PENGARUH UANG YANG BEREDAR (M2), KURS, INFLASI DAN TINGKAT IMBALAN SBIS TERHADAP BETA SAHAM SYARIAH (JAKARTA ISLAMIC INDEX) DAN INDEKS HARGA SAHAM GABUNGAN (IHSG)
Murtini, SE, M.Si, Ak Rini Hidayah, SE, M.Si, Ak Mardela Nurul Barotuttaqiyah,SE
ABSTRACT The purpose of this research is to know and to analyze the impact of revolving money (M2), exchange rate, inflation and SBIS return level on the beta of syariah stock and Jakarta composite index. The technique that is used to take samples is purposive sampling with criteria of companies that is constantly listed in JIC since 2009 – 2013. The analysis in this research is using secondary data that is classified in time series data and naturally quantitative. The analyzing tool that is used in this research is path analysis, which the analysis result is done after model filling the condition of normality test, outlier data, multiocolinierity and singularity. This research is using path analysis method, with using goodness fit test which is every single variable using 1% significance level. The result of the research shows that revolving money variable (M2), exchange rate and inflation have significant impact on SBIS return level. Revolving money variable (M2) and SBIS return level don’t have significant impact on beta of syariah stock (JII). Inflation variable and SBIS return level have significant impact on Jakarta composite index, while beta of syariah stock variable doesn’t have significant impact on Jakarta composite index. Key words : Jakarta composite index, beta of syariah stock, SBIS return level, revolving money, exchange rate, inflation. PENDAHULUAN Investasi dalam sudut pandang islam adalah pengorbanan sumber daya pada masa sekarang untuk mendapatkan hasil yang pasti, dengan harapan memperoleh hasil yang lebih besar dimasa yang akan datang, baik langsung maupun tidak langsung yang berdasarkan prinsipprinsip syari’ah. Return investasi dalam islam sesuai dengan besarnya
sumber daya yang dikorbankan (Muhammad Nafik, 2009). Direktur Utama CPAM Fajar R Hidayat (2014) menyatakan "Berinvestasi dalam portofolio yang berprinsip syariah mempunyai potensi kinerja yang relatif stabil, terutama pada periode pasar yang berfluktuasi”, Selain itu ia menambahkan “Bahwa produk investasi berbasis syariah juga dapat dijadikan tujuan diversifikasi
portofolio. Berdasarkan hasil survei Global Islamic Asset Management Report 2014, alasan utama investor global memilih reksadana syariah adalah diversifikasi portofolio. Secara historis, Fajar menambahkan bahwa dalam 10 tahun terakhir, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) tercatat mengalami sembilan kali penurunan cukup tajam diantaranya pada tahun 2008, 2011 dan 2013. Koreksi pasar terjadi sangat cepat sehingga membuat investor sering kali terlambat mengubah alokasi ke aset yang berisiko rendah. Resiko itu bisa dikurangi dengan berinvestasi pada kelas aset syariah yang terbukti pada periode-periode tersebut membukukan performa lebih baik dari konvensional," (www.skalanews.com). Muhammad Nafik (2009) menyebutkan umat Islam merupakan pasar potensial yang dapat mengembangkan investasi dalam sektor keuangan syari’ah. Khususnya di Pasar modal. Namun investasi syari’ah di Indonesia perkembangannya masih dibawah Malaysia yang penduduknya muslimnya sekitar 52%, bahkan investasi syariah berkembang sejajar dengan pasar investasi konvesional. Perkembangan pasar modal syariah di Indonesia meskipun masih di bawah Malaysia menunjukkan kemajuan yang signifikan seiring dengan meningkatnya indeks yang di tunjukkan dalam Jakarta Islamic Index (JII). Indeks pada JII mengalami peningkatan walaupun nilainya tidak sebesar pada indeks Harga saham Gabungan (IHSG) tetapi secara prosentase indeks JII lebih besar kenaikannya
dibandingkan dengan IHSG, hal ini dikarenakan konsep halal, dan berkah pada pasar modal syari’ah yang menggunakan prinsip, prosedur, asumsi, instrumentasi, dan aplikasi bersumber dari nilai epistemologi islam. Adrian Sutedi (2011) menyebutkan perbedaan mendasar antara pasar modal konvensional dengan pasar modal syari’ah dapat dilihat dari instrumen dan mekanisme transaksinya, sedangkan perbedaan nilai indeks saham syari’ah dengan nilai indeks saham konvensional terletak pada kriteria saham emiten yang harus memenuhi prinsip-prinsip dasar syari’ah. Secara konsep pasar modal syari’ah dan pasar modal konvensional tidak jauh berbeda meskipun dalam konsep pasar modal syari’ah disebutkan bahwa saham yang diperdagangkan harus berasal dari perusahaan yang bergerak dalam sektor yang memenuhi kriteria syari’ah dan terbebas dari unsur ribawi, serta transaksi saham dilakukan dengan menghindarkan berbagai praktik spekulasi. Ada dua aspek yang melekat dalam suatu investasi yaitu return yang diharapkan dan resiko tidak tercapainya return yang diharapkan. Return dan resiko secara teoritis pada berbagai sekuritas memiliki hubungan yang positif (Fitriawati, 2009). High Risk High return, Low risk low return, artinya semakin besar resiko semakin besar keuntungan yang di dapat dan semakin kecil resiko semakin kecil keuntungan yang di terima. Return dan resiko selalu berubah setiap saat. Dikarenakan oleh banyak faktor
yaitu faktor fundamental dan faktor ekonomi. Faktor fundamental merupakan faktor yang berasal dari dalam perusahaan , seperti pemogokan kerja, tuntutan pihak lain, kinerja perusahaan dan lain-lain. Sedangkan faktor ekonomi merupakan faktor yang berasal dari luar perusahaan, misalnya tingkat suku bunga SBI, tingkat inflasi, perubahan nilai kurs terhadap mata uang asing, perubahan Gross Domestic Product (GDP) dan lain-lain Halim (2003) menyatakan dalam konteks portofolio resiko sekuritas dibedakan menjadi dua yaitu resiko sistematik dan resiko tidak sistematik. Resiko sistematik adalah resiko yang tidak dapat dihilangkan dengan melakukan diversifikasi, karena fluktuasi resiko ini dipengaruhi oleh faktor-faktor makro yang dapat mempengaruhi kondisi pasar secara keseluruhan, seperti perubahan tingkat inflasi, kurs, suku bunga, uang yang beredar, kebijakan pemerintah dan sebagainya. Hal ini bersifat umum dan berlaku bagi semua saham dalam bursa saham yang bersangkutan. Resiko tidak sistematik adalah resiko yang dapat dihilangkan dengan melakukan diversifikasi, karena resiko ini hanya ada dalam suatu perusahaan atau industri tertentu. Karena itu investor perlu melakukan analisis tentang resiko saham yang akan dipilihnya. Untuk mengukur resiko digunakan koefisien beta saham . Beta saham adalah pengukur resiko sistematik dari suatu sekuritas atau portofolio relatif terhadap resiko pasar. Beta
menggambarkan volatilitas return suatu sekuritas terhadap return pasar. Mengetahui beta saham sekuritas merupakan hal penting untuk menganalisis sekuritas atau portofolio. Halim (2003) menyatakan bahwa beta suatu sekuritas menunjukan kepekaan tingkat keuntungan suatu sekuritas terhadap perubahan perubahan pasar. Beberapa variabel yang sering digunakan dalam melakukan analisis ekonomi makro adalah suku bunga SBI, tingkat inflasi, nilai tukar mata uang asing, jumlah uang beredar, dan lain- lain. Variabel variabel tersebut mempengaruhi resiko (beta) saham, sehingga seorang investor dapat mempertimbangkan keputusan dalam memilih alternatif investasi nya yang lebih menguntungkan dengan meminimalisir resiko . Di Indonesia penelitian mengenai pasar modal syariah sebelumnya telah dilakukan beberapa penelitian dengan obyek pasar modal syariah, tetapi penelitian mengenai beta saham syariah masih belum banyak dilakukan. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya diantaranya Mukharis Tohiri (2008) meneliti pengaruh rasio keungan terhadap beta saham. Adapun penelitian lain dengan variabel ekonomi makro dilakukan oleh Fidiana (2010), Fitriawati (2009), Nor Isnaini dan Nunung Ghoniyah (2013) serta Vina Rahmatika (2013). Hasil penelitian menunjukan bahwa variabel Kurs berpengaruh signifikan terhadap beta saham syariah menurut penelitian Robiatul Auliyah dan Ardi Hamza (2006), serta Nor Isnaini dan Nunung
Ghoniyah (2013) dan Vina Rahmatika (2013), hal ini berbeda pada penelitian Fitriawati (2009), Suhadi (2009) dan Khotimatul khusna (2009) yang memiliki hasil penelitian bahwa variabel kurs tidak berpengaruh signifikan terhadap beta saham syariah. Hasil penelitian dengan Variabel Inflasi menunjukan bahwa variabel inflasi berpengaruh signifikan terhadap beta saham syariah pada penelitian yang dilakukan oleh Fitriawati (2009), Nor Isnaini dan Nunung Ghoniyah (2013), Suhadi (2009) dan Vina Rahmatika (2013), Hal Ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Khotimatuk Khusna (2009), Fidiana (2010) dan Ming Chen (2014) yang menunjukan hasil variabel inflasi tidak berpengaruh signifikan terhadap beta saham syariah. Variabel suku bunga SBI dari ketiga penelitian yang dilakukan oleh Fitriawati (2009), Nor Isnaini dan Nunung Ghoniyah (2013), dan Khotimatul Khusna (2009) memiliki hasil yang sama yaitu berpengaruh signifikan terhadap beta saham syariah, dan variabel uang yang beredar (M2) dari dua penelitian yang dilakukan oleh fitriawati (2009) dan Ming chen (2014) memiliki hasil yang sama yaitu tidak berpengaruh signifikan terhadap beta saham syariah. Penelitian mengenai pengaruh variabel makro ekonomi terhadap IHSG juga banyak dilakukan diantaranya oleh Aditya Novianto (2011), Mohamad Ridwan (2013), Divianto (2013) dan Musdalifah Aziz (2011). Hasil menunjukan bahwa variabel Inflasi
Berpengaruh signifikan terhadap IHSG menurut penelitian Divianto (2013), hal ini berbeda pada penelitian yang dilakukan oleh Musdalifah Aziz(2011) dan Aditya Novianto (2011) yang menunjukan hasil variabel Inflasi tidak berpengaruh signifikan terhadap IHSG. Hasil penelitian menunjukan bahwa variabel Kurs berpengaruh signifikan terhadap IHSG menurut penelitian Aditya Novianto (2011), Mohamad Ridwan (2013), Divianto (2013), hal ini berbeda pada penelitian yang dilakukan oleh Musdalifah Aziz (2011) yang menunjukan hasil variabel Kurs tidak berpengaruh signifikan terhadap IHSG. Hasil penelitian menunjukan bahwa variabel tingkat suku bunga SBI berpengaruh signifikan terhadap IHSG menurut penelitian Musdalifah Aziz (2011), hal ini berbeda pada penelitian yang dilakukan oleh Aditya Novianto (2011) dan Divianto (2013) yang menunjukan hasil variabel tingkat suku bunga SBI tidak berpengaruh signifikan terhadap IHSG. Sedangkan penelitian yang mengunakan variabel uang yang beredar dialkukan oleh Mohamad Ridwan (2013) menunjukan hasil bahwa variabel uang yang beredar berpengaruh signifikan terhadap IHSG. TELAAH LITERATUR DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS Teori Portofolio Teori portofolio dikembangkan oleh Markowitz (1952), berhubungan dengan pemilihan portofolio yang dapat memaksimalkan pengembalian
yang diharapkan sesuai dengan tingkat risiko yang dapat diterima. Dengan menggunakan model kuantitatif dan data historis, teori portofolio mendefinisikan pengembalian portofolio yang diharapkan dan tingkat risiko portofolio yang dapat diterima serta menunjukkan cara pembentukan portofolio yang optimal. Ada banyak model yang digunakan untuk pengambilan keputusan investasi. Dalam melakukan investasi investor selalu memper-timbangkan dua hal, yaitu risk dan return. Untuk menghitung retun, investor harus mengetahui keberadaan undervalued atau overvalued securities, dan untuk tujuan itu banyak model yang digunakan. Risk dan return analysis dari Harry Markowitz (1952) yang kemudian dikembangkan oleh Jack Treynor (1965), William Sharpe (1966), Michael Jensen (1968), dan Treynor & Black (1973) merupakan suatu cara yang objektif untuk memprediksi harga atau return sekuritas karena didasarkan pada data riil masa sebelumnya yang kemudian dirata-ratakan dan diolah. Dalam berinvestasi di pasar modal khususnya portofolio, seorang investor selain menghitung return yang diharapkan, juga harus memperhatikan risiko yang harus ditanggungnya. APT (Arbitrage Pricing Theory) dan CAPM (Capital Asset Pricing Model) merupakan model keseimbangan yang sering digunakan untuk menentukan risiko yang relevan terhadap suatu aset, serta hubungan risiko dan return yang diharapkan. CAPM menggunakan volatilitas return suatu sekuritas atau return portofolio
terhadap return pasar sebagai pengukur risiko. Sedangkan APT menggunakan banyak variabel sebagai pengukurnya yang sering disebut dengan model faktor. Menurut Sharpe (1966), CAPM adalah model penetapan harga aktiva equilibrium yang menyatakan bahwa expected return atas sekuritas tertentu adalah fungsi linier positif dari sensitifitas sekuritas terhadap perubahan return portofolio. CAPM menjelaskan hubungan antara return dengan beta. Beta menunjukkan hubungan (gerakan) antara saham dan pasarnya (saham secara keseluruhan). Dalam keadaan equilibrium, required rate of return investor untuk suatu saham akan dipengaruhi oleh risiko saham tersebut. Dalam hal ini risiko yang diperhitungkan hanyalah risiko sistimatis atau risiko pasar. Sedangkan risiko yang tidak sistimatis dianggap tidak relevan karena risiko ini dapat dihilangkan melalui diversifikasi. Tingkat Suku Bunga SBI/Tingkat Imbalan SBIS, Inflasi, Kurs Dan Uang Yang Beredar Fluktuasi resiko sistematik dipengaruhi oleh faktor faktor makro yang dapat mempengaruhi kondisi pasar secara keseluruhan, seperti perubahan tingkat inflasi, kurs, suku bunga, uang yang beredar, kebijakan pemerintah dan sebagainya. Suku bunga SBI maupun tingkat imbalan SBIS merupakan instrumen moneter yang penting dalam perekonomian negara Indonesia yang berada dibawah tanggung jawab bank Indonesia melalui lelang SBI dan SBIS, jumlah uang yang beredar diatur agar tercapai target inflasi
yang ditetapkan dan dari proses lelang yang mengikuti mekanisme pasar inilah maka terbentuk suku bunga SBI dan tingkat imbalan SBIS. Tingkat suku bunga atau tingkat imbalan akan berpengaruh terhadap resiko (beta) saham, ketika tingkat suku bunga atau tingkat imbalan tinggi maka return saham akan cenderung mengalami penurunan begitu pula sebaliknya. Perubahan nilai kurs timbul ketika terdapat perubahan kurs antara tanggal transaksi dan tanggal penyelesaian pos moneter yang timbul dari transaksi dalam mata uang asing. Return yang di harapkan dari investasi akan mengalami penurunan dengan cepat jika nilai kurs berubah tajam, sehingga bagi pelaku ekonomi semakin rendah tingkat perubahan nilai kurs adalah semakin baik. Hal ini akan berpengaruh terhadap keputusan investor dalam berinvestasi, permintaan terhadap saham menjadi turun dan resiko saham semakin meningkat. Tingkat inflasi merupakan variabel ekonomi makro yang paling penting, hal ini disebabkan karena inflasi dapat berpengaruh buruk pada struktur biaya produksi dan tingkat kesejahteraan. Laju kenaikan inflasi ini di sebabkan oleh banyak faktor, diantarnya yaitu peningkatan jumlah uang yang beredar. Inflasi yang semakin meningkat merupakan sinyal negatif bagi para investor. Investor akan cenderung melepas sahamnya bila terjadi peningkatan inflasi, terlebih pada saat inflasi yang tak terkendali. Kecenderungan investor melepas sahamnya akan menyebabkan harga saham menurun,
dan hal ini akan menyebabkan resiko (beta) saham naik Variabel makro ekonomi lainya yaitu jumlah uang yang beredar, Menurut Sadono Sukirno (1998) uang beredar adalah semua jenis uang yang berada di perekonomian, yaitu adalah jumlah dari mata uang dalam peredaran ditambah dengan uang giral dalam bank-bank umum. Uang beredar dalam artian sempit biasa dikenal dengan istilah Broad Money (M2). Jumlah uang yang beredar diawasi secara ketat oleh para ekonom dan bank sentral mengembangkan kebijakan di sekitarnya. Jumlah uang yang beredar juga akan mempengaruhi tingkat harga, inflasi dan siklus bisnis. Peningkatan jumlah uang beredar biasanya menurunkan suku bunga, sehingga akan menyebabkan investasi meningkat dan menempatkan lebih banyak uang di tangan konsumen, sehingga merangsang pengeluaran. Return Return merupakan salah satu faktor yang memotivasi investor berinvestasi dan merupakan imbalan atas keberanian investor menangggung resiko atas investasi yang dilakukannya. Jogiyanto (2010) menyatakan return dapat dibedakan menjadi: 1. Return Realisasi (realized return), Merupakan return yang telah terjadi. Return dihitung berdasarkan data histories. Perhitungan return realisasi disini menggunakan return total. Return total merupakan keseluruhan dari suatu investasi dalam suatu periode tertentu.
2.
Return Ekspektasi (Expected Return), merupakan return yang digunakan untuk pengambilan keputusan investasi. Return ini penting dibandingkan dengan return historis karena return ekspektasi merupakan return yang diharapkan dari investasi yang dilakukan.
Resiko Tujuan investor menginvestasikan dananya adalah untuk mendapatkan return dengan konsekuensinya harus berani menanggung resiko. Untuk mengurangi resiko investasi, investor harus mengenali jenis resiko investasi. Jenis resiko investasi ini dikelompokan menjadi dua kelompok besar yaitu resiko sistematik dan resiko tidak sistematik. Jogiyanto (2007) menyatakan bahwa beta merupakan resiko sistematis dari suatu saham atau portofolio relatif terhadap resiko pasar. Beta saham berfungsi untuk mengukur volatilitas return saham, atau portofolio terhadap return pasar. Volatilitas merupakan fluktuasi return suatu saham atau portofolio dalam suatu periode tertentu, jika secara statistik fluktuasi tersebut mengikuti fluktuasi dari return-return pasar, maka dikatakan beta dari sekuritas tersebut bernilai satu. Fluktuasi tersebut menunjukkan risiko sistematis dari saham tersebut, semakin besar return suatu saham berfluktuasi terhadap return pasar, maka risiko sistematisnya akan lebih besar, demikian pula sebaliknya, semakin kecil fluktuasi return suatu saham terhadap return pasar,
semakin kecil pula beta saham tersebut. Beta suatu sekuritas juga menunjukan kepekaan tingkat keuntungan suatu sekuritas terhadap perubahan perubahan pasar.
Perumusan Hipotesis H1 : Uang Yang Beredar (M2) berpengaruh signifikan terhadap tingkat imbalan SBIS H2 : Kurs berpengaruh signifikan terhadap tingkat imbalan SBIS H3 : Tingkat inflasi berpengaruh signifikan terhadap tingkat imbalan SBIS H4 : Uang yang beredar (M2) berpengaruh signifikan terhadap beta saham syariah (JII) H5 : Tingkat imbalan SBIS berpengaruh signifikan terhadap beta saham syariah (JII) H6 : Tingkat Inflasi berpengaruh signifikan terhadap IHSG melalui tingkat imblan SBIS H7 : Tingkat imbalan SBIS berpengaruh signifikan terhadap IHSG H8 : Beta saham syariah berpengaruh signifikan terhadap IHSG METODE PENELITIAN Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah saham perusahaan yang terdaftar di jakarta islamic indeks (JII). Sedangkan teknik pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan Purposive sampling dengan kriteria sebagai berikut :
1. Perusahaan yang terdaftar di Jakarta Islamic Index (JII) 2. Perusahaan yang konstan terdaftar di Jakarta Islamic Index (JII) selama periode 2009-2013 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Metode yang dipakai dalam penelitian ini yaitu menggunakan Path analisis (analisis jalur). Dalam penelitian ini ada dua variabel endogen yaitu beta saham JII dan IHSG, sedangkan variabel eksogen yaitu variabel yang diduga secara bebas berpengaruh terhadap variabel endogen, yaitu JII (Y1), dan IHSG (Y2), Uang beredar dalam artian luas (X1), kurs (X2), Inflasi (X3) dan tingkat imbalan sertifikat bank Indonesia syariah (X4). Adapun penjelasan masing masing variabel yaitu : 1. Uang Yang beredar/M2 (X1) Dalam penelitian ini menggunakan uang beredar dalam artian luas (M2) yang biasa disebut Broad Money (M2) yaitu M1 ditambah dengan deposito berjangka dan tabungan milik masyarakat pada bankbank. M2 = M1 + TD + SD Dimana: TD = Time deposits (deposito berjangka) SD = Savings Deposits (Saldo Tabungan) Sumber : Fitriawati (2009) 2. Nilai tukar terhadap dollar amerika/Kurs (X2) Nilai tukar antar mata uang (Exchange Rate) adalah jumlah dari suatu mata uang yang diserahkan untuk mendapatkan
3.
mata uang yang lain. Kurs dalam penelitian ini yang dimaksud adalah pertumbuhan nilai kurs dalam satuan persen, yang dapat dihitung dengan rumus : NK t – X NKt-1 100 NKt-1 Sumber : Fitriawati (2009) Dimana t menunjukan perubahan nilai kurs dalam jangka waktu bulanan. Kurs yang digunakan adalah kurs tengah mata uang dollar (US$), hal ini dikarenakan mata uang US$ merupakan mata uang dunia yang sering digunakan dalam perdagangan. Inflasi (X3) Menurut sukirno inflasi adalah suatu proses kenaikan hargaharga yang berlaku dalam suatu perekonomian. Untuk menghitung besarnya inflasi terlebih dahulu harus diketahui indek harga konsumen (IHK). Untuk menghitung IHK digunakan rumus : Harga sekarang IHK = ----------------------- x 100% Harga pada tahun dasar
untuk adalah:
Sedangkan rumus menghitung inflasi
IHKn – IHKn-1 Inflasi = -------------------- x 100% IHKn-1
Sumber : Fitriawati (2009) 4.
Tingkat Imbalan Sertifikat Bank Indonesia Syariah/SBIS (X4) Menurut peraturan Bank Indonesia No.10/ 11 /PBI/2008
Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya disebut SBIS adalah surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah berjangka waktu pendek dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia SBI. Dalam penelitian, tingkat imbalan SBIS yang digunakan adalah dalam periode bulanan dengan rumus sebagai berikut:
Adapun perhitungan IHSG dilakukan dengan rumus sebagai berikut : IHSG = (Ht / H0) X 100% Ht : Total harga semua saham pada waktu yang berlaku H0 : Total harga semua saham pada waktu dasar Sumber : www.idx.co.id
Analisis Jalur ( Path Analysis ) Rata-rata tingkat imbalan SBIS = Jumlah tingkat imbalanSBIS periode harian selama 1 bulan Analisis jalur adalah suatu jumlah periode waktu selama 1 bulan. teknik pengembangan dari regresi 5.
Sumber : Fitriawati (2009) Beta saham syariah Jakarta islamic index (Y1) Jones (2004) menyatakan bahwa beta adalah ukuran resiko sistematis dari sekuritas yang merupakan bagian dari resiko total dan tidak bisa dihilangkan dengan diversifikasi. Dalam penelitian ini pengukuran beta saham menggunakan CAPM. Adapun model matematika CAPM yaitu ; E(Ri) = Rf + β (Rm – Rf)
6.
Keterangan : Ri = return saham perusahaan Rf = Return investasi bebas risiko (Risk Free) Rm = return pasar (IHSG) Β =Beta saham i (indikator risiko sistematis) Indeks Saham Gabungan/ IHSG (Y2) Menurut Robert Ang (1997) pengertian IHSG adalah Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) merupakan suatu nilai yang digunakan untuk mengukur kinerja saham yang tercatat dalam suatu bursa efek.
linear berganda. Analisis jalur dikembangkan oleh Sewal Wright pada tahun 1934. Abdurahman (2007) menyatakan tujuan analisis jalur untuk menjelaskan akibat langsung dan tidak langsung seperangkat variabel, sebagai variabel penyebab terhadap variabel lainnya yang merupakan variabel akibat. Pengaruh langsung dilakukan dengan cara melihat hubungan antara variabel eksogen terhadap variabel endogen tanpa melalui veriabel ekogen lainnya, sedangkan untuk pengaruh tidak langsung dilakukan Kriteria Seleksi Sampel Sampel Perusahaan yang 30 terdaftar di JII setiap periode Perusahan yang tidak (20) konstan terdafar di JII Perusahaan yang konstan 10 terdaftar di JII dari tahun 2009-2013 melalui variabel eksogen lainnya. Langkah pertama dalam Path analysis yaitu merancang paradigma penelitian berdasarkan teori , konsep dan fakta. Paradigma penelitian ini kemudian dinyatakan
dalam bentuk persamaan sebagai berikut: Y=Pyx1X1 + Pyx2X2 + Pyx3X3 + PyƐ1 a. X4 = ρX4 X1 + ρX4 X2 + ρX4 X3 + Ɛ1 b. Y1 = ρY1 X1 + ρY1 X4 + ρX4 X2 + ρX4 X3 + Ɛ2 c. Y2 = ρY2 X3 + ρY2 X4 + ρX4 X2 + ρY2 Y1 + ρY1 X1 + Ɛ3 Pada persamaan strtuktural pertama X1, X2, X3 merupakan variabel eksogen, dan Ɛ1 sebagai variabl residu. Persamaan kedua X1, X4, X2, X3 merupakan variabel ksogen, Y1 sebagai variabel endogen, dan Ɛ2 sebagai variabel residu. Persamaan ketiga X3, X4, X2, X1 merupakan variabel eksogen, Y2 Y1 sebagai variabel endogen, dan Ɛ3 sebagai variabel residu. Nilai Ɛ (epsilon) dalam persamaan struktural tersebut adalah variabel residu atau kesaahan pengganggu ( disturbance eror). HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Deskripsi Objek Penelitian Objek penelitian yang digunakan dalam penelitan ini adalah Perusahaan yang terdaftar di Jakarta Islamic Index (JII) pada periode tahun 2009 – 2013 (lima tahun). Ada 30 Perusahaan yang terdaftar di Jakarta Islamic Indexs (JII) yang telah memenuhi kriteria penyaringan syariah. Tabel 1 Seleksi Pemilihan Sampel Berdasarkan tabel 1 dengan menggunakan metode purposive sampling, diperoleh 10 Sampel perusahaan yang terdaftar di Jakarta Islamic Indexs (JII) yang memenuhi kriteria dan dijadikan sampel pada
penelitian ini. Data yang diambil merupakan data bulanan, dengan periode 5 tahun sehingga total data berjumlah 12 x 5 x 10 = 600. Analisis Statistik Deskriftif Berdasarkan hasil pengolahan statistik deskriptif, variabel Beta saham JII (Y1) diperoleh rata-rata hitung (mean) sebesar 0.35911 , standar deviasi sebesar 0.19442 serta nilai minimum sebesar -0.1132 (PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk.) dan nilai maksimum sebesar 1.1532 (PT. Unilever Indonesia Tbk). Variabel IHSG (Y2) diperoleh rata-rata hitung (mean) sebesar 3516.22 , standar deviasi sebesar 953.80 serta nilai minimum sebesar 1,285 dan nilai maksimum sebesar 5,069. Variabel jumlah uang yang beredar (M2) (X1) diperoleh rata-rata hitung (mean) sebesar 2,652,840.49, standar deviasi sebesar 556,933.03. Variabel Kurs (X2) diperoleh ratarata hitung (mean) sebesar 9,619.13, standar deviasi sebesar 883.29. Variabel tingkat inflasi (X3) diperoleh rata-rata hitung (mean) sebesar 0.00444, standar deviasi sebesar 0.00148. Variabel tingkat imbalan SBIS (X4) diperoleh ratarata hitung (mean) sebesar 0.00508. Uji Normalitas Berdasarkan uji normalitas terdapat nilai C.R. untuk skewnwss yang berada di luar rentang ±2.58 (tingkat signifikansi 0.01), hal ini menunjukan asumsi normalitas secara univariate tidak terpenuhi, sedangkan secara multivariat sebesar -1.075 yang lebih kecil dari nilai kritis yang di tetapkan ( ±2.58). Asumsi normalitas secara multivariat
pada penelitian ini dapat dipenuhi. Hal ini berarti data bisa dinyatakan terdistribusi secara normal (Studi Hair,et.al :1995) Uji Goodness of Fit Index Tabel 2 Uji Goodness of Fit Index
Berdasarkan hasil diatas jika ada satu atau lebih parameter yang telah fit maka model dinyatakan fit (Samuel,2007).
Model Analisis Jalur (Path Analysis) Berdasarkan hasil analisis menggunakan Amos, hubungan kausalitas antar variabel maka pengujian hipotesis dapat dijelaskan pada Gambar 2 sebagai berikut: Gambar 1 Model Analisis Jalur (Path Analysis)
variabel uang yang beredar, kurs, dan tingkat inflasi sebesar 75.5%, sedangkan 24.5% adalah variabel lain yang tidak di teliti seperti BI rate, suku bunga SBI, GNP, GDP dan lain sebagainya. Jadi dapat disimpulkan bahwa model cukup baik. Nilai Squared Multiple Correlations (R2) variabel Y1 sebesar 0.017 yang berarti variabel beta saham JII yang dapat dijelaskan oleh variabel uang yang beredar, kurs, tingkat inflasi dan tingkat imbalan SBIS sebesar 1.7%, sedangkan 98.3% adalah variabel lain yang tidak di teliti seperti ukuran perusahaan, DER, EPS, ROE, Profitabilitas dan lain sebagainya. Jadi dapat disimpulkan bahwa model kurang baik. Nilai Squared Multiple Correlations (R2) variabel Y2 sebesar 0.633 yang berarti variabel IHSG yang dapat dijelaskan oleh variabel uang yang beredar, kurs, tingkat inflasi, tingkat imbalan SBIS dan beta saham JII sebesar 63.3%, sedangkan 36.7% adalah variabel lain yang tidak di teliti seperti Bi rate, suku bunga SBI, GDP, GNP, ukuran perusahaan, profitabilitas, ROE, DER, EPS dan lain sebagainya. Jadi dapat disimpulkan bahwa model cukup baik Pengujian Pembahasan
Berdasarkan hasil pengujian nilai Squared Multiple Correlations (R2) variabel X4 sebesar 0.755 yang berarti variabel tingkat suku bunga SBIS yang dapat dijelaskan oleh
Hipotesis
dan
Berdasarkan tabel 5, maka model regresi yang dapat diperoleh adalah sebagai berikut: a. SBIS = 0.005 + 0.000 M2 + 0.000 Kurs + 0.370 Inflasi + Ɛ1 b. Beta saham(JII) = 0.348 +0.000 M2 + 14.749 SBIS + 0.000 Kurs + 0.370 Inflasi + Ɛ2 c. IHSG = 6253.3 + 318442.17 Inflasi – 825360.94 SBIS + 0.000 Kurs + 106.27 Beta JII + 0.000 M2 + Ɛ 3 Pengaruh Uang yang Beredar terhadap Tingkat Imbalan SBIS Berdasarkan uji Maximum Likelihood estimates, didapatkan bahwa kemampuan Tingkat imbalan SBIS dipengaruhi uang yang beredar (M2) dengan nilai koefisien standarized sebesar -0.751 dengan angka signifikansi 0.000 pada taraf signifikansi pada (α= 0.01). Hal ini menunjukan bahwa uang yang beredar berpengaruh signifikan terhadap tingkat imbalan SBIS. Pengaturan jumlah uang yang beredar pada masyarakat diatur dengan cara menambah atau mengurangi jumlah uang yang beredar, hal ini dilakukan dengan cara menjalankan instrumen kebijakan moneter, salah satu kebijakan itu yaitu Operasi Pasar
Terbuka (Open Market Operation). Operasi pasar terbuka merupakan cara mengendalikan uang yang beredar dengan cara menjual atau membeli surat berharga pemerintah (government securities) yang salah satunya berupa Sertifikat Bank Indonesia syariah. Apabila pemerintah akan menambah jumlah uang yang beredar, pemerintah akan menurunkan suku bunga SBI dan tingkat imbalan SBIS sehingga masyarakat akan cenderung lebih memilih menyimpan uang tunai karena semakin rendah tingkat suku bunga akan semakin rendah ongkos memegang uang dan pemerintah dapat membeli surat berharga yang salah satunya yaitu SBI dan SBIS, begitu pula sebaliknya Apabila pemerintah akan mengurangi jumlah uang yang beredar, pemerintah akan menaikan suku bunga SBI dan tingkat imbalan SBIS sehingga masyarakat akan cenderung lebih memilih membelanjakan uang tunai dengan membeli surat berharga karena semakin tinggi tingkat suku bunga atau tingkat imbalan akan semakin tinggi ongkos memegang uang tunai dan pemerintah dapat menjual surat berharga yang salah satunya yaitu SBI dan SBIS. Hasil tersebut konsisten dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fitriawati (2009), yang menunjukan hasil bahwa uang yang beredar berpengaruh terhadap suku bunga SBI. Pengaruh Kurs terhadap Tingkat Imbalan SBIS Berdasarkan uji Maximum Likelihood estimates, didapatkan bahwa kemampuan Tingkat imbalan SBIS dipengaruhi kurs dengan nilai
koefisien standarized sebesar 0.231 dengan angka signifikansi 0.000 pada taraf signifikansi pada (α= 0.01). Hal ini menunjukan bahwa kurs berpengaruh signifikan terhadap tingkat imbalan SBIS. Implementasi kebijakan moneter salah satunya dilakukan dengan kebijakan nilai tukar yang sering di sebut kurs, hal ini memiliki peran yang sangat penting agar tercapai stabilitas moneter dan mendukung kegiatan ekonomi di Indonesia sebab nilai tukar yang stabil diperlukan agar dapat menciptakan iklim yang kondusif bagi kegiatan usaha. Salah satu langkah kebijakan jangka pendek di bidang moneter yang dilakukan BI untuk mengatasi melemahnya nilai tukar rupiah yaitu dengan cara melakukan pelelangan misalnya lelang suku bunga Sertifikat bank Indonesia dan SBIS yang hal ini bertujuan untuk menyerap likuiditas dengan instrumen fine tune kontraksi dengan variabel rate tender, pemerintah akan menaikan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan tingkat imbalan SBIS secara signifikan. Hasil tersebut tidak konsisten dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fitriawati (2009), menyatakan bahwa kurs tidak berpengaruh terhadap suku bunga SBI. Pengaruh Tingkat Inflasi terhadap Tingkat Imbalan SBIS Berdasarkan uji Maximum Likelihood estimates, didapatkan bahwa kemampuan Tingkat imbalan SBIS dipengaruhi inflasi dengan nilai koefisien standarized sebesar 0.532 dengan angka signifikansi 0.000
pada taraf signifikansi pada (α= 0.01). Hal ini menunjukan bahwa inflasi berpengaruh signifikan terhadap tingkat imbalan SBIS. SBIS merupakan instrumen moneter yang dipergunakan oleh Bank Indonesia untuk mengendalikan inflasi. Apabila terjadi kenaikan inflasi Bank Indonesia akan berusaha untuk menarik dana di masyarakat lebih besar melalui lelang SBIS. Agar dana masyarakat yang beredar dapat lebih banyak di tarik oleh Bank Indonesia maka Bank Indonesia menaikan tingkat imbalan SBIS sebaliknya Apabila laju inflasi menurun untuk meningkatkan jumlah uang yang beredar bank Indonesia akan menurunkan tingkat imbalan SBIS sehingga masyarakat tidak tertarik untuk membeli SBI dan SBIS. Hasil tersebut konsisten dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fitriawati (2009), menyatakan bahwa inflasi berpengaruh terhadap suku bunga SBI Pengaruh Uang Yang Beredar (M2) terhadap Beta saham Syariah (JII). Berdasarkan uji Maximum Likelihood estimates, didapatkan bahwa kemampuan beta saham syariah (JII) dipengaruhi jumlah uang yang beredar (M2) dengan nilai koefisien standarized sebesar -0.069 dengan angka signifikansi 0.158 pada taraf signifikansi pada (α= 0.01). Hal ini menunjukan bahwa kurs tidak berpengaruh signifikan terhadap beta saham syariah (JII). Hal tersebut dikarenakan uang yang beredar bukan satusatunya hal yang mempengaruhi beta
saham syariah (JII), beta dipengaruhi oleh banyak hal, tidak hanya faktor eksternal seperti kondisi makro ekonomi tetapi juga dipengaruhi oleh faktor internal perusahaan, besarnya beta saham juga dipengaruhi oleh masing masing kondisi perusahaan. Hasil tersebut konsisten dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fitriawati (2009) dan Ming Chen (2014), menyatakan bahwa uang yang beredar tidak berpengaruh signifikan terhadap beta saham syariah (JII). Pengaruh Tingkat Imbalan SBIS terhadap Beta saham Syariah (JII) Berdasarkan uji Maximum Likelihood estimates, didapatkan bahwa kemampuan beta saham syariah (JII) dipengaruhi tingkat imbalan SBIS dengan nilai koefisien standarized sebesar 0.078 dengan angka signifikansi 0.111 pada taraf signifikansi pada (α= 0.01). Hal ini menunjukan bahwa tingkat imbalan SBIS tidak berpengaruh signifikan terhadap beta saham JII. Sama halnya dengan uang yang berdar, Hal tersebut dikarenakan tingkat imbalan SBIS bukan satu- satunya hal yang mempengaruhi beta saham syariah (JII), beta dipengaruhi oleh banyak hal, tidak hanya faktor eksternal seperti kondisi makro ekonomi tetapi juga dipengaruhi oleh faktor internal perusahaan, besarnya beta saham dipengaruhi oleh masing masing kondisi perusahaan. Hasil tersebut tidak konsisten dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fitriawati (2009), Khotimatul Khusna (2009), serta Nor Isnaini dan Nunung Ghoniyah (2013) yang menyatakan
Suku bunga SBI berpengaruh signifikan terhadap beta saham syariah (JII). Pengaruh Tingkat Inflasi Terhadap IHSG Berdasarkan uji Maximum Likelihood estimates, didapatkan bahwa kemampuan IHSG dipengaruhi inflasi dengan nilai koefisien standarized sebesar 0.495 dengan angka signifikansi 0.000 pada taraf signifikansi pada (α= 0.01). Hal ini menunjukan bahwa Tingkat inflasi berpengaruh signifikan terhadap IHSG. Mohamad Ridwan (2013) menyatakan tingkat inflasi yang tinggi biasanya dikaitkan dengan kondisi ekonomi yang terlalu panas (overheated). Artinya, kondisi ekonomi mengalami permintaan atas produk yang melebihi kapasitas penawaran produknya, sehingga harga‐harga cenderung mengalami kenaikan. Inflasi yang terlalu tinggi juga akan menyebabkan penurunan daya beli uang (purchasing power of money). Disamping itu, inflasi yang tinggi juga bisa mengurangi tingkat pendapatan riil yang diperoleh investor dari investasinya, sehingga minat investor terhadap saham menjadi berkurang akibatnya harga saham akan menurun dan apabila penurunan harga saham ini dialami oleh banyak emiten akan menyebabkan IHSG menurun Hasil tersebut konsisten dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fitriawati (2009), Nor Isnaini dan Nunung Ghoniyah (2013) dan Suhadi (2009) yang menyatakan inflasi berpengaruh signifikan terhadap IHSG.
Pengaruh Tingkat Imbalan SBIS Terhadap IHSG Berdasarkan uji Maximum Likelihood estimates, didapatkan bahwa kemampuan IHSG dipengaruhi tingkat imbalan SBIS dengan nilai koefisien standarized sebesar -0.892 dengan angka signifikansi 0.000 pada taraf signifikansi pada (α= 0.01). Hal ini menunjukan bahwa Tingkat imbalan SBIS berpengaruh signifikan terhadap IHSG. Ketika tingkat imbalan SBIS mengalami kenaikan maka harga saham akan mengalami penurunan hal ini dikarenakan ketika tingkat imbalan SBIS yang merupakan salah satu instrumen investasi bebas resiko naik, orang akan lebih memilih menginvestasikan dananya pada investasi bebas resiko dari pada untuk membeli saham, sehingga menyebabkan harga saham turun. Karvof (2004) menyatakan bahwa secara teoritis hubungan antara tingkat suku bunga dan kinerja pasar modal adalah berbanding terbalik. Kenaikan suku bunga pada umumnya akan menyebabkan harga saham turun karena akan memotong laba perusahaan. Hal ini terjadi dengan 2 (dua) cara. Pertama, kenaikan suku bunga akan meningkatkan biaya modal (cost of capital) dalam bentuk beban bunga yang harus ditanggung perusahaan, sehingga labanya bisa terpangkas, kedua, ketika suku bunga tinggi, biaya produksi akan meningkat dan harga produk akan semakin mahal sehingga konsumen mungkin menunda pembeliannya dan menyimpan dananya di bank. Akibat
selanjutnya penjualan perusahaan menurun dan penurunan penjualan mengakibatkan laba juga menurun dan akan menekan harga sahamnya yang listing di bursa sehingga IHSG juga akan ikut mengalami penurunan. Hasil tersebut konsisten dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Aditya Novianto (2011), dan Divianto (2013) yang menunjukan hasil suku bunga SBI berpengaruh signifikan terhadap IHSG. Pengaruh Beta Saham Syariah (JII) terhadap IHSG Berdasarkan uji Maximum Likelihood estimates, didapatkan bahwa kemampuan IHSG dipengaruhi beta saham syariah (JII) dengan nilai koefisien standarized sebesar 0.022 dengan angka signifikansi 0.386 pada taraf signifikansi pada (α= 0.01). Hal ini menunjukan bahwa beta saham syariah (JII) tidak berpengaruh signifikan terhadap IHSG. Hal tersebut dikarenakan beta saham bukan satu- satunya aspek yang mempengaruhi IHSG, meskipun beta saham digunakan investor untuk melakukan bahan pertimbangan dalam menempatkan investasinya, namun banyak investor yang melakukan investasi tanpa mempertimbangkan beta sahamnya, selain itu IHSG juga banyak dipengaruhi oleh faktor lain seperti kondisi makro ekonomi. Hasil tersebut konsisten dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fitriawati (2009), yang menunjukan hasil beta saham syariah (JII) tidak berpengaruh signifikan terhadap IHSG.
Simpulan Penelitian ini dilakukan untuk menguji secara empiris mengenai apakah terdapat pengaruh antara uang yang beredar (M2), kurs, inflasi, dan tingkat imbalan SBIS terhadap beta saham syariah (JII) dan IHSG. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Berdasarkan Uji analisis jalur menunjukan bahwa pada struktur koefisien jalur I menunjukan bahwa masing masing variabel eksogen uang yang beredar (M2), kurs, dan inflasi berpengaruh signifikan terhadap tingkat imbalan SBIS dengan tingkat signifikansi 0.01. 2. Pada Struktur koefisien jalur II uji analisis jalur menunjukan bahwa hanya variabel uang yang beredar (M2), dan tingkat bunga SBIS tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat imbalan SBIS dengan tingkat signifikansi 0.01. 3. Pada Struktur koefisien jalur III uji analisis jalur menunjukan hasil bahwa hanya variabel tingkat inflasi dan tingkat bunga SBIS berpengaruh signifikan terhadap tingkat imbalan SBIS dengan tingkat signifikansi 0.01, sedangkan variabel beta saham syariah (JII) tidak berpengaruh signifikan terhadap IHSG dengan tingkat signifikansi 0.01. Keterbatasan Penelitian Dalam penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan, yaitu sebagai berikut : 1. Variabel dalam pengamatan yang digunakan yaitu Uang yang
2.
beredar, kurs, tingkat inflasi dan Tingkat Imbalan SBIS sedangkan variabel lain yang juga diperkirakan mempengaruhi beta saham dan IHSG tidak diteliti dalam penelitian ini Jika dilihat dari hasil squared multiple correlations variabel eksogen mampu menjelaskan variabel endogennya dengan baik namun jika melihat parameter Goodness of-fit masih ada beberapa parameter yang menunjukan Marginal FIT dan kurang baik dan nilai Chi square yang masih terlalu tinggi sehingga model belum sepenuhnya FIT.
Daftar Pustaka HR, Muhammad Nafik. 2009. Bursa Efek dan Investasi Syariah. Jakarta: Serambi. Samsul, Mohamad. 2006. Pasar Modal dan Manajemen Portofolio. Jakarta: Penerbit Erlangga. Hartono, Jogiyanto. 2007. Teori Portofolio dan Analisis Investasi. Yogyakarta: PT.BPFE. Karim, Adiwarman A. 2010. Ekonomi Makro Islam. Edisi Kedua. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. Zubir, Zalmi. 2011. Manajemen Portofolio Penerapan dalam Investasi Saham. Jakarta: Salemba Empat. Sutedi, Adrian. 2011. Pasar Modal Syariah Sarana Investasi Keuangan Berdasarkan Prinsip Syariah. Jakarta: Sinar Grafika Sharpe, William F, Gordon, J.Alexander dan Jeffery V. Bailey. 1997. Investas. Edisi
terjemahan. Jakarta: Prenhallindo Tandelin, Eduardus. 2001. Analisis Investasi dan Manajemen Portofolio. Edisi pertama. Yogyakarta: PT BPFE. Fitriawati. 2009. Pengaruh Uang yang Beredar (M2), Kurs, Inflasi, dan Tingkat Suku Bunga SBI terhadap Beta Saham Syariah. Jakarta, Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Hamzah Ardi. 2005. Analisis Ekonomi Makro, Industri dan Karakteristik Perusahaan terhadap Beta Saham Syariah. Universitas Gajah Mada. Auliyah Robiatul, Hamzah Ardi. 2006. Analisis Karakteristik Perusahaan Industri dan Ekonomi Makro terhadap Return dan Beta Saham Syariah di BEI. Universitas Trunojoyo Isnaini Nor, Ghoniyah Nunung. 2013. Analisis Risiko Investasi Saham pada Perusahaan yang Go Publik di JII. Semarang, Universitas Sultan Agung Semarang. Suhadi. 2009. Analisis Pengaruh Tingkat Suku Bunga, Inflasi dan Kurs terhadap Beta Saham Syariah pada Perusahaan yang masuk di Jakarta Islamic Index (JII) Tahun 2005-2007. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijogo Yogyakarta. Rahmatika, Vina Coryaina. 2013. Pengaruh Faktor Fundamental Perusahaan Ekonomi Makro terhadap
Risiko Investasi Saham Syariah. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijogo Yogyakarta. Khusna, Khotimatul. 2009. Pengaruh Suku Bunga SBI, Nilai Kurs, dan Inflasi terhadap Risiko Sistematik Saham Perusahaan yang Tergabung dalam JII Tahun 2004-2008. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijogo Yogyakarta. Chen, Ming. 2014. Analisis Pengaruh Perekonomian Makro dan Mikro yang Berpengaruh pada Resiko Sistematis Saham. STIE Musi Palembang. Fidiana. 2010. Pengaruh Tingkat Suku Bunga, Tingkat Inflasi, dan Rasui Keuangan terhadap Beta saham. Sekolah Tinng Ilmu Ekonomi Indonesia Surabaya. Tohiri, Mukharis. 2008. Analisis Pengaruh Rasio Keuangan terrhadap Beta Saham Perusahaan di Jakarta Islamic Index (JII).Universitas Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Novianto, Aditya. 2011. Analisis Pengaruh Nilai Tukar (Kurs) Dollar Amerika / Rupiah, Tingkat Suku Bunga SBI, Inflasi, dan Jumlah Uang Yang Beredar (M2) terhadap IHSG di BEI.Universitas Diponegoro Semarang. Ridwan, Mohamad. 2013. Analisis Makro Ekonomi Terhadap Return LQ 45 dan Dampaknya terhadap IHSG.
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Divianto. 2013. Analisis Pengaruh Tingkat Inflasi, Tingkat suku Bunga SBI, dan Nilai Kurs Dollar AS (USD) terhadap IHSG di Bursa Efek Indonesia. Politeknik Sriwijaya. Ghozali, Imam. 2013. Konsep dan Aplikasi dengan Program Amos 21.0. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Sumantoro. 1990. Pengantar tentang Pasar Modal Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia Sukirno, Sadino. 1998. Pengantar Teori Makro ekonomi. Edisi ke-2. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Qordhawi, Yusuf. 1995. Peran Nilai dalam Perekonomian Islam. Cetakan Pertama. Jakarta: Robbani Press Sarwono, Jonathan, Suhayati, Ely. 2010. Riset Akuntansi ,menggunakan SPSS. Cetakan Pertama. Yogyakarta. Graha Ilmu Hidayat, Fajar, 2014. CPAM : Produk Syariah Seimbangkan Portofolio Investasi. Selasa 20
Mei 2014. www skalanews.com/berita/detail/ 178089/CPAM-ProdukSyariah-SeimbangkanPortofolio-Investasi. Haryajid Ramelan, 2015. AAEI Serukan Sosialisasi Terintegrasi, Kembangkan Pasar Modal Syariah. Senin 19 Januari 2015. www.neraca.co.id/bursasaham/49704/AAEI-
Serukan-Sosialisasi Terintegrasi Sulisyanto, Dr. 2011. Ekonometrika Terapan Teori dan Aplikasi dengan SPSS. Yogyakarta. CV Andi Ofset.