1
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan mengamanatkan bahwa ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi seluruh rumah tangga yang tecermin dari tersedianya pangan yang cukup dari segi jumlah dan mutunya, aman, bergizi, merata, dan terjangkau untuk memenuhi kebutuhan hidup sehat, aktif, dan produktif. Terkait hal ini, pemerintah dan masyarakat bertanggung jawab mewujudkan ketahanan pangan. Penyediaan pangan yang cukup dan terjangkau oleh semua penduduk merupakan pangkal dari ketahanan pangan nasional, kesejahteraan, kesehatan, dan kecerdasan bangsa. Aksesibilitas yang terbatas akan berakibat pada kesulitan untuk mencukupi pangan yang bermutu dan bergizi sehingga akan menghambat kesinambungan ketahanan pangan. Di sisi lain, keberpihakan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi bagi kelompok masyarakat miskin masih sangat diperlukan melalui penerapan kebijakan dan mekanisme subsidi pangan yang lebih tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan pangan dan gizi masyarakat. Kondisi kerawanan pangan dan gizi apabila tidak diatasi dengan baik, akan dapat menghambat pencapaian target-target dalam Millenium Development Goals pada tahun 2015. Oleh karena itu, pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pangan dan gizi yang merupakan hasil pemikiran dan penelitian multisektor dan multidisiplin sangat diperlukan untuk mengatasi persoalan pangan dan gizi. Untuk dapat mengembangkan kembali konsumsi pangan lokal yang tentunya diselaraskan dengan perkembangan modernisasi, diperlukan upaya-upaya menjadikan pangan lokal menjadi mudah diolah. Hal ini mengindikasikan perlunya sentuhan teknologi, peran serta kelembagaan pangan, dan dukungan kebijakan. Dengan
A. LATAR BELAKANG
INFORMASI RINGKAS MENGENAI WNPG X TAHUN 2012
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
2
3)
2)
1)
Membahas berbagai isu dan kondisi terkini yang terkait dengan pangan dan gizi. Merumuskan strategi pemantapan pembangunan ketahanan pangan dan gizi berbasis kemandirian yang sesuai dengan potensi sumber daya pangan lokal dan kemampuan masing-masing wilayah dalam mengoptimalkan kearifan lokal bagi pemenuhan kebutuhan pangan dan memperbaiki gizi masyarakat. Menyusun rekomendasi nasional tentang kebijakan pemantapan pembangunan ketahanan pangan dan gizi berbasis kemandirian dan kearifan lokal bagi institusi pemerintah, organisasi nonpemerintah, swasta, petani, dan masyarakat di tingkat nasional dan daerah.
C. TUJUAN
Dalam WNPG X, dipilih suatu tema “Pemantapan Ketahanan Pangan dan Perbaikan Gizi Masyarakat Berbasis Kemandirian dan Kearifan Lokal”.
B. TEMA
perkataan lain, kompleksitas persoalan dan tantangan yang dihadapi dalam upaya pemantapan ketahanan pangan berbasis kemandirian dan kearifan lokal memerlukan adanya sinergi dan harmonisasi antar-stakeholders (pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta, petani, dan masyarakat) sehingga setiap kebijakan yang dijalankan dapat diimplementasikan dengan baik. Berdasar kondisi tersebut di atas maka Forum Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X tahun 2012 akan mengangkat tema “Pemantapan Ketahanan Pangan dan Perbaikan Gizi Masyarakat Berbasis Kemandirian dan Kearifan Lokal”.
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
3
1) Gizi dan Kesehatan, meliputi: a) Masalah gizi, sumber daya manusia gizi, dan implementasi program gizi b) Penanganan masalah gizi dalam siklus kehidupan secara komprehensif, termasuk pencegahan stunting, obesitas, dan penyakit tidak menular c) Angka Kecukupan Gizi (AKG) dan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) d) Pedoman Gizi Seimbang (PGS) sebagai penyempurnaan Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS) 2) Ketersediaan dan Aksesibilitas Pangan, meliputi: a) Ketersediaan pangan: potensi dan pemanfaatannya b) Pangan sehat melalui bioteknologi c) Food waste dan food losses d) Aksesibilitas pangan bagi masyarakat miskin e) Fluktuasi harga pangan dunia dan Indonesia f) Pangan yang halal dan thoyib g) Pola konsumsi pangan pokok 3) Mutu Gizi, Konsumsi dan Keamanan Pangan, meliputi: a) Kajian masalah konsumsi pangan dan mutu gizi b) Kajian masalah keamanan pangan dan standar pangan c) Rekomendasi kebijakan dan perumusan terkait mutu gizi, konsumsi, dan keamanan pangan d) Review penyempurnaan Acuan Label Gizi (ALG) e) Review penyempurnaan Pola Pangan Harapan (PPH) 4) Kelembagaan, Kebijakan, dan Teknologi, meliputi: a) Kelembagaan dan kebijakan pangan dan gizi b) Teknologi pangan dan gizi
E. TOPIK BAHASAN
Rekomendasi nasional tentang kebijakan pemantapan pembangunan ketahanan pangan dan gizi berbasis kemandirian dan kearifan lokal bagi institusi pemerintah, organisasi nonpemerintah, swasta, petani, dan masyarakat di tingkat nasional dan daerah
D. LUARAN
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
4
WNPG X dilaksanakan selama 2 (dua) hari dari tanggal 20 s.d. 21 November 2011, bertempat di Auditorium LIPI, Jln. Jendral Gatot Subroto No. 10 Jakarta Selatan. Telp.. : (021) 5225711, ekst. 236/476/233 Faks : (021) 5251834/5277183
G. WAKTU DAN TEMPAT
WNPG X terbuka bagi para ilmuwan, peneliti, akademisi, para pengambil kebijakan dari pusat dan daerah, profesional, pelaku usaha, tokoh masyarakat, petani, penggiat lembaga masyarakat, stakeholder, masyarakat umum, dan pihak-pihak lainnya yang memiliki minat dan potensi untuk memberikan sumbang saran bagi kemajuan bangsa dalam bidang pangan dan gizi.
F. PESERTA
c) Adaptasi lingkungan d) Upaya-upaya adaptasi perubahan iklim terhadap ketahanan pangan
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
5
1) Sidang Pleno Sidang Pleno akan dilaksanakan di Auditorium Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) segera setelah acara Pembukaan. Dalam Sidang Pleno disampaikan Pidato Pengarahan para Menteri, Keynote Lecture oleh pembicara dalam dan luar negeri. Pada akhir Widyakarya akan dilakukan sidang pleno untuk mendengarkan Hasil Perumusan dan Rekomendasi Kebijakan yang dihasilkan dalam WNPG X. 2) Sidang Paralel Sidang Paralel akan dilaksanakan pada tanggal 21 November 2012 di beberapa ruang pertemuan. Sidang Paralel membahas permasalahan dari setiap bidang sesuai kerangka acuan masingmasing topik. Sidang Paralel membahas 4 (empat) bidang bahasan, yaitu. a) Gizi dan Kesehatan di ruang Auditorium Gedung Widya Graha b) Ketersediaan dan Aksesibilitas Pangan di Ruang Widya Graha LIPI Lantai 1
WNPG X 2012 diselenggarakan dalam tiga bentuk persidangan, yaitu.
B. SIDANG PLENO, SIDANG PARALEL, DAN SESI POSTER
Acara Pembukaan direncanakan akan dilaksanakan pada tanggal 20 November 2012 oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, bertempat di Istana Wakil Presiden. Mengingat terbatasnya tempat, maka tidak semua peserta dapat mengikuti acara pembukaan di Istana Wakil Presiden. Hanya bagi peserta yang mendapatkan undangan yang diperkenankan mengikuti acara pembukaan di Istana Wakil Presiden.
A. ACARA PEMBUKAAN
MEKANISME PENYELENGGARAAN
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
6
Lomba Kreasi Gizi Nusantara merupakan bentuk lomba memasak yang berbasis pangan lokal yang akan diikuti oleh perwakilan dari 33 provinsi di Indonesia. Tujuan kegiatan ini adalah untuk membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya diversifikasi pangan lokal untuk menjaga ketahanan pangan nasional. Kegiatan
D. LOMBA KREASI GIZI NUSANTARA
Pameran dan Temu Bisnis akan diadakan di lantai dasar Auditorium LIPI pada tanggal 20 s.d. 21 November 2012 dengan mengusung tema “Pemantapan Ketahanan Pangan dan Perbaikan Gizi Masyarakat Berbasis Kemandirian dan Kearifan Lokal”. Peserta pameran terdiri atas Satuan Kerja LIPI, instansi terkait serta swasta. Produk pameran merupakan hasil-hasil penelitian yang berhubungan dengan makanan nonterigu dan nonberas. Contact Person: 1. Syafrizal Maludin, No. Telp. 08551002499 2. Kamera Sembiring, No. Telp. 081320135563
C. PAMERAN DAN TEMU BISNIS
3) Sesi Poster Poster diadakan di lantai dasar Auditorium LIPI pada tanggal 20 s.d. 21 November 2012 dengan menyajikan poster makalah yang lolos seleksi mengenai penemuan dan hasil penelitian yang tidak disajikan secara oral dan mengacu pada kerangka acuan masing-masing topik.
c) Mutu Gizi, Konsumsi, dan Keamanan Pangan di Ruang Seminar Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah (PDII) di Gedung PDII LIPI d) Kelembagaan, Kebijakan, dan Teknologi di ruang Media Center Lantai 1 Gedung Sasana Widya Sarwono (SWS) LIPI Pembagian ruangan berdasarkan subtema. Jumlah peserta/ kapasitas ruangan akan diumumkan pada tanggal 20 November 2012.
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
7
1) Peserta Peserta sidang dimohon memenuhi ketentuan-ketentuan sidang sebagai berikut: a) Memasuki ruang sidang paling lambat 15 (lima belas) menit sebelum acara dimulai.
G. TATA TERTIB
Penyelengaraan satellite meeting WNPG X dilaksanakan pada tanggal 19 November 2012 dengan tema “Menuju Standar Program Gizi Baru“ yang membahas isu tentang Angka Kecukupan Gizi (AKG) dan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) dan Pedoman Gizi Seimbang (PGS) sebagai penyempurnaan Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS), bertempat di Hotel Kartika Chandra.
F. SATELITE MEETING WNPG X
Lomba Penulisan Jajanan Tradisional mengusung Tema "Apresiasi Remaja terhadap Jajanan Tradisional Nonterigu Nonberas". Lomba ini bertujuan untuk lebih mengenalkan beragam jajanan tradisional Indonesia, khususnya jajanan yang bahan dasarnya bukan terigu kepada remaja. Peserta lomba diikuti oleh siswa SLTP dan siswa SLTA. Pemenang lomba diumumkan pada tanggal 13 November 2012, dan penganugerahan pemenang akan dilaksanakan pada tanggal 20 November 2012. Contact Person: Tri Budi, No. Telp. 0812-9438366
8
b) Peserta dimohon mengikuti sidang-sidang sesuai dengan kelompok, topik, dan jadwal sidang yang telah ditentukan. c) Bila ada perubahan kepesertaan pada sidang paralel, dimohon memberitahukan kepada Panitia Persidangan atau Sekretariat WNPG X. d) Peserta yang berhalangan hadir dan/atau meninggalkan sidang dimohon memberitahukan kepada Panitia Persidangan WNPG X. e) Peserta wajib memakai tanda pengenal yang diberikan oleh Panitia selama berlangsungnya WNPG X. 2) Persidangan Pleno dan Paralel Umum: a) Pengarahan dan Keynote Lectures disajikan dalam persidangan pleno pada tanggal 20 November 2012. b) Penyajian makalah bidang bahasan akan dilakukan dalam sidang paralel masing-masing bidang bahasan pada tanggal 21 November 2012. c) Para penyaji makalah dimohon menyerahkan softcopy makalah dalam bentuk CD/flashdisk kepada Sekretariat pada waktu WNPG X untuk dimuat dalam prosiding. d) Materi persidangan berupa abstrak makalah disertakan ke dalam Buku Panduan berdasarkan makalah yang telah diseleksi oleh Tim Seleksi. e) Peserta WNPG X tidak diperkenankan mengopi softfile presentasi pembicara tanpa izin pemakalah dan panitia. f) Bagi peserta yang ingin memiliki makalah lain, dapat memesan melalui Panitia dengan penggantian biaya fotokopi setelah penyelenggaraan WNPG X. Khusus: a) Pembicara dimohon hadir 15 (lima belas) menit sebelum acara dimulai untuk mengisi formulir biodata dan menyerahkan kepada panitia untuk disampaikan kepada moderator. b) Penyajian makalah pleno dan paralel bidang pembahasannya sesuai dengan jadwal yang disiapkan panitia.
ini dilaksanakan pada tanggal 20 s.d. 21 November 2012, di Lapangan LIPI. Selain itu, pada saat lomba Kreasi Gizi Nusantara akan diadakan acara talkshow dengan mengundang pakar-pakar yang terkait dengan pangan. Contact Person: Indah Purwaningsih, No. telp. 085646123657
E. LOMBA MENGARANG
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
9
1) Poster dipasang pada papan display yang telah disediakan Panitia pada tanggal 19 November 2012 serta nomor poster sesuai jadwal yang ditentukan panitia. 2) Panitia menyiapkan daftar poster yang terpilih untuk disajikan. 3) Para peserta poster harus menyiapkan poster dalam bentuk softcopy dan diserahkan ke Panitia untuk kepentingan penyusunan prosiding WNPG X berdasarkan hasil seleksi. 4) Poster harus dilepas sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan panitia setelah penyelenggaraan WNPG X selesai. 5) Kelengkapan, pemasangan, dan pelepasan poster dilakukan sendiri oleh peserta poster bekerja sama dengan panitia. 6) Papan display yang digunakan disesuaikan dengan nomor yang telah ditetapkan oleh panitia. 7) Penyaji poster diwajibkan mendampingi posternya selama waktu istirahat, untuk berkomunikasi dengan peminat. 8) Panitia tidak bertanggung jawab atas kerusakan/kehilangan poster yang disajikan.
H. PENYAJIAN POSTER
I. MODERATOR Tiap sidang dipimpin oleh seorang moderator yang mengatur jalannya sidang sehingga penyajian dan pembahasan makalah dapat dilaksanakan dalam batas waktu yang telah disediakan. Pada akhir persidangan, moderator dengan bantuan Notulis membuat rangkuman diskusi secara tertulis untuk diserahkan kepada Seksi Persidangan.
c) Pada setiap sidang paralel terdapat seorang penanggung jawab persidangan/notulis. d) Setiap penanya diminta untuk menuliskan nama dan instansi asal serta pertanyaan yang diajukan dalam lembar pertanyaan yang disediakan dan diserahkan kembali kepada panitia. e) Isi pertanyaan hendaknya ringkas dan jelas. f) Sidang paralel akan diakhiri dengan perumusan tentang kesimpulan dan rekomendasi tiap Bidang Bahasan. g) Seluruh masalah dan pembahasan dari proses persidangan dalam setiap bidang bahasan akan ditelaah dan dirumuskan secara menyeluruh pada tanggal 21 November 2012 oleh Tim Perumus dan Tim llmiah sebelum acara penutupan. h) Kesimpulan dan rekomendasi WNPG X akan dibacakan pada Sidang Pleno Penutupan.
10
Notulis bertugas mengikuti jalannya sidang dan mencatat pokokpokok gagasan yang dikemukakan selama sidang. Pada akhir persidangan, notulis membantu moderator dalam membuat rangkuman sidang secara singkat dan diserahkan kepada Seksi Persidangan segera setelah sidang selesai. Contact Person: Yusuar, S.H., No. Telp. 0812-951-9217
J. Notulis
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
11
Panitia menyediakan konsumsi bagi para peserta selama acara berlangsung yang terdiri atas 2 (dua) kali rehat kopi dan 1 (satu) kali makan siang setiap harinya. Para peserta wajib memperlihatkan voucher/name tag apabila akan makan. Panitia tidak menyediakan hidangan khusus bagi para peserta yang memiliki pantangan dan/atau diet khusus.
E. KONSUMSI
Selama WNPG X berlangsung, sekretariat menyediakan akomodasi hanya bagi Pemakalah Keynote atau Undangan.
D. AKOMODASI
Catatan*) Pada saat registrasi ulang semua peserta diwajibkan membawa fotocopy bukti transfer pembayaran untuk mendapatkan Seminar Kit. Bagi mahasiswa membawa fotokopi Kartu Mahasiswa yang masih berlaku.
Registrasi ulang peserta WNPG X 2012 akan dilaksanakan pada hari Senin, tanggal 19 November 2012, pukul 09.00 WIB sampai dengan selesai, di Gedung Sasana Widya Sarwono lantai 5, Biro Kerja Sama dan Pemasyarakaan Iptek LIPI.
C. REGISTRASI ULANG PESERTA
Para peserta, baik pria maupun wanita, menggunakan batik untuk acara pembukaan dan bebas rapi pada acara WNPG X.
B. PAKAIAN PESERTA
Selama pelaksanaan WNPG X 2011, peserta wajib mengenakan tanda pengenal (name tag) yang wajib dikenakan selama mengikuti acara.
A. TANDA PENGENAL
LAIN-LAIN
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
12
Sekretariat Panitia Pelaksana WNPG X Biro Kerja sama dan Pemasyarakatan Iptek-LIPI Sasana Widya Sarwono lantai 5 Jln. Jend. Gatot Subroto No. 10 Jakarta Selatan Indonesia 12720 Telp.. : (021) 5225711, ext. 236/476/233 Faks. : (021) 5251834/5277183; E-mail :
[email protected], kerja
[email protected] Contact Person: 1) Retno Darwanti HP. 081510931194 2) Dian Endah P HP. 085762261706
G. SEKRETARIAT
Konferensi Pers WNPG X 2012 akan diadakan 2 (dua) kali, yaitu pada tanggal 14 November 2012, bertempat di Gedung Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah (PDII) LIPI; dan pada tanggal 20 November 2012, bertempat di Ruang Rapat Pimpinan Lantai 2 Gedung Sasana Widya Sarwono (SWS) LIPI. Contact person 1) Dwie Irmawaty Gultom HP. 08122732002 2) Fakhri Zakaria HP. 081328578673
F. KONFERENSI PERS
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
13
Biro Perjalanan terletak di Hotel Kartika Chandra di seberang Jalan Jenderal Gatot Subroto.
E. BIRO PERJALANAN
Internet tersedia di Ruang Auditorium, Gedung Widya Graha, Gedung Sasana Widya Sarwono (SWS) LIPI. Username dan password akan disampaikan oleh petugas di ruang siding.
D. INTERNET (WIFI)
ATM Counter Bank BCA, Bank BRI, Bank, Mandiri, Bank BNI, dan Bank CIMB Niaga terletak di Gerbang Gedung Telkom Sebelah Timur Gedung LIPI.
C. BANK
Masjid terletak di sebelah selatan gedung Sasana Widya Sarwono (SWS) LIPI.
B. MASJID
Fasilitas pengobatan dan obat-obatan terletak di lantai dasar Gedung Sasana Widya Sarwono (SWS) LIPI.
A. BALAI KESEHATAN
INFORMASI UMUM & FASILITAS YANG TERSEDIA
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Anggota
14
Ketua Sekretaris I Sekretaris II
: Bambang Prasetya : Haning Romdiati : Purwanto
B. TIM ILMIAH (LIPI) (LIPI) (LIPI)
Wakil Kepala LIPI Deputi Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Bappenas Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati LIPI Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan LIPI Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Teknik LIPI Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 7. Staf Ahli Menteri Bidang Kesehatan dan Obat Kementerian Riset dan Teknologi 8. Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian 9. Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya BPOM 10. Staf Ahli Menteri Bidang Ekologi dan Sumber Daya Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan 11. Direktur Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan 12. Deputi Metodologi dan Informasi Statistik BPS 13. Sekretaris Utama BMKG 14. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan 15. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian 16. Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB 17. M.Syamsul Maarif (Pakar)
: Kepala LIPI : Deputi Bidang Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan Bappenas : Sekretaris Utama LIPI
Ketua Wakil Sekretaris
A. PANTIA PENGARAH
SUSUNAN KEPANITIAAN
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
: 1. Aswatini 2. Minarto 3. Masrizal 4. Sri Setiyawati 5. Tetty Sihombing 6. Halim Nababan 7. Siti Nuramaliati Prijono 8. Witjaksono 9. Gayatri K. Rana 10. Budi Setiawan 11. Hadiat 12. Nono Rusono 13. Yosi Tresnadiani 14. Arum Atmawikarta 15. Dahrulsyah 16. Handewi Purwati Saliem 17. Soemarno 18. Mewa Ariani 19. Agus Heri Purnomo 20. Abas Basuni Jahari 21. Abdul Rachman 22. Bambang Sutejo 23. Hardinsyah 24. Razak Thaha 25. Atmarita 26. Dhian Dipo 27. Zubaidah Irawati 28. Achmad Sulaiman 29. Leonardus Broto Sugeng Kardono 30. Rizal Damanik 31. Zainal Arifin
: Bogie Soedjatmiko Eko Tjahjono : Akmadi Abbas
: Nur Tri Aries Suestiningtyas : Retno Darwanti
: Soeparno : Laily Farida
Ketua I Ketua II
Sekretaris I Sekretaris II
Bendahara I Bendahara II
C. PANITIA PELAKSANA
Anggota
15
(BKPI) (BKPI)
(BKPI) (BKPI)
(BKPI) (BPK)
(LIPI) (Persagi) (Kemenristek) (Kemenristek) (BPOM) (BPOM) (LIPI) (LIPI) (Kementan) (IPB) (Bappenas) (Bappenas) (Bappenas) (Bappenas) (IPB) (Kementan) (Kementan) (Kementan) (KKP) (Kemenkes) (BPS) (KKP) (Pergizi Pangan) (PDGKI) (Kemenkes) (Kemenkes) (BATAN) (IPB) (LIPI) (IPB) (LIPI)
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
16
Konsumsi Koordinator Anggota
Perlengkapan Koordinator Anggota
Protokoler Koordinator Anggota
Kesekretariatan Koordinator Anggota
Pameran Koordinator Anggota
Kehumasan Koordinator Anggota
Persidangan Koordinator Anggota
(BUP) (BKPI) (BKPI) (BUP) (BUP) (BKPI) (BKPI) (BUP) (BKPI) (BKPI)
: Ina Ihdiana Sjarief : 1. Sri Amiyati 2. Melinda Sinaga 3. Rianty Hardyani 4. Sulistiana
(BUP) (BUP) (BUP) (BUP)
(BKPI) (BUP) (BKPI) (BKPI) (BKPI)
(Pusinov) (BKPI) (BKPI)
(BKPI) (BKPI) (BKPI)
(BKPI) (BKPI) (BKPI) (BKPI) (BKPI)
: Amas : 1. Agung Legowo 2. Kesi Purnani 3. Eka Yudiarto 4. Sulistyo Widyo
: Edward H. Lumbantoruan : 1. Ratu Ema 2. Rr. Tety Andriati 3. Nina Kurnia
: Iwan Ridwan Stiaji : 1. Indah Purwaningsih 2. Listianingsih 3. Agung Nugroho 4. Dian Endah Puspitasari
: Syafrizal Maludin : 1. Sancoyo 2. Kamera Sembiring
: Endang Tjempakasari : 1. Dwie Irmawaty Gultom 2. Fakhri Zakaria
: Yusuar : 1. Krisbiwati 2. Mila Hanifa 3. Sulasmini 4. Yudie Aprianto
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
: Sunaryo : 1. Abd. Munir 2. Nuryadi
Tim IT Koordinator Anggota
: Opan Supandi S.Kom : Rachmat Hidayat
Materi/Pelaporan Koordinator : Isrard Anggota : 1. Sarwintyas Prahastuti 2. Dhian Kusumawardhani
Transportasi Koordinator Anggota
17
(Pappiptek) (BKPI)
(BKPI) (UPT BMR/LIPI Press) (BPK)
(BUP) (BKPI) (BUP)
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
18
A. PETA LOKASI LIPI
LOKASI KEGIATAN
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
B. DENAH RUANG SIDANG PLENO
19
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
20
C. DENAH RUANG SIDANG PARALEL
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
(SWS) LIPI
21
D. PETA LOKASI GEDUNG SASANA WIDYA SARWONO
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
22
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
23
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
24
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
25
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
26
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
27
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
28
Kata Kunci: Keamanan pangan, Perbaikan kesehatan
Abstrak Perdagangan pangan global memberi peluang bagi negara pengekspor mendapatkan devisa yang diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup orang banyak. Namun, kondisi ini juga menghadirkan tantangan baru bagi produksi dan distribusi pangan dengan dampak luas terhadap kesehatan. Berbagai permasalahan keamanan pangan telah memengaruhi sektor produksi pangan dalam negeri. Selain permasalahan akses informasi, insentif untuk produksi, juga dampak pasar yang tidak kondusif. Semuanya berpengaruh pada harga, kapasitas produksi, termasuk atribut keamanan dan mutu pangan yang beredar. Konsumen memiliki tingkat risiko yang berbeda. Satu negara mungkin mendorong risiko sebisa mungkin mendekati nol, sementara yang lain mungkin dapat menerima tingkat risiko yang lebih tinggi. Secara global, masalah keamanan pangan memiliki beberapa implikasi yang sama. Namun, komplikasi penambahan preferensi konsumen dan peraturan yang berbeda di berbagai negara menciptakan potensi persaingan dan konflik. Beberapa negara mengatasinya dengan cara notifikasi perdagangan, adopsi peraturan, atau negosiasi bilateral. Implikasi permasalahan keamanan pangan pada skala yang jauh lebih besar dan menimbulkan beban ekonomi (economic burden) tinggi adalah foodborne illness. Model perkiraan dasar dari beban ekonomi foodborne illness meliputi perkiraan ekonomi untuk biaya medis, kehilangan produktivitas, dan penyakit yang berhubungan dengan kematian. Program pengawasan keamanan pangan yang semakin fokus dengan pendekatan “farm-to-table” cukup efektif untuk menurunkan foodborne illness. Risiko dapat saja terjadi di pertanian dan kondisi ini akan terus berkembang atau malah diperburuk di titik tertentu di sepanjang rantai pangan. Pendekatan holistik pengawasan keamanan pangan seperti ini melibatkan pertimbangan analisis risiko “fromfarm-to-table”. Oleh karena itu, manajemen pengawasan keamanan pangan di Indonesia dengan sistem yang terintegrasi menjadi tantangan tersendiri untuk menindaklanjuti temuan pangan yang dapat mengganggu kesehatan masyarakat.
Lucky S. Slamet Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
PENGUATAN PENGAWASAN KEAMANAN PANGAN DALAM RANGKA PERBAIKAN KESEHATAN
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
Kata kunci: RUU Pangan, ketahanan pangan, pangan dan gizi.
29
Abstrak Kedaulatan pangan dan kemandirian pangan merupakan prasyarat untuk mencapai ketahanan pangan. Kemandirian pangan merupakan kemampuan negara dan bangsa dalam menjamin kebutuhan pangan yang cukup sampai tingkat perseorangan dari produksi pangan dalam negeri yang beranekaragam, dengan memanfaatkan potensi sumber daya dan kerarifan lokal. Sistem ketahanan pangan mencakup aspek ketersediaan, keterjangkauan, dan pemanfaatan pangan. Perwujudan pemanfaatan pangan berupa konsumsi pangan dan gizi. Dengan demikian, perbaikan gizi masyarakat tidak dapat dicapai hanya dengan memperbaiki aspek konsumsi gizi saja, tetapi harus ditangani melalui keseluruhan sistem ketahanan pangan. Kerangka pikir tersebut mendasari dan tecermin dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pangan yang baru. Karena itu, dalam RUU Pangan baru ini aspek gizi mendapat tempat dalam keseluruhan RUU. Selain itu, terdapat bab tentang konsumsi pangan dan gizi yang di dalamnya ada bagian tentang perbaikan gizi. Perspektif ke depan, perlu didalami kemungkinan perluasan konsep pembangunan nasional di bidang pangan, dengan mengubah pendekatan atau paradigma dari ketahanan pangan (food security) menjadi ketahanan pangan dan gizi (food and nutrition security).
Achmad Suryana
KETAHANAN PANGAN DAN PERBAIKAN GIZI MASYARAKAT BERBASIS KEMANDIRIAN DAN KEARIFAN LOKAL: TINJAUAN DARI PERSPEKTIF RUU PANGAN
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
30
Polysaccharides provide the major energy and structural components of foods, through starch and plant cell walls respectively. These components therefore play key roles in food and nutrition security. Emphasis over the years in increasing grain yields is leading to a growing availability of starch-based food energy and therefore calorie security. This emphasis on food quantity is now being complemented by a focus on nutritional quality, as societies move through a nutrition transition from energy deficit to energy surplus, and face corresponding challenges in terms of rising diabetes and obesity rates. Because they are such major components in foods, starches and plant cell walls provide opportunities to re-profile diets for nutritional benefits and thereby contribute not only to food security but also to nutrition security. Starch is the primary source of carbohydrate energy in foods. For the same total amount of starch, the rate of digestion to glucose is often the main determinant of the post-prandial rise in blood glucose concentration and corresponding insulin secretion. Rapid starch digestion leads to a hyperglycemic state which is counteracted by insulin, often resulting in a subsequent hypoglycemic state. These large excursions in blood glucose and insulin levels are a risk factor for type II diabetes. Strategies for controlling the rate of starch digestion will be discussed. Plant cell walls provide structure to the plant tissues which form the basis for many staple foods e.g. cereals, pulses, fruits and vegetables. Because there are no mammalian enzymes that degrade plant cell walls in the mouth, stomach or small intestine, food structures tend to remain largely intact from the point of swallowing until entering the large intestine, where microbial fermentation occurs. This leads to diverse nutritional effects of plant cell walls include controlling (a) the physical and rheological properties of digesta (related to satiety), (b) the rate of starch and other macronutrient digestion (related to blood glucose and lipid levels), (c) the (re)absorbtion of bile
M.J. Gidley The University of Queensland Centre for Nutrition and Food Sciences Queensland Alliance for Agriculture and Food Innovation
POLYSACCHARIDE RESOURCES FOR NUTRITION SECURITY
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
31
Abstrak Subtema Gizi dan Kesehatan
salts (related to blood cholesterol levels), and (d) the encapsulation or binding of phytonutrients (resulting in controlled delivery of nutrients), as well as forming the major carbon source for large intestinal microbiota (resulting in beneficial fermentation and colonic health). Strategies for controlling and benefiting from these properties will be discussed in the context of nutrition security.
32
Abstrak Indonesia di masa mendatang dihadapkan pada masalah kualitas sumber manusia dan beban yang sangat besar terkait perkembangan Penyakit Khronik atau Penyakit tidak Menular (PTM). Bila selama ini PTM sangat dikaitkan dengan pola hidup, dalam perkembangannya semakin nyata bahwa peran gizi pada usia dini diperkirakan lebih besar perannya dibandingkan perubahan pola hidup semata. Hasil berbagai survei maupun penelitian kohort berskala kecil dan besar yang dilakukan sejak lebih dari 3 dekade terakhir di berbagai belahan dunia semakin memperkuat bukti besarnya pengaruh status gizi seseorang pada usia dini, atau 1000 hari pertama kehidupan, yaitu selama masa dalam kandungan dan dalam dua tahun pertama kehidupannya, terhadap risiko terjadinya PTM pada usia dewasa. Berbagai penjelasan mengenai hubungan antara status gizi pada usia dini dengan PTM, antara lain Developmental Origin of Health and Disease (DOHaD), Development Plasticity dan Mismacth, mempertegas adanya kaitan tersebut secara ilmiah. Data terkini menunjukkan bahwa prevalensi PTM cukup tinggi, tidak hanya di kelompok kaya, tetapi juga di kelompok miskin. Prevalensi hipertensi secara nasional memperkuat asumsi ini, yaitu sepertiga penduduk usia dewasa Indonesia mengalami hipertensi dan perbedaan di antara kelompok terkaya dan termiskin tergolong kecil. Demikian pula dengan penyakit lainnya, yaitu diabetes, obesitas, stroke dan penyakit pembuluh darah jantung. Stroke merupakan penyebab kematian terbesar di Indonesia, sementara PTM lainnya seperti
1Staf
Endang L. Achadi1, Kusharisupeni2, Atmarita3, Rachmi Untoro4 pengajar Dep Gizi Kesmas, FKM UI, Kampus UI Depok, gd F lt 2. Telp.: (021) 786-442; e-mail:
[email protected] 2Ketua Departemen Gizi Kesmas, FKM UI, Kampus UI Depok, gd F lt 2. Telp.: (021) 786-442; e-mail:
[email protected] 3Staf di Badan Litbangkes, Kementerian Kesehatan RI. e-mail:
[email protected] 4Ketua Perhimpunan Dokter Gizi Medik Indonesia. e-mail:
[email protected]
PENYAKIT TIDAK MENULAR PADA USIA DEWASA DI INDONESIA: BUKAN HANYA POLA HIDUP
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
Kata kunci: Penyakit Tidak Menular, Gizi Ibu, Kelompok Miskin
33
dan negara dalam menghadapi peningkatan penyakit kronis di masa datang dan implikasinya terhadap produktivitas sumber manusia serta tinggi dan lamanya biaya pengobatan yang harus dikeluarkan membutuhkan strategi penanganan yang komprehensif, terutama pada upaya promotif dan preventif. Direkomendasikan agar program diprioritaskan pada kelompokkelompok kunci dan kelompok rawan gizi, yaitu ibu hamil, ibu pra-hamil, remaja putri dan bayi usia 0–2 tahun, terutama keluaga miskin. Program wajib belajar 12 tahun dalam jangka panjang secara tidak langsung akan ikut berkontribusi terhadap perbaikan gizi calon ibu, selanjutnya anak dan cucunya sehingga pada akhirnya akan berdampak terhadap kualitas sumber manusia Indonesia di masa mendatang.
34
Abstrak Sejak tahun 1978, setiap lima tahun sekali secara nasional ditetapkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan dalam kegiatan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG). AKG adalah angka kecukupan zat gizi setiap hari menurut golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, dan aktivitas untuk mencegah terjadinya kekurangan ataupun kelebihan gizi. Secara internasional, berbagai istilah digunakan, di Amerika Serikat dan Kanada disebut Dietary Reference Intakes (DRIs), di Uni Eropa disebut Population Reference Intakes, di Jepang disebut Nutrients-Based Dietary Reference Intakes (NBDRIs), WHO menggunakan istilah Recommended Nutrient Intake (RNI), di Filipina digunakan istilah Recommended Energy and Nutrient Intake (RENI). Bila suatu masyarakat atau daerah memiliki ukuran tubuh, aktivitas, dan susunan demografi yang berbeda maka dapat ditetapkan angka kecukupan gizi yang disesuaikan dengan keadaan tersebut terutama untuk kecukupan energi dan protein. Banyak sekali macam zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh yang terdiri atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, dan air. AKG tahun 2004 untuk Indonesia terdiri atas energi; protein; air; 11 vitamin: vitamin A, vitamin D, vitamin E, vitamin K, thiamin, riboflavin, niasin, asam folat, piridoksin, vitamin B12, dan vitamin C; 9 mineral: kalsium, fosfor, magnesium, besi, iodium, seng, selenium, mangan, fluor; dan 2 elektrolit: kalium dan natrium. Angka kecukupan gizi berubah dari waktu ke waktu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan temuan hasil penelitian yang terkait dengan kecukupan gizi dan kesehatan masyarakat. AKG tahun 2012 mengalami perubahan dari AKG yang terakhir, yaitu tahun 2004 dengan berbagai pertimbangan, antara lain i) berbagai fakta baru tentang kecukupan zat gizi dari berbagai hasil studi; ii) tersedianya data antropometri secara nasional (berat badan, tinggi/panjang badan)
Djoko Kartono1, Moesijanti Soekatri2 Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik, Balitbangkes, Kemenkes RI 2Poltekkes Kemenkes Jakarta II, Jurusan Gizi E-mail:
[email protected]
ANGKA KECUKUPAN GIZI (AKG) YANG DIANJURKAN DAN DAFTAR KOMPOSISI ZAT GIZI PANGAN (DKZGP)
hipertensi dan diabetes termasuk dalam jajaran 10 penyebab utama kematian. Data Riset Kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2007 menghasilkan informasi yang cukup mengejutkan, bahwa angka prevalensi penyakit hipertensi pada usia dewasa sangat tinggi, yaitu hampir sepertiga dari populasi di Indonesia menderita hipertensi, berdasarkan definisi tekanan darah sistolik 140 mmHg atau lebih, dan/atau tekanan darah diastolik 90 mmHg atau lebih. Prevalensi hipertensi yang cukup tinggi (>10%) juga sudah ditemukan pada usia muda. Prevalensi semakin meningkat dengan meningkatnya umur, tidak berbeda antara laki-laki dan perempuan, di kota prevalensinya dua kali lebih tinggi dibanding di perdesaan, dan hampir sama antara kelompok miskin dan kaya. Demikian pula tidak ditemukan perbedaan yang bermakna antara kelompok miskin dan kaya pada prevalensi penyakit kardiovaskuler, yang secara nasional menunjukkan angka sebesar 7,2%. Kecilnya perbedaan prevalensi penyakit-penyakit tersebut antara kelompok kaya dan miskin mengindikasikan bahwa pola hidup saja tidak cukup untuk menjelaskan sebagai faktor penyebab/risiko terjadinya penyakit kronik tersebut. Oleh karena itu, dapat diperkirakan bahwa penanganan penyakit-penyakit kronis yang hanya melalui pendekatan perubahan pola hidup tidak akan efektif, apalagi mengubah perilaku masyarakat memerlukan upaya yang besar, terus menerus, dan berjangka waktu lama karena mahal. Besarnya beban individu, keluarga, 1Pusat
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
35
Kata kunci: Mineral, Elektrolit, Fungsi, Sumber, Rekomendasi kecukupan
berdasarkan Riskesdas 2007 dan 2010. Dasar perhitungan angka kecukupan gizi adalah i) berat badan orang Indonesia yang dikategorikan normal menurut standar WHO; ii) prinsip-prinsip perhitungan AKG yang digunakan oleh WHO/FAO dan IOM yang disesuaikan dengan ukuran tubuh Indonesia; iii) berbagai studi terkait di Indonesia dan Asia. Dalam menaksir kecukupan energi harus diperhatikan komponen yang memengaruhi, yaitu i) metabolisme dalam keadaan istirahat atau basal metabolic rate (BMR); ii) aktivitas, iii) tambahan kebutuhan karena kegiatan fisik (thermic effect of exercise = TEE), iv) tambahan energi selama pencernaan makanan (thermic effect of food = TEF), dan v) fakultatif termogenesis (perubahan suhu, konsumsi makanan, stres). Dalam membahas kecukupan protein ada 2 masalah pokok, yaitu jumlah nitrogen dan asam amino esensial. Kualitas dan kuantitas nitrogen dalam makanan menggambarkan banyaknya protein yang tersedia. Penaksiran kecukupan lemak harus memperhatikan konsumsi asam lemak linoleat dan linolenat. AKG ini dijadikan dasar untuk pelabelan pangan, pedoman gizi seimbang, dan perencanaan pangan dan gizi. Agar AKG dapat digunakan secara akurat maka diperlukan Daftar Komposisi Zat Gizi Pangan (DKZGP) yang lengkap dan mencakup semua zat gizi yang ada dalam AKG.
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
36
Abstrak Dewasa ini Indonesia menghadapi masalah gizi ganda: (1) kekurangan gizi yang meliputi anak balita pendek (35,6%), gizi kurang dan buruk (17,9%) serta kurus (13,3%); dan (2) kelebihan gizi yang mencakup kegemukan pada anak balita (14%) dan orang dewasa > 18 tahun (22,8%). Prevalensi-prevalensi itu di atas batas WHO (pendek 20%, gizi kurang+buruk 10%, kurus 5%, kegemukan 5%) sehingga sudah merupakan masalah kesehatan masyarakat. Prevalensi anemia gizi besi (AGB) pada anak balita, sebesar 26%, juga merupakan masalah kesehatan masyarakat karena ada di atas batas WHO (15%). Prevalensi AGB pada remaja putri, bahkan merupakan yang paling tinggi di antara kelompok umur lain (57,1%) sehingga perlu mendapat prioritas dalam Program Penanggulangan AGB sebab mereka adalah calon ibu yang akan melahirkan penerus generasi berikut. Sementara itu, dalam kurun waktu 12 tahun sejak 1995, angka kematian karena Penyakit Tidak Menular (PTM), seperti penyakit kardiovaskular (penyakit jantung dan pembuluh darah, hipertensi, stroke), diabetes dan kanker, cenderung meningkat pula, yakni dari 47,7% pada 1995 menjadi 59,5% pada 2007. Di pihak lain, produk makanan bermerek dan terdaftar, baik Makanan Dalam Negeri (MD) maupun Makanan Luar Negeri (ML), sekitar 8– 9% tidak memenuhi syarat keamanan. Produk pangan industri rumah tangga (PIRT) dan pangan tidak terdaftar (TTD) yang tidak memenuhi syarat keamanan, malah lebih banyak lagi (23–25%). Penyalahgunaan bahan tambahan pangan dan bahan berbahaya serta keadaan sanitasi dan higienis yang buruk pada berbagai jenis makanan yang dijajakan oleh penjual keliling, termasuk jajanan anak sekolah, masih cukup tinggi. Dari segi konsumsi makanan, kebiasaan sarapan (makan pagi) masih rendah di antara anak-anak Indonesia. Setengah dari jumlah anak SD dan SMP tidak sarapan ketika berangkat sekolah dan anak-anak yang melakukan sarapan hanya memperoleh energi < 15% dari kebutuhannya. Konsumsi berbagai jenis makanan segar dan sarat gizi pada kelompok umur tertentu di berbagai daerah masih di bawah standar yang dianjurkan. Di pihak lain, konsumsi ‘gula, lemak dan
A.R. Thaha, B.A. Kodyat, D. Latief, E.L. Achadi, A.B. Jahari, Atmarita, Hardinsyah, N. Afriansyah, I. Syaiful E-mail:
[email protected]
NASKAH AKADEMIK PEDOMAN GIZI SEIMBANG
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
37
(3) melakukan aktivitas fisik; dan (4) memantau berat badan ideal. Isi pesan dari masing-masing pilar hendaknya didasarkan pada masalah gizi dan perilaku masyarakat dengan contoh-contoh yang sederhana, mudah dicerna, dan dimengerti. Dalam PGS perlu pula disusun pesan-pesan yang bersifat khusus untuk berbagai kelompok umur sebagai pesan lanjutan yang perlu mendapat perhatian, seperti: 1. Ibu hamil dan ibu menyusui: “Menambah porsi makanan serta konsumsi pil/tablet zat besi”. 2. Usia 0–6 bulan: “ASI Eksklusif” 3. Usia 6–23 bulan: “Memberi ASI dan MP-ASI (Makanan Pendamping ASI)”. 4. Usia 24–59 bulan: “Menambah porsi sayuran dan buah”. 5. Usia 6–12 tahun: “Membiasakan sarapan, konsumsi pil zat besi, aktivitas fisik secara teratur dan terukur serta menjaga berat badan ideal”. 6. Usia 13–19 tahun: “Membiasakan sarapan, konsumsi pil zat besi, aktivitas fisik secara teratur dan terukur serta menjaga berat badan ideal”. 7. Dewasa: Pesan dasar bersifat umum dengan penekanan pada “Melakukan aktivitas fisik cara teratur dan terukur serta menjaga berat badan ideal”. 8. Usia lanjut: “Membatasi makanan berlemak, memperbanyak makan sayuran dan buah, konsumsi air minum 5–7 gelas per hari dan melakukan aktivitas fisik secara teratur dan terukur. “Logo” (food guide graphic), Slogan, Pesan dan Media KIE Gizi Seimbang. “Logo” Gizi Seimbang berbentuk TUMPENG (Buku PUGS 1996 & 2003) yang berlaku sekarang masih relevan. Namun, perlu disempurnakan dengan memasukkan air minum dan aktivitas fisik serta penyempurnaan kelompok pangan sesuai “Tri Guna Makanan”. “Logo” tersebut merupakan satu-satunya “logo” resmi sebagai acuan. Slogan dan pesan lanjutan Gizi Seimbang harus dibuat sesederhana mungkin dan bisa dikembangkan sesuai dengan situasi dan kondisi setempat dan dapat menggunakan bahasa daerah.
garam’, yang dapat memicu terjadinya PTM cenderung meningkat. Sebesar 93,6% penduduk berumur > 10 tahun ditemukan kurang makan sayuran dan buah. Dari sudut aktivitas fisik, hampir separuh (48,2%) penduduk Indonesia, baik di perkotaan maupun perdesaan yang berusia > 10 tahun, kurang melakukan aktivitas fisik. Perempuan lebih banyak tidak melakukan aktivitas fisik (54,5%) dibandingkan lakilaki (41,4%). Berkenaan dengan kebersihan diri dan lingkungan, masih sedikit penduduk yang melakukan cuci tangan (23,2%), menggunakan air bersih per orang < 20 liter (14,4%), menggunakan jamban sendiri (60%), dan masih belum banyak penduduk yang tidak memiliki tempat penampungan sampah (72,9%). Secara kumulatif, dengan menggunakan 10 indikator Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), kurang dari separuh (38,7%) rumah-tangga di Indonesia yang berPHBS. Adapun pemahaman masyarakat terhadap pentingnya gizi bagi kesehatan, kecerdasan, dan kemampuan kerja (produktivitas) belum merata dan masih rendah, baik di perkotaan maupun di perdesaan. Pengetahuan orang dewasa terhadap anjuran-anjuran/pesan-pesan gizi dalam edukasi gizi belum menyentuh seluruh masyarakat. Pemahaman petugas gizi dan masyarakat terhadap arti dan konsep gizi seimbang masih rendah. Bukan hanya sudah tidak sesuai lagi dengan kecenderungan perkembangan masalah gizi dan perubahan perilaku masyarakat, pelaksanaan Pedoman Gizi Seimbang (PGS) berdasarkan Buku PUGS (Pedoman Umum Gizi Seimbang) yang diterbitkan Departemen/Kementerian Kesehatan juga belum sesuai dengan yang diharapkan. Banyak masalah dan hambatan dalam pelaksanaannya, baik yang dihadapi petugas gizi maupun masyarakat. Petugas gizi masih sulit memahami pesan-pesan dasar 'Gizi Seimbang' (13 butir) sehingga belum mampu menerjemahkannya ke dalam pesan-pesan yang mudah dimengerti berbagai kelompok masyarakat di pelbagai daerah. Penerbitan buku PUGS bagi petugas kesehatan belum diikuti dengan penerbitan PGS bagi berbagai kelompok masyarakat dan permasalahan khusus yang bersifat lokal. “Logo” (food guide graphic) PGS yang berlaku sekarang dan berbentuk Tumpeng kurang sesuai dengan perkembangan masalah konsumsi makanan dan PHBS. Pesan-pesan dalam PGS hendaknya mudah dicerna masyarakat awam dan mengikuti prinsipprinsip diet yang efektif dan komprehensif dengan menggunakan 4 pilar, yaitu: (1) makan makanan yang bervariasi; (2) melakukan PHBS; 38
Kata kunci: Gizi seimbang, Pedoman Gizi Seimbang (Dietary Guideline), Food Guide Graphic
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
39
Abstrak Pembangunan Kesehatan Masyarakat di Indonesia sudah mencapai berbagai keberhasilan, namun masih dihadapi tantangan besar ditandai dengan tingginya prevalensi gizi kurang, anak kurus, anak pendek (35,7% tahun 2010), obesitas, dan beban ganda penyakit (penyakit menular dan penyakit tidak menular) yang harus disikapi. Disparitas status gizi masyarakat antarwilayah kabupaten/kota masih sangat lebar, ditunjukkan dari hasil Riskesdas 2007 sebagai berikut: a) Kabupaten Aceh Tenggara merupakan kabupaten dengan prevalensi gizi kurang paling tinggi (48,7%), sedangkan Kota Tomohon paling rendah (4,8%); b) Kabupaten Seram Bagian Timur adalah kabupaten dengan prevalensi anak pendek paling tinggi (67,4%), sedangkan Kabupaten Sarmi paling rendah (16,7%); c) Kabupaten Solok Selatan merupakan kabupaten dengan prevalensi anak kurus paling tinggi (42,0%), sedangkan Kabupaten Minahasa paling rendah (0%); d) Kabupaten Bengkulu Selatan merupakan kabupaten dengan prevalensi anak gemuk (obesitas) paling tinggi (42,2%), sedangkan Kabupaten Sarmi paling rendah (0,6%). Analisis ditujukan untuk memberikan bukti yang sangat kuat tentang esensi ke-bhineka-an Indonesia terkait kemerataan kesejahteraan sebagai hasil akhir pembangunan kesehatan (ultimate goal). Analisis menggunakan data Riskesdas 2007–2010, Susenas 2007–2010, Podes 2008–2011, Rifaskes 2011, PSE 2005 serta beberapa data yang berasal dari Kementerian dalam Negeri dan Kementerian Keuangan dapat menunjukkan adanya keterkaitan antara intervensi gizi yang efektif dengan berbagai faktor penentu disparitas kesehatan di Indonesia, yaitu kemiskinan, geografi, peran pemerintah daerah, peran keluarga, serta peran individu. Tujuh konstruk yang mencerminkan 3 (tiga) konsep variable, makro, meso, dan mikro, adalah underlying factors kemerataan kesejahteraan di Indonesia. Kajian 40
ini telah memperlihatkan bahwa ada empat konstruk yang mencerminkan ketiga konsep variabel prediktor kesejahteraan yang sangat kuat dan sangat bermakna. Ketiga konsep variabel prediktor tersebut terdiri atas: (i) Peran, fungsi, dan kapasitas komunitas dalam arti luas terkait dengan kependudukan, geografi, politik, sosial, ekonomi, dan budaya; (ii) Peran, fungsi, dan kapasitas keluarga untuk memproduksi kesehatan bagi seluruh anggota rumah tangga; serta (iii) Peran, fungsi, dan kapasitas individu untuk mau dan mampu menolong dirinya sendiri. Dalam analisis ini terungkap bahwa dibalik pencapaian pembangunan kesehatan suatu kabupaten/kota terdapat struktur laten unik yang berperan penting sebagai faktor penentu kemerataan kesejahteraan. Titik tolak perlunya regionalisasi kawasan pembangunan kesehatan adalah kenyataan bahwa kesenjangan dan ketidakmerataan kesehatan dan gizi di Indonesia berhubungan erat dengan faktor-faktor yang bila dilihat dari perspektif domain pembangunan kesehatan: (i) Nyaris tidak mungkin diubah (luas wilayah); (ii) Sangat sulit diubah (kemiskinan); (iii) Sulit diubah (perilaku); serta (iv) Agak sulit diubah (kemampuan keluarga memproduksi kesehatan). Regionalisasi kawasan pembangunan kesehatan dimaksudkan untuk: (i) Mengurangi atau menyederhanakan heterogenitas kabupaten/kota terkait disproporsi faktor-faktor kesenjangan dan ketidakmerataan kesehatan di berbagai kawasan agar upaya penanggulangannya menjadi lebih manageable; (ii) Mengarus-utamakan kesehatan ke dalam kebijakan pembangunan daerah agar terbentuk health capital yang menjadi prasyarat terbentuknya masyarakat lokal yang produktif; serta (iii) Mengharmonisasikan pemanfaatan berbagai sumber daya pembangunan yang masuk ke atau tersedia di suatu kabupaten/kota agar terbentuk sinergi dalam pemanfaatannya. Berdasarkan peringkat kabupaten/kota dari hasil perhitungan indeks kemerataan kesejahteraan maka dibuat 2 (dua) kategori kawasan pembangunan sebagai berikut: (i) Kabupaten/Kota dengan peringkat 1–220 disebut sebagai Kawasan Terkendala Pembangunan Kesehatan (KTPK); sedangkan (ii) Kabupaten/Kota dengan peringkat 221–497 disebut sebagai Kawasan Kondusif Pembangunan Kesehatan (KKPK). Ketersediaan data yang berasal dari survei kesehatan berskala nasional seperti Riskesdas, Susenas, Podes, PSE, serta Rifaskes, memberikan kontribusi penting untuk penyusunan kebijakan yang bersifat affirmative, berbasis bukti serta tepat sasaran dan tepat program. Secara garis besar, program afirmasi untuk percepatan pemerataan kesejahteraan meliputi: (i) Program penanggulangan
PENGARUSUTAMAAN PENANGGULANGAN MASALAH GIZI DALAM PENINGKATAN DAN KEMERATAAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
Arum Atmawikarta1, Sandi Ilyanto2, Atmarita3 1 Persatuan Ahli Gizi Indonesia/PERSAGI 2Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia 3Badan Penelitian & Pengembangan Kesehatan, Kemenkes E-mail:
[email protected]
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
Kata kunci: Masalah gizi, Disparitas, Kemerataan Kesejahteraan Masyarakat
41
kemiskinan yang bertujuan mengurangi jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan, mengurangi tingkat kedalaman kemiskinan serta mengurangi tingkat keparahan kemiskinan; (ii) Program optimalisasi pengelolaan wilayah yang sangat luas dan kelangkaan sumber daya manusia berpendidikan tinggi/berketerampilan tinggi di semua bidang yang bertujuan meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam memanfaatkan potensi sumber daya lokal dan menyediakan pelayanan dasar; (iii) Program peningkatan alokasi sumber daya kesehatan yang bertujuan menjamin ketersediaan pelayanan dasar kesehatan yang efektif dan berkualitas bagi seluruh penduduk; (iv) Program peningkatan penyelenggaraan upaya kesehatan perorangan yang bertujuan menjamin ketersediaan pelayanan medik dasar—baik penyakit menular, penyakit tidak menular, penyakit mental maupun penyakit lainnya—yang efektif dan berkualitas bagi seluruh penduduk; (v) Program peningkatan penyelenggaraan upaya kesehatan masyarakat yang bertujuan menjamin ketersediaan pelayanan kesehatan promotif dan preventif yang efektif dan berkualitas bagi seluruh penduduk; (vi) Program peningkatan peran keluarga dalam pemenuhan kebutuhan asupan bahan makanan yang bertujuan menjamin agar setiap penduduk dapat mengonsumsi makanan sesuai Angka Kecukupan Gizi; serta (vii) Program perubahan perilaku individu agar setiap penduduk sadar, mau, dan mampu berperilaku hidup bersih dan sehat yang bertujuan mengurangi keterpaparan terhadap faktor risiko penyakit.
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
42
Abstrak Masalah gizi sering kali tampak dalam berbagai wajah, yang kesemuanya berdampak besar bagi kesehatan dan produktivitas penduduk, yang selanjutnya berujung pada daya saing bangsa. Angka stunting dan gizi buruk yang tinggi merupakan masalah kesehatan yang serius karena merupakan gambaran kehidupan 100 tahun atau 2 generasi sebelumnya dan juga kehidupannya mendatang. Munculnya kegemukan dan obesitas serta beberapa indikator gangguan metabolik pada orang dewasa mempertegas hipotesis bahwa gizi masih menjadi masalah penting di Indonesia, sedangkan disabilitas sebagai komplikasi penyakit degeneratif belum mendapatkan perhatian yang serius. Tujuan dari review ini adalah untuk mengkaji intervensi perbaikan gizi pada 1000 hari pertama kehidupan dan memberi usulan intervensi yang ‘nutritionspecific’ dan ‘nutrition-sensitive’ terbaik bagi Indonesia dengan outcome indicator yang menjadi perhatian adalah stunting, kemampuan kognitif, kinerja pekerjaan, obesitas, penyakit tidak menular, morbiditas, dan mortalitas. Intervensi gizi yang telah dijalankan di Indonesia yang terbukti cost-effective berdasarkan penilaian secara global (Lancet Series, 2008) adalah suplementasi kapsul vitamin A bagi balita, suplementasi tablet besi/asam folat bagi wanita hamil, garam beryodium, promosi ASI eksklusif 6 bulan, serta pemberian suplementasi makanan bagi penderita gizi buruk atau gizi kurang. Apabila intervensi gizi secara komprehensif diberikan dengan cakupan 99% maka hal itu dapat menurunkan angka kematian anak dan stunting sebelum umur 36 bulan sebesar 13,4% dan 15,5%, sedangkan untuk intervensi gizi mikro memberikan penurunan sebesar 12,1% dan 17,4%. Untuk Indonesia, perhitungan kontribusi intervensi gizi terhadap penurunan angka kematian anak dan stunting di Indonesia belum dilakukan. Akan tetapi sebagai gambaran, angka kematian anak balita di Indonesia tahun 1990 adalah sebesar 85 dan pada tahun 2010 menjadi 35 per 1000 kelahiran hidup, yang berarti telah terjadi penurunan sebesar 60% dalam kurun
Siti Muslimatun, dkk. Southeast Asian Ministries of Education Organization (SEAMEO) Regional Centre for Food and Nutrition (RECFON) Email:
[email protected]
GIZI DALAM SIKLUS KEHIDUPAN UNTUK MENCAPAI DERAJAT KESEHATAN PRIMA SECARA BERKELANJUTAN
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
43
dapat memengaruhi nutrition supply chain, misalnya perubahan lingkungan, jenis dan suplai makanan, interaksi sosial dan budaya, keamanan pangan, dan kependudukan sangat diperlukan untuk menilai dampak intervensi. Sinergi pelaksanaan program nutrition specific dengan fokus 1.000 hari pertama kehidupan tanpa melupakan pendekatan siklus kehidupan dengan program nutrition-sensitive harus dioptimalkan melalui peranan leadership pada tingkat pemerintah nasional dan daerah serta dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan indikator yang sama demi mencapai derajat kesehatan prima secara berkelanjutan.
waktu 20 tahun. Sementara itu, prevalensi stunting adalah sebesar 37% dan kurus sebesar 14% dengan disparitas antardaerah yang masih sangat lebar (Riskesdas, 2007) pada anak balita yang menunjukkan bahwa permasalahan gizi di Indonesia masih sangat besar. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi menyebutkan bahwa target penurunan angka stunting menjadi sebesar 34% pada akhir tahun 2015. Secara umum, cakupan program gizi untuk bayi dan anak lebih baik daripada cakupan program untuk wanita hamil, misalnya cakupan program suplementasi besi folat (> 90 tablet selama kehamilan). Tahun 2010 hanya sebesar 18% dan 19,3% wanita hamil tidak menggunakannya. Meskipun tidak ada pemantauan khusus terhadap penggunaan garam beryodium bagi wanita hamil, cakupan garam beryodium tingkat rumah tangga adalah sebesar 62,3% dan hanya 24,5% garam mengandung yodium sesuai anjuran. Sebanyak 15,3% bayi mendapatkan ASI eksklusif 6 bulan pada tahun 2010. Diharapkan penegakan UU dan PP mengenai perlindungan ASI eksklusif dapat meningkatkan cakupan. Cakupan kapsul vitamin A pada balita mencapai 69,8%. Analisis lanjut SDKI tahun 1994–2003 menunjukkan bahwa suplementasi besi folat pada wanita hamil dapat menurunkan angka kematian balita sebesar 34%, sedangkan secara global telah diketahui bahwa suplementasi kapsul vitamin A dapat menurunkan kematian anak hingga 34%. Beberapa studi menunjukkan bahwa inovasi penyampaian program gizi berhasil dalam skala terbatas dan memerlukan kajian lebih lanjut, di antaranya adalah penanganan gizi buruk berbasis komunitas dengan menggunakan makanan terapi. Peranan suplementasi zat gizi mikro selain zat gizi mikro konvensional (vitamin A, zat besi, dan yodium) misalnya zinc dan multi gizi mikro perlu mendapatkan perhatian untuk membantu mengurangi beban penyakit infeksi, misalnya ISPA, TB, dan diare. Intervensi gizi dapat lebih optimal ketika kegiatan komunikasi penyampaian pesan-pesan gizi ditambahkan. Disimpulkan bahwa program intervensi untuk wanita hamil dan wanita usia subur perlu lebih ditingkatkan cakupan dan kualitasnya, sedangkan program intervensi untuk bayi dan anak perlu ditingkatkan kualitasnya. Perlu kajian lebih lanjut terhadap dampak intervensi ‘nutrition sensitive’ terhadap indikator gizi. Intervensi ‘nutrition sensitive’ tersebut misalnya program ketahanan pangan, pemuliaan tanaman, penganekaragaman pangan, penyediaan air bersih, pemberian obat cacing, pemakaian kelambu berinsektisida, bantuan uang tunai bersyarat, dan raskin. Monitoring dan kajian terhadap perkembangan aspek kehidupan yang 44
Kata kunci: Stunting, Nutrition Specific Intervention, Nutrition Sensitive Intervention
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
45
Abstrak Informasi mengenai komposisi zat gizi pangan sangat diperlukan untuk penilaian tingkat kecukupan gizi, penyusunan menu, pendidikan gizi, dan perencanaan kebijakan pangan dan gizi. Daftar Komposisi Zat Gizi Pangan (DKZGP) adalah sebuah database yang berisi komposisi dan kandungan zat gizi yang terkandung dalam suatu pangan dan merupakan instrumen dasar dalam penilaian konsumsi zat gizi, baik pada individu maupun masyarakat. Oleh karena itu, tinjauan tentang kelengkapan data yang disajikan dalam DKZGP perlu terus dilakukan mengingat sampai saat ini informasi yang tersedia di Indonesia masih relatif terbatas. Keberadaan DKZGP di Indonesia sudah berlangsung cukup lama. Bermula dari tahun 1953 ketika Lembaga Makanan Rakjat menerbitkan Daftar Bahan-Bahan Makanan sampai dengan tahun 2001 Puslitbang Gizi Depkes RI menerbitkan Komposisi Zat Gizi Makanan Indonesia, telah dikeluarkan 10 (sepuluh) jenis penerbitan DKZGP yang selanjutnya dikompilasi ke dalam Tabel Komposisi Pangan Indonesia pada tahun 2008 oleh PERSAGI. Daftar pada terbitan terakhir ini memuat 296 jenis pangan dengan komposisi yang meliputi air, energi, protein, lemak, karbohidrat, serat, abu, kalsium, fosfor, besi natrium, kalium, tembaga, seng, retinol, beta karoten, karoten total, tiamin riboflavin, niasin dan vitamin C. Apabila dibanding dengan beberapa negara lain di ASEAN seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina, keberadaan DKZGP Indonesia masih yang terendah, baik dari jumlah jenis pangan maupun jenis zat gizi yang disajikan. Sebagai contoh, Singapura telah memiliki DKZGP yang memuat 3.500 jenis pangan dan zat gizi lain seperti asam lemak, kolesterol, gula dan pati, serta serat pangan. Keterlibatan Indonesia dalam jaringan Association of Southeast Asian Network of Food Data Systems (ASEANFOODS) juga belum maksimal. Jika diperhatikan, kondisi DKZGP yang ada di Indonesia saat ini dirasakan sangat perlu untuk dikembangkan. Prioritas seharusnya diberikan untuk segera
1 Dept.
Rimbawan1 dan Komari2 Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB 2Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan, Balitbangkes, Kemenkes R.I E-mail:
[email protected]
PENGEMBANGAN DAFTAR KOMPOSISI ZAT GIZI PANGAN INDONESIA
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
46
Kata kunci: Kompisisi, Zat Gizi, Pangan
menyelesaikan penyusunan database pangan yang dikonsumsi masyarakat Indonesia. Teknik sampling yang tepat dan metode analisis yang sesuai dengan kemajuan iptek harus diperhatikan. Konversi perhitungan komposisi zat gizi akibat pengolahan dan penyimpanan perlu mendapat perhatian. Mengingat kemungkinan adanya berbagai kendala untuk menyusun DKZGP yang lengkap dalam waktu yang relatif singkat maka beberapa pertimbangan perlu dilakukan. Kerja sama yang melibatkan berbagai stakeholders dan shareholders perlu dioptimalkan untuk membiayai dan melaksanakan pekerjaan analisis pangan di laboratorium. Koordinasi antarinsitusi dan standardisasi metode analisis laboratorium merupakan faktor yang akan menentukan kualitas data yang akan dihasilkan. Untuk menghindari jumlah dan jenis pangan yang sangat banyak, pemilihan jumlah pangan yang akan dianalisis perlu mempertimbangkan keberadaan suatu pangan apakah sebagai pangan utama (major) atau pangan minor. Apabila prosedur penetapan kadar zat gizi dinilai layak dan benar maka penggunaan data yang sudah tersedia di berbagai institusi yang melaksanakan program penelitian dan pengembangan (borrowing) dapat pula dilakukan. Apabila memungkinkan, maka keberadaan komponen pangan yang menunjang fungsi gizi seperti fitosterol dan zat antioksidan dapat pula dipertimbangkan.
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
47
Abstrak Penyusunan Angka Kecukupan Gizi (AKG) untuk sebagian besar zat gizi didasarkan pada umur dan berat badan normal pada umur tersebut. Oleh karena itu, diperlukan data rata-rata berat badan normal orang Indonesia pada berbagai kelompok umur dan jenis kelamin. Pada tahun 2007 dan 2010 Kementerian Kesehatan telah melaksanakan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Dalam Riskesdas dikumpulkan data antropometri seluruh anggota keluarga dari balita sampai lanjut usia. Dengan tersedianya data antropometri seluruh anggota keluarga dimungkinkan untuk memperoleh angka rata-rata berat badan orang Indonesia pada berbagai kelompok umur dan jenis kelamin yang memiliki status gizi baik. Angka rata-rata berat badan yang dihitung ini adalah untuk memperbarui angka rata-rata yang digunakan pada penyusunan Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2004 yang sekaligus digunakan sebagai dasar untuk perhitungan Angka Kecukupan Gizi (AKG) tahun 2012. Data antropometri dari Riskesdas 2007 dan 2010 digabungkan menjadi satu datafile. Penggabungan ini dilakukan karena tidak banyak perubahan status gizi dari tahun 2007 ke tahun 2010. Selanjutnya, untuk anak usia 0–10 tahun dihitung nilai Z-score Berat badan (BB) menurut umur (Zsc BB/U), Z-score Tinggi badan (TB) menurut umur (Zsc TB/U) dan Z-score Berat badan menurut Tinggi badan (Zsc BB/TB). Untuk anak usia 11–19 tahun dihitung nilai Zsc TB/U dan Z_score Indeks Massa Tubuh menurut umur (IMT/U). Perhitungan nilai Z-score menggunakan baku pertumbuhan WHO 2006 untuk anak usia 0–59 bulan (balita) dan baku pertumbuhan WHO 2007 untuk anak 5–19 tahun. Untuk orang dewasa dihitung nilai IMT dengan membagi BB (kg)/(TBmeter)2. Pemilihan subjek untuk perhitungan rata-rata berat badan dan tinggi badan dilakukan dengan cara sebagai berikut: untuk anak usia 0–59 bulan dan anak usia 5–10
1Pusat
Abas Basuni Jahari1, Hardinsyah2, Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik, Balitbangkes, Kemenkes RI; 2Departemen Gizi masyarakat FEMA IPB E-mail:
[email protected]
RATA-RATA BERAT BADAN DAN TINGGI BADAN NORMAL ORANG INDONESIA MENURUT BAKU PERTUMBUHAN WHO 2006 DAN WHO 2007 UNTUK PENYUSUNAN ANGKA KECUKUPAN GIZI (AKG) 2012
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
48
Kata kunci: Rata-rata berat badan, Rata-rata tinggi badan, Baku WHO 2006, Baku WHO 2007, Z-score, Pertumbuhan normal
tahun dipilih yang memiliki nilai Zsc BB/U, Zsc TB/U dan Zsc BB/TB dari -2SD sampai +2SD atau dalam kategori pertumbuhan normal baku WHO 2006 dan 2007. Untuk anak usia 11–19 tahun dipilih yang mempunyai nilai Zscore TB/U dan IMT/U dari -2SD sampai +2SD atau dalam kategori pertumbuhan normal menurut WHO 2007. Untuk orang dewasa dipilih yang memiliki nilai IMT dari 18,5 sampai 24,9 yaitu yang tergolong kategori normal dan memiliki tinggi badan 150 cm atau lebih untuk perempuan dan 155 cm atau lebih untuk laki-laki. Setelah subjek dipilih kemudian dihitung rata-rata berat badan dan rata-rata tinggi badan orang Indonesia sesuai dengan pengelompokan umur yang dipakai dalam penyusunan AKG, ditambah kelompok 80 tahun ke atas. Di samping pada batas normal -2SD sampai +2SD di atas dihitung pula rata-rata berat badan dan tinggi badan pada batas normal -1SD sampai +1SD dan untuk orang dewasa dipilih tinggi badan 155 cm atau lebih untuk perempuan dan 160 cm atau lebih untuk laki-laki. Rata-rata berat badan dan tinggi badan orang Indonesia yang dihitung pada batas normal -2SD sampai +2SD dan pada batas normal -1SD sampai +1SD pada umumnya sedikit lebih rendah dari angka rata-rata pada penyusunan AKG 2004 meskipun ada juga beberapa yang lebih tinggi. Angka rata-rata berat badan dan tinggi badan pada batas normal -1SD sampai +1SD lebih dekat dengan angka rata-rata pada AKG 2004 walaupun ada beberapa yang lebih tinggi. Angka rata-rata berat badan dan tinggi badan orang Indonesia tahun 2007 dan 2010 pada umumnya sedikit di bawah angka rata-rata yang digunakan pada penyusunan AKG 2004. Pemilihan angka rata-rata yang digunakan untuk penyusunan AKG 2012 yang telah disepakati dalam forum diskusi adalah angka rata-rata yang dihitung pada batas 2SD sampai +2SD dengan pertimbangan bahwa sampai 5–10 tahun mendatang proporsi terbesar orang Indonesia yang memiliki ukuran normal menurut baku WHO masih berada pada batas tersebut.
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
49
Abstrak Vitamin adalah zat gizi mikro yang sangat diperlukan tubuh manusia meski dalam jumlah sedikit. Kekurangan asupan zat gizi ini dapat menimbulkan akibat yang akan memengaruhi status gizi dan kesehatan manusia. Berbagai masalah gizi di Indonesia banyak disebabkan oleh kurangnya asupan zat gizi ini. Terdapat 13 vitamin yang telah diketahui esensial bagi kesehatan manusia yang dapat dikelompokkan atas dua kelompok, yaitu vitamin yang larut di dalam lemak, yaitu vitamin A, D, E dan K dan vitamin larut air, yaitu C, B1, B2, B6, B12, Folat, Niacin, Pantotenat, dan Biotin. Vitamin larut lemak (A, D, E, dan K) umumnya terdapat bersama-sama dalam bagian lemak atau minyak dari makanan. Seperti lipid, vitamin ini membutuhkan asam empedu untuk penyerapannya. Sekali diserap, vitamin ini akan disimpan di dalam hati dan jaringan berlemak sampai diperlukan. Defisiensi dapat terjadi bila diet secara konsisten rendah vitamin ini atau secara tanpa sengaja hilang dari saluran pencernaan atau terlarut dalam lemak yang tidak dicerna. Tiap penyakit yang menyebabkan malabsorpsi lemak dapat menyebabkan defisiensi vitamin larut lemak. Defisiensi juga terjadi bila orang makan diet yang sangat rendah lemak yang menyebabkan penyerapan vitamin ini terganggu. Kemampuan vitamin larut lemak untuk disimpan selain dapat mencegah terjadinya defisiensi karena asupan dari makanan yang sewaktu-waktu kurang, juga dapat memberi peluang untuk terjadinya keracunan bila terjadi kelebihan konsumsi, terutama dalam bentuk suplemen. Berbeda dengan vitamin larut lemak, vitamin larut air tidak dapat disimpan dalam tubuh sehingga harus selalu tersedia dalam diet. Angka kecukupan gizi vitamin ini dimaksudkan untuk menjadi rujukan asupan vitamin agar tercapai kondisi yang sehat. Untuk masing-masing jenis vitamin dibahas mengenai fungsinya bagi tubuh, sumber bahan pangan, efek kekurangan maupun kelebihan, faktor-faktor yang memengaruhi kebutuhan. Angka kecukupan, metode penentuan kebutuhan, dan kecukupan, rekomendasi kecukupan dan penerapannya, serta berbagai
1Departemen
Ahmad Sulaeman1, Budi Setiawan1, Dewi Permaesih2 Gizi Masyarakat-Fakultas Ekologi Manusia IPB 2Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik, Badan Litbangkes, Kemenkes RI E-mail:
[email protected]
ANGKA KECUKUPAN VITAMIN
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
50
Kata kunci: Vitamin, Angka Kecukupan
temuan baru terkait fungsi dan peranan vitamin serta riset yang diperlukan untuk masa mendatang. AKG vitamin dinyatakan untuk masing-masing kelompok umur dari bayi berusia 0–6 bulan dan 7–11 bulan sampai orang lanjut usia di atas 80 tahun. Dibahas pula angka kecukupan yang dianjurkan untuk kondisi khusus atau untuk pencegahan penyakit tertentu walaupun tidak untuk semua vitamin. Ini yang membedakan dengan AKG vitamin yang dihasilkan dalam WNPG 2004. Penyempurnaan AKG vitamin dilakukan dengan mempertimbangkan perkembangan iptek dan fakta-fakta baru terkait peran dan fungsi vitamin serta pola konsumsi masyarakat serta berbagai kesepakatan internasional maupun regional. Mengingat masih terbatasnya riset di dalam negeri, penetapan AKG vitamin ini banyak didasarkan pada hasil penelitian di luar negeri serta membandingkan AKG vitamin dari berbagai negara dengan tetap mempertimbangkan hasil-hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2007 dan 2010). Di masa mendatang diperlukan studi di dalam negeri untuk penetapan kriteria kecukupan masing-masing vitamin. Agar AKG ini dapat digunakan sebagai acuan dalam menilai kecukupan dan dalam perencanaan pangan dan gizi, diperlukan data mutakhir mengenai kandungan vitamin, baik larut air maupun lemak serta prekursornya bila terdapat pada berbagai jenis pangan yang dikonsumsi masyarakat Indonesia.
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
51
Abstrak Sebanyak 60% jumlah penduduk dunia menggunakan beras sebagai bahan pokoknya. Masyarakat Indonesia merupakan pengonsumsi beras tertinggi di dunia, yaitu 139,15 kg/kapita/tahun (Bungaran Saragih, 2012). Sebagai pembanding, Malaysia 80 kg dan Jepang 60 kg/kapita/tahun. Ketahanan Pangan Nasional saat ini masih dititikberatkan dan didasarkan pada peningkatan Penawaran atau Produksi dan masih belum didasarkan pada peningkatan efisiensi manajemen permintaan, yaitu dengan cara mengurangi tingkat konsumsi beras yang didasarkan pada kajian ilmiah serta melalui health promotion yang mengaitkan prevalensi Penyakit Diabetes Melitus Tipe 2 dengan tingginya tingkat konsumsi beras. Target produksi padi (2012) adalah 76,5 juta ton gabah kering atau setara dengan 44 juta ton beras, dengan perhitungan akan surplus 10 juta ton beras (Rusman HeriawanWamen Pertanian, 2012). Diperkirakan target tersebut sulit untuk dicapai. Prakarsa baru perlu dilakukan dengan pengendalian manajemen permintaan berdasarkan acuan hasil studi terhadap pengaruh tingginya konsumsi beras yang akan dikaitkan dengan tingginya kasus Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Tingginya prevalensi diabetes melitus tipe 2 di Indonesia, tertinggi keempat dunia menurut WHO (2004), perlu dikaitkan dengan tingginya tingkat konsumsi beras putih dan gula oleh masyarakat sebagai sumber karbohidrat. Tingginya konsumsi produk yang menggunakan beras dan tepung terigu juga diduga menjadi salah satu faktor penyumbang timbulnya gejala awal diabetes melitus tipe 2. Beras putih dan gandum diperoleh dari proses penyosohan yang menghasilkan bekatul sebagai limbah, padahal dalam bekatul terdapat 52
komponen gizi prima, yaitu kaya akan serat (baik yang larut maupun yang tidak larut), tinggi komponen lemak dan protein yang bermutu tinggi, kaya akan vitamin B kompleks, mineral, phytosterol, phytonutrient, gama-orizanol dan terdapat sekitar 100 jenis antioksidan yang merupakan potensi penangkal kesehatan dalam mengendalikan dan menurunkan risiko munculnya diabetes tipe 2. Diperkirakan di Indonesia diproduksi sekitar 6 juta ton bekatul/tahun yang terbuang atau kurang dimanfaatkan. Teknologi baru telah mampu membuat bekatul stabil dan tidak cepat tengik. Informasi mengenai nilai Indeks Glisemik (IG) suatu bahan pangan menjadi sangat penting dalam pengendalian penyakit diabetes melitus tipe 2 karena nilai tersebut mencerminkan kemampuan suatu bahan pangan dalam meningkatkan kadar gula darah postprandial. Data nilai IG dari berbagai jenis bahan baku dan produk pangan di Indonesia juga belum tersedia. Sebaliknya, telah dihayati bahwa pangan dengan IG rendah banyak menekan timbulnya overweight, obesitas, serta kasus penderita diabetes melitus tipe 2. Semakin tinggi serat, semakin rendah IG-nya (di bawah 50). Beras putih rendah seratnya sehingga hampir seluruh beras dan produk beras memiliki IG yang tinggi (di atas 70). Tujuan penelitian ini adalah menganalisis nilai IG dari bekatul beras, bekatul gandum, dan sejumlah makanan tradisional di Jakarta serta mendesain suatu formulasi pangan yang mengandung bekatul untuk menurunkan risiko diabetes melitus tipe 2. Studi intervensi yang direncanakan pada tahun kedua akan mengkaji hubungan formulasi produk pangan industri berbahan bekatul sebagai sumber serat dengan penurunan risiko diabetes melitus tipe 2. Metode yang dilakukan berupa analisis IG, analisis proksimat dan serat kasar, uji organoleptik, serta uji parameter antropometri dan biokimia klinik (indeks massa tubuh, gula darah puasa dan postprandial, HbA1C, profil lipid, tes faal ginjal, dan fungsi hati). Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mengetahui faktor risiko penyakit diabetes melitus tipe 2 yang berkaitan dengan asupan pangan tinggi karbohidrat dan lemak. Hasil tersebut sekaligus mampu memperkuat Sistem Inovasi Nasional pada riset dasar dengan meningkatkan kewaspadaan dan kepedulian masyarakat terhadap seriusnya bahaya penyakit noninfeksius diabetes melitus tipe 2 bagi masyarakat Indonesia yang dapat menurunkan produktivitas sumber daya manusia Indonesia dan secara umum berdampak nyata pada aspek ekonomi bangsa. Melalui health promotion yang terencana baik dapat dilakukan sosialisasi mengenai betapa pentingnya penghayatan penurunan konsumsi dalam menekan
DIABETES MELITUS TIPE 2 DAN USAHA PENURUNAN KONSUMSI BERAS DI INDONESIA
F.G. Winarno1, Purwiyatno Hariyadi2, Lukito Wijaya3, Hardinsyah4, Dahrul Syah5, Nuri Andarwulan6, Widya Agustinah7 1Fakultas Teknobiologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya; E-mail:
[email protected]; 2SEAFAST Center, LPPM, Institut Pertanian Bogor; 3Pusat Kajian Gizi dan Nutrisi Regional-SEAMEO, Universitas Indonesia; 4Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor; 5Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI), Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, 6Institut Pertanian Bogor SEAFAST Center, LPPM, Institut Pertanian Bogor; 7Fakultas Teknobiologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
53
Kata kunci: Diabetes melitus tipe 2, Indeks glisemik, Beras dan gandum, Bekatul, Gula darah
EFFECTIVENESS OF CONDITIONAL FAMILY PROGRAM ON NUTRITIONAL STATUS OF TODDLERS
laju perkembangan penyakit diabetes melitus tipe 2 di Indonesia. Diharapkan bila semua berhasil dalam kurun waktu kurang dari 3 tahun, konsumsi beras Indonesia dapat turun menjadi 100 kg/kg/per kapita dari sekitar 140 kg saat ini.
54
Keywords: Conditional Family Program, Toddler nutritional status, Toddler stunting, PKH Indonesia
Abstract The Conditional Family Program (PKH) on health, which is a continuation of cash transfer program, is intended for poor families having children under five, pregnant women and lactating mothers since 2007. The objectives of this study were to analyze the effectiveness of Conditional Family Program/Program Keluarga Harapan (PKH) on nutritional status of children under three years (toddlers). This study used e-file data of the evaluation of PKH program from the World Bank Office of Indonesia. This study was designed as a cross sectional study design. Data used on this study were collected at 2007 (before) and 2009 (after). The survey was conducted in six provinces of Indonesia (DKI Jakarta, West Java, East Java, North Sulawesi, Gorontalo, and East Nusa Tenggara) with numbers of samples were 9221 toddlers in 2007 and 8067 toddlers sample in 2009. Nutritional status of toddlers was determined by height/age (H/A) z-scores before and after program respectively. The results showed that the prevalence of stunting (H/A z-score < -2.0) was 29.3% in 2007 and 25.9% in 2009. Overall, there was significant difference (p<0.05) of H/A z-score between 2007 (mean H/A z-score -1.9) and 2009 (mean H/A z-score -1.6). The reduction of stunting in boys was higher than in girls. However, the effectiveness of PKH program varies among the provinces. In DKI Jakarta and West Java, the H/A z-score was not significantly affected by PKH program. In East Java and North Sulawesi, it was significantly and possitively affected by PKH program; while in Gorontalo and East Nusa Tenggara (NTT), it was significantly and negatively affected by PKH program. This implies that the PKH program could partly protected toddlers from more serious nutrition problem (stunting) in selected areas. Considering the weaknesses of the evaluation method (cross sectional design), further evaluation could apply a strong design to have a strong conclusion of the effectiveness of the PKH program.
1Departemen
Muhammad Aries1, Hardinsyah2, Hendratno3 Gizi Masyarakat, FEMA IPB, Bogor, Email:
[email protected];
[email protected]; 2Departemen Gizi Masyarakat, FEMA IPB, Bogor, E-mail:
[email protected]; 3World Bank, Indonesia; E-mail:
[email protected]
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
55
Abstrak Status gizi anak balita di Indonesia sudah mengalami perbaikan yang nyata. Meskipun demikian, prevalensi anak pendek atau stunting masih tinggi. Masih tingginya angka stunting ini dapat dimengerti, mengingat stunting merupakan hasil akhir proses kekurangan gizi yang kronis dan/atau berulang sehingga penanggulangannya memerlukan pemahaman terhadap pathway terjadinya secara komprehensif. Sampai saat ini di Indonesia penanganan masalah gizi lebih banyak difokuskan pada anak usia di bawah lima tahun melalui pemantauan berat badan anak setiap bulan dan beberapa kegiatan tambahan lainnya, seperti pemberian makanan tambahan untuk anak gizi buruk, penyuluhan, dan imunisasi. Intervensi ini terkesan kurang efektif karena yang membaik adalah berkurangnya anak balita dengan status gizi kurang (underweight), namun tidak demikian halnya dengan anak balita stunting. Data Riskesdas 2010 menginformasikan bahwa prevalensi underweight pada anak balita sebesar 17,9 %, sedangkan prevalensi stunting pada balita sebesar 35,6%. Perkembangan terkini mengaitkan masalah stunting ke kondisi yang lebih hulu, yaitu saat anak di dalam kandungan, dan pada usia 2 tahun pertama kehidupan. Inilah masa yang disebut Window of Opportunity karena bila terjadi salah gizi selama periode ini dan tidak ditangani sedini mungkin maka kita akan kehilangan peluang untuk memperbaiki status gizi anak sampai dewasa akibat salah gizi yang terjadi pada periode ini bersifat permanen. Lebih jauh, periode Window of Opportunity tidak hanya dimulai saat kehamilan, tetapi sebelum kehamilan terjadi. Dua faktor utama yang memengaruhi status gizi anak di dalam kandungan adalah tinggi badan ibu dan berat badan ibu prahamil apakah sesuai standar. Kedua faktor ibu ini, ditambah dengan pertambahan berat badan yang rendah selama kehamilannya mempunyai peran sekitar 40% terhadap keterlambatan pertumbuhan janin. Sementara itu, gambaran status gizi pada wanita dewasa di Indonesia menunjukkan cukup tingginya potensi risiko terjadinya
1Pusat
Anies Irawati1, Endang L. Achadi2, Atmarita1, Emmy Huriyati3 Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat, Badan Litbangkes, Kementerian Kesehatan RI. Jln. Percetakan Negara 29. Jakarta Pusat 2Staf pengajar FKM UI, Kampus UI Depok, gd F lt 2. Telp.: (021) 786-442; e-mail:
[email protected]; 3Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
STUNTING DI INDONESIA: APAKAH ANTAR-GENERASI?
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
56
Kata kunci: Stunting, Status gizi ibu, Masalah gizi antar-Generasi
hambatan pertumbuhan janin, antara lain tinggi badan rata-rata, kurang energi kronis (KEK), dan anemia. Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa sebesar 36,1% wanita Indonesia mempunyai tinggi badan di bawah 150 cm dan 35,1% pada tahun 2010. Prevalensi Wanita Usia Subur yang berisiko mengalami KEK berdasarkan indikator Lingkar Lengan Atas (LiLA) < 23,5 cm adalah sebesar 13,6%. Prevalensi anemia pada ibu hamil dan kelompok WUS lainnya masih cukup dominan pada saat ini. Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2004 prevalensi Anemia pada ibu hamil adalah sebesar 50,5%; sedangkan pada ibu nifas sebesar 45,1%, pada usia dewasa (19–45 tahun) sebesar 39,5% dan pada remaja putri 10–18 tahun sebesar 57,1%. Analisis data Riskesdas 2010 menunjukkan lebih tingginya prevalensi stunting, yaitu sebesar 46,7% pada anak balita yang ibunya mempunyai tinggi badan kurang dari 150 cm dibandingkan pada ibu dengan tinggi badan di atas 150 cm yang sebesar 34,8%. Kondisi ini menjelaskan bahwa masalah stunting adalah masalah intergenerasi, dan mengindikasikan pentingnya peran status gizi ibu hamil terhadap status gizi anaknya. Fenomena salah gizi antar-generasi ini seharusnya dijadikan dasar pemikiran dalam mengembangkan strategi penanganan stunting di Indonesia, antara lain memberikan prioritas pada ibu hamil, bayi usia di bawah dua tahun dan ibu pra-hamil, di samping memperhatikan program penting jangka panjang lainnya seperti pengentasan kemiskinan. Apalagi bila menyimak pendapat terakhir (Barker, 2012) yang menyatakan bahwa status kesehatan seseorang pada usia dewasa sesungguhnya telah ditentukan sejak dua generasi sebelumnya, yaitu bukan dari ibu, tetapi dari neneknya. Seorang anak akan berkembang dari sebuah telur yang dilepaskan oleh neneknya kepada ibunya saat sebagai janin sehingga dengan demikian neneknyalah yang akan menentukan gen anak tersebut. Telur akan dilepaskan oleh ibunya untuk dibuahi oleh sperma (pembawa gen) dari ayahnya, selanjutnya pengaruh ibu akan diberikan kepada janinnya melalui penyediaan zat gizi dan pengaruh terhadap perkembangan plasentanya.
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
Listyani Hidayati1, Hamam Hadi2, Amitya Kumara3 Ilmu Kesehatan, UMS; 2Fakultas Kedokteran, UGM; 3Fakultas Psikologi, UGM
Keywords: Multimicronutrient, Single micronutrient, nutritional status, Psychomotoric, Malnutrition, Toddlers.
57
Supplementation,
Abstract Malnutrition has been becoming a major health program for global society. If no serious treatment is conducted, the number of the malnutrition children will increase rapidly from 166 to 175 millions in 2020. Multimicronutrient supplementation is expected to be able to improve the malnutrition children’s performance. The experiment was carried out to verify that multimicronutrien supplementation can decrease the malnutrition children morbidity, improve the nutrition intake, improve the micronutrient status, increase the nutrition status, and improve the psychomotoric performance. This study is an experiment research with a RCT design. Subjects with certain inclusive criterias were classified randomly into 2–those who got multimicronutrient supplementation and those who got single micronutrient supplementation. The findings show that single micronutrient supplementation and multimicronutrient supplementation can increase the ferritin serum and hemoglobin, but they do not increase the zinc serum and retinol serum. Both supplementations can also increase the nutrition intake, protein, Fe, zinc, and vitamin A. Furthermore, both can shorten the number of days of cough. However, they do not increase the nutritional status. There is not effect difference to the development of psychomotor, to the personal development, as well as the language development between the two supplementations. Both multimicronutrient and single micronutrient supplementations can decrease the morbidity, increase the nutritional status, micronutrient status, as well as the development of malnutrition children.
1Fakultas
EFFECTIVE MULTIMICRONUTRIEN AND SINGLE MICRONUTRIEN SUPPLEMENTATION TO INCREASE THE NUTRIENT AND PSYCHOMOTORIC STATUS OF MALNUTRITION TODDLERS
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
58
Abstrak Program Raskin merupakan salah satu skema bantuan pangan bagi masyarakat miskin yang sangat bermanfaat dalam meningkatkan akses masyarakat miskin terhadap beras. Meskipun demikian, Raskin juga menimbulkan ekses berupa perubahan pola konsumsi pangan masyarakat yang sebelumnya mempunyai pola pangan pokok nonberas, kemudian beralih kepada beras sebagai bahan pangan pokok sehingga meningkatkan ketergantungan kebutuhan pangan masyarakat tersebut kepada beras sebagai bahan pangan pokok. Hal ini dapat menyebabkan kerentanan pangan, terutama di daerah bukan penghasil beras apabila terjadi gangguan pasokan dan gangguan distribusi beras ke daerah tersebut. Untuk itu, diperlukan pemikiran baru dalam kerangka penyempurnaan kebijakan bantuan pangan kepada penduduk miskin yang lebih komprehensif dan sesuai dengan kebutuhan daerah. Program subsidi bahan pangan pokok untuk masyarakat berpendapatan rendah merupakan salah satu alternatif rancangan program bantuan pangan yang berbasis pada sumber daya pangan wilayah untuk meningkatkan akses pangan pokok bagi penduduk miskin, dan memperkuat cadangan pangan masyarakat untuk mengantisipasi keadaan darurat pangan. Hal ini diharapkan juga berdampak positif dalam rangka mendorong pembangunan industri pangan lokal, mempercepat penganekaragaman pangan, menumbuhkan ekonomi, dan kesempatan kerja di pedesaan.
1Sekretaris
Hermanto1 dan Jan Piter Sinaga2 Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian 2Staf Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan
SKEMA BANTUAN PANGAN BAGI MASYARAKAT MISKIN DAN DARURAT PANGAN
Subtema Ketersediaan dan Aksesibilitas Pangan
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
Ketut Kariyasa1) dan Achmad Suryana2) pada BBP2TP, Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian Indonesia; 2)Kepala Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian Indonesia
59
Abstrak Kehilangan dan pemborosan pangan di Indonesia masih tinggi. Sementara itu, upaya meningkatkan ketersediaan pangan untuk memenuhi permintaan pangan yang terus meningkat sulit dilakukan. Hal ini terkait dengan adanya masalah konversi lahan pertanian ke nonpertanian yang cenderung meningkat, perubahan iklim yang semakin tidak menentu sehingga memperburuk kinerja produksi pertanian, serta volatilitas harga pangan yang cenderung kurang memberikan insentif bagi petani untuk berinvestasi pada teknologi pertanian. Terkait dengan kendala tersebut, upaya mengurangi kehilangan dan pemborosan pangan menjadi sangat relevan dan sebagai langkah alternatif dalam meningkatkan ketersediaan pangan, yang pada akhirnya akan memperkuat ketahanan pangan. Kehilangan pangan terjadi karena masih rendahnya tingkat penggunaan alat dan mesin panen dan pascapanen pada tanaman
Keywords: Food loss and waste, Food available, Food security.
Abstract Food loss and waste in Indonesia have remained high. Whereas, efforts to increase food availability to promote a sustainable food security tend to be more difficult. This is related to the persistent problems of agricultural land conversion and climate change that worsening the performance of agricultural production, as well as food price volatility. These unfavorable trends do not provide incentives for farmers to invest in the development of agricultural technology. Associated with these constraints, then, any effort to reduce food loss and waste will be a relevant, as an alternative step to increase food availability, and then strengthen food security. Food loss has occured due to lack of harvesting and post harvest equipment and machinery utilization. Meanwhile, food waste has happened due to the problems of mindset, culture, and lack of public awareness of economic value loss of food. Therefore, efforts to reduce food loss have to be done via investment of technology that can save and/or extend the shelf life of food. Reducing food waste has to be carried out through changing mind-set and society’s eating culture.
1)Peneliti
KEHILANGAN DAN PEMBOROSAN PANGAN: TINJAUAN ASPEK NILAI EKONOMI DAN KETAHANAN PANGAN
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
60
Kata kunci: Kehilangan dan pemborosan pangan, Ketersediaan pangan, Ketahanan pangan
pangan, kualitas sumber daya dan prilaku petani. Sementara pemborosan pangan terjadi karena adanya persoalan pola pikir, budaya, dan kurangnya kesadaran masyarakat terhadap kehilangan nilai ekonomi pangan. Oleh karena itu, upaya pengurangan kehilangan pangan perlu dilakukan melalui investasi dan teknologi yang dapat menyelamatkan dan/atau memperpanjang daya simpan pangan. Pengurangan pemborosan pangan dapat dilakukan melalui perubahan mind-set dan budaya makan masyarakat.
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
61
Kata kunci: Potensi keanekaragaman hayati, Tata ruang wilayah, Kebijakan
Abstrak Kelangsungan hidup suatu negara akan sangat bergantung pada bagaimana warganya mengelola kekayaan alamnya secara bijaksana. Masyarakat menggunakan sekitar 6000 spesies tanaman dan hewan dalam kehidupan sehari-hari sebagai sumber pangan, sandang dan papan, potensi sumber daya ekonomi, bahan obat tradisional maupun modern, serta penunjang kebutuhan budaya, seni, dan keagamaan. Masyarakat Indonesia mengonsumsi tidak kurang dari 100 jenis tumbuhan dan biji-bijan sebagai sumber karbohidrat. Tidak kurang dari 100 jenis kacang-kacangan, 450 jenis buah-buahan serta 250 jenis sayursayuran dan jamur. Dengan jumlah penduduk yang besar serta untuk mempertahankan kemandirian bangsa, keanekaragaman hayati sumbersumber bahan pangan, sandang dan papan harus dikelola secara terpadu dengan memperhatikan kelestariannya. Terkait hal tersebut maka pembangunan pertanian harus: a) Meningkatkan dampak positif dan mencegah dampak negatif sistem pertanian terhadap ekosistem pertanian; b) melakukan konservasi dan pemanfaatan sumber daya genetik yang mempunyai nilai aktual dan potensial untuk pangan dan pertanian secara berkelanjutan; dan c) Meningkatkan pembagian keuntungan secara adil dan merata dari hasil pemanfaatan sumber daya genetik. Untuk itu, program pengembangan areal pertanian harus mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah, serta dengan menyusun program-program aplikatif lainnya di lapangan. Perencanaan Tata Ruang wilayah tersebut ditetapkan dengan memperhatian daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Antung Dedi Radiansyah
RISIKO PERUBAHAN IKLIM KEPADA KEKAYAAN HAYATI DAN DAMPAKNYA KEPADA KETAHANAN PANGAN.
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
62
Kata kunci: Potensi pangan, Sumber daya, Kebutuhan, Ketahanan pangan
Abstrak Indonesia merupakan salah satu negara megadiversitas. Kekhawatiran atas kemungkinan terjadinya krisis pangan sebagaimana banyak dilontarkan oleh lembaga-lembaga internasional, seperti Food and Agriculture Organization (FAO), World Bank (WB) dan organisasiorganisasi regional seperti Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) harus dipandang sebagai kesempatan untuk memanfaatkan dan mengelola kekayaan keragaman sumber hayati bahan pangan tersebut untuk memasok kebutuhan pangan dunia (to feed the world). Potensi sumber daya pangan Indonesia yang merupakan faktor produksi utama untuk menghasilkan pangan, pada saat ini belum dikelola secara optimal. Keanekaragaman hayati nasional, baik flora maupun fauna, belum digali dengan baik dan belum dikembangkan sebagai sumber pangan, yang beranekaragam dengan gizi seimbang. Sumber daya alam yang beragam tersebut belum dikelola dengan prinsip-prinsip keberagaman, tapi justru dilakukan dengan secara sadar atau tidak mengarah pada pola penyeragaman. Melalui pemanfaatan potensi keberagaman sumber bahan pangan lokal tersebut dapat dibangun dan diciptakan ketahanan pangan yang tangguh. Bahkan dengan potensi yang demikian besar, Indonesia semestinya dapat menjadi salah satu negara lumbung pangan dunia, sekaligus mampu membantu masyarakat dunia mengatasi kekurangan pangan.
Tjuk Eko Hari Basuki
POTENSI PENYEDIAAN PANGAN NASIONAL DAN DUNIA MELALUI PEMANFAATAN POTENSI SUMBER DAYA PANGAN DOMESTIK
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
63
Kata kunci: Pola konsumsi pangan, sumber perolehan pangan pokok
Abstrak Tulisan bertujuan untuk menganalisis perkembangan pola konsumsi pangan ditinjau dari aspek sosial ekonomi. Aspek sosial ekonomi yang ditelaah terkait dengan karakteristik wilayah (desa-kota), tingkat pendapatan, dan sumber perolehan pangan pokok rumah tangga di Indonesia. Analisis dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan data Susenas (BPS) tahun 2002–2011. Hasil analisis menunjukkan bahwa (1) Selama 2002–2011 terjadi perubahan pola konsumsi dan pengeluaran rumah tangga di perdesaan dan perkotaan Indonesia. Pengeluaran makanan menurun diikuti meningkatnya pengeluaran nonmakanan. Di pedesaan, pangsa pengeluaran makanan lebih besar dari nonmakanan menunjukkan tingkat kesejahteraan rumah tangga di perdesaan lebih rendah di banding di perkotaan. Implikasinya, kebijakan pembangunan nasional perlu lebih mempriotaskan pada upaya peningkatan kesejahteraan penduduk perdesaan; (2) Pergeseran pola konsumsi pangan pokok mengarah pada pangan berbahan terigu (mie). Diversifikasi pola konsumsi pangan pokok di perdesaan hanya terjadi pada kelompok pendapatan rendah, penduduk pendapatan tinggi mengarah pada pola tunggal beras dan atau beras+terigu. Untuk mendorong konsumsi pangan lokal sebagai sumber pangan karbohidrat perlu dilakukan secara sinergis penanganan di sisi produksi dan ketersediaan dan sisi permintaan melalui sosialisasi, edukasi, dan advokasi tentang pentingnya konsumsi beragam, seimbang dengan mempromosikan keunggulan pengembangan pangan lokal; (3) Sumber perolehan bahan pangan pokok umumya berasal dari pembelian, termasuk di daerah perdesaan. Oleh karena itu, stabilisasi harga pangan pokok perlu dijaga agar tingkat harga pangan dapat memberi insentif bagi produsen dan terjangkau bagi konsumen.
Handewi Purwati S. Rachman Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian Jln. A. Yani No 70 Bogor 16161 E-mail:
[email protected]
PERKEMBANGAN KONSUMSI PANGAN TINJAUAN DARI ASPEK SOSIAL EKONOMI
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
64
Keywords: Patterns of food consumption, Sourcing staple food
Abstract This paper aims to analyze the development of the pattern of food consumption in terms of socio-economic aspects. Socio-economic aspects related to the characteristics of the studied area (rural-urban), income level, and the source of household food acquisition in Indonesia. Descriptive analysis was done using Susenas data 2002– 2011. The results showed that (1) During 2002–2011 there were changes in consumption patterns and household expenditures in rural and urban Indonesia. Food expenditures decreased followed by increased spending on non-food. In rural which is areas, the share of food expenditures was greater than the non-food, showing the level of welfare of households in rural areas are lower in urban appeal. The implication, national development policies need to be more prioritized at improving the welfare of the rural population, (2) shift in staple food consumption average household leads to food made from wheat (noodles). Diversification of staple food consumption patterns in rural areas occur only in low-income groups, while the high income leads to a single pattern of rice or rice and wheat. To encourage local food consumption as a food source of carbohydrate necessary to synergistically handling in the production and availability and the demand side through socialization, education and advocacy on the importance of consumption varied, balanced by promoting excellence development of local food, (3) the acquisition of basic food source generally from purchases, including in rural areas. Therefore, the stabilization of staple food prices need to be kept to the level of food prices can still provide incentives for producers and affordable for consumers.
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
65
Abstrak Perubahan lingkungan strategis menimbulkan kekhawatiran terhadap penurunan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan berimplikasi pada pentingnya ketahanan pangan dalam pembangunan nasional. Ketahanan pangan berperan menentukan stabilitas dan keberlanjutan pemenuhan kebutuhan pangan penduduk. Rumah tangga petani padi berbeda dari Rumah tangga biasa karena selain menjadi konsumen mereka juga menjadi produsen pangan yang memiliki akses langsung terhadap pangan sehingga secara ekonomi perilaku konsumsi mereka akan terkait dengan perilaku produksinya. Pada penelitian sebelumnya, karakteristik Rumah tangga seperti itu belum banyak diperhatikan. Makalah ini bertujuan menganalisis pengaruh perubahan beberapa faktor ekonomi terhadap ketahanan pangan Rumah tangga menggunakan simulasi persamaan simultan dengan basis model ekonomi Rumah tangga pertanian (Agricultural Household Model). Hasil analisis menunjukkan bahwa pengaruh negatif kenaikan harga pupuk terhadap ketahanan pangan Rumah tangga dapat ditekan jika secara bersamaan harga padi meningkat proporsional. Kecukupan energi dan status gizi indikator utama ketahanan pangan masih meningkat meskipun dengan persentase relatif kecil. Penambahan luas lahan garapan maupun peningkatan diversifikasi usaha meningkatkan kinerja ketahanan pangan Rumah tangga. Akan tetapi, penambahan luas lahan memberikan pengaruh lebih besar dibanding peningkatan diversifikasi usaha. Pengaruh perubahan kedua faktor ekonomi itu lebih besar pada kelompok Rumah tangga tidak miskin. Implikasi temuan tersebut adalah agar ketahanan pangan Rumah tangga petani dapat ditingkatkan. Oleh karena itu, jika harga pupuk (input) mengalami kenaikan, pemerintah perlu segera merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan yang dapat mendorong peningkatan harga padi (output). Selain itu, pemerintah juga perlu merumuskan kebijakan yang mampu 66
Kata kunci: Ketahanan pangan, Rumah tangga petani, Model ekonomi
mendorong peningkatan intensitas tanam melalui pengembangan investasi dan pemeliharaan jaringan irigasi dan kebijakan lain yang mengarah pada redistribusi lahan, serta penciptaan kesempatan kerja dan berusaha di perdesaan.
PERUBAHAN HARGA INPUT-OUTPUT, LUAS GARAPAN DAN DIVERSIFIKASI USAHA DALAM KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA PETANI
Gatoet S. Hardono1, Bonar M. Sinaga2, Nunung Kusnadi3, Tahlim Sudaryanto4 1Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian; 2Departemen Ekonomi dan Sumber daya Lingkungan, FEM-IPB; 3Departemen Agribisnis, FEM-IPB; 4Kementerian Pertanian
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
67
Abstrak Makalah ini bertujuan untuk mengukur pencapaian tujuan MDGs yang pertama, yaitu menurunkan angka kemiskinan dan kelaparan di Indonesia hingga setengahnya pada tahun 2015. Ukuran yang digunakan adalah suatu indeks komposit yang disebut PHI (Poverty and Hunger Index). PHI merupakan kombinasi dari 5 indikator pada tujuan 1 MDGs, yang dikombinasikan menggunakan cara yang mirip dengan pembuatan indeks komposit IPM. Hasil penghitungan indeks PHI menempatkan provinsi-provinsi dalam 3 kategori, yaitu tinggi (2 provinsi, yaitu Bali dan DKI Jakarta), menengah (30 provinsi) dan rendah (1 provinsi yaitu Papua Barat). Kemajuan pencapaian tujuan pertama MDGs per provinsi dilihat dengan indeks PHI-P dalam 3 kelompok, kemajuan cepat (12 provinsi), progres lambat (13 provinsi) dan kemajuan stagnan (8 provinsi). Kombinasi PHI dan PHI-P menghasilkan klasifikasi provinsi menurut skala prioritas pembangunan dalam kerangka mewujudkan tujuan pertama MDGs, yaitu prioritas rendah (8 provinsi), prioritas sedang (13 provinsi), dan prioritas tinggi (12 provinsi).
Faharuddin BPS Provinsi Sumatra Selatan
MENGUKUR PENCAPAIAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN KELAPARAN DI INDONESIA MENGGUNAKAN INDEKS KOMPOSIT PHI (POVERTY AND HUNGER INDEX)
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
68
Abstract Background: Food and nutrition assessments, combined with expenditure surveys, provide information about what people eat, how much money they spend on it, and their nutritional status. However, in contexts where food availability does not appear to be a problem, it often remains unknown how much of the nutrient gap is due to economic constraints to meet a nutritious diet (unaffordability) and to lack of knowledge and practices on food and nutrition. Current methodologies to assess food and nutrition security are not able to analyze households' constraints in accessing their nutrient requirements, especially for their most vulnerable members, such as children under two years. Objectives: 1) Provide an overview of the Minimum Cost of Nutritious Diet (CoD) methodology, how it works, how it was developed; 2) Discuss how the CoD methodology can be useful in the Indonesian context, including its potential use as a policy advocacy tool. Methods: The CoD tool is a spread sheet using Microsoft Excel software, developed by Save the Children UK (SC-UK) in 2006. The tool uses Excel’s solver function to perform linear optimization. To run the optimization process, the model uses 2 standard databases: food composition tables and individual energy and nutrient requirements. CoD requires 3 sets of locally-specified data: 1) A comprehensive list of all food items available and their market prices at a given point in time in the CoD area; 2) Typical household composition, based on sex, age, weight and activity level; 3) Portion sizes for each food item and food group and minimum and maximum consumption. The CoD tool calculates the price of a theoretical nutritious diet which satisfies all nutritional requirements of a modelled family at the minimum possible cost, based on the availability, price, and nutrient content of local foods (Minimum Cost of a Nutritious–MCNUT diet). The model can be adjusted to better reflect food preferences and consumption behaviours (Locally Adapted Cost Optimized Nutritious–LACON diet). Results: The main types of analyses which can be performed using the CoD
Maria Catharina Badan Perserikatan Bangasa-bangsa
MINIMUM COST OF A NUTRITIOUS DIET (COD) METHODOLOGY: POSSIBLE IMPLICATIONS FOR POLICY ADVOCACY ON FOOD AND NUTRITION SECURITY IN INDONESIA UNITED NATIONS WORLD FOOD PROGRAMME CO INDONESIA, MOH, SEAMEO-RECFON
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
69
Keywords: Food and Nutrition Security Assessment, Fortification, 1000 days intervention, CoD, policy advocacy
MENUJU KECUKUPAN PANGAN KELUARGA TANI MELALUI PENDEKATAN PENUMBUHAN KEBUN BIBIT DESA DAN PENERAPAN KALENDER TANAM DI PEKARANGAN
tool are the affordability analysis and cost-effectiveness analysis of various nutritionspecific and nutrition-sensitive interventions through modelling. Based on household expenditure data and family composition (Susenas 2010), the percentage of households who can afford MCNUT, or LACON, can be calculated to show the extent to which economic access limits the potential ability to fulfil the nutrient requirements of a family within a certain area, as compared to other areas. It is possible to model new scenarios (either at a zero cost through social safety net programmes, or at subsidized or regular market prices) that incorporate various interventions (provision of fortified food, such as fortified rice, or complementary food supplements for children 6–24 months and other vulnerable groups) and gauge their impact on the cost of a nutritious diet for a particular age group or for the household. This change in cost comparison also allows the user to assess the cost-effectiveness of interventions relative to one another. Conclusion: The CoD analysis provides insights on household affordability and cost-effectiveness, as well on the potential impact of various nutrition-specific and sensitive interventions targeting the first 1000 days and the household (though modelling). While the affordability analysis is very powerful to illustrate the extent of economic constraints to food access in a particular area, the cost-effectiveness analysis can add to the information available for decision making at the local level. The CoD analysis is a useful entry point for discussion on the type and combination of delivery channels to best achieve nutritional outcomes, both through government Social Safety Nets and market solutions. Finally, the tool has a great potential to support decentralised policy decision making.
70
Abstrak Pondasi ketahanan pangan yang kokoh suatu negara dapat diawali dengan menumbuhkan kemandirian pangan rumah tangga. Artinya pangan kecukupan, stabil, mudah akses dan aman pada tingkat rumah tangga petani. Sejalan dengan peran pekarangan, yaitu sebagai lumbung pangan hidup, warung hidup, bank genetik, apotek hidup dan estetika maka untuk mencapai kemandirian pangan keluarga harus mengupayakan optimalisasi peran pekarangan. Akan tetapi, percepatan pelaksanaan program Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) di desadesa contoh, berbasis partisipatif bagi para pemangku kepentingan dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia, ternyata membutuhkan benih dan bibit, baik tanaman, ternak ikan yang banyak. Kebun Bibit Desa (KBD) yang dikelola profesional terbukti mampu memasok kebutuhan benih dan bibit tersebut. Tumbuhnya KBD ini pada akhirnya menjadi salah satu indikator keberlajutan KRPL. Kesulitan pengadaan benih/bibit bagi rumah tangga yang tergabung dalam komunitas KRPL dapat di atasi oleh KBD. Sementara itu, pangan aman jika mengikuti Primida Makanan yang indikatornya kecukupan energi dan gizi. Dalam daftar komposisi bahan makanan (DKBM) tertuang komposisi energi, gizi, vitamineral, serat berbagai jenis tanaman. Berangkat dari pemikiran ini dan dipadukan dengan pemanfaatan sumber daya lahan yang dimiliki oleh keluarga tani anggota komunitas KRPL (jika komunitas yang bersangkutan ada yang tidak mempunyai pekarangan, dikenalkan inovasi pertanian vertikal) maka dengan menyusun komposisi jenis tanaman dan ternak, serta memasukkan parameter umur, waktu tanam, lokasi tanam, curahan tenaga kerja, biaya pengelolaan di-overlay dengan kandungan energi, gizi, vitamineral, serat, protein yang ada dalam tanaman atau ternak, akan diperoleh kalender tanam (Katam) “Lingkar pertanaman (Crop circle)”.
Sudarmadi Purnomo Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur Jln. Raya Karangploso Km 4, Malang 65101, JawaTimur E-mail :
[email protected]
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
71
Kata kunci: Kecukupan pangan, Energi, Gizi, Vitamineral, Kalender Tanam, Pekarangan, Rumah Tangga Tani, Kawasan Rumah Pangan Lestari
Perencanaan berupa kalender tanam selama setahun yang disusun partisipatif oleh keluarga tani terbukti mendorong pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi harian, yang pada akhirnya menurunkan belanja harian dan meningkatkan pola pangan harapan.
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
72
Abstrak Antara data produksi dengan data kebutuhan pangan (beras) nasional sering terjadi kurang-sesuaian (discrepency), disebabkan oleh tingkat akurasi data produksi dan data konsumsi yang lemah. Produksi nasional diperoleh dari perhitungan hasil ubinan (produktivitas per ha) dikalikan luas panen, harus dikoreksi dengan kehilangan hasil karena cekaman abiotik (kekeringan, banjir) dan cekaman biotik (hama, penyakit, tikus) dan kehilangan hasil pada proses pascapanen. Perbedaan antara kebutuhan beras untuk dikonsumsi (rice as consumed) dengan produksi gabah di lapangan (rice as produced) berdasarkan data yang ada mencapai 17,5%. Pada tahun 2022 penduduk Indonesia akan mencapai sekitar 281 juta jiwa, mengkonsumsi 31 juta ton beras (setara dengan 52 juta ton gkg), atau membutuhkan sebanyak 63 juta ton gkg pada tingkat produksi di lapangan. Untuk memperoleh produksi 63 juta ton gkg pada tahun 2022 akan berhadapan dengan lebih banyak masalah, yang utama adalah luas lahan sawah menyusut karena konversi lahan; ketersediaan air berkurang; OPT lebih tinggi intensitasnya; tenaga kerja di lapangan semakin mahal dan sulit diperoleh; dan harga sarana produksi semakin mahal. Walaupun prognosa kebutuhan produksi beras masih termasuk dalam kisaran kapasitas produksi maksimal dari sumber daya lahan yang ada, namun diperlukan tindakan antisipasi oleh adanya kemungkinan terjadi perubahan pola iklim yang ekstrim sehingga mengganggu kemampuan produksi pangan nasional. Tindakan antisipasi yang harus diambil sebagai dasar kebijakan pemerintah meliputi (1) pelaksanaan secara operasional UU No. 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pangan Berkelanjutan; (2) penetapan imbangan harga sarana produksi (pupuk) terkait harga jual gabah petani; (3) perbaikan dan perluasan prasarana irigasi dan tata air; (4) penyediaan dan pembimbingan teknologi baku agroekologi spesifik; (5) fasilitasi berkembangnya penggunaan Alsinan; (6) pembinaan dan pelatihan sumber daya manusia pelaku pertanian agar memahami Iptek pertanian; (7) perlindungan terhadap harga produk panen, dalam sistem ekonomi pertanian skala kecil agar tetap memberikan kehidupan yang
Sumarno Pensiunan Peneliti Utama Puslitbang Tanaman Pangan, Badan Litbang Pertanian
ANTISIPASI DEFISIT PANGAN (BERAS) SEPULUH TAHUN YANG AKAN DATANG
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
73
Kata kunci: Produksi beras; Kurang sesuaian data; Tindakan antisipatif; Usahatani dalam ekonomi nasional
POTENSI UMBI-UMBIAN SEBAGAI BAHAN PANGAN NABATI UNTUK MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN NASIONAL
layak bagi petani; (8) mengintegrasikan usaha produksi pangan ke dalam sistem ekonomi nasional sebagai usaha formal yang berhak memperoleh kredit usaha. Dengan tindakan antisipatif tersebut maka usaha pertanian tanaman pangan akan menjadi bagian integral dari sistem ekonomi nasional modern yang mampu memberikan penghidupan layak bagi para petani sebagai pelaku usaha. Dari sisi konsumen diversifikasi pangan pokok perlu terus dikembangkan dengan memanfaatkan jenis-jenis tanaman pangan yang tersedia di lokalita agar konsumsi beras secara nasional dapat ditekan. Tanpa tindakan-tindakan tersebut, kecukupan produksi beras nasional menjadi sangat rawan yang akan memperlemah ketahanan pangan nasional dan bahkan terjadinya bencana kekurangan pangan secara nasional.
74
Kata Kunci: Umbi-Umbian, Potensi, Pangan nabati
Abstrak Sebagai negara yang berada di daerah katulistiwa, bangsa Indonesia sangat kaya dengan keanekaragaman flora dan faunanya, yang kemudian diolah menjadi bahan pangan yang sangat beragam. Nenek moyang kita secara arif telah menggunakan puluhan hingga ratusan jenis flora menjadi bahan pahan nabati. Selama lebih kurang tiga-empat dasawarsa terakhir ini bahan pangan nabati bagi penduduk Indonesia hanya terpusat pada padi, jagung, ubi kayu dan gandum yang diimpor dari luar negeri. Akibatnya, selalu terjadi kekurangan pangan dan gizi sehingga mengganggu ketahanan pangan nasional. Akhir-akhir ini isu pemanasan global dan semakin sempitnya lahan pertanian menjadi penyebab menurunnya produksi pangan yang berdampak pada kerentanan ketahanan pangan nasional. Umbi-umbian yang ada di tanah air kita adalah sumber pangan nabati yang belum dimanfaatkan secara optimal. Umbi-umbian memiliki produksi yang tinggi dan kandungan gizi yang bermutu. Beberapa jenis umbi-umbian dapat dikembangkan sebagai tanaman bawah di antara pepohonan sehingga isu sempitnya lahan pertanian dapat teratasi. Ada beberapa jenis umbiumbian yang tahan kering, tidak terserang hama dan belum banyak menggunakan pupuk kimia sehingga penggunaan input luar dalam pembudidayaannya relatif rendah. Ada juga jenis umbi-umbian yang hanya digunakan sebagai makanan utama di daerah tertentu, tetapi tidak dimanfaatkan secara baik oleh penduduk perkotaan. Tulisan ini akan mengungkapkan berbagai jenis umbi-umbian yang ada di tanah air kita dalam kaitan dengan pemanfaatannya sebagai bahan pangan nabati untuk mendukung ketahanan pangan nasional.
Albert Husein Wawo & Ning Wikan Utami Pusat Penelitian Biologi-LIPI Kompleks Cibinong Science Center. Jln. Raya Jakarta–Bogor KM 46, Cibinong. 16911 wawoal @ yahoo.com
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
E-Siong Tee1 Nutrihealth Strategic Consultancy, Malaysia
75
Abstract This presentation discusses the use of Nutrient Reference Values (NRVs) for nutrition labelling and nutrition claims purposes, such as intended by Codex Alimentarius. Codex has defined NRVs as a set of numerical values that are based on scientific data, for purposes of nutrition labelling and relevant claims. NRVs are based on levels of nutrients associated with nutrient requirements. The current set of NRV in Codex lists the values for 9 vitamins, 5 minerals and protein for the general population, for individuals older than 36 months. These values may be used for helping consumers 1) estimate the relative contribution of individual products to overall healthful dietary intake and 2) as one way to compare the nutrient content between products. Codex has also used NRV as the basis for nutrient content claim and comparative claim. Governments are encouraged to use the Codex NRVs for labelling purposes in the interests of international standardization and harmonization. General principles for the establishment of NRVs have been established, and these include selection of suitable data sources to establish NRVs, selection of the appropriate basis and consideration of upper level of intake. Very few countries have been found to use NRV, e.g. Malaysia uses the Codex NRV and Indonesia uses the NRV. Most other countries in Southeast Asia use the national RDA for labelling purposes, e.g. Brunei RDA, Philippines RENI, Singapore RDA, Thai RDA. The EU uses RDA, whereas the USA uses DV. Codex is currently undertaking a review of the NRV list of vitamins and minerals. FAO and WHO to review the existing daily vitamin and mineral intake reference values for 28 vitamins and minerals, as well as information describing the basis for those values. In the meantime, CAC adopted an amendment to the definition of NRV in the recent CAC in July 2012 to include a reference to association of NRV to reduction in risk of non-communicable diseases (NCDs). New work has been initiated on developing NRVs for labeling purposes for nutrients associated with NCDs. There are two parts to this new work. The first part is establishment of General Principles for such NRVs, which is at step 3 of the procedure. The second part of the work involves the establishment of actual values for NRV-NCDs, commencing with saturated fatty acids and sodium. The
1TES
76
Keywords: NRVs, CODEX
35th Session of the Codex Alimentarius Commission (CAC) in 2012 advanced the document to Step 5. It has been challenging for consumers to understand nutrition labelling and the use of NRVs. Indeed, there has not been sufficient data on consumer understand and use of such information on food labels. More serious efforts need to be made to reach out to the consumers to promote the understanding and use of such information. Regulatory agencies need to work with nutritionists in realising such efforts so as to fully utilise nutrition information on labels in assisting consumers in making food choices.
Subtema Mutu Gizi, Konsumsi, dan Keamanan Pangan
USE OF NUTRIENT REFERENCE VALUES (NRVS) FOR NUTRITION LABELLING AND NUTRITION CLAIMS
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
77
Abstrak Pembangunan pangan merupakan salah satu bagian penting dalam pembangunan nasional yang ditujukan untuk penyediaan pangan yang cukup, bermutu, aman dan merata bagi pemenuhan kebutuhan gizi penduduk, dan peningkatan kesejahteraan penduduk melalui berbagai kreasi kegiatan ekonomi yang dihasilkannnya, baik ke hulu (upper stream agriculture) maupun ke hilir (downstream agriculture). Pembangunan pangan yang baik dan andal memerlukan penetapan target jangka panjang dan instrument untuk menilai pencapaian target pembangunan pangan tersebut. Dalam konteks tujuan penyediaan pangan yang cukup dan bermutu bagi pemenuhan kebutuhan gizi penduduk, FAO-RAPA sejak dua dekade yang lalu merekomendasikan pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH) dan skor PPH sebagai instrumen penetapan target dan evaluasi pembangunan pangan bagi perbaikan gizi masyarakat di suatu negara atau daerah. Pada tahun 1992 melalui Kementrian Negara Urusan Pangan (KNUP), PPH dan Skor PPH diadopsi dan dimodifikasi menjadi penetapan target dan evaluasi pembangunan pangan bagi perbaikan gizi masyarakat. Berikutnya, setelah tidak ada KNUP, Badan Ketahanan Pangan sejak tahun 2001 memodifikasi PPH dan Skor PPH melalui suatu pertemuan koordinasi lintas sektor nasional yang menghasilkan PPH tahun 2020 dan target Skor PPH sebesar 85 (skor PPH pada tahun 2000 = 70) untuk dicapai tahun 2020. PPH pada tahun 2010 telah diharmonisasi dengan anjuran Gizi Seimbnag (GS) agar instrumen makro (PPH) sejalan dengan instrumen mikro (GS) perbaikan konsumsi pangan. PPH tahun 2020 yang berguna sebagai instrumen penilaian dan perencananan konsusmi pangan secara makro dinyatakan dalam gram pangan dan proporsi energi ideal dari sembilan kelompok pangan yang memenuhi kebutuhan gizi makro dan mikro. Kesembilan kelompok pangan tersebut beserta proporsi energi dan bobotnya dalam perhitungan Skor PPH adalah serelia (50% dan bobot 0,5), umbi-umbian (6% dan bobot 0,5), pangan hewani (12% dan bobot 2), minyak dan lemak (10% dan bobot 0.5), buah/biji berminyak (3% dan bobot 0,5), kacang-
1Departemen
Hardinsyah1, Gayatri K. Rana2, Mewa Ariani3, dan Anggit Gantina2 Gizi Masyarakat, FEMA, Institut Pertanian Bogor, 2Pusat Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan, Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian, Jakarta, 3 Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian, Jakarta
ANALISIS KONSUMSI PANGAN DAN PENYEMPURNAAN POLA PANGAN HARAPAN (PPH) DAN SKOR PPH
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
78
Kata kunci: Konsumsi Pangan, Pola Pangan Harapan, Skor PPH.
kacangan (5% dan bobot 2), sayur dan buah (6% dan bobot 5,0), gula (5% dan bobot 0,5), dan lainnya-bumbu dan herbal (3% dan bobot 0).Analisis situasi konsumsi pangan selama sepuluh tahun terakhir (2002-2011) menggunakan data Susenas menunjukkan bahwa secara umum terjadi perubahan pola konsumsi pangan penduduk perkapita, penurunan konsumsi serelia dan umbi-umbian disertai peningkatan konsumsi terigu dan pangan hewani untuk semua jenis pangan hewani; sementara konsumsi kacang-kacangan, sayur dan buah relatif tetap. Peningkatan konsusmi pangan hewani ini dalam kurun waktu tersebut telah meningkatkan skor PPH dari 72.6 menjadi 77.3 dengan laju capain sekitar 0.5 skor pertahun. Sebagai instrumen makro penilaian dan perencanaan konsumsi pangan, PPH tahun 2020, sistim pembobotan dan skor-nya masih valid untuk digunakan. Target skor PPH sebesar 85 pada tahun 2020 masih mungkin dicapai dengan pengembangan berbagai program inovatif dan strategik untuk peningkatan konsumsi pangan hewani, sayur, buah, tahu dan tempe penduduk Indonesia sehingga tercapai laju peningkatan skor PPH 1.0 skor pertahun. Peningkatan satu skor PPH pertahun membutuhkan laju peningkatan konsumsi perkapita pangan hewani, tahu dan tempe, sayur dan buah 2–3 kali dari yang sekarang. Ini merupakan tantangan dan saingan sumber daya pada kegiatan pertanian lainnya; hanya dengan Iptek dan kepemimpian bangsa yang kuat bisa dicapai. Keberadaan PERPRES No. 22/2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan berbasis Sumber daya Lokal, sangat mendukung hal tersebut. Meskipun PERPRES ini terkesan ambisius (target skor PPH 95 tahun 2015), paling tidak semangat dan efek majemuknya pada pendanaan dan kinerja pemangku kepentingan akan dapat mempercepat peningkatan skor PPH. Salah satu tindak lanjut PERPRES ini adalah program optimalisasi pemanfaatan pekarangan untuk peningkatan konsumsi sayur, ikan dan ternak kecil melalui pemberdayaan perempuan dan keluarga. Dalam kurun waktu 3 tahun sejak 2010 kegiatan ini telah dilaksanakan di sekitar 6000 desa di 363 kabupaten/kota dengan melibatkan sekitar 200.000 rumah tangga. Selain itu juga program pemberdayaan UMKM khususnya yang bergerak dalam bidang pangan sumber karbohidrat selain beras dan terigu, juga dilakukan di setiap provinsi sesuai dengan kearifan lokal. Ke depan, sinergi dan peningkatan peran kemitraan swasta-pemerintah-masyarakat diharapakan akan mampu mewujudkan percepatan pencapaian mutu gizi dan keragaman konsumsi pangan penduduk Indonesia.
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
Elin Herlina1 Penilaian Keamanan Pangan, Badan POM
79
Abstrak Dewasa ini, kepedulian masyarakat terhadap kesehatan dan gizi semakin meningkat. Informasi nilai gizi pada label pangan sudah menjadi perhatian konsumen untuk mengetahui kandungan dalam produk pangan tersebut untuk menghitung asupan harian zat gizi mereka. Hal tersebut seringkali dikaitkan dengan pencegahan atau pemantauan status gizi dan kesehatan terutama penyakit tidak menular (non communicable disease) yang dikaitkan dengan asupan gizi seperti penyakit jantung koroner, diabetes, darah tinggi dan lain-lain. Meskipun informasi nilai gizi belum diwajibkan untuk semua produk pangan olahan, namun banyak pelaku usaha menangkap peluang ini sebagai upaya meningkatkan nilai suatu produk dengan mencantumkan Tabel Informasi Nilai Gizi (ING) pada label produknya. Informasi yang disampaikan pada Tabel ING antara lain takaran saji produk, jumlah sajian per kemasan, jenis dan jumlah zat gizi sesuai dengan target konsumen produk tersebut. Informasi jumlah zat gizi yang dicantumkan dihitung per takaran saji produk. Berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, pencantuman keterangan tentang kandungan gizi harus dinyatakan dalam persentase dari Angka Kecukupan Gizi (AKG). AKG yang digunakan untuk pelabelan disebut dengan Acuan Label Gizi (ALG). ALG digunakan sebagai acuan untuk pencantuman keterangan tentang kandungan gizi pada pelabelan produk pangan dan ditetapkan sesuai kelompok konsumen. Target konsumen yang ditetapkan dalam ALG saat ini meliputi konsumen umum, bayi 0–6 bulan, anak 7–23 bulan, anak 2–5 tahun, ibu hamil, ibu menyusui. Meskipun jika dibandingkan dengan negara-negara lain, ketentuan ALG sudah paling lengkap, namun dalam perkembangannya, berbagai inovasi dilakukan oleh perusahaan pangan dimana ketentuan terkait ALG belum mengakomodasi perkembangan tersebut. Inovasi tersebut antara lain terkait peruntukan produk, penambahan komponen gizi tertentu, dan penggunaan takaran saji produk yang kurang rasional. Produk pangan dengan peruntukan tertentu yang belum diatur dalam
1Direktorat
REVIEW DAN PENYEMPURNAAN ACUAN LABEL GIZI (ALG)
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
80
Kata kunci: ING, ALG
ALG, antara lain produk untuk lansia, formula lanjutan tahap 1 (7–12 bulan) dan tahap 2 (1–3 tahun), produk untuk olahragawan, dan pangan untuk diet khusus. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan hasil penelitian tentang peranan zat-zat gizi tertentu terhadap kesehatan, industri pangan untuk menambahkan dan mencantumkan zat-zat gizi tersebut pada Tabel Informasi Nilai Gizi sebagai nilai tambah produk tersebut. Takaran saji didefinisikan sebagai jumlah produk pangan yang biasa dikonsumsi dalam satu kali makan, dinyatakan dalam ukuran rumah tangga (URT) yang sesuai untuk produk pangan tersebut. Penetapan jumlah takaran saji sangat memengaruhi informasi tentang jumlah kandungan gizi produk pada label sehingga perlu dibakukan untuk setiap jenis pangan. Sampai saat ini, Indonesia belum mengatur tentang besaran nilai takaran saji produk pangan. Beberapa hal yang terkait dengan takaran saji antara lain nilai takaran saji, untuk pangan olahan baik pangan olahan, yang siap dikonsumsi maupun pangan olahan yang menjadi bahan baku pangan olahan lain atau pangan setengah jadi seperti tepung terigu, margarin, minyak goreng, dan lain-lain. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam menetapkan asupan suatu zat gizi adalah bioavailabilitas zat gizi tersebut.
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
Rahayu W.P.1, Nababan H.2, Hariyadi P.3 Pertanian Bogor, 2Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan, Badan POM, 3Institut Pertanian Bogor
Kata kunci: Keamanan pangan, Daya saing, UMKM, Ekonomi nasional 81
Abstrak Pemberdayaan UMKM jika dilihat dari perspektif nasional sangat penting dan untuk merealisasikan pemberdayaan itu, pemerintah harus mempunyai program berkelanjutan terkait pengembangan kapasitas UMKM pangan yang dapat diimplementasikan di sepanjang rantai pangan. UMKM merupakan barometer perekonomian nasional karena mampu menyumbang kurang lebih 55% pendapatan per kapita dan pendapatan nasional Indonesia. Produk pangan yang dihasilkan UMKM memiliki ciri khas lokal Indonesia baik komposisi, rasa, maupun cara mengonsumsinya sehingga dapat dikategorikan sebagai produk budaya (culture product). Pada tahun 2009, Badan POM telah melakukan survei keamanan pangan di 1.504 industri rumah tangga pangan (IRTP) di 18 provinsi, dan hasilnya menunjukkan bahwa 24,14% IRTP mampu menerapkan “best practice” dengan baik, 24,80% telah menerapkan dengan nilai rata-rata, dan 51,06% masih memerlukan pendampingan. Hal ini memberikan gambaran umum kondisi UMKM yang perlu diperbaiki dengan cara, antara lain mendorong partisipasi masyarakat luas dengan kapasitasnya masing-masing agar penerapan “best practice” di UMKM dapat menjadi aktivitas rutin. Upaya yang dapat disarankan untuk peningkatan kemandirian UMKM agar mampu memecahkan permasalahan keamanan dan mutu pangan dapat dilakukan dengan pengembangan “Food Safety Clearing House” (FSCH). FSCH ini difokuskan pada 4 (empat) model intervensi aksesibilitas, yaitu akses compliance, akses teknologi, akses pasar, dan akses modal. Komunikasi risiko yang dibangun melalui FSCH ini diharapkan dapat membantu kemandirian UMKM untuk meningkatkan kemampuannya untuk memproduksi pangan yang aman sebagai tumpuan bagi peningkatan daya saing UMKM yang berimplikasi pada penguatan ekonomi nasional.
1Institut
KEAMANAN PANGAN DALAM RANGKA PENINGKATAN DAYA SAING UMKM UNTUK PENGUATAN EKONOMI NASIONAL
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
82
Abstrak Pemerintah berkewajiban untuk memastikan terpenuhinya hak masyarakat memperoleh pangan yang cukup, aman, dan bergizi sesuai deklarasi pada World Summit on Food Security (2009) melalui sistem pengawasan keamanan pangan from farm to table secara terintegrasi. Sistem pengawasan pangan di Indonesia sangat kompleks disebabkan cakupan wilayah pengawasan sangat luas, diversitas latar belakang penduduk dan keterbatasan jumlah pengawas pangan merupakan tantangan besar dalam penyelenggaraan pengawasan secara komprehensif. Hasil pengawasan Badan POM Tahun 2011 melalui sampling dan pengujian laboratorium terhadap 20.511 sampel makanan yang beredar menunjukkan hasil 14,15% sampel tidak memenuhi syarat (TMS) mutu dan keamanan. Sementara pemeriksaan terhadap pemenuhan Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB) dilakukan terhadap 2.941 sarana produksi yang terdiri atas 799 industri makanan MD dengan hasil 37,05% sarana produksi MD tidak memenuhi ketentuan, 1.835 industri rumah tangga (IRT) dengan hasil 44.14% IRTP tidak memenuhi ketentuan Cara Produksi yang Baik Industri Rumah Tangga dan 307 IRT tidak terdaftar dengan hasil 29,97% tidak memenuhi ketentuan. Hal ini mengindikasikan belum efektifnya pengawasan pangan saat ini. Kondisi pengawasan keamanan pangan nasional secara umum pada saat, ini antara lain: (1) tindakan pencegahan sepanjang rantai pangan masih terbatas, (2) pengawasan masih terfragmentasi secara sektoral, (3) belum dikembangkan sistem pengawasan dalam kondisi darurat berdasarkan prinsip analisis risiko, (4) pengawasan pangan berbasis iptek masih terbatas, (5) belum melaksanakan program prioritas sepenuhnya menurut manajemen risiko, (6) pengawasan umumnya konvensional serta berorientasi pada pemenuhan persyaratan serta (7) belum memberdayakan stakeholder secara optimal. Keberhasilan pengawasan keamanan pangan bergantung pada hasil kajian risiko. Pelaksanaan kajian risiko di Indonesia masih terbatas dan dilaksanakan tidak terintegrasi. Di beberapa negara maju dan sebagian negara berkembang fungsi kajian risiko telah terpisah dari fungsi manajemen risiko.
1Deputi
Roy A. Sparringa1, Suratmono2, Dedi Fardiaz3, Ahmad Sulaeman4 Bidang Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya, Badan POM 2Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Pangan, Badan POM 3Institut Pertanian Bogor 4Institut Pertanian Bogor
PENGAWASAN KEAMANAN PANGAN BERBASIS RISIKO
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
Kata kunci: Keamanan pangan, Risiko
83
84
Kata kunci: Standardisasi pangan, Industri pangan, GRP, RIA, MRAs
Abstrak Telah diterbitkan sejumlah standar dan regulasi pangan termasuk yang telah disiapkan sejak berpuluh tahun yang lalu. Namun, pertanyaannya adalah seberapa kuat keberadaan standar dan regulasi pangan dapat melindungi konsumen serta mendorong pengembangan industri pangan. Hal ini merupakan tantangan bagi pemerintah untuk menyediakan standar dan regulasi pangan yang dapat menjawab hal tersebut. Ilmu dan teknologi di bidang pangan berkembang dengan pesat, jenis dan fokus masalah kesehatan bergeser sejalan dengan perubahan lingkungan dan pola hidup, demikian juga dengan tuntutan masyarakat yang semakin dominan. Sebagai salah satu tools sistem pangan, standardisasi pangan menghubungikan sejumlah mata rantai proses termasuk pihak yang berkepentingan dari masing-masing proses. Sistem ditetapkan dan seharusnya diimplementasikan agar tujuan yang diharapkan dapat tercapai, yaitu melindungi konsumen terhadap keamanan, mutu, gizi dan informasi lain serta terciptanya perdagangan yang jujur dan bertanggung jawab. Menghadapi perkembangan pesat tuntutan pemenuhan hak konsumen dan globalisasi dengan sistem harmonisasi dan Mutual Recognition Arrangement (MRAs), tatanan jaringan standardisasi pangan dituntut harus serasi, selaras, terpadu sejalan dengan perkembangan internasional, dan tidak mengabaikan kepentingan nasional. Ketersediaan sejumlah standar pada satu sisi merupakan indikator kuantitas yang penting dalam standardisasi pangan, namun dari sisi kualitatif, cakupan, sebaran, dan kedalaman isu serta parameter dihubungkan dengan kebutuhan perlindungan konsumen dan fasilitasi perdagangan menjadi taruhan. Lemahnya analisis kebutuhan (need analysis) dan mekanisme review termasuk Regulatory Impact Assessment (RIA), sebagaimana tertuang dalam prinsip Good Regulatory Pratice (GRP) serta kurangnya partisipasi konstruktif dari berbagai pihak yang berkepentingan merupakan beberapa hal yang perlu ditingkatkan dalam standardisasi pangan saat ini.
Tetty Helfery Sihombing1 dan Hardinsyah2 Standardisasi Produk Pangan, BPOM, 2Departemen Gizi Masyarakat, FEMA, Institut Pertanian Bogor
PENGUATAN STANDARDISASI PANGAN DALAM RANGKA PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PENGEMBANGAN INDUSTRI PANGAN
Indonesia perlu memiliki lembaga pengkaji risiko yang keluarannya dapat digunakan sebagai dasar penetapan kebijakan pengawasan oleh lembaga yang berwenang. Pengawasan keamanan pangan di Indonesia sudah saatnya berparadigma baru dengan pendekatan sistem pengawasan keamanan pangan berbasis risiko (risk-based food safety control). Pengawasan berbasis risiko perlu didukung oleh database kategori faktor risiko pangan yang beredar dengan mempertimbangkan karakteristik pangan, proses, target konsumen, serta paparan pangan yang berpotensi membahayakan kesehatan masyarakat. Pengawasan tersebut dilaksanakan melalui upaya-upaya: (1) memaksimalkan reduksi risiko keamanan pangan melalui tindakan pencegahan sepanjang rantai pangan, (2) melakukan pengawasan keamanan pangan from farm to table, (3) mengembangkan sistem respons cepat (INRASFF-Indonesia Rapid Alert System for Food and Feed), (4) memantapkan strategi pengawasan pangan berbasis iptek, (5) menetapkan manajemen risiko berdasarkan prioritas menurut prinsip-prinsip analisis risiko, (6) melaksanakan program pengawasan berbasis risiko secara holistik dan terintegrasi yang berdampak kepada kesehatan publik dan ekonomi, serta (7) memberdayakan stakeholder kunci untuk berinteraksi positif secara kondusif. 1Direktorat
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
Mewa Ariani1, Anna Vipta Resti Mauludyani2 Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Litbang Pertanian 2Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, IPB
85
Abstrak Pemerintah melalui berbagai program berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat atau menurunkan jumlah penduduk miskin. Salah satu indikator untuk mengetahui hal tersebut adalah struktur pengeluaran rumah tangga, baik untuk pangan maupun bukan pangan. Rumah tangga yang memiliki proporsi pengeluaran yang lebih dari 60% untuk konsumsi makanan mengindikasikan rumah tangga tersebut adalah rumah tangga miskin. Pengeluaran rumah tangga cenderung mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dinamika tingkat kesejahteraan serta struktur pengeluaran pangan dan bukan pangan rumah tangga di Indonesia. Analisis dilakukan secara deskriptif menggunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 1999 dan 2010, yang dikumpulkan dan dipublikasi oleh BPS dengan sampel sekitar 68.000 rumah tangga. Data dikumpulkan bulan Februari/Maret melalui wawancara kepada kepala rumah tangga atau anggota rumah tangga yang dianggap mengetahui keadaan rumah tangga yang bersangkutan. Data pengeluaran diperoleh dengan cara recall (mengingat kembali) dengan referensi seminggu yang lalu untuk pengeluaran pangan dan sebulan atau setahun yang lalu untuk konsumsi bukan pangan. Hasil analisis menunjukkan bahwa: 1) Selama 10 tahun terakhir, secara agregat, kesejahteraan rumah tangga di Indonesia mengalami perbaikan, ditunjukkan dengan proporsi pengeluaran pangan terhadap total pengeluaran yang semakin kecil, yaitu 62,94% (1999) dan 51,43% (2010). Kesejahteraan rumah tangga di perkotaan (46,5%) lebih baik daripada di pedesaan (59,2%). Pada tahun 2010, Provinsi DKI Jakarta, Banten, DI Yogyakarta, Bali, dan Kalimantan Timur mempunyai tingkat kesejahteraan yang relatif lebih baik (proporsi pengeluaran pangan<50%) dibandingkan dengan provinsi yang lain; 2) Di antara berbagai kelompok pangan, pengeluaran padi-padian memiliki proporsi yang paling besar pada tahun 1999 (16,78%), namun pada tahun 2010 menurun menjadi 8,89% dan digantikan oleh makanan dan minuman jadi (12,79%) dengan proporsi pengeluaran pangan terbesar. Peningkatan kesejahteraan rumah tangga tidak diikuti dengan pemenuhan kebutuhan
1Pusat
DINAMIKA STRUKTUR PENGELUARAN RUMAH TANGGA INDONESIA
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
86
Kata kunci: Dinamika, Pengeluaran pangan, Pengeluaran bukan pangan, Rumah tangga
gizi dan perubahan perilaku konsumsi pangan yang ditunjukkan dengan pengeluaran tembakau dan sirih (rokok) yang lebih besar daripada pengeluaran pangan sumber protein hewani, sayuran, dan buah-buahan. Kecenderungan ini terjadi pada rumah tangga perkotaan maupun pedesaan. Kelompok pangan yang memiliki proporsi yang lebih besar pada tahun 2010 dibandingkan tahun 1999 untuk wilayah perkotaan adalah telur dan susu, buah-buahan, dan makanan/minuman jadi, sedangkan di wilayah pedesaan adalah daging, telur dan susu, buahbuahan dan makanan/minuman jadi; 3) Pada kelompok bukan pangan, pengeluaran terbesar adalah perumahan dan fasilitas rumah tangga (15,92% tahun 1999 dan 20,36% tahun 2010), diikuti dengan pengeluaran barang dan jasa. Selama 10 tahun terakhir, pengeluaran untuk pajak dan asuransi serta barang dan jasa mengalami peningkatan, namun sebaliknya, pengeluaran untuk pakaian, alas kaki dan tutup kepala serta pesta dan upacara mengalami penurunan. Pada kelompok perumahan dan fasilitas rumah tangga, pengeluaran yang besar selain untuk sewa rumah adalah pengeluaran untuk listrik (Rp13.462/kapita/bulan) dan pulsa HP dan nomor perdana (Rp10.641/kapita/bulan). Walaupun pemerintah pusat dan beberapa pemerintah daerah mengalokasikan dana terkait pendidikan seperti BOS dan sekolah gratis, namun rumah tangga masih mengeluarkan biaya sumbangan sekolah sebesar Rp2.222/kapita/bulan dan uang sekolah (SPP, BP3, POMG) sebesar Rp10.653/kapita/bulan). Transportasi pribadi tampaknya menjadi kebutuhan rumah tangga yang penting. Hal ini terlihat dari pengeluaran yang paling besar untuk bensin (Rp15.712/kapita/bulan) dan biaya STNK bermotor (Rp3.633/kapita/ bulan) masing-masing pada kelompok bahan bakar dan kelompok pajak. Implikasi dari hal tersebut adalah upaya peningkatan kesejahteraan perlu dibarengi dengan advokasi dan promosi perilaku hidup sehat pada rumah tangga dalam mengalokasikan pendapatannya secara proporsional sehingga kebutuhan pangan dan bukan pangan dapat terpenuhi.
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
87
Abstrak Akhir-akhir ini masalah stunting semakin menjadi perhatian terutama di negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Stunting cermin dari masalah gangguan pertumbuhan masa lalu karena faktor gizi dan faktor non-gizi, yang berisiko meningkatkan kegemukan dan penyakit tidak menular degeneratif di kala dewasa. Upaya mengatasi masalah stunting di Indonesia memerlukan informasi tentang faktor determinan stunting dari kajian epidemiologi di Indonesia. Sehubungan hal tersebut, tujuan penelitian ini menganalisis determinan stunting anak baduta Indonesia menggunakan Riskesdas 2010. Sub-set data Riskesdas 2010 diperoleh dalam bentuk e-files. Dari 6.634 data anak balita dalam e-files Riskesdas 2010, sejumlah 3.539 data anak dikeluarkan (screened out) karena: 1) data berat badan dan tinggi badan anak dan ibu tidak lengkap, 2) nilai z-skor BB/U, TB/U dan IMT/U termasuk pencilan, 3) pengumpulan data asupan pangan saat kondisi tidak biasa (hajatan/hari besar/sakit), dan 4) nilai asupan energi termasuk pencilan. Status gizi diolah menggunakan WHO AntroPlus, pengolahan data lainnya menggunakan program Excel dan SPSS. Analisis determinan menerapkan regresi logistik dengan peubah dependen z-skor TB/U, dan peubah independen meliputi umur anak, jenis kelamin anak, berat lahir anak, z-skor BB/U anak, densitas asupan protein anak (yang mempunyai korelasi tinggi dengan mutu gizi makanan anak), status pemberian ASI, status pemberian kapsul vitamin A, status imunisasi hepatitis-0, tinggi badan ibu, status ekonomi keluarga (kuintil), dan kualitas air minum keluarga. Hasil kajian menunjukkan prevalensi stunting pada anak baduta 37,4%; bertambah umur meningkat prevalensi stunting yaitu 24,5% pada anak 0–5 bulan, 32,8% pada 6–11 bulan, dan 40,2% pada 12–23 bulan. Analisis regresi logistik menunjukkan faktor umur, berat lahir, berat, tinggi ibu, status ekonomi, dan densitas protein berhubungan erat dengan stunting anak baduta (z-kor TB/U). Model ini
1Jurusan
Aslis Wirda Hayati1, Hardinsyah2, Fasli Jalal3, Siti Madanijah2, Dodik Briawan2 Gizi, Politeknik Kesehatan Kemenkes Pontianak,
[email protected], 2Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia IPB,
[email protected],
[email protected],
[email protected] ,3Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas,
[email protected]
DETERMINAN STUNTING ANAK BADUTA: ANALISIS DATA RISKESDAS 2010
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
88
Kata kunci: Determinan stunting, Densitas protein, Berat lahir, Tinggi ibu, Status ekonomi
secara keseluruhan memprediksi dengan benar 66,6% pertumbuhan linier anak baduta. Risiko stunting pada anak 6–11 bulan dan anak 12–23 bulan masing-masing adalah 1,52 kali dan 2,04 kali dibanding anak anak 0–5 bulan. Risiko stunting anak yang dilahirkan dengan berat bayi lahir rendah (BBLR) adalah 1,81 kali dibanding anak lahir dengan BB normal. Sejumlah 62,3% anak baduta underweight mengalami stunting. Anak yang underweight berpeluang stunting 3,07 kali. Densitas asupan protein rendah meningkatkan risiko stunting. Ibu yang pendek (< 145 cm) dan ekonomi keluarga rendah (kuintil 1 dan 2) juga meningkatkan risiko stunting. Kajian ini memperkuat hasil kajian sebelumnya di mancanegara bahwa pencegahan stunting perlu dilakukan secara komprehensif melalui perbaikan gizi, kesehatan, dan ekonomi. Implikasinya bagi Indonesia adalah mencegah stunting perlu meningkatkan gizi dan kesehatan ibu hamil, meningkatkan kualitas makanan anak baduta, dan peningkatan pendapatan ekonomi keluarga tidak mampu.
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
89
Abstrak Lawa Bale teri merupakan makanan tradisional Sulawesi Selatan yang menggunakan bahan baku ikan mentah diolah mengunakan teknik pengasaman yang hanya dimatangkan dengan air cuka, air jeruk atau air asam jawa dan proses Blansir tanpa proses pemasakan. Pengolahan bahan pangan kaya kandungan gizi berupa pengasaman dan pemanasan yang tidak dikontrol dengan baik dapat menyebabkan terjadinya penurunan nilai gizi protein, daya cerna protein dan meningkatkan total mikroba sehingga memengaruhi daya terima masyarakat terhadap makanan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengolahan yang terbaik berdasarkan denaturasi protein, daya cerna protein, total mikroba, dan daya terima pada tiga olahan Lawa Bale yang formulanya diperoleh dari rumah makan tradisonal di kota Makassar. Jenis penelitian yang digunakan untuk analisis denaturasi protein, daya cerna protein, dan total mikroba adalah eksperimen dengan desain Post Test Only Control Design dan untuk uji daya terima, jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik. Penelitian ini menggunakan tiga perlakuan masing-masing formulasi (terdapat 3 formulasi) dan masingmasing perlakuan dua kali pengulangan (Duplo). Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pengolahan pada ketiga formula Lawa Bale menyebabkan denaturasi protein. Berdasarkan persen denaturasinya, disimpulkan bahwa pengolahan yang terbaik pada proses pengolahan Lawa Bale adalah pengolahan formula C (Ikan teri dengan blansir, pemberian asam jawa dan kelapa sangrai serta jantung pisang). Untuk daya cerna protein Lawa Bale formula C yang memiliki daya cerna protein tertinggi. Ini artinya Lawa Bale formula C yang lebih mudah untuk diserap dan digunakan oleh tubuh. Berdasarkan total mikroba,
Muhammad Asrullah1; Ayu Hardiyanti M1, Nurul Afiah1, Astri Ayu Novaria 1, Citrakesumasari,1 Nurhaedar Jafar1, St Fatimah, DCN 1Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin 2RSUP Dr. dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar
DENATURASI DAN DAYA CERNA PROTEIN SERTA MUTU PRODUK LAWA BALE (MAKANAN TRADISIONAL SULAWESI SELATAN) DITINJAU DARI ASPEK MIKROBIOLOGI DAN DAYA TERIMA KONSUMEN
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
90
Kata kunci: Lawa Bale, Denaturasi dan Daya cerna protein
ketiga formula yang diuji aman untuk dikonsumsi dan olahan Lawa Bale formula C merupakan formula yang dapat menekan jumlah total mikroba terbanyak dari 2 formula lain, hasil penelitian untuk uji daya terima formula yang paling disukai adalah formula B (ikan teri dengan blansir, perendaman jeruk nipis, dan pemberian kelapa sangrai) namun menurut uji kruskal-wallis tidak ada perbedaan di antara ketiganya. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pengolahan Lawa Bale Formula C merupakan pengolahan terbaik. Penelitian ini merekomendasikan kepada masyarakat agar mengolah Lawa Bale menggunakan teknik formula C dan agar tetap mempertahankan dan melestarikan makanan tradisional Lawa Bale sebagai pangan lokal dan sebagai alternatif sumber pangan berprotein untuk masyarakat.
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
91
Abstrak Individual Dietary Diversity Instrument (IDDI) merupakan instrumen penilaian keberagaman konsumsi pangan yang dapat menggambarkan kualitas konsumsi pangan pada individu. Review berbagai studi di luar negeri menunjukkan skor keragaman konsumsi pangan mempunyai hubungan yang positif dengan kecukupan zat gizi makro dan zat gizi mikro pada kelompok anak-anak, dan remaja. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis sensitivitas (Se) dan spesifisitas (Sp) Individual Dietary Diversity Instrument (IDDI) sebagai metode penilaian keragaman pangan dan kualitas gizi remaja. IDDI diperkenalkan oleh FAO tahun 2007 dan 2011. Jumlah sampel penelitian 83 siswi di Sekolah Menengah Kejuruan Pelita 1 Ciampea, Kabupaten Bogor. Data konsumsi pangan diperoleh dengan cara record konsumsi pangan pada hari sekolah dan hari libur (dua hari). Kualitas konsumsi pangan siswi dinilai dengan menggunakan tingkat kecukupan gizi, indeks mutu gizi (Nutrition Quality Index) dan densitas zat gizi (Nutrient Density). Hasil penelitian menunjukkan pada hari sekolah 58,1% dan hari libur 50,6% siswi makan utama sekali dalam sehari. Uji-t menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara asupan zat gizi pada hari sekolah dan hari libur (p> 0,05). Kelompok pangan yang paling sedikit dikonsumsi oleh siswi adalah umbi-umbian (36,1%), sayuran sumber vitamin A (25,3%), buah sumber vitamin A (14,5%), buah lainnya (37,4%), jeroan (4,8%), susu/olahannya (37,3%), minyak dan lemak (22,9%). Berdasarkan metode IDDI sebanyak 86,7% siswi mempunyai tingkat keberagaman konsumsi pangan yang baik, dan ratarata skor IDDI sebesar 7,9 ± 2,0. Rata-rata asupan energi 1501 ± 592 kkal, protein 57,2 ± 2,4 g, kalsium 131 ± 37 mg, fhosfor 110 ± 13 mg, besi 17,9 ± 9,1 mg, vitamin A 109 ± 56 RE, vitamin B 10,55 ± 5,01 mg dan vitamin C 50,4 ± 12,8 mg. Rata-rata siswi mempunyai tingkat kecukupan energi (69,9%) dan protein (54,2%) tergolong defisit berat menurut kategori Depkes (1996). Rata-rata siswi mempunyai tingkat kecukupan yang tergolong rendah berdasarkan kategori Gibson (2005)
1Departemen
Dodik Briawan1, Adi Setiya Nugroho1 Gizi Masyarakat, FEMA–IPB
UJI COBA METODE IDDI (INDIVIDUAL DIETARY DIVERSITY INSTRUMENT) UNTUK PENILAIAN KONSUMSI PANGAN INDIVIDU
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
92
Kata kunci: Individual Dietary Diversity Instrument (IDDI), Tingkat kecukupan gizi, Indeks mutu gizi, Densitas zat gizi, Sensitivitas, dan Spesifisitas
yang tergolong rendah meliputi kalsium (67,5%), besi (80,7%), vitamin A (60,2%), vitamin B (77%), vitamin C (79 ) dan tergolong tinggi untuk phospor (54,2%). Uji spearman menunjukkan hubungan yang positif signifikan antara skor IDDI dengan tingkat kecukupan energi, protein, kalsium, besi, phospor, vitamin A, vitamin B dan vitamin C (r = 0,220,466; p < 0,05). Rata-rata indeks mutu gizi (IMG), yaitu asupan zat gizi per 1000 kkal AKG, untuk kalsium 1,0 ± 0,2 mg, protein 1,3 ± 0,5 g, besi 1,0 ± 0,1 mg, vitamin A 1,0 ± 0,4 RE, vitamin B 1,18 ± 0,39 mg, dan vitamin C 1,1 ± 0,3 mg. Berdasarkan kategori Gibson (2005), terdapat lebih dari 50% (71,1–97,6%) siswi mempunyai indeks mutu gizi rendah untuk protein, kalsium, besi, vitamin A, vitamin B, dan vitamin C. Uji spearman menunjukkan hubungan yang positif signifikan antara skor IDDI dengan indeks mutu gizi protein, kalsium, besi, vitamin A, vitamin B, dan vitamin C (r = 0,219-0,347; p < 0,05). Ratarata densitas zat gizi yang dihitung per asupan 1.000 kkal menunjukkan nilai protein 2,8 ± 0,4 g, kalsium 2,6 ± 0,2 mg, besi 2,1 ± 0,3 mg, vitamin A 2,0 ± 0,7 RE, dan vitamin C 1,8 ± 0,6 mg. Berdasarkan kategori FAO, rata-rata siswi mempunyai densitas densitas kalsium, vitamin A, dan vitamin C yang tergolong rendah (57–77%). Terdapat 44% siswi mempunyai densitas protein yang tergolong tinggi dan 89% siswi mempunyai densitas besi yang tergolong normal. Uji spearman menunjukkan adanya hubungan signifikan antara skor IDDI dengan densitas protein, kalsium, besi, vitamin A, dan vitamin C (r = 0,2430,346; p < 0,05). Hasil uji sensitivitas (Se) menunjukkan IDDI hanya sensitif (72,7–90,9%) menilai konsumsi pangan siswi untuk energi, kalsium, besi, dan vitamin C. Hasil uji spesifisitas (Sp) menunjukkan nilai yang rendah (9,72–66,6%) untuk semua zat gizi. Kesimpulannya metode IDDI cukup sensitif untuk menilai individu yang tingkat kecukupannya baik, namun tidak spesifik jika digunakan untuk mengidentifikasi individu yang tingkat kecukupan gizinya kurang.
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
93
Abstrak Impor daging sapi dari tahun ke tahun selalu terjadi peningkatan, hal ini terjadi karena masyarakat semakin sadar akan pentingnya gizi juga semakin selektifnya dalam memilih makanan berkualitas. Produksi daging sapi lokal saat ini belum mampu memenuhi kebutuhan daging nasional, terutama untuk konsumsi hotel-hotel berbintang dan restoran bertaraf internasional. Permasalahan yang ditemukan pada sapi-sapi lokal Indonesia umumnya kualitas daging masih rendah, dimana kandungan protein masih rendah dan daging lebih alot. Sapi Pesisir merupakan sapi asli Indonesia yang kualitas dagingnya masih rendah karena umumnya dipekerjakan dan dipotong pada umur tua sehingga serat dagingnya lebih kasar dan dagingnya agak alot. Teknologi stimulasi listrik merupakan teknologi yang sederhana, namun memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap peningkatan kualitas daging. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh stimulasi listrik dan umur sapi terhadap kadar protein, kadar lemak, dan keempukan daging sapi Pesisir. Materi penelitian menggunakan daging sapi Pesisir jantan pada berbagai tingkat umur dan distimulasi listrik dengan voltase yang berbeda, sedangkan bagian otot yang dijadikan sampel adalah otot Longissmus dorsi. Rancangan yang digunakan pada penelitian ini adalah percobaan faktorial dalam Rancangan Acak Kelompok (RAK). Faktor. A merupakan voltase stimulasi listrik, yaitu 110 volt dan 220 volt, sedangkan faktor B adalah umur ternak, yaitu umur 2,5 tahun, 3,5 tahun, dan > 5 tahun. Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah kandungan protein, kandungan lemak, dan keempukan daging. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daging sapi yang distimulasi listrik dagingnya lebih empuk dan warnanya lebih cerah. Stimulasi listrik dapat mengaktifkan enzim protease dan memutuskan ikatan aktin dan myosin pada serabut otot. Tegangan stimulasi listrik 220 Volt dapat menurunkan nilai kealotan daging dari 552,16 N/Cm2 menjadi 519,01 N/Cm2, yang berarti daging menjadi semakin empuk, sedangkan kadar protein dan lemak daging menjadi menurun. Kandungan protein sapi Pesisir adalah 19,35% dan kandungan lemak 4,26%. Kesimpulan dari peneliti94
Kata kunci: Stimulasi listrik, Protein, lemak, Keempukan, Sapi Pesisir
an adalah tidak terdapat interaksi antara faktor voltase stimulasi listrik dan umur sapi terhadap kandungan protein, kandungan lemak, dan keempukan daging (P > 0.05). Sebaliknya, masing-masing faktor stimulasi listrik dan faktor umur berpengaruh sangat nyata terhadap kandungan protein, kandungan lemak, dan keempukan daging (P < 0.01). Semakin tinggi voltase stimulasi listrik daging semakin empuk, sedangkan kandungan protein dan lemak semakin rendah.
APLIKASI TEKNOLOGI STIMULASI LISTRIK UNTUK PENINGKATAN KUALITAS DAGING SAPI LOKAL PESISIR
Khasrad Fakultas Peternakan Universitas Andalas
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
95
Abstrak Remaja putri berada pada masa persiapan menuju masa dewasa dan juga dipersiapkan sebagai calon ibu yang harus cukup zat gizi yang dikonsumsinya agar dapat dicapai status gizi dan kesehatan yang baik. Akan tetapi, pada kenyataannya masih banyak remaja yang memiliki kebiasaan makan yang tidak baik sehingga berakibat pada kondisi kekurangan gizi atau kelebihan gizi. Hal ini terjadi karena konsumsi gizi yang kurang baik. Salah satu cara untuk mengetahui porsi makan yang baik adalah dengan menggunakan alat bantu (visual aids) seperti food replicas, food models (Steyn et al., 2006) dan food photographs (Nelson, Atkinson dan Darbyshire, 1994) pada saat wawancara dengan metode recall 24 jam sehingga dapat membantu responden dalam mengingat ukuran atau porsi makan responden. Ketepatan jumlah zat gizi ini sangat penting untuk mengetahui kecukupan konsumsi zat gizi dengan derajat ketepatan yang tinggi. Selama ini di Indonesia masih jarang ada kajian khusus tentang ketepatan konsumsi gizi masyarakat, khususnya pada remaja putri. Oleh karena itu, penelitian ini perlu dilakukan sebagai kajian penggunaan alat bantu ukuran rumah tangga untuk kemudahan pengambilan data konsumsi gizi bagi remaja putri di lapangan. Tujuan penelitian ini menganalisis pengaruh food picture terhadap validitas konsumsi gizi remaja putri. Populasi penelitian adalah remaja putri di Kota Semarang. Subjek penelitian adalah remaja putri (usia 12–15 tahun) di satu SMP di Kecamatan Banyumanik Kota Semarang. Subjek penelitian diambil secara acak proporsional dari Kelas 8 sehingga terkumpul 40 remaja putri. Dari subjek yang ada kemudian dibagi menjadi dua kelompok; sebanyak 20 remaja putri masuk kelompok pertama dan 20 remaja putri lainnya masuk kelompok kedua. Kelompok pertama merupakan Kelompok Standar (Gold Standard); Penimbangan pangan selama dua hari tidak berturut-turut (hari sekolah dan hari libur). Kelompok Kedua merupakan Kelompok Recall konsumsi 24 jam + Food Picture; Recall konsumsi 24 jam selama dua hari tidak berturut-turut (hari sekolah dan hari libur) dengan
Laksmi Widajanti, Dina Rahayuning Pangestuti, M. Ronny Aruben Bagian Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro
PENGARUH PENGGUNAAN FOOD PICTURE TERHADAP VALIDITAS KONSUMSI GIZI REMAJA PUTRI
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
96
Kata kunci: Konsumsi gizi, Food Picture, Remaja putri, Kota Semarang
dibantu Food Picture. Food Picture yang digunakan merupakan hasil karya penelitian Laksmi Widajanti, Dina Rahayuning Pangestuti, Ronny Aruben (2010). Subjek penelitian diwawancarai identitas pribadi serta dilakukan Recall konsumsi 24 jam atau penimbangan pangan selama dua hari tidak berturut-turut. Pengolahan data konsumsi gizi dengan menggunakan Program nutrisurvey (Erhardt, 2005), sedangkan untuk melihat pengaruh Food Picture terhadap validitas data konsumsi gizi dilakukan uji Beda Mann-Whitney U karena sebaran data konsumsi gizi (energi, protein, lemak, karbohidrat) pada kelompok pertama dan konsumsi lemak pada kelompok kedua tidak normal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa median konsumsi energi, protein, lemak, karbohidrat pada Kelompok Standar masing-masing sebesar 1266 kkal, 40,3 g, 41,0 g, 172,4 g. Sementara itu, rata-rata konsumsi energi, protein, lemak (median), karbohidrat dari Kelompok Recall Konsumsi 24 Jam + Food Picture masing-masing sebesar 977 kkal, 34,3 g, 26,5 g, 128,5 g. Hasil uji statistika menunjukkan nilai konsumsi energi kedua kelompok berbeda signifikan (p = 0,028), protein tidak signifikan (p = 0,183), lemak tidak signifikan (0,242), dan karbohidrat signifikan (p = 0,038). Disimpulkan bahwa Food Picture memengaruhi validitas konsumsi protein dan lemak remaja putri namun tidak untuk konsumsi energi dan karbohidrat pada remaja putri.
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
97
Abstrak Dengan bertambahnya populasi dunia, masalah ketahanan dan keamanan pangan telah menjadi perhatian bagi dunia luas. Tumbuhnya populasi dunia berdampak terhadap munculnya masalah kelaparan dan kekurangan gizi yang mengganggu masyarakat banyak, misalnya di Asia Tenggara dan Asia Selatan serta Sub-Sahara Afrika. Di berbagai wilayah di Indonesia kondisi keamanan dan ketahanan pangan juga telah menjadi perhatian serius. Ketahanan pangan yang rendah membutuhkan suatu kepedulian sosial dan kepedulian internasional, untuk mengatasi kondisi demikian pemerintah Indonesia salah satunya mengupayakan program keanekaragaman pangan. Desa-desa pesisir di Indonesia Bagian Timur sejak dahulu telah memiliki kebiasaan dan keanekaragaman pangan. Masyarakat mengonsumsi pangan pokok beras dan umbi-umbian, talas serta pisang, yang dimasak secara terpisah. Sementara pangan lainnya, yakni yang berfungsi sebagai lauk, adalah ikan segar yang dimasak dengan cara dibakar, difufu (diasap) atau digoreng. Sumber daya perikanan merupakan sumber utama bagi asupan protein dan vitamin. Upaya pemanfaatan sumber daya perikanan secara berkelanjutan untuk ketahanan pangan menjadi penting untuk ditindaklanjuti. Dalam konteks itu variabel perubahan ekosistem (tipologi ekologi) dan tipologi sosial menjadi penting untuk dipertimbangkan. Kebiasaan pangan tersebut mengindikasikan adanya keanekaragaman pangan pokok dan pangan lainnya, dan telah menjadi tradisi yang diturunkan secara turun-temurun sehingga telah menjadi bagian budaya (foodhabits) pangan dari beberapa kelompok etnik di Sulut. Kebiasaan dan keanekaragaman pangan ini selain mampu mendukung ketahanan pangan juga berfungsi menyimbangkan asupan gizi. Dalam sejarahnya, desa-desa ini jarang terdengar mengalami kekurangan pangan dan gizi, kecuali pada tahun 1972 ketika terjadi perubahan musim yang ekstrem, yakni terjadinya musim kemarau sepanjang tahun yang menyebabkan tanaman pangan lokal seperti ubi
Peneliti pada Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PMB-LIPI).
98
Kata Kunci: Keanekaragaman Pangan, Ketahanan Pangan, Kesimbangan Gizi, Kebiasaan Pangan (Foodhabits).
kayu, ubi jalar, talas, belitung serta padi huma mengalami fuso dan rusak buahnya. Rata-rata buah umbi berongga di dalam sehingga tidak bisa dikonsumsi. Tetapi, penduduk menyiasatinya dengan mengalihkan konsumsi pangan pokok dari umbi-umbian dan beras ke pangan pokok sagu-enau. Jadi, walau masyarakat mengalami musibah kekeringan berkepanjangan tetapi tidak sampai menderita kelaparan dan kekurangan gizi. Kebiasaan dan keanekaragaman pangan yang dimiliki masyarakat pesisir ini dapat dijadikan model bagi pelaksanaan kebijakan penganekaragaman pangan dan keseimbangan gizi bagi masyarakat. Karena sampai saat ini gerakan penganekaragaman pangan yang diluncurkan pemerintah Pusat belum memperlihatkan hasil yang nyata, terutama di Jawa. Padahal pada bagian lain wilayah Indonesia Timur secara budaya masyarakat telah memiliki kebiasaan pangan dan mempraktekkan keanekaragaman pangan secara baik. Tulisan ini diajukan sebagai salah satu paper dalam seminar Widya Pangan dan Gizi Nasional, sementara data diambil dari berbagai wawancara yang penulis lakukan dalam penelitian Kompetitip LIPI yang berjudul “Pemetaan Keanekaragaman Pangan Untuk Membangun Ketahanan Pangan Masyarakat Pesisir”di Sulawesi utara.
PERAN FOODHABITSMASYARAKAT DI PERDESAAN PESISIR DALAM MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN DAN KESEIMBANGAN GIZI
Henny Warsilah
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
Kata kunci: Ketahanan pangan rumah tangga, Modal sosial, kelembagaan lokal
Annis Catur Adi1, Fariani Syahrul1, Romziah Sidik2, Maslichah M2 1Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga, Surabaya; Tlp 0315964808 Fax 031-5964809; e-mail:
[email protected] 2Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga, Surabaya
99
Abstrak Masalah ketahanan pangan yang dihadapi Indonesia tidak hanya terbatas pada sistem produksi, distribusi dan konsumsi, namun juga keberadaan modal sosial dan kelembagaan lokal. Penelitian ini bertujuan mengkaji pengembangan modal sosial dan kelembagan lokal dalam penguatan ketahanan pangan rumah tangga di kabupaten rawan pangan. Desain penelitian yang digunakan adalah Cross Sectional Study, dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Sebanyak 200 rumah tangga yang terlibat dalam program ketahanan pangan dan kemiskinan di 2 kecamatan dan 4 desa terpilih, Kabupaten Bangkalan (kabupaten rawan pangan, FIA, 2007). Pada aras meso dilakukan wawancara mendalam dengan berbagai stakeholder dan para aras mikro wawancara terstruktur pada Rumah tangga terpilih. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 3 tipe modal sosial yang relatif sama (bonding, bridging dan linking) di daerah rawan pangan dan tahan pangan. Sanak keluarga dan tetangga dianggap paling mampu memberi bantuan ekonomi di mana peran keluarga/kerabat (68%) dominan di daerah tahan pangan dan sebaliknya, tetangga (31%) lebih dominan di daerah rawan pangan. Tokoh masyarakat (Kyai Guru dan Ratoh) menjadi figur dan paling dominan (84%) memberi bantuan sosial kebutuhan dasar, dengan wujud kepedulian sosial berupa sumbangan sosial (56%). Namun, di sisi lain sebagian besar (84%) masih waspada kepada orang lain (tingkat kepercayaan rendah) terutama terkait kegiatan usaha ekonomi. Kelembagaan lokal yang dianggap penting adalah kelembagaan keagamaan berupa pengajian (84%) dan kelembagaan terkait pekerjaan, yaitu kelompok tani dan gapoktan (6,5%). Instansi pemerintah masih 100
sangat dominan (92,5%) dalam berbagai aktivitas sosial dan ekonomi dibandingkan lembaga swasta (1,0%) dan LSM (3,0%) di daerah rawan pangan maupun tahan pangan. Peningkatan ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan tidak hanya memerlukan faktor materi (modal finansial dan teknologi), namun juga memerlukan penguatan modal sosial dan kelembagaan lokal yang secara tradisional sebenarnya sudah ada dan mengakar di masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar.
Subtema Kelembagaan, Kebijakan dan Teknologi
MODAL SOSIAL DAN KELEMBAGAAN LOKAL DALAM PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA DI KABUPATEN RAWAN PANGAN (STUDI DI KECAMATAN TAHAN PANGAN DAN RAWAN PANGAN, BANGKALAN, JAWA TIMUR)
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
101
Kata Kunci: Kelembagaan pangan, Konsumsi pangan nonberas, Ketahanan pangan
Abstrak Komunitas masyarakat yang memiliki kebiasan mengonsumsi pangan nonberas (umbi-umbian, jagung, singkong, sagu, pisang, dan lain-lain) tidak selalu mengganti pangan beras. Perubahan pola konsumsi pangan non beras yang terjadi akibat kebijakan swasembada beras tidak selalu terjadi. Ada kecenderungan di masyarakat pengonsumsi pangan nonberas tumbuh kesadaran untuk menengok kembali sistem pangan lokal. Meskipun demikian, permasalahan yang dihadapi untuk mengembalikan pola konsumsi pangan nonberas adalah akses pangan nonberas semakin menghilang. Budi daya pangan lokal semakin ditinggalkan dan pemerintah masih kurang memberikan perhatian kepada sumber pangan lokal. Hilangnya sumber pangan lokal pada masyarakat pedesaan menjadikan masyarakat semakin tergantung kepada pangan beras sehingga berpotensi tidak memiliki daya tahan atau resiliansi menghadapi kerawanan pangan, terutama ketika akses beras sulit. Mengembalikan lumbung pangan dalam bentuk kelembagaan Bank Pangan Nonberas adalah salah satu terobosan untuk mengatasi kerawanan pangan. Kelembagaan bank pangan tidak lain adalah lumbung pangan yang dibangun secara kolektif melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat dengan melakukan penyadaran kembali pentingnya hak pangan masyarakat. Oleh sebab itu, kelembagaan pangan nonberas harus dipandang sebagai sebuah gerakan membangun kembali kesetaraan antara pola konsumsi pangan beras dan nonberas.
Ary Wahyono
MENGEMBALIKAN POLA KEBIASAAN PANGAN NONBERAS UNTUK MENGATASI KETAHANAN PANGAN MASYARAKAT MELALUI PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PANGAN
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
102
Abstrak Remaja merupakan usia transisi menuju masa dewasa dengan terjadinya growth spurt atau percepatan pertumbuhan kedua yang berakhir sampai usia dewasa sehingga remaja membutuhkan zat gizi lebih untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Pengetahuan gizi memberikan bekal pada remaja bagaimana memilih makanan yang sehat dan mengerti bahwa makanan berhubungan erat dengan gizi dan kesehatan. Beberapa masalah gizi dan kesehatan pada saat dewasa sebenarnya bisa diperbaiki pada saat remaja melalui pemberian pengetahuan dan kesadaran tentang kebiasaan makan dan gaya hidup yang sehat. Pendidikan gizi menjadi salah satu solusi untuk dapat meningkatkan pengetahuan gizi remaja. Media pendidikan gizi ramah anak adalah media yang memenuhi kebutuhan informasi tentang gizi dengan memperhatikan kemampuan anak sesuai dengan tingkatan umurnya serta disenangi anak. Salah satu media yang sedang berkembang pesat dan disenangi anak atau remaja adalah media Informasi Comunication Technology (ICT). Tujuan penelitian adalah (1) Menganalisis pengetahuan, sikap dan praktik gizi remaja (perilaku gizi remaja); (2) Mengembangkan media pendidikan gizi ramah anak berbasis ICT untuk remaja. Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja, yaitu Kota Medan. Penentuan lokasi berdasarkan sosial, ekonomi dan lingkungan masyarakat yang sangat beragam sehingga dapat memengaruhi pengetahuan, sikap dan praktik gizi remaja. Penelitian dilaksanakan selama 6 bulan dari bulan April sampai Oktober 2012. Populasi adalah remaja di Kota Medan. Sampel penelitian adalah remaja berumur 13–15 tahun (siswa SMP). Pemilihan siswa SMP adalah dengan pertimbangan: 1) Pemahaman tentang makanan yang sehat sejak dini pada remaja akan mempermudah penerapan perilaku makanan sehat pada usia selanjutnya, bahkan sepanjang hidupnya; 2) Pemberian intervensi pendidikan gizi pada remaja melalui sekolah lebih efektif karena tingkat kepatuhan remaja masih tinggi; 3) Sarana ICT tersedia di sekolah dan siswa SMP mempunyai kemampuan untuk menggunakannya. Minimal sampel berdasarkan proporsi pengetahuan gizi remaja, yaitu 376 dengan
Esi Emilia, Nikmat Akmal Pendidikan Kesejahteraan Keluarga, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Medan
PENGEMBANGAN MEDIA PENDIDIKAN GIZI RAMAH ANAK BERBASIS ICT
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
103
materi dari pesan yang terpilih dan tes dalam bentuk game. Hasil validasi pakar tentang format, isi dan bahasa ternyata ada 3 pesan gizi yang lebih diperjelas lagi isi pesannya, dan meggunakan format yang konsisten untuk semua pesan gizi. Artinya, setiap pesan gizi secara berurut berisikan judul pesan, makna atau definisi pesan, manfaat pesan, sumber makanan dan upaya pencegahan. Hasil uji coba dengan remaja menunjukkan ada 1 pesan gizi yang kurang efektif (kurang dimengerti remaja sehingga remaja susah memahaminya). Untuk pesan ini dilakukan perbaikan, baik dari segi bahasa dan isi pesan sampai remaja dengan mudah memahami isi pesan. Begitu juga untuk tes yang dikemas dalam bentuk game atau permainan, ada 2 pertanyaan yang kurang dimengerti remaja sehingga dilakukan penyederhanaan bahasa agar dimengerti remaja. Melalui beberapa tahapan pengembangan media pendidikan gizi ini dihasilkan media pendidikan gizi ramah anak, yaitu media pendidikan gizi yang dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan anak.
nilai presisi 5%. Data pengetahuan, sikap dan praktik gizi diperoleh melalui pengisian kuesioner oleh siswa dengan terlebih dahulu diberikan penjelasan. Analisis data dilakukan secara deskriptif. Analisis secara deskriptif menggunakan teknik elementary statistic yang digambarkan dalam bentuk persentase, rata-rata dan standar deviasi. Hasil penelitian ini kemudian digunakan untuk pengembangan media pendidikan gizi ramah anak berbasis ICT. Pengembangan media meliputi penyusunan materi berdasarkan need assessment, yaitu faktor dominan dari masalah pangan dan gizi remaja yang memengaruhi pengetahuan, sikap dan praktek gizi remaja, kemudian membuat media pendidikan gizi ramah anak berbasis ICT. Tahap Pengembangan Media Pendidikan Gizi Ramah Anak terdiri atas: a) Validasi Perangkat; b) Simulasi; c) Uji coba terbatas. Pengembangan media pendidikan gizi ramah anak berbasis ICT dikatakan berkualitas jika memenuhi indikator: (1) Validitas (Validity), (2) Kepraktisan (Practicaly), dan (3) Keefektifan (Effectiveness). Dari hasil penelitian ditemukan persentase perilaku gizi remaja (pengetahuan, sikap dan praktek gizi) tergolong rendah (61,4%) dengan persentase pengetahuan, sikap dan praktek gizi remaja berturutturut adalah 60,07%; 61,53% dan 64,49%. Pengembangan media berdasarkan need assesment perilaku gizi remaja. Perilaku gizi remaja yang benar adalah perilaku gizi yang sesuai dengan konsep gizi seimbang. Konsep gizi seimbang terdiri atas pola makan yang sehat dan seimbang serta pola hidup sehat pada remaja. Konsep gizi seimbang kemudian dikembangkan menjadi 20 indikator dan 60 item pertanyaan tentang pengetahuan, sikap dan praktek gizi remaja. Indikator yang akan dijadikan sebagai pesan-pesan dalam media pendidikan gizi adalah pesan-pesan yang skor pengetahuan dalam kategori rendah, yaitu memperoleh skor kurang dari 70%. Dari hasil perhitungan, ternyata ada 14 indikator dari 20 indikator yang memperoleh skor di bawah standar. Indikator perilaku gizi tersebut adalah 1) Makan beranekaragam; 2) Menggunakan garam beriodium; 3) Setiap hari makan pagi; 4) Gizi dan kesehatan reproduksi; 5) Konsumsi makanan sumber zat besi; 6) Konsumsi makanan berserat; 7) Konsumsi makanan sumber kalsium; 8) Konsumsi makanan sumber karbohidrat secukupnya; 9) Batasi konsumsi lemak; 10) Minum air bersih 8 gelas sehari; 11) Mengonsumsi makanan yang aman; 12) Tidak merokok dan minuman beralkohol; 13) Memantau berat badan secara teratur; 14) Body image yang benar. Indikator inilah yang dikembangkan menjadi pesan gizi yang di desain menggunakan program adobe flash. Media pendidikan gizi ini terdiri atas 104
Kata kunci: Perilaku gizi, Pendidikan gizi, Ramah anak, ICT
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
105
Abstrak Leuit Persatuan atau Lumbung Persatuan adalah suatu sistem pengaturan penyediaan pangan padi/beras pada masyarakat adat kasepuhan. Masyarakat adat kasepuhan adalah kelompok sosial tradisional yang dalam kesehariannya masih menggunakan nilai-nilai tradisi, termasuk dalam sistem religi, sistem kepemimpinan tradisional dan sistem pertanian tradisional. Masyarakat kasepuhan ini tinggal di wilayah Pegunungan Halimun yang secara adminsitratif terletak di Kabupaten Bogor dan Sukabumi, Provinsi Jawa Barat, serta Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Terdapat beberapa penyebutan untuk kelompok masyarakat adat ini, yaitu kaolotan (Banten), kasatuan (Sukabumi) serta masyarakat adat Banten Kidul. Masyarakat adat Ciptagelar adalah salah satu dari komunitas masyarakat kasepuhan yang pusat kampung adatnya terletak di Sukabumi Selatan, namun para pengikutnya tersebar di Kabupaten Lebak, Kabupaten Bogor hingga daerah-daerah lainnya di wilayah Provinsi Banten dan Jawa Barat. Sistem leuit persatuan pada intinya adalah pengumpulan padi yang didapat dari anggota masyarakat kasepuhan untuk tujuan cadangan pangan apabila terjadi masa sulit (paceklik). Namun dalam perkembangannya, padi dapat dipinjamkan untuk kebutuhan-kebutuhan lainnya, tetapi tidak untuk diperdangkan. Dalam perkembangannya, peminjam padi bukan hanya warga kasepuhan, tetapi masyarakat yang bukan warga kasepuhanpun diperkenankan meminjam padi tersebut. Hal ini memperlihatkan adanya dampak keberadaan leuit persatuan bagi masyarakat yang lebih luas. Makalah ini akan memperlihatkan bagaimana dinamika antara sistem religi, kepemimpinan tradisional dan pertanian tradisional membentuk suatu sistem ketahanan pangan berbasis budaya dan pengetahuan/kearifan lokal. Selain itu, akan diperlihatkan bagaimana pendekatan-pendekatan pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah
Herry Yogaswara Bidang Ekologi Manusia, Pusat Penelitian Kependudukan LIPI Gedung Widya Graha LIPI Lantai 10, Jalan Jenderal Gatot Subroto 10 Jakarta E-mail:
[email protected]
LEUIT KASATUAN: DINAMIKA KEARIFAN LOKAL KETAHANAN PANGAN PADA MASYARAKAT ADAT CIPTAGELAR, KABUPATEN SUKABUMI, PROVINSI JAWA BARAT
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
106
Kata kunci: Masyarakat Adat, Ketahan Pangan Tradisional, Cipta Gelar, Jawa Barat (Indigenous Peoples, Local Food Security, Cipta Gelar, West Java)
diterima, ditolak atau dinegosiasikan oleh masyarakat kasepuhan untuk memepertahankan sistem tradisionalnya. Namun, sekaligus masyarakat kasepuhan menerima berbagai modernisasi yang dianggap tidak akan merusak ketahanan pangannya.
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
107
Kata kunci: Strategi, KRPL, Kemadirian pangan, Ketahanan pangan
Abstrak Justifikasi penting dari pengembangan ”Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL)” adalah ketahanan pangan nasional harus dimulai dari ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. KRPL merupakan salah satu upaya mendukung ketahanan pangan dan mewujudkan kemandirian pangan dengan mengoptimalkan pemanfaatan pekarangan. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis kinerja dan strategi Program KRPL dilihat dari sisi dampak program terhadap pola konsumsi dan pola pangan harapan rumah tangga peserta program. Penelitian ini menggunakan sampel peserta dan nonpeserta program KRPL. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan pekarangan dapat memberikan konstribusi cukup signifikan dalam menyumbangkan pangan untuk konsumsi rumah tangga. KRPL dapat memperbaiki pola konsumsi rumah tangga dan mengurangi pengeluaran untuk konsumsi pangan. Konsumsi energi dan protein serta keragaman pangan rumah tangga lebih baik pada rumah tangga peserta dibanding nonpeserta program. Implikasi pengembangan program harus didukung dalam upaya menyediakan pangan rumah tangga. Sementara itu, untuk mengoptimalkan pemanfaatan pekarangan untuk KRPL harus didukung oleh teknologi spesifik lokasi dan peningkatan kapasitas petani dalam pengelolaan lahan pekarangan
Tri Bastuti Purwantini dan Saptana Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jalan Ahmad Yani 70, Bogor
STRATEGI DAN PROSPEK PROGRAM KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI (KRPL) UNTUK MENDUKUNG KEMANDIRIAN DAN KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
108
Abstrak Konsep Life Cycle Assessment (LCA) bisa digunakan untuk mengidentifikasi tingkat ketahanan pangan terhadap faktor-faktor penghambatnya yang terlihat dari kapasitas produksi dari tahun ke tahun. Langkah pertama yang dilakukan adalah life cycle inventory assessment (LCIA). LCIA yang dilakukan merupakan gambaran interaksi sumber daya lahan terhadap produksi pangan. Ruang lingkup yang diambil dalam penelitian kali ini adalah skala produksi nasional. Produksi pangan setiap tahun dipengaruhi oleh sumber daya lahan yang bersaing dengan pemanfaatan untuk energi dan bahan baku industri bidang yang lain. Selain itu, terdapat faktor eksternal yang dapat menghambat produksi pangan, antara lain perubahan pola hujan, peningkatan suhu udara, dan menurunnya kondisi daerah tangkapan air. Berdasarkan data yang didapatkan dari Kementerian Pertanian, produksi padi dari tahun 2006–2010 terus mengalami peningkatan di tengah kondisi kebutuhan beras yang cenderung stabil. Hal ini menunjukkan belum ada pengaruh yang signifikan dari faktor-faktor eksternal selama rentang tahun 2006– 2010. Dari data-data yang didapat, kekeringan cenderung menurun dari rentang 2006–2010 sedangkan kendala yang cukup mengganggu adalah adanya banjir yang cenderung stabil. Berdasarkan environmental impact assessment menunjukkan bahwa faktor internal yang berpengaruh terhadap produksi pangan, yaitu menurunnya kondisi daerah tangkapan air.
Leonardus Broto Sugeng Kardono ICIAR LIPI/P2 Kimia LIPI
LIFE CYCLE ASSESSMENT (LCA) UNTUK IDENTIFIKASI KETAHANAN PANGAN DI INDONESIA
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
RCTI Syswave Holdings Sorghum Japan. co. ltd. PT. Bank Mandiri Kompas PT. AFI PT. SINARMAS serta Instansi dan pihak-pihak lainnya
Mengucapkan terima kasih atas konstribusi, dukungan dan partisipasi terhadap:
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Kementerian Pertanian RI Kementerian Kesehatan RI Badan Pengawas Obat dan Makanan Kementerian Negara Riset dan Teknologi RI Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat RI Kementerian Kelautan dan Perikanan RI
bekerja sama dengan
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
UCAPAN TERIMA KASIH
109
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
110
CATATAN
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
111
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
112
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
113
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
114
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
115
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
116
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
117
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
118
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
119
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
120
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
121
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta
122
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X 2012 20–21 November 2012, Auditorium LIPI, Jakarta