MULTIPLE INTELEGENCES DALAM PEMBELAJARAN BERBANTUAN KOMPUTER Husni Idris
Abstrak Pembelajaran adalah upaya menciptakan kondisi dengan sengaja agar tujuan pembelajaran dapat dipermudah (facilitated) pencapaiannya. Pada setiap kegiatan pembelajaran terlebih dahulu harus dirumuskan tujuan pembelajarannya. Tujuan pembelajaran harus bersifat ‘behavioral’ atau bertingkah laku yang dapat diamati dan ‘measurable’ atau dapat diukur. Dapat diukur artinya dapat dengan tepat dinilai apakah tujuan-tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan pada awal kegiatan pembelajaran dapat dicapai atau belum. Disinilah letak pentingnya strategi pembelajaran, yaitu menentukan semua langkah dan kegiatan yang perlu dilakukan, sehingga dapat memberikan pengalaman belajar kepada siswa. Hal ini dapat membantu siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan pada awal kegiatan pembelajaran. Multiple Intelegences (MI) lahir sebagai koreksi terhadap konsep kecerdasan yang meletakkan dasar kecerdasan seseorang pada Intelligences Quotient (IQ) saja. Hal ini tentu saja bertentangan dengan konsep MI yang membagi kecerdasan seseorang dalam beberapa hal. Tulisan ini akan mengulas lebih lanjut tentang tentang model pembelajaran berbantuan komputer, konsep MI dan strategi pembelajaran dengan MI. Kata Kunci: Multiple Intelegences, Teknologi pendidikan, Pembelajaran Berbantuan Komputer A. Pendahuluan Pembelajaran dewasa ini menghadapi 2 tantangan. Tantangan yang pertama datang dari adanya perubahan persepsi tentang belajar itu sendiri dan tantangan kedua datang dari adanya teknologi informasi dan telekomunikasi yang memperlihatkan perkembangan yang luar biasa. Konstruktivisme pada dasarnya telah menjawab
Penulis dosen tetap pada Jurusan Tarbiyah STAIN Manado.
tantangan yang pertama dan meredefinisikan belajar sebagai proses konstruktif di mana
informasi
diubah
menjadi
pengetahuan
melalui
proses
interpretasi,
korespondensi, representasi dan elaborasi. Sementara itu, kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi yang begitu pesat yang menawarkan berbagai kemudahan-kemudahan
baru
dalam
pembelajaran
memungkinkan
terjadinya
pergeseran orientasi belajar dari outside-guided menjadi self-guided dan dari knowledge-possession menjadi knowledge-as-construction. Lebih dari itu, teknologi ini ternyata turut pula memainkan peran penting dalam memperbarui konsepsi pembelajaran yang semula fokus pada pembelajaran sebagai semata-mata suatu penyajian berbagai pengetahuan menjadi pembelajaran sebagai suatu bimbingan agar mampu melakukan eksplorasi sosial-budaya yang kaya akan pengetahuan. Pembaruan teori belajar melalui notion konstruktivisme dan pergeseranpergeseran yang terjadi karena adanya kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi merupakan dua hal yang sangat sejalan dan saling memperkuat. Konstruktivisme dan teknologi komputer, secara terpisah maupun bersama-sama, telah menawarkan peluang-peluang baru dalam proses mengajar dan belajar di ruang kelas, belajar jarak jauh maupun belajar mandiri. Gagasan dan prinsip-prinsip belajar yang ada pada notion konstruktivisme memiliki implikasi yang eksplisit tentang perlunya lingkungan belajar yang didukung oleh teknologi. Tam M1, melaporkan bahwa komputer dapat secara efektif digunakan untuk mengembangkan higher-order thingking skills yang terdiri dari kemampuan mendefenisikan masalah, menilai (judging) suatu informasi, memecahkan masalah dan menarik kesimpulan yang relevan. Komputer, dalam hal ini, akan berperan memberikan layanan dalam proses mengumpulkan dan mengkompilasi informasi, inquiry dan kolaborasi. Perangkat berbasis teknologi lainnya yang diharapkan dapat digunakan dalam upaya mengembangkan lingkungan belajar yang lebih produktif adalah video disc, 1
Dewi Salma Prawiradilaga dan Eveline Siregar. Mozaik Teknologi Pembelajaran. Ed. I, Cet. I;( Jakarta: Kencana, 2004), h. 16.
multimedia/hypermedia, e-mail dan internets, di samping peranti lunak Computer Assisted Instruction/Intelligent Computer Assisted Instruction (CAI/ICAI) yang tersedia dalam bentuk CD-ROM. Perangkat-perangkat ini memberikan berbagai kemudahan dalam belajar melalui kemampuannya menyediakan informasi yang relevan dalam bentuk dokumen, foto, transkrip, dan klip video atau audio. Melalui email, diskusi kelompok, tugas-tugas dan komunikasi pribadi di antara pembelajar dapat dilakukan secara online. Sementara itu, internet menyediakan sumber belajar dalam berbagai bentuk, teks, gambar, video, suara, dan peranti lunak yang seluruhnya dapat di download sehingga memungkinkan pula dilakukannya proses belajar jarak jauh. Kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi yang demikian pesat telah membuka peluang yang lebih besar bagi pembelajar untuk mengeksplorasi berbagai data dan informasi sehingga memungkinkannya membangun pengetahuannya sendiri. Pembelajaran berbantuan komputer (PBK) diharapkan mampu menciptakan lingkungan belajar yang menyediakan beragam opsi yang mampu menstimulasi pembelajar untuk menggunakan potensi kognitifnya secara maksimal. Teknologi dalam pembelajaran pada dasarnya tidak lebih dari sebuah tools atau media. Pemanfaatan teknologi atau media pembelajaran yang tidak tepat hampir pasti tidak akan menghasilkan sebuah lingkungan belajar yang produktif yang menjamin terjadinya better learning. Menurut Schenk2, belajar akan terjadi secara optimal bila dilakukan alignment antara teknologi yang digunakan dan pemrosesan informasi di otak (brain’s processing). Oleh karena itu, untuk menjamin terjadinya pemanfaatan media pembelajaran yang optimal, perancangan pembelajaran berbantuan teknologi haruslah secara cermat memperhitungkan terlebih dahulu bagaimana proses belajar terjadi pada setiap individu.
2
Ibid., h. 17.
B. Model Pembelajaran Berbantuan Komputer Model pembelajaran Gagne didasarkan pada hierarki keterampilan yang diorganisasikan sesuai dengan tingkat kompleksitasnya. Oleh karena itu, rancangan instruksional dibangun secara efisien berdasarkan 9 urutan, yaitu (1) gain attention, (2) identify objective, (3) recall prior learning, (4) present stimulus, (5) guide learning, (6) elicit information, (7) provide feedback, dan (8) assess performance, serta (9) enhance retention. Sedangkan Bruner mengklaim bahwa belajar adalah sebuah proses aktif di mana pembelajar membangun gagasan-gagasan baru berdasarkan pengetahuan yang telah ada sebelumnya. Dalam hal ini maka rancangan instruksional disusun secara sekuensial sehingga memungkinkan pembelajar membangun prinsip-prinsip dan konsep kunci atas dasar pengetahuan yang telah dimilikinya dan bergerak melampaui informasi yang diberikan kepadanya. Gagasan Bruner ini, oleh karenanya menawarkan beberapa prinsip penting yang dapat digunakan dalam mengembangkan rancangan instruksional, yaitu (1) rancangan instruksional harus memperhatikan aspek pengalaman dan konteks yang dapat menarik minat dan kemampuan belajar setiap pembelajar, (2) rancangan instruksional harus terstruktur sehingga mudah dicerna, (3) rancangan instruksional harus disusun sedemikian rupa sehingga dapat memfasilitasi proses ekstrapolasi (fill in the gaps). Sementara itu teori minimal dari Carroll menyarankan agar para perancang meminamalkan materi pembelajaran mengingat materi yang exhausted akan menghambat proses belajar. Oleh karenanya perancang diminta untuk memberikan perhatiannya pada peracangan aktivitas yang mendukung aktivitas langsung para pembelajar. Dalam menerapkan teori maka para perancang perlu untuk memerhatikan beberapa criteria, yaitu: (1) membiarkan pembelajar memulai proses belajarnya dengan mengerjakan tugas-tugas yang bermakna, (2) menimbulkan tugas-tugas membaca atau bentuk aktivitas pasif lainnya dan memberikan kesempatan sebanyak mungkin kepada pembelajar untuk melakukan proses ekstrapolasi, dan (3) membuat
seluruh aktivitas belajar bersifat self-contained dan tidak terikat atau bebas dari prinsip-prinsip sekuensial. Sampai disini kita belum melihat adanya model pembelajaran yang secara eksplisit mengakomodasi entry behavior dalam proses pembelajaran, padahal baik kemampuan awal maupun learning preferences merupakan hal yang sangat esensil dalam pembelajaran yang bersifat learner centered. David Ausubel menyarankan bahwa advance organizers mungkin dapat digunakan untuk menghubungkan struktur kognitif yang telah dimiliki sebelumnya oleh setiap pembelajar dengan informasi baru yang diterimanya. Ausubel mengklaim bahwa melalui penanyangan representasi global dari pengetahuan yang harus dibangun oleh pembelajar, pendekatan advance organizer ini mungkin akan mendorong terjadinya integrative reconciliation dari subsub pengetahuan yang terkait. Premis ini menjanjikan bahwa dengan memonitor secara cermat aktivitas pembelajar ketika menggunakan advance organizer, mungkin struktur kognitif relatif setiap pembelajar sebelum pembelajar sesungguhnya dilakukan dapat ditentukan. Atas dasar gagasan inilah kemudian Gillani dan Relan3 mengusulkan model pembelajaran yang mampu mengakomodasi entry behavior setiap pembelajar. Model pembelajaran Gillani dan Relan terdiri dari 4 fase, yaitu: (1) advanced organizers phases, (2) modeling phase, (3) exploring phase, dan (4) generating phase. Dengan adanya frame technology seperti Netscape Navigator 2.0 dan Internet Explorer, model Gillani dan Relan ini akan dapat direalisasikan secara optimal mengingat teknologi frame mampu menyajikan multiple, distinct, and independent viewing areas within the browser’s window. Model ini mungkin telah dapat mengakomodasikan kemampuan awal pembelajar mengingat adanya advance organizer yang dapat digunakan untuk menyamakan struktur kognitif relatif setiap pembelajar sebelum pembelajaran sesungguhnya dimulai, tetapi model ini belum
3
Patsula P.J., http://www.gwu.edu/~tip/
Applying
Learning
Theories
to
Online
Instructional
design,
mampu mengakomodasi learning preferences yang berbeda antara satu pembelajar dengan pembelajar lainnya. Model pembelajar tampaknya akan terus dipengaruhi bila kita mengamati premis yang ditawarkan oleh bidang cognitive science yang memberikan pemahaman-pemahaman baru tentang bagaimana proses belajar terjadi pada setiap individu. Howard Gardner, pendiri proyek Zero pada Harvard University yang telah banyak melakukan penelitian dalam bidang ilmu kognitif, salah satu konsepnya tentang kecerdasan jamak (multiple intelligence) yang mencerahkan pemahaman kita tentang learning differences dan peran nature atau genetic factor dalam menciptakan biological preferences pada diri seseorang.4 Gardner dan para peneliti ilmu kognitif beranggapan bahwa kecerdasan seseorang tidaklah tetap (fixed) secara genetic melainkan dapat ditingkatkan secara signifikan melalui sebuah lingkungan belajar yang bersifat atentif, penuh stimulan dan menantang. Model Gardner tentang kecerdasan jamak telah memberikan dampak dalam proses belajar-mengajar dan khususnya pada pengembangan kurikulum di Amerika.5 Salah satu penelitian doktoral6 telah berhasil memperlihatkan bahwa teori Gardner tentang kecerdasan jamak dapat digunakan untuk mengakomodasi learning preferences setiap individu pembelajar dalam lingkungan pembelajar berbantuan komputer (web based learning). Melalui teknologi hypermedia dan Internet serta pendekatan multiple representation, pilihan-pilihan preferensi pembelajar dalam belajar dapat disediakan oleh komputer. Teori Multiple Intellegences (kecerdasan jamak) “Exploring the learning.net/multiple.htm 4
Thieory
of
Multiple
Intelegence,
http//www.accelareted-
Esensi dari konsep kecerdasan jamak ini adalah tranformasi dari tradisional IQ – linear ranking of individuals on a single scale of abilities ke dalam potret multidimensi yang lebih rumit yang menggambarkan kekuatan dan kelemahan setiap individu. Lihat, Dewi Salma Prawiradilaga dan Eveline Siregar, Mozaik Teknologi Pembelajaran. (Ed. I, Cet. I; Jakarta: Kencana, 2004), h.171. 5
6
Dara Abraham, 2002, http: // www.brainjolt.com
Multiple Intelegences (MI) lahir sebagai koreksi terhadap konsep kecerdasan yang dikembangkan oleh Alfred Binet, yang meletakkan dasar kecerdasan seseorang pada Intelligences Quotient (IQ) saja. Berdasarkan tes IQ yang dikembangkannya, Binet menempatkan kecerdasan seseorang dalam rentang skala tertentu yang menitberatkan pada kemampuan berbahasa dan logika semata. Dengan kata lain apabila seseorang pandai dalam bahasa dan logika, maka ia pasti memiliki IQ yang tinggi. Tes yang dikembangkan oleh Binet ini, menurut Gardner7 (1983) belum mengukur kecerdasan seseorang sepenuhnya, sebab tes IQ Binet baru mewakili sebagian kecerdasan yang ada yaitu, kecerdasan linguistik, matematis-logis dan spasial saja. Sementara MI Gardner itu ada delapan yaitu ke kecerdasan linguistik, matematik-logis, spasial, kinestetik-jasmani, musikal, interpersonal, intrapersonal dan kecerdasan naturalis. Karena itu salah tugas kita adalah mengoptimalisasikan kedepalan kecerdasan ini, dan itu merupakan tugas yang berat.8 (Pasiak, 2005, 18). Secara garis besar karateristik dari masing-masing kecerdasan tersebut adalah sebagai berikut: Kecerdasan Linguistik, kemampuan menggunakan kata secara efektif, baik lisan maupun tertulis. Selain itu kecerdasan ini juga meliputi kemampuan memanipulasi struktur bahasa, fonologi atau bunyi bahasa, semantik atau makna bahasa, dimensi pragmatik atau penggunaan praktis bahasa, menemonik atau hafalan, eksplanasi dan metabahasa. Kecerdasan Matematis-Logis, kemampuan menggunakan angka dengan baik dan melakukan penalaran yang benar. Kecerdasan ini juga meliputi kepekaan pada pola dan hubungan logis, pernyataan dan dalil, fungsi logika dan kemampuankemampuan abstraksi lainnya. 7
Howard Gardner, Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences, (New York: Basic Book, 1983), h. 15. 8
Taufik Pasiak, Revolusi IQ/EQ/SQ Antara Neurosains dan Alquran. (Cet. V; Bandung: PT Mizan Pustaka, 2005), h. 18.
Kecerdasan Spasial, kemampuan mengekspresikan dunia spasial-visual secara akurat, dan kemampuan mentransformasikan persepsi dunia spasial-visual tersebut dalam berbagai aspek kehidupan. Selain itu kecerdasan ini juga meliputi kepekaan terhadap warna, garis, bentuk, ruang, dan hubungan antar unsure. Kecerdasan Kinestetik-Jasmani, keahlian menggunakan seluruh tubuh untuk mengekspresikan ide dan perasaan, keterampilan menggunakan tangan untuk menciptakan sesuatu dan kemampuan-kemampuan fisik yang spesifik, seperti: keseimbangan, kekuatan, kelenturan, kecepatan, dan hal-hal yang berkaitan dengan sentuhan. Kecerdasan Musikal, kemampuan mengapresiasi berbagai bentuk musical, membedakan, mengubah, dan mengekspresikannya. Kecerdasan ini juga meliputi kepekaan terhadap irama, pola nada atau melodi, dan warna nada atau warna suara suatu lagu. Kecerdasan Interpersonal, kemampuan memersepsi dan membedakan suasana hati, maksud, motivasi serta perasaan orang lain. Kecerdasan ini juga meliputi kepekaan terhadap ekspresi wajah, gerak isyarat, kemampuan membedakan berbagai macam tanda interpersonal, dan kemampuan mempeengaruhi orang lain untuk melakukan sesuatu. Kecerdasan Intrapersonal, kemampuan memahami diri sendiri dan bertindak berdasarkan pemahaman tersebut. Selain itu kecerdasan ini juga meliputi kesadaran akan suasana hati, maksud, motivasi, tempramen, keinginan, berdisiplin diri, dan kemampuan menghargai diri. Kecerdasan Naturalis, keahlian mengenali dan mengategorikan spesies flora dan fauna di lingkungan sekitar. Kecerdasan ini juga meliputi kepekaan terhadap fenomena-fenomena alam lainnya, dan kemampuan membedakan benda-benda tak hidup dan benda-benda hidup lainnya.
Selanjutnya Gardner menyatakan bahwa kecerdasan merupakan kemampuan untuk menyelesaikan masalah, menciptakan produk yang berharga dalam satu atau beberapa lingkungan budaya masyarakat. Ia memiliki pandangan yang pluralistic mengenai pemikiran. Menurutnya, pandangan tentang kecerdasan harus mengakui bahwa setiap orang mempunyai kekuatan pemahaman berbeda dan berdiri sendiri, menerima bahwa orang mempunyai kekuatan berbeda dan gaya pemahaman yang kontras. Titik tekan teori kecerdasan jamak adalah pada kemampuan untuk menyelesaikan masalah dan untuk menciptakan suatu produk atau karya. Secara lebih rinci Gardner menyatakan bahwa kecerdasan merupakan: Kemampuan
untuk
menciptakan
suatu
produk
yang
efektif
atau
menyumbangkan pelayanan yang bernilai dalam suatu budaya. Sebuah perangkat keterampilan menemukan atau menciptakan bagi seseorang dalam memecahkan permasalahan dalam hidupnya. Potensi untuk menemukan jalan keluar dari masalah-masalah yang melibatkan penggunaan pemahaman baru.
Strategi Pembelajaran Multiple Intelegences (MI) Strategi pembelajaran MI pada hakikatnya adalah upaya mengoptimalkan kecerdasan majemuk yang dimiliki setiap individu (siswa) untuk mencapai kompetensi tertentu yang dituntut oleh sebuah kurikulum. Amstrong9 seorang pakar di bidang MI mengatakan, bahwa dengan teori kecerdasan majemuk memungkinkan guru mengembangkan strategi pembelajaran inovatif yang relatif baru dalam dunia pendidikan. Meskipun demikian ia menambahkan, bahwa tidak ada rangkaian strategi pembelajaran yang bekerja secara efektif untuk semua siswa. Setiap siswa memiliki kecenderungan tertentu pada kedelapan kecerdasan yang ada. Oleh karena itu suatu strategi mungkin akan efektif
9
Arm strong, Thomas, Setiap Anak Cerdas, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), h. 27.
pada sekelompok siswa, tetapi akan gagal bila diterapkan pada kelompok lain. Dengan dasar ini sudah seharusnya guru memerhartikan jenis kecerdasan yang menonjol pada masing-masing siswa agar dapat menentukan strategi pembelajaran yang tepat untuk mengoptimalkan potensi yang ada dalam diri siswa. Meskipun demikian tidak tertutup kemungkinan bahwa setiap strategi yang ada pada masingmasing kecerdasan dapat diimplementasikan untuk semua mata pelajaran yang ada dalam
kurikulum.
Misalnya
strategi
pembelajaran
matematis-logis
dapat
diimplementasikan bukan saja dalam pembelajaran matematika, tetapi juga dapat diimplementasikan dalam mata pelajaran lainnya seperti Bahasa, Fisika, atau mata pelajaran yang menuntut unsur logika di dalamnya. Satu hal yang harus diingat adalah bahwa konsep MI bukan saja merupakan konsep kecerdasan yang ada pada diri masing-masing individu, tetapi juga merupakan strategi pembelajaran yang ampuh untuk menjadikan siswa keluar sebagai juara pada jenis kecerdasan tertentu. Gardner10 mengatakan, sebab pada dasarnya setiap individu memiliki satu atau lebih kecerdasan yang menonjol dari delapan kecerdasan yang ada. Bukankah Einstein dikatakan cerdas juga mempunyai kelemahan pada jenis kecerdasan lainnya? Einstein adalah orang yang sangat cerdas pada dua jenis kecerdasan yaitu Matematis-logis dan Spasial. Sementara untuk jenis kecerdasan lain, ia tidak terlalu menonjol. Strategi pembelajaran MI pada praktiknya adalah memacu kecerdasan yang menonjol pada diri siswa seoptimal mungkin, dan berupaya mempertahankan kecerdasan lainnya pada standar minimal yang ditentukan oleh lembaga atau sekolah. Dengan demikian penggunaan strategi pembelajaran MI tetap berada pada posisi yang selalu menguntungkan bagi siswa yang menggunakannya. Satu hal yang pasti, siswa akan keluar sebagai individu yang memiliki jati diri, yang potensial pada salah satu atau lebih dari delapan jenis kecerdasan yang dimilikinya.
10
Gardner Howard, Multiple Intelligences (Kecerdasan Majemuk), (Batam: Interaksi, 2003),
h. 31.
Ada dua tahapan yang harus dilakukan dalam penerapan strategi pembelajaran MI agar mendapatkan hasil yang optimal, yaitu: (1) Memberdayakan semua jenis kecerdasan yang ada pada setiap mata pelajaran, dan (2) Mengoptimalkan pencapaian mata pelajaran tertentu berdasarkan kecerdasan yang menonjol pada masing-masing siswa. 1. Memberdayakan semua jenis kecerdasan pada setiap mata pelajaran Memberdayakan semua jenis kecerdasan pada setiap mata pelajaran adalah ibarat meng-input informasi melalui delapan jalur ke dalam otak memori siswa. Bila Bloom dengan teori Bloom menekankan pada tiga jalur domain yang ada yaitu: kognitif, afektif, dan
psikomotorik, maka Gardner menekankan pada delapan
kecerdasan yang dimiliki setiap siswa, yaitu: kecerdasan linguistik, matematis-logis, spasial, kinestetik-jasmani, musical, interpersonal, intrapersonal, dan naturalis. Secara empirik untuk menerapkan strategi pembelajaran MI dapat dimulai dengan melakukan reposisi pada kurikulum yang ada sekarang, baik itu kurikulum 1994 yang disempurnakan, maupun Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengubah Tujuan Instruksional Khusus (TIK) yang ada menjadi kompetensi yang diharapkan. Dengan demikian setiap TIK atau pokok bahasan dituntut untuk memberdayakan semua atau sebahagian besar jenis kecerdasan yang ada. Sebagai contoh mata pelajaran bahasa yang dominan dengan kecerdasan linguistik, TIK-nya berbunyi “Siswa dapat membacakan puisi dengan intonasi yang benar di depan kelas”. Bila siswa melakukan semua itu dengan benar, maka kecerdasan yang terlibat akan meliputi: Kecerdasan linguistik, Matematis-logis, Spasial terbatas, Kinetis-jasmani saja. Akan tetapi bila TIK diubah menjadi “Siswa dapat membacakan puisinya dengan intonasi yang benar di halaman sekolah atau pada acara tertentu atau di depan publik”, maka kecerdasan yang terlibat akan lebih banyak yaitu: Kecerdasan linguistik, Matematiks-logis, Spasial, Kinestetik-jasmani, Interpersonal, Intrapersonal dan Naturalis. Dengan demikian kadar belajar yang diperoleh siswa akan jauh lebih tinggi dibandingkan bila ia hanya membacakan puisinya di depan kelas.
2. Mengoptimalkan pencapaian mata pelajaran tertentu berdasarkan kecerdasan yang menonjol pada masing-masing siswa Tahap
kedua
ini
ditempuh
apabila
secara
faktual
guru
telah
mengindentifikasikan kecerdasan yang menonjol pada masing-masing siswa. Sekali lagi Gardner maupun Amstrong, selalu mengingatkan bahwa ada satu atau lebih kecerdasan yang menonjol pada masing-masing individu (siswa). Bila kita menyadari hal ini, mengapa kita tidak mengoptimalkannya menjadi sesuatu yang bermakna bagi siswa. Atau menjadikannya sebagai jati dirinya, meskipun untuk bidang yang lainnya harus puas dengan standar minimal yang ditetapkan oleh masing-masing lembaga. Dalam penerapan tahap kedua ini strategi pembelajaran yang digunakan lebih bersifat personal atau individual. Siswa yang memiliki kecerdasan linguistik misalnya, akan dioptimalkan pencapaian hasil belajarnya pada mata pelajaran bahasa dan sastra. Sedangkan mereka yang mempunyai kecerdasan matematis-logis misalnya, akan diarahkan pada pencapaian hasil belajar. Matematikanya seoptimal mungkin melalui pemberian layanan individu dan akses ke berbagai kesempatan yang memungkinkan kecerdasan matematikanya terus berkembang. Bagi mereka yamg memiliki kecerdasan spasial belajar dengan menggunakan media visual atau peta konsep tentu akan sangat membantu mereka mencapai kesempurnaan belajarnya. Akan tetapi bagi mereka yang memiliki kecerdasan kinestetik-jasmani sangatlah tersiksa bila ia harus dipaksa untuk duduk manis dalam kelas. Mereka yang memiliki kecerdasan kinestetik-jasmani akan menghasilkan sesuatu secara optimal, bila mereka diizinkan belajar dengan melakukan gerakan-gerakan tertentu. Sedangkan belajar dengan alunan musik tentu sangat menyenangkan bagi mereka yang memiliki kecerdasan musikal. Musik-musik klasik sangat dianjurkan sebagai musik pengiring bagi mereka yang memiliki kecerdasan musikal ini. Dengan musik mereka akan menghasilkan sesuatu yang optimal dalam belajarnya. Lain pula halnya dengan mereka yang memiliki kecerdasan interpersonal. Melakukan interaksi sosial adalah pilihan yang tepat bagi mereka yang memiliki kecerdasan interpersonal ini. Sedangkan bagi mereka yang memiliki kecerdasan intrapersonal tentulah sangat
berterima kasih bila diizinkan belajar secara individual di tempat yang agak sepi, atau mengerjakan proyek individual. Untuk siswa yang memiliki kecerdasan. Naturalis akan efektif bila diarahkan pada pencapaian hasil belajar yang optimal untuk mata pelajaran IPA atau Biologi. Belajar di luar kelas (out door) merupakan sesuatu yang menyenangkan bagi mereka yang memiliki kecerdasan naturalis ini. C. Penutup Dalam pembelajaran yang berbantuan komputer baik yang bersifat mandiri maupun berbasis web, rancangan instruksional haruslah dikembangkan atas dasar pemahaman bagaimana proses belajar terjadi pada diri setiap individu. Dengan adanya pergeseran paradigma belajar yang semula bersifat teacher-centered menjadi learner-centered
maka
pengembangan
strategi
pembelajaran
seyogianya
memperhitungkan karateristik awal pembelajar dan learning preferences yang dimiliki setiap pembelajar. Penggunaan komputer dalam pembelajaran bukanlah dimaksudkan untuk menciptakan mesin-mesin yang mampu mengajar melainkan dimaksudkan untuk menciptakan sebuah lingkungan belajar yang lebih produktif. Dengan menggabungkan pembelajaran berbantuan komputer (advance organizer) dengan kecerdasan jamak diharapkan bahwa pembelajaran akan mampu menciptakan lingkungan belajar yang bersifat adaptif baik terhadap tingkat pemahaman awal dan maupun terhadap preferensi belajar setiap pembelajar. Melalui lingkungan belajar yang adaptif ini, proses belajar memang belum menjadi efisien dan bersifat individualized tetapi belum menjamin dapat meningkatkan retensi pembelajar. Retensi pembelajar dapat ditingkatkan bila digunakan strategi pembelajaran yang mempertimbangkan bagaimana proses belajar terjadi pada individu.
DAFTAR PUSTAKA
Armstrong, Thomas (2002), Setiap Anak Cerdas, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Perguruan Tinggi, 2005. Peningkatan Kualitas Pembelajaran. _____________,
Exploring the Thieory of http//www.accelareted-learning.net/multiple.htm.
Multiple
Intelegence,
Dara Abraham, 2002, http: // www.brainjolt.com Dewi Salma Prawiradilaga dan Eveline Siregar (2004). Mozaik Teknologi Pembelajaran. Ed. I, Cet. I; Jakarta: Kencana. Gardner, Howard (1983), Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences, New York: Basic Book. Gardner, Howard (2003), Multiple Intelligences (Kecerdasan Majemuk), Batam: Interaksi. Kumpulan Makalah, 2005. Seminar Nasional Teknologi Pembelajaran (Hotel Inna Garuda Yogyakarta, 22-23 Agustus 2003), Program Studi Teknolog Pembelajaran PPS UNY. Patsula
P.J., Applying Learning http://www.gwu.edu/~tip/
Theories
to
Online
Instructional
design,
Taufik Taufik (2005). Revolusi IQ/EQ/SQ Antara Neurosains dan Alquran. Cet. V; Bandung: PT Mizan Pustaka. Yusufhadi Miarso. (2004). Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Ed. I; Cet. I; Jakarta: Kencana.