MUSIBAH DALAM AL-QUR’AN (STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN SAYYID QUTB DAN IBN KATSÎR ATAS SURAT AL-HADÎD AYAT 22 DAN 23)
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.)
Oleh
MUTMAINAH NIM: 206034004220
PROGRAM STUDI TAFSIR-HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1431 H./2010 M.
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 10 Juni 2010
ii
MUSIBAH DALAM AL-QUR’AN (STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN SAYYID QUTB DAN IBN KATSÎR ATAS SURAT AL-HADÎD AYAT 22 DAN 23)
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh
MUTMAINAH NIM: 206034004220
Pembimbing
Drs. Ahmad Rifqi Muchtar, M.A. NIP: 19690822 199703 1 002
PROGRAM STUDI TAFSIR-HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H./2010 M.
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi
berjudul
MUSIBAH
DALAM
AL-QUR’AN
(STUDI
KOMPARATIF PENAFSIRAN SAYYID QUTB DAN IBN KATSÎR ATAS SURAT AL-HADÎD AYAT 22 DAN 23) telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 10 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.) pada Program Studi Tafsir-Hadis.
Jakarta, 10 Juni 2010
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota,
Sekretaris Merangkap Anggota,
Drs. Agus Darmaji, M. Fils.
Drs. Ahmad Rifqi Muchtar, M.A.
NIP: 19610827 199303 1 002
NIP: 19690822 199703 1 002 Anggota,
Dr. M. Suryadinata, M. Ag
Dr. Lilik Ummi Kultsum, M. Ag
NIP: 19600908 198903 1 005
NIP: 19711003 199903 2 001
Drs. Ahmad Rifqi Muchtar, M.A. NIP: 19690822 199703 1 002
iv
PEDOMAN TRANSLITERASI Padanan Aksara Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin: Huruf Arab ا ب ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص ض ط ظ ع غ ف ق ك ل م ن و ه ء ي
Huruf Latin
Keterangan Tidak dilambangkan be te te dan es je h dengan garis bawah ka dan ha de de dan zet er zet es es dan ye es dengan garis di bawah de dengan garis di bawah te dengan garis di bawah zet dengan garis di bawah koma terbalik di atas hadap kanan ge dan ha ef ki ka el em en we ha apostrof ye
b t ts j h kh d dz r z s sy s d t z ‘ gh f q k l m n w h ′ y
Vokal Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
v
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
a
fathah
i
kasrah
u
dammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut: Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin ai au
Keterangan a dan i a dan u
Vokal Panjang Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu: Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin â î û
Keterangan a dengan topi di atas i dengan topi di atas u dengan topi di atas
Kata sandang Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu ال, dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl.
Syaddah (Tasydîd) Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda (-) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah.
Ta Marbûtah Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/. Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t). Namun, jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/.
vi
ABSTRAK
MUTMAINAH Musibah dalam al-Qur’an (Studi Komparatif Penafsiran Sayyid Qutb dan Ibn Katsîr atas Surat al-Hadîd Ayat 22 dan 23) Skripsi ini membahas tentang musibah dalam al-Qur’an dengan pendekatan studi komparatif terhadap penafsiran Sayyid Qutb dan Ibn Katsîr atas surat al-Hadîd Ayat 22 dan 23. Karya Sayyid Qutb dipilih untuk mewakili tafsir modern yang menggabungkan metode bi al-ra’yi dan metode bi al-ma’tsur sementara karya Ibn Katsîr yang masyhur dan telah diakui kualitasnya dipilih untuk mewakili tafsir periode klasik dengan metode bi al-ma’tsur. Tema tentang musibah relevan untuk diangkat karena banyaknya bencana yang terjadi di tanah air yang mengakibatkan kerugian materi dan immateri yang tidak sedikit termasuk dampak psikologis berupa rasa putus asa dan patah semangat untuk melanjutkan kehidupan yang menunjukkan bahwa sebagian manusia kurang memahami atau lupa tentang hakikat musibah. Kedua mufassir menyatakan bahwa musibah terjadi atas kehendak Allah SWT dan sudah ditetapkan kejadiannya bahkan sebelum penciptaan alam semesta. Sayyid Qutb mendefinisikan musibah sebagai segala sesuatu yang menimpa baik itu berupa kebaikan maupun keburukan. Keduanya berasal dari Allah SWT dan merupakan bagian dari perencanaan Allah SWT dalam penciptaan alam semesta di mana manusia merupakan salah satu makhluk ciptaan Allah SWT yang lemah dan membutuhkan kasih sayang dan pentunjuk dari Allah SWT untuk mencapai kebahagiaan hidup. Sementara itu Ibn Katsîr menafsirkan musibah sebagai bencana yang menimpa alam semesta maupun diri manusia yang dapat berupa kemarau panjang, rasa lapar maupun rasa sakit. Definisi musibah oleh Sayyid Qutb lebih mewakili makna musibah dalam alQur’an karena mencakup makna musibah dalam ayat-ayat lain di dalam al-Qur’an. Pemahaman yang benar tentang makna musibah dapat memudahkan manusia untuk bersikap sabar ketika tertimpa bencana sebagaimana anjuran kedua penafsir dan dapat dijadikan sebagai salah satu pendekatan yang efektif dalam memperkuat ketahanan mental untuk menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang kuat dan tegar dalam menghadapi musibah.
vii
KATA PENGANTAR
ﺑﺴﻢ اﷲ اﻟﺮﺣﻤﻦ اﻟﺮﺣﻴﻢ Segala puji bagi Allah SWT yang telah menurunkan al-Quran kepada nabi Muhammad SAW melalui malaikat-Nya sebagai petunjuk bagi manusia dalam mengarungi kehidupan, sebagai penjelas dari petunjuk dan sebagai pembeda antara kebenaran dan kebatilan. Salawat dan salam semoga senantiasa dicurahkan kepada imam orang-orang yang bertaqwa, teladan umat Islam, dan penutup para nabi, rasulullah Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat dan pengikutnya yang setia hingga akhir jaman. Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang telah menghendaki penulis untuk dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Selanjutnya, skripsi ini penulis dedikasikan kepada suami dan ananda tercinta yang telah banyak memberikan pengorbanan dan bantuan selama penulis belajar dan berusaha menyelesaikan studi di UIN Syarif Hidayatullah. Banyak pihak yang telah membantu penulis dalam proses penulisan skripsi ini. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, bapak Prof. Dr. Zainun Kamal, M.A., beserta para Pembantu Dekan. 2. Ketua Program Ekstensi Program Studi Tafsir-Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, bapak Drs. Ahmad Rifqi Muchtar, M.A. 3. Ketua dan sekretaris Jurusan Program Studi Tafsir-Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, bapak Dr. Bustamin, MBA.
viii
dan bapak Rifqi Muhammad Fathi, M.A. 4. Bapak Drs. Ahmad Rifqi Muchtar, M.A., selaku pembimbing yang senantiasa memotivasi, mengarahkan dan meluangkan waktunya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. 5. Bapak-bapak dan ibu-ibu dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah terutama Jurusan Tafsir-Hadis. 6. Kepala perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah, Kepala Perpustakaan Ushuluddin yang telah membantu penulis melalui referensi yang menjadi rujukan penulis. 7. Ayahanda dan Ibunda tercinta, kakak tercinta, Tholhah Nuhin, Lc. dan kakak-kakak yang lain yang telah memberikan kasih sayangnya kepada penulis, yang tidak akan pernah penulis lupakan. (Semoga Allah memberikan kasih sayang di dalam hidupnya). 8. Kepala Sekolah SDIT Nur Fatahilah Serpong, bapak H. Hasan Anwar, S.Pd serta rekan-rekan staf dan guru SDIT Nur Fatahillah. 9. Rekan-rekan mahasiswa dan mahasiswi Program Ekstensi dan Reguler Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah. Kalian adalah sahabat terbaik yang pernah Allah berikan kepada penulis. 10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu dalam kata pengantar yang terbatas ini. Semoga Allah SWT memberikan balasan kebaikan yang tidak terhingga. Terakhir, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada siapa saja yang membacanya.
ix
DAFTAR ISI
ABSTRAK............................................................................................................vii KATA PENGANTAR..........................................................................................viii DAFTAR ISI...........................................................................................................x
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang.................................................................................1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah..............................................6 C. Kajian Pustaka.................................................................................7 D. Tujuan Penelitian.............................................................................8 E. Metode penelitian............................................................................8 F. Sistematika Penelitian.....................................................................9
BAB II
DESKRIPSI UMUM TENTANG SAYYID QUTB DAN IBN KATSÎR A. Deskripsi Tentang Sayyid Qutb................................................... 11 1. Biografi Sayyid Qutb.................................................................11 2. Pemikiran dan Karya-karya Sayyid Qutb..................................13 3. Metode dan Corak Tafsir Sayyid Qutb......................................18 B. Deskripsi Tentang Ibn Katsîr.........................................................20 1. Biografi Ibn Katsîr.....................................................................20 2. Pemikiran dan Karya-karya Ibn Katsîr......................................21 3. Metode dan Corak Tafsir Ibn Katsîr..........................................24 C. Perbandingan antara Tafsir Sayyid Qutb dan Ibn Katsîr..............25
BAB III
MUSIBAH DALAM KEHIDUPAN MANUSIA A. Pengertian Musibah.......................................................................28 B. Pendapat Ulama Tentang Musibah................................................33 C. Macam-Macam Musibah...............................................................34 D. Musibah dan Gejala Alam..............................................................40
x
BAB IV
ANALISA PERBANDINGAN PENAFSIRAN SAYYID QUTB DAN IBN KATSÎR ATAS TERHADAP SURAT AL-HADÎD AYAT 22 DAN 23 A. Pandangan Sayyid Qutb dan Ibn Katsîr Tentang Musibah.............44 B. Kehendak Allah dalam Kehidupan Manusia..................................49 C. Pengaruh Keimanan dalam Menghadapi Musibah........................54
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan....................................................................................63 B. Saran..............................................................................................64
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................66
xi
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Al-Qur’an adalah kalam Allah SWT yang diturunkan kepada Rasulullah
Muhammad SAW sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia. Hal ini dinyatakan Allah SWT di dalam al-Qur’an Surat Âli ‘Imrân/3:3-4.
☺
⌧ ⌦
⌧
⌧ ⌧
“Dia menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil, sebelum (al-Qur’an), menjadi petunjuk bagi manusia, dan Dia menurunkan al-Furqan. Sesungguhnya orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah akan memperoleh siksa yang berat; dan Allah Mahaperkasa lagi mempunyai balasan (siksa).” 1 Menurut Yûsuf al-Qardawî, berbeda dengan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya al-Qur’an mempunyai beberapa keistimewaan, diantaranya: Pertama, ia adalah kitab yang dipelihara langsung oleh Allah SWT, sementara kitab-kitab sebelumnya dijaga oleh orang-orang yang menerimanya. Kedua, ia merupakan mukjizat terbesar bagi Muhammad SAW. Ketiga, ia mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Keempat, ia adalah kitab yang berlaku sepanjang jaman.
1
Lihat juga sûrah al-Baqarah/2:2, al-Baqarah/2:185
11
Kelima, ia merupakan kitab yang berlaku untuk seluruh umat manusia. 2 Sebagai kitab petunjuk yang diturunkan Pencipta manusia, al-Qur’an berisi petunjuk yang paling sesuai bagi kehidupan manusia. Manusia akan memperoleh kesuksesan hidup apabila mengikuti petunjuk al-Qur’an. Sebaliknya, manusia akan terjerumus dalam kesesatan apabila mengabaikannya. Rasulullah SAW mewasiatkan hal ini dalam khutbah Haji Wada’.
أن رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ ﺧﻄﺐ: ﻋﻦ ﺑﻦ ﻋﺒﺎس رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻬﻤﺎ اﻟﻨﺎس ﻓﻲ ﺣﺠﺔ اﻟﻮداع ﻓﻘﺎل ﻳﺎ أﻳﻬﺎ اﻟﻨﺎس أﻧﻲ ﻗﺪ ﺗﺮآﺖ ﻓﻴﻜﻢ ﻣﺎ إن اﻋﺘﺼﻤﺘﻢ ﺑﻪ ﻓﻠﻦ ﺗﻀﻠﻮا أﺑﺪا آﺘﺎب اﷲ وﺳﻨﺔ ﻧﺒﻴﻪ “Dari Ibn ‘Abbâs r.a Sesungguhnya Rasulullah SAW. berkhutbah di hadapan manusia pada haji Wada’,“Sesungguhnya telah saya tinggalkan kepada kamu, jika kamu berpegang teguh maka kalian tidak akan tersesat selamanya. Yaitu kitabullah dan sunah Rasulullah.” 3 Kesuksesan hidup tidak mudah untuk diraih. Tidak setiap orang dapat meraih kesuksesan hidup. Upaya manusia untuk meraih kesuksesan dengan mengikuti petunjuk akan diuji oleh Allah SWT dengan cobaan. Manusia tidak dibiarkan mengklaim dirinya sebagai orang beriman tanpa diuji sebelumnya. Allah SWT berfirman tentang hal ini dalam Surat al-‘Ankabût/29 ayat 2:
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?” Bahkan para nabi dan rasul pun menerima ujian dari Allah SWT. Ibn alJauzî mengatakan,” Seandainya dunia bukan medan musibah, di dalamnya tidak 2
Yûsuf al-Qardawî, Bagaimana Berinteraksi Dengan al-Quran. Penerjemah Kathur Suhardi (Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2000), h. 14. 3 Al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ (Beirut: Dar al-Fikr, tt), Juz 10, No. 114
22
akan tersebar penyakit dan nestapa, takkan pernah ada kepedihan yang menimpa para nabi dan orang-orang pilihan.” 4 Nabi Adam A.S. diuji oleh Allah SWT hingga dikeluarkan dari surga, nabi Nuh A.S. diuji kesabarannya dengan berdakwah selama tiga ratus tahun, dan nabi Ibrahim A.S. diuji dengan bara api dan penyembelihan putranya sendiri. Allah SWT berfirman tentang beratnya cobaan bagi para nabi di dalam Surat al-Baqarah/2:214 sebagai berikut:
☺ ☺
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, Padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, Sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.”
Bangsa Indonesia pun mengalami ujian yang datang silih berganti. Salah satu kejadian yang meninggalkan kesedihan yang mendalam bagi bangsa ini adalah peristiwa tsunami yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004. Kejadian tersebut telah meluluhlantakkan provinsi Aceh dan sekitarnya dengan kerugian yang mencapai 4.5 Milyar Dolar Amerika dan ratusan ribu nyawa melayang. 5 Peristiwa besar lain yang belum lama terjadi adalah bobolnya tanggul Situ
4
Muhammad al-Manjibi al-Hanbali, Menghadapi Musibah Kematian. Penerjemah Muhammad Suhadi (Jakarta: Mizan Publika, 2007), h. 4. 5 Biro Humas & Luar Negeri BPK, “Transparansi dan Akuntabilitas Pengelolaan Dana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh Pascatsunami”, artikel diakses pada 10 Januari 2010 dari http://www.bpk.go.id/web/?p=3958
33
Gintung di kecamatan Ciputat menjelang Subuh hari Jumat tanggal 27 Maret 2009. 6 Setiap manusia merasakan kepedihan atas terjadinya musibah yang merenggut kesenangan hidup tersebut. Tetapi manusia menghadapi musibah yang menimpanya dengan sikap yang berbeda-beda. Sikap manusia terhadap musibah dapat dikelompokkan sebagai berikut. Pertama, kelompok yang menganggap musibah sebagai bagian dari warna kehidupan yang harus diterima. Mereka meyakini setiap orang akan mengalami musibah dan mereka tidak larut dalam kesedihan dan melanjutkan hidupnya seperti biasa. Kedua, kelompok yang menganggap musibah sebagai akibat dari perbuatan orang lain terhadap dirinya. Sikap ini dapat menciptakan pribadi yang pendendam, cenderung menyalahkan orang lain dan akan membawa kerugian bagi yang bersangkutan. Ketiga, kelompok yang menyalahkan dan mempertanyakan keadilan Tuhan Sang Pencipta. Kelompok ini mengakui bahwa musibah adalah kehendak Sang Pencipta. Tetapi, pada saat yang sama, mereka merasa tidak layak untuk ditimpa musibah tersebut. Sikap semacam ini dapat membawa manusia kepada kekufuran. Pada umumnya, semakin besar kehilangan yang dirasakan semakin sulit bagi manusia untuk dapat menerimanya. Berdasarkan uraian di atas, alasan penulis memilih topik musibah dalam penelitian ini adalah pertama, karena musibah sebagai sebuah ujian dari Allah SWT selalu menghiasi kehidupan manusia. Terlebih, sejak beberapa tahun terakhir banyak musibah yang terjadi di Indonesia sebagaimana telah diuraikan di atas. Kedua, kebanyakan manusia tidak mengetahui atau lupa tentang hakikat
6
Kompas, “Bencana Situ Gintung, Kerugian UMJ Rp 10 Miliar.” 10 Maret 2009.
44
musibah. Hal ini tampak dari sikap negatif kebanyakan manusia ketika ditimpa musibah yang menjadikan hidup mereka menjadi terasa semakin sempit. Oleh karena itu penulis ingin mengetahui hakikat yang sebenarnya tentang musibah menurut al-Qur’an. Pemahaman yang benar tentang hakikat musibah diharapkan dapat membantu melahirkan sikap dan perilaku yang benar ketika musibah menimpa. Allah Mahakuasa atas hidup manusia. Tidak ada yang berlaku di muka bumi ini kecuali atas kehendak-Nya, termasuk di dalamnya musibah yang menimpa seseorang di belahan manapun di dunia ini. Allah SWT sebagai pencipta manusia mengetahui apa yang terbaik bagi manusia. Rahmat dan kasih sayang Allah SWT jauh lebih banyak dari ujian yang diberikan. Semua peristiwa yang terjadi adalah atas kehendak Allah SWT dan sudah ditulis di dalam kitab di al-Lauh al-mahfuz. Hal ini telah dinyatakan Allah SWT dalam Surat al-Hadîd ayat 22-23 sebagai berikut:
⌧ ☺ “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (al-Lauh al-Mahfuz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” Kedua ayat di atas secara tegas menyatakan bahwa pada hakikatnya musibah
55
yang menimpa manusia telah ditetapkan oleh Allah SWT dan ditulis di dalam kitab di al-Lauh al-Mahfuz. Selanjutnya ayat tersebut menyatakan bahwa semestinya manusia tidak putus asa apabila ditimpa musibah dan sebaliknya semestinya manusia tidak terlalu bergembira dan menjadi lupa diri ketika meraih prestasi dalam hidupnya. Di dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat lain yang berbicara tentang musibah, tetapi Surat al-Hadîd ayat 22-23 di atas secara tegas menerangkan tentang hakikat musibah. Sedangkan ayat-ayat lain menjelaskan aspek-aspek lain dari musibah, di antaranya Surat al-Hajj ayat 11 menjelaskan tentang sikap manusia ketika ditimpa musibah.
☺
☺ “Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi; Maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam Keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. rugilah ia di dunia dan di akhirat. yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” Dengan alasan di atas penulis memilih Surat al-Hadîd ayat 22-23 untuk memahami lebih jauh hakikat musibah. Penelitian terhadap kedua ayat tersebut akan mengacu kepada kitab tafsir Fî Zilâl al-Qur’ân karya Sayyid Qutb dan kitab Tafsîr Al-Qur’ân al-‘Azîm karya Ibn Katsîr. Kedua kitab tafsir tersebut dipilih dengan alasan keduanya mewakili periode dan metode penafsiran yang berbeda. Karya Sayyid Qutb dipilih dan didahulukan dalam pembahasan karena karya ini termasuk dalam kategori tafsir periode modern yang menggabungkan metode bi al-ra’yi dan metode bi al-ma’tsur yang
66
penafsirannya lebih sesuai dengan kehidupan masa kini. Tafsir Sayyid Qutb kaya dengan pemikiran sosial kemasyarakatan dan mengkaji masalah-masalah sosial serta memberikan solusi yang dibutuhkan masyarakat. Sementara karya Ibn Katsîr dipilih untuk mewakili tafsir periode klasik dengan metode bi al-ma’tsur. Tafsir ini menyajikan penafsiran berdasarkan sumber-sumber lain yang dapat dipercaya. Tafsir Ibn Katsîr lebih dipilih daripada kitab klasik yang lain karena kitab ini adalah salah satu kitab tafsir klasik bi al-ma’tsur yang masyhur dan telah diakui kualitasnya. Dengan menggunakan dua kitab tersebut diharapkan dapat diperoleh pemahaman yang lebih komprehensif tentang hakikat musibah. B.
Pembatasan dan Perumusan Masalah Penelitian tentang hakikat musibah dalam al-Qur’an ini akan dibatasi
dengan meneliti ayat al-Qur’an Surat al-Hadîd ayat 22-23. Penelitian tentang makna ayat-ayat tersebut akan dibatasi dengan memilih dua buah kitab tafsir. Kitab Fî Zilâl al-Qur’ân karya Sayyid Qutb dipilih untuk mewakili karya tafsir modern, sementara kitab Tafsîr Al-Qur’ân al-‘Azîm karya Imâm al-Dîn abî alFida’ Ismâ’îl bin Katsîr yang lebih dikenal dengan nama Ibn Katsîr dipilih mewakili karya tafsir klasik. Untuk memperjelas ruang lingkup pembahasan, permasalahan yang akan dibahas dirumuskan dengan pertanyaan berikut: Bagaimana Penafsiran Sayyid Qutb dan Ibn Katsîr tentang musibah yang ada dalam Surat al-Hadîd ayat 22-23 ? C.
Kajian Pustaka Penelitian ini membandingkan penafsiran Sayyid Qutb dan Ibn Katsîr atas
Surat al-Hadîd ayat 22-23. Sebatas penelitian penulis, tidak banyak karya tulis
77
yang membahas tentang musibah dalam al-Qur’an. Penulis menemukan sebuah skripsi yang berjudul “Musibah Menurut Kajian Surat Al-Baqarah Ayat 155-157” karya Layli, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah tahun 2003. Skripsi tersebut lebih banyak membahas tentang bentuk-bentuk musibah sebagaimana yang disebutkan oleh ayat-ayat al-Qur’an yang menjadi topik utama penelitian, dan janji Allah SWT bagi mereka yang sabar menghadapi musibah. Demikian juga karya-karya lain seperti karya Muhammad al-Manjibi al-Hanbali yang berjudul “Menghadapi Musibah Kematian”, lebih banyak membahas tentang musibah kematian secara khusus. Yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian ini menfokuskan penelitian pada Surat al-Hadîd ayat 22-23 dan membahas tentang hakikat musibah dengan membandingkan penafsiran tokoh pergerakan Ikhwanul Muslimin, Sayyid Qutb, dan seorang ulama tafsir klasik, Ibn Katsîr. Sementara penelitian sebelumnya mengangkat Surat al-Baqarah ayat 155157 yang membahas tentang macam-macam musibah dan tidak menfokuskan penelitian pada tafsir tertentu. D.
Tujuan Penelitian Diharapkan, dengan penelitian ini dapat dicapai tujuan-tujuan sebagai
berikut: •
Memahami makna musibah.
•
Mengetahui sikap yang benar dalam menghadapi musibah
•
Mengetahui pengaruh positif penyikapan yang benar terhadap musibah dalam kehidupan seorang muslim.
•
Mengubah pola pikir dan sikap yang salah dalam menghadapi musibah
88
Selain itu, secara akademik, penelitian ini juga bertujuan untuk memenuhi sebagian persyaratan untuk memperoleh gelar kesarjanaan strata I. E.
Metode Penelitian Dalam penelitian ini, penulis melakukan pengumpulan data dengan metode
kajian pustaka menggunakan kitab tafsir, buku, majalah, jurnal dan artikel yang relevan dengan tema pembahasan. Adapun sumber data primer untuk penelitian ini adalah al-Qur’an, baik berupa mushaf maupun perangkat lunak (software) komputer, kitab tafsir Fî Zilâl al-Qur’ân karya Sayyid Qutb dan Tafsîr Al-Qur’ân al-‘Azîm karya Ibn Katsîr, dan hadis nabi SAW, baik berupa kitab maupun perangkat lunak (software) komputer. Sedangkan sumber data sekunder yang digunakan antara lain adalah buku-buku yang berisikan pengetahuan tentang alQur’an, buku-buku Islam yang membahas tentang musibah, dan sumber-sumber lain yang relevan dengan topik pembahasan. Pengolahan data akan dilakukan dengan metode deskriptif analitis. Metode deskriptif digunakan untuk menggambarkan data terpilih yang relevan secara obyektif dan apa adanya. Selanjutnya metode analitis dipakai untuk menganalisis secara kritis data yang diperoleh dan menghubungkannya dengan realita yang ada untuk dapat memberikan jawaban kepada permasalahan yang dibahas. Penulisan skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)” yang disusun oleh Hamid Nasuhi dkk. dan diterbitkan oleh Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2008.
99
F.
Sistematika Penulisan Supaya penelitian lebih terarah dan hasilnya dapat dengan mudah dipahami
oleh para pembaca, penulisan skripsi ini dilakukan dengan sistematika sebagai berikut: Bab I adalah pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II menerangkan tentang dua orang mufassir, yaitu Sayyid Qutb dan Ibn Katsîr, yang karyanya dijadikan acuan dalam penelitian ini dan meliputi biografi, pemikiran dan karya-karya yang dihasilkan, metode serta corak tafsir yang digunakan, dan perbandingan antara tafsir Sayyid Qutb dan tafsir Ibn Katsîr. Bab III membahas tentang pengertian musibah, macam-macam musibah dan pendapat para ulama tentang musibah. Bab IV secara rinci membahas surat al-Hadîd ayat 22-23 dengan membandingkan pendapat Sayyid Qutb dan Ibn Katsîr tentang definisi musibah, kehendak Allah dalam kehidupan manusia dan pengaruh keimanan dalam menghadapi musibah. Bab V merupakan Penutup yang berisi kesimpulan yang didapat dari pembahasan dan merupakan jawaban dari pertanyaan pada perumusan masalah dan juga berisi saran-saran penulis.
10 10
11 11
BAB II DESKRIPSI UMUM TENTANG SAYYID QUTB DAN IBN KATSÎR
A.
Deskripsi Tentang Sayyid Qutb 1. Biografi Sayyid Qutb Sayyid Qutb mempunyai nama lengkap Sayyid Qutb Ibrâhîm Husain Syadzili. Beliau lahir pada tanggal 9 Oktober 1906 di Mausyah, sebuah wilayah di Provinsi Asyut, di dataran tinggi Mesir. 1 Kakek keenam beliau, Abdullah, berasal dari India. Abdullah menetap di Mausyah setelah selesai melaksanakan ibadah haji di Mekah dan merasa takjub dengan pemandangan dan kesuburannya. Ayah Sayyid Qutb adalah orang terpandang dengan status sosial yang tinggi di lingkungannya. Sayyid Qutb menempuh pendidikan dasar di desanya. Sayyid menamatkan hafalan al-Qur’an pada usia 10 tahun. 2 Setelah Revolusi Rakyat Mesir pada tahun 1919 Sayyid pindah ke Kairo dan tinggal di rumah pamannya, Ahmad Husain ‘Utsmân. Melalui pamannya inilah Sayyid berkenalan dengan seorang sastrawan besar, ‘Abbas Mahmûd al-‘Aqqâd. Sayyid banyak mempelajari berbagai hal melalui perpustakaan yang dimiliki al-‘Aqqâd disamping berdiskusi dengannya. Selain itu, Sayyid dikenalkan
1
Shalah Abdul Fatah al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fî Zhilâl al-Qur’ân. Penerjemah Salafuddin Abu Sayyid (Solo: Intermedia, 2001), Cet. Ke-1, h. 23. 2 Republika, “Sayed Qutb, Sang Syahid Kontroversial”, Republika Online, artikel diakses pada 17 Januari 2010 dari http://www.republika.co.id/node/72910
11
pula dengan Partai Wafd. 3 Di kemudian hari Sayyid keluar dari Partai Wafd karena menganggap partai tersebut memihak kepada pemerintah Inggris dan bergabung
dengan
Partai
Sa’diyyin
selama
dua
tahun
sebelum
mengundurkan diri dari politik praktis secara total. Pada tahun 1930, Sayyid menjadi mahasiswa di Institut Darul Ulum dan meraih gelar Lc. dalam bidang sastra dan Diploma dalam bidang pendidikan pada tahun 1933. Selama menjadi mahasiswa Sayyid terlibat dalam kegiatan sastra, politik dan pemikiran melalui sejumlah penerbitan dan forum-forum diskusi. 4 Setelah lulus, Sayyid bekerja di Departemen Pendidikan sebagai pengajar selama enam tahun kemudian sebagai pengawas selama delapan tahun. Pada tahun 1948 Departemen Pendidikan mengirimkan Sayyid ke Amerika Serikat untuk melanjutkan pendidikannya. Sayyid tinggal di Amerika selama dua setengah tahun untuk belajar di Wilson’s Teacher College dan Stanford University dan berhasil memperoleh gelar M.A di bidang pendidikan. Sayyid kemudian mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai pengawas pendidikan karena tidak cocok dengan kebijakan pemerintah Mesir yang dianggapnya terlalu menuruti kemauan pemerintah Inggris. Pengalaman hidupnya di Amerika Serikat telah membuka mata Sayyid akan kekurangan peradaban barat yang maju di bidang teknologi. Pada saat yang sama Sayyid mulai tertarik dengan pemikiran Hasan Al-Bana dan Abul
3 4
al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir, h. 27. al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir, h. 27-28.
12
A’la Maududi dan bergabung dengan Ikhwanul Muslimin. Sejak itu Sayyid mulai memasukkan nilai-nilai Islam dalam karyanya. Ketika Ikhwanul Muslimin menentang kebijakan pemerintah pada awal tahun 1954, Sayyid termasuk yang ditangkap dan kemudian dijatuhi hukuman penjara selama lima belas tahun. Atas desakan pemimpin Irak, Abd al-Salam Arif, Sayyid dibebaskan setelah sepuluh tahun mendekam di penjara. Namun pada tahun 1965, Sayyid kembali ditangkap atas tuduhan makar terhadap pemerintah dan dijatuhi hukuman mati. Sayyid menolak mengakui kesalahan-kesalahan yang dituduhkan kepadanya untuk kemudian mendapatkan ampunan dari penguasa. Beliau mengatakan:”Sesungguhnya jari telunjuk yang tunduk kepada Allah SWT dengan menunjukkan keesaanNya dalam shalat sudah pasti menolak untuk menuliskan satu huruf pun untuk mengakui kekuasaan tiran.” 5 Pada tanggal 29 Agustus 1966, Sayyid Qutb menjalani eksekusi hukuman gantung bersama al-‘Abd al-Fattâh Ismaîl dan Muhammad Yûsuf Hawwâsy. 2. Pemikiran dan karya-karya Sayyid Qutb Merujuk kepada pendapat Abu al-Hasan al-Nadawi dan Al-Khalidi, fase pemikiran dan kehidupan Sayyid dapat dibagi dalam beberapa tahapan sebagai berikut: 1. Fase tradisi keislaman di rumah dan di desa. 2. Fase kebimbangan hakikat agama yang terjadi setelah Sayyid pindah ke Kairo dan terlepas dari tradisi-tradisi keislaman di kampung halaman.
5
al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir, h. 35.
13
3. Fase keislaman bernuansa seni. 4. Fase keislaman umum. Pada fase ini Sayyid tertarik kepada konsep keadilan dan reformasi sosial dalam Islam dan relevan dengan situasi Mesir pada saat itu. 5. Fase keislaman terorganisasi dan haraki. Pada fase ini Sayyid bergabung dengan Ikhwanul Muslimin sekembalinya dari Amerika Serikat hingga pertentangannya dengan pemerintah Mesir yang berakhir dengan hukuman mati bagi Sayyid. 6
Sayyid merupakan seorang pemikir yang produktif menuangkan pemikirannya dalam bentuk tulisan. Diantara karyanya adalah sebagai berikut. 7 1. Bidang Sastra a. Muhimmat al-Sya‘îr fî al-Hayah wa Syi‘r al-Jil al-Hadhir (Peran Penyair dalam Kehidupan dan Syair Generasi Kontemporer, diterbitkan tahun 1933) b. Al-Syathi’ al-Majhul (Pantai yang Tak Dikenal, sebuah kumpulan sajak, diterbitkan tahun 1935) c. Naqd Kitab “Mustaqbâl al-Tsaqafah fî Mishr” li al-Duktur Taha Husain (Kritik Buku: Masa Depan Budaya di Mesir karya Dr. Taha Husain, diterbitkan tahun 1939)
6 7
al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir, h. 39-40. al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir, h. 41-43.
14
d. Al-Atyâf al-Arba‘ah (Empat Jiwa, sebuah karya bersama dengan saudara-saudaranya;
Aminah,
Muhammad
dan
Hamidah,
diterbitkan tahun 1945) e. Tifl min al-Qaryah (Anak dari Desa, berisi gambaran tentang desanya dan catatan masa kecilnya di desa, diterbitkan tahun 1946) f. Al-Madînah al-Mansurat (Kota yang Indah, sebuah buku cerita fiksi seperti cerita Seribu Satu Malam, diterbitkan tahun 1946) g. Raudat al-Tifl (Taman Anak) h. Asywak (Duri-Duri, diterbitkan tahun 1947) i. Al-Jadîd fî al-Lughah al-‘Arabiyah (Yang Baru dalam Bahasa Arab) j. Al-Jadîd fî al-Mahfûzhât (Yang Baru dalam Mahfudzat) k. Kutub wa al-Syakhsyiyah (Buku dan Pengarangnya, sebuah studi Sayyid terhadap karya-karya pengarang lain, diterbitkan tahun 1946) 2. Bidang Keislaman Umum a. Al-Qasas al-Dînî (Kisah-Kisah Agama, disusun bersama Aminah al-Sa’id dan Yusuf Murad, diterbitkan dalam dua edisi) b. Al-Taswîr al-Fanni fî al-Qur’ân (Ilustrasi Artistik dalam AlQur’an, merupakan buku keislaman yang pertama, diterbitkan tahun 1945) c. Masyâhid al-Qiyâmah fî al-Qur’ân (Bukti-Bukti Kiamat dalam Al-Qur’an, diterbitkan tahun 1947)
15
d. Al-‘Adâlah al-Ijtimâ‘iyah fî al-Islâm (Keadilan Sosial dalam Islam, buku pertama dalam pemikiran Islam, diterbitkan tahun 1949) e. Ma’rakat al-Islâm wa al-Ra’s al-Maliyah (Perang antara Islam dan Kapitalisme, diterbitkan tahun 1951) f. Al-Salâm al-‘alami wa al-Islâm (Perdamaian Dunia dan Islam, diterbitkan tahun 1951) 3. Bidang Pergerakan Islam a. Fî Zilâl al-Qur'ân (Di Bawah Naungan Al-Qur’an, cetakan pertama juz pertama, 1952) b. Dirâsat Islâmiyah (Studi Islam, berisi kumpulan berbagai artikel, dihimpun oleh Muhib al-Din al-Khatib, diterbitkan tahun 1953) c. Al-Mustaqbâl lî Hâdzâ al-Dîn (Masa Depan di Tangan Islam, penyempurnaan dari Hâdzâ al-Dîn, diterbitkan setelah tahun 1954) d. Al-Islâm wa Musykilât al-Hadhârah (Islam dan Problematika Peradaban, diterbitkan setelah tahun 1954) e. Khasâis
al-Tasawwûr
al-Islâm
wa
Muqawwimâtuhu
(Karakteristik Islam dan Pilar-Pilarnya, diterbitkan tahun 1960) f. Ma‘âlim fî al-Tarîq (Petunjuk Jalan, berisi ringkasan pemikiran Sayyid yang menyebabkan penulisnya dijatuhi hukuman gantung, diterbitkan tahun 1964)
16
Penulisan tafsir Fî Zilâl al-Qur'ân dilatarbelakangi oleh kondisi sosial dan politik Mesir setelah Perang Dunia ke-2 dan terjadinya kudeta militer tahun 1952 serta perubahan fase pemikiran Sayyid Qutb. Penulisan tafsir ini dapat dibagi menjadi beberapa tahap sesuai dengan perkembangan kondisi sosial politik saat itu yang mempengaruhi pemikiran Sayyid Qutb. 8 Pertama, Penulisan Zilâl dalam Majalah Al-Muslimun. Penulisan ini adalah atas permintaan pemilik majalah, yaitu Sa’id Ramadhan kepada Sayyid Qutb untuk menulis artikel bulanan dalam sebuah rubrik pada majalah tersebut. Sayyid menamakan rubrik tersebut Fî Zilâl al-Qur'ân dan menulis tafsir alQur’an selama tujuh episode dari Surat al-Fâtihah/1 hingga Surat alBaqarah/2:103. Kedua, Penulisan Zilâl sebelum Sayyid masuk penjara. Setelah penerbitan dalam majalah sejumlah tujuh episode, Sayyid memutuskan untuk menerbitkan Zilâl secara utuh dalam bentuk kitab tafsir dan diluncurkan secara berkesinambungan juz demi juz. Kitab ini diterbitkan oleh Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah hingga juz ke-16. Ketiga, Penulisan Zilâl ketika Sayyid dalam penjara. Selama di dalam penjara, Sayyid menyelesaikan penulisan tafsir sampai dengan juz 27, yaitu juz tujuh belas dan delapan belas pada masa penahanan pertama selama empat bulan dan juz-juz berikutnya pada masa penahanan kedua selama sepuluh tahun. Kesempatan merenung yang cukup lama dan siksaan yang berat selama masa penahanan kedua mempengaruhi pemikiran Sayyid Qutb, termasuk pendekatan beliau dalam menafsirkan al-Qur’an. Hal ini mempengaruhi penafsiran beliau pada tahap berikutnya yang dimulai pada juz 28 sampai
8
al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir, h. 54-57.
17
dengan 30 dan penafsiran ulang juz satu hingga tigabelas. Sayyid Qutb tidak dapat melakukan penulisan ulang juz empat belas hingga 27 karena menjalani eksekusi hukuman mati. Bagi Sayyid Qutb, menulis tafsir bukan bertujuan untuk berkhidmat kepada ilmu tafsir itu sendiri, seperti yang dinyatakan al-Syaukani, penulis tafsir Fath al-Qadîr, ataupun Sayikh al-Maraghi. 9 Tetapi beliau bermaksud menjadikan tafsir beliau sebagai sarana untuk mendekatkan ummat Islam kepada al-Qur’an dan mengaplikasikan kandungannya dalam kehidupan ummat. Tentang hal ini beliau mengatakan sebagai berikut. ”Sesungguhnya saya serukan kepada para pembaca Zilâl jangan sampai Zilâl ini yang menjadi tujuan mereka, akan tetapi hendaklah mereka membaca Zilâl agar bisa dekat kepada al-Qur’an. Selanjutnya agar mereka mengambil al-Qur’an secara hakiki dan membuang Zilâl ini. Mereka tidak akan bisa mengambilnya secara hakiki kecuali jika mereka menjadikan seluruh kehidupan mereka untuk mewujudkan kandungan-kandungannya dan juga untuk berperang melawan kejahiliyahan dengan nama al-Qur’an dan di bawah benderanya.” 10
3. Metode dan Corak Tafsir Sayyid Qutb Sayyid Qutb menafsirkan al-Qur’an dengan metode tahliliy 11 , yaitu sebuah metode tafsir yang menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an
9
al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir, h. 122. al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir, h. 128. 11 Dr. Abd al-Hayy membagi metode penafsiran menjadi empat: 1. al-Ijmali (global) yaitu metoda tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global. 2. Tahliliy (Analisis) yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan menyampaikan semua aspek yang terkandung di dalam ayat yang ditafsirkan dan menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir. 3. Muqarin (komparatif) yaitu membandingkan ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama; atau membandingkan ayat Al-Qur’an dengan Hadits Nabi SAW, yang pada lahirnya terlihat bertentangan; atau membandingkan berbagai pendapat ulama’ tafsir dalam menafsirkan AlQur’an. 4. Mawdhu’iy (Tematik) yaitu menafsirkan al-Quran sesuai dengan tema atau judul yang ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan dengan tema tersebut dihimpun, kemudian diteliti secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait seperti asbâb al-nuzûl, kosa kata dan sebagainya. Semuanya dijelaskan secara rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta 10
18
meliputi seluruh aspeknya, yaitu aspek bahasa, kosakata, makna global, munasabah (korelasi) ayat, asbab al-nuzûl dilengkapi dengan sunnah Nabi SAW, pendapat sahabat, tabi’in dan pendapat mufasir sendiri. Keunikan tafsir Sayyid Qutb terletak pada corak tafsirnya yang dipengaruhi oleh latar belakang beliau sebagai sastrawan, keadaan masyarakat Mesir pada waktu itu dan keterlibatan beliau dalam Ikhwanul Muslimin. Kepakaran Sayyid di bidang sastra membuat bahasa yang digunakan dalam tafsirnya menjadi indah dilengkapi dengan penggambaran yang terasa hidup dan nyata. Keprihatinannya terhadap kondisi masyarakat saat itu mendorongnya untuk menulis tafsir ijtima’i sebagai solusi bagi permasalahan masyarakat. Sedangkan keterlibatannya dalam Ikhwanul Muslimin dan pertentangannya dengan kebijakan pemerintah Mesir pada saat itu membuatnya menuliskan tafsir bernafaskan haraky atau pergerakan. Dengan demikian, tafsir Sayyid Qutb dapat disebut sebagai tafsir tahlily yang bercorak adabi ijtima’i haraky. Dalam menuliskan tafsirnya Sayyid Qutb menggunakan pemahamannya terhadap ayat-ayat al-Quran sebagai rujukan utama. Adapun sumber-sumber rujukan lain yang bersifat sekunder meliputi kitab-kitab tafsir bi al-ma’tsur (tafsir Ibn Katsir, tafsir al-Thabari, tafsir al-Tsa’labi, tafsir al-Baghawi, tafsir al-Qurtubi, dll.), kitab-kitab sirah karya Ibn Hisyam, al-Maqrizi, Ibn Hazm, dan Ibn Qayyim al-Jauziyah, kitab-kitab hadis, kitab-kitab sejarah umat Islam dan dunia Islam masa kini, buku-buku ilmiah, kelimuan Islam,
yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah; baik argumen itu berasal dari Al-Qur’an dan Hadis, maupun pemikiran rasional. Dr. Abd al-Hayy al-Farmawi, Al-Bidâyah fî Al-Tafsîr AlMaudhu’iy (Kairo:Al-Hadharah Al-Arabiyah, 1977), Cet.II, h. 23.
19
pengetahuan dan pengalaman pribadi serta pemikiran yang bersumber dari jamaah Ikhwanul Muslimin. 12 B.
Deskripsi Tentang Ibn Katsîr 1. Biografi Ibn Katsîr Ibn Katsîr dilahirkan di Bashra pada tahun 700 H (1300 M) dengan nama lengkap Imâduddîn Abu al-Fida’ Ismâîl bin ‘amir bin Katsîr. Beliau wafat di Damaskus pada tahun 774 H. Beliau dikenal sebagai ahli tafsir, hadis, sejarah dan fiqh. 13 Keluarga Ibn Katsîr merupakan keluarga terhormat di masanya. Ayahnya, Syihab al-Din Abu Hafsh ‘Amr Ibn Katsîr Ibn Dhaw’ Ibn Zara’ al-Quraisy adalah seorang ulama terkemuka. Setelah orang tuanya wafat, dalam usia tujuh tahun Ibn Katsîr pergi ke Damaskus bersama sudaranya untuk menimba ilmu. 14 Pesatnya kemajuan pusat-pusat studi Islam di bawah pemerintah dinasti Mamaluk pada masa tersebut menguntungkan Ibn Katsîr yang sedang menuntut ilmu. Banyak ulama ternama yang menjadi tempat beliau berguru. 15 Guru utama Ibn Katsîr adalah Bahrudin al-Farazi (660-729 H) dan Kamal al-Din Ibn Qadi Syuhbah. Dari keduanya beliau mempelajari ilmu fiqih dengan menelaah kitab al-Tanbih karya al-Syirazi dan Mukhtashar Ibn Hajib hingga menjadi ahli fiqih yang menjadi rujukan para penguasa dalam persoalan hukum. 16
12
al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir, h. 182. Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn (Mesir: Maktabah Wahbah, 1985), h. 242. 14 Mani’ Abd al-Halim Mahmûd, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehesif Metode Para Ahli Tafsir. Penerjemah Syahdianor dan Faisal Saleh (Jakarta: Rajagrafindo, 2003), h. 64. 15 Nur Maizin Maswan, Kajian Deskriptif Tafsir Ibn Katsîr (Yogyakarta: Menara Kudus, 2002), h. 35-36. 16 Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT Ichtiar Van Horve, 1993), Jilid III, h. 157158. 13
20
Kemudian beliau berada dalam bimbingan Ibn Taimiyah (wafat 728 H). Ibn Katsîr menyelesaikan hafalan al-Qur’an pada usia sebelas tahun dan memperdalam qira’at dan studi tafsir dari Ibn Taimiyyah. Ibn Katsîr berguru hadis kepada para ulama Hijaz dan mendapatkan ijazah dari al-Wani. Beliau menghafal 100.000 hadits dan mendapat gelar alHafîz. 17 Ibn Katsîr juga mendapat sebutan al-Mu’arrikh karena kepakarannya dalam bidang sejarah. Guru beliau dalam bidang ini adalah Al-Hafîz alBirzali (w.739 H), seorang sejarawan dari kota Syam. Kitab sejarah alBidâyah wa al-Nihâyah karya Ibn Katsîr banyak merujuk kepada karya gurunya tersebut. 18 Imam al-Dzahabi menilai Ibn Katsîr sebagai “Imam, mufti, dan pakar hadis. Spesialis fiqih, ahli hadis yang cermat dan mufassir yang kritis.” Setelah al-Dzahabi wafat, Ibn Katsîr menggantikannya sebagai syaikh di Um al-Shaleh. Beliau juga memimpin Dar al-Hadits al-Syarafiyyah setelah alSubki meninggal dunia. 19 2. Pemikiran dan karya-karya Ibn Katsîr Ibn Katsîr memandang perbedaan para ulama dalam penafsiran al Qur’an bukanlah perbedaan prinsipil dan masih menyisakan banyak persamaan sehingga dapat dikompromikan. Kitab tafsir yang disusun oleh belaiu merangkum dan mengkompromikan banyak pendapat ahli tafsir. Tentang sikap kompromi ini beliau menyatakan sebagai berikut.
17
Muhammad Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadits (Beirut: Dar al-Fikr, 1409 H), h. 448. Ibn Katsir, al-Bidâyah wa al-Nihâyah (Beirut: Dar al-Fikr, tt), Jilid XIV, h.148. 19 Mahmûd, Metodologi Tafsir, h. 65-66. U
18
21
”Memang sering dijumpai perbedaan pengungkapan dalam banyak pernyataan mereka. Namun pada kenyataannya perbedaan tersebut bukan merupakan perbedaan yang prinsipil. Mereka yang tidak memahami berkesimpulan tentang adanya perbedaan. Kemudian menyatakan perbedaan-perbedaan tersebut dan mengesankannya sebagai pendapat-pendapat yang berbeda. Padahal kesemua pendapat tersebut memiliki kesamaan dalam banyak hal. Namun kesamaan yang hanya dapat dimengerti oleh mereka yang mampu memahami.” 20 Beliau juga berpendapat bahwa penafsiran bi al-ra’yi dapat dilakukan oleh mereka yang mempunyai disiplin ilmu bahasa dan syariat dan melarang mereka yang tidak memiliki dasar pengetahuan tentang tafsir. 21 Pemikiran beliau di bidang tafsir telah menempatkan karya tafsirnya sebagai salah satu tafsir terbaik yang menjadi rujukan banyak ulama sesudahnya. Ibn Katsîr dikenal tidak hanya sebagai ahli tafsir, tetapi juga sebagai ahli hadis, fiqh dan sejarah. Karena itu, karya-karya beliau pun cukup beragam. Diantaranya adalah: 1. Bidang Al-Qur’an. a. Fadhâ’il al-Qur’ân (Keutamaan al-Qur’an, berisi ringkasan sejarah al-Qur’an, banyak dipengaruhi kitab al-Siyasah alSyari’ah karya Ibn Taimiyah) b. Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm (lebih dikenal dengan nama Tafsir Ibn Katsîr, diterbitkan pertama kali di Kairo pada tahun 1342 H atau 1923 M). 2. Bidang Sejarah
20 21
Mahmûd, Metodologi Tafsir, h. 62. Mahmûd, Metodologi Tafsir, h. 62.
22
a. Al-Bidâyah wa al-Nihâyah (merupakan rujukan terpenting bagi sejarawan 22 yang memaparkan berbagai peristiwa sejak awal penciptaan sampai peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun 768 H, sejarah dalam kitab ini dibagi menjadi dua bagian besar: Pertama, sejarah kuno yang menuturkan mulai dari riwayat penciptaan sampai kenabian
Muhammad SAW. dan kedua,
sejarah Islam mulai dari periode Nabi SAW. di Makkah sampai pertengahan abad 8 H. Kejadian-kejadian setelah hijrah disusun berdasarkan tahun kejadian. Kitab ini terdiri dari 14 jilid) b. Al-Fusulât fî Sirât al-Rasul (Sirah Nabi) c. Tabaqât al-Syafî ‘iyah d. Manâqib al-Imâm al-Syafî‘i. 3. Bidang Fiqih a. Al-Ijtihâd bi Talab al-Jihâd (ditulis untuk menggelorakan semangat jihad mempertahankan pantai Libanon dari serbuan Raja Franks dari Ciprus, ditulis tahun 1368-1369 M) b. Kitab Ahkâm (Kitab Hukum, berisi hukum-hukum fikih) c. Al-Ahkâm ‘ala Abwab al-Tanbîh. 4. Bidang Hadis a. Al-Takmîl fî Ma‘rifat al-Tsiqah wa al-Du‘afa’ wa al-Majâhil (Pelengkap Mengenal Perawi Tsiqah, Lemah dan Kurang Dipercaya, berisi riwayat perawi hadis, terdiri dari lima jilid)
22
Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Penerjemah Mudzakir AS (Jakarta: Lentera Antar Nusa, 2006), cet. Ke-5, h. 528.
23
b. Jami‘ al-Masânid wa al-Sunan (Kumpulan Musnad dan Sunan, berisi nama para sahabat yang meriwayatkan hadis dalam musnad Imam Hanbali, terdiri dari delapan jilid) c. Ikhtisar ‘Ulûm al-Hadîts d. Takhrij ahâdîts adillah al-Tanbîh li ‘ulûm al-Hadîts e. Syarah Shahih Bukhari (dilanjutkan oleh Ibn Hajar al-Asqalani).
Karakteristik tafsir Ibn Katsîr adalah adanya rangkuman pendapat yang luas dari para mufassir terdahulu dan usaha beliau untuk mengkompromikan pendapat-pendapat yang kelihatan berbeda. Apabila tidak mungkin untuk digabung, maka beliau akan melakukan tarjih diantara pendapat-pendapat tersebut. Oleh karena itu tafsir ini diletakkan sebagai tafsir terbaik kedua setelah tafsir al-Thabari. 23 Kelebihan lain dari tafsir Ibn Katsîr adalah sikap kritis beliau terhadap riwayat dan cerita israiliyat sehingga disebut sebagai pengguna cerita israiliyat terbaik. 24 3. Metode dan Corak Tafsir Ibn Katsîr Seperti halnya Sayyid Qutb, Ibn Katsîr menggunakan metode tahliliy 25 dalam menafsirkan al-Qur’an. Tafsir Ibn Katsîr termasuk jenis tafsir bi alma’tsur, dengan urutan prioritas rujukan penafsiran sebagai berikut: 26 1. Penafsiran sebuah ayat dengan ayat yang lain, sebab banyak ayat alQur’an yang bersifat umum dijelaskan secara lebih rinci dalam ayat 23
Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, h. 202. Muhammad Husain al-Dzahabi, Israiliyat dalam Tafsir dan Hadits (Jakarta: Lentera antar Nusa, 1993), h. 132. 25 Lihat catatan kaki nomor 9, h. 18. 26 Mahmûd, Metodologi Tafsir, h. 60. 24
24
yang lain. 2. Apabila tidak dijumpai penjelasan dari ayat lain, maka dilakukan penafsiran dengan hadits nabi SAW. Dalam hal ini beliau mengutip pendapat imam syafi‘i yang mengatakan: “Setiap hukum yang ditetapkan rasulullah SAW merupakan hasil pemahamannya terhadap al-Qur’an.” 27 3. Apabila tidak ditemukan penjelasan dari kedua sumber di atas, maka penafsiran merujuk kepada pendapat para sahabat nabi SAW. Hal ini karena para sahabat menyaksikan secara langsung kondisi dan latar belakang penurunan ayat serta kualitas mereka dari sisi pemahaman, keilmuan dan amal shaleh. Diantara mereka yang terkenal adalah empat khalifah pertama, ‘Abd Allâh ibn Mas‘ûd, dan ‘Abd Allâh Ibn ‘Abbâs. 4. Rujukan selanjutnya adalah pendapat para tabi’in yang mendapatkan informasi langsung dari para sahabat nabi SAW, seperti Mujâhid bin Jabr, Sa’id bin Jabir, ‘Ikrimah, Atha’ bin Rabbah, Hasan al-Basri, Sa’id bin al-Musayyab, Rabi’ bin Anas dan Dahhak bin Muzahim. Perbandingan antara Tafsir Sayyid Qutb dan Tafsir Ibn Katsîr
C.
Setelah melakukan kajian terhadap kedua tafsir di atas, yaitu tafsir Fî Zilâl al-Qur'ân dan Ibn Katsîr akan terlihat perbedaan antara keduanya. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Hal ini dipengaruhi oleh latar belakang, lingkungan dan kondisi saat itu. Tafsir Sayyid Qutb merupakan tafsir kontemporer yang aktual dengan pendekatan sosial kemasyarakatan sehingga membahas dan 27
Mahmûd, Metodologi Tafsir, h. 60.
25
memberikan solusi secara langsung atas problematika umat. Kitab tafsir ini mewakili pemikiran Jamaah Ikhwanul Muslimin dalam memahami al-Qur’an sebagai petunjuk yang harus diimplementasikan dalam kehidupan. Dalam tafsir Sayyid Qutb ini tidak banyak terdapat pengulangan pendapat ulama tafsir sebelumnya. Hal ini membuatnya menjadi tidak selengkap tafsir Ibn Katsîr. Tafsir Ibn Katsîr merupakan yang terbaik di antara tafsir yang ada pada zaman ini karena mengandung beberapa keistimewaan yang nyaris tidak dimiliki oleh tafsir lainnya. Di antara keistimewaan itu adalah ia merupakan penafsiran alQur’an dengan al-Qur’an, kemudian dengan sunnah, kemudian dengan pendapat ulama salaf , dan berpegang teguh pada semantik bahasa Arab. Tafsir Ibn Katsîr tidak mengandung permusuhan diskusi, golongan, dan mazhab. Ibn Katsîr memilih kebenaran dan membelanya pada siapa saja kebenaran itu berada. Dia mengajak kepada persatuan dan menjauhkan perpecahan. Tafsir ini banyak memuat pendapat ulama tafsir terdahulu dan mencoba menyatukan perbedaannya. Walaupun demikian tafsir ini tidak terlepas dari hal-hal yang mengeruhkan dalam mengkaji kejernihannya. Di antara yang mengeruhkan itu ialah adanya hadis da‘if, pengulangan hadis sahih dan adanya cerita israiliyat. Kedua mufassir mempunyai kelebihan masing-masing dalam menafsirkan al-Qur’an. Gaya bahasa dan pendekatan yang dipilih oleh Sayyid Qutb mempunyai kekuatan lebih untuk menyentuh hati pembaca. Sementara pendekatan Ibn Katsîr memberikan informasi yang lebih lengkap karena merangkum pendapat para ulama sebelumnya. Tetapi keluasan pendapat tersebut tidak dapat ditemukan di setiap kitab tafsir versi ringkas atau mukhtasarnya. Oleh karena itu, dalam melakukan penelitian, untuk mendapatkan gambaran
26
yang akurat tentang karya seseorang perlu diambil data-data primer dari sumbersumber rujukan yang asli, bukan versi mukhtasar atau ringkasan, baik dalam bahasa asli (dalam hal ini bahasa Arab) maupun bahasa terjemahan. Untuk mengetahui lebih lanjut lingkup pengurangan yang dilakukan oleh versi ringkasan terhadap versi lengkap pada penafsiran sebuah ayat, perlu dilakukan perbandingan secara langsung penafsiran yang terdapat pada naskah lengkap dan naskah ringkasannya. Namun demikian, versi ringkasan layak dibaca bagi pembaca yang tidak ingin melakukan penelitian, tetapi ingin mendapatkan pemahaman dengan mudah. Keberadaan versi ringkasan edisi terjemahan telah membantu memudahkan masyarakat untuk memahami al-Qur’an dengan lebih mudah.
27
BAB III MUSIBAH DALAM KEHIDUPAN MANUSIA A.
Pengertian Musibah Dalam bahasa Indonesia kata “musibah” diartikan sebagai malapetaka atau
bencana, yaitu segala kejadian atau peristiwa menyedihkan yang menimpa manusia, seperti gempa, banjir, kebakaran dan lain-lainnya. Peristiwa-peristiwa tersebut pada umumnya menimbulkan kerugian berupa harta benda maupun jiwa manusia. 1 Sedangkan dalam bahasa Arab kata musîbah ( ) ﻣﺼﻴﺒﺔberasal dari kata dasar yang terdiri dari huruf sad, wau dan ba’; ( ﺻﻮبsawaba) yang mempunyai makna اﻟﺮﻣﻴﺔatau lemparan. 2 Salah satu derivasi bentuk dan makna dari kata tersebut adalah kata ﻳﺼﻴﺐ-( اﺻﺎبasâba – yusîbu) yang berarti sesuatu yang kedatangannya tidak disukai oleh manusia. Makna ini dapat dijumpai dalam hadis berikut:
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ اﷲ ﺑﻦ ﻳﻮﺳﻒ أﺧﺒﺮﻧﺎ ﻣﺎﻟﻚ ﻋﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ اﷲ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ اﻟﺮﺣﻤﻦ ﺑﻦ أﺑﻲ ﺻﻌﺼﻌﺔ أﻧﻪ ﻗﺎل ﺳﻤﻌﺖ ﺳﻌﻴﺪ ﺑﻦ ﻳﺴﺎر أﺑﺎ اﻟﺤﺒﺎب ﻳﻘﻮل ﺳﻤﻌﺖ أﺑﺎ هﺮﻳﺮة ﻣﻦ ﻳﺮد اﷲ ﺑﻪ ﺧﻴﺮا ﻳﺼﺐ ﻣﻨﻪ: ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ: ﻳﻘﻮل “Mengabarkan kepada kami ‘Abd Allâh bin Yûsuf mengabarkan kepada kami Mâlik dan Muhammad bin ‘Abd Allâh bin ‘Abd al-Rahman bin Abiy Sa‘sa‘ah sesungguhnya dia berkata aku mendengar Sa‘id bin Yasâr Abu alHubâb berkata aku mendengar Abu Hurairah berkata,”Berkata Rasulullah SAW,”Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah SWT untuk mendapat
1
Pusat Bahasa Depdiknas RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, diakses tanggal 22 Mei 2009 dari http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php 2 Al-Râghib al-Asfahâni, Mu’jam Mufradât fî alfâdz al-Qur’ân (Beirut: Dar al-Kutub al‘ilmiyah, 2004), h. 322.
28
Kata
ﻳﺼﺐ ﻣﻨﻪ
dalam hadis tersebut diartikan Ibn Manzur sebagai sesuatu
yang turunnya atau kedatangannya tidak disukai oleh manusia. 4 Imam Bukhâriy dalam Sahihnya menjelaskan lebih lanjut bahwa sesuatu yang akan ditimpakan kepada manusia (musibah) bertujuan mensucikannya dari dosa agar kelak berjumpa kepada Allah dalam keadaan suci. Menurut Ahsin W. Al-Hafidz, kata musibah di dalam al-Qur’an disebut sebanyak sepuluh kali 5 , yaitu: 1. Surat al-Baqarah/2:155-156. Allah SWT menyebutkan berbagai macam musibah yang akan ditimpakan kepada manusia sebagai ujian dalam kehidupan di dunia,yaitu: ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. 2. Surat Âli ‘Imrân/3:165. Allah SWT menggunakan kata musibah untuk menggambarkan kekalahan umat Islam dalam perang Uhud dan kekalahan orang kafir Quraisy dalam perang Badar. 3. Surat al-Nisâ’/4:62. Allah SWT menyebut balasan bagi orang-orang munafik sebagai sebuah musibah bagi mereka. 4. Surat al-Nisâ’/4:72 Allah SWT menyebut balasan bagi orang-orang yang enggan untuk ikut berperang sebagai musibah bagi mereka. 5. Surat al-Mâ’idah/5:49. Allah SWT menyebutkan tentang musibah yang akan menimpa orang-orang yang berpaling dari hukum yang telah ditetapkan Allah SWT. 6. Surat al-Taubah/9:50. Allah SWT menerangkan sikap orang-orang 3
Imam al-Bukhâriy, Sahîh al-Bukhâriy (Beirut: Dar al-Fikr, tt), hadis no. 5321. Ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab (Beirut: Dar Sâdir, tt), fashl ص, Juz 1, h. 536. 5 Ahsin W. Al-Hafidz, Kamus Ilmu Al-Qur’an (Jakarta: Amzah, 2006), cet. ke-2, h. 204. 4
29
munafik yang bergembira apabila Rasulullah SAW tertimpa musibah. 7. Surat al-Qasas/28:47. Allah SWT menerangkan musibah yang menimpa orang-orang
kafir
Quraisy
yang
membuat
mereka
menyesali
perbuatannya di dunia. 8. Surat al-Syûrâ /42:30. Allah SWT menerangkan bahwa musibah adalah akibat dari perbuatan manusia sendiri. 9. Surat al-Hadîd/57:22. Allah SWT menyebutkan tentang hakekat musibah. 10. Surat al-Taghabûn/64:11. Allah SWT menjelaskan bahwa musibah tidak akan terjadi kecuali atas ijin Allah SWT.
Selain kata musibah, al-Qu’ran menggunakan kata ( ﺑﻼءbalâ’), ﻋﺪاب (‘adzâb) dan ( ﻓﺘﻨﺔfitnah) untuk menyatakan bencana yang menimpa manusia. Dalam hal ini kata ﻓﺘﻨﺔditulis dengan huruf miring dan bertransliterasi untuk membedakannya dengan kata “fitnah” yang ada dalam bahasa Indonesia dan mempunyai makna berbeda. Kata “fitnah” dalam bahasa Indonesia berarti menuduh dengan tidak benar. Secara literal, al-balâ’ bermakna al-ikhtibâr (ujian). Di dalam al-Qur’an, istilah balâ’ digunakan untuk menggambarkan ujian berupa kebaikan maupun keburukan. Dalam kitab al-Tibyân fî Tafsîr Gharîb al-Qur’ân dinyatakan, bahwa balâ’ itu memiliki tiga makna, yaitu sebagai ni’mah (kenikmatan), sebagai ikhtibâr (cobaan atau ujian), dan sebagai makrûh (sesuatu yang tidak disenangi). 6
6
Syihâb al-Dîn Ahmad, al-Tibyân Fî Tafsîr Gharîb al-Qur’ân (Beirut: Dar al-Fikr, tt), Juz 1,
h. 85.
30
Di dalam al-Qur’an, kata balâ’ disebutkan di enam tempat dengan makna yang berbeda-beda, yaitu: Surat al-Baqarah/2:49, al-A‘râf/7:141, al-Anfâl/8:17, Ibrâhîm/14: 6, al-Shaffât/37:106, dan al-Dukhân/44:33. Balâ’ dengan makna ujian berupa keburukan terdapat di dalam Surat alBaqarah/2:49 sebagai berikut ini:
⌧ ⌦
⌧
⌧ “Dan (ingatlah) ketika Kami selamatkan kalian dari (Fir'aun) dan pengikut-pengikutnya; mereka menimpakan kepadamu siksaan yang seberatberatnya, mereka menyembelih anak-anakmu yang laki-laki dan membiarkan hidup anak-anakmu yang perempuan. dan pada yang demikian itu terdapat cobaan-cobaan yang besar dari Tuhanmu.” Balâ’ dalam ayat di atas adalah ujian terhadap Bani Israil yang berupa
penindasan Fir’aun dan pengikutnya yang membunuh setiap bayi laki-laki Bani Israil dan membiarkan hidup bayi perempuan. Surat al-A‘râf/7:141 dan Ibrâhîm/14: 6 menerangkan hal yang sama dengan redaksi yang mirip. Pada ketiga ayat di atas, ujian terhadap Bani Israil disebut juga sebagai ‘adzâb. Menurut Quraish Shihab, balâ’ dalam ketiga ayat tersebut juga dapat diartikan sebagai ujian kebaikan, yaitu diselamatkannya nabi Musa A.S. dan pengikutnya dari pengejaran Fir‘aun. 7 Adapun balâ’ dalam konteks ujian berupa kebaikan terdapat dalam Surat al-Anfâl/8:17.
☺
7
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2007), cet.ke-8, , vol. 1, h. 233.
31
⌧ .
☺
“Maka sebenarnya, bukan kamu yang membunuh mereka. Akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allahlah yang melempar. Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik (balâ’an hasanâ). Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Dalam ayat di atas, kemenangan umat Islam pada peperangan Badar disebut sebagai balâ’an hasanâ atau ujian berupa kebaikan atau anugerah. Kemenangan umat Islam atas orang-orang kafir Quraisy dalam perang Badar menjadi ujian bagi umat Islam. Keikhlasan para sahabat Rasulullah SAW dalam berjihad di jalan Allah SWT diuji dengan harta dunia. Perselisihan terjadi diantara para sahabat Rasulullah SAW tentang pembagian rampasan perang. Sebagian sahabat merasa lebih berhak untuk mendapatkan rampasan perang daripada sahabat yang lain. Para sahabat Rasulullah SAW akhirnya tunduk kepada ketentuan Allah SWT dan Rasul-Nya yang disebutkan dalam Surat al-Anfâl/8. Surat al-Shâffât/37:106 menyebut ujian bagi nabi Ibrahim A.S. untuk menyembelih nabi Ismail A.S. sebagai balâ’. Sedangkan Surat al-Dukhân/44:33 menyebut ni’mat yang diberikan kepda bani Israil sebagai balâ’, yaitu ketika mereka diselamatkan Allah SWT dari pengejaran Firaun. Kata ‘adzâb secara literal berarti al-nakâl wa al-‘uqûbah (peringatan dan hukuman). 8 Kata al-’adzâb biasanya digunakan dalam konteks hukuman atau siksaan kelak di hari akhir. 9 Hal ini dapat dilihat pada pada ayat-ayat di dalam alQur’an yang berisi ancaman kepada orang-orang kafir, di antaranya adalah seperti
8
A.W Munawwir, Kamus Arab –Indonesia (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002), cet. Ke-25, h.
1463. 9
Ibnu Manzûr, Lisân al-‘Arab, Juz 1, h. 585.
32
yang terdapat pada Surat al-Baqarah/2:7. 10 Sedangkan kata fitnah di antaranya seperti yang terdapat pada surat al-Anfal/8:25. 11 Dengan demikian, musibah dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang menimpa manusia dengan bentuk yang bermacam-macam baik berupa bencana atau malapetaka yang sifatnya tidak menyenangkan dengan tujuan sebagai ujian atau adzab bagi manusia. B.
Pendapat Ulama tentang Musibah al-Qurtubi menyatakan bahwa musibah adalah segala sesuatu yang
mengganggu orang mukmin dan menjadi bencana baginya. 12 Demikian juga Hamka menyatakan bahwa musibah adalah bencana, baik bencana besar yang terjadi pada alam, seperti gunung meletus, banjir, gempa bumi dll., maupun bencana kecil yang terjadi pada manusia seperti sakit dan tenggelam. 13 Menurut Quraish Shihab kata musibah tidak selalu berarti bencana, tetapi “...mencakup segala sesuatu yang terjadi, baik positif maupun negatif, baik anugerah maupun bencana...”. 14 Menurut Imam al-Baidhâwiy, musibah adalah semua kemalangan
10
Sûrah al-Baqarah/2:7
☺ ⌧ Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah SWT menutup hati, pendengaran dan penglihatan orang-orang kafir karena mereka enggan menerima iman. Allah membiarkan mereka larut dalam kesesatan sesuai dengan keinginan hati mereka sendiri. Mereka tidak mau mendengarkan peringatan dari Rasulullah SAW dan tidak mau menggunakan potensi yang diberikan oleh Allah SWT untuk memahami dan mengikuti petunjuk yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Mereka dijanjikan ‘adzâb yang berat di akhirat kelak. (Lihat Tafsir al-Mishbah, Juz 1, h. 116) 11 Surat al-Anfal/8/25 ☺
⌧
☺
“Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” 12 al-Hambali, Hiburan, h. 10. 13 Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz XXVII (Jakarta: Pustaka Panjimas, tt), h. 299. 14 Shihab, al-Mishbah, vol. 14, h. 43.
33
yang dibenci dan menimpa umat manusia. 15 Manusia akan mengalami keburukan dalam hidupnya manakala menjauh dari manhaj atau aturan Allah SWT. Kehidupan ini telah diciptakan Allah SWT dengan manhaj tertentu agar terjadi keharmonisan dalam berbagai hal, baik dalam meniti karir, kerja, menata kehidupan keluarga dan rumah tangga, mendidik anak-anak, mencari rizqi dan dalam semua dinamika kehidupan lainnya. 16 Menurut al-Hanbali, Imam Nawawi berpendapat bahwa musibah adalah segala sesuatu yang menimpa manusia, berupa
kesedihan,
kepayahan,
kesusahan
dan
lain-lain.
Allah
sedang
mengangkatnya dan menghapus kesalahannya. Di dalamnya terdapat pesan tentang turunnya kebahagiaan agung bagi umat Islam yang ditimpa musibah. Tidak ada kabar terindah yang mampu membahagiakan seorang muslim, kecuali terhapusnya dosa dan kekeliruan. 17 Dapat disimpulkan bahwa para ulama sepakat untuk mengartikan musibah sebagai bencana yang menimpa manusia, kecuali Quraish Shihab yang mengartikan musibah dapat berupa kebaikan maupun keburukan. Pendapat beliau ini lebih dekat kepada pengertian balâ’ sebagaimana telah dibahas pada sub-bab Pengertian Musibah. C.
Macam-Macam Musibah Dilihat dari akibat yang ditimbulkan, musibah dapat dibagi menjadi dua
macam, yaitu musibah agama dan musibah dunia. 18 Musibah agama adalah musibah yang mempengaruhi keimanan ahl al-musîbah (orang yang terkena 15
Imam al-Baidâwiy, Tafsir al-Baidâwiy (Beirut: Dar al-Fikr, tt), Juz 1, h. 431. Mutawalli al-Sya’rawi, Baik danBuruk, Penerjemah Tajuddin (Jakarta: Pustaka Kautsar, 1994), cet. Ke-1, h. 33 17 16 Muhammad al-Manjibi al-Hanbali, Menghadapi Musibah Kematian, Penerjamah Muhammad 16
Suhadi (Jakarta: Hikmah, 2007), cet. Ke-1, h. 12 18 al-Hambali, Hiburan, h. 34.
34
⌧
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” Allah SWT menciptakan manusia dalam berbagai suku dan bangsa untuk saling mengenal dan saling membantu dalam kehidupan ini. Setiap manusia diberi potensi yang sama untuk kehidupannya, baik kehidupan dunia maupun akhiratnya. Manusia diberikan kebebasan untuk menentukan prioritas hidupnya dalam menggunakan potensinya. Tetapi, Allah SWT menggunakan parameter
35
keimanan dan ketaqwaan dalam menilai manusia. Musibah agama terbesar yang menimpa umat Islam adalah wafatnya Rasulullah SAW. Wafatnya Rasulullah SAW dirasakan berat oleh umat Islam pada waktu itu. Umar bin Khattab yang dikenal sebagai orang yang tegar dan keras pada awalnya tidak dapat menerima kematian Rasulullah SAW hingga diingatkan oleh Abu Bakar dengan Surat Âli ‘Imrân/3:144.
☺
⌧ “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, Maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” 19 Wafatnya Rasulullah SAW berarti terputusnya wahyu dari langit dan dimulainya kerusakan. Hal ini ditandai dengan murtadnya sebagian orang Islam
19
Hal ini dikutip oleh al-Buthy dari riwayat Ibnu Ishaq sebagai berikut: “Abu Bakar keluar dari rumah Rasulullah SAW sementara Umar r.a. tengah berbicara kepada orang-orang bahwa Rasulullah SAW tidak mati tetapi sedang pergi menemui Rabb-Nya sebagaimana Musa bin Imran dan beliau tidak akan mati sampai orang-orang munafiqin punah. Kemudian Abu Bakar mendatanginya seraya berkata: Tunggu sebentar wahai Umar, diamlah! Tetapi Umar tidak menggubrisnya dan terus berbicara emosional. Melihat Umar tidak mau berhenti maka Abu bakar pergi menemui orang-orang dan merekapun mendatangi Abu Bakar serta meninggalkan Umar. Abu Bakar lalu berkata: Amma ba’du, wahai manusia! Barang siapa di antara kalian menyembah Muhammad maka ketahuilah bahwa Muhammad telah meninggal dan barang siapa yang menyembah Allah maka sesungguhnya Allah Mahahidup dan tidak mati. Allah berfirman: “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang Rasul. Apakah jika ia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak akan mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (alImran:144). Sebelum Abu Bakar membaca ayat ini seolah-olah mereka tidak tahu kalau Allah telah menurunkan ayat tersebut, sehingga semua yang mendengarkan bacaan Abu Bakar tersebut dengan serentak ikut membacanya. Umar ra. Berkata: “Demi Allah, setelah kudengar Abu Bakar membaca ayat tersebut aku merasa tidak berdaya, kedua kakiku lemas sehingga aku terduduk ke tanah karena aku mnedengar dia membacakan bahwa Nabi SAW telah meninggal dunia.”“ M Sai’d Ramadhan al-Buthy, Sirah Nabawiyah, Penerjemah Aunur Rafiq Sahleh Tamhid (Jakarta: Robbani Press, 2000), cet. Ke-2, h. 451.
36
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺁدم ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺷﻌﺒﺔ ﺣﺪﺛﻨﺎ أﺑﻮ ﺟﻤﺮة ﻗﺎل ﺳﻤﻌﺖ زهﺪم ﺑﻦ ﻣﻀﺮب ﻗﺎل ﺳﻤﻌﺖ ﺧﻴﺮآﻢ: ﻗﺎل اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ: ﻋﻤﺮان ﺑﻦ ﺣﺼﻴﻦ رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﻗﺎل ﻗﺮﻧﻲ ﺛﻢ اﻟﺬﻳﻦ ﻳﻠﻮﻧﻬﻢ ﺛﻢ اﻟﺬﻳﻦ ﻳﻠﻮﻧﻬﻢ “Menceritakan kepada kami Adam menceritakan kepada kami Syu’bah menceritakan kepada kami Abu Jamrah dia bekata aku mendengar Dzahdam bin Mudrab dia berkata saya mendengar Imran bin Husain RA. berkata telah bersabda Rasulullah SAW,”Sebaik-baik kalian adalah generasiku, kemudian generasi yang mengikutinya, kemudian generasi yang mengikutinya.” 20 Seperti dijelaskan di atas musibah agama akan terus terjadi menimpa kalangan kaum muslimin selama iblis masih ada. Karena musuh kaum muslimin dan orang-orang yang beriman, yakni iblis dan sekutu-sekutunya akan terus mengajak mereka sampai tercatat menjadi orang-orang yang mendustakan agama dan ayat-ayat Allah SWT. Iblis telah bersumpah akan menyesatkan dan melalaikan orang-orang yang mentauhidkan Allah SWT dari agama tauhid. 20
Imam Bukhari, Sahîh al-Bukhariy, Juz 2, h. 938, hadis no. 2508. Rasulullah mengajarkan sebuah do’a bagi umatnya untuk memohon kepada Allah SWT agar dijauhkan dari musibah agama dan tidak menjadikan dunia sebagai cita-cita tertinggi dalam hidup. Sebagaimana disebutkan dalam hadis: ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﻠﻲ ﺑﻦ ﺣﺠﺮ أﺧﺒﺮﻧﺎ اﺑﻦ اﻟﻤﺒﺎرك أﺧﺒﺮﻧﺎ ﻳﺤﻴﻰ ﺑﻦ أﻳﻮب ﻋﻦ ﻋﺒﻴﺪ اﷲ ﺑﻦ زﺣﺮ ﻋﻦ ﺧﺎﻟﺪ ﺑﻦ أﺑﻲ ﻋﻤﺮان أن اﺑﻦ ﻣﺎ آﺎن رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ ﻳﻘﻮم ﻣﻦ ﻣﺠﻠﺲ ﺣﺘﻰ ﻳﺪﻋﻮ ﺑﻬﺆﻻء اﻟﺪﻋﻮات ﻷﺻﺤﺎﺑﻪ اﻟﻠﻬﻢ اﻗﺴﻢ ﻟﻨﺎ ﻣﻦ: ﻋﻤﺮان ﻗﺎل ﺧﺸﻴﺘﻚ ﻣﺎ ﻳﺤﻮل ﺑﻴﻨﻨﺎ وﺑﻴﻦ ﻣﻌﺎﺻﻴﻚ وﻣﻦ ﻃﺎﻋﺘﻚ ﻣﺎ ﺗﺒﻠﻐﻨﺎ ﺑﻪ ﺟﻨﺘﻚ وﻣﻦ اﻟﻴﻘﻴﻦ ﻣﺎ ﺗﻬﻮن ﺑﻪ ﻋﻠﻴﻨﺎ ﻣﺼﻴﺒﺎت اﻟﺪﻧﻴﺎ وﻣﺘﻌﻨﺎ ﺑﺄﺳﻤﺎﻋﻨﺎ وأﺑﺼﺎرﻧﺎ وﻗﻮﺗﻨﺎ ﻣﺎ أﺣﻴﻴﺘﻨﺎ واﺟﻌﻠﻪ اﻟﻮارث ﻣﻨﺎ واﺟﻌﻞ ﺛﺄرﻧﺎ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﻇﻠﻤﻨﺎ واﻧﺼﺮﻧﺎ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﻋﺎداﻧﺎ وﻻ ﺗﺠﻌﻞ ﻣﺼﻴﺒﺘﻨﺎ ﻓﻲ دﻳﻨﻨﺎ وﻻ ﺗﺠﻌﻞ اﻟﺪﻧﻴﺎ أآﺒﺮ هﻤﻨﺎ وﻻ ﻣﺒﻠﻎ ﻋﻠﻤﻨﺎ وﻻ ﺗﺴﻠﻂ ﻋﻠﻴﻨﺎ ﻣﻦ ﻻ ﻳﺮﺣﻤﻨﺎ Menceritakan kepada kami ‘Ali bin Hajr mengabarkan kepada kami Ibn al-Mubârak menceritakan kepada kami Yahyâ bin Ayûb dari ‘Abd Allah bin Zahr dari Khâlid bin Abi ‘Imrân sesungguhnya Ibn ‘Imrân berkata tidaklah Rasulullah SAW berdiri dari majlis hingga berdo’a untuk pada sahabatnya” Ya Allah anugrahkanlah bagi kami rasa takut yang menjauhkan kami dari bermaksiat kepada-Mu, ketaatan yang menyampaikan kami ke surga-Mu, keyakinan yang meringankan janganlah Engkau jadikan musibah kami pada agama kami dan jangan Engkau jadikan dunia sebagai cita-cita tertinggi kami dan bukan pula tujuan ilmu kami”). Sunan alTirmidziy, Juz 5 h. 528, hadis no. 3502.
37
Musibah dunia adalah musibah yang menimpa diri manusia berupa kematian, ketakutan, dan kekurangan harta dan makanan. Allah SWT berfirman dalam Surat al-Baqarah/2:155.
☺ “dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” Musibah jiwa atau kematian merupakan musibah dunia yang terbesar, karena jiwa tidak dapat tergantikan. Sedangkan harta yang hilang karena terjadinya musibah, dapat diganti oleh Allah SWT. Dengan kematian, Allah SWT menarik kembali kesempatan yang diberikan kepada manusia untuk beramal di dunia dan mengumpulkan bekal untuk kehidupan abadi di akhirat. Kematian adalah pintu masuk kepada kehidupan abadi di mana setiap manusia akan mempertanggungjawabkan perbuatan masing-masing. Musibah kematian adalah musibah yang akan menimpa setiap manusia sebagaimana firman Allah SWT dalam sûrat Âli ‘Imrân/3:185.
☺
☺
☺
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. dan Sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, Maka sungguh ia telah beruntung. kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” Ayat di atas sekaligus mengingatkan manusia bahwa kehidupan dunia adalah
38
kesenangan
yang
melalaikan,
yaitu
melalaikan
manusia
dari
hakekat
kehidupannya di dunia. Manusia diciptakan Allah SWT dengan tujuan untuk beribadah kepada-Nya. Namun demikian manusia dapat menjadi lalai dengan tugasnya ketika keimanan sedang lemah dan menghadapi kesulitan yang berat ataupun menikmati kesenangan secara yang berlebihan. Adapun musibah dunia lainnya tidak dirasakan oleh setiap manusia secara sama dan merata. Sebagai contoh, sebagian orang mengalami musibah banjir setiap tahun sementara sebagian orang yang lain tidak pernah tertimpa musibah banjir tetapi mereka tertimpa musibah dalam bentuk lain yang tidak menimpa orang yang tertimpa musibah banjir. Sebagian manusia diuji dengan kekurangan harta atau kemiskinan sehingga beban hidupnya terasa berat; kebutuhan primer berupa pangan, sandang, dan papan pun tidak dapat dicukupi meskipun hanya dalam batas minimal. Musibah dunia yang demikian berat dapat berubah menjadi musibah agama ketika orang yang tertimpa musibah tidak bersabar dalam menghadapinya. Kemiskinan atau kefakiran dapat membuat seseorang menjadi kufur. Itu terjadi ketika ia dihadapkan kepada kebutuhan yang penting dan mendesak sementara keimanan sedang lemah. Terkait hal ini Rasulullah SAW mengingatkan umat Islam dengan sabdanya yaitu “Kâda al-faqru an yakûna kufran” (“hampir-hampir kefakiran itu menjadikan kekufuran”). 21 Kekufuran dalam hadis tersebut tidak selalu identik dengan kemurtadan, tetapi dapat diartikan sebagai kufur atau mengingkari ni’mat-ni’mat Allah SWT yang telah dilimpahkan tanpa dapat dihitung oleh manusia. Kriminalitas juga merupakan bagian dari kekufuran. Allah menyatakan hal ini dalam Surat Ibrâhîm/14:34 yaitu:
21
Al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi al-Kubra, Juz 1, h. 235.
39
“wa in ta‘uddû ni‘mata Allah lâ tuhsûhâ” (“dan jika kalian menghitung ni’mat Allah kalian tidak akan dapat menghitungnya”). Ketakutan adalah sebuah ujian atau musibah dunia yang bersifat immateri tetapi terasa berat bagi manusia. Rasa aman dan takut tidak mempunyai ukuran yang pasti sehingga sulit untuk dikendalikan. Kebahagiaan hidup dapat diperoleh ketika seseorang merasa aman dalam hidupnya. Seorang yang mempunyai harta yang banyak tidak akan dapat hidup bahagia ketika dia selalu merasa was-was dengan keamanan harta dan jiwanya. Rasa takut tersebut tidak dapat dengan mudah dihilangkan dengan adanya penjagaan yang ketat di luar rumah hingga dia merasa tentram dengan keadaan diri dan hartanya. Seorang yang beriman kepada Allah SWT dapat merasakan ketentraman dan keamanan dalam hidupnya apabila dia bertawakal kepada Allah SWT. Seorang mukmin yang bertawakal kepada Allah SWT adalah seseorang yang memahami bahwa kewajiban manusia adalah berusaha sebaik-baiknya untuk meraih yang dinginkan dan berdoa kepada Allah SWT untuk mengabulkan keinginannya. Selanjutnya, dia menunggu takdir Allah SWT atas perkara tersebut dan menerima dengan hati yang ikhlas. Sikap tawakal seperti ini akan mendatangkan rasa aman dan tentram dalam hati manusia dan menjauhkan dirinya dari rasa ketakutan dalam hidup. D.
Musibah dan Gejala Alam Allah SWT menciptakan alam semesta dalam sebuah harmoni dan
keseimbangan tanpa ada cacat dan kekurangan. Alam semesta bekerja sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. 22
22
Allah SWT berfirman tentang hal ini di dalam al-Qur’an, diantaranya pada sûrat alMulk/67:3 dan Yâsîn /36:38-40. ☺
40
Keseimbangan dan keteraturan ini dapat ditemukan pada alam makrokosmos maupun mikrokosmos. Bumi berputar pada porosnya dengan kecepatan tertentu, demikian juga bulan mengelilingi bumi dengan kecepatan tertentu, dan keduanya berputar mengelilingi matahari pada kecepatan dan garis edar yang telah ditentukan oleh Allah SWT sehingga tercipta keseimbangan antara siang dan malam, serta musim panas dan dingin sesuai dengan kebutuhan hidup manusia. Jarak antara bumi, matahari dan bulan telah ditentukan oleh Allah SWT sehingga temperatur bumi tidak terlalu dingin dan tidak terlalu panas bagi manusia dan makhluk lain yang berada di muka bumi. Demikian juga lapisan atmosfer telah didesain sedemikian rupa bagi manusia untuk dapat bernafas, untuk melindungi manusia dari sengatan sinar matahari yang terlalu panas yang merusak kulit manusia dan makhluk lainnya serta melindungi bumi dari benda-benda angkasa yang meluncur menabrak bumi. Allah SWT juga telah meciptakan tubuh manusia dengan keseimbangan antar seluruh bagian tubuh yang memungkinkan manusia untuk hidup sehat dan menjalankan aktifitas-aktifitasnya. Bahkan, Allah SWT telah menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk. 23 Ketentuan Allah SWT pada alam semesta ini dikenal dengan nama ⌧
“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, Adakah kamu Lihat sesuatu yang tidak seimbang?” (Al-Mulk/67:3) ☺ ☺
☺ ☺
☺
⌧
⌧
“dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan yang Maha Perkasa lagi Maha mengetahui. dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah Dia sampai ke manzilah yang terakhir) Kembalilah Dia sebagai bentuk tandan yang tua. tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. dan masing-masing beredar pada garis edarnya.” (Yâsîn/36:38-40) 23 lihat sûrah al-Tîn/95:4
41
sunnatullah. Ia adalah ketentuan yang sudah baku untuk memastikan berlangsungnya kehidupan di dalam alam semesta ini dalam harmoni dan seimbang. Allah SWT menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan-Nya tidak akan pernah berubah. 24 Ketika manusia berikhtiar untuk mengolah alam semesta tanpa memahami sunnatullah yang telah ditetapkan, maka terjadilah ketidakseimbangan yang mengakibatkan gejala alam yang dapat merugikan kehidupan manusia. Sebagai contoh, penebangan pohon tanpa disertai dengan upaya reboisasi yang terencana dengan baik dapat membuat hutan menjadi gundul yang berakibat pada tanah longsor, banjir, menipisnya sumber air tanah dan kekeringan. Pada hakikatnya bertambahnya ilmu pengetahuan manusia tentang alam semesta ini, dalam upayanya untuk memanfaatkan sumber daya alam, akan membuat manusia lebih memahami sunnatullah di alam ini. Bagi orang-orang yang tidak melihat Allah SWT sebagai Pencipta, maka sunnatullah tersebut disebut hanya sebagai hukum alam. Dari pemahaman tentang sunnatullah inilah manusia dapat meningkatkan taraf kehidupannya sesuai dengan ilmunya. Dengan demikian, musibah yang terjadi akibat adanya gejala alam dapat diketahui sebabsebabnya apabila sunnatullah dipahami. Bagi orang-orang yang beriman pemahaman tentang sunnatullah di alam ini dapat meningkatkan keimanan kepada Allah SWT. Sunnatullah menjadi bukti nyata akan keberadaan dan kekuasaan Allah SWT. Dengan pemahaman tersebut, orang-orang beriman diharapkan dapat menerima musibah yang diakibatkan oleh gejala alam sebagai ketentuan dari Allah SWT dan mensikapinya dengan benar sehingga memberikan efek yang
24
lihat sûrah al-Fâtir/35:43
42
☺ ☯ ☺
⌧ ⌧ ⌧
⌧
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.” Terkait dengan peristiwa-peristiwa yang menimpa manusia di alam semesta ini, al-Sya’rawi mengelompokkannya dalam tiga kelompok peristiwa. Pertama, peristiwa yang terjadi pada seseorang tanpa ada ikhtiar dari yang bersangkutan. Ini adalah takdir Allah SWT yang tidak dapat ditolak oleh yang bersangkutan. Kedua, peristiwa yang menimpa seseorang yang datang dari pihak lain. Ketiga, peristiwa yang terjadi dengan ikhtiar manusia. Ia dapat memilih untuk mengerjakan sesuatu atau meninggalkannya. 25 Dalam kaitannya dengan perintah dan larangan Allah SWT, ikhtiar manusia kelak akan dihisab untuk diberikan imbalan pahala maupun siksa. Tiga kelompok peristiwa ini terjadi tetap tidak terlepas dari kehendak Allah SWT. Musibah dalam bentuk bencana alam seringkali bersifat massal. Dalam hal ini Allah tidak membedakan siapa yang akan tertimpa musibah. Apabila seseorang 25
al-Sya’rawi, Baik danBuruk, h. 84.
43
berada dalam daerah yang terkena musibah, dia akan tertimpa musibah, kecuali mendapatkan perlindungan dari Allah SWT secara khusus. Kemudian manusia akan dibangkitkan sesuai dengan amal perbuatannya di dunia. Hal ini disebutkan dalam Surat al-Anfâl/8:25. 26 Ayat tersebut merupakan peringatan bagi manusia bahwa Allah SWT dapat menimpakan musibah kepada semua orang, orang-orang shalih maupun orang-orang zalim. Untuk mencegah musibah seperti ini, kerusakan yang diakibatkan oleh orang-orang zalim harus dihentikan. Dengan demikian, peran amar ma’ruf nahi mungkar dalam sebuah masyarakat atau komunitas menjadi penting. Salah satu sebab ditimpakannya bencana bagi Bani Israil adalah keengganan sebagian dari mereka untuk beramar ma’ruf nahi mungkar kepada sesama.
26
Surâh al-Anfâl ☺
⌧
☺
“Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.”
44
BAB IV ANALISA PERBANDINGAN PENAFSIRAN SAYYID QUTB DAN IBN KATSÎR TERHADAP SURAT AL-HADÎD AYAT 22-23
Pandangan Sayyid Sayyid Qutb dan Ibn Katsîr Tentang Musibah
A.
Surat al-Hadîd ayat 22 dan 23 berkaitan erat dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya. Quraish Shihab membagi surat al-Hadîd menjadi empat kelompok ayat dan memasukkan ayat 22 dan 23 ke dalam kelompok ketiga yang dimulai dari ayat 16 dan diakhiri pada ayat 24. Menurut Quraish Shihab, ayat 22 merupakan sebuah peringatan kepada manusia supaya tidak risau dengan dampak dari berinfaq yang dianjurkan pada ayat 18. 1 Menurut penulis, ayat 22 tersebut juga merupakan penegas bagi ayat 20 yang menyatakan bahwa kehidupan dunia adalah permainan belaka, dimana perhiasan dan anak keturunan yang saling dibangga-banggakan akan dengan mudah dimusnahkan oleh Allah SWT sebagaimana tanaman kebanggaan para petani yang tumbuh di musim hujan akan dihancurkan oleh Allah SWT. Hal ini adalah karena setiap kejadian yang menimpa manusia telah ditentukan oleh Allah SWT. Oleh karena itu, pada ayat 21 Allah SWT menyuruh manusia untuk berlomba-lomba mendapatkan ampunan dari-Nya karena telah dilalaikan dengan kehidupan dunia. Sedangkan ayat 23 diterangkan lebih lanjut oleh ayat sesudahnya, yaitu ayat 24.
1
M.Quraisy Syihab, Tafsir al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2007), cet ke-8 vol. 13, h. 443-
447
44
“(Yaitu) orang-orang yang kikir dan menyuruh manusia berbuat kikir. dan Barangsiapa yang berpaling (dari perintah-perintah Allah) Maka Sesungguhnya Allah Dia-lah yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” Ayat di atas menerangkan bahwa salah satu sifat orang yang sombong dan membanggakan diri seperti yang disebut dalam ayat 23 adalah bersifat kikir dan menyuruh orang lain bersifat kikir sehingga dirinya mempunyai teman ketika mendapatkan kecaman atas kekikirannya. 2 Dengan demikian, dapat dipahami dengan mudah adanya kesinambungan antara ayat 22 dan 23 dengan ayat sebelumnya maupun sesudahnya. Sayyid Qutb dalam pengantar tafsirnya atas surat al-Hadîd menyatakan bahwa secara keseluruhan Surat al-Hadîd menyeru umat Islam untuk mengaktualisasikan hakikat keimanan dalam kehidupan sehari-hari. Keimanan bukan sebatas olah rohani. Sayyid Qutb membagi surat al-Hadîd menjadi dua bagian utama. Bagian pertama mengingatkan manusia tentang hakikat ketuhanan yang Mahaberkehendak dan Mahaberkuasa (ayat 1 sampai dengan 6) dan seruan untuk beriman dan berkorban di jalan Allah (ayat 7 hingga 15). Bagian kedua berisi penegasan kembali seruan-seruan keimanan untuk berkorban (ayat 16 sampai dengan 24) dan sejarah singkat akidah dan tujuannya (ayat 25 hingga 29). Sayyid Qutb memilah bagian penegasan kembali seruan keimanan dan pengorbanan (ayat 16 sampai dengan 24) menjadi empat sub-bagian yang disebut sebagai sentuhan, yaitu sentuhan kepada hati orang-orang yang beriman. Sentuhan pertama adalah seruan kepada orang-orang beriman untuk menundukkan hatinya dengan mengingat Allah SWT, memahami hakekat ketuhanan, dan tidak meniru 2
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2007), cet.ke-8 vol. 13, h. 443-
447.
45
ahli kitab hingga hatinya menjadi keras karena lalai mengingat Allah SWT. Sentuhan kedua merupakan dorongan kepada orang-orang beriman untuk memberikan pinjaman kepada Allah Yang Mahakaya dengan pinjaman yang baik yang akan mendapatkan pahala yang mulia. Sentuhan berikutnya adalah sebuah peringatan dari Allah SWT bahwa sesungguhnya kehidupan dunia adalah permainan apabila diukur dengan timbangan akhirat. Sentuhan keempat menerangkan dengan mendalam bahwa segala sesuatu telah tertulis dalam al-Lauh al-Mahfuz 3 , termasuk di dalamnya adalah musibah yang menimpa manusia yang merupakan pokok bahasan skripsi ini. Sayyid Qutb mendefinisikan musibah sebagai segala sesuatu yang menimpa manusia baik berupa kebaikan maupun keburukan. Menurut Sayyid Qutb, kata musibah dalam surat Al-Hadid ayat 22 tidak difokuskan pada salah satu diantara kedua makna tersebut, sehingga makna musibah dalam ayat tersebut mencakup kedua-keduanya, yaitu kebaikan maupun keburukan yang menimpa manusia. Sementara itu Ibn Katsîr menafsirkan musibah sebagai bencana. Ibn Katsîr menafsirkan firman Allah SWT “mâ asâba min musîbah fî al-ard wa lâ fî anfusikum...dst.” (“tidak ada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan pada dirimu...dst.”) sebagai bencana yang menimpa di cakrawala atau alam semesta dan pada diri manusia. Ibn Katsîr memperkuat pendapatnya dengan menyebutkan pendapat Qatadah yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan firman Allah SWT “mâ asâba min musîbah fî al-ard” (“tidak ada suatu bencana pun yang menimpa di bumi”) adalah kemarau yang panjang. Sedangkan yang dimaksud dengan firman Allah SWT “fî anfusikum” (”pada dirimu”) berarti rasa lapar dan
3
Sayyid Qutb, Fî Zilâll al-Qur’ân (Beirut: Dar al-Syuruq, 1978), jilid 6, h. 3475.
46
rasa sakit. 4 Dengan demikian kata ”musibah” didefinisikan oleh Sayyid Qutb secara lebih luas dari pada definisi Ibn Katsîr. Pendapat Sayyid Qutb di atas kemudian disepakati oleh mufassir Indonesia masa kini, Dr. Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah yang menyatakan hal yang sama, yaitu bahwa musibah dapat berupa anugrah maupun keburukan seperti disebutkan pada Bab II. Menurut penulis, pendapat Sayyid Qutb tersebut lebih tepat karena mencakup seluruh makna kata ”musibah” yang ada di dalam al-Quran. Apa yang menimpa manusia dapat berupa kebaikan maupun keburukan. Dari 10 ayat alQuran yang menggunakan kata ”musibah”, tujuh ayat diantaranya secara spesifik menyebutkan musibah sebagai suatu bencana, keburukan atau pun kemalangan dalam hidup. Surat al-Baqarah/2:155 menyebutkan bentuk-bentuk bencana atau keburukan dalam kehidupan sebagai sebuah ujian bagi manusia yang hidup di dunia. Surat Âli ‘Imrân/3:165 menyebut kekalahan ummat Islam pada perang Uhud sebagai musibah sebagaimana kaum kafir Quraisy ditimpa musibah kekalahan pada perang Badar. Sayyid Qutb menyebutkan dalam tafsirnya bahwa ummat Islam berhasil membunuh 70 oarng pemuka Quraisy pada perang Badar. Sebaliknya, ummat Islam mengalami kekalahan pada perang Uhud karena sebagian tentara Islam tergoda dengan harta rampasan perang dan tidak menyadari kesalahan yang dilakukan sehingga mereka bertanya-tanya, “Dari mana datangnya kekalahan ini?”. Maka Allah SWT mengingatkan bahwa, “itu dari kesalahan dirimu sendiri” yaitu tidak taat kepada perintah Rasulullah SAW khususnya dalam strategi perang.
4
Ibn Katsîr, Tafsîr Al-Qur’ân al-‘Azîm (Beirut: ‘Alam al-Kutub, 1985), juz 4, h. 313.
47
Surat al-Nisâ’/4:62 memakai kata musibah untuk siksa yang ditimpakan bagi orang munafik di akhirat kelak karena ketidaktaatan mereka terhadap perintah Allah SWT dan Rasul-Nya. Demikian juga surat al-Mâ’idah/5:49 menggunakan kata musibah untuk siksa yang ditimpakan kepada orang-orang yang berpaling dari hukum Allah SWT. Sedangkan pada surat al-Nisâ’/4:72 kata musibah digunakan untuk kekalahan yang dapat terjadi pada peperangan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Pada surat al-Taubah/9:50 yang dimaksud dengan musibah adalah cobaan berupa keburukan yang diterima oleh orang-orang beriman dan Rasul SAW yang membuat orang-orang munafik merasa senang. Sebaliknya, mereka bersedih hati ketika Rasul SAW mendapatkan kebaikan. Menurut Sayyid Qutb, hal ini terjadi karena penilaian baik dan buruk bagi orang-orang munafik hanya berdasarkan fenomena yang kasat mata saja. Sedangkan orang-orang beriman meyakini apa yang menimpanya, baik berupa kebaikan maupun keburukan (musibah) tidak akan terlepas dari takdir Allah SWT. 5 Pada surat al-Qasas/28:47, musibah diartikan sebagai adzab atau siksa bagi kafir Quraisy yang membuat mereka menyesali kehidupannya dan berharap diutusnya nabi kepada mereka. Sedangkan pada surat al-Syûrâ /42:30 musibah diartikan sebagai sesuatu yang menimpa manusia dan merupakan akibat dari perbuatannya sendiri. Secara tidak langsung ayat tersebut berbicara tentang musibah berupa keburukan karena ayat tersebut diakhiri dengan pernyataan Allah SWT yang memberikan maaf atas sebagian besar kesalahan manusia.
5
Qutb, Fî Zilâl, jilid 3, h. 23
48
Sementara itu terdapat dua ayat yang lain, yang tidak menerangkan secara tegas musibah sebagai bencana atau keburukan, melainkan hanya sebagai sesuatu yang menimpa manusia. Ayat pertama adalah surat al-Hadid/57:22 yang menjadi pokok bahasan skripsi ini. Ayat kedua adalah surat
al-Taghabûn/64:11 yang
menyatakan bahwa apa saja musibah yang menimpa manusia tidak akan terjadi tanpa ijin Allah SWT. Dalam hal ini musibah tidak secara spesifik dimaksudkan sebagai bencana atau keburukan, karena segala seusuatu, baik anugrah maupun keburukan tidak akan terjadi tanpa ijin Allah SWT.
ﺷﻲْ ٍء َ ن اﻟﻠﱠﻪِ َوﻣَﻦ ُﻳﺆْﻣِﻦ ﺑِﺎﻟﻠﱠﻪِ َﻳﻬْ ِﺪ َﻗﻠْ َﺒ ُﻪ وَاﻟﻠﱠ ُﻪ ِﺑ ُﻜﻞﱢ ِ ْب ﻣِﻦ ﱡﻣﺼِﻴ َﺒ ٍﺔ إِﻟﱠﺎ ِﺑِﺈذ َ ﻣَﺎ َأﺻَﺎ ٌﻋَﻠِﻴﻢ “Tidak ada sesuatu musibahpun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. 64:11) Sayyid Qutb menyatakan bahwa ayat tersebut di atas merupakan hakikat iman, yang mengharuskan seorang mukmin mengembalikan segala sesuatu yang terjadi pada dirinya kepada Allah SWT. Dia berkeyakinan bahwa apa yang menimpa dirinya, baik berupa kebaikan maupun keburukan adalah atas kehendak Allah SWT. 6 Dengan demikian, definisi Sayyid Qutb tentang musibah lebih mewakili makna musibah di dalam ayat-ayat al-Quran secara keseluruhan, yaitu bahwa musibah adalah segala sesuatu yang menimpa manusia baik berupa kebaikan maupun keburukan.
6
Qutb, Fî Zilâl, jilid 6, h. 2323
49
B.
Kehendak Allah Dalam Kehidupan Manusia Kehidupan manusia adalah sebuah kehidupan yang bertujuan, bukan sebuah
kesia-siaan. Allah SWT yang Mahakuasa telah menetapkan segala sesuatu yang akan menimpa manusia di dunia ini. Sayyid Qutb dalam menafsirkan surat alHadid ayat 22 dan 23 tentang musibah menjelaskan bahwa musibah merupakan bagian integral dari penciptaan alam semesta yang telah dirancang dan diperhitungkan oleh Allah SWT dengan cermat dan menyeluruh. Tidak ada suatu peristiwa yang terjadi secara kebetulan ataupun serampangan. Segala sesuatu telah ditetapkan oleh Allah SWT dan akan terlihat oleh makhluk pada waktu yang telah ditetapkan. 7 Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Âli ‘Imrân/3:191 yang menyatakan “Rabbanâ mâ khalaqta hâdzâ bâtilâ” (“Ya Allah tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia”). Hal ini diperkuat dengan surat al-Mu’minûn/23:115 dan surat Sâd/38:27 sebagai berikut.
☺
☺ ⌧
⌧ ⌧
⌧ ⌧
“dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah. yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, Maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka.”
☺ ☺ ⌧ “Maka apakah kamu mengira, bahwa Sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami?” 7
Qutb, Fî Zilâl, jilid 6, h. 3493.
50
Selanjutnya Sayyid Qutb menyatakan bahwa pemahaman manusia terhadap segala sesuatu dibatasi oleh dimensi waktu dan ruang sementara Allah SWT dapat melihat segala sesuatu tanpa batasan dan ikatan. Allah mengetahui setiap peristiwa sejak permulaan hingga akhir kejadian. Senada dengan pendapat Sayyid Qutb, Ibn Katsîr menyebutkan bahwa dengan kedua ayat di atas Allah SWT memberitahukan kepada manusia bahwa Dia telah menetapkan taqdir atas ciptaan-Nya sebelum penciptaannya selesai. Menurut Ibn Katsîr, ada tiga pendapat terkait firman Allah SWT “min qabl an nabra’ahâ (“sebelum kami menciptakannya”), yaitu pertama, sebelum Kami menciptakan manusia dan memulai penciptaan makhluk lain, kedua, sebelum Kami menciptakan manusia, ketiga, sebelum Kami menciptakan musibah. Ibn Katsîr memilih salah satu pendapat yang dianggap kuat, yaitu pendapat pertama, dan mengemukakan dalil untuk mendukung pendapatnya berupa sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Jarîr sebagai berikut.
ﺣﺪﺛﻨﻲ ﻳﻌﻘﻮب ﺣﺪﺛﻨﺎ اﺑﻦ ﻋﻠﻴﺔ ﻋﻦ ﻣﻨﺼﻮر ﺑﻦ ﻋﻴﺪ اﻟﺮﺣﻤﻦ ﻗﺎل آﻨﺖ ﺟﺎﻟﺴﺎ ﻣﻊ اﻟﺤﺴﻦ ﻓﻘﺎل رﺟﻞ ﻳﺴﺌﻠﻪ ﻋﻦ ﻗﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻲ ) ﻣﺎأﺻﺎب ﻣﻦ ﻣﺼﻴﺒﺔ ﻓﻲ اﻷرض وﻻ ﻓﻲ أﻧﻔﺴﻜﻢ إﻻ ﻓﻲ آﺘﺎب ﻣﻦ ﻗﺒﻞ أن ﻧﺒﺮأهﺎ ( ﻓﺴﺄﻟﺘﻪ ﻋﻨﻬﺎ ﻓﻘﺎل ﺳﺒﺤﺎن اﷲ وﻣﻦ ﻳﺸﻚ ﻓﻲ هﺪا؟ آﻞ ﻣﺼﻴﺒﺔ ﺑﻴﻦ اﻟﺴﻤﺎء واﻷرض ﻓﻔﻲ آﺘﺎب اﷲ ﻣﻦ ﻗﺒﻞ أن ﻧﺒﺮأ اﻟﻨﺴﻤﺔ “Telah menceritakan kepadaku Ya‘qûb telah menceritakan kepada kami Ibn ‘Ulyah dari Masûr bin ‘Abd al-Rahman berkata aku sedang duduk bersama alHasan maka berkata seorang laki-laki bertanya kepadanya tentang firman Allah SWT “mâ asâba min musîbah fî al-ard wa lâ fî anfusikum illâ fî kitâb min qabl an nabra’ahâ” (“tidaklah menimpa seuatu musibah di bumi dan pada dirimu kecuali telah tertulis di dalam Kitab sebelum penciptaannya”) maka aku bertanya kepadanya tentang hal tersebut maka dia berkata,”Subhanallah, dan apa yang
51
meragukanmu tentang hal ini? Setiap musibah (yang terjadi) di antara langit dan bumi telah tertulis dalam kitab Allah sebelum Allah mencptakaan makhluk.” 8 Kemudian firman Allah SWT “Inna dzâlika ‘ala Allâh yasîr” (“Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah”) diartikan oleh Ibn Katsîr bahwa dengan ilmu-Nya, mudah bagi Allah yang Mahapencipta mengetahui segala sesuatu sebelum tercipta, yang akan terjadi, yang telah terjadi yang pasti sesuai dengan catatan-Nya. 9 Pengakuan akan kehendak Allah terhadap apa yang akan terjadi atas diri manusia tidak bertentangan dengan ayat-ayat yang menyatakan bahwa manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan nasibnya dan memilih jalan hidupnya sebagaimana disebutkan dalam surat al-Insân/76: 2-3 sebagai berikut. 10
☺
⌧
☺
⌧
☯
⌧
“Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), Karena itu kami jadikan dia mendengar dan Melihat. Sesungguhnya kami Telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.”
8
Ini adalah salah satu contoh keluasan penafsiran Ibn Katsîr yang tidak dapat dijumpai secara utuh dalam kitab tafsir versi ringkas atau mukhtasar. Al-Sâbûniy dalam mukhtasarnya menyebutkan ketiga pendapat tersebut tetapi tidak menuliskan sanad hadis secara lengkap. Sementara al-Rifa’i hanya menuliskan pendapat yang dianggap kuat oleh Ibnu Katsir tanpa menyebutkan pendapat lain dan tidak pula menuliskan hadis di atas. Muhammad ‘Aliy al-Sâbûniy, Mukhtasar Ibn Katsîr (Beirut: Dar al-Fikr, tt), h. 234, Muhammad Nasib al-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Penerjemah Syihabuddin (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), Cet. Ke-1, jilid IV, h. 606. 9 Ibn Katsîr, Tafsîr Al-Qur’ân al-‘Azîm, juz 4, h. 313. 10 Lihat juga Surat al-Ra’d/13:11, al-Syams/:7-10, dll
52
Hal ini apabila qadha dan qadar Allah SWT dipahami sebagaimana pemahaman ahlussunah wal-jamaah. 11 Ibn Katsîr menyatakan bahwa surat alHadîd ayat 22 merupakan dalil yang paling nyata untuk membantah paham Qadariyah yang menafikan campur tangan Allah dalam perbuatan manusia. 12 Ibn Katsîr memperkuat pendapatnya dengan menuliskan sebuah hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan Imam Ahmad sebagai berikut.
ﻗﺎل اﻻﻣﺎم اﺣﻤﺪ ﺣﺪﺛﻨﺎ أﺑﻮ ﻋﺒﺪ اﻟﺮﺣﻤﻦ ﺛﻨﺎ ﺣﻴﻮة وﺑﻦ ﻟﻬﻴﻌﺔ ﻗﺎﻻ أﻧﺎ أﺑﻮ هﺎﻧﺊ اﻟﺨﻮﻻﻧﻲ أﻧﻪ ﺳﻤﻊ أﺑﺎ ﻋﺒﺪ اﻟﺮﺣﻤﻦ اﻟﺤﺒﻠﻲ ﻳﻘﻮل ﺳﻤﻌﺖ ﻋﺒﺪ اﷲ ﺑﻦ ﻋﻤﺮو ﻳﻘﻮل ﺳﻤﻌﺖ رﺳﻮل اﷲ ﻗﺪر اﷲ اﻟﻤﻘﺎدﻳﺮ ﻗﺒﻞ أن ﻳﺨﻠﻖ اﻟﺴﻤﺎوات واﻷرض: ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ ﻳﻘﻮل ﺑﺨﻤﺴﻴﻦ أﻟﻒ ﺳﻨﺔ “Berkata Imam Ahmad telah menceritakan kepada kami Abû ‘Abd alRahman menceritakan kepada kami Haiwah dan Ibn Luhai‘ah berkata keduanya menceritakan kepada kami Hâni’ al-Khaulâniy sesungguhnya dia mendengar Abu ‘Abd al-Rahman al-Habliy berkata aku mendengar ‘Abd Allah bin ‘Umar berkata aku mendengar Rasulullah SAW bersabda,“Allah telah menetapkan beberapa ketetapan 50.000 tahun sebelum menciptakan langit dan bumi”).” 13
11
Terkait dengan persoalan qadla dan qadar ini dikenal adanya empat golongan. Pertama, golongan Qadariyah berpendapat bahwa semua tindakan manusia adalah atas kemauan dan perbuatan manusia sendiri. Golongan ini bermaksud membersihkan Allah SWT dari perbuatan yang tidak sepantasnya datang dari Allah SWT yang Mahasuci. Allah SWT terbebas dari perbuatan keji dan tidak baik yang dikerjakan manusia. Dengan demikian golongan ini menolak adanya Qadla dan Qadar Allah SWT terhadap makhluk. Manusia bebas melakukan apa saja dan pasti akan terjadi karena tidak ada campur tangan dalam hidupnya. Kedua, golongan Jabariyah yang merupakan kebalikan dari Qadariyah. Golongan ini berpendapat bahwa semua tindakan manusia, kebaikan maupun keburukan, merupakan qadla dan qadar Allah SWT. Manusia tidak mempunyai kehendak atas apa yang terjadi pada dirinya. Pendapat ini membuat seseorang menjadi pasrah atas nasib yang menimpanya di dunia. Ia merasa tidak perlu untuk berusaha mengubah nasibnya karena semua telah ditentukan oleh Allah SWT. Ketiga, golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa semua perbuatan buruk dan jahat yang dilakukan oleh manusia adalah atas kemauan manusia. Sedangkan setiap perbuatan baik manusia adalah atas Qadla dan Qadar Allah SWT. Keempat, golongan ahlu sunnah wal jamaah mempunyai pendapat yang menggabungkan pemahaman Qadariyah dan Jabariyah. Golongan ini berpendapat bahwa manusia mempunyai kehendak atau qudrah yang biasa disebut kasab atau ikhtiar. Keberhasilan dan kegagalan usaha manusia bergantung kepada Qadla dan Qadar Allah SWT. Bey Arifin, Mengenal Allah (Surabaya: PT Bina Ilmu, 2006), cet. ke-11, h. 55 12 Ibn Katsîr, Tafsîr Al-Qur’ân al-‘Azîm, juz 4, h. 313. 13 Ibn Katsîr, Tafsîr Al-Qur’ân al-‘Azîm, juz 4, h. 313.
53
Adapun Qadla dan Qadar Allah SWT merupakan sesuatu yang ghaib bagi manusia. Oleh karena itu Qadla dan Qadar Allah SWT tidak seharusnya membuat manusia enggan untuk berusaha ataupun pasrah menerima kehidupan yang sulit. Sebaliknya manusia mesti berusaha keras untuk mencapai keinginannya dan mendapatkan qadar Allah SWT atas dirinya. Tidak ada seorang pun yang mengetahui apa yang akan terjadi pada dirinya sampai sesuatu itu benar-benar terjadi. Pendapat ini diperkuat oleh banyak firman Allah SWT yang mendorong manusia untuk berbuat kebaikan bagi dirinya dan orang lain dan menjanjikan balasan kebaikan di akhirat. Sebaliknya, Allah SWT menjanjikan keburukan bagi orang-orang yang berbuat keji dan mungkar di dunia. Menurut Imam Gazali, Qadla dan Qadar Tuhan yang berhubungan dengan manusia selalu berhubungan dengan salah satu dari empat hal sebagai berikut. 1. Qadla yang berupa Ketaatan. Apabila manusia berada dalam ketaatan, hendaklah ia mengikhlaskan dirinya di dalamnya sehingga dapat tetap dalam ketaatan tersebut. 2. Qadla yang berupa Maksiat. Apabila manusia melakukan maksiat, hendaklah segera dia iringi dengan perbuatan baik untuk menghapuskan dosa-dosanya. 3. Qadla yang berupa Nikmat. Apabila manusia mendapatkan kebahagiaan hidup atau keberuntungan hendaklah ia iringi dengan rasa syukur kepada Allah SWT. 4. Qadla yang berupa Balaa (kesusahan). Apabila manusia mendapatkan cobaan hendaklah ia iringi dengan kesabaran dan sikap tawakal kepada Allah SWT. 14
14
Bey Arifin, Mengenal Allah, h. 55.
54
C.
Pengaruh Keimanan dalam Menghadapi Musibah Keimanan bagi kehidupan manusia ibarat fondasi bagi sebuah bangunan.
Keberhasilan penyebaran Islam dan kemajuan peradaban yang dicapai pada masa lalu merupakan hasil dari kokohnya keimanan umat Islam terdahulu. Telah tercatat dalam sejarah bahwa modal terbesar umat Islam generasi awal dalam menegakkan Islam dan mengalahkan kafir Quraisy adalah keimanan kepada Allah SWT. Demikian juga ketabahan para nabi sebelum Rasulullah SAW menghadapi kaumnya yang membangkang adalah karena keimanannya yang kokoh akan janji Allah SWT. Keimanan dan keyakinan terhadap janji Allah SWT menjadi energi internal dan daya dorong yang kuat dalam diri orang-orang yang beriman. Sebaliknya, ummat Islam ditimpa kekalahan ketika takjub dan bangga dengan kekuatannya yang banyak dan mengurangi keyakinannya bahwa kemenangan yang didapatkan adalah karena keimanannya kepada Allah SWT. 15 Keimanan dan keyakinan seperti ini muncul dari ma’rifah atau pengenalannya tentang hakikat ketuhanan; bahwa Allah SWT adalah Pencipta alam semesta dan Mahamengetahui segala sesuatu yang terbaik untuk ciptaannya. Seorang mukmin meyakini bahwa qadla dan qadar Allah SWT yang ditetapkan untuknya merupakan hal yang terbaik baginya. Demikian juga seorang mukmin meyakini bahwa pada hakekatnya segala sesuatu telah ditetapkan Allah SWT bagi dirinya. Keberhasilan yg diperoleh dalam hidup tidak membuat seorang mukmin menjadi sombong dan membanggakan diri. Sikap yang bertolak belakang antara seorang mukmin dan seorang yang ingkar terhadap nikmat Allah SWT dapat dijumpai dalam al-Quran pada kisah Qarun dan Nabi Sulaiman A.S. ketika Allah 15
Surat al-Qasas/28:85 menggambarkan keadaan umat Islam yang membanggakan jumlah tentara yang banyak dan akhirnya mengalami kekalahan.
55
SWT memberikan karunia berupa kekayaan. Qarun menganggap bahwa kekayaan yang diterimanya adalah semata karena ilmu yang dimilikinya. 16 Sedangkan nabi Sulaiman A.S. menyatakan bahwa kerajaan dan kekayaan yang diterima adalah karena karunia Allah SWT. 17 Demikan juga keburukan yang menimpa tidak membuat seorang mukmin menjadi putus asa. Ia meyakini ada kebaikan dari Allah SWT dalam keburukan yang menimpa dirinya meskipun ia tidak mengetahuinya. 18 Hal ini tampak dalam kisah perjalanan nabi Musa A.S. bersama Khidzir A.S. Perbuatan yang terlihat buruk oleh nabi Musa A.S. sesungguhnya menyimpan kebaikan di masa yang akan datang yang hanya diketahui oleh Allah SWT dan nabi Khidzir A.S. atas petunjuk Allah SWT. 19 Sayyid Qutb dalam tafsir surat al-Hadid ayat 22-23 ini menyatakan bahwa manusia yang memahami hakikat penciptaan dan kejadian seperti tesebut di atas akan mendapatkan ketenangan dan ketentraman dalam dirinya ketika menghadapi bermacam peristiwa dalam hidupnya, baik peristiwa yang membawa kebaikan maupun keburukan. Hati manusia tidak akan gundah, sedih maupun menyesal ketika mendapatkan kesulitan. Sebaliknya, kegembiraan tidak akan membuat manusia lupa diri. Setiap kejadian dipahami sebagai sesuatu yang berjalan seirama dengan gerakan alam semesta. Kejadian yang menimpa manusia bagaikan sebuah atom di alam semesta yang luas yang telah dirancang dan diketahui dalam ilmu Allah SWT. Hakikat musibah tidak dapat dipahami dengan baik apabila
16
Lihat sûrah al-Qasas/28:78 Lihat sûrah al-Naml/27:40 18 Lihat sûrah al-Baqarah/2:216 19 Lihat sûrah al-Kahf/18: 66-82 17
56
dilepaskan dari hakikat taqdir Allah SWT dalam penciptaan makhluk dan perencanaan global yang telah dirancang oleh Allah SWT. 20 Menurut Sayyid Qutb, ini adalah derajat yang hanya dapat dicapai oleh sedikit orang, sedangkan orang-orang beriman lainnya dituntut untuk dapat menjaga keseimbangan dan sikap proporsional dalam menghadapi suka dan duka. Beliau mengutip perkataan Akramah RA. yang berkata,”Tiada seorang pun melainkan dia mengalami kegembiraan dan kesedihan. Namun jadikanlah kegembiraan sebagai syukur dan kesedihan sebagai kesabaran. Inilah jalan tengah Islam yang dimudahkan bagi orang-orang yang stabil.” 21 Terkait hal ini, dalam menafsirkan penggalan surat al-Hadîd ayat 23, yaitu “Supaya kamu tidak berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu” Ibn Katsîr menyatakan bahwa Allah SWT telah memberitahukan tentang Ilmu-Nya dan catatan-Nya tentang segala sesuatu sebelum berwujud dan terjadi agar manusia mengetahui bahwa apa yang menimpanya bukan untuk menyalahkan dirinya dan segala sesuatu yang tidak ditujukan kepada dirinya tidak akan menimpanya sehingga manusia tidak berputus asa atas sesuatu yang luput dari dirinya. Karena jika Allah SWT mentaqdirkan suatu perkara pastilah terjadi. Sebaliknya, manusia dilarang oleh Allah SWT menyombongkan diri ketika mendapatkan ni’mat karena ni’mat itu datang bukan karena usaha dan jerih payahnya tetapi karena Allah SWT telah menetapkannya atas dirinya. Allah SWT melarang manusia berbuat keburukan dan kesewenang-wenangan di muka bumi
20 21
Qutb, Fî Zilâl, jilid 6, h. 2493. Qutb, Fî Zilâl, jilid 6, h. 3493.
57
karena ni’mat yang diterimanya serta membuat dirinya menjadi orang yang sombong karena Allah SWT tidak menyukai orang-orang yang sombong. 22 Ibnu Katsir menyatakan bahwa ni’mat hendaknya disambut dengan rasa syukur, sedangkan kesedihan disambut dengan rasa sabar. Beliau mengutip perkataan Akramah RA. yang berkata,”Tiada seorang pun melainkan dia mengalami kegembiraan dan kesedihan. Namun jadikanlah kegembiraan sebagai syukur dan kesedihan sebagai kesabaran. Inilah jalan tengah Islam yang dimudahkan bagi orang-orang yang stabil.” 23 Menurut penulis, kedua mufasir telah mendorong umat Islam untuk bersikap sabar ketika menghadapi musibah dan bersyukur ketika mendapatkan ni’mat dari Allah SWT. Ini adalah sikap terbaik yang dapat dilakukan oleh seorang mukmin dalam kedua keadaan tersebut. Kedua sikap tersebut akan mendatangkan kebaikan dalam diri orang mukmin tersebut. Sikap tersebut adalah sikap yang terpuji dan dikagumi oleh Rasulullah Muhammad SAW sebagaimana terekam dalam salah satu hadis beliau sebagai berikut.
ﻦ اﻟْ ُﻤﻐِﻴ َﺮ ِة ِ ْﺳﻠَﻴْﻤَﺎنَ ﺑ ُ ْﻋﻦ َ ﺟﻤِﻴﻌًﺎ َ خ َ ﻦ َﻓﺮﱡو ُ ْن ﺑ ُ ﺷﻴْﺒَﺎ َ ى َو ﻷزْ ِد ﱡ َ ﻦ ﺧَﺎِﻟ ٍﺪ ا ُ ْب ﺑ ُ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َهﺪﱠا َ ْﻋﻦ َ ﻦ َأﺑِﻰ َﻟﻴْﻠَﻰ ِ ْﻦ ﺑ ِ ﻋﺒْ ِﺪ اﻟ ﱠﺮﺣْ َﻤ َ ْﻋﻦ َ ٌﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ﺛَﺎﺑِﺖ َ ن ُ ﺳﻠَﻴْﻤَﺎ ُ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ -ن َ ﺸﻴْﺒَﺎ َ ﻆ ِﻟ ُ ْ وَاﻟﻠﱠﻔن َأﻣْ َﺮ ُﻩ ﻦ ِإ ﱠ ِ ﻷﻣْ ِﺮ اﻟْ ُﻤﺆْ ِﻣ َ ﺠﺒًﺎ َﻋ َ » -ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ- ِل اﻟﻠﱠﻪ ُ ل َرﺳُﻮ َ ل ﻗَﺎ َ ﺐ ﻗَﺎ ٍ ْﺻ َﻬﻴ ُ ْن ﺧَﻴْﺮًا َﻟ ُﻪ َوِإن َ ﺷ َﻜ َﺮ َﻓﻜَﺎ َ ﺳﺮﱠا ُء َ ﻦ ِإنْ َأﺻَﺎ َﺑﺘْ ُﻪ ِ ﻻ ِﻟﻠْ ُﻤﺆْ ِﻣ ﺣ ٍﺪ ِإ ﱠ َﻷ َ ك َ ﺲ ذَا َ ُْآﻠﱠ ُﻪ ﺧَﻴْﺮٌ َوَﻟﻴ .« ن ﺧَﻴْﺮًا َﻟ ُﻪ َ ﺻ َﺒ َﺮ َﻓﻜَﺎ َ ﺿﺮﱠا ُء َ َأﺻَﺎ َﺑﺘْ ُﻪ “Telah menceritakan kepada kami Haddâb bin Kh âlid al-Azdiy dan Syaibân bin Farrûkh dari Sulaimân bin al-Mughîrah – dengan lafal syaibân – telah menceritakan kepada kami Sulaimân telah menceritakan kepada kami Tsâbit dari ‘Abd al-Rahman bin Abi Laila dari Suhaib berkata Rasulullah 22 23
Ibn Katsîr, Tafsîr Al-Qur’ân al-‘Azîm, juz 4, h. 313. Ibn Katsîr, Tafsîr Al-Qur’ân al-‘Azîm, juz 4, h. 314.
58
SAW bersabda,”Urusan seorang mukmin itu menakjubkan. Sesungguhnya semua urusannya baik dan tidak ada yang memiliki sifat seperti itu kecuali orang yang beriman. Jika mendapatkan kesenangan maka ia bersyukur, maka jadilah hal itu kebaikan bagi dirinya. Dan apabila ditimpa kesusahan dia bersabar maka hal itu baik bagi dirinya.” 24 Sabar mempunyai nilai yang tinggi dalam perspektif agama maupun akhlak. Dalam Al-Quran terdapat 103 kata sabar atau derivatifnya yang dimuat dalam 90 ayat dan tersebar dalam 45 surat. 25 Pentingnya sikap sabar dalam menghadapi musibah dapat dilihat pada surat al-Baqarah/2:153 dimana Allah SWT menjadikan sikap sabar sebagai sarana bagi manusia untuk mendapatkan pertolongan dalam menghadapi masa-masa sulit ketika musibah sedang menimpa. 26 Sabar adalah sarana kebaikan yang penting yang dibutuhkan sepanjang hidup. Sebagian besar sifat-sifat jiwa yang baik tergantung pada sifat sabar; misalnya dalam menahan ketergesaan, menahan amarah, menahan nafsu syahwat, mengekang keserakahan dan lain sebagainya. Ia adalah karakteristik esensial dari orang-orang yang berkualitas tinggi dalam hal spritualitas, keimanan, dan kedekatannya dengan Allah SWT. Dan ia merupakan salah satu akhlak Qur’ani yang paling utama dan ditekankan. Dalam menafsirkan surat al-Baqarah/2:153 tersebut Ibn Katsîr membagi sabar menjadi tiga. Pertama, sabar dalam meninggalkan semua hal yang diharamkan oleh Alah SWT. Kedua, sabar dalam melakukan bermacam bentuk ketaatan dan kedekatan kepada Allah SWT. Ketiga, sabar dalam menghadapi
24
7692. 26
Imam Muslim, Sahîh Muslim (Beirut, Dar al-Haya’, 1972), Bab 14, Juz 8, h. 227, hadis no. 25
Muhammad Sholikhin, The Power of Sabar (Solo: Tiga Serangkai, 2009), cet. Ke-1, h. ix. sûrah al-Baqarah/2:45.
”Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu'”
59
bencana atau musibah. 27 Bersikap sabar dalam menghadapi musibah akan menjadi lebih mudah manakala manusia memahami hakikat musibah sebagaimana diuraikan dalam pembahasan sebelumnya. Hasan al-Basrî seorang tabi’in berkata, “Sabar adalah satu di antara khazanah kebajikan. Allah tidak akan memberikan kecuali kepada seorang hamba yang mulia.” Sementara Imam Ja’far al-Sâdiq mengatakan, bahwa sabar adalah salah satu dari tujuh prinsip akar tingkah laku terhadap Allah SWT. Prinsipprinsip tingkah laku terhadap Allah SWT tersebut adalah memberikan hak-Nya, menjaga batas-batas-Nya, bersyukur atas karunia-Nya, patuh kepada titah-Nya, sabar
menghadapi
cobaan-cobaan-Nya,
memuliakan
kesucian-Nya,
dan
merindukan-Nya. Dalam al-Qur’an sabar berarti menahan diri terhadap apa yang tidak kita sukai dengan tujuan memperoleh keridhoan Allah SWT. Firman Allah dalam surat al-Ra’ad/13:22.
☺
⌧
⌧
“dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang Itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik),” Sabar ditujukan kepada segenap makhluk jenis manusia dan secara khusus sasarannya adalah orang-orang beriman. Sudah menjadi sunatullah, orang-orang beriman akan menghadapi ujian, cobaan, gangguan, yang menuntut pengorbanan 27
Ibn Katsîr, Tafsîr Al-Qur’ân al-‘Azîm, juz 1, h. 203
60
harta jiwa dan benda yang berharga bagi mereka. Tidak ada manusia yang bebas dari kesedihan hati, terganggu kesehatan tubuhnya, ditinggal mati orang yang dicintai, kerugian harta, gangguan manusia lain, kesulitan hidup atau musibah bencana alam. Al-Qur’an memerintahkan orang yang beriman agar menjadikan sabar dan shalat sebagai penolong dalam menghadapi cobaan dan ujian. 28 Adanya cobaan bagi ahli iman merupakan suatu kepastian yang mengandung tujuan dan hikmah. Di antaranya adalah: 29 1. Mendidik kaum beriman mengasah permata iman dan menjernihkan hati mereka. Mereka akan menjadi matang melalui ujian. Keimanan yang kokoh adalah keimanan yang teruji dengan berbagai macam cobaan dimana pemiliknya berhasil mengatasinya dengan kesabaran dan tidak terpeleset dengan sikap ingkar. 2. Meningkatkan kedudukan orang-orang beriman disisi Allah. Allah SWT meninggikan derajat mereka, melipatgandakan pahala mereka. Al-Qur’an menjelaskan berbagai kebaikan di dunia dan di akhirat sebagai balasan atas sabar. Yaitu sukses di dunia dan kemenangan di akhirat, terhindar dari api neraka, dimasukkan ke dalam surga serta memperoleh kebaikan yang diinginkan tiap orang. Kebaikan-kebaikan yang dijelaskan dalam al-Qur’an di antaranya adalah: 1. Allah menyertai orang-orang sabar Firman Allah SWT. Surat al-Baqarah
28 29
Lihat Surat al-Baqarah /2:153. Yûsuf al-Qardawî, Al-Qur’an Menyuruh Kita Sabar (Jakarta: GIP, 2000), Cet ke-16, h. 26-2
61
“Hai orang-orang yang beriman, Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” 2. Allah sayang kepada mereka yang sabar Firman Allah SWT. Surat Ali Imran: 146
⌧ ☺
⌧
☺
“dan berapa banyaknya Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.” 3. Orang sabar pahalanya dicukupkan tanpa batas Firman Allah SWT. Surat az-Zumar: 10
☺ “Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. bertakwalah kepada Tuhanmu". orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” Dalam menghadapi ujian atau cobaan, selain sabar juga dibutuhkan tawakkal. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Karena manusia dalam mencapai tujuannya tergantung kepada dua faktor. Faktor pertama dari dirinya sendiri yaitu,
62
kemampuannya untuk berusaha dan berupaya serta memikul beban juga dalam menghadapi dan mengatasi segala kendala serta hambatan. Semua itu memerlukan kesabaran. Faktor kedua ialah, yang diluar jangkauan dan kemampuannya. Itu merupakan rahasia ghaib dan taqdir Allah SWT. Menghadapi hal ini, seorang mukmin harus bertawakkal kepada Allah, berlindung kepada-Nya, dan percaya akan segala rencana Allah SWT. Tawakkal merupakan sikap seseorang yang merupakan hasil dari keyakinannya yang bulat kepada Allah SWT. Ia meyakini bahwa Allah yang menciptakan segala-galanya, kekuasaannya tak terbatas, pengetahuan-Nya Mahaluas. Keyakinan inilah yang mendorong ia menyerahkan urusannya kepada Allah, hatinya tenang dan tentram dan tidak ada rasa ragu sedikitpun. Tawakkal tidak begitu saja meninggalkan usaha sama sekali, dan meyerahkan urusan bulatbulat kepada Allah, tetapi harus melalui suatu usaha atau ikhtiar sungguh-sungguh yang kemudian baru diserahkan kepada Allah SWT. Rasululah SAW merupakan contoh nyata pribadi penyabar tanpa mengenal batas.
63
BAB V PENUTUP A.
Kesimpulan Pada bagian kesimpulan ini dapat dituliskan jawaban dari rumusan masalah
bahwa Sayyid Qutb dan Ibn Katsîr bersepakat bahwa pada hakikatnya musibah merupakan bagian dari rencana keseluruhan Allah SWT dalam penciptaan alam semesta,
termasuk
manusia.
Dan Allah
SWT yang
Mahakuasa
telah
menetapkannya sebelum penciptaan manusia dan alam semesta ini. Dengan IlmuNya, Allah SWT mengetahui tanpa ada batasan dalam pengetahuan-Nya tentang apa yang terjadi, apa yang sudah terjadi dan apa yang akan terjadi dan semua itu telah tercatat dalam Kitab di al-lauh al-mahfuz. Kedua mufassir juga sepakat bahwa sikap terbaik dalam menghadapi musibah adalah dengan bersabar dalam menghadapinya. Demikian juga sebaliknya, sikap terbaik ketika memperoleh kenikmatan adalah dengan mensyukurinya. Manusia tidak perlu menyalahkan diri sendiri ketika tertimpa musibah. Demikian juga, manusia tidak perlu menyombongkan diri ketika memperoleh kenikmatan karena semua terjadi atas kehendak Allah SWT. Namun demikian, kedua mufassir berbeda pendapat tentang batasan dari musibah. Sayyid Qutb mendefinisikan musibah sebagai segala sesuatu yang menimpa manusia, baik berupa kebaikan maupun keburukan. Sedangkan Ibn Katsîr membatasi musibah sebagai keburukan atau bencana yang menimpa manusia.
64
B.
Saran Dengan penelitian yang telah dilakukan tentang topik ini penulis
mengajukan saran bahwa penelitian dengan topik ayat-ayat al-Qur’an harus dilakukan dengan mengacu langsung pada sumber aslinya yang masih utuh, bukan kitab-kitab versi ringkasan atau mukhtasar. Demikian juga, sebaiknya tidak mengacu kepada kitab hasil terjemahan, tetapi kepada kitab dalam bahasa aslinya. Dengan demikian, akan didapatkan data-data primer yang akurat. Versi ringkasan layak dibaca bagi pembaca yang tidak ingin melakukan penelitian, tetapi ingin memahami tafsir al-Qur’an dengan mudah. Selain itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui sejauh mana sebuah kitab versi ringkasan atau mukhtasar mengurangi informasi yang terkandung dalam karya aslinya.
65
DAFTAR PUSTAKA Ahmad, Syihâb al-Dîn. al-Tibyân Fî Tafsîr Gharîb al-Qur’ân. Beirut: Dar al-Fikr, tt. Juz 1. Arifin, Bey. Mengenal Allah. Surabaya: PT Bina Ilmu, 2006, cet. ke-11. al-Asfahâni, Al-Râghib. Mu’jam Mufradât fî alfâdz al-Qur’ân. Beirut: Dar alKutub al-‘ilmiyah, 2004. al-Baidâwiy. Tafsir al-Baidâwiy. Beirut: Dar al-Fikr, tt. al-Baihaqi. Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ. Beirut:Dar al-Fikr, tt. Biro Humas & Luar Negeri BPK. “Transparansi dan Akuntabilitas Pengelolaan Dana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh Pascatsunami”. Artikel diakses pada 10 Januari 2010 dari http://www.bpk.go.id/web/?p=3958 al-Bukhâri. Sahîh al-Bukhâriy. Beirut: Dar al-Fikr, tt. al-Buthy, M Sai’d Ramadhan. Sirah Nabawiyah. Penerjemah Aunur Rafiq Sahleh Tamhid. Jakarta: Robbani Press, 2000, cet. Ke-2. Departemen Agama RI. Al-Quran dan Terjemahnya. Bandung: Syaamil Cipta Media, tt. Dewan Redaksi. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT Ichtiar Van Horve, 1993, Jilid III. al-Dzahabi, Muhammad Husain. Israiliyat dalam Tafsir dan Hadits. Jakarta: Lentera antar Nusa, 1993. al-Dzahabi, Muhammad Husain. al-Tafsîr wa al-Mufassirûn. Mesir: Maktabah Wahbah, 1985. al-Farmawi, Abd al-Hayy. Al-Bidâyah fî Al-Tafsîr Al-Maudhu’iy. Kairo: AlHadharah Al-Arabiyah, 1977, Cet.II. al-Hafidz, Ahsin W.. Kamus Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Amzah, 2006, cet. ke-2. Hamka. Tafsir Al-Azhar, Juz XXVII. Jakarta: Pustaka Panjimas, tt. al-Hanbali, Muhammad al-Manjibi. Menghadapi Musibah Kematian. Penerjemah Muhammad Suhadi. Jakarta: Mizan Publika, 2007. Ibn, Katsîr. al-Bidâyah wa al-Nihâyah. Beirut: Dar al-Fikr, tt, Jilid XIV.
66
Ibn, Katsîr. Tafsîr Al-Qur’ân al-‘Azîm. Beirut: ‘Alam al-Kutub, 1985, juz 4. Ibn, Manzûr. Lisân al-‘Arab. Beirut: Dar Sâdir, tt. al-Khalidi, Salah Abdul Fatah. Pengantar Memahami Tafsir Fî Zhilâl al-Qur’ân. Penerjemah Salafuddin Abu Sayyid. Solo: Intermedia, 2001, Cet. Ke-1. al-Khatib, Muhammad Ajjaj. Usul al-Hadits. Beirut: Dar al-Fikr, 1409 H. U
Kompas. “Bencana Situ Gintung, Kerugian UMJ Rp 10 Miliar.”. 10 Maret 2009. Mahmûd, Mani’ Abd al-Halim. Metodologi Tafsir: Kajian Komprehesif Metode Para Ahli Tafsir. Penerjemah Syahdianor dan Faisal Saleh. Jakarta: Rajagrafindo, 2003. Maswan, Nur Maizin. Kajian Deskriptif Tafsir Ibn Katsîr. Yogyakarta: Menara Kudus, 2002. Munawwir, A.W.. Kamus Arab –Indonesia. Surabaya: Pustaka Progresif, 2002, cet. Ke-25. Muslim, Imam. Sahîh Muslim. Beirut: Dar al-Haya’, 1972. Pusat Bahasa Depdiknas RI. Kamus Besar Bahasa Indonesia Diakses tanggal 22 Mei 2009 dari http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php al-Qardawî, Yûsuf. Al-Qur’an Menyuruh Kita Sabar. Jakarta: GIP, 2000, Cet ke16.. al-Qardawî, Yûsuf. Bagaimana Berinteraksi Dengan al-Quran. Penerjemah Kathur Suhardi. Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2000. al-Qattân, Mannâ‘ Khalîl. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Penerjemah Mudzakir AS. Jakarta: Litera Antar Nusa, 2006, cet. Ke-9. Qutb, Sayyid. Fî Zilâl al-Qur’ân. Beirut: Dar al-Syuruq, 1978. al-Razi, Imam. Mukhtar al-Sihah. Beirut: Dar al-Fikr, tt. Republika. “Sayed Qutb, Sang Syahid Kontroversial”. Republika Online, artikel diakses pada 17 Januari 2010 dari http://www.republika.co.id/node/72910 al-Rifa’i, Muhammad Nasib. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Penerjemah Syihabuddin. Jakarta: Gema Insani Press, 2003, Cet. Ke-1, jilid IV. al-Sâbûniy, Muhammad ‘Aliy. Mukhtasar Ibn Katsîr. Beirut, Dar al-Fikr, tt. Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2007, cet.ke-8.
67
Sholikhin, Muhammad. The Power of Sabar. Solo: Tiga Serangkai, 2009, cet. Ke1. al-Sya’rawi, Mutawalli. Baik danBuruk. Penerjemah Tajuddin. Jakarta: Pustaka Kautsar, 1994, cet. Ke-1. Tirmidzi, Imam. Sunan al-Tirmidziy. Beirut: Dar al-Fikr, tt.
68