MODEL PENGENDALIAN SEDIMENTASI WADUK AKIBAT EROSI LAHAN DAN LONGSORAN DI WADUK BILI-BILI SULAWESI SELATAN
AHMAD RIFQI ASRIB
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Model Pengendalian Sedimentasi akibat Erosi Lahan dan Longsoran di Waduk Bili-Bili Sulawesi Selatan, adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Agustus 2012
Ahmad Rifqi Asrib P062070101
ABSTRACT AHMAD RIFQI ASRIB. Model of Sedimentation Control of Reservoir due to Land Erosion and Landslide in Bili-Bili Dam South Sulawesi. Under direction of M. YANUAR JARWADI PURWANTO, SUKANDI SUKARTAATMADJA, and ERIZAL. The main objective of this research is to design the model of sedimentation control of reservoir that has sustainability oriented to improve miner and farmer incomes without dismissing environmental interests. In particular, the general objective is achieved through several phases with their aims as follows; (1) determine the level of soil erosion in the sub watershed Jeneberang, as well as the impact of land management and information to determine the direction of land management in the watershed, (2) determine the impact of caldera landslide at Jeneberang sub watershed to sedimentation rates in the Bili-Bili dam, and (3) formulate the model of sedimentation control of reservoir due to land erosion and landslide. Research is conducted in Bili-Bili dam, South Sulawesi, from Juli 2009 until Pebruari 2010. First, research has conducted to determine land erosion using MWAGNPS as a model of cell-based rainfall events with the main components were topographic maps, land use and soil type. This model able to determine the source of erosion and the erosion that occurs. Second, research was conducted based on field survey of caldera landslide at upstream and sedimentation rate in the Bili-Bili dam. And the last, design the dynamical model of sedimentation control of reservoir using Stella 9.0.2 program analysis. The Result Showed that Jeneberang sub watershed dominated by steep areas topography is 10.080 ha (26.22%) and the closure of forested land is 12.250 ha (31.87%). Simulation MWAGNPS model showed when watershed Jeneberang has 31.66 mm of rain events with 30-minute rainfall intensity (EI30) can caused erosion 44.81 tons/ha and the sedimentation rate is 2,22 tons/ha. The source of erosion in the sub watershed Jeneberang from farm/moor caused erosion is 29,552.14 tons/ha/year and a total of 4,562,625.84 tons of sediment. Caldera landslide in 2004 caused sediment flow from upstream of Jeneberang watershed was 45,027,954 m3. Sabo dam as a sediment control along the Jeneberang upstream has function effectively. It was seen from the volume flow of sediment that can be controlled up to the year 2008 is 1,915,671 m3. Sedimentation rate before the event of landslide caldera, sediment deposited in Bili-Bili dam cumulatively is 8.376 million m3 (April 2001). Five years after the landslide sediment volume has reached 75.055 million m3 in 2009. Based on Trap efficiency showed that efficiency of Bili-Bili dam was decrease from 90.81% in 1997 to 73.34% in 2005, and then increased in 2007 (92.57%) and in 2008 decrease become 89.79%. Dynamical model simulation of reservoir sedimentation control showed sedimentation in dead storage capacity increase to completed in year of 2022. Moderate and optimistic scenario more effective in decreasing sedimentation in reservoir and increasing community income especially for the miner. Finally, moderate scenario can use of sedimentation control of reservoir in Bili-Bili dam, South Sulawesi. Key words: Erosion, landslide, sedimentation, reservoir, dynamic model.
RINGKASAN AHMAD RIFQI ASRIB. Model Pengendalian Sedimentasi Waduk Akibat Erosi Lahan dan Longsoran di Waduk Bili-Bili Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh M. YANUAR JARWADI PURWANTO, SUKANDI SUKARTAATMADJA, dan ERIZAL. Waduk Bili-Bili merupakan salah satu waduk terbesar di Propinsi Sulawesi Selatan terletak di bagian tengah DAS Jeneberang mulai diresmikan penggunaannya pada tahun 1999. Secara geografis, Waduk Bili-Bili terletak di Kabupaten Gowa, Propinsi Sulawesi Selatan. Waduk Bili-Bili memiliki luas tangkapan air sebesar 384,4 km2 dengan perencanaan umur operasi 50 tahun. Waduk serbaguna Bili-Bili dibangun dengan tujuan untuk pengendalian banjir, pemenuhan kebutuhan air irigasi, suplai air baku dan pembangkit listrik tenaga air serta mengoptimalkan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya air yang ada pada bagian hulu DAS Jeneberang. Namun, dalam perkembangan terakhir terjadi penurunan pemanfaatan fungsi layanan waduk akibat adanya perubahan kondisi daerah tangkapan waduk karena perubahan pemanfaatan lahan dan juga terjadinya longsoran dinding kaldera. Kerusakan daerah tangkapan air waduk, danau atau embung, seperti halnya daerah aliran sungai, merupakan penyumbang dampak negatif yang sangat signifikan. Jika daerah tangkapan rusak, jelas umur waduk akan berkurang. Pada musim hujan, aliran permukaan (run off) dengan membawa kandungan sedimen yang tinggi masuk ke waduk. Sedang aliran dasar (base flow) yang merupakan cadangan musim kemarau cenderung menurun drastis. Dengan demikian umur waduk hanya ditentukan oleh volume tampungan akhir musim hujan saja. Selama ini upaya yang telah dilakukan adalah dengan melakukan konservasi areal penangkapan air hujan di sekitar waduk, mencegah erosi yang dapat dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat dalam mengolah tanah agar tidak menimbulkan erosi, menanam pohon atau menghutankan kembali. Selain itu juga dengan mengeruk sedimen di waduk, membangun sabo dam dan sand pocket sebagai penampung sedimen. Namun demikian untuk mengatasi masalah tersebut perlu dilakukan suatu kajian model pengendalian yang dapat mensintesis pengetahuan dari sistem dan permasalahan yang ada. Salahsatunya adalah melalui pengembangan model pengendalian sedimentasi waduk yang dapat membantu mengidentifikasi secara cermat permasalahan sebenarnya dan memberikan alternatif penyelesaiannya. Tujuan penelitian ini adalah membangun model pengendalian sedimentasi di Waduk Bili-Bili yaitu: (1) mengkaji karakteristik sumber sedimen Daerah Tangkapan Air Waduk dan tingkat sedimentasi di Waduk Bili-Bili; (2) mengidentifikasi pola pengendalian bangunan pengendali sedimentasi Daerah Tangkapan Air Waduk Bili-Bili; (3) membangun model sistem dinamik untuk efektifitas pengendalian sedimentasi di Waduk Bili-Bili. Lokasi penelitian ini secara fisik terletak dalam sistem DAS Jeneberang. Dalam penelitian ini batasan yang digunakan adalah batasan yang secara fisik mempunyai pengaruh langsung pada daya dukung waduk Bili-Bili, yakni wilayah DAS Jeneberang. Secara administratif daerah kajian Waduk Bili-Bili terletak di Kabupaten Gowa Propinsi Sulawesi Selatan.
v
Pelaksanaan penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah memprediksi erosi lahan yang terjadi menggunakan program MWAGNPS. Tahap kedua adalah menganalisis kapasitas bangunan sabo dam sebagai pengendali sedimen akibat longsoran kaldera. Tahap ketiga adalah membangun model dinamik pengendalian erosi dan longsoran terhadap kapasitas waduk menggunakan program Stella 9.0.2. Hasil penelitian menunjukkan dari keluaran model MWAGNPS dengan nilai masukan curah hujan harian rata-rata yang terbesar selama 5 tahun sebesar 31,66 mm dengan nilai energi intensitas hujan 30 menit (EI30) sebesar 25,89 diperoleh besarnya laju erosi lahan di outlet sebesar 44,81 ton/ha/thn, laju sedimentasi sebesar 2,22 ton/ha/thn dan sedimen total sebesar 203.283,0 ton. Berdasarkan informasi dari setiap grid/sel untuk berbagai penutupan lahan, ditemukan bahwa laju erosi permukaan yang terbesar terdapat di sel dengan penutupan lahan berupa ladang/tegalan sebesar 29.552,14 ton/ha/thn dan semak belukar sebesar 24.545,38 ton/ha/thn. Sedangkan hutan, sawah dan pemukiman mempunyai laju erosi yang cukup kecil. Arahan pengelolaan lahan untuk sub DAS Jeneberang secara umum adalah penerapan teknik konservasi tanah dan air, pengembalian kawasan hutan sebagai fungsi lindung. Berdasarkan karakteristik sub DAS Jeneberang sebagai daerah tangkapan waduk Bili-Bili didominasi oleh wilayah yang memiliki topografi curam dengan luas 10.080 ha (26,22%) dan dari penutupan lahan didominasi oleh hutan dengan luas 12.250 ha (31,87%). Volume aliran sedimen akibat longsoran di hulu sungai Jeneberang sebesar 45.027.954 m3 terjadi pada tahun 2004. Bangunan sabo dam sebagai pengendali sedimen yang dibangun sepanjang hulu sungai Jeneberang berfungsi efektif pada tahun 2008 menjadi 1.915.671 m3. Adapun volume sedimentasi yang tertampung di waduk Bili-Bili secara kumulatif adalah sebesar 8.376.000 m3 (April 2001). Lima tahun setelah kejadian longsor tersebut (2008) volume sedimen telah mencapai 60.959.000 m3. Trap Efficiency yang diperoleh berdasarkan kurva Brune menunjukkan data kapasitas waduk dan aliran inflow berkurang dari 90,81% (1997) menjadi 73,34% (2005), namun kemudian meningkat kembali 92,57% pada tahun 2007 dan cenderung menurun kembali 89,79% pada tahun 2008. Model sistem Pengendalian Sedimentasi Waduk Bili-Bili dibangun dengan asumsi desain model berdasarkan pada karakteristik sub DAS Jeneberang, alur kejadian longsoran Kaldera dan bangunan pengendalinya, dan pola pengelolaan kegiatan penambangan berdasarkan tingkat pendapatan yang diperoleh. Model ini dibangun dengan menggunakan 4 sub model yaitu: (1) sub model pengendalian longsoran, (2) sub model erosi lahan, (3) sub model sosial ekonomi, dan (4) sub model kapasitas waduk. Tindakan koreksi yang dilakukan pada model pengendalian sedimentasi waduk Bili-Bili adalah pengelolaan tingkat sedimentasi waduk dan pengelolaan penambangan hasil sedimentasi. Indikator keberhasilan pengendalian sedimentasi waduk diidentifikasi berdasarkan indeks kapasitas waduk dan pendapatan masyarakat serta partisipasi masyarakat. Berdasarkan tindakan koreksi tersebut dilakukan 3 skenario yaitu pesimis, moderat dan optimis. Kriteria pesimis dilakukan untuk keadaan eksisting dimana tidak dilakukan tindakan koreksi apapun terhadap pengelolaan pengendalian sedimentasi waduk. Kemudian kriteria optimis yaitu dengan melakukan tindakan koreksi yang maksimal untuk
vi
pengelolaan pengendalian sedimentasi waduk. Adapun kriteria moderat adalah kriteria dimana dilakukan tindakan koreksi yang dilakukan secara lebih bijak dan memperhatikan kemampuan dalam melakukan pengelolaan pengendalian sedimentasi waduk Bili-Bili. Skenario moderat pada indikator keberlanjutan waduk memberi hasil yang lebih baik dibandingkan dengan kondisi eksisting (pesimis). Indeks kapasitas waduk menunjukkan bahwa kapasitas waduk yang terancam akan dapat dikendalikan dengan baik pada tahun 2022. Adapun kondisi eksisting menunjukkan pada tahun 2022 kapasitas tampung sedimentasi waduk akan terlampaui dan terancam tidak akan berfungsi dengan baik. Untuk partisipasi masyarakat menunjukkan bahwa tenaga kerja yang diserap pada keadaan eksisting masih belum optimal jika dibandingkan dengan keadaan pada skenario moderat. Dengan tindakan koreksi yang moderat diperoleh peningkatan penyerapan tenaga kerja yang lebih tinggi sehingga akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat sekitar waduk baik secara langsung maupun tidak langsung. Pola Pengendalian sedimen dilakukan berdasarkan 4 bagian yaitu di bagian hulu (upper stream), bagian tengah (middle stream), hilir (down stream) dan area waduk Bili-Bili. Bangunan sabo dam yang berada di hulu sungai Jeneberang mampu mengendalikan sedimen sebesar 29.561.034 m3 atau 35% dari total sedimen yang dikendalikan fasilitas sabo dam. Pada bagian tengah bangunan dam konsolidasi sangat signifikan dalam mengendalikan sedimen sebesar 49.989.195 m3 atau 58% dari total sedimen yang dikendalikan oleh fasilitas bangunan sabo dam. Kemudian bangunan sand pocket pada bagian hilir menampung sedimen dalam volume yang besar sehingga dimanfaatkan oleh masyarakat untuk melakukan penambangan dengan total volume sedimen yang ditambang adalah 2.190.000 m3 per tahun. Kemudian, pada bagian hulu waduk dilakukan pengerukan (excavation) yang ditampung pada area spoil bank dengan total volume 7.700.000 m3. Selain itu, dengan melakukan tindakan konservasi di hulu DAS Jeneberang seperti pembuatan teras yang dikombinasikan dengan penanaman memotong arah berlereng atau pembuatan saluran drainase dapat mengendalikan tingkat erosi menjadi 36,30 ton/ha dan sedimentasi sebesar 164.659,2 ton. Berdasarkan hal tersebut disarankan bahwa: (1) perlunya aturan pengendalian sedimen berkaitan dengan pengalokasian dana pemerintah pada program pengendalian baik secara fisik maupun non fisik; aturan yang ketat berkaitan dengan persyaratan dan batasan untuk penambangan material pada areal penambangan yang diizinkan, (2) pada model dengan skenario moderat yang telah dibangun dapat dipertimbangkan untuk diaplikasikan dalam metode pengendalian sedimentasi waduk Bili-Bili melalui pemantauan peningkatan aktifitas penambangan sebesar 30%; menerapkan kriteria Operasional dan Pemeliharaan (OP) berkaitan flushing sedimen di waduk yang mendukung besaran outflow sedimen 3%. Kata kunci: Erosi, longsor, sedimentasi, waduk, model dinamik.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
MODEL PENGENDALIAN SEDIMENTASI WADUK AKIBAT EROSI LAHAN DAN LONGSORAN DI WADUK BILI-BILI SULAWESI SELATAN
AHMAD RIFQI ASRIB
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji pada Ujian Tertutup:
1. Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S. 2. Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.S.
Penguji pada Ujian Terbuka:
1. Dr. Ir. Mohamad Hasan, Dipl.HE. 2. Dr. Ir. Widiatmaka, DEA.
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT., atas segala Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Disertasi ini. Rangkaian tahapan penelitian yang berjudul: Model Pengendalian Sedimentasi Waduk Akibat Erosi Lahan dan Longsoran di Waduk Bili-Bili Sulawesi Selatan telah dilaksanakan, mulai dari bulan Juli 2009 hingga Pebruari 2010. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Dr.Ir. M. Yanuar J. Purwanto, M.S., Bapak Prof. Dr. Ir. Sukandi Sukartaatmadja, M.S., Bapak Dr. Ir. Erizal, M.Agr., yang telah memberikan banyak saran dan bimbingan selama pelaksanaan penelitian dan penulisan disertasi ini. Ucapan terima kasih pula disampaikan kepada Ketua Program Studi PSL periode 2007-2010 Bapak Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S., Ketua Pelaksana Harian periode 2010 Bapak Dr. drh. Hasim, dan periode 2011 hingga saat ini Bapak Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S. Ucapan terima kasih pula disampaikan kepada Dekan Fakultas Teknik Universitas Negeri Makassar, Rektor Universitas Negeri Makassar dan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI), Kementerian Pendidikan Nasional yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang S3 di IPB melalui beasiswa BPPS. Demikian pula ucapan terima kasih disampaikan kepada Dekan Sekolah Pascasarjana IPB dan Dirjen DIKTI, Kemendiknas yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program Sandwich-Like selama 3 bulan di Tsukuba University, Tsukuba, Japan. Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada Pemda Kabupaten Gowa, dan Bapak Ir. H. Haeruddin C. Maddi, S.T., M.S. sebagai Pimbagpro PPK Pengendalian Sedimen Bawakaraeng pada Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pompengan - Jeneberang. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada pak Bambang, pak Edi dan bu Santi sebagai karyawan Yachio Engineering Co., Ltd., khususnya kepada adik Alfisar dan Kamrullah Ali (Ulla) dan semua pihak yang telah banyak membantu pada saat survey dan pengumpulan data lapangan untuk pelaksanan penelitian ini.
xi
Penghormatan dan ucapan terima kasih atas doa dan kasih sayang yang tidak pernah putus dari ayahanda dan ibunda (alm.), serta isteri dan putra-putriku tercinta atas pengorbanannya. Terima kasih pula penulis sampaikan kepada rekanrekan mahasiswa Pascasarjana Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL), khususnya
untuk angkatan 2007 atas kebersamaan dan
kerjasamanya selama menempuh pendidikan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada segenap karyawan Program Studi PSL yang telah memberikan bantuan dan dukungan selama menempuh pendidikan S3 di PSL. Penulis menyadari bahwa Disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan, karena itu saran dan kritikan yang dapat memberikan perbaikan sangat diharapkan untuk menjadikannya lebih baik dan berkualitas. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua terutama bagi yang membutuhkannya.
Bogor, Agustus 2012
Ahmad Rifqi Asrib P062070101
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 19 September 1963 sebagai anak ke-2 dari pasangan H. A. Bakry Asrib dan Almh. Hj. Siti Rahmah. Mendapat gelar sarjana Teknik Sipil dari Universitas Hasanuddin (UNHAS) Makassar pada tahun 1990. Pada tahun 1995 mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan pada Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta pada Program Studi Teknik Sipil dan mendapatkan gelar Magister Teknik (MT) pada tahun 1998. Tahun 2007, penulis mendapatkan beasiswa BPPS untuk melanjutkan pendidikan ke program Doktor (S3) di Institut Pertanian Bogor (IPB) Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL). Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Jurusan Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Negeri Makassar (UNM) sejak tahun 1991 hingga sekarang. Mata kuliah yang diasuh terutama berada dalam lingkup Teknik Sipil Keairan Fakultas Teknik Universitas Negeri Makassar. Beberapa mata kuliah yang diasuh adalah Hidrolika, Mekanika Fluida, Metode Numerik dan Drainase. Artikel ilmiah penulis sebagai bagian dari Disertasi saat ini telah diterima dan dalam proses penerbitan pada Jurnal Biosainstifika Vol. 3 No.1 dengan ISSN 1979-6900 yang berjudul “Analisis Tingkat Erosi Lahan Menggunakan MWAGNPS pada sub DAS Jeneberang Propinsi Sulawesi Selatan”. Artikel lain yang juga telah diterima dan masih dalam proses penerbitan pada
Jurnal
Hidrolitan (Jurnal Hidrologi Lingkungan dan Tanah) dengan ISSN 2086-4825 yang berjudul “Analisis Longsoran Kaldera Terhadap Tingkat Sedimentasi Waduk Bili-Bili Propinsi Sulawesi Selatan”.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ................................................................................................. xv DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xvii DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xix I. PENDAHULUAN .............................................................................................. 1 1.1. Latar Belakang ......................................................................................... 1 1.2. Kerangka Pemikiran ................................................................................. 7 1.3. Perumusan Masalah ............................................................................... 10 1.4. Tujuan Penelitian ................................................................................... 11 1.5. Manfaat Penelitian ................................................................................. 11 1.6. Novelty ................................................................................................... 12 II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 13 2.1. Pengertian Waduk ................................................................................ 13 2.2. Erosi dan Longsoran ............................................................................ 15 2.2.1. Erosi ........................................................................................... 15 2.2.2. Longsoran .................................................................................. 18 2.3. Sedimentasi Waduk ............................................................................ 23 2.3.1. Laju Sedimen ............................................................................. 23 2.3.2. Prediksi Sedimentasi Waduk .................................................... 24 2.4. Bangunan Pengendali Sedimen ........................................................... 27 2.4.1. Sabo Dam dan Fungsinya .......................................................... 27 2.4.2. Bentuk dan Tipe Sabo Dam ....................................................... 30 2.5. Upaya Pengendalian Sedimentasi Waduk .......................................... 32 2.5.1. Cara Vegetatif (Non Struktural) ................................................ 33 2.5.2. Cara Mekanik (Struktural) ......................................................... 34 2.5.3. Kombinasi Vegetatif dan Mekanik ............................................ 35 2.6. Sistem dan Pendekatan Sistem ........................................................... 36 2.6.1. Pemodelan Sistem ..................................................................... 38 2.6.2. Verifikasi dan Validasi ............................................................... 40 2.6.3. Simulasi Model .......................................................................... 41 2.7. Penelitian Terdahulu yang Terkait ..................................................... 41 2.7.1. Penelitian Sedimentasi Waduk di Waduk Bili-Bili ................... 41 2.7.2. Penelitian Sedimentasi Waduk di Wilayah Lain ........................ 42 2.7.3. Penelitian Sedimentasi Waduk dengan Menggunakan Model .. 44 2.74. Posisi Strategis dan Kebaruan Penelitian ................................... 45 III. KARAKTERISTIK DAERAH TANGKAPAN WADUK BILI-BILI ......... 47 3.1. 3.2. 3.3. 3.4. 3.5.
Letak, Luas dan Keadaan Fisik ............................................................ 47 Kelerengan Tanah ............................................................................... 47 Penutupan Lahan ................................................................................. 48 Geologi dan Jenis Tanah ...................................................................... 49 Temperatur ........................................................................................... 55
xiv
3.6. Curah Hujan ......................................................................................... 55 3.7. Pola Aliran dan Kemiringan Sungai Jeneberang ................................. 56 3.8. Data Teknis Waduk Bili-Bili ............................................................... 57 3.9. Bangunan Pengendali Sedimentasi Waduk Bili-Bili ........................... 58 3.10. Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk ..................................................... 59 3.11. Jumlah Penduduk menurut Tingkat Pendidikan .................................. 59 3.12. Mata Pencaharian Penduduk ................................................................ 60 IV. METODE PENELITIAN .............................................................................. 61 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian .............................................................. 61 4.2. Bahan dan Alat ..................................................................................... 61 4.3. Rancangan Penelitian ........................................................................... 62 4.3.1. Analisis Erosi Lahan sub DAS Jeneberang................................. 62 4.3.2. Analisis Longsoran Kaldera dan Tingkat Sedimentasi Waduk Bili-Bili ......................................................................... 66 4.3.3. Model sistem dinamik pengendalian Sedimentasi di Waduk Bili-Bili ......................................................................... 69 V. HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... 73 5.1. Karakteristik Sumber Sedimen Daerah Tangkapan Air Waduk dan Tingkat Sedimentasi di Waduk Bili-Bili .......................... 73 5.1.1. Analisis Tingkat Erosi Lahan sub DAS Jeneberang ................... 73 5.1.2. Analisis Longsoran Kaldera di sub DAS Jeneberang ................ 83 5.1.3. Analisis Tingkat Sedimentasi Waduk ........................................ 86 5.1.4. Efisiensi Tangkapan Sedimen (Trap Efficiency) ........................ 93 5.2. Identifikasi Pola Pengendalian Bangunan Pengendali Sedimentasi Daerah Tangkapan Air Waduk Bili-Bili .............................................. 95 5.2.1. Kajian Kapasitas Bangunan Pengendali Sedimen ..................... 95 5.2.2. Pola Pengelolaan Bangunan Pengendali Sedimen ................... 103 5.3. Model Dinamik Pengendalian Sedimentasi Waduk Bili-Bili ............ 107 5.3.1. Pembuatan Model .................................................................... 108 5.3.2. Konseptualisasi Model ............................................................. 111 5.3.3. Spesifikasi Model ..................................................................... 114 5.3.4. Evaluasi Model ........................................................................ 119 5.3.5. Skenario Model Pengendalian ................................................. 123 5.3.6. Strategi Model Pengendalian ................................................... 129 5.4. Pembahasan Umum ........................................................................... 131 5.4.1. Arahan dan Rekomendasi Kebijakan ....................................... 134 VI. SIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 137 6.1. Simpulan ............................................................................................. 137 6.2. Saran .................................................................................................. 138 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 139 LAMPIRAN ...................................................................................................... 145
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Lokasi bangunan Sabo-Dam dan Sand-Pocket sebagai penampung sedimen .......................................................................................................... 5
2.
Dampak Erosi Tanah ..................................................................................... 16
3.
Penetapan Nilai Batas Toleransi Erosi (T) .................................................... 17
4.
Kejadian dan Penyebab terjadinya Tanah Gerak dan Longsor ...................... 22
5.
Macam dan Fungsi Bangunan Sabo .............................................................. 28
6.
Posisi Strategis Penelitian yang Dilakukan ................................................... 46
7.
Luas wilayah administratif hulu DAS Jeneberang ........................................ 47
8.
Kelas Lereng Wilayah sub DAS Jeneberang ................................................. 48
9.
Ketinggian Elevasi Wilayah sub DAS Jeneberang ........................................ 48
10. Penggunaan Lahan Wilayah sub DAS Jeneberang ...................................... 49 11. Formasi Geologi Wilayah sub DAS Jeneberang .......................................... 49 12. Jenis Tanah Wilayah sub DAS Jeneberang .................................................. 55 13. Curah hujan bulanan Daerah Aliran Waduk Bili-Bili ................................... 56 14. Data Teknis Waduk Bili-Bili ........................................................................ 58 15. Jumlah penduduk di wilayah hulu DAS Jeneberang tahun 2006 – 2009 ...... 59 16. Jumlah penduduk menurut mata pencaharian di Wilayah hulu DAS Jeneberang ..................................................................................................... 60 17. Keluaran sedimen model di outlet sub DAS Jeneberang .............................. 77 18. Rekapitulasi Laju Erosi dan Sedimen untuk berbagai penutupan lahan ........ 78 19. Volume sedimen untuk setiap titik Cross Section tahun 2004-2008 ............ 84 20. Volume Aliran Sedimen Tahun 2003-2008 .................................................. 85 21. Volume Sedimentasi per Penampang dari Tahun 1997-2009 ....................... 87 22. Volume Sedimentasi per Elevasi dari Tahun 1997-2009 ............................. 88 23. Prosentase total sedimentasi terhadap Kapasitas Waduk .............................. 90 24. Efisiensi Tangkapan Sedimen 1997-2008 .................................................... 94 25. Kapasitas Bangunan Pengendali Sabo Dam di Upper Stream ...................... 97
xvi
26. Kapasitas Bangunan Pengendali Sabo Dam di Middle Stream ...................... 99 27. Aktifitas Penambangan pada bangunan Sand Pocket (SP) .......................... 101 28. Volume Pekerjaan Pengerukan pada Sand Pocket dan Sekitar Waduk ...... 103 29. Bangunan Pengendali sedimen di hulu Sungai Jeneberang ........................ 104 30. Kapasitas Pengendalian Sedimen di hulu Sungai Jeneberang ...................... 105 31. Jenis Tindakan Pengendalian Erosi Lahan .................................................. 106 32. Analisis kebutuhan Pelaku (stakeholders) .................................................. 108 33. Variabel dan Parameter pada Sub Model Pengendalian Longsoran ........... 115 34. Variabel dan Parameter pada Sub Model Erosi Lahan ................................ 117 35. Variabel dan Parameter pada Sub Model Kapasitas Waduk ....................... 118 36. Variabel dan Parameter pada Sub Model Sosial Ekonomi .......................... 119 37. Perbandingan Volume Sedimentasi Waduk Aktual dan Hasil Simulasi Tahun 2004-2009 ......................................................................... 122
DAFTAR GAMBAR Halaman
1.
Transisi Kapasitas Penampungan pada Waduk Bili-Bili ............................... 6
2.
Kerangka Pemikiran ...................................................................................... 9
3.
Jenis Tanah Longsor ................................................................................... 19
4.
Bangunan Sabo Dam Tipe Tertutup ............................................................. 31
5.
Bangunan Sabo Dam Tipe Terbuka ............................................................. 31
6.
Tahapan Pendekatan Sistem ........................................................................ 37
7.
Peta Lereng di sub DAS Jeneberang ........................................................... 50
8.
Peta elevasi Wilayah sub DAS Jeneberang ................................................ 51
9.
Peta Penggunaan Lahan Wilayah sub DAS Jeneberang ............................. 52
10.
Peta Geologi Wilayah sub DAS Jeneberang ............................................... 53
11.
Peta Jenis Tanah Wilayah sub DAS Jeneberang ......................................... 54
12.
Lokasi stasiun Curah Hujan sub DAS Jeneberang ...................................... 56
13.
Kemiringan sungai Jeneberang di hulu Waduk Bili-Bili ............................ 57
14.
Lokasi Penelitian .......................................................................................... 61
15.
Diagram alir prediksi sedimentasi waduk dengan AGNPS ........................ 64
16.
Ratio Kapasitas Waduk dan Luas DAS terhadap Trap Efficiency .............. 69
17.
Grafik Curah Hujan Bulanan untuk setiap stasiun ...................................... 74
18.
Grafik rerata Curah Hujan Tahunan dari Tahun 2002-2008 ....................... 75
19.
Peta DEM elevasi sub DAS Jeneberang ..................................................... 79
20.
Peta arah aliran sub DAS Jeneberang berdasarkan grid .............................. 80
21.
Peta penyebaran sedimen total sub DAS Jeneberang ................................. 81
22.
Peta penyebaran laju erosi permukaan sub DAS Jeneberang ..................... 82
23.
Lokasi survey cross section sepanjang S. Jeneberang hulu Waduk Bili-Bili ............................................................................................ 83
24.
Grafik Volume aliran Sedimen dari tahun 2004 – 2008 ............................. 85
25.
Lokasi 22 titik cross section Waduk Bili-Bili ............................................. 86
26.
Elevasi sedimentasi di waduk Bili-Bili Tahun 1997-2009 ......................... 88
27.
Akumulasi Tingkat Sedimentasi di Waduk Bili-Bili 1997-2009 ................ 89
28.
Visualisasi sedimentasi di waduk Bili-Bili Tahun 1997 .............................. 91
xviii
29. Visualisasi sedimentasi di waduk Bili-Bili Tahun 2009 .............................. 91 30. Visualisasi sedimentasi di waduk Bili-Bili Tahun 2004 ............................. 92 31. Visualisasi sedimentasi di waduk Bili-Bili Tahun 2005 .............................. 92 32. Grafik Kapasitas waduk dan Efisiensi Tangkapan Sedimen di Waduk Bili-Bili ........................................................................................ 94 33. Lokasi Penempatan Sabo Dam SD 7-1 – SD 7-7 ........................................ 96 34. Sabo dam Tipe Terbuka dan Tipe Tertutup pada bagian tengah sungai Jeneberang ........................................................................................ 98 35. Lokasi Penambangan dan tempat Penampungan Material ........................ 100 36. Lokasi Pengerukan dan Penampungan sedimen pada spoil bank............... 102 37. Tindakan Konservasi Teras Bangku dengan Penanaman rumput ............. 106 38. Diagram input-output Model Pengendalian Sedimentasi Waduk ............. 110 39. Model Pengendalian Sedimentasi Waduk ................................................. 111 40. Diagram lingkar causal loop model pengendalian .................................... 112 41. Model Konseptual Sistem Pengendalian Sedimentasi Waduk Bili-Bili .... 113 42. Sub Model Pengendali Sedimen ................................................................ 115 43. Sub Model Erosi Lahan ............................................................................. 116 44. Sub Model Kapasitas Waduk .................................................................... 117 45. Sub Model Sosial Ekonomi ....................................................................... 118 46. Hasil simulasi volume sedimentasi waduk, sedimen longsor dan Sedimentasi lahan ...................................................................................... 120 47. Hasil simulasi volume penambangan, pendapatan dan partisipasi Masyarakat ................................................................................................. 120 48. Volume Sedimentasi Waduk Aktual dan Simulasi Tahun 2004-2009 ...... 122 49. Perbandingan simulasi Indeks Kapasitas Waduk ...................................... 125 50. Perbandingan simulasi Tingkat Sedimentasi Waduk ................................ 126 51. Perbandingan simulasi Tingkat Partisipasi Masyarakat ............................. 127 52. Perbandingan simulasi Tingkat Pendapatan Masyarakat ........................... 128 53. Perbandingan Tingkat erosi lahan dan Pendapatan petani ......................... 129
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
1.
Tipikal Sabo Dam Impermeabel .................................................................. 145
2.
Gambar Teknis dan Spesifikasi bangunan Sabo Dam No. 7-1 (SD 7-1) .... 146
3.
Gambar Teknis dan Spesifikasi bangunan Sabo Dam No. 7-2 (SD 7-2) ... 147
4.
Gambar Teknis dan Spesifikasi bangunan Sabo Dam No. 7-3 (SD 7-3) ... 148
5.
Gambar Teknis dan Spesifikasi bangunan Sabo Dam No. 7-4 (SD 7-4) ... 149
6.
Gambar Teknis dan Spesifikasi bangunan Sabo Dam No. 7-5 (SD 7-5) ... 150
7.
Gambar Teknis dan Spesifikasi bangunan Sabo Dam CD-1 ....................... 151
8.
Gambar Teknis dan Spesifikasi bangunan Sabo Dam CD-2 ....................... 152
9.
Gambar Teknis dan Spesifikasi bangunan Sabo Dam CD-3 ....................... 153
10. Gambar Teknis dan Spesifikasi bangunan Konsolidasi Dam KD-1 ............ 154 11. Gambar Teknis dan Spesifikasi bangunan Konsolidasi Dam KD-2 ............ 155 12. Biaya dan Waktu Pembangunan Bangunan Pengendali Sedimen Dan Aktifitas Pengerukan ........................................................................... 156 13. Data Curah Hujan Bulanan untuk setiap stasiun Pengamatan ..................... 157 14. Output General Cell dari MWAGNPS......................................................... 158 15. Output Sediment dari MWAGNPS .............................................................. 160 16. Output equation model dari STELLA .......................................................... 162
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Waduk adalah bangunan air yang berfungsi untuk menampung air sungai yang dibangun dengan jalan membuat bendungan pada bagian hilirnya. Waduk merupakan salah satu bentuk reservoir tempat menampung aliran sungai dalam satu sistem jaringan sungai dalam suatu sistem Daerah Aliran Sungai (DAS). Pada dasarnya Waduk atau bendungan berfungsi sebagai penampung air dan tanah hanyut akibat erosi yang berasal dari daerah di atasnya untuk mengamankan daerah di bawahnya dari banjir dan erosi. Suatu waduk penampung atau waduk konservasi dapat menahan air kelebihan pada masa-masa aliran air tinggi untuk digunakan selama masa-masa kekeringan (Sukartaatmadja, 2004). Waduk dan bendungan juga bermanfaat sebagai konservasi air. Dengan menahan air lebih lama di darat sebelum mengalir kembali ke laut akan memberikan waktu untuk meresap dan memberikan kontribusi terhadap pengisian kembali air tanah. Haregeweyn et al. (2006) telah mengkaji karakteristik dan masalah penumpukan sedimen pada beberapa waduk di Tigray (sebelah Utara Ethiopia). Kajian dilakukan dengan mensurvey dan mengevaluasi karakteristik dan masalah umum pada 54 waduk yang baru dibangun, dan mensurvey secara mendetail karakteristik daerah tangkapan pada 10 waduk. Dijelaskan bahwa masalah penumpukan sedimen cukup signifikan. Dari studi tentang waduk, 70% waduk memiliki masalah endapan sehingga umur operasi waduk akan segera berakhir sebelum umur rencana tercapai. Dengan demikian, pengelolaan sedimen di waduk merupakan pendekatan yang nantinya lebih efektif untuk mempertahankan kapasitas penampungan yang ada. Dari penelitian mengenai tingkat kualitas perairan Danau dan Waduk di Indonesia diperoleh hasil bahwa beberapa danau dan waduk telah mengalami masalah pencemaran, berkurangnya volume, berkurangnya luas dan sedimentasi (berkurangnya kedalaman). Waduk yang sedimentasinya tinggi disebabkan oleh tingkat erosi yang tinggi di DAS-nya. Hal ini disebabkan karena adanya perambahan hutan, sistem pertanian yang kurang memperhatikan konsep-konsep konservasi air dan tanah. Selain faktor tersebut, juga disebabkan oleh perubahan
2 tataguna lahan dan tekanan kemiskinan penduduk dan kepadatan penduduk (Puslitbang SDA, 2008). Terkait dengan ancaman keberlanjutan fungsi waduk, sumber sedimen pada umumnya diakibatkan oleh tingginya tingkat erosi yang terjadi di hulu, akibat maraknya pengalihan fungsi lahan hutan menjadi lahan pemukiman atau areal pertanian baru.
Penyebab utama pengurangan kapasitas tampungan
bendungan-bendungan di Indonesia adalah tingginya laju sedimentasi (Adzan et al., 2008). Terdapat beberapa waduk yang mengalami tingkat sedimentasi tinggi yaitu Sengguruh dan Karangkates di DAS Kalibrantas Hulu, Waduk Wonogiri di DAS Bengawan Solo, Waduk Mrica di DAS Serayu, Waduk Saguling dan Cirata di DAS Citarum Tengah, serta Waduk Bili-Bili di DAS Jeneberang Sulawesi Selatan (Puslitbang SDA, 2008). Waduk Bili-Bili yang merupakan salah satu waduk terbesar di Propinsi Sulawesi Selatan terletak di bagian tengah DAS Jeneberang, diresmikan penggunaannya pada tahun 1999. Waduk ini merupakan waduk serbaguna yang dibangun dengan tujuan untuk pengendalian banjir, pemenuhan kebutuhan air irigasi, suplai air baku dan pembangkit listrik tenaga air. Secara geografis, Waduk Bili-Bili terletak di Kabupaten Gowa, Propinsi Sulawesi Selatan. Waduk Bili-Bili memiliki luas tangkapan air sebesar 384,4 km2 dengan perencanaan umur operasi 50 tahun (JRBDP, 2004). Waduk serbaguna Bili-Bili dibangun dengan maksud untuk pengendalian daya rusak, mengoptimalkan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya air yang ada pada bagian hulu DAS Jeneberang. Namun, dalam perkembangan terakhir terjadi penurunan pemanfaatan fungsi layanan waduk akibat adanya perubahan kondisi daerah tangkapan waduk karena perubahan pemanfaatan lahan dan juga terjadinya longsoran dinding kaldera (fitur vulkanik dari gunung). Dari hasil interpretasi citra landsat tahun 1986/1987, tahun 1995/1996, dan tahun 2000/2001, diketahui bahwa telah terjadi penyusutan luas kawasan berhutan pada DAS Jeneberang selama beberapa tahun terakhir. Pada tahun 1986/1987 luas kawasan hutan yang bervegetasi hutan adalah seluas 17.450 ha, sedangkan pada tahun 2003 seluas 13.648 ha, yang berarti telah terjadi penurunan luas kawasan hutan yang bervegetasi hutan sebesar 21,79% atau rata-rata sebesar 1,5%
3 per tahun. Kemudian pada tahun 2002 penggunaan lahan kering telah mendominasi wilayah DAS Jeneberang sebesar 69,4%, dimana luas penutupan hutan hanya 4,4% (Supratman, 2003). Hal ini menunjukkan telah terjadi konversi kawasan hutan menjadi permukiman dan kebun campuran, serta penebangan kayu untuk kebutuhan kayu bakar masyarakat. Hasil penelitian Mappa et al. (1987) mengemukakan bahwa luas lahan kritis di DAS Jeneberang adalah 65.620 ha, dimana 5.250 ha tererosi berat, 37.400 ha tererosi sedang dan 6.563 ha tererosi ringan. Kemudian, berdasarkan hasil penelitian Tangkaisari (1987) tentang tingkat erosi di DAS Jeneberang bagian hulu menunjukkan bahwa total tanah tererosi pada petak pertanaman tanpa konservasi sebesar 80 ton/ha/tahun dan petak pertanaman yang berteras saluran sebesar 9 ton/ha/tahun; keduanya melampaui erosi yang dapat diperbolehkan yaitu 8 ton/ha/tahun. Pada tahun 1993–1994 erosi yang terjadi di hulu DAS Jeneberang yaitu 21,53 ton/ha/tahun, dan tahun 1999 erosi yang terjadi meningkat menjadi 25,00 ton/ha/tahun (Makaheming, 2003). Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Hasanuddin (2000) menyebutkan bahwa hasil pengukuran angkutan sedimen pada alur sungai Jeneberang yang pernah dilakukan selama rentang waktu 15 tahun, yaitu dari tahun 1986 sampai dengan tahun 2001 menunjukkan kecenderungan peningkatan sedimen rata-rata sebesar 40 ton/ha/tahun dengan laju rata-rata sebesar 2,67% per tahun. Dari hasil penelitian yang dilakukan Fadiah (2006) ternyata pada Daerah Tangkapan Hujan (DTH) Waduk Bili-Bili juga telah mengalami tingkat erosi lahan sebesar 4,25 ton/ha/tahun. Klasifikasi tingkat bahaya erosi sangat berat terjadi pada lahan tegalan sebesar 33,32 ton/ha/tahun. Zubair (2001) membuat simulasi
pendugaan
laju
sedimen
pada
DAS
Jeneberang berdasarkan
kecenderungan-kecenderungan yang ada saat ini. Laju sedimen tahun 2001 sebesar 2000 m3/km2/tahun dan meningkat 24,2% menjadi 2608 m3/km2/tahun pada tahun 2005, dan sebesar 122,8% atau 4678 m3/km2/tahun pada tahun 2010, lebih tinggi dari pada laju yang diperkenankan (1500 m3/km2/tahun) masuk ke Dead Storage Capacity (DSC) bendungan Bili-Bili. Hasil Penelitian menunjukkan jika t anpa upaya pengendalian sedimen, akan berdampak pada berkurangnya umur bendungan dari 50 tahun menjadi 16 tahun.
4 Selanjutnya, pada tahun 2004 terjadi bencana berupa runtuhnya dinding kaldera G. Bawakaraeng yang merupakan hulu DAS Jeneberang. Dinding kaldera yang runtuh diidentifikasi sebagai tebing yang termasuk G. Sarongan (Elevasi 2.514 m dpl). Volume massa yang runtuh diperkirakan antara 200 – 300 juta m3 (Hasnawir et al, 2006). Hasil pengukuran echosounding yang dilakukan pada bulan Juni 2004 menunjukkan bahwa volume sedimen yang terendapkan di Waduk Bili-Bili sebesar 4.763.229 m3 (Bapro PSDA, 2004). Peningkatan sedimentasi terjadi pada tahun 2005 dengan masuknya sedimen yang berasal dari longsoran dinding kaldera G. Bawakaraeng yaitu sebesar 22.686.654 m3 (Bapro PSDA, 2005). Zubair (2001) menyatakan bahwa sumber sedimen di waduk BiliBili berasal dari erosi tanah (71,22%), erosi akibat longsor dan erosi tebing sungai (28,78%). Potensi sedimen akibat longsoran yang cukup besar akan mengalir ke hilir bila intensitas hujan tinggi sehingga rawan terjadi aliran debris dengan konsentrasi tinggi. Kondisi sungai Jeneberang yang masih kontinyu mengalirkan sedimen pada saat terjadi banjir dan mengendap di sepanjang alur sungai sampai ke Waduk Bili-Bili menyebabkan peningkatan sedimentasi di waduk Bili-Bili sehingga menyebabkan pendangkalan waduk yang pada akhirnya akan mengurangi umur operasi waduk dan mengancam keberlanjutan fungsi waduk. Menurut Maryono (2005), kerusakan daerah tangkapan air waduk, danau atau embung, seperti halnya daerah aliran sungai, merupakan penyumbang dampak negatif yang sangat signifikan. Jika daerah tangkapan rusak, jelas umur waduk atau danau akan memendek. Pada musim hujan, aliran permukaan (run off) dengan membawa kandungan sedimen yang tinggi masuk ke waduk. Sedang aliran dasar (base flow) yang merupakan cadangan musim kemarau cenderung menurun drastis. Dengan demikian umur waduk hanya ditentukan oleh volume tampungan akhir musim hujan saja. Upaya yang telah dilakukan selama ini adalah melakukan konservasi areal penangkapan air hujan di sekitar waduk, mencegah erosi yang dapat dilakukan melalui
pemberdayaan
masyarakat
dalam
mengolah
tanah
agar
tidak
menimbulkan erosi, menanam pohon atau menghutankan kembali. Selain itu juga dengan mengeruk sedimen di waduk, membangun sabo dam dan cekdam sebagai penampung sedimen. Waduk Bili-Bili memiliki Sabo-Dam dan Sand-Pocket,
5 dimana bangunan ini diperuntukkan menjaga kelestarian multifungsi waduk dengan kapasitas penampungan sedimen. Gambaran lokasi bangunan Sabo-Dam dan Sand-Pocket disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Lokasi dan kapasitas bangunan Sabo-Dam dan Sand-Pocket No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Lokasi S. Jeneberang S. Jeneberang S. Jeneberang S. Jeneberang Hulu S. Malino S. Jeneberang Lengese S. Malino S. Kunisi S. Kunisi Hulu
Jenis Bangunan Sand Pocket No.1 Sand Pocket No.2 Sand Pocket No.3 Sabo-Dam No.4 Sand Pocket No.4 Sand Pocket No.5 Sabo-Dam No.6 Sabo-Dam No.8 Sabo-Dam No.9
Kapasitas (m3) 154.000 75.000 108.000 105.000 111.000 87.000 101.000 86.000 88.000
Sumber: PPLH UNHAS (2001).
Hasil kalkulasi kapasitas Sabo-Dam dan Sand-Pocket yang ada dengan sedimen yang berasal dari runtuhan dinding kaldera mencapai 300 juta m3, ditambah dengan sedimen yang berasal dari erosi lahan setiap tahun yang mencapai 5200 m3. Hal ini menggambarkan kondisi yang jelas tidak mampu ditampung oleh Sabo-Dam dan Sand-Pocket tersebut sehingga sisa material longsoran dan sedimen yang ada akan bermuara di Waduk Bili-Bili. Keberadaan dan peran sumberdaya hutan sangat erat dengan kehidupan umat-manusia, baik langsung maupun tidak langsung. Nilsson (1996) dalam Suhendang (2002) mengelompokkan macam-macam fungsi hutan, yaitu sebagai berikut: (1) menghasilkan kayu industri (industrial wood), untuk papan, kertas, kemasan, dan lain-lain; (2) menghasilkan kayu bakar dan arang (fuel wood and charcoal); (3) menghasilkan hasil hutan bukan kayu (non-wood forest products, NWFPs); (4) menyediakan lahan untuk pemukiman manusia (human settlement); (5) menyediakan lahan untuk pertanian (agriculture land); (6) memberikan perlindungan terhadap siklus air dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) dan pengendalian erosi (watershed protection and erosion control); (7) tempat penyimpanan karbon (carbon storage); (8) pemeliharaan keanekaragaman hayati dan habitat (biodiversity and habitat preservation); dan (9) obyek ekoturisme dan rekreasi alam (ecotourism and recreation).
6 Sampai dengan bulan April 2008, akumulasi sedimentasi di waduk telah mencapai 63,96 juta m3 atau 18,5% dari total kapasitas penampungan sedimen sebesar 346 juta m3. Kapasitas penampungan sedimen yang tersisa adalah 285 m3 dan umur rencana waduk menjadi 43 tahun (Hardjosuwarno dan Soewarno, 2008). Posisi kapasitas penampungan sedimen disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1 Transisi Kapasitas Penampungan pada Waduk Bili-Bili (Hardjosuwarno dan Soewarno, 2008). Fenomena-fenomena tersebut menunjukkan bahwa sedimentasi yang terjadi di Waduk Bili-Bili semakin menghawatirkan karena dapat mengancam keberlanjutan fungsi waduk. Hal ini merupakan masalah yang perlu segera ditangani secara serius agar tidak semakin parah di kemudian hari. Hal ini juga menjadi penting untuk dikaji mengingat waduk tersebut memiliki peranan yang sangat penting dalam konteks pembangunan sosial ekonomi masyarakat, khususnya bagi penduduk kota Makassar dan Kab. Gowa. Fenomena tentang sedimentasi yang terjadi di Waduk Bili-Bili menunjukkan permasalahan yang kompleks dan sulit dipahami jika hanya menggunakan satu disiplin keilmuan. Konsep sistem yang berlandaskan pada unit keragaman dan selalu mencari keterpaduan antar komponen melalui pemahaman secara holistik (menyeluruh) dan utuh, merupakan suatu alternatif pendekatan baru dalam memahami dunia nyata. Pendekatan sistem merupakan cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap sejumlah kebutuhan, sehingga dapat dihasilkan suatu operasi sistem yang efektif
7 (Eriyatno dan Sofyar, 2007). Dengan demikian kajian tentang sedimentasi yang terjadi di Waduk Bili-Bili dapat dilakukan dengan pendekatan sistem dalam membangun model pengendalian sedimentasinya sehingga kapasitas waduk dapat dipertahankan dan pemanfaatan fungsi waduk dapat berkesinambungan dengan tetap menjaga kelestarian alam sekitarnya. 1.2. Kerangka Pemikiran Waduk Bili-Bili merupakan sumberdaya alam yang memberikan manfaat besar bagi masyarakat baik dari aspek ekonomi, sosial maupun dari aspek ekologi. Waduk Bili-Bili memiliki peranan penting bagi kehidupan masyarakat sekitarnya seperti: pengendalian banjir sungai Jeneberang, penyediaan air minum dan air untuk industri, penyediaan air untuk irigasi, Pembangkit Listrik Tenaga Air, perikanan darat dan daerah wisata. Dalam peranannya untuk pengendalian banjir sungai Jeneberang, Waduk serbaguna Bili-Bili dapat mengurangi banjir kiriman dari Kabupaten Gowa ke Kota Makassar yang berdampak pada berkurangnya jumlah luasan banjir di Kota Makassar. Namun demikian, salah satu masalah strategis Waduk Bili-Bili adalah menurunnya kapasitas dan fungsi waduk. Laju sedimentasi di sungai Jeneberang terus meningkat, sehingga memerlukan upaya pengendalian sedimen untuk mempertahankan efektifitas waduk agar tidak terus berkurang dan dapat mengancam
keberlanjutan
fungsi
waduk.
Walaupun
berbagai
upaya
penanggulangan sedimentasi telah dilakukan oleh pemerintah, seperti program pengendalian sedimentasi di perairan waduk namun sedimentasi tetap saja terus terjadi. Untuk mengatasi masalah tersebut perlu dilakukan suatu kajian model pengendalian yang menyentuh semua aspek kehidupan masyarakat di daerah aliran waduk. Menurut Jorgensen dan Vollenweider (1989), penggunaan pemodelan dalam pengelolaan danau atau waduk merupakan suatu hal yang bermanfaat. Hal ini disebabkan model dapat mensintesis pengetahuan dari sistem dan permasalahan yang ada. Untuk mewujudkan agar waduk tetap berkelanjutan perlu melibatkan multistakeholder, yaitu: Pemerintah, Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya
8 Masyarakat/Yayasan Lingkungan Hidup, Pelaku Usaha dan Masyarakat Umum. Disamping itu juga ditentukan oleh kualitas Sumber Daya Manusia, organisasi, kelembagaan, regulasi dan infrastruktur. Oleh karena itu permasalahan pengendalian sedimentasi waduk merupakan hal yang sangat penting, kompleks dan dinamis. Penting karena waduk memiliki fungsi ekologi, kompleks karena melibatkan multistakeholders dengan karakteristik yang berbeda, dan dinamis karena tingkat sedimentasi selalu berubah seiring dengan perubahan waktu. Berdasarkan
hal
tersebut
menunjukkan
bahwa
kajian
mengenai
permasalahan sedimentasi di waduk harus dilakukan dengan suatu pendekatan yang holistik. Permasalahan tersebut berkaitan dengan potensi dan ancaman dalam pemanfaatan waduk oleh masyarakat di sekitarnya. Potensi dan ancaman tersebut dapat diidentifikasi baik secara teknis maupun non teknis. Aspek teknis terdiri dari erosi, sedimentasi, infrastruktur pengendali sedimen maupun berdasarkan aspek non teknis seperti persepsi masyarakat, aturan-aturan dan kelembagaan sesuai kebutuhan stakeholder yang terlibat dalam pemanfaatan waduk. Salah satu pendekatan kesisteman yang memungkinkan teridentifikasinya seluruh variabel terkait, dan memudahkan untuk mengetahui trend/pola pertumbuhan ke depan seiring dengan perubahan waktu adalah dengan model dinamik. Dengan model dinamik juga dapat teridentifikasi faktor pengungkit dalam pengendalian sedimentasi, sehingga kebijakan yang akan diambil akan menjadi lebih efektif. Pendekatan dengan sistem dinamik merupakan bagian dari pendekatan sistem yang dapat menjadi salah satu alternatif pendekatan dalam masalah pengendalian sedimentasi di waduk, karena pendekatan sistem dinamik dapat merubah cara pandang dan pola berpikir dalam menangani permasalahan dengan menggunakan model yang merupakan penyederhanaan dari sebuah sistem (Hartisari, 2007). Melalui pendekatan sistem dinamik ini seorang pengambil keputusan dapat menggunakan pengalamannya dalam pengambilan keputusan, berdasarkan simulasi model dan perilaku sistem yang dihadapi (Barlas, 2002), sehingga
rancangan
model
pengendalian
sedimentasi
di
waduk
yang
komprehensif dapat mengakomodasi semua kepentingan pelaku dan kebijakan
9 strategis yang perlu dilakukan untuk menciptakan kondisi yang diinginkan dapat diantisipasi lebih dini. Model pengendalian dapat dibangun dengan cara identifikasi secara mendalam tentang permasalahan yang terjadi di waduk serta membangun sistem dan kontrol untuk mencegah atau meminimalisasi dampak atau kerugian lingkungan. Model yang dibangun didasarkan pada beban sedimentasi dari yang berasal dari berbagai sumber serta karakteristik dari waduk itu sendiri. Model yang dibangun juga diharapkan menjadi dasar untuk memformulasi kebijakan oleh pengelola dan para pengambil keputusan dalam pemanfaatan dan pengelolaan pengendalian sedimentasi waduk. Secara skematis kerangka pemikiran penelitian Model Pengendalian Sedimentasi di Waduk Bili-Bili diilustrasikan pada Gambar 2.
SEDIMENTASI
Pengelolaan Waduk (UU SDA No.7 thn 2004): Konservasi, Pemanfaatan, Pengendalian daya rusak air.
Kondisi Eksisting Waduk Bili-Bili: karakteristik Biofisik dan karakteristik sosek
Program Pengelolaan Waduk
Pemodelan Sistem Pengendalian Sedimentasi Waduk
Model Pengendalian Sedimentasi Waduk
Alternatif Kebijakan Pengelolaan Waduk
- Erosi lahan - Longsor
Model Dinamik
Pendekatan Sistem: - Analisis Kebutuhan - Formulasi Masalah - Identifikasi Sistem
Strategi/ Rekomendasi
Gambar 2 Kerangka Pemikiran.
1.3. Perumusan Masalah Waduk Bili-Bili memiliki potensi yang sangat penting karena dapat dimafaatkan oleh masyarakat sekitarnya untuk memenuhi kebutuhannya. Selain
10 itu Waduk Bili-Bili berada pada DAS Jeneberang yang merupakan salah satu DAS Prioritas Nasional yang dalam pengelolaannya perlu mendapat perhatian khusus. Waduk Bili-Bili dibangun untuk memenuhi kepentingan penyediaan air minum bagi penduduk Kota Makassar, Sungguminasa dan sekitarnya, irigasi sawah di bagian hilir, pembangkit tenaga listrik dan juga sebagai sarana rekreasi. Namun demikian, Waduk Bili-Bili seperti halnya waduk lainnya mengalami masalah yang hampir sama yaitu masalah pendangkalan waduk. Apabila tidak ada usaha pencegahan dan pengendalian sedimen dikhawatirkan proses sedimentasi akan terus-menerus berlangsung, yang selanjutnya akan berpengaruh pada menurunnya nilai atau fungsi dari waduk serta berdampak pada kelangsungan fungsi waduk. Sedimentasi yang terjadi di Waduk Bili-Bili merupakan hasil dari erosi yang berasal dari daerah tangkapan air DAS Jeneberang bagian hulu. Erosi yang tinggi pada daerah tersebut akan terbawa oleh aliran sungai yang pada akhirnya akan mengendap sebagai sedimen di dasar waduk. Selain itu, sedimentasi juga berasal dari longsoran yang terjadi akibat runtuhnya dinding Kaldera Gunung Bawakaraeng. Akumulasi dari erosi dan longsoran yang terjadi terus-menerus akan mengarah pada terjadinya pendangkalan waduk, menurunnya daya tampung sedimen dan penurunan kualitas perairan. Keberadaan Waduk Bili-Bili yang melintang di tengah Sungai Jeneberang yang sangat dibutuhkan terutama masyarakat bagian hilir harus dapat diselamatkan untuk memenuhi keperluan irigasi, air baku, pengendali banjir, maupun untuk keperluan wisata dan nelayan waduk. Disamping itu aktifitas di daerah hulu juga harus ditata tanpa merugikan petani dari apa yang telah diperolehnya. Termasuk aktifitas pertambangan di daerah Sand-Pocket dan SaboDam juga harus diefektifkan pengelolaannya. Oleh karena itu dalam upaya pengendalian sedimentasi di waduk Bili-Bili, visi pembangunan berkelanjutan harus dapat diimplementasikan. Pembangunan berkelanjutan secara sederhana dapat diartikan bahwa apapun bentuknya pembangunan harus dapat melindungi lingkungan dimana ataupun di sekitar pembangunan dilaksanakan, tetapi sebaliknya ketika pembangunan sudah berjalan maka lingkungan juga berkewajiban yang sama yaitu harus dapat menyelamatkan
11 pembangunan, terutama proses operasionalnya. Demikian pula dengan keberadaan Waduk
Bili-Bili
disamping menjalankan
fungsinya,
juga
harus
dijaga
keselamatannya dari gangguan lingkungan baik itu yang bersumber dari aktifitas manusia maupun yang bersumber dari proses alam. Mengingat banyaknya pihak yang harus terlibat dalam penanganan pengendalian sedimentasi di waduk maka dilakukan pendekatan kesisteman dan kebijakan yang diharapkan dapat diterima oleh semua pihak. Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah tersebut terlihat bahwa ada keterkaitan fungsi waduk dengan dampak dari sedimentasi yang terjadi di daerah aliran waduk. Oleh karena itu, maka dalam konteks pengendalian sedimentasi di Waduk Bili-Bili, diajukan beberapa pertanyaan: 1. Bagaimana karakterikstik sumber sedimen Daerah Tangkapan Air Waduk BiliBili? 2. Bagaimana tingkat sedimentasi di Waduk Bili-Bili? 3. Bagaimana pola pengendalian bangunan pengendali sedimentasi Daerah Tangkapan Air Waduk Bili-Bili? 4. Bagaimana model sistem pengendalian sedimentasi di Waduk Bili-Bili? 1.4. Tujuan Penelitian Secara umum tujuan
penelitian ini adalah membangun model
pengendalian sedimentasi di Waduk Bili-Bili; untuk mencapai tujuan tersebut, maka dijabarkan beberapa tujuan antara penelitian yaitu: 1. Mengkaji karakteristik sumber sedimen Daerah Tangkapan Air Waduk dan tingkat sedimentasi di Waduk Bili-Bili 2. Mengidentifikasi pola pengendalian bangunan pengendali sedimentasi Daerah Tangkapan Air Waduk Bili-Bili 3. Membangun model sistem dinamik untuk efektifitas pengendalian sedimentasi di Waduk Bili-Bili 1.5. Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diperoleh pemangku kepentingan dari hasil penelitian ini adalah:
12 1. Bagi pemerintah merupakan bahan pertimbangan dalam memformulasi kebijakan pengendalian sedimentasi yang terjadi di Waduk Bili-Bili 2. Bagi masyarakat sebagai informasi dalam pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya perairan Waduk Bili-Bili 3. Bagi peneliti dan pendidik merupakan stimulus untuk pengembangan ilmu pengetahuan dalam menyelesaikan masalah sedimentasi waduk, khususnya di Waduk Bili-Bili. 1.6. Novelty (Kebaruan Gagasan) Penelitian ini bersandarkan pada metode pendekatan sistem dengan mengintegrasikan secara menyeluruh kepentingan para pelaku yang terlibat dalam sistem pengendalian sedimentasi. Oleh sebab itu kebaruan (novelty) dalam penelitian ini adalah pola pengendalian bangunan pengendali sedimen yang dapat dijabarkan pada: 1. Sistem pendekatan yang terpadu dengan menggunakan model dinamis, menggunakan teknik hard system methodology (kapasitas waduk, erosi dan beban sedimentasi) dan teknik soft system methodology. 2. Rancangan pola pengendalian sedimentasi waduk dengan mengutamakan mekanisme dan koordinasi antara pengelola waduk, masyarakat sekitar waduk dan masyarakat di hulu waduk.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Waduk Waduk adalah salah satu sumber air tawar yang menunjang kehidupan semua makhluk hidup dan kegiatan sosial ekonomi manusia. Ketersediaan sumber daya
air
mempunyai
peran
yang
sangat
mendasar
untuk
menunjang
pengembangan ekonomi wilayah. Sumberdaya air yang terbatas di suatu wilayah mempunyai implikasi kepada kegiatan pembangunan yang terbatas dan pada akhirnya kegiatan ekonomipun terbatas sehingga kemakmuran rakyat makin lama tercapai. Air waduk/danau digunakan untuk berbagai pemanfaatan antara lain sumber baku air minum, air irigasi, pembangkit listrik, perikanan dan lain-lain. Hal ini menjadikan pentingnya air tawar yang berasal dari waduk bagi kehidupan. Waduk sering juga disebut sebagai danau buatan yang besar. Komisi Dam Dunia menyebutkan bahwa bendungan/waduk adalah besar bila tinggi bendungan lebih dari 15 m. Sedangkan embung merupakan waduk kecil dengan tinggi bendungan kurang dari 15 m (Puslitbang SDA, 2008). Sistim tata air waduk berbeda dengan danau alami. Pada waduk komponen tata airnya umumnya telah direncanakan sedemikian rupa sehingga volume, kedalaman, luas, presipitasi, debit inflow/outflow waktu tinggal air diketahui dengan pasti. Pembangunan waduk diperuntukkan berbagai keperluan antara lain pembangkit listrik, irigasi, pengendalian banjir, sumber baku air minum, air industri, perikanan, tempat pariwisata. Saat ini jumlah tenaga listrik yang dihasilkan dari tenaga air yang berasal dari air waduk ada sebanyak 3,4% dari total kebutuhan nasional (Puslitbang SDA, 2008). Undang-Undang No.7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, terdiri dari 3 komponen utama yaitu konservasi, pemanfaatan dan pengendalian daya rusak air. Waduk yang merupakan sumberdaya air telah banyak mengalami penurunan fungsi dan kerusakan ekosistem. Hal ini disebabkan oleh karena pengelolaan waduk yang banyak mengalami kendala. Undang-Undang Sumber Daya Air telah mengamanatkan
untuk melakukan pengelolaan waduk dengan melakukan
konservasi, pemanfaatan dan pengendalian daya rusak air. Selain itu masih ada peraturan lain seperti PP. No.13 tahun 2010, tentang Pengelolaan Lingkungan
14 Hidup; PP. No. 32 Tahun 2012, tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, PP. No.82 Tahun 2001, tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air; PP. No.32 Tahun 1990 tentang Kawasan Lindung; Kepres No.123/2001, tentang Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air pada tingkat Propinsi, Wilayah Sungai, Kabupaten dan Kota serta Keputusan Menteri yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya air. Di dalam Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2010 Tentang Bendungan disebutkan bahwa waduk dibentuk untuk menyimpan air yang berlebih pada saat musim penghujan agar dapat dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan air dan daya air pada waktu diperlukan, serta mengendalikan daya rusak air sebagaimana dimaksud pada pasal 22, pasal 34 dan pasal 58 Undang-Undang No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Waduk selain dapat difungsikan sebagai penampung air juga dapat dilakukan untuk menampung limbah tambang (tailing) atau menampung lumpur dalam rangka menjaga keamanan serta keselamatan lingkungan hidup. Selanjutnya disebutkan untuk pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya meliputi: -
Bendungan dengan tinggi 15 m atau lebih diukur dari dasar pondasi terdalam
-
Bendungan dengan tinggi 10 m sampai dengan 15 m diukur dari dasar pondasi terdalam dengan ketentuan:
panjang puncak bendungan paling sedikit 500 m;
daya tampung waduk paling sedikit 500.000 m3; atau
debit banjir maksimal yang diperhitungkan paling sedikit 100.000 m3/dtk. atau
-
Bendungan yang mempunyai kesulitan khusus pada pondasi atau bendungan yang didisain menggunakan teknologi baru dan/atau bendungan yang mempunyai kelas bahaya tinggi. Walaupun sudah banyak undang-undang atau peraturan yang diundangkan
tentang pengelolaan sumberdaya air dan yang terkait dengan pengelolaan sumber daya air namun konservasi sumberdaya air, pengendalian daya rusak air terhadap sumberdaya air pada waduk, danau, situ, embung dan sungai masih jauh dari harapan baik dari segi kuantitas maupun dari segi kualitas airnya.
15
2.2. Erosi dan Longsor 2.2.1. Erosi Erosi adalah hilangnya atau terkikisnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat yang diangkut oleh air atau angin ke tempat lain. Pada peristiwa erosi, tanah atau bagian-bagian tanah pada suatu tempat terkikis dan terangkut dan selanjutnya akan diendapkan di tempat lain (Arsyad, 2006). Pada daerah yang beriklim basah menurut Arsyad (2006), faktor iklim yang paling mempengaruhi erosi dan aliran permukaan adalah hujan. Jumlah intensitas dan distribusi hujan menentukan kekuatan tumbukan hujan terhadap tanah, jumlah dan kecepatan aliran permukaan dan kerusakan erosi. Menurut Asdak (2004), proses erosi terdiri atas tiga bagian yang berurutan: pengelupasan (detachment), pengangkutan (transportation), dan pengendapan (sedimentation). Beberapa tipe erosi yang ditemukan untuk daerah tropis adalah: 1. erosi percikan (flash erosion), yaitu proses terkelupasnya partikel-partikel tanah bagian atas oleh tenaga kinetik air hujan bebas atau air lolos. 2. erosi permukaan (sheet erosion), yaitu erosi yang terjadi ketika lapisan tipis permukaan tanah di daerah berlereng terkikis oleh kombinasi air hujan dan air aliran (run off). 3. erosi alur (rill erosion), yaitu pengelupasan yang diikuti dengan pengangkutan partikel-partikel tanah oleh air aliran yang terkonsentrasi di dalam saluran air. 4. erosi parit (gully erosion), yaitu erosi yang membentuk jajaran parit yang lebih dalam dan lebar serta merupakan lanjutan dari erosi alur. 5. erosi tebing (streambank erosion), yaitu pengikisan tanah pada tebing-tebing sungai dan penggerusan dasar sungai oleh aliran air sungai. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya erosi adalah iklim, tanah, topografi, vegetasi dan pengelolaan. Faktor iklim yang besar pengaruhnya adalah hujan yang melalui tenaga kinetiknya menghancurkan partikel-partikel tanah dan kontribusinya terhadap aliran permukaan. Faktor tanah meliputi tekstur, struktur, infiltrasi dan kandungan bahan organik. Faktor topografi umumnya dinyatakan dalam kemiringan dan panjang lereng. Erosi akan meningkat dengan semakin
16 besarnya kemiringan dan panjang lereng. Pengaruh vegetasi penutup lahan terhadap erosi adalah melindungi permukaan tanah dari tumbukan air hujan, menurunkan kecepatan dan volume run off , menahan partikel-partikel tanah pada tempatnya melalui sistem perakaran dan serasah yang dihasilkan, serta mempertahankan kemantapan kapasitas tanah dalam menyerap air. Jika intensitas hujan lebih rendah dari kapasitas infiltrasi, maka semua hujan yang mencapai permukaan bumi akan terinfiltrasi. Pada saat intensitas hujan melebihi kapasitas infiltrasi, maka akan terjadi aliran permukaan yang menyebabkan terjadinya erosi. Dampak yang ditimbulkan akibat adanya erosi disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Dampak Erosi Tanah Dampak Langsung
Tidak langsung
Dampak di tempat kejadian erosi a. Kehilangan lapisan tanah yang baik bagi berjangkarnya akar tanaman b. Kehilangan unsur hara dan kerusakan struktur tanah c. Peningkatan penggunaan energi untuk produksi d. Kemerosotan produktifitas tanah atu bahkan menjadi tidak dapat dipergunakan untuk berproduksi e. Kerusakan bangunan konservasi dan bangunan lainnya f. Pemiskinan petani penggarap/ pemilik tanah a. Berkurangnya alternatif penggunaan tanah b. Timbulnya dorongan/tekanan untuk membuka lahan baru c. Timbulnya keperluan akan perbaikan lahan dan bangunan yang rusak
a.
b. c. d.
e. f.
Dampak diluar tempat kejadian erosi Pelumpuran dan pendangkalan waduk, sungai, saluran dan badan air lainnya Tertimbunnya lahan pertanian, jalan dan bangunan lainnya Menghilangkan mata air dan memburuknya kualitas air Kerusakan ekosistem perairan (tempat bertelur ikan, terumbu karang dan sebagainya) Kehilangan nyawa dan harta oleh banjir Meningkatnya frekuensi dan masa kekeringan
a. Kerugian oleh berkurangnya umur waduk b. Meningkatnya frekuensi dan besarnya banjir
Sumber: Arsyad (2006)
Untuk menentukan kebijakan penggunaan tanah dan tindakan konservasi yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah dan tanah dapat digunakan
17
secara produktif, maka perlu diperkirakan laju erosi yang terjadi dan menetapkan laju erosi yang dapat ditoleransi. Apabila jumlah tanah yang tererosi lebih besar dari jumlah tanah tererosi yang dapat ditoleransikan maka akan terjadi degradasi lahan, tetapi apabila jumlah tanah yang tererosi sama atau lebih kecil dari erosi yang dapat ditoleransikan maka tidak terjadi degradasi erosif. Prediksi erosi adalah alat bantu untuk mengetahui besarnya erosi yang akan terjadi pada suatu penggunaan lahan dengan pengelolaan tertentu dan untuk mengambil keputusan dalam perencanaan konservasi tanah. Batas Toleransi Erosi adalah nilai laju erosi terbesar yang masih dapat ditoleransikan agar tetap terpelihara suatu kedalaman tanah yang cukup bagi pertumbuhan tanaman sehingga memungkinkan tercapainya produktifitas yang tinggi. Nilai Batas Toleransi Erosi (T) ditentukan oleh kedalaman tanah, batuan pembentuk tanah, iklim dan sifat-sifat tanah yang mempengaruhi pertumbuhan akar tanaman. Selengkapnya disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Penetapan Nilai Batas Toleransi Erosi (T) No.
Sifat Tanah dan Substratum
Nilai T (ton/ha/tahun) mm/tahun
1.
Tanah dangkal di atas batuan
1,12
0,112
2.
Tanah dalam, di atas batuan
2,24
0,224
3.
Tanah dengan lapisan bawah padat, di atas substrata yang telah mengalami pelapukan
4,48
0,448
4.
Tanah dengan lapisan bawahnya berpermeabilitas sedang, di atas bahan yang tidak terkonsolidasi
8,96
0,896
5.
Tanah dengan lapisan bawahnya berpermeabilitas sedang, di atas bahan yang tidak terkonsolidasi
11,21
1,121
6.
Tanah dengan lapisan bawahnya permeabel (agak cepat), di atas bahan yang tidak terkonsolidasi
13,45
1,345
Sumber: Arsyad (2006)
Besarnya erosi aktual yang terjadi dapat memberikan gambaran apakah tingkat erosi yang terjadi pada suatu DAS sudah dalam tingkatan yang membahayakan atau tidak. Tingkat Bahaya Erosi (TBE) adalah perkiraan kehilangan tanah maksimum dibandingkan dengan tebal solum tanahnya pada setiap unit lahan bila teknik pengelolaan tanaman dan konservasi tidak mengalami
18 perubahan. Penentuan TBE menggunakan pendekatan tebal solum tanah yang telah ada dan besarnya erosi sebagai dasarnya. Semakin dangkal solum tanahnya berarti semakin sedikit tanah yang boleh tererosi, sehingga tingkat bahaya erosinya sudah cukup besar, meskipun tanah yang hilang belum terlalu besar. 2.2.2. Longsor Salah satu jenis tanah yang sering dijumpai di Indonesia adalah hasil letusan gunung api. Tanah ini memiliki komposisi sebagian besar lempung dengan sedikit pasir dan bersifat subur. Tanah yang berada diatas batuan kedap air pada perbukitan/punggungan dengan kemiringan sedang hingga terjal berpotensi mengakibatkan tanah longsor pada musim hujan dengan curah hujan berkuantitas tinggi. Longsoran (slide) merupakan gerakan material pembentuk lereng diakibatkan oleh terjadinya kegagalan geser, di sepanjang satu atau lebih bidang longsor. Massa tanah yang bergerak bisa menyatu atau terpecah-pecah. Perpindahan material total sebelum longsoran bergantung pada besarnya regangan untuk mencapai kuat geser puncaknya dan pada tebal zona longsornya (Hardiyatmo, 2006). Longsor adalah suatu bentuk erosi yang pengangkutan atau pemindahan atau gerakan tanah terjadi pada saat bersamaan dalam volume yang besar. Berbeda dengan bentuk erosi, pada tanah longsor pengangkutan tanah dalam volume besar terjadi sekaligus. Akan terjadi longsor jika terpenuhi tiga keadaan, yaitu: (1) lereng yang cukup curam sehingga volume dapat bergerak atau meluncur kebawah, (2) terdapat lapisan kedap air dan lunak di bawah permukaan tanah yang merupakan bidang luncur, (3) terdapat cukup air dalam tanah sehingga lapisan tanah tepat di atas lapisan kedap air menjadi jenuh (Arsyad, 2006). Menurut Kementrian ESDM (2008), jenis tanah longsor dibedakan atas 6 jenis, yaitu longsoran translasi, longsoran rotasi, pergerakan blok, runtuhan batu, rayapan tanah, dan aliran bahan rombakan. Jenis longsoran translasi dan rotasi paling banyak terjadi di Indonesia. Sedangkan longsoran yang paling banyak memakan korban jiwa manusia adalah aliran bahan rombakan. Longsoran translasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir yang berbentuk rata atau landai, adapun longsoran rotasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang yang cekung. Jika longsoran
19
terjadi karena perpindahan batuan yang bergerak pada bidang gelincir berbentuk rata disebut longsoran pergerakan blok, dan jika bergerak ke bawah dengan cara jatuh bebas disebut runtuhan batu. Longsoran rayapan tanah adalah jenis longsoran yang bergerak lambat sehingga hampir tidak dapat dikenali. Setelah waktu yang cukup lama longsor jenis rayapan ini bisa menyebabkan tiang-tiang telepon, pohon atau rumah menjadi miring ke bawah. Jenis tanah longsor akibat aliran bahan rombakan terjadi ketika massa tanah bergerak didorong oleh air. Kecepatan aliran tergantung pada kemiringan lereng, volume dan tekanan air, dan jenis materialnya. Gerakannya terjadi di sepanjang lembah dan mampu mencapai ratusan meter jauhnya. Aliran tanah ini dapat menelan korban cukup banyak. Untuk lebih jelasnya beberapa gambar jenis tanah longsor dapat dilihat pada Gambar 3.
Longsoran translasi
Longsoran rotasi
Longsoran pergerakan blok
Longsoran runtuhan batu
Longsoran rayapan tanah
Longsoran aliran bahan rombakan
Gambar 3 Jenis Tanah Longsor (Kementerian ESDM, 2008).
20 Menurut Hardiyatmo (2006) terdapat banyak faktor penyebab terjadinya longsoran seperti kondisi geologi dan hidrologi, topografi, iklim dan perubahan cuaca dapat mempengaruhi stabilitas lereng. Longsoran jarang terjadi hanya oleh satu sebab saja. Adapun sebab-sebab longsoran lereng alam yang sering terjadi menurut Kementrian ESDM (2008) dijelaskan antara lain: 1. Hujan Ancaman tanah longsor biasanya dimulai pada bulan November (awal musim hujan) karena meningkatnya intensitas curah hujan. Musim kering yang panjang akan menyebabkan terjadinya penguapan air di permukaan tanah dalam jumlah besar. Hal itu mengakibatkan munculnya pori-pori atau rongga tanah hingga terjadi retakan dan merekahnya tanah permukaan. Ketika hujan, air akan menyusup ke bagian yang retak sehingga tanah dengan cepat mengembang kembali. Pada awal musim hujan, intensitas hujan yang tinggi biasanya sering terjadi, sehingga kandungan air pada tanah menjadi jenuh dalam waktu singkat. Hujan lebat pada awal musim dapat menimbulkan longsor, karena melalui tanah yang merekah air akan masuk dan terakumulasi di bagian dasar lereng, sehingga menimbulkan gerakan lateral. Bila ada pepohonan di permukaannya, tanah longsor dapat dicegah karena air akan diserap oleh tumbuhan. Akar tumbuhan juga akan berfungsi mengikat tanah. 2. Lereng Terjal Lereng atau tebing yang terjal akan memperbesar gaya pendorong. Lereng yang terjal terbentuk karena pengikisan air sungai, mata air, air laut, dan angin. Kebanyakan sudut lereng yang menyebabkan longsor adalah 1800 apabila ujung lerengnya terjal dan bidang longsorannya mendatar. 3. Tanah yang Kurang Padat dan Tebal Jenis tanah yang kurang padat adalah tanah lempung atau tanah liat dengan ketebalan lebih dari 2,5 m dan sudut lereng lebih dari 220. Tanah jenis ini memiliki potensi untuk terjadinya tanah longsor terutama bila terjadi hujan. Selain itu tanah ini sangat rentan terhadap pergerakan tanah karena menjadi lembek terkena air dan pecah ketika hawa terlalu panas.
21
4. Batuan yang Kurang Kuat Batuan endapan gunung api dan batuan sedimen berukuran pasir dan campuran antara kerikil, pasir, dan lempung umumnya kurang kuat. Batuan tersebut akan mudah menjadi tanah bila mengalami proses pelapukan dan umumnya rentan terhadap tanah longsor bila terdapat pada lereng yang terjal. 5. Jenis Tata Guna Lahan Tanah longsor banyak terjadi di daerah penggunaan lahan persawahan, perladangan, dan adanya genangan air di lereng yang terjal. Pada lahan persawahan akarnya kurang kuat untuk mengikat butir tanah dan membuat tanah menjadi lembek dan jenuh dengan air sehingga mudah terjadi longsor. Sedangkan untuk daerah perladangan penyebabnya adalah karena akar pohonnya tidak dapat menembus bidang longsoran yang dalam dan umumnya terjadi di daerah
longsoran lama. 6. Getaran Getaran yang terjadi biasanya diakibatkan oleh gempa bumi, ledakan, getaran mesin, dan getaran lalu lintas kendaraan. Akibat yang ditimbulkannya adalah tanah, badan jalan, lantai, dan dinding rumah menjadi retak. 7. Adanya Material Timbunan pada Tebing Untuk mengembangkan dan memperluas lahan pemukiman, umumnya dilakukan pemotongan tebing dan penimbunan lembah. Tanah timbunan pada lembah tersebut belum terpadatkan sempurna seperti tanah asli yang berada di bawahnya. Sehingga apabila hujan akan terjadi penurunan tanah yang kemudian diikuti dengan retakan tanah. 8. Susut Muka Air Danau atau Bendungan Akibat susutnya muka air yang cepat di danau, maka gaya penahan lereng menjadi hilang, dengan sudut kemiringan waduk 2200 mudah terjadi longsoran dan penurunan tanah yang biasanya diikuti oleh retakan. 9. Bekas Longsoran Lama Longsoran lama umumnya terjadi selama dan setelah terjadi pengendapan material gunung api pada lereng yang relatif terjal atau pada saat atau sesudah terjadi patahan kulit bumi. Bekas longsoran lama memiliki ciri: adanya tebing terjal yang panjang melengkung membentuk tapal kuda, umumnya dijumpai mata
22 air, pepohonan yang relatif tebal karena tanahnya gembur dan subur, daerah badan longsor bagian atas umumnya relatif landai, adanya longsoran kecil terutama pada tebing lembah, adanya tebing-tebing relatif terjal yang merupakan bekas longsoran kecil pada longsoran lama, alur lembah dan pada tebingnya memiliki retakan dan longsoran kecil. Masalah stabilitas lereng baik yang secara alami maupun disebabkan oleh penggalian tanah, telah muncul di berbagai bidang kegiatan manusia, yang manakala stabilitas lereng terganggu, berbagai pergerakan tanah akan terjadi. Menurut Suparman et al. (2009) pergerakan tanah secara garis besar terdiri dari tanah gerak (landslide), tanah longsor (slope failure) dan aliran runtuhan (debris flow). Kejadian dan penyebab dari tanah gerak (landslide) dan tanah longsor (slope failure) dapat dibedakan berdasarkan berbagai kondisi melalui pengamatan yang cermat. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Kejadian dan Penyebab terjadinya Tanah Gerak dan Longsor Tanah Gerak (landslide)
Tanah Longsor (slope failure)
Kondisi Lahan
Seringkali terjadi di tempat-tempat yang kondisi geologisnya spesifik
Tidak banyak berhubungan dengan geologi
2
Karakteristik tanah
Luncuran terjadi dengan bidang luncur terutama pada tanah lempung
Sering terjadi pada tanah berpasir (decomposed granite, tanah atau vulkanis)
3
Topografi
Terjadi pada lereng landai dengan sudut 50-200 dan sangat sering membentuk suatu bidang datar seperti topografi di bagian hulu
Sering terjadi pada lereng curam dengan sudut kemiringan > 200
4
Kegiatan luncuran
Menerus dan berulang kali terjadi
Terjadi mendadak
5
Kecepatan perpindahan/ luncuran
Biasanya kecepatannya rendah 0,001 s/d 10 mm/hari
Kecepatan tinggi 10 mm/hari
6
Massa tanah
Perubahan massa tanah kecil, seringkali bergerak sambil mempertahankan bentuk aslinya
Massa tanah berubah bentuk
7
Penyebab longsoran
Pengaruh dari air tanah sangat besar
Disebabkan terutama oleh intensitas curah hujan
8
Ukuran longsoran
Ukurannya besar 1-100 ha
Kurang dari 1 ha
9
Indikasi
Perkembangan kejadian mulai dari retakan, penurunan, timbulnya air tanah dapat diamati sebelum longsoran
Terjadi mendadak dengan tanda-tanda yang tidak jelas
No
Uraian
1
Sumber: Suparman et al. (2009).
23
2.3. Sedimentasi Waduk 2.3.1. Laju Sedimen Tanah dan bagian-bagian tanah yang terangkut dari suatu tempat yang tererosi secara umum disebut sedimen. Sebagian saja dari sedimen yang akan sampai dan masuk ke dalam sungai dan terbawa keluar daerah tampung atau daerah aliran sungai. Nisbah jumlah sedimen yang betul-betul terbawa oleh sungai dari suatu daerah terhadap jumlah tanah yang tererosi dari daerah tersebut, dinamakan Nisbah Pelepasan Sedimen (NPS) atau Sediment Delivered Ratio (SDR). Nilai NPS yang mendekati satu artinya semua tanah yang tererosi masuk ke dalam sungai hanya mungkin terjadi pada daerah aliran sungai kecil dan yang tidak mempunyai daerah-daerah datar atau yang memiliki lereng-lereng curam, banyak butir-butir tanah halus yang terangkut, kerapatan drainase yang tinggi, atau secara umum dikatakan tidak memiliki sifat yang cenderung menghambat pengendapan sedimen di dalam daerah aliran (Arsyad, 2006). Sedimen yang dihasilkan oleh proses erosi dan terbawa oleh suatu aliran akan diendapkan pada suatu tempat yang kecepatan airnya melambat atau terhenti. Proses ini yang dikenal dengan sedimentasi atau pengendapan, atau proses yang menyebabkan terbentuknya dataran-dataran aluvial yang luas yang pada banyak tempat di dunia merupakan pendukung perkembangan pertanian. Namun demikian, sedimen yang dihasilkan oleh tererosinya tanah yang salah dalam pengelolaannya akan menimbulkan masalah. Sedimentasi adalah proses pengendapan sedimen hasil proses erosi, baik berupa erosi permukaan, erosi parit atau erosi tanah lainnya yang terjadi di dasardasar waduk, sungai, muara sungai dan laut. Sedimen yang terbawa sampai masuk ke dalam waduk atau danau sebagian akan terendap dalam waduk atau danau tersebut dan sebagian akan terbawa oleh air yang mengalir keluar. Bagian dari sedimen yang mengendap di dalam waduk menunjukkan efisiensi waduk dalam menangkap sedimen. Kemampuan waduk untuk menahan dan mengendapkan sedimen tersebut disebut keefisienan perangkap atau trap efficiency, yang dinyatakan dalam persen terhadap banyaknya sedimen yang terbawa aliran masuk. Efisiensi perangkap tergantung pada sifat-sifat sedimen (distribusi ukuran butir) dan laju aliran melalui waduk (Arsyad, 2006).
24 Volume sedimen yang masuk ke dalam waduk dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut ini (Sukartaatmadja, 2004): a. Musim, yaitu besarnya curah hujan dan adanya limpasan (runoff). Kemampuan curah hujan menimbulkan erosi pada tanah didasarkan pada besarnya curah hujan, intensitas hujan dan penyebaran hujan. Hal tersebut menentukan kekuatan aliran permukaan, sehingga menyebabkan erosi permukaan yang masuk ke dalam aliran sungai dan akhirnya mengalir dan masuk ke waduk. b. Vegetasi pada daerah pengaliran. Hal ini berkaitan dengan besarnya erosi tanah (erosi permukaan) yang diakibatkan tidak adanya pengelolaan tanaman sebagai pelindung tanah. Penanaman tumbuhan pada daerah aliran sungai dan sekitar waduk yang tidak dikelola dengan baik dan dalam jumlah yang sedikit akan semakin memudahkan terjadinya erosi permukaan akibat adanya pengikisan permukaan tanah secara langsung. c. Geologi dan sifat tanah permukaan. Laju sedimentasi tergantung pada kondisi geologi (sifat batuan) dan erosi permukaan juga tergantung dari sifat tanah permukaan, seperti struktur tanah dan permeabilitas tanah. d. Kemiringan tanah dan sungai, yaitu berkaitan dengan panjang kemiringan dan besarnya kemiringan. Semakin panjang dan besar kemiringan tanah, maka erosi permukaan akan semakin besar, sehingga mengakibatkan bertambahnya sedimen yang masuk ke dalam waduk. e. Aktifitas manusia dan pengelolaan lahan, yaitu kegiatan manusia dengan pembuatan bangunan serta pekerjaan yang dilakukan di dalam alur sungai ataupun yang berhubungan dengan pola penggarapan lahan yang baik, misalnya dengan terasering dan penanaman sejajar (berpola), dimana hal ini dapat mengurangi terjadinya kehilangan tanah akibat erosi permukaan. f. Karakteristik waduk, yaitu kapasitas, kedalaman, fluktuasi permukaan air yang terdapat di dalamnya. 2.3.2. Prediksi Sedimentasi Waduk Seperti diketahui bahwa proses erosi yang terjadi di daerah hulu DAS akan terangkut oleh air ke dalam alur-alur selanjutnya terbawa ke sungai, danau atau
25
waduk dalam bentuk sedimen. Proses pengangkutan sedimen dalam alur sungai terdiri dari tiga tipe sebagai berikut (Mulyanto, 2000): 1. Wash load (sedimen cuci) yang terdiri dari lanau dan debu yang terbawa ke dalam sungai dan tetap melayang sampai mencapai laut atau genangan air lainnya. 2. Suspended load (sedimen melayang) yang terutama terdiri dari pasir halus yang melayang di dalam aliran karena tersangga oleh turbulensi aliran air. 3. Bed load (sedimen dasar) dengan butiran yang lebih besar yang bergerak di bagian dasar sungai. Sedimen yang terangkut dalam alur-alur sungai dapat mencapai laut atau mengendap di tempat lain misalnya pada bendungan atau waduk. Akibat adanya waduk, aliran akan mengalami perlambatan dan terjadi backwater positif yang berakibat mengecilnya kapasitas transpor sedimen sehingga terjadi proses sedimentasi (pengendapan). Jenis sedimen suspended load dapat berubah menjadi tipe bed load, misalnya akibat berkurangnya turbulensi. Dengan demikian potensi suspended load mengendap pada waduk semakin besar, bahkan akibat aliran yang sangat lambat, sedimen tipe wash load pun akan mengendap. Informasi besarnya sedimen yang masuk ke dalam waduk dapat diperoleh dari prediksi yang dilakukan dengan menggunakan berbagai metode sebagai berikut (Kironoto, 2007): 1. Perhitungan berdasarkan angkutan sedimen di sungai. Jumlah sedimen yang masuk ke dalam waduk merupakan jumlah absolut dari bed load dan suspended load. Perhitungan bed load dilakukan dengan pendekatan berdasarkan rumus-rumus empirik atau berdasarkan prosentase suspended load (menggunakan Tabel Meddock). Dapat juga dilakukan dengan pengukuran langsung di lapangan. Perhitungan debit suspensi diperoleh dari kurva durasi debit yang merupakan kurva korelasi debit sedimen suspensi dan debit aliran. Debit sedimen suspensi diperoleh dari pengukuran konsentrasi suspensi pada debit-debit aliran tertentu. 2. Pengukuran Echosounding di waduk. Alat Echosounder digunakan untuk mengukur kedalaman waduk. Pengukuran dilakukan pada berbagai titik dengan pola tertentu. Dengan titik-titik
26 kedalaman tersebut dapat diperkirakan volume tampung waduk. Perhitungan sedimentasi waduk dengan metode ini dilakukan dengan membandingkan pengukuran volume waduk dengan pengukuran yang dilakukan sebelumnya. Dengan demikian dari metode ini akan diperoleh besaran aktual sedimentasi yang terjadi di waduk. 3. Perhitungan erosi di daerah tangkapan waduk. Laju erosi lahan daerah tangkapan waduk dapat diperkirakan dengan berbagai rumus pendekatan diantaranya The Universal Soil Loss Equation (USLE), metode Fournier, metode Soil Erosion Design Curve. Persamaan USLE dipengaruhi oleh faktor curah hujan dan aliran permukaan (erosivitas hujan) R, erodibilitas tanah K, faktor kemiringan lereng LS, faktor vegetasi penutup tanah C, dan faktor tindakan- konservasi tanah P. Metode Soil Erosion Design Curve memperhitungkan faktor berupa kemiringan daerah tangkapan, iklim, tipe tanah dan frekuensi pengolahan tanah. Sedimen yang terbawa oleh sungai alam akan lebih sedikit dibandingkan dengan erosi total dari bagian hulu DAS yang ditinjau. Sedimen terdeposit pada lokasi antara sumber dan potongan melintang sungai bilamana kapasitas debit tidak cukup untuk mempertahankan transpor sedimen. Rasio pengantaran sedimen (Sedimen Delivery Ratio) merupakan perbandingan antara hasil (yield) sedimen pada potongan melintang sungai yang diketahui dengan erosi total (gross erosion) dari DAS sebelah hulu potongan tersebut (Kodoatie et al., 2002). Tidak semua sedimen yang masuk ke dalam waduk diendapkan di dasar waduk, akan tetapi sebagian sedimen tersebut (terutama suspended load), akan keluar dari waduk melalui sistem pelepasan air maupun bangunan pelimpah. Sedimen yang masuk ke dalam waduk tidak terdistribusi merata di dasar waduk. Butiran sedimen yang lebih besar cenderung mengendap didekat hulu waduk sedangkan yang lebih halus akan mengendap relatif dekat dengan hilir waduk. Menurut Arsyad (2006) hasil sedimen dari suatu DAS yang masuk ke dalam waduk dapat ditentukan melalui survey sedimentasi pada waduk. Dengan memperkirakan tebalnya endapan pada berbagai tempat di waduk dapat ditetapkan volume sedimen. Selanjutnya dengan menggunakan nilai kemampuan waduk dalam menahan dan mengendapkan sedimen atau efisiensi perangkap waduk
27
(Trap Efficiency of Reservoirs) dapat ditentukan banyaknya sedimen yang masuk ke dalam waduk yaitu sedimen yang berasal dari bagian hulu DAS. Sukartaatmadja (2004) juga mengemukakan metode perhitungan untuk memperkirakan volume sedimen-sedimen yang akan ditampung oleh waduk dalam kapasitas matinya, sepanjang umur efektif waduk adalah: 1.
Perhitungan perkiraan volume sedimen berdasarkan metode perbandingan. Perhitungan akan dilakukan berdasarkan perbandingan dengan sedimentasi sesungguhnya yang terjadi pada waduk-waduk yang sudah ada, baik pada sungai dimana direncanakan akan dibangun bendungan, maupun sungai yang terdapat di sekitarnya.
2.
Perhitungan perkiraan volume sedimen dengan menggunakan data dari waduk-waduk lapangan.
3.
Perhitungan
perkiraan
dengan
mengunakan
rumus
empiris
yang
mengklasifikan perimbangan susunan geologi di daerah pengaliran, kapasitas curah hujan tahunan, temperatur, kondisi topografi dan lain-lain. 2.4. Bangunan Pengendali Sedimen 2.4.1. Sabo Dam dan Fungsinya Pergeseran pemahaman dari bahasa aslinya (Jepang) Sabo yang berarti pencegah pasir menjadi bangunan konservasi air menunjukkan keberhasilan pembangunan bukan saja secara struktural tetapi juga sosial. Fungsi utama bangunan sabo dam adalah untuk mengontrol sedimen, namun demikian dengan sedikit modifikasi dapat difungsikan juga sebagai bendung irigasi, jembatan penghubung dan mikrohidro. Saat ini Sabo sudah menjadi milik masyarakat, karena masyarakat sekitar sabo senantiasa menjaga keberadaan pasir di sabo dari eksploitasi berlebihan untuk menjaga lingkungan. Daerah tangkapan pasir (kantong pasir) yang telah hijau mengandung air yang memicu pertumbuhan tanaman jangka pendek dan jangka panjang. Keberadaan tanaman memungkinkan perkembangan fauna di sekitar daerah sabo. Di sini infrastruktur sabo dikembalikan pada perannya sebagai
bentuk
berkelanjutan.
pencapaian
pemberdayaan
lingkungan
secara
arif
dan
28 Sabo adalah salah satu bangunan pengendali sedimen yang dianggap dapat mengkombinasikan fungsi struktur dan konservasi. Bangunan sabo dikenal sebagai penahan sedimen baik lahar dingin maupun sedimen hasil longsoran tanah atau erosi permukaan. Saat ini keberhasilan sabo untuk sebagai konservasi air dapat diandalkan karena bukan hanya sebagai pengendali sedimen tetapi justru dapat berfungsi sebagai penyimpan air dan mampu menaikkan elevasi muka air sekitarnya (Triatmadja, 2007). Bangunan Sabo atau Sabo Works adalah sistem pengendalian sedimen untuk mengatasi adanya aliran debris atau aliran air yang mempunyai kecepatan tinggi yang membawa bahan-bahan sedimen campuran terdiri dari berbagai material seperti batu, tanah, pasir dan batang kayu. Aliran debris dapat terjadi karena rusaknya lingkungan di daerah tersebut, curah hujan yang tinggi, faktor pengaliran karena daerah tersebut gundul, dan kemiringan lereng yang terjal. Tabel 5 Macam dan Fungsi Bangunan Sabo No
Macam
Fungsi Utama
1.
Dam penahan bertingkat (stepped dam)
1. Mencegah erosi vertikal dan horisontal 2. Mencegah perluasan galur
2.
Dam pengendali (check dam)
3.
Dam stabilisator (consolidation dam /bottom controller) Kantong sedimen (sand pocket) Kanalisasi (channel works) Tanggul pengarah (training dike) Lindungan tebing (bank protection)
1. Mengendalikan sedimen: menahan, menampung, mengontrol 2. Memperkecil energi aliran debris 3. Mereduksi debit puncak sedimen 1. Menstabilkan dasar 2. Mengarahkan aliran
4.
5. 6.
7.
1. Mencegah penyebaran aliran sedimen 2. Menampung sedimen - Menstabilkan alur sungai agar tidak berpindah 1. Mencegah limpasan sedimen/ debris 2. Mengarahkan aliran sedimen / debris - Melindungi tebing terhadap erosi
Lokasi - Di daerah hulu pada galur sungai dengan bentuk profil huruf V - Pada palung sungai - Bentuk profil U - Disebelah hilir dasar yang distabilisasi - Kipas alluvial
- Kipas alluvial - Tempat-tempat rawan limpasan - Pada tebing yang rawan terhadap erosi
Menurut Subarkah dan Rahayu (2005) prinsip dasar dari usaha pengendalian sedimen adalah mencegah produksi sedimen karena erosi lateral dan
29
vertikal, menampung dan mengontrol aliran sedimen, menetapkan dan menstabilkan alur sungai, dan mengelola sedimen yang tertampung pada banguna sabo. Konstruksi banguan sabo pada umumnya menggunakan pondasi mengambang (floating foundation) yaitu pondasi dibangun pada dasar sungai yang terbentuk oleh endapan sedimen lepas yang tidak terkonsolidasi. Adapun penempatan bangunan sabo harus disesuaikan berdasarkan fungsi utama dan lokasinya. Selanjutnya beberapa jenis bangunan sabo dan fungsinya disajikan dalam Tabel 5. Berdasarkan kegiatan
struktur bangunan
sabo sebagai
bangunan
pengendali sedimen terdapat berbagai macam tipe bangunan dan fungsinya sebagai berikut (Suparman et al., 2009): a. Sabo Dam / Cekdam (Dam Pengendali Sedimen) adalah bangunan yang dibuat melintang sungai yang fungsinya adalah untuk menahan sedimen yang mengalir dan ada di tempat tersebut, menahan sedimen dan mengendalikan aliran sedimen, mencegah erosi tebing serta dasar sungai, mengurangi kecepatan banjir lahar akibat dasar sungai menjadi lebih landai. Jika cekdam sudah penuh dan kemudian terjadi lagi aliran sedimen maka cekdam akan menahan sementara sebagian material yang mengalir dan pada waktu tidak banjir maka sedimen yang tertahan akan dilepas turun sedikit demi sedikit bersama aliran air. Cek dam dibangun di bagian hulu sungai yang mempunyai tebing yang tinggi sehingga mempunyai daya tamping material yang besar. b. Dam Konsolidasi adalah bangunan sabo dam yang sama seperti dam penahan sedimen, dibuat melintang sungai hanya dengan ukuran yang lebih kecil. Adapun fungsi tipe ini adalah untuk memantapkan elevasi dasar sungai yang ada agar tidak tergerus. Pembuatan Dam Konsolidasi dimaksudkan untuk melindungi bangunan yang ada di bagian hulu misalnya jembatan, perkuatan tebing dan bahkan dapat dipergunakan juga untuk pengambilan air irigasi atau juga dapat digunakan sebagai jembatan diwaktu tidak terjadi banjir. c. Kantong Pasir/Lahar adalah bangunan yang dibuat dengan maksud untuk menampung material. Bangunan ini dibuat lebih ke hilir dari cekdam, ditempat yang agak datar dimana sedimen pernah menyebar karena tebing sungai sudah tidak tinggi lagi.
30 Konstruksi Kantong Pasir terdiri dari tanggul di kanan kiri sungai serta tanggul yang melintang sungai. Kemudian dibagian aliran sungai dipasang overflow atau pelimpas yang berfungsi untuk tempat jalannya aliran air sungai yang konstruksinya mirip dengan dam konsolidasi. Apabila isi kantong pasir ini sudah penuh perlu dikosongkan lagi dengan cara melakukan penggalian. Bahan galian tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan untuk berbagai keperluan. 2.4.2. Bentuk dan Tipe Sabo Dam Bentuk sabo dam sangat bervariasi, tergantung kondisi dan situasi setempat, antara lain: konfigurasi palung sungai (sempit, lebar, dalam atau dangkal) dan jenis material sedimen (pasir, kerikil, batau atau tanah) serta fungsi sampingannnya. Bentuk tipikal sabo dam yang banyak dijumpai di Indonesia adalah kategori impermeable, karena air turut tertampung bersama material sedimen terutama yang berdiameter cukup besar seperti batu dalam berbagai ukuran. Bagian-bagian sabo dam antara lain: puncak dam, pelimpah, sayap, apron, sub dam, lubang drip, dinding apron dan cut off (lihat Lampiran 1). Berdasarkan fungsinya, bangunan sabo dibedakan atas dua tipe bangunan yaitu (Subarkah, 2005): 1. Bangunan sabo tipe tertutup Bangunan sabo tipe tertutup sangat efektif untuk menahan, menampung dan mereduksi aliran sedimen. Aliran sedimen mengisi ruang tampung secara cepat maupun lambt tergantung skala dan interval banjir. Namun apabila volume tampung sudah penuh sedimen, fungsi utamanya hanya sebagai penahan dan pereduksi debit puncak sedimen karena fungsi tampung sudah nol. Fenomena pengisian ruang tampung sabo berpengaruh terhadap proses penurunan dasar sungai di bagian hilir karena suplai sedimen berkurang menyebabkan keseimbangan aliran sedimen terganggu. Sketsa bangunan sabo dam tipe tertutup dapat dilihat pada Gambar 4. 2. Bangunan sabo tipe terbuka Bangunan sabo dam tipe terbuka pada umumnya mempunyai dua macam bentuk yaitu “slit” (celah) dan bentuk “grid”. Prinsip tipe terbuka adalah “maindam” diberi lubang sesuai dengan persyaratan agar mampu mengalirkan
31
sedimen ke hilir secara perlahan dan bertahap pada saat banjir besar maupun banjir kecil. Sabo dam terbuka dengan bentuk celah sangat efektif untuk mereduksi debit puncak sedimen karena volume control dapat direncanakan dengan menentukan dimensi dan jumlah celah. Sabo dam terbuka dengan bentuk “grid” pada umumnya dibuat dari pipa baja atau rangka baja. Pada debit kecil dan sedang, material sedimen akan lolos ke hilir. Namun pada saat terjadi aliran debris, sabo dam tipe ini sangat efektif untuk menangkap batu besar dan batang kayu yang terangkut oleh banjir, sedangkan material sedimen berbutir kecil lolos ke hilir. Sketsa bangunan sabo dam tipe terbuka dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 4. Bangunan Sabo Dam Tipe Tertutup
Gambar 5 Bangunan Sabo Dam Tipe Terbuka.
32 Adapun tipe bangunan sabo untuk daerah non vulkanik sama dengan bangunan untuk daerah vulkanik, dimana bangunan yang dibuat adalah, sabo dam, groundsill, revetment, channel works, dan sebagainya. Bangunan sabo di daerah non vulkanik diklasifikasikan sebagai berikut (Suparman et al., 2009): 1. Bangunan untuk menahan debris/sedimen di daerah sedimen: dam, hillside works 2. Bangunan untuk menahan debris/sedimen di tebing: groundsill, revetment 3. Bangunan untuk menahan debris/sedimen di dasar sungai: dam, groundsill, channel works 4. Bangunan untuk menampung debris/sedimen di sungai: dam, sand pocket 5. Bangunan untuk mengatur aliran debris/sedimen: dam, groundsill 2.5. Upaya Pengendalian Sedimentasi Waduk Permasalahan sedimentasi waduk banyak terjadi di Indonesia yang berdampak pada pengurangan usia operasi waduk. Pemerintah telah memberikan acuan pengelolaan waduk dalam bentuk Pedoman Pengelolaan Sedimentasi Waduk. Dalam pedoman tersebut, kegiatan pengelolaan sedimentasi waduk dikelompokkan dalam 3 (tiga) kegiatan usaha yaitu (Mukhlisin,2007): 1. Meminimalkan beban sedimen yang masuk ke dalam waduk, 2. Meminimalkan jumlah sedimen yang mengendap (sedimentasi) di dalam waduk, 3. Mengeluarkan endapan sedimen dari waduk. Adapun alternatif penanganan tersebut dapat dilakukan dengan cara: (a) penangkapan sedimen di bagian hulu waduk, (b) pengalihan sedimen yang menuju waduk, (c) pelewatan sedimen yang masuk ke tampungan waduk, (d) penggelontoran sedimen di waduk, (e) pemindahan sedimen dari waduk dengan cara mekanis, (f) penanganan secara vegetatif, dan (g) penanganan secara sosial. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi dampak permasalahan berkaitan dengan sedimentasi pada waduk yang semakin kompleks. Secara umum upaya tersebut dilakukan dengan cara vegetatif dan mekanik. Metode konservasi lahan sebagai salah satu upaya penanganan permasalahan sedimentasi waduk diharapkan mampu mencegah atau mengurangi laju erosi. Erosi tanah di bagian hulu dan bagian pertengahan DAS merupakan sumber utama sedimentasi,
33
sehingga konservasi air dan tanah merupakan langkah mendasar untuk mengurangi jumlah sedimentasi yang masuk ke dalam waduk (Jian et al. 2002). Upaya konservasi lahan bukanlah upaya yang mudah, mengingat upaya ini berkaitan langsung dengan masyarakat di daerah tangkapan waduk. Berbagai aspek yang ada dalam masyarakat tidak dapat dipisahkan dari upaya konservasi lahan. Aspek ekonomi, sosial budaya dan berbagai aspek lain akan saling terkait. Disamping itu, usaha ini merupakan usaha jangka panjang yang membutuhkan waktu lama dan keberhasilannya sangat dipengaruhi oleh keberlanjutan (sustainability) usaha ini. 2.5.1. Cara Vegetatif (Non Struktural) Teknik vegetatif adalah upaya pengendalian sedimentasi waduk dengan menekankan pada kegiatan pencegahan erosi melalui penanaman vegetasi pada daerah hulu waduk. Mempertahankan keberadaan vegetasi penutup tanah adalah cara yang paling efektif dan ekonomis dalam usaha mencegah terjadi dan meluasnya erosi permukaan. Secara umum keberhasilan penanaman vegetasi untuk tujuan konservasi tanah akan ditentukan oleh keadaan sebagai berikut (Asdak, 2004): 1.
Tanah (antara lain kesuburan, kedalaman) dan curah hujan harus cukup memadai untuk menjamin kelangsungan tumbuh vegetasi. Curah hujan yang lebih tinggi di daerah dengan tipe tanah lempung (clay) umumnya lebih menjamin pertumbuhan tanaman daripada tanah dengan tipe pasir.
2.
Jenis tanaman yang mudah beradaptasi dengan lingkungan setempat atau jenis spesies vegetasi lokal harus diprioritaskan penanamannya.
3.
Jumlah biji vegetasi yang akan ditanam harus cukup, disiapkan dengan baik dan ditanam dengan kedalaman yang memadai. Biji kecil ditanam lebih dangkal daripada biji yang besar. Penanaman biji juga harus dilakukan pada saat kelembaban tanah cukup tersedia. Kartasapoetra (2000) menjelaskan bahwa cara vegetatif atau cara
memanfaatkan peranan tanaman dalam usaha pengendalian erosi dan atau pengawetan tanah dalam pelaksanaannya dapat meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut: (1) Penghutanan kembali (reboisasi) dan penghijauan, yaitu tanah-tanah yang gundul akibat perusakan hutan dan tanaman keras lainnya, diperbaiki dan
34 dipulihkan kembali kelestariannya; (2) Penanaman tanaman penutup tanah dengan maksud untuk melindungi permukaan tanah dari daya dispersi dan daya penghancuran dari butir-butir hujan; (3) penanaman secara kontur, yaitu penanaman tanaman yang searah atau sejajar dengan garis kontur; (4) penanaman tanaman secara larikan (strip cropping), yaitu dengan membuat larikan-larikan yang searah dengan garis kontur sehingga dapat memperlambat lajunya aliran permukaan; (5) penggiliran tanaman (crop rotation) yaitu sistem bercocok tanam pada sebidang tanah yang terdiri dari beberapa macam tanaman yang ditanam secara berturut-turut pada waktu tertentu, setelah masa panennya kembali lagi pada tanaman semula; dan (6) penggunaan serasah (mulching) yaitu dengan menutupi permukaan tanah dengan serasah atau sisa-sisa tanaman. 2.5.2. Cara Mekanik (Struktural) Upaya struktural dilakukan dengan membuat bangunan-bangunan struktur untuk mencegah terjadi erosi atau untuk mencegah masuknya sedimen ke dalam waduk atau untuk membuang sedimen yang masuk ke dalam waduk. Cara ini dilakukan bila secara vegetatif sudah tidak efektif lagi (kemiringan lereng cukup besar, di atas 15o). Cara ini bertujuan untuk mengurangi kecepatan aliran yang melalui parit-parit akibat erosi. Mukhlisin (2007) menyebutkan berbagai upaya untuk pengendalian sedimentasi waduk secara mekanik antara lain sebagai berikut: 1. Mengurangi input sedimen dengan bangunan pengontrol erosi, check dam, sand trap dan bangunan sejenisnya. 2. Bypass sediment inflow dengan bypass tunnel atau bypass channel. 3. Pelepasan deposit sedimen melalui pembuangan dengan excavator, dredging, flushing. 4. Mensuplai sedimen ke hilir dengan bypass tunnel, bypass channel, flushing dan dredging. Pendekatan dengan metode penggelontoran (flushing) cocok dilakukan untuk waduk dengan laju sedimentasi tinggi, akan tetapi dampak lingkungan harus dipertimbangkan secara menyeluruh apabila metode ini akan dilakukan (Jian Jiu, 2002).
35
Subarkah (2005) menyebutkan bahwa untuk pengendalian sedimen dapat dilakukan beberapa prinsip dasarnya yaitu dengan: (1) melakukan pencegahan produksi sedimen akibat erosi lateral dan vertikal, (2) menampung dan mengontrol aliran sedimen, (3) menetapkan dan menstabilkan alur sungai, (4) mengelola sedimen yang tertampung pada bangunan sabo. Selanjutnya, pengendalian sedimen dengan bangunan pengontrol erosi seperti check dam termasuk sabo mempunyai fungsi untuk mengontrol aliran sedimen pada saat terjadi banjir besar dengan cara mereduksi debit puncak sedimen. Konstruksi check dam yang dibangun melintang sungai akan membentuk dasar sungai yang lebih landai setelah check dam terisi sedimen dan membentuk penampang sungai yang lebih kecil. Pengaruh dari kemiringan dasar yang lebih landai dan penyempitan penampang sungai menyebabkan kecepatan banjir menjadi berkurang. Akibat berkurangnya kecepatan banjir menyebabkan sejumlah sedimen yang mengalir mengendap sementara di bagian hulu check dam sebagai volume kontrol. Kemudian pada saat banjir kecil (banjir tahunan) aliran air akan mengangkut endapan sedimen tersebut ke hilir sedikit demi sedikit secara alami. 2.5.3. Kombinasi Vegetatif dan Mekanik Teknik pencegahan erosi yang paling efektif adalah kombinasi dari teknik atau cara vegetatif dan cara mekanik (Asdak, 2004). Kedua cara tersebut bersifat saling mendukung. Usaha untuk memantapkan jurang yang disebabkan oleh erosi parit, misalnya, diperlukan penanaman vegetasi. Untuk dapat tumbuh dengan baik, vegetasi tersebut memerlukan pra kondisi, yaitu keadaan tanah yang stabil. Keadaan ini dapat diwujudkan dengan bantuan bangunan mekanik, seperti dinding penahan. Salah satu bangunan pengendali sedimen yang dianggap dapat mengkombinasikan fungsi vegetasi dan mekanik adalah sabo. Kegiatan Sabo Works adalah pekerjaan pengendalian/penanggulangan sedimen perusak dengan membangun beberapa fasilitas bangunan sabo pada alur sungai curam untuk menjaga sungai agar senantiasa dalam kondisi seimbang. Adapun untuk non konstruksi adalah pekerjaan pengendalian/ penanggulangan sedimen perusak dengan cara vegetasi, terasering, pengaturan tata guna lahan.
36 2.6. Sistem dan Pendekatan Sistem Manetsch
dan
Park
(1977)
mengartikan
sistem
sebagai
suatu
interkoneksitas antar elemen-elemen dan terorganisasi menuju satu tujuan atau beberapa tujuan. Secara teoritis komponen dalam suatu sistem saling berhubungan dan memiliki ketergantungan antar komponen. Sistem harus dipandang scara keseluruhan dan bersifat sebagai pengejar sasaran (goal seeking) sehingga terjadi keseimbangan untuk mencapai tujuan. Suwarto (2006) menyatakan bahwa suatu sistem didefenisikan sebagai himpunan atau kombinasi dari bagian-bagian yang membentuk suatu kesatuan kompleks. Namun tidak semua kumpulan dan gugus bagian dapat disebut suatu sistem kalau tidak memenuhi syarat adanya kesatuan (unity), hubungan fungsional, dan tujuan yang berguna. Eriyatno (2003) menjelaskan elemen atau komponen sistem adalah unsur (entily) yang mempunyai tujuan atau realitas fisik. Elemen mempunyai atribut berupa nilai bilangan, formula intensitas atau suatu keadaan fisik seperti seseorang, mesin, organisasi. Muhammadi et al. (2001), menyatakan unsur adalah benda, baik kongkirit maupun abstrak yang menyusun obyek sistem. Interaksi atau hubungan menyatakan apabila ada perubahan pada atribut suatu elemen akan mengakibatkan perubahan dalam atribut elemen yang terkait (Eriyatno, 2003). Muhammadi et al. (2001), interaksi adalah pengikat atau penghubung antar unsur yang memberi bentuk atau struktur kepada objek dan mempengaruhi perilaku dari objek. Menurut Manetsch dan Park (1977) sistem secara garis besar dibagi menjadi dua pengertian yaitu: 1. sistem sebagai entitas (wujud) sistem merupakan suatu himpunan bagian yang saling berkaitan yang membentuk satu keseluruhan yang rumit atau kompleks tetapi merupakan satu kesatuan. Contoh wujud: alam semesta, manusia, mobil dan lain-lain. Menganggap sistem sebagai suatu entitas pada dasarnya bersifat deskriptif. 2. sistem sebagai suatu metode sistem diartikan sebagai tata cara (prosedur) yang bersifat preskriptif. Selain keteraturan dan ketertiban juga memiliki makna adanya pendekatan rasional dan
37
logik dalam mencapai tujuan. Pengertian sistem sebagai suatu metode dikenal dalam pengertian umum sebagai pendekatan sistem (system approach). Untuk dapat bekerja sempurna suatu pendekatan sistem mempunyai delapan unsur yang meliputi (1) metodologi untuk perencanaan dan pengelolaan, (2) suatu tim yang multidisipliner, (3) pengorganisasian, (4) disiplin untuk bidang yang non-kuantitatif, (5) teknik model matematik, (6) teknik simulasi, (7) teknik optimasi, dan (8) aplikasi komputer. Salah satu unsur yang penting adalah aplikasi manajerial pada metodologi perencanaan, pengendalian, dan pengelolaan sistem. Proses tersebut melalui beberapa tahap yang dimulai dengan mendefenisikan kebutuhan (Suwarto,2006). Mulai
Analisis kebutuhan stakeholders
tidak Absah ? ya
Formulasi masalah tidak Absah ? ya Identifikasi sistem tidak Absah ? ya Pemodelan sistem tidak Absah ? ya Verifikasi dan validasi tidak Absah ? selesai
ya
Gambar 6 Tahapan Pendekatan Sistem (Eriyatno, 2003). Pendekatan sistem memberikan penyelesaian masalah dengan metode dan alat yang mampu mengidentifikasi, menganalisis, mensimulasi dan mendesain sistem dengan komponen-komponen yang saling terkait, yang diformulasikan
38 secara lintas disiplin dan komplementer (Eriyatno, 2003). Tahapan dengan metode pendekatan sistem meliputi anaisis kebutuhan, formulasi masalah, edentifikasi sistem, pemodelan sistem, verifikasi dan validasi, implementasi (Gambar 6). Eriyatno
(2003)
menyatakan
pendekatan
sistem
merupakan
cara
penyelesaian persoalan yang dimulai dengan identifikasi adanya sejumlah kebutuhan sehingga dapat menghasilkan suatu operasi sistem yang dianggap efektif. Pendekatan sistem umumnya ditandai oleh dua hal, yaitu: (1) mencari semua faktor penting yang ada dalam mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah, dan (2) dibuat suatu model kuantitatif untuk membantu keputusan secara rasional. Analisis kebutuhan merupakan permulaan dan pengkajian suatu sistem. Pada analisis ini dideskripsikan kebutuhan-kebutuhan stakeholders yang merupakan respon yang timbul dari jalannya sistem. Analisis ini dilakukan melalui survei, pendapat ahli, diskusi dan observasi lapangan. Tahap selanjutnya formulasi masalah yaitu merumuskan masalah-masalah yang dihadapi dari pernyataan kebutuhan stakeholders. Tahap identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataaan dari kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan khusus masalah yang harus dipecahkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Hubungan ini digambarkan dengan diagram lingkar sebab akibat dan diinterpretasikan ke dalam konsep kotak gelap (black box). 2.6.1. Pemodelan Sistem Manetsch dan Park (1977) menjelaskan model adalah suatu penggambaran abstrak dari sistem dunia nyata, yang akan bertindak seperti dunia nyata untuk aspek-aspek tertentu. Sedangkan menurut Eriyatno (2003), menyataakan model merupakan suatu abstraksi dari realitas yang menunjukkan hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab akibat. Adapun pemodelan menurut Suwarto (2006) merupakan kumpulan aktifitas pembuatan model dimana diperlukan suatu penelaahan tentang model itu sendiri secara spesifik ditinjau dari pendekatan sistem. Menurut Muhammadi et al. (2001) model adalah suatu bentuk yang dibuat untuk menirukan suatu gejala atau proses. Untuk mengetahui bagaimana yang disebut model sistem bekerja, dibangun suatu gambaran sederhana dari sistem. Model yang baik akan memberikan
39
gambaran perilaku dunia nyata sesuai dengan permasalahan dan akan meminimalkan perilaku yang tidak signifikan dari sistem yang dimodelkan. Pengembangan model dalam pendekatan sistem merupakan titik kritis yang akan menentukan keberhasilan dalam mempelajari sistem secara keseluruhan. Menurut Muhammadi et al. (2001), model dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu: 1. Model kuantitatif, adalah model yang berbentuk rumus-rumus matematik, statistik atau komputer. 2. Model kualitatif, adalah model yang berbentuk gambar, diagram atau matriks yang meyatakan hubungan antar unsur. 3. Model ikonik, adalah model yang mempunyai bentuk fisik sama dengan barang yang ditirukan. Meskipun skalanya dapat diperbesar atau diperkecil. Adapun Suwarto (2006), mengelompokkan sebagai: 1.
Model Ikonik, adalah perwakilan fisik dari beberapa hal baik dalam bentuk ideal ataupun dalam skala yang berbeda. Model ikonik mempunyai karakteristik yang sama dengan hal yang diwakili, terutama amat sesuai untuk menerangkan kejadian pada waktu yang spesifik.
2. Model Analog, adalah model yang dapat mewakili situasi dinamik yaitu keadaan berubah menurut waktu. Model ini lebih sering dipakai daripada model ikonik karena kemampuannya untuk mengetengahkan karakteristik dari kejadian yang dikaji. 3. Model Simbolik (model matematik), merupakan perwakilan dari realitas yang sedang dikaji dimana pada hakekatnya selalu menjadi pusat perhatian dari ilmu sistem. Model ini umum menggunakan persamaan (equation). Hartisari (2007) menguraikan bahwa secara umum model dapat digolongkan dalam dua kategori yaitu: model fisik dan model abstrak. Model fisik merupakan model miniatur replika dari keadaan sebenarnya. Model abstrak yang juga disebut model mental merupakan model yang bukan fisik, tetapi dapat menjelaskan kinerja dari sistem. Menurut Handoko (2005) ada tiga yang hal yang perlu diperhatikan dalam membangun model yaitu: (1) memahami proses, untuk menjelaskan proses yang ada dalam sistem berupa model kuantitatif atau deskriptif (2) membuat prediksi,
40 yaitu melakukan peramalan sesuai dengan proses yang terjadi dalam sistem, (3) untuk mendukung pengelolaannya, artinya penerapannya dapat memberikan manfaat bagi pengguna model yang akan digunakan untuk kepentingan pengelolaan dan harus dapat diterima atau memenuhi tujuan sebelumnya. 2.6.2. Verifikasi dan Validasi Suatu model ketika dijalankan secara bebas mungkin sesuai apabila cocok dengan data yang dipublikasi. Verifikasi dan validasi merupakan bagian yang penting pada setiap analisis yang bersifat empirik. Setelah model dibangun dengan pemrograman komputer dan format input-output
yang telah dirancang dan
memadai, selanjutnya dilakukan tahap pembuktian (verifikasi). Verifikasi berkaitan dengan kesesuaian antara model konseptual dengan model matematik. Verifikasi sebagai suatu uji terhadap model yang disusun sesuai tujuan. Verifikasi suatu model mengindikasikan kepercayaan terhadap konsep. Validasi adalah usaha menyimpulkan apakah model sistem merupakan perwakilan yang sah dari realitas yang dikaji dimana dapat dihasilkan kesimpulan yang meyakinkan (Eriyatno, 2003). Muhammadi et al. (2001) mengemukakan bahwa validitas atau keabsahan merupakan salah satu kriterai penilaian obyektifitas dari suatu pekerjaan ilmiah. Lebih lanjut dikatakan dalam pekerjaan pemodelan objektif itu ditunjukkan dengan sejauhmana model dapat menirukan fakta. Keserupaan model dengan dunia nyata ditunjukkan dengan sejauhmana data simulasi dan pola simulasi dapat meniru data statistik dan informasi aktual. Uji validitas model terbagi menjadi dua yaitu validasi struktur dan validasi kinerja (output model). Validasi struktur bertujuan untuk memperoleh keyakinan sejauhmana keserupaan struktur model mendekati struktur nyata. Validasi kinerja adalah aspek pelengkap dalam metode berpikir sistem dan ditujukan untuk memperoleh keyakinan sejauhmana kinerja model sesuai dengan kinerja sistem nyata sehingga memenuhi syarat sebagai model ilmiah sesuai fakta (Muhammadi et al., 2001). Validasi kinerja dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: (1) cara kualitatif yaitu dengan membandingkan secara visual antara simulasi dan aktual, dan (2) cara kuantitatif yaitu dengan uji statistik antar simulasi dan aktual.
41
2.6.3. Simulasi Model Menurut Manetch dan Park (1977) simulasi adalah suatu aktifitas dimana pengkaji dapat menarik kesimpulan tentang perilaku sistem, melalui penelaahan perilaku model yang selaras, dimana hubungan sebab akibatnya sama dengan atau seperti yang ada pada sistem sebenarnya. Sementara Muhammadi et al. (2001) menjelaskan yang dimaksud dengan simulasi adalah peniruan perilaku suatu gejala atau proses. Simulasi bertujuan untuk memahami gejala atau proses, membuat analisis dan peramalan perilaku gejala atau proses tersebut di masa depan. Simulasi juga adalah proses percobaan dengan menggunakan suatu model untuk mengetahui perilaku sistem dan akibat pada komponen-komponen dari suatu perlakuan. Simulasi berfungsi sebagai pengganti percobaan di lapangan yang akan banyak menggunakan waktu, tenaga dan biaya. Dengan menggunakan model simulasi dapat dilakukan eksperimen terhadap suatu sistem tanpa harus menggangu perlakuan terhadap sistem yang diteliti dan kegagalan yang dialami pada eksperimen tidak terjadi. Menurut Suwarto (2006), terdapat enam tahap yang saling berhubungan dalam proses membangun model simulasi komputer yaitu: (1) identifikasi dan defenisi sistem; (2) konseptualisasi sistem; (3) formulasi model; (4) simulasi model; (5) evaluasi model; dan (6) penggunaan model. 2.7. Penelitian Terdahulu yang Terkait 2.7.1. Penelitian sedimentasi waduk di Waduk Bili-Bili Beberapa penelitian yang pernah dilakukan berkaitan dengan masalah sedimentasi di Waduk Bili-Bili dilakukan dengan berbagai tujuan yang berbeda. Fadiah (2006) telah menguraikan besarnya sedimentasi yang terjadi di waduk Bili-Bili ternyata lebih banyak disebabkan oleh erosi lahan yaitu 42,3% (14,09 ton/ha/tahun) dari erosi lahan yang terjadi pada lahan tegalan sebesar 33,32 ton/ha/tahun (klasifikasi TBE sangat berat). Menurut Lubis dan Syafiuddin (1992) bahwa lahan tegalan diluar kawasan hutan DAS Jeneberang Hulu telah mencapai gejala kritis karena tingkat erosi di wilayah DAS tersebut melebihi tingkat erosi yang diizinkan. Oleh karena itu diperlukan tindakan konservasi lahan baik secara mekanik maupun secara vegetatif pada lahan tegalan secara kontinyu untuk menahan kehilangan tanah yang terjadi.
42 Selain akibat erosi lahan, sedimentasi waduk juga disebabkan oleh longsoran dinding kaldera di hulu DAS Jeneberang. Hardjosuwarno dan Soewarno (2008) mengemukakan bahwa laju sedimentasi waduk akibat aliran debris pada Waduk Bili-Bili sebesar 9,24 juta m3/tahun adalah aliran debris yang berasal dari produksi aktifitas vulkanik (longsoran) dan peningkatan kapasitas penampungan dari kapasitas rencana tidak dapat dilakukan sehingga penanganan sedimentasi hanya untuk mempertahankan kapasitas yang ada. Namun demikian, Binga (2006) telah menganalisis bahwa pengendalian sedimen akibat longsoran tersebut dapat dilakukan dengan berbagai variasi jumlah dan ukuran bangunan check-dam. Adapun aspek teknis yang dikendalikan termasuk jumlah sedimen transpor, kecepatan aliran sedimen dan proses degradasi dan agradasi. Dari segi kelembagaan dan potensi pemanfaatan sumberdaya air di DAS Jeneberang, Sylviani dan Elvida (2006) menguraikan bahwa potensi sumberdaya air di Kab. Gowa dimanfaatkan langsung oleh masyarakat dari sumber mata air di dalam kawasan hutan lindung dan dari sungai Jeneberang melalui Waduk BiliBili. Pengelolaannya melibatkan berbagai stakeholders antara lain: Dinas PU dan Pengairan Kabupaten, BPDAS, UPTD BPSDA dan PDAM. Terdapat pula kelembagaan masyarakat lokal untuk menjaga kelestarian hutan yang dilakukan oleh kelompok tani sebelum mengajukan perijinan air terutama untuk irigasi. Kemudian, Supratman dan Yudilastiantoro (2001) mengemukakan bahwa adanya kecenderungan yang terjadi pada DAS Jeneberang dan aspek sosial ekonomi masyaarakat wilayah hulu DAS Jeneberang menyebabkan perlunya dibangun sistem kelembagaan perencanaan dan pengelolaan DAS yang terinterkoneksi. 2.7.2. Penelitian sedimentasi waduk di wilayah lain Beberapa penelitian mengenai sedimentasi waduk dan penanganannya juga telah dilakukan di berbagai wilayah lain. Sudarto (2005) membuktikan bahwa ada pengaruh perubahan tataguna lahan terhadap tingkat erosi daerah tangkapan hujan dan pendangkalan di Waduk Way Rarem. Adapun Anton, et al. (2002) dengan membandingkan peta topografi lama (tahun 1774, 1840, 1930 dan 1990) menemukan bahwa adanya perubahan tataguna lahan dan karakateristik biofik lahan disebabkan oleh adanya keputusan peraturan yang digunakan untuk mengkonversi wilayah hutan. Kemudian, Laoh (2002) menyebutkan adanya
43
keterkaitan antara faktor fisik, sosial ekonomi dan tataguna lahan di daerah tangkapan air dengan erosi dan sedimentasi Danau Tondano, Sulawesi Utara. Sedimentasi di waduk yang disebabkan oleh erosi lahan dan longsoran dapat dikendalikan dengan berbagai kombinasi pengendalian. Achmad (2006) telah melakuan kajian pengendalian sedimen Waduk Panglima Besar Soedirman dengan teknologi Sabo. Pengendalian erosi tanah dilakukan dengan merubah pembuatan teras yang model lama ke bentuk teras bangku, tanpa tanaman atau pohon di bagian pembatasnya. Konservasi tanah sama baiknya dengan kombinasi antara pembuatan Sabo Dam dengan penambangan pasir dapat meningkatkan umur operasional waduk dari 34 tahun menjadi 39 tahun. Sedangkan jika dikombinasikan antara konservasi lahan dengan Sabo Dam maka umur operasional waduk menjadi 47 tahun. Adapun Sardi (2008) telah melakukan kajian penanganan sedimentasi dengan waduk penampung sedimen pada bendungan serbaguna Wonogiri. Dengan pengoperasian waduk penampung sedimen dapat menurunkan deposisi netto yang terjadi pada waduk sebesar 30,41% dibandingkan dengan kondisi sebelum ada waduk penampung tersebut. Selanjutnya, peningkatan efektifitas mitigasi dari check-dam terhadap aliran debris telah dilakukan oleh Osti and Egashira (2008). Hasil penelitian menunjukkan metode pendekatan untuk memprediksi karakteristik aliran debris, dan pengusulan teknik untuk mengevaluasi dan meningkatkan efektifitas mitigasi dari check-dam terhadap aliran debris di gunung yang curam. Diharapkan pula dapat membantu untuk memutuskan mana kombinasi terbaik dari check-dam yang bersama-sama akan cocok untuk mengendalikan secara optimal aliran debris dan sumberdaya yang ada di wilayah perairan sungai. Dari segi penerapan kebijakan pengelolaan DAS, Hasibuan (2005) telah melakukan penelitian mengenai pengembangan kebijakan pengelolan DAS bagian Hulu untuk efektifitas waduk yang berlokasi di DAS Citarum untuk efektifitas waduk Saguling Propinsi Jawa Barat. Disimpulkan bahwa kebijakan saat ini belum memformulasi kebijakan dalam keterpaduan berbagai keputusan dan peraturan perundangan untuk dapat bersinergi satu sama lain. Tetapi malah menimbulkan konflik kepentingan dan melahirkan berbagai persoalan yang dapat menurunkan kualitas lingkungan. Persepsi stakeholders juga menunjukkan bahwa
44 aktifitas pemanfaatan ruang belum mengarah pada perpaduan penerapan kebijakan secara konsisten yang didukung dengan penegakan hukum. Akhirnya dirumuskan strategi pengembangan kebijakan pengelolaan DAS menggunakan tiga pilar kebijakan yang terintegrasi, yaitu: satu manajemen DAS terpadu yang diaktualisasikan dalam kelembagaan; kawasan lindung, diaktualisasikan dalam ekosistem; dan fungsi kawasan DAS didukung oleh sosial ekonomi. Ismail (2007) melakukan penelitian mengenai penilaian ekonomi dan kebijakan pengelolaan lingkungan waduk dalam pembangunan di Waduk Ir. H. Juanda Kabupaten Purwakarta menyimpulkan bahwa program kebijakan pengelolaan waduk dalam program jangka pendek adalah tidak memberikan ijin pembuatan Keramba Jaring Apung; revitalisasi penerapan aturan yang berlaku; penebaran ikan pemanfaat limbah dan perbaikan saluran irigasi. Kemudian dengan program jangka panjang yang utama adalah meningkatkan transparansi dalam mekanisme kerja dan pengawasan antara petugas lapangan dan masyarakat petani sawah/ikan dan meningkatkan kerjasama antar lembaga terkait dalam pemanfaatan sumberdaya di era otonomi daerah. 2.7.3. Penelitian sedimentasi waduk dengan menggunakan Model Penerapan berbagai model juga telah dilakukan untuk meneliti masalah sedimentasi waduk. Abdulah et al. (2003) dengan menggunakan simulasi model tata guna lahan menggunakan GIS mengemukakan bahwa waduk Bili-Bili tanpa melakukan konservasi menghasilkan sedimentasi sebesar 1473,04 m3/km2/tahun. Adapun jika menggunakan konservasi dengan skenario seperti reforestation pada kemiringan lahan >40% dan lahan yang belum ditanami maka sedimentasi dapat dikurangi menjadi 1022,72 m3/km2/tahun. Kemudian, Munir, A. et al. (2005) dengan menggunakan model WBCVE-SIG menyebutkan bahwa dengan pengelolaan secara kolaborasi daerah tangkapan hujan terutama pada daerah tangkapan hujan yang dikuasai oleh lebih dari satu otonomi kabupaten, dapat meminimalkan laju sedimentasi pada waduk. Suhartanto (2005) melakukan pendugaan erosi, sedimen dan limpasan berbasis model WEPP dan SIG di sub-das Ciriung, DAS Cindanau. Dari model tersebut diperoleh bahwa pengendalian erosi, sedimen dan limpasan dapat dilakukan dengan mencegah bertambahnya luas ladang dari hilir ke hulu sub-das
45
Ciriung. Terdapat 8 Ha lahan yang sebaiknya tidak dikembangkan untuk pertanian karena merupakan sumber terbesar dari erosi dan sedimen. Sukresno et al. (2002) dengan penerapan model ANSWERS melakukan pendugaan erosi-sedimentasi di Sub DAS Keduang Wonogiri. kemudian, BoixFayos et al (2008) telah meneliti mengenai dampak perubahan tataguna lahan dan check-dam terhadap hasil tampungan sedimen. dengan penerapan model erosi WATEM-SEDEM menggunakan 6 skenario tataguna lahan: tataguna lahan dari tahun 1956, 1981 dan 1997 dengan dan tanpa bangunan check-dam. Aplikasi model menunjukkan bahwa skenario tanpa check-dam, perubahan tataguna lahan antara tahun 1956 dan 1997 menyebabkan hasil sedimen berkurang secara nyata 54%. Pada skenario tanpa adanya perubahan tataguna lahan tetapi menggunakan check-dam, hasil sedimen 77% tertahan di belakang dam. Check-dam dapat menjadi pengendali sedimen yang efisien, tetapi dampaknya jangka pendek. Ada dampak lain yang ditimbulkan, seperti menyebabkan erosi saluran di bagian hilir. Walaupun juga menimbulkan dampak lain, perubahan tataguna lahan dapat mengakibatkan pengaruh jangka panjang terhadap jumlah sedimen. 2.7.4. Posisi Strategis dan Kebaruan Penelitian Membangun model pengendalian sedimentasi waduk akibat erosi lahan dan longsoran terutama diarahkan untuk efektifitas pola pengendalian bangunan pengendali sedimen. Penerapan model pengendalian sedimentasi waduk terutama dilakukan untuk mengendalikan sedimen akibat longsoran kaldera yang mengancam keberadaan waduk multi guna dan memiliki fungsi yang sangat vital bagi Kab. Gowa dan kota Makassar sebagai ibukota Propinsi Sulawesi Selatan. Penelitian terkait dengan erosi lahan dan longsoran pada suatu DAS telah banyak dilakukan. Demikian pula penelitian mengenai sedimentasi waduk yang diakibatkan oleh limbah dan pencemaran yang ditimbulkannya serta upaya pengendalian sedimennya. Kajian yang banyak dilakukan juga terutama untuk pengelolaan waduk dan kebijakan dalam mengatasi konflik kepentingan yang terjadi. Terkait dengan upaya pengendalian sedimentasi waduk yang diakibatkan oleh sedimen yang berasal dari aliran debris dan erosi lahan, saat ini masih sedikit yang melakukannya. Posisi strategis penelitian yang dilakukan dapat dilihat pada Tabel 6.
46 Tabel 6 Posisi Strategis Penelitian Yang Dilakukan Topik Kajian Penelitian waduk dengan Aspek kajian Erosi Sedimen- Bangunan Sosial lahan, tasi pengendali Model ekonomi longsoran waduk sedimen Fadiah (2006), Saida (2011) √ Lubis, R. dan Syafiuddin (1992) √ Hardjosuwarno dan Soewarno (2008) √ Binga (2006) √ √ Sylviani dan Elvida (2006) √ Supratman dan C. Yudilastiantoro (2001) √ Sudarto (2005), Anton et al. (2002) √ Laoh, O.E.H. (2002) √ √ Achmad, F.B. (2006) √ Osti R. and Shinji Egashira (2008) √ √ Hasibuan (2005) dan Ismail (2007) √ Abdulah et al. (2003), Suhartanto, E. √ √ (2005), Sukresno et al. (2002) Boix-Fayos et al. (2008) √ √ Nama
Penelitian yang dilakukan
√
√
√
√
√
Konsep yang menjadi rujukan dalam penelitian ini adalah konsep yang berhubungan dengan pola pengendalian bangunan pengendali sedimen dan strategi pengendalian sedimentasi waduk yang mampu mempertahankan kapasitas waduk dalam rangka keberlanjutan waduk. Simulasi dan modifikasi model dapat dilakukan untuk menemukan pola pengendalian sedimen yang efektif. Hasil penelitian yang dibutuhkan dalam upaya pengendalian sedimentasi waduk adalah penelitian yang membahas tentang strategi pengendalian sedimen yang berorientasi untuk pencapaian keberlanjutan waduk. Dalam mendisain model pengendalian sedimentasi waduk yang bersumber dari erosi lahan dan longsoran memiliki dua kebaruan, yaitu: 1.
kebaruan dari segi kajian yang menggunakan pendekatan sistem yang terpadu dengan menggunakan model dinamis, menggunakan teknik hard system methodology (kapasitas waduk, erosi dan beban sedimentasi) dan teknik soft system methodology
2.
kebaruan dari segi luaran berupa rancangan pola pengendalian sedimentasi waduk dengan mengutamakan mekanisme dan koordinasi antara pengelola waduk, masyarakat sekitar waduk dan masyarakat di hulu waduk.
III. KARAKTERISTIK DAERAH TANGKAPAN WADUK BILI-BILI 3.1. Lokasi dan Luas Waduk Bili-Bili berada di bagian tengah DAS Jeneberang yang terletak di wilayah administratif Kabupaten Gowa. Berdasarkan Peta Rupa Bumi skala 1: 50.000, lembar 2010-61,62,63 dan 64, edisi 1-1991, wilayah penelitian terletak antara 5o11’8” – 5o20’41” LS dan 119o34’30” – 119o56’54” BT. Daerah tangkapan waduk berada pada hulu DAS Jeneberang dengan luas 384,4 km2 (384.400 Ha) dan terletak pada ketinggian 500 – 2800 meter di atas permukaan laut. Hulu DAS Jeneberang terletak di wilayah Kecamatan Tinggi Moncong dan Kecamatan Parangloe. Sebaran luas wilayah administratif hulu DAS Jeneberang disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Luas wilayah administratif hulu DAS Jeneberang Kecamatan Tinggi Moncong
Parangloe
Desa Sicini Bilanrengi Manimbahoi Majannang Jonjo Parigi Bulutana Gantarang Malino Patallikang Moncong Loe Manuju Tamalate Lonjoboko Borisallo Lanna Jumlah
Luas (Ha) 11.461,05 7.254,72 27.202,77 5.009,62 11.214,56 45.856,59 63.155,46 23.360,93 21.431,47 8.261,66 21.204,02 37.393,38 37.166,64 30.185,24 20.772,23 13.469,66 384.400,00
Persentase (%) 2,98 1,89 7,08 1,30 2,92 11,93 16,42 6,08 5,58 2,15 5,52 9,73 9,67 7,85 5,40 3,50 100
3.2. Kelerengan Lahan Nilai kelerengan wilayah Sub-DAS Jeneberang sangat bervariasi, dari datar hingga bergunung. Berdasarkan tingkat kelerengan wilayah, secara umum dapat dibedakan atas 5 bentuk wilayah, yaitu datar ((0~8 %), landai (8~15 %) , bergelombang (15~25 %), berbukit (25~40%) dan bergunung (> 40%). Dari keseluruhan wilayah Sub-DAS Jeneberang Hulu, kelerengan 25~40% (berbukit)
48
menempati areal terluas yaitu 10.080 Ha atau 26,22 % dari total luas wilayah sub DAS Jeneberang, dan terletak pada ketinggian 75 – 5000 mdpl. Secara lebih jelas luas areal dapat dilihat pada Tabel 8. serta peta sebaran kemiringan lereng disajikan pada Gambar 7. Tabel 8 Kelas Lereng Wilayah sub DAS Jeneberang No 1 2 3 4 5
Kemiringa n Lereng (%) 0–8 8 – 15 15 – 25 25 – 40 > 40 Jumlah
Bentuk Wilayah
Luas Ha
datar landai agak curam curam sangat curam
%
6.170 5.550 9.620 10.080 7.020 38.440
16,05 14,44 25,03 26,22 18,26 100,00
Adapun ketinggian atau elevasi wilayah sub DAS Jeneberang yang berada pada kisaran 75 – 5000 mdpl pada umumnya didominasi wilayah dengan ketinggian antara 75 mdpl sampai dengan 1000 mdpl berkisar 5728 – 7638 Ha atau 14,90 – 19,87%. Secara lebih jelas ketinggian elevasi dapat dilihat pada Tabel 9 serta peta sebaran elevasi disajikan pada Gambar 8. Tabel 9 Ketinggian Elevasi Wilayah sub DAS Jeneberang No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Ketinggian (mdpl) <250 250 - 500 500 - 750 750 - 1000 1000 - 1250 1250 - 1500 1500 - 1750 1750 - 2000 2000 - 2250 2250 - 2500 >2500 Jumlah
Luas Ha 6.605 7.638 7.406 5.728 4.201 2.838 1.899 1.287 526 224 88 38.440
% 17,18 19,87 19,27 14,90 10,93 7,38 4,94 3,35 1,37 0,58 0,23 100.00
3.3. Penutupan Lahan Inventarisasi tata guna lahan (Land use) di wilayah hulu DAS Jeneberang menunjukkan dominasi penggunaan untuk kegiatan pertanian, baik berupa sawah, ladang, tegalan, perkebunan dan lain-lain.
Penggunaan lahan lainnya adalah
49
hutan, permukiman dan waduk multifungsi Bilibili. penggunaan lahan wilayah sub DAS Jeneberang
Dari hasil analisis peta
sebagian besar wilayahnya
didominasi oleh hutan dengan luas 12.250 Ha (31,87%) kemudian ladang/tegalan seluas 9.348 Ha (24,32%). Untuk lebih jelasnya luas areal berdasarkan penggunaan lahan dapat dilihat pada Tabel 10 dan peta sebaran tutupan berdasarkan penggunaan lahan disajikan pada Gambar 9. Tabel 10 Penggunaan Lahan Wilayah sub DAS Jeneberang Tahun 2007 No 1 2 3 4 5
Penggunaan Lahan Hutan Ladang/Tegalan Pemukiman Sawah Semak Belukar Jumlah
Luas Ha % 12.250 31,87 9.348 24,32 107 0,28 10.455 27,17 6.290 16,36 38.440 100,00
3.4. Geologi dan Jenis Tanah Secara umum, kondisi geologi di wilayah sub DAS Jeneberang tersusun dari batuan vulkanik yang mudah lapuk. Satuan batuan yang menutupi daerah ini terdiri dari batuan tufa, batuan bereaksi vulkanik, batuan beku dan batuan alluvial. Batuan penyusun tertua adalah formasi camba (Tmc) seluas 18.582 Ha yang berumur sekitar Miosen tengah hingga Pilosen yang terdiri dari batuan sedimen laut berselingan dengan batuan gunung api. Batuan yang terdiri dari lava, breksi, tufa dan konglomerat merupakan penyusun Batuan Gunungapi Baturape-Cindako (Tpbv) dan Batuan Gunungapi Lompobattang (Qlv) yang terdiri dari konglomerat, lava, breksi endapan lahar dan tufa. Untuk lebih lengkapnya data Formasi Geologi disajikan pada Tabel 11 dan Gambar 10. Tabel 11 Formasi Geologi Wilayah sub DAS Jeneberang No Formasi Geologi 1 2 3 4 5 6 7
Qlv Qlvb Qlvp1 Qlvp2 Tmc Tpbl Tpbv Jumlah
Luas Ha % 5.568 14.48 5.379 13.99 648 1.69 1.797 4.67 18.582 48.34 1.235 3.21 5.231 13.61 38,440 100.00
Gambar 7 Peta Lereng Wilayah sub DAS Jeneberang.
50
Gambar 8 Peta Elevasi Wilayah sub DAS Jeneberang. 51
Gambar 9 Peta Penggunaan Lahan Wilayah Sub DAS Jeneberang Tahun 2007.
52
Gambar 10 Peta Geologi Wilayah sub DAS Jeneberang. 53
Gambar 11 Peta Jenis Tanah Wilayah sub DAS Jeneberang.
54
55
Adapun jenis tanah dari hasil analisis peta digital jenis tanah yang terdapat di wilayah sub DAS Jeneberang sebanyak tujuh jenis tanah. Jenis tanah yang mendominasi adalah Haplortoxs (Latosol coklat kemerahan) seluas 8.070 Ha (20,99%) dan Humitropepts (Latosol coklat kekuningan) seluas 7.965 Ha (20,73%). Untuk lebih jelasnya luas areal berdasarkan jenis tanah dapat dilihat pada Tabel 12 dan peta jenis tanah disajikan pada Gambar 11. Tabel 12 Jenis Tanah Wilayah sub DAS Jeneberang No 1 2 3 4 5 6 7
Jenis Tanah Dystrandepts (Andosol) Haplortoxs (Latosol) Humitropepts (Latosol) Tropofluvents (Aluvial) Tropohumults (Mediteran) Tropudalfs (Mediteran) Tropudults (Podsolik) Jumlah
Luas Ha % 5.036 13,10 8.070 20,99 7.965 20,73 3.548 9,22 7.347 19,11 3.004 7,82 3.470 9,03 38.440 100.00
Berdasarkan Peta Tanah Tinjau (LPT Bogor, 1973) jenis tanah yang terdapat di wilayah hulu DAS Jeneberang adalah inceptisol (latosol coklat kekuningan) dan andisol (andosol coklat). Wilayah bagian tengah DAS Jeneberang ditemui jenis tanah alfisol (mediteran coklat kemerahan) dan inceptisol (latosol) yang terbentuk dari batuan plutonik basa. 3.5. Temperatur Temperatur bulanan di wilayah hulu DAS Jeneberang berkisar antara 21oC sampai 24oC, dimana terdapat variasi temperatur mengikuti elevasi dan ketinggian dari permukaan laut dari lokasi pada wilayah hulu DAS Jeneberang. 3.6. Curah Hujan Di wilayah hulu DAS Jeneberang musim hujan terjadi pada bulan Oktober sampai bulan Mei, dan puncak hujan terjadi antara bulan Desember dan Januari. Musim kemarau berlangsung pada bulan Juni sampai Oktober. Berdasarkan klasifikasi iklim Schmith dan Ferguson, wilayah ini termasuk tipe iklim B dengan rata-rata jumlah bulan basah 9 bulan, bulan lembab 1 bulan dan bulan kering 2 bulan. Adapun data curah hujan untuk stasiun Dam Bili-Bili, Jonggoa dan Malino dapat dilihat pada Tabel 13 dan Gambar 12.
56
Tabel 13 Curah hujan bulanan Daerah Aliran Waduk Bili-Bili No. Sta.
Lokasi Stasiun
1
Curah Hujan Rata-Rata Bulanan (mm) Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
Sep
Bili-Bili Dam
539
491
386
181
97
61
14
0
2
Jonggoa
712
533
452
212
64
84
24
3
Malino
645
624
479
267
126 125
25
Rata-rata
Okt
Nop
Des
5
132
233
519
20
9
148
335
623
15
3
131
276
690
632,0 549,3 439,0 220,0 95,7 90,0 21,0 11,7
5,7 137,0 281,3 610,7
Sumber: stasiun JRBDP (2006).
Gambar 12 Lokasi stasiun Curah Hujan sub DAS Jeneberang. 3.7. Pola Aliran dan Kemiringan Sungai Jeneberang Pada umumnya pola aliran sungai adalah dendritik, setempat menyiku dan sejajar. Dibagian hulu erosi tegak berjalan lebih besar, sehingga lembahnya berbentuk huruf ”V” dan sifat aliran sungainya deras, sehingga aliran erosi berjalan kearah vertikal. Hal ini memperlihatkan bahwa daerah ini mempunyai daur geologi yang muda. Di bagian tengah sungai Jeneberang sampai ke waduk Bili-Bili penampangnya berbentuk huruf ”U” yang dalam, lebar penampang sungai mencapai 620 meter pada Sand Pocket dan 336 meter pada Sabo Dam dan pada bendungan utama mencapai 750 meter. Pola aliran braided (teranyam),
57
aliran sering berpindah-pindah, sehingga membentuk gosong-gosong sungai yang merupakan hasil endapan dasar Sungai Jeneberang berupa bongkah, berangkal, kerakal, kerikil dan sebagian kecil pasir. Sungai Jeneberang merupakan jenis sungai yang terbentuk karena aktifitas gunungapi, yaitu dari bekas aliran lava dan lahar letusan G. Lompobattang. Bagian tengah DAS digunakan untuk lahan pertanian terutama digunakan untuk sawah oleh penduduk setempat. Sungaisungai besar yang mengalir bergabung dengan sungai Jeneberang antara lain yaitu sungai Kunisi, sungai Malino, sungai Jenerakikang dan sungai Jenelata. Sungai Jeneberang memiliki panjang 75 km dengan luasan pengaliran 727 km2 berhulu di Gunung Bawakaraeng. Jika dihitung dari bangunan waduk BiliBili, panjang sungai Jeneberang adalah 32 km. Kemiringan sungai bervariasi sesuai ketinggian. Di sekitar waduk kemiringan 1%, kemudian 3% dan 8% di daerah hulu. Selanjutnya dapat dilihat pada Gambar 13. 1600 1400
Elevasi (m)
1200 1000 800 s=1/12
600 400 s=1/30
200 0
s=1/100 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
Jarak dari reservoir (km)
Gambar 13 Kemiringan sungai Jeneberang di hulu Waduk Bili-Bili. 3.8. Data Teknis Waduk Bili-Bili Waduk Bili-Bili adalah waduk serbaguna yang dibangun dengan tujuan untuk pengendalian banjir terutama untuk kota Makassar, pemenuhan kebutuhan air irigasi, suplai air baku dan pembangkit listrik tenaga air. Waduk Bili-Bili dibangun dengan membendung sungai Jeneberang yang pembangunannya selesai dilaksanakan pada tahun 1997 dan resmi digunakan pada bulan Agustus tahun 1999. Waduk dibangun dengan perencanaan dapat beroperasi normal sampai 50 tahun dengan prediksi akumulasi sedimen sebesar 1500 m3/km2/tahun.
58
Waduk Bili-Bili merupakan bendungan tipe urugan batu dengan inti kedap air. Waduk ini memiliki kedalaman efektif 36,6 m dengan luas genangan 18,5 km2. Adapun volume tampungan totalnya adalah 375.000.000 m3, dengan volume tampungan efektif adalah 346.000.000 m3, dan volume tampungan mati sebesar 29.000.000 m3. Adapun data teknis selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Data Teknis Waduk Bili-Bili Jumlah/ukuran Deskripsi Jumlah/Ukuran
Jenis Struktur Bendungan Utama
Tipe Tinggi Panjang Lebar Volume
Urugan Batu 76 m 750 m 10 m 3.559.000 m3
Sayap Kiri Bendung
Tinggi Panjang Lebar Volume
42 m 646 m 10 m 1.515.000 m3
Sayap Kanan Bendung
Tinggi Panjang Lebar Volume
42 412 10 1.153.000
Waduk
Daerah Tangkapan Kedalaman Efektif Luas genangan Volume tampungan total Volume tampungan efektif Volume tampungan mati Elevasi puncak Elevasi muka air normal (NWL) Elevasi muka air rendah (SWL)
m m m m3
384,4 Km2 36,6 m 18,5 Km2 375.000.000 m3 346.000.000 m3 29.000.000 m3 EL. + 106,0 m EL. + 99,5 m EL. + 65,0 m
Sumber : JICA (2005).
3.9. Bangunan Pengendali Sedimentasi Waduk Bili-Bili Pada awalnya sebelum kejadian longsoran Kaldera untuk pengendalian sedimentasi di waduk telah dilengkapi dengan 8 (delapan) unit bangunan pengendali sedimen (BPS) berupa Sabo dam di hulu sungai Jeneberang sampai dengan outlet waduk Bili-Bili. BPS tersebut 2 (dua) unit dibangun pada tahun 1997, 1 (satu) unit pada tahun 2000, dan 5 (lima) unit dibangun pada tahun 2001.
59
Terjadinya longsoran Kaldera pada tahun 2004 dengan total volume 250300 juta m3 menyebabkan beberapa bagian dinding Kaldera menjadi tidak stabil. Diperkirakan total volume yang tidak stabil tersebut yang berpotensi untuk terjadinya longsor susulan adalah sebesar 111,073 juta m3 (Hasnawir, 2006). Berdasarkan hal tersebut maka telah dibangun kembali BPS berupa 7 (tujuh) unit Sabo dam penahan di bagian hulu sungai Jeneberang, di bagian tengah dibangun 4 (empat) unit Sabo dam pengendali dan 4 (empat) unit Konsolidasi dam. Di bagian hilir dilakukan perbaikan pada 5 (lima) unit Kantong Pasir (sand pocket). 3.10. Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk Lokasi penelitian meliputi dua kecamatan dan terdiri dari 16 desa atau kelurahan, dengan laju pertambahan penduduk dari tahun 2006 – 2009 sebesar 0,7% (data hasil registrasi penduduk tahun 2010, BPS Kabupaten Gowa). Laju pertambahan penduduk menurut jenis kelamin di wilayah hulu DAS Jeneberang tahun 2006 – 2009 tersaji dalam Tabel 15. Laju pertambahan penduduk kemungkinan terus meningkat dan akan berimbas pada ketenagakerjaan sehingga mengakibatkan surplus tenaga kerja. Dampaknya semakin kecilnya ratio antara lahan pertanian dengan jumlah penduduk. Tabel 15 Jumlah penduduk di wilayah hulu DAS Jeneberang tahun 2006 – 2009 Tahun
Penduduk
Total
KK
39.032
78.264
15.653
38.859
38.959
77.816
15.564
2008
39.838
40.038
79.876
15.975
2009
40.634
40.432
81.068
16.214
Laki-Laki
Perempuan
2006
39.232
2007
Sumber: Kabupaten Gowa dalam Angka, 2010.
3.11. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Indikator kependudukan yang sangat signifikan untuk mengamati tingkat perkembangan sumberdaya manusia suatu daerah yaitu struktur penduduk berdasarkan tingkat pendidikan masyarakatnya. Berdasarkan data tahun 2010 bahwa 44,85% penduduk di hulu DAS Jeneberang mempunyai tingkat pendidikan rendah yaitu hanya sampai tingkat Sekolah Dasar (SD), tamat SD 20,22%, SMP
60
9,93%, SMA 8,82% dan perguruan tinggi 2,21%, sedangkan golongan buta huruf sebesar 13,97% (Kabupaten Gowa dalam Angka, 2010). Tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan masyarakat tidak mampu mengadopsi dan menerapkan teknologi. Sehubungan dengan hal tersebut diperlukan adanya usaha untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia melalui program penyuluhan dan pelatihan. Peningkatan mutu sumberdaya manusia dengan dibekali pengetahuan mengenai teknologi akan memberikan pemahaman akan pentingnya menjaga setiap lahan untuk mengurangi tingkat erosi dan sedimentasi di wilayah hulu DAS Jeneberang. 3.12. Mata Pencaharian Penduduk Penduduk di wilayah hulu DAS Jeneberang sebagian besar mengandalkan sektor pertanian sebagai salah satu mata pencahariannya di samping sektor lainnya seperti perdagangan, pegawai negeri, TNI/POLRI dan lainnya. Tatacara bertani yang diterapkan oleh masyarakat di daerah ini tidak terlepas dari tata cara yang dilakukan oleh pendahulu mereka. Sebagian besar petani menggarap lahannya sebagai warisan nenek moyangnya sehingga mereka merasa bebas mengolah lahannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Data dari BPS tahun 2010 menunjukkan bahwa mata pencaharian penduduk masih didominasi oleh bidang pertanian. Walaupun demikian sejak terjadinya longsoran kaldera yang menyebabkan melimpahnya material pasir, batu dan sirtu menyebabkan penduduk sebahagian yang sebelumnya petani beralih bekerja sebagai penambang pasir dan sirtu. Hal ini tentu saja membantu masyarakat dalam berupaya mencari pekerjaan tambahan untuk kesejahteraannya. Perincian jumlah penduduk menurut mata pencahariannya disajikan dalam Tabel 16. Tabel 16 Jumlah penduduk menurut mata pencaharian di hulu DAS Jeneberang Mata Pencaharian Pertanian Industri Perdagangan Pegawai Negeri TNI/POLRI Lainnya
Jumlah Penduduk (orang) 203 4 25 18 10 12
Sumber: Kabupaten Gowa dalam Angka, 2010.
Persentase (%) 74,64 1,47 9,19 6,62 3,68 4,41
IV. METODE PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian ini secara fisik terletak dalam sistem DAS Jeneberang. Dalam penelitian ini batasan yang digunakan adalah batasan yang secara fisik mempunyai pengaruh langsung pada daya dukung waduk Bili-Bili, yakni wilayah DAS Jeneberang. Secara administratif daerah kajian Waduk Bili-Bili terletak di Kabupaten Gowa, Propinsi Sulawesi Selatan.
Gambar 14 Lokasi Penelitian. Penelitian dilakukan dalam 2 (dua) tahap yaitu tahap survey awal dilakukan pada bulan April 2009 hingga Mei 2009 dan pengambilan data yang dilanjutkan dengan pengolahan data penelitian dilakukan selama 8 bulan dari bulan Juli 2009 s/d Februari 2010. 4.2. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
Peta dasar dan pendukung dengan skala 1 : 50.000 yaitu peta topografi, peta geologi, peta penggunaan lahan, peta jaringan sungai, peta jenis tanah, peta curah hujan, peta administrasi wilayah hulu DAS Jeneberang khususnya di daerah tangkapan hujan Waduk Bili-Bili sebagai lokasi penelitian.
62
Bahan-bahan kimia yang diperlukan dalam analisis sifat kimia dan fisika tanah sedimen di Laboratorium.
Bahan kuesioner yang digunakan untuk pengambilan data primer tentang karakteristik sumberdaya di daerah hulu DAS Jeneberang yang meliputi biofisik lahan, sosial-budaya dan ekonomi. Alat yang digunakan yaitu peralatan untuk survei tingkat sedimentasi
waduk terdiri atas perangkap sedimen (sediment trap), penduga kedalaman sedimen (echosounding), global positioning system (GPS), theodolite,
skop,
cangkul, pisau, meter, kamera, kantong plastik untuk sampel tanah sedimen dan alat tulis. 4.3. Rancangan Penelitian 4.3.1. Analisis Erosi Lahan sub DAS Jeneberang a. Jenis dan sumber data Jenis data yang digunakan untuk menganalisis erosi lahan yang terjadi di sub DAS Jeneberang terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer yang dikoleksi adalah karakteristik tanah dan kondisi fisik DAS. Adapun data sekunder yang dikoleksi adalah data Topografi dari Badan Pertanahan Nasional, Hidrologi dari Departemen Kimpraswil, tata ruang dan tata guna lahan dari Bapeda dan BPN. b. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dilakukan dengan Survey lapangan untuk mendapatkan data primer yang dibutuhkan dengan melakukan pengamatan di beberapa catchment (daerah tangkapan) yang representatif dan pengamatan jenis tanah. Kegiatan pengukuran diarahkan untuk mengambil data primer dan terbaru, seperti laju infiltrasi tanah dan jenis tutupan lahan. Pengambilan data sekunder, dilakukan pada berbagai instansi yang terkait dengan pengelolaan lahan di sub DAS Jeneberang dan melakukan studi literatur. Inventarisasi data menitikberatkan pada kegiatan validasi yang bertujuan untuk menguji kebenaran data erosi lahan yang terjadi dan peta yang dihasilkan menggunakan alat bantu GPS ataupun wawancara dengan masyarakat setempat.
63
c. Analisis Data - Prediksi Erosi Lahan dengan MWAGNPS Pendugaan besarnya erosi yang terjadi menggunakan pendekatan persamaan prediksi kehilangan tanah secara komprehensif dengan pendekatan yang dikemukakan dalam The Universal Soil Loss Equation (USLE). USLE merupakan suatu model parametrik untuk memprediksi erosi dari suatu bidang tanah. USLE memungkinkan perencana menduga laju rata-rata erosi suatu tanah tertentu pada suatu kecuraman lereng dengan pola hujan tertentu untuk setiap macam pertanaman dan tindakan pengelolaan (tindakan konservasi tanah). Persamaan USLE yang telah direvisi tersebut menurut Smith, et al. (1978) dalam Asdak (2004) adalah : A = R x K x LS x C x P Dimana : A
: Besarnya erosi yang mungkin terjadi (ton/ha/tahun)
R
: Besarnya faktor curah hujan dan aliran permukaan
K
: Besarnya faktor kepekaan erodibilitas tanah
LS : Besarnya faktor panjang lereng dan kemiringan lereng. C
: Besarnya faktor pengelolaan penutup tanah (tanaman).
P
: Besarnya faktor tindakan pengelolaan tanah (konservasi tanah)
Selain dengan pengukuran langsung, penentuan sedimen DAS dapat dilakukan dengan pendugaan. Pendugaan sedimen yang berkembang pada saat ini adalah menggunakan model terdistribusi. AGNPS adalah salah satu model terdistribusi yang dapat memprediksi erosi, puncak aliran permukaan (banjir) dan hasil sedimen yang baik (Guluda, 1996). Komponen dasar model AGNPS adalah hidrologi, erosi, transport sedimen dan unsur hara. Model AGNPS dilakukan dengan melakukan penyelesaian persamaan keseimbangan massa dikerjakan secara simultan seluruh sel dan air serta polutan ditelusuri dalam rangkaian aliran di permukaan lahan dan saluran secara berurutan. Dasar prediksi yang digunakan adalah dalam satuan sel, sehingga areal DAS yang akan diprediksi harus dibagi habis kedalam sel-sel. Setiap sel dapat mencapai luas 4,6 hektar untuk luas DAS yang lebih kecil dari 930 hektar, atau luas sel dapat mencapai 18,6 hektar bila luas DAS yang diprediksi lebih luas dari 930 hektar.
64
Model AGNPS dalam operasionalnya melakukan perhitungan-perhitungan beberapa tahap. Tahap pertama, perhitungan inisial untuk seluruh sel dalam suatu DAS. Tahap kedua adalah penghitungan volume aliran permukaan yang meninggalkan sel yang berisi endapan dan impoudment untuk sel utama. Tahap ketiga
adalah
melakukan
penghitungan
untuk
memperoleh
laju
aliran
terkonsentrasi, untuk menurunkan kapasitas transpor kanal dan untuk menghitung laju aliran endapan dan hara aktual. Kapasitas model AGNPS adalah sebagai berikut: 1) model dapat memprediksi dengan hasil yang akurat di seluruh DAS berdasarkan parameter distribusi yang dipergunakan, 2) model dapat mensimulasi berbagai kondisi biofisik DAS secara bersamaan, 3) hasil prediksi model dapat meliputi aliran permukaan, hasil sedimen, kehilangan N dan P serta kebutuhan oksigen kimiawi, baik yang terjadi didalam setiap sel maupun kontribusi dari sel yang lain (Young dan Onstad, 1990). Secara ringkas diagram alir prediksi sedimentasi waduk dengan AGNPS disajikan paada Gambar 15.
Gambar 15 Diagram alir prediksi sedimentasi waduk dengan AGNPS.
65
Adapun erosi lahan yang terjadi di wilayah sub DAS Jeneberang dianalisis menggunakan program AGNPS (Young et all 1994) dengan Map Window sebagai interface (MWAGNPS). Analisis erosi menggunakan MWAGNPS dilakukan berdasarkan peta digital topografi, jenis tanah dan penutupan lahan. Dalam model MWAGNPS, prediksi erosi dilakukan dengan metode USLE yang diperoleh dari hubungan antara faktor-faktor penyebab erosi itu sendiri (Leon dan George, 2009). Perhitungan dalam MWAGNPS dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah dengan memberikan inisial kepada semua sel yang dibuat. Tahap ini mencakup perkiraan untuk erosi hulu, volume limpasan, waktu saat aliran permukaan menjadi terkonsentrasi, sedimen dan aliran limpasan yang terjadi, dan polutan yang berasal dari sumber titik input. Tahap kedua menghitung volume limpasan yang meninggalkan sel-sel dan produk sedimen pada sel utama. Sel utama adalah salah satu sel yang tidak mengalir ke sel lain. Sedimen dari setiap sel kemudian dibagi menjadi lima kelas ukuran partikel: tanah liat, lumpur, agregat halus, agregat kasar, dan pasir. Tahap ketiga, proses perhitungan dibuat untuk menetapkan tingkat aliran terkonsentrasi, untuk mengatur kapasitas saluran, dan menghitung laju aliran sedimen aktual yang terjadi. Seluruh data dipresentasikan dalam bentuk grid ber-georeference dengan ukuran sel (500 x 500)m. Data DEM diperoleh dari hasil analisis peta topografi, peta landuse dan jenis tanah dengan skala 1:50.000 (BPDAS Jeneberang). Data curah hujan diperoleh dari badan Meteorologi dan Geofisika (BBWS Pompengan-Jeneberang) dengan perwakilan pos hujan dam Bili-Bili, Jonggoa dan Malino. Faktor K, C dan P dibagi per grid/sel yang ditentukan berdasarkan ukuran yang telah ditetapkan dengan jumlah grid/sel sesuai dengan luas wilayah sub DAS Jeneberang. Prediksi faktor penyebab erosi berdasarkan persamaan USLE diperoleh berdasarkan data curah hujan untuk menentukan nilai erosivitas (R). selanjutnya dari peta jenis tanah digunakan untuk menentukan nilai erodibilitas (K), kemudian data DEM dari peta topografi untuk menentukan nilai kemiringan lereng (LS). Adapun untuk nilai jenis tanaman (C) diperoleh dari data peta penggunaan lahan dan nilai konservasi lahan (P) diambil nilai 1 (tanpa konservasi). Penyeragaman proyeksi semua peta harus dilakukan agar data spasial dari semua peta dapat di
66
overlay dan dianalisis. Proyeksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah UTM (Universal Transverse Mercator) dengan datum WGS 84 dan zone 50S. transformasi proyeksi peta dilakukan dengan software ArcView 3.3 dengan bantuan extensions Projection Utility Wizard serta perangkat lunak ArcGIS 9.2. - Prediksi sedimen dengan Sediment Delivered Ratio (SDR) Memperkirakan besarnya hasil sedimen dilakukan dengan menghitung besarnya Sediment Delivered Ratio (SDR) suatu daerah tangkapan air.
SDR
adalah perbandingan antara hasil sedimen yang terangkut kedalam sungai terhadap jumlah erosi yang terjadi didalam DAS. Apabila SDR mendekati satu artinya semua tanah yang terangkut erosi masuk kedalam sungai (Arsyad, 2006). SDR = 0,41 A-0,3
dimana A = luas DAS (km2)
Y = SDR x E Menurut SCS National Engineering Handbook dalama Asdak (2004) untuk luas daerah tangkapan air tertentu, besarnya perkiraan hasil sedimen dapat ditentukan dengan : Y = E . SDR . Ws Dimana : Y E SDR Ws
= = = =
hasil sedimen per satuan luas erosi total perbandingan pelepasan sedimen luas daerah tangkapan air
4.3.2. Analisis Longsoran Kaldera dan Tingkat Sedimentasi Waduk Bili-Bili a. Jenis dan sumber data Jenis data yang digunakan untuk menganalisis longsoran dan tingkat sedimentasi di waduk Bili-Bili terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer yang dikoleksi adalah elevasi sedimentasi di sepanjang sungai Jeneberang dan waduk Bili-Bili yang diperoleh berdasarkan hasil pengukuran echosounding di waduk, dan data sekunder berupa karakteristik DAS dan waduk Bili-Bili berdasarkan hasil dari survei lapangan. Adapun data sekunder yang dikoleksi adalah data Infrastruktur Waduk Bili-Bili dari Balai PSDA dan PU, kondisi iklim dan cuaca dari Badan Meteorologi dan Geofisika.
67
b. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dilakukan dengan Survey lapangan untuk mendapatkan data primer yang dibutuhkan dengan melakukan pengamatan sedimen di beberapa titik pengamatan yang representatif. Kegiatan pengukuran diarahkan untuk mengambil data primer seperti elevasi sedimentasi yang terjadi di badan sungai dan waduk. Pengambilan data sekunder, dilakukan pada berbagai instansi yang terkait dengan pengelolaan waduk dan melakukan studi literatur. c. Analisis Data Perhitungan besarnya volume sedimen akibat terjadinya longsoran Kaldera dilakukan beberapa analisis yaitu: uraian deskriptif melalui peta digital kontur dan data sekunder untuk mengetahui keadaan karakteristik daerah tangkapan waduk. selanjutnya, dilakukan analisis disepanjang hulu sungai Jeneberang dan di waduk Bili-Bili serta analisis kapasitas pengendalian sedimentasi menggunakan bangunan Sabo Dam. - Analisis volume sedimen di sepanjang hulu sungai Jeneberang Volume sedimentasi yang terjadi di hulu sungai Jeneberang dianalisis berdasarkan data hidrologi dan data hasil pengukuran lapangan yang dilakukan dengan menggunakan 26 titik potongan melintang (cross section). Volume sedimentasi diperhitungkan berdasarkan elevasi untuk setiap titik potong yang dibandingkan dengan data elevasi awal sebelumnya. - Analisis volume sedimentasi yang terjadi di Waduk Bili-Bili Volume sedimentasi yang terjadi di waduk Bili-Bili dianalisis berdasarkan data pengukuran lapangan (echosounding) tingkat elevasi sedimentasi pada menggunakan 22 titik potongan melintang (cross section). Volume sedimentasi diperhitungkan berdasarkan elevasi untuk setiap titik potong yang dibandingkan dengan data elevasi awal sebelumnya. - Analisis Kapasitas Bangunan Sabo Perhitungan besarnya volume sedimen per tahun (Qs) di lokasi pembangunan Sabo didekati dengan perkalian antara luas daerah tangkapan air (m2) dengan tingkat sedimentasi di daerah tangkapan air tersebut (mm/thn).
68
Tingkat sedimentasi dihitung dari volume sedimen yang terendapkan di waduk setiap tahunnya. Qs = Luas x tingkat sedimentasi / tahun Kapasitas bangunan Sabo tipe tertutup dihitung berdasarkan tinggi bangunan Sabo dan geometri sungainya (Subarkah, 2005). Vs = ½ HBL1
L1 = H / (I0 – Is)
Vtot = ½ HBL2
L2 = H / (I0 – Id)
Dimana : Vs Vtot B H I0 Is Id
= = = = = = =
volume tampungan mati Vs + volume kontrol lebar sungai rata-rata tinggi check dam kemiringan dasar semula kemiringan statis = ½ I0 kemiringan dinamis = ¾ I0
- Analisis Trap Efficiency Waduk Perbandingan antara sedimen yang diendapkan terhadap sedimen yang terbawa masuk adalah menunjukkan efisiensi waduk dalam menangkap sedimen biasa disebut trap efficiency waduk. Berdasarkan EM 1110-2-4000 disebutkan Trap efficiency waduk dinyatakan dalam persentase total sedimen masuk yang terendapkan di waduk dengan persamaan sebagai berikut (EM, 1995): E = (Ys (masuk) - Ys (keluar) ) / Ys (masuk) Dimana :
E = Trap efficiency dalam desimal Ys (masuk) = hasil sedimen masuk dalam satuan berat Ys (keluar) = hasil sedimen keluar dalam satuan berat
Selanjutnya disebutkan bahwa Brown telah mengembangkan sebuah kurva yang menunjukkan rasio antara kapasitas waduk (C dalam are-ft) dan luas DAS (W dalam mil persegi) terhadap trap efficiency (E dalam %)
dalam sebuah
persamaan yaitu (EM, 1995): E = 100 [ 1 -1 / (1 + KC/W)] Dimana koefisien K adalah antara 0,046 s/d 1,0 dengan nilai median = 0,1.
69
Gambar 16 Ratio kapasitas waduk dan luas DAS terhadap trap efficiency. 4.3.3. Model Sistem dinamik pengendalian sedimentasi di Waduk Bili-Bili a. Jenis dan sumber data Dalam membangun model pengendalian sedimentasi Waduk Bili-Bili dilakukan dengan menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer terdiri dari kendala, analisis kebutuhan dan lembaga yang terlibat dalam pengelolaan pengendalian sedimentasi di waduk Bili-Bili. Data sekunder terdiri dari faktor-faktor dan variabel penting yang terdiri dari tingkat sedimentasi waduk, tingkat erosi lahan dan kapasitas longsoran. b. Metode pengumpulan data Metode pengumpulan data dalam penyusunan model pengendalian sedimentasi waduk Bili-Bili dilakukan dengan kuesioner, wawancara, diskusi dan survey lapangan terhadap responden yang terdiri dari stakeholders terkait dan pakar. Data sekunder diperoleh dari beberapa sumber pustaka dan dokumen dari instansi terkait dengan pengelolaan waduk Bili-Bili. c. Analisis data Analisis data yang dilakukan adalah dengan melakukan pendekatan sistem yaitu suatu metode pemecahan masalah yang dimulai dengan melakukan identifikasi serangkaian kebutuhan sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif. Eriyatno (2007) menjelaskan bahwa ada beberapa tahapan yang harus dilakukan antara lain menentukan tujuan model,
70
penentuan stakeholders, analisis kebutuhan, formulasi permasalahan, identifikasi sistem dan pemodelan. Tahap analisis kebutuhan yaitu dengan menentukan komponen-komponen yang berpengaruh dan berperan dalam sistem pengendalian sedimentasi waduk. Kebutuhan setiap komponen atau stakeholders berbeda sesuai dengan tujuan dan tingkat kepentingan masing-masing, saling berinteraksi satu sama lain dan berpengaruh terhadap sistem pengendalian tersebut. Formulasi masalah disusun berdasarkan sumberdaya dan kepentingan pelaku. Pertama adalah adanya keterbatasan sumberdaya yang dimiliki. Kedua adalah adanya perbedaan kepentingan diantara stakeholders untuk mencapai tujuan dari sistem tersebut. Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan khusus dari masalah yag harus diselesaikan
untuk
mencukupi
kebutuhan
tersebut.
Hubungan
tersebut
digambarkan dalam bentuk diagram lingkar sebab akibat (causal loop). Selanjutnya diagram lingkar sebab akibat tersebut diinterpretasi kedalam diagram input-output. Berdasarkan analisis kebutuhan, formulasi masalah, dan identifikasi sistem maka rancangan model pengendalian sedimentasi waduk dibangun melalui 4 submodel, yaitu: - Submodel pengendalian erosi lahan dimana komponennya adalah iklim, jenis tanah, panjang dan kemiringan lereng, faktor tanaman, pengelolaan lahan dan tindakan konservasi. Volume sedimen lahan diperoleh berdasarkan tingkat erosi lahan yang dikalkulasi berdasarkan persamaan erosi dari USLE dengan parameter input RKLSCP serta luasan waduk. - Submodel pengendalian longsoran dimana komponennya adalah longsoran kaldera, bangunan sabo dam penahan, bangunan sabo dam konsolidasi, bangunan sand pocket dan penambangan (sand mining). Volume sedimen longsoran dihasilkan berdasarkan massa longsoran kaldera dan efektifitas dari seri bangunan pengendali yang telah ada berdasarkan kapasitasnya serta volume aktifitas penambangan serta pengerukan pada
71
wilayah hulu waduk. Massa longsoran diperhitungkan dengan kemungkinan adanya longsoran susulan sebagai antisipasi terhadap keberlanjutan waduk. - Submodel
sosial
ekonomi
dimana
komponennya
adalah
pendapatan
penambang, pertumbuhan penambangan, volume penambangan, pajak penambangan. Memperhitungkan dampak sosial melalui partisipasi masyarakat (jumlah pemanfaatan tenaga kerja) dan ekonomi melalui tingkat pendapatan masyarakat terhadap aktifitas penambangan sedimen yang tertampung pada bangunan pengendali Sand Pocket maupun area lainnya. - Submodel kapasitas waduk dimana komponennya adalah tingkat sedimentasi akibat longsoran, tingkat sedimentasi akibat erosi lahan, kapasitas waduk dan outflow sedimentasi. Memperhitungkan indeks kapasitas waduk yang merupakan perbandingan kapasitas mati waduk dan sedimentasi lahan dan longsor yang masuk. Kapasitas waduk dikaitkan dengan aktifitas penambangan material sedimen dan juga aktifitas pengerukan sebagai salah satu pengendali sedimen secara mekanis di bagian hulu waduk. Perumusan rancangan alternatif atau skenario model pengendalian sedimentasi waduk yang dibangun berdasarkan dari empat submodel tersebut dilakukan dengan menggunakan analisis program Stella 9.02. Model yang dibangun diuji kebenarannya berdasarkan kondisi objektif dengan melakukan uji validitas dan sensitivitas model. Uji validitas dilakukan melalui uji struktur dan uji kinerja model. Uji validitas struktur dilakukan untuk mengetahui tingkat keyakinan akan struktur model valid secara ilmiah. Apakah konstruksi model yang dibangun sesuai dengan teori dan konsisten. Uji validitas kinerja dilakukan untuk memperoleh keyakinan kesesuaian model dengan keadaan yang sebenarnya atau sesuai dengan data empirik. Uji validitas kinerja dilakukan berdasarkan nilai AME (Absolute Mean Error) dan AVE (Absolute Variation error) dengan nilai penyimpangan yang diizinkan adalah 5-10%. Adapun uji sensitivitas dilakukan untuk mengetahui tingkat kekuatan model terhadap waktu. Hal ini dilakukan dengan menguji respon model terhadap stimulus dengan tujuan untuk menemukan tindakan baik untuk mempercepat
72
kemungkinan pencapaian positif, atau mengantisipasi dampak negatif. Uji sensitivitas dapat dilakukan dengan memberikan fungsi-fungsi khusus kepada model (intervensi fungsional) atau dengan mempengaruhi hubungan antar unsur atau struktur model dengan cara mengubahnya (intervensi struktural). Berdasarkan model yang telah diuji kemudian dilakukan beberapa simulasi melalui skenario yang dibuat untuk memperoleh hasil yang terbaik dari alternatifalternatif yang ada. Faktor sosial disimulasikan berdasarkan dampak dari aktifitas penambangan sedimentasi yang tertampung terhadap penyerapan tenaga kerja baik pada saat pelaksanaan fisik bangunan pengendali maupun pada aktifitas penambangan. Selanjutnya faktor ekonomi tentu saja mengkalkulasi penghasilan yang diperoleh masyarakat setempat dari aktifitas yang dilakukan yaitu sebagai tenaga kerja ataupun sebagai pengusaha pada penambangan material sedimen.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Karakteristik Sumber Sedimen Daerah Tangkapan Air Waduk dan Tingkat sedimentasi di Waduk Bili-Bili 5.1.1. Analisis Tingkat Erosi Lahan pada Sub DAS Jeneberang Erosi tanah merupakan kejadian alam yang pasti terjadi dipermukaan daratan. Besarnya erosi sangat tergantung dari beberapa faktor alam di tempat kejadian erosi tersebut, namun demikian saat ini manusia juga ikut berperan penting atas terjadinya erosi. Adapun faktor alam yang mempengaruhi erosi adalah erodibilitas tanah, karakteristik landsekap dan curah hujan. Akibat dari adanya pengaruh manusia dalam proses peningkatan laju erosi seperti pemanfaatan yang tidak sesuai dengan peruntukannya dan/atau pengelolaan lahan yang tidak didasari tindakan konservasi tanah dan air menyebakan perlunya dilakukan suatu analisis tingkat erosi lahan sehingga bisa dilakukan suatu pengelolaan lahan yang berfungsi untuk memaksimalkan produktivitas lahan dengan tidak mengabaikan keberlanjutan dari sumberdaya lahan. a. Data Curah Hujan Data curah hujan untuk Daerah Aliran Waduk Bili-Bili diambil dari 3 stasiun curah hujan, yaitu Bili-Bili Dam, Jonggoa dan Malino. Ketiga stasiun curah hujan tersebut dipilih karena dapat mewakili data curah hujan yang mempengaruhi jumlah curah hujan di wilayah sub DAS Jeneberang. Dari data curah hujan bulanan sejak tahun 2002 sampai dengan tahun 2008 menunjukkan bahwa musim hujan diawali pada bulan Oktober dan berakhir pada bulan Juni. Untuk setiap tahunnya rata-rata terdapat 9 bulan basah dan 3 bulan kering. Pada musim hujan jumlah curah hujan maksimum terjadi pada bulan Desember tahun 2008 yaitu sebesar 1129 mm (stasiun Malino) dan rata-rata bulanan sebesar 259 mm/bulan. Pada bulan basah (Oktober-Juni) curah hujan minimum terjadi pada bulan April tahun 2005 yaitu sebesar 79 mm (stasiun BiliBili Dam). Grafik jumlah curah hujan bulanan untuk setiap stasiun pengamatan disajikan pada Gambar 17.
74
Jumlah Curah Hujan Bulanan Sta. Bili-Bili Dam (mm/bln) 1200
Curah Hujan (mm )
1000
Rerata
Max
Min
800 600 400 200 0 Jan
Peb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nop
Des
Nop
Des
Nop
Des
Jumlah Curah Hujan Bulanan Sta. Jonggoa (mm/bln) 1200
Curah Hujan (mm )
1000
Rerata
Max
Min
800 600 400 200 0 Jan
Peb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Jumlah Curah Hujan Bulanan Sta. Malino (mm/bln) 1200
Curah Hujan (mm )
1000
Rerata
Max
Min
800 600 400 200 0 Jan
Peb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Gambar 17 Grafik Curah Hujan Bulanan untuk setiap stasiun. Dari data curah hujan, disajikan bahwa intensitas hujan pada bulan Juli, Agustus dan September sangat rendah dengan jumlah hari hujan rata-rata 5 hari. Curah hujan rata-rata pada bulan tersebut adalah kurang dari 150 mm, dimana
75
berdasarkan kriteria BMG (Tjasyono, 2004), bulan ini dikategorikan sebagai bulan kering. Intensitas hujan yang rendah memiliki energi kinetik yang rendah pula sehingga erosi percikan yang terjadi sangat kecil atau bahkan tidak ada, limpasan permukaan juga tidak terjadi karena hujan dengan intensitas yang rendah akan langsung terinfiltrasi kedalam tanah akibat keringnya lapisan tanah yang disebabkan oleh adanya penguapan. Dengan demikian pada bulan Juli, Agustus dan September diperkirakan tidak terjadi erosi. Pada bulan Oktober sampai dengan bulan Juni curah hujan dalam sebulan lebih dari 150 mm, dikategorikan dalam bulan basah. Intensitas hujan yang terjadi sangat besar dan berlangsung rata-rata 25 hari dalam sebulan. Intensitas hujan tersebut menghasilkan energi kinetik yang besar dan aliran permukaan yang lebih banyak sehingga menyebabkan terjadinya erosi yang cukup besar. Evaporasi pada musim hujan tidak terlalu mempengaruhi kandungan air pada lapisan tanah karena kondisi tanah yang selalu basah akibat kejadian hujan yang sering terjadi dengan intensitas tinggi.
Curah Hujan (mm)
5000
Curah Hujan Tahunan (mm/thn)
4500 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Bili-Bili
2606
2652
1708
1429
2931
3564
3721
Jonggoa
1564
3837
2920
3321
3414
3618
3856
Malino
2810
4039
2079
2992
3798
4132
4385
Rerata
2327
3509
2236
2581
3381
3771
3987
Gambar 18 Grafik rerata Curah Hujan Tahunan dari Tahun 2002-2008. Selanjutnya dari grafik data curah hujan tahunan rata-rata (Gambar 18) dari ketiga stasiun pengamatan maka curah hujan di wilayah hulu DAS Jeneberang berkisar antara 2.327 – 3.987 mm/tahun dengan rata-rata sebesar 3.113 mm/tahun. Dari rerata curah hujan tahunan selama 7 tahun menunjukkan
76
bahwa peningkatan jumlah curah hujan terjadi pada tahun 2004 sampai pada tahun 2008. Curah hujan maksimum rata-rata adalah 3.987 mm/thn. Jika dilihat dari setiap stasiun curah hujan, tingkat curah hujan tertinggi adalah pada stasiun Malino yang berada di hulu DAS Jeneberang dengan curah hujan sebesar 4.385 mm/thn terjadi pada tahun 2008. b. Prediksi Erosi Menggunakan MWAGNPS Model MWAGNPS (Map Windows Agricultural Non-Point Source Pollution) adalah suatu model yang menggunakan Map Window sebagai interface dapat mensimulasikan limpasan permukaan, transpor sedimen, dan unsur hara terutama dari DAS pertanian. Model memiliki kemampuan untuk menghasilkan karakteristik erosi yang terjadi pada setiap titik di seluruh jaringan DAS. Kemampuan ini didasarkan pada penggunaan model sel. Sel-sel persegi yang seragam membagi daerah aliran sungai, dan semua karakteristik daerah aliran sungai dengan input dinyatakan pada tingkat sel. Komponen model menggunakan persamaan dan metodologi yang telah diakui dan banyak digunakan oleh badan peneliti konservasi seperti Konservasi Tanah USDA. Limpasan volume dan laju aliran puncak diperkirakan dengan menggunakan kurva limpasan metode nomor SCS. Erosi lahan dan laju sedimen diperkirakan dengan menggunakan bentuk modifikasi dari Persamaan erosi USLE (Arsyad, 2006). Sedimen disalurkan dari sel ke sel melalui DAS ke outlet menggunakan transport sedimen yang didasarkan pada persamaan kontinuitas. Aplikasi MWAGNPS memerlukan data DEM (Digital Elevation Model) untuk menghasilkan gambaran faktor LS yang lebih spesifik dalam setiap sel. Dalam perkembangannya, ada beberapa formula untuk menentukan nilai faktor LS berbasis DEM dalam MWAGNPS mempertimbangkan heterogenitas lereng serta mengutamakan arah dan akumulasi aliran dalam perhitungannya (Leon and George, 2009). Semua karakteristik DAS dan input lainnya diinformasikan dalam setiap sel. Sebuah sel tunggal dapat dibuat dengan resolusi 2,5 hektar sampai 40 acre (1 acre = 4.047 m2). Ukuran sel yang kecil seperti 10 hektar (200 x 200 sel) dianjurkan untuk DAS yang kurang dari 2000 hektar (8 km2). Untuk wilayah yang melebihi 2.000 hektar, biasanya digunakan ukuran sel 40 hektar (400 x 400 m) untuk melakukan diskritisasi di daerah aliran sungai.
77
Erosi lahan yang terjadi di wilayah sub DAS Jeneberang dianalisis menggunakan program AGNPS (Young,R.A, et all 1994) dengan Map Window sebagai interface (MWAGNPS). Analisis erosi menggunakan MWAGNPS dilakukan berdasarkan peta digital topografi, jenis tanah dan penutupan lahan (Leon and George, 2009). Peta elevasi hasil dari TIN menghasilkan peta aliran seperti pada Gambar 19 yang telah dikonversi ke bentuk grid dengan bantuan data DEM yang terbentuk. Selanjutnya, arah aliran dari suatu sungai diperoleh berdasarkan kondisi topografi sebagai tempat terakumulasinya aliran dari tempat dengan elevasi yang tinggi ke tempat yang rendah. Untuk lebih jelasnya arah aliran berdasarkan dari AGNPS disajikan pada Gambar 20. Selanjutnya, peta citra sub DAS Jeneberang skala 1:50.000 di overlay dengan peta DEM sebagai dasar grid dengan resolusi 500 x 500 m. dari luasan 25 ha per grid menghasilkan 1478 grid. Dari hasil keluaran model dengan nilai masukan curah hujan harian ratarata yang terbesar selama 7 tahun sebesar 31,66 mm dengan nilai energi intensitas hujan 30 menit (EI30) sebesar 25,89 diperoleh besarnya laju erosi di outlet sebesar 44,81 ton/ha/thn, laju sedimentasi sebesar 2,22 ton/ha/thn dan sedimen total sebesar 203283,00 ton. Selanjutnya disajikan pada Tabel 17. Tabel 17 Keluaran sedimen model di outlet sub DAS Jeneberang
Jenis partikel Liat Debu Aggregat halus Aggregat kasar Pasir Total
Analisis Sedimen Erosi per satuan luas Sedimen per NPS satuan luas Daratan Saluran (%) (ton/ha/th) (ton/ha/th) (ton/ha/th) 2,87 3,22 22,79 12,90 3,04 44,81
0 0 0 0 0 0
75 2 0 0 0 5
2,15 0,06 0 0 0 2,22
Sedimen total (ton) 196988,00 5101,98 1110,50 63,69 18,82 203283,00
Nilai Nisbah Pelepasan Sedimen (NPS) yang mendekati 100% artinya semua tanah yang tererosi masuk kedalam sungai (Arsyad. 2006). NPS di sub DAS Jeneberang total sebesar 5%. Nilai tersebut menunjukkan bahwa hanya 5% dari total erosi yang terjadi di sub DAS Jeneberang yang masuk ke saluran (sungai) dan menjadi sedimen. Sedangkan sisanya sebesar 95% mengendap di
78
tempat lain sebelum sampai ke saluran sungai. Jenis partikel yang mempunyai nilai NPS tertinggi berupa partikel liat sebesar 75%. Sementara aggregat halus yang paling banyak tererosi sebesar 22,79 ton/ha. Selanjutnya sebaran ruang laju sedimentasi total akibat kejadian hujan terbesar dalam bentuk spasial disajikan pada Gambar 21. Berdasarkan Gambar tersebut dapat terlihat penyebaran sedimen total sub DAS Jeneberang setiap sel sebesar 0 – 203283,48 ton. Sedimen total semakin besar pada grid yang terdapat aliran sungai. Laju sedimentasi yang tinggi menyebabkan peningkatan jumlah sedimen yang mengendap di sepanjang sungai. Semakin ke hilir (outlet), sedimen total akan semakin meningkat. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab meningkatnya sedimentasi di waduk Bili-Bili sehingga dapat terancam tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Selanjutnya rekapitulasi laju erosi untuk berbagai penutupan lahan berdasarkan informasi dari setiap grid/sel disajikan pada Tabel 18. Laju erosi permukaan yang terbesar terdapat di sel dengan penutupan lahan berupa ladang/tegalan sebesar 29.552,14 ton/ha/th dan semak belukar sebesar 24.545,38 ton/ha/th. Sedangkan hutan, sawah dan pemukiman mempunyai laju erosi yang cukup kecil. Tabel 18 Rekapitulasi Laju Erosi dan Sedimen untuk berbagai penutupan lahan Penutupan lahan
Luas (ha)
Hutan Ladang/Tegalan Pemukiman Sawah Semak Belukar
12.250 9.348 107 10.455 6.290
Jumlah Laju Erosi (ton/ha/th)
Jumlah Sedimen total (ton)
8.138,30 29.552,14 471,41 131,02 24.545,38
674.773,07 4.562.625,84 32.224,13 1.201,08 2.263.870,34
Adapun sebaran laju erosi permukaan akibat kejadian hujan rata-rata terbesar dalam bentuk spasial disajikan pada Gambar 22. Gambar tersebut menunjukkan penyebaran laju erosi permukaan sub DAS Jeneberang setiap sel besarannya antara 0-2500 ton/ha. Dominan kejadian erosi terbesar berada di wilayah hulu dengan kemiringan yang curam sampai sangat curam.
Gambar 19 Peta DEM elevasi sub DAS Jeneberang. 79
Gambar 20 Peta arah aliran sub DAS Jeneberang berdasarkan grid.
80
Gambar 21 Peta penyebaran sedimen total sub DAS Jeneberang. 81
Gambar 22 Peta penyebaran laju erosi permukaan sub DAS Jeneberang.
82
83
Erosi merupakan masalah utama di hulu DAS Jeneberang. Dari penelitian sebelumnya diketahui bahwa erosi yang terjadi di hulu DAS Jeneberang sudah sedemikian parah sehingga menimbulkan lahan kritis. Luas lahan kritis di DAS Jeneberang adalah seluas 53.471 ha dan cenderung terus meningkat (Anonim, 2003). Kondisi tanah yang peka terhadap erosi, topografi wilayah yang pada umumnya miring sampai sangat miring dan intensitas curah hujan yang tinggi menyebabkan laju erosi sangat tinggi. Akibatnya, sedimentasi waduk ikut meningkat. Hasil penelitian sebelumnya juga menyatakan bahwa, di hulu DAS Jeneberang penyebaran erosi sangat berat penyebarannya berada pada bagian atas hulu DAS Jeneberang. Lahan yang mengalami erosi berat penyebarannya beada pada bagian tengah, dan yang mengalami erosi sedang penyebarannya pada bagian bawah hulu DAS Jeneberang (Saida, 2011). Pada wilayah dengan penutupan tanah berupa hutan dapat menahan laju aliran permukaan, sehingga volume dan kecepatan aliran permukaan dapat berkurang (Asdak, 2010). 5.1.2. Analisis Longsoran Kaldera di sub DAS Jeneberang Longsoran Kaldera Bawakaraeng yang terjadi tahun 2004 menyebabkan sedimentasi di sepanjang sungai Jeneberang. Analisis sedimentasi akibat longsoran dilakukan berdasarkan hasil survey pengukuran lapangan (2004-2008) dengan 26 titik potong melintang (BP01-BP26) di sepanjang sungai Jeneberang bagian hulu Waduk Bili-Bili seperti terlihat pada Gambar 22.
BP-01
Salo Malino SB Salo Rakikang
BP-05 Bili-Bili Reservoir SB
Jene
Salo Rakikang SB
bera
Bili-Bili
ng R
iver Jonggoa
BP-10
CD-13 Salo Takapala SB
Jeneberang River
Jeneberang R1 SB Bili-Bili Dam
BP-15
o in al Malino M o l BP-20 Sa
CD-10
Mangempang
Jeneberang R2 SB
Jeneb e River rang Daraha Dam SB
BP-26
Limbunga 0
2
4
6
Gambar 23 Lokasi survey cross section sepanjang Sungai Jeneberang Bagian hulu Waduk Bili-Bili.
84
Volume sedimentasi di sepanjang sungai Jeneberang dihitung berdasarkan perubahan elevasi dasar sungai dari tahun 2004 sampai tahun 2008 dan selanjutnya dihitung perbedaan luas penampang untuk masing-masing titik potong. Adapun hasil analisis yang telah dilakukan berdasarkan perbandingan luas penampang setiap tahunnya disajikan pada Tabel 19. Tabel 19 Volume sedimen untuk setiap titik Cross Section tahun 2004-2008
No.
Jarak
Akumu lasi Jarak (m)
Vol. sedimen 20032004
20042005
20052006
20062007
20072008
(m3)
(m3)
(m3)
(m3)
(m3)
Sabo dam
BP-1
0
0
0
0
0
0
0
BP-2
969
969
0
353.985
71.433
187.064
141.664
BP-3
836
1.805
0
325.153
68.372
119.425
1.121.601
SP-1
BP-4
1.167
2.972
0
493.381
249.748
410.607
1.930.867
SP-2
BP-5
1.630
4.602
0
579.694
295.673
649.789
648.828
BP-6
678
5.280
0
233.072
26.784
61.979
27.655
BP-7
555
5.835
0
216.912
20.590
94.349
5.354
BP-8
1.037
6.872
792.268
183.248
6.090
825.566
137.464
BP-9
1.128
8.000
2.357.520
253.205
48.942
813.225
226.456
BP-10
1.207
9.207
3.629.147
349.562
115.270
513.222
375.139
BP-11
1.449
10.656
4.546.238
1.001.023
134.766
571.519
589.324
BP-12
1.478
12.134
5.978.141
902.526
655.441
512.727
311.417
BP-13
1.048
13.182
5.509.860
178.110
578.298
377.187
156.258 KD-1
BP-14
1.337
14.519
5.178.535
197.879
476.782
115.117
340.064
BP-15
898
15.417
1.893.209
127.506
313.510
50.956
183.328
BP-16
686
16.103
1.717.230
105.164
185.648
6.481
72.139
BP-17
1.134
17.237
2.584.670
76.618
315.652
143.057
176.641
BP-18
1.509
18.746
1.590.863
623.110
357.080
290.336
156.710 KD-2
BP-19
390
19.136
296.888
201.245
82.815
37.483
30.342
BP-20
1.459
20.595
1.940.105
2.241.106
182.658
544.599
140.740
BP-21
844
21.439
1.497.467
2.665.345
129.418
328.340
109.796 KD-3
BP-22
407
21.846
569.698
746.939
84.517
75.429
46.710 KD-4
BP-23
790
22.636
883.615
1.482.493
164.051
718.346
BP-24
1.894
24.530
1.474.953
3.453.771
794.173
1.447.067
14.983 CD-3
BP-25
904
25.434
1.955.126
315.813
240.438
0
6.476 CD-4
BP-26
279
25.713
632.423
84.308
0
0
0
45.027.954
17.391.167
5.598.149
8.893.869
6.953.921
Total
SP-3
SP-4 SP-5
3.964 CD-1-2
Berdasarkan data diperoleh bahwa total endapan sejak tahun 2004 sampai dengan 2008 adalah 83.865.060 m3. Adapun total volume erosi adalah 18.212.962 m3 sehingga total volume aliran sedimen yang terjadi pada saat itu telah mencapai
85
65.652.098 m3. Hal ini menunjukkan telah terjadi peningkatan jumlah sedimen secara total terutama pada saat terjadinya longsoran kaldera pada tahun 2004 yang menyebabkan volume endapan sebesar 45.027.954 m3. Secara rinci dapat diperhatikan pada Tabel 20 dan Gambar 24. Tabel 20 Volume Aliran Sedimen Tahun 2003-2008 Tahun
Volume Endapan Tahunan (m3)
Volume Erosi Tahunan (m3)
Volume Aliran Sedimen (m3)
2003
0
0
0
2004
45.027.954
0
45.027.954
2005
17.391.167
2.192.642
15.198.525
2006 2007
5.598.149 8.893.869
5.147.673 5.834.397
450.477 3.059.472
2008
6.953.921
5.038.250
1.915.671
Total
83.865.060
18.212.962
65.652.098
Gambar 24 Grafik Volume aliran Sedimen dari tahun 2004 – 2008. Namun demikian jika diperhatikan perubahan volume aliran sedimen setiap tahun ternyata dapat dikendalikan. Hal ini terlihat dari volume aliran sedimen sampai pada tahun 2008 telah berkurang menjadi 1.915.671 m3. Bangunan sabo dam sebagai pengendali sedimen yang dibangun sepanjang hulu sungai Jeneberang telah berfungsi efektif. Bangunan pengendali sedimen tersebut adalah berupa Sabo dam (SD) sebagai pengendali sedimen utama yang mampu menahan pergerakan sedimen dari kaldera dibangun tujuh buah terletak di bagian
86
hulu. kemudian Konsolidasi dam (KD) sebagai pengendali aliran debris dan angkutan sedimen dibangun di bagian tengah sebanyak 6 buah serta bangunan penangkap pasir/sand pocket (SP) untuk meminimalkan masuknya sedimen ke waduk Bili-Bili dibangun sebanyak 5 buah di bagian bawah dekat outlet waduk Bili-Bili. SP dibangun selain untuk pengendali sedimen juga dapat berfungsi untuk penampungan pasir sehingga dapat ditambang oleh penduduk setempat. 5.1.3. Analisis Tingkat Sedimentasi Waduk Tingkat sedimentasi di waduk Bili-Bili dianalisis dengan menggunakan data pengukuran echosounding yang diambil berdasarkan 22 garis cross section (L1-L22) di sepanjang area waduk Bili-Bili (Gambar 25). Untuk setiap garis melintang diambil data kedalaman dengan menggunakan perahu dan alat echosounding. Data yang dikumpulkan untuk setiap garis melintang rata-rata 50100 kali tergantung pada jarak tempuh dan keadaan lokasi. Pada setiap titik juga dilakukan plotting koordinat untuk menentukan letak dan posisi titik pengambilan data.
Gambar 25 Lokasi 22 titik cross section Waduk Bili-Bili. Volume sedimentasi waduk yang setiap tahun yang diukur berdasarkan data echosounding selanjutnya dianalisis berdasarkan luas penampang untuk setiap titik penampang. Volume dihitung berdasarkan luas penampang dengan jarak antara setiap titik penampang. Volume untuk setiap tahunnya diperhitungkan berdasarkan data elevasi terakhir.
87
Berdasarkan dari hasil analisis data untuk setiap penampang diperoleh bahwa tingkat sedimentasi waduk pada tahun 2009 telah mencapai total 75.055.327 m3. Jika dilihat perubahan tingkat sedimentasi sebelum terjadinya longsoran Kaldera yaitu sebesar 8.376.013 m3 (tahun 1997-2001) dan 14.558.105 m3 (tahun 2001-2004) sampai pada tahun 2009, menunjukkan terjadinya peningkatan yang cukup tinggi terutama pada tahun 2004-2005 yaitu sebesar 21.743.403 m3. Lebih lengkapnya disajikan pada Tabel 21. Tabel 21 Volume Sedimentasi per Penampang dari Tahun 1997-2009 Volume Sedimentasi ( m³ ) Penampang
1997 2001
2001 2004
2004 2005
2005 2006
2006 2007
2007 2008
2008 2009
1997 2009
L1 - L2
409.856
763.793
1.891.909
-293.390
258.556
261.401
386.616
3.417.340
L2 - L3
713.636
792.669
1.533.420
341.081
-277.302
319.661
311.805
3.415.309
L3 - L4
368.501
939.762
1.213.782
606.729
-468.159
285.148
458.805
3.119.420
L4 - L5
-83.064
1.155.873
-103.206
344.451
-297.905
203.527
567.300
1.583.448
L5 - L6
510.017
1.213.466
-187.245
225.511
302.773
832.048
780.298
2.844.820
L6 - L7
1.222.885
724.021
146.792
444.095
90.293
439.258
916.748
3.544.834
L7 - L8
410.489
33.860
2.426
294.374
146.836
-98.698
893.100
1.781.086
L8 - L9
-140.736
38.679
770.972
-1.180.029
1.012.080
253.517
2.296.148
2.797.114
L9 - L10
-588.242
91.733
1.525.169
-926.715
887.616
447.761
1.370.925
2.360.486
L10 - L11
-338.013
225.388
2.546.338
-918.752
1.299.883
943.648
819.973
3.634.817
L11 - L12
1.773.260
672.264
2.812.859
-824.250
625.277
1.323.508
626.262
5.685.673
L12 - L13
2.302.718
1.789.475
954.262
1.451.066
-177.507
1.166.898
511.840
6.831.854
L13 - L14
1.308.677
1.817.775
314.865
2.091.326
-870.950
410.868
265.050
4.926.742
L14 - L15
465.101
1.200.576
1.483.342
999.684
-545.585
-242.826
13.870
3.616.988
L15 - L16
-85.844
1.463.717
2.010.121
612.978
567.781
-307.047
137.009
4.705.762
L16 - L17
24.119
520.796
2.305.184
776.520
62.289
356.925
757.904
4.446.812
L17 - L18
321.434
-187.524
2.166.379
589.703
-388.331
852.853
938.192
3.439.853
L18 - 19
106.759
296.976
859.526
481.675
-207.272
634.998
562.324
2.099.988
L19 - 20
-325.541
1.004.805
-439.201
1.435.896
-792.915
416.070
1.205.163
2.088.207
L20 - 21
0
0
-63.966
22.526
-16.769
0
193.609
135.400
L21 - L22
0
0
-326
-2.991
0
0
83.173
79.856
8.376.013
14.558.105
21.743.403
6.571.487
1.210.690
8.499.518
Total
14.096.113 75.055.327
88
Berdasarkan data dari tahun 1997 sampai dengan tahun 2009 menunjukkan adanya peningkatan sedimentasi yang terjadi di waduk Bili-Bili. Peningkatan sedimentasi tersebut terutama pada tahun 2005 telah mencapai elevasi diatas 60 m (pada jarak kurang dari 1 km dari bendung). Jika dibandingkan pada tahun 2004 yang masih di elevasi 50 m. Hal ini menunjukkan telah terjadi peningkatan sedimentasi sekitar 10 m hanya dalam kurun waktu 1 tahun. Peristiwa longsoran kaldera pada tahun 2004 merupakan penyebab terjadinya peningkatan sedimentasi tersebut, namun selanjutnya tingkat sedimentasi di waduk Bili-Bili dapat dikendalikan dengan berkurangnya prosentase peningkatan sedimentasi untuk tahun 2006 sampai dengan 2009. Untuk lebih lengkapnya disajikan pada Tabel 22 dan Gambar 26. Tabel 22 Volume Sedimentasi per Elevasi dari Tahun 1997-2009 Volume Sedimentasi Waduk ( m³ )
Elevasi (m)
1997 2001
2001 2004
2004 2005
2005 2006
2006 2007
2007 – 2008
2008 2009
1997 2009
100 - 101.6
1.842
-275.776
527.018
990.417
-154.522
0
608.231
1.697.211
99.5 - 100
-9.633
37.292
330.530
392.344
-80.817
-76.776
861.316
1.454.256
90 - 99.5
-567.692
1.135.343
7.730.446
2.383.198 -3.082.315
1.526.989
2.475.848
11.601.815
80 - 90
4.506.471
6.003.469
3.918.494
2.138.179
2.802.795
4.889.476
2.242.136
26.501.020
70 - 80
1.697.957
2.788.171
2.212.287
-353.640
2.743.048
1.272.881
4.822.661
15.183.364
65 - 70
859.050
955.180
59.165
534.857 -1.279.009
772.503
1.647.066
3.548.811
60 - 65
793.352
1.972.217
3.391.338
486.130
326.941
114.446
1.195.383
8.279.807
50 - 60
785.561
1.857.772
3.574.124
0
-65.431
0
243.474
6.395.501
40 - 50
309.106
84.437
0
0
0
0
0
393.543
8.376.013 14.558.105
21.743.403
6.571.487
1.210.690
8.499.518 14.096.113
75.055.327
Total
110
100
Elevasi (m)
90
80
70 S.W.L = 101.6m
1997
2001
2004
2005
2006
Nov 2007
Apr-08
Nov-08
Apr-09
60
50
40 0
1.000
2.000
3.000
4.000
5.000
6.000
7.000
8.000
9.000
Jarak memanjang dari Bendung (m)
Gambar 26 Elevasi sedimentasi di waduk Bili-Bili Tahun 1997-2009.
89
Secara keseluruhan dari hasil pengukuran volume sedimentasi waduk diperoleh bahwa tingkat sedimentasi sebelum kejadian longsor Kaldera, sedimentasi yang tertampung di waduk Bili-Bili secara kumulatif adalah sebesar 8.376.000 m3 (April 2001). Lima tahun setelah kejadian longsor tersebut (2009) volume sedimen telah mencapai 75.055.000 m3 (Gambar 27). Dari gambar tersebut nampak bahwa akumulasi tingkat sedimentasi waduk paling tinggi adalah pada saat setelah kejadian longsoran kaldera tahun 2004, namun kemudian dapat dikendalikan pada tahun berikutnya sampai tahun 2009.
Volume Sedimentasi (103 m3)
80.000
75.055.000 m3
70.000 60.000 50.000 40.000
kapasitas design storage 29.000.000 m3
30.000 21.743 20.000
14.558
14.096
8.376
10.000
8.500
6.571 1.211
0 1997
2001
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Tahun
Gambar 27 Akumulasi Tingkat Sedimentasi di Waduk Bili-Bili 1997-2009. Volume sedimentasi yang masuk kedalam waduk Bili-Bili terdistribusi berdasarkan elevasi dasar waduk. Berdasarkan data teknis bangunan Waduk BiliBili diperoleh bahwa untuk elevasi 101,6 – 99,5 m adalah kapasitas waduk dengan fungsi sebagai pengendali banjir dan untuk penyediaan air baku batas elevasi adalah pada 99,5 – 65 m. Adapun untuk kapasitas Daya Tampung Mati (dead storage) pada elevasi 65 m dengan maksimal tampungan adalah 29.000.000 m3. Volume sedimentasi waduk jika dianalisis berdasarkan tinggi elevasi permukaannya menunjukkan bahwa sebagian besar sedimentasi terjadi pada elevasi 65 – 99,5 m yaitu sebesar 56.835.000 m3 atau 75,7% dari total sedimen yang masuk ke waduk. Kemudian sebesar 15.069.000 m3 (20,1%) yang sampai pada tampungan mati waduk yaitu pada elevasi dibawah 65 m. namun demikian,
90
jika dilihat khusus pada dead storage waduk maka dapat diartikan bahwa kapasitas tampungan mati telah terisi lebih dari 50%. Lebih lengkapnya dapat diperhatikan pada Tabel 23. Tabel 23 Prosentase total sedimentasi terhadap Kapasitas Waduk Kapasitas waduk (1000 m3) Pengendalian Banjir
Air Baku
Daya Tampung Mati Total
41.000
305.000
29.000 375.000
Elevasi (m)
Sedimentasi 3
(1000 m )
100 - 101.6
1.697
99.5 - 100
1.454
90 - 99.5
11.602
80 - 90
26.501
70 - 80
15.183
65 - 70
3.549
60 - 65
8.279
50 - 60
6.395
40 - 50
394
Total (1000 m3)
%
3.151
4,2
56.835
75,7
15.069
20,1
75.055
100
Berdasarkan data elevasi (echosounding) untuk setiap titik cross section (L1-L22) yang diambil disepanjang area waduk Bili-Bili dan data titik koordinat dari setiap titik pengamatan, dilakukan analisis 3 dimensi menggunakan bantuan software Surfer 8 untuk mendapatkan visualisasi perubahan permukaan hasil sedimentasi waduk dari tahun 1997 sampai dengan tahun 2009. Dari hasil analisis menunjukkan bahwa pada tahun 1997 permukaan hasil sedimentasi pada kedalaman lebih kecil dari 65 m (daya tampung mati) masih berada dalam keadaan yang normal (Gambar 31). Namun demikian perbedaan terlihat sangat signifikan jika melihat hasil plot untuk tahun 2009 dimana terlihat permukaan sedimen hasil sedimentasi sudah semakin tinggi (perubahan warna merah yang semakin dominan) mencapai batas elevasi maksimum untuk kapasitas daya tampung mati (Gambar 32). Perbandingan keadaan perubahan permukaan hasil sedimentasi waduk yang terjadi pada tahun 1997 dan 2009 menunjukkan peningkatan tingkat sedimentasi yang secara signifikan dapat mengganggu fungsi waduk.
91
Gambar 28 Visualisasi sedimentasi di waduk Bili-Bili Tahun 1997.
Gambar 29 Visualisasi sedimentasi di waduk Bili-Bili Tahun 2009.
92
Gambar 30 Visualisasi sedimentasi di waduk Bili-Bili Tahun 2004.
Gambar 31 Visualisasi sedimentasi di waduk Bili-Bili Tahun 2005.
93
Selanjutnya, jika memperhatikan hasil analisis perubahan permukaan hasil sedimentasi waduk setelah kejadian longsoran kaldera pada tahun 2004 yang ternyata berdampak pada hasil pengukuran pada tahun 2005. Perubahan tersebut nampak sekali menunjukkan peningkatan secara cepat terutama pada area dibawah elevasi 65 m (daya tampung mati). Dari hasil analisis visualisasi tiga dimensi juga menggambarkan secara jelas bahwa perubahan permukaan hasil sedimentasi waduk dari tahun 1997 sampai dengan 2009 dengan kapasitas volume 75 juta m3 terdistribusi ke dalam waduk secara tidak merata. Volume sedimen yang masuk ke waduk lebih dominan terkonsentrasi di area hulu waduk. Namun demikian area dead storage (daya tampung mati) yang berada di dekat bendungan tetap harus dikendalikan walaupun sedimen yang mencapai area tersebut hanya sekitar 20%. 5.1.4. Efisiensi tangkapan sedimen (trap efficiency) Jumlah sedimen yang tertahan atau mengendap di dalam waduk dapat dihitung yaitu dengan cara mencari besarnya trap efficiency yang didefinisikan sebagai perbandingan antara jumlah sedimen yang mengendap di waduk dengan total angkutan sedimen yang masuk ke dalam waduk. Metode yang digunakan untuk mengestimasi efisiensi tangkapan sedimen (trap efficiency) adalah metode yang diusulkan oleh Brune (EM.1995) yaitu data masukan berupa perbandingan antara kapasitas waduk dengan aliran air rata-rata yang masuk ke dalam waduk tiap tahun. Perhitungan untuk menentukan besarnya trap efficiency yaitu berdasarkan perbandingan antara kapasitas tampungan (C) dengan inflow aliran tahunan (I), kemudian perbandingan itu diplotkan pada grafik trap efficiency yaitu hubungan antara ratio of reservoir capacity to annual inflow (sumbu x) dengan sediment trapped percent (sumbu y), nilai tersebut akan berkurang sejalan dengan umur operasional karena kapasitas waduk akan berkurang akibat sedimen. Data kapasitas waduk diambil dari hasil pengukuran echosounding dari tahun 1997 sampai dengan tahun 2008. Adapun data inflow diambil dari rekaman Automatic Water Level Recorder (AWLR) dari tahun 1997 sampai dengan tahun 2008. Berdasarkan data tersebut kemudian dihitung
perbandingan dari nilai
94
kapasitas waduk dan inflow setiap tahun. Hasil perhitungan yang diperoleh berdasarkan data kapasitas waduk dan aliran inflow disajikan pada Tabel 24. Efisiensi Tangkapan Sedimen berkurang dari 90,81% (1997) menjadi 73,34% (2005), namun kemudian meningkat kembali 92,57% pada tahun 2007 dan cenderung menurun menjadi 89,79% pada tahun 2008. Tabel 24 Efisiensi Tangkapan Sedimen 1997-2008 C (m3)
juta (m3/tahun)
Tahun
I (m3/tahun)
C/I
Te (%)
1997
375.000.000
1.854.040.558
0,2022
90,81
2001
366.623.987
1.270.118.181
0,2886
92,81
2004
352.065.882
2.236.983.017
0,1573
89,08
2005
330.322.479
8.242.750.015
0,0400
73,34
2006
323.750.993
3.406.095.492
0,0950
84,68
2007
322.540.303
1.172.011.222
0,2752
92,57
2008
299.945.000
1.727.769.509
0,1736
89,79
900
100
800
90
700
80
C (m3) I (10m3/tahun) Te (%)
600 500
%
70 60 50
400
40
300
30
200
20
100
10
0
0 1997
2001
2004
2005
2006
2007
2008
Tahun
Gambar 32 Grafik Kapasitas waduk dan Efisiensi Tangkapan Sedimen di Waduk Bili-Bili. Dari Gambar 32 mengenai grafik perbandingan kapasitas waduk dan efisiensi tangkapan sedimen di waduk Bili-Bili menunjukkan bahwa dampak dari longsoran kaldera yang terjadi pada tahun 2004 berimplikasi meningkatnya debit inflow secara cepat pada tahun 2005 sebesar 8.242.750.015 m3 dari tahun sebelumnya yang hanya 2.236.983.017 m3. Sementara kapasitas waduk terus berkurang dari 375.000.000 m3 (1997) menjadi 299.945.000 m3 (2008). Dengan
95
demikian efisiensi tangkapan sedimen secara nyata juga ikut menurun sampai 73,34% pada tahun 2005. Namun demikian kemampuan waduk kembali membaik karena adanya usaha pengendalian sedimen yang dilakukan di sepanjang sungai Jeneberang yang turut mempengaruhi masuknya sedimen ke waduk Bili-Bili. 5.2. Identifikasi Pola Pengendalian Bangunan Pengendali Sedimentasi Daerah Tangkapan Air Waduk Bili-Bili 5.2.1 Kajian Kapasitas Bangunan Pengendali Sedimen Runtuhnya dinding Kaldera pada tahun 2004 menyebabkan tingkat sedimentasi sungai Jeneberang meningkat tajam akibat tingginya material longsoran yang masuk ke badan sungai. Berdasarkan data sampai dengan tahun 2008, volume material yang longsor mencapai 250-300 juta m3 (JICA, 2005) dan yang berupa sedimen telah mengalir ke sungai Jeneberang sebesar 140 juta m 3 dan selebihnya masih berada di Kaldera. Material
longsoran
yang
tertinggal
di
bagian
Kaldera
Gunung
Bawakaraeng tersebut bersifat tidak stabil yang berarti sewaktu-waktu akan dapat terbawa ke badan sungai Jeneberang yang merupakan sungai utama menuju waduk Bili-Bili. Dengan demikian erosi longsoran masih berpotensi untuk terjadinya aliran sedimen yang besar. Berdasarkan hal tersebut telah dibangun pengendali aliran sedimen berupa sabo dam, konsolidasi dam, kantong pasir (sand pocket). Pelaksanaan pengendalian sedimentasi akibat longsoran di sepanjang DAS Jeneberang dibuat dalam empat bagian, yaitu di bagian hulu (upper stream), tengah (middle stream), hilir (downstream) dan waduk Bili-Bili. a. Bangunan Sabo di Bagian Hulu (upper stream) Sungai Jeneberang Pembangunan sabo di bagian hulu dilakukan untuk mengendalikan pergerakan sedimen (debris flow). Pengendalian aliran debris di bagian hulu dilakukan dengan membangun sabo dam yang berlokasi paling dekat dengan dinding kaldera gunung Bawakaraeng. Bangunan sabo ini memiliki fungsi utama agar mampu mengantisipasi terjadinya erosi lateral dan tingginya aliran debris yang terjadi. Ada dua tipe struktur yang dibangun yaitu, kombinasi antara tipe
96
beton, dan tipe dengan dinding baja ganda. Kedua tipe ini dipilih untuk menghadapi gerakan sedimen yang kuat di bagian hulu (Budiman et al. 2012). Pada bagian ini dibangun 7 (tujuh) unit Sabo Dam dengan initial SD 7-1 sampai dengan SD 7-7. Dari ketujuh seri sabo dam nampak bahwa SD 7-1 yang paling vital sehingga dirancang lebih kuat dan kokoh. Setelah beberapa kali mengalami kerusakan dan perbaikan, akhirnya pada bagian tengah (yang paling lemah) dipasang beton dengan menggunakan metode ISM (insitu site mixing) dan CSG (cemented sand and gravel). Adapun lokasi penempatan dari sabo dam disajikan pada Gambar 33.
Gambar 33 Lokasi penempatan sabo dam SD7-1 – SD 7-7. Sabo Dam SD 7-1 merupakan bangunan sabo yang memiliki kapasitas tampung sedimen terbesar yaitu 453.000 m3. Adapun dari total volume sedimen yang dapat dikendalikan, SD 7-7 merupakan bangunan sabo yang paling mampu menahan sedimen sebesar 10.006.925 m3. Hal ini disebabkan letak SD 7-7 berada paling dekat dengan lokasi longsoran Kaldera sehingga memiliki konstruksi yang lebih kuat khususnya dalam menahan pergerakan sedimen longsoran sebelum berpindah ke bangunan sabo lainnya.
Gambar dan spesifikasi teknis dari
bangunan SD 7-1 sampai dengan SD 7-7 disajikan pada Lampiran 2 - 6.
97
Berdasarkan hasil analisis dari ketujuh bangunan pengendali SD tersebut menunjukkan bahwa sabo dam efektif mengendalikan volume sedimen sebesar 29.561.034 m3. Dari total tersebut yang dikendalikan secara langsung sebesar 1.299.500 m3 dan tidak langsung sebesar
28.261.533 m3. Pengendalian secara
langsung adalah yang tertahan sebagai volume sedimen dan volume dari kapasitas tampung sedimen pada bangunan sabo dam, adapun untuk pengendalian secara tidak langsung adalah volume sedimen yang tidak stabil dan volume tampungan sungai (river bank) pada bangunan sabo dam.. Secara jelas kapasitas untuk masing-masing Bangunan Pengendali Sabo Dam disajikan pada Tabel 25. Tabel 25 Kapasitas Bangunan Pengendali Sabo Dam di Upper Stream Dimensi Sabo
Kapasitas Vol. Tampung Lebar Sedimen Sedimen Dam (m3) (m3) (m)
River Bank (m3)
Endapan tidak Stabil (m3)
Total vol. sedimen yang dikendalikan (m3)
N Sabo o Dam
Tinggi Dam Utama (m)
1 SD 7-7
10,0
163,0
15.700
31.900
115.000
9.844.325
10.006.925
2 SD 7-6
10,0
102,8
32.900
45.700
132.500
7.443.775
7.654.875
3 SD 7-5
14,5
81,0
50.000
76.300
96.000
4.634.350
4.856.650
4 SD 7-4
10,0
153,0
44.500
68.500
66.000
2.441.925
2.620.925
5 SD 7-3
12,5
121,0
51.000
102.000
70.000
1.886.238
2.109.238
6 SD 7-2
12,5
97,0
34.000
68.000
70.000
912.936
1.084.936
7 SD 7-1
12,0
94,5
226.000
453.000
422.000
126.485
1.227.485
454.100
845.400
971.500
27.290.033
29.561.034
total
b. Bangunan Sabo di Bagian Tengah (middle stream) Sungai Jeneberang Pada bagian tengah sungai Jeneberang, aliran debris dan angkutan sedimen tetap perlu dikendalikan. Pengendalian sedimen pada bagian tengah bertujuan untuk menstabilkan kembali dasar sungai, dan profil tebing sungai dengan elevasi dasar sungai. Selain itu, juga dilakukan untuk mengendalikan arah aliran debris dan menampung endapan angkutan sedimen. Untuk itu pada bagian tengah sungai Jeneberang dibangun sabo dam berseri dengan fungsi selain menahan sedimen juga menstabilkan dasar sungai, mengurangi gerakan sedimen sekunder, mengendalikan erosi tebing sungai pada saat banjir, menampung dan mengatur endapan aliran debris dari hulu, serta mengarahkan aliran air.
98
Pada bagian ini dibangun 4 (empat) unit Sabo Dam dengan initial CD-1 sampai dengan CD-4, dan 4 (empat) unit Konsolidasi Dam dengan initial KD-1 sampai dengan KD-4. Struktur dan tipe yang dipakai adalah sabo dam berseri dan konsolidasi dam. Ada enam tipe sabo dam berseri dengan lima unit diantaranya memiliki tipe tertutup dan satu unit tipe terbuka. Secara jelas disajikan pada Gambar 34.
Gambar 34 Sabo dam Tipe Terbuka dan Tipe Tertutup pada bagian tengah sungai Jeneberang Perbedaan kemampuan kedua tipe tersebut dalam mengendalikan sedimen disajikan dari kapasitas simpan dan pengendalian sumber sedimen. Pada tipe terbuka dimensi dan jumlah celah mempengaruhi volume kontrol sedimen. Makin kecil dimensi celah dan makin sedikit jumlah celah maka makin besar volume kontrol sedimen. Gambar dan spesifikasi teknis dari bangunan CD dan KD disajikan pada Lampiran 7 - 11. Hasil analisis dari ketujuh bangunan konsolidasi dam menunjukkan bahwa bangunan konsolidasi dapat mengendalikan volume sedimen secara efektif sebesar 49.989.195 m3. Dari total yang dikendalikan secara langsung sebesar 1.951.800 m3 dan tidak langsung sebesar 48.037.395 m3. Pengendalian secara langsung adalah yang tertahan sebagai volume sedimen dan volume dari kapasitas tampung sedimen pada bangunan konsolidasi dam, adapun untuk pengendalian
99
secara tidak langsung adalah volume sedimen yang tidak stabil dan volume tampungan sungai (river bank) pada bangunan konsolidasi dam. Selanjutnya kapasitas bangunan pengendali sabo dam disajikan pada Tabel 26. Tabel 26 Kapasitas Bangunan Pengendali Sabo Dam di Middle Stream Dimensi Sabo N Sabo o Dam
Tinggi Dam Utama (m)
Kapasitas Vol. Tampung Lebar Sedimen Sedimen 3 Dam (m ) (m3) (m)
River Bank (m3)
Endapan tidak Stabil (m3)
Total vol. sedimen yang dikendalikan (m3)
1
CD-3
6,00
104,0
54.700
131.300
105.000
7.977.185
8.268.185
2
CD-2
6,00
107,0
36.000
78.600
144.900
12.813.096
13.072.596
3
CD-1
12,30
886,0
17.200
54.900
125.800
16.945.203
17.143.103
4
KD-4
5,00
143,5
48.700
117.900
72.200
4.203.326
4.442.126
5
KD-3
7,00
323,7
55.800
175.500
76.500
3.246.813
3.554.613
6
KD-2
9,00
230,0
37.200
117.000
76.500
1.571.452
1.802.152
7
KD-1
7,00
186,0
247.300
779.700
461.700
217.720
1.706.420
1.454.900 1.062.600
46.974.795
49.989.195
total
496.900
c. Bangunan Kantong Pasir di Hilir (downstream) sungai Jeneberang Pada bagian hilir merupakan bagian penanganan pengendapan sedimen, dan pengendalian arah aliran sedimen.untuk itu pada bagian ini dibangun sand pocket yang berfungsi menampung material krakal (gravel) dan pasir dalam volume yang banyak. Beberapa sabo dam dan konsolidasi dam dibangun secara paralel dengan peninggian sand pocket yang ada dan penguatan pekerjaan perlindungan
hulu
dan
hilir
untuk
membantu
meningkatkan
kapasitas
pengendalian sedimen dan mengarahkan arah aliran air. Tertampungnya sedimen yang
berupa
material
krakal
dan
pasir
membantu
masyarakat
untuk
memanfaatkannya dengan melakukan penambangan. lokasi penambangan dan tempat penyimpanannya disajikan pada Gambar 35. Sebelum terjadi longsoran Kaldera pada bagian ini telah dibangun 5 (lima) unit bangunan sabo berupa Sand Pocket (SP-1 sampai dengan SP-5). Untuk meminimalkan sedimentasi yang masuk ke waduk Bili-Bili telah dilakukan rehabilitasi dari bangunan Sand Pocket. Aktifitas penambangan di SP-5 tidak terlalu banyak karena jaraknya cukup jauh dari lokasi utama konsumen, yaitu kota Makassar (sekitar 60 km). Pada musim hujan rata-rata 20 truk dan musim kering
100
30 truk (kapasitas 4 m3) setiap hari mengangkut pasir, batu dan sirtu (pasir batu) ke Malino (jarak 16 km) untuk pembangunan perumahan. Estimasi volume yang dihasilkan adalah 80 m3 pada saat musim hujan dan 120 m3 pada musim kering.
Gambar 35 Lokasi Penambangan dan tempat Penampungan Material. Penambangan yang aktif adalah pada bagian hulu dan hilir bangunan sabo dam SP-3. Pada bagian hulu, hasil tambang berupa pasir, batu dan sirtu diangkut ke Makassar untuk digunakan sebagai bahan pembuatan jalan raya, pondasi bangunan perumahan. Adapun pada bagian hilirnya, terutama batu sungai digunakan sebagai bahan baku dari 7 pabrik pemecah batu di sekitar SP-3. Berdasarkan jumlah dan kapasitas dari pabrik tersebut diperkirakan 1000 m3 material sedimen diangkut setiap hari. Penambangan pada bagian hilir bangunan sabo SP-2 juga aktif dilakukan khususnya untuk melayani kota Sungguminasa dan Makassar. Volume penambangan adalah sebesar 900 m3 per hari. Adapun pada lokasi SP-1 merupakan lokasi yang paling banyak melakukan aktifitas penambangan khususnya untuk material pasir. Hal ini karena dekatnya dengan kota Makassar (sekitar 40 km) dan banyaknya material pasir yang tersedia. Ratusan truk dengan kapasitas 10 m3 sampai 17 m3 mengangkut pasir ke daerah-daerah konsumen. Berbagai alat berat seperti excavator (backhoes) beroperasi untuk mengambil
101
material pasir. Volume penambangan adalah 2000 m3 per hari. Pada musim kering tidak ada penambangan karena kualitas pasir tidak baik karena tertutupi oleh lumpur yang tebal. Pada lokasi dekat waduk juga dilakukan penambangan karena dekatnya dengan kota Makassar (sekitar 40 km) dan banyaknya material pasir yang tersedia. Ratusan truk dengan kapasitas 10 m3 sampai 17 m3 mengangkut pasir ke daerah-daerah Makassar, Kab. Maros, Kab. Gowa dan Kab. Takalar. Lebih lengkapnya aktifitas penambangan untuk setiap bangunan sand pocket (SP) disajikan pada Tabel 27. Tabel 27 Aktifitas Penambangan pada bangunan Sand Pocket (SP) Lokasi SP-5
Desa/Kec. Lonjoboko/ Parangloe
Jenis Material Pasir, Sirtu, Batu
Tujuan Malino
Volume tambang per hari 80 m3 musim hujan 120 m3 musim kering
SP-4
Lonjoboko/ Parangloe
Pasir, Batu
SP-3
Lonjoboko/ Parangloe
Pasir, Sirtu, Batu
SP-2
Borisallo/ Parangloe
Pasir, Sirtu, Batu
SP-1
Kel. Lanna/
Pasir
Pasir
Parangloe
Dekat waduk
Kel.Lanna/ Parangloe
Total
Keterangan Truk kecil untuk pembangunan perumahan
Penggunaan setempat
Sangat terbatas
Tidak berfungsi baik
Makassar, Stone Crusher dekat
350 m3 musim hujan
SP-3
980 m3 musim kering
Untuk pembangunan jalan, pemb. Perumahan dan pabrik pemecah batu
900 m3
Lebih dari 10 pabrik Stone Crusher dekat Waduk Bili-Bili
Makassar, Gowa, Maros, Takalar
2000 m3 musim hujan
Pada musim kering, pasir berkurang karena tertutupi oleh lumpur yg tebal
Makassar, Gowa, Maros, Takalar
3000 m3
Pabrik Stone Crusher di Kec. Bontomarannu
6000 m3 = 2.190.000 m3 /tahun
102
d. Area Penampungan Sedimentasi (Spoil Bank) Waduk Bili-Bili Untuk mengurangi tingkat sedimentasi di waduk Bili-Bili maka dilakukan pengerukan (excavation) khususnya di bagian hulu waduk yang terus menumpuk yang juga dapat berakibat mengalirnya sedimen memenuhi dasar waduk. Untuk itu disekitar outlet waduk telah dibuat suatu area penampungan sedimen yaitu dengan membuat Spoil Bank di bagian hulu waduk dengan luas 48 Ha. Spoil Bank berfungsi sebagai tanah lapang untuk menampung hasil pengerukan dari dasar waduk Bili-Bili. Lokasi pengerukan dan penampungan sedimen disajikan pada Gambar 36.
Gambar 36 Lokasi Pengerukan dan Penampungan sedimen pada spoil bank. Pekerjaan pengerukan dilakukan selain di lokasi outlet waduk Bili-Bili juga dilakukan pada lokasi bangunan pengendali SP. Hal ini adalah untuk mempertahankan fungsinya sebagai penangkap pasir dan juga kapasitas pengendalian banjir dari waduk Bili-Bili. Volume hasil dari pengerukan yang
103
ditampung pada area Spoil Bank pada bangunan SP adalah 900.000–1.500.000 m3 dan pada outlet waduk adalah 1.500.000–2.300.000 m3. Untuk Lebih jelasnya volume pengerukan pada lokasi sand pocket (SP) dan outlet waduk disajikan pada Tabel 28. Tabel 28 Volume Pekerjaan Pengerukan pada Sand Pocket dan Sekitar Waduk Item
Sand Pocket
Sekitar Waduk
Lokasi
SP-5
SP-1,2 dan 3
Kanan bank
Kiri bank
Ujung waduk
Volume Pengerukan
900.000 m3
1.500.000 m3
1.500.000 m3
1.500.000 m3
2.300.000 m3
Lokasi Spoil Bank
Sebelah kanan dekat bangunan SP-5
Ujung sebelah selatan Waduk Bili-Bili
Ujung sebelah selatan Waduk Bili-Bili
Ujung sebelah selatan Waduk Bili-Bili
Ujung Waduk
5.2.2. Pola Pengelolaan Bangunan Pengendali Sedimen Dari hasil yang dikemukakan sebelumnya menunjukkan beberapa hal seperti masih tingginya ancaman volume massa sedimen yang tidak stabil di bagian hulu dan terus bergerak ke hilir sungai Jeneberang, kejadian curah hujan yang ekstrim sehingga mengakibatkan aliran air yang besar, rendahnya kapasitas angkut normal anak-anak sungai dan tingginya erosi lahan bagian hulu yang terjadi akibat penebangan hutan di kawasan lereng pegunungan. Untuk itu terdapat tiga aktifitas pengendalian sedimen yang telah dilakukan. Ketiga aktifitas tersebut adalah pengendalian aliran debris di bagian hulu, pengendalian aliran debris di bagian tengah, dan pengendapan sedimen. Selanjutnya untuk pengendalian erosi lahan di bagian hulu DAS Jeneberang perlu dilakukan tindakan konservasi seperti pembuatan teras, saluran drainase dan bangunan check dam. Pembangunan sabo dam di bagian hulu sungai Jeneberang berfungsi untuk menahan gerakan longsoran kaldera, selain itu juga untuk mengantisipasi erosi lateral dan aliran debris. Posisi sabo yang paling dekat dengan lokasi longsoran kaldera mengakibatkan perlunya senantiasa dilakukan kontrol terhadap kekuatan
104
bangunan sabo. Pada bagian tengah sungai Jeneberang telah dibangun konsolidasi dam yang berfungsi untuk mengendalikan aliran sedimen, juga menstabilkan dasar sungai dan profil tebing sungai. Selanjutya pada bagian hilir sungai Jeneberang telah ada bangunan kantong pasir yang berfungsi untuk menampung sedimen sebelum mencapai waduk. Selengkapnya disajikan pada Tabel 29. Tabel 29 Bangunan Pengendali Sedimen di Hulu Sungai Jeneberang Item
Bangunan Pengendali Sedimen
Pengerukan (Excavation)
SD-1, SD-2, SD3, SD-4, SD-5, SD-6, dan SD-7
CD-1, CD-2, CD3, KD-1, KD-2 KD-3 dan KD-4
SP-1, SP-2, SP-3, SP-4, dan SP-5
Spoil Bank
Hulu sungai jeneberang dekat kaldera
Tengah sungai Jeneberang
Hilir sungai Jeneberang dekat Waduk Bili-Bili
Hulu Waduk Bili-Bili
Fungsi
Mengantisipasi erosi lateral dan aliran debris
Menstabilkan dasar sungai, profil tebing sungai, mengendalikan arah aliran debris dan menampung sedimen
Pengelolaan
Kontrol kekuatan dan pemeliharan rutin
Nama Bangunan
Lokasi
Mengendalikan arah aliran debris dan menampung sedimen
Kontrol kekuatan dan melakukan pemeliharaan rutin melibatkan masyarakat setempat
Mengurangi sedimentasi waduk Bili-Bili
Dikontrakkan ke swasta
Potensi deposit total akibat longsoran kaldera mencapai 230 juta m3 sebagian besar atau 60% merupakan volume sedimen yang terangkut di sepanjang sungai dan sisanya yang 40% masih tersisa di kaldera (Budiman.2012). Bangunan sabo dam yang di bagian hulu dan bagian tengah sungai Jeneberang mampu mengendalikan sedimen sebesar 21% dari total sedimen yang masuk ke sungai dan 36% berada di alur sungai. Berdasarkan hasil analisis dan pengukuran yang dilakukan menunjukkan bahwa bangunan sabo dam (SD) yang berada di hulu sungai Jeneberang mampu mengendalikan sedimen sebesar 29.561.034 m3 atau 35% dari total sedimen yang dikendalikan fasilitas bangunan sabo dam. Selanjutnya, peran konsolidasi dam (CD, KD) dan sand pocket (SP) sangat signifikan dalam mengendalikan sedimen. Hal ini ditunjukkan dari volume pengendalian sebesar 49.989.195 m3 atau 58%
105
dari total sedimen yang dikendalikan oleh fasilitas bangunan sabo dam. Jika dilihat dari fungsinya secara struktural maka efektifitas bangunan pengendali sedimen secara keseluruhan sangat signifikan dalam mengendalikan sedimen. Selanjutnya disajikan secara lengkap pada Tabel 30. Tabel 30 Kapasitas Pengendalian Sedimen di Hulu Sungai Jeneberang Item
Hulu sungai jeneberang dekat kaldera
Lokasi Kapasitas kendali tidak langsung
Pengerukan (Excavation)
Bangunan Pengendali Sedimen Tengah sungai Jeneberang
Hilir sungai Jeneberang dekat Waduk Bili-Bili
Hulu Waduk Bili-Bili
28.135.434 m3
48.429.695 m3
-
-
Kapasitas kendali langsung
1.425.600 m3
1.559.500 m3
-
-
Kapasitas total
29.561.034 m3
49.989.195 m3
2.190.000 m3
7.700.000 m3
Pengendalian sabo dam
35%
58%
Sedimen yg dikendalikan sabo dam
21% dari total sedimen
Sedimen yang berada di alur sungai
36% dari total sedimen
-
7%
Untuk pengendalian erosi pada daerah hulu DAS Jeneberang dapat dilakukan beberapa tindakan pengendalian. Tindakan pengendalian erosi lahan yang memungkinkan dilakukan seperti guludan, terras dan checkdam (dam penghambat). Guludan dibentuk dari tumpukan tanah yang dibuat memanjang menurut arah garis kontur atau memotong lereng. Terras bangku dibuat dengan cara menggali tanah pada lereng dan meratakan bagian bawahnya sehingga terbentuk deretan seperti tangga atau bangku. Fungsinya adalah untuk mengurangi panjang lereng dan menahan air sehingga dapat mengurangi kecepatan dan jumlah aliran permukaan serta memungkinkan penyerapan air oleh tanah dan erosi dapat berkurang. Adapun bangunan checkdam dibuat dengan menempatkan papan,
106
balok kayu, batu atau tumpukan tanah untuk mengurangi erosi pada parit atau selokan untuk menghambat kecepatan air dan tanah terendapkan pada tempat tersebut (Tabel 31). Tabel 31 Jenis Tindakan Pengendalian Erosi Lahan Item Nama
Jenis Pengendalian Erosi Lahan Guludan
Terras Bangku
Checkdam
Fungsi
Mengurangi panjang lereng, menahan air
Mengurangi panjang lereng, menahan air
Menghambat kecepatan air dan erosi parit
Lokasi
Lereng < 8%
Lereng 2%-30%
Area parit
Sumber: (Arsyad,2006).
Tindakan konservasi yang dilakukan di hulu DAS Jeneberang adalah dengan pembuatan teras yang dikombinasikan dengan penanaman memotong arah berlereng atau pembuatan saluran drainase. Teras yang dibuat berupa teras alami atau tereas bangku. Teras bangku dapat dibuat dengan penanaman rumput dibibir teras atau dapat disangga dengan batuan disamping teras sehingga massa tanah menjadi lebih stabil. Pembuatan teras bangku dengan saluran drainase paling banyak dilakukan seperti terlihat pada Gambar 37.
Gambar 37 Tindakan Konservasi Teras Bangku dengan penanaman rumput.
107
5.3. Model Dinamik Pengendalian Sedimentasi Waduk Bili-Bili Undang-Undang RI No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, menyebutkan bahwa
penyelenggaraan
kehutanan
yang
bertujuan
untuk
sebesar-besar
kemakmuran rakyat adalah dengan meningkatkan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS) dan mempertahankan kecukupan hutan minimal 30 % dari luas DAS dengan sebaran proporsional. Sedangkan yang dimaksud dengan DAS didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau, waduk atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (UU No 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air). Keberadaan Waduk Bili-Bili yang melintang di tengah Sungai Jeneberang saat ini telah mulai memainkan perannya sehingga harus dapat diselamatkan untuk memenuhi keperluan irigasi, air baku, pengendali banjir, maupun untuk keperluan wisata dan nelayan waduk. Disamping itu aktifitas di daerah hulu juga harus ditata tanpa merugikan petani dari apa yang telah diperolehnya. Termasuk aktifitas pertambangan di daerah Sand-Pocket dan Sabo-Dam juga harus diefektifkan pengelolaannya. Oleh karena itu dalam upaya pengendalian sedimentasi di waduk Bili-Bili, visi pembangunan berkelanjutan harus dapat diimplementasikan. Pembangunan berkelanjutan secara sederhana dapat diartikan bahwa apapun bentuknya pembangunan harus dapat melindungi lingkungan dimana ataupun di sekitar pembangunan dilaksanakan, tetapi sebaliknya ketika pembangunan sudah berjalan maka lingkungan juga berkewajiban yang sama yaitu harus dapat menyelamatkan pembangunan, terutama proses operasionalnya. Demikian pula dengan keberadaan Waduk
Bili-Bili
disamping menjalankan
fungsinya,
juga
harus
dijaga
keselamatannya dari gangguan lingkungan baik itu yang bersumber dari aktifitas manusia maupun yang bersumber dari proses alam. Mengingat banyaknya pihak yang harus terlibat dalam penanganan pengendalian sedimentasi di waduk maka dilakukan pendekatan kesisteman dan kebijakan yang diharapkan dapat diterima oleh semua pihak.
108
5.3.1. Pembuatan Model - Analisis Kebutuhan Pada penelitian ini analisis kebutuhan diarahkan pada pihak-pihak yang mempunyai kepentingan dan keterkaitan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap pengendalian sedimentasi di waduk. Dalam penelitian ini yang mempunyai kepentingan yaitu: (1) masyarakat lokal, yaitu masyarakat yang tinggal di sekitar waduk yang memanfaatkan waduk untuk berbagai kepentingan, (2) dinas instansi terkait, yaitu semua dinas instansi pemerintah yang mempunyai hubungan keterkaitan dengan waduk, (3) akademisi (peneliti), yaitu orang yang melakukan penelitian di daerah waduk, (4) lembaga swadaya masyarakat (LSM), yaitu lembaga yang dibentuk masyarakat setempat yang mempunyai kepedulian terhadap kelestarian waduk, dan (5) pihak swasta, yaitu pihak yang melakukan kegiatan usaha yang berkaitan dengan keberadaan waduk.Dalam analisis kebutuhan dilakukan inventarisasi kebutuhan setiap pelaku yang terlibat dalam sistem. Inventarisasi dilakukan melalui wawancara secara terbatas seperti yang disajikan pada Tabel 32. Tabel 32 Analisis kebutuhan Pelaku (stakeholders) No.
Pelaku (stakeholders)
1.
Masyarakat lokal
2.
Dinas Instansi terkait
3.
Akademisi
4.
LSM
5.
Swasta/Pelaku usaha
Kebutuhan
Kuantitas air dan efektifitas waduk tidak menurun Tersedianya lapangan kerja Pendapatan meningkat Kebersihan dan keindahan waduk terjaga Sedimentasi dapat dikendalikan Elevasi muka air waduk stabil Kuantitas air dan efektifitas waduk terjaga Peningkatan PAD Kesejahteraan masyarakat meningkat Kebersihan dan keindahan waduk terjaga Sedimentasi dapat dikendalikan Kuantitas air dan efektifitas waduk tetap baik Kebersihan dan keindahan waduk terjaga Kelestarian wilayah waduk terjamin Pendapatan masyarakat meningkat Kuantitas air dan efektifitas waduk baik Elevasi muka air waduk tetap stabil
- Formulasi Permasalahan Formulasi ini merupakan aktifitas merumuskan permasalahan dalam pengendalian sedimentasi di waduk berkaitan dengan adanya perbedaan
109
kebutuhan pelaku dengan kondisi yang ada. Oleh karena itu, permasalahan dapat diformulasikan sebagai berikut: 1. Tidak diperhatikannya sedimentasi di waduk karena tidak adanya pemahaman mengenai dampaknya terhadap efektifitas waduk 2. Tidak diperhatikannya pola pemanfaatan tata guna lahan di kawasan hulu sehingga menyebabkan tingkat erosi dan sedimentasi yang tinggi 3. Tidak adanya pendekatan untuk melibatkan masyarakat di daerah tangkapan waduk dalam upaya mengendalikan sedimentasi di waduk - Identifikasi Sistem Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan dengan pernyataan masalah yang harus dipecahkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut (Eriyatno, 2003). Hal ini digambarkan dalam bentuk diagram causal loop (sebab-akibat). Diagram ini merupakan pengungkapan interaksi antara komponen didalam sistem yang saling berinteraksi dan mempengaruhi dalam kinerja sistem. Meningkatnya
populasi
penduduk
mendorong
masyarakat
untuk
meningkatkan pemanfaatan lahan yang kemudian akan mengurangi tutupan lahan yang ada. Dengan berkurangnya tutupan lahan akan meningkatkan erosi lahan dan terjadinya longsor yang pada akhirnya akan meningkatkan sedimentasi di waduk. Dengan demikian fungsi waduk menjadi tidak maksimal. Erosi yang terjadi selain meningkatkan sedimentasi juga akan menurunkan fungsi konservasi air. Melalui teknologi sabo, sedimentasi dapat dihambat selain itu sabo dapat berfungsi untuk meningkatkan konservasi air di sekitar sabo sehingga kelestarian sumberdaya lahan, air dan hutan dapat terjaga. Fungsi sabo juga dapat menahan sedimen (pasir) menguntungkan penduduk sekitar untuk melakukan penambangan pasir sebagai bahan bangunan. Hal ini tentu saja dapat dijadikan penghasilan tambahan bagi penduduk untuk peningkatan pendapatan mereka. Dengan adanya sedimentasi di waduk dapat menyebabkan menurunkan fungsi daya tampung waduk sebagai penyedia air baku, air irigasi, pembangkit listrik dan pengendali banjir wilayah hilir. Jika tidak berfungsi dengan baik dapat berpengaruh menurunnya produktifitas masyarakat sehingga tingkat kesejahteraan masyarakat
110
juga akan menurun. Selanjutnya diagram lingkar sebab akibat tersebut diinterpretasi ke dalam diagram input-output seperti tertera dalam Gambar 38. OUTPUT YANG DIKEHENDAKI INPUT TAK TERKENDALI
INPUT LINGKUNGAN
TINGKAT EROSI DAS VOLUME SEDIMEN IKLIM CURAH HUJAN
PERATURAN PEMERINTAH KEBIJAKAN PEMDA KEBIJAKAN PU
JUMLAH SEDIMEN TERKENDALI FUNGSI UTAMA WADUK TERPENUHI PARTISIPASI MASYARAKAT KESEJAHTERAAN MASY. MENINGKAT KUANTITAS AIR WADUK STABIL
MODEL PENGENDALIAN SEDIMENTASI WADUK
INPUT TERKENDALI
OUTPUT TAK DIKHENDAKI
TUTUPAN LAHAN JUMLAH CHECK DAM TINDAKAN KONSERVASI JUMLAH PENDUDUK
DEGRADASI LAHAN DI HULU DAS PENINGKATAN LAJU EROSI KERUSAKAN LINGKUNGAN KELESTARIAN WADUK TERANCAM
PENGELOLAAN PENGENDALIAN SEDIMENTASI WADUK
Gambar 38 Diagram input-output Model Pengendalian Sedimentasi Waduk. Berdasarkan analisis sistem maka rancangan model pengendalian sedimentasi waduk dibangun melalui 4 subsistem, yaitu : (a) subsistem kapasitas waduk, (b) subsistem pengendalian sedimentasi waduk, (c) subsistem erosi lahan, (d) subsistem sosial ekonomi. Subsistem kapasitas waduk adalah dampak dari erosi lahan dan longsoran di wilayah hulu waduk terhadap kemampuan waduk untuk melakukan fungsinya sebagai waduk serbaguna. Subsistem pengendalian sedimentasi waduk adalah sistem pengendalian dari beberapa bangunan pengendali sedimen terhadap kapasitas longsoran kaldera. Subsistem erosi lahan adalah sistem erosi lahan dan tingkat sedimentasi yang terjadi pada wilayah sub DAS Jeneberang. Subsistem sosial ekonomi adalah partisipasi masyararakat dalam melakukan usaha pengendalian sedimentasi waduk melalui penambangan dengan masyarakat di bagian hulu waduk dalam pemanfaatan lahan sehingga dapat mengefektifkan pengendalian sedimentasi waduk. Adapun hubungan antara subsistem dijelaskan pada Gambar 39.
111
Populasi Penduduk
(-)
Kesejahteraan Penduduk
(+)
(+)
(+)
Tutupan Lahan
Fungsi waduk
Volume hasil tambang
Pendapatan penambang
Erosi Lahan dan Longsor
Sedimentasi Waduk
(+) Pajak dan retribusi
(-)
Kapasitas waduk
Submodel sosial ekonomi
Submodel kapasitas waduk
(-)
(+)
Erosivitas
Erodibilitas tanah
sedimen
pengerukan
Petambang
(-) topografi
(+)
Konservasi lahan
Massa longsoran
Submodel erosi lahan
Teknologi Sabo
Submodel Pengendalian sedimen
Material tambang
(+)
Gambar 39 Model Pengendalian Sedimentasi Waduk. 5.3.2. Konseptualisasi Model Dalam memahami perilaku sistem Pengendalian Sedimentasi Waduk BiliBili, dibangun suatu model yang bertujuan untuk menjelaskan perilaku sistem tersebut. Asumsi desain model dibangun berdasarkan karakteristik sub DAS Jeneberang, alur kejadian longsoran Kaldera dan bangunan pengendalinya, pola pengelolaan kegiatan penambangan berdasarkan tingkat pendapatan yang diperoleh. Model ini dibangun dengan menggunakan 4 sub model yaitu: (1) sub model pengendalian longsoran, (2) sub model erosi lahan, (3) sub model sosial ekonomi, dan (4) sub model kapasitas waduk. Berdasarkan keempat sub model kemudian dibuat hubungannya berupa kausal loop yang menjelaskan bahwa peningkatan volume longsoran dan erosi lahan menyebabkan peningkatan sedimentasi waduk yang mengakibatkan menurunnya kapasitas waduk. Selain itu, peningkatan sumber sedimen
112
mempengaruhi peningkatan kapasitas volume bahan material tambang galian sehingga mendorong peningkatan pendapatan pengelola penambangan. Pada sub model pengendalian longsoran merupakan loop negatif karena peningkatan volume longsoran dapat menyebabkan terjadinya peningkatan sedimentasi waduk yang dapat mengakibatkan menurunnya kapasitas waduk. Pada sub model sosial ekonomi merupakan loop positif karena peningkatan volume sedimen dapat menyebabkan terjadinya peningkatan pendapatan penambangan sehingga mendorong untuk pertumbuhannya. Selengkapnya disajikan pada Gambar 40.
(+)
Pendapatan Penduduk Fungsi Waduk
(-)
(+)
(-)
Kesejahteraan Penduduk
(+)
(-) Tutupan Lahan
Populasi Penduduk
(+)
(-) Erosi Lahan dan Longsor
(-) Pemanfaatan Lahan
(-)
Sedimentasi Waduk
(+)
Petambang
(-)
(-)
(+)
Konservasi Air
Kelestarian SD lahan, air dan hutan
(+) (+)
Teknologi Sabo
(-)
Gambar 40 Diagram lingkar sebab akibat (causal loop) model pengendalian sedimen di waduk. Simulasi model menggambarkan dinamika peningkatan volume sedimen longsoran dan erosi lahan, keuntungan ekonomi terhadap pengelola penambang, serta dampak tingkat sedimentasi di waduk yang ditunjukkan melalui nilai indeks kapasitas waduk yaitu perbandingan antara tingkat sedimentasi waduk dan kapasitas waduk. Kondisi awal dari sistem Pengendalian Sedimentasi Waduk Bili-Bili menggambarkan adanya ancaman peningkatan volume sedimen akibat longsoran dan erosi lahan yang masuk sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan
113
sedimentasi di waduk. Dengan demikian untuk mencapai tujuan dari sistem Pengendalian Sedimentasi Waduk Bili-Bili agar dapat berkelanjutan dengan tercapainya umur fungsi waduk menjadi lebih lama mendekati umur rencana, maka konseptual sistem Pengendalian Sedimentasi Waduk Bili-Bili dibangun seperti nampak pada Gambar 41. Skenario Koreksi Tingkat Sedimentasi Pengelolaan Penambangan
Sub Model Pengendalian Sedimen Sedimen akibat longsoran Kaldera
Sub Model Erosi Lahan Sedimen akibat erosi lahan
Sub Model Kapasitas Waduk Kapasitas waduk Tingkat Sedimentasi waduk Koef. Daya Tampung
Sub Model Sosial Ekonomi Pendapatan Penambang Pajak Penambang Partisipasi Masyarakat
Indikator Indeks Kapasitas Waduk Pendapatan Penambang Pendapatan Pemerintah Partisipasi Masyarakat
Gambar 41 Model Konseptual Sistem Pengendalian Sedimentasi Waduk Bili-Bili. Skenario yang dibuat sebagai tindakan koreksi pengendalian Sedimentasi Waduk Bili-Bili adalah berupa tindakan koreksi pada peningkatan volume sedimen, pengendalian jumlah volume sedimen. Tindakan koreksi terhadap peningkatan volume sedimen adalah tindakan untuk mengendalikan jumlah volume sedimen akibat longsor maupun erosi lahan. Hal ini dimaksudkan agar jumlah sedimen yang masuk ke waduk Bili-Bili dapat dikendalikan sehingga meningkatkan umur waduk. Skenario dilakukan untuk mengupayakan tercapainya indeks kapasitas waduk sehingga Waduk Bili-Bili dapat berfungsi secara berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitarnya.
114
5.3.3. Spesifikasi Model Konseptual model yang telah dibangun selanjutnya dibuat dalam bentuk stock dan flow. Diagram tersebut dibuat dengan bantuan perangkat lunak Stella Ver.9. Pada tahapan ini model dalam stock dan flow dikuantifikasi untuk selanjutnya dapat disimulasikan. Adapun spesifikasi model adalah sebagai berikut: a. Sub model Pengendalian Longsoran Sedimentasi akibat longsoran Kaldera mengalir melalui sungai Jeneberang terutama pada musim hujan yaitu bulan Oktober sampai dengan bulan Juni. Pada bagian hulu sungai Jeneberang terjadi erosi lateral yang berkembang dengan cepat dan menyebabkan terjadinya pergerakan sedimen (debris flow). Pergerakan tersebut terjadi dalam dua cara, yaitu secara massa (massive movement) dan secara individu (individual movement). Kedua cara pergerakan sedimen tersebut bergantung pada kemiringan dasar sungai, debit aliran dan karakteristik dari material sedimen (Budiman, 2012). Pergerakan sedimen yang terjadi pada Kaldera Gunung Bawakaraeng adalah secara massa yang disebabkan oleh karena gaya gravitasi lebih besar daripada gaya geser. Potensi massa longsoran yang diperhitungkan adalah sebesar 300.000.000 m3. Laju massa longsoran diperoleh berdasarkan fraksi longsoran yang terjadi setiap tahun. Massa tanah longsoran selanjutnya ditampung oleh bangunan sabo penahan yang terdiri dari 7 seri bangunan sabo dam. Kemudian sabo konsolidasi juga terdiri dari 7 seri bangunan sabo. Selanjutnya, bangunan sand pocket sebagai seri bangunan pengendali sedimen dan penampung sedimen terdiri dari 5 seri bangunan sabo. Sedimen longsor diperoleh setelah memperhitungkan aktifitas penambangan dan pengerukan yang dilakukan untuk mengurangi volume sedimen yang masuk ke waduk. Hasil akhir dari sub model menggambarkan jumlah volume sedimentasi yang diakibatkan oleh longsoran Kaldera dan peran bangunan sabo dam sebagai pengendali sedimen serta kapasitas volume penambangan pada bangunan sand pocket. Dari Gambar 42 dijelaskan keterkaitan antara masing-masing variabel yang saling mempengaruhi pada sub model pengendali sedimen. Adapun variabel
115
dan parameter yang digunakan pada sub model pengendalian sedimen disajikan pada Tabel 33. Tabel 33 Variabel dan Parameter pada Sub model Pengendalian Longsoran No Variabel dan Parameter 1. Massa Longsoran
Dimensi ton
Nilai 300.000.000
Keterangan Data sekunder
2.
Kapasitas Sabo Penahan
%
2,65
Hasil Analisis
3.
Kapasitas Sabo Konsolidasi
%
3,48
Hasil Analisis
4.
Kapasitas Sabo Sand Pocket
%
1,44
Hasil Analisis
5.
Kapasitas Penambangan
m3
6000
Data sekunder
6.
Kapasitas Pengerukan
m3
7.700.000
Data sekunder
Submodel Pengendali Sedimen
Potensi massa tanah longsoran
Massa tanah Longsoran
~ f raksi Longsoran
Laju Massa tanah Longsor
Massa tanah Longsoran
Sabo Penahan
kapasitas sabodam penahan Laju sendimen Penahan
Sabo konsolidasi
Kapasitas sabo dam konsolidasi
Laju sedimen konsolidasi
Sabo Penahan Kapasitas kendali sand pocket
sandpocket
Laju sedimen sandpocket SP1
SP2
SP3
SP4 SP5
exacav ation
EOR laju Sand mining
Laju
Sand mining
Sedimen longsor
Laju sedimentasi Longsoran
Gambar 42 Sub Model Pengendali Sedimen.
116
b. Sub model Erosi Lahan Sub model erosi lahan dibangun berdasarkan persamaan erosi yang umum digunakan yaitu USLE. Melalui persamaan tersebut laju erosi diperhitungkan berdasarkan faktor erosivitas, erodibilitas, intensitas curah hujan, topografi dan tindakan konservasi yang dilakukan. Melalui variabel-variabel tersebut akan diperoleh tingkat erosi lahan yang terjadi. Selanjutnya, tingkat laju sedimen dihitung dengan menggunakan koefisien Sediment Delivered Ratio (SDR) berdasarkan luas daerah tangkapan waduk. volume sedimentasi yang diakibatkan oleh erosi lahan dan melalui beberapa variabel yang teridentifikasi dilakukan intervensi untuk skenario. Dari sub model erosi lahan diperoleh volume sedimen yang diakibatkan dari terjadinya erosi lahan di hulu DAS Jeneberang. Selengkapnya disajikan pada Gambar 43.
sub model erosi lahan
Sedimentasi Lahan
Vegetasi
laju sendimentasi
Laju erosi
Erosi SDR
HH per bulan
Energi Kinetik Ch Faktor Bertanam Faktor Baris Konserv asi
Faktor Erosiv itas
Curah Hujan Debu
Curah Hujan Max
Faktor Sedimentasi Teras Kontur Slope
Faktor Erodibilitas
Panjang Lereng
Pasir
Ukuran Struktur Tanah
Faktor Topograf i
Bahan Organik
Slope
Liat
Kode Struktur Tanah
Kelas Permeabilitas Prof il
Gambar 43 Sub Model Erosi Lahan. Adapun variabel dan parameter yang digunakan pada Sub model Erosi Lahan disajikan pada Tabel 34.
117
Tabel 34 Variabel dan Parameter pada Sub model Erosi Lahan No Variabel dan Parameter 1. Curah Hujan bulanan
Dimensi cm/bln
Nilai 26,15
Keterangan Data sekunder
cm/bln
64,8
Data sekunder
hari
12
Data sekunder
2.
Curah Hujan maksimum
3.
HH per bulan
4.
Panjang Lereng
m
8
Hasil Analisis
5.
Slope
%
20
Hasil Analisis
6.
SDR
-
0,25
Hasil Analisis
7.
Pasir
%
10,6
Data sekunder
8.
Debu
%
35,6
Data sekunder
9.
Liat
%
13,3
Data sekunder
10. Vegetasi
-
0,30
Simulasi
11. Koefisien Pengelolaan
-
1
Simulasi
c. Sub model Kapasitas Waduk Dampak dari erosi lahan dan longsoran di wilayah hulu waduk terhadap kemampuan waduk adalah menurunnya kapasitas waduk untuk melakukan fungsinya
sebagai
waduk
serbaguna.
Melalui
beberapa
variabel
yang
mempengaruhi laju sedimentasi waduk yang masuk dibandingkan dengan kapasitas waduk menentukan indeks kapasitas waduk. Selanjutnya disajikan pada Gambar 44. Submodel waduk Sedimentasi Lahan
Sedimen longsor
Kapasitas Indek waduk keberlanjutan waduk Q outf low
koef isien kapasitas tampung
laju sedimentasi waduk
Sedimentasi Waduk
outf low sediment
Gambar 44 Sub Model Kapasitas Waduk. Adapun variabel dan parameter yang digunakan pada sub model Kapasitas Waduk disajikan pada Tabel 35.
118
Tabel 35 Variabel dan Parameter pada Sub model Kapasitas Waduk No Variabel dan Parameter 1. dead storage Waduk
Dimensi m3
Nilai 29.000.000
Keterangan Data sekunder
2.
Koef. Kapasitas Tampung
%
21
Data sekunder
3.
Sedimen Lahan
ton
Hasil Analisis
3.
Sedimen Longsor
ton
Dari sub model Lahan Dari sub model Longsor
Hasil Analisis
d. Sub model Sosial Ekonomi Sub model ini memperhitungkan komponen-komponen yang berperan terhadap peningkatan pendapatan masyarakat maupun pemerintah dalam hal penarikan pajak maupun retribusi. Pendapatan masyarakat diperhitungkan berdasarkan pendapatan penambang dan pendapatan petani. Selain itu juga dampak dari aktifitas ini dapat meningkatkan paritisipasi masyarakat untuk ikut berperan atau terlibat untuk meningkatkan kesejahteraan keluarganya. Untuk mendapatkan gambaran hubungan antara komponen pada sub model sosial ekonomi disajikan pada Gambar 45. sub model sosial dan ekonomi Sand mining Laju Penambangan
HS ManggaHS markisa HS Kentang
Volume penambangan
HS Rambutan HS Jeruk HS Bawang
Partisipasi Masy arakat
laju penambangan
HS PisangHS Durian HS sawi HS wortel
Luas lahan Harga Batu pecah per m3
Fraksi Penambang
HS kubis
Produktiv itas
pendapatan penambang laju pend penambang
Laju Pendapatan Pendapatan Petani
SL sawi SL Wortel SL Pisang
harga pasir per m3
Inf lasi Pendapatan
SL Jeruk
SL bawang Kelas Erosi
SL Kubis SL Durian SL Mangga SL Markisa SL Kentang
SL Rambutan Pendapatan kotor
Pengeluaran
Erosi Pajak
Gambar 45 Sub Model Sosial Ekonomi.
119
Dari sub model Sosial ekonomi dibangun berdasarkan besarnya partisipasi masyarakat yang terlibat dan tingkat pendapatan yang diperoleh berasal dari aktifitas penambangan yang dilakukan dalam kaitannya dengan pengendalian sedimentasi waduk dan hasil pertanian di hulu DAS. Aktifitas penambangan (sand mining) terutama dilakukan di SP-1 sampai dengan SP-5. Berbagai jenis hasil tambang berupa pasir dan batu (bolder) diambil menggunakan alat berat dan diproses menggunakan alat pemecah batu (stone crusher). Hasil pertanian diperoleh berdasarkan data sekunder harga satuan komoditi buah dan sayuran dengan satuan lahan pertanian. Adapun variabel dan parameter yang digunakan pada sub model Sosial Ekonomi disajikan pada Tabel 36. Tabel 36 Variabel dan Parameter pada Sub model Sosial Ekonomi No
Variabel dan Parameter
1.
Kapasitas Sand Mining
2.
Erosi
3. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Dimensi
Nilai
Keterangan
ton
Dari sub model Longsor
Hasil Analisis
Rp/m Rp/m3 Persen Rp/orang Rp/kg Rp/kg Rp/kg Rp/kg Rp/kg Rp/kg
Dari sub model Erosi Lahan 135.000 50.000 15 500.000 10.000 7.500 5.500 5.000 4.000 4.000
Data sekunder Data sekunder Data sekunder Data sekunder Data sekunder Data sekunder Data sekunder Data sekunder Data sekunder Data sekunder
ton/ha 3
Hasil Analisis
Rp/kg
4.000
Data sekunder
15.
Harga Batu Pecah Harga Pasir Pajak Retribusi Fraksi Penambang HS Buah Durian HS Buah Rambutan HS Buah Mangga HS Buah Jeruk dan Pisang HS Buah Markisa HS Sayuran Kentang HS Sayuran Bawang, Kubis, Sawi dan Wortel Total SL buah dan sayuran
Satuan Lahan
28
Data sekunder
16.
SL Kubis
Satuan Lahan
7
Data sekunder
17.
SL Kentang
Satuan Lahan
6
Data sekunder
18.
SL Wortel dan Rambutan
Satuan Lahan
3
Data sekunder
19.
SL Durian dan Bawang SL Jeruk, Mangga, Markisa, Pisang dan Sawi
Satuan Lahan
2
Data sekunder
Satuan Lahan
1
Data sekunder
14.
20.
Data Harga Satuan (HS) Buah dan Sayuran menggunakan data sekunder dari hasil penelitian Saida (2011) yang dilakukan di hulu DAS Jeneberang berdasarkan 28 bagian Satuan Lahan (SL) homogen. Buah yang disurvey adalah mangga, rambutan, jeruk, durian, markisa dan pisang. Adapun sayuran adalah kubis, kentang, sawi, wortel dan daun bawang.
120
5.3.4. Evaluasi Model Untuk mengevaluasi model ada dua jenis evaluasi yang dilakukan yaitu uji validasi struktur dan uji validasi kinerja. Uji validasi struktur dilakukan untuk memperoleh keyakinan akan kesamaan struktur model terhadap kondisi kenyataan yang sebenarnya.
1: 2: 3: 4:
1: Sedimentasi Waduk 50000000 3000000 40000000 35560000 3
1: 2: 3: 4:
2: Sedimen Lahan
3: Sedimen longsor
4: Kapasitas waduk 1
1 4
4
4
4
4
2
1
25000000 1500000 20000000 17780000
2 1 3 1: 2: 3: 4:
0 0 0 0
2
3
2 1 2 2001
3 2011
2021
2030
Page 1
3 2040
2050
Tahun
Gambar 46 Hasil simulasi volume sedimentasi waduk, sedimen longsor dan sedimentasi lahan.
1: 2: 3:
1: Pendapatan 2e+016, 3e+009, 100000
2: Volume penambangan
3: Partisipasi Masy arakat
2 3 1: 2: 3:
1e+016, 1.5e+009 50000
2 1 3 2
1: 2: 3: Page 1
0 0 0
3 2 1 2 2001
3
1 2011
3
1
1 2021
2030 Tahun
2040 21:04
2050 06 Agu 2012
Gambar 47 Hasil simulasi volume penambangan, pendapatan dan partisipasi masyarakat.
121
Pada model pengendalian sedimentasi waduk secara empiris menunjukkan bahwa peningkatan volume sedimentasi di waduk lebih dipengaruhi oleh volume sedimentasi akibat longsoran kaldera jika dibandingkan dengan sedimentasi yang disebabkan oleh erosi lahan. Selanjutnya, volume penambangan yang diperoleh dari sand mining mempengaruhi tingkat pendapatan dan partisipasi masyarakat. Hal ini ditunjukkan pada Gambar 46 dan 47. Selain uji validitas struktur juga dilakukan uji validitas kinerja model. Validasi kinerja model adalah aspek pelengkap dalam metode berfikir sistem yang bertujuan untuk memperoleh keyakinan sejauh mana kinerja model sesuai dengan kinerja sistem nyata sehingga memenuhi syarat sebagai model ilmiah yang taat fakta. Caranya adalah dengan membandingkan validasi kinerja model dengan data empiris untuk melihat perilaku kinerja model sesuai dengan data empiris (Muhammadi dkk., 2001). Validasi perilaku model dilakukan dengan menggunakan Absolute Mean Error (AME) dan Absolute Variation Error (AVE). AME adalah penyimpangan (selisih) antara nilai rata-rata (mean) hasil simulasi terhadap nilai aktual. AVE adalah penyimpangan nilai variasi (variance) simulasi terhadap nilai aktual. Batas penyimpangan yang dapat diterima adalah antara 1-10%. Rumus untuk menghitung nilai AME dan AVE adalah:
AME =
S −A A
x100%
;
AVE =
Ss −Sa Sa
x100%
dimana:
S= Ss =
Si N
(Si −S )2 N
A= Sa =
Ai N (Ai −A )2 N
S, A dan N berturut-turut adalah nilai simulasi, nilai aktual, dan nilai interval waktu pengamatan. Ss dan Sa adalah nilai standar deviasi simulasi dan nilai standar deviasi aktual. Struktur
model
pengendalian
sedimentasi
waduk
Bili-Bili
yang
menggambarkan interaksi antara komponen sedimentasi waduk dengan sumber sedimen akibat longsoran dan erosi lahan harus bersesuaian dengan keadaan
122
nyata. Hubungan antara variabel sedimentasi waduk, longsoran dan erosi lahan serta
pendapatan
masyarakat
yang
dihasilkan
harus
bersifat
positif.
Kecenderungan keadaan tingkat sedimentasi waduk pada lima tahun terakhir (2004-2009) dengan laju peningkatan sedimen yang bervariasi dan menurun seiring dengan berkurangnya sumber sedimen, tingkat sedimentasi waduk tahun simulasi sampai tahun 2050 mengalami kecenderungan yang bervariasi dan menurun secara eksponensial. Hasil pengujian menunjukkan bahwa model yang dibangun dapat memberikan hasil yang bersesuaian dengan kondisi sistem nyata. Data validasi disajikan pada Tabel 37 dan Gambar 48. Tabel 37 Perbandingan Volume Sedimentasi Waduk Aktual dan Hasil Simulasi Tahun 2004-2009 Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Mean Var
Vol. kumulatif dead storage (juta m3)
AME AVE
Aktual 7.802.445 12.767.908 13.254.038 13.515.549 13.629.995 15.068.851 12.673.131,1 6,29x1012
Simulasi 7.688.399,0 12.152.838,0 13.313.132,0 13.425.006,0 13.631.516,0 14.592.322,0 12.467.202 6,09x1012
0,0162 (1,62%) 0,0316 (3,16%)
16 15 14 13 12 11
Aktual
10 9
Simulasi
8 7 6
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Tahun
Gambar 48 Volume Sedimentasi Waduk Aktual dan Simulasi Tahun 2004-2009.
123
Hasil validasi berdasarkan volume sedimentasi waduk menunjukkan bahwa, AME menyimpang sebesar 1,62% untuk peningkatan sedimentasi waduk dari data aktual dan AVE menyimpang sebesar 3,16%. Batas penyimpangan variabel tersebut pada parameter AME dan AVE adalah < 10%, menunjukkan bahwa model mampu mensimulasikan perubahan-perubahan yang terjadi secara aktual di lapangan. 5.3.5. Skenario Model Pengendalian Skenario sistem pengendalian Sedimentasi waduk Bili-Bili dilakukan berdasarkan dari konseptual model yang diperoleh. Tindakan koreksi yang dapat dilakukan terdiri dari 2 tindakan yaitu pengelolaan tingkat sedimentasi dan pengelolaan penambangan. Tindakan koreksi yang dilakukan kemudian diuji efektifitasnya dengan indikator indeks kapasitas waduk, tingkat pendapatan penambang, pemerintah (pajak) dan partisipasi masyarakat. Berdasarkan tindakan koreksi tersebut kemudian disimulasikan pada model pengendalian sedimentasi waduk Bili-Bili. Adapun untuk melihat efektifitasnya dilakukan dengan melihat dari indikator indeks kapasitas waduk yang mana diidentifikasikan berdasarkan tahun terlampauinya nilai 1 dari indeks kapasitas waduk. Hal ini menunjukkan kapasitas maksimum dari waduk telah terlampaui. Semakin lambat tercapainya nilai 1 maka semakin efektif tindakan tersebut. Untuk partisipasi masyarakat dan tingkat pendapatan penambang tingkat efektifitas koreksinya dapat diidentifikasi dari semakin besar partisipasi masyarakat dan pendapatan penambang, masyarakat dan pajak, maka semakin efektif tindakan koreksi tersebut. Simulasi terhadap model pengendalian sedimentasi waduk Bili-Bili dilakukan dengan menggunakan kriteria pesimis, moderat dan optimis. Kriteria pesimis dilakukan untuk keadaan eksisting dimana tidak dilakukan tindakan koreksi apapun terhadap pengelolaan pengendalian sedimentasi waduk. Kemudian kriteria optimis yaitu dengan melakukan tindakan koreksi yang maksimal untuk pengelolaan pengendalian sedimentasi waduk, adapun kriteria moderat adalah kriteria dimana dilakukan tindakan koreksi yang dilakukan secara lebih bijak dan memperhatikan kemampuan dalam melakukan pengelolaan pengendalian sedimentasi waduk Bili-Bili.
124
Simulasi dengan menggunakan kriteria pesimis, moderat dan optimis, dilakukan beberapa tindakan koreksi pada kemampuan penambangan (sand mining), aktifitas pengerukan (excavation) dan pengoperasian pintu waduk untuk pengelolaan outflow dari waduk. Skenario model disusun berdasarkan komponenkomponen yang berperan penting pada masing-masing sub model. Komponenkomponen yang diskenariokan adalah aktifitas penambangan, aktifitas pengerukan dan pengoperasian pintu waduk untuk pengelolaan outflow dari waduk. Kombinasi dari ketiga komponen-komponen tersebut menghasilkan tiga skenario pengendalian sedimentasi waduk, yaitu: 1. Skenario pesimis: keadaan eksisting dimana tidak dilakukan perubahan atau kebijakan (do nothing). Pada keadaan ini komponen penambangan yang dilakukan pada SP1 = 2000 m3, SP2= 900 m3, SP3= 1230 m3, SP5= 200 m3 dan EOR= 3000 m3. Komponen pengerukan (excavation)= 7.700.000 m3, dan outflow= 0,01. Tidak ada tindakan konservasi di hulu DAS, nilai P=1. 2. Skenario moderat: keadaan dimana dilakukan perubahan atau kebijakan sesuai kemampuan yang ada untuk memperoleh keadaan terbaik dalam mengendalikan
sedimentasi
waduk.
Pada
keadaan
ini
komponen
penambangan yang dilakukan pada SP1 = 2600 m3, SP2= 1200 m3, SP3= 1600 m3, SP5= 260 m3 dan EOR= 3900 m3. Komponen pengerukan (excavation)= 1.925.000 m3, dan outflow= 0,013. Ada tindakan konservasi di hulu DAS yaitu dengan membuat teras bangku tradisional, nilai P=0,4. 3. Skenario optimis: keadaan dimana dilakukan perubahan atau kebijakan secara maksimal untuk memperoleh keadaan terbaik dalam mengendalikan sedimentasi waduk. Pada keadaan ini komponen penambangan yang dilakukan pada SP1 = 3000 m3, SP2= 1350 m3, SP3= 1845 m3, SP5= 300 m3 dan EOR= 4500 m3. Komponen pengerukan (excavation)= 0 m3, dan outflow= 0,02. Tindakan konservasi di hulu DAS dilakukan secara optimal yaitu dengan membuat teras bangku konstruksi baik, nilai P=0,04. Dari hasil simulasi yang dilakukan diperoleh bahwa pada indikator kapasitas waduk menunjukkan bahwa skenario moderat dan optimis lebih baik dibandingkan dengan kondisi eksisting (pesimis). Pada keadaan pesimis, indeks
125
kapasitas waduk bernilai 1 pada tahun 2022. Hal ini berarti bahwa pada tahun 2022 kapasitas waduk akan terancam tidak berfungsi lagi karena volume sedimentasi yang masuk sudah maksimal dan sangat bergantung kepada kemampuan debit outflow sedimen yang dilepaskan. Nampak dari gradien grafik yang cenderung menurun tetapi tetap dalam level yang mengkhawatirkan. Hasil simulasi ketiga skenario disajikan pada Gambar 49.
Indeks Kapasitas waduk
1,6 1,4
Pesimis
Moderat
Optimis
1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0
tahun
Gambar 49 Perbandingan simulasi Indeks Kapasitas Waduk. Jika dilakukan skenario moderat maka indeks kapasitas waduk yang merupakan penggambaran kemampuan kapasitas waduk dalam menampung sedimentasi yang terjadi, menunjukkan bahwa kapasitas waduk yang terancam akan dapat dikendalikan dengan baik pada tahun 2022. Dengan skenario moderat pada tahun 2017 indeks kapasitas waduk adalah 0,8 dan mencapai nilai tertinggi pada tahun 2022 yaitu 0,83 namun kemudian dapat dikendalikan dan seterusnya menurun lebih cepat dibandingkan dengan keadaan pesimis. Adapun untuk kondisi optimis menunjukkan pada tahun 2016 nilai indeks kapasitas paling maksimal mencapai nilai 0,45. Hal ini berarti kapasitas waduk paling tinggi hanya tertampung 45 persen dari kapasitas maksimum. Selanjutnya, berdasarkan hasil simulasi submodel kapasitas waduk menunjukkan pada skenario moderat dan optimis dapat memberikan keadaan yang lebih baik dari kondisi eksisting. Pada skenario eksisting kapasitas waduk yang secara teknis adalah sebesar 29.000.000 m3 akan terlampaui karena kapasitas
126
waduk telah mencapai 30.212.085 m3 pada tahun 2022 dan mencapai titik tertinggi sebesar 35.562.617 m3 pada tahun 2027 sehingga waduk akan terancam tidak akan berfungsi dengan baik. Pada skenario moderat volume kapasitas waduk tertinggi terjadi pada tahun 2023 sebesar 24.208.276 m3 dan pada skenario optimis volume kapasitas waduk terjadi pada tahun 2023 sebesar 13.688.674 m3. Secara lengkap grafik volume sedimentasi waduk disajikan pada Gambar 50. Kapasitas Tampung Mati (juta m3)
45 40
Pesimis
Moderat
Optimis
35 30 25 20 15 10 5 0
Tahun
Gambar 50 Perbandingan simulasi Tingkat Sedimentasi Waduk. Kapasitas waduk merupakan parameter yang penting dalam pengendalian sedimentasi waduk, sehingga dari hasil simulasi untuk keadaan yang moderat dengan melakukan tindakan koreksi mampu untuk dikendalikan dengan baik sehingga waduk akan berfungsi dan berkelanjutan. Adapun untuk skenario optimis dibutuhkan usaha yang lebih optimal sehingga tentu saja memerlukan biaya yang lebih tinggi dibandingkan dengan skenario lainnya. Untuk partisipasi masyarakat menunjukkan bahwa tenaga kerja yang diserap pada keadaan eksisting masih belum optimal jika dibandingkan dengan keadaan yang lebih moderat. Dengan tindakan koreksi yang moderat diperoleh peningkatan penyerapan tenaga kerja yang lebih tinggi sehingga akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat sekitar waduk baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada komponen partisipasi masyarakat menunjukkan bahwa pada skenario pesimis tingkat partisipasi masyarakat yang dilihat dari kemampuan dalam
127
penyerapan tenaga kerja adalah sebanyak 827 orang pada tahun 2012, pada tahun 2025 sebanyak 10.148 orang dan pada tahun 2050 mencapai 92.371 orang. Untuk skenario moderat, kemampuan dalam penyerapan tenaga kerja sebanyak 1.075 orang pada tahun 2012, pada tahun 2025 sebanyak 13.192 orang dan pada tahun 2050 mencapai 120.083 orang. Untuk skenario optimis, kemampuan dalam penyerapan tenaga kerja sebanyak 1.241 orang pada tahun 2012, pada tahun 2025 sebanyak 15.221 orang dan pada tahun 2050 mencapai 138.557 orang. Hal ini disajikan pada Gambar 51 berdasarkan hasil simulasi untuk keadaan eksisting dan keadaan dengan perlakuan koreksi secara moderat dan optimis. Partisipasi Masyarakat (ribu orang)
160 140 120
Pesimis
Moderat
Optimis
100 80 60 40 20 0
tahun
Gambar 51 Perbandingan simulasi Tingkat Partisipasi Masyarakat. Berdasarkan hasil simulasi model tersebut menunjukkan bahwa pada skenario pesimis tingkat partisipasi masyarakat cenderung rendah. Hal ini jika dilihat dari peningkatan jumlah tenaga kerja yang diserap tidak terlalu banyak untuk jangka waktu sampai dengan tahun 2050. Untuk skenario moderat dan optimis nampak lebih baik dalam hal penyerapan tenaga kerja. Pada skenario moderat kemampuan tingkat partisipasi masyarakat mencapai dua kali lipat dibandingkan dengan skenario pesimis dan skenario optimis bahkan mencapai tiga kali lipat dibandingkan dengan skenario pesimis. Demikian pula pada komponen pendapatan masyarakat menunjukkan bahwa pada skenario pesimis tingkat pendapatan masyarakat yang dilihat dari kemampuan dalam memperoleh penghasilan dari setiap masyarakat adalah sebesar Rp.19.348.727.795.836 pada tahun 2012, pada tahun 2025 sebesar Rp. 165.313.133.626.489 dan pada tahun 2050 mencapai Rp. 926.073.846.433.462.
128
Untuk skenario moderat, kemampuan dalam memperoleh penghasilan sebesar Rp.25.153.346.134.587 pada tahun 2012, pada tahun 2025 sebanyak Rp. 214.907.073.714.436 dan pada tahun 2050 mencapai Rp. 1.203.896.000.363.500. Untuk skenario optimis, kemampuan dalam memperoleh penghasilan sebesar Rp. 29.023.091.693.755 pada tahun 2012, adapun untuk tahun 2025 diperoleh sebesar Rp.247.969.700.439.733 dan kemudian yang diperoleh pada tahun 2050 mencapai Rp.1.389.110.769.650.190. selanjutnya, hal ini disajikan pada Gambar 52 berdasarkan hasil simulasi untuk keadaan eksisting dan keadaan dengan perlakuan
Pendapatan Masyarakat (juta rp)
koreksi secara moderat dan optimis. 25.000 Pesimis
Moderat
20.000 Optimis 15.000 10.000 5.000 0
tahun
Gambar 52 Perbandingan simulasi Tingkat Pendapatan Masyarakat. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa pada skenario moderat memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan skenario pesimis. Adapun skenario optimis memberikan hasil yang jauh lebih baik dari skenario pesimis. Namun demikian pada skenario optimis perlu diperhatikan kemampuan dalam menjalankannya. Hal ini dikarenakan pada skenario optimis membutuhkan dukungan finansial yang tinggi untuk memperoleh hasil yang maksimal sesuai skenario yang direncanakan. Untuk itu pilihan skenario moderat masih lebih baik karena juga mempertimbangkan hal-hal yang menjadi hambatan dalam menjalankannya. Skenario moderat dilakukan dengan mempertimbangkan kemampuan finansial dan sarana prasarana yang ada sehingga tidak membebani dalam pelaksanaannya namun tetap memperoleh hasil yang maksimal dalam mencapai tujuan untuk mengendalikan sedimentasi waduk.
129
Pendapatan petani di hulu DAS Jeneberang secara signifikan dipengaruhi oleh tingkat erosi lahan yang terjadi. Peningkatan erosi yang terjadi secara akumulasi berpengaruh untuk mengurangi pendapatan petani secara nyata. Gradien peningkatan erosi lahan diikuti dengan penurunan gradien pendapatan petani, hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi erosi lahan yang terjadi akan menurunkan pendapatan petani. Hal ini disajikan pada Gambar 53. 1: Erosi 1: 2:
2: Pendapatan Petani
400000 2e+010,
1
1: 2:
1
200000 1e+010,
2
2 1 2
1: 2:
0 0
1 2001
2 2013
Page 1
2026 Tahun
2038 22:17
2050 06 Agu 2012
Gambar 53 Perbandingan Tingkat erosi lahan dan Pendapatan petani.
5.3.6. Strategi Model Pengendalian Penggundulan hutan dan perambahan hutan yang merupakan daerah konservasi dan kawasan penyangga di kawasan
gunung Bawakaraeng
menyebabkan lereng-lereng hutan telah berubah fungsi menjadi kebun. Perambahan hutan memang tidak mudah dicegah karena aktivitas masyarakat akibat desakan membengkaknya jumlah penduduk dan makin sempitnya lahan membuat mereka mendaki membuka lahan-lahan baru. Lahan pertanian, perkebunan, hingga permukiman, semakin mendekati daerah hulu, yang semestinya menjadi daerah hijau. Rusaknya lingkungan di kawasan hulu tersebut merupakan salah satu penyebab longsornya dinding kaldera. Longsornya dinding kaldera yang membawa sisa-sisa material vulkanik tersebut berdampak meningkatnya tingkat sedimentasi waduk yang berada di bagian hilir sungai Jeneberang.
130
Pengelolaan daerah tangkapan air sering kali dianjurkan sebagai cara terbaik untuk mengatasi permasalahan sedimentasi waduk. Penekanan laju erosi di daerah tangkapan waduk dapat dilakukan dengan teknik konservasi, baik secara mekanis maupun vegetatif, atau kombinasi dari keduanya. Penekanan laju erosi di daerah tangkapan akan berhasil dengan baik bila gangguan aktivitas manusia terhadap lahan di kawasan hulu dapat dikurangi atau ditekan serendah mungkin. Kecenderungan
terjadinya
penurunan
kapasitas
waduk
Bili-Bili
diakibatkan tingginya laju sedimentasi sehingga volume sedimen yang masuk melebihi kapasitas yang diperkenankan (dead storage). Upaya pengendalian sedimentasi waduk Bili-Bili dapat dilakukan dengan beberapa alternative skenario. Dari tiga skenario yang diusulkan, maka skenario moderat merupakan pilhan yang paling optimal karena dengan menggunakan sumberdaya yang cukup telah dapat memberikan manfaat yang maksimal, khususnya jika dipandang dari aspek sosial ekonomi. Skenario moderat secara praktis akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar waduk terutama berkaitan dengan partisipasi masyarakat dalam hal penyerapan tenaga kerja. Seperti telah dikemukakan bahwa erosi dan produksi sedimen akan mengancam keberlanjutan fungsi waduk. Tanpa mengurangi upaya perbaikan penggarapan lahan di wilayah hulu dan tengah, sektor pertambangan secara signifikan telah turut mempertahankan kapasitas tampung waduk. Selain itu, Peningkatan berbagai aktifitas perekonomian pada sektor pertanian di wilayah hulu dan tengah telah diperkirakan meningkatkan suplai sedimen ke dalam waduk. Untuk itu diperlukan kerjasama antara masyarakat pengguna lahan di wilayah hulu dan tengah dan masyarakat pengguna jasa waduk untuk menjaga agar seluruh fungsi waduk tetap berfungsi. Berdasarkan hasil penelitian ini maka ada beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk menanggulangi peningkatan produksi sedimen, yaitu pada tingkat sumber erosi lahan, dengan memperbaiki cara-cara penggunaan lahan, dan pada tampungan di sejumlah bangunan pengendali sedimen sabo dam dengan melakukan penambangan pasir dan batu. Kapasitas total tampungan bangunan pengendali direncanakan melampaui intensitas sedimen yang masuk, tetapi dengan adanya penambangan maka kapasitas tersebut tetap dapat dipertahankan.
131
Hal ini tentu saja sangat membantu pengendalian sedimentasi yang masuk ke waduk Bili-Bili. Namun demikian aktifitas penambangan tetap harus dijaga dengan memberikan
persyaratan-persyaratan
yang harus
dipatuhi,
yaitu
penambangan harus terbatas sampai pada dasar dan tebing sungai semula. Hal ini untuk mencegah terjadinya kerusakan pada bangunan pengendali sedimen sabo dam. Selanjutnya, direkomendasikan kepada Pemerintah Kabupaten Gowa selaku pengambil kebijakan khususnya di hulu DAS Jeneberang agar tidak membuka areal baru khususnya bagi kawasan hutan dan perlunya apresiasi yang sangat tinggi terhadap salah satu program utama Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulsel dengan Go Green. Di sisi lain di negeri dengan kesan egosektoral masih terlalu tinggi, padahal terkadang terdapat permasalahan yang harus ditangani secara simultan dan berkesinambungan dan harus multisektor, seperti terjadinya longsoran kaldera di Gunung Bawakaraeng yang mengancam keberadaan waduk Bili-Bili, seharusnya menjadi bagian dari pemikiran semua sektor, sehingga diperoleh suatu formula penangan secara terpadu, baik secara secara struktur (civil engineering), nonstruktur (penangan lanscap), pemacahan masalah geologi, formulasi sistem bercocok tanam pada daerah tangkapan air, sampai kepada perwujudan masyarakat ikut serta dalam satu sistem penanganan secara menyeluruh. 5.4. Pembahasan Umum Waduk Bili-Bili adalah waduk multi guna yang berfungsi sebagai pemasok berbagai kebutuhan air, biak untuk keperluan irigasi, pembangkit tenaga listrik, keperluan domestik, dan industri, untuk daerah sekitarnya seperti kota Makassar, Kab. Gowa dan Kab. Takalar. Waduk Bili-Bili dengan luas tangkapan air sebesar 384,4 km2 memiliki volume total kapasitas sebesar 375.000.000 m3dengan volume efektif sebesar 345.000.000 m3 dan kapasitas tampungan sedimen (dead storage) sebesar 29.000.000 m3. Volume yang dialokasikan untuk kepentingan air irigasi adalah 270.000.000 m3 atau 44,8 m3/dtk dapat melayani areal irigasi seluas ± 24.000 ha (DI. Bili-Bili, DI. Bissua dan DI. Kampili). Volume alokasi untuk air baku sebesar
132
35.000.000 m3 atau 3,3 m3/dtk yang dimanfaatkan baru 1,1 m3/dtk sesuai kapasitas IPA. Kemudian, volume kapasitas pengendalian banjir 41.000.000 m3 atau 1000 m3/dtk dapat mengurangi luasan areal banjir kota Makassar 5.200 ha. Waduk Bili-Bili terletak di bagian tengah Daerah Aliran Sungai (DAS) Jeneberang. Namun demikian saat ini DAS Jeneberang merupakan salah satu dari tiga daerah aliran sungai yang terdapat di Sulawesi Selatan yang termasuk DAS prioritas untuk ditangani. Kerusakan lahan di DAS Jeneberang karena adanya berbagai faktor termasuk adanya alih fungsi lahan dan sistem pertanian yang dilakukan masyarakat yang tidak mengikuti teknik konservasi tanah dan air terutama di wilayah hulu DAS Jeneberang. Selain itu, terjadinya longsoran kaldera membuat tingkat erosi dan sedimentasi semakin tinggi sehingga mengancam keberadaan waduk Bili-Bili yang berada di bagian hilir sungai Jeneberang. Kejadian longsoran kaldera menyebabkan tingginya laju sedimen yang masuk ke waduk Bili-Bili. Kemudian dibangun fasilitas bangunan pengendali di sepanjang aliran sungai Jeneberang yang terbagi atas penwilayahan antara lain : Upper Watersheed (bagian Hulu), Middle Watersheed (bagian Tengah), Lower Watersheed (bagian Hilir). Pada bagian hulu dibangun 7 seri sabo dam yang berfungsi untuk menahan gerakan longsoran kaldera, di bagian tengah dibangun konsolidasi dam untuk menstabilkan dasar sungai dan lereng sungai. Kemudian di bagian hilir dibangun sand pocket untuk menampung sedimen sebelum masuk ke waduk Bili-Bili. Pada bagian hulu DAS Jeneberang, dengan mengetahui tingkat erosi lahan yang terjadi untuk berbagai penutupan lahan dengan dilengkapi peta lokasi maka dapat dilakukan pemanfaatan lahan yang lebih efektif dalam mengurangi laju aliran erosi. Hal ini dapat dilakukan dengan mempertahankan penggunaan lahan yang ada sekarang, kecuali untuk ladang/tegalan dan semak belukan yang perlu dikonversi ke bentuk penggunaan lahan yang menyerupai hutan alam produksi. Untuk itu, arahan pengelolaan lahan untuk sub DAS Jeneberang secara umum adalah penerapan teknik konservasi tanah dan air, pengembalian kawasan hutan sebagai fungsi lindung dan penerapan sistem pengendalian sedimentasi dengan sabo dam.
133
Seluruh upaya pengendalian sedimentasi waduk baik yang berasal dari erosi lahan maupun longsoran kaldera secara signifikan dapat mengurangi laju sedimen yang masuk ke waduk. Bangunan sabo dam di bagian hulu dan di bagian tengah sungai Jeneberang mampu mengendalikan sedimen sebesar 21% dari total yang masuk ke sungai dan 36% berada di alur sungai. Hal ini menunjukkan pola pengendalian longsoran dengan sabo dam secara signifikan dapat mengendalikan sedimen. Bangunan sabo dam sebagai pengendali sedimen dibangun sebanyak 7 seri pada bagian hulu, 7 seri pada bagian tengah dan 5 seri pada bagian hilir. Secara keseluruhan bangunan pengendali sabo dam telah menggunakan biaya investasi sebesar Rp.452.550.000.000 (452,5 milyar rupiah) dengan biaya operasional dan pemeliharaan (OP) infrastruktur sungai sebesar Rp. 1,852 milyar (2008) dan Rp. 2,917 milyar (2009). Jika dilihat dari hasil pendapatan pemerintah melalui pajak dan retribusi terhadap aktifitas penambangan sebesar Rp. 3,8 milyar setiap tahun (skenario moderat), memiliki nilai yang cukup besar untuk dapat digunakan sebagai pengganti biaya OP bangunan pengendali sebagai infrastruktur sungai. Hal ini tentu saja menunjukkan pentingnya pengelolaan aktifitas penambangan untuk kebelanjutan operasional waduk dan bangunan pengendalinya. Terlebih lagi bahwa ketersediaan alami suplai pasir dan batu sebagai bahan galian golongan C, pada kenyataannya masih melebihi permintaan rata-rata untuk pembangunan wilayah Makassar dan sekitarnya, yaitu 1.200.000 m3 per tahun (JICA,2005). Salahsatu tujuan dari pengendalian sedimentasi waduk Bili-Bili adalah diharapkan juga dapat memberikan dampak peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar waduk. Peningkatan kesejahteraan disebabkan oleh adanya aktivitas ekonomi di sekitar waduk sehingga masyarakat dapat memiliki peluang usaha dan memperoleh penghasilan dengan ikut berpartisipasi dalam kegiatan pengendalian sedimentasi waduk. Selain hal tersebut dari pihak pemerintah juga mendapatkan keuntungan berupa pendapatan dari pajak. Aktifitas penambangan menghasilkan material pasir yang dijual dengan harga Rp.85.000/truk kecil, Rp.110.000/truk sedang, dan Rp.160.000/truk besar. Untuk harga satuan, pasir dijual dengan harga Rp.21.250/m3 untuk truk kecil, Rp.9.160/m3 truk sedang, dan Rp.8.000/m3 untuk truk besar. Untuk batu kali
134
dijual dengan harga Rp50.000/m3. Adapun untuk batu pecah dijual berdasarkan ukurannya rata-rata seharga Rp120.000/m3. Munculnya pabrik pengolah batu pecah tentu saja membutuhkan banyak tenaga kerja lokal. Jumlah tenaga kerja lokal yang digunakan pabrik tersebut adalah 1.755 orang pada tahun 2005 dan rata-rata 1.437 orang setiap tahun selama 6 tahun terakhir di Kab. Gowa. Berdasarkan simulasi model dinamik sistem pengendalian sedimentasi waduk yang menggunakan tiga skenario menghasilkan bahwa skenario moderat lebih menguntungkan daripada kedua skenario lainnya. Skenario moderat yaitu skenario yang dijalankan dengan mengoptimalkan aktifitas penambangan di sand pocket dengan biaya pengerukan mencapai total Rp. 257,70 milyar yang sebelumnya dilakukan setiap tahun dapat dilakukan sekali dalam 4 tahun, dan mampu meningkatkan pendapatan untuk tahun 2012 sebesar Rp. 19,3 milyar menjadi Rp. 25,15 milyar dan peningkatan pendapatan pemerintah melalui pajak dari Rp. 2,9 milyar menjadi Rp. 3,8 milyar. Demikian juga partisipasi masyarakat yang direkrut dari 827 orang menjadi 1.075 orang. Pada skenario moderat dengan pengerukan dilakukan 4 kali setahun, dapat mengurangi biaya pengerukan menjadi Rp.64,425 milyar dengan hasil sedimen mencapai 7,7 juta m3/tahun. Namun demikian peningkatan volume aktifitas penambangan sebesar 30% dari yang normal yaitu 2,1 juta m3/tahun menjadi 2,84 juta m3/tahun, jika dilakukan secara kontinyu selama 4 tahun diperoleh hasil penambangan sedimen sebesar 11,39 juta m3/tahun tersebut masih belum mampu menanggulangi laju sedimen berdasarkan hasil pengerukan. Kemudian dengan melihat kapasitas SP yang terbatas berdasarkan spesifikasi struktur bangunannya akan sangat berbahaya jika ditambang terlalu berlebihan. Oleh karena itu dengan melihat volume sedimen pengerukan yang cukup besar, maka dapat dilakukan alternatif pembangunan SP yang baru dengan kapasitas yang lebih besar atau Giant Sand Trap sehingga untuk selanjutnya volume sedimen yang masuk ke waduk semakin kecil dan tidak diperlukan lagi aktifitas pengerukan. Selanjutnya, upaya pengendalian sedimentasi waduk secara optimal dapat dilakukan dengan senantiasa melakukan pemeliharaan dan pengawasan terhadap fasilitas bangunan pengendali sabo dam di sepanjang sungai Jeneberang agar tetap dapat berfungsi secara baik. Kemudian pada area lahan di hulu sub DAS
135
Jeneberang senantiasa melakukan tindakan konservasi pada lahan-lahan yang rawan terhadap erosi melalui pembuatan teras ataupun checkdam. Selain itu, pengendalian sedimentasi waduk juga dapat dilakukan dengan memaksimalkan aktifitas penambangan di area yang diizinkan seperti di depan bangunan sand pocket. Selain dapat memperoleh material dengan aman juga dapat melestarikan bangunan tersebut sehingga dapat berfungsi lebih lama. Aktifitas penambangan ini selain dapat mengendalikan sedimen juga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar waduk termasuk peningkatan pendapatan pemerintah setempat melalui retribusi dan pajak. Hal ini membuktikan bahwa fungsi keberlanjutan waduk, penambangan dan efektifitas kapasitas waduk memberikan dampak positif kepada masyarakat dan pemerintah. 5.4.1. Arahan dan Rekomendasi Kebijakan Dari hasil penelitian ini terdapat beberapa hal yang dapat dijadikan pertimbangan dalam mengambil kebijakan ke depan. Salah satunya adalah faktor karakteristik sub DAS Jeneberang dan faktor sosial ekonomi masyarakat setempat. Jika melihat karakteristik wilayah sub DAS Jeneberang terutama pada bagian hulu yang menjadi arahan pertimbangan kebijakan sebaiknya mengacu pada: kondisi eksisting lahan setempat dikaitkan dengan komoditas tanaman yang ada; tingkat erosi lahan kaitannya dengan pola konservasi yang ada dan/ataupun telah diterapkan oleh masyarakat; kondisi pergerakan tanah pada bagian kaldera; indeks kapasitas waduk yang berdampak pada tingkat pendapatan masyarakat dan pemerintah daerah setempat. Oleh karena itu direkomendasikan kepada Pemerintah Kabupaten Gowa dan khususnya pada Instansi Teknis maupun non Teknis yang terkait sebagai stakeholders penentu kebijakan, mengenai pemanfaatan lahan di hulu DAS Jeneberang dan khususnya terhadap keberlanjutan fungsi waduk Bili-Bili sebagai waduk multiguna, yaitu: -
Laju erosi permukaan terbesar adalah penutupan lahan berupa ladang/tegalan sebesar 29.552,14 ton/ha/tahun. Oleh karena itu perlu perlu dievaluasi kembali permasalahan pemanfaatan lahan pada bagian hulu DAS Jeneberang terkait dengan kondisi lahan dengan tingkat erosi yang semakin rawan.
136
-
Akibat longsoran kaldera maka sampai pada tahun 2009, volume sedimentasi di waduk Bili-Bili telah mencapai 75.055.000 m3. Oleh karena itu, pada wilayah kaldera G. Bawakaraeng yang masih rawan longsor susulan perlu dilakukan pengelolaan secara baik pada lahan yang telah dibuka oleh masyarakat melalui program reboisasi atau sejenisnya.
-
Perlu diintensifkan dalam bentuk penyuluhan terhadap mengenai pentingnya menjaga struktur pengendali terasering kaitannya dengan pengendalian erosi lahan khususnya kawasan DAS Jeneberang pada bagian hulu dengan mensosialisasikan Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai tindak lanjut dari UU No.7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air.
-
Peningkatan aktifitas penambangan sebesar 30% (rata-rata eksisting 2,19 juta m3/tahun), dapat menurunkan tingkat sedimentasi waduk sebesar 19,8%. Sehingga dengan adanya signifikansi antara tingkat aktifitas penambangan terhadap tingkat sedimentasi waduk maka perlu dioptimalkan pemanfaatan hasil tambang sedimen namun tetap menjaga kelestarian fasilitas bangunan pengendali sedimen dengan menetapkan aturan-aturan yang ketat terhadap izin dan cara penambangan.
-
Melibatkan masyarakat dalam mewujudkan kawasan konservasi, memelihara fasilitas struktur bangunan pengendali, pengaturan cara penambangan pasir yang tidak merusak. Dengan demikian diharapkan terbentuknya komunitas yang dapat bertanggung jawab dalam memelihara fasilitas penunjang tersebut sehingga dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.
VI. SIMPULAN DAN SARAN
6.1. Simpulan 1. Karakteristik sumber sedimen dan tingkat sedimentasi waduk a. Karakteristik sub DAS Jeneberang didominasi oleh wilayah dengan topografi curam seluas 10.080 Ha (26,22%) dan penutupan lahan didominasi oleh hutan dengan luas 12.250 Ha (31,87%). b. Dari model MWAGNPS diperoleh tingkat erosi lahan total sebesar 44,81 ton/ha (kategori TBE sedang) dan sedimen total sebesar 203.283,0 ton. Laju erosi permukaan yang terbesar adalah penutupan lahan berupa ladang/tegalan sebesar 29.552,14 ton/ha/tahun dan semak belukar sebesar 24.545,38 ton/ha/tahun. Sedangkan hutan (8.138,8 ton/ha/tahun), sawah (471,41 ton/ha/tahun) dan pemukiman (131,2 ton/ha/tahun) memiliki laju erosi yang cukup kecil. c. Volume sedimentasi di waduk Bili-Bili adalah 8.376.000 m3 (April 2001) dan 5 tahun setelah kejadian longsor tersebut (2009) volume sedimen telah mencapai 75.055.000 m3. 2. Kapasitas Bangunan Pengendali dan Pola Pengendalian sedimen a. Bangunan sabo dam yang berada di hulu sungai Jeneberang mampu mengendalikan sedimen sebesar 29.561.034 m3 atau 35% dari total sedimen yang dikendalikan fasilitas sabo dam. Konsolidasi dam sangat signifikan dalam mengendalikan sedimen sebesar 49.989.195 m3 atau 58% dari total sedimen yang dikendalikan oleh fasilitas bangunan sabo dam. Bangunan sand pocket menampung sedimen dalam volume yang besar sehingga dimanfaatkan oleh masyarakat untuk melakukan penambangan dengan total volume yang ditambang adalah 2.190.000 m3 per tahun. b. Aktifitas pengerukan (excavation) pada bagian hulu waduk ditampung pada area spoil bank dengan total volume 7.700.000 m3 . c. Tindakan konservasi yang dilakukan di hulu DAS Jeneberang dengan pembuatan teras yang dikombinasikan dengan penanaman memotong arah berlereng atau pembuatan saluran drainase dapat mengendalikan tingkat erosi menjadi 36,30 ton/ha dan sedimentasi sebesar 164.659,2 ton.
138
3. Rancangan model pengendalian sedimentasi waduk a. Indeks kapasitas waduk menunjukkan bahwa kapasitas waduk yang terancam akan dapat dikendalikan pada tahun 2022. Adapun kondisi eksisting menunjukkan pada tahun 2022 kapasitas tampung sedimentasi waduk akan terlampaui dan terancam tidak akan berfungsi dengan baik. b. Skenario moderat yaitu skenario yang dijalankan dengan mengoptimalkan aktifitas penambangan di sand pocket dan menganggap pengerukan yang memakan biaya mencapai total Rp. 257.700.000.000 dilakukan sekali dalam 4 tahun. sementara disisi lain dengan meningkatkan volume aktifitas
penambangan
sebesar
30%
dari
yang
normal
mampu
meningkatkan pendapatan untuk tahun 2012 sebesar Rp. 19,3 milyar/tahun menjadi Rp. 25,15 milyar/tahun dan peningkatan pendapatan pemerintah melalui pajak dari Rp. 2,9 milyar menjadi Rp. 3,8 milyar. Demikian juga partisipasi masyarakat yang direkrut dari 827 orang menjadi 1.075 orang c. Aktifitas penambangan ini selain dapat mengendalikan sedimen juga dapat meningkatkan
pendapatan
masyarakat
sekitar
waduk
termasuk
peningkatan pendapatan pemerintah setempat melalui retribusi dan pajak. Hal ini membuktikan bahwa fungsi keberlanjutan waduk, penambangan dan efektifitas kapasitas waduk memberikan dampak positif kepada masyarakat dan pemerintah.
6.2. Saran 1. Perlunya aturan pengendalian sedimen berkaitan dengan pengalokasian dana
pemerintah pada program pengendalian baik secara fisik maupun non fisik; aturan yang ketat berkaitan dengan persyaratan dan batasan untuk penambangan material pada areal penambangan yang diizinkan. 2. Pada
model
dengan
skenario
moderat
yang
telah
dibangun
dapat
dipertimbangkan untuk diaplikasikan dalam metode pengendalian sedimentasi waduk Bili-Bili melalui pemantauan peningkatan aktifitas penambangan sebesar 30%; menerapkan kriteria Operasional dan Pemeliharaan (OP) berkaitan flushing sedimen di waduk yang mendukung besaran outflow sedimen 3%.
139
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, M.N., Ahmad M. dan Syamsul Arifin I. 2003. Land-use Based GISModelling for Sedimentation Reduction at Bili-Bili Dam, Indonesia. Journal IAHS. 279:180-187. Achmad, F.B. 2006. Kajian Pengendalian Sedimentasi Waduk Panglima Besar Soedirman dengan Teknologi Sabo. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Ageng, P. 2005. Jeneberang River Basin Management Capacity. [Master of Science Thesis]. Industrial Ecology, Royal Institute of Technology. Stockholm, Sweden. Anonim. 2003. Penyusunan Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Daerah Aliran Sungai (DAS) Jeneberang, Propinsi Sulawesi Selatan. BP-DAS Jeneberang Walanae Propinsi Sulawesi Selatan dan LPPM Universitas Hasanuddin. Makassar. Anton, J.J.V., Gerard Govers, and Cindy Puttemans. 2002. Modelling Land Use Changes and Their Impact on Soil Erosion and Sediment Supply to Rivers.Journal of Earth Surface Processes and Landforms. 27(5):481-494. Arsyad, S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. Edisi kedua. IPB Press. Bogor. Asdak, C. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Cetakan ketiga. Yogyakarta. Adzan, MD., Candra R.S. 2008. Kritisnya Kondisi Bendungan di Indonesia. Di dalam Seminar Komite Nasional Indonesia untuk Bendungan Besar (KNIBB). Surabaya. 2-3 Juli 2008. Bapro PSDA. 2004. Laporan Hasil Echosounding Waduk Bili-Bili. Bagian Proyek Pengelolaan Sumber Daya Air Jeneberang. Makassar. Bapro PSDA. 2005. Laporan Hasil Echosounding Waduk Bili-Bili. Bagian Proyek Pengelolaan Sumber Daya Air Jeneberang. Makassar. Barlas, Y. 2002. System Dinamics: Systemic Feedback Modelling for Policy Analysis. Encyclopedia of Life Support Systems. UNESCO Publishing-Eols Publishers. Paris, France, Oxford, UK. Budiman dan Haeruddin, C.M. 2012. Mengendalikan Megalongsoran Gunung Bawakaraeng. PT. Sarana Komunikasi Utama. Bogor. Binga. 2006. Pengendalian Sedimen Akibat Longsoran Kaldera Gunung Bawakaraeng di Sungai Jeneberang. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
140
Boix-Fayos, C., Vente, J., Martinez, M., Barbera, G., and Castillo,V. 2008. The Impact of Land Use Change and Check-Dams on Catchment Sediment Yield. Journal of Hydrological Processes. 22(25): 4922-4935. EM. 1995. Sedimentation Investigation of Rivers and Reservoirs. Engineering Manual 1110-2-4000. US. Army Corps of Engineers. Washington. Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem, Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. IPB Press. Bogor. Eriyatno dan Sofyar F., 2007. Riset Kebijakan, Metode Penelitian untuk Pascasarjana. IPB Press. Bogor. Fadiah. 2006. Kajian Pengaruh Erosi Lahan terhadap Sedimentasi di Waduk BiliBili Kabupaten Gowa Propinsi Sulawesi Selatan. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Guluda,D.R., 1996. Pengunaan Model AGNPS untuk Memprediksi Aliran Permukaan, Sedimen, dan Hara N,P dan COD di Daerah Tangkapan Citere, sub DAS Citarik, Pangalengan. [Tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Handoko, I. 2005. Quantitative Modeling of System Dynamics for Natural Resources Management. SEAMEO BIOTROP. Bogor. Hardiyatmo, H.C. 2006. Penanganan Tanah Longsor dan Erosi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Hardjosuwarno, S., dan Soewarno. 2008. Reservoir Sedimentation due to Debris Flow and Its Measures in Wlingi, East Java and Bili-Bili, South Sulawesi. Journal of Applied Sciences in Environmental Sanitation. 3 (2):73-78. Haregeweyn, N. et al. 2006. Reservoirs in Tigray (Northern Ethiopia): Characteristics and Sediment Deposition Problems.. Journal of Land Degradation and Development. 17 (2):211-230. Hariyadi, R. 2001. Pengaruh Pencemaran dan Sedimentasi dari Penggunaan Lahan terhadap Dayadukung Waduk. [Disertasi]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hartrisari. 2007. Sistem Dinamik: Konsep Sistem dan Pemodelan Untuk Industri dan Lingkungan. SEAMEO BIOTROP. Bogor. Hasnawir, H. Omura and T. Kubota. 2006. Landslide Disaster at Mt. Bawakaraeng Caldera, South Sulawesi, Indonesia. Kyushu Journal 59:269272.
141
Jian, L., Bingyi Liu and Ashida K. 2002. Reservoir Sedimentation Management in Asia. [serial online]. http://kfki.baw.de/conferences/ICHE/2002Warsaw/ARTICLES/PDF/128C4-SD.pdf [6 April2009] JICA. 2005. The Study on Capacity Development for Jeneberang River Basin Management in the Republic of Indonesia. Final Report. Volume 1. Japan International Cooperation Agency. Jorgensen, S.E., and R.A. Vollenweider. 1989. Guidelines of Lakes Management: Principlesof Lakes Management Vol.1. International Lake Environment Foundation. Shiga-Japan. Jorgensen, S.E. 1989. Use of Model. In Jorgensen, S.E., and R.A. Vollenweider, editor. Guidelines of Lakes Management: Principlesof Lakes Management. International Lake Environment Foundation. Shiga-Japan. 1:71-89. JRBDP. 2004. Country Report-Indonesia. Jeneberang River Basin Development Project. Indonesia. Kartasapoetra, A.G. 2000. Teknologi Konservasi Tanah dan Air. Rineka Cipta, Jakarta. Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral. 2008. Pengenalan Gerakan Tanah. http://www.esdm.go.id/publikasi/lainlain/doc_download/489pengenalangerakan-tanah.html [6 April2011] Kironoto, BA. 2006. Sedimentasi Waduk dan Erosi Lahan. Program Magister Pengelolaan Bencana Alam(MPBA). Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Kodoatie, Robert J. Dan Sugiyanto. 2002. Banjir Beberapa Penyebab dan Metode Pengendaliannya dalam Perspektif Lingkungan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Laoh, O.E.H. 2002. Keterkaitan Faktor Fisik, Faktor Sosial Ekonomi dan Tata guna Lahan di Daerah Tangkapan Air dengan Erosi dan Sedimentasi (Kasus Danau Tondano, Sulawesi Utara). [Disertasi]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Leon, L.F., George, C. 2009. Map Window Interface for AGNPS (MWAGNPS). Release 1. March-2009. LPM UNHAS. 2004. Laporan Akhir ANDAL Pekerjaan Pengendalian Sedimen akibat Longsor Dinding Kaldera Gunung Bawakaraeng. Lembaga Pengabdian pada Masyarakat Universitas Hasanuddin. Makassar. Lubis, R., dan Syafiuddin. 1992. Penghitungan Biaya Erosi (On-Site Cost) di Daerah Aliran Sungai Jeneberang Hulu, Sulawesi Selatan. Jurnal Ekonomi Lingkungan. 2:36-43.
142
Makaheming, Y. 2003. Pola Pengelolaan Hutan pada Hulu DAS Jeneberang Kabupaten Gowa. [Tesis]. Program Pascasarjana, Universitas Hasanuddin. Makassar. Manetsch, T.J., and G.L. Park. 1977. System Analysis and Simulation with Application to Economic and Social System. Part 1. 3rd edition. Dept. Of Electrical Engineering and System Science. Michigan State University East Lansing. Michigan. Mappa, H., S. Paembonan, R. Mustaqiem. 1987. Pengembangan Wilayah Terpadu Daerah Aliran Sungai Jeneberang. Bulletin Universitas Hasanuddin. Vol.4. Ujung Pandang. Maryono, A. 2005. Menangani Banjir, Kekeringan, dan Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Muhammadi, E. Aminullah, B. Susilo. 2001. Analisis Sistem Dinamis. UMJ Press. Jakarta. Mukhlisin, M. 2007. Pengelolaan Sedimen Terpadu. Program Magister Pengelolaan Bencana Alam (MPBA). Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Mulyanto, H.R. 2007. Sungai, Fungsi dan Sifat-Sifatnya. Program Magister Pengelolaan Bencana Alam (MPBA). Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Munir, A., M. Nurdin dan Paharuddin. 2005. Pengembangan Model WEB-Based Collaborative Visualization Environment (WBCVE)-Sistem Informasi Geongrafi (SIG) untuk Pengendalian Sedimentasi Waduk Bili-Bili Sulawesi Selatan. Didalam Pemanfaatan Efektif Penginderaan Jauh untuk Peningkatan Kesejahteraan Bangsa. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan. Surabaya, 14-15 September 2005. MAPIN XIV. Surabaya. pp. 154-160. Osti, R. and Egashira, S. 2008. Method to Improve the Mitigative Effectiveness of a Series of Check-Dams against Debris Flows. Journal of Hydrological Processes. 22(26): 4986-4996. PPLH UNHAS. 2000. Pengelolaan Terpadu Daerah Aliran Sungai (DAS) Jeneberang Tahap I. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup. Makassar. PPLH UNHAS. 2001. Pengelolaan Terpadu Daerah Aliran Sungai (DAS) Jeneberang Tahap II. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup. Makassar. Puslitbang SDA. 2008. Pengelolaan Danau dan Waduk di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air. Balai Lingkungan Keairan. Bandung.
143
Saida. 2011. Pengembangan Tanaman Hortikultura Berbasis Agroekologi Pada Lahan Berlereng di Hulu DAS Jeneberang, Sulawesi Selatan. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sardi. 2008. Kajian Penanganan Sedimentasi dengan Waduk Penampung Sedimen pada Bendungan Serbaguna Wonogiri. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Subarkah dan Diah Rahayu P. 2005. Sistem Pengendalian Banjir dan Debris. Program Magister Pengelolaan Bencana Alam (MPBA). Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Suhartanto. 2009. Pendugaan Erosi, Sedimen dan Limpasan Berbasis Model Hidrologi WEPP dan SIG di Sub-DAS Ciriung, DAS Cidanau. [Disertasi]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suhendang, E. 2002. Pengantar Ilmu Kehutanan. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sukartaatmadja, S. 2004. Perencanaan dan Pelaksanaan Teknis Bangunan Pencegah Erosi. Institut Pertanian Bogor (IPB). Bogor. Sukresno, Murtiono, U.H., dan Pramono, I.B. 2002. Penerapan Model ANSWERS untuk Pendugaan Erosi-Sedimentasi di Sub-DAS Keduang-Wonogiri. Didalam Ekspose BP2TPDAS-IBB. Prosiding Ilmiah Tahunan. Wonogiri, 1 Oktober 2002. BP2TPDAS-IBB Surakarta. Wonogiri. pp. 1-15. Supangat, A.B., dan Paimin. 2007. Kajian Peran Waduk sebagai Pengendali Kualitas Air Secara Alami. Jurnal Forum Geografi. 21(2):123-134. Suparman, M.E., et al. 2009. SABO untuk Penanggulangan Bencana Akibat Aliran Sedimen. Yayasan Air Edhika bekerja sama dengan Japan International Cooperation Agency (JICA). Supratman dan C. Yudilastiantoro. 2003. Analisis Sistem Kelembagaan Pengelolaan DAS Jeneberang (Analysis of Institutional System of Jeneberang Watershed Management). Jurnal Sosekhut [serial online]. 2(4):1-10. http://puslitsosekhut.web.id/download.php?page=publikasi&sub= jurnal&di=108 [10 Maret 2009] Supriyatno. 2003. Pengaruh Perubahan Tataguna Lahan terhadap Erosi Daerah Tangkapan Hujan dan Pendangkalan Waduk Way Rarem. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Suripin. 2001. Pelestarian Sumber Daya Air. Andi. Yogyakarta.
144
Suwarto. 2006. Sistem dan Model. Didalam Pelatihan Penyusunan PDRB Hijau dan Perencanaan Kehutanan berbasis Penataan Ruang. Badan Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan, Bogor.Bogor, 4-9 Juni 2006. Sylviani dan Elvida, Y.S. 2006. Potensi dan Pemanfaatan Sumberdaya Air di Daerah Aliran Sungai Jeneberang dan Kawasan Hutan Lindung (Studi Kasus di Kabupaten Gowa, Propinsi Sulawesi Selatan). Jurnal Sosekhut [serial online]. 7(3):1-17. http://puslitsosekhut.web.id/download.php?page= publikasi&sub=Jurnal&di108 [10 Maret 2009] Tangkaisari, R. 1987. Tingkat Erosi di Sub DAS Jeneberang. Bulletin Penelitian Universitas Hasanuddin. Ujung Pandang. Thontowi, J. 2006. Pengelolaan Bencana Air dan Sedimen serta Sistem Perundang-undangan. Program Magister Pengelolaan Bencana Alam (MPBA). Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Tjasyono, B. 2004. Klimatologi. Penerbit ITB. Bandung. Triatmadja, R. 2007. Kontroversi Sabo Dam sebagai Bangunan Pengendali Sedimen untuk Mitigasi Bencana Alam. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan. HATHI XXIV. Makassar, 31 Agustus - 2 September 2007. pp.1-9. Triatmadja, R. dan Darmanto. 2006. Konsep dan Implementasi Infrastruktur Ramah Lingkungan. Didalam Seminar Nasional Green Infrastructure as an Emerging Challenge for Indonesian Development. Jakarta, 29 Nopember 2006. pp.1-12. Undang-Undang No.7 Tahun 2004. Tentang Sumber Daya Air. Young, R.A, and Onstad, C.A. 1994. Agricultural Non-Point Source Pollution Model, Version 4.03. AGNPS user’s Guide. North Central Soil Conservation Research Laboratory Morris. MN. Zubair, H. 2001. Model Pengendalian Sedimen untuk Mempertahankan Kapasitas Waduk. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Hasanuddin. Makassar.
145
Lampiran 1. Tipikal Sabo Dam Impermeabel
146
Lampiran 2. Gambar Teknis dan Spesifikasi bangunan Sabo Dam No. 7-1 (SD 7-1)
Spesifikasi Teknis: Material Konstruksi : Soil Cement CSG dan ISM Tinggi Main Dam : 13.00 m Lebar Pelimpah : 40 m Panjang M. Dam : 94.50 m Jarak sub MDam : 37.00 m Tebal Apron : 1.50 m Kapasitas Kendali sedimen : 1,25 juta m3
147
Lampiran 3. Gambar Teknis dan Spesifikasi bangunan Sabo Dam No. 7-2 (SD 7-2)
Spesifikasi Teknis: Material Konstruksi : Soil Cement CSG dan ISM Tinggi Main Dam : 12.50 m Lebar Pelimpah : 40 m Panjang M. Dam : 97.00 m Jarak sub MDam : 26.00 m Tebal Apron : 1.70 m Kapasitas Kendali sedimen : 1,08 juta m3
148
Lampiran 4. Gambar Teknis dan Spesifikasi bangunan Sabo Dam No. 7-3 (SD 7-3)
Spesifikasi Teknis: Material Konstruksi : Soil Cement CSG dan ISM Tinggi Main Dam : 12.50 m Lebar Pelimpah : 40 m Panjang M. Dam : 121.00 m Jarak sub MDam : 26.00 m Tebal Apron : 1.70 m Kapasitas Kendali sedimen : 2,11 juta m3
149
Lampiran 5. Gambar Teknis dan Spesifikasi bangunan Sabo Dam No. 7-4 (SD 7-4)
Spesifikasi Teknis: Material Konstruksi : Soil Cement CSG dan ISM Tinggi Main Dam : 14.10 m Lebar Pelimpah : 40 m Panjang M. Dam : 153.00 m Jarak sub MDam : 22.00 m Tebal Apron : 1.50 m Kapasitas Kendali sedimen : 1,08 juta m3
150
Lampiran 6. Gambar Teknis dan Spesifikasi bangunan Sabo Dam No. 7-5 (SD 7-5)
Spesifikasi Teknis: Material Konstruksi : Soil Cement CSG dan ISM Tinggi Main Dam : 20.30 m Lebar Pelimpah : 40 m Panjang M. Dam : 81.00 m Jarak sub MDam : 29.00 m Tebal Apron : 1.80 m Kapasitas Kendali sedimen : 2,11 juta m3
151
Lampiran 7. Gambar Teknis dan Spesifikasi bangunan Sabo Dam CD-1
Spesifikasi Teknis: Material Konstruksi : Pasangan batu dan beton Tinggi Main Dam : 12.30 m Lebar Pelimpah : 3m Panjang M. Dam : 886.00 m Jarak sub MDam : 19.00 m Tebal Apron : 0.50 m Kapasitas Kendali sedimen : 2,53 juta m3
152
Lampiran 8. Gambar Teknis dan Spesifikasi bangunan Sabo Dam CD-2
Spesifikasi Teknis: Material Konstruksi : Pasangan batu dan beton Tinggi Main Dam : 11.30 m Lebar Pelimpah : 3.75 m Panjang M. Dam : 104.00 m Jarak sub MDam : 19.00 m Tebal Apron : 0.50 m Kapasitas Kendali sedimen :18,83 juta m3
153
Lampiran 9. Gambar Teknis dan Spesifikasi bangunan Sabo Dam CD-3
Spesifikasi Teknis: Material Konstruksi : Pasangan batu dan beton Tinggi Main Dam : 6.00 m Lebar Pelimpah : 1.80 m Panjang M. Dam : 104.00 m Jarak sub MDam : 21.68 m Tebal Apron : 1.80 m Kapasitas Kendali sedimen :18,83 juta m3
154
Lampiran 10. Gambar Teknis dan Spesifikasi bangunan Konsolidasi Dam KD-1
Spesifikasi Teknis: Material Konstruksi Fungsi Bangunan
: Pasangan batu dan beton : Pengendalian aliran sedimen dan dasar sungai, sarana penyeberangan dan pengambilan air irigasi Tinggi Main Dam : 7.00 m Lebar Pelimpah : 70.00 m Panjang M. Dam : 486.60 m Jarak sub MDam : 25.00 m Tebal Apron : 1.50 m Kapasitas Kendali sedimen :18,83 juta m3
155
Lampiran 11. Gambar Teknis dan Spesifikasi bangunan Konsolidasi Dam KD-2
Spesifikasi Teknis: Material Konstruksi Fungsi Bangunan
: Pasangan batu dan beton : Pengendalian aliran sedimen dan dasar sungai, sarana penyeberangan dan pengambilan air irigasi Tinggi Main Dam : 7.00 m Lebar Pelimpah : 65.00 m Panjang M. Dam : 230.00 m Jarak sub MDam : 22.50 m Tebal Apron : 1.50 m Kapasitas Kendali sedimen :12,48 juta m3
SD 7-1 SD 7-2 dan SD 7-3 SD 7-4 dan SD 7-5 SD 7-6 dan SD 7-7 CD-1 dan CD-2 KD-1 KD-2 KD-3 dan KD-4 Spoil Bank total pembangunan sabo dam pengerukan di SP-5 pengerukan di SP-1,2,3 pengerukan EOR kiri pengerukan EOR kanan pengerukan EOR kanan total biaya pengerukan
Agust April
Bangunan Pengendali 2005
Okt
2006
Nop
Juni
Juli
Agust Sept
2007 Des
April
Juli
2008 Des
April
Juli
Agust Nop
2009 Jan
Feb
210 240 450 450 330
750 540 549 600 810 600 590 600 750
60.100 51.800 42.400 51.900 50.200 42.800 44.550 46.300 62.500 452.550 32.200 43.600 59.700 59.700 62.500 257.700
Rp
2011 hari kerja Biaya (x106)
Maret April Maret
2010
Lampiran 12. Biaya dan waktu Pembangunan Bangunan Pengendali Sedimen dan aktifitas pengerukan
156
157
Lampiran 13. Data Curah Hujan Bulanan untuk setiap stasiun Pengamatan stasiun BILI-BILI Bulan (mm) Tahun
Okt
Nop
Des
Total (mm/ thn)
0
9
151
497
2606
4
61
178
920
2652
0
9
7
138
209
1708
21
0
0
137
216
223
1429
0
0
2
5
255
367
577
2931
118
1
0
10
179
270
770
3564
72 72 14 0
0 2 0 0
5 10 5 0
274 274 132 7
313 367 233 138
440 920 519 209
3721 3721 2659 1429
Jan
Peb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags Sep
2002
561
448
400
323
186
31
0
0
2003
725
341
218
154
30
18
3
0
2004
257
451
424
115
90
4
4
2005
208
122
266
79
131
26
2006
543
686
377
119
0
2007
691
758
509
180
78
2008 Max Rerata Min
787 787 539 208
629 758 491 122
505 509 386 218
299 323 181 79
167 186 97 0
230 230 61 0
stasiun JONGGOA Bulan (mm) Tahun
Des
Total (mm/ thn)
Jan
Peb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nop
2002
464
122
0
0
0
82
1
0
0
1
388
506
1564
2003
978
640
484
104
76
23
12
65
16
78
233
1128
3837
2004
506
747
564
238
129
30
15
0
2
17
264
408
2920
2005
509
565
668
262
72
25
78
27
31
162
353
569
3321
2006
1019
356
521
138
0
0
0
3
5
224
380
768
3414
2007
702
902
440
464
34
131
33
4
3
204
213
488
3618
2008 Max Rerata Min
805 1019 712 464
398 902 533 122
484 668 452 0
281 464 212 0
139 139 64 0
295 295 84 0
27 78 24 0
40 65 20 0
3 31 9 0
351 351 148 1
537 537 338 213
496 1128 623 408
3856 3856 3219 1564
Des
Total (mm/ thn)
stasiun MALINO Bulan (mm) Tahun
Jan
Peb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nop
2002
705
583
498
265
173
90
7
0
0
2
125
362
2810
2003
1005
727
420
132
79
40
23
41
17
80
374
1101
4039
2004
221
482
424
205
188
88
16
0
0
12
6
437
2079
2005
505
411
495
312
131
46
40
22
0
174
335
521
2992
2006
786
829
483
202
0
0
0
7
1
169
448
873
3798
2007
677
702
410
267
89
219
8
2
0
268
361
1129
4132
2008 Max Rerata Min
616 1005 645 221
636 829 624 411
567 567 471 410
424 424 258 132
224 224 126 0
390 390 125 0
80 80 25 0
35 41 15 0
3 17 3 0
215 268 131 2
379 448 290 6
816 1129 748 362
4385 4385 3462 2079
158
Lampiran 14. Output General Cell dari MWAGNPS GridNum ber
C_ Factor
Flow Direc tion
1000
0,008
5
0,48
2000
0,008
5
3000
0,008
4000
K_ Factor
Land Slope
Soil_ Slope Soil Surf Text Length Group Cond ure
Manni ngs_n
P_ Fact
Rec_Ce llNo
SCS_ No
17,564
0,6
1
3
73
150
2
C
0,34
0,48
27,079
0,6
1
8
73
150
2
C
0,34
5
0,48
17,472
0,6
1
9
73
150
2
C
0,35
0,0079
5
0,48
17,842
0,599
1
10
73
150
2
C
0,34
5000
0,0079
6
0,479
25,276
0,6
1
10
73
150
2
C
0,34
6000
0,1164
5
0,48
48,415
0,525
1
17
75
150
2
C
0,4
7000
0,008
5
0,479
42,555
0,6
1
18
73
150
2
C
0,35
8000
0,008
5
0,48
32,426
0,6
1
19
73
150
2
C
0,35
9000
0,008
3
0,48
35,518
0,6
1
10
73
150
2
C
0,35
10000
0,008
5
0,48
47,144
0,6
1
21
73
150
2
C
0,35
11000
0,008
5
0,48
32,116
0,6
1
22
73
150
2
C
0,35
12000
0,008
5
0,48
38,277
0,6
1
23
73
150
2
C
0,35
13000
0,008
6
0,454
41,499
0,6
1
23
73
150
2
C
0,34
14000
0,008
5
0,423
68,921
0,6
1
25
73
150
2
C
0,35
15000
0,3
5
0,48
35,982
0,4
1
30
79
150
2
C
0,5
16000
0,3
7
0,479
52,214
0,4
1
15
79
150
2
C
0,5
17000
0,1138
5
0,48
56,377
0,527
1
32
75
150
2
C
0,4
18000
0,008
3
0,48
33,968
0,6
1
19
73
150
2
C
0,35
19000
0,008
5
0,48
20,437
0,6
1
34
73
150
2
C
0,35
20000
0,008
7
0,48
26,783
0,6
1
19
73
150
2
C
0,35
21000
0,008
5
0,48
23,968
0,6
1
36
73
150
2
C
0,35
22000
0,008
5
0,48
23,256
0,6
1
37
73
150
2
C
0,35
23000
0,008
7
0,48
41,773
0,6
1
22
73
150
2
C
0,35
24000
0,008
5
0,48
44,646
0,6
1
39
73
150
2
C
0,35
25000
0,008
5
0,48
45,243
0,6
1
40
73
150
2
C
0,35
26000
0,008
5
0,412
61,525
0,599
1
41
73
150
2
C
0,34
27000
0,008
5
0,28
50,254
0,599
1
42
73
150
3
C
0,34
28000
0,1284
5
0,48
14,676
0,517
1
49
75
150
2
C
0,41
29000
0,0679
7
0,48
26,546
0,558
1
28
74
150
2
C
0,38
30000
0,3
3
0,48
30,058
0,4
1
31
79
150
2
C
0,5
31000
0,2416
5
0,48
28,384
0,439
1
52
78
150
2
C
0,47
32000
0,0129
7
0,48
45,94
0,596
1
31
73
150
2
C
0,35
33000
0,008
4
0,48
32,998
0,6
1
55
73
150
2
C
0,35
34000
0,008
5
0,48
28,146
0,6
1
55
73
150
2
C
0,35
35000
0,008
5
0,48
25,138
0,6
1
56
73
150
2
C
0,35
36000
0,008
5
0,48
36,881
0,6
1
57
73
150
2
C
0,35
37000
0,008
5
0,48
20,134
0,6
1
58
73
150
2
C
0,35
38000
0,008
7
0,48
40,778
0,6
1
37
73
150
2
C
0,35
39000
0,008
5
0,48
32,13
0,6
1
60
73
150
2
C
0,35
159
40000
0,008
3
0,48
25,995
0,6
1
41
73
150
2
C
0,35
41000
0,008
5
0,479
34,288
0,6
1
62
73
150
2
C
0,35
42000
0,008
7
0,302
42,201
0,6
1
41
73
150
3
C
0,35
43000
0,0079
7
0,28
40,78
0,599
1
42
73
150
3
C
0,34
44000
0,008
5
0,28
24,291
0,599
1
65
73
150
3
C
0,34
45000
0,008
5
0,479
38,367
0,599
1
67
73
150
2
C
0,34
46000
0,008
5
0,48
44,9
0,6
1
68
73
150
2
C
0,35
47000
0,2948
3
0,48
33,542
0,403
1
48
79
150
2
C
0,49
48000
0,2943
5
0,48
31,49
0,411
1
75
79
150
2
C
0,49
1449000
0,008
8
0,48
34,5
0,6
1
1424
73
150
2
C
0,35
1450000
0,233
1
0,479
33,168
0,409
1
1429
76
150
2
C
0,27
1451000
0,3219
1
0,48
35,388
0,334
1
1430
77
150
2
C
0,24
1452000
0,0199
7
0,48
19,033
0,589
1
1451
73
150
2
C
0,34
1453000
0,008
7
0,48
14,51
0,6
1
1452
73
150
2
C
0,34
1454000
0,008
7
0,479
25,483
0,599
1
1453
73
150
2
C
0,35
1455000
0,0079
7
0,479
10,269
0,6
1
1454
73
150
2
C
0,34
1456000
0,008
7
0,479
10,114
0,6
1
1455
73
150
2
C
0,34
1457000
0,335
7
0,479
22
0,323
1
1456
77
150
2
C
0,23
1458000
0,5545
8
0,479
19,981
0,138
1
1436
79
150
2
C
0,16
1459000
0,0804
1
0,48
26,371
0,538
1
1438
74
150
2
C
0,32
1460000
0,008
7
0,479
28,739
0,599
1
1459
73
150
2
C
0,34
1461000
0,008
1
0,48
29,83
0,6
1
1440
73
150
2
C
0,35
1462000
0,008
3
0,48
37,444
0,6
1
1463
73
150
2
C
0,35
1463000
0,1926
1
0,48
49,078
0,473
1
1442
77
150
2
C
0,44
1464000
0,3
3
0,48
27,563
0,4
1
1465
79
150
2
C
0,5
1465000
0,3
1
0,48
14,78
0,4
1
1444
79
150
2
C
0,5
1466000
0,2457
7
0,48
18,776
0,437
1
1465
78
150
2
C
0,47
1467000
0,1119
1
0,48
36,938
0,528
1
1446
75
150
2
C
0,4
1468000
0,0079
1
0,479
170,448
0,599
1
1447
73
150
2
C
0,35
1469000
0,008
1
0,48
16,851
0,6
1
1451
73
150
2
C
0,34
1470000
0,008
8
0,479
31,652
0,6
1
1461
73
150
2
C
0,35
1471000
0,0101
1
0,48
47,08
0,598
1
1463
73
150
2
C
0,35
1472000
0,1348
1
0,48
90,356
0,513
1
1464
76
150
2
C
0,41
1473000
0,2841
1
0,48
63,816
0,41
1
1465
79
150
2
C
0,49
1474000
0,0833
1
0,48
32,892
0,548
1
1466
74
150
2
C
0,38
1475000
0,008
8
0,48
74,069
0,6
1
1466
73
150
2
C
0,35
1476000
0,008
8
0,479
41,184
0,599
1
1471
73
150
2
C
0,35
1477000
0,1531
1
0,479
96,144
0,5
1
1473
76
150
2
C
0,42
1478000
0,1373
1
0,48
68,442
0,511
1
1474
76
150
2
C
0,41
160
Lampiran 15. Output Sediment dari MWAGNPS Clay CellEro sion
LAgg CellEro sion
SAgg CellEro sion
Sand CellEro sion
Silt CellEro sion
TotalCe llErosio n
TotalCell Yield
Total Depo sition
1000
0,04
0,28
0,45
0,05
0,07
0,89
3,43
94
2000
0,09
0,59
0,94
0,11
0,15
1,89
6,23
95
3000
0,04
0,27
0,44
0,05
0,07
0,89
8,99
85
4000
0,05
0,28
0,45
0,05
0,07
0,9
3,45
94
5000
0,08
0,51
0,83
0,1
0,13
1,65
5,56
95
6000
3,96
24,53
39,57
4,75
6,33
79,14
282,84
94
7000
0,21
1,33
2,15
0,26
0,34
4,29
13,24
95
8000
0,13
0,81
1,3
0,16
0,21
2,6
19,75
88
9000
0,15
0,95
1,53
0,18
0,25
3,07
28,01
86
10000
0,26
1,6
2,58
0,31
0,41
5,17
51,05
86
11000
0,13
0,79
1,28
0,15
0,2
2,56
8,16
95
12000
0,18
1,09
1,76
0,21
0,28
3,53
10,99
95
13000
0,19
1,19
1,92
0,23
0,31
3,83
11,92
95
14000
0,46
2,87
4,63
0,56
0,74
9,27
28,39
95
15000
5,9
36,6
59,03
7,08
9,44
118,06
2719,92
69
16000
11,75
72,84
117,48
14,1
18,8
234,96
1409,8
90
17000
5,15
31,96
51,54
6,19
8,25
103,09
1007,39
85
18000
0,14
0,88
1,42
0,17
0,23
2,84
27,54
85
19000
0,06
0,36
0,57
0,07
0,09
1,15
43,89
65
20000
0,09
0,57
0,93
0,11
0,15
1,85
6,13
95
21000
0,08
0,47
0,76
0,09
0,12
1,52
65,37
55
22000
0,07
0,45
0,72
0,09
0,12
1,45
49,38
64
23000
0,21
1,28
2,07
0,25
0,33
4,14
38,12
86
24000
0,23
1,45
2,34
0,28
0,37
4,67
14,37
95
25000
0,24
1,48
2,39
0,29
0,38
4,79
51,76
84
26000
0,36
2,26
3,64
0,44
0,58
7,29
22,38
95
27000
0,34
0,85
1,94
0,07
0,2
3,41
19,32
91
28000
0,53
3,31
5,33
0,64
0,85
10,66
107,5
85
29000
0,77
4,77
7,7
0,92
1,23
15,39
47,73
95
30000
4,27
26,46
42,69
5,12
6,83
85,37
3527,07
56
31000
3,1
19,21
30,98
3,72
4,96
61,96
3018,17
63
32000
0,4
2,46
3,97
0,48
0,64
7,95
752,06
50
33000
0,13
0,83
1,34
0,16
0,21
2,69
8,54
95
34000
0,1
0,62
1,01
0,12
0,16
2,01
70,23
58
35000
0,08
0,51
0,82
0,1
0,13
1,65
5,55
95
36000
0,16
1,02
1,65
0,2
0,26
3,29
101,12
62
37000
0,06
0,35
0,56
0,07
0,09
1,12
64,45
51
398000
0
0
0
0
0
0
203283,5
1
1440000
0,2
1,22
1,96
0,24
0,31
3,93
59,64
78
Grid Number
161
1441000
0,16
1,01
1,63
0,2
0,26
3,26
10,22
95
1442000
14,31
88,7
143,07
17,17
22,89
286,13
4934,62
73
1443000
0,9
5,59
9,01
1,08
1,44
18,02
5475,12
14
1444000
0,73
4,55
7,34
0,88
1,17
14,67
5284,07
13
1445000
0,83
5,16
8,32
1
1,33
16,64
6622
15
1446000
0,37
2,29
3,7
0,44
0,59
7,4
6752,4
27
1447000
10,01
62,08
100,13
12,02
16,02
200,26
8618,1
69
1448000
0,25
1,56
2,52
0,3
0,4
5,05
15,49
95
1449000
0,15
0,9
1,46
0,17
0,23
2,91
9,2
95
1450000
3,96
24,53
39,57
4,75
6,33
79,13
315,09
94
1451000
6,14
38,08
61,43
7,37
9,83
122,85
1432,8
82
1452000
0,13
0,79
1,27
0,15
0,2
2,53
189,88
41
1453000
0,03
0,2
0,32
0,04
0,05
0,65
164,73
22
1454000
0,08
0,53
0,85
0,1
0,14
1,69
170,53
35
1455000
0,02
0,12
0,19
0,02
0,03
0,38
158,8
25
1456000
0,02
0,11
0,18
0,02
0,03
0,37
187,19
30
1457000
2,74
16,99
27,41
3,29
4,39
54,82
243,09
93
1458000
3,85
23,87
38,5
4,62
6,16
77,01
517,16
89
1459000
0,91
5,61
9,05
1,09
1,45
18,11
100,19
91
1460000
0,1
0,65
1,05
0,13
0,17
2,09
6,82
95
1461000
0,11
0,69
1,12
0,13
0,18
2,24
26,24
83
1462000
0,17
1,05
1,69
0,2
0,27
3,38
10,55
95
1463000
6,73
41,7
67,25
8,07
10,76
134,51
852,93
90
1464000
3,66
22,66
36,56
4,39
5,85
73,11
1944,53
67
1465000
1,26
7,81
12,6
1,51
2,02
25,19
5188,45
47
1466000
1,54
9,52
15,36
1,84
2,46
30,71
922,91
66
1467000
2,3
14,28
23,03
2,76
3,69
46,07
160,79
94
1468000
3,02
18,71
30,18
3,62
4,83
60,36
192,38
95
1469000
0,04
0,26
0,42
0,05
0,07
0,84
3,26
94
1470000
0,12
0,77
1,25
0,15
0,2
2,5
8
95
1471000
0,33
2,02
3,26
0,39
0,52
6,53
45,23
89
1472000
15,01
93,07
150,11
18,01
24,02
300,23
1273,7
93
1473000
16,25
100,73
162,46
19,5
25,99
324,93
5374,88
75
1474000
1,39
8,63
13,91
1,67
2,23
27,83
805,76
67
1475000
0,61
3,77
6,08
0,73
0,97
12,17
37,14
95
1476000
0,2
1,25
2,02
0,24
0,32
4,03
12,49
95
1477000
19,18
118,93
191,83
23,02
30,69
383,66
1646,91
93
1478000
8,96
55,57
89,62
10,75
14,34
179,25
738,46
93
162
Lampiran 16. Output equation model dari STELLA
sub model erosi lahan Erosi(t) = Erosi(t - dt) + (Laju_erosi) * dtINIT Erosi = 1000 INFLOWS: Laju_erosi = Faktor_Erodibilitas*Faktor_Erosivitas*Faktor_Konservasi*Faktor__Topografi*Vegetasi Sedimentasi_Lahan(t) = Sedimentasi_Lahan(t - dt) + (laju__sendimentasi) * dtINIT Sedimentasi_Lahan = 10370 INFLOWS: laju__sendimentasi = Erosi*SDR Bahan_Organik = (0.35*1.724)/100 Curah_Hujan = 26.15 Curah_Hujan_Max = 64.8 Debu = 35.6 Energi_Kinetik_Ch = 6.119*((Curah_Hujan^1.21)-(HH_per_bulan^-0.47)(Curah_Hujan_Max^0.53)) Faktor_Erodibilitas = (2.713*(Ukuran__Struktur_Tanah^1.14)*(10^-4)*(12Bahan_Organik)+3.25*(Kode_Struktur_Tanah-2)+2.5*(Kelas_Permeabilitas_Profil3))/100 Faktor_Erosivitas = Energi_Kinetik_Ch*12 Faktor_Konservasi = Faktor__Bertanam_Baris*Faktor_Sedimentasi_Teras*Kontur Faktor_Sedimentasi_Teras = 1 Faktor__Bertanam_Baris = 0.5 Faktor__Topografi = ((Panjang_Lereng*0.00138*(Slope^2))+(0.00965*Slope)+0.0135)^0.5
163
HH_per_bulan = 12 Kelas_Permeabilitas_Profil = 1 Kode_Struktur_Tanah = 4 Kontur = IF(Slope =1 - 2) Then (0.6)Else IF(Slope= 3 - 5)Then(0.5)Else IF(Slope=68)then(0.5) Else IF (Slope=9-12)Then(0.6)Else If(Slope=13-16)Then(0.7)Else IF(1720)Then (0.8)else(0.9) Liat = 13.3 Panjang_Lereng = 8 Pasir = 10.6 SDR = 0.25 Slope = 20 Ukuran__Struktur_Tanah = (Debu+Pasir)*(100-Liat) Vegetasi = 0.3 CH = GRAPH(TIME) (2001, 467), (2002, 253), (2003, 250), (2004, 260), (2005, 427), (2006, 289), (2007, 297), (2008, 188), (2009, 209), (2010, 324), (2011, 357), (2012, 367), (2013, 278), (2014, 467), (2015, 253), (2016, 250), (2017, 260), (2018, 427), (2019, 289), (2020, 297), (2021, 188), (2022, 209), (2023, 324), (2024, 357), (2025, 367), (2026, 278), (2027, 278), (2028, 278), (2029, 278), (2030, 278), (2031, 278), (2032, 278), (2033, 278), (2034, 278), (2035, 278), (2036, 278), (2037, 278), (2038, 278), (2039, 278), (2040, 278), (2041, 278), (2042, 278), (2043, 278), (2044, 278), (2045, 278), (2046, 278), (2047, 278), (2048, 278), (2049, 278)
sub model sosial ekonomi Partisipasi_Masyarakat(t) = Partisipasi_Masyarakat(t - dt) + (Laju__Penambangan) * dtINIT Partisipasi_Masyarakat = 0 INFLOWS: Laju__Penambangan = Volume_penambangan*Fraksi_Penambang Pendapatan(t) = Pendapatan(t - dt) + (Pendapatan_kotor - Pengeluaran) * dtINIT Pendapatan = 0 INFLOWS: laju_pend__penambang = (Volume__penambangan*0.5*harga_pasir__per_m3)+(Volume__penambangan*0.3*Har ga_Batu_pecah__per_m3) Pendapatan__Petani(t) = Pendapatan__Petani(t - dt) + (Laju_Pendapatan) * dtINIT Pendapatan__Petani = 0 INFLOWS: Laju_Pendapatan = (((HS_Bawang+Kelas_Erosi)*SL_bawang)+((HS_Durian+Kelas_Erosi)*SL_Durian)+(H S_Jeruk+Kelas_Erosi)*SL_Jeruk)+((HS_Kentang+Kelas_Erosi)*SL_Kentang)+((HS_ku bis+Kelas_Erosi)*SL_Kubis)+((HS_Mangga+Kelas_Erosi)*SL_Mangga)+((HS_markisa +Kelas_Erosi)*SL_Markisa)+((HS_Pisang+Kelas_Erosi)*SL_Pisang)+((HS_Rambutan+ Kelas_Erosi)*SL_Rambutan)+((HS_sawi+Kelas_Erosi)*SL_sawi)+((HS_wortel+Kelas_ Erosi)*SL_Wortel)*Luas_lahan*Produktivitas*(Inflasi+1) Volume__penambangan(t) = Volume__penambangan(t - dt) + (laju_penambangan) * dtINIT Volume__penambangan = 0
164
INFLOWS: laju_penambangan = Sand_mining Fraksi_Penambang = 1/500000 Harga_Batu_pecah__per_m3 = 135000 harga_pasir__per_m3 = 50000 HS_Bawang = 2000 HS_Durian = 10000 HS_Jeruk = 5000 HS_Kentang = 4000 HS_kubis = 2000 HS_Mangga = 5500 HS_markisa = 4000 HS_Pisang = 5000 HS_Rambutan = 7500 HS_sawi = 2000 HS_wortel = 2000 Inflasi = 0.02 Kelas_Erosi = If Erosi <=4000 then (1000) Else If Erosi > 4000 < 6500 then (500) Else If Erosi > 6500 < 11000 then (-500) Else (-1000) Luas_lahan = 9348 Pajak = Pendapatan*0.15 Produktivitas = 100 SL_bawang = 2/28 SL_Durian = 2/28 SL_Jeruk = 1/28 SL_Kentang = 6/28 SL_Kubis = 7/28 SL_Mangga = 1/28 SL_Markisa = 1/28 SL_Pisang = 1/28 SL_Rambutan = 3/28 SL_sawi = 1/28 SL_Wortel = 3/28 OUTFLOWS: Pengeluaran = Pajak Volume_penambangan(t) = Volume_penambangan(t - dt) + (laju_penambangan) * dtINIT Volume_penambangan = 0 sub model Pengendali Sedimen Massa__tanah_Longsoran(t) = Massa__tanah_Longsoran(t - dt) + (Laju_Massa_tanah__Longsor) * dtINIT Massa__tanah_Longsoran = 0 INFLOWS: Laju_Massa_tanah__Longsor = fraksi_Longsoran*(Potensi_massa__tanah_longsoranMassa__tanah_Longsoran) Sabo_konsolidasi(t) = Sabo_konsolidasi(t - dt) + (Laju_sedimen__konsolidasi) * dtINIT Sabo_konsolidasi = 0
165
INFLOWS: Laju_sedimen__konsolidasi = ((Massa__tanah_Longsoran-Sabo_Penahan)(Massa__tanah_Longsoran-Sabo_Penahan)*Kapasitas_sabo_dam_konsolidasi)Sabo_konsolidasi Sabo_Penahan(t) = Sabo_Penahan(t - dt) + (Laju_sendimen_Penahan) * dtINIT Sabo_Penahan = 0 INFLOWS: Laju_sendimen_Penahan = Massa__tanah_Longsoran*kapasitas_sabodam_penahanSabo_Penahan sandpocket(t) = sandpocket(t - dt) + (Laju_sedimen_sandpocket) * dtINIT sandpocket = 0 INFLOWS: Laju_sedimen_sandpocket = ((Massa__tanah_Longsoran-Sabo_konsolidasiSabo_Penahan)-(Massa__tanah_Longsoran-Sabo_konsolidasiSabo_Penahan)*Kapasitas_kendali_sand_pocket)-sandpocket Sand_mining(t) = Sand_mining(t - dt) + (laju_Sand_mining) * dtINIT Sand_mining = 0 INFLOWS: laju_Sand_mining = ((EOR+SP1+SP2+SP3+SP4+SP5)*365)*skenario_sandmining Sedimen_longsor(t) = Sedimen_longsor(t - dt) + (Laju_sedimentasi__Longsoran - Laju) * dtINIT Sedimen_longsor = 0 INFLOWS: Laju_sedimentasi__Longsoran = sandpocket-Sand_mining(exacavation*skenario_excavasi) OUTFLOWS: Laju = Sedimen_longsor EOR = 3000 exacavation = 7700000 fraksi_Longsoran = if TIME=2000 then (0.28) else if time>2000 then (0.15) else (0) Kapasitas_kendali_sand_pocket = 0.21*0.36*0.19 kapasitas_sabodam_penahan = 0.21*0.36*0.35 Kapasitas_sabo_dam_konsolidasi = 0.21*0.36*0.46 Potensi_massa__tanah_longsoran = 300000000 intervensi__excavasi = 1 intervensi__sandmining = 1 SP1 = 100 SP2 = 10 SP3 = 656 SP4 = 900 SP5 = 1000 sub model Waduk Sedimentasi_Waduk(t) = Sedimentasi_Waduk(t - dt) + (laju_sedimentasi_waduk outflow_sediment) * dtINIT Sedimentasi_Waduk = 0
166
INFLOWS: laju_sedimentasi_waduk = (Sedimentasi_Lahan+Sedimen_longsor)*koefisien__kapasitas_tampung OUTFLOWS: outflow_sediment = Q__outflow*skenario_outflow fraksi_outflow = if TIME=2001 then (0.3) else if time=2005 then (0.25) else if time=2006 then (0.35) else if time=2007 then (0.35) else if time=2008 then (0.25) else (0.005) Indek_keberlanjutan_waduk = Sedimentasi_Waduk/Kapasitas_waduk Kapasitas_waduk = 29000000 koefisien__kapasitas_tampung = 0.21 Q__outflow = Sedimentasi_Waduk*fraksi_outflow intervensi_outflow = 1