POT TENSI PENGEMBA ANGAN TERNAK T RUMINA ANSIA DIT TINJAU DA ARI KON NDISI TAN NAH, PRO ODUKTIV VITAS DA AN KUAL LITAS N NUTRISI I PADANG G PENGG GEMBALA AAN DI K KABUPAT TEN NA AGEKEO,, FLORES S, NTT
SK KRIPSI FE ERY DWI R RIPTIANIN NGSIH
DEPAR RTEMEN IL LMU NUTR RISI DAN TEKNOLO T OGI PAKAN N FAKULTAS S PETERNA AKAN INST TITUT PER RTANIAN BOGOR B 2011
RINGKASAN FERY DWI RIPTIANINGSIH. D24070048. 2011. Potensi Pengembangan Ternak Ruminansia Ditinjau dari Kondisi Tanah, Produktivitas dan Kualitas Nutrisi Padang Penggembalaan di Kabupaten Nagekeo, Flores, NTT. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor Pembimbing Utama : Dr. Ir. Panca Dewi Manu Hara Karti, M.S. Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc.Agr. Kabupaten Nagekeo yang berada di Pulau Flores Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki potensi sumber daya alam yang sangat cocok untuk pengembangan ternak ruminansia. Potensi itu berupa tersedianya lahan padang penggembalaan yang tersebar di berbagai wilayah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi pengembangan ternak ruminansia ditinjau dari kondisi tanah, produktivitas dan kualitas nutrisi padang penggembalaan serta melakukan perbandingan dari sembilan desa di Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur. Penelitian ini dilakukan pada enam kawasan yang terdiri dari sembilan desa yaitu Desa Dhereisa, Bidoa, Tedakisa, Renduwawo, Ulupulu, Nagarawe, Rendubutowe, Lambo, dan Natatoto. Masing-masing padang penggembalaan setiap desa diambil sampel tanah dan sampel rumput untuk dianalisis. Analisis tanah meliputi tekstur, pH, bahan organik tanah dan kapasitas tukar kation. Sampel rumput komposit dianalisis komposisi botani, analisis proksimat yang meliputi kadar air, kadar abu, protein kasar, lemak kasar, serat kasar dan dihitung Total Digestible Nutrient (TDN) dari komposisi proksimat, analisis in vitro yang meliputi Koefisien Cerna Bahan Kering (KCBK), Koefisien Cerna Bahan Organik (KCBO), produksi NH3, dan produksi Volatile Fatty Acid (VFA). Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan desa sebagai perlakuan. Apabila terdapat beda nyata, signifikansi dihitung dengan menggunakan Uji Lanjut Kontras Ortogonal. Selanjutnya dilakukan skoring masing-masing desa terhadap faktor kondisi tanah, nutrisi rumput padang penggembalaan serta kapasitas tampung berdasarkan BK tercerna untuk menentukan desa yang paling potensial untuk pengembangan ternak ruminansia berdasarkan kualitas padang penggembalaannya. Hasil analisis tanah padang penggembalaan di sembilan desa umumnya menunjukkan pH yang agak masam dengan kandungan C organik dan Nitrogen yang rendah, sedangkan Fosfor sangat rendah. Kandungan mineral Ca, Mg, K dan Na yang merupakan kation cukup baik, sehingga kapasitas tukar kation (KTK) tinggi, hal ini menunjukkan bahwa daya mengikat yang cukup baik. Berdasarkan hasil analisis proksimat sampel rumput pada sembilan desa menunjukkan kandungan bahan kering (BK), abu, protein kasar (PK), lemak kasar (LK), Beta-N dan TDN tidak berbeda nyata (P>0,05) pada kesembilan desa dan hanya kandungan serat kasar (SK) yang sangat berbeda nyata (P<0,01) pada kesembilan desa dengan kandungan SK tertinggi pada Desa Natatoto yaitu 28.94%. Secara umum kualitas nutrisi rumput padang penggembalaan di sembilan desa menunjukkan kandungan protein kasar (PK) yang rendah dengan nilai tertinggi hanya 7.12% pada Desa Tedakisa. Kandungan TDN rumput masih tergolong rendah dengan kandungan tertinggi hanya 50.09% pada Desa Tedakisa. Berdasarkan hasil evaluasi nutrisi secara in vitro, ii
koefisien cerna bahan kering (KCBK) dan koefisien cerna bahan organik (KCBO) pada kesembilan desa menunjukkan hasil yang sangat berbeda nyata (P<0,01). Desa Natatoto mempunyai hijauan padang penggembalaan dengan nilai KCBK tertinggi yaitu 39,02%. Untuk nilai koefisien cerna bahan organik (KCBO), hijauan pada Desa Dhereisa memiliki nilai tertinggi daripada desa yang lain dengan nilai KCBO 41,44%. Hasil pengukuran produksi NH3 dan VFA rumput padang penggembalaan pada sembilan desa menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05). Dari sampel BK rumput (BK/0,25 m2) diperoleh total produksi BK tercerna sebesar 8.093,05 kg BKT/ha/th dengan nilai produksi tertinggi pada desa Renduwawo yaitu sebesar 1.367,88 kg BKT/ha/th. Perhitungan kapasitas tampung berdasarkan ketersediaan BK tercerna didapatkan Desa Renduwawo memiliki nilai tertinggi yaitu 0,42 ST/ha, sedangkan kapasitas tampung terendah yaitu pada Desa Nagarawe dengan nilai 0,17 ST/ha. Desa yang memiliki nilai kapasitas peningkatan populasi yang paling tinggi adalah Desa Natatoto yaitu 6.127 ST. Berdasarkan hasil skoring masing-masing desa terhadap faktor kondisi tanah, nutrisi rumput padang penggembalaan serta kapasitas tampung berdasarkan BK tercerna, Desa Renduwawo yang menduduki peringkat pertama. Secara umum Kabupaten Nagekeo berpotensi untuk pengembangan ternak ruminansia. Perlu adanya perbaikan kondisi tanah dan peningkatan produktivitas hijauan padang penggembalaan sehingga bisa mencukupi kebutuhan hijauan makanan ternak baik secara kualitas maupun kuantitas. Kata-kata kunci: Ruminansia, padang rumput alam, produktivitas, kualitas nutrisi
iii
ABSTRACT The Potency of Ruminant Development Based On Soil Condition, Productivity and Nutrition Quality of Range in Nagekeo, Flores Island, NTT Riptianingsih, F. D., P. D. M. H. Karti., and I. G. Permana Nagekeo regency located in Flores Island, Nusa Tenggara Timur have a lot of natural resources suitable for ruminant development. This field research aimed to know range potential for ruminant development based on soil condition, productivity and nutrition quality and give comparative analysis from nine villages as experiment location in Nagekeo regency of Nusa Tenggara Timur. Soil sample and grass sample which taken from the pasture of every village and then to be analyzed. Soil analyzed consists of texture, pH, organic matter, and cationic exchange capacity. Grass sample was analyzed of botany composition, moisture, ash, crude protein, ether extract, crude fiber, Total Digestible Nutrient (TDN), Dry Matter Digestibility (DMD), Organic Matter Digestibility (OMD), NH3 production, and VFA production. Based on soil condition, nutrition value and carrying capacity from dry matter availability is found that Renduwawo village have the highest score than another village. However, based on calculation increating of population capacity show that Natatoto village have the highest number than another village. Key words: Ruminant, range, productivity, nutrient quality
iv
POTENSI PENGEMBANGAN TERNAK RUMINANSIA DITINJAU DARI KONDISI TANAH, PRODUKTIVITAS DAN KUALITAS NUTRISI PADANG PENGGEMBALAAN DI KABUPATEN NAGEKEO, FLORES, NTT
FERY DWI RIPTIANINGSIH D24070048
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 v
Judul : Potensi Pengembangan Ternak Ruminansia Ditinjau dari Kondisi Tanah, Produktivitas dan Kualitas Nutrisi Padang Penggembalaan di Kabupaten Nagekeo, Flores, NTT. Nama : Fery Dwi Riptianingsih NIM
: D24070048
Menyetujui,
Pembimbing Utama,
(Dr.Ir. Panca Dewi M.H.K., M.S) NIP. 19611025 198703 2 002
Pembimbing Anggota,
(Dr.Ir. Idat Galih Permana, M.Sc.Agr) NIP. 19670506 199103 1 001
Mengetahui: Ketua Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan
(Dr.Ir. Idat Galih Permana, M.Sc.Agr) NIP. 19670506 199103 1 001
Tanggal Ujian: 23 November 2011
Tanggal Lulus: vi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 28 Februari 1989 di Trenggalek, Jawa Timur. Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Hadi Suripto SE dan Ibu Jumiatun S.Pd. Pendidikan formal penulis dimulai sejak Taman Kanak-kanak (TK), diselesaikan di TK Dharma Wanita Tamanan pada tahun 1995, dilanjutkan dengan pendidikan dasar pada SDN Tamanan 3 yang diselesaikan pada tahun 2001, setelah lulus penulis melanjutkan ke SMPN 1 Trenggalek. Setelah lulus pada tahun 2004, penulis kemudian melanjutkan ke SMAN 1 Trenggalek yang diselesaikan pada tahun 2007. Penulis diterima di IPB melalui jalur USMI pada tahun 2007. Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Institut Pertanian Bogor tahun 2007 atau angkatan 44. Selama mengikuti perkuliahan di IPB, penulis aktif dalam keanggotaan UKM FORCES (Forum For Scientific Studies) dari tahun 2007-2010. Penulis juga aktif menulis proposal dalam kompetisi PKM (Program Kreativitas Mahasiswa) yang diselenggarakan oleh DIKTI setiap tahunnya. PKM Penelitian yang berjudul “Pupetrin Pupuk Pestisida Urin Two in One Sebagai Penunjang Kesehatan Tanaman yang Praktis dan Ramah Lingkungan” serta ”Pocarichick Sebagai Solusi Penanganan Heat Stress pada Budidaya Ayam Broiler di Daerah Tropis” telah berhasil diterima dan didanai oleh DIKTI pada tahun 2009. Penulis merupakan salah satu penerima beasiswa Eka Tjipta Foundation (ETF) periode 2007-2009 dan dilanjutkan sebagai penerima beasiswa Tanoto Foundation dari tahun 2009 hingga sekarang. Penulis pernah mengikuti program magang yang diselenggarakan oleh University Farm IPB pada bagian pembibitan tanaman-tanaman hias dan buah-buahan selama dua minggu pada tahun 2008.
vii
KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya hingga saat ini penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini berjudul “Potensi Pengembangan Ternak Ruminansia Ditinjau Dari Kondisi Tanah, Produktivitas dan Kualitas Nutrisi Padang Penggembalaan di Kabupaten Nagekeo, Flores, NTT” di bawah bimbingan Dr. Ir. Panca Dewi Manu Hara Karti, M.S., dan Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc.Agr. Skripsi ini merupakan penelitian lanjutan dari penelitian langsung yang dilaksanakan oleh tim peneliti di Kabupaten Nagekeo Nusa Tenggara Timur. Data-data pendukung didapatkan melalui studi pustaka dari berbagai sumber. Penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan dan semoga skripsi ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan pembaca umumnya serta untuk kemajuan pembangunan peternakan di Kabupaten Nagekeo dan terutama kemajuan pembangunan peternakan di Indonesia.
Bogor, September 2011
Penulis
viii
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ………………………………………………………………...…
ii
ABSTRACT ……………………………………………………………………..
iv
LEMBAR PERNYATAAN ……………………………………………………
v
LEMBAR PENGESAHAN …………………………………………………….
vi
RIWAYAT HIDUP …………………………………………………………….
vii
KATA PENGANTAR …………………………………………………….........
viii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………
ix
DAFTAR TABEL ………………………………………………………………
xi
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………………
xii
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………………… xiii PENDAHULUAN ………………………………………………………………. 1 Latar Belakang ………………………………………………………….. 1 Tujuan …………………………………………………………………… 2 TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………………… 3 Gambaran Umum Kabupaten Nagekeo …………………………………. Padang Penggembalaan …………………………………………………. Pengaruh Kondisi Tanah Terhadap Pertumbuhan Tanaman …………… Kapasitas Tampung ……………………………………………………… Analisa Proksimat ……………………………………………………….. Fermentabilitas Pakan …………………………………………………… Volatile Fatty Acid (VFA) ………………………………………. Amonia (NH3) …………………………………………………… Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik (KCBK/KCBO) ………...
3 4 5 7 9 10 10 11 12
MATERI DAN METODE ………………………………………………………. 13 Lokasi dan Waktu …………...…………………………………………… Materi ……………………………………………………………………. Prosedur………………………………………………………………….. Penentuan Lokasi Penelitian …………………………………….. Pengambilan Sampel Tanah dan Analisis Tanah ……………….. Pengambilan Sampel Rumput dan Analisis Sampel Rumput …... Skoring Masing-masing Desa …………………………………… Rancangan dan Analisis Data …………………………………… HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………………………. Kondisi Vegetasi …………………………………………………………. Kondisi Tanah ……………………………………………………………. Kandungan Nutrisi Hijauan Padang Penggembalaan ……………………. Kapasitas Tampung Berdasarkan Ketersediaan BK Tercerna ……………
13 13 14 14 14 14 16 17 19 19 22 26 30 ix
KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………………………….. 36 Kesimpulan ………………………………………………………………. 36 Saran ……………………………………………………………………... 36 UCAPAN TERIMA KASIH …………………………………………………….. 37 DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………. 38 LAMPIRAN ……………………………………………………………………… 41
x
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Luas Padang Penggembalaan Sembilan Desa di Kabupaten Nagekeo
4
2. Kriteria Penilaian …………………………………………………….
17
3. Kondisi Vegetasi yang Diidentifikasi pada Sembilan Desa …………
21
4. Hasil Analisis Sampel Tanah pada Sembilan Desa ………………….
23
5. Hasil Analisa Proksimat Sampel Hijauan pada Padang Penggembalaan di Sembilan Desa …………………………………...
26
6. Hasil Analisis In Vitro Sampel Hijauan pada Padang Penggembalaan di Sembilan Desa …………………………………...
29
7. Perhitungan Kapasitas Tampung Padang Penggembalaan di Sembilan Desa Berdasarkan Ketersediaan BK Tercerna …………….
31
8. Produktivitas Hijauan Padang Penggembalaan dan Kapasitas Peningkatan Populasi berdasarkan BK Tercerna Kabupaten Nagekeo
32
9. Penilaian Masing-Masing Parameter Berdasarkan Kriteria Penilaian ..
34
10. Nilai Akhir Skoring Padang Penggembalaan di Sembilan Desa ……..
35
xi
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Peta Kabupaten Nagekeo ………………………………………….. .
4
2. Skema Analisa Proksimat Bahan Pakan……………………………..
9
3. Kondisi Padang Penggembalaan di Sembilan Desa ………………...
20
4. Gulma Bunga Putih (Chromolaena orodata) dan Bunga Tahi Ayam (Lamtana camara) pada Padang Penggembalaan Kabupaten Nagekeo
21
5. Spesies-spesies Rumput yang Mendominasi Padang Penggembalaan di Kabupaten Nagekeo.………………………………………………
22
6. Pagar Kayu yang Dapat Diganti dengan Leguminosa Pohon ………
28
7. Contoh Kebun Legum Pangkasan di Laboratorium Lapang Agrostologi Fakultas Peternakan, IPB.…………………………….. .
28
xii
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Data Hasil Penimbangan Sampel Komposit Hijauan Padang Penggembalaan di Sembilan Desa …………………………………….
42
2. Nilai Korelasi Antara Sifat Fisik Tanah dengan Kualitas Nutrisi Rumput ………………………………………………………………..
42
3. Hasil Analisis Tanah Desa Ulupulu, Renduwawo, dan Tedakisa ……
43
4. Hasil Analisis Tanah Desa Dhereisa, Natatoto, dan Bidoa …………….
44
5. Hasil Analisis Tanah Desa Lambo, Nagarawe, dan Rendubutowe …….
45
6. Hasil Sidik Ragam Kadar Abu ………………………………………….
46
7. Hasil Sidik Ragam Protein Kasar ……………………………………….
46
8. Hasil Sidik Ragam Lemak Kasar ……………………………………….
46
9. Hasil Sidik Ragam Serat Kasar …………………………………………
47
10. Uji Lanjut Kontras Ortogonal Serat Kasar ……………………………..
47
11. Hasil Sidik Ragam Beta-N ……………………………………………..
47
12. Hasil Sidik Ragam TDN…………………………………………………
47
13. Hasil Sidik Ragam Koefisien Cerna Bahan Kering (KCBK) …………...
48
14. Uji Lanjut Kontras Ortogonal Koefisien Cerna Bahan Kering (KCBK)
48
15. Hasil Sidik Ragam Koefisien Cerna Bahan Organik (KCBO) ………….
49
16. Uji Lanjut Kontras Ortogonal Koefisien Cerna Bahan Organik (KCBO)
49
17. Hasil Sidik Ragam Produksi NH3 ……………………………………....
50
18. Hasil Sidik Ragam Produksi VFA ………………………………………
50
19. Hasil Sidik Ragam Kapasitas Tampung Berdasarkan BK Tercerna ……
50
20. Uji Lanjut Kontras Ortogonal Kapasitas Tampung BK Tercerna ………
51
xiii
PENDAHULUAN Latar Belakang Kabupaten Nagekeo adalah salah satu Kabupaten di Propinsi Nusa Tenggara Timur dengan luas wilayah 1.416,96 km2 dan berpenduduk 132.458 jiwa (tahun 2008). Kabupaten Nagekeo tergolong daerah yang beriklim tropis dan terbentang hampir sebagian besar padang rumput, serta kaya dengan fauna, antara lain hewanhewan besar, hewan-hewan kecil, unggas dan binatang liar. Kondisi iklim yang sejuk dan ketersediaan hijauan yang relatif besar sangat cocok bagi pengembangan ternak ruminansia. Daya dukung alami berupa tersedianya padang penggembalaan yang tersebar di 7 kecamatan. Selain sebagai padang penggembalaan, lahan yang tersedia dapat juga didayagunakan sebagai kebun hijauan makanan ternak. Potensi sumber daya alam tersebut harus dimanfaatkan secara optimal untuk mengembangkan peternakan
khususnya
peternakan
ruminansia
dalam
rangka
percepatan
pembangunan daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Sampai dengan tahun 2009, Direktorat Jenderal Peternakan mencatat total populasi ternak ruminansia di Indonesia yaitu kerbau, sapi potong dan sapi perah telah mencapai angka 15.167.466 ekor, sedangkan untuk ternak ruminansia kecil yaitu kambing dan domba telah mencapai angka 26.014.083 ekor. Dari total populasi ternak ruminansia di Indonesia ini, sebanyak 56% tersebar di Pulau Jawa dengan kondisi lahan yang terus bersaing baik untuk pemukiman maupun untuk produksi pangan. Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk maka dapat dipastikan akan terjadi peningkatan pula dalam kebutuhan daging, sehingga sektor peternakan ruminansia sangat potensial untuk dikembangkan. Hal ini akan mendorong peningkatan populasi ternak yang harus diimbangi dengan meningkatnya jumlah pakan terutama hijauan makanan ternak yang mempunyai kuantitas dan kualitas yang unggul. Lebih dari 60% pakan yang dikonsumsi oleh ternak ruminansia merupakan hijauan makanan ternak. Oleh karena itu, pengembangan ternak ruminansia harus berorientasi pada daerah-daerah di luar Pulau Jawa yang masih potensial dalam hal ketersediaan lahan yang dapat mendukung pemenuhan hijauan makanan ternak yang cukup baik secara kualitas maupun kuantitas. Dalam rangka memasuki otonomi daerah yang telah digulirkan oleh pemerintah, Kabupaten Nagekeo sebagai daerah yang sedang berkembang dituntut
untuk mengembangkan potensi sumber daya alam secara optimal dan bertanggung jawab dalam rangka percepatan pembangunan daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kawasan yang potensial bagi pengembangan ternak ruminansia terutama dalam aspek ketersediaan lahan padang penggembalaan, populasi ternak dan tatacara beternak di Kabupaten Nagekeo terdapat di sembilan desa yaitu desa Nagarawe, Ulupulu, Bidoa, Labolewa, Natatoto, Rendubutowe, Renduwawo, Dhereisa, dan Tedakisa dengan total luas padang penggembalaan mencapai 63.545,69 ha. Potensi ini harus didukung dengan kondisi tanah yang baik, produktivitas rumput yang optimal dengan tingkat kandungan nutrisi yang baik agar bisa memenuhi kebutuhan hijauan makanan ternak baik secara kualitas maupun kuantitas. Untuk itu diperlukan analisa terhadap kandungan nutrisi untuk mengetahui sejauh mana pengaruh kondisi lahan di daerah tersebut terhadap kualitas kandungan nutrisi hijauan di padang penggembalaan. Selain itu, diperlukan data produktivitas rumput per ha per tahun untuk melihat daya dukung masing-masing desa terhadap ternak ruminansia melalui perhitungan kapasitas tampung. Informasi kondisi tanah, produktivitas rumput serta kandungan nutrisi hijauan pakan sangat diperlukan dalam menentukan lokasi yang tepat untuk pengembangan ternak ruminansia melalui optimalisasi padang penggembalaan di Kabupaten Nagekeo. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi pengembangan ternak ruminansia ditinjau dari kondisi tanah, produktivitas dan kualitas nutrisi padang penggembalaan serta melakukan analisis perbandingan dari sembilan desa di Kabupaten Nagekeo, Flores, Nusa Tenggara Timur.
2
TINJAUAN PUSTAKA Gambaran Umum Kabupaten Nagekeo Kabupaten Nagekeo terletak di Pulau Flores Nusa Tenggara Timur dengan luas wilayah 1.416,96 km2 dan berpenduduk 132.458 jiwa (tahun 2008). Kabupaten Nagekeo terletak di sebelah barat dari Pulau Flores dengan ibukota kabupaten adalah Mbay. Kabupaten Nagekeo dibentuk berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2007. Wilayah Kabupaten Nagekeo terdiri dari 7 kecamatan yang meliputi 78 desa dan 15 kelurahan (data tahun 2008). Kecamatankecamatan yang terdapat di wilayah Kabupaten Nagekeo meliputi Kecamatan Mauponggo, Kecamatan Keo Tengah, Kecamatan Nangaroro, Kecamatan Boawae, Kecamatan Aesesa, Kecamatan Aesesa Selatan, dan Kecamatan Wolowae (BPS Kabupaten Nagekeo, 2009). Kabupaten Nagekeo tergolong daerah yang beriklim tropis dan terbentang hampir sebagian besar padang rumput, juga ditumbuhi pepohonan seperti kemiri, asam, kayu manis, lontar dan sebagainya serta kaya dengan fauna, antara lain hewanhewan besar, hewan-hewan kecil, unggas, binatang menjalar, dan binatang liar. Potensi padang penggembalaan pada enam kawasan yang meliputi sembilan desa di Kabupaten Nagekeo dapat dilihat pada Tabel 1. Perkembangan ternak di Kabupaten Nagekeo mengalami penurunan, dimana pada tahun 2007 populasi ternak besar adalah sebagai berikut: sapi 21.803; kerbau 7.748; dan kuda 4.402 ekor. Sementara untuk 3 jenis ternak kecil terdiri dari kambing sebanyak 39.365 ekor dan domba sebanyak 3.572 ekor, sedangkan populasi babi sebanyak 54.000 ekor (BPS Kabupaten Nagekeo, 2009). Secara geografis Kabupaten Nagekeo terletak antara 8026’16,12” LS – 8054’40,24” LS dan 12105’19,52” BT – 121031’30,94” BT. Bagian utara berbatasan dengan Laut Flores, bagian selatan berbatasan dengan Laut Sawu, bagian timur berbatasan dengan Kabupaten Ende dan bagian barat berbatasan dengan Kabupaten Ngada. Sedangkan wilayah dengan ketinggian tanah dari permukaan laut 0 – 250 m seluas 30,72%; 251 – 500 m seluas 34,84%; 501 – 750 m seluas 15,86%; 751 – 1000 m seluas 10,75%; lebih tinggi dari 1000 m seluas 7,83%. Kondisi iklim yang sejuk dan ketersediaan hijauan yang relatif besar sangat cocok bagi pengembangan ternak
sapi. Rata-rata curah hujan di Kabupaten Nagekeo adalah 121,92 mm/thn dengan rata-rata hari hujan adalah 100 hari/tahun (BPS Kabupaten Nagekeo, 2009). Tabel 1. Luas Padang Penggembalaan di Sembilan Desa di Kabupaten Nagekeo. No
Kawasan
Lokasi (Desa)
1
Nagarawe
Nagarawe
2
Ndora
Ulupulu
2.910,41
3
Ndora
Bidoa
4.065,01
4
Lambo
Lambo
3.677,13
5
Ratedao
Natatoto
6
Rendu
Rendubutowe
3.636,90
7
Rendu
Renduwawo
7.587,19
8
Rendu
Dhereisa
3.713,04
9
Munde
Tedakisa
8.618,50
Total
Luas Padang (Ha) 11.890,16
17.447,35
63.545,69
Sumber : BPS Kabupaten Nagekeo (2009)
Sumber : BPS Kabupaten Nagekeo (2009)
Gambar 1. Peta Kabupaten Nagekeo Padang Penggembalaan Menurut Reksohadiprodjo (1994) padang penggembalaan adalah suatu daerah padangan dimana tumbuh tanaman makanan ternak yang tersedia bagi ternak yang dapat merenggutnya menurut kebutuhannya dalam waktu singkat. Beberapa macam 4
padang
penggembalaan
diantaranya
padang
penggembalaan
alam,
padang
penggembalaan permanen yang sudah ditingkatkan, padang penggembalaan temporer dan padang penggembalaan irigasi. Beberapa cara menggembalakan ternak di padang penggembalaan antara lain yaitu cara ekstensif dengan menggembalakan ternak di padangan yang luas tanpa rotasi, semi-ekstensif dengan melakukan rotasi namun pemilihan hijauan masih bebas, cara intensif dengan melakukan rotasi tiap petak dengan hijauan dibatasi, strip grazing dengan menempatkan kawat sekeliling ternak yang bisa dipindah dan solling dengan hijauan padangan yang dipotong dan diberikan pada ternak di kandang. Menurut Pearson dan Ison (1987) terdapat beberapa komponen biologis yang saling berhubungan dalam suatu siklus biologi yang dinamis di padang penggembalaan. Komponen tersebut yaitu lingkungan, tanaman dan ternak. Semua komponen tersebut diintegrasikan ke dalam suatu sistem manajemen padang penggembalaan. Crowder dan Chheda (1982) menambahkan bahwa aspek lain yang berhubungan dalam manajemen pastura adalah pengetahuan tentang tanaman pastura, kesuburan tanah, iklim, kesesuaian populasi tanaman dan asosiasi botani. Produksi rumput di padang penggembalaan ditentukan oleh beberapa faktor seperti
iklim,
pengelolaan,
kesuburan
tanah,
pemeliharaan
dan
tekanan
penggembalaan (Reksohadiprodjo, 1994). Kandungan nutrisi rumput banyak ditentukan oleh umur tanaman saat digembalakan, jenis rumput, intensitas cahaya dan suhu, lingkungan dan manajemen berpengaruh terhadap produktivitas ternak, ternak yang dilahirkan pada musim panas umumnya memiliki bobot badan yang rendah, produksi dan kualitas susu rendah, pertumbuhan anak domba terhambat (Brandano et al., 2004). Pengaruh Kondisi Tanah Terhadap Pertumbuhan Tanaman Faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan adalah cahaya, temperatur, air, ketersediaan komponen udara dan kesuburan tanah. Sementara faktor internal yang mendukung pertumbuhan mencakup semua proses fisiologi dari jaringan, kondisi stomata, akumulasi atau ketersediaan bahan makanan seperti glukosa dan perubahan struktural dari jaringan tumbuhan sebagai respon terhadap pertumbuhan, peningkatan umur pohon, serta penyakit yang terdapat pada bagian tumbuhan (Fritts, 1976). 5
Topografi dalam hal ini tingkat kemiringan lereng dapat dinyatakan dalam derajat atau persen. Dua titik yang berjarak horizontal 100 m yang mempunyai selisih tinggi 10 m membentuk lereng 10%. Kecuraman lereng 100% sama dengan kecuraman 45º (Arsyad, 1980). Pengaruh dari topografi sangat kompleks, termasuk didalamnya adalah perbedaan tanah, temperatur udara, evapotranspirasi, dan cahaya matahari. Tempat tumbuh dengan topografi yang sama menunjukkan keseragaman yang tinggi terhadap variabilitas lingkaran tumbuh dari tahun ke tahun (Philipson et al.,1971; Oberhuber dan Kofler, 2000). Semakin besar kemiringan lereng menyebabkan peningkatan laju aliran permukaan. Adapun sifat tanah yang mempengaruhi aliran permukaan adalah tekstur, struktur, bahan organik, kedalaman, sifat lapisan bawah dan tingkat kesuburan tanah (Arsyad, 1980). Efisiensi penyerapan hara oleh akar lebih baik pada tanah dengan kondisi lembap daripada kering. Selain dipengaruhi oleh kekeringan, air tanah yang berlebihan tanpa drainase dapat menjadi faktor pembatas pertumbuhan. Hal ini disebabkan oleh terhambatnya pengambilan oksigen, absorpsi air dan serapan hara (Rendig dan Taylor, 1989). Bahan organik tanah merupakan komponen kecil dari tanah mineral, namun mempunyai fungsi dan peranan sangat penting di dalam menentukan kesuburan dan produktivitas tanah melalui pengaruhnya terhadap sifat fisik, kimia dan biologi tanah (Stevenson, 1982). Menurut Tan (1991), tanah memiliki produktivitas yang baik apabila kadar bahan organik berkisar antara 8 sampai 16%. Oleh karena itu untuk meningkatkan jumlah bahan organik tanah secara bertahap, bahan organik harus dikembalikan ke tanah sehingga akan terjadi akumulasi bahan organik tanah. Stevenson (1982) menyatakan peranan bahan organik terhadap sifat kimia tanah adalah: (1) membentuk kelat dengan ion logam penting seperti Cu, Fe, Al dan Mn, sehingga menjadi bentuk yang stabil dalam tanah dan pada kondisi tanah tertentu dapat dimanfaatkan tanaman atau mikroorganisme tanah, (2) sebagai penyangga perubahan pH tanah, (3) meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK) tanah, dan (4) bereaksi dengan senyawa organik lain seperti senyawa dari pestisida atau herbisida yang akhirnya ada yang menyebabkan perubahan bioaktivitasnya. Pada tanah masam, ion Al, Fe dan Mn dapat ditukar tinggi dan akan berpengaruh buruk bagi pertumbuhan tanaman karena daerah jelajah akar menjadi 6
sempit (Soepardi, 1983). Unsur P sangatlah penting untuk tanaman karena terlibat hampir pada seluruh proses metabolisme. Unsur P merupakan penyusun yang esensial untuk semua sel hidup, dengan demikian rendahnya kandungan hara tersebut akan mempengaruhi semua aspek metabolisme dan pertumbuhan (Gunarto et al., 1998). Tan (1991) menyatakan bahwa curah hujan yang sangat besar dan jauh melebihi kebutuhan tanah dan tanaman menyebabkan tanah tererosi dan terlindih berat yang mengakibatkan terangkutnya garam terlarut. Pada suasana tersebut kecuali komponen asam hanya Fe dan Al serta beberapa logam oksida saja yang dapat tahan terhadap pelapukan, oleh karena itu reaksi tanah menjadi asam atau sangat asam. Kapasitas Tampung Kapasitas tampung adalah kemampuan padang penggembalaan untuk menghasilkan hijauan makanan ternak yang dibutuhkan oleh sejumlah ternak yang digembalakan dalam luasan satu hektar atau kemampuan padang penggembalaan untuk menampung ternak per hektar (Reksohadiprodjo, 1994). Kapasitas tampung juga dapat diartikan sebagai kemampuan padang rumput dalam menampung ternak (Susetyo, 1980) atau jumlah ternak yang dapat dipelihara per satuan luas padang (Subagio dan Kusmartono, 1988). Dengan demikian kapasitas tampung tersebut tergantung pada berbagai faktor seperti kondisi tanah, pemupukan, faktor klimat, spesies hijauan, serta jenis ternak/satwa yang digembalakan atau terdapat di suatu padangan. Kapasitas tampung identik dengan tekanan penggembalaan (stocking rate) yaitu jumlah ternak atau unit ternak per satuan luas padang penggembalaan. Tekanan penggembalaan optimum merupakan pencerminan dari kapasitas tampung yang sebenarnya dari padang penggembalaan, karena baik pertumbuhan ternak maupun hijauan dalam keadaan optimum atau merupakan pencerminan keseimbangan antara padang rumput dengan jumlah unit ternak yang digembalakan (Susetyo, 1980).
7
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan kapasitas tampung (Subagio dan Kusmartono, 1988) yaitu : 1. Penaksiran kuantitas produksi hijauan. Umumnya dilakukan dengan metode cuplikan dengan memakai frame berukuran tertentu dengan bentuk yang bermacam-macam (persegi, bujur sangkar, lingkaran atau segitiga). Pengambilan sampel dilapangan dilakukan secara acak. Banyaknya ditentukan dengan melihat homogenitas lahan yaitu komposisi botani, penyebaran produksi, serta topografi lahan. Hijauan yang terdapat dalam areal frame dipotong lebih kurang 5-10 cm diatas permukaan tanah dan ditimbang beratnya. 2. Penentuan Proper Use Factor Konsep Proper Use Factor (PUF) besarnya tergantung pada jenis ternak yang digembalakan, spesies hijauan di padangan, tipe iklim setempat serta kondisi tanah padangan. Untuk penggunaan padangan ringan, sedang, dan berat nilai PUF-nya masing-masing adalah 25-30%, 40-45%, dan 60-70%. Konsep ini digunakan dalam menaksir produksi hijauan antara lain karena : ‐
Erodibilitas lahan, yaitu jika lahan semakin mudah mengalami erosi dengan hamparan vegetasi rendah, sebaiknya tidak terlalu banyak hijauan dipanen.
‐
Pola pertumbuhan kembali hijauan. Bila hijauannya mempunyai pola pertumbuhan setelah panen lamban, maka sebaiknya tidak semua hijauan yang ada diperhitungkan untuk menentukan jumlah ternak yang akan dipelihara.
‐
Jenis dan perkiraan jumlah ternak yang akan dipelihara bahwa semakin banyak jenis ternak yang dipelihara maka injakan ternak terhadap rerumputan mengakibatkan tidak 100% hijauan yang ada dapat dikonsumsi ternak.
3. Menaksir kebutuhan luas tanah per bulan Penaksiran ini didasarkan pada kemampuan ternak mengkonsumsi hijauan. Data kebutuhan rumput padang penggembalaan seekor ternak per bulan diestimasi berdasarkan bobot badan untuk selanjutnya digunakan dalam penentuan luas lahan yang dibutuhkan oleh ternak tersebut per bulan dengan mengetahui produksi rumput padang penggembalaan per ha.
8
4. Menaksir kebutuhan luas tanah per tahun Suatu padangan memerlukan masa agar hijauan yang telah dikonsumsi ternak tumbuh kembali dan siap untuk digembalai lagi. Masa ini disebut sebagai periode istirahat. Padang rumput tropika membutuhkan waktu 70 hari untuk istirahat setelah digembalai selama 30 hari. Untuk menaksir kebutuhan luas tanah per tahun digunakan rumus Voisin yaitu sebagai berikut : (Y-1)s = r dimana : Y = jumlah satuan luas tanah (paddock) terkecil yang dibutuhkan seekor sapi (1 ST) s = periode merumput (stay) r = periode istirahat (rest) Analisa Proksimat Informasi umum mengenai kualitas bahan pakan dapat diketahui dari hasil analisa proksimat yang telah digunakan lebih dari 100 tahun yang lalu. Analisa tersebut disebut sebagai analisa Weende analisa proksimat yang dikembangkan pada tahun 1860 oleh Henneberg dan Stohmann di Jerman (Aquaculture, 2008). Analisa proksimat merupakan uji analisa suatu bahan pakan yang telah lama ada dan dapat digunakan untuk menduga nilai nutrien dan nilai energi dari bahan atau campuran pakan yang berasal dari bagian komponen bahan pakan tersebut (NRC, 1994). Analisa proksimat dibagi ke dalam enam fraksi zat makanan yaitu kadar air, abu, protein kasar, lemak, serat kasar dan bahan ekstrak tanpa nitrogen (Amrullah, 2004). Adapun skema analisa proksimat bahan pakan ditampilkan pada Gambar 2. Air Bahan makanan
Abu Bahan Kering
Protein Bahan Organik
Lemak Bahan Organik Tanpa N
Serat Kasar Karbohidrat Bahan Ekstrak Tanpa N
Gambar 2. Skema Analisa Proksimat Bahan Pakan (Amrullah, 2004) 9
Pakan yang baik dapat diketahui dari komposisi nutrien yang dikandung, kecernaan nutrien dan kemampuan dalam menyediakan energi serta ada tidaknya penghambat dalam pakan tersebut. Cheeke (1999) menyatakan bahwa terdapat beberapa metode yang biasa digunakan untuk mendapatkan informasi mengenai komposisi nutrien diantaranya adalah analisis pakan. Metode analisis pakan tersebut meliputi penentuan bahan kering, protein kasar, ekstrak eter, abu, serat kasar dan bahan ekstrak tanpa nitrogen. Selanjutnya, menurut Wiseman dan Cole (1990) kebanyakan data kimia bahan pakan merupakan data komposisi kimia bahan pakan berdasarkan hasil analisa proksimat. Ensminger (1991) menyatakan bahwa komposisi hasil analisis kimia pakan merupakan acuan mendasar untuk evaluasi pakan. Selain itu, berdasarkan hasil analisa proksimat suatu bahan pakan yang memiliki nilai komposisi kimia yang bervariasi akan lebih mudah diketahui, jika disusun ke dalam sebuah tabel sehingga menjadi sebuah data tabulasi untuk keperluan pembuatan ransum (Parakkasi, 1990). Kebanyakan penetapan hasil analisis tersebut berdasarkan bahan kering (dry matter basic). Hal tersebut dikarenakan secara alamiah kandungan air (moisture) dari bahan pakan, jaringan tubuh hewan dan sampel yang dianalisis beragam (Church dan Pond, 1988). Fermentabilitas Pakan Bahan makanan yang masuk ke dalam alat pencernaan akan mengalami perubahan fisik dan kimia. Proses pencernaan pada ternak ruminansia terjadi secara mekanis (mulut), pencernaan hidrolitik dan pencernaan fermentatif di dalam rumen (Sutardi, 1980). Proses fermentasi pakan di dalam rumen menghasilkan VFA dan NH3, serta gas-gas (CO2, H2, dan CH4) yang dikeluarkan dari rumen melalui proses eruktasi (Arora, 1989). Volatile Fatty Acid (VFA). Karbohidrat pakan di dalam rumen mengalami dua tahap pencernaan oleh enzim-enzim yang dihasilkan oleh mikroba rumen. Tahap pertama, karbohidrat mengalami hidrolisis menjadi monosakarida, seperti glukosa, fruktosa, dan pentosa. Selanjutnya, gula sederhana tersebut dipecah menjadi asam asetat, asam propionat, asam butirat, CO2, dan CH4 (McDonald et al., 2002). 10
VFA merupakan produk akhir fermentasi karbohidrat dan merupakan sumber energi utama ruminansia asal rumen. Peningkatan jumlah VFA menunjukkan mudah atau tidaknya pakan tersebut difermentasi oleh mikroba rumen. Oleh sebab itu, produksi VFA di dalam cairan rumen dapat digunakan sebagai tolok ukur fermentabilitas pakan (Hartati, 1998). Menurut Sutardi (1980), kisaran VFA ransum yang optimal adalah 80-160 mM. Hijauan umumnya memiliki pola fermentasi dengan proporsi molar asetat yang tinggi dan proporsi propionat dan butirat yang rendah, dimana rasio asetat:propionat:butirat adalah 69:17:14. Pakan mengandung tinggi konsentrat umumnya memproduksi fermentasi propionat (55:32:13); pakan yang mengandung tinggi sukrosa menghasilkan fermentasi butirat (55:14:31) (Harrison dan McAllan, 1980). Menurut McDonald et al. (2002), ransum dengan komposisi 40% hijauan:60% konsentrat, akan menghasilkan VFA total sebesar 96 mM dengan perbandingan 61% asetat, 18% propionate dan 8% butirat pada sapi, sedangkan domba akan menghasilkan VFA total sebesar 76 mM dengan perbandingan 52% asetat, 34% propionate dan 12% butirat (McDonald et al., 2002). Amonia (NH3). Protein pakan di dalam rumen dipecah oleh mikroba menjadi peptida dan asam amino, beberapa asam amino dipecah lebih lanjut menjadi ammonia. Amonia diproduksi bersama dengan peptida dan asam amino yang akan digunakan oleh mikroba rumen dalam pembetukan protein mikroba (McDonald et al., 2002). Produksi NH3 berasal dari protein yang didegradasi oleh enzim proteolitik. Di dalam rumen, protein dihidrolisis pertama kali oleh mikroba rumen. Tingkat hidrolisis protein bergantung dari daya larutnya yang berkaitan dengan kenaikan kadar NH3 (Arora, 1989). Kadar amonia dalam rumen merupakan petunjuk antara proses degradasi dan proses sintesis protein oleh mikroba rumen. Jika pakan defisien akan protein atau proteinnya tahan degradasi maka konsentrasi amonia dalam rumen akan rendah dan pertumbuhan mikroba rumen akan lambat yang menyebabkan turunnya kecernaan pakan (McDonald et al., 1987). Amonia merupakan sumber nitrogen utama untuk sintesis protein mikroba oleh karena itu konsentrasinya dalam rumen merupakan suatu hal yang perlu diperhatikan (Satter dan Slyier, 1974). Menurut McDonald et al. (2002), kisaran 11
konsentrasi NH3 yang optimal untuk sintesis protein oleh mikroba rumen adalah 6-21 mM. Ranjhan (1977) menyatakan bahwa peningkatan jumlah karbohidrat yang mudah difermentasi akan mengurangi produksi amonia karena terjadi kenaikan penggunaan amonia untuk pertumbuhan protein mikroba. Kondisi yang ideal adalah sumber energi tersebut dapat difermentasi sama cepatnya dengan pembentukan NH3 sehingga pada saat NH3 terbentuk terdapat produksi VFA asal karbohidrat yang akan digunakan sebagai sumber dan kerangka karbon dari asam amino protein mikroba telah tersedia. Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik (KCBK dan KCBO) Kecernaan merupakan perubahan fisik dan kimia yang dialami bahan makanan dalam alat pencernaan. Perubahan tersebut dapat berupa penghalusan bahan makanan menjadi butir-butir atau partikel kecil atau penguraian molekul besar menjadi molekul kecil. Selain itu, pada ruminansia pakan juga mengalami perombakan sehingga sifat-sifat kimianya berubah secara fermentatif sehingga menjadi senyawa lain yang berbeda dengan zat makanan asalnya. Kecernaan adalah indikasi awal ketersediaan nutrien yang terkandung dalam bahan pakan tertentu bagi ternak yang mengkonsumsinya. Kecernaan yang tinggi mencerminkan besarnya sumbangan nutrien tertentu pada ternak, sementara itu pakan yang mempunyai kecernaan rendah menunjukkan bahwa pakan tersebut kurang mampu menyuplai nutrien untuk hidup pokok maupun untuk tujuan produksi ternak (Arora, 1989). Kecernaan dapat diukur dengan teknik in vitro menurut Tilley dan Terry (1969). Kecernaan bahan kering dipengaruhi oleh kandungan protein pakan karena setiap sumber protein memiliki kelarutan dan ketahanan degradasi yang berbeda-beda (Sutardi, 1980). Kecernaan bahan organik merupakan faktor penting yang dapat menentukan nilai pakan (Sutardi, 1980). Sutardi (1981) melaporkan bahwa sebagian besar komponen bahan kering terdiri atas bahan organik sehingga faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya KCBK akan mempengaruhi juga tinggi rendahnya KCBO.
12
MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian lapangan dilaksanakan pada enam kawasan yaitu Nagerawe, Ndora, Lambo, Ratedao, Rendu dan Munde, yang terdiri dari sembilan desa yaitu Desa Dhereisa, Bidoa, Tedakisa, Renduwawo, Ulupulu, Nagarawe, Rendubutowe, Lambo, dan Natatoto di Kabupaten Nagekeo, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Analisis proksimat dilakukan di Pusat Studi Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor, sedangkan untuk analisa Kecernaan Bahan Kering (KCBK), Kecernaan Bahan Organik (KCBO), produksi NH3 dan produksi VFA secara in vitro dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ternak Perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Februari 2011 sampai dengan bulan Mei 2011. Materi Peralatan yang dipergunakan dalam pengambilan sampel rumput padang penggembalaan adalah petak cuplikan berukuran 0,5 x 0,5 m, alat pemotong rumput, dan kantong tempat sampel rumput. Alat yang digunakan untuk pengambilan sampel tanah adalah alat untuk mengambil tanah dan kantong tempat sampel tanah. Peralatan utama yang digunakan dalam pengukuran KCBK, KCBO, produksi NH3 dan VFA antara lain polyethilen glass 100 ml, tabung gas CO2, termos, kain penyaring, waterbath suhu 39 oC, cawan Conway, sentrifuse, pompa vakum, oven 105oC, tanur, magnetic stirrer, destilator, buret, kondensor, tabung fermentor ukuran 100 ml, tutup karet berventilasi, pipet automatic 10-1000µl, panci press cooker, dan seperangkat alat destilasi. Peralatan yang digunakan dalam analisa proksimat adalah oven 150 oC, tanur 600 oC, labu soxhlet, labu Kjeldahl, dan corong Buchner. Bahan yang digunakan adalah sampel rumput dan sampel tanah masingmasing desa. Untuk analisis KCBK/KCBO, produksi NH3 dan VFA digunakan cairan rumen yang diambil dari sapi fistula PO (Peranakan Ongole) dengan bobot badan 250 kg.
Prosedur Penentuan Lokasi Penelitian Kabupaten Nagekeo terdiri dari 7 kecamatan yang meliputi 78 desa. Dari 7 kecamatan tersebut dipilih enam kawasan yaitu Nagerawe, Ndora, Lambo, Ratedao, Rendu dan Munde, yang terdiri dari sembilan desa yaitu Desa Dhereisa, Bidoa, Tedakisa, Renduwawo, Ulupulu, Nagarawe, Rendubutowe, Lambo, dan Natatoto. Pemilihan desa ini berdasarkan luasan padang penggembalaan yang dimiliki masingmasing desa sangat potensial untuk pengembangan ternak ruminansia. Pengambilan Sampel Tanah dan Analisis Tanah Sampel tanah diambil secara acak pada tiga titik yang berbeda di masingmasing padang penggembalaan, kemudian dikomposit dan diambil sebanyak 200 gram untuk dianalisis di laboratorium. Analisis yang dilakukan meliputi analisis tekstur dengan metode pipet, analisis pH tanah dengan menggunakan pH meter dan analisis nilai tukar kation dengan metode NH4-Asetat 1N. Untuk analisis bahan organik yaitu C (karbon) dengan metode Walkey dan Black, analisis N dengan metode Kjeldahl, analisis P2O5 dengan metode Olsen dan analisis K2O menggunakan metode Bray 1. Pengambilan Sampel Rumput dan Analisis Sampel Rumput Masing-masing Desa Pengambilan sampel rumput dan pengukuran kapasitas tampung dilakukan dengan menggunakan Metode Hall, yaitu berdasarkan hijauan yang tersedia. Metode untuk menentukan letak petak cuplikan dengan cara pengacakan. Prosedur pengambilan sampel rumput dan penentuan kapasitas tampung dengan Metode Hall adalah sebagai berikut: Sampel rumput diambil pada 3 titik untuk setiap desa. Sampel rumput ditentukan dengan mengambil petak cuplikan pertama secara acak seluas 0,25 m2. Petak cuplikan kedua diambil jarak 10 langkah ke kanan dari petak cuplikan pertama dengan luas 0,25 m2. Cuplikan ketiga selanjutnya diambil pada jarak lurus 125 m dari cuplikan kedua. Hijauan tersebut kemudian dimasukkan dalam kantong kemudian ditimbang bobot segarnya. Selanjutnya ditentukan Proper Use Factor (PUF) sehingga dapat ditentukan produksi hijauan yang tersedia untuk ternak.
14
Faktor musim berpengaruh terhadap produktivitas padang rumput maka ditentukan waktu istirahat (rest) dan waktu merumput (stay) dengan rumus Voisin yaitu: (Y-1)s = r dimana : Y = jumlah satuan luas tanah (paddock) terkecil yang dibutuhkan seekor sapi (1 ST) s = periode merumput (stay) = 30 hari r = periode istirahat (rest) = 10 minggu = 70 hari Sampel rumput yang telah didapatkan kemudian diidentifikasi jenis rumputnya untuk menentukan komposisi botani padang penggembalaan masingmasing desa. Setelah melakukan identifikasi, sampel kemudian dikomposit dan dimasukkan ke dalam kantong untuk ditimbang bobot segarnya, selanjutnya dikering udara untuk mengetahui berat kering dan dikeringkan di oven 105 ºC untuk diketahui bahan keringnya (BK/0,25 m2). Bahan kering yang didapat kemudian dikonversi ke dalam luasan lahan padang penggembalaan masing-masing desa sehingga didapat total produksi BK masing-masing desa. Selanjutnya
dilakukan
evaluasi
kandungan
nutrisi
sampel
rumput
menggunakan analisa proksimat untuk diketahui kandungan kadar air (KA), kadar abu, protein kasar (PK), lemak kasar (LK) dan serat kasar (SK). Untuk penentuan TDN menurut Sutardi (1981) digunakan persamaan regresi berganda untuk menduga TDN dari komposisi proksimat. Nilai TDN untuk hijauan dengan SK > 18% didapatkan dengan rumus : % TDN = 92,464 – 3,338 SK – 6,945 LK – 0,762 Beta-N + 1,115 PK + 0,031 SK2 – 0,133 LK2 + 0,036 (SK)(Beta-N) + 0,207 (LK)(Beta-N) + 0,1 (LK)(PK) – 0,022 (LK)2(PK) Tahap selanjutnya adalah evaluasi kandungan nutrisi sampel rumput secara in vitro yaitu Koefisien Cerna Bahan Kering (KCBK), Koefisien Cerna Bahan Organik (KCBO), produksi NH3 dan produksi VFA. Perhitungan KCBK dan KCBO berdasarkan Tilley dan Terry (1969). Pengukuran produksi NH3 menggunakan metode Mikrodifusi Conway (General Laboratory Procedures, 1966). Sedangkan pengukuran produksi VFA dilakukan dengan menggunakan metode steam destilasi (General Laboratory Procedures, 1966).
15
Ketersediaan BK/ha dihitung dari produksi BK/ha setelah dikalikan dengan Proper Use Factor (PUF) untuk tekanan penggembalaan sedang yaitu 45%. Ketersediaan BK/ha = 45% x Produksi BK/ha Berdasarkan data kecernaan bahan kering (KCBK) dihitung ketersediaan bahan kering tercerna per ha, dengan rumus : Ketersediaan BK tercerna/ha = BK/ha x %KCBK Ketersediaan BK tercerna masing-masing desa dihitung dengan cara mengalikan ketersediaan BK tercerna/ha dengan luasan padang penggembalaan masing-masing desa. Kemudian dihitung kapasitas tampung berdasarkan ketersediaan BK tercerna. Asumsi: Bobot badan (BB) ternak = 300 kg Konsumsi BK = 3 % BB/hari Pakan = 100% rumput padang penggembalaan Kebutuhan BK = 3% x 300 kg = 9 kg/ekor/hari Nilai kecernaan pakan yang baik bila lebih besar dari 60% (Sutardi,1980) Kebutuhan BK tercerna = 60% x 9 kg/ekor/hari = 5.4 kg/ekor/hari Jumlah satuan luas tanah (paddock) = 3 ; dengan periode istirahat (r) = 10 minggu (70 hari) Kebutuhan luas tanah per bulan (30 hari) = Kebutuhan BK tercerna selama 30 hari Produksi hijauan per ha Kebutuhan luas tanah per tahun (ha/ST) = 3 x Kebutuhan luas tanah per bulan Kapasitas tampung (ST/ha) =
1 Kebutuhan luas tanah per tahun
Potensi pengembangan ternak ruminansia dihitung berdasarkan kapasitas tampung berdasarkan ketersediaan BK tercerna (ST/ha) dikali dengan luas padang penggembalaan masing-masing desa. Skoring Masing-masing Desa Perhitungan skor masing-masing desa dilakukan dua tahap, pertama penentuan nilai setiap parameter berdasarkan kriteria penilaian (Tabel 2) dan kedua penentuan skor setiap parameter setelah dikalikan dengan bobot setiap parameter. Bobot setiap parameter ditentukan berdasarkan tingkat pengaruhnya terhadap penentuan potensi padang penggembalaan yang berkualitas yaitu untuk bobot kapasitas tampung BK tercerna, kondisi tanah, dan kualitas nutrisi berturut-turut 16
adalah 40%, 30% dan 30%. Selanjutnya ditentukan desa yang paling potensial berdasarkan beberapa parameter dengan melihat nilai terbesar yang diperoleh dari masing-masing desa tersebut. Tabel 2. Kriteria Penilaian Parameter Kondisi Tanah*
pH N C P K KTK Kualitas Protein Nutrisi Kasara) TDNa) NH3b) VFAc) Kapasitas Tampung BK Tercerna**
Sangat Rendah 1 < 5,0 < 0,1 < 1,00 < 10 < 0,1 <5 < 4,0
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
2 5,1-6,0 0,1-0,2 1,0-2,0 10,0-15,0 0,1-0,2 5,0-16,9 4,0-6,0
3 6,1-6,5 0,21-0,5 2,01-3,00 16-25 0,3-0,5 17,0-24,9 6,1-8,0
4 6,6-6,9 0,51-0,75 3,01-5,00 26-35 0,6-1 25,0-40,0 8,1-10,0
5 7,0 > 0,75 > 5,00 > 35 > 1,0 > 40,0 > 10,0
< 40 < 6,0 < 80
40-45 6,0-7,0 80-100
45,1-50 7,1-8,0 100,1-130
50.1-55 8,1-9,0 130,1-160
> 55 > 9,0 > 160
< 0,1
0,11-0,2
0,21-0,3
0,31-0.5
> 0.5
Keterangan : * Kriteria Penelitian Sifat Kimia Tanah (Hardjowigeno, 1993) **Standar Kapasitas Tampung Daerah Tropika (Mcllroy, 1964) a) NRC (2001) b) McDonald et al. (2002) c) Sutardi (1980)
Rancangan dan Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan lokasi sebagai perlakuan (9 perlakuan) dan 3 ulangan. Perlakuannya adalah sebagai berikut: P1 = Desa Ulupulu P2 = Desa Renduwawo P3 = Desa Tedakisa P4 = Desa Dhereisa P5 = Desa Natatoto P6 = Desa Bidoa P7 = Desa Lambo P8 = Desa Nagarawe P9 = Desa Rendubutowe
17
Model matematik yang digunakan adalah sebagai berikut: Yij = µ + αi + εij Keterangan: Yij = Hasil pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ = Nilai rataan umum αi = Pengaruh perlakuan ke-i εij = Pengaruh galat pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j i = 1, 2, . . , 9 j = 1, 2, 3. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA), jika terdapat perbedaan nyata, signifikansi dihitung dengan menggunakan Uji Lanjut Kontras Ortogonal.
18
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Vegetasi Padang penggembalaan di Kabupaten Nagekeo sangat potensial dilihat dari luasan padang penggembalaan dan memerlukan tambahan ternak untuk kegiatan pengembangan ternak ruminansia. Kondisi padang penggembalaan di sembilan desa dapat dilihat pada Gambar 3. Ada indikasi yang ditemukan di beberapa tempat terlihat bahwa penggembalaan yang dilakukan telah memberikan tekanan yang cukup berat terhadap kelangsungan kualitas padang penggembalaan dengan indikasi antara lain : (1) berkurangnya keragaman spesies rumput dan leguminosa lokal yang dapat dijumpai, (2) menjarangnya kepadatan rumput di lapangan (terdapat tandatanda erosi), (3) mulai munculnya gulma bunga putih (Chromolaena orodata) dan bunga tahi ayam (Lamtana camara) (Gambar 4), kondisi pertumbuhan rumput yang sangat pendek ke permukaan tanah, yang mempersulit renggutan dan kadang tercabut oleh renggutan ternak. Spesies-spesies hijauan makanan ternak yang diidentifikasi di padang penggembalaan di sembilan desa dapat dilihat pada Tabel 3. Dari jenis-jenis spesies hijauan pakan yang diidentifikasi, spesies Heteropogon contortus dan Themeda triandra paling banyak ditemukan dan tersebar di sembilan desa tersebut (Gambar 5). Dari eksisting vegetasi hijauan pakan tersebut hanya ada sedikit leguminosa lokal yang dicatat, yaitu jenis-jenis : Alysicarpus vaginalis, Trifolium sp., dan Desmodium sp., sedangkan yang dominan adalah termasuk dalam jenis rumput alam. Hal ini menunjukkan spesies rumput dan legum tersebut paling berhasil beradaptasi pada kondisi iklim dan tanah di Kabupaten Nagekeo. Menurut Fritts (1976), faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan adalah cahaya, temperatur, air, ketersediaan komponen udara dan kesuburan tanah. Sementara faktor internal yang mendukung pertumbuhan mencakup semua proses fisiologi dari jaringan, kondisi stomata, akumulasi atau ketersediaan bahan makanan seperti glukosa dan perubahan struktural dari jaringan tumbuhan sebagai respon terhadap pertumbuhan, peningkatan umur pohon, serta penyakit yang terdapat pada bagian tumbuhan.
Desa Ulupulu
Desa Bidoa
Desa Dhereisa
Desa Lambo
Desa Natatoto
Desa Nagarawe
Desa Rendubutowe
Desa Renduwawo
Desa Tedakisa Gambar 3. Kondisi Padang Penggembalaan Sembilan Desa di Kabupaten Nagekeo. 20
Chromolaena orodata
Lamtana camara
Gambar 4. Gulma Bunga Putih (Chromolaena orodata) dan Bunga Tahi Ayam (Lamtana camara) pada Padang Penggembalaan di Kabupaten Nagekeo. Tabel 3. Kondisi Vegetasi yang Diidentifikasi pada Sembilan Desa Spesies Hijauan
Jenis
Nama Desa Ulu
Rendu
Teda
Dhe
Nata
Pulu
Wawo
Kisa
reisa
Toto
Naga
Rendu
rawe
Butowe
R
√
√
√
√
√
√
√
R
√
√
√
√
√
√
√
R
-
-
-
-
-
√
-
R
√
-
-
-
-
√
-
Digitaria sp.
R
-
-
-
√
-
-
-
Paspalum sp.
-
-
-
√
√
-
-
-
-
-
-
-
√
-
-
-
-
R
√
-
-
-
-
-
-
-
-
L
-
-
-
-
-
√
-
-
-
Trifolium sp.
L
-
-
-
-
-
√
-
-
-
Desmodium sp.
L
-
-
-
-
-
-
-
-
√
Hijauan
Bidoa
Lambo
√
√
√
√
-
√
-
-
-
-
R
√
Rottboila sp.
R
Dischantium sp.
Heteropogon contortus Themeda triandra Heteropogon insignis Ischaemum timorense
Alsycarpus vaginalis
Keterangan : √ : ada di daerah tersebut; - : tidak ada di daerah tersebut; R: Rumput; L: Legum
21
Rumput Heteropogon contortus
Rumput Themeda triandra
Gambar 5. Spesies-spesies Rumput yang Mendominasi Padang Penggembalaan di Kabupaten Nagekeo. Kondisi Tanah Padang penggembalaan di Kabupaten Nagekeo secara umum memiliki tanah berstruktur liat, berwarna keabu-abuan dengan bahan organik yang rendah. Hasil analisis sampel tanah pada sembilan desa dapat dilihat pada Tabel 4. Secara umum pH tanah berada pada kisaran agak masam. Umumnya pH yang rendah akan menyebabkan ketersediaan unsur hara makro seperti N, P menjadi kurang tersedia. Pada tanah masam, ion Al, Fe dan Mn dapat ditukar tinggi dan akan berpengaruh buruk bagi pertumbuhan tanaman karena daerah jelajah akar menjadi sempit (Soepardi, 1983). Kandungan bahan organik dapat dilihat dari kadar C organik, N dan P. Stevenson (1982) menyatakan peranan bahan organik terutama kadar C, N dan P terhadap sifat kimia tanah adalah: (1) membentuk kelat dengan ion logam penting seperti Cu, Fe, Al dan Mn, sehingga menjadi bentuk yang stabil dalam tanah dan pada kondisi tanah tertentu dapat dimanfaatkan tanaman atau mikroorganisme tanah, (2) sebagai penyangga perubahan pH tanah, (3) meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK) tanah, dan (4) bereaksi dengan senyawa organik lain seperti senyawa dari pestisida atau herbisida yang akhirnya ada yang menyebabkan perubahan bioaktivitasnya. Pada umumnya kandungan C organiknya rendah, kecuali pada Desa Bidoa, Lambo, Renduwawo dan Dhereisa. Menurut Hardjowigeno (1995) mekanisme penyediaan unsur C dan O diambil tanaman dari udara sebagai CO2 melalui stomata daun dalam proses fotosintesis, sehingga kadar C tanah yang rendah tidak nyata berpengaruh. Kandungan N secara umum terlihat rendah untuk semua desa. 22
Defisiensi N pada tanaman menyebabkan terhambatnya pertumbuhan akar dan tajuk, warna daun menjadi kekuningan, ketahanan tanaman terhadap perubahan suhu, kekeringan dan penyakit menurun (Gunarto et al., 2002). Kandungan P secara umum menunjukkan kondisi yang sangat rendah pada ke sembilan desa. Nilai pH yang rendah dapat menyebabkan ketersediaan P rendah. Pada tanah-tanah masam umumnya P terdapat sebagai P-aluminium (P-Al) dan P-besi (P-Fe) dengan kadar rendah dan tidak tersedia bagi tanaman (Tisdale et al., 1990). Unsur P sangatlah penting untuk tanaman karena terlibat hampir pada seluruh proses metabolisme. Unsur P merupakan penyusun yang esensial untuk semua sel hidup, dengan demikian rendahnya kandungan hara tersebut akan mempengaruhi semua aspek metabolisme dan pertumbuhan (Gunarto et al., 1998). Tabel 4. Hasil Analisis Sampel Tanah pada Sembilan Desa Naga
Rendu
rawe
butowe
4.60
4.10
5.20
44.80
38.20
41.00
41.10
55.60
51.30
57.20
54.90
53.70
6.3
6.5
6.4
6.2
6.2
6.2
1.90
2.06
1.40
2.47
2.14
1.90
1.48
0.15
0.15
0.16
0.11
0.18
0.17
0.15
0.12
2.50
2.20
2.60
2.80
2.30
2.20
2.60
3.20
3.10
Ca (cmol(+)/kg)
10.23
12.51
7.32
10.13
10.34
11.35
9.36
10.02
11.26
Mg (cmol(+)/kg)
5.34
5.37
3.54
3.52
4.28
4.00
4.56
5.12
4.91
K (cmol(+)/kg)
0.87
0.86
1.04
0.91
1.06
0.89
0.84
0.89
0.92
Na (cmol(+)/kg)
0.51
0.42
0.41
0.29
0.51
0.26
0.32
0.38
0.37
22.21
26.10
17.92
21.04
25.32
25.32
24.54
25.71
31.95
76.3
73.4
68.7
70.6
63.9
65.2
61.5
63.8
54.6
0.11
0.21
0.10
0.08
0.09
0.06
0.10
0.12
0.12
Ulu
Rendu
Teda
Dhe
Nata
Pulu
Wawo
Kisa
reisa
Toto
-Pasir (%)
5.40
4.30
4.50
3.90
-Debu (%)
43.80
37.60
45.70
-Liat (%)
50.80
58.10
6.3
C-Organik (%)
Bidoa
Lambo
3.80
3.90
44.80
40.60
49.80
51.30
6.5
6.2
1.73
2.06
N-Total (%)
0.13
P2O5 (ppm)
Sifat Tanah Tekstur:
pH (H2O)
KTK(cmol(+)/kg) KB (%) 3+
Al (cmol(+)/kg)
Keterangan : KTK: Kapasitas Tukar Kation; KB: Kejenuhan Basa; Data analisis tanah beserta kriterianya dapat dilihat pada Lampiran 3-5.
Nilai Ca dari kesembilan desa berada pada kriteria sedang hingga tinggi dengan nilai tertinggi sebesar 12,51 (cmol (+)/kg) yaitu pada Desa Renduwawo. Fungsi Ca dalam tanaman adalah sebagai penyusun dinding-dinding sel tanaman, berfungsi dalam pembelahan sel dan untuk pertumbuhan (elongation). Kekurangan
23
Ca akan menyebabkan tunas dan akar tidak dapat tumbuh (tidak dapat berkembang) karena pembelahan sel terhambat, sedangkan pada jagung kekurangan Ca menyebabkan ujung-ujung daun menjadi coklat dan melipat serta terkulai ke bawah saling melekat dengan daun di bawahnya (Hardjowigeno, 1995). Kandungan Mg pada tanah padang penggembalaan di sembilan desa termasuk dalam kriteria tinggi dengan nilai tertinggi yaitu 5,37 (cmol (+)/kg) pada Desa Renduwawo. Menurut Hardjowigeno (1995), Mg sangat penting untuk tanaman karena berperan dalam pembentukan klorofil, sistem enzim (aktivator) dan pembentukan minyak. Defisiensi Mg akan berakibat daun menguning karena pembentukan klorofil terganggu. Secara keseluruhan kadar K pada padang penggembalaan kesembilan desa menunjukkan nilai yang tinggi dengan nilai tertinggi pada Desa Natatoto yaitu 1,06 (cmol (+)/kg). Menurut Hardjowigeno (1995), K ditemukan dalam jumlah banyak di dalam tanah tetapi hanya sebagian kecil yang dapat digunakan oleh tanaman yaitu yang larut dalam air atau yang dapat dipertukarkan (dalam koloid tanah). Hal ini menunjukkan meskipun hasil analisis tanah di sembilan desa menunjukkan kadar K yang tinggi, tetapi belum dapat mengindikasikan tanah tersebut baik. Unsur K mudah bergerak (mobile) di dalam tanaman sehingga gejala-gejala kekurangan K pada daun terutama terlihat pada daun tua, karena daun-daun muda yang masih tumbuh dengan aktif menyedot K dari daun-daun tua tersebut (Hardjowigeno, 1995). Kadar Na tanah padang penggembalaan di sembilan desa berada pada kisaran nilai rendah hingga sedang. Unsur Na merupakan unsur mikro bagi tanaman. Unsur mikro diperlukan tanaman dalam jumlah yang sangat kecil, jika terdapat dalam jumlah yang berlebihan dapat menjadi racun bagi tanaman. Kelebihan unsur Na dalam tanah dapat menimbulkan toksik bagi tanaman, karena akan meningkatkan tekanan osmotik larutan tanah dan akan menurunkan produktivitas tanaman rumput. Ion Na akan mendispersi partikel liat tanah sehingga permukaan liat penopangnya menjadi banyak (Bintoro, 1989). Ca2+, Mg2+, K+ dan Na+ termasuk kation-kation basa, sedangkan yang termasuk kation-kation asam adalah H+ dan Al3+. Kejenuhan basa menunjukkan perbandingan antara jumlah kation-kation basa dengan jumlah semua kation (kation basa dan kation asam) yang terdapat dalam kompleks jerapan tanah. Jumlah
24
maksimum kation yang dapat dijerap tanah menunjukkan besarnya nilai kapasitas tukar kation tanah tersebut (Hardjowigeno, 1995). Nilai kejenuhan basa pada tanah di sembilan desa secara umum menunjukkan nilai yang tinggi hingga sangat tinggi. Desa-desa yang mempunyai nilai kejenuhan basa tanah yang sangat tinggi adalah tanah pada Desa Renduwawo dan Desa Ulupulu dengan nilai kejenuhan basa berturut-turut adalah 73,4% dan 76,3%. Menurut Hardjowigeno (1995), kationkation basa umumnya merupakan unsur hara yang diperlukan tanaman. Di samping itu basa-basa umumnya mudah tercuci, sehingga tanah dengan kejenuhan basa tinggi menunjukkan bahwa tanah tersebut belum banyak mengalami pencucian dan merupakan tanah yang subur. Nilai tukar kation pada beberapa daerah padang penggembalaan secara umum menunjukkan kondisi yang tinggi dengan nilai tertinggi pada padang penggembalaan Desa Renduwawo yaitu 26,10 (cmol (+)/kg). Kapasitas tukar kation merupakan sifat kimia yang sangat erat hubungannya dengan kesuburan tanah. Menurut Hardjowigeno (1995), tanah dengan KTK tinggi mampu menyerap dan menyediakan unsur hara lebih baik daripada tanah dengan KTK rendah, karena unsur-unsur hara terdapat dalam kompleks jerapan koloid maka unsur-unsur hara tersebut tidak mudah hilang tercuci oleh air. Tanah-tanah dengan kandungan bahan organik atau dengan kadar liat tinggi mempunyai KTK lebih tinggi daripada tanah-tanah dengan kandungan bahan organik rendah atau tanah-tanah berpasir. Nilai KTK yang tinggi pada tanah Desa Renduwawo berarti bahwa kesuburan tanah desa tersebut yang cukup baik, selain itu nilai KTK yang tinggi tersebut juga dipengaruhi oleh tekstur tanah kesembilan desa yang bertekstur liat berdasarkan hasil analisis tekstur tanah. Nilai Al pada tanah padang penggembalaan di sembilan desa secara umum tergolong kriteria rendah. Kadar Al yang rendah dalam tanah mengindikasikan tanah tersebut
baik
karena
menurut
Konish
(1992),
aluminium
menyebabkan
penghambatan perpanjangan akar dan menyebabkan gangguan pada penyerapan dan penggunaan P, Ca, dan Mg serta unsur hara esensial lainnya. Hal ini terjadi karena aluminium di dalam jaringan tanaman mengikat langsung dan meracuni DNA, organel sel penting lainnya. Fleming and Foy (1968) menyatakan bahwa kadar ion Al yang tinggi di dalam tanah menimbulkan dua jenis akibat terhadap tanaman, yaitu secara langsung dan tidak langsung. Pengaruh langsung adalah mengakibatkan
25
kerusakan fisik pada akar tanaman dan akibat tidak langsung adalah akar yang rusak tidak dapat berfungsi secara normal untuk menyerap air dan unsur hara dari dalam tanah. Kandungan Nutrisi Hijauan Padang Penggembalaan Kandungan nutrisi hijauan makanan ternak banyak ditentukan oleh perbandingan daun/batang, fase pertumbuhan pada waktu dipotong atau digembalai, jenis rumput, kesuburan tanah, dan pemupukan serta keadaan iklim. Kandungan nutrisi hijauan makanan ternak sangat berpengaruh terhadap produktivitas ternak, kualitas susu rendah dan pertumbuhan anak terhambat (Brandano et al., 2004). Hasil analisa proksimat sampel hijauan di padang penggembalaan masingmasing desa dapat dilihat pada Tabel 5. Berdasarkan hasil analisis proksimat sampel hijauan pada sembilan desa menunjukkan kandungan bahan kering (BK), abu, protein kasar (PK), lemak kasar (LK), Beta-N dan TDN tidak berbeda nyata (P>0,05) pada kesembilan desa dan hanya kandungan serat kasar (SK) yang sangat berbeda nyata (P<0,01) pada kesembilan desa dengan kandungan SK tertinggi pada hijauan Desa Natatoto. Tabel 5. Hasil Analisa Proksimat Sampel Hijauan pada Padang Penggembalaan di Sembilan Desa Desa Ulupulu Rendu wawo Tedakisa Dhereisa Natatoto Bidoa Lambo Nagarawe
Beta N
TDN (%)*
BK (%)
Abu (%)
PK (%)
LK (%)
SK (%)
50.49±3.1
21.42±6.2a
4.65±0.4
1.23±0.2
23.26±0.3b
49.44±5.4
44.89±2.5
50.80±2.5
16.93±1.4b
5.11±0.9
1.72±0.7
26.73±1.6a
49.51±2.0
46.55±2.0
40.54±3.8
c
1.42±0.1
a
52.79±1.7
50.09±1.0
a
48.57±3.0
47.73±0.9
28.94±0.8
a
53.00±0.8
49.72±0.7
27.68±2.0
a
53.26±3.0
47.80±3.0
b
52.28±1.2
48.35±2.5
a
51.02±1.4
46.21±2.0
49.14±6.1 34.75±4.6 43.78±6.3 42.34±3.8 47.80±2.6
11.54±1.0 15.51±2.8
b
10.54±1.0
c
12.72±4.3
c
15.16±0.8
b
14.67±2.1
c
7.12±0.1 6.47±2.0 6.03±0.6 4.98±0.5 5.97±1.0 5.01±0.6
1.54±0.3 1.49±0.2 1.36±0.3 1.48±0.3 1.23±0.2
(%)
27.13±1.9
27.90±2.4
25.12±1.8
28.08±0.9
Rendu 55.29±3.5 16.60±2.0b 5.47±0.8 1.57±1.0 22.75±1.4b 53.60±3.3 48.49±3.7 butowe Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Kontras Ortogonal pada taraf nyata 5%. * Sutardi (1981), %TDN = 92,464 – 3,338 SK – 6,945 LK – 0,762 Beta-N + 1,115 PK + 0,031 SK2 – 0,133 LK2 + 0,036 (SK)(Beta-N) + 0,207 (LK)(Beta-N) + 0,1 (LK)(PK) – 0,022 (LK)2(PK)
26
Secara umum kualitas nutrisi hijauan padang penggembalaan di sembilan desa menunjukkan kandungan protein kasar (PK) yang rendah dengan nilai tertinggi hanya 7,12 %, sehingga belum mencapai kebutuhan minimal protein dapat dicerna sebesar 0,68 kg/ST/hari karena untuk mencapai ukuran tersebut diperlukan kadar protein kasar di atas 10% (Whiteman dan Humphreys, 1984). Rumput alam memiliki kandungan PK 8,2%, SK 31,7%, LK 1,44%, Beta-N 44,2% dan TDN 56,2% (NRC, 2001). Kandungan LK dan Beta-N hijauan padang penggembalaan di sembilan desa hampir sama dengan standar rumput alam dengan kandungan SK yang lebih rendah yaitu sekitar 25-28%. Namun, kandungan TDN hijauan masih tergolong rendah dengan kandungan tertinggi hanya 50.09% pada hijauan Desa Tedakisa. Kandungan TDN yang rendah berkaitan dengan rendahnya kandungan protein kasar pada hijauan padang penggembalaan tersebut. Kandungan protein kasar yang rendah dapat diatasi dengan penanaman campuran dengan leguminosa pada padang penggembalaan atau diberikan suplemen protein pada ternak untuk mencukupi kebutuhan proteinnya. Hasil identifikasi kondisi vegetasi padang penggembalaan di Kabupaten Nagekeo sedikit sekali ditemukan jenis-jenis legum, padahal keadaan optimum padang penggembalaan adalah komposisi 40% legum dan 60% rumput (Whiteman dan Humphreys, 1984). Keadaan ini merupakan salah satu penyebab mutu yang rendah baik secara kualitas maupun kuantitas. Selain itu, kandungan nutrisi rumput padang penggembalaan dapat ditingkatkan dengan pemupukan, karena berdasarkan hasil analisis tanah diperoleh kadar N tanah di sembilan desa secara umum rendah. Pemupukan dengan nitrogen (N) dapat mempertinggi kadar nitrogen dalam hijauan (Mcllroy, 1964). Rendahnya kandungan protein dalam hijauan padang penggembalaan dapat menurunkan performa ternak ruminansia. Pemupukan dengan N pada padang penggembalaan yang luas membutuhkan biaya yang tinggi. Solusi lain untuk mengatasi defisiensi protein adalah dengan memanfaatkan leguminosa pohon sebagai sumber protein untuk alternatif pengganti pagar kayu pada kandang-kandang komunal maupun pagar-pagar kayu pembatas padang penggembalaan (Gambar 6). Selain itu, bisa juga ditambahkan kebun legum pangkasan di sekitar area padang penggembalaan untuk mensuplai kebutuhan protein ternak (Gambar 7).
27
Hasil analisis kualitas nutrisi hijauan padang penggembalaan secara in vitro ditampilkan pada Tabel 6. Berdasarkan hasil evaluasi nutrisi secara in vitro, koefisien cerna bahan kering (KCBK) dan koefisien cerna bahan organik (KCBO) pada hijauan di sembilan desa menunjukkan hasil yang sangat berbeda nyata (P<0,01). Hijauan padang penggembalaan pada Desa Ulupulu, Dhereisa, dan Natatoto memiliki nilai KCBK yang lebih tinggi daripada hijauan pada Desa Renduwawo, Tedakisa dan Rendubutowe, sedangkan nilai KCBK paling rendah yaitu hijauan pada Desa Bidoa, Lambo dan Nagarawe. Nilai tertinggi KCBK hijauan padang penggembalaan hanya 39,02% yaitu pada Desa Natatoto. Nilai ini sangat rendah karena menurut Arora (1989) daya cerna bahan kering rumput lapang tanpa fermentasi adalah berkisar 51-55%.
Gambar 6. Pagar Kayu yang Dapat Diganti dengan Leguminosa Pohon.
Gambar 7. Contoh Kebun Legum Pangkasan di Laboratorium Lapang Agrostologi Fakultas Peternakan, IPB. Nilai kecernaan bahan organik (KCBO) hijauan pada Desa Ulupulu, Dhereisa dan Natatoto lebih tinggi daripada hijauan pada Desa Renduwawo dan Rendubutowe, sedangkan nilai KCBO paling rendah yaitu hijauan pada Desa Tedakisa, Bidoa, 28
Lambo dan Nagarawe. Nilai KCBO tertinggi yaitu hijauan pada Desa Dhereisa sebesar 41,44%, namun nilai ini masih lebih rendah dibandingkan standar nilai kecernaan bahan organik rumput alam menurut Arora (1989) yaitu berkisar 45-48%. Tabel 6. Hasil Analisis In Vitro Sampel Hijauan pada Padang Penggembalaan di Sembilan Desa Desa
%KCBK
%KCBO
NH3(mM)
VFA(mM)
Ulupulu
35.56±5.89a
39.27±2.70a
7.93±0.49
98.64±11.03
Renduwawo
31.93±1.43b
34.19±3.53b
8.41±1.02
138.09±52.33
Tedakisa
32.07±3.92b
32.78±3.72c
6.86±1.13
151.33±32.19
Dhereisa
39.02±4.26
a
41.44±3.57
a
7.71±1.13
132.65±26.26
39.02±4.95
a
39.46±4.72
a
6.76±0.99
147.98±65.70
Bidoa
27.15±3.36
c
29.41±3.09
c
7.33±0.95
106.72±4.54
Lambo
25.80±2.40c
26.71±1.89c
6.73±0.53
128.96±30.59
Nagarawe
28.01±4.59c
29.37±6.18c
7.35±1.70
145.12±31.91
Rendubutowe
30.49±1.66b
34.14±1.14b
8.68±2.94
113.47±15.33
Natatoto
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Kontras Ortogonal pada taraf nyata 5%. KCBK: Koefisien Cerna Bahan Kering; KCBO: Koefisien Cerna Bahan Organik; VFA: Volatile Fatty Acid
Kecernaan adalah indikasi awal ketersediaan nutrien yang terkandung dalam bahan pakan tertentu bagi ternak yang mengkonsumsinya. Kecernaan yang tinggi mencerminkan besarnya sumbangan nutrien tertentu pada ternak, sementara itu pakan yang mempunyai kecernaan rendah menunjukkan bahwa pakan tersebut kurang mampu menyuplai nutrien untuk hidup pokok maupun untuk tujuan produksi ternak (Arora, 1989). Crowder dan Chheda (1982) menyatakan bahwa perbedaan nilai kecernaan suatu hijauan berhubungan dengan perubahan komposisi kimia, bagian-bagian yang berserat, lignin dan kandungan silika yang timbul sebagai akibat dari perbedaan dalam spesies dan genotipe, tingkat pertumbuhan, kondisi lingkungan, tempat tumbuh dan sistem manajemennya. Salah satu faktor yang mempengaruhi kecernaan bahan pakan adalah kandungan protein kasar, protein kasar ransum yang tinggi menghasilkan kecernaan yang tinggi pula (McDonald, 1987). Hasil analisa proksimat secara umum menunjukkan kandungan PK yang rendah pada hijauan padang
29
penggembalaan di sembilan desa. Kandungan PK yang rendah ini berpengaruh terhadap rendahnya nilai KCBK dan KCBO hijauan padang penggembalaan. Hasil pengukuran produksi NH3 hijauan padang peggembalaan pada kesembilan desa menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05). Nilai produksi NH3 berkisar antara 6-7 mM. Nilai ini sudah memenuhi standar optimal tetapi masih tergolong rendah karena menurut McDonald et al. (2002), kisaran konsentrasi NH3 yang optimal untuk sintesis protein oleh mikroba rumen adalah 6-21 mM. Hasil degradasi protein antara lain N-NH3 (Parakkasi, 1999), sehingga rendahnya produksi NH3 mengindikasikan rendahnya kandungan protein hijauan tersebut. Hal ini sesuai dengan hasil analisis proksimat yang menunjukkan nilai PK hijauan yang rendah pada kesembilan desa. Amonia merupakan sumber nitrogen utama untuk sintesis protein mikroba oleh karena itu konsentrasinya dalam rumen merupakan suatu hal yang perlu diperhatikan (Satter dan Slyier, 1974). Hasil pengukuran produksi VFA hijauan padang penggembalaan di sembilan desa menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05). Produksi VFA bervariasi dari produksi terendah dengan nilai 98,64 mM pada hijauan Desa Ulupulu dan produksi VFA tertinggi 151,33 mM pada hijauan Desa Tedakisa. Nilai produksi VFA ini tergolong baik karena menurut Sutardi (1980), kisaran VFA ransum yang optimal adalah 80-160 mM. Produksi VFA sebagai hasil fermentasi bahan makanan dalam rumen terutama dipengaruhi oleh level karbohidrat bahan makanan tersebut (Parakkasi, 1999). Kandungan karbohidrat hijauan berupa serat kasar dan bahan ekstrak tanpa N pada kesembilan desa menunjukkan nilai yang cukup tinggi dan sudah sesuai standar, sehingga nilai produksi VFA juga cukup optimal. Kapasitas Tampung Berdasarkan Ketersediaan BK Tercerna Hasil perhitungan kapasitas tampung berdasarkan ketersediaan BK tercerna disajikan pada Tabel 7. Dari hasil perhitungan kapasitas tampung tersebut menunjukkan hasil yang sangat berbeda nyata (P<0,01) pada kesembilan desa. Dari tabel tersebut dapat dilihat padang penggembalaan Desa Renduwawo dan Tedakisa memiliki kapasitas tampung berdasarkan ketersediaan BK tercerna yang tinggi dengan nilai tertinggi yaitu 0,42 ST/ha pada padang penggembalaan Desa Renduwawo. Padang penggembalaan di Desa Ulupulu, Natatoto, Bidoa, dan Rendubutowe
memiliki
kapasitas
tampung
sedang,
sedangkan
padang
30
penggembalaan dengan kapasitas tampung rendah adalah di Desa Dhereisa, Lambo dan Nagarawe dengan nilai terendah 0,17 ST/ha yaitu pada Desa Nagarawe. Menurut Susetyo (1980), standar kapasitas tampung berdasarkan produktivitas hijauan padang penggembalaan asli di Indonesia adalah 0,3 ST/ha, sedangkan kapasitas tampung padang penggembalaan buatan adalah lebih dari 2 ST/ha/th, sehingga kapasitas tampung berdasarkan ketersediaan BK tercerna di Kabupaten Nagekeo secara umum sudah memenuhi standar. Hal ini disebabkan nilai kapasitas tampung diperoleh dari produksi hijauan padang penggembalaan yang tersedia dan dapat tercerna oleh ternak. Tabel 7. Perhitungan Kapasitas Tampung Padang Penggembalaan di Sembilan Desa Berdasarkan Ketersediaan BK Tercerna Lokasi/Desa Ulu Pulu Rendu Wawo Teda Kisa Dhereisa Nata Toto Bidoa Lambo Nagarawe Rendu Butowe
Produksi Produksi Hijauan BK Keb. BK PUF Tersedia Pedok Tercerna A (kg/Ha) (kg/Ha) (kg/Ha) 908 45% 408.6 145.30 3 1.11 1428 45% 642.6 205.18 3 0.79 1252 45% 563.4 180.68 3 0.90 492 45% 221.4 86.39 3 1.88 972 45% 437.4 170.67 3 0.95 948 45% 426.6 115.82 3 1.40 840 45% 378.0 97.52 3 1.66 640 45% 288.0 80.67 3 2.01 960 45%
432.0
131.72
3
1.23
Keb. B
KTBKT (ST/Ha)
3.34 2.37 2.69 5.63 2.85 4.20 4.98 6.02
0.30b 0.42a 0.37a 0.18c 0.35b 0.24b 0.20c 0.17c
3.69
0.27b
Keterangan: PUF: Proper Use Factor; Keb.A: Kebutuhan lahan per bulan; Keb.B: Kebutuhan lahan per tahun; KTBKT: Kapasitas Tampung berdasarkan Bahan Kering Tercerna
Berdasarkan kapasitas tampung dan luasan padang penggembalaan, maka masing-masing desa akan mampu menampung ternak sesuai dengan kapasitas tampung berdasarkan ketersediaan BK tercerna. Padang penggembalaan yang memiliki nilai kapasitas peningkatan populasi yang paling tinggi adalah padang penggembalaan di Desa Natatoto yaitu 6.127 ST. Hal ini menunjukkan bahwa Desa Natatoto paling banyak dapat menampung ternak karena memiliki luasan padang penggembalaan terluas dibandingkan kesembilan desa dengan luas 17.447,35 ha. Sedangkan padang penggembalaan yang dapat menampung jumlah ternak paling sedikit adalah padang penggembalaan pada Desa Dhereisa yaitu 660 ST. Total keseluruhan padang penggembalaan di sembilan desa dapat menampung ternak sebanyak 18.731 ST. Dilihat dari populasi sapi yang ada di Kabupaten Nagekeo saat
31
ini berjumlah 21.803 ekor. Jumlah ini bila dikonversi dalam satuan ternak (ST) akan menjadi 16.316 ST. Nilai ini berdasarkan hasil PSPK 2011 (BPS Provinsi NTT, 2011) yang menyatakan komposisi ternak di Provinsi NTT untuk sapi potong betina adalah 68,4% dari total populasi, untuk betina yang berumur lebih dari 2 tahun sebesar 66.2% dan berumur 1-2 tahun sebesar 16.9% dari total populasi sapi betina. Komposisi ternak jantan yang berumur lebih dari 2 tahun adalah 39.2%, sedangkan yang berumur 1-2 tahun 46,7% dari total populasi ternak jantan (BPS Provinsi NTT, 2011). Populasi sapi saat ini di Kabupaten Nagekeo yang berjumlah 16.316 ST ini masih bisa ditingkatkan sebanyak 2.415 ST berdasarkan perhitungan kapasitas peningkatan populasi pada sembilan desa lokasi penelitian. Kabupaten Nagekeo masih memiliki potensi padang penggembalaan maupun potensi sumber hijauan makanan ternak lainnya yang tersebar di 7 kecamatan yang meliputi 78 desa, sehingga
peningkatan
populasi
ternak
ruminansia
akan
optimal
dengan
memanfaatkan potensi sumber daya alam yang dimiliki Kabupaten Nagekeo. Tabel 8. Produktivitas Hijauan Padang Penggembalaan dan Kapasitas Peningkatan Populasi berdasarkan BK Tercerna di Kabupaten Nagekeo Desa
Luas Padang (ha) 2.910,41
Produktivitas kg/ha/th
kg BK/ha/th
Produksi BK Tercerna (kg BKT/ha/th) 968,65
KTBKT (ST/ha)
KPPBKT (ST/desa)
Ulu Pulu 5.360 2.724 0.30b 870 Rendu 7.587,19 Wawo 8.440 4.284 1.367,88 0.42a 3.203 Teda Kisa 8.618,50 9.520 3.756 1.204,55 0.37a 3.204 Dhereisa 3.713,04 2.960 1.476 575,94 0.18c 660 Nata Toto 17.447,35 6.127 8.640 2.916 1.137,82 0.35b Bidoa 4.065,01 6.480 2.844 772,15 0.24b 969 Lambo 3.677,13 5.840 2.520 650,16 0.20c 738 Nagarawe 11.890,16 4.040 1.920 537,79 0.17c 1.974 Rendu 3.636,90 Butowe 5.200 2.880 878,11 0.27b 986 Total 63.545,69 56.480 25.320 8.093,05 18.731 Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Kontras Ortogonal pada taraf nyata 5%. BKT: Bahan Kering Tercerna; KTBKT: Kapasitas Tampung berdasarkan Bahan Kering Tercerna; KPPBKT: Kapasitas Peningkatan Populasi berdasarkan Bahan Kering Tercerna.
Kapasitas tampung suatu padang penggembalaan sangat erat hubungannya dengan produktivitas hijauan makanan ternak pada padang penggembalaan tersebut. Produktivitas hijauan makanan ternak menurut Mcllroy (1964) tergantung pada: (1) persistensi (daya tahan), yaitu kemampuan bertahan untuk hidup dan berkembang
32
biak secara vegetatif, (2) agresivitas atau daya saing, yaitu kemampuan memenangkan persaingan dengan spesies-spesies lain yang tumbuh bersama, (3) kemampuan tumbuh kembali setelah injakan dan penggembalaan berat, (4) sifat tahan kering dan tahan dingin, (5) penyebaran produksi musiman, (6) kemampuan menghasilkan cukup banyak biji yang dapat tumbuh baik/dapat dikembangbiakkan secara vegetatif dengan murah, (7) kesuburan tanah (terutama kandungan N), serta (8) iklim. Tabel 9 menunjukkan nilai masing-masing parameter berdasarkan kriteria penilaian, sedangkan Tabel 10 menunjukkan nilai akhir skoring setelah dikalikan dengan bobot masing-masing parameter padang penggembalaan di Kabupaten Nagekeo. Dari hasil skoring masing-masing desa terhadap faktor kondisi tanah, kualitas nutrisi rumput padang penggembalaan serta kapasitas tampung berdasarkan BK tercerna, padang penggembalaan Desa Renduwawo yang menduduki peringkat pertama. Hal ini berarti padang penggembalaan Desa Renduwawo memiliki potensi dari segi kualitas tanah, serta nutrisi rumput yang paling baik dibandingkan dengan desa yang lain, sehingga mempunyai nilai kapasitas tampung tertinggi berdasarkan ketersediaan BK tercerna, sedangkan desa yang memiliki nilai skoring terkecil adalah Desa Lambo. Hal ini berarti kualitas tanah serta nutrisi rumput Desa Lambo kurang baik dibandingkan dengan desa yang lain, tapi hal ini bisa ditingkatkan dengan adanya perbaikan kualitas padang penggembalaan pada desa tersebut. Untuk meningkatkan kualitas nutrisi rumput padang penggembalaan di Kabupaten Nagekeo dapat dilakukan dengan perbaikan kondisi tanah di daerah tersebut, karena dari hasil analisis korelasi antara kondisi tanah (pH, kadar N, C, P, K) dengan kualitas nutrisi rumput (PK, TDN, NH3, VFA) didapatkan ada beberapa parameter yang mempunyai nilai korelasi yang cukup tinggi (Lampiran 2). Kadar kalium tanah berkorelasi positif dengan kadar protein kasar hijauan padang penggembalaan dengan nilai korelasi 0,63 (kadar kalium tanah mempengaruhi kandungan protein kasar sebesar 63%). Selain itu, kadar kalium tanah juga berkorelasi dengan kandungan TDN, produksi VFA dan NH3 rumput padang penggembalaan dengan nilai korelasi berturut-turut adalah 0,60; 0,55 dan 0,42. Hal ini menunjukkan bahwa kadar kalium tanah mempengaruhi kandungan TDN rumput sebesar 60%, mempengaruhi produksi VFA sebesar 55% serta NH3 sebesar 42%.
33
Selain itu, antara KTK dengan PK dan NH3 juga memiliki nilai korelasi yang cukup tinggi. Nilai korelasi antara KTK dengan PK rumput sebesar 0,54 sedangkan nilai korelasi antara KTK dengan produksi NH3 rumput sebesar 0,53. Beberapa nilai korelasi tersebut menunjukkan bahwa untuk meningkatkan kualitas nutrisi rumput dapat dilakukan dengan perbaikan kondisi tanah pada daerah tersebut seperti dengan cara pemupukan terutama dengan unsur-unsur hara makro seperti N, P, dan K. Tabel 9. Penilaian Masing-Masing Parameter Berdasarkan Kriteria Penilaian Ulu
Rendu
Teda
Dhe-
Nata
Pulu
Wawo
Kisa
reisa
Toto
pH
3
3
3
3
3
3
3
3
3
N
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
3
2
3
2
3
3
2
2
Parameter
Kondisi Tanah*
Bobot
C
30%
P
Lambo
Naga-
Rendu
rawe
Butowe
1
1
1
1
1
1
1
1
1
K
4
4
5
4
5
4
4
4
4
KTK
3
4
3
3
4
4
3
4
4
2.50
2.83
2.67
2.67
2.83
2.83
2.67
2.67
2.67
2
2
3
3
2
2
2
2
2
Nilai Rata-Rata Protein Kasara) Kualitas Nutrisi
Bidoa
TDNa)
2
3
4
3
3
3
3
3
3
NH3b)
3
4
2
3
2
3
2
3
4
c)
2
4
4
4
4
3
3
4
3
2.25
3.25
3.25
3.25
2.75
2.75
2.50
3.00
3.00
3
4
4
2
4
3
2
2
3
3
4
4
2
4
3
2
2
3
VFA
30%
Nilai Rata-Rata Kapasitas Tampung BK Tercerna** Nilai Rata-Rata
40%
Keterangan : * Kriteria Penelitian Sifat Kimia Tanah (Hardjowigeno, 1993) **Standar Kapasitas Tampung Daerah Tropika (Mcllroy, 1964) a) NRC (2001) b) McDonald et al. (2002) c) Sutardi (1980)
Selain dengan cara pemupukan, unsur-unsur hara essensial bagi tanaman bisa didapatkan dari kotoran ternak yang digembalakan pada padang penggembalaan tersebut. Menurut Crowder dan Chheda (1982), 1 ST di padang penggembalaan menghasilkan 25 kg feses dan 10 kg urin per ekor per hari. Feses sapi segar mengandung 0,38% N; 0,18% P2O5 dan 0,02% K2O. Seekor sapi perah mengeluarkan kotoran sebanyak 12 kali dan mengeluarkan urin 8 kali per hari. Setiap keluaran feses ekuivalen dengan 172 kg/ha P dan 224 kg K dan urin mengandung 336 kg/ha N dan 560 kg K. Defekasi dapat menutupi 0,093 m2 dan urinasi 0,299 m2 34
atau menutupi 45% dari total area padang penggembalaan (Pearson dan Ison, 1987). Potensi kotoran ternak ini sebagai pupuk akan optimal dengan manajemen penggembalaan yang baik, seperti kapasitas tampung padang penggembalaan yang sesuai dengan produktivitasnya serta adanya waktu istirahat (rest) untuk pertumbuhan kembali tanaman (regrowth) sehingga dapat memanfaatkan pupuk kandang tersebut secara optimal untuk pertumbuhannya. Tabel 10. Nilai Akhir Skoring Padang Penggembalaan di Sembilan Desa Parameter Kondisi Tanah Kualitas Nutrisi Kapasitas Tampung BK Tercerna Total Peringkat
Ulu Pulu 0.75 0.68
Rendu Wawo 0.85 0.98
Teda Kisa 0.80 0.98
Dhereisa 0.80 0.98
Nata Toto 0.85 0.83
1.20
1.60
1.60
0.80
2.63 6
3.43 1
3.38 2
2.58 7
0.80 0.75
Nagarawe 0.80 0.90
Rendu Butowe 0.80 0.90
1.20
0.80
0.80
1.20
2.88 5
2.35 9
2.5 8
2.9 4
Bidoa
Lambo
0.85 0.83
1.60 3.28 3
Secara umum, padang penggembalaan di Kabupaten Nagekeo terutama desadesa dengan nilai skoring rendah perlu dilakukan perbaikan kualitas padang penggembalaan baik dengan pemupukan maupun dengan introduksi rumput-rumput yang berkualitas baik dan mempunyai kandungan nutrisi serta daya cerna yang tinggi. Selain itu, perlu dilakukan penanaman leguminosa untuk meningkatkan kandungan protein padang penggembalaan. Ternak yang digembalakan memenuhi semua kebutuhan nutrisinya dari 100% rumput yang ada di padang penggembalaan, sehingga rentan defisien nutrien tertentu terutama mineral. Untuk mengatasi hal tersebut bisa dilakukan pemberian suplementasi mineral dan garam untuk meningkatkan performa ternak.
35
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Spesies Heteropogon contortus dan Themeda triandra merupakan vegetasi rumput lokal yang mendominasi padang penggembalaan di Kabupaten Nagekeo. Kondisi tanah di Kabupaten Nagekeo secara umum memerlukan perbaikan dengan penambahan unsur N dan P utamanya serta perlu peningkatan bahan organik tanah karena kondisi tanah tersebut mempengaruhi kualitas nutrisi rumput yang menunjukkan kandungan PK yang rendah dengan nilai KCBK dan KCBO yang rendah pula, sedangkan produktivitas rumput perlu ditingkatkan karena daya dukung lahan masih sangat potensial. Desa Renduwawo merupakan desa yang paling potensial berdasarkan kondisi tanah, kualitas nutrisi serta kapasitas tampung berdasarkan ketersediaan bahan kering tercerna. Kapasitas peningkatan populasi ternak ruminansia Desa Natatoto memiliki nilai tertinggi. Secara umum, Kabupaten Nagekeo berpotensi untuk pengembangan ternak ruminansia, namun perlu adanya perbaikan
kondisi
tanah
dan
peningkatan
produktivitas
hijauan
padang
penggembalaan sehingga bisa mencukupi kebutuhan hijauan makanan ternak baik secara kualitas maupun kuantitas.
Saran Perlu dilakukan penelitian terhadap potensi-potensi sumber daya alam lain yang dimiliki Kabupaten Nagekeo yang dapat mendukung upaya pengembangan ternak ruminansia. Selain itu, perlu juga dilakukan penelitian spesies-spesies rumput yang cocok dengan kondisi tanah dan iklim serta mempunyai nilai nutrisi dan produktivitas yang tinggi untuk dikembangkan di Kabupaten Nagekeo.
UCAPAN TERIMA KASIH Segala Puji dan Syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat, rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Dalam kesempatan yang baik ini, Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Ir. Panca Dewi Manu Hara Karti, M.Si selaku Pembimbing Utama dan Bapak Dr. Ir. Idat Galih Permana, MSc.Agr selaku Pembimbing Akademik, yang dengan penuh kesabaran, perhatian dan keikhlasan telah membimbing penulis sehingga mampu melaksanakan penelitian dan penulisan skripsi ini. Bapak Dr. Ir. Luki Abdullah, MSc.Agr selaku Penguji Seminar dan Ibu Ir. Widya Hermana, M.Si selaku Panitia Seminar, atas kritik dan saran perbaikan serta bimbingannya selama seminar. Bapak Ir. Andy Murfi, M.Si beserta Dr. Sri Suharti, M.Si selaku dosen penguji sidang dan panitia sidang. Ibu Dian Anggraeni beserta rekan-rekannya selaku staf Laboratorium Nutrisi Perah, Fakultas Peternakan, IPB dan Ibu Endang selaku staf Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, LPPM, IPB beserta anggota atas izin penggunaan fasilitas dan bantuannya dalam analisa. Bapak-bapak/ibu-ibu Dosen dan Asisten Dosen Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, IPB yang telah membimbing penulis dalam perkuliahan dan praktikum selama Program S1 ini serta seluruh teman-teman mahasiswa INTP angkatan 44 atas kerjasama dan kebersamaannya selama ini. Ibunda Jumiatun tersayang dan Ayahanda Hadi Suripto serta Bapak Yitno, Kakak-kakak tercinta, Ibunda mertua dan Ayahanda mertua (Almarhum), Suami Imam Mahmudi tercinta serta seluruh saudara dan saudari kedua keluarga besar atas seluruh doa, restu, perhatian, dana dan kesabaran selama Penulis menempuh pendidikan S1 di IPB ini. Semoga segala bantuan dan jerih payah Bapak dan Ibu serta saudara/saudari sekalian akan menjadi amaliah surgawi yang akan dibalas Allah SWT dengan pahala yang tiada terbayangkan oleh manusia. Sebagai penutup, Penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukannya, Amiin. Bogor, Oktober 2011 Penulis
DAFTAR PUSTAKA Amrullah, I. K. 2004. Nutrisi Ayam Broiler. Seri Beternak Mandiri. Lembaga Satu Gunungbudi. Bogor. Arora, S. P. 1989. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta. Aquaculture. 2008. Proximate analysis. http://www.aquaculture.ugent.be/coursmat [2 Februari 2008]. Arsyad, S. 1980. Pengawetan Tanah dan Air. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Badan Pusat Statistik Kabupaten Nagekeo. 2009. Nagekeo Dalam Angka. BPS Nagekeo. Badan Pusat Statistik Provinsi NTT. 2011. Rilis Hasil PSPK 2011 No. 07/11/53/Th.XIV. 1 November 2011. BPS Provinsi NTT. Bintoro, M. H. 1989. Toleransi tanaman jagung terhadap salinitas. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Brandano, P., Rassa, & S. P. G., Lanza. 2004. Feeding Dairy Lamb. In: Pullina, G., (Editor). Prolific Sheep. CABI Publishing, Canberra. Cheeke, P. R. 1999. Applied Animal Nutrition Feeds and Feeding. 2nd Ed. Prentice Hall, Upper Saddle River, New Jersey. Church, D. C. & W. G. Pond. 1988. Basic Animal Nutrition and Feeding. 3rd Ed. John Wiley & Sons, New York. Crowder, L. V. & H. R. Chheda. 1982. Tropical Grassland Husbandry. Longman, London and New York. Direktorat Jenderal Peternakan. 2009. Populasi Ternak Indonesia, 2000-2009. Statistik dan Informasi Tahun 2009. Ensminger, M. E. 1991. Animal Science. 9th Ed. Interstate Publisher, Inc., Danville. Fleming, A. L., & C. D. Foy. 1968. Root structure reflect differential aluminium tolerance in wheat variety. Agron. J. 60 : 170-172. Fritts, H.C. 1976. Tree Rings and Climate. Academic Press Inc. London. General Laboratory Procedure. 1966. Department of Dairy Science University of Wisconsin. Madison. Gunarto, L. A., M. T. Rauf, A. K. Makarim, A. A. Daradjat & Suyamto. 1998. Pemupukan P padi sawah status, efisiensi dan strategi pengolahan fosfor. Jurnal Litbang Pertanian. 18 (4): 71-76.
38
Gunarto, L., P. Lestari, H. Supadmo, & A. R. Marzuki. 2002. Dekomposisi jerami padi, inokulasi Azospirillum dan pengaruhnya terhadap efisiensi penggunaan pupuk N pada padi sawah. Vol. 21 (1). Hardjowigeno, S. 1993. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Edisi Pertama. Akademika Pressindo. Jakarta. Hardjowigeno, S. 1995. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo, Jakarta. Harrison, D. G. & A. B. McAllan. 1980. Digestive Physiologi and Metabolism in Ruminants. AVI Publishing Company, Inc., Connecticut. Hartati, E. 1998. Suplementasi minyak lemuru dan seng ke dalam ransum yang mengandung silase pod kakao dan urea untuk memacu pertumbuhan sapi Holstein jantan. Disertasi. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Konishi, S. 1992. Promotive effects of aluminium on tea plant growth. Japan Agric Res. Quart. 26 : 26-33. McDonald P., R. A. Edwards, J. F. D. Greenhalgh & C. A. Morgan. 2002. Animal Nutrition. 6th Ed. Ashford Colour Press, Ltd., Gosport. Mcllroy, R. J. 1964. An Introduction to Tropical Grassland Husbandry. Oxford University Press. Amen House. London. National Research Council. 1994. Nutrient Requirement of Poultry. 9th Rev. Ed. National Academy Press, Washington D. C. National Research Council. 2001. Nutrient Requirement of Dairy Cattle. 7th Rev. Ed. National Academy Press, Washington D. C. Oberhuber W, & W. Kofler. 2000. Topographic influences on radial growth of Scots pine (Pinus sylvestris L.) at small spatial scales. Plant Ecol. 146:231-240. Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. UI Press. Jakarta. Pearson, C. J. & R. C. Ison. 1987. Agronomy of Grassland System. Cambridge University Press, Cambridge. Philipson W.R., J.M. Ward, & B.G. Butterfield. 1971. The vascular Cambium: Its development and Activity. Chapman & Hall Ltd. London. Ranjhan, S.K. 1977. Animal Nutrition and Feeding Practices in India. Vikas Publishing House PVT. Ltd. New Delhi, Bombay, Bangalore Calcutta Kampar. 68-87. Reksohadiprojo, S. 1994. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak Tropik. Edisi Ketiga. BPFE.Yogyakarta. Rendig W., & H. M. Taylor. 1989. Principles of Soil Plant Interrelationships. Mc Graw Hill. New York.
39
Satter, L. D., & L. L. Slyter. 1974. Effect of amonia concentration on rumen microbial protein production in vitro. Br. J. Nutr. 32: 199-208. Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Dept. Ilmu-Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Stevenson, F. J. 1982. Humus Chemistry, Genenis, Composition, Reaction. 2nd Ed. John Wiley and Sons. New York. Subagio, I. & Kusmartono. 1988. Ilmu Kultur Padangan. NUFIC. Universitas Brawijaya. Malang. Susetyo, S. 1980. Padang Penggembalaan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor Sutardi, T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi. Jilid 1. Jurusan INMT Fapet IPB. Bogor. Sutardi, T. 1981. Sapi Perah dan Pemberian Makanannya. Jurusan Ilmu Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tan, K.H. 1991. Principles of Soil Chemistry. Marcel Dekker, Inc. New York and Basel. Tilley J. M. A. & R. A. Terry. 1969. A Two-stage technique for the in vitro digestion of forage crops. J. British Grasslan Soc. 18; 104-111. Tisdale, S. L., W. L. Nelson., & J. D. Beaton. 1990. Soil Fertility and Fertilizers. 4th Ed. Macmillan Publishing Company. New York. Whiteman, P. C. & L. R. Humphreys. 1984. Ket. Lisan. Queensland University. Australia. Wiseman, J. & D. J. A. Cole. 1990. Feedstuff Evaluation. Great Britain University Press. Cambridge, London.
40
LAMPIRAN
Lampiran 1. Data Hasil Penimbangan Sampel Komposit Hijauan Padang Penggembalaan di Sembilan Desa No
Desa
Berat Segar (g) Kering Udara (g)
Kering Oven (g)
1
Ulupulo
44.7±6.4
24.7±4.6
22.7±4.6
2
Rendu Wawo
70.3±4.0
41.3±2.1
35.7±0.6
3
Teda Kisa
79.3±33
36.7±13.9
31.3±10.1
4
Dhereisa
24.7±5.5
13.3±4.5
12.3±4.0
5
Nata Toto
72.0±27
30.0±10.8
24.3±7.1
6
Bidoa
54.0±20.4
26.7±11.0
23.7±9.5
7
Lambo
48.7±17.5
23.7±10.3
21.0±9.2
8
Nagarawe
33.7±5.5
17.3±2.3
16.0±1.7
9
Rendu Butowe
43.3±4.9
26.0±3.6
24.0±3.6
Lampiran 2. Nilai Korelasi (r) Antara Sifat Fisik Tanah dengan Kualitas Nutrisi Rumput Parameter
Sifat Fisik Tanah pH
N
C
P
K
KTK *
0.54*
PK
0.23
0.00
0.11
0.071
0.63
TDN
0.28
0.26
0.37
0.08
0.60*
0.00
NH3
0.07
0.25
0.16
0.20
0.42
0.53*
VFA
0.06
0.09
0.17
0.09
0.55*
0.30
Keterangan: * : Terdapat korelasi yang signifikan pada parameter yang diukur
39
Lampiran 3. Hasil Analisis Tanah Desa Ulupulu, Renduwawo, dan Tedakisa No
Uraian
Ulupulu
Renduwawo
1. Tekstur: -Pasir (%)
5.4
4.3
4.5
-Debu (%)
43.8
37.6
45.7
50.8
58.1
49.8
6.3 (am)
6.5 (am)
6.2 (am)
1. Walkey & Black C (%)
1.73 (r)
2.06 (r)
1.90 (r)
2. Kjeldahl N (%)
0.13 (r)
0.15 (r)
0.15 (r)
3. C/N
13.3 (s)
13.7 (s)
12.7 (s)
2.5 (sr)
2.20 (sr)
2.6 (sr)
-Ca (cmol(+)/kg)
10.23 (s)
12.51 (t)
7.32 (s)
-Mg (cmol(+)/kg)
5.34 (t)
5.37 (t)
3.54 (t)
-K (cmol(+)/kg)
0.87 (t)
0.86 (t)
1.04 (t)
-Na (cmol(+)/kg)
0.51 (s)
0.42 (s)
0.41 (s)
-KTK(cmol(+)/kg)
22.21 (s)
26.10 (t)
17.92 (s)
-KB (%)
76.3 (st)
73.4 (st)
68.7 (st)
0.11 (r)
0.21 (r)
0.10 (r)
-Liat (%)
2. pH:
Tedakisa
3. Terhadap contoh kering 105°C: -Bahan organik :
- HCl 25% : 1. P2O5 (mg/100 g) 2. K2O (mg/100 g) -Olsen P2O5 (ppm) -Bray P2O5 (ppm) 4. Nilai Tukar Kation:
5. KCl 1N : -Al3+ (cmol(+)/kg)
Keterangan: am: agak masam; sr: sangat rendah; r: rendah; s: sedang; t: tinggi; st: sangat tinggi.
40
Lampiran 4. Hasil Analisis Tanah Desa Dhereisa, Natatoto, dan Bidoa No
Uraian
Dhereisa
Natatoto
Bidoa
1. Tekstur: -Pasir (%)
3.9
3.8
3.9
-Debu (%)
44.8
40.6
44.8
-Liat (%)
51.3
55.6
51.3
6.3 (am)
6.5 (am)
6.4 (am)
1. Walkey & Black C (%)
2.06 (s)
1.40 (r)
2.47 (s)
2. Kjeldahl N (%)
0.16 (r)
0.11 (r)
0.18 (r)
3. C/N
12.9 (s)
12.7 (r)
13.8 (s)
2.80 (sr)
2.30 (sr)
2.20 (sr)
-Ca (cmol(+)/kg)
10.13 (s)
10.34 (s)
11.35 (t)
-Mg (cmol(+)/kg)
3.52 (t)
4.28 (t)
4.00 (t)
-K (cmol(+)/kg)
0.91 (t)
1.06 (t)
0.89 (t)
-Na (cmol(+)/kg)
0.29 (r)
0.51(s)
0.26 (r)
21.04 (s)
25.32 (t)
25.32 (t)
70.6 (t)
63.9 (t)
65.2 (t)
0.08 (r)
0.09 (r)
0.06 (r)
2. pH: 3. Terhadap contoh kering 105°C: -Bahan organik :
- HCl 25% : 1. P2O5 (mg/100 g) 2. K2O (mg/100 g) -Olsen P2O5 (ppm) -Bray P2O5 (ppm) 4. Nilai Tukar Kation:
-KTK(cmol(+)/kg) -KB (%) 5. KCl 1N : -Al3+ (cmol(+)/kg)
Keterangan: am: agak masam; sr: sangat rendah; r: rendah; s: sedang; t: tinggi; st: sangat tinggi.
41
Lampiran 5. Hasil Analisis Tanah Desa Lambo, Nagarawe, dan Rendubutowe No
Uraian
Lambo
Nagarawe
Rendubutowe
1. Tekstur: -Pasir (%)
4.6
4.1
5.2
-Debu (%)
38.2
41.0
41.1
-Liat (%)
57.2
54.9
53.7
6.2 (am)
6.2 (am)
6.2 (am)
1. Walkey & Black C (%)
2.14 (s)
1.90 (r)
1.48 (r)
2. Kjeldahl N (%)
0.17 (r)
0.15 (r)
0.12 (r)
3. C/N
12.6 (s)
12.7 (s)
12.3 (s)
2.60 (sr)
3.20 (sr)
3.10 (sr)
-Ca (cmol(+)/kg)
9.36 (s)
10.02 (s)
11.26 (t)
-Mg (cmol(+)/kg)
4.56 (t)
5.12 (t)
4.91 (t)
-K (cmol(+)/kg)
0.84 (t)
0.89 (t)
0.92 (t)
-Na (cmol(+)/kg)
0.32 (r)
0.38 (r)
0.37 (r)
24.54 (s)
25.71 (t)
31.95 (t)
61.5 (t)
63.8 (t)
54.6 (t)
0.10 (r)
0.12 (r)
0.12 (r)
2. pH: 3. Terhadap contoh kering 105°C: -Bahan organik :
- HCl 25% : 1. P2O5 (mg/100 g) 2. K2O (mg/100 g) -Olsen P2O5 (ppm) -Bray P2O5 (ppm) 4. Nilai Tukar Kation:
-KTK(cmol(+)/kg) -KB (%) 5. KCl 1N : -Al3+ (cmol(+)/kg)
Keterangan: am: agak masam; sr: sangat rendah; r: rendah; s: sedang; t: tinggi; st: sangat tinggi.
42
Lampiran 6. Hasil Sidik Ragam Kadar Abu SK
db
JK
KT
Fhit
F0.05
F0.01
Perlakuan
8
20.043
2.505
2.255
2.510
3.705 NS
Galat
18
20.003
1.111
Total
26
25.460
Keterangan: SK: Sumber Keragaman; db: derajat bebas; JK: Jumlah Kuadrat; KT: Kuadrat Tengah; Fhit: nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data; F0,05: hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05); F0,01: hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01); NS: Not Significant; *: berbeda nyata pada taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05); **: berbeda nyata pada taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01).
Lampiran 7. Hasil Sidik Ragam Protein Kasar SK
db
JK
KT
Fhit
F0.05
F0.01
Perlakuan
8
12.345
1.543
2.312
2.510
3.705 NS
Galat
18
12.014
0.667
Total
26
24.360
Keterangan: SK: Sumber Keragaman; db: derajat bebas; JK: Jumlah Kuadrat; KT: Kuadrat Tengah; Fhit: nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data; F0,05: hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05); F0,01: hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01); NS: Not Significant; *: berbeda nyata pada taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05); **: berbeda nyata pada taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01).
Lampiran 8. Hasil Sidik Ragam Lemak Kasar SK
db
JK
KT
Fhit
F0.05
F0.01
Perlakuan
8
0.498
0.062
0.352
2.510
3.705 NS
Galat
18
3.186
0.177
Total
26
3.684
Keterangan: SK: Sumber Keragaman; db: derajat bebas; JK: Jumlah Kuadrat; KT: Kuadrat Tengah; Fhit: nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data; F0,05: hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05); F0,01: hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01); NS: Not Significant; *: berbeda nyata pada taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05); **: berbeda nyata pada taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01).
43
Lampiran 9. Hasil Sidik Ragam Serat Kasar SK
db
JK
KT
Fhit
F0.05
F0.01
Perlakuan
8
91.158
11.395
5.485
2.510
3.705
Galat
18
37.391
2.077
Total
26
128.549
**
Keterangan: SK: Sumber Keragaman; db: derajat bebas; JK: Jumlah Kuadrat; KT: Kuadrat Tengah; Fhit: nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data; F0,05: hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05); F0,01: hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01); NS: Not Significant; *: berbeda nyata pada taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05); **: berbeda nyata pada taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01).
Lampiran 10. Uji Lanjut Kontras Ortogonal Serat Kasar SK
db
JK
KT
Fhit
F0.05
F0.01
Perlakuan
8
91.158
11.395
5.485
2.510
3.705
**
234568 vs 179
1
78.554
78.554
37.816
4.414
8.285
**
458 vs 236
1
5.088
5.088
2.449
4.414
8.285
5 vs 48
1
1.095
1.095
0.527
4.414
8.285
4 vs 8
1
0.086
0.086
0.042
4.414
8.285
6 vs 23
1
0.500
0.500
0.241
4.414
8.285
2 vs 3
1
0.029
0.029
0.014
4.414
8.285
7 vs 19
1
5.056
5.056
2.434
4.414
8.285
1 vs 9
1
0.749
0.749
0.361
4.414
8.285
Galat
18
37.391
2.077
Total
26
128.549
Keterangan: SK: Sumber Keragaman; db: derajat bebas; JK: Jumlah Kuadrat; KT: Kuadrat Tengah; Fhit: nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data; F0,05: hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05); F0,01: hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01); NS: Not Significant; *: berbeda nyata pada taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05); **: berbeda nyata pada taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01).
Lampiran 11. Hasil Sidik Ragam Beta-N SK
db
JK
KT
Fhit
F0.05
F0.01
Perlakuan
8
57.599
7.200
1.346
2.510
3.705 NS
Galat
18
96.282
5.349
Total
26
153.881
44
Keterangan: SK: Sumber Keragaman; db: derajat bebas; JK: Jumlah Kuadrat; KT: Kuadrat Tengah; Fhit: nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data; F0,05: hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05); F0,01: hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01); NS: Not Significant; *: berbeda nyata pada taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05); **: berbeda nyata pada taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01).
Lampiran 12. Hasil Sidik Ragam TDN SK
db
JK
KT
Fhit
F0.05
F0.01
Perlakuan
8
34.018
4.252
1.796
2.510
3.705 NS
Galat
18
42.616
2.368
Total
26
76.634
Keterangan: SK: Sumber Keragaman; db: derajat bebas; JK: Jumlah Kuadrat; KT: Kuadrat Tengah; Fhit: nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data; F0,05: hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05); F0,01: hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01); NS: Not Significant; *: berbeda nyata pada taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05); **: berbeda nyata pada taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01).
Lampiran 13. Hasil Sidik Ragam Koefisien Cerna Bahan Kering (KCBK) SK
db
JK
KT
Fhit
F0.05
F0.01
Perlakuan
8
573.628
71.703
4.760
2.510
3.705 **
Galat
18
271.137
15.063
Total
26
844.765
Keterangan: SK: Sumber Keragaman; db: derajat bebas; JK: Jumlah Kuadrat; KT: Kuadrat Tengah; Fhit: nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data; F0,05: hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05); F0,01: hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01); NS: Not Significant; *: berbeda nyata pada taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05); **: berbeda nyata pada taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01).
Lampiran 14. Uji Lanjut Kontras Ortogonal Koefisien Cerna Bahan Kering (KCBK) SK
db
JK
Perlakuan
8
573.628
145 vs 236789
1
45 vs 1
1
23.987
4 vs 5
1
239 vs 678
KT
Fhit
F0.05
F0.01
71.703
4.760
2.510
3.705 **
446.096 446.097
29.615
4.414
8.285 **
23.987
1.592
4.414
8.285
0.000
0.000
0.000
4.414
8.285
1
91.583
91.583
6.080
4.414
8.285 *
23 vs 9
1
4.539
4.539
0.301
4.414
8.285
2 vs 3
1
0.033
0.033
0.002
4.414
8.285
68 vs 7
1
6.290
6.290
0.418
4.414
8.285 45
6 vs 8
1
1.099
1.099
Galat
18
271.137
15.063
Total
26
844.765
0.073
4.414
8.285
Keterangan: SK: Sumber Keragaman; db: derajat bebas; JK: Jumlah Kuadrat; KT: Kuadrat Tengah; Fhit: nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data; F0,05: hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05); F0,01: hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01); NS: Not Significant; *: berbeda nyata pada taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05); **: berbeda nyata pada taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01).
Lampiran 15. Hasil Sidik Ragam Koefisien Cerna Bahan Organik (KCBO) SK
db
JK
KT
Fhit
F0.05
F0.01
Perlakuan
8
630.249
78.781
5.853
2.510
3.705 **
Galat
18
242.294
13.461
Total
26
872.543
Keterangan: SK: Sumber Keragaman; db: derajat bebas; JK: Jumlah Kuadrat; KT: Kuadrat Tengah; Fhit: nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data; F0,05: hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05); F0,01: hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01); NS: Not Significant; *: berbeda nyata pada taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05); **: berbeda nyata pada taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01).
Lampiran 16. Uji Lanjut Kontras Ortogonal Koefisien Cerna Bahan Organik (KCBO) SK
db
JK
KT
Fhit
F0.05 F0.01
Perlakuan
8
630.249
78.781
5.853
2.510 3.705 **
12459 vs 3678
1
441.001
441.001
32.762
4.414 8.285 **
145 vs 29
1
124.939
124.939
9.282
4.414 8.285 **
4 vs 15
1
8.580
8.580
0.637
4.414 8.285
1 vs 5
1
0.052
0.052
0.004
4.414 8.285
2 vs 9
1
0.004
0.004
0.000
4.414 8.285
3 vs 678
1
41.249
41.249
3.064
4.414 8.285
68 vs 7
1
14.420
14.420
1.071
4.414 8.285
6 vs 8
1
0.002
0.002
0.000
4.414 8.285
Galat
18
242.294
13.461
Total
26
872.543
Keterangan: SK: Sumber Keragaman; db: derajat bebas; JK: Jumlah Kuadrat; KT: Kuadrat Tengah; Fhit: nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data; F0,05: hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05); F0,01: hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01); NS: Not Significant; *: berbeda nyata pada taraf
46
kesalahan sebesar 5% (α = 0,05); **: berbeda nyata pada taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01).
Lampiran 17. Hasil Sidik Ragam Produksi NH3 SK
db
JK
KT
Fhit
F0.05
F0.01
Perlakuan
8
10.018
1.252
0.647
2.510
3.705
Galat
18
34.851
1.936
Total
26
44.869
NS
Keterangan: SK: Sumber Keragaman; db: derajat bebas; JK: Jumlah Kuadrat; KT: Kuadrat Tengah; Fhit: nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data; F0,05: hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05); F0,01: hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01); NS: Not Significant; *: berbeda nyata pada taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05); **: berbeda nyata pada taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01).
Lampiran 18. Hasil Sidik Ragam Produksi VFA SK
db
JK
KT
Fhit
F0.05
F0.01
Perlakuan
8
8620.674
1077.584
0.873
2.510
3.705
Galat
18
22223.960
1234.664
Total
26
30844.634
NS
Keterangan: SK: Sumber Keragaman; db: derajat bebas; JK: Jumlah Kuadrat; KT: Kuadrat Tengah; Fhit: nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data; F0,05: hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05); F0,01: hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01); NS: Not Significant; *: berbeda nyata pada taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05); **: berbeda nyata pada taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01).
Lampiran 19. Hasil Sidik Ragam Kapasitas Tampung Berdasarkan BK Tercerna SK
db
JK
KT
Fhit
F0.05
F0.01
Perlakuan
8
1.041
0.130
23.497
2.510
3.705
Galat
18
0.100
0.006
Total
26
1.140
**
Keterangan: SK: Sumber Keragaman; db: derajat bebas; JK: Jumlah Kuadrat; KT: Kuadrat Tengah; Fhit: nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data; F0,05: hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05); F0,01: hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01); NS: Not Significant; *: berbeda nyata pada taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05); **: berbeda nyata pada taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01).
Lampiran 20. Uji Lanjut Kontras Ortogonal Kapasitas Tampung Berdasarkan BK Tercerna 47
SK
db
JK
KT
Fhit
F0.05
F0.01
Perlakuan
8
1.041
0.130
23.497
2.510
3.705
**
1235 vs 46789
1
0.797
0.797
143.924
4.414
8.285
**
23 vs 15
1
0.082
0.082
14.843
4.414
8.285
**
2 vs 3
1
0.019
0.019
3.518
4.414
8.285
1 vs 5
1
0.022
0.022
4.049
4.414
8.285
69 vs 478
1
0.101
0.101
18.288
4.414
8.285
6 vs 9
1
0.009
0.009
1.570
4.414
8.285
7 vs 48
1
0.009
0.009
1.564
4.414
8.285
4 vs 8
1
0.001
0.001
0.217
4.414
8.285
Galat
18
0.100
0.006
Total
26
1.140
**
Keterangan: SK: Sumber Keragaman; db: derajat bebas; JK: Jumlah Kuadrat; KT: Kuadrat Tengah; Fhit: nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data; F0,05: hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05); F0,01: hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01); NS: Not Significant; *: berbeda nyata pada taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05); **: berbeda nyata pada taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01).
48