Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net
1
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net
PENGANTAR MODUL Ketegangan dan potensi konflik di kalangan internal umat Islam Indonesia semakin mengkhawatirkan. Banyak sekali konflik-konflik antar aliran keislaman, termasuk di dalamnya aksi anarki dan pemurtadan “faksi Islam satu” atas “faksi Islam yang lain” sejak 1 dekade sebelumnya. Kasus paling mutakhir adalah penyerangan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKK BB) pada 1 Juni 2008 oleh Front Pembela Islam (FPI) dan Komando Laskar Islam (KLI) dengan tuduhan gerakan pemurtadan, gerakan misionari, dan beberapa stigma negatif lain. Pelbagai fenomena anarkis tersebut melahirkan stereotype negatif tentang Islam. Bagi sebagian kelompok, agama dipandang sebagai sumber kekerasan, sedangkan di lain pihak agama dianggap sebagai sumber perdamaian dan toleransi, tentu dengan argumentasi masing-masing. Kompleksitas problem di atas semakin membuat Indonesia terpuruk. Pasalnya, di saat yang sama, kondisi dan situasi di Indonesia semakin tidak menentu oleh tingginya angka pengangguran (high rate of unemployment), korupsi yang merajalela di pelbagai lini (widespread of corruption in every level), budaya kekerasan (the culture of violence) sebagai cara penyelesaian konflik, angka kemiskinan yang terus meningkat dari tahun per tahun (the increasing rate of poverty line per year) serta beberapa problem sosial lain. Dalam hal ini, pelbagai variable dan indikator sosial menunjukkan bahwa —baik secara langsung maupun tidak langsung— potensi konflik dan ketegangan pada level mikro tersebut tidak lepas dari situasi makro ke-Indonesia-an saat ini. Fenomena tersebut, khususnya pada level mikro di atas, berakar pada aspek mendasar manusia, yaitu cara memahami pihak lain (the way to understand others), pasalnya esensi manusia —menurut Gadamer— adalah verstehen. Dalam hal ini, salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan pendidikan perdamaian, sehingga terjadi peningkatan kesadaran (raising awareness) melalui pelbagai kampanye sosial (social campaign) dan pemanfaatan teknologi untuk mempromosikan perdamaian, toleransi, dan keragaman aliran keislaman. Modul orientasi PeaceTech adalah bacaan awal yang diperuntukkan bagi para kaum muslim muda sebagai pengantar singkat terkait tema-tema seputar Islam dan perdamaian; konsep kepemimpinan dan Islam; managemen dan resolusi konflik; ketrampilan-ketrampilan khusus lain seperti teknik need assessment; teknik fasilitasi; teknik mediasi; yang kelak akan menjadi bekal bagi mereka. Jadi, tujuan PeaceTech adalah mempromosikan dan membangun perdamaian antar kaum muda Islam dari pelbagai aliran dan perspektif yang berbeda. Secara lebih spesifik, modul ini berisi pelbagai artikel ahli, praktisis, dan pakar di bidangnya. Dengan membaca modul ini, diharapkan para kaum muda islam dari pelbagai aliran akan mendapat pencerahan dan pemahaman baru tentang islam dan konsep perdamain, konflik (penyebab dan konsewensi konflik) serta beberapa keahlian dan ketarmpilan dalam memediasi dan memahami dasar-dasar konflik dan solusinya.
PEACETECH TEAM
2
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net
DAFTAR ISI A. Pengantar B. Islam: Tantangan & Harapan bagi Perdamaian Dunia 1. 2. 3. 4.
Kekerasan berbasis Agama, Sikap Pengabaian Terhadap kaum Minoritas Muslim Agama, Kekerasan, dan Upaya Perdamaian Menggali Oase Perdamaian Lembar Latihan
C. Konflik & Managemen Konflik 1. 2. 3. 4.
Memahami Konflik: Pemahaman dasar Memahami Kekerasan: Pemahaman Dasar Konflik dan Dampaknya; Beberapa Teori Konflik Lembar Latihan
B) Managemen Konflik 1. Pemahaman Dasar tentang Konflik dan Managemen Konflik berserta Variannya 2. Perspektif Holistik tentang Damai dan Budaya perdamaian D. Pengembangan dan pengorganisasian komunitas a)
Pengetahuan, Pengalaman, dan Model 1. Teori, konsep, skills, prinsip dan etika menyangkut community development & community organizing 2. Model-model pengembangan komunitas di Indonesia 3. Lembar Latihan
b)
Skill Pengembangan Komunitas 1. 2. 3. 4.
Need Assessment Fasilitasi Management Organisasi Lembar Latihan
E. Leadership 1. 2. 3. 4.
Pengertian leadership Jenis-Jenis & Karakteristik Leadership Konsep Leadership dalam Islam Lembar Latihan
F. APPENDIX 1.
PeaceTech Embassy GuideLine
3
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net DISKRIMINASI, KEKERASAN BERBASIS AGAMA DAN SIKAP PENGABAIAN DAN TIDAK ACUH KEPADA KELOMPOK MINORITAS Oleh : Saiful Akmal*
Kekerasan tidak hanya terjadi antar pemeluk agama yang berbeda, benturan - benturan yang berujung kekerasan juga terjadi pada mereka yang memeluk agama yang sama dan itu terjadi pada semua agama di dunia ini. Diskriminasi umat Hindu terhadap Islam di India (kasus Kashmir), Israel terhadap Palestina serta pertikaian Sunni-Syiah dan Kurdi di Irak dan Turki adalah deretan dan penggalan potret diskriminatif dalam sejarah umat manusia. Ini bisa disebabkan oleh kekakuan memahami agama, sikap pengabaian dan apatisme terhadap kaum minoritas. Hal ini kemudian bisa mengarah kepada radikalisasi pemahaman yang berujung pada fanatisme berlebihan. Ketiadaan pemahaman tentang esensi beragama pada level inilah, yang membuat pemeluk agama melihat agama lain dari kacamata kepicikan. Padahal kekerasan yang ditujukan untuk mengeliminasi perbedaan akan merusak nilai - nilai kemanusiaan yang terkandung dalam agama itu sendiri. Mengingat manusia diciptakan dari komposisi tanah yang berbeda, dilahirkan di lingkungan sosial dan tadisi yang berbeda, maka perbedaan adalah sesuatu yang wajar, dan tidak perlu dipersoalkan. Apalagi dalam sebuah negara yang dihuni oleh berbagai macam agama. Negara membutuhkan kedamaian dan kerjasama yang baik antar umat beragama, untuk membangun peradabannya. Pelaku tindakan kekerasan berbasis agama, diskriminatif dan sikap acuh, cuek dan mengabaikan kaum minoritas ini, biasanya merasa paling beriman di muka bumi. Karena menganggap diri sebagai makhluk agung di antara manusia, mereka mengangkat dirinya sebagai orang yang paling dekat dengan Tuhan. Inilah jenis manusia yang punya hobi "membuat kebinasaan di muka bumi", tetapi merasa telah berbuat baik. Seorang Presiden, George W. Bush, penganut Kristen puritan fundamentalis telah memakai agama untuk menghancurkan bangsa lain yang tak berdaya dengan seribu dalih (Ahmad Syafii Maarif, 2008). Sementara itu, di kalangan segelintir Muslim, termasuk di Indonesia yang berkoar anti-Barat, atas nama agama telah membencanai tempat-tempat ibadah, perkantoran, bahkan rumah-rumah mereka yang berbeda agama atau mereka yang dianggap sesat. Banyak pihak yang mengecam hal ini. Kecaman itu tidak hanya didasarkan pada pandangan umum tentang cinta dan perdamaian sejati, tetapi juga dari segi ajaran Islam sendiri. Bahkan ditinjau lebih jauh, tampilnya kekerasan dalam menyelesaikan masalah perbedaan keyakinan, bertolak belakang dengan ajaran Nabi Muhammad SAW. Extracurricullar Justice, keadilan masif oleh publik dan mengabaikan kepentingan hukum legal formal (arak-arak wanita tak berjilbab di Aceh akhir dekade 90 an) merupakan pelarian dari lemahnya penegakan hukum dan rawannya jalur birokrasi kita. Kekecewaan terhadap pemerintah dan segala yang berbau pemerintah seperti pengadilan, lembaga hukum dan lain sebagainya adalah salah satu penyebab yang mungkin memicu hal ini. Atau bisa juga disebabkan euforia religi dan ketika semangat menghidupkan nilai agama tidak diimbangi dengan pemahaman keagamaan yang utuh. Meskipun jika memandang Islam dari beberapa sisi, seperti dari sisi rahman dan rahim (sebagai sifat Allah yang terbanyak diungkap dalam Alquran), sisi hikmah dan pelajaran yang baik (bil hikmah wal mau'izhah hasanah adalah focal point dari islam sebagai agama rahmatan lil alamin. (Bustanuddin Agus, guru besar Sosiologi Agama Universitas Andalas, Padang) Parsialisasi Pemahaman Agama Melahirkan Fanatisme
4
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net Tapi, dalam perkembangan terakhir, dikotomi agama-ilmu ini dipertanyakan. Orang bahkan telah berpikir tentang integrasi ilmu dan agama. Meskipun demikian, memulai sesuatu dari keyakinan juga tidak ada salahnya, asal tidak gampang menuding pihak lain salah atau sesat. Melihat perkembangan peradaban umat manusia dewasa ini, dikotomi ilmu-agama, modern-religius, relatif-absolut seperti ini agaknya tidak relevan lagi menjawab tantangan zaman Ciri fanatik terhadap sesuatu yang dipegang dan diyakini, tidak hanya terdapat dalam konteks agama (resmi), tetapi juga sekte, aliran, mazhab, bahkan kepada partai dan organisasi keagamaan, dan bahkan ideologi-ideologi sekuler. Makin rendah tingkat berpikir dan pemahaman keagamaan seseorang, makin sempit dan makin konkret sesuatu yang difanatikinya dalam kehidupan beragama Di samping itu, tindak kekerasan atas nama agama juga disebabkan oleh kecenderungan beragama hanya dari segi tertentu saja, seperti aspek hukum dan keyakinan, kolektivitas atau massanya saja. Segi lain, seperti rasionalitas, penghayatan rohaniah (tasawuf) cenderung terabaikan. Saatnya diperlukan beragama dengan segenap potensi diri yang dianugerahkan Tuhan Masalah penting yang harus dijawab dalam upaya perjuangan menghapus diskriminasi berdasarkan agama dan kepercayaan ialah apakah agama sendiri memiliki landasan teologis dalam gerakan tersebut. Atau sebaliknya agamaagamalah yang justeru menjadi sumber dari berbagai kasus diskriminasi itu Kalau kita lacak sebenarnya budaya keberagamaan kita ini dibangun sejak pasca Khulafaur Rasyidun (setelah masa empat khalifah sepeninggal Nabi) yang penuh dengan hingar bingar perebutan kekuasaan. Yang sangat menarik adalah bahwa sekte-sekte besar dalam Islam lahir setelah peristiwa perang antara kaum muslim sendiri, antara kubu Sayidina Ali dan kubu Muawiyah. Kekuasaan berupaya memarginalkan dan meniadakan teks-teks yang dianggap merugikannya. Masuknya Islam di Indonesia pada awalnya melalui pendekatan cultural sufism. Sehingga Islam tampak sangat toleran terhadap agama-agama lain. Nah, kini saatnya kita harus menggali dan menghadirkan kembali teks-teks yang membawa semangat Islam toleran dan anti diskriminasi yang selama ini ditenggelamkan. Ini banyak sekali. Misalnya: La ikraha fiddin (tidak ada paksaan dalam beragama), Innaka la tahdi man ahbabta wa lakinnallaha yahdi man yasya; kisah Abu Thalib paman Nabi (Sesunguhnya kamu tidak bisa memberi petunjuk orang yang kamu cintai, dan Allah memberi petunjuk kepada orang-orang yang dikehendaki), Man sya a falyu’min wa man sya a falyakfur (jika menghendaki ia akan beriman dan begitu pula ia bisa bersikap enggan), dan dan masih banyak lagi. Contoh teks lain yang menyerukan semangat tolerasi adalah Allah tidak melarangmu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil (Al Mumtahanah: 8). Selain itu, Islam secara tegas telah merumuskan lima konsepsi perlindungan hak asasi manusia dalam rumusan;alkulliyatul al-khams;. Kelima gagasan prinsip universal itu adalah perlindungan terhadap agama, jiwa dan kehidupan, akal-pikiran, keturunan, dan harta/properti. Islam Tidak Diskriminatif Di sini menurut KH.Husein Muhammad, (Pengasuh Pesantren Fahmina, Cirebon), konsep Hifdz al-din atau kewajiban melindungi agama dalam Islam sangat relevan bagi perjuangan penghapusan diskriminasi berdasarkan agama dan kepercayaan. Yang dimaksud dengan perlindungan terhadap agama ini bukan sekadar bagi Islam saja, tapi bagi seluruh penganut agama apapun. Karena soal beragama tidak bisa diintervensi oleh siapapun, sebagaimana sebuah keyakinan yang tidak bisa dipaksakan kepada siapapun. Saya kira, kita harus mengembalikan makna Islam dengan sebenar-benarnya sehingga Islam bisa memberikan kontribusi besar bagi upaya-upaya penegakan hak-hak asasi manusia dan penghapusan
5
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net diskriminasi. Label kafir dapat saja melekat pada diri siapapun yang anti kemanusiaan, entah muslim, yahudi, kristen, kepercayaan, dan sebagainya. Karena menurut beliau al kafirun humudzolimun, yang kafir adalah yang berbuat zalim, diskriminatif dan menindas sesamanya. Oleh karenanya, islam sebagai agama yang universal mengajarkan sikap yang toleran terhadap sesama. Demikian juga kepada kelompok minoritas, kepada kelompok – kelompok tertentu seharusnya kita malah mendekati, mengajak bukan menjauhi. Layaknya Imam Hasan Al Banna yang mengatakan ’dakwah islam sifatnya mengajak, bukan mengejek, dan mencerahkan bukan menghakimi’. Pemuda sebagai salah satu elemen dan pilar penting bangsa, sudah seharusnya bersikap bijak menyikapi hal ini. Karakter pemuda yang penuh semangat akan lebih baik jika diimbangi dengan mendepankan sikap intelektual dan moralitas. Pemuda jangan sampai mudah terpancing agitasi dan provokasi kelompok-kelompok yang memahami agama secara sempit dan mengatasnamakan agama atas aksi-aksi anarkis terhadap kelompok yang berbeda. Pemuda haruslah dewasa dalam menyikapi perbedaan. Terakhir, mengutip sebuah syair seorang tokoh sufi muslim, Ibnu Arabi, yang layak direnungkan oleh para tokoh dan pemeluk agama, serta para pemimpin dan pengambil kebijakan. ’’Hati saya telah terbuka untuk menerima kenyataan-kenyataan. Ada padang rumput bagi gembala kijang-kijang untuk makan. Ada kelenteng-kelenteng diperuntukkan bagi para rahib. Ada pure-pure, dan ada orang-orang Thawaf di Ka;bah. Ada lempeng-lempeng Taurat dan ada lembaran-lembaran Quran. Saya beragama dengan agama cinta. Kemanapun kendaraan cinta itu ada, maka itu adalah agama saya." * Penulis adalah Dosen di IAIN Ar-Raniry, juga sebagai Political Discourse Analyst dan Periset di The Aceh Institute.
A. Check Point 1. Pemahaman : Gagasan-Gagasan apa yang dapat anda ambil dari artikel di atas? 2. Pemahaman : Kenapa gagasan-gagasan tersebut penting bagi anda? 3. Penerapan : Sebutkan beberapa aktifitas praktis yang sejalan dengan gagasangagasan yang anda pelajari?
B. Guide Questions 1. 2. 3. 4.
Menurut anda, dari mana diskriminasi berbasis agama berawal? Bagaimana anda menjelaskan budaya kekerasan pada lingkungan sekitar anda? Bagaimana hubungan antara kelompok mayoritas dengan minoritas di daerah anda? Sebagai pemuda, langkah apa saja yang sebaiknya anda lakukan untuk mengantisipasi fenomena tersebut?
6
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net AGAMA, KEKERASAN, DAN UPAYA PERDAMAIAN [1]∗ If you want peace, work for justice! Paus Paulus VI[2] PARA “agamawan humanis,” untuk mudahnya sebutlah begitu sementara ini, seringkali dongkol dengan kebiasaan industri komunikasi massa (umumnya media massa populer, tetapi kadang juga buku-buku instan, yang ditulis terburu-buru untuk momentum tertentu dan biasanya dangkal isinya) mengungkap hal-hal yang melulu buruk mengenai ekspresi sosial-politik agama. Yang biasanya diungkap adalah konflik dan aksi-aksi kekerasan, seringkali dengan akibat amat memilukan, yang dilakukan atas nama agama. Ingatlah bagaimana media memberitakan orang-orang Yahudi di Israel yang membunuhi kaum Muslim yang tengah salat di Masjid Hebron, orang-orang Hindu di India yang membakar Masjid Babri, orang-orang Islam di Mesir yang meneror dan membunuh para turis atau di Bangladesh dan Iran yang menuntut hukuman mati terhadap novelis Taslima Nasreen atau Salman Rushdie, akar-akar (etnis)agama konflik berkepanjangan di Irlandia Utara dan bekas Yugoslavia, dan seterusnya. Dalam model pemberitaan seperti ini, orang-orang dengan motivasi keagamaan itu disebut dengan katakata seram: zealots, extremists, militants, dan yang sejenisnya. Kadang liputan itu dilengkapi dengan ilustrasi foto yang mengerikan, membangunkan bulu kudul. Model pemberitaan yang sebaliknya, berisi kisah yang enak didengar, misalnya tentang upaya-upaya perdamaian oleh kalangan agamawan, amat jarang ditemukan.[3] Para agamawan di atas itu punya sejumlah alasan untuk merasa dikecewakan. Pertama-tama, konflik dan kekerasan hanyalah salah satu wajah sosial-politik agama – dan tidak selamanya merupakan wajahnya yang terpenting. Maka model pemberitaan di atas, sekalipun jika benar didasarkan atas peristiwa yang benar terjadi, dipandang tidak adil terhadap agama. Apalagi jika diingat bahwa tradisi agama-agama, selain memiliki ajaran (yang memang bisa, dan sering, diselewengkan dan disalahgunakan) yang menyerukan perdamaian (perlu diingat: sebagian pemuka agama bahkan mengklaim bahwa inilah inti ajaran agama), juga memiliki sederet tokoh yang telah terbukti mau dan berani berkorban, bahkan dengan jiwa mereka, untuk memperjuangkan ajaran itu. Dalam sejarah agama-agama abad ke-20 saja, misalnya, kita bisa menyebut nama Mahatma Gandhi (Hindu), Martin Luther King Jr. (Kristen), Malcolm X (Islam), Ibu Theresa (Katolik), dan Dalai Lama (Budha). Agar adil, pemberitaan mengenai kekerasan berjubah agama, yang sebenarnya bertentangan dengan semangat ajaran agama itu sendiri, seharusnya mengungkap pula akar-akar kultural dan struktural terjadinya kekerasan itu, oleh para aktor agama di sebuah lingkungan sosial, ekonomi dan politik tertentu. Tetapi persis alasan inilah yang seringkali absen dari model pemberitaan di atas.[4] Alasan lain kekecewaan para agamawan di atas terkait dengan semacam strategi kampanye penyebaran nilai-nilai anti-kekerasan itu sendiri. Model peliputan itu dianggap tidak berorientasi kepada penyelesaian konflik dan pengupayaan perdamaian, atau setidak-tidaknya lebih merugikan daripada menguntungkannya.
∗
IHSAN ALI-FAUZI, Source: www.scripps.ohiou.edu/news/cmdd/artikel_iaf.htm - 52k).
7
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net Model itu kemungkinan besar hanya akan memancing muncurnya kekerasan tandingannya – sekarang atau nanti, langsung atau tidak, menjadi unsur yang ikut merakit terbentuknya budaya dan lingkaran kekerasan. Banyak sekali contoh yang memperlihatkan bagaimana seorang atau sekelompok agamawan yang semula berwawasan pluralis,[5] sedikitnya inklusivis, beralih menjadi sebaliknya, berwawasan eksklusif dan bersikap ekstrem, karena deraan informasi yang dangkal dan tidak lengkap mengenai kekerasan yang dilakukan terhadap rekan-rekannya seiman oleh kelompok agama lain.[6] Dalam kasus seperti ini, berlakulah rumus: “fundamentalisms breed another fundamentalisms,” fundamentalisme hanya akan melahirkan fundamentalisme lainnya. Agamawan Humanis versus Fundamentalis Ketika menyebut “agamawan humanis” di atas, saya teringat kepada orang-orang seperti Abdullahi Ahmed An-Na’im asal Sudan, yang harus mengasingkan diri ke luar negeri karena komitmennya kepada penegakan hak-hak asasi manusia (HAM) yang dilecehkan regim di negerinya. Atau orang seperti Sulak Sivaraksa, seorang tokoh Budha di Thailand, yang terus melawan arus dan tetap mengabarkan bahwa kekerasan, apa pun alasannya, hanya akan mengkhianati dan mencederai ajaran Budha. Atau trio pendeta Budha (Maha Ghosanada), aktivis HAM Yahudi (Liz Bernstein), dan pendeta Jesuit (Bob Maat), yang tanpa kenal lelah dan menempuh segala risiko memimpin sejumlah kelompok umat Budha di Kamboja dalam aksi-aksi tanpa-kekerasan dalam menyelesaikan konflik. Orang-orang seperti mereka itu, seraya tetap teguh percaya akan kebenaran yang termuat dalam agama mereka, tetap tidak menutup peluang bagi berlangsungnya dialog dan pertukaran budaya dengan orang atau orang-orang dengan latar belakang mana pun – baik yang religius maupun yang sekular. Mereka bukan saja menyepakati pluralisme (yang lebih “berisiko” dari sekadar inklusivisme, apalagi eksklusivisme), tetapi juga menyatakan komitmen mereka untuk menegakkannya. Saya menyebut mereka “humanis,” karena mereka percaya bahwa agama, sekalipun didesain oleh dan bersumber dari Yang Mahasuci di atas manusia dan di atas makhluk lain mana pun di alam semesta ini, diturunkan untuk – dan hanya untuk – manusia, semua manusia, bukan untuk Tuhan itu sendiri atau sekelompok kecil umat manusia yang terpilih sebagai nabi atau utusan-Nya. Didorong oleh religiusitas yang menggempal dalam jiwa mereka, mereka melihat citra dan bayangan Yang Mahasuci dalam diri manusia, juga dalam tindak penciptaan manusia, kehidupan, dan alam semesta. Dan untuk semua itu, mereka tidak bisa berbuat lain kecuali mengusahakan tetap terpeliharanya kesucian semua itu, kesucian penciptaan dan martabat kehidupan, dengan manusia sebagai porosnya. Bagi mereka, menjadi religius adalah menjadi saksi mengenai kesucian dan ketinggian harkat penciptaan ini. Dalam posisi ini, konflik dan kekerasan atas nama agama, yang mengharuskan jatuhnya korban manusia di atas altar perjuangan demi Yang Mahasuci, bukan saja absurd, melainkan juga scandalous! Nah, dihadapkan kepada model pemberitaan yang melulu menembak sisi kekerasan dari ekspresi sosialpolitik agama seperti disebutkan di atas, para agamawan humanis itu kini seakan sedang berperang melawan dua front yang sama kelas beratnya, militansinya, ekstremnya – yang satu sama lain saling menyalahkan, bahkan saling menyetankan.[7] Yang pertama adalah kaum “fundamentalis agama,” yang merasa bahwa sesuatu yang bernama kebenaran sudah ada di tangan mereka (dan hanya di tangan mereka), yang bulat tanpa benjol sedikit pun karena sumbernya Tuhan yang sepenuhnya benar, dan tugas mereka adalah memperjuangkannya, termasuk dengan kekerasan kalau perlu. Orang-orang yang tergabung dalam front ini (mereka ada di semua agama tanpa pandang bulu) dengan sendirinya militan dan ekstremis, karena mereka memandang bahwa mereka
8
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net adalah kelompok pilihan yang diberi keistimewaan untuk membawa misi suci, dan yang mati di jalannya sama artinya dengan mati syahid. Sedang front yang kedua adalah kaum “fundamentalis sekular,” yang merasa bahwa agama sudah tidak punya hak hidup sekarang ini, dengan berbagai alasan: karena semua persoalan harus diputuskan hanya oleh akal manusia; bahwa intervensi agama dalam urusan dunia hanya mendatangkan pertumpahan darah, seperti banyak dicatat sejarah; dan bahwa perpaduan agama dan politik itu tidak normal dan berbahaya. Kaum ini mengingatkan kita kepada pemimpin tertentu Revolusi Perancis yang menjadikan sekularisasi total sebagai salah satu program utamanya, yang merasa bahwa gereja adalah lawan yang sedikit pun tidak punya kebajikan dan harus diluluhlantakkan sehabis-habisnya, di abad ke-18. Kecuali para petualang politik dan ekonomi (mereka bisa sekular dan bisa juga agamawan) tertentu, atau orang-orang tertentu yang naik-turun karir mereka sangat ditentukan oleh ada atau tidaknya semacam krisis kemanusiaan yang besar (misalnya para pemegang kebijakan di sebuah negara besar, para diplomat atawa wartawan), yang memperoleh banyak manfaat dengan berlangsungnya konflik dan aksi-aksi kekerasan berbaju agama, tidak ada seorang pun yang diuntungkan oleh situasi di atas. Mereka yang berada di kedua front fundamentalis pun tidak diuntungkan oleh situasi itu, kecuali jika mereka memang berpandangan bahwa kehidupan dunia yang normal adalah sebuah kehidupan yang ditandai oleh berlangsungnya konflik dan aksi-aksi kekerasan yang terus-menerus. Hal ini tidak boleh dianggap mengada-ada atau disepelekan, karena beberapa ahli, misalnya yang terkenal adalah Konrad Lorenz, menyatakan bahwa kekerasan adalah bawaan dasar manusia yang harus disalurkan.[8] Dan, bukankah asumsi ini yang menjadi dasar kuatnya paham realisme dalam hubungan internasional? Potensi Agama sebagai Sumber Konflik Jika benar demikian duduk perkaranya, maka pertanyaan yang perlu kita jawab adalah: bagaimana perilaku saling menyetankan itu bisa diakhiri, sedikitnya diminimalisasi terus-menerus, dan segala upaya ke arah perdamaian ditopang dan digalakkan? Bagaimana maksud baik para agamawan humanis di atas itu, untuk membangun jembatan dialog dan pertukaran budaya di antara umat manusia, dapat disistematisasikan dan diagendakan, dibangun strategi, ketrampilan dan teknik-tekniknya? Yang pertama-tama perlu segera disadari, menurut hemat saya, adalah bahwa hubungan antara agama dan kekerasan adalah sebuah hubungan yang ditandai oleh ambiguitas, sifat mendua, yang sangat nyata. Kalangan agamawan tertentu boleh saja mengklaim bahwa orientasi kepada perdamaian sudah intrinsik ada dalam tradisi agama-agama.[9] Namun, di sisi lain, juga dapat dibenarkan jika dikatakan bahwa agama secara intrinsik juga dapat memancing terjadinya konflik dan kekerasan. Mengenai butir terakhir itu, tidak terlalu sulit bagi kita untuk mendapat penjelasannya. Khazanah sosiologi, antropologi, psikologi, filsafat, tentunya juga sejarah, memberi kita banyak tilikan untuk soal ini.[10] Pertama-tama, hal ini terkait dengan kenyataan bahwa agama diakui dapat memberi jawaban terhadap pertanyaan eksistensial manusia mengenai apa dan siapa dirinya di tengah alam semesta yang kadang membingungkan ini. Dari sini agama berkembang menjadi sumber penemuan identitas diri (dan kemudian kelompok). Dalam posisi yang demikian, agama menyatukan orang-orang tertentu ke dalam kelompok-kelompok tertentu, dan karena itu juga membeda-bedakan orang dari satu ke lain kelompok. Pembedaan ini menciptakan dinamika psikologis antara kelompok “kita” dan “mereka,” yang akan menguat dan mengeras di tengah situasi konflik.
9
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net Kedua, identifikasi “kita” dan “mereka,” yang membutuhkan legitimasi terus-menerus agar tidak usang, dikembangkan lewat narasi besar berupa dasar-dsasar keimanan, kisah-kisah dan ritual keagamaan, keterlibatan dalam upacara-upacara keagamaan tertentu, dan seterusnya. Narasi ini seringkali diperkokoh oleh bentuk-bentuk ekspresi keagamaan yang amat kasat mata seperti kekhasan pakaian, arsitektur, musik dan lainnya. Semua ini hanya menambah kekokohan identitas diri dan kelompok di atas, dan memperteguh pembedaan di antara banyak orang dan kelompok. Dalam situasi yang amat genting, narasi seperti ini akan berkembang makin tajam, mengarah kepada eskalasi konflik: kelompok sendiri, “kita,” disucikan dan makin disucikan; sedang kelompok lain, “mereka,” dilecehken dan disetankan. Lalu, ketiga, dalam situasi genting, kedua hal di atas – agama fungsi agama sebagai pemberi identitas dan kelompok, dan narasi yang menopangnya – dapat berkembang lebih jauh ke dalam apa yang mencirikan pola utama kekerasan keagamaan selama ini, yaitu pemberian legitimasi kepada penggunaan kekerasan (bersenjata) dalam jihad besar, “perjuangan suci,” melawan kelompok-kelompok lain, kelompok “mereka.” Pembeian legitimasi ini dapat berlangsung dalam berbagai cara, misalnya: (i) seruan formal kepada tradisi kegamaan tertentu, yang menunjukkan situasi-situasi khusus di mana penggunaan kekerasan (bersenjata) dapat dibenarkan; (ii) penguatan narasi-narasi yang menunjukkan kejahatan dan kebengisan kelompok lain, kelompok “mereka,” yang mengancam keselamatan kelompok “kita”; dan (iii) rujukan kepada sebuah misi suci keagamaan tertentu di mana tindakan militeristik, setidaknya dalam situasi tententu, dapat dibenarkan.[11] Kemudian, bagaimanakah sebuah aksi kekerasan (bersenjata) pada akhirnya dapat dibenarkan oleh agama? Inilah sebab keempat mengapa gama secara intrinsik potensial untuk melahirkan konflik dan kekerasan: karena komunitas agama tertentu, kelompok “kita,” pada akhirnya memerlukan sebuah ruang dan wilayah dimana “kita” bisa unggul dan mendominasi. Kalau kita lihat sejarah sekilas saja, maka akan tampak jelas bahw ambiguitas di atas adalah fakta-fakta keras, sebuah hard fact, yang sulit ditolak. Karenanya, hal itu mestinya tidak telalu mengagetkan siapa pun atau mengecewakan siapa pun. Kenyataan itu juga tidak perlu membuat galau dan malu para agamawan yang mendambakan dunia yang damai, karena selalu ada jarak antara apa yang diajarkan agama dan apa yang dilakukan oleh para pemeluknya, antara keinginan dan kenyataan, antara cita-cita luhur dan fakta yang sebaliknya. Sementara benar bahwa agama, bahkan inti ajarannya, menyerukan perdamaian, juga benar dikatakan bahwa, semua agama, baik dalam sejarah maupun dalam konteks kontemporernya, merupakan salah satu dari beberapa sumber konflik kekerasan yang paling pokok. Militansi Agama: Dari Konflik Menuju Perdamaian Pengakuan mengenai fakta keras itu sendiri sebenarnya tidak terlalu penting. Yang lebih penting adalah apa yang harus dilakukan setelah kita menyadari dan mengakuinya. Dalam hal ini, ambiguitas di atas harus dijadikan sebagai kesempatan, sebagai peluang baru, justru untuk menunjukkan dan mewujudkan potenti intrinsic agam sebagai sumberdaya perdamaian. Para agamawan yang punya komitmen kepada perdamaian tidak hanya boleh berkeluh kesah. Tidak cukup bagi mereka hanya dengan mengatakan agama dapat berperan seperti itu, melainkan juga menyatakan komitmen mereka dalam aksi-aksi konkret ke arah itu. Jika kekerasan atas nama agama memerlukan militansi, maka upaya perdamain oleh agama juga mensyaratkan sebuah militansi.
10
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net Untuk sampai ke sana, sisi kedua dari agama di atas, yaitu sisinya sebagai salah satu sumber konflik, pertama-tama harus diurai dan diperhatikan sungguh-sungguh. Ekspresi kekerasan atas nama agama harus ditinjau secara teliti, dilihat kasus demi kasus, dalam konteksnya yang luas. Bukan untuk menekankan terutama sisi buruk agama. Melainkan untuk memperoleh potretnya yang benar, selengkaplengkapnya, sebagai dasar bagi perumusan agenda dan strategi kerja ke arah upaya-upaya perdamaian di masa depan. Dalam hal ini, kabar buruk yang benar harus dipandang sebagai lebih baik ketimbang kabar baik yang palsu, yang bohong. Jika ancang-ancangnya benar demikian, maka kita memiliki tiga gugus pertanyaan besar yang harus dijawab di sini. Pertama, dalam kondisi apa saja para aktor agama yang militan melakukan aksi-aksi kekerasan atas nama agama? Kedua, sebaliknya, dalam kondisi apa pula para aktor agama menolak aksiaksi kekerasan dan menentang komitmen aktor agama yang ekstremis atau militan untuk menggunakan kekerasan sebagai sebuah tugas suci atau sebuah privelese keagamaan? Dan ketiga, dalam kondisi apa pula para aktor agama yang memiliki komitmen kepada perdamaian dan aksi-aksi tanpa kekerasan dapat mengembangkan diri menjadi para agen pembangun perdamaian (peace builder)? Dalam studinya baru-baru ini, Scott Appleby mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas itu.[12] Menurutnya, kekerasan keagamaan tejadi ketika para pemimpin ekstremis agama tertentu, dalam reaksi mereka terhadap apa yang mereka pandang sebagai ketidakadilan dalam sebuah lingkungan struktural suatu masyarakat, berhasil memanfaatkan argumen-argumen keagamaan (atau etnis-keagamaan) untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap kelompok lain. Penolakan keagamaan terhadap berbagai kekuatan ektremisme dimungkinkan jika para pemimpin agama berhasil menumbuhkan militansi antikekerasan (non-violent militancy), baik sebagai norma agama maupun sebagai strategi untuk menentang dan mengatasi ketidakadilan dalam sebuah lingkungan strukural suatu masyarakat. Upaya-upaya perdamaian oleh agama tejadi ketika para pemeluk agama yang militan dan mau mendedikasikan diri mereka kepada sikap dan aksi-aksi tanpa kekerasan, memiliki kemampuan teknis dan profesional untuk mencegah, memberi sinyal awal, memerantarai dan melakukan unsur-unsur lain le arah transformasi konflik dan kekerasan. Agama Perdamaian sebagai Narasi Tandingan Saya mencatat dua unsur kunci dalam paparan Appleby yang cermat di atas. Yang pertama adalah militansi, dan yang kedua adalah persepsi mengenai ketidakadilan yang menjadi dasar pijak para aktor agama untuk melakukan kekerasan atas nama agama. Mengenai yang pertama, saya sudah menegaskannya di atas. Jika kekerasan atas nama agama memerlukan militansi, maka upaya-upaya perdamaian oleh agama juga mensyaratkan sebuah militansi. Dengan kata lain, upaya-upaya ini harus ditegaskan dan gencar dilakukan, dengan organisasi yang rapi dan agenda yang jelas, dengan ketrampilan dan teknik-teknik yang memungkinkan pencapaiannya. Hal ini penting dan harus dilakukan untuk menunjukkan bahwa sentimen dan komitmen kagamaan bukanlah hak prerogratif mereka yang esklusif dalam wawasan keagamaannya, yang biasanya mudah menggunakan aksi-aksi kekerasan untuk menyelesaikan masalah. Mereka yang berwawasan eksklusif itu punya hak untuk menafsirkan dan megekspresikan agama menurut cara pandang mereka, tetapi hal itu bukanlah satu-satunya penafsiran dan ekspresi agama yang sah. Di atas sudah disebutkan bahwa aksi-aksi kekerasan aras nama agama turut dibangun oleh nasari-narasi yang memperkokoh identitas “kita,” seraya menyetankan “mereka.” Agar kampanye perdamaian atas
11
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net nama agama dapat berjalan baik, maka para agamawan yang anti-kekerasan harus membangun narasinarasi tandingannya, yang dapat menopang perdamaian. Narasi-narasi beraura konflik dan permusuhan harus ditandingi dengan naras-narasi yang mendorong tumbuhnya rasa saling menghormati di antara sesama manusia dan cita-cita pluralisme. Dasar argumentasi yang sama juga harus disampaikan secara terang-benderang kepada kaum “fundamentalis sekular” yang sering mencibir dan melecehkan kemampuan agama sebagai sumberdaya perdamaian. Cita-cita luhur pencerahan, pada praktiknya juga sama tidak mulusnya dengan cita-cita yang diinspirasikan oleh sumber lain. Abad ke-20 yang baru lalu mencatat bahwa, sekalipun membawa kemakmuran ekonomi dan banyak kemudahan hidup lain pada segmen tertentu umat manusia, proyek modernisme juga memakan banyak korban, langsung atau tidak: nuklirisme, kerusakan lingkungan, alienasi, kemiskinan massa di belahan dunia yang tertinggal, dan seterusnya. Semua ini hanya menunjukkan pentingnya mereka untuk bersikap lebih rendah diri, bersiap diri mendengar suara lain, termasuk suara agamawan. Mereka harus menyadari bahwa keinginan untuk memperoleh semacam ketenangan batin, rasa aman, dan identitas kelompok, di tengah dunia yang bagi sebagian orang sering tak termaknakan ini, adalah sesuatu yang tidak bisa disepelekan. Kalau mereka menyatakan bahwa adalah manusia itu sendiri yang berdaulat atas dirinya, bukankah agamawan juga adalah manusia yang patut dihargai kedaulatannya, dengan mendengarkan suara dan asiprasinya. Selain itu, peralatan agama secara fungsional juga dapat dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan perdamaian. Jika kaum “fundamentalis sekular” tidak percaya pada “jalan agama,” toh dialog dengan kalangan agamawan – sebagai sesama manusia – tetap saja diperlukan dalam rangka koeksistensi damai. Yang lebih fungsional dari itu juga bisa: karena daya rengkuh agama tetap besar, Anda dapat memanfaartkan sumberdayanya yang menopang perdamaian, sekalipun Anda sebenarnya skeptis kepadanya. Akhirnya, di era yang disebut pascamodern ini, siapa pun tidak bisa mengabaikan peran yang disebut kepemimpinan karismatik. Jika seorang pemimpin agama yang karismatik dapat memompa aksi-aksi kekerasan, mengapa Anda tidak berusaha untuk mendekatinya dan mengajaknya untuk berperan sebagai peace builder? Singkatnya, jika kerja sama dengan agama yang sepenuh, setengah atau bahkan seperempat hati tidak mungkin dilakukan, maka berusahalah untuk tidak menyerang dan melecehkannya. Yang juga sangat jelas adalah unsur kunci kedua di atas, yaitu persepsi mengenai ketidakadilan yang mendorong aksi-aksi kekerasan atas nama agama. Justru pada titik inilah kita berlaku bebal. Kita lupa bahwa dulu Presiden Sukarno pernah menyatakan prinsip yang persis diutarakan oleh Paus Paulus VI dan dikutip di awal tulisan ini – dan perkataan Sukarno itulah, “Saya menginginkan perdamaian, tetapi lebih dari itu saya menginginkan keadilan,” yang menopang semuruh elemen bangsa ini, lepas dari agamanya apa, untuk bersama-sama melawan kolonialisme. Dihadapkan pada fakta yang sangat jelas ini, seperti sdah disinggung, yang pertama-tama harus dilakukan adalah melihat aksi-aksi kekerasan atas nama agama dalam konteks yang lebih luas, untuk menemukan ketidakadlan struktural yang menjadi penyebabnya. Setelah itu, panggilan perdamaian oleh agama harus didesain dengan menempatkan ketidakadilan struktural ini sebagai musuh yang harus diperangi dengan segala cara dan dilenyapkan. Jika tidak demikian, maka agamawan yang anti-kekerasan hanaya akan dituduh tidak berbuat apa-apa, kalau bukan malah bersepakat dengan status quo ketidakadilan itu. Di balik itu adalah pekerjaan yang lebih berat, memerlukan ketarampilan dan teknik, keberanian dan pengorbanan: bagaimana menumbuhkan keyakinan bahwa penyelesaian dengan cara-cara damai
12
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net terhadap sebuah ketidakadilan struktural adalah cara yang lebih baik, lebih membekas dalam jangka panjang, lebih sedikit membawa korban, dari penyelesaian dengan cara-cara kekerasan. Untuk itu, para agamawan yang anti-kekerasan harus lebih rajin berbagi gagasan dan pengalaman. Juga menggalang kerja sama dengan aktor-aktor lain yang sama-sama mendmbakan perdamaian. Demikianlah adanya. Tidak sederhana, memang, karena perkaranya juga tidak bisa digampanggampangkan. Seluruhnya membutuhkan waktu dan banyak kerepotan.*** [1]Pernah
diterbitkan dalam Sifaul Arifin, Raja Juli Antony, Irfan Nugroho, dan Irfan Amali (eds.), Melawan Kekerasan tanpa Kekerasan (Jakarta: Pengurus Pusat Ikatan Remaja Muhammadiyah, The Asia Foundation, Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 67-84.
[2]Dikutip
dari Theodore M. Hesburgh, dalam “Foreword,” untuk R. Scott Appleby, The Ambivalence of the Sacred: Religion, Violence, and Reconcilliation (Lanham, Maryland: Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 2000), hlm. ix. [3]Di
antara yang jarang itu, saya pernah membacanya suatu kali di Newsweek, 9 Nopember 1997, yang saya laporkan kembali dalam “Para Pendamba Perdamaian,” Ummat, 17 Nopember 1997. Ada dua cerita dalam tulisan itu. Yang pertama mengisahkan upaya dua bapak (Yehuda Wachsman, seorang Yahudi, dan Syekh Yasin Hamed Badr, seorang Muslim Palestina) yang masing-masing anaknya (satu tentara Israel dan satunya lagi aktivis organisasi Islam radikal HAMAS) mati karena perang, untuk mendirikan sebuah pusat untuk menggalakkan toleransi beragama di Yerussalem. Pertemuan keduanya pertama kali difasilitasi oleh seorang wartawan Palestina yang bekerja untuk sebuah suratkabar Israel. Cerita yang kedua mengisahkan dua pemuka agama (Syekh Rajai Abdo dan Rabi Jeremy Milgrom) yang berceramah keliling dunia mengenai proses perdamaian. Pada butir apa saja keduanya bersepakat? “Keesaan Yang Mahakuasa,” kata Abdo. Ditambahkannya, “Saya telah merasakan sisi sangat humanistik dari pemuda Yahudi. Pemuda Yahudi dan Muslim telah mengalami tragedi yang sejenis, dan telah merasakan pengalaman diaspora yang sama.” Menurut pengakuan mereka, mereka dianggap naif oleh sebagian besar rekan mereka, baik pemuda Israel maupun Palestina.
[4]Butir
ini, mengenai kecenderungan media untuk meliput melulu kekerasan atas nama agama, dengan model penyajian yang dangkal dan lengkap, terang memerlukan pembahasan sendiri – yang bukan di sini tempatnya. Tetapi secara sederhana dapat dikatakan bahwa hal ini terkait dengan semacam rumus yang amat dipegang di dunia industri komunikasi, bahwa berita yang layak dijual adalah berita-berita mengenai korban dan kenestapaan. Rumus itu dikenal dengan “bad news adalah good news (untuk dijual).” Sebagian orang mengatakan, ini ada kaitannya dengan bawaan intrinsik manusia kepada kekerasan. Akan halnya soal kedangkalan berita, hal ini terkait dengan keinginan media, didorong oleh tingkat kompetisi yang makin tinggi, untuk menyajikan berita secepat – jadi jelas bukan sedalam atau selengkap – mungkin. Istilahnya: hard news atau breaking news, pokoknya berita saja. Sebagian orang mengatakan hal ini terkait dengan hasrat manusia modern yang makin meningkat akan informasi yang instan. [5]Dalam
perkara keragaman agama, biasanya dikenal tiga orientasi besar. “Eksklusivisme” adalah orientasi yang ingin membangun kantong yang tertutup (enclave builder), yang menegaskan bahwa hanya ada satu cara untuk memahami realitas dan menafsirkan yang suci. “Inklusivisme,” sebaliknya, menegaskan bahwa meskipun ada berbagai tradisi keagamaan, komunitas keagamaan, dan kebenaran, suatu tradisi agama tertentu adalah puncak dari tradisi-tradisi lainnya, lebih unggul dari yang lain itu, atau cukup lengkap untuk juga menampung yang lain itu dalam posisi lebih rendah. Akhirnya, “pluralisme” adalah orientasi yang menegaskan bahwa kebenaran bukanlah milik eksklusif sebuah tradisi atau komunitas keagamaan tertentu. Dalam wawasan terakhir ini, keragaman komunitas dan tradisi dipandang bukan sebagai hambatan untuk mengatasi, melainkan sebagai peluang untuk, pergumulan yang bersemangat dan dialog dengan yang lain. Dalam wawasan seorang pluralis, seperti ditulis Diana L. Eck, “Tuhan adalah cara kita berbicara mengenai sebuah Realitasyang tidak dapat dicakup seluruhnya oleh sebuah tradisi keagamaan mana pun, termasuk tradisi keagamaan kita sendiri.” Lihat Appleby, The Ambivalence of the Sacred, hlm. 13-14.
13
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net [6]Saya
berjumpa dengan banyak orang, dari kalangan Islam di Indonesia, yang mengalami perubahan sikap seperti ini menyusul tidak tuntas-tuntasnya kasus pertikaian antara kalangan Islam dan Kristen di Ambon dan Maluku Utara. Mereka sebenarnya menyadari akar-akar non-agama pertikaian itu. Tetapi ketika kasus itu tidak juga tuntas, dan tidak ada tanda-tanda penuntasannya, sementara mereka didera dengan informasi mengenai korban yang terus berjatuhan, maka yang kemudian tumbuh dalam dada mereka adalah in-group feeling terhadap saudara-saudara seiman. Dalam penilaian mereka, lepas dari asal-usul sejatinya yang non-agama, yang mereka lihat belakangan ini pada akhirnya adalah sebuah aksi saling tumpas dan saling bunuh oleh orang-orang yang berbeda karena baju agamanya. [7]Saya
meminjam istilah ini dari John L. Esposito, “mutual satanization.” Lihat bukunya, Islamic Threat: Myth or Reality (New York: Oxford University Press, 1992). Untuk analisis yang senada, lihat antara lain Richard Falk, Explorations at the Edge of Time: The Prospects for World Order (Philadelphia: Temple University Press, 1992), hlm. 24-25. [8]Lihat
karyanya yang terkenal, On Aggression, trans. by Marjorie Kerr Wilson (New York: Harcourt Brace Javanovich, 1966). [9]Klaim ini biasanya diikuti dengan upaya para agamawan untuk membedakan antara agama yang “benar” (atau autentik), yang dipandang hanya menyerukan perdamaian, dan agama yang “palsu,” yang dianggap lebih “militan,” “ekstremis” dan “fundamentalistik.” Pandangan ini mengecam para pemimpin politik yang membawa-bawa agama untuk mencapai kepentingan politik dan ekonomi sendiri. Agama, menurut sudut pandang ini, harus dibebaskan dari konsekuensi-konsekuensi tragis yang muncul dari “niat buruk” para pemimpin politik.
[10]Paparan
di bawah ini terutama saya dasarkan pada John Kelsay and Summer B. Twist (eds.), Religion and Human Rights (New York: The Project of Religion and Human Rights, 1994), hlm. 4-9. Lihat juga misalnya William R. Garrett, “Religion and the Legitimation of Violence,” dalam Jeffrey K. Hadden and Anson Shupe (eds.), Prophetic Religions and Politics (New York: Paragon House, 1986), hlm. 103-122; dan John Kelsay, Islam and War: A Study in Comparative Ethics (Lousenville, Kentucky: Westminster, 1993), hlm. 115-117. [11]Untuk
penjelasan lebih lanjut dan ilustrasi yang amat kaya mengenai butir kedua dan ketiga ini, lihat misalnya dua rujukan berikut: Rene Girard, Violence and the Sacred, trans. by Patric Gregory (Baltimore: The John Hokpins University Press, 1977); dan David I. Kertzer, Ritual, Politics and Power (new Haven and London: Yale University Press, 1998). [12]
Lihat Appleby, The Ambivalence of the Sacred, hlm. 282.
A. Check Point 1. Pemahaman : Gagasan-gagasan apa yang dapat anda ambil dari artikel dia atas? 2. Pemahaman : Kenapa gagasan-gagasan tersebut penting bagi anda?) 3. Penerapan :Sebutkan beberapa aktifitas praktis yang sejalan dengan gagasangagasan yang anda pelajari
B. Guide Questions 1. Menurut anda, bagaimana Islam menjadi sumber sekaligus solusi tindakan kekerasan di Indonesia? 2. Sejauhmana agama Islam menjadi solusi bagi pelbagai problem kemanusiaan, khususnya di Indonesia? 3. Pada Level apa saja, Islam menjadi solusi bagi problem kemanusiaan saat ini? 4. Sebagai pemuda, apakah corak dominan islam di Indonesia?
14
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net MENGGALI OASE PERDAMAIAN∗ Menemukan akar-akar perdamaian dalam Islam bukanlah hal yang sulit, sebab kata islam, yang berasal dari kata aslama-yuslimu-islaman adalah perdamaian dan penyelamatan. Dalam sebuah hadis disebutkan, bahwa Islam yang paling utama (afdhal) adalah Islam yang senantiasa menebarkan perdamaian. Karenanya, melacak doktrin perdamaian dalam Islam adalah hal yang mudah. Selain itu, sejarah tentang perdamaian adalah sejarah yang cukup panjang. Muhammad Abduh dalam bukunya, alIslam wa al-Nashraniyyah: bayn al-'Ilm wa al-Madaniyyah, menulis bahwa ajaran perdamaian Islam mewujud dalam struktur kekeuasaan. Sebab dalam sejarah kekuasaan Islam, utamanya pada dinasti Umayyah dan Abbasiyah, ditemukan sejumlah orang-orang Yahudi dan Kristen yang menjadi bendahara, sekretaris, team dokter, bahkan penasehat raja. Ini tidak lain disemangati, bahwa dalam sistem kekuasaan sekalipun perdamaian harus diutamakan, karena hampir tidak mungkin membangun tatanan masyarakat yang maju, adil dan sejahtera tanpa basis perdamaian yang kuat. Philip K. Hitti dalam History of Arabs mempunyai penemuan yang lebih unik, karena agama-agama sangat diuntungkan kultur Arab yang mempunyai nuansa estetik yang kuat. Khazanah estetika tak dapat dimungkiri ditemukan dalam kitab suci agama-agama yang diturunkan di dataran mediterinia ini. Namun persoalannya, kenapa agama-agama tersebut kini mempunyai semangat yang hampir sama: “antiperdamaian”? Nashr Hamid Abu Zayd, pemikir muslim asal Mesir yang baru saja mendapatkan penghargaan Averroes, tahun 2005, menuturkan bahwa pada problem utamanya adalah interpretasi (matter of interpretation). Pada umumnya, umat agama-agama adalah korban dari penafsiran atas teks. Yang mempengaruhi kesadaran keberagamaan pada umumnya adalah kesadaran yang terpaku dan terbatas pada teks tertentu, serta mengabaikan teks-teks yang lain. Pada akhirnya, penafsiran yang lahir adalah penafsiran yang mengalami kemandulan intertekstualitas. Artinya, teks tidak bisa menegosiasikan dan dinegosiasikan dengan teks-teks yang lain. Yang benar hanya teks ini, selain itu tidak ada kebenaran. Teks ini harus diterapkan, bila tidak agama tidak akan tegak. Begitulah kesadaran teologis yang menyebabkan lahirnya kekerasan dengan mengatasnamakan teks. Karena problemnya berkaitan dengan teks, maka menurut Nashr Hamid Abu Zayd, harus ada metodologi baru dari penafsiran al-Quran. Ia menawarkan adanya upaya penakwilan, tidak sekadar penafsiran. Artinya, memahami teks pertama-tama harus berangkat dari paradigma, bahwa teks adalah potret dari fakta sosio-kultural masyarakat yang pada akhirnya mempengaruhi dan membentuk masyarakat (al-nash muntajun wa muntijun tsaqafiyyun) . Di sini penakwilan yang dimaksud adalah upaya menyelami historisitas teks. Dalam al-Quran disebutkan bahwa menegakkan keadilan dan kedamaian adalah prinsip yang harus diutamakan. Lalu bagaimana dengan pembunuhan untuk mencapai keadilan dan kedamaian? Menurut Nashr Hamid, peperangan dan pembunuhan untuk tujuan keadilan dan kedamaian adalah pesan yang bersifat historis. Sebab ada fakta historis yang lain, bahwa Rasulullah Saw. tidak membunuh orang-orang musyrik, termasuk tatkala beliau menaklukkan kota Mekkah. Beliau tidak membunuh satu pun orang-orang Mekkah yang terkenal paling musyrik pada zamannya. Atas dasar ini, Karen Amstrong dalam bukunya, Islam, menyebut sebagai keunikan dan keistimewaan Islam yang belum dikenal baik, bahkan diabaikan baik oleh orang-orang Muslim maupun non-muslim.
∗
ZUHAIRI MISRAWI, (Source: www.islamemansipatoris.com/cetak-artikel.php?id=440 - 9k)
15
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net Di sini, problem perdamaian dalam komunitas agama-agama terkait dengan sejauhmana penafsiran mengalami kedangkalan horison dan kemiskinan filosofis. Di samping tantangan yang amat serius adalah upaya memahami dan menyingkap historitas teks. Dalam sejumlah tafsir keagamaan kita amat sulit mendapatkan tafsir yang mampu menunjukkan kebutuhan untuk menjawab problem kekinian. Ghalibnya, tafsir adalah sebuah glorifikasi, replikasi dan repetisi dari masa lalu. Karena itu, penggalian oase perdamaian mau tidak mau harus melalui dua level sekaligus: Pertama, level teks-teks keagamaan. Harus ada upaya kolektif untuk melakukan pembahasan yang serius atas hal-hal yang utama dan yang merupakan bagian partikular dari agama. Para ulama terdahulu sudah menulis sejumlah kitab kuning yang berkaitan dengan nilai-nilai dasar agama, seperti kemaslahatan, perdamaian, kerukunan, keadilan dan kesejahteraan. Nilai-nilai ini harus direkonstruksi ulang. Muhammad Thahir bin Ashur dalam bukunya Maqashid al-Syari'ah al-Islamiyah sudah menggaringbawahi pentingnya menyelamatkan paradigma hukum dari sekadar perdebatan yang berkaitan dengan halal-haram menuju paradigma nilai-nilai luhur dalam Islam. Ia menggarisbawahi beberapa nilai penting, antara lain: fitrah, persamaan, toleransi dan kebebasan. Para ulama fikih, bahkan ulama ushul fiqih sekalipun, tatkala berbicara hukum Islam selalu terjebak pada pembahasanpembahasan khilafiyah, sehingga lama-kelamaan dapat menghilangkan nuansa elastisitas Islam. Kedua, level kultural. Tidak dapat dimungkiri, bahwa kampanye untuk mendorong tersebarnya gagasan perdamaian merupakan dakwah yang semestinya diprioritaskan. Tak terkecuali partai politik yang merupakan lanskap dari publik harus menjadi teladan yang baik, bukan justru menjadi provokator bagi aksi-aksi kekerasan. Level kultural ini jauh lebih rumit daripada level tekstual, karena berhadapan langsung dengan publik. Bila dakwahnya salah, maka secara otomatis pemahaman yang ditransfer kepada masyarakat akan salah pula. Nalar tersebut dapat menjelaskan dengan sangat sederhana, tapi penting, bahwa masalah dan jalan keluar dari maraknya aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama belakangan ini harus dimulai dari para juru ceramah, da'i, kiai, ulama dan pimpinan umat. Sebab dalam struktur masyarakat dalam dua katagori, ada yang "dita'ati" dan "mena'ati", maka sistem yang berlaku adalah top down. Di sini, komitmen para ulama untuk menggali oase perdamaian harus diletakkan pada urutan pertama. Karena kalau kita mencoba untuk merunut, bahwa yang disebut "teks agama" pada akhirnya adalah ulama. Mereka yang memonopoli tafsir keagamaan, bahkan hanya satu-satunya tafsir alternatif. Kita semua menyadari, bahwa reformasi agama sesungguhnya adalah reformasi para pemimpinnya: reformasi ulama. Pengalaman reformasi di Mesir relatif berhasil dan sukses, karena Syaikh Muhammad Abduh sebagai ulama dan tokoh agama mampu melahirkan pemikiran-pemikiran progresif. Karenanya, hingga sekarang di lingkungan al-Azhar, dalam setiap zaman selalu muncul para reformis, yang selalu mengedepankan wawasan keagamaan yang damai dan mendamaikan. Dengan demikian, jalan menggali oase perdamaian masih panjang, karena komitmen untuk membumikan perdamaian masih terdengar sayup-sayup. Bila kampanye Islam Damai lantang, harapan untuk hidup damai masih tersedia di depan mata. Sebaliknya, bila kampanye tersebut lirih, bisa jadi masa depan bangsa ini gelap. Mudah-mudahan hari esok akan senantiasa cerah, secerah agama yang mengajarkan kita pada perdamaian.[]
A. Check Point 1. Pemahaman : (Gagasan-Gagasan apa yang dapat anda ambil dari artikel dia atas? 2. Pemahaman : (Kenapa gagasan-gagasan tersebut penting bagi anda?) 3. Penerapan : (Sebutkan beberapa aktifitas praktis yang sejalan dengan gagasangagasan yang anda pelajari?
16
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net
B. Guide Questions 1. Menurut anda, mengapa di satu sisi al-Qur’an terkesan kejam, namun di sisi lain terkesan sangat cinta damai? 2. Bagaimana al-Qur’an berbicara tentang pola relasi antar sesama muslim dengan nonmuslim? 3. Bagaimana anda memahami konsep damai dalam praktek Nabi Saw & Para sahabat? 4. Sebagai pemuda, langkah apa saja yang perlu diambil untuk meningkatkan kesdaran masing-masing?
17
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net KONFLIK & AKIBATNYA∗ Definisi Konflik Setiap orang memiliki perspektif dan persepsi yang berbeda tentang problem-problem yang dapat memicu ketegangan dan perselisihan. Perbedaan inilah yang kemudian menjadi salah satu penyebab timbulnya konflik. Konflik muncul karena adanya hasrat kompetisi di antara manusia dalam mengekplorasi sumber daya alam, memperebutkan kekuasaan, dan status. Seringkali, dalam memperebutkan nilai, kekuasaan, dan sumber daya alam, pelbagai pihak tidak mau mengafirmasi motif dan tujuan kelompok lain. Dari sinilah konflik sering terjadi. Level konflik Konflik dapat terjadi pada semua tingkat. Konflik bisa terjadi antara dua orang, antara anggota keluarga, dan kelompok, baik pada level lokal, nasional, maupun internasional.
Internasional Nasional Lokal Komunitas Keluarga Individu/Antar-Individu Level Konflik Tahapan Konflik Sebelum mempelajari manajemen konflik, penting bagi kita memahami tahapan-tahapan konflik. Konflik dapat bereskalasi melalui beberapa tahapan. Tahapan-tahapan konflik adalah sebagai berikut: 1. Konflik tidak langsung atau Laten: Pada tahap ini, Tahap Puncak konflik telah terjadi di antara manusia namun tidak terekspresikan. Eskalasi & 2. Konflik terbuka: pada tahap Institusionalisasi ini, pihak-pihak berkonflik berani mengekspresikan Tahap konflik Terbuka ketidaksetujuannya. Pada
Konflik Laten ∗
Source: Participation for Social Harmony (UJYALO) Program. http://www.carenepal.org/Knowledge%20Sharing%20on%20Peacebuilding/Data/IEC/English/Conflict%20and%20its% 20Effects.pdf
18
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net tahap inilah, perselisishan mulai muncul. 3. Eskalasi & Perebutan Kekuasaan: Pada tahap ini, konflik mulai bereskalasi, sedangkan pihak yang berselisih mulai menggunakan kekuasaan untuk mengafirmas kelemahan lain. Selanjutnya, konflik semakin memuncak dan melahirkan kekerasan. 4. Tahapan Puncak (Aksi Kekerasan): Pada tahap ini, konflik dengan kekerasan sudah bereskalasi pada tingkat maksimum. Selanjutnya, pihak penentang mulai berfikir bagaimana mengeliminasi pihak yang lain. Dalam proses pembangunan perdamaian, program ini harus fokus pada tahapan konflik yang bersifat laten yang selalu berada dalam komunitas. Dalam proses pembangunan perdamaian, kita sebaiknya fokus pada konflik laten melalui pelbagai program pemberdayaan komunitas. Jadi, resolusi pada tingkat bawah harus dilakukan paska analisa mendalam atas apa yang terjadi di dalam masyarakat. Sebab-Sebab Utama Konflik • Ketimpangan dalam mengakses dan mengelola sumberdaya dan kesempatan • Pembagian Kekuasaan yang tidak berimbang • Pelanggaran atas Hak asasi manusia • Kemiskinan • Tidak terpenuhinya kebutuhan hidup manusia Kebutuhan jasmani, rasa aman, pengakuan identitas, penghargaan dari orang lain serta penghargaan atas diri adalah kebutuhan dasar semua manusia. Apalagi, hajat hidup manusia itu tidak terbatas. Setelah kebutuhan dasar manusia seperti makan, sandang, dan papan terpenuhi, maka secara otomatis mereka akan berhasrat untuk memenuhi kebutuahan-kebutuhan yang lain, termasuk rasa aman, pengakuan identitas, pingin dihargai & penghargaan atas diri. Pertarungan inilah yang selanjutnya memicu pelbagai konflik. Dalam banyak kasus, pertarungan memperoleh hak dan pemenuhan kebutuhan itulah yang semakin membuat potensi konflik dan disintregasi semakin tinggi. DAMPAK KONFLIK Dampak konflik tidak selalu negatif; tapi juga punya akibat positif. Dampak Positif Konflik akan memiliki dampak positif jika ditangani secara konstruktif. Antara lain: • Perubahan possitif dalam masyarakat • Peluang untuk mengembangkan pelbagai kemungkinan baru • Pembaharuan dalam pola hubungan kemasyarakatan • Meningkatkan produktifitas pelbagai sektor masyarakat Dampak konflik ini akan membawa perubahan positif yang bisa membantu proses pembangunan masyarakat. Dampak Negatif Konflik akan berdampak negatif jika tidak di manage secara baik. Dampak negatif itu antara lain: • Potensi stress masyarakat yang tinggi • Melemahnya tingkat produksi • Penurunan pola hubungan dan memburuknya tingkat kerjasama. • Semakin mempersempit ruang gerak • Meningkatnya potensi konflik dengan kekerasan Pelbagai dampak negatif ini dapat melahirkan perpecahan dan disintegrasi dalam masysrakat. Jadi, hal yang paling mendesak adalah bagaimana sesegera mungkin menyelesaikan konflik.
19
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net
KEKERASAN • Meliputi perilaku, tindakan, ucapan, sikap, struktur atau system yang menyebabkan kerusakan fisik, psikis, social, dan lingkungan dan atau segala bentuk ekspresi yang menghalangi orang lain memaksimalkan potensi dirinya. (Fisher et al, working with conflict) Bentuk-Bentuk Kekerasan (diadaptasi dari beberapa matrik rumusan Toh Swee – hin and Virginia Cawagas, and Ake Bjersted) Level Bentuk2 Kekerasan Langsung/ Fisik
Individual Bunuh Diri Penyalahgunaan Narkoba
Antar-Individu/ Komunitas Kekerasan Domestik Kejahatan dengan tindak kekerasan
Struktural/ Economi, Politik
Ketidakberdayaan
Ketimpangan Kemiskinan, Kelaparan
Sosial-budaya/ Psikis
Keterasinagn Minder Gelisah
Ekologi
Konsumsi secara berlebihan
Prasangka/ Budaya bermusuhan Dominasi Rasisme Sexisme Keberagaman yang tidak toleran Konsumsi secaraberlebihan Polusi
Nasional
Global
Perang Sipil Kejahatan dengan tindak kekerasan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Ketimpangan Sosial Nasional Kemiskinan, Kelaparan Prasangka/ Budaya bermusuhan Dominasi Rasisme Sexisme Keberagaman yang tidak toleran Konsumsi secaraberlebihan Polusi Perang Kimia dan Biologi Radiasi Senjata Nuklir
Perang Konvensional Perang Nuklir Pelanggaran hak Asasi Manusia Ketimpangan Global, Kemiskinan, Hunger Prasangka/ Budaya bermusuhan Dominasi Rasisme Sexisme Keberagaman yang tidak toleran Konsumsi secaraberlebihan Polusi Perang Kimia dan Biologi Radiasi Senjata Nuklir
A. Check Point
1. Pemahaman : Gagasan-gagasan apa yang dapat anda ambil dari artikel dia atas? 2. Pemahaman : Kenapa gagasan-gagasan tersebut penting bagi anda? 3. Penerapan : Sebutkan beberapa aktifitas praktis yang sejalan dengan gagasan-gagasan yang anda pelajari?
B. Guide Questions 1. Apakah konflik, sebutkan conto-contoh konflik? 2. Menurut anda, bagaimana konflik itu berkaitan dengan gagasan perdamaian? 3. Di Indonesia, kategori mana yang lebih tepat untuk mengkategorikan benturan antar aliran keagamaan di Indonesia? 4. Sebagai pemuda, tindakan apa yang sebaiknya dilakukan untuk mengantisspasi fenomena tersebut?
20
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net
TINDAKAN AGRESI∗ Dalam bidang psikologi dan ilmu pengetahuan sosial dan behavioral, tindakan agresi adalah perilaku yang merugikan dan menyakiti orang lain. Tindakan agresi bisa berupa fisik dan ungkapan verbal. Sebaliknya, perilaku yang secara kebetulan menyakitkan dan merugikan itu bukanlah tindakan agresi. Beberapa Teori tentang Tindakan Agresi 1. Teori Tindakan Agresi Instinctual Berdasarkan teori instinctual, tindakan agresif manusia itu adalah karakter alami (bawaan sejak lahir). Freud sepakat bahwa tindakan agresi itu pada dasarnya berasal dari dorongan instingtif (thanatos) yang dimiliki tiap manusia. Freud menambahkan bahwa pada awalnya insting tersebut lebih cenderung bersifat merusak diri, namun selalu setelah dorongan ini bergesekan dengan dorongan instingtif orang lain, maka seluruh hasrat instingtif ini terus meningkat dari waktu ke waktu, dan jika dorongan ini tidak dilampiaskan (disalurkan) dengan baik, maka dia akan memuncak dan sangat berpotensi berubah wujud dalam bentuk tindakan kekerasan yang sangat membahayakan. Sejalan dengan hal ini adalah pertanyaan sejauhmana perilaku agresif itu menjadi watak psikis manusia; apakah insting agresif itu inheren dalam diri manusia. Berdasarkan sejarah panjang perilaku kekerasan yang dipraktekkan manusia dengan yang lain, mudah bagi kita mengasumsikan bahwa manusia itu pada dasarnya adalah makhluk yang kejam. Beberapa pakar antropologis lebih melihat hal ini sebagai potensi yang diwariskan secara turun temurun manusia, dari para leluhur primata, Australopithecus Africanus, yang hidup kurang lebih 3 juta tahun yang lalu (Freeman, 1964). Mahluk ini berubah dari kaum vegetarian menjadi pemakan daging. • •
Penjelasan tentang “watak kejam manusia pada yang lain” ini memiliki dua kelemahan: Pertama, dengan mudah kita bisa menemui manusia yang cinta kasih, pengayom, dan mudah bergaul, dan begitu juga sebaliknya. Kedua, claim bahwa watak karnivoris yang menjadi penyebab watak agresif dalam diri manusia itu berarti mengabaikan pembedaan penting antara tindakan agresif (aggression) dengan kecenderungan perusak (predator).
2. Teori Reaktif tentang Tindakan Agresif Teori ini berupaya menjelaskan bahwa tindakan agresif berkaitan dengan stimuli-stimuli dan pengalaman tertentu. Dengan demikian, teori tindakan agresif-frustatif (Dollard et al., 1939) didasarkan pada hipotesis bahwa tindakan agresif pada manusia itu dipicu oleh rasa frustasi dalam memenuhi kebutuhan. Watak seperti ini cenderung menjadi sumber frustasi. Jika sumber tidak dapat dikenali, atau jika tindakan agresif itu dipersalahkan, maka tindakan agresif itu akan mencari target lain (a “scapegoat”/kambing hitam). 3. Teori Agresi berbasis Tindakan Sosial
1.
∗
Teori ini menyatakan bahwa tindakan agresi itu adalah bentukan sosial. Manusia mengetahui: Individu atau kelompok mana yang patut ditindak secara agresif
Sumber: World Encyclopedia of Peace
21
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net 2. Tindakan-tindakan apa saja yang memiliki konsekwensi tindakan agresif balik. 3. Keadaan dan konteks seperti apa yang memungkinkan tindakan agresif dan tidak. Tidak seperti dalam perilaku binatang, kecenderungan-kecenderungan agresif itu tidak selalu bersifat genetic dan warisan genetic. Mekanisme transmisi watak agresif itu lebih sebagai bentukan sosial, begitu juga, perbagai perilaku, keahlian, sikap, dan pandangan dunia itu lebih sebagai hasil bentukan sosial. Sejas lahir, anak-anak mulai mempelajari bahasa di komunitasnya, dan kahirnya belajar nilai, watak, dan sikap tanpa mempertimbangkan alas an-alasan genetis.
A. Check Point
1. Pemahaman : Gagasan-gagasan apa yang dapat anda ambil dari artikel dia atas? 2. Pemahaman : Kenapa gagasan-gagasan tersebut penting bagi anda? 3. Penerapan : Sebutkan beberapa aktifitas praktis yang sejalan dengan gagasan-gagasan yang anda pelajari?
B. Guide Questions 1. 2. 3. 4.
Apakah anda setuju dengan teori tindakan agresi sebagai bentukan sosial? Coba kaitkan teori tersebut dengan kehidupan nyata yang anda disekitar anda? Bagaimana dengan perilaku penganut aliran keagamaan tertentu yang cenderung bersifat agresif? Sebagai pemuda, tindakan apa saja yang perlu diambil untuk mengurangi gejala tersebut?
22
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net PEMAHAMAN DASAR TENTANG KONFLIK DAN MANAGEMEN KONFLIK∗ A. Definisi Konflik/Sengketa: Sengketa adalah bertemunya dua pihak atau lebih yang mempunyai kepentingan/kemauan yang berbeda. Dalam sengketa, perbedaan kepentingan biasanya disertai dengan: ketidakpercayaan satu sama lain, kurangnya komunikasi, ketegangan dan perasaan/sikap yang emosional.
B. Beberapa Penyebab Terjadinya Sengketa/Konflik 1.
Pergaulan di masyarakat: konflik terjadi karena adanya perasaan negatif yang kuat seperti salah duga, persaingan antara kelompok/suku, ketidakpercayaan dan sebagainya.
2. Perbedaan Nilai / kepercayaan. Perbedaan tentang apa yang baik/bagus dan buruk/jelek antara individu atau kelompok bisa memunculkan konflik terutama ketika salah satu pihak memaksakan nilai/kepecayaannya kepada kelompok lain. 3. Kesalahan/kekurangan informasi. Jika informasi atau data yang diterima salah satu pihak berbeda dengan yang diterima oleh pihak lain tak jarana memunculkan sengketa karena menyebabkan adanya perbedaan pandangan dalam penyelesaian masalah 4. Perbedaan kepentingan. Sengketa bisa muncul akibat adanya kepentingan atas hal mendasar seperti: uang, sumberdaya alam, sumberdaya ekonomi, kebijakan. Jika salah satu pihak yang berbeda kepentingan tersebut memiliki kekuasaan/kekuatan untuk mengatur pihak lain (pemerintah, pemilik modal, perusahaan dll.), maka sengketa tersebut sering disebut sebagai konflik struktural.
C. Beberapa Cara Menyelesaikan Konflik / Sengketa 1. Negosiasi Dalam negosiasi, para pihak atau wakilnya (negosiator) berusaha melakukan penyelesaian sengketa di antara mereka tanpa melibatkan pihak luar. 2. Litigasi Litigasi merupakan bentuk penyelesaian sengketa melalui jalur hukum formal di pengadilan. Keputusan yang dibuat oleh hakim akan menghasilkan pihak yang kalah dan menang atau benar dan salah. 3. Arbitrasi Para pihak dalam proses arbritasi melibatkan pihak ketiga (disebut Arbiter atau wasit) yang secara aktif terlibat dalam menentukan proses penyelesaian masalah dan kesepakatan akhir.
∗
Source: Justice for the Poor Program, The World Bank, Social Development Program. www.worldbank.or.id
23
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net 4. Mediasi Proses penyelesaian masalah melalui mediasi ditandai dengan pelibatan pihak ketiga (disebut Mediator) yang dipilih secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersengketa. Para pihak bertanggungjawab untuk secara aktif mencapai kesepakatan dengan difasilitasi oleh mediator. Mengapa Mediasi di Pilih: Dibandingkan dengan upaya penyelesaian sengketa yang lain, mediasi memiliki beberapa kelebihan antara lain proses yang relatif lebih cepat dan tidak memakan banyak biaya. Selain itu, mediasi banyak dipilih karena biasanya menghasilkan kesepakatan yang sama-sama menguntungkan kedua belah pihak tanpa ada yang 'kalah' atau 'menang'.
Unsur-Unsur dalam Mediasi
1. Ada sengketa 2. Ada Pihak yang Bersengketa: Adanya Para Pihak yang Bersengketa. Para pihak dibedakan antara lain: PARA PIHAK yaitu para pihak yang memiliki hubungan langsung dengan pokok sengketa. PIHAK YANG BERKEPENTINGAN yaitu orang atau kelompok yang tidak memiliki kepentingan langsung dengan pokok sengketa namun posisinya dapat mempengaruhi para pihak yang sedang bersengketa. 3. Mediator: Orang yang dipilih oleh para pihak dengan sukarela untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan dalam menyelesaikan sengketa yang sedang dihadapi.
Seorang mediator sebaikya memiliki kriteria sebagai berikut: • Dapat diterima oleh kedua belah pihak yang bersengketa • Tidak memihak • Ramah, terbuka dan percaya diri • Bersimpati dan memiliki toleransi terhadap pihak-pihak yang bersengketa • Mampu merumuskan permasalahan dan alternatif penyelesaiannya • Mampu mengatasi situasi yang kurang menguntungkan
Prinsip-Prinsip Mediasi
Dalam proses mediasi, para pihak maupun mediator harus memperhatikan penerapan beberapa prinsip penting agar proses mediasi bisa berjalan dengan baik. 1.
2.
3.
4. 5.
SUKARELA: Mediasi hanya bisa berjalan dengan baik jika para pihak secara sukarela memilih penyelesaian melalui mediasi dan memilih siapa yang akan menjadi mediator dalam penyelesaian sengketa mereka. Begitu pula bagi mediator harus menerima tanggungjawab tersebut secara sukarela tanpa adanya tekanan atau intimidasi dari manapun. MEMBERDAYAKAN PARA PIHAK. Dalam mediasi yang baik harus selalu menjaga suasana dimana para pihak dapat bebas menyampaikan dan mendiskusikan masalah tanpa merasa dihakimi. Mediator sejauh mungkin tidak terlibat dalam isi kesepakatan melainkan mendorong dan memperkaya pilihan kesepakatan yang bisa menguntungkan bagi kedua belah pihak. KONSTRUKTIF. Mediasi yang baik harus dijiwai dengan semangat untuk kembali memperbaiki hubungan para pihak yang bersengketa yang sempat terganggu karena konflik yang terjadi. Oleh karena itu, penting untuk selalu mengarahkan proses pada pencarian jalan keluar dan mengurangi kesempatan untuk menengok ke masa lalu atau sikap saling menyalahkan. BERKELANJUTAN. Hasil-hasil dari mediasi pada dasarnya dihasilkan dan dimiliki oleh para pihak yang bertanggungjawab untuk menindaklanjutinya. EFISIEN. Keutamaan pokok dari mediasi adalah prosesnya yang seharusnya lebih cepat dan tidak mmebutuhkan biaya yang banyak.
24
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net 6. RAHASIA. Jalannya proses mediasi dan hasil kesepakatan pada dasarnya bersifat rahasia kecuali jika para pihak sepakat untuk menginformasikannya kepada pihak lain. Namun demikian, seorang mediator tidak dapat dipanggil ke pengadilan untuk menjadi saksi atas kasus yang dimediasi. 7. INFORMAL. Jalannya proses mediasi bersifat informal dimana mediator dan para pihak tidak menggunakan pendekatan kekuasaan.
Beberapa Tips Pra-Mediasi
Tips 1. Sebelum mulai melakukan mediasi, ada beberapa hal yang penting untuk dilakukan sebagai persiapan bagi seorang mediator: • Pastikan bahwa anda memiliki kesungguhan dan kesanggupan untuk membantu para pihak • Kumpulkan dan pelajari informasi yang berkaitan dengan sengketa TAPI tetap berfikiran terbuka mendengar masalah dari sudut pandang para pihak • Mulailah mengenali kebutuhan, kepentingan dan kondisi emosi para pihak • Pendampingan harus dilakukan lepada para pihak (jangan berat sebelah) dengan tujuan untuk mendorong adanya kesepakatan yang menguntungkan semuanya Tips 2. Prinsip Mediator yang Baik Perhatikan kriteria Mediator yang telah dikemukakan di depan, memilih mediator yang salah justru menghasilkan masalah. Tips 3. Seorang mediator jangan sampai melakukan hal-hal sebagai berikut: • Mendominasi pembicaraan dan berteletele • Membuat keputusan sendiri • Menyalahkan salah satu pihak atau • pihak lain yang terlibat dalam sengketa
Pembukaan Mediasi Tahap 1 •
• • •
Pada pertemuan awal mediasi, mediator sebaiknya membuka pertemuan dengan memperkenalkan diri kepada masing-masing pihak dengan menegaskan peran dan posisinya yang netral. Tanyakan kepada para pihak apakah benar-benar secara sukarela mau melakukan mediasi. Tanyakan juga apakah para pihak memang menganggap mediator sebagai pihak yang netral. Kemudian, mediator menyampaikan prinsip-prinsip mediasi agar diketahui oleh kedua belah pihak. Selain itu, penting juga disampaikan tahapan mediasi dan pelaksanaan kesepakatan. Suasana yang tepat, tidak ada gangguan baik dari pihak yang tidak berkepentingan maupun suara-suara atau keributan
Ingat !
Jika dalam pertemuan awal terdapat banyak sekali pihak yang terlibat, mediator sebaiknya
menentukan siapa PARA PIHAK dan siapa PIHAK YANG BERKEPENTINGAN. Jika ada banyak pihak, maka perlu dilakukan pengelompokan berdasarkan kepentingan. Untuk yang tidak memiliki kepentingan langsung atas sengketa sebaiknya dipersilakan untuk meninggalkan pertemuan.
Tahap 2 • •
•
Memahami Para Pihak dan Merumuskan Permasalahan Beri kesempatan menyampaikan pandangannya tentang sengketa dan jangan memotong pembicaraan. Pihak lain sebaiknya juga didorong untuk mendengarkan dan tidak memotong pembicaraan pihak yang sedang berbicara. Jika salah satu pihak tidak bisa menahan diri untuk berdebat, tunda
25
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net
• • • •
mediasi atau melakukan pertemuan awal dengan para pihak secara terpisah Boleh bertanya untuk memperjelas atau mengklarifikasi masalah. Buat catatan ringkas terutama mengenai para pihak yang terlibat, akar sengketa, tuntutan atau keinginan penyelesaian. Tandai dalam catatan tersebut setiap 'perbedaan' dan 'persamaan' Menyarankan kepada para pihak untuk mengambil jeda untuk meredam emosi, Menganalisa situasi atau membuat
Tips 4 Cara bertanya dan Perumusan Ulang • Hindari pertanyaan yang bersifat menyelidik, menuduh atau interogatif seperti: “Anda maunya kan begini...?”, “Apa benar anda melakukan hal tersebut?”, “Apakah anda..?” • Gunakan pertanyaan yang bersifat terbuka dan membagi pandangan/pengetahuan seperti: “Menurut anda bagaimana sebaiknya....?”, “Tolong dijelaskan mengapa...?” Beberapa Bentuk Pertanyaan • Pertanyaan TERBUKA: disampaikan dengan tujuan untuk mendapat jawaban seluas-luasnya. Biasanya pertanyaan ini diajukan untuk memahami sudut pandang dan menunjukan empati terhadap kepentingan orang yang ditanyai. Contoh: “Bisakan Ibu jelaskan bagaimana...?”, “Bagaimana perasaan Bapak pada saat....?” • Pertanyaan KUNCI berupa pertanyaan yang ditujukan untuk menggali informasi yang lebih banyak. Contoh: Pihak A: “Dia memang tidak ada niat baik untuk menyelesaikan masalah ini.” Mediator: “Tolong jelaskan, mengapa anda berpendapat demikian?” • Pertanyaan TERTUTUP ditujukan untuk mendapatkan informasi yang jelas dan spesifik. Tapi, hati-hati menggunakan pertanyaa tertutup karena bisa dianggap sebagai interogasi. Contoh: “Apakah anda menandatangani surat itu?”, “Masih ingat, kapan kejadiannya?”. Merumuskan Ulang Pernyataan atau Pertanyaan • Untuk mengurangi semakin memanasnya pembicaraan, seringkali mediator perlu untuk mengulang suatu pernyataan atau pertanyaan yang negatif menjadi lebih positif. Contohnya: Istri: Orang ini memang pembohong tengik, Pak. Dulu janjinya mau membahagiakan saya. Sekarang saya malah diinjak-injak. Saya tidak dianggap sebagai istri. Mediator: Jadi menurut anda suami anda tidak menepati janjinya? Menurut anda, suami anda telah memperlakukan anda dengan cara yang tidak baik?.
Tips 5 MENJADI PENDENGAR YANG BAIK 10 Langkah Menjadi Pendengar yang Baik: • • • • • • •
• • •
Menghadap ke arah orang yang sedang berbicara Terus-menerus perhatian dan mempertahankan kontak mata Menjaga agak pikiran tetap terbuka/tidak terburu-buru menyimpulkan Mendengarkan kalimat sambil berusaha menggambarkan apa yang sedang disampaikan Tunggu pembicara sampai berhenti baru mengajukan pertanyaan Jangan menyela apalagi memaksakan pendapat anda Ajukan pertanyaan hanya untuk memastikan pemahaman anda benar. Jangan sampai mengganggu jalan pikiran orang yang sedang berbicara Berusaha untuk ikut merasakan apa yang sedang disampaikan pembicara Berikan isyarat teratur bahwa anda memperhatikan apa yang disampaikan seperti dengan mengulang dengan ringkasan atau menganggukan kepala Perhatikan bahasa tubuh atau isyarat yang disampaikan pembicara
26
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net Hambatan Sebagai Pendengar • • • •
Suasana yang bising seperti suara TV, radio, bisik-bisik Sudah berprasangka buruk kepada si pembicara Penggunaan bahasa yang memiliki arti yang berbeda Bosan atau justru terlalu asik mendengarkan
TIPS TAMBAHAN • • •
• •
Jangan mudah panik jika terjadi keributan Cobalah untuk tidak terfokus pada logat/akses dan pembawaan si pembicara Jika pembicara memakai kalimat yang panjang-panjang, berkonsentrasilah pada pokok atau isu yang dimaksudkan Bila berhadapan dengan orang yang sulit/keras kepala, usahakan lebih banyak waktu untuk mendengarkan daripada waktu anda untuk berbicara Jika anda ragu: akan mendengar atau berbicara, pilihannya adalah TETAP MENDENGARKAN
TAHAP 3 Membantu Para Pihak Saling Memahami Satu Sama Lain & Mengetahui Kepentingan/Kebutuhan Utama Para Pihak • Salah satu trik untuk membuat para pihak bisa saling memahami adalah dengan meminta masing-masing pihak untuk mendengarkan dan meringkas apa yang sedang disampaikan oleh pihak yang sedang berbicara. • Untuk mengarahkan pada titik temu kesepakatan, mediator bisa membantu para pihak untuk mengubah TUNTUTAN menjadi KEBUTUHAN. Tulis di papan/kertas besar kemudian bersama para pihak memutuskan KEBUTUHAN mana yang akan diutamakan. TAHAP 4 Memunculkan Pilihan-Pilihan Kesepakatan Pada tahap ini, prinsipnya mediator diminta untuk bisa: • Mendorong para pihak untuk berfikir kreatif dalam mencari alternatif penyelesaian. • Membantu para pihak untuk mengevaluasi alternatif-alternatif yang ada dan memutuskan alternatif yang paling masuk akal dan mungkin untuk dijalankan. Tahap ini kadang menjadi sangat sulit karena para pihak tetap bertahan pada pendapat dan alternatif penyelesaian masingmasing. Jika terjadi kebuntuan dalam pembicaraan, coba lakukan beberapa cara di bawah ini: • Mengambil waktu untuk beristirahat terlebih dahulu. • Kesampingkan perbedaan yang ada sementara dan membahas kebutuhan-kebutuhan yang lebih ringan • Kemukakan kepada para pihak hal-hal yang sudah disepakati. • Puji mereka atas pencapaian mediasi sejauh ini, “Apa beberapa kesepakatan yang sudah baik ini akan diabaikan karena perbedaan kita dalam pembahasan bagian ini?”. • Mengajukan beberapa pertanyaan yang memancing penerimaan dan saling pengertian seperti: “Bagaimana kalau......?”, “Apa yang akan anda lakukan kalau anda ada di pihak dia (lawan)?”. • Minta para pihak yang bersitegang untuk merumuskan resiko atau ketakutan apa yang sedang difikirkan oleh masing-masing terhadap suatu alternatif kesepakatan. • Minta para pihak untuk menggambarkan situasi ideal di masa datang atau gambarkan resiko jika mereka gagal mencapai kesepakatan: “Kalau kita tetap bersikeras seperti ini, kerugian apa yang akan kita alami sebulan ke depan?” “Menurut anda, bagaimana kalau masalah ini sampai ke pengadilan?”. TAHAP 5 Mempertajam Kesepakatan
27
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net Jika para pihak sudah mencapai titik temu, penting untuk merumuskan kesepakatan tersebut secara jelas untuk menghindari kesalahan pengertian atau tidak terlaksananya hasil kesepakatan dengan cara antara lain: • Menuliskan secara rinci dan jelas isi kesepakatan tersebut dan minta para pihak untuk menandatanganinya. • Memastikan dengan hati-hati apakah para pihak memang sudah memahami isi kesepakatan tersebut. • Coba periksa isi kesepakatan tersebut: apakah ada pihak lain yang harus dimintai persetujuan untuk pelaksanaan kesepakatan tersebut? Jika ada, tentukan langkah-langkah untuk bersama untuk meminta persetujuan tersebut
Tips 6 Tips-Tips dalam Membuat Kesepakatan: • • • • • •
Isi kesepakatan mediasi sebaiknya sederhana, ringkas dan jelas mencerminkan kesepakatan para pihak Merinci tanggungjawab para pihak dalam melaksanakan/memenuhi kesepakatan Mencantumkan situasi khusus (bagaimana, kapan, dimana) kesepakatan akan dilaksanakan Memuat apa yang telah diselesaikan dan tindak lanjut apa yang masih harus dilakukan oleh para pihak Lengkapi dengan tanggal dan tempat dirumuskannya kesepakatan serta jangan lupa meminta para pihak untuk menandatangani kesepakatan tersebut. Rancangan kesepakatan harus dipersiapkan dengan baik. Jika masih dianggap perlu, lakukan koreksi atau perbaikan
TAHAP 6 Pelaksanaan Kesepakatan
A. Check Point 1. Pemahaman : Gagasan-Gagasan apa yang dapat anda ambil dari artikel dia atas? 2. Pemahaman :Kenapa gagasan-gagasan tersebut penting bagi anda? 3. Penerapan :Sebutkan beberapa aktifitas praktis yang sejalan dengan gagasangagasan yang anda pelajari
B. Guide Questions 1. Menurut anda, setujukah kalo mediasi ádalah metode terbaik untuk resolusi konflik? 2. Bagaimana posisi kearifan lokal dalam konteks manajemen konfllik di atas? 3. Sebagai pemuda, langkah apa saja yang dapat mempertajam metode manajemen konflik?
28
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net PERSPEKTIF HOLISTIK TENTANG KONSEP DAMAI & PENDIDIKAN PERDAMAIAN∗ Sejak 2001-2010, PBB menkampanyekan pelbagai program pembangunan perdamaian dan budaya anti Kekerasan bagi pemuda dan anak-anak di seluruh penjuru dunia. Hal ini berdasarkan pengalaman panjang pelbagai tindak kekerasan atas kemanusiaan baik langsung maupun tidak langsung. Perang, penindasan, kolonialisasi, diskriminas ras, invasi hanya melahirkan kegetiran, kemiskinan, keterbelakangan, dan segudang problem kemanusiaan lain. Pola perilaku ini telah menjadi budaya masyarakat dan bahkan telah masuk pada alam bawah sadar masyarakat dunia. Dengan demikian, tantangan kita sekarang adalah mengganti budaya kekerasan yang sudah melembaga tersebut dengan budaya cinta damai dan kasih-sayang. Salah satu cara terbaik untuk mewujudkan hal ini adalah dengan jalan pendidikan perdamaian. Pendidikan adalah salah satu aset terpenting manusia dan perangkat dasar bagi pembangunan budaya toleransi dan budaya damai. Dengan demikian, pendidikan adalah modal social (social capital) baik bagi pengembangan individu maupun sosial, sekaligus sebagai instrumen pembentukan dunia yang lebih cinta damai. Definisi tentang Budaya Damai? UNESCO mendefiniskan tentang budaya damai sebagai seperangkat nilai, sikap, tradisi, pola perilaku serta jalan hidup yang mencerminkan: 1. Penghargaan atas hidup dan hak-hak asasi manusia. 2. Penolakan atas semua bentuk kekerasan dan komitmen untuk mencegah segala bentuk konflik kekerasan melalui dialog, mediasi, dan negosiasi. 3. Partisipasi penuh dalam proses penguatan yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan dan tuntutan lingkungan social bagi generasi masa kini maupun di masa yang akan dating. 4. Promosi hak-hak kesetaraan dan kesempatan yang sama, baik bagi laki-laki maupun perempuan. 5. Pengakuan atas hak-hak asasi tiap individu, khususnya menyangkut kebebasan berkekpresi, berpendapat, dan berbagi informasi. 6. Pengakuan atas prinsip-prinsip dasar kebebasan, keadilan, demokrasi, toleransi, solidaritas sosial, kerjasama, pluralisme, keragaman budaya, dialog dan pemahaman antara pelbagai kelompok bangsa, suku, penganut agama, etnis budaya, dan struktur masyarakat lain, serta antar masingmasing individu. Jelas, ketentuan yang tertuang dalam deklarasi PBB tersebut tidak hanya untuk menghentikan segala bentuk peperangan dan kekerasan secara langsung, namun juga peperangan struktural atau kekerasan tidak langsung yang sering nampak dalam ketidakadilan distribusi sumber dan kekuasaan. Damai adalah konsep holistik yang terdiri dari dua ide dasar: (1) Gagasan “damai secara negative” (negative peace) yang mengacu pada upaya penghentian segala bentuk peperangan dan bentuk kekerasan fisik; dan (2) Gagasan “damai secara positif” yang mengacu pada pembentukan pola hubungan non-eksploitatif berdasarkan prasarat-prasarat keadilan dan kesejahteraan yang dengan hal ini akar-akar konflik dapat diminimalisir.
∗
Loreta N. Castro. Source:
29
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net Tabel 1: Definisi Damai
Damai Damai Secara Negatif : Minimalisasi perilaku kekeraan Fisik secara langsung, baik pada level mikro maupun makro
Damai Secara Positif: Adanya prasarat-prasarat berkeadilan, dan kesejahteraan, dan kesetaraan pola hubungan sosial, ekonomi, politik, dan ekologis Kekerasan Struktural (kemiskinan, dan kelaparan)
Kekerasan secara Langsung (perang, kekerasan, dan perilaku menyimpang pada anak dan wanita)
Kekerasan sosial budaya (rasisme, sexisme, dan sikap intoleransi)
Kekerasan Ekologis (polusi, konsumsi berlebihan, dll)
Kekerasan
Pola hubungan non-eksploitatif tersebut tidak hanya mengacu pada relasi antara manusia, namun juga relasi manusia dengan alam lingkungan sekitarnya. Damai dengan alam sekitar bisa dipahami sebagai fondasi dasar bagi gagasan damai secara positif (positive peace). Hal ini karena bumi (sampai saat ini) adalah satu-satunya tempat kita mengembangkan diri dan generasi serta melanjutkan hidup dan kehidupan; sangat mudah mengembangkan dan keberlangsungan hidup manusia, jika kemampuan alam untuk memperbaharui dirinya tidak terganggu atau dirusak manusia. Perlu dicamkan bahwa perilaku manusia itu sangat terkait erat dengan ketersediaan kebutuhan-kebutuhan dasar. Ketika kelangkaan sumber daya alam mulai mengancam keberlangsungan hidup dan hidup itu sendiri, maka perebutan sumber daya alam dan kebutuhan dasar lain akan memicu pelbagai konflik dan persengketaan. Tabel 1 menggambarkan diskusi komprehensif tentang gagasan damai sekaligus mendiskripsikan tipe-tipe kekerasan terkait dengan gagasan damai, baik secara negative maupun positif. Ruang Lingkup Konsep Damai Paparan konsep damai di atas juga mengiscayakan pemahaman kita atas ruang lingkup konsep tersebut pada semua level kehidupan, baik sejak kehidupan individu sampai pada tataran yang lebih luas.
30
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net Gambar 2: Ruang Lingkup Konsep Damai Damai antara manusia-manusia dengan bumi Dan seterusnya Perdamaian Global Damai antar kelompok sosial dan nasional Damai antar Individu Diri Sendiri yang Damai Menghargai Diri Energi Dalam Cinta & Harapan Menghargai orang lain berdasarkan Kerjasama berkeadilan dan toleransi
Menghargai kelompok lain yang sebangsa berdasarkan Kerjasama berkeadilan dan toleransi Menghargai bangsa-bangsa lain Yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan Menjaga Lingkungan Kehidup an yang berkesinambungan Pola Hidup Sederhana Kerangka Kerja Holistik Pendidikan Perdamaian Untuk mendefinisikan an mengkonseptualisasikan pendidikan perdamaian, terlebih dulu kita harus memahami kompleksitas dimensi dan cakupannya. Kmpleksitas dimensi dan cakupannya tersebut dapat dicerap melalui pemahaman holistik tentang gagasan damai terkait dengan pelbagai isu-isu dan problemproblem kemanusiaan. Tujuan dari pendidikan perdamaian adalah meningkatkan kesadaran kritis tiap individu, memberi penyadaran, dan mengajak mereka untuk menjalani hidup berdasarkan pengetahuan, skil, keahlian, dan nilai-nilai cinta damai, sebagaimana yang telah diajarkan.
31
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net Pendidikan Perdamaian: Skema Pengetahuan, Keahlian, Sikap & Nilai Loreta N. Castro
SIKAP/NILAI 1. Menghargai Diri 2. Mengharagai orang lain 3. Memuliakan kehidupan nirkekerasan 4. Belas Kasih 5. Peduli Problem Global 6. Peduli pada Lingkungan 7. Kerjasama 8. Keterbukaan dan Toleransi 9. Tanggung Jawab Sosial 10. Visi Positif
KEAHLIAN-KEAHLIAN
PENGETAHUAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
1. Refleksi 2. Berfikir Kritis Dan Analisis Kritis 3. Penentu Kebijakan 4. Imajinasi 5. Komunikasi 6. Resolusi Konflik 7. Pengembangan Kelompok
Gagasan Holistik tentang Perdamaian Konflik dan Kekerasan–SebabSebab Beberapa Gagasan Pendukung Kesadaran Damai tanpa Kekerasan Fisik Konflik tanpa Kekerasan Resolusi (Penyelesaian) Hak-Hak Asasi Manusia Solidaritas Manusia Demokratisasi Pembangunan berbasis pada Keadilan Pembangunan Berkesinambungan
32
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net
Membangun Budaya Damai Beberapa Cara Membangun Relasi dan Sistem Pembangunan Cinta Damai Dr. Jasmin Nario-Galace 1.
Menghargai Hidup & Kehidupan • Menghargai hidup tiap individu dan segala bentuk kehidupan di alam raya.
2. Menjaga Martabat Manusia • Menghargai hak-hak asasi manusia–terlebih kepada para wanita, anak-anak, dan kelompok minoritas yang menjadi korban konflik & Kekerasan. • Memenuhi Kebutuhan dasar Manusia • Mendorong Partisipasi secara demokratus 3. Mempromosikan sikap Anti-Kekerasan • Tidak merugikan atau bahkan membunuh • Mengedepankan pendekatan kasih saying dan cinta damai, dan menghindari pendekatan kekerasan secara fisik • Menggunakan metode resolusi konflik non-kekerasan seperti dialog, penyelesaian masalah dengan cara negosiasi, dan menjauhi penyelsaian konflik dengan senjata. • Menggunakan metode non-kekerasan untuk keadilan bersama, bukan doktrin ‘darah di balas darah’. • Menghindari permainan-permainan berbasis kekerasan dan program-program siaran media yang mengandung unsur kekerasan, atau mainan-mainan perang. 4. Mempromosikan Toleransi • Ingatlah bahwa perbedaan itu justru memperkaya keberadaan kita, dan bukan memecah belah kita; Carilah titik temu dari seluruh perbedaan yang ada. • Pelajarilah budaya dengan cara mengikuti kegiatan-kegiatan lintas iman / lintas budaya • Perangilah praktek dan sikap rasisme, etnosentrisme, sexisme, dan sikap keagamaan yang anti-toleransi. 5. Rawatlah Bumi sebagai Tempat Hidup kita bersama • Kurangilah, Manfaatkan Kembali, Daur Ulang, Perbaiki, Hindari • Tanamlah Pohon dan tanaman, buatlah kompos, dll. • Beraktifitas dengan sepenuh hati 6. Berbagilah dengan Saudara yang Lain • Berbagilah waktu, pengetahuan, harta, gagasan dan pengalaman dengan yang lain • Bertindaklah dengan baik dan fai • Bantulah organisasi dan lembaga peningkatan kualitas ekonomi.
33
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net 6 Langkah Perdamaian (Toh Swee-Hin and Virginia Floresca-Cawagas; Educating towards a Culture of Peace) 1.
Demilitarisasi – menghapus budaya kekerasan berarti mengakhiri watak militerisme, baik militerisme modern maupun konvenstional, serta mengakhiri bentuk-bentuk kekerasan lain, termasuk kekerasan media simbolis, permainan perang, dan kekerasan domestik.
2. Mengakhiri Kekerasan Struktural – Menjalani hidup dengan penuh kasih saying dan berkeadilan berarti menyeru pada semua bangsa dan masyarakat dunia, khususnya antara negera maju dengan Negara berkembang. Menyerukan konsep keadilan atas Negara maju bagi Negara miskin agar mereka menciptakan system yang adil untuk mengatasi perbedaan yang tajam antara keduanya dan dengan pelbagai bangsa terbelakang lain di dunia, sekaligus menantang dominasi para elit ekonomi dunia (Institusi-institusi ekonomi global seperti WTO, IMF, World Bank, dan lain-lain) dengan pelbagai program-program yang tidak menguntungkan masyarakat dunia yang tertindas. 3. Menjaga Hak-Hak Asasi Manusia – Menjunjung tinggi harkat kemanusiaan berarti mengembalikan nilai luhur martabat mereka untuk melawan segala bentuk kekerasan baik yang dimotori kuasa nasional maupun internasional. 4. Meretas Solidaritas Budaya – Harmoni antar budaya menuntut pemahaman dan penghargaan mendalam atas masing-masing berdasarkan kearifan local, penghargaan atas identitas budaya, dan pengetahuan antara beragam budaya yang dapat memperkokoh keseimbangan politik dan ekonomi. 5. Menjaga Lingkungan – Tanggung jwab pada tujuh generasi adalah dogma yang selalu mengingatkan kita akan kearifan local tentang pentingnya menjaga alam sekitar kita, khususnya damai dengan bumi yang kita pijak ini, demi kesinambungan alam dan bukan sebaliknya. 6. Diri yang Cintai Damai – Memperbaharui akar cinta damai dalam diri dengan mensinergikan seluruh kekuatan spiritual dan pemahan nalar, agar kita terhindar dari proses alienasi-diri yang disebabakan oleh banyak hal seperti konsumerisme, hedonisme, dan lain-lain.
A. Check Point 1. Pemahaman : Gagasan-Gagasan apa yang dapat anda ambil dari artikel dia atas? 2. Pemahaman : Kenapa gagasan-gagasan tersebut penting bagi anda?) 3. Penerapan : Sebutkan beberapa aktifitas praktis yang sejalan dengan gagasangagasan yang anda pelajari
B. Guide Questions 1. 2. 3. 4.
Menurut anda, dari mana sebaiknya promosi perdamaian dimulai? Bagaimana anda menjelaskan budaya perdamaian pada lingkungan sekitar anda? Bagaimana anda memahami konsep damai holistik? Sebagai pemuda, langkah apa saja yang dapat mendukung promosi perdamaian di lingkungan anda?
34
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net PENGEMBANGAN & PENGORGANISASIAN KOMUNITAS∗ RELASI COMMUNITY EMPOWERMENT DENGAN PERDAMAIAN Pemberian hadiah Nobel Perdamaian tahun 2006 kepada Professor Muhammad Yunus dari Bangladesh disebut-sebut cukup membuat sebagian orang terperangah. Hal ini cukup beralasan karena Muhammad Yunus bukanlah figur aktivis perdamaian dalam makna yang konvensional, seperti halnya Nelson Mandela atau juga Yasir Arafat. Ia adalah pendiri dan pemilik The Grameen Bank, yaitu sebuah bank di Bangladesh yang concern terhadap microfinance dan menyentuh kalangan grass root di sana. Tingkat kemiskinan yang cukup tinggi disertai lemahnya akses ke sumber-sumber ekonomi dan pendidikan bagi rakyat kecil di sana rupanya menggerakkan Muhammad Yunus dan timnya untuk berkontribusi aktif mengentaskannya lewat lembaga yang dimilikinya. Menariknya, selain karena memiliki core pada pemberdayaan/penguatan ekonomi masyarakat di sektor mikro, hampir sebagian besar nasabah dan debitur pada bank ini adalah kaum perempuan. Walaupun penulis belum mendapatkan angka riil sejauh mana tingkat kemiskinan di Bangladesh dapat dientaskan oleh bank ini, tetapi kontribusi Prof. Yunus dengan bank-nya inilah yang kemudian diakui oleh para juri Nobel yang kemudian menganggapnya layak menerima anugerah prestisius tersebut, yang lagi-lagi menariknya bukan di bidang ekonomi melainkan di bidang perdamaian. 1.
Sekilas mungkin timbul pertanyaan di benak sebagian orang, apa sesungguhnya hubungan antara aktivitas The Grameen Bank dengan perdamaian? Lalu mengapa juga hadiah Nobel tersebut tidak diberikan terhadap figur-figur yang selama ini dikenal cukup "berkeringat" dalam usaha-usaha rekonsiliasi dan perdamaian antara kubu-kubu yang bertikai? Lalu bagaimana penjelasannya jika dikaitkan dengan teori perdamaian negatif dan positif sebagamana dikemukakan oleh Johan Galtung misalnya? Tulisan singkat berikut mencoba untuk mengelaborasi jawaban dari beberapa persoalan di atas dengan fokus pada persoalan community empowerment dalam kaitannya dengan kesejahteraan dan perdamaian di tengah masyarakat. Selain membahas definisi, tulisan ini juga mencoba untuk membahas kerangka konseptual dan wilayah cakupan community empowerment.
2. Definisi Pemberdayaan Masyarakat Mengutip definisi yang dikemukakan oleh UNDP, Empowerment (pemberdayaan/penguatan) dianggap sebagai sebuah proses yang memungkinkan kalangan individual ataupun kelompok merubah keseimbangan kekuasaan dalam segi sosial, ekonomi maupun politik pada sebuah masyarakat ataupun komunitas. Kegiatan pemberdayaan dapat mengacu pada banyak kegiatan, di antaranya adalah meningkatkan kesadaran akan adanya kekuatan-kekuatan sosial yang menekan orang lain dan juga pada aksi-aksi untuk mengubah pola kekuasaan di masyarakat. Dari jenisnya, pemberdayaan/penguatan dapat dilihat pada dua level, individual dan komunitas. Pada tataran individual, isu-isu yang relevan dengan pemberdayaan adalah: hubungan patron-klien, gender, akses ke pemerintahan (negara), dan sumber-sumber kepemilikan properti. Sementara pada tataran komunitas, isu-isu utama yang biasa diangkat adalah: mobilisasi sumberdaya (resources mobilization), pemberdayaan/penguatan kerangka institusional dan akses hubungan (linkages) dengan badan-badan pemerintah.
∗
Aang A.B Yusuf. Source: (www.csrc.or.id/artikel/?Berita=071304022110 - 29k -)
35
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net 3. Berkaitan dengan isu ini, UNESCO sendiri pernah mengungkapkan bahwa titik tekan tujuan pembangunan di masa depan adalah untuk membangun manusianya bukan pada membangun benda-benda yang bersifat fisik (the goals, aims and objectives of the development to be not to develop things but to develop people). Implikasinya adalah bahwa pembangunan haruslah lebih ditujukan pada peningkatan pencapaian spiritual, moral dan material manusia seutuhnya, baik selaku individual maupun sebagai bagian dari anggota masyarakat. 4. Hal-hal itulah yang kemudian menjadi ranah pemberdayaan ataupun penguatan (empowerment). Signifikansi pemberdayaan/penguatan pada tataran individual tentu saja berbanding lurus dengan pemberdayaan/penguatan pada tataran komunitas. Dalam hal ini, Friedmann bahkan menyebutkan bahwa pemberdayaan/penguatan pada tataran individual dan komunitas terkecil dalam masyarakat yaitu keluarga/rumah tangga, sangatlah penting. Bahkan ia mengistilahkan pemberdayaan/penguatan jenis ini sebagai pembangunan alternatif (the alternative development). Pemberdayaan/penguatan pada tataran individual dan keluarga pada gilirannya akan berimbas pada tataran masyarakat. Dengan kata lain, jika kita ingin membenahi dan menguatkan masyarakat, sasaran pertama adalah pembenahan serta pemberdayaan/penguatan individu dan keluarga mereka terlebih dahulu. 5. Salah satu pemberdayaan/penguatan yang ditekankan oleh Friedmann adalah keadilan dan kesetaraan gender. Menurutnya, selama ini perempuan seringkali dirugikan dan disengsarakan oleh sistem patriarkis yang menganggap bahwa laki-laki lebih superior dibanding laki-laki. Dampaknya adalah perempuan lebih sering dianggap sebagai makhluk kelas dua dan tidak berdaya apa-apa sehingga banyak terjadi penindasan, baik dalam rumah tangga maupun di masyarakat. Dalam konteks pembangunan dan pemberdayaan, peran perempuan juga acapkali masih sering dinegasikan dan tidak diperhatikan. Padahal sebagai makhluk individual dan sosial, perempuan memiliki hak serta kemampuan yang sama dengan laki-laki. Lebih jauh, jika dihubungkan dengan perdamaian, perempuan-perempuan yang telah diberdayakan justru dapat menjadi agen-agen perdamaian yang potensial di tengah masyarakat. 6. Dalam konteks peacebuilding, pemberdayaan/penguatan masyarakat yang merupakan bagian dari pembangunan seringkali dihubungkan dengan pembangunan perdamaian yang berkelanjutan.Salah satu teori yang cukup terkenal dalam konteks ini adalah teori yang dikemukakan oleh Johan Galtung yang membedakan antara perdamaian yang bersifat negatif dan positif. Menurutnya, perdamaian yang negatif bermakna suatu kondisi di mana tidak ada konflik yang terjadi, sementara perdamaian yang positif adalah selain tidaknya konflik juga tercapainya suatu kondisi kesejahteraan & keadilan sosial di masyarakat. 7.
Sehingga dalam konteks ini, pemberdayaan masyarakat merupakan upaya proses transisi dari damai yang negatif menuju damai yang positif. Keadilan dan kesejahteraan sosial sendiri merujuk kepada suatu kondisi sosial. Indikator-indikator yang biasa digunakan pun cukup jelas, diantaranya adalah angka kriminalitas, tingkat pengangguran, angka illiterasi di kalangan masyarakat, kemiskinan, dan lain sebagainya. Semakin rendah angka-angka tersebut menunjukkan bahwa suatu masyarakat memiliki tingkat kesejahteraan sosial yang tinggi, sebaliknya jika angka-angka hal-hal di atas semakin tinggi, dapat dipastikan pula tingkat kesejahteraan mereka semakin rendah. Kesejahteraan sosial pun sebetulnya pada awalnya dapat diukur dari terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan individual yang bersifat basic needs seperti sandang,pangan,papan,dan tentunya yang sangat penting juga adalah keamanan ataupun kedamaian. Suatu masyarakat ataupun komunitas dapat dikatakan sejahtera jika kebutuhan-kebutuhan individual itu juga dapat terpenuhi dan tercapai pada level komunitas ataupun masyarakat. Pada tataran inilah, program-program community empowerment mendapatkan core-nya. Dengan program-program tersebut, kesejahteraan yang nantinya akan dicapai tidak hanya terkonsentrasi atau berputar di segelintir orang saja, tetapi haruslah dapat di-share dan dinikmati bersama.
36
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net Untuk itu, para aktivis dan masyarakat kemudian sadar bahwasanya usaha-usaha tersebut tidak akan mampu terwujud jika tidak didahului oleh adanya kohesi sosial yang mampu membuat iklim sehat dan menyatukan antar individu di masyarakat secara harmonis. 8. Untuk terbentuknya kohesi sosial yang kuat di kalangan masyarakat/komunitas tersebut, tentu diperlukan adanya social capital yang cukup di kalangan masyarakat/komunitas tersebut. Mengutip Robert D.Putnam, social capital didefinisikan sebagai fitur-fitur organisasi-organisasi sosial seperti saling percaya (trust), hubungan timbale-balik (norms of reciprocity), dan jejaring (networks) yang dapat meningkatkan effisiensi di masyarakat dengan memfasilitasi programprogram dan kegiatan-kegiatan secara bersama (collective actions). 9. Putnam tampaknya terpengaruh pada teori civil society ala Tocquevillian yang meyakini bahwa adanya kelompok-kelompok di masyarakat yang bersifat bebas (voluntary associations) diantaranya dapat menjadikan kohesi di tingkat masyarakat akan semakin kuat. 10. Jika kohesi tersebut sudah kuat maka pada gilirannya akan mempermudah program-program community empowerment dijalankan. Pemberdayaan Masyarakat di Indonesia: Peran Pemerintah & LSM Di Indonesia, program-program pemberdayaan masyarakat sudah banyak dilakukan, baik oleh pemerintah maupun LSM yang dibingkai dalam program-program penanggulangan kemiskinan, demokratisasi, lingkungan hidup, kesetaraan jender serta berbagai isu lainnya. Sayangnya, paradigma yang dianut pemerintahan di masa lalu mengakibatkan program-program tersebut sangatlah tergantung pada sumber daya hutang serta donor internasional. Hal ini menunjukkan adanya ketergantungan masyarakat penerima manfaat program pada sumbersumber daya dari luar ketimbang memanfaatkan dan memprioritaskan sumber-sumber daya lokal yang ada. Hal ini terjadi karena di masa lalu, seringkali dinyatakan bahwa local resources Indonesia sangatlah terbatas. Kini, paradigma seperti itu mulai perlahan-lahan ditinggalkan. BAPPENAS sebagai badan yang memiliki otoritas dan tanggungjawab dalam program-program pemberdayaan masyarakat menyatakan mulai melirik exit strategy dari ketergantungan kepada hutang luar negeri tersebut menuju local resources based. Selain kendala tersebut, kebijakan pembangunan di masa lalu pun bersifat top-down. Setelah era reformasi, ketika otonomi daerah & desentralisasi diterapkan di Indonesia, barulah kebijakan pembangunan yang mendukung keterbukaan serta pemberdayaan masyarakat lokal dalam proses pembangunan, baik dalam sosial, ekonomi, budaya dan ekonomi lebih diperhatikan. Hanya saja, secara umum, pola-pola pemberdayaan masyarakat baik yang dilakukan pemerintah dengan unsur-unsur non pemerintah kadang kala terbelit beberapa persoalan. Persoalan-persoalan tersebut di antaranya adalah: o o o
o o
Belum cukupnya jaringan kerja dan kerjasama (networks and collaboration) antara pemerintah dan civil society dalam upaya pemberdayaan masyarakat. Terbatasnya kapasitas mobilisasi pemerintah dalam mobilisasi sumber daya yang ditujukan untuk pemberdayaan masyarakat. Terbatasnya kapasitas manajemen dan organisasi maupun sumberdaya dari kelompokkelompok swadaya masyarakat yang dilibatkan dalam program-program pemberdayaan masyarakat. Terbatasnya kemampuan masyarakat dalam pengelolaan pembangunan ekonomi lokal yang berkelanjutan. Kurangnya jaringan kelembagaan dan akses masyarakat terhadap fasilitasi Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM).
37
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net
Uniknya pula, ada klaim di sebagian kalangan masyarakat bahwa program-program pemberdayaan masyarakat yang dijalankan oleh NGO-NGO terkadang lebih efektif dan lebih menyentuh kalangan grassroot dibandingkan dengan program-program serupa yang dijalankan oleh pemerintah. (Setidaknya sampai saat ini, penulis sendiri termasuk salah satu orang yang percaya hal tersebut). Klaim semacam itu berdasarkan pada bahwa terkait dengan fungsi sosial NGO. Sebagaimana dimaklumi, NGO-NGO banyak bergerak pada pemberdayaan masyarakat yang bisa mengantar mereka dalam perubahan sosial, ekonomi bahkan politik, 11. karenanya NGO-NGO memang dapat dikategorikan sebagai the third sector ataupun voluntary sector untuk membedakannya dengan sektor pertama yaitu kalangan pemerintah dan sektor kedua yaitu kalangan privat/bisnis. Sama halnya dengan sektor pertama dan kedua tersebut, NGO-NGO juga melaksanakan program-program yang sifatnya altruistic. 12. hanya saja basisnya lebih banyak pada sifat voluntary (sukarela), tak heran jika para aktivisnya lebih senang dikenal dengan sebutan volunteer (relawan). Karena sifat voluntary itulah yang kemudian menjadikan volunteernya terkadang lebih militan dan agressif dibandingkan dengan agen-agen "the first & second sectors". Alasan kedua klaim tersebut berkaitan dengan struktur NGO yang lebih fleksibel dan tidak birokratis serta hierarkis. Hal ini membuat NGO lebih fleksibel dan lebih cepat responsif terhadap persoalan-persoalan kemasyarakatan karena mereka lebih sering berkomunikasi dan berinteraksi dengan masyarakat (terutama yang membutuhkan). 13. Penutup Dari elaborasi singkat di atas, setidaknya secara teoritis, dapat tergambarkan bahwa ada keterkaitan yang cukup erat antara program-program pemberdayaan masyarakat dengan proses pembangunan perdamaian. Penulis sendiri percaya bahwa menjaga perdamaian yang sudah dicapai adalah sama sulitnya dengan menangani konflik itu sendiri, dan dalam konteks ini pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu media untuk menjaga perdamaian tersebut. Selain itu, jika di masa lalu, agen-agen pemerintah dan civil society belum menunjukkan kolaborasi yang kuat maka diharapkan agar kerjasama yang lebih erat dapat terwujud. Karena hal tersebut tentunya sangat dibutuhkan untuk menjaga agar perdamaian yang telah ada tidak lagi terkoyak ke depannya. Catatan 1.
Sebagai catatan pula, beberapa saat yang lalu, dalam sebuah dialog di TVRI sempat mencuat sebuah gugatan bahwa sebenarnya Indonesia pun memiliki sebuah Bank yang polanya mirip dengan the Grameen Bank, yaitu Bank Rakyat Indonesia. Bank ini sejak dahulu dikenal memiliki komitmen untuk memfasilitasi pembiayaan lebih banyak di sektor kecil dan menengah. Kantornya pun mampu merambah hingga hampir di seluruh kecamatan di Indonesia.
2.
Salehuddin Ahmed, "Empowering local communities: Comilla Approach and Experiences", dalam Joseph Mullen (Ed.), Rural Poverty, Empowerment And Sustainable Livelihoods, Asghate Publishing Ltd, England, 1999, hal. 86-87.
3.
Ibid, hal. 80
4.
John Friedmann, Empowerment: The Politics of Alternative Development, Blackwell Publishers, Cambridge Massachussets, 1992, hal 31-33. Dalam konteks ini, penulis teringat sebuah filsafat Yahudi yang mengatakan "Mulailah dari rumah", sementara dalam Islam dikenal pula sebuah konsep "ibda' bi nafsika (mulailah dari dirimu sendiri)".
5.
Salah satu tulisan yang cukup reflektif adalah yang ditulis oleh Leili Khairnur, "Damai Itu Bernama Perempuan: Pengalaman & Refleksi", dalam Edi Patebang (ed.), Mutiara Damai dari Kalimantan: Pengalaman & Refleksi, Institut Dayakologi, Pontianak, 2006, hal. 179-202.
38
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net
6.
Thania Paffenholz, Mohammed Abu Nimer and Eric Mccandless, Peace Building and Development: Intergrated Approaches to Evaluation, Editorial in Journal of Peacebuilding & Development, Vol. 2, No. 2, 2005.
7.
Lihat misalnya James Midgley, Pembangunan Sosial: Perspektif Pembangunan Dalam Kesejahteraan Sosial (terj. Social Development: The Developmental Perspective in Social Welfare), Ditperta DEPAG RI, Jakarta, 2005, hal. 17-24.
8.
Robert D. Putnam, Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern Italy, Princeton University Press, New Jersey, 1993, hal. 167.
9.
Alexis De Tocqueville, Democracy in America, Mentor, New York, 1984, hal. 198.
10. Tim Penyusun, Program Pengembangan Kemitraan Dalam Pemberdayaan Masyarakat (PKPM): Formulasi Program Secara Partisipatif, PKPM-Bappenas-JICA, Jakarta, 2004. 11. Tak heran jika NGO-NGO dikategorikan sebagai salah satu agen penguat civil society. 12. Altruisme adalah sifat yang mementingkan kepentingan orang lain dibanding kepentingan pribadi. 13. Lihat Jane Oliver, "'Practice What You Preach': Is Participant Empowerment Desirable In MicroDevelopment NGOs?", In Joseph Mullen (Ed.), Rural Poverty,Empowerment And Sustainable Livelihoods, Asghate Publishing Ltd, England, 1999, hal. 129-130.
A. Check Point 1. Pemahaman : Gagasan-Gagasan apa yang dapat anda ambil dari artikel dia atas? 2. Pemahaman : Kenapa gagasan-gagasan tersebut penting bagi anda? 3. Penerapan : Sebutkan beberapa aktifitas praktis yang sejalan dengan gagasangagasan yang anda pelajari
B. Guide Questions 1. Menurut anda, sejauhmana masyarakat merespon program perdamaian selama ini? 2. Bagaimana partisipasi masyarakat dilingkungan anda? 3. Sebagai seorang CO, langkah apa saja yang dapat mendukung promosi perdamaian di lingkungan anda?
39
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net PENGUATAN PEACE BUILDING MELALUI SOSIALISASI PERDAMAIAN & COMMUNITY EMPOWERMENT∗ Sejalan dengan menurunnya intensitas kekerasan di Indonesia, setidaknya memberikan secercah harapan bagi terciptanya Indonesia yang lebih damai dan kondusif. Pengecualian di daerah Poso dan Papua misalnya, konflik sesekali meletup namun setidaknya sampai hari ini sudah semakin kondusif dan aman terkendali. Perdamaian jangka panjang dan harmoni setidaknya menjadi khayalan bersama, walau tidak mudah menggapainya. Permasahannya sekarang adalah bagaimana menjawab masalah dan tantangan atas pembangunan perdamaian jangka panjang yang berakar dalam kehidupan dan yang dapat menyahuti kebutuhan masyarakat sendiri. Yaitu bagaimana individu-individu dan institusi-institusi dalam masyarakat mampu mendorong keadilan sosial, kepercayaan, empati, kerjasama, dan dialog di tengah masyarakat sendiri sehingga tercipta masyarakat yang lebih damai dan madani. Mengembangkan kegiatan pendamaian dalam konteks seluas-luasnya tidaklah mudah. Secara teoritis, ada beberapa tahapan yang dapat dilalui, diantaranya: 1.
Pertama, peace making (conflict resolution) yaitu memfokuskan penyelesaian pada masalah (kekerasan, pertikaian, dll) dan dengan segera menghentikannya. 2. Menjaga perdamaian peace-keeping (conflict management) yaitu menjaga keberlangsungan perdamaian dan memfokuskan penyelesaian masalah melalui pengembangan hubungan yang baik di antara masyarakat yang terlibat konflik. 3. Peace-building (conflict transformation). Dalam usaha peace building ini yang menjadi fokus untuk diselesaikan adalah perubahan struktur dalam masyarakat yang menimbulkan ketidakadilan, kecemburuan, kemiskinan, dsb. Dari berbagai diskusi dan pendapat para pakar konflik dinyatakan bahwa akar konflik atau kekerasan yang ada di tanah air ini dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu konflik horizontal dan konflik vertikal. Kedua akar konflik tersebut setidaknya bersumber dari banyak muara yakni masalah-masalah social yang melatarbelakanginya seperti ketidakadilan, kemiskinan, kesenjangan sosial, konflik agama dan etnis serta perbedaan pandangan politik. Jika dilihat dari pemetaan tersebut diatas maka seyogyanya pengembangan peace-building di Indonesia mengedepankan pendekatan yang lebih holistik yang berbasiskan kemanusiaan dan keadilan. Pendekatan ini secara nyata harus dapat menempatkan seluruh stakeholder peace building untuk duduk bersama bersinergi menghapuskan ketidakadilan, kemiskinan, dan kesenjangan social yang terjadi yang diyakini dapat berpotensi menyulut api konflik baru. Jika pendekatan peace-building ini dilakukan dengan baik maka diyakini "aroma potensi konflik" akan sedikit-demi sedikit memudar, walau tidak bisa hilang sama sekali? Mengenai pengembangan peace-building di Indonesia yang holistik setidaknya dapat dilakukan melalui dua pendekatan: 1.
∗
Sosialisasi perdamaian yang berkelanjutan (Socialization of Sustainable Peace). Sosialisasi perdamaian yang menyeluruh dan berkelanjutan harus terus dikampayekan kepada seluruh eleman masyarakat tanpa henti dan harus melibatkan pihak-pihak yang terkait langsung maupun
SHOLEHUDDIN A. AZIZ. (Source: www.csrc.or.id/artikel/?Berita=072303011312&Kategori=28 - 33k -)
40
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net tidak. Terdapat 4 (empat) agen sosialisasi yang utama, yaitu keluarga, Masyarakat, media massa, dan lembaga pendidikan sekolah. Menurut Gertrudge Jaeger peranan keluarga dalam memberikan pemahaman yang utuh mengenai konsep, makna dan penerapan perdamaian sangat signifikan dan dapat menjadi latar atau pondasi sebuah keyakinan atas prinsip perdamaian di dalam hati sanubari terdalam. Mengutip pandangan Komaruddin Hidayat, perlunya setiap individu menumbuhkan vibrasi positif dalam diri, menghasilkan bias damai bagi semua manusia. Konflik horisontal dan vertikal, menurutnya, saling memberikan amunisi. Ketika konflik horisontal terjadi, konflik vertikal memberikan api. Ketika konflik horisontal terjadi, elit-elit memanfaatkannya, demikian seterusnya. Ini menjadi modal dasar sebuah tatanan nilai perilaku dalam skala kecil di tingkat paling bawah yaitu diri dan keluarga. Begitu pula di dalam lingkup masyarakat, serat-serat nilai perdamaian juga harus mulai ditanamkan sejak dini dengan menghargai segala bentuk perbedaan yang prural dan menanamkan nilai-nilai keadilan. Hal ini bisa dikuatkan oleh adanya "kearifan lokal (local wisdom)" yang ada di setiap komunitas sebagai bingkai nilai tatanan nilai suatu msyarakat. Sebagai pelengkapnya adalah kontribusi lembaga pendidikan formal dan non formal yang mengajarkan pengetahuan tentang perdamaian, bagaimana konflik bisa muncul, bagaimana mengatasinya dan bagaimana menjaga perdamaian yang telah didapatkan. Semua ini dapat menjadi amunisi terbesar bagi peningkatan pemahaman atas perdamaian di seluruh aspek kehidupan. Disinilah dibutuhkan konsep-konsep advokasi perdamaian yang tepat untuk semua kalangan dan media pendidikan perdamaian yang memadai termasuk di dalamnya kurikulum pendidikan perdamaian yang berbasis integrasi sosial dan keadilan. Sejauh pengamatan penulis, sampai detik ini, belum banyak modul atau kurikulum pendidikan perdamaian yang cukup representatif sebagai media pembelajaran, yang ada hanyalah modul atau kurikulum untuk kepentingan lokal saja (seperti kurikulum pendidikan damai: perspektif ulama Aceh). Dan terakhir yang tidak bisa diabaikan adalah peranan media masa. Media massa merupakan salah satu agen sosialisasi yang paling berpengaruh dalam menyampaikan pesan "damai" atau sebaliknya. Media masa dapat menjadi penentu kualitas dan akibat atas pesan yang disampaikannya. Kampanye perdamaian di media sangatlah efektif jika dikemas dengan nilai-nilai yang benar, namun jika tidak maka media masa bak "pisau bermata dua". Disatu saat dia bisa menjadi sumber dan inspirasi perdamaian, disaat yang lain, dia juga bisa menjadi sumber-sumber pemicu konflik. Disinilah dibutuhkan pemahaman yang sama di kalangan jurnalis dan pemilik mass media untuk mendepankan nilai-nilai perdamaian yang abadi daripada sekedar mengejar rating suatu pemberitaan tanpa mempedulikan akibat yang ditimbulkannya. Penguatan kampanye "damai" ini harus terus dilakukan kepada seluruh stakeholder dan agen perdamaian yang ada. Seperti masyarakat, tokoh agama dan masyarakat, generasi muda, aktifis LSM, dan pemerintah serta pihak-pihak yang teribat langsung dalam konflik. Ketika seluruh komponen ini bersatu pada "satu kata" menabuh genderang perang dan meneriakkan _Damai_ untuk seluruh bidang kehidupan maka diyakini betul, segala potensi konflik yang ada akan dapat diatasi dengan secepatnya. 2. Penguatan komunitas (community empowerment) sebagai sebuah solusi. Dalam peta konflik di Indonesia, usaha-usaha peace-building yang menjadi fokus untuk diselesaikan adalah perubahan struktur dalam masyarakat yang menimbulkan ketidak-adilan, kecemburuan, kemiskinan, dsb. Hal ini meliputi kontek politik, agama, etnis, budaya, dan lain sebagainya. Peace-building saat ini sudah mengalami pergeseran makna yakni dari makna konvensional yang selalu identik dengan konflik terbuka menjadi makna holistik yang lebih terbuka dan menyeluruh. Ini terbukti dari disematkannya Nobel Perdamaian tahun lalu nan prestisius kepada seorang Moh. Yunus yang notanebe memiliki core pada pemberdayaan/penguatan ekonomi dan pemberdayaan masyarakat (community Empowerment) daripada seorang Soesilo Bambang Yudhoyono atau Martti Ahtasaari, sang inisiator Penjanjian Damai RI-GAM.
41
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net
Mengapa Nobel tersebut tidak diberikan terhadap figur-figur yang selama ini concern dalam usaha-usaha rekonsiliasi dan perdamaian antara kubu-kubu yang bertikai (conflict) saja?. Masih mengutip tulisan Aang, Empowerment (pemberdayaan) dianggap sebagai sebuah proses yang memungkinkan kalangan individual ataupun kelompok merubah keseimbangan kekuasaan dalam segi sosial, ekonomi maupun politik pada sebuah masyarakat ataupun komunitas. Kegiatan pemberdayaan dapat mengacu pada banyak kegiatan di antaranya meningkatkan kesadaran akan adanya kekuatan-kekuatan sosial yang menekan orang lain dan juga pada aksi-aksi untuk mengubah pola kekuasaan di masyarakat. Disinilah letak sebenarnya jawaban atas pertanyaan, bagaimana peace-building bisa dijalankan lebih efektif agar tercipta masyarakat yang penuh kedamaian? Penguatan kapasitas masyarakat di segala bidang harus menjadi prioritas utama untuk mengeliminir munculnya benih-benih perselisihan, kesenjangan dan ketidakadilan. Misalnya penguatan komunitas sadar hukum, penguatan komunitas sadar politik, penguatan komunitas sadar pluralisme, penguatan komunitas sadar gender, penguatan komunitas kawasan pesisir, penguatan komunitas daerah tertinggal, penguatan ekonomi masyarakat miskin, advokasi hak-hak sipil dan segudang aktifitas pengembangan komunitas lainnya yang bisa dijalankan. Sampai hari ini, sangat terlihat jelas bagaimana pemerintah tidak terlalu serius dalam mengembangkan kekuatan masyarakat dalam bidang ekonomi, politik, sosial budaya dan hukum. Ini bisa dibuktikan dari minimnya anggaran untuk pos tersebut dan tidak adanya lembaga pemerintah yang menjadi betul-betul concern melalui programprogram yang dijalankannya. Setidaknya pengembangan komunitas masyarakat ini hanya menjadi pelengkap semata. Di bidang pengembangan ekonomi masyarakat misalnya, malah lembaga non-pemerintah yang telah menorehkan tinta emas keberhasilannya seperti yang dilakukan oleh Dompet Dhuafa (DD). Di bidang penguatan HAM dan hukum misalnya sangat sedikit sekali peran pemerintah dalam mendorong hal diatas, hanya kalangan LSM yang betul-betul berjuang di area ini, itupun dananya tidak disupport dari pemerintah sendiri. Seharusnya pemerintah dan LSM serta masyarakat bersatu, bahu-membahu untuk hal maha penting ini. Kedua jalur pendekatan diatas, bertujuan untuk menjadikan masyarakat dan pemerintah lebih sadar dan memiliki bargaining possition yang pas dalam interaksi sosial dan mendapatkan kesejahteraan dalam masyarakat yang lebih harmonis serta terhindar dari kesenjangan dan ketidakadilan. Semua programprogram ini jika dijalankan secara sinergis dan penuh pertanggungjawaban maka akan menjadi sebuah kekuatan yang maha dahsyat untuk menciptakan masyarakat yang lebih Damai dalam kontek yang seluasluasnya.
A. Check Point Pemahaman Pemahaman Penerapan
: Gagasan-Gagasan apa yang dapat anda ambil dari artikel dia atas? : Kenapa gagasan-gagasan tersebut penting bagi anda?) : Sebutkan beberapa aktifitas praktis yang sejalan dengan gagasangagasan yang anda pelajari
B. Guide Questions 1. Menurut anda, adakah prasarat peace building selain paparan di atas? 2. Sejauhmana konsep CO ini bisa diterapkan dilingkungan kumuh dan terbelakang? 3. Sebagai pemuda, langkah apa saja yang dapat mendukung promosi perdamaian di lingkungan anda?
42
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net PANDUAN FASILITASI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT∗ A. PENGANTAR Menjadi fasilitator bukan sebuah pekerjaan yang ringan. Apalagi jika fasilitator yang dimaksudkan adalah fasilitator yang mencoba mengajak komunitas dampingannya untuk mencapai kesadaran kritis atas kondisi yang dialami oleh komunitas dampingan. Dibutuhkan kemauan dan kemampuan dari fasilitator untuk terlebih dahulu “mendidik dirinya sendiri” memahami realitas sosial yang sedang dialaminya pada umumnya serta realitas sosial komunitas dampingannya pada khususnya. Untuk mencapai peran di atas, ada beberapa hal yang harus dipahami oleh seorang fasilitator sebelum terjun langsung dalam sebuah komunitas. Pertama, tentang filsafat pendidikan. Kedua, tentang metodologi pendidikan. Ketiga, tentang teknik pendidikan. Ketiganya sangat dibutuhkan oleh seorang fasilitator sebelum terlibat secara langsung dalam pendampingan komunitas. Dan ketiganya sangat menentukan arah kemana dari hasil pendampingan seorang fasilitator atas komunitas. B. TUJUAN UMUM 1. Fasilitator memahami dan mengerti filasafat pendidikan partisipatif 2. Fasilitator menguasai metodologi dan teknik fasilitasi yang partisipatif 3. Fasilitator mampu menerapkan dan mempraktekkan pelatihan partisipatif C. METODE 1. 2. 3. 4. 5.
Brainstroming Diskusi kelompok dan presentasi Game Ice breaker Role play
D. POKOK BAHASAN 1. Filsafat Pendidikan Menjadi fasilitator merupakan sebuah bagian dari kegiatan pendidikan/belajar mengajar. Berkaitan dengan pendidikan sendiri, ada dua pendapat umum mengenai peran pendidikan. Pertama, pendidikan dipandang sebagai sebuah alat untuk melegitimasikan atau juga melanggengkan sistem yang sedang berjalan. Kedua, pendidikan dipandang memiliki peran yang penting bagi terjadinya perubahan sistem. Adanya dualisme dalam memandang peran dari pendidikan mengindikasikan bahwa pendidikan sendiri bukan sebuah hal yang tunggal. Dengan kata lain ada berbagai variasi pendidikan yang dijalankan. Secara garis besar terdapat dua aliran pendekatan pendidikan yang masing-masing memiliki basis paradigma sendiri sendiri, yaitu pendidikan non partisipatif dan pendidikan partisipatif.
∗
Joko Purnomo & Anang Sabtoni. (www.ireyogya.org/adat/modul_panduan_fasilitasi.htm - 276k -)
43
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net a. Filsafat pendidikan Non-Partisipatoris & Partisipatris Yang termasuk dalam pendidikan non partisipatoris adalah Pendidikan Konservatif dan Pendidikan Liberal. Dua pendekatan pendidikan tersebut dimasukkan dalam jenis pendidikan non partisipatoris dikarenakan tidak memberikan peran yang sejajar antara “pendidik” dengan yang “dididik” serta tidak memperhitungkan konteks sistem dan struktur sosial yang dihadapi dalam proses pendidikan. Kaum konservatif dan liberal mengasumsikan bahwa pendidikan tidak memiliki keterkaitan dengan persoalan yang terjadi di masyarakat. Pendidikan diasumsikan murni untuk pendidikan dan bersifat a-politik. Secara lebih luas tentang hal tersebut dapat dilihat dari deskripsi berikut ini.
PARADIGMA
JENIS
Pendidikan Konservatif
KESADARAN
KETERANGAN
o o
Magis-
o o o o
Fatalitik
NonPartisipatoris
o o
Pendidikan Liberal
o o o
Naif
o o o
o o
KritisPartisipatoris
Pendidikan Partisipatoris
o
Kritis
o o o o
44
Semua persitiwa terjadi secara alamiah. Kemiskinan, kebodohan, ketimpangan sosial adalah kesalahan individu sendiri. Segala sesuatu berdasarkan Takdir Tuhan. Monopoli pengetahuan melalui pendidikan Status Quo & Stabilitas adalah harga mati. Tidak ada partisipasi masyarakat.
Semua peristiwa adalah bentukan social (socially constructed). Kemiskinan, kebodohan, dan ketimpangan sosial dapat dirubah dan dikurangi Segala sesuatu berdasarkan usaha manusia. Tidak ada monopoli pengetahuan Modernisasi dan progresifitas adalah harga mati Perluasan pengetahuan melalui peningkatan kualitas pendidikan. Partisipasi oleh sejumlah “elit” pengetahuan. Blaming the victims
Semua peristiwa adalah bentukan social (socially constructed). Kemiskinan, kebodohan, dan ketimpangan sosial Pengetahuan adalah milik masyarakat sepenuhnya. Membongkar relasi kuasa dan pengetahuan Perubahan struktur secara fundamental dalam politik ekonomi masyarakat. Refleksi kritis atas ideology dominant menuju tranformasi sosial. menciptakan sikap kritis atas ketidakadilan sistem dan srtuktur social.
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net o o
o
dekonstruksi dan advokasi menuju keadilan sistem yang lebih merata. memanusiakan kembali manusia yang mengalami dehumanisasi karena sistem dan struktur yang tidak adil. Blaming the structure
2. Pendidikan Orang Dewasa Pendidikan orang dewasa (POD) atau sering diistilahkan dengan andragogy berasal dari bahasa Yunani. Andragogy berasal dari kata Aner yang berarti dewasa dan agogus yang berarti memimpin. Jadi andragogy (POD) adalah seni dan pengetahuan membelajarkan orang dewasa. Model pendidikan ini berlatar belakang pemahaman bahawa orang dewasa itu bukan lagi anak – anak, orang dewasa harus dipandang memiliki cara hidup dan pandangan hidup yang tidak lagi sama dengan anak – anak. Salah satunya orang dewasa tidak lagi tergantung seperti anak – anak. Beberapa hal lain yang membedakan antara seseorang sebagai orang dewasa dengan anak – anak adalah ; 1. 2. 3.
4. 5.
orang dewasa merupakan manusia yang tumbuh sebagai pribadi dan memiliki kematangan konsep diri orang dewasa adalah orang yang memiliki pengalaman hidup, karena itu tidak bisa dianggap sebagai yang tidak memiliki pengetahuan apapun orang dewasa mau terlibat atau berpartisipasi sesuatu ketika ia merasa tertarik atau merasa itu bermanfaat bagi dia. Dia memiliki keinginan yang sangat kuat untuk belajar, tetapi jika dia tidak mendapatkan motivasi, maka dia akan segera berhenti untuk datang dalam sebuah proses belajar tidak mau dipaksa dan tidak mau digurui Ciri – ciri orang dewasa demikian, dipandang membutuhkan sistem pendidikan yang berbeda dengan model pendidikan pedagogy yang diterapkan pada anak – anak. Asumsi yang dikembangkan, kurikulum yang dirumuskan, pola hubungan antara guru dan peserta didik, kemudian menjadi berbeda.
Makna pembelajaran pada orang dewasa tidak lagi sekedar transfer pengetahuan, lebih dari itu pembelajaran menjadi sebuah proses tukar pengalaman karena setiap pengalaman orang bisa dimanfaatkan untuk saling belajar. Orang dewasa yang memiliki pengalaman tidak lagi dianggap sebagai bejana kosong yang hanya menerima informasi, namun lebih dari itu, orang dewasa siap menggali pengalaman tersebut, menganalisa dan melakukan hasil analisa. Pembelajaran orang dewasa menjadi sebuah proses subyek melakukan penemuan, proses untuk memahami sesuatu. Pada akhirnya, pembelajaran bukan hanya proses duplikasi (peniruan), melainkan proses pada pengetahuan, sikap maupun tindakan (perilaku). Perubahan dari pembelajaran pedagogy menjadi andragogy, secara lebih luas dapat dilihat dalam perbandingan berikut. Keterangan
Pedagogy
PERAN PESERTA
¾ ¾ ¾ ¾
MOTIVASI BELAJAR
¾
Andragogy
Ikut peraturan. Menerima secara pasif. Menerima informasi. Punya sedikit tanggung jawab untuk belajar. Motif eksternal (dari luar diri sendiri), misal dari pemerintah, keluarga, tradisi.
45
¾ ¾ ¾ ¾ ¾
Menawarkan gagasan berdasarkan pengalaman. Terlibat secara aktif. Punya tanggung jawab untuk proses belajar. Motif internal (dari dalam diri sendiri). Peserta (pemuda belajar) melihat
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net ¾
Peserta (pelajar) tidak melihat manfaat secara langsung. Guru mengendalikan. Pelajar tidak punya (atau hanya sedikit) pilihan.
manfaat secara langsung. ¾
PILIHAN ISI
¾ ¾
FOKUS METODE
¾
Memberi Informasi.
¾
HUBUNGAN ANTAR PEMUDA BELAJAR
¾
Persaingan
¾
Berdasarkan permasalahan hidup atau pekerjaan yang dilakukan dengan pengungkapan oleh pemuda belajar. Membagi dan membangun pengetahuan dan pengalaman. Setara, tidak ada persaingan, dan saling mendukung, selain juga menghargai individualitas masing – masing pemuda belajar.
3. Metodologi Pendidikan Partisipatif Satu keterampilan yang cukup sulit adalah menerapkan prinsip – prinsip POD, karena itu berarti melakukan proses belajar dari pengalaman. Kita akan membahas bagaimana keterampilan, pengetahuan dan sikap yang berkait dengan prinsip POD. Secara sederhana, melakukan pembelajaran prinsip pendidikan orang dewasa, berarti melaksanakan pembelajaran dengan mengikuti fase siklus (daur) pembelajaran orang dewasa. Iklus (Daur) Pembelajaran
Pengalaman Langsung (1)
Aplikasi/Penerapan
Daur pembelajaran POD
(4)
Refleksi Pengalaman (2)
Generalisasi: Pelajaran Umum dari Pengalaman (3)
Siklus pembelajaran menghendaki pemuda belajar untuk melewati 4 (empat) langkah proses belajar. Pembelajaran yang efektif menghendaki kemampuan untuk menggunakan/ menerapkan (langkah le4) sesuatu yang dipelajari di langkah ke-3 (Generalisasi), di mana pemuda belajar membangun prinsip
46
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net berdasarkan analisis dari langkah ke-2 (Refleksi) dan dari pengalaman yang telah dilakukan pada langkah ke-1 (Pengalaman). Langkah ke-1 : Pengalaman langsung Pemuda belajar mengidentifikasi pengalaman masing-masing yang bisa menjadi informasi baru bagi pemuda belajar yang lain. Langkah ke-2 : Merefleksikan Pengalaman tersebut Pemuda belajar mengelola dan mengatur informasi yang dikembangkan pada langkah ke-1 (Pengalaman Langsung). Peserta menganalisis pengalaman itu sebagai informasi yang akan dikembangkan menjadi suatu “pembelajaran” pada langkah ketiga. Langkah ke-3 : Generalisasi Mengenai Pengalaman (atau Menemukan Hikmah Umum dari Pengalaman) Pemuda belajar harus menginterpretasikan ha-hal yang didiskusikan pada langkah ke-2 untuk mendapatkan “hikmah” atau “bahan pembelajaran” yang dapat dipelajari. Artinya, bahwa mereka harus melihat informasi (pengalaman) itu dan mengambil keputusan tentang makna untuk dirinya sendiri. Dengan kata lain, mereka menarik prinsip dan pelajaran / hikmah dari Pengalaman (langkah ke-1) dan Diskusi mengenai Pengalaman itu (langkah ke-2). Langkah ke-4 : Aplikasi/Penerapan Agar pemuda belajar merasa sessi mempunyai arti, maka dia harus menghubungkan isi pembelajaran baru dengan keadaan hidup dia sendiri. Pada langkah ini, mereka harus menghubungkan kaitan antara apa yang terjadi pada diskusi dalam sessi tersebut dengan dunia nyata. Hikmah yang diperoleh pada langkah ke-3 berisi muatan-muatan yang sering berbeda dengan kenyataan yang dihadapi peserta, sehingga memunculkan ide untuk melakukan sesuatu di langkah ke-4 ini. 4. Teknik – teknik Fasilitasi Partisipatoris a. Menjadi fasilitator yang baik Untuk menjadi fasilitator yang baik membutuhkan waktu dan pengalaman. Cara terbaik adalah dengan belajar sambil menerapkan (learning by doing). Fasilitator dan pelatih (trainer) yang paling efektif memiliki ciri-ciri sbb : ¾ ¾ ¾ ¾ ¾ ¾ ¾ ¾
Kepribadian yang hangat dengan kemampuan untuk menunjukkan penerimaan terhadap peserta/pemuda belajar/mahasiswa. Memiliki keterampilan sosial yang baik, dengan kemampuan untuk menyatukan kelompok dan mengendalikan tanpa merusaknya. Sikap mengajar yang memunculkan dan menggunakan ide-ide serta keterampilan peserta. Mengorganisasikan kemampuan sehingga sumberdaya yang ada dikelola dengan baik. Keterampilan untuk memperhatikan dan menyelesaikan masalah peserta/pemuda belajar. Memiliki kapasitas untuk mempresentasikan subyek secara menarik dan antusias. Fleksible dalam merespon kebutuhan peserta yang berubah. Memiliki pengetahuan yang memadai atas materi yang diberikan.
47
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net PERILAKU FASILITATOR YANG DAPAT MENDORONG PARTISIPASI PESERTA DALAM SESSI : 1. Bertanya 2. Ekspresi yang menyenangkan (tersenyum dan tertawa) 3. Santai 4. Terbuka 5. Memperhatikan semua peserta 6. Memberi contoh 7. Peka terhadap apa yang tengah dialami/dihadapi peserta 8. Tidak banyak berbicara/mendominasi pembicaraan 9. Bergerak/mobilitas 10. Rasa ingin tahu 11. Tidak menilai/menghakimi pendapat peserta 12. Tepat waktu 13. Menghargai atau menerima pendapat peserta 14. Mencatat semua pendapat 15. Pertanyaan dan pernyataan yang tidak menyinggung 16. Menjadi pendengar yang baik, tidak memotong pembicaraan 17. Mampu menjelaskan konsep, menguasai subyek yang dibicarakan 18. Mampu menjelaskan topik, tujuan, dan proses 19. Menggunakan metode yangbervariasi 20. Menggunakan bahasa yang tegas, singkat, lugas, jelas, dan tidak bertele-tele 21. Siap menerima kritik, Mau merubah diri, Memberi kesempatan berpikir
KESULITAN YANG DIHADAPI FASILITATOR : 1. 2. 3. 4. 5. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Ketika tujuan tidak sesuai dengan kondisi riil saat proses tengah berlangsung. Peserta memiliki perbedaan persepsi (pengertian). Ada trouble maker, peserta yang sengaja mengacau. Sebagian peserta merasa forum bukan sebagai habitatnya. Adanya peserta yang frustasi (misalnya karena harapan tidak sama dengan tujuan dari forum). Adanya peserta yangmendominasi. Adanya peserta yang menguji fasilitator. Keterbatasan media dan sarana. Kurang atau tidak menguasai metode/teknik fasilitasi. Peserta tidak terbiasa dengan metode/teknik yang dipergunakan. Adanya budaya hubungan guru – murid, sehingga peserta menunggu untuk diberi pelajaran terus. Krisis waktu atau kekurangan waktu dari yang direncanakan. Adanya peserta yang apatis. Hambatan bahasa.
CARA-CARA FASILITATOR MENGATASI KEADAAN YANG SULIT : CARA MENGATASI KEADAAN YANG SULIT CONTOH JENIS YANG SULIT
KEADAAN
TUJUAN TIDAK SAMA DENGAN HARAPAN
CARA MENGATASI / MEMECAHKANNYA
9 9 9 9
Training Needs Assessment sebelum pelatihan dimulai. Menginformasikan pada peserta secara jelas tentang tujuan pelatihan dan kriteria calon peserta. Menyediakan ruang yang cukup untuk umpan balik dari calon peserta tentang tujuan dan materi pelatihan. Mengidentifikasi harapan dari peserta.
48
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net
BUDAYA GURU – MURID
9 9 9 9 9
KEAHLIAN PESERTA YANG SETARA DENGAN FASILITATOR
9 9
PESERTA YANG APATIS
PESERTA YANG DOMINAN
9 9 9 9 9 9 9 9
Mencocokkan kembali tujuan dengan harapan. Tujuan dan harapan ditempel dan direview setiap hari. Menerapkan prinsip-prinsip POD. Membuktikan bahwa prinsip POD adalah yang terbaik, proses andragogy lebih menarik daripada pedagogy. Mengingatkan selalu pada peserta bahwa kita adalah fasilitator, bukannya guru. Memberi kesempatan pada peserta tersebut untuk membantu proses memfasilitasi. Membantu di sini dalam arti bekerja sama, harus dijaga jangan sampai kemudian dia yang mendominasi. Terampil dalam menggunakan metode/teknik.
Mengubah metode/teknik fasilitasi. Ice breaking. Paraphrase (mengulangi pertanyaan/pernyataan yang telah dilontarkan dengan kalimat lain yang tak berbeda secara substansial). Mood meter. Menggunakan media yang merangsang partisipasi peserta. Mengubah metode. Menunda (meminta untuk menunda), kemudian memberi kesempatan pada yang lain. Membuat sessi khusus untuk peserta yang dominan.
TIPS UNTUK FASILITATOR :
9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
Percayai dan gunakan sumberdaya yang dimiliki oleh peserta. Hargailah pendapat setiap peserta. Ciptakan suasana nyaman dan aman dari interupsi atau hal-hal lain yang mengalihkan perhatian. Bersikaplah fleksibel dan menyesuaikan diri terhadap suasana forum. Pekalah terhadap isu-isu yang dilontarkan forum. Ingatlah bahwa permulaan diskusi sangat penting bagi proses selanjutnya. Jagalah dan tangani perbedaan pendapat. Jagalah diri fasilitator sendiri, tetaplah rileks dan penuh ekspresi yang menarik. Berkomunikasilah dengan lancar tetapi taktis. Penampilan yang menarik dan menawan. Selingi humor biar forum tidak tegang. Pantaulah energi peserta, apakah masih kuat atau sudah loyo. Jika tidak mengetahui suatu permasalahan, akui saja. Mintalah masukan atau pendapat secara spesifik dari peserta. Jagalah kepercayaan diri Anda. Dll.
LARANGAN BAGI FASILITATOR :
9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
membiarkan forum menjadi liar tidak terfokus. bertele-tele dalam berbicara. mendominasi forum. membiarkan ada satu – dua peserta mendominasi forum. Emosional Mimik cemberut. berbicara dengan bahasa yang terputus-putus, misalnya dengan selingan “e” atau “anu”. gampang menilai apalagi memutus pembicaraan peserta. takut atau grogi. menggurui memaksakan diri jika tidak tahu. Dll.
49
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net b.
Mengelola training secara partisipatif
Pengelolaan training yang baik bagi seorang fasiliotator harus mengikuti aturan – aturan atau rambu – rambu yang telah ditetapkan dalam tata cara training. Aturan – aturan atau rambu – rambu dalam pengelolaan training bila ditaati oleh seorang fasilitaor akan membawa proses pembelajaran kearah sempurna. Tujuan lainnya, fasilitator mampu mengelola training dari awal, mulai mempersiapkan training, mengelola forum, hingga membuat evaluasi training tersebut. Proses persiapan dari awal hingga akhir inilah disebut pengorganisasian training.
“PENGORGANISASIAN TRAINING ADALAH PROSES, CARA MENYUSUN SUATU POLA KESATUAN PELATIHAN YANG TERDIRI ATAS BEBERAPA TAHAPAN DALAM SEBUAH PELATIHAN UNTUK TUJUAN TERTENTU”. Langkah – langkah pengorganisasian training 1.
TAHAP PERSIAPAN
Hal-hal yang harus dipersiapkan sebelum diskusi adalah sebagai berikut. 1. 2. 3. 4. 5.
6.
Tema. Tema ini bisa menyangkut masalah yang dihadapi suatu masyarakat, atau memunculkan ide baru dalam rangka perbaikan atau pengembangan masyarakat. Tujuan. Berangkat dari tema yang dipilih, maka rumuskan tujuan yang ingin dicapai melalui diskusi yang akan diselenggarakan. Peserta. Berapa jumlah peserta yang diundang, siapa saja yang akan dilibatkan sebagai peserta diskusi. Fasilitator.Sebaiknya mencari fasilitator yang memiliki pemahaman prinsip – prinsip fasilitator yang partisipatif dan mempunyai pengalaman mengelola sebuah training. Tempat atau ruangan. a. Sebaiknya pilih tempat diskusi yang netral, terutama jika suatu diskusi diadakan dalam rangka menyelesaikan suatu pertikaian. b. Ciptakan ruang diskusi yang nyaman, sebab kenyamanan berpengaruh pada psikologi peserta diskusi. c. Beberapa pilihan bentuk tata ruang diskusi (gambar tata ruang lihat lampiran): Model meja dan kursi berderet Bentuk huruf U (tapal kuda) Model tulang ikan Model konferensi Model melingkar atau setengah lingkaran Tiga meja untuk masing-masing kelompok Waktu. Ada 2 macam waktu:
a. b.
7.
Waktu pelaksanaan: pagi, siang, malam, hari libur (minggu), hari kerja, dsb. Lamanya pelaksanaan diskusi. Lamanya pelaksanaan diskusi harus diperhatikan betul. Jika terlalu pendek, dikhawatirkan tidak tuntas membahas masalah yang dimaksud. Jika terlalu lama kemungkinan menimbulkan kejenuhan bagi peserta. Untuk itu perlu dilakukan suatu penjadwalan Metode dan media a. Metode adalah cara yang dipakai untuk menunjang pelaksanaan diskusi. Macam-macam metode: Diskusi kelompok Brainstorming (curah pendapat) Buzz group b. Media adalah alat yang dipakai untuk membantu peserta memahami tema diskusi. c. Macam-macam media: Kliping koran/majalah, komik Rekaman suara, suara radio Film Bermain peran Dll
8.
Perlengkapan/alat bantu
50
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net Perlengkapan yang harus disiapkan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan diskusi, antara lain: alat tulis, papan tulis/kertas plano/kalender bekas, dll. Bila perlengkapan tersebut di atas tidak dapat disediakan, maka fasilitator bisa menggunakan eralatan sederhana yang terdapat pada lingkungan sekitar tanpa tergantung pada alat yang standar.
Tabel perencanaan diskusi Metode/ Tema
Peserta
Tempat
Waktu
Alat Bantu
Curah pendapat
Perangkat adat
Rumah adat
Minggu sore
Papan tulis
Diskusi kelompok
Pemuda adat
Tujuan media
Musyawarah masyarakat adat.
Pemuda terlibat aktif dalam musyawarah
Alat tulis
Undangan
2. TAHAP PELAKSANAAN Hal-hal yang harus diperhatikan: 1.
Pengantar diskusi Yang harus dilakukan pertama kali adalah memberikan semacam pengantar bagi peserta tentang maksud diadakan diskusi, bagaimana diskusi akan diberlangsungkan, dsb. Perkenalan
2.
“Tak kenal maka tak sayang” merupakan ungkapan lazim untuk menunjukkan betapa pentingnya setiap peserta mengenal satu sama lain. Hal ini diperlukan untuk menciptakan suasana diskusi yang nyaman dan menyenangkan. Ada kemungkinan bahwa masih ada peserta yang tidak mengenal satu sama lain meski mereka adalah penduduk di satu desa yang sama. 3.
Harapan dan kekhawatiran peserta.
Fasilitator harus mengetahui harapan dan kekhawatiran yang dimunculkan oleh peserta atas proses diskusi yang akan dilaksanakan. Hal ini penting sebagai rambu-rambu bagi fasilitator untuk memperhatikan kebutuhan peserta diskusi. 4.
Aturan main Merupakan kesepakatan yang dibuat oleh peserta secara bersama-sama tentang bagaimana hubungan antar peserta atau berkait dengan hal-hal teknis pelaksanaan diskusi lainnya. Misalkan tentang aturan mengemukakan pendapat, merokok di dalam ruangan, keterlambatan mengikuti sesi, dsb.
5.
Alur diskusi,
Merupakan tata urutan proses diskusi yang sistematis dan terarah sehingga memudahkan pembahasan tema. Secara garis besar ada 4 alur: a.
Identifikasi masalah menentukan, mendaftar, menyebutkan masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat
b.
Prioritas masalah • •
menetapkan masalah utama dengan pertimbangan: intensitas dampak, seberapa besar dampak masalah ini pada kehidupan masyarakat
51
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net •
kebutuhan masyarakat
Solusi
c.
a.1. Melakukan refleksi (melihat kembali) solusi atau pemecahan terhadap masalah yang (hampir) sama, yang pernah dilakukan sebelumnya. Menilai kekurangan dan kelebihan solusi tersebut. a.2. Menentukan pemecahan bagi permasalahan utama, belajar dari solusi terdahulu, dengan melakukan beberapa perbaikan, sehingga menghasilkan solusi yang lebih baik dan tepat guna. d.
Rencana Tindak Lanjut (RTL)
membuat perencanaan solusi yang lebih konkrit (nyata) dan mudah dilaksanakan. Rencana tindak lanjut bisa dirumuskan dalam bentuk tabel seperti berikut ini. No
Waktu
Penanggung-jawab
Kegiatan 1.
Kerja bakti membersihkan jalan desa adat
Minggu I Agustus
Ketua adat
2.
Mengumpulkan dana sosial adapt
Minggu I-II Agustus
Bendahara adapt
Rancangan alur diskusi bisa dibuat lebih terperinci dengan menentukan metode yang dipakai dan jangka waktu yang diperlukan. Contoh: Sesi Sasaran Total waktu Alat bantu
: Identifikasi masalah : Menenemukan masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat : 120 menit (2 jam) : kertas plano, spidol, papan.
No
Fasilitator
Metode
Waktu
Presentasi
30 menit
Identifikasi masalah
Diskusi kelompok
60 menit
Laporan kelompok
Presentasi dalam pleno
15 menit
Evaluasi
Presentasi
15 menit
Kegiatan Pengantar a.
Perkenalan
b.
Penjelasan topik
c.
Penjelasan metode
d.
Aturan main
52
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net 6.
Evaluasi proses
Sebaiknya setiap diskusi diakhiri dengan evaluasi proses, artinya fasilitator membantu peserta untuk memahami proses, menilai kekurangan dan kelebihan forum, perkembangan forum (kemajuan atau kemunduran dibandingkan pertemuan sebelumnya), serta mengajukan usulan untuk diskusi selanjutnya. 3. TAHAP PASCA DISKUSI Yang harus dilakukan setelah pelaksanaan diskusi adalah: 1.
Sosialisasi hasil diskusi
Suatu diskusi komunitas tidak selalu dihadiri oleh semua anggota masyarakat, mungkin saja memang sejak awal yang diundang hanyalah perwakilan pemuda. Karena itu perlu dilakukan sosialisasi hasil diskusi, selain karena isunya menyangkut masyarakat umum, juga bertujuan memudahkan pengawasan terhadap agenda aksi yang dirumuskan. 2.
Melaksanakan Rencana Tindak Lanjut (RTL) Yang tidak kalah pentingnya adalah melaksanakan kesepakatan bersama yang telah dibuat dan dirumuskan dalam bentuk RTL. Sebuah rencana kerja dilaksanakan oleh sebuah kelompok kerja yang dibentuk bersama dalam forum diskusi. Sebaiknya Ketua RT atau Pengurus RT tidak dilibatkan dalam kelompok kerja, tetapi berfungsi sebagai pemantau atau pengontrol pelaksanaan RTL.
3.
Mengontrol/memantau pelaksanaan RTL
Hal ini bisa dilakukan dengan menetapkan suatu mekanisme pemantauan tertentu yang dilakukan oleh Ketua RT atau membentuk semacam kelompok pemantau untuk memastikan bahwa setiap agenda aksi dilaksanakan. 4.
Evaluasi RTL
Untuk mengetahui hasil pelaksanaan RTL maka dilakukan evaluasi. Tentukan mekanisme dan jangka waktu evaluasi. Hal ini penting untuk melihat perkambangan kerja dan sebagai bahan acuan untuk kerja berikutnya. 5. Teknik atau Metode Fasilitasi Ada berbagai macam cara atau teknik yang digunakan oleh fasilitator dalam mengelola sebuah diskusi. Teknik ini akan berguna bila seorang fasilitator mengalami sebuah kendala dalam pelaksanaan pelatihan. Salah satu tujuan dari teknik memfasilitasi adalah membangkitkan peran dari peserta pelatihan untuk dapat secara maksimal terlibat dalam sebuah diskusi. Selain itu, partisipasi peserta akan lebih terlihat bila teknik ini digunakan. Teknik Brainstorming (Curah Pendapat/Gagasan) Adalah teknik untuk memperoleh ide, analisis dan partisipasi. Kegunaannya adalah mencari ide semaksimal mungkin dari peserta. Modal utama fasilitator dalam melakukan teknik ini adalah kemampuan bertanya, memberi kesempatan peserta mengemukakan pendapatnya, mendengarkan dan merumuskan ulang pendapat-pendapat peserta untuk kemudian mengolahnya. Pada kenyataannya apa yang dicurahkan peserta/mahasiswa bukan hanya apa yang disebut pendapat. Fasilitator yang cakap akan dapat mengenali karakteristik peserta dari isi dan cara bagaimana pendapat/informasi itu dikemukakan oleh peserta. Dengan cara inilah fasilitator dapat segera mengetahui siapa yang dihadapinya, yang kemudian menjadi pegangannya untuk memikirkan dan menetapkan siasat-siasat menghadapi peserta tersebut. Kekuatan Hal-hal yang harus diperhatikan 1. 2. 3. 4. 5.
Partisipatoris. Banyak ide. Mengundang keberanian. Ide berkembang terus. Mendukung cara pikir analitis.
1.
Pertanyaan harus jelas.
2.
Banjir ide.
3.
Dominasi oleh orang yang berpikir cepat.
53
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net 4.
Kecenderungan dominasi laki-laki.
5.
Jika terlalu sering digunakan akan membosankan.
6.
Sulit dilakukan pada kelompok yang sangat besar.
7. Klarifikasi bisa sangat rumit, terlebih bila telah ada klasifikasi dari fasilitator sebelum masuk kelas. 8.
Hasil perlu digunakan pada sesi-sesi selanjutnya.
Langkah-langkah dalam Brainstorming: 1: Pengembangan Ide 1. 2. 3. 4. 5.
Memperkenalkan topik. Menjelaskan aturan main (ide sebanyak mungkin, tidak boleh ada kritik karena bukan perdebatan, bisa menggunakan ide orang lain, bebas dalam beride bahkan ide yang aneh adalah baik, siapa saja dapat bicara). Mengutarakan pertanyaan selalu secara tertulis. Menulis semua ide di kertas plano, jika terlalu panjang bisa minta istilah lain pada pemberi ide. Setelah selesai seseorang mengutarakan ide, maka selalu menanyakan pada peserta lain : “ada ide lain ?”.
2: Klarifikasi 1. 2. 3.
Menjelaskan proses klarifikasi (belum mengkritik). Membaca ide satu per satu, jika belum jelas maka diklarifikasi pada si pemberi ide. Klarifikasi diupayakan selalu tuntas.
3: Mengumpulkan atau Klasifikasi 1. 2. 3. 4.
Menjelaskan langkah klasifikasi. Meminta peserta mengelompokkan ide-ide yang sama/mirip/serupa. Memberi nama untuk tiap kelompok dengan nama yang mencerminkan/mewakili seluruh ide. Cek ulang apakah ada ide-ide dalam kelompok yang kurang cocok atau bahkan salah dimasukkan dalam kelompok tersebut.
4: Analisis Masalah/Mengambil Keputusan 1. 2. 3.
Mengajak peserta membahas hasil dari tiap kelompok. Mencatat hasil. Menentukan bersama apa yang yang menjadi prioritas yang harus ditindaklanjuti.
Teknik Roundrobbin (Giliran) Apabila dalam brainstorming mengalami kesulitan seperti tidak adanya peserta yang berpendapat atau adanya dominasi sedikit orang yang berpendapat, maka fasilitator dapat merubah teknik brainstorming dengan teknik roundrobbin/giliran. Dalam teknik ini semua diberi kesempatan (bahkan ada keharusan) untuk berpendapat secara bergiliran. Kekuatan
Hal-hal yang perlu diperhatikan
1.
Partisipasi tinggi.
1.
Menghindari pidato.
2.
Menghargai pendapat orang lain.
2.
Dapat membosankan.
3.
Cepat.
3.
Perlu waktu agak lama.
54
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net 4.
Banyak ide.
Langkah-langkah dalam Roundrobbin: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Memperkenalkan topik yang akan dibahas. Menyampaikan pertanyaan secara tertulis karena akan membantu orang terfokus pada pertanyaan. Memberikan kesempatan berpikir sejenak (berefleksi 2 – 3 menit). Mulai giliran dengan satu orang dan memberikan kesempatan tiap orang secara berurutan (boleh “pas” tapi kemudian harus dicek kembali). Menulis pendapat para peserta di kertas plano. Dilanjutkan sesuai tujuan semula (berkaitan dengan topik). Setelah ada banyak pendapat/gagasan, maka langkah selanjutnya seperti dalam brainstorming (klarifikasi, klasifikasi, dan analisis masalah/pengambilan keputusan).
Teknik Metaplan : Merupakan teknik untuk mengumpulkan ide yang menyerupai dengan teknik brainstorming, namun dengan menggunakan kartu. Teknik ini terutama dapat digunakan dalam kelompok/kelas dimana peserta/pemuda belajarnya masih malu-malu atau takut untuk mengungkapkan idenya secara lisan, sehingga awalnya bisa dimulai dengan menuliskan pada kartu, ditempelkan dan baru kemudian ditanggapi secara lisan. Kegunaannya adalah curah pendapat, menghasilkan ide, pengorganisasian ide dan mencari konsensus. Kekuatan Partisipasi tinggi. Mudah diperagakan. Membantu bagi orang yang malu berpendapat secara lisan. 4. Memudahkan refleksi. 5. Mudah disortir. 6. Tersedia waktu agak banyak untuk berpikir. 7. Portable, karena hasil bisa dibawa ke mana-mana. 1. 2. 3.
Hal-hal yang perlu diperhatikan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Terlalu banyak kartu. Proses penyortiran kartu bisa rumit. Jika terlalu sering digunakan akan membosankan. Tulisan jangan terlalu kecil (satu kartu satu ide). Membutuhkan tempat agak luas. Perlu perlengkapan khusus. Dominasi dalampengorganisasian.
Langkah-langkah dalam meta plan : 1. 2. 3.
4. 5. 6. 7.
Menyiapkan tempat dan peralatan pendukung (kartu, plastik/kain untuk menempelkan kartu, ATK). Menyajikan topik yang akan dibahas dalam wujud pertanyaan / pernyataan secara tertulis. Menjelaskan aturan main dan proses : 9 Satu ide satu kartu. 9 Tulisan dibuat besar. 9 Kalimat singkat (maksimal 6 kata) namun sedetil mungkin. 9 Semua kartu yang dibagikan sebisa mungkin digunakan (ide sebanyak mungkin sesuai kartu yang dimiliki). Cukup waktu (sekitar 5 menit) untuk brainstorming bagi diri sendiri. Memberi waktu menuliskan ide/gagasan di kartu. Mengumpulkan kartu dan memasangkannya di tempat yang mudah dilihat semua peserta (Tips : jika menggunakan papan tulis atau dinding, maka perlu dipasangi kertas dahulu agar mudah dipindahkan). Dilanjutkan seperti langkah-langkah dalam Teknik Brainstroming (Klarifikasi, Klasifikasi, Analisis Masalah/Mengambil Keputusan).
Teknik buzz groups (kelompok lebah/rapat kumbang): Merupakan teknik sederhana untuk menggali informasi dan perasaan dalam suasana orang berdiskusi dalam kelompokkelompok kecil (2 orang) secara paralel/bersamaan dalam suatu ruangan yang sama. Disebut Buzz (lebah) karena dalam pelaksanaannya akan terdengar suara seperti lebah/kumbang (“zzzzzz”) akibat banyaknya kelompok-kelompok kecil orang yang berbicara.
55
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net Kekuatan
Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan
1.
Sangat partsipatif
1.
Memakai waktu yang singkat (3–5 menit).
2.
Efektif terhadap kelompok yang malu
2.
Pertanyaan harus jelas/ sederhana.
3.
Mudah mengukur tingkat partisipasi
3.
Hasil perlu digunakan.
4.
Dapat digunakan dengan kelompok besar
5.
Menciptakan rasa aman
Langkah-langkah dalam buzz groups : Memperkenalkan topik yang akan dibahas. Menyampaikan pertanyaan secara tertulis karena akan membantu orang terfokus pada pertanyaan. Memberikan kesempatan berpikir sejenak (berefleksi 2 – 3 menit). Peserta bergabung dengan “tetangga” (rekan yang duduk di samping/dekatnya), kemudian membahas topik (jangan lama-lama, sekitar 5 menit saja). Menulis pendapat di kertas sendiri, kertas plano atau lainnya. Kesimpulan.
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Teknik Diskusi Kelompok (disko) Kekuatan Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan 1.
Mendorong partisipasi
1.
Pertanyaan / topik harus jelas.
2. Komunikasi dan pembahasan lebih intensif
2. Perlu waktu lama untuk Pemecahan masalah karena ada proses analisis yg dalam, serta butuh waktu presentasi
3.
3.
Fokus lebih terjaga
4. Mudah dan ada peluang untuk mengemukakan pendapat
Bisa ada dominasi dalam kelompok
4. Kehilangan arah karena ada kemungkinan pembicaraan dalam kelompok kemana-mana / tidak terfokus. 5. Fasilitator harus mengunjungi Disko, karena mungkin perlu bantuan, klarifikasi dan intervensi tertentu; di samping untuk mengingatkan batasan waktu.
Langkah-langkah dalam diskusi : Langkah pertama : A. Jelaskan topik diskusi dengan pertanyaan yang jelas dan tertulis :
o o o o o o
Menentukan Fasilitator dan notulis dalam kelompok. Mempersamakan persepsi. Mernyusun agenda dan waktu. Melakukan diskusi. Mengambil kesimpulan. Mencatat hasil dalam kertas plano, transparansi (OHT), diketik atau lainnya.
B. Membagi peserta dalam kelompok kecil (idealnya 4 – 5 orang), dengan cara :
56
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net 1. 2. 3. 4. 5.
Random (berhitung berdasar nomor/angka atau nama buah dan lainnya). Cluster (berdasar wilayah, jenis kelamin, umur, tempat duduk). Kesesuaian topik (pilih berdasar minat). Berikan batasan waktu dengan sedikit perkiraan molor. Kerangka laporan harus jelas formatnya.
Langkah kedua : A. Menjalani diskusi kelompok. B. Kunjungan fasilitator (membantu, menjelaskan, klarifikasi, atau mengembalikan arah). Langkah ketiga : A. Presentasi hasil disko
o o o
Membagi hasil dari masing-masing diskusi. Menarik ringkasan atau kesimpulan seluruh Disko, mana yang sama dan mana yang berbeda. Menentukan langkah selanjutnya.
B. Bagaimana presentasi ? (metode presentasi) : Presentasi dari hasil Disko tiap kelompok :
o o o
Wakil kelompok yang presentasi. Tanya jawab dan klarifikasi (tanggapan setelah presentasi satu-per-satu atau setelah semuanya selesai presentasi). Menarik suatu kesimpulan.
C. Bursa Informasi :
o o o
Tiap kelompok memperagakan di tempat masing-masing (misalnya dengan menempelkan kertas plano hasil Disko). Kelompok lain berkeliling, membaca dan mencatat untuk memberikan saran, kritik yang membangun). Diskusi pleno dengan kelompok lain memberikan umpan balik dan anggota kelompok memberikan tanggapan.
D. Presentasi oleh Fasilitator Kelompok :
o o
Sama dengan cara presentasi I, tetapi dilakukan oleh fasilitator. Fasilitator bisa langsung menjawab atau mengembalikannya kepada kelompok atas tanggapan kelompok lain.
Langkah keempat :
o o
Menarik kesimpulan/ringkasan. Proses disko : bagaimana peserta merasa sebagai anggota disko atau pleno ? Dan bagaimana keaktifan peserta / anggota kelompok.
Daftar Pustaka o o o o o o o o
Dahana, Bambang Tribuana, et. al. Merawat Demokrasi Melalui diskusi : Buku Panduan untuk Fasilitator. SKEPO dan PACT. Jakarta. 2001 Fakih, Mansour, et. al. Pendidikan Popular Membangun Kesadaran Kritis. Read Book. Yogyakarta. 2001 Fakih, Mansour, et. al. Panduan Pendidikan Politik untuk Rakyat. Insist. Yogyakarta. 1999 Freirei, Paulo. Politik Pendidikan ; Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan. Read dan Pustaka Pekajar. Yogyakarta. Cetakan ke-3. 2002 Freirei, Paulo. Pendidikan Kaum Tertindas. LP3ES. Jakarta. 1978 O ‘Neill, William F. Ideologi – ideologi pendidikan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2002 Smith, William A. Conscientizacao : Tujuan Pendidikan Paulo Friere. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2001 Team IRE. Modul Fasilitasi. Tidak di publikasikan. Yogyakarta. 1999
57
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net
A. Check Point 1. Pemahaman : Gagasan-Gagasan apa yang dapat anda ambil dari artikel dia atas? 2. Pemahaman : Kenapa gagasan-gagasan tersebut penting bagi anda? 3. Penerapan : Sebutkan beberapa aktifitas praktis yang sejalan dengan gagasangagasan yang anda pelajari 4.
B. Guide Questions
1. Menurut anda, tahapan mana yang paling menantang untuk dilakukan? Jelaskan? 2. Sejauhmana tahapan-tahapan dan prasarat tersebut dapat diaplikasikan? 3. Sebagai pemuda, langkah apa saja yang dapat mendukung promosi perdamaian di lingkungan anda?
58
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net BEBERAPA DEFINISI KEPEMIMPINAN, KEPEMIMPINAN ISLAM dan TEORI KELAHIRAN PEMIMPIN∗ Pengertian Kepemimpinan Secara sederhana, apabila berkumpul tiga orang atau lebih kemudian salah seorang di antara mereka “mengajak” teman-temannya untuk melakukan sesuatu [Apakah: nonton film, berman sepek bola, dan lain-lain]. Pada pengertian yang sederhana orang tersebut telah melakukan “kegiatan memimpin”, karena ada unsur “mengajak” dan mengkoordinasi, ada teman dan ada kegiatan dan sasarannya. Tetapi, dalam merumuskan batasan atau definisi kepemimpinan ternyata bukan merupakan hal yang mudah dan banyak definisi yang dikemukakan para ahli tentang kepemimpinan yang tentu saja menurut sudut pandangnya masing-masing. Beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli sebagai berikut : 1.
Koontz & O’donnel, mendefinisikan kepemimpinan sebagai proses mempengaruhi sekelompok orang sehingga mau bekerja dengan sungguh-sungguh untuk meraih tujuan kelompoknya. 2. Wexley & Yuki [1977], kepemimpinan mengandung arti mempengaruhi orang lain untuk lebih berusaha mengarahkan tenaga, dalam tugasnya atau merubah tingkah laku mereka. 3. Georger R. Terry, kepemimpinan adalah kegiatan mempengaruhi orang-orang untuk bersedia berusaha mencapai tujuan bersama. 4. Pendapat lain, kepemimpinan merupakan suatu proses dengan berbagai cara mempengaruhi orang atau sekelompok orang. Dari keempat definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa sudut pandangan yang dilihat oleh para ahli tersebut adalah kemampuan mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan bersama. Definisi lain, para ahli kepemimpinan merumuskan definisi, sebagai berikut: [1] Fiedler [1967], kepemimpinan pada dasarnya merupakan pola hubungan antara individu-individu yang menggunakan wewenang dan pengaruhnya terhadap kelompok orang agar bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan [2] John Pfiffner, kepemimpinan adalah kemampuan mengkoordinasikan dan memotivasi orang-orang dan kelompok untuk mencapai tujuan yang di kehendaki. [3] Davis [1977], mendefinisikan kepemimpinan adalah kemampuan untuk mengajak orang lain mencapai tujuan yang sudah ditentukan dengan penuh semangat . [4] Otto [1996], kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai proses hubungan antar pribadi yang di dalamnya seseorang mempengaruhi sikap, kepercayaan, dan khususnya perilaku orang lain. [5] Locke et.al. [1991], mendefinisikan kepemimpinan merupakan proses membujuk orang lain untuk mengambil langkah menuju suatu sasaran bersama Dari kelima definisi ini, para ahli ada yang meninjau dari sudut pandang dari pola hubungan, kemampuan mengkoordinasi, memotivasi, kemampuan mengajak, membujuk dan mempengaruhi orang lain. Dari beberapa definisi di atas, ada beberapa unsur pokok yang mendasari atau sudut pandang dan sifatsifat dasar yang ada dalam merumuskan definisi kepemimpinan, yaitu: a.
∗
Unsur-unsur yang mendasari Unsur-unsur yang mendasai kepemimpinan dari definisi-definis yang dikemukakan di atas, adalah: [1] Kemampuan mempenga ruhi orang lain [kelom pok/bawahan]. [2] Kemampuan
Muzammil. (www.sanaky.com/materi/pedoman%20handout/05.%20MODUL%20II%20/Kepemimpinan.rtf)
59
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net mengarahkan atau memotivasi tingkah laku orang lain atau kelompok. [3] Adanya unsur kerja sama untuk mencapai tujuan yang diinginkan. b. Sifat dasar kepemimpinan Sifat-sifat yang mendasari kepemimpinan adalah kecakapan memimpin. Paling tidak, dapat dikatakan bahwa kecakapan memimpin mencakup tiga unsur kecakapan pokok, yaitu: [1] Kecakapan memahami individual, artinya mengetahui bahwa setiap manusia mempunyai daya motivasi yang berbeda pada berbagai saat dan keadaan yang berlainan. [2] Kemampuan untuk menggugah semangat dan memberi inspirasi. [3] Kemampuan untuk melakukan tindakan dalam suatu cara yang dapat mengembangkan suasana [iklim] yang mampu memenuhi dan sekaligus menimbulkan dan mengendalikan motivasi-motivasi [Tatang M. Amirin, 1983:15]. Pendapat lain, menyatakan bahwa kecakapan memimpin mencakup tiga unsure pokok yang mendasarinya, yaitu: o o o
Seseorang pemimpin harus memiliki kemampuan persepsi sosial [sosial perception]. Kemampuan berpikir abstrak [abilitiy in abstrakct thinking]. Memiliki kestabilan emosi [emosional stability].
Kemudian dari definisi Locke, yang dikemukakan di atas, dapat dikategorikan kepemimpinan menjadi 3 [tiga] elemen dasar, yaitu: 1.
Kepemimpinan merupakan suatu konsep relasi [relation consept], artinya kepemimpinan hanya ada dalam relasi dengan orang lain, maka jika tiadak ada pengikut atau bawahan, tak ada pemimpin. Dalam defines Locke, tersirat premis bahwa para pemimpin yang efektif harus mengetahui bagaimana membangkitkan inspirasi dan berelasi dengan para pengikut mereka. 2. Kepemimpinan merupakan suatu proses, artinya proses kepemimpinan lebih dari sekedar menduduki suatu otoritas atau posisi jabatan saja, karena dipandang tidak cukup memadai untuk membuat seseorang menjadi pemimpin, artinya seorang pemimpin harus melakukan sesuatu. Maka menurut Burns [1978], bahwa untuk menjadi pemimpin seseorang harus dapat mengembangkan motivasi pengikut secara terus menerus dan mengubah perilaku mereka menjadi responsive. 3. Kepemimpinan bearti mempengaruhi orang-orang lain untuk mengambil tindakan, artinya seorang pemimpin harus berusaha mempengaruhi pengikutnya dengan berbagai cara, seperti menggunakan otoritas yang terlegitimasi, menciptakan model [menjadi teladan], penetapan sasaran, memberi imbalan dan hukuman, restrukrisasi organisasi, dan mengkomunikasikan sebuah visi. Dengan demikian, seorang pemimpin dapat dipandang efektif apabila dapat membujuk para pengikutnya untuk meninggalkan kepentingan pribadi mereka demi keberhasilan organisasi [Bass, 1995. Locke et.al., 1991., dalam Mochammad Teguh, dkk., 2001:69.
Dari definisi-definisi di atas, paling tidak dapat ditarik kesimpulan yang sama , yaitu masalah kepemimpinan adalah masalah sosial yang di dalamnya terjadi interaksi antara pihak yang memimpin dengan pihak yang dipimpin untuk mencapai tujuan bersama, baik dengan cara mempengaruhi, membujuk, memotivasi dan mengkoordinasi. Dari sini dapat dipahami bahwa tugas utama seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya tidak hanya terbatas pada kemampuannya dalam melaksanakan program-program saja, tetapi lebih dari itu yaitu pemimpin harus mempu melibatkan seluruh lapisan organisasinya, anggotanya atau masyarakatnya untuk ikut berperan aktif sehingga mereka mampu memberikan kontribusi yang positif dalam usaha mencapai tujuan.
60
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net 2. Pengertian Kepemimpinan Islam Imamah atau kepemimpinan Islam adalah konsep yang tercantum dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, yang meliputi kehidupan manusia dari pribadi, berdua, keluarga bahkan sampai umat manusia atau kelompok. Konsep ini mencakup baik cara-cara memimpin maupun dipimpin demi terlaksananya ajaran Islam untuk menjamin kehidupan yang lebih baik di dunia dan akhirat sebagai tujuannya. Kepemimpinan Islam, sudah merupakan fitrah bagia setiap manusia yang sekaligus memotivasi kepemimpinan yang Islami. Manusia di amanahi Allah untuk menjadi khalifah Allah [wakil Allah] di muka bumi [Q.S.al-Baqarah:30], yang bertugas merealisasikan misi sucinya sebagai pembawa rahmat bagi alam semesta. Sekaligus sebagai abdullah [hamba Allah] yang senantiasa patuh dan terpanggil untuk mengabdikan segenap dedikasinya di jalan Allah. Sabda Rasulullah “setiap kamu adalah pemimpim dan tiap-tiap pemimpin dimintai pertanggungjawabannya [responsibelitiy-nya]”. Manusia yang diberi amanah dapat memelihara amanah tersebut dan Allah telah melengkapi manusia dengan kemampuan konsepsional atau potensi [fitrah] [Q.S.al-Baqarah:31], serta kehendak bebas untuk menggunakan dan memaksimal potensi yang dimilikinya. Konsep amanah yang diberikan kepada manusia sebagai khalifal fil ardli menempati posisi senteral dalam kepemimpinan Islam. Logislah bila konsep amanah kekhalifahan yang diberikan kepada manusia menuntut terjalinannya hubungan atau interaksi yang sebaik-baiknya antara manusia dengan pemberi amanah [Allah], yaitu: [1] mengerjakan semua perintah Allah, [2] menjauhi semua larangan-Nya, [3] ridha [ikhlas] menerima semua hukum-hukum atau ketentuan-Nya. Selain hubungan dengan pemberi amanah [Allah], juga membangun hubungan baik dengan sesama manusia serta lingkungan yang diamanahkan kepadanya [Q.S.Ali Imran:112]. Tuntutannya, diperlukan kemampuan memimpin atau mengatur hubungan vertical manusia dengan Sang Pemberi [Allah] amanah dan interaksi horizontal dengan sesamanya. Jika kita memperhatikan teori-teori tentang fungsi dan peran seorang pemimpin yang digagas dan dilontarkan oleh pemikir-pemikir dari dunia Barat, maka kita akan hanya menemukan bahwa aspek kepemimpinan itu sebagai sebuah konsep interaksi, relasi, proses otoritas maupun kegiatan mempengaruhi, mengarahkan dan mengkoordinasi secara horizontal semata. Konsep Islam, kepemimpinan sebagai sebuah konsep interaksi, relasi, proses otoritas, kegiatan mempengaruhi, mengarahkan dan mengkoordinasi baik secara horizontal maupun vertikal. Kemudian, dalam teori-teori manajemen, fungsi pemimpin sebagai perencana dan pengambil keputusan [planning and decision maker], pengorganisasian [organization], kepemimpinan dan motivasi [leading and motivation], pengawasan [controlling] dan lain-lain [Aunur Rahim, dk., 2001:3-4]. Uraian di atas, dapat ditegaskan bahwa, kepemimpinan Islam adalah suatu proses atau kemampuan orang lain untuk mengarahkan dan memotivasi tingkah laku orang lain, serta ada usaha kerja sama sesuai dengan al-Qur’an dan Hadis untuk mencapai tujuan yang diinginkan bersama. 1.
Beberapa Istilah Kepemimpinan dalam Islam
Dalam Islam, kepemimpinan sering dikenal dengan perkataan khalifah yang bermakna “wakil” [QS.alBaqarah:30]. Mustafa al-Maraghi, mengatakan khalifat adalah wakil Tuhan di muka bumi [khalifah fil ardli]. Rasyid Ridla al-Manar, menyatakan khalifah adalah sosok manusia yang dibekali kelebihan akal, pikiran dan pengetahuan untuk mengatur. Istilah atau perkataan khalifah ini, mulai popular digunakan setelah Rasulullah saw wafat.
61
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net Dalam istilah yang lain, kepemimpinan juga terkandung dalam pengertian “Imam”, yang berarti pemuka agam dan pemimpin spritual yang diteladani dan dilaksanakan fatwanya. Ada juga istilah “amir”, pemimpin yang memiliki kekuasaan dan kewenangan untuk mengatur masyarakat. Dikenal pula istilah “ulil amir” [jamaknya umara] yang disebutkan dalam surat al-Nisa [59] yang bermakna penguasa, pemerintah, ulama, cendekiawan, pemimpin atau tokoh masyarakat yang menjadi tumpuan umat. Dikenal pula istilah wali yang disebutkan dalam surat al-Maidah ayat [55]. Dalam hadis Nabi dikenal istilah ra’in yang juga diartikan pengelolaan dan pemimpin. Istilah-istilah tersebut, memberi pengertian bahwa kepemimpinan adalah kegiatan menuntun, memandu dan menunjukkan jalan menuju tujuan yang diridhai Allah. Istilah khalifah dan “amir” dalam kontek bahasa Indonesia disebut pemimpin yang selalu berkonotasi pemimpin formal. Apabila, kita merujuk dan mencermati firman Allah swt dalam surat al-Baqarah ayat 30, yang artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku akan menciptakan khalifah di bumi. “Meraka bertanya [keheranan], Mengapa Engkau akan menciptakan makhluk yang akan selalu menimbulkan kerusakan dan pertimpahan darah, sementara kami senantiasa bertasbih memuji dan menyucikan Engkau?” Allah berfirman, “Aku Mahatahu segala hal yang tidak kemau ketahui”. Dalam pengertian ini dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan Islam secara mutlak bersumber dari Allah swt yang telah menjadikan manusia sebagai khalifah fil ardli. Maka dalam kaitan ini, dimensi kontrol tidak terbatas pada interaksi antara yang memimpin [umara] dengan yang dipimpin [umat], tetapi baik pemimpin maupun rakyat [umat] yang dipimpin harus sama-sama mempertanggungjawabkan amanah yang diembannya sebagai seorang khalifah Allah , secara komprehensif [Aunur Rahim, dk., 2001:4-5]. Dalam sejarah kehidupan manusia sangat banyak pengalaman kepemimpinan yang dapat dipelajarinya. Dalam Hadis Nabi, “setiap kamu adalah pemimpin” dan terlihat dalam pengalaman sehari-hari manusia telah melakukan unsur-unsur kepemimpinan seperti “mempengaruhi, mengajak, memotivasi dan mengkoordinasi” sesama mereka. Pengalaman itu perlu dianalisis untuk mendapatkan pelajaran yang berharga dalam mewujudkan kepemimpinan yang efektif. “Untuk memahami kepemimpinan secara empiris, perlu dipahami terlebih dahulu tinjauan segi terminolgi-nya. Sacara etomologi [asal kata] menurut kamus besar Bahasa Indonesia, berasal dari kata “pimpin” dengan mendapat awalan “me” yang berarti menuntun, menunjukkan jalan dan membimbing. Perkataan lain yang disamakan artinya yaitu mengetuai, mengepalai, memandu dan melatih dan dalam bentuk kegiatan, maka si pelaku disebut “pemimpin”. Maka dengan kata lain, pemimpin adalah orang yang memimpin, mengetuai atau mengepalai. Kemudian berkembang pula istilah “kepemimpinan” [dengan tambahan awalan ke] yang menunjukkan pada aspek kepemimpinan” [Aunur Rahim, dk., 2001:4-5]. 2.
Teori Kelahiran Pemimpin
Para ahli teori kepemimpinan telah mengemukakan beberapa teori tentang timbulnya Seorang Pemimpin. Dalam hal ini terdapat 3 [tiga] teori yang menonjol [Sunindhia dan Ninik Widiyanti, 1988:18], yaitu [a] teori genetis, [b] teori sosial, dan [c] teori ekologis. a. Teori Genetik Penganut teori ini berpendapat bahwa, “pemimpin itu dilahirkan dan bukan dibentuk” [Leaders are born and not made]. Pandangan terori ini bahwa, seseorang akan menjadi pemimpin karena “keturunan” atau ia telah dilahirkan dengan “membawa bakat” kepemimpinan. Teori keturunan ini, dapat saja terjadi, karena seseorang dilahirkan telah “memiliki potensi” termasuk “memiliki potensi atau bakat” untuk memimpin dan inilah yang disebut dengan faktor “dasar”. Dalam
62
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net realitas, teori keturunan ini biasanya dapat terjadi di kalangan bangsawan atau keturunan rajaraja, karena orang tuanya menjadi raja maka seorang anak yang lahir dalam keturunan tersebut akan diangkan menjadi raja. b. Teori Sosial Penganut teori ini berpendapat bahwa, seseorang yang menjadi pemimpin dibentuk dan bukan dilahirkan [Leaders are made and not born]. Penganut teori berkeyakinan bahwa semua orang itu sama dan mempunyai potensi untuk menjadi pemimpin. Tiap orang mempunyai potensi atau bakat untuk menjadi pemimpin, hanya saja paktor lingkungan atau faktor pendukung yang mengakibatkan potensi tersebut teraktualkan atau tersalurkan dengan baik dan inilah yang disebut dengan faktor “ajar” atau “latihan”. Pandangan penganut teori ini bahwa, setiap orang dapat dididik, diajar, dan dlatih untuk menjadi pemimpin. Intinya, bahwa setiap orang memiliki potensi untuk menjadi pemimpin, meskipun dia bukan merupakan atau berasal dari keturunan dari seorang pemimpin atau seorang raja, asalkan dapat dididik, diajar dan dilatih untuk menjadi pemimpin. c. Teori Ekologik Penganut teori ini berpendapat bahwa, seseorang akan menjadi pemimpin yang baik “manakala dilahirkan” telah memiliki bakat kepemimpinan. Kemudian bakat tersebut dikembangkan melalui pendidikan, latihan, dan pengalaman-pengalaman yang memungkinkan untuk mengembangkan lebih lanjut bakat-bakat yang telah dimiliki. Jadi, inti dari teori ini yaitu seseorang yang akan menjadi pemimpin merupakan perpaduan antara faktor keturunan, bakat dan lungkungan yaitu faktor pendidikan, latihan dan pengalaman-pengalaman yang memungkinkan bakat tersebut dapat teraktualisasikan dengan baik. d. Teori Kontigensi atau Teori Tiga Dimensi. Penganut teori ini berpendapat bahwa, ada tiga faktor yang turut berperan dalam proses perkembangan seseorang menjadi pemimpin atau tidak, yaitu: [1] Bakat kepemimpinan yang dimilikinya. [2] Pengalaman pendidikan, latihan kepemimpinan yang pernah diperolehnya, dan [3] Kegiatan sendiri untuk mengembangkan bakat kepemimpinan tersebut. Teori ini disebut dengan teori serba kemungkinan dan bukan sesuatu yang pasti, artinya seseorang dapat menjadi pemimpin jika memiliki bakat, lingkungan yang membentuknya, kesempatan dan kepribadian, motivasi dan minat yang memungkinkan untuk menjadi pemimpin. Menurut Ordway Tead, bahwa timbulnya seorang pemimpin, karana : [1] Membentuk diri sendiri [self constituded leader, self mademan, born leader] [2] Dipilih oleh golongan, artinya ia menjadi pemimpin karena jasa-jasanya, karena kecakapannya, keberaniannya dan sebagainya terhadap organisasi. [3] Ditunjuk dari atas, artinya ia menjadi pemimpin karena dipercaya dan disetujui oleh pihak atasannya [Imam Mujiono, 2002: 18].
A. Check Point 1. Pemahaman : Gagasan-Gagasan apa yang dapat anda ambil dari artikel dia atas? 2. Pemahaman :Kenapa gagasan-gagasan tersebut penting bagi anda? 3. Penerapan : Sebutkan beberapa aktifitas praktis yang sejalan dengan gagasan-gagasan yang anda pelajari ?
B. Guide Questions 1. 2. 3. 4.
Rumusankan satu definisi Kepemimpinan menurut anda! Rumusankan satu definisi kepemimpinan Islam! Rumuskan unsur-unsur yang mendasari suatu definisi kepemimpinan! Rumuskan sifat-sifat yang mendasari kepemimpinan!
63
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net 5. Kemukakan teori-teori kelahiran seorang pemimpin, bandingkan teori-teori tersebut dan kemukakan pandangan saudara! 6. Apa yang saudara ketahui dengan teori tiga dimensi atau teori kontingensi dan bandingkan teori kontingensi dengan ketiga teori tersebut?
64
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net
KONSEP EMBASSY∗ PENGERTIAN, TUJUAN, MANFAAT Pengertian Embassy adalah sebuah wadah bagi pengorganisasin jaringan pemuda islam yang memiliki semangat dan dedikasi tinggi dalam mempromosikan perdamaian dan budaya toleransi antar sesama umat beragama dengan pelbagai latar belakang pendidikan, suku, bangsa, dan agama dari pelbagai pelosok Indonesia. Embassy memiliki program prioritas yakni penguatan dan pengembangan kapasitas anggota berdasarkan nilai-nilai luhur, seperti; tanggung jawab, partisipasi, dan keterlibatan sosial secara aktif. Kedutaan PeaceTech adalah sebuah wadah dimana para generasi muslim bisa belajar dari kelebihan dan kekurangan masing-masing, tentu melalui proses penguatan internal terlebih dulu. Membekali generasi muda dengan pelbagai keahlian dan pengalaman terkait dengan tema-tema pendidikan, perdamian, managemen konflik, mediasi, need assessment, dan beberapa kiat-kiat khusus terkait dengan kemampuan berkompetisi dalam dunia kerja, diharapakan para pemuda menjadi duta-duta perdamaian untuk mewujudkan generasi islam yang lebih cinta damai berdasarkan budaya toleransi.
Tujuan
Promote mempromosikan sikap saling terbuka, saling menghargai, sikap toleransi antar generasi islam di pelbagai pelosok dunia islam. Educate mendidik generasi muda Islam berdasarkan konsep dan budaya toleransi. Advocate meneguhkan semangat beraktifitas antar generasi muda Islam dan mengajarkan tanggung jawab sosial untuk mengkampanyekan peri kehidupan yang saling menghargai dalam suasana lingkungan sosial yang sangat majemuk. Create membangun kelompok aksi damai bagi kaum muda Islam dimana mereka dapat saling bertukar ide dan gagasan, berbagi keahlian dan pengalaman serta dialog antara yang satu dengan yang lain. Empower memberdayakan kaum muda dan memobilisasi mereka untuk merintis dan secara aktif berpartisipasi dalam pelbagai kegiatan masyarakat yang concern dengan perdamaian menuju budaya damai yang lebih menyeluruh di Indonesia.
Manfaat a. Berjejaring dengan para aktifis perdamaian tingkat Nasional maupun Internasional b. Berkesempatan untuk berpartisipasi dalam pelbagai kegiatan PeaceTech. c. Berpeluang untuk berkontribusi pada masyarakat sekitarnya melalui kegiatan-kegiatan workshop. d. Berpeluang untuk menjadi fasilitator diskusi kelompok dalam pelaksaan Video Konferensi oleh PeaceTech. e. Berkesempatan untuk lebih mengambangkan diri dengan pengalaman yang baru f. Meningkatkan program kepemudaan dan terciptanya pebagai kesempatan (baik nasional maupun internasional) sehingga mereka dapat bergabung melalui e –group, milis, dan website. g. Peningkatan kualitas diri.
∗
Source: www.peacetech.net
65
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net h. Peluang keterserapan mereka dalam dunia kerja.
CARA MENJADI DUTA PERDAMAIAN Untuk menjadi duta perdamaian, ada 5 langkah:
LANGKAH 1 1.
Segera download “Modul Orientasi PeaceTech” dan “Formulir Pendaftaran” secara on-Line melalui website www.peacetech.net. Baca dan silahkan pelajari dengan baik. Jika ada masalah dengan internet, silahkan lihat pilihan b.
2. Anda juga bisa mendapat “Modul Orientasi PeaceTech” dan ““Formulir Pendaftaran” melalui beberapa organisasi mitra-kerja kami di daerah, Jakarta (The Wahid Institute), Yogyakarta (AMAN), Solo (Yayasan Selasih), Banjarmasin (LK3), Aceh (AJRS), Surabaya (FLA), Ambon (Forum Antar-Iman Maluku), Makasar (LAPAR), dan formulir ini sekaligus dipakai untuk mengidentifikasi berapa banyak yang mengambil modul. 3. Daftarkan diri untuk menjadi “Duta Perdamian” PeceTech. Lengkapilah formulir pendaftaran lalu kirim melalui email ke
[email protected] 4. Pendaftaran hanya bisa dilakukan jika pelamar menyelesaikan “Modul Online” yang kami sediakan atau yang disediakan organisasi mitra-kerja kami di daerah. ¾
Jika anda tidak memiliki akses internet, anda bisa mendapatkan modul dan formulir dari Kedutaan PeaceTech yang sudah ada di daerah anda. Jika tidak ada Kedutaan PeaceTech disekitar daerah anda, maka anda bisa menghubungi Agus (081809064917), atau Badrus (0852488692) untuk bantuan.
LANGKAH 2 Jawablah pertanyaan di lembaran akhir “Modul Orientasi PeaceTech” dan kirimkan ke
[email protected] disertai dengan formulir aplikasi untuk mengajukan diri sebagai “Duta Perdamaian”. (Apa perbedaan antara “formulir pendaftaraan” dengan “formulir aplikasi”? Lihat keterangan dibawah). Pelamar “Duta Perdamaian” harus mengirimkan formulir pendaftarannya disertai dengan tulisan essay singkat tentang tema-tema perdamaian, tentu setelah membaca modul yang telah disediakan.
LANGKAH 3 Esai-Esai dari para pelamar akan dievaluasi tim PeaceTech beserta organisasi-mitra dan hasilnya akan diinformasikan secepat mungkin jika anda terpilih menjadi “Duta Perdamaian” yang kami cari. Permintaan membuat esai-esai dimaksudkan untuk memastikan bahwa pelamar benar-benar membaca dan memahami segala sesuatunya sebelum bergabung bersama kami menjadi “Duta Perdamaian” PeaceTech. Esai itu akan mempemudah kami dalam mencermati sejauhmana pelamar memahami pelbagai topik yang kami suguhkan, begitu juga kapasitas diri mereka dalam berekpresi lewat tulisan.
66
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net LANGKAH 5 Tim PeaceTech akan mengirimkan surat pengangkatan bahwa anda telah menjadi “Duta Perdamaian” PeaceTech, jika anda terpilih sebagai “Duta Perdamaian” menurut ketentuan yang berlaku.
LANGKAH 6 Bergembiralah dan libatkanlah lebih banyak generasi muda! Berbagilah dengan apa yang anda miliki dengan yang lain, dan berilah mereka inspirasi untuk menjadi “Duta Perdamaian” juga. PERTANYAAN 1: APAKAH YANG DIMAKSUD MODUL ORIENTASI PEACETECH?
JAWABAN: Modul ini semacam pengantar awal tentang konsep perdamian, konflik, budaya damai, dan beberapa topik untuk menghindari prasangka, kecurigaan, dan diskriminasi. Modul ini juga termasuk pengenalan tentang LSM PeaceTech (Maksud dan Tujuan). Pada lembar akhir ada beberapa pertanyaan yang dapat dijawab ketika kandidat telah membaca bahan-bahan yang terlampir. Pertanyaan-pertanyaan tersebut terkait dengan beberapa topik khusus, dan membutuhkan gagasan-gagasan praktis dan kemampuan reflektif. Catatan Penting: • Secara teknis, hal ini sama dengan Rangkaian Workshop PeaceTech 1 + pengenalan awal tentang PeaceTech. •
Modul itu berisi bahan-bahan bacaan seputar tema-tema di atas.
•
Tidak ada kelas atau kursus on-line yang bisa dihadiri, hanya perlu dibaca dan dipahami. TAPI KAMI SANGAT MENGHARAP KEPADA PARA PELAMAR untuk sering melakukan beberapa diskusi terkait dengan bahan bacaan bersama beberapa kelompok kecil jika internet susah diakses.
PERTANYAAN 2: APA PERBEDAAN ANTARA FORMULIR PENDAFTARAN DENGAN FORMULIR APLIKASI?
Jawaban: Formulir pendaftaran (the registration form) itu lebih mirip dengan penjelasan Maksud dan tujuan pingin menjadi “Duta Perdamamian”. Formulir ini hanya berisi informasi-informasi dasar, seperti nama, tempat tinggal, tanggal lahir dan yang lain. Hal ini sangat membantu kita dalam memonitor berapa banyak kandidat yang mengambil dan membaca Modul Orientasi PeaceTech. Sedangkan formulir aplikasi (the application form) itu dikirimkan bersamaan dengan Essai. Formulir ini meminta penjelasan lebih detail termasuk keterlibatan dengan organisasi, pengalaman organisasi sebelumnya, dan pengalaman keterlibatan dengan proyek yang sama, dan lain-lain. Hal ini pada dasarnya mempermudah kita dalam memahami seberapa jauh keterlibatan kandidat dalam proyek yang sama. Formulir ini juga mencakup pertanyaan tentang mengapa anda tertarik untuk menjadi “Duta Perdamaian”. PERTANYAAN 3: SETELAH MENGIKUTI WORKSHOP (6 HARI), APAKAH SAYA PERLU MEMBACA MODUL ORIENTASI PEACETECH UNTUK MENJADI “DUTA PERDAMAIAN”?
67
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net Jawaban: Tidak. Anda hanya perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan dari Modul Orientasi PeaceTech, lalu kirimkan ke PeaceTech untuk dievaluasi. Modul Orientasi Peacetech sama dengan tema Workshop 1, jadi kamu tidak perlu membaca seluruh bahan bacaan tersebut. Jika anda sudah mengikuti workshop 1, maka anda akan semakin mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan essai.
EMBASSY Setelah merampungkan Modul PeaceTech 1 dan setelah PeaceTech mengumumkan para pelamar yang lulus menjadi “Duta Perdamaian”, maka secara otomatis dia telah bergabung dalam Kedutaan PeaceTech. Setelah lulus, siapapun bisa menjadi anggota resmi kedutaan PeacTech melalui beberapa pilihan berikut ini: 1.
Keanggotaan pada PeaceTech Embassy yang telah terbentuk: a. Dengan melengkapi formulir keanggotaan PTE secara on-line (www.peacetech.net), lalu bisa dikirimkan ke Embassy Lokal yang dikehendaki atau lembar aplikasi. b. Membayar uang iuran yang dapat digunakan sebagai modal operasional bagi kelembagaan lokal. 2. Membuat Kelompok Baru a. Jika seorang “Duta Perdamaian” ingin membentuk kelompok lain (baik di komunitas maupun di sekolah), dia harus memenuhi beberapa sarat dan ketentuan umum bagi pembentukan PT embassy. 3. Tetap bermitra dengan PeaceTech a. Seorang Duta bisa saja bekerja dengan organisasi / mitra kerja yang suda ada untuk mempropmosikan perdamaian melalui teknologi.
D. Struktur & Keanggotaan a.
20 pemuda bisa membuat kelompok baru dengan minimal 5 “Duta Perdamaian” (para anggota yang menyelesaikan Modul Orientasi PeaceTech). Tanggung jawab dari 5 orang ini adalah membantu 15 anggotanya untuk menyelesaikan Modul Orientasi PeaceTech.
b. Duta Perdamian menyumbang uang sejumlah Rp. 20.000,-. Uang ini akan digunakan untuk pendanaan awal bagi keberlangsungan proyek Peacetech tersebut. c. Anggota dari Kelompok Embassy yang tidak menyelesaikan modul Orientasi PT tetap dianggap sebagai anggota, tapi tidak sebagai “Duta perdamaian”, meskii mereka telah membayar iuran.
E. Tugas dan Tanggung Jawab 1.
2. 3.
4. 5. 6.
Para “Duta Perdamaian” (ambassadors) harus membantu para anggotanya menyelesaikan Modul Orientasi PeaceTeach. Hal ini akan menjadi tugas pertama mereka. Memberi daftar dan profile semua anggota PeaceTech. Menjelaskan paling tidak rencana aksi 1 bulan ke depan sebagai sebuah kedutaan. Hal ini merujuk pada proyek yang menurut mereka pikir sesuai dan selaras dengan komunitas di sekeliling mereka. PeaceTech akan menyediakan sebuah template (available online) untuk membantu mereka menulis rencana-rencana aksi mereka. Mendesain struktur internalnya (jika diperlukan). Para officer termasuk seorang presiden, sekeretaris, dan akuntan. Sebuah kelompok embassy sebaiknya memiliki paling tidak 2 orang. Duta perdamaian yang selalu berkoordinasi dengan PeaceTech secara langsung. Berkoordinasi dengan PeaceTech untuk Up-date melalui Website. Setiap anggota —persis setelah menjadi anggota— bertanggung jawab untuk mengembangkan diri (dengan mengambil manfaat dari) melalui pelbagai peluang yang ditawarkan Embassy
68
Modul Orientasi PeaceTech www.peacetech.net
7.
(memberi kesempatan bagi kaum muda untuk mengikuti pelbagai training, mendapat pengetahuan, keterampilan dan keahlian masing-masing). Nama lengkap dan informasi seputar jaringan organisasi atau nama perorangan yang akan membantu atau menjadi mitra Embassy dalam mengimplementasikan proyek tersebut. Secara ideal, mitra lokal membuat satu lembaga baru atau bisa jadi salah satu sub-divisi dari kelompok dampingan pemuda yang sudah ada.
F. Peran PeaceTech. PeaceTech Indonesia (PI) akan menyediakan bantuan teknis bagi pembentukan Embassy. PI akan membantu mengkomunikasikan PeaceTech Embassy dengan beberapa jaringan, dan di saat yang sama; PI akan membantu pelaksanaan training sesuai dengan kapasitasnya. PeaceTech Indonesia akan lebih banyak berperan sebagai mentor dan penyedia bantuan bagi pembentukan PeaceTech Embassy dan para duta (ambassadors).
69