MODEL PEMBELAJARAN KEWIRAUSAHAAN DI PERGURUAN TINGGI Agustinus Dedy Handrimurtjahjo Abstract Entrepreneurship is a key driver of our economy. Wealth and a high majority of jobs are created by small businesses started by entrepreneurially minded individuals, many of whom go on to create big businesses. Entrepreneurship education in Higher Education is a lifelong learning process, starting from pre-college and progressing through all semesters, until post-graduation. A framework for curriculum development using lifelong learning process that has at least five distinct stages of development: basics, competency awareness, creative application, start-up and growth. This lifelong learning model assumes that everyone in our education system should have opportunities to learn at the beginning stages, while the later stages are targeted at those who may specifically choose to become entrepreneurs. Each of the following five stages may be taught with activities that are infused in other classes or as separate courses. Pendahuluan Pemerintah melalui Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1995 tentang Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan, mengamanatkan kepada seluruh masyarakat dan bangsa Indonesia untuk mengembangkan program-program Kewirausahaan. Sesuai dengan visi Kemendiknas tahun 2025 untuk menghasilkan Insan Indonesia Cerdas dan Kompetitif (Insan Kamil/Insan Paripurna) maka diperlukan Pengembangan Pendidikan Kewirausahaan yang bertujuan untuk membangun manusia yang berjiwa kreatif, inovatif dan sportif. Dengan pendidikan kewirausahaan, diharapkan jumlah wirausaha meningkat secara signifikan. Namu hingga saat ini jumlah wirausaha di Indonesia baru mencapai 0,18% dari jumlah penduduk dan membutuhkan 4.000.000 wirausaha atau 2% dari jumlah penduduk yang seharusnya terpenuhi sebagai minimal standar apabila suatu bangsa dikatakan maju (Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa di Jakarta, Rabu 26 Januari 2011). Jika dibandingkan dengan beberapa negara maju di dunia, jumlah entrepreneur atau wirausahawan di Indonesia masih rendah. Menteri Koperasi dan UKM Dr Syarief Hasan di Surabaya Sabtu 13 Februari 2010 menuturkan, persentase penduduk Singapura yang berwirausaha mencapai 7%, China dan Jepang mencapai 10% sedangkan yang tertinggi adalah Amerika Serikat sebesar 11,5-12%. Menurut Fauzi Aziz Direktur Jenderal (Dirjen) Industri Kecil dan Menengah (IKM) Departemen Perindustrian, banyaknya wirausaha di negara-negara tersebut dipengaruhi oleh beberapa hal, termasuk dalam pola pendidikan yang diterapkan dan turut pula mempengaruhi sikap lembaga pendidikan serta mahasiswanya.
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 10 No. 2 Agustus 2013
Pendidikan kewirausahaan di Indonesia masih kurang memperoleh perhatian yang cukup memadai, baik oleh dunia pendidikan maupun masyarakat. Banyak pendidik yang kurang memperhatikan penumbuhan karakter dan perilaku wirausaha. Orientasi mereka, pada umumnya hanya pada menyiapkan tenaga kerja. Untuk itu, perlu dicari penyelesaiannya agar pendidikan kewirausahaan dapat berperan untuk mengubah manusia menjadi manusia yang memiliki karakter dan atau perilaku wirausaha. Untuk mencapai hal tersebut mahasiswa perlu dibekali agar memiliki karakter dan perilaku wirausaha yang tangguh, sehingga nantinya akan dapat menjadi manusia yang jika bekerja di kantor akan akan menjadi tenaga kerja yang mandiri kerja dan jika tidak bekerja di kantor akan menjadi manusia yang mampu menciptakan lapangan perkerjaan minimal bagi dirinya sendiri. Terlepas dari berbagai kekurangan dalam praktik pendidikan di Indonesia, apabila dilihat dari standar nasional pendidikan yang menjadi acuan pengembangan kurikulum, pendidikan kewirausahaan juga termasuk dalam materi yang harus diajarkan dan dikuasai serta direalisasikan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Permasalahannya, pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi selama ini baru menyentuh pada tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Di samping itu, berlakunya sistem desentralisasi berpengaruh pada berbagai tatanan kehidupan, termasuk pada manajemen pendidikan yaitu manajemen yang memberi kebebasan kepada pengelolaan pendidikan. Adanya kebebasan dalam pengelolaan pendidikan diharapkan mampu menemukan strategi pengelolaan pendidikan yang lebih baik sehingga mampu menghasilkan output pendidikan yang berkualitas baik dilihat dari kualitas akademik maupun non akademik. Kualitas akademik yang dimaksud adalah kualitas peserta didik yang terkait dengan bidang ilmu, sedangkan kualitas non akademik berkaitan dengan kemandirian untuk mampu bekerja di perusahaan dan membuka usaha/lapangan kerja sendiri. Dengan kata lain lulusan pendidikan diharapkan memiliki karakter dan perilaku wirausaha yang tinggi. Kurikulum pada jenjang pendidikan tinggi di Indonesia belum mendorong semangat entrepreneurship atau kewirausahaan sehingga kualitas sumber daya manusia lulusan perguruan tinggi tidak sesuai dengan kebutuhan dunia kerja, terutama industri. Jika kita ingin unggul bersaing, kewirausahaan masyarakat harus dibangkitkan dan daya inovasi harus dikembangkan seperti technopreneurship. Menurut Fadel Muhammad (2010) Perguruan tinggi harus lebih spesifik untuk mengejar ketertinggalan yaitu dengan cara entrepreneurship. Indonesia membutuhkan kebijakan baru yang mendorong semangat entrepreneurship agar tercapai pertumbuhan ekonomi yang stabil. Dengan entrepreneurship, bahan-bahan baku bisa diolah di dalam negeri dengan inovasi dalam negeri sehingga memiliki nilai tambah. Kajian Harvard Kennedy School of Government 2010 730
Agustinus Dedy Handrimurthahjo
Model Pembelajaran Kewirausahaan di Perguruan Tinggi
menyebutkan, model pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini sangat menggantungkan diri pada eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan. Akibatnya, investasi pada pembangunan manusia minim. Padahal kualitas daya saing dan kualitas inovasi yang ditentukan kewirausahaan masyarakat harus ditingkatkan. Technopreneurship merupakan upaya membangun daya saing unggul yang membutuhkan sinergi antara kewirausahaan dan kemampuan mengeksploitasi teknologi. Usaha yang dijalankan oleh technopreneur umumnya ditandai pertumbuhan yang tinggi. Indonesia memiliki peluang mengembangkan technopreneurship untuk menciptakan nilai tambah khususnya bagi produk-produk pertanian, kehutanan, peternakan, dan perikanan. Di Indonesia, tidak semua perguruan tinggi memberlakukan mata kuliah Kewirausahaan menjadi mata kuliah umum atau wajib bagi semua jurusan. Bahkan saat ini beberapa perguruan tinggi lebih memfokuskan pada mata kuliah Technopreneurship sebagai mata kuliah umum dan wajib semua jurusan. Permasalahan yang dihadapi saat ini oleh dunia pendidikan dan perguruan tinggi pada umumnya adalah terjadinya kesenjangan (gap) model pembelajaran kewirausahaan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan dunia industri. Paper ini bertujuan untuk mengembangkan model pembelajaran kewirausahaan teknologi yang diharapkan bisa diterapkan di perguruan tinggi di Indonesia terutama yang memiliki program pendidikan Kewirausahaan dan mengharapkan lulusannya menjadi wirausaha. Kajian Pustaka Kewirausahaan Robert Sobel (1974) dalam Ehiobuche et al. (2010) menyatakan bahwa “Entrepreneurship is a French word which means the act of being an
entrepreneur, one who undertakes innovations, finance and business acumen in an effort to transform innovations into economic goods"
(Kewirausahaan adalah kata dari bahasa Perancis yang berarti tindakan menjadi wirausaha, seseorang yang melakukan inovasi, keuangan, dan ketajaman bisnis dalam upaya untuk mengubah inviasi menjadi barangbarang ekonomi). Dalam beberapa kasus mengubah ke dalam entitas bisnis baru atau meremajakan yang sudah ada dalam mengejar peluang ditargetkan. Bentuk kewirausahaan yang paling jelas adalah memulai usaha baru (new ventures); meskipun akhir-akhir ini istilah ini telah diperluas untuk memasukkan jenis wirausaha sosial, politik, tekno atau virtual. Richard Cantillon dan Adam Smith pada akhir abad 17 dan awal abad 18 dalam Ehiobuche et al. (2010) menyatakan bahwa wirausaha 731
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 10 No. 2 Agustus 2013
merupakan aktor dalam mikroekonomi dan studi tentang kewirausahaan mencapai kembali dari ekonom besar tersebut tetapi diabaikan secara teoritis hingga akhir abad 19 dan awal abad 20 dan secara empirik hingga muncul kembali dalam bisnis dan ekonomi pada paruh kedua abad terakhir. Upaya pemahaman kewirausahaan menjadi lebih relevan atas keberhasilan studi Joseph Schumpeter pada tahun 1930an, Carl Merger di Austria, Ludwig von Mises dan Friedrich von Hayek di Jerman. Mereka menjelaskan wirausaha sebagai orang yang mau dan mampu mengubah ide baru atau penemuan menjadi inovasi yang sukses. Seperti yang dikutip Taatila (2010) dalam European Union (2003) dan Schumpeter (1926) menyatakan bahwa ekonomi nasional dan regional membutuhkan arus wirausaha baru. Sulit untuk melihat bagaimana wilayah ekonomi akan bersaing tanpa individu yang secara terus-menerus memperbaharui proses bisnis dan inovasi produk, layanan dan strategi baru. Oleh karenanya tidak mengejutkan bahwa pengembangan wirausaha baru, dipandang sebagai tugas strategik dalam program kebijakan pemerintah. Selanjutnya Schumpeter (1926) menyatakan bahwa wirausaha sesuai dengan kemampuannya menyesuaikan perubahan permintaan konsumennya dan lingkungan bisnisnya dan kemampuan menawarkan proses inovasi yang terus-menerus pada masyarakat, tanpa melihat apakah itu inovasi layanan atau produk fisik. Taatila (2010) juga mengutip Giunipero et al. (2005) dan Zimmerer dan Scarborough (2002), sebagai masyarakat, orang-orang mereka dan perubahan selera mereka, wirausaha berfungsi sebagai kekuatan evolusioner dengan mengadaptasi bisnisnya untuk memenuhi perubahan tersebut, karena kekakuan dalam menghadapi perubahan hanya akan mengakibatkan masyarakat mengalami kemandekan (stagnant). Pendidikan Kewirausahaan di Perguruan Tinggi Saat ini setiap orang mendengar bahwa kewirausahaan merupakan tulang punggung (bakcbone) perekonomian dan mesin ekonomi yang perlu untuk mengembalikan kesuksesan ekonomi terhadap penderitaan negara dari biaya-biaya yang membelit dan hilangnya pekerjaan (Carland & Carland, 2010). Pakar baru dan politisi sekarang menggemborkan bahwa pendidik kewirausahaan telah berkhotbah selama beberapa dekade: sumber pekerjaan di Amerika dan di tempat lain adalah usaha kecil, tidak besar. Sekarang mereka berkhotbah kepada kita bahwa inovasi merupakan mata air dari pikiran dan tangan wirausaha individual yang risiko mereka semua untuk membuktikan bahwa penemuan mereka bekerja atau impian mereka dapat menjadi realitas. Satu hal akan berpikir bahwa dengan ekspresi seperti itu begitu berani diucapkan pada program berita bahwa kewirausahaan pendidikan akan leluasa. Satu hal mungkin menduga bahwa pendidikan kewirausahaan muncul di mana-mana dan kapan pun. Tidak ada keraguan bahwa program kewirausahaan telah tumbuh secara dramatis di seluruh AS, namun mereka jauh dari mana-mana dan dengan alasan 732
Agustinus Dedy Handrimurthahjo
Model Pembelajaran Kewirausahaan di Perguruan Tinggi
yang bagus. Perancangan dan pelaksanaan program kewirausahaan adalah sangat menantang (Carland & Carland, 2010). Ada sejumlah bukti bahwa secara akademik wirausaha yang terdidik lebih penting dalam pengembangan ekonomi regional dibandingkan wirausaha dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah. Taatila (2010) mengutip Pajarinen et al. (2006) menyatakan pandangan tersebut didasarkan pada hasil riset yang menyatakan bahwa wirausaha dengan latar belakang akademik yang lebih tinggi lebih sering inovatif, menggunakan model bisnis yang modern dan mendasarkan usaha (venture) mereka pada penggunaan teknologi baru. Pendidikan akademis menawarkan kepada mahasiswa peluang untuk melihat perkembangan terkini dalam bidang yang mereka pilih, dengan demikian memungkinkan mereka pandangan yang lebih jelas pada bagaimana melaksanakannya dalam bisnis di masa depan. Bidang bisnis itu sendiri adalah tidak penting, sebagai wirausaha akademis mungkin berhasil dalam bisnis berbasis penelitian maupun meniru. Arti penting terletak dalam penggunaan keterampilan tingkat tinggi dalam memulai usaha bisnis baru dan memelihara pada jalur pertumbuhan, seperti yang dikutip oleh Taatila (2010) dalam Minniti dan Levesque (2008). Maka dari sudut pandang ekonomi nasional, diharapkan bahwa porsi yang besar orang-orang terdidik secara akademik akan mengejar karir kewirausahaan. Namun situasi di Eropa (EU) saat ini, dukungan terhadap kewirausahaan di perguruan tinggi sangat kurang. Hanya kira-kira 24% mahasiswa di universitas yang memiliki akses ke berbagai pendidikan kewirausahaan. Semakin fokus pada cabang ilmu (mata kuliah), semakin kecil kemungkinan ada mahasiswa belajar keterampilan berwirausaha. Persoalan lain adalah tidak mencukupinya kompetensi dan waktu yang dialokasikan oleh staf akademis pada pendidikan kewirausahaan. Dengan demikian, berdasarkan hasil survei lembaga perguruan tinggi di Eropa tahun 2008 (Taatila, 2010), tindakan praktis diperlukan untuk menjawab tantangan menghasilkan wirausaha terdidik secara akademis. Keterampilan Kewirausahaan Kompetensi yang membuat wirausaha berhasil merupakan hal yang sulit untuk dirumuskan. Riset tentang keterampilan berwirausaha telah dilakukan selama berpuluh-puluh tahun. Schumpeter tahun 1926 (Taatila, 2010) menyatakan bahwa wirausaha yang sukses seharusnya inovatif, kreatif dan mengambil risiko. Pandangan ini kemudian ditindaklanjuti dengan studi yang dilakukan Wickham tahun 2006 (Taatila, 2010) yang menyatakan bahwa wirausaha adalah kreatif, mencari dan menemukan inovasi pada ceruk pasar, menanggung risiko, orientasi pada pertumbuhan 733
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 10 No. 2 Agustus 2013
dan digerakkan untuk memaksimalkan laba atau tingkat pengembalian investor. Sementara itu Barringer dan Bludorn tahun 1999 (Taatila, 2010) menguraikan bahwa kewirausahaan merupakan proses “penghancuran kreatif” di mana wirausaha secara terus-menerus mengganti atau merusak produk yang ada atau metode produksi dengan sesuatu yang baru. `Sedangkan Shook dan teman-temannya tahun 2003 (Taatila, 2010) telah menekankan arti penting eksploitasi dan menyatakan bahwa kewirausahaan adalah tentang interaksi individu kewirausahaan dengan lingkungannya dan dengan demikian menemukan, mengevaluasi dan mengekploitasi peluang. Mungkin kemauan dan kemampuan untuk mengambil risiko ini terkait dengan identifikasi peluang kewirausahaan, seperti wirausaha melihat peluang di mana orang lain melihat risiko. Caglio dan Katz tahun 2001 (Taatila, 2010) telah merumuskan identifikasi peluang sebagai perilaku kewirausahaan yang paling berbeda yang memisahkan wirausaha dari pekerja (wage-worker). Kirzner tahun 1979 (Taatila, 2010) juga telah menyimpulkan bahwa kewaspadaan kewirausahaan merupakan bidang utama dalam keterampilan berwirausaha karena pengakuan peluang yang otomatis terus-menerus memberikan wirausaha kemungkinan untuk merumuskan citra mental di masa depan. Selain itu, menurut (Baron, 1998 dan Simon et al., 1999 dalam Taatila, 2010) wirausaha cenderung meremehkan sisi negatif potensi dan menaksir terlalu tinggi kemungkinan positif lebih dari yang mungkin dilakukan oleh pekerja. Selanjutnya, kombinasi dari mekanisme ini dapat memberikan jumlah yang diperlukan pengusaha terhadap kepercayaan diri untuk pengambilan keputusan dalam situasi yang tak jelas. Hal ini karena dia sudah bisa “melihat” tujuan dan jalan untuk mengambil dan karena mampu membayangkannya, dengan demikian telah meningkatkan kepercayaan. Namun, alasan mendasar untuk perilaku ini masih belum diketahui seperti yang (Baron, 1998 dalam Taatila, 2010). Schumpeter tahun 1926 (Taatila, 2010) menyatakan bahwa satu atribut utama yang terkait dengan entrepreneurialism adalah perubahan. Pengusaha tampaknya memiliki toleransi yang tinggi untuk ambiguitas dan mengubah situasi dalam lingkungan di mana mereka paling sering beroperasi. Zimmerer dan Scarborough tahun 2002 (Taatila, 2010) menyampaikan bahwa kemampuan untuk menangani ketidakpastian sangat penting karena mereka terus-menerus membuat keputusan penggunaan baru, kadang-kadang yang bertentangan dengan informasi yang diperoleh dari berbagai sumber-sumber yang tidak dikenal. Wirausaha harus menjadi “dongkrak-dari-semua-perdagangan” (jacks-of-all-trades) yang cukup kompeten di beberapa bidang kegiatan. Sebagai contoh, Lazear tahun 2005 (Taatila, 2010) telah menunjukkan bahwa individu dengan keterampilan yang seimbang dan luas mungkin lebih menjadi wirausaha dibanding orangorang yang berfokus pada satu peran di tempat kerja atau satu subjek di sekolah. 734
Agustinus Dedy Handrimurthahjo
Model Pembelajaran Kewirausahaan di Perguruan Tinggi
Studi yang dilakukan Grousbeck tahun 1997 (Taatila, 2010) menunjukkan ada lima persyaratan kompetensi yaitu: 1. Ketidakpuasan dengan keadaan saat ini (dissatisfaction with the current
status quo);
2. Keyakinan diri yang sehat (healthy self-confidence); 3. Bertanggungjawab seperti kemauan melakukan pekerjaan yang diperlukan (responsible); 4. Competence i.e. a willingness to do the required job; 5. Peduli pada hal-hal yang rinci (a concern for detail); 6. Toleran terhadap ambiguitas (a tolerance of ambiguity). Lambing dan Kuehl melakukan studi tahun 2000 (Taatila, 2010) dengan membuat daftar hasrat (passion) untuk bisnis: toleransi terhadap hambatan/rintangan, ketekunan, kepercayaan, tekad, manajemen risiko, sikap positif terhadap perubahan, toleransi terhadap ketidakpastian, inisiatif, kebutuhan untuk mencapai, ketepatan waktu, pemahaman terhadap kerangka waktu (timeframe), kreativitas, pemahaman terhadap gambaran besar (big picture) dan motivasi. Wirausaha yang sukses adalah seorang pencipta dan pelaksana, seseorang yang tidak hanya bermimpi tentang hal-hal baru, tetapi juga seorang yang bersedia bekerja keras untuk mencapainya. Ini merupakan hal yang sulit untuk membentuk rumusan yang nyata tentang apa keterampilan yang diperlukan wirausaha. Bagaimanapun, studi dari berbagai referensi setuju bahwa kompetensi kewirausahaan sering merupakan keterampilan psikologis atau sosial, bukan keterampilan khusus bisnis atau cabang akademis. Jika berpikir tentang kurikulum universitas pada umumnya, maka akan sangat sulit untuk menemukan jenis keterampilan dalam deskripsi matakuliah. Juga akan tampak bahwa pendidikan akademik mengajarkan orang-orang tentang penghindaran risiko bukan membantu mereka untuk melihat potensi masa depan. Tampaknya sektor pendidikan tinggi sangat berfokus pada penyaluran pengetahuan akademis, tetapi mengabaikan bantuan pertumbuhan psikologis mahasiswa, yang dihasilkan dari situasi saat ini (Taatila, 2010). Selama beberapa dekade, sejak kelas pertama 1945 oleh Harvard Business School, para akademisi telah tertarik dengan ledakan pertumbuhan pendidikan kewirausahaan. Sejumlah studi yang baik telah dilacak perkembangan dan keadaan pendidikan kewirausahaan, dan semua telah digali dengan kemajuan luar biasa dalam bidang ini (Pittway dan Cope, 2007; Peter, 2005; Solomon et al., 2002; Vesper dan Gartner, 1997; Garavan dan O’Cinneide, 1994a, b; Hills, 1988 dalam Mwasalwiba, 2010). Namun, pada tahun 2002, para penonton diingatkan tidak adanya konsensus (Pittway dan Cope, 2007; Klapper, 2005; Singh, 1990 dalam 735
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 10 No. 2 Agustus 2013
Mwasalwiba, 2010) dalam bidang ini ketika Solomon et al. (2002) mengamati pada kematangan kewirausahaan sebagai bidang studi. Banyak ahli berbagi pendapat yang sama bahwa ada kemajuan luar biasa (Johnson, 2006; Matley, (2005), b; Kuratko, 2005; Vesper dan Gartner, 1997 dalam Mwasalwiba, 2010) dan sebagai bidang studi, kewirausahaan telah mencapai sendiri tempatnya dalam dunia akademik. Bagaimana pengusaha belajar dan bagaimana pembelajaran (learning) dilihat dalam kegiatan kewirausahaan mereka? Banyak peneliti yang berbeda telah berusaha untuk menemukan jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan ini, misalnya dengan menggunakan teknik kejadian kritis (critical insident technique) (Cope ,2003; Cope dan Watt, 2000 dalam Huovinen, 2008) dan metode narasi (Rae, 2000 dalam Huovinen, 2008). Namun kebanyakan peneliti telah memfokuskan pada wirausaha secara umum, sedangkan pembelajaran dalam konteks kebiasaan kewirausahaan kurang menarik. mengutip (Hall, 1995; Westhead dan Wright, 1998a dalam Huovinen, 2008) menyatakan bahwa kebiasaan wirausaha paling sering digambarkan sebagai orang-orang yang memiliki pengalaman setidaknya dua perusahaan yang berbeda yaitu apakah secara temporer (serial entrepreneurship) atau secara bersamaan (portofolio entrepreneurship). Jadi dapat diasumsikan bahwa ada juga kemungkinan pembelajaran lebih dalam konteks kebiasaan kewirausahaan. Penelitian sebelumnya mengenai kebiasaan kewirausahaan kebanyakan difokuskan pada alasan di balik aktivitas dan makna dari pengalaman sebelumnya dalam latar belakang kebiasaan kewirausahaan. Beberapa studi sebelumnya mengenai kebiasaan kewirausahaan telah mendapat perhatian terhadap persoalan pembelajaran kewirausahaan dan karakteristik kognitif wirausaha (Ucbasaran et al. 2000; Ucbasaran dan Westhead, 2004; dan Westhead et al. 2004 dalam Huovinen, 2008). Namun sejauh ini hanya sedikit yang diketahui tentang pengaruh kegagalan sebelumnya pengalaman pada bisnis saat ini dan bagaimana wirausaha belajar dari pengalaman sebelumnya. Menurut Huovinen (2007), portofolio entrepreneur telah memiliki perusahaan lebih dibandingkan serial entrepreneur dalam karier kewirausahaan. Dengan demikian, dibandingkan dengan pengusaha lain pengusaha portofolio mungkin memiliki lebih banyak perusahaan pendiri dan menutup pengalaman yang memberikan kesempatan pembelajaran lebih banyak. Kedua pengalaman-pengalaman ini dapat dianggap sebagai kejadian kritis yang dapat mempengaruhi arah karier kewirausahaan. Sampai saat ini penelitian habitual entrepreneurship (serial and portfolio entrepreneurship) telah memfokuskan terutama pada fenomena itu sendiri, kelahiran dan proses kebiasaan kewirausahaan (Goldsmith dan Westhead, 1995; Carter, 1998; Iacobucci, 2002; Rosa, 1998; Westhead dan Wright, 1998 dalam Huovinen, 2008) dan makna dari pengalaman wirausaha (Rerup, 2005; Starr dan Bygrave, 1991; Ucbasaran dan Westhead, 2002; Westhead et al., 2005 dalam Huovinen, 2008). 736
Agustinus Dedy Handrimurthahjo
Model Pembelajaran Kewirausahaan di Perguruan Tinggi
Pendidikan kewirausahaan seperti yang didefinisikan oleh Center for Entrepreneurial Leadership Clearinghouse on Entrepreneurship Education (www.celcee.edu) adalah proses menyediakan individu dengan konsep dan keterampilan untuk mengenali peluang yang orang lain telah diabaikan, dan untuk memiliki wawasan, harga diri dan pengetahuan untuk bertindak di mana orang lain telah ragu-ragu (Tan dan Frank Ng, 2006). Secara tradisional, sekolah bisnis dipandang sebagai otoritas tak terbantahkan untuk menanamkan pengetahuan teoritis dan keterampilan dalam berbagai disiplin bisnis. Meskipun dilema, adalah bahwa program sekolah bisnis konvensional cenderung memberikan konsep inti dalam silo, menghasilkan “middle manager untuk organisasi besar”, dengan penekanan yang lebih pada “teknik korporat, kuantititaif” dengan demikian pengembangan pola pikir “pengikut dan pelayan” bukannya memelihara aspirasi “pemimpin, pencipta dan pengambil risiko” (Chia, 1996; Porter, 1994; Ronstadt, 1985; Brown, 1999 dalam Tan dan Frank Ng, 2006). Program-program pendidikan kewirausahaan (EEP) pada akhirnya ditujukan pada mempengaruhi perilaku kewirausahaan bagi masa depan individu dan pada peningkatan keberhasilan bisnis. Sejak 1947, tahun pertama EEP di Harvard (Katz, 2003 dalam Cruz et al., 2009) program tersebut telah berkembang pesat di seluruh dunia. Seperti Bechard dan Gregoire (2005) mengakui ada pertumbuhan body of research yang menganalisis karakteristik beragam dari jenis pendidikan ini. Sebagai contoh, para peneliti telah mengevaluasi hubungan antara fitur pusat latihan dan program-program pendidikan mereka, dan hubungan antara program-program pendidikan dan jenis peserta (Cruz et al., 2009). Sebagian besar penelitian telah dilakukan di universitas (Gorman et al., 1997 dalam Cruz et al., 2009), tidak dalam lembaga-lembaga publik lainnya seperti pusat sipil dan kamar dagang. Namun, banyak lembaga publik mempromosikan EEP karena pentingnya program untuk pembangunan ekonomi dan daya saing struktur bisnis (Hytti dan Kuopusjarvi, 2004 dalam Cruz et al., 2009). Model Pembelajaran Kewirausahaan di Perguruan Tinggi Menurut Santrock et al. (2010) dikutip dalam Menzies (2011) “pembelajaran (learning) adalah perubahan relatif permanen dalam perilaku [dan sikap] yang terjadi melalui pengalaman ... bukan segala sesuatu yang kita tahu dipelajari melalui pengalaman ... kita mewarisi beberapa kapasitas”. Sebagai contoh, perdebatan tentang sifat/karakter versus memelihara (Buss, 2008; Shiraev & Levy, 2007 dalam Menzies, 2011) memfokuskan pada genetika dan secara alami terjadi pengembangan individual versus peran lingkungan dan pengalaman. Ada minat besar 737
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 10 No. 2 Agustus 2013
dalam bagaimana orang belajar dan ada literatur yang besar pada topik. Diskusi berikut dalam hubungan untuk memahami pengaruh dan proses pengajaran dan pembelajaran pada umumnya didasarkan pada skema (Santrock et al., 2010 dan Brown et al., 2010 dalam Menzies 2011). Sejumlah akademisi mengaku bahwa pertanyaan apakah kewirausahaan dapat atau tidak dapat diajarkan kini pertanyaannya tidak relevan, karena telah terbukti bahwa itu dapat (Henry et al. (2005), b; Peter, 2005 dalam Mwasalwiba, 2010) dan oleh karena itu pendidik harus bergerak maju. Meskipun itu bukan keputusan yang sulit bagi universitas untuk menjalankan mata kuliah kewirausahaan, namun hal ini merupakan tantangan bagi akademisi untuk memilih metode yang menyelaraskan tujuan mata kuliah, lingkungan dan bahkan jenis mahasiswa dalam program pengajaran. Jika para akademisi mampu menghindari pertanyaan “dapatkah kewirausahaan diajarkan?” mereka masih harus menghadapi pertanyaan berikutnya, yaitu “ bagaimana kewirausahaan harus diajarkan?” (Mwasalwiba, 2010) Tinjauan ini telah menemukan jumlah yang sangat besar artikel yang membahas metode pengajaran. Sebagian besar dari artikel ini melaporkan eksperimen metode pengajaran (Izquierdo et al., 2007; Lourenco dan Jones, 2006; Heinonen dan Poikkijoki, 2006; Robertson dan Collins, 2003; McMullan dan Boberg, 1991 dalam Mwasalwiba, 2010). Banyak juga yang mengusulkan apa yang mereka anggap paling berhasil (Verduyn et al., 2009; Hannon, 2006; Van Auken et al., 2006 dalam Mwasalwiba, 2010), dan lain-lain memberikan refleksi pendekatan pengajaran saat ini (Smith, 2006 dalam Mwasalwiba, 2010). Dan, seperti bagian sebelumnya, metode pengajaran dalam bidang yang lain di mana ada banyak perbedaan pendapat. Sebagai contoh, Bennett (2006) yang dikutip dalam Mwasalwiba (2010), dalam studi yang melibatkan 141 dosen kewirausahaan, menemukan bahwa dosen tidak memiliki konsensus tentang bagaimana mata kuliah harus diajarkan. Diskusi sebelumnya membawa kita pada pertanyaan penting mengenai bagaimana kompetensi kewirausahaan yang sangat berorientasi secara psikologi ini seharusnya diperoleh. Jika tujuan masyarakat adalah untuk meningkatkan jumlah wirausaha terdidik secara akademis, maka metode pendidikan harus disesuaikan. Jamieson (1984) yang dikutip dalam Taatila (2010) telah membagi pendidikan kewirausahaan ke dalam tiga kelas, yaitu pendidikan tentang, pendidikan untuk dan pendidikan dalam perusahaan. Herrmann et al. (2008) yang dikutip dalam Taatila (2010) berpendapat bahwa pendidikan kewirausahaan seharusnya menjadi “pergeseran dari model pengajaran penyebaran (belajar ‘tentang’) menjadi pembelajaran pengalaman (belajar ‘untuk’) dengan tujuan untuk ‘menawarkan kepada mahasiswa teknik yang dapat diterapkan di dunia nyata.” Dengan demikian, fokus dari artikel ini terutama pada dua yang terakhir: pendidikan untuk perusahaan (education for enterprise) yang mengacu pada “persiapan [...] untuk karier dalam self-employment” dan 738
Agustinus Dedy Handrimurthahjo
Model Pembelajaran Kewirausahaan di Perguruan Tinggi
pendidikan dalam perusahaan (education in enterprise), yang didefinisikan sebagai “pelatihan management untuk wirausaha yang sudah mapan” (Henry et al., 2003, dalam Taatila, 2010). Pembelajaran pengalaman (experiential learning) adalah proses di mana pengetahuan diciptakan melalui transformasi pengalaman (Kolb, 1984 dikutip dalam Dhliwayo, 2008). Asumsi yang mendasari adalah bahwa untuk belajar mengambil tempat, pengalaman telah terjadi. Berdasarkan ide Kolb (1984), Politis (2005) yang dikutip oleh Dhliwayo (2008) menegaskan bahwa pembelajaran kewirausahaan adalah sebuah proses pengalaman di mana pengetahuan berkembang melalui pengalaman, refleksi, berpikir dan bertindak. Groenewald (2003) yang dikutip dalam Dhliwayo (2008) mendefinisikan WIL (Work Integrated Learning) sebagai strategi pendidikan terstruktur yang secara progresif memadukan studi akademis dengan pembelajaran melalui pengalaman kerja produktif dalam bidang yang berkaitan dengan akademik mahasiswa atau tujuan karir, bukan sebagai add-on tetapi merupakan bagian integral dari proses pendidikan. Pembelajaran yang terpadu dengan pekerjaan (WIL) adalah komponen dari pembelajaran yang berfokus pada penerapan teori dalam konteks karya yang asli. Hal ini mengarahkan kompetensi tertentu yang diidentifikasi untuk akuisisi kualifikasi yang berhubungan dengan pengembangan keterampilan yang akan membuat mahasiswa mampu bekerja dan akan membantu dalam mengembangkan keterampilan mereka (HEQC, 2004 dalam Dhliwayo (2008). Mwasalwiba (2010) mengembangkan kerangka konsep Pendidikan Kewirausahaan dengan mengkaji tujuan, metode pengajaran dan indikator dampak dari 108 artikel. Kerangka yang digunakan sebagai panduan dalam mengkaji pendidikan kewirausahaan dapat dilihat pada Gambar 1. Dari hasil kajian Mwasalwiba (2010) ditemukan bahwa 32% pengertian atau definisi pendidikan kewirausahaan ditujukan untuk mempengaruhi sikap, nilai, minat dan perilaku individu atau ditujukan untuk mengembangkan keterampilan personal (personal skills). Pengertian atau definisi lain tentang pendidikan kewirausahaan adalah new business (18%), managing existing firms (9%) dan opportunity recognition (9%). Dari kajian tentang tujuan umum pendidikan kewirausahaan ditemukan bahwa 34% untuk peningkatan spirit/budaya/sikap kewirausahaan, sedangkan tujuan lain adalah start-up & job creation (27%), contribution to society (24%) dan stimulate entrepreneurial skills (15%). Sementara itu kajian tentang target groups ditemukan bahwa 30% adalah business students; 23% entrepreneurs/SME owner, manager & employees; 19% adalah minority groups; 16% adalah non business student at university; 6% adalah policy maker, banker & public; dan 6% adalah unemployed. 739
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 10 No. 2 Agustus 2013
Dari hasil kajian tentang isi mata kuliah (course content) ditemukan bahwa mata kuliah financing & marshalling of resource (16%); marketing (14%); idea generation /opportunity discovery (13%); managing growth (12%); business plan (12%); organisation & team building (10%); new venture creation (9%); SME management (8%) dan risk & rationality (6%). Hasil kajian dari 21 artikel tentang metode pengajaran kewirausahaan ditemukan ada 13 metode yang paling penting yaitu : lectures & theory based; case
studies; business simulations; discussion & group work; video dan filming; role models & guest speakers; business plan creation; projects; real venture setting up; games & competition; workshop; presentations; study visits . Hasil kajian tentang kegiatan pencapaian komunitas (community outreach activities) ditemukan bahwa kegiatan yang paling penting adalah : business centre & club with local entrepreneurs; technical & management assistance to entrepreneurs; dissemination of research result to community; public symposia and awareness campaigns; link with entrepreneurs & internship opportunities; student consulting project; university commercial companies; assiting lower level schools; technology transfer; incubation services; dan annual summer schools for potential entrepreneurs in the community. Sedangkan hasil kajian tentang dampak indikator pendidikan kewirausahaan ditemukan bahwa : 21% adalah start-ups by graduates; 19% adalah academic Standar of student (GPA/exam scores); 16% adalah attitude and intention to act; 14% adalah contribution to society/technology transfer; 9% adalah resulting innovations; 9% adalah student/alumni satisfaction; 7% adalah business performance dan 5% adalah general awareness/interest in entrepreneurship. Sementara itu Pei-Lee dan Chen-Chen (2008) melakukan studi tentang pengalaman Universitas Multimedia (MMU) di Malaysia dalam membantu mengembangkan dan mendukung mahasiswa S1 program technopreneurship dalam model triple helix. Pendidikan jenis ini berhubungan dengan evolusi belajar proses dan metode dari mode didaktis menuju model kewirausahaan, seperti yang ditunjukkan oleh Gibb (1993). Penggunaan metode wawancara dengan mahasiswa S1, ditemukan bahwa pengalaman pembelajaran kehidupan nyata mahasiswa dapat disesuaikan dengan model pembelajaran kewirausahaan. Dalam studi ini, ditemukan bahwa semakin besar penekanan untuk kewirausahaan dalam lingkungan tingkat sarjana di universitas, semakin besar dampak positif untuk menciptakan sebuah universitas kewirausahaan (entrepreneurial university). Kedua, semakin besar jumlah wirausaha di antara mahasiswa di universitas, semakin besar dampak positif untuk menciptakan sebuah universitas kewirausahaan (entrepreneurial university). Adapun model pembelajaran kewirausahaan di MMU adalah sebagai berikut : Mutual learning; Learning by doing; Learning through
interpersonal exchanges, debates, discussion; Learning through feedback from different and numerous people; Learning in a flexible, informal environment; Learning under pressure: objectives must be reached; 740
Agustinus Dedy Handrimurthahjo
Model Pembelajaran Kewirausahaan di Perguruan Tinggi
Learning by borrowing from others; Learning through trial and error; Learning by solving problems; Learning through guided discovery. Konsorsium Pendidikan Kewirausahaan (Consortium for Entrepreneurship Education) bekerjasama dengan Yayasan Kauffman Kansas Amerika Serikat pada tahun 2004 telah menghasilkan Standar Nasional Muatan Pendidikan Kewirausahaan (National Content Standars for Entrepreneurhsip Education–NCSEE) dengan menggunakan Lifelong Learning Model yang dikembangkan oleh Professor Albert Shapiro dari The Ohio State University (lihat Gambar 2). Model ini mengasumsikan bahwa setiap orang dalam sistem pendidikan seharusnya mempunyai peluang untuk mempelajari pada tahap awal, kemudian pada tahap akhir ditujukan pada siapa yang mungkin secara khusus menjadi wirausaha. Model ini terdiri dari lima tahap yaitu: Tahap 1. Basic. Pada tahap pertama difokuskan pada pemahaman mendasar tentang ilmu ekonomi dan pasar bebas, mengidentifikasi peluang karir dan kebutuhan untuk menguasasi keterampilan dasar agar sukses dalam menghadapi ekonomi pasar bebas. Hasil yang diharapkan pada tahap ini adalah munculnya motivasi dan kepekaan terhadap peluang bisnis. Tahap 2. Competency Awareness. Mahasiswa akan belajar berbahasa bisnis (language of business), melihat masalah dari sudut pandang pemilik bisnis dan menemukan kompetensi kewirausahaan. Hal ini terutama dibutuhkan dalam karir dan pendidikan teknik. Tahap 3. Creative Applications. Pada tahap ini mahasiswa memanfaatkan waktu untuk menemukan ide bisnis dan berbagai cara untuk merencanakan bisnis. Mahasiswa harus memperoleh pengetahuan yang dalam dan luas dibandingkan dengan tahapan sebelumnya. Tahap ini mendorong mahasiswa menciptakan ide bisnis yang unik dan melakukan proses pembuatan keputusan melalui rencana bisnis. Program terbaik memungkinkan mahasiswa untuk secara actual mengalami aspek operasional dalam bisnis. Hasil yang diharapkan adalah mahasiswa belajar menjadi wirausaha dan mempraktekkan proses bisnis. Tahap 4. Start-Up. Pada tahap ini mahasiswa membutuhkan bantuan teknis untuk mewujudkan ide/rencana bisnisnya. Dibutuhkan program pendidikan komunitas yang memfokuskan pada bantuan start-up bisnis. Tahap 5. Growth. Pada tahap ini, mahasiswa dapat mengembangkan bisnis yang ada dan mampu menyelesaikan masalah bisnis secara efektif. Sehingga mahasiswa membutuhkan program pendidikan lanjutan dapat berupa seminar atau workshop. Dari model tersebut, Konsorsium Pendidikan Kewirausahaan kemudian menerapkan ke dalam kerangka pengembangan kurikulum pendidikan kewirausahaan berupa : (1) content untuk pengembangan wirausaha di masa mendatang, (2) konteks untuk membangun dan 741
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 10 No. 2 Agustus 2013
menerapkan keterampilan akademik, (3) peluang karir bagi mahasiswa dan (4) pengembangan ekonomi untuk komunitas, negara dan bangsa. Standar Nasional Muatan Pendidikan Kewirausahaan adalah kerangka kerja untuk berbagai tingkatan pengembangan kurikulum, mengarahkan pengembangan pengetahuan dan keterampilan untuk kegiatan kewirausahaan, dan memberikan kemahiran dan penerapan keterampilan utama akademik. Standar Nasional Muatan Pendidikan Kewirausahaan tersebut dikembangkan melalui tiga bagian (lihat Gambar 2) yaitu : (1) Keterampilan Kewirausahaan (entrepreneurial skills), (2) Keterampilan Dasar (ready skills) dan (3) Fungsi Bisnis (business functions). Keterampilan Kewirausahaan (entrepreneurial skills) merupakan pemahaman konsep dan proses yang berhubungan dengan kinerja wirausaha yang sukses. Keterampilan ini memberikan keahlian yang unik di mana wirausaha menggunakannya selama proses penciptaan dan pengelolaan bisnis. Keterampilan ini terdiri dari Proses Kewirausahaan (discovery, concept, resourcing, actualization dan harvesting) dan Sifat/Perilaku Wirausaha (leadership, personal assessment dan personal management). Dasar-dasar keterampilan dan pengetahuan dalam bisnis (ready skills) merupakan prasyarat untuk menjadi wirausaha yang sukses. Hal ini akan memberikan peluang pengembangan kurikulum yang memungkinkan individu beroperasi dalam persaingan dunia dan dalam konteks pengalaman yang berkaitan dengan wirausaha. Dasar-dasar dalam bisnis terdiri atas keterampilan Komunikasi dan Interpersonal, Digital, Ilmu Ekonomi, Literasi Keuangan dan Pengembangan Profesi. Kegiatan bisnis dilakukan oleh wirausaha dalam mengelola bisnis. Fungsi bisnis (business function) memberikan keterampilan setiap hari yang penting dikuasai untuk sukses dalam berbagai bisnis, menjadi home-based venture atau fast-growing corporation. Fungsi bisnis juga memberikan keahlian yang memungkinkan wirausaha dan future entrepreneur untuk melihat dan menciptakan peluang bisnis. Fungsi Bisnis terdiri atas Financial Management, Human Resource
Management, Information Management, Marketing Management, Operation Management, Risk Management dan Strategic Management. Pembahasan
Kajian terhadap Kurikulum Pembelajaran Kewirausahaan Pengembangan kurikulum pendidikan kewirausahaan di beberapa Perguruan Tinggi dilakukan dengan membandingkan dengan Perguruan Tinggi yang ternama baik didalam maupun di luar negeri. Pengembangan kurikulum tersebut dilakukan dengan mengkaji secara komprehensif untuk melihat relevansinya dengan perkembangan kewirausahaan di Indonesia. Beberapa perguruan tinggi yang diteliti telah memberlakukan mata kuliah Kewirausahaan sebagai mata kuliah wajib yang pada umumnya menggunakan bobot 2 (dua) satuan kredit semester (SKS). Bagi jurusan/program studi non bisnis jumlah ini jelas dinilai sangat kurang, 742
Agustinus Dedy Handrimurthahjo
Model Pembelajaran Kewirausahaan di Perguruan Tinggi
mengingat materi kewirausahaan sangat luas berkaitan dengan bidang bisnis sehingga untuk membekali mahasiswa dalam bidang kewirausahaan harus dilengkapi dengan program atau kegiatan pendukung kewirausahaan. Apalagi untuk menghasilkan lulusan sebagai wirausahawan (entrepreneur) atau wirausahawan teknologi (technopreneur), mahasiswa harus dibekali dan diperkaya dengan pengetahuan dan praktek yang lebih banyak tentang kewirausahaan. Untuk menjadi wirausaha yang sukses selain dibutuhkan penguasaan materi/teori kewirausahaan juga yang lebih penting adalah pembentukan karakter, keterampilan dan pengalaman kewirausahaan (entrepreneurial experience). Sehingga dibutuhkan lebih banyak waktu diluar kuliah bagi mahasiswa untuk meningkatkan keterampilan kewirausahaan dan bagi jurusan/unit khusus dalam membentuk karakter mahasiswa dan menciptakan budaya kewirausahaan dilingkungan perguruan tinggi. Di samping itu pendidikan kewirausahaan diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata kuliah. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata kuliah perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan seharihari. Dengan demikian, pembelajaran yang berwawasan pendidikan kewirausahaan tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan mahasiswa seharihari di masyarakat. Pada perguruan tinggi yang memiliki program S1 bisnis, maka kurikulum pendidikan kewirausahaan menjadi sangat jelas, sistematis dan terarah. Perguruan tinggi ini dinilai sangat jelas dalam konsep pendidikan kewirausahaan mulai dari menumbuhkembangkan kapasitas berwirausaha, menciptakan wirausaha terdidik, merancang kurikulum pendidikan, laboratorium kewirausahaan, membisniskan hasil inovasi, mengungkit kepekaan sosial sampai mengentaskan gagasan usaha/ide bisnis. Perguruan tinggi ini sudah memiliki konsep pendidikan kewirausahaan yang sudah dibakukan dan digunakan sebagai pedoman dalam mengembangkan program pendidikan kewirausahaan. Meskipun nama mata kuliah kewirausahaan di perguruan tinggi ini tidak ada, tetapi nama matakuliahnya berorientasi pada kewirausahaan seperti introduction to
science/technology based business ; analytical & creative thinking ; business creation; business development; selling in business; business process improvement; community development project; new technology ventures; entrepreneurial capital; hatching program sehingga untuk menghasilkan
lulusan sebagai wirausahawan dibutuhkan minimal 38 SKS (25% dari total SKS yang ditawarkan program studi). 743
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 10 No. 2 Agustus 2013
Untuk perguruan tinggi yang tidak memfokuskan pada program studi bisnis, maka mata kuliah kewirausahaan yang berlaku bagi seluruh jurusan/program studi dikelola ditingkat pusat (universitas) dan didukung dengan modul pembelajaran kewirausahaan yang dibuat oleh tim dosen. Modul pembelajaran kewirausahaan antara lain membahas tentang konsep dasar kewirausahaan, motivasi dan kepemimpinan, etika dan norma bisnis, konsep risiko, komunikasi bisnis dan negosiasi, merintis usaha baru, aspek manajemen dan organisasi, teknik dan strategi pemasaran, manajemen produksi, aspek keuangan dan studi kelayakan bisnis. Perguruan tinggi lain yang memfokuskan pada kewirausahaan teknologi (technopreneurship), modul pembelajarannya antara lain membahas tentang dinamika kelompok (teamwork building); tes technopreneurship dan mindset; dari ide ke peluang bisnis; menyaring peluang usaha; prinsip menciptakan perusahaan teknologi yang sukses; ICT-based business; studi kelayakan dan proposal bisnis; technopreneurial process; etika bisnis; kepemimpinan; menyiapkan rencana bisnis; manajemen keuangan dan pembiayaan usaha; memulai usaha baru. Tidak semua perguruan tinggi yang diteliti menyatakan dengan jelas tujuan pendidikan/program kewirausahaannya. Beberapa perguruan tinggi menyatakan bahwa tujuan pendidikan kewirausahaan adalah melatihkan teori dan pengetahuan bisnis dalam dunia praktek. Tujuan ini mendorong mahasiswa untuk mendalami basis teori dalam ranah praktik. Sehingga pengembangan kurikulum didasarkan atas kualitas lulusan yang akan dihasilkan, di mana setiap perguran tinggi memiliki ciri khas/karakteristik yang melekat pada profil lulusannya. Di beberapa perguruan tinggi, kurikulum pendidikan kewirausahaan dirancang mengikuti proses/tahap siklus pengembangan bisnis yaitu diawali dengan menganalisis lingkungan bisnis untuk mengidentifikasi peluang, kemudian dianalisis untuk menjadi ide bisnis, selanjutnya diterjemahkan dalam bentuk rencana bisnis, membentuk organisasi, merancang produk, perhitungan biaya produksi, melakukan penjualan (commercialization) dan mengelola pelanggan (customer). Untuk melatih mahasiswa dalam memiliki kompetensi daya juang dan saya saing, maka setiap tahap mahasiswa harus menyajikan hasil karya untuk dikompetisikan dan kemudian akan dievaluasi oleh tim juri yang terdiri dari pengajar dan praktisi bisnis. Selain program competition dan exhibition, program pengembangan karakter merupakan program yang sulit untuk diukur tingkat kesuksesannya tetapi menjadi sangat penting dan mendasar untuk mengasah ketanggungguhan mahasiswa dalam menghadapi risiko, tantangan dan persaingan di dunia bisnis. Progam ini bisa dilakukan dalam bentuk kegiatan public speaking, communication skill, negotiation skill, self
management, leadership, salesmanship, outbound, achievement motivation training dll. Di beberapa perguruan tinggi, program pengembangan karakter dilengkapi dengan program pengembangan komunitas (community 744
Agustinus Dedy Handrimurthahjo
Model Pembelajaran Kewirausahaan di Perguruan Tinggi
development). Program dinilai memberikan kontribusi yang signifikan dalam pembentukan seorang wirausaha secara utuh dengan melatih mahasiswa peduli /peka terhadap lingkungan sosial. Program pengembangan komunitas merupakan program yang paling menantang karena mahasiswa diterjunkan secara berkelompok ke masyarakat (desa) yang memiliki tatanan kehidupan yang sangat berbeda dengan lingkungan kampus. Program yang dilaksanakan selama 8 bulan ini mengharuskan mahasiswa bekerjasama dengan mitra yang memiliki latar belakang ekonomi dan pendidikan yang berbeda. Selama dua bulan pertama, mahasiswa melakukan survei untuk memetakan potensi bisnis yang dapat dikembangkan di desa tujuan. Hasil observasi diterjemahkan dalam bentuk rencana bisnis dengan penekanan pada cara memproduksi produk tersebut. Kemudian mahasiswa diterjunkan selama satu bulan untuk tinggal bersama dengan mitra di desa yang dituju untuk memastikan agar apa yang direncanakan dapat dilaksanakan. Selama tinggal bersama mitranya, mahasiswa melakukan pembinaan keterampilan bisnis dan setelah dilanjutkan dengan pendampingan hingga mitranya mencapai tahap kemandirian dalam menjalankan bisnisnya. Kajian terhadap Proses Pembelajaran Kewirausahaan Pendidikan kewirausahaan di beberapa perguruan tinggi dikembangkan dengan memadukan beberapa aspek yang relevan yaitu indikator kualitas input mahasiswa (seperti kemampuan analisis, komunikasi, ketekunan dan daya juang), rancangan kurikulum, proses pembelajaran dan lingkungan kampus. Beberapa pendekatan pembelajaran dapat digunakan untuk mendukung keberhasilan pembelajaran kewirausahaan, antara lain melalui analisis kasus (case based approach); melakukan tugas/proyek kelompok (project based approach), melakukan magang di perusahaan (internship based approach); program pengembangan pribadi (personal development program) ; melakukan pengembangan komunitas (community development); menjalin hubungan dengan alumni dan bisnis (business/alumni network) (Soehadi, et. al, 2011). Di PMBS (Prasetya Mulya Business School), kurikulum pendidikan kewirausahaan untuk mahasiswa program studi manajemen/bisnis didistribusikan kedalam tahap mulai dari semester 1 sampai dengan 8. Di perguruan tinggi tertentu tahapan ini dibagi lagi menjadi 4 tahap yaitu tahun pertama (creativity program), tahun kedua (foundation program), tahun ketiga (establishing entrepreneurship program) dan tahun ke-empat (hatchery program). Tahun pertama sampai tahun kedua, pesertanya adalah seluruh mahasiswa program studi manajemen/bisnis, sedangkan tahun ketiga dan tahun keempat pesertanya adalah mahasiswa terpilih yang 745
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 10 No. 2 Agustus 2013
memiliki karakter dan motivasi tinggi dalam kewirausahaan serta penetapan usaha baru (start-up new venture). Pada tahun pertama semester 1 yang bertema program kreativitas (creativity program), mahasiswa diarahkan untuk belajar dan berlatih berbagai konsep dengan melakukan observasi terhadap lingkungan bisnis. Mata kuliah yang relevan dan mendukung adalah Pengantar Manajemen dan Bisnis, Pengantar Ekonomi, Matematika Bisnis dan Bisnis Berbasis Teknologi. Program kreativitas pada semester 1 diakhiri dengan kegiatan paripurna yaitu “Entrepreneur Day” yang menampilkan produk dan proyek bisnis dari mata kuliah Bisnis Berbasis Teknologi (technology-based business) dan Kreasi Bisnis (business creation). Kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam berorganisasi, kepemimpinan dan komunikasi ini melibatkan praktisi bisnis, media, pengajar, mitra perguruan tinggi lain untuk memberikan penilaian atas proyek bisnis mahasiswa. Mahasiswa yang berhasil memenangkan kompetisi kemudian diberikan penghargaan dalam acara penganugerahan. Pada semester 2, mahasiswa di setiap kelas dibagi dalam 8–10 kelompok yang terdiri dari 4-5 mahasiswa, melakukan tugas mengidentifikasi dan menganalisis kesempatan yang ada di pasar untuk diwujudkan menjadi ide bisnis. Mata kuliah yang relevan dan mendukung program ini adalah Ekonomi Mikro, Statistik Bisnis, Perilaku Konsumen, Pengantar Akuntasi Keuangan dan Analytical and Creative Thinking. Ide bisnis tersebut kemudian dipresentasikan pada saat acara Analytical Creative Fair untuk mendapatkan masukan baik dari teman sekelas, juri, pengajar atau praktisi bisnis. Pada tahun kedua, yang bertemakan pada program persiapan (foundation program) di semester 3 dibagi menjadi 4 tahapan yang dirancang atas dasar proses pembentukan bisnis yaitu tahapan 1 : Ide Rocket Pitch (minggu 1-3); tahapan 2 : Pembuktian Konsep (Minggu 3-8); tahapan 3 : Rencana Bisnis (minggu 8-11) dan tahapan 4 : Pendanaan dan Rencana Aksi (minggu 11-14). Mata kuliah yang relevan dan mendukung pada tahap ini adalah Pengantar Akuntansi Manajerial, Komunikasi Bisnis, Ekonomi Makro, Leadership and Business Creation. Yang menarik dari program di semester 3 adalah setiap bisnis dapat mengajukan dana maksimal 10 juta rupiah untuk biaya awal dan jika permintaan disetujui oleh tim fasilitator program maka akan diberikan pinjaman sebanyak 50% dari dana yang diajukan oleh perguruan tinggi. Dana ini kemudian akan dikembalikan pada akhir pelaksanaan Program Persiapan. Pada tahun kedua semester 4, mahasiswa sudah menjalankan bisnis. Setiap kelompok diwajibkan untuk mempresentasikan setiap minggunya mengenai aktivitas dan kinerja bisnis kepada para pengajar dan mentor. Program ini dikaitkan dengan tema yaitu proses kreasi bisnis. Keempat tema dikaitkan dengan fungsi manajemen yaitu operasi-produksi, 746
Agustinus Dedy Handrimurthahjo
Model Pembelajaran Kewirausahaan di Perguruan Tinggi
pemasaran, keuangan dan sumberdaya manusia. Mata kuliah yang relevan dan mendukung program ini adalah Manajemen Keuangan, Manajemen Sumberdaya Manusia, Manajemen Pemasaran, Manajemen Operasi. Pada tahun ketiga (Membangun Program Kewirausahaan), program dimulai dengan pencetus ide yang mendaftarkan konsep bisnisnya dan mempresentasikan dihadapan tim evaluasi yang dibentuk sesuai dengan bidang usaha. Evaluasi meliputi (1) nilai tambah dan keunikan konsep yang ditawarkan; (2) kelayakan secara komersial; (3) skala usaha; (4) kompleksitas usaha; (5) potensi pasar; (6) potensi pendanaan; (7) teknologi yang digunakan. Setelah lolos dari proses seleksi tersebut, maka mahasiswa diharuskan membuat Rencana Bisnis Komprehensif yang dikelola dan disupervisi oleh tim Pusat Kewirausahaan (Entrepreneurship Center) yang kemudian akan diuji oleh tim pengajar dan praktisi bisnis. Jika dinyatakan layak untuk dijalankan, maka langkah berikutnya mahasiswa (calon wirausaha) harus mencari calon investor yang akan mendanai bisnis mereka. Potensial investor bisa dari pengajar dan internal lembaga perguruan tinggi, yayasan, alumni, pihak pemerintah/Dikti melaui Program Mahasiswa Mandiri, pihak swasta (seperti program Wirausaha Muda Mandiri dari Bank Mandiri) atau pihak lain yang tertarik dalam pengembangan usaha mahasiswa. Adapun mata kuliah yang relevan dan mendukung program pada tahun ketiga antara lain : Perpajakan, Selling in Business, Business Process
Improvement, Organization Design, Intermediate Business Presentation, Economics of Strategy, New Technology Ventures, Entrepreneurial Capital. Tahap ini membutuhkan waktu enam bulan (pada semester 5) untuk establishing entrepreneurship dan tiga bulan (pada semester 6) untuk pre-incubation.
Pada tahun keempat (Program Penetasan), mahasiswa didampingi secara intensif oleh Tim Pendampingan Usaha untuk merumuskan rencana operasional yang meliputi aspek: pemasaran, finansial, legal, produksi, proses, teknologi dan SDM. Tim akan membantu mahasiswa (calon wirausaha) melalui coaching/mentoring/consultation dalam semua aspek termasuk legalitas (pembentukan badan usaha) maupun perpajakan. Mata kuliah yang relevan dan mendukung program ini antara lain:
Business Law, International Business, Global Communication, Strategic Management, Service Management, Hatching Program. Pada tahap ini Kemampuan mandiri sebuah usaha/bisnis awal sangat tergantung pada jenis usaha dan tingkat kesulitan yang dihadapi. Untuk bisnis yang konten teknologinya tidak terlalu kompleks, waktu yang dibutuhkan untuk menjadi perusahaan baru yang mandiri sekitar 12 bulan sejak 747
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 10 No. 2 Agustus 2013
masa inkubasi. Untuk bisnis yang kompleks bisa membutuhkan waktu 23 tahun dan dalam hal ini lembaga perguruan tinggi bisa tetap memberikan pendampingan dan pelatihan hingga terbentuknya perusahaan baru. Kajian Model Pembelajaran Meskipun proses pembelajaran kewirausahaan telah dirancang dengan baik kedalam rancangan kurikulum yang didistribusikan atau dipetakan kedalam periode pembelajaran selama 8 semester dengan didukung berbagai mata kuliah, hal ini belum cukup memberikan bekal kepada mahasiswa untuk menjadi wirausaha. Kewirausahaan tidak dapat dipelajari secara kognitif di dalam kelas, melainkan harus dialami (afektif) dan dilakukan (psikomotorik). Proses pembelajaran kewirausahaan harus dilengkapi dengan suatu sistem untuk mempersiapkan, merencanakan dan mempercepat keberhasilan suatu proses. Diperlukan metode simulasi atau area berlatih yang disebut dengan laboratorium kewirausahaan dengan tujuan untuk mengurangi kemungkinan kegagalan dan mempercepat (akselerasi) seorang calon wirausaha (Soehadi, et. al, 2011). Laboratorium kewirausahaan sebagai katalisator yang mengurangi aktivitas uji coba belaka dan mampu membuat mahasiswa memahami proses berwirausaha dengan cara mengalami proses sebagaimana yang dialami oleh orang lain yang telah berhasil menjadi seorang wirausaha. Sehingga didalam laboratorium tidak cukup dipelajari tentang pengetahuan dan keterampilan bisnis, melainkan juga penanaman pemahaman tentang karakter berwirausaha dan kepekaan sosial. Laboratorium kewirausahaan ini diharapkan dapat menjadi tempat untuk menempa karakter seorang wirausaha terdidik yang memiliki hasrat (passion) dan semangat tinggi untuk mencapai visi yang memberikan hasil dengan Standar yang tinggi. Karena konsumen saat ini bukan hanya melihat produk dan layanan saja melainkan menuntut transparansi terhadap proses bisnis, maka kepekaan terhadap kondisi sosial dan lingkungan (modal sosial) juga harus dimiliki oleh seorang wirausaha terdidik untuk kelancaran bisnis. Metode pembelajaran yang digunakan dalam laboratorium kewirausahaan mengadaptasi metode pembelajaran mengalami (experiential learning) yang terdiri dari empat siklus yaitu : concrete
experience; reflective observation; abstract conceptualization dan active experience. Ketika mendapatkan satu pengalaman baru (concrete experience) mahasiswa akan mencoba memaknainya dengan merefleksikan
dengan apa yang pernah dialami atau membandingkan dengan yang dialami orang lain (reflective observation). Selanjutnya mahasiswa akan memikirkannya, mencoba menarik pola dan menarik kesimpulan sehingga dihasilkan satu konsep baru (abstract conceptualization). Konsep/kiat baru tersebut digunakan sebagai dasar untuk melakukan tindak lanjut (active experience). Kemudian dihasilkan pengalaman baru lagi, demikian seterusnya. Dan bila dilakukan dengan benar, proses ini seharusnya 748
Agustinus Dedy Handrimurthahjo
Model Pembelajaran Kewirausahaan di Perguruan Tinggi
menghasilkan keputusan dan tindakan yang semakin mendekatkan dengan tujuan (Soehadi, et. al, 2011) . Modul-modul praktikum dalam laboratorium kewirausahaan dirancang dengan mengikuti pola kurikulum kewirausahaan yang merupakan bagian dari mata kuliah tertentu yang disebut dengan mata kuliah jangkar (anchor subject). Modul-modul praktikum tersebut adalah serangkaian proyek-proyek bisnis yang diberikan mulai semester satu sampai delapan. Melalui proyek tersebut, mahasiswa berlatih untuk menerapkan teori dan konsep yang diajarkan pada semester yang sedang berlangsung dan semester sebelumnya. Setiap proyek memiliki kompleksitas dan tema yang berbeda namun saling berhubungan dalam skenario pembelajaran. Teori dan praktek dalam rancangan kurikulum kewirausahaan diberikan secara paralel dalam waktu yang bersamaan. Mahasiswa diharapkan dapat menyerap pengetahuan bisnis dengan jauh lebih baik bila selain melihat dan mendengar, juga belajar dengan cara merasakan dan melakukan (Soehadi, et. al, 2011). Modul-modul dalam laboratorium kewirausahaan dibagi dalam 4 tahap yaitu : tahun pertama adalah proyek-proyek untuk observasi peluang, mengasah kreativitas, dan kemampuan menghasilkan inovasi (terkait dengan mata kuliah Technology Based Business dan Analytical & Creative Thinking); tahun kedua adalah proyek-proyek untuk merencanakan, memulai dan mengelola bisnis (terkait dengan mata kuliah Business Creation and Business Development); tahun ketiga adalah proyek-proyek untuk mengembangkan komunitas bisnis dan mengasah kepekaan social (terkait dengan kegiatan Community Development) dan Tahun keempat adalah proyek-proyek untuk mengembangkan bisnis secara lebih formal dan sistematis (terkait dengan program penetasan) (Soehadi, et. al, 2011). Pengembangan Model Pembelajaran Kewirausahaan Dari beberapa kajian terhadap studi tentang pendidikan kewirausahaan dan model pembelajaran kewirausahaan, maka peneliti mengembangkan sebuah kerangka konsep model pembelajaran kewirusahaan yang bisa diterapkan di Perguruan Tinggi yang ada di Indonesia. Kerangka konsep model pembelajaran kewirausahaan dikembangkan berdasarkan konsep Lifelong Learning Model yang ditemukan oleh Professor Albert Shapiro dari The Ohio State University dan kemudian dirumuskan dalam Consortium for Entrepreneurship Education di Amerika Serikat. Pada Gambar 3 dapat dilihat Kerangka Konsep Model Pembelajaran Kewirausahaan di Perguruan Tinggi dengan asumsi lama studi program S1 adalah empat tahun. Karena kerangka konsep ini menggunakan Lifelong Learning model maka dalam proses pembelajaran 749
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 10 No. 2 Agustus 2013
dimulai dengan tahap sebelum masuk perguruan tinggi ( pre-university) dan tahap setelah mahasiswa lulus dari perguruan tinggi (post-graduation). Dengan mengadopsi kerangka yang digunakan untuk mengkaji pendidikan kewirausahaan oleh Mwasalwiba (2010), maka penyusunan model pembelajaran kewirausahaan di perguruan tinggi perlu mempertimbangkan aspek definisi/pengertian pendidikan kewirausahaan, tujuan khusus, isi mata kuliah, jenis program dan peserta program, isi mata kuliah, outreach project, metode pengajaran dan kegiatan community outreach.
Meaning and Definition. Perguruan Tinggi yang ingin mengembangkan pendidikan kewirausahaan dapat merumuskan definisi/pengertian tentang pendidikan kewirausahaan sebagai dasar dalam merancang kurikulum, proses pembelajaran dan metode pengajaran. Definisi/pengertian pendidikan kewirausahaan antara lain : (1) proses pendidikan/pelatihan yang ditujukan untuk mempengaruhi sikap, perilaku nilai atau minat terhadap kewirausahaan baik untuk meningkatkan karir atau apresiasi perannya dalam komunitas (penciptaan masyarakat kewirausahaan); (2) pemerolehan keterampilan pribadi dalam kewirausahaan; (3) pembentukan bisnis baru (new business); (3) pengakuan peluang (opportunity recognition); (4) pengelolaan perusahaan (managing existing firms).
Objectives
of Entrepreneurship Education. Tujuan pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi dapat dikembangkan antara lain untuk : (1) meningkatkan spirit/budaya/sikap kewirausahaan di antara individu dan komunitas umum; (2) menciptakan usaha baru dan penciptaan pekerjaan (new venture creation & job creation); (3) memberikan kontribusi pada masyarakat (contribution to society); (4) mendorong keterampilan kewirausahaan (stimulate entrepreneurial skills). Course Content. Isi mata kuliah dalam pembelajaran kewirausahaan antara lain : (1) keuangan dan penyusunan sumberdaya (financing & marshalling of resource); (2) pemasaran (marketing); (3) idea generation/opportunity discovery; (4) mengelola pertumbuhan (managing growth); (5) business plan; (6) organisation & team building; (7) pembentukan usaha baru (new venture creation); (8) manajemen Usaha Kecil Menengah (SME management); (9) risiko dan rasionalitas (risk & rationality); (10) legal issues; (11) manajemen inovasi dan teknologi; (12) franchising; (13) family business; (14) negotiation skills; (15) communication skills; (16) problem solving. Types of Programmes dan Target Groups. Jenis program kewirausahaan yang dapat dikembangkan oleh perguruan tinggi antara lain : (1) program yang memberikan orientasi dan kesadaran tentang kewirausahaan; (2) program yang mengembangkan kompetensi untuk formasi perusahaan baru; (3) program yang memfokuskan pada pertumbuhan bisnis kecil. 750
Agustinus Dedy Handrimurthahjo
Model Pembelajaran Kewirausahaan di Perguruan Tinggi
Sedangkan kelompok sasaran/peserta program kewirausahaan antara lain : (1) business students; (2) non business student at university.
Teaching
Method. Metode pengajaran kewirausahaan yang perlu dikembangkan di perguruan tinggi antara lain : (1) lectures & theory based case studies; (2) business simulations; (3) discussion & group work; (4) video dan filming; (5) role models & guest speakers; (6) business plan creation; (7) projects; (8) real venture setting up; (9) games & competition; (10) workshop; (11) presentations; (12) study visits. Community Outreach Activities. Kegiatan Community Outreach yang dapat dikembangkan di perguruan tinggi untuk mendukung keberhasilan pembelajaran kewirausahaan antara lain : (1) business centre & club with local entrepreneurs; (2) technical & management assistance to entrepreneurs; (3) dissemination of research result to community; (4) public symposia and awareness campaigns; (5) link with entrepreneurs & internship opportunities; (6) student consulting project; (7) university commercial companies; (8) assiting lower level schools; (9) technology transfer; (10) incubation services; (11) annual summer schools for potential
entrepreneurs in the community. Evaluation
and Impact Indicators. Untuk menilai keberhasilan pembelajaran kewirausahaan di perguruan tinggi, maka perlu dilakukan evaluasi dan penentuan indikator dampak, antara lain : (1) lulusan yang memulai usaha (start-ups by graduates); (2) pencapaian standar akademik (academic Standar of student - GPA/exam scores); (3) sikap dan minat untuk bertindak (attitude and intention to act); (4) kontribusi pada masyarakat/ transfer teknologi (contribution to society/technology transfer) ; (5) inovasi yang dihasilkan (resulting innovations); (6) kepuasan mahasiswa/alumni (student/alumni satisfaction); (7) kinerja bisnis (business performance); (8) kesadasaran umum/minat dalam kewirausahaan (general awareness/interest in entrepreneurship).
Kesimpulan Pendidikan kewirausahaan diintegrasikan dalam proses pembelajaran pada setiap mata kuliah. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata kuliah dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran yang berwawasan pendidikan kewirausahaan tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi dan 751
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 10 No. 2 Agustus 2013
pengamalan nyata dalam kehidupan mahasiswa sehari-hari di masyarakat. Pendidikan kewirausahaan di beberapa perguruan tinggi dikembangkan dengan memadukan beberapa aspek yang relevan yaitu indikator kualitas input mahasiswa (kemampuan analisis, komunikasi, ketekunan dan daya juang), rancangan kurikulum, proses pembelajaran dan lingkungan kampus. Kurikulum pendidikan kewirausahaan dirancang dengan mengikuti proses/tahap siklus pengembangan bisnis yaitu diawali dengan menganalisis lingkungan bisnis untuk mengidentifikasi peluang, kemudian dianalisis untuk menjadi ide bisnis, selanjutnya diterjemahkan dalam bentuk rencana bisnis, membentuk organisasi, merancang produk, perhitungan biaya produksi, melakukan penjualan (commercialization) dan mengelola pelanggan (customer). Beberapa pendekatan pembelajaran dapat digunakan untuk mendukung keberhasilan pembelajaran kewirausahaan, antara lain melalui analisis kasus (case based approach); melakukan tugas/proyek kelompok (project based approach), melakukan magang di perusahaan (internship based approach); program pengembangan pribadi (personal development program); melakukan pengembangan komunitas (community development); menjalin hubungan dengan alumni dan bisnis
(business/alumni network).
Dalam pembahasan tentang pembelajaran kewirausahaan di perguruan tinggi telah ditunjukkan bahwa untuk mengembangkan model pembelajaran kewirausahaan dilakukan melalui tahap (1) definisi/pengertian pendidikan kewirausahaan; (2) tujuan pendidikan kewirausahaan; (3) jenis program dan peserta program; (4) isi mata kuliah (desain kurikulum); (5) outreach project; (6) metode pengajaran; (7) kegiatan community outreach. Pengembangan model pembelajaran kewirausahaan di perguruan tinggi ditunjukkan dengan sebuah tahapan proses pembelajaran yang didistribusikan selama empat tahun yaitu: dimulai dari tahap preuniversity, dilanjutkan tahap foundation, competency & creative, start-up, growth dan diakhiri dengan tahap post-graduation. Kewirausahaan tidak dapat dipelajari secara kognitif di dalam kelas, melainkan harus dialami (afektif) dan dilakukan (psikomotorik). Proses pembelajaran kewirausahaan harus dilengkapi dengan suatu sistem untuk mempersiapkan, merencanakan dan mempercepat keberhasilan suatu proses. Diperlukan metode simulasi atau area berlatih yang disebut dengan laboratorium kewirausahaan dengan tujuan untuk mengurangi kemungkinan kegagalan dan mempercepat (akselerasi) seorang calon wirausaha. Model pembelajaran kewirausahaan yang dikembangkan ini digunakan untuk membantu perguruan tinggi dalam merancang pendidikan kewirausahaan. Melalui model ini dimungkinkan rancangan pembelajaran kewirausahaan akan lebih mudah diimplementasikan sesuai dengan tujuan program studi. ***** 752
Agustinus Dedy Handrimurthahjo
Model Pembelajaran Kewirausahaan di Perguruan Tinggi
Daftar Pustaka Carland, JoAnn. C & Carland, James. W (2010). Entrepreneruship Education: Building for Future. Journal of Business and Entrepreneurship, Vol. 22, No. 2, October. Cruz, Natalia Martin; Escudero, Ana Isabel Rodriguez; Barahona, Juan Hernangomez & Leitao, Fernando Saboia (2009). The effect of entrepreneurship education programmes on satisfaction with innovation behaviour and performance. Journal of European Industrial Training, Vol. 33 No. 3, pp. 198-214. Consortium for Entrepreneurship Education, (2004): National Content Standars for Entrepreneurship Education, Columbus, Ohio, USA. Dhliwayo, Shepherd (20080. Experiential learning in entrepreneurship education A prospective model for South African tertiary institutions. Education + Training, Vol. 50 No. 4, pp. 329-340. Drucker, Peter F, Inovasi dan Kewiraswastaan : Praktek dan Dasar-Dasar (terjemahan). Jakarta : Erlangga, 1996. Ehiobuche, Chris; Madueke, Chizoba Zee & Ogechukwu, Lawrence Obokoh (2010). Globalization and Entrepreneurial Education ; An American Perspective. The Business Review, Cambridge, Vol. 16,Num. 1, December. Hussain Habiba (2011). Leveraging Entrepreneurship in a Competitive Environment. The IUP Journal of Entrepreneuership Development, Vol. VIII, No. 1. Huovinen, Jari & Tihula, Sanna (2008). Entrepreneurial learning in the context of portfolio. Entrepreneurship International Journal of Entrepreneurial Behaviour & Research, Vol. 14 No. 3, pp. 152-171. Kemendiknas, (2010), Bahan Pelatihan “Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-nilai Budaya Untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa”, Pusat Kurikulum, Badan Penelitian dan Pengembangan. Mwasalwiba, Ernest Samwel (2010). Entrepreneurship education: a review of its objectives, teaching methods, and impact indicators. Education + Training, Vol. 52 No. 1, pp. 20-47. Menzies, Teresa V (2011). Advancing Teaching And Learning In Relation To University-Based Entrepreneurship Education: A Theoretical, Model Building Approach. International Journal of Arts & Sciences, 4(11):47–56. Neck, Heidi M & Greene, Patricia G (2011). Entrepreneurship Education : Known Worlds and New Frontiers. Journal of Small Business Management, 49 (1), pp. 55-70. Moleong, Lexy .J., 2008, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi revisi. Bandung: Remaja Rosda Karya. Mujiarto & Wahid Aliaras (2008). Motivasi dan Prestasi Dalam Karier Wirausaha. Jakarta: UIEU – University Press. Pei-Lee, Teh & Chen-Chen, Yong (2008). Multimedia University’s experience in fostering and supporting undergraduate student technopreneurship programs in a triple helix model. Journal of Technology Management in China, Vol. 3 No. 1, pp. 94-108. 753
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 10 No. 2 Agustus 2013
Soehadi, Agus W; Suhartanto, Eko; Winarto, V dan Kusmulyono, M Setiawan (2011). Prasetya Mulya EDC on Entrepreneurship Education. Jakarta: Prasetya Mulya Publishing. Scharg, Adele F dan Robert P. Poland, 1987. A System for Teaching Business Education. New York : McGraw-Hill Book Company. Timmon, Jeffry & Stephen Spinelli.(2007). New Venture Creation, Enterpreneurship for the 21st Century. New York:Mgraw-Hill, Inc. Taatila, P. Vesa (2010). Learning entrepreneurship in higher education. Education + Training, Vol. 52 No. 1, 2010 pp. 48-61. Tan, Siok San & Ng, C. K. Frank (2006). A problem-based learning approach to entrepreneurship education. Education + Training, Vol. 48 No. 6, pp. 416428. Gambar 1 Kerangka Yang Digunakan sebagai Panduan terhadap Kajian Pendidikan Kewirausahaan
Sumber: Diadaptasi dari Mwasalwiba, 2010
754
Agustinus Dedy Handrimurthahjo
Model Pembelajaran Kewirausahaan di Perguruan Tinggi
Gambar 2
Lifelong Learning Model dan Kerangka Standar Nasional Muatan Pendidikan Kewirausahaan
Sumber: Diadaptasi dari NCSEE 2004
Gambar 3 Model Pembelajaran Kewirausahaan di Perguruan Tinggi
Sumber: Dimodifikasi dari NCSEE 2004 755