Museum Sangkar untuk Bapak: Catatan Ringkas tentang Kumpulan Cerita ‘Penjagal Itu Telah Mati’ (Bagian I)
“30 September” karya Dadang Christanto. SUMBER: PATABABLORA.BLOGSPOT.COM “…dia membuat sangkar burung sembari rengeng-rengeng sebagai salah satu cara berkonsentrasi, memusatkan pikiran dan perasaan, semacam semadi…dia tenggelam dalam permenungan: tentang burung, tentang sangkar, tentang hidup, tentang kematian….” (“Penembang Malam”, dalam Penjagal Itu Telah Mati, hal. 70) Pembukaan: Catatan Memalukan Pembaca dan Kritikus Sastra Indonesia
Di tengah arus besar cemooh dari kalangan pembaca, pesastra, maupun kritikusnya sendiri terhadap buruknya karya-karya sastra Indonesia (terutama fiksi) yang diterbitkan akhir-akhir ini, saya bersyukur masih bisa menemukan karya sastra yang memenuhi dua hal: indah dan bermanfaat. Parameter sebuah fiksi disebut sastra kalau memenuhi unsur keindahan dan kemanfaatan merupakan parameter klasik yang ditetapkan oleh filsuf Yunani, Aristoteles, dalam Poetica. Saya memakai parameter klasik ini untuk merujuk pada karya-karya sastra yang tak hanya dinikmati sebagai sebuah cerita atau efek puitiknya atau unsur-unsur dramatiknya, tetapi juga memiliki implikasi terhadap cara pandang kita atas berbagai aspek dalam kehidupan ini hingga pada rekayasa sosial yang mesti dilakukan oleh negara dalam menciptakan tata kehidupan yang bermartabat. Beberapa tahun sebelumnya saya menemukan bacaan prosa bermutu lewat novel Ulid Tak Ingin ke Malaysia (2009) karya Mahfud Ikhwan. Novel yang secara jenial menggambarkan perubahan sosial di sebuah perdesaan Jawa dan tunggang-langgangnya kehidupan para penghuni desa akibat perubahan sosial itu—meski dicetak dengan buruk oleh penerbit pertamanya dan tak berhasil menarik perhatian sebagian besar pembaca dan kritikus sastra yang lebih terpukau pada sastra perkotaan atau yang nyaman dalam budaya penahbisan—memberi secercah harapan bagi diri saya sendiri bahwa sastra Indonesia (terutama prosanya) tak dekaden-dekaden amat. Dua tahun setelah terbitnya novel Ulid Tak Ingin ke Malaysia, seorang reporter berpengalaman dari Semarang, Gunawan Budi Susanto, menerbitkan sekumpulan cerita pendek berjudul Nyanyian Penggali Kubur (2011). Kumpulan cerita pendek yang bagi saya justru layak disebut sebagai solilokui Sang Pengarang ini juga tak dilirik oleh sebagian besar pembaca dan kritikus kita, meskipun cerita-cerita yang terkumpul dalam Nyanyian Penggali Kubur itu secara jenial menggambarkan pencarian hingga penemuan “tebing-tebing dan luweng kebenaran” yang meletihkan mental si tokoh akupencerita. Pencarian dan penemuan tebing serta luweng kebenaran itu, dalam keyakinan aku-pencerita, bisa membuatnya
menerima masa lalunya yang kelam dan membuatnya memiliki pijakan yang kuat dalam menghadapi ketidakpastian masa kini dan masa nanti. Begitulah, dalam sebuah perjalanan ke Semarang yang tak diniatkan untuk membicarakan karya sastra, secara kebetulan saya bertemu dengan “buruan” saya berikutnya. Gunawan Budi Susanto memberikan tandamata berupa buku kumpulan cerita karangannya sendiri yang berjudul Penjagal Itu Telah Mati terbitan Pataba Press (Juli 2015). Buku itu diberikan kepada saya setelah mengisi sebuah diskusi terbatas tentang Gerakan Literasi Indonesia dan Media Kooperasi Literasi.co di kedai kopi yang dikelolanya. Sebelum membaca cerita-cerita karangannya, saya sudah terlebih dulu membaca esai-esai penulis di koran kampus Universitas Diponegoro ketika ia masih berstatus mahasiswa Sastra Indonesia—yang kemudian dibukukan dengan judul Kesaksian Kluprut (1996), esai-esainya di rubrik Sang Pamomong Suara Merdeka setelah ia menjadi wartawan di koran terbesar di Jawa Tengah tersebut, dan tulisan-tulisan yang ia pasang di ruang catatan Facebook. Maka, sepanjang perjalanan dari Semarang ke kota kelahiran saya di Pemalang, saya membaca Penjagal Itu Telah Mati,menyegarkan kembali ingatan saya tentang biografi Gunawan Budi Susanto dan karakter esai maupun ceritanya, memasuki dunia cerita yang ia bangun, dan melakukan pembandingan dengan kontekstualisasi dalam kehidupan sosio-kultural Indonesia. Sepanjang mengamati model penulisan kumpulan cerita ini, ingatan saya melenting pada A Moveable Feast-nya Ernest Hemingway, Dubliners-nya James Joyce, dan TheJoy Luck Club-nya Amy Tan, tiga kumpulan cerita yang lebih layak disebut novel daripada sekumpulan cerita pendek. Keempat jenis kumpulan cerita tersebut, meski memiliki kemiripan penyusunan, namun sangat berbeda isinya. Lewat kumpulan cerita Penjagal Itu Telah Mati, yang bisa pula dipandang sebagai novel, saya menemukan penegasan-penegasan atas apa yang selama ini saya rasa hanya menjadi pandangan pribadi saya.
Burung yang Lepas dari Sangkar Bahasa Orde Baru Sejak Pramoedya Ananta Toer, lewat karya-karyanya, mengukuhkan diri dan dikukuhkan oleh publik sastra sebagai salah seorang sastrawan realis terbesar Indonesia, kita nyaris tak pernah menemukan karya-karya sastra realis yang mampu melakukan dramatisasi peristiwa dan kehidupan tokoh-tokoh cerita sebagaimana dilakukan Pramoedya. Pramoedya—yang oleh adiknya sendiri, Soesilo Toer, disebut sebagai pengarang kontroversial individualis dan pembela realisme sosial—adalah salah seorang pengarang yang sejak awal berkeyakinan bahwa karya sastra harus memiliki sumbangsih bagi pembangunan karakter manusia dan karakter kebangsaan Indonesia. Dengan demikian, karyakarya Pramoedya tidak hanya berwatak politis, tetapi juga mengandung elan transformatif bagi pembacanya. Dunia rekaan Pramoedya adalah dunia Manichean, yang secara jelas membedakan benar dan salah, siapa harus melakukan apa, dan bentuk kehidupan apa yang diidealisasikan dalam dunia nyata setelah berkaca dari dunia fiksi. Kerinduan publik pembaca pada karya-karya sastra Indonesia yang memiliki daya cekam di benak pembaca hampir menjadi sebuah ilusi yang terus-menerus hadir dari satu perbincangan sastra ke perbincangan sastra berikutnya. Sialnya, rezim politik otoriter-birokratik-militeristik Orde Baru telah secara sistematis melakukan depolitisasi dan deideologisasi sampai ke ranah bahasa dan karya sastra. Keberhasilan Pramoedya dalam menuliskan tetralogi Pulau Buru, Arok Dedes, Arus Balik, dan karya-karya lain yang diterbitkan saat Orde Baru masih tegak berkuasa hanya mungkin terjadi karena penulis kontroversial ini menuliskan karya-karya besarnya di pengasingannya di Pulau Buru. Ahmad Tohari, yang di era kekuasaan Orde Baru menuliskan Ronggeng Dukuh Paruk, harus berurusan dengan pihak kepolisian dan militer hanya karena novelnya berlatar tragedi 1965. Namun, setidaknya saya tak mendapatkan keterpengaruhan gaya dan cara ungkap Pramoedya dalam diri Tohari lewat karya Ronggeng Dukuh Paruk. Lebih
jauh, ia tak berusaha melakukan subversi prosedur penulisan cerita hingga ke struktur dan penggunaan kosakatanya sebagai bentuk perlawanan terhadap rezimentasi bahasa yang dilakukan oleh Orde Baru dalam karya-karyanya. Keterpukauan pertama saya atas Penjagal Itu Telah Mati adalah karena saya menemukan kembali citarasa karya-karya Pramoedya dalam cerita-cerita yang ditulis Gunawan Budi Susanto. Pandangan ini semula hanya muncul dalam diri saya akibat pandangan begitu dalamnya penghayatan Gunawan Budi Susanto pada karya-karya Pramoedya, di samping kedekatan dirinya dengan keluarga dan beberapa hal yang akrab dalam diri Pramoedya. Prosedur tuturan, deskripsi, dan percakapanpercakapan tokoh-tokoh dalam ceritanya, dramatisasi kehidupan tokoh-tokohnya yang dipermainkan oleh badai tragedi 1965, dan kekukuhan yang mendekati sikap keras kepala beberapa tokohnya merupakan bentuk pengolahan secara kreatif atas gaya yang dituangkan Pramoedya dalam ceriita-cerita yang dianggitnya. Pramoedya sendiri mendapatkan gaya berceritanya yang memukau itu dari Idrus, sebelum dimatangkan di level deskripsi oleh karya-karya John Steinbeck, penggambaran latar sosial oleh Leo Tolstoy, dan menemukan kekuatan berceritanya dengan mengambil inspirasi dari cara seorang dalang dalam memainkan lakon pertunjukan. Namun,yang membedakan cerita-cerita Gunawan Budi Susanto dengan karya-karya Pramoedya adalah pada “sikap politik” (political stance) dari tokoh-tokoh korban dalam ceritanya. Dalam cerita-cerita Pramoedya, sebagian besar tokoh-tokohnya akan meradang dan menerjang melawan kekuasaan di luar dirinya yang otoriter atau kejam, meski kalah sekalipun. Sementara itu, tokoh-tokoh dalam cerita Gunawan Budi Susanto mengalami proses rekonsiliasi dengan takdir yang lebih banyak digerakkan bukan oleh Tuhan, melainkan oleh tangan-tangan kekuasaan negara yang kekejamannya tak pernah terbayangkan oleh manusia yang meyakini adanya batas tertentu cobaan Tuhan. Persis di sinilah, Gunawan Budi Susanto memisahkan diri secara tegas
dengan maestro yang sangat memengaruhi proses perjalanannya menjadi seorang penulis cerita. Dalam cerita “Penjagal Itu Telah Mati”,misalnya, setelah mengisahkan keganasan seorang penjagal korban 1965, sang tokoh saya dalam cerita itu mengambil sikap sebagai berikut: “Suatu hari saya dengar dia meninggal. Saya merasa plong, Gus. Sesuatu yang selama ini mengganjal dalam pikiran—ketakutan sewaktu-waktu kembali diciduk jika dia masih hidup—melenyap…. Kini saya berharap bisa lebih tenteram momong cucu. Itulah keinginan saya, Gus. Cuma itu.” (“Penjagal Itu Telah Mati”, hal. 11) Dalam cerita berjudul “Jembatan Merah”, keputusan untuk melakukan rekonsiliasi dengan masa lalu yang traumatis ini kembali muncul, ketika sang tokoh wartawan yang keluarganya juga menjadi korban tragedi 1965 menelusuri jejak-jejak korban tragedi 1965 itu di sebuah jembatan yang dulunya menjadi tempat penjagalan orang-orang yang dituduh terlibat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Setelah mewawancarai seorang kepala dusun renta yang menjadi saksi sejarah, memotret jembatan itu dari berbagai sisi pada malam hari, dan mengamati hasil potretannya yang agak ganjil, sang wartawan menyikapi dengan santai kemunculan siluet bayangan di atas jembatan yang diyakini oleh penduduk sekitar sebagai roh penasaran dari orang-orang yang dijagal di jembatan itu. “Halah, boleh jadi mataku capek. Tidur adalah obat mujarab, sehingga esok pagi bisa bangun dengan tubuh dan pikiran segar. Dan, mata pun tak gampang terkecoh lantaran kecapekan.” (“Jembatan Merah”, hal. 91) Keputusan politik tokoh-tokoh dalam cerita Gunawan Budi Susanto ini juga muncul dalam cerita “Akhirnya Om Bandrio Pun Bicara”, “Luka Itu Terperam Dalam-Dalam”, “Calon Mertuaku Ingin Menjadi Burung”, hingga “Percakapan Kakek dan Cucu Terkasih”. Gunawan Budi Susanto tampaknya sadar betul bahwa perlawanan tanpa akhir untuk tak berterima dengan masa lalu
hanya akan melahirkan tindakan-tindakan yang menghancurkan diri sendiri. Persis di titik inilah Soesilo Toer melihat visi pembebasan penderitaan manusia seperti yang diajarkan kaum Buddhis bisa dipakai sebagai kacamata untuk memahami ceritacerita Gunawan Budi Susanto, termasuk dalam melakukan pembandingan dengan karya-karya Pramoedya. Perlawanan terhadap rezim politik otoriter-birokratikmiliteristik Orde Baru yang telah secara sistematis melakukan depolitisasi dan deideologisasi sampai ke ranah bahasa dan karya sastra lewat pemberlakuan Ejaan Yang Disempurnakan juga dilakukan Gunawan Budi Susanto lewat cerita-cerita yang ia hadirkan dalam Penjagal Itu Telah Mati. Lewat proses metamorfosis keterpelajarannya, misalnya, ia memahami bahwa keputusan rezim politik Orde Baru untuk mengganti Ejaan Suwandi dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) adalah usaha keji para penguasa Orde Baru dan kaki-tangannya di institusi pendidikan dan kebudayaan untuk memutus memori kolektif masyarakat dengan masa sebelumnya. Generasi manusia Indonesia yang dilahirkan atau dibesarkan di era Orde Baru dan sesudahnya akan mengalami kesulitan untuk membaca buku-buku dan berbagai dokumen yang ada di masa sebelum kekuasaan Orde Baru. Generasi inilah yang mengalami kegagapan ketika membaca ‘dj’ sebagai ‘j’,‘oe’ sebagai ‘u’,‘j’ sebagai ‘y’, dan ‘tj’ sebagai ‘c’ dari buku-buku atau dokumen di masa sebelum berkuasanya kekuasaan tiran Orde Baru. Dalam cerita “Tamu dari Masa Lalu”, Gunawan Budi Susanto berkisah tentang tokoh aku yang didatangi tamu dari masa lalu. Lelaki renta berpakaian putih dan bersepatu necis ini datang pada dini hari dengan memperkenalkan dirinya sebagai Hendrawan Soekotjo. Penulisan ‘oe’dan ‘tj’ pada nama ‘Soekotjo’ ini adalah penanda yang membedakan orang dari masa lalu dengan orang dari masa kini. Tentu saja pembedaannya tidak sekadar dari penulisan nama, karena dalam cerita ini tokoh Hendrawan Soekotjo menjelaskan bahwa dirinya adalah sahabat bapak tokoh aku yang tak diketahui dimana rimba dan kuburannya, meski
puluhan tahun telah berusaha ditelisik oleh keluarga dan sahabat korban. Kedatangannya jauh-jauh dari Cepu hingga ke Semarang dengan berjalan kaki adalah demi menyampaikan pesan yang dititipkan untuk tokoh aku. Kehadiran tokoh Hendrawan Soekotjo dengan ‘oe’ dan ‘tj’ itu secara simbolik menjadi ikhtiar literer yang dilakukan oleh Gunawan Budi Susanto untuk menyambungkan memori kolektif generasi sesudahnya dengan generasi di masa sekarang. Perlawanan terhadap rezimentasi bahasa Orde Baru yang masih berlaku hingga sekarang ini juga dilakukan Gunawan Budi Susanto dengan memasukkan berbagai kosakata yang menjadi kekayaan kulturalnya sebagai orang Jawa dalam cerita-cerita yang dianggitnya. Tidaklah mengherankan kalau dalam ceritacerita di buku Penjagal Itu Telah Mati, pengarang kelahiran Bojonegoro ini memasukkan kosakata seperti ‘mendremimilkan’, ‘menjublak’, ‘bersipongang’, ‘dibon’, ‘bergedabikan’,
‘telengas’, ‘merepet’,
‘menjela-jela’, ‘terjelepak’,
‘membandangkan’, ‘rengeng-rengeng’, dan berbagai kosakata lainnya. Kosakata ini memang diambil dari ranah kultur Jawa, namun oleh Gunawan Budi Susanto kemudian diekstrapolasikan dalam ruang sejarah yang kelam, dalam balutan psikologi korban yang mengalami kekerasan fisik, struktural, dan kultural selama era kekuasaan Orde Baru hingga era reformasi sekarang ini. Dengan cara demikian, Gunawan Budi Susanto melakukan dua hal secara bersamaan. Pertama, ia memenuhi tanggungjawab moral dan literer sebagai seorang penulis yang tugasnya adalah memperkaya sekaligus merevitalisasi Bahasa Indonesia yang menjadi instrumen dalam mengartikulasikan ide dan pikiranpikirannya—sebuah tanggungjawab yang juga dilakukan oleh penulis seperti Pramoedya, AA Navis, Idrus, dan Rendra. Kedua, karena ia telah mengekstrapolasikan kosakata itu dari ruang yang semula tidak politis ke ruang politis, maka kosakatakosakata itu mengalami perluasan atau pemadatan makna. Dengan melakukan perlawanan terhadap rezimentasi bahasa Orde Baru dan meletakkan kembali realisme yang di masa Orde Baru
dibuat tidak bertendens menjadi bertendens kembali, Gunawan Budi Susanto mencoba melepaskan diri dari sangkar bahasa Orde Baru. Dengan mengambil metafora yang berasal dari kisah “Penembang Malam” dan “Calon Mertua Ibuku Ingin Menjadi Burung”, Gunawan Budi Susanto laksana seekor burung yang berhasil keluar dari sangkar bahasa Orde Baru yang perlahan lapuk dan rusak di sana-sini oleh gempuran perubahan zaman. Tentu saja ia tak bisa lepas sepenuhnya dari sangkar bahasa itu mengingat panjangnya rentang waktu dan besaran pengaruh rezim bahasa Orde Baru itu disekeliling dirinya. Namun, kesadaran atas pemenjaraan dan pengerdilan pikiran dan imajinasi yang dilakukan oleh Orde Baru itulah yang membawanya pada keputusan apakah mau tetap nyaman di dalam sangkar itu atau tidak. Di titik ini, ia membedakan diri dari para penulis yang hidup nyaman dalam sangkar bahasa Orde Baru. Kalaupun tak hidup nyaman dalam sangkar bahasa itu, mereka tak mampu keluar dari sangkar. Seandainya punya atau terbuka lebar kesempatan keluar, mereka tidak mau keluar karena pengandaian berlebihan betapa berbahayanya bahasa di luar sangkar itu. Perilaku para penulis yang lahir dan dibesarkan dalam politik bahasa Orde Baru ini persis seperti tokoh calon mertua yang juga korban tragedi 1965 yang tak bisa lepas dari sangkar ingatan dan peristiwa masa lalu yang menjerat dan mengurungnya: “Sekarang pun aku acap merasa seperti burung. Namun burung yang terkurung, sendirian. Kalau pun ada keinginan terbang, kalau pun ada kesempatan terbang, aku tak bisa terbang. Sayapsayapku sudah patah, Nak. Dan aku terkurung di rumah ini, sendirian. Ya, rumah inilah sarangku. Sarang yang aman, nyaman, meski menjemukan.” (“Calon Mertuaku Ingin Menjadi Burung”, hal. 119 [Bersambung…]