MODEL PERHITUNGAN KERUSAKAN STRUKTUR PERKERASAN LENTUR BUSWAY DENGAN PENDEKATAN ANALITIS Dr. Ir. Djunaedi Kosasih, MSc. Dosen Program Studi S2 Teknik Sipil Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung email:
[email protected]
Yanuar Chalik DES, ST. Mahasiswa Program Studi S2 Teknik Sipil Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung email:
[email protected]
ABSTRACT Busway in Jakarta has just been operated in the last 3½ years. In this early operational period, distresses that occurred in the busway flexible pavement structure were found relatively faster than that in the adjacent nonbusway flexible pavement structure. One major cause of such early-life distresses is probably due to its more channelized bus wheel paths. In general, initial damages in the form of rutting or fatigue cracking are expected to first be taking place within the bus wheel paths before progressing to the nearby structures. This paper outlines a calculation model for estimating damages in the busway flexible pavement structure which has been developed using an analytical approach in accordance with the Nottingham method (Brown, et.al., 1984). For this, the bus wheel paths are assumed to be normally distributed. The results show that if bus wanderings are narrower, the damages occurring in the pavement structure are expected to increase; and, this will consequently reduce the pavement life. Key words: flexible pavement structure, busway, early-life damage, analytical design method
ABSTRAK Busway di Jakarta baru saja beroperasi sekitar 3½ tahun. Di awal masa pengoperasiannya, kerusakan pada struktur perkerasan lentur busway terjadi relatif lebih cepat jika dibandingkan dengan yang terjadi pada struktur perkerasan lentur non-busway disekitarnya. Salah satu penyebab utama dari kerusakan dini pada struktur perkerasan lentur busway adalah mungkin karena jalur lintasan roda bus yang lebih channelized. Menurut metoda analitis, kerusakan awal seperti alur atau retak lelah diperkirakan akan terbentuk terlebih dahulu pada jalur lintasan roda bus sebelum menjalar ke bagian lainnya. Makalah ini menguraikan model perhitungan kerusakan struktur perkerasan lentur busway yang dikembangkan dengan menggunakan pendekatan analitis menurut metoda Nottingham (Brown, et.al., 1984). Untuk itu, jalur lintasan roda bus dianggap terdistribusi secara normal. Hasil analisis memperlihatkan bahwa jika pergeseran pergerakan bus ke arah samping semakin sempit, maka kerusakan yang terjadi pada struktur perkerasan diperkirakan akan meningkat; dan, ini mengakibatkan masa layan struktur perkerasan lentur busway akan berkurang. Kata kunci: struktur perkerasan lentur, busway, kerusakan dini, metoda desain analitis
1.
PENDAHULUAN
Busway mulai dioperasikan di Jakarta pada tanggal 15 Januari 2004 yang pada akhirnya diharapkan akan menjadi bagian integral dari sistem Light Rail Transit dan Mass Rapid Transit. Busway merupakan jalur khusus bagi bus TransJakarta, sehingga tidak boleh dilewati oleh kendaraan lain. Kekhususan lainnya dari sudut pandang struktur perkerasan busway adalah beban roda bus yang kurang lebih seragam. Busway menggunakan jalur dalam dari jalan existing yang umumnya merupakan struktur perkerasan lentur. Di awal masa pengoperasiannya, kerusakan pada struktur perkerasan lentur busway terjadi relatif lebih cepat jika dibandingkan dengan yang terjadi pada struktur perkerasan lentur non-busway disekitarnya. Kompas (2007), misalnya, memuat artikel tentang kerusakan struktur perkerasan busway, seperti diperlihatkan pada Lampiran A. Ada beberapa faktor yang menyebabkan kerusakan dini pada struktur perkerasan lentur busway, 1
Simposium X FSTPT, Universitas Tarumanagara Jakarta , 24 November 2007
seperti beban sumbu roda bus, drainase, kekuatan struktur perkerasan existing, dsb. Akan tetapi, salah satu penyebab utama dari kerusakan dini pada struktur perkerasan lentur busway yang akan didiskusikan dalam makalah ini adalah mungkin karena jalur lintasan roda bus yang lebih channelized. Artinya bahwa pergeseran pergerakan bus ke arah samping terjadi pada bidang yang lebih sempit jika dibandingkan dengan jalur lintasan roda kendaraan umum pada struktur perkerasan non-busway yang umumnya sekitar 120 cm. Dengan kata lain, nilai coverages dari repetisi jumlah lintasan roda bus pada struktur perkerasan lentur busway menjadi lebih besar (ICAO, 1983). Dalam implementasinya, jalur lintasan roda bus dianggap terdistribusi secara normal. Jelaslah bahwa nilai deviasi standar dari distribusi jalur lintasan roda bus pada struktur perkerasan lentur busway seharusnya lebih kecil daripada yang umum diamati pada struktur perkerasan lentur non-busway. Menurut metoda analitis, kerusakan awal dalam bentuk alur atau retak lelah akan terbentuk terlebih dahulu pada jalur lintasan roda bus sebelum menjalar ke bagian lainnya. Makalah ini menguraikan model perhitungan kerusakan struktur perkerasan lentur busway yang dikembangkan dengan menggunakan pendekatan analitis menurut metoda Nottingham (Brown, et.al., 1984). Kerusakan struktur perkerasan dapat dihitung dengan membagi jumlah repetisi lintasan roda bus yang direncanakan selama masa layan terhadap jumlah repetisi lintasan roda bus yang diijinkan. Kondisi struktur perkerasan lentur busway yang telah beroperasi pada dasarnya tidak secara khusus dievaluasi disini. Aplikasi dari model perhitungan yang dikembangkan diperlihatkan dengan menggunakan contoh perhitungan kerusakan dari struktur perkerasan lentur busway yang didesain ulang berdasarkan metoda Nottingham. Manfaat dari model perhitungan ini dalam proses evaluasi kondisi struktur perkerasan lentur busway akan didiskusikan. 2.
PENGEMBANGAN MODEL PERHITUNGAN KERUSAKAN STRUKTUR PERKERASAN LENTUR BUSWAY
Model perhitungan kerusakan struktur perkerasan lentur busway yang sedang dikembangkan didasarkan pada teori lelah (Yoder, et.al., 1975), yang secara singkat dapat dijelaskan berikut ini. Lintasan roda bus pada busway umumnya tidak selalu terjadi pada jalur lintasan roda yang sama dan dalam hal ini dianggap terdistribusi secara normal. Setiap lintasan roda bus akan mengakibatkan regangan di dalam struktur perkerasan, yang selanjutnya akan menentukan jumlah repetisi lintasan roda bus yang diijinkan. Persen lelah yang juga menyatakan derajat kerusakan kemudian dapat dihitung dengan membagi jumlah repetisi lintasan roda bus yang terjadi dengan jumlah repetisi lintasan roda bus yang diijinkan. Jika jumlah total persen lelah dari semua lintasan roda bus adalah kurang dari, atau sama dengan, 1.0, maka kerusakan struktur perkerasan belum menjadi kritis. . . . (1) dimana: i = 1 ÷ n, adalah irisan jumlah repetisi lintasan roda bus pada distribusi normal Ni = jumlah repetisi lintasan roda bus yang terjadi (mill.passes) N’i = jumlah repetisi lintasan roda bus yang diijinkan (mill.passes) Prosedur perhitungan kerusakan struktur perkerasan lentur busway secara lengkap diperlihatkan pada Gambar 1. Seperti terlihat pada gambar, ada 5 tahapan proses utama yang akan dijelaskan secara rinci berikut ini. 2
Simposium X FSTPT, Universitas Tarumanagara Jakarta , 24 November 2007 (a.1) Data Desain
(a.2) Data Konfigurasi
(a.3) Data Volume Lalu
(a.4) Data Lebar Jalur
Struktur Perkerasan
Beban Roda Bus
Lintas Bus Rencana
Lintasan Roda Bus
D, E, µ
P, q, d
N
w
(b) Perkiraan Distribusi Lintasan Roda Bus
σ Ref , σ Obs , x i , N i=1 ÷100%
(c) Analisis
Nilai x i dan N i
Struktural Perkerasan
Berikutnya
ε hi , ε vi (d) Perhitungan Jml.Repetisi Lintasan Roda Bus Ijin N' hi , N' vi (e.1) Perhitungan Derajat Kerusakan d hi , d vi
i = 100% ?
tidak
ya (e.2) Perhitungan Total Kerusakan Str.Perkerasan Dam h , Dam v
Gambar 1: Prosedur perhitungan kerusakan struktur perkerasan lentur busway 2.1. Data input Empat (4) kategori data input diperlukan untuk dapat menganalisis kondisi struktur perkerasan lentur busway, yaitu: (a)
Data desain struktur perkerasan; data ini terdiri dari data tebal lapisan perkerasan, D (cm), modulus, E (MPa), dan konstanta Poisson, µ. Model struktur perkerasan menurut metoda Nottingham adalah model sistem struktur 3-lapisan, yang terdiri dari lapisan beraspal, lapisan agregat dan tanah dasar. Nilai D untuk masingmasing lapisan perkerasan dapat diperoleh apakah dari dokumen desain, dari hasil uji coring atau dari alat ukur GPR (Ground Penetrating Radar). Sedangkan, penentuan nilai E sedikit agak lebih rumit karena dipengaruhi tidak saja oleh variasi temperatur perkerasan dalam sehari tetapi juga oleh musim dalam setahun. Proses back calculation untuk menentukan nilai E dari data lendutan yang sifatnya non-destruktif layak dipertimbangkan (TRB, 1992). Metoda Nottingham memberikan rumus pendekatan yang cukup sederhana untuk memperkirakan nilai 3
Simposium X FSTPT, Universitas Tarumanagara Jakarta , 24 November 2007
E lapisan beraspal yang representatif, seperti terlihat pada pers (2). Data struktur perkerasan yang terakhir, nilai µ merupakan nilai tipikal yang umumnya ditetapkan di dalam standar desain struktur perkerasan. . . . (2) = modulus lapisan beraspal (MPa) dimana: E1 VMA = rongga di dalam mineral agregat (%) Sb
=
LF T
= frekwensi pembebanan (Hz) = temperatur lapisan beraspal (oC) 27 * log Pi − 21.65 = 76.35 * log Pi − 232.82
PIr
(b)
Pi
= penetrasi aspal awal (0.1 mm)
n
⎛ 4 *10 4 ⎞ ⎟⎟ = 0.83 * log ⎜⎜ S b ⎠ ⎝
Data konfigurasi beban roda bus; data ini terdiri dari data beban roda, P (KN), tekanan ban, q (KPa), dan, khusus untuk sumbu roda bus belakang, jarak antara roda ganda, d (mm). Nilai q dan nilai d pada prinsipnya dapat ditentukan sesuai dengan data spesifikasi teknis dari bus yang digunakan. Sedangkan, nilai P dipengaruhi oleh jumlah penumpang bus yang diangkut. Nilai P pada sumbu roda belakang dan pada sumbu roda depan juga berbeda. Dengan metoda analitis, kedua beban sumbu roda depan dan beban sumbu roda belakang dapat dianalisis secara bersamaan. . . . (3) Analisis struktural perkerasan yang akan dilakukan pada langkah selanjutnya juga memerlukan jari-jari bidang kontak, r (mm), antara roda bus dan permukaan perkerasan yang dianggap berbentuk lingkaran. Nilai r dapat dihitung dari pers (3) di atas.
(c)
Data volume lalu lintas bus rencana, N (mill.passes); data ini dapat ditentukan dari jadwal pengoperasian bus yang direncanakan. Perlu dicatat di sini, bahwa untuk busway dengan keseragaman jenis kendaraan yang beroperasi, nilai N tidak perlu lagi dikonversikan dari satuan (mill.passes) ke dalam satuan (mill.ESA). Jika analisis kondisi struktur perkerasan lentur busway yang lebih rinci diperlukan, maka data distribusi volume lalu lintas bus rencana dalam sehari juga harus diadakan. Sehingga, analisis dapat dilakukan baik pada jam sibuk maupun pada jam tidak sibuk di pagi, siang, sore dan malam hari.
(d)
Data lebar jalur lintasan roda bus, w (cm); data ini diukur secara tidak langsung lewat jejak roda bus yang terlihat pada permukaan perkerasan. Nilai w digunakan untuk memperkirakan nilai deviasi standar, σ (cm), dari distribusi lintasan roda 4
Simposium X FSTPT, Universitas Tarumanagara Jakarta , 24 November 2007
bus yang dianggap mengikuti kurva distribusi normal. Sebagai alternatif, pengamatan distribusi jalur lintasan roda bus juga dapat dilakukan secara langsung, misalnya dengan menggunakan teknik video. Nilai σ diharapkan nantinya akan dapat menjadi ketetapan di dalam standar desain struktur perkerasan untuk busway. 2.2. Perkiraan distribusi lintasan roda bus Hubungan antara nilai w dan nilai σ diusulkan dengan asumsi bahwa lebar jalur lintasan roda bus terbentuk pada tingkat probabilitas 80% (z = ± 1.282). Jadi,
σ =
w − (d + 2r ) / 10 2 * 1.282
. . . (4)
Mensubstitusikan data lebar jalur lintasan roda bus, w yang diamati di lapangan ke dalam pers (4) dihasilkan nilai σObs. Gambar 2 memperlihatkan kurva distribusi tipikal dari lintasan roda ganda bus dengan semua variabel yang digunakan. Sebagai referensi, lintasan roda kendaraan pada non-busway umumnya membentuk lebar jalur sekitar 120 cm; dan, nilai w ini disubstitusikan ke dalam pers (4) untuk memberikan nilai σRef. Model lelah yang digunakan untuk metoda Nottingham kurang lebih telah diturunkan dengan memperhitungkan lebar jalur lintasan roda kendaraan ini. Kedua nilai σObs dan σRef perlu dianalisis masing-masing untuk dapat menghitung pengaruh dari jalur lintasan roda bus yang channelized terhadap kerusakan struktur perkerasan lentur busway, seperti yang akan dijelaskan pada butir 2.5 di bawah. [tanpa skala]
Gambar 2: Model sistem struktur 3-lapisan dengan distribusi lintasan roda bus yang bekerja dan dua kurva respon struktural (εh dan εv) akibat lintasan beban roda pada jalurnya di titik kontrol O dan yang bergeser sejauh xi 5
Simposium X FSTPT, Universitas Tarumanagara Jakarta , 24 November 2007
Analisis dilakukan untuk setiap 1% irisan jumlah repetisi lintasan roda bus pada kurva distribusi normal. Jadi, total ada 100 irisan yang harus dianalisis. Setiap irisan cukup diwakili dengan satu variabel saja, yaitu xi, yang merupakan jarak pergeseran lintasan roda bus dari titik kontrol O. Sedangkan, titik kontrol O merupakan lokasi dimana kerusakan struktur perkerasan dihitung. 2.3. Analisis struktural perkerasan Analisis struktural perkerasan dilakukan dengan menggunakan program PastDean (Kosasih, 2004). Gambar 2 mengilustrasikan kurva regangan utama yang terjadi di dalam struktur perkerasan, yaitu εh dan εv, yang diakibatkan oleh beban roda bus. εh merupakan regangan tarik horizontal di bawah lapisan beraspal; dan, εv merupakan regangan tekan vertikal di muka tanah dasar. Jelaslah, bahwa regangan terbesar (εho dan εvo) akan terjadi di titik kontrol O jika jalur lintasan roda bus tepat melewati titik kontrol O tersebut. Jika jalur lintasan roda bus bergeser sejauh xi, maka regangan yang terjadi di titik kontrol O adalah εhi dan εvi yang lebih kecil daripada εho dan εvo. 2.4. Perhitungan jumlah repetisi lintasan roda bus ijin Setiap nilai εhi (micro-strain) dan εvi (micro-strain) yang terjadi di titik kontrol O disubstitusikan ke dalam model regangan ijin menurut metoda Nottingham pada pers (5) untuk memperoleh jumlah repetisi lintasan roda bus yang diijinkan, yaitu N’hi (mill.passes) dan N’vi (mill.passes). . . . (5a)
log ( N vi' ) = log ( f r ) + 9.4771 − 3.57 * log (ε vi )
. . . (5b)
dimana: Vb = volume aspal (%) SPi = titik lembek aspal awal (oC) fr = faktor model deformasi permanen (default = 1.0) 2.5. Perhitungan kerusakan struktur perkerasan (a) Derajat kerusakan; menurut teori Miner (Haas, et.al., 1978), derajat kerusakan yang diakibatkan oleh setiap irisan jumlah repetisi lintasan roda bus dapat dihitung dengan menggunakan rumus: d hi =
1% * N N hi'
d vi =
dan
1% * N N vi'
. . . (6a)
(b) Total kerusakan struktur perkerasan Dam = max (Damh , Damv) 100
= max ( ∑ d hi , i =1
100
∑d i =1
vi
)
. . . (6b)
6
Simposium X FSTPT, Universitas Tarumanagara Jakarta , 24 November 2007
%-kerusakan struktur perkerasan lentur busway akibat jalur lintasan roda bus yang channelized kemudian dapat dihitung secara relatif dengan menggunakan rumus berikut: . . . (6c) dan, masa layan struktur perkerasan: %-umur =
3.
. . . (6d)
PRESENTASI DATA
Gambar 3 memperlihatkan tujuh koridor busway yang saat ini telah beroperasi. Makalah ini sebenarnya tidak dimaksudkan untuk menganalisis secara khusus kondisi struktur perkerasan dari koridor busway tersebut, tetapi lebih dimaksudkan untuk mendiskusikan secara konseptual metoda perhitungan kerusakan dini yang terjadi pada struktur perkerasan lentur busway akibat jalur lintasan roda bus yang lebih channelized. Data tebal struktur perkerasan lentur busway yang dianalisis hanya didekati dengan kebutuhan desain untuk masa layan 5 tahun berdasarkan metoda Nottingham dengan menggunakan beban sumbu standar (P = 20.0575 KN), seperti terlihat pada Gambar 4. Hasil desain tebal lapisan beraspal, H1 = 17.5 cm diperlihatkan pada Gambar 5. Demikian juga, dalam analisis ini, data modulus perkerasan hanya diperkirakan dari data karakteristik bahan perkerasan yang umum digunakan dalam proses desain. No.
Jam Operasi
1 2 3 4 5
05:00 – 06:00 06:00 – 09:00 09:00 – 16:00 16:00 – 19:00 19:00 – 22:00
Freq. (mnt) 10 – 20 05 – 10 10 – 20 05 – 10 10 – 20
Vol (lintasan) 6 36 42 36 19
Perkiraan total volume ≅ 139 lintasan/hr (optimistik)
Koridor
Rute
L (km)
I II III IV V VI VII VIII IX X
Blok M – Kota Pulo Gadung – Harmoni Kalideres – Pasar Baru Pulo Gadung – Dukuh Atas Kp. Melayu – Ancol Ragunan – Latuharhari Kp Rambutan – Kp Melayu Lebak Bulus – Harmoni Pinang Ranti – Pluit Cililitan – Tanjung Priok
12.9 14.3 18.7 11.85 13.5 13.5 12.8 26.0 29.9 19.0
Gambar 3: Peta rute dan frekwensi pengoperasian busway 7
Awal Operasi 15 Jan 2004
27 Jan 2007
01 Jan 2008 (rencana)
Simposium X FSTPT, Universitas Tarumanagara Jakarta , 24 November 2007
Gambar 4: Data desain struktur perkerasan lentur busway berdasarkan metoda Nottingham
Gambar 5: Hasil desain tebal lapisan beraspal serta contoh data dan hasil analisis kerusakan struktur perkerasan lentur busway Berat bus TransJakarta sesuai dengan spesifikasi pabrik (GVWR) adalah 14.2 ton, yang diperkirakan terdistribusi pada sumbu roda depan sebesar 5.845 ton (P = 28.70 KN) dan pada sumbu roda belakang sebesar 8.355 ton (P = 20.51 KN). Kedua beban sumbu roda ini menghasilkan faktor truk sebesar 1.3623 yang diperlukan untuk proses desain struktur perkerasan. Penggunaan nilai GVWR dalam analisis didasarkan pada asumsi bahwa bus TransJakarta selalu mengangkut 85 orang penumpang sesuai dengan kapasitasnya. Data tekanan ban untuk analisis ditetapkan 80 psi (q = 552.26 KPa). 8
Simposium X FSTPT, Universitas Tarumanagara Jakarta , 24 November 2007
Dari data pengoperasian yang berlaku dapat diperkirakan volume lalu lintas bus TransJakarta max. yang melintas dalam sehari, yaitu sekitar 139 lintasan. Jika masa layan struktur perkerasan diasumsikan 5 tahun, maka total volume lalu lintas bus TransJakarta (N) adalah sebesar 253,675 lintasan. Nilai N ini termasuk dalam kategori beban lalu lintas yang rendah. 4.
CONTOH ANALISIS KERUSAKAN STRUKTUR PERKERASAN LENTUR BUSWAY
Gambar 5 juga memperlihatkan contoh data tambahan yang diperlukan untuk menganalisis kerusakan struktur perkerasan lentur busway. Khusus data lebar jalur lintasan roda bus divariasikan dari 54.25 ÷ 120.00 cm. Nilai w (= d + 2r) = 54.25 cm merupakan lebar jalur lintasan roda bus tanpa ada pergeseran lintasan roda. Hasil analisis kerusakan struktur perkerasan lentur busway diperlihatkan pada Gambar 6. Tebal lapisan beraspal terkoreksi, - , yang diperlukan untuk menghindari kerusakan dini pada struktur perkerasan juga diperlihatkan pada gambar.
Gambar 6: Pengaruh lebar jalur lintasan roda bus pada masa layan struktur perkerasan lentur busway dan koreksi tebal lapisan beraspal yang diusulkan 5.
KESIMPULAN DAN SARAN
Makalah ini telah memaparkan prosedur perhitungan kerusakan struktur perkerasan lentur busway akibat jalur lintasan roda bus yang channelized, beserta rumus-rumus yang diperlukan. Aplikasi dari prosedur perhitungan yang telah dikembangkan tersebut telah diperlihatkan dengan menggunakan contoh struktur perkerasan lentur desain berdasarkan metoda Nottingham. Dari hasil analisis diketahui bahwa jika roda bus selalu melintas pada jalur lintasan roda yang sama (i.e. kondisi terburuk), maka kerusakan yang terjadi pada struktur perkerasan akan meningkat 165% (berdasarkan kriteria deformasi permanen, lihat pada Gambar 5) dari yang umum diperkirakan dalam proses desain; dan konsekwensinya, masa layan struktur perkerasan akan berkurang menjadi hanya sekitar 60% saja. Kerusakan dini pada struktur perkerasan lentur busway tersebut akan dapat dihindari misalnya dengan mempertebal, atau memperbaiki kwalitas bahan, lapisan beraspal. Untuk contoh di atas, tebal lapisan beraspal 9
Simposium X FSTPT, Universitas Tarumanagara Jakarta , 24 November 2007
perlu ditambah dari 17.5 cm menjadi 19.56 cm. Sebagai saran, pemanfaatan data lendutan yang non-destruktif untuk mengevaluasi kondisi struktur perkerasan lentur busway existing melalui proses back calculation perlu diselidiki lebih lanjut. Sehingga, variasi modulus perkerasan akibat pengaruh dari temperatur dan musim dapat turut diperhitungkan. DAFTAR PUSTAKA
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Brown SF and Brunton JM (1984), An Introduction to the Analytical Design of Bituminous Pavements, Second Edition, University of Nottingham, Nottingham. Haas R and Hudson WR (1978), Pavement Management Systems, Halaman 235-236, McGraw-Hill, Inc., New York. International Civil Aviation Organization, 1983. Aerodrome Design Manual, Second Edition, Part 3-Pavements, Halaman 3-318, USA. Kompas (2007), Transportasi – Prasarana Busway Kurang Terawat, Harian Umum Kompas, Edisi 26 Juli 2007, Indonesia Kosasih, D (2004), Program PastDean Help, Department of Civil Engineering, ITB, Bandung. TRB (1992), Non-Destructive Deflection Testing and Back Calculation for Pavements, TRR-1377 – Proceedings of a Symposium, August 19-21, 1991, Washington, D.C. Yoder, EJ and Witczak, MW (1975), Principles of Pavement Design, Second Edition, Halaman 158-159 dan 565-567, John Wiley & Sons, Inc., New York.
LAMPIRAN A: Kondisi struktur perkerasan busway (Kompas, 26 Juli 2007)
10