BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah Industrialisasi masyarakat Barat yang semakin massif pada abad ke-19 dan
20 telah melahirkan kemerosotan mutu lingkungan hidup, diantaranya menyebabkan eksploitasi berlebihan atas sumber-sumber daya alam, musnahnya banyak spesies, polusi udara dan air, serta keberlebihan penyebaran racun. Akibat rusaknya lingkungan, manusia saat ini dihadapkan pada ancaman hancurnya planet bumi tempat mereka tinggal. Arnold Toynbee, sebagaimana dikutip Mudhofir Abdullah, menilai bahwa revolusi Industri memiliki andil yang sangat signifikan terhadap terjadinya perilaku kontra ekologis. Revolusi yang semula terjadi di Inggris ini, memengaruhi perkembangan industri di sejumlah negara Eropa dan dunia lainnya. Revolusi industri menggantikan secara luas pekerjaan manusia menjadi berbasis mesin serta membawa perubahan perekonomian agrikultural ke perekonomian industrial. Revolusi ini telah menggeser peradaban batu (stone age) yang hidup selama Era Neolitik ke Era Industri yang basisnya adalah metalurgi (ilmu tentang mengolah logam). Inilah awal terjadinya degradasi lingkungan.1 Krisis lingkungan, setidaknya sejak lima puluh tahun yang lalu hingga saat ini, telah menyita perhatian dan upaya berbagai kalangan, baik para pengambil keputusan, kalangan akademisi, dan juga kaum agamawan. Perserikatan BangsaBangsa (PBB) sebagai sebuah organisasi pengambil keputusan di tingkat internasional merespon persoalan krisis lingkungan dan keberlanjutan dengan cara menyelenggarakan satu seri internasional mengenai lingkungan hidup pada tahun 1972 di Stockholm, Swedia. Di samping menguraikan karakter global dari
Mudhofir Abdullah, al-Qur’an dan Konservasi Lingkungan, (Jakarta: Dian Rakyat, 2010), hal. 65 1
1
masalah lingkungan, konferensi ini mengakui bahwa perlindungan lingkungan haruslah menjadi unsur pokok dalam perkembangan sosial dan ekonomi.2 Di kalangan akademisi internasional, terutama ahli ekonomi, pada tahun 1960-an mulai mengkaji dampak pertumbuhan ekonomi atas lingkungan. Kajian seperti ini belum pernah dilakukan sebelumnya. Kenneth Boulding, seorang ahli ekonomi yang mengkhawatirkan “economy cowboy yang serampangan”, mengajak kalangan akademisi untuk mempromosikan etika sikap bersahaja, melestarikan alam, dan melakukan kegiatan daur ulang (recycle).3 Sementara itu, kalangan agamawan pada level internasional pernah menggelar konsultasi internasional sekaligus konsultasi antar-iman di Genval, Belgia pada Mei 1994 guna menyambut konferensi internasional PBB mengenai Kependudukan dan Pembangunan yang dihelat di Kairo, Mesir
pada 5-13
September 1994. Salah satu poin penting yang dihasilkan dari konsultasi internasional itu menyatakan bahwa agama-agama yang berpusat pada Tuhan berbicara mengenai lingkungan alam sebagai karya sang pencipta dan oleh karena itu suci. Demikian pula dengan dengan keyakinan non-teistik yang menegaskan kesucian lingkungan dan alam. Selain itu, para agamawan menekankan bahwa kesejahteraan manusia di seluruh dunia bergantung pada kualitas udara, air, dan juga tanah.4 Bahkan pada tahun sekitar tahuan 2000-an, dilaksanakan satu seri sepuluh konferensi tentang agama dan ekologi di Pusat Studi Agama-Agama Dunia di Universitas Harvard. Masing-masing konferensi ini meninjau sumber daya intelektual dan simbolis pada tradisi religius tertentu sehubungan dengan pandangan tradisi itu pada sifat, praktik ritual, dan bangunan ritual dalam kaitannya dengan alam. Konferensi ini dipusatkan pada hampir seluruh tradisi agama besar dunia, diantaranya: Islam, Yudaisme, Kristen, Konfusianisme, Budhisme, Hiduisme, Jainisme, Daoisme, Shintoisme, dan tradisi-tradisi lokal.
2
Audrey R. Chapman, dkk, Bumi yang Terdesak: Perspektif Ilmu dan Agama Mengenai Konsumsi, Populasi, dan Keberlanjutan, (Bandung: Mizan, 2000), hal. 32. Selanjutnya disebut: Audrey R. Chapman, Bumi yang Terdesak. 3 Audrey R. Chapman, Bumi yang Terdesak, hal. 31 4 Audrey R. Chapman, Bumi yang Terdesak, hal.69-70
2
Sepuluh konferensi ini berhasil merumuskan suatu etika lingkungan yang sistematis.5 Dalam membaca persoalan lingkungan ada dua pandangan besar yang digunakan para ahli, yaitu pertama, ekologi dangkal (shallow ecology) yang memahami
persoalan
lingkungan
sebagai
persoalan
teknis
yang
tidak
membutuhkan perubahan dalam paradigma manusia. Pusat perhatiannya adalah bagaimana mengatasi masalah-masalah teknis seperti pencemaran, pertumbuhan penduduk, dan pengurasan sumber daya alam; kedua, ekologi dalam (deep ecology) yang melihat persoalan lingkungan secara lebih holistik. Pandangan ini tidak melihat persoalan lingkungan sebagai persoalan teknis semata, melainkan persoalan yang lebih fundamental dan filosofis, bagi deep ecology akan dari krisis lingkungan adalah kesalahan cara pandang manusia tentang dirinya, alam, dan tempat manusia dalam alam. Deep ecology mendorong perubahan cara pandang yang diikuti dengan perubahan mental dan perilaku yang tercermin dalam gaya hidup baik sebagai individu, sosial, maupun kelompok budaya.6 Dalam konteks Islam, pemetaan serupa dilakukan oleh Seyyed Mohsen Miri. Dalam buku Menanam Sebelum Kiamat, ia memetakan dua pendekatan yang digunakan sebagai solusi untuk mengatasi krisis lingkungan baik secara individual maupun sosial, yaitu: pertama, pemecahan krisis melalui pertimbangan atas segala sesuatu yang terlihat, situasi yang sedang berlangsung, membuat perubahan jangka pendek dan membuat perencanaan ulang; kedua, pemecahan krisis melalui penjabaran sebab dan faktor yang mendorong munculnya krisis (aspek ontologis), melalui dasar keilmuan (aspek epistemologis), kerangka rohani, kerangka intelektual, serta paradigma budaya yang menyebabkan krisis tersebut terjadi dengan tetap mengacu kepada pendekatan pertama. Nampaknya, pendekatan kedua merupakan solusi yang memberikan pengaruh lebih nyata. Jika hanya berpegang kepada pendekatan pertama, maka masalah akan muncul kembali dan menjadi lebih serius karena krisis sebelumnya masih aktif. Meskipun beberapa 5
Audrey R. Chapman, Bumi yang Terdesak, hal. 155-156 A. Sony Keraf, Etika Lingkungan, (Jakarta: Kompas, 2002), hal. 99-100. Selanjutnya ditulis: “A. Sony Keraf, Etika Lingkungan” 6
3
percobaan penting telah dilakukan semisal membuat bahan bakar non-fosil dan merancang teknologi ramah lingkungan. Pendekatan pertama tidak dapat menghapus krisis lingkungan dan tak dapat menjadi solusi yang memadai bagi masalah tersebut.7 Terkait hal itu, sejumlah ilmuwan menawarkan analisa dalam mencari akar persoalan krisis lingkungan. Mereka menggunakan artikulasi yang berbeda dengan maksud dan makna serupa. Salah satu ilmuwan yang dapat disebut dalam pembahasan ini adalah Seyyed Hossein Nasr, seorang juru bicara filsafat Islam dan tasawuf kontemporer yang banyak menulis karya mengenai kearifan ekologi. Seyyed Hossein Nasr8 menilai bahwa krisis lingkungan dewasa ini berkorelasi erat dengan krisis spiritual-eksistensial yang telah diidap oleh kebanyakan manusia modern. Hal ini disebabkan, karena menangnya cara pandang humanisme-antroposentrisme yang memutlakkan manusia. Implikasinya, yang menjadi korban adalah bumi, alam dan lingkungan yang diintimidasi dan diperkosa atas nama hak-hak manusia. Dengan bahasa yang lugas, Arne Naess, salah seorang filsuf dari Norwegia, menegaskan bahwa krisis lingkungan yang dialami saat ini bersumber dari kesalahan fundamental-filosofis manusia dalam memahami dirinya, alam, dan tempat manusia dalam keseluruhan ekosistem. Pada gilirannya, hal ini menyebabkan kesalahan pola perilaku manusia yang berumber dari kesalahan cara pandang tersebut. Manusia keliru memandang alam dan menempatksan dirinya dalam setting alam semesta seluruhnya. Berdasarkan hal tersebut, Naess mengungkapkan bahwa krisis lingkungan hanya bisa diatasi dengan melakukan perubahan cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam yang fundamental dan radikal.9 Seyyed Mohsen Miri, “Prinsip-Prinsip Islam dan Filsafat Mulla Shadra sebagai Basis Etis dan Kosmologis Lingkungan Hidup”, dalam Fachruddin M. Mangunjaya, dkk., Menanam Sebelum Kiamat, hal. 24-25 8 Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man, (Chicago: ABC International Group, 1997), hal. 3-4. Selanjutnya ditulis: “Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man”. Bandingkan dengan Seyyed Hossein Nasr, Masalah Lingkungan di Dunia Islam Kontemporer, dalam Fachruddin M. Mangunjaya, dkk., Menanam Sebelum Kiamat, hal. 44-65 9 A. Sony Keraf, Etika Lingkungan, hal. xiv. 7
4
Dengan demikian, spiritualitas dan paradigma, sebagaimana ditemukan dalam agama-agama, yang selama ini digunakan manusia untuk memahami alam memiliki posisi yang penting. Dalam hal ini, filosof sekaligus ahli matematika terkemuka, Alfred North Whitehead menegaskan bahwa agama, disamping sains, merupakan satu kekuatan terbesar yang mempengaruhi manusia.10 Pada titik inilah, kondisi lingkungan hidup global yang kian memburuk dan kritis tidak cukup diatasi hanya dengan seperangkat aturan hukum dan undangundang sekuler, tetapi juga kesadaran otentik dari perenungan mendalam setiap individu dalam rangka memahami teks-teks suci agama. Munculnya pemikiran eko-teologi dan juga ekosofi mencerminkan pergeseran baru yang serius dalam masalah-masalah krisis lingkungan. Islam sebagai sebuah agama, sebagaimana dinyatakan oleh Robert N Bellah, dapat dipahami sebagai “cara atau instrumen ilahiah dalam memandang dunia.”11 Bahkan secara eksplisit, Bellah menyatakan bahwa “al-Qur’an dan al-Sunnah adalah cermin di mana melalui keduanya kaum Muslimin memandang dunia.”12 Berkaitan dengan hal ini, Kuntowijoyo mengafirmasi penjelasan mengenai Islam sebagai paradigma. Menurut perumus ilmu sosial profetik ini,
13
realitas itu
dikonstruksi oleh mode of thought atau mode of inquiry tertentu, yang pada gilirannya akan menghasilkan mode of knowing tertentu pula. Dengan mengikuti pengertian ini, paradigma Islam yang berdasarkan kepada al-Qur’an, berarti “suatu konstruksi pengetahuan yang memungkinkan kita memahami realitas sebagaimana al-Qur’an memahaminya. Jika demikian, Islam pada hakikatnya merupakan satu cara pandang atau paradigma yang dapat dijadikan pandangan alternatif untuk mengobati krisis lingkungan yang demikian parah. Sejatinya, Islam telah banyak menjelaskan mengenai hakikat alam dan bagaimana manusia harus bertindak terhadapnya. 10
Paul Abrecht, Faith, Science, and the Future, (Philadelphia: Fotress Press, 1978), hal. 11 Robert N Bellah, Beyond Belief: Esei-Esai tentang Agama di Dunia Modern, (Jakarta: Paramadina, 2000), hal. 203. Selanjutnya disebut: Robert N Bellah, Beyond Belief. 12 Robert N Bellah, Beyond Belief, hal. 208 13 Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1991), hal. 327. Selanjutnya ditulis: “Kuntowijoyo, Paradigma Islam”. Bandingkan dengan, Arief Subhan, “Dr Kuntowijoyo: Al-Qur’an sebagai Paradigma,” dalam Ulumul Qur’an, No. 4, Vol. V, thn 1994, hal. 100 11
5
Bertitik tolak dari uraian singkat di atas, penulis melihat perlu kiranya mengangkat seorang pemikir Islam yang menawarkan ‘perubahan paradigma’ secara fundamental dan radikal dari paradigma yang mendorong sikap eksploitatif kepada paradigma yang apresiatif dan bersahabat serta ramah terhadap alam. Dalam tesis ini, penulis mengangkat pemikiran Badi’uzzaman Said Nursi (1876-1960), seorang cendikiawan muslim asal Turki, mengenai Eko-Teologi. Pemilihan pemikiran Said Nursi didasarkan kepada beberapa hal berikut: pertama, persoalan pandangan dunia yang berkontribusi dalam kerusakan lingkungan adalah produk modernisme Barat yang memandang alam semesta pada umumnya dan lingkungan hidup khususnya dengan cara pandang parsial dan mekanistik. Sebagai seorang yang lahir di Turki pada tahun 1876 dan wafat pada tahun 1960, Said Nursi melihat dan merasakan langsung bagaimana modernisme dalam arti sekulerisme dan materialisme telah menjadi semacam semangat jaman yang puncaknya dapat dilihat pada pendirian Republik Tuki yang sekuler. Dalam kaitan ini, Fethullah Gullen menulis: “Said Nursi hidup pada suatu masa dimana filsafat materialisme berkembang luas dan tersebar ke mana. Dia hidup di suatu masa ketika ilmu dan filsafat menjadi sarana yang mengarahkan manusia kepada sikap ateis. Dengan ketajaman penglihatannya, ia melihat bahwa persoalan terpenting yang harus dipecahkan adalah persoalan anarki yang bersumber dari ateisme. Karena itu, ia menghabiskan seluruh hidupnya untuk menegaskan pentingnya mengobati penyakit ini. Ia mengarahkan upaya yang luar biasa, dalam hal ini dengan menulis dan mengkritik cara pandang ini.”14
Saat Said Nursi hidup, persoalan yang menjadi perdebatan yang cukup rumit adalah hubungan antara Islam dan modernitas. Kemajuan ilmu dan pengetahuan dan teknologi menjadi ciri modernitas telah berkembang di dunia Barat. Latar belakang sosial Turki yang tengah mabuk dengan iptek dan modernisme menantang kaum Muslim Turki. Said Nursi menyambut tantangan tersebut dengan memadukan metode tafakkur dan tadabbur. Dalam berbagai tulisannya, ia
Muhammad Fethullah Gullen, “Mukadimah”, dalam Badi’uzzaman Said Nursi, al-Matsnawi al‘Arabi al-Nuri: menyibak Misteri Keesaan Ilahi, (Jakarta: Anatolia, tanpa tahun), hal. ix-x. Selanjutnya ditulis: Badi’uzzaman Said Nursi, al-Matsnawi al-‘Arabi al-Nuri. 14
6
menekankan pentingnya alam semesta sebagai sebuah teks Tuhan yang juga perlu dibaca dan dipelajari.15 Sebagai seorang pemikir Muslim, Said Nursi berhasil mengenali hakikat sekulerisme dan juga materialisme yang merupakan ruh dari modernitas serta menawarkan kontribusi yang amat bernilai dalam upaya mengungkapkan pendekatan intelektual dan spiritual Islam untuk menyoroti penyebab krisis lingkungan. Kedua, pandangan Said Nursi mengenai hakikat alam semesta dan lingkungan sebagaimana tertuang dalam karya besarnya Risālah al-Nūr relevan dengan persoalan ini. Karya yang terdiri dari enam ribu halaman ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia sampai lebih dari tiga puluh bahasa asing, antara lain: Inggris, Itali, Jepang, Prancis, Spanyol, Cina, Jerman, India, Rusia, Belanda, Rumania, Portugis, termasuk Indonesia dan lain-lain. Hingga hari ini, Risālah al-Nūr masih terus diterjemahkan ke dalam bahasabahasa lainnya. Terkait hal ini, Metin Karabasoglu, salah satu ilmuwan Turki yang sangat menekuni pandangan-pandangan Said Nursi, memberikan penilaian tentang Risālah al-Nūr sebagai berikut: “Tema sentral dari Risālah al-Nūr adalah bahwa alam semesta telah diciptakan dan penciptaanya mempunyai sebuah tujuan dengan ciptaan tersebut. Said Nursi berusaha untuk membuktikan eksistensi Sang Pencipta dan alam semesta serta menjelaskan tujuan-Nya dalam penciptaannya. Dengan penelaahan yang intensif terhadap Risālah al-Nūr, menjadi jelas bahwa Said Nursi menawarkan sebuah penjelasan ontologis yang komprehensif dengan memandang bahwa keberadaan alam semesta, manusia, serta segala yang lainnya merupakan tanda keberadaan Tuhan yang paling jelas. Said Nursi menjelaskan tujuan sang pencipta dalam menciptakan alam semesta melalui perspektif hakikat keutuhan, yakni setiap pemilik keindahan dan kesempurnaan ingin menyaksikan dan memperlihatkan keindahan dan kesempurnaannya sendiri.”16
Dr. Nur Rofiah, BIL, UZM, “Modernisasi bukan Westernisasi”, dalam Sukran Vahide, Biografi Intelektual Badi’uzzaman Said Nursi: Transformasi Dinasti Usmani menjadi Republik Turki, (Jakarta: Anatolia, 2007), hal. xiii-xv. Selanjutnya ditulis: Sukran Vahide, Biografi Intelektual Badi’uzzaman Said Nursi. 16 Zaprulkhan, “Menyibak Jejak-jejak Tuhan pada Wajah Alam Semesta Bersama Badiuzzaman Said Nursi,” dalam Badiuzzaman Said Nursi, Al-Ayāt al-Kubrā: Menemukan Tuhan Pada Wajah Alam Semesta, (Jakarta: Anatolia, 2009), hal. viii-ix. 15
7
Dalam redaksi berbeda, Prof. Dr. Colin Turner, seorang ilmuwan dari Universitas Durham, Inggris memberikan penilaian terhadap Risālah al-Nūr sebagai berikut: “Risālah al-Nūr mengikrarkan bahwa setiap orang yang benar-benar ingin memahami alam semesta ini sebagaimana mestinya, dan bukan atas kehendak dan imajinasinya, pasti akan sampai pada Lā Ilāha illa Allāh. Dia akan melihat keteraturan dan harmoni, keindahan dan keseimbangan, keadilan dan kemurahan, keesaan dan keagungan; sekaligus dia akan menyadari bahwa semua atribut tersebut bukan mengarah pada benda-benda ciptaan itu sendiri melainkan pada Sang Pencipta di mana semua atribut tersebut ada kesempurnaan dan keabsolutan. Dia akan menyaksikan bahwa semesta jagad raya ini adalah buku akbar yang berisikan nama-nama dan suatu indeks, yang mengisahkan Sang Pengarangnya.”17
Dari uraian di atas, menurut penulis, gagasan Said Nursi ini karena memiliki relevansi dengan persoalan ekologi dewasa ini, yaitu: “kenapa terjadi krisis lingkungan?” dan “bagaimana seharusnya kita menyikapi persoalan tersebut?”. Bagi Said Nursi, krisis lingkungan tidak bisa dilepaskan dari paradigm materialisme-mekanistik yang lahir dari rahim peradaban Barat. Pandangan ini pada hakikatnya menolak perspektif transendental dan nilai-nilai spiritual dalam memahami alam.18 Dalam bahasa lain, materialisme-mekanistik adalah filsafat yang tidak mengakui peran Tuhan. Realitas satu-satunya adalah materi dan segala sesuatu merupakan aktifitas dan manifestasi dari materi.19 Paham ini berprinsip bahwa di dunia tidak ada selain materi, atau bahwa nature (alam) dan dunia fisik adalah satu. Ide materialisme dapat dirunut kepada seorang filsuf alam Yunani klasik yaitu Democritus. Democritus berpendapat bahwa alam terdiri dari dua unsur fundamental: atom dan ruang hampa. Karena ia tidak mempercayai apapun
Badi’uzzaman Said Nursi, al-Matsnawi al-‘Arabi al-Nuri, hal. 574 Ibrahim Ozdemir, “Bediuzzaman Said Nursi’s Approach to The Environtment”, dalam A Contemperary Approach to Understanding The Qur’an: The Example of The Risale-i Nur, (Istanbul: Sozler Nesyriyyat, 2000), hal. 682-684. Selanjutnya ditulis: “Ibrahim Ozdemir, Bediuzzaman Said Nursi’s Approach to The Environtment” 19 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2005), hal. 594. Selanjutnya ditulis: “Lorens Bagus, Kamus Filsafat” 17 18
8
kecuali benda-benda material, ia disebut seorang filsuf materialis20pertama yang ide-idenya dilanjutkan oleh Epicurus dan Lucretius. Doktrin materialisme menemukan momentumnya pada awal abad modern di tangan Thomas Hobbes dengan menyajikan materialisme yang mekanik seluruhnya.21 Hobbes juga dipandang sebagai perintis empirisme modern yang mengembalikan pengetahuan pada pengalaman dan berusaha membebaskan diri dari bentuk-bentuk spekulasi spiritual dalam metafisika tradisional. Ia menegaskan bahwa filsafat tidak berurusan dengan ajaran-ajaran teologis. Yang menjadi objek filsafat adalah yang dapat dialami oleh tubuh. Kalau ada substansi yang tak berubah-ubah, yaitu Allah, dan juga substansi yang tak bisa diraba harus disingkirkan dari refleksi filosofis.22 Pijakan pada fakta-fakta objektif alam, berujung pula pada paham positivisme yang dicetuskan oleh Auguste Comte pada awal abad 19. Karena itu, positivisme merupakan ahli waris empirisme yang sudah diradikalkan.23 Bagi seorang pengikut aliran materialisme, alam dipandang ibarat sebuah mesin yang tidak memiliki nilai intrinsik pada dirinya sendiri, selain nilai instrumental sekedar demi kepentingan manusia. Cara pandang ini melahirkan sikap dan perilaku yang eksploitatif serta tidak peduli kepada alam. Manusia lalu bertindak sewenang-wenang terhadap alam dan yang berlaku adalah kalkulasi ekonomi yang memperlakukan alam sebagai pemuas kepentingan dan nafsu manusia. Dalam hubungannya dengan dunia Islam, paham materialisme inilah yang dibawa masuk bangsa Eropa (Inggris) ke tengah-tengah bangsa Turki pada akhir abad 19 hingga pertengahan abad 20. Ironinya, kebanyakan masyarakat awam terpikat
dengan
doktrin-doktrin
materialisme
tersebut
yang
akhirnya
mengantarkan mereka bersikap ateis. Keterlibatannya dengan ilmu pengetahuan pada saat muda, membuat Nursi paham mengenai pandangan terhadap alam yang mekanistik seperti 20
Jostein Gaarder, Dunia Sophie, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 1997), hal. 60-63. Harold H. Titus, dkk., Persoalan-Persoalan Filsafat, terj. Rasjidi (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hal. 296. Selanjutnya ditulis: “Harold H. Titus, dkk., Persoalan-Persoalan Filsafat” 22 F. Budi Hardiman, Filsafat Modern (Jakarta: Gramedia, 2004), hal. 67. Selanjutnya ditulis: “F. Budi Hardiman, Filsafat Modern” 23 F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, hal. 205 21
9
“mesin” yang mengacu kepada pandangan Newton.24 Dalam karya-karyanya, Nursi menulis untuk menjawab tantangan filsafat meterialisme-mekanistik sebagai akar dari krisis lingkungan. Dengan tegas Said Nursi mengajukan sebuah sanggahan kosmologis terhadap doktrin materialisme. Menurut Nursi, semua ciptaan di semesta jagad raya harus diatributkan kepada Zat Yang Maha Esa. Jika penciptaan alam semesta atau manusia tercipta dengan sendirinya dari materi atau secara kebetulan, maka pasti dibutuhkan cetakan alam sebanyak konstruksi dalam alam semesta dan tubuh manusia itu sendiri, dari yang terkecil hingga yang terbesar.25 Selanjutnya, Nursi memberi ilustrasi tentang buku. Sebuah buku jika ditulis dengan sebuah tangan, maka untuk menuliskannya cukup diperlukan satu pena saja yang digerakkan oleh pengetahuan penulisnya untuk dituliskan sekehendaknya. Tetapi jika buku tersebut tidak ditulis dengan sebuah tangan dan bukan hasil kreasi pena si penulis melainkan terbentuk dengan sendirinya, hal itu meniscayakan setiap hurup memiliki pena tersendiri. Jumlah pena yang ada harus sama dengan jumlah hurup tersebut. Dengan kata lain, harus ada pena sebanyak hurufnya sebagai ganti dari sebuah pena yang dipakai untuk menyalinnya. Lebih jauh ia mengajukan pertanyaan: ”Bagaimana mungkin mereka (kaum materialis) dapat mengatakan bahwa buku alam semesta ini, yang di dalam tiap hurufnya dilukiskan sebuah buku, tidak mempunyai pengarang padahal mereka mengetahui bahwa satu huruf mengharuskan ada pengarangnya?”26 Karena pandangan materialisme mekanis ini lahir dan besar dalam peradaban Barat, maka Nursi melancarkan kritik dengan sangat tajam. Sebagaimana dikutip Vahide, Nursi menulis: “Karena peradaban Barat modern bertentangan dengan hukum-hukum agama wahyu, maka kejahatan-kejahatannya lebih besar dan aspek-aspeknya yang keliru serta berbahaya lebih berat. Ketentraman umum serta kehidupan duniawi yang bahagia sebagaimana yang dicita-citakan juga telah hancur.”27
Sukran Vahide, Biografi Intelektual Badi’uzzaman Said Nursi, hal. 341 Said Nursi, The Flashes, (Istanbul: Sozler Nesriyat, 2000), hal. 237-238. Selanjutnya ditulis: “Said Nursi, The Flashes” 26 Badi’uzzaman Said Nursi, al-Matsnawi al-‘Arabi al-Nuri, hal. 16 27 Sukran Vahide, Biografi Intelektual Badi’uzzaman Said Nursi, hal. 458 24 25
10
Di tempat lain Nursi Menulis: “Ketahuilah wahai Barat! Tangan kananmu memegang filsafat yang menyesatkan yang sakit. Sementara tangan kirimu memegang peradaban yang berbahaya dan bodoh. Engkau menyatakan bahwa kebahagiaan manusia terletak pada keduanya. Tanganmu cacat dan persembahanmu buruk...Wahai Barat, dengan kecerdikanmu yang picik engkau telah mempersembahkan bencana kepada manusia.”28
Bertitik tolak dari latar belakang permasalah di atas, penulis akan menjawab pertanyaan mengapa terjadi krisis lingkungan dan mengeksplorasi gagasan Said Nursi sebagai tawaran solusi sebagaimana tertulis dalam Risālah al-Nūr yang diformulasikan
dalam
sebuah
judul,
“Eko-Teologi
dalam
Pandangan
Badi’uzzaman Said Nursi.”
B.
Pembatasan dan Perumusan Masalah
1.
Batasan Masalah Untuk memperjelas penulisan tesis ini, maka pembahasannya hanya akan
mengkaji konsep Teologi Said Nursi untuk menangani krisis ekologi.
2. Rumusan Masalah Berdasarkan batasan masalah yang disebutkan sebelumnya, supaya penulisan ini dapat dilakukan secara terarah, maka disusun rumusan masalah sebagai berikut: a.
Apa konsepsi Eko-Teologi Said Nursi?
b.
Apa penyebab utama masalah krisis ekologi dewasa ini menurut Said Nursi?
c.
Bagaimana tawaran Said Nursi terhadap krisis ekologi??
C.
Tujuan dan Manfaat penulisan tesis Sesuai dengan rumusan masalah di atas, penelitian ini memiliki tujuan-
tujuan sebagai berikut: pertama, menjelaskan konsep Eko-Teologi Said Nursi; kedua, menjelaskan penyebab utama krisis ekologi menurut pandangan Said
28
Badi’uzzaman Said Nursi, al-Matsnawi al-‘Arabi al-Nuri, hal. 286-287
11
Nursi; dan ketiga, menawarkan gagasan Said Nursi untuk mengatasi krisis ekologi demi terwujudnya kelestarian lingkungan. Adapun manfaat atau signifikansi penulisan ini adalah sebagai berikut: pertama, memetakan masalah krisis lingkungan yang terus berkembang dewasa ini, terutama ditinjau dari perspektif filosofis. Selain itu tesis ini menawarkan rekomendasi untuk membaca akar terjadinya krisis lingkungan dari dimensi intelektual dan spiritual, bukan pendekatan ekonomi, apalagi politik; kedua, menawarkan satu perspektif baru mengenai Eko-Teologi, yaitu satu konsep yang lebih holistik dan lebih proporsional tentang hubungan manusia dan alam yang bersumber pada konsepsi Islam; ketiga, memperkenalkan gagasan Said Nursi kepada masyarakat akademis khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya, sebagai seorang pemikir Muslim yang memiliki perhatian yang serius dan mendalam terhadap berbagai permasalahan di dunia Islam, termasuk persoalan krisis lingkungan; dan keempat, memberikan kontribusi keilmuan untuk memperkaya penelitian khazanah ilmiah keislaman dan kemodernan di Indonesia khususnya.
D.
Kajian Pustaka Sejauh pengamatan penulis, studi mengenai “Eko-Teologi dalam
pemikiran Said Nursi” dalam bentuk skripsi, tesis maupun disertasi belum ada. Selama ini kajian terhadap karya-karya mengenai Said Nursi lebih banyak dilakukan di luar negeri. Mayoritas karya-karya ini ditulis dalam bahasa Inggris dan Bahasa Arab. Secara umum, tema yang diangkat berkisar pada beberapa tema pembahasan, diantaranya: “Islam dan politik menurut Said Nursi”, “Metodologi Tafsir al-Qur’an Menurut Said Nursi”, dan “Metodologi dakwah Said Nursi”.29 Selain itu, penelitian mengenai pemikiran Said Nursi sebagian besar masih tersebar dalam artikel-artikel atau makalah yang dikompilasikan dari hasil seminar. Lazimnya, pandangan-pandangan Nursi diteliti oleh para ahli dalam kapasitasnya sebagai seorang sufi dan pemikir yang menyoroti berbagai persoalan 29
Untuk informasi lebih lengkap silahkan buka: www.iikv.org Web ini merupakan situs resmi Istanbul Foundation for Science and Culture yang selalu meng-up date informasi-informasi mengenai kajian ilmiah mengenai pemikiran Said Nursi.
12
kehidupan, diantaranya: perspektif Al-Quran mengenai manusia menurut Risālah al-Nūr;30 Globalisasi, etika dan Risālah al-Nūr-nya Said Nursi;31 Menebarkan
keyakinan, makna dan kedamaian hidup dalam sebuah dunia multikultural melalui pendekatan Risālah al-Nūr,32 yang di dalamnya mencakup sub-sub tema yang luas. Jika di luar negeri kajian terhadap pemikiran Said Nursi sudah populer, tidak demikian halnya di Indonesia. Di dunia akademis Indonesia, dapat dikatakan masih jarang tokoh-tokoh intelektual dalam negeri yang menulis wacana-wacana Said Nursi. Kalaupun ada, itu baru berupa artikel dalam beberapa jurnal. Salah satu penulis yang dapat disebut adalah Prof. Dr. Machasin. Ia adalah salah satu penulis yang mengelaborasi gagasan-gagasan Nursi khususnya mengenai wacana sufistik, pengaruh tokoh atau ide-ide tokoh sufi, seperti alGhazali, Abdul Qadir al-Jilani, dan Syaikh Ahmad Sirhindi serta di mana posisi Said Nursi. Machasin menggambarkan pandangan Nursi bahwa dalam tasawuf selain ada aspek kebaikannya ada pula kekeliruannya. Menurut Machasin, jalan sufi atau tarekat bagi Nursi sangat penting karena ia berhubungan dengan esensi agama itu sendiri. Kendati demikian, ada ekses-ekses negatif dari jalan tersebut yang harus dibenahi dan jalan terbaik adalah mengikuti sunnah Nabi. Dalam artikel tersebut, Machasin juga mengeksplorasi pandangan Nursi bahwa yang diperlukan saat ini adalah memperkokoh keimanan, bukan membangun jalan sufisme.33 Adapun kajian akademis dalam bentuk skirpsi, tesis dan disertasi yang dapat ditemukan di Indonesia, sejauh pengamatan penulis baru dilakukan oleh beberapa sarjana berikut ini: pertama, Laela Rahmawati dalam bentuk skripsi yang membahas konsep Mane-Yi Harfi dalam Risālah al-Nūr.34 Tema ini terkompilasi dalam Sukran Vahide (ed), The Qur’anic View of Man, According to the Risale-I Nur, (Istanbul: Sozler Nesriyat, 2002) 31 Mengenai tema di atas dapat dilihat dalam Sukran Vahide (ed), Globalization, Ethics and Bediuzzaman Said Nursi’s Risale-I Nur, (Istanbul: Sozler Publications, 2004). 32 Sedangkan perbincangan tema tersebut berada dalam Sukran Vahide (ed), Bringing Faith, Meaning and Peace to Life in a Multicultural World: The Risale-I Nur’s Aprroach, (Istanbul: Nesil, 2004). 33 Machasin, “Bediuzzaman Said Nursi and The Sufi Tradition”, dalam Jurnal Jami’ah, Vol. 43, No. 1, 2005, hal. 1-19. 34 Laela Rahmawati, Mane-Yi Harfi: Kajian Tentang Metode Penafsiran Bediuzzaman Said Nursi dalam Risale-I Nur, Skripsi di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2004 30
13
Kedua, Zaprulkhan baik dalam bentuk tesis maupun disertasi. Dalam Tesis master yang berjudul “Eksistensi Tuhan dan Kritik terhadap Materialisme menurut Badiuzzaman Said Nursi”, Zaprulkhan membahas eksistensi keberadaan Tuhan dalam bingkai argumentasi kosmologis, ontologis, teleologis, dan intutif dalam pandangan Said Nursi. Sementara itu, Said Nursi melancarkan kritik terhadap materialisme Barat, melalui argumentasi kosmologis dan teleologis. Adapun pandangan materialisme yang dikritik adalah materialisme mekanik yang memandang semua fenomena alam secara saintifik dan menafikan keberadaan Tuhan bukan paham materialisme historis yang diusung Karl Marx yang memandang bahwa kebutuhan-kebutuhan material manusia menentukan bentuk masyarakat dan perkembanganya.35 Sementara itu, dalam disertasinya, Zaprulkhan membahas pembaharuan tasawuf Said Nursi yang dibandingkan dengan pembaharuan tasawuf Hamka (salah satu ulama Indonesia terkemuka). Adapaun poin-poin yang dibandingkan diantara kedua sosok tersebut adalah antara lain sebagai berikut: 36 pertama, baik Hamka dan Nursi menunjukkan minat intelektual yang cukup besar terhadap tasawuf dan apresiasi positif, kendati keduanya bersikap kritis dengan penyimpangan-penyimpangan dalam sufisme. Apresiasi terhadap sufisme bisa dilihat dalam kehidupan mereka dan juga nuansa sufistik sangat mewarnai sebagian besar tulisan-tulisan mereka. Baik Hamka maupun Nursi, keduanya melakukan pembaruan tasawuf dari dalam, yakni dengan menyelami wacanawacana tasawuf itu sendiri. Ini berbeda dengan kebanyakan tokoh reformis Islam yang menunjukkan sikap anti tasawuf dan tidak jarang langsung mengklaim cabang keilmuan Islam tradisional tersebut sebagai bid’ah yang harus diberantas; kedua, Hamka dan Nursi bersikap apresiatif terhadap nilai-nilai spiritual yang terkandung dalam tasawuf, namun keduanya sama-sama dengan tegas menolak gerakan-gerakan tarekat, karena sudah tersekat dalam bingkai eksklusivistik. Bagi 35
Zaprulkhan, Eksistensi Tuhan dan Kritik terhadap Materialisme menurut Badiuzzaman Said Nursi, Tesis di UIN Kalijaga, Yogyakarta, 2007. Selanjutnya ditulis: “Zaprulkhan, Eksistensi Tuhan dan Kritik terhadap Materialisme menurut Badiuzzaman Said Nursi” 36 Zaprulkhan, Komparasi Pembaharuan Tasawuf Hamka dan Said Nursi, Disertasi di UIN Kalijaga, Yogyakarta, 2011
14
mereka berdua, penghayatan dan pengamalan yang utuh terhadap Al-Quran dan Sunnah akan membuahkan nilai-nilai spiritual yang selama ini mungkin hanya ditemukan dalam dunia tasawuf, bahkan ketinggian nilainya melebihi yang ditemukan dalam tasawuf; ketiga, Hamka dan Nursi merupakan dua tokoh Islam modern yang memiliki kemampuan kognitif luar biasa dan mempelajari aneka keilmuan tradisional dan modern secara otodidak, namun sangat produktif dalam melahirkan wacana-wacana yang bernafaskan keislaman dalam bentuk tulisan. Keduanya juga merupakan figur yang sangat konsen terhadap berbagai permasalahan bangsa dan memperjuangkan Islam secara kultural melalui pendidikan dalam pengertiannya yang luas, bukan gerakan kekuasaan atau politik, kendati pada awal perjuangan mereka berdua terlibat dalam dunia politik; dan keempat, di samping beberapa kesamaan tersebut, keduanya juga memiliki aspek perbedaan. Hamka mengkritisi tasawuf yang mengkultuskan guru, pemimpin, wali, pemujaan makam, dan bersikap pasif terhadap kehidupan duniawi. Sementara Nursi melontarkan kritik terhadap pengikut tasawuf yang lebih menyukai amalan sekunder tarekat daripada sunnah Nabi, lebih mengejar buahbuah spiritual, menganggap inspirasi (ilham) yang mereka terima sama dengan wahyu Tuhan, mabuk dalam kenikmatan-kenikmatan spiritual, dan menganggap para wali lebih agung. Sarjana ketiga, yang menulis pemikiran dalam Said Nursi adalah Ustadi Hamzah.37 Dalam tesisnya yang berjudul Islam dan Pluralitas Agama: Toleransi Beragama dalam Pandangan Bediuzzaman Said Nursi, ia menguraikan konsepkonsep pandangan Nursi mengenai toleransi beragama sehingga membentuk pluralitas agama. Sarjana keempat yang dapat disebut di sini adalah Afriantoni. Dalam tesisnya yang berjudul Prinsip-prinsip Pendidikan Akhlak Generasi Muda Menurut Bediuzzaman Said Nursi, ia menyebutkan bahwa Nursi sangat menekankan pendidikan akhlak mulia. Tugas pokok pendidikan akhlak dalam pandangan Nursi adalah memperkuat fitrah manusia untuk mencapai tingkatan 37
Ustadi Hamzah, Islam dan Pluralitas Agama: Toleransi Beragama dalam Pandangan Bediuzzaman Said Nursi, Tesis di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003.
15
Nabi yang hidup secara harmonis dengan sesama manusia dan alam semesta. Ada tiga prinsip utama yang ditanamkan dalam pendidikan akhlak, yaitu: pandangan yang benar mengenai Allah, hakikat manusia, dan juga hakikat alam semesta.38 Sementara itu, dalam bentuk buku, setidaknya ada dua peneilti yang pernah mengelaborasi gagasan-gasan Said Nursi, yaitu Ali Unal dan Thomas Michel. Ali Unal saat mengelaborasi makna hidup sesudah mati melalui sudut pandang
Nursi,
mengungkapkan
sekilas
kritik
Nursi
terhadap
paham
materialisme. Namun kritik Nursi yang diuraikan Ali Unal hanya satu aspek saja dengan dihubungkan kepada kehidupan sesudah mati atau hari kebangkitan.39 Sedangkan Thomas Michel menguraikan pandangan Nursi terhadap peradaban modern yang dibangun di atas nilai-nilai materialistik. Akan tetapi, Michel hanya mengemukakan perbedaan paradigma dunia modern yang bersifat materialistik dengan konsep Al-Qur’an yang mempunyai orientasi kepada Tuhan menurut Nursi.40 Berdasarkan peta literatur yang telah dikemukakan di atas, penelitian mengenai “Eko-Teologi dalam pemikiran Said Nursi” belum dilakukan. Dengan demikian, penulisan tesis ini dimaksudkan untuk mengisi ruang kosong tersebut.
E.
Metode Penelitian
1.
Data Untuk kepentingan penulisan tesis ini, penulis menggunakan data-data
primer dari karya-karya Said Nursi, yaitu Risālah al-Nūr. Karya ini dituis dalam bahasa aslinya dengan menggunakan Bahasa Arab dan Turki. Saat ini Risālah alNūr telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa, diantaranya Inggris dan Indonesia. Dalam tesis ini, penulis akan menggunakan sumber-sumber yang ditulis dalam bahasa Arab, Inggris, dan Indonesia . 38
Afriantoni, Prinsip-prinsip Pendidikan Akhlak Generasi Muda Menurut Bediuzzaman Said Nursi, Tesis di IAIN Raden Fatah Palembang, 2007. Selanjutnya ditulis: “Afriantoni, Prinsipprinsip Pendidikan Akhlak Generasi Muda Menurut Bediuzzaman Said Nursi 39 Hal ini diuraikan dalam bab pertama ketika membahas makna eksistensi & kehidupan. Selanjutnya silahkan lihat: Ali Unal, Makna Hidup sesudah Mati, Kebangkitan dan Penghisaban, (Jakarta: Grafindo Persada, 2002). 40 Sukran Vahide (ed), Said Nursi’s Views on Muslim-christian Understanding, (Istanbul: Yesnibosna, 2005), hal. 79-108.
16
Risālah al-Nūr terklasifikasi antara lain sebagai berikut: dalam bahasa Inggris, The Words (Istanbul: Sozler Nesriyat, 2002), The Flashes (Istanbul: Sozler Society, 2000), Letters 1928-1932 (Istanbul: Sozler Society, 2001), The Rays (Istanbul: Sozler Nesriyat, 1998), Sign of Miraculousness (Istanbul: Sozler Publications, 2004). Dalam bahasa Arab, al-Maṡnāwī al-‘Arabī al-Nūrī (Istanbul: Sozler Nesriyat, 2002), Al-Kalimāt (Istanbul: Sozler Nesriyat, 2001), Al-Maktūbāt (Istanbul: Sozler Nesriyat, 2004), Al-Lamā’āt (Istanbul: Sozler Nesriyat, 2000), Al-Malāḥiq (Istanbul: Sozler Yayinevi, 1995), dan Isyāratul ‘I’jāz Fī Maẓān alĪjāz (Istanbul: Sozler Yayinevi, 1978). Adapun dalam bahasa Indonesia, Risālah al-Nūr telah diterbitkan oleh beberapa penerbit, yaitu: Anatolia, Rabbani, Risalah Nur Press, dan Murai Kencana (Rajawali Press) dengan mengdadopsi judul Bahasa Arab. Dalam tesis ini, penulis akan mencantumkan sumber-sumber dalam ketiga bahasa sebagaimana yang akan dilakukan dalam pembahasan-pembahasan selanjutnya. Sedangkan sumber sekunder yang digunakan dalam tesis ini adalah karyakarya atau tulisan-tulisan para pemikir lain yang membahas pandanganpandangan Nursi dan sumber-sumber lain yang membicarakan tentang eko-teologi yang relevan dengan persoalan yang dibahas untuk memperkaya dan mempertajam analisis. 2.
Metode Pengolahan Data Sifat penelitian ini adalah penelitian tekstual atau kajian pustaka yang
bertumpu pada pemahaman teks yang ada hubungannya dengan persoalan yang diteliti. Bahan-bahan tekstual tersebut kemudian dipaparkan dengan menggunakan metode deskriptif-analisis. Jika metode deskriptif berusaha melukiskan dan menjelaskan paradigma Barat modern mengenai alam semesta dan lingkungan serta argumentasi-argumentasi Said Nursi dalam Risālah al-Nūr secara sistematis dan objektif,41 maka metode analisis berupaya melakukan telaah atau
41
Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat (Yogyakarta: Paradigma, 2005), hal. 5859. Selanjutnya disebut: Kaelan, Metode Penelitian.
17
penganalisisan terhadap paradigma Barat modern serta pemikiran Said Nursi dengan pendekatan filosofis secara mendalam.42 Selain itu, dalam penelitian ini penulis juga menggunakan pendekatan hermeneutika. hermeneutika yang digunakan sebagai metode dalam penelitian ini adalah apa yang dirumuskan oleh Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher (17681834) dan Wilhelm Dilthey (1833-1911). Menurut Schleiermacher tugas hermeneutik adalah melakukan interpretasi gramatikal dan interpretasi psikologis. Bahasa gramatika merupakan syarat berpikir setiap orang. Sedangkan aspek psikologis memungkinkan seseorang menangkap setitik cahaya pribadi penulis. Oleh karena itu, untuk memahami pernyataan-pernyataan seseorang, kita harus mampu memahami bahasanya sebaik memahami kejiwaanya.43 Sementara itu, Dilthey menyatakan bahwa hermeneutika pada dasarnya bersifat menyejarah. Oleh karena itu bahasa tidak bebas dari pasang surutnya sejarah. Menurut dia, kata-kata atau pernyataan tunggal dapat mempunyai arti yang bermacam-macam tergantung pada konteks sejarah di mana kata atau pernyataan itu diucapkan. Dengan demikian, yang menjadi sasaran Dilthey adalah memahami seseorang yang menyejarah.44 Dengan menggunakan hermeneutika model Schleiermacher, penelitian ini hendak mendapatkan gambaran yang menyeluruh mengenai pergulatan personal Said Nursi yang kemudian terderivasi ke dalam gagasan-gagasan. Sedangkan dengan menggunakan hermeneutika model Dilthey, penelitian ini hendak menyingkap pergulatan Said Nursi dalam konteks sejarah pada masa ia hidup.
F.
Sistematika penulisan Secara keseluruhan penelitian ini terdiri dari enam bab. Bab I berisi uraian
latar belakang tesis ini, yakni menyangkut krisis ekologi dan kaitannya dengan 42
Hadari Nawawi & Mimi Martiwi, Penelitian Terapan (Yogyakarta: UGM Press, 1996), hal. 7374; Jenis penelitian analitik ini, lebih fungsional dalam pengembangan pengetahuan dan lebih efektif sebagai sarana edukatif bagi penelitian akademik. Lihat Jujun S. Suriasumantri, Penelitian Ilmiah, Kefilsafatan dan Keagamaan: Mencari Paradigma Kebersamaan, dalam Deden Ridwan (ed), Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, (Bandung: Nuansa, 2001), hal. 83 43 E. Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 2013), hal. 41. Selanjutnya disebut: E. Sumaryono, Hermeneutik. 44 E. Sumaryono, Hermeneutik, hal. 49
18
paradigma dan spiritualitas masyarakat modern. Dalam Bab ini, penulis juga merumuskan problem utama yang mendorong penelitian terhadap tesis ini. Selain itu, pada Bab ini dijelaskan berbagai alasan mengapa tema tesis ini perlu diteliti dan dituliskan. Selanjutnya, penulis juga menjelaskan metodologi riset yang digunakan dalam penulisan tesis ini. Bab pertama ini juga dilengkapi dengan beberapa kajian dan penelitain terdahulu menyangkut tema terkait, dan diakhiri dengan kerangka sistematis isi dari penulisan tesis. Bab II membahas Biografi, dan karya. Pembahasan ini dinilai penting sebagai pengantar guna memahami gagasan Nursi. Pertama-tama, penulis akan menyebutkan sejarah hidup Nursi yang terdiri dari tiga Sub-bab, yaitu: Konteks sosial politik Turki yang menjadi ruang dan waktu dimana Nursi menjalani kehidupannya; Sejarah hidup Nursi yang terdiri dari tiga fase kehidupannya (Said Nursi lama, Said Nursi baru, dan Said Nursi ketiga); serta karya-karya Said Nursi.. Bab III membahas Konseptualisasi Eko-Teologi dan Konsepi Eko-Teologi Said Nursi. Pada bab ini, pertama-tama akan diuraikan mengenai pengertian Ekologi; Pengertian Teologi yang didalamnya akan dibahas karakter pemikiran teologi Nursi; dan Formulasi Eko-teologi. Selanjutnya akan dibahas Konsepsi Eko-Teologi Said Nursi yang terdiri dari pembahasan mengenai, Tuhan Sebagai Sumber Kosmos: Alam sebagai manifestasi sekaligus Ma’āni al-Ḥarfī; dan Manusia Sebagai Khalifah. Bab IV membahas tawaran Solusi Said Nursi terhadap krisis Ekologi. Pembahasan pertama Bab ini terdiri dari dua poin penting, yakni: Akar-Akar Krisis Ekologi. Pada poin ini, penulis memaparkan dua akar krisis ekologi yang dielaborasi dari berbagai tulisan, yaitu: Krisis Paradigma serta Sekulerisasi Pendidikan. sedangkan point penting kedua adalah tawaran Nursi terhadap Krisis Ekologi yang terdiri dari hal, yaitu: memahami alam dengan pendekatan AlQur’an dan melakukan Integrasi Pendidikan. Bab V merupakan pembahasan terakhir mengenai kesimpulan tesis ini. Kesimpulan yang ditulis dalam bab ini merupakan jawaban dari tiga rumusan persoalan yang dikemukakan pada bab I dengan menggunakan bab III dan bab IV.
19