MUBYARTOInstitute ed
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n Mei 2011 eBulletin
MUBINS n Edisi 001 n Mei 2011 SWARA33 m 1 http://www.mubyarto.org/swara33
SwARA33
l Ed
is
ba e K i
n
an t i k g
N
na o i s a
l
... Kemakmuran Untuk Semua
...
Sri Edi Swasono
n
Jangan Menjual Indonesiaku Revrisond Baswir
n
Ekonomi Merdeka Mubyarto
n
Ekonomi Indonesia Terjajah Kembali
DIALOG
MBA Dr. Fahmy Radhi,
Tiada Ekonomi Kerakyatan Tanpa Penghapusan Utang Dani Setiawan
Solusi Kerakyatan untuk Energi Baru Terbarukan Puthut Indroyono
Kekuatan Lokal & Sistem Ekonomi Pancasila Poppy Ismalina
NASIONALISME
KEMANDIRIAN EKONOMI
n
n
n
Penanggung Jawab Dumairy Fahmy Radhi Noer Soetrisno
ISI
SWARA33 SWARA33 m 2
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n Mei eBulletin 2011 MUBINS n Edisi 001 n Mei 2011 n
Pemimpin Umum Satriyantono Hidayat
FOKUS : NASIONALISME & KEMANDIRIAN EKONOMI
Pemimpin Redaksi Awan Santosa
3
Kembali Terjajah, Kembali ke PASAL 33 !
wakil Pemimpin Redaksi Puthut Indroyono
5
Jangan Menjual Indonesia
7
Ekonomi Merdeka
9
Ekonomi Indonesia Terjajah Kembali
Redaktur Hudiyanto M., Yuli Nugroho, Dimas Deworo Puruhito, Tarli Nugroho, Istianto Ari Wibowo Artistik Satriyantono Hidayat Sekretariat Deviana Alamat Redaksi Mubyarto Institute Jalan Mahoni, Bulaksumur B-2 Yogyakarta 55281 Telp./Fax. : 0274-555664 Email :
[email protected] Website: http://www.mubyarto.org SWARA33 adalah buletin elektro nik dwibulanan yang menyediakan info tentang fokus, opini, aksi dan warta gerakan ekonomi rakyat dan pengamalan pasal 33 UUD 1945 di Indonesia. Buletin disediakan gratis dan dapat diunduh melalui website http://www.mubyarto.org/swara33 Redaksi menerima kontribusi naskah dari dalam dan luar Mubyarto Institute, baik berupa hasil penelitian atau gagasan yang sesuai dengan visi dan misi Mubyarto Institute. Naskah dikirim ke alamat email redaksi, ditulis menggunakan aplikasi pengolah kata populer (mis. MS Word, StarOffice). Sertakan foto atau ilustrasi (gambar atau grafik) yang diperlukan serta biodata lengkap dan foto penulis. Naskah yang masuk menjadi milik redaksi dan keputusan pemuatan sepenuhnya menjadi wewenang redaksi. Tulisan yang dimuat tidak dengan sendirinya merupakan pendapat resmi Mubyarto Institute / Yayasan Mubyarto.
Awan Santosa
Sri-Edi Swasono
Revrisond Baswir
Mubyarto
DIALOG 14 Dr. Fahmy Radhi, MBA
AKSI33 17 Kelestarian Lahan Ijo Royo-Royo yang Terusik
OPINI 19 Kebijakan Perlindungan dan Inovasi Pasar Tradisional di Daerah Istimewa Yogyakarta
Awan Santosa & Puthut Indroyono
23 Tiada Ekonomi Kerakyatan Tanpa Penghapusan Utang
Dani Setiawan
26 Tiada Ekonomi Kerakyatan Tanpa Reforma Agraria dan Kedaulatan Pangan
Henry Saragih
32 Pengembangan Apropriate Technology sebagai upaya Membangun Perekonomian Negeri Secara Mandiri
Fahmy Radhi
36 Solusi Kerakyatan untuk Energi Baru Terbarukan
Puthut Indroyono
PUSTAKA 38 Kekuatan Lokal & Sistem Ekonomi Pancasila
Poppy Ismalina
Donasi dapat disalurkan melalui Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta a.n. YAYASAN MUBYARTO No. 185.381.335
A Development Manifesto : The Resilience of Indonesian Ekonomi Rakyat During The Monetary Crisis (Mubyarto)
41
WARTA | AGENDA
FOTO SAMPUL : Satriyantono H. LOKASI : Bandung
44
PROFIL
FOKUS
SWARA33 SWARA33 m 3
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n Mei eBulletin 2011 MUBINS n Edisi 001 n Mei 2011 n
Pengantar Redaksi
kembali terjajah kembali ke
PASAL 33 !
Awan Santosa Pemimpin Redaksi
Sungguhpun demokrasi ekonomi telah lama menjadi amanat konstitusi (Pasal 33), keterapannya saat ini kiranya masih jauh panggang daripada api. Liberalisasi dan privat isasi sektor-sektor ekonomi strategis telah makin mengukuhkan ketimpangan struktur ekonomi Indonesia. Bukan saja karena segelintir elit pemilik korporasi yang kini mengua sai mayoritas aset dan hasil produksi nasional, tetapi juga karena mereka sebagian besar berasal dari luar negeri. Corak keterjajahan ekonomi Indonesia setidaknya nampak dalam lima indikasi berikut ini. Pertama, ekonomi Indonesia masih menjadi pemasok bahan mentah sepertihalnya migas, batubara, emas, CPO, kakao, susu, dan berbagai produk mentah lainnya bagi pihak luar negeri. Bahan-bahan mentah tersebut sebagian besar telah dikuasai perusahaan swasta luar negeri, seperti pada 85% kontrak-kontrak minyak dan gas bumi. Pada saat yang sama hampir 70% perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia juga sudah mereka kuasai. Kedua, ekonomi Indonesia masih menjadi pasaran bagi pabrikan atau perusahaan luar negeri. Sampai saat ini impor pangan Indonesia mencapai Rp. 110 trilyun/tahun, yang terdiri dari kedelai sebesar 2,2 juta ton/tahun atau sekitar 70-80% total kebutuhan kedelai nasional. Di samping itu Indonesia masih harus mengimpor gandum sebesar 4,5- 5 juta ton/tahun, yang meliputi hampir 100% kebutuhan gandum nasional, jagung sebesar 1 juta ton/tahun, dan beras sekitar 1 juta ton pada tahun 2010. 70% kebutuhan susu, 50% garam, 30% gula pun masih didatangkan dari luar negeri. Ketiga, ekonomi Indonesia masih menjadi tempat pemutar kelebihan modal pihak luar negeri, baik melalui pasar modal, pasar uang, maupun utang luar negeri. Sampai saat ini total utang luar negeri kita telah mencapai lebih dari Rp. 600 Trilyun, sehingga total utang kita mencapai sebesar Rp. 1.300 Trilyun, dan terus bertambah jumlahnya dari tahun ke tahun. Keempat, bangsa kita masih mengalami ketergantungan yang parah dalam hal penyusu nan Undang-Undang yang terkait dengan pengelolaan ekonomi nasional sepertihalnya UU BUMN, UU Ketenagalistrikan, UU Penanaman Modal, UU Sumber Daya Air, dan se bagainya pada pihak luar negeri. UU tersebut memberi keleluasaan bagi pihak luar negeri untuk menguasai kekayaan alam dan perusahaan Indonesia, dan prakteknya telah lama makin memerosotkan keberdikarian negeri. Dan kelima, bangsa kita pun masih menjadi pemasok tenaga kerja yang diupah murah bagi perusahaan dan atau pihak-pihak lain di luar negeri. Sebagian besar dari mereka –terutama Tenaga Kerja Wanita (TKW)- yang seringkali menjadi korban penyiksaan baik di Malaysia, Arab Saudi, dan negara lainnya, adalah berasal dari desa. Padahal negara dengan jumlah penduduk lebih besar dari bangsa kita sepertihalnya India dan China tidak mengirimkan tenaga kerja tidak terampilnya ke luar negeri.
FOKUS
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n Mei 2011
SWARA33 m 4
Pada akhirnya kemakmuran tidak untuk semua. Telah nyata akibat tergadaikannya kedaulatan ekonomi bangsa berupa krisis energi (BBM, listrik, gas, dan batu bara) beriringan dengan parade kemiskinan dan pengangguran di negeri kaya SDA. Makin jelaslah bahwa tidak akan besar dan maju sebuah bangsa sebelum ia sanggup berdiri tegak, sejajar, dan segera berhenti bergantung pada bangsa lain. Pun, tidaklah makmur sebuah negeri jikalau terus-menerus sekedar menempatkan diri sebagai kuli di negeri sendiri. Berbagai corak keterjajahan di atas mendesak perlunya merajut kembali amanat (cita-cita) proklamasi dan konstitusi pendiri bangsa, yang termaktub jelas dalam Pasal 33. Kedaulat an ekonomi yang menjadi ruh demokrasi ekonomi haruslah digelorakan kembali, agar menjadi cita-cita bersama seluruh elemen anak bangsa. Kelahiran e-bulletin “Swara33” ini diharapkan dapat menjadi bagian dari perjuangan menyuarakan dan mengembalikan Pasal 33, demi mewujudkan amanat demokrasi ekonomi. Edisi perdana Swara33 bertepatan dengan peringatan 103 tahun Kebangkitan Nasional, sehingga sesuai urgensi, visi, dan misi penerbitannya maka topik perdana yang kami suarakan adalah “Nasionalisme dan Kemandirian Ekonomi”. Kami memandang bahwa beratnya usaha pewujudan amanat Pasal 33 adalah corak neokolonialisme ekonomi yang berakibat pada ketidakmandirian ekonomi Indonesia. Pemikiran ini telah disuarakan oleh para ekonom kerakyatan di Indonesia, yang beberapa di antaranya kami hadirkan dalam edisi perdana ini. Dalam rubrik Fokus kami hadirkan Prof. Sri-Edi Swasono dalam artikelnya “Jangan Menjual Indonesiaku” menggugat begitu mudahnya satu per satu aset bangsa jatuh ke tangan bangsa lain. Semua ini terjadi karena lunturnya nasionalisme ekonomi, sehingga beliau mengajak bangsa ini untuk kembali ke Pasal 33. Ajakan serupa disampaikan oleh Dr. Revrisond Baswir, MBA dalam artikelnya “Ekonomi Merdeka”, yang merunut perjalanan sejarah keterjajahan ekonomi Indonesia. Sesuai dengan pemikiran dan cita-cita pendiri bangsa maka menurut beliau Indonesia merdeka hendaknya meliputi pula ekonomi merdeka, yaitu tatanan perekonomian yang terbebas dari ciri-ciri ekonomi kolonial seperti di indikasikan di muka. Pandangan ini pun menjadi pokok kajian dalam artikel Prof. Mubyarto berjudul “Ekono mi Indonesia Terjajah Kembali” yang kami hadirkan secara khusus dalam edisi perdana ini. Beliau menyoroti perihal penghisapan ekonomi Indonesia, terkait dengan globalisasi neoliberal yang merupakan kepentingan perusahaan multinasional dan negara-negara maju untuk menegakkan imperium global di bawah panji-panji korporatokrasi. Perihal ini kami hadirkan dalam rubrik Opini yang pada edisi perdana mengupas kor poratokrasi di berbagai sektor perekonomian Indonesia seperti halnya sektor industri, perdagangan, dan energi melalui artikel Dr. Fahmy Radhi, MBA, Awan Santosa, S.E, M.Sc, dan Drs. Puthut Indroyono. Bagaimana perkembangan pemikiran dan aplikasi Pasal 33 kami hadirkan dalam rubrik Pustaka, Aksi33, Dialog, dan Agenda pada setiap terbitan Swara33. Demikian ikhtiar perdana kami untuk menyuarakan kembali pemikiran dan perjuangan para pendiri bangsa. Sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD 1945 maka semestinya-lah demokrasi ekonomi pun menjadi “harga mati”, karena di dalamnya terkandung perintah agama, sejarah, dan ideologi bangsa. Semoga penerbitan e-bulletin ini bermanfaat bagi upaya pewujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, bagi pencapaian cita-cita kemakmuran bagi semua. Selamat membaca.
Redaksi
FOKUS
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n Mei 2011
SWARA33 m 5
Sri-Edi Swasono
M
akin banyak diberitakan keprihatinan tentang makin melunturnya nasional isme. Makin banyak pula gerakan patri otik yang mencemaskan telah berubah nya ‘pembangunan’ menjadi sekadar ‘pembangunan di’. Gegap-gempitanya pembangunan di Tanah Air, menggelegarnya tiangtiang pancang menembus bumi sebagai derap pemba ngunan di belum menempatkan sebagai Tuan di Negeri Sendiri. Semula berbisik- bisik, lama-lama menjadi pembicaraan terbuka sehari-hari, bahwa banyak pe muda berdasi kita sudah menjadi ‘jongos’ globalisasi. Keprihatinan di media massa ini haruslah kita syukuri sebagai suatu arus-balik kembalinya kesadaran nasional
JANGAN MENJUAL
INDONESIAKU
dan rasa kebangsaan yang akan bisa memperkukuh jati diri Bangsa. Lahirnya Perhimpunan Nasionalis (Pernasindo) yang dideklarasikan Kwik Kian Gie dan kawan-kawan pada 9 Juni 2006, tidak terlepas dari alasan makin intensifnya pelaksanaan kebijakan sistematis ala Konsensus Washington (deregulasi, liberalisasi dan privatisasi).
Demikian pula dideklarasikannya Komite Bangkit Indonesia oleh Rizal Ramli dan kawan-kawan pada 31 Oktober 2007, yang mendapat sambutan banyak kalangan, ruhnya adalah semangat kebangkitan menolak penjajahan (baru), menolak privatisasi kebablasan, menolak kapitalisme, dan imperialisme predatorik yang makin nyata menelikung Indonesia, yang telah memberikan kesempatan berlebih kepada investor-investor luar negeri untuk mendominasi (overheersen-istilahnya kaum Republiken doeloe) lapangan-lapangan usaha strategis di negeri kita. Di Surabaya, dalam memperingati Hari Pahlawan 10 Novem ber (the Glorious November 10th, 1945) akan dikumandang kan nasionalisme dan patriotisme . Akan ditegaskan di situ bahwa untuk Bangsa, ‘is not for sale’ .
Posisi Rakyat
Keterpurukan adalah keterperosokan menerima pasar-bebas. Pasar-bebas ibarat menjadi ‘berhala baru’ dalam praktek pe nyelenggaraan ekonomi. Di harian ini pernah saya kemukakan tentang keprihatinan tentang Daulat Pasar yang menggusur Daulat Rakyat. Bila kita meneropongnya dengan jeli, tidak lah sulit untuk melihat telah terjadinya proses pembangunan berkesinambungan yang menggusur orang-orang miskin, tetapi bukan menggusur kemiskinan. Berdasar paham Daulat Rakyat maka posisi rakyat dalam pem bangunan nasional adalah substansial, namun posisi sentral ini telah direduksi dan rakyat terpojok ke posisi residual. Ibarat nya kepentingan rakyat ditempatkan pada urutan preferensi tambal-sulam, di pinggiran variabel-variabel makro ekonomi konvensional-tradisional, tidak pada preferensi substansial (karena terbatasnya kolom, data dan contoh-contohnya tidak dikemukakan di sini). Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menegaskan penolakannya terhadap liberalisme, kapitalisme, dan ideologi
FOKUS
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n Mei 2011
fundamentalisme pasar, yang tentulah sangat kita hargai. Tentu berkaitan pula dengan penolakan ideologi itu, Wapres Jusuf Kalla pun berpendapat seiring. Wapres tidak menghendaki bank-bank nasional kita berperan sebagai tengkulak - maksudnya bank-bank kita harus tetap berperan sebagai agent of development, tidak sebagai rentseekers melulu. Namun, kenyataan di lapangan belum sesuai dengan penegasan Presiden dan Wapres di atas. Barangkali para penerima Hadiah Nobel Ekonomi 2007, Leonid Hurwicz, Eric Maskin, dan Roger Myerson yang tidak memutlakkan mekanisme pasar-bebas dengan ‘tangan gaib’ (invisible hand) senyawanya dapatlah menambah keyakinan para pembaca, bahwa yang dikemukakan oleh Presiden dan Wakil Presiden itu adalah pemikiran yang benar. Teori para Nobel laureates, yang berujung pada upaya men capai Pareto efficiency melalui rancangan design mechanism itu, moga-moga menyadarkan para ekonom kita akan error (erroneous)-nya fundamentalisme pasar. Dengan makanisme pasar-bebas (berdasar doktrin perfect individual liberty dan doktrin self-interest-nya Adam Smith), yang kuat (kaya) akan selalu lebih mampu meraih manfaat di pasar. Prinsip Pareto optimal, dalam pengertian dapat tercapainya kondisi efisien, di mana “tidak lagi seseorang bisa beruntung (better-off) tanpa membuat orang lain merugi (worse-off)”, maka dalam pasar-bebas yang better-off pastilah yang kaya. Pasar-bebas yang tabiatnya tidak self-correcting dan tidak self-regulating memerlukan campur-tangan pemerintah untuk mengoreksi keserbamenangan pasar (sesuai adagium the winner-take-all).
Nasionalisme Ekonomi Jauh sebelum Kemerdekaan , para founding fathers kita telah dengan jeli mewaspadai individualisme dan liberalisme Adam Smith. Pada 1934, Mohammad Hatta telah mengemukakan: “...teori Adam Smith berdasar kepada perumpamaan homo economicus.... Akan tetapi orang ekonomi seperti lukisan nya hanya ada dalam dunia pikiran... sebab itu dalam prak tik laisser-faire - persaingan merdeka (pasar-bebas) - tidak bersua maksimum kemakmuran yang diutamakan oleh Adam Smith.... Ia memperbesar mana yang kuat, menghancurkan mana yang lemah....”. Tangan gaib Adam Smith adalah ilusi dan mitos belaka. Sedang Radjiman Wediodiningrat (1944) menyatakan: “... Adam Smith adalah golongan cerdik pandai yang tidak menganggap pamrih-pribadi (self-interest) sebagai penyakit masyarakat....”. Dalam kaitan dengan Hurwicz, Maskin, dan Myerson, ada lah tepat reaksi para ekonom strukturalis yang menegaskan pentingnya kembali melaksanakan Pasal 33 UUD 1945 untuk menghindarkan gugurnya Daulat Rakyat oleh Daulat Pasar. UU Migas (No. 22/2001) dan UU Penanaman Modal (2007) harus secara fundamental ditinjau ulang. Pasal 33 UUD 1945 adalah benteng nasionalisme ekonomi . Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. Bumi, air dan kekayaan alam yang dikandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
SWARA33 m 6
digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Bagi pemikir strukturalis Indonesia, Soekarno, Hatta, Radji man, Margono, dan Sumitro Djojohadikusumo, Wilopo, dan seterusnya, kemudian Mubyarto, Sritua Arief, Hartojo Wignjo wijoto, Dawam Rahardjo, Bambang Ismawan, Kwik Kian Gie, Rizal Ramli, Kurtubi, I Noorsy, Revrison Baswir, Marwan Batubara, dan seterusnya, maka peran Negara tidak saja untuk mengatasi kegagalan pasar, tetapi untuk mempertahankan Kemerdekaan Indonesia, menolak penjajahan baru. Nasionalisme Soekarno-Hatta tidak tertundukkan. Dalam rangka memperingati Hari Pahlawan 10 November mari kita mengenang kepahlawanan mereka. Dalam pledoinya di depan Sidang Pengadilan Den Haag (1928) berjudul “Indonesia Vrij” (Indonesia Merdeka), Bung Hatta menegaskan: “...lebih baik tenggelam ke dasar lautan daripada menjadi embel-embel bangsa lain...”. Dua tahun kemudian (1930), Bung Karno pun menggugat di depan Sidang Pengadilan Bandung. Dengan pledoinya berjudul “Indonesi? Klaagt-Aan” (Indonesia Menggugat), menegaskan: “...imperialisme berbuahkan ‘negeri-negeri mandat’, ‘daerah pengaruh’...yang di dalam sifatnya ‘menaklukkan’ negeri orang lain, membuahkan negeri jajahan...syarat yang amat penting untuk pembaikan kembali semua susunan pergaulan hidup itu ialah Kemerdekaan Nasional...”. Namun, beberapa ekonom muda mengibarkan bendera ketertekuk-lututannya dengan membacakan tuah: “nasional isme itu kuno, masukkan saja dalam saku”. Sambil menepuk dada mengagumi buku-buku fiksi baru membacakan prokla masinya: “...this is the end of nation sates, the world is border less and there is no more free lunch...”. Absurditas bertemu dengan mediokritas. Memang sejak awal Kemerdekaan pun ada kelompok Republiken dan kelompok Co (NICA), ada kelompok yang mangusir penjajah dan ada yang mengundang kembali penjajah. Kelompok Co, yang serba hanging-loose dan bermasa-bodoh, tidak merasa perlu untuk tahu ground-zero keberadaannya dalam berperikehidupan nasional. Posisi rakyat adalah sentral dan substansial, bukan tersubordi nasi. Oleh karena itu, doktrin residual Presiden Hoover yang berujung pada teori trickle-down effect (teori rembesan ke bawah), yang menempatkan rakyat hanya berhak akan rembes an, harus kita tolak. Mari kita kembali ke Pasal 33 UUD 1945 (tanpa menunggu MDGs), mengutamakan kepentingan rakyat seluruhnya sesuai Pasal 27 (ayat 2) UUD 1945, bahwa tiap warga negara berhak akan pekerjaan (antipengangguran) dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (antikemiskinan), sesuai pula dengan Pancasila kita: Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat, merdeka dan rukun bersatu.
n Prof. Dr. Sri-Edi Swasono Guru Besar Fakultas Ekonomi UI
FOKUS
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n Mei 2011
SWARA33 m 7
Revrisond Baswir
EKONOMI p
MERDEKA
erbedaan antara terjajah dan dan merdeka tampaknya tidak memiliki makna apa-apa bagi sebagian besar ekonom. Dalam pandangan para ekonom yang saya sebut sebagai ekonom arus utama ini, identitas sebuah negara tidak memiliki makna lain selain untuk kepentingan statistik
belaka. Akibatnya, ketika berbicara mengenai perekonomian sebuah negara, yang penting bagi mereka tidak lebih dari sekedar datadata statistik seperti luas wilayah, jumlah penduduk, Produk Domestik Bruto (PDB), pendapatan perkapita, jumlah uang beredar, volume anggaran negara, cadangan devisa, nilai kurs, dan seterusnya. Demikian halnya ketika berbicara mengenai perkembangan ekonomi, yang menjadi pusat perhatian mereka tidak lebih dari sekedar data-data statistik seperti pertumbuhan ekonomi, peran investasi, peran konsumsi, tingkat inflasi, tingkat suku bunga, dan paling jauh mengenai tingkat pengangguran dan kemiskinan.
Cara pandang seperti itu jelas sangat bertolak belakang dengan cara pandang para Bapak Pendiri Bangsa. Bung Karno, misal nya, ketika berbicara mengenai politik perekonomian Indone sia, secara jelas membedakan antara ekonomi kolonial dengan ekonomi nasional. Menurut Bung Karno, ekonomi Indonesia yang berwatak kolonial setidak-tidaknya memiliki tiga ciri sebagai berikut. Pertama, diposisikannya perekonomian Indonesia sebagai pemasok bahan mentah bagi negara-negara industri maju. Kedua, dijadikannya perekonomian Indonesia sebagai pasar produk negara-negara industri maju. Ketiga, dijadikannya per ekonomian Indonesia sebagai tempat untuk memutar kelebih an kapital yang terdapat dinegara-negara industri maju. Dengan latar belakang seperti itu, ekonomi Indonesia merde ka, yang oleh Bung Karno disebut sebagai ekonomi nasional, haruslah merupakan koreksi total terhadap ciri-ciri ekonomi kolonial tersebut. Sejalan dengan Bung Karno, Bung Hatta lebih memusatkan
FOKUS
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n Mei 2011
“ ... sebagai koreksi terhadap ekonomi kolonial, ekonomi Indonesia merdeka harus ditandai oleh bangkitnya kaum pribumi sebagai tuan di negeri me reka sendiri ” (Bung Hatta) perhatiannya terhadap struktur sosial ekonomi yang diwarisi Indonesia dari pemerintah Hindia Belanda. Menurut Bung Hatta, struktur sosial-ekonomi Hindia Belanda ditandai oleh terbaginya masyarakat Indonesia atas tiga strata sebagai berikut. Pertama, kelas atas yang makmur diisi oleh bangsa Eropa. Kedua, lapis tengah yang menguasai perda gangan diisi oleh warga timur asing. Ketiga, kelas bawah yang miskin diisi kaum pribumi. Sebab itu, menurut Bung Hatta, sebagai koreksi terhadap ekonomi kolonial, ekonomi Indonesia merdeka harus ditandai oleh bangkitnya kaum pribumi sebagai tuan di negeri mereka sendiri. Untuk mewujudkan cita-cita ekonomi merdeka tersebut, baik Bung Karno, Bung Hatta, maupun para Bapak Pendiri Bangsa yang lain, sepakat untuk menjadikan demokrasi ekonomi seba gai dasar penyelenggaraan perekonomian Indonesia.
SWARA33 m 8
bila mereka hampir terus menerus berusaha menjegal rencana tersebut. Hal itu antara lain mereka lakukan dengan melakukan agresi pertama dan kedua segera setelah proklamasi. Selanjutnya, melalui Konferensi Muja Bundar (KMB), mereka berusaha memaksa Indonesia untuk membayar pampasan perang dan menanggung warisan utang luar negeri pemerintah Hindia Be landa, masing-masing sebesar US$2,5 milyar dan US$4 milyar. Dengan latar belakang seperti itu, jika disimak perjalanan ekonomi Indonesia selama 60 tahun belakangan ini, hanya dalam era pemerintahan Soekarno rencana untuk mewujud kan ekonomi merdeka melalui proses demokratisasi ekonomi itu benar-benar pernah dilaksanakan, yaitu melalui pengem bangan koperasi dan dilakukannya nasionalisasi perusahaanperusahaan asing dalam periode 1956 – 1964. Setelah itu, terutama setelah masuknya Mafia Berkeley sebagai bagian dari kekuasaan pada awal pemerintahan Soeharto, kaum kolonial secara sistematis berhasil menghentikan proses tersebut. Bahkan, terhitung sejak diterbitkannya UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA), mereka berhasil melakukan koreksi ulang sesuai dengan selera dan kepentingan mereka. Lebih-lebih setelah ekonomi Indonesia mengalami krisis moneter pada 1997/1998 yang lalu. Melalui penyelenggaraan sejumlah agenda ekonomi neoliberal yang dikomandoi oleh Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia, upaya untuk mewujudkan ekonomi merdeka tidak hanya terhenti secara praksis. Tetapi mengalami koreksi secara sempurna hingga ke tingkat konstitusi. Belakangan, melalui penyusunan UU Penamaman Modal, kaum kolonial tampaknya sedang berusaha keras untuk menuntaskan rencana jahat tersebut.
Dalam rangka itu, sebagaimana terungkap secara terinci dalam Pasal 33 UUD 1945, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak (harus) dikuasai oleh negara. Bumi, air, dan segala kekayan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Demikianlah, jika disimak secara keseluruhan, rasanya tidak terlalu berlebihan bila perjalanan ekonomi Indonesia sejak proklamasi layak dipahami sebagai sebuah perjalanan dari kolonialisme menuju neokolonialisme. Quo vadis ekonom arus utama?
Perjuangan para Bapak Pendiri Bangsa untuk mewujudkan ekonomi Indonesia merdeka itu jelas sangat bertentangan dengan kepentingan kaum kolonial. Sebab itu, tidak heran,
Dr. Revrisond Baswir, MBA. Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM ; Staf Ahli Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM
n
FOKUS
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n Mei 2011
SWARA33 m 9
Mubyarto
Catatan: Makalah yang disampaikan oleh Prof. Mubyarto dalam rangkaian acara konferensi Asia Afrika di Jakarta April 2005 ini kemudian diterbitkan bersama makalah lain dalam buku “Ekonomi Terjajah”, oleh Aditya Media & Pusat Studi Ekonomi Pancasila Universitas Gadjah Mada, Mei 2005.
Merchants and manufacturers are an order of (people), whose interest is never exactly the same with that of the public, who generally have an interest to deceive and even to oppress the public. (Adam Smith, 1776)
EKONOMI INDONESIA
TERJAJAH KEMBALI However impressive the economic indicators, a society that is abused and plundered by a small elite with a monopoly of violence, cannot realize its potential. The resources of the Indonesian archipelago have for centuries allowed small elites, foreign and domestic, to make themselves fabulously wealthy, a process which culminated under the New Order. (Howard Dick: 2002:245)
Pendahuluan
T
anggal 22-23 April 2005 Indonesia menjamu 106 delegasi konperensi dari Asia dan Afrika, 89 di antaranya dipimpin Kepala Negara/Kepala Peme rintahan. Kita ingat Presiden Soekarno 50 tahun lalu pada konperensi Bandung (1955) merupa kan pemimpin kelas dunia yang mampu meng gelorakan semangat 29 negara yang baru saja memperoleh kemerdekaan atau berhasil merebutnya dari bekas penjajahnya. Indonesia baru 10 tahun merdeka, meskipun kemerdekaan itu sendiri baru diakui dunia internasional pada 27 Desember 1949. Kita bangga negara yang baru merdeka 10 tahun sudah mampu menyelenggarakan Konperensi besar Negara-negara berkembang yang baru saja merdeka.
FOKUS
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n Mei 2011
SWARA33 m 10
Indonesia tahun 1955 berpenduduk 85 juta, yang bagian terbesar masih hidup miskin. Kita baru memiliki 2 Universitas Negeri, termasuk yang tertua UGM, yang juga baru berumur 6 tahun karena resmi berdiri 19 Desember 1949. Pemimpin Negara-negara Asia-Afrika yang hadir dalam Konperensi Bandung mewakili 1,8 milyar penduduk dunia yang waktu itu merupakan 65% dari penduduk dunia.
Kemiskinan Indonesia 1905-2005 Jika sulit membandingkan kondisi kesejahteraan rakyat Indonesia selama 50 tahun (1955-2005), mungkin justru lebih mudah membandingkan kondisi kemiskinan rakyat Indonesia selama 1 abad (1905-2005). Kita mengetahui dari sejarah ekonomi Indonesia bahwa tahun 1901 adalah tahun dimulainya politik etik pemerintah penjajah Belanda usulan C. Th. van Deventer. Dalam politik etik atau politik “balas budi”, pemerintah penjajah “bertekad” menanggulangi kemiskinan penduduk pribumi terutama di Jawa melalui pembangunan irigasi (pengairan rakyat), pembangunan pendidikan (edukasi), dan pemindahan sebagian penduduk miskin dari Jawa ke luar Jawa (emigrasi, kemudian transmigrasi). Politik etik ini merupakan rekomendasi hasil penelitian tentang penurunan kemakmuran atau meningkatnya kemelaratan penduduk Jawa pada akhir abad 19. Politik etik menggambarkan keinginan pemerintah penjajah untuk “menebus dosa”, karena di satu pihak Belanda setelah menjajah Indonesia selama 300 tahun telah berubah dari negara kecil yang relatif miskin di Eropa menjadi negara industri yang “diperhitungkan”, yang menjadi “pusat” perda gangan Eropa Barat. Namun di pihak lain kesejahteraan rakyat Indonesia tidak meningkat, malahan bertambah melarat. Apa hasil yang dicapai politik etik? Politik etik membawa kemajuan ekonomi “luar biasa” bagi pulau Jawa. Produksi be ras dan hasil-hasil perkebunan meningkat, dan tentu saja juga volume dan nilai ekspor pertanian khususnya gula, kopi, dan karet. Ini berarti pertumbuhan ekonomi tanah jajahan (HindiaBelanda) meyakinkan. Namun, seperti halnya kemajuan ekonomi selama pemerintah an Orde Baru (1966-1996), pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak selalu berarti meningkatnya kesejahteraan rakyat secara merata. Ternyata ke-3 jalur politik etik lebih banyak memberi kan keuntungan pada perusahaan-perusahaan perkebunan ketimbang kepada rakyat. Pembangunan irigasi di Jawa lebih banyak dinikmati perkebunan-perkebunan tebu ketimbang petani padi, dan pembangunan sekolah-sekolah rakyat juga sekedar menghasilkan anak-anak didik bagi perusahaan-per usahaan Belanda yang banyak membutuhkan pegawai/karya wan rendahan. Menjelang depresi dunia 1929, Jawa menjadi pengekspor gula terbesar nomor 2 di dunia setelah Cuba, dengan ekspor 2 juta ton, tetapi tidak diikuti meningkatnya kesejahteraan petani tebu. Though the value of the products exported from Western-style plantations has increased by leaps and bounds, the indigenous level of welfare on Java was in fact not higher, but lower than at the outset of the liberal period. (Wertheim: 1961:5)
Juga tidak kita perkirakan pada awalnya bahwa kehadiran IMF di Indonesia menjadikan semua lembaga inTerlihat dalam perbandingan ini bahwa kalau pada tahun 1820 ternasional seperti Bank Dunia, PDB per kapita Indonesia adalahCGI, 39% dari PDB per kapita Belanda, tahun 1950 menjadi Asia hanya 15%nya, dan tahun Bankpada Pembangunan bersatu 1992 setelah 47 tahun merdeka tetap hanya 16% PDB per kapi padu dalam sikap ta Belanda. Tetapi harus dicatat dan bahwapersyaratan pertumbuhan tahun an setelah merdeka (1950-1992) menjadi lebih tinggi (2,8%) di bawah komando IMF. IMF menpadahal pertumbuhan PDB Belanda hanya 2,6% per tahun . syaratkan bahwa pemerintah melakSekarang satu abad setelah politik etik, 38 juta atau 16% pen sanakan yang duduk Indonesiakebijakan berpendapatandan kurangprogram dari Rp 4.000/orang/ hari. Banyak orang Indonesia menjadi kayadituangkan raya dan hidup da ditentukan olehnya, yang lam kemewahan, tetapi kemiskinan yang parah sangat mudah dalamdiMemorandum of Economic and ditemukan sekitar mereka. Financial Policies (MEFP) atau lebih Amanat Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 adalah Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat dengan Indonesia. Bagaimana kita dapatof memasyarakat nama Letter memberikan pembenaran (justification) bagi kenyataan makin Intent atau LOI. ekonomi dan kesenjangan sosial berkembangnya ketimpangan dalam masyarakat Indonesia? Apa arti kemerdekaan yang telah direbut dengan darah, keringat, dan airmata para perintis dan pejuang kemerdekaan kita? Penderitaan dan kemelaratan rakyat Indonesia selama za man penjajahan diuraikan panjang lebar oleh Ir. Soekarno dalam “Indonesia Menggugat” tahun 1930, ketika Ir. Soekarno diadili di Landraad Bandung, dan kemudian dihukum 4 tahun penjara karena dituduh sebagai ketua PNI (Partai Nasional Indonesia) menghasut rakyat untuk memberontak terhadap pemerintah (penjajah) Belanda “yang sah”. Bahkan 2 tahun sebelumnya di den Haag, seorang mahasiswa berusia 26 tahun, Moh. Hatta, juga diadili karena dituduh “menghasut” rakyat untuk merebut kemerdekaan Indonesia “dengan kekerasan”. Tetapi kalau Soekarno dihukum 4 tahun, Moh. Hatta dibebas kan dari segala tuntutan.
Ekonomi Indonesia Terjajah Kembali Banyak daerah, terutama yang kaya sumber daya alam, di masa Orde Baru (1966-98) merasa “dihisap” kekayaannya oleh pemerintah pusat, atau oleh investor asing. Nilai dan tingkat “penghisapan” ini dapat ditaksir. Salah satu cara menghitung atau menaksirnya adalah dengan membandingkan nilai PDRB (per kapita) dengan nilai pengeluaran konsumsi per kapita. Dengan asumsi tabungan (saving) masyarakat tidak cukup berarti, jika nilai PDRB per kapita jauh lebih tinggi dibanding
FOKUS
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n Mei 2011
SWARA33 m 11 krisis moneter 1997-98 yang mengaki batkan “hengkangnya” modal asing (ditaksir USD 10 milyar per tahun sejak 1997), justru berdampak positif yaitu menurunnya “derajat penghisap an” terhadap ekonomi Indonesia. Daerah/propinsi-propinsi terbagi 2, 12 propinsi derajat penghisapannya turun (total 101%), dan 11 propinsi meningkat (25%). Ini berarti bahwa menurunnya peranan modal asing yang beroperasi di Indonesia ber dampak positif pada ekonomi Indo nesia, karena derajat penghisapannya terhadap ekonomi daerah menurun total 76%. Propinsi-propinsi Bali, DIY, Sulut, dan NTT, kini menjadi daerahdaerah yang perekonomiannya jauh lebih mandiri, ketimpangan ekonomi nya relatif rendah, dan produksinya sebagian besar dinikmati masyarakat setempat. Yang tetap memprihatinkan adalah propinsi-propinsi kaya sumber daya alam yaitu Kaltim dan Riau, yang derajat penghisapannya tetap tinggi masing-masing 90% dan 76%, bahkan DKI Jakarta derajat penghisapannya malah meningkat selama 1996-2002 dari 78% menjadi 81%. Ini berarti ekonomi daerah Jakarta menjadi makin timpang.
nilai pengeluaran konsumsi per kapita penduduknya, berarti sebagian besar produksi daerah tidak dinikmati oleh penduduk setempat. Dengan perkataan lain sebagian produksi memang “dikirimkan” kembali kepada pemiliknya atau investor dari luar daerah, yang bisa beralamat di Jakarta, atau di luar negeri seperti New York, Tokyo atau London. Tabel 2 menunjukkan “derajat penghisapan” daerah propinsi tahun 1996 dan 2002. Terlihat jelas untuk tahun 1996 propinsipropinsi yang paling kaya sumber daya alam yaitu NAD, Riau, Kalimantan Timur, dan Papua (Irian Jaya), “derajat penghisa pannya” sangat tinggi, masing-masing 81%, 84%, 89%, dan 82%. Artinya dari setiap 100 nilai produksi, bagian yang dinikmati penduduk setempat hanya 19% (NAD), 16% (Riau), 11% (Kaltim), dan 18% (Papua), dan selebihnya dinikmati investor dari luar. Propinsi DKI Jakarta yang menjadi pusat peredaran uang Indonesia ternyata juga “dihisap” pemodal dari luar negeri yaitu sebesar 78%, atau hanya 22% yang dinikmati penduduk DKI Jakarta sendiri. Adalah menarik membandingkan derajat penghisapan na sional tahun 1996 dan tahun 2002. Ternyata, dapat diduga,
Kesimpulan kita tentang pereko nomian Indonesia selama periode Orde Baru adalah bahwa selama 32 tahun era pembangunan ekonomi, Indonesia memang tidak menyia-nyiakan kes empatan membangun ekonominya dengan cara mengun dang modal asing secara besar-besaran (UU PMA), tetapi tak mampu “mengendalikan diri”, dan menjadi kebablasan. Akibatnya, ekonomi Indonesia memang telah tumbuh secara ajaib (miracle) seperti 7 negara Asia Timur lainnya (East Asian Miracle), tetapi tanpa disadari telah “kembali dijajah” oleh kekuatan-kekuatan ekonomi asing. Pada tahun 1988 terjadinya penjajahan kembali ini sebenarnya sudah diperingatkan, na mun diabaikan. Perkembangan sejarah mengajarkan kepada kita bahwa hakekat penjajahan yaitu penghisapan satu bangsa oleh bangsa yang lain tidak berhenti, setelah masa kemerdekaan tiba. Hakekat penjajahan itu tetap berlangsung hingga kini dalam bentuk yang lebih halus, lebih sopan, tetapi lebih kuat daya hisapnya, dan lebih sulit melawannya. Bentuk yang paling umum dari penjajahan model baru ini adalah penjajahan ekonomi di antaranya melalui cengkeraman Multi National Corporation (Ridlo: 1990: 21).
Globalisasi dan Indonesia The West won the world not by the superiority of its ideas or values or religion (to which few members of other civilization were converted), but rather by its superiority in applying
FOKUS
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n Mei 2011
organized violence. Westerners often forget this fact; non-Westerners never do (Huntington: 1997: 51). Rektor UGM Prof. Sofian Effendi pada Pidato DIES ke 55 tanggal 20 Desember 2004, 23 kali menyebut kata Pancasila. Pi datonya sendiri diberi judul Revitalisasi Jati Diri UGM Menghadapi Perubahan Global. Begitu selesai pidato, Prof. Moh. Sadli salah seorang alumnus Fakultas Teknik, pernah 2 kali menjadi Menteri Pemerintah Orde Baru, dan pernah menjadi Ketua ISEI, menyindir, “Jadi UGM anti globalisasi?” Rektor Sofian Effendi menjawab, “UGM sangat waspada” (cautious). Kalau saya yang harus menjawab pertanyaan Prof. Sadli, saya pasti menjawab ya! UGM harus bersikap “antiglobalisasi”, karena globalisasi dalam sifatnya yang sekarang, yang serakah dan imperialistik, sangat merugikan perekonomian negaranegara berkembang seperti Indonesia. Sikap yang sama (“an tiglobalisasi”) memang sudah ditunjukkan pula oleh Forum Sosial Dunia (WSF) kumpulan negara-negara miskin, yang menantang Forum Ekonomi Dunia (WEF) dari negara-negara kaya. Mengapa Prof. Joseph Stiglitz (yang memberikan ceramah tanggal 14 Desember 2004 di Jakarta), tidak dituduh bersikap antiglobalisasi ketika buku-bukunya tegas-tegas menunjukkan merajalelanya keserakahan negara-negara kaya, yang melalui globalisasi ingin menguasai negara-negara miskin, kadangkadang dengan sikap-sikap sangat kasar dan terang-terangan? Apakah ini adil? Kita memuji keberanian Rektor Sofian Effendi untuk menyam paikan gagasan “revolusioner” tersebut sebagai pidato Dies. Di masa lalu Prof. Sardjito, Rektor UGM pertama (1949-1961) selalu menyampaikan pidato penting pada upacara Dies yang selanjutnya dijadikan pegangan semua dosen dalam kegiatankegiatan akademiknya, dalam pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat. Misalnya pada pidato Dies berturut-turut tahun 1954 dan 1955, Prof. Sardjito berbicara tentang dasar dan tugas sosial UGM, dalam meng ajar, meneliti, dan mengabdikan ilmu pengetahuan kepada masyarakat. Setiap dosen UGM harus “ber-Pancasila”, setiap kuliah harus ber-Ketuhanan, supaya kita dapat hidup religius, ber-perikemanusiaan, berkebangsaan, demokratis, dan berkea dilan sosial. Para ahli peneliti harus mempunyai pendirian Pancasila. (Mubyarto, 2004: 130). Dalam “Pemikiran Bulaksumur (Bulaksumur School of Thought)” setiap disiplin ilmu harus dikembangkan ke arah bidang-bidang yang menyentuh kehidupan rakyat, dan tidak sekedar mengekor atau memfotokopi pikiran pakar-pakar “bule” dari negara-negara maju. Ilmu pengetahuan tidak pernah bebas nilai (value free). Justru ilmu-ilmu pengetahuan yang dikembangkan di Indonesia harus berisi nilai-nilai sosial budaya masyarakat Indonesia yaitu Pancasila. Contoh yang sangat baik diberikan oleh Prof. Sardjito, yang dokter, bagaimana setiap ilmu harus berusaha menerapkan (sistem) nilai Pancasila. Buat saya sendiri di Fakultas Kedokteran, mahasiswa baru saya beri syariatnya untuk dapat mengisi Pancasila. Kuliahkuliah dititikberatkan pada Ketuhanan, dan bagaimana
SWARA33 m 12
melatih diri mempertebal perasaan persaudaraan dalam keluarga UGM dan hal-hal perikemanusiaan, kebangsaan, demokrasi, dan keadilan sosial (Mubyarto, 2004: 130). Prof. Syafii Maarif yang pada Dies UGM ke-55 menerima anugerah HB IX, menyampaikan pidato “Ekonomi Moral”, mengritik tajam ajaran keserakahan sistem ekonomi kapitalis liberal yang telah merusak bangunan bangsa Indonesia Keserakahan segelintir orang sekarang harus dihentikan, dengan melakukan penegakan hukum, dan sikap tegas pemerintah. Mereka yang serakah sering berlindung di balik Pancasila semata-mata untuk menutupi syahwat kekuasaan sebagai agenda tersembunyi.
Sistem Ekonomi Yang Membelenggu John Perkins yang berperan sebagai ECONOMIC HIT MAN (EHM) dalam buku “Confessions of An Economic Hit Man” (Berrett-Koehler Publishers Inc, San Francisco, 2004), mem buat geger dengan pengakuannya bahwa paham corporatocra cy yang lahir dan berkembang di Amerika berani membayar sangat tinggi kepada seorang EHM seperti dia, dengan misi “rahasia” membuat negara-negara yang kaya minyak seperti Indonesia, agar mendapat utang sebanyak-banyaknya dari Amerika, terutama melalui Bank Dunia dan IMF, sampai be nar-benar tidak mampu membayarnya kembali. Kalau kondisi yang matang ini sudah tercapai, maka negara yang bersang kutan sudah masuk perangkap “the global empire” sehingga “keamanan nasional Amerika terjamin”. Kalau kondisi demiki an tidak tercapai, jalan terakhir akan ditempuh yaitu seperti halnya Panama tahun 1989, dan Irak tahun 2003, negara yang bersangkutan akan diinvasi dengan kekuatan militer penuh. Demikian Indonesia yang akan merayakan 60 tahun merdeka bulan Agustus mendatang, belum mematuhi amanat Pembu kaan UUD 1945 yang 7 kali menyebut kata kemerdekaan, dan menyebut 5 kali kata keadilan. Namun rupanya Indonesia tidak sendirian. Mungkin sekali lebih dari separo negara-negara yang hadir dalam peringatan 50 tahun Konperensi AA bulan April di Bandung, tidak dapat lagi disebut sebagai negara yang sudah benar-benar merdeka. Banyak yang sejak globalisasi melanda seluruh dunia, khususnya sejak dicanangkannya Konsensus Washington (1989), secara politik negara-negara tersebut merdeka tetapi perekonomiannya sudah dikuasai corporatocracy. Putusan pemerintah Indonesia menaikkan harga BBM ratarata 29% tanggal 1 Maret 2005, yang ditentang sebagian besar warga masyarakat karena jelas tidak adil, tetap saja dilakukan karena kepentingan modal asing menghendakinya. Indonesia kini sudah terjebak dalam perangkap “global empire”, sehingga terpaksa mengorbankan kepentingan nasionalnya. Perjuangan kemerdekaan dan pembangunan nasional untuk menyejahte rakan rakyat Indonesia masih belum dapat dikatakan berhasil, kalau tidak dapat disebut gagal. The problems confronting us today are not the result of malecious institutions; rather they stem from fallacious concepts about economic development... we need a revolution in our approach to education, to empower ourselves and our children
FOKUS
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n Mei 2011
to think, to question, and to dare, to act (Perkins: 2004: 222). Pengakuan sangat polos Perkins dalam buku yang membuat geger ini membuka tabir mengapa pemikiran ekonomi Pancasila amat sulit berkembang dan diterima pakar-pakar ekonomi konvensional Indonesia. How do you rise up against a system that appears to provide you with your home and car, food and clothes, electricity and health care....How do you muster the courage to step out of line and challenge concepts you and your neighbors have always accepted as gospel, even when you suspect that the system is ready to self-destruct?(ibid. 217)
Penutup Presiden Soekarno tahun 1955 secara berapi-api menegaskan “kolonialisme belum mati”. Colonialism has also its modern dress in the form of economic control, intellectual control, (and) actual physical control by a small but alien community within a nation (www.fordham. edu/halsall/mod/1955sukarno-bandong.html). Apakah kita heran betapa ungkapan Presiden Soekarno masih sangat relevan 50 tahun kemudian? Dan jika kita sadar seka rang bahwa kolonialisme belum mati, berapa banyak di antara kita yang berani mengakui mengapa kita telah membiarkan proses “rekolonisasi” bisa terjadi? Apa sebab kaum cendeki awan kita banyak yang tidak menyadari bahaya besar penjajah
SWARA33 m 13
an intelektual ini? Presiden RI sekarang memang tidak mungkin berbicara lan tang seperti Presiden RI 50 tahun lalu, karena Indonesia sudah berada dalam cengkeraman kekuasaan global (global empire) yang berbentuk “corporatocracy”, yang menjadi sumber utangutang luar negeri kita yang amat besar. Meskipun demikian kita harus berbicara blak-blakan kepada anak-anak muda kita sekarang, yang akan menerima estafet kepemimpinan Indonesia di masa depan. Mereka harus diberi tahu bahwa masih ada cara, atau jalan keluar, menghadapi arus globalisasi yang makin menyesakkan kehidupan kita sekarang dan masa datang. Satu-satunya sikap yang harus kita kem bangkan adalah meningkatkan rasa percaya diri. Kalau Francis Fukuyama menegaskan pentingnya kepercayaan (trust) bagi berkembangnya kehidupan berbangsa yang penuh dinamika, kita harus dapat percaya satu sama lain di antara bangsa kita, bukan malah lebih percaya pada mulut orang-orang atau bangsa-bangsa super kaya dan adikuasa yang berobsesi mengu asai dunia. Mudah-mudahan para pemimpin kita menyadari hal ini. Pancasila adalah ideologi nasional yang merupakan jati diri bangsa Indonesia yang harus senantiasa diperkuat dalam menghadapi hegemoni globalisasi yang makin menekan.
n Prof. Dr. Mubyarto (1938 - 2005)
DIALOG
OPINI
SWARA33 SWARA33 m 14
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n Mei eBulletin 2011 MUBINS n Edisi 001 n Mei 2011 n
Dr. Fahmy Radhi, MBA
“Ekonomi Indonesia masih
D
TERJAJAH...”
emokrasi ekonomi telah lama menjadi amanat konstitusi, khususnya Pasal 33 UUD 1945. Namun, penerapannya saat ini masih jauh dari keinginan. Liberalisasi dan privati sasi sektor-sektor ekonomi strategis telah semakin mengukuhkan ketimpangan struktur ekonomi Indonesia. Bukan saja karena segelintir elit pemilik korporasi yang kini menguasai mayoritas aset dan hasil produksi nasional, tetapi juga karena mereka sebagian besar berasal dari luar negeri. Demikian sekelumit diskusi yang mengemuka dalam seminar bulanan yang bertajuk ‘Nasionalisme dan Kemandirian Ekonomi’ di ruang diskusi Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, Yogyakarta, Kamis, 19 Mei 2011. Fahmy Radhi, dosen muda Fakultas Ekonomika
dan Bisnis UGM, yang juga menjadi salah satu pembicara sore itu, secara spesifik mencontohkan bentuk penjajahan ekonomi yang masih terjadi, yakni dengan tergesernya pasar tradisional oleh pasar modern. Menjamurnya pasar modern yang bergerak di bidang bisnis ritel, seperti hypermarket, supermarket, dan minimarket, yang telah merambah ke perkampungan dan desa, dikhawatirkan menjadi ancaman serius bagi keberadaan pasar tradisional. “Pasar modern yang umumnya merupakan jaringan pemodal asing dengan sistem waralaba tidak mustahil lambat laun akan memusnahkan pasar tradisional,” ujar Fahmy. Agar pasar tradisional tidak punah, perlu dilakukan intervensi melalui regulasi yang memberikan pembatasan wilayah bagi beroperasinya pasar modern, khususnya
DIALOG
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n Mei 2011
bagi mini market yang merupakan jaringan pemodal besar dengan sistem waralaba. “Yang tidak boleh ditinggal adalah pemberdayaan bagi pedagang pasar tradisional untuk bisa menjadi pemasok bagi kebutuhan pasar modern,” pungkasnya. Fahmy Radhi, doktor lulusan University of Newcastle, New South Wales, Australia, belum lama ini dipercaya oleh sahabat dekat, kolega, mantan murid dan keluarga almarhum Prof. Dr. Mubyarto, yang sebelumnya telah mendirikan Yayasan Mubyarto, memimpin lembaga kajian Mubyarto Institute untuk meneruskan konsistensi pemikiran dan perjuangan Mubyarto. Di tengah kesi bukannya, Fahmy menerima Istianto Ari Wibowo untuk wawancara singkat sekaligus menyambut edisi perdana e-bulletin Swara33. (Swara33) Mengenai Mubyarto Institute, mungkin sebagian pembaca belum banyak yang mengenal MUBINS. Bisa disampaikan apa latar belakang pendirian Mubyarto Institute? (Fahmy Radhi) Melanjutkan kembali pemikiran Mubyarto yang selalu konsisten untuk memperjuangkan sistem ekonomi yang berpijak dan berpihak kepada rakyat banyak. Jejak pikir dan perjuangan Mubyarto perlu dirajut kembali dimana pada titik inilah diperlukan prakarsanya melalui pendirian Yayasan Mubyarto. Apa saja tujuan pendirian Mubyarto Institute? Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai. Pertama, terselenggaranya demokrasi ekonomi sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945 dalam setiap ranah perekonomian Indonesia. Kedua, terselenggaranya pendidikan ekonomi alternatif yang berpijak pada kehidupan riil ekonomi rakyat di Indonesia baik di jalur pendidikan formal maupun non formal. Ketiga, berkembangnya kembali pemikiran ekonomi Mubyarto baik di kalangan intelektual kampus maupun di kalangan masyarakat luas. Keempat, berkembangnya kritik-kritik terhadap gagasan dan praktek ekonomi yang tidak demokratis. Dan kelima, terwujudnya jejaring dalam mengembangkan pemikiran Mubyarto di Indonesia. Swara33 adalah media elektronik yang diterbitkan oleh Mubyarto Institute. Pada edisi perdana ini mengangkat tema nasionalisme dan kemandirian ekonomi? Apa sebenarnya yang dimaksud dengan nasionalisme dan kemandirian ekonomi? Nasionalisme dan kemandirian ekonomi merupakan pembebasan dari segala bentuk keterjajahan dan ketergantungan bangsa dari bangsa asing di segala bidang, baik di bidang politik, maupun bidang ekonomi, seperti yang termaktub dalam Pasal 33 UUD 1945 ayat 1-3. Pasal tersebut mengandung pemerdekaan ekonomi yang berisi agenda merombak sistem (tatanan) ekonomi kolonial, untuk diganti dengan sistem ekonomi berwatak nasional. Dalam pandangan pendiri bangsa yang diteruskan Mubyarto, merdeka bukan sekedar bermakna politik melainkan juga
SWARA33 m 15
ekonomi. Bagaimana mengeluarkan Indonesia dari keter jajahan ekonomi dan memberdayakan ekonomi rakyat itulah yang menjadi agenda besar demokrasi ekonomi Apakah nasionalisme dan kemandirian ekonomi telah terwujudkan? Kendati Indonesia sudah merdeka selama 65 tahun, nasionalisme dan kemandirian ekonomi belum terwujud sesuai dengan amanah UUD 1945 pasal 33. Bahkan, citacita dan fondasi ekonomi seperti termaktub pada pasal 33 semakin tergerus kencangnya laju globalisme-ekonomi. Negara dibuat makin tak berdaya di tengah massifnya penetrasi modal internasional yang berlindung dibalik baju deregulasi, liberalisasi, privatisasi, dan penghapusan subsidi. Globalisme ekonomi yang disebut Mubyarto sebagai kepentingan pemodal (negara adikuasa) untuk melakukan re-kolonisasi demi penegakan imperium global justru dijadikan rujukan lebih daripada amanat kontitusi.
“Kendati Indonesia sudah merdeka selama 65 tahun, nasionalisme dan kemandirian ekonomi belum terwujud sesuai dengan amanah UUD 1945 pasal 33. Bahkan, cita-cita dan fondasi ekonomi seperti termaktub pada pasal 33 semakin tergerus kencangnya laju globalisme-ekonomi...” Apa indikasi yang menunjukan bahwa nasionalisme dan kemandirian belum sepenuhnya terwujud Kekayaan alam yang terkandung di bumi Indonesia, seperti minyak, gas, air, hutan, batu bara, dan emas, hutan telah dihisap dan dieksploitasi secara besar-besaran oleh Pemodal Asing, bukannya untuk memakmurkan rakyat seperti amanah konsititusi, pun justru telah berpindah penguasaan ke perusahaan asing. Perusahaan milik negara (BUMN) pun tinggal menunggu giliran privatisasi --yang kian berubah menjadi asingisasi dan korporatokratisasi--. Anggaran negara (APBN) juga terus terkoyak akibat jebakan hutang lama, yang selalu harus dibiayai juga dengan pembuatan hutang baru dari luar negeri. Krisis energi (kelangkaan BBM, listrik, gas, dan batu bara) berlangsung di berbagai daerah dan beriringan dengan peningkatan kemiskinan dan pengangguran di negeri kaya SDA ini. Ketimpangan struktural juga semakin melebar yang (tetap saja) menempatkan pelaku ekonomi rakyat di lapis yang paling marjinal. Indikasi ini menunjukan bahwa kedaultan ekonomi Indonesia telah tergadaikan
DIALOG
SWARA33 m 16
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n Mei 2011
Dr. Fahmy Radhi, MBA BIODATA Tempat dan Tanggal Lahir : Solo, 30 Januari 1961 Pendidikan : SMA Negeri 3 Solo, 1980 l Fakultas Ekonomi UGM, Yogyakarta, 1987 (S1) l Asian Institute of Technolo gy, Bangkok, Thailand, 1996 (MBA) l University of Newcastle, Australia, 2003 (PhD) Karier : Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, 1990-sekarang l Direktur Program Diploma Ekonomi FEB-UGM, 2004-2008 l Staf Ahli Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (PUSTEK) UGM, 2005-sekarang l Direktur Eksekutif Mubyarto Institute, 2009-sekarang l Deklarator Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), 2011
Apakah peraturan-peraturan bidang ekonomi di Indonesia mencerminkan nasionalisme dan kemandirian ekonomi? Hampir semua UU dan Peraturan lainnya di bidang Ekonomi, seperti UU Penanaman Modal Asing, UU Pertambang an, UU Monopoli, justru semakin menjauhkan cita-cita kemandirian dan kedaulatan ekonomi di Indonesia, serta semakin memperkuat cengkraman Pemodal Asing terha dap ekonomi Indonesia. Bahkan, tidak tanggung-tanggung, Pasal 33 pun diamandemen sehingga mengaburkan cita-cita kemandirian dan kedaulatan Ekonomi Indonesia. Tidak berlebihan dikatakan bahwa kekhawatiran Soekar no bahwa bangsa Indonesia akan menjadi “kuli” di negeri sendiri akan menjadi kenayataan Apa yang harus dilakukan untuk mengembalikan kedaultan dan Kemandirian Ekonomi Indonesia Dalam kondisi masifnya cengkeraman kekuatan pemodal asing dan para komparador di berbagai bidang merupakan upaya yang berat untuk mengembalikan kedaultan
dan kemandirian ekonomi Indonesia. Ada beberapa upaya yang harus dilakukan, di antaranya pertama, kembali kepada ekonomi konstitusi (ekonomi kerakyatan) dan demokrasi ekonomi seperti termaktup pada Pasal 33 UUD 1945 dengan menjalankan program-program pemberdayaan ekonomi rakyat, sehingga selaras dengan amanat konstitusi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mengembalikan kedaulatan ekonomi nasional. Kedua, mengkaji ulang dan mengoreksi UU-UU ekonomi nasional yang cenderung tidak Pro-Rakyat. Ketiga, menghentikan utang luar negeri, privatisasi BUMN, dan liberalisasi ekonomi, serta memberikan subsidi kepada petani dan nelayan. Keempat, melakukan negosiasi ulang pembayaran utang dan kontrak-kontrak karya lama yang tidak sesuai dengan amanah konstitusi. Kelima, menjalankan kebijakan penguasaan kembali aset strategis bangsa, revitalisasi koperasi, reformasi agraria, dan revitalisasi pertanian menuju kesejahteraan petani dan kedaulatan bangsa.
n (Istianto Ari Wibowo)
AKSI33
SWARA33 SWARA33 m 17
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n Mei eBulletin 2011 MUBINS n Edisi 001 n Mei 2011 n
Puluhan tahun lalu, pesisir selatan Kabupaten Kulon Progo merupakan wilayah gersang dan terlantar, dengan penduduk yang hidup dalam kemiskinan. Kini kawasan itu terlihat ijo royo-royo, ditandai dengan lebatnya pepohonan dan tanaman pertanian yang hasilnya mampu menghidupi seluruh warga masyarakat. Kisah tentang kemampuan masyarakat dalam mengubah wilayah yang semula dianggap sulit untuk berkembang namun kini menjadi lahan pertanian yang subur sangat menarik untuk ditelusuri.
Kelestarianyang Lahan Ijo Royo Royo
TERUSIK
Dialog singkat Sukarman, petani lahan pasir pesisir Kulon Progo
K
awasan pesisir Kabupaten Kulon Progo merupakan wilayah yang memiliki potensi melimpah mulai dari pertanian, peternakan, perikanan, pariwisata sampai pertambangan. Panjang pantai/pesisir adalah 24,8 kilometer dengan lebar 1,5 kilometer yang membujur dari arah barat (muara Sungai Bogowonto) ke timur (muara Sungai Progo) yang dibatasi oleh Jalan Daendels. Secara administratif kawasan pesisir Kulon Progo meliputi 4 (empat) kecamatan dan 10 desa, yakni Kecamatan Temon (Desa Jangkaran, Desa Sindutan, Desa Palihan, dan Desa Glagah), Kecamatan Wates (Desa Karangwuni), Kecamatan Panjatan (Desa Garongan, Desa Pleret, dan Desa Bugel), Kecamatan Galur (Desa Banaran dan Desa Karangsewu). Hampir seluruh anggota masyarakat pesisir menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian.
Tim Swara33 (S33) mencoba menggali lebih jauh tentang kehidupan masyarakat petani tersebut untuk pembaca, melalui wawancara dengan Pak Sukarman, sekretaris Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP KP). (S33) : Kawasan pantai yang subur dan hijau sungguh menakjubkan. Sejak kapan pertanian di lahan pantai dilakukan? (Sukarman) : Pertanian di lahan pantai telah dilakukan sejak lama namun masih berupa pertanian tadah hujan. baru sejak tahun 1985 dimulai pertanian intensif dengan menggunakan irigasi sumur renteng. Komoditas apa saja yang ditanam oleh petani?
AKSI33
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n Mei 2011
Tanaman utama di lahan pantai ini adalah cabai merah. Selain itu kami juga menanam sawi, melon, semangka, dan sedang mencoba buah naga. Bagaimana pengaruh pertanian terhadap kehidupan ekonomi masyarakat? Pertanian lahan pantai sangat membantu kehidupan masyarakat. Secara kasat mata hal itu dapat dilihat dari banyaknya jumlah kendaraan bermotor yang dimiliki warga. Juga kemampuan warga dalam membangun rumah serta infrastruktur seperti masjid dan jalan desa. Semua itu tidak mungkin dapat terjadi jika warga tidak memiliki kemampuan untuk menyisihkan pendapatannya. Bukti lain dari potensi pertanian lahan pantai adalah banyaknya warga yang kembali pulang dari perantauan. Warga yang sebelumnya bekerja di luar daerah atau di luar negeri memilih pulang ke desa untuk bertani. Dengan luas lahan 1000 m2 atau 0,1 ha, hasil bersih rata-rata petani lahan pasir pantai mencapai Rp 2.250.000,00 per bulan. Di kawasan itu terdapat 25 kelompok tani dengan masing-masing kelompok beranggotakan rata-rata 100 kepala keluarga, sehingga total anggota mencapai 2500 kepala keluarga tani. Jika satu kepala keluarga petani terdiri empat orang, maka 10.000 warga masyarakat di wilayah itu kehidupannya sangat bergantung pada hasil panenan di lahan pasir itu. Dengan perhitungan itu maka total pendapatan bersih masyarakat di kawasan pesisir Kulon Progo dari pertanian lahan pantai adalah Rp 5.625.000.000,00 per bulan (Rp 2.250.000,00 x 2500 orang). Jumlah itu tentu sangat menunjang kesejahteraan petani lahan pantai (Shiddieq, 2008). Tahun 2008, Prof. Dja’far Shiddieq dari Fakultas Pertanian UGM mengungkapkan perhitungan usaha tani dengan lahan hanya 1000 m2 atau 0,1 ha, namun mampu menghasilkan keuntungan bersih rata-rata pada petani lahan pasir mencapai Rp 2.250.000,00 per bulan. Apakah hasil penelitian tersebut dapat menggambarkan kondisi ekonomi masyarakat? Benar mas, penelitian tersebut dapat memberikan gambaran penghasilan petani seperti itu. Jika harga sedang bagus pendapatan petani bisa lebih tinggi lagi. Hitungan Pak Dja’far itu dengan asumsi hargai cabai 7.500 rupiah per kilogram. Nah, jika harga cabai sampai belasan ribu, silahkan dihitung sendiri berapa kira-kira penghasilan petani. Ada dua jenis tanaman yaitu tanaman dengan masa panen pendek, dan tanaman dengan masa panen panjang. Hasil tanaman masa panen pendek digunakan sebagai modal untuk menanam tanaman masa panen yang lebih panjang dengan hasil yang lebih banyak. Kemandirian petani dalam menyejahterakan kehidup annya tidak lantas membuat pemerintah memberikan dukungan. Pemerintah memiliki rencana lain yakni, melakukan penambangan pasir besi di kawasan pesisir
SWARA33 m 18
Kulon Progo. Lokasi penambangan adalah kawasan pesisir Kulon Progo dengan luas area sekitar 3000 ha dengan perkiraan cadangan sebesar 240 juta ton dengan kadar Fe 14%. Pemegang kuasa pertambangan ini adalah PT Indo Mines dengan mitra domestik PT Jogja Magasa Mining. Di berbagai media mengungkap rencana proyek penambangan pasir besi yang menjadi persoalan menghangat karena menimbulkan pro-kontra. Bagaimana sikap petani dengan rencana tersebut? Petani menolak rencana pertambangan tersebut. Lahan pantai menjadi tumpuan hidup dan telah terbukti mampu menyejahterakan warga. Selain itu, di lahan pantai terdapat gumuk pasir yang berfungsi sebagai penahan ombak. Juga terdapat berbagai tanaman (hutan) yang menghambat debu. Jika terjadi pertambangan maka gumuk-gumuk pasir dan hutan itu akan rusak. Artinya pertambangan bukan hanya merusak kehidupan sosial ekonomi masyarakat namun juga merusak lingkungan hidup. Di tengah wawancara dua petani teman Pak Karman datang, dan membuat suasana dialog menjadi makin ramai. Lalu, bagaimana jika pemerintah tetap bersikeras untuk melakukan pertambangan? Petani tetap akan mengolah lahan pertanian mereka. Para petani secara mandiri mampu menyejahterakan dirinya sendiri, kenapa pemerintah tidak mendukung malah ingin merusaknya Perjuangan petani untuk tetap bertani menemui jalan yang berliku. Mereka berulangkali melakukan aksi masa namun teriakan mereka tak didengar. Perjuangan makin berat ketika dilakukan perubahan Tata Ruang dan Tata Wilayah yang menempatkan kawasan pesisir Kulon Progo sebagai kawasan pertambangan. Pada saat wawancara ini dilakukan, seorang petani pesisir yang bernama Tukijo ditangkap dan ditahan oleh kepolisian. Benarkah terjadi penangkapan terhadap petani? (Petani) : Tidak benar! Tukijo tidak ditangkap tapi diculik. Jika yang dilakukan adalah penangkapan mestinya kan ada surat perintah tapi saat itu tidak ada. Tukijo dituduh melakukan penyanderaan padahal tidak ada penyandera an. Yang jelas penculikan itu tidak akan membuat kami takut malah kami semakin bersemangat untuk berjuang. Kasus di pesisir Kulon Progo menambah panjang deretan konflik agraria di negeri ini. Kondisi ini juga menyebabkan suasana yang semula ayem tentrem khas pedesaan menjadi panas bergolak. Dimanakah akhir semua ini?
n (Istianto Ari Wibowo dan Awan Santosa)
OPINI
OPINI
SWARA33 SWARA33 m 19
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n Mei eBulletin 2011 MUBINS n Edisi 001 n Mei 2011 n
Awan Santosa & Puthut Indroyono
Kebijakan Perlindungan dan Inovasi
PASAR TRADISIONAL
daerah istimewa yogyakarta
Sudah banyak kajian yang menyebut pasar tradisional kini mengalami ancaman serius dari masifnya penetrasi dan ekspansi pusat perbelanjaan dan retail modern. Studi UGM, Nielson, SMERU, dan INDEF, mengkonfirmasi menurunnya omset pedagang di pasar tradisional maupun toko-toko lokal. Sayangnya, sampai dengan saat ini belum ada upaya serius dari banyak pihak terutama pemerintah untuk mengantisipasi hal itu.
B
aru-baru ini Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM dan Lembaga Ombudsman Swasta (LOS) DIY juga melakukan studi dalam konteks Yogyakarta. Secara umum terdesaknya pedagang pasar tradisional atau pebisnis retail lokal, di antaranya dalam bentuk menurunya omset pen jualan. Penelitian ini menemukan penurunan rata-rata sebesar –5,9%, namun penurunan yang lebih besar dialami oleh kelom
pok pedagang dengan aset antara Rp 5-15 juta, Rp 15-25 juta, dan di atas Rp 25 juta, yang masing-masing mengalami penurunan sebesar –14,6%, –11%, dan – 20,5%. Ber dasarkan kewilayahan, penurunan omset tertinggi dialami oleh pedagang di kota Yogyakarta dan kabupaten Sleman, masing-masing sebesar – 25,5% dan – 22,9%. Lebih khusus, penelitian ini juga menemukan bahwa yang paling terkena dampak adalah mereka yang pasokan
OPINI
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n Mei 2011
dagangannya berasal dari industri/pabrikan dan lokasinya berdekatan dengan toko modern. Sementara pedagang yang lebih banyak menjual barang mentah atau produk perta nian atau industri desa cenderung tidak separah kelompok di atas. Penelitian ini mengungkap bahwa pedagang pasar tradisional yang menjual produk pabrikan sebesar 34%, produk pabrikan dan produk desa sebesar 18%, produk impor 3%, dan produk desa sebesar 45%.
Pada tingkat nasional, saat ini 28 ritel modern utama me nguasai 31% pangsa pasar ritel dengan total omset sekitar Rp. 70,5 trilyun. Ini artinya bahwa satu perusahaan rata-rata menikmati Rp. 2,5 Trilyun omset ritel/ tahun atau Rp. 208,3 milyar/bulan. Pada hal kalau ditelusuri omset ritel modern tersebut terkonsen trasi pada 10 ritel inti, yakni minimar ket Indomaret dan Alfamart (83,8%), supermarket Hero, Carrefour, Superindo, Foodmart, Yogya, dan Ramayana (75%), dan hypermarket Carrefour (48,7%), Hypermart (22%), Giant (17,7%), Makro (9,5%), dan Indogrosir (1,9%) (Pandin, 2009). Hal ini kontras dengan ritel tradisi onal yang memiliki total omset sebesar Rp. 156,9 trilyun namun dibagi kepada sebanyak 17,1 juta pedagang, yang 70%nya masuk kategori informal. Dengan
SWARA33 m 20
demikian satu usaha pedagang tradisional rata-rata hanya menikmati omset sebesar Rp. 9,1 juta /tahun atau Rp. 764,6 ribu/bulan.
Perlindungan vs Free fight liberalism Penetrasi pasar modern secara makro ekonomi tidak saja mengancam pelaku pasar tradisional, tetapi juga pelaku ekonomi pada sektor-sektor lain. Dengan kondisi struktur perdagangan di atas maka dapat disimpulkan bahwa kondisi persaingan usaha di Indonesia makin mengarah pada pola monopoli atau oligopoli sebagai dampak dari pengaruh globalisasi ekonomi (pasar bebas). Sayangnya, regulasi pada tingkat nasional terkait perda gangan (Perpres No 112/2007 dan Permendag No 53/2008) tidak memiliki kecukupan material dan substansial dalam memberi arah dan model perlindungan dan pengembang an sistem nilai, modal sosial, dan pelaku pasar tradisional. Semangatnya justru lebih mengarah pada persaingan bebas (free fight liberalism). Isi kedua regulasi tersebut lebih mengakomodasi ketelanjuran tatanan perdagangan saat ini di mana telah terjadi dominasi peritel besar daripada memenuhi semangat dan imperasi konstitusional yang ter dapat dalam Pasal-Pasal Sosial-Ekonomi Undang-Undang Dasar 1945.
OPINI
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n Mei 2011
Draft RUU Perdagangan yang sedang dibahas Pemerintah dan DPR saat ini juga lebih mencerminkan ketertundukan pada kenyataan faktual daripada cita-cita yang ideal (law as a tool of social enginering). Regulasi tersebut hanya mela hirkan kebijakan residual, yang menjadikan pelaku pasar tradisional tetap akan sebagai obyek proyek dan pemain pinggiran. Meskipun demikian, kekaburan semangat, arah, dan model perlindungan dan pengembangan perdagangan rakyat, telah memberi ruang lebar bagi eksistensi regulasi daerah. Dalam konteks perlindungan, maka beberapa regulasi daerah yang sudah ada maupun sedang dirancang di Propinsi DIY sudah menunjukkan semangat dan ketegasan aspek/model perlindungan bagi pelaku pasar tradisional. Namun bagaimana perlindungan ter hadap sistem nilai dan modal sosial, serta arah, aspek, dan model pengembangan pasar tradisional masih belum jelas dan sangat ditentukan oleh tafsir dan orientasi pemangku kebijakan daerah. Kebijakan perlindungan semestinya ditujukan untuk melindungi sistem nilai (kebersamaan dan kekeluar gaan), modal sosial (budaya produksi), dan seluruh ele men pelaku pasar tradisional di Propinsi DIY meliputi pedagang, pemasok, pengecer, pekerja informal, dan kon sumen. Sesuai dengan UUD 1945 maka perlindungan pelaku pasar tradisional men cakup perlindungan terhadap elemen material, intelektual, dan institusional mereka. Perlindungan ketiga dimensi dan elemen tersebut semesti nya meliputi berbagai aspek komprehensif mencakup pembatasan (kuota) jumlah toko modern, penetapan lokasi dan jarak (zonasi), pembatasan jam buka toko modern, pembagian produk yang dijual, pengaturan perijinan, penyebaran kepemilikan dan penilikan toko modern, penyeimbangan hubungan antara pedagang besar, menengah, dan kecil (pembagian pangsa pasar), dan penegasan arah dan pola pembinaan pasar tradisional.
SWARA33 m 21
Strategi Inovasi Pasar Tradisional Berdasarkan paparan di atas, maka strategi yang harus ditempuh dalam pengembangan pasar tradisional men cakup beberapa hal, yakni: penguatan organisasi pelaku pasar untuk mengembangkan SDM pelaku pasar, kemitraan produsen lokal dengan koperasi pasar untuk pengembangan produk lokal, pembelian kolektif melalui koperasi pasar un tuk memperbaiki harga bagi produsen dan pedagang kecil, penataan (setting) pasar dan revitalisasi kios zona depan untuk memaksimalkan fungsi tempat pasar, menggerak kan kecintaan publik sejak dini melalui berbagai promosi di media public, melakukan berbagai inovasi bisnis untuk mengoptimalkan layanan kepada pelanggan.
OPINI
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n Mei 2011
SWARA33 m 22 Pasar Khusus Wisata, dan Model Pengembangan Bursa Koperasi Pasar Yogyakarta (Bukopy). Studi PUSTEK-UGM dan LOS (Lembaga Ombudsman Swasta) DIY yang berlang sung pada akhir tahun 2010 dan awal 2011 dapat dijadikan salah satu awalan bagi kebijakan perlindungan dan pengembangan pasar tradisional di DIY. Diharap kan juga hasil studi yang rencana akan diterbitkan dalam sebuah buku ini dapat dijadikan pemantik bagi upaya pemerintah dan DPR DIY yang saat ini sedang menyusun Raperda, peme rintah dan DPRD kabupaten dan Kota yang sedang berbe nah dalam pengelolaan pasar tradisional.
Sedangkan pada aspek pelaku, perlu upaya serius untuk mengembangkan modal material (inovasi bangunan, layout dan setting, dan produk yang dijual di pasar tradisio nal), modal intelektual (inovasi cara bisnis, pemasaran “nilai sosial” (social marketing), dan pencitraan (branding) pasar tradisional, dan institusional (inovasi membership, usaha kolektif, resource map, dan jaringan (networking) organi sasi pelaku pasar tradisional). Secara khusus pengembangn koperasi pasar dapat dilakukan melalui perluasan basis keanggotaan, diversifikasi usaha, perluasan kemitraan, dan pendidikan anggota secara intensif. Tawaran model yang bisa didorong untuk pengembangan pasar di antaranya adalah Model Pasar Mandiri, Model Per paduan Pasar Barang, Pasar Jasa, dan Pasar Even Regional, Model Perpaduan Pasar Tradisional dan Klaster Pasar Khusus, Model Perpaduan Pasar Desa, Pasar Khusus, dan Pasar Even Lokal, Model Koridor Ekonomi (Shopping-belt)
Selain itu pada level pelaku langsung seperti dinas pasar, koperasi pasar, pedagang pasar, APPSI (Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia), dapat merapatkan barisan untuk tetap semangat dalam bekerjasama mengembangkan pasar tradisional di Daerah Istimewa Yogyakarta. Dengan begitu semoga gebyar pasar di DIY tidak semakin meredup dan pasar tidak justru makin ilang kumandange.
n Awan Santosa, SE., MSc. Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Mercu Buana Yogyakarta (UMBY) ; Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM ; Pemimpin Redaksi Swara33 - Mubyarto Institute Drs. Puthut Indroyono Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan - UGM ; Wakil Pemimpin Redaksi Swara33 - Mubyarto Institute
OPINI
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n Mei 2011
SWARA33 m 23
Dani Setiawan
ekonomi kerakyatan
penghapusan utang Munculnya wacana ekonomi kerak yatan menjelang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden merupakan sesuatu yang patut diapresiasi. Salah satu yang melatarbelakanginya adalah situasi krisis ekonomi yang sedang kita hadapi saat ini. Di mana penerapan agenda-agenda ekonomi kapitalisme neoliberal dianggap sebagai penyebab terjadinya krisis ekonomi yang sangat dalam di berbagai negara termasuk Indonesia. Di saat bersamaan, opini dunia sedang mengarah pada upaya koreksi terhadap tatanan ekonomipolitik dunia yang didominasi oleh kekuatan pasar yang sangat tidak adil dan melahirkan ketimpangan.
S
ebagai sebuah gagasan ekonomi, ekonomi kerakyatan identik dengan keberpihakan terhadap rakyat kecil, walau sepenuhnya tidak menjelaskan pengertian yang sesungguhnya. Secara historis, gagas ekonomi kerakyatan pada mulanya dibangun dari kesadaran untuk memperbaiki kondisi ekonomi rakyat yang terkucilkan di bawah kolonialisme. Perjuangan untuk memperbaiki kondisi ekonomi rakyat harus terus dilanjutkan dengan mengubah struktur ekonomi Indonesia dari sebuah perekonomian yang berwatak kolonial menjadi sebuah perekonomian nasional. Sebagaimana dikemukakan Bung Karno, yang dimaksud
dengan ekonomi nasional adalah sebuah perekonomian yang ditandai oleh meningkatnya peran serta rakyat banyak dalam penguasaan modal atau faktor-faktor produksi di tanah air. Bung Hatta mempertegas pentingnya penyeleng garaan ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi sebagai jalan dalam mewujudkan keadilan sosial di Indonesia. Sebagaimana ditulisnya, ‘Demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan. Di sebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau tidak, manusia belum merdeka, persamaan dan per saudaraan belum ada. Sebab itu cita-cita demokrasi Indonesa ialah demokrasi sosial, melingkupi seluruh lingkungan hidup yang menentukan nasib manusia’ (Hatta, 1960). Dari sekedar ingin merubah nasib rakyat, gagasan ini berkembang menjadi konsep dasar sistem perekonomian Indonesia yang dimak sudkan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengendalikan jalannya roda perekonomian. Perkataan founding fathers di atas selain meneguhkan apa yang tertulis dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 33, sangat jelas memberi petunjuk bahwa pelaksanaan agenda ekonomi kerakyatan merupakan bagian utama dari cita-cita kemerdekaan. Oleh sebab itu, pelaksanaan agenda ekonomi kerakyatan membutuhkan tuntunan dari sebuah ideologi ekonomi yang jelas berpihak pada kepentingan rakyat banyak, yang mampu mengangkat harkat dan martabat rakyat dengan jalan kesejahteraan. Bukan ideologi ekonomi yang menyerahkan urusan publik dan kesejahteraan rakyat pada budi baik investor asing dan segelintir pemilik modal. Pelaksanaan ekonomi kerakyatan membutuhkan komit men yang kuat untuk melepaskan diri dari ketergantungan ekonomi pada pihak luar dan membangun kemandirian dalam memenuhi kebutuhan sendiri. Dalam konteks ini, persoalan utang luar negeri harus diang kat menjadi salah satu isu penting dalam rangka mewu judkan agenda ekonomi kerakyatan di Indonesia. Sejarah ekonomi-politik di Indonesia menunjukan, bahwa utang luar negeri digunakan untuk mempertahankan struktur ekonomi yang berwatak kolonial di Indonesia. Peran lem
OPINI
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n Mei 2011
baga pemberi utang seperti IMF, Bank Dunia, ADB serta negara-negara industri maju seperti Amerika Serikat dan Jepang sangat besar dalam menggiring republik ini menga malkan kebijakan ekonomi kapitalisme neoliberal yang bertentangan dengan konstitusi. Kritik terhadap utang luar negeri sebagai penghalang terwujudnya ekonomi kerakyatan di Indonesia dapat disimpulkan dalam beberapa hal berikut: Pertama, secara ideologi, utang luar negeri diyakini telah di pakai oleh negara-negara pemberi utang, terutama Amerika Serikat, sebagai sarana untuk menyebarluaskan kapitalisme neoliberal ke seluruh penjuru dunia. Dengan dipakainya utang luar negeri sebagai sarana untuk menyebarluaskan kapitalisme neoliberal, berarti utang luar negeri telah dengan sengaja dipakai oleh negara-negara pemberi utang untuk menguras dunia. Di Indonesia, praktek ini dapat dite lusuri dengan kehadiran kelompok ‘Mafia Berkeley’ dalam setiap pemerintahan yang pro terhadap utang dan investasi asing dalam setiap kebijakan yang dibuatnya. Penggunaan utang luar negeri sebagai instrumen pelaksana an agenda neoliberal dapat kita temui dalam setiap transaksi proyek utang luar negeri di Indonesia. Sebagai contoh, krisis ekonomi yang terjadi pada akhir pemerintahan Soekarno, digunakan oleh para arsitek ekonomi Orde Baru meminta penjadwalan utang luar negeri yang jatuh tempo selama 30 tahun. Kesempatan ini digunakan oleh pihak kreditor untuk mendesakkan berbagai ‘langkah penyesuaian’ dan ‘stabilisa si’ dalam struktur perekonomian Indonesia menjadi lebih liberal. Suatu upaya ‘pembersihan’ sesungguhnya tengah dimulai oleh IMF dan Bank Dunia sebagai corongnya, dari pengaruh ekonomi ‘sosialisme Indonesia’ yang dipraktekkan sejak proklamasi kemerdekaan. IMF dan Bank Dunia pun lantas menjadi sentrum bagi penyebarluasan dan penegak an paham ‘fundamentalisme pasar bebas’ dan ortodoksi neoliberal. Sebagai syarat diberikannya fasilitas penjadwalan kembali utang, Indonesia diharuskan menerapkan kebi jakan reformasi institusional, seperti pemangkasan belanja kesejahteraan, pengesahan berbagai undang-undang yang pro terhadap penanaman modal asing. Sesuai dengan permintaan IMF, hal-hal yang harus dilaku kan Indonesia untuk meningkatkan stabilitas ekonomi dalam garis besarnya adalah sebagai berikut: menyusun anggaran berimbang, melaksanakan kebijakan uang ketat, menghapus subsidi dan meningkatkan harga komoditas layanan publik, meningkatkan peranan pasar, menyeder hanakan prosedur ekspor, dan meningkatan pengumpulan pajak (Weinstein, 1976: 229). Selain itu, Program Penyesuaian Struktural yang didesak kan oleh Bank Dunia mendorong Indonesia ke satu arah. Indonesia harus menerima dimasukkannya sistem ekonomi dunia dan pasar-pasar dunia dengan cara yang khusus, yaitu penerapan resep-resep neoliberal (privatisasi, modernisasi, rasionalisasi, dan liberalisasi). Stabilitas dan penyesuaian ini hanya mengikutsertakan negara ini ke dalam aturan ekonomi dunia baru dan menempatkannya secara per manen (tentu saja sebagai kesatuan anak cabang) dalam sistem pembagian tenaga kerja internasional yang baru.
SWARA33 m 24
Dengan memaksakan liberalisasi yang membuka pintu ekonominya bagi modal global –sektor demi sektor, struk tur ekonomi suatu Negara berubah cepat– proses produksi di-transnasional-kan, dipecah-pecah dan dipencarkan ke seluruh negeri. Pemberdayaan tenaga kerja digantikan secara konstan oleh intensifikasi modal secara ekstrim. Dikenai pertumbuhan yang dipimpin oleh ekspor, liberal isasi keuangan dan perdagangan, pengetatan pajak, privati sasi dan deregulasi. Akhirnya ekonomi Indonesia hanya jadi sumber bahan mentah dan sumber tenaga kerja yang murah untuk melayani kepentingan Negara-negara industri. Kedua, konsekwensi berbagai persyaratan yang menyertai setiap transaksi utang luar negeri, telah mendorong pengu asaan terhadap faktor-faktor produksi yang penting bagi negara oleh pemodal besar dan investor asing di Indone sia. Akibatnya dalam jangka panjang, terjadi konsentrasi kepemilikan modal asing dalam sektor ekonomi nasional. Misalnya proyek utang luar negeri untuk mendorong libe ralisasi sektor energi, menyebabkan 85% cadangan Migas nasional dikuasai oleh asing. Atau pengambil-alihan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) oleh perusahaan asing akibat kebijakan privatisasi yang disyaratkan oleh utang IMF, Bank Dunia dan ADB sepanjang periode 1991 - 2006. Kenyataan ini telah membentuk struktur ekonomi nasional yang timpang dan melahirkan ketidakadilan ekonomi di tengah rakyat. Contoh paling anyar menjadi bukti yang relevan untuk ditampilkan. Bagaimana lembaga-lembaga internasional terlibat dalam proses liberalisasi sektor energi (Migas dan listrik) di Indonesia. Terkuaknya bukti-bukti keterlibatan IMF, USAID, Bank Dunia, dan ADB dalam mendorong kebijakan restrukturisasi sektor energi dengan membuat regulasi baru di sektor migas (UU Migas Nomor 22/2001) dan listrik (UU Ketenagalistrikan No. 20/2002). UU Migas nomor 22 tahun 2001 jelas menjadi acuan bagi praktek liberalisasi sektor migas di Indonesia. Pemain asing, seperti Chevron, Shell, Petronas, dll yang telah lama megua sai cadangan minyak nasional, bermaksud memperkuat le gitimasinya dengan ikut berbisnis di sektor hilir dengan cara mendorong liberalisasi harga migas. Selain juga memberi landasan penting bagi keberlanjutan ekspor migas nasional bagi kepentingan negara-negara maju. Sementara di dalam negeri rakyat dan sektor industri menanggung beban berat akibat kelangkaan energi. Di sektor air yang melayani hajat hidup orang banyak ini kondisinya tidak jauh berbeda. Kehadiran swasta asing lewat pembuatan UU Sumber Daya Air nomor 7 tahun 2004 menyebabkan tarif air bersih menjadi komersial karena mengikuti hukum full cost recovery sesuai hukum pasar. Kondisi ini menyebabkan rakyat kecil harus membayar air bersih lebih mahal dari pendapatannya yang juga semakin tergerus. Selain itu, UU ini juga memungkinkan penguasaan sektor swasta asing terhadap cadangan-cadangan air dan Daerah Aliran Sungai bagi kepentingan komersial. Padahal, praktek ini menyebabkan sawah pertanian menjadi kering karena tidak mendapat aliran air.
OPINI
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n Mei 2011
Praktek neokolonialisme yang paling akhir adalah penetapan Undang Undang Penanaman Modal nomor 25 tahun 2007. Undang Undang ini dibuat untuk memfasilitasi masuknya modal asing di hampir semua sektor strategis dan penting bagi negara. Undang-undang tersebut diikuti dengan penerbitan Peraturan Presiden Nomor 76/2007 tentang Kriteria dan Per syaratan Penyusunan Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan persyaratan di Bidang Penanaman Modal dan Peraturan Presiden Nomor 77/2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Lahirnya dua Peraturan Presiden tersebut sungguh telah membuka mata banyak orang di negeri ini. Betapa tidak, dalam peraturan inilah UU Penanaman Modal menunjukan watak aslinya. Mendorong dominasi kepemilikan asing ter hadap sektor-sektor produksi nasional serta mengabaikan aspek kedaulatan ekonomi Indonesia sebagai bangsa. Ketiga, bertambahnya jumlah utang luar negeri berakibat pada beban anggaran negara untuk pembayaran cicilan po kok dan bunga utang. Jika dihitung rata-rata, setiap tahun pemerintah mengalokasikan Rp100 triliun dalam APBN untuk membayaran utang. Menumpuknya beban kewajiban pembayaran utang menyebabkan pemerintah gagal dalam memenuhi alokasi kebutuhan hak dasar rakyat yang dia manatkan dalam konstitusi. Bahkan, untuk memenuhinya, pemerintah rela memotong anggaran subsidi bagi rakyat dan menjual perusahaan negara. Tiadanya kemandirian da lam pengelolaan anggaran negara menjadikan pemerintah kerap mengambil jalan pintas. Yaitu menyerahkan masalah kemiskinan dan penganguran kepada kebaikan investor di Indonesia. Tingkat akumulasi utang luar negeri terus mengalami pe ningkatan. Pada akhir tahun 1999, posisi utang luar negeri Indonesia berada pada angka US$ 61,897 juta dolar. Turun menjadi US$ 60,770 juta dollar diakhir tahun 2000 dan diakhir tahun 2001 utang hanya US$ 58.791 juta dollar. Peningkatan stok utang mulai terjadi sejak tahun 2002 men jadi US$ 63,763 juta dollar, meningkat menjadi US$ 68,914 juta dollar (2003), selanjutnya sebesar US$ 68,575 juta dol lar (2004), US$ 63,094 juta dollar (2005), US$ 62,021 juta dollar (2006), US$ 62,253 juta dollar (2007) dan menjadi US$ 65,446 akhir 2008 (depkeu). Persoalan pentingnya sekarang adalah, apa respon kebijakan yang sudah diambil untuk mengatasi masalah ini. Sejauh yang kami amati, belum ada kebijakan progresif yang diambil untuk menghentikan praktek neoliberalisasi ekonomi lewat utang ini. Bahkan kretifitas pemerintah untuk keluar dari ketergantungan utang dan mencari sumber-sumber penda patan alternatif di luar utang semakin buruk dari tahun ke ta hun. Pilihan kebijakan yang diambil cenderung memfasilitasi keinginan kreditor dengan menumpuk utang baru. Bahkan opsi yang banyak ditawarkan mengenai penghapusan utang cenderung dianggap berlawanan dengan iman ekonomi neo liberal yang dianut para menteri ekonomi. Padahal jika sungguh-sungguh ingin menjalankan agenda
SWARA33 m 25
ekonomi kerakyatan, diperlukan langkah tegas dan kongkret terhadap masalah utang ini. Terdapat beberapa agenda yang harus dilakukan: pertama, pemerintah ke depan harus me negosiasikan penghapusan utang-utang haram dan tidak sah yang telah merugikan rakyat kepada pihak kreditor. Inisiatif penghapusan utang sudah lama bergulir di tingkat lembaga pemberi utang atau negara-negara industri maju untuk mengatasi masalah ekonomi di negara-negara miskin dan berkembang. Dengan landasan ini, beberapa negara bahkan menyatakan secara sepihak tidak membayar utang-utangnya yang dianggap tidak menimbulkan manfaat ekonomi bagi negaranya. Pernyataan ini dihasilkan dari berbagai proses yang dilakukan, termasuk melakukan audit terhadap proyek-proyek utang yang telah dikorupsi oleh rezim diktator dan terhadap perjanjian-perjanjian utang yang melanggar hukum dan mencederai kedaulatan ekonomi dan politik sebuah negara. Kedua, sejalan dengan tuntutan penghapusan utang, pemerintah ke depan harus mengakhiri praktek intervensi terhadap kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh lembaga keuangan internasional. Praktek intervensi ini biasanya dilakukan melalui berbagai persyaratan utang maupun hibah (Letter of Intent, Structural Adjustment Program, dll) yang memuat agenda-agenda pelaksanaan kebijakan ekonomi neoliberal. Tindakan ini termasuk di dalamnya adalah melakukan review terhadap berbagai produk undang undang sektoral yang merupakan paket kebijakan utang saat ini. Kehadiran undang undang tersebut merupakan hambatan terbesar dari terwujudnya ekonomi kerakyat an di Indonesia. Berbagai regulasi yang harus di review di antaranya adalah: Undang Undang Sumber Daya Air, Undang Undang Minyak dan Gas, Undang Undang BUMN, Undang Undang Mineral dan Batubara, Undang Undang Perkebunan, Undang Undang Penanaman Modal, Undang Undang Ketenagakerjaan, Undang Undang Pengelolaan Pesisir dan Pulau Pulau Kecil, dsb. Ketiga, menghentikan pembuatan utang baru. Tujuan di lakukan kebijakan ini semata-mata dilakukan untuk mence gah terjadinya penumpukan utang yang semakin member atkan beban negara ke depan. Selain itu juga karena belum adanya perubahan kebijakan penyaluran bantuan dan utang dari pihak kreditor yang dapat menjamin terpenuhinya prinsip-prinsip keadilan dan menghormati kedaulatan ekonomi dan politik negara-negara penerima utang. Ketiga hal di atas merupakan turunan dari salah satu agenda politik ekonomi kerakyatan dalam rangka membangun kemandirian ekonomi khususnya di sektor keuangan. Langkah ini dapat dilakukan bilamana calon presiden dan wakil presiden memiliki kejujuran untuk menjalankan per ekonomian nasional ke depan yang sejalan dengan amanat Undang Undang Dasar 1945 yang asli. Bukan sekedar janji palsu atau jargon kosong tanpa memiliki landasan konstitu sional dan agenda yang jelas.
n Dani Setiawan Ketua Koalisi Anti Utang
OPINI
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n Mei 2011
SWARA33 m 26
Henry Saragih
EKONOMI KERAKYATAN
REFORMA AGRARIA KEDAULATAN PANGAN DEWASA ini krisis ekonomi telah menjadi sangat begitu nyata. Jumlah orang miskin dan orang-orang lapar di dunia secara drastis meningkat. FAO melaporkan angka kelaparan telah mendekati 1 milyar, orang-orang miskin dan pengangguran terus bertambah di seantero dunia. Seluruh daya upaya saat ini diarahkan untuk mengatasi krisis ini, melupakan doktrin-doktrin yang sudah begitu kuat dan mencari terobosan-terobosan baru. Hal itu bisa kita saksikan dimana kebijakan ekonomi di USA yang sangat liberal, harus dengan terpaksa merevisinya.
S
eyogyanya pada hari-hari ini, di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), di bawah tim yang di ketuai oleh Stiglitz, akan menyelenggarakan pertemuan untuk mencari jalan keluar dari krisis yang terjadi. Tetapi karena alasan yang tidak jelas, pertemuan tersebut diundur men jadi minggu ke 3 bulan Juni ini. Oleh karena itu, pertemuan diskusi ini sangat penting dalam konteks internasional dan juga tentunya di tingkat nasional pada saat-saat kampanye Pilpres 2009 yang menempatkan persoalan ekonomi men jadi tema sentral kampanye semua capres yang maju. Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, para pemimpin Indonesia sangat menyadari pentingnya untuk melakukan perubahan secara mendasar terhadap tatanan perekonomian Indone sia, dari sistem ekonomi yang kapitalis-kolonialis-imperalis menjadi suatu tatanan ekonomi yang adil yang bisa mem bawa kesejahateraan rakyat Indonesia. Setelah melalui perjalanan yang panjang lebih dari sepuluh tahun, akhirnya pada tahun 1960 pemerintah Indonesia berhasil mengeluar kan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang menata kembali hubungan antara manusia dengan alam–hubung an manusia dengan agraria, meliputi bumi air dan segala hal yang terkandung di dalamnya. UUPA atau UU No. 5
*) Disampaikan pada Diskusi “ Ini Dia Ekonomi Kerakyatan”, dilaksanakan oleh KAU dan SPI, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta 3 Juni 2009.
OPINI
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n Mei 2011
Tahun 1960, adalah manifestasi dari Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33. Lahirnya UUPA merupakan cerminan dari adanya upaya dari pendiri negara (founding leaders) Indo nesia saat itu untuk menata kembali ketimpangan struktur agraria yang lebih adil sebagai akibat dari sistem corak produksi yang kolonialistik (reforma agraria). Reforma agraria inilah yang dinanti-nantikan rakyat untuk melan jutkan perjuangan dan memulai pembangunan semesta Indonesia. Karena itu, Soekarno mengatakan bahwa UUPA adalah tonggak dari melanjutkan revolusi kemerdekaan In donesia. Bahkan selanjutnya Presiden Soekarno menjadikan hari diundangkannya UUPA pada tanggal 24 September sebagai Hari Tani Nasional bagi rakyat Indonesia. Dengan demikian sejak di undangkannya UUPA, sebe narnya bangsa Indonesia telah mempunyai hukum agraria yang sifatnya nasional. Adapun isinya menegaskan bahwa fungsi dari sumber agraria yaitu bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di atas dan didalam nya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia. Adapun prinsip-prinsip yang terkandung dalam UUPA No. 5/1960 sebagai berikut (1) Tanah mempunyai fungsi sosial, (2) Tanah untuk penggarap/petani/rakyat, (3) Pengakuan terhadap hak masyarakat adat, (4) Hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik atas tanah di bumi Indonesia, tidak untuk warga negara lain, (5) Peran utama usaha keluarga/koperasi untuk mengelola dan mengurus agraria dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, (6) Pelestarian lingkungan hidup, (7) Partisipasi dan inisiatif basis rakyat Sayangnya, dalam prakteknya reforma agraria sebagai salah satu kewajiban pemerintah, belum terlaksana secara meluas pada masa pemerintahan Soekarno. Bahkan, pada rejim Soeharto tidak dilaksanakan secara sungguh-sungguh sesuai dengan amanat UUPA dan UUD 1945. Alih-alih menjalankan UUPA 1960, rejim Soeharto justru menyele wengkannya, melalui penerbitan berbagai peraturan dan undang-undang yang bertolak belakang. Pada era rejim Soeharto, hak penguasaan, kepemilikan, pengelolaan dan penggunaan agraria telah digunakan untuk mengeksploitasi hutan, pertambangan, perkebunan, dan konversi lahan pertanian ke lahan industri, kelaut an dan pesisir untuk kepentingan pemilik modal besar. Berbagai perundang-undangan sektoral, seperti UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing, UU No.5/1967 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, UU No. 11/1967 tentang ketentuan Pokok Pertambangan, UU ten tang ketentuan-ketentuan pokok pengairan, serta berbagai UU sektoral lainnya, secara prinsipil sangat bertentangan dengan UUPA. Hasil dari semua itu dapat kita saksikan di sektor pertanian, dimana revolusi hijau telah menimbulkan kesenjangan yang tajam antara orang-orang desa yang memiliki tanah dan yang tak memiliki tanah. Kerusakan alam yang begitu meluas, sungai yang mengering, hutan yang terus me nyempit, keanekaragaman hayati yang semakin hilang terus terjadi hingga sekarang akibat praktek revolusi hijau ini.
SWARA33 m 27
Terjerat Neoliberalisme – Penjajahan Baru Berakhirnya rejim Soeharto pada tahun 1998 ternyata tidaklah secara langsung mengakhiri penderitaan kaum tani Indonesia. Rejim Soeharto telah mewariskan beban bagi rakyat Indonesia, pemerintahan yang korup, kolusi dan nepotis dan utang yang berlimpah, serta terjerat dalam kesepakatan yang tidak adil dengan IMF, Bank Dunia, WTO dan kesepakatan-kesepakatan dengan institusi lainnya yang membuat pemerintah dan rakyat Indonesia tidak lagi bisa disebut sebagai negara dan bangsa yang berdaulat. Sayangnya para pemimpin Indonesia, pada umumnya terjebak hanya pada persoalan persoalan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Padahal sebenarnya kemiskinan dan kebodohan yang meluas bukan hanya disebabkan rejim yang melakukan KKN tersebut, namun lebih jauh lagi adalah akibat dari eksploitasi yang besar-besaran yang sangat meluas melalui berbagai kesepakatan-kesepakatan dan eksploitasi kekayaan alam yang terjadi oleh kekuatan asing melalui lembaga-lemabaga internasional seperti World Bank, Asian Devt Bank, IMF dan perusahaan-perusahaan transnasional (transnasional coorporations atau disingkat TNCs). Sebagaimana telah awam diketahui, rejim Soeharto mengikatkan diri dengan IMF untuk menjalankan butirbutir kesepakatan yang disebut sebagai Struktural Adjus ment Program (SAP) sebagai upaya mengatasi puncak krisis ekonomi Indonesia yang terjadi pada tahun 1997-98. Inti dari kesepakatan tersebut sering juga disebut sebagai Washington Konsensus yang terdiri dari 10 prinsip, yang kalau disaripatikan menjadi tiga hal yakni: deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi. Atas nama reformasi, isi kesepakatan-kesepakatan tersebut diimplementasikan dalam berbagai kebijakan di bidang pertanian, pangan dan agraria di Indonesia. Kebijakankebijakan tersebut adalah sebagai berikut (1) Liberalisasi perdagangan di Indonesia. membuka pasar dalam negeri In donesia seluas-luasnya dari berbagai produk dari luar negeri dan pembebasan bea masuk. Impor buah-buah dibuka seluas-luasnya, impor kacang kedelai dan beras dengan bea masuk yang rendah sekali, bahkan pernah mencapai 0 %, terutama dalam komoditas beras. (2) Peran negara dikuran gi, regulasi-regulasi untuk perlindungan rakyat diperlemah, dan sebaliknya dukungan terhadap modal besar diperkuat. Dalam sektor pertanian, akibatnya petani tidak lagi diberi subsidi pupuk dan alat-alat pertanian. Sebaliknya, petani diarahkan untuk membeli semua alat produksi tersebut dan tergantung pada input eksternal. Sementara, permodalan dan kredit dilakukan dengan cara yang liberal, terutama dukungan untuk petani kecil semakin lama semakin berkurang. Bulog yang dulunya memiliki peran untuk melaksanakan state obligation untuk stabilisasi harga dan suplai sembako, semakin lama semakin berkurang. Bahkan setelah kesepakatan dengan IMF, Bulog menjadi Perusahaan Umum (Perum) yang kini terasa lebih terdorong untuk pencarian profit. (3) Privatisasi sumber-sumber agraria juga dilakukan secara gamblang, seperti privatisasi air dengan
OPINI
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n Mei 2011
mengeluarkan UU No. 7/2004. Penguatan peran swasta dalam mengembangkan perkebunan juga dilakukan via UU perkebunan No. 18/2004. Liberalisasi dan percepatan pasar tanah yang mendukung penggusuran lahan-lahan rakyat juga digalakkan pasca Indonesia Infrastructure Summit (2005), dimulai dengan Keppres 34/2003, lalu Perpres 36/2005 dan revisinya Perpres 65/2006, juga rencana aman demen UUPA dan draft UU Pertanahan yang saat ini sedang digodok oleh BPN. UU No. 41/1999 tentang Kehutanan juga dinilai memperparah sektor kehutanan Indonesia. Dan yang paling fenomenal adalah keluarnya UU No. 25/2007 tentang penanaman modal. **) Kebijakan-kebijakan inilah yang kita sebut dengan neoliberalisme, yang menjadi jalan penjajahan baru di negeri kita tercinta. Dengan dilaksanakannya kebijakankebijakan tersebut dapatlah dikatakan bahwa sistem per ekonomian (terutama dalam sektor pertanian) yang dite rapkan di Indonesia semakin jauh dari maksud dan tujuan yang terkandung dalam UUD 1945 dan UUPA. UUD 1945 dan UUPA, yang men jadi basis negara dan bangsa ini membangun sektor pertanian dan pangannya, jelas-jelas mengamanatkan ekonomi kerakyatan. Untuk mempermudah bagaimana perbedaan antara neoliberalisme dengan ekonomi kerakyatan da lam bidang pertanian dan pangan, berikut ini tabel per bandingannya: (lihat tabel) Kini setelah 10 tahun era reformasi, kenyataannya gerak perekonomian bangsa dan negara semakin jauh dari harapan rakyat, semakin jauh dari demokrasi ekono mi –dari sistem ekonomi kerakyatan; sistem yang **) UU No. 25/2007 ini pada akhirnya diajukan untuk dihapus via judicial review oleh Serikat Petani Indonesia dan organisasi rakyat lain, yang berujung pada penghapusan pasal yang terkait pemberian insentif hak atas tanah kepada investor
SWARA33 m 28
notabene merupakan mandat konstitusi. Hal itu bisa dilihat dari berbagai kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Presiden SBY dalam mereformasi ekonomi Indonesia dalam 5 tahun belakangan. Sebagaimana telah diterangkan sebe lumnya, pada tahun 2007 telah dikeluarkan Undang-Un dang No. 25 tentang Penanaman Modal. Kalau dilihat dari substansinya yang seluas-luasnya meliberalkan sistem per ekonomian di Indonesia, bahkan lebih parah dibandingkan dengan peraturan di jaman kolonial, terutama pada pasal tentang agrarianya, yang terutama memberikan insentif
OPINI
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n Mei 2011
dan privilese berlebihan kepada penanam modal. UU yang sangat kental aroma neoliberalnya ini mengijinkan investor bisa memiliki Hak Guna Usaha (HGU) selama 95 tahun, Hak Guna Bangunan (HGB) selama 80 tahun, dan Hak Pakai (HP) selama 70 tahun, melalui proses perpanjangan perijinan sekaligus di depan. Untunglah melalui perjuangan keras selama 2 tahun, akhirnya pasal 22 yang akan mem percepat liberalisasi di sektor agraria ini berhasil dihapus kan. Pun begitu, pasal-pasal neoliberal lain tetap bertahan —terutama yang mengatur soal (1) repatriasi modal; (2) asas perlakuan sama terhadap pemodal asing dan nasional; (3) kriteria usaha tertutup dan terbuka untuk investasi; dan (4) kemudahan eksploitasi buruh di Indonesia. Bagi kaum tani Indonesia tiada harapan untuk perbaikan kehidupan ekonomi dan sosial politik dewasa ini karena kebijakan-kebijakan ekonomi di sektor pertanian dan pa ngan sungguh tidak menyelesaikan masalah secara radikal, cepat, dan terintegrasi. Bahkan program revitalisasi pertani an (baca: Revitalisasi Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan atau RPPK) yang dicanangkan pemerintah tidak menyentuh persoalan-persoalan mendasar kaum tani. Sebaliknya, ke bijakan-kebijakan yang dikeluarkan semakin memapankan persoalan-persoalan kaum tani. Oleh karena itulah keber hasilan yang disebut-sebut pemerintah dalam swasembada beras tidak sepenuhnya mengubah nasib kaum tani.
SWARA33 m 29
nya mewujudkan perjuangan menuju kedaulatan pangan ini dalam beberapa tahapan; (a) Membangun ormas tani yang kuat SPI menyadari bahwa untuk menyuarakan kepentingan petani, tidak ada jalan lain yang lebih rasional daripada organisasi tani yang kuat. Untuk mencapai tujuan ini, SPI terus memperkuat dan memperluas konstituennya, anggota SPI saat ini sekitar 700.000 households (keluarga tani) dengan isu utama perjuangan menuju reforma agraria yang mewujudkan tanah untuk petani itu sendiri. Dalam percaturan organisasi tani, SPI saat ini selain memposisikan sebagai pelopor gerakan rakyat di tingkat nasional —SPI juga mengambil peran yang signifikan dalam gerakan tani internasional. Saat ini SPI menjadi anggota dari La Via Campesina, sebuah gerakan petani internasional yang beranggotakan 160 organisasi di 70 negara di seluruh dunia. Sebagai bagian dari gerakan internasional tersebut, SPI juga saat ini menjadi koordinator internasionalnya. Selain bergerak dalam mengagregasikan kepentingan di tingkat nasional, SPI juga mengambil peran aktif di level interna sional, seperti tuntutan-tuntutan dan aksi yang dilakukan dalam berbagai forum internasional. (b) Perjuangan tanah untuk petani
Konsekuensi dari kebijakan-kebijakan neoliberal tersebut adalah sebagai berikut (1) Semakin meluasnya orang-orang tak bertanah di pedesaan, sebaliknya semakin luasnya tanah yang dikuasai oleh segelintir orang. Situasi yang penuh ketidakadilan tersebut telah mendorong pada munculnya ribuan konflik-konflik yang bersandar pada perebutan penguasaan, pengelolaan, pemanfaatan dan kepemilikan atas sumber-sumber agraria, baik yang sifatnya vertikal, horizontal maupun gabungan keduanya. Secara umum konflik yang terjadi didominasi oleh konflik antara rakyat dengan perusahaan swasta (baik asing maupun nasional), rakyat dengan pemerintah dan rakyat dengan institusi negara. Dimana wilayah konflik itu berada pada lahan per tanian, perkebunan, kehutanan, pertambangan, perairan/ kelautan dan urban/perkotaan. (2) Hilangnya mata penca rian masyarakat di pedesaan yang telah mendorong ting ginya tingkat urbanisasi dari desa ke kota, tingginya jumlah buruh migran, meningkatnya petani yang tidak memiliki lahan pertanian, kerusakan dan pencemaran lingkungan yang disertai dengan bencana alam, kasus kelaparan/busung lapar, tingginya tingkat pengangguran di pedesaan maupun di perkotaan. (3) Kemiskinan yang meluas di tengah-tengah masyakat pedesaan, dan kesenjangan sosial yang sangat timpang. (4) Kelaparan menimpa petani dan masyarakat di pedesaan, dan Indonesia menjadi negara agraris yang tergantung pada pasar pangan internasional
Sesuai dengan konstituennya yang merupakan petani kecil, gurem (dengan kepemilikan tanah kurang dari 0.5 ha), buruh tani atau petani tak bertanah (landless), maka dalam praktek-praktek perjuangannya anggota SPI di daerah-dae rah berkomitmen akan terus menjalankan reforma agraria yang diinginkan oleh rakyat tani. Sejauh ini, praktekpraktek tersebut dijalankan dengan reklaiming dan okupasi lahan untuk memenuhi prinsip tanah untuk penggarap (land to the tiller). Hingga tahun 2008, praktek reklaiming dan okupasi ini sudah menjadi kegiatan utama SPI untuk menggerakkan massanya.
Perjuangan kaum tani
(d) Membangun model pertanian berkelanjutan
Dalam situasi tersebut, tidak ada jalan lain bagi petani di Indonesia, selain untuk terus memperjuangkan reforma agraria menuju kedaulatan pangan. SPI dalam perjuangan
(c) Memperjuangkan kedaulatan pangan Paradigma kedaulatan pangan menunjukkan komitmen organisasi tani untuk mewujudkan suatu sistem produksi, konsumsi, distribusi dan pasar pangan yang berpihak pada kedaulatan rakyat. Perjuangan agar kedaulatan pangan di implementasikan dalam kebijakan sudah dimulai dari tahun 1998, dengan fokus kepada kemandirian produksi pangan. Untuk itulah perjuangan yang utama sejak pendirian SPI adalah menolak impor pangan, terutama makanan pokok. Kepentingan petani yang dituangkan dalam tuntutan-tun tutannya dalam beberapa tahun belakangan masih belum efektif terlaksana, namun ada beberapa yang sudah diimple mentasi seperti larangan impor beras pada masa panen.
SPI telah membangun kawasan yang mempraktekan perta nian berkelanjutan. Baik secara kolektif maupun keluargakeluarga tani. Untuk memperluas aksi tersebut, berbagai pusat pendidikan baik secara formal dan berjenjang
OPINI
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n Mei 2011
maupun praktek lapangan terus dilakukan hingga saat ini. Hal ini juga merupakan proses perlawanan terus-menerus terhadap corak produksi pertanian yang selama ini tidak merdeka. (e) Permodalan mandiri Pemahaman usaha tani yang tergantung kepada input luar dan teknologi yang berbasis modal menyebabkan persoal an yang serius bagi petani. Koperasi-koperasi dilevel desa, propinsi dan lainnya dipandang hanya sebagai perpanjang an tangan kepentingan diluar petani. Membentuk pema haman baru mengenai pentingnya kemandirian menjadi agenda SPI dalam tahun-tahun terakhir ini. Terutama bagi petani yang telah melakukan reklaiming. SPI juga mendesak agar insentif yang diberikan kepada kaum tani harus tepat dan cepat sasaran. Pengalaman praktek kita dalam Lembaga Ekonomi Petani, sangat mempunyai peran strategis dalam memecahkan soal-soal praktis.
SWARA33 m 30
Penutup Serikat Petani Indonesia (SPI) menyadari bahwa, ketika In donesia merdeka pada tahun 1945 kondisi struktur agraria di Indonesia sudah mengalami ketimpangan, dimana terjadi pemusatan penguasaan dan pemilikan tanah pada sekelom pok orang. Sebaliknya sebagian besar rakyat Indonesia hanya menguasai, dan memiliki sebagian kecil sumber-sum ber agraria yang ada. Untuk itulah, sebagai basis pijakan kita untuk maju, bangsa dan negara ini membutuhkan koreksi total terhadap struktur agrarianya—yakni dengan melak sanakan reforma agraria sejati. Hal ini juga merupakan mandat konstitusi, dimaktubkan dalam UUPA, dan akan berdampak riil dalam menyelesaikan masalah kemiskinan, kelaparan, kebodohan, diskriminasi, dan ketidakadilan. Untuk menciptakan jalan bagi terciptanya tatanan struktur agraria yang berkeadilan, harus diawali dengan program landreform, yakni adanya tata produksi yang adil dan pen ciptaan pasar yang berkeadilan.
(f) Membangun pasar domestik Pengertian pasar dalam kedaulatan pangan yang diinginkan petani, adalah pasar yang tidak menjadi suatu entitas yang otonomi dan mendominasi (self-regulating), seperti yang diadopsi dalam praktek neoliberalisme. Kedaulatan pa ngan tidak menegasikan perdagangan, namun perdagangan hanya menjadi bagian atau alat dari kedaulatan untuk sepe nuhnya menjadi mekanisme yang menguntungkan rakyat banyak. Dalam prakteknya, SPI secara praktis memotong rantai-rantai perdagangan pangan pada umumnya. Dalam kasus beras di Sumatera Utara yang rantai perdagangan berasnya bisa mencapai 4 pihak hingga lebih, SPI meng usulkan alternatif direct-selling/direct-buying yang bisa langsung mengantarkan produk hasil pertanian ke tangan konsumen. Selain memotong pemburuan rente, sistem ini bisa lebih menguntungkan petani dan konsumen — serta mewujudkan kemampuan petani untuk menguasai dan mengontrol pasar domestiknya sendiri. Dalam praktek kebijakan pasar, SPI juga mempromosikan perlindungan pasar dalam negeri dari impor murah (dumping), juga sistem yang menyubsidi pertanian yang tidak berkelanjutan. Faktanya, Indonesia dibanjiri produk over produksi dari negara lain—sementara produk yang diimpor tersebut adalah hasil dumping dari hasil pertanian korporat transnasional, dan sistem pasar neoliberal (kedelai 1.2 juta ton per tahun, gandum 2 juta ton per tahun, beras ratarata 1.13 juta ton per tahun, jagung 1 juta ton per tahun, dll). Inilah yang diprotes SPI yang ingin WTO keluar dari pertanian dan pangan, dan penolakan terhadap perdagang an bebas produk pertanian dan pangan. Implementasi dari aturan-aturan WTO dan perdagangan bebas inilah yang menghancurkan pasar dan harga domestik, dan mengan cam mata pencaharian petani. Hal ini sering dianggap isu yang sangat tinggi bagi petani, namun dengan argumen kedaulatan pangan dan rasionalisasi pasar domestik yang berdaulat protes SPI terus berlangsung dan bisa dimengerti oleh anggotanya.
Untuk lebih jelasnya, aspirasi pembaruan agraria dan kedaulatan pangan yang diinginkan petani dinyatakan dalam beberapa isu utama yang dimekanisasikan dalam poin-poin berikut: 1. Tanah, Air dan Benih •
Kami menuntut pembaruan agraria sejati yang mem fokuskan pada distribusi terhadap rakyat tanpa tanah. Tanah menjadi milik rakyat kecil dan tak bertanah, bukan milik tuan tanah dan perusahaan besar.
•
Tanah dan air harus dimiliki oleh komunitas lokal de ngan menghargai sepenuhnya terhadap hukum adat dan hak-hak terhadap penggunaan sumberdaya lokal dan tradisional mereka.
•
Perempuan harus memiliki hak yang setara dalam hal akses terhadap lahan dan air.
•
Kami mengutuk privatisasi sumberdaya air (seperti prinsip-prinsip yang tertuang dalam UU No.7/2004); karena sekarang ini air dikontrol oleh perusahaan transnasional. Pemerintah harus melindungi para petani di dalam penyediaan akses irigasi yang gratis untuk proses produksi.
•
Benih merupakan jantung dari sistem pertanian, dan basis dari kedaulatan pangan. SPI menolak proses paten benih, dan juga menolak segala bentuk, sistem ataupun teknologi yang mencegah petani untuk me nyimpan, mengembangkan dan mereproduksi benih sendiri. Kita secara khusus mengatakan “tidak” untuk teknologi terminator pada benih yang menghalangi kedaulatan kami memiliki sumberdaya tersebut.
•
Mendorong hak untuk reproduksi dan pertukaran benih oleh rakyat dan untuk rakyat. Benih tidak boleh didistribusikan oleh perusahaan transnasional
OPINI
•
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n Mei 2011
dan pemerintah, karena mereka akan menjadikan petani hanya sebagai konsumen (end-user) dari rantai produksi benih.
•
Menolak GMOs (rekayasa genetika untuk makhluk hidup) dan melarang produksi dan perdagangannya pada benih pertanian, karena prinsipnya yang tidak berkelanjutan.
4. Perdagangan
2. Sistem Produksi Pangan •
SPI menolak Revolusi Hijau karena hal ini merusak keanekaragaman hayati, membuat ketergantungan terhadap bahan-bahan kimia dan mengakibatkan degradasi lingkungan, serta menyingkirkan petani kecil dari kehidupan dan tanah mereka.
•
Kami mempromosikan produksi pangan yang berkelanjutan seperti pertanian alami dan organik; dengan input yang lebih rendah dan menghasilkan output yang lebih baik kualitasnya.
•
Mendorong revitalisasi pengetahuan tradisional untuk sistem produksi beras yang berkelanjutan, seperti pengalaman pertanian organik atau natural farming (seperti praktek di Karnataka, India)
•
Menyadari pentingnya kedaulatan pangan dalam hal ekologi dan alam dalam rangka mengurangi kemiskinan, melindungi ekosistem dan pelestarian tanah, keanekaragaman hayati, peningkatan kondisi kesehatan dan peningkatan kualitas air dan bahan pangan dengan harga yang terjangkau.
•
Membuat kriteria kualitas pangan yang sesuai kebutuhan dan keinginan rakyat.
•
Menekan pemerintah untuk memberikan dukungan terhadap organisasi-organisasi yang mempromosikan pertanian yang berkelanjutan dan untuk mempersiap kan kebijakan formal untuk mempromosikan sistem produksi pangan yang berkelanjutan.
SWARA33 m 31
rakyat kecil. Pemerintah harus menyediakan program-program pelayanan yang mendukung produksi dan produk tivitas tanah. Pemerintah juga harus memfasilitasi aktivitas pasca panen.
•
Memastikan harga yang layak; dan pemerintah harus menjamin harga dengan memberikan subsidi untuk menutupi biaya produksi dan juga untuk mendapat kan keuntungan yang cukup yang sesuai dengan biaya kebutuhan hidup para petani.
•
Menghilangkan semua subsidi ekspor baik langsung maupun tidak langsung, dan meminta pemerintah untuk memberikan subsidi untuk mempromosikan produksi pangan yang berkelanjutan dan memastikan bahwa subsidi tidak untuk perusahaan trans-nasional dan produsen besar.
•
Pemerintah harus mendukung petani yang mem produksi pangan untuk kebutuhan domestik.
•
Produksi domestik seharusnya diatur sedemikian rupa untuk mencegah surplus, dalam rangka menghindari dumping produk ekspor.
•
Melarang impor pangan —terutama beras— ketika negara dapat memproduksi beras yang cukup untuk konsumsi mereka sendiri. Seringkali, impor beras adalah proses dumping dari surplus produksi yang membanjiri pasar domestik dan pada akhirnya mem bunuh petani.
•
Mompromosikan pertanian pangan yang berba sis keluarga untuk memastikan kebutuhan pangan domestik tercukupi. Kami mengutuk liberalisasi perdagangan pangan yang dilakukan oleh WTO dan Kesepakatan Perdagangan Bebas (FTA). Dan kami dengan tegas menuntut agar WTO keluar dari urusan pangan dan pertanian.
3. Aktivitas dan Proses Pasca Panen •
Mengembangkan perekonomian pangan lokal yang berbasis proses dan produksi oleh petani.
•
Perdagangan lokal dan aktivitas proses pasca panen seharusnya diatur oleh unit-unit keluarga kecil den gan teknologi yang murah dan dapat digunakan oleh
n Henry Saragih Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) dan General Coordinator La Via Campesina, organisasi gerakan buruh tani, petani kecil dan masyarakat adat internasional.
OPINI
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n Mei 2011
SWARA33 m 32
Fahmy Radhi
Pengembangan
APPROPRIATE TECHNOLOGY Membangun Perekonomian Negeri secara
MANDIRI
Beberapa penelitian empiris membuktikan bahwa pengembangan teknologi telah memberikan kontribusi secara signifikan terahadap industrialisasi yang memicu pertumbuhan ekonomi di suatu negara. Para peneliti sepakat bahwa pengembangan teknologi pada level makro mendorong pembangunan ekonomi dan memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi. Pada era global diprediksikan bahwa kemajuan teknologi akan memberikan kontribusi lebih dari 65 persen dalam pembangun an ekonomi dunia Pendahuluan
P
ada level mikro, kemajuan teknologi memaink an peran yang sangat berarti dalam perubahan struktur industri dan persaingan global. Untuk dapat memenangkan persaingan di pasar global, setiap bisnis dituntut untuk mengelola teknologi dalam menciptakan keunggulan bersaing (compettive advantages). Kesuksesan bisnis dalam
memenangkan persaingan sangat ditentukan oleh penciptaan compettive advatages yang berbasis pada pengembangan teknologi. Pengembangan teknologi tersebut dibutuhkan pada setiap proses tranformasi dari sejumlah input untuk menghasilkan output yang dapat memberikan nilai tambah (added value) pada setiap tahapan proses transformasi. Dengan demikian, pengembangan teknologi sangat dibu tuhkan, baik untuk mendorong pembangunan ekonomi bagi suatu negara, maupun untuk menciptakan keunggulan bersaing bagi entitas bisnis. Oleh karena itu, setiap negara dan bisnis dituntut untuk senantiasa mengembangkan teknologi secara berkelanjutan yang merupakan kebutuhan yang tidak terelakan pada era global. Dalam pengembangan tekonologi, setiap negara dan bisnis dihadapkan pada dua pilihan. Pertama mengembangkan teknologi melalui proses invention and innovation. Kedua, mengembangkan teknologi melalui proses alih teknologi. Hampir tidak ada suatu negara dan bisnis yang mampu memenuhi semua jenis teknologi yang dibutuhkan. Dalam menghadapi kondisi tersebut, suatu negara atau bisnis dapat menerapkan strategi teknologi yang disebut: “make-someand-buy-some strategy”. Penerapan startegi Make-some dilakukan dengan pengembangan teknologi baru melalui R&D, sedangkan strategi buy-some diterapkan melalui proses alih teknologi. Selain itu, suatu negara atau bisnis juga dituntut untuk menentukan pilihan secara fragmatis berkaitan dengan jenis dan level teknologi yang harus dikembangkan agar me menuhi kriteria appropriate technology. Pilihan appropri ate technology harus didasarkan atas beberapa faktor yang
OPINI
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n Mei 2011
mendukung, di antaranya: kebutuhan teknologi yang sesuai dengan pengembangan industri, ketersediaan infrastructure technology, keteresediaan SDM yang mempunyai kemam puan teknologi (technological capabilities) dan faktor-faktor lingkungan yang mendukung.
PengembanganTeknologi di Indonesia Selama ini, pemerintah Indonesia cenderung menerap kan trial and error dalam pengembangan teknologi yang dibutuhkan. Hasilnya, teknologi yang dikembangkan lebih banyak error-nya, sehingga teknologi yang dikembangkan tidak memenuhi kriteria appropriate technology. Pilihan pemerintah Orde Baru dalam mengembangkan teknologi tinggi (high-tech) di bidang industri pesawat terbang de ngan mendirikan PT Dirgantara (PT DI) d/h IPTN dan di bidang industri otomotif dengan Proyek Mobnas merupa kan contoh unappropriate technology yang pernah dikem bangkan di Indonesia. Sejak berdirinya PT DI sudah menjadi sasaran berbagai kri tik, baik kritik dari dalam maupun dari luar negeri. Kritik tersebut berkaitan dengan keputusan dalam pemilihan jenis teknologi tinggi dan padat modal yang dinilai tidak cocok bagi kondisi Indonesia, serta pengelolaan perusahaan yang dinilai tidak efisien dan tidak transparan. Bahkan beberapa pengritik menyamakan PT DI dengan Proyek Mercu Suar pada masa Orde Lama. Meskipun selalu menuai berbagai krtik tanpa henti, PT DI, di bawah kendali BJ Habibie, tetap meneruskan program pengembangan teknologi di bidang kedirgantaraan. Melalui kerjasama dengan CASA, PT DI berhasil mem produksi CN-235, yang sudah menadapat sertifikat laik terbang. Meskipun PT DI sudah berusaha memasarkan CN-235, baik di pasar dalam negeri maupun luar negeri, namun hasil penjualannya masih di bawah target. Investasi besar-besaran yang dilakukan PT DI di bidang sumberdaya manusia (SDM) dan adanya akumulasi pengembangan kemampuan teknologi (technological capability) telah meng hantarkan PT DI mampu memproduksi pesawat N-250, yang sepenuhnya didesign dan diproduksi oleh putra-putri Indonesia. Namun sayang PT DI tidak memiliki kecukup an dana untuk membiayai sertifikasi laik terbang yang dipersyaratkan sebelum N-250 diproduksi secara komersial. Akiibatnya, PT DI tidak dapat memasarkan produk N-250 hingga sekarang. Meskipun produk unggulan N-250 belum berhasil mema suki produksi komersial, PT DI tetap melanjutkan tahapan pengembangan produk baru dengan melakukan investasi besar-besaran di bidang R&D untuk memproduksi N-2130. Pesawat jet berteknologi canggih ini ditargetkan memasuki produksi komersial pada tahun 2005. Dengan memproduksi N-2130, yang akan dilakukan sendiri oleh putra-putri Indo nesia, PT DI diharapkan telah merampungkan proses alih teknologi dan program pengembangan teknologi di bidang industri pesawat terbang secara tuntas. Karena kesulitan finansial, PT DI terpaksa menghentikan Proyek N-2130
SWARA33 m 33
sebelum berrampungkan prototipenya. Kendati Pabrik Pesawat Terbang berhasil dalam melakukan transfer teknologi hingga mampu menghasilkan pesawat N250 secara mandiri, namun secara komersial prestasi PT DI masih belum berhasil. Seiring dengan menyurutnya kekuasaan BJ Habibie, maka menyurut pula perkembang an PT DI hingga sekarang kondisinya teramat sangat mengenaskan. Selama 1998-2002, misalnya, pabrik pesa wat terbang tersebut telah menderita kerugian sebesar Rp. 7,25 triliun hingga terancam gulung tikar yang puncaknya ditandai dengan dirumahkannya 9.800 karyawan. Selain itu, sebagian besar SDM lulusan luar-negeri yang memiliki technological capability tinggi, terpaksa harus bekerja di berbagai perusahaan pesawat terbang di luar negeri (brain drain). Kegagalan serupa juga terjadi pada saat Pemerintah Orde Baru bermaksud mengembangkan teknologi otomotif dengan membangunan pabrik Mobil Nasional (Mobnas) yang dikendalikan oleh Tommy Soeharto dengan mendi rikan PT Timor. Melalui kerjasama dengan KIA Korea Selatan, PT Timor mengimpor Mobil KIA dalam kondisi Completely Build Up (CBU), kemudian memberikan merk Timor yang di pasarkan di pasar dalam negeri. Rencananya, transfer tekonologi dari KIA ke PT Timor akan dilak sanakan secara bertahap dalam kurun waktu lima tahun. Belum sempat transfer teknologi tersebut dilakukan, Proyek Mobnas mendapat perlawanan dari berbagai negara dengan mengadukan ke forum World Trade Organization (WTO) karena dinilai ada unsur diskriminasi dalam pengenaan beamasuk. Setelah vonis dijatuhkan oleh WTO yang melarang proyek Mobnas di Indonesia, pembangunan pabrik PT Timor terbengkalai, sementara proses transfer teknologi tidak pernah terlaksana
Ekspor Komoditas Eksplotasi Kegagalan PT DI dan PT Timor tersebut dapat dijadikan sebagai indikator bahwa pengembangan high technology bukanlah appropriate technilogy bagi Indonesia. Selain kegagalan pengembangan teknologi pada kedua industri tersebut, pemerintah Indonesia tidak pernah secara serius dan terus menerus untuk mengembangkan teknologi yang dibutuhkan sesuai dengan kriteria appropriate technilogy. Indikasinya, hampir semua komoditi ekspor Indonesia tidak berbasis pada teknologi, melainkan berbasis pada eksploitasi. Sungguh ironis memang, di tengah memban jirnya komoditi impor yang berbasis pada teknologi di pasar Indonesia, semua produk ekspor Indonesia masih berbasis pada komoditi eksploitasi. Kemampuan Indonesia untuk mengekspor tekstil salah sa tunya ditopang oleh eksploitasi terhadap buruh yang men etapkan UMR relatif lebih rendah dibanding upah buruh di negara lain. Hal yang sama terjadi dalam mengekspor play wood yang dilakukan dengan mengeksploitasi secara besarbesaran terhadap hasil hutan. Yang paling ironis adalah kemampuan Indonesia untuk mengeskpor TKI ke berbagai
OPINI
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n Mei 2011
negara yang dilakukan dengan mengeksploitasi penduduk miskin yang tidak punya pilihan bekerja di bidang lain. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa ekspor komoditi ekspolitasi tersebut telah memberikan nilai tambah dan aliran devisa bagi Indonesia. Namun, nilai tambah komoditi berbasis ekspolitasi jauh lebih kecil dibanding nilai tambah komoditi berbasis teknologi. Selain itu, kemampuan bersa ing komoditi ekspor berbasis eksploitasi tidak dapat diper tahankan dalam jangka panjang, karena komoditi terebut tidak dapat diperbaharui (unrenewable) dan sangat rentan (fragile) terhadap berbagai perubahan. Volume ekspor tekstil Indoensia di pasar USA menurun drastis pada saat China dan Vietnam mengekspor tekstil di pasar yang sama dengan harga lebih murah, lantaran Cina dan Vietnam dapat menetapkan upah buruh lebih rendah daripada upah buruh di Indonesia. Penurunan volume ekspor produk plyawood juga akan terjadi pada saat hasil hutan Indonesia sudah habis sehingga tidak dapat diek splotasi lagi untuk menghasilkan produk ekspor. Sementara ekspor TKI yang sebagian besar terdiri dari TKW yang berprofesi sebagai pembatu rumah tangga, disamping dapat menorehkan imej sebagai negara pengekspor “babu” juga menimbulkan berbagai permasalahan serius lainnya, seperti perlakuan semena-mena, penganiayaan dan pemerkosaan terhadap TKW tersebut. Paling tidak ada tiga variabel yang menyebabkan Indonesia hingga sekarang masih belum mampu mengekspor ko moditi berbasis teknologi sehingga terpaksa masih harus mengekspor komoditi berbasis eksploitasi sebagai produk andalan. Pertama, pada level makro tidak adanya keterkaitan antara kebijakan ekonomi dengan kebijakan teknologi. Salah satu nya terjadi pada kebijakan penanaman Modal Asing (PMA) yang tidak pernah diintegrasikan dengan kebijakan teknologi. Sejak diberlakukannya UU PMA 1967 pada awal pemerintah an Orde Baru hingga sekarang (Draft UU Penanaman Modal 2007) tidak pernah sekalipun dipersyaratkan bagi investor asing untuk melakukan alih teknologi dalam menanamkan modal di Indonesia. Padahal, negara lain seperti Singapore secara tegas mensyaratkan bagi setiap investor asing untuk melakukan proses alih teknologi secara bertahap dalam menetapkan kebijakan PMA. Dampaknya, kemampuan teknologi (technological capability) tenaga kerja Indonesia di berbagai sektor indistri masih sangat rendah. Industri otomotif misalnya, meskipun Indonesia sudah memasuki indusri otomotif sejak 50 tahun yang lalu, namun kemam puan teknologi tenaga kerjanya masih masih terbatas pada penguasaan teknologi perakitan saja, sedang teknologi design dan pengembangan produk baru belum pernah dikuasai. Kedua, tidak adanya komitmen dari pemerintah untuk mengembangkan infrastruktur teknologi (technological infrastructure) yang mutlak dibutuhkan bagi pengembang an komoditi berbasis teknologi. Salah satu indikatornya adalah rendahnya pengeluaran APBN untuk membiayai kedua komponen teknologi infrastuktur, yakni R&D dan
SWARA33 m 34
pendidikan. Selama lima tahun terkahir ini, alokasi penge luaran untuk R&D rata-rata per tahun hanya sebesar 0,02 persen dari GNP. Bandingkan dengan alokasi pengeluaran untuk R&D di Singapore dan Malyasia rata-rata per tahun mencapai sebesar 1,1 persen dan 0.4 persen dari GNP. Kencederungan yang sama terjadi ada pengeluaran untuk sektor pendidikan. Dalam waktu yang sama, pengeluaran pemerintah Indonesia untuk sektor pendidikan rata-rata per tahun hanya sebesar 1.9 persen dari GNP, bandingkan dengan pengeluaran pemerintah Singapore dan Malaysia yang mencapai rata-rata pertahun sebesar 5,2 persen dan 5,8 persen dari GNP. Ketiga tidak adanya keterkaitan sama-sekali antara in frastruktur teknologi yang dikembangkan oleh pemerin tah dengan kebutuhan industri. Berbagai hasil riset, yang telah dilakukan oleh lembaga R&D bentukkan pemerintah maupun yang dilakukan oleh lembaga pendidikan tinggi, sebagian besar bukan merupakan kebutuhan bagi industri. Oleh karena itu, sebagian besar hasil riset tersebut tidak dapat dimanfatkan sama sekali oleh industri dalam menghasilkan komoditi berbasis teknologi. Demikian pula dengan hasil lulusan pendidikan tinggi yang cenderung tidak membekali dengan berbagai ketrampilan yang dibutuhkan oleh industri. Selain itu, pemerintah juga tidak memberikan stimulus dan dukungan bagi industri untuk mengembangkan technology center, yang melibatkan unsur pemerintah, industri dan per guruan tinggi, sebagai ajang untuk pengembangan inovasi guna mengahasilkan produk berbasis teknologi. Malaysia sejak beberapa tahun yang lalu sudah mengembangkan tech nology center yang dikenal dengan “lembah silicon” untuk mendukung kebutuhan industri dalam melakukan inovasi, sehingga pengembangan lembah silicon tersebut memberikan kontribusi significant dalam mengubah Malaysia dari negara pengeskpor komoditi eksploitasi (timah dan karet) menjadi negara pegekspor komoditi berbasis teknologi.
Pengembangan Appropriate Technology di Indonesia Bangsa Indonesia mau-tidak-mau, suka-tidak-suka, siaptidak-siap, harus menghadapi persaingan global yang tidak mungkin bisa dihindari lagi. Padahal bangsa yang sudah merdeka lebih setengah abad ini tampaknya belum siap sama sekali dalam menghadapi persaingan global. Ketidaksiapan dalam menghadapi persaingan global dapat dilihat dari beberapa indikasi. Di antaranya, industri manufaktur Indonesia, seperti industri otomotif dan elektronik, mau pun industri jasa tampaknya hanya mampu “berlaga” di kandang sendiri. Itupun karena masih ada unsur proteksi dari pemerintah bagi industri tersebut. Sementara, industri tekstil, yang selama ini menjadi primadona ekspor Indo nesia, sudah menyurut pamornya dan diperkirakan tidak akan mampu lagi bersaing dalam menghadapi pesaing dari China, India bahkan dari Vietnam sekalipun di pasar global. Memang, Indonesia masih bisa mengekspor tenaga kerja Indonesia (TKI) dalam jumlah besar, tetapi hampir semua TKI yang dikirim ke luar negeri adalah TKI yang tidak
OPINI
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n Mei 2011
terampil (unskill labor), seperti pembantu rumah tangga dan kuli perkebunan. Sumber daya alam (SDA) Indonesia, seperti hutan, boleh dikatakan masih berlimpah. Namun, kalau hutan tersebut diekspolitasi secara besar-besaran, baik secara legal maupun illegal, dan terbakar hampir setiap tahunnya, tentunya pada saatnya akan punah juga Selain berlimpahnya SDA, sesungguhnya Indonesia juga dianugrahi oleh Tuhan berupa kondisi alam dan iklim yang memungkinkan tumbuh-dan-berkembangnya berbagai jenis buah-buahan. Ada Durian, Pisang, Rambutan, Mangga, Salak, Duku, Kelengkeng, Apel, Pepaya, Jeruk dan lainnya yang tumbuh secara subur di hampir seluruh wilayah Indonesia. Buah-buahan tersebut semestinya menjadi potensi besar untuk menciptakan keunggulan bersaing bagi Indonesia. Ironisnya, berbagai jenis buah-buahan itu tidak bisa berkutik sama sekali menghadapi persaingan buah-buahan impor di pasar domestik, apalagi di pasar global. Durian dan Kleng keng lokal kalah besaing dengan Kelengkeng dan Durian Bangkok. Apel Malang hampir punah gara-gara tidak bisa bersaing dengan apel Australia dan Amerika. Dalam kondisi persaingan global yang semakin ketat, pen ciptaan keunggulan bersaing untuk suatu industri hanya dapat dilakukan dengan upaya pengembangan teknologi (technology development) atau paling tidak memberikan setuhan teknlogi (technology touch) terhadap industri tersebut secra mandiri. Pertanyaannya, industri apa yang musti diprioritaskan untuk dikembangkan di Indonesia dalam menciptakan keuanggulan bersaing di pasar global?. Kalau Indonesia memprioritaskan mengembangkan indus tri manufaktur, seperti industri otomotif dan elektronik serta industri tekstil, kemungkinannya tidak akan mampu mengejar ketertinggalan yang sudah dicapai lebih dulu oleh negara-negara lain, sehingga sangat berat bagi Indonesia untuk bisa bersaing di pasar global. Salah satu industri yang masih mungkin dikembangkan dalam penciptaan keunggulan bersaing di pasar global adalah agroindustri. Pertimbangan pertama tidak banyak negara lain yang bisa mengembangkan agroindustri karena adanya kendala alam dan iklim yang tidak memungkinkan, sehingga persaingan di pasar global bagi agroindustri tidak begitu ketat. Sementara bagi Indonesia, kondisi alam dan iklim yang ada sangat memungkinkan secara lebih leluasa untuk mengembangkan agroindustri. Kedua, sentuhan teknologi (technology touch) yang dibutuh kan untuk pengembangan agroindustri tidak teralu mahal dan tidak begitu rumit dibanding pengembangan teknologi pada industri manufatur. Ketiga, pengembangan agroindustri yang cenderung padat tenaga kerja (labor intensive) dan melibatkan banyak pihak, seperti petani dan usaha kecil. Pengembangan agroindustri ini harus linked dengan pembangunan industri pengolah an untuk meningkatkan nilai tambah dari komoditi yang dihasilkan. Misalnya, membangun industri pengalengan buah-buahan, industri pengolahan kelapa sawit beserta komoditi turunannya. Selain itu, pengembangan agroindus
SWARA33 m 35
tri beserta industri pengolahannya harus berorietasi ekspor ke pasar global, sehingga menuntut adanya jaminan kualitas yang dipersyaratkan oleh pasar global. Mengacu pada karakteristik appropriate technology yang berkaitan dengan teknologi yang dibutuhkan, dan technological capability yang tersedia, serta kondisi alam, iklim dan lingkungan yang ada di Indonesia, barangkali pengem bangan agroindustri beserta industri pengolahan yang berbasis pada teknologi merupakan appropriate technology bagi bangsa Indonesia. Keberhasilan dalam pengembangan appropriate technology tersebut akan mendorong pem bangunan ekonomi secara mandiri dan akan memberikan kontribusi dalam mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan di Indonesia. Untuk mencapai keberhasilan tersebut dibutuhkan adanya komitmen dari barbagai pihak, utamanya pemerintah, pelaku industri dan perguruan tinggi, secara sinergis untuk mengupayakan secara serius dan terus menerus pengem bangan appropriate technology tersebut secara mandiri.
n Dr. Fahmy Radhi, MBA. Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM ; Direktur Eksekutif Mubyarto Institute
Daftar Pustaka Aswicahyono, Basri, Hill, H, (2000). ‘How Not to Industrialize? Indone sia’s Automotive Industry,’ Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 36, No. 1, pp. 209-241. Chalmers, I. (1998), ’Tommy’s toys trashed’, Inside Indonesia 56 (OctoberDecember), http://www.insideindonesia.or/edit/56/chalm.htm, 10/03/01. Lall, S., 1992, “Technological Capabilities and Industrialization,” World Development, Vol. 20, No. 2, pp. 165-186 Radhi, Fahmy, 2005, “Industry Policy and Technology Transfer: Review and Analysis of the Indonesian Automotive Industry during New Order Era”, Jurnal Akutansi dan Manajemen, STIE YKPN, Jogyakarta, Vol. XVI, Nomor 2, hal. 107-120. Radhi, Fahmy and Priyono, Anjar, 2005, “Implementation of Tech nology and Management Initiatives to Eliminate Competitive Priorities Trade-offs, Proceeding, Workshop of the 14th International Conference on Management of Technology Radhi, Fahmy, 2002, “Cross-Border Technology Transfer”, Proceeding of Doing Business Across Borders Conference, the University of Newcastle, Australia 2002 Radhi, Fahmy, 1997, “Technological Consideration in Strategic Planning: a Case Study of an Indonesia Aircraft Company,” Business and Economic Analysis Journal, No. 6, Vol. II, pp. 95-107 Siahaan, B. (2000), ‘Industrialisasi di Indonesia: dari periode rehabilitasi sampai awal Reformasi [Industrialisation in Indonesia: from rehabilitation to reformation period], ITP Publisher, Bandung, Indonesia. Soehoed, AR. (1998), ‘Reflections on Industrialisation and Industrial Policy in Indonesia’, Bulletin of Indonesian Economic Studies 24 (2): 43-57. Thee, (1990). Indonesia: Technology Transfer in the Manufacturing Industry, in Soesastro, H. and Pangestu, M (Eds.) Technological Challenge in the Pacific, Allen and Unwind, Sydney, Australia, pp. 200-232
OPINI
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n Mei 2011
SWARA33 m 36
Puthut Indroyono
SOLUSI KERAKYATAN ENERGI BARU TERBARUKAN
Harus diakui pendekatan demokratik tidak pernah jadi pilihan utama dalam kebijakan energi kita baik yang menyangkut energi fosil, maupun energi baru dan terbarukan (EBT). Kalaupun ada, porsinya minimal dan hanya untuk sekedar memberi kesan populis. Peran pemerintah dan BUMN yang bertanggungjawab untuk mendistribusikan pendapatan melalui kesempatan berusaha khususnya pelaku ekonomi lokal, justru makin terkesan berpihak bukan pada kepen tingan ekonomi rakyat banyak.
m
ubyarto (1987:139) pernah mengingat kan bahwa proses privatisasi tidak seyog yanya diterapkan pada semua bidang tanpa mempertimbangkan kepentingan umum dan hajat hidup orang banyak. Karena yang demikian itu dapat menimbulkan kekawatir an pada pertumbuhan yang mengarah ke monopoli dan oligopoli yang merugikan masyarakat. Bagi pembaca yang mengikuti perkembangan EBT di In donesia, tentu merasa sangat prihatin karena lebih banyak cerita yang kurang menggembirakan. Sebagaimana Kompas (18/3/11), hampir semua adalah bad practice. Artikel Opini Kedaulatan Rakyat (8/4/11) lalu, memang telah memberi kan argumentasi normatif tentang EBT, namun belum memberi arah yang jelas tentang “siapa melakukan apa dan bagaimana”, sebagaimana diamanatkan konstitusi.
Partisipasi Energi Kolektif Di belahan bumi lain, yang masyarakatnya lebih individu alistik, program energi baru berbasis kepemilikan kolektif dapat berkembang pesat, sementara perusahaan negara menjadi cerminan kepemilikan rakyat secara kolektif. Model sentralistik berbasis mekanisme pasar berangsur di tinggalkan karena persoalan energi adalah persoalan negara dan rakyatnya. Alaska Permanent Fund adalah contoh cerita sukses legislasi yang menempatkan partisipasi rakyat dalam produksi ener gi di Amerika Serikat khususnya Alaska. Di negara bagian itu, setiap warga negara mendapat dividen tahunan dari “BUMN” sejak tiga dekade lalu. Pendekatan kepemilikan kolektif (community ownership) juga menjadi magnitude dan trend baru dalam investasi EBT. Praktek monopoli/oli gopoli negara dan swasta seakan dianggap sebagai sumber masalah timbulnya krisis energi berkepanjangan dan sekali gus krisis lingkungan. Sebagai gantinya adalah pengelolaan energi berbasis investa si rakyat. Partisipasi rakyat tidak sebatas konsumsi, tapi juga pada produksi, distribusi, dan penguasaan faktor-faktor produksi. Rakyat didorong untuk berpartisipasi dalam arti luas, pada aspek material (bahan baku, peralatan/teknologi, modal finansial, tenaga kerja dll.), intelektual (aspek keahli an/know-how), dan institusional (kelembagaan/modal sosial). Hasilnya, rakyat berbondong-bondong membeli saham energi atau menyetor “simpanan wajib/sukarela”, mem bolehkan tanahnya untuk tempat pembangkit atau sekedar dilewati transmisi listrik. Mereka mendukung program, karena kontribusi sekecil apapun diperhitungkan dalam biaya maupun keuntungan. Pendeknya, “pemain” energi terbarukan makin diperluas (from few to the many). Denmark merupakan salah satu negara paling sukses yang menyumbang 20% untuk pasok an energi baru negeri mereka saat ini. Di Inggris, terdapat
OPINI
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n Mei 2011
“energy4all”, koperasi energi angin yang melibatkan banyak anggota koperasi, pengembang lokal, dan pusat studi energi. Di Asia Tenggara kita mengakui Thailand sebagai negara terdepan dalam pengembangan EBT yang partisipatif. “The more people involved…, the more democratic the energy supply system becomes”. Penjual energi mendapat keuntun gan wajar, pemilik tanah mendapat sewa, rakyat mendapat tambahan fasilitas, penduduk lokal dapat bekerja, pemerin tah mendapat pajak, dan konsumen berdaya ikut menentu kan harga energi.
Keunggulan Banyak studi menyimpulkan keunggulan model ini. Per tama, metode ini membuka kesempatan pada rakyat untuk merevitalisasi proyek-proyek macet di masa lampau, yang ditinggalkan pemerintah/investor karena tidak mengun tungkan. Kita tahu di Indonesia banyak proyek energi baru yang ter bengkelai. Misalnya, Pertamina dan PT RNI, dan PGN yang harus “menyumbang” Rp 10 milliar untuk proyek biodiesel untuk program Desa Mandiri Energi di Grobogan. Petani dimobilisasi melalui kelompok tani dan diposisikan sebagai penyuplai bahan baku, bukan pada kemanfaatan energi baru kini dan masa depan. Mereka tidak peduli selain harga pembelian saat panen. Lain cerita bila mereka diberi kesempatan menjadi “pemi lik” proyek biodiesel lewat skema yang disepakati seperti saham atau koperasi. Dalam kasus Grobogan, “proyek gagal” itu kemudian diambil perusahaan yang justru memanfaat kan biji jarak untuk produk lain atau diekspor. Alasan kega galan program karena harga jual bahan baku di atas harga “pasar”, sebagaimana sering disampaikan para pengelola/ pemilik proyek EBT di Indonesia sangat tidak relevan. Kedua, meluasnya partisipasi rakyat dapat meningkatkan investasi energi terbarukan. Sekalipun tingkat pengembalian modal lebih rendah, namun di banyak negara hal itu tidak menyurutkan semangat masyarakat berinvestasi. Kita masih ingat bagaimana investasi produk strategis bangsa justru diberikan pada pemodal asing. Ketiga, munculnya kesadaran masyarakat bahwa energi adalah persoalan mereka sehingga mereka berkepentingan menjaga berkesinambungannya, agar terjangkau harganya, dan bersih secara lingkungan.
SWARA33 m 37
Tentu masih banyak dampak positif kepemilikan yang mendorong kesadaran dan kesejahteraan rakyat seperti ke untungan yang terdistribusi, biaya transmisi murah karena pembangkitnya juga terdistribusi. Dukungan publik pada pemerintah akan meningkat sehingga tidak perlu “ragu” menaikkan harga BBM fosil atau listrik. Memang tidak mudah, namun kalau kita mengingat masa lalu, bagaimanapun masyarakat kita memiliki tingkat swadaya tinggi karena kepemilikan kolektif. Kalau sekarang ini terkesan kurang, itu karena pendekatan program yang selama ini dijalankan. Jika potensi besar itu dikembangkan, maka tidak mustahil di masa depan di banyak desa akan banyak dijumpai “Perusahaan Listrik Desa”, yang berfungsi layaknya PLN. Shareholder-nya adalah pemerintah, inves tor lokal, universitas/pusat studi, masyarakat setempat, koperasi, kelompok swadaya, kelompok tani, kelompok perempuan, dan lain-lain. Peraih Nobel ekonomi 2009, Elinor Ostrom menolak keras pemahaman umum bahwa common property selalu buruk dalam pengelolaan dan perlu diambil alih negara atau dipri vatisasi. Menurutnya, semuanya sama-sama tidak lebih baik dari yang lain berdasarkan teori-teori standar. Oleh karena itu, dengan keseriusan semua pihak energi kolektif rakyat dapat menjadi salah satu sarana dalam mendemokratisasi kesempatan berusaha bagi rakyat untuk mengurangi kesen jangan, memperluas lapangan usaha rakyat, serta mening katkan kedaulatan energi terutama dalam energi baru dan terbarukan. Saat ini pemerintah sedang mengembangkan proyek energy angin dan surya di pantai selatan Yogyakarta. Pemerintah daerah bekerjasama dengan UGM sedang mengembangkan kelembagaan ekonomi yang nantinya dapat mengembang kan kawasan pantai selatan itu. Menurut Bappeda, pemerin tah daerah kabupaten Bantul mengharapkan terbentuknya sebuah koperasi yang dapat menjadi wadah bagi pengem bangan ekonomi rakyat melalui pengembangan EBT. Se moga harapan itu nantinya dapat terwujud sesuai cita-cita konstitusi, karena tidak ada yang lebih “menyakitkan” ketika koperasi hanya diberi kesempatan oleh negara sebagai “tem pat mbayar” rekening listrik di masa lalu.
n Drs. Puthut Indroyono Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan - UGM ; Wakil Pemimpin Redaksi Swara33 - Mubyarto Institute
PUSTAKA
FOKUS
SWARA33 SWARA33 m 38
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n MeieBulletin 2011 MUBINS n Edisi 001 n April 2011 n
(Persembahan dan Pengabdian Pemikiran pada Konsistensi dan Perjuangan Pemikiran (alm) Pak. Muby)
”Some Indonesians, including social scientists, especially economists, argue that there is no entity such as ekonomi rakyat (people’s economy) or that there is no history of ekonomi rakyat. We believe that it is because they have never read books on Indonesian economic history”(Mubyarto “A Development Manifesto” 2005)
k
ekuatan lokal adalah salah satu jawaban besar dari upaya pencarian kekuatan tandingan globalisasi. Globalisasi yang melahirkan banyak permasalahan, seperti kemiskinan, pengangguran, ketidakmerataan, dan marginalisasi sebagian besar penduduk dunia, memaksa orang untuk beralih dan memperkuat apa yang dimiliki dalam kehidupan lokalnya. Seiring dengan merebaknya
KEKUATAN LOKAl
SISTEM EKONOMI PANCASILA
Oleh : Poppy Ismalina
keyakinan orang akan fenomena globalisasi, banyak dorongan untuk kemudian mengeksplorasi kekuatan lokal, baik dari segi pemikiran maupun aksi. Robertson and Haquekhondker (1995) menegaskan bahwa the defense or promotion of the local is a global phenomenon. Namun demikian, tidak sedikit pengalaman di berbagai negara yang menunjukkan kegagalan dalam membangun kekuatan lokal. Cerita sukses dari pengalaman Grameen Bank di Bangladesh, Credit Union di Eropa, gerakan LETS (Local Exchange Trading System) di Inggris dan Kanada, dan gerakan Zapatista di Meksiko maupun lembaga-lembaga keuangan mikro di Indonesia (dan masih banyak cerita sukses dari belahan dunia lainnya) masih kurang mampu memprovokasi kesadaran kita akan keefektifan dari bangunan kekuatan lokal.
DATA BUKU Judul : A Development Manifesto ; The Resilience of Indonesian Ekonomi Rakyat During the Monetary Crisis Penulis : Mubyarto Penerbit : Fakultas Ekonomi UGM dan Kompas Book Publishing, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta Tahun : 2005 Halaman : 200 Padahal, di Indonesia, tidak seperti di banyak negara lain, eksplorasi kekuatan lokal sebenarnya tidak hanya baru sampai pada dataran aksi, tetapi juga sudah pada dataran pemikiran (baca: bahkan, ideologi ekonomi). Salah seorang pemikir besar yang tiada henti berbuat dan menunjukkan pada kita semua tentang bangunan kekuatan lokal
PUSTAKA
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n Mei 2011
yang dimiliki oleh rakyat Indonesia adalah alm. Pak Muby. Pemikiran sistem ekonomi Pancasila dibangun dari kesadaran perlunya ’kuasa’ kekuatan lokal, yang selalu sering disebut oleh Pak Muby sebagai ekonomi rakyat. Semangat berpikir dan bertindak lokal (think locally, act locally) yang menjadi dasar dari seluruh gerakan kekuatan lokal di dunia juga menjadi pijakan pemikiran dan implementasi sistem ekonomi Pancasila (Mubyarto, 1997(1)). Sistem Ekonomi Pancasila adalah sesungguhnya sistem lokal yang kita punya, sebagai jawaban dari pencarian kekuatan tandingan atas fenomena globalisasi, dan lebih jauh lagi adalah sebagai ideologi tanding (counter ideology) dari kapitalisme (Mubyarto, 2000). Lebih tegasnya, sistem Ekonomi Pancasila adalah jawaban dari upaya kita membangun Kekuatan Lokal di Indonesia. Realitas itulah yang menjadi inspirasi isi makalah ini. Apa yang akan dibahas cerminan dari keinginan untuk memaknai pemikiran dan implemetasi sistem ekonomi Pancasila dalam membangun kekuatan lokal. Catatancatatan tambahan yang mungkin belum banyak tertuang dalam tulisan-tulisan yang ada mengenai Ekonomi Pancasila hanyalah merupakan catatan yang selama ini sedikit tercecer dari diskursus Ekonomi Pancasila. Meski tidak akan dijelaskan tentang bagaimana Ekonomi Pancasila merumuskan kekuatan ekonomi lokal, tetapi itulah yang menjadi semangat utama perkembangan pemikiran dalam tulisan ini. Hal ini disebabkan penulis yakin bahwa sistem Ekonomi Pancasila tidak terdefinisikan secara tunggal, melainkan sarat makna mengingat posisinya sebagai sistem ekonomi alternatif. Untuk itu pertanyaan-perta nyaan umum yang akan dicoba dijawab adalah bagaimana kita mendefinisikan kekuatan lokal dan mengapa upaya membangun kekuatan (ekonomi) lokal seringkali kandas di tengah jalan. Ilustrasi-ilustrasi tentang apa yang selama ini berkembang di masyarakat Indonesia akan pula diulas untuk memperkaya pemahaman kita akan kondisi riil.
Redefinisi Kekuatan Lokal : Bukan Sekedar Kekuatan Ekonomi Lokal Upaya melibatkan partisipasi masyarakat lokal telah menjadi ciri khas dari program-program Pemerintah Indonesia, mulai dari Orde Baru sampai pada era reformasi ini, terutama dalam rangka menanggulangi kemiskinan. Pemerintah pada tahun 1993 meluncurkan program IDT, pada tahun 1998 untuk mengatasi dampak krisis ekonomi meluncurkan program PDMDKE, pada tahun 1999 khususnya untuk kegiatan pertanian diluncurkan KUT, untuk tahun 2001 diluncurkan program PPK dan P2KP. Implementasi otonomi daerah pada tahun 2001 juga didorong oleh semangat peningkatan partisipasi lokal dalam pembangunan. Namun demikian, tidak banyak ilmuwan atau ahli-ahli sosial dan ekonomi maupun masyarakat sendiri yang mengakui bahwa dampak dari seluruh kebijakan tersebut adalah terbangunnya kekuatan-kekuatan lokal di Indonesia yang dapat digunakan untuk menjamin kebertahanan hidup masyarakat dalam menghadapi segala permasalah an ekonomi. Kalaupun ada pengakuan tentang kekuatan
SWARA33 m 39
ekonomi rakyat sebagai cerminan dari kekuatan lokal hal ini dianggap sebagai inisiatif dan gerakan murni dari masyarakat, bukan bagian dari implementasi programprogram Pemerintah. Fenomena ini memang telah menjadi kritik umum di berbagai belahan dunia terhadap program-program Pemerintah dalam membangun kekuatan lokal. Banyak ahli yang mensinyalir bahwa program-program tersebut malahan merusak tatanan sosial yang sebenarnya telah lama terbentuk di masyarakat. Selain itu, program-program tersebut menetapkan basis hubungan masyarakat pada kontrak-kontrak ekonomi. Semangat kebersamaan menjadi terbunuh dengan adanya motif-motif ekonomi yang melandasi setiap kegiatan. Dengan demikian, yang terjadi di Indonesia adalah penyeragaman aksi yang memiliki tujuan parsial yaitu peningkatan pendapatan semata. Apalagi, parameter-parameter keberhasilan upaya peningkatan partisipasi masyarakat tereduksi hanya sampai pada parame ter-parameter ekonomi. Bangunan kekuatan lokal hanya diterjemahkan sebagai kekuatan ekonomi lokal, sementara sebenarnya kekuatan ekonomi lokal hanyalah bagian dari upaya membangun kekuatan lokal itu sendiri, atau bahkan implikasi dari bangunan kekuatan lokal. Sebenarnya banyak program-program yang telah dilakukan oleh LSM-LSM dalam rangka membangun ‘kuasa’ kekuatan lokal, tidak sekedar kekuatan ekonomi lokal. Program Pemerintah seperti Program Inpres Desa Tertinggal pun sebenarnya dilambari oleh semangat dan komitmen kekuatan lokal. Namun demikian, makna program-program tersebut tereduksi karena dianggap sebagai bagian dari penyeragaman aksi pemerintah Orde Baru. Hal inilah yang menyebabkan kekuatan lokal belum terbangun secara signifikan di Indonesia dan yang lebih parah lagi, kerangka berpikir sebagian besar masyarakat Indonesia akan bangunan kekuatan lokal hanya tereduksi sampai pada kekuatan ekonomi (beserta parameter-parameter ekonominya). Imajinasi kita akan bangunan kekuatan lokal menjadi terbatas pada satu makna, yaitu peningkatan pendapatan masyarakat sekitar. Pemaparan ilustrasi tentang keberhasilan IDT, lembaga keuangan mikro maupun koperasi kredit, atau bahkan pengalaman Grameen Bank di Bangladesh, ataupun praktek LETS (Local Exchange Trading System) juga pada umumnya lebih menonjolkan paramerparameter ekonomi sebagai indikasi keberhasilan. Lantas, bagaimana ‘kuasa’ kekuatan lokal tersebut dapat kita bangun? Dalam kaitannya dengan gagasan kekuatan lokal, secara gamblang Wolfgang Sachs (1992) menegaskan bahwa membangun ‘kuasa’ kekuatan lokal harus mengakui adanya KEBERAGAMAN kondisi-kondisi lokal yang terkait dengan sistem kehidupan masyarakat. Berkaitan dengan itu, Borda (2000) menggariskan tiga hal yang dapat memotivasi masyarakat untuk membangun ‘kuasa’ kekuatan lokal, yaitu: (1) Perjuangan untuk kewilayahan dan sumber daya (the struggle for territory and natural resources); (2) Perjuangan untuk pengakuan budaya (the struggle for cultural recognition); (3) Perjuangan untuk kekuasaan politik (the struggle for political power). Kesimpulan akan tiga hal ini didasarkan pada pengalaman-pengalaman di berbagai wilayah di dunia yang telah oleh sejarah dianggap berhasil
PUSTAKA
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n Mei 2011
dalam membangun ‘kuasa’ kekuatan lokal. Perjuangan untuk mempertahankan wilayah pemukim an dan sumberdaya alam yang dimiliki oleh masyarakat setempat bukan hanya semata-semata retribusi ekonomi ataupun hanya persoalan ganti rugi tanah dan rumah maupun ganti rugi penggunaan kekayaan alam. Untuk menepis anggapan parsial tersebut, Manuel Castells (1997) secara tegas menganalisis tentang apa yang disebut ‘identitas kewilayahan’ (territory identities) dari komunitaskomunitas lokal. Konsekuensinya adalah kita harus berpikir bahwa locally based identities intersect with other sources of meaning and social recognition, in a highly diversified pattern that allows for alternative interpretations (Castells, 1997). Di Indonesia sendiri, perseteruan tentang wilayah pemukiman dan sumberdaya alam banyak terjadi, seperti kasus Kedungombo, isu seputar hak-hak ulayat di wilayahwilayah pedalaman, dan konflik-konflik di wilayah pertambangan. Meski kalah akibat tidak adanya keberpihakan Pemerintah, tetapi cerita-cerita di wilayah-wilayah pedalaman Papua, Sulawesi, maupun Kalimantan mengantarkan kita pada pengakuan bahwa telah ada upaya masyarakat lokal untuk mempertahankan identitas diri dan lingkungannya. Untuk model perjuangan kedua, pengakuan akan budaya setempat bukan hanya sebatas pada pengakuan akan tampilan-tampilan fisik budaya setempat. Lebih jauh pengakuan budaya merupakan pengakuan akan ‘local knowledge’ (pengetahuan lokal) dan ‘local genius’ (kapasitas lokal untuk memikirkan dirinya sendiri) yang sudah berkembang di suatu masyarakat dalam masa yang amat panjang. Perjuangan hal ini diarahkan pada pengakuan identitas kultural masyarakat secara menyeluruh. Impli kasinya, sistem ekonomi lokal tidak ditempatkan sebagai sebuah realitas terpisah, tetapi bagian dari realitas budaya masyarakat secara keseluruhan, yang terkait dengan segala tatanan sosial yang berlaku di masyarakat tersebut. Konflik-konflik antar ras yang terjadi di Indonesia, seperti di Aceh, Ambon, dan Papua, disinyalir merupakan wujud dari keinginan masyarakat untuk mendapatkan pengakuan kultural dari Pemerintah. Pemerintah Indonesia selalu menuntut ‘kesetiaan’ dari rakyatnya, tetapi tidak pernah berusaha untuk memahami bagaimana kondisi sebenarnya dari masyarakat. Tidak berlebihan kalau kemudian, rakyat menuntut haknya untuk mulai ‘diketahui’ dan ‘dipahami’ oleh Pemerintah. Tahapan perjuangan ketiga, yaitu untuk kekuasaan politik terjadi apabila kemudian masyarakat menjadikan kekuatan lokal sebagai kekuatan tanding dari kekuatan politik negara atau sistem yang berlaku. Perjuangan ini didasarkan kepentingan bahwa kekuatan politik adalah jawaban untuk Negara menimbang kehendak-kehendak masyarakat. Gerakan Zapatista di Meksiko merupakan contoh riil dari macam perjuangan ini. Yang menarik, secara empiris terbukti bahwa perjuangan yang biasa dilakukan oleh masyarakat lokal dalam meningkatkan posisi tawar politiknya tidak pernah menggunakan organisasi-organi sasi politik formal yang telah ada (partai-partai politik). Cikal bakal perjuangan ini adalah bagaimana masyarakat mendefinisikan tentang makna kehidupan demokrasi
SWARA33 m 40
di wilayahnya. Misal, di desa Gadingsari, Bantul, Yogyakarta, masyarakat berinisiatif membentuk “Paguyuban Masyarakat Gadingsari” yang bertujuan untuk menumbuhkembangkan demokrasi. Dan ini tidak hanya terjadi di desa Gadingsari, banyak daerah di Indonesia yang memiliki inisiatif sama. Dari ketiga macam perjuangan dalam upaya memba ngun kekuatan lokal, secara umum kita bisa yakini bahwa apa yang disebut Michael Todaro (2000) sebagai tiga nilai utama pembangunan, yaitu pemenuhan kebutuhan dasar, penegakan harga diri, dan kebebasan bertindak akan kemudian tercipta. Pada akhirnya, kekuatan lokal tidak hanya sebagai kekuatan tandingan sistem global tetapi juga mengantarkan masyarakat pada kesejahteraan yang sebenarnya. Atas dasar basis pemikiran tersebut di atas, beberapa ekonom Indonesia, yang dimotori oleh Pak Muby, terus berpikir dan bertindak dalam mengeksplorasikan peranan kekuatan-kekuatan lokal di Indonesia. Kepedulian tentang ekonomi rakyat menjadi semangat dari seluruh pemikiran dan perjuangan Pak Muby. “Ekonomi rakyat (people’s economy) has indeed a long history in Indonesia and that the facts of its history should be recognized as playing a very important role in the modern Indonesian economy. It makes a great deal of sense that the government should pay close attention to the role of ekonomi rakyat in further developing the Indonesian economy” (Mubyarto, A Development Manifesto, 2005) Sistem Ekonomi Pancasila, yang merupakan produk ideologi dari perjuangan tersebut, merupakan representasi keberadaan kekuatan lokal di Indonesia. Demokrasi ekonomi sebagai nilai keempat dari Sistem Ekonomi Pancasila tersebut menandakan adanya pengakuan kebera gaman perilaku-perilaku ekonomi dari seluruh masyarakat Indonesia. Pengakuan keberagaman tersebut merupakan isyarat adanya pengakuan akan local knowledge, local genius, dan local culture dari masing-masing wilayah di Indonesia. Apabila kita memang peduli pada nasib seluruh rakyat Indonesia, langkah awal yang harus dilakukan adalah belajar untuk memahami apa dan siapa masing-masing kelompok masyarakat tersebut sebelum mengambil keputusan apapun tentang agenda-agenda pembangunan bagi masyarakat. Inilah juga yang merupakan teladan komitmen dan sikap dari (alm) Pak Muby semasa hidupnya. Semoga Allah SWT menempatkan Pak Muby di tempat yang terbaik sekarang. Segala komitmen, sikap, pemikiran dan perjuangan Pak Muby akan selalu melambari semangat kami dalam berbuat sesuatu untuk negeri ini dan rakyat Indonesia.
n Poppy Ismalina, SE, MEcDev., PhD. Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM ; Peneliti Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik (PSEKP), UGM.
WARTA
SWARA33 SWARA33 m 41
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n Mei eBulletin 2011 MUBINS n Edisi 001 n Mei 2011 n
Program Kelembagaan
Energi Baru dan Terbarukan di BANTUL
Laporan : Puthut Indroyono
(SWARA33) Kamis, 5 Mei 2011. Tim peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM (Pustek-UGM) mengadakan sosialisasi program pengembangan kelembagaan energi terbarukan di balai desa Poncosari Srandakan Bantul. Sosialisasi ini dimaksudkan untuk memberikan penjelasan tentang program pengembangan kelembagaan masyarakat dalam kerangka program PHKI yang dibiayai oleh DIKTI. Hadir memberikan paparan pada kesempatan itu adalah Drs. Sulistiyanto, M.Pd dari Bappeda Kab. Bantul, Dr. Ahmad Agus Setiawan, M.Sc dari Jurusan Teknik Fisika, Fakultas Teknik UGM, dan Awan Santoso, SE, M.Sc serta Drs. Puthut Indroyono, keduanya dari Pustek UGM. Peserta yang hadir merupakan wakil-wakil dari kelompok-
kelompok masyarakat di lingkungan desa Poncosari, Srandakan, Bantul. Hadir pula beberapa pejabat dari dinas-dinas pemerintah daerah Bantul, kecamatan Srandakan dan wakil dari Sekolah Menengah Kejuruan.
Dijelaskan oleh Sulistiyanto, saat ini pemerintah Bantul sedang memikirkan bentuk kelembagaan masyarakat dalam pengembangan energi baru dan terbarukan di kawasan pantai Kowaru Bantul. Harapannya bentuk organisasi nantinya adalah “dari, oleh dan untuk masyarakat”, dan wadah organisasi itu menurutnya adalah koperasi. Pada kesempatan itu disampaikan pula bahwa perlu dibentuk pula “Study Club” yang mampu mewadai para pemuda agar dapat belajar tentang energi baru dan terbarukan. Sementara itu, Dr. A.Agus Setiawan
menjelaskan besarnya potensi pengembangan energi terbarukan di Indonesia, terutama di daerahdaerah terpencil. Berdasarkan pe ngalaman panjangnya dalam mendampingi masyarakat di beberapa daerah, potensi energi terbarukan dapat diaplikasikan untuk mening katkan usaha ekonomi rumah tangga. Selain ketersediaannya melimpah, energi bersih tersebut telah menjadi salah satu prioritas pengembangan energy nasional saat ini. Awan Santoso, SE. M.Sc, pada saat yang sama menggarisbawahi pentingnya peran modal sosial dalam pengembangan energi terbarukan berbasis masyarakat, yang berpotensi besar tidak hanya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat tetapi juga menguatkan kemandirian ekonomi rakyat.
WARTA Pada kesempatan tanyajawab, tiga orang orang peserta menyampaikan pertanyaan dan tanggapannya. Peserta pertama menyampaikan kritikannya tentang kurangnya peserta dari generasi muda dalam acara tersebut, meskipun ia mengharapkan tindaklanjut program selanjutnya. Seorang ibu utusan dari salah satu sekolah menengah kejuruan menyampaikan ketertarikannya
SWARA33 m 42
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n Mei 2011
untuk mengkaitkan program energi terbarukan dengan kegiatan belajar mengajar di sekolahnya, meski masih membutuhkan persiapan-persiapan. Sedangkan seorang wakil kelompok tani menyampaikan upayanya dalam memperbaiki peralatan tani dan kemungkinannya dapat dibantu oleh ahli dari UGM. Pada bagian akhir dijelaskan oleh PIC program, Puthut Indroyono, bahwa
Deklarasi AEPI Wilayah Yogyakarta
setelah kegiatan ini akan ditindaklanjuti dengan kajian partisipatif terkait kelembagaan yang diharapkan oleh masyarakat, termasuk menyusun rencana program bersama berikut macam program pendampingan yang diperlukan.
n
“AEPI dibentuk sebagai wadah perjuangan untuk menegakkan keadilan ekonomi dan sosial sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi...”
Lkembali awan Neoliberalisme ke Ekonomi Konstitusi ! Laporan : Istianto Ari Wibowo & Farisa Ratna Sari (SWARA33) Kamis, 28 April 2011. Sejumlah akademisi, aktivis buruh, aktivis tani, dan pegiat LSM dan koperasi mendeklarasikan berdirinya Asosiasi Ekonomi Politik In donesia (AEPI) wilayah Yogyakarta. AEPI dibentuk sebagai wadah perjuangan untuk menegakkan keadilan ekonomi dan sosial sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi. Tekad itu tertuang dalam naskah deklarasi yaitu: Per tama, melanjutkan perjuangan para pendiri bangsa dalam mewujudkan perekonomian yang mandiri, demokratis, dan berkeadilan sebagaimana digariskan dalam Pasal 33 UUD
1945 beserta penjelasannya. Kedua, mengkaji dan meng oreksi berbagai kebijakan ekonomi-politik Indonesia agar sejalan dengan cita-cita proklamasi dan amanat konstitusi. Ketiga, merumuskan dan menyebarluaskan gagasan men genai urgensi peningkatan kemandirian dan demokratisasi perekonomian Indonesia bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Keempat, meningkatkan derajat dan martabat mayoritas rakyat Indonesia sebagai tuan di negeri sendiri. Kelima, membentuk sebuah wadah pejuangan kaum terpela jar yang berpihak kepada konstitusi, yang kami beri nama
WARTA Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia. Pembacaan naskah deklarasi pemben tukan AEPI Yogyakarta oleh perwakilan deklarator. Secara simbolis, Deklarasi AEPI Yog yakarta dibacakan oleh Budi Wahyuni (LSM), Drs Dumairy, MA (FEB-UGM), Arie Sujito (Fisipol UGM), Awan San tosa (UMBY), Said Tuhuleley (UMY), Halili (UNY), Yati Suhartini UPY), Sri Utami (STPMD APMD), Andi A Junaid (Koperasi), Kirnadi (ABY), dan Budi Susilo (LSM), Hadi Ismanto (SPI) Dalam sambutan pembukaan, Dr. Revrisond Baswir, MBA, salah satu penggagas pendirian AEPI, menyatakan bahwa setelah deklarasi nasional pada bulan Februari 2010, Yogyakarta adalah daerah kedua yang telah melakukan deklarasi setelah wilayah DKI Jakarta. Direncanakan dalam waktu yang tidak terlampau lama akan menyusul daerahdaerah lain seperti Surabaya, Makassar, maupun Medan. Lanjut Soni, (pang gilan akrab Revrisond) selambatnya se mester pertama 2012, AEPI akan men gadakan kongres untuk menetapkan pengurus-pengurusnya. Tidak lupa ia juga mengingatkan bahwa meskipun ada kata politik dalam akronim AEPI, bukan berarti bahwa organisasi ini adalah organisasi politik dan karena itu anggotanya tentu bukan politisi. Hadir sebagai keynote speech adalah Prof. Dr. Sri Edi Swasono yang me nyampaikan bahwa berbagai penyim pangan dalam pengelolaan perekono mian bangsa mesti segera dikembalikan ke jalan yang benar. Penyimpangan tersebut antara lain berupa lahirnya produk perundang-undangan dan pendidikan ekonomi yang bertentangan dengan konstitusi. Prof. Edi memberi apresiasi dan dukungan penuh terhadap pembentukan AEPI. Acara deklarasi ini berlangsung bersamaan dengan acara Bedah Buku Berpikir Besar dalam Ko perasi: Catatan 36 Tahun Kospin Jasa, yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM. Hadir sebagai pembicara dalam bedah buku adalah H.A Zaki A. Djunaid, Ketua Umum Kospin Jasa.
n
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n Mei 2011
SWARA33 m 43
Deklarasi Pembentukan ASOSIASI EKONOMI POLITIK INDONESIA Bahwa, Cita-cita mewujudkan perekonomian bangsa yang mandiri, demokratis, dan berkeadilan adalah bagian yang sah dari cita-cita perjuang an kemerdekaan Indonesia. Namun sejak hari pertama sete...lah proklamasi, jaringan neokolonialisme dan para agennya tidak pernah berhenti berusaha merongrong pengamalan cita-cita tersebut. Akibatnya, 65 tahun setelah proklamasi, struktur perekonomian Indonesia yang bercorak kolonial masih terus bertahan. Bahkan, dalam satu dekade terakhir, kecenderungan untuk mensubordinasikan perekonomian Indonesia dibawah struktur kapitalisme internasional itu diperparah oleh perlaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal secara masif yang didukung oleh kemajuan teknologi informasi. Ekspansi modal asing dan usaha-usaha besar difasilitasi. Penghancuran lingkungan hidup dibiarkan. Pemenuhan hak-hak dasar para pelaku ekonomi rakyat cenderung terabaikan. Kesenjangan dan ketidakadilan sosial, yang ditutupi dengan pemaparan indikator-indikator yang mengagumkan di atas kertas, kini menjadi kenyataan sehari-hari. Muaranya, sebagian rakyat Indonesia, sebagai pemilik sah negeri ini, yang seharusnya meningkat derajat dan martabatnya sebagai tuan di negeri sendiri, terpaksa bertahan hidup dengan menjadi kuli kelas dunia. Bahwa, Belenggu struktur ekonomi kolonial serta pengingkaran terhadap cita-cita proklamasi dan amanat konstitusi itu harus segera dihentikan. Sebab itu, kami yang berkumpul di sini bertekad untuk : Pertama, melanjutkan perjuangan para pendiri bangsa dalam mewujudkan perekonomian yang mandiri, demokratis, dan berkeadilan sebagaimana digariskan dalam Pasal 33 UUD 1945 beserta penjelasannya. Kedua, mengkaji dan mengoreksi berbagai kebijakan ekonomi-politik Indonesia agar sejalan dengan cita-cita proklamasi dan amanat konstitusi; Ketiga, merumuskan dan menyebarluaskan gagasan mengenai urgensi peningkatan kemandirian dan demokratisasi perekonomian Indonesia bagi peningkatan kesejahteraan rakyat; Keempat, meningkatkan derajat dan martabat mayoritas rakyat Indonesia sebagai tuan di negeri sendiri; Kelima, membentuk sebuah wadah pejuangan kaum terpelajar yang berpihak kepada konstitusi, yang kami beri nama Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia. Bahwa kami percaya, bangsa Indonesia akan tumbuh menjadi sebuah bangsa yang besar dan dihormati oleh masyarakat internasional. Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberkati cita-cita dan perjuangan kami. Yogyakarta, 28 April 2011, Atas nama seluruh deklarator pembentukan AEPI Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada: Prof. Susetyawan, Prof. Mochammad Maksum, Dr. Fahmi Radhi, Dr. Zainal Arifin Mochtar, Drs Dumairy, Dr. Revrisond Baswir, Arie Sujito, Samsul Maarif Mujiharto. Universitas Islam Indonesia: Awan Setya Dewanta, Anjar Priyono. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga: Abdur Rozaki. Universitas Mercu Buana Yogyakarta: Ernawati, Awan Santosa. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta: Said Tuhuleley, Hudiyanto. Universitas Negeri Yogyakarta: Halili, Dyna Herlina. Universitas PGRI Yogyakarya: Yati Suhartini. Universitas Sanata Dharma: Francis Wahono. Universitas Sarjana Wiyata Taman Siswa: Dewi Kusumawardhani. STPMD APMD: Sri Utami. STTKD: Drs. Basuki, Msi. Gerakan Sosial: Andi A Junaid, Budi Susilo, Budi Wahyuni, Eko Prasetyo, Hadi Ismanto, Istianto Ari Wibowo, Kirnadi, Puthut Indroyono, Sarniyah, Saktyarini Hastuti, Tri Wahyu, Tarli Nugroho, Toto Sihsetyo Adi, Umi Akhiroh.
PROFIL
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n Mei 2011
SWARA33 m 44
MUBYARTOInstitute Pendiri bangsa merumuskan dasar negara -UUD 1945- berisi cita-cita dan fondasi ekonomi Indonesia. Pasal 33 mengamanatkan jalan demokrasi ekonomi dengan pilar koperasi (ayat 1) dan peranan negara yang besar pada kekayaan alam dan cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Pasal tersebut mengandung agenda pemerdekaan ekonomi, merombak sistem (tatanan) kolonial menjadi berwatak nasional. Merdeka bukan sekedar bermakna politik melainkan juga ekonomi. Sayang, cita-cita itu makin tergerus laju globalisme-ekonomi. Sistem kolonial bermetafora menjadi sistem ekonomi Neoliberal. Satu per satu kekayaan bangsa berpindah ke perusahaan asing, sementara perusahaan milik negara menunggu giliran privatisasi. Anggaran negara terkoyak akibat jebakan hutang. Krisis energi (kelangkaan BBM, listrik, gas, dan batu bara) beriringan dengan meningkatnya kemiskinan dan pengangguran. Ketimpangan struktural makin melebar dan menempatkan ekonomi rakyat di lapis paling marjinal. Pemikiran Mubyarto yang konsisten berpihak pada ekonomi rakyat dan sistem ekonomi kerakyatan sangat relevan dan berpijak pada konstitusi. Prakarsa pendirian Mubyarto Institute (Mubins) adalah merajut kembali dan mengkaji untuk menghasilkan sistem, konsep, dan model yang dapat diimplementasikan pada tataran praksis di negeri ini. Dalam pada itu Mubins perlu melibatkan berbagai pihak, baik individu-individu maupun organisasi yang sejalan, serta bersama-sama berupaya mewujudkannya. Visi Mubyarto Institute: “Menjadi Pusat Kajian Pemikiran Mubyarto untuk merumuskan sistem, konsep dan model Ekonomi Kerakyatan dan Demokrasi Ekonomi serta berupaya menerapkannya di Indonesia” Misi Mubyarto Institute: Pertama, Mengembangan penelitian dan kajian tentang sejalan dengan garis pemikiran Mubyarto tentang Sistem Ekonomi Kerakyatan dan Demokratisasi Ekonomi di Indonesia. Kedua, Menyebarluaskan hasil penelitian dan kajian Sistem Ekonomi Kerakyatan dan Demokratisasi Ekonomi. Ketiga, Membangun jejaring untuk merajut gerakan bersama guna mewujudkan dan menerapkan Sistem Ekonomi Kerakyatan dan Demokratisasi Ekonomi di Indonesia Dalam rangka mewujudkan visi dan melaksanakan misi dan tujuan tersebut Mubyarto Institute berupaya menetapkan strategi melalui program utama, yakni: Penelitian, Pendidikan, Penyebarluasan Pemikiran, Diskusi Ilmiah-kritis, Pemberdayaan Ekonomi Rakyat, Pengembangan Jaringan. Mubyarto Institute adalah Badan Pelaksana dari Yayasan Mubyarto yang didirikan oleh para sahabat, murid-murid, kolega terdekat, dan keluarga almarhum Prof. Mubyarto. Sebagai pelaksana harian, saat ini Mubyarto Institute dipimpin oleh Dr. Fahmy Radhi, MBA sebagai Direktur Eksekutif dan Drs. Puthut Indroyono sebagai Sekretaris. Selain itu, dibentuklah bidang-bidang yaitu : Bidang Kerjasama Kelembagaan dan Informasi; Penelitian dan Pemikiran, Pemberdayaan Masyarakat; dan Pendidikan dan Pelatihan. Mubyarto Institute Jalan Mahoni, Bulaksumur B-2 Yogyakarta 55281 Telp./Fax. : 0274-555664 Email :
[email protected] Website : http://www.mubyarto.org
Donasi dapat disalurkan melalui Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta a.n. YAYASAN MUBYARTO No. Rek. 185.381.335
ADVERTORIAL
eBulletin MUBINS n Edisi 001 n Mei 2011
SWARA33 m 45