Modernisasi-Neolib, Politik Arus bawah dan “Tugas Cendekiawan” (Sebuah Penelusuran Awal) Oleh M.Nurkhoiron
“Kemarau intelektual”, sebuah istilah yang dulu pernah dikemukakan Mohammad Sobary, kali ini mungkin patut dikemukakan kembali. Jika intelektual, atau cendekiawan merujuk kepada pandangan Bourdieu-an, yang sedikit dikutip oleh Daniel Dhakidae sebagai sosok yang terlibat keras di dalam apa yang disebut sebagai pertarungan simbolik, symbolic struggle, baik secara individual maupun secara kolektif, sampai hari ini sayangnya kita belum mendapatkan kajian dan analisis-analisis yang merupakan cermin dari perdebatan keras dalam kerangka pertarungan simbolik itu untuk menelisik lebih jauh soal-soal krusial paska Orde Baru yang menyisakan berbagai pertanyaan. Soal-soal ini menurut saya penting diajukan karena sampai hari ini peta sosial kecendekiawanan di Indonesia terlalu asik dengan rutinitasnya masing-masing, tanpa ada usaha reflektif untuk mengurai kembali dalam struktur dan komunitas seperti apakah kita kini sedang bergulat dengan kerja-kerja rutin itu? Bahkan ketika rutinitas itu coba dikritik sebagian “komunitas (cendekiawan)” yang sudah mapan merasa tersinggung dan perlu melakukan perlawanan kolektif secara emosional[2]. Jadi dalam konteks sekarang yang kurang bukan soal jumlah orang-orang yang merasa dirinya cendekiawan, atau mengklaim tengah melakukan kerja-kerja kecendekiawan, akan tetapi pertarungan diskursif yang cerdas yang dapat membawa insiprasi baru untuk merefleksikan sampai sejauhmanakah usaha “reformasi” –jika kita masih merasa istilah ini penting – paska Orde Baru telah membawa kehidupan yang lebih demokratis. Namun, ditengah ‘kemarau intelektual” akhir-akhir ini, dua karya penting baru-baru ini digulirkan oleh Daniel Dhakidae dan Yudi Latif. Buku Daniel Dhakidae berjudul, Cendekiawan dan Kekuasaan dan Negara Baru Orde Baru (Gramedia, 2003) memberi ilustrasi yang menarik bagaimana pertarungan diskursif cendekiawan terjadi di masa Orde Baru. Daniel telah menyadarkan banyak pihak betapa dinamika Orde Baru dan proses keruntuhannya tidak lepas dari usaha-usaha cendekiawan di dalam struktur Orde Baru itu sendiri yang secara terus menerus membangun perlawanan diskursif. Buku berikutnya yang didalamnya juga mengurai kelemahan Daniel Dhakidae adalah buku Yudi Latif hasil disertasinya di ANU (Australian National University), Inteligensia Muslim dan Kuasa, Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20 (Mizan, 2005). Yudi Latif dengan penuh semangat menelisik sejarah pergerakan kelompok cendekiawan muslim sepanjang abad ke-20. Namun berbeda dengan tulisan sejarahwan pada umumnya, Yudi
memberikan persepektif baru dengan membangun gagasan bahwa para cendekiawan muslim ini lahir pada zamannya sebagai usaha membangun perjuangan diskursif guna menanamkan pengertian mengenai apa yang dapat disebut sebagai reinterpretasi keislaman dalam konteks keindonesiaan. Mereka adalah kelompok-kelompok dari berbagai latar belakang pendidikan modern, dan tradisional yang turut mewarnai sejarah kebangsaan di Indonesia dalam lintasan sejarah. Yudi Latif menekankan modernitas sebagai proyek bersama di kalangan cendekiawan muslim yang diresapi dan dtafsirkan dengan beragama pemikiran. Benturan antara Timur, Barat dan akomodasi keduanya dalam membentuk pemikiran keindonesiaan adalah ciri-ciri penting pengetahuan yang mendominasi identitias cendekiawan muslim Indonesia. Namun yang sengaja tidak dibidik oleh Yudi di bukunya ini adalah Cendekiawan Muslim yang sepanjang gagasan dan pemikirannya sama sekali tidak nampak menunjukkan sifat identitias kemuslimannya. Sosok seperti Tan Malaka, Hatta, Soekarno, Moh. Yamin dan sebagian besar sosok nasionalis dan founding fathers di Indonesia dengan sengaja tidak menjadi obyek pembahasan Yudi. Yudi membatasi kajiannya di ranah konsep muslim sebagai identitas yang Dampaknya bisa diduga. Meskipun Yudi berhasil mengembangkan kajian yang relatif eruditif dalam menjelajahi fenomena cendekiawan muslim bersama pemikirannya sepanjang abad ke-20, namun Yudi juga turut membesar-besarkan dikotomi muslim-non muslim yang dalam kategori pemikiran politik di Indonesia sering dipopulerkan sebagai aliran nasionalissekuler dan nasionalisme religius. Kekurangan dari buku ini paling tidak menurut saya adalah kurangnya penjelasan yang memadai konteks sosial politik berikut dinamika global yang mewarnai sekaligus memberikan arah bagi diskursus-diskursus yang dibangun oleh para cendekiawan itu. Meskipun Daniel cukup memberikan gambaran yang baik kiprah Orde Baru yang olehnya digambarkan sebagai rezim otoritarianisme, namun ia seperti melupakan bahwa rezim seperti Orde Baru bukanlah spesifik Indonesia. Rezim Pinochet di Chile, adalah rezim yang tidak kalah menakutkannya dibandingkan Indonesia dalam memperagakan sikapnya yang represif dan menindas kebebasan rakyatnya. Baik Chile maupun Indonesia adalah bagian dari rezim politik yang juga terlibat dalam memapankan gelombang neoliberalisme. Selain itu, tanpa bermaksud mengurangi arti penting bagi penjelajahan teoritik mengenai cendekiawan, kedua buku ini terlalu asik memotret cendekiawan sebagai sosok mulia dengan atributnya. Meskipun Daniel menggarisbawahi dunia kecendekiawanan semasa Orde Baru yang sebagian tertaklukkan oleh rezim totalitarianisme, namun pada dirinya kecendekiawanan adalah sosok teramat penting bagi suatu perubahan sosial, politik dan kebudayaan itu sendiri. Sebagaimana kita ketahui dalam strata masyarakat, yang disebut sebagai kelompok cendekiawan setidaknya berada diantara the ruling class (kelas penguasa) dengan kelas yang dikuasai. Padahal faktanya mencari sosok yang benar-benar berada dalam posisi ini selalu menyulitkan. Apalagi secara sosiologis masyarakat seperti sekarang tidak lagi dibatasi oleh
strata-strata yang begitu ketat karena satu kelompok lebih menguasai informasi tertentu dibandingkan dengan kelompok lain. information produced by specialists (including scientific knowledge) can no longer be wholly confined to spesific groups, but becomes routinely interpreted and acted on by lay individuals in the course of their everyday actions (Giddens, 1994; hal 7). Maka dalam konteks membicarakan perubahan dan proses-proses transformasi di masyarakat hampir dipastikan sosok cendekiawanan dengan status, identitas dan kelompok yang spesifik seperti ini tidak menarik lagi dibicarakan. Perbincangan mengenai demokrasi misalnya untuk kasus-kasus spesifik seperti di Eropa Timur, Asia dan Afrika, bagi beberapa analis sosial justru melihat kecenderungan baru negara-negara paska totalitarianisme yang didorong oleh gerakan-gerakan rakyat. Sebagian dari gerakan ini diwarnai dengan aksi turun jalan, demonstrasi massal dan aksi-aksi masif lainnya sebagai usaha untuk mendapatkan tuntutan mereka. Sayangnya sebagian saja dari gerakan ini yang dianggap penting, perilaku dan aksi-aksi masyarakat di tingkat akar rumput sebagian besar sulit dipahami dan diperoleh penjelasan memadai jika dihubungkan dengan isu perubahan dan transformasi sosial. Kebuntuan teoritik seperti ini dapat kita lihat dalam kajian-kajian ilmu politik. Namun berkat usaha beberapa kelompok mahasiswa dan intelektual di beberapa negara kajian mengenai politik arus bawah mulai banyak diperhatikan. Di Indonesia salah satu perkenalan awal yang cukup memadai sebagai referensi menarik dapat dilihat dalam tulisan AS Hikam. Hikam memberikan ilustrasi menarik bahwa politik arus bawah muncul sebagai usaha dari kalangan masyarakat sipil dan beberapa intelektual organik dalam memikirkan sistem alternatif yang keluar dari kelemahan dua ideologi besar selama ini; liberalisme-Pluralisme dan Komunisme-sosialis. Di Indonesia sendiri, kajian sejarah malah memberikan arah yang lebih terang bagi pengkajian kritis mengenai politik arus bawah. Sartono Kartodirjo dan Ong Hokham, adalah tokoh penting yang patut disebutkan disini. Mereka telah mewarnai khasanah pemikiran klasik di Indonesia dalam merintis kajian politik arus bawah[3]. Namun rintisan oleh dua tokoh ini lama kelamaan hilang. Bahkan beberapa ilmuwan sosial pada hari ini mungkin sudah lupa kontribusi yang pernah dimainkan oleh dua sosok sejarahwan di atas, lebih-lebih oleh ilmuwan politik yang disibukkan mengutak-atik angka-angka dalam pemilu. Ditelisik lebih jauh, hilangnya kajian ini dalam peredaran dunia akademik di Indonesia salah-satunya adalah akibat politik stabilitas keamanan yang dicanangkan oleh Orde Baru. Paradigma pembangunan menghentikan seluruh kemauan negara melihat berbagai kemungkinan gelombang dan pergerakan rakyat. Dalam posisi negara sibuk melakukan proyek pembangunan, gerakan-gerakan rakyat lebih dianggap sebagai pengganggu yang mengkhawatirkan yang kelak dapat mengguncangkan tatanan yang ada. Lebih-lebih di Indonesia, setelah konflik 1965, pemerintah melakukan sikap antiklimaks dengan melakukan normalisasi kehidupan melalui berbagai usaha yang meredam konflik-konflik di masyarakat.
** Dibawah ini saya ingin sedikit membawa konteks yang lebih global bagaimana sebuah struktur kekuasaan dibangun sejak Orde Baru yang kemudian juga memberikan gambaran betapa relasi antara masa kini (yang sering disebut sebagai Era Reformasi) ternyata tidak lepas dari relasi-relasi kuasa global yang dibangun sebelumnya. Gambaran ini ingin saya mulai dari peristiwa 1965 dan bangkitnya Orde Baru yang membawa gelombang modernisasi berikut dampak-dampak yang dihasilkannya. Pada bagian akhir saya menawarkan perspektif baru gerakan sosial yang menghubungkan dinamika politik akar rumput dan kecendekiawanan.
Tragedi 1965: Penciptaan Diskursus Anti Kiri-Komunis Konflik politik 1965 adalah salah satu peristiwa paling dramatis dalam sejarah politik di Indonesia. Peristiwa ini tak pelak merubah seluruh konstelasi politik, sosial dan kebudayaan di Indonesia. Dengan makna lain, peristiwa ini tidak saja menandai suatu fase perubahan rezim politik, perubahan-perubahan lain meliputi bidang sosial, ekonomi dan kebudayaan di Indonesia juga terjadi secara dramatis. Perubahan radikal ini diikuti oleh trauma berkepanjangan. Pengalaman traumatik secara terus menerus disebarkan dalam disain politik Orde Baru. Reproduksi pengetahuan ini disampaikan melalui berbagai strategi yang dimuarakan untuk membangun hegemoni. Setelah Partai Komunis Indonesia(PKI) beserta underbouw-nya dibubarkan tanpa proses pengadilan, negara Orde Baru melakukan sejumlah kebijakan dan tindakan-tindakan terintegrasi. Salah satu kebijakan paling awet yang sampai sekarang masih dipelihara oleh rezim politik paska Orde Baru adalah peraturan undang-undang yang dikeluarkan oleh dewan perwakilan rakyat yang berisi larangan kelompok kiri-komunis di Indonesia. TAP MPRS/ XXV/1966 ini menyatakan larangan dan hukuman bagi seluruh komponen masyarakat yang menggunakan atribut dan menyebarkan pengetahuan yang bertendensi menyebarkan ideologi komunisme di Indonesia[4]. Langkah-langkah konstitusional ini kemudian diikuti oleh tindakan-tindakan ofensif aparatus keamanan untuk melakukan pembersihan menyeluruh terhadap pengikut-pengikut PKI beserta underbouw-nya. Sistem pelaksanaannya dilakukan dari tingkat kecamatan dengan mengandalkan jaringan tentara yang diletakkan di seluruh wilayah di Indonesia. Para eks simpatisan komunis, atau orang-orang yang dituduh secara semena-mena sebagai kelompok komunis “diamankan” dengan berbagai metode. Metode paling dramatis yang menyisakan luka mendalam adalah pembunuhan massal. Ratusan juta orang mati sia-sia, mereka dimasukkan ke dalam lubang pembantaian, sebagian lainnya dipenjara tanpa proses peradilan dan dibuang ke pulau buru. Bagi para korban yang masih hidup, yang kemudian dicap sebagai eks Tapol/Napol, seringkali dihadapkan oleh kenyataan betapa hak dan kewajiban mereka
sebagai warga negara dinihilkan. Selain bahwa mereka akan terus berada dalam pengawasan pihak keamanan, keluarga dan sanak famili mereka turut menjadi korban karena diberlakukannya “dosa warisan”. Dosa-dosa warisan ini adalah cap khusus bagi eks komunis dan keluarganya. Mereka mendapatkan KTP dengan tanda khusus, keluarga-keluarga mereka juga diperlakukan secara khusus semisal akses yang serba terbatas terhadap pilihan bidang pekerjaan dan akses-akses lain dalam mendapatkan pelayanan publik. Tidak jarang orang-orang dari pihak keluarga eks Tapol/Napol PKI yang sudah mapan dengan bidang pekerjaan tertentu, dan memiliki kehidupan yang nyaman dan serba berkecukupan secara material, tiba-tiba harus kehilangan seluruh kenyamanan ini karena cap mereka sebagai keluarga yang tidak “bersih lingkungan”. Fakta ini mengandaikan bahwa mereka harus menanggung dosa warisan karena salah satu keluarga mereka yang telah terlibat atau dinyatakan terlibat dalam keorganisasian komunisme di Indonesia. Tindakan-tindakan politik seperti ini telah menghancurkan beberapa keluarga. Hilangnya seluruh akses publik ini sebenarnya merupakan akibat langsung dari politik pembersihan tubuh-tubuh eks komunis. Selain politik pembersihan berlangsung melalui usaha pembantaian massal (genocida), kelompok-kelompok yang masih hidup juga tetap berada dalam suatu jaringan kekuasaan otoritarian. Dimanapun rezim seperti ini secara fisik beroperasi dan merusak atas tubuh. Begitulah kelompok eks-komunis mendapatkan perlakuan khusus: Pencatatan KTP (Kartu Tanda Penduduk) bagi eks-Tapol/Napol PKI diberi cap khusus agar mereka mudah dikontrol, KTP dan KK (Kartu Keluarga) mendapatkan tanda khusus. Sulit mencari pekerjaan, karena tidak ada yang berani menerima, dengan alasan eks Tapol. Tempat tinggal juga berpindah-pindah, hampir dua bulan sekali saya beserta keluarga harus mencari tempat yang agak “aman lingkungan” . begitulah keadaan saya dan keluarga[5].
Sebagai kebijakan publik, politik bersih lingkungan dan paket-paket kebijakan lain yang bersinggungan dengan eks-komunisme di Indonesia ini jelas tidak merupakan satu regulasi yang berdiri sendiri. Bersamaan dengan kebijakan lain sebagai penopang kekuasaan Orde Baru, regulasi-regulasi ini memberi sinyal bagi suatu diskursus tertentu yang tengah di bangun di Indonesia. Pertama, kita mendapatkan suatu fakta berikutnya bahwa kebijakan pembersihan unsur-unsur komunisme di Indonesia ditujukan sebagai usaha yang oleh Hilmar Farid disebut sebagai pembentukan formasi sosial baru di Indonesia. Formasi-formasi sosial ini pada periode berikutnya sangat mendukung berlangsungnya proses industrialisasi yang bertumpu kepada mekanisme ekonomi kapitalis. Sebagaimana kita ketahui, PKI merupakan partai yang paling vokal dalam menentang gagasan-gagasan kapitalisme liberal. Sistem keorganisasian partai
komunis di Indonesia mendorong lahirnya gerakan-gerakan buruh yang cukup vokal menyuarakan nasib buruh dalam hubungan industrial. Maka, kedua, politik pembersihan berhubungan erat dengan hancurnya basis-basis keorganisasian buruh yang kuat. Hubungan produksi tuan-buruh yang semula relatif setara karena adanya serikat-serikat buruh yang kuat kini berubah menjadi hubungan yang timpang. Nyaris semua organisasi buruh dikendalikan dan diintervensi oleh negara. Buruh dan petani yang identik sebagai elemen penting pengorganisasian partai komunis menjadi obyek pembasmian paling dramatis. Pembunuhan nyawa atas ribuan buruh terjadi di beberapa tempat. Misalnya di perkebunan Sumatera Utara, diperkirakan enam belas persen buruh dinyatakan hilang, beberapa diantara mereka terbunuh, dan sebagian yang lain tidak teridentifikasi keberadaannya (Farid, 11; 2005). Situasi demikian nampaknya telah direncanakan sebagai prakondisi menciptakan formasi sosial baru sebagai penopang rezim Orde Baru. Formasi sosial baru yang ditopang oleh proyek reproduksi wacana anti-komunis di Indonesia ini perlu dilihat sebagai penggandaan modal-modal kultural sebagai teknik mendapatkan kuasa-kuasa baru. Dalam konteks ini seperti disampaikan Daniel Dhakidae bahwa kultur dan kapital bertukar tempat dan berdasarkan itu seseorang bisa mengatakan bahwa baik kapital maupun kultur adalah dasar paling utama bagi perkembangan sosial. Dengan begitu, yang disebut kultur dan kapital tidak lain sebagai kembar siam yang dihubungkan penngunaannya; culture was capital generalized and capital was culture privatized – seperti kata Gouldner (Dhakidae, 2003; hal, 57). Modernisasi, Militerisasi dan Politik Persatuan Prestasi spektakuler yang dicapai oleh Orde Baru setelah membersihkan kelompok komunis di Indonesia adalah kemampuannya yang konsisten dalam usahanya mengembangkan formasi sosial baru. Formasi sosial ini membentuk jalan licin bagi usaha stabilisasi di Indonesia. Salah-satu jalan licin itu adalah terbentuknya diskursus ilmu pengetahuan yang didominasi oleh paradigma modernisasi. Di titik inilah pertemuan antara proyek kapitalisme global yang dibangun melalui diskursus modernisasi menemukan pijakannya di Indonesia[6]. Kelompok-kelompok akademisi yang pada masa peristiwa 1965 masih berada di luar negeri, dan pada umumnya tidak memiliki ikatan dengan gerakan kiri di Indonesia mendapatkan tempat berkiprah di Indonesia. Sebagian dari kelompok ini adalah mahasiswa Indonesia lulusan Amerika yang secara akademik berhaluan pemikiran kanan[7]. Pembalikan wacana ini dibangun sedemikian rupa, diskursus ilmu pengetahuan dikembangkan dan direproduksi di kalangan dunia akademik, sembari pada saat yang bersamaan penetrasi negara mengambil bentuk baru dengan terus menebarkan wacana anti kiri di Indonesia. Penahanan, pembunuhan dan politik eksil terhadap aktivis kiri dilakukan melalui cara yang sistematis dan bentuk-bentuk pembersihan ini berlangsung secara terus menerus selama
masa Orde Baru. Dengan kata lain, pembersihan ini tidak berlangsung semata-mata untuk memberikan kesempatan bagi kelompok-kelompok politik yang melakukan balas dendam dengan simpatisan eks PKI. Namun jauh dari yang diperkirakan para pemuda banser, dan algojo-algojo muslim di lapangan, rezim politik Orde Baru memiliki jangkauan jangka panjang di dalam melakukan politik pembersihan ini. Semua gerakan-gerakan ini dilakukan sebagai akibat dari gerak pendulum politik-ekonomi yang semula digerakkan ke arah kiri, kini digeser secara dramatis kearah kanan namun dilakukan dengan berbagai penyesuaian dan kepentingan spesifik. Kekhasan dari bandul paradigma ekonomi pasar Orde Baru adalah kekuatan ekonomi pasar yang tidak diletakkan dalam iklim politik yang liberal. Pembunuhan dan penahanan aktivis dan simpatisan kiri di Indonesia itu sendiri bahkan sama sekali berlawanan dengan gaya politik liberal. Perspektif dalam teori-teori modernisasi memberikan penjelasan ilmiah bagaimana politik pembangunan harus dijalankan oleh negara berkembang seperti misalnya Indonesia untuk melakukan perubahan sosial yang diinginkan. Tiap-tiap disiiplin ilmu sosial dipersiapkan untuk mengembangkan konsep konsep yang lebih rigit dan aplikatif untuk membuat asumsi-asumsi teoritik mengenai sejumlah masalah perubahan sosial tersebut. Misalnya para sarjana ekonomi melihat modernisasi terutama dalam kerangka pemanfaatan perangkat teknologi oleh manusia untuk mengendalikan sumber-sumber alam. Para sarjana politik membuat teori mengenai faktor-faktor negatif yang kemudian dibidik sebagai sasaran pembinaan bangsa. Para sarjana psikologi menekankan kepada pertumbuhan pengetahuan, pendidikan dan prestasi individu. Pendeknya modernisasi pada berbagai selubung ini membicarakan transformasi kultural oleh manusia dan mobilisasi yang cepat. Para penganjur orientasi ilmu sosial ini selalu menganggap bahwa modernisasi merupakan prasarat penting bagi pembangunan[8]. Dalam teori-teori modernisasi yang secara jelas menisbatkan kepada sikap ideologis yang bias Eropasentris, setiap usaha untuk mengembangkan proyek pembangunan harus memandang secara kontekstual sifat dari tahapan perkembangan masyarakat[9]. Fenomena yang terjadi di negara-negara nonbarat seringkali belum banyak ditemukan kondisi masyarakat liberal dan karakteristik division of labour masyarakat yang ditandai munculnya kelas menengah di perkotaan. Apabila negara-negara berkembang diuji berdasarkan model modernitas kita, kesulitan-kesulitan maha besar yang terdapat di jalan menuju modernisasi itu nampak lebih jelas. Tidak mudah bagi dunia timur untuk mencapai dengan cepat dalam abad sekarang apa yang oleh dunia barat diselesaikan sedikit demi sedikit selama tiga abad yang terakhir.[10]
Pendekatan model mengasumsikan betapa ilmu sosial itu sendiri tidak ditempatkan sebagai bagian dari praktik sosial. Ia ditempatkan berada diluar (obyektif), dan dengan demikian asumsi-asumsi normatif yang mendasarinya adalah keinginan untuk bertindak seperti suatu agama, dimana ia memberikan suatu paket skematika, atau model-model khusus mengenai perubahan yang perlu diaplikasikan di dalam konteks tertentu. Dalam konteks Indonesia, karena konteksnya yang khas perubahan seperti yang dikehendaki (oleh teori modernisasi itu) mensaratkan satu hal: Perlunya agensi tertentu untuk mengambil prakarsa dan pendorong utama proses pembangunan tersebut. Agensi ini adalah unit yang kelak bisa bertindak netral, dan mampu bertindak profesional untuk mengawal proses perubahan itu. Agen terpenting yang disinyalir tangkas mengawal proses modernisasi ini adalah organisasi militer. Diskursus modernisasi membahas panjang lebar kelebihan serta keunggulan organisasi militer di negara-negara berkembang. Organisasi militer dipandang memiliki kualifikasi modern dan jauh lebih memiliki kualitas intelektual yang memadai dalam mengawal proses kemajuan tersebut. Sebagian besar ilmuwan sosial berhaluan teori modernisasi memandang tipe organisasi militer secara inheren lebih modern ketimbang lembaga-lembaga lain. Citra seperti ini muncul di masa paska perang dunia ke-2. Mereka mengagungkan rasionalitas yang mereka lihat implisit dalam hirarki militer, efektiifitas yang mereka klaim bersifat inheren dalam gaya militer yang menempatkan metode di bawah tujuan dan keakraban dengan teknologi tingkat tinggi yang harus dikembangkan oleh para perwira. Para satria militer secara alamiah diidentifikasi sebagai antiradikalisme, karena mereka adalah pelarian yang bergerak keatas dari ‘kelas menengah kebawah”. Ada penundaan selama beberapa tahun sebelum pengaruh penuh dari ikhtisar program bantuan militer ini berlaku mengingat tujuan politiknya telah dirasakan. Janowitz mengemukakan bahwa masyarakat seperti Amerika Serikat, organisasi militernya mengandung ciri-ciri perusahaan manajerial dan tanggung jawab yang sangat meningkat di bidang politik dan ekonomi. Bahkan dinegara-negara berkembang, unsur-unsur dalam organisasi militer dan sikap perwiranya cenderung membuat profesi militer bersifat kritis dan bahkan negatif terhadap kepemimpinan politik sipil. Janowits menunjukkan latihan MAP (Military Assistance Program) sebagai suatu alat yang bisa bermakna banyak dalam memperlengkapi para perwira asing sebagai personil yang terlatih secara teknis, bersemangat kemasyarakatan, dan yang pandangan rekayasanya membuat mereka berharga dalam tugastugas modernisasi negaranya[11]. Untuk menghindari kesemuanya ini, dan dengan demikian sekaligus memantapkan kondisi bangsa yang sedang membangun, perlu diciptakan ketertiban di bidang sosial politik dan di bidang keamanan. Dalam rangka ini maka integrasi diselenggarakan agar terdapat satu komando, satu prinsip
dan dedikasi yang sama. Tidak saja dalam tubuh ABRI, tetapi dalam struktur sosial politik juga perlu[12].
Kemampuan spektakuler Soeharto mengawali kepemimpinannya di masa Orde Baru adalah kesuksesannya mengonsolidasikan kekuatan-kekuatan militer, terutama di lingkungan angkatan darat. Kesuksesan ini tidak lain bisa dicapai karena kemampuannya menggalang dan memobilisasi seluruh elemen masyarakat untuk mengakhiri kekuatan-kekuatan kiri di Indonesia. Dan jika kita coba runut dari belakang, sejarah kaum komunis di era 1960an adalah sejarah rivalitas dan konfrontasi, dan sikap perlawanan ini terutama ditujukan terhadap petinggi-petinggi militer. Perselisihan ini sebagian karena doktrin-doktrin PKI yang gencar melawan feodalisme di berbagai tempat. Gaya kepemimpinan aristokratik Jawa misalnya sangat tidak disukai oleh kelompok PKI. Sikap kepemimpinan ini dianggap terlalu menjunjung tinggi senioritas yang secara kebetulan waktu itu banyak dijumpai di kalangan petinggi militer[13]. Namun persaingan ketat antara komunisme dengan militer tidak selalu dikaitkan dengan persoalan ini. Basis ideologi yang berbeda dan visi di dalam membawa Indonesia ke depan secara jelas menempatkan kekuatan komunis dan militer untuk saling berhadapan secara diametral[14]. Jadi kesuksesan menumbangkan kekuatan-kekuatan komunisme di Indonesia adalah saat yang paling ditunggu oleh sebagian pejabat tinggi militer di Jakarta. Kemenangan ini membawa para petinggi militer tidak saja melakukan penguasaan secara fisik atas pos-pos strategis di lingkungan pemerintahan, tapi juga kesempatan membangun wacana baru mengenai aspek-aspek kebangsaan dan nasionalisme. Diskursus kebangsaan yang dipengaruhi citra tentang kecanggihan sistem keorganisasian militer melahirkan posisi dan peran militer yang istimewa di Indonesia. Keistimewaan ini dapat dibaca dalam pembentukan model relasi sipil-militer yang kemudian dikenal sebagai wacana dwifungsi ABRI. Diskursus Dwifungsi ABRI secara berulang-ulang menarasikan keterlibatan intensif tentara di Indonesia dalam pembentukan negara Republik Indonesia. Peran-peran ini digambarkan sedemikian rupa, membentuk suatu citra militer sebagai garda depan dalam menentukan corak kebangsaan di Indonesia. Oleh karena itu, wacana ini kemudian melahirkan rekomendasi untuk membangun model ideal sipil-militer yang meletakkan peran profesional militer tidak saja difokuskan kepada peran pertahanan keamanan, namun juga dapat dikaryakan dalam peran-peran sosial politik lainnya. Dalam katakata Moertopo, peranan ABRI sebagai alat pertahanan keamanan maupun kekuatan sosial itu telah dilaksanakan sejak semula, jauh sebelum dikenal istilah Dwifungsi.[15] Jadi militer memegang posisi sentral di masa Orde Baru. Negara negara berkembang memiliki kecenderungan yang sama. Namun di Indonesia, formasi baru ini menelan biaya besar dalam mengganyang kelompok kiri-komunis dan seluruh kelompok underbouw-nya. Fakta ini paling spektakuler sepanjang sejarah, dan prestasinya hanya dapat disaingi oleh rezim
Hitler di Jerman dengan Holocaust-nya. Danpak yang dihasilkannya sangat meluas, kekuatan kiri komunis nyaris tidak dapat disuarakan, bahkan ketika ia hanya sebentuk suara saja tanpa rupa[16]. Dalam sejarahnya hanya PKI yang paling vokal menyuarakan bahaya-bahaya kapitalisme, dan ketidaksetujuannya diteruskan dengan kebijakan-kebijakan landreform yang dilapangan menimbulkan aksi-aksi sepihak. Bahaya neokomunisme yang terus disuarakan ini sebagian mereproduksi negativitas PKI yang dituduh sebagai biang kerusuhan, provokator, dan seterusnya. Diskursus kiri nyaris menjadi momok di Indonesia. Di kehidupan kampus, selama puluhan tahun tidak dapat ditemukan isu dan topik penelitian yang berhubungan dengan kelas, konflik dan gerakan sosial. Kuasa politik dan aksi pembungkaman kaum kiri berujung kepada skenario hegemoni pengetahuan. Di UGM, UI dan kampus-kampus lain tidak mudah ditemukan buku-buku berbau kiri, Marxisme dan sejenisnya. Mahasiswa tidak mendapatkan ruang mendiskusikan secara bebas fenomena sosial dan politik dalam mimbar akademik yang bebas. Ben Hwat misalnya mendeteksi karya-karya ilmiah di kalangan mahasiswa, dosen dan peneliti dari jurusan pertanian dan pertanahan yang nyaris tidak satupun yang melakukan penelusuran dan penelitian serius mengenai kasus landreform di Indonesia. Di fakultas Ilmu Sosial dan Politik, diskusi dan penelitian diarahkan untuk meperluas barisan komunitas akademik yang melegitimasi teori-teori modernisasi, perubahan sosial, dan peran-peran dwifungsi. Fenomena ini berjalan puluhan tahun. Arus ini berbalik ketika kekuasaan Soeharto berada di ujung tanduk. Ketika barisan masyarakat sipil melawan Soeharto semakin menyeruak, bacaan-bacaan ini muncul seperti jamur di musim hujan. Karya-karya Pram, teori-teori kelas hampir menjadi santapan seharihari aktivis mahasiswa. Dalam masa-masa krisis kepemimpinan, beberapa daerah semakin nyaring menyuarakan gerakan kemerdekaan. Aceh, Riau, Papua dan yang paling spektakuler adalah Timor Timur. Meskipun seluruh barisan daerah yang membangkang ini tidak sesukses Timor Timur, namun fakta ini tetap menunjukkan seruan menelisik kembali relasi pusatdaerah yang sampai saat ini menjadi isu seksi yang dapat digunakan untuk menjaring aksi perlawanan. NKRI yang pada masa Soeharto dipraktikkan sebagai ideologi represif – dengan kredonya, “NKRI harga mati, dikritik dan dilawan dengan aksi-aksi regionalisme (kedaerahan). Aksi-aksi perlawanan melawan rezim Soeharto menghasilkan jenis kekuasaan baru: desentralisasi. Sepanjang tahun 2000 sampai sekarang Pilkada menjadi euphoria baru dalam menjelajahi kehidupan demokrasi di Indonesia. Kita tidak dapat merasakan fakta seperti saat ini pada masa-masa sebelumnya. Elite-elite politik baru hadir mengisi kursi-kursi di gedung parlemen, komisi-komisi negara dan departemen-departemen. Mereka sebagian merupakan aktivis mahasiswa yang semula menjadi tokoh-tokoh dan simpatisan dalam gerakan melawan Soeharto. Gelanggang politik baru paska Orde Baru ini merubah berbagai hal yang
sebelumnya belum pernah terjadi. Akan tetapi, dapatkah perubahan ini dimaknai sebagai perjalanan menuju demokratisasi? Neoliberalisme, dan Dampak-dampaknya Dalam perdebatan ilmu politik kita perlu membedakan antara liberalisasi dan demokratisasi. Dalam liberalisasi, kebebasan pers memang jauh lebih longgar dibandingkan masa sebelumnya, fungsi-fungsi media tidak lagi dikerdilkan seperti dibawah Orde Baru. Jalur komunikasi politik tidak lagi seperti masa Orde Baru yang selalu bersifat topdown. Kini kita dapat merasakan berbagai suara dan sumber informasi mengenai peristiwa-peristiwa politik, sosial dan kebudayaan. Liberalisasi adalah tahapan awal untuk memulai kehidupan yang lebih demokratis. Akan tetapi, dimensi demokratisasi itu sendiri jauh lebih luas daripada sekedar liberalisasi. Pergulatan demokratisasi jika masih sampai kepada persoalan liberalisasi hasilnya seperti yang sudah disepakati sebagai kredo aktivis mahasiswa di masa lalu, “Turunkan Soeharto”. Selesai. Begitu Soeharto turun, aktivis-aktivis ini berbondong-bondong ke kursikursi politik baru dan menjadi ruling class baru. Agenda demokratisasi harusnya memikirkan agenda pemerintahan paska Soeharto, model rekrutmen kepemimpinan, sistem kontrol dan penataan kehidupan dalam berbagai dimensi. Katup liberalisasi tanpa dibarengi demokratisasi menghasilkan “kebebasan semu”, karena seperti diuatarakan oleh Herry Priyono dalam pidato kebudayaannya di TMII beberapa hari yang lalu, kebebasan dalam neoliberalisme lebih memenangkan kelompok dengan uang berlimpah, bahkan kebebasan itu sendiri semakin disempitkan sebagai sesuatu yang dapat ditukar dengan materi (uang). Neoliberalization has meant, in short the financialization of everything. This deepened the hold of finance,over all other areas of economy as well as over the state apparatus and, as Randy Martin points out, daily life. It also introdiced an accelerating volatility into global exchange relations. There was unquestionably a power shift away from production to he world finance. Gains in manufacturing capacity no longer necessary meant rising per capita incomes, but concentration on financial services certainly did.[17]
Hasilnya, sampai sekarang partai politik dengan uang melimpah masih memegang rekor tinggi sebagai pemenang pemilu. Elite-elite baru, baik di jajaran bupati, gubernur dan bahkan presiden tidak dapat menampik fakta hadirnya money politics dalam jual beli suara. Merekamereka inilah yang kelak terus akan mengisi jabatan-jabatan publik yang dipilih dari “proses demokratis” . Di Amerika yang diklaim negara paling demokratis menghadapi dilema serupa: demokrasi tersandera oleh kepentingan uang dan pemodal.
The democratic deficit in nominally democratic countries such as the US is now enormous. Political representation is there compromised and corrupted by money power, to say nothing of an all too easily manipulated and corupted electoral system. Basic institutional arrangements are seriously biased. Senator from twenty-six states with less than 20 per cent of the population have more than half the votes to determine the congressional legislative agenda. The blatant gerrymandering of congressional districts to advantage whoever is in power is, furthermore, deemed constitutional by a neoconservative persuasion. Institution with enoemous power, like the Federal reserve, are outside any democratic control whatsoever[18].
Faktanya gelombang liberalisme di beberapa tempat tidak memerlukan rezim demokratis. Kasus di Chile, dan reformasi ekonomi yang digulirkan Deng Xiaoping (1978) nampaknya tidak berbeda dengan yang diperagakan oleh Soeharto. Negara-negara ini meskipun menata kehidupan ekonominya secara totaliter namun memberi kelancaran bagi proyek kapitalisme pasar. Meskipun Republik Chile, dan Cina berhasil membangun kekuatan militeristik yang kokok selama puluhan tahun, ia tetap dapat mengklaim bahwa secara ekonomi mengadopsi apa yang sering ia disebut sebagai ekonomi neoliberal. Meskipun Rizal Malarangeng menyatakan bahwa di dalam struktur Orde Baru terjadi tarik-menarik antara kelompok proprivatisasi dan sentralisme ekonomi, namun fakta yang tidak dapat ditolak adalah munculnya UU PMA (Undang-undang Penanaman Modal Asing) yang justru sudah digulirkan sejak Orde Baru berdiri. Ini artinya bahwa rezim neoliberalisme merupakan mahzab penting yang paling berpengaruh. Ditinjau dari sejarahnya, neoliberalisme tidak bersoal banyak dengan kebebasan dalam arti yang sangat luas, akan tetapi lebih menunjuk kepada praktik pembukaan pasar bebas dan pembangunan infrastruktur yang memuluskan masuknya modal-modal asing asing ke Indonesia. Pemberian wewenang yang terlalu luas kepada elite militer adalah salah-satu usaha represif untuk memobilisasi massa agar menerima agenda-agenda negara. Agenda negara dalam konteks ini adalah pembangunan. Proyek pembangunan seperti telah dijelmakan oleh Soeharto bukan kasus spesifik yang hanya terjadi di Indonesia. Watak pembangunan Soeharto adalah pertumbuhan ekonomi yang digesa melalui industrialisasi. Faktanya teori tetesan ke bawah tidak sampai terwujud sampai lengsernya Soeharto, sebaliknya: Wealth doesn't always trickle down. There are limits to growth. The state will not protect us. A society guided only by the invisible hand of the
market is not only imperfect, but also unjust. The world that is emerging from the cold war is the antithesis of the shrink-wrapped One World of the hyperglobalists. It is in fact confused, contradictory, and mercurial. It is a world in which a litany of doubts is starting to be recited, not at the ballot box, but in cathedrals, shopping malls, and on the streets. A world in which loyalties can no longer be determined, and allegiances seem to have switched[19]
Jadi sangat bisa dimengerti, jika kasus Newmont yang terjadi di teluk Buyat Sulawesi Utara tidak terdeteksi dengan baik, hak-hak rakyat tetap menggantung tidak menentu. Dampak lingkungan yang membawa berbagai penyakit di lingkungan setempat tidak pernah diakui dan bahkan informasinya ditutup demi mengamankan perusahaan yang telah memberikan upeti kepada beberapa elite tertentu. Alih-alih mendapatkan informasi yang benar mengenai dampak lingkungan oleh industrialisasi PT Newmont, beberapa media massa terkontrol oleh politik kelompok pemodal itu sendiri. Kasus paling jelas juga terjadi di Lapindo. Lapindo yang jelas menelan korban begitu banyak dari seluruh lapisan masyarakat tidak dibenahi dengan serius. Sistem transportasi milik publik yang menghubungkan Gresik, Surabaya, Pasuruan, Malang lumpuh total. Beberapa sekolah terpaksa dipindahkan dengan darurat untuk meneruskan sistem pengajaran – meskipun ruang-ruang darurat sangat tidak memadai bagi siswa-siswi. Namun, pemilik modal Lapindo, yang sekarang masih menjabat Menteri Sosial, dibiarkan tanpa proses hukum. Orang-orang yang memiliki modal dan menguasai hayat hidup orang banyak dibiarkan menikmati hidupnya tanpa rasa bersalah, sementara kelompok masyarakat yang menderita kerugian nyawa dan harta akibat ketidakbecusan mengelola modal usaha dari segelintir orang dibiarkan tidak berdaya, tanpa ada usaha menutupi kerugiannya. Politik media dimainkan oleh pemodal dengan membangun asumsi-asumsi yang hendak menyatakan bahwa peristiwa meluapnya lumpur Lapindo akibat bencana alam yang sulit diatasi oleh usaha manusia. Penderitaan rakyat dan kesusahan yang menjadi bagian hidup sehari-hari masyarakat di sekitar Lapindo tersapu oleh sihir media di Jawa Timur yang berpolemik dengan isu-isu teknis, dan politis. Fakta seperti ini jelas menunjukkan bahwa negara yang kini semakin powerless terdominasi oleh struktur baru yang jauh lebih berbahaya; perusahaanperusahaan yang menahan dan menentukan laju bekerjanya negara jika negara tidak memihak kepada kepentingan mereka. Nah, dalam kasus seperti inilah kita bisa mengerti mengapa transparansi dana pemilu yang sempat menghebohkan kemarin sulit dideteksi dan dipahami dengan baik oleh publik. Soalnya sangat sederhana, bahwa bagaimanapun semua tokoh-tokoh politik yang kemarin
bertanding menuju pencalonan sebagai presiden tidak mengelak fakta bahwa mereka menerima uluran tangan dari berbagai pengusaha. Kekisruhan dan polemik yang diserbarkan media belum menunjukkan tanda akan segera diselesaikannya kasus money politics ini. ** Proyek Neo-Lib adalah fakta yang saat ini tengah mengitari kehidupan di Indonesia. Dipaksa atau tidak, kita semua berhadapan dengan realitas ini. Yang menjadi soal selanjutnya adalah bagaimana kita menyikapinya. Terdapat berbagai kemungkinan untuk melihat dimensi aktivitas gerakan rakyat dalam menyikapi persoalan ini. Di masyarakat akar rumput aksi-aksi untuk merespon perubahan-perubahan akibat liberalisasi berlangsung dengan tingkat gerakan yang berbeda-beda.
Potret Politik Arus Bawah Di beberapa tempat yang menjadi basis hidup masyarakat lokal, seperti hutan-hutan tropis yang dihuni oleh komunitas-komunitas indegenous people yang sangat menggantungkan hidupnya pada kekuatan alam mengalami pemusnahan karena eksploitas hasil-hasil alam di sekitar wilayah hunian mereka. Kondisi ini terjadi di Papua (Freeport), NTB (Newmont), Sulawesi Selatan (Lonsum), dan daerah-daerah di Sumatera. Modernisasi yang merubah cara, sikap dan norma-norma kehidupan masyarakat akar rumput merubah secara drastis kehidupan mereka. Tradisi-tradisi lama yang semula menjadi budaya bersama mereka sedikit demi sedikit hilang. Yang dapat kita refleksikan dari peristiwa ini adalah relasi-relasi global (gelombang neoliberalisasi) dan akibat-akibatnya di tingkat lokal. Kesulitan terbesar dari perjuangan kelompok akar rumput ini dalam memperjuangkan hak hidup dan tanah ulayatnya adalah perpindahan hak kolektif – yang sebelumnya dijadikan hukum yang mengikat bersama antar komunitas –menjadi hak individu atas tanah-tanah milik mereka. Klaim akte-isasi tanah menyulitkan perjuangan mendapatkan tanah air mereka yang sudah dikuasai oleh perusahaanperusahaan tertentu. Keputusan MK dalam perkara judical review atas UUD 1945 pasal 33 (?) misalnya memiliki makna liberalisasi yang sangat mencolok. Keputusan ini memberi sinyal semakin mudahnya perusahaan-perusahaan memiliki lahan tertentu untuk ekspansi kapital mereka. Tentu saja kekuatan-kekuatan pemodal besar menjadi ancaman baru. Di tengahtengah kemiskinan kolektif yang mendera sebagian besar kelompok masyarakat akar rumput, proses pemindahan kepemilikan lahan tidak lagi dilangsungkan melalui aksi-aksi kekerasan. Bahkan, bujukan salah satu perusahaan untuk menjual lahan mereka tidak perlu dipikir panjang. Mereka tergiur dengan uang puluhan juta untuk menjual lahan mereka yang kelak akan dijadikan sebagai salah satu sumber mata air milik perusahaan. Di beberapa daerah kondisi ini juga terjadi. Kesejangan yang terlalu lebar antara kelompok berduit dengan
kemiskinan yang semakin menganga di desa-desa dan rumah-rumah penduduk yang berdekatan dengan hutan-hutan lindung dan pertanian memudahkan proses pencaplokan ini. Di daerah-daerah yang kaya dengan sumber-sumber alam dan jauh dari perkotaan, lebih-lebih jauh dari pemberitaan media memudahkan penetrasi modal menjangkau wilayah-wilayah ini. Bagaimanapun ekspansi kapital tidak dapat dipahami semata-mata sebagai fenomena lokal. Kasus Lonsum yang bercokol selama puluhan tahun di Bulukumba Sulawesi Selatan tidak bisa dilihat dalam posisi sesaat ketika beberapa bulan yang lalu menimbulkan konflik dengan petani setempat. Privatisasi telah menjadi bagian penting dari proses kapitalisasi lahan di beberapa tempat. Perusahaan seperti Lonsum saat ini tidak saja menimbulkan bencana besar bagi rusaknya komunalitas di kalangan petani Kajang, akan tetapi merubah banyak pembagian kerja yang semula dipahami sebagai pembagian kerja berdasarkan keselarasan dengan tradisi. Petani di Kajang telah terpecah sebagai kelompok adat, petani buruh, dan petani biasa. Masingmasing menjalankan sistem hidup yang berbeda-beda. Kelompok petani adat, yang hidup di lingkaran cagar budaya setempat memiliki nilai-nilai yang masih dijunjung tinggi dari sumber tradisi. Meskipun demikian, kondisi ini berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Perubahan yang berlangsung cepat menjadikan mereka semakin gagap mengikuti irama perubahan ini. Kearifan lokal jelas memiliki caranya sendiri sebagai benteng peneguh identitas mereka dari ancaman luar. Namun tradisi-tradisi ini bagaimanapun bisa bertahan karena individuindividu yang berada di dalamnya sebagai satu kesatuan yang terkonsolidasi secara komunal. Penetrasi modernisasi yang merembes ke tingkat masyarakat paling bawah mendorong adanya perubahan-perubahan baru di kalangan mereka. Tidak mudah lagi membangun komunikasi berdasarkan kekerabatan yang sangat komunal. Masing-masing keluarga, bahkan individu memiliki kebebasan melakukan kontak dengan dunia luar. Salah-satu kelemahan tradisi komunal seperti yang masih dipelihara di komunitas-komunitas lokal adalah posisinya yang inferior berhadapan dengan “modernitas”. Sebagian besar komunitas lokal masih menganggap relasi tradisi vis a vis modernitas, dengan memilih kehidupan yang relatif terisolasi. Seperti di Bulukumba, kelompok adat menyempitkan posisinya ke dalam status komunitas dalam (). Kelompok adat di tempat lain juga berusaha untuk membentengi diri dari serangan gencar dari luar dengan membangun batas geografis yang tegas dengan kelompok lain. Sayangnya dalam usaha membangun batas-batas ini, stigmatisasi dan kesan-kesan negatif dan negativitas mereka lebih banyak direpdoduksi daripada pengetahuan mengenai perbedaanperbedaan budaya. Pada sisi lain, secara internal kelompok-kelompok minoritas lokal ini lebih banyak mereproduksi sikap pengetahuan yang bersifat inward looking, mereka sibuk mempertahankan diri tanpa ada usaha membangun komunikasi intensif dan dialog dengan kelompok lain. Dilema ini penting untuk kita kita bicarakan bersama. Seperti misalnya di Bulukumba, kisruh diantara dua elite yang berseteru menunjukkan dilema konflik yang merupakan kecenderungan baru dan yang sebelumnya belum pernah diantisipasi. Kekuatan-kekuatan yang terfragmentasi akibat dorongan eksternal juga menyulut
“kerentanan” tradisi-tradisi lokal. Relasi antar elite dan warganya juga semakin dipersulit akibat urusan-urusan antar keluarga yang semakin kompleks. Surutnya hubungan ini mempermudah letupan konflik dan sekaligus menyurutkan kelompok-kelompok penganut tradisi (lokal) secara keseluruhan. Sementara itu, petani dengan status buruh perkebunan karet PT Lonsum tidak ada kekuatan penopang perekonomian mereka kecuali menjadi buruh perusahaan. Mereka bekerja berdasarkan standar gaji setempat, yang susah untuk mendapatkan status mobilitas vertikal berdasarkan jenjang karir. Buruh-buruh ini bahkan memiliki resikom hidup lebih besar dibandingkan dengan petani lainnya. Mereka memiliki jam kerja yang ketat dengan gaji ala kadarnya. Relasi mereka petani lain dapat semakin renggang akibat perbedaan status seperti ini. Meskipun mungkin nasib mereka tidak setragis curuh kota, mereka bagaimanapun adalah bagian kecil dari kehidupan di pedesaan yang semakin terasing dengan lingkungan setempat. Sementara petani-petani lain meinkmati masa senggang yang lebih baik, mereka hanya memiliki sedikit waktu senggang dan bersenag-senang. Gambaran sekilas di Bulukumba ini hanya sedikit potret yang bisa menjelaskan proses fragmentasi yang terus terjadi di kalangan komunitas-komunitas lokal di Indonesia. Meskipun akhir-akhir ini kita mendapatkan laporan banyaknya proses pendampingan oleh beberapa LSM, kondisi fragmentasi ini belum berubah ke arah yang lebih baik. Sebagian besar aksi pendampingan, apalagi yang dicerca dengan isu-isu HAM sedikit sekali yang memahami proses sejarah pembentukan formasi sosial kelompok-kelompok lokal di Indonesia. Formasi sosial yang terjadi setelah peristiwa 1965 adalah mobilisasi massal kelompok-kelompok masyarakat akar rumput untuk dipenetrasi oleh proyek pembangunan. Hilangnya kekuatan komunis di Indonesia merubah relasi rakyat vis a vis negara yang semula masih diwarnai proses negosiasi dan perdebatan. Gambaran umum mengenai pencanangan kasus industrialisasi di Indonesia sebelum 1965 diikuti oleh penguatan organisasi buruh, petani dan kelompok-kelompok yang mengalami proses marjinalisasi oleh industrialisasi ini. Kelompokkelompok pemodal yang dapat menguasai negara dapat dengan mudah ditepiskan oleh gerakan-gerakan buruh yang diorganisasi di kalangan bawah. Pergerakan masyarakat di akar rumput berubah total setelah 1965. Apa yang kemudian disebut sebagai gerakan rakyat,aksi-aksi protes dan perlawanan melalui aksi massa dan demonstrasi direpresi oleh aparatus keamanan. Gerakan-gerakan ini dengan mudah dicap sebagai komunis dan dapat dijebloskan ke penjara atau ditembak tanpa proses pengadilan. Pemuda Ansor, dan simpatisan-simpatisan Islam mempermudah pengerukan gerakan-gerakan rakyat dengan membesar-besarkan bahaya komunisme dan oleh karena itu harus terus diwaspadai. Di beberapa tempat penetrasi proyek pembangunan melibatkan ulama dan eliteelite agama. Peminggiran kelompok-kelompok tertentu oleh isu agama nampaknya lebih langgeng dibandingkan usia Orde Baru itu sendiri. Sampai hari ini isu ini masih berkembang dan direproduksi oleh kekuatan massa, elite agama dan kelompok-kelompok tertentu.
Rintangan Agama dan Penetrasinya ke Masyarakat Lokal Di Bulukumba sendiri tantangan besar petani sekitar kawasan hutan lindung adalah konsolidasi internal. Sayangnya perubahan zaman menciptakan situasi yang tidak menguntungkan bagi mereka. Keutuhan identitas bersama yang semula dibangun melalui relasi-relasi komunal semakin luntur karena fragmentasi akibat pembagian kerja seperti dijelaskan di atas. Salah satu sumber tergerusnya kekuatan-kekuatan komunal sebagai kekuatan bersama yang sebelumnya dapat mengatasi rintangan-rintangan eksternal adalah ketika agama-agama baru mulai masuk secara penetratif. Harus diakui kondisi ini berlangsung secara mencolok beriringan dengan proyek pembangunan oleh negara. Di konteks Sulawesi Selatan, kelompok Islam melakukan penetrasi gencar sejak berabad-abad yang lalu[20] Paska pembasmian kekuatan sipil tahun 1965, negara misalnya melakukan penertiban keagamaan di Indonesia dengan hanya mengakui lima agama resmi di Indonesia. Legitimasi terhadap lima agama ini membawa dampak besar dalam kehidupan beragama di Indonesia. Agama lebih dari sekedar identitas warganegara yang wajib dicantumkan di dalam kartu identitas penduduk, akan tetapi agama telah menjelma menjadi ide-ide yang mesti diterima sebagai nilai bersama. Dengan memberlakukan lima agama di Indonesia, pemerintah Soeharto meneruskan proyek pembentukan negara poskolonial dari para pendahulunya. Ide ini seperti diutarakan oleh nasionalis sekaligus founding fathers di Indonesia yang membayangkan unsurunsur motropolis dan nilai-nilai modernitas senafas dengan agama-agama Timur Tengah. Para founding fathers di Indonesia pada umumnya tidak menolak pandangan kelompok kolonial sebelumnya. Mereka beranggapan bahwa fase agama-agama lokal di Indonesia masih bersifat animistik, belum memasuki alam pemikiran modern seperti yang dipunyai oleh agama Timur Tengah. Maka agama-agama lokal yang belum dapat diintegrasikan ke dalam agama resmi dimobilisasi oleh ulama-ulama desa. Proses ini beriringan dengan usaha pemerintah melakukan penetrasi proyek-proyek pembangunan nasional. Agama-agama lokal di Indonesia pada dasarnya adalah agama-agama yang telah hadir lebih dulu dibandingkan keberadaan agama-agama Timur Tengah (Hindu, Budha, Kristen, katolik, Islam). Sifat mereka yang khas yang memiliki ciri berbeda dengan agama-agama yang hadir belakangan, menguraikan dimensi lokalitas dan khasanah-khasanah lain yang bertentangan dengan ciri-ciri agama dari luar. Sifat-sifat ini seringkali dilukiskan sebagai “the other”, yang didalamnya mengandung sifat-sifat yang bertolak belakang dengan modernitas. Karakeristik pramodern inilah yang menjadi justifikasi birokrasi untuk membimbing mereka ke arah kemajuan. Mereka diberikan pengarahan, bimbingan yang bersifat doktriner agar komunitas-komunitas lokal ini menjadi bagian dari agama resmi[21], atau setidaktidaknya untuk sementara waktu mereka dapat dimasukkan sebagai bagian dari aliran kepercayaan di Indonesia. Ini artinya bahwa memahami
aliran kepercayaan di Indonesia dapat dilukiskan sebagai masa transisi menuju agama-agama resmi. Aliran-aliran kepercayaan ini pada dasarnya memang dipahami negara sebagai sempalan kecil dari agama (resmi) tertentu, oleh karena itu proses menjadi aliran kepercayaan pada akhirnya harus ditingkatkan menjadi proses integrasi ke dalam agama resmi tersebut. Tidak cukup disini, pentingnya agama bagi usaha pembangunan modernisasi di Indonesia melahirkan apa yang kemudian dikenal sebagai teologi pembangunan. Setiap agama didorong merumuskan kandungan teologi ini, yang tentu saja ditujukan untuk memberi makna yang lebih agamis atas proyek-proyek negara. Di kalangan umat Islam sendiri, teologi pembangunan diciptakan untuk meretas kecurigaan sebagian umat Islam terhadap proyek pembangunan yang dikonotasikan sebagai usaha sekularisasi. Dari visinya yang paling ideal, pembangunan adalah sunnatullah. Inilah pernyataan normatif yang selalu direproduksi oleh ulama yang membela pemerintah. Mereka selalu menandaskan hubungan antara pembangunan dengan perubahan ke arah yang lebih baik. Bahkan di berbagai media, pemerintah selalu menekankan pembangunan sebagai proses menuju yang lebih baik dari kondisi sekarang. Ulama dan tokoh-tokoh agama didorong merumuskan ajaran-ajaran keagamaan yang sesuai dengan visi pemerintah ini. Tidak terlalu sulit melakukan hal ini. Namun bagi agama-agama lokal tetap saja menjadi persoalan besar. Selain mereka tidak memiliki perangkat keagamaan seperti yang tercermin dalam agama-agama resmi, agama-agama lokal pada dasarnya merasa terancam dengan seluruh proyek pemerintah ini. Kondisi sebagian besar mereka yang berbasis kepada kehidupan pertanian dan hutan (alam), mempersulit proses adaptasi dan berintegrasi dengan proyek pembangunan. Dalam praktiknya, pembangunan justru dianggap sebagai ancaman. Sementara itu, dalam lanskap modernisasi di Indonesia, kita mendapatkan suatu pemahaman yang masih meletakkan hubungan antara agama dan kebudayaan secara diametral dengan menempatkan posisi pertama lebih superior. Bahkan pemahaman ini berkembang lama sejak masa awal kemerdekaan Indonesia. Misalnya, para founding fathers di Indonesia terfokus melihat unsur agama secara metropolit, fungsional bagi kebutuhan rakyat Indonesia dalam membangun wacana nasionalisme dan pembangunan. Kenyataan ini sudah berlangsung lama, misalnya kita dapat menjumpai semangat ini dalam tulisan mengenai konsep agama atau keagamaan di Indonesia pada masa sesudahnya. Istilah agama dan kebudayaan muncul ketika agama dimaknai dalam dua kategori, agama samawi (langit) dan agama ardli (bumi)[22]. Istilah agama samawi ditujukan kepada agama-agama resmi di Indonesia yang mempunyai ciri sempurna untuk dianggap sebagai agama yang benar-benar turun dari karena wahyu yang datang Sang Pencipta (Tuhan). Selain wahyu, agama dicirikan dengan unsur kenabian dan kitab suci. Sementara itu, agama ardli disebut demikian karena tidak seluruh ciri yang melekat dalam agama samawi itu tersedia. Misalnya, seperti agama Budha, dan Hindu mempunyai ciri sebagai agama yang mempunyai Tuhan sang pencipta, namun kedua agama ini masih patut diperdebatkan apakah memiliki kitab suci yang merupakan catatan paling resmi mengenai
pewahyuan atau nabi. Ciri yang tidak sempurna ini kemudian digambarkan secara sosiologis dan antropologis bahwa sejarah agama-agama bumi ini dipengaruhi juga oleh unsur-unsur kebudayaan. Konsep kebudayaan disini dihadapkan secara diametral dengan sesuatu yang nirciptaan manusia, dan oleh karena itu diposisikan berada di atas manusia (abadi). Definisi mengenai agama dan kebudayaan yang dipisahkan ini, dimana hubungan keduanya digambarkan secara hirarkis dengan menempatkan posisi pertama lebih superior dibandingkan yang kedua telah lama menjadi pengetahuan dominan di Indonesia[23]. Akibat dari cara pandang seperti ini seperti telah digambarkan oleh Abdurrahman Wahid ketika mendiskusikan persoalan kebudayaan dan dakwah keagamaan. Menurut Wahid, pemahaman yang meletakkan kebudayaan berada di luar ranah keagamaan seringkali membawa implikasi bagi munculnya model-model dakwah keagamaan yang selalu membawa misi (suci) untuk menundukkan kebudayaan. Fakta ini dapat ditelusuri dari munculnya konsep islamisasi yang kemudian disetubuhkan ke dalam kegiatan-kegiatan kebudayaan; islamisasi reyog, islamisasi Jaipong, festival kebudayaan Islam dan lain-lain. Maka dengan pemahaman seperti ini relasi agama dan kebudayaan berlangsung dalam konteks dimana yang pertama selalu berusaha menundukkan yang kedua. Beberapa perjumpaan agama resmi dengan komunitas-komunitas pemeluk agama lokal yang tidak diakui oleh negara sebagian besar juga berlangsung dalam suasana invasi agamaagama resmi (Saidi, 2004). Invasi ini dibarengi oleh penetrasi negara melalui proyek modernisasi di tingkat pedesaan. Dan sebagaimana kita pahami, modernisasi di Indonesia harus diakui telah membangun kekuatan raksasa yang hegemonik dengan menghadirkan proses transformasi perubahan secara pentratif sampai ke tingkat kesadaran masyarakat di tingkat pedesaan. Jika kita membuka kembali proyek-proyek perubahan selama masa Orde Baru, negara disini tidak saja menghadirkan suatu model kekuasaan represif yang mengakibatkan kerugian nyawa di bawah sepatu lars, akan tetapi proyek-proyek penyadaran melalui metode penyuluhan dan pendidikan-pendidikan langsung secara gencar dilakukan dari tingkat atas sampai masyarakat akar rumput. Bahkan selama puluhan tahun politik sehari-hari di tingkat mikro telah dikuasai dan diintervensi negara. Perbedaan di masyarakat ditumpas dengan politik persatuan, fungsi-fungsi mediasi untuk mengelola perbedaan diganti oleh fungsi penetrasi untuk menyosialisasikan ideologi pembangunan di Indonesia – yang salahsatunya menganjurkan persatuan dan kesatuan. Pada dasarnya politik penyeragaman seperti ditunjukkan oleh Orde Baru lebih banyak membawa akibat-akibat negatif. Salah satunya berdampak kepada kehidupan pesantren. Pesantren kehilangan sikap kemandirian sebagai akibat dari intervensi dan penyeragaman sistem pendidikan. Pilihan-pilihan yang ditawarkan pemerintah memposisikan pesantren berada dalam posisi sulit. Kesulitan terbesar adalah ketiadaan alternatif sebagai institusi pendidikan yang mandiri ketika perubahan-perubahan di masyarakat pada umumnya mengarah ke penciptaan ketergantungan terhadap negara. Misalnya perubahaan drastis yang
terjadi di wilayah pedesaan paska revolusi hijau tidak saja berkaitan dengan isu-isu di bidang pertanian. Revolusi hijau tidak saja menciptakan ketergantungan petani atas bibit-bibit tanaman dan pupuk buatan, akan tetapi kehidupan petani dan seluruh infrastruktur pedesaan berubah dari waktu ke waktu. Kondisi ini dapat diperkirakan karena kebijakan-kebijakan pemerintah di bawah payung pembangunan nasional ini tidak saja meliputi bidang pertanian saja. Kehidupan politik juga demikian. Pedesaan yang sekitar tahun 1960 menjadi ajang kontestasi pertarungan antar kelompok politik berubah menjadi ajang mobilisasi besar-besaran yang dilakukan oleh tentara dan aparat birokrasi. Keramaian berkontestasi dalam politik berubah wajah menjadi kesibukan negara memobilisasi seluruh aparatur desa dan warga negaranya terlibat dalam proyek-proyek pembangunan. Pesantren tidak terkecuali adalah salah satu pusat mobilisasi massa tersebut. Kemandirian pesantren terserap ke usaha-usaha untuk melegitimasi kepentingan pemerintah. Pendeknya politik akar rumput terkurung sebagai kekuatan yang hanya melayani kepentingan negara. Ironisnya negara Orde Baru terlalu berambisi untuk melakukan persatuan di bawah ideologi pembangunan dengan memobilisasi secara besar-besaran kekuatan-kekuatan akar rumput di Indonesia. Perbedaan-perbedaan di masyarakat diminimalisasi, dan kemudian seluruh kekuatan kebudayaan yang beraneka ragam ini dijadikan alat untuk melegitimasi tujuan-tujuan pembangunan. Kasus Aliran Madi yang digerebek di Sulawesi Tengah setahun yang lalu menunjukkan penetrasi agama dan relasinya dengan penertiban kehidupan di arus bawah. Kondisi ini nyaris tidak berubah bahkan ketika Orde Baru sudah dilengserkan. Di beberapa tempat, kelompokkelompok dengan aliran keagamaan yang tidak resmi (dan memang sengaja tidak diakui oleh negara) menghadapi kasus serupa. Di Jawa Timur, Jawa Barat juga terjadi kasus pembungkaman kelompok-kelompok seperti ini. Akan tetapi gambaran buram gerakan-gerakan yang terfragmentasi dan yang mengalami marginalisasi ini tidak seluruhnya menggambarkan proses viktimisasi yang total. Di beberapa tempat kita melihat sebagian usaha yang boleh dibilang cukup cerdas dalam mengatasi perubahan-perubahan akibat penetrasi kapital yang merembes di berbagai tempat. Gerakangerakan akar rumput yang terpecah-belah akibat politik modal (ekonomi) mencoba melakukan kreativitas di tengah perubahan-perubahan dramatis. Praktik ini memberikan sinyal betapa relasi-relasi kuasa antara pihak-pihak yang menggenggam modal ekonomi cukup besar melalui proyek-proyek perubahan di masyarakat bertalian dalam relasi yang tidak biner berhadapan dengan kelompok-kelompok sasarannya. Beberapa kelompok mengatasi penetrasi dengan siasat dan moda baru untuk mempertahankan eksistensi mereka. Kajian Scott mencoba melihat siasat-siasat ini dan sejauhmana relasi yang terbentuk antara pihak dominan dengan pihak yang dikuasainya (Scott,1992) Di Sedulur Sikep yang dikenal sebagai gerakan petani Samin, perlawanan atas kuasa negara dan dominasi agama resmi (Islam) berlawanan arah dengan yang saat ini dipikirkan
sebagai sikap apriori para komunitas muslim di sekitar Pati. Jika sebagian komunitas muslim di Pati masih memandang sebelah mata dengan melihat kelompok Samin sebagai “tidak beragama, bodoh, tolol, keras-kepala dan stigma negatif lain, maka kelompok ini secara internal justru merangkul semua golongan ke dalam lanskap gerakan petani. Di luar dugaan para eksponen Islam yang masih memikirkan kelompok lain dalam sikap monistik, kelompok sedulur sikep membangun relasi-relasi baru dan jaringan lintas kota untuk memperkuat dan mempertajam gerakan petani di lingkungan mereka[24]. Keluar dari stigma negatif, kelompok ini justru memiliki kreatifitas baru dalam memperkaya penafsiran atas ajaran-ajaran saminisme. Mereka mendirikan SPP (serikat Petani Pati), membuat kelompok-kelompok inti di lingkungan kecamatan, membentuk jaringanjaringan dalam pendistribusian pupuk petani yang bebas dari tengkulak, dan bahkan mereka secara bersama melakukan suatu manuver gerakan yang selama ini jarang dilakukan oleh gerakan petani di tempat lain. Mereka membentuk kekuatan perekonomian dengan melakukan kredit di Bank setempat untuk memperkuat usaha pertanian mereka. Di Kalimantan Selatan, kelompok agama lokal, Dayak Kaharingan juga berusaha keluar dari kurungan marjinalisasi. Mereka membentuk kredit union yang menjadi basis perekonomian terpenting mereka. Kredit ini bahkan meretas stigma dan pengkotak-kotakan berdasarkan etnisitas di lingkungan Kabupaten dengan merubah pola manajemen dan kepemimpinan kolektif yang lebih inklusif.[25] Tugas Cendekiawan? Seperti dijelaskan dimuka, kelemahan memandang cendekiawan sebagai menara gading gading, oposisi biner terhadap kekuasaan dominatif dan status quo menghilangkan maknamakna pergerakan di masyarakat yang justru melihat proyek neolib dalam posisi berhadaphadapan. Potret kreatifitas kelompok seperti sedulur sikep sebagaimana di atas, dan potret kredit union seperti di Kalimantan Selatan memperlihatkan wajah baru gerakan akar rumput. Bagi kalangan gerakan sosial seperti NGO, usaha perekonomian nyaris masih dipandang sebelah mata. Gerakan ekonomi sebagian besar masih dilihat sebagai kapitalisme yang jahat, berbeda dengan sifat voluntaristik mereka yang dianggap sebagai usaha nirprofit . Cendekiawan jika masih mengacu seperti disampaikan oleh Edward.W Said juga masih menunjukkan seolah-olah kerja “amatiran (amateur) dipandang secara oposisional dengan kerja profesional. Bagi kerja-kerja neolib, tidak ada kerja amatiran, sementara cendekiawan yang masih merasa memiliki anugerah untuk melakukan kerja-kerja gagasan seringkali menghindari bahkan mencerca apa yang sering disebut sebagai sikap kerja profesional. Menunjuk kepada dua kasus yang dikemukakan di atas, sikap oposisi biner ini tidak berlaku. Di Sedulur Sikep, dan Dayak Kaharingan Kalimantan Selatan, gerakan pengorganisasian massa-rakyat dapat berbarengan dengan kerja-kerja profesional.
Jadi Poin terakhir ini pada dasarnya lebih menekankan pentingnya melihat gelombang kekuatan akar rumput yang semakin terfragmentasi berhadapan dengan gelombang besar neoliberalisme. Kata kunci dari poin ini adalah diperlukan sebuah pemahaman yang lebih baik dan komprehensif mengenai dilema-dilema yang dihadapi oleh kelompok masyarakat di arus bawah dan potensi-potensinya sebagai gerakan perlawanan. Fakta ini tidak lantas mengurangi seluruh keanekaragaman potensialitas yang dimiliki masing-masing kelompok akar rumput di Indonesia. Sementara itu, untuk melihat kinerja gerakan akar rumput harus bisa menambah informasi mengenai gerakan-gerakan global sebagaimana diutarakan diatas. Saya kira tugas kecendekiawanan berada di areal ini. Ini adalah sikap untuk menghubungkan kebutuhan riel yang kini dirasakan oleh masyarakat akar rumput dengan seluruh konstelasi global yang terjadi saat ini. Dengan berani melakukan pemetaan bersama secara kritis barangkali akan terjadi usaha-usaha yang lebih berdampak luas. Dalam perspektif kebudayaan seperti ini, disiplin ilmu politik, sosiologi, antropologi dan hukum harus dilihat sebagai satu kesatuan dalam payung lintas disiplin. Pengertian mengenai komunitas-komunitas tradisional harus kita lepaskan dari jebakan perspektif yang dipenuhi prasangka. Faktanya apa yang sering kita nyatakan sebagai tradisional tidaklah berarti mengacu kepada sekumpulan orang yang terisolasi, konservatif dari berbagai segi dan sama sekali menolak perubahan-perubahan baru. Cara lama dalam melihat kompleksitas masyarakat di wilayah akar rumput segera kita hilangkan. Misalnya kajian mengenai kekuatan-kekuatan komunal saat ini lebih dilihat semata-mata sebagai cermin kebodohan, ketidaktahuan suatu komunitas berhadapan dengan kekuatan eksternal vis a vis kemajuan dan modernitas. Faktanya, kelompok-kelompok ini memiliki potensi berkembang secara dinamis, berdiri diantara kekuatan-kekuatan komunal yang terjaga sambil secara lentur melakukan perubahan internal untuk menjawab tantangantantangan baru. Misalnya seperti ditunjukkan oleh gerakan petani Samin, “Pembangkangan” yang pernah mereka lakukan selama akhir abad ke-19, terhadap pemerintahan kolonial menjadi referensi yang mereka hidupkan secara turun menurun dan sumber bersama mengatasi penetrasi-penetrasi eksternal. Cara, sikap hidup dan norma-norma bersama yang mereka pertahankan sampai hari ini membuktikan keliatan sosok petani di Indonesia, khususnya di Jawa. Kajian seperti James T. Scott memang memandang siasat dan resistensi sebagai senjata orang-orang kalah. Kritik terhadap Scott lebih diutarakan sebagai romantisasi perlawanan, dengan mamandang seolah-olah orang kalah masih memiliki harapan untuk bertahan dan mempertahankan posisinya. Akan tetapi Scott yang terlampaui romantis menepikan fakta bahwa pada dasarnya gerakan modal yang beraliansi dengan negara sekonyong-konyong tidak dapat menaikkan derajat orang-orang kalah ke dalam kelas yang lebih tinggi. Akan tetapi gagasan Scott bagaimanapun memberi perspektif baru dalam menginvestigasi secara antropologis geliat-geliat politik akar rumput.
Keharusan bagi cendekiawan menurut saya adalah melihat secara lebih investigatif dan etnografis posisi-posisi masyarakat yang terpinggirkan untuk meninggikan derajat mereka lebih manusiawi. Kedengarannya memang cukup romantis, akan tetapi jika praktik ini dilakukan dengan serius, dengan sendirinya akan membawa sejumlah implikasi teorititik yang tidak sedikit. Ilmu sosial bagaimanapun adalah kuasa baru yang tidak lagi dipandang sebagai pengetahuan netral. Kuasa ilmu sosial memberi legitimasi, dan inspirasi, ia juga bisa menjadi bagian dari “sikap apriori” dan aposteriori yang dapat melanggengkan status quo maupun merubah kondisi yang sudah mapan. Jadi masalahnya sekarang mau dibawa kemanakah ilmu sosial bagi perubahan sosial saat ini? Tugas Cendekiawan akan selalu dibawa oleh oleh peran-peran seperti ini.
Makalah dipresentasikan dalam Forum Interseksi, 7-9 Juli 2007, Bandung. Penulis adalah peneliti Yayasan Interseksi