MORALITAS DALAM DUNIA YANG ANARKI: BANTUAN LUAR NEGERI DALAM PERSPEKTIF KONSTRUKTIVISME Mohamad Rosyidin
Abstract The enduring debate about states motivation giving foreign aid has been splitted into two standpoints: national interest and ethical interest. Adherents of national interest argument represented by realist insist that foreign aid is an instrument of foreign policy to achieve greater national gain. They argue that there is no moral obligation for the rational state. Meanwhile, adherents of ethical interest represented by liberalist see that there always be moral basis in foreign aid. States have social responsibility to others dealing with any problems. Other scholarship criticizes the practice of foreign aid as a tool of exploitation from capitalist state to developing countries. Marxist asserts that foreign aid embodies ideological bias to keep on exploitation survive. The aim of this article is to explain foreign aid from the moral perspective. This article affirmed ethical interest argument that in the anarchic world politics, morality exists. Rather than agree with liberalist philosophical-based explanation, this article used constructivism that highlight international norms which constitute states interest and provide preferences in foreign aid practice. Two short case studies analysed showed that international norms shape ethical interest to help others. States become altruist due to norms acknowledgment. Foreign aid reflect moral obligation of states obeying norms. Kata-kata kunci: bantuan luar negeri, moralitas negara, konstruktivisme, norma internasional. Pendahuluan Dalam studi Hubungan Internasional (HI), bantuan luar negeri seringkali dipahami semata-mata sebagai bagian integral dari diplomasi internasional. Studi Alesina dan Dollar (2000) menemukan bahwa pertimbangan politis dan strategis adalah alasan paling masuk akal negara memberikan bantuan luar negeri. Klaim tradisionalis ini tercipta akibat situasi Perang Dingin yang mana bantuan ekonomi menjadi instrumen politik luar negeri bagi Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet yang saling berseteru memperebutkan hegemoni global. Dengan sumberdaya ekonominya yang luar biasa, Amerika memberikan jutaan dolar untuk mengajak negara-negara di dunia mengikuti garis ideologinya. Sementara Soviet juga tidak mau kalah. Program Molotov Plan adalah kebijakan memberi bantuan ekonomi kepada negara-negara Eropa Timur yang berhaluan komunis. Konteks Perang Dingin inilah yang menyediakan dasar legitimasi dan justifikasi logis bahwa bantuan ekonomi merupakan salah satu strategi negara untuk memaksimalkan kepentingan nasional. Realisme merupakan paradigma yang berpendapat demikian. Bagi realis, negara
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 9 No. 3 Desember 2012
tetaplah aktor yang mementingkan diri sendiri (self-help). Rasionalitasnya berpegang teguh pada pencapaian kepentingan dalam pengertian kekuasaan (Donnely, 2003). Argumen tradisional nampaknya telah usang. Berakhirnya Perang Dingin memberikan pemaknaan baru terhadap bantuan luar negeri. Era perebutan pengaruh telah berlalu. Alhasil, motivasi negara menjadi donatur lebih bervariasi. Negara tidak lagi dipandang sebagai aktor yang egois. Sejalan dengan tesis Francis Fukuyama yang mengupayakan tentang triumfalisme demokrasi-kapitalisme sebagai ideologi final umat manusia (Fukuyama, 2003), liberalisme menantang klaim realisme bahwa negara pada dasarnya memiliki moralitas. Inti argumennya adalah negara yang penduduknya relatif makmur mempunyai kewajiban membantu mereka yang kurang beruntung sebagai bentuk kermurahan hati (Beitz, 1999). Etika liberalisme ini berakar dari pemikiran filsafat Immanuel Kant dan Jeremy Bentham yang menekankan pada konsep kebebasan dan keadilan (Bayliss & Smith, 2001). Bagi Kant, esensi tindakan moral bukanlah memperjuangkan kepentingan nasional, akan tetapi didorong oleh ‘imperatif kategoris’ berupa nilai-nilai kesederajatan (Donaldson dalam Nardin & Mapel, 2002). Selain persamaan hak, penganut liberal percaya bahwa bantuan ekonomi merupakan cermin kerjasama internasional untuk mengatasi konsekuensi-konsekuensi negatif globalisasi semisal epidemi penyakit dan degradasi lingkungan (Lancaster, 2007) disamping mengurangi angka kemiskinan Dunia Ketiga dan mendorong pembangunan ekonomi (Schraeder, et.al., 1998). Pendapat kaum liberalis mendapat kritikan pedas dari kalangan Marxis yang beranggapan bahwa ada selubung ideologis yang menutupi kenyataan bahwa bantuan luar negeri hanyalah alat untuk mengeksploitasi negara berkembang dan negara miskin. Teoritisi ketergantungan Dunia Ketiga mencoba menelanjangi bias yang disuarakan pendukung kapitalisme bahwa bantuan luar negeri hanya akan menguntungkan secara sepihak negara-negara maju. Bantuan luar negeri “memaksa” negara-negara berkembang untuk melakukan apa yang dikenal dengan Structural Adjustment Programs (SAPs) semisal membuka pintu investasi asing lebarlebar, pemotongan subsidi, dan industrialisasi yang berorientasi ekspor. SAPs yang dirancang dan dijalankan oleh IMF dan Bank Dunia jelas membuktikan penerapan paksa ide-ide (neo) liberal bagi negara-negara berkembang (Sugiono, 1999). Praktik-praktik ini sangat marak di Dunia Ketiga sehingga menciptakan apa yang disebut sebagai korporatokrasi (Perkins, 2007). Di dalamnya, para birokrat pemerintah dan teknokrat menjadi budak-budak ideologi AS, Bank Dunia, atau IMF, kaum komprador pun berebut remah-remah yang ditawarkan korporasi multinasional (Robison, 2012). Jadi pada hakekatnya perspektif kritis menolak mentahmentah klaim altruisme liberal bahwa bantuan luar negeri merupakan manifestasi dari moralitas negara yang punya kewajiban membantu negara 518
Mohamad Rosyidin
Moralitas dalam Dunia yang Anarki: Bantuan Luar Negeri dalam Perspektif Konstruktivisme
lain yang kurang beruntung. Sebaliknya, bantuan luar negeri ibarat tali kekang kapitalisme yang memelaratkan negara dunia ketiga. Tidak satupun dari pandangan realis, liberalis, maupun Marxis di atas yang menjelaskan secara memuaskan perihal motivasi negara memberikan bantuan luar negeri. Seperti biasa, realisme lemah karena terjebak dalam terminologi kepentingan nasional yang berwawasan sempit. Paradigma klasik bantuan luar negeri masa Perang Dingin tidak relevan untuk menjelaskan tindakan negara dalam konteks kekinian dimana konsep kekuasaan (power) mengalami reinterpretasi besar-besaran. Konsep kekuasaan abad dua puluh tentu berbeda dengan konsep kekuasaan abad dua puluh satu sebagai abad informasi atau cyber century (Nye, 2011). Selain itu, realisme mengabaikan fakta bahwa negara maupun komunitas internasional memiliki sifat dermawan ditandai dengan banyaknya rezim bantuan luar negeri ke kawasan-kawasan pinggiran yang rawan masalah multidimensi. Begitupun dengan pandangan liberalis yang memahami konsep ‘norma lemah’ (thin regularity norms) sebatas pada tradisi pemikiran atau produk warisan turun-temurun (Katzenstein, 2008). Di samping itu, klaim bahwa moralitas yang lahir dari nilai-nilai peradaban barat akan membentur tembok tebal manakala dihadapkan pada kenyataan bahwa Jepang merupakan satu-satunya negara donor Asia yang menempati urutan kedua terbesar setelah AS. Jelas nilai-nilai yang dianut oleh Jepang tidaklah berasal dari peradaban Barat, akan tetapi dari nilai-nilai Asia (Asian values). Kelemahan lain adalah pandangan etis liberal-idealis justru kontradiktif dengan asumsi dasar paradigma liberal itu sendiri bahwa manusia adalah makhluk individualis yang memberikan penekanan minimal terhadap kesetaraan peluang dan saling menghormati sebab apa yang kita perlukan agar bisa mengembangkan dan mempertahankan integritas kita bisa kita dapatkan tanpa perlu berhubungan dengan orang lain (Caporaso & Levine, 2008). Sementara itu, perspektif sosialisme dari teori ketergantungan terlampau ideologis dalam menganalisa praktek-praktek bantuan luar negeri. Selubung ideologis ini akan mengurangi derajat keilmiahan program riset dalam studi HI. Proyek emansipatif teori Marxis terhadap nasib pembangunan Dunia Ketiga terlampau kaku atau dogmatis sehingga sulit beradaptasi dengan perkembangan mutakhir. Perspektif ini juga sangat reduksionis karena memusatkan perhatian semata-mata pada kelas sosial sebagai unit analisa (Steans & Pettiford, 2009). Ini berarti, bantuan luar negeri dipandang hanyalah perpanjangan tangan dari kepentingan kelas kapitalis di negara donor. Kenyataannya, bantuan luar negeri resmi ( Official Development Assistance) merupakan kebijakan pemerintah negara donor 519
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 9 No. 3 Desember 2012
sebagai produk dari interaksi kompleks yang melibatkan pemangku kepentingan, LSM, akademisi, dan aktor-aktor terkait. Artikel ini mengangkat permasalahan tentang motivasi bantuan luar negeri. Lebih khusus, artikel ini bertujuan untuk memperkuat klaim konstruktivis bahwa negara bisa melakukan tindakan altruis yang sejalan dengan prinsip-prinsip norma internasional. Norma-norma ini merupakan produk interaksi dan sosialisasi antar aktor internasional secara sengaja, bukan diwariskan. Dengan mengambil studi kasus tentang Millenium Development Goals (MDGs) dan bantuan kemanusiaan Finlandia, tulisan ini mengemukakan tesis dasar bahwa bantuan luar negeri merupakan cerminan dari rasa tanggung jawab dan kewajiban negara-negara maju untuk membantu negara lain yang mengalami masalah-masalah ekonomi, sosial, budaya, dan kemanusiaan dikarenakan keyakinan dan kepatuhan terhadap norma internasional sebagai code of conduct dalam relasi antar bangsa. Jadi argumen konstruktivis berbeda dari argumen liberalis dalam hal bahwa tanggung jawab dan kewajiban negara tidak muncul dari nilainilai tradisional, melainkan dari norma yang sengaja diciptakan. Signifikansi tulisan ini adalah memberikan penjelasan alternatif tentang fenomena bantuan luar negeri dalam studi Hubungan Internasional (HI). Penjelasan yang berbasis kepentingan (interest-based explanation) dipandang terlalu monolitik dalam memahami motivasi negara atau kelompok negara memberikan bantuan luar negeri. Lagipula, penjelasan yang sudah ada cenderung menitikberatkan pada entitas material seperti kepentingan ekonomi, geo-politik dan geo-strategi. Artikel ini terbagi menjadi menjadi empat bagian. Bagian pertama akan mendiskusikan konsep bantuan luar negeri dalam studi HI. Bagian kedua akan menarik pembaca ke ranah perdebatan filosofis tentang aspek moralitas dalam politik dunia. Bagian ketiga akan mengulas pendekatan teoritis konstruktivisme dan mengaplikasikannya untuk menjelaskan MDGs dan bantuan kemanusiaan Finlandia. Bagian keempat adalah penutup atau kesimpulan. Bantuan Luar Negeri: Telaah Konseptual Umumnya para pakar menyepakati definisi bantuan luar negeri atau Overseas Development Assistance (ODA) yang dikemukakan oleh organisasi negara-negara donor (OECD) yaitu “pinjaman atau bantuan keuangan yang diberikan kepada negara berkembang yang memenuhi tiga syarat yaitu berasal dari sektor publik, ditujukan untuk pembangunan ekonomi, dan bersifat lunak serta mengandung paling sedikit 25% bantuan keuangan” (definisi OECD seperti dikutip dalam Therien, 2002:450-451). Definisi ini masih terlalu sempit dikarenakan hanya memfokuskan pada pembangunan ekonomi. Suatu bantuan yang bersifat internasional tidak hanya terbatas pada tujuan ekonomi, tetapi juga mencakup dimensi sosial dan budaya seperti masalah kemiskinan, pendidikan, dan kesehatan, serta 520
Mohamad Rosyidin
Moralitas dalam Dunia yang Anarki: Bantuan Luar Negeri dalam Perspektif Konstruktivisme
dimensi kemanusiaan semisal masalah kelaparan atau pengungsi akibat konflik internal maupun eksternal. Definisi yang lebih umum dikemukakan oleh Hattori (2003:232) bahwa bantuan luar negeri merupakan ‘hadiah’ atau penyaluran sumberdaya sukarela dari individu atau masyarakat kepada masyarakat lain. Definisi ini lebih condong ke pendekatan sosiologis yang menekankan pada kebutuhan interaksi sosial ketimbang semata-mata bantuan materi (Hattori, 2003). Jadi, bantuan luar negeri dipandang sebagai pengejawantahan hubungan sosial sebab kewajiban moral yang terkandung di dalamnya merupakan fitur dari kehidupan dalam masyarakat internasional. Negara dalam hal ini dipandang sebagai aktor yang dibebani kewajiban moral tersebut. Didasarkan pada konsepsi konstruktivis tentang hakekat negara yang antropomorfistik, bantuan luar negeri mencerminkan sifat negara yang tidak atomistik sebagaimana klaim pandangan tradisionalis tentang negara. Tujuan negara donor memberikan bantuan bervariasi. Lancaster (2007:13-18) mencatat terdapat sedikitnya lima tujuan dari pelaksanaan bantuan luar negeri. Pertama adalah bantuan luar negeri untuk tujuan diplomasi. Bantuan ini diberikan demi mendatangkan keuntungan politis baik bagi negara donor maupun negara penerima. Misalnya kebijakan bantuan luar negeri Marshal Plan oleh AS kepada negara-negara Eropa Barat pasca Perang Dunia II dimaksudkan untuk “menyuap” negara penerima supaya menganut ideologi Liberal-Kapitalis. Tujuan kedua menyangkut kepentingan ekonomi yakni menyokong pembangunan negara berkembang serta mengurangi angka kemiskinan. Segera setelah berkuasa, Suharto menerima bantuan keuangan dari negara-negara Barat dalam format IGGI untuk merestrukturisasi ekonomi Indonesia yang terpuruk pada masa pemerintahan Sukarno. Tujuan ketiga adalah untuk mengatasi masalah-masalah kemanusiaan seperti pemulihan pasca perang, bencana alam, dan sebagainya. Bantuan kemanusiaan dari berbagai negara kepada masyarakat Aceh pasca terjadinya bencana tsunami tahun 2004 silam merupakan contohnya. Tujuan keempat yaitu kepentingan komersial contohnya Jepang merupakan salah satu negara paling aktif memberikan bantuan luar negeri demi mengamankan permintaan negara penerima akan produk-produk buatan Jepang. Dengan kata lain, Jepang akan memberi insentif negara yang mengimpor barang-barang dari Jepang. Selain itu, dengan memberi insentif tersebut, Jepang sekaligus mengamankan kebutuhan impor bahan mentah seperti minyak bumi yang sangat vital bagi industri Jepang. Tujuan bantuan ekonomi yang kelima adalah kebudayaan. Contohnya adalah Inggris yang kerap memberikan beasiswa khusus untuk negara-negara persemakmuran atau bekas jajahannya. Bantuan keuangan 521
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 9 No. 3 Desember 2012
ini disediakan oleh Commonwealth Scholarship Commision in the United Kingdom (CSCUK) untuk rakyat negara persemakmuran Inggris di seantero dunia belajar di Inggris dari jenjang sarjana sampai doktoral. Bantuan ini diselenggarakan untuk memperkuat ikatan primordial antara negara donor dan negara penerima. Ditinjau dari donaturnya, bantuan luar negeri dibagi menjadi empat jenis yakni bantuan bilateral dan multilateral serta bantuan pemerintah dan swasta. Bantuan bilateral berarti bantuan luar negeri yang diberikan satu negara khusus kepada negara tertentu. Misalnya bantuan luar negeri Australia (AUSAID) kepada Indonesia yang pada periode 2011-2012 jumlahnya mencapai angka 558 juta dolar, menjadikannya sebagai bantuan dengan jumlah terbesar yang diberikan Australia kepada negara lain (Department of Foreign Affairs and Trade, 2012). Sedangkan bantuan multilateral merupakan bantuan yang diberikan oleh organisasi multilateral seperti UNDP, UNICEF, IMF, Bank Dunia, dan sebagainya. Bantuan yang bersifat resmi (Official Assistance) diberikan oleh pemerintah negara-negara maju semisal USAID dari pemerintah AS, AUSAID dari pemerintah Australia, British Chevening dari pemerintah Inggris, dan masih banyak lagi. Sementara bantuan yang sifatnya tidak resmi diberikan oleh lembagalembaga swasta seperti Oxfam, Ford Foundation, Rockefeller Foundation, dan sebagainya. Kategori bantuan pihak swasta ini biasa disebut dengan filantropi (Hattori, 2003). Moralitas dalam Politik Dunia Realitas hubungan internasional terdiri atas dua dimensi yang saling bertentangan yakni realitas dunia seperti apa adanya ( das sein) dan realitas dunia bagaimana seharusnya (das solen). Dengan kata lain, relasi antar bangsa meliputi dialektika antara konsep kekuasaan dan konsep normatif (Miller, 2006). Realitas dunia seperti adanya melihat dunia sebagai sesuatu yang sudah demikian adanya (taken for granted). Interaksi antar negara dipandang sebagai suatu hal yang alamiah sifatnya dan sama sekali terlepas dari aspek moralitas. Cara pandang yang demikian ini diwakili oleh paradigma realis yang berasumsi bahwa dunia adalah lingkungan anarkis tempat persaingan dan pertikaian antar negara berlangsung tanpa henti dalam periode sejarah (Donnely, 2003; Elman dalam Griffiths, 2007; Griffiths, 1992; Dunne & Schmidt dalam Baylis & Smith, 2001; Mearsheimer, 2001). Di sisi lain, realitas dunia tentang bagaimana seharusnya mengklaim bahwa hubungan internasional juga memiliki sifatsifat etis yang diciptakan dari konsepsi tentang apa yang baik dan apa yang buruk. Standar nilai ini kemudian menjadi dasar interaksi antar negara yang mendasarkan diri pada aturan-aturan yang disepakati bersama. Pendek kata, hubungan internasional merupakan interaksi antar negara dalam masyarakat internasional (Bull, 2002; Buzan, 2004; Linklater & Suganami, 2006; Little, 2000; Brown, 2001; Alderson & Hurrell, 2000). Teori normatif adalah teori tentang nilai, tentang dunia ideal yang tidak hidup 522
Mohamad Rosyidin
Moralitas dalam Dunia yang Anarki: Bantuan Luar Negeri dalam Perspektif Konstruktivisme
semestinya, sehingga teori ini disebut juga sebagai filsafat moral hubungan internasional (Jackson & Sorensen, 2005). Suatu tindakan dikatakan “etis” jika tindakan tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip moral (Brown dalam Smith & Light, 2004). Moralitas mensyaratkan kewajiban mematuhi aturan yang telah diterima dan mengikat dikarenakan telah dianggap benar atau adil (Amstutz, 2005). Akar dari prinsip moral yang mengatur tindakan tersebut bermacam-macam. Banyaknya sumber aturan moral itu mengakibatkan perbedaan cara pandang yang memunculkan berbagai macam aliran dalam teori normatif. Para penganut Feminisme akan mengatakan bahwa suatu tindakan dipandang bermoral jika menempatkan perempuan sederajat dengan lakilaki dalam hal distribusi hak dan kewajibannya. Kaum agamawan akan menilai tindakan berdasarkan kesesuaiannya dengan ajaran kitab suci. Kaum utilitarian berpendapat bahwa yang etis itu adalah yang memberikan kebahagiaan terbesar. Penganut Kosmopolitanisme menyatakan bahwa etika berkaitan dengan hak dan kewajiban individu yang melintasi batasbatas negara. Sementara lawannya Komunitarianisme beranggapan bahwa etika berhubungan dengan hak dan kewajiban negara berdaulat yang membentuk komunitas politik (Jackson & Sorensen, 2005). Masih banyak lagi aliran normatif dengan argumentasi yang berbeda-beda. Dalam tradisi teoritis HI, paradigma berpikir yang memandang penting peran gagasan dan landasan normatif adalah konstruktivisme. Konstruktivisme merupakan reaksi atas skeptisisme bahwa norma-norma moral penting dalam politik dunia (Price, 2008). Para penganut pandangan ini percaya bahwa negara-negara bertindak dan saling berinteraksi tidak semata-mata dilandasi oleh motivasi mementingkan diri sendiri ( self-help), akan tetapi yang lebih penting tindakan mereka didasarkan pada seperangkat aturan yang mengikat mereka. Aturan atau norma inilah yang “memaksa” negara melakukan sesuatu yang di luar kendalinya atau meminjam terminologi Sigmund Freud sebagai ranah super ego. Tindakan di luar kendali negara ini lebih diorientasikan untuk kepentingan pihak lain yang dipandang perlu untuk dibantu. Prinsip altruisme dalam relasi antar bangsa merupakan konsepsi tindakan etis yang bermakna “benar dan adil” sehingga negara-negara dengan sukarela melakukannya. Bagi penstudi HI yang akrab dengan tradisi pemikiran realis, pandangan altruisme negara seperti ini jelas sulit diterima akal sehat. Bagaimana mungkin negara yang memperjuangkan kepentingan nasional bisa melakukan tindakan yang justru menguntungkan kepentingan negara lain. Realisme Waltzian terutama, membedakan dengan tegas antara struktur politik domestik dan politik internasional. Karena politik domestik bersifat hirarkis, prinsip-prinsip moralitas mampu berjalan dengan baik 523
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 9 No. 3 Desember 2012
misalnya kepatuhan warga negara kepada hukum yang berlaku. Akan tetapi karena struktur politik internasional bersifat anarki (dimaknai sebagai ketiadaan organ di atas negara yang mampu memaksakan aturan), maka moralitas sulit memperoleh legitimasi. Dalam politik global negara bisa saja memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti warga negara dalam politik domestik (Walzer dalam Amstutz, 2005). Dikotomi domestik-internasional, hirarki-anarki tidak mampu memahami perilaku altruis negara. Realitas bantuan luar negeri merupakan fakta yang tak dapat dipungkiri bahwa negara juga merasa mempunyai kewajiban membantu negara lain yang menderita berbagai macam persoalan dalam negeri. Singkat kata, bantuan luar negeri merefleksikan tanggung jawab sosial negara ( States Social Responsibility). Etika Konstruktivisme dan Bantuan Luar Negeri Seperti telah dikemukakan di atas, konstruktivisme memfokuskan pada peran gagasan dan prinsip normatif dalam hubungan internasional. Dalam konteks kajian mengenai bantuan luar negeri, konsep norma menempati posisi yang sangat penting. Norma menjelaskan tentang kenapa negara yang pada hakekatnya cenderung egois bersedia berkorban untuk kepentingan negara lain. Christian Reus-Smit (dalam Price, 2008) menyatakan bahwa proyek sentral dari konstruktivis adalah politik norma, yakni konstruksi sosial gagasan intersubyektif tentang bagaimana keanggotaan dalam komunitas internasional serta bagaimana tindakan dipandang benar. Selain itu, konstruktivis memikul tugas menjelaskan bagaimana norma-norma yang mengandung kaidah-kaidah moral membingkai tindakan politik, membentuk identitas, kepentingan, serta strategi bagi negara. Memahami konsep norma dalam hubungan internasional akan membantu memahami motivasi negara dalam memberi bantuan luar negeri. Finnemore (1996:22) mendefinisikan norma sebagai “shared expectations about appropritae behavior held by a community of actors.” Aktor-aktor hubungan internasional terutama negara melakukan tindakan karena dituntun oleh aturan-aturan, prinsip-prinsip, norma yang disepakati bersama, serta keyakinan yang kesemuanya ini menyediakan pengertian tentang apa yang penting, berharga, baik dan apa cara-cara yang efektif atau legitimate dalam rangka mencapai hal-hal tadi (Finnemore, 1996:2). Dalam kalimat yang kurang lebih sama, norma merupakan “collective expectations about proper behavior for a given identity ” (Jepperson, et.al., dalam Katzenstein, 1996:54). Singkatnya, norma adalah standar perilaku benar atau salah (Tannenwald, 2007). Namun definisi Tannenwald ini rancu dengan konsep nilai. Dalam kajian kemasyarakatan, nilai sosial berarti anggapan tentang apa yang baik atau yang buruk. Sementara norma sosial berarti kaidah atau aturan yang didasarkan pada nilai sosial tersebut. Dengan kata lain, nilai melandasi norma, sedangkan norma menjaga 524
Mohamad Rosyidin
Moralitas dalam Dunia yang Anarki: Bantuan Luar Negeri dalam Perspektif Konstruktivisme
eksistensi nilai. Meskipun demikian, untuk tujuan analisis tulisan ini tidak akan mempersoalkan perbedaan definitif kedua konsep itu. Norma memiliki kekuatan untuk menentukan tindakan negara ketika termanifestasi dalam lembaga. Norma dan gagasan yang terinstitusionalisasi menyediakan pertimbangan-pertimbangan dan pilihanpilihan strategi yang paling memungkinkan bagi aktor baik dalam hal praktis maupun etis. Norma yang melembaga tidak hanya menentukan tujuan dari suatu tindakan, akan tetapi juga menawarkan cara bagaimana mengorganisir tindakan untuk mencapai tujuan itu (Katzenstein, 2008). Penganut pendekatan konstruktivis berkeyakinan bahwa norma dan gagasan yang terlembaga adalah rasional karena mengandung kekuatan moral dalam konteks sosial (Reus-Smit dalam Burchill, et.al., 2005). Institusi yang mengandung seperangkat norma ini dalam perspektif kostruktivis diperlakukan semata-mata bukan sebagai agen seperti halnya negara, akan tetapi sebagai “guru” yang mengajari negara sehubungan dengan perilaku yang baik dari kacamata etis (Finnemore, 1993). Institusi, dengan demikian merupakan significant other yang keberadaannya sengaja diciptakan oleh aktor untuk menuntun tindakan aktor tersebut. Pelembagaan norma bisa termanifestasi baik di tingkat internasional (structural norms) maupun di tingkat domestik (domestic norms). Norma struktural mengacu pada tatanan nilai dan kaidah yang dikonstruksi oleh aktor-aktor internasional yang pada gilirannya menekan (constraint) aktor-aktor tersebut untuk berperilaku sesuai dengan standar moralitas. Contoh norma struktural adalah norma Hak Asasi Manusia, Non Proliferasi Nuklir, perdagangan bebas, larangan berburu ikan paus, dan sebagainya. Sementara itu, norma domestik mengacu pada standar nilai dan perilaku yang dianut oleh negara tertentu. Misalnya norma nasional Jerman dan Jepang yang mempunyai kemiripan yaitu larangan melibatkan tentara dalam konflik internasional. Bantuan luar negeri Amerika pada masa Presiden Richard Nixon dan Gerald Ford dimotivasi oleh norma penegakan HAM yang telah mengakar dalam perpolitikan Amerika (Stohl, et.al., 1984). Jadi perbedaan antara norma struktural dan norma domestik terletak pada siapa yang menciptakan norma itu beserta ruang lingkupnya. Keduaduanya sama-sama berfungsi untuk mendefinisikan apa yang baik dan yang buruk, mendefinisikan siapa mereka vis a vis negara lain, mendefinisikan situasi serta menyediakan strategi untuk melakukan tindakan. Eksistensi norma yang melembaga memberikan penjelasan rasional sehubungan dengan motivasi negara memberikan bantuan luar negeri. Pemerintah menyadari bahwa negaranya adalah bagian dari masyarakat internasional, sehingga tindakannya pun disesuaikan dengan aturan yang sudah disepakati. Pengakuan terhadap norma membuat negara bertindak 525
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 9 No. 3 Desember 2012
konformis bukan dikarenakan untuk menghindari hal-hal yang merugikan kepentingan nasionalnya, akan tetapi karena negara tidak menginginkan untuk berbuat menyimpang (Lumsdaine, 1993). Perilaku konformis negara ini penting sebab pemerintah memerlukan pengakuan internasional bahwa negaranya adalah negara “baik”. Citra ini bisa mendongkrak status dan peran pemerintah bersangkutan dalam pergaulan antar bangsa. Ini merupakan kebutuhan sosial negara, bukan kebutuhan material. Hasrat untuk diterima oleh komunitas internasional mengalahkan hasrat untuk mengejar kepentingan nasional jangka pendek. Visi moral mengalahkan visi material. Sesuai dengan premis konstruktivisme di atas, bantuan luar negeri bisa diletakkan di atas pertimbangan etika HI. Moralitas berjalinberkelindan bersama norma internasional. Paradigma konstruktivis mengklaim bahwa realitas bantuan luar negeri merupakan salah satu upaya untuk menciptakan dunia yang lebih baik dalam arti penciptaan tatanan internasional yang positif serta menciptakan kesejahteraan dan memenuhi kebutuhan penduduk dunia (Lumsdaine, 1993:65). Visi ini terutama menjadi alasan dibentuknya lembaga multilateral seperti PBB pasca Perang Dunia II. Didorong oleh trauma akibat konflik antar bangsa, Piagam Atlantik ditandatangani sebagai institusionalisasi solidaritas internasional untuk menjaga perdamaian dunia sekaligus memerangi kemiskinan serta meningkatkan standar hidup bangsa-bangsa di dunia. Dalam konteks non politis misalnya mengenai permasalahan sosial dunia, komitmen moral ini membuat negara-negara kategori makmur seperti Kelompok Delapan (G-8) merasa memikul tanggung jawab untuk berpartisipasi dalam program pengentasan kemiskinan dan pembangunan masyarakat negara berkembang dan miskin. Komite Bantuan untuk Pembangunan (DAC) merupakan kelompok negara-negara donor yang memegang peran dan tanggung jawab moral ini. Mereka memandang kerjasama tidak dalam kalkulasi untung rugi atau pertimbangan relative gain sebagaimana prinsip realis dan pertimbangan absolute gain sebagaimana prinsip liberal (Baldwin, 1993; Jervis, 1999). Kerjasama dianggap bernilai jika mengandung unsur etika yakni bersama-sama menciptakan perubahan yang manusiawi (Lumsdaine, 1993). Kesamaan visi dalam forum DAC mencerminkan kekuatan norma internasional yang tidak dapat diabaikan begitu saja dalam interaksi tingkat global. Dua studi kasus berikut memperkuat tesis konstruktivis bahwa norma internasional penting serta mempunyai kekuatan untuk mengalihkan egoisme ke altruisme.
Kasus I: MDGs Millenium
Development Goals (MDGs) merupakan kerangka kerjasama internasional untuk mengurangi kemiskinan global pada abad dua puluh satu. Genealogi MDGs berawal dari dokumen yang ditulis oleh Sekjen PBB Kofi Annan pada tahun 2000 berjudul “We the Peoples: The Role of the United Nations in the 21st Century ” meskipun kerangka yang 526
Mohamad Rosyidin
Moralitas dalam Dunia yang Anarki: Bantuan Luar Negeri dalam Perspektif Konstruktivisme
memikirkan pemecahan masalah kemiskinan dan pembangunan telah ada sebelumnya. Dalam naskah laporan sepanjang delapan puluh halaman tersebut, Annan menyatakan bahwa, “we must spare no effort to free our fellow men and women from abject and dehumanising poverty ” (Hulme, 2009:26; Hulme & Scott, 2010). Naskah laporan itu kemudian diratifikasi oleh negara-negara anggota PBB menjadi sebuah Deklarasi Millenium tahun 2000 sebagai justifikasi legal-formal untuk menciptakan masa depan dunia yang lebih adil (Manning, 2010). Dalam naskah deklarasi tersebut, dinyatakan bahwa, “In addition to our separate responsibilities to our
individual societies, we have a collective responsibility to uphold the principles of human dignity, equality and equity at the global level ” (Gore,
2008). Gambaran dunia versi realis yang sepenuhnya egoistik tampaknya tak menemukan relevansi ketika MDGs mengemuka menjadi agenda politik global abad duapuluh satu. Norma yang melahirkan MDGs adalah norma kesetaraan ( norm of equality). Globalisasi yang menuntut liberalisasi ekonomi memunculkan kelompok pemenang dan kelompok pecundang. Alhasil, kesenjangan ekonomi begitu lebar sehingga perlu dijembatani dengan kemitraan global untuk mengurangi dampak destruktif dari globalisasi. Eksistensi MDGs ditopang oleh etika mengurangi kemiskinan global. Sebagaimana dikatakan oleh Sachs (2005), negara-negara maju mempunyai sumberdaya yang bisa memberi manfaat bagi negara-negara berkembang. Pemerintah perlu melakukan aksi bersama misalnya dengan menyediakan pendidikan, kesehatan, infrastruktur, serta bantuan keuangan yang akan mendukung proses pembangunan. Dalam kaitan itu, MDGs merupakan supra-norma (Hulme & Fukudu-Parr, 2009) yang memuat prinsip bahwa penghapusan dan/atau pengurangan kemiskinan global adalah kewajiban moral semua bangsa serta lembaga internasional. Di lingkup global, MDGs bisa berperan sebagai ‘guru’ yang mengkomunikasikan dan menyebarluaskan normanorma tentang strategi memberantas kemiskinan. MDGs di satu sisi merupakan ‘norma global’ yang memobilisasi bantuan luar negeri (ODA) sementara di sisi lain merupakan struktur insentif yang mengikat negaranegara donor dalam satu komitmen yakni memberantas kemiskinan (Sumner & Tiwari, 2010). Pemberantasan kemiskinan adalah kewajiban moral yang dibebankan kepada negara ketimbang warga negara serta memerlukan redistribusi sumberdaya untuk melakukannya (Priest, 2005). Redistribusi sumberdaya dimungkinkan sebab moralitas melintasi batas-batas negara. Negara-negara maju memikul beban moral untuk membebaskan masyarakat belenggu kemiskinan. Dalam Pertemuan Tingkat Tinggi di 527
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 9 No. 3 Desember 2012
Paris tahun 1996 yang melapangkan jalan menuju MDGs, negara-negara donor yang tergabung dalam DAC sepakat bahwa,
Those of us in the industrialised countries have a strong moral imperative to respond to the extreme poverty and human suffering that still afflict more than one billion people. We also have a strong self-interest in fostering increased prosperity in the developing countries. Our solidarity with the people of all countries causes us to seek to expand the community of interests and values needed to manage the problems that respect no borders from environmental degradation and migration, to drugs and epidemic diseases. All people are made less secure by the poverty and misery that exist in the world. Development matters (DAC, 1996). Komitmen bersama negara-negara donor itu jelas merupakan cermin dari suatu rasa tanggung jawab sosial dan sikap penghargaan terhadap nilainilai kemanusiaan, kesejahteraan, dan kemajuan. Pendek kata kewajiban moral yang melekat pada MDGs merupakan suatu hal yang eksplisit.
Kasus II: Bantuan Kemanusiaan Finlandia
Alasan kenapa Finlandia dijadikan test case menarik adalah kenyataan bahwa negara Skandinavia ini tidak memiliki kepentingan politis-strategis terhadap negara atau kawasan yang diberi bantuan luar negeri. Finlandia merupakan negara maju Eropa yang tergabung ke dalam DAC. Urusan mengenai bantuan luar negeri sepenuhnya dikelola di bawah kendali Kementerian Luar Negeri Finlandia. Pemerintah Finlandia menaruh perhatian mendalam terhadap persoalan human security seperti kemiskinan, rehabilitasi pasca konflik, pengungsian, dan bencana alam. Norma internasioal yang diadopsi Finlandia sebagai basis penyaluran bantuan luar negeri adalah hukum internasional dan PBB. Sebagaimana pernyataan resmi pemerintah negara itu bahwa,
Finland’s humanitarian aid is based on international humanitarian law and the universal principles confirmed by the United Nations. According to them, humanitarian aid must be equal, neutral, independent and humanitarian, that is, focus on saving lives and alleviating people’s distress (Ministry for Foreign Affairs of Finland, 2006). Sesuai pernyataan tersebut, nilai yang menjadi pedoman dalam pemberian bantuan luar negeri adalah nilai kemanusiaan (humanitarian values). Nilai kemanusiaan yang kemudian terinstitusionalisasi dalam norma HAM diakui dan dilegalisasi dalam wujud perjanjian internasional yang menjadi sumber 528
Mohamad Rosyidin
Moralitas dalam Dunia yang Anarki: Bantuan Luar Negeri dalam Perspektif Konstruktivisme
hukum internasional serta menjiwai organ supranasional PBB. Tanggung jawab internasional Finlandia, muncul dari eksistensi norma HAM tersebut. Sebagai bentuk tanggung jawab internasional terhadap isu-isu kemanusiaan, Finlandia mengalokasikan sekitar sepuluh sampai dengan 15 persen dari total anggaran untuk pembangunan. Pada tahun 2008, Finlandia menggelontorkan dana sebesar 62,3 juta Euro untuk bantuan kemanusiaan dan pada tahun 2012 jumlah itu meningkat menjadi 67 juta Euro (Ministry for Foreign Affairs of Finland, 2012). Bantuan itu difokuskan untuk kawasan-kawasan dunia yang rawan krisis kemanusiaan seperti Afrika, Karibia, Asia, dan Timur Tengah. Pada kasus krisis kemanusiaan di Suriah, Finlandia telah menyalurkan bantuan keuangan sebesar tigaratus ribu Euro melalui UNHCR untuk para pengungsi serta satu juta Euro yang disalurkan lewat ICRC dan WFP (Ministry for Foreign Affairs of Finland, 2012). Semua itu ditujukan untuk, ”...to save human lives and alleviate human suffering in crisis situations” (Embassy of Finland, 2012). Komitmen Finlandia terhadap etika global tercermin dalam prinsipprinsip Good Humanitarian Donorship (GHD). GHD adalah forum informal untuk meningkatkan dan koherensi dalam pelaksanaan bantuan kemanusiaan (Good Humanitarian Donorship, 2010). Forum ini berfungsi sebagai alat koordinasi yang menyediakan pertemuan-pertemuan reguler antar negara-negara donor untuk mendiskusikan agenda bantuan kemanusiaan yang komprehensif. GHD menyediakan kerangka untuk memandu para petugas bantuan kemanusiaan serta mekanisme untuk mendorong akuntabilitas negara donor (Good Humanitarian Donorship, 2010). GHD memfasilitasi negara-negara donor untuk mencapai konsensus karena seringnya terjadi perbedaan pendapat soal pelaksanaan bantuan kemanusiaan. GHD dengan demikian merupakan norma yang memberikan solusi atas masalah-masalah koordinatif antar anggotanya. Jadi sekali lagi, kepentingan negara untuk memajukan negara lain dibingkai dalam kerangka norma HAM yang pada gilirannya mendasari kebijakan pemberian bantuan luar negeri. Kesimpulan Tatanan normatif abad dua puluh satu menyisakan ruang kosong bagi penjelasan tradisionalis tentang realitas bantuan luar negeri. Norma global yang melembaga dalam wujud MDGs merupakan teka-teki yang tidak bisa dipahami menurut cara pandang klasik yang melihat bantuan ekonomi semata-mata mementingkan aspek politik (realis), tradisi filsafat (liberalis), dan alat kapitalis (Marxis). Konstruktivisme hadir dengan argumentasi bahwa norma merupakan elemen penting untuk memahami motivasi negara memberikan bantuan luar negeri. Argumen konstruktivisme relevan ketika 529
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 9 No. 3 Desember 2012
negara-negara di dunia khususnya negara industri maju yang tergabung dalam DAC mengakui dan menerima norma internasional. MDGs dibentuk atas dasar norma kesetaraan yang menghendaki dijembataninya jurang kesenjangan ekonomi antar bangsa. Stratifikasi ekonomi dunia memang tak dapat dihindarkan. Akan tetapi negara yang secara ekonomi berada di puncak piramida stratifikasi sadar bahwa sebagai bangsa yang bermoral, MDGs adalah manifestasi dari komitmen etis tersebut yang diharapkan mampu menjadi kerangka normatif masyarakat internasional dalam menghapuskan kemiskinan global. Norma global misalnya HAM juga mendorong Finlandia memberikan bantuan kemanusiaan bagi masyarakat di belahan dunia lain. Finlandia tidak punya kepentingan strategis maupun ekonomis di kawasankawasan dunia yang dilanda problem kemanusiaan itu. Bantuan luar negerinya murni dimotivasi oleh pengakuan terhadap norma internasional. GHD merupakan produk kolektif negara-negara donor sebagai norma yang mengatur dan memfasilitasi kegiatan sehubungan dengan bantuan kemanusiaan. Tidak ada alasan yang cukup kuat bagi penjelasan realis, liberal maupun Marxis sehubungan dengan aktivitas bantuan kemanusiaan Finlandia ini. Pemahaman menurut kacamata konstruktivis ini berimplikasi pada pengetahuan yang kian beragam dalam memandang fenomena hubungan internasional. Penjelasan alternatif yang ditawarkan konstruktivis berhasil memfalsifikasi penjelasan tradisional sehingga konstruktivisme semakin membuktikan diri sebagai salah satu pendekatan penting dan dominan dalam diskursus teoritis HI. Konstruktivis mengatakan bahwa selalu ada ruang altruis bagi negara. Altruisme itu bukan berakar dari kepentingan dalam pengertian tradisional, tetapi kepentingan yang lahir dari norma yang mengatur perilaku negara. Kesadaran dan kesediaan negara atau komunitas internasional memberikan bantuan luar negeri tidak bisa dipahami secara rasional tanpa melibatkan eksistensi norma. Norma mempengaruhi persepsi negara dalam memandang apa yang baik dan apa yang buruk. Norma mendefinisikan bahwa kesenjangan sosial antar bangsa itu tidak baik, bahwa kemiskinan yang diakibatkannya adalah buruk. Dalam bantuan luar negeri, terkandung unsur moralitas-moralitas ini. Negara, dengan demikian akan bertindak konformis sesuai dengan norma karena memang mereka menganggap itulah yang layak ( appropriate) untuk dilakukan. ***** Daftar Pustaka Alderson, K. and A. Hurrell. 2000. Hedley Bull on International Society. New York: Palgrave Macmillan. Alesina, A. and D. Dollar. 2000. “Who Gives Foreign Aid to Whom and Why?” Journal of Economic Growth, Vol. 5. No. 1 (March): 33-63. Amstutz, M. 2005. International Ethics: Concepts, Theories, and Cases in Global Politics. Lanham, Md: Rowman & Littlefield. 530
Mohamad Rosyidin
Moralitas dalam Dunia yang Anarki: Bantuan Luar Negeri dalam Perspektif Konstruktivisme
Australia Department of Foreign Affairs. 2012. Indonesia Country Brief. http://www.dfat.gov.au/geo/indonesia/indonesia_brief.html (diakses 16 Mei 2012). Baldwin, D. (ed.). 1993. Neorealism and Neoliberalism: Understanding the Debate . New York: Columbia University Press. Baylis, J. and S. Smith. 2001. The Globalization of World Politics: An Introduction to International Relations. 2nd edn. New York: Oxford University Press. Beitz, C. 1979. Political Theory and International Relations . New Jersey: Princeton University Press. Brown, C. 2001. “World Society and the English School: An `International Society' Perspective on World Society.” European Journal of International Relations , Vol. 7, No. 4: 423-441. Brown, C. 2004. “Ethics, Interests and Foreign Policy.” dalam K. Smith and M. Light (eds.) Ethics and Foreign Policy. Cambridge: Cambridge University Press. Bull, H. 2002. The Anarchical Society: A Study of Order in World Politics. 3rd edn. New York: Palgrave Macmillan. Buzan, B. 2004. From International to World Society? English School Theory and the Social Structure of Globalisation. Cambridge: Cambridge University Press. Caporaso, J. and D. Levine. 2008. Theories of Political Economy (terjemahan Suraji). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Development Assistance Committee. 1996. Shaping the 21st Century: The Contribution of Development Co-operation. www.oecd.org/dataoecd/23/35/2508761.pdf (diakses 19 Juni 2012). Donaldson, T. 1992. “Kant’s Global Rationalism.” dalam T. Nardin and D. Mapel (eds.), Traditions of International Ethics. Cambridge: Cambridge University Press. Donnelly, J. 2003. Realism and International Relations. Cambridge: Cambridge University Press. Dunne, T. and B. Schmidt. 2001. “Realism.” dalam John Baylis and Steve Smith (eds.), The Globalization of World Politics: an Introduction to International Relations. 2nd edn. New York: Oxford University Press. Elman, C. 2007. “Realism.” dalam Martin Griffiths (ed.), International Relations Theory for The Twenty-First Century: An Introduction. London: Routledge. Embassy of Finland. 2012. Finland grants EUR 67 million in humanitarian aid for world crises. http://www.finland.ie/Public/default.aspx?contentid=243517&nodeid=37479 &contentlan=2&culture=en-GB (diakses 19 Juni 2012). Finland Ministry of Foreign Affairs. 2006. Humanitarian Aid. http://formin.finland.fi/public/default.aspx?nodeid=15344&contentlan=2&cul ture=en-US (diakses 19 Juni 2012). Finnemore, M. 1993. “International Organizations as Teachers of Norms: the United Nations Educational,Scientific, and Cutural Organization and Science Policy.” Intemational Organization, Vol. 47, No. 4 (Autumn): 565-597. Finnemore, M. 1996. National Interest in International Society. Ithaca: Cornell University Press. 531
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 9 No. 3 Desember 2012
Fukuyama, F. 2004. The End of History and The Last Man (terjemahan M.H. Amrullah). Yogyakarta: Qalam. Good Humanitarian Donorship. 2010. 23 Principles and Good Practice of Humanitarian Donorship. www.goodhumanitariandonorship.org/gns/principles-good-practiceghd/overview.aspx (diakses 19 Juni 2012). Good Humanitarian Donorship. 2010. About GHD. www.goodhumanitariandonorship.org/gns/about-ghd/overview.aspx (diakses 19 Juni 2012). Gore, C. 2008. The Global Development Cycle, MDGs and the Future of Poverty Reduction. www.eadi.org/fileadmin/MDG_2015_Publications/Gore_PAPER.pdf (diakses 19 Juni 2012). Griffiths, M. 1992. Realism, Idealism, and International Politics: A Reinterpretation. London: Routledge. Hattori, T. 2003. “The Moral Politics of Foreign Aid.” Review of International Studies, Vol. 29, No. 2 (April), pp. 229-247. Hulme, D. 2009. The Millennium Development Goals (MDGs): A Short History of the World’s Biggest Promise. www.bwpi.manchester.ac.uk/resources/WorkingPapers/bwpi-wp-10009.pdf (diakses 19 Juni 2012). Hulme, D. and J. Scott. 2010. The Political Economy of the MDGs: Retrospect and Prospect for the World’s Biggest Promise . www.bwpi.manchester.ac.uk/resources/Working-Papers/bwpi-wp-11010.pdf (diakses 19 Juni 2012). Hulme, D. and S. Fukudu-Parr. 2009. International Norm Dynamics and ‘the End of Poverty’: Understanding the Millennium Development Goals (MDGs) . www.bwpi.manchester.ac.uk/resources/Working-Papers/bwpi-wp-9609.pdf (diakses 19 Juni 2012). Jackson, R. and G. Sorensen. 2005. Introduction to International Relations (terjemahan Dadan Suryadipura). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Jepperson, R. et.al., 1996. “Norms, Identity, and Culture in National Security.” Dalam Peter Katzenstein (ed.) The Culture of National Security: Norms and Identity in World Politics. New York: Columbia University Press. Jervis, R. 1999. “Realism, Neoliberalism, and Cooperation: Understanding the Debate.” International Security, Vol. 24, No. 1 (Summer): 42-63. Katzenstein, P. 2008. Rethinking Japanese Security: Internal and External Dimensions. London: Routledge. Lancaster, C. 2007. Foreign Aid: Diplomacy, Development, Domestic Politics. Chicago: The University of Chicago Press. Linklater, A. and H. Suganami. 2006. The English School of International Relations: A Contemporary Reassessment. Cambridge: Cambridge University Press. Little, R. 2000. “The English School's Contribution to the Study of International Relations”. European Journal of International Relations , Vol. 6, No. 3: 395422. Lumsdaine, D. 1993. Moral Vision in International Politics: The Foreign Aid Regime, 1949-1989. New Jersey: Princeton University Press. Manning, R. 2010. “The Impact and Design of the MDGs: Some Reflections.” IDS Bulletin Vol. 41, No. 1 (January): 7-14. Mearsheimer, J. 2001. The Tragedy of Great Power Politics. Chicago: University of Chicago Press. 532
Mohamad Rosyidin
Moralitas dalam Dunia yang Anarki: Bantuan Luar Negeri dalam Perspektif Konstruktivisme
Miller, L. 2006. Agenda Politik Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Nye, J. 2011. The Future of Power. New York: Public Affairs. Perkins, J. 2007. The Secret History of the American Empire: Economic Hit Men, Jackals, and the Truth about Global Corruption (terjemahan Wawan Eko Yulianto & Meda Satrio). Jakarta: Ufuk Press. Price, R. (ed,). 2008. Moral Limit and Possibility in World Politics. Cambridge: Cambridge University Press. Priest, G. 2005. Reducing Global Poverty: Theory, Practice, and Reform. www.law.yale.edu/documents/pdf/Reducing_Global_Poverty.pdf (diakses 19 Juni 2012). Reus-Smit, C. 2005. “Constructivism.” dalam Scott Burchill, et.al., (eds.) Theories of International Relations 3rd edn. New York: Palgrave Macmillan. Reus-Smit, C. 2008. “Constructivism and the Structure of Ethical Reasoning.” dalam Richard Price (ed.). Moral Limit and Possibility in World Politics . Cambridge: Cambridge University Press. Robison, R. 2012. Indonesia: The Rise of Capital (terjemahan Harsutejo). Jakarta: Komunitas Bambu. Sachs, J. 2005. The End of Poverty: Economic Possibilities for Our Time . New York: Penguin Press. Schraeder, P. et.al., 1998. “Clarifying the Foreign Aid Puzzle: A Comparison of American, Japanese, French, and Swedish Aid Flows.” World Politics Vol. 50, No. 2: 294-323. Steans, J. and L. Pettiford. 2009. International Relations: Perspectives and Themes . (terjemahan Deasy Silvya Sari). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Stohl, M. et.al., 1984. “Human Rights and U.S Foreign Assistance from Nixon to Carter.” Journal of Peace Research, Vol. 21, No. 3: 215-226. Sugiono, M. 1999. Restructuring Hegemony and The Changing Discourse of Development (terjemahan Cholish). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sumner, A. and M. Tiwari. 2010. Global Poverty Reduction to 2015 and Beyond:
What has been the Impact of the MDGs and What are the Options for a Post-2015 Global Framework?
www.chronicpoverty.org/uploads/publication_files/sumner_tiwari_mdgs.pdf (diakses 19 Juni 2012). Tannenwald, N. 2007. The Nuclear Taboo: The United States and the Non-Use of Nuclear Weapons Since 1945. Cambridge: Cambridge University Press. Therien, J.P. 2002. “Debating Foreign Aid: Right Versus Left.” Third World Quarterly, Vol 23, No 3: 449–466.
533