Anda pecinta film komedi? Berbahagialah. Karena ternyata menikmati film komedi sangat baik untuk kesehatan jantung, begitulah hasil penelitian terbaru. Tim peneliti dari Universitas Maryland, AS meneliti 20 orang dewasa sehat untuk menyaksikan 15-30 menit film sedih dan porsi yang sama untuk film komedi dua hari kemudian. Salah satu film komedi yang ditonton ialah film komedi Ben Stiller dan Cameron Diaz "There's Something About Mary". Ternyata pada saat mereka menonton film komedi, 19 dari 20 orang tersebut mengalami peningkatan dalam aliran darah mereka sehingga menjadi lebih lancar. Secara mengejutkan, cara kerja film komedi pada tubuh ketika penontonnnya tertawa dan terhibur, kurang lebih sama dengan cara kerja sebuah obat untuk perawatan jantung bernama ed statins. Namun ketika film yang diputar adalah film perang yang mengandung kesedihan seperti "Saving Private Ryan", maka efek yang terjadi ialah sebaliknya. Menurut tim ini, tertawa spontan sambil menonton dapat membuat arteri melebar. Sedangkan stress karena film sedih bisa membuat arteri penyempit. Perbedaan lebar arteri itu sampai lebih dari 50%. Bahkan menurut tim, menyaksikan film komedi setara dengan melakukan latihan aerobik. Karena itu pemimpin penelitian Dr Michael Miller menyarankan para penikmat film komedi untuk tidak beralih hobi. Selama studi, para peserta diminta untuk tidak mengkonsumsi alkohol, minum vitamin atau obat-obatan apapun (tidak juga yang tradisional), tidak olahraga atau melakukan apapun yang dapat mempengaruhi aliran darah. Pengukuran aliran darah diambil sebelum menonton dan satu menit setelah menonton. Yang diambil ialah aliran darah dari pundak ke siku yang dapat menjadi indikator dari aliran darah seluruh tubuh. Para peneliti makin yakin bahwa kondisi yang bahagia sangat berpengaruh untuk membuat orang sembuh dari sakit separah apapun, terutama menyangkut jantung. Penelitian selanjutnya akan dilakukan, namun untuk sementara mereka menyarankan: go have yourself a good laugh in the movie theatre and be healthy! Note : harus disesuaikan juga dengan keadaan kantong, jangan gara2 nonton film komedi akhirnya jadi kena kanker (kantong kering) hehehe....!!!
Tertawa, sedih, terinspirasi atau berpikir panjang, mungkin bisa Anda alami setelah selesai menonton film. Tanpa disadari, menonton film memunculkan efek luar biasa bagi kepribadian banyak orang. Hal inilah yang kemudian dikembangkan oleh Gary Solomon, MPH, M.S.W., Ph.D., "Father of Cinematherapy" atau dikenal dengan "Movie Doctor". Seperti dilansir dari CinemaTheraphy.com, ia mengembangkan metode terapi dengan memanfaatkan kekuatan transformasional film tertentu. Film digunakan untuk membuat seseorang menjadi pribadi yang lebih baik dan terinspirasi untuk mengatasi masalahnya. Doktor Salomon menemukan, bahkan orang yang tidak dalam terapi dengan psikolog, bisa mendapatkan keuntungan dari menonton film terkait kondisi psikologisnya. Menurutnya, seseorang dapat menonton film sendiri dalam rumah. Mereka dapat menghentikan film setiap saat, untuk kembali melihat bagian yang mungkin memiliki dampak positif secara emosi bagi kondisi psikologisnya. Dengan menonton film sendiri, Anda memang bisa bebas menjerit, menangis, tertawa atau menjadi termenung tanpa takut mengganggu atau khawatir dengan penilaian orang lain. Banyak film yang bisa menjadi inspirasi jalan keluar terkait berbagai masalah dalam kehidupan. Sebagai psikoterapis, Dr. Solomon juga memberikan resep pada pasien-pasiennya. Tetapi, resep yang ia berikan bukan berisi nama obat, melainkan judul-judul film terkait kondisi psikologis pasiennya. "Film memilik efek positif yang luar biasa," katanya. Ketika menonton film, biasanya kita akan merasa seperti salah satu karakter dalam cerita. Setelah selesai menonton, solusi dalam film yang disampaikan melalui karakter ini, tanpa disadari bisa mengurangi perasaan depresi. Hal terpenting dari terapi ini adalah memilih film sesuai dengan masalah yang sedang Anda alami. Misalnya, Dr. Solomon merekomendasikan film 'War of the Roses' dan 'The Way We Were', bagi Anda yang mengalami masalah perceraian. Lalu, bagi yang sedang putus cinta, menonton film '500 Days of Summer', merupakan pilihan tepat.
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang memiliki jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, menyimpan berbagai permasalahan sosial yang cukup kompleks, salah satunya di kalangan generasi muda. Beberapa waktu yang lalu sering diberitakan di media masa baik cetak maupun elektronik sejumlah kasus kejahatan yang melibatkan berbagai kalangan, mulai dari remaja hingga orang dewasa sebagi pelakunya. Seperti peristiwa pencurian dilakukan oleh lima orang remaja Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di Bandung (Seputar Indonesia, 26 Januari 2009). Selanjutnya, diberitakan bahwa seorang pria usia 20 tahun menghajar pria usia 19 tahun karena cemburu melihat mantan kekasihnya jalan dengan pria tersebut. Tidak hanya itu saja, kasus-kasus yang belakangan ini menjadi soroton masyarakat adalah kasus perkelahian antara kelompok “geng”, seperti kasus kelompok remaja putri yang menamakan dirinya sebagai Geng Nero menggegerkan Kota Pati, Jawa Tengah. Geng itu disebut-sebut suka menganiaya remaja putri, terutama yang masih SMP dengan alasan tidak suka bila ada anak perempuan lain yang menyaingi dan melebihi apa yang dimiliki Geng Nero. Misalnya, gaya berpakaian, gaya rambut, atau penampilan lain. Parahnya, penganiayaan tersebut mereka rekam lewat video telepon seluler (ponsel), kemudian disebarkan (http://indonesiabreakingnewsonline.blogspot.com/2008/06/). Menurut Tempo Interaktif, Kamis, 26 Februari 2009, kasus serupa juga terjadi di bandung Jawa Barat. Ratusan anak muda bersepeda motor yang menamakan dirinya “Geng Motor” menghancurkan dan membakar sebuah minibus warna putih bernomor D 1165 AV di Jalan Cisangkuy antara kafe Clique dan kantor Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat, Kamis (26/2) dini hari. Motif pembakaran diduga karena dendam terhadap para penumpang mobil Suzuki Carry tahun 1990 tersebut yang di antaranya bernama Dani, 19 tahun (http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2009/02/26/). Kasus lain yang tidak kalah menghebohkan di media masa yang mencoreng lembaga pendidikan adalah kasus kekerasan di beberapa sekolah dan perguruan tinggi. Misalnya saja di IPDN, lembaga pemerintahan yang mendidik calon-calon aparat pemerintahan di Indonesia yang kemudian berubah menjadi lembaga yang identik dengan kekerasan. Kematian Wahyu Hidayat pada tahun 2003, penganiayaan terhadap Klif Muntu dan adegan kebrutalan lainya di IPDN telah membuka kebobrokan suatu sistem dan budaya “pembinaan” yang telah ada semenjak STPDN berdiri (Hozaini, http://www.penulislepas.com/). Kasus lain terjadi di salah satu Sekolah Menengah Umum Negeri ternama di Kupang, Nusa tenggara Timur. Aksi kekerasan antar geng pelajar kembali terjadi. Dalam rekaman video handphone terlihat perkelahian empat pelajar putri. Mereka saling jambak, saling tendang dan saling tampar dengan penuh amarah (http://www.metronews.com/2009/02/16). Kasus serupa juga terjadi SMA Negeri 3 Palu. Sebuah rekaman video handphone yang menunjukkan perkelahian dua siswi SMA yang ditonton beberapa rekan-rekannya sambil berteriak-teriak seolah memberikan semangat. Meski pelaku perkelahian telah jatuh berguling, tidak satu pun penonton melerai kejadian tersebut (http:www.kapanlagi.com/2008/6/30). Aksi kekerasan oleh generasi penerus bangsa ini telah menimbulkan kerugian yang besar. Bukan hanya materi yang hilang, nyawa pun melayang. Fenomena menyimpang ini membuat kita resah sekaligus bertanya-tanya. Masalah apa gerangan yang membuat anakanak bangsa yang mengaku agen perubahan menjadi ganas dan beringas? Bukankah setiap saat mereka belajar nilai-nilai moral dan religius? Bukankah mereka juga yang menyebut dirinya sebagai generasi masa depan bangsa?
Fenomena kekerasan yang terjadi di Indonesia, termasuk di lembaga pendidikan seolah memberikan gambaran bahwa kita sebagai bangsa sungguh lemah dalam mengendalikan emosi. Bangsa ini tumbuh tidak hanya menjadi bangsa yang miskin pengetahuan tetapi juga mengalami kemerosotan nilai-nilai moral. Kita kehilangan kepekaan terhadap sesama, kasih sayang, penghargaan, dan budaya malu. Nilai-nilai kemanusian kita hilang, sebaliknya yang tumbuh adalah jiwa dan watak yang keras sehingga permusuhan tumbuh subur dan melembaga. Fenomena ini menunjukkan bahwa tindak kriminal yang didasari oleh perilaku agresif dikalangan generasi muda semakin meningkat. Kecenderungan agresivitas yang terjadi pada penerus bangsa ini, apabila dibiarkan tanpa adanya upaya pencegahan akan sulit untuk mengendalikannya ketika mereka telah dewasa. Hasil penelitian Statin dan Magnusson dalam Koeswara, 1988 melaporkan bahwa kecenderungan agresivitas di masa remaja biasanya didahului kecenderungan agresivitas di masa kanak-kanak (Sosiohumanika, 16 A (3), September 2003). Lebih lanjut Lowick dan Godall Koeswara, 1988 mengungkapkan bahwa remaja cenderung menunjukkan agresivitas dari pada anak-anak dan orang dewasa (Sosiohumanika, 16 A (3), September 2003). Ada banyak faktor yang mempengaruhi seseorang untuk berperilaku agresif baik dari dalam diri individu sendiri mapun dari lingkungan individu. Salah satu faktor yang turut mempengaruhi perilaku seseorang adalah media massa. Pesatnya perkembangan teknologi komunikasi ini telah menyedot perhatian para ahli untuk mengurai dampa-dampaknya bagi kehidupan. Salah satunya adalah efek terpaan kekerasan di media massa. Menurut Anderson dan Bushman, 2001: 2002 (Media informasi penelitian, 2004) mengatakan bahwa terpaan media massa yang mengandung kekerasan oleh banyak ahli diyakini memiliki kontribusi dalam menigkatkan perilaku agresif. Salah satu jenis media massa yang diyakini memiliki pengaruh kuat pada khalayak adalah media audio visual. Kekuatan pengaruh media audio visual disebabkan media jenis ini tidak hanya mampu mengoptimalkan pesan melalui pendengaran, melainkan juga penglihatan dan gerakan sekaligus, dimana pesan bergerak memiliki daya tarik lebih dibandingkan pesan statis. Dari hasil penelitian Mirra N. Milla membuktikan bahwa terpaan kekerasan media audio visual memberikan pengaruh pada agresivitas, yaitu komponen kognisi dan afeksi agresi (Media informasi penelitian No. 177 Januari-Maret 2004). Semakin tinggi terpaan media yang diterima semakin agresif mereka dalam komponen kognisi dan afeksi agresinya. Dalam penelitian ini, peneliti hanya menyoroti audio-visual jenis film, khususnya film aksi. Hal ini dikarenakan film aksi kebanyakan bertema kekerasan, kekejaman, pembunuhan dan pemerkosaan. Banyak media yang dapat digunakan masyarakat untuk menyaksikan film aksi, seperti menonton di bioskop, membeli atau meminjam DVD atau VCD di rental film, atau menyaksikannya di layar televisi. Salah satu media yang paling banyak digunakan oleh masyarakat adalah televisi. Hal ini dikarenakan televisi adalah hiburan yang paling murah dapat dinikmati masyarakat ataupun segenap masyarakat kapan pun dan diman pun. Menurut Craig (1983), televisi merupakan salah satu faktor yang berada di luar diri individu dan diperkirakan mempunyai pengaruh yang besar bagi perkembangan diri individu karena televisi merupakan sarana untuk belajar masalah-masalah positif maupun yang negatif (Sosiohumanika vol 16 A, No 3 september 2003). Beberapa ahli berpendapat bahwa televisi dapat menstimulasi fantasi kekerasan dan fantasi ini mendukung timbulnya kecenderungan agresivitas penontonya. Kenyataan sekarang ini tema kekerasan memang mendominasi media televisi. Hal ini tampak dengan semakin meningkatnya film-film impor bertema kekerasan
Please download full document at www.DOCFOC.com Thanks