n, ke arah mereka. "Mode pria yang paling baru, seperti yang diiklankan di TV."
Darbishire telah melakukan pilihan berselera: selembar kemeja warna merah jambu, celana jeans yang sudah belel, sebuah jaket sport yang sudah tua, sebuah topi pandan, sepasang sarung tangan yang kedua-duanya untuk tangan kiri, sebuah selop besar untuk dipakai di kamar tidur, dan sebuah sepatu kanvas kecil bersol karet.
Pilihan itu disambut dengan hangat oleh Venables dan Temple. Kedua anak itu langsung mendandani tubuh orang-orangan yang lembek dengan busananya yang menggelikan itu. Sementara potongan pakaian terakhir ditarik-tarik menyelubungi kedua lengan yang berisi jerami, Temple mengatakan, "He, ini kan jaket Pak Wilkie. Itu, yang biasa dipakainya kalau mewasiti permainan sepakbola."
"Yah, dia takkan mewasiti sepakbola dengan ini lagi," kata Venables. "Tidak sesudah hari ini."
"Kata Matron tadi, aku boleh mengambilnya," kata Darbishire menenangkan mereka. "Katanya, aku boleh mengambil yang mana saja, kecuali yang masih harus dibetulkan."
Temple mengangguk. "Kalau begitu bereslah. Memang sudah waktunya Pak Wilkie membeli jaket baru."
Ketika orang-orangan itu sudah selesai didandani, mereka menaruhnya dalam posisi duduk di rak lalu berdiri mengelilingi sambil mengagumi penampilannya.
Venables berkata, "Hebat, ya! Dengan jaket itu, bahkan kelihatannya mirip Pak Wilkie. Nanti apabila anak-anak yang lain melihatnya, mereka pasti tertawa geli."
Darbishire memiringkan letak topi pandan sedikit lagi agar kelihatan lebih aksi. Ia mengatakan, "Kita harus membeli topeng untuknya. Atau kalau tidak, membuatnya sendiri. Itu bisa kita jadikan tugas buat Jennings."
"Ke mana dia?" tanya Venables. "Kusangka kalian berdua yang bersama-sama memilihkan pakaian."
Darbishire mengernyitkan muka. "Tadinya memang begitu, tapi ia mengalami kecelakaan yang tidak boleh diketahui oleh siapa pun juga."
Mata kedua anak itu langsung membundar karena perasaan ingin tahu. "Apa yang terjadi? Kau kan bisa menceritakannya kepada kami," desak Temple. "Kami kan
bukan guru!"
"Memang bukan, tapi..." Darbishire menimbang-nimbang. Rasanya pengaturan keamanan tidak berlaku untuk kedua teman mereka itu.
"Begini, kalian tahu, kan, anak kunci paviliun? Dan kalian tahu, anak kunci itu masih belum ditemukan?"
"Tentu saja kami tahu!" kata Temple. "Sepanjang minggu ini, pada saat berkumpul pagi hari, Kepala Sekolah ngomongnya kan tentang itu terus."
"Nah anak kunci itu ada di dalam saku Jen. Dia-yah, bisa dikatakan-menyitanya dari Pak Wilkie sewaktu guru itu sedang tidak ada. Ternyata anak kunci itu juga bisa dipakai untuk membuka pintu ruang jahit."
Temple dan Venables menatap Darbishire sambil mengerutkan kening. Mereka tidak mengerti. Bagi mereka, penjelasan anak itu sama sekali tidak jelas.
"Teruskanlah! Lalu kenapa?"
"Dia harus cepat-cepat mencari akal ketika cat ternyata tidak bisa dihilangkan dengan jalan mencucinya. Kalian tentu saja tidak bisa tahu mengenainya, karena ka1in saat itu tidak ada di sana."
Melihat kedua pendengarnya masih juga belum mengerti, Darbishire lantas memaparkan bencana yang terjadi di ruang jahit serta secara ringkas menuturkan tentang Rencana Memangkas Rambut dengan Diam-diam.
Venables dan Temple mendengarkan dengan asyik.
"Serahkan saja pada Jennings, untuk memikirkan siasat yang lihai," kata Venables ketika Darbishire selesai bercerita. "Lalu di mana dia sekarang?"
"Sekarang? Maksudmu pada saat ini?" tanya Darbishire. Ia memandang jam tangannya. Tepat pukul lima lewat dua puluh menit, Waktu Greenwich. "Yah, menurut jadwalnya yang termasyhur, tepat waktu, dan tidak mungkin meleset, saat ini Jennings sedang berdiri di halte bus di Dunhambury, menunggu bus pukul setengah enam datang!"
Perkiraan Darbishire itu keliru. Pada saat itu Jennings tidak sedang menunggu di
halte bus Dunhambury. Ia bahkan sama sekali tidak berada di dekat-dekat tempat itu. Ia masih bersembunyi di balik lemari pajangan di salon penata rambut. Dengan perasaan semakin gelisah, ia bertanya-tanya dalam hati, masih berapa lama pemangkasan rambut Pak Wilkins berlangsung.
Waktu sudah berlalu tujuh menit sejak ia bergegas menyembunyikan diri, dan dengan setiap detik yang berlalu, situasi semakin bertambah gawat baginya. Apabila ia tidak keluar dari tempat itu dalam waktu semenit yang tersisa, takkan ada harapan baginya untuk bisa naik bus, seperti yang sudah direncanakannya. Dan apabila ia tidak kelihatan di sekolah pada saat makan sore, pasti akan ada pertanyaan, dan segala perbuatannya akan ketahuan: menyimpan secara tidak sah anak kunci yang hilang, memasuki ruang jahit tanpa izin, mengelabui guru pengawas, pergi naik bus tanpa izin, begitu pula...
Tiba-tiba Jennings menjadi tegang. Ia menahan napas. Dari tempat persembunyiannya di balik lemari pajangan, ia bisa melihat bayangan Pak Wilkins di cermin; dan sementara ia masih memperhatikan, dilihatnya tukang pangkas yang melayani guru itu membuka kain selubung yang menutupi bahu pelanggannya. Penderitaannya sudah berakhir! Pak Wilkins akan pergi-pada saat-saat terakhir baginya!
Jennings memutuskan untuk membiarkan Pak Wilkins keluar dulu dan berjalan sampai ke sudut jalan dan menuju ke tempat parkir mobil. Setelah itu ia akan berlari sekencang-kencangnya ke arah yang berlawanan. Apabila nasibnya mujur, ia akan tiba di halte bus beberapa saat sebelum kendaraan umum itu datang.
Tapi saat berikutnya, harapan Jennings yang tadi sudah bangkit, langsung berantakan lagi. Tukang cukur tadi, setelah mengibas-ngibaskan kain selubung untuk menyingkirkan rambut yang menempel, kemudian menyelubungkannya kembali menutupi tubuh Pak Wilkins. Ternyata ia masih hendak mencuci rambut Pak Wilkins!
Jennings rasanya kepingin menangis karena kecewa. Dengan perasaan kecut diperhatikannya tukang cukur itu mendekatkan kursi yang diduduki Pak Wilkins ke dinding. Dilihatnya guru itu memajukan tubuhnya ke depan lalu menundukkan kepala di atas bak tempat cuci rambut.
Kemudian, sambil terus memperhatikan, dalam benak Jennings timbul gagasan nekat. Jika kepala Pak Wilkins sedang dimasukkan ke dalam bak, ia takkan bisa melihat apa yang terjadi di belakangnya! Inilah saatnya untuk melarikan diri ke luar! Kalau tidak sekarang, pasti nanti sudah terlambat!
Sambil menggenggam topi petnya erat-erat, Jennings meninggalkan tempat persembunyiannya lalu berjingkat-jingkat menuju pintu depan. Ia sebenarnya ingin berlari, tapi takut bunyi langkahnya akan menyebabkan Pak Wilkins mengangkat kepalanya untuk melihat.
Karenanya Jennings bergerak maju dengan langkah berjingkat-jingkat. Geraknya saat itu seperti kucing yang sedang berjalan di atas pagar yang dipasangi paku-
paku. Ia begitu tegang membayangkan bahaya yang mengancam, sehingga tidak melihat senyuman membesarkan hati yang tersungging di wajah Pak Hales, begitu pula pandangan terheran-heran yang diarahkan para pelanggan yang sedang menunggu. Kini Jennings sudah sampai di belakang kursi yang ditempati Pak Wilkins. Pintu depan tidak sampai dua meter lagi jauhnya, dan setelah melewati pintu itu ia akan selamat.
Jennings terus berjalan, berjingkat-jingkat. Ia sampai di pintu dan tangannya sudah bergerak hendak meraih pegangan, ketika Pak Wilkins mengangkat kepalanya dan melihat bayangan anak yang sedang berusaha keluar tanpa ketahuan itu.
"Ah, Jennings!" kata Pak Wilkins.
8. Rencana Kampanye
JENNINGS begitu kaget, sampai terlonjak seperti kelinci terkejut. Ia membalikkan tubuh dengan perasaan kecut. Kerongkongannya kering: ia tidak bisa mengatakan apa-apa. Ia hanya bisa melongo dengan wajah tolol, menunggu datangnya pertanyaan yang sudah pasti akan diajukan, disusul kemarahan guru itu.
Tapi ternyata yang ditakutinya tidak terjadi!
Pak Wilkins bukannya bertanya, ia malah berkata, "Sungguh, kau tampak jauh lebih rapi sekarang, Jennings, setelah memangkaskan rambutmu. Tidak lagi kelihatan seperti atap rumbia yang dijadikan sarang oleh burung-burung. Aku nyaris saja tidak mengenalimu." Ia mengatakannya dengan nada ramah dan berkelakar. Sedikit pun tidak terasa adanya nada heran atau marah.
Jennings bingung. Kenapa Pak Wilkie jadi begitu? Kenapa ia tidak minta penjelasan dan mengancamkan berbagai hukuman? Keheranannya semakin bertambah ketika guru itu melanjutkan, "Tunggu sebentar sampai aku sudah selesai, nanti kau boleh ikut aku pulang ke sekolah. Tunggu saja di dalam mobilku, jika kau mau. Aku menaruhnya di tempat parkir, di balik sudut jalan."
"Baik, Pak. Terima kasih, Pak."
Dalam keadaan masih bingung, Jennings meninggalkan salon dengan langkah lunglai. Ia menuju ke tempat parkir mobil di dekat situ, tempat mobil Pak Wilkins ditaruh agak jauh dari jalan masuk. Pintu-pintu kendaraan itu tidak terkunci.
Jadi Jennings lantas masuk dan duduk di bangku di sebelah tempat duduk pengemudi, lalu berusaha memahami hal-hal yang baru saja dialaminya.
Tapi ia tidak berhasil! Dari sudut mana pun ia mencoba meniliknya, ia tetap saja tidak menemukan alasan bagi sikap Pak Wilkins tadi.
Coba saja pikirkan kenyataannya! Ia barusan tertangkap basah, berada di luar lingkungan sekolah tanpa izin, melakukan sesuatu yang begitu luar biasa sehingga guru mana pun akan menuntut penjelasan.
Sementara Pak Wilkins tadi menerimanya seakan-akan merupakan hal yang paling lumrah.
Satu pertanyaan pun tidak diajukannya! Sama sekali tidak ada kata-kata kecaman! Benar-benar tidak masuk akal!
Tapi hal yang membingungkan bagi Jennings, bagi Pak Wilkins merupakan persoalan yang sangat jelas. Soalnya, baru saja dua hari yang lalu, pada saat para guru sedang makan malam, Kepala Sekolah memutuskan bahwa anak itu harus pergi ke Dunhambury pada kesempatan libur setengah hari yang berikut untuk memangkaskan rambutnya. Jadi tidak aneh bagi Pak Wilkins kalau kedatangan mereka berdua di salon penata rambut terjadi pada saat yang hampir bersamaan.
Jennings berhenti memikirkan urusan itu, lalu dengan iseng memperhatikan panel instrumen yang ada di depannya. Kunci starter ada di tempatnya, tergantung pada sebuah gelang tempat juga terdapat seberkas anak kunci.
Ia membungkukkan tubuhnya ke depan, mengamati dengan lebih saksama. Eh, tentu saja! Itu kan berkas kunci yang begitu jarang terpisah dari pemiliknya; berkas dari mana Jennings "meminjam" anak kunci paviliun, anak kunci bertotol cat hijau di tangkainya.... Ini kesempatan baginya untuk mengembalikan anak kunci itu ke tempatnya, tanpa ada yang melihat!
Jennings celingukan, memandang berkeliling. Tapi ia tidak melihat Pak Wilkins. Dengan cepat dikeluarkannya anak kunci paviliun dari sakunya, lalu digabungkannya kembali ke berkas anak kunci yang tergantung pada gelang kunci. Setelah itu barulah ia menarik napas lega.
Beberapa menit kemudian Pak Wilkins, dengan rambut sudah dipangkas rapi, berjalan dengan langkah panjang-panjang menyusuri mobil-mobil yang diparkir berderet-deret.
"Siap untuk berangkat!" katanya ramah dengan suaranya yang menggelegar, sementara ia duduk di bangku pengemudi. "Untung aku tadi melihatmu. Kurasa jika kau tadi berjalan ke halte bus, bus yang hendak kaunaiki pasti sudah berangkat."
Sambil berkata begitu diputarnya kunci starter untuk menghidupkan mesin mobil.
Dalam perjalanan, Jennings terus melirik ke arah Pak Wilkins dengan sikap waspada. Tapi tidak sesaat pun-juga tidak ketika mereka sudah tiba di sekolahPak Wilkins menyadari bahwa anak kunci yang selama itu lenyap kini sudah kembali di tempatnya semula.
Venables, Temple, dan Darbishire sedang mencuci tangan, bersiap-siap pergi ke ruang makan untuk minum teh sore, ketika mereka mendengar bunyi mobil Pak Wilkins berhenti di luar, di pelataran tempat bermain.
Temple, yang paling dekat ke jendela, terdengar tersentak kaget. Itu menyebabkan kedua anak yang lain bergegas menghampirinya.
"Lihat itu! Jennings tertangkap oleh Pak Wilkie. Beliau membawanya pulang dengan mobil."
"Wow! Kasihan Jennings! Pasti akan terjadi keributan gawat mengenainya apabila mereka sudah masuk nanti," kata Venables meramalkan.
"Taruhan, Pak Wilkie pasti marah besar."
"Yah, sampai di situ sajalah Rencana Memangkas Rambut dengan Diam-diam," kata Darbishire sambil menggeleng-geleng sedih. "Sudah dari semula kuketahui bahwa rencana itu bukan tidak mungkin gagal. Tapi Jennings, mana mau dia mendengar kalau sudah punya kemauan!?"
Ia memandang dengan mata terpicing ke arah luar yang sudah remang-remang gelap, sementara Pak Wilkins dan Jennings berjalan beriring-iringan menuju pintu samping. Dengan perasaan heran, Darbishire menambahkan, "Tapi Pak Wilkie kelihatannya tidak marah-marah. Aku baru saja mendengar beliau tertawa."
"Yah, tentu saja Pak Wilkie tertawa," kata Temple. "Terkekeh senang membayangkan apa yang nanti akan dilakukan beliau terhadap si korban yang malang, yang sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi, seperti cacing yang terkait pada mata kail." Ia melangkah ke pintu. "Yuk, kita periksa apa yang telah terjadi. Aku harus mengetahuinya."
Ketika ketiga anak itu sampai di serambi depan, Pak Wilkins dan Jennings masuk ke situ lewat pintu samping. Pak Wilkins tampak senang sekali.
"...tapi kurasa tidak ada alasan untuk merasa cemas," katanya dengan nada
menenangkan.
"Pasti ada di tempat yang aman. Aku akan mencarinya dengan saksama malam ini juga."
"Terima kasih, Pak," jawab Jennings. "Tapi Anda tidak perlu repot-repot, karena itu tidak begitu penting."
"Tentu saja itu penting! Aku yang diserahi tanggung jawab atasnya dan aku bertekad akan..."
Pak Wilkins tidak melanjutkan kalimatnya ketika melihat Darbishire, Venables, dan Temple memandang sambil melongo ke arahnya dari seberang serambi. "Ada apa dengan kalian bertiga? Kalian tidak mengenali Jennings lagi setelah rambutnya dipangkas?" Terdengar suara tertawa Pak Wilkins yang menggelegar. "Aku sependapat, memang kaget juga melihatnya berpenampilan seperti manusia beradab, tapi harus kalian akui bahwa perubahannya bersifat positif."
Saat itu lonceng tanda makan sore berdering. Pak Wilkins langsung berjalan dengan cepat menuju kamarnya, meninggalkan Jennings yang cengar-cengir kikuk sambil tetap berdiri di atas keset di belakang pintu. Teman-temannya yang kebingungan bergegas menghampiri lalu menghujaninya dengan berbagai pertanyaan.
"Di mana melesetnya? Bagaimana kau sampai bisa tertangkap oleh Pak Wilki? Apa yang akan terjadi sekarang? Apa sebabnya beliau tidak marah-marah?"
Jennings menghadapi berbagai pertanyaan itu dengan cengiran yakin. “Jangan panik! Operasi diselesaikan sesuai dengan rencana-yah, tidak benar-benar sesuai, tapi segala-galanya beres."
"Ya, tapi..."
"Saat ini tidak ada waktu untuk menjelaskan! Lonceng makan sore sudah berbunyi dan aku lapar. Nanti saja kuceritakan." Jennings mencampakkan topi petnya ke cantolan terdekat, lalu bergegas ke ruang makan. Teman-temannya mengikuti dengan perasaan ingin tahu yang sangat besar.
"Tapi apa yang diocehkan Pak Wilkins tadi ketika mengatakan bahwa tidak ada alasan untuk merasa cemas?" desak Venables sambil menarik bahu Jennings agar temannya itu memperlambat langkahnya.
"O, itu! Itu sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan operasi rahasiaku,"
jawab Jennings sambil membebaskan diri dari pegangan Venables. "Itu cuma tentang arlojiku yang kutitipkan kepada beliau beberapa hari yang lalu, sewaktu sedang main sepakbola. Pak Wilkie kemudian tidak ingat lagi di mana barang itu ditaruh."
"Cuma itu saja?!" Venables kecewa. "Tapi itu memang khas Pak Wilkie. Beliau itu sudah linglung-arlojimu dihilangkan, anak kunci paviliun dihilangkan. Kalau tidak hati-hati, kapan-kapan bisa kepala Pak Wilkie sendiri yang hilang."
"Ya, begitulah." Jennings tersenyum, seakan menikmati suatu lelucon yang hanya dia sendiri yang tahu. "Tapi kalian tidak perlu khawatir tentang urusan anak kunci paviliun. Aku punya perasaan, barang itu kapan-kapan pasti akan muncul lagi. "
Baru ketika anak-anak yang menempati Ruang Tidur Empat sudah masuk ke ranjang masing-masing, mereka memperoleh peluang untuk mendengarkan kisah sebenarnya dari peristiwa sore itu. Mereka mendengarkan dengan penuh perhatian. Mereka membanding-bandingkan nasib mujur dan nasib sial yang muncul, dan akhirnya mengakui kehebatan Jennings dalam menangani situasi yang sulit. Serahkan saja pada Jennings!
Begitulah kesimpulan mereka. Kalau ada yang bisa lolos dari kesulitan itu, Jennings termasuk salah seorang di antaranya!
Tapi hal yang tidak bisa mereka mengerti diluar kebiasaan ketika jelas menghadapi sekolah. Apa sebabnya dia tidak melabrak yang nyata-nyata bersalah, harus dinilai aneh pada zaman modern ini.
adalah tingkah laku Pak Wilkins yang kasus pelanggaran terhadap tata tertib dan menjatuhkan hukuman kepada Jennings sebagai salah satu misteri yang paling
Venables menegakkan tubuhnya di tempat tidur dan berkata, "Aku sependapat bahwa bagaimanapun Jennings memang berhasil. Tapi jika aku yang mengalami kejadian tadi sore itu, aku berani bertaruh bahwa aku pasti bisa melewati Pak Wilkie tanpa ketahuan sama sekali."
"Dengan cara bagaimana?" tanya Atkinson.
"Nah, dia kan mengantongi topeng Guy Hawkes itu! Dia bisa memakainya untuk menutupi muka lalu berlenggang keluar salon, sementara Pak Wilkie takkan mungkin bisa mengenalinya. Itu dia, rencana yang benar-benar lihai."
Jennings, si jago siasat, mengeluarkan bunyi dari mulutnya sebagai tanda meremehkan. "Sungguh, Venables, kau ini rasanya perlu memeriksakan otakmu. sudah cukup sering mendengar siasat yang konyol, tapi yang kauucapkan tadi benar-benar pantas mendapat tanda penghargaan sebagai yang paling konyol." bangku duduk di samping tempat tidurnya ia mengambil topeng yang dibawanya
Aku itu Dari ke
ruang tidur untuk diperlihatkan kepada teman-temannya.
"Bayangkan, aku berlenggang lewat di belakangnya dengan dasi dan jas seragam sekolah, membawa topi pet di tangan, dan memakai benda ini menutupi mukaku!"
Untuk memperagakan maksudnya, dipakainya topeng plastik berwajah aneh itu, lalu ia meloncat turun dari ranjang dan berjalan sempoyongan di dalam ruangan sambil menggerak-gerakkan kedua lengannya dengan sikap konyol. Ketika sampai di tepi ranjang Venables ia berkata, "Kurasa kau beranggapan, Pak Wilkie akan mengatakan begini dalam hati, ‘Ah, ada anak lewat. Seorang anak dari Sekolah Linbury Court, dengan hidung bulat seperti bola kriket dan berkumis tebal melengkung ke bawah. Aneh, aku selama ini tidak pernah melihatnya. Pasti anak baru!'"
Setelah menunjukkan kekonyolan siasat Venables, Jennings menari-nari kembali lalu berhenti di ,samping tempat tidurnya, tepat pada saat Pak Carter masuk untuk memberitahu bahwa sudah tiba saatnya anak-anak tidur dan tidak bercakapcakap lagi.
"Pertunjukan yang mengerikan," kata guru itu sambil pura-pura ngeri. "Hilanglah sekarang seleraku untuk makan malam."
Jennings melepaskan topeng yang menutupi mukanya lalu nyengir. "Anda bisa mengenali saya, Pak? Bisa tahukah Anda siapa orangnya jika topeng ini terus saya pakai?"
Pak Carter tetap memasang tampang serius. "Kau tentunya sudah tahu, Jennings, semua guru memiliki mata fotoelektrik pemantau pencuri. Pandangan mereka bahkan bisa menembus penyamaran yang paling membingungkan!"
Pak Carter memadamkan lampu kamar lalu pergi ke ruang guru, tempat beberapa rekannya berkumpul sebelum makan malam. Kepala Sekolah sedang meneliti sebuah catatan, sibuk mengecek urusan-urusan yang masih harus dilakukan.
"Ah, Anda, Carter! Saya perlu bicara sedikit dengan Anda mengenai acara Malam Api Unggun," katanya. "Saya sudah mengirim undangan kepada sejumlah penduduk setempat, seperti yang Anda sarankan, dan saya juga sudah memberitahu mereka bahwa saya sudah mengizinkan beberapa anak untuk mengumpulkan sumbangan apabila pesta kembang api sudah selesai."
"Bagus," kata Pak Carter menyetujui. "Ini sebenarnya gagasan anak-anak Kelas Tiga. Jennings dan kawan-kawannya berharap akan berhasil mengumpulkan uang dalam jumlah yang lumayan, yang kemudian akan disumbangkan untuk menolong orang-orang yang kelaparan di dunia."
"Saya senang mendengar Jennings akhirnya..." Pak Pemberton-Oakes tidak melanjutkan kalimatnya. Di wajahnya muncul sekilas perasaan kesal. "Ck, menjengkelkan! Ngomong-ngomong tentang Jennings, saya lantas teringat bahwa saya bermaksud menyuruhnya pergi memangkaskan rambutnya tadi siang. Tapi saya lupa sama sekali."
Pak Wilkins, yang selama itu sibuk membaca koran petang, mengangkat kepalanya. "Anda lupa, Pak? Tapi Anda pasti sudah menyuruhnya. Saya berjumpa dengan anak itu di salon di Dunhambury. Saya ajak dia pulang naik mobil saya."
"0, ya? Aneh sekali! Anda tanyakan tidak padanya, siapa yang menyuruhnya?"
"Itu sama sekali tidak timbul dalam pikiran saya, karena saya anggap dia ada di sana setelah Anda menyuruhnya."
"Tidak, baru sekarang ini saya ingat hal itu. Jadi kenapa..." Tiba-tiba air muka Kepala Sekolah yang tampak heran berubah menjadi penuh pengertian. "Ah, ya, tentu saja, pasti Matron yang menyuruh. Matron hadir sewaktu kita membicarakan soal itu pada saat makan malam beberapa hari yang lalu. Untunglah, dia ingat untuk memberitahu anak itu."
Matron saat itu kebetulan tidak ada, jadi tidak bisa mengatakan bahwa bukan dia yang menyuruh Jennings pergi. Pak Pemberton-Oakes kemudian berbicara tentang urusan-urusan lain....
Dan di lantai atas, di Ruang Tidur Empat, Jennings merebahkan diri di ranjangnya untuk tidur, tanpa sadar bahwa ia baru saja kembali bernasib baik, lolos lagi dari malapetaka yang mungkin menimpa dirinya.
Pada hari-hari libur setengah hari tertentu, setelah selesai bermain sepakbola, anak-anak Linbury Court diizinkan pergi ke desa Linbury untuk membeli jajanan atau apa saja yang mereka perlukan. Kebiasaan inilah yang hendak dimanfaatkan Jennings beserta teman-temannya untuk tujuan mereka sendiri, yaitu mengarak orang-orangan mereka di jalan desa sambil melambai-lambaikan kotak-kotak sumbangan di depan muka orang-orang yang lewat.
Hak pergi ke desa bisa dicabut sebagai hukuman karena berkelakuan buruk atau karena kemajuan belajar dalam kelas tidak memuaskan.
Tapi pada hari Sabtu pertama bulan November, tak ada satu pun dari kelima anggota Subpanitia Aksi Khusus Dana Kembang Api Kelas Tiga yang dikenai hukuman itu. Mereka berkumpul di pintu gerbang gedung untuk mengecekkan nama-nama mereka kepada guru yang saat itu bertugas sebagai pengawas.
"Jennings, Darbishire, Atkinson, Venables, Temple," kata Pak Carter, sambil membubuhkan tanda di belakang nama anak-anak itu. "Kalian harus melapor lagi bahwa kalian sudah kembali pukul setengah enam nanti. Jangan sampai terlambat."
"Baik, Pak!... Tidak, Pak!"
Kelima anak itu pun berjalan ke luar dengan tertib. Tapi begitu sudah tidak terlihat lagi dari gedung sekolah, mereka berbelok ke kanan, berjalan menyusuri pinggiran lapangan-lapangan sepakbola, menuju gudang penyimpanan perkakas yang letaknya di belakang kebun sayur.
"Kita nanti keluar lewat pintu pagar belakang," kata Darbishire kepada Atkinson, yang tidak hadir ketika Jennings memaparkan rencana mereka di gudang perbekalan. "Jika kita lewat jalan setapak; kecil sekali kemungkinannya kita akan berpapasan dengan orang lain dalam perjalanan."
"Oke, tapi bagaimana dengan orang-orangannya?" tanya Atkinson, petugas hubungan masyarakat organisasi mereka. "Kan kita akan membawanya."
"Memang! Orang-orangan itu ada di dalam gudang perkakas. Temple dan Venables menaruhnya dengan sembunyi-sembunyi di sana kemarin, disembunyikan di bawah karung-karung. Dan di situ ada semacam gerobak, yang menurut Temple cocok sekali dipakai untuk mengangkutnya berkeliling nanti."
Mereka berhasil tiba di gudang itu dengan selamat. Orang-orangan dikeluarkan dari bawah tumpukan karung lalu diikatkan ke sebuah gerobak sampah yang akan dijadikan keretanya.
Dengan topeng sudah terpasang, topi pandan bertengger miring di kepala, dan jaket olahraga Pak Wilkins yang tampak kekecilan di tubuh yang gemuk itu, dalam pikiran para anggota Subpanitia Aksi tidak ada keragu-raguan lagi bahwa boneka itu merupakan hasil karya yang tinggi nilai seninya.
"Semuanya minggir! Cup, aku yang mendorongnya," kata Jennings sambil mendorong gerobak itu ke luar. "Dan semua waspada, ya. Lihat-lihat kalau ada guru. Kurasa kita takkan berjumpa seseorang yang perlu kita cemaskan reaksinya, tapi siapa tahu, kan?"
Anak-anak itu tidak melihat siapa pun pada saat arak-arakan mereka menyusuri jalan setapak yang becek menuju pintu pagar sebelah belakang. Sesampai di luar, mereka tidak mengambil jalan yang biasa, melainkan menyusuri jalan setapak yang melintasi tanah pertanian Pak Arrowsmith.
Jalan tanah itu berlubang-lubang karena roda-roda traktor Pak Arrowsmith.
Akibatnya baru saja beberapa ratus meter mereka mendorong gerobak berisi orangorangan di jalan itu, salah satu roda gerobak terlepas dari porosnya.
Jennings mencampakkan roda itu ke dalam parit sambil mengatakan, "Kita tidak punya waktu untuk membetulkannya. Aku akan mendorong gerobak ini dengan bertumpu pada satu roda saja, sementara kalian menahan sisi gerobak sebelah sana agar bisa seimbang."
Perjalanan mereka ke desa berlangsung dengan lambat dan tidak mudah. Tapi akhirnya mereka tiba juga di Linbury. Mereka mendorong gerobak yang hanya beroda pada satu sisinya itu menyusuri jalan desa. Mereka berhenti tidak jauh dari Toko Serba Ada yang merangkap Kantor Pos Pembantu, tempat terdapat jalan setapak yang tegak lurus terhadap jalan utama, menuju ke sederetan rumah pedesaan.
"Ini merupakan geladi resik! Semuanya sudah kuatur, hak cipta merupakan milikku," kata Jennings ketika gerobak berisi orang-orangan itu sudah disandarkan dengan aman ke tembok pagar sebuah kebun depan rumah seseorang. "Aku, Darbi, dan Atki yang akan mengumpulkan sumbangan, sementara Temple dan Ven menjadi penjaga keamanan di kedua ujung jalan ini." Ia berpaling kepada kedua penjaga keamanan itu.
"Tugas kalian adalah berdiri di tempat yang memungkinkan kalian melihat ke balik sudut jalan. Kalian nanti harus memberi isyarat dengan cara melambaikan saputangan kalian apabila melihat ada mobil salah seorang guru datang. Dengan begitu kami akan punya waktu untuk menyembunyikan kotak-kotak sumbangan lalu berjalan dengan santai ke Toko Serba Ada, seakan-akan memang hendak ke sana untuk membeli permen."
"Tapi bagaimana dengan orang-orangan kita?" tanya Atkinson.
"Kita tinggalkan saja. Takkan ada yang tahu bahwa orang-orangan itu berhubungan dengan kita, jika kita berlagak tidak tahu. Lalu, kalau guru itu sudah lewat, kita keluar lagi dari toko, dan melanjutkan kerja kita."
"Bagaimana jika guru itu melihat kami melambai-lambaikan saputangan?" tanya Venables.
"Biar saja! Kita kan memang sedang berada di desa, dengan izin resmi dari sekolah! Kan tidak ada peraturan yang melarang kita melambai dengan ramah pada guru yang kebetulan lewat."
Darbishire merogoh jas hujannya. Ia mengeluarkan dua kaleng berbentuk tabung, bekas tempat coklat. Tutup kaleng itu sudah dilubangi, berbentuk celah sempit. Sisi kedua tabung ditempeli kertas yang terasa lengket karena lem. Pada kertas itu tertulis dengan huruf-huruf tebal: Dukunglah Usaha Bantuan untuk Bencana Kelaparan.
"Ini untukmu, Atki. Jennings sudah punya," kata Darbishire sambil menyodorkan sebuah kalengnya kepada Atkinson. "Aku sudah memasukkan uang empat penny ke dalam tabung yang kaupegang itu agar kau bisa menggerincingkannya untuk menarik perhatian. Tapi nanti kembalikan, ya, sebelum kita menghitung hasil aksi kita."
Jennings, selaku pemimpin, mengambil tempat di trotoar di samping orang-orangan mereka. "Oke! Tempati Pangkalan-pangkalan Aksi!" katanya dengan nada memberi komando.
Kelompok aksi bentukan mereka sendiri itu berpencar, pergi ke tempat tugas masing-masing.
Ekspedisi Rahasia Pengumpulan Dana @ Hak Cipta: J.CT. Jennings sudah dimulai!
9. Sumbangan bagi Orang-orangan
DESA Linbury, yang letaknya terpencil dalam salah satu lembah perbukitan di South Downs di ujung selatan Inggris, bukan merupakan pusat kehidupan pedesaan yang ramai. Meski di sana ada berbagai hal yang menarik, seperti gereja yang dibangun semasa Abad Pertengahan, tempat penjualan bensin, serta ketiga tokonya yang kecil-kecil, penduduk desa itu kebanyakan lebih suka pergi dengan bus ke kota Dunhambury pada had Sabtu sore, daripada berbelanja atau mengisi waktu senggang mereka di kampung halaman sendiri.
Karenanya, pada hari itu hanya beberapa orang yang ada untuk mengagumi orangorangan yang diarak anak-anak; dan lebih sedikit lagi yang bersedia mendukung suatu usaha mulia dengan memberikan sumbangan uang tunai. Setelah menggerincinggerincingkan kaleng-kaleng mereka selama dua puluh menit di depan Toko Serba Ada merangkap Kantor Pos Pembantu, Darbishire hanya mendapat uang sebanyak tiga penny dan selembar kupon berhadiah sebatang sabun, Atkinson mendapatkan sekeping uang franc Belgia, sementara Jennings tidak berhasil mendapat apa-apa.
Yang menunjukkan minat terhadap aksi pengumpulan dana itu juga hanya anak-anak lain dari sekolah mereka yang juga sedang mendapat izin pergi ke desa; tapi mereka pun tidak punya uang yang bisa disumbangkan. Mereka hanya bisa memberikan dorongan semangat saja.
"Bagaimana perkembangannya?" tanya Bromwich dan Martin-Jones sewaktu melewati gerobak berisi orang-orangan dalam perjalanan kembali ke sekolah.
"Pasaran sedang agak sepi saat ini," kata Jennings berterus terang. "Tapi aku
tidak khawatir. Sebentar lagi keadaan pasti akan menjadi lebih baik."
Seakan-akan sebagai jawaban atas perkiraannya itu, Bu Thorpe yang tinggal di Oaktree Cottage saat itu muncul dengan sepedanya dan dengan seketika keadaan berubah!
Bu Thorpe adalah seorang wanita setengah umur dengan wajah runcing. Ia seperti tidak mengenal kata lelah. Dengan kata lain, ia sangat aktif dalam kegiatankegiatan di masyarakat desa itu. Penampilannya rapi dan mungil, bagaikan burung, gerak-geriknya yang serba menggelepar dan suaranya yang mencicit jika berbicara, menimbulkan kesan seakan-akan dia itu seekor burung kecil yang berkicau. Dia kenai baik dengan anak-anak, karena sering berkunjung ke sekolah mereka. Mereka pun pernah beberapa kali terlibat dalam kegiatan Bu Thorpe di lingkungan jemaat gerejanya.
Sewaktu wanita setengah umur itu turun dari sepedanya di depan Toko Serba Ada, Darbishire menghampiri sambil mengguncang-guncangkan kaleng sumbangannya. "Selamat siang, Bu Thorpe! Itu orang-orangan Guy Fawkes kami, di sana itu," katanya sambil tersenyum sopan. "Apakah Anda bersedia memberi untuk..."
Darbi tidak sempat menyelesaikan kalimatnya. Sebab Bu Thorpe bukannya membalas sapaan Darbishire dengan senyuman ramah seperti biasanya. Wanita bertubuh kecil mungil itu menatapnya dengan galak, seperti hendak menelannya mentah-mentah.
"Memalukan!" tukas Bu Thorpe. "Kalian harus merasa malu! Berani-beraninya!" Suaranya, yang biasanya terdengar merdu seperti kicauan murai di pagi hari musim semi, saat itu melengking tinggi seperti suara burung beo yang ribut memprotes karena diberi makanan yang tidak disukainya.
Darbishire terbengong-bengong. "Maaf, saya tidak mengerti," katanya.
"Sumbangan untuk orang-orangan itu, ya!" Bu Thorpe mengibaskan lengannya ke arah orang-orangan yang didudukkan di dalam gerobak.
"Keterlaluan! Berani-beraninya kau berdiri di sini, meminta-minta sumbangan pada orang-orang, hanya dengan maksud nanti menghabiskan uang yang terkumpul untuk membeli jajanan dan kembang api, untuk kesenangan kalian sendiri!"
Jennings bergegas maju untuk menjelaskan.
"Maaf, Bu Thorpe, Anda tidak mengerti. Kami hanya..."
"Aku mengerti sekali. Mengemis-ya, itulah yang kalian lakukan! Memanfaatkan tanggal 5 November, hari peringatan penumpasan pemberontakan Guy Fawkes, sebagai alasan untuk merongrong orang-orang agar mau memberikan uang hasil jerih payah mereka. Akan kukatakan kepada Pak Pemberton-Oakes nanti, apa pendapatku tentang kelakuan kalian. Aku heran ia mengizinkan hal seperti ini terjadi di sekolahnya."
"Aduh, itu tidak adil, Bu Thorpe! Kami mengumpulkan sumbangan ini bukan untuk kami."
Tapi Bu Thorpe sedang marah sekali, sehingga bahkan tidak mendengar Jennings menyela.
"Dan apabila dipikir, sementara kalian, anak-anak yang serba berkecukupan, mengemis di jalan, anak-anak miskin di bagian-bagian lain di dunia ini benarbenar berada dalam - keadaan sengsara. Merupakan kewajiban kalian untuk juga memikirkan mereka yang bernasib tidak sebaik kalian!"
Bu Thorpe berhenti berbicara karena kehabisan napas, dan saat itu dengan cepat Jennings mengatakan, "Justru itulah yang sedang kami lakukan sekarang ini," katanya tegas. "Kami mengumpulkan sumbangan ini bukan untuk kami sendiri. Anda bacalah apa yang tertulis di kaleng-kaleng sumbangan kami!"
Bu Thorpe membaca tulisan itu, dan dengan seketika air mukanya berubah. Kini ia tampak bagai burung jalak yang malang, terperangkap dalam jaring, tidak galak lagi seperti tadi.
"Aduh, maaf sekali, ya. Aku tidak tahu tadi," katanya minta maaf. "Jika ini untuk tujuan amal, lain lagi persoalannya. Aku setuju sekali, dengan sepenuh hati. Sungguh!"
"Ini merupakan bagian dari proyek kami untuk membantu dana yang hendak dikumpulkan Pak Carter," kata Jennings menjelaskan. "Dan nanti, pada Malam Api Unggun, kami juga akan melakukan aksi pengumpulan sumbangan."
"Ya, ya, aku akan datang menghadirinya. Aku sudah menerima undangan dari Pak Oakes," kata Bu Thorpe bersungguh-sungguh. "Maafkan sikapku tadi, karena terburu-buru menarik kesimpulan yang keliru. Begitu banyak anak-anak berkeliaran, meminta-minta uang untuk orang-orangan mereka, sehingga aku berpendapat bahwa sudah waktunya untuk bersikap tegas!" Bu Thorpe mencari-cari sebentar dalam dompetnya, lalu menyodorkan uang sebanyak dua puluh penny. "Tapi jika untuk tujuan baik, urusannya jadi lain, kan!"
Uang sebanyak dua puluh penny itu bergerincing masuk ke dalam kaleng sumbangan. Bu Thorpe, dengan wajah berseri-seri, menyandarkan sepedanya lalu masuk ke Toko Serba Ada.
"Puih!" Jennings menepuk-nepuk keningnya dengan saputangan. "Gawat juga tadi itu, ya!"
Darbishire mengangguk. "Tapi ia baik hati juga. Apalagi jika ia mau menyumbang lagi dalam pesta kembang api."
Atkinson dengan segera menjauh ke tempat yang dirasakannya cukup aman, begitu tadi terdengar lengkingan suara Bu Thorpe yang marah-marah. Kini dengan pelanpelan ia datang lagi. Ia merasa bosan dan juga kecewa karena sedikitnya sumbangan yang masuk ke dalam kalengnya. "Sebentar lagi kita harus pergi dari sini. Pukul setengah enam nanti kita sudah harus mengembalikan orang-orangan itu ke dalam gudang."
Pandangan matanya menelusuri jalan ke arah Dunhambury. Tahu-tahu disikutnya rusuk Jennings dengan keras. "He, lihat itu Temple melambai-lambai!" serunya.
Temple memang melambai-lambai-dan telah melakukannya sejak beberapa detik. Kini ia berjingkrak-jingkrak panik. Ia marah sekali pada ketiga temannya yang bertugas mengumpulkan sumbangan, karena tidak memperhatikan isyaratnya.
Penyebab kepanikannya adalah mobil Pak Wilkins, yang saat itu sudah melewati Atkinson dan menuju ke arah ketiga pengumpul sumbangan dengan kecepatan 45 kilometer per jam. Pak Wilkins memang selalu berhati-hati pada saat melalui jalan desa.
Ketiga pengumpul sumbangan itu buru-buru menyembunyikan kaleng-kaleng mereka di balik jas hujan yang dipakai, lalu berjalan dengan santai ke arah Toko Serba Ada. Mereka berlagak hendak pergi membeli jajanan di toko itu.
Namun belum sampai sepuluh meter mereka melangkah, ketika siasat mereka tibatiba menjadi kacau. Mereka mengira Pak Wilkins akan terus. Tapi ternyata tidak! Guru itu memperlambat jalan mobilnya. Tampaknya ia hendak berhenti di depan Toko Serba Ada.
Jennings cepat-cepat berpikir. Bu Thorpe sudah ada di dalam toko. Beberapa saat lagi Pak Wilkins pun akan ada di situ. Pasti berbahaya sekali jika anak-anak juga ikut masuk. Soalnya, bila kedua orang dewasa itu kemudian bercakap-cakap, dan anak-anak itu masuk, Bu Thorpe pasti akan menyinggung tentang orang-orangan mereka.
Sambil menyambar lengan kedua rekannya, Jennings berbisik, "Perubahan rencana! Cepat, ikut aku!"
Ia berbalik dengan cepat lalu lari di jalan sempit itu, menjauhi jalan besar dan menuju ke deretan rumah pedesaan. Darbishire dan Atkinson, yang kaget dan bingung, membuntutinya terus sebelum akhirnya, setelah lari sejauh dua puluh meter, Jennings berhenti di balik sebuah pagar semak.
"Apa-apaan sih?" tanya Atkinson dengan napas tersengal-sengal.
"Kita lebih aman di sini, sementara Pak Wilkie mengobrol dengan Bu Thorpe di dalam toko," kata Jennings menjelaskan. "Nekat namanya, jika kita juga ikut masuk ke situ."
"Menurutmu, Bu Thorpe akan bercerita padanya?"
Jennings mengangkat bahu. "Itu bisa saja terjadi. Mungkin Bu Thorpe menyangka kita sudah mendapat izin. Jika Pak Wilkie harus buru-buru dan kita tidak ada di sana untuk ditanyai, mungkin kita bisa selamat."
Paling-paling, hanya itu yang bisa diharapkan!
"Apa yang kita lakukan selanjutnya?" tanya Darbishire ingin tahu.
"Kita menunggu sampai Pak Wilkie pergi," kata Jennings memutuskan. "Begitu dia pergi, keadaan aman dan kita bisa kembali ke tempat semula."
Pada saat-saat gawat, Darbishire selalu menyilangkan jari-jarinya dan memberi dirinya sendiri tiga permintaan untuk mengelak dari bencana. Dan itu juga dilakukannya saat itu!
"Mudah-mudahan Bu Thorpe tidak mengatakan apa-apa tentang kami," katanya meminta dalam hati. "Mudah-mudahan Pak Wilkie sedang buru-buru. Mudah-mudahan dia sudah pergi sebelum aku menghitung sampai lima puluh."
Dua permintaan Darbi terkabul. Bu Thorpe begitu sibuk berbicara dengan pelayan toko di bagian makanan, sehingga ia bahkan tidak melihat Pak Wilkins masuk. Dan Pak Wilkins, yang ternyata memang sedang buru-buru, hanya membeli sebuah bolpoin lalu melangkah ke luar lagi. Ia hanya sempat mengucapkan, "Selamat pagi, Bu Thorpe," sambil berjalan ke pintu.
Dan permintaan Darbi yang ketiga sebenarnya akan bisa terkabul pula, kalau saja Jennings ingat pada satu hal penting. Orang-orangan Guy Fawkes merupakan
pemandangan yang lumrah di jalan-jalan pada hari Sabtu sebelum tanggal 5 November, dan biasanya Pak Wilkins takkan begitu memperhatikan boneka-boneka seperti itu.
Namun sewaktu hendak masuk ke mobilnya, ia melihat bahwa orang-orangan yang tergeletak dalam gerobak di depan Toko Serba Ada itu memakai jaket sport yang potongan dan warnanya seperti pernah dilihatnya.
Pak Wilkins memandang sekali lagi. Tidak mungkin itu jaketnya, katanya dalam hati. Mustahil! Tapi kelihatannya kok sama dengan miliknya, sampai-sampai ke tambalan kulit yang sudah aus pada bagian sikunya itu. Dengan perasaan heran, ia keluar lagi dari mobilnya, menghampiri orang-orangan itu untuk menelitinya secara saksama.
Alisnya langsung terangkat karena kaget. Tidak salah lagi, itu, memang jaketnya, yang dianggapnya masih ada di ruang jahit sekolah, karena ada beberapa bagian yang perlu dijahit.
Lalu, kenapa ada di situ, membungkus karung berisi jerami terbentuk orangorangan itu, yang tergeletak di luar Toko Serba Ada merangkap Kantor Pos Pembantu Linbury?
Pak Wilkins bingung. Ia memandang ke kiri dan ke kanan, mencari-cari sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk misteri itu. Tapi Temple dan Venables, kedua anak yang bertugas sebagai penjaga keamanan, sejak tadi sudah lari menyembunyikan diri, sehingga tak seorang pun kelihatan. Kemudian Pak Wilkins melayangkan pandangan ke arah jalan kecil yang menuju ke deretan rumah pedesaan. Ia masih sempat melihat kepala seseorang yang dengan cepat menyusup masuk kembali ke dalam perlindungan semak pagar.
Pak Wilkins mengenali kepala itu. Itu kepala Darbishire yang, setelah menghitung sampai 47, memberanikan diri untuk memandang sebentar ke arah jalan besar dengan harapan akan melihat mobil Pak Wilkins lewat sebelum ia selesai menghitung sampai lima puluh.
Dengan suara selantang megafon, Pak Wilkins memanggil, "Darbishire! Kemari, cepat!"
Darbishire muncul dari tempat persembunyiannya, diikuti oleh Jennings dan Atkinson, yang merasa tidak ada gunanya lagi bersembunyi karena sudah ketahuan.
"Apa sebenarnya yang sedang kalian lakukan?” bentak guru itu dengan galak, sementara anak-anak muncul dari jalan kecil dan berdiri di hadapannya dengan sikap malu-malu. "Kaliankah yang bertanggung jawab atas benda jelek di dalam gerobak itu?"
"Itu orang-orangan kami, Pak," kata Jennings menjelaskan. "Kami sudah mendapat izin membuatnya, untuk Malam Api Unggun."
"Itu mungkin saja! Tapi kalian tidak mendapat izin mengarak benda brengsek itu berkeliling desa, kan?!"
"Yah, sebenarnya tidak, Pak. Tapi kami kira itu takkan apa-apa karena kami membantu Pak Carter mengumpulkan sumbangan untuk menolong orang-orang yang menderita kelaparan, dan Matron memberikan pakaian usang ini untuk mendandani boneka tersebut dan..."
"Matron yang memberikannya?" Pak Wilkins terkejut setengah mati. "Matron memberikan jaket sportku yang masih bagus untuk dicampakkan ke dalam api unggun?"
"Bukan dia sendiri yang memberikannya kepada kami, Pak," kata Darbishire mengakui. "Tapi dia mengatakan, kami boleh mengambil sendiri pakaian-pakaian tua yang sudah tidak dipakai lagi, yang terdapat di ruang jahit."
"Tapi aku masih mau memakainya! Aku meninggalkannya di sana bukan karena sudah tidak mau memakainya lagi. Aku meninggalkannya di sana untuk dibetulkan."
"O! Wah, begitu, ya, Pak. Maaf, Pak, saya tidak berpikir begitu," kata Darbishire dengan suara menggumam. Setelah dipikir-pikir, ia memang menyebabkan pakaian-pakaian yang ditaruh di atas meja ruang jahit menjadi acak-acakan. Tapi itu benar-benar tak disengajanya, jika jaket lusuh itu tercampur ke tumpukan yang keliru, tidak adil apabila kesalahan ditimpakan pada anak yang sedang memilih pakaian-pakaian usang itu. Mestinya Pak Wilkins sendiri yang berkewajiban menjaga miliknya!
Tapi Pak Wilkins tampaknya tidak begitu jalan pikirannya.
"Keterlaluan," tukasnya. "Kelakuan yang tidak bertanggung jawab dan menganggap sepi hak milik orang lain! Ingin rasanya aku meminta pada Kepala Sekolah agar beliau membatalkan izin pesta kembang api dan api unggun hari Selasa mendatang itu. Dan aku juga akan..."
"Api unggun dibatalkan?! Aduh, Pak Wilkins, itu tidak boleh terjadi! Itu merupakan kesempatan yang sangat baik bagi anak-anak untuk melakukan sesuatu yang mulia."
Kata-kata yang memotong kalimat Pak Wilkins itu datang dari balik punggungnya.
Pak Wilkins berpaling dan melihat Bu Thorpe berdiri di belakangnya, dekat sikunya. Bu Thorpe memandangnya dengan air muka kecut seperti seekor burung yang menatap cacing yang dengan cepat menyusup ke dalam tanah. "Menurut saya, bagus sekali anak-anak ini bersedia mengisi waktu luang mereka untuk membuat orangorangan dan mengumpulkan sumbangan bagi saudara-saudara mereka yang tidak sebaik mereka nasibnya."
Dengan sopan Pak Wilkins berkata, "Saya rasa Anda tidak begitu mengerti duduk persoalannya, Bu Thorpe. Saya tidak berkeberatan anak-anak ini membuat orangorangan, jika mereka menghendakinya. Yang membuat saya kesal adalah kelancangan mereka, yang dengan seenaknya saja mengambil pakaian saya untuk dipakaikan pada boneka itu."
Bu Thorpe tersenyum menawan. "Yah, namanya juga anak-anak! Dan saya yakin Anda takkan merusak kesenangan mereka, jika mengingat pekerjaan mulia yang dilakukan anak-anak ini." Bu Thorpe menghampiri sepedanya lalu menggantungkan kantong belanjaannya ke setang. "Kami semua sudah ingin sekali melihat pesta kembang api pada hari Selasa itu. Jadi ingat, Anak-anak, siapkanlah kotak-kotak sumbangan kalian," katanya sambil naik ke atas sadel sepedanya. "Menurut saya, bagus sekali para guru dan murid bekerja bahu-membahu untuk suatu tujuan bersama. Bukankah begitu, Pak Wilkins?"
Pak Wilkins mengerutkan keningnya dengan perasaan sebal, sementara pengendara sepeda bertubuh ringkih itu pergi. Ia tadi sebenarnya sudah hendak menjatuhkan hukuman pada anak-anak itu, sebelum tiba-tiba Bu Thorpe datang mencampuri.... Dan kini ia merasa tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Segala ucapan wanita itu tentang tujuan mulia secara tidak langsung mengisyaratkan bahwa dia-L.P. Wilkins-tidak mengenal perikemanusiaan apabila tidak ikut memberikan dukungan pada upaya kemasyarakatan. Pada hakikatnya, Bu Thorpe tadi menuduhnya lebih mementingkan penyelamatan jaket tuanya yang sudah lusuh daripada ikut mendukung upaya meringankan penderitaan orang-orang yang dilanda bencana kelaparan.
Itu jelas-jelas tidak benar! Anak-anak itu memang seharusnya dikenai hukuman, namun... namun...! Pak Wilkins tidak bisa memutuskan sikap yang harus diambil. Dengan ketus dikatakannya, "Kalian saat ini juga kembali ke sekolah, dan bawa orang-orangan konyol itu."
Kemudian ia bergegas kembali ke mobilnya, langsung. Sambil mengemudi, ia menatap lurus ke depan dengan wajah cemberut.
Matron sedang bercakap-cakap dengan Pak Carter di serambi depan sewaktu Pak Wilkins tiba kembali di sekolah. Hatinya masih panas akibat kejadian di desa tadi. Ia menatap Matron dengan wajah masam. Matron juga ikut bertanggung jawab atas kekesalan hatiku ini, kata Pak Wilkins dalam hati. Karenanya ia merasa berhak untuk protes.
"Ck, Matron, saya rasa itu sudah keterlaluan," katanya dengan nada menyesali. "Saya mengantarkan jaket sport saya ke ruang jahit untuk dibetulkan. Saya sama sekali tidak mengira Anda akan memberikannya kepada anak-anak Kelas Tiga, untuk mendandani orang-orangan mereka."
Matron memandangnya dengan heran. "Saya tidak memberikannya kepada mereka," katanya.
"Tidak? Yah, kenyataannya jaket itu ada pada mereka. Saya baru saja memergoki Jennings beserta kawan-kawannya mengarak orang-orangan jelek mereka yang memakai pakaian saya berkeliling desa!"
Matron tertawa. "Dasar Jennings! Saya rasa itu pasti karena tercampur dengan pakaian-pakaian bekas. Maaf sajalah." Matron berhenti sebentar. "Tapi Anda tidak bermaksud memintanya kembali, kan?"
"Keenakan mereka!" Pak Wilkins sangat tersinggung. "Saya kan memakai jaket itu setiap kali memimpin anak-anak latihan bermain sepakbola."
"Terserahlah," kata Matron sambil mengangkat bahu dengan sikap tidak peduli. "Tapi jaket itu kan sudah sangat tua, Pak Wilkins. Sebenarnya sudah tidak ada gunanya lagi dibetulkan."
"Saya sependapat," kata Pak Carter mencampuri pembicaraan. "Benar-benar sudah waktunya Anda membeli jaket yang baru, Wilkins. Kecuali itu, ingatlah pada uang yang diharapkan anak-anak akan bisa mereka kumpulkan pada saat api unggun nanti. Masa Anda tidak mau merelakan pakaian yang sudah sangat usang itu? Saya sangka Anda akan merasa senang, bisa memberi sedikit sumbangan untuk suatu tujuan mulia."
Pak Wilkins terkejut. Kedua orang itu bukannya ikut merasakan ketersinggungannya; mereka malah memihak anak-anak dan bersama-sama mengecamnya. Mereka semua: Bu Thorpe, Matron... dan bahkan Carter! ...Hm! Bagaimana sekarang? Memang harus diakui, itu merupakan tujuan mulia, tapi meskipun begitu...!
Sementara sedang memikirkan masalah itu, tangan Pak Wilkins bermain-main dengan berkas kunci yang dibawanya masuk setelah kunci starter dilepaskan dari tempatnya di mobil. Tiba-tiba disadarinya bahwa Pak Carter memandangnya dengan sikap heran.
"Tolong betulkan apabila saya keliru," kata Pak Carter dengan tenang dan lembut. "Tapi bukankah anak kunci dengan setetes cat hijau pada tangkainya itu yang kita cari-cari selama ini?"
Pak Wilkins memandang ke bawah, menatap berkas kunci yang ada di tangannya. Ia langsung melongo. Dagunya jatuh, membentuk sudut 45 derajat dengan rahang atas, sementara matanya menatap benda logam yang dipegangnya itu dengan hati-hati, seakan-akan takut kalau sisinya yang bergerigi akan menggigit jari-jarinya.
"Astaga! Anak kunci paviliun!" katanya tergagap.
"Tepat!" kata Pak Carter menegaskan. "Kita takkan perlu begitu ribut-ribut seandainya saja Anda sepuluh hari yang lalu mengatakan bahwa barang itu ada pada Anda."
"Tapi waktu itu saya tidak tahu di mana anak kunci ini berada! Saya baru saja melihatnya. Kenapa tahu-tahu ada di sini?!"
"Mungkin Anda mengembalikannya ke situ tanpa menyadarinya."
"Saya sama sekali tidak melakukan hal itu."
"Kalau begitu mestinya ada orang lain yang melakukannya ketika Anda sedang tidak ada."
"Mustahil! Tidak mungkin," kata Pak Wilkins berkeras. "Saya berani bersumpah, gelang kunci ini tidak pernah saya tinggalkan sejak pertandingan melawan Bracebridge pada waktu itu. Saya selalu membawanya di dalam saku celanakukecuali saat sedang mengemudikan mobil."
"Yah, jika Anda tidak menaruhnya kembali dan juga bukan orang lain..." Pak Carter tidak menyelesaikan kalimatnya, namun Pak Wilkins lantas menyadari bahwa Pak Carter dan Matron memandangnya dengan sikap cemas dan prihatin. Cara mereka memandang itu seakan-akan menunjukkan bahwa itu adalah gejala-gejala ketegangan mental akibat mengajar anak-anak Kelas Tiga sebanyak empat belas jam pelajaran dalam seminggu.
Tepat pada saat itu pintu samping yang menuju ke pelataran tempat bermain terbuka dengan tiba-tiba. Jennings masuk, dengan jaket Pak Wilkins tersampir pada lengannya.
"Maaf, Pak, ini jaket Anda," kata anak itu, menghampiri. "Kami menyesal telahyah, katakanlah-meminjamnya secara tak sengaja."
"Begitu, ya!"
"Ya, Pak. Kami telah berembuk mengenainya dalam perjalanan pulang tadi, lalu kami mencopotnya dari orang-orangan kami karena Anda kelihatannya begitu...
eh... begitu tidak senang melihatnya." Sambil menggeser-geserkan kakinya dengan kikuk, Jennings menyodorkan jaket ke arah Pak Wilkins.
Pak Wilkins ragu-ragu sejenak. Kemudian ia menggerakkan lengannya dengan gaya dramatis, seakan-akan hendak menyingkirkan jaket itu.
"Kalian boleh tetap memilikinya! Sana, bawa pergi! Pakaikan kembali pada orangorangan itu," katanya memerintahkan dengan suara lantang.
"Wah... tapi, Pak, kami pikir..."
"Aku sudah berubah pikiran. Aku akan senang sekali nanti, melihatnya terbakar di tengah api unggun." Pak Wilkins tertawa kecil, dengan perasaan kikuk. "Kau kan tidak menganggapku orang yang tega merintangi suatu tujuan mulia hanya karena sebuah jaket sport yang sudah lusuh!"
"Tidak, Pak. Tentu saja tidak, Pak. Terima kasih banyak, Pak. Sungguh, terima kasih banyak."
Jennings berbalik hendak pergi, sambil mengepit jaket itu erat-erat. Tapi ketika sudah melintasi separo ruang serambi tiba-tiba ia teringat pada sesuatu. Ia berpaling lalu mengatakan, "0, ya, ngomong-ngomong, Pak-bagaimana, Anda sudah menemukan kembali arloji saya?"
"Sayangnya belum, Jennings." Pak Wilkins tersenyum ke arah anak itu, sebagai isyarat untuk menenangkannya. "Tapi jangan khawatir. Barang itu tidak mungkin ada jauh-jauh dari tempat ini. Mestinya di sekitar sini."
Pak Carter melemparkan pandangan saling mengerti ke arah Matron. "Ya, seperti anak kunci paviliun itu!" katanya penuh makna.
10. Malam Api Unggun
PADA hari Senin dan Selasa ternyata tidak ada latihan sepakbola. Sebagai gantinya, anak-anak Linbury Court semua menggunakan waktu kosong tersebut untuk mengumpulkan kayu semak dan ranting-ranting yang kemudian dionggokkan di sebidang tanah kosong di belakang lapangan sepakbola.
Anak-anak Kelas Tiga yang paling giat mengumpulkan bahan bakar untuk api unggun. Pettigrew dan Marshall mengumpulkan isi seluruh keranjang sampah yang ada di sekolah, untuk dijadikan bahan penyala api. Atkinson (petugas hubungan masyarakat dari Guy Fawkes almarhum) membuat sejumlah tabung sumbangan lagi,
yang dibubuhi tulisan Dukunglah Usaha Bantuan untuk Bencana Kelaparan. Bromwich dan Martin-Jones membantu Pak Carter menyusun acara pesta kembang api dan membangun landasan peluncuran mercon-mercon roket. Sementara Venables dan Temple merapikan serta menyikat busana orang-orangan sebagai persiapan untuk upacara pembakaran.
Jennings dan Darbishire mengisi waktu luang mereka pada hari Senin dengan mencari kayu bakar ke mana-mana. Pak Hind bertugas memimpin pekerjaan menumpukkan kayu di atas onggokkan ranting dan membentuknya menjadi sebuah piramida yang rapi. Ia berdiri di atas sebuah tangga lipat yang tinggi, memberi semangat kepada anak-anak yang mencari kayu bakar.
"Kayunya belum cukup untuk bisa membuat api unggun yang mengesankan," katanya kepada Jennings dan Darbishire ketika kedua anak itu tiba di kaki tangga tempatnya berdiri sambil membawa beberapa genggam ranting dan daun kering. "Sana, cari lebih banyak lagi."
Selama sepuluh menit tadi kedua anak itu sudah tiga kali bolak-balik. Mereka sudah mulai merasa putus asa.
"Tampaknya tidak ada lagi, kata Jennings menjelaskan. gandengan Pak Kepala untuk mereka tidak mau kami ikut
Pak-yah, tidak ada yang mampu kami bawa sendiri," "Anak-anak Kelas Lima sudah meminjam gerobak mengangkuti batang-batang kayu yang besar-besar, dan mempergunakannya."
"Kalau begitu sebaiknya coba kalian pergi mencari ke tempat-tempat yang lebih jauh," Pak Hind menyarankan. "Coba lihat apakah ada sesuatu yang ditumpukkan di dekat tempat pembakaran sampah di kebun Kepala Sekolah. Biasanya beliau menumpukkan sampah yang harus dibakar di sana. Kalau kalian ambil sampah itu, beliau tidak perlu repot-repot lagi membakarnya."
Jennings dan Darbishire pergi melakukan apa yang disarankan Pak Hind. Dalam perjalanan mereka berjumpa dengan Binns dan Blotwell. Kedua anak termuda di sekolah itu lari sekencang-kencangnya melintasi lapangan sepakbola sambil menggelindingkan dua ban mobil yang sudah gundul.
"Ban bekas mobil Pak Wilkins. Dia mengatakan kami boleh mengambilnya, untuk api unggun," kata Binns menjelaskan, sementara kedua ban itu berguling masuk ke dalam gawang dan
rebah di situ. "Nanti pasti bakal meledak seperti bom dan menghamburkan gas beracun yang mematikan."
"Kami punya rencana hebat," kata Blotwell. Mukanya dikernyitkan untuk menunjukkan bahwa rencana mereka itu licik. "Mudah-mudahan saja saat itu anakanak yang berdiri di tempat yang berlawanan dengan arah angin semuanya akan
terkena asap, sehingga kami bisa mendapat sosis dan kentang panggang bagian mereka." Anak itu terkekeh-kekeh. Jelek dan licik sekali kedengarannya. "Tidak ada yang bisa melawan bau karet terbakar untuk merusak selera makan!" kata anak Kelas Satu itu.
"Cocok dengan jalan pikiran mereka yang kerdil," kata Jennings dengan nada sedih. "Memang tidak bisa diharapkan anak-anak kecil dari kelas satu mau memikirkan orang lain, seperti manusia pada umumnya."
Darbishire tersenyum, bergaya penyabar. "Berilah mereka kesempatan! Nanti, apabila mereka sudah tumbuh menjadi anak-anak Kelas Tiga, mungkin saja mereka akan hampir beradab. Kabarnya, pendidikan sangat mujarab pengaruhnya-bahkan dalam kasus-kasus yang paling parah sekalipun."
Karena tidak bisa menemukan jawaban yang cocok untuk menutupi rasa malu, kedua anak Kelas Satu itu mengambil ban-ban mereka lalu melanjutkan perlombaan menggelindingkan roda-roda mobil itu. “Jangan dengarkan kata-kata mereka! Setiap orang tahu, anak-anak Kelas Tiga gila semuanya," kata Blotwell sementara ia dan sahabatnya menggelindingkan ban-ban mobil mereka ke arah tempat yang nantinya akan diadakan api unggun. "Lagi pula, apa pun yang mereka katakan, aku akan berdiri di tempat angin datang ke arah asap."
Kebun Kepala Sekolah biasanya tempat terlarang bagi anak-anak, namun instruksi Pak Hind dengan jelas mengizinkan mereka masuk ke situ. Karenanya Jennings lantas mendului masuk lewat pintu pagar lalu berlari menyusuri jalan kerikil yang lebar, dibuntuti Darbishire.
Tempat pembakaran sampah terdapat di salah satu sudut kebun itu. Tempatnya terlindung dari pandangan oleh semacam pagar semak perintang yang rantingrantingnya dianyam. Dilihat sepintas lalu, tampaknya tidak ada dedaunan kering atau sampah lain semacam itu yang siap dibakar. Jennings dan Darbishire sudah hendak keluar lagi ketika Jennings kebetulan melihat seonggok pohon poplar yang masih kecil-kecil, lengkap dengan akar-akarnya. Pohon-pohon itu tergeletak di tanah, tidak jauh dari onggokkan pupuk daun.
"Bagaimana kalau itu saja!" katanya. "Pasti bisa terbakar."
Darbishire sangsi. "Bagaimana kau bisa tahu pohon-pohon itu tidak diperlukan lagi?"
"Itu kan sudah jelas! Kepala Sekolah takkan menggali dan mencabutnya jika masih ada gunanya." Jennings menunjuk ke arah sederetan pohon poplar yang agak jauh dari tempat itu. Pohon-pohon itu ditanam di sana sebagai penahan angin. "Lihatlah! Pohon-pohon ini dari sana! Orang tolol pun pasti tahu bahwa pada waktu-waktu tertentu pohon-pohon muda yang menyusul tumbuh harus dicabuti agar tidak jadi terlalu rapat. Dan itulah yang dilakukan Kepala Sekolah. Pohon-pohon yang ada di sini adalah yang akan dibuangnya."
Kelihatannya itu cukup masuk akal. "Kalau begitu baiklah! Kita angkut saja ke tempat Pak Hind!" kata Darbishire.
Jennings memperkirakan bahwa mereka harus beberapa kali bolak-balik apabila pohon-pohon poplar itu harus diangkut dengan tangan. Cara yang lebih mudah untuk mengangkutnya adalah dengan menggunakan gerobak gandeng Kepala Sekolah, kalau ia bisa membujuk anak-anak Kelas Lima agar mau meminjamkan gerobak itu selama kirakira sepuluh menit. "Lebih baik kau ikut, Darbi," katanya. "Aku tidak tahu apakah aku mampu menangani gerobak itu kalau seorang diri saja."
Kedua anak itu berlari kembali ke lapangan sepakbola. Yang pertama mereka lihat di sana adalah gerobak gandeng Kepala Sekolah, di luar paviliun. Rupanya anakanak Kelas Lima telah selesai melakukan tugas mereka, dan meninggalkan gerobak itu begitu saja di situ. Dan mereka sendiri sudah masuk ke gedung, bersiap-siap minum teh sore.
Gerobak yang biasanya digandengkan di belakang mobil Kepala Sekolah itu'ringan, sehingga Jennings dan Darbishire bisa dengan gampang mendorongnya di tempat datar. Mereka membawanya ke kebun Kepala Sekolah. Jennings menarik, sementara Darbi mendorong dari belakang. Mereka langsung menuju tumpukan pupuk hijau.
Darbishire berkata, "Kita harus buru-buru, karena sebentar lagi sudah waktunya minum teh sore."
"Ini takkan lama. Kita bisa mengangkut semuanya sekaligus," kata Jennings menanggapi.
Jumlah pohon poplar muda yang ditumpukkan itu ada sekitar tiga puluh batang, tertumpuk tinggi di gerobak ketika kedua anak itu selesai dengan pekerjaan mereka. Jennings kembali memegang gagang gandengan lalu berkata, "Kita angkut sekarang, Darbi! Pak Hind pasti senang, mendapat kayu sebanyak ini. Untung kita tadi menemukannya."
Karena ada muatan di atasnya, gerobak itu kini dikendalikan. Ketika Jennings dan Darbi sampai berjumpa dengan Martin-Jones dan Bromwich yang peluncuran mercon-mercon roket. Kedua anak itu mendorong.
tidak begitu mudah lagi di lapangan sepakbola, mereka baru kembali dari landasan lalu didesak agar membantu
Sementara itu hari sudah mulai gelap. Sewaktu keempat anak itu tiba di tempat api unggun, ternyata Pak Hind sudah tidak ada lagi di sana. Begitu pula tangga lipat tempat di mana ia berdiri di atasnya tadi. Karenanya anak-anak lantas menurunkan muatan gerobak di pinggir tumpukan bahan yang nantinya akan dibakar pada saat Malam Api Unggun, lalu menyusun semuanya dengan serapi mungkin pada tumpukan yang berbentuk piramida. Ketika pohon poplar terakhir dicampakkan ke piramida itu, terdengar bunyi lonceng yang merupakan tanda waktu minum teh sudah
tiba di kejauhan.
"Yah, begitu!" kata Jennings dengan puas, sambil mengusapkan kedua tangannya yang ber-
lumpur ke jaketnya yang bertudung kepala. "Aku tidak tahu tentang kalian, tapi bagiku, kurasa aku pantas diberi medali sebagai penghargaan atas segala pekerjaan yang sudah kulakukan sore ini."
Jennings sama sekali tidak dianugerahi medali!
Setelah menghabiskan waktu luang mereka pada hari Senin sore untuk membuat piramida yang akan dibakar pada Malam Api Unggun besok, pada waktu istirahat pagi keesokan harinya seluruh sekolah sibuk membongkarnya kembali.
Kericuhan timbul seusai sarapan pagi, ketika Pak Pemberton-Oakes masuk ke kebunnya untuk memeriksa kiriman pohon-pohon poplar muda, yang diantar ke situ sehari sebelumnya. Ia tercengang mengetahui pohon-pohon muda itu tidak ada di sana. Padahal ia sendiri melihat pegawai dari kebun bibit paginya mengangkuti pohon-pohon itu masuk lewat pintu pagar.
Di manakah pohon-pohon itu disembunyikan oleh orang itu? Kemudian, sewaktu melewati onggokkan humus, Kepala Sekolah melihat ada bongkah-bongkah tanah di jalan setapak serta jalur-jalur jejak di tanah yang lembab, yang diakibatkan oleh salah satu roda gerobak gandengan yang menggelinding keluar dari jalan kerikil.
Pak Pemberton-Oakes mengikuti jejak roda itu. Begitu sampai di luar pagar, secara samar-samar dilihatnya bekas roda di rumput, juga jejak-jejak lumpur dan ranting-ranting patah. Jejak-jejak itu menuju ke piramida untuk api unggun yang baru saja dibangun.
Lima menit kemudian ditemukannnya pohon-pohon poplar-nya; dan sepuluh menit kemudian ia melangkah masuk dengan cepat ke aula, tempat anak-anak sudah berkumpul semua sebelum sekolah dimulai. Pak Pemberton-Oakes tampak sangat marah.
"Ayo, anak-anak yang kemarin siang masuk ke kebunku, berdiri!"
Jennings dan Darbishire bangkit dari tempat duduk masing-masing. Jennings bingung. Ia bertanya-tanya dalam hati, apakah itu karena mereka mempergunakan gerobak gandengan tanpa minta izin terlebih dulu?
"Siapa yang menyuruh kalian mengambil pohon-pohon muda itu dan mencampakkannya ke tumpukan kayu api unggun?" tanya Kepala Sekolah.
Ah, rupanya itulah penyebabnya!
"Tidak ada yang menyuruh, Pak. Kami sangka pohon-pohon itu tidak diperlukan," kata Jennings. Suaranya terdengar aneh, seperti mencicit, dalam aula yang sunyi senyap. "Kami saat itu mencari ranting-ranting mati. Ketika melihat pohon-pohon itu, kami sangka memang digali lalu dicabut untuk dibuang."
Pak Pemberton-Oakes sangat gemar berkebun. Karenanya ia kaget sekali mendengar ucapan Jennings yang menunjukkan ketidaktahuan anak itu.
"Digali?... Dibuang?" katanya mengulangi. "Astaga, itu kan pohon-pohon baru. Ditanam saja belum, apalagi dicabut!"
"Maaf, Pak."
"Maaf! Seenaknya saja. Tahukah kalian bahwa kalian membuang pohon-pohon muda yang dipilih secara cermat, yang harga seluruhnya seratus pound. Itu adalah sederetan pohon yang mahal harganya! Akan kubatalkan api unggun petang ini...," ia berhenti sebentar, sementara dari deretan murid kelas-kelas rendah yang duk di barisan depan terdengar sentakan napas yang menandakan kekecewaan, "...kecuali apabila setiap batang pohon itu dikembalikan dalam keadaan utuh ke kebunku sebelum perayaan dimulai."
Para murid dari kelas-kelas rendah menarik napas lega. Binns menyikut BlotwelL Mereka saling mengedipkan mata. Rencana mereka ternyata akan bisa dilangsungkan!
Di bagian tengah aula, kedua anak yang bersalah duduk kembali sementara Pak Pemberton-Oakes, dengan perasaan masih kesal, beralih ke pokok berikut yang harus dibicarakan pagi itu.
Ketika pertemuan pagi sudah selesai dan para guru beranjak untuk meninggalkan aula, Pak Wilkins berkata kepada rekannya, "Saya heran, Carter, Kepala Sekolah tadi begitu marah hanya karena ada anak-anak yang karena ketidaktahuan mereka mengambil beberapa batang pohon muda yang kurus-kurus. Mestinya beliau merasa senang sekali, bisa berkorban sedikit demi suatu tujuan yang berfaedah."
Pak Carter menatapnya sesaat dengan pandangan penuh arti, lalu meninggalkannya.
Pekerjaan menyingkirkan pohon-pohon poplar dan membangun kembali piramida untuk api unggun malam itu menghabiskan waktu istirahat pagi dan sebagian besar waktu bermain siang menjelang sore. Pohon-pohon muda itu bercampur baur dengan dahan dan ranting serta belukar sehingga akhirnya Pak Hind memutuskan, satu-satunya yang bisa dilakukan adalah membongkar seluruh piramida lalu membangunnya lagi dari semula.
Sudah tentu anak-anak yang lain marah kepada Jennings dan Darbishire. Tapi mereka berdua berhasil memulihkan nama baik mereka dengan bekerja lebih keras daripada siapa pun juga. Dan ketika lonceng tanda minum teh sore berbunyi pukul enam, piramida untuk api unggun sudah selesai dibangun lagi dan pohon-pohon poplar sudah kembali dalam keadaan utuh ke kebun Kepala Sekolah.
Pukul setengah tujuh petang, para undangan mulai berdatangan. Mereka dijamu Pak Pemberton-Oakes di ruang duduknya, menunggu saat perayaan dimulai.
Bu Thorpe hadir, membawa dompet yang penuh berisi uang kecil dalam tas tangannya. Dr. Furnival-dokter sekolah-juga hadir; lalu Jenderal Merridew, bekas murid Linbury Court yang paling terpandang di desa; Pak Arrowsmith-pengusaha pertanian-bersama istrinya; Dr. Hipkin-pendeta desa Linbury; dan beberapa orang lagi.
Pak Robinson-pekerja sekolah-sudah membuat sejumlah obor dari kain laken tebal yang dipakukan ke tongkat-tongkat lalu dicelupkan ke dalam minyak lilin. Dan ketika pukul tujuh tiba, para tamu muncul di pintu depan. Anak-anak menyalakan obor lalu membentuk barisan untuk mengantar tamu-tamu itu ke tempat api unggun akan dinyalakan.
Di ujung belakang rombongan yang berjalan, diantar barisan pembawa obor, tampak Guy Fawkes (almarhum). Orang-orangan itu digendong di atas bahu para anggota kelompok Aksi Dana Kembang Api Kelas Tiga.
Pakaian boneka besar itu menjadi bahan komentar.
"Aku ingin tahu, di mana anak-anak menemukan jaket tua yang jelek itu," kata Jenderal Merridew dengan suara lantang, ketika orang-orangan itu lewat di depannya. "Tidak bisa ku bayangkan, kok ada ya orang yang mau memakai jaket seperti itu." Ia tertawa geli. "Kelihatannya seperti sisa obral pakaian orangorangan pengusir burung."
Pak Wilkins, yang berdiri di samping mantan jenderal itu, membersihkan hidungnya dengan saputangan untuk menutupi rasa malu. Bayangkan, padahal ia sangat menyukai jaket itu!
Ketika buntut rombongan sudah sampai ke tumpukan piramida kayu api unggun, para pengusung berhenti. Mereka menunggu Pak Hind menegakkan tangga lipat, untuk meletakkan orang-orangan di atas piramida itu. Jennings, yang ikut memanggul orang-orangan itu, menggeserkan sedikit pegangannya pada tubuh boneka Guy Fawkes. Ia merasa jari-jarinya menyentuh sesuatu berbentuk bulat pipih. Benda yang tersentuh itu terdapat di dalam jaket, di antara kain pelapis sebelah luar dan kain pelapis sebelah dalamnya.
Mula-mula ia mengira yang tersentuh itu uang logam. Ia memasukkan tangannya ke dalam saku jaket itu, untuk mengambil benda itu. Tapi uang logam tidak setebal itu. Ia tidak berhasil mengeluarkannya dari dalam saku. Rupanya saku itu berlubang. Jari-jari tangan Jennings meraba-raba, mencari lubang tersebut, lalu merobeknya agar lebih besar. Setelah itu ia merogoh ke dalam dan mengeluarkan sebuah arloji.
Sesaat ditatapnya arloji itu dengan perasaan tidak percaya, diterangi nyala obor. Kemudian ia berseru dengan keras, karena mengenalinya kembali.
"Wow! Lihat, apa yang kutemukan ini-arlojiku!"
Anak-anak lainnya, sesama pengawal orang-orangan, memandangnya dengan sikap kaget.
"Arlojimu!? Mana mungkin," kata Temple. "Pasti itu milik Pak Wilkie."
"Sungguh, ini arlojiku! Beliau memakai jaket ini waktu aku menitipkannya. Pantas beliau tidak bisa menemukannya, karena saku jaket ini berlubang dan arloji itu terselip masuk ke balik kain pelapis."
Jennings mengguncang-guncang arlojinya untuk memastikan arlojinya itu masih jalan. Ketika ia sedang memasangnya di pergelangan tangannya, Pak Wilkins datang menghampiri bersama Pak Carter untuk membantu Pak Hind menegakkan tangga lipat.
"Pak! Pak! Saya sudah menemukan arloji saya kembali, Pak," seru Jennings bersemangat. "Ada di dalam jaket Anda, Pak."
Pak Wilkins senang sekali mendengarnya. "Rupanya ke situ benda itu terselip! Dari semula aku sudah merasa bahwa arlojimu itu kapan-kapan pasti akan ditemukan lagi-dan ternyata memang benar!" .
"Untung belum terlambat. Semenit saja lagi, benda itu akan ikut terbakar," Pak Carter mengomentari.
Jennings nyengir. "Nasib saya memang mujur! Dan berkat Pak Wilkins! Coba kalau Anda tidak memberikan jaket Anda ini untuk dipakaikan ke orang-orangan kami, arloji saya akan terus berada di balik kain jaket Anda!"
Sementara itu tangga sudah ditegakkan. Pak Hind mengambil orang-orangan Guy Fawkes. Dipanjatnya tangga lalu dikaitkannya orang-orangan itu ke dahan kering yang ada di puncak tumpukan. Sewaktu guru itu sudah turun lagi dan mengambil kembali obornya yang dititipkannya sebentar pada Pak Carter, Blotwell bergegas maju dan berkata dengan penuh harap, "Pak, boleh, ya, saya menyalakan api unggun dengan obor saya?"
Pak Hind menggeleng. "Maaf, Blotwell, kurasa lebih baik ,aku saja yang melakukannya. Soalnya...," ia berhenti sebentar, sementara tangannya mengangkat obornya tinggi-tinggi, "aku berbakat untuk melakukan pekerjaan seperti ini."
Sambil berkata begitu didorongnya obor yang dipegangnya ke seberkas jerami yang sebelumnya sudah disiram minyak. Nyala api langsung menjulang tinggi.
Perayaan malam itu sangat memuaskan-bahkan lebih memuaskan dari biasanya, demikian pendapat anak-anak. Seakan-akan api unggun tahun ini lebih besar nyalanya, orang-orangan yang dibakar lebih kocak wujudnya, kembang apinya lebih cemerlang, dan ledakan merconnya lebih nyaring.
Belum pernah acara makan-makan di luar terasa begitu enak: sosis berlapis abu karena dipanggang di api unggun sampai nyaris hangus terbakar; minuman cokelat yang dimasak di atas arang yang membara, sampai agak terasa berbau tanah. Serpih-serpih arang tampak mengambang di permukaan cairan yang tidak begitu panas itu. Dan semua sependapat, sedap rasanya membenamkan gigi ke kentang bakar yang kerasnya seperti bata-dan tidak gampang untuk melepaskannya lagi setelah menggigitnya!
Para undangan menolak dengan ramah ketika ditawari hidangan tersebut seporsi lagi. Tapi mereka merogoh saku dan mengeluarkan dompet sewaktu kaleng-kaleng sumbangan dibawa ke arah mereka sambil digerincing-gerincingkan.... Dan ketika semua sudah berakhir, api sudah padam dan kembang api sudah dinyalakan semua, lalu para undangan pulang naik mobil masing-masing, anak-anak berbondong-bondong masuk lagi ke gedung, merasa puas dengan acara malam itu.
Para anggota Aksi Dana Kembang Api Kelas Tiga lebih banyak merasa puas dan bangga dengan acara tersebut ketimbang lainnya, karena mereka cukup repot merencanakannya. Ketika isi kaleng-kaleng sumbangan sudah dikeluarkan di atas meja di ruang Kelas Tiga, Martin-Jones yang bertugas selaku bendahara mengumumkan bahwa meski ia tidak begitu pintar dalam berhitung, ternyata mereka berhasil mengumpulkan dana sumbangan sosial sebesar empat belas pound.
"Lumayan juga, ya!" kata Jennings kepada rekan-rekannya sesama anggota subpanitia, sementara Martin-Jones mengumpulkan hasil sumbangan untuk dibawa ke
kamar Pak Carter, untuk dihitung berapa persisnya jumlah itu di sana. "Bukankah waktu itu sudah kukatakan, kita bisa saja mengadakan pesta kembang api dan sekaligus membantu mengumpulkan dana ini," kata Jennings lagi.
Teman-temannya sesama anggota kelompok nyengir sambil mengangguk. "Serahkan saja pada Jennings!" Begitulah kurang-lebih makna cengiran mereka. Memang, proyek kembang api ternyata tidak berlangsung tepat seperti yang direncanakan, tapi meski begitu, tanggal 5 November merupakan malam yang pantas dikenang!
11. Masalah Pengangkutan
MESKI merupakan kenyataan bahwa matematika bukan merupakan mata pelajaran unggulannya, perkiraan Martin-Jones tentang jumlah uang hasil sumbangan itu ternyata tidak jauh meleset. Ketika jumlah keseluruhannya dihitung oleh Pak Carter, ternyata Aksi Dana Kembang Api Kelas Tiga berhasil mengumpulkan uang sejumlah 13 pound 92 penny untuk membantu meringankan bencana kelaparan.
"Dan itu belum ditambah 23 penny hasil pengumpu