TELAAH KEABSAHAN HADIS TENTANG
ﻼﹶ ﻝﹺ ﺇﹺ ﻟﹶﻲ ﺍﷲِ ﺍﻟﻄﱠﻼﹶﻕﹺ ﺍﻟﹾﺤﺾﻐﺃﹶﺑ (Perbuatan Halal Yang Dibenci Allah Adalah Talak) SKRIPSI Diajukan Guna Memenuhi Kewajiban dan Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh : ANIF LATIFAH 21209010
JURUSAN SYARI’AH PROGRAM STUDI AHWAL AS – SYAKHSHIYYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA 2013
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Bukan kesulitan yang membuat kita takut, tapi sering ketakutanlah yang membuat jadi sulit, jadi jangan mudah menyerah !
PERSEMBAHAN: 1. Skripsi ini saya persembahkan kepada Ibu saya tercinta 2. Adik-adik saya 3. Teman-temanku NON REGULER 2009, yang selalu
memotivasi,
dan
selalu
menjadi
kompatriot sejati. 4. EL “sang ego Alter yang mendorongku hingga batas akhir kemampuanku you rock me !!! 5. Bapak dan Ibu Dosen Al-ahwal asyakhsiyyah, yang begitu menoleransi kekurangajaranku. 6. M. Fatwa, A. Kurniawan, Tri Yunianto, Pujo Wasono, Uswatun Hasanah, Syamsul Bahri, Raichan Rofi’I, Eka Jayanti, Muliyah, Salim May Allah Bless You !!!
ABSTRAK Latifah. Anif. 2013. Tela’ah Keabsahan Hadis tentang Perbuatan Halal yang dibenci Allah adalah Talak. Skripsi. Jurusan Syari’ah. Program Studi Ahwau al-Syakhsiyyah. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing : Dr. Adang Kuswaya, M.Ag. Kata Kunci : Takhrij Hadis, Hadis tentang Talak Skripsi ini membahas tentang hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis tentang keabsahan atau ke-shahihan hadis tentang perkara halal yang dibenci Allah adalah talak. Ketertarikan penulis bermula manakala penulis mendapati bahwa hadis tentang makruhnya talak tersebut adalah yang dinilai hadis dhoif oleh Ibnu Jauzi dalam bukunya yang berjudul Al-Ilal Al-Muntahiyah. Penulis merasa tertarik untuk meneliti karena hadis ini adalah hadis yang popular dan diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Abu Daud. Bisa kita bayangkan jika memang benar hadis popular ini ternyata hadis dhoif maka tentu akan berdampak pada ketetapan hukum mengenai cerai / talak. Dikarenakan kajian ini merupakan tentang studi takhrij hadis, maka peneliti melakukan langkah-langkah sebagai berikut: menentukan dalil yang digunakan sebagai dalil, mencari hadis tersebut di dalam Ensiklopedi hadis yaitu Mu’jam mufahrus li al-fadh al-hadist (An-Nabawi) karya A. J Wensink dan diterjemahkan ke Bahasa Arab oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi, petunjuk yang didapat selanjutnya dicari dalam kitab hadis, penulis menulis hadis lengkap dengan sand dan matan, setelah itu penulis membuat bagan sanad, penulis lalu meneliti dan menelaah sanad hadis dengan kitab Tahdzib al-Tahdzib untuk mengetahui apakah sanadnya muttasil atau munqati’, setelah itu penulis menelaah matan hadis untuk mengetahui adakah persamaan dan perbedaan dalam penulisan matan hadis. Dari hasil penelitian ini penulis mendapati bahwa hadis tentang makruhnya talak tersebut bukan merupakan hadis dhoif, dari hasil penelitian yang dilakukan penulis, penulis mendapati bahwa hadis ini dibawakan / diriwayatkan oleh dua jalur, yaitu Ibnu Majah dan Abu Daud. Dari segi periwayatan jalur Ibnu majah ini Muttasil. Sedangkan jalur Abu Daud sanadnya termasuk Mursal Shahabi karen tidak mencantumkan nama sahabat namun langsung kepada nabi. Dari segi kualitas penulis mendapati bahwa hadis ini merupakan hadis hasan.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan inayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian ini. Shalawat dan salam selalu tercurah kepada nabi Akhir zaman Muhammad SAW, sahabat, dan pengikut beliau pada akhir zaman. Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih banyak kekurangan, untuk itu kritik dan saran penulis harapkan untuk sempurnanya penelitian ini. Keberhasilan penyusunan penelitian ini, selain atas ridho dari Allah SWT, juga tak lepas dari bantuan, dorongan, dan bimbingan dari semua pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat : 1. Bapak Drs. Imam Sutomo, M.Ag., selaku ketua STAIN Salatiga. 2. Bapak Mubasirun, M.Ag., selaku ketua jurusan STAIN Salatiga. 3. Bapak Illya Muhsin, M.Si., selaku ketua Progdi studi al-Ahwal al-Syakhsiyyah STAIN Salatiga. 4. Bapak Dr. Adang Kuswaya, M.Ag., selaku dosen pembimbing dalam penulisan skripsi ini. 5. Bapak dan Ibu dosen dan para civitas akademika lingkungan Jurusan Syari’ah yang telah dengan sabar dan ikhlas membagi ilmunya. 6. Para dosen serta karyawan STAIN Salatiga yang telah memberikan jalan ilmu dan pelayanan.
7. Teman-teman sekelasku non-reguler angkatan 2009 yang telah menjadi inspirasi, motivasi, dan penyemangat. Ilallahi nasyku ana fina maruman nantahi bihi ila husnil khitam
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................................
ii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ...........................................................................
iii
NOTA PEMBIMBING .............................................................................................
iv
DEKLARASI.............................................................................................................
v
ABSTRAK .................................................................................................................
vi
KATA PENGANTAR ..............................................................................................
vii
DAFTAR ISI .............................................................................................................
ix
BAB I.
PENDAHULUAN ................................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................
1
B. Rumusan Masalah ..........................................................................
5
C. Tinjauan Penelitian.........................................................................
5
D. Kegunaan Penelitian.......................................................................
6
E. Metode Penelitian ...........................................................................
6
F. Penegasan Istilah ............................................................................
10
G. Sistematika Penulisan ....................................................................
11
KAJIAN PUSTAKA ............................................................................
13
A. Takhrij Hadis ..................................................................................
13
B. Studi Sanad .....................................................................................
15
C. Studi Matan.....................................................................................
23
BAB II.
D. Talak dalam Fiqih dan Perundang-undangan Republik Indonesia .........................................................................................
28
TAKHRIJ HADIS ................................................................................
36
A. Menentukan Hadis yang digunakan sebagai landasan dalil ........
36
B. Pencarian dalam Ensiklopedi Hadis ..............................................
37
C. Penulis mengidentifikasi hadis ......................................................
38
D. Bagan Sanad ...................................................................................
39
E. Meneliti dan Menelaah otensitas hadis .........................................
40
F. Menentukan Kualitas Para Rawi ...................................................
46
TELA’AH MATAN .............................................................................
49
A. Penjelasan Matan Hadis tentang Makruhnya Talak .....................
49
B. Asbabul Wurud...............................................................................
51
C. Sejarah Perceraian ..........................................................................
53
D. Alasan yang Mendasari Perceraian pada zaman Rasul ................
58
E. Fenomena Talak Masa Kini...........................................................
60
PENUTUP.............................................................................................
62
A. Simpulan .........................................................................................
62
B. Rekomendasi ..................................................................................
64
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................
65
BAB III.
BAB IV.
BAB V.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Salah satu prinsip dalam rangka mewujudkan iman dalam bentuk amal perbuatan adalah membangun kesadaran. Seorang muslim dalam mengarungi kehidupannya memerlukan petunjuk. Petunjuk itulah yang akan membawa seseorang menuju titik kebajikan duniawi, dan pada akhirnya akan sampai pada titik kebajikan ukhrowi yang kekal yaitu surga. Islam sebagai agama yang sempurna telah memberikan petunjuk, kepada pemeluknya. Petunjuk yang dijamin kebenarannya, sehingga seseorang tidak akan tersesat. Petunjuk yang dimaksud adalah al -Qur’an dan al- Hadis (Sunnah) . Sebagaimana di sabdakan Rasulullah SAW , sebagai berikut ini:
( )ﺭﻭﺍﻩ ﻣﻠﻚﺒﹺﻴﹺّﻪﺔﹶ ﻧﻨ ﺳ ﺍ ﷲِ ﻭﺎ ﺏﻨﺎ ﻛ ﺑﹺﻬﹺﻤﻢﻜﹾﺘﺴﻤﺎ ﺗ ﺍ ﻣﻠﱡﻮﻀ ﺗﻦﹺ ﻟﹶﻦ ﻳﺮ ﺃﹶ ﻣﻜﹸﻢﻴ ﻓ ﻛﹾﺖﺗﺮ Artinya : Aku tinggalkan pada kalian 2 perkara jika kalian berpegang teguh kepadanya, kalian tidak akan tersesat selama – lamanya, Kitabullah dan sunnah Nabinya (HR Malik). Maka
bagi seorang muslim yang ingin mencapai kebahagiaan yang
hakiki, maka dia harus berpegang teguh pada al- Qur’an dan al- Hadis (Sunnah). Al- Qur’an sebagai sumber nilai dan Norma Agama yang utama, memuat kaidah - kaidah hukum fundamental (Asasi) tentang muamalah, Akidah, hukum,
serta Akhlaq. Ia menjadi pedoman hidup setiap muslim, yang harus di kaji dan dipahami makna yang terkandung di dalamnya. Kemutawatiran turunnya alQur’an yang berasal dari Allah dan diturunkan langsung kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat djibril, tidak ada yang meragukan. Al-Qur’an akan tetap terpelihara, dari semenjak turunnya hingga sekarang ini. Karena Allah sendiri yang akan menjaganya, sesuai dengan firman-Nya dalam Surat Al – Hijr :9
ÇÒÈ tb qÝà Ïÿ»ptm: ¼çms9 $¯RÎ)ur tø.Ïe%!$#$uZø9¨“tR ß` øtwU $¯RÎ) Artinya : Sesungguhnya
Kamilah
yang
menurunkan
Al
Qur’an,
dan
sesungguhnya kami benar – benar memeliharanya ( Q.S Al – hijr :9) Meskipun al-Qur’an telah memuat seluruh aspek kehidupan umat Islam, namun al-Qur’an berisi firman – firman Allah yang kata – katanya umum dan mengandung makna yang tidak mudah dipahami. Karena itu ia memerlukan penjelasan dan penafsiran. Salah satu penjelasan yang terbaik, ontetik, dan sempurna adalah penjelasan yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW. Sunnah /Hadis adalah sumber hukum Islam yang kedua setelah al- Qur’an. Sunah dipahami sebagai perkataan, perbuatan, dan persetujuan nabi yang tercatat dalam kitab – kitab hadis. Ia merupakan penafsiran serta penjelasan otentik tentang al-Qur’an. Selain itu, sunah juga sebagai pentakhsis (mengecualikan) serta menguatkan kandungan Al Qur’an. Meskipun Sunnah / hadis berkekuatan hukum, namun tidak seperti alQur’an, kemutawatiran hadis banyak diragukan, karena ada jarak antara penuturan Rasulullah dengan penulisan kitab hadis tertua yaitu Al- Muwatta’.
Imam malik sebagai penulis Al-Muttawa’ hidup antara tahun 713-795 M, sedangkan Rasullulah wafat tahun 632 M. Banyak yang meragukan ke ontetikan hadis, bahkan ada dugaan bahwa hadis adalah tradisi dan pikiran yang berkembang di masyarakat dimana penulisnya tinggal, kemudian diklaim berasal dari Nabi. Para penulis Barat, banyak yang melancarkan serangan terhadap as–sunah/ al – Hadis, yang menjadi aspek keseluruhan bangunan islam. Mereka mengatakan bahwa, Assunah yang terdapat dalam kitab – kitab hadis bukan berasal dari nabi, melainkan telah dipalsukan oleh generasi – generasi sesudahnya. Memang menyakitkan , namun demikian secara jujur harus kita akui bahwa ada hal – hal yang terselip dalam kitab – kitab Hadis yang tidak sedikit, dan di ragukan kebenarannya. Oleh
karena
itulah
para
sarjana
islam
terdahulu
kemudian
mengembangkan ilmu untuk meneliti teks hadist (ilmu jarh) dan Validitas rangkaian periwayatannya. Selain itu para sarjana islam meneliti situasi dan kondisi dimana sunnah nabi berupa perkataan itu diucapkan. Dilihat
dari
segi
kualitas
atau
integritas
pribadi
orang
yang
meriwayatkannya secara lisan dari sesuatu generasi ke generasi selanjutnya, sunnah / hadis yang terdapat dalam kitab – kitab hadis dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok : 1. Shahih 2. Hasan 3. Dhaif
Untuk hadis dhaif ini banyak macamnya, yang terlemah adalah hadis maudhu’ (Mukhtar Yahya : 1979 :53), yaitu hadis yang mempunyai ciri-ciri tidak masuk akal, bertentangan dengan al- Qur’an, serta bertentangan dengan hadis lainnya. Para Ulama berbeda pendapat dalam menyikapi hadis dhaif. 1. Madzhab pertama tidak mau mengamalkannya secara mutlak, baik untuk fadhoiul a’mal atau untuk kepentingan yuridis. 2. Madzhab kedua mengamalkan hadis ini secara mutlak. 3. Madzhab ketiga mengamalkan hadis dhaif untuk fadhoilul a’mal namun disertai syarat tertentu. Selama ini penulis meyakini kesahihan Hadis tentang perkara yang halal namun dibenci Allah adalah Talak. Namun betapa terkejutnya penulis manakala mendapati Hadis tentang Talak ini berbeda dalam buku “150 Hadis Dhaif dan Palsu yang Sering dijadikan Dalil” Karya Abdul Bakir, S.Ag. Di dalam buku kecil itu, beliau menuliskan di halaman 93 tepatnya hadis nomor 141, bahwa hadis ini adalah hadis dhaif dinukilkan dari Al- ilal Al – Muntahiyah karya ibnu jauzi, 2/1056 dan Adz Dzakirah 1/23. Penulis sempat meragukan kebenaran buku ini, karena hadis ini selain termasuk hadis yang popular dalam buku – buku Fiqh munakahat, juga diriwayatkan oleh Abu Daud, Imam Bukhari, Imam Muslim dan Ibnu Majah. Beranjak dari masalah tersebut, penulis sangat merasa tertarik untuk lebih jauh meneliti lagi hadis yang digunakan sebagai landasan makruhnya talak tersebut, sekaligus memaparkan alasan mengapa hadis ini termasuk hadis yang
dhaif. Oleh sebab itu, penulis dalam bab ini mengangkat judul. Tela’ah keabsahan Hadis
yang berbunyi: “Perbuatan halal yang di benci Allah adalah
Talak”
B. Rumusan Masalah Dari paparan latar belakang di atas maka selanjutnya akan dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimana kedudukan Talak di dalam Fiqih ? 2. Siapa para perawi yang meriwayatkan hadis tentang Perkara halal yang dibenci Allah adalah Talak ? 3. Bagaimana validitas hadis “ Perkara halal yang dibenci Allah adalah Talak ?
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian hadis tentang Talak adalah sebagai berikut: 1. Memperdalam pemahaman terhadap Talak dalam Fiqih dan perundang – undangan yakni, UU no 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang berlaku di negara kita, serta komplisasi Hukum Islam. 2. Mengetahui serta mengkaji kitab – kitab hadis yang memuat hadis tentang perkara halal yang dibenci Allah adalah Talak 3. Menela’ah sanad Hadis tentang perkara yang dibenci Allah adalah Talak untuk menentukan otensitas matan hadis tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya shahih atau dhaifkah hadis tersebut.
D. Kegunaan Penelitian Kegunaan atau manfaat dari penelitiaan ini di antaranya adalah sebagai berikut 1. Pengayaaan pemahaman tentang studi sanad Hadis. 2. Wawasan yang lebih luas kepada Umat Islam mengenai matan hadis 3. Memperkaya khazanah ke ilmuwan khususnya di bidang Ilmu hukum munakahat.
E. Metode Penelitian Ibrahim (1988 : 25 – 26) menjelaskan bahwa penggunaan metode merupakan suatu yang lazim digunakan dalam setiap penelitian ilmiah. Dalam dunia riset, penerapan dalam metode dalam sebuah penelitian telah diatur dan ditentukan dengan persyaratan yang sangat ketat berdasarkan tradisi keilmuwan yang berlaku, agar hasil penelitian tersebut diakui oleh komunitas ilmuwan terkait karena memiliki nilai ilmiah dibidangnya. Dalam Penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah library research atau penelitian pustaka, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara membaca, mencermati, dan menelaah buku-buku yang ada kaitannya dengan masalah yang akan di teliti.Menurut Zed (2004:1-2) , “ riset pustaka adalah penelitian yang di lakukan dengan cara memanfaatkan sumber perpustakaan untuk memperoleh data penelitiannya.”
2. Pendekatan Penulis menggunakan dua macam pendekatan dalam penelitian yaitu : a. Pendekatan normatif, yang dilakukan dengan cara menelaah bahan pustaka, produk – produk hukum perbandingan hokum, dan sejarah munculnya hukum (Soekarno & Mahmudji 1995 : 13-14). Kaitanya dengan penelitian yang penulis lakukan maka penulis menelaah kitab – kitab. Hadis sebagai sumber hukum islam yang berbicara mengenai hal yang yang berkaitan dengan Kesahihan hadis tentang perakara halal yang dibenci Allah adalah Talak. b. Pendekatan
historis,
Pendekatan
yang
dilakukan
dengan
cara
mendeskripsikan yang terpadu dari keadaan – keadaan atau fakta – fakta masal lampau yang ditulis berdasakan penelitian serta studi yang kritis untuk mencari kebenarannya (Nazir, 1988 :55). Dalam hal ini penulis melacak
sejarah
munculnya
hadis
tentang
Talak
dengan
cara
mengumpulkan dan mengakses hadis – hadis terkait dari kitab – kitab hadis yang telah diketahui dan diakui dalam dunia Islam.
3. Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini ada dua macam jenis data yaitu: a. Data primer ialah data yang diperoleh dari kitab – kitab hadis yang memuat tentang Perkara Halal yang dibenci Allah adalah Talak. b. Data sekunder ialah data yang diperoleh dari bahan – bahan yang ada hubungannya dengan bahan hukum primer, dan dapat membantu
menganalisis dan memahami bahan hukum primer tersebut ( Soemitro, 1990 :53). Dalam hal ini yang menjadi sumber data sekunder adalah buku – buku dan informasi – informasi dari berbagai media mengenai, Talak dari berbagai media mengenai Talak , seperti kitab – kitab Fiqih, uu no 1 tahun 1974, dan KHI.
4. Langkah Penelitian Adapun langkah – langkah yang penulis lakukan dalam penelitian takhrij hadis ini adalah sebagai berikut : 1. Menentukan hadis yang digunakan sebagai landasan / dalil mengenai perkara halal yang dibenci Allah adalah Talak. 2. Mencari Hadis tersebut di dalam Ensiklopedi Hadis (Mu’jam Mufahrus “Li alfadh al Hadist an-Nabawi) karya A.J. Wensink dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi. 3. Petunjuk yang didapat dari kamus tersebut untuk selanjutnya dicari di dalam kitab aslinya. 4. Setelah ditemukan hadis yang dimaksud selanjutnya dibuatlah bagan sanad. 5. Meneliti dan menelaah otensitas hadis di dalam kitab Tahzib Al – Tahdzib untuk mengetahui apakah sanadnya muttasil ataukah munqati. 6. Menentukan kualitas para perawi hadis berdasarkan telaah sanad.
7. Menelaah matan hadis dari semua jalur periwayatan yang ada untuk mengetahui adakah perbedaan dan persamaan redaksi dalam penulisan matan hadis. 8. Telaah sanad menentukan shahih tidaknya mantan hadis untuk menentukan bisa
atau tidaknya
hadis tersebut dijadikan pegangan
hukum.
5. Analisa Data Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui otensitas atau shahih tidaknya hadis mengenai perkara yang dibenci Allah adalah talak. Hadis ini banyak digunakan sebagai landasan /dalil dalam buku - buku fiqih. Hadis yang menyatakan bahwa talak adalah perkara halal namun Allah begitu membencinya. Oleh karena itu Penulis kemudian menelaah sanadnya dari berbagai jalur periwayatan yang ada, serta mencari perbedaan dan persamaan redaksi matan hadis antara jalur periwayatan yang lainya. Selain itu penulis juga harus berusaha mencari dan memahami sebab munculnya hadis tersebut, untuk mendapatkan kepastian shahih atau tidaknya hadis tersebut. Adapun prosedur penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah sebagaimana dalam langkah – langkah penelitian tersebut di atas. Penelitian ini adalah penelitian dengan spesifikasi data kepustakaan dengan menggunakan metode analisa takhirij hadis. Sehingga penulis harus menelaah hadis terkait di dalam kitab- kitab hadis yang telah diakui oleh dunia islam. Penulis juga akan memaparkan pokok permasalahan dalam penelitian ini yaitu
apakah hadis tentang perkara yang dihalalkan namun dibenci oleh Allah adalah Talak, adalah merupakan hadis shahih. Hal ini bertujuan untuk mengetahui seberapa banyak hadis popular yang digunakan dalam buku – buku fiqih, yang ternyata merupakan hadis dhaif.
F. Penegasan Istilah Agar terdapat kejelasan pengertian dalam penelitian ini dan supaya terhindar dari keracunan atau kesalahan penafsiran istilah yang di gunakan dalam penelitian ini, maka penulis merasa perlu untuk memberikan penjelasan dan penegasan istilah sebagai berikut: 1. Takhrij Hadis Kata takhrij menurut bahasa dapat digunakan beberapa arti, mengeluarkan (istinbat), melatih/meneliti (tadrib), menghadapkan (taujih) zuhri (2003 :149). Dengan demikian istilah takhrij hadis adalah menjelaskan tentang hadis kepada orang lain periwayat dalam sanad hadis tersebut. 2. Talak Talak berasal dari bahasa arab yaitu kata artinya lepasnya suatu ikatan perkawinan dan berakhirnya hubungan berkawin. Tihami ( 2008 :229) jadi Talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan, perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya.
3. Hadis Dhaif Zuhri (2003:94) Menjelaskan hadis yang tidak memenuhi persyaratan, misalnya sanadnya terputus, diantara periwayatannya ada yang pendusta, atau tidak dikenali dll.
G. Sistematika Adapun sistematika penulisan skripsi ini mengacu pada buku pedoman penulisan dan tugas akhir yang telah ditetapkan oleh Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga tahun 2008, Sistematika yang dimaksud adalah sebagai berikut : Bab I pendahuluan, meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan Penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian, penegasan istilah, dan sistematika. Bab II kajian pustaka yang menguraikan tentang studi takhrij hadis yang meliputi studi sanad, dan studi matan serta membahas masalah talak dalam pandangan Fiqih. Bab III pelaksanaan takhrij hadis yang merupakan inti dari penelitian hadis tentang kesahihan hadis yang menerangkan perkara halal yang di benci Allah adalah talak. Bab ini berisi tentang rangkaian sanad dan thabaqat, kajian kuantitas sanad, serta kesimpulan dari keseluruhan pembahasan pada bab ketiga ini. Bab IV telaah matan hadis, berisi tentang pembahasan mengenai kompilasi dan arti matan hadis, kritik matan, Assabul wurud, kandungan
hukumnya dan kesimpulan dari keseluruhan isi pembahasan pada bab ke empat ini. Bab V penutup, merupakan bab terakhir pada penulisan ini, Pada bab ini akan disimpulkan keseluruhan isi skripsi mengenai hasil penelitian takhrij hadis tentang kesahihan mengenai perkara yang halal namun di benci Allah adalah talak, serta rekomendasi penulis terhadap seluruh civitas, dan akademika lembaga kampus STAIN Salatiga khususnya rekomendasi terhadap program studi al – Ahwal Syakhsiyyah (AS).
BAB II KAJIAN PUSTAKA
Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa banyak hadis palsu atau hadis yang bukan berasal dari nabi terselip dalam kitab-kitab hadis. Untuk dapat menilai apakah hadis itu termasuk mutawatir, shahih, hasan, dhaif atau bahkan palsu, maka kita harus memiliki dan menguasai pengetahuan yang dapat dijadikan tolok ukur penilaian. Pengetahuan tersebut berkaitan dengan ilmu rijal al-hadis dan ilmu matan hadis. Pada kajian pustaka ini, penulis akan memfokuskan kajian yang berkaitan dengan ilmu takhrij al-hadis meliputi studi sanad dan studi matan, serta membahas tentang talak meliputi pengertian talak, macam-macam talak, serta hukum talak. A. Takhrij Hadis 1. Pengertian Takhrij Hadis Kata takhrij menurut bahasa dapat digunakan untuk beberapa arti, mengeluarkan (istinbath), melatih/ meneliti (tadrib), menghadapkan (taujih), (Zuhri, 1997: 149). Dalam Ilmu hadis, takhrij dapat dipahami untuk beberapa kepentingan. a. Menjelaskan beberapa hadis kepada orang lain dengan menyebutkan para periwayat dalam sanad hadis tersebut. contoh :
: ﺎ ﺭﹺ ﺏﹺ ﻗﺎﹶ ﻝﹶﺤ ﻣﻦ ﻋ، ﻑﺮﻌﺎ ﻣ ﺛﹶﻨﺪ ﺣﺲ ﻧﻮ ﻳﻰ ﺑ ﺍﺪﻤﺎ ﺃﹶ ﺣ ﺛﹶﻨﺪﺣ ﺍﻟﻄﱠﻼﹶﻕﹺﻦ ﻣﻪﻟﹶﻴ ﺍﺾﻐﺌﺎﹰ ﺃﹶ ﺑﻴﻞﱠ ﺍﷲْ ﺷﺎ ﺃﹶ ﺣ ﻣ: ﻠﱠﻢ ﺳ ﻭﻪﻠﹶﻴ ﺍﷲِ ﻋﻠﻰﻮ ﻝﹸ ﺍﷲِ ﺻ ﺳﹶﻗﺎ ﻝﹶ ﺭ
Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Daud, dengan jalur dari Ahmad bin Yunus, dari Mu’arif, dari Muharib, bahwa Rasulullah SAW berkata / bersabda. b. Mengeluarkan dan meriwayatkan sesuatu hadis dari beberapa kitab, atau guru, ataupun teman. Hal ini kita lakukan untuk mengetahui riwayat hidup para periwayat, tujuannya agar kita bisa menilai apakah periwayat itu dapat dipercaya atau tidak. c. Menunjukkan kitab-kitab hadis, yaitu kitab-kitab hadis yang telah diakui di dalam dunia islam, sehingga kita dapat mengetahui letak hadis tersebut lengkap dengan sanad dan matannya . 2. Tujuan Takhrij Al-Hadis Dari penjelasan di atas, diketahui bahwa dengan takhrij al–hadis memudahkan kita untuk : a. Mengetahui hadis yang dimaksud terdapat dalam kitab apa saja, beserta jalur periwayatannya. b. Siapa saja yang meriwayatkan hadis tersebut dimasing-masing jalur. Disini kita dapat menelusuri sanad hadis dari masing-masing jalur satu persatu. 3. Proses Takhrij al-Hadis Untuk dapat mengetahui validitas suatu hadis, kita harus melacak suatu hadis tersebut, dengan langkah-langkah sebagai berikut : a. Menentukan hadis yang digunakan sebagai landasan/ dalil.
b. Mencari hadis tersebut di dalam Ensiklopedi
Hadis yaitu Mu’jam
mufahrus li al-fadh al-hadist (An-Nabawi) karya A. J Wensink dan diterjemahkan ke Bahasa Arab oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi. c. Petunjuk yang didapat dari mu’jam tersebut selanjutnya dicari dalam kitab hadis. d. Langkah selanjutnya menulis redaksi /teks hadis yang telah ditemukan lengkap dengan sanad dan matannya . e. Setelah menulis redaksi /teks hadis yang dimaksud dibuatlah bagan sanad. f. Meneliti dan menelaah otensitas sanad hadis dengan kitab (Thadzib altahdzib) untuk mengetahui apakah sanad-sanadnya muttasil/ munqati’. g. Menentukan kualitas para perawi hadis berdasarkan tela’ah sanad. h. Menela’ah matan hadis dari semua jalur periwayatan yang ada, untuk mengetahui adakah persamaan dan perbedaan redaksi dalam penulisan matan hadis. i. Tela’ah sanad menentukan shahih tidaknya sebuah periwayatan, untuk menentukan bisa atau tidaknya hadis tersebut dijadikan pegangan hukum.
B. Studi Sanad Untuk dapat menilai apakah sebuah hadis dapat dikatakan shahih, hasan, dhaif atau bahkan palsu, kita harus menguasai dan mengetahui ilmu yang berkaitan dengan sanad hadis. Dengan ilmu yang berkaitan dengan sanad, kita dapat menelusuri apakah hadis tersebut tersambung sanadnya atau tidak. Selain itu kita dapat mengetahui apakah periwayat hadis tersebut merupakan orang yang
dapat dipercaya atau tidak. Adapun ilmu-ilmu yang berkaitan dengan sanad hadis meliputi : 1. Ilmu Rijal Al-Hadis Rijal menurut bahasa, artinya kaum pria. Ilmu rijal al-hadis membicarakan tentang tokoh/ orang-orang yang membawa hadis, dari sejak Nabi Muhammad SAW sampai dengan periwat terakhir (penulis kitab hadis) (Zuhri, 1997:117). Hal yang terpenting di dalam ilmu rijal al-hadis adalah sejarah mengenai kehidupan para tokoh meliputi masa kelahiran dan wafat mereka, negeri asal, negeri mana saja tokoh-tokoh itu mengembara dan dalam jangka beberapa lama, serta dari siapa saja mereka memperoleh hadist dan kepada siapa mereka menyampaikan. Dari ilmu rijal al-hadis kita akan memperoleh keterangan tentang penilaian ulama diatas seorang tokoh sanad, yang meriwayatkan hadis yang kita teliti. Dengan ilmu rijal al-hadis kita akan menemukan beberapa kemungkinan, yaitu : a. Periwayatan yang kita teliti itu merupakan orang tercela (Majruh). Dari sini kita bisa menentukan kualitas hadis yaitu dhaif. b. Periwayat yang kita teliti, merupakan orang yang terpuji. Jika pujian itu bertingkat
luar
biasa,
seperti
“Fulan
tidak
ada
bandingannya
(Awtsaqun’nas) maka dapat dipastikan hadis itu shahih. c. Periwayat yang kita teliti, pujiannya pas-pasan, seperti “Fulan dapat ditolelir atau “si fulan orang jujur’’ maka tingkatan hadis menjadi hasan.
d. Periwayat yang dimaksud ternyata kontroversi. Ada ulama yang memuji, namun ada pula yang mencela. Menghadapi kasus ini maka kita harus menentukan teori yang akan kita pakai untuk menyelesaikannya. Mendahulukan al-jarh atas ta’dil atau mendahulukan suara terbanyak. Ada beberapa cara yang dicoba oleh para ulama untuk menyusun buku riwayat hidup para periwayat di antaranya : a. Kitab yang disusun berdasarkan generasi (Thabaqat) contoh : 1) Kitab Al-Thabaqat Al-kubra ,karya Abu Abdillah Muhammad ibnu Sa’ad Katib Al-waqidi (168 – 230 H). Kitab ini memuat biografi para sahabat, tabi’in, dan orang-orang sesudahnya, sampai kepada orang di masa dia sendiri. 2) Thabaqat al-riwayat karya Khalifah bin Khayyatah al-ushfuri (w.240 H). 3) Kitab Tadzkirat al-Huffazh karya Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi (w. 746 H / 1348 M). b. Kitab-kitab yang disusun secara umum berdasarkan huruf abjad agar mudah menggunakannya, contoh : Al-isti’ab fi Ma’rifat al-Ashab bin Abdil Barr. c. Kitab-kitab yang membahas biografi para sahabat nabi. d. Kitab-kitab yang membicarakan para periwayat enam kitab (Shahih alBukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Daud, Sunan al-Turmudzi, Sunan ibnu Majah antara lain :
1) Al – kamal fi Asma al-Rijal – karya Abdul Ghani al-Maqdisi (w.600H/1202 M). 2) Tahdzib al-Kamal- karya Abdul Hajjaj Yusuf bin al-Zaki al-Mizzi 3) Tahdzib al-Tahdzib – karya Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi (w. 748H/ 1348 M ). e. Kitab yang meriwayatkan para perawi dalam sepuluh kitab hadist (Shahih Bukhari, Shahih muslim, Sunan Abi Daud, Sunan Turmudzi, Sunan Ibnu Majah, Imam Abu Hanifah, Musnad Syafi’i dan Musnad Ahmad ibnu Hanbal). f. Kitab yang membicarakan para periwayat yang kualitasnya diragukan. Contoh : Al-Kamil fi Dhu’afa Al Rijal- karya Abu Ahmad Abdul Ibnu Adial Jurjani (w.365H). g. Kitab riwayat hidup para periwayat yang menggunakan nama samaran. Contoh : Nazhat – al-Albab fi al – Alqab. Dengan menggunakan sebagian kitab-kitab di atas, akan memudahkan kita untuk menelusuri mata rantai sanad sebuah hadis. 2. Ilmu al Jarh wa al-Ja’dil a. Pengerian ilmu al-jarh wa al-Ta’dil
ﻭﺍ ﺓ ﻭ ﺗﻌﺪ ﻳﻠﻬﻢ ﺑﺄ ﻟﻔﺎﻅ ﳐﺼﻮ ﺻﺔ ﻭ ﻋﻦ ﻣﺮﺍﻦ ﺟﺮ ﺡ ﺍ ﻟﺮ ﻋﻋﻠﻢ ﻳﺒﺤﺚ ﻓﻴﻪ ﺗﺐ ﺗﻠﻚ ﺍ ﻷ ﻟﻔﺎﻅ
“Ilmu yang menerangkan tentang hal catatan-catatan yang dihadapkan kepada perawi dan tentang penta’dilannya (memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan tentang martabatmartabat kata-kata.
Dari pengertian di atas maka, ilmu al jarh wa al ta’dil dapat kita pahami sebagai ilmu yang membahas kelemahan dan keadilan seorang perawi (Khumaidi, tt :30) b. Tujuan Ilmu al-jarh wa al-ta’dil Ilmu ini bertujuan untuk memberikan kritikan kepada sesorang perawi yang memiliki kelemahan (cacat) atau memberikan status tertentu terhadapnya. Hal ini harus dilakukan untuk melindungi informasi nabi dari kepalsuan. Dengan al-jarh wa al-ta’dil, tidak lantas mendiskreditkan atau menjatuhkan martabat seorang perawi. Tetapi untuk melindungi hadis nabi dari hadis-hadis palsu yang diklaim berasal dari nabi. c. Tingkatan al-jarh Para Ulama Hadis ketika memberikan penilaian tercela terhadap para periwayat hadis, mereka menggunakan kaidah:
ﺍ ﻹ ﲨﺎ ﻝ ﰱ ﺍ ﻟﺘﻌﺪ ﻳﻞ ﻭ ﺍ ﻟﺘﻔﺼﻴﻞ ﰱ ﺍ ﻟﺘﺠﺮ ﻳﺢ Secara garis besar menunjukan cacat.
dalam menunjukan pujian dan detail
dalam
Rinci dan detail dalam menunjukan cacat, karena para ulama begitu berhati-hati dalam menerima hadis. Pemberi informasi hadis harus merupakan orang pilihan. Adapun kata-kata yang digunakan oleh para ulama adalah : 1. Jarh dengan menggunakan ungkapan yang sangat buruk, dan sangat memberatkan kepada orang yang dicatat karena kedustaan misalnya :
ﻭ ﺿﺎﻉ ﺍﳊﺪ ﻳﺚ، ﻳﻀﻊ ﺍ ﳊﺪ ﻳﺚ، ﻛﺬﺍ ﺏ، ﺎ ﺱﺃ ﻛﺬ ﺏ ﺍ ﻟﻨ 2. Jarh dengan menggunakan kata yang sedikit lebih lunak, juga berkisar pada dusta.
ﻓﻼ ﻥ ﺫ ﺍ، ﻓﻼ ﻥ ﻣﺘﺮﻭﻙ، ﻓﻼ ﻥ ﻫﺎ ﻟﻚ، ﻭ ﻓﻼ ﻥ ﺳﺎ ﻗﻂ،ﻓﻼ ﻥ ﻣﺘﻬﻢ ﺑﺎ ﻟﻜﺬﺏ ﻫﺐ ﺍ ﳊﺪ ﻳﺚ 3. Jarh dengan menggunakan kata yang lebih lunak dari tadi, yang menunjukan bahwa hadisnya ditolak orang banyak atau tidak ditulis hadistnya.
ﻓﻼﻥ ﻟﻴﺲ ﺑﺸﺊ، ﺿﻌﻴﻒ ﺟﺪﺍ، ﻣﺮ ﺩ ﻭ ﺩ ﺍﳊﺪ ﻳﺚ، ﻓﻼ ﻥ ﺭ ﺩ ﺣﺪ ﻳﺜﻪ 4. Jarh dengan menggunakan kata yang lebih lunak lagi.
ﻣﻨﻜﺮﺍ ﳊﺪ ﻳﺚ، ﻻ ﳛﺘﺞ ﺑﻪ، ﺿﻌﻔﻮ ﻩ، ﻓﻼ ﻥ ﺿﻌﻴﻒ Disini diketahui bahwa hadist yang dibawa oleh periwayatkanya tidak dapat digunakan sebagai hujjah. 5. Jarh dengan menggunakan kata-kata yang menunjukan cacat ringan, seperti :
ﻟﻴﺲ، ﺳﺊ ﺍ ﳊﻔﻆ، ﺲ ﺟﺠﻪ ﻟﹶﻴ، ﻯ ﻓﹶﻼﹶ ﻥﹲ ﺑﹺﺎ ﻟﻘﹸﻮ، ﻒﻌ ﺿﻪﻴ ﻓ، ﻪﻴﻘﹶﺎ ﻝﹸ ﻓﹶﻓﻼﹶ ﻥﹸ ﻳ ﻟﲔ ﺍ ﳊﺪ ﻳﺚ، ﺑﺎ ﳌﺘﲔ Menurut Zuhri (2003 : 127), al-jarh dengan tingkatan yang terberat (nomor 1 dan 2) menonjolkan kedustaan, orang yang tidak menonjolkan dusta di jatuhi al-jarh dengan kadar agak ringan. Orang yang ridak kelihatan pendusta namun lemah hafalannya, dan tidak teliti di jatuhi al-jarh dengan kadar lebih ringan lagi, mendekati ta’dil dengan kadar yang ringan. d. Tingkatan al-ta’dil Seperti halnya al-jarh tingkatan al-ta’dil juga bervariasi. Ada ulama yang memberikan ungkapan secara berlebihan namun sebagian lainnya memuji dengan kalimat yang biasa. Adapun tingkatan al-ta’dil meliputi : 1. Ta’dil dengan menggunakan ungkapan yang lebih.
ﻪﻨﺄﹶ ﻝﹸ ﻋﺴ ﻓﹸﻼﹶ ﻥﹲ ﻻﹶ ﻳ، ﺮﻴﻈ ﻧ ﻟﹶﻪﺲ ﻟﹶﻴ، ﺎ ﺱﹺﻂﹸ ﺍ ﻟﻨﺒ ﺃﹶ ﺿ، ﺎ ﺱﹺ ﺍ ﻟﻨ ﺛﹶﻖﺍﹶﻭ 2. Ta’dil dengan mengulangi pujian baik dengan mengulangi pujian baik dengan kata yang sama ataupun mirip.
ﻆﹲﺎ ﻓﻘﱠﺔﹲ ﺣ ﺛ، ﻥﹲﻮﺄ ﻣ ﻣﻘﱡﻪ ﺛ، ﻘﹶﺔﹲﻘﱠﺔﹲ ﺛﺛ., ﻘﱠﺔﹲ ﺛﹶﺒﹺﺖ ﺛ, ﻘﹶﻦﺘﻘﱠﺔﹲ ﻣﺛ Tingkatpujian ini di bawah tingkatan pertama. 3. Ta’dil dengan menggunakan pujian tanpa pengulangan.
ﺎ ﻡ ﺇﹺ ﻣ، ﺔﹲﺠ ﺣ، ﻆﹲﺎ ﻓ ﺣ، ﺎ ﺑﹺﻂﹲ ﺿ، ﻘﱠﺔﹲﻓﹸﻼﹶ ﻥﹸ ﺛ
4. Ta’dil
dengan
menggunakan
kebaikan
seseorang,
tetapi
tidak
melukiskan kecermatan atau kekuatan hafalan di atas.
ﺑﹺﻪﺄ ﺱ ﻻﹶ ﺑ، ﻥﹲﻮﺄ ﻣ ﻣ، ﻕ ﻭﺪﺻ 5. Ta’dil dengan menggunakan kata-kata yang dekat dengan tajrih.
ﻕّﺪ ﺍﹸ ﻟﺼﻠﱡﻪﺤ ﻣ،ُﺄ ﺍ ﷲ ﺇﹺ ﻥﹾ ﺷ ﻕ ﻭﺪ ﺻ، ﺍ ﺏﹺﻮﻦ ﺍ ﻟﺼ ﻣﺪﻴﻌﺒ ﺑْﺲﻟﻴ Tingkatan yang pertama dan kata kedua menunjukan bahwa periwayat memiliki kecerdasan, ketelitian, serta kekuatan hafalan yang luar biasa. Jika seseorang di dalam tingkatan ini diketahui tidak jujur, maka dia tidak akan pernah lagi dimasukan dalam kelompok adil. Pada tingkatan ke empat dan kelima menunjukan bahwa periwayat memang tidak menonjol kecerdasannya, ketelitian dan kekuatan hafalannya ( Zuhri, 2003: 125-126). 3. Kritik (Al-Jarh Wa al-Ta’dil) terhadap sahabat a. Dr. Hasbi As-shiddieqy berpendapat jumhur ulama telah menyepakati, bahwa semua sahabat dipandang adil, baik yang ikut serta ke dalam pertentangan-pertentangan antara sahabat dengan sahabat ataupun tidak. b. Pendapat lain menyatakan, bahwa seorang sahabat, tidak harus dipandang adil, hanya karena beliau adalah sahabat nabi, karena diantara mereka ada yang tidak adil. Jadi kita harus meneliti keadaan mereka setelah timbul kekacauan-kekacauan antara sesama mereka.
c. Ibnu Atsir dalam kitabnya Al-iti’ab berkata: “walaupun para sahabat disepakati bahwa mereka itu adil, namun tidak ada salahnya, jika kita mengetahui nama-nama mereka dan membahas perjalanan hidup mereka, serta keadaan mereka untuk kita teladani, karena merekalah orang yang pernah bertemu dengan nabi, dan menjadi orang terdekat beliau. Penulis dalam hal ini berpendapat bahwa golongan sahabat semuanya adil, karena mereka adalah orang –orang yang bersedia mengorbankan jiwa, raga ,serta harta mereka untuk nabi. Apakah mungkin orang yang rela meninggalkan keluarga ,serta sanak kerabat untuk mendapatkan kecintaan Allah dan Nabi-nya melakukan kebohongan atas nama nabi-nya?. Selain itu Allah telah berfirman dalam surat al-Fath : ٢٩ :
öN ßg1ts? (öN æhuZ÷t/ âä!$uHxq â‘ Í‘$¤ÿä3 ø9$# ’n?tã âä!#£‰ Ï© r& ÿ¼çmyètB tûïÏ%©!$#ur 4«! $# ãA qß™ §‘ Ó‰ £J pt’C ($ZRºuqôÊ Í‘ur «! $#z` ÏiB Wx ôÒ sù tb qäótGö6tƒ #Y‰ £Ú ß™ $Yè©.â‘ Artinya : Muhammad Rasulullah dan orang –orang yang menyertainnya itu sangat tegas terhadap Kuffar tetapi saling mengasihi sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan ridha-Nya ( Qs. al-Fath : 29).
C. Studi Matan Salah satu syarat hadis shahih adalah tidak syadz, tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan juga dapat diterima oleh akal sehat. Selain itu hadis itu tidak bertentangan dengan hadis yang lain. Oleh karenanya untuk dapat menilai
kesahihan sebuah hadist maka kita harus mengetahui dan menguasai ilmu-ilmu yang berkaitan dengan matan hadis, diantaranya : 1. Ilmu Gharib al-Hadis a. Pengertian
ﺎﻥ ﺃﹶﺫﹾﻫﻦ ﻋﺔﺒﺮﹺ ﻳ ﺍ ْﻟﻐ ْﻷَﻟﹾﻔﹶﺎﻅﻦ ﻣﺚ ﻳﺎ ﺩ ﺍﹾ ﻷَ ﺣ ﻥﻮﺘﻰ ﻣ ﻓ ﻗﹶﻊﺎ ﻭﻰ ﻣﻨﻌ ﻣ ﺑﹺﻪﻑﺮﻌ ﻳﻢﻠﻋ ﺔﺼ ﺍ ْﳋﹶﺎ ﻟﺔﻴﺮﹺّ ﺑ ﺑﹺﺎ ﻟﹾﻌﻢﻫﺪﻬ ﻋﺪﻌ ﺑﻦﻳﺍﻟﱠﺬ Ilmu yang menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam matan hadist yang sukar diketahui maknanya dan yang kurang terpakai oleh umum (Ash-Shiddieqy,1953 : 161). Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa ilmu ini menyingkap apa yang tersembunyi dalam lafadz hadist. Sebenarnya kata-kata nabi tidak sukar dipahami, namun dalam perkembangannya, bahasa arab dimasuki oleh istilah-istilah asing, sehingga kata-kata bertambah. Disisi lain ada kata yang berangsur-angsur tidak dipakai, sehingga kata-kata yang dulunya tidak asing kini terasa asing bagi pengguna bahasa arab. Apalagi bagi orang non arab. Tugas ilmu Gharib al – hadislah untuk menerangkan/ membantu memudahkan orang mengetahui apa yang diajarkan di dalam hadis dan mengamalkannya.
2. Ilmu Mukhtalif al – Hadis a. Pengertian :
ﺍﺮ ﻇﹶﺎﻫﺔﻀﺎﻗﻨ ﺍﹾﳌﹸﺘﺚﻳﺎﺩ ﺍﹾﻷَﺣﻦﻴﻖﹺ ﺑﻴﻓﻮﻦﹺ ﺍ ﻟﺘ ﻋﻪﻴﺚﹸ ﻓﺤﺒ ﻳﻠﹾﻢﻋ Ilmu yang membahas tentang cara mengumpulkan antara hadist-hadist yang berlawanan lahirnya. Ilmu ini dibutuhkan, manakala kita menemukan hadis-hadis yang bertentangan. Jika pertentangan itu antara hadis shahih dengan hadis dhaif, maka tidak aka ada masalah. Namun jika hadis yang saling bertentangan itu adalah hadis shahih, maka dengan ilmu mukhtalif al-hadis kita dapat menyelesaikan persoalan itu ( Ash-Shiddieqy,1953 : 164). b. Cara Menyatukan Pertentangan Antarhadis 1) Kita bisa menjadikan salah satu hadis tersebut menjadi mukhasshish bagi yang lainnya. 2) Kita bisa menjadikan salah satu hadis tersebut Nasikh bagi yang lainnya. 3) Hadis yang lahiriahnya bertentangan dapat disatukan dengan cara meletakkan hadis pertama sebagai dalil umum, sedangkan hadis kedua sebagai mukhasshish.
3. Ilmu Nasikh Al-Hadis Wa Al-Mansukh
ﺚ ﻳﺎ ﺩ ﺍ ْﻷَﺣﻦﺥﹺ ﻣﻮﺴﺍ ْﳌﹶﻨﺦﹺ ﻭﺎ ﺳﻦﹺ ﺍ ﻟﻨ ﻋﻪﻴﺚﹸ ﻓﺤﺒ ﻳﻠﹾﻢﻋ Ilmu yang menerangkan hadis-hadis yang sudah di maknsukh dan yang menasikhkanya.
Ilmu nasikh al – Hadis wa al – mansukh di pahami sebagai ilmu yang menjelaskan tentang hadis-hadis yang telah dihapus, mansukh dengan hadis yang datang setelahnya ( Ash-Shiddieqy,1953 : 163). Kaidahnya penggabungan dalil yang memuat aturan diterapkan setelah upaya menggabungkan dua hadis yang bertentangan, takhsis tidak berhasil. Ada beberapa cara ditempuh untuk mengetahui peristiwa nasakh ini.
a. Berdasarkanya bunyi nash hadis itu sendiri b. Berdasarkan keterangan sahabat c. Berdasarkan hadis yang datang lebih dahulu dan yang datang belakangan. d. Berdasarkan ijma’ amali
4. Asbab wurud al – hadis Pengertian :
ﻪﻴﺎﺀ ﻓﻱ ﺟﺎﻥﹸ ﺍﻟﱠﺬﻣﺍ ﻟﺰﺚﹸ ﻭ ﻳﺪ ﺍﹶ ﻟﹾﺤﻪﻠ ِﻷَﺟﺩﺭﻱ ﻭ ﺍﻟﱠﺬﺐﺒ ﺍﹶ ﻟﺴ ﺑﹺﻪﺮﹺ ﻑﻌ ﻳﻠﹾﻢﻋ Ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi menuturkan sabdanya dan masamasanya Nabi menuturkan itu.
Ilmu ini menyingkap sebab-sebab timbulnya hadis. Di dalam al-Qur’an kita mengenal Asbabun Nuzul, yaitu ilmu tentang sebab-musabab ayat al-Qur’an di turunkan. Di dalam hadis, ilmu ini dikenal dengan Asbab wurud al-hadis (Ash-Shiddieqy,1953 : 164).
Tujuan ilmu ini adalah untuk mencegah dari kesalahan dalam memahami hadis, karena tidak diketahui sebab turunnya. Selain itu dengan ilmu asbab wurud al–hadis kita dapat memahami ajaran Islam secara komprehensif sekaligus mengetahui hadis yang datang terlebih dahulu dan yang hadis belakangan
5. Ilmu illal al – hadis (ilmu tentang kecacatan hadis)
ﺚ ﻳ ﺍﹾ ﳊﹶﺪﺔﺤﻰ ﺻ ﻓﺔﺣ ﻗﹶﺎﺩﺔﻴﻔ ﺧﺔﻀﺎﺏﹺ ﻏﹶﺎﻣﺒ ﺍﹶ ﺳﻦ ﻋﻪﻴﺚﹸ ﻓﺤﺒ ﻳﻠﹾﻢﻋ Ilmu yang menerangkan sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata, yang dapat mencacatkan hadis ( Ash-Shiddieqy,1953 : 160).
Dari pengertian di atas, dapat kita pahami bahwa sebuah hadis, yang dilihat sekilas dari runtutan persambungan sanad hadis, dapat disimpulkan bahwa hadist itu sahih, tetap sebenarnya hadis itu tidak shahih, ada juga matan hadis/redaksi sebuah hadis yang sepintas berasal dari ilmu nabi namun sebagian lain dari perawi ilmu ini digunakan untuk mengungkap penyakitpenyakit yang ada pada hadis. Tidak semua ulama/ peneliti dapat mengungkapkan penyakit hadis. Hanya mereka yang mempunyai pengetahuan sempurna tentang martabat perawi dan mempunyai terhadap sanad-sanad dan matan-matan hadis.
makalah yang kuat
D. Talak dalam Fiqih dan Perundang-undangan Republik Indonesia 1. Talak dalam Fiqih a. Pengertian talak Talak menurut bahasa berarti melepaskan tali dan membebaskan. Menurut syara’ melepaskan ikatan akad nikah dengan lafadz tertentu, misalnya :
ﺳﺮﺣﺘﻚ- ﻁ ﻟﻘﺘﻚ – ﻓﺮ ﻗﺘﻚ Jadi talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya. (Tihami 2009 :230). Namun ini berlaku untuk talak ba’in untuk raj’i seorang suami masih diperbolehkan ruju’ kepada istri sebanyak dua kali, selama masih dalam masa iddah.
b. Dalil disyariatkannya talak Dalil disyariatkan talak adala al-Qur’an, sunnah, dan ijma’. Allah berfirman dalam Qs Al – Baqarah : 229
ﺗﺎ ﻥ ﻓﺈ ﻣﺴﺎ ﻙ ﲟﻌﺮ ﻭ ﻑ ﺃ ﻭ ﺗﺴﺮ ﻳﺢ ﺑﺈ ﺣﺴﺎ ﻥﺍ ﻟﻄﹲﻠﻖ ﻣﺮ Talak (yang di rujuk) dua kali setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruh atau menceraikan dengan cara yang baik. Adapun dalam hadis yang membahas tentang thalaq adalah sebagai berikut:
ﺃ ﺑﻐﺾ ﺍﳊﻼ ﻝ ﺇﱃ ﺍ ﷲ ﺗﻌﺎ ﱃ ﺍ ﻟﻄﻼﻕ
Halal yang paling dibenci Allah adalah Talak. Sedangkan ijma’ menyepakati bahwa hubungan suami istri adalah hubungan tersuci dan terkuat, maka hubungan ini tidak boleh diremehkan dan direndahkan. Keduanya harus berusaha menggapai mawadah warrahmah dalam menjalani biduk rumah tangga. c. Macam-Macam Talak Secara garis besar talak di bagi menjadi dua yaitu : 1) Talak Raj’i Talak Raj’i yaitu thalaq dimana suami masih mempunyai hak untuk rujuk kepada istrinya, dimana istri dalam keadaan sudah digauli. Hal ini sesuai dengan Qs Al-Baqarah : 229 yang berbunyi :
b r&öN à6 s9 ‘@ Ïts† Ÿw ur 39` »|¡ ôm Î*Î/ 7x ƒÎŽô£ s? ÷rr&>$ rá÷èoÿÏ3 8 $|¡ øBÎ*sù (Èb $s?§sD ,»n=©Ü 9$# («! $#yŠr߉ ãm $yJ ŠÉ)ムžw r&!$sù$sƒs† b r&Hw Î)$º«ø‹x© £` èd qßJ çF÷s?#uä !$£J ÏB (#rä‹ è{ ù's? Talak (yang dapat di rujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduaanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hokum-hukum Allah (Tihami, 2009 :233). Talak Raj’i terbagi menjadi 5 kategori : a) Talak mati, tidak hamil. b) Talak hidup dan hamil. c) Talak mati dan hamil.
d) Talak hidup dan tidak hamil. e) Talak hidup dan belum haid. 2) Talak Ba’in Talak Ba’in adalah talak yang memisahkan sama sekali hubungan suami istri. Talak Ba’in terbagi menjadi dua bagian: a) Talak ba’in sughra, yaitu talak yang menghilangkan hak-hak rujuk dari bekas suaminya, tetapi tidak menghilangkan nikah baru kepada bekas istrinya. Yang termasuk dalam talak ba’in sughra ialah : 1) Talak yang dijatuhkan kepada istrinya sebelum terjadinya dhukhul. 2) Khulu’ b) Talak ba’in kubra, ialah talak yang mengakibatkan hilangnya hak ruju’ kepada bekas istri, walaupun kedua bekas suami istri itu masih ingin melakukanya, baik diwaktu iddah maupun sesudahnya. Yang termasuk dalam thalaq ba’in kubra adalah: perceraian yang mengandung unsur sumpah seperti ila, zihar, dan li’an.
d. Hukum Talak Para ulama berbeda pendapat tentang hukum talak. Berikut ini pendapat ulama mengenai hukum talak : 1) Wajib
:
Jika Suami telah bersumpah tidak akan menggauli (ila’)
2) Sunah
:
Jika suami tidak mampu memenuhi istri/ jika istri tidak mampu menjaga harga diri atau mempunyai perangai yang buruk.
3) Haram
:
Thalaq dijatuhkan ketika istri dalam keadaan haid/ tanpa tebusan, selain itu talak dijatuhkan suami dalam keadaan sakit untuk menghalangi pewarisan.
4) Makruh :
Berdasarkan hadis yang berbunyi
ﻟﹶﻲ ﺍﷲِ ﺍﻟﻄﹶﻼﹶﻕﹺ ﺍ ْﳊﹶﻼﹶﻝﹺ ﺍﺾﻐﹶﺃ ﺑ Karena talak berarti keduanya mengkufuri nikmat yang telah Allah berikan kepada keduanya.
2. Talak dalam UU ( perundang-undangan) Republik Indonesia a. UU No 1 Th 1974 Di dalam UU, tidak disebutkan secara spesifik pengertian tentang talak atau putusnya perkawinan. Namun di dalam UU No 1 Tahun 1974, perkawinan dapat putus karena : 1) Kematian 2) Perceraian 3) Atas keputusan pengadilan Menurut ketentuan pasal 39 ditegaskan bahwa perceraian hanya dilakukan di depan sidang pengadilan. Setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan. Di dalam penjelasan UU No 1 Th 1974, di sebutkan alasan-alasan yang bisa menyebabkan perceraian, di antaranya: 1) Zina, mabuk, berjudi. 2) Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa keterangan. 3) Salah satu pihak mendapatkan/ dijatuhi hukuman penjara 5 tahun atau lebih. 4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan pihak lain 5) Salah satu pihak mendapat cacat badan/penyakit, sehingga tidak mampu menjalankan kewajiban sebagai suami/ istri 6) Sering terjadi percekcokan/ pertengkaran sehingga tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi. Akibat putusnya perkawinan karena perceraian yaitu : 1) Baik bapak/ ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anakanaknya 2) Bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak, bilamana bapak dalam kenyataanya tidak
dapat
memenuhi
kewajiban
tersebut.
Pengadilan
dapat
menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. 3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/ menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.
b. Kompilasi Hukum Islam Menurut kompilasi Hukum Islam pasal 113, perkawinan dapat putus karena: 1) Kematian 2) Perceraian 3) Atas putusan pengadilan Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian, dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian. Selain itu Kompilasi Hukum Islam juga menerapkan alasan-alasan perceraian di antaranya : 1) Salah satu pihak berbuat zina, mabuk dan berjudi. 2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut tanpa keterangan. 3) Salah satu pihak mendapatkan hukum penjara selama 5 tahun. atau hukuman/ lebih berat setelah perkawinan berlangsung. 4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan yang membahayakan pihak lain. 5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjadikan kewajiban sebagai suami istri. 6) Antara suami isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan tidak ada harapan akan hidup rukun 7) Suami melanggar taklik talak. 8) Peralihan Agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.
Akibat Putusnya Perkawinan 1) Akibat Talak Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: a) Memberikan mut’ah yang layak kepada isterinya baik berupa uang/benda, kecuali bekas istri Qobla dhukhul. b) Memberikan nafkah, maskan dan kiswa kepada bekas istri selama masa iddah, kecuali bekas istri telah telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil. c) Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya dan separuh bila Qobla dhukul. d) Memberikan biaya hadlanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 th. 2) Akibat Perceraian a) Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadlanah dari ibunya. b) Anak yang sudah mumayyiz berkah memilih untuk mendapatkan hadlanah dari ayah atau ibunya c) Apabila pemegang hadlanah tidak dapat menjamin keselamatan jasmani
dan
rohani
anak,
maka
pengadilan
agama
dapat
memindahkan kepada kerabat lain. d) Semua biaya hadlanah dan nafkah menjadi tanggung jawab ayah sampai anak berusia 21 tahun.
e) Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadlanah dan nafkah anak, pengadilan agama memberikan putusannya berdasarkan a, b, c ,d. f) Pengadilan dapat pula dengan kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.
BAB III TAKHRIJ HADIS
Adapun Takhrij yang dimaksud di sini meliputi : Penelusuran pencarian hadis lewat kata kunci ﻃﻠﻖdan ﺑﻐﺾ, Pencarian hadis yang ada di dalam kitab hadis berdasarkan Ensiklopedi Hadis karya A.J.Wensik yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab oleh Muhammmad Fuad Abdul Baqi, Pengidentifikasian hadis sebagaimana yang terdapat di dalam kitab hadis, Pembuatan bagan sanad, penelitian dan menela’ah otensitas hadis yang terdapat dalam kitab Tahdzib-al- Tahdzib, serta kritik sanad. Selanjutnya penulis akan menjabarkan proses takhrij ini satu persatu : A. Menentukan Hadis yang digunakan Sebagai Landasan atau Dalil Dalam hal ini penulis ingin mengetahui redaksi hadis yang berbunyi
ﺍ ﳊﹶﻼﹶ ﻝﹺ ﺇﹺ ﻟﹶﻲ ﺍ ﷲِ ﺍﻟﻄﹶﻼﹶﻕﹺﺾﻐﹶﺃ ﺑ Berangkat dari keyakinan penulis mengenai kesahihan Hadis tentang perkara yang halal namun dibenci Allah adalah Talak. Namun betapa terkejutnya penulis manakala mendapati Hadis tentang Talak ini berbeda dalam buku “150 Hadis Dhaif dan Palsu yang Sering dijadikan Dalil” Karya Abdul Bakir, S.Ag. Di dalam buku kecil itu, beliau menuliskan di halaman 93 tepatnya hadis nomor 141, bahwa hadis ini adalah hadis dhaif dinukilkan dari Al- ilal Al – Muntahiyah karya ibnu jauzi, 2/1056 dan Adz Dzakirah 1/23. Penulis sempat meragukan kebenaran buku ini, karena hadis ini selain termasuk hadis yang popular dalam
buku – buku Fiqh munakahat , juga diriwayatkan oleh Abu Daud, dan Ibnu Majah. Oleh karena itu penulis ingin meneliti Kesahihan hadis ini.
B. Pencarian di dalam ensiklopedi Hadis (Mu’jam Mufahrus li alfadz al-Hadis An-nabawi) karya A.J Wensink yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi . Penulis memulai pencarian Hadis dengan menggunakan kata kunci:
ﻃﻠﻖ
(١
Penulis menemukan potongan hadis di halaman 25, potongan hadis itu berbunyi :
ﺍ ﻟﻄﱠﻼﹶ ﻕﹺﻦ ﻣﻪ ﺇﹺ ﻟﹶﻴﺾﻐﺌﹶﺎ ﺃﹶ ﺑﻴﻞﹶ ﺍﷲِ ﺷﻣﺎﹶ ﺃﹶ ﺣ ٣ د ﻃﻼ ق ( ﺑﻐﺾ٢ Penulis menemukan potongan hadis di halaman 202 dengan Kalimat
ﺍ ﳊﹶﻼﹶ ﻝﹺ ﺇﹺ ﻟﹶﻲ ﺍ ﷲِ ﺍﻟﻄﹶﻼﹶﻕﹺﺾﻐﹶﺃ ﺑ ٣ د ﻃﻼ ق ﺟﮫ ﻃﻼ ق ا
C. Penulis mengidentifikasi hadis sebagaimana yang terdapat di dalam kitab Hadis Setelah melakukan pencarian di Ensiklopedi hadis, penulis hanya menemukan dua jalur yang meriwayatkan hadis tentang makruhnya talak. Adapun jalur periwayatan hadis tersebut adalah : 1. Sunan Abi Daud
ﺎﹶ ﺭﹺ ﺏﹺ ﻗﹶﺎ ﻝﹶ ﺭ ﺳﻮ ﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﳏﻦ ﻋ ﻑﺮﻌﺎ ﻣ ﺛﹶﻨﺪ ﺣﺲﻮ ﻧ ﻳﻦ ﺑ ﺍﺪﻤﺎ ﺍﹶ ﺣ ﺛﹶﻨﺪﺣ ﺍﻟﻄﱠﻼﹶ ﻕﹺﻦ ﻣﻪ ﻟﹶﻴ ﺍﺾﻐﺌﹶﺎ ﺃﹶ ﺑﻴﻞﹶ ﺍﷲِ ﺷﻭ ﺳﻠﻢ ﻣﺎﹶ ﺃﹶ ﺣ
2. Sunan Ibnu Majah
ﻦﹺﺎ ﺭﹺ ﺏﹺ ﺇﹺ ﺑﺤ ﻣﻦﻞﹺ ﻋﺍ ﺻﻦﹺ ﻭ ﺇﹺ ﺑ ﻑﺮﻌ ﺀَﻥﹾ ﻣﺪﺎ ﻟ ﺧْﻦﺎ ﺇﹺ ﺑ ﺛﹶﻨﺪ ﺣﺪﻴﺒ ﻋﻦ ﺇﹺ ﺑﺮﻴﺎ ﻛﹶﺜ ﺛﹶﻨﺪﺣ . ﺛﹶﺎ ﺭﹺﺩ
ﺎ ﻟﹶﻰﻌ ﻟﹶﻰ ﺍﷲِ ﺗ ﺍﹾﳊﹶﻼﹶ ﻝﹺ ﺍﺾﻐ ﺃﹶ ﺑ. ﺻﻞ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻗﺎ ﻝﻦﹺ ﺍﻟﲎ ﻋﺮﻤﻦﹺ ﻋ ﺇﹺ ﺑﻦﻋ ﺍﻟﹶﻄﹶﻼﹶ ﻕ
D. Selanjutnya penulis membuat bagan sanad ا ﻟﻨٌﺒﻰ
1. Sunan Abi Daud
ﻣﺤﺎ ر ب
ﻣﻌﺮٌ ف
أ ﺣﻤﺪ اٍ ﺑﻦ ﯾﻮ ﻧﺲ
اً ﺑﻰ دا و د 2. Ibnu Majah ا ﻟﻨٌ ﻰ
اٍ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ
ﻣﺤﺎ ر ب إ ﺑﻦ د ﺛﺎ ر
ﻣﻌﺮٌ ف اٍ ﺑﻦ وا ﺻﻞ
إ ﺑﻦ ﺧﺎ ﻟﺪ
ﻛﺜﯿﺮ اٍ ﺑﻦ ﻋﺒﯿﺪ
إ ﺑﻦ ﻣﺎ ﺟﮫ
3. Skema Bagan Hadis ا ﻟﻨﺒﻲ
اٍ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ
(73 H)
( 116 H)
ﻣﺤﺎ ر ب اٍ ﺑﻦ د ﺛﺎ ر
( ? )
ﻣﻌﺮٌ ف اٍ ﺑﻦ وا ﺻﻞ
(146 H)
اٍ ﺑﻦ ﺧﺎ ﻟﺪ
(250H)
ﻛﺜﯿﺮ ا ﺑﻦ ﻋﺒﯿﺪ
(227 H)
ا ﺣﻤﺪ اٍ ﺑﻦ ﯾﻮ ﻧﺲ
اً ﺑﻰ دا و د
(275 H)
(273 H)
اٍ ﺑﻦ ﻣﺎ ﺟﮫ
E. Meneliti dan menelaah otensitas hadis di dalam kitab Tahdzib - al-Tahdzib untuk mengetahui sanadnya Muttasil atau Munqati’ 1. Periwayat dari jalur Abi Daud a. Abu Daud Nama tokoh ini adalah Sulaiman bin al-Asy’ats bin ishaq alAzdawi al-Sijistani lahir pada tahun 202 H. Sebelum mendalami hadis, Abu Daud mempelajari Al-Qur’an dan Bahasa Arab.
Dalam menempa diri agar menjadi ulama besar ia malang melintang ke berbagai negeri : Khurasan, Ray, Harat, Kufah, Bagdad, Tarsus, Damaskus, Mesir, Basrah Gurunya adalah ulama-ulama yang terkemuka di antaranya : Abu Amr al-Dharir, Abu al-Walid al-Thayalisi, Sulaiman bin Hard, dan Ahmad bin Hanbal. Banyak buku yang telah di tulisnya, khususnya ilmu Hadis Abu Daud meninggal di Basrah pada 16 syawal tahun 275 H ( Zuhri, 2003: 174).
b. Ahmad Ibnu Yunus Nama tokoh ini adalah Ahmad bin Abdullah bin Yunus bin Abdullah bin Qais at Tamimi Al-Yarbu’I al-kufi. Gurunya adalah Atsauri bin Ayyinah, Zaidah, Ashim bin Muhammad, Ibnu Abi Zinad. Muridnya adalah Bukhari Muslim, Daud, Abu Bakar bin Abi Syaibah, Hajaj bin Syair, Abd bin Hamid, Abd Zar’ah, Haris bin Abi Asamah, Ishaq al-Harabi dan Ibrahim al-Jauzan, Abu Harim, Saiqah, Yusuf bin Musa. Diantara muridnya ada nama Abi Daud. Beliau adalah murid dari Ahmad bin Yunus. Maka tidak diragukan bahwa orang inilah yang dimaksud dalam sanad hadis ( Al-Asqalany,1984: 44).
c.
Muarif Di dalam Tahdzib al-Tahdzib, peneliti menemukan nama Mu’arif bin Washil Assiadi abu Badl atau disebut Abu Zuraid Al-Kufi, dengan kode د- م. (Muslim –Abi Daud) Gurunya bernama Abi wa’il, Ibrahim attaimy, Ibrahim An-nakhai, Abdullah bin Buraidah, Muharib bin Ditsar, Habib bin Abi Tsabit, Amru bin Dinnar dan Ya’Qub bin Nabatah. Muridnya Muhammad bin Mutharif bin Washil, Abu Ahmad Azzabiri, Abdullah bin Sholeh, Ahmad bin yunus, dan Ali bin Ja’ad. Diantara muridnya ada nama Ahmad bin Yunus .ini Membuktikan bahwa Mu’arif yang dimaksud adalah Mu’arif bin washil ( AlAsqalany,1984: 206).
d. Muharib Di dalam kitab Tahdzib, peneliti menemukan nama Muharib bin Ditsar bin Kurdus bin Qur wasy bin Jaunah bin salamah bin Sakhr bin Tsa’labah bin Sudus Assudusy Abu Ditsar atau disebut Abu Kurdus atau disebut Abu Nadr al-Kufi
al-Qadli. Dengan kode )ﺳﺘﺔ( ع. Gurunya
bernama Ibnu Umar, Abdullah bin Yazid Al-Khatmi, Jabir, Ubaid bin AlBara, Abdullah , dan Sulaiman. Murid-muridnya : Atha’ bin Sa’ib, Abu Ishaq as Syaibani A’masy, Said bin Masruq, Mu’arif bin washil, Muhammad bin Qais al-Shady. dan Sufyan.
Diantara Muridnya terdapat nama Mu’arrif bin washil. Ini membuktikan bahwa Muharib yang dimaksud adalah Muharib bin Ditsar ( Al-Asqalany,1984: 45).
2. Periwayat dari Jalur Ibnu Majah a. Ibnu Majah Ia adalah al-Imam
al-Hafidzh Abu Abdillah, Muhammad ibn
Yazid al-Qazwaini ibn majah. Majah adalah julukan ayahnya. Ia lahir di Qazwain pada tahun 209 H. Berbagai negeri telah dijelajahinya seperti : Irak, Hijaz, Mesir, Syam, dan lain-lain. Ibnu Majah wafat pada 22 Ramadhan 273 H ( Zuhri, 2003: 178).
b. Katsir bin Ubaid Nama lengkapnya adalah Katsir bin Ubaid bin Namir alMadhajiy. Dia dijuluki Abu al-Hasan, al-Hamshi, al-Hida’, al-Maqra’i. Wafat tahun 250 H. Gurunya : Muhammad bin Khalid, Ayyub bin Suwaid Arramli, Baqiyah bin Walid, Sufyan bin Umayyah, Abdussalam bin Abdul Guddus, Muslim bin Khalid Az-zanji. Muridnya : Abu bakar Ahmad bin Umar bin Ashim, Ismail bin Muhammad Beliau bin Ghirad al-Adry, Abul Hasan Ahmad bin Umair bin Jausa’.
Diantara gurunya ada nama Muhammad bin Khalid, ini menunjukkan bahwa Katsir bin Ubaid, adalah tokoh yang dimaksud dalam sanad ini.
c.
Abi Khalid Nama tokoh ini adalah Muhammad bin Abi Kholid ibnu Utsmah al- Hanafy al- Bisriy.Wafat tahun 146 H. Gurunya :Katsir bin Abdillah bin amru bin Auf, Musa bin Ya’qub al-Zam’i, Ibrahim bin Ismail bin Abi Habibah, Said bin Basyir. Muridnya : Muhammad bin Abu Basyar Bindar,Ahmad bin Tsabit al-Jahdari, Muhammad bin Abdillah bin Ubaid, Muhammad bin Isma’il (www.al-atsariyyah.com).
d. Mu’arrif bin Washil Di dalam kitab tahdzib, peneliti menemukan nama Mu’arif bin washil as-Saadi abu Badl atau disebut Abu Zuraid Al-Kufi, dengan kode د - م, (Muslim – Abi Daud). Gurunya bernama Abi Wa’il, Ibrahim Attamy, Ibrahim Annakhai, Abdullah bin Buraidah, Muharib bin Distar, Habib bin Abi Tsabit, Amru bin Dinnar dan Ya’Qub bin Nabatah. Muridnya bernama Muhammad bin Mutharif bin Washil, Abu Ahmad Azzabiri, Abdullah bin Sholeh, Ahmad bin Yunus, dan Ali bin Ja’ad ( Al-Asqalany,1984: 206).
Diantara Muridnya ada nama Ahmad bin Yunus. Ini membuktikan bahwa Mu’arif yang di maksud adalah Mu’arif bin Washil.
e.
Muharrib bin Ditsar Di dalam kitab Tahdzib, peneliti menemukan nama Muharrib bin Ditsar bin Kurdus bin Qurwasy bin Jaunah bin Salamah bin Sakhr bin Tsa’labah bin Sudus Assudusy Abu Ditsar atau disebut Abu Kurdus atau disebut Abu Nadr Al-Kufi Al-Qadli. Dengan kode )ﺳﺘﺔ( ع. Gurunya bernama Ibnu Umar, Abdullah bin Yazid Al-Khatami, Jabir, Ubaid bin Al-Bara, Abdullah, dan Sulaiman, wafat (116 H). Muridnya-muridnya bernama Atha bin Sa’ib, Abu Ishaq assyaibani.A’masy, Said bin Masruq, Mu’arif bin Washil, Muhammad bin Qais Al-Asady dan Sufyan ( Al-Asqalany,1984: 45).
f.
Ibnu Umar Abdullah bin Umar bin Khatab lahir pada tahun kedua atau ketiga dari kenabian tepatnya pada tahun 614 M, masuk islam ketika ia masih dalam usia 10 tahun bersama ayahnya. Abdullah bin Umar adalah anak kedua dari Umar bin Al-Khattab dan saudara kandung Hafshah binti Umar Al-Khattab umm Al-Mukmin. Beliau adalah seorang sahabat yang tekun dan berhati-hati dalam meriwayatkan hadis. Abdullah bin Umar meninggal di Makkah pada tahun 73H atau 693 M ( wikipedia .com).
F. Penentuan kualitas para perawi hadis dari tela’ah sanad, untuk langkah ini peneliti menggunakan kitab Tahdzib Al-Tahdzib, dan ditemukan : a. Ahmad bin Yunus Ahmad bin Hanbal memberikan penilaian “Syaikhul Islam” kepada Ahmad bin Yunus Abu Hatim, Nasa’i memberikan penilaian “Tsiqqah” padanya, Usman bin Abi Syaibah memberi penilaian “Tsiqqah laisa bin Hujjah”. Ibnu Sa’ad memberi penilaian “Tsiqqah Shaduqan”. Dengan demikian ia di golongkan adil dan dzabith. b. Mu’arrif bin Wasil Ali bin Al-Madiny memberikan penilaian “Atsbatu min Ajlih”. Abdullah bin Ahmad memberikan penilaian “Tsiqqah” Ishaq bin Manshur, Ibnu Mu’ayyan, meberikan penilaian Tsiqqah, Muhammad bin Yunus memberikan penilaian Afdhalu as-Syuyukh”. Tidak ada ulama yang penilannya majruh. Dengan demikian ia adil dhabit hadisnya shahih. c. Muharrib bin Ditsar Ahmad bin Mu’in, Abu Zar’ah, Abu Hatim,Ya’qub bin Sufyan dan Nasa’i memberikan penilaian “Tsiqqah” Abu hatim memberikan penilaian “Shaduq” Abu Zar’ah memberikan penilaian “Ma’mun”. Ibnu Hiban memberikan penilaian “Tsiqqah”.Dari penilaian di atas menunnjukkan bahwa Muharrib bin Ditsar adalah merupakan golongan orang yang ta’adil, meskipun penilaian para ulama tidak menggambarkan pada kecermatan serta kekuatan hafalan namun lebih kepada kebaikan sifatnya.
d. Katsir bin Ubaid Kredibilitasnya menurut Abu Hatim dan Ibnu hajar adalah “Tsiqqah”. e. Abi Khalid Penilaian Abu Hatim terhadap tokoh ini adalah bahwa hadis yang ia bawa adalah hadis yang bagus, Menurut ibnu Hajar banyak benarnya namun ada juga yang salah, Menurut Ibnu Hibban adalah bahwa terkadang ia salah (www.al-atsariyyah.com). Karena penulis menggunakan metode Al-Jarhu Muqaddamun ala Ta’dil maka penulis memasukkan perawi ini dalam tingkatan hadis yang dibawanya adalah hasan. Dari hasil tayangan sanad kedua jalur itu dapat dikatakan bahwa sanadnya tersambung. Namun dari Jalur Periwayatan Abi Daud yang periwayatan hadis dari Muharrib langsung kepada Rasulullah tanpa menyebut nama Abdullah bin Umar, menunjukkan bahwa hadis ini merupakan hadis mursal. Dari jalur periwayatan ibnu majah yang menjadi Musyahid, dapat dipastikan bahwa Muharrib yang dimaksud adalah Muharrib bin Ditsar yang merupakan salah satu murid dari Ibnu Umar.Dari jalur ini sanadnya muttasil. Dari segi kualitas sanad, jalur Abi Daud memberikan penilaian Tsiqqah kepada hampir semua periwayat. Sementara dari jalur Ibnu majah, para ulama memberikan penilaian “Tsiqqah” pada Kasir bin Ubaid, Mu’arrif bin Washil, untuk Muharrib bin Ditsar, mereka hanya memberikan penilaian ma’mun, shaduqan. Namun
karena
termasuk
dalam
kategori
ta’dil
meskipun
kata-katanya,
menggambarkan kebaikan seorang, tetapi tidak melukiskan kecermatan, atau kekuatan hafalan maka dapat dikatakan bahwa golongan perawi dalam jalur ini adil dan Dzabit, serta hadisnya shahih.Untuk Ibnu Khalid mereka memberikan penilaian terkadang salah, namun ada benarnya . Dari hasil tayangan di atas maka peneliti hadis memasukkan perawi/ pembawa hadis ini dalam golongan adil, dzabit dan hadis yang dibawanya merupakan hadis shahih.Namun karena penulis melihat bahwa hanya ada satu nama, dalam setiap thabaqah maka menurut penulis hadis ini termasuk ahad.
BAB IV TELA’AH MATAN
Untuk mengetahui otensitas suatu hadis, maka langkah yang dilakukan penulis adalah menela’ah hadis yang dijadikan dalil dari segi matan / redaksi hadis. Penulis juga mencari perbedaan dan persamaan redaksi matan Hadis antara jalur periwayatan yang satu dengan lainnya. Selain itu penulis juga berusaha mencari dan memahami sebab munculnya Hadis tersebut, untuk mendapatkan kepastian shahih atau tidaknya hadis tersebut. Adapun tela’ah sanad meliputi : penjelasan matan hadis, ashbab al-wurud, sejarah Perceraian, alasan yang mendasari talak. A. Penjelasan Matan Hadis tentang Makruhnya Talak. 1. Lafadz أ ﺑﻐﺾ ا ﻟﺤﻼلadalah Ism Tafdzil atau dalam bahasa Inggris merupakan super lative yang berwazan ا ﻓﻌﻞstatusnya adalah mubtada’. Adapun lafadz ا ﺑﻐﺾdi sandarkan pada kata ( ا ﻟﺤﻼ لisim ma’rifat). Menurut ketentuan ilmu nahwu jika isim tafdhil disandarkan pada isim ma’rifat maka bermakna “yang paling dibenci dari suatu yang halal”. 2. إ ﻟﻰ ا ﷲ Adalah Harf Jar yang bermakna < > ﻇﺮ فjadi makna إ ﻟﻰ ا ﷲ bermakna di sisi Allah.
3. ا ﻟﻄٌﻼ ق Merupakan khabar al-Mubtada’ dari lafadz
ا ﺑﻐﺾyang artinya yang
paling dibenci Allah dari suatu yang halal adalah talak. Dari sini dapat kita pahami bahwa hukum talak tidak boleh dalam arti halal namun di benci oleh Allah. Tentang hukum talak ini para ahli fiqh berbeda pendapat. Namun pendapat yang paling banyak diantara semua itu menyatakan bahwa hukum talak “terlarang” kecuali karena alasan yang benar. Mereka yang berpendapat begini adalah Hanafi dan Hambali, alasannya yaitu:
ﺍ ﷲِ ﻛﻞ ﺫ ﻭﺍ ﻕ ﻣﻄﻼ ﻕﻦ ﻟﹶﻌ. ﻠﱠﻢ ﺳ ﻭﻪﻞﱠ ﺍﷲِ ﺀﻟﹶﻴﻮ ﻝﹸ ﺍﷲِ ﺻ ﺳﻓﺎﹶ ﻝﹶ ﺭ Rasulullah SAW bersabda. Allah melaknat tiap-tiap orang yang suka merasai dan bercerai. ini disebabkan bercerai itu kufur terhadap nikmat Allah, sedangkan menikah adalah nikmat Allah. Jadi kufur terhadap nikmat adalah haram. Menurut Hanafi dan Hambali tifak halal bercerai, kecuali karena darurat. Lebih jauh golongan Hambali, menjabarkan hukum talak : a. Talak wajib, yaitu talak yang dijatuhkan dari pihak hakam, karena perpecahan antara suami istri yang sudah berat. Ini jika Hakam berpendapat bahwa talak adalah merupakan jalan satu-satunya menghentikan perpecahan.
b. Talak haram yaitu talak tanpa alasan talak ini diharamkan karena merugikan bagi suami dan istri, dan tidak adanya kemaslahatan yang mau di capai dengan perbuatan talaknya itu jadi talaknya haram. Contoh : Suami yang menalak istrinya, manakala dia sedang sakit keras hal itu dilakukan untuk menghalangi pewarisan. c. Talak makruh (dibenci) : Talak adalah perbuatan yang dibenci, karena ia merusakan perkawinan yang mengandung kebaikan-kebaikan yang dianjurkan oleh agama. d. Talak sunnah yaitu karena istri mengabaikan kewajibanya kepada Allah. Seperti : tidak mau menjalankan shalat istri kurang rasa malunya, sementara suami tidak mampu memaksa istri agar menjalankan kewajiban tersebut. Imam Ahmad berkata : tidak patut memegang istri seperti ini karena hal itu dapat mengurangi keimanan suami, tidak membuat aman rajangnya dari perbuatan rusaknya, serta dapat melemparkan kepadanya anak yang bukan darah daginya sendiri. Dalam keadaan seperti ini tidak salah untuk bertindak keras kepada istrinya.
B. Asbabul Wurud (Asbab al-Wurud) Asbab al-wurud menyingkap sebab-sebab timbulnya suatu hadis. Tujuan asbab al-wurud adalah untuk mencegah dari kesalahan dalam memahami hadis karena tidak diketahui sebab turunnya.
Hadis tentang makruhnya talak, merupakan jenis hadis Taqriry (penetapan), yakni sebuah hadis yang isinya berupa penetapan suatu hukum, yang diputuskan oleh Rasulullah SAW ketika datang suatu persoalan yang dialami oleh umat muslim/ umat Islam yang diadukan kepada beliau. Hadis tentang makruhnya talak dilatarbelakangi oleh dua versi : 1. Imam Baihaqi dalam kitabnya, as-Sunan al-Kubra, mengeluarkan riwayat dari Muharrib ibn Ditsar, dia berkata di zaman Nabi, ada seorang laki-laki yang menikah dengan seorang perempuan kemudian ia menceraikanya. Nabi berkata kepadanya. Apakah kamu sudah menikah? Sudah, Jawabanya. Lalu apa yang terjadi? Tanya nabi, aku telah menceraikanya apakah ada sesuatu yang mencurigakan dari istrimu? Tidak. Selanjutnya laki-laki itu menikah dengan perempuan lain dan menceraikanya lagi. Dan begitu dia melakukanya hingga dua tiga kali, sementara nabi selalu mengomentarinya dengan hal yang sama dengan hal yang sama. Oleh karena itu nabi kemudian bersabda “Sesungguhnya perkara halal yang dibenci Allah adalah Ta’ala” 2. Menurut riwayat lain, menyebutkan hadis ini berkaitan dengan peristiwa Abdullah bin Umar yang menikahi seorang perempuan yang ia cintai, Namun sang ayah Umar bin Khattab tidak menyukai itu menikahi sang perempuan. Abdullah pun mendatangi Rasulullah dan mengadukan hal tersebut. Rasulullah lantas mendo’akan Abdullah, kemudian bersabda : “ Ya Abdullah, ceraikan istrimu itu. Akhirnya Abdullah menceraikan istrinya (Fath al-Bari, juz 10, hlm 447 dan Aun Al-Mabud Syarh Sunan Abi Daud, Juz 6 hlm . 226)
C. Sejarah Perceraian Tidak diketahui secara pasti tentang sejarah perceraian atau orang yang pertama kali becerai, namun sejarah Islam pernah mencatat bahwa Nabi Ismail pernah menceraikan Istrinya atas perintah ayahnya Nabi Ibrahim AS Di dalam Riwayat 25 Nabi dan Rasul karya Drs.Moh Rifai diceritakan bahwa Nabi Ismail setelah dewasa, kemudian kawinlah dengan seorang wanita dari Juhrum. Pada suatu ketika Nabi Ibrahim datang kerumah anaknya Ismail, namun Ismail tidak di rumah, yang ada hanya menantunya. Kemudian Nabi Ibrahim pulang karena rupanya tidak diterima dengan baik oleh menantunya itu. Nabi Ibrahim minta ijin pulang dengan meninggalkan pesan untuk anaknya Ismail. Nabi Ibrahim berkata : Jika suamimu datang nanti, katakana bahwa saya datang kemari, Ceritakanlah bahwa ada orang tua sifatnya begini, dan berpesan kepadanya, bahwa saya ini tidak suka kepada gawang pintu rumah ini dan ia supaya lekas ditukarnya. Setelah suaminya datang, diceritakanlah hal itu semuanya kepada suaminya Ismail. Ismail berkata : Itulah dia ayahku dan rupanya engkau tidak menghiraukan dan menghormati ayahku. Sekarang engkau saya cerai sebab ayahku tidak menyukai orang yang berperangai rendah. Secara jelas dapat dipahami, bahwa perceraian antara Nabi Ismail dengan istrinya akibatnya karena akhlaq sang istri yang kurang baik. Meskipun sejarah tidak mencatat perceraian, namun penulis akan melacaknya langsung kepada Nabi Muhammad dan sahabat-sahabat terdekat beliau.
1. Nabi Muhammad SAW Nabi Muhammad SAW juga pernah menceraikan beberapa istrinya, meski ada yang dirujuk kembali. Kejadian itu bermula manakala Hafsah binti Umar melihat Mariyah al-Qibtiyah datang menemui Nabi karena ada suatu urusan. Selanjutnya Rasulullah meminta Marriyah al-Qibtiyah masuk kedalam rumah Hafsah, yang pada waktu itu sedang pergi ke rumah ayahnya. Melihat tabir kamar tidurnya tertutup, sementara Nabi Muhammad dan Mariyah berada di dalamnya, amarah Hafsah bin Umar meledak. Hafsah menangis penuh amarah Nabi Muhammad berusaha membujuk dan meredakan amarah, bahkan beliau bersumpah mengharamkan Mariyah baginya kalau Mariyah tidak meminta maaf pada Hafsah, dan Nabi meminta agar Hafsah merahasiakan kejadian itu. Namun Hafsah menceritakan kejadian itu kepada Aisyah, berita itu segera menyebar. Padahal Rasulullah telah memerintahkan untuk menutup rahasia itu. Beliau sangat marah sebagian riwayat mengatakan setelah kejadian itu Nabi Muhammad menceraikan Hafsah, namun beberapa saat kemudian beliau merujuknya kembali karena melihat ayah Hafsah, Umar bin khattab sangat resah.( lembar tua.blogspot.com)
2. Zaid bin Haritsah Zaid bin Haritsah adalah seorang budak belian yang dibeli oleh Sayyidah khadijah lalu dimerdekakan oleh Muhammad. Sementara itu istrinya bernama Zainab binti jahsy, seorang perempuan suku Quraisy dan berasal dari
keluarga terpandang yaitu Hasyim Zainab binti Jahsy adalah sepupu Rasulullah SAW dari pihak Ibu. Perkawinan mereka dianggap suatu aib bagi keluarga Jahsy. Hal ini terjadi karena memang tidak ada gadis-gadis di kaum bangsawan yang terhormat akan kawin dengan bekas-bekas budak sekalipun yang sudah dimerdekakan. Disisi lain Nabi Muhammad ingin menghilangkan segala macam pertimbangan yang masih berkuasa dalam jiwa mereka hanya atas dasar (ashabia) atau fanatisme. Ia ingin supaya orang mengerti bahwa orang arab tidak lebih tinggi dari orang yang bukan arab. Kecuali takwa, seperti yang termaktub dalam Al-Qur’an, QS :49 :13)
ﻘﹶﺎ ﻛﹸﻢ ﺍ ﷲِ ﺍﹶﺗﺪﻨ ﻋﻜﹸﻢ ﻣﺇ ِﻥﱠ ﺃﹶ ﻛﹾﺮ bahwa orang yang paing mulia diantara kamu dalam pandangan Allah ialah orang yang lebih bertaqwa.. Sungguhpun begitu ia (Nabi Muhammad) tidak perlu memaksa wanita lain untuk itu di luar keluarganya. Ia kemudian melamar anak perempuan bibinya, Zainab binti Jahsy untuk di kawinkan dengan anak angkatnya Zaid bin Haritsa. Awalnya saudara laki-laki zainab, Abdullah binti Jahsy menolak dan menganggap ini aib besar namun setelah turun ayat (33 : 36)
äouŽzσø:$# ãN ßgs9 tb qä3 tƒ b r& #·øBr& ÿ¼ã&è!qß™ u‘ur ª! $# Ó|Ó s% #sŒÎ) >puZÏB÷sãB Ÿw ur 9` ÏB÷sßJ Ï9 tb %x. Bur ÇÌÏÈ $YZÎ7•B Wx »n=|Ê ¨@ |Ê ô‰ s) sù ¼ã&s!qß™ u‘ur ©! $# ÄÈ ÷ètƒ ` tBur 3öN Ïd ÌøBr&ô` ÏB
Bagi laki-laki dan wanita yang beriman. bilamana Allah dan rasullnya telah menetapkan suatu ketentuan, maka mereka tidak boleh mengambil kemauan sendiri dalam urusan mereka itu. Dan barang siapa tidak mematuhi Allah dan Rasul Nya, mereka telah melakukan kesehatan yang nyata sekali.
Setelah turun ayat ini tidak ada jalan lain buat Abdullah dan zainab saudaranya, selain harus tunduk dan menerima. Lalu Zaid bin Haritsah dikawinkan kepada Zainab setelah mas kawinya oleh Nabi Muhammad disampaikan. Dan sesudah Zainab menjadi istri, ternyata ia tidak mudah dikendalikan dan tidak mau tunduk. Malah ia Banyak mengganggu Zaid. Ia membanggakan diri kepadanya dari segi keturunan dan bahwa dia katanya tidak mau tunduk oleh seorang budak. Sikap Zainab yang tidak baik kepadanya itu tidak jarang oleh Zaid diadukan kepada Nabi, dan bukan sekali saja ia meminta ijin kepadanya hendak menceraikanya. Tetapi Nabi menjawabnya “Jaga baik-baik istrimu, jangan ceraikan, hendaklah engkau takut kepada Allah” Tetapi Zaid tidak tahan lama-lama bergaul dengan Zainab binti Jahsy serta sikapnya yang angkuh. Lalu Zaid menceraikanya.
3. Tsabit bin Qais Tsabit bin Qais adalah seorang sahabat yang lurus dalam arti dia adalah orang yang sholeh dan tidak pernah menyakiti istri. Jamilah istri Tsabit, merupakan wanita sholehah, ia tidak pernah mengeluhkan persoalan
rumah tangganya. Namun suatu kali Jamilah mengajukan gugatan cerai terhadap Tsabit bin Qais, dengan alasan suaminya buruk rupa, dan tidak sedap dipandang. Ia khawatir jika suatu saat ia menjadi tidak tahan dengan ketidaknyamanan dan akan melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan agama. Karena itulah Jamilah meminta diceraikan secara baik-baik.Tujuanya adalah menghindarkan diri dari kemafsadahan (kerusakan yang lebih besar). Selanjutnya Jamilah bercerai dengan Tsabit bin Qais dengan syarat membayar tebusan berupa penegembalian mas kawin terhadap Tsabit bin Qais (asshanani : 11)
4. Ghailan bin Umayyah at TsaQafi Imam Malik meriwayatkan dalam al-Muwata’, Nasa’i, dan Daruqutni dalam masing-masing Sunannya. Bahwa Nabi berkata kepada Ghailan bin Umayyah at-Tsaqafi yang masuk islam, padahal ia punya sepuluh istri beliau bersabda kepadanya. Pilihlah empat orang di antara mereka dan ceraikanlah yang lainya. ( Sabiq,1981: 275)
5. Qais bin Harits Dalam kitab Abu Daud dari Harit bin Qais, ia berkata :
ﺍ ﺳﻠﻤﺖ ﻭﻋﻨﺪ ﻱ ﲦﺎ ﻥ ﻧﺴﻮ ﺓ ﻓﺬ ﻛﺮ ﺕ ﺫ ﻟﻚ ﻟﻠﲏ ﺻﻠﻲ ﺍﷲ ﺍﻟﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻓﻘﺎ ﻝ ﺍ ﺧﺘﺮ ﻣﻨﻬﻦ ﺍ ﺭﺑﻌﺎ
Saya masuk Islam bersama-sama dengan delapan istri saya. lalu saya ceritakan hal itu kepada Nabi SAW. Maka sabda beliau.“ Pilihlah empat orang di antara mereka “ Sebenarnya kejadian tersebut, nama orang yang sebenarnya adalah Harits bin Qais al-Asady.
D. Alasan yang Mendasari Talak Pada Zaman Rasul 1. Nabi Muhammad SAW Dari perceraian Nabi Muhammad di atas, dapat kita pahami alasan nabi menceraikan istrinya yang bernama Hafsah binti Umar, meskipun pada akhirnya nabi merujuknya kembali. Talak dijatuhkan karena Hafsah tidak mampu menjaga rahasia tentang Nabi Muhammad yang telah bersumpah tidak akan menyentuh Mariyah al-Qibtiyah. Ia malah menyampaikan kepada Aisyah. Pelajaran yang dapat diambil dari cerita di atas adalah seorang istri yang harus dapat menjaga rahasia rumah tangganya, apalagi jika istri telah diminta suami untuk menjaga rahasia.
2. Zaid bin Haritsah Perceraian Zaid bin Haritsah dan Zainab binti Jahsy, akibat dari perbuatan Zainab sebagai istri yang suka membangkang dan tidak mau tunduk kepada suaminya Zaid. Kehidupan perkawinan yang sakinah, mawadah, dan rahmah tidak bisa terjadi, jika salah satu pihak tidak mau bekerjasama dalam menciptakan suasana sakinah mawadah, dan rahmah. Oleh karena itu talak
merupakan jalan terakhir yang harus diambil karena jika terus menerus dipaksakan untuk tetap bersatu antara mereka, Justru akan tidak baik, pecah dan kehidupan mereka menjadi kalut.
3. Tsabit bin Qais Perceraian Tsabit bin Qais atas permintaan istrinya Jamilah, terjadi karena Jamilah kurang nyaman dengan wajah Qais yang buruk rupa. Memang alasan di atas kelihatan mengada ada namun jika mereka terus bersama, maka istri akan terjerumus kepada hal-hal yang dilarang agama. Hal yang paling memungkinkan terjadi adalah isteri menyukai orang lain, karena sudah menjadi naluri birahi seseorang menyukai yang indah-indah.
4. Ghailan bin Umayyah al-Tsaqaf Perceraian ghailan bin Umayyah at-Tsaqafi dengan 6 isterinya dilatar belakangi oleh perintah agama. Islam membatasi Jumlah istri tidak lebih dari 4 orang. Ghailan sebagai penganut agama Islam harus tunduk dan patuh pada ketentuan itu.
5. Qais bin Harits Latar belakang perceraian Qais bin Harits, juga dilatar belakangi oleh perintah agama. Ia menceraikan 4 orang isterinya. Karena ketentuan agama memerintahkan beristri tidak boleh lebih dari 4 orang.
E. Fenomena Talak Masa Kini Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa perceraian atau talak dalam rumah tangga banyak terjadi. Setiap orang dalam berumah tangga selalu mendambakan keluarga yang sakinah, mawadah, dan rahmah. Untuk dapat mencapainya dibutuhkan dua orang untuk menjaga keutuhan rumah tangga tersebut. Talak atau perceraian yang dulunya dianggap tabu dan merupakan suatu aib bagi para pelakunya, kini banyak dilakukan. Yang lebih memprihatinkan adalah bahwa perceraian itu diminta oleh kaum hawa atau dalam istilah hukumnya lebih kita kenal dengan gugatan cerai.Atas nama ketidak cocokan atau perbedaan prinsip perceraian dengan gampang dilakukan. Banyak kita lihat dan temukan para pesohor negeri dengan mudahnya melayangkan gugatan cerai, mulai dari para artis, pejabat, hingga ulama. Yang membuat kita terhenyak, perceraian itu dilakukan tak lama setelah penikahan. Kasus terbaru yang membuat heboh publik adalah perceraian pejabat publik yang dilakukan oleh seorang Bupati Garut bernama Aceng Fikri dimana dia menceraikan istri belianya Fani Oktora empat hari setelah akad nikah.Dengan alasan yang mengada-ada seperti bau mulut, bau badan, dan alasan-alasan lain yang tidak masuk akad, sang Bupati mengembalikan Fani Oktora kepada orang tuanya. Selain Aceng Fikri kita temukan lagi kasus yang tak kalah heboh dimana seorang suami mentalak isterinya karena diperintahkan oleh guru spiritualnya dalam kasus Eyang Subur vs Adi Bing Slamet.
Tak kurang dari 60% penggugat cerai adalah istri, penyebab gugatan perceraianpun beragam diantaranya : 1. Ekonomi, dalam positanya diterangkan bahwa suami tidak menafkahi isterinya. 2. Kekerasan Dalam Rumah Tangga ( KDRT). 3. Suami pergi tidak ada kabarnya. 4. Isteri bekerja di Luar Negeri. ( Republika, 17 Januari 2013) Memang perceraian adalah urusan pribadi suami/isteri dan merupakan aib yang tabu jika diketahui serta dikemukakan ke masyarakat.Namun alangkah naifnya jika perceraian itu dilakukan dengan alasan yang tidak dibenarkan oleh syariat. Dari sini dapat kita pahami perbedaan yang mendasari perceraian pada masa Rasulullah dan zaman sekarang ini.Adanya gempuran gerakan feminisme, gender, dan cinta pada hal-hal duniawi, membuat orang terkadang lupa akan tujuan perkawinan.Memang benar Talak adalah perkara yang halal, namun menjauhi hal-hal yang dibenci Allah bukankah suatu hal yang harus dilakukan?
BAB V PENUTUP
A. Simpulan Simpulan dalam penelitian ini, minimal akan menjawab semua pertanyaan yang ada pada rumusan masalah. Adapun simpulan yang dimaksud, adalah sebagai berikut : 1. Hukum talak halal namun dibenci oleh Allah. Tentang hukum talak ini para ahli fiqh berbeda pendapat. Namun pendapat yang paling banyak diantara semua itu menyatakan bahwa hukum talak “terlarang” kecuali karena alasan yang benar . Lebih jauh golongan Hambali, Menjabarkan hukum talak : a. Talak Wajib, yaitu talak yang di jatuhkan, karena perpecahan antara suami istri yang sudah berat. b. Talak Haram yaitu talak tanpa alasan, talak ini diharamkan karena merugikan bagi suami dan istri, dan tidak adanya kemaslahatan yang mau dicapai dengan perbuatan talaknya itu, jadi talaknya haram. c. Talak Makruh (dibenci) : Talak adalah perbuatan yang dibenci, karena ia merusakan perkawinan yang mengandung kebaikan-kebaikan yang dianjurkan oleh agama. d. Talak Sunnah yaitu karena istri mengabaikan kewajibanya kepada Allah.
Seperti : tidak mau menjalankan shalat istri kurang rasa malunya, sementara suami tidak mampu memaksa istri agar menjalankan kewajiban tersebut. 2. Hadis yang dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum makruhnya talak, atau perkara halal namun dibenci Allah adalah talak, terdapat dalam dua jalur, yaitu: Abu Daud dan Ibnu Majah. 3. Jalur periwayatan Abi Daud, sanadnya bersambung, namun dari thabaqah Tabi’in langsung kepada Nabi Muhammad, tanpa menyebutkan thabaqah Shahabat, menjadikan hadis dari jalur periwayatan Abi Daud ini sebagai hadis mursal. 4. Jalur periwayatan Ibnu Majah, sanadnya bersambung dari perawi pertama (ibnu Ummar) hingga perawi terakhirnya, dengan demikian hadis dari Jalur Periwayatan Ibnu Majah muttasil. 5. Jalur periwayatan Abi Daud, sesuai dengan Ilmu al-Jarhu wa al-Ta’dil menunjukkan bahwa para periwayat dalam jalur ini secara kualitas mendapat penilaian “Tsiqqah” meskipun penilaian untuk Muharrib bin Ditsar hanya “Ma’mun” dan “Shaduqan” yakni tidak menggambarkan pada kecermatan serta kekuatan hafalan namun lebih kepada kebaikan sifatnya.Jadi nilai hadis ini adalah Hasan. 6. Jalur Ibnu Majah, sesuai dengan Ilmu al-Jarhu wa al-Ta’dil menunjukkan bahwa para periwayat dalam jalur ini secara kualitas mendapat penilaian “Tsiqqah”. Kecuali pada Ibnu Khalid yang mendapat penilaian kadang kala benar namun ada salahnya, menjadikan hadis ini Hasan.
7. Di lihat dari segi kuantitas, atau banyaknya periwayat yang meriwayatkan hadis ini, penulis hanya menemukan satu nama dari setiap Thabaqah /Generasi, sehingga penulis menilai bahwa hadis ini termasuk dalam golongan hadis ahad.
B. Rekomendasi 1. Penelitian hadis merupakan penelitian yang tidak mudah dan tidak semua orang bisa melakukannya. Karena dalam hal ini dibutuhkan kemampuan khusus yang berkaitan dengan penelitian ini. Kemampuan yang dimaksud ialah kemampuan dibidang Ulum al-Hadis, Bahasa Arab, serta Nahwu dan Sharaf. Kendati begitu, tidak ada salahnya kita sebagai Mahasiswa khususnya Syari’ah melakukan penelitian terhadap hadis-hadis yang umum dan sering kita gunakan. Jarrib wa Lahidz Takun Arrifan! 2. Penulis berharap agar Jurusan Syari’ah, membuka peluang seluas-luasnya bagi para mahasiswa untuk melakukan penelitian selanjutnya , mengingat banyak hadis yang popular ternyata hadis itu termasuk dalam kategori dhoif. 3. STAIN sebagai lembaga yang mempunyai peranan yang besar terhadap kemajuan pengetahuan Islam, harus lebih maksimal dalam menyediakan sarana dan prasarana yang menunjang penelitian, terutama yang berkenaan dengan hadis.
DAFTAR PUSTAKA Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi .1953. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. cet 11. Jakarta: Bulan Bintang Al-Asqalany. 1984. Tahdzib al-Tahdzib. Cet 1 . Beirut: Daar al-Fikri Darsono.2005. Hukum Perkawinan Nasional. cet 3. Jakarta: PT Rineka Cipta Fuad, Muhammad.tt. Sunan Ibnu Majah.Beirut, Libanon: Daar al-Kutub al-Ilmiyyah Haekal,Muhammad Husain.1980. Sejarah Hidup Muhammad.cet 5.Jakarta: Pustaka Jaya Ibrahim, Johnny.2006.Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. cet 1. Malang : Bayu Media Publishing Kansil, C.S.T.1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. cet 8. Jakarta : Balai Pustaka Nazir, Mohammad. 1988. Metode Penelitian. Cet 3. Jakarta : Ghalia Indonesia Sabiq,Sayyid.1981.Fikih Sunnah. cet 1. Bandung: PT Al-Ma’arif Soerjono Soekanto, Sri Mamudji. 1995.Penelitian Hukum Normatif,Suatu Tinjauan Singkat. cet IV. Surabaya: PT Raja Pers Soemitro, Ronny Hanitijo.1990. Metodologi Penelitian Hukum dan Jumetri. cet 4. Jakarta: Ghalia Indonesia Yunus, Mahmud.1990. Kamus Arab –Indonesia. cet 8. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia Zed, Mestika .2004. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Zuhri, Muh.1997. Hadis Nabi ( Telaah Historis dan Metodologis). cet 1. Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya