ISSN : 2302-0318 Jurnal Teknik Industri – Universitas Bung Hatta, Vol. 3 No. 1, pp. 1-12, Juni 2014
MODEL PENJADWALAN BATCH PADA MESIN TUNGGAL YANG TERDETERIORASI DENGAN MEMPERTIMBANGKAN BIAYA INVESTASI UNTUK PERBAIKAN KUALITAS PROSES Meilizar
Program Studi Manajemen Industri Akademi Teknologi Industri Padang Jl. Bungo Pasang Tabing Padang Email :
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini mengembangkan model penjadwalan batch pada mesin tunggal yang terdeteriorasi dengan mempertimbangkan biaya investasi untuk perbaikan kualitas proses. Pada sistem yang terdeteriorasi, status sistem akan mengalami perubahan dari terkendali menjadi tak-terkendali dengan laju tertentu. Dalam kondisi tak-terkendali, probabilitas sistem untuk memproduksi non-conforming item akan lebih besar. Perbaikan kualitas proses produksi dilakukan untuk mengurangi probabilitas non-conforming item, sehingga ongkos kualitas yang ditimbulkannya akan berkurang. Model yang dikembangkan berusaha meminimasi total ongkos sistem produksi, yang terdiri dari ongkos persediaan, ongkos kualitas, dan ongkos investasi perbaikan kualitas proses. Dengan model ini, permasalahan penjadwalan dipecahkan secara analitik untuk menghasilkan solusi yang optimal. Model ini dapat menentukan probabilitas non-conforming item setelah perbaikan proses, ukuran batch produksi, dan jumlah batch yang meminimasi total ongkos. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa besarnya tingkat perbaikan kualitas proses mempengaruhi ukuran batch. Dalam penelitian ini, model diuji dengan menggunakan contoh numerik yang dibangkitkan secara hipotetik. Kata kunci: penjadwalan, batch, proses produksi, kualitas, deteriorasi.
ABSTRACT This research develops a batch-scheduling model on a deteriorating single machine that considers investment cost for process quality improvement. In the system considered deterioration occurs, causing the system to shift from in-control state to out-of-control state in a certain rate. In out-ofcontrol state, probability of the production system producing non-conforming items tends to be greater. Process quality improvement is performed to reduce the probability of producing nonconforming items, so that the resulted quality cost can be reduced. The objective function to be minimized in the model is total production cost, which consists of inventory cost, quality cost, and investment cost for process quality improvement. Batching and scheduling problems are solved analytically by the model so that optimal solutions can be obtained. The model can determine optimal probability of producing non conforming items, batch sizes, and number of batches as well as the optimal schedule which minimize total cost.This research indicates that batch sizes are influenced by process quality improvement level. In this research, the model has been tested using several hypothetical numerical examples. Keywords: scheduling, batch, process production, quality, deterioration.
1. PENDAHULUAN Pengendalian kualitas merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi ongkos produksi, antara lain melalui penurunan ongkos rework. Halim et al (2001) telah mengembangkan model penjadwalan batch single-machine dengan commondue-date yang mempertimbangkan biaya kualitas. Biaya kualitas ini ditunjukkan dengan penerapan acceptance sampling di akhir proses produksi dan konsumen juga menerapkan
1
ISSN : 2302-0318
Meilizar acceptance sampling dalam memeriksa part yang diterima dari perusahaan. Pemeriksaan dilakukan karena proses produksi cenderung memiliki variasi alami sehingga mempengaruhi kualitas part yang dihasilkan,meskipun penelitian tersebut di atas mengasumsikan bahwa sistem produksi berjalan sempurna selama siklus produksi berlangsung dan menghasilkan produk yang memenuhi spesifikasi. Pada kenyataan, Banyak kasus yang ditemui di industri memiliki proses yang tidak selalu berjalan sempurna. Proses produksi dapat mengalami deteriorasi yang disebabkan oleh pengaruh umur. Pada sistem yang mengalami deteriorasi, status proses dapat bergeser dari status terkendali (in-control) menjadi status tak terkendali (out-of-control) yang diketahui melalui inspeksi pada akhir produksi. Kualitas produk yang dihasilkan dapat berupa komponen yang memenuhi standar kualitas (conforming item) dan komponen yang tidak memenuhi standar kualitas (non-conforming item). Pada saat status proses tak terkendali, probabilitas sistem untuk menghasilkan non-conforming item lebih besar dibandingkan pada saat status proses terkendali. Pada proses produksi yang mengalami deteriorasi semua non-conforming item menyebabkan ongkos tambahan berupa ongkos rework. Semakin banyak non-conforming item maka ongkos rework semakin besar. Untuk mengatasi kerugian tersebut produsen perlu mempertimbangkan pengendalian kualitas. Pengendalian kualitas dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: (1) pengendalian kualitas produk melalui inspeksi 100% dan acceptance sampling, dan (2) perbaikan proses produksi dengan memodifikasi atau membeli teknologi yang lebih baik, dimana perbaikan proses produksi memerlukan ongkos tambahan berupa ongkos investasi. Pada penelitian ini sistem manufaktur dibatasi hanya terdiri dari sebuah mesin. Perbaikan proses produksi dinyatakan dalam pengurangan proporsi cacat (yang terjadi akibat proses yang tidak sempurna) dengan cara memodifikasi atau membeli teknologi yang lebih baik. Pergeseran status sistem proses produksi digambarkan secara kontinyu karena gap yang terjadi antara waktu produksi dengan idle time sangat kecil. Variabel yang menyatakan pergeseran status proses produksi adalah lamanya sistem berada dalam status terkendali. Penelitian ini dilakukan dari sudut pandang produsen, sehingga ukuran kinerja yang digunakan adalah minimasi total ongkos yang merupakan penjumlahan dari ongkos persediaan, ongkos investasi dan ongkos kualitas perbaikan kualitas proses. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Model Dasar Economic Manufacturing Quantity (EMQ) Model EMQ merupakan model yang digunakan untuk menentukan ukuran lot produksi optimal yang dikembangkan dari Model EOQ (Economic Order Quantity). Model EOQ mengasumsikan bahwa seluruh lot tiba pada saat yang bersamaan dan dalam jumlah tertentu, sedangkan Model EMQ mengasumsikan kedatangan lot secara bertahap dan kontinyu selama periode produksinya (Tersine, 1994). Asumsi-asumsi yang mendasari model EMQ adalah: a. Laju permintaan diketahui, konstan, dan kontinyu b. Laju produksi diketahui, konstan, dan kontinyu c. Tidak ada stockout d. Struktur ongkos tetap yaitu: - Ongkos setup atau pesan sama, tidak tergantung pada ukuran lot - Ongkos simpan merupakan fungsi linier berdasarkan pada rata-rata persediaan e. Gudang, kapasitas produksi, dan modal dapat memenuhi seluruh permintaan f. Komponen merupakan produk tunggal yang tidak mempengaruhi komponen lain
2
Jurusan Teknik Industri - Fakultas Teknologi Industri - Universitas Bung Hatta
ISSN : 2302-0318
JTI-UBH, 3(1), pp. 1-12 , Juni 2014 2.2. Model Economic Manufacturing Quantity (EMQ) Untuk Sistem yang Mengalami Penurunan Kinerja Model EMQ klasik mengasumsikan bahwa sistem produksi berjalan dengan sempurna. Sistem produksi sempurna adalah sistem yang tidak mengalami penurunan kinerja (deteriorasi) selama siklus produksi berlangsung sehingga seluruh produk yang dihasilkan proses produksi sesuai dengan spesifikasi rancangan (conforming). Pada kondisi nyata, tidak semua produk yang dihasilkan sesuai dengan kriteria mutu karena proses produksi dapat berubah status dari terkendali (in-control) menjadi status tak terkendali (out-of-control) dan kualitas produk yang dihasilkan dapat berupa conforming item (komponen yang memenuhi standar kualitas) dan non-conforming item (komponen yang tidak memenuhi standar kualitas). Sekali proses berada pada kondisi out-of-control maka kondisi tersebut berlanjut terus hingga siklus berakhir. Ukuran lot produksi yang diperoleh dari model EMQ yang mengalami deteriorasi lebih kecil dibanding dengan model EMQ tradisional. Rosenblatt dan Lee (1986) telah membangun model EMQ untuk proses produksi yang mengalami deteriorasi. Diasumsikan bahwa proses mengalami deteriorasi dengan laju konstan (berdistribusi eksponensial). Status proses berubah dari in-control menjadi out-ofcontrol. Notasi yang digunakan adalah sebagai berikut: : Persentase non-conforming item yang diproduksi pada status out-of-control. p : Laju produksi (unit/tahun) t : Waktu produksi aktual (actual production run time) untuk setiap siklus (tahun) T : Waktu siklus untuk setiap memproduksi lot (tahun) d : laju permintaan (unit/tahun) t * : Panjang produksi optimal untuk satu siklus (tahun) k : Ongkos setup untuk sekali setup(satuan uang) h : Ongkos simpan (per unit per tahun) s : Ongkos yang terjadi akibat dihasilkan non-conforming item ($/unit) Pada status in-control proses produksi menghasilkan conforming item sedangkan pada status out-of-control dihasilkan non-conforming item sebesar . Jumlah produk nonconforming item (N) yang dihasilkan setiap siklus produksi adalah:
0 N p(t x)
jika x t Jika x t
Ekspektasi jumlah non-conforming item, E(N), yang dihasilkan selama siklus produksi dinyatakankan dengan persamaan dibawah ini : t 1 1 E ( N ) p (t x ) . e t dx p t e t 0
Dengan demikian, ekspektasi total ongkos yang dihasilkan merupakan penjumlahan ongkos setup, ongkos simpan dan ongkos rework yang terjadi akibat dihasilkan non-conforming item. Ekspektasi total ongkos untuk model EMQ yang dikembangkan oleh Rosenblatt dan Lee (1986) dinyatakankan pada persamaan dibawah ini :
TC (t )
p d t h d 1 1 e t 1 s d k pt 2 t
Jurusan Teknik Industri - Fakultas Teknologi Industri - Universitas Bung Hatta
3
ISSN : 2302-0318
Meilizar Hou dan Lin (2004) telah melakukan penelitian mengenai penentuan panjang pelaksanaan produksi optimal dan memasukkan faktor perbaikan produksi melalui investasi. Perbaikan produksi dilakukan dengan cara mengurangi proporsi cacat yang terjadi akibat proses yang tidak sempurna. Penelitian ini merupakan pengembangan dari model Rosenblatt dan Lee (1986). Asumsi yang digunakan dalam model ini adalah: 1. Pada saat proses produksi dimulai, kondisi sistem berada dalam status in-control dan menghasilkan conforming item. 2. Proses produksi mengalami penurunan kinerja sehingga selama proses produksi berlangsung terdapat kemungkinan terjadi perubahan status sistem dari in control menjadi out-of-control. Pada saat status sistem out-of-control, sistem menghasilkan nonconforming-part dengan probabilitas . 3. Proses mengalami deteriorasi dengan laju deteriorasi konstan yang mengikuti distribusi eksponensial dengan rata-rata 1/. 4. Sekali proses berada pada kondisi out-of-control maka kondisi tersebut berlanjut terus hingga siklus produksi berakhir dan proporsi produk cacat yang dihasilkan adalah tetap. 5. Hubungan antara kualitas proses, , dan investasi perbaikan kualitas proses, , dinyatakan dengan persamaan berikut ini :
0
b ln
untuk 0 0
Pada proses produksi yang mengalami deteriorasi sejumlah non-conforming item menyebabkan ongkos tambahan berupa ongkos rework. Semakin banyak non-conforming item maka ongkos rework semakin besar. Agar ongkos dapat ditekan perlu dipertimbangkan perbaikan kualitas proses produksi. Perbaikan proses dapat dilakukan dengan memodifikasi atau membeli teknologi yang lebih baik. Sistem Just In Time (JIT) menganggap bahwa waktu setup dapat dikendalikan (controllable) sehingga bisa direduksi dengan perbaikan metoda keja (Halim, 1994), atau dengan pengenalan robot dan flexible Manufacturing System (Porteus, 1985). Reduksi waktu setup ini dapat memperkecil ukuran lot dan pada gilirannya akan memperkecil ongkos persediaan. Di sisi lain, perbaikan kualitas proses produksi dan reduksi setup memerlukan ongkos tambahan berupa ongkos investasi. Ongkos investasi diimbangi dengan berkurangnya ongkos-ongkos lainya seperti: ongkos rework dan ongkos persediaan. Pada bagian ini akan dibahas mengenai model EMQ untuk sistem yang mengalami deteriorasi dengan melibatkan perbaikan kualitas proses produksi dan reduksi setup yang dibangun oleh Porteus (1986). Porteus (1986) mengembangkan model penentuan ukuran lot optimal yang mempertimbangkan reduksi ongkos setup dan perbaikan kualitas proses produksi pada sistem yang terdeteriorasi. Reduksi ongkos setup dapat memperkecil ongkos persediaan dan perbaikan kualitas proses produksi dapat mengurangi ongkos pengerjaan ulang nonconforming item yang dihasilkan oleh proses produksi yang mengalami deteriorasi. Porteus mengembangkan model ekspektasi jumlah non-conforming item dengan pemodelan diskrit. Probabilitas terjadinya perubahan status proses produksi dari terkendali menjadi tak terkendali pada saat memproduksi produk ke-k adalah sebesar 1 - q. Sehingga ekspektasi produk yang diproduksi ketika status sistem tak terkendali adalah:
q (1 q Q ) E(K ) Q 1 q
4
Jurusan Teknik Industri - Fakultas Teknologi Industri - Universitas Bung Hatta
ISSN : 2302-0318
JTI-UBH, 3(1), pp. 1-12 , Juni 2014 Ekspektasi total ongkos untuk model EMQ yang dikembangkan oleh Porteus (1986) dinyatakankan pada persamaan berikut ini :
TC
mc q(1 q Q ) mK hQ cR m R Q 2 Q(1 q)
Untuk memperbesar proporsi conforming item yang dihasilkan Porteus melakukan perbaikan kualitas proses produksi dengan fungsi ongkos investasi perbaikan kualitas proses dinyatakan dengan fungsi logaritmik seperti pada persamaan berikut ini :
I ( ) x y ln( ) dengan
x y ln( 0 ) y
untuk 0 0
ln(1 w)
= Ongkos meningkatkan kualitas proses sebesar w% 0 adalah probabilitas awal produk cacat yang direduksi menjadi , dan I() merupakan investasi perubahan ongkos kualitas proses sehingga probabilitas produk cacat menjadi level . Fungsi ongkos investasi reduksi setup diambil dari model porteus (1985) yang mengasumsikan bahwa fungsi ongkos mengikuti fungsi logaritmik seperti pada persamaan berikut ini:
I A ( A) a b ln ( A)
dengan
a b ln( A0 ) untuk 0 A A0 b ln (1 z ) : ongkos mereduksi setup sebanyak z %
IA(A) merupakan biaya investasi perubahan ongkos setup menjadi level A, dimana A0 di interpretasikan sebagai setup awal yang direduksi menjadi A. Maka ekspektasi total ongkos untuk model EMQ yang melibatkan reduksi ongkos setup dam perbaikan kualitas proses produksi dinyatakankan pada persamaan dibawah ini:
TC i I A ( A) I ( )
mK Q (h mc R q ) Q 2
2.3. Model Penjadwalan Batch Halim dan Ohta (1994) Pendekatan dasar yang digunakan dalam menyusun suatu penjadwalan dapat dibedakan menjadi 2 pendekatan, yaitu pendekatan maju (forward approach) dan pendekatan mundur (backward approach). Penjadwalan maju adalah pengurutan pekerjaan dimulai dari arah saat nol (time zero) atau saat sekarang bergerak maju ke waktu yang akan datang, sedangkan pendekatan mundur adalah penjadwalan yang dimulai dari due date dan bergerak mundur ke arah time zero. Pada penjadwalan maju akan dihasilkan suatu jadwal layak, tetapi tidak menjamin due date akan terpenuhi, sedangkan pada pendekatan mundur akan diperoleh penjadwalan yang memenuhi due date, tetapi tidak ada jaminan jadwal yang diperoleh tersebut layak, karena ada kemungkinan untuk melanggar time zero. Penjadwalan dengan menggunakan pendekatan mundur cocok untuk sistem produksi just in time karena produk selesai tepat pada saat diperlukan dan langsung dikirim pada pemesan.
Jurusan Teknik Industri - Fakultas Teknologi Industri - Universitas Bung Hatta
5
ISSN : 2302-0318
Meilizar Pemilihan kriteria untuk mengukur performansi suatu model penjadwalan merupakan suatu faktor yang penting. Beberapa penelitian menggunakan minimasi flow time sebagai kriteria model penjadwalan, diantaranya Chan dan Bedworth (1990) dan Dobson et al (1987, 1989). Pendekatan yang digunakan pada model penjadwalan tersebut adalah penjadwalan maju, dengan asumsi dasar pekerjaan siap untuk diproses pada saat nol dan dikirim pada saat yang bersamaan dengan saat selesai (completion time) dari pekerjaan tersebut. Pada kondisi nyata, pekerjaan tidak harus selalu siap pada saat nol dan seringkali harus dikirim pada saat due date dan untuk mengatasi itu Halim dan Ohta (1994) mengusulkan kriteria performansi baru yang disebut dengan actual flow time. Dalam halim (1994) didefinisikan bahwa waktu tinggal aktual (actual flow time) sebuah pekerjaan adalah lamanya pekerjaan tersebut berada di dalam pabrik mulai dari saat mulai proses dampai dengan due date pekerjaan tersebut dan dapat dirumuskan sebagai berikut: untuk i = 1,…, n Fi a d Bi Dengan Fi a , d , Bi , adalah waktu tinggal aktual, common due date dan saat mulai proses (starting time) dari pekerjaan yang dijadwalkan pada urutan ke-i dihitung dari posisi awal horison waktu. Definisi dari Persamaan diatas adalah pekerjaan yang terlambat tidak diijinkan dan definisi ini memanfaatkan model penjadwalan mundur. Dengan mengasumsikan bahwa waktu setup (s) konstan dan terpisah dari waktu proses pekerjaan (pj), maka Persamaannya dapat ditulis kembali sebagai berikut: i
Fi a p j s s ,
untuk i = 1,…, n
j 1
actual flow time suatu batch ditentukan dengan cara yang sama seperti Persamaan diatas. Waktu proses batch diperoleh dengan mengalikan ukuran batch dengan waktu proses part, sehingga actual flow time untuk suatu batch adalah: i
Fi a tQ j s s ,
untuk i = 1,…, n
j 1
sedangkan actual flow time untuk seluruh part akan menjadi: N i Fi a tQ j s s Qi i 1 j 1
Q[j] menyatakan jumlah part yang terdapat dalam batch posisi ke j dan tj menyatakan waktu proses part pada posisi j. Baker (1974) mendefinisikan penjadwalan sebagai proses pengalokasian sumber daya dalam jangka tertentu untuk melakukan sejumlah pekerjaan. Masalah penjadwalan muncul ketika pekerjaan yang harus dikerjakan melebihi sumber daya yang dimiliki. Halim dan Ohta (1994) melakukan penelitian penjadwalan dalam lingkungan JIT dengan memasukkan due date sebagai pembatas. Pada penelitian ini part tidak perlu datang seluruhnya pada saat nol tetapi datang pada saat part tersebut dibutuhkan. Jika due date relatif ketat terhadap kapasitas pabrik, kecil kemungkinan dihasilkannya jadwal yang membuat seluruh part dapat diselesaikan tepat pada due date secara bersamaan. Hal tersebut menyebabkan jadwal yang hasilkan untuk menyelesaikan beberapa part lebih cepat dari pada due date. Part yang sudah selesai menunggu untuk dikirim pada saat due date sehingga muncul biaya simpan finished part. Pada model ini diasumsikan bahwa seluruh part yang dihasilkan adalah conforming.
6
Jurusan Teknik Industri - Fakultas Teknologi Industri - Universitas Bung Hatta
ISSN : 2302-0318
JTI-UBH, 3(1), pp. 1-12 , Juni 2014 Menurut Mitra (1998), seringkali kualitas produk tidak sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan karena banyaknya sumber ketidakpastian dan variasi pada proses produksi, sehingga memerlukan pengendalian kualitas. Karena kepuasan pelanggan harus menjadi perhatian utama dalam aktivitas produksi, maka perlu untuk memeriksa part yang dihasilkan. Hal diatas merupakan latar belakang dari penelitian Halim et al (2001) yang mengembangkan model penjadwalan batch single-machine dengan common-due-date yang mempertimbangkan biaya kualitas. Biaya kualitas ini ditunjukkan dengan penerapan acceptance sampling di akhir proses produksi dan konsumen juga menerapkan acceptance sampling dalam memeriksa part yang diterima dari perusahaan. 3. METODE PENELITIAN 3.1. Studi Literatur Studi literatur bertujuan untuk menggali informasi tentang perkembangan penelitian terbaru yang relevan dengan penelitian yang akan dilakukan. Literatur ini terutama menyangkut model penjadwalan batch mesin tunggal yang terdeteriorasi dengan mempertimbangkan biaya investasi untuk perbaikan kualitas proses. Langkah ini ditempuh dengan mengkaji beberapa jurnal dan tesis serta literatur yang relevan untuk mengetahui permasalahan yang kemudian dijadikan topik penelitian. 3.2. Perumusan Masalah Pada tahap ini, permasalahan yang terdapat pada studi literatur dirumuskan menjadi masalah yang akan dicari solusinya. 3.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ditetapkan untuk memperjelas arah penelitian dan solusi yang akan diperoleh. 3.4. Pengembangan Model Pada tahap ini terlebih dahulu dilakukan identifikasi faktor-faktor yang relevan dengan masalah yang dihadapi sesuai dengan tujuan penelitian, serta hubungan antar faktor kemudian diformulasikan menjadi sebuah model. 3.5. Analisis Model dan Contoh Numerik Analisis model dilakukan untuk melihat perilaku dan karakteristik model yang digunakan sehingga didapat solusi masalah. Contoh numerik dilakukan untuk memberikan gambaran solusi model. Analisis perilaku model dilakukan untuk mengetahui perilaku model terhadap perubahan-perubahan nilai parameter. 3.6. Kesimpulan dan Saran Penelitian kemudian disimpulkan untuk mendapatkan ringkasan isi dan hasil penelitian yang dilakukan. Saran penelitian lanjutan diberikan untuk memberikan informasi kepada peneliti-peneliti lain yang mengembangkan penelitian yang telah dilakukan. 4. HASIL PENGEMBANGAN MODEL DAN PEMBAHASAN 4.1. Formulasi Model Usulan Pada bagian ini dikembangkan model matematik total ongkos yang dibentuk dari tiga fungsi ongkos yaitu ongkos persediaan per tahun, ongkos investasi per tahun dan ongkos kualitas per tahun yang dinyatakan dengan persamaan 1. N N i Min TC( , Q[i ] , N , s) c1 s tQ[ j ] s Q[i ] (c1 c2 ) t Q[i ]2 i 1 i 1 j 1
Jurusan Teknik Industri - Fakultas Teknologi Industri - Universitas Bung Hatta
7
ISSN : 2302-0318
Meilizar N
v y ln 0 kLi nN c1 Li n Q[i ] i 1 N N N 1 (1 Pa ) kLi (Q[ i ] n) c1 Li (Q[ i ] n)Q[ i ] C R L R Q[ i ] 1 e ti 1 i 1 i 1 i 1 .t i
N 1 2 c1 L R Q[ i ] 1 e ti 1 . t i 1 i N N N 1 2 Pa (1 Pa ) kLi Q[ i ] c1 Li Q[ i ] C R L R Q[ i ] 1 e ti 1 . t i 1 i 1 i 1 i N 1 2 c1 L R Q[ i ] 1 e ti 1 C p N i 1 .t i
Pembatas:
… (1)
N N N 1 ti ( N 1)s tQ[i ] Li nN (1 Pa ) Li Q[i ] n (1 Pa ) LR Q[i ] 1 e 1 d i 1 i 1 i 1 .t i
N
Q i 1
[i ]
x
B1 tQ1 d
Q[ i ] n
i = 1,2,3,…,N
N 1
0 s s0
0 0
4.2. Variabel Keputusan Variabel keputusan yang dihasilkan dari model usulan ini adalah sebagai berikut: Q[i] : jumlah part dalam batch i (unit) : probabilitas NCI setelah peningkatan kualitas proses N : jumlah batch Untuk menghasilkan nilai Q[i ] , N, , yang optimal dapat digunakan metoda analitik multi variabel dengan pembatas seperti metoda Lagrangian Multiplier. Sehingga dari Turunan pertama fungsi lagrange didapat persamaan variable keputusan, yang dinyatakan dengan persamaan 3 dan 4. *
Q[i]
c1s(N 1) (2c1s)i x N 1 1 22c2t c1t 2(1Pa)c1Li Pac1Li c1LR1 et 1 Pac1LR1 et 1 . t . t
… (3)
v. y N 1 t 1 t 2 (1 Pa ) C R L R Q[i ] 1 e 1 c1 L R Q[i ] 1 e 1 . t . t i 1 i 1 N
N N 1 t 1 t 2 Pa (1 Pa ) C R L R Q[i ] 1 e 1 c1 L R Q[i ] 1 e 1 . t . t i 1 i 1
1 1 (1 Pa ) L R 1 e t N 1 . t N
8
… (4)
Jurusan Teknik Industri - Fakultas Teknologi Industri - Universitas Bung Hatta
ISSN : 2302-0318
JTI-UBH, 3(1), pp. 1-12 , Juni 2014 4.3. Parameter Sesuai dengan kriteria kinerja dan variabel keputusan yang telah ditentukan, maka parameter yang digunakan dalam model ini adalah: X : jumlah permintaan (unit/ waktu) c1 : ongkos simpan finish part (rupiah/unit/waktu) c2 : ongkos simpan untuk part yang sedang diproses (rupiah/unit/waktu) k : ongkos inspeksi (rupiah/unit waktu) CR : ongkos rework (rupiah/unit waktu) CP : ongkos pinalty (rupiah/ batch ) i : indeks yang menyatakan posisi suatu batch dalam jadwal produksi n : jumlah sample (unit) c : jumlah penerimaan (unit) Li : waktu inspeksi (waktu/unit) LR : waktu rework (waktu/unit) t : waktu proses (waktu/unit) d : due date (waktu) Pa : probabilitas batch diterima o : probabilitas awal NCI : ongkos peningkatan kualitas proses sebesar u% (rupiah/ u%) u : persentase peningkatan kualitas proses I ( ): investasi peningkatan kualitas proses sehingga probabilitas NCI menjadi (rupiah/ waktu) x, y : konstanta positif 4.4. Contoh Numerik dan analisis model Bagian ini menjelaskan pencarian solusi model secara numerik yang terdiri atas 7 contoh kasus dan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Data Nilai Parameter Parameter
Kasus-1
Kasus-2
Kasus-3
Kasus-4
Kasus-5
Kasus-6
Kasus-7
x d t n c2 c1 CR LR Li k Pa Cp
10000 8000 0,1 100 10 4 15 0,1 1,2 1 0,98 20 0,03 12% 0,2
100000 110000 0,1 100 10 4 20 0,1 1,2 1 0,97 15 0,03 12% 0,2
100 120 0,1 100 2 3 15 0,1 1,2 1 0,9 10 0,03 12% 0,2
50000 50000 0,2 100 15 10 20 0,1 5 1 0,98 20 0,03 12% 0,2
50000 60000 0,5 100 12 10 20 0,3 2 4 0,94 20 0,03 12% 0,2
550000 600000 0,9 100 10 6 20 0,3 1,4 3 0,97 25 0,03 12% 0,2
550000 1100000 0,7 100 20 15 20 0,2 1 3 0,93 15 0.03 12% 0,2
v
Jurusan Teknik Industri - Fakultas Teknologi Industri - Universitas Bung Hatta
9
ISSN : 2302-0318
Meilizar Dari data nilai parameter ,selanjutnya dilakukan perhitungan untuk memperoleh probabilitas non conforming item setelah perbaikan kualitas proses ( ) dan jumlah batch (N). Secara lengkap, rekapitulasi hasil perhitungan dapat dilihat pada tabel 2. Contoh Kasus Kasus 1 Kasus 2 Kasus 3 Kasus 4 Kasus 5 Kasus 6 Kasus 7
Tabel 2. Rekapitulasi Hasil Perhitungan Total Ongkos N Setelah 0,009 8 74.291.046 0,00196 24 5.513.255.643 0,0014 33 4.396.134.506 0,00043 98 7.880.823.814 0,0000042 112 1.374.350.000.000 0,000592 130 2.156.600.000.000
Sebelum 77.029.293,29 5.599.089.080 4.398.266.158 7.892.732.815 1.376.359.000.000 2.161.531.000.000
Berdasarkan hasil perhitungan, nilai variabel keputusan yang diperoleh untuk kasus 1 adalah: = 0.009, N = 8. Total ongkos yang dihasilkan berdasarkan hasil tersebut adalah TC(s,) = 74.291.046. Nilai total ongkos setelah adanya investasi perbaikan kualitas proses produksi lebih kecil dibandingkan dengan total ongkos sebelum dilakukannya investasi perbaikan kualitas proses produksi TC (so,o) yaitu sebesar 77.029.293,29 sehingga adanya penghematan ongkos sebesar 2.738.247,29. Q1 2239 6118 100 1578 863 9675 8316
Kasus Kasus 1 Kasus 2 Kasus 3 Kasus 4 Kasus 5 Kasus 6 Kasus 7
Q2 1956 5948 1574 856 9589 8253
Tabel 3. Ukuran Batch Optimal Q3 Q4 Q5 1674 1391 1109 5779 5609 5439 1571 1567 1563 848 841 834 9504 9418 9332 8189 8126 8063
Q(N-1) 544 2385 1456 165 232 209
QN 261 2215 1452 157 146 145
Pada Tabel 3. disajikan rekapitulasi hasil perhitungan ukuran batch yang optimal, pada bagian ini jumlah batch yang dihasilkan lebih sedikit sehingga ukuran batch semakin besar. Ukuran batch yang besar menyebabkan trade off antara ongkos simpan dan ongkos kualitas. Besarnya ukuran batch memicu peningkatan ongkos simpan namun hal tersebut dapat meminimumkan ongkos inspeksi yang secara langsung berpengaruh pada penghematan ongkos kualitas. Kebijakan untuk investasi peningkatan kualitas proses dilakukan untuk menjamin mutu setiap part yang telah diproses sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan sehingga ongkos kualitas semakin menurun. Urutan proses batch dilakukan dengan pendekatan mundur (backward approach) yaitu penjadwalan yang dimulai dari due date dan bergerak mundur ke arah time zero. B24 = 93129,76
Q24
Q23
dp = 103.605,86
FLa[11] = 10476,1 ......
Q5
Q4
Q3
Q2
Q1
d = 110.000 6394,14
Batch disusun menurut waktu pemrosesan terpanjang (LPT). Urutan dapat dilihat pada Gantt Chart diatas.
10
Jurusan Teknik Industri - Fakultas Teknologi Industri - Universitas Bung Hatta
ISSN : 2302-0318
JTI-UBH, 3(1), pp. 1-12 , Juni 2014
Contoh Kasus Kasus 1 Kasus 2 Kasus 3 Kasus 4 Kasus 5 Kasus 6 Kasus 7
Tabel 5. Probabilitas produk cacat Probabilitas produk cacat Sebelum (o) Setelah ( ) 0,2 0,009 0,2 0,00196 0,2 0,7 0,2 0,0014 0,2 0,00043 0,2 0,0000042 0,2 0,000592
% Reduksi 95,5% 99,01% 99,29% 99,78% 99,99% 99,7%
Pada Tabel 5. memperlihatkan adanya penurunan probabilitas non-conforming item untuk semua kasus kecuali kasus 3. Pada kasus 3 probabilitas non-conforming item yang dihasilkan semakin meningkat dari 0.2 menjadi 0.7, hal tersebut menjadi alasan tidak dilakukannya penambahan investasi perbaikan proses. Tabel 6. Panjang waktu inspeksi, rework dan kelayakan jadwal Panjang waktu Actual Flow Saat Mulai Contoh kasus inspeksi dan rework time(FLa[i]) (Bi) Kasus 1 1.180,9 1.148,4 5.670,7 Kasus 2 6.394,14 10.476,1 93.129,76 Kasus 3 120,02 10 -10,02 Kasus 4 21.170,12 10.058,17 18.771,7 Kasus 5 31.660,11 25.563,57 2.776,32 Kasus 6 38.309,62 498.292,3 63.398,12 Kasus 7 50.594,507 390.065,83 659.339,66
Kelayakan jadwal Layak Layak Tidak Layak Layak Layak Layak Layak
Pada Tabel 6. dapat dilihat kelayakan jadwal untuk masing -masing kasus, disusun berdasarkan model penjadwalan batch dengan pendekatan mundur yang dapat meminimasi total actual flow time. Dari hasil perhitungan terlihat bahwa kasus 3 dianggap tidak layak karena saat mulai proses (Bi) lebih kecil dari nol, oleh karena itu pihak manufaktur harus meninjau kembali apakah ukuran batch dan kebijakan penentuan ukuran sample harus diubah atau kasus 3 ini ditolak pengerjaannya karena tidak sesuai dengan kondisi manufaktur saat ini. Sedangkan untuk enam kasus lainnya dinyatakan layak. 5. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Penelitian menghasilkan model penjadwalan batch pada mesin tunggal yang terdeteriorasi dengan mempertimbangkan biaya investasi untuk perbaikan kualitas proses. 2. Model yang dikembangkan mampu menjawab permasalahan yang berkaitan dengan penjadwalan batch serta investasi untuk perbaikan kualitas proses produksi pada mesin tunggal yang terdeteriorasi. Dengan model tersebut dapat ditentukan: a. Probabilitas non-conforming item setelah perbaikan kualitas proses, ukuran batch produksi dan jumlah batch. b. Dihasilkannya jadwal produksi yang meminimumkan total actual flow time. c. Besarnya investasi yang harus dikeluarkan untuk perbaikan kualitas proses. d. Tingkat kualitas perbaikan proses yang dicapai. e. Total ongkos persediaan dan penghematan ongkos persediaan yang dicapai. f. Total ongkos kualitas dan penghematan ongkos kualitas yang dicapai. g. Total ongkos dan penghematan total ongkos yang dicapai.
Jurusan Teknik Industri - Fakultas Teknologi Industri - Universitas Bung Hatta
11
ISSN : 2302-0318
Meilizar 3. Analisis numerik menunjukkan bahwa besarnya perbaikan kualitas proses mempengaruhi ukuran batch. Perbaikan kualitas proses mengharapkan ukuran batch menjadi lebih besar sehingga dapat meminimumkan ongkos kualitas, namun di sisi lain ukuran batch yang besar akan meningkatkan ongkos persediaan part dalam batch yang selesai lebih awal dari due date dan ongkos persediaan pada saat dilakukannya inspeksi. 6. DAFTAR PUSTAKA Baker, K.R., (1974), Introduction to Sequencing and Scheduling, New York, John Wiley & Sons, Inc. Beveridge, G.S.G. dan Schechter, R.S., (1970), Optimization: Theory and Practice, McGraw-Hill, Tokyo. Halim, A.H., (1994), Paradigma Penjadwalan Produksi, Jurnal TMI, Vol.13, 28-35. Halim, A.H. dan Ohta H., (1994), Batch Scheduling Problem to Minimize Inventory Cost in The Shop with Both Receiving and Delivery Just in Time, International Journal of Productions Economics, Vol.33, 185-194. Halim, A.H. Silalahi J. dan Ohta H., (2001), A Batch Scheduling Model Considering Quality Cost for The Shop with Receiving and Delivery Just in Time, Proceeding of The International Conference production Research, 1-11. Hou K. L dan Lin L. C., (2004), Optimal Production Run Length and Capital investment in Quality Improvement with an Imperfect Production Process. International Journal of System Science, Vol. 35, 133-137. Mitra, A.(1998), Fundamentals of Quality Control and Improvement, 2nd edition, Prentice Hall, New Jersey. Porteus, E.L. (1985), Investing in Reduced Setups in the EOQ Model, Management Science, Vol. 31(8), 998-1010. Porteus, E.L. (1986), Optimal Lot Sizing, Process Quality improvement and Setup Cost reduction, Operations Research, Vol.34, 137-144. Prasetyaningsih, E., (1996), Model Reduksi Ongkos Setup untuk Perusahaan Pemasok dengan Sistem Pengiriman Just in Time dengan Permintaan Diskrit, Tesis, Teknik Industri ITB, Bandung. Rosenblatt M. J. dan Lee H. L., (1986), Economic Production Cycle with Imperfect Production Process, IEE Transctions, Vol.18, 48-54. Riski, (2005), Panjang Waktu Produksi dan Perbaikan Proses Optimal untuk Sistem yang mengalami Deteriorasi, Tesis, Teknik Industri ITB, Bandung. Tersine, (1994), Principles of Inventory and Materials management, 4 th edition, Prentice hall International Inc, New Jersey.
12
Jurusan Teknik Industri - Fakultas Teknologi Industri - Universitas Bung Hatta