MODEL PENERAPAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY OLEH MULTINATIONAL CORPORATION DALAM PENGATURAN INTERNATIONAL FINANCE CORPORATION (IFC) DAN MULTILATERAL INVESTMENT GUARANTEE AGENCY (MIGA) Hikmatul Ula Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Jl. MT. Haryono 169 Malang
Email:
[email protected],
[email protected] Abstract The research focuses on the legal position of Corporate Social Responsibility by Multinational Corporation in the regulation of the International Finance Corporation (IFC) and the Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA) and the implementation model of Corporate Social Responsibility by Multinational Corporation in the regulation of the International Finance Corporation (IFC) and the Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA). By using the method of normative research with conceptual and analytical approach, it can be seen that the legal status of CSR in the setting of international law is voluntary norm. But in its development, IFC and MIGA position not only as the voluntary CSR norm but important condition that must be met by each company that will work with IFC and MIGA (obligatory norm). The model of Implementation of CSR in IFC and MIGA can be described in two stages, before the execution of corporate business activities (prevetive action) and after running the corporate business activities (repressive and evaluative action). As a preventive action IFC and MIGA requires every corporation to meet established performance standards particularly in terms of environmental and social. As repressive and evaluative methods, the WBG has a duty CAO institution and its function is to receive complaints and grievances of the people associated with the firm in cooperation with the IFC or MIGA. Key words: implementasi, CSR, WBG, IFC, MIGA, voluntary, obligatory norm Abstrak Penelitian itu menitikberatkan pada kedudukan hukum Corporate Sosial Responsibility oleh Multinasional Corporation dalam pengaturan International Finance Corporation (IFC) dan Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA) dan model penerapan Corporate Social Responsibility oleh Multinasional Corporation dalam pengaturan International Finance Corporation (IFC) dan Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA). Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan konseptual dan analisis, dapat diketahui bahwa Kedudukan hukum CSR dalam pengaturan hukum
internasional adalah voluntary norm. Namun dalam perkembangannya IFC dan MIGA memposisikan CSR bukan hanya sebagai voluntary norm tetapi syarat penting yang harus dipenuhi oleh setiap perusahaan yang akan bekerja sama dengan IFC dan MIGA (obligatory norm). Model pelaksanaan CSR dalam IFC dan MIGA dapat dijelaskan dalam dua tahap yaitu sebelum dilaksanakannya kegiatan usaha korporasi (prevetif action) dan setelah kegiatan usaha korporasi berjalan (represif dan evaluatif action). Sebagai preventif action IFC dan MIGA mensyaratkan setiap korporasi untuk memenuhi standar kinerja yang telah ditetapkan khususnya dalam hal lingkungan dan sosial. Sebagai metode represif dan evaluatif, WBG memiliki lembaga CAO yang tugas dan fungsinya adalah menerima pengaduan dan keluhan dari masyarakat terkait dengan perusahaan yang bekerjasama dengan IFC atau MIGA. Kata kunci: implementasi, CSR, WBG, IFC, MIGA, voluntary, obligatory norm Latar Belakang Adanya investasi yang masuk ke suatu negara seperti dua sisi uang. Di satu sisi dapat meningkatan pendapatan negara dan memperluas lapangan kerja, disisi lain penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang tidak merata dan berlebihan sekaligus berdampak pada perusakan lingkungan hidup. Menurut catatan Medard dan Bruner, separuh dari Multinational Corporation (MNC) menguasai 50% penambangan dan pengolahan minyak, gas dan batu bara di dunia. Enam perusahaan MNC menguasai 60% dari penambangaan dan pengolahan alumunium di dunia. Sejumlah 20 MNC menguasai 90% penjualan pestisida dunia. MNC juga yang menjadi sumber dari aneka sampah beracun di dunia. Semua itu membawa dampak negatif pada lingkungan secara serius. Disamping itu, MNC dan produk MNC yang dikonsumsi menghasilkan 50% dari gas yang mengakibatkan pemanasan global.1 Data tersebut diatas menunjukkan bahwa MNC memiliki peranan sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi global. Karena besarnya peran MNC tersebut, para ahli hukum harus merespon dengan menentukan posisi MNC dalam hukum internasional dan membuat aturan tentang MNC dalam lingkup internasional. Kedudukan hukum MNC sebagai subyek hukum internasional2
1
Thomas Friedman, The Lexus and The Olive Tree, Understanding Globalization, Rendom House, New York, 2000, page 105. 2 Dalam hal ini yang dimaksud subyek hukum internasional adalah dalam konteks hukum internasional publik. Penyebutan hukum internasional umumnya ditujukan kepada aspke publik dalam hukum bukan privat. Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2010, hlm. 1.
masih menimbulkan perdebatan, ada yang mengkategorikan MNC sebagai subyek hukum internasional tetapi ada juga yang tidak setuju jika MNC termasuk dalam subyek hukum internasional. Terlepas dari perdebatan teoritis tersebut secara singkat dapat dikatakan bahwa korporasi dianggap memiliki status sebagai subyek hukum internasional secara terbatas. Status tersebut berbeda dengan subyek hukum internasional lainnya, seperti negara dan organisasi internasional. Sifat terbatas tersebut terletak pada bidang yang dijalankan oleh MNC yaitu bidang perekonomian. Seperti yang diungkapkan Asif H. Qureshi bahwa MNC memiliki legal personality di bidang ekonomi selayaknya individu. Legal personality tersebut meliputi: kemampuan untuk
masuk
dalam
perjanjian/kerjasama
ekonomi
internasional;
dapat
melaksanakan perjanjian/kerjasama internasional; mendapatkan dan memberikan keuntungan dalam perjanjian/kerjasama internasional; dan mampu berpartisipasi dalam mekanisme penyelesian sengketa internasional3. Sebagai subyek hukum ekonomi internasional, MNC memiliki hak dan kewajiban hukum yang diatur dalam hukum ekonomi international. Hak utama MNC meliputi menjalankan usahanya dengan aman dan dapat menikmati keuntungan dari kegiatan usahanya tersebut. Sedangkan kewajiban utama MNC adalah menjaga “hubungan baik” dengan stakeholder perusahaan. Berdasarkan Stakeholder Theory, terdapat dua jenis stakeholder yaitu: stakeholder utama (pekerja/buruh, konsumen, investor, dan suplier); dan stakeholder tambahan di luar stakeholder utama4. Salah satu bentuk tanggung jawab MNC adalah dengan menjalankan Corporate Social Responsibility (CSR). Banyak pengertian tentang CSR, hal ini terkait dengan banyaknya stakeholder yang terkandung di dalamnya. Dalam pengertian yang mendasar, terminologi CSR itu sendiri terdapat banyak pengertian berkaitan dengan para stakeholders seperti yang dibahas di pembahasan sebelumnya. Di banyak level, tanggung jawab korporasi diperhatikan dalam bentuk hubungan/relasi perusahaan dengan stakeholder, klien, suplier,
3
Asif H. Qureshi, International Economic Law, Manchester, Sweet and Maxwell, 1999, page 27. 4 A. B. Caroll dalam Ilias Bantekas, Corporate Social Responsibility in International Law, Boston University International Law Journal, Volume 22:309 Tahun 2004, page 311.
kreditur dan karyawan, dan juga dengan komunitas-komunitas yang terkait operasionalnya. Pada dasarnya, CSR juga memahami bahwa perusahaan tidak hanya bertanggung jawab terhadap shareholder-nya, tetapi juga memiliki atau harus memiliki tanggung jawab kepada orang atau komunitas-komunitas baik langsung maupun tidak langsung yang bersinggungan dengan operasional perusahaan tersebut. Dilihat dari sasaran CSR yang sangat luas, yaitu mencakup seluruh stakeholder, maka CSR juga dapat diimplementasikan dalam berbagai bentuk. Bentuk implementasi CSR mengacu kepada tiga hal yaitu human rights, labour rights, environmental rights and sustainable development, ketiga hal tersebut dikatakan sebagai substansi dari CSR. Untuk menjalankan CSR tersebut, MNC membuat voluntary self regulation disesuaikan dengan kebutuhan korporasi dan lingkungannya. Bagaimanapun, dalam mengimplementasikan CSR, MNC harus berjalan selaras dengan rule of law dan codes of conduct yang berlaku umum. Meskipun sudah diatur oleh instrumen hukum internasional, tetapi implementasi terhadap perilaku MNC belum optimal. Hal ini disebabkan dua hal, pertama: tentang status kedudukan CSR oleh MNC. Kedua tidak ada aturan baku tentang bentuk pelaksanaan CSR oleh MNC, hal tersebut terkait dengan sifat voluntary dari CSR. CSR mempunyai karakterisitis sukarela (voluntary caracteristic) yaitu penerapannya disesuaikan dengan kemauan dan kemampuan dari MNC yang bersangkutan. Namun demikian, bukan berarti tidak dapat dilakukan penegakan hukum terhadap CSR. CSR dapat dipandang sebagai salah satu bentuk tanggung jawab yang dapat dipaksa pelaksanaanya. Beberapa norma hukum internasional telah mengisyaratkan adanya kewajiban MNC untuk melaksanakan CSR, seperti OECD Guidelines, ILO Declaration dan UN Global Compact. Bagaimanapun, aturan-aturan tersebut bersifat soft laws saja yang masih membutuhkan instrument yang spesifik untuk diimplementasikan. Intrument yang lebih spesifik tersebut dapat dilihat dari organisasiorganisasi khusus yang mengatur tentang MNC dan segala perilakunya dalam kegiatan ekonomi. Dalam ekonomi interasional terdapat lembaga Word Bank Group (WBG) yang memiliki peran sangat besar dalam mengatur konstelasi
perekonomian dunia. Hampir seluruh negara-negara berkembang di dunia ikut dalam WBG. Dengan demikian, perlu dilihat instrument WBG dapat mengatur MNC dalam menerapkan CSR. Terdapat dua organisasi dibawah WBG yang khusus mengatur tentang pelaksanaan bisnis MNC yaitu: International Finance Corporation (IFC) dan Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA). IFC dan MIGA merupakan anggota WBG yang mempunyai sasaran untuk memajukan sektor privat khusunya MNC dalam melakukan investasi. IFC memberikan bantuan dengan modal atau saham, sedangkan MIGA memberikan jaminan/garansi khusus untuk noncomercial risk kepada MNC yang melakukan foreign direct investment ke negaranegara anggota WBG. Sebagai perpanjangan dari prinsip-prinsip umum instrumen publik internasional CSR, WBG melalui IFC dan MIGA menetapkan standar perilaku yang harus dipenuhi oleh setiap korporasi yang mendapat dana (IFC) atau jaminan (MIGA). Standar perilaku tersebut dideskripikan lebih lanjut dalam pedomanpedoman mengenai lingkungan, kesehatan dan keamanan yang esensial bagi setiap perusahaan untuk memberikan atau menyediakan perlindungan terhadap stakeholders yang terkait dengan aktivitas bisnis termasuk juga pekerja-pekerja, komunitas dan lingkungan. Artikel ini ditulis berdasarkan hasil penelitian yuridis normatif dengan pendekatan analitis dan konseptual. Sebagai bahan hukum primer dalam penelitian tersebut adalah guidelines IFC dan MIGA yang khusus mengatur tentang CSR bagi MNC.
Pembahasan A. Kedudukan Hukum Corporate Sosial Responsibility oleh Multinasional Corpration dalam Pengaturan International Finance Corporation (IFC) dan Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA) Pada mulanya, CSR hanya dianggap sebagai norma sukarela (voluntary norm) an-sich yang pengaturan dan pelaksanaannya diserahkan kepada masingmasing perusahaan. Namun pada perkembanganya ada upaya untuk meningkatkan status voluntary norm tersebut menjadi sebuah tanggung jawab yang nyata
(mandatary norm). Upaya peningkatan status tersebut dapat dilihat dari banyaknya instrumen hukum internasional berupa konvensi, kode etik, resolusi, laporan dan dokumen lainnya yang telah dibuat untuk mengontrol perilaku perusahaan. Terdapat dua jenis klasifikasi instrumen hukum CSR, yaitu instrumen hukum yang terdapat dalam hukum internasional (publik) dan beberapa instrumen lebih rinci yang terkandung dalam IFC dan MIGA guidelineses. Instrumen hukum atau sumber hukum ekonomi internasional (HEI) tidak jauh berbeda dengan Hukum Internasional Publik. Namun demikian, terdapat sumber hukum tambahan berupa code of conduct dan guidelines. HEI dalam arti yang lebih luas mencakup hubungan ekonomi publik yang sifatnya (kebijakan) dan swasta (praktek kegiatan ekonomi). HEI menekankan studi terhadap lembagalembaga ekonomi dunia yang dikenal sebagai tiga pilar ekonomi dunia yang WBG, IMF dan WTO yang telah mempengaruhi sistem ekonomi dunia. Oleh karena itu, perlu dilihat dasar hukum HEI yang relevan dengan lembaga-lembaga ekonomi yang secara khusus mengatur tentang pelaksanaan CSR oleh MNC. Sebagai
kelanjutan
dari
peraturan-peraturan
umum
CSR
dalam
internasional publik, WBG melalui IFC dan MIGA menetapkan standar kinerja yang harus dipenuhi oleh setiap perusahaan yang akan mendapatkan pembiayaan (IFC) atau jaminan (MIGA). Pertunjukan standar dijelaskan lebih lanjut dalam pedoman lingkungan, kesehatan dan keselamatan yang sangat penting bagi setiap perusahaan untuk memberikan perlindungan kepada para pemangku kepentingan yang terkait dengan kegiatan usaha termasuk pekerja, masyarakat, dan lingkungan. 1. IFC’s policy on social and environmental sustainability IFC, anggota kelompok Bank Dunia, merupakan institusi pembangunan global terbesar difokuskan pada sektor swasta di negara-negara berkembang. Tujuan IFC adalah menciptakan kesempatan bagi masyarakat untuk keluar dari kemiskinan dan meningkatkan taraf hidup mereka. IFC membantu negara-negara berkembang mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan dengan membiayai investasi, memberikan jasa pendampingan teknis kepada perusahaan dan pemerintah, serta memobilisasi kapital di pasar keuangan internasional. Dalam
memberikan bantuan keuangan, IFC menentukan standart yang harus dipenuhi oleh setiap klien (perusahaan) dalam kerangka keberlanjutan melalui Kebijakan IFC mengenai Keberlanjutan Sosial dan Lingkungan atau Policy on Social and Environmental Sustainability. Kerangka mengartikulasikan
Keberlanjutan komitmen
IFC strategis
(IFC’s
sustainability
perusahaan
untuk
framework) pembangunan
berkelanjutan, dan merupakan bagian integral dari pendekatan IFC dengan manajemen resiko. Kerangka Kebijakan Keberlanjutan IFC terdiri dari Standar Kinerja Keberlanjutan Lingkungan dan Sosial, dan Akses IFC untuk Kebijakan Informasi. Kebijakan Keberlanjutan Lingkungan dan Sosial menggambarkan komitmen, peran, dan tanggung jawab yang berkaitan dengan keberlanjutan lingkungan dan sosial IFC Standar Kinerja diarahkan terhadap klien memberikan bimbingan tentang cara untuk mengidentifikasi resiko dan dampak serta dirancang untuk membantu menghindari, mengurangi, mengelola resiko dan dampak sebagai cara melakukan bisnis secara berkelanjutan, termasuk keterlibatan pemangku kepentingan dan kewajiban pengungkapan klien dalam kaitannya dengan kegiatan bisnisnya. Dalam hal investasi langsung (termasuk proyek dan keuangan perusahaan diberikan melalui perantara/lembaga keuangan), IFC membutuhkan klien untuk menerapkan Standar Kinerja untuk mengelola resiko dan dampak lingkungan dan sosial, sehingga peluang pengembangan dapat ditingkatkan. IFC menggunakan Framework keberlanjutan bersamaan dengan strategi lain, kebijakan, dan inisiatif untuk mengarahkan kegiatan usaha Perseroan dalam rangka mencapai tujuan pembangunan secara menyeluruh. Standar Kinerja juga dapat diterapkan oleh lembaga keuangan lainnya Standar Kinerja yang ditetapkan IFC terdiri dari: Standar Kinerja 1: Penilaian dan Pengelolaan Resiko dan Dampak Lingkungan dan Sosial Menggarisbawahi pentingnya mengidentifikasi resiko dan dampak lingkungan dan sosial, serta mengelola keberlanjutan lingkungan dan sosial selama menjalankan kegiatan usaha. Standar Kinerja 2: Tenaga Kerja dan Kondisi Kerja
Mengakui bahwa mengejar pertumbuhan ekonomi melalui penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan harus diimbangi dengan perlindungan hak-hak dasar bagi pekerja . Standar Kinerja 3: Efisiensi Sumber Daya dan Pencegahan Pencemaran Mengakui bahwa kegiatan industri meningkat dan urbanisasi sering menghasilkan tingkat lebih tinggi dari udara, air dan polusi tanah, dan bahwa ada peluang efisiensi
.
Standar Kinerja 4: Kesehatan, Keselamatan dan Keamanan Mengakui bahwa proyek-proyek dapat membawa manfaat bagi masyarakat, tetapi juga dapat meningkatkan potensi eksposur terhadap resiko dan dampak dari insiden, kegagalan struktural, dan bahan berbahaya. Standar Kinerja 5: Pembebasan Lahan dan Pemukiman Kembali Berlaku untuk pemindahan fisik dan ekonomi yang dihasilkan dari transaksi tanah seperti pengambil alihan pemukiman atau negosiasi Standar Kinerja 6: Manajemen Keanekaragaman Hayati dan Pengelolaan Berkelanjutan Hidup Sumber Daya Alam Meningkatkan
perlindungan
keanekaragaman
hayati
dan
pengelolaan
berkelanjutan dan penggunaan sumber daya alam. Standar Kinerja 7: Masyarakat Adat Bertujuan untuk memastikan bahwa proses pembangunan menjunjung bagi Masyarakat Adat Standar Kinerja 8: Warisan Budaya Bertujuan untuk melindungi warisan budaya dari dampak merugikan dari kegiatan proyek dan mendukung pelestariannya. Standar Kinerja 1 menetapkan pentingnya (i) penilaian secara terpadu untuk mengidentifikasi dampak lingkungan dan sosial, resiko, dan peluang proyek, (ii) keterlibatan masyarakat yang efektif melalui pengungkapan informasi terkait dengan proyek dan konsultasi dengan masyarakat lokal mengenai hal-hal yang secara langsung mempengaruhi mereka, dan (iii) manajemen klien kinerja lingkungan dan sosial sepanjang hidup proyek. Standar Kinerja 2 sampai 8 menetapkan tujuan dan persyaratan untuk menghindari, meminimalkan, dan dimana dampak / residual tetap, untuk mengkompensasi resiko dan dampak
terhadap pekerja, komunitas terkena, dan lingkungan. Di samping itu, semua resiko lingkungan dan sosial yang relevan dan dampak potensial harus dianggap sebagai bagian dari penilaian, Standar Kinerja 2 sampai 8 menggambarkan resiko lingkungan dan sosial yang potensial dan dampak yang memerlukan perhatian khusus. Dimana resiko dan dampak lingkungan atau sosial diidentifikasi, nasabah diwajibkan untuk mengelolanya melalui Sistem Manajemen Lingkungan dan Sosial (SMLS)nya konsisten dengan Standar Kinerja 1. 2. MIGA’s policy on social and environmental sustainability MIGA adalah anggota dari Kelompok Bank Dunia. Misi MIGA adalah untuk mempromosikan investasi asing secara langsung (Foreign Direct Investment/FDI) ke negara-negara berkembang untuk membantu mendukung pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan, dan meningkatkan kehidupan masyarakat. Strategi operasional MIGA bermain untuk kekuatan utama dalam pasar- menarik investor dan asuransi swasta ke dalam lingkungan operasi yang sulit. Sebagai agen pembangunan multilateral, MIGA hanya mendukung investasi yang memenuhi standar sosial dan lingkungan yang tinggi. MIGA menerapkan seperangkat standar kinerja sosial dan lingkungan untuk semua proyek dan menawarkan keahlian yang luas dalam bekerja dengan para investor untuk memastikan kepatuhan terhadap standar-standar ini. Melalui kebijakan MIGA mengenai Keberlanjutan Sosial dan Lingkungan, MIGA menempatkan ke dalam praktek komitmennya untuk keberlanjutan sosial dan lingkungan. Kebijakan ini berlaku untuk semua jaminan investasi yang aplikasi resminya diterima setelah Oktober 2007. Standar Kinerja MIGA terdiri dari : 5 Standar Kinerja 1: Penilaian Sosial dan Lingkungan dan Sistem Manajemen Standar Kinerja 2: Tenaga Kerja dan Kondisi Kerja Standar Kinerja 3: Pencegahan dan Pengurangan Polusi Standar Kinerja 4: Kesehatan, Keselamatan dan Keamanan Standar Kinerja 5: Pembebasan Lahan dan Pemukiman Kembali
5
Policy on Social and Environmental Sustainability, Section 1: Purpose of Policy.
Standar Kinerja 6: Keanekaragaman Hayati dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Berkelanjutan Standar Kinerja 7: Masyarakat Adat Standar Kinerja 8: Warisan Budaya Standar Kinerja ini adalah dokumen penting untuk membantu MIGA dan kliennya/perusahaan mengelola dan meningkatkan kinerja sosial dan lingkungan mereka melalui pendekatan berbasis hasil. Hasil yang diinginkan dijelaskan dalam tujuan masing-masing Standar Kinerja, diikuti dengan persyaratan tertentu untuk membantu klien mencapai hasil ini melalui cara-cara yang sesuai dengan sifat dan skala proyek dan sepadan dengan tingkat resiko sosial dan lingkungan (kemungkinan bahaya) dan dampak. Pusat untuk persyaratan ini adalah pendekatan yang konsisten untuk menghindari dampak buruk terhadap pekerja, masyarakat, dan lingkungan, atau jika penghindaran tidak mungkin, untuk mengurangi, mengurangi, atau mengkompensasi dampak, yang sesuai. Standar Kinerja juga menyediakan dasar yang solid dari mana klien dapat meningkatkan kelangsungan operasi bisnis mereka. Kembali kepada posisi atau kedudukan hukum CSR dalam kerangka hukum internasional, hingga saat ini masih menjadi perdebatan apakah sifat dari CSR tersebut voluntary norm atau mandatory norm. Hal ini terkat dengan sifat mengikat dari CSR. Voluntary norm tidak dapat dituntut secara hukum (unjusticiable) dengan kata lain jika suatu korporasi tidak melakukan CSR masyarakat tidak dapat menuntut kecuali pelanggaran yang dilakukan oleh korporasi telah menyentuh ranah pidana maupun perdata. Tetapi jika CSR dipandang sebagai sebuah mandatory yang telah ditetapkan dalam sebuah peraturan perundang-undangan, CSR akan bersifat mengikat serta justiciable. Terlepas dari perdebatan status dan kedudukan CSR tersebut, banyaknya instrument hukum internasional dan diperinci oleh WBG melalui IFC dan MIGA sebagaimana tersebut diatas memberikan gambaran bahwa terdapat pergeseran paradigma yang pada mulanya CSR sebagai voluntary norm menjadi norma yang penting yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan usaha korporasi, meskipun masih belum pada tahap sebagai mandatary norm. Di Indonesia, upaya mewajibkan CSR tersebut telah ada pada Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun
2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas, khususnya Pasal 2 dan 3 yang menyebutkan bahwa: (2) setiap perseroan selaku subyek hukum mempunyai tanggung jawab sosial dan lingkungan. (3) tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 menjadi kewajiban bagi perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam berdasarkan undang-undang. Peraturan Pemerintah tersebut secara eksplisit mengisyaratkan kewajiban melaksanakan CSR bagi perusahaan, tetapi terbatas pada lingkup usaha yang berkaitan dengan sumber daya alam. Namun, dalam hukum internasional kedudukannya tetap pada voluntary norm dengan beberapa pengaturan khusus. Pengaturan secara khusus tentang CSR terdapat dalam setiap guidelines yang diberikan oleh IFC dan MIGA kepada korporasi. Klausula yang digunakan dalam guidelines tersebut adalah Should bukan must atau have to. Penggunakan terminologi should dalam guidelines menunjukkan sifat asal dari CSR yaitu voluntary norm yang pelaksanaanya disesuaikan dengan kebutuhan masingmasing korporasi. Namun demikian CSR tetap menjadi bagian dari persyaratan yang harus dipenuhi oleh masing-masing korporasi. CSR menjadi bahan pertimbangan pemberian bantuan disamping syarat-syarat yang lain. dengan dijadikannya CSR sebagai bahan pertimbangan dalam memberikan bantuan, korporasi tidak lagi memandang CSR sebagai projek sampingan yang bisa saja tidak dilakukan tetapi keharusan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa saat ini sifat CSR bukan lagi voluntary norm murni melainkan menjadi obligatory norm yaitu kewajiban yang sudah diatur/disyarakkan.
B. Model Penerapan Corporate Social Responsibility oleh Multinasional Corpration dalam Pengaturan International Finance Corporation (IFC) dan Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA) IFC dan MIFA memiliki model implementasi dan evaluasi CSR terhadap setiap perusahaan yang mereka bantu. IFC dan MIGA memiliki karakteristik yang sama yaitu membantu sektor swasta (MNC) sesuai dengan pengembangan investasi, mereka juga menerapkan kebijakan yang sama dalam penerapan aturan dan model evaluasi kinerja perusahaan yang mereka bantu. Umumnya, penegakan
tentang CSR dapat dilihat pada dua proses, yaitu sebelum kegiatan bisnis dijalankan - sebagai tindakan preventif - dan ketika kegiatan bisnis MNC menjalankan - sebagai represif dan evaluasi. 1.
Tindakan pencegahan (preventive action)
Tindakan pencegahan ini dapat dilihat dalam standar kinerja yang ditetapkan oleh IFC dan MIGA dan harus dipenuhi oleh para perusahaan klien IFC dan MIGA. Dari pedoman IFC dan MIGA di atas, dapat dilihat bahwa ada beberapa langkah yang harus dipenuhi oleh perusahaan untuk mendapatkan bantuan dari IFC dan garansi MIGA, yaitu: Langkah 1: Penerapan usulan kerjasama dengan klien untuk IFC dan MIGA. Langkah 2: IFC dan MIGA melalui tim Lingkungan dan Sosial (L & S) melakukan penilaian tentang relevansi usulan kerjasama dengan standar kinerja dan dokumen lain yang berhubungan dengan aturan distribusi bantuan Langkah 3: Negosiasi dan komitmen Langkah 4: Penandatanganan kerjasama Penilaian dari tim L & S sangat penting, hal ini untuk menentukan program CSR perusahaan/klien telah sesuai dengan standart kinerja yang diberikan oleh IFC dan MIGA terutama untuk program yang memiliki resiko sosial dan lingkungan tingkat tinggi contoh: pertambangan dan perkebunan. Jika tim L & S menyimpulkan bahwa usulan program CSR klien yang tidak tepat, IFC dan MIGA tidak akan memberikan bantuan, atau klien harus mengubah usulan dan komitmen untuk peduli lingkungan, pembangunan berkelanjutan dan memiliki program CSR terhadap masyarakat sekitar yang relevan. 2.
Tindakan represif (represive and evaluative action) Sebagai mekanisme monitoring dan evaluasi, IFC dan MIGA mendirikan
Compliance Advisor Ombudsman/CAO. CAO adalah organ independen untuk mekanisme proyek-proyek sektor swasta yang didukung oleh Kelompok Bank Dunia - IFC dan MIGA. CAO bertanggung jawab langsung kepada Presiden WBG. CAO bekerja dengan semua pihak yang berkepentingan yang ikut ambil bagian dalam proyek-proyek untuk mencari solusi nyata dalam meningkatkan hasil sosial dan lingkungan di lapangan.
Setiap invidu, kelompok, masyarakat, atau pihak manapun bisa mengajukan keluhan kepada CAO jika mereka percaya bahwa mereka, atau mungkin, terkena dampak atau dirugikan oleh kegiatan perusahaan. Keluhan tersebut harus disampaikan tertulis dan dapat ditulis dalam bahasa apapun. Keluhan dapat berhubungan dengan setiap aspek dari perencanaan, pelaksanaan, atau dampak dari proyek IFC/MIGA, termasuk namun tidak terbatas pada: 1) Proses diikuti dalam persiapan proyek; 2) kecukupan upaya untuk mitigasi dampak sosial dan lingkungan proyek; 3) Pengaturan untuk keterlibatan masyarakat yang terkena dampak, minoritas, dan kelompok rentan dalam proyek; 4) cara proyek dilaksanakan. CAO memiliki 3 aturan kriteria untuk setiap keluhan/komplain yang ada agar dapat diperiksa oleh CAO, yaitu: 1) keluhan terkait dengan proyek yang dibantu oleh IFC dan MIGA (termasuk proyek yang masih dalam tahap pertimbangan) 2) Keluhan berkaitan dengan isu-isu sosial dan/atau lingkungan yang terkait dengan proyek 3) Pihak yang mengajukan keluhan tersebut adalah mereka yang terkena dampak oleh isu-isu sosial dan/atau lingkungan dari kegiatan perusahaan. Di samping itu, CAO tidak menerima keluhan yang tidak memenuhi 3 kriteria sebagai berikut: 1) Apabila keluhan terkait dengan lembaga lainnya (seperti, tidak berasal dari IFC dan MIGA) CAO akan mengarahkan keluhan tersebut ke kantor/lembaga yang tepat. 2) Keluhan dengan penipuan atau fakta yang tidak benar, kasus korupsi akan ditangani langsung oleh Kantor Integritas Kelembagaan Bank Dunia. CAO juga tidak bisa merevisi keluhan yang terkait dengan keputusan IFC dan MIGA. 3) CAO tidak akan menerima keluhan yang bersifat menghasut, sepele, atau ditujukan untuk mengambil keuntungan oleh pihak-pihak tertentu.
Adapun langkah-langkah atau prosedur yang dilalui CAO dalam melakukan monitoring dan evaluasi terhadap perusaan dapat digambarkan dalam langkahlangkah sebagai berikut: Langkah 1: Tanda terima Langkah 2: Penilaian kelayakan dan keputusan apakah akan melanjutkan (tidak lebih dari 15 hari kerja) Langkah 3: Penilaian potensi untuk mencapai resolusi keluhan (tidak lebih dari 20 hari kerja) Langkah 4: Jika kelanjutan dari proses ombudsman CAO, maka pelaksanaan MOU melalui fasilitasi/mediasi, bersama - fakta, atau proses penyelesaian lain yang disepakati, yang mengarah ke perjanjian penyelesaian atau tujuan lainnya yang telah disepakati dan tepat. Langkah 5: Monitoring dan tindak lanjut. Langkah 6: Kesimpulan. CAO akan menginformasikan penerimaan pengaduan masyarakat (yang mengajukan keluhan) dalam versi bahasa keluhan itu. Dalam 15 hari kerja (keluhan dan dokumen terjemahan yang diperlukan tidak termasuk), CAO akan menginformasikan kepada pihak yang melayangkan keluhanan bahwa keluhan yang layak untuk meneliti lebih lanjut. Ketika sudah layak, pihak yang melayangkan keluhan akan menerima informasi yang menggambarkan bagaimana CAO akan bekerja sama dengan mereka untuk membantu menyelesaikan masalah bernama, dan tim spesialis dari CAO akan mengkonfirmasi secara pribadi dengan pihak yang mengajukan keluhan. CAO akan melakukan pengujian terhadap situasi, dan membantu para pihak dalam menentukan alternatif terbaik untuk menangani keluhan. Namun demikian, Ombudsman tidak membuat pembenaran dalam manfaat dari keluhan, dan juga tidak menentukan solusi. CAO akan bekerja sama dengan pihak mengidentifikasi pendekatan alternatif dan strategi untuk menangani masalah. CAO bisa terlibat pencarian fakta secara kolektif, memfasilitasi diskusi antara pihak-pihak yang berkepentingan, menengahi sengketa para pihak, atau mengatur meja dialog atau program pemantauan kolektif. CAO memiliki mediator ahli yang dilatih khusus untuk menguasai Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR) dengan
keahlian dalam memeriksa konflik, mediasi, dan memberikan fasilitasi kepentingan semua pihak. CAO bekerja dengan mediator ahli dan independen yang memiliki reputasi khusus yang sesuai dengan kondisi tempat proyek. Meskipun CAO bukan lembaga peradilan, CAO dapat memberikan pengaruh terhadap penyelesaian konflik, membuat proposal kreatif dan praktis untuk menyelesaikan masalah, dan mendorong pihak-pihak untuk terlibat dalam dialog. Meskipun CAO tidak bisa memaksa entitas eksternal untuk mengubah perilaku mereka atau meninggalkan praktek-praktek yang ada, CAO dapat memaksa IFC dan MIGA dalam dalam memberikan teguran atau mendesak pihak (perusahaan) untuk mengadopsi rekomendasi, dan pada titik tertentu IFC dan MIGA dapat menarik bantuannya kepada perusahaan tersebut. Simpulan Kedudukan hukum CSR dalam pengaturan hukum internasional adalah voluntary norm yang berarti norma yang pelaksanaannya secara sukarela oleh subyek hukum yang ditunjuk. Namun dalam perkembangannya terdapat upaya untuk memperkuat posisi CSR tidak hanya sebagai voluntary norm an-sich tetapi menjadi sebuah kewajiban atau obligatory norm. Secara khusus aturan mengenai CSR juga diatur dalam IFC dan MIGA Guidelines dan standart kinerja. IFC dan MIGA memposisikan CSR bukan hanya sebagai voluntary norm tetapi syarat penting yang harus dipenuhi oleh setiap perusahaan yang akan bekerja sama dengan IFC dan MIGA (obligatory norm). Model pelaksanaan CSR dalam IFC dan MIGA dapat dijelaskan dalam dua tahap yaitu sebelum dilaksanakannya kegiatan usaha korporasi (prevetif action) dan setelah kegiatan usaha korporasi berjalan (represif dan evaluatif action). Sebagai preventif action IFC dan MIGA mensyaratkan setiap korporasi untuk memenuhi standar kinerja yang telah ditetapkan khususnya dalam hal lingkungan dan sosial. Sebagai metode represif dan evaluatif, WBG memiliki lembaga CAO yang tugas dan fungsinya adalah menerima pengaduan dan keluhan dari masyarakat terkait dengan perusahaan yang bekerjasama dengan IFC atau MIGA. CAO berwenang melakukan evaluasi dan audit terhadap perusahaan dan memfasilitasi adanya mekanisme penyelesaian sengketa dengan mengedepankan jalur non litigasi.
DAFTAR PUSTAKA Buku Asif H. Qureshi., 1999, International Economic Law, Sweet and Maxwell, Manchester. Friedman Thomas, 2000, The Lexus and The Olive Tree, Understanding Globalization, Rendom House, New York. Mochtar Kusumaatmadja, 2010, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung. Jurnal Ilias Bantekas, Corporate Social Responsibility in International Law, Boston University International Law Journal, Volume 22:309 Tahun 2004. Peraturan Perundang-undangan United Nation Code of Conduct on Transnational Corporation. United Nation Global Compact. Convention Establishing the Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA). Human Rights Principles and Responsibilities for Transnational Corporation and Other Business Enterprises. Article Agreement of Internasional Bank for Reconstruction and Development. IFC’s Policy on Social and Environmental Sustainability. MIGA’s Policy on Social and Environmental Sustainability. International Finance Corporation (IFC) Articles of Agreement. World Bank Group’s Environmental, Health, and Safety Guidelines. Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) Guidelines for Multinational Corporation.