STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN TABATABÂ’I TERHADAP SURAT AL-MÂIDAH AYAT 67
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Th. I)
Penulis: Ahmad Hazami NIM. 106034001215
JURUSAN TAFSIR-HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H. / 2011 M.
STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN TABATABÂ’I TERHADAP SURAT AL-MÂIDAH AYAT 67
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Th. I)
Penulis: Ahmad Hazami NIM. 106034001215
Dibawah Bimbingan:
Dr. M. Suryadinata, MA NIP. 19600908 198903 1 005
JURUSAN TAFSIR-HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H. / 2011 M.
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “Studi Komparatif Penafsiran Rasyîd Ridâ Dan Tabatabâ’i Terhadap Surat Al-Mâidah Ayat 67” telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin Universitas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 23 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana program strata satu ( S1 ) pada jurusan TafsirHadis. Jakarta, 23 Juni 2011 Sidang Munaqasyah
Ketua,
Sekretaris,
Dr. Bustamin, M.Si. NIP. 19630703 199803 1 003
Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M. A NIP. 19711003 199903 2 001 Anggota,
Penguji I,
Penguji II,
Dr. Bustamin, M.Si. NIP. 19630703 199803 1 003
Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M. A NIP. 19711003 199903 2 001
Pembimbing,
Dr. M. Suryadinata, MA NIP. 19600908 198903 1 005
ABSTRAKSI
Skripsi ini membahas tentang perbandingan atau komparasi terhadap dua orang mufassir yaitu Muhammad Rasyîd Ridâ dengan kitab tafsirnya Tafsir al-Manâr dan Muhammad Husain al-Tabataba’i dengan kitabnya AlMîzân fî Tafsîr al-Qur’an mengenai tafsirannya tentang surat al-Mâidah ayat 67. Kedua mufassir tersebut mewakili golongan mazhab aqidahnya masingmasing, Rasyîd Ridâ mewakili golongan Ahlu Sunnah sedangkan Tabataba’i mewakili Syiah Itsnâ ‘Asyariyah. Perbedaan mazhab menjadi menarik dalam meguraikan perbandingan penafsiran keduanya, sehingga keduanya banyak mengemukakan argumen secara naqliyah juga ‘aqliyyah. Perbedaan yang sangat signifikan adalah tentang sabab turun ayat 67 surat al-Mâidah ini, karena berawal dari perbedaan sebab turun ayat tersebut maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat menjadi perbedaan yang sangat besar antara Rasyîd Ridâ dan Tabataba’i. Dintara perbedaan kandungan ayat tersbut adalah tentang pesan penting dalam penyampaian risalah (tablîgh al-risâlah), penundaan dalam penyampaian risalah (wahyu), hal yang berkaitan tentang peristiwa turunnya ayat dan makna ‘ishmah Nabi dalam ayat tersebut. Peristiwa Ghadîr Khum dan tentang makna wali dalam sebuah hadis yang berkaitan tentang sebab turunnya ayat, menjadi pembahasn khusus oleh Rasyîd Ridâ dan Tabataba’i dalam menjelaskan ayat ini. Tentu saja kedua mufassir tersebut mempunyai pandangan tersendiri mengenai makna wali dalam hadis yang terkenal dengan hadis Ghadîr Khum tersebut.
iv
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur tersanjung hanya bagi Allah SWT., yang dengan taufiq-Nya penelitian berjudul “STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN TABATABÂ’I TERHADAP SURAT AL-MÂIDAH AYAT 67” ini dapat selesai, demikian
juga, salawat serta salam semoga tercurahkan untuk baginda Rasulullah SAW beserta para keluarga dan sahabatnya. Sebagai karya tulis yang da‟ if, terutama di dalam penelitian ini masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan, yang kelak ditemukan oleh mereka yang mau menelaah dengan teliti. Segala kesalahan tersebut tak lain adalah bukti keterbatasan penulis di dalam melakukan penelitian ini. Penulis menyadari bahwa penelitian ini tak luput dari jasa lembaga dan orangorang tertentu yang telah membantu penulis, baik secara moril maupun materil. Atas segala bantuan tersebut, penulis sampaikan banyak terima kasih; khususnya kepada: 1. Segenap civitas Akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Prof. Dr. Komaruddin Hidayat (Rektor) dan Prof. Dr. Zainun Kamal, MA (Dekan Fakultas Ushuluddin) beserta para jajarannya. 2. Dr. Bustamin, M.Si (Ketua Jurusan Tafsir-Hadis) dan Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA (Sekjur Tafsir-Hadis). 3. Dr. M. Suryadinata, MA, selaku pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktunya di tengah-tengah kesibukan beliau untuk membantu, membimbing, dan mengarahkan penulisan skripsi ini. 4. Segenap dosen Fakultas Ushuluddin, khususnya dosen-dosen di jurusan TafsirHadis, khususnya Ustâdz Rifqi Mukhtar (sekaligus sebagai guru ngaji kitab Mukhtâshor Ihyâ ‘Ulumi al-Din) yang telah banyak berbagi ilmu kepada v
penulis, sehingga berkat merekalah penulis mendapatkan setetes ilmu pengetahuan. 5. Staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Perpustakaan Iranian Corner yang telah memberikan pelayanan dalam memberikan literatur kepada penulis dalam menyusun skripsi ini. 6. Kedua orang tua penulis (Alm) Baba H. Ja’anih bin Ji’ih dan Ibu Hj. Aminah yang selalu memberikan motivasi, bimbingan, pendidikan, dan pengajaran, serta senantiasa mendoakan penulis untuk mencapai kesuksesan di masa depan. 7. Bang Ali, Ka Nunung, Ka Ida, Bang Aab, Pulloh, Ami minta maaf kalau sering ngerepotin, manja dan ngga’ mau ngalah, doain agar Ami bisa memberikan yang terbaik untuk orang tua dan keluarga. Yayah, Ka Winda, Bang Muslih, Om Emi, Ka Ibah dan semua ponakan-ponakan kecilku, terima kasih untuk support dan hiburannya. Saudara sekaligus sahabat sejati, Oppie el-Achyati. 8. Sahabat-sahabat
penulis
mahasiswa
Tafsir-Hadis
angkatan
2006/2007
khususnya, Gus Enju S. Th. I, Irfan, Haikal, Tubi, Encin dan Umam, semoga kita menjadi orang yang sukses dan mendapat keberkahan atas semua yang diraih. Hidup JOMBLONDET. Harfa, Didit dan Aang, tetap semangat kuliahnya. 9. Abang-abang pembimbing dunia organisasi dan diskusi, Fajar S. Th. I, Muslim S. Fil. I, Iweng S. Th. I, Muammar S. Th. I, Kemal S. Fil. I, Amri, Naldhy, Sella dan Fikri S. Th. I. Teman-teman seperjuangan: Iqbal, Ramfalak, H. Dika, Bara, Fitroh, Jazuli, Anwar, dan lain-lain. Sahabat kecil penuh daya juang tinggi: Topan, Djarwo, Fuad, Dani, Dwi, Dimas, Usep dan lain-lain.
vi
10. Rekan-rekan HMI Komisariat Fakultas Ushuluddin Cabang Ciputat, BEM Jurusan Tafsir Hadis, BEM Fakultas Ushuluddin, PARMA Ushuluddin, IRMA Kemang dan Forum-forum diskusi keliling Jakarta Selatan-Ciputat. 11. Terakhir, untuk seluruh orang yang pernah melihat saya, bertemu dengan saya, dan bertukar pikiran dengan saya. Jazâkumullah ahsan al-Jazâ, Âmîn… Jakarta, 4 Juni 2011
Penulis
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI1 Konsonan Huruf Arab
Huruf Latin
Keterangan tidak dilambangkan
B
be
T
te
Ts
te dan es
J
Je
H
h dengan garis bawah
Kh
ka dan ha
D
da
Dz
De dan zet
R
Er
Z
Zet
S
Es
Sy
es dan ye
S
es dengan garis bawah
D
de dengan garis bawah
T
te dengan garis bawah
Z
zet dengan garis bawah
„
koma terbalik keatas, menghadap ke kanan
Gh
ge dan ha
1
Pedoman ini disesuaikan dengan pedoman akademik fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2006/2007, hal. 101 - 105
vi
F
Ef
Q
Ki
K
Ka
L
El
M
Em
N
En
W
We
H
Ha
„
Apostrof
Y
Ye
Vokal Vokal dalam bahasa Arab, seperti bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal alih aksaranya adalah sebai beeriku: Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
______َ
a
fathah
___ِ___
i
kasrah
______ُ
u
dammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut: Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
__َ__ي
ai
a dan i
َ____ و
au
a dan u
vii
Vokal Panjang (Madd)
Ketentuan alih aksara vokal panjang (Madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, adalah sebagai berikut: Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
ــَا
â
a dengan topi di atas
ــي
î
i dengan topi di atas
ـــو
û
u dengan topi di atas
Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu alif dan lam, dialih aksarakan menjadi huruf /l/ , baik diikuti oleh huruf syamsyiah maupun qamariyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-dîwân.
Syaddah (Tashdid) Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda, dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kaata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya yang secaraa lisan berbunyi ad-daruurah, tidak ditulis “ad-darûrah”, melainkan “al-darûrah”, demikian seterusnya.
Ta Marbûtah Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan manjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Akan tetapi, jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata benda (isim), maka huruf tersebutdialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).
viii
Contoh: no
Kata Arab
Alih aksara
1
tarîqah
2
al-jâmî ah al-islâmiyyah
3
wahdat al-wujûd
Huruf Kapital Meskipun dalam tulisan Arab huruf capital tidak dikenal, dalam alih aksara ini huruf capital tersebut juga digunakan, dengan memiliki ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain yang menuliskan kalimat, huruf awal nama tempat nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâli bukan Abû Hamid AlGhazâli, al-Kindi bukan Al-Kindi.
ix
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL........................................................................
i
PENGESAHAN PEMBIMBING....................................................
ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN.................................................
iii
ABSTRAKSI ...................................................................................
iv
KATA PENGANTAR......................................................................
v
PEDOMAN TRANSLITERASI.....................................................
viii
DAFTAR ISI....................................................................................
xii
BAB I
PENDAHULUAN....................................................
1
A. Latar Belakang Masalah......................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah..................
13
C. Tujuan Peneltian..................................................
14
D. Tinjauan Pustaka..................................................
15
E. Metodologi Penelitian..........................................
15
F. Sistematika Penulisan..........................................
16
BAB II
PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ TERHADAP SURAT AL-MÂIDAH AYAT 67 DALAM TAFSIR AL-MANÂR..............................................
18
A. Riwayat Rasyîd Ridâ dan Tafsir Al-Manâr.......
18
a. Riwayat Hidup Rasyid Ridâ..........................
18
b. Riwayat Tafsir Al-Manâr...............................
23
c. Metode dan Corak Tafsir Al-Manâr..............
25
B. Penafsiran Rasyîd RidâTerhadap Surat al-Mâidah Ayat 67......................................
x
28
BAB III
PENAFSIRAN TABATABA’I TERHADAP SURAT AL-MÂIDAH AYAT 67 DALAM TAFSIR AL-MÎZÂN................................................
37
A. Riwayat Tabataba’i dan Tafsir Al-Mizan............
37
a. Riwayat Hidup Tabataba’i.............................
37
b. Riwayat Tafsir Al-Mîzân...............................
44
c. Metode dan Corak Tafsir Al-Mîzân...............
45
B. Penafsiran Tabataba’i Terhadap Surat al-Mâidah Ayat 67...................................... BAB IV
48
ANALISA KOMPARATIF PENAFISRAN RASYÎD RIDÂ DAN TABATABA’I TERHADAP SURAT AL-MÂIDAH AYAT 67............................
56
A. Sebab Turun Surat al-Mâidah ayat 67.................
56
B. Ghadîr Khum dan Wilâyah ‘Ali bin Abî Tâlib....
67
C. Perintah Tablîgh Risâlah.....................................
78
D. ‘Ishmah Nabi saw................................................
83
PENUTUP.................................................................
87
A. Kesimpulan.........................................................
87
B. Saran-saran..........................................................
89
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................
91
LAMPIRAN......................................................................................
93
BAB V
xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Seorang muslim dalam seluruh sendi kehidupannya dibimbing dan diatur oleh dua warisan peninggalan Rasulullah saw. yaitu al-Qur‟an dan alSunnah atau hadis Nabi sebagaimana sabda Rasulullah saw. dalam khutbah alWadâ’ :
“Dari Ibnu Abbas r.a: Bahwa Rasulullah saw. berkhutbah kepada manusia dalam haji wada‟ dan bersabda: “Wahai manusia, sesungguhnya aku telah meninggalkan di antara kalian yang jika kalian berpegang teguh padanya niscaya kalian tidak akan tersesat selamanya, yaitu Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya”.1
Tentang keterjagaan dan kemurnian al-Qur‟an
Allah swt. sudah
menjaminnya sebagaimana tercantum dalam al-Qur‟an surah Al-Hijr ayat 9:
َن ّنزلْنَا ال ِّذ ْك َر َوإِّنَا لَ ُه لَحَا ِفظُون ُ ْإِّنَا ّنَح
1
Abu Bakr Ahmad bin al Husain bin Ali Al-Baihaqi, Sunan Al-Kubrâ lil-Baihâqi, (Dar el-Fikr Beirut, 1996) Juz 10, h. 114
1
2
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”
Al
Quran,
dan
Dalam memahami al-Qur‟an membutuhkan penafsiran yang bisa menjelaskan maksud ayat sehingga pesan Tuhan bisa dipahami dengan jelas, dan untuk memahami kandungan ayat al-Qur‟an dengan benar perlu mempelajari tafsir karena merupakan ilmu syariat yang paling agung dan tinggi kedudukannya. Ia merupakan ilmu yang paling mulia objek pembahasan dan tujuannya, serta sangat dibutuhkan sepanjang zaman, karena manusia membutuhkan petunjuk ilahi. Tanpa tafsir, seorang Muslim tidak dapat menangkap mutiara-mutiara berharga dari ajaran Tuhan yang terkandung di dalam al-Qur‟an. Setidaknya ada tiga yang membuat dan menentukan tingginya kedudukan tafsir. Pertama, bahwa bidang yang menjadi objek kajian tafsir adalah kalam ilahi yang mulia yang merupakan sumber segala ilmu agama dan keutamaan. Di dalamnya terhimpun berbagai aturan untuk kebaikan hidup manusia. Kedua, tujuannya adalah untuk mendorong manusia berpegang teguh dengan al-Qur‟an dalam usahanya memperoleh kebahagiaan sejati dunia dan akhirat. Ketiga, dilihat dari kebutuhan pun sangat jelas bahwa kesempurnaan mengenai bermacam-macam persooalan, baik agama maupun keduniaan, memerlukan ilmu syariat dan pengetahuan mengenai seluk beluk agama. Hal itu sangat tergantung pada ilmu pengetahuan tentang al-Qur‟an yaitu tafsir.2
2
M. Quraish Shihab, kata pengantar, Rif‟at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh, (Jakarta: Paramadina, 2002) hal, xiii
3
Upaya penafsiran al-Qur‟an sendiri telah berjalan sejak kitab suci masih diturunkan kepada Rasulullah saw., yaitu oleh Rasul sendiri, orang pertama yang menjelaskan maksud-maksud al-Qur‟an kepada umatnya. Kemudian dilanjutkan oleh para Sahabat, kalangan ulama Tabi‟in, dan seterusnya secara bersambung dari satu generasi ke generasi umat Islam berikutnya, hingga di zaman modern ini. Sudah barang tentu, tafsir yang dihasilkan pada satu zaman tidak terlepas dari masalah kultural dan intelektual serta kecenderungan mufassirnya. Lagi pula zaman membutuhkan penafsiran yang berbeda pula, selaras dan sesuai dengan perkembangan dan dinamika masyarakat yang terjadi. Di dalam perjalanan Islam sebagai suatu agama sejak semula sudah dikatakan sebagai agama yang sejak kemunculannya dianggap mengandung muatan-muatan politis. Hal ini disebabkan karena di dalam sejarah tercatat sebuah kisah yang menggambarkan hal tersebut, para sejarawan (muarrikhûn) banyak yang menuturkan kisah seorang bernama „Afîf al-Kindi, seorang pedagang yang sempat pergi ke Mekkah pada saat musim haji kemudian di sana ia bertemu dengan paman Nabi saw yaitu al-Abbas, dan pada saat itu ia melihat seorang laki-laki yang sedang sholat menghadap kiblat (Ka‟bah), lalu disusul dengan seorang pemuda dan perempuan yang turut shalat bersamanya. Maka ia bertanya kepada al-Abbas: “Agama apakah ini?”. Al-Abbas menjawab: “ini adalah Muhammad Ibnu Abdullah, putra saudara laki-lakiku,
4
dia (Muhammad) menganggap dirinya Rasulullah saw, berobsesi untuk menggulingkan Persia dan Romawi.”3 Kisah tersebut sering menjadi bukti bahwa Islam datang sudah mempunyai tendensi politis yaitu dalam hal ingin menggulingkan Persia dan Romawi, di mana saat itu keduanya adalah sebagai kekuatan adikuasa di dunia. Apabila hal itu dibenarkan maka wajar bila dalam Islam banyak terjadi faksifaksi (al-firaq) karena hal yang awalnya bersifat politis kemudian merembet kepada persoalan keyakinan (aqidah). Bangsa Arab yang mempunyai letak geografis di daerah gurun pasir, mempengaruhi watak mereka yang seperti pasir yaitu sulit untuk bersatu. Watak itu juga membuat mereka menjadi bangsa yang memilki fanatisme tinggi sekaligus fatalisme mengakar dan tidak heran jika mereka saling bermusuhan antar suku (kabilah) meskipun hanya mengenai urusan sepele.4 Maka pada saat itu Allah mengutus Rasulullah saw sebagai penyampai risalah Islam untuk menekankan persaudaraan dan persatuan yaitu dengan memperbaiki akhlak bangsa Arab, dan Rasulullah pun beusaha keras merubah keadaan bangsa Arab agar hidup dalam persaudaraan dan persatuan. Nabi saw dalam masa kenabian telah berusaha keras untuk mengikis jiwa kesukuan dan meruntuhkan dinding pemisah yang memisah-misah mereka atas dasar kesukuan, mereka harus disatukan dalam keimanan. Namun yang pasti, tidaklah mudah mengubah mereka dalam kurun waktu 23 tahun menjadi
3
Said Aqil Siradj, Ahlussunnah Wal Jamaah: Sebuah Kritik Historis, (Jakarta: Pustaka Cendekia Muda, 2008) h. 15 4
Said Aqil Siradj, Ahlussunnah Wal Jamaah: Sebuah Kritik Historis. h, 16
5
masyarakat yang ternaungi sistem Islami yang tidak lagi menganggap perbedaan kesukuan kecuali sebagai tanda pengenal, dan menerima bahwa nilai kemuliaan hanya ditentukan oleh ketakwaan. Banyak bukti yang menunjukkan dalamnya watak kesukuan yang masih ada saat itu, seperti pada kasus perselisihan antara seorang dari kalangan Anshar dan seorang dari kalangan Muhajirin sepulang dari pertempuran bani Mustahkiq yang hampir saja menimbulkan perkelahian, bukan hanya antara mereka berdua namun juga melibatkan kaum Anshar dan Muhajirin. Lalu Nabi saw. cepat-cepat meredamnya dan bersabda, “Tinggalkan slogan itu! Sesungguhnya ia adalah slogan jahiliah.” Kemudian dalam peristiwa kambuhnya jiwa fanatisme lama antara suku „Aus dan Khazraj yang terwakili oleh dua tokoh mereka, yaitu Sa‟ad bin Mu‟adz dari suku „Aus dan Sa‟ad bin Ubadah dari suku Khazraj, „Aisyah mengatakan, “Sebelumnya ia adalah orang saleh, namun ia terhanyut dalam fanatisme (Hammiyah), sehingga hampirhampir mereka berperang sementara Nabi saw berdiri diatas mimbar lalu beliau menenangkan mereka hingga redalah emosi masing-masing pihak.5 Keadaan yang membuktikan masih adanya fanatisme kesukuan bukan berarti apa yang telah beliau lakukan untuk mengikis dan menghilangkan fanatisme gagal seluruhnya. Sesungguhnya beliau telah berhasil menumbuhkan semangat persaudaraan dan persatuan antar suku, masih adanya perselisihanperselisihan kecil adalah hal wajar melihat watak bangsa Arab yang memang keras.
5
Lihat, Ali Zainal Abidin, Identitas Mazhab Syiah, (Jakarta: Ilya, 2004) h. 86-87
6
Keadaan mulai berubah lagi setelah Rasulullah wafat, semangat persaudaraan dan persatuan mulai mengalami kemunduran. Bahkan dalam sejarah tercatat sebelum jenazah beliau di makamkan telah terjadi perseteruan mengenai pengganti kepemimpinan (khalîfah) sebagai pemimpin Islam, peristiwa itu terkenal dengan Saqîfah. Perseteruan debat yang berlangsung di kediaman Saqîfah Bani Sa‟ad yang melibatkan golongan Anshor dan golongan Muhajirin ini berakhir dengan terpilihnya Abû Bakar al-Siddîq sebagai Khalîfah pertama. Respon atas terpilihnya Abû Bakar pun bermacam-macam, ada sebagian yang membaiat secara langsung, ada juga yang menyatakan tidak mau untuk membai‟at dan tidak sedikit pula yang menyatakan keluar dari Islam (murtad). Keadaan ini juga semakin buruk ketika „Ali bin Abî Thâlib juga tidak mau membai‟at Abû Bakar sebagai khalîfah.6 Fakta sejarah tersebut memberikan indikasi bahwa pascawafat Nabi saw fanatisme muncul kepermukaan lagi dan sulit dibendung. Pada saat itu, meskipun umat Islam masih bersatu dalam urusan aqidah dan syariat, namun mereka mulai terkoyak-koyak dalam kehidupan politik. Masalah kepemimpinan pascawafat Nabi saw ini adalah cikal bakal friksi dan kontroversi yang berkepanjangan dalam batang tubuh umat Islam, sebagian memandang bahwa persoalan kepemimpinan hanyalah isu historis politis bukan persoalan teologis. Sebagian lain justru memandang bahwa persolan kepemimpinan di samping bersifat historis, juga terkait isu teologis yang terkait dengan keselamatan seorang manusia di dunia dan akhirat. 6
Lihat, Said Aqil Siradj, Ahlussunnah Wal Jamaah: Sebuah Kritik Historis. h, 17-19, O. Hasyem, Saqifah: Awal Perselisihan Umat, Muhammad Baqir Shadr, Kemelut Kepemimpinan Setelah Rasul, (Jakarta: As-Sajjad, 1990).
7
Ada satu pertanyaan mendasar mengenai
masalah ini
yaitu,
bagaimanakah sikap Nabi saw dalam hal kepemimpinan pascawafatnya nanti, karena seorang yang memimpin pasca beliau harus menjalankan misi dakwah yang telah beliau sampaikan?. Dari pertanyaan inilah muncul beberapa asumsi jawaban atas sikap yang mungkin bisa diambil beliau sebelum wafat, yaitu: 1. Beliau bersikap pasif, yaitu acuh tak acuh. 2. Beliau menyerahkan pembentukan kepemimpinan kepada umat melalui konsep syuro (musyawarah). 3. Beliau menunjuk pemimpin yang diputuskan berdasarkan nash dan penunjukkan Allah melaui Rasulnya. Ketiga asumsi jawaban itu merupakan keharusan bagi Nabi saw untuk mengambil sikap sebelum beliau wafat. Dari ketiganya ada dua yang menjadi pembahasan khusus yaitu bahwa Nabi saw menyerahkan pembentukan kepemimpinan kepada umat melaui konsep Syûrô, dan Nabi saw menunjuk pemimpin yang diputuskan berdasarkan nash dan penunjukkan Allah melaui Rasulnya. Kedua asumsi itulah yang menjadi argumen dan doktrin kuat dalam memahami konsep kepemimpinan dan siapa yang berhak menjadi pemimpin pascawafat Nabi saw. Didalam fakta sejarah seperti yang diuraikan sekilas di atas menjelaskan bahwa yang menjadi pemimpin Islam pascawafat Nabi saw adalah Abû Bakar al-Siddîq, beliau terpilih setelah beberapa Sahabat melakukan musyawarah (syûrô). Hal ini yang memberikan asumsi bahwa Nabi saw
8
meyerahkan kepemimpinan kepada umat, karena umat telah pandai dan mempunyai kemampuan untuk memilih seorang pemimpin yang layak. Berbeda dengan yang berpendapat bahwa masalah kepemimpinan pascawafat Nabi saw adalah perkara yang sudah ditetapkan oleh Allah melalui Rasulnya. Asumsi ini muncul karena ada nash-nash yang mengindikasikan bahwa Nabi saw telah menunjuk seorang pemimpin untuk menggantikannya, dan nash-nash tersebut menunjuk „Ali bin Abî Thâlib yang berhak menjadi pemimpin pascawafat Nabi saw. Salah satu nash yang dianggap menjadi argumen kuat bahwa Nabi saw telah menunjuk seorang pemimpin setelah beliau wafat. Hadis ini dikenal sebagai hadis Ghadîr Khum, sebuah hadis yang berisi tentang masalah penunjukan pemimpin yang dilakukan oleh Nabi Muhammad untuk menjadi pengganti beliau setelah wafat nanti. Sebuah hadis yang diyakini oleh mazhab Syiah sebagai argumentasi kuat bahwa yang berhak memangku kepemimpinan pasca Nabi saw adalah keponakannya yaitu „Ali bin Abî Thâlib. Syiah meyakini benar bahwa „Ali bin Abî Thâlib ra adalah Imam kaum Muslim sesudah Rasulullah saw. dan seharusnya menjadi khalîfah pertama sesudah Rasul saw.7 Hal ini tentu saja berlainan dengan keyakinan mazhab Ahlus Sunnah yang meyakini bahwa Abû Bakar bin Siddîq lah yang berhak menjadi pemimpin saat itu. Hadis tersebut adalah:
7
M. Quraish Shihab, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?, (Jakarta: Lentera Hati, 2007) h. 122
9
Artinya : Berkata kepada kami Muhammad bin Basysyâr dan Syu‟bah dari Salamah bin Kuhail, ia berkata aku mendengar Abu al-Tufail berkata dari Abî Sarîhah atau dari Zaid bin Arqom dari Nabi Saw. Bersabda: barang siapa yang menjadikan aku pemimpinnya maka Ali adalah pemimpinnya juga.8
Hadis tersebut turun ketika beliau selesai melakukan Haji Wadâ’ di hadapan kaum muslimin di suatu tempat yang bernama Ghadîr Khum, oleh sebab itu hadis tersebut dikenal dengan sebutan hadis Ghadîr Khum. Hadis ini turun bertepatan tanggal 18 Dzulhijjah, usai Nabi Muhammad saw melaksanakan haji terakhirnya (haji wadâ’), Nabi Muhammad saw pergi meninggalkan Mekkah menuju Madinah, di mana beliau dan kumpulan kaum Muslimin sampai pada suatu tempat bernama Ghadîr Khum (saat ini dekat Juhfah). Itulah tempat di mana orang-orang dari berbagai penjuru saling menyampaikan salam perpisahan dan kembali ke rumah dengan mengambil jalan yang bereda-beda.9 Di sana Nabi saw menyampaikan khutbahkhutbahnya di depan ratusan ribu kaum Muslimin, dalam khutbahnya beliau membacakan ayat hampir 100 ayat al-Quran, dan kira-kira sebanyak 73 kali mengingatkan perbuatan masa depan mereka di kemudian hari.10 Dan salah satu bagian akhir dalam isi khutbanya adalah hadis Ghadîr Khum ini. 8
Al-Imam al-Hafiz Abi Isa Muhammad ibn Isa ibn Saurah al-Tirmidzi, Sunan atTirmizy, no. 4077, (Software: al-Maktabah asy-Syamilah), h. 317 9 Digital Islamic Library Project, Ensyclopedia of Shia, diterjemahkan Antologi Islam, penj, Rofik Suhud dkk, (Jakarta: Al-Huda, cet ke II, 2005), h. 288 10 Rofik Suhud dkk, Antologi Islam, h. 289
10
Mazhab Syiah berpendapat bahwa hadis Ghadîr Khum merupakan wasiat Rasulullah saw yang menghendaki „Ali menjadi pemimpin dan Amîrul Mukminîn sepeninggalnya.11 Mereka berkeyakinan masalah kepemimpinan adalah masalah prinsip teologis dan suksesi kepemimpinan adalah merupakan proses wasiat. Wasiat dalam doktrin Syiah sesungguhnya bukanlah pemilihan atau pencalonan, melainkan pengangkatan yang dilakukan oleh Nabi suci dengan mengumumkan seorang mukmin yang paling saleh sebagai pengganti beliau dalam mendakwahkan pesan Islam.12 Di lain pihak berpendapat bahwa tampuk kepemimpinan umat bukanlah suatu proses wasiat atau suatu yang diwariskan. Pewarisan kepemimpinan adalah salah satu hal yang tidak dapat dibenarkan dan diakui dalam Islam.13 Dalam hal ini penulis mencoba mengkaji sebuah ayat al-Qur‟an yang mempunyai keterkaitan dengan serangkaian perbedaan pendapat mengenai kepemimpinan pasca wafat Nabi saw Ayat tersebut terdapat dalam surat alMâidah ayat 67 yaitu:
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (Q.S. Al-Maidah/5 : 67) 11
Mustofa Al-Syak‟ah, Al-Islam bi la Mazahib, diterjemahkan oleh A. M. Basalamah dengan judul Islam Tidak Bermazhab, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), h. 134 12 Ali Syariati, Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi, (Jakarta: Mizan, 1995) h. 64 13 Mustofa Al-Syak‟ah, Islam Tidak Bermazhab, h. 135
11
Jika diperhatikan secara detail, di dalam ayat tersebut ada sebuah pesan (risâlah) yang sangat penting yang harus disampaikan oleh Rasul dan jika Rasul tidak menyampaikannya maka Rasul dikatakan belum menyampaikan amanat yang seharusnya disampaikan, dan seharusnya pesan tersebut bukan risalah yang telah Rasul pernah sampaikan lalu beliau sekedar mengulangnya kembali sebagai bentuk pengingatan kepada umatnya. Jadi risalah tersebut adalah sebuah risalah yang belum pernah disampaikan oleh Rasul dan sifatnya sangat penting untuk disampaikan kepada umatnya. Keterkaitan ayat tersebut dengan masalah kepemimpinan pasca wafat Nabi adalah karena bagi Syiah ayat tersebut turun setelah Nabi saw melakukan haji wadâ’ sehingga ayat tersebut turun dalam rentetan peristiwa Ghadîr Khum. Bagi kalangan Syiah ayat tersebut mengindikasikan sebuah pesan (risâlah) yang sangat penting agar kemudian disampaikan kepada umatnya dan ayat ini juga ditunjukkan kepada „Ali as. Pesan yang harus disampaikan itu adalah yang disebutkan dalam hadis Ghadîr Khum yaitu penunjukan sekaligus pengangkatan „Ali sebagai wâli dan pemimpin pascawafat Rasulullah saw.14 Tabataba‟i berpendapat mengenai ayat ini bahwa secara lahiriah makna ayat ini mengandung perintah pada Rasulullah saw untuk menyampaikan sesuatu yang berbahaya dan menakutkan, kemudian Allah swt menjanjikan kepadanya pemeliharaan dari gangguan manusia. Apabila diperhatikan dari sisi letaknya ayat ini diapit tentang ayat-ayat yang mebicarakan Ahli Kitab yakni al-Mâidah ayat 66 dan al-Mâidah ayat 67. Akan tetapi dapatlah 14
Rofik Suhud dkk, Antologi Islam, h. 288-289
12
dipastikan bahwa ayat ini tidak berkaitan dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya dari segi susunan ayat dan tidak mempunyai hubungan dengannya dalam untaian kalimatnya, tiada lain ayat ini diturunkan sendiri, dan ketakutan akan menyampaiknnya adalah bukan kepada Ahli Kitab yang karena takut mati di jalan Allah, melainkan kekhawatiran Nabi saw kepada manusia untuk menyampaikannya sehingga menunggu pada momen yang sesuai.15 Adapun sebab turunnya ayat ini memang terjadi perbedaan pendapat, ada yang menyebutkan bahwa ayat ini turun saat permulaan Islam dan yang lainnya berpendapat ayat ini turun setelah Nabi saw melakukan haji wada‟ di Ghadîr Khum.16 Perbedaan pendapat inilah yang mungkin menjadi sebuah perbedaan pemahaman antara Ahlu Sunnah dan Syiah, dimulai dari perbedaan sabab trurunnya sampai kepada penafsiran ayat secara keseluruhan, dan bukan hanya itu, perspektif sejarah menjadi penting dalam memahami ayat tersebut. Maka di sini penulis ingin mengetahui lebih jauh perbedaan penafsiran ayat tersebut antara mufassir Ahlu Sunnah dan Syiah. Dari Ahlu Sunnah penulis memilih tafsir yang ditulis oleh Muhammad Rasyîd Ridâ yaitu Tafsîr al-Qur‟an alHakîm atau yang lebih dikenal dengan Tafsir al-Manâr, sedangkan dari Syiah penulis memilih Al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur‟an yang ditulis oleh Muhammad Husain al-Tabataba‟i.
15
lihat. Tabataba‟i, Tafsir Al-Mizan; Mengupas Ayat-ayat Kepemimpinan, pen, Syamsuri Rifa‟i, (Jakarta: CV. Firdaus, 1991), h. 149-153 16 Lihat Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr AlManâr, (Beirut: Dar al-Ma‟rifah) Jilid I, hal, 463
13
Alasan penulis memilih kedua tafsir tersebut selain dikarenakan perbedaan mazhab mufassirnya17 juga dikarenakan kedua tafsir tersebut termasuk dalam tafsir kontemporer sehingga pemikiran dan penafsirannya bisa dimasukkan dalam konteks kekinian. kedua tafsir tersebut juga banyak menggunakan argumen rasional setelah mengemukakan beberapa kesesuaian (munâsabah) ayat, hadis dan juga pandangan mufassir-mufassir lainnya. Dengan uraian di atas maka penulis mengambil judul penelitian ini “STUDI
KOMPARATIF
PENAFSIRAN
RASYÎD
RIDÂ
DAN
TABATABA’I TERHADAP SURAT AL-MÂIDAH AYAT 67”. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Dalam melakukan studi komparatif ini penulis membahas penafsiran Rasyîd Ridâ dan Tabataba‟i yang terdapat dalam karyanya yaitu kitab Tafsîr alQur‟ân al-Hakîm (Tafsir al-Manâr) dan al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur‟ân dengan merujuk kepada satu ayat yaitu surat al-Mâidah ayat 67 dan yang menjadi fokus kajiannya adalah mengenai sebab turunnnya ayat dan pesan penting dalam tablîgh al-risâlah dalam ayat tersebut. Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, maka perumusannya adalah: 1. Bagaimana penafsiran Rasyîd Ridâ dan Tabataba‟i tentang surat AlMâidah ayat 67 secara umum. 2. Bagaimana penjelasan Rasyîd Ridâ dan Tabataba‟i secara khusus tentang sebab turunnya ayat, keterkaitan ayat dengan peristiwa Ghadîr Khum,
17
Lihat Sayyid Muhammad Ali Iyâzi, al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum, (Teheran: Wazarah al-Tsaqofah wa al-Irsyad al-Islam) hal, 664 dan 703
14
pesan penting dalam tablîgh al-Risâlah yang diperintahkan dalam surat alMâidah ayat 67 dan makna ‘ishmah. C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Dalam skripsi ini penulis membagi tujuan penelitian ini pada tujuan khusus dan tujuan umum: a. Tujuan Khusus Penelitian ini secara akademis bertujuan untuk memahami perbedaan penafsiran antara Rasyid Ridha dan Thabathaba‟i dalam menafsirkan ayat al-Qur‟an. b. Tujuan Umum a) Memberikan kontribusi wawasan dan memperkaya khazanah intelektual seputar hadis kepada umat Islam khususnya kepada penulis. b) Mendorong umat Islam memahami al-Qur‟an dengan benar dan tidak bertentangan dengan hadis serta kehidupan manusia. c) Mengajak kepada umat Islam untuk bisa menyikapi dengan bijak setiap perbedaan pendapat dengan menjunjung tinggi semangat Ukhuwwah Islâmiyyah. d) Untuk melengkapi sebagian dari persyaratan guna memperoleh gelar akademik Sarjan Strata Satu (S-1) pada Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin Universitas Syarif Hisayatullah Jakarta.
15
2. Kegunaan Penelitian Kegunaan dari penelitian ini secara teoritis dapat memberikan pemahaman tentang bagaimana suatu al-Qur‟an dan hadis dapat dipahami dengan benar. Sehingga tidak terlalu kaku dengan pengamalan al-Qur‟an dan hadis yang menjadi pedoman kita. D. Tinjauan Pustaka Sejauh penelusuran yang penulis lakukan, penelitian tentang masalah ini masih belum ada yang melakukannya. Peneliti hanya menemukan satu skripsi yang hanya membahas tentang metode pendidikan dalam surat alMâidah ayat 67 yang ditulis oleh Zulkarnaen Fadly (Pendidikan Agama Islam/2009) dengan judul “Metode Pendidikan Islam dan Relevansinya dengan Metode Dakwah: Kajian surat al-Nahl ayat 125, al-Mâidah ayat 67 dan surat Ali „Imrân ayat 159”. Skripsi ini membahas metode pendidikan dan dakwah, dan tidak ada analisa khusus mengenai ayat dalam surat al-Mâidah ayat 67. Tentu saja penelitian tersebut berbeda dengan penulis yang menganalisa secara khusus ayat tersebut dan melakukan komparasi penafsiran dari dua mufassir. E. Metodologi Penelitian 1.
Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan kajian literatur dan kepustakaan. Data utama adalah al-Qur‟an dan yang menjadi kitab analisa utama adalah kitab Tafsîr al-Qur‟ân al-Hakîm (Tafsir al-Manâr) karya Muhammad Rasyîd Ridâ dan al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur‟ân karya
16
Muhammad Husain al-Tabataba‟i, serta data sekunder dari buku-buku, artikel dan lain-lainnya yang mempunyai kaitan dengan permasalahan yang sedang diangkat. 2.
Metode Pembahasan Metode yang digunakan dalam skripsi ini adalah deskriptif-analitis, sebagai upaya mengkaji kemudian memaparkan keadaan objek yang akan diteliti dengan merujuk pada data-data yang ada (baik primer maupun sekunder)
kemudian
menganalisisnya
secara
proporsional
dan
komprehensif dengan pendekatan komparatif, sehingga akan tampak jelas perincian jawaban atas persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahan dan akan menghasilkan pengetahuan yang valid. 3. Tehnik Penulisan Penulisan skripsi ini mengacu pada Buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Desertasi) terbitan CeQDA Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007. F. Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini dibagi dalam lima bab yang merupakan suatu rangkaian penulisan yang saling berhubungan, dengan uraian sebagai berikut: Bab I berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.
17
Bab II berisi tentang riwayat hidup Rasyîd Ridâ, riwayat kitab Tafsir alManâr, metode dan corak Tafsir al-Manâr dan kajian terhapad penafsiran Rasyîd Ridâ tentang surat al-Mâidah ayat 67. Bab III berisi tentang riwayat hidup Tabataba‟i, riwayat kitab Tafsir alMîzân, metode dan corak Tafsir al-Mîzân dan kajian terhapad penafsiran Tabataba‟i tentang surat al-M^aidah ayat 67. Bab IV berisi tentang pokok kajian yaitu penafsiran mengenai kajian inti yang dibahas yaitu membahas surat al-Mâidah ayat 67 secara global yang kemudian memfokuskan pembahasan kepada permasalahan sabab turunnya ayat, keterkaitan dengan peristiwa Ghadîr Khum, pesan penting dalam tablîgh al-Risâlah yang diperintahkan Allah kepada Nabi saw., dan penjelasan tentang makna ‘Ishmah dan kafir dalam ayat tersebut. Setelah itu melakukan analisa perbandingan terhadap kedua penafsiran tersebut dan mengutip beberapa pendapat para ulama tafsir mengenai hal tersebut. Bab V merupakan penutup yang berisi kesimpulan dari masalahmasalah pokok dalam penelitian ini dan saran.
BAB II PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ TERHADAP SURAT AL-MÂIDAH AYAT 67 DALAM TAFSIR AL-MANÂR
A. Riwayat Rasyîd Ridâ dan Tafsir al-Manâr a. Riwayat Hidup Rasyîd Ridâ Qalamun adalah sebuah desa yang dekat dengan kota Tripoli, Libanon. tempat kelahiran Sayyid Muhammad Rasyîd Ridâ pada tanggal 27 Jumadi al-Ûla 1282 H atau 18 Oktober 1865 M. Saat itu Libanon merupakan bagian dari wilayah Kerajaan Turki Utsmani.1 Menurut salah satu riwayat bahwa Rasyîd Ridâ mempunyai silsilah dari Husain bin „Ali bin Abî Tâlib, cucu Nabi saw., oleh karena itu beliau diberi gelar Sayyid. Keluarga beliau dikenal dengan sebutan Syaikh merupakan keluarga yang sangat taat dalam beragama serta menguasai ilmu-ilmu agama.2 Beliau mengawali pendidikan di desanya dengan membaca alQur‟an, menulis dan berhitung. berbeda dengan anak-anak lain yang sebaya dengannya, beliau lebih senang menghabiskan waktunya untuk belajar dan membaca buku dari pada bermain.3 Sejak kecil ia telah memiliki kecerdasan yang tinggi dan keterkaitannya terhadap ilmu pengetahuan.
1
A. Athaillah, Rasyîd Ridâ: Konsep Teologi dalam Tafsir Al-Manar, (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 26 2 Ali Mufradi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos, 1997), h. 162 3 Kufrawi Ridwan (ed), Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), cet III, h, 161
18
19
Setelah lancar membaca dan menulis, beliau kemudian masuk ke madrasah Rusydiyyah, sekolah milik pemerintah Tripoli. Hanya dalam waktu lima tahun beliau belajar nahwu dan sharaf dan ilmu agama lainnya seperti aqidah dan ibadah, ilmu bumi dan matematika. Namun bahasa yang dipakai di madrasah tersebut bukanlah bahasa Arab, melainkan bahasa Turki. Hal itu tidak mengherankan karena madrasah tersebut milik Pemerintah Turki Utsmani. Di samping itu tujuan madrasah milik pemerintah tersebut adalah untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang akan menjadi pegawai pemerintah Turki Utsmani.4 Karena enggan menjadi pegawai pemerintah kemudian beliau melanjutkan ke sekolah Islam Negeri, dengan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar, yang didirikan dan dipimpin oleh seorang ulama besar Syam Syaikh Husain alJisr, ide pembaharuan pada diri ridha sangat dipengaruhi oleh pemikiranpemikiran gurunya Syaikh al-Jisr. Rasyîd Ridâ juga seoarang pengikut tarekat, yaitu Tarekat alNaqsyabandiyah, berdasarkan pengalamannya di dunia tarekat, ia menyimpulkan bahwa ajaran-ajaran tarekat yang berlebihan dalam cara beribadat dan pengkultusan seorang guru membuat seorang mempunyai sikap statis dan pasif, sikap-sikap seperti itu jelas merugikan umat Islam. Ide-ide pembahruan penting yang dibawa Rasyîd Ridâ adalah dalam bidang agama, bidang pendidikan dan bidang politik. Dalam bidang agama ia berpendapat bahwa umat Islam lemah karena mereka tidak lagi
4
A. Athaillah, Rasyid Ridha: Konsep Teologi dalam Tafsir Al-Manar, h. 27
20
mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam secara murni seperti yang dipraktekan pada masa Rasulullah Saw dan sahabat-sahabatnya, melainkan ajaran-ajaran yang sudah banyak bercampur dengan bid’ah dan khurafât. Selanjutnya ia menegaskan, jika umat Islam ingin maju, mereka harus kembali berpegang kepada al-Qur‟an dan sunnah Rasulullah saw. dan tidak terikat dengan pendapat ulama-ulama terdahulu yang tidak lagi sesuai dengan tuntutan hidup modern.5 selain banyak belajar, beliau juga menekuni perkembangan dunia Islam melalui media masa al-Urwah alWutsqâ yang sekaligus memberikan pengaruh besar pada perkembangan jiwanya.6 Rasyîd Ridâ sangat ingin menemui al-Afghani tetapi keinginannya tersebut tidak tercapai, karena al-Afghani lebih dahulu meninggal sebelum Rasyîd Ridâ sempat menemuinya, dan yang hanya sempat beliau temui adalah Muhammad Abduh yang ketika itu berada dalam pembuangan di Beirut, dengan tekad untuk melepaskan umat Islam dari belenggu keterbelakangan dan kebodohan.7 Di Mesir, Rasyîd Ridâ mengungkapkan keinginannya untuk menerbitkan suatu surat kabar yang mengolah masalah-masalah sosial, budaya dan agama. Kemudian terbitlah majalah al-Manâr pada tahun 1898 M, dengan tujuan yang sama dengan al-‘Urwatul Al-Wutsqâ, yaitu memajukan umat Islam dan menjernihkan agama Islam dari segala paham
5
Kufrawi Ridwan (ed), Ensiklopedi Islam, h, 163 M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar (Jakarta: Lentera Hati, cet II, 2007), h. 76 7 Kufrawi Ridwan (ed), Ensiklopedi Islam, h, 163 6
21
yang menyimpang. Dari tulisan-tulisan Rasyîd Ridâ yang diterbitkan AlManâr
mengenai catatan-catatan tafsir, beliau memberi saran kepada
gurunya untuk menafsirkan al-Qur‟an dengan tafsiran yang relevan sesuai dengan tuntutan zaman. dan kemudian dibukukanlah catatan-catatan tersebut menjadi tafsir al-Manâr.8 Rasyîd Ridâ memiliki ide pembaharuan dalam bidang agama, pendidikan dan politik serta mengajak kepada umat Islam agar kembali ke zaman awal dengan aqidah murni bersandar kepada al-Qur‟an dan alHadis.9 Agar terlepas dari keyakinan umat Islam yang berupa tahayul dan bid‟ah, faham fatalisme dan paham-paham yang diajarkan oleh tarekattarekat tasawuf. Di samping itu pula bagi beliau wahyu senantiasa mendorong umat untuk menggunakan akal, oleh karena itu beliau juga melarang sikap taqlid dan beliau pun menghargai akal manusia. Menurutnya akal dapat dipakai untuk memahami ajaran mengenai kehidupan masyarakat yang memiliki keadaan berubah-ubah.10 Dalam pemikiran-pemikiran Ridha yang telah dikemukakan tidak jauh berbeda dengan pemikiran-pemikiran guru beliau Abduh dan AlAfghani. Muhammad Abduh dengan al-Urwah al-Wutsqâ mampu mengubah kesufian jiwa Rasyîd Ridâ menjadi pemuda yang penuh semangat.
8
Kufrawi Ridwan (ed), Ensiklopedi Islam, h, 162 Kufrawi Ridwan (ed), Ensiklopedi Islam, h, 162 10 Muhaimin, Pembaharuan Islam Refleksi Pemikiran Rasyid Ridha dan Tokoh-tokoh Muhamadiyah, (Cirebon: Pustaka Dinamika, 2000), h. 18 9
22
Kalau semula usaha Rasyîd Ridâ hanya terbatas pada perbaikan akidah dan syariat masyarakat, menjauhkan mereka dari kemewahan duniawi dengan mempratekkan zuhûd, selanjutnya ia beralih pada usahausaha membangkitkan semangat umat Islam untuk melaksanakan ajaran islam secara utuh, serta membela dan membangun negara dengan ilmu pengetahuan dan industri. Bahkan beliau bisa memahami ajaran Islam dengan suatu jalan baru, yakni bahwa Islam bukan hanya agama ruhaniukhrowi semata, melainkan juga agama ruhani jasmani, ukhrowi dan duniawi yang bertujuan antara lain memberi petunjuk kepada manusia untuk menguasainya dengan sungguh-sungguh.11 Perhatiannya yang sangat besar di bidang pendidikan adalah alasan mengapa ia selalu menghimbau dan mendorong umat Islam untuk menggunakan
kekayaannya
bagi
pembangunan
lembaga-lembaga
pendidikan. Menurutnya umat Islam hanya akan maju apabila menguasai bidang pendidikan.12 Keaktifan Rasyîd Ridâ di dunia politik menghantar ia menjadi Presiden Kongres Suriah tahun 1920, delegasi Palestina – Suriah di Jenewa tahun 1921, Komite Politik di Kairo tahun 1925 dan menghadiri Konferensi Islam di Mekkah tahun 1926 dan di Yerussalem tahun 1931. Ide-idenya yang penting adalah mengenai persaudaraan Islam (Ukhuwwah al-Islâm). Ia melihat salah satu penyebab kemunduran umat Islam ialah perpecahan yang terjadi di kalangan mereka, untuk itu ia menyeru umat 11 12
Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan (Yogyakarta: LKIS, 2003),cet. I, h. 132 Kufrawi Ridwan (ed), Ensiklopedi Islam, h. 163
23
Islam agar bersatu kembali di bawah satu keyakinan, satu sistem moral, sistem pendidikan dan tunduk pada satus sitem hukum dalam satu kekuasaan yang berbentuk Khilâfah. seperti pada masa al-Khulafâ alRâsyidîn. Pada tanggal 23 Jumadil Ula 1354 H atau tanggal 22 Agustus 1935 M, Muhammad Rasyîd Ridâ wafat disebabkan mengalami kecelakaan dan geger otak.13 Beberapa karya Rasyîd Ridâ, diantaranya yaitu :14 1. Al-Hikmah al-Syar’iyyah fi Muhkamât ad-Dadiriyah wa al-Rifâ’iyyah 2. Al-Azhar dan al-Manâr 3. Târikh al-Ustâdz al-Imâm al-Syaikh Muhammad Abduh 4. Nidâ’ li al-Jinsi al-Latîf 5. Dzikra al-Maulid al-Nabawi 6. Risâlatu Hujjat al-Islâm al-Ghazali 7. Al-Sunnah wa al-Syi’ah 8. Al-Wahdah al-Islamiyyah 9. Haqîqatu al-Ribâ 10. Tafsîr Surat al-Kautsar, al-Kâfirûn, al-Ikhlâs dan Al-Mu’awwidzatain b. Riwayat Tafsir al-Manâr Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm adalah nama Tafsir al-Mânar merupakan penisbatan atas majalah yang diterbitkan oleh Rasyîd Ridâ. Berjumlah dua belas jilid tafsir ini bertujuan untuk memberikan 13 14
M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar , h. 82 M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar, h.79-80
24
pemahaman bagi umat Islam bahwa Kitâbullâh merupakan sumber ajaran agama Islam membimbung manusia ke arah kebahagiaan dunia dan akhirat.15 Tafsir al-Manâr pada dasarnya merupakan hasil karya tiga orang tokoh Islam, yaitu Sayyid Jamaluddin al-Afghâni, Syaikh Muhammad Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyîd Ridâ. Tokoh pertama menanamkan gagasan perbaikan masyarakat kepada sahabat dan muridnya, Syaikh Muhammad Abduh. Oleh tokoh kedua ini gagasan itu dicerna, diterima dan diolah kemudian disampaikan melalui penafsiran ayat-ayat alQur‟an.16 Tokoh ketiga yang kemudian menulis semua yang disampaikan oleh sahabat dan gurunya itu dalam bentuk ringkasan dan penjelasan. Ringkasan dan penjelasan itu kemudian dimuat secara berturutturut dalam majalah al-Manar, yang dipimpin dan dimilikinya itu dengan judul “Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm” yang disadur dari kuliah Muhammad abduh. Abduh sempat menyampaikan kuliah-kuliah tafsirnya dari surat alFatihah sampai dengan surat an-Nisa ayat 125. Kemudian Rasyîd Ridâ menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an secara sendirian yang pada garis besarnya mengikuti metode dan ciri-ciri pokok yang digunakan oleh gurunya sampai dengan surat Yusuf ayat 52.17 Oleh karena itu tafsir al-Manâr yang terdiri dari 12 jilid itu lebih wajar untuk dinisbahkan kepada Rasyîd Ridâ, sebab disamping lebih banyak yang
15
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr, (Beirut: Dar al-Ma‟rifah), jilid I, h. 4 16 M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar , h. 84 17 M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar , h. 84
25
ditulisnya, baik dari segi ayat maupun halamannya, juga karena dalam penafsiran ayat-ayat surat al-Fâtihah, surat al-Baqarah, dan surat al-Nisâ ditemui pula pendapat-pendapat Rasyîd Ridâ yang ditandai olehnya dengan menulis kata “aqûlu” sebelum menguraikan pendapatnya sendiri.18 c. Metode dan Corak Tafsir Al-Manâr Rasyîd Ridâ dalam Muqaddimah tafsirnya mengatakan: Kitab ini merupakan satu-satunya kitab yang menghimpun riwayatriwayat yang shahih dan pandagan akal yang tegas, yang menjelaskan hikmah-hikmah syariah serta sunnatullâh yang berlaku terhadap manusia, dan menjelaskan fungsi al-Qur‟an sebagai petunjuk seluruh manusia di setiap waktu dan tempat, serta membandingkan antara petunjuknya dengan keadaan kaum muslim dewasa ini yang telah berpaling dari petunjuk itu, serta membandingkan pula dengan keadaan para salaf (leluhur) yang telah berpegang dengan tali hidayah itu. Tafsir ini disusun dengan redaksi yang mudah sambil berusaha menghindari istilah-istilah ilmu dan teknis sehingga dapat dimengerti oleh orang awam tetapi tidak diabailan oleh orang khusus (cendekiawan). Itulah cara yang ditempuh oleh filosof Islam al-Ustâdz al-Imâm Syaikh Muhammad Abduh dalam pengajaran di al-Azhar.19
Apabila melihat penjelasan mengenai riwayat Tafsir Al-Manâr maka sudah barang tentu metode dan corak Tafsir Al-Manâr yang ditulis oleh Rasyîd Ridâ ini juga mengikuti metode dan corak yang digunakan oleh gurunya Muhammad Abduh. Metode yang digunakan adalah analisis ayat tahlîli20 dan corak penafsirannya adalah adabi ijtimâ’i21 (sastra kemasyarakatan).22
18
M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar , h. 85 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr, (Beirut: Dar al-Ma‟rifah) Jilid. I, h. 1 20 Metode Tahlili, Berasal dari kata halala Yuhalilu, Tahlili yang berarti mengurai atau menganalisis. Metode tahlili adalah tafsir yang menyoroti ayat-ayat Al-Qur‟ ân dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan yang 19
26
Corak Penafsiran Al-Manâr berorientasi pada sosial, sastra dan kemasyarakatan, suatu corak yang menitikberatkan penjelasan ayat alQur‟an pada segi ketelitian redaksionalnya, kemudian menyusun kandungan ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama turunnya al-Qur‟an, yakni membawa petunjuk dalam kehidupan, kemudian merangkaikan pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan perkembangan dunia.23 Menurut Rasyîd Ridâ seperti yang diakuinya sendiri bahwa terdapat beberapa perbedaan dirinya dengan gurunya Muhammad Abduh dalam menulis al-Manâr. Dalam pernyataannya dia menjelaskan bahwa dia menggunakan metode penafsiran yang berbeda dengan metode yang telah digunakan gurunya. Metode tersebut adalah memperluas penjelasan dengan hadis-hadis sahih, menahqiqan sementara kosa kata kalimat dan masalah-masalah yang telah menimbulkan perbedaan pendapat di
terdapat dalam Al-Qur‟ ân Mushaf Utsmani. Tafsir ini disebut juga Tajzi‟ i (parsial). Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Qur‟ ân Al-Karîm, h. V, (pengantar), lihat juga Sejarah „Ulum alQurân (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), cet. Ke-1, h.172-192 21 Corak Adabi Ijtima‟ i adalah corak penafsiran yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur‟ ân berdasarkan ketelitian ungkapan-ungkapan yang disusun dengan bahasa yang lugas, dengan menekankan tujuan yang pokok diturunkannya al-Qur‟ ân, lalu mengaplikasikannya pada tatanan sosial, seperti pemecahan masalah-masalah umat islam dan bangsa pada umumnya, sejalan dengan perkembangan masyarakat. Lihat Muhammad Husein al-Dzahabi, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, (Kairo: Dar al-Kutub al-haditsah, 1986) Jilid. II, h. 574 22 Muhammad Husein al-Dzahabi, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, (Kairo: Dar al-Kutub alhaditsah, 1986) Jilid. III, h. 214 23 M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar , h. 5
27
kalangan ulama juga memperbanyak ayat-ayat penguat yang dipetik berbagai surat.24 Menurut Harun Nasution seperti yang dikutip oleh A. Athaillah bahwa perbedaan tersebut antara lain terlihat pada masalah-masalah teologi dan dalam menafsirkan ayat-ayat antropomorfisme Abduh lebih liberal daripada Ridâ.25 Adapun M. Quraish Shihab mengklasifikasikan perbedaan tersebut, yang diantaranya :26 1. Keluasan pembahasan tentang ayat-ayat yang ditafsirkan dengan hadits-hadits Nabi saw. 2. Keluasan Pembahasan tentang penafsiran ayat-dengan ayat yang lain. 3. Penyisipan pembahasan-pembahasan yang luas tentang hal-hal yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat pada umumnya, dengan tujuan mengantar kepada penjelasan tentang petunjuk agama, baik yang menyangkut argumentasi keyakinan maupun pemecahan problemproblem yang berkembang. 4. Keluasan pembahasan tentang arti mufradât (kosakata), susunan redaksi, serta pengungkapan pendapat-pendapat ulama dalam bidang tersebut.
24
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr, jilid I, h. 16 25 A. Athaillah, Rasyid Ridha: Konsep Teologi dalam Tafsir Al-Manar, h. 5 26 M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar,h. 85-86
28
B. Penafisran Rasyîd Ridâ tentang surat al-Mâidah ayat 67
“Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (Q.S. Al-Mâidah/5 : 67)
Rasyîd Ridâ dalam menafsirkan ayat ini pada mulanya ingin menegaskan bahwa seruan kata “Rasul” dalam ayat tersebut menunjukkan bahwa ada dua tema besar yang dibahas dalam ayat tersebut yaitu seruan kepada Ahli Kitab untuk masuk Islam dan tentang persoalan-persoalan agama.27 penjelasan Rasyîd Ridâ ini seolah mengemukakan bahwa sebab turunnya ayat ini pada awal kenabian karena menyangkut seruan kepada Ahli Kitab untuk masuk Islam. Rasyîd Ridâ pun juga menjelaskan dalam tafsirnya bahwa memang terjadi perbedaan pendapat oleh para mufassir tentang sebab turunnya ayat ini. Pendapat yang pertama mengatakan bahwa turunnya ayat ini terjadi pada masa awal Islam sedangkan pendapat kedua megatakan bahwa ayat ini turun untuk „Ali bin Abî Tâlib pada hari Ghadîr Khum.28
27
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr, jilid 6, h. 463 28 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsir al-Qur’an al-Karim Asy-Syahir bi Al-Tafsir Al-Manar, jilid 6, h. 463
29
Dalam menafsirkan “
َ ” يَا َأ ُيهَا انّرَسُى ُل بَهِغْ يَا ُأَْ ِزلَ إَِن ْيكَ ِيٍْ َر ِبكRasyîd Ridâ
menyampaikan sebuah riwayat yang juga sekaligus menunjukkan sebab turunya ayat ini yaitu pada awal permulaan Islam. Dia sepakat dengan pendapat para ulama tafsir al-Ma’tsûr, apabila ayat ini tidak menyangkut masalah Ahli Kitab maka tidak sesuai dengan ayat setelahnya, yaitu dengan pengertian bahwa Allah berkata: “Sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu tentang perkara Ahli Kitab dan jika kamu bertanya apa yang harus disampaikan maka jawablah “Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan al-Qur’an yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu"... .”.29 Kemudian Rasyîd Ridâ meyebutkan hadis
Ibn „Abbâs
yang
diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih dan Adh-Dhiyâ‟ yaitu : “Rasulullah Saw ditanya: Ayat apa yang diturunkan dari langit, yang paling menghawatirkan kamu? Nabi Saw menjawab: Aku berada di Mina pada musim haji, ketika itu orang-orang musyrik Arab dan manusia yang tidak dikenal identitasnya berkumpul, kemudian turunlah Jibril dan menyampaikan ayat: “ ” , kemudian aku berdiri di „Aqobah dan berseru: “wahai manusia, siapa yang akan menolongku menyampaikan risalah Tuhanku dan Pemilik syurga? wahai manusia katakan: Tiada Tuhan selain Allah dan aku Rasul Allah, maka kalian akan beruntung dan behasil dan bagi kalian surga.” Dan Nabi berkata, maka tak tertinggal seorang pun laki-laki, wanita dan anak-anak, semuanya melempar dengan tanah dan batu, dan mereka meludahi mukaku, mereka sambil berkata, Pendusta, keluar dari agama. Kemudian Ali menyarankan dan berkata: Wahai Muhammad jika engkau Rasul Allah, maka sekaranglah waktu engkau harus mendoakan mereka sebagaimana Nuh berdo‟a untuk kaumnya dengan kehancuran, maka Nabi Saw berdo‟a: “Ya Allah berilah petunjuk kaumku, sesungguhnya mereka tidak tahu dan tolonglah aku agar mereka mencintaiku dalam ketaatan kepadaMu”. Kemudian datanglah
29
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr, jilid 6, h. 467
30
pamannya Al-„Abbas untuk meenyelamatkan beliau dari mereka dan menghalau mereka dari Nabi Saw.” 30 Rasyîd Ridâ secara panjang lebar membahas tentang pendapat Syiah yang manyatakan bahwa ayat ini turun di Ghadîr Khum berkenaan dengan pengangkatan Imam „Ali bin Abî Tâlib sebagai Khalîfah setelah Rasulullah saw. Beliau mengutip pendapat al-Tsa‟labi dalam tafsirnya yang menyatakan bahwa : “Sungguh perkataan ini dari Nabi Saw tentang wilayah Ali yang tersebar di seluruh penjuru negeri, hingga perkataan itu samapai kepada al-Harits bin Nu‟man al-Fahri, kemudian ia datang kepada Nabi Saw karena ia ragu tentang berita itu. Ketika itu Nabi Saw berada di Abthah lalu beliau menjelaskan dan memberi pengertian kepadanya tentang hal itu. Dia berkata kepada Nabi Saw – dia adalah salah seorang sahabat besar Nabi Saw – wahai Muhammad engkau telah menerima perintah dari Allah untuk kami, agar kami bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan sesunguhnya engkau adalah Rasul Allah, maka kami menerimanya – ia juga menyebutkan seluruh rukun Islam – kemudian engkau belum puas dengan hal ini, sehingga engkau mengangkat kedua tangan anak pamanmu dan mengutamaknnya atas kami, lalu engau berkata : Bararangsiapa menjadikan aku pemimpinnya maka Ali adalah pemimpinnya, maka apakah ini dari kamu atau dari Allah? Nabi saw menjawab: Demi Allah yang tiada Tuhan selain Dia, masalah ini adalah perintah Allah. Lalu al-Harits berpaling dan pergi sambil mengucapkan: “Ya Allah jika perintah ini benar –benar dari sisimu, maka turunkan kepada kami hujan batu dari langit atau berikan kami siksa yang pedih. (Q.S. al-Anfal: 32).” Maka sebelum ia sampai pada tujuan perjalanannya, Allah menghujaninya dengan batu, maka jatuhlah dia sebab keinginannya dan keluarlah batu itu dari duburnya. Lalu Allah menurunkan ayat: “seorang peminta telah meminta kedatangan azab yang menimpa untuk orang-orang kafir yang tiada seorang pun dapat menolaknya. (Q.S. al-Ma‟arij: 1-2).”31 Akan tetapi menurut Rasyîd Ridâ riwayat ini maudhû’ dan surat alMa‟ârij ini Makiyyah dan apa yang Allah ceritakan 30
itu adalah perkataan
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr, jilid 6, h. 467 31 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr, jilid 6, h. 464
31
sebagian orang-orang kafir Quraisy: “Ya Allah jika perintah ini benar-benar dari sisimu”, sebagai peringatan sebelum hijrah, peringatan ini terdapat dalam surat al-Anfâl yang diturunkan sebelum perang Badar dan sebelum surat alMâidah turun antara tiga sampai sembilan tahun. Riwayat itu menjelaskan bahwa al-Hârits adalah seorang muslim kemudian murtad. Ia belum dikenal di kalangan para sahabat Nabi saw Adapun Abhtah adalah suatu tempat di Mekkah, sedangkan Nabi saw belum kembali dari Ghadîr Khum ke Mekkah, bahkan setelah Haji Wadâ’ beliau singgah di Ghadîr Khum menuju ke Madinah.32 Kemudian berkaitan dengan pendapat Syiah yang menjadikan sebuah hadis “ ِ ” َيٍْ ُكُْتُ َيىْنَاُِ فَعَهِّيٌ َيىْنَاsebagai dalil kepemimpinan „Ali bin Abî Tâlib pasca wafat Nabi saw., Rasyîd Ridâ mengutip hadis tersebut dalam tafsirnya. Beliau mengakui hadis tersebut karena hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya dari jalur al-Barra‟ dan Buraidah. Imâm Tirmîdzi, Imâm Nasâ‟i dan Al-Diyâ‟ dalam kitab Al-Mukhtâroh dari jalur Zaid bin Arqom, sebagian dari mereka menganggap hadis tersebut Hasan dan AdzDzahabi menganggap hadis tersebut Shahîh.33 Rasyîd Ridâ juga menjelaskan pendapat Ahlu Sunnah yang mengakui hadis tersebut, akan tetapi menurutnya hadis wilâyah tersebut bukan bermakna Imâmah atau Khilâfah (kepemimpinan) melainkan mempunyai makna “penolong dan yang mencintai” sebagaimana yang Allah katakan tentang
32
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr, jilid 6, h. 464 33 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr, jilid 6, h. 464
32
orang-orang mu‟min dan kafir “Sebagian mereka adalah penolong bagi yang lainnya”.34 Menurut
Rasyîd
Ridâ
perbedaan
pendapat
tentang
masalah
kepemimpinan pasca wafat Nabi saw adalah sebuah perdebatan yang memecah belah kaum Muslim, menimbulkan permusuhan, kebencian dan selama fanatisme mazhab lebih diutamakan maka tidak ada harapan untuk menemukan kebenaran dalam menyikapi masalah perbedaan35. Di samping pendapatnya tentang adanya perbedaan antara mazhab Ahlu Sunnah dan Syiah, Rasyîd Ridâ mengemukakan pendapatnya sendiri bahwa sesungguhnya seandainya masalah Imâmah sudah dibuktikan dalam nash baik al-Qur‟an ataupun hadis maka pastilah nash tersebut mutawâtir dan jelas, dan seandainya „Ali menjadi pemimpin yang mengurus perkara kaum Muslimin seharusnya pada hari wafat Nabi saw., dia berkhutbah menyampaikan nash – penunjukan
kepemimpinannya
sebagai
pengganti
Nabi
saw
–
dan
menjelaskannya dengan sebaik-baiknya kepada kaum Muslimin saat itu. Merupakan kewajiban bagi „Ali untuk menyampaikannya kalau ia menganggap masalah kepemimpinan pasca wafat Nabi saw adalah perkara yang ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya, akan tetapi dia tidak mengatakannya, bahkan tidak seorangpun dari para keluarganya dan penolongnya yang menggunakan ayat
34
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr, jilid 6, h. 465 35 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr, jilid 6, h. 466
33
ini pada kejadian hari Tsaqifah ataupun kejadian hari musyâwarah setelah wafatnya Umar.36 Lebih tegas Rasyîd Ridâ menjelaskan bahwa kalau saja Nabi saw. ingin memberikan dan menunjukkan nash tentang
siapa yang menjadi khalîfah
setelahnya dalam perintah penyampaiannya tersebut maka seharusnya Nabi saw. mengatakannya pada Haji Wadâ‟ dan meminta kepada seluruh manusia saat itu untuk bersaksi maka mereka pun akan bersaksi dan Allah menyaksikannya. Rasyîd Ridâ ingin meyampaikan dalam penjelasannya bahwa tidak ada keterkaitan masalah wasiat khilâfah dalam ayat ini dengan perkara Ahli Kitab (ayat sebelum dan sesudahnya) karena ini tidak sesuai dengan balaghah alQur‟an. Seandainya saja meninggalkan keterkaitan ayat ini dengan ayat sebelum dan sesudahnya, lalu ayat ini berdiri dengan sendirinya, dan kalimat “ ْ ” وَِإٌْ نَ ْى تَفْ َعمyang menjadi jumlah syarat setelah kalimat perintah “ ْ” بَهِغ, kalimat tentang „ishmah dan kalimat tentang peniadaan hidayah kepada orangorang kafir, maka tetap saja tidak sesuai dan tidak dapat diterima maksud dari tugas penyampaian kepada manusia tersebut tentang kekuasaan Ali, karena seharusnya makna yang terkandung dalam ayat ini sesuai dengan dzatnya secara jelas bukan karena sebatas taklid.37 Selanjutnya dalam menjelaskan “
َُّ ” وَِإٌْ نَ ْى تَفْ َعمْ فًََا بَهَغْتَ رِسَاَنتmenurut
Rasyîd Ridâ adalah “jika kamu tidak mengerjakan apa yang diperintahkan
36
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr, jilid 6, h. 466 37 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr, jilid 6, h. 466
34
kepadamu untuk
menyampaikan dari apa yang diturunkan kepadamu
seluruhnya – seluruh umat – atau khusus kepada Ahli Kitab – yaitu dengan menyembunyikannya bahkan menundanya karena takut dapat ancaman atau gangguan berupa perkataan ataupun juga tindakan, maka baginya adalah belum menyampaikan risalah dan belum mengerjakan sebab alasan diutusnya, dan tugasnya adalah menyampaikan apa yang diturunkan Tuhan kepadanya.”38 Rasyîd Ridâ mengemukakan pendapat para ulama yang diantaranya berpendapat bahwa apabila tidak menyampaikan seluruh yang diturunkan Tuhan kepadamu (Nabi saw) dengan menyembunyikan sebagiannya, maka bagimu belum menyampaikan sama sekali, karena menyembunyikan sebagian sama saja dengan menyembunyikan secara keseluruhan.39 Pendapat ini mempunyai pengertian bahwa masalah wahyu adalah masalah keseluruhan dan tidak terbagi-bagi. Rasyîd Ridâ berpendapat bahwa untuk menjelaskan pengertian tentang penyampaian ini seperti halnya dengan peristiwa yang disebutkan dalam surat al-Ahzâb ayat 39 yaitu:
(yaitu) orang-orang yang menyapaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang(pun) selain kepada Allah. dan cukuplah Allah sebagai Pembuat perhitungan.
38
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr, jilid 6, h. 468 39 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr, jilid 6, h. 468
35
Ayat tersebut penjelasan setelah cerita tentang peristiwa Zaid dan Zainab yang bercerai kemudian Allah memerintahkan Nabi saw untuk menikahi Zainab. Ini adalah peristiwa yang paling berat yang duturunkan kepada nabi saw karena berkaitan tentang kepribadiannya yang mulia.40 Rasyîd Ridâ menegaskan bahwa ada hikmah dalam perintah penyampaian risalah ini, pertama, hikmah yang dinisbatkan kepada Rasul saw bahwasanya perintah untuk tabligh adalah ketetapan Allah dan tidak ada pilihan bagi Rasul saw untuk menyembunyikannya bahkan menundanya berdasarkan ijtihad Rasul saw sendiri.
Kedua, hikmah yang dinisbatkan
kepada manusia agar mengetahui hakikat kesuruhan dari nash, maka tidak terjadi... apabila terjadi perselisihan dalam pendapat dan pemahaman.41 Selanjutnya dalam menafsirkan “
” وَانهَ ُّ يَ ْعصِ ًُكَ ِيٍَ انَُاسRasyîd Ridâ
mencantumkan sebuah riwayat dari mufassir al-ma’tsûr, Tirmidzi, Abu Syaikh, al-Hâkim, Abu Na‟im, al-Baihaqi dan Tabrâni dari beberapa para sahabat bahwa “Rasulullah saw. dijaga di Makkah sebelum turunnya ayat ini, dan ketika turun ayat ini Rasulullah tidak dijaga lagi, dan Abû Tâlib adalah orang yang pertama memperhatikan untuk menjaga Nabi saw. demikian juga Abbâs, dan diriwayatkan pula dari Jâbir dan Ibn Abbâs bahwasanya Nabi saw. dijaga dan pamannya Abû Talib selalu mengutus seorang lelaki dari bani Hasyîm untuk menjaganya, sampai turun ayat ini, dan Nabi saw. berkata “wahai pamanku, sesungguhnya Allah telah menjagaku dan tidak usah kau mengutus
40
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr, jilid 6, h. 469 41 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr, jilid 6, h. 469
36
seseorang (untuk menjagaku)”.42 Sehingga kemudian makna “ ” يَ ْعصِ ًُكَ ِيٍَ انَُاس adalah “Allah menjagamu dari penyerangan mereka, dan maksud dari “” انَُاس di sini adalah orang-orang kafir.43 Penafsiran Rasyîd Ridâ tentang “ ” انَُاسadalah orang-orang kafir, maka beliau pun menafsirkan kalimat “
ٍَ ” ِإٌَ انهََّ نَا َي ْهدِي انْ َقىْوَ انْكَافِّرِيmempunyai
keterkaitan dengan penjelasan “ ” انَُاسyaitu kalimat tersebut adalah sebuah penegasan tentang ‘Ishmah Nabi saw dengan pengertian bahwa Allah tidak memberi petunjuk kepada mereka yang menggangu Nabi saw dalam menyampaikan risalah, mereka itu adalah orang-oarang kafir, dengan begitu kalimat-kalimat Allah tegak dan sempurna maka nabi saw pun bisa menyelasikan misi agamanya dengan sempurna.44 Demikianlah Rasyîd Ridâ dalam menafsirkan surat al-Mâidah ayat 67 ini, beliau sebelum menguraikan pendapatnya, beliau banyak mengulas terlebih dahulu pendapat ulama tafsir juga rujukan dari kitab-kitab hadis. Sehingga apa yang beliau tafsirkan sesuai dengan yang beliau inginkan dalam menafsirkan al-Qur‟an, yaitu menjadikan terlebih dahulu hadis-hadis dan pendapat ulama sebagai penjelasnya.
42
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr, jilid 6, h. 471 43 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr, jilid 6, h. 471 44 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr, jilid 6, h. 471-472
BAB III PENAFSIRAN TABATABA’I TERHADAP SURAT AL-MÂIDAH AYAT 67 DALAM TAFSIR AL-MÎZÂN
A. Riwayat Tabataba’i dan Tafsir Al-Mîzân a. Riwayat Hidup Tabataba’i Sayyid Muhammad Husain Tabataba‟i yang lebih dikenal dengan Tabataba‟i, seorang ulama terkemuka pada masanya. Dia adalah seorang Iran asli (waktu itu masih bernama Persia). Dia dilahirkan tanggal 9 Dzulhijjah 1321 H/ / 1892 M, dalam satu keluarga keturunan Nabi Muhammad saw. yang selama empat belas generasi menghasilkan ulamaulama terkemuka di Tabriz. Tabataba‟i muda dibesarkan dalam keluarga ulama-ulama saleh yang sangat dikenal kebijakan dan semangat keberagamannya. Ibunya meninggal dunia ketika ia masih berumur lima tahun, dan kemudian ayahnya menyusul ketika ia masih berumur sembilan tahun. Kemudian ia beserta adiknya diserahkan kepada seorang pelayan laki-laki dan perempuan oleh seorang wali yaitu orang yang mengurus harta peninggalan ayahnya.1 Tabataba‟i adalah salah seorang ulama yang mempelajari filsafat materialaisme dan komunisme, lalu mengkritik dan memberi jawaban yang mendasar. Tabataba‟i juga mempelajari Fiqh dan Ushul Fiqh dari dua 1
Sayyid Muhammad Husain Thabathaba‟i, Inilah Islam; Upaya Memahami Seluruh Konsep Islam Secara Mudah, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), cet II, h. 15
37
38
Guru besar saat itu Mirza Muhammad Husain Na‟ini dan Syekh Muhammad Husein Isfahâni. Dia sangat tekun mempelajari seluruh seluk beluk matematika tradisional dari Sayyid Abul Qâsim Khawansari. Tabataba‟i juga mempelajari filsafat Islam tradisional, al-Sifâ oleh Ibnu Sina, Asfâr oleh Mulla Shadra dan Tamhid al-Qawaid oleh Ibnu Turkah dan Sayyid Husain Badkuba‟i. Beliau juga murid dari Sayyid Abul Hasan Jilwah dan Aqa‟ „Ali Mudarris Zanusi dari Teheran. Beliau telah mencapai tingkat ilmu Ma‟rifah dan Kasyyaf. Beliau mempelajari ilmu ini dari seorang guru besar Mirza „Ali al-Qâdhi.2 Kemudian Tabataba‟i meninggal dunia di Aban pada tanggal 18 Muharram 1412 H / 1981 M.3 Tabataba‟i memperoleh pendidikan awal di tangan keluarganya. Namun setelah ayahnya wafat, pendikan Tabataba‟i diserahkan kepada guru privat yang sering datang ke rumah-rumah. Di bawah asuhan guru privat ini, dia mempelajari bahasa persia dan dasar-dasar ilmu agama selama enam tahun. Setelah itu, mulai tahun 1911 M sampai 1917 M beliau melanjutkan studi tradisionalnya tentang al-Qur‟an dan pelajaran agama di kota Tabriz. selama tujuh tahun (1918-1925), Tabataba‟i mulai belajar bahasa Arab, mengkaji ajaran agama dan teks-teks klasik agama Islam. Pada tahun 1925, Tabataba‟i memasuki studi formal di Universitas Syi‟ah Najaf. Di Najaf inlah dia berhasil menguasai ilmu-ilmu naqliyah
2
Sayyid Muhammad Husain Thabathaba‟i, Inilah Islam; Upaya Memahami Seluruh Konsep Islam Secara Mudah, h. 17 3 Sayyid Husein Nasr, “kata pengantar”, dalam Thabathaba‟i, Islam Syi’ah, (Bandung: Mizan, 1990), h. 8
39
dan aqliyyah. karena peran dan pengaruh sangat penting dalam pendidikan maka perlu disebutkan nama-nama beberapa gurunya. Beliau belajar Fiqh dan Ushul Fiqh kepada Mirza Muhamad Husain Na‟ini dan Syeikh Muhammad Husain Isfahani. Kepada mereka berdua, Tabataba‟i belajar selama sepuluh tahun sehingga ia sangat menguasai bidang ini. bahkan menjadi seorang mujtahid yang terkenal dan berpengaruh dalam bidang sosial politik. Pada waktu bersamaan Tabataba‟i juga mempelajari bidang gramatika, sintaksis, retorika baik itu ushul fiqh, mantiq, filsafat serta teologi. Sehingga kajian itu menutup kajian bacaannya dalam bidang selain filsafat dan ilmu keruhanian. Akan tetapi, hal itu bukan jalan hidupnya. Dia sangat tertarik kepada ilmu ’aqliyah. Dia belajar dengan penuh ketekunan cabang ilmu ini yang pada jantungnya terdapat filsafat Islam. Dia mulai mencari guru-guru tertbaik dalam
bidang ini, yaitu orang-orang yang telah melestarikan
kehidupan filsafat Islam di Iran. Dia mengkaji al-Syifâ karya Ibnu Sina, Asfar karya Mulla Shad al-Din al-Syirazi, Tamhid al-Qawaid karya Ibnu Turkah dan Tahdzib al-Akhlaq karya Ibnu Maskawaih. Literatur filsafat tersebut dipelajarinya di bawah bimbingan seorang filosof terkemuka saat itu, Sayyid Husain Badkuba‟i. Di samping itu, dia mengkaji matematika tradisional dengan guru Sayyid Abu al-Qasim Khawansari. Sebagai tambahan terhadap pelajaran formal atau disebut dengan hushuli, Tabataba‟i juga mempelajari ilmu hudhûrî. Sebagai guru satu-
40
satunya dalam bidang ilmu hudhûrî adalah Mirza „Ali al-Qâdhi. Guru inilah yang memperkenalkan kepada Tabataba‟i karya Ibnu „Arabi yang berjudul Fushûsh al-Hikam. Memperhatikan latar pendidikan diatas, segera tampak adanya perpaduan ilmu naqliyyah dan ‘aqliyyah pada Tabataba‟i. Tidak salah bila Hossein Nasr menyebutnya sebagai filosof, teolog dan sufi yang didalam dirinya kerendahan hati seorang sufi dan kemampuan analisa intelektual berpadu. Setelah tamat studi di Universitas Najaf, minat intelektual Tabataba‟i tetap menggebu, terutama ia sangat tertarik mempelajari ilmu ‘aqliyyah. Akan tetapi, karena kesulitan ekonomi, Tabataba‟i kembali ke kota kelahirannya pada tahun 1935. Di Tabriz, dia tidak dapat terhindar dari pemenuhan kebutuhan ekonomi untuk bertahan hidup. mata pencahariannya selama di Tabriz adalah bertani.
Kehidupan bertani
dijalaninya selama sepuluh tahun sebagai masa-masa yang kering dan jauh dari kegiatan ilmiah dan pemikiran Tabataba‟i.4 Wajar setiap orang pernah mengalami masa-masa yang pahit dan manis dalam kehidupannya. Ia sendiri telah mendapati jati dirinya dalam berbagai keadaan dan berhadapan dengan segala maca pasang surut kehidupan, terutama karena ia telah menghabiskan sebagian besar usianya sebagai seorang anak yatim, atau seorang asing yang jauh dari sahabat dan teman-temannya, apalagi sarana penghidupannya untuk keluar dari 4
Sayyid Muhammad Husain Thabathaba‟i, Inilah Islam; Upaya Memahami Seluruh Konsep Islam Secara Mudah, h. 17
41
kesulitan-kesulitan lainnya. Akan tetapi, ia selalu merasakan bahwa sebuah tangan ghaib (Allah) telah menyelamtkan dari segala bahaya besar dan suatu pengaruh yang misterius telah membimbingnya melewati seribu rintangan menuju tujuan hidupnya. Kemudian Tabataba‟i melupakan akan segala sesuatu yang indah dan buruk di dunia ini dan menganggap kejadian-kejadian yang manis dan yang pahit tak ada bedanya. Beliau menghindari kontak ssosial dengan siapa pun selain para ulama. Beliau juga mengurangi makan, tidur dan mengabaikan sisa waktu dan sumber dayanya untuk keilmuan dan penelitian. Beliau menghabiskan malam dengan belajar sampai fajar (terutama di musim semi dan musim panas) dan ia selalu memeriksa lebih dahulu mata pelajaran hari esok, serta melakukan latihan apa saja yang diperlukan untuk menyelesaikan setiap masalah yang timbul. sehingga ketika pelajaran di kelas dimulai ia telah memahami dengan baik masalah yang akan dibahas oleh gurunya. Beliau tidak pernah mengajukan persoalan atau kesalahan apapun ke hadapan gurunya.5 Bersamaan dengan masa-masa di Tabriz, pecahlah Perang Dunia II. Perang Dunia ini membawa akibat buruk di Iran. Oleh karena itu, Tabataba‟i pindah ke kota Qum pada tahun 1946, tepatnya desa Darakah, sebuah desa kecil di sisi pegunungan dekat Teheran, di tempat inilah Tabataba‟i menghabiskan musim panasnya, menyingkir dari panas. Di
5
Sayyid Muhammad Husain Thabathaba‟i, Inilah Islam; Upaya Memahami Seluruh Konsep Islam Secara Mudah, h. 17
42
kota Qum ini, ia mulai aktif dalam aktivitas keilmuan sampai dengan wafatnya. Pada tahun 1324 H / 1945 M, ketika ia pindah ke kota Qum ia menjadi pengajar di kota suci itu, sebagai seorang mujtahid, ia menitikberatkan pada pegajaran Tafsir al-Qur‟an, Filsafat dan Tasawwuf. Dengan ilmu yang luas dan penampilannya yang sangat sederhana, membuatnya mempunyai daya tarik khusus bagi muridnya. Beliau menjadikan ajaran Mulla Shadra sebagai kurikulum penting. Aktivitas keilmuan Tabataba‟i, memberikan identifikasi bahwa dia telah meberikan pengaruh besar bagi kehidupan intelektual di Iran. Beliau telah mencoba meweujudkan suatu intelektual baru diantara kelompokkelompok yang berpendidikan modern. Kelompok elit baru tersebut akan diperkenalkan dengan intelektualitas Islam seperti juga dengan dunia modern. Banyak mahasiswanya yang berhasil tampil sebagai tokoh intelektual gemilang. Sebagai seorang mufassir besar dan filosuf sekaligus sufi, ia telah mencetak murid-muridnya menjadi ulama yang intelektual seperti Mutahhari seorang Guru Besar di Universitas Teheran dan Sayyid Jalâluddin Asytiyâni seorang Guru Besar di Universitas Masyhad.6 Meskipun
tugas
utamanya
sebagai
seorang
pengajar
dan
pembimbing di beberapa Universitas, Tabataba‟i masih menyibukkan diri dengan menulis banyak buku dan artikel yang memperlihatkan
6
Tabataba‟i, Tafsir al-Mizan; Mengupas Ayat-Ayat Kepemimpinan, (Jakarta: CV. Firdaus, 1991), h. I-II
43
kemampuan intelektual dan kedalaman pengetahuannya dalam bidang keagamaan. Adapun karya Tabataba‟i adalah sebagai berikut : a. Berbentuk buku: 1). Al-Mîzân fi Tafsîr Al-Qur’ân. Karya Tabataba‟i ini tergolong paling penting dan monumental terdiri dari dua puluh jilid. 2). Ushûl Falsafah wa Rawis Rialism, terdiri dari lima jilid. 3). Hâsyiyah bar Asfâr , adalah anotasi dari karya Mulla Shadra yang berjudul Asfâr. 4). Musâhabât ba Ustâdz Qurban, karya ini terdiri dari dari dua jilid yang berdasarkan atas tanya jawab antara Thabathaba‟i dan Henry Corbin. 5). „Ali wa Falsafah al-Ilâhiyât. 6). Syi’ah dar Islâm. 7). Qur’an dar Islâm. b.
Berbentuk makalah: Risâlah dar Hukûmât Islâmi, Hâsyiyah Kifâyah, Risâlah dar Qawwah wa Fi’il, Risâlah dar Itsbât Dzât, Risâlah dar Shifât, Risâlah dar Af’âl, Risâlah dar Insân Qabl Al-Dunya, Risâlah dar Nubuwwât, Risâlah dar Walayât, Risâlah dar Musytaqqât, Risâlah dar Burhân, Risâlah dar Tahlîl, Risâlah dar Tarkîb dan Risâlah dar Nubuwwât wa Manâmât. Tabataba‟i juga seorang pengarang dan penulis berbagai artikel
yang hadir selama dua puluh tahun belakangan dalam jurnal-jurnal Maktaba Tasyayyu’, Maktab Islâmi, Ma’ârif Islâm dan dalam koleksikoleksi seperti
The Mulla Sadra Commermoration Volume dan
Marja’iyyât wa Ruhaniyât.
44
b. Riwayat Tafsir Al-Mîzân Dalam Penafsirannya Tabataba‟i merujuk pada penafsiran masa periode pertama yang menafsirkan ayat per ayat dengan dijelaskan ayat lain yang berhubungan dengat ayat tersebut dan masa periode kedua yang menafsirkan ayat dengan dijelaskan dari beberapa riwayat saja. Thabathaba‟i mengambil nama al-Mîzân (dengan judul aslinya AlMîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân), yang mempunyai makna timbangan yaitu suatu yang digunakan untuk mengukur penafsiran pada masa itu. Oleh karena itu beliau menggabungkan corak penafsiran pada masa periode awal dan periode kedua untuk menjelaskan tafsir al-Qur‟an melalu penafsiran ayat per ayat dengan dijelaskan oleh ayat lain yang berhubungan pada masa periode pertama, serta diperjelas lagi oleh riwayat-riwayat pada masa sebelumnya.7 Tabataba‟i melihat pada zaman sahabat Nabi saw, seperti Ibnu Abbâs, Abdullah bin Umar, Ubay bin Ka‟ab dan para mufassir lainnya pada masa periode pertama, penafsiran pada waktu itu tidak lebih menjelaskan ayat-ayat sekaitan dengan sastra dan sebab-sebab turunnya, dan sedikit menjelaskan ayat dengan ayat, demikian juga sedikit penafsiran mereka yang menggunakan riwayat-riwayat dari Nabi Muhammad saw tentang peristiwa sejarah atau realita-realita tertentu dari suatu peristiwa, kebangkitan dan lainnya.
7
Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, (Teheran: Dar alKutub al-Islamiah, 1392 H), Jilid I, h. 10
45
Sedangkan pada masa periode kedua pun menggunakan metode dan cara yang sama dalam penafsirannya oleh sebagian mufassir dari kalangan Tabi‟in seperti Mujâhid, Qatadah, Ibnu Abî Lailî, al-Suddî, alSya‟bi dan lainnya. Kemudian mereka merujuk kepada riwayat-riwayat itu dalam menjelaskan peristiwa sejarah dan realita-realita ciptaan seperti awal kejadian langit, bumi, lautan, Iran Saddad (kota kaum „Ad), peristiwa-peristiwa para Nabi yang dianggap salah, penyimpangan terhadap kitab-kitab suci dan hal-hal yang sejenisnya. sebagian penafsiran itu diwariskan dari kelompok sahabat sehingga mewarnai bentuk-bentuk penafsiran dan pengkajian di kalangan Tabi‟in. Oleh karena itu Tabataba‟i mengatakan bahwa setiap mufasir telah memandang al-Qur‟an dari sudut pandang intelektual mereka masingmasing dan mengetengahkan interpretasi berdasarkan keinginannya. Atas dasar itulah dia mencoba mengangkat satu corak penafsiran bukan hanya dari satu kandungan al-Qur‟an saja. Akan tetapi. ia menghubungkan satu ayat ke ayat yang lainnya dan disandingkan dengan riwayat-riwayat baik dari segi kisah maupun penjelasan yang berkaitan dengan ayat yang ditafsirkannya.8 c. Metode dan Corak Tafsir al-Mîzân Mengingat al-Qur‟an bagaikan lautan yang keajaiban-keajaibannya tidak pernah habis dan kecintaan kepadanya tidak pernah lapuk oleh zaman, adalah sesuatu yang dapat dipahami jika terdapat ragam metode
8
Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, Jilid I, h. 4
46
untuk menafsirkannya.9 Penulis menyimpulkan bahwa tafsir al-Mîzân karya Tabataba‟i menggunakan metode Tahlîli.10 Metode Tahlîli yang diterapkan Tabataba‟i dalam menafsirkan alQur‟an terlihat jelas. Tabataba‟i menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan
itu,
serta
menerangkan
makna-makna
yang
tercakup
diantaranya pengertian kosa kata, sebab-sebab turunnya, konotasi kalimatnya, kaitannya dengan ayat-ayat yang lain serta kaitannya dengan pendapat sahabat, tabi‟in dan ahli tafsir lainnya. Corak penafsiran al-Mîzân menggunakan kajian-kajian falsafî, ilmiah, tarikh, sosial dan akhlâqî, jika hal ini dibutuhkan dalam kajian tafsir al-Mîzân. Berdasarkan metode itu, dalam tafsir al-Mîzânnya berkisar pada: 1.
Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Nama-nama Allah, sifat-sifat-Nya, Hidup, Pengetahuan, Kekuasaan, Pendengaran, Penglihatan, Kesan dan lainnya.
2.
Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan Allah Swt seperti penciptaan, perintah, kehendak, keinginan, penunjukkan,
9
Tabataba‟i, Tafsir al-Mizan; Mengupas Surat Al-Fatihah, (Jakarta: CV. Firdaus, 1991), Cet I, h. XII 10 Metode Tahlili, Berasal dari kata Hallala Yuhallilu, Tahlili yang berarti mengurai atau menganalisis. Metode tahlili adalah tafsir yang menyoroti ayat-ayat Al-Qur‟ ân dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan yang terdapat dalam Al-Qur‟ ân Mushaf Utsmani. Tafsir ini disebut juga Tajzi‟ i (parsial). Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Qur‟ ân Al-Karîm, h. V, (pengantar), lihat juga Sejarah Ulum al-Qurân (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), cet. Ke-1, h.172-192
47
penyesatan, qadha’ dan qadar , pemaksaan dan penyerahan, ridha dan murka, dan lainnya. 3.
Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan perantara-perantara yang terjadi antara Allah dan manusia, seperti hijab-hijab, lembaran, pena, Arasy, Kursi, Baitul Ma‟mur, langit dan bumi, Malaikat, syaitan, jin dan lainnya.
4.
Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan manusia sebelum dunia
5.
Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan manusia di dunia seperti pengenalan terhadap bermacam-macam sejarah, pengenalan terhadap dirinya, pengenalan terhadap dasar-dasar sosial, pengenalan terhadap Kenabian, Risalah, wahyu, ilham, kitab, agama dan terhadap syari‟at. Dalam bab ini pembahasan maqam-maqam para Nabi yang dapat diambil pelajaran yakni kisah-kisah mereka yang telah dikisahkan.
6.
Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan manusia sesudah dunia yakni Alam Barzakh dan Hari Kebangkitan.
7.
Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan akhlak manusia. Bab ini berkaitan dengan maqam-maqam para ‘Auliya dijalan ubudiyah yakni Islam, Iman, Ihsan, Ikhlas dan lainnya. Adapun ayat-ayat tentang hukum, Tabataba‟i dalam tafsir al-Mîzân
tidak menjelaskan secara rinci karena masalah ini merujuk kepada fiqh. Sistematika Tafsir al-Mîzân didahului dengan muqaddimah, yang kemudian Tabataba‟i mengelompokkan ayat secara berurutan sesuai dengan surat dalam al-Qur‟an, kemudian ayat tersebut ditafsirkan melalui
48
pencarian makna dari lafazh tersebut yang kemudian ia tafsirkan dengan menyandingkan riwayat-riwayat yang bersumber dari Ahlul Bait yang kemudian dihubungkan dengan ayat yang berkaitan, juga menggunakan metode kajian-kajian falsafi, ilmiah, tarikhi, sosial dan akhlâqi, jika hal ini dibutuhkan dalam kajian tafsir al-Mîzân. Tafsir al-Mizan terdiri dari 20 jilid yang mempunyai sistematika yang sama, kecuali jilid pertama yang ditambah dengan muqaddimahnya. Sedangkan jilid ke dua sampai ke dua puluh menggunakan sistematika yang sama. B. Penafsiran Tabataba’i Terhadap Surat Al-Mâidah Ayat 67
“Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (Q.S. AlMaidah/5 : 67) Tabataba‟i dalam menafsirkan surat al-Mâidah ayat 67 ini secara umum ingin menyampaikan bahwa ayat ini menjelaskan persoalan penting yang harus disampaikan yaitu mengenai kedudukan „Ali bin Abî Tâlib sebagai wali dan pengganti Nabi dalam urusan agama dan keduniaan.11 Oleh karena itu Tabataba‟i yang menggunakan metode Tahlîli dalam
11
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah,Vol. 3, (Jakarta: Lentera Hati, 2001), h. 140
49
penulisan tafsirnya, membahas secara panjang lebar tentang ayat ini dari mulai sebab turunnya sampai pada pembahasan secara detail ayat per ayat. Menurut Tabataba‟i secara lahiriah ayat ini mengandung perintah kepada Rasulullah saw untuk menyampaikan sesuatu yang berbahaya dan menakutkan, kemudian Allah swt. menjanjikan kepadanya pemeliharaan dari gangguan manusia.12 Tabataba‟i menggambarkan bahwa ada kekhawatiran Nabi saw dalam menyampaikan pesan sehingga Nabi mendapat penekanan bahwa pesan itu harus disampaikan dan mendapat jaminan bahwa Allah memelihara dari gangguan manusia. Tabataba‟i juga menjelaskan tentang letak ayat ini yang diapit oleh dua ayat yang membahas tentang keadaan Ahli Kitab, kehinaan dan keburukan akibat perbuatan mereka, yakni banyak berbuat zalim terhadap apa yang telah diharamkan oleh Allah dan mengingkari ayat-ayat-Nya. kedua ayat tersebut adalah :
“Dan Sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat dan Injil dan (Al Quran) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas dan dari bawah kaki mereka. diantara mereka ada golongan yang pertengahan. dan Alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka.” (Q.S. Al-Maidah/5 : 66)
12
Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, juz 3, h. 42
50
“Katakanlah: "Hai ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan Al Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu". Sesungguhnya apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dari Tuhanmu akan menambah kedurhakaan dan kekafiran kepada kebanyakan dari mereka; Maka janganlah kamu bersedih hati terhadap orang-orang yang kafir itu.” (Q.S. Al-Maidah/5 : 68) Tabataba‟i berpendapat bahwa jika diperhatikan secara teliti maka dapat dipastikan dan tidak perlu diragukan bahwa ayat ini (surat al-Mâidah ayat 67) tidak berkaitan dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya (alMâidah ayat 66 dan 68) dari segi susunan ayat dan tidak mempunyai hubungan dengannya dalam untaian kalimatnya.13 Alasan yang dikemukakan Tabataba‟i adalah karena apabila ayat ini mempunyai hubungan dengan ayat sebelum dan sesudahnya dalam satu kesatuan yang saling berkaitan tentang perkara Ahli Kitab, maka mempunyai kesimpulan bahwa perintah Nabi yang terpenting adalah menyampaikan perintah Allah tentang masalah Ahli Kitab dan menjelaskan apa yang dimaksud “ َ “ يَا ُأَْ ِزلَ إَِن ْيكَ ِيٍْ َر ِّبكdalam ayat ini (alMaidah: 67) adalah “apa yang diperintahkan untuk disampaikan” yang terkandung dalam ayat :
13
Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, juz 3, h. 43
51
“Katakanlah: "Hai ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan Al Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu". Sesungguhnya apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dari Tuhanmu akan menambah kedurhakaan dan kekafiran kepada kebanyakan dari mereka; Maka janganlah kamu bersedih hati terhadap orang-orang yang kafir itu.” (Q.S. Al-Maidah/5 : 68) Akan tetapi susunan dalam ayat 67 ini menolaknya, karena kalimat “
”وَانهَ ُه يَ ْعصِ ًُكَ ِيٍَ انَُاسmenunjukkan bahwa masalah yang harus
disampaikan dalam ayat ini adalah masalah yang sangat penting dan mengandung kekhawatiran pada jiwa Nabi saw atau agama Allah dari segi keselamatan penyampaiannya, sedangkan sesungguhnya keadaan orangorang Yahudi dan Nasrani pada zaman Nabi saw tidak menunjukkan sesuatu yang bahaya yang membolehkan nabi saw menunda penyampaian perintah atau mengakhirkannya pada suatu momen. Menurutnya ayat tentang Ahli Kitab tidak mengandung perintah dan tantangan yang hebat dari perintah sebelumnya, Nabi saw. telah diperintahkan menyampaikan sesuatu yang lebih berbahaya dari tantangan orang-orang
Yahudi,
seperti
penyampaian
masalah
Tauhid
dan
penghancuran berhala-berhala di tengah-tengah kaum kafir Quraisy dan musyrikin Arab. Sehingga tantangan dan keangkuhan orang-orang Yahudi dan Ahli Kitab tidak mengandung kekhawatiran dan bahaya untuk
52
menyampaikan perintah kepada mereka dan tanpa janji pemeliharaan Allah dari gangguan mereka.14 Tabataba‟i sebelum menafsirkan “ َ “ يَا ُأَْ ِزلَ إَِن ْيكَ ِيٍْ َر ِّبكyakni tentang apa yang diperintahkan kepada nabi saw., beliau menjelaskan adanya bentuk kekhawatiran Nabi saw untuk menunda penyampaiannya pada momen yang sesuai, seandainya Nabi saw tidak merasa khawatir dan tidak menundanya maka tidak perlu ada penegasan kepada Nabi saw. sebagaimana firmannya “
”.
Menurut Tabataba‟i ayat-ayat yang turun pada awal kenabian tidak ada penegasan seperti itu, maka jelas ayat ini bukan untuk Ahli Kitab sebagaimana
pernyataannya
“Nabi
saw
tidak
pernah
menunda
penyampaian perintah sehubungan dengan Ahli Kitab walaupun beliau menghadapai tantangan yang hebat dari orang-orang Yahudi mulai awal hijrah ke Madinah hingga berkahir dalam peristiwa khaibar dan lainnya”.15 Lebih tegasnya Tabataba‟i menegaskan bahwa kekhawatiran Nabi saw terhadap Yahudi dan Nasrani bukan karena takut mati di jalan Allah, enggan mengorbankan jiwanya atau tidak mau menukar jiwanya dengan sesuatu demi perintah Allah. Menurutnya hal seperti itu tidak mungkin terjadi dalam sejarah dan realita kehidupan Rasulullah saw.16 Sepertinya yang dimaksud kekhawatiran Nabi saw dalam menundanya menurut Tabataba‟i adalah khawatir perpecahan ditubuh umat Islam sendiri. 14
Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, juz 3, h. 42-43 Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, juz 3, h. 42 16 Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, juz 3, h. 43 15
53
Pernyataan Tabataba‟i dalam tafsirnya tersebut sesungguhnya ingin menegaskan bahwa ayat ini tidak ada hubungan dengan ayat sebelum dan sesudahnya dan turunnya ayat ini juga bukan untuk awal permulaan Islam yakni pada awal kenabian, sebagaimana yang dijelaskan oleh banyak para mufassir. Apabila ayat ini turun untuk awal kenabian dan kekhawatiran Nabi saw karena takut mati di jalan Allah oleh ancaman Yahudi dan Nasrani sehingga menunda penyampaian, maka bertolak belakang dengan dengan ayat firman Allah dalam surat al-Ahzâb ayat 38-39.17 Hal ini dikarenakan apa yang dimaksud Tabataba‟i dalam “ َيَا ُأَْ ِزل َ ” إَِن ْيكَ ِيٍْ َر ِّبكditurunkan untuk masalah wilâyah „Ali bin Abî Tâlib. Allah swt. memerintahkan menyampaikan masalah ini dan Nabi saw merasa khawatir mereka menuduh beliau terlalu memperhatikan putra pamannya, Rasulullah menunda penyampaian masalah ini dari saat ke saat sehingga turunlah ayat ini yang mengharuskan penyampaian masalah ini, lalu Nabi menyampaiakannya di Ghadîr Khum, pada waktu itulah nabi bersabda: “Barangsiapa
menjadikan
aku
sebagai
pemimpinnya
maka
„Ali
pemimpinnya”. 18 Kemudian Tabataba‟i dalam menjelaskan makna “ ” رِسَاَنتَهyang terkandung dalam kalimat “ ُ ” وَِإٌْ نَ ْى تَفْ َعمْ فًََا ّبَهَغْتَ رِسَاَنتَهadalah suatu risalah yang diamanatkan kepada Rasulullah yaitu pentingnya peranan hukum ini, sehingga mempunyai kedudukan, apabila tidak disampaikan maka sama halnya belum menyampaikan satupun risalah-risalah yang diembannya, 17 18
Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, juz 3, h. 43 Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, juz 3, h. 48
54
yakni apabila tidak sampai pada manusia dan diperjelas kebenarannya maka sama halnya belum menjelaskan satupun kebenaran dari bagianbagian agama.19 Dalam menjelaskan “ ِ ” وَانهَ ُه يَ ْعصِ ًُكَ ِيٍَ انَُاسTabataba‟i menafsirkan bahwa ‘Ishmah para Nabi adalah Allah memelihara mereka dengan sesuatu yang khusus bagi mereka yaitu kesucian jiwa, memberikan pertolongan
dengan
mengokohkan
pendirian
mereka,
kemudian
memberikan ketenangan, memelihara mereka dan memberikan taufiq.20 Akan tetapi menurut Tabataba‟i makna „Ishmah tersebut tidek relevan dengan ayat ini “ ِ” وَانهَ ُه يَ ْعصِ ًُكَ ِيٍَ انَُاس, secara lahiriah ayat ini merupakan ‘Ishmah dalam pengertian memelihara dan menjaga dari kejahatan manusia yang diarahkan kepada jiwa Nabi saw, tujuan-tujuanya yang Islami, keberhasilan penyampaian, keberuntugan usaha dan makanamakna lain sesuai dengan kesuciannya. Thabathaba‟i menegaskan bahwa menghubungkan ‘Ishmah dengan manusia “ِ ” انَُاسbukanlah pemeliharaan seperti penganiayaan fisik atau membunuh meracuni, akan tetapi pemeliharaan dari kejahatan manusia yang memutarbalikkan perkara kepada Nabi saw, yang hal ini dapat meruntuhkan kejayaan ilmu-ilmu agama. Karena itu lah kata “
” dalam
ayat ini menurutnya adalah gambaran sikap pribadi negatif dari orangorang beriman, munafik dan hatinya berpenyakit.21 19
Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, juz 3, h. 49 Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, juz 3, h. 50 21 Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, juz 3, h. 51 20
55
Selanjutanya dalam menjelaskan “
ٍَ” ِإٌَ انهَهَ نَا َي ْهدِي انْ َقىْوَ انْكَافِرِي
Tabataba‟i memfokuskan pada pemaknaan “kafir”. Makna “kafir” yang dimaksud dalam ayat ini adalah mereka sekelompok manusia yang sifatnya telah disebutkan yaitu sikap pribadi negatif dari orang-orang beriman, munafik dan hatinya berpenyakit. Sehingga maksud dari “ ِإٌَ انهَهَ نَا ٍَ ” َي ْهدِي انْ َقىْوَ انْكَافِرِيadalah Allah tidak memberi petunjuk/hidayah kepada mereka dalam siasat dan tipu daya dan Dia memelihara Nabi saw. dari sebab-sebab yang berlaku yaitu sikap-sikap negatif yang akan mereka lakukan.22 Seperti dalam penafsiran-penafsiran ayat lainnya, Tabataba‟i untuk menguatkan argumennya, secara khusus dia melakukan “kajian riwayat”. Dan dalam ayat ini dia mengkaji riwayat sebab turunnya ayat ini dan menyebutkan beberpa pandangan mufassir yang mendukung argumennya juga mengkritik beberapa pandangan mufassir yang berbeda dengannya.
22
Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, juz 3, h. 52
BAB IV ANALISA KOMPARATIF PENAFISRAN RASYÎD RIDÂ DAN TABATABA’I TERHADAP SURAT AL-MÂIDAH AYAT 67
A. Sebab Turun surat al-Mâidah ayat 67 Mengenai sebab turun ayat ini Rasyîd Ridâ dan Tabataba‟i mempunyai perbedaan pendapat yang sangat luas. Rasyîd Ridâ dalam pembahasan awal ayat ini sudah menjelaskan bahwa memang terjadi perbedaan pendapat oleh para mufassir tentang sebab turunnya ayat ini. Menurutnya terjadi perbedaan pendapat oleh para mufassir tentang sebab turunnya ayat ini, pendapat yang pertama mengatakan bahwa turunnya ayat ini terjadi pada masa awal Islam sedangkan pendapat kedua mengatakan bahwa ayat ini turun untuk „Ali bin Abî Tâlib pada hari Ghadîr Khum.1 Akan tetapi Rasyîd Ridâ dalam penjelasannya lebih sependapat dengan yang mengatakan bahwa ayat ini turun pada permulaan Islam yaitu untuk Ahli Kitab sebagaimana pendapat ulama tafsir al-Ma‟tsûr2. Beliau menyatakan bahwa apabila ayat ini tidak menyangkut masalah Ahli Kitab maka tidak sesuai dengan ayat setelahnya, yaitu dengan pengertian bahwa Allah berkata: “Sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu tentang perkara Ahli Kitab dan
1
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr, (Beirut: Dar al-Ma‟rifah), jilid 6, h. 463 2 Al-Ma‟tsûr yang dimaksud disini adalah metode tafsir bil ma‟tsur yaitu upaya menjelaskan al-Qur‟an dengan mengutip penjelasan yang sudah ada. Jadi orang tidak mengemukakan pendapat dia, tapi hanya mengutip pendapat yang ada. Misalnya menafsirkan ayat al-Qur‟an dengan ayat al-Qur‟an, menafsirkan ayat al-Qur‟an dengan sunah Nabi dan menafsirkan ayat al-Qur‟an dengan ucapan sahabat. Lihat Jalaludin Rahmat, Belajar Mudah Ulum al-Qur‟an, (Jakarta: Lentera, 2002), h. 223.
56
57
jika kamu bertanya apa yang harus disampaikan maka jawablah “Katakanlah: "Hai ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan al-Qur‟an yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu"... .”.3 Rasyîd Ridâ mengambil riwayat dalam memperkuat argumennya yaitu hadis Ibnu „Abbâs yang diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih dan A-Diyâ‟ yaitu: “Rasulullah saw ditanya: Ayat apa yang diturunkan dari langit, yang paling menghawatirkan kamu? Nabi saw menjawab: Aku berada di Mina pada musim haji, ketika itu orang-orang musyrik Arab dan manusia yang tidak dikenal identitasnya berkumpul, kemudian turunlah Jibril dan menyampaikan ayat: “ َ ” يَا َأ ُيهَا انّرَسُى ُل بَهِغْ يَا ُأَْ ِزلَ إَِن ْيكَ ِيٍْ َر ِبك, kemudian aku berdiri di „Aqobah dan berseru: “wahai manusia, siapa yang akan menolongku menyampaikan risalah Tuhanku dan Pemilik syurga? wahai manusia katakan: Tiada Tuhan selain Allah dan aku Rasul Allah, maka kalian akan beruntung dan behasil dan bagi kalian surga.” Dan Nabi berkata, maka tak tertinggal seorang pun laki-laki, wanita dan anak-anak, semuanya melempar dengan tanah dan batu, dan mereka meludahi mukaku, mereka sambil berkata, Pendusta, keluar dari agama. Kemudian Ali menyarankan dan berkata: Wahai Muhammad jika engkau Rasul Allah, maka sekaranglah waktu engkau harus mendoakan mereka sebagaimana Nuh berdo‟a untuk kaumnya dengan kehancuran, maka Nabi saw berdo‟a: “Ya Allah berilah petunjuk kaumku, sesungguhnya mereka tidak tahu dan tolonglah aku agar mereka mencintaiku dalam ketaatan kepadaMu”. Kemudian datanglah pamannya Al-„Abbas untuk meenyelamatkan beliau dari mereka dan menghalau mereka dari Nabi saw.” 4 Tabataba‟i jelas berbeda dalam menjelaskan sebab turunnya ayat ini, dalam masalah ini beliau sangat panjang lebar membahasnya. Dan ini wajar saja karena ayat ini juga sebagai dalil bagi mazhabnya yaitu Syiah untuk menunjukkan bahwa ayat ini turun untuk „Ali bin Abî Tâlib. Pada awal
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr, jilid 6, h. 467 4 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr, jilid 6, h. 467
58
penjelasan ayat beliau telah menyatakan bahwa jika diperhatikan secara teliti maka dapat dipastikan dan tidak perlu diragukan bahwa ayat ini (surat alMâidah ayat 67) tidak berkaitan dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya (alMâidah ayat 66 dan 68) dari segi susunan ayat dan tidak mempunyai hubungan dengannya dalam untaian kalimatnya.5 Tabataba‟i ingin memastikan bahwa ayat ini khusus dan sendiri. Tabataba‟i beragumen bahwa apabila ayat ini mempunyai hubungan dengan ayat sebelum dan sesudahnya dalam satu kesatuan yang saling berkaitan tentang perkara Ahli Kitab, maka mempunyai kesimpulan bahwa perintah Nabi saw. yang terpenting adalah menyampaikan perintah Allah tentang masalah Ahli Kitab dan apa yang dimaksud “ َ “ يَا ُأَْ ِزلَ إَِن ْيكَ ِيٍْ َر ِبكdalam ayat ini (al-Mâidah: 67) adalah “apa yang diperintahkan untuk disampaikan” yang terkandung dalam ayat :
“Katakanlah: "Hai ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan Al Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu". Sesungguhnya apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dari Tuhanmu akan menambah kedurhakaan dan kekafiran kepada kebanyakan dari mereka; Maka janganlah kamu bersedih hati terhadap orang-orang yang kafir itu.” (Q.S. Al-Maidah/5 : 68)
5
Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur‟ân, juz 3, h. 43
59
Dan dengan tegas beliau menyatakan bahwa dalam ayat 67 ini menolaknya, karena kalimat “
”وَانهَ ُه يَ ْعصِ ًُكَ ِيٍَ انَُاسmenunjukkan bahwa
masalah yang harus disampaikan dalam ayat ini adalah masalah yang sangat penting dan mengandung kekhawatiran pada jiwa Nabi saw. atau agama Allah dari segi keselamatan penyampaiannya, sedangkan sesungguhnya keadaan orang-orang Yahudi dan Nasrani pada zaman Nabi saw tidak menunjukkan sesuatu yang bahaya yang membolehkan nabi saw menunda penyampaian perintah atau mengakhirkannya pada suatu momen. Menurutnya ayat tentang Ahli Kitab tidak mengandung perintah dan tantangan yang hebat dari perintah sebelumnya, Nabi saw telah diperintahkan menyampaikan sesuatu yang lebih berbahaya dari tantangan orang-orang Yahudi, seperti penyampaian masalah Tauhid dan penghancuran berhalaberhala di tengah-tengah kaum kafir Quraisy dan musyrikin Arab. Sehingga tantangan dan keangkuhan orang-orang Yahudi dan Ahli Kitab tidak mengandung kekhawatiran dan bahaya untuk menyampaikan perintah kepada mereka dan tanpa janji pemeliharaan Allah dari gangguan mereka.6 Tabataba‟i dalam kajian riwayat di tafsirnya banyak menyebutkan riwayat-riwayat tentang sebab turun ayat tersebut dan beliau juga mengkritik pendapat yang berbeda dengannya. Beberapa kitab yang disebutkan Thabathaba‟i dalam tafsirnya mengenai sebab turun ini bahwa untuk perkara „Ali bin Abî Tâlib diantaranya dalam kitab Tafsir al-Ayyasy, kitab al-Bashâ‟ir, tafsir al-Tsa‟labi, tafsir al-Burhân, Tafsir Majma‟ al-Bayân, kitab Nuzûl al-
6
Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur‟ân, juz 3, h. 42-43
60
Qur‟an oleh al-Hâfizh Abu Na‟im, kitab Fushûl al-Muhimmah oleh al-Maliki, kitab al-Shimthin oleh al-Hamawaini dan juga tafsir al-Manar7. Dan menurutnya semuanya itu juga berdasarkan dari jalur periwayatan yang berbeda-beda.8 Bunyi redaksi riwayat tersebut antara lain adalah:9
Dari Ibn Abî Hâtim, Ibn Mardawaih dan Ibn „Asâkir dari Sa‟id alKhudrî berkata ayat ini turun (Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu) kepada Rasulullah saw pada hari Ghadîr Khum tentang „Ali bin Abi Tâlib.
Perbedaan Rasyîd Ridâ dan Tabataba‟i tentang sebab nuzul ayat tersebut kesemuanya berdasarkan beberapa riwayat hadis. Akan tetapi menurut pandangan pribadi Rasyîd Ridâ tidak ada keterkaitan masalah wasiat khilâfah dalam ayat ini dengan perkara Ahli Kitab (ayat sebelum dan sesudahnya) karena ini tidak sesuai dengan balaghah al-Qur‟an, dan seandainya saja meninggalkan keterkaitan ayat ini dengan ayat sebelum dan sesudahnya, lalu ayat ini berdiri dengan sendirinya, dan kalimat “ ْ ” وَِإٌْ نَ ْى تَفْ َعمyang menjadi jumlah syarat setelah kalimat perintah “ ْ” بَهِغ, kalimat tentang „ishmah dan kalimat tentang peniadaan hidayah kepada orang-orang kafir, maka tetap saja
7
Tabataba‟i dalam tafsirnya khususnya dalam kajian riwayat, banyak mengkritik pendapat Rasyid Ridha dalam tafsir al-Manar. Tabataba‟i hidup setelah Rasyîd Ridâ wafat, maka dalam penulisan tafsir al-Mîzân beliau telah banyak membaca tentang tafsir al-Manâr, sehingga beliau mengkritik pendapat yang berbeda dengannya dalam Tafsir al-Manâr. 8 Lihat Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur‟ân, juz 3, h. 53-61 9 Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur‟ân, juz 3, h. 58
61
tidak sesuai dan tidak dapat diterima maksud dari tugas penyampaian kepada manusia tersebut tentang kekuasaan „Ali, karena seharusnya makna yang terkandung dalam ayat ini sesuai dengan dzatnya secara jelas bukan karena sebatas taklid.10 Pandangan Rasyîd Ridâ ini menampik pernyataan mazhab Syiah termasuk Tabataba‟i yang menjadikan ayat ini berdiri dengan sendirinya – tanpa ada keterkaitan dengan ayat sebelum dan sesudahnya – dan ayat ini untuk perkara wasiat kepada „Ali bin Abî Tâlib. Apabila melihat perbedaan sebab turun yang dijelaskan di atas maka terjadi perbedaan tempat sebab turun ayat tersebut. Rasyîd Ridâ yang mengatakan bahwa ayat ini turun pada awal kenabian, mempunyai pengertian bahwa ayat ini turun di Makkah, dengan kata lain ini adalah ayat Makkiyyah. Berbeda dengan pendapat Tabataba‟i yang mengatakan bahwa ayat ini turun di Ghadîr Khum untuk „Ali bin Abî Tâlib, yang berarti ayat ini turun di Madinah atau dengan kata lain ayat ini adalah Madaniyyah. Dalam kitab al-Durr al-Mantsûr karya karya Jalâluddin al-Suyûti, beliau menyebutkan beberapa riwayat tentang sabab turun ayat ini. Jalâluddin al-Suyûti seolah mengakui bahwa memang banyak perbedaan dalam sabab turunnya ayat ini berdasarkan berbagai periwayatannya,11 beberapa diantara riwayat yang disebutkannya
10
juga terdapat dalam tafsir Rasyîd Rida dan
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr, jilid 6, h. 466 11 Lihat Jalâluddin al-Suyûti, al-Durr al-Mantsûr fî Tafsîr al-Ma‟tsûr, (Dar al-Kutub Ilmiyyah, Beirut, 1990), jilid 2, hal, 528-530
62
Tabataba‟i yang dijadikan sebagai dalil bagi keduanya tentang sebab turun ayat ini sebagaimana yang dijelaskan di atas. Riwayat-riwayat tentang sabab turun ayat ini diantaranya adalah:12
Dari Abû al-Syaikh dari al-Hasan bahwa Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah mengutusku untuk menyampaikan risalah, lalu aku merasa khawatir dan aku tahu bahwa manusia akan mendustakanku; kemudian Allah memberi jaminan kepadaku untuk menyampaikan risalah atau mengazabku, lalu Allah menurunkan “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu”.
Dari Ibn Abî Hâtim, Ibn Mardawaih dan Ibn „Asâkir dari Sa‟id alKhudrî berkata ayat ini turun (Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu) kepada Rasulullah saw pada hari Ghadîr Khum tentang „Ali bin Abi Tâlib.
12
Lihat Jalâluddin al-Suyûti, al-Durr al-Mantsûr fî Tafsîr al-Ma‟tsûr, (Dar al-Kutub Ilmiyyah, Beirut, 1990), jilid 2, hal, 528-530
63
Dari Ibn Mardawaih, al-Diyâ‟ dalam al-Mukhtâroh dari Ibn „Abbâs berkata : “Rasulullah saw ditanya: Ayat apa yang diturunkan dari langit, yang paling menghawatirkan kamu? Nabi saw menjawab: Aku berada di Mina pada musim haji, ketika itu orang-orang musyrik Arab dan manusia yang tidak dikenal identitasnya berkumpul, kemudian turunlah Jibril dan menyampaikan ayat: “ َ ” يَا َأ ُيهَا انّرَسُى ُل بَهِغْ يَا ُأَْ ِزلَ إَِن ْيكَ ِيٍْ َر ِبك, kemudian aku berdiri di „Aqobah dan berseru: “wahai manusia, siapa yang akan menolongku menyampaikan risalah Tuhanku dan Pemilik syurga? wahai manusia katakan: Tiada Tuhan selain Allah dan aku Rasul Allah, maka kalian akan beruntung dan behasil dan bagi kalian surga.” Dan Nabi berkata, maka tak tertinggal seorang pun laki-laki, wanita dan anak-anak, semuanya melempar dengan tanah dan batu, dan mereka meludahi mukaku, mereka sambil berkata, Pendusta, keluar dari agama. Kemudian Ali menyarankan dan berkata: Wahai Muhammad jika engkau Rasul Allah, maka sekaranglah waktu engkau harus mendoakan mereka sebagaimana Nuh berdo‟a untuk kaumnya dengan kehancuran, maka Nabi saw berdo‟a: “Ya Allah berilah petunjuk kaumku, sesungguhnya mereka tidak tahu dan tolonglah aku agar mereka mencintaiku dalam ketaatan kepadaMu”. Kemudian datanglah pamannya Al-„Abbas untuk meenyelamatkan beliau dari mereka dan menghalau mereka dari Nabi saw.”
„Ubaid bin Humaid, al-Tirmidzi, Ibn Jarîr, Ibn al-Mundzir, Ibn Abî Hâtim, Abû Syaikh, al-Hâkim, Abû Nu‟aim, al-Baihaqi keudanya dalam kitab al-Dalâil dan Ibn Mardawaih meriwayatkan dari „Âisyah berkata, " Nabi saw selalu berada dalam kawalan ketat, sehingga
64
turunlah ayat, (Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia) kemudian beliau keluar menampakkan kepalanya dari dalam mesjid Quba seraya berseru, 'Hai manusia! Pergilah kamu sekalian, sesungguhnya Allah telah memelihara diriku.
Tabrani, Abû al-Syaikh dan Abu Naim meriwayatkan dalam kitab alDalâil, Ibnu Mardawaih dan Ibnu „Asâkir meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: Nabi saw perlu pendamping untuk menjaganya, maka diutuslah Abu Thalib untuk mendampinginya. Setiap hari tokohtokoh dari Bani Hasyim menjaganya. Kemudian Nabi saw bersabda: Wahai pamanku, Allah telah menjagaku sehingga aku tidak perlu lagi pendamping untuk menjagaku.
Ibnu Abî Hâtim meriwayatkan dari Jâbir bin „Abdullah, ia berkata: Ketika Rasulullah saw berada dalam peperangan Bani Anmar, beliau berhenti di Dzat Ar-Riqa‟. Ketika beliau sedang duduk di dekat sumur dan menyelonjorkan kedua kakinya, Ghaurits bin Harits berkata: Aku akan membunuh Muhammad. Kemudian para sahabatnya berkata kepadanya: Bagaimana mungkin kamu bisa membunuhnya? Aku berkata kepadanya: Berikan pedangmu padaku, jika ia memberikan pedangnya kepadaku aku akan membunuhnya. Kemudian ia mendatangi Rasulullah saw dan berkata: Wahai Muhammad, berikan pedangmu padaku, aku ingin melihatnya. Rasulullah saw memberikannya, dan ia gemetar tangannya. Kemudian Rasulullah saw bersabda: “Kekuatan Allah berada di antara aku dan keinginanmu.” Ketika itulah Allah menurunkan ayat “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.”
65
Demikianlah diatas beberapa riwayat tentang sebab turun ayat ini yang penulis kutip dalam kitab al-Durr al-Mantsûr karya karya Jalâluddin al-Suyûti. Sebenarnya riwayat yang terdapat dalam kitab tersebut masih banyak sesuai dengan jalur periwayatannya, akan tetapi penulis melihat beberapa riwayat tersebut mewakili dari perbedaan tentang riwayat-riwayat lainnya. Penulis mengutip apa yang disampaikan M. Quraish Shihab tentang ayat ini dalam tafsirnya Al-Misbâh. Di dalam tafsirnya beliau mengutip pendapat Tâhir Ibn „Âsyûr yang menilai penempatan ayat ini di sini (di antara ayat 66 dan 68) merupakan sesuatu yang musykil, karena surat al-Mâidah merupakan salah satu surat terakhir yang turun, sedangkan ketika itu Rasul saw telah menyampaikan seluruh ajaran agama yang turun hingga ketika itu, Seandainya ayat ini turun pada awal masa kenabian, maka apa yang yang diperintahkan di sini dapat dimengerti dan dipahami sebagai mengukuhkan Nabi saw dan meringankan beban mental beliau. Tetapi, karena surat ini merupakan salah satu surat terakhir yang turun, dan beliau sendiri telah melaksanakan tugas penyampaian risalah, agamapun telah disempurnakan, maka sebenarnya pada saat turunnya tidak ada lagi yang diperintahkan untuk disampaikan. Karena itu hanya ada dua kemungkinan yang dapat dikemukakan menyangkut penempatan ayat ini dalam surat ini dan sesudah uraian ayat-ayat sebelumnya yaitu:13
13
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah “Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, Vol. 3, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 150
66
1.
Ayat ini turun untuk sebab tertentu, yang mengundang adanya ayat yang mengukuhkan beliau agar menyampaikan sesuatu yang berat untuk beliau sampaikan.
2.
Ayat ini turun sebelum turunnya surat al-Maidah, dan ini didukung oleh banyak riwayat.
M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa Ibn „Âsyûr menolak kemungkinan kedua, karena menurut Ibn „Âsyûr berarti ayat ini telah turun bertahun-tahun dan dibaca tanpa ada tempatnya dan dengan demikian semua riwayat yang menguraikan sebab turunnya ayat ini pada masa-masa sebelum turunnya surat al-Mâidah kesemuanya tertolak. Pendapat Ibn „Âsyûr ini kemudian dibahas oleh M. Qurais Shihab, menurut beliau sepanjang yang diketahuinya, tidak mutlak satu ayat dalam satu surat otomatis turun pada tahun yang sama dengan turunnya ayat-ayat yang lain.14 Kemudian M. Quraish Shihab memberikan dua contoh alasan, salah satunya adalah tentang lima ayat surat Iqra‟, menurutnya merupakan wahyu pertama yang diterima. Ayat keenam dan seterusnya turun jauh sesudah turunnya kelima ayat pertama itu. Ini terbukti dari kandungan ayat-ayat itu yang menguraikan pembakangan Abû Jahl dan upayanya melarang Nabi saw. shalat, dan tentu saja hal itu baru terjadi setelah Nabi saw. secara terangterangan menyebarkan dakwah. Hal ini baru terjadi sekitar tiga tahun setelah turunnya kelima ayat pertama itu.15
14
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah “Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, Vol.
15
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah “Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, Vol.
3, h. 150 3, h. 151
67
Penjelasan M. Quraish Shihab tersebut ingin menegaskan bahwa ada hubungan ayat ini dengan ayat sebelumnya. Beliau sependapat dengan alBiqâ‟i, Fakhruddin al-Râzi, Sayyid Quthb dan pada prinsipnya juga sejalan dengan Ibn „Âsyur, yang menjelaskan bahwa ayat ini tentang pemeliharaan Nabi saw dari gangguan dan tipu daya orang-orang Yahudi dan Nasrani – karena ayat-ayat yang mendahuluinya demikian juga sesdudahnya, berbicara tentang mereka.16 Apabila Rasyîd Ridâ menolak pendapat mazhab Syiah – termasuk pendapat Tabataba‟i – tentang sebab turunnya ayat ini untuk „Ali bin Abî Tâlib dan ayat ini juga berdiri sendiri tanpa ada keterkaitan ayat sebelum dan sesudahnya, maka M. Quraish Shihab pun menolak pendapat tersebut. Menurut M. Quraish Shihab apa yang dikemukakan oleh Tabataba‟i masih timbul persoalan, selain alasan yang kurang jelas tentang mengapa ayat ini tidak ada keterkaitan dengan ayat sebelum dan sesudahnya, di sisi lain juga mengapa objek yang ingin disampaikan tidak disebut, kalau hal tersebut sedemikian penting?.17 Penulis melihat apa yang dikemukakan oleh Rasyîd Ridâ – demikian pula dengan M. Quraish Shihab – sebenarnya telah dijawab oleh Tabataba‟i dalam tafsirnya. Menurut Tabataba‟i tentang objek yang disampaikan adalah tentang „Ali bin Abî Tâlib, dan ini didukung oleh riwayat-riwayat tentang sebab turun ayatnya. Objek yang dimaksud Tabataba‟i dan penganut mazhab
16
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah “Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, Vol.
3, h. 152 17
Lihat, M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah “Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, Vol. 3 h. 151
68
Syiah tersebut adalah hadis wilâyah atau terkenal pula dengan hadis Ghadîr Khum, yang berkenaan dengan pengangkatan „Ali bin Abî Tâlib sebagai pemimpin pasca wafat Nabi saw. Untuk mengantar pada penjelasan ini, penulis membahas dalam sub bab berikutnya, dan masih dalam bingkai komparatif penafsiran Rasyîd Ridâ dengan Tabataba‟i.
B. Ghadîr Khum dan Wilâyah ‘Ali Bin Abî Tâlib Pada tahun kesepuluh Hijriah, Nabi Muhammad saw. mengemukakan niatnya untuk melaksanakan ibadah haji ke Mekkah. Hal itu disampaikan secara luas kepada kaum Muslimin pada saat itu. Bagi mereka yang ingin ikut bersama Nabi Saw dianjurkan untuk terlebih dahulu berkumpul di Madinah. Dengan demikian, berdatanglah kaum muslimin untuk pergi ke Mekkah melaksanakan haji bersama Nabi Muhammad saw. Dicatat dalam sejarah bahwa ada 90.000 orang yang ikut bersama Nabi saw pada saat itu, dan ada juga yang mengatakan bahwa yang ikut bersama Nabi saw sekitar 114.000 orang.18 Setelah melaksanakan rukun haji, maka Nabi saw bersama rombongan kaum muslimin pada saat itu meninggalkan Mekkah menuju Madinah dan sampai di suatu tempat bernama Ghadîr Khum. Ghadîr Khum adalah nama dari suatu tempat yang terletak tiga mil dari Juhfa. Ghâdir Khum biasa juga disebut Wâdi Khum, yang merupakan tempat yang digunakan oleh Nabi Muhammad saw. untuk berkhutbah tentang
18
Lihat Muhammad Haykal, Hayât Muhammad, diterjemahkan oleh Ali Audah dengan judul Sejarah Hidup Muhammad (Jakarta: Pustaka Jaya, 1979), h. 602
69
keutamaan „Ali bin Abî Tâlib, dalam perjalanan pulangnya menuju Madinah setelah melaksanakan haji Wadâ‟. Tempat tersebut sangat terkenal dalam sejarah Islam, karena Ghadir Khum merupakan tempat persinggahan Nabi Muhammad Saw dengan mayoritas sahabat. Itulah tempat orang-orang dari berbagai penjuru saling menyampaikan salam perpisahan dan kembali ke rumah dengan mengambil jalan yang berbeda-beda.19 Di sana Nabi saw. menyampaikan khutbahkhutbahnya di depan ratusan ribu kaum Muslimin, dalam khutbahnya beliau membacakan ayat hampir 100 ayat al-Quran, dan kira-kira sebanyak 73 kali mengingatkan perbuatan masa depan mereka di kemudian hari.20 Keterkaitan peristiwa Ghadîr Khum ini menyangkut tentang sebab nuzul ayat yang telah dikemukan di atas. Rasyîd Ridâ dalam tafsirnya membahas khusus tentang masalah ini dan hadis yang turun berkenaan tentangnya. Yang dimaksud Rasyîd Ridâ di sini adalah hadis tentang wilâyah „Ali bin Abî Tâlib atau yang dikenal sebagai hadis Ghadîr Khum, hadis tersebut adalah :
Artinya : Berkata kepada kami Muhammad bin Basysyâr dan Syu‟bah dari Salamah bin Kuhail, ia berkata aku mendengar Abu al-Tufail berkata dari Abî Sarîhah atau dari Zaid bin Arqom dari Nabi Saw.
19
Digital Islamic Library Project, Ensyclopedia of Shia, diterjemahkan Antologi Islam, penj, Rofik Suhud dkk, (Jakarta: Al-Huda, cet ke II, 2005), h. 288 20 Rofik Suhud dkk, Antologi Islam, h. 289
70
Bersabda: barang siapa yang menjadikan aku pemimpinnya maka Ali adalah pemimpinnya juga.21 Dalam tafsirnya Rasyîd Ridâ mengutip hadis tersebut, beliau mengakui hadis tersebut karena hadis tersebut diriwayatkan oleh Imâm Ahmad dalam Musnadnya dari jalur al-Barrâ‟ dan Buraidah. Imâm Tirmidzi, Imam Nasâ‟i dan Al-Diyâ‟ dalam kitab Al-Mukhtâroh dari jalur Zaid bin Arqom, sebagian dari mereka menganggap hadis tersebut Hasan dan Al-Dzahabi menganggap hadis tersebut Sahîh.22 Rasyîd Ridâ berpendapat tentang makna maula / wilâyah dalam hadis tersebut.
Akan
tetapi
sebelum
mengemukakan
pendapatnya,
beliau
menjelaskan pendapat Ahlu Sunnah yang menyatakan bahwa hadis wilâyah tersebut bukan bermakna Imâmah atau Khilafah (kepemimpinan) melainkan mempunyai makna “penolong dan yang mencintai” sebagaimana yang Allah katakan tentang orang-orang mu‟min dan kafir “Sebagian mereka adalah penolong bagi yang lainnya”.23 Kemudian Rasyîd Ridâ menyatakan pendapatnya sekaligus menguatkan pendapat Ahlu Sunnah bahwa sesungguhnya seandainya masalah Imâmah sudah dibuktikan dalam nash baik al-Qur‟an ataupun hadis maka pastilah nash tersebut mutawâtir dan jelas. Seandainya Ali menjadi pemimpin yang mengurus perkara kaum Muslimin seharusnya pada hari wafat Nabi saw dia berkhutbah menyampaikan nash – penunjukan kepemimpinannya sebagai 21
Al-Imam al-Hafiz Abi Isa Muhammad ibn Isa ibn Saurah al-Tirmidzi, al-Jami‟ alShahih (Sunan al-Tirmidzi), (Beirut: Dar alKutub „Ilmiyah, t.t), Juz v, h. 590 22 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr, jilid 6, h. 464 23 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr, jilid 6, h. 465
71
pengganti Nabi saw – dan menjelaskannya dengan sebaik-baiknya kepada kaum
Muslimin
saat
itu.
Merupakan
kewajiban
bagi
„Ali
untuk
menyampaikannya kalau ia menganggap masalah kepemimpinan pasca wafat Nabi saw adalah perkara yang ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya akan tetapi dia tidak mengatakannya, bahkan tidak seorangpun dari para keluarganya dan penolongnya yang menggunakan ayat ini pada kejadian hari Tsaqîfah ataupun peristiwa hari musyâwarah setelah wafat Umar.24 Untuk menegaskannya lagi Rasyîd Ridâ menjelaskan bahwa kalau saja Nabi saw ingin memberikan dan menunjukkan nash tentang
siapa yang
menjadi khalîfah setelahnya dalam perintah penyampaiannya tersebut maka seharusnya Nabi saw mengatakannya pada Haji Wadâ‟ dan meminta kepada seluruh manusia saat itu untuk bersaksi maka mereka pun akan bersaksi dan Allah menyaksikannya. Pendapat Rasyîd Ridâ ini ingin membantah argumen mazhab Syiah yang menjadikan pengertian wilâyah sebagai Imâmah atau Khilâfah yang mempunyai pengertian sebagai pemimpin dan pemegang kekuasaan yang harus diikuti. Sedangkan Tabataba‟i seperti dalam penjelasan mengenai sebab nuzul ayat ini jelas mengatakan bahwa ayat ini turun dalam masalah wilâyah (kepemimpinan) „Ali bin Abî Tâlib. Allah swt memerintahkan menyampaikan masalah ini dan Nabi saw merasa khawatir mereka menuduh beliau memperhatikan putera pamannya. Rasulullah menunda penyampaian masalah ini dari saat ke saat sehingga turunlah ayat ini yang mengharuskan 24
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr, jilid 6, h. 466
72
penyampaian masalah ini, lalu Nabi saw menyampaikannya di Ghadîr Khum. Pada waktu itulah Nabi bersabda :25
ُن ُكنْتُ َموْلَاهُ فَعَِلّيٌ َموْلَاه ْ َم Nabi Saw. Bersabda: barang siapa yang menjadikan aku pemimpinnya maka Ali adalah pemimpinnya juga.
Dalam kajian riwayat yang ditulis oleh Tabataba‟i dalam tafsirnya menjelaskan tentang sabab nuzul ayat 67 surat al-Mâidah maka kemudian bersamaan pada saat itu turunnya sabda Nabi saw tersebut, menurutnya hadis tersebut mutawatir, dikutip dari jalur-jalur Syiah dan Ahlu Sunnah lebih dari 100 jalur. Riwayat itu telah diriwayatkatkan oleh banyak sahabat Nabi saw. antara lain: Al-Barra‟ bin „Azib, Zaid bin Arqam, Abu Ayyub Al-Anshari, Umar bin Kahttab, Ali bin Abi Thalib, Salman Al-Farisi, Abu Dzar AlGhiffari, Amar bin Yasir, Busraidah, Sa‟ad bin Abi Waqqash, Abdullah bin Abbas, Abu Hurairah, Jabir bin Abdullah, Abu Sa‟id Al-Khudri, Anas bin Malik, Imran bin Al-Hashin, Ibnu Abi Aufa, S‟danah, dan istri Zaid bin Arqam.26 Menurut Tabataba‟i adanya kepemimpinan perkara umat suatu hal yang dibutuhkan dalam agama dan tidak perlu ditutup-tutupi. Nabi saw mengangkat pemimpin-pemimpin pemerintahan untuk mengatur urusan ummat Islam di daerah seperti Mekkah, Thaif, Yaman dan lainnya, dan beliau mengangkat panglima dalam setiap peperangan dan pasukan yang dikirim ke seluruh penjuru negeri. Apa bedanya antara masa hidup Nabi saw dan sesudah 25 26
Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur‟ân, h. 48 Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur‟ân, juz 3. h. 59
73
wafatnya, sehingga tidak membutuhkan masalah ini setelah beliau wafat, sementara kebutuhan terhadap masalah ini sangat diperlukan dari zaman ke zaman?.27 Pendapat Rasyîd Ridâ tentang pengertian maula dan juga tuntutannya adanya keharusan nash khusus yang menjelaskan tentang kepemimpinan „Ali bin Abî Tâlib dan bahkan seharusnya disampaikan juga oleh „Ali di hari wafatnya Nabi Saw, sepertinya ditolak oleh Tabataba‟i dengan kembali kepada kandungan ayat ini yaitu “ َ ” يَا َأ ُيهَا انّرَسُى ُل بَهِغْ يَا ُأَْ ِزلَ إَِن ْيكَ ِيٍْ َر ِبكbahwa apa yang harus disampaikan itu bersifat penting dan sebagai suatu dalil yang mewajibkan menyampaikan sesuatu yang dijelaskan oleh ayat itu dan ditegaskan kepada Rasulullah saw. Menurut Tabataba‟i sesuatu yang diturunkan kepada Nabi saw dari Tuhannya tidak dijelaskan dengan sebuah nama, tetapi diungkapkan dengan suatu
sifat,
dan
sesuatu
yang
diturunkan
kepadanya
menunjukkan
keagungannya dan menunjukkan bahwa masalah ini bukan buatan Rasulullah saw., dan tidak ada alternatif lain untuk menyimpan dan menunda penyampaiannya.28 Pernyataan Tabataba‟i tersebut mewakili pendapat mazhab Syiah karena beliau adalah seorang Syiah. Menurut Syiah kata maula / wilâyah itu diartikan sebagai yang memiliki keuasaan dan harus diikuti kepemimpinannya, seperti yang terdapat dalam kata-kata yang sering dipergunakan orang, seperti wali kota, wali murid, wali mempelai wanita dan lain-lain, yang semuanya 27 28
Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur‟ân, juz 3. h. 48-49 Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur‟ân, Juz 3, h. 49
74
menunjukkan arti “orang-orang yang memiliki kekuasaan atas orang-orang tertentu.”29 Dengan begitu apa yang disampaikan oleh Tabataba‟i tentang pentingnya penyampaian risalah dalam ayat ini adalah sebuah hadis wilâyah „Ali bin Abî Tâlib tersebut, dan makna maula / wilâyah bukanlah makna seperti yang dikatakan oleh Ahlu Sunnah. Karena apabila terminologi maula / wilâyah seperti yang digunakan oleh Ahlu Sunnah, bukankah semua orang tahu pada saat itu bahwa kedudukan Ali bin Abi Thalib dan peranannya bersama Rasulullah saw dalam menjalankan misi dakwah?. Dalam al-Qur‟an kata wali yang bentuk jamaknya awliya mempunyai beberapa pengertian. Diantaranya dapat dikemukakan sebagai berikut:30 1. kata wali yang berarti pelindung. tedapat dalam QS. Al-A‟raf: 196, QS. Al-Baqarah: 107 dan 257, QS. Ali „Imran: 68, QS. AlAn‟Am:51 dan 70, QS. Al-Taubah: 74 dan 116, QS. Al-Kahfi: 26, QS. Al-Jatsiyah: 19, QS. Al-Syura: 8-9, dan 44 yang berarti pemimpin. 2.
kata wali yang berarti penolong. Terdapat dalam QS. Al-Isra: 111, QS. Al-Syura: 31, QS. Al-Baqarah: 120, dan QS Al-Sajadah: 4.
3. kata wali yang berarti kawan atau teman setia. Terdapat dalam QS. Al-Nisa: 144 dan QS. Fusshilat: 34. Kontroversi makna wali dalam hadis Ghadîr Khum tersebut yang menimbulkan cikal bakal kontroversi tentang kepemimpinan pasca wafat Nabi 29
HM. Attamimy, Ghadîr Khum: Suksesi pasca wafatnya Nabi saw., (Yogyakarta: Aynat Publishing, 2010), h. 8 30 HM. Attamimy, Ghadîr Khum: Suksesi pasca wafatnya Nabi saw., h. 42
75
saw, karena dinterpretasikan berbeda oleh kalangan Mazhab Ahlu Sunnah dan Syiah. Bila Ahlu Sunnah mengartikan kata tersebut sebagai pelindung, penolong ataupun orang yang mencintai, maka Syiah mengartikan kata wali itu sebagai pemimpin. Agaknya kedua pengertian tersebut mendapat pembenaran dari al-Qur‟an, tergantung bagaimana bunyi redaksi yang di dalamnya termuat kata wali itu. Apabila kata tersebut dilihat dari segi historis pengucapannya (ketika Nabi Muhammad saw mengumpulkan para sahabat di Ghadîr Khum dan bersabda hadis tersebut), maka tampaknya ucapan Nabi saw tersebut mengindikasikan
bahwa
wilâyah
atau
kedudukan
sebagai
pemimpin
pascawafat nabi saw adalah „Ali bin Abî Tâlib.31 Apa yang dikemukakan Rasyîd Ridâ dan Tabataba‟i seperti yang dijelaskan di atas, mereka mempunyai perbedaan yang sangat luas pemahamannya tentang peristiwa Ghadîr Khum dan wilâyah „Ali bin Abî Tâlib. Dalam kajian riwayat yang ditulis oleh Tabataba‟i dalam masalah ini, ada hal yang menarik, yaitu beliau mengkritik pendapat Rasyîd Ridâ ketika mengutip hadis berkenaan tentang „Ali bin Abî Tâlib dan sabab nuzul ayat ini untuknya. Hadis tersebut adalah: “Sungguh perkataan ini dari Nabi Saw tentang wilayah „Ali yang tersebar di seluruh penjuru negeri, hingga perkataan itu sampai kepada al-Harits bin Nu‟man al-Fahri, kemudian ia datang kepada Nabi saw. karena ia ragu tentang berita itu. Ketika itu Nabi saw. berada di Abthah lalu beliau menjelaskan dan memberi pengertian kepadanya tentang hal itu. Dia berkata kepada Nabi saw. – dia adalah salah seorang sahabat besar Nabi saw. – wahai Muhammad engkau telah menerima perintah dari Allah untuk kami, agar kami bersaksi bahwa tiada Tuhan selain 31
HM. Attamimy, Ghadîr Khum: Suksesi pasca wafatnya Nabi saw., h. 147
76
Allah dan sesungguhnya engkau adalah Rasul Allah, maka kami menerimanya – ia juga menyebutkan seluruh rukun Islam – kemudian engkau belum puas dengan hal ini, sehingga engkau mengangkat kedua tangan anak pamanmu dan mengutamaknnya atas kami, lalu engau berkata : Bararangsiapa menjadikan aku pemimpinnya maka Ali adalah pemimpinnya, maka apakah ini dari kamu atau dari Allah? Nabi saw menjawab: Demi Allah yang tiada Tuhan selain Dia, masalah ini adalah perintah Allah. Lalu al-Harits berpaling dan pergi sambil mengucapkan: “Ya Allah jika perintah ini benar –benar dari sisimu, maka turunkan kepada kami hujan batu dari langit atau berikan kami siksa yang pedih. (Q.S. al-Anfâl: 32).” Maka sebelum ia sampai pada pada tujuan perjalannannyam, Allah menghujaninya dengan batu, maka jatuhlah dia sebab keinginannya dan keluarlah batu itu dari duburnya. Lalu Allah menurunkan ayat: “seorang peminta telah meminta kedatangan azab yang menimpa untuk orang-orang kafir yang tiada seorang pun dapat menolaknya. (Q.S. al-Ma‟ârij: 1-2).”32
Setelah mengutip hadis tersebut, Rasyîd Ridâ menilai bahwa riwayat ini maudhu‟ dan surat al-Ma‟ârij ini Makiyyah dan apa yang Allah ceritakan itu adalah perkataan sebagian orang-orang kafir Quraisy: “Ya Allah jika perintah ini benar-benar dari sisimu”, sebagai peringatan sebelum hijrah, peringatan ini terdapat dalam surat al-Anfâl yang diturunkan sebelum perang Badar dan sebelum surat al-Mâidah turun antara tiga sampai sembilan tahun. Riwayat itu menjelaskan bahwa al-Hârits adalah seorang muslim kemudian murtad. Ia belum dikenal di kalangan para sahabat Nabi saw. Adapun Abhtah adalah suatu tempat di Mekkah, sedangkan Nabi saw belum kembali dari Ghadîr Khum ke Mekkah, bahkan setelah Haji Wadâ‟ beliau singgah di Ghadîr Khum menuju ke Madinah.33
32
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr, jilid 6, h. 464 33 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr, jilid 6, h. 464
77
Tabataba‟i mengkritik pendapat Rasyîd Ridâ tersebut yang menyatakan bahwa hadis tersebut maudhû‟, surat al-Ma‟ârij adalah Makkiyyah, surat alAnfâl turun sebelum hijrah, Hârits bin Nu‟mân adalah seorang muslim kemudian murtad dan dia tidak dikenal di kalangan para sahabat. Kritikan Tabataba‟i tersebut sebagai berikut: “Pernyataan al-manar bawa riwayat itu maudhu‟ dan surat Al-Ma‟arij itu adalah surat Makkiyyah, ia menggunakan sebagian riwayat dari Ibn Abbas dan Ibn Zubair sebagai dalil pendapatnya bahwa surat AlMa‟arij turun di Makkah. Aduhai disayangkan! Apa yang mengunggulkan riwayat ini terhadapat ayat itu. sementara semuanya adalah ahad? Kami terima bahwa surat al-Ma‟arij adalah surat Makkiyyah sebagaimana yang dikuatkan oleh kandungan sebagian besar ayat-ayatnya, tetapi apa dalilnya bahwa seluruh ayat surat AlMa‟arij itu Makkiyyah? Surat ini adalah surat makkiyyah, tapi khusus dua ayat ini bukan Makkiyyah, sebagaimana surat Al-Maidah adalah surat madaniyah yang turun pada akhir masa Nabi saw., dan yang di dalamnya terdapat ayat yang dibahas (al-Maidah: 67). Ayat ini, oleh beberapa mufassir dinyatakan turun di Makkah pada awal kenabian. Jika boleh meletakkan ayat Makkiyyah al-Maidah: 67 ke dalam surat Madaniyah (al-Maidah), maka boleh pula meletakkan ayat Madaniyah (al-Ma‟arij: 1-2) kedalam surat Makkiyah (al-Ma‟ârij). Kemudian tentang surat al-Anfal turun sebelum hijrah, dalam masalah ini pengarang al-manar berpendapat tanpa hujjah untuk membedakannya, tetapi bagi seorang mufassir yang mengenal sturktur kalimat, ia tidak akan mendekati keraguan tentang firman Allah swt. surat al-Anfal: 32 dengan adanya makna kandungan makna pada kalimat: “ ” di dalmnya terdapat “isim isyarah, dhamir munfashil dan kata al-Haqq yang didahului oleh alif lam”, maka jelaslahbahwa kalimat “ ” bukan yang dinisbatkan kepada berhala, yang keluar dari mulut orang musyrik yang hatinya goncang dan menghina kebenaran. Kalimat ini tiada lain adalah ucapan yang tunduk pada maqam rububiyyah, dan memandang bahwa perkara-perkara yang benar jelas dari sisi Allah, dan hukum-hukum syariat turun dari-Nya. Kemudian ia menggantung setiap perkara kepada Allah swt, tanpa mengetahui dalil yang pasti bahwa kebenaran itu hanya dari-Nya, ia merasa berdosa sebab masalah itu, maka ia berdoa untuk dirinya dengan doa yang tercela dan bosan hidup. Kemudian tentang Harits bin Nu‟man, dalam hal ini perlu diketahui, apakah ada diantara para sahabat Nabi saw yang menghafal nama-nama setiap orang yang melihat Nabi
78
saw dan beriman kepadanya, atau beriman kepadanya kemudian murtad?.” 34
Kritikan Tabataba‟i sepertinya ingin mempertanyakan alasan kenapa Rasyîd Ridâ mengutip riwayat tersebut dan seolah menunjukkan bahwa itu dalil bagi orang Syiah tentang sabab nuzul al-Mâidah: 67 untuk nash wilâyah „Ali bin Abî Tâlib. Akan tetapi pada akhirnya dia menolak riwayat tersebut. Tabataba‟i menegaskan bahwa riwayat tersebut ahad bukan mutawâtir. Dan pernyataan Rasyîd Ridâ tentang hadis itu maudhû‟ tidak didasarkan pada qorînah yang pasti.35 Adapun mengenai hadis Ghadîr Khum mempunyai redaksi yang berbeda-beda, hadis tersebut terdapat dalam kitab al-Jâmi‟ al-Shahîh karya Imâm al-Turmudzî,36 Sunan Ibnu Mâjah37 dan Musnad Ahmad bin Hanbal.38 Menurut HM. Attamimy dalam bukunya Ghadîr Khum, beliau setelah melakukan takhrîj hadis tersebut menyatakan bahwa kualitas sanad hadis tersebut shahih, hal ini memungkinkan karena periwayat tersebut semuanya bersambung kepada nabi saw dan memiliki kepribadian yang tsiqoh, yaitu suatu predikat yang memiliki tingkat akurasi yang tinggi dan karenanya periwayatan dengan kualitas hadis tersebut dapat dipercaya.39 Lebih tegas Attamimy menegaskan bahwa setelah melakukan telaah matan hadis, seluruh 34
Lihat Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur‟ân, Juz 3, h. 55-57 Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur‟ân, Juz. 3, h. 57 36 Lihat Abû „Îsa Muhammad bin Îsa ibn Saurah, al-Jâmi‟ al-Shahîh (Sunan alTurmudzi), (Beirut Dar al-Kutub Ilmiyah) h, 590 37 Lihat al-Hâfiz Abû „Abd Allah Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibn Mâjah, Juz I (Semarang Toha Putra) h, 43 38 Lihat Ahmad bin Hanbal, Musnad Imâm Ahmad bin Hanbal, juz V (Beirut: Maktab Islami), h. 350, 356, 358, 361, 370 dan 439 39 HM. Attamimy, Ghadîr Khum: Suksesi pasca wafatnya Nabi saw., h. 138 35
79
hadis tentang Ghadîr Khum dikategorikan hadis yang berkualitas shahîh, baik sanad maupun matannya. 40 C. Perintah Tablîgh Al-Risâlah Perbedaan Rasyîd Ridâ dan Tabataba‟i tentang sabab nuzul ayat ini berpengaruh pula terhadap penafsirannya terhadap ayat, seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa Rasyîd Ridâ menganggap bahwa ayat ini turun pada awal kenabian sedangkan Tabataba‟i pada saat setelah Nabi saw melaksanakan haji wadâ‟, maka target kepada siapa risalah tersebut disampaikan dan isi risalahnya yang terkandung dalam ayat al-Mâidah: 67 ini mengalami perbedaan juga. Rasyîd Ridâ yang mengakui ayat ini turun pada awal kenabian, menjadikan sasaran penyampaian risalah adalah Ahli Kitab sehingga apa yang dibicarakan dalam ayat ini keseluruhan adalah seruan kepada Ahli Kitab untuk masuk Islam dan tentang persoalan-persoalan agama.41 Dalam menafsirkan “ َ ” يَا َأ ُيهَا انّرَسُى ُل بَهِغْ يَا ُأَْ ِزلَ إَِن ْيكَ ِيٍْ َر ِبكbeliau mengutip sebuah riwayat yang juga sekaligus menunjukkan sebab turunnya ayat ini yaitu pada awal permulaan Islam. Dia sepakat dengan pendapat para ulama tafsir alMa‟tsûr, apabila ayat ini tidak menyangkut masalah Ahli Kitab maka tidak sesuai dengan ayat setelahnya, yaitu dengan pengertian bahwa Allah berkata: “Sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu tentang perkara Ahli Kitab dan jika kamu bertanya apa yang harus disampaikan maka jawablah “Katakanlah: "Hai ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu 40
HM. Attamimy, Ghadîr Khum: Suksesi pasca wafatnya Nabi saw., h. 141 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr, jilid 6, h. 463 41
80
menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan al-Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu"... .”.42 Tentu saja penafsiran Rasyîd Ridâ ini berbeda dengan Tabataba‟i seperti yang dikemukakan sebelumnya dalam masalah sabab nuzul ayat tersebut. Akan tetapi yang menarik dalam analisa ini adalah perbedaan keduanya dalam memahami diperbolehkan atau tidaknya bagi seorang Nabi saw untuk menyembunyikan atau menunda dalam penyampaian risalah. Rasyîd Ridâ ketika menafsirkan “ ُ ” وَِإٌْ نَ ْى تَفْ َعمْ فًََا بَهَغْتَ رِسَاَنتَهmenurutnya adalah “jika kamu tidak mengerjakan apa yang diperintahkan kepadamu untuk menyampaikan dari apa yang diturunkan kepadamu seluruhnya – seluruh umat – atau khusus kepada Ahli Kitab – yaitu dengan menyembunyikannya bahkan menundanya karena takut dapat ancaman atau gangguan berupa perkataan ataupun juga tindakan, maka baginya adalah belum menyampaikan risalah dan belum
mengerjakan
sebab
alasan
diutusnya,
dan
tugasnya
adalah
menyampaikan apa yang diturunkan Tuhan kepadanya.”43 Penafsiran Rasyîd Ridâ tersebut jelas mengindikasikan bahwa tidak diperbolehkan bagi seorang Nabi saw untuk menyembunyikan bahkan menunda menyampaikan risalah sesuai dengan ijtihad atau kehendak Nabi saw sendiri. Beliau sepakat dengan pendapat para ulama bahwa apabila tidak menyampaikan seluruh yang diturunkan Tuhan kepadamu (Nabi saw.) dengan menyembunyikan sebagiannya, maka bagimu belum menyampaikan sama
42
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr, jilid 6, h. 467 43 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr, jilid 6, h. 468
81
sekali, karena menyembunyikan sebagian sama saja dengan menyembunyikan secara keseluruhan.44 Pendapat ini mempunyai pengertian bahwa masalah wahyu adalah masalah keseluruhan dan tidak terbagi-bagi. Menurut Rasyîd Ridâ ada hikmah yang harus dimengerti dengan jelas dalam penyampaian risalah ini yaitu: 1. Hikmah yang dinisbatkan kepada Rasul saw. bahwasanya perintah untuk tabligh adalah ketetapan Allah dan tidak ada pilihan bagi Rasul saw untuk menyembunyikannya bahkan menundanya berdasarkan ijtihâd Rasul saw sendiri. 2. Hikmah yang dinisbatkan kepada manusia agar mengetahui hakikat keseluruhan dari nash, maka tidak terjadi perselisihan dalam pendapat dan pemahaman.45 Penjelasan Rasyîd Ridâ ini berbeda dengan Tabataba‟i. Dari awal penafsirannya tentang ayat ini, beliau sudah menjelaskan bahwa secara lahiriah ayat ini mengandung perintah kepada Rasulullah saw untuk menyampaikan sesuatu yang berbahaya dan menakutkan, kemudian Allah swt menjanjikan kepadanya pemeliharaan dari gangguan manusia.46 Tabataba‟i menggambarkan bahwa ada kekhawatiran Nabi saw dalam menyampaikan pesan sehingga Nabi saw mendapat penekanan bahwa pesan itu harus disampaikan dan mendapat jaminan bahwa Allah memelihara dari gangguan manusia. Beliau menjelaskan adanya bentuk kekhawatiran Nabi saw 44
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr, jilid 6, h. 468 45 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr, jilid 6, h. 469 46 Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur‟ân, juz 3, h. 42
82
untuk menunda penyampaiannya pada momen yang sesuai, seandainya Nabi saw. tidak merasa khawatir dan tidak menundanya maka tidak perlu ada penegasan kepada Nabi saw. sebagaimana firman-Nya “
َوَِإٌْ نَ ْى تَفْ َعمْ فًََا بَهَغْت
ُ” رِسَاَنتَه.47 Dalam tafsirnya Tabataba‟i menjelaskan alasannnya bahwa ayat ini mengungkapkan tentang hukum yang didalamnya mengandung kekhususan bagi Nabi saw dengan suatu keistimewaan kehidupan, yang keistimewaan ini juga diinginkan oleh yang lain. Masalah inilah yang harus disampaikan oleh Nabi saw, sementara masalah ini diinginkan juga oleh manusia. Karena itulah Nabi saw merasa khawatir untuk menyampaikan dan menjelaskannya. Maka Allah mempertegas agar beliau segera menyampaikannya, menjanjikan kepadanya pemeliharaan dari gangguan manusia, dan berjanji tidak akan meberi petunjuk kepada mereka yang melakukan tipu daya.48 Penjelasan
Tabataba‟i
di
atas
mengindikasikan
bahwa
diperbolehkannya berijtihad bagi Nabi saw untuk menunda penyampaian risalah. Perintah untuk menyampaikan risalah dari Allah dalam ayat ini ini adalah bentuk peringatan bagi rasul saw untuk menyampaikannya dan saat itu adalah momen yang tepat yakni pada peristiwa Ghadîr Khum. Ijtihad yang dilakukan oleh Nabi saw. dalam menunda penyampaian dikarenakan beliau mempunyai firasat yang sangat buruk. Bukan khawatir karena faktor ancaman dari Ahli Kitab, Yahudi atau Nasrani, akan tetapi dari tubuh umat Islam sendiri. Oleh karena itu Nabi saw. tidak ada alternatif lain 47 48
Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur‟ân, juz 3, h. 43 Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur‟ân, juz 3, h. 48
83
untuk menyimpan atau menundanya. Menurut Tabataba‟i dengan dasar ini, masalah itu menjelaskan kepada manusia, mengisyaratkan bahwa Nabi saw. benar dalam firasatnya tentang mereka dan kekhwatirannya terhadap mereka, dan mengisyaratkan bahwa ia harus menjelaskan melalui lisan dan keterangannya.49 Demikianlah nampak jelas perbedaan antara Rasyid Ridâ dan Tabataba‟i dalam menafsirkan perintah tablîgh (menyampaikan) risalah dan ancaman kepada Rasulullah saw apabila tidak menyampaikannya. D. ‘Ishmah Nabi saw Setelah mengungkapakan perbedaan yang sangat luas antara Rasyîd Ridâ dan Tabataba‟i dalam pembahasan sebelumnya, maka kemudian berlanjut dalam penafsiran mereka tentang „Ishmah dalam kalimat “ ”وَانهَ ُه يَ ْعصِ ًُكَ ِيٍَ انَُاس dan Kâfir dalam kalimat “ ٍَ” ِإٌَ انهَهَ نَا َي ْهدِي انْ َقىْوَ انْكَافِّرِي. Nampak penafsiran dan penjelasan sebelumnya membuat penafsiran kedua kalimat ini sebagai pendukung dengan argumen sebelumnya. Rasyîd Ridâ dalam menjelaskan “ ” وَانهَ ُه يَ ْعصِ ًُكَ ِيٍَ انَُاسmencantumkan sebuah riwayat dari mufasir al-ma‟tsûr, Tirmidzi, Abu Syaikh, al-Hakim, Abu Na‟im, alBaihaqi dan Thabrani dari beberapa para sahabat bahwa “Rasulullah saw dijaga di Mekkah sebelum turun ayat ini, dan ketika turun ayat ini Rasulullah tidak dijaga lagi, dan Abû Tâlib adalah orang yang pertama memperhatikan untuk menjaga Nabi saw demikian juga Abbas.
49
Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur‟ân, juz 3, h. 49
84
Diriwayatkan pula dari Jabir dan Ibn Abbâs bahwasanya Nabi saw dijaga dan pamannya Abû Talib selalu mengutus seorang lelaki dari bani Hasyim untuk menjaganya, sampai turun ayat ini, dan Nabi saw berkata “wahai pamanku, sesungguhnya Allah telah menjagaku dan tidak usah kau mengutus seseorang (untuk menjagaku)”.50 Sehingga kemudian makna “ ” يَ ْعصِ ًُكَ ِيٍَ انَُاس adalah “Allah menjagamu dari penyerangan mereka, dan maksud dari “” انَُاس di sini adalah orang-orang kafir.51 Penafsiran Rasyîd Ridâ ini sekali lagi mempertegas bahwa sebab turunnya ayat ini adalah untuk Ahli Kitab, sehingga jaminan dari Allah adalah “penjagaan” dari Ahli Kitab yang ingin mengintimidasi Nabi saw berupa perkataan maupun tindakan, yang dapat mengganggu proses dakwah Nabi saw. Karena itu Rasyîd Ridâ penafsirannya tentang “ ” انَُاسadalah orangorang “kafir”, sehingga beliau pun menafsirkan kalimat “
َِإٌَ انهَهَ نَا َي ْهدِي انْ َقىْو
ٍ َ ” انْكَافِّرِيmempunyai keterkaitan dengan penjelasan “ ” انَُاسyaitu kalimat tersebut adalah sebuah penegasan tentang „Ishmah Nabi saw. Dengan pengertian bahwa Allah swt tidak memberi petunjuk kepada mereka yang menggangu Nabi saw dalam menyampaikan risalah, mereka itu adalah orangoarang kafir, dengan begitu kalimat-kalimat Allah tegak dan sempurna maka nabi saw. pun bisa menyelasikan misi agamanya dengan sempurna.52
50
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr, jilid 6, h. 471 51 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr, jilid 6, h. 471 52 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr, jilid 6, h. 471-472
85
Apabila yang dimaksudkan Rasyîd Ridâ adalah bentuk penjagaan dari Allah dari gangguan orang-orang kafir, maka Tabataba‟i jelas berbeda sebagaimana penafsiran kalimat-kalimat sebelumnya dalam ayat ini. Tabataba‟i berpendapat bahwa secara lahiriah ayat ini merupakan „Ishmah dalam pengertian memelihara dan menjaga dari kejahatan manusia yang diarahkan kepada jiwa Nabi saw, tujuan-tujuanya yang islami, keberhasilan penyampaian, keberuntugan usaha dan makana-makna lain sesuai dengan kesuciannya.53 Pendapat Tabataba‟i ini menguatkan apa yang sudah dijelaskannya tentang perintah penyampaian risalah, bentuk kekhwatiran Nabi saw adalah bukan dari Ahlu Kitab ataupun kafir. Akan tetapi dalam batang tubuh umat Islam sendiri. Oleh karena itu menghubungkan „Ishmah dengan manusia “ِالّنَاس ” disni menurutnya bukanlah pemeliharaan seperti penganiayaan fisik atau membunuh dan meracuni, akan tetapi pemeliharaan dari kejahatan manusia yang memutarbalikan perkara kepada Nabi saw, yang hal ini dapat meruntuhkan kejayaan ilmu-ilmu agama. Lebih tepatnya kata “ ِ ” انَُاسdalam ayat ini menurutnya adalah gambaran sikap pribadi negatif dari orang-orang beriman, munafik dan hatinya berpenyakit.54 Dan pendapat Tabataba‟i tentang makna “kafir” yang dimaksud dalam ayat ini adalah mereka sekelompok manusia yang sifatnya telah disebutkan yaitu sikap pribadi negatif dari orang-orang beriman, munafik dan hatinya berpenyakit. Sehingga maksud dari “ ٍَ ” ِإٌَ انهَهَ نَا َي ْهدِي انْ َقىْوَ انْكَافِّرِيadalah Allah tidak memberi petunjuk/hidayah kepada mereka dalam siasat dan tipu daya dan 53 54
Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur‟ân, juz 3, h. 51 Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur‟ân, juz 3, h. 51
86
Dia memelihara Nabi saw. dari sebab-sebab yang berlaku yaitu sikap-sikap negatif yang akan mereka lakukan.55 Dalam
perbedaan
Rasyîd
Ridâ
dan
Tabataba‟i
tersebut
ada
persamaannya, yaitu keduanya tidak memahami „Ishmah di sini sebagai bentuk pemeliharaan atau keterjagaan dari Allah dengan sesuatu yang khusus bagi Nabi saw. yaitu kesucian jiwa. Akan tetapi Allah menjaga dan memelihara dari bentuk gangguan orang-orang kafir – ataupun yang tergolong sifat orang-orang kafir (menurut Tabataba‟i) – dalam menyampaikan risalah. Demikianalah dari keseluruhan analisa komparatif penafsiran antara Rasyîd Ridâ dan Tabataba‟i. Banyak perbedaan mendasar dari keduanya. Terutama dalam masalah sebab turun surat al-Mâidah ini, sehinnga menimbulkan perbedaan dalam penafsiran kandungan ayat tersebut.
55
Muhammad Husein al-Tabataba‟i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur‟ân, juz 3, h. 52
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Setelah penulis membuat analisa dan menguraikan pembahasan dari bab ke bab, mengenai penafsiran surat al-Mâidah ayat 67 menurut Rasyîd Ridâ dalam tafsirnya al-Manâr dan Tabataba’i dalam al-Mîzân, maka penulis menilai terdapat perbedaan yang signifakan dalam menafsirkan ayat tersebut. Penulis menilai apa yang ditafsirkan oleh keduanya berlandaskan kepada background keyakinan mazhabnya masing-masing. Rasyîd Ridâ yang bermazhab Ahlu Sunnah mencoba mempertahankan argumennya, begitu pula dengan Tabataba’i yang bermazhabkan Syiah Itsna ‘Asyariyah, dan sengaja penulis memilih kedua mufassir tersebut berdasarkan mazhab keduanya yang berbeda. Sehingga menghasilkan perbedaan ataupun persamaan yang mungkin didapat dalam memahami ayat tersebut. Dalam penafsiran ayat ini, ada banyak perbedaan yang didapat oleh kedua mufassir tersebut. menurut analisa penulis, pangkal penyebab perbedaan keseluruhan dalam memahami ayat tersebut adalah tentang sebab turunnya ayat. Kedua muafassir banyak mengutip dan menggunakan riwayat tentang sebab turunnya ayat ini, yang kemudian diikuti oleh argumen pemikirannya. Rasyîd Ridâ menyatakan bahwa ayat ini turun untuk awal kenabian. Sedangakan Tabataba’i menyatakan ayat ini turun setelah Nabi saw,
87
88
melaksanakan haji wadâ di suatu tempat yang disebut Ghadîr Khum dan ayat ini untuk ‘Ali bin Abî Tâlib. Perbedaan mengenai sebab turun ayat ini berimbas kepada perbedaan penafisran tentang perintah Tablîgh Risâlah dan makna ‘Ishmah Nabi saw dalam ayat tersebut. Keterkaitan peristiwa Ghadîr Khum dan Wilâyah ‘Ali bin Abî Tâlib dalam penafsiran ayat ini juga berawal dari perbedaan sebab turun ayat, Rasyîd Ridâ secara khusus membahasnya bertujuan mempertegas penolakan terhadap pendapat mazhab Syi’ah yang mendukung sebab turun ayat ini dalam peristiwa Ghadîr Khum dan untuk ‘Ali bin Abî Tâlib. Sebenarnya yang disayangkan oleh penulis adalah banyak riwayat yang berbeda mengenai sabab turunnya ayat tersebut. Dalam kitab al-Durr alMantsûr karya karya Jalâluddin al-Suyûti, beliau menyebutkan beberapa riwayat tentang sabab turun ayat ini. Jalâluddin al-Suyûti seolah mengakui bahwa memang banyak perbedaan dalam sabab turunnya ayat ini berdasarkan berbagai periwayatannya, dalam kitabnya tersebut beliau mengutip dari namanama besar dan masyhûr seperti Ibnu Abî Hâtim, al-Turmudzî, al-Baihaqî, Ibnu Mardawaih, ‘Abd bin Humaid, al-Tabrânî, Abû Nua’im, Ibnu Jarîr Ahmad bin Ja’dah dan lain-lain.1 Adapun tentang hadis Ghadîr Khum dan tentang makna wali yang dibahas dalam kedua tafsir tersebut, penulis menilai bahwa hadis tersebut shahih dan mutawâtir secara sanad dan matannya mengikuti apa yang sudah dilakukan penelitiannya oleh HM. Attamimy dalam tesisnya yang kemudian 1
Lihat Jalâluddin al-Suyûti, al-Durr al-Mantsûr fî Tafsîr al-Ma’tsûr, (Dar al-Kutub Ilmiyyah, Beirut, 1990), jilid 2, hal, 528-530
89
dijadikan sebuah buku.2 Akan tetapi memang terjadi perbedaan dalam pemaknaan wali dalam hadis tersebut. Menarik dalam menganalisa kedua penafsiran ini adalah penggunaan argumen rasioanal dan filosofi dalam memahami ayat. Argumen rasional dan filosofi keduanya lah yang membuat perbedaan dalam riwayat sebab turunnya dan kandungan ayat ini menjadi melebar luas akan tetapi jelas. B. Saran-saran 1. Dalam al-Qur‟ an mengandung 114 surat. Maka, jangan hanya terfokus pada satu surat saja. 2. Dalam Al-Qur‟ ân terdapat banyak ayat-ayat mengenai persoalan agama dan kisah. Tujuan utama dari kisah yang terdapat di dalamnya adalah agar manusia dapat mengambil pelajaran, karena kisah-kisah tersebut sarat dengan petunjuk. 3. Kepada peneliti yang tertarik untuk membahas tentang ayat ini, agar bisa membahas lebih lengkap dan dalam lagi, karena dalam penelitian ini masih banyak kekurangan dan kelemahan. 4. Perbedaan muncul disebabkan oleh perbedaan interpretasi teks yang seharusnya disikapi penuh toleransi. Oleh karena itu bagi yang mempunyai sudut pandang lain dalam penelitian ini, dianjurkan untuk melakukan penelitian yang sama dengan mengemukakan argumentasi secara akademik.
2
Lihat HM. Attamimy, Ghadîr Khum: Suksesi pasca wafatnya Nabi saw., (Yogyakarta: Aynat Publishing, 2010)
90
5. Penelitian terhadap tokoh Rasyîd Ridâ dan Tabataba’i sudah banyak dilakukan, namun masih banyak ruang untuk dikaji dan diteliti. Oleh karena itu, peneliti sarankan supaya pengkaji tafsir al-Qur‟ ân semakin mengembangkan kajiannya untuk menambah khasanah keilmuan Islam dan menjadikan al-Qur‟ ân semakin praktis dan mudah dipahami bagi para pembacanya. 6. Penulis berharap ada yang meneliti tentang sebab turunnya ayat ini berdasarkan kajian riwayat mengacu pada ‘ulum al-Hadis. karena dengan itu bisa diketahui dengan jelas riwayat yang shahih, bukan sekedar kutipan dalam kitab-kitab tafsir ataupun sejarah.
DAFTAR PUSTAKA
A. Athaillah, Rasyid Ridha: Konsep Teologi dalam Tafsir Al-Manar, Jakarta: Erlangga, 2006 al-Baihaqi, Abu Bakr Ahmad bin al Husain bin Ali, Sunan Al-Kubra lil-Baihaqi, Beirut: Dar el-Fikr, 1996 Abidin, Ali Zainal Abidin, Identitas Mazhab Syiah, Jakarta: Ilya, 2004 al-Dzahabi, Muhammad Husein, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Kairo: Dar al-Kutub al-haditsah, Jilid III, 1968 al-Suyûti, Jalâluddin, al-Durr al-Mantsûr fî Tafsîr al-Ma’tsûr, Beirut: Dar alKutub Ilmiyyah, Juz II, 1990 Digital Islamic Library Project, Ensyclopedia of Shia, diterjemahkan oleh Rofiq Suhud dkk dengan judul Antologi Islam, Jakarta: Al-Huda, cet ke II, 2005 Haykal, Muhammad, Hayât Muhammad, diterjemahkan oleh Ali Audah dengan judul Sejarah Hidup Muhammad Jakarta: Pustaka Jaya, 1979 HM. Attamimy, Ghadîr Khum: Suksesi pasca wafatnya Nabi saw., Yogyakarta: Aynat Publishing, 2010 Ismail, Nurjannah, Perempuan dalam Pasungan, Yogyakarta: LKIS, 2003 Iyazi, Muhammad Ali, al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum, Teheran: Wazarah al-Tsaqofah wa al-Irsyad al-Islam Mufradi, Ali, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos, 1997 Muhaimin, Pembaharuan Islam Refleksi Pemikiran Rasyid Ridha dan Tokohtokoh Muhamadiyah, Cirebon: Pustaka Dinamika, 2000 Ridho, Muhammad Rasyid, Tafsir al-Qur’an al-Hakim al-Syahiir bi Tafsir alManar, Beirut: Dar al-Ma’rifah, Ridwan, Kufrawi (ed), Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet. ke III, 1994 al- Syak’ah, Mustofa, Al-Islam bi la Mazahib, diterjemahkan oleh A. M. Basalamah dengan judul Islam Tidak Bermazhab, Jakarta: Gema Insani Press, 1994
91
92
Shadr, Muhammad Baqir, Kemelut Kepemimpinan Setelah Rasul, Jakarta: AsSajjad, 1990 Shihab, M. Quraish, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?, Jakarta: Lentera Hati, 2007 ________________, Tafsir Al-Misbah “Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol. 3, Jakarta: Lentera Hati, 2007 ________________, Rasionalitas Al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar Jakarta: Lentera Hati, cet II, 2007 Siradj, Said Aqil, Ahlussunnah Wal Jamaah: Sebuah Kritik Historis, Jakarta: Pustaka Cendekia Muda, 2008 Syariati, Ali, Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi, Jakarta: Mizan, 1995 Al-Thabathaba’i, Muhammad Husain, Al-Mizan Fi Tafsir Al-Qur’an, Teheran: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1392 H ________________, Tafsir Al-Mizan; Mengupas Ayat-ayat Kepemimpinan, pen. Syamsuri Rifa’i, Jakarta: CV. Firdaus, 1991 ________________, Tafsir al-Mizan; Mengupas Surat Al-Fatihah, pen. Syamsuri Rifa’i, Jakarta: CV. Firdaus, 1991 ________________, Inilah Islam; Upaya Memahami Seluruh Konsep Islam Secara Mudah, Bandung: Pustaka Hidayah, 1996
Lampiran
KLASIFIKASI RIWAYAT SEBAB TURUN SURAT AL-MÂIDAH AYAT 67
No
1.
Riwayat
Rasyîd Rida (Tafsir al-Manâr) Disebutkan Alasan
Rasyîd Ridâ dalam penjelasannya lebih sependapat dengan yang mengatakan bahwa ayat ini turun pada permulaan Islam yaitu untuk Ahli Kitab sebagaimana pendapat ulama tafsir al-Ma’tsûr. Beliau menyatakan bahwa apabila ayat ini tidak menyangkut masalah Ahli Kitab maka tidak sesuai dengan ayat setelahnya, yaitu dengan pengertian bahwa Allah berkata: “Sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu tentang perkara Ahli Kitab dan jika kamu bertanya apa yang harus disampaikan maka jawablah “Katakanlah: "Hai ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran93
Tabatabâ’i (Tafsir al-Mizân) Disebutkan Alasan
Tabataba’i menyebutkan riwayat ini, tetapi beliau menolaknya karena menurutnya ayat ini tidak berkaitan dengan kisah tersebut. Beliau hanya membahas apa yang disebutkan oleh Rasyid Rida dalam tafsirnya.
94
ajaran Taurat, Injil, dan al-Qur’an yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu"... .”
. 2.
3.
-
Rasyid rida mendukung argumennya dengan menyebutkan apa yang sudah disampaikan oleh para ahli tafsir yang mengutip riwayat secara turunmenurun.
Tabataba’i menolak riwayat ini dengan alasan riwayat ini turun dipertengahan waktu Nabi Saw tinggal di Makkah, maka hal ini tidak relevan dengan makna ayat ini.
Salah satu riwayat yang digunakan Tabataba’i sebagai dalil kuat tentang sebab turun ayat ini, dan juga diriwayatkan
95
4.
5.
-
-
juga dalam kitab Nuzul al-Qur’an oleh al-Hafizh Abu Naim bersanad pada Ali bin Amir dari Abu al-hajjaf dari al-A’masy dari Athiyah. Tabataba’i menolak riwayat ini karena tidak relevan dengan ayat.
Menurut Tabataba’i riwayat ini tertolak, riwayat ini di Makkah padahal secara lahiriah ayat ini
96
turun di Madinah.