Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 7 Agustus 2010
MODEL PERSEDIAAN TERINTEGRASI PADA SUPPLY CHAIN DENGAN MENGAKOMODASI KEBIJAKAN PEMBELIAN BAHAN BAKU Wakhid Ahmad Jauhari Jurusan Teknik Industri Universitas Sebelas Maret Surakarta Email :
[email protected]
ABSTRACT In this paper we consider integrated stochastic production-inventory model for a three-stage supply chain model consisting of a supplier, a manufacturer and a buyer. The model contributes to the current literature by incorporating raw material procurement decisions which has not been used for almost all integrated stochastic inventory models. The manufacturer orders a lot of raw material from supplier and converted it to finished product. The finished product is then delivered with equal-sized shipment over a number of shipment to the buyer. We consider two different models in determining raw material lot size. We develope an efficient algorithm to determine the optimal shipment-sized, safety factor, number of raw material replenishment and number of shipment based on minimum expected total cost. The results from numerical examples indicate that moving from making inventory decisions individually to jointly results a significant total cost saving. Keywords: stochastic, raw material, equal-sized shipment, safety factor, total cost.
PENDAHULUAN Penelitian yang berkaitan dengan model persediaan yang terintegrasi dalam suatu supply chain telah berkembang cukup pesat dalam beberapa tahun terakhir. Model yang telah dikembangkan umumnya dapat memberikan benefit yang signifikan pada sistem supply chain, terutama untuk meningkatkan kolaborasi dan koordinasi beberapa pihak yang terlibat dalam sistem tersebut. Pencapaian benefit tersebut dapat terjadi karena model persediaan yang terintegrasi memberikan kesempatan kepada beberapa pihak dalam supply chain untuk membuat keputusan secara bersama-sama, terutama keputusan yang terkait dengan kebijakan produksi dan kebijakan pengiriman. Pembuatan keputusan secara bersama-sama akan menghasilkan sinkronisasi antara proses produksi dan pengiriman yang berakibat pada turunnya total biaya persediaan. Model persediaan yang terintegrasi dalam beberapa literatur sering disebut sebagai model Joint Economic Lot Size (JELS). Goyal (1976) merupakan peneliti yang pertama kali mengembangkan model JELS. Dari penelitian yang telah dilakukan, didapatkan hasil bahwa dengan lot ukuran ekonomis mampu mengurangi total biaya dalam supply chain secara signifikan. Banerjee (1986) mengembangkan model integrasi pemasok-pembeli dimana pemasok memproduksi barang dengan tingkat produksi yang tetap dan menggunakan sistem lot for lot guna memenuhi permintaan dari pembeli. Goyal (1988) kemudian memperbaiki model JELS dengan ukuran pengiriman yang sama. Model ini mengasumsikan pengiriman hanya akan dilakukan setelah seluruh bacth produksi selesai dikerjakan. Kebijakan ini diperbaiki oleh Goyal (1995) dengan merubah ukuran pengiriman dari tetap menjadi bertambah dengan suatu faktor konstan.
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 7 Agustus 2010
Pada beberapa tahun terakhir, penelitian tentang JELS lebih diarahkan pada lingkungan stochasic. Sajadieh, dkk (2009) mengembangkan model pemasok-pembeli dengan lead time stochastic dan permintaan deterministik. Beberapa peneliti lainnya, seperti Ben-Daya dan Hariga (2004), Ouyang, dkk (2004), Hsiao (2008), Glock (2009), Lin (2009) dan Jauhari, dkk (2009), telah berhasil mengembangkan model persediaan terintegrasi yang mempertimbangkan permintaan yang bersifat stochastic. Model yang telah dikembangkan secara umum menghasilkan total biaya yang relatif lebih besar dibandingkan dengan model deterministik. Hasil yang diperoleh dari pengembangan model stochastic juga telah membuktikan bahwa, pengelolaan persediaan yang dilakukan secara bersama-sama dalam supply chain akan memberikan penghematan terhadap total biaya persediaan. Pengembangan model stochastic JELS pada kondisi lingkungan stochastic yang telah dilakukan masih terbatas pada penentuan batch produksi dan ukuran pengiriman ke pembeli. Penelitian ini bertujuan mengembangkan model Jauhari, dkk (2009) dengan mengakomodasi kebijakan pengelolaan bahan baku dari pemasok ke supplier. Integrasi kebijakan pengelolaan bahan baku ke dalam model pemasok-pembeli sangat diperlukan sebagai upaya sinkronisasi sistem produksi dan pengadaan di sisi pemasok. Pada penelitian ini akan dikembangkan 2 model kebijakan pengadaan bahan baku yang mungkin dapat diterapkan pada dua kondisi yang berbeda. Pengembangan Model Notasi Notasi yang digunakan dalam pengembangan model adalah D Permintaan per unit waktu. Standard deviasi permintaan per unit waktu. P Kecepatan produksi per unit waktu. r Faktor konversi bahan baku menjadi produk jadi . K Biaya setup produksi. A Biaya pemesanan produk jadi untuk setiap ukuran pemesanan nq. As Biaya pemesanan bahan baku F Biaya pengiriman untuk setiap ukuran pengiriman q. k Faktor pengaman. SS Safety stock untuk pembeli. ES Ekspektasi jumlah backorder. hb Biaya simpan produk jadi per unit produk per unit waktu untuk pembeli. hv Biaya simpan produk jadi per unit per unit produk waktu untuk pemasok. hs Biaya simpan bahan baku per unit bahan baku per unit waktu. Biaya backorder. n Faktor lot size pengiriman, merupakan bilangan integer. m Faktor lot size produksi, merupakan bilangan integer. Y Faktor lot size bahan baku, dimana Y=(1,2,3…z) or Y=(1,1/2,1/3,…1/z) q Lot size pengiriman dari pemasok ke pembeli. TCB Total biaya pembeli per unit waktu. TCV Total biaya pemasok per unit waktu. TC Total biaya sistem supply chain per unit waktu. Deskripsi Masalah Pihak pembeli menjual produk jadi kepada end customer dengan permintaan yang berdistribusi normal dengan rata-rata D dan standard deviasi . Pembeli memesan produk jadi ke pemasok dengan lot size nq (setiap periode nq/D). Kemudian pihak
ISBN : 978-602-97491-1-3 A-17-2
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 7 Agustus 2010
pemasok akan memproduksi produk dengan lot size mq dengan kecepatan produksi P (P>D). Untuk memenuhi kebutuhan produksi, pemasok akan memesan bahan baku ke supplier dengan lot size Ymq r , dimana Y=(1,1/2,1/3,....,1/z) atau Y=(1,2,3,....,4). Pada model ini diasumsikan bahwa pada saat bahan baku di sisi pemasok hampir habis, maka input berupa pesanan bahan baku akan datang untuk menambah persediaan bahan baku. Level persediaan pada sisi pembeli dan pemasok dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Level Persediaan pada Pemasok dan Pembeli
Total biaya pembeli per unit waktu didapat dari penjumlahan biaya pemesanan, biaya pengiriman, biaya persediaan dan biaya backorder. Penurunan rumus total biaya pihak pembeli mengikuti model Jauhari, dkk (2009), yaitu : DA DF q D (1) TCB hb k q ES nq
q
2
D q
dimana, ES = q f (k ) k 1 F (k ) D Total biaya pemasok merupakan penjumlahan dari biaya yang terkait dengan persediaan produk jadi dan biaya yang terkait dengan persediaan bahan baku. Biaya yang terkait dengan persediaan produk jadi merupakan penjumlahan dari biaya simpan produk jadi dan biaya setup produksi. Penurunan rumus biaya yang terkait dengan ini juga mengikuti model Jauhari, dkk (2009) q D DK (2) TCV 1 hv (m 1) (m 2) 2
P
mq
ISBN : 978-602-97491-1-3 A-17-3
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 7 Agustus 2010
Kebijakan pengelolaan bahan baku dapat dikembangkan menjadi 2 model yang berbeda. Pertama, pemasok dapat memesan bahan baku dengan frekuensi z kali untuk setiap batch produksi. Untuk model ini digunakan Y=(1/1,1/2,1/3,...1/z) sehingga lot size bahan baku menjadi mq/zr. Sedangkan model kedua mengasumsikan pemasok dapat memesan bahan baku ke supplier dengan lot size yang merupakan kelipatan integer dari batch produksi. Sehingga untuk model kedua, digunakan lot size pemesanan bahan baku zmq/r dengan Y=(1,2,3,....z). Kedua model tersebut dapat diformulasikan menjadi : Model 1 : TCV 2 As rDz hs mqD (3) mq
Model 2 :
TCV 2 As
2 Pzr
mqzD rD hs zmq 2rP
(4)
Bagian pertama dari kedua formulasi model tersebut merupakan biaya pemesanan bahan baku, sedangkan bagian kedua merupakan biaya simpan bahan baku. Kedua model pengelolaan bahan baku pada pihak pemasok tersebut jika dijumlahkan dengan persamaan (2), maka akan diperoleh 2 model persediaan pada pemasok yang berbeda. Sehingga total biaya supply chain per unit waktu (biaya pembeli + biaya pemasok) dapat diformulasikan menjadi 2 model, yaitu : Model 1 : TC (m, z, q, k )
D q ( A Fn) hb k q D nq 2
D q D DK rDz mqD q (k ) hv (m 1) (m 2) As hs D q 2 P mq mq 2 Pzr
(5)
Model 2 : TC (m, z, q, k )
D q ( A Fn) hb k q D nq 2
D q D DK rD mqDz q (k ) hv (m 1) (m 2) As hs D q 2 P mq zmq 2rP
(6)
Kemudian dengan menurunkan persamaan (5) dan (6) terhadap k dan q, akan didapatkan : h q Fs (k ) 1 b D
(7)
Model 1 :
K A rz A 2D ( F ) s (k ) q D n m m q* h D h mD (k ) k hb hv (m 1) (m 2) s b P Pzr 1 Fs (k ) q D D
ISBN : 978-602-97491-1-3 A-17-4
(8)
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 7 Agustus 2010
Model 2 : K Ar A 2D ( F ) s (k ) n m mz q* D h mDz h hb hv (m 1) (m 2) s b P rP D q
q
D
D
(9)
(k ) k 1 F (k ) s
ALGORITMA PENYELESAIAN MODEL Penyelesaian model yang telah dikembangkan dapat diselesaikan dengan menggunakan algoritma : 1. Tetapkan z=1 dan TC(z-1)= . 2. Tetapkan m=1 dan TC ( q m* 1 , k m* 1 , m 1 ) = . 3. Mulai dengan lot pengiriman : q
A rz K A 2 D ( F ) s m m n hs mD D hb hv (m 1) (m 2) Pzr P
q
Ar K A 2 D ( F ) s mz m n hs mDz D hb hv (m 1) (m 2) rP P
untuk model 1.
untuk model 2.
4. Masukkan q ke persamaan (7) untuk mendapatkan k. 5. Hitung q menggunakan persamaan (8) untuk model 1 dan hitung q menggunakan persamaan (9) untuk model 2. 6. Ulangi langkah 4 - 5 sampai nilai q dan k tidak berubah. 7. Tetapkan q*= q dan k*= k, hitung TC ( q m* , k m* , m ) menggunakan persamaan (5) untuk model 1 dan hitung TC ( q m* , k m* , m ) menggunakan persamaan (6) untuk model 2. 8. Jika TC ( q m* , k m* , m ) TC ( qm* 1, km* 1, m 1 ), ulangi langkah 3-7 dengan m=m+1, selain itu menuju langkah 9. 9. Hitung TC(z) =TC ( qm* 1, km* 1, m 1), jika TC ( z ) TC ( z 1) ulangi langkah 2-8 dengan z=z+1, selain itu menuju langkah 10. 10. Hitung TC (q*,z*,k*,m*)=TC(z-1), kemudian tetapkan q*,z*,k*, m* sebagai solusi optimal. ANALISIS DAN PEMBAHASAN D
P r A As F hb hv hs
Pada bagian ini, data yang digunakan dalam analisis model adalah : = 1000 unit/tahun = 5 unit/tahun = 3200 unit/tahun = 0,8 = $50/pesan = $50/pesan = $25/pengiriman = $5/unit/tahun = $4/unit/tahun = $2/unit/tahun
ISBN : 978-602-97491-1-3 A-17-5
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 7 Agustus 2010
= $15/unit = $400/setup
K
Sebagaimana asumsi yang digunakan di model ini bahwa permintaan di pihak pembeli tidak pasti dari waktu ke waktu, maka akan cukup menarik untuk menganalisis dampak ketidakpastian permintaan terhadap sistem supply chain. Seperti terlihat pada tabel 1, peningkatan standar deviasi permintaan akan meyebabkan peningkatan safety stock secara signifikan. Sehingga biaya persediaan pembeli juga akan meningkat. Sebaliknya, perubahan permintaan pada sisi pembeli cenderung tidak berpengaruh terhadap biaya pemasok. Hal ini dapat dimaklumi karena pemasok cenderung berhadapan dengan lingkungan yang bersifat deterministik. Tabel 1. Hasil perhitungan dari perubahan standar deviasi pada model 1 Standar deviasi permintaan
Parameters Safety stock q Level persediaan Backorder Jumlah pesan Frekuensi pengiriman Biaya pembeli Level persediaan Jumlah setup Biaya produk jadi Jumlah pesan Level persediaan Biaya bahan baku
Pembeli
Pemasok
Total biaya
5
10
20
30
40
50
3,13 138,56 72,41 0,26 1,44
6,26 138,19 75,36 0,26 1,45
12,51 137,46 81,24 0,25 1,45
18,74 136,74 87,11 0,25 1,46
24,96 136,02 92,97 0,25 1,47
31,16 135,31 98,82 0,25 1,48
7,22 618,5 164,54 1,80 1379,9 2,89 54,13 252,59
7,24 637,72 164,10 1,81 1380 2,89 53,98 252,69
7,27 676,09 163,23 1,82 1380,4 2,91 53,70 252,89
7,31 714,35 162,38 1,83 1380,8 2,93 53,41 253,09
7,35 752,51 161,52 1,84 1381,3 2,94 53,13 253,3
7,39 790,56 160,68 1,85 1381,8 2,96 52,86 253,52
2250,99
2270,41
2309,38
2348,24
2387,11
2425,88
Tabel 2. Perbandingan model 1 dan model 2 Model 1
Model 2
As
n
z
Biaya pemasok Bahan Produk baku jadi
25
1
3
179,41
1342,9
89,31
2413,6
1
224,2
1326,5
925,55
2476,3
5
2
179,31
1382,8
615,5
2177,6
1
236,2
1392,6
611,62
2240,4
1
3
251,64
1342,9
891,23
2485,8
1
269,03
1319,8
930,21
2519
5
4
252,59
1379,9
618,5
2,251
1
278,07
1389,3
612,45
2279,8
1
1
359,87
1346,7
888,26
2594,9
1
359,87
1346,7
888,26
2594,9
5
1
357,89
1384,3
614,52
2356,7
1
357,89
1384,3
614,52
2356,7
1
1
1292,9
1463,8
900,6
3657,6
3
1124,9
1350,2
887,27
3362,3
5
1
1290,8
1517,1
617,92
3425,8
3
1122
1387
613,23
3122,3
1
1
3141,8
2284,1
895,56
6321,4
6
2500,8
1346,6
888,33
4735,7
5
1
3154,7
2312,4
622,11
6089,2
6
2500,1
1382,3
615,82
4498,3
50 100 1000 5000
Biaya pembeli
Total biaya
z
Biaya pemasok Bahan Produk baku jadi
Biaya pembeli
Total biaya
Perbandingan performansi model 1 dan model 2 terhadap perubahan biaya pemesanan bahan baku dapat dilihat pada tabel 2. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa ketika biaya pemesanan bahan baku cenderung murah, model 1 lebih cocok diaplikasikan dibandingkan dengan model 2 karena menghasilkan total biaya yang lebih kecil. Pada model 1 pemasok dapat melakukan pemesanan bahan baku lebih sering ke
ISBN : 978-602-97491-1-3 A-17-6
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 7 Agustus 2010
supplier seiring dengan murahnya biaya pemesanan bahan baku. Sebaliknya, model 2 terlihat lebih cocok diaplikasikan pada kondisi dimana biaya pemesanan bahan baku relatif mahal. Pada model 2, pemasok memiliki kesempatan untuk memesan bahan baku dalam lot size yang cukup besar namun dengan frekuensi pemesanan yang lebih kecil. Pada tabel tersebut juga terlihat bahwa pada biaya pemesanan bahan baku $100, kedua model memiliki performansi yang sama. Pada kasus nyata, sangat penting bagi seorang manajer persediaan untuk mengetahui point dimana kedua model tersebut akan menghasilkan performansi yang relatif sama. Sehingga pada saat terjadi kenaikan atau penurunan biaya pemesanan bahan baku, seorang manajer dapat mengambil keputusan yang optimal. Sebagaimana telah ditemukan pada beberapa penelitian sebelumnya, integrasi yang baik antara beberapa pihak dalam supply chain dalam pengelolaan persediaan akan menghasilkan penghematan yang signifikan terhadap total biaya persediaan. Oleh karenanya, pada penelitian ini juga akan dibandingkan performansi model integrasi dengan model independen. Pada model integrasi, beberapa pihak dalam supply chain akan saling bertukar informasi yang terkait dengan pengelolaan persediaan dan membuat keputusan seperti pemesanan, pengiriman dan produksi secara bersama-sama. Performansi kedua model tersebut dapat dilihat pada tabel 3. Pada tabel tersebut terlihat bahwa model integrasi selalu menghasilkan total biaya yang lebih kecil dibandingkan dengan model independen. Terlihat juga bahwa rata-rata penghematan yang bisa dihasilkan untuk semua nilai n adalah 0,71 %. Pada umumnya prosentase penghematan biaya cenderung akan turun seiring dengan meningkatnya frekuensi pengiriman. Pada saat sistem supply chain memutuskan beralih dari model independen ke model integrasi maka pembeli selalu berada pada pihak yang tidak diuntungkan sehingga total biayanya cenderung akan naik. Sebaliknya bagi pemasok, perubahan model pengelolaan persediaan tersebut justru akan memberikan keuntungan berupa turunnya total biaya pemasok. Meskipun perubahan model pengelolaan persediaan tersebut dirasakan belum adil, namun terlihat bahwa penghematan biaya pemasok lebih besar dibandingkan dengan kerugian yang dialami oleh pembeli. Kondisi ini menunjukkan perbaikan yang signifikan terhadap performansi sistem supply chain secara keseluruhan. Mekanisme seperti side payment, credit option, profit sharing, quantity discount dan vendor managed inventory (vmi) dapat dipertimbangkan untuk diaplikasikan oleh sistem supply chain untuk meningkatkan ketertarikan pembeli pada model integrasi. Tabel 3. Perbandingan model independen dan model integrasi Model independen n
Biaya pemasok
Model integrasi
Biaya pembeli
Total biaya
Biaya pemasok
Biaya pembeli
Total biaya
Penghematan (%)
1342,90
891,23
2485,80
2,18
1348,40
748,66
2350,70
1,33
251,89
1378,80
667,85
2298,60
0,52
252,31
1379,40
637,21
2268,90
0,97
2261,41
252,59
1379,90
618,5
2251,00
0,46
596
2247,59
252,79
1380,20
605,87
2238,90
0,39
1400,22
585
2237,38
252,94
1380,50
596,78
2230,20
0,32
252,65
1400,72
577
2230,37
253,06
1380,80
589,92
2223,70
0,30
253,08
1401,32
571
2225,40
253,15
1380,90
584,56
2218,70
0,30
253,45
1401,94
566
2221,39
253,22
1381,10
580,25
2214,60
0,31
Bahan baku
Produk jadi
Bahan baku
Produk jadi
1
253,04
1401,25
887
2541,29
251,64
2
253,45
1401,94
727
2382,40
253,66
3
256,27
1389,32
665
2310,59
4
259,63
1400,51
631
2291,14
5
250,97
1400,44
610
6
251,59
1400,00
7
252,16
8 9 10
ISBN : 978-602-97491-1-3 A-17-7
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 7 Agustus 2010
KESIMPULAN Pada penelitian ini telah dikembangkan dua model kebijakan pengelolaan bahan baku pada kasus pemasok-pembeli dengan permintaan yang bersifat stochastic. Penelitian sebelumnya yang terkait dengan masalah ini hanya memfokuskan pada model pemasok-pembeli dengan tanpa mengakomodasi kebijakan pengelolaan bahan baku. Kedua model kebijakan pengelolaan bahan baku yang telah dikembangkan pada penelitian ini dapat diaplikasikan pada dua kondisi berbeda, yaitu pada saat biaya pemesanan bahan baku murah dan pada saat biaya pemesanan bahan baku mahal. Masing-masing model yang dikembangkan terbukti memiliki performansi yang baik pada kondisi yang berbeda. Model 1 akan cocok diaplikasikan pada saat biaya pemesanan bahan baku relatif murah dan model 2 pada saat sebaliknya. DAFTAR PUSTAKA Banerjee, A., 1986. “A Joint Economic-Lot-Size Model for Purchaser and Vendor.”, Decision Sciences, Vol. 17, p. 292-311. Ben-Daya, M. dan Hariga, M., 2004. ”Integrated Single Vendor Single Buyer Model with Stochastic Demand and Variable Lead Time.” International Journal of Production Economic, Vol. 92, p.75-80. Goyal, S.K., 1976. “An Integrated Inventory Model for A Single Supplier – Single Customer Problem.” International Journal of Production Research, Vol. 15, p.107-111. Goyal, S.K., 1988. “A Joint Economic-Lot-Size Model for Purchaser and Vendor: A Comment.” Decision Sciences, Vol. 19,p. 236-241. Goyal, S. K., 1995.”A one-vendor multi-buyer integrated inventory model : A comment”, European Journal of Operation Research 82, 209-210. Glock, C.H. 2009. “A comment : “Integrated Single Vendor-Single Buyer Model with Stochastic Demand and Variable Lead Time”, International Journal of Production Economic, Vol. 122, pp. 790-792. Hsiao, Y.C. 2008. “A Note on Integrated Single Vendor Single Buyer Model with Stochastic Demand and Variable Lead Time”, International Journal of Production Economic, Vol 114, pp. 294-297. Jauhari, W.A., Pujawan, I.N. dan Wiratno, S.E. 2009. “Model Joint Economic Lot Size Pada Kasus Pemasok-Pembeli dengan Permintaan Probabilistik, Jurnal Teknik Industri, Vol . 11 No. 1, pp. 1-14. Lin, Y.J. 2009. “Integrated Vendor-Buyer Inventory Model with Backorder Price Discount and Effective Investment to Reduce Ordering Cost”, Computers and Industrial Engineering, Vol. 56, pp. 1597-1606. Ouyang, L.Y., Wu, K.S., dan Ho, C.H., 2004. “Integrated Vendor-Buyer Cooperative Models with Stochastic Demand in Controllable Lead Time.” International Journal of Production Economics, Vol. 92, p.255-266. Sajadieh, M.S., Jokar, M.R.A. dan Modarres, M. 2009. “Developing A Coordinated Vendor-Buyer Model in Two-Stage Supply Chains with Stochastic Lead Times”, Computers and Operations Research, Vol. 36, pp. 2484-2486.
ISBN : 978-602-97491-1-3 A-17-8