KH. Hasyim Muzadi: Titik yang Sama Tegaknya Syariah Friday, 19 February 2010 00:29
{mosimage}
KH. Hasyim Muzadi Ketua Umum PBNU
Tahun 2009 Masehi baru saja berlalu menyusul berlalunya 1430 Hijriah. Banyak bencana terjadi mulai dari bencana alam sampai bencana sosial. Mengapa itu bisa terjadi? Temukan jawabannya dalam refleksi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH. Hasyim Muzadi saat berbincang dengan wartawan Tabloid Media Umat Joko Prasetyo. Berikut petikannya.
Peristiwa apa yang paling menonjol pada 1430 H /2009 M lalu?
Bencana. Di Indonesia ini bahkan sudah lima tahun dirundung bencana. Di mana pun di dunia bencana selalu ada. Tetapi khusus untuk Indonesia ini spesifik karena bencana ini bergilir jenisnya dan bergilir tempatnya.
Apa saja jenisnya?
Air. Air laut naik ke darat. Air darat menggenang di darat. Air langit merusak darat. Kemudian ganti api. Ganti lagi halilintar. Ganti lagi longsor. Ganti gempa. Lalu ganti lumpur. Ganti lagi asap. Belum terhitung kecelakaan. Di udara jatuh. Yang di laut tenggelam. Yang di darat tabrakan. Orang di dalam tanah kelongsoran. Di atas tanah kena celaka. Di udara pun sama.
Bergilir tempatnya. Mulai Aceh, Bengkulu, Sumatera Utara, Sumatera Barat, sampai Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jogja, sampai Sidoarjo Jawa Timur. Kalimantan, juga Nusa Tenggara Barat. Nusa Tenggara Timur juga Irian.
Ada juga yang aneh waktu gempa di Sumatera itu, Nias kena gempa. Tapi Singapura tidak.
1/5
KH. Hasyim Muzadi: Titik yang Sama Tegaknya Syariah Friday, 19 February 2010 00:29
Padahal untuk ukuran pulau itu Sumatera lebih dekat ke Singapura dibanding dengan Nias.
Ini sebenarnya ada apa? Kemudian agak reda bencana alam, pindah ke bencana orang. Orang-orang besar yang kena bencana. Skandal Bank Century, soal suara penghitungan Pemilu. Soal KPU, soal DPT. Itu merusak citra orang besar. Jadi dari bencana alam bergeser ke bencana sosial. Bencana sosial dan bencana alam bergilir atau bersatu tentu ada maknanya.
Maknanya apa?
Ini menunjukkan bahwa banyak hal fundamental bangsa ini harus introspeksi. Di Indonesia ini banyak kesalahan-kesahalan yang dilakukan secara masif. Misalnya, tentang korupsi, kemunafikan, kepalsuan, ketidakadilan hukum.
Sebenarnya kita malu kalau disebut Indonesia sebagai sarang korupsi. Yang korupsi mesti orang Islam toh, karena mayoritas penduduknya Islam. Nah, mengapa itu terjadi? Di satu segi simbol-simbol Islam ditegakkan. Di segi lain nilai-nilai Islam ditinggalkan. Ini adalah kefasikan.
Artinya, bahwa kita harus mengubah hal-hal seperti itu, ketika bencana itu melanda pembesar seperti sekarang. Itu semakin hari semakin nyata kebohongan, kemunafikan. Walhasil menurut saya, ke depan Indonesia itu harus ada revolusi budaya.
Misalnya begini, korupsi itu kan sebenarnya intinya seseorang mengambil hak orang lain secara tidak sah. Perlu ada gerakan hidup halal. Jadi orang Islam ini kan mayoritas hidupnya belum halal. Aslinya itu, cuma tidak ngaku saja.
Maka perlu ada penelitian kembali apakah yang kita makan dan minum ini halal dan diperoleh dengan cara yang halal. Begitu juga dengan rumah kita, mobil, istri kita halal tidak, pangkat dan
2/5
KH. Hasyim Muzadi: Titik yang Sama Tegaknya Syariah Friday, 19 February 2010 00:29
jabatan kita halal tidak, posisi merebutnya halal tidak?
Terapkan juga aturan yang mencegah terjadinya korupsi dan hukuman yang tegas bagi koruptor. Kalau itu dilakukan maka itu menjadi fondasi bebas korupsi. Tapi itu kan belum dilakukan secara massif.
Yang terjadi saat ini adalah upaya penghukuman terhadap koruptor tanpa dibarengi dengan pembongkaran fondasinya. Sehingga yang terjadi adalah koruptor lawan koruptor. Masing-masing koruptor menjerat lawannya dengan hukum legal formal. Sedangkan hukum legal formal yang ada sekarang ini belum menyentuh subtansi permasalahannya. Inilah yang memprihatinkan kita. Itu kan kemunkaran.
Sementara orang kecil sudah menderita lebih dulu. Misalnya ekonomi, kebingungan politik dan semacamnya.
Siapa yang harus melakukan nahyi munkar itu?
Kewajiban setiap Muslim untuk melakukan nahyi munkar. Ketika kemunkaran itu sudah begitu meratanya tidak ada lagi yang melakukan nahyi munkar maka secara Alquran, Allah SWT akan memerintahkan makhluk-Nya yang lain untuk memperingatkan. Makhluk lainnya itu ya berupa air, api, gunung, penyakit, dll. Nah, ini keyakinan kita sebagai seorang Muslim.
Cuma bedanya kalau keadilan dalam arti nahyi munkar dilakukan oleh manusia, karena itu tugasnya. Maka dia bisa memilah-milah. Sehingga yang salah disalahkan, yang benar dibenarkan.
Tetapi kalau alam yang bertindak, alam tidak bisa memilah-milah. Semua kena saja. Hanya di akhirat yang tidak sama. Kalau orang yang tidak salah dia syahidu dunya (mati syahid karena
3/5
KH. Hasyim Muzadi: Titik yang Sama Tegaknya Syariah Friday, 19 February 2010 00:29
terkena bencana bukan perang) kalau dia salah ya itu azabnya. Tapi kenanya itu semua. Tidak perduli itu pesantren, masjid, ya kegusur juga.
Nah, fenomeni ini sudah semestinya disadari oleh para pemimpin dan rakyat Indonesia yang mayoritas Muslim.
Bagaimana melakukan nahyi munkarnya?
Semua sektor kita masuki tetapi harus menuju pada titik yang sama.
Titik apa itu?
Titik pensyariatan.
Strateginya seperti apa?
Sekarang ini belum ada pengertian antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Masih saling merasa benar sendiri. Yang garis keras ya merasa kalau tidak keras ya tidak jalan.Yang garis lunak merasa kalau menggunakan caranya garis keras itu bakal gagal.
Padahal kombinasi semuanya itu diperlukan. Jadi sekarang ini kita melakukan amar makruf dan nahyi munkar. jalankan syariah dan dakwah secara bersama-sama. Yang berbeda adalah cara beramar makruf dan cara bernahyi munkar, dan sektor mana yang diambil. Satu kelompok tidak bisa mengambil semua sektor dong.
Cuma penyakitnya orang Islam kalau dia berada pada satu golongan itu cenderung menyalahkan kepada yang lain. Padahal semuanya diperlukan untuk dakwah Islam. Kalau kita menggerakkan nilai agama secara lafdzi itu akan diikuti orang-orang yang Islamnya sudah
4/5
KH. Hasyim Muzadi: Titik yang Sama Tegaknya Syariah Friday, 19 February 2010 00:29
bagus.
Tetapi kalau kita menggerakkan nilai Islam secara maknawi universal akan lebih banyak lagi mendapat pendukung. Ini kan cuma menyangkut strategi saja sebenarnya. Di Indonesia yang agamanya belang-belang ini, yang agama Islamnya endak karu-karuan maka pendekatan secara maknawi saya kira akan lebih lancar.
Karena memang kadar keislamannya tidak sama ada yang sudah 24 karat, seperti ulama-ulama. Ada juga yang 20 karat, kan lumayan. Tetapi masih banyak juga yang masih sekarat, tahunya hanya Laa Ilaha Ilallah, kalau tahlil ikut, tetapi shalatnya juga tidak jelas, dll. Toh dia marah kalau disebut sebagai bukan orang Islam.
Jadi ke depannya kita harus lebih erat lagi berukhuwah. Ukhuwah itu bukan wihdah loh ya. Kalau wihdah itu jadi satu. Kalau ukhuwah itu biarlah dia dengan karakternya sendiri, dengan sektor yang berbeda-beda dengan metode yang bervariasi. Tetapi tujuannya menuju pada titik yang sama yakni tegaknya syariah Islam.[]
5/5