MOTIF MERANTAU DALAM KABA YANG BERJUDUL NAMA-NAMA PEREMPUAN; TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA Haris Septian
Abstrak Penelitian tentang motif merantau dalam kaba yang berjudul nama-nama perempuanini dilakukan untuk menjelaskan bagaimana peristiwa merantau ini terjadi dalam kaba.Serta dapat menjelaskan faktor pendorong seseorang merantau. Penganalisisan merantau yang terdapat di kaba ini menggunakan teori Sosiologi Sastra yang dikemukakan oleh Endraswara (2011) yang mengklasifikasikan setiap karya sastra itu mencerminkan masyarakat pada zamannya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang dikemukakan oleh Ratna (2003) dengan tiga tahap, pertama: tahap pengumpulan data, kedua: tahap analisis data, dan ketiga: tahap penyajian hasil analisis data. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah dengan mengumpulkan data-data yang berhubungan dengan peristiwa merantau.Untuk menganalisis peristiwa merantau tersebut, diungkaplah fakta-fakta tentang dan motif merantau di dalam kaba.Untuk penyajian hasil analisis digunakan metode formal dalam bentuk deskriptif. Motif merantau dalam kaba yang berjudul nama-nama perempuan berdasarkan analisis ialah: (1) Faktor ekonomi, (2) mendalami ilmu, (3) faktor sosial, (4) berburu harta karun, dan (5) menemani sang suami. Profesi yang digeluti mayoritas adalah berdagang.Daerah tujuan perantau pun adalah kota-kota yang tingkat perdagangannya cukup tinggi seperti Kota Bukittinggi, Kota Padang, dan Kota Medan. Kata kunci:kaba, sosiologi sastra, motif, merantau dan berdagang. PENDAHULUAN Kata kabasama dengan ‘kabar’ sehingga boleh juga berarti ‘berita’. Sebagai sebuah istilah menunjukkan suatu jenis sastra tradisional lisan Minangkabau.Kaba dahulunya diceritakan oleh sijombang atau tukang kaba dengan diiringi oleh alat musik atau dimainkan lewat randai(Junus, 1984: 17). Kaba berbentuk prosa lirik.Bentuk ini tetap dipertahankan bila diterbitkan dalam bentuk buku.Kesatuannya bukan kalimat dan bukan baris.Kesatuannya
1
adalah pengucapan dengan panjang tertentu yang terdiri dari dua bagian yang berimbang.Keduanya dibatasi oleh pemenggalan puisi (Junus, 1984: 6).Kaba dikelompokkan menjadi dua yaitu kaba klasik dan kaba tidak klasik (Junus, 1984: 19). KabaMinangkabau dibangun dari latar sosial budaya Minangkabau.Unsurunsur tersebut sengaja dipadukan pengarang dan dibuat mirip dengan dunia yang nyata lengkap dengan peristiwa-peristiwa di dalamnya, sehingga tampak seperti sungguh ada dan terjadi, dan disitu terselip juga motif-motif peristiwa.Motif menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah alasan (sebab) seseorang melakukan sesuatu, termasuk itu merantau. Jadi inti dari motif yaitu sebab-sebab (merantau), atas dasar apa seorang/individu merantau. Merantau sendiri berasal dari istilah melayu, Indonesia dan Minangkabau yang sama arti dan pemakaiannya dengan akar kata rantau yang artinya pantai sepanjang (sungai). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merantau adalah berlayar (mencari kehidupan) di sepanjang rantau (dari satu sungai ke sungai lain). Menurut Echols dan Shadily (dalam Kato, 2005: 5), mengungkapkan bahwa kata kerja rantau adalah merantau, berarti pergi ke negeri lain, meninggalkan kampung halaman, berlayar melalui sungai, dan sebagainya. Namun menurut Naim (2013: 6), Merantau adalah segela jenis perpindahan tempat tinggal, dekat atau jauh, dengan kemauan sendiri atau tidak, untuk sementara atau selamanya, dengan atau tujuan yang pasti, dengan atau tanpa maksud atau untuk kembali pulang, melembaga secara sosial dan kultural atau tidak. Faktor sebab-sebab orang merantau di Minangkabau ada sepuluh (Naim, 2013: 241-313), yaitu faktor fisik : ekologi dan lokasi, faktor ekonomi dan demokrasi, faktor pendidikan, daya tarik kota, keresahan politik, faktor-faktor sosial, arus baru, faktor sosial bagi migrasi di antara masyarakat-masyarakat yang lain, faktor-faktor agregatif bagi migrasi, dan tipologi migrasi. Namun menurut Sjarifoedin (2014: 661) ada empat faktor yang mendorong orang untuk merantau yaitu faktor budaya, faktor ekonomi, faktor perang dan mendalami ilmu.
2
Peristiwa merantau merupakan salah satu peristiwa yang sering ada dalam kaba.Peristiwa merantau tersebut, terdapat motif seperti faktor ekonomi.Faktor ini diterdapat dalam kaba Si Gadih Ranti, kaba Siti Risani,Siti Kalasun, dan Siti Baheram.Pendapat ini diperkuat oleh A.A. Navis (1984: 108) bahwa setiap orang, terutama anak muda akan senantiasa didorong dan ditarik agar pergi merantau oleh kaum kerabatnya dengan berbagai cara. Falsafah matrilineal Minangkabau mendorong anak muda agar kuat mencari harta kekayaan guna memperkukuh atau meningkatkan martabat kaum kekerabat agar setaraf dengan orang lain. Faktor lain yang cukup menarik perhatian adalah pelaku merantau ini adalah perempuan. Biasanya pelaku merantau pada tempo dulu adalah laki-laki.Hal ini terdapat dalam kaba Si Gadih Kalasun dan kaba Siti Kalasun. Penyebab mereka merantau adalah menemani sang suami diperantauan. Pendapat ini diperkuat oleh Kato (2013: 148) yaitu faktor penyebab wanita ikut serta dalam proses merantau, salah satunya karena semakin banyak laki-laki membawa istrinya serta anakanaknya ke daerah rantau. Pemilihan kaba ini dengan alasan bahwa kaba yang berjudul perempuan tokoh utamanya adalah laki-laki (Junus, 1984, 89) lalu pemilihan judul nama perempuan seolah memberikan penekanan pada peranan pada wanita. Dalam realita sosialnya, Minangkabau pada masa lalu terlihat bahwa yang pergi merantau itu adalah laki-laki.Hal ini mendukung fokus kajian tentang merantau dengan pelakunya adalah laki-laki.Sedangkan perempuan, tugasnya hanya menjaga harta pusaka serta wilayah ranah Minangkabau.Namun dalam kaba, ternyata wanita ikut serta dalam peristiwa merantau. Pendapat ini diperkuat oleh Naim (2013: 148) yaitu faktor penyebab wanita ikut serta dalam proses merantau salah satunya karena semakin banyak laki-laki membawa istrinya serta anak-anak-anaknya ke daerah rantau. Alasan lain yang membuat peneliti memilih penelitian ini adalah banyak masyarakat Minangkabau hari ini yang memilih pekerjaan sebagai pedagang. Hal ini sama dengan pendapat dari Naim (2013: 172) yang berpendapat bahwa tidaklah heran kiranya kalau kebanyakan orang Minangkabau dirantau berusaha di dunia
3
perdagangan, karena dengan berdagang mereka dapat menjadi tuan atas diri merek sendiri. Kemudian, untuk memberi batasan dalam penelitian ini, penelitian akan menganalisis kaba-kaba yang berjudul nama-nama perempuan yang diterbitkan oleh Kristalmultimedia. Terdapat enam buah kaba yang berjudul nama-nama perempuan diterbitkan oleh Kristalmultimedia diantaranya: Siti Baheram, Siti Kalasun, Siti Risani, Puti Nilam Cayo, Sabai Nan Aluih dan Si Gadih Ranti. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah : a. Menjelaskan bentuk-bentuk motif merantau pada kaba Minangkabau yang berjudul nama-nama perempuan. b. Menjelaskan hubungan realitas merantau yang terdapat dalam kaba Minangkabau yang berjudul nama-nama perempuan dengan realitas sosial budaya Minangkabau. Metode dan Teknik Penelitian Dalam penelitian ini digunakan metode kualitatif untuk menganalisis teks yang tersurat dalam kaba-kaba Minangkabau. Menurut Ratna (2013: 47), metode kualitatif dianggap sebagai multi metode, sebab penelitian pada gilirannya melihat sejumlah gejalan sosial yang relevan. Dalam ilmu sastra, sumber data adalah karya sastra ataupun itu naskah dan data penelitiannya sebagai data formal yang berbentuk kata-kata, kalimat dan wacana. a) Pengumpulan data Data didapat dengan cara melakukan mengumpulkan data dari hasil bacaan dalam kaba serta mencari bahan-bahan yang mendukung penelitian. Data yang didapat terdiri dari dua kategori, yaitu data utama dan data tambahan.Data utama atau data primer adalah teks-teks yang mengambarkan tentang motif merantau yang didapat dengan membaca kaba secara berulang-ulang, sedangkan data tambahan
4
atau data sekunder didapat dari bahan-bahan pustaka yang relevan dan mendukung penelitian. b) Analisis data Data
yang
telah
didapat
dianalisis
dengan
tinjauan
sosiologi
sastra.Diharapkan analisis dapat mengungkap fakta-fakta tentang dan motif merantau didalam kaba Minangkabau. Analisis ini dilakukan dengan cara terlebih dahulu memahami realitas sosial, berikutnya realitas dalam teks. Selanjutnya dicari hubungan realitas dalam karya dengan realita sosial. c) Penyajian hasil penelitian Penelitian ini disajikan dalam bentuk analisis deskriptif yaitu dengan cara menjelaskan hasil analisis data yang didapat pada proses analisis data. Landasan Teori Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan kemasyarakatan umum yang merupakan hasil terakhir daripada perkembangan ilmu pengetahuan.Sosiologi lahir pada saat-saat terakhir perkembangan ilmu pengetahuan, oleh karena sosiologi didasarkan pada kemajuan-kemajuan yang telah dicapai ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Selanjutnya, Comte (dalam Soekanto, 2013: 4) berpendapat bahwa sosiologi dibentuk berdasarkan pengamatan dan tidak pada spekulasi-spekulasi perihal keadaan masyarakat dan hasil-hasil observasi tersebut harus disusun secara sistematis dan metodologis Menurut Endraswara (2011: 79) berpendapat bahwa sosiologi sastra adalah penelitian
yang
terfokus
pada
masalah
manusia
karena
sastra
sering
mengungkapkan perjuangan umat manusia dalam menentukan masa depannya, berdasarkan imajinasi, perasaan, dan intuisi. Sementara, Faruk (2003: 1) memberi pengertian bahwa sosiologi sastra sebagai studi ilmiah dan objektf mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga dan
proses-proses sosil.
Selanjutnya, dikatakan bahwa sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya, dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup
5
Pendekatan sosiologi sastra jelas merupakan hubungan antara satra dan masyarakat, artinya sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat.Maksudnya masyarakat mau tidak mau harus mencerminkan dan mengespresikan hidup (Wellek and Werren, 1989: 110). Hubungan yang nyata antara sastra dan masyarakat dapat diteliti melalui:
Sosiologi Pengarang Menyangkut
masalah
pengarang
sebagai
penghasil
karya
satra.Mempermasalahkan status sosial, ideologi sosial pengarang, dan ketertiban pengarang di luar karya sastra. Sosiologi Karya Sastra Menyangkut eksistensi karya itu sendiri, yang memuat isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri, dan yang berkaitan masalah-masalah sosial. Sosiologi Pembaca Mempermasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya tersebut, yakni sejauh mana dampak sosial sastra bagi masyarakat pembacanya. Namun, menurut Grebsten (dalam Damono, 1979) mengungkapkan istilah pendekatan sosiologi terhadap sastra (karya) dengan kesimpulan sebagai berikut: 1. Karya sastra tidak dapat dipahami secara lengkap apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkannya. Ia harus dipelajari dalam konteks yang seluas-luasnya dan tidak hanya dirinya sendiri. Setiap karya sastra adalah hasil dari pengaruh timbal-balik yang rumit dari faktorfaktor sosial dan kultural.Karya sastra itu sendiri merupakan objek kultural yang rumit.Bagimanapun karya sastra bukanlah suatu gejala yang tersendiri. 2. Gagasan yang ada dalam karya sastra sama pentingnya dengan bentuk dan teknik penulisannya, bahkan boleh dikatakan bahwa bentuk dan teknik itu ditentukan oleh gagasan tersebut. Tak ada karya sastra yang besar yang diciptakan berdasarkan
6
gagasan sepele dan dangkal; dalam pengertian ini sastra adalah kegiatan yang sungguh-sungguh. 3. Setiap karya sastra yang bisa bertahan lama pada hakikatnya adalah suatu moral, baik dalam hubungannya dengan kebudayaan sumbernya maupun dalam hubungannya dengan orang per orang. Karya sastra bukan merupakan moral dalam arti yang sempit, yaitu yang sesuai dengan suatu kode atau tindak tanduk tertentu, melainkan dalam pengertian bahwa ia terlibat di dalam kehidupan dan menampilkan tanggapan evaluatif terhadapnya. Dengan demikian sastra adalah eksprimen moral. 4. Masyarakat dapat mendekati karya sastra dari dua arah. Pertama, sebagai sesuatu kekuatan atau faktor material, istimewa, dan kedua, sebagai tradisi yakni kecenderungan spiritual kultural yang bersifat kolektif.Dengan demikian bentuk dan isi karya sastra dapat mencerminkan perkembangan sosiologi, atau menunjukkan perubahan-perubahan yang halus dalam watak kultural. 5. Kritik sastra seharusnya lebih dari sekedar perenungan estetis yang tampa pamrih ia harus melibatkan diri dalam suatu tujuan tertentu. Kritik adalah kegiatan yang terpenting yang harus mampu mempengaruhi penciptaaan sastra tidak dengan cara mendikte sastrawan agar memilih tema tertentu misalnya, melainkan dengan menciptakan iklim tertentu yang bermanfaat bagi penciptaan seni besar. 6. Kritikus bertanggung jawab baik kepada sastra masa silam maupun sastra masa depan. Dari sumber sastra yang sangat luas itu kritikus harus memilih yang sesuai untuk masa kini.Perhatiannya bukanlah seperti pengumpul benda-benda kuno yang kerjanya hanya menyusun kembali, tetapi memberi penafsiran seperti yang dibutuhkan oleh masa kini.Dan karena setiap generasi membutuhkan pilihan yang berbeda-beda, tugas kritikus untuk menggali masa lalu tak ada habisnya. Fokus dalam penelitian ini adalah karya sastra yang dianalisis melalui sosiologi sastra.Sosiologi karya sastra adalah pada isi karya sastra, tujuan, serta halhal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah sosial (Wallek dan Warren, 1989: 110).Sejalan dengan itu, Watt (dalam Damono, 1979: 4) berpendapat bahwa sosiologi karya sastra mengkaji sastra
7
sebagai cerminan masyarakat.Apa yang tersirat dianggap sebagai ceminkan atau menggambarkan kembali realitas yang terdapat dalam masyarakat. Hasil dan Analisis Merantau Menurut Echols dan Shadily (dalam Kato, 2005: 5), mengungkapkan bahwa kata kerja rantau adalah merantau, berarti pergi ke negeri lain, meninggalkan kampung halaman, berlayar melalui sungai, dan sebagainya. Dari sudut sosiologi (Naim, 2013: 3), istilah ini sedikitnya mengandung enam unsur pokok yaitu sebagai berikut: Meninggalkan Kampung Halaman. Meninggalkan kampung halaman menjelaskan tentang memberikan ruang bergerak untuk menafsirkan pengertian “jarak” menurut pandangan waktu.Ketika wilayah Minangkabau masih terbagi atas tigo luhak, pergi kedaerah pantai timur atau pantai barat sudah dipandang sebagi sebuah merantau (Naim, 2013: 3).Saat wilayah Minangkabau sudah semakin luas, pergi keluar dari nagari saja dan menetap sementara atau permanen, sudah dikatakan merantau.Arti kata makna merantau sendiri semakin lama semakin luas cakupnya. Dengan Kemauan Sendiri. Dengan kemauan sendiri menjelaskan tentang bagaimana merantau ini tidak dipaksa lagi/tuntutan seperti dari orangtua ataupun dari mamak, tetapi sudah ada dorongan dari dalam diri anak laki-laki di Minangkabau.Sejalan dengan itu, fungsi keluarga (seperti mamak) dan lingkungan (seperti surau dan perguruan silat) sangatlah penting untuk menanamkan kepada anak laki-laki sejak dia dini bahwa merantau wajib dilakukan dan merupakan sebuah perjalanan spritual. Seiring dengan itu, ciri “kemauan sendiri” dari merantau harus ditekankan di sini, karena nantinya bisa terjadi tumpang tindih tentang definisi merantau dengan jenis migrasi yang “non-voluntair” yang secara diasosiasikan dengan transmigrasi orang jawa ke luar jawa. Sebagai bahan perbandingan, bahwa orang jawa tidak punya tradisi yang mendorong mereka untuk merantau, tetapi keadaan lingkungan internal yang membuat memaksa mereka utuk berbuat demikian (Naim, 2013: 4).
8
Untuk Jangka Waktu yang Lama atau Tidak: Merantau sangat berbeda dengan kunjungan biasa, disebabkan merantau sendiri dilakukan dengan ada tujuan dan sebagai perjalanan spiritual.Masalah waktu merantau, itu kembali lagi personal perantau itu sendiri. Dengan Tujuan Mencari Kehidupan, Menuntut Ilmu atau Mencari Pengalaman. Merantau menurut Naim (2013: 14) merupakan suatu inisiasi menuju kedewasaan dan sebagai sebuah kewajiban sosial yang dipikulkan ke bahu laki-laki untuk meninggalkan kampung halamannya mencari harta kekayaan, melanjutkan ilmu dan mencari pengalaman sebanyak-banyaknya.Jika kala keluarga dikampung hidup miskin, maka merantau salah satu peluang untuk merobah itu sendiri.Sejalan dengan itu, Ilmu yang diterima ketika merantau adalah waktu dimana saatnya untuk mengaplikasikannya serta menangkap pengalaman baru yang digunakan sebagai bahan adaptasi ditempat perantauan. Biasanya dengan Maksud Kembali. Fenomena merantau menurut Naim (2013: 14) sebagai sebuah gerakan ruangan yang bersifat sementara dan berorientasi kembali ke kampung asal.Merantau dalam prespektif Minangkabau juga mengharuskan seseorang yang merantau kembali ke kampung halamannya.Biasanya hal itu dilakukan ketika seorang perantau sudah menemukan kesuksesaan dalam perantauannya.Tujuan dari kembalinya seorang perantau ke kampung halamannya adalah untuk membangun kampung
halamannya
menjadi
lebih
baik
(merantau
untuk
pemekaran
nagari).Apabila perantau itu tidak kembali dan menetap permanen ditempat perantauaanya, maka hal ini dinamakan dengan merantau cino.Menurut Naim (2013: 5) mengatakan bahwa merantau merupakan migrasi temporer. Merantau ialah Lembaga Sosial yang Membudaya. Inilah salah satu yang membedakan merantau dengan migrasi.Merantau merupakan sebuah kewajiban bagi laki-laki di Minangkabau dan itu memang sudah menjadi tradisi dari turun menurun.Ditambahkan lagi dari dorongan posisi laki-laki di Minangkabau sangatlah lemah, tidak adanya ruang atau untuk digunakan secara pribadinya.Di rumah istripun dia hanya diposisikan sebagai pengunjung.Sebagai
9
anggota laki-laki dalam garis keturunan ibu, dia hanya bertugas untuk menjaga dan kalau bisa menambah jumlah harta itu sendiri. Namun, menurut Abdullah (2010: 2) tradisi merantau merupakan kunci keterbukaan dan dinamisme Minangkabau bagi kaum laki-laki. Sesuai adat istiadat, laki-laki Minangkabau harus meninggalkan kampung halaman mereka dan pergi ke rantau, ke dunia luar mencari kekayaan, pendidikan, atau apa saja yang bernilai sebelum mereka pulang ke rumah dan meminang pada keluarga calon penganti. Abdullah juga menambahkan bahwa tradisi merantau laki-laki Minangkabau ini mendorong
timbulnya
“ritme
sejarah
menspiral”
yang
membuat
orang
Minangkabau lebih terbuka pada gagasan-gagasan asing.Tapi pada analisisnya yang biasanya tajam bersandar pada idealisasi kultural dan tidak mengandung determinasi sejarah.Nyatanya, kelompok-kelompok etnis lain di Indonesia merantau lebih sering daripada orang Minangkabau.Dan rantau secara tradisional memang hanya dilakukan laki-laki (Abdullah, 2010: 3). Selanjutnya, menurut Graves (2007: 39), merantau merupakan suatu pertualangan pengalaman dan geografis. Orang nagari aktif mengunjungi rantau, secara tidak sadar ia memutuskan untuk meninggalkan rumah dan sanak saudara untuk mencoba merantau, mencoba peruntungan. Proses ini untuk sebagian besar kemungkinan disebabkan oleh jaringan hubungan-hubungan yang tercermin dalam gagasan tentang bolak-balik antara mamak dan kemenakan. Peran mamak disini dapat menghitam putihkan nasib kemenakannya. Sejalan dengan itu, menurut pendapat Hadler (dalam Abdullah, 2010: 27) tentang pola merantau yang menyatakan bahwa merantau sesungguhnya tidak unik.Hanya saja perantau Minangkabau menunjukkan ciri-ciri sedikit yang berbeda juga.Tradisi merantau seakan-akan bisa menjelaskan corak dinamika internal dan struktur masyarakat Minangkabau. Corak dari dorongan serta keseragaman dalam pola perilaku merantau yang telah sejak sekian abad yang lalu dilakukan adalah sebuah faktor yang menyebabkan tradisi merantau Minangkabau lebih mendapat perhatian.Pertama, tindakan merantau yang dilakukan dengan maksud untuk menetap ditempat yang
10
dituju.Kedua, merantau sebagai keharusan tetapi sekaligus diidealkan bagi anak muda yang menjelang dewasa. Jenis – Jenis Merantau Menurut Kato (2005: 13) ada tiga jenis cara merantau pada umumnya: merantau untuk pemekaran nagari, merantau keliling dan merantau cino. Secara periode, merantau ini dibagi atas tiga periode yaitu: merantau untuk pemekaran nagari dari masa legenda hingga awal abad ke-19, merantau keliling dari akhir abad ke-19 sampai tahun 1930-an, dan merantau cino mulai 1950an sampai sekarang. Cara merantau cino adalah cara merantau yang mendominasi saat sekarang ini, tetapi merantau cara lain sudah jarang. Merantau untuk pemekaran nagari merupakan suatu cara merantau yang mana salah satu tujuan merantaunya adalah untuk mencari suatu tempat untuk tempat tinggal individu atau kelompok dikarena sudah padatnya populasi ataupun kurangnya tanah untuk digarap disektor pertanian. Ini adalah cara merantau cara lama yang tujuannya untuk memperluas daerah Minangkabau. Merantau keliling merupakan cara merantau yang cukup sederhana dimana cara merantau ini dilakukan karena keterbatasan lahan, pergerakan yang terbatas yang dipengaruhi adanya kesempatan-kesempatan ditempat lain dan juga oleh hasrat pribadi (Kato, 2005: 14). Sasaran tempat dari merantau ini tidak jauh dari tempat asal mulai berasal/bermukim. Merantau cino (merantau cina) merupakan merantau ala gaya orang cina jika diartikan secara sederhana. Merantau sudah merambat ke negeri Cina dan konon ceritanya orang cina jika merantau, tidak kembali lagi ke negeri asalnya dan cara ini lah yang ditiru oleh masyarakat kita. Tetapi bedanya adalah hubungan dengan kekeluargaan dengan kampung halaman masih erat tetapi hubungan secara fisiklah sudah memudar itu didorong karena keterbatasan lain halnya. Motif Merantau Menurut Sjarifoedin (2014: 661) ada empat sebab seseorang pergi merantau yaitu: faktor budaya, faktor ekonomi, mendalami ilmu dan perperangan.
11
Faktor Budaya Di Minangkabau ketika berumur sekitar 7 tahun, laki-laki itu wajib keluar dari Rumah Gadang atau rumah orangtuanya dan tinggal disurau pasukuan dengan teman-teman sebayanya hingga berumur 15 tahun untuk belajar mengaji, adat istiadat dan juga belajar silat (Zainuddin, 2010: 87). Minangkabau dikenal dengan daerah yang budaya adatnya tidak bisa dilanggar.Struktur sosial di Minangkabau yang materilinial tidak cukup memberikan tempat yang kokoh bagi laki-laki dalam kehidupan keluarga, dalam artian bahwa laki-laki Minangkabau tidak mempunyai tempat untuk berkuasa dirumah istri maupun dirumah orangtuannya. Faktor Ekonomi Faktor ekonomi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi besarnya jumlah perantau Minangkabau.Pradigma yang berkembang bahwa merantau dapat membuat perekonomian jadi lebih baik.Sejalan dengan itu, Naim (2013: 263) berpendapat karena kurangnya sarana kehidupan di Minangkabau yang mendesak penduduknya pergi merantau, oleh karena kehidupan di rantau lebih mudah didapat. Faktor ekonomi menjadi pendorong bila berimbang sarana kelangsungan hidup dengan jumlah penduduk yang bergantung kepadanya (masyarakat) mulai goyah.Karena penduduk terus-menerus semakin bertambah sedangkan sarana kelangsungan hidup relatif konstan, maka yang merantau pun meningkat pula (Naim, 2013: 266). Mendalami Ilmu Konsep dari merantau salah satunya adalah mencari ilmu dan pengalaman untuk mempersiapkan diri untuk nantinya berguna di kampung nanti sesudah kembali dari rantau.Ketika menuntut ilmu disurau mereka hanya diberikan ilmu tentang keislaman, bela diri, adat istiadat serta sebagian kecil dari ilmu penting seperti ekonomi, pengetahuan alam maupun sosial dan lain-lainnya.Sejalan dengan itu, menurut Naim (2013: 272) bersekolah dan mendapat pendidikan yang layak hanya didapat oleh golongan tertentu saja.Pelajar yang sukses di rantau
12
membukakan jalan kepada pelajar selanjutnya.Keterbatasan ilmu inilah membuat masyarakat banyak merantau. Faktor Perang Menurut Naim (2013: 281) keresahan akan ini berakar ada kenyataan bahwa selama-lama waktu, rumah masyarakat serta jiwa dan harta benda mereka dalam bahaya dan mereka tidak cukup kuat untuk menangkis serangan dan serbuan dari kekuatan pusat, yang lebih unggul dalam kekuatan militer. Sejalan dengan itu, Audrey (dalam Sjarifoedin, 2014: 665) berpendapat bahwa orang Minangkabau merupakan masyarakat yang gelisah, dengan tradisi pemberontakan dan perlawan yang panjang. Pada dasarnya ini berkaitan dengan faktor daya tarik kota yang mengambarkan bahwa daerah rantau (kota) lebih menjadikan keamanannya. Faktor-faktor inilah yang membuat tingkat perantauan semakin meningkat. Motif Merantau dalam Kaba Minangkabau Peristiwa Merantau beserta Motifnya Peristiwa merantau merupakan peristiwa yang sering diangkat dalam cerita kaba seperti dalam kaba Siti Baheram, Siti Kalasun, Siti Risani, Puti Nilam Cayo, Sabai Nan Aluih dan Si Gadih Ranti.Apalagi merantau menurut Hadler (dalam Abdullah, 2010: 29) merupakan sebuah keharusan tetapi sekaligus diidealkan bagi anak muda yang menjelang dewasa. Sejalan dengan itu, menurut Abdullah (2010: 2) bahwa merantau dalam adat istiadat, laki-laki Minangkabau harus meninggalkan kampung halaman mereka dan pergi ke rantau, ke dunia luar untuk mencari kekayaan, pendidikan, ataupun apa saja yang bernilai. Faktor Ekonomi Faktor ekonomi merupakan salah satu faktor yang mempergaruhi besarnya jumlah perantau Minangkabau.Paradigma yang berkembang bahwa merantau dapat membuat perekonomian jadi lebih baik.Sejalan dengan itu, Naim (2013: 263) berpendapat karena kurangnya sarana kehidupan di Minangkabau yang mendesak penduduknya pergi merantau, oleh karena kehidupan di rantau lebih mudah didapat. Menurut Naim (2013: 266), faktor ekonomi juga menjadi pendorong bila
13
berimbang sarana kelangsungan hidup dengan jumlah penduduk yang bergantung kepadanya (masyarakat) mulai goyah dan itu bisa saja terjadi dalam cerita kaba. Dalam cerita Kaba Siti Kalasun, terdapat proses merantau yang dipengaruhi oleh faktor ekonomi yang dilakukan oleh tokoh Sabarudin. Kesukaan merantau ini memang sudah ada dalam diri Sabarudin karena Haji Munaf, bapak Sabaruddin juga merantau sebelumnya.Diri yang belum menikah dan badan yang masih kepunyaan orangtua serta kondisi keluarga yang hidup sederhana membuat dia tidak bisa berdiam diri dikampung halaman dan mengharapkan semuanya dari orangtua.Ketika telah menyelesaikan pendidikan dan menuntut ilmu di Thawalib Parabek, Sabarudin pergi ke Kota Padang untuk berdagang dan ke beberapa daerah seperti di Bukittinggi dan Baso.Di Bukittinggi yang khususnya di daerah Aur Kuning, dimana hari pasarnya yaitu di hari rabu dan sabtu.Biasanya volume jual beli sangat tinggi. Kebanyakan orang luar kota membeli dan jual dengan jumlah yang sangat besar. Begitu juga dengan di daerah Baso yang hari pasarnya di hari senin.Ketika hari pasar, aktivitas pedagang sangat tinggi.Mulai dari berjualan kecilkecilan hingga besar. Seperti kutipan dibawah ini: “……lorong kapado Sabarudin, anak urang pandai manggaleh, mangaleh kain sudah, tidak ado hari tatabuang, hari bapakai samuonyo, hari Sanayan tibo di Baso, hari Sabtu Rabaa di Bukittinggi……” (KSK, hml: 17) “…..kepada Sabaradin, anak orang pandai berdagang, berdagang kain sudah, ada hari terbuang, hari terpakai semuanya, hari Senin tiba di Baso, hari sabtu rabu di Bukittinggi…” Selama perantauannya,
Sabarudin
belum
cukup
bisa meningkatkan
perekonomian keluarganya. Hal positif yang terjadi adalah nama keluarga menjadi baik dimata masyarakat dan mungkin saja banyak orang yang berebut untuk menjadikan dia sebagai menantu. Akhirnya Sabarudin menikah dengan Siti Kalasun. Kaba Siti Kalasun, terdapat juga proses merantau yang dipengaruhi oleh faktor ekonomi yang dilakukan oleh Tokoh Haji Munaf ayah dari Sabarudin. Kondisi keluarga yang hidup sederhana membuatnya dia harus pergi jauh dari
14
keluarga untuk merantau ke Kota Padang.Pekerjaan yang digelutin adalah berdagang.Hal ini terbukti dari perkataan Sutan Marajo Lelo dalam kaba. Seperti kutipan dibawah ini: “Manjawab Sutan Marajo Lelo, “Lorong kapado Haji Munaf, samo mangaleh di Padang, tak ado urang elok itu, lapang dado hati barasiah.” (KSK, hml: 43) “Menjawab Sutan Marajo Lelo, “hadap kepada Haji Munaf, sama berdagang di Padang, tidak ada orang sebaik itu, lapang dada hati bersih.” Merantau yang dilakukan Haji Munaf cukup memberikan hal positif bagi keluarganya seperti dia dapat menyekolahkan anaknya (Sabarudin) hingga lulus di Thawalib Parabek.Serta
keelokan dan kebaikan hatinya membuat dia menjadi
orang yang terkenal dimasanya. Tokoh Malin Saidi dalam kaba Siti Kalasun, melakukan proses merantau yang dipengaruhi oleh faktor ekonomi. Di kampung halaman Malin Saidi sudah menikah dan di anugerahi oleh dua orang anak.Di kampung halaman juga Malin Saidi tidak memiliki apa-apa seperti sawah atau kebun ataupun peternakan untuk digarap.Karena hal demikian Malin Saidi pergi merantau ke Medan untuk menghidupkan keluarganya dan membeli sebidang tanah untuk digarap dikampung halaman. Ketika akan berangkat, ternyata sahabat lama juga pergi merantau yaitu Sabarudin. Akhirnya Malin Saidi dan Sabarudin berangkat bersamaan ke Kota Medan untuk Merantau. Seperti kutipan dibawah ini: “Kan iyo samaso itu, tampak Si Usat Malin Saidi, kawan lamo sikolah di Parabek, bakato Malin Saidi,”Manolah kawan Sabarudin, lah lamo kito bacarai, kini katamu kito baliak, siapo gala si Sabarudin kini, adat biaso nagari awak, ketek banamo gadang bagala,” Manjawab si Sabarudin,” Ambo bagala Sutan Sari Alam, gala pusako tueun manurun,” Bakato pulo Malin Saidi,”Ka mano rantau ka di tampuah?” Manjawab Sari Alam,”Sajak samulo lapeh di Parabek, Ambo tidak ka mano-mano, tatap sajo tingga di kampuang, kini baru mancubo
15
bajalan, makasuik hati handak ka Medan, dicubo pulo nan bak urang,” (KSK, hml: 41-42) “Kan iya semasa itu, terlihat Si Usat Malin Saidi, teman lama sekolah di Parabek, berkata Malin Saidi,”Manalah teman Sabarudin, sudah lama kita terpisah, kini bertemu kita kembali,siapa gala si Sabarudin sekarang, adat biasa nagari kita, kecil bernama besar bergelar,” Menjawab Si Sabarudin,” saya bergelar Sutan Sari Alam, gelar pusaka terun menurun.” Berkata pula Malin Saidi,”Kemana rantau ke ditempuh?” Menjawab Sari Alam,” Sejak semula lepas di Parabek, saya tidak kemana-mana, tetap saja dikampung , sekarang baru mencoba berjalan, maksud hati hendak ke Medan, dicuba pula seperti kata orang-orang.” Beberapa
kali
mencoba
usaha
berdagang,
namun
mengalami
kegagalan.Modal berbalik modal, terkadang merugi tapi itulah namanya berdagang. Seperti kutipan dibawah ini: “Birawari Sutan Sari Alam, sarato Bujang Malin Saidi, alah sabulan duo bulan, cukuik tigo bulan papek, dicibo mangaleh di Medan, mangaleh mudo lado bawang….” (KSK, hml: 44) “Dari Sutan Sari Alam, dan juga Bujang Malin Saidi, sudah sebulan dua bulan, cukup tiga bulan, dicoba berdagang di Medan, berdagang cabe muda bawang…” Namun, dengan tekat yang kuat, akhirnya Sabarudin dan Malin Saidi bekerja dengan orang Cina sebagai pembuat roti.Mulai dari belajar membuat adonan roti hingga bisa membuat roti mereka disana.Karena upah yang tidak terlalu tinggi, membuat mereka untuk merantau lagi. Setelah dua tahun di Medan, Malin Saidi memperjauh lokasi perantauannya yaitu ke Kota Banjarmasin dengan temannya yang bernama Sabarudin.Disana dia membuka usaha toko kue bersama sahabatnya itu.Berkat kerja keras dan ketulusan hati, dia sukses diperantauan.Roti buatan Malin Saidi dan Sabarudin disukai orang orang banyak di Banjarmasin.
16
Tokoh Rasyid Sutan Palindih dalam kaba Siti Kalasun melakukan proses merantau ke Medan yang dipengaruhi oleh faktor ekonomi. Seperti kutipan dibawah ini: “Pabilo Tuan pulang, lai salamaik pajalanan, di Medan juo Tuan marantau? Tanyonyo Siti Kalasun. Manjawab Sutan Palindih, “Lah tigo hari ambo pulang, pulang marantau nan dari Medan.” (KSK, hml: 51) “Kapan Tuan Pulang, ada selamat perjalanan, di Medan juga Tuan merantau? tanyanya Siti Kalasun. Menjawab Sutan Palindih, “Sudah tiga hari saya pulang, pulang merantau yang dari Medan.” Setelah sekian lama diperantau, Rasyid akhirnya pulang.Ketika berhenti disekitaran rumah Siti Kalasun, Rasyid membawa mobil barunya yang baru dibelinya.Rasyid sudah seperti orang-orang kaya selayaknya.Tokoh Rasyid dalam kaba tergolong kepada perantau yang sukses dari perantauanya. Di dalam kaba Siti Kalasun, terdapat lagi proses merantau yang dilakukan oleh Tokoh Sabarudin Sutan Sari Alam. Situasi ini terjadi ketika Sabarudin sudah menikah dengan Siti Kalasun.Sabarudin pergi merantau untuk memperbaiki ekonomi keluarganya ke Medan.Penyebab Sabarudin merantau, berawal ketika kehidupan ekonominya kurang mencukupi untuk biaya sehari-hari.Sehingga Sabarudin pergi ke Medan. Seperti kutipan dibawah ini: “….dicubo bajalan ka rantau urang, kok untuang takafir Allah, dapek rasaki di rantau urang, tatabusi gadai lamo, tabangkik tareh tabaram…” “Dima duduak dima tamanuang, takana bana sakutiko, pado tatungkuik elok tatilantang, elok bajalan dari kampuang, dicubo merantau nan bak urang, dijua barang mano nan ado, untuk balanjo ka jalan, bulek pikiran samaso itu, tak guno ditahan balaruik-laruik” (KSK, hlm: 37) “….dicoba berjalan kerantau orang, kalau untuk takdir Allah, dapat rezeki di rantau orang, tertebus gadai lama, terbangkit teras terandam…”
17
Dimana duduk bermenung, langsung teringat, dari pada tertungkup lebih baik tertilantang, lebih baik berjalan dari kampung, dicoba merantau seperti orang lain, dijual barang yang ada, untuk belanja untuk perjalanan, bulat pikiran waktu itu, tidak perlu ditahan lamalama. Ketika akan berangkat Sabarudin bertemu dengan teman lama yaitu Malin Saidi yang hendak merantau juga. Seperti kutipan dibawah ini: Bakato pulo Malin Saidi,”Ka mano rantau ka di tampuah?” Manjawab Sari Alam,”Sajak samulo lapeh di Parabek, Ambo tidak ka mano-mano, tatap sajo tingga di kampuang, kini baru mancubo bajalan, makasuik hati handak ka Medan, dicubo pulo nan bak urang,” (KSK: 41-42) Berkata Si Sabarudin,” saya bergelar Sutan Sari Alam, gelar pusaka terun menurun.” Berkata pula Malin Saidi,”Kemana rantau ke ditempuh?” Menjawab Sari Alam,” Sejak semula lepas di Parabek, saya tidak kemana-mana, tetap saja dikampung, sekarang baru mencoba berjalan, maksud hati hendak ke Medan, dicuba pula seperti kata orang-orang.” Ketika di Medan dia mencoba berjualan kecil-kecilan dan itu pun tidak menguntungkan yang cukup besar.Namun pun demikian, Siti Kalasun selalu mendoakan suaminya agar senantiasa mendapatkan perlindungan dan berharap kesuksesaan dari-Nya. Kalau dilihat dari kutip diatas, bisa terlihat jelas bagaimana niat dari Si Sabarudin suami Siti kalasum untuk pergi merantau dan mencoba peruntungan perbaiki ekonomi. Dalam kutikan ini, hati yang berat untuk meninggalkan sang istri yang nantinya tinggal sendirian. Akan tetapi, pikiran dan niat yang sudah bulat untuk pergi merantau agar bisa mengubah kehidupan rumah tangganya menjadi lebih baik nantinya. Dua tahun Sabarudin di daerah perantauan, dia belum mendapat nasib yang baik untuk memperbaiki perekonomian keluarganya.Dia terus mencoba lagi dan lagi disana hingga terlintas dipikirannya untuk beranjak ke Banjarmasin dan terjadilah merantau dalam merantau.
18
Di Banjarmasin, dia mulai mencoba membuka usaha dari bawah dengan cara membuat roti secara kecil-kecilan. Hari berganti hari, usahanya semakin lama semakin meningkat. Pembeli roti dari usahanya itu semakin banyak sehingga banyak orang yang menyukai apa yang dia buat. Ini digaris bawahi dengan banyak rezeki yang didapatkan sehingga kemiskinan yang sebelumnya di bawa ke negeri orang, kini telah menjadi seorang yang sukses. Seperti kutipan dibawah ini: “Duo tahun di Banjarmasin, dapek rasaki kaduonyo, takana mukasuik nak pulang, iyo ka kampuang Minangkabau, nagari lah lamo ditinggakan, dapek mupakat jo Malin Saidi, baganti-ganti pulang ka kampuang. (KSK, hml: 86) Dua tahun di Banjarmasin, dapat rezeki keduanya, teringat maksud hendak pulang kampung, yaitu kampung Minangkabau, negeri lama telah ditinggalkan, dapat mufakat dengan Malin Saidi, berganti-ganti pulang ke kampung. Setelah beberapa saat di daerah rantau, Sabarudin telah berhasil mendapatkan apa yang dia impi-impikan selama ini. Kesuksesan di daerah rantau membuatnya teringat kampung halaman yang sudah lama dia tinggalkan. Kerinduan pada sang istri dan keluarga membuat dia semakin membuatkan tekatnya untuk pulang ke kampung halaman. Akhirnya, keyika sampai dikampung halaman, Sabarudin langsung mencari keluarganya.Setelah cukup lama dikampung, Sabarudin membawa istriya ke tempat dia membuat usaha yang dulunya kecil tapi sekarang menjadi usaha yang besar yaitu ke tanah Banjarmasin.Disana mereka hidup bahagia hingga dilengkapi dengan dianugerahi oleh Allah SWT dua orang anak perempuan. Dalam kaba Si Gadih Ranti, Saman pergi merantau ke Padang untuk memperbaiki perekonomian keluarganya.Dengan ilmu yang dia dapat mulai dari disurau hingga bersekolah di Parabek dia aplikasi kedalam usaha berdagang dia itu.Pada awalnya dia pergi merantau tanpa membawa modal sedikitpun dari rumah. Seperti kutipan dibawah ini: “….. Manuruik cari ambo, kok Si Saman kito ambiak, anak dek mandeh Rawani, Bapaknyo Angku Kali di Subarang, inyo mangaleh di Padang.
19
Manuruik kato urang, lapeh mangaji di Parabek, samo inyo di Padang, tidak ado pokok dari rumah, pancarian di ujuang jari, tiok bulan ado bakirim, balanjo mandeh jo adiaknyo.” (KSGR, hml: 21) “….. Menurut saya, kalau Si Saman jika pilih, anak dari Rawani, Bapaknya Angku kali di Subarang, Si Saman berdagang di Padang. Menurut kata orang, habis mengaji di Parabek, semasa dia di Padang, tidak ada modal dari rumah, pencarian di ujung jari, tiap bulan ada kiriman, belanja ibu dan adiknya,” Setelah tiga tahun setelah kejadian Angku kapalo menyuruh dia untuk kerja rodi di Malalak, akhirnya Saman tambah sukses dengan usahanya dan mempunyai toko yang besar serta lengkap dengan isi-isinya mulai dari arlogi, lemari, kain-kain dan lain-lain untuk dijual. Seperti kutipan dibawah ini: “Birawari Bujang Saman, dek himaik balanjo jo rajin mangaleh, kadaian batambah gadang, manaruqh cukuik jo loji jam dinding, sarato barang kain-kain, kain kuto na haluih, kadaian sarupo toko Cino, langkok barang di dalamnyo, bacam-macam dalam lamari”. .(KSGR, hml: 69) “Birawari Bujang Saman, karena hemat dan rajin berdagang, toko bertambah besar, meletakkan cukup dengan jam arloji jam dinding, serta barang kain-kain, kain kuto yang halus, toko kayak toko Cina, lengkap barang di dalamnya, bermacam-macam dalam lemari Setelah menikah dengan Si Gadih Ratih, Saman mengajak orangtuanya ke Padang.Ketika sampai di rumah Saman, terkagum-kagum Rawani melihat kesuksessan anaknya dan dia tidak menyangkat kalau betuk kata orang-orang kalau anaknya memang sukses di Padang.Setelah dua bulan, Saman dengan gelar Sutan Parmato juga menjemput istrinya Si Gadih Ranti di Sungai Talang. Seperti kutipan dibawah ini: “Maliek rupo rumah anak, sarupo rumah urang bapangkek, heran tacangang mandeh Salamah, mamikiakan kayo anaknyo, tidak duto urang bakato, bahaso Parmato sangaiklah kayo, duo buah toko gadangnyo, panuah barisi kaduonyo. Lorong kapado mandeh Parmato, sarato Salamah adiak kanduang, duo bulan mandeh di padang, duduak-duduak basuko tiok hari.
20
Kan iyo si Gadih Ranti, dijapuik pulo dek Parmato, manatap tingga dipadang, hiduik basuko tiok hari, ado duo tahun pambaharuan, lahia anak laki-laki…..”(KSGR, hml: 83) Melihat rumah anak, serupa rumah pejabat, heran tercengang orangtua Salamah, memikirkan kaya anaknya, tidak bohong orang bilang, kalau Parmato sangat kaya, dua buah toko besarnya, penuh berisi keduanya. Hadap kepada orangtua Parmato, serta Salamah adik kandung, dua bulan orangtua di Padang, duduk-duduk bersuka tiap hari. Kan iya Si Gadih Ratih, dijemput pula oleh Parmato, menetap tinggal di Padang, hidup bersuka tiap hari, ada dua tahun kemudian, lahir anak laki-laki…” Masih dalam kaba Si Gadih Ranti, Tokoh Jawair yang bergelar Si Saman Palak dunsanaknya Saman juga berdagang di Kota Padang. Seperti kutipan dibawah ini: “Manuruik kaba kato urang, sungguah mangaleh di kota Padang, kadaian gadang dikampung jawo, tiok malam maaja silek,….”(KSGR, hml: 30) “Menurut cerita kata orang, sungguh berdagang di kota Padang, toko besar dikampung jawa, tiap malam mengajar silat….” Dalam kaba Siti Baheram tentang peristiwa merantau juga.Dalam kaba tersebut, Tokoh Saidi suami dari Siti Baheram pergi merantau ke tanah Padang untuk bedagang.Dimana ada orang yang ramai atau ada acara disuatu tempat, dia berada dan berdagang disana. Seperti kutipan dibawah ini: “Mandanga kato minantunyo, manjawab mandeh Saidi, badarok mungko kalihatan,” Anak kanduang Siti Baheram, kok kunun hanyo Saidi nantun, indak pulo inyo ka mari, mungkin ka darek Padang, jalannyo indak manantu, maklumlah jalan urang manggaleh, nagari indak nan jauh, dima rasaki ka bukak, inyo lah tibo pulo disinan. (KSB, hml: 44) “Mendengar kata menantunya, menjawab ibu Saidi, gelisah muka kelihatan,” Anak kanduang Siti baheram, kalau hanya Saidi itu, tidak pula dia kemari, mungkin ke Padang, jalannya tidak menentu, maklumlah jalan orang berdagang, nagari tidak yang jauh, dimana reseki yang terbuka, dia sudah tiba pula disana.
21
Tokoh Bujang Juki yang durhaka kepada ibunya juga melakukan proses merantau. Ketika Juki akan pergi merantau, Juki meminta modal kepada ibunya dengan sikap yang tidak selayak anak lakukan. Dia menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apapun dia inginkan dari ibunya. Juki pun tidak segan-segan untuk brsikap kasar kepada ibunya.Ibu Juki pun yang dari dahulunya selalu memberlakukan kehendak Juki dikarenakan Juki adalah anak satu-satunya. Tujuan Juki merantau adalah untuk merobah nasib keluarganya yang saat itu dilanda kemiskinan.Karena ada Alek di Sungai Pasak dan ada juga permainan judinya, Juki mencoba kebuntungan dengan bermain judi. Seperti kutipan dibawah ini: “Bakato si Bujang Juki, iyo kapado mandeh kanduang,” Manolah mandeh jonyo ambo, ka marilah mandeh den katokan, laikoh mandeh mandanga, urang baralek di Sungai Pasak, alek rami dek urang main. Di cubolah malah ka kian bisuak, kok untuang manang pamainan, tatabuih gadaian lamo, tabangkik batang tarandam, lamo marasai kok deh sanang, balasan paneh kok leh hujan”. (KSB, hml: 21) “Berkata si Bujang Juki, iya kepada ibu kandung,” manalah ibu iya ibu saya, ke marilah ibu saya katakana, kalau ibu mendengarkan, orang persta di Sungai Pasak, perayaan rami karena orang main. Dicobalah untuk kesitu besok, kalau bernasib baik menang permainan, tertebus gadaian yang lama, terbangkit batang terandam, lama sengsara kalau berubah senang, balasan panas kalau ada hujan." Dalam kaba Siti Risani, kehidupan yang sederhana membuat seorang Tuanku Imam Mudo ayahnya Siti Risani pergi merantau untuk berdagang di pasar. Seperti kutipan dibawah ini:: “….awak surang tingga dirumah, kok mandeh pai ka ladang, inyo di jerok Tanjuang Subaliak, kok nan bungsu maantaan nasi, ayahnyo pai ka balai, namonyo urang baniago. (KSR, hml: 13) “….saya sendiri tinggal dirumah, kalau ibu pergi ke ladang, dia di Jerok Tanjung Subaliak, kalau adik pergi mengantar nasi, ayah pergi ke pasar, namanya juga berdagang. Dalam kaba Siti Risani, terdapat proses merantau yang dipengaruhi faktor ekonomi yang dilakukan oleh Tokoh Nasarudin. Peristiwa ini dimulai ketika 22
Nasarudin dan Risani ingin dijodohkan oleh keluarga mereka masing-masing.Atas dasar mereka menolak hal itu, merekapun larikan diri dari kampung halaman.Diperjalanan pun mereka menghabis begitu banyak uang.Dimulai dari biaya perjalanan mereka, biaya hidup diperjalanan, hingga biaya pernikahan mereka. Setelah menikah, mereka pergi ke Medan untuk menjalani hidup sebagai sepasang suami istri.Biaya kehidupan di Medan yang cukup tinggi, Nasarudin pun mencari pekerjaan. Akhirnya, di Kantor BPM
Nasarudin bekerja dan disana
dulunya tempat Nasarudin bekerja. Seperti kutipan dibawah ini: “Alah sudah makan jo minum, lalu tagak sakutiko, iyolah Sutan Nasarudin, mancaliak inyo ka gambar kota Medan, lalu bakto maso itu,”Adiak kanduang Siti Risani, ka marilah adiak tagak, lieklah gambar kota Medan, kok ka iyo juo wak ka kian,” Kununlah Si Siti Risani, tagak sugiro maso itu, diliek malah gambar nantun,”Lai tampak dek adiak rumah gadang tu, nan talatak di tapi labuah, rancak nan bukan alang-alang, itulah kantua BPM, kunun di sanan ambo dahulu karajo, lai dapek surek baranti sacaro elok,” kato Sutan Nasarudin. Manjawab Si Siti Risani,”Tuan kanduang janyo ambo, kalau dipikia kiro-kiro, ditimbang awal jo akhia, dikana untuang badan kito, elok kito barangkek kito kini-kini, iyo ka Medan banda sapuluah, di sanan kito tingga……” (KST, hml: 75) Setelah selesai makan dan minum, lalu berdiri seketika, iyalah Sutan Nasarudin, melihat dia kegambar Kota Medan, lalu berkata dia ketika itu,” adik kandung Siti Risani, ke marilah adik berdiri, lihatlah gambar Kota Medan, kalau jadi juga kita kesana.” Dululah Si Siti Risani, berdiri segera ketika itu, di lihat yang gambar itu,” apakah kelihatan oleh adik rumah gadang itu, yang terletak ditepi jalan, bagus yang bukan alng-alang, itulah kantor BPM, dahulunya disana saya bekerja, ada dapat surat berhenti secara baik,” kata Sutan Nasarudin. Menjawab Si Siti Risani,”Tuan Kanduang kepunyaan saya, kalau dipikir kira-kira, ditimbang awal dan akhir, diingat untung badan kita, baik kita berangkat kita sekarang, iya ke Medan Banda Sapuluah, disana kita tingga….”
23
“Adiak Kanduang Siti Risani, ado nan takana dikiro-kiro, nan taguriah di hati ambo, sakarang kini nangko, handak pai bajalanjalan, manjalang wakatu luhua, pai mancari tampek karajo, tolong malah dek Adiak jo doa, kok lai untuang kito ka elok, dapeklah karajo handaknyo, di tampek ambo bakarajo dulu.” (KSR, hml: 80) “Adik Kandung Siti Risani, ada yang terpikir dikira-kira, yang terkena dihati saya, saat sekarang ini, hendak pergi berjalan-jalan, menjelang waktu zuhur, pergi mencari tempat kerja, tolong oleh Adik jo doa, kalau ada untung kita ke baik, dapatlah kerja hendaknya, ditempat saya bekerja dahulunya.” Berdasarkan kutipan diatas, dapat dilihat bagaimana Nasarudin memiliki tanggung jawab yang besar setelah dia menikah dengan Risani.Untuk biaya jangka pendek harus dipenuhi untuk bisa membuat dia bertahan di Kota Medan. Untuk jangka panjang pun dia harus dipenuhi juga, seperti punya rumah serta isi-isinya dan nanti juga dia akan mempunyai anak. Termasuk juga dengan biaya-biaya tidak terduga nantinya. Peluang terbesar dia untuk bisa memenuhi itu semua adalah dengan bekerja di kantor lamanya dan itu terletak di Medan. Mendalami Ilmu Dalam kaba Si Gadih Ranti, terdapat proses merantau yang disebabkan oleh faktor pendidikan. Salah satu kunci sukses dalam perantauan Saman ke Kota Padang adalah dia seorang terpelajar.Saman awalnya merantau dahulu ke Parabek untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dan belajar mengaji. Seperti kutipan dibawah ini: Manuruik kato urang, lapeh mangaji di Parabek, samo inyo di Padang, tidak ado pokok dari rumah, pancarian di ujuang jari, tiok bulan ado bakirim, balanjo mandeh jo adiaknyo.” (KSGR, hlm: 21) Menurut kata orang, selesai mengaji di Parabek, semasa dia di Padang, tidak ada modal dari rumah, pencarian di ujung jari, tiap bulan ada kiriman, belanja ibu dan adiknya,” Dalam kaba Siti Kalasun, tokoh Siti Kalasun orang Kampung nan Limo dahulunya pergi merantau untuk mendapatkan pendidikan. Sewaktu dalam cerita, untuk mendapatkan pendidikan yang bagus sedikit susah didapatkan. Masyarakat berlomba-lomba untuk mendapatkan pendidikan itu.Seandaikan ada peluang untuk 24
mendapatkan pendidikan, tidak ada kata untuk menolaknya. Seperti apa yang terjadi pada Tokoh Siti Kalasun yang merantau ke Parabek untuk mengaji dan belajar ilmu pengetahuan. Seperti kutipan dibawah ini: “….iyolah si Kalasun anak Rapiah, urang Guci Kampuang nan Limo, kamanakan Datuak Marajo, tidak pandai bajalan-jalan, tidak ado babaju rok, baju singkek tidak balangan, pakaiannyo babaju kuruang, lapeh mangaji di Parabek.” (KSK, hml: 15) “….iyalah si Kalasun anak Rapiah, orang Guci Kampung nan Limo, kemenakan Datuk Marajo, tidak bisa berjalan-jalan, tidak ada berbaju rok, baju singkat tidak berlengan, pakaiannya berbaju kurung, lepas mengaji di Parabek.” Merantau yang terjadi karena faktor pendidikan, terdapat lagi dalam kaba Siti Kalasun.Tokoh Sabarudin orang Kampung Pincuran Limo dahulunya pergi merantau untuk mendapatkan pendidikan yang bagus.Sabarudin merantau ke Parabek untuk mengaji dan belajar ilmu pengetahuan. Seperti kutipan dibawah ini: “….tidak barapo urang nan tahu, biaso gadang di Parabek, samo mangaji jo Kalasun, lapeh mangaji pai mangaleh, masuak pakan ka lua pakan.” (KSK, hml: 23) “….tidak berapa orang yang tahu, biasa gadang di Parabek, sama mengaji dengan Kalasun, lepas mengaji pergi berdagang, masuk pasar kelar pasar.” Merantau yang terjadi karena faktor pendidikan, terdapat lagi dalam kaba Siti Kalasun. Tokoh Malin Saidi melakukan proses merantau untuk mendapatkan pendidikan yang bagus. Malin Saidi merantau ke Parabek untuk mengaji dan belajar ilmu pengetahuan. Seperti kutipan dibawah ini: “Kan iyo samo itu, tampak si Usat Malin Saidi, kawan lamo sikolah di Parabek……” (KSK, hml: 41) “Kan iya ketika itu, kelihat Si Usat Malin Saidi, teman lama sekolah di Parabek…..” Faktor-Faktor Sosial Dalam kaba Siti Risani tentang peristiwa merantau yang disebabkan oleh faktor-faktor sosial.Maksudnya, terjadi sebuah ketidak sepahaman antara para 25
tokoh-tokoh dalam kaba seperti tokoh-tokoh dalam sebuah keluarga. Tokoh Siti Risani dan tokoh Nasurudin akan dijodohkan dengan jodoh pilihan keluarga masing-masing. Siti Risani akan dijodohkan dengan Hamzah Barudin St. Bagindo dan Nasarudin juga akan dijodohkan dengan Siti Arabainah. Mereka tidak menginginkan yang hal demikian.Akhirnya dengan rasa penuh penyelasan, Siti Risani dengan Nasarudin pergi dan meninggalkan kampung halaman masingmasing. Seperti kutipan dibawah ini: “Alah tibo ditangah laman, mamandang inyo ka labuah gadang, sanan disonsong dek Sutan Nasarudin, bajawek salam bapegang jari, nan tidak dilapehkan sampai ka ateh oto, maliek kapado arloji tangan, hari basarang laruik juo, kini lah pukua satu liwat saparampek, oto barangkek hanyo lai. (KSR, hlm. 54) “ketika sudah tiba ditengah halaman, memandang dia kejalan besar, disitu dihampiri oleh Sutan Nasarudin, disambut salam berpegangan jari, yang tidak dilepaskan sampai diatas mobil, melihat ke jam tangan, hari sudah larut malam, sekarang sudah pukul satu lewat seperempat, mobil berangkat lagi. Mereka pun sampai ke daerah Pesisir Baru hingga terus menuju Taluak Ayia Putuih, dusun Lubuak Bangku untuk menikah. Seperti kutipan dibawah ini: “….dek kancang jalannyo oto, alah sampai di balai pasa baru, di toko balirik tigo, lapeh pulo dari sinan, alah tampak lawuik ayia gilo, iya di kampuang pasisia baru. (KSR, hml: 68) “….karena kencang jalannya mobil, sudah sampai di balai baru, di toko berderet tiga, lepas pula dari situ, sudah kelihatan laut air gila, iya di kampung Pesisir Baru. (KSR, hml: 70) “Adiak kanduang janyo ambo, malah baitu kato adiak, alah sanang pulo hati ambo, sajuak raso paratian, barisuak kito sagiro, kito bajalan pagi-pagi bana, iyo ka taluak ayia putiah, ka surau Tuanku Syekh Imam, rang luhak Limopuluah koto, di dusun Lubuak Bangku, di simpang pangkalan sarai, di sanan kito mintak ijab jo kabul.” “Adik kandung kepunya saya, kalau begitu kata adik, sudah senang pula hati saya, sejuk rasa penglihatan, besok kita segera, kita berjalan sangat pagi-pagi, iya ke Taluk Ayia Putiah, ke Surau Tuanku Syekh Imam, orang luhak Limapuluh koto, di dusun Lubuak Bangku, di Simpang Pangkalan Sarai, disitu kita minta ijab dan kabul.”
26
Dalam kaba Puti Nilam Cayo, terdapat peristiwa merantau yang disebabkan karena rasa yang seseorang manusia dan keluarga.Tokoh Rajo Alam Sati yang menduduki kekuasaan di Nagari Saribunian mempunyai istri yang bernama Puti Andam Dewi dan dianugerahi sepasang anak.Mereka bernama Bujang Gombang Alam dan Puti Ambun Suri. Ketika dilihat nasib Puti Ambun Suri oleh para dukun, ternyata Ambun Suri akan membawa bala petaka kepada kerajaan dan keluarganya. Mendengar hal yang demikian, terniat dalam diri Sang Raja Alam Sati untuk membunuh anaknya sendiri. Saat akan dibunuh oleh ayah sendiri, tiba-tiba datang Bujang Gombang Alam untuk melindungi adiknya yang masih kecil. Karena hal demikian yang terjadi, mereka pun pergi dari istana. Seperti kutipan dibawah ini: “Mandanga ratok mandeh kanduang, lah tagak Si Gombang Alam, diambiak adiak di ribaan mandeh, dipangku jo kain cindai, sanan bakato maso itu,” Adiak den usah dibunuah, bia bajalan kami baduo, adiak kandung balahan badan, antah pitanah dari lua, sabanyak urang nan sayang, sabanyak itu pula nan bangih,” katonyo Si Gombang Alam, bakato sadang manangih, ayia mato badarai-darai, maliek adiak ka dibunuah. Maliek rupo nan bak kian, bakato Rajo Alam Sati, batitah sadang bangih,”Bajalan kalian kaduonyo, baok adiak ang masuak rimbo, tidak buliah dalam nagari.(KPNC, hml: 22-23) “Mendengar tangisan ibu kandung, langsung berdiri Si Gombang Alam, diambil adik dari pangukuan ibu, dipangku dengan kain cindai, disitu berkata ketika itu,”Adik saya jangan dibunuh, biar berjalan kami berdua, adik kandung belahan diri, tidak tahu bisikan dari luar, sebanyak orang yang saying, sebanyak itu pula yang marah,” kata Si Gombang Alam, berkata sedang menangis, air mata berderai-derai, melihat adik akan dibunuh. Melihat hal yang demikian, berkata Rajo Alam Sati, berkata sedang marah,” berjalan kalian berdua, bawa adik kamu masuk hutan rimba, tidak boleh dalam nagari. Dalam perjalanan, Si Bujang Gombang Alam dan Puti Ambun Suri merasakan kelaparan dan memutuskan untuk berhenti sejenak.Ketika berhenti Bujang Gombang berburu untuk mendapatkan makanan. Karena tidak ada api untuk pemangang, Si Bujang Gombang berjalan sejenak meninggalkan adiknya di hutan rimba. Ketika diperjalan mencari api, Si Gombang Alam melihat ladang 27
jagung orang dan dia masuk keladang tersebut. Tidak disangka pemilik ladang melihat si Gombang Alam.Diseranglah Si Gombang Alam hingga pingsan.Si Gombang Alam pun dibuang kelautan.Akhirnya mereka pun terpisah. Dalam kaba Sabai Nan Aluih, tokoh perempuan yang bernama Sabai Nan Aluih dan Mangkuto Alam (Saudara laki-laki Sabai Nan Aluih) pergi meninggalkan rumah serta kampung halamannya dengan maksud membalaskan dendam yang dia pendam kepada Rajo Nan Panjang. Rajo Nan Panjang merupakan orang yang telah membunuh Rajo Babanding, bapak dari Sabai Nan Aluih dan Mangkuto Alam. Pada awalnya Sabai Nan Aluih mendengar kabar dari seorang anak gubala yang melihat Rajo Babandiang terbaring ditanah karena ditembak oleh salah seorang prajurit Rajo Nan Panjang di Padang Pahaunan. Seperti kutipan dibawah ini: “Lalu mahimbau anak gubalo, ”Aciak oi Sabai Nan Aluih, manga aciak batanun juo, bapak aciak garan lah mati, ditembak Rajo Nan Panjang, di tanh Padang Pahaunan, baliau kini taguliang, di munggu nan kacenaian, dibawah cubadak condong.” (KSNA, hml: 49) “lalu memanggil anak gubala, “kaka koi Sabai Nan Aluih, lagi kakak batanun juga, bapak kakak tadilah mati, ditembak Rajo Nan Panjang, di tanah padang Pahaunan, beliau sekarang terkapar, di munggu yang kacenaian, dibawah cubadak miring.” Setelah mendengar kabar yang demikian, disusulah Rajo Babandiang yang sedang terluka karena ditembak oleh salah satu prajurit Rajo Nan Panjang.Setelah sampai disana, tak tertahan kesedihan dan amarah dalam diri Sabai Nan Aluih.Dibawa pulanglah Rajo Babandiang, setelah itu kembali lagi Sabai Nan Aluih dan Mangkuto Alam untuk mencari dan mencoba mengeluarkan amarah dan dendam dalam diri kepada Rajo Nan Panjang. Seperti kutipan dibawah ini: “……. Rang Guguak Tabek Sarajo, rang Koto Tuo rang Balingka…, kok suko iriangkan denai, kok indak bia denai surang, tinggalah Bapak sakutiko, denai cari Rajo Nan Panjang.” (KSNA, hml: 56) “….. Orang Guguak Tabek Sarajo, orang Koto Tuo orang Balingka…, kalau suka iringilah saya, kalau tidak biarkan saya sendiri, tinggalkan bapak sementara, saya cari Rajo Nan Panjang.”
28
Berburu Harta Karun Dalam kaba Puti Nilam Cayo, terdapat peristiwa merantau (merantau dalam merantau) yaitu ketika Puti Nilam Cayo ditawan oleh Raksasa dan Si Bujang Gombang Alam berada juga disana. Mereka pun kabur dari sana untuk menyelamatkan diri mereka dari raksasa. Diperjalan mereka bertemu seorang kakek tua yang memberikan mereka sebuah tongkat ajaib yang dapat membantu mereka.Kakek tua pun mengatakan ada sebuah mustika naga yang dapat mengabulkan permintaan pemiliknya.Mereka pun berniat keras untuk berburu mustika naga tersebut. Seperti kutipan dibawah ini: “Sanan bakato rang batapa,”Manolah kalian kaduonyo, usah kalian takuik jo ambo, buliah tolong rang mudo, dibari tungkek batuah, tungkek sati paliharo bana, kalau basuo harimau gadang, diayun sajo tungkek nangko, mati harimau sabanta itu, bia binatang nan bisobiso, maliek tungkek habih binasa, mati kareh cacah nantu. Manolah kalian urang mudo, jiko bajalan kalian baduo, ado sahari pajalanan, basuo nago dalam lurah, nago gadang nago kiramat, turuik nago dalam lurah, kalian dibarinyo mustika nago, ambiak mustika dalam harang, nan talatak diharang nago nantun, jiko digosok mustika nago nantun, apo kandak lai balaku.” (KPNC, hml: 51) Disitu berkata orang bertapa. ”Manalah kalian berdua, jangan kalian takut kepada saya, boleh tolong orang muda, diberi tongkat bertuah, tongkat sati pelihara sangat, kalau bertemu harimau besar, diayunkan saja tongkat ini, mati harimau sekejap, biar binatang yang bisa-bisa, melihat tongkat habis binasa, mati dengan cepat. Manalah kalian orang muda, jika berjalan kalian berdua, ada sehari perjalanan, bertemu naga dalam jurang, naga besar naga keramat, turut naga dalam jurang, kalian diberinya mustika naga, ambil mustika dalam mulutnya, yang terletak dimulut naga itu, jika digosok mustika naga itu, apapun kehendak akan terkabulkan. Menemani Sang Suami Dalam kaba Siti Kalasun, terdapat peristiwa merantau yang disebabkan karena ingin menemani sang suami ditempat perantauan. Ternyata wanita ikut serta dalam peristiwa merantau. Pendapat ini diperkuat oleh Kato (2005: 148) yaitu
29
faktor penyebab wanita ikut serta dalam proses merantau salah satunya karena semakin banyak laki-laki membawa istrinya serta anak-anak-anaknya ke daerah rantau. Seperti kutipan dibawah ini: “Lorong kapado Siti Kalasun, dibaok ka Banjarmasin, hiduik basuko tiok hari, badannyo gapuak putiah kuniang, sarupo jo nona Cino, tigo tahun di Banjarmasin, lah baranak duo urang, anak padusi kaduonyo.” (KSK, 86) “Arah kepada Siti Kalasun, dibawa ke Banjarmasin, hiduik basuko tiok hari, badannya gemuk putih kuning, serupa dengan nona Cina, tiga tahun di Banjarmasin, sudah beranak dua orang, anak perempuan keduannya.” Dalam kaba Si Gadih Ranti, tokoh si Gadih Ranti juga pergi merantau untuk menemani suaminya yang bekerja di Padang.Setelah dua tahun di Padang, si Gadih Ranti melahir seorang anak laki-laki. Seperti kutipan dibawah ini: “Kan iyo si Gadih Ranti, dijapuik pulo dek Parmato, manatap di Padang, hiduik basuko hari, ado duo tahun perbauran, lahia anak laki-laki, baru baranak si Gadih Ranti, sanang hati Sutan Parmato, ubek jariah palarai damam, si dingin tahampa dikapalo.” (KSGR, hml: 83) “Kan iya si gadih ranti, dijemput pula oleh Parmato, menetap di Padang, hidup bersuka hari, ada dua tahun perbaharuan, lahir anak laki-laki, baru beranak si Gadih Ranti, senang hati Sutan parmato, obat usaha penawar demam, si dingin terhampa dikepala.” Faktor yang Mendominasi dalam Kaba Dalam kaba-kaba yang yang berjudul nama-nama pempuan, terdapat motif merantau yang sangat banyak.Empat dari enam kaba yang dianalisis yang mendominasi yaitu faktor ekonomi diantaranya dalam kaba Siti Kalasun, Si Gadih Ranti, Siti Baheram, Siti Rasani. Hal ini sejalan dengan pendapat A.A. Navis (1984: 108) bahwa setiap orang, terutama anak muda akan senantiasa didorong dan ditarik agar pergi merantau oleh kaum kerabatnya dengan berbagai cara. Falsafah materilisme Minangkabau mendorong anak muda agar kuat mencari harta kekayaan
30
guna memperkukuh atau meningkatkan martabat kaum kerabat agar setaraf dengan orang lain. HUBUNGAN REALITA DENGAN KABA MINANGKABAU Menurut Taine (dalam Endaswara, 2011: 55) menyebutkan bahwa karya sastra tidak sekedar fakta imajinatif dan pribadi, melainkan dapat merupakan cerminan atau rekaman budaya, suatu perwujudan pikiran tertentu pada saat suatu karya dilahirkan. Dalam beberapa peristiwa dalam cerita itu dianggap benar adanya dan terjadi ditengah-tengah masyarakat termasuk salah satunya peristiwa merantau dalam kaba. Kota Tujuan Merantau Bukittinggi dan sekitarnya Seperti dalam kaba Siti Kalasun, Bukittinggi ternyata sampai saat ini menjadi pusat perdagang dan mungkin menjadi salah satu pilihan proritas untuk merantau kesana. Pendapat ini diperkuat oleh Naim (2013: 172) yang berpendapat bahwa tidaklah heran kiranya kalau kebanyakan orang Minangkabau di rantau berusaha di dunia perdagangan, karena dengan berdagang mereka dapat menjadi tuan atas diri merek sendiri. Tempat berdagang yang cukup efektif yaitu di Bukittinggi. Bukittinggi berada di Luhak Agam dengan sebutan Fort de Kock pada zam colonial Belanda dan sebelumnya diberi julukan Parijs van Sumatera selain kota Medan yang mendapat julukan itu dan dengan luas 25,24 ݇݉ଶ . Kota Bukittinggi ini menjadi pusat perdagangan di daratan tinggi Minangkabau. Hal ini ditandai dengan bangunan pasar oleh pemerintahan Hindia-Belanda pada tahun 1890 dengan namaloods. Masyarakat setempat menyebutnya loih, dengan atap melengkung kemudian dikenal dengan sebutan Loih Gadang. Setelah beberapa saat kemudian, orang Tionghoa untuk membuka toko/kios disana yang terletak dibagian barat kota, membujur dari selatan ke utara dan saat ini dikenal dengan Kampung Cino. Sementara pedagang India ditempatkan di kaki bukit setelah utara, melingkar dari arah timur ke barat dan sekarang disebut dengan Kampung Keling.
31
Kota Bukittinggi semula merupakan pasar (pekan) bagi masyarakat Agam Tuo.Memang aktivitas perdagang dari dahulu memang cukup tinggi disini. Di Kota Bukittinggi sendiri memilik empat pasar besar yang belum termasuk pasar kecil dan pasar tradisional yaitu Pasar Atas, Pasar Lereng, Pasar Putih (Pasar Butik), Pasar Banto (Pasar Bawah) dan Pasar Aur Kuning. Karena tingkat aktivitas para perdagang disana memang tinggi dengan didukung disana menjadi tempat pusat grosiran, terminal bus, serta tempat terjadinya jual beli barang-barang semuanya mulai dari jual beli kain, makanan, peralatan rumah dan lain-lain.Bukittinggi tidak ada matinya kalau masa kegiatan jual-beli.Bisa dikatakan kalau Bukittinggi merupakan pasar serba ada atau lengkap sesuai fungsinya.Dalam kaba, Tokoh Sabarudin mungkin saja memang merantau ke Bukittinggi untuk berdagang jika kondisi pasar seperti yang digambarkankan. Dari segi pendidikan, dahulunya pendidikan yang bagus cuma ada dibeberapa tempat.Menurut Naim (2013: 178) salah satu profesi yang digemari oleh para perantau adalah sebagai seorang pelajar dan guru (pendidikan).Dalam kaba Si Gadih Ranti, salah satunya tempat bersekolah yang bagus yaitu di Parabek yang terletak di Kabupaten Agam dan berdekatan langsung dengan Kota Bukittinggi.Di daerah Parabek tersebut, terdapat sebuah sekolah yang bagus yang bermutu pendidikannya dan berbasis keislaman yaitu sekolah Sumatera Thawalib Parabek.Sumatera Thawalib Parabek ini didirikan oleh Ibrahim Musa pada tahun 1919 (masih masa penjajahan Belanda).Minangkabau yang cukup berbasis keislaman, cukup bagus untuk generasi muda untuk masuk ke Madrasah yang sistem pendidikan berbasis keagamaan dan mutu pendidikan bagus seperti di Sumatera Thawalib Parabek.Kemungkinan besar, para tokoh dalam kaba bersekolah di Sumatera Thawalib Parabek.Dalam kaba Si Gadih Ranti disebutkan bahwa Saman dahulunya sekolah di Parabek.Begitu juga dalam kaba Siti Kalasun.Tokoh-tokoh dalam kaba tersebut yang sekolah di Parabek diantara Siti Kalasun, Sabarudin dan Malin Saidi. Kota Padang
32
Dalam kaba Siti Kalasun banyak sekali terjadi peristiwa merantau.Haji Munaf ayah dari Sabarudin juga merantau ke Padang untuk berdagang.Dalam kaba Siti Baheram, Saidi suami dari Siti Baheram juga merantau ke Padang untuk berdagang.Dalam kaba Si Gadih, Saman juga merantau ke Padang untuk berdagang.Masih dalam kaba Si gadih Ranti, Jawair saudara dari Saman merupakan seorang guru Silat, sebelumnya juga merantau ke Padang untuk berdagang. Berdagang merupakan salah satu sebuah profesi yang digemari oleh masyarakat Minangkabau.Biasanya profesi ini menjadi batu loncatan bagi perantau Minangkabau setibanya di perantauan.Hal ini sejalan dengan pendapat Kato (2005: 149) yang menyebutkan bahwa dalam pekerjaan, kegiatan berdagang lebih dominan pada laki-laki. Berdagang sama seperti mengadu nasib. Ada kalanya bernasib baik ada kalanya tidak.Semua dipertaruhkan dalam profesi yang satu ini. Jika bernasib baik, sang perantau akan merasa bahagia dan dapat membahagiakan keluarganya dirumah. Jika kalanya bernasib buruk, maka seperti penderitaanlah yang didapatnya.Salah satu tempat berdagang yang cukup diperitungkan adalah di Padang. Sejarah kota Padang tidak lepas dari perannya sebagai kawasan rantau di muara Batang Arau (Seberang Padang) lalu berkembangan menjadi Bandar pelabuhan di bawah bendara VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie). Padang di akui sebagai sebuah daerah dengan status Kota pada tahun 1669. Seiring berjalannya waktu, Padang pun berkembangan dan menjadi salah satu kota yang diperitungkan. Semasa penjajahan Belanda, Padang menjadi akses pintu masuk lewat jalur laut, udara dan udara.Selama penjajahan, Kota Padang ini menjadi pusat perdagangan emas, teh, kopi dan rempah-rempah. Memasuki abad ke-20 ekspor baru bara dan semen mulai dilakukan di Pelabuhan Teluk Bayur. Kota Padang pun terus bekembang dan berkembang hingga kota ini menjadi kota dengan sentra perekonomian dengan pendapatan per kapita tertinggi di Sumatera Barat. Dengan kondisi yang demikian, wajar saja masyarakat Minangkabau banyak yang merantau ke daerah Padang dan perantau para tokoh dalam kaba mungkin saja dianggap benar adanya.
33
Kota Medan Dalam kaba Siti Risani dan Siti Kalasun, terdapat peristiwa merantau yang tujuan daerahnya itu adalah Kota Medan.Medan termasuk daerah rantau Minangkabau dan berdekatan langsung dengan daerah Minangkabau.Siti Risani dan suaminya Nasarudin pergi merantau ke Medan.Tokoh Sabarudin suami dari Siti Kalasun juga merantau ke Medan untuk memperbaiki ekonomi keluarganya. Semuanya bermula ketika Sumatera Utara ke Medan khusunyanya baru pada akhir abad yang lalu ketika perkebunan-perkebunan besar mulai dibuka.Orangorang Minangkabau berdatangan kesana bukanlah untuk memburuh perkebunan tetapi untuk berdagang.Malahan kenyataan kebanyakan orang-orang Minangkabau menghindari kerja berkuli seperti yang dilakukan oleh orang-orang jawa yang dibawa kesana dengan tujuan dipekerjakan sebagai buruh kontrak. Banyak dari mereka yang menjajakan barang dagangannya dari perkebunan yang satu ke perkebunan yang lain atau menetap di kota untuk berdagang. Dari data sensus tahun 1930 (Naim, 2013: 104), terdapat lebih dari 50.000 orang Minangkabau di Sumatera Utara. Dari angka tersebut 5.500 berada di Medan, yang berarti 13,5% dari keseluruhan penduduk Medan yang jumlahnya sekitar 75.000 jiwa. Di kota-kota lainnya, seperti di Binjai terdapat 784 atau 16.8% dari total penduduk disana, Tebing Tinggi 832 (9.9%), Pematang Siantar 521 (5.4%) dan Tanjung balai 459 (13.9%). Dengan demikian, terdapat sekitar 12% orang Minangkabau di daerah Sumatera Utara. Setelah terjadi Perang Dunia Kedua, terjadi kemunduran perdagangan akibat depressi tahun-tahun 1930-an. Setelah tahun 1949, terjadi revolusi kemerdekaan dan Medan lahi-lagi menjadi tujuan utama merantau orang Minangkabau dan kini jauh lebi besar.Arus migrasi yang paling besar ke daerah tersebut terjadi sewaktu berlangsungnya pemberontakan PRRI dan tahun sesudahnya. Diperkirakan hampir 100.000 orang Minangkabau terdapat di Medan saja, yang berarti 13% dari total penduduk kota. Kalau diperkirakan terdapat sekitar 200.000 jiwa orang Minangkabau di Medan sekarang ini, jadi terjadi kenaikan kali empat dari sebelumnya yang 50.000
34
jiwa pada tahun 1930. Setelah terjadi perperangan, merantau semakin populer dengan motif ekonomi karena ke Sumatera Utara, khususnya Medan yang telah mengalami perekonomian yang cukup bagus. Orang Minangkabau di Sumatera Utara tidak banyak ragam pekerjaan dengan sebelum perang yaitu berdagang.Sebagian besar masih berdagang eceran di kakilima walupun cukup banyak di antaranya telah berhasil pindah berdagang ditokotoko sendiri.Sebagian kecil lainnya telah menjadi pedagang grosir, terutama tekstil, pecah-belah, alat-alat dapur, dan barang-barang keperluan sehari-hari.Dalam kaba pun, Malin Saidi dan Sabarudin pada awalnya berdagang barang-barang keperluan sehari-hari seperti cabe dan bawang.Begitu juga dengan Nasarudin suami dari Siti Risani dalam kaba Siti Risani yang bekerja di BPM minyak tanah. Menurut Naim (2013: 106) dengan beberapa pedagang Minangkabau di Medan mengungkapkan bahwa kira-kira 60% atau lebih dari seluruh pedagang pengecer di Pasar Pusat, di jantung kota Medan adalah orang Minangkabau. Hanya sejumlah yang dapat dihitung dengan jari saja yang telah berhasil ke tingkat perdagangan ekspor-impor. Gambaran yang mencolok dari bisnis mereka setelah perang adalah bahwa 80% dari usaha penjahitan di Medan, besar atau kecil, sekrang berada di tangan orang Minangkabau, yang sebelumnya berada ditangan orang Cina. Dalam kaba Siti Kalasun, tokoh Sabarudin dan Malin Saidi bekerja dengan orang Cina di Medan sebagai pembuat roti.Warung Padang orang Minangkabau tersebar diseluruh pelosok, di samping Sate Padang yang juga tumbuh menjamur di musim hujan.Industri kerajinan pakaian jadi untuk wanita dan anak-anak yang dijalan istriistri yang ikut suaminya ke rantau juga mengalami perkembangan yang pesat.Dalam kaba Siti Risani, ada kemungkinan Siti Risani yang ikut suami ke Medan, mengeluti usaha ini. Usaha lain di Kota Medan yang cukup banyak orang Minangkabau kuasai adalah usaha percetakan, penerbitan, termasuk toko-toko alat-alat tulis dan toko buku. Orang Minangkabau juga berkembangan dalam bidang kewartawanan. Waktu itu, tiga dari sepuluh surat kabar di kota Medan adalah milik orang
35
Minangkabau dan sejumlah besar wartawan dari berbagai suarat kabar dan majalah terdiri dari orang Minangkabau. Jadi, orang Minangkabau di Medan pada umumnya memiliki strata ekonomi bagian bawah agak ke atas (upper lower) dan menengah, dengan hanya sebagian kecil saja yang di atas.Dalam kaba, di Medan tokoh dalam kaba bekerja sebagai pedagang penjual barang sehari-hari seperti Malin Saidi dan Sabarudin yang menjual cabe, bawang dan kebutuhan sehari-hari lainnya.Nasarudin juga demikian, bekerja di BPM minyak tanah.Malin Saidi dan Sabarudin pun sempat juga bekerja dengan orang Cina di Medan sebagai pembuat roti. Kesuksesan dalam Merantau Dalam kaba Siti Kalasun, tokoh Palindih dalam kaba Siti Kalasun pergi merantau ke Medan.Setelah sekian lama merantau di Medan, dia putuskan untuk melihat kampung halaman.Setiba dikampung halaman, Palindih langsung membeli mobil. Ternyata Palindih mengalami kesuksesan dalam perantauannya Selanjutnya, pada kaba Siti Kalasun, tokoh Sabarudin suami dari Siti Kalasun juga mengalami kesuksesan.Untuk mengalami kesuksesan, Sabarudin mengalami lika-liku seorang perantauan.Seperti Mulanya dicoba berdagang kecil-kecilan bersama sabahabatnya Malin Saidi.Ternyata hasil yang diharapkan tidak sesuai dengan harapan.Akhirnya Sabarudin dan Malin Saidi kerja ditempat orang cina sebagai pembuat roti.Disana Sabarudin belajar untuk mebuat roti yang enak dan bagus.Dengan upah yang belum mencukupi semua kebutuhannya, membuatnya dia harus mendirikan usaha roti sendiri dengan Malin Saidi di Banjarmasin.Disana, dengan bekal pengetahuan pembuat roti sebelumnya dan dimodif dengan adonan sendiri terciptalah roti lezat yang disukai oleh konsumen.Beransur-ansur, usaha roti Sabarudin dan Malin Saidi mengalami kemajuan dan kesuksesan. Bentuk Usaha-Usaha Perantauan Bentuk usaha-usaha diperantau, tidak ada batasnya.Semua usaha berhak dilakukan seorang perantau.Dalam kaba Siti Kalasun, tokoh Sabarudin dan Malin Saidi ditanah rantau mengeluti usaha pembuat roti.Semuanya berawal dari saat berjual kecil-kecil yang berujung pada tidak keberhasilan.Tanpa ada rasa lelah,
36
Sabarudin dan Malin Saidi akhirnya menjadi seorang pembuat roti di Medan.Dengan waktu yang cukup lama dia belajar membuat adonan yang enak hingga akhirnya menjadi roti yang lezat. Merasa upah yang tidak cukup tinggi, membuat mereka ke kota Banjarmasin. Dengan uang secukupnya hasil upah kerja di Medan, mereka mendirikan usaha roti sendiri.Dari bawah Sabarudin dan Malin Saidi merintis usahanya hingga mengalami cukup kesuksesan. Dalam kaba Siti Kalasun banyak sekali terjadi peristiwa merantau.Sabarudin awal perantauannya juga mengeluti usaha berdagang di Medan.Haji Munaf ayah dari Sabarudin juga merantau ke Padang untuk berdagang.Dalam kaba Siti Baheram, Saidi suami dari Siti Baheram juga merantau ke Padang untuk berdagang. Dalam Kaba Si Gadih, Saman juga merantau ke Padang untuk berdagang. Masih dalam kaba Si Gadih Ranti, Jawair saudara dari Saman merupakan seorang guru Silat.Sebelum menjadi guru, Jawair dulu menjadi pedagang di Padang. Usaha berdagang ini sepertinya menjadi usaha yang sering kali menjadi pilihan pertama seorang perantau dalam kaba.Hal ini sejalan dengan pendapat dari Kato (2005: 149) yang menyebutkan bahwa dalam pekerjaan, kegiatan berdagang lebih
dominan
pada
laki-laki.Banyak
hal
yang
bisa
dijual
dari
Minangkabau.Apalagi Minangkabau memiliki banyak sumber daya alam dari perkebunan seperti sawit, teh, kopi, dan sejenis rempah-rempah.Ditambah lagi, mayoritas
masyarakat
kita
dahulunya
memiliki
lahan
pertanian
cukup
banyak.Hampir semua hasil alam Minangkabau bisa dimamfaatkan dan dijual.Wilayah pertambangan ada didaerah Sawahlunto yaitu batubara.Dari hasil kerajinan mulai dari songket, kain, anyaman, sofenir dan banyak lainnya. Realita dalam Merantau Menurut Kato (dalam Syarifoedin, 2014: 679) bahwa jumlah populasi yang relative kecil (2,7% dari suku Indonesia), Minangkabau merupakan salah satu suku tersukses dengan banyak pencapaian. Sedangkan dalam Majalah Tempo dalam edisi khusus 2000 (Desember 1999) dan 2010, tercatat 6 dari 10 tokoh penting Indonesia di abad 20 merupakan orang Minangkabau. Menurut Syarifoedin (2014: 679) dari 3 dari 4 orang pendiri Republik Indonesia adalah orang Minangkabau.
37
Pada zaman globalisasi ini, tujuan perantau bagi orang Minangkabau sudah sangat beragam.Untuk tujuan pendidikan maupun ekonomi, orang Minangkabau bisa pergi atau merantau kapan saja dibagian dunia ini.Tidak sedikit orang Minangkabau yang merantau ke Malaysia, Singapura, Pilipina, Australia, Eropa, Amerika Serikat.Kini Perantau dari Minangkabau hampir tersebar diseluruh dunia, dengan berbagai macam tujuan dan motivasi. Namun, sebagai dampak dari kemajuan di segala bidang di Minangkabau (Sumatera Barat), terutama dalam bidang ekonomi, pendidikan dan lainnya, tidak kalah dengan daerah-daerah lain. Bahkan jauh lebih baik dari pada daerah-daerah di pulau Sumatera, kini terlihat minat pemuda-pemuda Minangkabau untuk merantau sudah menurun. Hal ini sudah dapat dipahami, jika semua yang ada di daerah-daerah lain, sudah ada didaerah sendiri.Sekarang pada dasarnya, seperti untuk melanjutkan pendidikan, kini di Minangkabau sudah memiliki semua fasilitas.Mulai dari Playgrup,
TK,
SD,
SMP/MTSN,
SMA/SMK
hingga
Perguruan
Tinggi
sekalipun.Dalam kaba, tokoh Sabarudin, Saman, Siti Kalasun dan Malin Saidi pergi merantau ke Parabek (Agam) untuk mendapat pendidikan dan bersekolah. Di bidang ekonomi, tempat berusaha dan berdagang, saran dan prasarana sudah cukup banyak.Begitu dengan kesejahteraan, tradisi atau budaya, keamanan, tidak lagi menjadi hambatan, semuanya sudah terjamin dan aman.Perhubungan darat, laut dan udara telah mendukung msyarakat Minangkabau, untuk pergi kemana saja. Namunpun demikian, makna merantau ini sendiri mengalami pergeseran, mulai dari pelaku merantau sampai proses merantau. Pergeseran itu mulai dari jarak kampung asal ke tempat perantauan.Tempo dahulu, seorang individu sudah pergi dari kampung halamannya baik itu dekat ataupun itu jauh sudah dikatakan merantau.Namun sekarang, dikatakan merantau apabila sudah pergi dari wilayah Minangkabau (Sumatera Barat). Menurut Naim (2013: 340), bahwa yang berubah adalah paradigmatic dari konsep merantau dalam hal ruang gerak dan lama di rantau yang lentur. Bila saja bahwa merantau ke manapun, tiap sebentar sudah
38
pulang kampung untuk keperluan apapun, dengan mengingat jarak yang relatif makin dekat dengan peningkatan sarana komunikasi dan transportasi yang tersedia. Dahulunya merantau ini dilakukan oleh laki-laki Minangkabau, namun sekarang wanita Minangkabau juga ikutan merantau seperti dalam kaba Siti Risani.Dalam kaba Siti Risani, Siti Risani ikut merantau ke Medan bersama suami untuk menemani suaminya, disamping dia juga memiliki masalah dengan keluarganya dikampung halaman. Dari contoh peristiwa merantau dalam kaba Siti Risani, bisa dilihat bahwa merantau tidak cuma dilakukan oleh laki-laki.Jumlah perantau wanita semakin lama semakin meningkat pula.Pada tahun 1930, jumlah wanita per 100 laki-laki di antara perantau Minangkabau di Batavia adalah 52 orang.Pada tahun 1961, perbandingan wanita dengan laki-laki diantara orang-orang yang merantau dari Sumatera Barat (Minangkabau) ke Jakarta adalah 78:100 (Kato, 2005: 148). Pertambahan jumlah perantau wanita terutama disebabkan oleh dua faktor (Kato, 2005: 148-149) yaitu pertama, semakin banyak laki-laki membawa istrinya serta anak-anak-anaknya ke rantau.Semasa pemerintahan Belanda, terdapat 17% perantau
laki-laki
yang
membawa
istrinya
ke
rantau
pada
waktu
keberangkatannya.Dalam periode sesudah zaman Belanda, jumlahnya meningkat menjadi
48%.Semakin
lama,
persentase
perantau
wanita
mengalami
peningkatan.Kedua, adanya berbagai alasan bagi mereka untuk merantau pada masa sekarang jika dibandingkan dengan masa lampau. Para wanita biasanya merantau untuk menemani sang suami ditempat rantau. Mereka hanya menunggu dirumah dan sang suami mencari nafkah keluar. Namun, dengan kondisi pada hari ini yang mana tingkat taraf hidup yang semakin lama semakin tinggi, membuat wanita ikutikutan untuk mencari nafkah, hingga dia meninggalkan posisinya yang harus dirumah. Dengan salah satu alasan menolong sang suami ini yang membuat para wanita sebagian besar ikuran merantau. Wanita Minangkabau dahulu, tidak ada yang bekerja mencari nafkah.Semua masalah ekonomi, ditangani orang laki-laki. Sepertinya untuk hari ini, semuanya itu akan mulai terkikis seiring zaman terus bergulir. Menurut Kato (2005: 149), ada
39
kecendrungan baru pada waktu belakangan ini, wanita muda biasanya sendirian, meninggalkan kampung halamannya untuk mencari pendidikan yang lebih tinggi (besar kemungkinannya mereka akan tinggal di rantau walau sudah tamat sekolah), dan wanita yang telah tua, biasanya berstatus janda dan juga bisa tidak, merantau bersama anak-anaknya. Tujuan merantau sekarang cendrung lebih jauh dari Sumatera Barat (Minangkabau) dibandingkan sebelumnya.Pemusatan perantau ke daerah Pulau Jawa seperti di daerah Jakarta ataupun Bandung, bahkan sampai ke Surabaya. Dari segi proses merantau, seorang perantau tidak lagi melewati masa perantau
terdahulu.
Banyak
hal
yang
harus
dipersiapkan
sebelum
merantau.Dahulunya para perantau sebelum merantau, diasah mental, religious, kekuatan dan ilmu pengetahuaanya oleh tetua adat/suku disurau kaum terlebih dahulu sebelum dilepas dari rumah dan kampung halaman.Namun, bekal spiritual dan ilmu pengetahuan ini tidak lagi menjadi syarat wajib sebelum merantau, sedangkan merantau dahulu merupakan salah satu perjalanan spiritual.Sepertinya perjalanan spiritual tidak lagi berlaku untuk saat ini. Menurut Kato (2005: 112) pada hari ini dikenal umum sebagai praktik merantau Minangkabau mulai berlaku dan menjadi giat-merantau bukan dalam bentuk pemekaran nagari tetapi sebagai perpindahan orang perseorangan yang menjadi pedagang, perajin, pelajar, juru tulis, pegawai pemerintahan, golongan professional, aktivis politik dan para ulama. Namunpun demikian, menurut Hadler (dalam Abdullah, 2010: 27) tentang pola merantau yang menyatakan bahwa merantau sesungguhnya tidak unik.Hanya saja perantau Minangkabau menunjukkan ciri-ciri sedikit yang berbeda juga.Tradisi merantau seakan-akan bisa menjelaskan corak dinamika internal dan struktur masyarakat Minangkabau. Corak dari dorongan serta keseragaman dalam pola perilaku merantau yang telah sejak sekian abad yang lalu dilakukan adalah sebuah faktor yang menyebabkan tradisi merantau Minangkabau lebih mendapat perhatian (Abdullah, 2010: 27).Pertama, tindakan merantau yang dilakukan dengan maksud untuk
40
menetap ditempat yang dituju.Kedua, meratau sebagai keharusan teteapi sekaligus diidealkan bagi anak muda yang menjelang dewasa. Menurut Abdullah (2010: 2) tradisi merantau merupakan kunci keterbukaan dan dinamisme Minangkabau bagi kaum laki-laki. Sesuai adat istiadat, laki-laki Minangkabau harus meninggalkan kampung halaman mereka dan pergi ke rantau, ke dunia luar mencari kekayaan, pendidikan, atau apa saja yang bernilai sebelum mereka pulang ke rumah dan meminang pada keluarga calon penganti. Abdullah juga menambahkan bahwa tradisi merantau laki-laki Minangkabau ini mendorong timbulnya “ritme sejarah menspiral” yang membuat orang Minangkabau lebih terbuka pada gagasan-gagasan asing.Tapi pada analisisnya yang biasanya tajam bersandar
pada
idealisasi
kultural
dan
tidak
mengandung
determinasi
sejarah.Nyatanya, kelompok-kelompok etnis lain di Indonesia merantau lebih sering daripada orang Minangkabau.Dan rantau secara tradisional memang hanya dilakukan laki-laki (Abdullah, 2010: 3). PENUTUP Kesimpulan Kaba-kaba yang berjudul nama-nama perempuan, setelah dianalisis berdasarkan kajian sosiologi, dapat ditarik kesimpulansebagai berikut: 1.
Merantau sesunguhnya merupakan suatu upaya untuk membuat sesuatu yang
awalnya buruk menjadi lebih baik seperti kondisi keluarga. 2.
Pada dasarnya motif dalam kaba, bermotifkan ekonomi dikarena tokoh yang
merantau pada dasarnya berasal dari keluarga kurang mampu. Diperantauan pun mereka kebanyakan mengambil pekerjaan sebagai pedagang. Wajar saja, laki-laki Minangkabau memiliki beban yang cukup berat yaitu menghidupi seluruh anggota keluarganya. Disamping itu juga, laki-laki Minangkabau juga diwajibkan untuk merantau dikarenakan merantau merupakan salah satu perjalanan spiritual (proses pematangan). 3.
Pada dasarnya pelaku merantau adalah laki-laki, namun pada dua kaba
ditemukan pelaku merantaunya adalah wanita dengan alasan menemani sang suami
41
yang merantau yang jauh dari kampung halaman. Peristiwa ini terjadi dalam kaba Siti Kalasun, Si Gadih Ranti dan Siti Risani. 4.
Kota yang sering menjadi tempat perantauan adalah Kota Padang dan Kota
Medan. Kedua kota ini pada awalnya menjadi daerah rantau karena berdekatan dengan wilayah asli Minangkabau. Kedua kota tersebut, merupakan kota yang tingkat perdagangnya cukup tinggi. Seperti yang dijelaskan sebelumya, profesi yang digemari oleh orang Minangkabau adalah berdagang. 5.
Faktor sosial yang selama ini menjaga masyarakat kita, ternyata menjadi
salah satu penyebab masyarakat kita merantau, seperti kasus perjodohan, balas dendam, dan melindungi saudara. Peristiwa ini terjadi dalam kaba Siti Risani, Sabai Nan Aluih dan Puti Nilam Cayo. Saran Semogapenelitianinidapatdijadikanbahanreferensiuntukmempelajaripersoalan mengenaiMinangkabau, khususnyamengenaitradisimerantauMinangkabau.Diharapkanpenelitianinimenjadis alahsatukajian
yang
dapatmenambahpembedahankajian
di
bidangsastra,
dandiharapkan pula dapatmendukungpenelitianberikutnya. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Taufik. 2010. Sengketa Tiada Putus. Jakarta: Freedom Institute. Bakar, Jamil, dkk. 1981. Sastra Lisan Minangkabau.Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Danandjaja, James. 2002. Folklor Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Djamaris, Edward. 2002. Pengantar Sastra Rakyat Minangkabau. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Eldia, Romi Sakti. 2004. “Status dan Peran Laki-Laki Minangkabau dalam Kaba Si Gadih Ranti Tinjuan Sosiologi Sastra”(skripsi). Padang: Universitas Andalas.
42
Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Caps. Faruk, DR. 2003. Pengantar Sosiologi Sastra, dari strukturalisme sampai Postmodernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Graves, Elizabeth. E. 2007. Asal-Usul Elite Minangkabau Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Naim, Mochtar, 2013. Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau Edisi III. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Nurjasmi. 2005. “Peranan Tokoh Laki-laki Minangkabau dalam Kaba Si Gadih Ranti Ditinjau dari Sosiologi Sastra” (skripsi). Padang: Universitas Andalas. Junus, Umar. 1984. Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau. Jakarta: PN Balai Pustaka. Kato, Tsuyoshi. 2005. Adat Minangkabau dan Merantau dalam Prespektif Sejarah. Jakarta: Balai Pustaka. Navis, A. A. 1984. Alam Takambang Jadi Guru.Jakarta: Grafitti Press. Poloma, Margaret M. 2013. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT rajaGrafindo Persada. Pradopo, Rachmat Djoko. 1993. Beberapa Teori sastra , Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogjakarta: Gadjah Mada Unversitas Press. Qodratilah, Meity Taqdir, dkk. 2011. Kamus Besar Bahasa Indonesia untuk Pelajar. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Ratna, Nyoman Kutha. 2013. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Rudito, Bambang. 1991. Adaptasi Sosial Budaya Masyarakat Minangkabau. Padang: Universitas Andalas. Rahmat, Wahyudi. 2012.“Budaya Cina Dalam Kaba Siti Kalasum, Tinjauan Sosiologi Sastra” (skripsi). Padang: Universitas Andalas. Salden, Rahman.1991. Panduan Yogyakarta:Gajah Mada.
Pembaca
Teori
Sastra
Masa
Kini.
Sjarifoedin, Amir. 2014. Minangkabau. Jakarta TImur, PT. Gria Media Prima. Soekarto, dkk. 2013. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
43
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D.Bandung: Alfabeta. Tanjung, Hery Bachrizal. 1992. Sosiologi perdesaan. Padang: Universitas Andalas. Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya-Giri Mukti Pustaka. Tuam, Yoseph Yapi. 1997. Pengantar Teori Sastra. Bogor: Nusa Indah. Wahyuningtyas, Wijaya. 2011. Sastra: Teori dan Implementasi. Surakarta: Yuma Pustaka. Wellek, dkk. 1989. Teori Kesusastraan. Edisi Ketiga. Jakarta: PT. Gramedia. Yanti, Delvi. 2001. “Novel Merantau Ke Deli dan Kaba Karam Di Daratan Suatu Tinjuan Intertekstual” (skripsi). Padang: Universitas Andalas. Zainuddin, Musyair. 2010. Implementasi Pemerintahan Nagari Berdasarkan Hak Asal Usul Adat Minangkabau. Yogjakarta: Ombak.
44