NARKOBA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF: SEBUAH STUDI PERBANDINGAN Acep Saifullah
Universitas Ibnu Khaldun (UIK) bogor Jl. KH. Sholeh Iskandar Km. 2 Kd, Badak Bogor E-mail:
[email protected]
Abstract: Drugs in Islamic Law and Positive Law: A Comparative Study. Indonesia is threatened by the danger of drug trafficking (narcotics, psychotropic and other addictive substances) and its misuse. Indonesia is a target of various subversive activities but the provisions of the law as tools or implementation of prevention still have a lot of shortcomings. Positive Law sanctions (Law no. 5 1997, Law no. 22 1997) are perceived not worth enough that it does not give deterrent effect to drug offenders. Alternative law is required (read: Islamic Law) since Islamic law is also an integral part of Indonesian national law. It can provide responsive and anticipatory solutions to drug problems in Indonesia.
Keywords: had, ta’zir, qiyas
Abstrak: Narkoba dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif: Sebuah Studi Perbandingan. Indonesia cukup rawan terhadap ancaman bahaya peredaran narkoba (narkotika, psikotropika dan bahan adiktif lainnya) dan penyalahgunaannya. Indonesia merupakan sasaran pelbagai kegiatan subversi tetapi hukum sebagai perangkat ketentuan, maupun alat ataupun pelaksanaan pencegahan masih banyak kekurangan. Sanksi Hukum Positif (UU No. 5 tahun 1997, UU No. 22 tahun 1997) dirasakan tidak setimpal, sehingga tidak menjerakan pelaku tindak pidana narkoba. Diperlukan adanya alternatif hukum (baca: Hukum Islam) mengingat Hukum Islam juga merupakan bagian integral dari hukum nasional Indonesia yang dapat memberikan solusi yang responsif dan antisipatif terhadap permasalahan narkoba di Indonesia.
Kata Kunci: had, ta’zir, qiyas
Pendahuluan Manusia dengan rasionya dan akal budinya selalu berusaha mengembangkan ilmu pengetahuan agar mampu mengolah alam semesta demi kepentingan hidup manusia. Demikian pula halnya dengan narkoba, zat ini pada awalnya merupakan hasil dari pengembangan pengetahuan manusia terhadap pelbagai tumbuhan demi kepentingan medis, tetapi sebagian manusia lain menyalahgunakan hasil temuan tersebut, demi kepentingan sesaat. Di antara tujuannya adalah memperoleh keuntungan yang sangat besar.
Fenomena kompleksitas peredaran narkoba laksana benang kusut yang harus segera diurai. Berdasarkan hal tersebut, problematika pencegahan dan penanggulangan tindak pidana (jinâyah), narkoba menjadi hal yang signifikan untuk dikaji dan diteliti, mengingat permasalahan tersebut bukan saja menyangkut kepentingan nasional. Narkoba dalam Perspektif Hukum Islam A. Al-Khamr dan Narkoba Al-khamr secara etimologi berarti menutupi, yang dimaksud dengan khamr itu adalah 47
48| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013 sesuatu yang menutupi kepala seperti sorban atau kerudung. Dinamakan kahmar karena menutupi atau mengacaukan akal.1 Sedangkan istilah NARKOBA merupakan singkatan dari NARkotika, PsiKOtropika dan BAhan Adiktif lainnya. Istilah Narkoba berdasarkan Kepres No.17 tahun 2002 sejak terbentuknya Badan Narkotika Nasional (BNN). Sedangkan istilah sebelumnya NAZA (Narkotika dan Zat Adiktif ) istilah yang digunakan Departemen Kesehatan (DEPKES) RI, dan NAFZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif ) istilah yang digunakan oleh DEPKES dan DEPSOS (Departemen Sosial RI), sudah tidak diguna kan lagi sejak Kepres tersebut.2 Tentang Narkotika dalam istilah bahasa Arab paling sedikit ada 3, yaitu al-Mukhaddirât ( ), al-aqâqir ( ), dan hasyîsy ( ). Narkotika alMukhaddirât ( ), secara etimologi berarti sesuatu yang terselubung, kegelapan atau kelemahan. Diambil dari kata al-Khidr ( ) yang berarti tirai yang terjurai di sudut ruangan seorang gadis. Kata tersebut biasanya digunakan sebagai penirai rumah. Kata al-Mukhaddirât ( ) dapat juga terambil dari kata al-Khadar ( ) yang berarti kemalasan dan kelemahan. Al-Khadir ( ) bentuk fâ’il ( ) atau subyek dari kata al-Khadar ( ) artinya orang yang lemah dan malas.3 B. Ketetapan Pidana (Jinâyah) yang ber kaitan dengan Narkoba 1. Sanksi hukum bagi pecandu, pembuat, pengedar dan yang membantu pe ngedaran narkoba.
1 Misbâh al-Munîr, Al-Qâmus Muhîth, (Bayrut: Dâr alFikr, t.t.), h. 567, lihat pula Muhammad ‘Alî Al-Sayis, Tafsîr Ayât al-Ahkâm, jilid ke-1, (Mesir: ‘Ali Shâbih wa ‘Auladuh, t.t.), h. 119. 2 Yanuar Sadewa, Bimbingan dan Penyuluhan Islam ter hadap Bahaya Narkoba, makalah Badan Narkotika Nasional 21 Agustus 2007. 3 Ahmad Warson al-Munawir, al-Munawir Kamus ArabIndonesia, (Yogyakarta: Agustus, 1984), h. 351, lihat pula Muhammad al-Hawari, Narkoba Kesalahan dan Keterasingan, (Riyadh: 1408 H.), h.156.
Tujuan dirumuskannya hukum Islam adalah untuk mewujudkan dan memelihara lima sasaran pokok, yaitu agama, jiwa, akal, kehormatan dan keturunan, serta harta. Lima hal pokok ini wajib diwujudkan dan dipelihara jika seseorang menghendaki ke hidupan yang berbahagia di dunia dan di hari kemudian. Segala upaya untuk me wujudkan dan memelihara lima pokok tadi merupakan amalah saleh yang harus dilakukan oleh umat Islam.4 Sebaliknya, segala tindakan yang bisa me ngancam keselamatan salah satu dari pokok tersebut dianggap sebagai tindakan kejahatan yang dilarang. Siapa saja yang mengamati seluk beluk hukum Islam akan mengakui bahwa setiap rumusannya mengarah kepada perwujudan atau pemeliharaan dari lima pokok tersebut. Dari gambaran ini, tindakan kejahatan dapat dikategorikan ke dalam lima kelompok, yaitu kejahatan terhadap agama, kejahatan terhadap jiwa atau diri, kejahatan terhadap akal, kejahatan terhadap kehormatan dan keturunan, dan kejahatan terhadap harta benda. Masing-masing ke jahatan itu diuraikan secara panjang lebar dalam literatur-literatur fiqh dalam berbagai mazhab. Kejahatan-kejahatan besar terhadap lima pokok ini diatur dalam bab jinâyat.5 Jinâyah atau Jarîmah yaitu tindak pidana di dalam hukum Islam berupa laranganlarangan syara’ yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta’zîr.6 Hukuman had adalah hukuman yang ditetapkan melalui wahyu yang merupakan hak Allah sebagai syâri’. Hukuman ta’zîr adalah hukuman yang tidak ada nasnya, dan ditetapkan berdasarkan pertimbangan hakim (qâdhi).
4 Satria Effendi M. Zein, Kejahatan terhadap Harta dalam Perspektif Hukum Islam, dalam Pidana Islam di Indonesia: Peluang, Prospek dan Tantangan, ed. Jaenal Arifin, M. Arskal Salim GP, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h.107. 5 Satria Effendi M. Zein, Kejahatan terhadap Harta dalam Perspektif Hukum Islam, h. 107. 6 A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h.10, lihat pula H. A. Djazuli, Fiqh Jinâyah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), h. 1.
Acep Saipullah: Narkoba Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif |49
Mengingat ketidakseimbangan antara manfaat yang ditimbulkan oleh narkoba pada satu sisi dan besarnya bahaya yang ditimbulkan pada sisi yang lain, maka hukum Islam secara tegas menyatakan bahwa pe nyalah gunaan narkoba harus diberikan hukuman yang sesuai dengan apa yang dilakukannya. Narkoba dengan berbagai jenis, bentuk dan nama yang telah diidentifikasi pengaruhnya terhadap akal pikiran dan fisik, maka sanksi hukumannya dikategorikan ke dalam khamr, yang secara tegas dan keras dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. 2. Pendapat para imam mazhab terhadap sanksi hukuman peminum al-khamr Sementara yang berkaitan dengan ringan beratnya hukuman bagi pemakai khamr tidak disebutkan dalam Alquran tetapi hanya disebutkan dalam petunjuk al-Sunnah Nabi Muhammad, yaitu: Telah menceritakan kepada kami Hisyam bin ‘Ammar, Telah menceritakan kepada kami Syuaib bin Ishak, Telah menceritakan kepada kami Saîd bin Abî ‘Arubah bin Bahdalah dari Zakwan Abî Shâlih dari Mu’awiyah bin Abî Sufyân bahwa Rasulullah telah bersabda: “Apabila mereka meminum khamr, maka hendaklah kamu dera/jilid, kemudian jika minum lagi maka deralah ia, kemudian jika minum lagi deralah ia, kemudian minum lagi maka bunuhlah.” (H.r. Ibn Mâjah).7 Tsaur ibn Zaid al-Daili berkata bahwa ‘Umar bin Khattab meminta pendapat tentang khamr yang dikonsumsi manusia. ‘Ali bin Abi Thalib berkata:“Hendaknya engkau mencambuknya sebanyak 80 kali, karena ia meminum yang memabukan. Jika ia telah mabuk, maka ia bicara tidak karuan dan sudah bicara tidak karuan maka ia berbohong”. Kemudian ‘Umar bin Khattab menentukan bahwa hukuman bagi peminum khamr adalah 80 kali cambuk. 7 Ibn Mâjah, Sunan Ibnu Mâjah, (Bayrut: Dâr al Fikr, 1415 H./1995 M.), h. 61.
Hadis dari Ibn ‘Umar, bahwasannya Rasulullah bersabda: “Rasulullah melaknat sepuluh orang yang terkait dengan khamr: produsennya (pembuat), distributornya (pengedar), peminumnya, pembawanya (kurir), pengirimnya, penuangnya (penyuguh), penjualnya, pemakan hasil penjualannya, pembayar dan pemesannya.” (H.r. Ibn Mâjah dan al-Tirmizî).8 Menyikapi hadis di atas, para ulama bersepakat bahwa bagi para peminum khamr dikenakan had berupa hukuman dera atau cambuk, baik sedikit ataupun banyak.9 Tetapi para ulama berbeda pendapat mengenai berat ringannya sanksi hukum tersebut. Dari kalangan mazhab Mâlikiyah dan Hanâfiyah berpendapat bahwa peminum khamr di kenakan sanksi 80 kali cambuk, sementara itu dari mazhab Syâfi’iyah menyatakan bahwa peminum khamr diberikan sanksi cambuk 40 kali. Sedangkan dari mazhab Hanbali terjadi perbedaan pendapat, yaitu ada yang berpendapat 80 kali cambuk dan yang lainnya berpendapat hanya 40 kali cambuk.10 Imam Syâfi’î menyatakan bahwa had bagi peminum khamr adalah 40 kali cambuk, hal ini didasarkan kepada tindakan ‘Ali bin Abî Thâlib yang mencambuk Walîd bin ‘Uqbah dengan 40 kali cambuk, hal ini pula merupakan sanksi hukum yang diperintahkan Rasulullah yang dilaksanakan pada saat Abû Bakar al-Shiddiq menjabat khalifah. Sebagaimana dalam sebuah hadis:
“Dari Ali pada kisah Walîd bin Uqhah, 8 Al-Tirmidzî, Jâmi’ al-Shahîh, III, (Bayrut: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 589. 9 Ibn Rusyd, Bidâyatul Mujtahid, II, (Bayrut: Dâr al-Fikr, 1995), h.364. 10 Ibn Hajar al-Asqalâni, Fath al-Bâri, (Ttp.: Tnp., t.t.), h. 82.
50| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013 Rasulullah Saw. mencambuk bagi peminum khamr/pecandu Narkoba 40 kali, Abû Bakar mencambuk 40 kali, dan ‘Umar mencambuk 80 kali, kesemuannya itu sunnah dan inilah yang lebih saya senangi (yaitu 80 kali)”. (HR. Muslim).11 Sementara itu Abû Hanîfah, Mâlik dan Ahmad berpendapat bahwa hukuman bagi peminum khamr 80 kali cambuk. Hal ini didasarkan pada tindakan ‘Umar bin Khattab, di mana menurut mereka sudah menjadi ijma’ pada masa khalifah ‘Umar bin Khattab karena tidak seorangpun dari sahabat mengingkarinya. Dalam hal atsar ‘Umar ini, yaitu yang menetapkan 80 kali cambuk sebagai had bagi peminum khamr Imam Syâfi’î, menanggapai bahwa sanksi 80 kali cambuk itu merupakan had,12 tetapi hanya sebagai ta’zîr,13 karena hukuman had bagi peminum khamr sebanyak 40 kali cambuk seperti yang dipraktikkan oleh Rasulullah. Perbedaaan hukuman ta’zîr dengan hukuman had, menurut Imam al-Mawârdi14 yaitu memberikan sanksi ta’zîr kepada orang yang sering melakukan kejahatan, sedangkan dalam hukuman had tidak ada perbedaan. Dalam hukuman had tidak boleh diberikan maaf, sedangkan dalam ta’zîr ada kemungkinan pemberian maaf. Hukuman had itu memungkinkan bisa menimbulkan kerusakan tubuh dan jiwa terhukum, sedangkan dalam hukuman ta’zîr terhukum tidak boleh sampai mengalami kerusakan itu. Oleh karena itu, apabila dikaitkan dengan penyalahgunaan narkoba, seperti diketahui
11 Abû Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawâwi, Syarah Shahîh Muslim, (Bayrut: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 1331-1332. 12 Had merupakan hukuman yang ditetapkan oleh Syâri’ yaitu Allah. 13 Hukuman ta’zîr merupakan hukuman yang didasarkan atas pertimbangan hakim (imam) yang dilaksanakan karena di pandang perlu untuk memberikan pelajaran kepada palakunya demi menjaga kemaslahatan umat manusia itu sendiri �� Sebagaimana yang dikutip oleh H. A. Djazuli, Fiqh Jinâyah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), h. 220221 dari al-Mawardi, al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, h. 237-238.
mempunyai akibat dan dampak yang lebih luas dan bahkan lebih berbahaya dari khamr itu sendiri. Apalagi jika over dosis akan mengakibatkan kematian bagi pemakainya. Selain itu pula akan menimbulkan tindakantindakan pidana yang destruktif, seperti pencurian, perkosaan, pembunuhan dan sebagainya. Berdasarkan ketentuan hukum di atas, baik had maupun ta’zîr, penyalahgunaan narkoba dengan segala pertimbangan yang diakibatkannya cukup kompleks. Sehingga menurut analisis penulis melalui analisa qiyas dengan khamr, maka penyalahgunaan narkoba dapat dikenakan gabungan sanksi hukuman yaitu hukuman had dan ta’zîr. Mengenai penggabungan antara had dan ta’zîr ini, para ulama pada umum nya membolehkan selama memungkinkan. Misalnya dalam mazhab Mâlikî dan Syâfi’î menggabungkan hukuman bagi peminum khamr/pemakai narkoba yaitu dengan me nambahkan 40 kali cambukan.15 3. Cara pencegahan dan penanggulangan narkoba Mengenai cara pencegahan narkoba dalam perspektif Hukum Islam ini penulis meng ungkapkan beberapa hal yaitu: a). Bimbingan agama (Dakwah Islamiyah) Mengenai bimbingan agama (dakwah Islamiyah) terhadap pencegahan narkoba ini hendaknya memperhatikan be berapa hal. Pertama, pihak-pihak yang menangani bimbingan agama (Dakwah Islamiyah) ini hendaknya terdiri dari pelbagai aspek disiplin ilmu yang terdiri dari: ulama (kiyai/ustadz), psikolog, kriminolog, psikiater, dokter, praktisi hukum, sosiologi, aparat keamanan (polisi) dan pihak-pihak lain yang terkait dalam permasalahan narkoba ini. Kedua, persiapan yang matang dan perencanaan 15 H. A. Djazuli, Fiqh Jinâyah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), h.162.
Acep Saipullah: Narkoba Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif |51
yang rapih dan program-program yang terarah, efektif, efisien dan profesional. Sehingga dapat mencapai hasil yang maksimal dan memuaskan. Ketiga, bimbingan tersebut jangan berbentuk ancaman intimidasi dan tekanan. Tetapi diusahakan dengan menggali potensi diri (tazkiyah al-qalb) akan tergerak untuk mengikuti Alquran dan Hadis. Sehingga dengan penuh kesadaran menjalankan perintah Allah dan menjauhi laranganNya. Keempat, bimbingan didesain sedemikian rupa dalam bentuk ceramah/ seminar/diskusi dengan seramah dan semudah mungkin, sehingga dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Keempat, perpaduan gerakan sosial, kultural dan moral spiritual yang secara langsung melibatkan peran orangtua, tokoh masyarakat, tokoh agama, para pendidik dan aksi nyata pemerintah merupakan langkah yang efektif dan perlu ditumbuh kembankan dimasa yang akan datang.16 Kelima, gerakan dakwah yang dipublikasikan melalui siaran agama pada beberapa stasiun televisi, cukup variatif dan bahkan lebih dinamis, menyangkut penanggulangan dan penanganan rehabilitasi bagi korban penyalahgunaan narkoba.17 Untuk mengungkapkan cara penanggulang an narkoba ada beberapa tempat rehabilitasi di Indonesia yang menggunakan hukum Islam sebagai acuan dasar di dalam penanggulangan bagi para pengguna narkoba. Di antara tempat rehabilitasi untuk penanggulangan narkoba, yaitu pertama, Pondok Pesantren Suryalaya dengan metode INABAH, yang dikembangkan oleh Abah
16 Nasaruddin Umar, Peran Departemen Agama dalam Pelaksanaan Terapi dan Rehabilitasi bagi Korban Penyalahgunaan Narkoba, disajikan dalam Lokakarya Peran Institut Agama dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Narkoba, Badan Narkotika Nasional (BNN) RI Jakarta, 15 Agustus 2007. �� Nasaruddin Umar, Peran Departemen Agama dalam Pelaksanaan Terapi dan Rehabilitasi bagi Korban Penyalahgunaan Narkoba.
Anom. 18 Kedua, Rumah Penyembuhan Narkoba Yayasan Taubatan Nasuha Jakarta, mengembangkan metode 4 in 1 di dalam upaya penyembuhan narkoba bagi korban penyalahgunaan narkoba.19 Ketiga, Sistem terpadu merupakan sistem terapi yang di t emukan Dadang Hawari, psikiater setelah melakukan penelitian mendalam di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Fatmawati Jakarta. Sistem terpadu merupakan gabungan terapi yang modern dengan terapi gaya pesantren. Cara yang dilakukan adalah dengan sistem blok total, di mana pasien diisolasi beberapa hari tanpa narkotika dan obat. Pada saat itu, pasien diberi obat yang disebut major transquilizers atau obat tidur. Dalam keadaan tidur, racun obat dihilangkan. Rasa sakit dan sugesti dihilangkan. Setelah itu, si pasien tidak boleh menerima telpon atau dikunjungi teman-temannya. Sementara yang boleh berkunjung, adalah kiyai atau Pembina agama.20 18 INABAH merupakan istilah yang berasal dari bahasa Arab “anaba yunibu” yang berarti “kembali”. Lihat misalnya dalam Q.s. Luqman [31]: 15 dan Q.s. al-Syûrâ [42]:10. Di dalam literatur tasawuf, inabah berarti “kembali kepada Allah”, maksudnya mengembalikan orang dari perilaku yang selalu menentang kehendak Allah atau maksiat kepada perilaku yang sesuai dengan kehendak Allah. Istilah ini dikembangkan oleh Abah Anom sebagai konsep perawatan remaja yang nakal dan pelbagai bentuk penyakit kerohanian. 19 Dalam pengalaman penulis sebagai Pembina Therapi Ilahiyah pada Rumah Penyembuh NARKOBA Yayasan Taubatan Nashuha ini para peserta (pemakai narkoba) bukanlah pasien. Mereka tidak perlu diawasi secara ketat. Mereka justeru diberi kebebasan yang besar. Misalnya peserta diperbolehkan membawa televisi atau video untuk hiburan pribadi. Tak ada istilah berobat menurut Tatang yang ada “wisata hati”. 20 Untuk pelayanan dan fasilitas Dadang Hawari dan rekan (Metode Dadang Hawari/Sistem Terpadu) terhadap pasien/korban NAZA antara lain: 1. Untuk program Terapi (Detoksifikasi) yaitu : (a). RS. Indah Medika, Jl. Tebet Raya No. 5-6, Jakarta Selatan 12810, telp.8309244, (b). RS Agung, Jl. Sultan Agung No.67 Jakartas Selatan 12970, Telp.8305769, (c) RS. Mitra Menteng Abadi (MMA), Jl. Kali Pasir No.9 Jakarta Pusat 10430, Telp.3904422; 2. Untuk Program Pasca Detoksifikasi (Pemantapan), Wisma Ibrahim I (untuk putera); Jl. Kemang Swatama Raya Rt.05/05 No.04, Studio Alam TVRI Depok, Telp. 77821617; 3. Untuk program Rehabilitasi (Fisik, Psikologik, Sosial dan Agama) yaitu: Wisma Ibrahim II (untuk putera). Komp. AL., Jl. Laut Sulawesi Blok D-2 No.4, Duren Sawit, Jakarta
52| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013 Narkoba dalam Perspektif Hukum Positif Narkotika Narkotika secara etimologi berasal dari kata Narcoticum yang berarti obat bius.21 Bila memperhatikan Definisi Narkotika dari Biro Bea dan Cukai Amerika Serikat dalam bukunya Narcotic Indertification Manual menjelaskan bahwa Narkotika adalah: Candu, ganja, kokain, dan zat-zat yang bahan mentahnya diambil dari bendabenda tersebut yakni morfin, heroin, codeinhasich, cocain dan termasuk juga Narkotika yang menghasilkan zat-zat, obat-obatan, yang tergolong dalam hallucinogen dan stimulant.22 Sedangkan definisi Narkotika menurut Undang-undang RI No.22 tahun 1997 adalah: Zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semisintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan yang dapat dibedakan kedalam golonganTimur, telp.8620174; 4. Untuk Program Forum Silaturahmi yaitu: d/a RS. Agung, Jl. Sultan Agung N0.67, Jakarta Selatan 12970, Telp.8305769; 5. Untuk program Terminal (Pasca Rehabilitasi) sebagai laporan persiapan kembali studi dan bekerja, yaitu: Wisma Ismail, Kompl. Perumahan Cipinang Elok II, Blok AV No.4 Jakarta Timur, Telp.8198134; 6. Untuk Pelayanan Masyarakat (Penyuluhan, Seminar, seramah, symposium, dan yang terkait) d/a dr. Irawy/Seniati Hanief Hawari, Jl.Tebet Barat I, Tebet Mas Indah KAV. E No.5, Jakarta selatan 12180, Telp.8298885,8299857, Fax.8299857. Website:www.dadang-hawari.org. 21 As’ad Sungguh, Kamus Lengkap Biologi, (Jakarta: Kurnia Esa, 1995), h. 309. Bandingkan Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum: Edisi Lengkap Bahasa Belanda, Indonesia, Inggris, (Semarang, Aneka Ilmu, 1977), h. 865; Med Ahmad Ramli dan K. St. Pamoentjak, Kamus Kedokteran: Arti Keterangan dan Istilah, (Jakarta: Djambatan, 1996), h. 228; Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), h.36; Hasan Shadily (editor), Ensiklopedi Indonesia, jilid ke-IV (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,t.t.), h.2336; Anton M. Moeliono (penyunting), Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h.609. 22 Djoko Prakoso, Bambang Riyaldi Lang, dan Amir Mukhsin, Kejahatan-kejahatan yang Merugikan dan Membahayakan Negara, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), h. 480.
golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini atau yang kemudian ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan. 23 Alkohol Alkohol adalah “cairan yang dihasilkan dari proses peragian (fermentasi) oleh sel ragi (mikro-organisme)”.24 Cairan di dalam alkohol adalah cairan yang bening, tak berwarna, mudah menguap dan mudah terbakar, yang diperoleh dari hasil fermentasi karbohidrat.25 Berdasarkan keputusan Presiden RI No.3 tahun 1997, pasal 1 mengenai pengawas an dan pengendalian minuman alkohol, minuman beralkohol adalah “Minuman yang mengandung athanol yang diproses dari bahan hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dengan cara fermentasi dan destilasi, atau fermentasi tanpa destilasi, baik dengan cara memberikan perlakuan terlebih dahulu atau tidak, menambahkan bahan lain atau tidak, maupun yang diproses dengan cara mencampur konsentrat dengan ethanol atau dengan cara pengeceran minuman mengandung ethanol.” Berdasarkan keputusan Presiden RI No.3 tahun 1997 pasal 3, minuman keras berdasarkan kadar alkohol dibagi menjadi tiga bagian yaitu: 1. Minuman keras golongan A ialah minuman keras dengan kadar etanol (C2 H2 OH) 1%-5%, contohnya: berbagai jenis bir dan shandy. 2. Minuman keras golongan B ialah minuman keras dengan kadar etanol (C2 H2 OH) 5%-20%, contohnya: Martini, port, wine, anggur.
23 Redaksi Sinar Grafika, Undang-undang Narkotika dan Psikotropika, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), h. 3. 24 Chandra Purwanto, Mengenal dan Mencegah Bahaya Narkotika, (Bandung:CV.Pionir Jaya, 2001), h.18. 25 Tim Pelaksana Program Pendidikan Remaja Sebaya Palang Merah Indonesia, Pedoman Pelatihan Remaja Sebaya tentang Kesehatan dan Kesejahteraan Remaja, (Jakarta: Mabes PMI, 1996), h. 42. Bandingkan Soedjono Dirdjono Sisworo, Alkoholisme, (Bandung: Remaja Karya, 1984), h. 135; Budiardjo, et.al., Kamus Psikologi, (Semarang: Dahara Prize, 1991), h. 22.
Acep Saipullah: Narkoba Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif |53
3. Minuman keras golongan C ialah minuman keras dengan kadar etanol (C2 H2 OH) lebih dari 20%-55%, contohnya: wisky, vodka, brendy. Psikotropika Psikotropika adalah “zat atau obat, baik alamiah maupun sintesis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang me nyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.”26 Psikotropika menurut UU RI Nomor 5 tahun 199727 tentang Psikotropika dibagi ke dalam empat golongan yaitu: 1. Psikotropika golongan I adalah psi kotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma katergantungan; 2. Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi, dan/ atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan; 3. Psikotropika golongan III adalah psiko tropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi, dan/ atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang meng akibatkan sindroma ketergantungan; 4. Psikotropika golongan IV adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan menga kibatkan sindroma ketergantungan. Sekalipun pengaturan psikotropika 26 Tim Pelaksana Program Pendidikan Remaja Palang Merah Indonesia, Pedoman Pelatihan Remaja tentang Kesehatan dan Kesejahteraan Remaja, h. 115. 27 Tim Pelaksana Program Pendidikan Remaja Palang Merah Indonesia, Pedoman Pelatihan Remaja tentang Kesehatan dan Kesejahteraan Remaja, h.115.
Sebaya Sebaya Sebaya Sebaya
dalam Undang-undang RI Nomor 5 tahun 1997 ini hanya meliputi psikotropika golongan I, psikotropika golongan II, psikotropika golongan III, dan psikotropika golongan IV, masih terdapat psikotropika lainnya yang tidak mempunyai potensi mengakibatkan sindroma ketergantungan, tetapi digolongkan sebagai obat keras. Oleh karena itu, pengaturan, pembinaan, dan pengawasanya tunduk kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku dibidang obat keras. Zat adiktif Zat adiktif terdiri dua kata “zat” dan “adiktif ”. Zat menurut etimologi adalah wujud, hakekat, sesuatu yang menyebabkan ada dan bisa juga berarti substansinya yang me r upakan pembentukan suatu benda. Sementara adiktif berarti sifat ketagihan dan menimbulkan ketergantungan pada pemakainya.28 Zat menurut Dadang Hawari29 adalah: Bahan atau substansi yang dapat mem pengaruhi fungsi berfikir, perasaan dan tingkah laku pada orang yang memakainya. Zat tersebut mengakibatkan kondisi dan bersifat siktif, penyalahgunaannya dapat menimbulkan gangguan penggunaan zat (substance use disender), yang ditandai dengan perilaku maladaftif yang berkaitan dengan pemakaian zat itu yang lebih dapat kurang dikatakan teratur. Zat adiktif adalah “sifat kecanduan”. Di mana pecandu merasakan keinginan luar biasa atau keharusan untuk meneruskan pemakaian obat tersebut, sehingga menyebabkan menambah takaran narkotika (toleransi) untuk memperoleh pengaruh (efek) yang sama, juga menimbulkan ketergantungan yang dalam (dependence).30 28 Anton M. Muliono, (penyunting), Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h.6. 29 Dadang Hawari, Penyalahgunaan Narkotika dan Zat Adiktif, (Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991), h.43 30 Soedjono Dirdjono Sisworo, Alkoholisme, h, 80.
54| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013 Zat adiktif ini sering pula disebut dengan Zat Psikoaktif yaitu “zat yang mem punyai pengaruh pada sistem saraf pusat (otak) sehingga bila digunakan akan mempengaruhi kesadaran, perilaku, pikiran dan perasaan”. Penyalahgunaan zat psikoaktif ini merupakan suatu pola penggunaan zat yang bersifat patologik (tidak sehat). Paling sedikit satu bulan lamanya sedemikian rupa penggunaanya sehingga menimbulkan gangguan pada fungsi sosial dan pekerjaan. Penekanan satu bulan lamanya tidak boleh diterjemahkan secara harfiah, namun menunjukan demikian seringnya sehingga menimbulkan gangguan fungsi sosial.31 Berdasarkan definisi-definisi yang ter ungkap di atas, dapat diambil konklusi yang signifikan bahwa narkotika, psikotropika, alkohol dan zat adiktif merupakan bahanbahan yang dapat memberikan pengaruh secara langsung terhadap sistem kerja syaraf, menimbulkan perubahan-perubahan khusus kepada fisik, dan penggunaan yang secara berlebihan akan menimbulkan perubahanperubahan khusus pada fisik dan penggunaan yang secara berlebihan akan mengakibatkan ketergantungan pada diri pemakainya, dan jika dilihat dari sifat adiksinya, maka baik narkotika, psikotropika, maupun alkohol ketiganya dapat digolongkan kepada zat adiktif yang bersifat psiko-aktif. Ketetapan Pidana yang Berkaitan dengan Narkoba Menurut UndangUndang Narkotika dan Psikotropika Sanksi Hukum Bagi Pecandu Narkoba Sanksi hukuman bagi pemakai (pecandu) narkoba menurut hokum positifdi Indonesia berdasarkan kepada dua ketentuan yaitu Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang No. 5 Tahun 31 Asliati Asril, Penyalahgunaan Narkotika, Alkohol Psikotropika dan Zat Adiktif Lainnya (NAPZA). Makalah dalam Seminar Keperawatan “Kiat Penanggulangan Penyalahgunaan NAPZA” yang diselenggarakan oleh YAYASAN FLORENCE NIGHTINGALE INDONESIA The Indonesian Florence Nightingale Foundation, di Auditorium PK St. Carolus, Jakarta, 20 Nopember 1999.
1997 tentang Psikotropika. Jika pecandu narkoba yang menggunakan narkotika dan sejenisnya maka terkena sanksi hukuman penjara 4 atau 2 atau 1 tahun tergantung jenis pemakaian golongan narkotika yaitu pasal 84 Undang-Undang No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika. Pasal 85 Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang narkotika 32 menyatakan bahwa: Barangsiapa tanpa hak dan melawan hukum: a. menggunakan narkotika golongan I bagi diri sendiri, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun; b. Menggunakan narkotika golongan II bagi diri sendiri, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; c. Menggunakan narkotika golongan II bagi diri sendiri, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. Dan jika pecandu narkoba menggunakan psikotropika dan sejenisnya selain untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau ilmu pengetahuan maka diancam dengan hukuman yang disamakan dengan para pengedar narkoba yaitu dipidana denda paling sedikit Rp. 150.000.000,- dan paling banyak Rp. 750.000.000,- sebagaimana di dalam pasal 59 ayat (1) Undang-Undang No.5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Bunyi dari ketentuan pidana pasal 59 ayat (1)33 secara lengkap yaitu: (1) Barang siapa: a. Menggunakan psikotropika golongan I selain dimaksud dalam pasal 4 ayat (2), atau b. Memproduksi dan/atau mengguna kan dalam proses produksi psikotropika golongan I sebagaimana dimaksud dalam pasal 6, atau
Redaksi Sinar Grafika, Undang-undang Narkotika dan Psikotropika, ( Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, November 1999), h. 41. 33 Redaksi Sinar Grafika, Undang-undang Narkotika dan Psikotropika, h. 103-104. 32
Acep Saipullah: Narkoba Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif |55
c. mengedarkan psikotropika golongan I tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat (3), atau d. Mengimpor psikotropika golongan selain untuk kepentingan ilmu pengetahuan, atau e. Secara tanpa hak memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika golongan I. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun, paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 150.000.000,- dan paling banyak Rp. 750.000.000,-. Setelah mengetahui penjelasan di atas mengenai ketentuan pidana yang ada di dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang No.5 Tahun 1997 tentang Psikotropika terhadap pecandu narkoba (baik narkotika maupun psikotropika). Dengan pidana maksimal 4 tahun bagi pecandu narkotika dan 15 tahun bagi pecandu psikotropika, serta pidana minimal 1 tahun bagi pecandu narkotika dan 4 tahun bagi pecandu psikotropika. Sanksi Hukum Bagi Pembuat dan Pengedar Narkoba Peredaran narkoba dalam hukum positif di Indonesia diatur di dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Menurut Undang-undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, peredaran gelap narkotika adalah ”setiap kegiatan atau serangkaian kegiata yang dilakukan secara tanpa hakdan melawan hukum yang ditetapkan sebagai tindak pidana narkotika.” Mengenai aturan peredaran narkotika ini diatur dalam bab V Undang-undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yaitu pasal 32, 33 (ayat 1,2 dan 3), 34,35 (ayat 1dan2), 36 (ayat 1, 2, 3, dan 4) 37, 38, 39 (ayat 1, 2, 3,4 dan 5) dan pasal 40. Sedangkan mengenai aturan peredaran psikotropika diatur dalam bab IV Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika yaitu
dalam pasal 8, 9 (ayat 1 dan 2)10, 11, 12 (ayat 1, 2, dan 3)13, 14(ayat 1, 2, 3, 4, dan 5) dan pasal 15. Adapun sanksi hukuman yang diberikan bagi para pengedar narkotika dengan pidana minimal pidana penjara 2 tahun dan pidana maksimal pidana hukuman mati atau seumur hidup yang diatur dalam BAB XII yaitu pasal 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 87 dan pasal 96, 97, 98, 99 dan pasal 100, Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Sedangkan sanksi hukuman yang diberikan bagi para pengedar psikotropika dengan pidana minimal pidana penjara 4 tahun dan pidana maksimal pidana mati atau seumur hidup atau pidana yang diatur penjara 20 tahun yang diatur dalam BAB XIV yaitu pasal 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71 dan pasal 72, Undang-Undang No.5 tahun 1997 tentang psikotropika. Pencengahan dan Penanggulangan Masalah Penyalahgunaan Narkoba Ada dua pendekatan dalam upaya pen cegahan, yaitu upaya dalam jangka pendek, yang diharapkan efeknya akan segera nampak, seperti larangan, hukuman, pertunjukan film akan akibat merusak dari penggunaan narkoba dan sebagainya. Dan upaya jangka panjang yaitu dengan menumbuhkan sikap dan kepribadian yang mendorong remaja (kelompok manusia yang sangat rentan terhadap narkoba) untuk tidak melakukan tindakan tidak terpuji termasuk tidak terlibat dengan penggunaan narkoba (dengan kata lain, mampu mengatakan ”tidak” terhadap narkoba) berdasarkan pertimbangan internal bukan karena ada pengawasan, larangan, hukuman dan sebagainya. Pendekatan ini harus dimulai sejak dini, dimulai dari pola asuh di rumah, iklim belajar di sekolah dan kondisi masyarakat.34 S. C. Utami Munandar, Meningkatkan Kemampuan untuk Mengatakan Tidak terhadap Narkotika, Obat Terlarang dan Minuman Keras, makalah yang diseminarkan pada seminar sehari Universitas Indonesia tentang ”Peranan Universitas dalam Upaya Meningkatkan Sumber Daya Manusia bagi Pencegahan 34
56| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013 Upaya penanggulangan narkoba me nurut Dadang Hawari, hingga sekarang belum ditemukan upaya penanggulangan pe nyalahgunaan zat secara universal sempurna dan memuaskan baik dari asfek prevensi, terapi maupun rehabilitasi. Angka kekambuhan masih tinggi (43,9%), disebutkan pula penyalahgunaan zat ini merupakan penyakit kronik yang berulang kali kambuh (a chronic relapsing disease). Pada umumnya penyalahgunaan zat adalah laki-laki (94%) dan dalam golongan usia antara 16-25 tahun sebanyak 71%. Penyalahgunaan zat tidak saja berbahaya dan merugikan diri pemakai, tetapi juga bagi keluarga dan menimbulkan dampak sosial yang cukup luas.35 Mengenai aspek prevensif ini 36 ada berbagai upaya yang dilakukan, diantaranya yaitu: a) Prevensi primer Prevensi primer meliputi promosi ke sehatan dan pencegahan penyakit se hingga biaya dan kehilangan jam kerja dapat dikurangi. Upaya prevensi primer penyalahgunaan narkoba. Pertama, pen didikan kesehatan tentang proses terjadinya adiksi, bahaya adiksi. Kedua, memperkuat kemampuan intrapersonal dan interpersonal anak dan remaja melalui berbagai kegiatan kreatif. Ketiga, membantu keluarga dalam menghadapi stres dan meningkatkan peran orang tua yang optimal. Keempat, menciptakan lingkungan sosial yang kondusif yaitu meng g ambangkan nilai yang me nolak penggunaan narkoba. Kelima, mengembangkan aktifitas masyarakat pada tingkat RW atau kelurahan terkait berbagai upaya pencegahan.
Narkotika, Obat Berbahaya dan Minuman Keras”, pada tanggal 4 Maret 1996. 35 Dadang Hawari, Penyalahgunaan Narkotika dan Zat Adiktif, h. 4-5. 36 Budi Anna Keliat, Konsep Asuhan Keperawatan pada Pengguna NAPZA, makalah disampaikan pada Simposium Keperawatan YFNI, tanggal 20 November 1999, di Jakarta, h. 24-25.
b) Prevensi Sekunder Prevensi sekunder bertujuan untuk pe nemuan kasus dini melalui skrining dengan tujuan pemulihan sesegera mungkin. Untuk itu disosialisasikan faktor risiko dan gejala dini penggunaan narkoba sehingga petugas kesehatan dan masyarakat dapat kasus yang masih dini. Instrumen pengkajian di kembangkan untuk penemuan kasus ini. Selain itu bertujuan sebagai pem berian pengobatan dan perawatan yang tepat dan cepat dikembangkan untuk memulihkan pengguna dengan seseera mungkin agar pengguna segera kembali melakukan aktifitas sebelum terjadi masalah ini. c) Prevensi Tertier Prevensi tertier bertujuan untuk me mulihkan pengguna agar hidup secara produktif bersama keluarga dan ma syarakat. Kegiatan yang mendominasi adalah perawatan di panti rehabilitasi yang bertujuan untuk mengembangkan perilaku dan cara penyelesaian masalah yang baru dan sehat. Kegiatan utama pada prevensi tertier adalah menciptakan lingkungan hidup yang mendukung pemulihan. Dalam hal ini peran keluarga dan masyarakat diperlukan. Keluarga membantu pengguna melaksanakan pelbagai kegiatan dalam rumah tangga, sedang masyarakat membantu pengguna meneruskan kegiatan seperti sekolah khusus dan menciptakan lapangan kerja. Selain itu adalah monotoring dan follow up. Perawatan kesehatan masyarakat merupakan unsur yang tepat dalam memantau keberadaan pengguna setelah kembali ke masyarakat. Khususnya dalam membantu pengguna, keluarga, dan masyarakat menciptakan lingkungan yang kondusif agar perilaku baru telah dipelajari dapat diterapkan.
Acep Saipullah: Narkoba Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif |57
Perbandingan Hukum Narkoba antara Hukum Islam dan Hukum Positif A. Analisis Persamaan Mengenai persamaan konsep hukum narkoba menurut pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia mencakup kepada: 1. Definisi narkoba Mengenai definisi narkoba menurut Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia samasama mengartikan dengan zat-zat yang mendatangkan kecanduan atau adiksi bagi pemakainya, bahkan akan mendatangkan kematian terhadap pemakainya/penggunanya/ pencadunya jika sampai pada tahapan over dosis. 2. Sanksi pidana akibat penyalahgunaan narkoba Mengenai sanksi pidana akibat penyalahguna an narkoba menurut Hukum Islam dan Hukum Positif sama-sama mengemukakan bahwa pengedar narkoba dihukum seberatberatnya (maksimal hukuman mati). 3. Pemberlakuan atau penerapan hukum narkoba Hukum Islam dan Hukum Positif terhadap pemberlakuan atau penerapan hukum narkoba sama-sama mengemukakan bahwa pengedar narkoba dihukum seberat-beratnya (maksimal hukuman mati). Landasan yang digunakan yaitu sangat besarnya pengaruh negatif terhadap pemakainya khususnya generasi penerus bangsa, selain untuk memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat dengan mengesampingkan rasa dendam terhadap pelaku narkoba. 4. Pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan narkoba Hukum Islam dan hukum Positif ter hadap pencegahan dan penaggulangan penyalahgunaan narkoba sama-sama sepakat bahwa pencegahan dan penanggulangan
penyalahgunaan narkoba merupakan tugas kita bersama yaitu pribadi, keluarga, masyarakat, para praktisi (dokter, hukum, agama, psikolog, psikiater dan pemerintah dan sebagainya). B. Analisis Perbedaan 1. Definisi narkoba Tentang narkoba dalam perspektif Hukum Islam secara langsung memang tidak disebutkan dalil-dalil qath’î, hal ini disebabkan bahwa Alquran dan Hadis merupakan sumber hukum primer, bukan undang-undang laiknya kitab undangundang di Indonesia (KUH Perdata dan KUH Pidana) yang memang secara khusus dibuat untuk menangani suatu permasalahan hukum tertentu. Sehubungan dengan hal ini, maka dapat dimaklumi jika kedua sumber hukum Alquran dan Hadis hampir tidak pernah memberikan sebuah definisi. Termasuk didalamnya definisi narkoba. Tetapi tidak berarti tidak bisa dilacak perihal narkoba dalam Alquran dan Hadis.37 Hal ini disebabkan tidak terdapat di seputar pergaulan Nabi Muhammad semasa hidup nya. Adapun zat-zat sejenis yang populer saat itu adalah MIRAS (minuman keras) yang disebut dengan al-khamr. Sehingga metodologi yang digunakan para ulama di dalam mencari ketentuan hukum narkoba, yaitu melalui pendekatan qiyas. Sedangkan hukum positif dalam hal ini Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, memberikan definisi narkoba secara terperinci, lengkap dengan jenis-jenisnya. 2. Sanksi pidana akibat penyalahgunaan narkoba Sanksi pidana akibat penyalahgunaan narkoba menurut Hukum Islam ini berdasarkan Muhammad Amin Summa, Penanggulangan Penyalah gunaan Narkoba dalam Perspektif Hukum Islam, Makalah Seminar, tanggal 16 September 2000. 37
58| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013 kepada hadis Nabi Muhammad. Menyikapi hadis Nabi yang terurai pada bab sebelumnya, para ulama bersepakat bahwa bagi para pemakai khamr (Narkoba) dikenakan had berupa hukuman dera atau cambuk, baik sedikit ataupun banyak. 38 Tetapi para ulama berbeda pendapat mengenai berat ringannya sanksi hukuman tersebut. Dari kalangan mazhab Mâlikiyah dan Hanâfiyah berpendapat bahwa pemakai Narkoba dikenakan sanksi 80 kali cambuk, sementara itu dari mazhab Syâfi’iyah menyatakan bahwa pecandu narkoba diberikan sanksi cambuk 40 kali. Sedangkan dari mazhab Hambali terjadi perbedaan pendapat, yaitu ada yang berpendapat 80 kali cambuk dan yang lainnya berpendapat hanya 40 kali cambuk. Imam Syâfi’i menyatakan bahwa had bagi pecandu narkoba adalah 40 kali cambuk, hal didasarkan kepada tindakan ‘Ali ibn Abî Thalib yang mencambuk Walîd ibn Uqbah dengan 40 kali cambuk, hal ini pula merupakan sanksi hukum yang diperintahkan Rasulullah yang dilaksanakan pada saat Abû Bakar al-Shiddiq menjabat khalifah. Berdasarkan kepada hadis riwayat Ibn Mâjah bahwa Rasulullah bersabda: Apabila Mereka meminum khamr, maka pukullah mereka. Kemudian jika mereka kembali minum, maka pukul lagi mereka. Jika mereka kembali lagi, maka pukul lagi dan jika mereka kembali lagi, maka bunuhlah mereka. (Ibn Majjah). Kiranya dapat dijadikan pegangan di dalam menentukan hukuman bagi pe ngedar narkoba. Seseorang dapat dihukum dengan hukuman mati setelah beberapa kali melakukan meminum khamr (sudah menjadi pecandu narkoba). Jika peminum/ pecandu narkoba dapat dihukum dengan hukuman mati, apalagi pengedarnya. Hal ini disebabkan pengedar merupakan posisi kedua 38 Ibn Rusyd, Bidâyah al-Mujtahid, Jilid II, (Bayrût: Dâr al-Fikr, 1995), h. 364.
dalam rangkaian peredaran narkoba, setelah produsen (pembuat narkoba) kemudian baru pemakai narkoba. Sehingga sangat laik pengedar apalagi produsen narkoba dijatuhi hukuman mati yang merupakan hukuman ta’zîr di dalam hukum Islam. Sedangkan sanksi hukuman yang di berikan bagi pengedar narkotika menurut hukum positif di Indonesia, yaitu dengan pidana minimal pidana penjara 2 tahun dan pidana maksimal pidana hukuman mati atau seumur hidup. Sebagaimana yang diatur dalam BAB XII yaitu pasal 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 87 dan pasal 96, 97, 98, 99 dan pasal 100, Undang-undang No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika. Sedangkan sanksi hukuman yang diberikan bagi para pengedar psikotropika dengan pidana minimal pidana penjara 4 tahun dan pidana maksimal pidana mati atau seumur hidup atau pidana penjara 20 tahun yang diatur dalam BAB XIV yaitu pasal 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71 dan pasal 72, Undang-undang No. 5 tahun 1997 tentang psikotropika. 3. Pemberlakuan atau penerapan hukum narkoba Mengenai pemberlakuan atau penerapan hukum narkoba di dalam hukum Islam dan hukum positif penulis mengemukakan tentang sanksi hukuman yang diberikan kepada pemakai/pecandu dan pengedar narkoba. Dalam hal sanksi hukuman bagi pengedar narkoba di dalam hukum Islam tidak dikodifikasikan dalam sebuah undangundang tersendiri dalam hukum positif di Indonesia. Sedangkan Undang-undang Narkoba di Indonesia telah dikodifikasikan dalam sebuah undang-undang dan telah dilaksanakan (diundangkan) sejak tahun 1997 (baca: Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan UndangUndang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika) yang mempunyai kekuatan mengikat bagi seluruh warga Negara Indonesia dan warga Negara asing yang berada di wilayah Indonesia.
Acep Saipullah: Narkoba Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif |59
4. Pencegahan dan Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba Mengenai pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan narkoba, menurut Hukum Islam merupakan agama yang dapat menyelesaikan problematika pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan narkoba diantaranya melalui bimbingan agama, kebersihan fisik dan bathin. Diantaranya dengan mencontohkan beberapa tempat rehabilitasi narkoba di Indonesia yang menjadi acuan dasarnya adalah agama Islam (dengan melalui terapi Ilahiyah, zikir, taubat dan sebagainya). Sedangkan Pencegahan dan Penang gulangan penyalahgunaan narkoba menurut hukum positif di Indonesia, yaitu melalui upaya preventif, therapy dan rehabilitasi. Diantaranya penulis menawarkan dengan mencontohkan beberapa tempat rehabilisi narkoba di Indonesia yang menggunakan prinsip-prinsip kedokteran, psikologi, sosiologi, hukum dan sebagainya. Penutup Para ulama bersepakat bahwa sanksi pidana akibat penyalahgunaan narkoba dikenakan berupa hukuman dera atau cambuk, baik sedikit maupun banyak. Tetapi para ulama berbeda pendapat mengenai berat ringan nya sanksi hukum tersebut. Di dalam hukum Islam seseorang dapat dihukum dengan hukuman mati setelah beberapa kali melakukan meminum khamr (sudah menjadi pecandu narkoba). Jika peminum/ pecandu narkoba dapat dihukum dengan hukuman mati, apalagi pengedarnya. Hal ini disebabkan pengedar merupakan posisi kedua dalam rangkaian peredaran narkoba, setelah produsen (pembuat narkoba) kemudian baru pemakai narkoba. Sehingga sangat laik pengedar apalagi produsen narkoba dijatuhi hukuman mati yang merupakan hukuman ta’zîr di dalam hukum Islam. Sedangkan sanksi hukuman yang diberikan bagi para pengedar narkotika menurut hukum positif di Indonesia yaitu dengan pidana minimal
pidana penjara 2 tahun dan pidana maksimal pidana hukuman mati seumur hidup. Konsep pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan narkoba menurut Hukum Islam melalui program berbasis Agama Islam merupakan solusi yang paling tepat untuk dilakukan dalam kondisi apapun, karena agama menjadi faktor penting dalam membangun watak kepribadian dan kesalehan sehingga mewarnai langkah-langkah efektif dalam penanganan korban narkoba yang menggunakan Hukum Positif melalui upaya preventif, therapi dan rehabilitasi sebagai acuan hukum dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Diantaranya penulis mencontohkan beberapa tempat rehabilitasi narkoba di Indonesia yang menggunakan prinsip-prinsip Agama Islam, kedokteran, psikologi, sosiologi, hukum dan sebagainya. Pustaka Acuan Asril, Asliati, Penyalahgunaan Narkotika, Alkohol Psikotropika dan zat Adiktif lainnya (NAPZA), Makalah dalam Seminar Keperawatan “Kiat Penanggulangan Penyalahgunaan NAPZA” yang diselenggarakan oleh YAYASAN F LO R E N C E NIGHTINGALE INDONESIA The Indonesian Florence Nightingale Foundation, di Auditorium PK St. Carolus, Jakarta, 20 Nopember 1999. Asqalâni, al-, Ibn Hajar, Fath al-Bâri, Ttp.: Tnp., t.t. Budiardjo, et.al., Kamus Psikologi, Semarang: Dahara Prize, 1991. Departemen pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta:PT. Cipta Adi Pustaka, 1990. Djazuli, H.A, Fiqh Jinâyah Upaya Me nanggulangi Kejahatan dalam Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996. Hanâfi, A, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1976. Hawari, al-, Muhammad, Narkoba kesalahan dan keterasingan Riyad, 1408 H.
60| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013 Hawari, Dadang, Penyalahgunaan Narkotika dan Zat Adiktif, Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991. Huzmain, Azah, Al-Muskirât wa alMukhâdirat baina al-Syarî’ah wa alQanûn li Nashr al-Nuwâzi, Al-Riyad: Tnp., 1984. Keliat, Budi Anna, Konsep Asuhan Keperawatan Pada Pengguna NAPZA, makalah disampaikan pada Simposium Keperawatan YFNI, tanggal 20 November 1999, di Jakarta. Mâjah, Ibn, Sunan Ibnu Mâjah, Bayrut: Dâr al-Fikr, 1415 H./1995 M. Moeliono, Anton M, (peny.), Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988. Sayis, al-, Muhammad ‘Ali, Tafsîr Ayât alAhkâm, Mesir: ‘Ali Shâbih wa Auladuh, t.t. Munandar, S.C. Utami, Meningkatkan kemampuan untuk Mengatakan Tidak terhadap Narkotika, Obat Terlarang dan Minuman Keras, makalah yang diseminarkan pada seminar sehari Universitas Indonesia tentang ” Peranan Universitas dalam Upaya Meningkatkan Sumber Daya Manusia bagi Pencegahan Narkotika, Obat Berbahaya dan Minuman Keras”, pada tanggal 4 Maret 1996. Munawir, al-, Ahmad Warson, Al-Munawir Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta: Agustus, 1984. Munir, al-, Misbah, Al-Qâmus Muhîth, Bayrut: Dâr al-Fikr, t.t. Nawawi, al-, Abû Zakariya Yahya ibn Syaraf, Syarah Shahîh Muslim, Bayrut: Dâr alFikr, t.t. Prakoso, Sh Djoko, (dkk), Kejahatankejahatan yang Merugikan dan Membahayakan Negara, Jakarta: Bina Aksara, 1987. Purwanto, Chandra Mengenal dan Mencegah Bahaya Narkotika, Bandung: Pionir Jaya, 2001. Puspa, Yan Pramadya, Kamus Hukum: Edisi Lengkap: Bahasa Belanda, Indonesia,
Inggris, Semarang: Aneka Ilmu, 1977. Ramli, Med Ahmad, dan K. St. Pamoentjak, Kamus Kedokteran: Arti Keterangan dan Istilah, Jakarta: Djambatan, 1996. Redaksi Sinar Grafika, Undang-undang Narkotika dan Psikotropika, Jakarta: Bumi Aksara, 1999. Rusyd, Ibn, Bidâyatul Mujtahid, Bayrut: Dâr al-Fikr, 1995. Sadewa,Yanuar, Bimbingan dan Penyuluhan Islam terhadap Bahaya Narkoba, makalah Badan Narkotika Nasional. Shadily Hasan, (ed.), Ensiklopedi Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, t.t. Sisworo, Soedjono Dirdjono, Alkoholisme, Bandung: Remaja Karya, 1984. Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1986. Summa, Muhammad Amin, Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba dalam Perspektif Hukum Islam, Makalah Seminar, tanggal 16 September 2000. Sungguh, As’ad, Kamus Lengkap Biologi, Jakarta: Kurnia Esa, 1995. Tim Pelaksana Program Pendidikan Remaja Sebaya Palang Merah Indonesia, Pedoman Pelatihan Remaja Sebaya tentang Kesehatan dan Kesejahteraan Remaja, Jakarta: Mabes PMI, 1996. Tirmidzî, al-, Jâmi’ al-Shahîh, Bayrut: Dâr al-Fikr, t.t. Umar, Nasaruddin, Peran Departemen Agama dalam Pelaksanaan Terapi dan Rehabilitasi bagi Korban Penyalahgunaan Narkoba, disajikan dalam lokakarya Peran Institut Agama dalam Penanganan Korban Penyalahgunaan Narkoba, Badan Narkotika Nasional (BNN) RI Jakarta, 15 Agustus 2007. Website:www.dadang-hawari.org. Zein, Satria Effendi M, Kejahatan terhadap Harta dalam Perspektif Hukum Islam, dalam Pidana Islam di Indonesia: Peluang, Prosfek dan Tantangan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.