PERGULATAN MADRASAH MENEMUKAN JATI DIRI Munawaratul Ardi Pascasarjana STAIN Bengkulu (Alamat: Jl. Raden Fatah Pagar Dewa Bengkulu) Abstract: Madrasah is an alternative Islamic institution in Indonesia which develop during the Dutch colonization. It was happening when the colonizing ruler (the Dutch) undertook their education system. Its consequence was most of Indonesian students had strong interest to study in the Dutch school, and a few of them still had interest to pursue the knowledge in the indigenous education institution. The main characteristics of Madrasah are to adopt the Dutch education system and to combine between the general (common) studies and the Islamic teachings. Surely, as the alternative education institution, Madrasah grows not so smooth as the common school (education institution which merely adopted the foreign education system in its gorwn up). Many efforts to increase the quality of Madrasah, but it looks fail and unsatisfied, indeed Madrasah will be lose in the surface when it will be generalized by the Government as the common school in level and status. In this paper, writer expounds that since its first emergence, Madrasah has no strong characteristic and foundation. When the modernization run faster, it can not survive and sustain the attack. Therefore, it needs strong effort and good intention to develop Madrasah. All elements in the society had to make a continuous evaluation and correction, in order Madrasah comes forward. Key words: madrasah, pendidikan agama, pesantren, sekolah alternatif
I. PENDAHULUAN Madrasah merupakan lembaga pendidikan Islam yang fenomenal dan selalu menarik untuk dibicarakan. Meskipun sudah banyak penulis sejarah, pakar pendidikan dan bahkan penentu-penentu kebijakan dalam pendidikan membicarakan masalah tersebut, namun masalah madrasah belum tuntas dan kelihatannya tidak akan pernah tuntas. Sebagai sebuah lembaga pendidikan yang berbasis masyarakat, madrasah akan tetap hidup di tengah masyarakat dengan pesona dan fenomena-fenomena yang beragam sesuai dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri bahwa berdirinya madrasah di Indonesia merupakan reaksi terhadap sekolah-sekolah sekuler yang didirikan pemerintah Belanda yang ketika itu menjadi idola bagi masyarakat. Hanya saja sekolah gubernemen tersebut deperuntukan bagi anak-anak Belanda dan sebagaian kecil anak-anak aristokrat Indonesia. Sementara di sisi lain lembaga pendidikan Islam tradsional (Dayah, Surau dan Pesantren) yang selama 202
Munawwaratul Ardhi
. Pergulatan Madrasah Menemukan Jatidiri
203
ini merupakan satu-satunya lembaga pendidikan mulai ditinggalkan karena dianggap sudah terkebelakang dan tidak menjanjikan masa depan. Problema ini sangat tidak menguntungkan bagi perkembangan masyarakat Indonesia, karena akan lahir generasi muda yang bodoh tak beragama. Menyikapi permasalahan di atas, tokoh-tokoh muslim yang peduli akan pendidikan anak bangsa menggagas berdirinya lembaga pendidikan alternative dengan meniru system pendidikan Belanda, tetapi tetap mempertahankan mata pelajaran agama dalam kurikulumnya. Langkah tersebut dilakukan, dengan harapan agar lembaga pendidikan tersebut dapat menarik simpati masyarakat untuk memasukan anak-anak mereka belajar ke sana. Lembaga pendidikan tersebut mereka beri nama “madrasah”. Sejak awal berdirinya, sampai sekarang sudah lebih dari satu abad, madrasah di Indonesia tetap menjadi sekolah alternatif dan bahkan alternatif terakhir bagi orang tua dalam pendidikan anaknya. Kondisi ini memunculkan pertanyaan yang sangat mendasar, kenapa di tengah masyarakat yang agamis, sekolah agama tidak bisa berkembang dan tidak diminati masyarakat ?. Hanya dua jawaban untuk menjawab pertanyaan di atas, pertama berkurangnya kecenderungan masyarakat terhadap pendidikan agama, dan kedua madrasah tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat. Menurut Malik Fadjar,1 komitmen masyarakat terhadap nilai-nilai agamanya masih cukup tinggi, bahkan ada kecenderungan meningkat. Hal ini terlihat tatkala muncul pendidikan Islam yang dinilai bermutu dan menjanjikan, maka mereka akan menjadikannya sebagai pilihan pertama Artinya bukan minat masyarakat terhadap agama yang berkurang, melainkan madrasah tidak punya pesona dalam menarik peminat peserta didik. II. PEMBAHASAN A. Napaktilas Madrasah di Indonesia Secara historis lembaga pendidikan Islam yang bernama madrasah sudah berkembang sejak lama, bahkan dikatakan sebelum Madrasah Nizamiyah (459 H) yang didirikan oleh Nizam al-Mulk – dikenal sebagai madrasah pertama di dunia Islam – sudah ada madarasah yang lain yaitu madrasah Sa’adiyah di Khurasan, Al-Baihaqiyah dan Miyan Dahiya di kota Nisabur.2 Kalau dilihat dari segi kelengkapan bangunan dan fungsi, madrasah dapat dikatakan sebagai pengintegrasian antara lembaga pendidikan mesjid dan khan. Madrasah merupakan kompleks bangunan yang terdiri dari mesjid sebagai tempat beribadah, iwan (aula) sebagai tempat belajar dan asrama sebagai tempat tinggal siswa. Madrasah diatur secara administratif, sehingga pelaksanaan pendidikan mengikuti aturan yang ditetapkan oleh pengelola, dan aturan yang seperti ini belum ada pada lembaga-lembaga pendidikan 1 Fadjar, A. Malik, Madrasap. dan Tantangan Modernitas, (Bandung: Mizan, 1998), p. 10 2 Atp.iyap. al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Terjemap.an Bustami A.Gani dan Djop.ar Basri L.I.S, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), p. 79
204
Jurnal Nuansa
. Edisi 1, No. 2, September 2010
Islam sebelumnya.3 Secara fisik madrasah pada tahap awal, hampir sama dengan lembaga pesantren yang ada di Indonesia sekarang. Ketika para mubaligh datang menyiarkan Islam ke Indonesia, mereka menggunakan lembaga-lembaga sosial budaya yang ada di Indonesia sebagai tempat mengajar. Seperti rangkang di Aceh, surau di Minangkabau dan pesantren di Jawa (sekedar untuk membedakan ketiga nama lembaga di atas penulis istilahkan dengan lembaga pendidikan tradisional). Ketiga lembaga tersebut meskipun berbeda latarbelakangnya, namun dapat difungsikan sebagai tempat pembelajaran dan penyiaran Islam. Pendekatan spiritualemosional dan sosial yang digunakan oleh ulama, berhasil menarik simpati masyarakat, sehingga Islam dapat diterima dan berkembang di Indonesia. Dalam hal-hal prinsip, Islam mengadakan perubahan, tetapi dalam hal-hal tertentu Islam dapat beradaptasi dengan adat istiadat dan budaya-budaya local yang dimasukinya. Bahkan pesantren, rangkang dan surau semakin menemukan momentumnya setelah berafiliasi dengan Islam. Madrasah baru dikenal dan populer di Indonesia setelah Belanda datang membawa system pendidikan barat yang berbeda dengan system pendidikan Islam yang ada ketika itu. Perbedaan tersebut terlihat dari banyak aspek, antara lain dari segi tujuan, materi, proses belajar mengajar, evaluasi, sarana prasarana dan lain-lainya. Kalau tujuan pendidikan tradisional, hanya untuk menciptakan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah melalui pendidikan agama dan tidak terkait dengan lapangan pekerjaan atau keterampilan yang harus dimiliki peserta didik setelah menyelesaikan pendidikannya. Maka pendidikan Belanda sangat berkaitan dengan skill yang harus dimiliki peserta didik yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar. Anak yang tamat dari sekolah Belanda, akan diterima menjadi pekerja atau pegawai di perusahaan-perusahaan atau kantor-kantor pemerintah Belanda sesuai dengan jenjang pendidikan yang mereka tempuh. Kesejahteraan material yang ditawarkan sekolah-sekolah Belanda, membuat sekolah tersebut punya banyak peminat, namun sayang sekolah tersebut hanya diperuntukan bagi anak-anak Belanda dan anak-anak para bangsawan. Masyarakat biasa, tidak punya alternative lain, kecuali sekolah tradisional. Sementara sekolah tradisonal dianggap ketingggalan dan terkebelakang, tidak menjanjikan masa depan. Merespon pendidikan Belanda yang banyak diminati masyarakat, dan pendidikan tradisonal mulai ditinggalkan, maka muncul ide untuk mendirikan sekolah alternative. Gagasan ini pertama sekali diwujudkan oleh seorang tokoh yang berasal dari Sumatera Barat yaitu Syekh H.Abdullah Ahmad. Di samping dipicu oleh kondisi sosial politik yang ada di Indonesia dan Minangkabau khususnya, ide Syekh Abdullah Ahamad mendirikan sekolah dipengaruhi juga oleh: pertama ide-ide pembaharuan Syekh Muhammad Abduh tentang pendidikan yang dimuat dalam majalah Al-Imam yang juga tersebar sampai ke Minangkabau. Kedua, ketika beliau berkunjung ke Singapura-kepada Syekh Tahir 3 Ricard W. Bulliet, Tp.e Patrician of Nisapp.ur: a Study in Medieval Islamic Social P.istory, (Harvard: Harvard University Press, 1972), p. 410
Munawwaratul Ardhi
. Pergulatan Madrasah Menemukan Jatidiri
205
Jalaluddin-4, ia juga melihat sekolah modern yang didirikan Jalaluddin. Ketiga, sekolah Gubernemen di Padang yang dilihatnya sangat diminati masyarakat. Di latar belakangi faktor-faktor di atas, pada tahun 1907 Abdullah Ahmad mendirikan Madrasah Adabiyah di Padang Panjang dengan sistem klasikal. Di samping pelajaran agama juga diajarkan pelajaran membaca dan menulis huruf latin dan ilmu hitung. Menurut Mahmud Yunus, Adabiyah merupakan madrasah pertama di Indonesia yang mencoba mengintegrasikan antara mata pelajaran umum dan agama. Tetapi belum berjalan satu tahun sekolah ini ditutup dan dipindahkan ke Padang.5 Di Padang, sekolah ini berjalan lebih maju, pendidikan umum lebih ditekankan dari pada pendidikan agama. Untuk memperbaiki mutu, Abdullah Ahmad memasukan empat orang guru berbangsa Belanda, di samping dua orang Indonesia yang mempunyai ijazah untuk mengajar di tingkat H.I.S. Pada tahun 1916 sekolah ini diakui oleh pemerintah Belanda sebagai H.I.S pertama yang didirikan oleh organisasi Islam, serta diberi subsidi penuh. Sejak itu madrasah Adabiyah berubah menjadi H.I.S. Adabiyah. Dengan diakuinya H.I.S. Adabiyah, maka Adabiyah berubah menjadi sekolah umum. Bedanya dengan sekolah Gubernemen, di Adabiyah diajarkan pelajaran Agama dua jam dalam seminggu, yang diajar langsung oleh Syekh Abdullah Ahmad sendiri, sementara di sekolah Belanda tidak diajarkan agama. Dan sekolah ini pula yang pertama sekali memasukan pelajaran agama dalam rencana pelajarannya. Sekarang Adabiyah telah menjadi Sekolah Dasar, dan Sekolah Menengah. Pembaharuan yang dilakukan oleh Syekh Abdullah Ahmad diikuti oleh oleh ulama lainnya sehingga muncul Madrasah Diniyah, Madrasah Sumatera Tawalib, Madrasah Tarbiyah Islamiyah. Madrasah Adabiyah menjadi model bagi lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya, sehingga Madrasah akhirnya berkembang ke penjuru tanah air. Syekh Abdullah Ahmad memunculkan dua bentuk pembaharuan dalam pendidikan Islam yaitu madrasah yang memasukan ilmu pengetahuan umum ke dalam kurikulumnya, dan sekolah umum yang mengajarkan pelajaran agama. Usaha untuk mengadakan pembaharuan dalam pendidikan Agama kayaknya tidak berhasil dilakukan Syekh Abdullah Ahmad, beliau malah lebih cenderung meniru pendidikan Belanda. Agaknya alasan ini yang membuat muridnya Kiyai Haji Zarkasyi (pendiri Pondok Pesantren Gontor) berpendapat bahwa Abdullah Ahmad bukanlah seorang modernisator, melainkan seorang Hollandisator.6 Bagaimanapun juga Syekh Abdullah Ahmad paling tidak sudah melangkah untuk pertamakalinya mengadakan pembaharuan dalam pendidikan agama Islam. Langkahnya ini diikuti oleh tokoh-tokoh pendidikan lainnya, seperti Syekh Abdul Karim Amarullah, 4 Steenbrink, Karel A., Pesantren, Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam Dalam Kurun Modern, (Jakarta: LP3ES, 1974), p. 18-19 5 Steenbrink, Karel A., Pesantren…, p. 39 6 Karel A. Steenbrink., Pesantren…, p. 42
206
Jurnal Nuansa
. Edisi 1, No. 2, September 2010
Muhammad Thaiyib Umar, Zainuddin Labai Elyunusi dan lain-lainnya yang telah berhasil memantapkan madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam yang berbeda dengan pendidikan Belanda dan pendidikan tradisional. Dengan lahirnya madrasah, terdapat tiga tipe lembaga pendidikan di Indonesia, tradisonal (surau, pondok dayah) madrasah dan sekolah. Pada tahap awal tidak terdapat perubahan yang signifikan antara madrasah dan pesantren. Kurikulum masih didominasi pelajaran agama dan sedikit sekali dimasukan ilmu pengetahuan umum. Perbedaan madrasah dengan pesantren hanya terletak pada cara belajarnya yang sudah klasikal, sementara pesantren masih individual dan halaqah. B. Madrasah dan Sekolah Agak sulit membedakan antara madrasah dan sekolah. Karena kedua istilah tersebut sering dipakai dalam arti yang sama. Seperti Mahmud Yunus dalam beberapa tulisannya, kadang-kadang menggunakan istilah madrasah dan kadang-kadang menggunakan istilah sekolah.7 Jika dirujuk ke akarnya, kata madrasah berasal dari bahasa Arab dimana pada awalnya berarti mazhab atau aliran dalam bidang fikih. kemudian terjadi perluasan makna, istilah madrasah digunakan untuk lembaga pendidikan Islam. Mata pelajaran yang diajarkan hampir mayoritas mata pelajaran agama, sementara mata pelajaran umum hampir tidak diajarkan. Materi pelajaran yang diajarkan setara dengan pelajaran tingkat tinggi. Oleh karena itu Philip K. Hitti8 mengatakan madrasah setara dengan lembaga pendidikan tinggi ”akademi”. Stanton9 mengatakan setara dengan “college”. Dari segi bangunan madrasah merupakan sebuah komplek yang dilengkapi dengan berbagai sarana, baik tempat beribadah, tempat belajar dan bahkan tempat tinggal siswa. Sementara sekolah berasal dari bahasa Inggris “School” yang berarti lembaga pendidikan yang mengajarkan mata pelajaran umum. Pada awalnya di Indonesia kata school digunakan untuk istilah sekolah tingkat rendah dan menengah seperti H.I.S. setara dengan Sekolah Dasar, MULO setara dengan SMP, dan A.M.S. setara dengan S.M.U, tetapi kemudian school juga digunakan untuk Sekolah Hakim dan lain-lainnya.10 Mata pelajaran agama Islam memang tidak boleh diajarkan di sekolah, tetapi pelajaran tentang agama Kristen termasuk ke dalam kurikulumnya. Hanya saja karena banyak masyarakat yang tidak mau memasukan anaknya ke sekolah Belanda, maka pelajaran Agama Kristen ditiadakan. Bahkan Pemerintah Kolonial Belanda justru mendirikan sekolah-sekolah umum yang diposisikan secara istimewa dan tidak memberi ruang yang proporsioanl bagi 7 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1996) 8 Phlip K. Hitti, History of the Arab, (London: Macmillan Pres Ltd, 1974), p. 410 9 Charles Michael Stanton, Higher Learning in Islam:the Clasical Period, D.700-1300, (Maryland: Rowman and Littlefield Inc, 1990), p. 37-38 10 H. Muh. Said, Mendidik dari Zaman ke Zaman, (Bandung: Jemmars, 1987), p. 65
Munawwaratul Ardhi
. Pergulatan Madrasah Menemukan Jatidiri
207
umat Islam untuk mengembangkan potensi sumber daya manusia.11 Para tokoh pembaharu Islam juga tidak konsekwen dalam menggunakan istilah, madrasah atau sekolah. Untuk kasus Adabiyah memang dapat dibedakan, ketika sekolah tersebut masih bercirikan Islam (yang diajarkan lebih banyak agama Islam) sekolah tersebut dinamakan Madrasah Adabiyah. Dan ketika Madrasah Adabiyah berubah menjadi sekolah yang berhaluan barat, maka madrasah itu berubah nama dengan H.I.S. Adabiyah. Ada pembaharu yang menggunakan istilah sekolah untuk lembaga pendidikan agama, seperti Diniyah School, bahkan ada yang menggunakan madrasah dan sekolah sekaligus, seperti Madras School yaitu sekolah agama yang didirikan oleh Syekh Muhammad Thaiyyib Umar di Batu Sangkar tahun 1910.12 Dalam segi bahasa makna madrasah dan sekolah adalah sama yaitu satu wahana untuk belajar, tetapi dalam prakteknya terdapat perbedaan. Perbedaan tersebut antar lain dari aspek mata pelajaran. Madrasah lebih banyak mengajarkan mata pelajaran agama dan sedikit sekali mata pelajaran umum, sebaliknya sekolah banyak mengajarkan mata pelajaran umum dan tidak mengajarkan agama. Dari segi system juga madarasah pertama adalah sekolah yang berasrama. Hal ini masih terlihat pada madrasah yang berasal dari surau, seperti madrasah Sumatera Tawalib Padang Panjang dan Diniyah putri. Walaupun pada perkembangan selanjutnya, banyak pula berdiri madrasah yang tidak berasrama dan bahkan persis sama dengan sekolah. Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa madrasah mengandung arti tempat atau wahana anak mengenyam proses pembelajaran secara terarah, terpimpin dan terkendali. Dengan demikian secara teknis madrasah menggambarkan proses pembelajaran secara formal yang tidak berbeda dengan sekolah, hanya dalam lingkup cultural madrasah memiliki konotasi spesifik. Di lembaga ini anak memperoleh pembelajaran hal ihwal atau seluk beluk agama dan keagamaan, sehingga dalam pemakaiannya kata madrasah di Indonesia lebih dikenal dengan sekolah agama. Pengelolaan madrasah yang kurang repsentatif, membuat madrasah tidak dapat berpacu dengan sekolah. Dalam perkembangannya madrasah banyak mengalami kendala yang membuat madrasah tidak kompetitif dan secara berangsur-angsur semakin termarjinal. Madrasah dipandang sebelah mata dan menempati posisi kelas dua, sementara sekolah semakin memperkuat posisinya sebagai lembaga pendidikan vavorit. C. Madrasah Pasca Kemerdekaan Sebagai sekolah yang berbasis masyarakat, madrasah merupakan realisasi pendidikan yang menampung aspirasi social budaya, dan agama masyarakat Walaupun kehadiran madrasah merupakan reaksi terhadap kebijakan pemerintah Belanda yang sangat 11 Rahim, Husni, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos 2001), p. 29-31 12 Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1996), p. 63
208
Jurnal Nuansa
. Edisi 1, No. 2, September 2010
diskriminatif terhadap pendidikan Islam, namun setelah Indonesia merdeka, madrasah mendapat penghargaan yang tinggi, perhatian dan bantuan material dari pemerintah. Karena pada dasarnya madrasah merupakan satu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berakar dalam masyarakat Indonesia. Konsekwensi dari kemerdekaan ialah tuntutan dan kewajiban akan perlunya pengaturan pendidikan melalui birokrasi pemerintahan berupa departemen. Ketika struktur pemerintahan dilengkapi dengan Departemen Agama, maka secara institusional Departemen Agama diserahi kewajiban dan bertanggungjawab terhadap pembinaan dan pengembangan pendidikan agama dalam lembaga-lembaga tersebut. Bahkan pemerintah mendirikan Madrasah Ibtidaiyah negeri setingkat dengan Sekolah Dasar, Madrasah Tsanawiyah Negri setingkat Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah ‘Aliyah Negeri setingkat Sekolah Menengah Atas. Adapun tujuan pendirian madrasah negeri ini adalah untuk memberikan bimbingan dan percontohan yang konrit kepada masyarakat Islam tentang pengelolaan madrasah swasta yang jumlahnya sangat banyak.13 Masuknya madrasah sebagai subsistem pendidikan nasional bukan berarti madrasah keluar dari permasalahan yang selama ini menghimpit. Berbagai langkah dilakukan agar madrasah tetap eksis dan tidak menjadi lembaga pendidikan kelas dua. Langkahlangkah perbaikan sudah dilakukan sejak periode H.A. Mukti Ali dengan mengeluarkan UU SPN tahun 1989 dan kerjasama antara Departemen Agama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan serta Departemen Dalam Negeri. Alternatif pengembangan madrasah melalui SKB 3 Mentri adalah memberikan kesetaraan atau mensejajarkan kualitas madrasah dengan non madrsah dengan porsi kurikulum 70% umum, 30% agama. Pengakuan kesetaraan yang diberikan pemerintah terhadap tamatan madrasah melalui SKB 3 menteri sangat menguntungkan bagi peserta didik madrasah, karena anak-anak yang tamat dari madrasah bisa melanjutkan pendidikannya ke perguruan-perguruan umum. Tetapi inovasi dengan menambah mata pelajaran umum (sama dengan sekolah umum) dan mengurangi mata pelajaran agama, tentu saja menyimpang dari tujuan madrasah itu sendiri. Di samping menguntungkan, SKB 3 Menteri ikut andil membunuh karakteristik madrasah. Harapan anak menjadi orang yang paham tentang agama tidak bisa dicapai dengan semakin sedikitnya pelajaran agama yang diberikan. Pada hal ciri khas madrasah itu adalah pelajaran agama, sementara pelajaran umum hanya sekedar menambah wawasan peserta didik agar mereka tidak buta terhadap kemajuan yang dihadapinya. Problem yang dihadapi madrasah semakin lama bukan semakin membaik, malahan semakin pelik, karena hampir tidak ada perbedaan antara madrasah dan sekolah kecuali hanya nama, sementara ciri-ciri agamis yang selama ini menempel pada madrasah sudah tipis. Perbaikan madrasah dilanjutkan pada periode Munawir Sadzali dengan Konsep MAPK, yakni dengan menjadikan beberapa MAN menjadi sekolah unggulan, tetapi 13 Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), p. 197-198
Munawwaratul Ardhi
. Pergulatan Madrasah Menemukan Jatidiri
209
hasilnya juga kurang memuaskan, karena tidak ada jenjang pendidikan berikutnya yang menjadi wadah bagi tamatan MAPK. IAIN sebagai perguruan tinggi agama belum memiliki jurusan khusus bagi anak-anak tamatan MAPK yang kualitasnya tentu saja berbeda dengan tamatan MAN dan SMU biasa. Ketika mereka menapak ke IAIN, kualitas mereka menjadi stagnan, karena dalam proses pembelajaran, mereka harus mengulang, dan bergabung dengan tamatan MAN atau SMU. Kemunduran madrasah semakin kelihatan ketika Tarmizi Taher menjadikan Madrasah sebagai sekolah umum yang bercirikan agama Islam. Kwalitas madrasah semakin lama semakin mundur. Cita-cita untuk menjadikan madrasah sebagai sekolah unggulan tidak pernah padam, hanya saja dalam implementasinya ide-ide tersebut membawa dampak negative terhadap madrasah itu sendiri. H.A. Malik Fajar juga berusaha menjadikan madrasah sebagai sekolah nomor satu, bukan sekolah alternative. Untuk mencapai itu semua perlu dipikirkan beberapa hal pokok: a) Madrasah harus memenuhi tuntutan menimal dalam peningkatan kualitas madrasah, b)Bagaimana menjadikan madrasah sebagai wahana untuk membina ruh atau praktek hidup keislaman. c)Bagaimana memperkokoh keberadaan madrasah sehingga sederajat dengan sistem sekolah, d)Bagaimana madrasah mampu merespon tuntutan masa depan guna mengantisipasi perkembangan iptek dan era globalisasi.14 Harapan dan tuntutan yang sangat idealis di ataspun tak mampu terwujudkan. Dua puluh tahun sudah UU SPN dilaksanakan, hingga saat ini pemerintah belum mampu mengangkat citra madrasah sebagai lembaga pendidikan nomor satu, kecuali beberapa madrasah yang berkualitas tinggi. Kegagalan tersebut disebabkan banyak factor antara lain: karena tidak dibarengi dengan perbaikan yang komprehensif, baik dari segi pelaku pendidikan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Madrasah memikul dua tugas penting, yaitu output yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi modern dan pada sisi lain manjadikan manusia berprilaku agamis. Pendidikan agama tidak hanya sekedar penguasaan ilmu agama, melainkan bagaimana ilmu agama itu menyatu dengan prilaku anak sehari-hari. Prilaku tidak cukup disampaikan melalui mulut saja, tetapi butuh kepada pengawasan dan pengontrolan. Kendala–kendala yang dihadapi madrasah berdasarkan hasil penelitian para peneliti tidak terlepas dari alasan-alasan klasik – professionalitas guru kurang, sarana prasarana yang tidak mendukung, materi pelajaran yang kurang mengajak kepada berfikir kritis, orientasi pada praktek ritual keagamaan dan kurang memperhatikan ilmu pengetahuan dan teknologi, kelemahan managemen dan lain-lain. Kendala-kendala di atas memang sudah merupakan masalah klasik. Pembinaan yang dilakukan terhadap madarasah berbeda dengan pembinaan yang dilakukan terhadap sekolah dengan berbagai alasan terutama masalah finansial. 14 A. Malik Fadjar, Madrasah dan Tantangan Modernitas, (Bandung: Mizan, 1998), p. 14
210
Jurnal Nuansa
. Edisi 1, No. 2, September 2010
D. Langkah ke Depan Sudah menjadi anggapan umum, bahwa ukuran keberhasilan satu sekolah selalu dilihat kepada banyaknya peminat yang mau masuk di sana, lulusan dalam ujian akhir, jumlah mereka yang diterima pada jenjang pendidikan lanjutan di lembaga-lembaga favorit, kemudian jumlah mereka yang mengisi lowongan tenaga kerja, baik di swasta, maupun di kantor-kantor pemerintahan. Jarang sekali orang melihat apa yang bisa dilakukan oleh seseorang setelah mereka menyelesaikan jenjang pendidikan tertentu. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi punya andil besar dalam merubah pola hidup dan cara pandang masyarakat. Keberhasilan pendidikan selalu dikaitkaan dengan lapangan kerja dan penghasilan. Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam dalam era perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin dipertanyakan relevansinya, terutama jika dikaitkan dengan kontribusinya bagi budaya modern yang sangat dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Kondisi ini semakin menyudutkan posisi madrasah, karena madrasah sebagai sekolah yang berbasis masyarakat belum masuk ke ranah itu. Tuntutan yang begitu tinggi kepada madrasah sebenarnya membuat madrasah mengalami degradasi fungsional, karena pendidikan semakin berorientasi materialistis. Pendidikan cenderung ditetapkan sebagai asset social yang memiliki fungsi khusus dalam menyiapkan tenaga kerja yang akan memenuhi tuntutan dunia kerja. Akurasi suatu program pendidikan dilihat dari seberapa jauh output pendidikan tersebut dapat berpartisipasi aktif dalam mengisi lapangan kerja yang disediakan. Pendidikan mengalami perubahan fungsi menjadi hanya sekedar pemasok tenaga kerja yang terampil yang dibutuhkan. Padahal fungsi utama dari pendidikan adalah menanamkan dan mendinamisasi nilai-nilai yang dapat menyadarkan manusia tentang hakikat eksistensinya yang harus dikembangkan di tengah masyarakat. Tuntutan kebutuhan masyarakat dalam menghadapi tantangan zaman membuat madrasah semakin tidak kompetitif. Masyarakat semakin lama semakin berorientasi pada kehidupan materialistis, yang belum mampu direspon madrasah. Sebenarnya dalam kontek makro, hampir semua system pendidikan selalu kalah berpacu dengan perubahan social. Komoditi yang dihasilkan dunia pendidikan selalu kalah berpacu dengan tuntutan perkembangan masyarakat yang begitu dahsyat. Oleh karena itu pendidikan selalu dituntut untuk menjadi industri dimana produknya laku dijual atau dibutuhkan oleh konsumen. Perkembangan pendidikan yang selalu tertinggal dibandingkan perubahan yang terjadi dalam masyarakat disebabkan dikungkung oleh berbagai aturan dan kebijakan yang tidak memungkinkan lahirnya pendidikan yang fleksibel dan mampu menghadapi perkembangan di sekitarnya. Revisi kurikulum tidak mudah dilakukan walaupun disadari bahwa perkembangan masyarakat telah jauh melampaui apa yang didapat oleh anak didik dibangku pendidikan formal. Dengan demikian pendidikan formal dalam bentuk persekolahan sangat tidak adaptif, bahkan konservatif dan berada pada status quo.
Munawwaratul Ardhi
. Pergulatan Madrasah Menemukan Jatidiri
211
Lulusan pendidikan formal juga tidak memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan masyarakat. Dari sini banyak muncul penganggur terdidik, karena tidak tersedianya lapangan kerja yang relevan dengan keahlian mereka.15 Dalam perkembangan pendidikan yang serba materialis, madrasah seharusnya tidak hanya berpacu untuk sejajar dengan sekolah-sekolah umum dalam bidang penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga lebih mengembangkan kepada aspek penanaman dan pendinamisan nilai-nilai, sehingga anak-anak yang tamat dari madrasah menjadi anak yang mandiri yang mampu mengembangkan dirinya di dalam masyarakatnya. Mereka bukan produk yang harus dibeli oleh konsumen, tetapi mereka industri yang akan menghasilkan produk. Yang harus dipikirkan pihak pengelola madrasah adalah bagaimana mengembangkan kurikulum muatan local madrasah yang sudah diberi ruang dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), agar tamatan dari madrasah menjadi orang-orang yang mampu mengembangkan dan bertanggungjawab terhadap dirinya serta betul-betul paham dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat yang dilengkapi dengan pengetahuan tentang kearifan lokal. Sehingga mereka dapat berkiprah dalam pembangunan masyarakat yang selalu berubah. III. PENUTUP Apapun pengembangan yang dilakukan terhadap madrasah, hendaknya jangan lupa bahwa cirri khas dari madrasah adalah pendidikan agama. Pendidikan agama Islam, adalah pendidikan yang menyeluruh dan terpadu, selaras dan seimbang. Dan ini juga yang seharusnya menjadi unggulan dari madrasah, bukan mengejar keunggulan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi mengutamakan proses penguasaan ilmu pengetahuan itu sendiri. Untuk itu tujuan pendidikan madrasah perlu dirumuskan kembali, bukan hanya sekedar meniru-niru dan ikut-ikutan pada sekolah umum. Karena bila madrasah tetap meniru-niru dan ikut-ikutan, maka selamanya madrasah tidak akan pernah punya jati diri dan selalu akan menjadi pendidikan kelas dua bila dibandingkan dengan sekolah-sekolah umum. Madrasah akan tetap diminati selama madrasah punya keunggulan tertentu, bukan sekolah yang serba tanggung. Sebenarnya komitmen masyarakat terhadap nilai-nilai agamanya masih cukup tinggi, bahkan ada kecenderungan meningkat. Hal ini terlihat ketika muncul pendidikan Islam yang dinilai bermutu dan menjajikan, maka mereka akan menjadikannya sebagai pilihan pertama. Kecenderungan masyarakat kelas menengah di Indonesia memasukan anak-anaknya ke sekolah agama, bahkan ke pondok-pondok 15 A. Rusli Karim, Pendidikan Islam di Indonesia dalam Transformasi Budaya, dalam Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, Editor Muslih Usa, (Yogyakarta: PT.Tiara Wacana Yogya, 1991), p. 127-129
212
Jurnal Nuansa
. Edisi 1, No. 2, September 2010
pesantren semakin meningkat. Kesadaran mereka akan pengaruh negative dari kemajuan informasi teknologi terhadap pendidikan anak-anak mereka, membuat mereka lebih percaya menyekolahkan anak-anaknya ke pondok-pondok dari pada ke sekolah-sekolah umum. Kesadaran akan keburukan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, membuka peluang bagi madrasah untuk merancang sebuah sistem pendidikan pondok yang tidak dikotomi yang mempunyai unggulan tertentu.
DAFTAR PUSTAKA Abrasyi, Athiyah al-, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Terjemahan Bustami A.Gani dan Djohar Basri L.I.S, Jakarta: Bulan Bintang, 1993. Bulliet, Richard W., The Patrician of Nisaphur: a Study in Medieval Islamic Social History, Harvard: Harvard University Press, 1972, Fadjar, A. Malik, Madrasah dan Tantangan Modernitas, Bandung: Mizan, 1998. Hitti, Phlip K., History of the Arab, London: Macmillan Pres Ltd, 1974. Karim, A. Rusli, Pendidikan Islam di Indonesia dalam Transformasi Budaya, dalam Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, (Editor Muslih Usa), Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1991. Rahim, Husni, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Logos 2001. Said, H. Muh., Mendidik dari Zaman ke Zaman, Bandung: Jemmars, 1987. Stanton, Charles Michael, Higher Learning in Islam:the Clasical Period, D.700-1300, Maryland: Rowman and Littlefield Inc, 1990. Steenbrink, Karel A., Pesantren, Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam Dalam Kurun Modern, Jakarta: LP3ES, 1974 Tilaar, H. A.R., Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1996 Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1994.