat.”14 Penegasan tersebut bukan merupakan sebuah spekulasi yang mengada-ada ataupun sekedar deskripsi atas suatu hipotesis. Pada kenyataannya, memang ada sejumlah negara berkembang yang berhasil mencapai pertumbuhan pendapatan per kapita yang cukup tinggi
selama
dekade
1970-an,
namun
masalah-masalah
pengangguran, kesenjangan pendapatan dan pendapatan riil dari 40% penduduknya yang paling miskin tidak banyak mengalami perbaikan atau bahkan dalam banyak kasus justru semakin buruk. Menurut
definisi
pertumbuhan
sebelumnya,
negara-negara
berkembang tersebut dikatakan sudah mengalami pembangunan. Akan tetapi berdasarkan kriteria-kriteria pembangunan yang baru, mengingat ketiga masalah tersebut belum diatasi secara memadai, maka mereka tidak bisa dikatakan telah mengalami pembangunan. Situasi yang ada pada dekade 1980-an dan permulaan dekade 1990an semakin buruk dengan anjloknya tingkat pertumbuhan GNP di antara masalah
banyak hutang
negara luar
berkembang. negeri
yang
Karena
dihadapkan
demikian
berat,
pada
banyak
pemerintahan negara-negara berkembang yang kemudian terpaksa mengurangi atau bahkan menghapuskan program-program bantuan ekonomi dan sosial yang sebenarnya sudah sangat terbatas itu. Namun fenomena pembangunan atau adanya situasi keterbelakangan yang kronis sesungguhnya tidak semata-mata merupakan persoalan ekonomi atau sekedar soal pengukuran tingkat pendapatan, dan juga 14
Seers, D. 1999. The Meaning of Development, makalah yang disampaikan pada Eleven World Conference of the Society for International Development, New Delhi.
37
tidak
terbatas
berupa
masalah
perhitungan
masalah
ketenagakerjaan, atau penaksiran tingkat ketimpangan penghasilan secara kuantitatif. Keterbelakangan merupakan kenyataan riil dalam kehidupan sehari-hari bagi lebih dari 3 miliar orang di planet ini. Yang dimaksud dengan keterbelakangan di sini bukan hanya angkaangka
kemiskinan
keterbatasan
berpikir
nasional, dari
melainkan
penduduk
miskin
juga di
menyangkut negara-negara
terbelakang yang bersangkutan. Kondisinya dikemukakan secara tepat oleh Denis Goulet berikut ini : “Hakekat
keterbelakangan
itu
sangat
menyedihkan.
Disuatu
masyarakat yang dililit keterbelakangan kita akan mudah sekali menemukan kelaparan, penyakit, keputusasaan dan kematian yang sebenarnya tidak perlu terjadi! Yang lebih menyedihkan lagi, orangorang yang terbelakang itu sendiri terkesan tidak begitu merasakan tekanan penderitaan yang begitu hebat. Mereka tampaknya sudah terlanjur menganggap rendahnya pendapatan mereka, buruknya perumahan yang mereka tempati, tingginya angka kematian bayi-bayi mereka, atau jeleknya kondisi ketenagakerjaan, sebagai nasib buruk yang mau tidak mau harus mereka terima. Biasanya yang bisa mengatakan secara objektif mengenai kondisi keterbelakangan adalah para pengamat yang secara personal dan sungguh-sungguh telah mengalami sendiri “kejutan keterbelakangan” tersebut. Kejutan kultural unik yang menekan perasaan ini sebenarnya mudah dibayangkan asal kita mau menghayati emosi-emosi yang terkandung dalam “budaya kemiskinan”. Kejutan yang sebaliknya pasti akan dirasakan
oleh
orang-orang
yang
tinggal
di
daerah-daerah
terbelakang ketika mata mereka terbuka pada kenyataan bahwa kondisi hidup mereka itu sama sekali tidak manusiawi dan bisa diubah. Sayangnya, tanpa disadari, keterbelakangan juga telah menggerogoti emosi mereka sehingga secara personal dan sosial, halhal seperti penyakit atau kematian dini dianggap sebagai hal yang biasa. Setiap dorongan untuk memahami perubahan hanya akan mendatangkan kebingungan dan pada akhirnya hanya akan berujung pada sikap masa bodoh. Mereka merasa bahwa segala peristiwa yang terjadi atas diri mereka sepenuhnya berada di luar kendali dan mereka sama sekali tidak berdaya menghadapai bencana kelaparan
38
atau musibah alam lainnya. Kemiskinan lahir batin yang kronis seperti itu begitu menyesakkan dan kita tidak dapat memahami sejauh mana sakitnya kemiskinan itu jika mendekati masalah kemiskinan hanya sebagai sebuah objek.15 3. Tiga Tujuan Inti Pembangunan16 Pembangunan merupakan sebuah
kenyataan
fisik
sekaligus
tekad suatu masyarakat untuk berupaya sekeras mungkin-melalui serangkaian kombinasi praktek sosial, ekonomi dan institusionaldemi mencapai kehidupan yang serba lebih baik. Apapun komponen spesifik atas “kehidupan yang serba lebih baik” itu bertolak pada tiga nilai pokok, yaitu : 1.
Kecukupan : kemampuan untuk memenuhi kebutuhankebutuhan dasar.
2.
Jati diri : menjadi manusia seutuhnya.
3.
Kebebasan dari sikap menghamba : kemampuan untuk memilih.
Adapun proses pembangunan di semua masyarakat paling tidak harus memiliki tiga tujuan inti sebagai berikut : 1.
Peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai macam barang kebutuhan hidup yang pokok-seperti pangan, sandang, papan, kesehatan dan perlindungan keamanan.
2.
Peningkatan
standar
hidup
yang
tidak
hanya
berupa
peningkatan pendapatan, tetapi juga meliputi penyediaan lapangan
kerja,
peningkatan
perbaikan
perhatian
kualitas
atas
pendidikan,
nilai-nilai
kultural
serta dan
kemanusiaan, yang kesemuanya itu tidak hanya untuk memperbaiki menumbuhkan
kesejahteraan jati
diri
materiil, pribadi
melainkan
dan
bangsa
juga yang
bersangkutan.
Denis Goulet, The Cruel Choice : A New Concept in the Theory of Development, Atheneum, New York, 1971, hal. 23. 16 op.cit. 15
39
3.
Perluasan pilihan-pilihan ekonomis dan sosial bagi setiap individu bangsa serta bangsa secara keseluruhan, yakni dengan membebaskan mereka dari belitan sikap menghamba dan ketergantungan, bukan hanya terhadap orang atau negara-negara bangsa lain, namun juga terhadap setiap kekuatan
yang
berpotensi
merendahkan
nilai-nilai
kemanusiaan mereka. 2.3.3. Definisi Pembangunan Desa Menurut Haeruman (1997), ada dua sisi pandang untuk menelaah pedesaan, yaitu: 1. Pembangunan pedesaan dipandang sebagai suatu proses alamiah yang bertumpu pada potensi yang dimiliki dan kemampuan masyarakat desa itu sendiri. Pendekatan ini meminimalkan campur tangan dari luar sehingga perubahan yang diharapkan berlangsung dalam rentang waktu yang panjang. 2. Sisi yang lain memandang bahwa pembangunan pedesaan sebagai suatu interaksi antar potensi yang dimiliki oleh masyarakt desa dan dorongan dari luar untuk mempercepat pemabangunan pedesaan.
Adapun sasaran pokok pembangunan pedesaan adalah terciptanya kondisi ekonomi rakyat di pedesaan yang kukuh, dan mampu tumbuh secara mandiri dan berkelanjutan. Sasaran pembangunan pedesaan tersebut diupayakan secara bertahap dengan langkah: pertama, peningkatan kualitas tenaga kerja di pedesaan;
kedua, peningkatan kemampuan aparatur
pemerintah desa; ketiga, penguatan lembaga pemerintah dan lembaga masyarakat desa; keempat, pengembangan kemampuan sosial ekonomi masyarakat desa; kelima, pengembangan sarana dan prasarana pedesaan; dan keenam, pemantapan keterpaduan pembangunan desa berwawasan lingkungan.
Pembangunan desa yang selama empat dekade ini memang telah mendongkrak mobilitas sosial masyarakat desa yang sekaligus mengubah wajah fisik desa menjadi lebih maju,
namun masih belum mampu
mendongkrak kualitas hidup individu masyarakat desa.
Pembangunan
yang berorientasi pada pertumbuhan tidak serta-merta memperkuat fundamental ekonomi. Menurut para ekonom, saat ini Indonesia hanya
40
mampu
membangun
gelembung
ekonomi
yang
rentan
terhadap
perubahan ekonomi global. Jika dipandang dari ekonomi-politik (struktural), belum optimalnya pembangunan desa di Indonesia dikarenakan ketimpangan posisi peran antara negara, modal, dan masyarakat.
Menurut Andrew Shepherd
(1998), pembangunan desa merupakan upaya perbaikan kualitas hidup individu maupun rumah tangga, khususnya rakyat miskin yang tertinggal jauh akibat proses pertumbuhan ekonomi.
Mengikuti paradigma
suistainable livelihood, pembangunan desa sebenarnya merupakan proses mengubah penghidupan masyarakat desa dari kondisi yang rentan (vulnerable) menjadi berkelanjutan (suistainable) dengan mengembangkan aset
yang
ia
miliki
dan
dinamika
yang
ada
menjadi
mampu
ditransformasikan. Penghidupan masyarakat adalah suatu kemampuan daya hidup yang dimiliki baik itu secara material dan sosial, yang diwujudkan
dalam
berbagai
kegiatan
guna
memenuhi
kebutuhan
hidupnya. Pembangunan desa bersifat multidimensional, yaitu mengarah pada perbaikan layanan sosial, membuka kesempatan bagi rakyat desa menggali
pendapatan
dan
pembangunan
ekonomi
desa,
perbaikan
infrastruktur fisik, memperkuat kohesi sosial dan keamanan fisik komunitas warga desa, memperkuat kapasitas desa dalam mengenlola pemerintahan dan pembangunan, membuat demolkrasi dalam proses politik di desa, serta mengatasi kerentanan (sosial, ekonomi dan politik) masyarakat desa. Pembangunan
desa
berkelanjutan memiliki
hubungan
paralel
dengan culturally based development atau indigenous development yang peka terhadap aspek kearifan lokal. bergerak dalam ruang hampa politik. timbul
komitmen,
perencanaan,
Pembangunan desa ini tidak Proses politik muncul manakala
pendanaan,
maupun
partisipasi
masyarakat desa dalam melaksanakan pembangunan desa. Di setiap desa perlu ditetapkan delineasi desa, yaitu wilayah yang dijadikan
pemukiman
dan
wilayah
budidaya.
Perlu
diperhatikan
kemampuan lahan dan efisiensi jaringan penghubung antara wilayah pemukiman dengan wilayah budidaya serta hubungan keluar dari desa tersebut.
41
2.3.4 Sejarah Pembangunan Desa di Indonesia Model pembangunan di Indonesia selama 40 tahun terakhir didesign secara terpusat dan teknokratis oleh Bank Dunia. tahun (1970-an hingga 1990-an),
Selama 20
Bank Dunia menerapkan model
pembangunan desa terpadu (Integrated Rural Development/IRD). IRD yang dipengaruhi oleh modernisasi (developmentalisme), secara substantif mengusung beberapa keyakinan: 1. IRD berupaya memacu pertumbuhan ekonomi desa di sektor pertanian melalui Revolusi Hijau, yakni dengan cara menyediakan paket lintas sektoral sistem pertanian terpadu dan diversifikasi tanaman, dengan didukung oleh penyuluhan, pelatihan, pelayanan sosial, dan proyekproyek infrastruktur desa. 2. Pembangunan dippimpin oleh negara (State Led Development). Negara berposisi kuat dan berperan aktif, dengan model birokrasi yang hierarkis dan terpusat, melancarkan pembangunan desa: perencanaan, pendanaan, pemebrian bantuan, distribusi sosial, dan lain-lain. 3. Transfer pengetahuan dan teknologi dari negara-negara maju. 4. Menempatkan masyarakat sebagai penerima manfaat (beneficiaries). 5. Otoritarianisme ditolerir sebagai harga yang harus dibayar karena pertumbuhan. Program IRD secara tipikal menekankan peningkatan produktivitas pertanian
sebagai
basis
pendapatan
orang
desa,
sekaligus
mengedepankan kontribusi yang terpadu (sinergis) pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial, pelatihan dan perbaikan infrastruktur pedesaan. Pada saat itu, pembangunan desa ditempatkan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional, bukan sebagai local development apalagi sebagai indigenous development yang memperhatikan berbagai kearifan lokal. Namun model IRD memiliki berbagai kelemahan dan kegagalan dalam pelaksanaannya walaupun secara fisik banyak desa yang telah berubah sejak tahun 1970an. Kelemahan dan kegagalan itu diantaranya: 1. Pola pembangunan yang sentralistik telah memperlemah kapasitas pemerintah daerah dan desa, sekaligus menciptakan ketergantungan desa dan daerah kepada pemerintah pusat.
42
2. Pola modernisasi dan transfer teknologi yang secara seragam telah menumpulkan kreavitas lokal dan membunuh kearifan tradisional yang dimiliki masyarakat desa. 3. Pembangunan desa menciptakan tradisi “proyek”, rente dan korupsi dalam tubuh birokrasi. 4. Pola pembangunan miskin semangat pemberdayaan dan partisipasi masyarakat. 5. otoritarianisme menciptakan stabilitas politik jangka pendek, tetapi hal itu telah menumpulkan semangat kewargaan (hak dan kewajiban warga). Setelah kegagalan IRD, muncul model “Pembangunan Berpusat pada Rakyat (PBR)” ke permukaan.
Model ini merupakan koreksi total
terhadap pendekatan “Pembangunan Berpusat pada Pertumbuhan ” (PBP). David Korten (1988), menyebutkan ciri-ciri PBR sebagai berikut: 1. Logika yang digunakan mengenai
suatu ekologi manusia yang
seimbang. 2. Sumber daya utama
berupa sumber daya informasi dan prakarsa
kreatif yang tak habis-habisnya. 3. Tujuan utamanya adalah pertumbuhan manusia yang didefinisikan sebagai perwujudan yang lebih tinggi dari potensi manusia. Pada
tahun
1990-an
muncul
paradigma
Penghidupan
Desa
Berkelanjutan. Paradigma Penghidupan Desa Berkelanjutan (suistainable rural livelihood) memahami penghidupan masyarakat desa dari kondisi yang rentan (vulnerable) menjadi berkelanjutan (suistainable) dengan mengembangkan aset yang ia miliki dan dinamika yang ada menjadi mampu ditransformasikan. Konsep dasar dari suistainable rural livelihood sebagai berikut: 1. Masyarakat sebagai pusat semua kegiatan pembangunan (people centered). 2. Pendekatan menyeluruh berangkat dari pemahaman dan kepentingan masyarakat (holistic). 3. Mengembangkan
proses
monitoring
dan
pembelanjaran
oleh
masyarakat maupun pihak-pihak yang terkait dalam pengembangan tersebut. 4. Lebih
melihat
bagaimana
kekuatan
dapat
dibangun
daripada
menganalisis kebutuhan (building on strengthts).
43
5. Adanya keterkaitan makro dan mikro dalam proses perubahan dan pengembangan (macro-micro link). 6. Memperhatikan kelangsungan dan keberlanjutan suatu proses dan hasil dalam suatu siklus yang diharapkan tidak terputus atau mengalami goncangan yang menyebabkan
terjadi keruntuhan atau
kemunduran. Pada saat yang sama, Bank Dunia juga melakukan otokritik dan revisi terhadap IRD, yang kemudian melahirkan pembangunan desa berbasis masyarakat (community based rural development/CBRD). CBRD mengusung beberapa keyakinan, diantaranya: 1. Minimalisasi negara dalam pelaksanaan pembangunan desa. 2. Menekankan partisipasi masyarakat mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan program. CBRD memberi ruang keterlibatan (involvement) unsur-unsur masyarakat sipil seperti NGOs maupun konsultan pembangunan dalam pelaksanaan. CBRD juga mengundang elemen swasta untuk terlibat melaksanakan proyek-proyek pembangunan desa. CBRD mengusung model kemitraan antarsektor atau antaraktor dalam pengelolaan pembangunan desa. CBRD memasukkan unsur-unsur good governance (transparansi, akuntabilitas dan partisipasi) sebagai spirit dan kerangka kerja pembangunan desa. Pada tahun 1993, muncul kebijakan baru bersamaan dengan CBRD di
bidang
pengentasan
kemiskinan
melalui
Program
Inpres
Desa
Tertinggal (IDT), yang titik pandangnya berbeda dengan kebijakan sebelumnya.
Pada prinsipnya IDT mengandung tiga pengertian dasar,
yaitu: 1. Sebagai pemicu gerakan nasional penanggulangan kemiskinan. 2. Sebagai strategi dalam peningkatan pemerataan melalui pembangunan sumber daya manusia di pedesaan. 3. Sebagai upaya konkret mengembangkan usaha-usaha ekonomi rakyat dengan pemberian bantuan berupa modal kerja sebesar Rp 20 juta untuk setiap desa tertinggal. (Mubyarto, 1994). Meskipun
pembangunan
masyarakat
desa
mengusung
cara
pandang baru, tetapi implementasi di lapangan tetap sama saja. Pembangunan
desa,
sampai
sekarang
masih
tetap
dimaknai
dan
44
dipraktikkan sebagai proyek pengadaan dan perbaikan sarana fisik, bukan pembangunan masyarakat atau manusia. 2.3.5 Penelitian Mengenai Pembangunan Desa di Indonesia Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Perdesaan Institut Pertanian Bogor dan BAPPENAS tahun 2004, maka: 1. Desa Kalibuaya, Kecamatan Telagasari, Kabupaten Karawang. Desa Kalibuaya memiliki wilayah yang strategis dengan adanya jalan yang dapat mengakses dengan mudah ke kecamatan lain, ke Ibukota Kabupaten (Kota Karawang) dan ke Ibukota Negara (Jakarta). Sebagian besar Desa Kalibuaya merupakan areal persawahan yang mencapai 90% luas desa atau seluas 4,48 km2. Areal persawahan tersebut sebagian besar diusahakan atau dikerjakan oleh penduduk setempat, sehingga penduduk Desa Kalibuaya merupakan masyarakat petani. Kabupaten Karawang merupakan salah satu kabupaten di Jawa Barat yang menjadi gudang beras nasional. Oleh karena itu sangat wajar beberapa desa di kabupaten ini merupakan penghasil beras. Adapun nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Karawang adalah sebesar Rp 2.627,8 milyar pada tahun 2000. sumbangan terbesar untuk PDRB Kabupaten Karawang berasal dari sektor industri pengolahan yang sebesar 32,8%. Sumbangan terbesar bagi sektor pertanian diberikan oleh subsektor tanaman pangan, khususnya padi karena didukung oleh luas lahan yang digarap mencapai seratus ribu hektar lebih, dan merupakan areal terluas ke dua setelah Kabupaten Indramayu. Adapun yang bekerja sebagai pengrajin di Desa Kalibuaya umumnya memproduksi keperluan alat–alat rumah tangga yang terbuat dari kayu, bambu dan bahan lainnya yang tersedia di wilayah desa dan sekitarnya. Hasil produksi home industry tersebut dijual ke luar desa atau luar kecamatan, sehingga produk tersebut memiliki nilai tambah bagi pendapatan Desa Kalibuaya. Pada usaha pertanian tanpa melakukan diversifikasi usaha, sehingga pendapatan ekonomi tumah tangga sangat tergantung kepada hasil produksi padinya. Hal ini akan berakibat fatal apabila terjadi kegagalan
45
produksi (panen), yang secara langsung akan menurunkan pendapatan ekonomi
keluarga.
Hanya
sebagian
golongan
kecil
petani
yang
melakukan diversifikasi usaha rumah tangganya selain bertani, yaitu dengan menjadi pengrajin atau pedagang di desanya, sehingga apabila terjadi
kegagalan
panen,
golongan
ini
relative
“aman“
dengan
pendapatan cadangan (reserve income) yang dimiliki dari diversifikasi usahanya. Dilihat dari faktor pendukung berupa kondisi jalan, jalan utama di Desa Kalibuaya merupakan jalan kabupaten dengan kondisi jalan beraspal baik dan termasuk jalan golongan IV, sedangkan jalan desa beraspal
dengan
kondisi
baik.
Kondisi
jalan
tersebut
sangat
mendukung kelancaran pengangkutan sarana produksi dan hasil produksi desa, begitu pula dengan sarana transportasi. Faktor pendukung fisik lainnya, berupa sarana komunikasi yang tersedia, relative mudah untuk ddiakses dengan adanya jaringan telepon yang menyebar di wilayah desa. Jaringan listrik PLN telah menyebar ke seluruh desa dan sebagian besar rumah penduduk telah menggunakan nya. Sarana media massa cetak, berupa surat kabar dan majalah yang beredar di Desa Kalibuaya, ketersediaannya sangat terbatas. Hal ini disebabkan oleh permintaan masyarakat akan media cetak tersebut masih rendah. Sedangkan infrastruktur ekonomi, seperti pasar dan perbankan tidak terdapat di Desa Kalibuaya. Namun penduduk dapat mengakses ke dua
lembaga
ekonomi
tersebut
di
ibukota
kecamatan.
Karena
mudahnya sarana transportasi dari dan ke Desa Kalibuaya, untuk sarana fisik bagi pendidikan ada terdiri dari dua unit Sekolah Dasar (SD). Sedangkan SLTP dan SLTA berada di ibukota kecamatan Telagasari.
Sarana
pelayanan
kesehatan
bagi
masyarakat
Desa
Kalibuaya berupa Puskesmas dan Balai Pengobatan Umum relatif mudah dan murah. Saluran irigasi teknis untuk areal persawahan yang terdapat di Desa Kalibuaya, sangat mendukung usaha pertanian masyarakatnya, dapat mengairi sawah milik petani sebanyak dua kali dalam setahun, sehingga memberikan kesempatan kepada petani untuk melakukan penanaman padi sebanyak dua kali dalam satu masa tanam (satu tahun). Pengairan areal sawah dilakukan secara
46
bergilir
sesuai
jadwal
yang
ditentukan
oleh
pihak
pemerintah
kabupaten. Dukungan Pemerintah Daerah Karawang bagi masyarakat Desa Kalibuaya, umumnya dilaksanakan pemeliharaan dan penyediaan sarana dan prasarana fisik publik, seperti pemeliharaan jalan, pemeliharaan
saluran
irigasi,
penambahan
saluran
telepon,
penambahan sarana pelayanan kesehatan beserta tenaga medisnya. Selain dukungan secara fisik, pemerintah daerah setempat saat ini memberikan pula dukungan non fisik, seperti pemberian kredit pertanian (Kredit Ketahanan Pangan) pada para petani, yang dimuali pada awal tahun 2000. Status dan luas kepemilikan sawah menjadi dasar bagi penggolongan tingkat ekonomi, kondisi ekonomi petaninya, karena hal ini erat kaitannya dengan kemampuan petani dalam pengolahan sawahnya. sebagian
besar
petani
adalah
petani
dengan
luasan
dibawah
kepemilikan 0,5 Ha dan sebagian lagi adalah petani penggarap. Kondisi ini menunjukkan bahwa sebagian penduduk termasuk golongan miskin pedesaan, dan sebagian kecil saja yang termasuk golongan ekonomi mampu. Pada saat ini terdapat Badan Perwakilan Desa (BPD) yang dianggap sebagai pengganti LKMD pada masa lalu. Lembaga ekonomi terutama lembaga keuangan yang ada adalah koperasi Unit desa (KUD), namun kegiatan dan keberadaanya hingga saat ini relatif tidak berperan bagi masyarakat. Dalam usaha untuk mengembangkan potensi masyarakat desa, diperlukan bantuan teknis dan finansial yang relatif lebih longgar dan luwes dalam prosedur mendapatkannya, sehingga petani memiliki kesempatan luas untuk mengembangkan usahanya. 2. Desa Sipatuo , Kecamatan Patampua , Kabupaten Pinrang Desa Sipatuo ini mempunyai wilayah sebesar 63,39 km2 dengan jumlah jiwa sebanyak 2.628 jiwa pada tahun 2001 sehingga kepadatan penduduknya adalah 41 jiwa/km2, dan lokasinya berjarak sekitar 3 km dari ibukota kecamatan sedangkan ke ibukota kabupaten sekitar 18 km.
47
Potensi desa yang dihitung berdasarkan keseluruhan sumber daya yang dimiliki atau yang digunakan oleh desa baik sumber daya alam, penduduk, kelembagaan, dan sarana/prasarana, maka desa ini termasuk dalam kategori sedang, sedangkan apabila ditinjau dari segi potensi pengembangan, maka desa ini mempunyai prospek dalam potensi pengembangan pekerbunan khususnya perkebunan rakyat kakao. Sebagian besar penduduk desa Sipatuo bermata pencaharian dalam sektor pertanian (95%) khususnya sawah dan berkebunan kakao, hal ini
didukung
dengan
sebagian
besar
wilayah
desa
ini
adalah
perkebunan dan persawahan. Sedangkan sisanya bermatapencaharian sebagai PNS (1%), Pedangan (1%), penyedia jasa angkutan (2%) dan 1% untuk aktivitas lainnya (pengrajin, buruh tani). Ditinjau dari faktor pendukung wilayahnya, pada prasarana jalan, Kabupaten Pinrang mempunyai jalan sepanjang 781,97 km dan sepanjang 149,36 km atau sekitar 19,10 % dalam kondisi rusak dan rusak berat, sedangkan jalan desa yang melintasi desa ini yang menghubungkan dengan Desa Malimpung sepanjang kurang lebih 2 km kondisinya beraspal dan relatif baik, namun untuk jalan yang menghubungkan antar dusun masih jalan tanah dan batu. Sedangkan jalan-jalan yang menghubungkan rumah mereka dengan kebunnya kondisinya masih jalan tanah dan bila hujan, jalan tersebut hanya dapat dijangkau dengan jalan kaki. Kondisi ini dapat mempengaruhi aliran input produksi dan hasil perkebunan dan pertanian dari penduduk tersebut. Pada sarana perhubungan, sebagai alat transportasi desa ini adalah ojek, angkutan desa dan pick up yang banyak mereka gunakan untuk berbagai aktivitas termasuk untuk menjual hasil pertanian dan perkebunan. Pada
infrastruktur
ekonomi,
faktor
ini
dapat
menunjang
perkembangan perkebunan rakyat, namun di desa ini tidak memiliki fasilitas ekonomi yang dapat menunjang perekonomian desa seperti pasar
dan
lembaga
keuangan,
namun
penduduk
desa
dapat
memanfaatkan ke dua lembaga ekonomi tersebut di Kelurahan Benteng.
48
Pada sarana komunikasi, berdasarkan pengamatan di lapangan saluran telepon di desa ini belum ada, namun masyarakat di desa ini sering memanfaatkan wartel (Warung Telekomunikasi) sebagai alat komunikasi yang berada di luar Desa Sipatuo yaitu Kelurahan Benteng. Ditinjau dari dukungan Pemerintah Daerah, Pemda Kabupaten Pinrang mengalokasikan
anggaran
pembangunan
untuk
sub
sektor
perkebunan sebesar Rp 874,04 juta atau 1,41 % dari total APBD sebesar Rp 76,84 Milyar (BPS Kabupaten Pinrang, 1999 dan 2000), sedangkan untuk Tahun Anggaran 2002, alokasi dana yang diberikan untuk pengembangan perkebunan sebesar Rp 107 juta atau 0,064% dari total APBD sebesar Rp 165,61 Milyar, sehingga terjadi penurunan anggaran untuk kegiatan perkebunan untuk Tahun Anggaran 2002 dibandingkan Tahun Anggaran 2000. Untuk mendukung kegiatan perkebunan, sub dinas perkebunan dibantu 2 kantor Unit Pelayanan Pengembangan (UPP) dan 1 Kantor Unit Pelayanan Pengembangan Teknis (UPPT), selain dukungan dari pemerintah, pihak pengusaha industri kakao yang tergabung dalam ASKINDO (Asosiasi Kakao Indonesia) juga memberikan bantuan dana untuk meningkatkan kualitas dari petani kakao. Kondisi sosial masyarakat Desa Sipatuo adalah desa yang mempunyai tingkat kemiskinan yang paling tinggi, dari jumlah penduduk sebanyak 2.628 jiwa atau 561 KK terdapat 232 KK atau 41,36 % merupakan kepala keluarga yang tergolong miskin., dari sisi pendidikan adalah 70%
berpendidikan
SD
ke
bawah,
masyarakat
Desa
Sipatuo
kebanyakan berasal dari Suku Bugis, salah satu ciri khas yang dapat ditemui pada masyarakat yang mencerminkan status sosial di antara mereka adalah nama mereka. Kondisi ekonomi, dari sisi penguasaan asset lahan, petani yang memiliki dan menggarap lahan perkebunannya sendiri ada sebanyak 89,63 % dan sisanya sebagai petani penggarap. Sedangkan petani yang memiliki dan menggarap lahan sawahnya sendiri ada sebanyak 79,35 % sedangkan sisanya sebagai petani penggarap. Kisaran lahan perkebunan yang mereka miliki dan digarap oleh mereka sendiri antara
49
0,2-0,8 ha per kepala keluarga, sedangkan lahan sawah yang mereka miliki dan digarap sendiri antara 0,6-1,6 ha per kepala keluarga. Dari sisi produktivitas dari kedua komoditas perkebunan kakao dan sawah, maka rata-rata kako kering yang dihasilkan adalah 466 kg/ha/tahun sedangkan padi yang dihasilkan rata-rata per hektar per musim adalah 6-7 ton/ha. Dari sisi kelembagaan, kelembagaan yang berkembang di Desa Sipatuo adalah kelompok tani dan koperasi, namun perkembangan dari kelompok ini tidak bagus dan cenderung pasif. Peran Lembaga Masyarakat Desa (LMD) tidak begitu jelas terlihat namun yang berperan lebih kuat adalah kepala desa dan tokoh masyarakat. 3. Desa Kertawangi , Kecamatan Cisarua , Kabupaten Bandung. Desa ini mempunyai luas sepertiga dari luas Kecamatan Cisarua, yaitu 13,61 km2 sedangkan jumlah penduduk yang mendiami desa tersebut adalah sebanyak 8.807 jiwa pada tahun 2001. Sehingga kepadatannya adalah sebesar 648 jiwa/km2. Topografi desa ini adalah berbukit-bukit dengan ketinggian rata-rata diatas 1.200 meter dari permukaan bumi. Rata-rata penduduk desa tersebut selain mengelola sawah dan kebun juga memelihara sapi perah antara 2-5 ekor. Dari
dukungan
sektor
ekonomi
terhadap
wilayah,
terdiri
atas
kontribusi sektor ekonomi terhadap PDRB (Produk Domestik Regional Bruto), faktor pendukung wilayah dan faktor dukungan pemerintah daerah. Pada kontribusi sektor ekonomi terhadap PDRB, sector pertanian memberikan kontribusi sebesar 10,1 % terhadap PDRB Kabupaten Bandung, sektor industri pengolahan sebesar 50,5 % dan kemudian sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 14,8 %, namun bila dilihat dari pertumbuhan rata-rata, hampir seluruh sektor mengalami penurunan. Salah satu penyebabnya adalah krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Hampir seluruh sektor perekonomian terpuruk akibat melemahnya nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar. Dilihat dari potensi pertanian, Kabupaten Bandung relatif masih cukup berpotensi untuk terus dikembangkan. Salah satu subsektor pertanian
50
yang
berpotensi
untuk
terus
dikembangkan
adalah
peternakan
khususnya peternakan sapi perah, dimana kabupaten ini memiliki jumlah sapi perah terbanyak di Jawa Barat yakni mencapai 52,27 % dari total populasi sapi perah. Sebagaimana disebutkan diatas, Desa Kertawangi merupakan salah satu desa yang telah lama bermata pencaharian dari pertanian dan peternakan sapi perah. Adapun prosentase penduduk yang bekerja sebagai petani adalah sebanyak 78 %, sebagai pedagang 12 %,sebagai pekerja industri 2 %, penyedia jasa angkutan 5 %, dan lain-lain (PNS, pengrajin) sebanyak 3 %. Faktor pendukung wilayah, prasarana jalan relatif baik dan beraspal sepanjang 3 km ke Kota Cimahi, namun sebagian jalan di permukiman-permukiman masih jalan batu dan tanah, sedangkan tempat penampungan susu dari peternak berada di dekat kantor desa sehingga para peternak harus berjalan jauh guna mengantar susunya ke tempat penampungan susu tersebut, sarana perhubungan yang sering digunakan adalah angkutan perdesaan, pick up dan ojek. Infrastruktur ekonomi yaitu lembaga keuangan dan fasilitas pasar tidak terdapat di Desa Kertawangi, namun peternak lebih sering mengandalkan koperasi susu untuk meminjam modal atau mengambil pembayaran hasil penjualan produksi susunya, sarana komunikasi telah masuk ke desa tersebut namun tidak seluruh sambungan telepon dapat memasuki permukiman penduduk karena kondisi
daerah
yang
topografinya
berbukit
dan
belum
banyak
penduduk yang berkeinginan untuk memasang telepon, infrastruktur pendukung lainnya seperti air dan jaringan listrik telah tersedia semua. Faktor dukungan dari Pemerintah Daerah yaitu Dinas Peternakan Kabupaten Bandung bekerjasama dengan Koperasi Susu Sarwamukti sering mengadakan penyuluhan mengenai peningkatan kualitas susu dari petani juga penyediaan Balai Inseminasi dari Departemen Pertanian yang menyediakan semen beku bagi peternak sapi perah yang bekerjasama dengan Koperasi Sarwamukti. Kondisi sosial masyarakatnya relatif homogen dimana kebanyakan sebagai petani dan kesenjangan diantara golongan ekonomi lemah dan mampu tidak begitu menonjol di desa tersebut, dilihat dari sisi tingkat
51
pendidikan, rata-rata kepala keluarga petani di desa tersebut adalah 42 % lulusan SD dan tidak tamat SD, 38 % menamatkan sampai sekolah menengah pertama dan 16 % menamatkan sekolah menengah atas, sedangkan 4 % menamatkan pendidikannya sampai dengan setingkat akademi dan universitas. Kondisi ekonomi, pendapatan petani dari peternakan sapi adalah rata-rata Rp 825 ribu per bulan dan pendapatan petani dari hasil pertanian terutama sayuran dan padi rata-rata Rp 292 ribu per bulan, dengan demikian pendapatn petani dari peternakan sapi perah dan hasil pertanian adalah Rp 1,117 juta per bulan. Kelembagaan ekonomi yang cukup menonjol di desa tersebut adalah Koperasi Sarwamukti, dimana koperasi ini sangat berperan besar dalam penampungan produk susu dari petani, bahkan koperasi ini sering dijadikan oleh wakil para peternak untuk melakukan negosiasi dengan pihak industri pengolahan sapi, namun dilain sisi peran Lembaga Masyarakat Desa (LMD) relatif kecil karena yang lebih berperan adalah kepala desa, tokoh masyarakat, pemuka masyarakat dan pihak koperasi dan biasanya para tokoh masyarakat tersebut tidak pernah membawa nama lembaga dalam rapat-rapat desa. 4. Desa Sukasirna, Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi Jumlah penduduk yang mendiami desa tersebut adalah sebanyak 8.435 jiwa atau 1.965 kepala keluarga. Dari jumlah tersebut 1.226 kepala keluarga tergolong keluarga miskin (62,39 %), dan desa tersebut terbadi atas 3 dusun, 13 Rukun Warga dan 38 Rukun tetangga. Dari
dukungan
sektor
ekonomi
terhadap
wilayah,
terdiri
atas
kontribusi sektor ekonomi terhadap PDRB (Produk Domestik Regional Bruto), faktor pendukung wilayah dan faktor dukungan pemerintah daerah. Pada kontribusi sektor ekonomi terhadap PDRB, sektor pertanian memberikan kontribusi sebesar 36,5 % terhadap PDRB Kabupaten Sukabumi disusul, sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel dan restoran. Adapun kontribusi pada sektor pertanian adalah 22,5 % subsektor tanaman bahan makanan, subsektor perkebunan (5,6 %) dan subsektor peternakan (5,4 %).namun bila dilihat dari pertumbuhan rata-rata, hampir seluruh sektor mengalami penurunan.
52
Salah
satu
penyebabnya
adalah
krisis
ekonomi
yang
melanda
Indonesia. Hampir seluruh sektor perekonomian terpuruk akibat melemahnya nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar. Jika ditinjau dari sisi mata pencaharian masyarakat Desa Sukasirna adalah 58 % bergerak dalam sektor pertanian, satu persen dalam sektor pertambangan, 2,9 % dalam bidang industri, 3,6% dalam sektor pembangunan, 16,9 % bergerak dalam sektor perdagangan, 4,5 % bergerak dalam sektor angkutan dan 12,2 % bergerak dalam sektor jasa-jasa. Dengan demikian dapat dikatakan lebih dari setengah penduduk desa tersebut berprofesi sebagai petani. Faktor pendukung wilayah, prasarana jalan relatif baik dan beraspal sepanjang 3 km ke kota kecamatan, sedangkan jalan menuju permukiman-permukiman
masih
berupa
jalan
tanah,
sarana
perhubungan yang ada di desa tersebut adalah angkutan perdesaan dan ojek yang sangat berperan penting sebagai alat transportasi, infrastruktur ekonomi berupa lembaga keuangan dan pasar di desa tersebut tidak ada, akan tetapi penduduknya lebih sering ke ibu kota kecamatan karena jaraknya yang tidak terlampau jauh dari desa tersebut, sarana komunikasi telah masuk di desa tersebut walaupun baru
sedikit
yang
mempunyai
telepon
dan
untuk
keperluan
komunikasi lebih banyak memanfaatkan warung telekomunikasi yang ada di desa tersebut, infrastruktur pendukung lainnya yaitu fasilitas air minum dan jaringan listrik telah memasuki seluruh permukiman, namun untuk kebutuhan air minum diperoleh dari mata air. Faktor dukungan dari pemerintah daerah yaitu adanya penyuluhan yang dilakukan oleh petugas penyuluh lapangan yang melakukan pembinaan pada petani-petani ladang, selain itu juga pemerintah memberikan program fasilitasi pembentukan kelompok tani khususnya untuk kelompok tani palawija khususnya untuk ubi kayu dan jagung pada lahan kering, selain dukungan pemerintah, pihak PTPN VIII selaku perusahaan BUMN memberikan bantuan berupa penyewaan lahan yang tidak terpakai untuk perkebunan. Kondisi sosial masyarakat desa tersebut tergolong salah satu desa yang banyak kepala keluarganya miskin (sebesar 62,39 %) di Kecamatan Cibadak, dari tingkat pendidikan untuk kepala keluarga tergolong
53
rendah yaitu 65,79 % berpendidikan SD dan tidak sekolah, 33,33 % berpendidikan sekolah menengah dan sisanya berpendidikan setingkat akademi. Kondisi ekonomi, sebagian besar petani di desa tersebut hanya memiliki kurang dari 0,5 ha, selain itu mereka juga menyewa lahanlahan kering dari PTPN VIII rata-rata seluas 1.472 m2 dengan harga Rp 5.000/tahun/400 m2 dengan lama sewa lahan untuk masing-masing kepala keluarga adalah selama 3 tahun. Rata-rata penerimaan petani dari beberapa sumber pendapatan dalam satu bulannya adalah sebesar Rp 320.000. Kelembagaan, sebagaimana disebutkan diatas bahwa infrastruktur perekonomian seperti bank dan pasar tidak terdapat di desa tersebut, begitu juga koperasi. Sedangkan Badan Perwakilan Desa sebagai pengganti Lembaga Masyarakat Desa keberadaannya belum dapat dirasakan oleh masyarakat dan selama ini yang cukup berperan adalah kepala desa, tokoh masyarakat dan tokoh agama. 5. Desa Gempolsewu , Kecamatan Rowosari , Kabupaten Kendal. Desa Gempolsewu berada di Kecamatan Rowosari yang berjarak ± 55 km arah barat dari kota Semarang, dan berbatasan langsung dengan laut jawa di sebelah utara, pada desa ini mempunyai Pusat Pendaratan Ikan (PPI) Tawang, yang merupakan Pelabuhan Perikanan bertipe C atau pelabuhan perikanan yang dipunyai daerah tingkat II. Dengan keberadaan PPI Tawang di desa tersebut, maka menjadikan sebagian besar penduduknya berusaha dibidang perikanan atau sebagai nelayan dengan komposisi 4.083 orang (68,78%), buruh tani 722 orang (12,16%), buruh industri dan bangunan 482 orang (8,12 %), petani 441 orang (7,43 %), dan sebagai pengusaha 210 orang (3,54 %). Jika terjadi hujan, maka desa tersebut tidak pernah terlepas dari banjir, yang disebabkan oleh karena genangan luapan air dari sungai Kalikuto yang mencapai ketinggian ± 1 meter. Dari
dukungan
sektor
ekonomi
terhadap
wilayah,
terdiri
atas
kontribusi sektor ekonomi terhadap PDRB (Produk Domestik Regional Bruto), faktor pendukung wilayah dan faktor dukungan pemerintah daerah.
54
Pada kontribusi sektor ekonomi terhadap PDRB, sektor industri pengolahan
memberikan
kontribusi
relatif
share
yang
tinggi
dibandingkan sektor lain yaitu sebesar 42,58 % terhadap PDRB Kabupaten Kendal disusul, sektor pertanian rata-rata 24,7 % dengan sub sektor bahan makanan, perkebunan, peternakan, kehutanan dan pertanian, namun untuk subsektor perikanan hanya memberikan kontribusi 1,99 % pada tahun 1999, padahal subsektor ini menyimpan potensi yang sangat besar mengingat keberadaan fasilitas Pusat Pendaratan Ikan. Faktor pendukung wilayah, untuk infrastruktur sarana dan prasarana perikanan dari segi kepemilikannya sebagian besar berusaha dengan menggunakan
motor
tempel,
padahal
apabila
digunakan
untuk
menangkap ikan di perairan hanya akan mempunyai jangkauan yang terbatas, sedangkan untuk unit-unit penangkapan ikan mempunyai fishing
base
namun
berukuran
relatif
kecil
sehingga
hanya
memungkinkan beroperasi di wilayah perairan pantai dengan waktu melaut hanya satu hari, pada infrastruktur pertanian yang mendukung usaha tani masyarakat desa tersebut adalah adanya saluran irigasi teknis bagi areal pesawahan seluas 88,44 hektar (18,69 %), pada infrastruktur pendidikan dan kesehatan yaitu terdapatnya 6 unit SD swasta dan 1 unit SLTP swasta namun tidak mempunyai SLTA, disamping itu untuk tingkat pendidikan desa Gempolsewu sebagian besar tamat SMP yaitu sebanyak 3.946 penduduk (40,71 %) sedangkan untuk tamatan SD sebanyak 2.801 penduduk (28,89 %) dan SLTA sebanyak 631 penduduk (6,51%). Faktor dukungan dari pemerintah daerah sangat kurang sekali, hal ini dapat dilihat sampai dengan saat ini belum adanya program-program yang memberdayakan masyarakat nelayan yang bergerak dibidang perikanan, berbeda dengan bidang pertanian yaitu adanya Bimas, Inmas,Insus, KUT dan lain-lain, program yang hadir hanya Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dan terakhir adanya program Protekan (Program peningkatan Ekspor Perikanan) pada tahun 2003. Kondisi
sosial
masyarakat
Desa
Gempolsewu
yang
tergolong
prasejahtera sangat mendominasi yaitu sebanyak 1.395 keluarga atau 52,60 % kemudian keluarga sejahtera II/III sebanyak 907 keluarga
55
atau 34,20 % dan keluarga sejahtera I sebanyak 350 keluarga atau 13,20 %, sedangkan dari sisi kepemilikan rumahnya sebagian besar tergolong tidak permanent atau masih dalam bentuk papan yaitu sebanyak 1.396 rumah atau 55,86 %, hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat Gempolsewu tidak mampu membeli rumah yang permanen dan semi permanen dengan demikian tergolong miskin. Kelembagaan, satu-satunya lembaga dan fasilitas yang dimiliki nelayan Desa Gempolsewu adalah adanya Tempat pelelangan Ikan (TPI) Tawang, dan untuk setiap nelayan yang masuk de desa tersebut diwajibkan menjual hasil tangkapannya di TPI Tawang. 6. Desa Bangunjiwo , Kecamatan Kasihan , Kabupaten Bantul. Desa Bangunjiwo memiliki luas wilayah 15,43 km2, dengan jumlah penduduk sebesar 19.185 jiwa sehingga kepadatan penduduknya sebesar 1.243 penduduk/km2. Luas wilayah tersebut sebesar 1.077,78 hektar (66,80 %) diperuntukan bagi permukiman dan perumahan penduduk, sedangkan sisanya untuk sawah sebesar 322 hektar (19,96 %) dan untuk jalan sebesar 95,84 hektar (5,94 %), sedangkan dari sisi mata pencahariannya, maka 88,29 % merupakan perajin gerabah dan keramik sedangkan mata pencaharian yang lain prosentasenya tidak mencapai 10 %, hal ini terjadi karena tanah yang ada di desa tersebut sangat mendukung terhadap usaha pembuatan gerabah dan keramik. Dari
dukungan
sektor
ekonomi
terhadap
wilayah,
terdiri
atas
kontribusi sektor ekonomi terhadap PDRB (Produk Domestik Regional Bruto), faktor pendukung wilayah dan faktor dukungan pemerintah daerah. Pada kontribusi sektor ekonomi terhadap PDRB, sektor pertanian masih mempunyai kontribusi yang paling besar terhadap kegiatan perekonomian Kabupaten Bantul yaitu 24 % terhadap PDRB setiap tahunnya
bahan
pada
tahun
1999
kontribusinya
mengalami
peningkatan sebesar 29,22 %, kemudian sektor industri pengolahan 17,53 % dan sektor perdagangan sebesar 15,41 %. Faktor pendukung wilayah, potensi Dukuh Kasongan sebagai desa wisata yaitu suatu bentuk desa atau kawasan yang dikembangkan sebagai suatu obyek wisata atau daerah tujuan wisata dengan
56
memanfaatkan potensi keberadaan pusat/sentra industri lokal sebagai daya tarik utama yang akan ditawarkan kepada wisatawan. Besarnya jumlah unit usaha kerajinan yang ada di desa tersebut dengan lokasi kegiatan
meliputi
beberapa
dusun
sehingga
membentuk
suatu
kawasan sentra industri kerajinan gerabah atau keramik, sarana perumahan bagi penduduk desa tersebut 83,7 % atau sekitar 3.803 unit merupakan rumah permanen, hal ini membuktikan bahwa sebagian
besar
masyarakat
Desa
Bangunjiwo
dilihat
dari
sisi
perumahannya berada pada kondisi mampu dan sudah berada diatas garis kemiskinan, prasarana pendidikan dan kesehatan di desa Bangunjiwo adalah 10 unit TK, 11 unit SD, 2 unit SLTP dan 1 unit SLB, adapun apabila dilhat dari sisi tingkat pendidikannya, penduduk Desa Bangunjiwo sebagian besar taman SLTP dan SLTA yaitu 44,8 % dan 22,2 %, sarana angkutan, perhubungan dan jalan prosentase terbesar adalah sepeda sebagai alat transportasinya yaitu sejumlah 3.998 atau 64,77 %, sedangkan alat komunikasi seperti Kantor pos dan saluran telepon sebagai sarana perhubungan juga telah memasuki wilayah Desa Bangunjiwo. Faktor dukungnan pemerintah setempat, yaitu telah berperan sejak tahun 1979 dengan didirikannya UPT (Unit Pelaksana Teknis) sebagai kepanjangan tangan dari Departemen Perindustrian dalam pembinaan pengembangan industi kecil. Kondisi sosial masyarakat terlihat cukup mapan, sehingga persentase keluarga miskinnya relatif kecil. Kondisi ekonomi, telah dikemukakan diatas bahwa prosentase penduduk yang bekerjan dibidang pertanian mencapai 39,84 %, akan tetapi di Desa Bangunjiwo jumlah penduduk yang berprofesi sebagai pengrajin mencapai 88,3 %, penghasilan yang diperoleh pemilih gerabah dari penjualannya berkisar antara Rp 1,5 juta sampai Rp 10 juta/bulan atau rata-rata per bulan laba bersih sebesar Rp 3,35 juta. Beberapa pemilih gerabah yang sudah maju biasanya
mempekerjakan
beberapa
tenaga
sebagai
tukang
dan
designer. Tukang dalam bekerjanya menggunakan system borongan dengan memperoleh bayaran Rp 50 ribu–Rp 100 ribu sekali borongan, sedangkan designer dalam setiap bulannya memperoleh bayaran antara Rp 500 ribu–Rp 1 juta, bila dilihat bayaran sebagai tukang tidak begitu besar bahkan kurang dari standar garis kemiskinan untuk
57
Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu Rp 76.773/kapita/bulan. Sehingga dapat dikatakan, bahwa pekerja tukang sangat rentan terhadap kemiskinan bila tidak ada pekerjaan sampingan untuk menambah penghasilannya. 2.4. Data Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (2005), jumlah desa di Indonesia mencapai 61,409 desa dan jumlah kelurahan mencapai 7,365 kelurahan. Di wilayah perkotaan, ditemukan sebanyak 6,692 desa dan 5,548 kelurahan. Sedangkan di wilayah perdesaan, ditemukan 54,717 desa dan 1,817 kelurahan. Jumlah desa terbanyak ditemukan di Provinsi Jawa Tengah yaitu sejumlah 7,805 desa, Provinsi Jawa Timur yaitu sejumlah 7,697 desa dan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dengan jumlah 5,841 desa. Tabel 4. Banyaknya Desa Menurut Status Pemerintahan Status Desa Kelurahan Nagari Lainnya Perkotaan 6692 5548 33 17 Perdesaan 54717 1817 485 648 Perkotaan + 61409 7365 518 665 Perdesaan Sumber: Potensi Desa (BPS, 2005)
Jumlah 12290 57667 69957
Dari 61,409 desa di Indonesia, sejumlah 55,126 telah memiliki Badan Perwakilan Desa (BPD) dan sisanya, yaitu 6,283 belum memiliki BPD. Sedangkan dari 7,365 kelurahan yang tercatat, sekitar 2,014 telah memiliki Dewan Kelurahan dan sekitar 5,353 belum memiliki Dewan Kelurahan. Provinsi yang tercatat terbanyak belum memiliki Badan Perwakilan Desa, yaitu Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Provinsi Papua. Di wilayah perkotaan, dari 6,692 kesatuan masyarakat yang dinyatakan sebagai desa, sejumlah 6,334 desa telah memiliki BPD dan sekitar 358 desa belum ditemukan adanya BPD. Sedangkan di wilayah perdesaan, dari 54,717 desa sekitar 48,792 desa telah memiliki BPD dan 5,925 desa belum memiliki BPD.
58
Tabel 5. Banyaknya Desa/Kelurahan yang Memiliki Badan Perwakilan Desa/Dewan Kelurahan Status
Desa (Badan Perwakilan Desa) Ada Tidak Ada 6334 358 48792 5925 55126 6283
Perkotaan Perdesaan Perkotaan + Perdesaan Sumber: Potensi Desa (BPS, 2005)
Kelurahan (Dewan Kelurahan) Ada 1370 644 2014
Tidak Ada 4178 1175 5353
Mayoritas penghasilan utama penduduk desa di Indonesia pada tahun 2005 adalah pertanian (61,744 desa), perdagangan besar/eceran (3,010 desa) dan jasa (2,962 desa). Di wilayah perkotaan, mayoritas penghasilan utama sebagian besar penduduk adalah pertanian (5,370 desa), perdagangan besar/eceran (2,757 desa) dan jasa (2,627 desa). Di wilayah
perdesaan,
mayoritas
penghasilan
utama
sebagian
besar
penduduk adalah pertanian (56,374 desa), jasa (335 desa) dan industri pengolahan (332 desa). Tabel 6. Banyaknya Desa Menurut Sumber Penghasilan Utama Sebagian Besar Penduduk Status
Pertanian
Perkotaan Perdesaan Perkotaan + Perdesaan
5370 56374 61744
Pertambangan dan Penggalian 68 147 215
Industri Pengolahan
Perdagangan Besar/Eceran
Jasa
Lainnya
Jumlah
859 332 1191
2757 253 3010
2627 335 2962
609 226 835
12290 57667 69957
Sumber: Potensi Desa (BPS, 2005) Dari 61,744 desa yang sebagian besar penduduknya bekerja di sektor pertanian, mayotitas bekerja di sub sektor tanaman pangan (41,974 desa), sub sektor perkebunan (16,322 desa) dan sub sektor perikanan laut (1,982 desa). Komposisi seperti ini juga terjadi di wilayah perkotaan dan perdesaan, dimana mayoritas penduduk yang bekerja di sektor pertanian, berusaha pada sub sektor tanaman pangan, perkebunan dan perikanan laut.
59
Tabel 7. Banyaknya Desa yang Sebagian Besar Penduduknya Bekerja di Sub Sektor Pertanian Sub Sektor Perdesaan Perkotaan Perdesaan+Perkotaan Tanaman 37610 4364 41974 Pangan Perkebunan 15764 558 16322 Perikanan 616 68 684 Darat Perikanan 1644 338 1982 Laut Peternakan 208 20 228 Kehutanan 417 4 421 Pertanian 115 18 133 Lainnya Jumlah 56374 5370 61744 Sumber: Potensi Desa (BPS, 2005) Dari 61,409 desa dan kelurahan di Indonesia, sarana kesehatan terbanyak yang dimiliki adalah Posyandu (63,198 desa), Tempat Praktek Bidan (30,236 desa) dan Polindes (26,455 desa). Jumlah rumah sakit hanya ditemukan di 1,475 desa, Poliklinik ditemukan di 7,210 desa dan Puskesmas ditemukan di 8,256 desa. Tabel 8. Banyaknya Desa yang Mempunyai Sarana Kesehatan Menurut Jenisnya Jenis Perdesaan Perkotaan Perdesaan+Perkotaan Rumah Sakit 229 1246 1475 Rumah 1016 2765 3781 Bersalin Poliklinik 3298 3912 7210 Puskesmas 4999 3257 8256 Puskesmas 18607 3317 21924 Pembantu Tempat 4148 7257 11405 Praktek Dokter Tempat 21226 9010 30236 Praktek Bidan Posyandu 51142 12056 63198 Polindes 22932 3523 26455 Apotik 496 3803 4299 Toko Khusus 3101 5137 8238 Obat Sumber: Potensi Desa (BPS, 2005)
60
Dari 61,409 desa dan kelurahan di Indonesia, paramedis terbanyak yang dimiliki adalah Bidan (48,739 desa), Dukun Bayi Terlatih (44,800 desa) dan Dukun Bayi Belum Terlatih (29,454 desa). Mantri Kesehatan hanya ditemukan di 25,730 desa, Dokter Pria ditemukan di 9,871 desa dan Dokter Wanita ditemukan di 7,327 desa. Tabel 9. Banyaknya Desa yang Memiliki Tenaga Kesehatan yang Tinggal di Desa Menurut Jenis Tenaga Kesehatan Status
Perkotaan Perdesaan Perkotaan + Perdesaan
Dokter Pria
Dokter Wanita
6321 3550 9871
4868 2459 7327
Mantri Kesehatan 6770 18960 25730
Bidan
10666 38073 48739
Dukun Bayi Terlatih
Dukun Bayi Belum Dilatih 2691 26763 29454
7511 37289 44800
Sumber: Potensi Desa (BPS, 2005) Dari 61,409 desa dan kelurahan di Indonesia, sarana kesehatan yang mudah dan sulit diakses oleh masyarakat perdesaan hampir sebanding, seperti rumah sakit, rumah bersalin dan poliklinik. Sebanyak 31,805 desa, rumah sakit di kawasan tersebut mudah diakses oleh masyarakat perdesaan dan sebanyak 25,631 desa sulit diakses oleh masyarakat di kawasan tersebut.
61
Tabel 10. Banyaknya Desa yang Tidak Memiliki Sarana Kesehatan Menurut Kemudahan untuk Mencapai Sarana Kesehatan Jenis Perdesaan Perkotaan Perdesaan+Perkotaan Rumah Sakit 31805 10522 42327 Mudah 25631 520 26151 Sulit Rumah Bersalin 30594 8936 39530 Mudah 26057 586 26643 Sulit Poliklinik 31818 7942 39760 Mudah 22547 436 22983 Sulit Puskesmas 38610 8927 47537 Mudah 14050 106 14156 Sulit Puskesmas Pembantu 29749 8577 38326 Mudah 9288 396 9684 Sulit Tempat Praktek Dokter 34773 4887 39660 Mudah 18739 146 18885 Sulit Tempat Praktek Bidan 21372 3118 24490 Mudah 15069 162 15231 Sulit Posyandu 3368 212 3580 Mudah 3157 22 3179 Sulit Polindes 22076 7299 29375 Mudah 12659 1468 14127 Sulit Apotik 33071 8098 41169 Mudah 24100 389 24489 Sulit Toko Khusus Obat 33296 6870 40166 Mudah 21271 283 21554 Sulit Sumber: Potensi Desa (BPS, 2005) Prasarana transportasi darat dan air bagi masyarakat desa di perdesaan lebih banyak daripada di perkotaan. Desa yang telah memiliki prasarana transportasi darat di kawasan perdesaan mencapai 49,916 desa dan prasarana transportasi air mencapai 2,655 desa.
62
Tabel 11. Banyaknya Desa yang Memiliki Prasarana Transportasi Status
Darat
Air
Perkotaan 11952 Perdesaan 49916 Perkotaan + 61868 Perdesaan Sumber: Potensi Desa (BPS, 2005)
Darat dan Air
45 2655 2700
300 5090 5390
Dapat Dilalui Kendaraan Roda 4 Sepanjang Tahun 12112 47609 59721
Menurut jenis permukaan jalan desa di kawasan perdesaan lebih banyak daripada di kawasan perkotaan, seperti jalan aspal, jalan yang diperkeras dan jalan tanah. Namun, keberadaan jalan tanah desa di kawasan perdesaan lebih banyak daripada desa di kawasan perkotaan. Tabel 12. Banyaknya Desa Menurut Jenis Permukaan Jalan Terluas Status Aspal Diperkeras Perkotaan 11021 896 Perdesaan 28005 16361 Perkotaan + 39026 17257 Perdesaan Sumber: Potensi Desa (BPS, 2005)
Tanah 315 10295 10610
Lainnya 20 345 365
Jumlah 12252 55006 67258
Menurut jenis prasarana komunikasi di kawasan perkotaan lebih banyak daripada di kawasan perdesaan, seperti telepon umum, warnet dan kantor pos/kantor pos pembantu. Namun, keberadaan wartel dan pos keliling di kawasan perdesaan lebih banyak daripada desa di kawasan perkotaan. Tabel 13. Banyaknya Desa Menurut Jenis Prasarana Komunikasi Status
Telepon Umum
Wartel
Perkotaan 3280 10961 Perdesaan 1270 18493 Perkotaan + 4550 29454 Perdesaan Sumber: Potensi Desa (BPS, 2005)
Warnet
Kantor Pos/Kantor Pos Pembantu 1769 2259 359 1882 2128 4141
Pos Keliling 3232 8010 11242
63
Menurut sarana perdagangan, hotel dan perbankan desa di kawasan perdesaan lebih sedikit daripada di kawasan perkotaan, seperti supermarket/pasar
swalayan/toserba,
restoran/rumah
makan,
hotel/penginapan, Bank Umum dan BPR. Sedangkan sarana perdagangan dan lembaga keuangan non-bank, seperti toko/warung/kios, KUD dan Koperasi Non-KUD lebih banyak dijumpai di desa yang terletak di kawasan perdesaan. Tabel 14. Banyaknya Desa yang Memiliki Sarana Perdagangan, Hotel dan Perbankan Jenis Perkotaan Perdesaan Perkotaan + Perdesaan Supermarket/Pasar 3327 525 3852 Swalayan/Toserba Restoran/Rumah Makan 5944 5184 11128 Toko/Warung/Kios 11837 43806 55643 Hotel/Penginapan 2915 1518 4433 Bank Umum 3530 1091 4621 BPR 2406 1548 3954 Koperasi Unit Desa 1732 6085 7817 Koperasi Non KUD 2830 5099 7929 Sumber: Potensi Desa (BPS, 2005) Menurut sarana pemasaran produksi dan lembaga keuangan mikro antara desa di kawasan perdesaan dan kawasan perkotaan, lebih banyak dijumpai di desa yang terletak di kawasan perkotaan, seperti kelompok pertokoan, kantor pegadaian, lembaga keuangan mikro informal dan ATM. Sedangkan sarana pemasaran produksi dan lembaga keuangan mikro, seperti pasar tanpa dan dengan bangunan permanen.
Tabel 15.
Banyaknya Desa yang Memiliki Sarana Pemasaran Produksi dan Lembaga Keuangan Mikro Jenis Perkotaan Perdesaan Perkotaan + Perdesaan Kelompok Pertokoan 5,241 3,148 8,389 Pasar dengan Bangunan Permanen 3,826 6,789 10,615 Pasar tanpa Bangunan Permanen 1,576 5,581 7,157 Kantor Pegadaian 800 118 918 Lembaga Keuangan Mikro Informal 4,997 1,109 16,106 ATM 2,099 101 2,200 Sumber: Potensi Desa (BPS, 2005)
64
Dari Tabel 16, terlihat bahwa unit usaha yang paling banyak diusahakan oleh masyarakat perdesaan adalah unit usaha bengkel mobil/motor, persewaan alat pesta dan bengkel alat elektronik. Persewaan mobil/motor terbanyak dijumpai di Provinsi Jawa Tengah. Provinsi Jawa Timur dan NAD yang memiliki jumlah desa terbanyak kedua dan ketiga berdasarkan data Podes (2005) memiliki unit usaha terbanyak adalah persewaan alat pesta.
Tabel 16. Banyaknya Desa yang Memiliki Unit Usaha Masyarakat Jenis Perkotaan Perdesaan Perkotaan + Perdesaan Bengkel Mobil/Motor 10,991 23,708 34,699 Bengkel Alat Elektronik 9,230 15,999 25,229 Usaha Photo Copy 8,197 5,523 13,720 Agen Perjalanan Wisata 2,175 647 2,822 Pangkas Rambut 8,499 10,870 19,369 Salon Kecantikan 9,601 12,135 21,736 Bengkel Las 9,028 13,585 22,613 Persewaan Alat Pesta 9,284 20,439 29,723 Sumber: Potensi Desa (BPS, 2005)
2.5. Pengaturan Terkait Desa dalam Perpektif Hukum Apabila dilihat dari UUD 1945 (versi 18 Agustus 1945), Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949, UUD Sementara Tahun 1950, UUD 1945 (Dekrit 5 Juli 1959), UUD 1945 (di masa Orde Baru), dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD Negara RI Tahun 1945) atau yang lebih populer dengan sebutan UUD 1945 Pasca Amandemen, penyebutan desa atau yang sama pengertiannya dengan desa, secara konkrit dalam konstitusi baru mulai ada dalam UUD 1945 (Dekrit 5 Juli 1959). Hal ini karena dalam penjelasan pasal demi pasal terhadap Pasal 18 UUD 1945, kata “desa” disebutkan secara konkrit. Bagian Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 menyebutkan “Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landschappen dan volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa”.
65
Namun, fakta sejarah menunjukkan bahwa pada saat berlakunya UUD 1945 (versi 18 Agustus 1945), Bagian Penjelasan UUD 1945 belum merupakan bagian dari UUD 1945. Penjelasan UUD 1945 sendiri bukanlah dokumen resmi yang dihasilkan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan
Indonesia
ataupun
Panitia
Persiapan
Kemerdekaan Indonesia, melainkan karya pribadi Mr. Soepomo. Karena itu, pada saat UUD 1945 pertama kali diberlakukan, penjelasan UUD 1945 belum menjadi bagian dari UUD 1945 (versi 18 Agustus
1945).
Dalam
perjalanannya,
ketika
Indonesia
kembali
menerapkan UUD 1945 dengan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959, UUD 1945 yang dilampirkan terdiri dari Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penjelasan. Dengan dasar inilah kemudian Penjelasan, menjadi bagian otentik dari UUD 1945. Dari hasil penelusuran empat konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia, Penjelasan UUD 1945 inilah yang merupakan satu-satunya dokumen konstitusi yang menyebutkan secara konkrit kata “desa” di dalamnya, sebab dalam konstitusi-konstitusi yang lain tidak terdapat kata “desa” didalamnya. Konstitusi RIS 1949, misalnya, tidak menyebutkan tentang desa, karena pengaturan tentang desa merupakan kewenangan konstitusional dari negara bagian. Memang, pada saat saat berlakunya konstitusi ini, Indonesia menganut sistem federal (Pasal 1 ayat (1) Konstitusi RIS 1949). Dalam UUD Sementara Tahun 1950, tidak terdapat penyebutan tentang desa meskipun konstitusi ini kembali mempercayakan sistem unitary atau kesatuan sebagai sistem pembagian kekuasaannya secara vertikal (Pasal 131-133 UUD Sementara Tahun 1950). Konstitusi yang terakhir, UUD Negara RI Tahun 1945, pun melakukan hal yang sama dengan UUD Sementara Tahun 1950, dimana juga tidak menyebutkan secara jelas kata desa di dalamnya. Dalam UUD Negara RI Tahun 1945 bahkan terkesan menutup kemungkinan desa menjadi organ konstitusi dan menempatkan desa sebagai organ dari pemerintahan daerah kabupaten/kota. Ini karena pasal 18 ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945 dengan jelas menentukan bahwa Daerah Indonesia
66
dibagi dalam Provinsi, dan Kabupaten/Kota. Jadi tidak terbersit sedikit pun tentang desa dalam Pasal 18 UUD Negara RI Tahun 1945. Keengganan penyebutan kata desa dalam UUD Negara RI Tahun 1945 di atas, dapat didasarkan pada dua asumsi besar. Pertama, pengaturan desa terlalu detail untuk diatur dalam konstitusi. Karena itu, mungkin, pengaturan detailnya akan diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan pelaksana. Legitimasi asumsi ini didasarkan pada prinsip bahwa konstitusi hanya mengatur hal-hal yang pokok saja. Sedangkan detailnya diserahkan pada peraturan perundang-undangan pelaksana. Kedua, pengaturan desa atau sebutan lainnya, sudah diatribusikan atau didelegasikan ke pemerintahan daerah sehingga pengaturannya menjadi kewenangan pemerintah daerah bersama DPRD. Mekanisme peraturan perundang-undangan yang sering digunakan adalah dengan menggunakan atribusian ataupun pendelegasian dari konstitusi melalui enabling provision. Penguatan terhadap asumsi ini, lebih didasarkan pada stufent theory dari Hans Kelsen, yang mengatakan bahwa grondwet dapat mendelegasikan atau mengatribusikan pengaturan suatu materi muatan pada peraturan pelaksana. Teori Hans Kelsen inilah yang sampai detik ini masih diterima dengan baik dalam sistem hukum Indonesia. Bentuk konkrit dari teori ini adalah adanya hierarkisitas peraturan perundangundangan
yang
diatur
dalam
Pasal
7
UU
No.
10/2004
tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dengan hierarkisitas ini, peraturan pelaksana dapat dibentuk jika mendapatkan atribusi atau delegasi dari peraturan perundang-undangan di atasnya. Dengan demikian status hukum pengaturan desa yang didasarkan pada Pasal 18 UUD Negara RI Tahun 1945 dan berdasarkan kedua asumsi di atas, pengaturan tentang desa telah diatribusikan kepada pemerintahan
daerah
sehingga
pengaturan
desa
telah
menjadi
kewenangan konstitusional pemerintahan kabupaten/kota. Dengan status hukum seperti ini, setiap kabupaten/kota dapat mengatur mengenai desa dalam peraturan daerah mereka. Dengan penyebutan dalam UUD 1945
67
itu, konsekuensi yuridisnya adalah desa merupakan organ konstitusi yang mempunyai hak dan kewajiban konstitusional. Dari hasil inventarisasi kami terhadap keberpihakan konstitusi terkait dengan pembangunan perdesaan, setidaknya ditemukan tujuh pasal utama. Ketujuh pasal tersebut adalah: Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 23, Pasal 23E, Pasal 28C, Pasal 33 dan Pasal 34. Pemerintah daerah kabupaten dan kota, seperti pada Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 termasuk diantaranya pemerintah desa. Sedangkan tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Urusan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) terdiri dari: politik luar negeri; pertahanan; keamanan; yustisi; moneter dan fiskal nasional; dan agama. Pemberian otonomi luas kepada daerah seperti pada Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat.
Disamping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan
mampu meningkatkan
daya saing
dengan
memperhatikan
prinsip
demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hubungan
dalam
bidang
keuangan
antara
Pemerintah
dan
pemerintahan daerah seperti pada Pasal 18A ayat (2) UUD 1945 meliputi: pemberian sumber-sumber keuangan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan
yang
menjadi
kewenangan
pemerintahan
daerah;
pengalokasian dana perimbangan kepada pemerintahan daerah; dan pemberian pinjaman dan/atau hibah kepada pemerintahan daerah. Sedangkan hubungan dalam bidang pelayanan umum antara Pemerintah dan pemerintahan daerah meliputi: kewenangan, tanggung jawab,
dan
penentuan
standar
pelayanan
minimal;
pengalokasian
pendanaan pelayanan umum yang menjadi kewenangan daerah; dan
68
fasilitasi
pelaksanaan
kerja
sama
antarpemerintahan
daerah
dalam
penyelenggaraan pelayanan umum. Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara Pemerintah dan pemerintahan daerah meliputi: kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian dampak, budidaya, dan pelestarian; bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya; dan penyerasian lingkungan dan tata ruang serta rehabilitasi lahan. Kesatuan masyarakat hukum adat dan hak tradisionalnya seperti pada Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 harus diatur secara spesifik. Mengingat kesatuan masyarakat hukum adat memiliki tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kearifan lokal yang telah terjalin sedemikian lama, seringkali
dianggap
oleh
sebagian
kalangan
tidak
sesuai
dengan
perkembangan zaman. Masyarakat hukum adat juga cenderung tidak menerima modernisasi dan masih bertahan dengan tradisi lama, sehingga menjadi masyarakat tertinggal. Oleh karena itu, pengaturan mengenai masyarakat hukum adat harus dilakukan secara hati-hati dengan melibatkan sosiolog. Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 berbunyi bahwa: “Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Anggaran pendapatan dan belanja negara, seperti pada Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 harus bisa dirasakan masyarakat secara langsung manfaatnya. Saat ini, sebagian besar masyarakat Indonesia tinggal di perdesaan dan sekitar 63,47 persen penduduk miskin Indonesia tinggal di perdesaan. Namun, anggaran yang turun langsung ke perdesaan hanya sekitar Rp 17,0 triliun atau sekitar seper enam puluh dari pendapatan negara dan hibah yang mencapai Rp 1.022,6 triliun. Permasalahan
dalam
pembangunan
perdesaan
adalah
tahap
pengawasan menjadi tugas BPK seperti pada Pasal 23E ayat (1) UUD 1945. Seringkali anggaran besar yang sudah disediakan terjadi kesalahan
69
dalam pengelolaan, sehingga tidak sesuai dengan target dan sasaran. Oleh karena itu, selain perlunya Badan Pemeriksa Keuangan juga diperlukan peningkatan kinerja dan mekanisme Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Kebutuhan dasar manusia, seperti pada Pasal 28C ayat (1) UUD 1945 adalah sandang, pangan dan papan. Selain itu, juga terdapat kebutuhan akan pendidikan, kesehatan, ilmu pengetahuan dan teknologi. Termasuk didalamnya telekomunikasi dan perhubungan. Ketertinggalan masyarakat desa dari perkotaan disebabkan oleh rendahnya kualitas pendidikan,
kemudahan
memperoleh
pengetahuan
dan
lain-lain.
Infrastruktur dan pelayanan pendidikan di perdesaan relatif lebih rendah daripada di perkotaan. Hal ini ditandai dengan rendahnya kualitas tenaga pengajar dan infrastruktur pendukung. Makna dari Pasal 33 UUD 1945 adalah desa dengan segala potensi yang dimiliki harus menjadi tempat yang layak bagi masyarakat yang tinggal dan menetap didalamnya. Masyarakat desa harus bisa menikmati potensi tersebut. Tidak ada lagi kesenjangan di antara desa-kota atau bagi masyarakat yang tinggal di desa tersebut. Berdasarkan
data
Potensi
Desa
tahun
2005,
keberadaan
infrastruktur kesehatan di perdesaan jauh lebih rendah daripada di perkotaan, padahal Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak, seperti pada Pasal 34 ayat (3) UUD 1945. Jenis penyakit yang diderita oleh masyarakat perdesaan relatif terkait dengan ketersediaan sanitasi yang bersih dan pola hidup yang sehat. Oleh karena itu, ketersediaan akan kebutuhan dasar bagi masyarakat perdesaan harus menjadi urusan negara. Pembangunan yang dilakukan bukan saja terkait dengan pembangunan fisik, tetapi juga non-fisik. Pemenuhan tenaga terampil antara lain bidang kesehatan dan pendidikan, dan pemberdayaan masyarakat desa, yang mendampingi masyarakat perdesaan menjadi tugas pemerintah. Amanat dari UUD 1945 terutama Pasal 23 dan Pasal 28C belum terdapat secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan yang ada.
70
Pengaturan lebih banyak mengenai hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dan aspek pemerintahan. Pengaturan mengenai desa terkait dengan pembangunan perdesaan dalam segala aspeknya, khususnya pada peraturan perundang-undangan, tercermin pada: Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
Undang-Undang
Nomor
25
tahun
2004
tentang
Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional, Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Undang-Undang Nomor 17 tahun
2007 tentang
Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025, dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa. Adapun keterkaitannya adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal yang terkait dengan pembangunan perdesaan dalam UU No. 17 tahun 2003 adalah: Pasal 6 ayat (1), Pasal 6 ayat (2) huruf c, Pasal 12 ayat (1), Pasal 16 ayat (1), Pasal 16 ayat (2) dan Pasal 16 ayat (4). Pokok-pokok pikiran yang terdapat dalam UU Nomor 17 tahun 2003 adalah APBN dan APBD merupakan wujud pengelolaan keuangan pusat dan daerah, dan wewenang Presiden diserahkan kepada pejabat pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah. Apabila disandingkan dengan Pasal 23 UUD 1945 yang berbunyi bahwa APBN dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat, dan dengan nomenklatur RAPBN tahun 2009 yang membagi menjadi dua pos pokok, yaitu: 1) Pendapatan Negara dan Hibah, dan 2) Belanja Negara. Dalam hal belanja negara yang sampai ke perdesaan merupakan belanja ke daerah, yang terdiri dari dana perimbangan. Selain itu, juga masih terdapat pos anggaran kecil yang sampai ke perdesaan, yaitu subsidi dan belanja barang. Namun, anggaran seperti ini masih merupakan anggaran sektoral, yang cenderung mudah terjadi duplikasi dan tidak sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa.
71
Anggaran untuk pembangunan perdesaan berdasarkan RAPBN tahun 2009 adalah Rp 17,0 triliun. Bandingkan dengan anggaran untuk belanja ke daerah yang mencapai Rp 303,9 triliun, dan jumlah penduduk miskin di perdesaan mencapai 63,47 persen pada bulan Maret 2008. Sehingga apabila Pasal 23 UUD 1945 diadopsi dalam pelaksanaan dan wewenang pengelolaan keuangan pusat dan daerah, maka masyarakat perdesaan setidaknya harus mendapat perhatian lebih baik. Terdapat nomenklatur khusus bagi anggaran perdesaan, yang bisa saja dialokasikan dari dana perimbangan. 2. Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Pasal yang terkait dengan pembangunan perdesaan dalam UU No. 25 tahun 2004 adalah: Pasal 10 ayat (1), Pasal 10 Ayat (3), dan Pasal 11 ayat (1). Pokok-pokok pikiran dari UU No. 25 tahun 2004 adalah bahwa Musrenbang yang dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat menjadi acuan bagi RPJP Nasional. Namun, fakta di perdesaan menyatakan bahwa Musrenbang masih kental akan pola top-down. Masyarakat
cenderung
pembangunan,
apalagi
masih
menjadi
objek
pelaksanaan
dari
maupun
perencanaan pengawasan
pembangunan. Kepala Desa masih memiliki kekuasaan yang dominan untuk men-drive arah pikiran masyarakat. Oleh karena itu, sebelum dilakukan
Musrenbang
atau
apapun
namanya,
pemberdayaan
masyarakat harus dilakukan. Masyarakat harus diajak berdiskusi dan berani menyampaikan apa yang dibutuhkan. 3. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal yang terkait dengan pembangunan perdesaan dalam UU No. 32 tahun 2004 adalah: Pasal 10 ayat (1), Pasal 10 ayat (2), Pasal 10 ayat (3), Pasal 126 ayat (3) huruf a, Pasal 200 ayat (1), Pasal 200 ayat (3), Pasal 201 ayat (2), Pasal 206, Pasal 207, Pasal 209, Pasal 210 ayat (1), Pasal 211 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 212, Pasal 215, dan Pasal 216.
72
Pokok-pokok pikiran dalam UU No. 32 tahun 2004 lebih banyak mengatur mengenai aspek pemerintahan desa. Dalam UU ini belum diatur lebih banyak mengenai pembangunan perdesaan. Hal-hal yang diatur dalam UU No. 32 tahun 2004 diantaranya mengenai pemerintah desa, badan permusyawaratan desa, lembaga lain,
keuangan
pembangunan pembangunan
desa,
dan
perdesaan
kerjasama
belum
perdesaan
diatur
tersebut
desa.
Sehingga
aspek
dalam
UU
Aspek
ini.
diantaranya
mengenai
pembangunan fisik dan non-fisik yang didasarkan pada masih rendahnya
pemenuhan
kebutuhan
dasar
masyarakat
desa,
pembiayaan pembangunan perdesaan, dan tahapannya, yang meliputi perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. 4. Undang-Undang
Nomor
33
tahun
2004
tentang
Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah Pasal yang terkait dengan pembangunan perdesaan dalam UU No. 33 tahun 2004 adalah: Pasal 4. Pokok-pokok pikiran yang diatur dalam UU No. 33 tahun 2004 adalah mengenai
sumber
pembiayaan
keuangan
pusat
dan
daerah.
Pengaturan mengenai perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan efisien dalam rangka pendanaan penyelenggaraan Desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah, serta besaran pendanaan penyelenggaraan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Dalam UU ini tidak diatur mengenai pengaturan antara Pemerintah Pusat dan Daerah terkait dengan anggaran perdesaan. Namun, hanya diatur mengenai persentase dana bagi hasil, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus. 5. Undang-Undang Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 Pasal yang terkait dengan pembangunan perdesaan dalam UU No. 17 tahun 2007 adalah: Pasal 6 ayat (1) dan ayat (3).
73
Lampiran UU No. 17 tahun 2007 menyebutkan kebutuhan yang harus dipenuhi bagi masyarakat di perkotaan maupun perdesaan sampai tahun 2020. Kebutuhan tersebut antara lain: perumahan, pelayanan air minum, persampahan (kebersihan), infrastruktur perhubungan, elektrifikasi, nilai tambah sektor primer, dan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia. Pokok-pokok pikiran dalam UU No. 17 tahun 2007 masih bersifat topdown atau sentralistik. RPJP Nasional masih menjadi acuan bagi RPJP Daerah. Dalam lampiran UU ini, juga dijabarkan mengenai kebutuhan desa yang paling minimum bagi pencapaian kebutuhan dasarnya. 6. Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa Pasal yang terkait dengan pembangunan perdesaan dalam PP No. 72 tahun 2005 adalah: Pasal 14, Pasal 63, Pasal 65, Pasal 88, Pasal 90, Pasal 99, Pasal 100, Pasal 101, dan Pasal 102. Pokok-pokok pikiran yang diatur dalam UU No.32 tahun 2004 dan PP No. 72 tahun 2007 adalah desa tidak mempunyai wewenang menyusun perencanaan. Hal ini terlihat jelas dari Pasal 63 ayat (1) PP No. 72 tahun 2005. Dalam hal ini perencanaan masih disusun dari atas. Pengaturan mengenai pembangunan desa belum banyak diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan yang masih berlaku. Pengaturan yang ada, khususnya dalam penyusunan perencanaan masih bersifat top-down dan sentralistik. Masyarakat belum dilibatkan secara nyata dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan. Selain
itu,
terkait
dengan
pembiayaan
bagi
pembangunan
perdesaan masih minim dan tersebar di masing-masing sektor. Setiap departemen teknis memiliki program dan kegiatan sendiri, sehingga seringkali menjadi tidak tepat sasaran. Hal lain yang juga penting, terkait dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan adalah belum ada sanksi terhadap pelanggaran dalam pelaksanaan peraturang perundang-undangan ini. Oleh karena itu, RUU tentang Pembangunan Perdesaan diharapkan bisa memberikan insentif atau disinsentif bagi pihak yang berhasil atau gagal dalam
74
mencapai
tujuan
pembangunan
perdesaan,
untuk
mewujudkan
masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera.
2.6. Pengalaman Negara Lain dalam Pembangunan Perdesaan
1. India Pada tahun 1960-an dan 1970-an, pengenalan varietas gandum dan padi-dalam revolusi hijau-mendorong terjadinya peningkatan produksi pertanian dan meningkatkan pendapatan petani, khususnya di India barat laut. Kemiskinan perdesaan turun dari 64 persen pada tahun 1967 menjadi 50 persen pada tahun 1977 34 persen pada tahun 1986. persentase terbesar dari peningkatan tersebut berasal dari naiknya upah riil dan turunnya harga padi-padian. Pertumbuhan di sektor pertanian mampu mengurangi kemiskinan, baik di perdesaan maupun di perkotaan. Hal ini juga berlaku untuk pertumbuhan di sektor jasa. Namun, pertumbuhan sektor industri tidak mengurangi kemiskinan. Kebijakan memainkan
reformasi peran
lahan,
penting
kredit pada
perdesaan
tahun
dan
1970-an
pendidikan
dan
1980-an,
walaupun program-program ini sedikit menghambat laji pertumbuhan ekonomi. Mulai tahun 1991, India menjalankan reformasi makroekonomi dan perdagangan lain yang memacu pertumbuhan yang mengesankan di sektor manufaktur dan jasa. Data kemiskinan tahun 2004, yang dapat dibandingkan dengan data serupa dari tahun 1993, menunjukkan penurunan tingkat kemiskinan yang berkelanjutan. Meskipun ada pola penurunan kemiskinan yang konsisten di hampir semua negara bagian di India, pertumbuhan tersebut tidak setara. Dari tahun 1980 sampai 2004, negara-negara bagian yang awalnya lebih miskin tumbuh lebih lambat, mengakibatkan perbedaan pendapatan absolut maupun relatif. Liberalisasi perdagangan yang cepat pada tahun 1990-an memiliki dampak regional yang berbeda-beda. Distrikdistrik perdesaan dengan konsentrasi industri lebih tinggi yang dirugikan oleh liberalisasi itu merasakan kemajuan yang lebih lambat dalam pengurangan kejadian dan intensitas kemiskinan karena sangat terbatasnya mobilitas tenaga kerja antar wilayah dan industri.
75
Pendapatan dan pengeluaran masyarakat perkotaan juga meningkat lebih cepat daripada pendapatan masyarakat di perdesaan, sehingga mengakibatkan terus naiknya rasio konsumsi riil rata-rata kota ke desa dari hanya di bawah 1,4 pada tahun 1983 menjadi sekitar 1,7 pada tahun 2000. Bahkan sesudah itu, India memiliki ketidaksetaraan pendapatan yang cukup rendah. Namun, terlepas dari pertumbuhan dan penurunan kemiskinan yang mengesankan pada tahun 1990-an, gambaran kesejahteraan masyarakat masih belum terlalu bagus, sebab keadaan kesehatan belum mengalami perbaikan. Reformasi India, tidak seperti Cina, tidak diarahkan pada pertanian. Dewasa ini, fokus kebijakan di India kembali diarahkan pada sektor ini karena banyak kalangan meyakini bahwa potensi penuh pertanian untuk mengurangi kemiskinan di India belum tergali dengan sempurna. 2. Cina Pengentasan kemiskinan di Cina selama kurun waktu 25 tahun terakhir tidak pernah terjadi sebelumnya. Perkiraan yang dibuat oleh Ravallion dan Chen (2007)17 mengindikasikan bahwa kemiskinan turun dari 53 persen pada 1981 menjadi 8 persen pada 2001, membantu sekitar 500 juta jiwa keluar dari lembah kemiskinan. Kemiskinan perdesaan juga turun dari 76 persen pada 1980 menjadi 12 persen pada 2001, setara dengan tiga perempat dari seluruh kemiskinan. Namun, evolusi kemiskinan dari waktu ke waktu terjadi dengan sangat tidak seimbang. Pengurangan yang paling lambat terjadi pada akhir 1980-an dan awal 1990-an. Penurunan kemiskinan yang tajam pada 1981 sampai 1985 dipicu oleh reformasi
pertanian
yang
dimulai
pada
tahun
1978.
Sistem
tanggungjawab keluarga, yang memberikan hak pakai yang kuat untuk tanah individual bagi keluarga-keluarga di perdesaan, peningkatan harga beli pemerintah, dan liberalisasi perdagangan liberal, semua mempunyai pengaruh positif yang kuat atas insentif bagi para petani individual. Pada tahun-tahun awal reformasi pertanian, produksi dan produktivitas meningkat secara dramatis, sebagian disebabkan oleh penggunaan varietas padi hibrida yang menghasilkan panen banyak
17
Ravallion, M. and S.Chen. 2004. How have the world’s poorest fared since the early 1980’s?. World Bank Research Observer. 19 (2) :141-170.
76
oleh petani (Lin, 1992)18. Pendapatan masyarakat perdesaan naik sebesar 15 persen setahun antara 1978 dan 1984 (Von Braun, Gulati dan Fan, 2005)19, dan sebagian besar penurunan kemiskinan nasional antara 1981 dan 1985 didorong oleh serangkaian reformasi agraria ini. Peran pertumbuhan pertanian dalam pengentasan kemiskinan tetap penting pada tahun selanjutnya, ketika reformasi menciptakan sektor non-pertanian di perdesaan yang menyediakan lapangan pekerjaan dan sumber pendapatan bagi jutaan orang yang tenaganya tidak lagi dibutuhkan dalam sektor pertanian. Sumbangan sektor non-pertanian perdesaan dalam PDB naik dari hampir nol pada 1952 menjadi lebih dari sepertiga pada tahun 200420. Dengan melihat keseluruhan periode tersebut,
Ravallion
dan
Chen
(2007)21
menyimpulkan
bahwa
pertumbuhan pertanian benar-benar punya dampak yang lebih bagus bagi pengentasan kemiskinan daripada pertumbuhan industri maupun jasa. Bagi banyak warga, pendapatan yang lebih tinggi diperoleh dengan menisbikan aspek kesetaraan. Tidak seperti kebanyakan negara berkembang, Cina memiliki ketidaksetaraan pendapatan yang relatif tinggi di wilayah perdesaan daripada di perkotaan22. Terdapat pula ketidakseimbangan regional dan sektoral yang besar. Larangan migrasi tenaga kerja internal, kebijakan industri yang lebih mendahulukan kepentingan wilayah pesisir Cina daripada pedalamannya, dan bias penyediaan layanan umum yang membuat sistem pendidikan dan kesehatan masyarakat perdesaan Cina memburuk adalah contoh semua kebijakan yang turut mendorong terjadinya disparitas kinerja ekonomi regional dan sektoral. 3. Ghana Pertumbuhan dan penurunan kemiskinan Ghana selama 15 tahun terakhir merupakan kisah sukses baru dan penting bagi Afrika. PDB riil telah meningkat lebih dari 4 persen per tahun sejak 1980 dan lebih dari 5 persen sejak tahun 2001. Tingkat kemiskinan turun dari 5,17 18
Lin, J.Y. 1992. Rural reforms and agricultural growth in China. American Economic Review. 82 (1): 34-51. Von Braun, J., A. Gulati and S. Fan. 2005. Agricultural and Economic Development Strategies and Transformation of China and India. Washington DC: International Food Policy Research (IFPRI). 20 Ibid. 21 Ravallion, M., and S. Chen. 2007. China’s (Uneven) progress against poverty. Journal ofDevelopment Economics. 82 (1): 1-42. 22 Ibid. 19
77
persen pada tahun 1991-1992 menjadi 39,5 pada tahun 1998-1999, dan 28,5 persen pada tahun 2005-2006. Kemiskinan turun dari sekitar 17 poin di perkotaan, dan 24 poin di perdesaan. Bila kaum urban desakota diasumsikan sebagai masyarakat miskin, diperkirakan kurang lebih 59 persen dari total penurunan kemiskinan disebabkan oleh berkurangnya
kemiskinan
di
perdesaan.
Namun,
terjadi
pula
peningkatan ketidaksetaraan, terutama di tingkat regional, dengan Accra dan wilayah-wilayah hutan mengalami penurunan kemiskinan yang lebih besar daripada daerah padang rumput di utara. Pertumbuhan Ghana yang mengalami percepatan tersebut dipicu oleh kebijakan ekonomi yang lebih baik dan iklim investasi yang lebih mendukung, selain tingginya harga komoditas. Pada tahun 2001-2005, pertumbuhan sektor pertanian melampaui sektor jasa, tumbuh 5,7 persen per tahun, lebih cepat daripada PDB keseluruhan yang naik 5,2 persen. Pertumbuhan sektor pertanian terutama didorong oleh ekspansi wilayah, dengan peningkatan hasil hanya satu persen. Sejak tahun 2001, peningkatan produktivitas yang berarti terjadi pada komoditas kakao. Produksi kakao, walau tercatat hanya mengambil bagian 10 persen dari nilai produksi tanaman pangan dan ternak keseluruhan, menyumbang sekitar 30 persen terhadap pertumbuhan pertanian. Ghana juga menikmati pertumbuhan yang hebat dalam subsektor hortikultura, digerakkan terutama oleh produksi nenas. Baik kakao maupun nenas, keduanya diusahakan oleh petani gurem,
dan
tampaknya petani yang membudidayakan tanaman pangan yang paling merasakan pengentasan kemiskinan terkait dengan pertumbuhan yang terjadi akhir-akhir ini. Namun, sumberdaya dan landasan ekspor perekonomian negara ini tetap sempit, dan sangat rentan terhadap guncangan dari luar. Ghana merupakan salah satu dari sedikit negara di Afrika Sub-Sahara yang sejak 1990 produksi pangannya mengalami pertumbuhan positif dan berkelanjutan serta harga pangannya mengalami penurunan. Namun,
terdapat
bukti
rusaknya
lingkungan
dan
penggunaan
sumberdaya yang tidak berkelanjutan. Produksi tanaman pangan dan ternak
perlu
pertumbuhan
diintensifkan yang
dicapai
untuk sekarang,
mempertahankan sekaligus
untuk
tingkat memberi
78
manfaat bagi lebih banyak orang. Meningkatnya faktor total dan produktivitas tenaga kerja serta semakin meluasnya penggunaan pupuk selama kurun waktu 10 tahun terakhir merupakan indikator positif dari proses semacam itu.
79
BAB III ANALISIS HUKUM POSITIF Sebagai
upaya
untuk
mengetahui
keberadaan
peraturan
perundang-undangan yang mengatur di bidang perdesaan, dihimpun berbagai peraturan perundang-undangan yang ada, baik yang telah dicabut maupun yang masih berlaku. Hal itu dilakukan agar diperoleh pemahaman yang komprehensif mengenai kebijakan penguasa di bidang perdesaan.
Hasilnya, ternyata ada banyak peraturan perundang-
undangan yang mengatur perihal tersebut, baik yang merupakan produk masa kolonial maupun produk masa pembangunan nasional. Dengan demikian,
sesungguhnya kebijakan pembangunan perdesaan telah ada
dan dimulai sejak lama, yakni sejak bangsa Indonesia belum merdeka hingga bangsa Indonesia mengisi kemerdekaannya melalui programprogram pembangunan nasional. Beberapa produk peraturan perundangundangan tersebut antara lain: a. Islandsche Gemeente-Ordonantie (Staatblad Tahun 1906 Nomor 83) sebagaimana diubah dengan Staatblad Tahun 1910 Nomor 591, Staatblad Tahun 1913 Nomor 235, dan Staatblad Tahun 1919 Nomor 217 serta ordonantie lainnya; b. Osamu Seirei Nomor 7, ditetapkan tanggal 1 Maret 1944; c. UU Nomor 1 Tahun 1945 Tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah; d. UU Nomor 22 Tahun 1948 Tentang Undang-Undang Pokok Tentang Pemerintahan Daerah; e. UU Nomor 1 Tahun 1957 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah; f. Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 Tentang Pemerintahan Daerah; g. UU Nomor 18 Tahun 1965 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah; h. UU Nomor 19 Tahun 1965 Tentang Desapraja; i. UU Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah; j. UU Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa;
80
k. UU Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah; serta l. UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Keadaan
peraturan
perundang-undangan
tersebut
di
atas,
memberikan deskripsi bahwa saat ini belum ada peraturan perundangundangan perdesaan.
yang
secara
khusus
Pembangunan
mengatur
perdesaan,
mengenai
saat
ini
pembangunan diselenggarakan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, berikut undang-undang terkait lainnya dan pelaksananya. Fakta yuridis tersebut memperlihatkan bahwa walaupun selama ini kawasan perdesaan merupakan kawasan strategis dan salah satu obyek utama dalam pembangunan
nasional,
namun
kenyataannya
belum
diatur
dan
diberdayakan secara optimal. Itu sebabnya, hasil pembangunan yang dihasilkannya pun terlihat tidak merata dan menimbulkan kesenjangan sosial ekonomi yang tinggi, baik antardesa maupun antardesa dengan kota.
81
BAB IV URGENSI PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG
4.1. Landasan Filosofis Pembangunan nasional merupakan sebuah keniscayaan, mengingat secara filosofis pembangunan itu sendiri pada hakikat adalah untuk mencapai atau mewujudkan tujuan nasional sebagaimana dimanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam Aline Keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dirumuskan bahwa tujuan nasional
adalah:
“...untuk
membentuk
suatu
Pemerintah
Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial........”. Dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, didalamnya terkait dengan usaha peningkatan kualitas masyarakat Indonesia yang dilakukan secara
berkelanjutan,
memanfaatkan
berlandaskan
kemajuan
ilmu
kemampuan
pengetahuan
nasional,
dan
dengan
teknologi
serta
memperhatikan tantangan perkembangan global. Dalam pelaksanaannya mengacu pada kepribadian bangsa dan nilai luhur yang universal untuk mewujudkan
kehidupan
bangsa
yang
berdaulat,
mandiri,
dan
berkeadilan. Sedangkan dalam rangka mensejahterakan kehidupan bangsa, didalamnya terkait dengan proses pengelolaan sumber daya nasional yang secara sektoral meliputi mulai pembangunan dibidang politik, ekonomi, industri, pertanian, dan sebagainya. Dari segi kewilayahan, pelaksanaan pembangunan itu dapat pula dibedakan atas pembangunan di wilayah perkotaan dan perdesaan. Sesuai dengan asas keadilan yang diamantkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka
pelaksanaan
pembangunan
haruslah
memperhatikan
aspek
82
pemerataan
baik
pemerataan
antar-sektor
maupun
pemerataan
pembangunan antar kota dan desa. Dengan demikian pembangunan perdesaan merupakan bagian yang terintegrasi dari usaha meningkatkan pemerataan dan mengatasi kesenjangan pada semua aspek pembangunan dalam ruang lingkup nasional. 4.2. Landasan Sosiologis Wilayah perdesaan sebagai tempat persebaran sebagian besar masyarakat Indonesia mempunyai peranan yang cukup besar dalam menopang
perekonomian
bangsa
dan
sekaligus
indikator
bagi
keberhasilan pembangunan nasional. Seperti diketahui di perdesaan pada umumnya masyarakat berprofesi sebagai petani. Sementara diperkirakan bahwa hampir 70 persen penduduk Indonesia tinggal di perdesaan, dengan demikian mayoritas penduduk Indonesia menggantungkan hidup pada sektor pertanian. Pembangunan pedesaan menurut pandangan organisasi tani adalah suatu keniscayaan, terutama untuk mengatasi masalah-masalah pokok petani seperti kemiskinan dan kesejahteraan. Sementara sampai saat ini wilayah perdesaan Indonesia masih dihadapkan pada masalah krusial, dimana masalah utama adalah seperti kemiskinan, konflik tanah, kelaparan, dan akses terhadap sumber produksi masih belum terpecahkan. Data pada Badan Pusat Statistik Tahun 2006, misalnya, menunjukkan bahwa dengan jumlah penduduk miskin Indonesia yang mencapai 17,75 persen atau sekitar 39,05 juta orang, sebagian besarnya adalah kaum petani, yang berarti adalah berada di wilayah perdesaan. Oleh
karenaya
pembangunan
perdesaan
dilandaskan
pada
keyakinan dan tekad untuk mempertinggi tingkat penghidupan dan kehidupan masyarakat yang dimulai dari desa, karena masyarakat yang berdiam di perdesaan merupakan faktor yang penting menuju kepada perbaikan ekonomi dan sosial masyarakat Indonesia secara nasional. Oleh karena itu pembangunan perdesaan mempunyai sifat komperhensif dalam artii
kegiatan
pembangunan
perdesaan
meliputi
seluruh
lapangan
kehidupan masyarakat desa. Pembangunan perdesaan juga merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, sehingga keberhasilan pembangunan desa merupakan salah satu tolak ukur yang menentukan keberhasilan pembangunan nasional.
83
4.3. Landasan Yuridis Pentingnya perhatian khusus terhadap pembangunan perdesaan didasari oleh pertimbangan bahwa kedudukan perdesaan sangat strategis dalam
keberhasilan
pembangunan
secara
nasional,
sebab
seperti
diutarakan sebelumnya bahwa mayoritas penduduk Indonesia justru berdiam atau merupakan penduduk yang tinggal di perdesaan. Sedangkan sampai saat ini diketahui bahwa pembangunan antara wilayah perdesaan dengan wilayah perkotaan sangat timpang. Ketimpangan pembangunan di daerah perkotaan dan perdesaan terasa sekali baik dalam pembangunan infrastruktur, pembangunan kualitas sumber daya manusia, lapangan kerja, kesehatan, dan sebagainya. Kenyataan ini menyadarkan kita betapa perangkat yuridis yang ada saat ini dirasakan pula belum memadai untuk memberikan jaminan hukum akan perlunya perhatian atau prioritas terhadap pelaksanaan pembangunan perdesaan. Untuk itulah, sehingga dalam rangka menjamin terselenggara dan tercapainya pemerataan pembangunan di wilayah perdesaan memerlukan perhatian khusus baik dari segi pembinaan, maupun anggaran. Dalam hal ini maka diperlukan sebuah landasan hukum yang bertujuan melakukan pengaturan secara yuridis tentang perlunya perhatian terhadap pembangunan perdesaan.
84
BAB V RUANG LINGKUP DAN POKOK MATERI RANCANGAN UNDANG-UNDANG Sesuai dengan permasalahan dan kondisi faktual perdesaan sebagaimana diuraikan sebelumnya, maka rung lingkup dan pokok materi Rancangan Undang-Undang tentang Pembangunan Perdesaan adalah sebagai berikut: BAB I KETENTUAN UMUM Disini dirumuskan definisi atau batasan yang dipergunakan dalam RUU ini, yang meliputi definisi: Pembangunan Perdesaan, Masyarakat, Desa, Perdesaan,
Pemberdayaan
Masyarakat
Desa,
Sistem
Informasi
Pembangunan Perdesaan, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Pemerintahan Desa, Pemerintah Desa, dan Badan Permusyawaratan Desa. BAB II ASAS DAN TUJUAN Pembangunan perdesaan diselenggarakan dengan asas: a) kebersamaan dan gotong-royong; b) efisiensi berkeadilan; c) berkelanjutan; d) berwawasan lingkungan; e) kemandirian; f) kesetaraan; g) kemanusiaan; h) kebangsaan; i) kekeluargaan; j) bhinneka tunggal ika; k) ketertiban dan kepastian hukum; l) keseimbangan, keserasian, dan keselarasan; m) kreativitas; n) kearifan lokal; o) integratif; p) transparansi; q) akuntabilitas; r) efektivitas;
85
s) responsif dan peran serta aktif;dan t) tanggung jawab negara. Sedangkan yang menjadi tujuan pembangunan perdesaan adalah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat desa dan meningkatkan peran masyarakat desa dalam setiap tahapan pembangunan dengan tetap menjamin terpeliharanya adat istiadat setempat. BAB III RUANG LINGKUP DAN TAHAPAN PEMBANGUNAN PERDESAAN Pembangunan
perdesaan
meliputi
pembangunan
infrastruktur
dan
sumberdaya manusia perdesaan, yang dilaksanakan melalui tahapan: perencanaan; pelaksanaan; pengawasan; dan evaluasi. BAB IV PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA Pemerintah dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota memberdayakan masyarakat desa dengan: a. meningkatkan kualitas masyarakat desa melalui pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan; b. memberikan pendampingan dalam kegiatan pembangunan perdesaan; c. menjamin ketersediaan lapangan kerja sesuai potensi desa; d. mengutamakan penggunaan dan pengembangan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan dengan memanfaatkan kearifan lokal; dan e. menumbuhkembangkan adat-istiadat dan budaya lokal. BAB V PEMBIAYAAN Alokasi anggaran pembangunan perdesaan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta sekurang-kurangnya dua puluh persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah.
Alokasi
dan
distribusi
anggaran
pembiayaan
pembangunan perdesaan diberikan langsung kepada masing-masing desa dengan kategori desa besar, desa sedang dan desa kecil secara proporsional harus berdasarkan jumlah penduduk, luas wilayah, indeks pembangunan manusia, indeks kemahalan, dan sumber daya alam.
86
BAB VI INFORMASI PEMBANGUNAN PERDESAAN Informasi Pembangunan perdesaan merupakan informasi publik yang sifatnya umum, terbuka, dan bertanggungjawab disampaikan setiap tahun kepada Badan Permusyawaratan Desa, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Pemerintah.
87
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan 1. Yang dimaksud dengan Pembangunan Perdesaan adalah upaya untuk meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran
masyarakat
desa
dengan
memanfaatkan sumber daya, ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, dan budaya, serta menjamin tetap terpeliharanya adat istiadat
setempat
guna
mewujudkan
tujuan
pembangunan
nasional. 2. Upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat desa adalah: a) pembangunan infrastruktur dan sumberdaya manusia perdesaan sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa, b) Pemerintah
dan
memberdayakan pembangunan
Pemerintah masyarakat
perdesaan
Daerah
desa,
secara
c)
Kabupaten/Kota Alokasi
langsung
kepada
anggaran masing-
masing desa. 3. Bentuk hukum untuk mewujudkan pembangunan perdesaan adalah Undang-Undang tentang Pembangunan Perdesaan.
6.2. Saran Berdasarkan kajian diperoleh data dan fakta bahwa pengaturan tentang pembangunan perdesaan sudah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Namun, belum terdapat undang-undang yang secara spesifik mengatur tentang pembangunan perdesaan. Sehingga dibutuhkan Undang-Undang yang berfungsi sebagai
pedoman tentang
kebijakan yang terkait dengan pembangunan perdesaan.
88