MUTU TEPUNG JAMBU BIJI INSTAN HASIL PENGERINGAN KABUT DARI BERBAGAI SUHU PROSES
SKRIPSI
DHIAS TANAYA F14070019
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
QUALITY OF INSTANT GUAVA POWDER PRODUCT BY SPRAY DRYING IN VARIOUS TEMPERATURE PROCESSES Dhias Tanaya and Hadikaria Purwadaria Department of Mechanical and Biosystem Engineering, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia Phone 62 857 10374945, e-mail:
[email protected]
ABSTRACT
Guava (Psidium guajava, L.) is one of fruits that provide economic value in Indonesia. When further processed to prolong its shelf life, guava will gain higher value added. One of the alternatives to preserve guava is by spray drying to produce instant guava powder. The objectives of this study were 1) to determine the spray drying temperature of guava, and 2) to assess the physical, chemical, and organoleptic characteristics of instant guava powder in various drying temperatures. Four levels of spray drying temperature were applied with three repetitions. The results indicated that the recommended conditions for spray drying process were 20% maltodextrin as filler and 160o C drying temperature that produced instant guava powder with 7.47% yield, 10.94% moisture content dry basis or equivalent with 9.86% moisture content wet basis, the best third lightness, the best of spreading powder, 95.55% of dissolving in water, 403.33 kg/m3 of bulk density, 7.06 x 10-4 kg/minute of rehydration rate, 568.7 g/100 mg solid of vitamin C content, and the best organoleptic. Drying temperature did not influence the yield and moisture content of product. However, it influenced significantly the colour, bulk density, rehydration rate, flavor, color, and total organoleptic score of the guava drink made from the instant guava powder.
Keywords: instant guava powder, spray drying, various drying temperatures, maltodextrin
Dhias Tanaya. F14070019. Mutu Tepung Jambu Biji Instan Hasil Pengeringan Kabut dari Berbagai Suhu Proses. Di bawah bimbingan Hadikaria Purwadaria. 2011.
RINGKASAN
Jambu biji (Psidium guajava, L.) merupakan salah satu produk hortikultura dan termasuk komoditas internasional. Jambu biji mempunyai potensi produksi yang besar di Indonesia. Buah yang mempunyai kandungan gizi yang sangat banyak ini hanya mampu bertahan sekitar 5-6 hari setelah panen. Oleh karena itu, diperlukan upaya pengawetan dan olahan untuk menambah umur simpan dan meningkatkan nilai guna jambu biji. Salah satu cara adalah dengan pengeringan jambu biji menjadi tepung jambu biji dengan menggunakan spray dryer, dan nantinya digunakan sebagai minuman instan jambu biji. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh suhu pengeringan terhadap tepung jambu biji merah yang diproses dengan pengering kabut atau spray dryer. Tujuan khusus penelitian ini adalah menentukan suhu pengeringan tepung jambu biji getas merah dan mengkaji sifat fisik, kimia dan organoleptik tepung jambu instan pada berbagai variasi suhu pengeringan. Penelitian dilakukan di Pilot Plant PAU dan Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian Departemen Teknik Mesin dan Biosistem pada bulan Maret sampai Mei 2011. Penelitian dilakukan selama delapan minggu yaitu penelitian pendahuluan selama dua minggu untuk menentukan jenis dan kematangan jambu biji getas merah, jenis bahan pengisi dan konsentrasinya, serta suhu pengering kabut. Penelitian pengaruh suhu pengeringan selama enam minggu untuk mempelajari pengaruh berbagai suhu pengeringan terhadap hasil akhir, sifat fisik dan kimia, serta mutu produk tepung jambu biji. Perlakuan yang digunakan adalah perbedaan suhu pengeringan spray dryer, yaitu: 150o C, 160o C, 170o C, dan 180o C. Penelitian dilakukan dengan mencuci bersih buah, membuang bagian yang rusak, dan memotong-motong buah. Sebagian kecil diambil dan digunakan untuk sampel dalam pengukuran kadar air dan total padatan terlarut. Sisa buah direndam dalam larutan vitamin C 1% selama 15 menit. Buah lalu ditiriskan dan diblender hingga halus, kemudian disaring. Air 1:1 (berat) ditambahkan beserta maltodekstrin/bahan pengisi, lalu dicampur dengan homogenizer. Bahan yang sudah siap kemudian dikeringkan dengan spray dryer. Pengulangan sebanyak tiga kali. Hasil dari penelitian pendahuluan adalah pemilihan kadar maltodekstrin/bahan pengisi sebanyak 20%. Kondisi proses terbaik untuk pengolahan tepung jambu biji menggunakan alat pengering kabut atau spray dryer pada suhu pengeringan 160o C. Perlakuan dengan suhu pengeringan 160o C memberikan rendemen dari bahan baku jambu awal sebesar 7.47%, kadar air sebesar 10.94 %bk atau 9.86 %bb, kecerahan terbaik ketiga, sebaran tepung terbaik, kelarutan dalam air sebesar 95.55%, densitas kamba tanpa pemadatan sebesar 403.33 kg/m3, densitas kamba dengan pemadatan sebesar 434.19 kg/m3, laju pembasahan 7.06x10-4 kg/menit, kandungan vitamin C terbesar sekitar 568.77 g/100 g bahan kering, dan uji organoleptik keseluruhan terbaik. Berdasarkan hasil analisa keragaman, suhu pengeringan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata pada rendemen, kadar air, dan uji kecerahan. Menurut hasil analisa keragaman, suhu pengeringan memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada uji kemerahan, uji kekuningan, densitas
kamba tanpa dan dengan pemadatan, laju pembasahan. Uji non-parametrik memberikan hasil yang berbeda nyata pada pada organoleptik atau kesukaan pada aroma, warna, rasa, dan keseluruhan minuman tepung jambu biji.
MUTU TEPUNG JAMBU BIJI INSTAN HASIL PENGERINGAN KABUT DARI BERBAGAI SUHU PROSES
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh DHIAS TANAYA F14070019
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Judul Skripsi Nama NIM
: Mutu Tepung Jambu Biji Instan Hasil Pengeringan Kabut dari Berbagai Suhu Proses : Dhias Tanaya : F14070019
Menyetujui,
Pembimbing,
(Prof. Dr. Ir. Hadi Karia Purwadaria, M.Sc) NIP. 19460821 197106 1 001
Mengetahui: Ketua Departemen,
(Dr. Ir. Desrial, M.Eng) NIP. 19661201 199103 1 004
Tanggal Lulus
:
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Mutu Tepung Jambu Biji Instan Hasil Pengeringan Kabut dari Berbagai Suhu Proses adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2011 Yang membuat pernyataan
Dhias Tanaya F14070019
BIODATA PENULIS
Dhias Tanaya dilahirkan di Magetan, 16 Juni 1989 dari ayah Setya Budhi, S. Sos dan ibu Sri Hartutik, S.Pd. sebagai putri kedua dari tiga bersaudara. Penulis menamatkan SMA pada tahun 2007 dari SMA Negeri 1 Magetan, Jawa Timur dan pada tahun yang sama diterima di IPB melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Pada tahun 2008 penulis memasuki Departemen Teknik Mesin dan Biosistem Program Studi Teknik Pertanian dan pada tahun 2010 penulis memasuki Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan yaitu sebagai Pengurus Organisasi Mahasiswa Daerah Magetan pada periode tahun 2007/2008, pengurus Ikatan Mahasiswa Jawa Timur (Imajatim) IPB sebagai bendahara Divisi Internal pada periode tahun 2008/2009, staf Departemen Public relation Himpunan Mahasiswa Teknik Pertanian (Himateta) periode 2008-2009, serta menjadi Direktur Red Corporation Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian IPB pada periode 2009/2010. Selain itu, penulis juga aktif sebagai asisten mata kuliah Mekanika Fluida pada tahun 2009, Ilmu Ukur Wilayah pada tahun 2009 dan 2010, Ilmu Ukur Tanah pada tahun 2010, dan asisten Teknik Pengolahan Pangan pada tahun 2011. Pada tahun 2010, penulis merupakan finalis pada lombaCommunity Development ITB FAIR. Penulis melaksanakan praktik lapang pada tahun 2010 di Kalbe Morinaga Indonesia dengan judul Penerapan Mekanisasi Pertanian pada Proses Pengolahan, Filling Canning, dan Penyimpanan Susu Chil-Kid di PT. Kalbe Morinaga Indonesia.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini dengan judul Mutu Tepung Jambu Biji Instan Hasil Pengeringan Kabut dari Berbagai Suhu Proses. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan memberi dukungan pada saat penelitian maupun pada saat penyusunan skripsi ini, yaitu: 1. Orangtua, keluarga, dan saudara-saudaraku yang sudah mendukung secara moril dan materiil, atas doa yang selalu terucap setiap harinya, tanpa kalian entah darimana semangat ini terus ada 2. Prof. Dr. Ir. Hadi Karia Purwadaria, M.Sc. selaku pembimbing akademik yang telah memberikan arahan dan dukungan 3. Dr. Ir. Usman Ahmad, M. Agr dan Ir. Sri Endah Agustina, MS sebagai dosen penguji 4. Dosen-dosen Departemen Teknik Mesin dan Biosistem atas didikan dan bimbingannya 5. Pak Sulyaden, Pak Nurwanto, dan Pak Wahid yang banyak membantu di Laboratorium 6. Ibu Mar dan Ibu Rus (UPT) yang selalu membantu urusan akademik saya 7. Teman-teman sebimbingan (Wawat, Reza, Imanta, Surianta, dan Angga) atas kerjasama, semangat dan bantuannya, sukses semuanya 8. Sahabat-sahabatku tercinta (Sartika, Teguh, Pradipta, Daniel) atas hari-hari kebersamaan dan canda tawanya, the best friends ever 9. Sahabat-sahabat Rexcel (Atiqotun, Mia, Ririn, Dewi Istianah, Kak Hafizh, Syahid, Aminah ) atas dukungan dikala sedih dan senang, atas canda tawa selama rapat dan pelatihan, waktu menjadi cepat karena kalian semua 10. Temen-temen sekostan Pustaka Ummah (Poo, Chus, Wiwi, Rian, Ega, dan Dian, Ani, Zuly, Retno, Fifin, Ambar), terima kasih atas 3 tahun kebersamaannya 11. Teman-teman sekostan Wisma Agung 2 (Cumi, Ana, Bang Tri, Gita, Icha, Tia, dan Mbak Ira) atas kebersamaannya 12. Teman-teman yang telah banyak membantu saya di Laboratorium selama penelitian 13. Teman-teman seperjuangan Fateta dalam meniti jalan berliku dan memberikan arti dalam hidupku 14. Teman-teman TEP 44 yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu terima kasih atas dukungan dan kebersamaannya, ensemble the best family ever 15. Semua pihak yang telah membantu dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu per satu Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, segala bentuk masukan baik berupa kritik maupun saran sangat penulis harapkan agar dapat menjadi sebuah bahan pembelajaran serta proses perbaikan selanjutnya. Atas perhatiannya, penulis mengucapkan terimakasih. Bogor, Agustus 2011 Penulis
iii
DAFTAR ISI Halaman
KATA PENGANTAR ..................................................................................................................... iii DAFTAR TABEL .......................................................................................................................... vii DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................................... viii DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................................................... ix I.
PENDAHULUAN .................................................................................................................... 1 1.1. LATAR BELAKANG........................................................................................................ 1 1.2.TUJUAN PENELITIAN ..................................................................................................... 4
II.
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................................... 5 2.1. JAMBU BIJI .................................................................................................................................. 5 2.2. KOMPOSISI KIMIA DAN NILAI GIZI JAMBU BIJI ....................................................... 7 2.3. VITAMIN C ...................................................................................................................... 7 2.4. MALTODEKSTRIN .......................................................................................................... 8 2.5. TEPUNG INSTAN ............................................................................................................ 8 2.6. TEPUNG JAMBU BIJI ...................................................................................................... 9 2.7. PENGERINGAN ............................................................................................................. 10 2.8. SPRAY DRYER ................................................................................................................ 10
III. METODE PENELITIAN........................................................................................................ 14 3.1. WAKTU DAN TEMPAT................................................................................................. 14 3.2. BAHAN DAN ALAT ...................................................................................................... 14 3.3. PROSEDUR PENELITIAN ............................................................................................. 15 3.4. PERLAKUAN ................................................................................................................. 16 3.5. RANCANGAN PERCOBAAN ........................................................................................ 17 3.6. PENGAMATAN ............................................................................................................. 17 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................................... 21 iv
4.1. HASIL PENELITIAN PENDAHULUAN ........................................................................ 21 4.1. PENGARUH SUHU PENGERINGAN TERHADAP MUTU TEPUNG JAMBU BIJI ......... INSTAN ......................................................................................................................... 21 V.
SIMPULAN DAN SARAN .................................................................................................... 45 5.1. SIMPULAN..................................................................................................................... 45 5.2. SARAN ........................................................................................................................... 45
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................................... 46 LAMPIRAN ................................................................................................................................... 49
v
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Data produksi buah jambu biji (ton) tahun 1995-2010 di Indonesia ...................................... 1 Tabel 2. Data produksi buah jambu biji (ton) menurut provinsi di Indonesia tahun 2010 .................... 2 Tabel 3. Kandungan gizi jambu biji merah dalam 100 gram buah masak segar .................................. 3 Tabel 4. Syarat mutu tepung minuman rasa jeruk (SNI 01-3722-1995) .............................................25 Tabel 5. Penilaian kepentingan setiap karakteristik tepung jambu biji ...............................................43
vi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Buah jambu biji getas merah ............................................................................................... 6 Gambar 2. Skema pengering kabut (spray dryer) ............................................................................... 11 Gambar 3. Sampel sari buah jambu sebelum pengeringan ................................................................... 14 Gambar 4. Diagram alir proses pembuatan tepung jambu biji getas merah .......................................... 16 Gambar 5. Rendemen tepung jambu biji instan dari berat jambu awal pada suhu pengeringan 180o C .. 21 Gambar 6. Rendemen tepung jambu biji instan dari bahan baku total pada suhu pengeringan 180oC ... 22 Gambar 7. Nilai L uji warna tepung jambu biji pada suhu pengeringan 180o C.................................... 22 Gambar 8. Nilai a uji warna tepung jambu biji pada suhu pengeringan 180o C .................................... 23 Gambar 9. Nilai b uji warna tepung jambu biji pada suhu pengeringan 180o C .................................... 23 Gambar 10. Tepung jambu biji instan hasil pengeringan dengan spray dryer pada berbagai suhu pengeringan………………………………………………………………………..……....24 Gambar 11. Rendemen tepung jambu biji instan dari berat jambu awal hasil pengeringan spray dryer pada berbagai suhu pengeringan…………………………………………………………..26 Gambar 12. Rendemen tepung jambu biji instan dari bahan baku total hasil pengeringan spray dryer pada berbagai suhu pengeringan………………………………………………………... 27 Gambar 13. Kadar air (%bk) tepung hasil pengeringan dengan spray dryer pada berbagai suhu Pengeringan…………………………………………………………………………….…28 Gambar 14. Kadar air (%bb) tepung hasil pengeringan dengan spray dryer pada berbagai suhu pengeringan ................................................................................................................... 29 Gambar 15. Nilai uji kecerahan tepung hasil pengeringan spray dryer pada berbagai
suhu
pengeringan………………………………………………………………………………...30 Gambar 16. Kurva regresi uji kemerahan tepung hasil pengeringan spray dryer terhadap suhu Pengeringan…………………………………………………………………………….31 Gambar 17. Kurva regresi uji kekuningan tepung hasil pengeringan spray dryer terhadap suhu Pengeringan…………………………………………………………………………….31 Gambar 18. Sebaran frekuensi ukuran rata-rata tepung jambu biji hasil pengeringan spray dryer pada berbagai suhu pengeringan…………………………………………………………….. 32 Gambar 19. Kurva regresi kelarutan dalam air tepung hasil pengeringan spray dryer terhadap suhu pengeringan …………………………………………………………………..……….. 34 Gambar 20. Kurva regresi densitas kamba tanpa pemadatan tepung hasil pengeringan spray dryer terhadap suhu pengeringan …………………………………………………………… 35 Gambar 21. Kurva regresi densitas kamba dengan pemadatan tepung hasil pengeringan spray dryer terhadap suhu pengeringan ………………………………………………………….. 36 vii
Gambar 22. Kurva regresi laju pembasahan tepung hasil pengeringan spray dryer terhadap suhu pengeringan……………………………………………………………………………. 37 Gambar 23. Kandungan vitamin C buah jambu biji pada berbagai suhu pengeringan .......................... 38 Gambar 24. Kandungan vitamin C tepung jambu biji pada berbagai suhu pengeringan ....................... 38 Gambar 25. Minuman dari tepung jambu biji hasil pengeringan spray dryer pada berbagai suhu pengeringan ................................................................................................................... 40 Gambar 26. Uji organoleptik aroma untuk minuman dari tepung jambu biji ........................................ 41 Gambar 27. Uji organoleptik warna untuk minuman dari tepung jambu biji ........................................ 41 Gambar 28. Uji organoleptik rasa untuk minuman dari tepung jambu biji ........................................... 42 Gambar 29. Uji organoleptik keseluruhan untuk minuman dari tepung jambu biji ............................... 42
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Data penelitian pendahuluan ........................................................................................49 Lampiran 2. Komposisi sampel pada beberapa variasi suhu pengeringan ..........................................52 Lampiran 3. Data pengujian buah dan tepung jambu pada suhu pengeringan 150o C .........................53 Lampiran 4. Data pengujian buah dan tepung jambu pada suhu pengeringan 160o C .........................56 Lampiran 5. Data pengujian buah dan tepung jambu pada suhu pengeringan 170o C ........................59 Lampiran 6. Data pengujian buah dan tepung jambu pada suhu pengeringan 180o C .........................62 Lampiran 7. Formulir uji organoleptik .............................................................................................65 Lampiran 9. Data uji organoleptik minuman tepung jambu biji.........................................................66 Lampiran 10. Analisa statistik rendemen ..........................................................................................68 Lampiran 11. Analisa statistik kadar air tepung ................................................................................69 Lampiran 12. Analisa statistik warna tepung ....................................................................................70 Lampiran 13. Analisa statistik kelarutan dalam air tepung ................................................................72 Lampiran 14. Analisa statistik densitas kamba tanpa pemadatan pada tepung....................................73 Lampiran 15. Analisa statistik densitas kamba dengan pemadatan pada tepung .................................74 Lampiran 16. Analisa statistik laju pembasahan tepung ....................................................................75 Lampiran 17. Analisa statistik uji organoleptik aroma ......................................................................76 Lampiran 18. Analisa statistik uji organoleptik warna ......................................................................77 Lampiran 19. Analisa statistik uji organoleptik rasa..........................................................................78 Lampiran 20. Analisa statistik uji organoleptik keseluruhan .............................................................79 Lampiran 21. Perhitungan pemilihan terbaik tepung jambu biji ........................................................80 Lampiran 22. Foto spray dryer ........................................................................................................82
ix
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Jambu biji (Psidium guajava, L.) merupakan salah satu produk hortikultura atau buah-buahan yang termasuk komoditas internasional. Lebih dari 150 negara yang telah membudidayakan buah ini, antara lain Jepang, Taiwan, Malaysia, Filipina, dan Indonesia. Buah tropis ini biasanya dikonsumsi dalam bentuk segar (sebagai buah meja) dan dijadikan bahan baku olahan, seperti jeli, sari buah, sirup, dan lain-lain. Jambu biji mempunyai potensi pasar yang sangat besar di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari permintaan konsumen yang semakin tinggi akan produk olahan jambu biji merah ini. Tabel 1 menunjukkan data produksi buah jambu biji di Indonesia dari tahun 1997-2010. Tabel 1. Data produksi buah jambu biji (ton) tahun 1997-2010 di Indonesia Jambu Biji Tahun 1997 1998
(Ton) 160469 148462
1999 2000 2001 2002
139341 128621 137598 162120
2003 2004 2005 2006
239107 210320 178509 196180
2007 2008 2009 2010*)
179474 212260 220202 204105
*Angka sementara Sumber : (Anonim, 2011)
Tabel 2 menunjukkan data produksi buah jambu biji (ton) menurut provinsi di Indonesia tahun 2010.
Tabel 2. Data produksi buah jambu biji (ton) menurut provinsi di Indonesia tahun 2010 Provinsi Jambu Biji (Ton) Aceh Sumatera Utara
2408 35261
Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan
1474 2441 1494 2596
Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau
1373 4158 319 87
DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta
776 49164 26659 3042
Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat
17709 5954 1401 16559
Nusa TenggaraTimur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan
7030 1923 1484 2397
Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan
2020 913 1685 10902
Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku
1211 74 839 53
Maluku Utara Papua Barat Papua
94 257 348
Indonesia *Angka sementara Sumber : (Anonim, 2011)
204105
Buah jambu biji merah mengandung zat-zat yang berkhasiat sebagai obat. Menurut buku Sehat Dengan Makanan Berserat, jambu biji merah cocok digunakan untuk terapi penyembuhan diabetes mellitus karena rendah kalori dan glukosa. Jambu biji merah dapat digunakan untuk mengatasi 2
infeksi, menurunkan kadar kolesterol, sebagai antioksidan dan antikanker, mengatasi sariawan, melancarkan saluran pencernaan, mencegah konstipasi, dan membersihkan darah. Jambu biji merah mengandung vitamin A, vitamin C, kalium, fosfor, dan magnesium. Selain itu, jambu biji merah mengandung serat tinggi dengan kadar 7.3 gram per 100 gram bahan. Kandungan nutrisi buah jambu biji dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Kandungan gizi jambu biji merah dalam 100 gram buah masak segar Kandungan Gizi Jumlah Protein Lemak Karbohidrat Kalsium Fosfor Besi Vitamin A Vitamin B1 Vitamin C Air
0.9 g 0.3 g 12.2 g 14 mg 28 mg 1.1 mg 25 mg 0.02 mg 87 mg 86 mg
Total Kalori
49 kalori
Sumber: (Parimin, 2007)
Jambu biji merupakan jenis buah-buahan yang memiliki kadar air dan kadar kemanisan yang cukup tinggi. Daya simpan buah jambu biji pada puncak produksi CO2 dan etilen hanya 5-6 hari setelah panen. Upaya pengawetan dan diversifikasi olahan telah banyak dilakukan, dengan tujuan untuk menambah umur simpan dan meningkatkan nilai guna jambu biji. Salah satu cara adalah dengan pengeringan jambu biji menjadi tepung jambu biji. Pada penelitian ini tepung jambu biji dihasilkan dari pengeringan dengan menggunakan alat pengering kabut (spray dryer), dimana suhu pengeringan belum diketahui dengan pasti. Tepung jambu biji dapat digunakan sebagai minuman instan, selain itu tepung jambu biji merah dengan kadar air dibawah 5% mempunyai daya simpan yang lebih lama dibandingkan dengan jus jambu merah. Bentuk produk dalam tepung atau padatan juga dapat mempermudah proses distribusi dan pengangkutan. Proses pengeringan dan hasil akhir pengeringan dipengaruhi oleh suhu udara pengeringan. Semakin tinggi suhu pengeringan, maka akan mempengaruhi nilai kadar air produk akhir. Namun harus diperhatikan pula mutu hasil akhir pengeringan tersebut. Oleh karena itu, dilakukan penelitian mengenai pengaruh perbedaan suhu pengeringan jambu biji merah menjadi tepung, untuk mengetahui kualitas/mutu tepung yang terbaik.
3
1.2 Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh suhu pengeringan terhadap tepung jambu biji merah yang diproses dengan pengering kabut atau spray dryer. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1. Menentukan suhu pengeringan tepung jambu biji getas merah 2. Mengkaji sifat fisik, kimia, dan organoleptik tepung jambu instan pada berbagai variasi suhu pengeringan Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Memperoleh karakteristik tepung jambu biji getas merah yang diproses menggunakan spray dryer 2. Meningkatkan nilai tambah olahan jambu biji getas merah 3. Menghasilkan produk dari jambu biji getas merah yang praktis dan mudah disajikan 4. Mendukung pengembangan industri pangan
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Jambu Biji Jambu biji termasuk dalam family Myrtaceae, kelas Dycotyledoneae, dengan nama botani Psidium guajava, L. Tanaman ini sering disebut jambu biji, jambu siki, dan jambu klutuk (Rismunandar, 1981). Tanaman ini adalah tanaman tropis yang berasal dari Brazil, lalu disebarkan ke Indonesia melalui Thailand (Wikipedia, 2011). Jambu biji merupakan tumbuhan semak atau pohon berukuran kecil yang banyak cabangnya. Permukaan kulit batangnya licin, keras, terkelupas, dan warnanya coklat muda. Pohonnya dapat mencapai tinggi 5-7 m dengan garis tengah batang 10-25 cm, bunganya putih dan besar, kulit buahnya mengkilat. Keanekaragamannya terdapat pada bentuk, besar, dan warna daging buahnya (Anonim, 1980). Wilson (1980) menyatakan bahwa tanaman jambu biji tumbuh baik pada daerah tropika dan subtropika, hingga mencapai tinggi 10 m. Ukuran diameter buah jambu biji adalah 3-8 cm. Menurut Coppack, Brown (1983), umur buah berbunga sampai masak kurang lebih 110 hari. Buah jambu biji, pada waktu muda kulitnya berwarna hijau pekat dan mendekati tahap masak, buahnya berubah warna menjadi hijau muda sampai kekuning-kuningan. Kulit buah ada yang licin dan ada yang berbintik kasar dengan sedikit berlapis lilin. Warna daging buahnya bervariasi, ada yang putih, kuning, dan merah. Sedangkan bentuk buahnya ada yang bulat dan ada pula yang lonjong. Pemanenan buah jambu biji yang masak dilakukan dalam periode dua sampai tiga bulan. Parimin (2007) menyatakan bahwa jambu batu/biji memiliki buah yang berwarna hijau dengan daging buah berwarna putih atau merah dan berasa asam-manis. Ada beberapa macam jambu biji yang dikenal di Indonesia, antara lain: 1. Jambu Pasarminggu Jambu Pasarminggu memiliki dua varian: berdaging buah putih dan merah. Yang berdaging putih, dikenal sebagai jambu 'susu putih', lebih digemari karena rasanya manis, daging buahnya agak tebal, dan teksturnya lembut. Yang berdaging buah merah kurang disukai karena buahnya cepat membusuk dan rasanya kurang manis. Kulit buahnya tipis berwarna hijau kekuningan bila masak. Bentuk buahnya agak lonjong dengan bagian ujung membulat, sedangkan bagian pangkal meruncing. Jambu Pasarminggu merupakan ras lokal. 2. Jambu Getas Merah Jambu Getas Merah adalah varian jambu biji yang berdaging hijau sampai kekuningkuningan dan berisi merah muda. Jambu ini beda dengan jambu Pasarminggu, jambu ini bentuknya agak melonjong dan rasanya kurang manis, tetapi jambu ini memiliki khasiat yang baik karena mengandung tanin, quersetin, glikosida quersetin, flavonoid, minyak atsiri, asam ursolat, asam psidiolat, asam kratogolat, asam oleanolat, asam guajaverin, dan vitamin yang lebih banyak. Kelebihannya lagi jambu getas merah ini tidak mengenal musim, dan selalu berbuah setiap saat dan kebanyakan dikembangbiakkan dengan pencangkokan. Jambu ini sudah banyak dibudidayakan di daerah Kendal, asalnya dari Getasblawong Pageruyung Kendal.
3.
Jambu Australia Jambu Australia diintroduksi dari Australia. Kekhasannya adalah daunnya berwarna merah keunguan. Walaupun buahnya dapat dimakan, biasanya orang menanam di pekarangan lebih sebagai tanaman hias. Buahnya manis bila sudah masak, tetapi tawar bila belum matang. 4. Jambu sukun Kata "sukun" berarti "tidak berbiji". Jambu varietas unggul ini memang tidak memiliki biji, kalaupun ada hanya 2-3 biji. Daging buahnya putih kekuningan dengan rasa manis agak asam. Teksturnya agak keras, renyah, dan beraroma wangi. Bentuk buahnya mirip apel, dengan ukuran panjang antara 4-5 cm. Kulit buahnya bila matang berwarna hijau keputihan. Jambu sukun dapat berproduksi terus menerus sepanjang tahun, meskipun relatif sedikit. Namun demikian, jenis jambu ini relatif tahan terhadap serangan hama dan penyakit. 5. Jambu Bangkok Jambu Bangkok merupakan sebutan untuk jambu biji dengan buah yang besar. Beberapa memang diintroduksi dari Thailand. Salah satunya adalah 'jambu sari'. Bentuk buahnya bulat sempurna dengan garis tengah sekitar 10cm. Ukuran buah mentahnya lebih besar daripada ketika matang. Tressler (1953) menyatakan bahwa juice jambu biji mempunyai flavor dan aroma yang disukai, dan sering digunakan untuk pembuatan jelly, marmalade, “punch”, dan produk lainnya serta minuman. Menurut Luh, Kean (1975), jambu biji merupakan salah satu buah yang penting dari famili Myrtaceae, banyak digunakan untuk “puree”, juice, nectar, dan minuman. Parimin (2007) menyatakan bahwa daun jambu biji dikenal sebagai bahan obat tradisional untuk batuk dan diare. Jus jambu biji "bangkok" juga dianggap berkhasiat untuk membantu penyembuhan penderita demam berdarah dengue. Produksi jambu biji pada tahun 1999 sebesar 139517 ton, sedangkan 40483 ton sisanya diimpor dari beberapa negara produsen lain. Negara tujuan ekspor jambu biji antara lain Hongkong, Taiwan, Singapura, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Belanda, Tokelau, Malaysia, Thailand, dan Swiss. Ekspor jambu biji pada tahun 2001 sebesar 14370 ton dengan nilai ekspor sebesar US $ 8354. Jambu biji merupakan buah klimakterik dan mempunyai aroma yang khas dan dimakan dalam bentuk segar atau dimasak.
Gambar 1. Buah Jambu Biji Getas Merah Sumber: (Artika, 2010)
6
2.2 Komposisi Kimia dan Nilai Gizi Jambu Biji Menurut Rismunandar (1981), kadar vitamin C pada jambu biji sebesar 44-389 mg dan kadar vitamin A antara 1900-4890 mikrogram setiap 100 g daging buah. Jambu biji mengandung kalsium dan phosphor yang tinggi (Berry, 1979). Wilson (1980) menyatakan bahwa jambu biji juga mengandung vitamin A yang tinggi. Pada jambu biji yang berdaging buah merah mengandung karoten 3.1 mg per 100 gram daging buah, sedangkan pada jambu biji berdaging buah putih tidak terdeteksi adanya karoten (pada panjang gelombang 450 nm). Jambu biji berdaging buah merah mengandung asam panthotenat sedikit lebih tinggi (0.17 mg/100 g) daripada yang berdaging buah putih (0.13 mg/100 g). Menurut Asenjo et al. (1948), kandungan tiamin rata-rata jambu biji adalah 0.059 mg/100 g daging buah. Kandungan tiamin (vitamin B1) jambu biji yang berdaging buah merah (0.05 mg/100 g buah) lebih tinggi daripada kandungan tiamin jambu biji yang berdaging putih (0.03 mg/100 g buah) (Cordoba, 1961). Menurut Ulrich (1948), kandungan asam utama dari jambu biji adalah asam sitrat dan sedikit asam malat. Seshadri, Vasishit (1964) menyatakan bahwa selama proses pematangan jambu biji terjadi peningkatan jumlah glukosa, arabinosa, dan maltosa yang terdapat dalam daging buah. Kandungan polifenol tertinggi terdapat pada buah yang masih mentah, dan menurun jika buah semakin matang (Wilson, 1980). Chan, Kwok (1975) menyatakan bahwa dengan digunakannya metode kromatografi gas, dapat diketahui bahwa kandungan jambu biji terdiri dari 3.43% fruktosa, 2.08% D-glukosa, 0.31% sukrosa dengan total gula sebesar 5.82%. Komponen flavor jambu biji terdiri dari 12 macam hidrokarbon, 14 macam alkohol, 19 macam karbonil, dan benzotiazol (Wilson, 1980). Parimin (2007) menyatakan bahwa biji jambu biji kering mengandung 14% minyak atsiri, 15% protein, dan 13% tepung. Jambu biji mengandung vitamin C yang cukup tinggi. Kandungan vitamin C jambu biji dua kali lebih banyak dari jeruk manis yang hanya 49 mg per 100 g. Bila dilihat dari jenisnya, jambu merah getas memiliki warna merah dan rasa buah lebih manis dan segar. Di samping itu, jambu jenis ini dipercaya dapat menambah trombosit darah sehingga sering dijadikan obat demam berdarah. Selain itu, jambu biji telah terbukti mengobati diare, disentri, demam berdarah, gusi bengkak, sariawan, jantung, dan diabetes.
2.3 Vitamin C Bredbenner et al. (2009) menyatakan bahwa manusia merupakan salah satu dari beberapa organisme yang tidak dapat membuat dan menyuplai vitamin C. Oleh karena itu, kebutuhan vitamin C manusia harus disuplai dari makanan yang dikonsumsi. Vitamin sangatlah penting, yang merupakan bahan organik dan dibutuhkan dalam jumlah kecil pada makanan. Vitamin bukan merupakan sumber energi, namun sangat penting untuk pertumbuhan, perkembangan, dan pemeliharaan jaringan tubuh. Vitamin C merupakan jenis vitamin yang dapat larut dalam air. Vitamin yang larut dalam air diserap dalam usus kecil dan dilepaskan secara langsung ke dalam darah. Vitamin C juga dikenal sebagai ascorbic acid, dan merupakan jenis vitamin yang paling tidak stabil. Vitamin C dapat dengan mudah hilang pada proses pengolahan dan pemasakan. Proses pemasakan dapat menurunkan kadar vitamin C sampai 40%. Vitamin C sangat tidak stabil apabila kontak dengan besi, tembaga, dan oksigen. Sari buah adalah makanan yang bagus untuk melindungi vitamin C karena kadar keasamannya dapat menurunkan kerusakan vitamin C (Bredbenner et al., 2009). 7
Kebutuhan harian vitamin C pada pria dewasa adalah 90 mg/hari, sedangkan wanita dewasa membutuhkan 75 mg/hari. Selain berfungsi sebagai antioksidan, berdasarkan hasil penelitian vitamin C juga dapat dimanfaatkan untuk mencegah kanker dan penyakit jantung (Bredbenner et al., 2009).
2.4 Maltodekstrin Bahan pengisi adalah bahan-bahan yang ditambahkan untuk memperbesar volume dan meningkatkan jumlah total padatan. Kandungan total padatan berpengaruh pada lama proses pengeringan kabut dan rendemen. Maltodekstrin merupakan oligosakarida yang dihasilkan dari hidrolisis pati yang diatur oleh enzim-enzim tertentu atau hidrolisis oleh asam, berwarna putih sampai bening. Maltodekstrin dapat digunakan pada makanan karena maltodekstrin memiliki beberapa sifat penting antara lain maltodekstrin mengalami proses dispersi yang cepat, memiliki daya larut yang tinggi, mampu membentuk film, memiliki sifat higroskopis yang rendah, dan mampu menghambat kristalisasi. Selain itu, maltodekstrin memiliki nilai DE (dextroseequaivalency) yang tinggi, sehingga kelarutan maltodekstrin akan sangat baik dan lebih meningkat, DE yang rendah berhubungan dengan meningkatnya viskositas dan kadar air. Karena daya larut yang baik pada air dingin dan tidak higroskopis, maka maltodekstrin secara umum digunakan pada pengeringan kabut untuk tujuan penambahan flavor, pengganti lemak, dan penambah massa (You, 2008). Struktur molekul maltodekstrin berbentuk spiral sehingga molekul-molekul flavor akan terperangkap didalam struktur spiral helix, dengan demikian penambahan maltodekstrin akan dapat menekan kehilangan komponen volatile selama proses pengolahan. Maltodekstrin dapat digunakan pada proses enkapsulasi, untuk melindungi senyawa volatile, melindungi senyawa yang peka terhadap oksidasi atau panas, maltodekstrin dapat melindungi stabilitas flavor selama proses penyaringan spray dryer (Gustavo, Barbosa-Canovas, 1999). Gugus hidroksil dalam air, akan membentuk ikatan hidrogen dengan molekul-molekul air sekitarnya, jika air dihilangkan maka akan terjadi pengkristalan, karena gugus hidroksil akan membentuk ikatan hidrogen dengan ikatan gugus hidroksil yang lain sesama monomer. Oleh karena itu, semakin banyak maltodekstrin yang ditambahkan, semakin cepat terjadi pengkristalan dan penguapan kadar air bahan akan semakin rendah (Gustavo, Barbosa-Canovas, 1999). Dekstrinisasi adalah proses untuk mendapatkan dekstrin dan merupakan cara tertua untuk memodifikasi pati. Molekul-molekul pati yang besar dan tidak dapat larut dalam air dingin dihidrolisis hingga menjadi fraksi-fraksi yang lebih kecil. Dalam hal ini ukuran molekul dikurangi sampai tingkat dimana molekul tersebut menjadi dapat larut dalam air dingin. Karena melibatkan panas, maka dekstrinisasi sering disebut pula “pyroconversions”. Perubahan-perubahan yang terjadi pada polimer-polimer D-glukosa pati selama “pyroconversions” sangat kompleks. Pada penelitian terdahulu untuk pengeringan tepung jambu biji oleh Soelistyo (1988), konsentrasi optimal maltodekstrin yang digunakan dalam pembuatan minuman bubuk jambu biji sebesar 3%, dengan menggunakan suhu pengeringan kabut 160o C.
2.5 Tepung Instan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), instan berarti langsung (tanpa dimasak lama) dapat diminum atau dimakan, seperti kopi, susu bubuk. Sedangkan menurut Prasetiyo (2003), disebut instan karena dapat dengan cepat disajikan dan dinikmati, yaitu cukup menyeduhnya dengan air. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tepung dapat diartikan sebagai barang yang lumat 8
atau berbutir-butir halus seperti tepung, abu, atau bubuk. Anonim (2011) menyatakan bahwa tepung adalah partikel padat yang berbentuk butiran halus atau sangat halus tergantung pemakaiannya. Biasanya digunakan untuk keperluan penelitian, rumah tangga, dan bahan baku industri. Muchtadi et al. (1995) menyatakan bahwa produk yang berbentuk bubuk mempunyai beberapa kelebihan, diantaranya lebih awet untuk disimpan karena kadar airnya rendah, praktis dalam penggunaan serta memudahkan dalam pengemasan dan pengangkutan.
2.6 Tepung Jambu Biji Tepung jambu biji didapatkan melalui dua tahapan, yaitu tahapan/proses pembuatan sari buah dan dilanjutkan dengan proses pengeringan. Tepung jambu biji dapat digunakan sebagai alternatif minuman instan. Badan Standardisasi Nasional Indonesia belum mengeluarkan standar nasional tepung minuman rasa jambu, oleh karena itu sebagai acuan, pada Lampiran 7 terdapat syarat mutu tepung minuman rasa jeruk. Pada penelitian Soelistyo (1988) mengenai pembuatan tepung jambu biji dengan menggunakan pengering kabut, suhu pengeringan yang digunakan adalah 160o C dengan penambahan dekstrin pada empat taraf yaitu 3, 7, 11, dan 15%. Perendaman dalam natrium bisulfit selama 15 menit, dengan tingkat konsentrasi tiga taraf yaitu 0.1, 0.2, dan 0.3 persen. Serta penambahan tepung gula sebanyak dua taraf yaitu 60 dan 75 persen. Secara umun, dari perlakuan yang ada, hasil terbaik adalah A3B1C2 (perendaman natrium bisulfit 0.3%, dekstrin 3%, dan tepung gula 75%). Perlakuan A3B1C2 memberikan hasil antara lain: rendemen sebesar 9.28%, densitas kamba 0.83 g/ml, kadar air 2.33%, vitamin C 456.24 mg/100 g, dan kelarutan sebesar 83.76%. Perendaman natrium bisulfit dengan konsentrasi lebih tinggi memberikan hasil yang lebih tinggi pula pada semua perlakuan, kecuali kadar abu, kelarutan, dan total asam tertitrasi, tidak memberikan pengaruh yang nyata. Penambahan dekstrin meningkatkan rendemen, kadar air, dan densitas kamba. Akan tetapi, menurunkan pH, vitamin C, total asam tertitrasi serta nilai kesukaan aroma, rasa, dan warna. Penambahan tepung gula meningkatkan rendemen, kadar air, kelarutan, derajat keputihan, nilai kesukaan aroma dan rasa. Menurunkan densitas kamba, kadar abu, total asam tertitrasi, vitamin C dan nilai kesukaan warna. Lindawati (1992) dalam penelitiannya mengenai pembuatan minuman bubuk jambu biji, menggunakan suhu pengering kabut sebesar 180o C. Perlakuan penambahan dekstrin adalah pada taraf 6%, 9%, dan 12%. Perbandingan daging buah dan air pengekstrak adalah 1:1. Flavor yang ditambahkan sebanyak 0.4%, gula yang ditambahkan sebanyak 15% sebelum proses pengeringan dalam bentuk gula pasir, dan 25% sesudah proses pengeringan dalam bentuk gula halus. Asam askorbat ditambahkan setelah proses pengeringan sebanyak 300, 450, dan 600 mg/100 g produk sedangkan kondisi tekanan alat pengering kabut pada 4.8 kg/cm2. Semakin banyak jumlah dekstrin yang ditambahkan, kadar air, nilai pH, nilai kesukaan terhadap aroma dan rasa akan menurun. Tetapi sebaliknya, rendemen, derajat putih, nilai kesukaan terhadap warna semakin meningkat. Nilai penerimaan umum tertinggi diberikan pada penambahan 9% dekstrin. Peningkatan jumlah asam askorbat yang ditambahkan mengakibatkan peningkatan kadar asam askorbat, asam tertitrasi total dan nilai kesukaan terhadap rasa, sebaliknya nilai pH semakin menurun. Hasil terbaik adalah pada tingkat penambahan 6-9% dekstrin dan 600 mg asam askorbat/100 gram produk.
9
2.7 Pengeringan Muchtadi et al. (1995) menyatakan bahwa pengeringan merupakan suatu metode untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari bahan dengan menggunakan energi panas, sehingga tercapai tingkat kadar air kesetimbangan dengan kondisi udara normal. Dengan kadar air yang rendah, maka daya tahan produk dapat ditingkatkan dan produk lebih awet. Nasution (1982) menyatakan bahwa pengeringan merupakan metode untuk menurunkan kadar air bahan pangan. Pengeringan merupakan metode tertua untuk pengawetan bahan pangan. Hal ini karena dalam keadaan kering mikroba pembusuk tidak dapat tumbuh, dan enzim penyebab perubahan kimia tidak dapat aktif secara normal. Keuntungan pengeringan adalah bahan menjadi lebih awet dengan volume bahan menjadi lebih kecil sehingga mempermudah pengangkutan dan pengepakan. Di samping itu, pengeringan juga menimbulkan beberapa kerugian antara lain terjadinya perubahan warna, tekstur, dan aroma (Winarno et al., 1982). Menurut Achanta, Okos (2000), pengeringan makanan telah diaplikasikan untuk beberapa alasan, antara lain: meningkatkan umur simpan, mengurangi biaya pengemasan, menurunkan beban pengiriman, meningkatkan rasa dan aroma, penambahan nilai jual dengan merubah struktur dari produk asli dan penambahan nilai gizi atau nutrisi. Purnomo, Adiono (1985) menyatakan bahwa pengeringan mempunyai kerugian hilangnya flavor yang mudah menguap dan memucatnya pigmen, perubahan struktur, dan menimbulkan bau gosong pada kondisi tidak terkendali. Ada beberapa peranan udara pada proses pengeringan bahan, antara lain: udara mengambil uap di daerah pengeringan, udara menghantarkan panas ke dalam bahan yang dikeringkan, dan udara merupakan tempat membuang uap yang telah diambil dari tempat pengeringan (Sutijahartini, 1985). Menurut Sutijahartini (1985), kadar air bahan yang diketahui karena proses pengeringan dapat dinyatakan dalam dua macam, yaitu kadar air berdasarkan bahan basah (b.b.) dan kadar air berdasarkan bahan kering (b.k.). Kadar air basis kering adalah jumlah air yang diuapkan per berat bahan setelah pengeringan. Jumlah air yang diuapkan adalah berat bahan sebelum pengeringan dikurangi berat bahan setelah pengeringan atau dinyatakan pada persamaan (1) berikut ini:
(1) Kadar air basis basah dinyatakan sebagai jumlah air yang diuapkan per berat bahan sebelum pengeringan, dengan rumus pada persamaan (2) berikut ini:
(2)
2.8 Spray Dryer Nasution (1982) menyatakan bahwa ada beberapa macam alat pengering yang dapat digunakan, dan ini tergantung dari jenis bahan yang hendak dikeringkan. Penggunaan spray dryer/pengering kabut terutama digunakan untuk produk yang sensitif terhadap panas seperti susu, telur, dan keju (Potter, 1980). Buah-buahan yang berbentuk sari buah, bubur, dan pasta dapat dikeringkan dengan pengering kabut, dan beberapa di antaranya harus diberi perlakuan penambahan pati (Master, 1979). 10
Soekarto, Syarief (1992) menyatakan bahwa pengeringan kabut biasanya dilakukan terhadap bahan yang berbentuk fluida dengan kadar air tinggi. Fluida diusahakan menjadi droplet dengan cara menyemprotkan fluida yang dimaksud menggunakan sprayer (nozzle) pada tekanan tinggi, kemudian dialirkan ke dalam sebuah ruang yang di dalamnya terdapat hembusan udara panas. Sebagian besar kandungan air di dalam droplet menguap pada kecepatan konstan. Menurut Loesecke (1995), pada pengering kabut (spray dryer), bahan dari bentuk larutan, suspensi, atau sludge, dikabutkan dalam udara panas. Udara mengalirkan panas ke bahan yang telah dikabutkan, dan air yang terkandung di bahan akan menguap, sehingga yang tertinggal adalah padatan sebagai tepung yang terbang di siklon. Metode pengabutan bervariasi tergantung pada bahan yang akan dikeringkan. Pengabut atau yang dinamakan atomizer dapat berbentuk disc, nozzle, dan lain-lain, tergantung tujuan dalam pengeringan. Atomizer dapat diletakkan di bagian atas, tengah, samping, atau di bagian bawah dari drying chamber. Menurut Sutijahartini (1985), bahwa bahan yang berbentuk larutan atau pasta dikeringkan menjadi bentuk butiran halus dengan spray dryer. Larutan atau pasta dikabutkan kedalam aliran udara panas, dan pemindahan panas berlangsung dengan cepat sehingga tetesan langsung kering dan tidak mengadakan kontak dengan tetesan yang tinggal butiran halus dan kering. Butiran bahan kering akan jatuh dan terkumpul pada alas pengering dan dengan alat pengumpul debu butiran-butiran ini dihisap serta dikumpulkan dalam bak penampung bahan kering. Master (1979) menyatakan bahwa waktu kontak antara droplet dengan udara panas dalam ruangan pengering berlangsung sangat singkat hanya beberapa detik, sehingga sedikit sekali kemungkinan terjadinya degradasi karena panas. Sedangkan menurut Kjaergaard (1974), produk mengalami pengeringan tanpa bersinggungan dengan logam panas, suhu produk relatif tetap rendah, walaupun pengeringan dilakukan pada suhu relatif cukup tinggi. Penguapan berlangsung sangat cepat, karena luasnya permukaan bahan. Gambar 2 memperlihatkan skema alat pengering kabut.
Gambar 2. Skema pengering kabut (spray dryer) Sumber: (Anonim, 2011)
Loesecke (1995) menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengeringan pada pengering kabut, antara lain: 1. Desain Banyak pengering yang menjamin bahwa campuran antara pergerakan udara yang cepat dengan bahan yang dikeringkan mendorong pengeringan dengan cepat. Pengering kabut adalah salah satu pengering yang dalam kondisi ini lebih baik dibandingkan dengan pengering tipe lain. Dalam kasus tunnel dryer, pengeringan cepat adalah pencapaian terbaik dengan pergerakan udara 11
2. 3.
4.
5.
6.
melewati tunnel dalam arah yang berbeda menuju produk, atau dengan menambahkan udara panas di jalur akhir pada tunnel dan daerah pengeluaran dingin, udara lembab di atau dekat pusat. Apabila udara dipaksa melewati bahan lebih dari kapasitasnya, pengeringan akan lebih cepat. Isolasi pengering untuk menghambat kehilangan panas dan mengurangi kebocoran udara karena pengeringan cepat. Spray dan tunnel dryer jarang diisolasi bagaimanapun juga. Belum ada yang benar-benar tahu desain terbaik untuk pengeringan, karena belum diketahui kondisi terbaik pengeringan untuk produk, atau apa saja yang terjadi selama pengeringan. Volume aliran udara Total volume aliran udara yang tinggi sangat sesuai untuk pengeringan yang cepat. Suhu tinggi Jika udara yang masuk dipanaskan sampai suhu tertinggi dan dapat dipertahankan dengan aman untuk bahan yang akan dikeringkan selama pengeringan, maka proses pengeringan yang cepat akan terjadi. Bahan yang lembab dan masih mengandung kadar air yang tinggi, akan lebih toleran pada suhu yang lebih tinggi saat pengeringan, ketika bahan tetap dingin karena laju penguapan air. Proporsi sirkulasi udara Jika bagian udara yang seharusnya keluar lewat saluran pengeluaran kembali bercampur dengan udara segar yang datang dan kemudian dipanaskan, maka udara akan berlalu dan bahan akan lebih lembab. Waktu pengeringan lebih lama, akan tetapi ada penghematan energi. Laju pemasukan dari bahan Dalam pengering tunnel, operasi yang ideal menjadi satu dalam udara yang melewati tunnel yang tidak akan dingin, dan kelembaban relatif akan rendah. Kondisi ini dapat dicapai dengan penurunan berat bahan basah yang dimasukkan ke pengering. Banyak pengering yang melebihkan tray, menjamin bahwa dengan cara ini, dapat meningkatkan kapasitas pengeringan. Pemasukan tray dapat menjadi lebih berat dimana aliran udara melewati bahan. Keadaan produk yang dikeringkan Jika kadar air bahan yang akan dikeringkan sulit untuk dihilangkan karena struktur fisik dan kadar gula yang tinggi, pengeringan tidak akan terpengaruh oleh banyaknya panas yang disalurkan.
Pada umumnya alat pengering mempunyai dua zona pengeringan yaitu pengeringan primer dan sekunder. Pada zona pengeringan primer, air menguap dari droplet dengan diikuti oleh penurunan suhu udara pengering yang cukup besar. Soekarto, Syarief (1992) menyatakan bahwa pada zona sekunder, air menguap dari droplet dalam jumlah yang relatif sedikit sehingga penurunan suhu udara pengering tidak begitu nyata. Master (1979) menyatakan bahwa ada tiga elemen terpenting pada pengering kabut yaitu atomizer, ruang pengering, dan pengumpul partikel-partikel kering yang dihasilkan. Masing-masing elemen tersebut memerlukan kondisi tertentu yang sangat tergantung dari sifat bahan yang akan dikeringkan. Pengeringan kabut terdiri dari empat tahapan proses, yaitu (1) atomisasi bahan, sehingga dapat membentuk kabutan sehalus mungkin, (2) kontak antara partikel hasil atomisasi dengan udara pengering, (3) penguapan air bahan, dan (4) pemisahan bubuk kering dengan aliran udara yang membawanya. Larutan yang akan dikeringkan harus mempunyai konsentrasi yang tinggi. Hal ini menyangkut efisiensi dari alat pengering itu sendiri dan masalah ekonomi yang menyangkut rendemen hasil pengeringan. Konsentrasi yang baik untuk produk buah-buahan adalah 30-35%. Menurut Soekarto, Syarief (1992), suhu udara pengering yang lazim digunakan berkisar antara 148.88 sampai 260o C dan ketika meninggalkan alat pengering suhu telah turun menjadi sekitar 76.67 12
sampai 104.44o C. Produk buah-buahan suhu pengeringan yang umumnya digunakan adalah 135-180o C (Master, 1979). Soekarto, Syarief (1992) menyatakan bahwa kecepatan aliran udara pengering berkisar antara 0.381 sampai 0.635 m/s, agar droplet dapat bergerak jatuh sementara air di dalamnya menguap dan kemudian setelah kering mengendap di bagian dasar ruang pengering. Soekarto, Syarief (1992) menyatakan bahwa arah lintasan droplet ketika jatuh di dalam ruang pengering relatif terhadap arah aliran udara pengering menentukan ukuran droplet yang harus disediakan baik melalui spuyer atau piringan berputar. Berdasarkan desain, pengering kabut dapat digolongkan menjadi lima golongan, yaitu: 1. Mendatar dan arah litasan droplet seiring dengan aliran udara 2. Tegak (sederhana) dan arah lintasan droplet ke bawah seiring dengan aliran udara. Golongan ini dibagi lagi menjadi dua yaitu: a. Aliran udara lurus b. Aliran udara berputar tetapi secara keseluruhan arahnya seiring dengan lintasan droplet (ke bawah) 3. Tegak (tidak sederhana) dan arah lintasan droplet ke bawah seiring dengan aliran udara 4. Tegak dan arah aliran droplet ke atas seiring dengan aliran udara 5. Tegak tetapi arah lintasan droplet berlawanan dengan arah aliran udara pengering Indryani (2000) menggunakan alat pengering kabut pada pembuatan tepung agar-agar, dan hasil terbaiknya diperoleh dengan perlakuan suhu inlet dan outlet sebesar 180o C dan 85o C dengan tekanan semprot 3 bar dan suhu inlet dan outlet 190o C dan 90o C dengan tekanan semprot 1.5 bar. Hudin, Winarno (1989) menggunakan alat pengering kabut pada pembuatan sari cakar ayam instan, dan hasil terbaiknya diperoleh dengan perlakuan tepung beras sebagai bahan pengisi pada konsentrasi 15% dengan suhu pengering 190o C. Muchtadi et al. (1995) dalam penelitiannya mengenai pengaruh pengeringan dengan alat pengering kabut dan pengering drum terhadap aktivitas antitrombotik bawang putih dan bawang merah, menyatakan bahwa pengeringan menurunkan aktivitas antitrombotik bawang. Bubuk bawang yang mempunyai aktivitas antitrombotik tertinggi adalah bubuk bawang putih hasil pengering kabut dengan nilai D50 0.048 mg/ml, diikuti oleh bubuk bawang putih hasil pengering drum, bubuk bawang merah hasil pengering kabut, dan bubuk bawang merah hasil pengering drum, dengan nilai D50 masing-masing 2.56, 3.02, dan 4.60 mg/ml.
13
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Waktu penelitian dilaksanakan selama tiga bulan yaitu mulai dari bulan Maret hingga Mei 2011, bertempat di Laboratorium Pilot Plant PAU dan Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP) Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
3.2 Bahan dan Alat
3.2.1 Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah jambu biji getas merah yang matang penuh dan didapat dari petani di daerah Cilebut Bogor. Berat buah antara 150-250 gram, dengan umur buah sekitar 100 hari setelah bunga mekar. Pemilihan buah yang digunakan dalam penelitian sama, yang artinya dalam satu kg berisi jumlah jambu biji yang sama yaitu lima buah. Proses panen juga memperhatikan dan menyamakan umur jambu biji setelah bunga mekar. Bahan lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan pengisi yaitu maltodekstrin, vitamin C yang digunakan sebagai anti browning, dan air mineral sebagai campuran jus jambu biji merah. Gambar 3 memperlihatkan sampel sari buah jambu yang telah siap diproses dalam pengeringan kabut.
Gambar 3. Sampel sari buah jambu sebelum pengeringan
3.2.2 Alat-Alat Alat utama yang digunakan pada penelitian ini adalah mini spray dryer BUCHI 190 kapasitas 0.5 liter/jam yang terdapat di Pilot Plant PAU. Alat penunjang yang digunakan antara lain: pisau, blender, kain saring, dan homogenizer. Alat yang digunakan dalam pengujian antara lain:
refractometer untuk mengukur total padatan terlarut, cawan alumunium dan oven untuk pengukuran kadar air, chromameter untuk pengukuran warna, timbangan digital untuk pengukuran rendemen, ayakan getar untuk uji sebaran tepung, gelas ukur yang digunakan untuk pengukuran densitas kamba, kertas saring untuk pengujian kelarutan dalam air, corong kaca dan beaker glass untuk pengujian laju pembasahan.
3.3 Prosedur Penelitian Penelitian dilakukan selama delapan minggu dengan rincian penelitian pendahuluan selama dua minggu untuk menentukan jenis dan kematangan jambu biji getas merah, jenis bahan pengisi dan konsentrasinya, serta suhu pengering kabut. Selanjutnya adalah penelitian pengaruh suhu pengeringan selama enam minggu untuk mempelajari pengaruh berbagai suhu pengeringan terhadap hasil akhir, sifat fisik dan kimia, serta mutu produk tepung jambu biji getas merah. Variabel penelitian yang diterapkan adalah perbedaan suhu pengeringan spray dryer, yaitu: o 150 C, 160o C, 170o C, dan 180o C. Prosedur penelitian meliputi mencuci bersih jambu biji, membuang bagian ujung yang rusak/busuk, dan memotong-motong buah tersebut. Sebagian kecil diambil dan digunakan sebagai sampel dalam pengukuran kadar air dan total padatan terlarut. Sisa buah direndam dalam larutan vitamin C 1% selama 15 menit. Setelah melalui proses perendaman, jambu biji ditiriskan dan diblender hingga halus, kemudian disaring dengan kain saring untuk memisahkan biji dan partikel yang masih kasar. Air 1:1 (berat) ditambahkan beserta maltodekstrin/bahan pengisi, kemudian dicampur merata dengan homogenizer. Bahan yang sudah siap kemudian dikeringkan dengan spray dryer. Pada satu suhu pengeringan yang sama, dilakukan ulangan sebanyak tiga kali. Hasil pengeringan yang diperoleh dari spray dryer tersebut dianalisa hasil, sifat fisik kimia, dan mutu pengeringan produk akhirnya. Untuk lebih jelasnya, prosedur penelitian dapat dilihat pada bagan alir pada Gambar 4.
15
Jambu biji getas merah ↓ Dicuci ↓ Dibuang bagian ujung dan bagian rusak ↓ Dipotong-potong ↓ Direndam dalam larutan vitamin C 15 menit ↓ Ditiriskan ↓ Diblender ↓ Disaring → Biji dibuang ↓ Hancuran daging buah Maltodekstrin
→↓←
air (1:1)
Dicampur merata dengan homogenizer ↓ Pengeringan dengan spray dryer (suhu 150o C, 160 o C, 170 o C, dan 180 o C) ↓ Tepung jambu biji ↓ Analisa Gambar 4. Diagram alir proses pembuatan tepung jambu biji getas merah
3.4 Perlakuan Percobaan
3.4.1 Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan tahap I menentukan kebutuhan proses pasteurisasi yaitu: 1) memberikan perlakuan pasteurisasi pada sari buah jambu dan 2) tidak memberikan perlakuan pasteurisasi pada sari buah jambu. Setelah pemilihan kebutuhan proses pasteurisasi, diteruskan dengan tahap II yaitu penentuan kadar maltodekstrin sebagai bahan pengisi dengan perlakuan pada tingkat 3%, 17.5%, 20% dari berat sampel jambu awal, dan suhu pengeringan 180o C. Penelitian pendahuluan dengan suhu 150o C tidak berfungsi sebab suhu 150o C, 160o C, 170o C, dan 180o C kemudian diteliti lebih lanjut.
16
3.4.2 Penelitian Pengaruh Suhu Pengeringan Setelah penentuan kebutuhan pasteurisasi dan kadar maltodekstrin, penelitian dilanjutkan dengan mengamati perlakuan suhu pada empat tingkat yaitu suhu 150o C, 160o C, 170o C, dan 180o C dan masing-masing sebanyak tiga kali ulangan. Maltodekstrin/bahan pengisi yang diberikan adalah pada kadar 20% dengan tidak adanya penambahan perlakuan pasteurisasi.
3.5 Rancangan Percobaan Model rancangan percobaan adalah rancangan acak lengkap (RAL) tunggal dengan jumlah perlakuan dan ulangan seimbang. Ulangan sebanyak tiga kali. Perlakuan yang digunakan adalah suhu pengeringan (kode A). Persamaan RAL ada pada persamaan (3) berikut ini: Yik = µ+ Ai + Ek (i) Keterangan: Yik = µ Ai Ek (i) i k
= = = = =
(3)
nilai pengamatan pada perlakuan suhu pengeringan taraf ke-i faktor A pada ulangan ke-k nilai rataan umum pengaruh perlakuan suhu pengeringan pada taraf ke-i interaksi pengaruh suhu pengeringan taraf ke-i suhu pengeringan ulangan
Selanjutnya jika data yang diproses dengan software SPSS 17.0, diperoleh analisa ragam berbeda nyata, kemudian dilanjutkan dengan uji Wilayah Berganda Duncan (DMRT) untuk mengetahui lebih lanjut adanya perbedaan dalam perlakuan dan uji non-parametrik untuk mencari pengaruh perlakuan terhadap uji organoleptik. Setelah itu dilanjutkan membuat kurva regresi untuk hasil yang berbeda nyata.
3.6 Pengamatan
3.6.1 Rendemen Rendemen adalah persentase hasil/berat akhir suatu produk dan dibandingkan dengan berat awal bahan tersebut. Perhitungan rendemen ada pada persamaan (4) berikut ini:
(4)
17
3.6.2 Pengukuran Warna Pengukuran warna menggunakan chromameter. Hasil pengukuran dinyatakan dalam sistem Hunter yang dicirikan dengan notasi L, a, b. Notasi L menyatakan parameter kecerahan yang memiliki nilai dari 0 (hitam) sampai 100 (putih), notasi a menyatakan warna kromatik campuran merah-hijau dengan nilai +a (dari 0 s/d 80) adalah merah dan –a (0 s/d -80) adalah hijau, sedangkan notasi b menyatakan warna kromatik campuran kuning-biru dengan nilai +b (0 s/d 70) adalah kuning dan nilai –b (0 s/d -70) adalah biru.
3.6.3 Sebaran Tepung Sebaran tepung adalah sebuah pengamatan mengenai persentase sebaran tepung/tepung pada beberapa ukuran mesh pada ayakan. Mesh yang digunakan adalah ukuran nomor 3/8 in (9.5 mm), mesh 4 (4.75 mm), mesh 8 (2.36 mm), mesh 14 (1.4 mm), mesh 16 (1.18 mm), mesh 25 (0.6 mm), mesh 30 (710 µm), mesh 50 (300 µm), dan mesh 100 (150 µm).
3.6.4 Densitas Kamba 3.6.4.1 Densitas kamba tanpa pemadatan Sampel dimasukkan dalam gelas ukur 10 ml yang sudah diketahui beratnya sampai volume tertentu, kemudian ditimbang kembali sehingga diperoleh berat produk. Densitas kamba ditentukan dengan cara membagi berat sampel dengan volume ruang yang ditempatinya dan dinyatakan dalam kg/m3.
3.6.4.2 Densitas kamba dengan pemadatan Sampel dimasukkan ke dalam gelas ukur 10 ml yang sudah diketahui beratnya sampai volume tertentu, kemudian dilakukan pemadatan sampai volumenya konstan lalu ditimbang. Kerapatan pemadatan tumpukan ditentukan dengan cara membagi berat sampel dengan volume ruang yang ditempatinya setelah pemadatan dan dinyatakan dalam satuan kg/m3.
3.6.5 Kelarutan Dalam Air/Gravimetri Sampel sebanyak 1 g dilarutkan dalam 20 ml air. Kemudian disaring dengan kertas saring yang telah terlebih dahulu dikeringkan dan bobotnya ditimbang. Setelah itu, kertas saring dikeringkan dalam oven dengan suhu 105o C sampai bobotnya tetap. Menurut Purba (2003), rumus kelarutan dalam air seperti pada persamaan (5) berikut ini:
(5) 18
dimana A = bobot kertas saring yang telah dikeringkan (g) B = bobot kertas saring kering awal (g) C = bobot sampel kering (g)
3.6.6 Kadar Air Menurut AOAC (1995), pengujian kadar air dapat dilakukan sebagai berikut: cawan alumunium dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator 10 menit, sampel buah jambu ditimbang dalam wadah sebanyak ±5 g (a), sedangkan sampel tepung ditimbang sebanyak ±2 g (a), cawan beserta isi dikeringkan dalam oven dengan suhu pengeringan 105o C selama ±48 jam, cawan dipindahkan kedalam desikator lalu didinginkan dan berat akhir bahan ditimbang (b). Rumus kadar air (%bk) seperti pada persamaan (6) berikut ini:
(6) dimana : a = berat bahan awal (g) b = berat bahan akhir (g)
Rumus kadar air (%bk) digunakan pada perhitungan kadar air karena menunjukkan banyaknya air yang diuapkan per berat bahan kering setelah pengeringan, sehingga total kandungan padatan lebih diketahui.
3.6.7 Total Padatan Terlarut Pengukuran total padatan terlarut dilakukan dengan menggunakan refractometer. Jambu biji getas merah dihancurkan, kemudian dilakukan pengujian total padatan terlarut. Perlakuan dilakukan tiga kali ulangan terhadap masing-masing sampel. Besarnya nilai total padatan terlarut dinyatakan dalam satuan °Brix.
3.6.8 Kadar Vitamin C Kadar vitamin C dilakukan pada saat awal bahan sebelum pengeringan dan pada akhir produk setelah proses pengeringan. Pengujian kadar vitamin C dengan menggunakan metode titrasi dan dinyatakan dalam mg/100 g bahan.
3.6.9 Laju Pembasahan Menurut Hartomo, Widiatmoko (1992), metode pengujian laju pembasahan adalah sebagai berikut: sejumlah air distilasi (100 ml) dengan suhu 25o C dituangkan ke dalam beaker glass, corong kaca dipasang di atas beaker glass dengan jarak 10 cm antara bagian bawah corong dengan permukaan air, tube test diletakkan di dalam corong untuk menutup bukaan corong, sampel bubuk (0.1 g) diletakkan di sekitar tube test, tube test diangkat bersamaan dengan dimulainya stopwatch, 19
waktu dicatat sampai seluruh tepung telah terbasahi (ditentukan secara visual ketika seluruh partikel tepung memasuki permukaan air), kemudian dilakukan perhitungan laju pembasahan tepung dalam air (g/menit). Rumus laju pembasahan seperti pada persamaan (7) berikut ini:
(7)
3.6.10 Uji Organoleptik Uji organoleptik dilakukan untuk mengetahui sejauh mana panelis (10 orang) menerima perubahan sifat fisik dan kimia tepung jambu biji getas merah. Parameter pengamatan organoleptik meliputi warna, aroma, rasa, dan dan keseluruhan. Penilaian panelis ditabulasikan ke dalam skor 1 sampai 5. Skor 5 untuk sangat suka, skor 4 untuk penilaian suka, skor 3 untuk biasa, skor 2 untuk tidak suka, dan skor 1 untuk penilaian sangat tidak suka. Metode organoleptik dilakukan dengan menyeduh tepung menjadi minuman dengan penambahan gula dan disajikan dingin kepada para panelis.
20
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4. 1 Hasil Penelitian Pendahuluan
4.1.1 Pengaruh Pasteurisasi dan Maltodekstrin Hasil untuk sampel dengan maltodekstrin 3% yang dipasteurisasi, rendemen dari berat jambu awal sebesar 2.14 %, sedangkan sampel dengan penambahan maltodekstrin 3% yang tidak dipasteurisasi sebesar 0.79%. Sampel dengan maltodekstrin 17.5% dan tanpa pasteurisasi menghasilkan rendemen sebesar 5.13% dan sampel dengan maltodekstrin 20% tanpa pasteurisasi menghasilkan rendemen paling tinggi yaitu sebesar 6.15%. Berdasarkan penambahan bahan pengisi sebesar 3% ternyata masih banyak sampel yang menempel pada siklon, hal ini karena kadar gula pada sampel masih tinggi. Penampakan fisik juga menampilkan hasil tepung yang masih cukup basah. Uji vitamin C pada tepung ini menunjukkan nilai yang cukup tinggi, sekitar 1455.21 mg/100 g bahan kering. Pada saat proses pengeringan dengan maltodekstrin 17.5%, masih terlihat adanya sampel yang menempel pada siklon, oleh karena itu pada penelitian selanjutnya dipilih kadar maltodekstrin sebesar 20%. Perlakuan pasteurisasi tidak dilakukan pada penelitian selanjutnya, karena mempertimbangkan bahwa setelah sampel dibuat langsung dilakukan proses pengeringan. Histogram rendemen tepung jambu biji instan dari berat jambu awal pada suhu pengeringan 180o C (Gambar 5) menunjukkan rendemen tertinggi ada pada sampel dengan penambahan maltodekstrin sebanyak 20%. Sedangkan Gambar 6 menunjukkan rendemen tepung jambu biji instan dari bahan baku total pada suhu pengeringan 180o C
Gambar 5. Rendemen tepung jambu biji instan dari berat jambu awal pada suhu pengeringan 180o C
Gambar 6. Rendemen tepung jambu biji instan dari bahan baku total pada suhu pengeringan 180o C
Tepung dengan bahan pengisi 20% mengandung kadar air yang lebih tinggi dibandingkan tepung dengan kadar maltodekstrin 17.5% pada suhu pengeringan yang sama. Untuk hasil uji warna, tepung dengan kadar maltodekstrin 20% lebih cerah, sedangkan tepung dengan kadar bahan pengisi 17.5% lebih merah. Gambar 7 adalah histogram nilai L uji warna tepung jambu biji. Histogram menunjukkan bahwa pada suhu 180o C dengan kadar bahan pengisi 20%, memiliki nilai L tertinggi, hal ini berarti bahwa tepung yang dihasilkan paling cerah dibanding tepung dengan penambahan maltodekstrin 20%.
Gambar 7. Nilai L uji warna tepung jambu biji pada suhu pengeringan 180o C
Histogram nilai a (kemerahan) uji warna tepung jambu biji diperlihatkan pada Gambar 8. Histogram menunjukkan bahwa nilai a tertinggi ada pada tepung dengan penambahan maltodekstrin 17.5%. Hal ini menunjukkan bahwa tepung ini berwarna lebih merah dibanding tepung dengan penambahan maltodekstrin 20%.
22
Gambar 8. Nilai a uji warna tepung jambu biji pada suhu pengeringan 180o C
Histogram nilai b (kekuningan) uji warna tepung jambu biji diperlihatkan pada Gambar 9. Histogram menunjukkan bahwa nilai b tertinggi ada pada tepung dengan penambahan maltodekstrin 17.5%. Hal ini menunjukkan bahwa tepung ini berwarna paling kuning dibanding tepung dengan penambahan maltodekstrin 20%.
Gambar 9. Nilai b uji warna tepung jambu biji pada suhu pengeringan 180o C
4.2 Pengaruh Suhu Pengeringan Terhadap Mutu Tepung Jambu Biji Instan Pada penelitian ini perlakuan yang dilakukan pada sampel jambu adalah perendaman pada larutan vitamin C 1%, penambahan maltodekstrin 20%, dan pengeringan pada suhu 150o C, 160o C, 170o C, dan 180o C, serta tidak adanya penambahan tepung gula seperti pada penelitian Soelistyo (1988). Adapun produk tepung hasil pengeringan dengan spray dryer dapat dilihat pada Gambar 10.
23
Tepung hasil suhu pengeringan
Ulangan ke-1
Ulangan ke-2
Ulangan ke-3
150o C
160o C
170o C
180o C
Gambar 10. Tepung jambu biji instan hasil pengeringan dengan spray dryer pada berbagai suhu pengeringan
Tabel 4 menunjukkan syarat mutu tepung minuman rasa jeruk menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-3722-1995. Standar untuk minuman rasa jambu belum dikeluarkan oleh SNI, oleh 24
karena itu beberapa persyaratan pada Tabel 4 digunakan sebagai acuan pada proses pemutuan tepung jambu biji.
Tabel 4. Syarat mutu tepung minuman rasa jeruk (SNI 01-3722-1995) No 1 1.1 1.2
Kriteria Uji Keadaan: Warna Cita rasa
Satuan
Persyaratan
-
normal normal
2
Air
%b/b
maks 0.5
3
Bagian yang tidak larut dalam air
%b/b
maks 0.1
4
Gula jumlah (dihitung sebagai sukrosa)
%b/b
min 78
5
Vitamin C
mg/100 g
min 300
6
Bahan tambahan makanan
6.1 6.2 6.3
Pemanis buatan Pewarna tambahan Pengawet
7 7.1 7.2 8
Kehalusan Lolos ayakan 100 mesh (no. 100) Lolos ayakan 20 mesh (no. 20) Cemaran log:
8.1 8.2 8.3 8.4
tidak boleh ada Sesuai SNI 01-0222-1995 Sesuai SNI 01-0222-1995
% %
maks 15 100
Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Timah (Sn)
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
maks 0.2 maks 2 maks 5 maks 40
9
Cemaran arsen (As)
mg/kg
maks 0.1
10
Cemaran mikroba:
10.1
Angka lempeng total
koloni/ml
maks 3 x 103
10.2
Bakteri coliform
APM/ml
<3
Sumber: Badan Standardisasi Nasional
Pada perdagangan internasional, tepung jambu diperjualbelikan dengan syarat-syarat sebagai berikut: 1. Kandungan air tidak lebih dari 0.5% dari berat keseluruhan bahan, ada pula yang mensyaratkan dengan kadar air antara 1-2% 2. Warna merah muda cerah 25
3. Kelarutan dalam air 100% 4. Semua kandungan nutrisi tetap dipertahankan, tidak ada penambahan, dan pengawetan dengan bahan kimia 5. 100% alami dengan flavor yang kaya dan dengan warna yang alami 6. Tidak ada penambahan gula, tidak mengandung kolesterol 7. Tidak ada lemak dan rendah kalori 8. Dapat disimpan selama 6 bulan hingga 2 tahun dalam wadah tertutup, disimpan dan dilindungi dengan tiga lapis alumunium dan terlindung dari panas, pembekuan, dan kelembaban lingkungan
4.2.1 Rendemen Berdasarkan hasil analisa ragam (Lampiran 9), terlihat bahwa perlakuan suhu pengeringan spray dryer memberikan hasil yang tidak berbeda nyata pada rendemen tepung jambu biji (p > 0.05). Berdasarkan histogram pada Gambar 11 mengenai rendemen tepung jambu biji instan berdasarkan berat bahan baku jambu awal, sampel yang dikeringkan pada suhu pengeringan 180o C memberikan rendemen tertinggi yaitu 9.54%, disusul oleh tepung tepung suhu 150o C sebesar 8.10%, lalu tepung suhu 160o C sebanyak 7.47%, dan yang paling rendah nilai rendemen adalah tepung suhu pengeringan 170o C sebesar 6.35%.
Gambar 11. Rendemen tepung jambu biji instan dari berat jambu awal hasil pengeringan spray dryer pada berbagai suhu pengeringan
Gambar 12 menunjukkan rendemen tepung jambu biji instan berdasarkan berat bahan baku total, sampel yang dikeringkan pada suhu pengeringan 180o C memberikan rendemen tertinggi yaitu 4.43%, disusul oleh tepung tepung suhu 150o C sebesar 3.68%, lalu tepung suhu 160o C sebanyak 3.39%, dan yang paling rendah nilai rendemen adalah tepung suhu pengeringan 170o C sebesar 2.89%.
26
Gambar 12. Rendemen tepung jambu biji instan dari bahan baku total hasil pengeringan spray dryer pada berbagai suhu pengeringan Lindawati (1992) menyatakan bahwa penambahan dekstrin sebagai bahan pengisi akan menyebabkan peningkatan total padatan. Penambahan dekstrin yang semakin tinggi mengakibatkan total padatan sari buah jambu biji yang dikeringkan menjadi semakin tinggi pula. Demikian pula menurut Master (1979) bahwa dengan semakin tingginya total padatan pada bahan yang dikeringkan maka rendemen yang dihasilkan juga akan semakin tinggi. Hudin et al. (1989) menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi bahan pengisi mengakibatkan semakin tinggi konsentrasi produk yang dihasilkan. Hal ini menunjukkan bahwa bahan pengisi dapat berfungsi sebagai penambah massa. Rendemen yang tidak berbeda nyata dapat disebabkan oleh kandungan gula pada beberapa sampel masih tinggi, oleh karena itu banyak bagian yang menempel pada siklon. Sampel untuk pengeringan suhu 170o C berdasarkan data total padatan terlarut memiliki kandungan paling tinggi dibandingkan sampel lainnya, sedangkan sampel untuk suhu 180o C memiliki kandungan yang paling rendah. Hal ini dapat berimplikasi pada rendemen, data menunjukkan bahwa rendemen suhu 170o C adalah terendah dan rendemen suhu 180o C tertinggi. Banyaknya sampel jambu yang tidak berhasil mengalami pengeringan menjadi tepung juga menyebabkan rendahnya rendemen yang didapatkan. Hal ini ditandai dengan sampel yang menempel pada dinding drying chamber dan tidak berhasil mencapai siklon. Ukuran partikel sampel yang masih cukup besar menyebabkan masih banyaknya yang menempel pada siklon, hal ini juga berakibat pada kecilnya nilai rendemen. Sebab lain dapat berasal dari alat spray dryer sendiri, hal ini karena beberapa kali alat tersebut rusak dan tidak tepat dalam penyetelan suhu pengeringan. Suhu pengeringan yang terbaca sering naik dan turun dengan drastis, sehingga mempengaruhi kemampuan pengeringan dan rendemen yang dihasilkan. Rendemen hanya dihitung berdasarkan tepung pada wadah penampung di bawah siklon. Sisa sampel yang masih basah dan menempel di dinding drying chamber tidak dianggap sebagai rendemen dan tidak ditimbang. Kecilnya rendemen juga dapat dipengaruhi oleh tepung kering yang menempel pada alat, selain itu ada kemungkinan hilangnya tepung halus yang terbawa udara pengering dan uap air selama pengeringan berlangsung. Menurut Mulia (1998), untuk mendapatkan kembali produk kering yang terbawa udara, dapat dilakukan dengan melewatkan udara yang keluar dari alat pengering melalui alat lain yang mampu menangkap padatan halus dari aliran udara. Indriany (2000) menyatakan bahwa pada proses yang menggunakan suhu pengeringan yang lebih tinggi nilai rendemen yang diperoleh pun semakin besar. Hal ini terjadi karena semakin tinggi suhu yang digunakan maka produk yang dihasilkan semakin kering. Selain itu, waktu yang dibutuhkan filtrat untuk menjadi tepung yang kering menjadi lebih cepat, sehingga yang menyebabkan rendeman yang dihasilkan lebih banyak. Jika suhu yang digunakan rendah maka produk yang dihasilkan agak basah, sehingga ada sebagian produk yang menempel pada alat pengering yang 27
menyebabkan rendemen yang diperoleh semakin sedikit. Master (1979) menyatakan bahwa penempelan atau deposit pada dinding ruang pengering dapat disebabkan karena droplet sampai ke dinding dalam keadaan semi basah, atau yang disebabkan sifat alamiah bahan yang lengket selama pengeringan. Berdasarkan hal ini maka dapat dikatakan bahwa rendemen produk juga dipengaruhi oleh kadar air. Menurut Soekarto, Syarief (1992) bahwa kecepatan aliran udara yang digunakan harus menjamin terjadinya pengendapan sebagian besar partikel kering yang dihasilkan. Bila aliran udara kecepatannya terlalu besar maka akan terjadi banyak kehilangan partikel karena terbang terbawa ke luar ruang pengering.
4.2.2 Kadar Air Kadar air pada tepung dinyatakan dalam persen basis kering yaitu rasio antara bahan awal dengan hasil akhir pengeringan. Berdasarkan hasil analisa ragam (Lampiran 10), terlihat bahwa perlakuan suhu pengeringan spray dryer memberikan hasil yang tidak berbeda nyata pada kadar air tepung jambu biji (p > 0.05). Berdasarkan histogram kadar air (%bk) tepung jambu biji pada Gambar 13, jambu biji yang dikeringkan pada suhu pengeringan 180o C mempunyai kadar air basis kering terendah yaitu 8.93 %bk, disusul oleh tepung suhu 160o C sebesar 10.94 %bk, lalu tepung suhu 170o C sebesar 11.28 %bk, dan tepung hasil pengeringan suhu 150o C yang memiliki kadar air tertinggi yaitu 12.13 %bk.
Gambar 13. Kadar air (%bk) tepung hasil pengeringan dengan spray dryer pada berbagai suhu pengeringan
Berdasarkan histogram kadar air (%bb) tepung jambu biji pada Gambar 14, jambu biji yang dikeringkan pada suhu pengeringan 180o C mempunyai kadar air basis basah terendah yaitu 8.19 %bb, disusul oleh tepung suhu 160o C sebesar 9.86 %bb, lalu tepung suhu 170o C sebesar 10.14 %bb, dan tepung hasil pengeringan suhu 150o C yang memiliki kadar air tertinggi yaitu 10.82 %bb.
28
Gambar 14. Kadar air (%bb) tepung hasil pengeringan dengan spray dryer pada berbagai suhu pengeringan
Hudin et al. (1989) menyatakan bahwa dengan kadar air yang rendah, lebih disukai produk instan, karena produk mempunyai air bebas yang rendah sehingga lebih awet. Menurut Lindawati (1992), kadar air suatu produk pangan berkaitan erat dengan keawetan dari produk tersebut. Produkproduk yang berkadar air rendah relatif lebih tahan lama bila dibandingkan dengan produk yang berkadar air tinggi. Suhu yang lebih tinggi relatif memberikan hasil tepung yang mempunyai kadar air lebih lebih rendah. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Vallous et al. (2002) bahwa peningkatan tekanan uap atau suhu pengeringan menyebabkan terjadinya penurunan kadar air bahan. Menurut Winarno (1995), semakin sedikit kandungan air pada bahan maka kemungkinan rusaknya bahan oleh mikroba semakin kecil. Kandungan air dalam bahan ini mempengaruhi daya tahan bahan terhadap serangan mikroba. Menurut Master (1979), semakin tinggi total padatan bahan yang dikeringkan, maka akan semakin rendah kadar air yang dihasilkan. Menurut Hodge, Osman (1976), dekstrin dan gula bersifat higroskopis. Oleh karena itu, tepung hasil pengeringan sangat mudah menyerap uap air dari udara luar. Penambahan dekstrin yang semakin banyak juga dapat menyebabkan semakin tingginya kadar air produk yang dihasilkan. Beberapa data sampel memperlihatkan adanya kecenderungan nilai kadar air yang hampir sama meskipun pada suhu pengeringan yang berbeda. Hal ini dapat terjadi karena suhu pengeringan yang terbaca sering fluktuatif, sehingga mempengaruhi kadar air pada tepung jambu biji. Suhu inlet dan outlet pun mempengaruhi nilai kadar air akhir bahan. Kadar air rata-rata menunjukkan bahwa tepung pada suhu inlet dan outlet yang lebih tinggi kadar airnya lebih rendah. Pada waktu pengeringan pada suhu 160o C, spray dryer sempat mengalami sedikit masalah pada kestabilan suhu. Suhu pengeringan sering naik secara drastis. Oleh karena itu, hasil tepung pada suhu 160o C sedikit lebih rendah dibanding dengan tepung pada suhu 170o C. Selain itu, wadah penampung di bawah siklon yang terbuat dari plastik masih dengan mudah dimasuki oleh uap air dari luar, oleh karena itu sebaiknya wadah penampung terbuat dari gelas atau stainless stell. Indriany (2000) menyatakan bahwa suhu inlet yang tinggi menentukan kapasitas dari pengeringan. Semakin tinggi suhu inlet, maka akan meningkatkan kemampuan pengering untuk mengeringkan bahan. Menurut Master (1979), dengan suhu inlet yang lebih tinggi maka efisiensi panas dari pengering akan semakin tinggi pula. Menurut Indriany (2000), walaupun efisiensi yang tinggi akan tercapai jika suhu inlet semakin tinggi, namun ada batasan suhu tertinggi yang masih dapat digunakan untuk dapat menghasilkan produk terbaik. Sedangkan menurut Master (1979), peningkatan dalam suhu outlet akan menurunkan kandungan air pada aliran udara pengering yang konstan. 29
Produk tepung hasil pengeringan yang higroskopis (mudah menyerap air) harus disimpan dalam wadah yang permeabilitas airnya rendah dan dalam pengemasan yang rapat. Penyerapan uap air oleh produk dapat menyebabkan meningkatkan kadar air produk dan dapat menyebabkan produk menjadi menggumpal. Selama penyimpanan tepung diletakkan di dalam botol kaca yang diluarnya dilindungi oleh aluminium foil. Hal tersebut juga masih memungkinkan adanya migrasi udara luar ke dalam. Penyerapan uap air dari udara juga terjadi saat pengambilan bahan untuk analisa/pengujian. Pada Tabel 4 mengenai syarat mutu tepung minuman rasa jeruk, maksimal air yang terkandung adalah sebesar 0.5 %b/b. Persyaratan perdagangan internasional pun menginginkan kadar air tepung jambu hanya 1-2%. Pada perhitungan yang berkaitan dengan data kadar air tepung jambu biji, hasil menunjukkan bahwa semua sampel tepung belum sesuai dengan standar SNI. Nilai kadar air tepung jambu biji masih cukup tinggi dibandingkan dengan standar kadar air yang diajurkan oleh SNI.
4.2.3 Warna Berdasarkan hasil analisa ragam (Lampiran 11), terlihat bahwa perlakuan suhu pengeringan spray dryer memberikan hasil yang tidak berbeda nyata pada kecerahan tepung jambu biji (p < 0.05), namun memberikan hasil yang berbeda nyata pada kemerahan dan kekuningan tepung jambu biji (p>0.05). Warna akhir tepung jambu dipengaruhi oleh warna awal buah jambu. Semakin tua kematangan buah jambu, akan semakin merah pula warna jambu tersebut. Warna sampel pengeringan yang merah akan menghasilkan tepung yang merah dan cerah pula. Husain et al. (2006) menyatakan bahwa dengan menggunakan pengering semprot, produk tidak langsung kontak dengan alat pengering sehingga warna tetap terjaga. Selain itu, penambahan dekstrin dapat tetap mempertahankan keutuhan warna produk. Pada Gambar 15, dapat dilihat bahwa tepung hasil pengeringan pada suhu 150o C memiliki nilai L atau kecerahan paling rendah yaitu 81.25, lalu disusul oleh tepung pada suhu 160o C sebesar 82.55, tepung pada suhu 170o C sebesar 83.19, dan tepung dengan kecerahan paling tinggi adalah pada suhu pengeringan 180o C sebesar 84.13. Semakin tinggi suhu, maka filtrat yang disemprotkan akan semakin kering dan jika suhu semakin tinggi maka tepung akan semakin kering dan kemungkinan untuk menjadi gosong semakin tinggi.
Gambar 15. Nilai uji kecerahan tepung hasil pengeringan spray dryer pada berbagai suhu pengeringan
30
Gambar 16 menunjukkan kurva regresi uji kemerahan pada tepung jambu biji. Suhu 180o C memiliki nilai a atau kemerahan paling rendah yaitu 9.75, lalu disusul oleh tepung pada suhu 170o C sebesar 10.52, tepung pada suhu 160o C sebesar 11.60, dan tepung dengan kemerahan paling tinggi adalah pada suhu pengeringan 150o C sebesar 13.22. Pada SNI disyaratkan bahwa warna tepung normal, dan berdasar pada perdagangan internasional bahwa warna tepung jambu biji adalah merah muda cerah. Warna tepung normal berarti bahwa warna tepung hasil pengeringan seperti warna buah aslinya, oleh karena itu semakin merah tepung atau nilai a semakin tinggi, semakin baik.
Gambar 16. Kurva regresi uji kemerahan tepung hasil pengeringan spray dryer terhadap suhu pengeringan
Gambar 17 menunjukkan kurva regresi uji kekuningan pada tepung jambu biji. Suhu 160 C memiliki nilai b atau kekuningan paling rendah yaitu 12.11, lalu disusul oleh tepung pada suhu 180o C sebesar 12.56, tepung pada suhu 150o C sebesar 13.12, dan tepung dengan kekuningan paling tinggi adalah pada suhu pengeringan 170o C sebesar 15.49.
Gambar 17. Kurva regresi uji kekuningan tepung hasil pengeringan spray dryer terhadap suhu pengeringan
31
4.2.4 Sebaran Tepung Pengujian sebaran tepung dilakukan untuk mengetahui mayoritas ukuran partikel tepung yang dihasilkan dari pengeringan dengan spray dryer. Pengujian dengan menggunakan mesh dari nomor 3/8 in hingga mesh nomor 100. Pada Gambar 18 dapat dilihat sebaran frekuensi ukuran rata-rata tepung hasil pengeringan dengan spray dryer.
Gambar 18. Sebaran frekuensi ukuran rata-rata tepung jambu biji hasil pengeringan spray dryer pada berbagai suhu pengeringan Ukuran tepung hasil pengeringan suhu 150o C terbanyak pada mesh nomor 14. Pada Tabel 4 mengenai syarat mutu tepung minuman rasa jeruk untuk bagian kehalusan tepung, maksimal bagian yang lolos ayakan 100 mesh adalah 15%. Gambar 18 menunjukkan bahwa tidak ada tepung hasil pengeringan pada suhu 150o C yang lolos mesh 100. Sedangkan menurut SNI, bagian yang lolos ayakan 20 mesh adalah 100%. Gambar 18 juga menunjukkan bahwa belum 100% yang lolos mesh 16 dan 25. Hal ini menunjukkan bahwa tepung hasil suhu pengeringan 150o C belum sesuai dengan standar SNI. Ukuran tepung hasil pengeringan suhu 160o C terdistribusi dari mesh nomor 3/8 inchi hingga mesh nomor 50. Gambar 18 menunjukkan bahwa ukuran tepung hasil pengeringan suhu 160o C terbanyak pada mesh nomor 30. Pada Gambar 18 menunjukkan bahwa tidak ada tepung yang lolos mesh 100. Sedangkan belum 100% yang lolos mesh 16 dan 25. Hal ini menunjukkan bahwa tepung hasil suhu pengeringan 160o C belum sesuai dengan standar SNI. Ukuran tepung hasil pengeringan suhu 170o C berada pada mesh nomor 4 hingga nomor 25. Gambar 18 menunjukkan bahwa ukuran tepung hasil pengeringan suhu 170o C terbanyak pada mesh nomor 14, dan menunjukkan bahwa tidak ada tepung yang lolos mesh 100. Sedangkan Gambar 18 menunjukkan bahwa belum 100% yang lolos mesh 16 dan 25. Hal ini menunjukkan bahwa tepung hasil suhu pengeringan 170o C belum sesuai dengan standar SNI. Ukuran tepung hasil pengeringan suhu 180o C berada pada mesh nomor 3/8 inchi hingga nomor 50. Gambar 18 menunjukkan bahwa ukuran tepung hasil pengeringan suhu 150o C terbanyak pada mesh nomor 16, dan menunjukkan bahwa tidak ada tepung yang lolos mesh 100. Sedangkan Gambar 18 menunjukkan bahwa belum 100% yang lolos mesh 16 dan 25. Hal ini menunjukkan bahwa tepung hasil suhu pengeringan 180o C belum sesuai dengan standar SNI. 32
Ukuran partikel yang masih cukup besar dapat disebabkan tepung jambu biji yang sangat higroskopis dan menggumpal karena kontak dengan udara luar, sehingga waktu dilakukan uji sebaran tepung dengan ayakan getar tidak 100% tepung lolos mesh 20.
4.2.5 Kelarutan Dalam Air Berdasarkan hasil analisa ragam (Lampiran 12), terlihat bahwa perlakuan suhu pengeringan spray dryer memberikan hasil yang berbeda nyata pada kelarutan dalam air pada tepung jambu biji (p < 0.05). Berdasarkan hasil uji Duncan, kelarutan tepung dalam air yang paling baik adalah tepung hasil suhu pengeringan 180o C. Tepung jambu biji yang dikeringkan pada suhu pengeringan 180o C mempunyai kelarutan dalam air yang paling tinggi yaitu sebesar 96.44%, disusul oleh tepung suhu 160o C sebesar 95.55%, lalu tepung suhu 170o C sebesar 94.14%, dan tepung hasil pengeringan suhu 150o C yang memiliki kemampuan larut dalam air yang paling rendah yaitu 88.10%. Menurut Nicol (1979), sukrosa mempunyai kelarutan yang tinggi. Namun apabila dihubungkan dengan data total padatan terlarut atau kandungan gula pada jambu biji, hal tersebut tidak berlaku karena justru buah jambu yang memiliki total padatan terlarut paling rendah, kelarutan dalam airnya tinggi. Hudin et al. (1989) menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi bahan pengisi dan suhu pengeringan, maka daya larut produk akan semakin tinggi pula. Menurut Wismono, Riyanto (1996), proses pelarutan zat padat dalam zat cair dipengaruhi oleh empat faktor, meliputi suhu pelarut, adanya pengadukan, besar/kecilnya ukuran zat, banyak/sedikitnya zat terlarut. Pada Gambar 18 menunjukkan sebaran tepung suhu pengeringan 150o C mayoritas berada pada ukuran yang cukup besar. Hal ini dapat membuktikan bahwa dengan ukuran partikel yang masih cukup besar, daya larut dalam air juga semakin rendah. Sebaliknya ukuran partikel yang kecil mengakibatkan daya larut dalam air yang tinggi. Pada gambar juga dapat dilihat bahwa tepung pada suhu pengeringan 160o C dan 180o C mayoritas ukurannya cukup kecil. Kelarutan tepung pada suhu 160o C lebih tinggi daripada tepung suhu 170o C karena ukuran partikel tepung pada suhu 170o C lebih besar daripada tepung suhu 160o C. Pada Tabel 4 mengenai syarat mutu tepung minuman rasa jeruk, maksimal bagian yang tidak larut dalam air adalah sebesar 0.1 %b/b. Pada perhitungan yang berkaitan dengan data kelarutan dalam air tepung jambu biji, hasil menunjukkan bahwa hampir semua sampel tepung memiliki bagian yang tidak larut dalam air di bawah 0.1 %b/b, hanya pada tepung ulangan 1 dan 2 pada suhu pengeringan 150o C yang bernilai sedikit diatas 0.1 %b/b. Hal ini menunjukkan bahwa sampel tepung jambu biji telah sesuai dengan standar SNI. Namun, apabila dibandingkan dengan tepung yang diperdagangkan secara internasional, maka tepung jambu biji belum memenuhi persyaratan, karena bagian yang larut dalam air harus 100%. Gambar 19 adalah kurva regresi untuk kelarutan dalam air tepung jambu biji. Dengan analisa regresi, diperoleh persamaan kuadratik y= 0.236x + 54.60, dengan R2 = 0.657, dimana x adalah suhu pengeringan spray dryer (oC) dan y adalah kelarutan dalam air tepung jambu biji (%).
33
Gambar 19. Kurva regresi kelarutan dalam air tepung hasil pengeringan spray dryer terhadap suhu pengeringan
4.2.6 Densitas Kamba Heldman, Singh (1981) menyatakan bahwa densitas kamba merupakan sifat fisik bahan pangan berupa biji-bijian dan tepung. Densitas kamba ini sangat penting terutama dalam hal pengemasan dan penyimpanan. Faktor-faktor yang mempengaruhi densitas kamba antara lain: karakteristik ukuran partikel atau granula, ruang kosong (void), dan porositas. Karakteristik ukuran granula di antaranya pipih, bulat, beraturan atau tidak, kecil, besar, homogen atau heterogennya granula bahan tersebut. Husain et al. (2006) menyatakan bahwa densitas kamba dari tepung sangat dipengaruhi oleh kadar air bahan. Makin rendah kadar air tepung yang terbentuk dari droplet saat dikeringkan menggunakan pengering semprot, maka semakin kecil volume butiran tepung sehingga makin besar densitas kamba tepung. Densitas kamba yang tinggi mempunyai arti bahwa tepung tersebut lebih ringkas karena untuk volume yang sama tepung mempunyai berat yang lebih besar. Menurut Syarief, Irawati (1988), densitas kamba penting diketahui bagi bahan pertanian yang akan disimpan dan digunakan dalam merencanakan suatu gudang penyimpanan, volume alat pengolahan atau sarana transportasi, juga mengkonversi harga satuan. Besar kecilnya densitas kamba dipengaruhi pula oleh besarnya partikel dan metode pengukuran. Syarief, Irawati (1988) manyatakan bahwa semakin besar ukuran partikel, densitas kambanya semakin kecil sehingga kekambaannya semakin besar, demikian pula sebaliknya. Menurut Lindawati (1992), peranan densitas kamba terutama berkaitan dengan pengemasan yaitu semakin besar densitas kamba maka kemasan yang diperlukan semakin kecil untuk sejumlah berat yang sama.
4.2.6.1 Densitas kamba tanpa pemadatan Berdasarkan hasil analisa ragam (Lampiran 13), terlihat bahwa perlakuan suhu pengeringan spray dryer memberikan hasil yang berbeda nyata pada nilai densitas kamba tanpa pemadatan pada tepung jambu biji (p < 0.05). Berdasarkan hasil uji Duncan, hasil terbaik untuk nilai densitas kamba tanpa pemadatan adalah tepung pada suhu pengeringan 150o C. Tepung jambu biji yang dikeringkan pada suhu pengeringan 150o C mempunyai nilai densitas kamba tanpa pemadatan tertinggi yaitu 342.22 kg/m3. Nilai densitas kamba tanpa pemadatan disusul oleh tepung suhu 170o C sebesar 440 kg/m3, lalu tepung suhu 160o C sebesar 403.33 kg/m3, dan 34
tepung hasil pengeringan suhu 180o C yang memiliki nilai densitas kamba tanpa pemadatan yang paling rendah yaitu 571.11 kg/m3. Menurut Hudin et al. (1989), semakin tinggi konsentrasi bahan pengisi, maka akan memberikan densitas kamba yang semakin tinggi pula. Pernyataan bahwa makin rendah kadar air tepung/tepung maka semakin besar densitas kamba tepung tidak berlaku pada kondisi ini, karena pada kenyataannya nilai densitas kamba tepung relatif cenderung meningkat seiring dengan tingginya kadar air. Gambar 20 adalah kurva regresi untuk demsitas kamba tanpa pemadatan tepung jambu biji. Dengan analisa regresi, diperoleh persamaan kuadratik y= -6.5x + 1511, dengan R2 = 0.752, dimana x adalah suhu pengeringan spray dryer (oC) dan y adalah densitas kamba tanpa pemadatan tepung jambu biji (kg/m3).
Gambar 20. Kurva regresi densitas kamba tanpa pemadatan tepung hasil pengeringan spray dryer terhadap suhu pengeringan
4.2.6.2 Densitas kamba dengan pemadatan Berdasarkan hasil analisa ragam (Lampiran 14), terlihat bahwa perlakuan suhu pengeringan spray dryer memberikan hasil yang berbeda nyata pada nilai densitas kamba dengan pemadatan pada tepung jambu biji (p < 0.05). Berdasarkan hasil uji Duncan, hasil terbaik untuk nilai densitas kamba tanpa pemadatan adalah tepung pada suhu pengeringan 150o C. Tepung jambu biji yang dikeringkan pada suhu pengeringan 150o C mempunyai nilai densitas kamba dengan pemadatan tertinggi yaitu 590.64 kg/m3. Nilai densitas kamba tanpa pemadatan disusul oleh tepung suhu 170o C sebesar 485.71 kg/m3, lalu tepung suhu 160o C sebesar 434.19 kg/m3, dan tepung hasil pengeringan suhu 180o C yang memiliki nilai densitas kamba dengan pemadatan yang paling rendah yaitu 379.58 kg/m3. Perbedaan dalam pengujian densitas kamba tanpa pemadatan dan dengan pemadatan adalah pada perlakuan pemadatan tepung dengan cara beaker glass diketuk-ketuk. Hal ini menyebabkan rongga-rongga kosong akan terisi oleh tepung dan volume menjadi lebih kecil meskipun berat tepung tetap sama. Gambar 21 adalah kurva regresi untuk densitas kamba dengan pemadatan tepung jambu biji. Dengan analisa regresi, diperoleh persamaan kuadratik y= -5.816x + 1432, dengan R2 = 0.698, dimana x adalah suhu pengeringan spray dryer (oC) dan y adalah densitas kamba dengan pemadatan tepung jambu biji (kg/m3). 35
Gambar 21. Kurva regresi densitas kamba dengan pemadatan tepung hasil pengeringan spray dryer terhadap suhu pengeringan
4.2.7 Laju Pembasahan Early (2002) menyatakan bahwa ada beberapa parameter yang menjadi tolok ukur kualitas produk bubuk, di antaranya adalah wetabilitas atau laju pembasahan. Wetabilitas atau laju pembasahan dapat didefinisikan sebagai ukuran kemampuan bubuk untuk terbasahi oleh air pada suhu tertentu. Pembasahan terdiri dari beberapa tahapan, yaitu submergence, dispersi, dan disolusi partikel. Laju pembasahan juga bisa didefinisikan sebagai kemampuan bubuk bulk untuk menyerap cairan di bawah pengaruh gaya kapiler. Pada umumnya, pembasahan merupakan satu proses dimana fase gas pada permukaan fase padat digantikan oleh fase cair. Laju pembasahan tergantung kepada beberapa variabel, seperti ukuran partikel, densitas, porositas, tegangan muka, luas permukaan, dan aktivitas permukaan. Berdasarkan hasil analisa ragam (Lampiran 15), terlihat bahwa perlakuan suhu pengeringan spray dryer memberikan hasil yang berbeda nyata pada laju pembasahan tepung jambu biji (p < 0.05). Berdasarkan hasil uji Duncan, laju pembasahan terbaik ada pada tepung hasil pengeringan suhu 150o C. Tepung jambu biji yang dikeringkan pada suhu pengeringan 180o C mempunyai laju pembasahan terendah yaitu 2.30x10-4 kg/menit, disusul oleh tepung suhu 170o C sebesar 3.11x10-4 kg/menit, lalu tepung suhu 160o C sebesar 7.06x10-4 kg/menit, dan tepung hasil pengeringan suhu 150o C yang memiliki laju pembasahan paling baik yaitu sebesar 9.07x10-4 kg/menit. Tingginya waktu pembasahan dapat disebabkan karena tingginya kandungan gula pada bubuk, dimana gula dapat mengalami kristalisasi dan membentuk jembatan kristal antar partikel yang akan menimbulkan caking (Bhandari et al., 1997). Pernyataan ini tidak berlaku pada hasil tepung pada penelitian ini karena semakin tinggi suhu pengeringan, waktu tepung untuk terbasahi semakin lama. Gambar 22 adalah kurva regresi untuk laju pembasahan tepung jambu biji. Dengan analisa regresi, diperoleh persamaan kuadratik y= -2E-05x + 0.004, dengan R2 = 0.947, dimana x adalah suhu pengeringan spray dryer (oC) dan y adalah laju pembasahan tepung jambu biji (kg/menit).
36
Gambar 22. Kurva regresi laju pembasahan tepung hasil pengeringan spray dryer terhadap suhu pengeringan
4.2.8 Vitamin C Menurut Haerani (2003) bahwa vitamin C tidak tahan terhadap panas dan mudah menguap. Vitamin C mulai hilang sejak awal persiapan bahan ketika bahan kontak langsung dengan udara dan kerusakan utama terjadi selama berlangsungnya proses pengeringan. Dalam penelitian ini, kerusakan vitamin C diperkecil dengan penambahan dan perendaman vitamin C. Vitamin C dapat berperan sebagai stabilizer dan antioksidan. Larutan vitamin C dapat mempertahankan kandungan vitamin C dalam buah jambu biji. Semakin tinggi konsentrasi maltodekstrin yang diberikan maka kadar vitamin C tepung akan semakin turun. Namun pada konsentrasi yang sama, tepung pada suhu pengeringan yang lebih tinggi akan memiliki kandungan vitamin C yang lebih besar, hal ini karena kandungan air dalam tepung semakin kecil. Pada Gambar 23 dapat dilihat bahwa sampel buah jambu untuk pengeringan suhu 160o C mempunyai kandungan vitamin C tertinggi yaitu 150.84 mg/100 g bahan, dan hasil akhir tepung pun memiliki kandungan vitamin C yang tertinggi pula yaitu 568.77 mg/100 g bahan kering. Sampel untuk pengeringan suhu 150o C mempunyai kandungan vitamin C yang cukup tinggi sebesar 139.91 mg/100 g bahan, namun setelah proses pengeringan kandungan vitamin C tepung ini lebih rendah daripada tepung pada suhu 170o C yang notabene kandungan vitamin C untuk sampel awalnya rendah. Hal ini dapat terjadi karena kadar air tepung pada suhu 150o C lebih tinggi dari tepung suhu 170o C, sehingga kandungan vitamin C-nya lebih rendah. Kandungan vitamin C tepung pada suhu 150o C dan 170o C berturut-turut sebesar 533.70 mg/100 g bahan kering dan 538.41 mg/100 g bahan kering. Tepung pada suhu 180o C mengandung vitamin C yang lebih rendah daripada tepung suhu 160o C (dapat dilihat pada Gambar 24), karena sampel awal buahnya pun mengandung vitamin C yang lebih rendah pula (dapat dilihat pada Gambar 23). Kandungan vitamin C tepung pada suhu 160o C dan 180o C berturut-turut sebesar 568.77 mg/100 g bahan kering dan 558.77 mg/100 g bahan kering. Meskipun apabila semakin rendah kandungan air yang dikandung suatu produk maka kandungan vitamin C-nya akan semakin tinggi, apabila pada suhu outlet pengering kabut tinggi, maka akan mempengaruhi dan menurunkan kandungan vitamin C-nya. Tepung pada suhu 150o C mempunyai kandungan vitamin C yang cukup kecil dan paling rendah dibanding yang lain karena pada saat pengeringan, sampel tidak segera diproses pengeringan, hal ini yang mengakibatkan waktu kontak sampel jambu dengan udara luar semakin lama dan kandungan vitamin C turun drastis. 37
Gambar 23. Kandungan vitamin C buah jambu biji pada berbagai suhu pengeringan
Gambar 24. Kandungan vitamin C tepung jambu biji pada berbagai suhu pengeringan
Pada Tabel 4 mengenai syarat mutu tepung minuman rasa jeruk, kandungan vitamin C minimal adalah sebesar 300 mg/100 gram. Pada keseluruhan tepung mengandung vitamin C diatas batas minimal tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa sampel tepung bij telah sesuai dengan standar SNI.
4.2.9 Uji Organoleptik Uji organoleptik merupakan sebuah uji kesukaan yang bersifat subyektif. Uji ini menggunakan panelis yang mempunyai tingkat kesukaan dan kepekaan produk yang berbeda atau bervariasi. Data uji organoleptik pun akan bervariasi pula. Winarno (1988) menyatakan bahwa penentuan mutu bahan makanan pada umumnya sangat bergantung pada beberapa faktor, antara lain citarasa, warna, tekstur, kerenyahan, sifat mikrobiologis, dan lain-lain. Daya terima terhadap makanan dapat diukur dari citarasanya. Menurut Nasution (1980), faktor utama yang dinilai dari citarasa adalah rupa (meliputi warna, bentuk, dan ukuran), aroma, dan rasa. 38
Uji organoleptik pada penelitian ini adalah uji organoleptik kesukaan (hedonik), dengan skala 1-5, yaitu antara sangat tidak suka (1) sampai sangat suka (5). Contoh formulir uji organoleptik dapat dilihat pada Lampiran 8. Pengujian yang dilakukan meliputi uji kesukaan terhadap aroma, warna, rasa, dan keseluruhan. Cara penyeduhannya adalah dengan mencampurkan tepung jambu biji sebanyak 14 g dengan air 100 ml, lalu ada penambahan larutan gula 50% sebanyak 20 ml. Penyajian minuman jambu kepada panelis dalam keadaan dingin.
Suhu Pengeringan (oC)
Gambar Minuman
150
160
170
39
Suhu Pengeringan (oC)
Gambar Minuman
180
Gambar 25. Minuman dari tepung jambu biji hasil pengeringan spray dryer pada berbagai suhu pengeringan Warna minuman dari tepung jambu biji pada suhu 150o C terlihat paling merah, hal ini sesuai dengan nilai kemerahan tepung tersebut. Sedangkan tepung jambu biji pada suhu 180o C terlihat paling tidak merah, hal ini sesuai dengan nilai kemerahan tepung tersebut yang mempunyai nilai a paling kecil. Warna minuman seduhan dari tepung jambu biji berbeda dengan warna asli dari buah jambu, hal ini karena pada proses pengolahan telah mengalami penambahan maltodekstrin dan perlakuan suhu pengeringan.
4.2.9.1 Nilai kesukaan aroma Berdasarkan hasil analisa ragam (Lampiran 16), terlihat bahwa perlakuan suhu pengeringan spray dryer memberikan hasil yang berbeda nyata pada uji organoleptik aroma pada minuman tepung jambu biji (p < 0.05) pada uji non-parametrik. Uji organoleptik aroma terbaik ada pada minuman tepung hasil pengeringan suhu 160o C. Minuman tepung jambu biji yang dikeringkan pada suhu pengeringan 160o C mempunyai mempunyai tingkat kesukaan tertinggi yaitu sebesar 3.2, disusul oleh minuman tepung pada suhu 180o C sebesar 3.1, lalu tepung suhu 150o C sebesar 3.07, dan tepung hasil pengeringan suhu 170o C yang memiliki tingkat kesukaan terendah yaitu sebesar 2.73. Gambar 26 memperlihatkan histogram uji organoleptik aroma minuman dari tepung jambu biji.
40
Gambar 26. Uji organoleptik aroma untuk minuman dari tepung jambu biji
4.2.9.2 Nilai kesukaan warna Berdasarkan hasil analisa ragam (Lampiran 17), terlihat bahwa perlakuan suhu pengeringan spray dryer memberikan hasil yang berbeda nyata pada uji organoleptik warna pada minuman tepung jambu biji (p > 0.05) pada uji non parametrik. Minuman tepung jambu biji yang dikeringkan pada suhu pengeringan 150o C mempunyai mempunyai tingkat kesukaan tertinggi yaitu 3.03, disusul oleh minuman tepung pada suhu 170o C sebesar 2.97, lalu tepung suhu 160o C sebesar 2.83, dan tepung hasil pengeringan suhu 180o C yang memiliki tingkat kesukaan terendah yaitu sebesar 2.67. Gambar 27 memperlihatkan histogram uji organoleptik warna minuman dari tepung jambu biji.
Gambar 27. Uji organoleptik warna untuk minuman dari tepung jambu biji
4.2.9.3 Nilai kesukaan rasa Berdasarkan hasil analisa ragam (Lampiran 18), terlihat bahwa perlakuan suhu pengeringan spray dryer memberikan hasil yang berbeda nyata pada uji organoleptik rasa pada minuman tepung jambu biji (p > 0.05) pada uji non-parametrik. Minuman tepung jambu biji yang dikeringkan pada suhu pengeringan 160o C mempunyai mempunyai tingkat kesukaan tertinggi yaitu 3.43, disusul oleh 41
minuman tepung pada suhu 180o C yaitu 2.77, lalu tepung suhu 150o C sebesar 2.73, dan tepung hasil pengeringan suhu 170o C yang memiliki tingkat kesukaan terendah yaitu sebesar 2.6. Gambar 28 memperlihatkan histogram uji organoleptik rasa minuman dari tepung jambu biji.
Gambar 28. Uji organoleptik rasa untuk minuman dari tepung jambu biji
4.2.9.4 Nilai kesukaan keseluruhan Berdasarkan hasil analisa ragam (Lampiran 19), terlihat bahwa perlakuan suhu pengeringan spray dryer memberikan hasil yang berbeda nyata pada uji organoleptik keseluruhan pada minuman tepung jambu biji (p > 0.05) pada uji non-parametrik. Minuman tepung jambu biji yang dikeringkan pada suhu pengeringan 160o C mempunyai mempunyai tingkat kesukaan tertinggi yaitu 3.33, disusul oleh minuman tepung pada suhu 150o C yaitu 3.07, lalu tepung suhu 180o C sebesar 2.97, dan tepung hasil pengeringan suhu 170o C yang memiliki tingkat kesukaan terendah yaitu sebesar 2.73. Gambar 29 memperlihatkan histogram uji organoleptik keseluruhan minuman dari tepung jambu biji.
Gambar 29. Uji organoleptik keseluruhan untuk minuman dari tepung jambu biji
42
4.2.10 Pemilihan Perlakuan Terbaik Haerani (2003) menyatakan bahwa pemilihan perlakuan terbaik pada keseluruhan sampel diperoleh dari hasil pembobotan secara subyektif. Pembobotan menjadi suatu hal yang penting karena tepung jambu belum memiliki standar mutu SNI. Untuk menentukan perlakuan terbaik, setiap parameter diberikan nilai dari skala 1 sampai 5 berdasarkan penilaian kepentingannya. Nilai 5 diberikan jika parameter pengujian tersebut dianggap sangat penting, 4 jika penting, 3 jika biasa, 2 jika tidak penting, dan 1 jika sangat tidak penting. Nilai kepentingan kemudian dibobotkan kedalam persen. Nilai kepentingan setiap parameter ditentukan atas pertimbangan-pertimbangan yang dapat dilihat pada Tabel 5. Nilai hasil analisa dari tiap parameter pengujian dirata-rata dan diurutkan sesuai dengan rangking terbaik. Rangking/peringkat terbaik diberi nilai 4, terbaik kedua 3, terbaik ketiga 2, dan peringkat paling rendah pada nomor 1. Pemberian nilai peringkat penting karena pembobotan tidak dapat dilakukan hanya dengan mengalikan nilai hasil analisa dengan bobot. Pada parameter uji, semakin besar nilai hasil analisa, maka nilai peringkatnya semakin tinggi. Nilai total akhir diperoleh dari akumulasi perkalian antara nilai peringkat dikalikan dengan bobot setiap parameter pengujian. Nilai total kemudian dirangking hingga diperoleh perlakuan terbaik. Tabel perhitungan penentuan perlakuan terbaik dengan cara pembobotan dapat dilihat pada Lampiran 20.
Tabel 5. Penilaian kepentingan setiap karakteristik tepung jambu biji Karakteristik
Rendemen
Kadar Air %bb
Dasar Pertimbangan Kepentingan Besarnya nilai rendemen akan mengefisiensikan sumber bahan baku dan biaya proses Kadar air mempengaruhi umur simpan, penampakan dan tekstur. Kadar air yang rendah akan mencegah mikroba tidak tumbuh dan berkembang.
Sebaran tepung
Sebaran tepung penting untuk menjadi syarat wajib dalam standar mutu SNI tepung minuman rasa buah
Kelarutan dalam air
Kelarutan dalam air penting untuk menjadi syarat wajib dalam standar mutu SNI tepung minuman rasa buah. Selain itu kelarutan yang rendah menyebabkan banyaknya ampas
Densitas kamba
Densitas kamba penting untuk mengetahui kemasan
Kisaran Besaran Parameter
Nilai (N)
Bobot (W)
6.35% - 9.54% (1-4)
2
0.06
8.19%bb – 10.82%bb (4-1)
3
0.1
4
0.13
4
0.13
4
0.13
150o C, 170 o C, 160 o C, 180 o C (1-4) 88.10% 96.44% (1-4) 379.58 kg/m3 – 590.64 kg/m3 (4-1)
43
Karakteristik
Dasar Pertimbangan Kepentingan
Laju pembasahan
Kemampuan terbasahi penting, berkaitan dengan cepat tidaknya tepung terbasahi oleh air
Vitamin C
Potensi terbesar dari tepung jambu yang harus dipertahankan, karena vitamin C memberikan nutrisi yang diperlukan oleh tubuh
Kesukaan terhadap keseluruhan (warna, aroma, rasa) Total
Sangat penting, karena merupakan penilaian kesukaan konsumen terhadap keseluruhan produk
Kisaran Besaran Parameter 2.30x10-4 kg/menit 9.07x10-4 kg/menit (4-1) 533.70 mg/100 g 568.77 mg/100 g (1-4) 2.73 -3.33 (1-4)
Nilai (N)
Bobot (W)
4
0.13
5
0.16
5
0.16
31
1
Berdasarkan hasil pembobotan, diperoleh tepung jambu biji dengan perlakuan suhu pengeringan 160o C sebagai perlakuan terbaik dengan nilai 3.39. Perlakuan terbaik kedua adalah tepung jambu biji suhu pengeringan 180o C dengan nilai 3.0, perlakuan terbaik ketiga adalah tepung jambu biji pada suhu pengeringan 150o C dengan nilai 1.83, dan perlakuan terbaik keempat adalah tepung pada suhu pengeringan 170o C dengan nilai 1.78.
44
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
4.1 Simpulan Produksi tepung jambu biji instan dengan penambahan maltodekstrin 20% menggunakan alat pengering kabut atau spray dryer pada suhu pengeringan 160o C memiliki karakteristik yang lebih baik dibandingkan suhu perlakuan yang lain. Perlakuan suhu 160o C memberikan rendemen bahan baku jambu awal sebesar 7.47%, kadar air sebesar 10.94 %bk atau 9.86 %bb, kecerahan terbaik ketiga, sebaran tepung terbaik, kelarutan dalam air sebesar 95.55%, densitas kamba tanpa pemadatan sebesar 403.33 kg/m3, densitas kamba dengan pemadatan sebesar 434.19 kg/m3, laju pembasahan 7.06x10-4 kg/menit, kandungan vitamin C terbesar sekitar 568.77 g/100 g bahan kering, dan uji organoleptik keseluruhan terbaik. Berdasarkan hasil analisa keragaman, suhu pengeringan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata pada rendemen, kadar air, dan uji kecerahan, tetapi memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada kemerahan, kekuningan, densitas kamba tanpa dan dengan pemadatan, serta laju pembasahan. Berdasarkan uji kesukaan atau organoleptik, yang paling disukai adalah minuman instan dari sebuk jambu biji pada suhu pengeringan 160o C.
4.2 Saran Tepung jambu biji instan dapat menjadi salah satu minuman instan yang diproduksi oleh industri makanan dan minuman, setelah pengkajian dari aspek ekonomi. Untuk mencegah sifat higroskopis atau proses penyerapan uap air kembali pada tepung, perlu diteliti mengenai kemasan untuk penyimpanan tepung hasil pengeringan. Untuk mengetahui sampai berapa lama produk dapat disimpan dan digunakan, maka perlu adanya penelitian mengenai masa kadaluarsa dari produk tepung jambu instan.
DAFTAR PUSTAKA
Achanta S, Okos MR. 2000. Quality changes during drying of food polymers. In: Mujumdar Arun S (ed). Drying Technology In Agriculture And Food Science. USA: Science Publishers, Inc., pp 133-145. Anonim. 1980. Buah-Buahan. Jakarta: PN Balai Pustaka. Anonim. 2011. Guava juice powder. http://www.alibaba.com/productgs/343710388/Guava_juice_powder.html. [3 Juni 2011]. Anonim. 2011. Instant guava fruit juice powder. http://www.alibaba.com/productfree/115089215/Instant_Guava_Fruit_Juice_Powder.html. [3 Juni 2011]. Anonim. 2011.Product range. http://www.compspraydryers.com/products.html. [2 Juni 2011]. Anonim. 2011. Produksi buah-buahan di Indonesia. http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=55¬ab=3. [14 Juli 2011]. Anonim. 2011. Produksi buah-buahan menurut provinsi (ton) 2010. http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=55¬ab=2. [14 Juli 2011]. Anonim. 2011. Tepung. http://id.wikipedia.org/wiki/Tepung. [31 Juli 2011]. AOAC. 1995. Official methods of Analysis of The Association of Official Analytical Chemists. Washington, DC. Artika C. 2010. Khasiat buah jambu biji. http://ciskaartika.blogspot.com/2010/12/khasiat-buah-jambubiji.html?zx=ce97339358eaad48. [5 Januari 2011]. Asenjo CF, Segundo OB, Noceda HG. 1948. Thiamin content of tropical food. Food Research 13: 9495. Badan Standardisasi Nasional. 2011. Serbuk minuman rasa jeruk. http://sisni.bsn.go.id/index.php?/sni_main/sni/detail_sni/4142. [3 Juni 2011]. Berry RE. 1979. Subtropical fruits of the Southern US. In: Inglettand GE (ed). Tropical Fruits Chemistry and Nutrition Vol I. New York: Academic Press. Bhandari BR, Datta N, Howes T. 1997. Problems associated with spray drying of sugar-rich foods. Drying Technology 15: 671-684. [BPPIS] Badan Penelitian dan Pengembangan Industri. 1989. Pembuatan Prototipe Alat Uji Derajat Putih Tepung Tapioka. Surabaya. Bredbenner CB, Moe G, Beshgetoor D, Berning J. 2009. Wardlaw’s Perspective In Nutrition. Eighth Edition. New York: McGraw-Hill. Chan HT, Kwok SCM. 1975. Identification and determination of sugar in some tropical fruit product. J Food Sci 40 (6). Coppack GE, Brown GK. 1983. Citrus, tropical and subtropical fruit harvesting. In: O’Brien M, Cargill BF, Friedley RB (eds). Principles and Practices for Harvesting and Handling Fruits. Westport, Connecticut: AVI Publ Co. Cordoba DM. 1974. Chemical and Process Technology Encyclopedia. New York: Mc Graw-Hill Book Co. Early R. 2000. The Technology of Dairy Products. New York: Marcel Dekker Inc. Gustavo V, Barbosa-Canovas. 1999. Food Powders: Physical Properties, Processing, and Functionality. Texas: Spinger publisher.
Haerani M. 2003. Kajian Proses Pembuatan Tepung Mangga (Mangifera indica L.) Menggunakan Pengering Drum [Skripsi]. Bogor: Program Sarjana Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hartomo AJ, Widiatmoko MC. 1992. Emulsi dan Pangan Instan Ber-Lesitin. Yogyakarta: Andi Offset. Heldman DR, Singh RP. 1981. Food Process Engineering. Second Edition. New York: Chapman & Hall. Hodge JE, Osman EM. 1976. Carbohydrates. In: Fennema OR (ed). Principle of Food Science. New York and Basel: Marcel Dekker, Inc. Hudin, Winarno FG. 1989. Mempelajari pembuatan sari cakar ayam instan dengan alat pengering semprot. Buletin Pusbangtepa IPB 7 (18): 9-16. Husain H, Muchtadi TR, Sugiyono, Haryanto B. 2006. Pengeringan santan menggunakan pengering drum dan pengering semprot. Forum Pascasarjana 29 (3): 249-260. Indriany R. 2000. Modifikasi Proses Pembuatan Tepung Agar-Agar dengan Menggunakan Pengering Semprot (Spray Dryer) dan Pengering Drum (Drum Dryer) [Skripsi]. Bogor: Program Sarjana Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kjaergaard OG. 1974. Effect of the latest development on design and practice of spray drying. In: A. Spicer (ed). Advance In Pre-Concentration and Dehydration of Food. England: App Sci Publ. Lindawati L. 1992. Mempelajari Cara Pembuatan Minuman Bubuk Jambu Biji (Psidium guajava, L.) [Skripsi]. Bogor: Program Sarjana Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Loesecke HWV. 1955. Drying And Dehydration Of Foods. New York. Reinhold Publishing Corporation. Luh BS, Kean CE. 1975. Canning of fruits. In: Woodroof JG, Luh BS (eds). Commercial Fruit Processing. Westport, Connecticut: The AVI Publ. Co, Inc. Master K. 1979. Spray Drying Handbook. London: George Godwin Limitted. Muchtadi D, Wijaya H, Koswara S, Afrina R. 1995. Pengaruh pengeringan dengan alat pengering semprot dan drum terhadap aktivitas antitrombotik bawang putih (Allium sativum) dan bawang merah (Allium cepa var. aggregatum). Buletin Teknologi dan Industri Pangan VI (3): 28-32. Mulia MBA. 1998. Mempelajari Pembuatan Bubuk Konsentrat Pala (Myristica fragrans Hout) dengan Menggunakan Alat Pengering Semprot [Skripsi]. Bogor: Program Sarjana Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Nasution A. 1980. Metode Penilaian Cita Rasa. Bogor: Departemen IKK Faperta IPB. Nasution Z. 1982. Satuan Operasi Dalam Pengolahan Pangan. Jakarta: Sastra Hudaya. Nicol WM. 1979. Sucrose and food technology. In: Birch GG and Pastur KJ (eds). Sugar: Science and Technology. Westport, Connecticut: AVI Publ Co. Parimin. 2007. Jambu Biji: Budi Daya dan Ragam Pemanfaatannya. Jakarta: Penebar Swadaya. Potter NN. 1980. Food Science. Westport, Connecticut: The AVI Publ. Co, Inc. Prasetiyo YT. 2003. Instan: Jahe, Kunyit, Kencur, Temulawak. Yogyakarta: Kanisius. Purba SAA. 2003. Pembuatan Bubuk Pewarna Makanan Alami Kayu Secang (Caesalpinia sappan Linn) dengan Metode Spray Drying. [Skripsi]. Bogor: Program Sarjana Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Purnomo, Adiono. 1985. Ilmu Pangan. Jakarta: UI Press. Rismunandar. 1981. Tanaman Jambu Biji yang Serba Guna. Bandung: CV Sinar Baru. Soekarto ST, Syarief AM. 1992. Buku Teknik Pengeringan Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Laboratorium Rekayasa Proses Pangan.
47
Soelistyo E. 1998. Mempelajari Pembuatan Tepung Jambu Biji (Psidium guajava, L.) dengan Menggunakan Pengering Semprot [Skripsi]. Bogor: Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Sutijahartini S. 1985. Pengeringan. Bogor: Agroindustri Press. Tressler DK. 1953. Cherry, berry, and other fruit juices. In: Tressler DK, Joslyn MA (eds). The Chemistry and Technology of Fruit and Vegetable. Westport, Connecticut: The AVI Publ. Co, Inc. Ulrich R. 1970. Organics acid. In: Hulme AC (ed). Food Science and Technology Vol I. New York: Academic Press. Vallous NA, Gavrielidou MA, Karapantsios TD, Kostoglou M. 2002. Performance of a double dryer for producing pregelatinized maize starches. J Food Eng 51: 171-183. Wikipedia. 2011. Jambu biji. http://id.wikipedia.org/wiki/Jambu_biji. [2 Juni 2011]. Wilson CW. 1980. Guava. In: S Nagy dan PE Shaw (eds). Tropical and Subtropical Fruits: Composition, Properties and Uses. Westport, Connecticut: AVI Publ Co Inc. Winarno FG. 1995. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Winarno FG, Fardiaz S, Fardiaz D. 1982. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta: PT Gramedia. Wismono J, Riyanto. 1996. Gembira Belajar IPA Untuk Sekolah Dasar Kelas 5. Jakarta: Grasindo. You Y. 2008. Modulation of Molecular Mobility in Sucrose-Based Amorphous Solids Detected by Phosphorescence of Erythrosin B. United States: ProQuest LLC.
48
Lampiran 1. Data penelitian pendahuluan
Tabel 1. Uji kadar air buah jambu untuk pengeringan suhu 180o C dan maltodekstrin 3% Ulangan Wbahan/A (g) Wakhir/B (g) Kadar Air (%bb) Kadar Air (%bk) 1 2 3 4
5.0465 5.0989 5.1903 5.1241
0.5743 0.668 0.9143 0.7262
88.61983553 86.89913511 82.38444791 85.82775512
778.7219223 663.3083832 467.6801925 605.6045167
5 6
5.147 5.1034
0.6434 0.6588
87.49951428 87.09095897
699.9689151 674.6508804
86.38694115
648.3224684
Rata-rata
Tabel 2. Uji total padatan terlarut buah jambu untuk pengeringan suhu 180o C dan maltodekstrin 3% Ulangan Bagian Atas (oBrix) Bagian Tengah (oBrix) Bagian Bawah (oBrix) 1 2 3
9.1 5.9 8.6
10.3 5.6 9.3
8.4 6.8 7.6
Rata-Rata
7.866666667
8.4
7.6
Rata-Rata Total
7.955555556
Tabel 3. Uji vitamin C buah jambu untuk pengeringan suhu 180o C dan maltodekstrin 3% Berat Sampel (g) Titrasi (ml) Kadar Vitamin C (mg/100 g) 10.853
2.085
169.06
1.75
158.11
Rata-Rata
163.585
Tabel 4. Uji vitamin C tepung jambu untuk pengeringan suhu 180o C dan maltodekstrin 3%, dengan pasteurisasi Berat Sampel (g) Titrasi (ml) Kadar Vitamin C (mg/100 g) 1.5375 Rata-Rata
5.01
1453.76
5.09
1456.65 1455.205
49
Tabel 5. Uji kadar air buah jambu untuk pengeringan suhu 180o C, maltodekstrin 17.5% dan 20% Ulangan Wbahan/A (g) Wakhir/B (g) Kadar Air (%bb) Kadar Air (%bk) 1 2 3 4 5 6 7 8 9
5.3405 5.2401 5.2458 5.2612 5.3004 5.1874 5.1805 5.1954 5.0385
0.6346 0.6784 0.6778 0.6958 0.6764 0.6767 0.6243 0.6018 0.6183
Rata-rata
88.11721749 87.05368218 87.07918716 86.77488026 87.23869897 86.95492925 87.94903967 88.41667629 87.72849062
741.5537346 672.4204009 673.9451166 656.1368209 683.6191603 666.5730752 729.8093865 763.3100698 714.8956817
87.47920021
682.3747181
Tabel 6. Uji total padatan terlarut buah jambu untuk pengeringan suhu 180o C, maltodekstrin 17.5% dan 20% Ulangan
Bagian Atas (oBrix)
Bagian Tengah (oBrix)
Bagian Bawah (oBrix)
1 2 3
6 6.9 8.4
5.7 7 8.6
5.4 7.1 8.5
Rata-Rata
7.1
7.1
7
Rata-Rata Total
7.067
Tabel 7. Uji vitamin C buah jambu untuk pengeringan suhu 180o C, maltodekstrin 17.5% dan 20% Berat Sampel (g) Titrasi (ml) Kadar Vitamin C (mg/100 g) 10.1394
1.02
88.53
0.95
82.45 85.49
Rata-Rata
Tabel 8. Uji vitamin C tepung jambu pada suhu 180o C dan maltodekstrin 20% Berat Sampel (g) Titrasi (ml) Kadar Vitamin C (mg/100 g) 0.91
1.0015
799.6
0.98
861.11
Rata-Rata
830.355
Tabel 9. Uji warna tepung jambu pada suhu 180o C dan maltodekstrin 20% L a b 81.7 84.52 Rata-Rata
10.82 10.23
13.12 12.63
83.92
10.02
12.42
83.38
10.35666667
12.72333333
50
Tabel 10. Uji kadar air tepung jambu pada suhu 180o C dan maltodekstrin 17.5% Wbahan/A Ulangan Wakhir/B (g) Kadar Air (%bb) Kadar Air (%bk) (g) 1 2.008 1.8541 7.664342629 8.300523165 2 2.0023 1.8495 7.631224092 8.261692349 Rata-rata
7.647783361
8.281107757
Tabel 11. Uji warna tepung jambu pada suhu 180o C dan maltodekstrin 17.5% L a b
Rata-Rata
Suhu pengeringan (oC) 3%, pasteurisasi 3%, tanpa pasteurisasi 17.5%, tanpa pasteurisasi 20%, tanpa pasteurisasi
80.88 83.07
11.39 10.78
13.1 13.08
83.24
10.57
12.8
82.39666667
10.91333333
12.99333333
Tabel 12. Rendemen tepung Bahan Rendemen Bahan Hasil baku berdasarkan jambu akhir total bahan jambu (g) (g) (g) (%) 135.5 275.5 2.9 2.140221402 269.5 545.57 2.153 0.798886827
Rendemen berdasarkan bahan baku total (%) 1.052631579 0.394633136
145.5
312.7
7.462
5.128522337
2.38631276
145.5
315.8
8.9503
6.151408935
2.834167194
51
Lampiran 2. Komposisi sampel pada beberapa variasi suhu pengeringan Tabel 1. Komposisi Sampel dan Suhu Pengeringan 150o C Uraian Besar Satuan Massa jambu Massa air Massa maltodekstrin 20 % Total sampel awal Vitamin C Suhu inlet Suhu outlet
750 750 150 1650 1 ± 150 ± 50
g g g g % o C o C
Tabel 2. Komposisi Sampel dan Suhu Pengeringan 160o C Uraian Besar Satuan Massa jambu Massa air Massa maltodekstrin 20 % Total sampel awal Vitamin C Suhu inlet Suhu outlet
750 750 150 1650 1 ± 160 ± 60
g g g g % o C o C
Tabel 3. Komposisi Sampel dan Suhu Pengeringan 170o C Uraian Besar Satuan Massa jambu Massa air Massa maltodekstrin 20 % Total sampel awal Vitamin C Suhu inlet Suhu outlet
750 750 150 1650 1 ± 170 ± 70
g g g g % o C o C
Tabel 4. Komposisi Sampel dan Suhu Pengeringan 180o C Uraian Besar Satuan Massa jambu Massa air Massa maltodekstrin 20 % Total sampel awal Vitamin C Suhu inlet Suhu outlet
750 750 150 1650 1 ± 180 ± 80
g g g g % o C o C
52
Lampiran 3. Data pengujian buah dan tepung jambu pada suhu pengeringan 150 o C Tabel 1. Uji kadar air buah jambu biji untuk sampel suhu pengeringan 150o C Ulangan Wbahan/A (g) Wakhir/B (g) Kadar Air (%bb) Kadar Air (%bk) 1 2 3 4 5 6 7 8 9
5.0031
0.462
90.76572525
5.0783 5.0049 4.9961 5.0616
0.4089 0.4571 0.4823 0.5818
91.94809287 90.86695039 90.34647025 88.50561087
5.007 5.0456 5.007 5.0347 Rata-rata
0.4907 0.5207 0.5374 0.5523
90.19972039 89.68011733 89.26702616 89.03013089 90.06776049
982.9220779 1141.941795 994.9245242 935.8905246 769.9896872 920.3790503 869.0032648 831.7082248 811.5879051 917.5941171
Tabel 2. Uji total padatan terlarut buah jambu biji untuk sampel suhu pengeringan 150o C Ulangan Bagian Atas (oBrix) Bagian Tengah (oBrix) Bagian Bawah (oBrix) 1 2 3 4 5 6 7 8 9
7.4 8.1 7.4 8.5 7.2 4.8 8.2 8 7.9
8.5 11.5 7.9 7.3 6.9 5 8.7 8.1 7.8
7.4 8.6 7.9 8.1 8.7 4.3 8.9 7.6 9.4
Rata-Rata
7.5
7.966666667
7.877777778
Rata-Rata Total
7.781481481
Tabel 3. Uji vitamin C buah jambu biji untuk sampel suhu pengeringan 150o C Berat Sampel (g) Titrasi (ml) Kadar Vitamin C (mg/100 g) 1.8
10.0639
157.39
1.4
122.42
Rata-Rata
139.905
Tabel 4. Rendemen tepung jambu biji pada suhu pengeringan 150o C Ulangan ke-
Bahan jambu (g)
Bahan baku total (g)
Hasil akhir (g)
Rendemen berdasarkan bahan jambu (%)
1 2 3
750 750 750
1650 1650 1650
85.2 44.73 52.42
11.36 5.964 6.989333333
Rendemen berdasarkan bahan baku total (%) 5.163636364 2.710909091 3.176969697
60.78333333
8.104444444
3.683838384
Rata-rata
53
Tabel 5. Uji vitamin C tepung jambu biji pada suhu pengeringan 150o C Berat Sampel (g) Titrasi (ml) Kadar Vitamin C (mg/100 g) 10.0639
1.8
157.39
1.4
122.42
Rata-Rata
139.905
Tabel 6. Uji warna tepung jambu biji pada suhu pengeringan 150o C L a b Ulangan ke82.01
12.6
13.36
82.3
12.38
13.15
82.16
12.51
13.03
82.43
12.17
12.37
81.85
12.99
13.1
82.26
12.97
13
80.19
13.61
13.02
79.21
14.61
13.45
78.86
15.16
13.61
81.25222222
13.22222222
13.12111111
1
2
3 Rata-rata
Ulangan
Tabel 7. Uji kadar air tepung jambu biji pada suhu pengeringan 150o C Wbahan/A (g) Wakhir/B (g) Kadar Air (%bb) Kadar Air (%bk)
1
2
3
2.0448
1.8204
10.9741784
12.32696111
2.0133
1.799
10.64421596
11.91217343
2.0857
1.8611
10.76856691
12.06813175
2.0689
1.8462
10.7641742
12.0626151
2.0032
1.7903
10.62799521
11.8918617
2.0176
1.8011
10.73057098
12.02043196
2.0071
1.788
10.91624732
12.25391499
2.0059
1.7854
10.99257191
12.35017363
2.0551
1.8305
10.92890857
12.26987162
10.81638105
12.12845948
Rata-rata
Tabel 8. Uji sebaran tepung jambu biji pada suhu pengeringan 150o C Sebaran tepung (g) Ulangan ke-
9.5 mm (no. 3/8 in)
4.75 mm (no. 4)
2.36 mm (no.8)
1.4 mm (no. 14)
1.18 mm (no 16)
0.6 mm (no.25)
710 µm (no.30)
300 µm (no.50)
1 2 3
-
6.73 10.89
20.24 15.14 12.68
32.81 13.56 12.54
17.76 8.12 8.51
3.97 4.6 5.14
-
-
150 µm (no. 100) -
54
Tabel 9. Uji densitas kamba tanpa pemadatan pada tepung jambu biji suhu pengeringan 150o C Ulangan keBerat sampel (g) Volume sampel (cm3) Densitas kamba (kg/m3) 1 2 3
1.56 1.81 1.77
3 3 3
520 603.3333333 590
Rata-Rata
571.1111111
Tabel 10. Uji densitas kamba dengan pemadatan pada tepung jambu biji suhu pengeringan 150o C Ulangan keBerat sampel (g) Volume sampel (cm3) Densitas kamba (kg/m3 ) 1 2 3
1.51 1.81 1.7
2.8 2.8 2.9
539.2857143 646.4285714 586.2068966
Rata-Rata
590.6403941
Tabel 11. Uji kelarutan dalam air pada tepung jambu biji suhu pengeringan 150o C Bobot kertas saring Bobot kertas Bobot Kelarutan dalam Ulangan keyang telah saring kering sampel air (%) dikeringkan/A (g) awal/B (g) kering/C (g) 1 0.439 0.2735 1.0358 84.02201197 2 0.3865 0.278 1.019 89.35230618 3 0.3668 0.2745 1.0179 90.93231162 88.10220993
Rata-rata
Tabel 12. Laju pembasahan pada tepung jambu biji suhu pengeringan 150o C Berat Laju Pembasahan Ulangan keWaktu (detik) sampel (g) (kg/menit) 1 0.1007 9.81 0.000615902 2 0.1015 5.44 0.001119485 3 0.1026 6.25 0.00098496 Rata-rata
0.1016
7.166666667
0.000906782
55
Lampiran 4. Data pengujian buah dan tepung jambu pada suhu pengeringan 160 o C
Tabel 1. Uji kadar air buah jambu biji untuk sampel suhu pengeringan 160o C Ulangan Wbahan/A (g) Wakhir/B (g) Kadar Air (%bb) Kadar Air (%bk) 1
5.0211
0.4643
90.75302225
981.4344174
2
5.004
0.4706
90.59552358
963.3234169
3
5.0171
0.5216
89.60355584
861.8673313
4
5.0136
0.6328
87.37833094
692.2882427
5
5.0171
0.4669
90.69382711
974.5555794
6
5.0169
0.5243
89.54932329
856.8758344
7
5.0233
0.5214
89.62036908
863.4253932
8
5.0031
0.4832
90.34198797
935.4097682
5.0026
0.5686
88.63391037
779.8100598
89.68553894
878.7766715
9
Rata-rata
Tabel 2. Uji total padatan terlarut buah jambu biji untuk sampel suhu pengeringan 160o C Ulangan Bagian Atas (oBrix) Bagian Tengah (oBrix) Bagian Bawah (oBrix) 1 2 3 4 5 6 7 8 9
6.4 5.4 8.1 7 7.4 8 6.6 7.4 12.5
6.7 5.9 7.8 6.7 7.5 8.2 6.3 7.3 12.2
6.1 5.6 7 8 7.7 9.4 7 6.7 8.4
Rata-Rata
7.644444444
7.622222222
7.322222222
Tabel 3. Uji vitamin C buah jambu biji untuk sampel suhu pengeringan 160o C Berat Sampel (g) Titrasi (ml) Kadar Vitamin C (mg/100 g) 0.2
10.2068
172.34
0.15
129.33
Rata-Rata
150.835
Tabel 4. Rendemen tepung jambu biji pada suhu pengeringan 160o C Bahan Bahan Hasil Rendemen Rendemen Ulangan jambu baku akhir berdasarkan berdasarkan bahan ke(g) total (g) (g) bahan jambu (%) baku total (%) 1 750 1650 55.67 7.422666667 3.373939394 2 750 1650 55.91 7.454666667 3.388484848 3 750 1650 56.39 7.518666667 3.417575758 Rata-rata
55.99
7.465333333
3.393333333 56
Tabel 5. Uji vitamin C tepung jambu biji pada suhu pengeringan 160o C Berat Sampel (g) Titrasi (ml) Kadar Vitamin C (mg/100 g) 1.3538
0.9
585.02
0.85
552.52
Rata-rata
568.77
Tabel 6. Uji warna tepung jambu biji pada suhu pengeringan 160o C Ulangan keL a b 1
2
3 Rata-rata
Ulangan
2
3
Ulangan ke1 2 3
11.68
12.45
81.77
11.56
12.67
83.55
10.93
11.98
81.37
12.44
12.5
83.14
11.46
11.88
82.13
12.04
12.47
83.21
11.86
12.04
83.68
11.45
11.63
82.45
10.94
11.41
82.55111111
11.59555556
12.11444444
Tabel 7. Uji kadar air tepung jambu biji pada suhu pengeringan 160o C Wbahan/A (g) Wakhir/B (g) Kadar Air (%bb) Kadar Air (%bk) 2.0148
1
81.66
1.8072
10.30375223
11.4873838
2.0712
1.8588
10.25492468
11.42672692
2.0146
1.8076
10.27499255
11.45164859
2.0088
1.8076
10.01592991
11.13078115
2.037
1.8362
9.857633775
10.93562793
2.0044
1.8052
9.938136101
11.03478839
2.0025
1.8153
9.348314607
10.31234507
2.0088
1.8237
9.214456392
10.14969567
2.0042 Rata-rata
1.8127
9.554934637 9.862563877
10.56435152 10.94370545
Tabel 8. Uji sebaran tepung jambu biji pada suhu pengeringan 160o C Sebaran tepung (g) 9.5 mm 4.75 2.36 1.18 0.6 710 1.4 mm (no. 3/8 mm mm mm mm µm (no. 14) in) (no. 4) (no.8) (no 16) (no.25) (no.30) 3.32 9.79 9.14 1.25 9.29 4.02 15.1 0.72 12.94 10.78 0.97 8.65 6.25 12.15 1.33 10.65 10.51 0.94 9.04 14.78 6.85
300 µm (no.50)
150 µm (no. 100)
1.31 2.25 0.25
-
57
Tabel 9. Uji densitas kamba tanpa pemadatan pada tepung jambu biji suhu pengeringan 160o C Ulangan ke- Berat sampel (g) Volume sampel (cm3) Densitas kamba (kg/m3 ) 1 2 3
1.39 1.31 0.93
3 3 3
Rata-Rata
463.3333333 436.6666667 310 403.3333333
Tabel 10. Uji densitas kamba dengan pemadatan pada tepung jambu biji suhu pengeringan 160o C Ulangan ke- Berat sampel (g) Volume sampel (cm3) Densitas kamba (kg/m3) 1 2 3
1.39 1.31 0.93
3 2.9 2.4
Rata-Rata
463.3333333 451.7241379 387.5 434.1858238
Tabel 11. Uji kelarutan dalam air pada tepung jambu biji suhu pengeringan 160o C Bobot kertas Bobot kertas saring Bobot sampel Kelarutan dalam Ulangan kesaring yang telah kering awal/B (g) kering/C (g) air (%) dikeringkan/A (g) 1 0.328 0.2778 1.1946 95.79775657 2 0.3318 0.284 1.0129 95.28087669 3 0.3316 0.2849 1.058 95.58601134 95.55488153
Rata-rata
Tabel 12. Laju pembasahan pada tepung jambu biji suhu pengeringan 160o C Ulangan ke- Berat sampel (g) Waktu (detik) Laju Pembasahan (kg/menit) 1 2
0.102 0.1025
7.63 10.27
0.000802097 0.000598832
3
0.109
9.11
0.000717892
Rata-rata
0.1045
9.003333333
0.000706274
58
Lampiran 5. Data buah dan tepung jambu pada suhu pengeringan 170o C
Tabel 1. Uji kadar air buah jambu biji untuk sampel suhu pengeringan 170o C Ulangan Wbahan/A (g) Wakhir/B (g) Kadar Air (%bb) Kadar Air (%bk) 1 2 3 4 5 6 7 8 9
5.0144 5.0095 5.0029 5.0251 5.0746 5.0093 5.0117 5.0356 5.0556
0.5188 0.5743 0.5798 0.5618 0.509 0.5622 0.5464 0.6055 0.5408
Rata-Rata
89.65379706 88.53578201 88.41072178 88.82012298 89.96965278 88.77687501 89.09751182 87.97561363 89.30295118
866.538165 772.2792965 762.8665057 794.4642221 896.9744597 791.0174315 817.2218155 731.64327 834.8372781
88.94922536
807.5380494
Tabel 2. Uji total padatan terlarut buah jambu biji untuk sampel suhu pengeringan 170o C Ulangan Bagian Atas (oBrix) Bagian Tengah (oBrix) Bagian Bawah (oBrix) 1 2 3 4 5 6 7 8 9
7.9 8.1 9.8 9.7 7.5 9.4 8.2 7 9.8
10.1 7.6 8.9 11 8.3 9.1 8.6 6.5 11.2
8.1 8.8 9.7 9.6 7.4 8.7 9.1 7.7 9.8
Rata-Rata
8.6
9.033333333
8.766666667
Rata-Rata Total
8.8
Tabel 3. Uji vitamin C buah jambu biji untuk sampel suhu pengeringan 170o C Berat Sampel (g) Titrasi (ml) Kadar Vitamin C (mg/100 g) 10.7002
1
82.24
1
82.24
Rata-Rata
Ulangan ke1 2 3
82.24
Tabel 4. Rendemen tepung jambu biji pada suhu pengeringan 170o C Rendemen Rendemen Bahan Bahan baku Hasil akhir berdasarkan berdasarkan jambu (g) total (g) (g) bahan jambu bahan baku (%) total (%) 750 1650 46.62 6.216 2.825454545 750 1650 49.88 6.650666667 3.023030303 750 1650 46.43 6.190666667 2.813939394 Rata-rata
47.64333333
6.352444444
2.887474747 59
Tabel 5. Uji vitamin C tepung jambu biji pada suhu pengeringan 170o C Berat Sampel (g) Titrasi (ml) Kadar Vitamin C (mg/100 g) 1.0624
0.64
530.12
0.66
546.69
Rata-rata
538.405
Tabel 6. Uji warna tepung jambu biji pada suhu pengeringan 170o C Ulangan L a b ke84.3 10.19 15.38 1
83.91
9.8
15.24
84.11
9.24
14.78
80.13
10.17
14.92
2
3 Rata-rata
Ulangan 1
2
3
84.1
10.55
15.57
83.82
10.96
15.61
83.08
11.13
15.85
82.91
11.1
16.07
82.33
11.55
16
83.18777778
10.52111111
15.49111111
Tabel 7. Uji kadar air tepung jambu biji pada suhu pengeringan 170o C Wbahan/A (g) Wakhir/B (g) Kadar Air (%bb) Kadar Air (%bk) 2.0085
1.8071
10.02738362
11.14492834
2.0037
1.7984
10.24604482
11.41570285
2.0064
1.8136
9.609250399
10.63078959
2.0021
1.8133
9.430098397
10.4119561
2.0112
1.8178
9.616149562
10.63923424
2.058
1.845
10.34985423
11.54471545
2.0159
1.7967
10.87355524
12.20014471
2.1332
1.8908
11.3632102
12.81997038
2.0093
1.7735
11.73543025
13.29574288
10.13671422
11.28031559
Rata-rata
Ulangan ke1 2 3
Tabel 8. Uji sebaran tepung jambu biji pada suhu pengeringan 170o C Sebaran tepung (g) 9.5 mm 4.75 2.36 1.18 300 1.4 mm 0.6 mm 710 µm (no. 3/8 mm mm mm µm (no. 14) (no.25) (no.30) in) (no. 4) (no.8) (no 16) (no.50) 11.4 22.94 5.14 3.26 3.39 9.22 7.34 12.88 10.03 10.87 13.56 8.16 4.56 -
150 µm (no. 100) -
60
Tabel 9. Uji densitas kamba tanpa pemadatan pada tepung jambu biji suhu pengeringan 170o C Ulangan keBerat sampel (g) Volume sampel (cm3) Densitas kamba (kg/m3 ) 1 2 3
1.12 1.14 1.7
3 3 3
Rata-Rata
373.3333333 380 566.6666667 440
Tabel 10. Uji densitas kamba dengan pemadatan pada tepung jambu biji suhu pengeringan 170o C Ulangan keBerat sampel (g) Volume sampel (cm3) Densitas kamba (kg/m3) 1 2 3
1.17 1.2 1.62
2.6 2.8 2.8
Rata-Rata
450 428.5714286 578.5714286 485.7142857
Tabel 11. Uji kelarutan dalam air pada tepung jambu biji suhu pengeringan 170o C Bobot kertas saring Bobot kertas Ulangan Bobot sampel Kelarutan dalam yang telah saring kering kekering/C (g) air (%) dikeringkan/A (g) awal/B (g) 1 0.3318 0.2799 1.0192 94.9077708 2 0.352 0.2705 1.01 91.93069307 3 0.3171 0.2729 1.0013 95.58573854 Rata-rata
94.1414008
Tabel 12. Laju pembasahan pada tepung jambu biji suhu pengeringan 170o C Ulangan keBerat sampel (g) Waktu (detik) Laju Pembasahan (kg/menit) 1 2 3
0.1085 0.1002 0.1055
28.79 23.87 13.87
0.00022612 0.000251864 0.000456381
Rata-rata
0.104733333
22.17666667
0.000311455
61
Lampiran 6. Data pengujian buah dan tepung jambu pada suhu pengeringan 180 o C
Tabel 1. Uji kadar air buah jambu biji untuk sampel suhu pengeringan 180o C Ulangan Wbahan/A (g) Wakhir/B (g) Kadar Air (%bb) Kadar Air (%bk) 1 2 3 4 5 6 7 8 9
5.0325 5.0401 5.0237 5.044 5.0505 5.0107 5.0416 5.0099 5.0082
0.5083 0.5252 0.5076 0.5541 0.5347 0.5328 0.5222 0.4301 0.5114
Rata-rata
89.89965226 89.57957183 89.89589346 89.0146709 89.41292941 89.36675514 89.64217709 91.4149983 89.78874646
890.0649223 859.6534653 889.6966115 810.3049991 844.5483449 840.4466967 865.4538491 1064.822134 879.3116934
89.77948832
882.7003019
Tabel 2. Uji total padatan terlarut buah jambu biji untuk sampel suhu pengeringan 180o C Ulangan Bagian Atas (oBrix) Bagian Tengah (oBrix) Bagian Bawah (oBrix) 1 2 3 4 5 6 7 8 9
6.1 6.4 6 6.7 8.8 7.5 7 7.5 7.2
7 7.1 7.6 8.5 7.5 7.8 6.1 7 7.8
6.8 6.7 6 7.4 6.6 7.7 5.7 7.9 7.7
Rata-Rata Rata-Rata Total
7.022222222
7.377777778
6.944444444
7.114814815
Tabel 3. Uji vitamin C buah jambu biji untuk sampel suhu pengeringan 180o C Berat Sampel (g) Titrasi (ml) Kadar Vitamin C (mg/100 g) 10.308
0.2 0.15
Rata-Rata
Ulangan ke1 2 3
1.7074 1.2805 1.49395
Tabel 4. Rendemen tepung jambu biji pada suhu pengeringan 180o C Rendemen Rendemen Bahan Bahan baku Hasil berdasarkan bahan berdasarkan bahan jambu (g) total (g) akhir (g) jambu (%) baku total (%) 750 1650 83.06 11.07466667 5.033939394 750 1650 70.34 9.378666667 4.263030303 750 1650 61.16 8.154666667 3.706666667 Rata-rata
71.52
9.536
4.334545455 62
Tabel 5. Uji vitamin C tepung jambu biji pada suhu pengeringan 180o C Berat Sampel (g) Titrasi (ml) Kadar Vitamin C (mg/100 g) 1.0473
0.67
562.97
0.66
554.57
Rata-rata
558.77
Tabel 6. Uji warna tepung jambu biji pada suhu pengeringan 180o C Ulangan keL a b 84.12 84.99 85.94 82.65 81.27 83.96 83.5 85.26 85.52
10.03 9.01 9.21 10.37 11.05 9.28 10.21 9.18 9.43
12.71 12.11 12.54 12.89 13.25 12.39 13.04 12.03 12.12
84.13444444
9.752222222
12.56444444
1
2
3 Rata-rata
Tabel 7. Uji kadar air tepung jambu biji pada suhu pengeringan 180o C Ulangan Wbahan/A (g) Wakhir/B (g) Kadar Air (%bb) Kadar Air (%bk) 1
2
3
2.0022
1.8359
8.30586355
9.058227572
2.0053
1.843
8.093552087
8.806294086
2.0204
1.8603
7.924173431
8.606138795
2.0084
1.8056
10.09759012
11.23172353
2.0214
1.7814
11.87295934
13.47254968
2.0018
1.8138
9.391547607
10.3649796
2.0208
1.8252
9.679334917
10.71663379
2.0191
1.8227
9.727106136
10.77522357
2.0441
1.8507
9.461376645
10.45009996
8.199707819
8.932260829
Rata-rata
Ulangan ke1 2 3
Tabel 8. Uji sebaran tepung jambu biji pada suhu pengeringan 180o C Sebaran tepung (g) 9.5 mm 4.75 2.36 1.18 0.6 710 1.4 mm (no. 3/8 mm mm mm mm µm (no. 14) in) (no. 4) (no.8) (no 16) (no.25) (no.30) 0.63 7.3 15.45 1.23 30.81 22.92 3.9 1.61 16.02 14.63 1.05 19.45 2.22 14.2 2.1 11.25 11.6 2.65 23.16 0.97 7.13
300 µm (no.50)
150 µm (no. 100)
0.38 0.46 -
-
63
Tabel 9. Uji densitas kamba tanpa pemadatan pada tepung jambu biji suhu pengeringan 180o C Ulangan ke- Berat sampel (g) Volume sampel (cm3) Densitas kamba (kg/m3 ) 1 2 3
0.84 1.13 1.11
3 3 3
Rata-Rata
280 376.6666667 370 342.2222222
Tabel 10. Uji densitas kamba dengan pemadatan pada tepung jambu biji suhu pengeringan 180o C Ulangan ke- Berat sampel (g) Volume sampel (cm3) Densitas kamba (kg/m3) 1 2 3
0.82 1.11 1.11
2.6 2.8 2.6
Rata-Rata
315.3846154 396.4285714 426.9230769 379.5787546
Tabel 11. Uji kelarutan dalam air pada tepung jambu biji suhu pengeringan 180o C Bobot kertas saring Bobot Ulangan Bobot kertas saring Kelarutan dalam yang telah sampel kekering awal/B (g) air (%) dikeringkan/A (g) kering/C (g) 1 0.3507 0.288 1.0198 95.83173563 2 0.3614 0.288 1.0091 93.63619166 3 0.3786 0.276 1.0925 99.85869565 96.44220765
Rata-rata
Tabel 12. Laju pembasahan pada tepung jambu biji suhu pengeringan 180o C Ulangan keBerat sampel (g) Waktu (detik) Laju Pembasahan (kg/menit) 1 2 3
0.1069 0.1011 0.1019
32.68 22.76 26.87
0.000196267 0.00026652 0.00022754
Rata-rata
0.1033
27.43666667
0.000230109
64
Lampiran 7. Formulir uji organoleptik
Nama panelis
:
Tanggal Pengujian
:
Instruksi
: Nyatakan penilaian anda terhadap warna, rasa, aroma, dan keseluruhan
sesuai dengan penilaian anda. Tuliskan angka tingkat kesukaan yang sesuai menurut anda pada kolom bahan
Uji
150, U1
150, U2
150, U3
Tepung Suhu Pengeringan 160, 160, 160, 170, 170, 170, U1 U2 U3 U1 U2 U3
180, U1
180, U2
180, U3
Aroma Rasa Warna All Keterangan : 1. 2. 3. 4. 5.
Sangat tidak suka Tidak suka Netral Suka Sangat suka
65
Lampiran 8. Data uji organoleptik minuman tepung jambu biji
o
o
Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Ratarata
150 C, U1 2 5 3 3 4 3 3 4 3 3
150 C, U2 2 3 3 2 3 3 3 3 3 4
3.3
2.9
Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Ratarata
150oC, U1 2 4 5 2 4 3 3 4 2 3
150oC, U2 2 4 4 2 4 3 2 4 2 3
3.2
3
Tabel 1. Uji organoleptik warna pada minuman dari tepung jambu biji 150 C, U3 160oC, U1 160oC, U2 160oC, U3 170oC, U1 170oC, U2 2 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 5 3 3 3 3 3 3 3 2 2 3 2 3 2 5 4 4 3 2 3 3 3 3 4 4 3 3 3 3 3 3 3 2 2 4 3 3 3 3 3 3 3 3 4 2 2 2 3 3 o
2.9
2.8
2.7
3
2.9
3.1
Tabel 2. Uji organoleptik aroma pada minuman dari tepung jambu biji 150oC, U3 160oC, U1 160oC, U2 160oC, U3 170oC, U1 170oC, U2 2 2 2 2 3 2 4 5 3 5 3 2 3 4 3 4 3 4 2 3 3 2 3 3 4 3 3 3 2 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 4 4 4 4 4 4 2 3 3 2 2 2 3 4 4 3 2 2 3
3.4
3.1
3.1
2.8
2.7
170oC, U3 2 3 3 2 3 3 3 4 3 3
180oC, U1 3 2 3 2 4 2 2 3 3 2
180oC, U2 3 3 3 2 4 2 3 2 3 2
180oC, U3 3 4 3 2 4 2 2 3 2 2
2.9
2.6
2.7
2.7
170oC, U3 4 2 3 2 2 3 3 4 2 2
180oC, U1 3 5 3 3 4 4 3 4 2 3
180oC, U2 3 2 3 2 4 4 3 4 2 3
180oC, U3 3 2 4 2 3 3 3 4 2 3
2.7
3.4
3
2.9
66
Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Ratarata
150oC, U1 2 4 5 2 5 3 3 3 2 2
150oC, U2 2 4 4 3 3 2 2 2 2 2
3.1
2.6
Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Ratarata
150oC, U1 2 5 5 2 4 3 3 3 2 3
150oC, U2 2 4 4 3 3 3 3 2 2 4
3.2
3
Tabel 3. Uji organoleptik rasa pada minuman dari tepung jambu biji 150oC, U3 160oC, U1 160oC, U2 160oC, U3 170oC, U1 170oC, U2 2 1 4 4 4 2 4 5 3 5 3 2 3 4 3 5 2 2 2 4 4 4 2 2 2 4 3 2 2 1 2 4 4 4 3 2 2 4 2 2 4 3 3 4 3 3 3 3 3 3 2 3 3 2 2 3 4 3 2 2 2.5
3.6
3.2
3.5
2.8
2.1
170oC, U3 4 2 2 2 3 2 4 3 3 4
180oC, U1 4 5 2 2 3 2 3 3 2 4
180oC, U2 4 2 4 3 3 2 3 4 2 4
180oC, U3 1 2 3 2 3 1 2 3 2 3
2.9
3
3.1
2.2
180oC, U1 4 5 2 2 4 3 3 3 2 4
180oC, U2 4 3 4 2 3 3 3 3 2 4
180oC, U3 2 3 3 2 3 2 3 3 2 3
3.2
3.1
2.6
Tabel 4. Uji organoleptik keseluruhan pada minuman dari tepung jambu biji 150oC, U3 160oC, U1 160oC, U2 160oC, U3 170oC, U1 170oC, U2 170oC, U3 2 2 3 3 3 2 4 4 5 3 5 3 3 3 3 4 3 4 2 2 2 3 4 4 4 2 3 2 2 4 3 3 2 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 4 4 4 3 4 3 3 2 3 3 3 3 2 3 3 2 3 4 3 4 3 2 2 3 3
3.5
3.1
3.4
2.6
2.6
3
67
Lampiran 9. Analisa statistik rendemen
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Rendemen Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
a
3
1.094
2.031
.188
153.350
1
153.350
284.613
.000
Perlakuan
3.283
3
1.094
2.031
.188
Error
4.310
8
.539
Total
160.944
12
7.594
11
Corrected Model Intercept
Corrected Total
3.283
a. R Squared = .432 (Adjusted R Squared = .220)
68
Lampiran 10. Analisa statistik kadar air tepung
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:KadarAir Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
a
3
.511
.968
.490
99693.529
1
99693.529
189091.578
.000
Perlakuan
1.532
3
.511
.968
.490
Error
2.109
4
.527
Total
99697.169
8
3.640
7
Corrected Model Intercept
Corrected Total
1.532
a. R Squared = .421 (Adjusted R Squared = -.014)
69
Lampiran 11. Analisa statistik warna tepung
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Kecerahan Type III Sum of Squares
Source
df
Mean Square
a
Corrected Model 13.162 3 4.387 Intercept 82233.100 1 82233.100 Perlakuan 13.162 3 4.387 Error 10.230 8 1.279 Total 82256.492 12 Corrected Total 23.392 11 a. R Squared = .563 (Adjusted R Squared = .399)
F
Sig.
3.431 64307.363 3.431
.072 .000 .072
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Kemerahan Type III Sum of Squares
Source
df
Mean Square
a
Corrected Model 20.342 3 Intercept 1524.981 1 Perlakuan 20.342 3 Error 4.058 8 Total 1549.381 12 Corrected Total 24.400 11 a. R Squared = .834 (Adjusted R Squared = .771)
6.781 1524.981 6.781 .507
F 13.367 3006.200 13.367
Sig. .002 .000 .002
Kemerahan Perlak uan
Subset N
1
2
3
180 3 9.7533 170 3 10.5200 10.5200 160 3 11.5967 150 3 13.2222 Sig. .224 .101 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .507.
70
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Kekuningan Type III Sum of Squares
Source
df
Mean Square
a
Corrected Model 20.305 3 Intercept 2129.690 1 Perlakuan 20.305 3 Error .911 8 Total 2150.907 12 Corrected Total 21.216 11 a. R Squared = .957 (Adjusted R Squared = .941)
6.768 2129.690 6.768 .114
F 59.423 18697.897 59.423
Sig. .000 .000 .000
Kekuningan Duncan Perlak uan
a,,b
Subset N
1
2
3
160 3 12.1144 180 3 12.5644 12.5644 150 3 13.1200 170 3 15.4889 Sig. .141 .079 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .114. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. b. Alpha = .05.
71
Lampiran 12. Analisa statistik kelarutan dalam air tepung
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:KelarutanDalamAir Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
a
3
42.412
6.303
.017
105042.076
1
105042.076
15609.565
.000
127.237
3
42.412
6.303
.017
Error
53.835
8
6.729
Total
105223.147
12
181.071
11
Corrected Model
127.237
Intercept Perlakuan
Corrected Total
a. R Squared = .703 (Adjusted R Squared = .591)
Post Hoc Tests Perlakuan Homogeneous Subsets KelarutanDalamAir a,,b
Duncan
Subset
Perlaku an
N
1
2
T150
3
88.1022
T170
3
94.1414
T160
3
95.5549
T180
3
96.4422
Sig.
1.000
.328
Means for goups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 6.729. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. b. Alpha = .05.
72
Lampiran 13. Analisa statistik densitas kamba tanpa pemadatan pada tepung
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:DensitasKambaTanpaPemadatan Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
a
3
28092.284
4.747
.035
2314408.333
1
2314408.333
391.045
.000
Perlakuan
84276.852
3
28092.284
4.747
.035
Error
47348.148
8
5918.519
Total
2446033.333
12
131625.000
11
Corrected Model
84276.852
Intercept
Corrected Total
a. R Squared = .640 (Adjusted R Squared = .505)
Post Hoc Tests Perlakuan Homogeneous Subsets DensitasKambaTanpaPemadatan a,,b
Duncan
Subset
Perlaku an
N
1
2
T180
3
342.2222
T160
3
403.3333
T170
3
440.0000
T150
3
Sig.
440.0000 571.1111
.174
.070
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 5918.519. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. b. Alpha = .05.
73
Lampiran 14. Analisa statistik densitas kamba dengan pemadatan pada tepung
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:DensitasKambaDenganPemadatan Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
a
3
24234.100
6.705
.014
2679413.107
1
2679413.107
741.307
.000
Perlakuan
72702.301
3
24234.100
6.705
.014
Error
28915.570
8
3614.446
Total
2781030.979
12
101617.871
11
Corrected Model
72702.301
Intercept
Corrected Total
a. R Squared = .715 (Adjusted R Squared = .609)
Post Hoc Tests Perlakuan Homogeneous Subsets DensitasKambaDenganPemadatan a,,b
Duncan
Subset
Perlaku an
N
1
2
T180
3
379.5788
T160
3
434.1858
T170
3
485.7143
T150
3
Sig.
485.7143 590.6404
.072
.065
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 3614.446. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. b. Alpha = .05.
74
Lampiran 15. Analisa statistik laju pembasahan tepung
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:LajuPembasahan Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
a
3
3.104E-7
12.993
.002
Intercept
3.482E-6
1
3.482E-6
145.727
.000
Perlakuan
9.313E-7
3
3.104E-7
12.993
.002
Error
1.911E-7
8
2.389E-8
Total
4.604E-6
12
Corrected Total
1.122E-6
11
Corrected Model
9.313E-7
a. R Squared = .830 (Adjusted R Squared = .766)
Post Hoc Tests Perlakuan Homogeneous Subsets LajuPembasahan a,,b
Duncan
Subset
Perlaku an
N
1
2
T180
3
.000230109
T170
3
.000311455
T160
3
.000706274
T150
3
.000906782
Sig.
.537
.151
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 2.39E-008. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. b. Alpha = .05.
75
Lampiran 16. Analisa statistik uji organoleptik aroma
Chi-Square Test Frequencies Aroma Category
Observed N
1
Expected N
Residual
0
2.4
-2.4
2
2.0
4
2.4
1.6
3
3.0
8
2.4
5.6
4
0
2.4
-2.4
5
0
2.4
-2.4
Total
12
Test Statistics Aroma Chi-Square
a
21.333
df Asymp. Sig.
4 .000
a. 5 cells (100.0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected cell frequency is 2.4.
76
Lampiran 17. Analisa statistik uji organoleptik warna
Chi-Square Test Frequencies Warna Category
Observed N
1
Expected N
Residual
0
2.4
-2.4
2
2.0
9
2.4
6.6
3
3.0
3
2.4
.6
4
0
2.4
-2.4
5
0
2.4
-2.4
Total
12
Test Statistics Warna Chi-Square
a
25.500
df Asymp. Sig.
4 .000
a. 5 cells (100.0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected cell frequency is 2.4.
77
Lampiran 18. Analisa statistik uji organoleptik rasa
Chi-Square Test
Frequencies Rasa Category
Observed N
1
Expected N
Residual
0
1.6
-1.6
2
2.0
3
1.6
1.4
3
3.0
5
1.6
3.4
4
0
1.6
-1.6
5
0
1.6
-1.6
Total
8
Test Statistics Rasa Chi-Square
a
13.250
df Asymp. Sig.
4 .010
a. 5 cells (100.0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected cell frequency is 1.6.
78
Lampiran 19. Analisa statistik uji organoleptik keseluruhan
Chi-Square Test
Frequencies Keseluruhan Category
Observed N
1
Expected N
Residual
0
2.4
-2.4
2
2.0
3
2.4
.6
3
3.0
9
2.4
6.6
4
0
2.4
-2.4
5
0
2.4
-2.4
Total
12
Test Statistics Keseluruhan Chi-Square
25.500
df Asymp. Sig.
a
4 .000
a. 5 cells (100.0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected cell frequency is 2.4.
79
Lampiran 20. Perhitungan pemilihan terbaik tepung jambu biji
0.06
0.1
0.13
0.13
0.13
0.13
0.16
0.16
Total
o
150 C Rendemen
0.18
KA (%bb)
0.1
Sebaran
0.13
Kelarutan
0.13
Densitas kamba
1.83 0.13
Laju pembasahan
0.52
Vit. C
0.16
Organoleptik
0.48
160o C Rendemen
0.12
KA (%bb)
0.3
Sebaran
0.52
Kelarutan
0.39
Densitas kamba
3.39
0.39
Laju pembasahan
0.39
Vit. C
0.64
Organoleptik
0.64
170o C Rendemen
0.06
KA (%bb)
0.2
Sebaran
0.26
Kelarutan
0.26
Densitas kamba
1.78
0.26
Laju pembasahan
0.26
Vit. C
0.32
Organoleptik
0.16
180o C Rendemen KA (%bb) Sebaran Kelarutan Densitas kamba Laju Pembasahan
0.24 0.4 0.39
3.0
0.52 0.52 0.13
80
Vit. C Organoleptik
0.48 0.32
81
Lampiran 21. Foto spray dryer
Gambar 1. Spray dryer
82