MODEL PELUKISAN ILUSTRASI DI DALAM SERAT BABAD SINDUJOYO M. Wahyu Putra Utama*) Abstract Illustration Painting Model in the Chronicle Sindujoyo. Illustrations in the Chronicle Sindujoyo is the result of culture of Javanese people who have visual characteristics in its realization. Characteristics in the illustration can be identified from the depiction of the figures include: the depiction of human figures, animals, plants and natural surroundings, the language of communication, as well as images of the preparation shape (figures) into the area of the image. Identification of the depiction of the illustration in the Chronicle of Sindujoyo shows the characteristics of a model that has a depiction of a metaphorical concept in it. Model representations that have rules in drawing can provide understanding and knowledge about ethnic painting style, especially in Java, because the same model representations are also found in ancient Javanese texts other that spread over a wide area. Through research-based approach to art (art research base) and methods in analyzing use interaction analysis of conclusion is the depiction of the illustration showed a Sindujoyo Chronicle of the representations of different places, namely the ethnic, different distances, and different time, painted in one area of an image with the specifications setting the scene and his supporters. Keywords: Chronicle Sindujoyo, illustration, the style of draw
Abstrak Model Pelukisan Ilustrasi di dalam Serat Babad Sindujoyo. Ilustrasi di dalam babad Sindujoyo merupakan hasil kebudayaan masyarakat Jawa yang memiliki karakteristik visual dalam perwujudannya. Karakteristik di dalam ilustrasi dapat diidentifikasi dari penggambaran figur yang meliputi penggambaran figur manusia, binatang, tumbuhan dan alam sekitar, bahasa komunikasi gambar, serta penyusunan bentuk (figur) ke dalam bidang gambar. Identifikasi penggambaran ilustrasi di dalam babad Sindujoyo menunjukkan karakteristik model penggambaran yang memiliki konsep pelukisan di dalamnya. Model pelukisan yang memiliki kaidah dalam menggambar dapat memberikan pemahaman serta pengetahuan mengenai gaya pelukisan etnik khususnya di Jawa, karena model pelukisan yang sama juga terdapat di dalam naskah-naskah kuno Jawa lain yang tersebar di berbagai daerah. Melalui pendekatan penelitian berbasis seni (art base research) dan metode dalam menganalisis menggunakan interaksi analisis kesimpulan adalah penggambaran yang terdapat di dalam ilustrasi babad Sindujoyo memperlihatkan ciri dari pelukisan etnis yaitu berbeda tempat, berbeda jarak, dan berbeda waktu, dilukiskan dalam satu bidang gambar dengan spesifikasi adegan dan setting pendukungnya. Kata kunci: Babad Sindujoyo, ilustrasi, model penggambaran
Mahasiswa Pengkajian Seni Rupa Pascasarjana, Institut Seni Indonesia Surakarta e-mail:
[email protected] *)
1
Dimensi DKV, Vol.2-No.1 April 2017
Pendahuluan Babad merupakan salah satu genre di antara sekian banyak karya sastra Jawa yang mengisahkan sejarah. Taufik Abdullah (2001: 265) mengemukakan bahwa babad merupakan sejarah lokal yang mengandung pengertian kisah kelampauan dari suatu masyarakat di wilayah geografi bertaraf lokal, sasarannya adalah asal usul, pertumbuhan, dan perkembangan kelompok masyarakat setempat. Serat babad Sindujoyo adalah cerita bergambar ilustrasi, bentuk naskah berupa tulisan dengan huruf pegon Jawa berbentuk tembang macapat yang dibagi ke dalam beberapa bagian jenis tembang seperti asmarandhana, sinom, durma, kinanthi, pucung, dandhanggulo, pangkur, mijil, dan megatruh.
Gambar 1. Potongan Gambar di dalam Serat Babad Sindujoyo (Repro foto oleh: Wahyu Putra, 16 April 2016)
Sindujoyo memiliki nama asli Pangaskarta. Sindujoyo merupakan anak dari Kyai Kening. Sindujoyo merupakan murid atau santri dari Sunan Prapen di mana masih ada ikatan satu ajaran dengan Sunan Giri. Sindujoyo berasal dari Desa Klating Lamongan yang merantau ke wilayah Giri Gresik dengan latar belakang untuk menimba ilmu. Selama mencari ilmu pada Sunan Prapen, Sindujoyo banyak mengalami kejadian-kejadian penting dan banyak berinteraksi dengan masyarakat banyak. Serat babad Sindujoyo secara umum menceritakan mengenai peristiwa yang dialami oleh Pangaskarta (Sindujoyo). Amir Syarifudin (wawancara, 16 April 2016) menjelaskan bahwa serat babad Sindujoyo diceritakan oleh Pranacitra dan ditulis oleh Ki Tarub Agung sedangkan pembuat gambar atau pelukis adalah Ki Buder. Naskah asli Serat babad Sindujoyo ditulis pada hari Ahad Legi 11 Ramadhan. Tahun penulisan teks ini digambarkan di dalam teks dengan tulisan pegon yang berbunyi “candra sengkala; gajah papitu puniku sapta tunggal” yang berarti tahun 1778 2
MODEL PELUKISAN ILUSTRASI DI DALAM SERAT BABAD SINDUJOYO M. Wahyu Putra Utama
saka atau 1856 M pada bagian awalan atau pembuka. Munculnya karya yang berupa naskah dan bergambar memiliki fungsi sosial tertentu. Cerita bergambar menjadi representasi dari tulisan yang dimuat di dalamnya yang berupa naskah. Serat babad Sindujoyo sebagai rekaman sekumpulan ide, pikiran, serta gagasannya dan kearifan cara berfikir merupakan gambaran skema-skema budaya Jawa khususnya wilayah Gresik. Serat babad Sindujoyo merupakan wadah yang memuat makna dan nilai-nilai kehidupan berupa artefak tulisan bergambar yang merefleksikan pencapaian ketinggian intelektualitas masyarakat Jawa. Hal ini dihasilkan dalam kegiatan menulis dan menggambar yang memiliki keterkaitan keduanya. Pengaruh kebudayaan Hindu-Budha, Timur Tengah, Cina, dan masa kolonial dalam terbentuknya karekter figur pada ilustrasi babad merupakan hal yang tidak dapat terpisahkan dari peristiwa sejarah sinkretisme budaya lokal dengan sejarah perkembangan agama Islam. Penggambaran figur dengan berbagai atribut dan gaya dalam pelukisannya, menjadikan serat babad Sindujoyo memiliki fenomena budaya mengenai visualisasinya. Model pelukisan yang memiliki konsep, kaidah, dan karakteristik tersendiri dalam menghadirkan figur menjadikan gambar di dalam serat babad Sindujoyo memuat banyak rahasia yang menunjukkan menggambar etnis Jawa. Sebagian besar gambar pada serat babad Sindujoyo memperlihatkan stilisasi wayang yang dikembangkan menjadi berbagai bentuk figur baru. Penggayaan wayang dari yang masih merujuk pada pakem hingga bentuk deformasi dan stilisasi wayang menjadi bentuk baru. Keterpengaruhan budaya asing terlihat cukup signifikan akan tetapi tidak sampai menghilangkan karakter lokal Jawa berupa perupaan datar atau dwimatra. Bentuk pelukisan pada dasarnya merupakan model, gaya, karakteristik pada sebuah gambar yang merupakan hasil dari kegiatan memindahkan objek atau benda-benda yang ada di sekitar dengan tepat seperti keadaan benda yang sebenarnya, sehingga gambar tersebut memiliki dimensi ruang dan waktu atau sudut pandang. Penggambaran manusia dan hewan yang tidak meningalkan bentuk pokok wayang seperti kaki, tangan, dan arah hadap mimik ataupun muka. Spesifikasi dalam penggolongan adegan peristiwa memiliki model yang menunjukkan konsep yang tersusun secara sistematis terkait tata cara (model atau gaya) melukis dalam masyarakat Jawa. Penelitian menggunakan pendekatan penelitian berbasis seni (art base research), yang menggunakan premis, prosedur, dan prinsip seni. Penelitan ini ditentukan oleh kualitas estetik (elemen desain) baik dalam proses penyelidikan maupun dalam teks penelitian (Guntur, 2016: 25). Penelitian berbasis seni memungkinkan peneliti menggunakan perspektif dan melibatkan pengembangan sensitivitas dalam seni sepanjang waktu dalam upaya menghasilkan sajian data. Proses analisis menggunakan metode interaksi analisis dengan menekankan kepada emik kebudayaan sebagai pijakan dalam menganalisis. Penciptaan benda seni tradisi berupa serat babad Sindujoyo yang mengalami banyak dinamika kebudayaan, menimbulkan spekulasi hadirnya nilai-nilai filosofi hidup yang terkonsep secara
3
Dimensi DKV, Vol.2-No.1 April 2017
intrinsik di dalam gambar dan cerita yang disampaikan. Keterkaitan dengan fenomenafenomena sejarah pada masa lampau, serat babad Sindujoyo dalam satu rangkaian hasil artefak kebudayaan Jawa yang memiliki posisi penting dalam perkembangan gaya kesenian khususnya di bidang seni rupa di wilayah Gresik. Sebagai karya seni tradisi pada masa lampau, ilustrasi pada serat babad Sindujoyo memperlihatkan relasi dengan kehidupan sosial dan karakter sosial masyarakat Jawa. Refleksi kehidupan sosial ditampilkan dengan cara tersurat dan tersirat. Relasi tersebut tampak dalam muatan isi, bahasa rupa, sifat komunikatif, dan naratif yang ditampilkan dalam gambar ilustrasi. Untuk itu penelitian yang berjudul “Model Pelukisan Ilustrasi di dalam Serat Babad Sindujoyo” dilakukan dengan tujuan mengungkap kaidah-kaidah aturan melukis gambar ilustrasi yang terdapat di dalam serat babad Sindujoyo.
Ilustrasi dalam Serat Babad Sindujoyo sebagai Hasil Kebudayaan Awal mula perkembangan budaya naskah atau tulis di Jawa adalah dekat dengan budaya lisan atau budaya oral yang disampaikan secara turun temurun dari setiap generasi. J.J Ras (2014:193) mengatakan bahwa arti kata tutur adalah pelajaran atau tradisi yang pada dasarnya adalah hal-hal yang secara turun temurun dari guru ke murid, karena tutur merupakan sumber pengetahuan tentang dogmatik Hindu Jawa, yang merupakan hal penting dalam kronologinya. Seiring perjalanan waktu masyarakat menciptakan simbol-simbol sederhana yang berkembang menjadi aksara dan berkembang menjadi budaya baca dan tulis. Jawa lebih dominan memiliki tradisi lisan, pada abad ke-9 tradisi tulis mulai masuk dan berkembang di kalangan masyarakat Jawa. Eksistensi budaya tulis diprakarsai oleh golongan-golongan kecil dalam masyarakat Jawa. Supardjo (wawancara, 15 Desember 2016) mengatakan, awal mula kemunculan kesusastraan Jawa Ramayana pada masa Dharmawangsa, hal ini nampak pada prasasti dan situs dalam bentuk kecil menggunakan bahasa Sangsekerta yang berisi peristiwa-peristiwa kecil. Babad Sindujoyo yang merupakan naskah dengan tulisan pegon Jawa dan dibagi ke dalam jenis tembang, mencerminkan budaya lisan dan budaya tulis jalan secara beriringan. Cerita sejarah, mitos, dan foklor yang dimuat di dalam karya babad merupakan karya historiografi yang tergolong ke dalam genre karya sastra. Hal ini sesuai dengan pendapat S. Margana (2004: 31) bahwa historiografi Jawa tergolong karya sastra, adalah Pertama, pada umumnya karya babad dituliskan dengan gaya yang sama dengan karya-karya jenis lain yang tergolong sastra, yaitu ditulis dengan bentuk puisi Jawa yang berbentuk tembang macapat. Pada karya babad yang dituliskan dalam bentuk prosa juga menggunakan gaya penulisan sastra, seperti penggunaan idiom-idiom atau ungkapan bahasa simbolis. Kedua, dilihat dari substansinya pada umumnya karya babad bersifat religio magis, karena masuknya tokoh-tokoh imajinatif yang tidak dikenal dalam sejarah elemen-elemen mistis dari dongeng atau legenda rakyat setempat. Cerita mitos yang bersifat imajinatif memiliki makna filosofi yang tersirat di dalamnya. Prasetyo (wawancara, 15 Desember 2016) menyatakan bahwa penggunaan kiasan yang memiliki makna dan korelasi dengan kondisi sosial serta memiliki kemungkinan bahwa pada masa tersebut memang memiliki kekuasaan lebih atau kesaktian sehingga cerita yang dimuat merupakan cerita-cerita imajinatif yang di luar nalar.
4
MODEL PELUKISAN ILUSTRASI DI DALAM SERAT BABAD SINDUJOYO M. Wahyu Putra Utama
Figur yang dihadirkan dalam naskah babad Sindujoyo menyerupai wayang hal ini memiliki keterkaitan dengan pertunjukan wayang yang hadir pada masa persebaran sebagai media ekspresi dari cerita yang disampaikan. Nuning Damayanti (2008: 56) mengatakan bahwa untuk menelusuri penciptaan naskah Jawa tidak dapat mengkesampingkan keterkaitannya dengan kesenian wayang, karena peristiwa penting kerajaan dan kisah para raja Jawa sering dianalogikan dengan kisah pewayangan yang ditulis dalam sastra Jawa. Munculnya gambargambar yang jauh dari bentuk-bentuk yang menyerupai manusia tidak dapat terlepas dari pengaruh wali dalam hal penggambarannya. Hal ini di mulai dari jaman kerajaan Demak, sebagai pusat pemerintahan Islam secara besar-besaran. Peranan wali dalam menciptakan gambar wayang dengan cara menangkap rasa manusia, dan karakter manusia atau tokoh wayang-wayang tersebut disesuaikan dengan pandangan orang Jawa, sehingga munculah wayang-wayang yang dekoratif dari figur manusia dengan jujutan (penggayaan) stilisasi, distorsi, transformasi, dan deformasi sehingga muncul bentuk wayang-wayang baru pada masa itu. Wayang para wali tersebut merupakan bentuk wayang yang berkembang pada masamasa selanjutnya. Seniman secara imajinatif menggambarkan sosok wayang dengan melakukan stillasi ke dalam ilustrasi yang memiliki nilai cerita secara dramatik yang mirip dengan pertunjukan wayang. Proses interaksi antara seniman Eropa dengan seniman Jawa terjadi pada waktu proses pelukisan potret raja-raja Jawa di lingkup Kerajaan atau Keraton, selanjutnya pengetahuan dalam menggambar inilah yang berkembang mempengaruhi seniman Jawa dan menyebar sehingga proses menggambar mulai dikenal. Pemahaman mengenai cara menggambar yang diperoleh dari proses interaksi dengan seniman Eropa tidak sepenuhnya diaplikasikan ke dalam cara menggambar masyarakat Jawa. Proses dalam menggambar disesuaikan dengan kondisi situasi masyarakat pada saat itu, sehingga interpretasi yang dilakukan oleh seniman Jawa disesuaikan dengan lingkungan. Proses dalam menggambar yang lebih mengutamakan citra kebudayaan lokal dengan tidak mengutamakan gaya dari seniman Eropa, mengakibatkan muncul gaya mengambar ‘baru’ yang merepresentasikan kebudayaan Jawa dan bersifat lokal. Oleh sebab itu, dalam visualisasi naskah (ilustrasi) yang terdapat di dalam karya sastra Jawa gambar-gambar tidak memiliki perspektif dalam pelukisannya merupakan ciri utama yang memperlihatkan gaya seni rupa tradisi masyarakat Jawa. Hal-hal lain yang dipandang memiliki nilai lokal dalam tatacara menggambar adalah proses pewarnaan (teknik) yang cenderung lebih sederhana dan latar yang dibuat kosong.
Model Pelukisan Ilustrasi di dalam Serat Babad Sindujoyo Ilustrasi pada Babad Sindujoyo memperlihatkan stilisasi wayang yang dikembangkan menjadi berbagai bentuk figur baru. Dharsono (2004: 103) menyatakan cara penggambaran dengan stilisasi merupakan cara penggambaran untuk mencapai bentuk keindahan dengan cara menggayakan objek benda yang digambar, yaitu dengan cara menggambarkan setiap kontur pada objek atau benda tersebut. Penggayaan wayang dari yang masih merujuk pada pakem hingga bentuk deformasi wayang menjadi bentuk baru.
5
Dimensi DKV, Vol.2-No.1 April 2017
Bentuk deformasi menekankan kepada pencapaian karakter dengan cara mengubah bentuk objek (ilustrasi) dengan menggambarkan objek (ilustrasi) hanya pada sebagian yang dianggap mewakili, atau pengambilan beberapa unsur tertentu yang mewakili karakter wayang hasil interpretasi, seperti bentuk muka, bibir, hidung, mata, dan kaki pada wayang. Hasil klasifikasi dan identifikasi di dalam ilustrasi babad Sindujoyo memiliki beberapa kesamaan dengan penggambaran pada wayang. Kesamaan penggambaran terdapat pada bentuk mata dengan jenis liyepan atau gabahan dan petet, hidung berbentuk wali miring dan pelokan. Pada bagian mulut kebanyakan figur tokoh manusia laki-laki, perempuan, tua, dan muda tersebut memiliki jenis mulut dengan bentuk mingkem, terkecuali terdapat penggambaran dengan mulut membuka atau mangap dalam beberapa peristiwa tertentu seperti pada peristiwa prajurit bersorak, namun hal ini menjadi tidak dominan dibandingkan dengan bentuk mulut berjenis mingkem.
1. Liyepan/Gabahan
2. Kadhelen
3. Peten
Gambar 2. Gambar Bentuk Mata yang Terdapat pada Wayang (Sumber. Wijanarko (1990:49-50), digambar ulang oleh: Wahyu Putra, 16 Desember 2016)
2. Wali Miring
1. Bentulan
Gambar 3. Gambar Bentuk Hidung yang Terdapat pada Wayang (Sumber. Wijanarko (1990:51-53), digambar ulang oleh: Wahyu Putra, 16 Desember 2016)
Mingkem Gambar 4. Gambar Bentuk Mulut yang Terdapat pada Wayang (Sumber. Wijanarko (1990:54-56), digambar ulang oleh: Wahyu Putra, 16 Desember 2016)
Penggambaran roman muka pada ilustrasi dapat diidentifikasi menjadi dua golongan yaitu golongan luruh dan golongan lanyapan. Wijanarko (1990: 48) mengatakan golongan dengan posisi muka lanyapan merupakan wajah tokoh dengan posisi mendangak atau tengadah, sedangkan posisi luruh merupakan wajah tokoh dengan posisi menunduk. Penggambaran manusia, tumbuhan, alam, dan hewan yang tidak meninggalkan bentuk pokok dengan penggubahan menjadi bentuk yang khas dan menyerupai wayang pada manusia seperti kaki, tangan, dan arah hadap mimik atau muka. Secara spesifik penggambaran anatomi pada bagian tubuh manusia ataupun hewan memiliki karakter yang konsisten dalam penggambarannya yang dilakukan dalam setiap figur. 6
MODEL PELUKISAN ILUSTRASI DI DALAM SERAT BABAD SINDUJOYO M. Wahyu Putra Utama
Gambar 5. Figur Manusia Berbagai Macam Sisi di dalam Babad Sindujoyo (Repro foto: Wahyu Putra, 16 April 2016. Sumber: naskah babad Sindujoyo)
Warna yang digunakan pada muka adalah warna coklat dan putih. Warna putih pada bagian muka hanya digunakan dalam pewarnaan tokoh-tokoh yang memiliki kedudukan penting, sakti, dan berpengaruh. Warna coklat digunakan untuk tokoh yang memiliki kedudukan biasa atau sedang. Gerak figur tokoh yang divisualisasikan ke dalam gambar ilustrasi Babad Sindujoyo memiliki bagian yaitu: posisi berdiri, duduk di atas media (kursi dan hewan), tengkurap, berbaring, sujud, rukuk, memanjat pohon, jongkok, dan duduk di atas lantai. Posisi berdiri dan duduk digambarkan dengan figur manusia lengkap bagian kepala, badan, tangan, dan kaki, sedangkan posisi duduk di atas lantai digambarkan dengan bagian kepala, badan, tangan dan bentuk kaki yang merepresentasikan posisi duduk bersimpuh. Penggambaran tokoh ke dalam beberapa posisi merupakan bentuk ekspresi dari peristiwa yang terjadi. Peristiwa yang penuh dengan gerak dan komunikasi serta interaksi digambarkan dengan figur-figur ke dalam beberapa posisi. Identifikasi jenis kelamin dari figur manusia yang digambarkan dapat diamati dengan penggambaran penggunaan atribut berupa ikat bagian kepala, baju yang dikenakan, dan anatomi pada bagian tubuh. Ikat pada bagian kepala memperlihatkan spesifikasi dari jenis kelamin figur tokoh dan status sosial dari figur yang digambarkan. Penggunaan atribut pada penggambaran figur manusia seperti penggunaan ikat kepala, pakaian (baju dan celana atau rok), dan pemakaian sepatu. Penggambaran pakaian yang digunakan digolongkan sesuai kedudukan tokoh yang diceritakan, tokoh rakyat biasa, prajurit, panglima perang atau patih, orang sakti, raja, dewa, setan, anak kecil, dewasa, dan penggambaran figur wanita. Tokoh rakyat biasa digambarkan dengan figur tidak memakai baju atasan dengan penggunaan celana dan selembar kain untuk menutup bagian celana. Penggambaran lain dalam rakyat biasa digambarkan dengan atasan menggunakan rompi dan bercelana panjang. Tokoh yang dianggap penting dan sakti digambarkan dengan pakaian menyerupai jubah memiliki kancing di bagian tengah, lengan panjang, dan memakai sarung polos. Penggambaran raja digambarkan dengan pakaian hampir sama dengan pakaian orang yang dianggap sakti namun menggunakan sepatu sebagai alas. Penggambaran prajurit digambarkan dengan bentuk pakaian yang beragam.
7
Dimensi DKV, Vol.2-No.1 April 2017
Prajurit dalam ilustrasi digambarkan tanpa menggunakan pakaian, celana panjang dan selembar kain setengah lutut yang menutupi celana. Figur prajurit dalam penggambaran bentuk lain digambarkan dengan baju rompi dan celana pendek dan tidak memakai alas kaki. Tokoh patih atau panglima digambarkan dengan pakaian lengan panjang dan celana panjang dengan selembar kain sebagai penutup celana setengah lutut. Figur wanita digambarkan dengan menggunakan kemben dan bawahan menyerupai penggunaan jarik. Penggambaran setan atau mahluk halus digambarkan dengan muka yang menyeramkan dan memiliki bentuk figur tubuh yang besar. Anatomi bagian tubuh digambarkan lengkap seperti mata yang digambarkan bulat melotot, mulut yang membuka dan bertaring, rambut yang terurai dan tubuh dengan tidak memakai pakaian dan memiliki arah gerak yang bebas serta dalam penyusunan lebih bebas.
Gambar 6. Penggambaran Figur Setan dalam Ilustrasi Babad Sindujoyo (Repro foto: Wahyu Putra, 16 April 2016. Sumber: naskah babad Sindujoyo)
Penggambaran ikat kepala atau bentuk kepala memiliki fungsi sebagai penanda antara lakilaki dan perempuan serta tokoh yang dianggap penting atau tokoh pendukung dan memiliki peranan sebagai figuran atau rakyat kecil. Tokoh laki-laki seperti raja, petani, prajurit, guru, dan wali digambarkan dengan bentuk atribut pada kepala dengan bentuk peci atau ikat yang digambarkan dengan betuk garis yang melingkar di kepala, dengan benjolan berbentuk oval di belakang kepala, dan terdapat bentuk garis yang menjulang ke atas sebagai representasi sisa kain hasil dari ikat yang digunakan di kepala figur tokoh. Tokoh perempuan ratu, abdi, rakyat biasa digambarkan dengan rambut diikat bagian belakang dan digelung dengan penggambaran dua buah lingkaran atau benjolan dengan garis penyekat.
Gambar 7. Ragam Bentuk Rambut dan Hiasan Kepala Tokoh Karakter Laki-laki yang Digunakan di dalam Babad Sindujoyo (Digambar ulang oleh: Wahyu Putra, 16 Desember 2016)
8
MODEL PELUKISAN ILUSTRASI DI DALAM SERAT BABAD SINDUJOYO M. Wahyu Putra Utama
Gambar 8. Ragam Bentuk Rambut dan Hiasan Kepala Tokoh Karakter Perempuan yang Digunakan di dalam Babad Sindujoyo (Digambar ulang oleh: Wahyu Putra, 16 Desember 2016)
Penggunaan senjata yang digunakan oleh figur manusia memiliki ciri khas tersendiri sesuai dengan kondisi interkultur yang berkembang pada masa Ki Buder menggambar. Senjata yang digunakan di dalam ilustrasi babad Sindujoyo meliputi, pedang, tombak, tembak atau pistol, tameng, kudhi, parang, clurit, pisau, keris, dan godo. Penggunaan senjata di dalam ilustrasi babad Sindujoyo digunakan dalam peristiwa tertentu yang digambarkan sesuai cerita.
Gambar 9. Senjata yang Digunakan di dalam Ilustrasi Babad Sindujoyo (Digambar ulang oleh: Wahyu Putra, 16 Desember 2016)
Gambar 10. Ragam Senjata Tombak dan Mata Tombak (Digambar ulang oleh: Wahyu Putra, 16 Desember 2016)
9
Dimensi DKV, Vol.2-No.1 April 2017
Ilustrasi di dalam babad Sindujoyo digambarkan lengkap dengan setting tempat kejadian peristiwa. Penggambaran tempat kejadian di alam seperti Gunung, Sungai, Laut, Hutan Bakau, Hutan dan perkebunan, digambarkan dengan menggambarkan bentuk-bentuk yang menyimbolkan dari alam yang digambarkan sesuai tempat kejadian peristiwa. Penggambaran waktu terjadi siang dan malam tidak dipaparkan secara jelas menggunakan simbol atau tanda yang merepresentasikan waktu kejadian peristiwa. Karakteristik penggambaran tanaman dilakukan dengan cara sulur atau menjalar dengan batang tunggal tidak bercabang, bercabang dan daun kecil-kecil di samping kanan dan kiri dengan ujung batang tunggal terdapat stilisasi bunga dengan warna merah. Penggambaran dalam bentuk lain terdapat daun yang bergembol dengan stilisasi pohon yang memiliki beberapa cabang. Bunga yang terdapat di dalam ilustrasi terdapat tiga jenis yaitu bunga dengan jumlah kelopak enam, stilisasi bunga dengan kelopak tunggal, dan bunga yang sedang kuncup dengan jumlah kelopak tiga. Penggambaran beberapa pohon merupakan representasi dari tanaman pohon berkayu, semak,bambu, dan pohon kelapa.
Gambar 11. Beberapa Ragam Jenis Daun dan Bunga. (Digambar ulang oleh: Wahyu Putra, 16 Desember 2016)
Gambar 12. Beberapa Penggambaran Pohon yang Terdapat di dalam Babad Sindujoyo (Repro foto: Wahyu Putra, 16 April 2016. Sumber: Naskah babad Sindujoyo)
10
MODEL PELUKISAN ILUSTRASI DI DALAM SERAT BABAD SINDUJOYO M. Wahyu Putra Utama
Penggambaran figur hewan di dalam cerita, digambarkan dengan stilisasi yang tidak lepas dari ciri fisik figur asli dari hewan tersebut, seperti penggambaran hewan buaya, ular, ikan, burung, kerbau, tikus, rusa, kuda, macan, dan ayam. Figur hewan digambarkan untuk melengkapi peristiwa yang sedang berlangsung. Penggambaran hewan merupakan hewan-hewan yang terdapat di lingkungan alam pada umumnya.
Gambar 13. Figur Hewan yang Terdapat di dalam Ilustrasi Babad Sindujoyo (Repro foto: Wahyu Putra, 16 April 2016. Sumber: Naskah babad Sindujoyo)
Penggambaran bangunan yang terdapat di dalam ilustrasi Sindujoyo digambarkan memiliki fungsi sebagai simbol tempat kejadian peristiwa. Penggambaran atap dalam adegan peristiwa merupakan representasi terhadap peristiwa yang terjadi di dalam ruangan. Bentuk atap digambarkan dengan bentuk segi empat yang terdapat di atas figur manusia dengan memiliki tiang berjumlah empat. Bentuk atap yang digambarkan di dalam ilustrasi memiliki keberagaman. Bentuk atap yang berupa daun, berbentuk limas, dan atap joglo. Penggambaran atap dihiasi dengan bentuk lengkung yang mengelilingi sisi atap.
Gambar 14. Ragam Bentuk Atap di dalam Ilustrasi Babad Sindujoyo (Repro foto: Wahyu Putra, 16 April 2016. Sumber: Naskah babad Sindujoyo)
Penggunaan perabot dalam adegan peristiwa berfungsi sebagai pendukung dari cerita yang disampaikan. Perabot yang digunakan dapat digolongkan menjadi perabot interior ruangan, perabot untuk menunjang aktivitas baik di luar atau di dalam ruangan. Perabot interior ruangan seperti kursi, meja, dan bejana, sedangkan perabot lain yang terdapat di dalam ruangan adalah perabot yang digunakan untuk aktivitas makan dan minum seperti, piring, sendok, gelas, baskom dan lain sebagainya. Perabot yang berada di luar yang digunakan aktivitas adalah sampan, dayung, alat pemintal benang dan lain sebagainya.
11
Dimensi DKV, Vol.2-No.1 April 2017
Gambar 15. Beberapa Perabotan Rumah Tangga (Repro foto: Wahyu Putra, 16 April 2016. Sumber: Naskah babad Sindujoyo)
Gambar 16. Instrumen Gamelan di dalam Ilustrasi Babad Sindujoyo (Repro foto: Wahyu Putra, 16 April 2016. Sumber: Naskah babad Sindujoyo)
Penggambaran alat musik di dalam babad Sindujoyo terdapat pada adegan penjamuan makanan dalam acara tasyakuran dan pesta tayuban yang digelar oleh Buaya Remeng. Beberapa alat gamelan seperti gong, demung, kenong, kendang, suling, bonang, gender, rebab, dan gambang. Penggambaran figur (hewan, manusia, tumbuhan) yang digambarkan di bidang atas garis bawah, selalu berarti (di belakang) atau berada di belakang tokoh yang berada di depan. Gambar-gambar tokoh yang menggambarkan tuan rumah, pemilik, petugas, penjual, penunggu, dan lain-lain diletakkan di bagian kanan namun sesekali diletakkan di sebelah kiri. Penggambaran tokoh seperti tamu, pengunjung, digambarkan di sebelah kiri dan kanan tergantung dari peristiwa yang disampaikan. Penempatan gambar tokoh dalam bidang kanan dan kiri, tidak ada hubungannya dengan sifat baik atau buruk yang terdapat pada wayang. Penempatan figur dengan cara dijajar atau diletakkan secara beruntut merupakan representasi terhadap kejadian yang diceritakan oleh Pranacitra. Arah hadap beberapa adegan yang fokus terhadap satu aktivitas dan saling berhadapan yang merupakan representasi dari interaksi yang sedang terjalin oleh beberapa figur yang terjadi dalam sebuah peristiwa. Arah hadap yang terjadi dalam peristiwa penting dan sakral lebih memperlihatkan komunikasi antar figur dengan visualisasi saling berhadapan (kanan-kiri) dengan fokus pada tengah. Figur yang sedang melakukan komunikasi diletakkan di depan saling berhadapan sesuai dengan kelompok atau digambarkan secara tunggal. Figur yang menghadap satu arah merupakan representasi terhadap arah tujuan, dalam penggambarannya jika terdapat figur manusia dalam satu kelompok atau tunggal yang secara keseluruhan arah hadap melihat ke satu arah (kanan atau kiri) merupakan penggambaran peristiwa untuk menuju ke dalam sebuah tempat. 12
MODEL PELUKISAN ILUSTRASI DI DALAM SERAT BABAD SINDUJOYO M. Wahyu Putra Utama
Gambar 17. Figur Manusia yang Memiliki Arah Hadap Satu Tujuan (Repro foto: Wahyu Putra, 16 April 2016. Sumber: Naskah babad Sindujoyo)
Gambar 18. Figur Manusia yang Sedang Melakukan Komunikasi (Repro foto: Wahyu Putra, 16 April 2016. Sumber: Naskah babad Sindujoyo)
Peristiwa yang melibatkan beberapa adegan digambarkan secara utuh dari bagian sebelum dan sesudah peristiwa tersebut terjadi, yang menjadikan rangkaian utuh dalam satu peristiwa. Penggambaran peristiwa dilakukan secara deskriptif dalam satu bidang gambar dengan melakukan pembesaran ukuran adegan yang menjadi cerita utama. Adegan-adegan lain yang mendukung dan menjadi satu rangkaian peristiwa digambarkan dengan skala ukuran lebih kecil dan tidak diletakkan berurutan dari atas ke bawah melainkan digambar dengan acak yang memusatkan perhatian pada gambar yang dibuat sebagai pokok cerita. Pembacaan peristiwa dapat diamati melalui gestur dari figur yang merepresentasikan suatu kejadian.
13
Dimensi DKV, Vol.2-No.1 April 2017
Gambar 19. Cuplikan Peristiwa Sindujoyo Memukul Bedug di Masjid Kidang Palih (Repro foto: Wahyu Putra, 16 April 2016. Sumber: Naskah babad Sindujoyo)
Penggambaran peristiwa yang berurutan dalam satu bidang dimulai dari bagian atas ke bawah. Figur digambarkan secara berjajar dan sesuai dengan cerita yang disampaikan di dalam babad Sindujoyo. Satu peristiwa digambarkan lengkap dengan unsur pendukung setting tempat kejadian peristiwa. Ilustrasi yang terdapat di dalam babad Sindujoyo dalam penggambaran dibagi ke dalam beberapa adegan yaitu, satu dua, tiga, empat, dan banyak adegan. Pembagian peristiwa yang memiliki setting waktu dan tempat yang berbeda namun memiliki keterkaitan dibagi tanpa menggunakan sekat pembatas. Peletakan figur di dalam gambar tidak memperhatikan perspektif namun digambarkan secara bertumpuk dan tidak memotong bagian yang terletak di belakang figur yang di depan.
Gambar 20. Penggambaran Adegan dalam Satu Peristiwa Secara Berurutan dan Saling Berkaitan dari Atas ke Bawah (Repro foto: Wahyu Putra, 16 April 2016. Sumber: Naskah babad Sindujoyo)
Penggambaran tokoh yang terkesan bertumpuk dan belum mengenal perspektif merupakan penggambaran terhadap suatu kejadian dalam ruang dan waktu yang lebih dari satu kejadian dalam satu media gambar. Penggambaran bentuk yang lengkap dan dilakukan secara bertumpuk namun figur-figur digambarkan dengan bentuk yang utuh tidak memotong sebagaian karena
14
MODEL PELUKISAN ILUSTRASI DI DALAM SERAT BABAD SINDUJOYO M. Wahyu Putra Utama
tertutup bidang di depannya. Figur yang terdapat di depan digambarkan dengan bentuk ukuran yang besar, sedangkan figur yang terdapat di belakang, melayang, menjauh, digambarkan dengan ukuran lebih kecil. Dalam cerita serat babad Sindujoyo ditampilkan background yang menggambarkan lokasi kejadian. Penggambaran lokasi pada umumnya polos dan tanpa ada gambar. Adegan yang terdapat di dalam serat babad Sindujoyo yang divisualisasikan melalui gambar mampu membawa pembaca atau penonton untuk mengimajinasikan ‘rupa dan waktu’ tempat kejadian tersebut. Primadi Tabrani (2005: 56) mengatakan bahwa di dalam pengistilahan dalam seni rupa tradisi disebut menembus batas ruang dan waktu. Artinya kisah yang terdapat di dalam serat babad Sindujoyo terjadi di mana saja dan kapan saja. Pada gambar yang terdapat di dalam serat babad Sindujoyo tidak ada tokoh yang di close up, semua digambarkan lengkap dari kaki sampai dengan kepala. Keahlian perupa Jawa dalam mengekspresikan sikap tubuh (gestur) dalam merepresentasikan sesuatu gejala, bukan pada mimik wajah atau ekspresi pada wajah. Hal inilah yang menjadi kekuatan dalam bidang kerupaan untuk mengkomunikasikan cerita dan ekspresi melalui kekuatan gestur. Gambar di dalam serat babad Sindujoyo tidak menggunakan perspektif dari apa yang digambar, melainkan menggunakan bahasa rupa untuk bercerita. Semua tokoh atau figur digeser hingga tampak, tidak ada yang terpotong atau terhalang. Hal ini bertujuan agar semua figur agar dapat diceritakan. Apabila objek yang digambar bergerak maka gambar memanfaatkan garis yang ekspresif dan bentuk yang dinamis, serta beberapa penggambaran gerak yang luwes sesuai peristiwa yang terjadi. Contohnya orang berkomunikasi (menggunakan gerak tangan dan bibir yang terbuka sebagai representasi adanya komunikasi yang terjalin), hewan yang berlari (digambarkan dengan bentuk gestur kaki dan kepala dengan menghadap dan memiliki gerak yang merepresentasikan bahwa hewan tersebut sedang bergerak). Konsep dalam menggambar di Indonesia menurut Jokob Sumarjo (2005: 79) lebih dekat dengan sistem menggambar ‘Ruang-Waktu-Datar’ (RWD) yang bukan mampu mencandera apa yang digambar tetapi mampu bercerita tentangnya yang memiliki matra waktu. Sistem RWD menggambar dari berbagai arah, aneka jarak, dan aneka waktu. Gambar yang dihasilkan bukan still picture tetapi sebuah sekuen yang bisa terdiri dari berbagai adegan dan tidak dipenjara dalam sebuah frame tetapi bergerak dalam ruang dan waktu. Bahasa rupa yang dikenal pada sistem RWD antara lain bila objek dianggap penting dan berpengaruh maka objek gambar digambar lebih besar dari sekelilingnya dan digambarkan sesuai gestur serta karakteristik penggunaan atribut di dalam penokohannya.
Simpulan Penggambaran yang terdapat di dalam ilustrasi babad Sindujoyo memperlihatkan ciri dari pelukisan etnis yaitu berbeda tempat, berbeda jarak, dan berbeda waktu, dilukiskan dalam satu bidang gambar dengan spesifikasi adegan dan setting pendukungnya. Penggambaran
15
Dimensi DKV, Vol.2-No.1 April 2017
di dalam ilustrasi babad Sindujoyo di dalamnya terdapat banyak peristiwa dan dibagi ke dalam beberapa adegan. Peristiwa yang terjadi digambarkan ke dalam bentuk ilustrasi yang tidak terikat dengan waktu terjadinya, jarak pandang antar tokoh yang berperan, dalam satu bidang gambar memiliki banyak ragam figur yang dimunculkan. Pembacaan figur tokoh yang merupakan subject matter dari cerita tersebut dapat diidentifikasi dari ukuran dan letak dari tokoh tersebut. Tokoh yang dianggap penting dan menjadi pemeran dalam sebuah cerita digambarkan dengan cara membesarkan dibandingkan dengan tokoh-tokoh yang lain. Tokoh yang dianggap tidak memiliki peranan penting (figuran) digambarkan mendampingi tokoh utama atau dengan ukuran kecil.
Referensi
Adisasmito, Nuning Damayanti. 2008. “Karakter Visual dan Gaya Ilustrasi Naskah Lama di Jawa Periode 1800-1920”. ITB. Jurnal Visual & Art. Vol. 2, No. 1. Damayanti, Nuning dan Haryadi Suwadi. 2007. “Ragam dan Unsur Spiritualitas pada Ilustrasi Naskah Nusantara 1800-1900”. ITB. Jurnal Visual & Art. Vol. 1, No. 1. Dharsono, Soni Kartika dan Nanang Ganda Prawira. 2004. Pengantar Estetika. Cetakan I. Bandung: Rekayasa Sains. Dharsono, Soni Kartika dan Sunarmi. 2007. Estetika Seni Rupa Nusantara. Cetakan I. Surakarta: ISI Press. Dharsono, Soni Kartika. 2012. Seni Lukis Wayang. Cetakan I. Surakarta: ISI Press. Guntur. 2016. Metode Penelitian Artistik. Cetakan II. Surakarta: ISI Press. Jokob, Sumardjo. 2002. Arkeologi Budaya Indonesia. Cetakan I. Yogyakarta: Qalam. _______. 2006. Estetika Paradoks. Cetakan I. Bandung: Sunan Ambu Press. Margana, S. 2004. Pujangga Jawa dan Bayang Bayang Kolonial. Cetakan I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ras, J.J. 2014. Masyarakat dan Kesusastraan di Jawa. Cetakan I. Jakarta: Yayasan Obor. Sedyawati, Edi, dkk. 2001. Sastra Jawa Suatu Tinjauan Umum. Cetakan I. Jakarta: Balai Pustaka. Tabrani, Primadi. 2005. Bahasa Rupa. Cetakan I. Bandung: Kelir. Wijanarko. 1990. Mendalami Seni Wayang Purwa. Amigo: Solo.
Sumber lain
Amir Syarifudin, Budayawan Gresik (49 tahun). Drs. Supardjo, M. Hum, Ahli Filologi (58 tahun). Prasetyo Adi, S. S, M. Hum, Praktisi di bidang Sastra Jawa (40 tahun).
16