METODOLOGI STUDI ISLAM KONTEMPORER Moh. Dahlan Pascasarjana STAIN Bengkulu (Alamat: Jalan Raden Fatah Pagar Dewa Bengkulu)
Abstract The people who lived in a certain era and was secularized by certain value which considered to be free from spiritual dimension. It is absolutely wrong and bad perception. The people in the modern era sometime seemed to be religious as the people in previous era, but some districts nowadays showed their religiosity more than others. One question appears, could Islam survive and stand progressively and dinamically in the modern era as attained by Prophet Muhammad? Positioning the relationship between reason (human being) and revelation of God Allah is the solution to overcome everything. G Barbour stated that the methodology of Islamic studies should be developed is integrated-dialogue methode and interconnectedentities methode. This opinion proposed in order to have an empirical-rational frame on Islamic studies, not speculative-litereer one. Keywords: metode dialog-integratif, rumusan keilmuan Islam literer-spekulatif dan rasional-empiris. I. PENDAHULUAN Pendapat yang menyatakan bahwa umat manusia sekarang hidup dalam suatu dunia yang telah disekularisasikan -yang berarti suatu dunia yang dikosongkan dari dimensi spiritualnya- adalah salah. Dengan beberapa pengecualian, dunia zaman (modern) ini tetap saja religius dan dahsyat seperti dulu, bahkan di beberapa daerah lebih religius daripada masa sebelumnya. Ini berarti berbagai tulisan yang dicap oleh para ahli sejarah dan sosiologi sebagai “teori-teori sekularisasi” pada hakikatnya adalah salah.1 Namun karena era dulu dan era modern telah mengalami perubahan, lalu bagaimana agama (Islam) bisa hidup progresif di era modern sebagaimana diajarkan nabi Muhammad saw ? Pertanyaan ini bisa dijawab dengan memposisikan ulang secara tepat hubungan antara akal (sebagai karakter dominan aliran modernisme) dan wahyu (sebagai karakter dominan aliran fundamentalisme atau konservatisme).2 Jawaban yang mampu memposisikan ulang secara tepat antara akal dan wahyu menjadi penting mengingat umat Islam telah mengalami kemunduran yang sangat jauh 1 Louis Leahy, “Desekularisasi Zaman Modern”, Basis, no.11-12, 2005, p. 57; Peter L Berger, The Desecularization of the World: Resurgent Religion and World, (Grand Rapids: Eerdmans, 1999), p. 12-13. 2 Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam; Kajian Tematis, terj. Musa Kazhim dan Arif Mulyadi, (Bandung: Mizan 2002), p. 23-29.
148
Moh. Dahlan
. Metodologi Studi Islam Kontemporer
149
dengan dunia lain, Barat. Problem kemunduran keagamaan (Islam) ini –khususnya di Indonesia- disinyalir oleh beberapa hal. Pertama, arus budaya mistik dalam kehidupan agama di Indonesia. Kedua, pemikiran ulama-ulama Indonesia lebih banyak menekankan bidang fiqih yang corak pendekatannya adalah normative.3 Dari permasalahan tersebut, kita memerlukan metodologi studi Islam yang memiliki karakteristik multidimensi berbeda dengan metodologi sebelumnya yang bersifat monodimensi.4 Hal ini dimaksudkan untuk mengkaji ajaran-ajaran Islam yang berkembang di kalangan umat Islam, khususnya di Indonesia. II. PEMBAHASAN A. Relasi Antara Sains dan Agama: Sebuah Pembahasan Metodologis Secara garis besar, Ian G. Barbour membagi relasi pengetahuan (sains) dan agama menjadi empat pendekatan: Pertama, pendekatan konflik adalah pendekatan yang saling menafikan di antara keduanya, yaitu agama dan pengetahuan (sains). Bagi pendekatan ini, sains dan agama bertentangan. Kedua, pendekatan independensi yang menyebutkan bahwa sains dan agama merupakan dua domain independen yang dapat hidup bersama selama mempertahankan “jarak aman” satu sama lain. Karenanya, semestinya tidak perlu ada konflik kerena sains dan agama berada di domain yang berbeda. Di samping itu, pernyataan sains dan pernyataan agama memiliki bahasa yang tidak bisa dipertentangkan karena pernyataan maasing-masing melayani fungsi yang berbeda-beda dalam kehidupan manusia dan berusaha menjawab persoalan yang berbeda. Ketiga, pendekatan dialog berusaha membandingnkan antara metode agama dan sains yang kemudian menunjukkan kemiripan dan perbedaan. Model konseptual dan analogi dapat dipergunakan untuk menggambarkan hal-hal yang tidak dapat diamati secara langsung (misalnya Tuhan). Sebagai alternatifnya, dialog dapat terjadi ketika sains menyentuh persoalan di luar wilayahnya sendiri. Pendekatan ini baru terjadi ketika di antara keduanya saling membutuhkan, tetapi jika tidak membutuhkan, tidak terjadi dialog. Keempat, pendekatan integrasi berusaha membangun kemitraan yang lebih sistematis dan ekstensif antara sains dan agama yang terjadi di kalangan orang yang mencari titik temu di antara keduanya.5 3 A.Mukti Ali, “Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia”, dalam Zaini Muhtarom dkk., (redaksi), Ilmu Perbandingan Agama Di Indonesia (Beberapa Permasalahan), (Jakarta: INIS, 1990), p..3. 4 M. Amin Abdullah membagi tiga pendekatan: Pertama, single entities adalah pengetahuan atau pemahaman agama yang berdiri sendiri tanpa memerlukan bantuan metodologi yang digunakan oleh ilmu pengetahuan umum lain dan begitu pula sebaliknya. Cara kerjanya adalah konfliktual dan truth claim. Kedua adalah isolated entities yang cara kerjanya berjalan sendiri sendiri tanpa dialog. Ketiga adalah interconnected entities yang cara kerjanya dialogis-kritis. M. Amin Abdullah, Design Pengembangan Akademik IAIN Menuju UIN Sunan Kalijaga: Dari Pola Pendekatan Dikotomis-atomistik Kearah Integrative-interdisiplinary, Makalah Seminar 21Psacasarjana IAIN Sunan Kalijaga 16 Maret 2004, p. 7. 5 Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan: Antara Sains dan Agama, terj. E.R. Muhamad, (Bandung: Mizan, 2000), p.. 40-42. Ian G. Barbour, Issues in Science and Religion, (New York: Prentice-Hall, Inc, 1966). J. Milton Yinger, The Science Study of Religion, (New York: Macmillan, 1957), p. 245
150
Jurnal Nuansa
. Edisi 1, No. 2, September 2010
B. Pola Pikir Doktriner versus Sainstifik Dalam sejarahnya, metodologi studi Islam berpusat pada akidah dan mu’amalah. Mu’amalah dibagi menjadi dua macam;6 mu’amalah yang berhubungan dengan Allah (hablum min Allah) dan mu’malah yang berhubungan dengan sesama manusia (hablum min an-nas). Menurut A. Mukti Ali, metodologi studi Islam ini masih bercorak doktriner.7 Sementara itu, ulama-ulama belakangan terlalu abstrak dalam membangun metodologi studi Islam, sehingga sulit dipahami. Fazlur Rahman, misalnya, mempunyai pendapat bahwa pokok ajaran Islam ada tiga; percaya kepada keesaan Allah, pembentukan masyarakat adil dan kepercayaan hidup setelah mati. Ia mengangkat pesan ideal moral Islam dengan menganjurkan untuk mempelajari sejarah al-Qur’an dan al-Hadits.8 Metodologi ini banyak mendapat respons postif di kalangan pembaru Islam karena pembaruannya membuka cakrawala berpikir modern. Meskipun demikian, Rahman tidak kebal dari kesalahan dan kelemahan. Pertama, ia tidak merumuskan secara rinci pesan ideal moral itu. Kedua, konsep ideal moralnya terlalu abstrak dan umum. Ketiga, ia tidak akrab dengan ilmu-ilmu sosial modern sehingga kurang memperhatikan faktorfaktor eskternal dalam menganalisis kelemahan umat Islam. Ia terlalu percaya bahwa penyelesaian keislaman hanya bisa diselesaikan dengan cara mengkaji ajaran Islam saja. Padahal, faktanya kelemahan umat Islam tidak hanya disebabkan faktor internal tetapi juga faktor eksternal.9 Dalam metodologi studi Islam, jika era klasik dan tengah selalu sibuk dengan polemik antara teologi dan filsafat, maka era kekinian seharusnya memiliki tawaran baru yang dapat memberi pencerahan dalam pemikiran Islam. Walaupun pencerahan pemikiran Islam sangatlah tergantung pada pendekatan yang digunakan. Jika pendekatannya adalah murni keislaman, maka ia akan memunculkan ekspresi keagamaan yang truth claim. Walaupun ekspresi keislaman yang truth claim itu bisa dibenarkan di satu sisi tetapi dapat menyesatkan dalam kenyataannya. Karena Islam yang bersumberkan wahyu (Allah) setelah dipahami dan dipraktikkan manusia akan menjadi milik manusia biasa yang bisa benar dan salah, bukan lagi kehendak Allah tetapi sudah menjadi kehendak manusia, sehingga perlu ada koreksi dan perbaikan secara terus menerus.10 Apalagi Allah sendiri tidak pernah menurunkan pesan idealnya secara utuh dalam dunia profan karena memang 6 Taufik Abdullah, “Menteri Agama Republik Indonesia: Suatu Pengantar Profil Biografis”, dalam Azyumardi Azra dan Saiful Umam (eds.), Menteri-Menteri Agama RI, (Jakarta: INIS, PPIM, Balitbang Depag RI, 1998), p. xxxvii-xxxviii. 7 A. Mukti Ali, “Metodologi Ilmu Agama Islam”, dalam Taufik Abdullah dan M Rusli Karim (eds.), Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989), p. 41 8 A. Mukti Ali, “Metodologi…”, p. 41 9 Haryatmoko, Pola Hubungan Teologi, Etika dan Fiqh: Tinjauan Buku Dr. Abd A’la “Dari Neomodernisme ke Islam Liberal”, Makalah Seminar, p. 8 10 M. Amin Abdullah, “Rekonstruksi Metodologi Studi Agama dalam Masyarakat Multikultural dan Multireligius”, dalam M. Amin Abdullah dkk (eds.), Antologi Studi Islam, (Yogyakarta: DIP PTA IAIN Sunan Kalijaga, 2000), p. 19
Moh. Dahlan
. Metodologi Studi Islam Kontemporer
151
manusia sebagai makhluk profan tidak akan mampu menangkap pesan yang sakral itu secara utuh. Di samping itu teks bahasa atau wahyu Allah yang berbentuk bahasa Arab dalam al-Qur’an (dan al-Hadits) adalah bahasa manusia biasa yang sudah pasti akan ketinggalan zaman karena teks bahasa itu diturunkan dalam zaman dan tempat tertentu serta untuk menjawab problem aktual tertentu, sedangkan umat Islam itu hidup di dalam dunia yang berbeda-beda, baik dari segi zaman maupun tempatnya.11 Inilah problem krusial yang terjadi di kalangan pengkaji agama yang berwawasan normatif, sulit menghargai kebenaran empiris-rasional, bahkan kebenaran yang dimilikinya seringkali dipaksakan kepada yang lain. Pola pikir ini bersifat ideologis, yakni berpihak pada salah satu sistem dominasi atau pembenaran kekuasaan sehingga diperlukan sebuah kritik untuk menghilangkan ilusi-ilusi itu.12 Demikian juga Karl Mannheim mengartikan ideologi13 sebagai ramalan tentang masa depan yang didasarkan pada sistem yang sekarang sedang berlaku (dalam arti, ada dominasi masa lalu terhadap kenyataan masa kini), yang dibedakan dengan utopia.14 Jika pola pikir ideologis itu digunakan, akan melahirkan pemikiran taqlid, yakni wawasan keislaman yang sempit dan sering menganggap metode rasional dan empiris tidak bisa dikaitkan dengan studi Islam, sehingga kaum akademisi dan cendekiawan Muslim yang mempunyai metode studi Islam yang bercorak rasional dan empiris dalam
11 Komaruddin Hidayat, Tragedi Raja Midas, (Jakarta: Paramadina, 1998). p. 12 12 John B. Thompson, Analisis Ideologi: Kritik Wacana Ideologi-ideologi Dunia, terj. Haqqul Yaqin, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), p. 17 13 Apa itu ideologi? Ideologi adalah cara berpikir orang lain yang tidak sefaham, kesadaran palsu, distorsi atau disimulasi. Karenanya itu, menurut Paul Ricoeur, (a) setiap ideologi menyederhanakan, merubah dari gagasan menjadi opini, dari opini menjadi keyakinan (ritualisasi-ritualisasi) dan akhirnya menjadi doktriner. Dan (b) sesuatu yang doktriner memberikan pembenaran dan mau memantapkan diri. Karena itu sering muncul selogan (lebih baik lapar daripada menjilat kapitalis). (c) mekanisme ideologi bisa menjadi patologi. Kita tidak diajak mengambil jarak dan kritis terhadap ideologi. Ambisi ideologi adalah bisa operasional, artinya ideologi menjadi titik tolak kita dalam berpikir dan bertindak. Justru karena ambisi ini muncul ciri distorsinya, yakni membelokkan maksud yang benar supaya koheren dengan kenyataan. Kelihatan pula ciri disimulasi, artinya menyembunyikan kepentingan-kepentingan dan tujuantujuannya. Merumuskan semua hal dan mensistematisasikan supaya bisa menjadi obyek pemikiran yang sulit. Kesulitan ini mebuat ideologi tidak kritis). (2) Sifat tidak kritis itu membawa ideologi menjadi tidak refleksif dan tidak transparan sehingga mengakibatkan ideologi menjadi lamban. Lamban karena sesuatu yang baru tidak bisa diterima atau diintegrasikan oleh ideologi apabila tidak sesuai dengan tipetipe yang telah ditentukan olehnya. Bagaimana menghadapi sikap doktriner? Godaan ini dihadapi dengan kritik ideologi; mengambil jarak dan mau merima pemikiran lain. Lihat, Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, (Jakarta: Kompas, 2003). 14 Bagi Karl Mannheim, utopia adalah ramalan tentang masa depan yang didasarkan pada sistem yang lain, yang pada saat ini tidak sedang berlangsung. Karena itu, semua kemungkinan perubahan sebuah masyarakat yang tidak didasarkan kepada sistem yang ada, dianggap sebagai suatu yang utopis. Sedang utopia dibagi menjadi dua macam: utopia absolut dan utopia relatif. Utopia relatif adalah jenis utopia yang bisa direalisasikan dalam sebuah sistem kemasyarakatan yang berlainan dari sistem yang sedang berlaku sekarang, sedang utopia absolute adalah jenis utopia yang tidak mungkin direalisasikan kapan pun dan di mana pun. Tetapi, bagi seseorang yang menganut ideologi tertentu, “ideologi lain selalu merupakan utopia absolut. Padahal, seperti dikatakan Mannheim: suatu utopia agaknya tak dapat diwujudkan hanya dari sudut pandang suatu tatanan sosial tertentu yang sudah ada. Karl Mannheim, Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan Tindakan, terj. F. Budi Hardiman, (Yogyakarta: Kanisius, 1991), p. 214
152
Jurnal Nuansa
. Edisi 1, No. 2, September 2010
mengkaji Islam dianggap sebagai agen dari para orientalis dan westernis. Akibat cara pandang demikian, umat Islam (Indonesia) menjadi terbelakang dalam segala bidang, baik agama, sosial, politik, maupun ekonomi. Keadaan ini membutuhkan cara baru dalam mengkaji agama Islam, yaitu metodologi studi Islam yang dalam bahasanya A. Mukti Ali bersifat “sainstifik cum doktriner”.15 Perlunya mengkaji agama dengan cara baru ini berkaitan dengan problem umat Islam Indonesia yang sering melakukan hal-hal yang bukan Islam dianggap sebagai ajaran Islam. Padahal, pola keberagamaan ini dapat menyebabkan umat Islam terjatuh pada keterbelakangan. Semua elemen ajaran agama dianggap sakral dan tidak perlu dikaji secara rasional dan empiris. Mereka tidak membedakan ajaran yang sakral dan yang profan. Implikasinya, umat Islam adalah semakin jauh dari sumber aslinya, yaitu alQur’an dan al-Hadits. Keberagamaan mereka hanya sampai pada hasil pemikiran ulama dan tidak menyentuh pada ajaran aslinya. Contoh tradisi yang bukan Islam dianggap Islam sebagai berikut: “Perbuatan-perbuatan ritual dari siklus hidup sejak anak ada dalam kandungan, dilahirkan, sewaktu umur tujuh hari, 35 hari (selapan), kawin dengan segala macam upacara sebelum dan sesudahnya, mati dan upacara-upacara setelah itu hingga seribu hari, merupakan pemborosan yang tidak tanggung-tanggung dan sama sekali bertentangan dengan etika ekonomi. Demikian juga kepercayaan sinkretis.”16 Pendekatan berpikir taqlid dan bermazhab itu menunjukkan bahwa romatisme sejarah umat Islam yang terlalu kental dan tidak melihat perkembangan zaman sebagai sesuatu yang harus dijawab. Pengutamaan peran wahyu dan warisan masa silam menjadi wacana dominan. Bahkan untuk mengkaji agama Islam, elemen sosial-empiris tidak muncul sebagai bagian yang perlu diuraikan. Selain itu, tradisi sufisme sebagai warisan Al-Ghazali telah menjadi lembaga keagamaan tersendiri yang disebut “tarekat”. Pola pikir ini semakin menjauhkan umat Islam dari dunia rasional dan empiris. Unsur amalan praktis dan pensakralan kepada individu menjadi arus utama budayanya.17 Pola pikir ini berpusat pada guru atau “the idea of syakh”. Dengan cara berpikir demikian, dunia Islam mengalami ketergantungan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pada berbagai karya ulama klasik yang dihasilkan pada masa keemasan Islam. Dunia Islam tidak mampu lagi untuk menggali Islam secara rasional dan empiris dari sumber aslinya tetapi yang berkembang justru sikap fatalisme dan taqlid (konsevatif) yang kemudian memunculkan sikap ketergantungan pada seorang guru, the idea of syakh. Sampai di sini rupayanya kritik M. Amin Abdullah terhadap 15 A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, (Bandung: Mizan, 1998), p. 29 16 A. Mukti Ali, “Agama dan Perkembangan Ekonomi di Indonesia”, dalam Muhamad Wahyuni Nafis dkk, (eds.), Kontekstualisasi Ajaran Islam; 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Syadzali, (Jakarta: Paramadina,1995), p. 596 17 Paradigma ini disebut konservatif oleh A. Mukti Ali, sedangkan kelompok yang hanya kembali pada al-Qur’an dan Hadits tanpa ada tafsir dan pendekatan yang baru disebut “fundamentalis/dogmatis”. A. Mukti. Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, (Jakarta, Rajawali Press, 1987), p. 279.
Moh. Dahlan
. Metodologi Studi Islam Kontemporer
153
gagasan Imam Al-Ghazali tentang the idea of syakh18 terbukti mempunyai arti penting, apalagi jika digunakan untuk mengkritik pola pikir dan tindakan pelaku bom di berbagai tempat di Indonesia, yang menurut pemberitaan berbagai surat kabar pelakunya adalah orang Islam yang telah dibait mati oleh gurunya. Kalau kabar itu betul, maka the idea of syakh tidak bisa dinafikan perannya dalam memberikan motivasi dan etos bagi pelakunya untuk melakukan bunuh diri demi memperjuangkan sesuatu yang menurut anggapan mereka mulia, yaitu mati syahid karena yang dibom adalah symbol-simbol yang berkaitan dengan antek-antek Barat. Tetapi sayang sekali, gagasan mulia yang bertujuan untuk melakukan kritik terhadap dunia Barat dilakukan dengan cara yang salah. Dari fakta tersebut, dapat terlihat dua kelemahan yang berkembang dalam dunia Islam. Pertama, pendekatan kajian Islam yang monolitik (single entities). Kedua, tradisi kritis di dunia Islam, khususnya Indonesia, tidak muncul, dan bahkan tidak ada sama sekali. Bahkan praktik beragama yang berkembang adalah amalan praktisnya saja sebagaimana paham tarekat dan taqlid. Padahal, Islam bukan agama monodimensi Islam, bukan hanya didasarkan pada intuisi mistis dari manusia dan terbatas pada hubungan manusia dengan Tuhan saja.19 Karena Islam adalah agama multidimensi, maka memahami Tuhan dengan menggunakan pendekatan filosofis, membahas kehidupan manusia dengan ilmu-ilmu kemanusiaan, dan mempelajari masyarakat dan peradaban dengan metode historis dan sosiologis. Semua pendekatan ini harus ditambah dengan pendekatan doktriner. Inilah yang dimaksud oleh Mukti Ali dengan metode sintesis; sainstifik cum doktriner atau sainstifik cum suigeneris.20 Cara penerapannya diilustrasikan oleh Mukti Ali sebagai berikut: “Dua metode yang fundemental untuk memahami ajaran Islam secara tepat: Pertama adalah mempelajari al-Qur’an (dan al-Hadits) yang merupakan himpunan ide dan output ilmiah dan literer yang dikenal dengan Islam: Kedua adalah mempelajari sejarah Islam, yaitu mempelajari seantero perkembangan Islam sejak permulaan misi hingga sekarang.”21 Kalau kita mengkaji Islam, khususnya al-Qur’an dan al-Hadits,22 maka alat yang diperlukan bukan hanya studi kebahasaan al-Qur’an (dan al-Hadits) saja tetapi juga perlu 18 M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam (Bandung: Mizan, 2002). 19 A. Mukti Ali, Metodologi…, p. 47 20 Ijtihad model ini oleh Greg Barton disebut dengan gerakan neo-modernisme; yaitu suatu gerakan yang ingin mengawinkan kesarjaan klasik dengan metode-metode analitik modern atau Barat. Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Efendi, Ahmad Wahid, dan Abdurrahman Wahid, terj. Nanang Tahqiq (Jakarta: Paramadina, 1999), p. 12 21 Greg Barton, Gagasan..., p. 49 22 “Kita harus mendukung kebudayaan Islam dan harus kembali kepada kepribadian Islam ini, sebab ialah kepribadian yang paling dekat dengan kepribadian kita sendiri… Namun kita sekarang harus membedakan antara Islam yang mampu menumbuhkan kesadaran, yaitu Islam yang progresif dan selalu berkembang… dan aspek Islam yang bersifat tradisional yang justru menimbulkan kemunduran.” Ali Syariati, “Intidzar,Agama Protes”, dalam John J. Donohue dan John L. Esposito (ed.), Islam dan Pembaruan, terj. Machnun Husein, (Jakarta: Rajawali Press, 1995), p. 572
154
Jurnal Nuansa
. Edisi 1, No. 2, September 2010
tinjauan dari berbagai aspek. Hal ini perlu supaya analisisnya tidak kering sebagaimana yang telah dilakukan oleh para pendahulu, seperti Rahman. Rahman gagal mengkaji Islam secara utuh karena tidak mempunyai pisau analisis yang mencukupi dalam membaca situasi sosial-keagamaan. Perlunya memadukan sains dan agama (dogma) itu untuk menghindari split personality di tengah gempuran arus “rasionalisme”, “positivisme” dan “empirisme” semata yang tidak mungkin memadai untuk mengkaji ajaran-ajaran Islam. Apalagi penelitian empiris hanya menggunakan metodologi bebas nilai dan analisisnya berdasarkan logika yang universal.23 Karena itu penelitian agama yang tidak memadukan unsur doktriner (pengalaman keagamaan) dengan sains akan mengalami kegagalan.24 Misalnya, penelitian Geertz dalam The religion of Java yang gagal dan telah memasukkan aspek yang bukan agama sebagai aspek agama.25 C. Alternatif Baru dalam Metodologi Studi Islam Upaya untuk mengintegrasikan sains dengan agama merupakan gagasan yang juga sekaligus kritik terhadap sains yang selama ini bersifat positivifistik; sains yang hanya identik dengan obyektifitas, netralitas, dan universalitas saat ini sering mengakibatkan ketidakadilan, bahkan ancaman bagi eksistensi manusia.26 Teori sains itu menciptakan rekayasa sosial sebagai ciri paradigma positivistik. Masyarakat dianggap sebabagai obyek perubahan, bukan subyek perubahan.27 Karenanya perlunya membentuk sains yang kontekstual.28 Dalam hal ini, sains yang dapat 23 Para ilmuwan hanyalah sekedar penonton yang berada di luar system tersebut. Seluruh alam semesta dan materi dapat dimengerti tanpa harus diantar oleh pikiran. Salah satu tokoh yang menegaskan pentingnya materi adalah Descartes yang melihat bahwa semua mahluk material adalah semacam mesin yang diatur oleh hukum-hukum mekanis yang sama; tubuh manusia terdiri atas materi yang tak lebih daripada yang ada pada hewan dan tumbuhan. Walaupun era ini diakui dunia spiritual tetapi dominasi dunia material tidak bisa dikalahkan. Realitas ini merupakan awal dari adanya era sekularisme. Di samping itu, tuntutan spesialisasi yang tinggi menyebabkan lahirnya sains yang terpish-pisah tanpa ada dialog sedikitpun antar satu elemen dengan elemen lainnya. Zaman ini hanya mengenal eksperimentasi, dan ilmu yang tidak berdasarkan eksperimen dianggap tidak ilmiah. Pendekatan ini menyebabkan reduksi besar-besaran terhadap sains. Pendekatan sains (analitis) –memecahkan masalah menjadi unit-unit paling sederhana, dan lalu menyusunnya kembali menjadi kesatuan. Sains menjadi terbatas dan permasalahan manusia lolos dari analisis sains. Greg Soetomo, Sains dan Problem Ketuhanan, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), p. 30-31. Zainal Abidin (pengantar), “Filsafat-Sains Islami: Kenyataan atau Khayalan”, dalam Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains Menurut Al-Qur’an, terj. Agus Effendi (Bandung: Mizan, 1998), p. 15-16 dan 42; Munawar Ahmad Anees dan Merryl Wyn Davies, “Sains Islam: Pemikiran Mutakhir dan Berbagai Arah Kecenderungan Masa Depan”, Jurnal Al-Hikmah, No 15, Vol.VI/1995, p. 72 24 W. C. Smith, Modern Culture from a Comparative Perspective, ed. John W. Burbidge, (New York: University Press, 1997), p. 9 25 A. Mukti Ali, “Ilmu Perbandingan Agama Di Indonesia”, dalam Zaini Muhtarom dkk., (redaksi), Ilmu Perbandingan Agama…, p. 6 26 A. Mukti. Ali, Beberapa Persoalan Agama…., p. 289 27 Mansour Fakih, Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi, (Yogyakarta: INSIST dan Pustaka Pelajar, 2001), p. 41 dan 91-109 28 Max Weber, “Ciri-ciri Utama dari Agama (Dunia)”, Roland Robertson, Sosiologi Agama, terj. Paul Rosyadi, (Aksara Persada, 1984), p. 9-17
Moh. Dahlan
. Metodologi Studi Islam Kontemporer
155
menghasilkan motivasi dan etos kerja.29 Dengan demikian, sains yang awalnya murni rasional dan empiris-positivistik perlu direkonstruksi untuk membangun paradigma baru yang selalu mengkonstruk sains sesuai dengan realitas sosial-budaya. Kepentingan ini tidak lepas setidaknya dari tiga alasan. Pertama, realitas sosial-budaya manusia tidaklah seragam. Kedua, realitas itu juga menentukan kepentingan sosial-budaya manusia yang juga tidak akan seragam. Ketiga, realitas dan kepentingan sosial-budaya yang plural (heterogen) juga pada akhirnya memerlukan paradigma berpikir yang plural juga. Dalam konteks pluralitas ini, metodologi studi Islam yang bercorak sainstifik cum doktriner mempunyai relevansi yang signifikan untuk menjawab pluralitas kehidupan sosial-keagamaan karena ia menekankan pentingnya kajian agama yang bersifat integral, selektif, eksistensial, seimbang, kompeten, imajenatif, dan disesuaikan dengan realitas yang plural.30 Hasil pemaduan pendekatan sains dan agama ini akan berujung pada upaya membentuk sains yang tidak bebas nilai dan tidak universal imperium, tetapi menghasilkan pendekatan sains yang integratif.31 Yang realisasinya berpijak pada dua hal: “Pertama, konsepsi amanah atau “kepercayaan”, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an (surat al-Ahzab,72), yang menyatakan bahwa Tuhan telah menawarkan kepercayaan kepada langit, bumi dan gunung, tetapi semuanya menolak karena takut kepada tangung jawab, sedangkan manusia maju ke depan dan menerima amanat itu. Amanat itu tidak lain adalah tangung jawab moral yang dipikulkan kepada manusia sejak dari permulaannya. Kedua, konsepsi amanah bahwa manusia adalah wakil Tuhan di muka bumi (khalifah)… Apabila dua prinsip ini dipahami benar-benar dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, sudah barang tentu masalah-masalah yang dihadapi manusia bisa diselesaikan dengan baik”.32 Dari sini, kita bisa menegaskan –dengan meminjam istilah M. Amin Abdullah- bahwa pola pendekatan kajian Islam yang bersifat interconnected entities yang dibutuhkan, bukan isolated entities, apalagi single entities. Pendekatan interconnected entities ini dalam bahasanya Ian G. Barbour disebut dengan pendekatan integrasi. Sedangkan pendekatan integrasi itu hanya bisa terjadi jika diikuti dengan pola pikir utopia, bukan pola pikir ideologis. III. PENUTUP Metodologi studi Islam adalah sangat penting untuk menghidupkan kembali nilai-nilai ajaran Islam yang terkubur akibat perjalanan sejarah dengan pendekatan baru (sainstifik) untuk menjawab problem kamanusiaan modern supaya bisa melahirkan ide-ide segar dan bisa membawa kebaikan bagi umat. Adapun wujud “pendekatan Islam yang berwawasan 29 Max Weber, Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, terj. Yusuf Priasudiarja (Subaraya: Pustaka Promethea, 2000), p. 263 30 A. Mukti Ali, “Ilmu Perbandingan Agama Di Indonesia”, dalam Zaini Muhtarom dkk., (redaksi), Ilmu Perbandingan Agama…, p. 6 31 Ian G. Barbour, Issues in Science and Religion, (New York: Prentice-Hall, Inc, 1966), p.2-4. J. Milton Yinger, The Science Study of Religion, (New York: Macmillan, 1957), p. 245 32 A. Mukti. Ali, Beberapa Persoalan Agama…, p. 288-289
156
Jurnal Nuansa
. Edisi 1, No. 2, September 2010
integrasi” dirumuskan dengan cara meletakkan wahyu dan akal sebagai dasarnya dari model-model kajian literer Islam dan model-model kajian rasional-empiris Islam.
Model-model kajian literar Islam Wahyu dan Akal Model-model kajian rasional-empiris Islam
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, M. Amin dkk (eds.), Antologi Studi Islam, Yogyakarta: DIP PTA IAIN Sunan Kalijaga, 2000 Abdullah, M. Amin, Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, Bandung: Mizan, 2002 Abdullah, M. Amin, ”Design Pengembangan Akademik IAIN Menuju UIN Sunan Kalijaga: Dari Pola Pendekatan Dikotomis-atomistik ke Arah Integrative-interdisiplinary,” Makalah Seminar, Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga 16 Maret 2004 Abdullah, Taufik dan M Rusli Karim (Ed.), Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989 Ali, A. Mukti, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, Bandung: Mizan, 1998 Ali, A. Mukti., Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, Jakarta, Rajawali Press, 1987. Anees, Munawar Ahmad dan Merryl Wyn Davies, “Sains Islam: Pemikiran Mutakhir dan Berbagai Arah Kecenderungan Masa Depan”, Jurnal Al-Hikmah, No 15, Vol. VI/1995. Azra, Azyumardi dan Saiful Umam (eds.), Menteri-Menteri Agama RI, Jakarta: INIS, PPIM, Balitbang Depag RI, 1998 Barbour, Ian G., Issues in Science and Religion, New York: Prentice-Hall, Inc, 1966 --------------, Juru Bicara Tuhan: Antara Sains dan Agama, terj. E.R. Muhamad, Bandung: Mizan, 2000 Barton, Greg, Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Efendi, Ahmad Wahid, dan Abdurrahman Wahid, terj. Nanang Tahqiq, Jakarta: Paramadina, 1999 Berger, Peter L, The Desecularization of the World: Resurgent Religion and World, Grand Rapids: Eerdmans, 1999 Donohue, John J. dan John L. Esposito (ed.), Islam dan Pembaruan, terj. Machnun Husein, Jakarta: Rajawali Press, 1995
Moh. Dahlan
. Metodologi Studi Islam Kontemporer
157
Fakih, Mansour, Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi, Yogyakarta: INSIST dan Pustaka Pelajar, 2001 Ghulsyani, Mahdi, Filsafat Sains Menurut Al-Qur’an, terj. Agus Effendi, Bandung: Mizan, 1998. Haryatmoko, “Pola Hubungan Teologi, Etika dan Fiqh: Tinjauan Buku Dr. Abd A’la “Dari Neomodernisme ke Islam Liberal”, Makalah Seminar. Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta: Kompas, 2003 Hidayat, Komaruddin, Tragedi Raja Midas, Jakarta: Paramadina, 1998 Leahy, Louis, “Desekularisasi Zaman Modern”, Basis, no.11-12, 2005. Leaman, Oliver, Pengantar Filsafat Islam; Kajian Tematis, terj. Musa Kazhim dan Arif Mulyadi, Bandung: Mizan 2002. Mannheim, Karl, Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan Tindakan, terj. F. Budi Hardiman, Yogyakarta: Kanisius, 1991 Muhtarom, Zaini dkk., (redaksi), Ilmu Perbandingan Agama Di Indonesia (Beberapa Permasalahan), Jakarta: INIS, 1990. Robertson, Roland, Sosiologi Agama, terj. Paul Rosyadi, Aksara Persada, 1984 Smith, W. C., Modern Culture from a Comparative Perspective, ed. John W. Burbidge, New York: University Press, 1997 Soetomo, Greg, Sains dan Problem Ketuhanan, Yogyakarta: Kanisius, 1995. Thompson, John B., Analisis Ideologi: Kritik Wacana Ideologi-ideologi Dunia, terj. Haqqul Yaqin, Yogyakarta: IRCiSoD, 2003 Wahyuni, Muhamad Nafis dkk, (eds.), Kontekstualisasi Ajaran Islam; 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Syadzali, Jakarta: Paramadina, 1995 Weber, Max, Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, terj. Yusuf Priasudiarja, Subaraya: Pustaka Promethea, 2000 Yinger, J. Milton, The Science Study of Religion, New York: Macmillan, 1957