Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara di Awal Kemerdekaan RI Muhamad Hisyam Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta
[email protected] The Sixth Congress of Nahdlatul Ulama (NU) 1936 in Banjarmasin decided that the region of Dutch East Indies is dar ul Islam. This decision according to Abdurahman Wahid is the ideological basis for NU in terms of religion-state relations. This article explores the extent to which ideology is implemented in NU fighting after Indonesia's independence until 1955. The NU fighting in the context of religion-state relations showed a genuin form. Three of the most important theme in this period that take NU attention were theme about the homeland, the basis of the state and the of authority president. all theme that seems to NU always bases itself on religious views. Religiousity is always used to measure, assess and participation to the state Keywords: Darul Islam, Fatwa bughot, Pancasila, Waliyul Amri Dhoruri bis-Saukah. Kongres Nahdlatul Ulama (NU) yang ke XI tahun 1936 di Banjarmasin memutuskan bahwa negera Hindia Belanda adalah darul Islam. Keputusan ini menurut KH. Abdurrahman Wahid merupakan landasan ideologis gerak NU selanjutnya dalam kaitan hubungan agama-negara. Artikel ini menelusuri sejauh mana ideologi ini terimplementasi dalam gerak juang NU setelah Indonesia merdeka hingga 1955. Gerak juang NU dalam konteks hubungan agama-negara memperlihatkan watak genuisitasnya pada periode ini. Tiga momentum yang paling penting dalam periode ini adalah pendirian NU tentang tanah air, tentang dasar negara dan tentang otoritas presiden. Dalam ketiga tema itu tampaknya NU selalu mendasarkan diri pada pandangan agama. Agama senantiasa dipakai untuk mengukur dan menilai kekuasaan dan negara dan partisipasi atasnya. Kata kunci: Darul Islam, Fatwa bughot, Pancasila, Waliyul Amri Dhoruri bis-Saukah.
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 149 - 184
Pendahuluan Ketika kedudukan Presiden RI ke 4, Abdurrahman Wahid diguncang lawan-lawan politiknya, baik di DPR maupun di luar parlemen, sebagian ulama Nahdlatul Ulama (NU) mengeluarkan fatwa bug±t terhadap para penentang presiden. Bug±t adalah konsep fiqh politik, menggambarkan orang atau golongan yang menentang kepala negara yang syah dan atas mereka wajib diperangi. Bahwa kaum NU (Nahdliyyin) mendukung Presiden Abdurrahman Wahid tidaklah mengherankan, karena presiden ini bukan saja pemimpin NU, malahan termasuk dalam katergori ber-“darah biru” dalam arti ia keturunan langsung (cucu) pendiri organisasi Islam terbesar ini, K.H. Hasyim Asy’ari. Yang menimbulkan pertanyaan, mengapa dalam negara Pancasila --terhadap mana NU sendiri masuk di jajaran penyokong paling depan ketika dasar negara ini harus dijadikan asas bagi semua organisasi masyarakat-- konsep bughot yang datangnya dari fiqh ini dipakai untuk menghadapi para penentangnya. Dari fatwa bug±t ini lahir pula “Pasukan Berani Mati” untuk “memerangi” mereka yang menentang presiden. Fatwa bug±t t ini bukan satu-satunya fenomena, di mana agama dipakai untuk “menghukumi” politik negara. Dalam perjalanan sejarah hubungan Islam dan negara di Indonesia dapat ditemukan banyak fakta tentang ini. Sekali lagi, hal ini juga tidak mengherankan. Secara garis besar barang kali dapat dikemukakan bahwa campur tangan agama (Islam) dalam perkara pengaturan negara merupakan konsekuensi logis dari prinsip-prinsip agama ini tentang im±mah.1 Agama Islam sering dikatakan, baik oleh ulama Islam sendiri maupun orientalis sebagai sistem yang komprehensif, meliputi pengaturan kehidupan sosial, politik, dunia dan akhirat. Karena itu Islam disebut d³n wa daulah, agama dan negara. Konsep im±mah secara harfiah bermakna “kepemimpinan”, tetapi dalam ilmu-ilmu Islam, baik fiqh, kalam maupun tasawwuf 1
Campur tangan agama dengan negara sebenarnya bukan monopoli Islam. Semua agama sebenarnya mempunyai prinsip ajaran yang berkaitan dengan pengaturan masyarakat keduniaan. Dalam kenyataan sejarah, hampir semua agama-agama dunia menjadi besar karena berhutang budi pada negara.
150
Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara — Muhammad Hisyam
im±mah diartikan lebih luas, yakni pengaturan kekuasaan politik yang dengannya otomatis menjadi bersinggungan dengan soal pemerintahan dan negara. Dalam suatu definisi singkat tetapi komprehensif, Imam Al-Mawardi menyebut bahwa im±mah adalah penerus fungsi kenabian, yaitu menghidupkan agama dan mengatur politik dunia.2 Dari ini berkembang suatu logika yang mengatakan bahwa tujuan syari’ah Islam adalah tercapainya ketertiban agama, dan untuk mencapai ini disyaratkan adanya ketertiban dunia. Oleh karena itu, dapat difahami jika ada “adagium” yang menyatakan bahwa membangun im±mah adalah sebuah keniscayaan. Prinsip-prinsip seperti ini tampaknya telah berjalan sejak terbentuknya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara hingga berkuasanya pemerintahan kolonial Belanda yang kafir. Bahkan dalam kekuasaan kolonial, di wilayah-wilayah yang otonom di bawah kekuasaan kesultanan, seperti Yogyakarta dan Surakarta, masih dapat dikatakan bahwa penegakan sistem im±mah tetap berjalan. Apakah di bawah kekuasaan orang kafir tidak lagi terdapat ruang untuk menegakkan im±mah ? Mungkin benar bahwa im±mah telah lenyap, karena yang berkuasa adalah orang kafir, tetapi di sana terdapat pula elemen syari’ah yang pelaksanaannya mensyaratkan adanya pengakuan negara atasnya, sehingga selama masyarakat Islam masih ada, maka hubungan antara agama dan negara tidak dapat dilenyapkan. Yang dimaksud dengan ini adalah elemen syari’ah dalam soal penegakan hukum sipil. Syari’ah yang terkait dengan kehidupan individual seperti shalat, puasa, dzikir dan sebagainya dapat dijalankan tanpa campur tangan negara, tetapi dalam soal hukum perkawinan dan peradilan sipil (qa«±) diperlukan tauliyah (pendelegasian wewenang) resmi dari kepala pemerintahan negara.3 Dalam masyarakat Muslim, qa«± adalah 2
Al-Mawardi, Al-A¥k±m as-Sul¯±niyah, Beirut, h. 4. Di tahun 1919 Sarekat Islam menentang kedudukan penghulu sebagai qadi karena diangkat oleh Belanda.Mereka membuat pengadilan agama sendiri yang mereka sebut Raad Ulama, tetapi akhirnya batal, karena tersandung soal tauliyah, dengan mana kedudukan seorang qadi syah adanya apa bila diberi wewenang secara syah pula oleh pemerintah yang nyata-nyata berkuasa. Lihat Muhamad 3
151
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 149 - 184
sebuah kewajiban yang tak dapat diabaikan. Di masa kolonial memang timbul persoalan keabsahan tauliyah karena penguasa negara bukan Muslim, tetapi wacana fikih sendiri memungkinkan sahnya tauliyah oleh penguasa bukan Muslim.4 Di hampir semua negara Muslim (mayoritas penduduknya beragama Islam) yang menjadi koloni bangsa-bangsa Eropa, lembaga qa«± merupakan pertahanan terakhir eksistensi Islam. Menghapuskan institusi ini dapat mengakibatkan perlawanan fisik (perang), seperti yang pernah terjadi di Nigeria, antara orang Islam melawan penguasa jajahan Inggris. Dalam sejarah Indonesia, usaha untuk menegakkan im±mah di zaman penjajahan Belanda tidak pernah berhenti. Perang-perang besar seperti perang Paderi, perang Aceh dan perang Dipnegoro tidak dapat dipisahkan dari upaya mengembalikan im±mah yang hilang karena penjajahan. Ketika perlawanan berubah pendekatan yang dimulai pada awal abad 20, usaha-usaha inipun disampaikan melalui saluran-saluran modern, seperti mosi kongres. Kongres Central Sarekat Islam (CSI) pertama di Bandung tahun 1916 dan kongres CSI kedua di Jakarta tahun 19175 telah mengeluarkan mosi kepada pemerintah agar ummat Islam boleh mengatur urusannya sendiri, terutama di bidang qa«±, menunjukkan bahwa perkara ini mempunyai nilai sentral dalam upaya menegakkan im±mah di masa Hisyam, Caught Between Three Fires, The Javanese Pangulu Under the Dutch Colonial Administration 1882-1942, Seri INIS, No.37, Jakarta-Leiden, 2001, h. 158-160. 4 Sayyid Othman, seorang penasehat honorer pemerintah kolonial memandang perlu menulis edisi kedua kitab karangannya berjudul Al-Qaw±n³n al-Syariyyah li Ahli al-Maj±lis al-¦ukmiyyah, untuk menegaskan bahwa tautliyah penguasa yang kafir itu syah adanya. Edisi pertama terbit tahun 1881, sebelum lembaga qadla pribumi yang disebut pengulon di jadikan bagian dari administrasi kolonial, di mana tauliyah diberikan oleh sultan. Tahun 1882, pengulon dijadikan bagian dari administrasi kolonial, dan timbul masalah tauliyah oleh penguasa kafir, karena pengangkatan penghulu setelah ini berpindah dari tangah sultan ke tangan residen. Edisi kedua Al-Qaw±n³n terbit di tahun 1312 H. atau 1894 M, dua belas tahun setelah inkorporasi lembaga pengulon ke dalam administrasi kolonial. 5 Lihat Verslag CSI Congres, laporan tentang kongres CSI 1916 dan 1917, dokumen Kntoor voor Inlandsche Zaken.
152
Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara — Muhammad Hisyam
kekuasaan Belanda yang kafir. Demikian pula partisipasi Muhammadiyah dalam “Komisi Perbaikan Raad Agama” di tahun 1922, dan keterlibatan Nahdlatul Ulama dalam sidang Kantoor voor Inlandsche Zaken di tahun 1929 dalam upaya penataan hukum dalam urusan sipil orang pribumi. Pemerintah Hindia Belanda menginginkan agar tertib sipil (burgerlijke stand) orang Islam tidak lagi ditangani oleh penghulu (Raad Agama), melainkan oleh kantor catatan sipil, berdasarkan ordonansi perkawinan sekuler yang mereka susun sendiri. Reaksi-reaksi yang keras dari seluruh organisasi Islam terhadap pemindahan wewenang pengadilan perkara waris ummat Islam dari kantor penghulu ke pengadilan landraad di tahun 1937 juga merupakan bagian dari concern Islam terhadap politik im±mah. Di antara tiga organisasi besar Islam masa penjajahan, Nahdlatul Ulama (NU), organisasi kaum “tradisionalis”, memang yang terakhir berdiri, tetapi tidak berarti kesadaran menegakkan im±mah di kalangan ulama tradisional baru tumbuh sekitar tahun 1926 ketika NU didirikan. Para pendiri NU adalah orang-orang yang belajar di Makkah pada tahun-tahun sebelumnya. Di kota suci Makkah mereka adalah aktivis Sarekat Islam, satu-satunya cabang organisasi ini di luar negeri. Para pendiri NU seperti Kyai Abdul Wahab Hasbullah, Kyai Ahmad Dahlan (Surabaya), dan Kyai Asnawi (Kudus) sekembali ke Jawa adalah pendiri dan aktivis Islam studyclub Taswirul Afkar dan Nahdlatul Wathan di Surabaya. Reaksi-reaksi NU menentang rencana-rencana pemerintah kolonial yang merugikan Islam, seperti ordonansi perkawinan tercatat, pemindahan pengadilan perkara waris ummat Islam dari Raad Agama ke Landraad dan penolakan NU masuk volksraad6 membuktikan bahwa ada kesadaran (cita) tentang masa depan negeri yang merdeka, di mana im±mah dapat ditegakkan. Tetapi bentuk im±mah seperti apa yang dicita-citakan NU, sementara Kongres NU ke XI di Banjarmasin, tahun 1936 memutuskan bahwa tanah Hindia Belanda yang tengah berada di bawah kekuasaan Belanda yang non Muslim harus dianggap 6
Keputusan Kongres NU ke XIII di Menes, 1938.
153
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 149 - 184
sebagai d±r al-Isl±m,7 negeri yang wajib dibela jika ada serangan dari luar terhadapnya. Keputusan seperti ini memang kelihatan unik, tetapi bagaimana logika para Kyai NU bisa sampai pada kesimpulan seperti itu tidaklah mengherankan, sebab referensi “kitab kuning” mereka sangat kaya pilihan. Di zaman Pendudukan Jepang, NU bersama organisasi Islam lainnya bergabung dalam Masyumi, bahkan memimpinnya, sebuah organisasi yang dibentuk oleh pemerintah pendudukan bala tentara Jepang. Keputusan Kongres NU di Banjarmasin tahun 1936, yang menganggap bahwa negeri jajahan Hindia Belanda bersatatus d±r al-Isl±m, menurut Abdurrahman Wahid merupakan landasan ideologis gerak NU selanjutnya dalam konteks hubungan antara agama dan negara. Makalah ini akan menelusuri, sejauh mana ideologi ini terimplementasi dalam gerak juang NU setelah Indonesia merdeka hingga 1955. Kita batasi hingga masa tersebut mengingat masa inilah perjuangan menegakkan im±mah memperlihatkan watak genuisitasnya. Setelah itu, tampaknya lebih banyak “dipermainkan” oleh kelompok lain, yang sering disebut sebagai kelompok nasionalis. Data dan Pembahasan Tanah Air Dalam Persepsi NU Sejak masa penjajahan, NU telah menganggap bahwa negeri tempat mereka hidup adalah sebuah d±r al-Isl±m atau negeri Islam, meskipun dalam kenyataannya berada di bawah kekuasaan politik kolonial Belanda. Telah disinggung di atas, salah satu keputusan muktamar NU ke XI di Banjarmasin tahun 1936 yang menyangkut kedudukan tanah air Hindia Belanda saat itu. Ada pertanyaan yang harus dijawab oleh muktamar, apakah negeri yang tengah dijajah oleh Belanda yang bukan muslim ini perlu dibela apa bila terjadi serangan dari luar terhadapnya. Terhadap pertanyaan itu muktamar memutuskan bahwa tanah Hindia Belanda adalah sebuah d±r al7
Lihat pengantar Abdurrahman Wahid dalam buku Einar M. Sitompul, Nahdlatul Ulama dan Pancasila, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1989, h. 10.
154
Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara — Muhammad Hisyam
Isl±m, sebuah konsep fikih yang menyipati status suatu negeri. Pengertian d±r al-Isl±m dalam konteks Hindia Belanda, bahwa negeri ini mayoritas penduduknya beragama Islam, dan dahulunya dikuasai oleh kesultanan Islam, meskipun ketika itu berada dalam kekuasaan orang Belanda yang kafir, tetapi orang Islam tidak mengalami kesulitan menjalankan syari’at agamanya, negeri yang dalam keadaan damai, dan orang Islam tidak diperangi. Karena itu, negeri ini wajib dibela dari serangan luar. Muktamar mengambil dasar argumentasi dari kitab Bugyat al-Musytarsyid³n karangan Syeikh Hasan Al-Hadlrami. Dalam pembahasan bab mengenai keamanan, perdamaian dan jizyah di halaman 254 disinggung keadaan ummat Islam di Jawa, di mana disebutkan bahwa pada umumnya tanah Jawa adalah d±r al-Isl±m.8 Menurut konsep fikih Syafi’iyah yang menjadi anutan ummat Islam Hindia Belanda, kedudukan negara dapat digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu d±r al-Isl±m, d±r a¡-¡ul¥ dan d±r al-¥arb. D±r a¡-¡ul¥ adalah negara damai, dimana syari’at Islam dapat dijalankan dengan damai meskipun negara tidak secara formal mengasaskan dirinya di atas Islam, sedangkan d±r al-¥arb adalah nagara perang, yakni negara yang anti Islam, dan mengancam citacita perwujuadan syaria’at agama Islam. darul Islam dan d±r a¡¡ul¥ wajib dibela, sedangkan negara perang harus diperangi. Secara etimologis, d±r berarti negeri, dan dengan demikian, konsep d±r al-Isl±m itu bermakna negeri di mana penduduknya sebagian besar adalah orang Islam. Jadi tidak berarti negara Islam, negara dengan sistem pemerintahan Islam. Dengan demikian, pembelaan terhadap d±r al-Isl±m berarti membela penduduk yang beragama Islam di wilayah tersebut, yang berarti pula solidaritas sesama muslim. Dalam konotasi politik, status d±r al-Isl±m adalah negeri di mana penduduknya beragama Islam dan melaksanakan syari’at Islam dengan bebas dan terlindungi, meskipun penguasa dan pemerintahan yang tengah berlaku di tempat tersebut bukan 8
Lihat Abdurrahman Wahid, loc-cit, dan juga H. Mohammad Djunaidi dalam H. Zaini Ahmad Noeh, Sebuah Perspektif Sejarah Lembaga Islam di Indonesia, Al-Ma’arif, Bandung, 1980, h. 75.
155
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 149 - 184
Islam. Dalam kenyataannya negara Hindia Belanda menyediakan kelembagaan resmi bagi ummat Islam, di mana hukum Islam diakui pemerintah dan secara resmi dilaksanakan, meskipun terbatas pada hukum sipil, seperti perkawinan, waris dan wakaf. Raad Agama yang merupakan kelembagaan Islam resmi itu adalah kelanjutan dari lembaga kepenghuluan di masa kesultanan yang tetap bekerja melaksanakan fungsinya sebagai mahkamah Islam dan pembinaan pendidikan ummat Islam melalui masjid, madrasah dan juga pelaksanaan rukun Islam yang keempat, yaitu zakat.9 Karena itu dapat dipahami, mengapa keputusan Muktamar NU di Banjarmasin demikian. Prinsip membela tanah air yang berpenduduk mayoritas muslim dalam pandangan NU merupakan kewajiban. Ini tidak berarti pembelaan pula terhadap penjajahan Belanda. Seperti halnya ummat Islam pada umumnya NU juga melawan secara politik kedudukan Belanda di Indonesia. K.H. Hasyim Asy’ari, Rais Akbar dan pendiri NU dikenal sebagai ulama yang sangat anti Belanda. Ia mengeluarkan banyak fatwa politik yang ditaati oleh ummat Islam. Salah satu fatwanya adalah mengharamkan ummat Islam bekerjasama dengan Belanda dalam bentuk apapun, dan mengharamkan menerima bantuan dari Belanda dalam wujud apapun dan dengan cara bagaimanapun.10 Menjelang akhir masa penjajahan Belanda, ketakutan pemerintah kolonial akan invasi Jepang ke Hindia Belanda telah dirasakan oleh masyarakat luas. Untuk melawan ini Belanda merekrut banyak orang pribumi menjadi tentara pemerintah Hindia Belanda atau Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL), dan mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk bersama-sama membela dan mempetahankan Hindia Belanda dari kemungkinan serangan 9
Tentang penghulu dan Raad Agama pada masa kolonial Belanda lihat Muhamad Hisyam, Caught Between Three Fires, The Javanese Pangulu Under The Dutcht Colonial Administration 1882 - 1942, INIS, Jakarta, Leiden, 2001, passim. 10 Lihat Muhammad Asad Syihab, Hadaratussyaikh Muhammad Hasyim Asy’ari, alih bahasa K.H.A. Mustofa Bisri, Kurnia Kalam Semesta bekerjasama dengan Titian Ilahi Pers, Yogyakarta, 1994, h. 30.
156
Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara — Muhammad Hisyam
Jepang. Kyai Hasyim Asy’ari dan NU-nya menolak seruan itu. Ia lalu mengeluarkan fatwa mengharamkan ummat Islam menjadi tentara Belanda, dan bekerjasama dengan mereka dengan cara apapun.11 Fatwa-fatwa NU itu nampaknya cukup efektif. Sangat sedikit kalangan santri, apa lagi orang NU, yang menjadi tentara KNIL. Ketika tentara Jepang datang di bulan Maret 1942 dengan mudah mereka memasuki Hindia Belanda tanpa perlawanan yang berarti. Jika ditanya mengapa demikian, jawabannya sangat mudah, karena Belanda tidak memperoleh dukungan dari seluruh rakyat Hindia Belanda. Berbeda dari politik Belanda yang anti Islam, politik Jepang terhadap Islam di Indonesia lebih apresiatif. Di zaman Jepanglah untuk pertama kalinya dalam sejarah kolonial, ummat Islam memperoleh perhatian yang wajar dari penguasa jajahan. Ini bukan sebuah ketulusan, melainkan kalkulasi politik yang matang dari Jepang. Sejak beberapa tahun sebelum kedatangan Jepang ke Indonesia, studi-studi tentang negeri ini telah dimulai oleh para ilmuwan Jepang. Ummat Islam adalah mayoritas yang terpinggirkan selama pemerintahan kolonial Belanda dijalankan. Golongan ini haruslah diperhitungkan dan diberi perhatian agar kebencian terhadap Belanda berkembang lebih mekar, dan simpati kepada Jepang dapat tumbuh. Dengan cara ini politik 3A Jepang dapat dijalankan di Indonesia dengan mulus. Tetapi kedekatan Jepang dengan ummat Islam hanya berlangsung di permulaannya saja. Ketika pendudukan mulai berjalan beberapa lama, kekerasan tentara Jepang pun di mana-mana mulai dirasakan merata terhadap semua lapis golongan masyarakat. Pemaksaan-pemaksaan yang tidak masuk akal terjadi pada semua lapis masyarakat pula. Seikerei atau “penyembahan” terhadap Kaisar Jepang dengan cara “bersujud” membungkuk ke timur di mana Kaisar Jepang berada diwajibkan bagi semua orang Indonesia. Cara-cara seperti ini tentu sangat berlawanan dengan akidah Islam yang hanya boleh menyembah Allah, Tuhan seru sekalian alam. Penyembahan terhadap selain Allah adalah sebuah kedhaliman paling besar, dan 11
Ibid., h. 31.
157
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 149 - 184
karenanya bukan saja dilarang oleh Islam, melainkan dosanya tak terampuni bagi orang yang melakukannya. Bibit permusuhan mulai ditebarkan dan penangkapan-penangkapan terhadap mereka yang menentang pun dilakukan. Tetapi di masa Jepang ini pula para kiyai, ulama dan NU mendapat kesempatan untuk tampil memimpin dan terlibat dalam urusan praktis kenegaraan. Pada masa awal pendudukan tentara Jepang Kyai Hasyim Asy’ari, ketua dan pendiri NU ditangkap oleh penguasa Jepang, karena pemerintah militer itu khawatir terhadap pengaruh sangat kuat dan luas sang Kyai di tengah masyarakat dipakai untuk suatu gerakan anti Jepang. Karena itu, seketika Kyai Hasyim Asy’ari dilepaskan pada bulan Agustus 1942 setelah lebih dari lima bulan mendekam di penjara karena desakan kuat ummat dan para pemimpin Islam, segera ia ditawari berbagai jabatan tinggi tetapi ia menolaknya. Baru pada tahun 1944 Hasyim Asy’ari menerima jabatan Kepala Shumubu atau Kantor Urusan Agama Islam di seluruh Jawa dan Madura, semacam departemen yang mengurusi soal keagamaan Islam. Ummat Islam dan para ulamanya juga diberi kesempatan untuk ilkut dalam latihan militer, yang kelak berguna bagi pertahanan rakyat di masa revolusi. Majlis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI) yang pernah didirikan di tahun 1937 dihidupkan kembali di zaman Jepang, dan kemudian diubah menjadi Majlis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) organisasi federasi ummat Islam Indonesia didirikan atas prakarsa Jepang, dan menunjuk Kyai Hasyim Asy’ari kembali menjadi ketuanya. Ketika cita membebaskan negeri dari penjajahan telah dicapai setelah proklamasi tanggal 17 Agustus 1945, bahaya kembalinya penjajah Belanda telah menghadang di depan “pintu”. Dalam waktu kurang dari tiga bulan setelah proklamasi, ancaman itu benar-benar telah menjadi kenyataan. Yang dilakukan ummat Islam, tidak lain adalah mengangkat senjata. Dalam keadaan genting seperti itu, sebuah fatwa jihad dari NU dikeluarkan. Fatwa itu diumumkan 22 Oktober 1945, 18 hari sebelum pecah pertempuran sangat heroik antara arek-arek Suroboyo dengan tentara Sekutu, 10 November 1945. Isi fatwa yang sering disebut sebagai Resolusi Jihad itu adalah mengajak ummat Islam, menentang pendudukan Tentara 158
Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara — Muhammad Hisyam
Sekutu dan kembalinya Belanda. Selengkapnya, Resolusi Jihad itu berbunyi sebagai berikut: 1. Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan. 2. Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah, wajib dibela dan diselamatkan. 3. Musuh Republik Indonesia, terutama Belanda, yang datang kemudian dengan membonceng tugas-tugas Tentara Sekutu (Inggris) dalam masalah tawanan perang Bangsa Jepang tentulah akan menggunakan kesempatan politik dan militer untuk kembali menjajah Indonesia. 4. Ummat Islam, terutama Nahdlatul Ulama wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan kawan-kawannya yang hendak kembali menjajah Indonesia. 5. Kewajiban tersebut adalah suatu jihad yang menjadi kewajiban tiap-tiap orang Islam (far«u ‘ain) yang berada pada jarak radius 94 km (jarak di mana ummat Islam diperkenankan sembahyang jama’ dam qashar). Adapun mereka yang berada di luar jarak tersebut berkewajiban membantu saudara-saudaranya yang berada dalam jarak radius 94 km tersebut.12 Selain fatwa jihad tersebut Kyai Hasyim Asy’ari juga mengeluarkan fatwa yang sangat penting yang ditaati oleh orang Islam Indonesia, yakni melarang ummat Islam Indonesia menunaikan iabadah haji dengan menggunakan kapal milik Belanda.13 Resolusi Jihad itu tampak sederhana, tetapi bagi ummat Islam dan NU khususnya mempunyai makna sangat mendalam. Implikasi dari Resolusi Jihad ini adalah kerelaan berkorban jiwa, raga dan harta untuk mempertahankan tanah air yang telah diproklamasikan 12
Sebagaimana dikutip Slamet Effendy Yusuf et-al, Dinamika Kaum Santri, Jakarta, 1984, h. 38. 13 Lihat Zamakhsyari Dhofier,”K.H. Hasyim Asy’ari, Penggalang Islam Tradisional” dalam Khumaidi Abdussami dan Ridwan Fkla As. (eds.), Biografi 5 Rois ‘Am Nahdlatul Ulama, LTN bekerjasama dengan Pustaka Pelajar Yogyakarta, 1995, h. 16.
159
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 149 - 184
kemerdekaannya. Memang, dari konsep fikih, negara Republik Indonesia bisa jadi belum memenuhi kriteria im±mah yang dicitakan oleh syari’ah, tetapi mengikuti kaidah u¡µl fiqh (legal maxim): m± l± yudraku kulluh l± yutraku kulluh, apa yang tak mungkin diwujudkan keseluruhannya tidak boleh ditinggalkan yang terpentingnya. Apa lagi tanah air ini sejak lama telah diyakini sebagai d±r al-Isl±m, negeri yang harus dibela dari serangan luar yang ingin menghancurkan eksistensinya. Itulah sebabnya dengan ringan dan mudah, setelah Resolusi Jihad itu diumumkan, di manamana dibentuk Barisan Ulama, Barisan Mujahidin, Barisan Hizbullah dan Sabilillah.14 Komitmen K.H. Hasyim Asy’ari terhadap pembelaan tanah air ini barang kali juga dapat dilihat dari penyebab wafatnya Kyai ketua NU ini. Telah menjadi pengetahuan umum bahwa meskipun Kyai Hasyim Asy’ari tidak ikut bertempur di medan perang tetapi beliau adalah penasehat perang Jendral Soedirman dan Bung Tomo. Dua orang ini selalu berkonsultasi dengan Kyai Hasyim Asy’ari baik langsung maupun melalui utusan yang menemuinya di kediaman sang Kyai di kampus Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Dari rumah kediamannya Kyai Hasyim Asy’ari memberi spirit dan memantau setiap perkembangan dan kemajuan laskar-laskar perjuangan yang bertempur di medan perang di beberapa tempat di Surabaya. Dalam strategi perang Kyai Hasyim, Malang merupakan pertahanan paling strategis untuk membendung tentara Belanda masuk ke kawasan Jawa Timur pedalaman. Suatu hari, di bulan puasa, persisnya tanggal 7 Ramadhan tahun 1366 Hijriyah bertepatan dengan tanggal 25 Juli 1947 Miladiyah Kyai Hasyim menerima utusan Jendral Soedirman untuk melaporkan kejatuhan kota Malang. Mendengar laporan itu Kyai Hasyim sangat tercengang, dan hanya sempat mengucapkan masya-Allah, masyaAllah, masya-Allah sambil memegangi dadanya, lalu jatuh dan wafatlah beliau.15 Kepergian Kyai Hasyim Asy’ari untuk selama14
Lihat K.H. Saifuddin Zuhri, Kaleidoskop Politik Indonesia Jilid II, PT. Gunung Agung, Jakarta, MCMLXXXI, h. 37. 15 Ibid.
160
Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara — Muhammad Hisyam
lamanya itu telah mengejutkan ummat Islam diberbagai tempat di Jawa. Jenazahnya diantar ke tempat peristirahatannya yang terakhir oleh jumlah pengantar yang sangat besar. Pemerintah Indonesia secara resmi ikut dalam upacara perkabungan itu. Digambarkan oleh penulis biografi Kyai Hasyim Asy’ari, Muhammad Asad Syihab, sebagai “Belum pernah Indonesia menyaksikan upacara mengantar jenazah seperti itu. Ini merupakan penghormatan dan penghargaan terhadap pejuangan beliau dan pengakuan atas keutamaan serta kebesaran jasa-jasa beliau.”16 Dan dengan Keputusan Presiden No. 294/1964 K.H. Muhammad Hasyim Asy’ari ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Tanah air, bangsa dan kemerdekaan ternyata begitu penting untuk dibela dan diselamatkan tanpa kesulitan untuk mengajak ummat berkorban harta benda, raga dan jiwa sekalipun. Tidak lain karena membela tanah air, bangsa dan kemerdekaan itu sama nilainya dengan perang di jalan agama, perang demi Allah, demi keluhuran asma-Nya. Bagaimana perang di masa revolusi ini diberi makna, kita simak petikan pidato tanpa teks Ketua NU, K. H. Wahid Hasyim di sekitar tahun 50-an seperti di bawah ini: “Kita berjuang selama beberapa tahun, terutama selama lima tahun terakhir, di mana kita memerangi kaum penjajah dalam perang yang telah melenyapkan banyak tokoh dan anak-anak kita. Kita telah mengorbankan segala yang kita miliki, yang karenanya kita mengalami banyak kesulitan, penderitaan dan kesengsaraan. Kita melakukan itu sebagai langkah untuk meluhurkan kalimah Islam dan kejayaan kaum muslimin. Kemerdekaan politik kaum muslimin merupakan syarat yang tak bisa ditawar-tawar bagi kehidupan kaum muslimin itu sendiri dan syari’atnya. Segala usaha mempersempit kegiatan politik kaum muslimin pada hakekatnya merupakan usaha menghilangkan syari’at Islam. Atas dasar ini perang yang 16
Muhammad Asad Syihab, op-cit., h. 73/74.
161
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 149 - 184
kita lakukan melawan kaum penjajah merupakan perang agama. Perang di jalan Islam dan agama Islam. Betapa pun besarnya perbedaan dan jarak selisih antara persenjataan yang kita miliki dan yang dimiliki kekuatan penjajah baik dari jumlah maupun perbekalannya. Meskipun demikian kita menang dan berhasil atas anugerah Allah. Maka sudah seharusnya kita bersyukur kepada Allah dan senantiasa memanjatkan puji ke hadirat Ilahi, meskipun sementara orang-orang yang ingkar bersikap takabur dan menganggap bahwa kemenangan yang kita peroleh ini sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan pertolongan Allah. Ketakaburan mereka yang ingkar itu tidak hanya pada penafian mereka terhadap pertolongan Tuhan, dan pengaruhnya yang manjur dalam keberhasilan dan kemenangan kita atas kaum penjajah, tetapi juga pada sikap kemunafikan mereka pada waktu agresi militer pertama dan kedua.”17 Jadi, bagi NU yang menjadi pokok diskusi tulisan ini, maupun bagi orang Islam Indonesia pada umumnya, perang membela tanah air, bangsa dan kemerdekaan sama halnya dengan jih±d f³ sab³lill±h, yakni perang di jalan Allah, dan perang membela agama Allah. Kepercayaan yang demikian kuat seperti ini merupakan motivasi vital yang membangkitkan keberanian menghadapi maut. Mati dalam perang kemerdekaan adalah syahid, dan syahid adalah kematian paling terhormat. Tidak ada kematian yang lebih mulia dari pada syahid di jalan Allah. Kematian seperti ini tiada balasan selain surga belaka. Masalah Ideologi dan Dasar Negara Ketika Jepang mulai merasa terpojok oleh kekuatan-kekuatan Sekutu dalam perang Pasifik dan melihat kekalahannya sudah di ambang pintu, pemerintah pendudukan mulai memikirkan nasib 17
162
Ibid.. h. 76-77.
Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara — Muhammad Hisyam
negeri jajahan, seandainya mereka benar-benar harus pulang ke negaranya. Kelihatannya Jepang tidak ingin melihat Indonesia kembali di bawah kekuasaan Belanda. Pemerintah Pendudukan Jepang melihat ada peluang untuk memberikan kemerdekaan kepada Bangsa Indonesia, dan lalu sebuah panitia persiapan kemerdekaan pun dibentuk. Demikianlah pada tanggal 9 April 1945 Badan Penyelidik Usaha-usaha Pesiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau dalam bahsa Jepangnya Dokuritu Zyunbi Tioosakai dibentuk. Badan ini terdiri dari 68 anggota, dengan komposisi: 8 orang Jepang, 15 orang dari golongan Islam, dan selebihnya dari golongan nasionalis ditambah golongan priyayi atau aristokrat Jawa. Termasuk dalam kelompok 15 orang tersebut, dua orang dari NU, yaitu K.H. Abdul Wahid Hasyim dan K. H. Masykur. Pada ketika ini pemerintah pendudukan Jepang agaknya telah menangkap polarisasi yang terjadi dalam masyarakat Indonesia, tetapi memperhatikan komposisi tersebut golongan Islam boleh merasa janggal, mengingat bukan saja jumlah wakil golongan Islam yang tidak proporsional dengan jumlah muslim yang mayoritas, melainkan mengingat selama masa pemerintahan Jepang, pemerintah tampak memperhatikan golongan Islam dan hampir mengucilkan, atau lebih tepatnya, tidak memberi tempat kepada kaum nasionalis. Bisa jadi ini berkaitan dengan kemampuan intelektual yang lebih baik di kalangan kaum nasionalis sekuler dari pada dalam kalangan Islam. Katakanlah, di kalangan kaum nasionalis dan aristokrat Jawa lebih banyak terdapat orang terpelajar dari pada di kalangan kaum santri. Jepang kelihatannya lebih percaya terhadap kemampuan kaum nasionalis dalam soal mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Bisa dimengerti, karena sepanjang masa penjajahan, kaum santrilah yang paling keras menolak Belanda, termasuk berkolaborasi dengan pendidikan Barat di Hindia Belanda. Kaum santri kelihatannya hanya bersedia berpartisipasi dalam sistem pendidikan mereka sendiri, pesantren, dan menolak pendidikan Belanda. Hanya sebagian kecil saja kalangan santri bergabung di sekolah Belanda. Keterwakilan golongan Islam dalam BPUPKI itu secara kuantitas memang tidak memadai, tetapi hasil kerja Badan ini, yang 163
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 149 - 184
antara lain berupa karya monumental Piagam Jakarta, dapat dikatakan sebagai kemenangan ummat Islam. Ini tidak mungkin dicapai kecuali dengan argumen yang kuat dan faktual dari golongan Islam, dan bukan semata-mata berdasar jumlah yang banyak. Meskipun aspirasi Islam menjadikan Islam sebagai dasar negara, atau sekurang-kurangnya Islam sebagai agama negara tidak dapat dicapai tetapi satu klausul dalam Piagam Jakarta yang berbunyi: “Negara berdasarkan atas Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” bakal menjadi landasan konstitusional bagi pelaksanaan syari’at Islam di negara Indonesia merdeka yang dicita-citakan. Jepang memberikan peran yang besar terhadap kaum nasionalis dalam BPUPKI kelihatannya tidak salah langkah, karena ternyata mereka mampu mempesiapkan apa-apa saja yang perlu untuk mempersiapkan Indonesia merdeka. Rancangan Undang-Undang Dasar berhasil disusun, dan peraturan peralihanya juga berhasil dibuat. Jika diperhatikan notulen rapat-rapat dalam BPUPKI18 kelihatan sekali bahwa anggota BPUPKI dari golongan Islam lebih banyak mendengar dari pada mengemukakan pikiran-pikiran. Kalangan Islam dalam Badan itu tidak mampu bekerja sebaik kaum nasionalis. Apa yang dilakukan dengan serius dan getol oleh anggota BPUPKI dari golongan Islam adalah menjadikan Indonesia yang akan merdeka sebuah negara Islam, atau sekurang-kurangnya menjadikan Islam dasar negara atau agama negara. Pemerintah Pendudukan Jepang bukan tidak meyadari gelagat dan kemungkinan konflik dalam BPUPKI dalam soal peranan Islam dalam negara yang akan merdeka. Karena itu Pemerintah Pendudukan Jepang sejak dini telah mengisyaratkan sebuah pesan kepada BPUPKI melalui Jendral Nishimura. Pesan itu antara lain berbunyi bahwa pemerintah Pendudukan Jepang bersikap netral terhadap status Islam dalam negara merdeka yang tengah dipersiapkan. Rakyat Indonesia harus dapat mewujudkan cita18
Lihat Syafroedin Bahar et-al (eds.), Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Sekretariat Negara Repubik Indonesia, Jakarta, 1995.
164
Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara — Muhammad Hisyam
citanya sendiri dalam negera yang merdeka. Pemerintah Dai Nipon hanya menjadi fsilitator untuk ini.19 Memang sulit menyimak pikiran-pikiran golongan Islam dalam BPUPKI, lantaran notulen rapat-rapat Badan ini20 yang sampai kepada kita tidak lengkap. Sulit ditelusuri, mengapa buku dukumenter yang amat penting itu melewatkan pokok pikiran yang hidup di kalangan Islam yang menjadi bahan perdebatan dalam Badan tersebut. Percikan pemikiran wakil-wakil Islam dalam Badan itu hanya dapat tersingkap dari pidato orang lain, ketika menyinggung soal dasar negara dan hubungan antara agama dan negara. Misalnya, dalam sidang putaran pertama BPUPKI tanggal 31 Mei 1945, ketika Soepomo bepidato, menyinggung soal hubungan agama dan negara dikatakan bahwa terdapat pertentangan pendapat antara anggota-anggota ahli agama yang menganjurkan Indonesia didirikan sebagai negara Islam, dengan anggota lain sepereti Mohammad Hatta yang menganjurkan Indonesia merdeka sebagai negara persatuan nasional yang memisahkan urusan agama dan negara.21 Dari ungkapan ini, kelihatan jelas, meskipun tidak disebut nama, bahwa kalangan Islam dalam Badan itu menghendaki Indonesia menjadi negara Islam. Akan tetapi seperti apa konsep negara Islam yang dimaksud tidak dapat di simak dari buku itu. Dari pidato Soepomo itu juga dapat diraba, bahwa yang dimaksud negara Islam ialah bahwa negara tidak terpisahkan dari agama. Negara dan agama bersatu padu. Alasannya, Islam itu sebuah sistem agama, sosial, politik yang bersandar atas Qur’an sebagai pusat sumber dari segala susunan hidup manusia Islam. Hukum Syari’ah itu adalah perintah Tuhan untuk menjadi dasar dan untuk dipakai oleh negara. Adapun apa bila terdapat perkembangan baru dalam kehidupan politik, tetapi tidak dapat ditemukan dasar hukumnya dalam syari’at, maka dapatlah ditetapkan dengan jalan ijma’ asal tidak bertentangan 19
Harry J. Benda, The Crescent and the Rising Sun, Van Houve, The Hague-Bandung, 1958, h. 188-9. 20 Maksudnya, buku Risalah Sidang BPUPKI yang disebut dalam footnote no. 17. 21 Ibid., h. 38.
165
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 149 - 184
dengan Qur’an dan Hadits. Ada juga pendapat yang lebih liberal, seperti Ali Abdurrazik, bahwa agama itu boleh dipisahkan dari hukum yang berhubungan dengan negara. Di dalam negara Islam juga tidak perlu terdapat ketakutan dari orang-orang yang beragama lain bakal tidak bebas menjalankan agamanya, karena kebebasan menjalankan agama apa pun dijamin, dan kepentingan agama lain pun diperhatikan. Tidak ada paksaan di dalam agama.22 Kalangan nasionalis menentang gagasan menjadikan Islam sebagai dasar negara, atau menjadikan Indonesia yang bakal merdeka negara Islam. Orang Islam tidak perlu khawatir, dengan tidak menjadikan Indonesia negara Islam, negara bakal menjadi tidak beragama (a-religieus). Dalam negara nasional agama dijunjung tinggi dan negara mempunyai kewajiban untuk membela agama yang dianut oleh rakyatnya, apa lagi yang penganutnya mayoritas. Kita kutip petikan pidato Soepomo di bawah ini sebagai alasannya. “Negara nasional yang bersatu itu tidak berarti bahwa negara itu akan bersifat “a-religeus”. Itu bukan. Negara nasional yang bersatu itu akan memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur, akan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Maka negara demikian itu dan hendaknya Negara Indonesia juga memakai dasar moral yang luhur, yang dianjurkan oleh agama Islam.”23 Yang dikehendaki oleh kaum nasionalis adalah tidak menjadikan Indonesia Negara Islam dan tidak pula menjadikan Islam sebagai dasar negara, karena hal ini akan menimbulkan perpecahan. Ada cara di mana persatuan dapat ditegakkan tetapi Islam tetap menjadi ruh dan jasad dalam kehidupan negara. Inilah jalan keluar yang ditawarkan Soekarno, permusyawaratan perwakilan. Dalam pidato 1 Juni di rapat BPUPKI yang dikenal kemudian sebagai “hari lahir Pancasila” Soekarno mengatakan: 22 23
166
Ibid., h. 38-39. Ibid., h. 40
Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara — Muhammad Hisyam
“Saya yakin bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya Negara Indonesia iyalah permusyawaratan, perwakilan. Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Kita, saya pun adalah orang Islam -maaf beribu-ribu maaf, ke-Islaman saya jauh belum sempurna-- tetapi kalau saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan, hati Islam. Dan hati Islam Bung Karno ini ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan. Dengan cara mufakat kita perbaiki segala hal, dan juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat..... Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya agar supaya sebagian terbesar dari pada kursi-kursi Badan Perwakilan Rakyat yang kita adakan diduduki oleh utusan-utusan Islam. .... Ibaratnya Badan Perwakilan Rakyat itu 100 orang anggotanya, marilah kita bekerja, bekerja sekeras-kerasnya agar supaya 60, 70, 80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam. Dengan sendirinya, hukum-hukum yang keluar dari Badan Perwakilan Rakyat itu hukum Islam pula.”24 Kemampuan berargumentasi kaum nasionalis yang boleh dikata “brilian” menyebabkan gagasan menjadikan Negara Indonesia merdeka sebuah negara persatuan nasional dapat diterima oleh wakil-wakil golongan Islam dalam BPUPKI itu. Di sekitar akhir Mei 1945, sebelum pidato Soekarno, tokoh-tokoh NU dalam BPUPKI, K.H. Wahid Hasyim dan K.H. Masykur, serta tokoh Islam lainnya Abdul Kahar Muzakkir memang telah bertemu dan berdiskusi perihal ideologi yang sangat penting itu dengan dua tokoh nasionalis lain, Mohammad Yamin dan Soekarno. Mereka 24
Ibid., h. 77.
167
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 149 - 184
berlima berdiskusi di rumah Mohammad Yamin. Peristiwa ini dituturkan oleh K.H. Masykur dalam wawancara sejarah lisan oleh Arsip Nasional pada 1 Oktober 1988. “Kita ini ingin dasar Islam tapi kalau dasar Islam negara ini pecah. Bagaimana kira-kira bisa umat Islam bela tanah air, tapi tidak peca?” tanya Kyai Masykur. “Coba kita tanya Yamin dulu, bagaimana Yamin dulu, tanah Jawa, tanah Indonesia ?” kata Soekarno. Yamin mengatakan: “Zaman dulu orang Jawa punya kebiasaan. Apa kebiasaannya? Pergi di pinggir sungai, di pohon besar, semedi, menyekar, untuk minta sama Tuhan , minta keselamatan, minta apa, begitu.” Lalu Soekarno berkata: “Nah ini mencari Tuhan namanya. Jadi orang Indonesia dulu sudah mencari Tuhan, cuma tidak tahu di mana, dan siapa Tuhan itu. ...... Kalau begitu negara kita dari dulu sudah ketuhanan. bagaimana Islam? Ketuhanan ! Kalau bangsa Indonesia ketuhanan. Mupakat? Bangsa ketuhanan..... tulis, tulis! Ketuhanan. Lalu bagaimana Bangsa Indonesia?” Kata Kyai Masykur: Bangsa Indonesia itu satu sama lain begitu rupa, kalau datang dikasih wedang, kalau waktu makan diajak makan. Pokoknya begitu toleransinya, begitu rupa, itulah bangsa Jawa dulu sampai kalau sama menemani.” Kata Soekarno: “Kalau begitu, bangsa Indonesia itu dulu bangsa yang berperi-kemanusiaan. Satu sama lain suka menolong, kerja sama, peri-kemanusiaan.” Wahid Hasyim: “Kemanusiaan boleh, tapi mesti yang adil, jangan sendiri boleh, tak diapa-apakan, kalau orang lain yang salah dihantam. Tidak adil itu. Kalau Siti Fatimah mencuri, saya potong tangannya. Siti Fatimah putri Rosululloh. Jadi harus adil. Biar anaknya, kalau salah ya salah. Dihukum bagaimana. Ini Islam, ya benar. Ini memang.” Soekarno mengatakan: “ Siapa dulu...?” Kahar Muzakkir menyahut: “Ada orang budayanya tidak mau disentuh tangannya dengan orang bawahan. Kalau beri apa-apa 168
Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara — Muhammad Hisyam
dilemparkan. Umpamanya orang bawahan pengemis, kasih uang dilemparkan saja. Kalau dalam Islam tidak bisa. Di dalam Islam, harus diserahkan yang baik. Jadi peri-kemanusiaan yang adil dan beradab. Adabnya ini tadi.” Soekarno menyambung: “Orang Jawa itu dulu suka memberi sama tetangganya. Kalau rumah ini tidak punya cabe, minta sama rumah sini, kalau tidak punya garam, minta garam pada tetangga. ..... Ini namanya tolong menolong, gotong royong. ...... Kalau ada apa-apa kumpul orang desa itu. Satu sama lain bertanya, bagaimana baiknya ini, begini baiknya begitu. Ini namanya musyawarah. Jadi bangsa kita dari dulu suka bermusyawarah. Kalau mau kawinkan anaknya mupakatan, kalau mau menamakan anaknya, dinamakan siapa, mupakatan. Yang diambil suaranya orang tua. Musyawarah perwakilan. Orang Jawa itu, dulu kalau minta apa-apa dikasih. Sampean minta apa, biar di sini habis, diberikan solidaritas sosialnya. Bagaimana Islam?” Kyai Masykur: “Islam memang zakat. Kita memberi sama fakir miskin.” Menurut Kyai Masykur, setelah menemukan lima pokok ini, mau ditambah, tetapi karena umat Islam mempunyai rukun lima, yang ada ini tidak perlu ditambah. Bisa dikembangkan, tetapi asal hitungannya lima. Oleh Soekarno, kata Masykur, ini dijadikan Pancasila. Lalu Soekarno mengatakan: “Mau saya usulkan Pancasila. Awas kalau ada yang mengacau. Awas ! Masykur jangan ketawa imitasi.” Menurut kesaksian Kyai Masykur, diskusi berlima ini berjalan seru, berlangsung dari jam tujuh petang hingga jam empat pagi.25 Diskusi informal ini agaknya merupakan titik terang ke arah kompromi antara golongan nasionalis dan golongan Islam. Tidak ada rekaman lengkap perhelatan yang terjadi dalam Panitia Kecil
25
Dikutip dengan berbagai modifikasi dari rekaman wawancara Arsip Nasional dengan K.H. Masykur pada tanggal 1 Oktober 1988, sebagaimana dikutip oleh Andree Feillard, NU vis-a-vis Negara, h. 32-35.
169
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 149 - 184
yang terdiri dari sembilan orang26 dan berhasil merumuskan Piagam Jakarta, tetapi dalam laporan ketua Panitia Kecil, Soekarno mengakui bahwa pada permulaan terdapat kesulitan mempertemukan faham antara kaum nasionalis dengan Islam, terutama yang menyangkut soal agama dan negara.27 Rumusan Piagam Jakarta yang ditandatangani oleh Panitia Kecil pada tanggal 22 Juni 1945 merupakan kompromi yang dapat dicapai antara semua golongan dalam BPUPKI. Mengakhiri pidato pelaporan hasil kerja Panitia Kecil Soekarno mengatakan sebagai berikut: “Sekianlah tuan-tuan yang terhormat, Paduka Tuan Kaityoo yang termulia, rancangan preambule yang diusulkan oleh Panitia Kecil penyelidik usul-usul. Di dalam preambule ini ternyatalah , seperti saya katakan tempo hari, segenap pikiran yang mengisi dada sebagian besar dari pada anggota Dokuritu Zyunbi Tyoosakai. Masuk di dalamnya ketuhanan, dan terutama sekali kewajiban umat Islam untuk menjalankan syariat Islam masuk di dalamnya; kebulatan nasionalisme Indonesia, persatuan Bangsa Indonesia masuk di dalamnya; kemanusiaan atau Indonesia merdeka di dalam susunan peri-kemanusiaan dunia masuk di dalamnya; perwakilan permukatan kedaulatan rakyat masuk di dalamnya; keadilan sosial, sociale rechtvaardigheid masuk di dalamnya. Maka oleh karena itu, Panitia Kecil penyelidik usul-usul berkeyakinan bahwa inilah preambule yang bisa menghubungkan, mempersatukan segenap aliran yang ada di kalangan anggota-anggota Dokuritu Syunbi Tyoosokai.”28
26
Nama-nama anggota Panitia Kecil itu adalah: Mohammad Hatta, Mohammad Yamin, Soebardjo, Maramis, Soekarno, Abdoel Kahar Muzakkir, Wahid Hasjim, Abikoesno Tjokrosoejoso, dan Hadji Agoes Salim. 27 Saafroedin Bahar (eds.) op-cit. h. 94. 28 Ibid. h. 95/96.
170
Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara — Muhammad Hisyam
“Klausul Islami” dalam Piagam Jakarta rupanya menjadi bahan perdebatan seru dalam sidang-sidang BPUPKI selanjutnya. Dalam Panitia Undang Undang Dasar yang terdiri dari 19 orang anggota, Latuharhary mengusulkan agar “kalusul Islami” dihapuskan saja, karena dapat menimbulkan masalah bagi agama lain dan adat Indonesia. Agus Salim menolak usul itu, karena persoalan agama dan adat merupakan masalah lama, dan sudah selesai. Agama lain juga tidak perlu khawatir, karena soal keamanan agama lain bukan tergantung kepada negara, melainkan toleransi umat Islam sendiri.29 Kekhawatiran Wongsonegoro dan Husein Djajadiningrat bahwa Piagam Jakarta akan menimbulkan fanatisme agama, oleh Wahid Hasyim dijawab, bahwa penangkal utama bagi pemaksaan agama adalah “permusyawaratan”.30 Perdebatan soal “klausul Islami” bertambah semakin seru ketika Ki Bagus Hadikusumo mengusulkan perlunya membuang kata “bagi pemeluknya” agar sistem hukum di Indonesia tidak dualisme. Dengan menghapus kata tersebut, maka hukum di Indonesia hanya ada satu, yaitu hukum syari’ah. Sidang-sidang BPUPKI paling seru adalah pada tanggal 15 dan 16 Juli, ketika golongan Islam mengancam, kalau “klausul Islami” dihapuskan maka tidak akan menyetujui Piagam Jakarta. Soekarno yang merasa sangat prihatin dengan ketegangan ini mengimbau kepada kaum nasionalis, agar menerima Piagam Jakarta seutuhnya, demi menjaga persatuan dan lekas tercapainya negara nasional Indonesia yang merdeka. Maka pada tanggal 16 Juli sidang BPUPKI menyetujui Piagam Jakarta menjadi preambule Undang-Undang dasar Indonesia, beserta dengan rancangan batang tubuhnya.31 Lain yang terjadi dalam BPUPKI, lain pula dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). PPKI dibentuk tanggal 7 Agustus 1945, terdari dari 15 anggota, Soekarno dan Hatta masingmasing menjadi ketua dan wakil ketua. Dalam Panitia ini, golongan 29
Mohammad Yamin (ed.), Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid I ,h. 259. 30 Ibid. 31 Lihat Andree Felliard, op-cit., h. 36-39.
171
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 149 - 184
Islam hanya diwakili oleh dua orang, yakni Wahid Hasyim dan Ki Bagus Hadikusumo. Sidang pertama PPKI diselenggarakan pada 18 Agustus, sehari setelah proklamasi. Sebelum sidang, Hatta yang telah menerima “ancaman” dari para pemimpin Indonesia Timur yang beragama Kristen dan Katholik melalui seorang opsir Jepang, melihat bahayanya jika “klausul Islami” dalam Piagam Jakarta dipertahankan. “Ancaman” itu berisi, kalau tujuh kata “Islami” dalam Piagam Jakarta (.....dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya) tidak dihapuskan, maka rakyat Indonesia Timur lebih baik tidak bergabung dalam Republik Indonesia Merdeka. Hatta lalu melakukan lobi dengan para pemimpin Islam, menyampaikan pertimbangan akan gawatnya situasi ini. Kali ini, para pemimpin Islam menyadari bahaya itu, dan sebelum sidang dimulai mereka telah setuju untuk menghilangkan 7 kata itu, lalu diganti dengan kata yang lebih sederhana, sehingga menjadilah “berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pertimbangannya, situasi politik dan keamanan tidak mendukung untuk bersitegang dalam soal ideologi. Persatuan perlu dijaga agar kemerdekaan Indonesia dapat dipertahankan oleh seluruh rakyat dan komponen bangsa. Golongan Islam dan nasionalis adalah yang paling berkepentingan dengan persatuan bangsa ini. Ini sangat penting, mengingat ancaman kembalinya penjajah Belanda telah menghadang mereka. Lagi pula, dalam perubahan itu tersimpan makna tauhid, justru doktrin yang paling inti dalam agama Islam. Keberhasilan lobi Hatta menyebabkan sidang PPKI berjalan lancar. Perubahan bukan saja pada preambule, tetapi juga pada batang tubuh, yaitu pasal 6, yang mensyaratkan “persiden Indonesia haruslah orang Indonesia sejati yang beragama Islam”, menjadi “orang Indonesia asli” saja, dan pasal 29 juga dihilangkan kata “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemelukpemeluknya” diganti dengan “Yang Maha Esa”.32 Rapat PPKI berlangsung mulus dalam membahas perubahan fundamental mengenai isu sangat penting yang dulu diperjuangkan dengan gigih oleh wakil-wakil golongan Islam dalam BPUPKI. 32
172
Lihat Andree Felliard, op-cit., h.. 40-41.
Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara — Muhammad Hisyam
Komentar golongan Islam bervariasi terhadap peristiwa ini. Dari kacamata NU, hal ini mudah dipahami. Bukankah sudah disinggung di muka bahwa dalam muktamar tahun 1936, ketika Indonesia masih di bawah cengkeraman kekuasaan Belanda yang kafir pun, NU menganggap bahwa Indonesia ini adalah d±r al-Isl±m? Kepala Negara: Problem Otoritas Di tahun 1954, sebuah Konperensi Alim Ulama di Cipanas, Jawa Barat, memberikan “gelar”33 Waliy al-Amri ¬arµr³ bi asySyaukah kepada Presiden RI, Soekarno. “Gelar” ini mengundang kontroversi di kalangan ummat Islam sendiri, ditafsir secara politik, meskipun sebenarnya “gelar” itu diberikan dalam hubungan dengan pelaksanaan teknis hukum fiqh tentang kewenangan menunjuk dan mengangkat wali hakim dalam akad pernikahan bagi perempuan yang tidak memiliki wali nasab (genealogis). Kontroversi kedudukan kepala negara sebenarnya telah berlangsung sejak 1952, ketika dikeluarkan Peraturan Menteri Agama no. 4, tahun 1952 yang mengatur wali hakim untuk daerah luar Jawa dan Madura. Agar diskusi tentang kontroversi “gelar” Waliy al-Amri ¬arµr³ bi asy-Syaukah dapat lebih rinci, sebagian isi Peraturan Menteri Agama no. 4, tahun 1952 itu dikutip di bawah ini: a. Mencabut kekuasaan penunjukan wali hakim yang telah diberikan oleh Menteri Agama kepada Kepala Kantor Agama Propinsi; b. Membatalkan tauliyah-tauliyah wali hakim yang telah diberikan oleh instansi-instansi pemerintah dan Swapraja, serta tauliyahtauliyah wali hakim lainnya yang bertentangan dengan peraturan ini. c. (Pasal 1) (1) Apabila seseorang perempuan tidak mempunyai wali nasab, yang berhak, atau bila wali yang aqrab mafqud, 33
Meskipun di sejumlah sumber disebut “gelar”, tetapi dilihat dari konteks permasalahan lebih tepat disebut “fungsi”. Lihat H. Zaini Ahmad Noeh, Sebuah Perspektif Sejarah Lembaga Islam di Indonesia, Al-Ma’arif, Bandung, 1980.
173
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 149 - 184
sedang menjalankan hukuman dan tidak dapat dijumpai, atau jauh (sejarak masafat qasar) dan sebagainya, maka nikahnya dapat dilangsungkan oleh wali hakim. (2) Apabila wali nasab itu ‘adhal (menolak, tidak mau menikahkan) maka nikah perempuan itu dilangsungkan oleh wali hakim, setelah diadakan pemeriksaan seperlunya kepada yang bersangkutan. d. (Pasal 2) Kepala Kantor Urusan Agama Kabupaten diberi kuasa untuk, atas nama Menteri Agama, menunjuk qadli-qadli nikah (pembantu pegawai pencatat nikah) yang cakap serta ahli untuk menjadi wali hakim dalam wilayahnya masing-masing guna menjalankan nikah wali hakim sebagai tersebut dalam pasal 1 ayat 1 peraturan ini. Keputusan ini diambil setelah mendengar pendapat dan fatwa dari Konperensi Alim Ulama di Tugu, Jawa Barat, yang diselenggarakan pada tanggal 12-13 Mei 1952.34 Peraturan Menteri Agama no. 4 tahun 1952 tersebut dipertanyakan oleh Perti (Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah) kepada pemerintah di DPR. Persoalannya, apakah tauliyah wali hakim oleh Kepala kantor Urusan Agama kepada kadi-kadi nikah secara fikih dapat dianggap sah, mengingat yang mengangkat Kepala Kantor Urusan Agama adalah Menteri Agama yang diangkat oleh Presiden RI. Dengan demikian masalah pokok yang dipertanyakan adalah perihal keabsahan kedudukan Kepala Negara ditinjau menurut hukum fikih. Soekarno sebagai Presiden RI diangkat tidak menurut standar dan prosedur Syari’at sebagaimana menjadi ketentuan hukum Islam, sehingga keabsahannya diragukan.35 Partai Islam Perti yang berbasis di Sumatera Barat, agaknya terpengaruh oleh tradisi Minangkabau, di mana tauliyah untuk wali 34
Lihat Penjelasan Biro Peradilan Agama atas Keputusan Konperensi Alim Ulama dengan Menteri Agama di Cipanas, tanggal 2-7 Maret 1954, dalam lampiran buku H. Zaini Ahmad Noeh, Sebuah Perspektif Sejarah Lembaga Islam di Indonesia, Al-Ma’arif, Bandung, 1980, h.. 71/72. 35 Lihat ibid. h. 73-74. Uraian berikut ini sepenuhnya diambil dari sumber yang sama.
174
Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara — Muhammad Hisyam
hakim secara tradisional diberikan oleh musyawarah para pemimpin masyarakat Islam, sebagai konsekuensi dari ketentuan Syari’at yang menyatakan apabila dalam masyarakat Islam tidak terdapat imam, sultan atau kepala negara yang syah, maka tauliyah wali hakim dan juga kadi pada umumnya diberikan oleh ahl al-¥alli wa al-‘aqd, yakni musyawarah para pemuka masyarakat muslim yang ada. Peraturan Menteri Agama no. 4 1952, dalam pandangan partai tersebut, karenanya, dianggap ganjil, dan perlu ditinjau kembali. Menteri Agama yang diangkat oleh Presiden RI, Soekarno, waktu itu, tidak mempunyai kewenangan memberikan tauliyah kepada wali hakim dan hakim lainnya, karena Presiden RI tidak diangkat sesuai dengan prosedur Syara’. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Menteri Agama (K.H. Fakih Usman) lalu menggelar Konperensi Alim-Ulama di Bogor, pada 4 - 5 Mei 1953. Beberapa kesimpulan Konperensi tersebut dikutib sebagai berikut: 1. Setuju dan menguatkan Keputusan Konperensi Kementerian Agama dengan para Alim-Ulama di Tugupada tanggal 12 - 13 Mei 1952, yaitu mengakui hak dari Menteri Agama untuk mengangkat serta menunjuk wali hakim bagi perkawinanperkawinan mempelai isteri yang tidak mempunyai wali, atau walinya gaib, ‘adhal dan sebagainya. 2. Walaupun umpama syarat-syarat “sulthan” dalam pengertian syara’ belum terdapat sepenuhnya ada pada Bapak Kepala Negara kita (Republik Indonesia) dengan jalan Bai’ah, akan tetapi nyata sudah, bahwa presiden Republik Indonesia adalah ©µ syaukah, dan oleh sebab itu, beliau berhak penuh dalam soal wali hakim ini mentauliahkan kepada yang ditunjukkanya berdasarkan peraturan yang sah, dan dalam hal ini ialah Menteri Agama. Selanjutnya Menteri Agama dapat menunjuk mereka yang mustahiq menjalankan perkawinan wali hakim. 3. Urusan wali adalah termasuk salah satu rukun dalam pernikahan. Penunjukan wali hakim bagi mempelai isteri yang tidak mempunyai wali, harus dilakukan oleh ©µ syaukah, dari
175
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 149 - 184
sebab itu, sudah pada tempatnya, urusan ini dicampuri oleh Menteri Agama. 4. Mengakui sahnya peraturan Menteri Agama no. 1 dan no. 4 tahun 1952 tentang pengangkatan wali hakim.36 Akan tetapi Partai Perti masih belum dapat menerima keputusan Konperensi Alim-Ulama dengan Kementerian Agama tersebut lantaran pihaknya tidak diundang untuk ikut membicarakan masalah yang mereka pertanyakan tersebut. Ini dikemukakan dalam sidang Parlemen, yang dijawab akan mengajak serta Partai tersebut dalam konoperensi yang akan diselenggarakan kemudian. Janji tersebut ditepati pemerintah, dan pada tanggal 3 - 6 Maret 1954 di Cipanas, dan Konperensi pendahuluan diadakan di Jakarta, pada 2 Maret sebelumnya.37 Konferensi Alim-Ulama di Cipanas ini membicarakan, antara lain isu yang paling penting, yakni soal kedudukan kepala negara. Tentang ini kesimpulannya sebagai berikut: 1. Presiden sebagai Kepala Negara, serta alat-alat negara sebagai dimaksud dalam U.U.D.38 pasal 44, yakni: Kabinet, Parlemen, dan sebagainya adalah Waliy al-Amri ¬arµr³ bi asy-Syaukah. 2. Waliyyul Amri Dhlorury wajib ditaati oleh rakyat dalam hal-hal yang tidak menyalahi Syari’at Islam. 3. Tauliyah Wali Hakim dari Presiden kepada Menteri Agama, dan seterusnya kepada siapa yang ditunjuk olehnya, termasuk pula tauliyah Wali Hakim yang menurut kebiasaan yang hidup di tempat-tempat yang ditunjuk oleh ahl al-¥illi wa al-‘aqd adalah sah. Untuk menjalankan akad-akad nikah Wali Hakim 36
Ibid., h. 72/73. Konferensi Alim-Ulama di Cipanas ini dihadiri oleh 21 ulama dari 13 propinsi. Sebagian besar ulama peserta konperensi adalah dari kalangan NU. Karena itu dapat dipahami, jika persoalan Waliyyul Amri Dhorury Bis-Syaukah ini didiskusikan kembali selalu dikaitkan dengan NU, meskipun secara formal konperensi Cipanas tahun 1954 diselenggarakan oleh Kementerian Agama bersama Alim-Ulama pada umumnya. 38 Yang dimaksud adalah Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia. 37
176
Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara — Muhammad Hisyam
sesuai yang dimaksud oleh Undang-undang Pencatatan Nikah, Talak dan Ruju’, harus ada surat peresmiannya lebih dahulu dari pemerintah. 4. Berhubung dengan ayat 1, 2, dan 3 tersebut di atas, maka nyatalah bahwa Peraturan Menteri Agama no. 4, tahun 1952 tentang Wali Hakim untuk luar Jawa - Madura adalah sah.39 Keputusan-keputusan konperensi alim-ulama dalam tiga kesempatan disebut di atas patut kita renungkan sehubungan dengan pertanyaan-pertanyaan: mengapa Kepala Negara RI diperdebatkan keabsahannya? Mengapa harus disebut Waliy alAmri? mengapa disebut ¬arµr³? mengapa bi asy-Syaukah? Jawaban sederhana atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, pertama perlu diingat bahwa dalam konsepsi fikih Syafi’iyah, sebagaimana lazimnya dianut ummat Islam Indonesia, mewujudkan konsep imamah dalam kenyataan politik merupakan sebuah keniscayaan. Kitab-kitab fikih sederhana sekalipun pada umumnya menyinggung soal wajibnya ummat Islam mewujudkan imamah dalam setiap masyarakat Muslim. Hal ini berkaitan dengan pelaksanaan teknis qa«± atau peradilan, di mana dinyatakan bahwa pelaksanaannya merupakan kewajiban kolektif (fardlu kifayah) dalam setiap masyarakat muslim. Menurut ketentuan fikih, seorang hakim atau q±«³ sah adanya apabila diberi tauliyah atau pendelegasian wewenang secara sah oleh imam atau kepala negara. Syarat ini adalah ketentuan yang tak dapat ditawar. Hakim tanpa tauliyah imam, karenanya, menjadi ilegal kedudukannya, tidak sah dan tidak wajib dipatuhi keputusannya. Tauliyah ini begitu asasinya dalam ketentuan fikih, sehingga ditolerir, dalam keadaan darurat tertentu, tauliyah dari kepala negara yang bukan muslim sekalipun.40 Dalam pemerintahan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa fungsi q±«³ dijalankan oleh penghulu. Karena itu dalam setiap pengangkatan penghulu baru tauliyah raja dibacakan, dengan mana pendelegasian wewenang yang sebagiannya menyangkut kekuasaan kehakiman dinyatakan oleh raja kepada penghulu melalui serat 39 40
H. Zaini Ahmad Noeh, op-cit, h. 66 - 67. Lihat misalnya kitab fikih sederhana Fathu al-Mu’in, h. 136-138.
177
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 149 - 184
kekancingan.41 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemerintahan kerajaan-kerajaan Jawa Islam, dalam hal ini, telah mengikuti ketentuan syari’at Islam. Pengaruh kitab fikih dalam pikiran dan kelakuan ummat Islam Indonesia tidak diragukan lagi, mengingat bahwa sebagian besar kitab agama Islam yang beredar di negeri ini, sejak dulu hingga sekarang adalah kitab fikih. Karena itu tidak perlu diherankan lagi, bagi muslim Indonesia, jika setiap perilaku atau perbuatan manusia diukur menurut konsepsi fikih tersebut. Semua kelakuan manusia dapat dikategorikan ke dalam salah satu kategori al-a¥k±m alkhamsah (hukum yang lima, yaitu: wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah). Bagi muslim Indonesia pertanyaan apa hukumnya terhadap atau tentang sesuatu adalah biasa, dan hampir menjadi karakter cara beragama di negeri ini. Ini dapat dipahami sebagai pengaruh dari kitab fikih yang ada di Indonesia. Dalam kajian akademik, genre fikih dapat dibagi menjadi dua, yaitu fiqh taqr³r³ dan fiqh qa«±. Yang pertama merupakan komposisi teoretis yang dilahirkan dari telaah atas teks sumber pokok Islam atau sumber hukum, sementara genre kedua tersusun selain berdasarkan sumber teks seperti itu juga diperkaya dengan pengalaman praktis atau konteks sosial ummat Islam. Fiqh qa«±. sebenarnya dapat lebih “membumi” dari pada fiqh taqr³r³, tetapi di Indonesia, kitab fikih yang beredar selain hanya madzhab Syafi’i juga hanya fiqh taqr³r³.42 Akibatnya dapat dipastikan bahwa konsep-konsep fikih normatif lebih menguasai jalan pikiran muslim Indonesia, dari pada fikih kontekstual. Dalam kitab-kitab fikih siyasah (politik), sebutan untuk kepala negara setelah wafatnya Rasulullah, yang paling lazim adalah: khalifah, amirul mukminin atau amir saja, imam, sultan, dan malik. Untuk menjadi kepala negara yang sah, menurut fikih, disamping 41
Lihat Muhamad Hisyam, Caught Between Three Fires, The Javanese Pangulu Under The Dutch Colonial Administration 1882-1942, INIS, LeidenJakarta, 2001, h. .... 42 Lihat M. Ali Haidar, Nadlatul Ulama dan Islam di Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1998, h. 267.
178
Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara — Muhammad Hisyam
harus memenuhi syarat-syarat pribadi tertentu, pengangkatannya juga harus mengikuti prosedur yang lazim menurut negara Islam tradisional, misalnya bai‘at, istikhl±f, syµr± dan sebagainya. Presiden Soekarno, tidak memenuhi syarat, baik pribadi sebagai amirul mukminin, maupun cara pengangkatannya, sehingga ia tidak dapat disahkan sebagai amirul mukminin atau sultan, maupun imam. Akan tetapi de facto, Presiden Soekarno adalah Kepala Negara yang mempunyai kekuasaan. Karena itu, ia pantas disebut waliy al-amri, suatu gelar yang tidak lazim dipakai sebagai gelar bagi kepala negara Islam, tetapi secara lugaw³ dapat diterima, karena ia memang pimpinan kekuasaan pemerintahan. Adapun «arµr³, yang berarti dalam keadaan darurat, dipakai sebagai “menutupi” keadaan darurat, di mana tidak ada sultan yang sebenarnya, sementara dalam teks Hadits disebutkan: “Sultan adalah wali bagi mereka (pengantin perempuan) yang tidak mempunyai wali”. Kepala Negara Republik Indonesia, Presiden, tidak jelas, apakah seorang sultan atau khalifah. Dalam keadaan demikian naka digunakan istilah dlorury yang berarti dalam keadaan darurat atau untuk sementara waktu, karena untuk membangun imamah sendiri yang sesuai dengan ketentuan fikih pada masa itu dirasakan tidak mungkin. Kata bi asy-syaukah yang berarti dengan kekuasaan, karena kekuasaan yang dimaksud bukan semata-mata kekuasaan presiden, melainkan seperti yang dimaksud oleh pasal 44 UUD Sementara tahun 1950, yakni selain presiden, ada kabinet, parlemen, dan lembaga tinggi negara lainnya.43 Menurut Zaini Ahmad Noeh, pengangkatan kepala negara menurut UUD 1950 tidak mempunyai ikatan hukum seperti disyaratkan oleh hukum Islam (fikih) seperti halnya sultan, khalifah, imam dan lainnya. Ini berbeda dari UUD 1945, di mana kedudukan dan kekuasaan kepala negara cukup jelas, sehingga dapat dipandang memenuhi syarat hukum fikih. Karena itu dalam masa itu, di mana UUD yang berlaku adalah UUD 1950, yang dimaksud dengan
43
Ibid. h. 76-77.
179
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 149 - 184
waliyyul amri adalah Presiden, Menteri-menteri, Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung dan Dewan Pengawas Keuangan.44 Istilah yang dipakai dalam keputusan Konperensi Alim-Ulama tahun 1953 di Bogor ©µ syaukah (lihat keputusan poin 2 dan 3), berarti yang memiliki kekuasaan, dikoreksi dalam Koneperensi Alim-Ulama di Cipanas tahun 1954 menjadi bi asy-syaukah (dengan kekuasaan) dengan alasan, istilah yang disebut pertama dipakai apa bila kepala negara adalah orang kafir. Karena Presiden Soekarno seorang muslim, maka, menurut Sulaiman Arrasuli , maka istilah bi asy-syaukah dipandang lebih tepat.45 Meskipun secara formal konperensi alim-ulama di Cipanas tersebut di atas diselenggarakan oleh Kementerian Agama bersama alim-ulama pada umumnya, tetapi sebagian besar yang hadir adalah dari kalangan NU. Bisa difahamai, karena Menteri Agama kala itu adalah K.H. Masjkur, dari NU, dan kelihatannya mengundang kiyai-Kyai dari kalngan mereka sendiri. Perti yang dianggap sealiran dengan NU tidak pula diundang dalam dua konperensi pertama. Kalangan Islam reformis, terutama Persatuan Islam (Persis), tidak mengakui hasil konferensi, karena tidak diikuti oleh semua komponen ulama dari semua aliran atau kelompok. Pesris mengecam bahwa para ulama yang ikut dalam konperensi alimulama itu tidak dapat mengambil simpul hukum (istimbat), sehingga gelar ataupun fungsi bagi presiden waliy al-amri «arµr³ bi asy-syaukah tidak dapat diterima secara hukum. Mereka menuntut diadakan konperensi alim-ulama kembali dengan mengundang semua komponen ulama, tetapi kali ini untuk mencabut keputusan konperensi alim-ulama Cipanas.46 Dari uraian di atas jelaslah bahwa gelar atau fungsi presiden sebagai waliy al-amri «arµr³ bi asy-syaukah adalah dalam kapasitas 44
H. Zaini Ahmad Noeh, “Waliyyul Amri Dhorury Bis-Syaukah” dalam Panji Masyarakat, no. 456, 1985. 45 Lihat Kementrian Agama, Laporan Tahunan 1954, Bagian Penerbitan, Jakarta, 1955. 46 Lihat Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, Grafiti pers, Jakarta, 1987, h. 343.
180
Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara — Muhammad Hisyam
dan hubungannya dengan praktek kehukuman, khasnya yang bertalian dengan fungsi wali hakim bagi syahnya (rukun) akad nikah mempelai perempuan yang tidak memiliki wali nasab (genealogi). Demikian, kesimpulan yang juga diberikan dalam penjelasan Kementerian Agama, yang dalam hal ini diberikan oleh H. Moch. Djunaidi, Kepala biro Peradilan Agama waktu itu. 47 Meskipun demikian, sulit untuk membantah bahwa gelar itu akan berimplikasi politik, apa lagi mengingat bahwa dalam keputusan Konperensi Alim-Ulama di Cipanas itu terdapat butir dua yang menyatakan: “Waliy al-amri «arµr³ wajib ditaati oleh rakyat dalam hal yang tidak menyalahi syari’at Islam.” Di belakang hari terbukti, bahwa “gelar” waliy al-amri «arµr³ bi asy-syaukah menimbulkan kontroversi politik. Oleh para pendukung Soekarno, gelar itu dipakai untuk melegitimasi secara agama kepemimpinannya. Ketika “gelar” ini diberikan, tak dapat diingkari bahwa kekuasaan Soekarno tengah digoncang oleh gerakan Darul Islam di bawah “komando” S.M. Kartosuwiryo. Penutup Organisasi keagamaan Islam kaum santri “tradisional” yang dikenal berciri dekat dengan kultur lokal dan fleksibel ini tampaknya tidak mungkin membiarkan lewat begitu saja, tanpa ikut campur tangan secara serius dalam masa-masa paling krusial dihadapi bangsa pada sekitar kemerdekaan Republik Indonesia. Ini adalah masa ketika mereka menghadapi bukan saja tanah air dan bangsa, melainkan negara. Partisipasi adu gagasan dalam soal pengaturan sosial-politik ketika negara telah berada di hadapan mereka tidak dapat dilepaskan dari pertimbangan ajaran agama yang mendasari dan memberi warna serta corak pemikiran dan cita ideal tata masyarakat yang harus diperjuangkannya. Fikih yang digali dari “kitab kuning” atau buku-buku keagamaan klasik merupakan wacana yang kadang-kadang terasa kaku, tetapi dengan cara mendialogkannya pada konteks zaman dan kekinian yang 47
Lihat kembali H. Zaini Ahmad Noeh, Sebuah Perspektif Sejarah Lembagaan Islam di Indonesia, h. 77.
181
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 149 - 184
dihadapi dapat menghasilkan pemikiran-pemikiran yang segar dan sikap fleksibel sehingga kompromi-kompromi dengan golongan lain dapat dihasilkan. Sikap seperti yang diperlihatkan pada Muktamar ke 11 di Banjarmasin tahun 1936 agaknya telah mempercepat pencapaian kompromi penerimaan Pancasila menjadi dasar negara, meskipun hal ini dicapai melalui perdebatan seru dan alot dalam BPUPKI dan PPKI. Penerimaan itu pun didasarkan atas pertimbangan agama, yakni karena Pancasila tidak bertentangan dengan agama, apa lagi bahwa sila “Keuhanan Yang Maha Esa” bukan saja pernyataan akidah yang benar, melainkan memungkinkan syari’at dilaksanakan dengan tertib dan nyata dan negara ikut bertanggung jawab dalam pelaksanaan ini. Ketika perang mempertahankan kemerdekaan menghadang, fatwa agama dikeluarkan untuk memberi landasan dan pengesahan transendental atasnya. Dengan begitu semangat mereka dapat dibangkitkan dan tindakan perang dapat dibenarkan. Menemukan landasan agama dalam setiap tindakan agaknya telah menjadi ciri NU dalam menghadapi permasalahan yang menyangkut masyarakat, baik dalam soal hukum maupun kekuasaan. Agama senantiasa dipakai untuk mengukur dan menilai kekuasaan dan negara dan partisipasi atasnya. Ini terjadi, karena watak agama Islam yang menjadi anutan kaum nahdliyin tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan. Meminjam kata-kata Kyai Wahab Hasbullah, agama dan politik adalah sebuah kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Hubungan antara keduanya ibarat gula dengan manisnya. Karena itu tidak mengherankan jika sejarah NU selalu bersinggungan dengan politik, baik pada awal masa gerakannya sebagai organisasi sosial keagamaan, ketika menjadi partai politik, maupun setelah kembali lagi ke khittah 1926. Meskipun begitu, dalam perjalanan gerakan NU, acap terjadi, kepentingan politik dimenangkan dari pada pertimbangan agama. Contoh paling aktual dari ini adalah ketika Abdurrahan Wahid menjadi Presiden RI. Orang NU membela “mati-matian” tokoh tersebut untuk tetap duduk di kursi kepala negara, meskipun secara fikih kedudukannya itu tidak syah. Menurut fikih, seorang kepala negara haruslah seorang yang sehat jasmani dan rohani. 182
Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara — Muhammad Hisyam
Daftar Pustaka Abdussami, Khumaidi dan Ridwan Fkla As. (eds.). 1995. Biografi 5 Rois ‘Am Nahdlatul Ulama. Yogyakarta: LTN bekerjasama dengan Pustaka Pelajar. Al-Malabary.tt. Fat¥ al-Mu‘³n, Bandung: Alma’arif. Al-Mawardi. tt. Al-A¥k±m al Sul¯±niyah. Beirut. Bahar, Bahar et-al (eds.). 1995. Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Jakarta: Sekretariat Negara Repubik Indonesia. Benda, Harry J. 1958. The Crescent and the Rising Sun, Van Houve, The Hague-Bandung. Feillard, Andree. 1996. NU vis-a-vis Negara, Jakarta: Gramedia. Haidar, M. Ali. 1998. Nadlatul Ulama dan Islam di Indonesia. Jakarta: Gramedia. Hisyam, Muhamad. 2001. Caught Between Three Fires, The Javanese Pangulu Under the Dutch Colonial Administration 1882-1942, Seri INIS, No.37, Jakarta-Leiden, Kementrian Agama. 1955. Laporan Tahunan 1954. Bagian Penerbitan, Jakarta. Noeh, H. Zaini Ahmad. 1980. Sebuah Perspektif Sejarah Lembaga Islam di Indonesia. Bandung: Al-Ma’arif. Noer, Deliar. 1987. Partai Islam di Pentas Nasional. Jakarta: Grafiti pers. Sayyid Othman. 1312 H. atau 1894 M. Al-Qaw±n³n al-Syariyyah li ahl al-Maj±lis al-¦ukmiyyah, Batavia. Syihab, Muhammad Asad Syihab. 1994. Hadratussyaikh Muhammad Hasyim Asy’ari, alih bahasa K.H.A. Mustofa Bisri. Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta bekerjasama dengan Titian Ilahi Pers. Sitompul, Einar M. 1989. Nahdlatul Ulama dan Pancasila. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Wahid, Abdurrahman. 1989. Pengantar dalam buku Einar M. Sitompul, Nahdlatul Ulama dan Pancasila. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 183
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 149 - 184
Verslag CSI Congres, laporan tentang kongres CSI 1916 dan 1917, dokumen Het Kantoor voor Inlandsche Zaken. Yamin, Mohammad (ed.). 1959. Naskah Persiapan UndangUndang Dasar 1945, Jilid I. Jakarta: Yayasan Prapanca. Yusuf, Slamet Effendy et-al. 1984. Dinamika Kaum Santri. Jakarta. Zuhri, H. Saifuddin Zuhri, Kaleidoskop Politik Indonesia Jilid II, PT. Gunung Agung, Jakarta, MCMLXXXI.
184