Jurnal PSYCHE 165 Fakultas Psikologi, Vol. 10, No. 2, Juli 2017, Hal. 112-120 Copyright©2017 by LPPM UPI YPTK Padang
ISSN: 2088-5326 e-ISSN : 2502-8766
MOTIVASI MENJADI SUPORTER HUBUNGANNYA DENGAN IDENTITAS SOSIAL PADA ANGGOTA SPARTACKS JORONG DPOSA DI KOTA PADANG Isna Asyri Syahrina, Feby Istika Sari Universitas Putra Indpnesia YPTK Padang Email :
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara motivasi menjadi suporter dengan identitas sosial pada anggota Spartacks jorong Dposa di kota Padang. Variabel independen dalam penelitian ini adalah motivasi menjadi suporter dan variabel dependen adalah identitas sosial. Alat ukur yang digunakan adalah skala motivasi menjadi suporter dan skala identitas sosial. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling. Sampel dalam penelitian ini adalah anggota Spartack jorong Dposa yang berjumlah 75 orang. Uji validitas dan reliabilitas menggunakan teknik Alpha Cronbach. Hasil koefisien validitas pada skala motivasi menjadi suporter berkisar dari 0,336 sampai 0,669, sedangkan koefisien reliabilitas sebesar 0,885. Hasil koefisien validitas pada skala identitas sosial berkisar dari 0,303 sampai 0,779, sedangkan koefisien reliabilitas sebesar 0,923. Hasil analisis data menunjukkan besarnya koefisien korelasi rxy=0,540 dengan taraf signifikan p=0,000 (p<0,01). Artinya ada hubungan positif yang signifikan antara motivasi menjadi suporter dengan identitas sosial pada anggota Spartack jorong Dposa kota Padang. Besarnya sumbangan efektif variabel motivasi menjadi supporter terhadap identitas sosial adalah sebesar 29,1%.. Kata Kunci : Motivasi, Identitas sosial, Suporter
1. PENDAHULUAN Sepakbola merupakan olahraga yang banyak diminati oleh masyarakat dari berbagai kalangan tanpa memandang kasta dan usia. Selain itu, adanya kemajuan teknologi menyebabkan sepakbola dapat dinikmati dengan mudah oleh masyarakat, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain. Berbagai faktor tersebut yang menjadikan sepakbola sebagai olahraga yang digandrungi oleh banyak orang. Sepakbola dan suporter seolah tidak akan pernah terpisah. Keberadaan suporter memiliki fungsi sebagai pendukung saat tim kesayangannya bertanding kapan dan dimanapun. Keberadaan suporter merupakan salah satu pilar penting yang wajib ada dalam suatu pertandingan sepakbola. Kehadiran suporter dalam mendukung klub, sangat terasa efeknya dalam memberi semangat bertanding pada diri para pemain. Suporter sangat kreatif dalam mendukung tim kesayangannya bertanding, dengan menampilkan berbagai aksi di lapangan, sehingga mampu mencuri perhatian penonton maupun media, seperti menari, menyanyi dan meneriakkan yel-yel dengan diiringi tabuh genderang. Semua itu, dilakukan untuk memacu semangat pemain di dalam setiap pertandingan (Kartiko dalam Suyatna, 2007). Soekanto (dalam Pramana, dkk, 2010) menjelaskan bahwa suporter merupakan suatu bentuk kelompok sosial yang secara relatif tidak teratur dan terjadi karena ingin melihat sesuatu (spectator crowds). Kerumunan semacam ini hampir sama dengan khalayak penonton, akan tetapi bedanya pada spectator crowds adalah kerumunan penonton tidak direncanakan, serta kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada umumnya tak terkendalikan, sedangkan suatu kelompok manusia tidak hanya tergantung pada adanya interaksi di dalam kelompok itu sendiri, melainkan juga karena adanya pusat perhatian yang sama. Fokus perhatian yang sama dalam kelompok penonton yang disebut suporter dalam hal ini adalah tim sepakbola yang didukung dan dibelanya. Apakah mengidolakan salah satu pemain, permainan bola yang bagus dari tim sepakbola yang didukungnya, ataupun tim yang berasal dari individu tersebut berasal. Keberadaan suporter sepakbola mengalami perkembangan seiring berkembangnya waktu dan kompleksitas masyarakat secara keseluruhan. Menurut Budi (dalam Pramana dkk, 2010), sebelum tahun 1995 suporter sepakbola terbatas pada kelompok pendukung masing-masing klub, namun sejak tahun 1995 suporter sepakbola tersebut
112
Jurnal PSYCHE 165 Fakultas Psikologi, Vol. 10, No. 2, Juli 2017, Hal. 112-120 Copyright©2017 by LPPM UPI YPTK Padang
ISSN: 2088-5326 e-ISSN : 2502-8766
terorganisir dan mempunyai nama kelompok suporter pada masing-masing klub. “Bonek” merupakan salah satu contoh kelompok suporter Tim Persebaya yang lahir pada tahun 1995 mengawali kelompok-kelompok suporter yang lain. Cahyadi (2010) mengemukakan dalam perkembangannya sampai saat ini, Bonek tersebut mempunyai elemen-elemen sebagai sub kelompoknya yakni YSS (Yayasan Suporter Surabaya), PFC (Persebaya Fans Club), dan SAS (Suporter Arek Surabaya). Kelompok suporter atau fans club di kota Padang terdapat dua kelompok suporter yang menamakan diri mereka The Kmers dan Spartacks yang sama-sama mendukung klub Semen Padang. Kelompok suporter mempunyai tingkat kreativitas, loyalitas dan juga solidaritas yang berbeda-beda. Salah satu bentuk nyata adanya solidaritas dan kepedulian kelompok terhadap anggotanya terjadi di kota Bandung, Saat tiga orang pendukung kesebelasan Persib tewas terjatuh dari kereta api yang mereka tumpangi ketika hendak menonton pertandingan Persib melawan Persipura, manajemen Persib dan kelompok suporter memberikan santunan dan menanggung biaya perawatan terhadap lima orang korban luka-luka. Manajemen Persib berharap hal tersebut pertama dan terakhir menimpa suporternya (Bola edisi 10 Mei 2010). Sebagai sebuah fenomena yang dianggap baru, suporter tentulah sangat menarik untuk dikaji bukan saja mengenai bagaimana suporter berperilaku di dalam stadion serta atribut yang dipakai, tetapi juga bagaimana pembentukan identitas sosialnya. Identitas inilah yang nantinya membedakan antara satu kelompok suporter dengan kelompok suporter lainnya. Identitas ini mengandung adanya perasaan memiliki suatu kelompok sosial bersama, melibatkan emosi dan nilai-nilai signifikan pada diri individu terhadap kelompok tersebut. Identitas sosial adalah pengetahuan individu dimana individu tersebut merasa sesuai (belong) pada suatu kelompok tertentu bersamaan dengan emosi dan nilai yang signifikan bagi individu tersebut sebagai anggota dari kelompok tersebut (Tajfel dalam Abrams & Hogg, 1990). Kompleksitas Identitas Sosial (Social Identity Complexity) merupakan suatu konstruk teori yang relative baru yang mengarah pada sifat dasar dari keberadaan seseorang di dalam lebih dari satu identitas kelompok. Identitas sosial dapat dijelaskan berdasarkan teori identifikasi sosial yang memiliki dua pengertian. Pertama, identitas sosial sebagai proses penempatan diri sendiri atau orang lain kedalam suatu sistem kategori kelompok sosial berdasarkan perspektual atau kognitif (social group in cognitive terms). Kedua, identifikasi sosial sebagai suatu proses seseorang menginternalisasikan beberapa bentuk kategori sosial sehingga menjadi komponen konsep diri (Turner, dalam Nursobah, 2009). Berdasarkan observasi dan wawancara ditemukan bahwa sebagian besar anggota Spartacks jorong Dposa adalah mahasiswa, tidak hanya laki-laki tetapi juga perempuan ikut serta dalam komunitas tersebut. Mereka bersama-sama menyaksikan pertandingan, walaupun harus meninggalkan aktivitas yang utama. Berada di lingkungan Spartacks menurut para anggota membuat mereka lebih percaya diri, diakui, dan disegani. Mereka juga menemukan kebahagiaan dengan jalan mendukung secara all out tim kesayangannya, menampilkan ciri khas yang dimiliki Spartacks jorong Dposa baik atribut, yel-yel, musik, dan tarian saat beraksi di lapangan. Dukungan yang diberikan anggota Spartacks jorong Dposa kepada tim benar-benar sepenuh hati karena mereka mencintai klub Semen Padang yang sangat mereka banggakan. Menjadi seorang suporter memiliki tujuan tersendiri bagi setiap anggota Spartacks jorong Dposa yaitu sebagai pemberi semangat bagi tim, dan keberadaan mereka dapat diakui oleh masyarakat. Selanjutnya ditemukan bahwa menjadi anggota Spartacks jorong Dposa menurut mereka adalah suatu kebanggaan. Mereka dapat dikenal oleh masyarakat luas, memiliki ciri khas tersendiri ketika membela klub seperti warna pakaian, atribut berlambangkan Spartacks, dan aksesoris-aksesoris yang dipakai yang melambangkan identitas diri mereka sebagai anggota Spartacks jorong Dposa.
Identitas Sosial Identitas sosial adalah pengetahuan individu dimana individu tersebut merasa sesuai (belong) pada suatu kelompok tertentu bersamaan dengan emosi dan nilai yang signifikan bagi individu tersebut sebagai anggota dari kelompok tersebut (Tajfel dalam Abrams & Hogg, 1990). Identitas sosial adalah persamaan dan perbedaan, soal personal dan sosial, soal apa yang dimiliki secara bersamasama dengan beberapa orang dan apa yang membedakan dengan orang lain (Barker, 2000). Menurut Sherman (1994) setiap orang berusaha membangun sebuah identitas sosial (sosial identity), sebuah representasi diri yang membantu kita mengkonseptualisasi dan mengevaluasi siapa
113
Jurnal PSYCHE 165 Fakultas Psikologi, Vol. 10, No. 2, Juli 2017, Hal. 112-120 Copyright©2017 by LPPM UPI YPTK Padang
ISSN: 2088-5326 e-ISSN : 2502-8766
diri kita. Dengan mengetahui siapa diri kita, kita dapat mengetahui siapa diri (self) dan siapa yang lain (others). Perspektif identitas sosial adalah kesadaran diri yang fokus utamanya secara khusus lebih diberikan pada hubungan antar kelompok, atau hubungan antar individu anggota kelompok kecil. Identitas sosial agak berbeda dengan identitas diri. Identitas diri atau konsep diri adalah pemahaman tentang diri yang berkaitan dengan atribut kepribadian ideosyncretic yang tidak dimiliki secara bersama dengan orang lain (aku) atau hubungan personal yang akrab diikat sepenuhnya pada orang lain dalam bentuk hubungan yang dyadic (aku dan kamu). Secara harfiah, orang akan berpusat pada dirinya sendiri (akan selalu ada aktivitas untuk berpikir mengenai dirinya sendiri), sehingga self adalah pusat dari dunia sosial setiap orang. Konsep diri dibangun dengan skema diri yang mungkin jauh lebih kompleks dan detil. Skema diri memainkan peran dalam memandu tingkah laku, ini karena skema diri merupakan rangkuman dari semua yang dapat diingat seseorang tentang pengetahuannya dan imajinasinya tentang diri sendiri. Konsep diri dapat sendiri dapat relatif sentral (central selfconception) atau peripheral (peripheral self-conception) (Baroon & Byrne, 2003). Brewer, dkk (1991) membagi aspek identitas sosial menjadi 4 yaitu: a. Identitas yang berdasarkan pada perseorangan. Lebih ditekankan pada aspek ini adalah bagaimana sifat diri dari bagaian kelompok diinternalisasikan oleh anggota individu sebagai bagian dari konsep diri. Sehingga tampak individu melakukannya dalam kehidupan sehari-hari. b. Identitas sosial berdasarkan korelasi (relation sosial identity). Aspek ini memberikan pemahaman bahwa individu menggunakan identitas kelompok pada saat-saat tertentu. Saat dimana individu berhubungan khusus dengan orang-orang yang berada di luar kelompoknya. Hubungan relasional ini biasanya sering dilakukan dalam hubungan antara kelompok. c. Identitas sosial berdasarkan kelompok. Artinya, perilaku individu dalam berhubungan dengan kelompoknya. Pada kondisi seperti ini, individu harus menggunakan identitas sosial untuk bisa bergabung dengan kelompok sosial lainnya. d. Identitas kolektif, Identitas ini memiliki makna yang lebih praktis. Identitas sosial tidak hanya menjadi sebuah pengetahuan bersama untuk mendefinisikan identitas diri dan kelompok. Identitas sosial merupakan sebuah proses aksi sosial. Identitas kolektif kadang kala digunakan untuk melakukan resistensi ketika kelompok mereka dipresentasikan oleh kelompok lain. Hogg (2004) mengemukakan proses identitas sosial melalui 3 tahap yaitu social categorization, prototype, dan depersonalization. a. Social categorization (kategorisasi sosial) berdampak pada definisi diri, perilaku dan persepsi pada prototype yang menjelaskan dan menentukan perilaku. Ketika ketidakmenentuan identitas ini terjadi, maka konsepsi tentang diri dan sosialnya juga tidak jelas. b. Prototype adalah kontruksi sosial yang terbentuk secara kognitif yang disesuaikan dengan pemaksimalan perbedaan yang dimiliki oleh kelompok dengan kelompok lainya. Hal ini dilakukan untuk menonjolkan keunggulan kelompoknya. Kepentingan dari kelompok untuk membentuk prototype adalah untuk merepresentasikan kelompoknya di wilayah sosial yang lebih luas. Biasanya prototype itu berdiri sendiri. Dia tidak semata-mata ditopang atau didapat dari adanya perbandingan antar kelompok sosial. Dengan demikian proses yang terjadi dalam kelompok sosial tidak mungkin keluar dari kelompok ini. Perlu diketahui bahwa prototype itu senantiasa berkembang dari waktu kewaktu. Prototype juga bisa dianggap sebagai representasi kognitif dari norma kelompok. Dimana norma kelompok tersebut dibentuk atas regulasi sosial yang hanya dibatasi oleh anggota kelompok. Hal yang paling penting dalam hal ini adalah penjelasan perilaku dan penegasan posisi bahwa dia adalah kelompok sosial tertentu. c. Depersonalisasi adalah proses dimana individu menginternalisasi bahwa orang lain adalah bagian dari dirinya. Orang lain dapat masuk dalam kelompoknya seperti individu berada dalam kelompoknya.
Motivasi Motif diartikan sebagai daya upaya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Berawal dari kata motif, maka motivasi dapat diartikan sebagai daya penggerak yang telah menjadi aktif (Sardiman, 2011). Menurut Mc. Donald (dalam Sardiman, 2011) motivasi adalah perubahan dalam diri seseorang ditandai dengan munculnya “feeling” dan didahului dengan tanggapan terhadap
114
Jurnal PSYCHE 165 Fakultas Psikologi, Vol. 10, No. 2, Juli 2017, Hal. 112-120 Copyright©2017 by LPPM UPI YPTK Padang
ISSN: 2088-5326 e-ISSN : 2502-8766
tujuan. Suryabrata (dalam Djaali, 2011) mengemukakan motivasi adalah keadaan yang terdapat dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk melakukan aktivitas tertentu guna pencapaian suatu tujuan. Gates, dkk (dalam Djaali, 2011) mendefinisikan motivasi adalah suatu kondisi fisiologis dan psikologis yang terdapat dalam diri seseorang yang mengatur tindakannya dalam cara tertentu. Motivasi merupakan keadaan dalam diri individu atau organisme yang mendorong perilaku ke arah tujuan. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa motivasi mempunyai 3 aspek, yaitu (1) keadaan terdorong dalam diri organisme, yaitu kesiapan bergerak karena kebutuhan misalnya kebutuhan jasmani, karena keadaan lingkungan, atau karena keadaan mental seperti berpikir dan ingatan; (2) perilaku yang timbul dan terarah karena keadaan ini; dan (3) goal atau tujuan yang dituju oleh perilaku tersebut (Walgito, 2010). Harold (dalam Sobur 2003) mengutip pendapat Berelson dan Steiner, bahwa motivasi “is an inner state that energizes, activates, or moves (hence ‘motivation’), and that directs or channels behavior toward goals” (adalah suatu keadaan dari dalam yang memberi kekuatan, yang menggiatkan, atau yang menggerakkan, sehingga disebut „penggerakan‟ atau „motivasi‟ dan yang mengarahkan atau menyalurkan perilaku ke arah tujuan-tujuan). Selanjutnya Winardi (2001) mengemukakan motivasi merupakan sebuah predisposisi untuk bertindak dengan cara yang khusus dan terarah pada tujuan tertentu sekalipun rumusan tentang rumusan motivasi dibatasi hingga purposif atau yang diarahkan pada tujuan. Terdapat banyak jenis motivasi dan para ahli mengemukakan jenis motivasi menurut teorinya masing-masing. Menurut Hamalik (2005) terdapat tiga pendekatan untuk menentukan jenis-jenis motivasi, yaitu pendekatan kebutuhan, pendekatan fungsional, dan pendekatan deskriptif. a. Pendekatan kebutuhan. Maslow (dalam Hamalik, 2005) melihat motivasi dari segi kebutuhan manusia. Kebutuhan manusia sifatnya bertingkat dan pemuasan terhadap tingkat kebutuhan tertentu dapat dilakukan jika tingkat kebutuhan sebelumnya telah terpenuhi. Kebutuhankebutuhan itu ialah: 1) Kebutuhan fisiologis, yakni kebutuhan primer yang harus terpenuhi, seperti sandang, pangan, dan tempat tinggal. 2) Kebutuhan keamanan, baik keamanan batin maupun benda atau barang. 3) Kebutuhan sosial, terdiri dari kebutuhan perasaan untuk diterima oleh orang lain, perasaan dihormati, kebutuhan berprestasi, dan kebutuhan berpartisipasi. 4) Kebutuhan berprestise, yakni kebutuhan yang ertat hubungannya dengan status seseorang. b. Pendekatan fungsional. Pendekatan ini berdasarkan kepada konsep-konsep motivasi yaitu penggerak, harapan dan insentif. Penggerak adalah yang memberi tenaga tetapi tidak membimbing, sedangkan harapan adalah keyakinan sementara bahwa suatu hasil akan diperoleh setelah dilakukannya tindakan tertentu. Insentif sendiri adalah objek tujuan yang aktual. Insentif dapat menimbulkan dan menggerakkan perbuatan jika diasosiasikan dengan stimulus tertentu dalam bentuk akan mendapatkan sesuatu. c. Pendekatan deskriptif. Masalah motivasi ditinjau dari pengertian-pengertian deskriptif yang mengarah pada kejadian-kejadian yang dapat diamati dan hubungan-hubungan tematik, dengan pendekatan ini motivasi didefinisikan sebagai stimulus kontrol. Sardiman (2011) menjelaskan bahwa pada intinya motivasi memiliki dua sifat yaitu motivasi instrinsik dan motivasi ekstrinsik. a. Motivasi instrinsik adalah motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu diransang dari luar, karena dalam diri setiap individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu. b. Motivasi ekstrinsik adalah motif-motif yang aktif dan berfungsinya karena ada perangsang dari luar, seperti angka, hadiah, persaingan, ejekan dan hukuman. Sardiman (2007) mengemukakan, fungsi motivasi ada tiga, yaitu: a. Mendorong manusia untuk berbuat, motivasi dalam hal ini merupakan motor penggerak dari setiap kegiatan yang akan dikerjakan. b. Menentukan arah perbuatan, yaitu ke arah tujuan yang hendak dicapai, sehingga motivasi dapat memberikan arah dan kegiatan yang harus dikerjakan sesuai dengan rumusan tujuannya. c. Menyeleksi perbuatan, yaitu menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus dikerjakanyang serasi guna mencapai tujuan, dengan menyisihkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut.
115
Jurnal PSYCHE 165 Fakultas Psikologi, Vol. 10, No. 2, Juli 2017, Hal. 112-120 Copyright©2017 by LPPM UPI YPTK Padang
ISSN: 2088-5326 e-ISSN : 2502-8766
Motivasi menjadi Suporter Motivasi dapat diartikan sebagai daya penggerak yang telah menjadi aktif (Sardiman, 2011). Mc. Donald (dalam Sardiman, 2011) menjelaskan motivasi adalah perubahan dalam diri seseorang ditandai dengan munculnya “feeling” dan didahului dengan tanggapan terhadap tujuan. Supriyono (2003) mendefinisikan motivasi adalah kemampuan untuk berbuat sesuatu sedangkan motif adalah kebutuhan, keinginan, dorongan untuk berbuat sesuatu. Motivasi seseorang di pengaruhi oleh stimuli kekuatan, intrinsik yang ada pada individu yang bersangkutan. Stimuli eksternal mungkin dapat pula mempengaruhi motivasi tetapi motivasi itu sendiri mencerminkan reaksi individu terhadap stimuli tersebut. Suporter adalah seseorang yang mendukung sebuah kelompok atau pemikiran (Hornby dalam Wicaksono, 2010). Alwi dkk (dalam Wicaksono, 2005) mendefinisikan suporter adalah orang yang memberikan dukungan atau sokongan dalam pertandingan. Maksum dan Suryanto (dalam www.Suryanto.blog.unair.ac.id. Padang, 26 Desember 2013) mendefinisikan suporter adalah orang yang memberikan dukungan, sehinga bersifat aktif. Dari definisi tersebut di atas dapat disimpulkan pengertian motivasi menjadi supoter adalah daya penggerak yang berasal dari dalam diri seseorang untuk memberikan dukungan atau sokongan yang bersikap aktif dalam suatu pertandingan.
2. METODOLOGI Variabel independent dalam penelitian ini adalah motivasi, dan variabel dependent adalah identitas sosial. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anggota Spartacks jorong Dposa yang berjumlah 93 orang. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling yaitu sampel bertujuan dilakukan dengan cara mengambil subjek bukan didasarkan atas strata, random atau daerah tetapi didasarkan atas adanya tujuan tertentu (Riduwan, 2006). Berdasarkan hal di atas, maka peneliti mengambil sampel berdasarkan keaktifan para anggota suporter Spartacks jorong Dposa dalam mengikuti kegiatan yang yang berjumlah 75 orang, Alat ukur yang digunakan dalam pengumpulan data adalah skala. Skala dapat dicirikan sebagai stimulasi yang berupa pernyataan, artinya stimulasi tersebut tidak langsung mengungkapkan atribut yang hendak diukur, melainkan diungkapkan melalui aspek atau indikator perilaku dari atribut yang diukur (Azwar, 2012). Skala yang digunakan dalam format respon jawaban adalah skala model likert untuk mendapatkan data kuantitatif. Skala model likert dirancang untuk skala motivasi dan skala identitas sosial. Menurut Sugiyono (2013) skala ini digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial. Sebelum skala diberikan kepada sampel penelitian, terlebih dahulu dilakukan uji validitas dan uji reliabilitas. Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu tes atau alat ukur dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila alat tes tersebut menjalankan fungsi ukurnya, atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut. Tes yang menghasilkan data yang tidak relevan dengan tujuan pengukuran dikatakan sebagai tes yang memiliki validitas rendah (Azwar, 2012). Uji reliabilitas adalah derajat ketepatan, ketelitian, atau keakuratan yang ditunjukkan oleh instrumen pengukuran, yaitu sejauh mana suatu alat ukur dapat dipercaya dan diandalkan (Azwar, 2003). Apabila suatu alat ukur dapat dipakai dua kali untuk pengukuran yang sama dengan hasil yang relatif sama, maka alat ukur tersebut dikatakan reliabel. Reliabel dinyatakan oleh koefisien reliabilitas dengan angka yang berkisar antara 0 sampai dengan 1.00. Pengujian reliabilitas dalam penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan formulasi alpha cronbach. Selain hal tersebut juga dilakukan uji normalitas dan uji linearitas. Uji normalitas sebaran dilakukan untuk membuktikan bahwa data semua variabel yang berupa skor-skor yang diperoleh dari hasil penelitian tersebar sesuai dengan kaidah normal. Uji normalitas dalam penelitian ini menggunakan One Sample Kolmogorov Smirnov dengan menggunakan taraf signifikansi 0,05 Priyatno (2008) Uji linearitas bertujuan untuk membuktikan apakah variabel bebas mempunyai hubungan yang linear dengan variabel terikat. Model statistik yang digunakan untuk melihat linearitas kedua variabel tersebut menggunakan Test for linearity (Priyatno, 2008). Dua variabel dikatakan mempunyai hubungan yang linear bila signifikansi kurang dari 0,05 Priyatno (2008). Uji Hipotesis dilakukan dengan menggunakan teknik correlation product moment pearson. Uji hipotesis korelasi yang
116
Jurnal PSYCHE 165 Fakultas Psikologi, Vol. 10, No. 2, Juli 2017, Hal. 112-120 Copyright©2017 by LPPM UPI YPTK Padang
ISSN: 2088-5326 e-ISSN : 2502-8766
digunakan dalam penelitian ini adalah jika p>0,05, maka dikatakan bahwa kedua variabel penelitian mempunyai hubungan yang signifikan. Menurut Priyatno (2008) nilai korelasi (r) berkisar antara 1 sampai 1, jika nilai semakin mendekati 1 atau -1 berarti hubungan antara dua variabel semakin kuat, sebaliknya nilai mendekati 0 berarti hubungan antara dua variabel semakin lemah.
4. ANALISA DAN PEMBAHASAN Dari pengolahan data diperoleh nilai indeks daya beda item untuk skala motivasi menjadi supporter berkisar antara rix= 0,336 sampai dengan rix=0,669, sehingga diperoleh hasil dari jumlah aitem awal 32 pernyataan, gugur 9 aitem sehingga jumlah aitem yang valid adalah 23 aitem, sedangkan pada skala identitas sosial bergerak dari rix=0,303 sampai dengan rix=0,779. Berdasarkan hasil tersebut maka dari 32 item diperoleh 27 item yang valid dan 5 item yang gugur. Hasil uji reliabilitas menggunakan rumus Alpha Cronbach, pada skala motivasi menjadi supporter diperoleh nilai koefisien reliabilitas α=0,885, artinya derajat reliabilitas sangat tinggi, maka dapat disimpulkan bahwa butir-butir alat instrumen penelitian tersebut reliabel untuk digunakan dalam penelitian, sedangkan untuk skala identitas sosial diperoleh koefisien reliabilitas α=0,923. Hal ini menunjukkan bahwa alat ukur skala identitas sosial memiliki reliabilitas yang sangat tinggi, sehingga reliabel untuk digunakan dalam penelitian. Menurut Azwar (2012) Semakin tinggi koefisien reliabilitas mendekati angka 1,00 berarti semakin tinggi reliabilitasnya, sebaliknya koefisien yang semakin rendah mendekati angka 0 berarti semakin rendah reliabilitasnya. Uji Normalitas dalam penelitian ini menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Priyatno (2008) menyatakan bahwa data yang dinyatakan berdistribusi normal jika signifikansi (p) lebih besar dari 0,05. Berdasarkan hasil pengolahan data dengan menggunakan bantuan program komputer, maka diperoleh hasil pada tabel 1 berikut: Tabel 1. Uji Normalitas Skala Motivasi dan Identitas Sosial Variabel N KSZ P Sebaran Motivasi 75 0,781 0,575 Normal Identitas Sosial 75 0,674 0,753 Normal Berdasarkan tabel 1 di atas, maka diperoleh nilai signifikansi pada skala motivasi sebesar p=0,575 dengan KSZ=0,781, hasil tersebut menunjukkan bahwa nilai p>0,05, artinya sebaran skala motivasi terdistribusi secara normal, sedangkan untuk skala identitas sosial diperoleh nilai signifikansi sebesar p=0,753 dengan KSZ=0,674, hasil tersebut menunjukkan bahwa nilai p>0,05, artinya sebaran identitas sosial terdistribusi secara normal Uji linieritas dilakukan untuk mengetahui apakah data variabel bebas berkorelasi secara linier dengan variabel terikat. Dikatakan linier apabila nilai p<0,05 (Priyatno, 2008). Berdasarkan hasil pengolahan data dengan menggunakan bantuan program komputer, maka diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 2. Uji Linieritas N 75
Df 1
Mean square 1587,826
F 25,884
Sig 0,000
Berdasarkan tabel 2 di atas, diperoleh nilai F=25,884 dengan signifikansi sebesar p=0,000 (p<0,05), artinya varians pada skala motivasi dan skala identitas sosial tergolong linier Berdasarkan hasil pengolahan data penelitian mengenai hubungan antara motivasi menjadi suporter dengan identitas sosial dengan sampel penelitian berjumlah 75 orang anggota spartack’s Spartacks jorong Dposa di kota Padang, maka diperoleh hasil rxy= 0,540 dengan taraf signifikansi p=0,000, maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara motivasi menjadi suporter dengan identitas sosial pada anggota Spartacks jorong Dposa dengan arah hubungan yang positif. Hal ini berariti semakin tinggi motivasi menjadi suporter, maka semakin positif identitas sosial pada anggota Spartacks jorong Dposa, atau sebaliknya, semakin rendah motivasi menjadi suporter, maka semakin negatif identitas sosial pada anggota Spartacks jorong Dposa. Berikut tabel deskriptif statistik dari variabel motivasi dengan identitas sosial
117
Jurnal PSYCHE 165 Fakultas Psikologi, Vol. 10, No. 2, Juli 2017, Hal. 112-120 Copyright©2017 by LPPM UPI YPTK Padang
ISSN: 2088-5326 e-ISSN : 2502-8766
Tabel 3. Descriptive Statistic Motivasi dan Identitas Sosial Variabel
N
Minimum
Maksimum
Mean
Standar Deviasi
Motivasi Identitas sosial
75 75
40 57
79 93
64,05 77,97
9,359 8,580
Berdasarkan tabel descriptive statistic tersebut, maka dapat dilakukan pengelompokan yang mengacu pada kriteria pengkategorisasian dengan tujuan menempatkan individu ke dalam kelompokkelompok yang terpisah secara berjenjang menurut suatu kontinum berdasarkan atribut yang diukur (Azwar, 2012) sebagai berikut:
Tabel 4. Norma Kategorisasi Norma Kategorisasi X < (µ - 1,0 σ) Rendah (µ - 1,0 σ) ≤ X < (µ + 1,0 σ) Sedang (µ + 1,0 σ) ≤ X Tinggi Keterangan : X : Skor mentah sampel μ : Mean atau rata-rata σ : Standar Deviasi Berdasarkan tabel di atas, maka diperoleh kategorisasi subjek penelitian pada variabel Motivasi dan Identitas Sosial sebagai berikut:
Tabel 5. Kategorisasi Motivasi dan Identitas Sosial Variabel Range Kategori Jumlah Persentase (%) Motivasi X<55 Rendah 12 16% X≥55 Tinggi 63 84% Identitas sosial X<69 Negatif 9 12% X≥69 Positif 66 88% Berdasarkan tabel 5 di atas, dapat diperoleh gambarkan motivasi menjadi suporter pada anggota Spartacks jorong Dposa yaitu 63 Orang (84%) memiliki motivasi yang tinggi, 12 orang (16%) memiliki motivasi yang rendah, sedangkan 66 Orang (88%) identitas sosial yang positif, dan 9 orang (12%) memiliki identitas sosial yang negatif. Adapun sumbangan variabel motivasi menjadi suporter terhadap variabel identitas sosial dapat ditentukan dengan menggunakan rumus koefisien determinan. Menurut Nugroho (2005) koefisien determinan adalah kuadrat dari koefisien korelasi yang dikali dengan 100%.
KP
= = =
r² x 100% 0,5402 x 100% 29,1%
Keterangan: KP : Nilai koefisien determinan r : Nilai koefisien korelasi
118
Jurnal PSYCHE 165 Fakultas Psikologi, Vol. 10, No. 2, Juli 2017, Hal. 112-120 Copyright©2017 by LPPM UPI YPTK Padang
ISSN: 2088-5326 e-ISSN : 2502-8766
4. HASIL DAN DISKUSI Berdasarkan uji hipotesis yang dilakukan menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara motivasi menjadi suporter dengan identitas sosial pada anggota Spartacks jorong Dposa yang ditunjukkan oleh angka koefisien korelasi rxy = 0,540 dengan tingkat signifikansi p=0,000 (p<0,05), hal ini berarti hipotesis diterima, artinya terdapat hubungan signifikan dengan arah positif antara motivasi menjadi suporter dengan identitas sosial. Semakin tinggi motivasi menjadi suporter maka semakin positif identitas sosial pada anggota Spartacks jorong Dposa, dan sebaliknya, semakin rendah motivasi menjadi suporter, maka semakin negatif identitas sosial pada anggota Spartacks jorong Dposa. Identitas sosial adalah pengetahuan individu dimana individu tersebut merasa sesuai (belong) pada suatu kelompok tertentu bersamaan dengan emosi dan nilai yang signifikan bagi individu tersebut sebagai anggota dari kelompok tersebut (Tajfel dalam Abrams & Hogg, 1990). Kompleksitas identitas sosial (Social Identity Complexity) merupakan suatu konstruk teori yang relative baru yang mengarah pada sifat dasar dari keberadaan seseorang di dalam lebih dari satu identitas kelompok. Selanjutnya Higgins (1996) menambahkan kompleksitas identitas sosial ditentukan oleh faktor pengalaman dan motivasi yang mempengaruhi suatu kelompok memungkinkan untuk dapat diakses oleh seseorang dalam suatu kelompok tertentu dengan kelompok yang lainnya, serta memungkinkan sumber kognitif untuk mengintegrasikan representasi yang bersifat multiple. Hasil analisis menunjukkan bahwa motivasi menjadi suporter pada anggota Spartacks jorong Dposa yaitu 63 Orang (84%) memiliki motivasi yang tinggi, 12 orang (16%) memiliki motivasi yang rendah, sedangkan 66 Orang (88%) identitas sosial yang positif, dan 9 orang (12%) memiliki identitas sosial yang negatif. Adapun besarnya sumbangan efektif variabel motivasi menjadi suporter terhadap identitas sosial adalah sebesar 29,1%. Hal ini dapat diartikan bahwa motivasi menjadi suporter mampu memberikan kontribusi positif terhadap identitas sosial sebesar 29,1% sedangkan 70,9% sisanya dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang dikemukakan oleh Mashoedi dan Lewwnussa (2007) yaitu lingkungan sosial, dari perkembangan remaja, dan faktor budaya.
5. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil pengumpulan data dan analisis data yang telah dilakukan oleh peneliti, maka dapat ditarik kesimpulan yang sekaligus merupakan jawaban dari tujuan penelitian adalah sebagai berikut: 1. Terdapat hubungan yang signifikan antara motivasi menjadi suporter dengan identitas sosial pada anggota Spartacks jorong Dposa dengan arah positif, artinya semakin tinggi motivasi menjadi supoter, maka semakin positif identitas sosial pada anggota Spartacks jorong Dposa, sebaliknya, semakin rendah motivasi menjadi supoter, maka semakin negatif identitas sosial pada anggota Spartacks jorong Dposa. 2. Sumbangan efektif (R square) dari variabel motivasi menjadi suporter dengan identitas sosial pada anggota Spartacks jorong Dposa adalah sebesar 29,1% sedangkan 70,9% ditentukan oleh faktor lain. Faktor lain yang dapat mempengaruhi identitas sosial adalah lingkungan sosial, dari perkembangan remaja, dan faktor budaya.
Saran Berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukakan di atas, maka dapat disarankan beberapa hal yang terkait dengan hasil penelitian, yaitu : 1. Bagi subjek penelitian Diharapkan bagi subjek untuk dapat meningkatkan motivasi dengan cara menjaga kekompakkan kelompok dimanapun berada dan menjaga nama baik kelompok, dan mempertahankan eksistensi kelompok Spartacks jorong Dposa dalam melakukan inovasi berupa penambahan dari segi atribut yang lebih menarik dan terbaru, serta melakukan regenerasi agar anggota Spartacks jorong Dposa semakin bertambah dan berkembang sehingga mereka semakin dikenal di kalangan kelompok suporter lainnya. 2. Bagi Spartacks jorong Dposa
119
Jurnal PSYCHE 165 Fakultas Psikologi, Vol. 10, No. 2, Juli 2017, Hal. 112-120 Copyright©2017 by LPPM UPI YPTK Padang
ISSN: 2088-5326 e-ISSN : 2502-8766
Diharapkan bagi Spartacks jorong Dposa untuk dapat lebih melakukan koordinasi antara anggota dengan mengorganisir anggota di dalamnya agar lebih terstruktur, serta memperjelas identitas mereka sebagai anggota dengan membuat kartu identitas khusus. 3. Bagi peneliti lain Bagi peneliti lain yang tertarik untuk melakukan penelitian mengenai motivasi dan identitas sosial disarankan untuk dapat melihat variabel lain seperti kepercayaan diri, kelompok teman sebaya, kemandirian, dan fanatisme.
DAFTAR PUSTAKA Abrams, D., dan Michael A. Hogg. 1990. Social identity theory: Constructive and critical advances. Hertfordshire: Hervester Wheatsheaf Azwar, Syaifuddin. 2012. Validitas dan Reliabilitas. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Barker, Criss, 2000, Cultural Studies Teori and Practic. Terj. Kreasi Wacana Jakarta: Kreasi Wacana. Baroon, Robert A & Byrne, Donn, 2003. Psikologi Sosial Jilid I, Jakarta : Erlangga. Djaali. 2011. Psikologi Pendidikan. Jakarta. Bumi Aksara. Hamalik, O. 2005. Pengembangan Sumber Daya Manusia, Manajemen Pelatihan Ketenagakerjaan, Pendekatan Terpadu, Cetakan ke 3. Jakarta: Bumi Aksara. Hogg, Michael, 2004. A. The Social Identity Pespective: Intergroup Relation, Self-conception, and Small Group. Small Group Research, Vol. 35 No. 3, June 2004. Sage Publication. Page 246-276 Nugroho, Bhuono Agung. 2005. Strategi Jitu Memilih Metode Statistik Penelitian dengan SPSS. Yogyakarta : Andi Off Set. Nursobah. A. 2009 Hubungan antara kemandirian belajar, Komunikasi interpersonal dan identitas sosial Dengan hasil belajar agama islam Jurnal Teknologi Pendidikan. Pramana, A. Suroso, Dyan, E. S. 2010. Ikatan Emosional Terhadap Tim Sepakbola dan Fanatisme Suporter Sepakbola. Jurnal Psikologi. Vol. 01, No. 01, 23-37. Priyatno, Dwi. 2008. Mandiri Belajar SPSS (Statistical Product and Service Solution) untuk Analisis Data & Uji Statistik. Yogyakarta : Mediakom. Sardiman. (2011). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada. Sobur. L. 2003. Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia. Supriyono. W & Ahmadi. 2003. Pskologi Belajar (edisi revisi). Jakarta: Rineka Cipta. Suryanto (dalam www.Suryanto.blog.unair.ac.id. Padang, 26 Desember 2013) Suyatna, Hempiri (2007). Suporter Sepakbola Indonesia Tanpa Anarkis, Mungkinkah?. Yogyakarta. Media Wacana. Walgito, Bimo. 2002. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi Offset. Winardi. 2001. Motivasi dan Pemotivasian. Penerbit PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
120