Mukhotib MD
Den Ayu Putri
Penerbit Liberation Corner Institute Magelang
Den Ayu Putri Oleh: Mukhotib MD Copyright © 2012 by Mukhotib MD Cetakan I: 2012 Penerbit Liberation Corner Institute Magelang, Jawa Tengah www.liberationcorner.com
[email protected] Desain Sampul: Mukhotib MD
Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com 2
Untuk Lina, Farrel dan Hebba, cintaku tak memiliki tepi 3
DAFTAR ISI
1. Pertemuan Tak Terduga 2. Cinta Bersemi 3. Pilihan Membingungkan 4. Duka di Mata Kartiko 5. Sista yang Membisu 6. Mengambil Honor 7. Fitnah dari Wiranu 8. Den Ayu Putri Ngambek 9. Janji Setia 10. Melukis Masa Depan
4
1. Pertemuan Tak Terduga
Petang itu, Taman Kota tampak mulai ramai. Para asongan hilir mudik menawarkan barang dagangannya. Macam-macam, mulai dari air mineral, rokok, kacang rebus, dan permen karet. Di sudut sebelah selatan, Mbok Parni tetap setia menunggu gerobak es dawetnya. Ia berharap-harap para pengunjung Taman Kota membeli dagangannya, dawet ayu asli Banjarnegara. Orang-orang tua bermain dengan anak-anak mereka, bersendau gurau, berkejar-kejaran, penuh canda. Di bangku-bangku yang terbuat dari semen, duduk bermesraan para remaja belia, sebagiannya berseragam putih biru dan yang lainnya putih abuabu. Sekelompok anak muda, perempuan dan laki-laki tertawa tak henti-henti. Entah apa yang dibicarakan sehingga menjadikan mereka sungguh-sungguh menjadi terpingkal-pingkal dibuatnya. Mereka mungkin para mahasiswa pendatang, yang hendak melepas kepenatan setelah belajar. Para pengamen sibuk unjuk kebolehannya. Lebih dari lima rombongan, berganti-gantian mendatangi orang-orang yang duduk. Tidak peduli, apakah 5
orang-orang itu sudah didatangi rombongan pengamen lainnya. Sebagain orang ada yang merasa terganggu dengan para pengamen, tetapi sebagian yang lain, malah meminta lagu kesukaannya untuk dinyanyikan. Saya duduk sendiri di depan pintu gerbang Gedung Agung. Memperhatikan semua tingkah laku orang-orang di Taman Kota. Suasana menjelang petang yang menghidupkan jantung kota Yogyakarta. Patung di tugu Serangan Umum 1 Maret, di sebelah timur Jl. A. Yani, Malioboro mulai tak jelas bentuknya. Matahari telah temaram sempurna di sebelah barat kota Yogyakarta. “Copet..., copet...!” Teriakan histeris seorang perempuan muda mengejutkan. Orang-orang yang ada di Taman Kota menghentikan aktivitasnya. Para pengamen berhenti menyanyi, para pengasong berhenti menawarkan barang, para remaja yang bermesraan, berdiri kebingungan, kelompok anak muda yang terpingkal-pingkal diam seribu bahasa. Mbok Parni berdiri, sambil mengelus dada. Susur di bibirnya bergerak-gerak tak beraturan. Tetapi semua tetap di tempatnya semula, tak ada yang bergerak. Perempuan muda itu terus berteriak sambil menunjuk-tunjuk ke arah selatan. “Ke arah mana larinya, Mbok?” Tanyaku dengan suara tak beraturan.
6
“Ehh..., ehh..., ke Alun-alun,” sahut Mbok Parni lirih. Ada keraguan untuk menjawab, atau mungkin ketakutan. Saya terus berlari mengejar pencopet itu ke arah selatan. Menyeberangi perempatan jalan yang lebih dikenal sebagai perempatan Kantor Pos Besar. Memang di sebelah selatan jalan berdiri kokoh bangunan Kantor Pos yang masih menyisakan gaya arsitektur jaman kolonial. Sampai di Alun-alun Utara, saya kehilangan jejak. Untung seorang tukang becak mengerti, dan ia menunjukkan ke mana pencopet itu berlari. Saya mengikuti arah telunjuknya, dan terus mengejar ke arah timur mendekati bekas gedung bioskop Soboharsono. Pencopet itu terus lari ke Timur dan melintas di depan bekas gedung bioskop Widya. Pengejaran hampir berakhir, jarak saya semakin dekat. Dan tepat di bawah plengkung wijilan, pencopet itu berhasil saya tangkap. Ia berontak melepaskan diri, tetapi tangan saya begitu kuat mencengkeram lengannya. “Berikan tasnya. Tidak usah memancing keributan. Polisi nanti malah datang,” kataku tanpa kemarahan. Mungkin karena nada suaraku yang tetap datar, dan memang tak ada peluang untuk bisa melepaskan diri, pencopet itu akhirnya menyerahkan tas yang dirampasnya.
7
“Kau salah bertindak. Ia pacar saya,” kataku seenaknya. “Maaf..., Mas. Saya tidak tahu.” “Tidak..., apa.” Setelah pencopet itu memberikan tasnya, saya melepaskan dan membiarkannya pergi. Sepertinya ia juga tidak ada dendam, seperti juga saya tidak menaruh dendam dan kebencian apa pun kepada pencopet itu. Saya mengerti, mencopet memang bukan menjadi pilihan pekerjaannya, mungkin saja karena kesulitan mendapatkan pekerjaan yang layak, sehingga ia memilihnya. Tindakan yang sangat berbahaya bagi keselamatan dirinya sendiri, selain juga merugikan orang lain. Kini baru terasa lelahnya. Lari sekuat tenaga, disertai dengan emosi tinggi, memang sangat menguras tenaga. Terlebih orang seperti saya, yang memang tidak pernah berolah raga, meski sekedar lari-lari pagi. Apalagi jenis olah raga yang lain. Sama sekali tidak. Ketika saya sampai di Taman Kota, perempuan muda itu masih berdiri di tempatnya semula. Tangisannya sudah berhenti, tetapi masih tersisa sesenggukan yang saling berkejaran. Wajahnya begitu pucat, dan kekhawatiran memolesi pandangan matanya.
8
Saat melihat saya datang dengan tas miliknya di tangan, semangat tampak muncul tiba-tiba di wajah perempuan muda itu. Ia berlari mendekatiku, dan tanpa sepatah kata pun, saya menyerahkan tasnya. “Terima kasih, Mas,” katanya dalam dan sungguhsungguh. “Sama-sama, tidak perlu dipikirkan.” Ia membuka tasnya, dan menarik selembar uang limapuluh ribuan dari gepokannya. Saya melihatnya, dan sebelum lembaran uang itu benar-benar keluar, saya sudah menolaknya, “tidak perlu, simpan saja untukmu.” “Terima kasih sekali, Mas. Saya tidak tahu bagaimana harus membalasnya.” “Tidak perlu membalas,” kataku datar-datar saja, tanpa ekspresi. “Uang ini untuk membayar opname Bapak.” Saya tiba-tiba menjadi perduli saat mendengar kalimat terakhirnya. Saya memandang wajah perempuan muda yang begitu kosong, tetapi kecantikannya tak bisa hilang sama sekali. Matanya masih memerah sisa menangisnya. Berbagai pertanyaan berkelebatan dalam benakku, sakit apa orang tuanya, dirawat di mana? Perempuan ini memgambil uang di mana, kenapa membawa uang banyak tidak ada yang menemani? 9
“Ya..., ya..., semoga Bapak lekas sembuh,” kataku sedikit gugup, tetapi sungguh ikhlas mendoakannya. “Saya sangat senang kalau Mas mau ikut ke rumah sakit,” katanya penuh harap. Mungkin karena takut kejadian perampasan tasnya terulang lagi, sehingga ia membutuhkan teman. “Ya..., ya....” Perempuan muda itu melangkah perlahan, saya mengikutinya tanpa kata-kata. Saya ingin berjalan di sampingnya, tetapi segera saya membatalkannya. Tidak pantas rasanya jalan berjajar dengan perempuan yang belum saya kenal sama sekali. Selain, trotoar untuk pejalan kaki memang sempit, tidak memungkinkan untuk berjalan berjajar. “Saya sampai di sini saja,” kataku di gerbang Rumah Sakit PKU Muhammadiyah. Perempuan muda itu berhenti dan membalikkan badan. Lalu dengan masih tetap diam, ia menarik tanganku dan menggandengnya masuk ke dalam rumah sakit. Akhh..., halus sekali telapak tangannya. Berdesiran rasa dalam batinku, dan tanpa terasa sudah memasuki pintu utama rumah sakit. Saya berusaha melepaskannya. Ada rasa malu yang teramat sangat menerima pandangan mata dari orangorang yang duduk, atau berlalu lalang di sepanjang koridor rumah sakit. Tetapi perempuan itu justru
10
mengeratkan pegangannya di jari telunjukku. Saya mengalah, atau mungkin lebih tepat menikmatinya. “Di mana ruangannya?” Tanyaku untuk menghilangkan ketegangan yang terus merambati setiap syaraf di tubuhku. Perempuan muda itu melepaskan pegangannya dan menunjuk ke arah ruang tempat bapaknya di rawat. “Berhasil...!” Sorak dalam hatiku karena tangan lembut itu tak lagi memegangi jariku. Kini saya bisa melangkah dengan lebih santai dan ringan tanpa beban. “Assalamu’alaikum,” ucap perempuan itu sebelum membuka pintu kamar. Terdengar jawaban dari dalam kamar. Alim sekali, religius sekali. Saya menjadi ragu-ragu, tentu perempuan muda ini berasal dari keluarga yang kuat agamanya. Tetapi kenapa tidak pakai jilbab? Ah..., memang alim selalu harus disimbolkan dengan jilbab? Awalnya saya sudah berniat untuk ikut masuk, tetapi sekarang hendak saya batalkan. Saya merasa tidak mungkin berada di tengah-tengah keluarga yang sangat alim. Apalagi saat itu, saya hanya mengenakan celana jean dan kaos oblong hitam. “Mas..., masuk dulu,” kata perempuan muda itu dari dalam kamar ketika mengetahui saya tidak mengikutinya masuk. Ia keluar. 11
“Ayo...,” katanya. Seperti sebelumnya, saya menduga ia pasti akan kembali menarik tanganku. Untuk menghindarinya, saya melangkah terlebih dahulu, sebelum tangannya sempat bergerak memegang jemariku. “Hahhaa, kecele lagi,” bisik hatiku girang. “Pak..., untung Masnya ini tadi menolongku,” kata perempuan muda itu dengan manjanya. “Memang kenapa?” Tanya bapaknya dengan suara lemah. “Uangnya tadi dicopet. Terus Masnya ini mengejar pencopet itu. Persis jagoan di film-film, dech.” Saya merasa geli dalam hati. Perempuan muda ini ternyata sangat manja, dan orang tuanya mungkin memang sangat memanjakannya. Saya tidak menyangka baru saja membantu perempuan muda yang sungguh amat kekanak-kanakan. “Sudah memngucapkan terima kasih sama Mas..., siapa namanya..., Put?” “Saya juga belum tahu...,” katanya malu-malu. Wajahnya menyemu merah jambu. Akh..., manis sekali. Saya mencuri pandang melalui sudut mataku, membayangkan wajah Aisyah istri Muhammad yang mendapati julukan Khumairo, si merah jambu.
12
“Oalahhhh..., menahan tawa.
Putri...,
Putri,” kata bapaknya
“Kamu ini, ya, bagaimana to, sudah ditolong, sudah di antar ke rumah sakit, kok, ya tidak tahu namanya,” ujar ibunya lagi sambil menahan geli memandang wajah anak perempuannya. Perempuan muda itu bersungut-sungut. “Ya..., malu, Bu. Tanya-tanya nama, saya juga tidak ditanya,” jawabnya merajuk. “Ya, sudah..., Ibu yang tanya,” kata ibunya dengan sabar. “Siapa..., Mas...., namanya. Katanya, Putri malu mau bertanya.” “Ahmad Pramono, Bu,” jawabku pendek. “Terima kasih, Mas Pram..., sudah menolong Putri.” “Sama-sama, Bu. Kebetulan saja saya sedang berada di tempat yang sama.” Adzan maghrib berkumandang dari mushola di kompleks rumah sakit. Saya hendak berpamitan, ketika ibunya Putri mengatakan, “pulang setelah magriban, ya. Sudah lama tidak sholat jamaah sejak Bapak sakit.”
13
Saya merasa seperti disambar petir. Bagaimana mungkin saya menjadi imam sholat, sedangkan selama bertahun-tahun saya sudah meninggalkannya. Sial benar, mengapa saat memperkenalkan diri, saya menyebut lengkap namaku, ‘Ahmad Pramono’. Akhh..., pasti gara-gara nama depanku, Ibunya Putri menjadi yakin saya beragama Islam. “Kupluk bodol..., kupluk bodol,” kutukku dalam hati. “Mas Pram, tolong Bapak dibantu tayamum, ya. Saya mau ambil wudlu dulu,” kata ibunya Putri dan bergegas masuk ke kamar mandi. Saya melirik ke arah Putri. Ia tersenyum-senyum memandang ke arahku, saat saya mengambil sebuah pigura yang tergantung di dinding untuk bertayamum bapaknya Putri. “Dosa apa yang telah saya lakukan, sehingga mengalami nasib apes seperti ini,” kataku dalam hati. “Putri..., ayo..., cepat ambil wudlu,” kata ibunya saat keluar dari kamar mandi. “Saya sedang berhalangan.” Akh..., Putri memang benar-benar anak manja. Padahal menurut ibunya, ia sudah kuliah Semester III di Fakultas Psikologi UII. Tapi sikapnya, seperti anak SMA saja, manja tidak ketulungan. Memang kuliah menjadi ukuran kedewasaan, dan memang orang dewasa tidak boleh manja? Entahlah..., saya tidak ingin bersusah payah berteori untuk menjawab 14
pertanyaan yang saya susun sendiri, saya pertanyakan sendiri. Saya tidak ingin direpotkan lagi untuk makan malam bersama, dan nanti diminta memimpin do’a sebelum dan sesudah makan. Buru-buru setelah selesai menjadi imam, wiridan rutin dan membaca do’a pendek, saya langsung berpamitan. Saya bersalaman dengan bapaknya Putri dan mengangguk ramah ke arah ibunya. “Antarkan Mas Pram sampai di halaman,” kata Ibunya. “Iya..., ya,” kata Putri setengah sewot. “Tidak usah, biar saya sendiri saja,” kataku cepatcepat. Sebab pasti hanya akan menambah kekikukan saja kalau diantar si anak manja itu. Apalagi kalau anak manja itu memegangi kembali jari telunjukku. Alamak....! Saya keluar dari kamar perawatan, dan Putri mengikutiku. Saya memperlambat langkah untuk menunggu Putri yang berjalan sambil ber-sms-an. Kebiasaan anak-anak muda jaman sekarang. “Mas Pram..., bacaan Qurannya bagus sekali.” “Ada-ada saja, kamu.” “Mas Pram pasti pernah mondok, ya?”
15
“Tidak juga.” “Bacaannya bagus, kok, bohong, sih.” “Sampai ketemu lagi. Semoga Bapak segera sehat,” kataku untuk mengalihkan arah pembicaraan. Kalau dilayani pasti akan berkepanjangan, dan ke mana-mana arah pembicaraannya. Berkembangkembang tidak karuan. Tanpa menunggu jawaban dari Putri saya melangkah menembus keramaian kota Yogyakarta di waktu malam. Angin terasa semilir segar. Mungkin karena di kota Yogyakarta, hanya sedikit pabrikpabrik besar. Lampu-lampu jalan menyala terang, memberikan daya hidup di Taman Kota. Di beberapa tepat tiang listrik bercat hijau dengan desain khas Keraton Yogyakarta.
16