PKMM-3-4-2
MODEL PEMBELAJARAN BAGI ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM DI RUMAH TAHANAN KELAS I BANDUNG, KEBON WARU Ragil Pardiantoro, Dinno Mulyono, Fatmasari, Siti Ropiah Jurusan Pendidikan Luar Sekolah, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung
ABSTRAK Pendidikan adalah hak bagi setiap anak. Optimalisasi perkembangan anak akan berdamapak pada pencapaian tugas perkembangannya, sehingga secara langsung memberikan kontribusi pada kualitas pribadi anak tersebut. Namun, dalam kenyataannya tidak semua anak memperoleh haknya tersebut, termasuk bagi anak yang berhadapan dengan hukum. Oleh sebab itu, upaya-upaya pendidikan harus dilaksanakan sebagai upaya pendampingan bagi pemenuhan hak anak. Metode alternatif yang lebih menekankan pada penyeimbangan kondisi psikologis anak, diperlukan sebagai bekal bagi pengakuan pribadi atas status sosialnya, sehingga dapat berperan sebagaimana kondisi anggota masyarakat lainnya. Kondisi anak yang berhadapan dengan hukum tergambarkan dari setiap metode pembelajaran yang dilakukan. Goresan tangan diatas kertas, ekspresi nonverbal, menggambarkan kondisi jiwa mereka yang selama ini tertekan. Pada akhirnya, model pembelajaran bagi anak yang berhadapan dengan hukum sangat diperlukan adanya, karena model pembelajaran konvensional tidak selamanya dapat diterapkan di lingkungan rumah tahanan. Dengan adanya model alternatif, diharapkan bisa menjembatani upaya pemenuhan hak anak yang berhadapan dengan hukum, terutama hak pendidikannya. Kata Kunci : Anak yang berhadapan dengan hukum, metode pembelajaran, model pembelajaran dan hak anak. PENDAHULUAN Anak merupakan amanah dari Tuhan, sudah selayaknya kita menjaga amanah tersebut agar jangan sampai disia-siakan. Oleh sebab itu, pelanggaran atau ketimpangan dalam pemenuhan hak-hak anak merupakan sebuah tindakan yang dinilai tidak sesuai dengan kodrat anak. Selain itu, anak merupakan tunas bangsa atau generasi muda yang diharapkan bisa menjadi penerus eksistensi bangsa kita dalam tataran dunia secara global. Dengan itu kita harus dapat memenuhi kebutuhan mereka (memfasilitasi) agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Perquin-Russen (1992), menyatakan sebenarnya anak dapat tumbuh dan berkembang dengan sendirinya. Namun untuk pertama kali ia mengenal dunia, haruslah ada fihak yang memberikan pertolongan agar pertumbuhan dan perkembangannya tidak terhambat atau terganggu yang dapat mengakibatkan perkembangannya tersebut tidak optimal. Dari latar teori ahli di atas, maka sudah seharusnya kita mencoba untuk memberikan fasilitas (bantuan) kepada mereka
PKMM-3-4-2
agar segala sesuatu yang menghambat perkembangannya bisa dikurangi atau dihilangkan sama sekali. Dr. M.I. Suleman (1994), mengatakan bahwa keluarga merupakan institusi pendidikan yang pertama dan utama bagi perkembangan seorang anak. Hanya yang menjadi masalah adalah ketika ada segolongan anak yang tidak bisa mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya secara optimal dan wajar. Salah satu alternatifnya tersedia seperti yang termuat dalam UU Nomor 20 tahun 2003, yaitu melalui jalur pendidikan non formal. Artinya walaupun kondisi keluarga tidak memungkinkan, jalur pendidikan yang lainnya bisa memberikan kontribusi yang jelas terhadap perkembangan anak. Apalagi dilihat dari banyaknya anak usia sekolah yang Drop out dan terus bertambah setiap tahun, juga kurangnya tenaga pengajar di sebagian daerah, menjadi pemicu kurangnya kualitas pendidikan yang didapatkan oleh anak. Masalah ini semakin bertambah parah ketika anak secara frontal berhadapan dengan hukum, atau lebih sering kita dengar dengan istilah anak yang berhadapan dengan hukum. Sebab di satu sisi, mereka memang harus mendapatkan konsekuensi atas perilaku yang telah dilakukannya. Tetapi, di sisi lain mereka adalah generasi muda yang tetap memerlukan bimbingan dan bantuan agar dapat tumbuh secara optimal, sebagaimana anak-anak pada umumnya. Oleh sebab itulah, melalui kegiatan ini kami bermaksud memberikan sedikit bantuan untuk menjaga kelangsungan proses pendidikan mereka agar tidak terhambat yang dapat membuat perkembangan mereka tidak berjalan secara wajar. Jaminan terhadap pemenuhan hak-hak tanpa diskriminasi, terutama pada masa tumbuh kembangnya, secara moral maupun hukum merupakan tanggung jawab pemerintah. Salah satu diantaranya hak anak yang harus dilindungi ialah hak untuk mendapatkan pendidikan bagi semua anak (tanpa diskriminasi). Setiap anak yang berusia 6 tahun berhak mendapatkan layanan pendidikan dasar di mana pemerintah pusat maupun daerah bertanggung jawab atas penyelenggaraannya sebagaimana yang tercantum dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS Pasal 1 ayat 18. Pada kenyataannya, ada beberapa kelompok anak yang berada pada kondisikondisi khusus yang tidak mendapatkan layanana pendidikan seperti anak-anak pada umumnya. Salah satu diantaranya adalah anak yang berhadapan dengan hukum. Menurut Assistant Project Officer Unicef Bob T Mangunwidjojo setiap tahun ada sekitar 4000 anak yang dibawa ke pengadilan dan berakhir dengan hilangnya kebebasan yaitu penjara. Di Bandung setidaknya pada tahun 2002 terdapat sekitar 185 anak yang berhadapan dengan hukum, 95% diantaranya ditahan pada proses hukum dan 100% vonis terhadap mereka berupa pidana penjara. Mereka bercampur dengan orang dewasa (Pikiran Rakyat, Juli 2003) Dalam program ini, identifkasi terhadap efektifitas pendidikan sebagai salah satu upaya advokasi bagi pemenuhan hak anak adalah salah satu faktor utama yang menjadi pertimbangan dalam menentukan strategi pembelajaran yang akan digunakan. Termasuk strategi-strategi khusus yang coba dikembangkan untuk meningkatkan kemampuan-kemampuan tertentu, yang telah dimiliki oleh anak sebelumnya. Upaya ini dilakukan untuk memberikan bantuan pendidikan dan psikologis agar tercapai perkembangan anak yang optimal dan wajar, sesuai dengan syarat perkembangan anak.
PKMM-3-4-3
Gambaran kondisi pembelajaran bagi anak yang berhadapan dengan hukum, dianggap bermanfaat bagi pemerintah, terutama sebagai dasar pembentukan regulasi dan desain pembelajaran khusus bagi anak yang berada di dalam tahanan. Masyarakat dalam hal ini, berperan sebagai salah satu stakeholder pendidikan yang harus turut serta memberikan perhatian dan bimbingannya bagi anak-anak yang berhadapn dengan hokum, sehingga deskripsi tersebut, tidak hanya berfungsi sebagai pengaktualisasian bagi pemerintah semata, tetapi sebagai transformasi pemahaman kepada masyarakat atas kondisi yang dijalani oleh anak yang berada di tahanan. Pengembangan dunia akademis menjadi salah satu pertimbangan pula dalam pelaksanaan program ini. Dengan adanya program seperti ini, kajian pendidikan tidak lagi terbatas pada hal-hal yang populis, tetapi mengangkat pola pendidikan yang selama ini sulit tersentuh dunia akademis kampus. METODE PENELITIAN Kegiatan dilaksanakan selama delapan bulan yang dimulai sejak bulan April samapi dengan bulan November 2005. Bertempat di Rumah Tahanan Negara Kelas I Bandung Kebonwaru. Instrumen yang digunakan dalam observasi adalah angket terbuka yang digunakan pada awal proses pembelajaran. Selanjutnya digunakan pola interviu bebas, observasi dan kajian dokumentasi. Sumber informasi yang diambil berasal dari tahanan anak, lembaga swadaya masyarakat dan pengelola rumah tahanan itu sendiri. Metode pendekatan kegiatan ini dibagi menjadi dua tahap. Tahap pertama, menggunakan model survey deskriptif. Penelitian model ini dilakukan untuk berbagai maksud diperolehnya macam-macam temuan. Setiap maksud diarahkan untuk memandu pada alternatif metode tertentu. Intinya adalah dalam upaya menelaah variabel-variabel lepas dalam suatu fenomena berdasarkan data yang dikumpulkan dari subyek banyak (S. Arikunto, 2002; 75). Intinya kegiatan ini dilaksanakan sebagai upaya unuk melakukan langkah need assesment (identifikasi kebutuhan), sehingga model-model pembelajaran yang diuji cobakan bisa mendekati nilai-nilai kompabilitas (kecocokan) yang optimal ddalam situasi dan kondisi objek kegiatan ini (M. Ali, 1992; 125). Tahap kedua, pendekatan pendahulu (survei deskriptif) sebagai dasar bagi pelaksanaan kegiatan yang selanjutnya, yang meliputi penyususnan, perancangan, evaluasi dan penyempurnaan model-model pembelajaran bagi anak yang berhadapan dengan hukum. Hal ini dilakukan dengan sejumlah pengayaan dari kajian teoritis, penelaahan literatur-literatur yang terkait, kemudian dibandingkan dengan kondisi objektif yang ditemukan ketika sejumlah model-model pembelajran diuji cobakan. Hasil akhirnya adalah perbandingan dengan model awal, kemudian disimpulkan setelah melalui beberapa tahap kritisi yang dilakukan dikampus maupun dengan warga belajar dan beberapa LSM yang elah cukup berpengalaman dalam mengelola proses belajar mengajar bagi anak yang berhadapan dengan hukum. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil kegiatan ini berupa beberapa bentuk tulisan tangan dari para peserta dinilai mampu memberikan gambaran mengenai motivasi, keinginan, sebagian
PKMM-3-4-4
kemampuan, cita-cita yang mereka miliki, adapula sebagian yang dianggap memmberikan gambaran mengenai kemampuan belajar mereka yang sebenarnya Sangat baik, tinggal bagaimana memberikan upaya yang benar, sehingga mampu memberikan hasil yang optimal bagi setiap proses pembelajaran yang dilaksanakan. Beberapa hasil yang kami dapatkan meliputi beberapa hal. Pertama, mengenai kondisi objektif di Rumah Tahanan. Dalam Rutan Kelas I Bandung, Kebonwaru kini terdapat sekira kurang lebih 20 orang anak. Sebelumnya pernah menembus angka hanya 16 orang, karena sebagian telah mendapatkan remisi maupun masa penahanannya yang telah habis. Namun yang paling memberatkan anak-anak adalah adalah kehidupan di Rutan yang sangat tidak kondusif. Hal ini dapat digambarkan melalui deskripsi berikut : 1) Adanya tekanan (pressure) dari narapidana dewasa bahkan dari sipir. Hal ini diperoleh ketika anggota tim melakukan obrolan ringan dengan tahanan anak-anak (peserta belajar). Pada umumnya mereka meminta sejumlah uang yang tidak sedikit ketika ada orang tua maupun sanak saudaranya menjenguk ke rumah tahanan. Disebabkan, di tiap gerbang masuk (sebab pengamanan di Rutan berlapis) terdapat beberapa orang napi dewasa yang meminta uang tertentu . Hal ini pun terkadang dilakukan oleh para oknum sipir. 2) Sarana sanitasi yang tidak mendukung, hal ini berakibat pada kondisi kesehatan tahanan anak-anak yang banyak menderita penyakit budug. Sehingga tak jarang anak-anak tersebut meminta obat salep kulit untuk menyembuhkan atau setidaknya meringankan penyakit yang dideritanya. 3) Makanan yang tersedia menurut mereka memang kurang memadai baik dari segi gizi maupun kelayakannya. Selain nasi yang dimasak kurang sempurna, juga lauk pauknya hanya tempe kuning yang mereka sebut tempe celup karena hanya digoreng sebentar, seperti dicelup. 4) Kebutuhan sandang (pakaian) yang kurang, sehingga mereka sering bertukar pakaian dengan teman satu sel. Padahal tidak jarang teman yang menderita penyakit budug. Sehingga penyakit tersebut lebih cepat menyebar. Apalagi sarana kesehatan dan obat-obatan pun terbatas. Kedua, keinginan bertemu dengan Orang Tua. Kondisi ini dinilai dari tulisan-tulisan warga belajar yang dilakukan sebanyak dua kali, di awal kegiatan dan akhir kegiatan ini. Menurut penuturan mereka secara langsung maupun melalui tulisan-tulisan, tidak jarang ada beberapa anak yang selama ditahan tidak pernah sekalipun dijenguk oleh orang tuanya. Sehingga tak jarang, tahanan anakanak tersebut merasa putus asa, karena walaupun mereka bertemu dengan teman sebayanya setiap hari, mereka memiliki karakter yang berbeda. Oleh sebab itu, hukum senioritas pun beerlalu. Siapa yang paling lama menghuni rumah tahanan, maka dialah yang mesti menjadi pemimpin, walaupun dalam bentuk pimpinan nonformal. Dari berbagai kondisi tersebut, kondisi belajar yang tidak kondusif menjadi permasalahan utama. Menurut D. Sudjana (2001:34) komponen-komponen pendidikan luar sekolah terdiri atas raw input, masukan sarana, masukan lingkungan, proses dan kemudian luaran (output). Secara umum dapat digambarkan dalam bagan berikut ini :
PKMM-3-4-5
Instrumen Input Output Raw Input
Process Environmen Input
Gambar 1. Bagan Hubungan Fungsional Komponen Pendidikan Luar Sekolah Dengan perbandingan tersebut, maka kondisi belajar didalam rumah tahanan, memang kurang kondusif. Artinya, masukan sarana (instrumen input) memang sangat kurang. Walaupun sebenarnya tersedia beberapa puluh ekslempar buku, peserta belajar masih memerlukan pengarahan dan bimbingan ketika proses belajar mengajar berlangsung. Sebab dengan dibatasinya ruang gerak sosialisasi dengan masyarakat secara luas, mereka merasa tertekan dan perasaan itulah yang secara tidak langsung membentuk karakteristik tertutup bahkan membendung keinginannya untuk belajar mandiri. Selain itu mereka lebih membutuhkan suatu bentuk model pembelajaran yang dianggap menghibur dan menyenangkan. Tinggal selama beberapa tahun dalam kondisi yang tertutup dari pergaulan sosial membuat mereka merasa jenuh. Bahkan tak jarang motivasi belajar dan motivasi hidupnya jatuh (drowning) secara sporadis. Oleh sebab itu, reorientasi pembelajaran yang dilakukan didalam dinding bangunan rumah tahanan mesti dilakukan. Setidaknya untuk memberikan motivasi hidup dan motivasi belajar ketika keluar dari rumah tahanan tersebut. Masukan lingkungan (environmantal input) yang justru berpengaruh banyak dalam proses pembelajaranpun terbatas. Karena aturan yang terdapat di dalam rutan sangat ketat, apalagi apabila dibandingkan dengan kondisi rumah keluarga dan sekolah, sangat jauh sekali perbedaaanya. Oleh karena itu, pola belajar yang dilakukan sedapat mungkin bisa menciptakan suasana yang menghadirkan kondisi lingkungan sosial. Meski dilakukan dengan berbagai hambatan dan keterbatasan, keluaran (output) yang dihasilkan dari proses belajar mengajar versi rumah tahanan, diharapkan mampu memberikan pengalaman belajar. Sehingga peserta belajar mampu me-re-aktualisasikan potensi yang dimiliki untuk kehidupannya di masyarakat kelak, ketika mereka melangkahkan kaki keluar Rumah Tahanan ini. Dari berbagai kondisi yang terdapat di rumah tahanan, model belajar yang diharapkan berdasarkan survei deskritif yang dilakukan, yang diikuti dengan sejumlah kajian literatur dan diskusi yang telah dilakukan bersama sejumlah praktisi beserta pakar dari beberapa LSM, maka prakiraan model belajar yang diharapkan adalah : Pertama, Model Partisipatif, artinya adalah setiap kegiatan belajar yang dilaksanakan sedapat mungkin melibatkan peserta didik sebanyak dan seaktif mungkin. Hal ini dipertimbangkan atas situasi pembelajaran yang kurang partisipatif hanya akan diikuti oleh sebagian peserta belajar saja, sedangkan sebagian lagi akan memilih permainannya sendiri, karena merasa tidak dilibatkan dalam proses pembelajaran.
PKMM-3-4-6
Kedua, Model Discovery, artinya adalah peserta belajar diajak untuk memahami dan menemukan solusi bagi suatu permasalahan yang dikemas dalam bentuk permainan partisipatif. Hal ini dilakukan agar menarik minat peserta belajar, sebab hampir semua peserta belajar akan tertarik untuk mengikuti permainan maupun materi pembelajaran yang dianggap menarik dan baru bagi mereka. Maksud lain dari model ini adalah agar peserta belajar mulai membiasakan diri untuk mempelajari dan memahami suatu permasalahan agar mempermudahnya dalam menentukan dan memilih alternatif terbaik sebagai pemecahan masalahnya. Ketiga, Model Rekreatif, model pembelajaran ini lebih ditunjukkan pada pemberian materi yang bersifat menghibur. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, peserta belajar akan sulit untuk diajak belajar dengan model konvensional. Kesulitan ini muncul sebagai akibat kejenuhan yang mereka alami selama ini di Rutan, juga sebagai akibat trauma maupun tekanan emosional yang tinggi. Model ini diberikan dengan sebaik mungkin menghadirkan situasi dan kondisi masyarakat secara umum, sehingga untuk melaksanakan model ini lebih banyak menggunakan metode simulasi partisipatif dan dibentuk secara berkelompok dengan tujuan agar setiap kelompok mampu memberikan solusi versi kelompok masing-masing yang pada akhir kegiatan barulah diberikan sejumlah solusi yang dianggap mendekati jawaban ideal dan mampu mengakomodasi setiap jawaban masing-masing kelompok. Ini dilakukan sebagai salah satu metode yamg mampu memberikan kesempatan kepada setiap peserta belajar dalam mengaktualisasikan dirinya melalui pengembangan ide-idenya. Kesempatan untuk mengaktualisasikan ide tersebut dianggap untuk memberikan pemahaman dan penyadaran bahwa masing-masing peserta belajar memiliki potensi untuk mengembangkan gagasan/idenya untuk memecahkan suatu masalah. Diharapkan dengan metode ini peserta belajar akan merasa diakui oleh komunitas, selain sesama tahanan anak-anak lainnya. KESIMPULAN Pemenuhan hak pendidikan atas anak-anak merupakan tanggung jawab bersama. Oleh sebab itu, perlu langkah konkret yang dianggap mampu memenuhi hak anak tersebut. Pengembangn model belajar yang sesuai dengan kondisi lingkungan dan sarana yang ada di dalam Rutan Kelas 1 Bandung diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam tujuan ideal menurut konstitusi negara. Sebab pengembangan model belajar maupun pengembangan pendidikan secara umum adalah salah satu upaya memperkokoh pilar pendidikan bangsa ini. Selain itu bantuan psikologis diharapakan bisa membantu anak dalam menghadapi setiap tekanan yang muncul, baik ketika di dalam rumah tahanan maupun setelah keluar dari rumah tahanan. Sehingga proporsi implementasi status dan perannya berjalan secara selaras, serasi dan seimbang berdasarkan norma dan kaidah dalam masyarakat. Dengan kondisi seperi itu, mereka memiliki benteng psikologis yang membantunya agar tidak terjebak dalam pengalaman pahitnya ketika di rumah tahanan.
PKMM-3-4-7
DAFTAR PUSTAKA Ali, M. H. 1992. Strategi Penelitian Pendidikan . Bandung: Penerbit Angkasa Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek . Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Sudjana, H. D. 2001. Pendidikan Luar Sekolah . Bandung: Penerbit Falah Production. Sulaeman, M. I. 1994. Pendidikan Dalam Keluarga . Bandung : Penerbit Yayasan Alfabeta. Makmun, A. S. 2003. Psikologi Kependidikan . Bandung; PT. Remaja Rosdakarya. Eson, M.E. 1972. Psycological Foundation Of Education, Second Edition . New York; Holt, Rinehart and Winstons, Inc. Lickona, T. 1991. Educating For Character, How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility . New York : Bantam Books. Perquin dan Russen. 1982. Pendidikan Keluarga dan Masalah Kewibawaan. Bandung: Jemmars Pikiran-Rakyat, Edisi Juli 2004. Laporan Bulanan Yayasan Edukasia, September 2005
PKMM-3-4-8