MODEL PARTISIPASI GREEN COMMUNITY DALAM PERUMUSAN KEBIJAKAN GREEN WASTE LINTAS RUMAH TANGGA MENDUKUNG KOTA HIJAU PURWOKERTO
EDY SUYANTO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Model Partisipasi green community dalam perumusan kebijakan green waste lintas rumah tangga mendukung Kota Hijau Purwokerto adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, September 2015
Edy Suyanto P062110041
RINGKASAN EDY SUYANTO. Model Partisipasi Green Community dalam Perumusan Kebijakan Green Waste Lintas Rumah Tangga Mendukung Kota Hijau Purwokerto, di bawah bimbingan ENDRIATMO SOETARTO, SUMARDJO dan HARTRISARI HARDJOMIDJOJO. Permasalahan Kota Purwokerto cukup kompleks, tidak bisa ditangani sekedar berbasis proyek, tetapi harus secara komprehensif dengan visi ke depan. Mewujudkan kota yang hijau, tidak hanya tugas pemerintah saja, tetapi harus ada dukungan partisipasi penuh masyarakatnya. Goodwill dan political will dari pemerintah dalam mewujudkan kota hijau harus didukung masyarakatnya. Pemerintah beberapa waktu lalu telah menerapkan teknologi pengolahan sampah untuk meminimalisasi jumlah sampah (zero waste) menuju green waste, namun belum berhasil. Diperlukan partisipasi masyarakat dalam upaya mengurangi jumlah sampah rumah tangga dan perbaikan kebijakan. Strategi kebijakan untuk mengembangkan kebijakan saat ini, sehingga dapat menjawab dan memecahkan permasalahan yang dihadapi perlu dibuat. Permasalahan dirumuskan sebagaiberikut (1) aktor-aktor manakah yang dominan dapat menggerakkan green waste menuju terbentuknya green community dalam membangkitkan partisipasi elemen masyarakat mendukung Kota Hijau Purwokerto?, (2) bagaimanakah transformasi green community berbasis “proyek” menjadi berbasis “komunitas” mampu berpartisipasi dalam green waste lintas rumah tangga upaya mendukung P2KH Kota Purwokerto? dan (3) bagaimanakah formulasi rumusan kebijakan dan strategi green waste lintas rumah tangga serta membangun model green waste berbasis partisipasi green community mendukung Kota Hijau?Purwokerto. Tujuan utama penelitian ini adalah membangun model partisipasi green community dalam green waste lintas rumah tangga mendukung program pengembangan kota hijau. Tujuan khusus adalah menganalisis (1) aktor-aktor lingkungan yang dominan dan mampu memunculkan elemen masyarakat sehingga berpartisipasi dalam green waste lintas rumah tangga, (2) transformasi green community berbasis proyek menjadi berbasis sosiologi dalam partisipasi pengelolaan sampah rumah tangga green waste upaya mendukung program pengembangan kota hijau, (3) strategi kebijakan Pemda dalam pengelolaan sampah dan (4) membangun model green waste berbasis partisipasi green community dan menyusun formulasi strategi kebijakan pengelolaan sampah mendukung program pengembangan kota hijau. Penelitian ini dianalisis dan dirancang sebagai berikut: (1) aktor-aktor dominan penggerak green waste lintas rumah tangga menuju terbentuknya green community upaya membangkitkan partisipasi elemen masyarakat mendukung kota hijau. Pendekatan kuantitatif, pengambilan responden kepala keluarga, rukun tetangga, rukun warga dan nasabah bank sampah menggunakan proposiona random sampling, pemulung menggunakan area sampling dan. Analisis statistik yang digunakan adalah deskriptif dan path analysis. (2) partisipasi green community dalam green waste lintas rumah tangga. Pendekatan yang digunakan adalah kualitatif triangulasi, analisis interaktif, pengambilan informan purposive sampling. (3) strategi kebijakan dan permodelan pengelolaan sampah. Analisis yang digunakan adalah Analisis Hierarki Proses (AHP) dan sistem dinamik dengan powersim. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktor-aktor dominan penggerak green waste adalah anggota green community, disusul pengurus bank sampah dan dasa wisma pengelola sampah. Faktor-faktor yang menyebabkan meningkatnya kualitas dan kuantitas sampah rumah tangga adalah (a) meningkatnya populasi penduduk, (b) meningkatnya tingkat ekonomi masyarakat,(c) perubahan pola konsumsi dan (d) gaya hidup masyarakat.
Faktor-faktor yang menyebabkan meningkatnya jumlah penduduk Kota Purwokerto adalah (a) tingkat mortalitas yang menurun disebabkan karena faktor usia harapan hidup meningkat, kebersihan dan kesehatan semakin terjamin, serta faktor alam seperti bencana alam yang semakin rendah dan (b) tingkat kelahiran tinggi. Hal ini disebabkan karena faktor demografi, pandangan masyarakat, meningkatnya kesadaran pentingnya kesehatan, meningkatnya keadaan gizi, (c) tingkat urbanisasi dan (d) faktor “budaya”. Kondisi lingkungan sosial masyarakat termasuk katagori relatif baik. Hal ini dapat dilihat dari pendidikan meningkat, kondisi kesehatan meningkat, tingkat kriminalitas semakin menurun. Kondisi ekonomi masyarakat semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya berbagai fasilitas. Kualitas lingkungan budaya cukup kondusif, walaupun terjadi “degradasi”. Bahasa familier digunakan adalah dialek ngapak, dengan karakter masyarakatnya yang cablaka dengan simbol “Bawor”. Terjadi transformasi green community dari semula berbasis “proyek” menuju ke berbasis “komunitas”. Hal ini cukup baik dalam menjaga kesinambungan green community. Partisipasi aktor green community dalam green waste sampai saat ini sudah cukup baik, hal ini dapat dilihat dari kegiatan yang dilakukan meliputi yaitu (a) kelembagaan,(b) pendanaan, (c) menggerakaan atau memberdayakan masyarakat dengan menerapkan pola kerigan, (d) teknis operasional pengelolaan sampah dengan pola 3R (reduse, reuse dan recycle,(e) melakukan kegiatan membersihkan sungai, kegiatan ini dikenal operasi “serangan fajar”, (f) koordinasi denganTNI-AD, (g) melaksanakan penghijauan, (h) sosialisasi program pengembangan kota hijau, pola 3 R (reduse, reuse dan recycle), (i) Pembinaan dan pembentukan bank sampah, (j) kerjasama dengan Badan Lingkungan Hidup, Dinas Cipta Karya Kebersihan dan Tata Ruang dalam pengelolaan sampah, (k) kerjasama dengan Dinas Pendidikan Kebudayaan dalam mensosialisasikan tentang bank sampah kepada siswa SMPN dan (l) kerjasama dengan stakeholders dalam pengadaan sarana prasarana tempat sampah. Hasil AHP tentang kebijakan pengelolaan sampah menunjukkan bahwa partisipasi green community dalam pengelolaan sampah merupakan prioritas pertama, prioritas kedua pola 3R, prioritas ketiga penegakan hukum dan keempat pemilahan sampah . Kriteria kebijakan kota hijau prioritas pertama kota bersih, lalu biaya dan ketiga pendapatan. Aktor yang menjadi pertimbangan dalam kebijakan adalah prioritas pertama masyarakat, lalu Pemda, ketiga LSM/ bank sampah, keempat pengusaha dan terakhir pemulung. Sistem dinamis dengan sub-model demografi, sub-model persampahan dan sub-model partisipasi, berdasarkan uji validitas AME semuanya valid. Strategi kebijakan dalam mendukung kota hijau adalah melakukan pembentukan green community, pendirian bank sampah, mendirikan beberapa ruang terbuka hijau berupa taman kota, program yang dirintis adalah paradigma green waste lintas rumah tangga dengan mengedepankan ekoliterasi dan ekodesain, revitalisasi manajemen pengelola sampah, deposit sampah, asuransi kesehatan sampah, pendirian taman “KEHATI”, Taman Buah dan Rita Theme Park, dan pelaksanaan Festival Purwokerto Bersih serta pembentukan Perda insentif dan desintensif dalam green waste lintas rumah tangga . Kata kunci: Green Community, Kebijakan, Green Waste dan Kota Hijau .
SUMMARY EDY SUYANTO. Green Community Participation Model in Policy Formulation of Cross Domestic Green Waste Supporting Green City Purwokerto. Under Supervisors of ENDRIATMO SOETARTO, SUMARDJO and HARTRISARI HARDJOMIDJOJO. The complex issues in Purwokerto cannot be solved by only projectbased solution but it should be comprehensive and visionary. Creating a green city does not only rely on Government‟s hand but also relies on its people. Thus, goodwill and political will initiated by the government should be supported by the people. Government has implemented a technology on waste management from zero waste to green waste even though that was not optimally performed. It requires people participation to reduce the domestic waste as well as a policy improvement. Therefore, a policy strategy to revise the current policy to solve the problem is necessarily formulated. The problem statements were formulated as follows. (1) Which actors are dominant to support green waste to be green community in motivating people to support Green City Purwokerto?, (2) how is the transformation of project-based green communityto be the community-based one able to participate in cross domestic green waste as an effort to support The Development Program of Green City (P2KH) in Purwokerto? And (3) How is the strategy and policy formulation of cross domestic green waste as well as to build a model of green community participation-based green waste to support Green City Purwokerto? The main objective of this research is to build a participation model of green community in cross domestic green waste to support development program of green city. Meanwhile the specific objectives include analyzing (1) environmental dominant actors who are able to make people participate in cross domestic green waste, (2) a transformation of project-based green community to be sociological-based one to participate in cross domestic green waste as an effort to support The Development Program of Green City, (3) Local Administration policy strategy on waste management and (4) building a green waste model based on green community participation as well as formulating a policy strategy on waste management which supports development program of green city. This research was analyzed and designed as follows: (1) the dominant actors of cross domestic waste to realize green community as the effort to increase people‟s participation to support green city. Quantitative approach was applied to select respondents involving heads of family, neighborhood unit, hamlet and waste deposit customers which used proportional random sampling, while the selection of scavengers was done by area sampling technique. In the meantime, statistical analysis which was used is descriptive and path analysis. (2) Green community participation in cross domestic green waste. It applied qualitative method in terms of triangulation, interactive analysis, purposive sampling in selecting informants. (3) Policy strategy and waste management modeling. The analysis used Analysis Hierarchical Process (AHP) and dynamic system with powersim.
The results show that the dominant leading actors of green waste come from green community, waste bank administrator and waste managers of ten-house unit. Then the causal factors of increased domestic waste (a) the increasing population (b) the increasing economic welfare, (c) the change of consumption pattern, (d) social life style. Furthermore, several causal factors of the increased population in Purwokerto are (a) the decreased mortality rate due to improved life span, sanitation and health, including natural factors such as low potential disasters and (b) high birth rate. It is caused by factor of demography, social view, increased health awareness, as well as improved nutrition, (c) urbanization, and (d) cultural factor. The social environment condition of is relatively good. It is indicated by the improved education, better health condition, and decreased crime level. The economic condition is better as many facilities are improved. The cultural environmental condition is relatively favorable although „degradation‟ occurs. Vernacular language commonly used is ngapak, which is in accordance with their original character, cablaka symbolized by “Bawor”. Transformation of green community occurs, from project-based to community based. It brings positive impact on the green community sustainability. The participation of green community actors in green waste has been relatively good. It can be shown in several activities including (a) institution, (b) funding, (c) social empowerment by applying kerigan pattern, (d) waste management technique by 3 R (reduce, reuse and recycle), (e) Cleaning river activities called as „dawn operation‟, (f) joint coordination with Indonesian Army, (g) reforestation, (h) socialization for Development Program of Green City, by 3 R (reduce, reuse and recycle), (i) establishing waste deposits, (j) building cooperation with Environmental Agency, Cleaning and Landscaping Agency in waste management, (k) establishing cooperation with Culture and Education Agency to socialize waste deposits towards Junior High School students and (l) cooperation with stakeholder in terms of trash can facilities. The AHP results on the waste management policy show that green community participation in waste management takes the first priority, then the second is 3R pattern, the third is law enforcement and the fourth waste sorting. Then, the criteria for green city priority successively are clean city, cost and income. The actors to be taken into account in formulating policy are society, local administration, NGOs/waste deposits, entrepreneurs, and the last, scavengers. Dynamic system by demographic sub model, waste sub-model, and participation sub model, based on AME validity test, are valid. Policy strategy to support green city is conducted through the establishment of green community, waste deposits, green open rooms such as city parks, establishing cross domestic green waste paradigm which emphasizes on ecoliteracy, ecodesign, management revitalization, waste deposits managers, waste health insurance, the establishing of “KEHATI” park, Fruit Park and Rita Theme Park, holding Purwokerto Bersih (Clean) Festival as well as formulating incentive and disincentive local regulation on cross domestic green waste. Keywords: Green Community, Policy, Green Waste, and Green City.
©HakCiptamilik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantum kan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik dan tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya karya tulisan ini dalam bentuk apa pun tanpa ijin IPB.
MODEL PARTISIPASI GREEN COMMUNITY DALAM PERUMUSAN KEBIJAKAN GREEN WASTE LINTAS RUMAH TANGGA MENDUKUNG KOTA HIJAU PURWOKERTO
EDY SUYANTO
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup. 1. Prof. Dr.Ir. Bambang Pramudya, M.Eng (Guru Besar pada Teknik Biosistem Fakultas Teknologi Pertanian IPB) 2. Dr.Ir. Etty Riani, MS (Staf Pengajar Ekotoksikologi Pada Program MSP IPB)
Penguji Luar Komisi pada Sidang Promosi 1. Prof. Dr.Ir. Bambang Pramudya, M.Eng (Guru Besar pada Teknik Biosistem Fakultas Teknologi Pertanian IPB) 2. Dr.Ir. Akhmad Iqbal, MSi (Rektor Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto - Staf Pengajar Fakultas Pertanian Unsoed)
PRAKATA Puji syukur saya panjatkan ke hadlirat Allah SWT karena atas rahmat dan berkah-NYA, akhirnya saya dapat menyelesaikan disertasi yang berjudul: “Model Partisipasi Green Community dalam Perumusan Kebijakan Green Waste Lintas Rumah Tangga Mendukung Kota Hijau Purwokerto”, dengan segala keterbatasan, kelemahan dan kekurangannya. Selama dalam perjalanan studi dan proses penyelesaian disertasi ini, saya telah berhutang budi dan dibantu banyak pihak, baik berupa bantuan moril dan materiil, pencerahan ilmu, penguatan hati dan perhatian serta berbagai kemudahan fasilitas. Oleh karena itu pada kesempatan ini, saya ingin menghaturkan ucapan terimakasih dan penghargaan yang tinggi kepada beberapa pihak yang tidak bisa saya sebut semuanya. Rasa hormat yang setinggi-tingginya dan terima kasih yang sedalamdalamnya saya haturkan kepada komisi pembimbing :Yth. Bapak Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA. (ketua komisi pembimbing), Bapak Prof. Dr. Ir. Sumardjo, MS, dan Ibu Dr. Ir. Hartrisari Hardjomidjojo, DEA (anggota komisi pembimbing) dengan penuh dedikasi dan kesabarannya telah mencurahkan segala pemikiran dan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan bobot akademis untuk disertasi ini. Di luar itu saya juga memperoleh kesabaran dan dengan segala keramahtamahan yang membesarkan hati saya di tengah kelambatan saya dalam proses penyelesaian disertasi ini. Ucapan terimakasih dan penghargaan juga saya sampaikan kepada Yth. Bapak Prof. Dr.Ir. Bambang Pramudya, M.Eng (selaku dosen penguji ujian tertutupp dan Sidang Promosi terbuka) dan Ibu Dr.Ir. Etty Riani, MS (selaku dosen penguji luar ujian tertutup) serta Bapak Dr.Ir. Akhmad Iqbal, M.Si (selaku dosen penguji luar Sidang Promosi Terbuka) atas kesediaan dan kelapangan hati beliau untuk menjadi penguji luar komisi dalam ujian dan promosi ini ditengah kesibukan beliau sebagai Rektor Unsoed. Masukan dan arahannya untuk menyempurnakan dan memperbaiki disertasi saya memiliki makna yang berarti. Rasa terima kasih dan penghargaan yang tinggi saya haturkan kepada Pengelola Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) dan segenap Bapak/Ibu staf pengajar pada program studi S3 PSL Sekolah Pascasaarjana Institut Pertanian Bogor yang telah banyak memberi bekal ilmu selama dalam proses perkuliahan. Bekal ilmu berupa teori, metodologi dan kasuskasus sangat besar maknanya dalam ikut mewarnai disertasi saya ini. Terima kasih juga saya haturkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS (selaku ka-Prodi PSL) yang selalu mendorong dan menyemangati kami untuk segera menyelesaikan kewajiban tugas belajar kami. Rasa terima kasih dan penghargaan yang mendalam juga saya haturkan kepada pimpinan Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) tempat saya meniti karier, mulai dari pengelola jurusan, pimpinan Fakultas sampai pada pimpinan Universitas yang telah member kesempatan tugas belajar sekaligus kemudahan administrasi . Rasa terima kasih juga saya sampaikan kepada jajaran pimpinan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) UNSOED yang telah memberikan kesempatan untuk ikut berkompetisi dan mendapatkan Hibah
Penelitian Disertasi tahun anggaran 2015 sehingga ikut memudahkan dalam proses penyusunan disertasi saya ini. Terima kasih juga saya sampaikan kepada para responden yaitu Bapak Hendri, S.Pn, selaku Ketua Bank Sampah Arcawinangun dan Ketua Green Community Purwokerto, Bapak Dr. Zulhan, M.Ag selaku Akademisi pemerhati lingkungan IAIN Purwokerto juga Ketua Bank Sampah Berkoh “Mandiri” dan juga selaku Pengelola LPPM- IAIN Purwokerto. Tak lupa terima kasih yang luar biasa saya sampaikan kepada segenap informan penelitian atas segala informasinya yang sangat berharga. Semoga Allah membalas jasa baik beliau semua. Amiin. Ucapan terima kasih yang tiada terhingga saya dedikasikan untuk teman-teman seperjuangan PSL SPs 2011 dalam membangun kebersamaan, persahabatan dan keakraban di Kampus IPB. Semoga silaturahmi kita terus terjaga. Rasa hormat dan terima kasih saya persembahkan kepada kedua orang tua saya tercinta yang telah berjuang secara maksimal untuk pendidikan saya doa, kasih sayang, didikan moral, dukungan dan perhatian tiada henti telah saya peroleh dari beliau. Pada akhirnya, rasa terimakasih saya berikan kepada isteri Dr.Hj.Soetji Lestari, M.Si, terima kasih atas segala dukungan yang luar biasa untuk penyelesaian studi saya. Permohonan maaf yang dalam kepada anak lakilaki saya Febri Argyan Shafwan, yang harus rela banyak kehilangan perhatian dan kasih sayang sebagai bapak selama saya studi dan harus rela ikut merantau di Bogor. Akhir kata, saya berharap bahwa disertasi saya ini bisa memberikan rangsangan akademik untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai Model Partisipasi Green Community dalam Perumusan Kebijakan Green Waste Lintas Rumah Tangga Mendukung Kota Hijau Purwokerto.
Bogor, September 2015
Penulis
DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN GLOSARI 1
2
3
4
PENDAHULUAN
xiv xvi xviii xix Xx 1
Latar Belakang Masalah Tujuan Penelitian Perumusan Masalah, State of The Art Kerangka Pemikiran Penelitian Manfaat Penelitian
1 7 7 9 11
TINJAUAN PUSTAKA
12
Pembangunan Kota Berkelanjutan Sosiologi Sebagai Landasan Teori Pendukung Persepsi, Sikap dan Perilaku Partisipasi Masyarakat Kearifan Lokal dan Pengetahuan Masyarakat Kebijakan Pengelolaan Sampah Perkotaan Dampak Sampah Terhadap Lingkungan Analisis AHP (Analisis Hierarki Proses ) Sistem Dinamik Sebagai Alat Permodelan Kajian Teori Terkait Penelitian Terdahulu
12 16 16 19 22 24 28 28 30 40
METODOLOGI PENELITIAN
45
Lokasi dan Waktu Penelitian Rancangan Penelitian Jenis dan Sumber Data Penelitian Metode Pengumpulan Data Penelitian Definisi Operasional Variabel Analisis Data Hasil Penelitian
45 45 46 47 48 52
SELAYANG PANDANG SEJARAH KOTA PENELITIAN
55
Pendahuluan Sejarah Perkotaan di Indonesia Runtuhnya Kota Banyumas dan Munculnya Kota Purwokerto Kondisi Eksisting Kota Purwokerto Wilayah Kota Purwokerto Kondisi Eksisting Pengelolaan Sampah di Kota Purwokerto
55 56 57
58 60 64
5
AKTOR-AKTOR DOMINAN PENGGERAK GREEN WASTE MENUJU TERBENTUKNYA GREEN COMMUNITY
Pendahuluan Pembahasan Faktor Penyebab Meningkatnya Sampah Rumah Tangga Faktor Penyebab Meningkatnya Pertumbuhan Penduduk Analisis Penduduk; PDRB; Volume Sampah Kondisi Lingkungan Ekonomi Kondisi Lingkungan Budaya Aktor- Aktor Dominan Penggerak Partisipasi Green Waste Simpulan 6
TRANSFORMASI GREEN COMMUNITY BERBASIS PROYEK GREEN COMMUNITY BERBASIS DALAM PARTISIPASI GREEN WASTE
73
73 73 76 79 82 87 92 96 136 KE
134
Pendahuluan Pembahasan Stategi Kota Purwokerto Menuj Kota Hijau Transformasi Green Community dalam Green Waste Bank Sampah Partisipasi Green Community dalam Green Waste Simpulan
134 135 135 139 141 149 171
7
STRATEGI KEBIJAKAN DAN PERMODELAN GREEN WASTE
173
8
Pendahuluan Pembahasan Metode AHP Alternatif Kebijakan Permodelan Sistem Dinamik Validasi Model Dinamik Intervensi Model Dinamik Simpulan PEMBAHASAN UMUM
173 175 175 180 188 192 208 211 212
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
215 215 217
9
DAFTAR PUSTAKA
219
LAMPIRAN-LAMPIRAN
225
RIWAYAT HIDUP
248
DAFTAR TABEL No
Hal.
1.
Skala banding secara berpasangan dalam AHP
29
2.
Kajian penelitian terdahulu
35
3.
Matrik analisis teori penelitian terdahulu
41
4.
Jumlah responden dan metode
48
5.
Unit analisis, variabel, indikator, skala data
50
6.
Jenis, metode, sumber, teknik analisis data
53
7.
Luas wilayah per- Kecamatan Kota Purwokerto
60
8.
Tata guna lahan per- Kecamatan Kota Purwokerto
61
9.
Jumlah penduduk Kota Purwokerto
62
10. Tingkat pendidikan masyarakat Kota Purwokerto
62
11. Mata pencaharian penduduk Kota Purwokerto
63
12. Sarana pendidikan Kota Purwokerto
63
13. Lokasi sumber dan volume sampah Kota Purwokerto
65
14. Penempatan tong sampah
65
15. Lokasi transper depo
66
16. Lokasi semi transper depo
66
17. Volume sampah terangkut
67
18. Sarana Kesehatan Purwokerto
74
19
Rata-rata sampah terangkut ke TPA
81
20. Laju Timbunan Sampah Kota Purwokerto
82
21. Besaran Timbunan Sampah Kota Purwokerto
82
22
Hasil proyeksi laju pertumbuhan penduduk
83
23
Kondisi sosek kepala keluarga
88
24
Rata-rata PDRB Kota Purwokerto
89
25
Sarana Perdagangan Kota Purwokerto
91
26. Pengetahuan tentang pola kerigan
99
27. Pengetahuan tentang pengelolaan sampah
100
28. Pengetahuan tentang kota berkelanjutan
101
29. Persepsi tentang pengelolaan sampah
102
30
104
Sikap terhadap cara pengelolaan sampah
31
Perilaku dalam pengelolaan sampah
105
32. Partisipasi dalam pengelolaan sampah rumah tangga
107
33. Pengaruh langsung dan tidak langsung
111
34. Usia pemulung
122
35. Pendidikan formal pemulung
122
36. Pekerjaan pemulung
123
37. Lama bekerja sebagai pemulung
124
38. Jam operasional pemulung
124
39. Jenis sampah didapat pemulung
125
40
126
Perilaku pemulung dalam pemilahan sampah
41. Banyaknya sampah disetor pemulung
126
42. Pendapatan rata-rata pemulung
127
43. Frekuensi setor sampah
127
44. Peruntukkan hasil tabungan sampah
128
45
129
Pendapat tentang bank sampah
46. Partisipasi bank sampah
129
47
Banyaknya setor sampak ke bank sampah
130
48. Rata-rata nasabah menabung di bank sampah
130
49
130
Frekuensi nasabah setor sampah
50. Peruntukkan hasil tabungan di bank sampah
131
51
148
Kuantitas sampah dikelola bank sampah
52. Anggota bank sampah
148
53
178
Nilai prioritas kelompok kepentingan
54. Nilai pembobotan pada level Kriteria stakeholder
179
55
Nilai pembobotan pada level kriteria
180
56
Nilai prioritas alternatif kebijakan pengelolaan sampah rumah tangga Kota Purwokerto.
182
57. Jumlah penduduk dan tingkat kepadatan
195
58. Perbandingan pertumbuhan penduduk Kota Purwokerto
196
59. Jumlah penduduk aktual dan simulasi
198
60. Tata guna lahan
199
61. Hasil simulasi total sampah
201
62
Perbandingan produksi sampah emfirik dan simulasi
202
63. Produksi sampah aktual dan simulasi
203
64. Produksi sampah dan bank sampah
204
65
Hasil simulasi anggota bank sampah
205
66
Perbandingan data bank sampah referensi dan simulasi
207
67. Volume sampah dan anggota bank sampah tanpa dan dengan intervensi 68. Hasil kriteria path atau analisis jalur
210 227
69. Peringkat criteria
236
70. Daftar responden AHP
237
DAFTAR GAMBAR No
Hal.
1.
Kerangka pemikiran penelitian
10
2.
Kerangka penyelesaian masalah penelitian
11
3.
Elemen-elemen tiga pilar pembangunan berkelanjutan
12
4.
Diagram input- output
33
5.
Peta administrasi Kabupaten Banyumas
45
6.
Diagram alir biaya pengelolaan sampah
69
7.
Prediksi timbunan volume sampah
84
8.
Prediksi hubungan jumlah penduduk dengan timbunan sampah
85
9.
Komposisi jenis sampah organik dan an-organik
85
10. Komposisi jenis sampah domestik dan non-domestik
86
11. Komposisi jenis sampah domestik
86
12. Komposisi jenis sampah non-domestik
87
13. Khierarkhi proses AHP
188
14. Causal loop model pengelolaan sampah berbasis partisipasi
191
15. Hasil simulasi jumlah penduduk
194
16. Penduduk Kota Purwokerto
197
17. Penduduk referensi dan simulasi
197
18. Perilaku model jumlah penduduk
199
19. Hubungan jumlah penduduk dengan produksi sampah simulasi
201
20. Anggota bank sampah hasil simulasi
202
21. Perilaku model produksi sampah hasil simulasi
203
22. Perilaku model produksi bank sampah
204
23. Hasil simulasi anggota bank sampah
205
24. Anggota (nasabah) bank sampah
206
25. Perilaku bank Sampah referensi dan hasil simulasi bank sampah
207
26. Sampah dimanfaatkan bank sampah, jika dilakukan intervensi atau kontribusi pelatihan
209
27. Anggota bank sampah tanpa intervensi /kontribusi dan dengan Intervensi/kontribusi
209
28. Diagram alir model partisipasi pengelolaan sampah ( intervensi)
231
29. Diagram alir model partisipasi dalam pengelolaan sampah
232
DAFTAR LAMPIRAN
1
Proses path analisys
226
2
Persamaan path analisys
226
3
Matrik korelasi
227
4
Diagram alir model partisipasi dengan intervensi
231
5
Diagram alir model partisipasi tanpa intervensi
232
6
Hasil AHP
233
7
Daftar responden pakar lingkungan dan persampahan
237
8
Persamaan matematik sistem dinamik
238
9
Daftar pertanyaan untuk AHP
242
GLOSARI Anyar
:
Baru
Bebasan
:
Ungkapan bahasa kasar Banyumasan
Bawor
:
Simbol masyarakat Banyumas yang jujur
Babad pasir
:
Legenda sejarah Kamandaka
Cablaka
:
Apa adanya, terkesan tanpa unggah ungguh
Blakasuta
:
Bicara terus terang, terkesan jujur
Thuk melong
:
Bicara terus terang, dan jujur apa adanya
Damaning menungsa mahanani rahayuning nagara
:
Tugas hidup manusia adalah menjaga keselamatan negara
Gili
:
Jalan
Glowehan
:
Bercanda
Hamangku bumi
:
Hubungan manusia dengan lingkungan alam
Kerigan
:
Kerjabakti komunal masyarakat banyumas
Kenthongan
:
Seni musik masyarakat Banyumas, terbuat dari bamboo dimainkan oleh 20-30 orang
Semblothongan
:
Bicara lugas dan tegas terkesan kasar
Rahayuning bawana kapurba wasktaning manungsa
:
Kesejahteraan dunia tergantung manusia yang memiliki ketajaman rasa
Rahayuning manungsa darmadi karana kamanungsane
:
Keselamatan manusia oleh manusia itu sendiri
Ngapak
:
Dialek bahasa Jawa Banyumasan
Rogol, tibo
:
Jatuh
Wong lanang wenang
:
Laki-laki (suami) memiliki otoritas terhadap istrinya
Legenda
:
Sejarah
Bank sampah, nyulap runtah jadi rupiah
:
Bank sampah menjadikan sampah jadi uang
Gagian padha melu nyengkuyung bank sampah
:
Mari pada ikut menjadi nasabah bank sampah
Sarkstik
:
Kalimat cenderung kasar dan saru
Saru
:
Tidak pantas
1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Kajian tentang sejarah perkotaan di Indonesia beberapa tahun terakhir mengalami perkembangan cukup pesat. Kajian ini berkembang akibat dari pengaruh perkembangan tentang sosial, ekonomi, politik dan budaya masyarakat, bergeser ke perkotaan. Kota-kota mulai bergerak menuju ke arah identitas baru dan meninggalkan identitas lama. Perubahan ini hasil dari penerapan modernisasi yang dimulai pada awal abad ke-20 selain itu juga karena perubahan persepsi masyarakatnya tentang modernitas (Marganda 2010). Kota dengan segala simbol kemajuan ekonomi dan modernitasnya menjadi daya tarik bagi penduduk untuk mengadu nasib di perkotaan. Gelombang urbanisasi dan pesatnya perkembangan penduduk perkotaan membawa persoalanpersoalan sendiri seperti kemiskinan, kriminalitas,prostitusi, aborsi dan kesehatan. Mengatasi masalah perkotaan tersebut, maka Kementerian Pekerjaan umum menggulirkan program kota hijau (green city). Kota hijau (green city) adalah kota salah satu instrumennya adalah pengelolaan sampah berparadigma ramah lingkungan (green waste). Upaya melaksanakan kegiatan tersebut, maka perlu dibentuk green community sebagai strategi meningkatkan kualitas dan kuantitas lingkungan. Program ini dapat berjalan dengan baik sayogianya melibatkan potensi sosial- budaya yang ada di masyarakat, yaitu ntara lain adalah kearifan lokal yang menjadi modal sosial. Kementerian Pekerjaan Umum Republik Indonesia menggulirkan program pengembangan kota hijau (P2KH) untuk mewujudkan kota hijau. Sementara itu. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHKRI) menggulirkan program bank sampah dan ini merupakan salah satu intrumen untuk penilaian kota “Adi pura”. Pesatnya pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi masyarakat, perubahan gaya hidup, menyebabkan meningkatnya berbagai aktivitas sosial, ekonomi, lingkungan di perkotaan dan menimbulkan permasalahan yang kompleks. Pembangunan kota menimbulkan dampak negatif (Ernawi 2012) yaitu (1) ketidak seimbangan ekologi, (2) meningkatnya volume timbunan sampah, terangkut 40 persen dan diolah hanya 5 persen , (3) fasilitas jaringan air limbah tersedia hanya 12 persen, (4) jaringan sanitasi tersedia 3 persen, (5) fasilitas air minum hanya tersedia 40 persen, (6) ruang terbuka hijau perkotaan berkurang dari rata-rata 35 persen menjadi kurang dari 10 persen, (7) lahan-lahan produktif, persawahan terus mengalami alih fungsi menjadi pabrik-pabrik maupun rumah-rumah hunian dengan laju di atas 50.000 hektar per-tahun, (8) kawasan kumuh yang menempati ruang-ruang yang bersifat lindung seperti bantaran sungai, di bawah Sutet, kolong jembatan dan kawasan resapan air sebagai ruang hunian, makin berkembang tidak terkendali, (9) partisipasi dalam pembangunan kota, relatif rendah dan (11) program pemerintah daerah kurang melibatkan potensi yang ada di masyarakat. Permasalahan tersebut, menimbulkan masalah sosial dan merupakan penyakit masyarakat. Masalah sosial yang timbul antara lain, (1) kriminalitas, (2) konfliks sosial, (3) gelandangan dan pengemis, (4) prostitusi, (5) narkoba, (6) geng motor, (7) daerah slum. Masalah ini telah “menguras” perhatian, energi,
2 waktu dan biaya, tetapi hingga kini belum ada hasil nyata, sehingga upaya pembangunan kota berkelanjutan dalam rangka Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) menjadi terkendala. Timbul pertanyaannya, ada apa dengan kotakota di Indonesia? Padahal wajah suatu kota mengekspresikan karakter pemimpinnya serta karakter segenap masyarakat penghuninya (Sujarto 2011). Menurut Ernawi (2012), terwujudnya kota hijau (green city) sebagai metafora kota berkelanjutan (eco city), yang berlandaskan penerapan prinsipprinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Selain itu juga mampu menjawab kebutuhan dan permasalahan kota aktual melalui program pembangunan kota hijau dengan melibatkan partisipasi masyarakat (green community) beserta kearifan lokal yang ada sebagai modal sosial. P2KH dibentuk Kementerian Pekerjaan Umum tahun 2008, memiliki 8 atribut yaitu (1) green planning atau design; (2) green community; (3) green open space; (4) green transportasi; (5) green waste; (6) green water; (7) green energy; dan (8) green building. Pelaksanaan P2KH sebagai atribut kota hijau tidak berdiri sendiri, namun merupakan satu kesatuan yang integral dengan dampak saling terkait dari perwujudan masing-masing atribut (Ernawi 2012). Program pengembangan kota hijau menimbulkan suatu pertanyaan, yaitu apakah program ini merupakan “kepanjangan” dari kepentingan negara barat, yang mempunyai berbagai kepentingan terhadap lingkungan hidup, seperti keberadaan karbon di hutan. Pertanyaan lain, adalah apakah program kota hijau ini merupakan suatu kegagalan dari perkembangan kota yang ada dewasa ini. Hal ini terkait dengan perkembangan kota yang selama ini tidak merupakan by design, tetapi merupakan by accident, dan juga perkembangan kota selama ini, tumbuh dengan sendirinya akibat pertumbuhan penduduk pedesaan dan arus urbanisasi ke perkotaan.Pertanyaan inilah yang perlu dibuktikan di kemudian hari (Soetarto 2013). Kota hijau atau kota berkelanjutan (green city) memang program yang baik bagi keberlanjutan lingkungan hidup perkotaan, namun perlu dicermati latar belakang tumbuhnya perkotaan di Indonesia dewasa ini. Kota hijau dapat tumbuh akibat kegagalan perkembangan kota dewasa ini, memunculkan gagasan green city. Hal tersebut ada yang mengkaitkannya sebagai suatu politik dari negara barat untuk kepentingan negara mereka akibat ketidak berdayaan mengatasi lingkungan di negara tersebut. Program kegiatan kota hijau salah satunya adalah pengelolaan sampah ramah lingkungan (green waste) yaitu pengelolaan sampah dengan 3 R (reduce, reuce dan recycle) di sumber sampah dengan melibatkan green community yaitu komunitas pencinta lingkungan. Kabupaten/kota di Indonesia, mayoritas belum memperioritaskan pengolahan sampah ramah lingkungan (green waste). Dari 400 kebupaten/kota, hanya 28 daerah yang telah mendukung deklarasi Menuju Indonesia Bersih 2020 di Surabaya, 24 Februari 2014. Tahun 2020 produsen produk berkemasan dituntut harus turut mengelola sampah green waste. Pemerintah mentargetkan penurunan sampah secara nasional pada tahun 2020 yaitu berkurang 20 persen melalui program reduce, reuse dan recycle (3R). Banyak daerah, penghasil sampah yang belum mengumpulkan sampah di TPS, sehingga menimbulkan bau busuk mengganggu kebersihan, kesehatan serta keindahan kota. Pengelolaan sampah di daerah, sebetulnya bisa “menggandeng” investor untuk memanfaatkan sampah sebagai sumber energi,
3 namun hanya beberapa saja yang telah melakukan kerjasama tersebut. Kota Surabaya merupakan salah satu kota “sadar mengolah sampah”, terbukti sejumlah wilayah Kota Surabaya, warganya mengolah sampah organik menjadi kompos, adapun sampah an-organik seperti kemasan disetorkan ke 180 bank sampah yang ada di Kota Surabaya. Gerakan komunal yang didukung komitmen Pemerintah Kota Surabaya, itu dapat menurunkan volume timbunan sampah dalam jumlah significant. Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharani, yang menjadi tuan rumah dalam deklarasi “Menuju Indonesia Bersih 2020”, pada tanggal 24 Februari 2014 (Kompas 2014), mengemukakan bahwa gerakan komunal dapat mengurangi volume sampah hingga 30 persen. Oleh karena itu perlu ditingkatkan gerakan komunal dalam green waste menuju terbentuknya green community. Berdasarkan uraian tersebut, maka sudah saatnya semua pihak ikut serta mengelola sampah, baik sampah organik maupun an-organik sehingga dapat mengurangi pencemaran lingkungan. Pemerintah Kota Solo mentargetkan pengolahan sampah menjadi energi listrik pada Desember tahun 2015, sedangkan di Jayapura, Badan Lingkungan Hidup Daerah telah membangun satu bank sampah pada Mei 2014. Oleh karena itu, demi “mendongkrak” daya tarik daerah mengelola sampah, maka Kementrian LHK menjadikannya pengelolaan sampah sebagai salah satu Indikator penilaian penghargaan “Adipura”. Daerah juga diminta memiliki peta jalan untuk mendukung program “ Menuju Indonesia Bersih 2020”. Kehidupan masyarakat di masa lampau dalam pengelolaan sampah lebih bertumpu pada pendekatan akhir di TPA. Hal ini dilakukan dengan membuang sampah yang dihasilkan dari proses produksi dan konsumsi secara langsung ke tempat pembuangan akhir sampah (Djajadiningrat 2001). Mewujudkan kota hijau tidak hanya tugas pemerintah saja, akan tetapi harus diusulkan, direncanakan,dilaksanakan dengan dukungan penuh masyarakatnya. Goodwill dan political will pemerintah terhadap keinginan mewujudkan kota yang bermartabat, kota yang manusiawi, harus diiringi dengan semangat masyarakatnya dalam melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi keberhasilan. Kota hijau (green city) akan bersifat spesifik bagi setiap kota, tergantung dari partisipasi, adat istiadat, etika dan nilai-nilai yang berlaku, serta pengetahuan lokal dan kearifan lokal yang ada. Kota hijau (green city) dalam P2KH, salah satu indikatornya adalah pengelolaan sampah (green waste) dan ini berhubungan dengan partisipasi masyarakat (green community). Masalah sampah di Kota Purwokerto, meski belum separah Kota Jakarta atau kota besar yang lain, namun penduduknya cukup banyak, sehingga menyebabkan produksi sampah begitu tinggi. Kondisi ini perlu penanganan cepat dan terpadu, dengan melibatkan semua pihak, termasuk jajaran pemerintah Kabupaten Banyumas. Jika tidak, geliat pembangunan di Kota Purwokerto akan “tenggelam” dalam problematika sampah dengan berbagai dampak yang ditimbulkannya, sehingga dapat menghambat pembangunan. Kabupaten Banyumas berkomitmen untuk mewujudkan kota hijau. Hal ini sebagai implementasi RTRW melalui program pengembangan kota hijau. Komitmen didasarkan pada Undang- undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang. Pemerintah dan masyarakat diwajibkan mengalokasikan
4 minimal 30 persen dari ruang di wilayah perkotaan untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH), dengan ketentuan 20 persen RTH publik yang menjadi kewajiban pemerintah dan 10 persen RTH privat yang menjadi kewajiban masyarakat. Permasalahan pengelolaan sampah sebenarnya bukan masalah teknologi saja, akan tetapi implementasi dari teknologi, yaitu menyangkut aspek sosial yang dapat menyebabkan masalah sosial. Problem sosial yang muncul dalam bentuk (a) rendahnya kesadaran kolektif masyarakat terhadap pengelolaan sampah, meskipun hal tersebut bukan berarti tidak dapat berubah. Problem sosial tersebut muncul karena (b) rendahnya upaya pelibatan masyarakat dan (c) proses internalisasi program. Kajian aspek sosial yang berkaitan dengan upaya menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah, perlu segera dilakukan. Hal inilah yang menjadi dasar munculnya kesadaran perilaku masyarakat pada tingkat tertentu dan dapat dirubah untuk tujuan perubahan (Saribanon 2007). Komitmen pemerintah daerah dalam pengelolaan sampah dinilai masih kurang, terutama dalam membangun sistem pengelolaan sampah berbasis partisipasi masyarakat secara terpadu dan berkelanjutan. Instansi yang terkait dalam menanggapi masalah sampah, selalu mengembalikan pada persoalan teknis, keterbatasan anggaran, keterbatasan sarana prasarana, tanpa berbicara dari aspek manusianya. Solusi yang dilakukan pemerintah daerah, tidak hanya menyiapkan master plan penataan drainase, akan tetapi aspek manusia sebagai pelaku dalam pembangunan ini, memegang peranan penting, tanpa mengecilkan aspek fisik yang ada (Bebassari 2005). Jaman dahulu membersihkan sampah dan lingkungan di wilayah Kota Purwokerto selalu dilakukan dengan melibatkan partisipasi masyarakat berbasis kearifan lokal pola kerigan. Pola kerigan ini merupakan salah satu kearifan lokal masyarakat Banyumas. Pola kerigan adalah kerjabakti secara sukarela dan dikoordinir, tanpa mengharapkan imbalan. Komitmen dan dukungan pemerintah pada waktu itu tinggi dan partisipasi masyarakat berbasis pola kerigan meningkat. Lewat pola kerigan itu pula, pada tahun 1998 Kota Purwokerto mendapat penghargaan dari WHO karena berhasil membebaskan daerah itu dari serangan demam berdarah dengue (DBD). Masyarakat waktu itu menjabarkan kearifan lokal pola kerigan dalam wujud piket bersama memberantas sarang nyamuk. Hal ini merupakan bentuk kepedulian dan partisipasi masyarakat, tidak hanya berpedoman pada antroposentrisme, akan tetapi juga ekosentrisme. Setelah pola kerigan ini ditinggalkan baik oleh masyarakat maupun pemerintah, terlihat pemerintah dan masyarakat tidak lagi memperhatikan aspek sosial, tetapi lebih memperhatikan aspek teknik dalam pengelolaan sampah. Akibatnya terjadi banjir di Kota Purwokerto, sampah menumpuk tidak terangkut, selokan banyak yang tersumbat sampah. Berkaitan hal tersebut, maka masyarakat merasa terpanggil dan bangkit untuk ikut berpartisipasi dalam pengelolaan sampah ramah lingkungan (green waste). Keterlibatan masyarakat dengan potensi budaya yang ada, merupakan koreksi terhadap cara kerja aparat pemerintah, yang selama ini dinilai kurang optimal. Hal ini perlu mendapat apresiasi pemerintah, agar lingkungan bersih, sehat, nyaman dan sampah tidak berserakan dimana-mana. Oleh karena itu untuk mencapai hal tersebut, perlu adanya perubahan sikap, dan pola perilaku
5 masyarakat dalam membuang sampah rumah tangga. Keberadaan bank sampah di Kota Purwokerto, merupakan salah satu tindakan nyata dari aktor masyarakat peduli lingkungan (green community), sebagai, upaya mendukung program P2KH Kota Purwokerto. Kota Purwokerto termasuk salah satu dari 15 kota/kabupaten di Jawa Tengah, dan satu dari 60 kab/kota di Indonesia yang melaksanakan program P2KH. Adapun fokus RAKH 2011-2014 meliputi (a) green planning and design yaitu meningkatkan kualitas rencana tata ruang dan rancang Kota yang lebih sensitif tehadap agenda hijau. (b) Green open space yaitu meningkatkan kualitas dan kuantitas RTH sesuai dengan karakteristik kota /kabupaten melalui berbagai macam strategi. (c) green community yaitu meningkatkan partisipasi aktif masyarakat lokal dan institusi swasta dalam perwujudan pengembangan kota hijau. Program penanganan masalah lingkungan hidup, saling terkait berbagai strategi, kebijakan, rencana program aksi bagi pengembangan perkotaan berkelanjutan telah dibuat. Namun realitanya sampai saat ini pembangunan perkotaan masih menghadapi berbagai kendala yang belum terselesaikan. Kebijakan pembangunan perkotaan dan implementasinya dengan melibatkan partisipasi masyarakat berbasis kearifan lokal perlu dilaksanakan, agar tercapai pembangunan perkotaan berkelanjutan (Yogiesti 2012). Pembangunan perkotaan berkelanjutan memiliki delapan indikator, diantaranya tentang green community dan green waste, yaitu sampah rumah tangga dengan memperhatikan partisipasi masyarakat. Hal ini menjadi penting, karena betapapun modernnya suatu teknologi dan alat pengolahan sampah dan manajemen pengelolaan sampah serta baiknya program tersebut, akan tetapi apabila tidak disertai partisipasi masyarakat dan potensi lokal yang ada di masyarakat, maka tidak akan berhasil dengan baik. Permasalahan sampah di Kota Purwokerto dewasa ini sudah cukup krusial dan sangat “mendesak” untuk segera ditangani, beberapa permasalahan sosial timbul antara lain yaitu (a) konfliks sosial antara warga karena tidak semua sampah yang terkumpul di masing-masing TPS diangkut oleh petugas , (b) sering terjadi “keributan” antara petugas pengambil sampah dengan warga, karena tidak setiap hari sampah diambil oleh petugas, kadang tiga hari sekali, padahal iuran retribusi sampah naik terus, (c) petugas seringkali minta tambahan biaya apabila mereka mengangkut sampah rumah tangga tersebut dengan berbagai alasan, (d) kesadaran warga dalam membuang sampah masih rendah, terbukti masih banyak warga yang membuang sampah sembarangan, (e) sering banjir di perumahan, di jalan utama, dikarenakan banyaknya selokan yang tersumbat sampah. Ketika diingatkan, sering terjadi “cekcok” diantara warga. Wilayah RW V Kelurahan Berkoh, masyarakatnya sudah sangat peduli terhadap kebersihan lingkungan sehingga mereka merasa“jengkel”, masyarakat memasang spanduk yang berbunyi:“siapa berani membuang sampan sembarangan, maka jangan salahkan kami kalau nyawa taruhannya…”. Namun dalam prakteknya tidak semua warga mencontoh warga RW V Berkoh dalam menangani sampah. Terbukti, dalam perkembangannya, volume sampah di Kota Purwokerto semakin meningkat, padahal daya tampung sampah di TPA “Gunung Tugel” semakin lama semakin menurun, sehingga umur TPA
6 semakin berkurang. Rencana pemerintah untuk memindahkan TPA “Gunung Tugel” ke TPA “Kaliori” tidak berjalan “mulus”. Warga sekitar TPA “Kaliori” menolak dan bahkan tidak mau menjual tanahnya kepada pemerintah daerah untuk dijadikan TPA. Masyarakat menghadang petugas di jalan, ketika petugas DCKKTR akan mengoperasionalkan TPA “Kaliori”. Berdasarkan realitas dan kasus persampahan yang terjadi di Kota Purwokerto, masalah sampah sudah sedemikian rupa sehingga menimbulkan critical mass (massa kritis). Hal ini perlu penanganan yang serius baik oleh pemerintah maupun masyarakat di wilayah Kota Purwokerto. Aparat birokrasi pada umumnya hanya mementingkan “wajah” kota saja yang diperhatikan, seperti jalan protokol, pertokoan, perkantoran, perumahan elit, sedangkan daerah kumuh, tidak diperhatikan. Hal inilah yang menjadi kritik terhadap kebijakan dan cara kerja dari aktor pemerintah daerah. Partisipasi aktor masyarakat (green community) Kota Purwokerto dalam mengelola lingkungan, khususnya dalam pengelolaan sampah rumah tangga ramah lingkungan green waste, perlu sekali didukung dengan menggali potensi lokal masyarakat. Kearifan lokal (local genius) yang dimaksud yang dapat mendukung menggerakkan partisipasi masyarakat dalam rangka membangun kota hijau (green city). Sudah saatnya paradigma lama tentang pengelolaan sampah yaitu pendekatan end of pipe berubah ke paradigma baru zero waste (nir-limbah) atau green waste yaitu penanganan sampah di sumber penghasil sampah. Pemerintah Kabupaten Banyumas, Kota Purwokerto masih terus berupaya mengatasi permasalahan sampah rumah tangga. Namun sampai saat ini TPA pengganti “Gunung Tugel” yaitu TPA “Kaliori” masih belum siap. Padahal daya tampung TPA “Gunung Tugel” diprediksi hanya mampu bertahan sekitar 6-7 tahun lagi. TPA “Kaliori” dinilai sampai saat ini belum siap digunakan, karena lapisan tanah yang berada di Buper Kendalisada masih cukup labil. Beberapa kali terjadi longsor, khususnya di zona II dan zona III”, sehingga saat ini masih memaksimalkan TPA “ Gunung Tugel”, dengan sisa luasan yang ada yaitu sekitar satu hektar. Pemindahan TPA sampah “Gunung Tugel”sudah direkomendasikan melalui Peraturan Daerah (Perda) Nomor 10 Tahun 2011 tentang RTRW 20112031. Isi perda tersebut menjelaskan tentang pengolahan sampah Kota Purwokerto seharusnya menggunakan metode sanitary landfill. Metode tersebut sesuai UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah ramah lingkungan (green waste), serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 81Tahun 2012 tentang Pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampahnya. Metode pengelolaan sampah di TPA “Gunung Tugel” sampai saat ini kurang tepat, karena masih menggunakan metode open dumping, sehingga menimpulkan dampak lingkungan yang negatif seperti pencemaran air dan udara. Oleh sebab itu, maka di TPA “Kaliori” diprogramkan pengelolaan sampahnya menggunakan sanitary landfill dan metode ini dianggap ramah lingkungan green waste. Penutupan TPA “Gunung Tugel” masih harus menunggu kesiapan sosial ekonomi dan budaya serta teknis operasional TPA “Kaliori”. Saat ini TPA “Kaliori” masih memerlukan pengembangan lahan, sehingga dibutuhkan pembebasan lahan sekitar empat hektar. Pembebasan lahan kalau lancar,
7 kemungkinan akan dialokasikan tahun 2016 dari APBD. Kendala yang terjadi adalah adanya penolakan masyarakat di sekitar TPA “Kaliori”, sehingga dikhawatirkan terjadi konfliks horizontal dalam pembebasan lahan. Pembebasan lahan untuk TPA“Kaliori”, memerlukan peran aktif dari masyarakat sekitar agar bersedia lahannya di jadikan TPA. Pemda sayogyanya memiliki tingkat kepekaan sosial budaya yang tinggi, sehingga kesadaran masyarakat terbentuk dan akhirnya masyarakat akan mendukung terbentuknya kota hijau. Namun masih ada yang belum semuanya dalam hal tersebut, oleh karena itu, maka Pemda dalam pelaksanaan pembangunan kota hijau, sudah saatnya kembali mengaktifkan partisipasi masyarakat peduli lingkungan (green community) dalam pengelolaan sampah rumah tangga menuju green waste berbasis komunitas. Tentunya dengan mengaktifkan kembali kearifan lokal masyarakat, dalam bentuk pola kerigan, sehingga mendukung P2KH Purwokerto. Program ini sampai 2015 belum terlaksana dengan baik, sehingga perlu penelitian membangun model partisipasi green community dalam perumusan kebijakan green waste lintas rumah tangga mendukung kota hijau.
Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian ini, membangun model partisipasi green community dalam perumusan kebijakan green waste lintas rumah tangga mendukung kota hijau. Model ini terdiri dari tiga sub-model yaitu demografi, persampahan dan sub-model partisipasi. Adapun untuk tujuan khususnya sebagai berikut: 1. Menganalisis aktor-aktor dominan penggerak green waste menuju terbentuknya green community sehingga dapat membangkitkan partisipasi elemen masyarakat dalam pembangunan Kota Hijau Purwokerto. 2. Menganalisis transformasi green community berbasis “proyek” menuju terwujudnya green community berbasis “komunitas”yang mampu berpartisipasi dalam green waste lintas rumah tangga mendukung P2KH Kota Purwokerto. 3. Memformulasikan rumusan kebijakan dan strategi green waste lintas rumah tangga serta membangun model green waste lintas rumah tangga berbasis partisipasi green community mendukung P2KH Purwokerto. Perumusan Masalah, State of The Art, Novelty, dan Pertanyaan Penelitian Perkembangan jumlah penduduk Kota Purwokerto, dalam beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan cukup significant. Tingkat ekonomi masyarakatnya semakin meningkat. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan pola konsumsi masyarakatnya, sehingga terjadinya perubahan gaya hidup. Akibatnya berdampak terhadap volume produksi sampah yang dihasilkan masyarakat, namun demikian kondisi ini menyebabkan berbanding terbalik dengan daya tampung sampah di TPA “Gunung Tugel”. Volume sampah semakin meningkat, namun daya tampung TPA semakin berkurang, di satu sisi fasilitas armada pengangkutan sampah di Kota Purwokerto masih sangat terbatas. Volume sampah yang dapat diangkut petugas setiap hari maksimal 293 m3. Kondisi sampah ini apabila dibiarkan,
8 maka untuk dapat menampung sampah diperlukan lahan 10 hektar dan usia TPA tidak akan sampai tahun 2016. Tercatat pada tahun 2015 lahan TPA “Gunung Tugel” tersisa 5,4 ha. Rencana pemindahan Tempat Pemprosesan Akhir Sampah (TPA) dari “Gunung Tugel” ke TPA “Kaliori” memerlukan waktu panjang. Pasalnya, TPA “Kaliori”sampai saat ini belum siap untuk dioperasionalkan dan belum memenuhi syarat untuk menampung limpahan sampah dari TPA “Gunung Tugel”. Luas TPA “Kaliori” 5,3 hektar untuk pembangunannya menelan biaya Rp. 15 miliar dengan lima zone, namun sampai saat ini hanya satu zone yang sudah siap digunakan. Sehubungan dengan permasalahan tersebut, maka sayogianya ditingkatkan pengelolaan sampah di sumber penghasil sampah, agar sampah yang masuh TPA “Gunung Tugel” semakin sedikit dan umur penggunaan TPA semakin panjang. Oleh karena itu perlu meminimalisasi volume sampah bahkan perlu zero waste atau nir-limbah mendukung green waste , baik untuk sampah anorganik maupun organik yang masuk ke TPA. Hal ini penting dengan mengembangkan potensi lokal dalam bentuk partisipasi masyarakat. Perubahan gaya hidup dan perilaku dalam pengelolaan green waste lintas rumah tangga melalui pola kerigan upaya pembangunan kota hijau (green city) perlu dilakukan semua pihak. Beberapa penelitian tentang pengelolaan sampah perkotaan telah dilakukan, namun demikian banyak hal yang belum terungkap dari kajiankajian terdahulu. Oleh karena itu, novelty (kebaruan)/ dalam penelitian ini ada dikaji dari aspek substansi maupun metodologi penelitian. Lingkup substansi: pertama, penelitian terdahulu tentang pengelolaan sampah rumah tangga, memang sudah banyak di lakukan di berbagai kota. Namun belum ada yang membahas tentang partisipasi green community dengan aktivitas bank sampah berbasis kearifan lokal masyarakat (local wisdom) dengan mengangkat pola kerigan dalam green waste mendukung kota hijau Purwokerto. Kedua, rumusan strategi kebijakan dan mekanisme yang dilakukan pemerintah daerah dalam pengelolaan sampah rumah tangga green waste melibatkan partisipasi green community dan bank sampah, sehingga berperan sebagai agents of change di Kota Purwokerto. Hal ini penting, agar penyusunan kebijakan dengan melibatkan partsipasi green community, dapat diterima masyarakat (social acceptability) dan lebih efektif. Ketiga, kedua kajian tersebut dilakukan dengan multy-dual approach yaitu menggabungkan antara aspek kearifan lokal yaitu pola kerigan dan partisipasi green community yaitu aspek sosiologi-antropologi dikaitkan dengan aspek lingkungan yaitu pengelolaan sampah. Lingkup metodologi, penelitian ini menggunakan tiga pendekatan, yaitu kualitatif (triangulasi) dengan analisis interaktif, kuantitatif dengan metode penelitian survey dianalisis dengan statistik deskriptif, path analisys, Analisis Hirarkhi Proses (AHP) dan sistem dinamis. Permodelan menggunakan sistem dinamis dengan software powersim, digunakan untuk membangun model partisipasi green community dalam green waste mendukung kota hijau Purwokerto. Model pengelolaan sampah ini terdiri tiga sub-model yaitu (a) sub model demografi/kependudukan, (b) sub-model partisipasi masyarakat green
9 community dan (c) sub model persampahan yaitu pengelolaan sampah rumah tangga ramah lingkungan (green waste). Model pertumbuhan eksponensial digunakan untuk menganalisis pertumbuhan penduduk Kota Purwokerto. Aspek sosial, ekonomi, budaya, pengetahuan, persepsi, sikap, perilaku dan partisipasi aktor green community dalam green waste Kota Purwokerto dianalisis menggunakan analisis interaktif, analisis data skunder dan analisis isi. Berdasarkan uraian tersebut dirumuskan permasalahan terkait upaya mewujudkan pembangunan kota hijau adalah: 1. Terjadi peningkatan pertumbuhan penduduk dan peningkatan volume sampah rumah tangga di Kota Purwokerto. 2. Lemahnya kesadaran masyarakat dalam pengelolaan sampah rumah tangga, akibat kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. 3. Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sampah rumah tangga rendah. Terlihat dalam keterlibatan pembentukan dan keterlibatan bank sampah sebagai upaya partisipasi green community. 4. Kebijakan dan implementasi pengelolaan sampah rumah tangga green waste upaya mendukung P2KH Kota Purwokerto kurang sinkron, kurang terpadu, kurang tersosialisasikan dan kurang partisipatoris. Kebijakan dalam pengelolaan sampah rumah tangga (green waste), perlu melibatkan aspek partisipasi green community dengan kearifan lokal dan perlu penataan kebijakan kelembagaan dalam pengelolaan sampah. Berdasarkan permasalahan tersebut timbul pertanyaan penelitian yaitu: 1. Aktor-aktor manakah yang dominan dapat menggerakkan green waste menuju terbentuknya green community dalam membangkitkan partisipasi elemen masyarakat mendukung pembangunan Kota Hijau Purwokerto. 2. Bagaimanakah transformasi green community berbasis “proyek” menuju terwujudnya green community berbasis “komunitas” yang mampu berpartisipasi green waste lintas rumah tangga upaya mendukung P2KH Kota Purwokerto. 3. Bagaimanakah formulasi rumusan kebijakan dan strategi green waste lintas rumah tangga dan membangun model green waste berbasis partisipasi green community mendukung Kota Hijau Purwokerto. Kerangka Pemikiran Pesatnya arus urbanisasi dan pembangunan di berbagai aspek/bidang di Kota Purwokerto, mempengaruhi laju pertumbuhan penduduk. Berdasarkan data BPS (2014), jumlah penduduk Kota Purwokerto 2013 mencapai 243. 427 jiwa dengan tingkat pertumbuhan penduduk 0,45 persen. Pertambahan jumlah penduduk Kota Purwokerto tersebut mengakibatkan terjadinya peningkatan kebutuhan hidup dan gaya hidup, berdampak terhadap peningkatan sisa-sisa buangan atau sampah dari aktivitas yang dilakukan. Masyarakat Kota Purwokerto saat ini masih banyak yang belum perduli dan menyadari permasalahan sampah yang timbul dan dihasilkan dari aktivitas manusia. Oleh karena itu, perlu partisipasi nyata masyarakat dalam pengelolaan sampah rumah tangga ramah lingkungan green waste. Pengelola sampah Kota Purwokerto, saat ini merasa kesulitan karena keterbatasan antara lain : (a) tenaga kerja, (b) teknologi, (c) biaya operasional
10 pengangkutan sampah, (d) biaya pengelolaan sampah di TPA, (e) keterbatasan lahan TPA dan (f) rendahnya kesadaran dan partisipasi masyarakat Berdasarkan kedala-kendala tersebut, maka diperlukan adanya partisipasi masyarakat upaya mengurangi jumlah timbunan sampah rumah tangga yang ada di Kota Purwokerto. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah green waste harus diupayakan ditingkatkan. Hal ini jika tanpa melibatkan masyarakat, pengelolaan sampah terus membebani pemerintah dan tekanan terhadap lingkungan akan semakin bertambah. Oleh karena itu, perlu dicari pendekatan masyarakat yang efektif, memberikan pemahaman bahwa sebenarnya sampah merupakan sumberdaya yang dapat memberikan nilai ekonomi. Paradigma dalam pengelolaan sampah perlu berubah dari paradigma “end of pipe” yaitu penanganan sampah di hilir (TPA) menjadi paradigma penanganan sampah di hulu dengan pengurangan di sumber sampah menuju green waste (nir limbah atau zero waste). Kota Purwokerto melaksanakan P2KH, salah satu programnya yaitu green waste dan green community. Diperlukan adanya perbaikan kebijakan pemerintah dalam pengelolaan sampah, mengingat kontribusi penyumbang sampah paling besar dari sektor permukiman 52,85 persen. Kenyataannya, kebijakan pemda masih belum diimplementasikan dengan baik, karena sistem pengelolaan sampah green waste belum bersifat holistik dan terpadu. Kerangka pikir tersebut disajikan pada Gambar 1. Purwokerto Kota P2KH Green Waste Pengelolaan Sampah
Green Community
Implikasi Kebijakan Pengelolaan Sampah Lemah
Pengelolaan Sampah Belum Partisipatoris
Volume Sampah Belum Tertangani Secara Baik
Model Partisipasi Green Community Dalam Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Berbasis Kearifan Lokal P2KH
Sosial
Ekonomi
Strategi Kebijakan Pengelolaan Sampah P2KH
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian
Lingkungan
11 Berdasarkan kerangka pemikiran penelitian tersebut, maka untuk penyelesaian masalah dalam penelitian ini, disajikan Gambar 2. Kebijakan Pengelolaan Sampah Implikasi Pengelolaan Sampah
Tingkat SDM dan SDA
Kearifan Lokal Pengelolaan Sampah (GW) Mendukung Kota Hijau
Penyebab: Perilaku dan Partisipasi
. Masalah dan Dampak :(Sosial, Ekonomi dan Lingkungan)
Analisis: Faktor-faktor Dominan mempengaruhi Kesiapan Masyarakat menuju GC dan GW
Analisis : Partisipasi GC dalam Pengelolaan Sampah Rumah Tangga (GW) dan Lingkungan
Analisis: Strategi Alternatif Kebijakan Pengelolaan sampah Rumah Tangga (GW) Mendukung Kota Hijau
Analisis : Model Partisipasi GC dalam Pengelolaan Sampah Rumah Tangga (GW) (Sub Model: Demografi; Persampahan; Partisipasi)
Faktor-faktor Dominan yg Mempengaruhi Kesiapan Masy Menuju GC dan GW
Stat Path Analysis
Partiisipasi GC dalam Rengelolaan Sampah Rumah Tangga GW
Analisis Interaktif
Strategi dan Alternatif Kebijakan dan Model Pengelolaan Sampah Berbasis Partisipasi Masy
AHP dan SISTEM
Gambar 2 Kerangka penyelesaian masalah penelitian Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada berbagai pihak dalam pengelolaan sampah rumah tangga mendukung P2KH, yaitu: (a) Bagi Pemda, sebagai bahan kebijakan pengelolaan sampah di Kota Purwokerto upaya mendukung kota hijau Purwokerto. (b) Bagi Pengusaha, menjadikan lahan usaha dari hasil pengelolaan sampah dan ikut andil dalam membangun kota hijau Purwokerto. (c) Bagi lembaga pendidikan, sebagai bahan penelitian (risets). (d) Bagi masyarakat, ikut partisipasi dalam pengelolaan sampah rumah tangga green waste upay terbentuknya green community mendukung kota hijau.
12
2 TINJAUAN PUSTAKA Pembangunan Kota Berkelanjutan (Green City) Pembangunan berkelanjutan berdasarkan pertemuan di Rio de Janeiro Brasil, tidak saja berkonsentrasi pada isu-isu lingkungan, namun lebih luas dari pada itu. Pembangunan berkelanjutan mencakup tiga lingkup kebijakan, yaitu pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan perlindungan lingkungan, bahkan sekarang ini ditambah aspek hukum dan kelembagaan. Dokumendokumen PBB, terutama dokumen hasil World Summit 2005 menyebut ketiga dimensi tersebut saling terkait dan merupakan pilar pendorong bagi pembangunan berkelanjutan (sustainable develpment). Berikut disajikan gambar keterkaitan 3 pilar dari pembangunan berkelanjutan sebagaiberikut (Munasinghe 1993).
Gambar 3 Elemen-elemen tiga pilar pembangunan berkelanjutan. Konsep pembangunan kota berkelanjutan (sustainable city atau eco city), tidak dapat dilakukan tanpa pembahasan yang kritis dan holistik tentang língkungan kota itu sendiri. Memahami lingkungan kota secara holistik berarti melihat lingkungan kota sebagai satu kesatuan yang integral, dinamik dan kompleks antara lingkungan alamiah dengan manusia dan sistem sosialnya. Pemahaman ini mengandung konsekuensi bahwa manusia harus memahami lingkungan secara holistik, tidak terbatas pada aspek fisik-alamiah semata, tetapi juga aspek sosial, ekonomi, budaya, serta potitik masyarakat dalam suatu sistem waktu dan tempat yang khusus (Ernawi 2012). Kota hijau (green city), kota ekologis merupakan suatu konsep kota yang sehat dari aspek lingkungan-ekologi, memiliki efesiensi secara ekonomi (hemat lahan, dan hemat bahan serta hemat secara energi). Hal ini dapat mensejahterakan masyarakatnya secara lahir dan batin melalui keberlanjutan budaya atau kultur sosial. Konsep hijau sebaiknya diterapkan mulai dari unit masyarakat terkecil dalam bentuk eco-village, yang membentuk jejaring hijau pada skala kota-kota satelit hingga kota utamanya. Kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah akan lebih menyentuh jika melibatkan partisipasi masyarakat, khususnya dalam mengakomodasi pengetahuan lokal dan kearifan lokal dalam menuju kota hijau (Susilo 2012).
13 Kebijakan pembangunan suatu perkotaan tidak dapat dipisahkan dan keterpaduan antara perencanaan lingkungan, angkutan dan penggunaan lahan. Kota-kota yang pertumbuhannya sangat cepat dan padat sering dijumpai permasalahan rnendesak dalam penggunaan lahan, transportasi dan lingkungan. Pengelolaan kota diupayakan memprioritaskan kekuatan kapasitas untuk perencanaan implementasi kebijakan melalui koordinasi yang baik terkait dengan pemerintahan di wilayah tersebut (Ernawi 2011). Tujuan pembangunan kota berkelanjutan di negara maju, umumnya perhatiannya banyak diberikan pada konservasi dan pemeliharaan, baik lingkungan alamiah maupun lingkungan buatan.Terdapat tiga hal merupakan prinsip perancangan kota yang berkelanjutan yaitu: pertama, pemakaian kembali bangunan, jalan, infrastruktur yang sudah ada, serta komponen dan material bangunan yang telah di daur ulang. Kedua, konservasi sumberdaya alam, flora, fauna, dan tata ruang. Material bangunan harus didapatkan dari sumbersumber yang berkelanjutan. Ketiga, pola dan konstruksi bangunan harus memakai energi seminimal mungkin. Setiap bangunan harus dirancang fleksibel sehingga dapat dipakai untuk fungsi berbeda sepanjang usia bangunan (Budihardjo 2005). Upaya menciptakan kota hijau atau berkelanjutan diperlukan lima prinsip dasar yang dikenal dengan Panca E, yaitu environment (ecology), economy (employment), equity, engagement dan energy (Budihardjo 2005). Budimanta (2005) berpendapat bahwa untuk mencapai pembangunan kota berkelanjutan, maka dipersyaratkan aksi pencegahan penurunan aset-aset lingkungan. sehingga sumberdaya untuk kegiatan manusia dapat terus berlanjut. Menindaklanjuti hal itu, maka aksi untuk melakukan pencegahan meliputi aspek: (1) meminimalkan pemakaian atau limbah sumberdaya yang tidak dapat didaur ulang, (2) pemakaian berkelanjutan dan sumberdaya yang dapat didaur ulang, seperti air, tanaman pertanian dan produk-produk biomas dan (3) meyakinkan bahwa limbah dapat diabsorbsi secara lokal dan global (Budimanta 2005). Susilo (2012) mengemukakan bahwa berbagal indikator keberlanjutan pembangunan kota dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu indikator ekonomi, sosialbudaya dan lingkungan. Pengelompokan ini didasarkan atas pengaruhnya terhadap keberlanjutan dan kesejahteraan masyarakat kota. Kota hijau adalah kota sehat secara ekologis, kota ramah lingkungan. Kota hijau rnengembangkan teknologi energi terbaharukan dari matahari, angin, air bagi green building dan green businesses. Pada proyek restorasi lingkungan urban, taman kota dan pertanian organik, juga dalam kegiatan pribadi dengan bejalan kaki, bersepeda dan "car-free" (Wheeler 2000). Deni (2009) mengemukakan bahwa pembangunan kota berkelanjutan bertujuan untuk: (1) Security/safety: masyarakat dapat rnenjalankan kegiatannya tanpa takut terhadap gangguan baik gangguan buatan manusia maupun alami. (2) Comfortability: menyediakan kesempatan bagi setiap elemen masyarakat untuk mengartikulasikan nilai-nilai sosial budaya dalam keadaan damai. (3) Productivity: menyediakan infrastruktur yang efektif dan efisien untuk proses produksi dan distribusi dalarn rangka rneningkatkan nilai tambah. (4) Sustainability: menyediakan kualitas lingkungan yang lebih baik tidak hanya bagi generasi saat ini tetapi juga untuk generasi yang akan datang.
14 Ernawi (2012) mengemukakan bahwa di dalam pembangunan kota hijau mengandung empat dimensi yang menentukan apakah pola pembangunan kota sustainable atau tidak, yaitu: (1) Dimensi intra generasi (intra generation dimension). (2) Dimensi inter generasi (inter generation dimension) (3) Dimensi intra wilayah (intra frontier dimension) (4) Dimensi inter wilayah (inter frontier dimension). Robert et al. (2009) dalam bukunya Enviroment and The City, untuk menuju kota hijau atau berkelanjutan, maka diperlukan enam hal yang harus diperhatikan dan dikelola pemerintah kota yaitu: (1) metabolisme lingkungan perkotaan, (2) pengelolaan limbah, (3) pengelolaaan air, (4) kualitas udara, (5) pencemaran dan (6) energi, perubahan iklim serta keamanan lingkungan perkotaan. Tiga tahap evolusi kota hijau, (eco city) yaitu kota yang berwawasan Iingkungan, yaitu 3 R (reduce, reuse, recycle). Tahap reduce, yaitu mengurangi kegiatan, konsumsi dan penggunaan yang boros bahan, boros energi atau yang bersifat bahaya terhadap lingkungan dan kesehatan. Tahap reuse, misalnya untuk jalan-jalan di pusat perkotaan dapat digunakan untuk pejalan kaki, jalan besar dapat juga digunakan untuk kereta listrik dalam kota (trem), pengguna sepeda, lanskap taman digunakan untuk tanaman produktif dengan tetap memperhatikan fungsi estetikanya. Tahap recycle, elemen lanskap yang berubah sebelumnya dan telah menjadi pola lanskap kota yang baru (Suhono 2008). Para wali kota dan bupati saat ini banyak yang memiliki program yang memberi perhatian pada gerakan lingkungan. Adanya dukungan program pemerintah melalui Kementerian PU, tujuan utamanya adalah mengubah kota menjadi kota hijau (green city). Status tujuan tersebut untuk mencapainya, diperlukan pendorong bahwa pimpinan dan masyarakat harus memperbaiki kualitas udara kota, menurunkan penggunanan bahan dari sumberdaya yang tidak bisa kembali (non-renewable resources. Hal ini menjadi, pemacu bangunan/ arsitektur serta struktur lain berkonsep hijau (green homes, green office, green building), menyediakan cadangan ruang terbuka hijau lebih banyak, mendukung metode ramah lingkungan bagi transportasi dan menyediakan program daur ulang bagi limbah kota (Kuswartojo 2006). Ketika green concep diluncurkan, maka sejalan dengan konsep yang bersifat ekologis dan konsep berkelanjutan, yaitu konsep dengan memberi perhatian penuh pada penghematan lahan, bahan dan energi (saving land, saving material, and saving energy). Keberlanjutan tersebut harus meliputi keberlanjutan ekologi, ekonomi dan keberlanjutan sosial budaya (DPU 2005). Kota berwawasan lingkungan dan kota sehat berdasarkan international environmental technology centre dari United Nations Environment Programme (UNEP) merekomendasikan tiga tahap mengektrapolasikan IS0.14001, pada tingkat kota, yaitu Step 1 (promotion of eco-office); Step 2 (promotion of eco project); Step 3 (green city planning) (Sahely et al. 2005). Beberapa tindakan perlu diperhatikan menuju kota berkelanjutan/hijau, sebagai berikut (DPU 2008): 1. Komponen desain ekologis terdiri atas : a. Manajemen sumberdaya air. b. Lanskapkota (hutan kota, peraturan pertanian perkotaan).
15 c. Manajemen Iimbah terpadu (pengkomposan tingkat rumah tangga). d. Transportasi (bentuk alternatif untuk mengurangi kemacetan lalu lintas, peraturan penggunaan sepeda, desain jalur sepeda dan pejalan kaki). e. Teknologi yang berkelanjutan (pemanfaatan sinar matahari, air dan angin sebagai sumber energi yang dapat diperbaharui). 2. Komponen ekonomi terdiri atas. a. Strategi kekuatan ekonomi dari pembangunan yang berkelanjutan terkait dengan perubahan tata guna lahan rural-sub urban-urban. b. Kebijakan-kebijakan terhadap permukiman dan pekerjaan. c. Infrastruktur dan biaya pemeliharaannya. d. Hilangnya ruang terbuka hijau dan daerah tangkapan air, polusi, kemacetan lalu lintas dan sebagainya. 3. Komponen sosial-budaya terdiri atas: a. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mendukung terwujudnya kota hijau/kota ekologis/kota yang berkelanjutan. b. Pengembangan kota hijau berbasis pengetahuan lokal dan kearifan lokal yang ada dalam masyarakat setempat. c. Menilai tingkat keberlanjutan masyarakat. Berbagai pendapat para akhli tentang indikator kota berkelanjutan memang beragam. Indikator yang ditetapkan oleh Asian Green City Index, meliputi 8 aspek kajian, meliputi (1) energy dan CO2, (2) penggunaan lahan dan bangunan, (3) trasportasi; (4) sampah, (5) air, (6) sanitasi, (7) kualitas udara, (8) enviromental governance (Ernawi 2012). Kota berkelanjutan memiliki beberapa indikator dan dirangkum dalam 10 isu utama, yaitu (Susilo 2012): 1. Akses penduduk pada ruang terbuka hijau atau green open space. 2. Lingkungan sehat yang diukur dari air quality (kualitas udara). 3. Penggunaan sumberdaya yang efesien (energi, air, limbah dan sampah) atau green energi, green waste dan green water. 4. Kualitas lingkungan binaan atau green building. 5. Aksesibilitas (transportasi umum, jalur sepeda, pejalan kaki) green transportation. 6. Green economy atau ekonomi hijau. 7. Model partisipasi masyarakat dalam pembangunan kota berkelanjutan atau green community. 8. Social justice yaitu keadilan sosial berkaitan dengan angka kemiskinan. 9. Kesejahteraan sosial yang berkaitan dengan kenyamanan hidup. 10. Berbagai aktivitas masyarakat di bidang sosial dan budaya. Penelitian ini tujuan utamanya adalah menganalisis model partisipasi masyarakat (green community) dalam perumusan kebijakan green waste lintas rumah tangga mendukung kota hijau (indikator no.7) dan pemanfaatan atau penggunaan sumberdaya secara efektif dan efisien dalam pengelolaan sampah (green waste) merupakan isu no. 3 serta komponen sosial- budaya merupakan poin (b) upaya mendukung kota hijau (green city). Model ini dibangun berdasarkan tiga sub-model yaitu (1) sub-model kependudukan (demografi), (2) sub-model persampahan dan (3) sub-model partisipasi masyarakat. Ketiga submodel tersebut diformulasikan menjadi sebuah model pengelolaan sampah green waste berbasis partisipasi green community menuju kota hijau.
16 Sosiologi sebagai Landasan Teori Pendukung Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan sosial dalam masyarakat dan juga didefinisikan sebagai ilmu yang menawarkan analisis yang sistematis tentang struktur perilaku sosial masyarakat. Sosiologi didefinisikan adalah ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara berbagai macam gejala sosial, atau hubungan dan pengaruh timbal balik antar gejala sosial dengan gejala non-sosial (Poloma 2000). Penelitian ini lebih metitikberatkan pada paradigma definisi sosial yang memusatkan perhatiannya kepada tindakan sosial antar hubungan sosial. Weber menyatakan bahwa paradigma definisi sosial mengartikan sosiologi sebagai suatu tindakan sosial antar hubungan sosial. Tindakan yang dimaksud adalah tindakan individu sepanjang tindakan itu mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan pada tindakan orang lain. Kemudian yang dimaksud dengan hubungan sosial (social relationship) adalah tindakan beberapa aktor yang berbeda, sejauhmana tindakan itu mengandung makna yang dihubungkan serta diarahkan kepada tindakan orang lain. Hubungan sosial hanya terjadi pada kehidupan kolektif yang di dalamnya terdapat kebersamaan dan saling penyesuaian (mutual orientation) antara orang yang satu dengan orang yang lain (Ritzer 1995). Aplikasi paradigma definisi sosial dalam penelitian ini, bahwa persepsi, sikap, perilaku dan partisipasi green community berbasis kearifan lokal (pola kerigan), merupakan fenomena sosial yang akan mempengaruhi kehidupan sehari-hari, baik ditujukan bagi masyarakat sendiri maupun orang lain. Proses sosial ini dapat ditangkap melalui pemahaman empatik menurut Weber disebut verstehen, yaitu kemampuan mereproduksi diri dalam pikiran orang, perasaan, motif yang menjadi latar belakang kegiatannya. Teori pendukung paradigma definisi sosial antara lain adalah teori aksi, teori interaksionisme simbolik dan teori fenomenologi. Teori yang digunakan untuk menjelaskan kearifan lokal adalah teori fenomenologi. Fenomenologi bertujuan melakukan deskripsi dan analisis kehidupan sehari-hari dari dunia kehidupan (life word) dan keterkaitannya dengan kesadaran individu. Persepsi, Sikap dan Perilaku Penelitian ini menekankan pada penggunaan pendekatan sosiologis, dan lingkungan. Partisipasi dilatarbelakangi perilaku yang dipengaruhi juga oleh sikap dan persepsi serta pengetahuan seseorang terhadap suatu obyek. Konsep persepsi individu pada dasarnya merupakan konsep dan kajian psikologi. Persepsi merupakan pandangan individu terhadap sesuatu obyek. Persepsi terjadi akibat adanya stimulus, individu memberikan reaksi (respon berupa penerimaan atau penolakan terhadap stimulus tersebut (Saribanon 2007). Individu tidak hanya merespon situasi obyektif, tetapi juga memberikan makna situasi menurut kepentingannya (Sztompka 2004). Kontek persepsi terhadap pengelolaan sampah rumah tangga misalnya, respon tersebut dapat digunakan sebagai indikator bagaimana individu menilai suatu program pengelolaan sampah, sehingga dapat diidentifikasi kendala yang mungkin muncul dari persepsi dalam implementasinya. Sztompka (2004) menyatakan bahwa persepsi ditentukan oleh faktor
17 personal dan faktor situasional, atau sering disebut sebagai faktor fungsional dan faktor struktural. Faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal lainnya disebut faktor personal, seperti suasana emosional, latar belakang budaya dan kesiapan mental. Faktor structural berkaitan dengan sifat stimulus fisik dan efek-efek syaraf yang ditimbulkannya pada sistem individu. Individu mengorganisasikan stimulus sesuai dengan konteksnya, sehingga walaupun stimulus yang dapat diterima tidak lengkap, individu akan mengisinya dengan interpretasi yang konsisten dengan rangkaian stimulus yang dipersepsikan (Rakhmat 2000). Meskipun demikian, kemampuan individu relatif terbatas dalam menyerap stimulus, karena adanya filter perceptual, yaitu keterbatasan kemampuan mempersepsi seperti kecermatan penginderaan yang tidak sama. Filter lainnya adalah filter psikologis yaitu harapan dalam memberi respon, yang berpengaruh terhadap cara seseorang mempersepsikan suatu obyek, misalnya seseorang yang defensif akan cenderung mengartikan secara negatif (Tubbs 2001). Proses terbentuknya persepsi menurut pendekatan fungsional dapat dijelaskan sebagaiberikut (Harihanto 2001): (a) informasi dari suatu masyarakat sampai kepada individu, (b) selanjutnya individu menyeleksai informasi yang diterima tersebut, (c) dalam proses seleksi informasi, maka timbul adanya penafisaran individu terhadap informasi tersebut, (d) penafsiran individu dipengaruhi oleh pengalaman seseorang terhadap suatu informasi, (e) penafsiran seseorang akan saling dipengaruhi oleh pengorganisasian secara timbal balik, (f) pengorganisasian akan saling mempengaruhi terhadap seleksi secara resiprokal, (g) selanjutnya dari pengaruh diantara pengalaman, penapsiran, pengorganisasian, seleksi, maka akan mempengaruhi terbentuknya persepsi seseorang terhadap suatu obyek yang diinformasikan dan (h) dari persepsi tersebut akan mempengaruhi dan menentukan perilaku dari individu tersebut untuk melakukan sesuatu yang diterimanya (Harianto 2001). Konsep sikap adalah kesiapan seseorang untuk bereaksi terhadap suatu obyek. Sikap sebagai respon manusia yang menempatkan obyek yang dipikirkan ke dalam suatu dimensi pertimbangan. Obyek yang dipikirkan adalah segala sesuatu yang bisa dinilai manusia (Sarwono 1995). Dimensi pertimbangan sikap adalah semua skala positif-negatif yaitu dari baik ke buruk, dari haram ke halal, dari setuju ke tidak setuju. Sikap adalah menempatkan suatu obyek ke dalam salah satu skala sikap tersebut. Berbeda dengan definisi lain yang umumnya menganggap sikap atau respon sebagai potensi atau calon tingkah laku, definisi tersebut menganggap sikap sudah sebagai respon/tanggapan, sehingga menjadi pertimbangan terbentuknya perilaku.Sebagai dimensi pertimbangannya adalah skala positif-negatif, mulai dari sangat setuju sampai sangat tidak setuju terhadap sejumlah pernyataan verbal mengenai kualitas lingkungan. Rakhmat (2000) mengemukakan bahwa sikap didefinisikan oleh berbagai pakar (Rakhmat 2000) yaitu: 1. Sikap adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir dan merasa dalam menghadapi obyek, ide, situasi atau nilai. Sikap bukan perilaku, tetapi merupakan kecenderungan untuk berperilaku dengan cara-cara tertentu terhadap obyek sikap berupa benda, orang, gagasan, tempat, situasi atau kelompok.
18 2. Sikap mempunyai daya pendorong atau motivasi, sikap menentukan apa yang diinginkan, dihindari, dikesampingkan dan sebagainya. 3. Sikap mengandung aspek evaluative, artinya mengandung nilai suka atau tidak suka, menyenangkan atau tidak menyenangkan. 4. Sikap timbul dari pengalaman dan merupakan hasil belajar, sehingga dapat diperteguh atau diubah. Perilaku manusia dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain faktor-faktor personal dan faktor-faktor situasional dalam kerangka perubahan untuk mencapai tujuan tertentu (Sztompka 2004). Perilaku individu secara umum dipengaruhi oleh faktor dalam (inside factor) dan faktor luar (outside factor). Faktor dalam yang bersifat fisik terutama adalah otak, hormone, sistem syaraf dan gen, sedangkan bersifat psikis adalah persepsi, kepribadian, mental, intelektual, ego, moral, keyakinan dan motivasi. Faktor luar yang dapat mempengaruhi perilaku adalah faktor sosial budaya, sosial ekonomi dan lingkungan fisik. Contohnya adalah pendidikan, pengetahuan, penghargaan sosial, hukuman, kebudayaan, norma sosial, tekanan lingkungan (kemiskinan, diskriminasi dan sebagainya), model (panutan), input informasi, kohesi kelompok, dukungan sosial, agama, ekonomi, politik, pola perilaku kelompok serta status dan peranan individu dalam masyarakat. Sikap (attitude) sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan manusia dan sikap sangat menentukan perilaku (behavior) seseorang. Perilaku atau tindakan juga dapat dimotivasi faktor fungsional, struktural dan eksistensial (Sarwono 1995). Perilaku seseorang dalam psikologi, dapat dinilai faktor penyebabnya dengan memperhatikan tiga aspek, yaitu (a) konsensus, (b) konsistensi dan (c) keberbedaan (distinctiveness). Konsensi prinsipnya adalah penilaian perilaku didasarkan pada kesesuaian dengan consensus umum (konstruksi sosial), dan apabila perilakunya tidak sesuai dengan consensus umum (devians), maka cenderung dikatakan bahwa perilaku orang tersebut dipengaruhi faktor internal individu. Prinsip konsistensi yang menjadi perhatian adalah pengulangan perilaku individu pada situasi dan kondisi yang serupa, sedangkan dalam prinsip keterbedaan, yang diperhatikan adalah perilaku yang sama pada situasi yang berbeda. Ketiga hal tersebut, dapat dinilai bahwa faktor mana yang lebih mempengaruhi perilaku seseorang apakah faktor internal atau faktor eksternal (Devito 1997). Model hubungan antara pengetahuan, sikap/respon, niat dan perilaku dikemukakan oleh Ajzen (2007). Menurut model tersebut keyakinan terhadap akibat perilaku tertentu merupakan komponen yang berisi aspek pengetahuan tentang perilaku. Seseorang yang menentang praktek-praktek pencemaran lingkungan, akan mengambil tindakan yang searah dengan sikapnya. Misalnya, membeli produk yang ramah lingkungan dan kemasannya dapat di daur ulang, dan sebagainya. Faktor eksternal dapat berpengaruh terhadap perilaku seseorang yang muncul karena ada dukungan yang memadai dalam pelaksanaanya, seperti fasilitas pendukung yang tersedia dan penegakan hukum (Ajzen 2007). Hubungan antara pengetahuan, sikap/respon, niat dan perilaku, menunjukkan bahwa: (a) Keyakinan terhadap akibat dari perilaku tertentu, dapat mempengaruhi secara langsung kepada sikap terhadap perilaku tertentu. (b) Sikap terhadap perilaku tertentu, berpengaruh langsung terhadap niat
19
(c) (d) (e) (f) (g)
untuk melakukan perilaku tertentu. Niat untuk melakukan perilaku tertentu, berpengaruh langsung terhadap perilaku seseorang. Keyakinan normatif terhadap akibat dari perilaku tertentu, berpengaruh langsung terhadap norma subyektif tentang perilaku tertentu. Norma subyektif tentang perilaku tertentu, berpengaruh terhadap niat untuk melakukan perilaku tertentu. Niat untuk melakukan perilaku/tindakan, berpengaruh terhadap perilaku seseorang. Perilaku seseorang secara normatif, secara tidak langsung, dapat berpengaruh akan keyakinan terhadap akibat dari perilaku tertentu.
Pengendalian masyarakat dalam berperilaku, merupakan pengawasan sosial bersifat formal/resmi, sedangkan pengawasan sosial merupakan perilaku kelompok (group conduct) yang arahnya menciptakan keselarasan, solidaritas dan kelangsungan kelompok itu sendiri. Gejala perilaku kelompok, pengawasan sosial dikukuhkan oleh pengaturan dan adat istiadat atau norma-norma sosial yang didukung oleh masyarakat setempat (Soetarto 2003). Perilaku masyarakat dapat dipengaruhi sikap, sedangkan sikap dipengaruhi persepsi, adapun persepsi seseorang dapat dipengaruhi pengetahuan/pemahaman, pendidikan, pengalaman, pendapatan, lingkungan budaya dan akses informasi yang diperoleh masyarakat baik secara langsung maupun melalui media. Partisipasi Masyarakat Partisipasi awalnya berasal dari bahasa Inggris participation berarti ambil bagian atau melakukan kegiatan bersama-sama dengan orang lain. Secara harfiah, partisipasi berarti “turut berperan serta dalam suatu kegiatan”, “peran serta aktif atau proaktif dalam suatu kegiatan”. Moeliono (2004), mengemukakan tentang partisipasi adalah keterlibatan masyarakat secara aktif dalam proses pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan yang dimaksud adalah tentang apa yang akan dilakukan/dikerjakan dan bagaimana cara kerjanya. Masyarakat terlibat dalam pelaksanaan program dan pengambilan keputusan melalui sumbangan sumberdaya atau bekerjasama dalam suatu organisasi. Partisipasi juga merupakan keterlibatan masyarakat dalam menikmati hasil pembangunan serta dalam evaluasi pelaksanaan program. Partisipasi harus mencakup kemampuan rakyat untuk mempengaruhi kegiatan, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraannya. Uphoff (2005) mengemukakan terdapat 10 alasan yang menjadikan partisipasi masyarakat menjadi penting yaitu: (1) hasil kerja yang dicapai lebih banyak, (2) pelayanan dapat diberikan lebih murah,(3) katalisator untuk pembangunan selanjutnya, (4) menimbulkan rasa tanggung jawab, (5) menjamin terlibatnya masyarakat sesuai kebutuhan, (6) menghimpun dan memanfaatkan berbagai pengetahuan, (8) membebaskan orang dan ketergantungan kepada keahlian orang lain, (9) memiliki nilai dasar yang sangat berarti untuk peserta karena menyangkut harga dirinya dan (10) menyadarkan masyarakat mengenai penyebab kemiskinan yang terjadi sehingga menimbulkan kesadaran untuk mengatasi hal tersebut. Uphoff (2005) menggolongkan partisipasi ke dalam 5 jenis yaitu:
20 1. Ikut memberi input proses pembangunan, menerima imbalan atas input tersebut dan ikut menikmati hasilnya. 2. Ikut memberi input dan menikmati hasilnya 3. Ikut memberi input dan menerima imbalan tanpa ikut menikmati hasil pembangunan secara langsung 4. Menikmati/ memanfaatkan hasil .pembangunan tanpa ikut memberi input 5. Memberi input tanpa menerima imbalan dan tidak menikmati hasilnya Partisipasi dalam pembangunan berarti masyarakat ikut ambil bagian dalam suatu kegiatan. Ikut ambil bagian dalam suatu kegiatan hanya dapat diharapkan bila masyarakat merasa berkepentingan dan diberi kesempatan untuk ambil bagian. Partisipasi tidak mungkin optimal jika masyarakat tidak berkepentingan dalam suatu kegiatan dan jika tidak diberi keleluasaan untuk ambil bagian. Partisipasi dapat bersifat individual atau kolektif, terorganisasi atau tidak terorganisasi secara spontan serta sukarela. Partisipasi dikatagorikan sebagai partisipasi langsung, sebaliknya partisipasi tidak langsung, yaitu apabila seseorang dikerahkan untuk melakukan aktivitas, berdasarkan gagasan dari atas, dikerahkan secara paksa untuk aktif dalam kegiatan lingkungan secara top down (Huntington dan Nelson 1994 dalam Saribanon 2007). Seseorang dengan status ekonomi tinggi, mampu berpartisipasi dalam berbagai bentuk, misalnya tenaga, uang, ide atau pemikiran. Hal ini berarti bahwa tingkat partisipasinya juga lebih tinggi dibandingkan seseorang yang kemampuan ekonominya lebih rendah. Selain itu, partisipasi tanpa pamrih, dan tanpa motif ekonomi. Seseorang kemampuan ekonominya rendah akan berpartisipasi atas dasar pamrih, yakni untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Handono 2010). Pendekatan partisipatif diperlukan untuk melibatkan semua pihak sejak langkah awal, mulai tahapan analisis masalah, penetapan rencana kerja sampai pelaksanaan dan evaluasinya. Kegiatan partisipatif dapat dikelompokkan pada dua kelompok, yaitu partisipasi para pengambil keputusan, dan partisipasi kelompok setempat terkait dalam pengelolaan lingkungan hidup (GTZ 1997). Partisipasi masyarakat merupakan faktor kunci dalam berjalannya sistem pengelolaan sampah (Kholil 2008). Sikap dan perilaku masyarakat sangat berperan dalam berjalannya berbagai sistem pengelolaan sampah berbasis partisipasi masyarakat (Chu et al. 2004). Penelitian terhadap program pengelolaan sampah permukiman berbasis masyarakat yang telah berjalan di Taiwan, memperlihatkan bahwa perilaku masyarakat untuk mendaur ulang sampah dipengaruhi oleh sikap (attitude), norma subyektif (subyective norm) dan pengendalian perilaku (perceived behavioral control. Pendekatan multidimensional pada struktur keyakinan (belief) dalam masyarakat sangat diperlukan untuk struktur perilaku dalam pengelolaan sampah (Chan 1998). Menurut Slamet (2003), syarat agar masyarakat dapat berpartisipasi adalah (1) adanya kesempatan membangun, (2) adanya kemampuan untuk memanfaatkan kesempatan dan (3) adanya kemauan untuk berpartisipasi. Rencana program dengan melibatkan partisipasi masyarakat secara partisipatif, maka perlu lebih ditekankan peran dan kapasitas “fasilitator” untuk mendeteksi stakeholders secara tepat. Proses tersebut juga diarahkan untuk memformulasikan masalah secara kolektif, merumuskan srtaregi, rencana
21 tindak kolektif serta melakukan mediasi terhadap konfliks kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya publik (Sumardjo 2003). Faktor pendorong partisipasi masyarakat adalah kebutuhan (needs), harapan, motif dan ganjaran (reward). Ketersediaan sarana dan prasarana, adanya dorongan moral dan budaya lokal. Adanya kelembagaan baik formal maupun informal, dapat menjadi partisipasi masyarakat. Terdapat dua hal yang dapat mendukung keberhasilan atau kegagalan partisipasi, yaitu (1) terdapat unsur yang mendukung untuk berperilaku tertentu pada seseorang (person inner determinant), (2) terdapat lingkungan (environmental factors) yang memungkinkan terjadinya perilaku tertentu (Sumardjo 2003). Edwards et al. (1997) dalam Saribanon (2007) mengemukakan bahwa pendekatan untuk memfasilitasi partisipasi masyarakat dalam inisiatif pengelolaan lingkungan adalah pembentukan komite pengarah (steering committee) umumnya perwakilan stakeholders. Pendekatan lainnya melalui pembentukan kelompok-kelompok topik yang mewakili aktivitas tertentu. Pendekatan untuk melibatkan masyarakat secara proaktif dalam pengelolaan lingkungan adalah melalui aktivitas seminar dan juga penyebaran kuesioner untuk menjaring pendapat/ masukan masyarakat (Edwards et al. 1997). Partisipasi dapat dirangkum dalam enam jenis (Ndraha 1990) yaitu: 1. Partisipasi melalui kontak dengan pihak lain sebagai salah satu titik awal perubahan sosial. 2. Partisipasi dalam menyerap dan memberi tanggapan terhadap informasi dalam arti menerima, menyetujui, menerima dengan syarat, maupun menolaknya. 3. Partisipasi dalam perencanaan pembangunan, pengambilan keputusan politik, maupun yang bersifat teknis. 4. Partisipasi dalam pelaksanaan operasional pembangunan. 5. Partisipasi dalam menerima, memelihara dan mengembangkan hasil pembangunan atau participation in benefits. 6. Partisipasi dalam menilai pembangunan. Ibrahim (2005) secara garis besar membagi partisipasi ke dalam tiga kategori yaitu: partisipasi teknis (technical participation), patisipasi semu (pseudo participation) dan partisipasi politis (genuine participation). Pendekatan untuk memajukan partisipasi (Sumardjo 2012) adalah: 1. Partisipasi pasif, pelatihan dan informasi adalah tipe komunikasi searah, antara staf proyek dan masyarakat layaknya guru-murid. Pendekatan ini disemboyankan adalah “ kami lebih tahu apa yang baik bagimu”. 2. Partisipasi aktif, adalah pendekatan “pelatihan dan kunjungan” dalam arti dialog dan komunikasi dua arah, sifatnya interaktif dan setara. 3. Partisipasi keterikatan adalah pendekatan “kontrak, tugas yang dibayar”: bila melakukan ini, maka proyek melakukan itu. Masyarakat setempat diberi pilihan untuk terikat sesuatu tanggungjawab pada setiap kegiatan yang dilakukannya. 4. Partisipasi atas permintaan masyarakat setempat adalah pendekatan PRA, pendekatan didorong oleh adanya permintaan (felt needs). Kegiatan proyek berfokus pada kebutuhan yang dinyatakan masyarakat setempat. Metode yang dipakai adalah motivasi, animasi bukan menjual atau mendorong (Sumardjo 2012).
22 Kearifan Lokal (local wisdom) Masyarakat Kearifan lokal (local wisdom) dalam disiplin antropologi dikenal juga dengan istilah local genius. Lokal genius ini merupakan istilah yang pertama dikenalkan oleh Quaritch Wales (Ayatrohaedi 1986). Para antropolog membahas secara panjang lebar pengertian local genius ini. Antara lain Soebadio (1984) mengemukakan bahwa lokal genius adalah juga merupakan cultural identity, identitas/kepribadian budaya bangsa menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan sesuai wataknya (Ayarohaedi 1986). Ayatrohaedi (1996) mengemukakan bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Sibarani (2012) mengemukakan bahwa kearifan lokal adalah kebijaksanaan atau pengetahuan asli suatu masyarakat yang berasal dari nilai luhur tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat. Kearifan lokal dapat didefinisikan sebagai nilai budaya lokal yang dapat dimanfaatkan untuk mengatur tatanan kehidupan secara arif dan bijaksana. Kearifan lokal (local genius) adalah merupakan pengetahuan yang eksplisit yang muncul dari periode panjang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama. Proses evolusi yang panjang dan melekat dalam masyarakat dapat dijadikan kearifan lokal sebagai energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama secara dinamis dan damai. Kearifan lokal dalam masyarakat Indonesia dapat ditemui dalam nyanyian, pepatah, sasanti, petuah, semboyan, kebiasaan, bahasa, kegiatan komunal dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku sehari-hari. Menurut Ataupah (2004) kearifan lokal bersifat historis, tetapi positif. Nilainilai diambil oleh leluhur dan diwariskan secara lisan kepada generasi berikutnya lalu oleh ahli warisnya tidak menerimanya secara pasif akan tetapi dapat menambah atau mengurangi. Setiap kebudayaan sebenarnya merupakan sebuah pedoman, atau patokan menyeluruh bagi kehidupan masyarakat yang mendukung kebudayaan yang bersangkutan, maka kebudayaan itu bersifat tradisional (cenderung menjadi tradisi yang tidak dapat mudah berubah). Kecenderungan dari sifat tradisional kebudayaan tersebut disebabkan oleh kegunaanya sebagai pedoman kehidupan yang menyeluruh (Suparlan 2004). Aspek kultural pada budaya masyarakat memiliki suatu etika yang berbasis pada pengetahuan lokal masyarakat. Hal ini akan sangat menyentuh langsung pada nilai-nilai masyarakat (values) seperti baik atau buruk, juga menyentuh kepercayaan (believes) seperti pamali, gugon tuhon, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, apa yang sebaiknya dilakukan dan apa yang dihindari untuk mewujudkan atau melestarikan suatu bentang alam, lanskap yang indah dan lestari. Contoh pengetahuan lokal terhadap tata- ruang bagi masyarakat Bali, dikenal "Tri Hita Karana" (Arifin 2009). Manfaat tri hita karana dalam kehidupan sehari-hari dalam rangka melestarikan Iingkungan hidup di dalam kehidupan Masyarakat Hindu di Bali, kesehariannya menganut pola tri hita karana. Tiga unsur ini melekat erat pada setiap hati sanubari setiap orang Bali. Tri hita karana di Bali diterapkan pada zonasi ruang berdasarkan hubungan vertikal (Pranadji 2012).
23 Masyarakat Adat Baduy di Banten yang masih menganut ajaran Sunda wiwitan memiliki etika yang berasal dari kearifan lokalnya dalam mengatur tata ruang. Aturan adat yang ketat dalam tindakan konservasi dilakukan untuk zonasi ruang wilayah. Misalnya puncak bukit dan gunung dijadikan leuweung kolot atau hutan larangan sebagai daerah yang dilindungi dan tidak boleh diusahakan sebagai huma maupun diambil kayunya. Bagian lereng bukit merupakan leuweung tutupan diusahakan untuk hutan produksi, sedangkan leuweung ngora yang boleh diusahakan untuk menjadi huma.Wilayah perumahan terletak di lembah lembur (Widyarti et al. 2011). Masyarakat Kabupaten Purworejo memiliki zona kaki gunung pinggiran desa yang disebut atas simpenan yang berfungsi sebagai hutan lindung tidak boleh ditebang sebagai perlindungan biosfer menjaga keberlanjutan tata airudara (Arifin 2012). Manusia wajib membangun rasa kemanusiaan dalam bermasyarakat, manusia jangan sekali-kali merusak lingkungan. Kesemuanya itu tersirat dalam pesan yang terkandung di dalam filosofi “hamemayu hayuning bawana”, sebagai sumber kearifan sosial yang sampai sekarang masih menjadi living filosophy di kalangan masyarakat Jawa Yogyakarta. Filosophi “Hamemayu Hayuning Bawana” itu terkandung di dalamnya kewajiban “Tri Satya Brata”. Pertama, rahayuning bawana kapurba waskitaning manungsa (kesejahteraan dunia tergantung manusia yang memiliki ketajaman rasa), sebagai kewajiban “Hamangku Bumi”, maupun lingkup lebih luas dalam seluruh alam semesta (universe) sebagai kewajiban “Hamengku Buwana”. Kedua, darmaning manungsa mahanani rahayuning negara (tugas hidup manusia menjaga keselamatan negara), yaitu “Hamengku Nagara”.Ketiga, rahayuning manungsa dumadi karana kamanungsane (keselamatan manusia oleh manusia itu sendiri). Manusia wajib “Hamangku Bumi”, karena bumi sebagai lingkungan alam telah memberikan sumber penghidupan bagi manusia untuk bisa melanjutkan keturunan dari generasi ke generasi, sehingga manusia wajib pula menjaga, merawat dan mengembangkan kelestarian lingkungan. “Hamengku Buwana” merupakan kewajiban manusia yang lebih luas dalam mengakui, menjaga dan memelihara seluruh isi alam semesta, agar tetap memberikan sumberdaya bagi kehidupan manusia (Anshory et al. 2008). Bentuk kearifan lokal yang ada di masyarakat Kota Purwokerto, adalah pola kerigan. Istilah kerigan berasal dari kata kerig artinya kerah; de-na dikerahkan, sedangkan kerigan artinya kerjabakti ramai-ramai yang dikerahkan (Tohari 2007). Pola kerigan ini, sudah ada di masyarakat sejak nenek moyang dan dilakukan secara turun temurun. Pola kerigan ini pula, berbagai kesulitan yang terjadi di kalangan masyarakat Banyumas dapat teratasi. Pola kerigan meliputi kegiatan pembangunan rumah, membersihan makam, membersihkan sungai, membersihkan sarana sosial, membersihkan selokan, pengelolaan sampah dan pemberantasan hama penyakit. Pola kerigan dalam penelitian ini, yang berhubungan dengan upaya pengelolaan sampah rumah tangga yaitu meliputi pencegahan banjir, penanganan kebersihan lingkungan, pencegahan penyakit berkaitan dengan kesehatan lingkungan dan pembuatan lubang resapan biopori. Pensosialisasian partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah dengan menggunakan bahasa ngapak-ngapak, blakasuta, gluwehan dan kesenian musik thek-thek (kenthongan) sebagai ciri khas Banyumas.
24 Kebijakan dalam Pengelolaan Sampah Perkotaan Pengelolaan sampah di Indonesia diatur kebijakan pemerintah, mulai dari pemerintah pusat (UU, Permen, PP), Provinsi, sampai Kabupaten/Kota (Perda). Penurunan kulitas lingkungan akibat sampah, dikarenakan ketidak sesuaian antara rencana pengelolaan dengan implementasinya di lapangan, ini menunjukkan bahwa kebijakan pengelolaan sampah belum efektif. Dunn (1994) mengemukakan bahwa tujuan kebijakan tercapai manakala kebijakan tersebut ditanggapi positif oleh masyarakat, sehingga dapat merubah perilaku masyarakat dalam pengelolaan sampah. UU No.18 Tahun 2008 tentang pengelolaan sampah diberlakukan di seluruh Indonesia, mengamanatkan kepada pemerintah beserta pihak-pihak terkait untuk proaktif terhadap permasalahan sampah dan kebijakan- kebijakan yang strategis dan partisipatif bagi masyarakat, sesuai dengan Permendagri No. 33 Tahun 2010. Perumusan pembuatan kebijakan pengelolaan sampah, digunakan pendekatan evaluasi proses perumusan kebijakan yang dikembangkan Institute Development Studies (IDS 2006). Pengelolaan sampah, dipakai pendekatan evaluasi, yaitu mengemukakan bahwa masalah serta solusi atas fenomena pada umumnya melibatkan berbagai kepentingan/politik, kerangka pikir (discourse/narrative) maupun aktor dan network/ jaringan. Pengesahan Peraturan Pemerintah (PP) pengelolaan sampah masih sulit dapat dilakukan menyusul protes pengusaha keberatan PP tersebut menuntut tanggungjawab perusahaan atas produknya yang berpotensi menjadi sampah. Padahal PP itu merupakan turunan dari UU no. 18 tahun 2008, tentang pengelolaan sampah dimana semua pihak untuk mematuhinya. PP tersebut pada dasarnya bahwa pemerintah mendorong pembentukan bank-bank sampah di kota-kota dalam rangka peningkatan kualitas lingkungan. Pemerintah mentargetkan hingga tahun 2014 seluruh kota di Indonesia minimum mempunyai 5 unit bank sampah guna mengurangi produksi sampah di kawasan sekitarnya (MenKLH 2010). Menelaah kasus kebijakan pengelolaan sampah di Indonesia, digunakan pendekatan evaluasi proses perumusan kebijakan yang telah dikembangkan oleh Institute Development Studies (IDS) pada tahun 2006. Pendekatan IDS ini, dipercaya bahwa penetapan masalah serta solusi atas suatu fenomena tertentu seringkali melibatkan berbagai kepentingan atau politik, kerangka pikir (discourse narrative) maupun aktor dan jaringan. Pemerintah sebagai aktor yang merumuskan undang-undang dan peraturan pemerintah, maka berdasarkan pengertian isi atau teks berbeda pendapat dengan kelompok yang berdasarkan pendekatan masalah. Aktor kelompok swasta, akademisi, LSM, green community, birokrat. pemerintah, legislatif dan wartawan secara tekstual berorientasi pengelolaan sampah adalah ramah lingkungan (green waste). Masyarakat pada umumnya suaranya biasanya diwakili LSM, wartawan dan akademisi serta legislatif mengharapkan agar pemerintah segera dapat menyelesaikan permasalahan pengelolaan sampah, karena berkaitan langsung dengan kehidupan manusia. Kebijakan yang diharapkan adalah yang memihak kepada kepentingan rakyat. Kebijakan pengelolaan sampah green waste merupakan kewenangan daerah otonom atau desentralisasi. Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1987 dan UU No. 33
25 Tahun 2004 mengenai Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, semakin memperkuat posisi daerah otonom dalam pengelolaan sampah di daerah sendiri. Hal ini sudah teratur dalam UU No. 18 tahun 2008 dan Permendagri No. 33 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Sampah. Pemerintah merupakan lingkup masalah (1) dalam proses pembuatan kebijakan, sedangkan lingkup (2) adalah kapasitas menggunakan kebijakan sebagai dasar pelayanan publik yang berkualitas dan lingkup masalahtiga meliputi interaksi sosial dalam kebijakan difahami dan dijalankan atau tidak oleh pelaksana dan subyek kebijakan (Kartodihardjo 2011). Pengelolaan Persampahan Perkotaan Menuju Green Waste Sampah selalu timbul dan menjadi persoalan rumit di dalam masyarakat yang kurang memiliki kepekaan terhadap lingkungannya. Ketidak disiplinan mengenai kebersihan dapat menciptakan suasana kotor akibat timbunan sampah. Kondisi tersebut menyebabkan bau, lalat beterbangan, pencemaran lingkungan, serta penurunan kualitas estetika (Salawati 2010). Oleh karena itu, perlu adanya pengelolaan sampah secara ramah lingkungan (green waste). Pengelolaan sampah dilakukan dengan tujuan mengendalikan secara sistematik semua kegiatan yang berhubungan dengan timbulnya sampah kota, penanganan sampah di sumber penghasil sampah, penanganan, pemilahan sampah di sumbernya, pengumpulan, pengolahan sampah, daur ulang sampah, pemindahan, pengangkutan dan pembuangan akhir (Tchobanoglous et al. 1993). Berdasarkan Bab III pasal 3 Perda no 6 Tahun 2012 Lembaran daerah Kabupaten Banyumas Tahun 2012 Nomor 3 Seri E, menyebutkan bahwa Pengelolaan sampah diselenggarakan berdasarkan asas tanggungjawab,asas berkelanjutan, asas manfaat, asas keadilan, asas kesadaran, asas kebersamaan, asas keselamatan, asas keamanan dan asas nilai ekonomi. Tujuan dari pengelolaan sampah adalah menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan kesehatan serta menjadikan sampah sebagai sumber daya. Pengelolaan limbah padat, maka pemerintah diharapkan agar memiliki kebijakan atau program pengelolaan sampah green waste berdasarkan pada manajemen hierarkhi. Proses pencegahan dan mengurangi jumlah sampah, pemerintah juga harus responsif dan dapat mendorong kegiatan pola 3 R sampah, penanganan sampah yang baik secara biologis maupun pemanasan (thermal), serta penggunaan sanitary landfill (Gultom 2003). Prinsip pengelolaan sampah harus mengikuti prinsip bahwa sampah tidak boleh terakumulasi di alam, sehingga mengganggu siklus materi dan nutrient. Pembuangan sampah harus dibatasi pada tingkat tidak melebihi daya dukung lingkungan untuk menyerap pencemaran dan menerapkan sistem tertutup dalam penggunaan materi tidak mengganggu lingkungan (Surjandari 2009). Hasil penelitian yang dilakukan Yayasan Kirai Indonesia bersama UNESCO pada tahun 1997, menganalisis timbulnya sampah di Kota Jakarta. Berdasarkan data yang diperoleh dari pemerintahan kota. Jumlah sampah penduduk Kota Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi) mencapai lebih dari 35.000 per hari dengan rincian 26.000 diantaranya berasal dari Jakarta, sebesar 83 persen dikumpulkan masyarakat lokal, pemulung, pemerintah lokal dan perusahaan swasta, dan sisanya 17 persen dibuang ke
26 sungai di luar Kota Jakarta, sehingga menimbulkan pencemaran lingkungan (CSI 2003). Tahap distribusi sampah pada proses pengelolaan persampahan kota, mempunyai peranan penting. Proses pengelolaan sampah pada tahap hierarkhi lalu lintas sampah dimulai dari tingkat paling awal (hulu), yaitu rumah tangga sampai ke tempat pemprosesan akhir sampah (TPA). Proses ini, sebelum sampah diolah, pengelolaan menyusuri tiga alur pendistribusian yang saling berkaitan satu sama lain di daerah sumber sampah (Dewi 2008). Metode pemusnahan dan pemanfaatan sampah dilakukan dengan beberapa cara yaitu: (1) membuang dalam lubang dan ditutup dengan selapis tanah, dilakukan lapis demi lapis, sehingga sampah tidak diruang terbuka, (2) sampah dibuang ke dalam lubang tanpa ditimbun oleh lapisan tanah, (3) membuka dan membuang sampah di atas permukaan tanah, (4) membuang sampah di perairan, misalnya di sungai dan di laut, (5) pembakaran sampah secara besar-besaran dan tertutup dengan menggunakan inisinerator, (6) pembakaran sampah dengan inisinerator dalam rumah tangga, (7) sampah sayuran diolah untuk pakan ternak, (8) pengolahan sampah organik menjadi pupuk bermanfaat dan menyuburkan tanah, (9) sampah dihaluskan kemudian dibuang ke dalam saluran air, (10) pendaur ulang sampah dengan cara memanfaatkan kembali barang yang masih bisa dipakai dan (11) reduksi, menghancurkan sampah menjadi bagian kecil-kecil dan selanjutnya hasilnya dapat dimanfaatkan (Rijatno 2010). Keberlanjutan pengelolaan sampah memerlukan sistem yang efektif dalam mengatasi masalah lingkungan, menghasilkan secara ekonomi dan dapat diterima masyarakat. Sebagian model pengelolaan lingkungan, hanya memperhatikan aspek ekonomi dan lingkungan, sedikit mempertimbangkan aspek sosial. Hal inilah yang seringkali mengakibatkan implementasi model tersebut kurang berhasil (Morrissey dan Browne 2004). Bebassari (2004) mengemukakan bahwa model pengelolaan sampah di Indonesia ada dua macam, yaitu (1) urugan dan (2) tumpukan. Model pertama (urugan), merupakan cara yang paling sederhana. Pengelolaan sampah yang kedua yaitu tumpukan. Model ini dilaksanakan secara lengkap, sama dengan teknologi aerobik, pada model ini dilengkapi dengan unit saluran air buangan, pengolahan air buangan (leachate), dan pembakaran akses gas metan (flare). Proses daur ulang (recycle) sampah rumah tangga, produksi kompos dan pembakaran sampah, bertujuan untuk memperkecil volume sampah yang dihasilkan, sehingga pembuangan sampah pada proses sanitary landfill dapat diperkecil dan akhirnya dapat menghemat penggunaan lahan TPA (Devi 2011). Pemilihan metodologi yang tepat perlu mempertimbangkan beberapa hal, yaitu: (1) proses yang digunakan haruslah ramah lingkungan, (2) biaya investasi dapat terjangkau, (3) biaya operasional pembuatan kompos cukup murah, (4) kualitas kompos yang dihasilkan cukup baik, (5) harga kompos dapat terjangkau oleh masyarakat dan (6) menggunakan tenaga kerja yang bersifat padat karya melibatkan partisipasi masyarakat (Devi 2011). Pengelolaan sampah yang dilakukan di berbagai negara seperti Philipina, Amerika dan Kanada ditampilkan dalam rangka mempelajari potensi, peluang dan kendala yang diperoleh dari sampah. Hal ini sebagai acuan apabila akan diterapkan di wilayah Kota Purwokerto. Tentu dalam mengadopsi peraturan dari
27 luar negeri, maka harus dapat disesuaikan dengan sistem sosial dan budaya masyarakat Kota Purwokerto. Kristiyanto (2007) menjelaskan sebagaiberikut: a. Pengelolaan persampahan di Philipina;di negara ini menerbitkan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengelolaan sampah dalam bentuk Undang-undang No. 9003 yaitu tentang Pengelolaan Sampah Limbah Padat secara ekologis. Undang-undang mengatur tentang kebijakan, mekanisme dan struktur institusi. Juga mengatur hierarkhi pengelolaan sampah kota green waste, kewajiban pengurangan dan pemilahan sampah, kebutuhan-kebutuhan pengumpulan dan pengangkutan sampah, program daur ulang (recycle). Fasilitas pengelolaan sampah, larangan, denda dan hukuman, gugatan, peranserta industri dan pelaku usaha serta sistem insentif dan desinsentif. Pengelolaan sampah di Philipina dibentuk komisi nasional pengelolaan sampah oleh Kantor Kepresidenan, terdiri dari 14 orang anggota dari unsur pemerintah dan tiga orang unsur swasta. Hierarkhi pengelolaan persampahan meliputi (a) pengurangan dan minimalisasi volume sampah di sumbernya; (b) pemanfaatan sumber daya; (c) daur ulang dan pemakaian kembali; (d) pengumpulan dan transfer sampah yang memadai; (e) pengelolaan dan pemanfaatan barang sisa atau sampah (Draft Naskah Akademis RUU Pengelolaan Persampahan JCA 2004). b. Pengelolaan Persampahan di Negara Amerika Serikat (AS); Presiden mengeluarkan sejumlah perintah eksekutif yang menyinggung tentang manajemen sampah padat. Perintah tersebut pertama, telah dikeluarkan tahun 1993, berisi bahwa “sesuai dengan permintaan efesiensi dan keefektifan biaya, kepala dari tiap agen eksekutif harus berperan melakukan pencegahan terjadinya sampah dan pendaur ulang (recycle) sampah dari kegiatan operasional persampahan sehari-hari”. Sebagai hasil strategi kebijakan, pemerintah telah berhasil merangsang pasar bagi barang-barang daur ulang. Strategi tahun 1993 telah diikuti dengan perintah eksekutif nomor 13101, yaitu menghijaukan pemerintah melalui pencegahan memboroskan sampah, pendaur ulang, yang diperkuat dengan kebutuhan akan pengelolaan sampah di pemerintah pusat. Prakarsa spesifik dikerjakan Pemerintah Amerika Serikat ini hasil pemerintah eksekutif yang meliputi institusi dari suatu program penghargaan disebut “menutup lingkaran atau closing the circle”. Penghargaan ini diberikan kepadaa fasilitas pemerintah pusat yang mempertunjukkan manajemen sampah yang patut dicontoh. Kebutuhan untuk semua fasilitas pemerintah untuk mempunyai suatu koordinator manajemen sampah. Ini suatu prakarsa di bidang pendidikan yang mendorong kepada karyawan untuk mengurangi sampah kertas; dan implementasi suatu program multi material menyeluruh untuk mendaur ulang (recycle), bahkan mulai dilakukan di pusat pemerintah yaitu Gedung Putih (Draft Naskah Akademi RUU Pengelolaan Persampahan JICA 2004). c. Pengelolaan Persampahan di Kanada; lingkungan negara Kanada, melalui desain dan implementasi dari program “tanpa sampah: no waste” telah mengurangi sampah yang di kirim ke TPA untuk proses landfill sebanyak 80 persen sampah dari sejumlah fasilitas kantor.
28 Program “tanpa sampah” juga dirancang untuk membuat karyawan lebih mudah untuk mendaur ulang barang sisa dibandingkan dengan membuangnya dan untuk memastikan bahwa program tersebut layak, maka Pusat Pendaur Ulang di Kanada dimaksimalkan perannya. Program “tanpa sampah” atau “no waste”, lingkungan Kanada mampu memulai pengumpulan dan pendaur ulang karet sintetis di daerah ibu kota. Prakarsa lain di bidang manajemen sampah padat di Pemerintah Pusat Kanada, meliputi (a) implementasi dari prakarsa penghematan kertas, (b) implementasi pengurangan sampah secara menyeluruh dan (c) program pupuk kompos di Correctional Services Kanada, (c) pengembangan data base pekerjaan umum dan kantor pemerintah untuk menyimpan fasilitas informasi dasar tentang timbunan sampah dan pengurangan sampah dan (d) perancangan suatu modul pelatihan dasar computer (computer based training = cbt) yang berisi suatu manajemen sampah padat oleh Panitia Pemerintah Pusat Kanada (Draft Naskah Akademis RUU Pengelolaan Persampahan, JICA 2004). Demikian gambaran pengelolaan persampahan di tiga negara, dengan tujuan sebagai perbandingan pengelolaan persampahan berdasarkan kondisi lokal, baik sumberdaya manusia, sosial politik dan budaya. Juga menggali potensi dan kendala yang ada sehingga dapat diadopsi. Dampak Sampah terhadap Lingkungan Timbunan sampah yang menumpuk dan tidak tidak ditangani akan menyebabkan berbagai permasalahan bagi masyarakat. Dampak langsung antara lain menimbulkan berbagai penyakit, sedangkan tidak langsung menyebabkan menurunnya kualitas ekologi baik jangka waktu panjang maupun pendek, seperti banjir, pencemaran air dan tanah (Kristiyanto 2007). Pemanfatan sampah untuk kesejahteraan manusia, menurut Suriawiria (2003) sudah sejak lama dilakukan antara lain digunakan untuk: (a) pengisi tanah, (b) sumber pupuk organik, (c) sumber humus, (d) media penanaman jamur, (e) penyubur plankton dan (f) bahan baku pembuat bata (Suriawira 2003). Tchobanoglous et al. (1993) mengatakan bahwa pencemaran tersebut, berlangsung dalam jangka waktu lama.Gas sampah di TPA mempunyai resiko yang significant dan berdampak negativ terhadap lingkungan. Gas metan, merupakan 50 persen gas yang ada di TPA yang akan masuk ke atmosfer dan menyumbang 2 - 4 persen dari pemanasan global gas rumah kaca. Analisis AHP (Analisis Hierarki Proses) Metode yang banyak digunakan dalam pengambilan keputusan, salah satunya adalah analisis hierarki proses (AHP). Metode ini dikembangkan pertama kali oleh Saaty. Metode AHP merupakan analisis yang digunakan untuk memformulasikan masalah yang tidak terstruktur, baik dalam bidang lingkungan, ekonomi, sosial manajemen dan masalah yang memerlukan pendapat pada situasi kompleks dan hanya bersifat kualitatif yang didasari oleh persepsi, pengetahuan dan pengalaman atau intuisi kemudian dijadikan kuantitatif dalam bentuk angka penilaian. Penilaian disajikan dalam matrik tiap
29 penilai, lalu diadakan penggabungan. Apabila nilai koefesien kontingensinya lebih dari 0,1, berarti tidak konsisten langkah selanjutnya maka penilaian harus dilakukan diulang oleh pakar yang sama. Metode AHP mempunyai keunggulan karena metode ini mampu menyederhanakan persoalan yang kompleks menjadi terstruktur, sehingga mendorong dipercepatnya proses pengambilan keputusan (Marimin 2005). Hasil keputusan dari struktur hirarki proses berdasarkan hasil wawancara dengan pakar di bidangnya masing-masing. AHP menggunakan pendekatan komparasi berpasangan, sehingga menghasilkan suatu gambaran perbandingan berpasangan berpengaruh relatif atau berpengaruh pada setiap elemen terhadap masing-masing tujuan. Tujuan didasarkan pada perbandingan pemutusan dari para pengambil keputusan penilaian yang dilakukan tingkat kepentingan antara satu elemen dibandingkan dengan elemen lainnya, berdasarkan skala prioritas AHP tercantum pada Tabel 1. Tabel 1 Skala banding secara berpasangan dalam AHP Tingkat kepentingan
Keterangan
Penjelasan
1.
Kedua elemen sama pentingnya.
Dua elemen mempunyai pengaruh yang sama thd tujuan
3.
Elemen yang satu sedikit lebih penting dari elemen yang lain.
Pengalaman dan penilaian sangat kuat mendukung satu elemen disbanding elemen lain.
5.
Elemen yang satu lebih penting
Pengalaman dan penilaian sangat kuat mendukung satu dgn elemen dengan elemen lainnya.
7.
Elemen yang satu lebih penting
Pengalaman dan penilaian sangat mendukung satu elemen dengan lainnya. Satu elemen dg kuat didukung dan dominan terlihat dalam praktek.
9.
Penting dari pada elemen yang lainnya.
Bukti yang mendukung elemen yg satu terhadap elemen yg lain, memiliki tk. Penegasan tertinggi yg mungkin menguatkan.
Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan, Jika untuk aktifitas mendapat satu angka i. Bila diband dgn aktivitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya dibandingkan nilai i.
Nilai ini diberikan bila ada dua kompromi diantara dua pilihan.
2,4,6,8
Sumber: Saaty (1993).
30 Model partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah rumah tangga secara terpadu dan berkelanjutan di Kota Purwokerto, maka digunakan pendekatan AHP. Analisis ini dirancang untuk menangkap secara rasional persepsi orang yang berhubungan sangat erat dengan permasalahan tertentu yang tidak terstruktur seperti dalam bidang ekologi, ekonomi dan sosial, melalui suatu prosedur yang dirancang untuk sampai pada suatu skala preferensi di antara berbagai alternatif pada matriks. Pakar penilai AHP adalah sebelas ahli lingkungan /persampahan, terdiri dari dua akademisi, dua birokrat, satu green community, dua LSM pemerhati lingkungan, dua wartawan dan dua angggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Analisis AHP ini juga digunakan untuk mencari alternatif kebijakan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan sampah rumah tangga mendukung Kota Hijau Purwokerto. Dalam kasus pengelolaan sampah di Kota Purwokerto ini, alternatif kebijakan meliputi partisipasi green community, pola 3 R, penegakan hukum dan pemilahan sampah. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menyelesaikan suatu masalah dalam AHP adalah dekomposisi, pemutusan komparatif, sintesis prioritas dan konsistensi logika. Adapun tahapan pada pendekatan analisis AHP meliputi (a) identifikasi sistem, (b) penyusunan struktur hierarkhi, yang diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan sub-sub tujuan kriteria dan kemungkinan alternatif-alternatif pada tingkatan kriteria paling bawah, (c) membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan pengaruh relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan yang setingkat di atasnya, (d) menghitung matriks pendapat individu, (e) menghitung pendapat gabungan dan (f) pengolahan vertikal dan (g) revisi pendapat. Pendekatan AHP menggunakan skala Saaty mulai dari bobot 1 sampai dengan 9. Jika nilai hasil perhitungan menunjukkan consistency ratio (CR) < 0,10 artinya penilaian pada pengisian kuesioner tergolong konsisten, sehingga nilai bobotnya dapat digunakan. Data tersebut dianalisis dengan bantuan program expert choice 2000 atau dengan sofware Criterium Decision Plus dengan rasio konsistensi dari matriks yang dinilai kurang dari 0,10 artinya konsisten dalam penilaian tersebut (Marimin 2005). Sistem Dinamik sebagai Alat Permodelan (Modelling) Sistem dinamik adalah pendekatan yang membantu manajemen puncak dalam memecahkan permasalahan kecil dan dianggap sukar untuk dipecahkan. Kebanyakan orang dalam menetapkan tujuan yang hendak dicapai awalnya terlalu rendah. Hal yang diinginkan adalah sebuah peningkatan dengan sikap umum yang dilakukan dalam lingkungan akademik, yaitu dengan menjelaskan perilakunya, setelah itu menemukan struktur dan kebijakan untuk hasil yang lebih baik. Sistem dinamik menurut Massachusetts Institute of Technologi adalah metodologi untuk mempelajari permasalahan di sekitar yang melihat permasalahan secara holistik. Metodologi lain yang mengkaji permasalahan dengan memilahnya menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dan saling membatasi. Konsep sistem dinamik adalah pemahaman tentang bagaimana semua obyek dalam sistem saling berinteraksi satu sama lain. Tujuan dalam sistem ini akan sulit tercapai, apabila pada tahap analisis kebutuhan teridentifikasi kebutuhan yang saling kontradiktif (Hartrisari 2007)..
31 Sistem dinamik, maka perlunya berpikir sistem. Berpikir sistem adalah paradigma pola pikir sistem dinamik ini, adalah berpikir secara sistematik yang mempelajari keterkaitan obyek dari pengamatan dan penyelidikan dalam dunia nyata. Berpikir sistem telah ada pada proses berpikir manusia dalam memecahkan permasalahan hidupnya dengan mencari tahu (know) terhadap realitas yang dihadapinya. Pelaksanaan menyelidiki dan mengamati realitas, manusia senantiasa melihat keterkaitan antara faktor-faktor yang diamatinya dengan memilah-milah (analisis) kemudian mengkajinya (sintesis). Cara tersebut akan dicapai sebuah solusi yang komprehensif (menyeluruh) dan tepat. Hartrisari (2007), mengemukakan bahwa pendekatan sistem merupakan cara pandang yang bersifat menyeluruh (holistik) yang memfokuskan pada integrasi dan keterkaitan antar komponen. Pendekatan tersebut dapat mengubah cara pandang dan pola berpikir dalam menangani permasalahan dengan model yang merupakan penyederhanaan sebuah sistem dari realitas yang kompleks. a. Umpan Balik Kerangka kerja berpikir sistem menggunakan beberapa alat konseptual untuk merepresentasikan kondisi dan menguraikan realita yang ada agar mudah dipahami. Umpan balik sebagai konsep utama berpikir sistem yang lebih dari sekedar berpikir. Konsep umpan balik pada struktur sistem dalam sistem dinamik dikenal diagram causal loop diagram dan ini merupakan gambaran dari sistem. Menurut Marimin (2005) causal loop diagram sangat baik untuk : 1. Menangkap secara cepat sebuah hipotesis tentang penyebab dinamika; 2. Menimbulkan dan menangkap model mental individu atau kelompok; 3. Komunikasi merupakan sebuah umpan balik yang sangat penting. b. Permodelan Sistem Dinamik (Modelling). Permodelan adalah suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah obyek atau situasi aktual. Istilah lainnya, disebut tiruan model dunia nyata yang dibuat virtual. Oleh karena bentuknya tiruan, maka model tidak mesti harus sama persis dengan aslinya, tetapi minimal memiliki keserupaan. Model itu merupakan perwakilan atau abstraksi dari sebuah obyek atau situasi aktual dan memperlihatkan hubungan langsung, tidak langsung dari setiap unsur. Tujuan model adalah pemahaman proses, prediksi dan manajeman (Pramudya 2011). Proses Permodelan menurut Eriyatno (2007), terdiri atas: 1. Perumusan masalah dan pemilihan batasan dunia nyata. Tahap ini meliputi pemilihan tema yang akan dikaji, penentuan variabel kunci, rencana waktu untuk mempertimbangkan masa depan yang jadi pertimbangan. 2. Penetapan formulasi hipotesis dinamis berdasarkan teori perilaku terhadap masalah dan bangun struktur kausal melalui gambaran model mental dengan alat-alat causal loop diagram, dan stock flow diagram. 3. Formulasi model simulasi dengan membuat spesifikasi struktur, aturan, keputusan, estimasi parameter dan uji konsistensi dengan tujuan. 4. Pengujian, meliputi perbandingan model yang dijadikan referensi, pengujian kehandalan (robustness), dan uji sensitifitas. c. Perancangan kebijakan dan evaluasi berdasarkan skenario yang telah diuji cobakan dari hasil simulasi. Perancangan kebijakan mempertimbangkan analisis dampak yang ditimbulkan dari keputusan. d. Strock Flow Diagram (SFD)
32 Teori sistem konsep sentralnya adalah stock flow diagram. Stock adalah merupakan akumulasi atau pengumpulan dan karakteristik keadaan sistem serta pembangkit informasi.Stock digabungkan dengan flow sebagai aliran informasi, sehingga stock menjadi sumber ketidakseimbangan dinamis dalam sistem. Stock flow diagram, pada umumnya dapat diilustrasikan dengan sebuah s istem bak mandi yang dihubungkan dengan dua kran masukan dan keluaran air. Kedua kran sebagai pengontrol akumulasi air dalam bak. Besar kecilnya nilai dalam stock dan flow berdasarkan perhitungan persamaan matematik integral dan diferensial (Eriyatno 1998). Identifikasi sistem adalah suatu rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan digambarkan dalam bentuk lingkar sebab akibat/ causal loop. Causal loop merupakan jalannya penentuan sistem yang menunjukkan akumulasi energi, materi dan informasi dari sistem, serta proses transformasi input menjadi output. Sistem dinamik pengelolaan sampah rumah tangga menuju green waste upaya terwujudnya zero waste, yang menjadi komponen utama adalah jumlah penduduk. Sistem dinamis ini, variabel lain yang mempengaruhi diagram causal loop adalah sampah organik, an-organik, produk daur ulang, TPS, TPA, nasabah bank sampah, volume sampah ditampung di bank sampah dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah (green waste). Sistem pengelolaan sampah rumah tangga merupakan suatu sistem yang menunjukkan interaksi komponen input dan sistem lingkungan. Sistem ini akan mengeluarkan output yang diharapkan maupun tidak diharapkan. Diagram input-output dihasilkan berdasarkan tahapan analisis kebutuhan dan formulasi permasalahan. Diagram ini juga menggambarkan hubungan antar elemen yang terlibat dalam sistem yang dikaji. Diagram lingkar sebab akibat ini digunakan untuk menggambarkan sifat dinamik antar elemen (Hartrisari 2007). Sistem pengelolaan sampah rumah tangga dengan pola 3R (green waste), merupakan input terkendali/terkontrol adalah jenis sampah, jumlah truk pengangkut dan jumlah bank sampah serta TPA (tempat pembuangan sampah). Input tidak terkendali/tidak terkontrol meliputi jumlah penduduk, jumlah kepala keluarga (KK) dan keadaan iklim serta cuaca. Output terdiri atas yang diharapkan dan yang tidak diharapkan. Output merupakan jawaban dari sistem terhadap kebutuhan yang telah ditetapkan dalam analisis kebutuhan. Output yang diharapkan adalah minimalisasi volume sampah yang masuk di TPA atau zero waste (nirlimbah) dan partisipasi masyarakat meningkat. Output yang tidak diharapkan adalah terbentuknya kota kotor dari sampah , terjadi pencemaran lingkungan dan sering terjadi banjir. Output yang tidak diharapkan merupakan hasil sampingan yang tidak dapat dihindari dari sistem dinamik yang berfungsi dalam menghasilkan output yang diharapkan dan upakan hasil sampingan yang tidak dapat dihindarkan dari sistem yang berfungsi dalam menghasilkan output yang diharapkan. Input selanjutnya, adalah input lingkungan meliputi UU Nomor 32 Tahun 2009, UU Nomor 18 Tahun 2008, Permendagri Nomor 33 Tahun 2010 dan Perda Kabupaten Banyumas Nomor 6 Tahun 2012. Berikut ini disajikan diagram input dan output tentang model pengelelolaan green waste lintas rumah tangga berbasis partisipasi green community upaya mendukung terwujudnya Kota Hijau Purwokerto, disajikan dalam Gambar 5.
33
INPUT LINGKUNGAN UU No. 32 Tahun 2009 UU No. 18 Tahun 2008 Permendagri No 33/ 2010 Perda No. 6 Tahun 2012. OUTPUT YANG DIHARAPKAN
INPUT TAK TERKENDALI
Volume sampah di TPA (Zero Waste: Ni-rlimbah; Green Waste)
Jumlah Penduduk Jumlah KK Iklim dan cuaca
Partisipasi Masy Meningkat (green community)
.
Model Partisipasi GreenCommunity Dalam Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Berbasis Kearifan Lokal Mendukung Kota Hijau Purwokerto.
INPUT TERKONTROL Jenis Sampah Jumlah Truk Pengangkut Jumlah Bank Sampah TPA
OUTPUT TIDAK DIHARAPKAN Kota Kotor Dari Sampah Terjadi Banjir dan Pencemaran. Lingkungan
Manajemen Pengendalian Sampah
Gambar 4 Diagram input-output model partisipasi green community dalam pengelolaan sampah green waste mendukung kota hijau Kajian Penelitian Terdahulu
Studi tentang pengelolaan sampah, sudah banyak di lakukan diberbagai kota, tetapi masih terbatas yang mengangkat tentang partisipasi green community berbasis kearifan lokal (local wisdom) dalam pengelolaan sampah rumah tangga (green waste) upaya mendukung Kota Hijau Purwokerto. Penelitian
34 tentang pengembangan kota hijau juga saat ini masih relatif kurang dan sangat terbatas. Beberapa hasil penelitian tentang pengelolaan sampah dapat disajikan berikut ini. Hasil penelitian yang dilakukan Saribanon (2007), menunjukkan bahwa kondisi pengelolaan sampah memerlukan upaya penguatan kelembagaan untuk mendukung partisipasi masyarakat secara optimal. Hasil penelitian Kholill (2005) menunjukkan bahwa penanganan sampah kota di Jakarta Selatan menghadapi beberapa kendala, yaitu (a) kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah dapat dikatagorikan masih relatif masih rendah, (b) peraturan pemerintah daerah (Perda) yang ada belum mantap, (c) penegakan hukum (law enfocement) masih lemah dan belum ditegakkan secara maksimal, (d) struktur organisasi pengelola sampah belum tepat, masih adanya tumpang tindih antar instansi dalam pengelolaan sampah dan (e) sikap mental petugas yang belum kondusif dan belum mempunyai komitmen yang tinggi di dalam penegakkan hukum dan pelayanan pengelolaan sampah masih rendah. Kholil menyarankan perlu dilakukan penelitian tentang pengelolaan sampah dengan paradigma baru yaitu penanganan sampah rumah tangga dari sumber penghasil sampah (masyarakat) ke arah zero waste atau nir-limbah. Merubah cara pandang masyarakat/ paradigma lama yaitu penanganan sampah yang berpusat di tempat pembuangan akhir sampah yaitu di TPA (pendekatan end of pipe) menuju green waste. Kata lain dari paradigm ini adalah merubah cara pandang negatifisme menjadi poitifisme atau istilah Pemerintahan saat ini adalah adanya “revolusi mental” dalam pengelolaan sampah. Hasil penelitian Saraswati (2007), menunjukkan bahwa ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pengelolaan sampah yaitu (a) jumlah sampah, (b) orang yang menangani sampah sebelum di buang, (c) pengetahuan tentang pola 3 R, (d) untuk melaksanakan reduce, (f) pelaksanaan reuse untuk mengurangi sampah, (g) melakukan daur ulang sampah (recycle). Hasil penelitian Handono (2010) menunjukkan bahwa peranserta masyarakat TPA Cipayung Kota Depok dalam pembiayaan retribusi nampaknya cukup baik dan partisipasi masyarakatnya cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dari realisasi pemungutan retribusi sampah rata-rata hampir mencapai 100% dari target penerimaan. Hasil lainnya menunjukkan bahwa, pada umumnya masyarakat mendapat pelayanan pengangkutan sampah tidak menerapkan pola 3R (green waste) atau green waste Sebagian masyarakat tidak mendapatkan pelayanan pengangkutan sampah dengan baik oleh petugas pengelola sampah, diantaranya masih banyak warga yang membuang sampah di jalan, sungai/selokan, lahan kosong bahkan melakukan pembakaran sampah. Penelitian disertasi ini, lebih menekankan pada aspek permodelan tentang partisipasi green community, green waste dan perumusan kebijakan pengelolaan sampah green waste mendukung terwujudnya kota hijau. Juga dengan memperhatikan kearifan lokal (pola kerigan) yang ada di masyarakat Kota Purwokerto yang telah terbukti keberhasilannya dalam menangani penyakit demam berdarah (DBD) dalam wujud “piket bersama” di kalangan masyarakat. Berikut disajikan tabel matrik tentang kajian penelitian terdahulu dan matrik kajian pendekatan terkait dalam analisis pembahasan penelitian terdahulu serta temuan yang diperoleh dalam penelitian tersebut, maka dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Kajian penelitian terdahulu A. Topik persampahan dan partisipasi No
Judul
Masalah
1.
Saribanon (2007).
Penelitian (tahun)
Perencanaan sosial partisipatif dalam pengelolaan sampah pemukiman berbasis masyarakat (Studi kasus di Kotamadya Jakarta Timur)
1. Upaya Pemerintah Kodya Jakarta Timur untuk mendukung pengelolaan sampah, masih rendah. 2. Persepsi, sikap, perilaku, partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah belum optimal.
2.
Saraswati (2007).
Model pengembangan kelembagaan pengelolaan persampahan kota berbasis partisipasi masyarakat (Studi kasus Kota Bandung)
3
Sillahi (2009).
Pengelolaan sampah berbasis masyarakat (Studi kasus RT 02/RW07 Benua Melayu Laut, Pontianak)
1. Aspek kelembagaan dan partisipasi merupakan faktor penting, akan tetapi realisasinya belum berjalan dengan baik dalam pengelolaan sampah.
1. Ketersediaan TPS di Benua sangat minim. 2. Pemerintah sangat terbatas kemampuan dananya. 3. Tidak ada partisipasi dalam pengelolaan sampah.
Metode 1. Analisis spartial. 2. Pendekatan kuantitatif. 3. Analisis tipologi pemukiman DKI. 4. Analisis AHP
1. Metode survei, 2. Analisis statistik, 3. Analisis kelembagaan (OCAT), 4. Analisis prosfektif,
1. 2. 3. 4.
Metode survei Observasi FGD Conten analisis
Temuan 1. Perlu penyebaran informasi oleh Pemerintah dalam pengelolaan sampah. 2. Perlu menggandeng kemitraan swasta. 3. Perlu membentuk forum komunikasi antar lembaga untuk pengelolaan sampah. 1. Faktor kunci dalam pengembangan kelembagaan adalah sosialisasi pola 3 R. 2. Perlu adanya peraturan tentang system insentif, desinsentif pola3 R. 3. Perlu diteliti lebih lanjut tentang partisipasi masyarakat dalam skala lebih luas. 1. Upaya pengelolaan sampah berbasis masyarakat agar lebih ditingkatkan dalam skala luas. 2. Perlu advokasi, asistensi serta difasilitasi kebijakan pemerintah tentang pengelolaan sampah.
35 35
36 36
Tabel 2 Kajian penelitian terdahulu (lanjutan) No.
Judul
Masalah
4.
Barnadi (2010)
Penelitian (tahun)
Analisis pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah sebagai upaya meningkatkan kualitas lingkungan hidup di Kota Bandung.
5.
Muthmainnah (2008).
Pengelolaan sampah kota berbasis partisipasi masyarakat menuju zero waste di TPA Galuga Kecamatan Cibungbulang Bogor.
1. Peran masyarakat dalam menangani sampah hanya sebagai obyek pendapatan saja. 2. Pendekatan selama ini sampah bukan sumberdaya. 3. Paradigma baru bahwa sampah pelayanan public 1. Jumlah sampah di TPA Galuga melimpah, dampaknya timbul pencemaran air, tanah, udara serta menurunkan estetika.
6.
Sillahi (2009).
Pengelolaan sampah berbasis masyarakat (Studi kasus RT 02/RW07 Benua Melayu Laut, Pontianak)
4. Ketersediaan TPS di Benua sangat minim. 5. Pemerintah sangat terbatas kemampuan dananya. 6. Tidak ada partisipasi dalam pengelolaan sampah.
Metode 1. Analisis AHP 2. SWOT 3. Metode Penelitian Survei
1. Metode analisis financial R/C. 2. Ratio dan BEP. 3. Analisis peran stakeholper 4. AHP.
5. 6. 7. 8.
Metode survei Observasi FGD Conten analisis
Temuan 1. Perlu kajian yang komprehensif tentang fungsi perusahaan daerah kebersihan kota Bandung. 2. Perlu penelitian lebih lanjut tentang kemungkinan adanya konflik pengelolaan sampah. 1. Pemerintah diharapkan mampu memfasilitasi pengelolaan sampah. 2. Perlu ditingkatkan keterlibatan pemulung di TPA Galuga. 3. Perlu upaya peningkatan kesadaran masyarakat melalui “capacity building”. 3. Upaya pengelolaan sampah berbasis masyarakat agar lebih ditingkatkan skala luas. 4. Perlu advokasi, asistensi difasilitasi kebijakan pemerintah tentang pengelolaan sampah.
Tabel 2 Kajian penelitian terdahulu (lanjutan) No 7.
8.
Peneliti (tahun) Kholil (2004)
Handono (2010).
Judul Rekayasa model sistem dinamik pengelolaan sampah terpadu berbasis nirlimbah (zero waste) Studi kasus di Jakarta Selatan.
Model Pengelolaan Tempat Pemprosesan Akhir (TPA) sampah secara berkelanjutan di TPA Cipayung Kota Depok.
Masalah Penangan sampah yang berorientasi pada TPA dengan system sanitary landfill sudah tidak tepat lagi. System daur ulang sampah terpadu dengan berbasis zero waste perlu diperhatikan.
Kondisi kualitas sosial, ekonomi, kesehatan di TPA jelek.Kebijakan pengelolaan TPA sampah di Depok belum berkelanjutan.
Metode 1. 2. 3. 4.
Metode ISM Analisis Kelayakan Usaha Daur ulang sampah. Model Sistem Dinamik. Analisis Finansial.
1. Analisis Kebijakan. 2. AHP. 3. Analisis Sistem Dinamis.
Temuan 1.
Penelitian ini masih belum dapat mengungkap model partisipasi yang tepat dalam penanganan sampah dan perkembangan kota. 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terutama peranserta masyarakat. 1. Kualitas air di TPA sudah diatas ambang batas.Perlu penanganan TPA. 2. Optimalisasi petugas kebersihan.
37 37
38
38
Tabel 2 Kajian penelitian terdahulu (lanjutan) B. Topik pembangunan kota berkelanjutan (program pembangunan kota hijau/ P2KH) No. 1.
Peneliti (tahun) Dimitriou (1991).
Judul
Masalah
An integrated approach to urban infrastructure development: a review of Indonesian experience
Upaya mendukung program pembangunan kota berkelanjutan, terlalu menekankan pada aspek teknis semata (infrastuktur). Pendekatan sosial (social enggeniering) masih rendah.
2.
Suhono (2008).
Pengelolaan pembangunan infrastruktur terpadu dalam rangka pengembangan perkotaan berkelanjutan.
3.
Hadi (2012).
Model pengendalian lingkungan pembangunan Kota Baru Berkelanjutan (Studi kasus pengembangan Kota Baru Bumi Serpong Damai)
Hidayat (2011).
Aplikasi langgam arsitektur melayu sebagai identitas kawasan menuju kota berkelanjutan.
4.
Belum adanya model, strategi pembangunan kota secara berkelanjutan berbasis keterpaduan dan keberlanjutan wilayah perkotaan. Belum optimalnya pengendalian lingkungan dalam pengembangan Kota Bumi Serpong Damai secara berkelanjutan.
Penerapan langgam arsitektur melayu dalam design bangunan kontemporer di kota Pekanbaru, perlu dilestarikan.
Metode 1.
2.
3.
Pendekatan partisipatif secara bottom up. Metode penelitian survey. Pendekatan kualitatif (PRA; FGD) dan kuantitatif.
Temuan Perlu skala yang lebih luas dalam pembangunan kota berkelanjutan. Perlu atribut lain dalam penelaahan program pembangunan kota hijau, selain atribut inftastruktur. Perlu lebih diperhatikan, pendekatan partisipatif dalam program P2KH.
1. Metode survey. 2. Rapfish 3. Kualitatif (FGD) 4. Sistem : AHP.
Perlu menganalisis strategi kebijakan di tempat lain dalam pembangunan perkotaan berkelanjutan.
1. Model sistem dinamik. 2. Analisis prospektif. 3. Pelibatan banyak stakeholder. 4. MDS 5. FGD Metode Penelitian kualitatif deskriptif. Analisis flow.
Perlu adanya keterkaitan dalam mengukur parameter baru pembangunan kota berkelanjutan dengan kota sekitarnya . Perlu pengendalian pertumbuhan penduduk dengan program KB diiringi dengan kebijakan daerah dan urbanisasi. Mayoritas design melayu lebih memprioritaskan aspek identitas daripada aspek ekologi dalam merespon kondisi lingkungan. Perlu adanya kesadaran dari pihak swasta, agar bangunan bercorak arsitek melayu.
Tabel 2 Kajian penelitian terdahulu (lanjutan) C Topik kearifan lokal No.
Masalah
Metode
Temuan
1.
La Ode Ali Basri (2010).
Peneliti (tahun)
Kearifan lokal sebagai modal sosial dan budaya dalam pemberdayaan masyarakat pesisir etnik bajo Bungin Permai Sulawesi Tenggara.
Judul
Saat ini kearifan lokal orang Bajo tidak berfungsi secara optimal, sebab masyarakat Bajo merupakan masyarakat marginal.
Metode kualitatif dengan pendekatan kajian budaya. Content analysis dan FGD. Analisis narasi, tabel dan ilustrasi fisual.
2.
Budiman (2012).
Keberadaan kearifan lokal dalam pengelolaan hutan mangrove: Studi kasus di Desa Peniti Luar Kecamatan Siantan Kabupaten Pontianak.
3.
Pattinama (2009).
1. Metode penelitian kualitatif. 2. Analisis triangulasi teori, deskriptif komparatif. Metode penelitian kualitatif kasus terpancang (embedded research). FGD.
4.
Kardiman (2009).
Pengentasan kemiskinan dengan kearifan lokal (Studi kasus di Pulau Buru Maluku dan Surada Jabar) Pengembangan kearifan lokal penggunaan pupuk pestisida nabati untuk menekan dampak pencemaran lingkungan.
5.
Sukawi (2010).
Kearifan lokal masyarakat sebagai modal sosial di desa Peniti, semana ini diduga sudah mengalami perubahan. Faktor penyebabnya perlu dicari, agar ada solusi. Kearifan lokal dalam pengentasan kemiskinan, sering dilupakan, padahal ini modal sosial. Dalam pertanian, penggunaan asupan bahan kimia sintetis tidak diperbolehkan. Dalam prakteknya dilanggar. Pelibatan organisasi kemasyarakatan dalam perencanaan kota pasca bencana sangat rendah.
Kearifan lokal orang Bajo merupakan modal sosial adalah (a) kearifan filosofi dan system rarambanga, (b) pengetahuan dan keterampilan asli, (c) budaya kerja keras, Perlu revitalisasi budaya lokal agar tidak “punah” di kalangan generasi muda. Nilai-nilai kearifan lokal masyarakat desa Peniti Luar memiliki peluang ditingkatkan statusnya menjadi kebijakan formal dalam bentuk peraturan desa Kearifan lokal perlu diperhatikan sebagai modal sosial dalam upaya pengentasan kemiskinan. Mengatasi kerusakan lingkungan dan kesehatan, maka penggunaan pestisida nabati merupakan kearifan lokal perlu ditingkakan. Perlu penyepakatan kembali bersama masyarakat tentang kebijakan yang tertuang dalam produk tata ruang, sebagai tindak lanjut dari perencanaan tata ruang.
Penerapan kearifan lokal melalui partisipasi masyarakat dalam perencanaan kota pasca bencana (Studi kasus kota Teluk dalam Nias Selatan).
Metode: teknik formulasi atraktan nabati, survei, wawancara,. 1. Metode penelitian kualitatif kasus terpancang . 2. Metode partisipasi : PRA, STARR.
39 39
40 Kajian Teori Terkait Penelitian Terdahulu Studi mengenai partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah berkelanjutan di perkotaan secara menyeluruh teori yang digunakan bervariasi. Penelitian yang berkembang masih partial dan teori yang digunakan sifatnya belum meliputi teori kota hijau, kearifan lokal dan green waste. Teori yang digunakan, misalnya dalam suatu judul penelitian partisipasi dalam pengelolaan sampah, maka teori digunakan adalah teori partisipasi, teori persampahan, teori pencemaran lingkungan, teori perubahan sosial. Penelitian yang bertemakan pembangunan kota berkelanjutan, teori yang digunakan umumnya meliputi teori infrastruktur, perwilayahan, teori perencanaan, teori kelembagaan, teori pembangunan dan sebagainya. Belum ada yang mengangkat tentang kearifan lokal (local wisdom) khususnya pola kerigan dan komunitas hijau (green community) serta aktivitasnya bank sampah. Kajian tentang pengelolaan sampah, yang dilakukan oleh Saribanon (2007), lebih berorientasi pada perencanaan sosial partisipatif dalam pengelolaan sampah permukiman berbasis masyarakat, dengan menggunakan teori persepsi, sikap, perilaku, partisipasi. Penelitian Handono (2010) lebih menekankan teori pencemaran dikaitkan dengan partisipasi di tempat pemprosesan akhir sampah, tanpa melihat sumber penghasil sampah.Penelitian Kholil (2005) intinya lebih menekankan pada teori kebijakan publik dan pencemaran serta pengelolaan sampah nir- limbah atau zero waste. Penelitian Saraswati (2007) tentang model pengembangan kelembagaan pengelolaan persampahan kota berbasis partisipasi masyarakat (studi kasus di Kota Bandung), lebih menekankan pada aspek pengembangan kelembagaan pengelolaan sampah.Penelitian ini kurang menekankan pada aspek sosial budaya masyarakat di lokasi penelitian dan tidak menggali kearifan lokal sebagai modal sosial masyarakat yang diteliti. Penelitian Kristyanto Teguh (2007) tentang pengelolaan sampah berdasarkan peranserta masyarakat di Kota Kebumen. Penelitian ini lebih menekankan terhadap bentuk pengelolaan persampahan berdasarkan peranserta masyatakat Kota Kebumen dengan analsis melaluii identifikasi preferensi masyarakat, peranserta masyarakat, bentuk pengelolaan sampah dan peranserta stakeholder. Penelitian ini lebih bersifat pengelolaan sampah organik, dan analisis lebih menekankan ke analisis kuantatitif. Penelitian tentang pengembangan perkotaan berkelanjutan,yang dilakukan Suhono (2008), dengan tema pembangunan infrastruktur terpadu dalam rangka pengembangan perkotaan berkelanjutan, teori yang digunakan lebih menekankan pada pembangunan infrastruktur perkotaan, teori yang digunakan lebih menekankan pada teori postcolonial, hegemonia dan semiloka. Penelitian yang dilakukan oleh Hadi (2012) bertemakan model pengendalian lingkungan Kota baru berkelanjutan. Teori yang digunakan menekankan pada teori kewilayahan permukiman dan teori kota baru, namun kurang memperhatikan partisipasi dan stakeholders yang lebih komprehensif. Kajian tentang kearifan lokal, yang dilakukan Basri (2010), teori yang digunakan yaitu modal sosial dalam pemberdayaan masyarakat pesisir. Penelitian Sukawi (2010) bertemakan penerapan kearifan lokal melalui partisipasi masyarakat dalam perencanaan kota pasca bencana. Teori yang digunakan lebih menekankan pada kajian kearifan lokal, kajian mitigasi dan bencana,
41 pengembangan kota partisipatif. Penelitian ini, kurang memperhatikan kajian teori sosiologis yang menunjukkan interaksi sosial dan perubahan sosial. Penelitian dan studi yang telah dilakukan, masih kurang menerapkan teori tentang kota hijau, kearifan lokal pola kerigan, green community dan green waste. Penelitian ini berupaya menerapkan teori sisi lain yang belum diterapkan dalam penelitian terdahulu, baik aspek sosiologis meupun aspek lingkungan. Satu sisi mengubah paradigma berpikir dalam pengelolaan sampah dari end of fipe menjadi zero waste di sumber penghasil sampah rumah tangga upaya menuju green community mendukung kota Hijau Purwokerto. Rangkuman terhadap kajian teori tentang studi atau penelitian terdahulu meliputi bidang persampahan, kota berkelanjutan dan bidang kearifan lokal, secara garis besar dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Matrik analisis teori penelitian terdahulu Topik
Nama peneliti (tahun)
Judul dan teori yang digunakan
Partisipasi dan Persampah an
Saribanon (2009)
Perencanaan Sosial Partisipatif dalam Pengelolaan sampah Pemukiman Berbasis Masyarakat (Kasus di Kotamadya Jakarta Timur). Teori : Persampahan; persepsi; sikap; perilaku; partisipasi; model pengembangan masyarakat dan perubahan sosial. Pengembangan Model Simulasi Proses Pengomposan Sampah Organik Perkotaan dalam Bioreaktor.. Teori : Persampahan; Pertumbuhan organism.
Setyo (2007)
Royadi (2006)
Analisis Pemanfaatan TPA Sampah Teori: Komposisi persampahan dan pencemaran serta penyakit yang timbul.
Saraswati (2007)
Model Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Persampahan Kota Berbasis Partisipasi Masyarakat (Studi Kasus kota Bandung). Teori : Persampahan; Kelembagaan; partisipasi dan pembangunan berkelanjutan.
Keterangan kritisi teori yang belum digunakan Penelitian ini belum mengkaitkan dengan Teori Kota hijau maupun konsep maupun teori P2KH. Penelitian ini belum mengkaitkan dengan Teori Sikap; perilaku, partisipasi dan metode Sistem Dinamik dan AHP; Penelitian ini belum mengkaitkan dengan teori Perubahan sikap dan partisipasi, karena lebih membahas ke aspek eksakta. Penelitian tidak membahas teori kota hijau dan system dinamik serta AHP.
42 Tabel 3 Matrik analisis teori penelitian terdahulu (lanjutan) Topik
Nama peneliti (tahun) Barnadi (2010)
Sillahi (2009)
Hatta (2005)
Kholil (2004)
Hartrisari (2007)
Handono (2010)
Cholik (2011)
Nurhasanah (2012)
Judul dan teori yang digunakan
Keterangan kritisi teori yang belum digunakan
Analisis Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Sampah Sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas Lingkungan Hidup di Kota Bandung. Teori : Kebijakan; komunikasi dan struktur organisasi.. Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat (Studi Kasus RT 02/RW 07 Benua Melayu Laut Pontianak) Teori : Persampahan; partisipasi dan teori perubahan sosial. Belum mengkaitkan dengan pengelolaan sampah di sumber sampah serta keberadaan bank sampah. . Pengaruh TPA Terhadap Lingkungan Perairan di sekitarnya (Studi Kasus TPA Bantargebang Bekasi). Teori : Persampahan, pembangunan. Rekayasa Model Sistem Dinamik Pengelolaan Sampah terpadu berbasis Nirlimbah (zero waste) Studi Kasus di Jakarta Selatan. Teori: Kelembagaan, partisipasi. Model dinamik Pengelolaan sampah (Zero waste management). Teori: Lebih menekankan ke teori sistem dinamik dan persampahan. Model Pengelolaan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sampah Secara Berkelanjutan di TPA Cipayung Kota Depok Jawa Barat.. Teori: Persampahan; pencemaran; kebijakan dan partisipasi. Penelitian ini lebih menekankan aspek eksakta dan aspek sosial sedikit. Formulasi Kebijakan Sistem Pengolahan Sampah Perkotaan Berkelanjutan (Studi Kasus DKI) Teori: Persampahan; pembangunan kota berkelanjutan, pencemaran. Penelitian ini membahas aspek sosial, masih ada celah penelitian. Pengolahan Lindi dan Potensi Pemanfaatannya Sebagai Pupuk Cair Untuk Mendukung Pengembangan TPA Sampah Lestari. Teori: Pencemaran Tenah dan persampahan..
Penelitian ini membahas aspaek sosial. Namun belum mengkaitkan dengan teori kota hijau Penelitian ini tinjauannya aspek sosial. Namun sisi yang belum dibahas adalah teori perubahan perilaku dan teori kota hijau. Penelitian ini, belum membahas t teori partisipasi dan kota hijau. Penelitian ini tidak membahas teori kota hijau dan perubahan sikap, perilaku. . Sisi lain yang bisa ditekiti teori kota hijau dan partisipasi. Sisi lain yang belum dibahas adalah teori kota hijau.. Terutama tentang teoaria pembentukan sikap, perilaku..
Sisi lain yang bisa dibahas adalah teori partisipasi , dan teori kebijakan punlik dan system dinamik.
Sisi lain yang belum dibahas adalah aspek sosial dan Teori partisipasi., perubahan sikap.
43 Tabel 3 Matrik analisis teori penelitian terdahulu (lanjutan) Topik
Pembangu nan Kota Hijau
Nama peneliti (tahun)
Dimitriou (1991)
Tridarmayanti (2010)
Hardian (2007)
Suhono (2008)
Zulkaidi (2009)
Herwirawan (2009)
Panjaitan (2010)
Hadi (2012)
Santosa (2012)
Judul dan teori yang digunakan
Keterangan kritisi teori yang belum digunakan
An integrated approach to urban infrastructure development: a review of Indonesian experience. Teori : Kota hijau; partisipasi dan pembangunan berkelanjutan.. Aspek kajian lebih menekankan pada aspek sosial dan ekonomi, tapi tidak membahas persampahan. Analisis perubahan ruang terbuka hijau kota upaya pembangunan kota berkelanjutan Bandarlampung.. Teori : kota berkelanjutan; kebijakan publik dan partisipasi. Kajian dinamika wilayah untuk perubahan batas administrasi menuju pembangunan kota berkelanjutan (Studi kasus PP No. 84 Tahun 1999 tentang perubahan batas wilayah Kota Bukittinggi dan Kabupaten Agam). Teori: lebih menekankan teori wilayah dan konfliks sosial, perubahan sosial. Pengelolaan pembangunan infrasrtuktur terpadu dalam rangka pengembangan perkotaan berkelanjutan.: Studi wilayah Kedungsempur Jawa Tengah. Teori: kajian teori kota hijau, kebijakan public dan partisipasi.. Profil Lingkungan hidup kota metropolitan di Indonesia. Teori: pencemaran, kesehatan, tanah.. Analisis struktur ruang dalam pengembangan infrastruktur berkelanjutan di kota Depok. Teori: kota ; kebijakan,; kelembagaan. Model pengelolaan Infrastruktur berkelanjutan di kawasan Kota Bogor. Teori: Kota dan pembangunan wilayah.
Penelitian ini membahas aspek sosial, namun teori yang belum digunakan adalah permodelan, teori persampahan..
Model pengendalian lingkungan pembangunan kota baru berkelanjutan (Studi kasus pengembangan Kota Baru Bumi Serpong Damai). Teori: kota baru; pemukiman. Arahan kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di pinggiran Kota Metropolitan DKI Jakarta.. Teori: wilayah dan kota berkelanjutan.
Teori yang belum dikaji dalam penelitian ini adalah tentang bank sampah. Penelitian ini belum mengkaji teori persampahan, teori paartisipasi dan kota hijau. Ini sisi lain yg bisa dikaji. Sisi teori yang belum dikaji adalah teori persampahan dan permodelan dinamis. Sisi lain yang belum dikaji, teori persampahan. Sisi lain yg belum dibahas adalah teori partisipasi. Sisi lain yang belum dikaji adalah teori partisipasi. Sisi lain teori yang belum dikaji adalah teori kota hijau dan partisipasi. Sisi lain teori yang belum dibahas adalah teori partisipaasi dan permodelan.
44 Tabel 3 Matrik analisis teori penelitian terdahulu (lanjutan) Topik
Nama peneliti (tahun)
Sudjana (2004)
Analisis ekonomi politik dan hukum lingkungan wilayah pesisir dan lautan Kota Batam dalam rangka pembangunan berkelanjutan.. Teori: ekonomi politik; hukum; kelembagaan; pembangunan.
Kurniawan (2003)
Manajemen kota berkelanjutan di Indonesia: Indikator dalam upaya mengembangkan kebijakan kota berkelanjutan pemkot di Indonesia. Teori: kota berkelanjutan dan persampahan. Aplikasi langgam arsitektur Melayu sebagai identitas kawasan menuju kota berkelanjutan.. Teori: Kota berkelanjutan; budaya; kosep arsitek berkelanjutan.
Hidayat (2011)
Kearifan Lokal (Local Wisdom)
Judul dan teori yang digunakan
Basri (2010)
Budiman (2012)
Sunariyati (2012)
Sukawi (2010)
Kardiman (2009)
Amanah (2006)
Kearifan lokal sebagai modal sosial dan budaya dalam pemberdayaan masyarakat Pesisir Etnik Bajo Bungin Permai Sulawesi Tenggara. Teori : psikologi; structural; haegemoni dan semiloka.. Keberadaan kearifan lokal dalam pengelolaan hutan mangrove : Studi kasus di Desa Peniti Luar Kecamatan Siantan Teori: Adat folkways; kearifan lokal; pertukaran sosial dan teori ketergantungan. Pengetahuan lokal masy. Dayak Ngaju dalam memanfaatkan tumbuhan sebagai bahan kajian pengintegrasian etnobotani pada kurikulum SD di Wil Pedalaman. Teori: etnobotani; khasiat tumbuhan dan kearifan lokal. Penerapan kearifan lokal melalui partisipasi masy. dalam perenc. kota pasca bencana (Studi kasus Kota Teluk Dalam Nias Selatan) Teori: partisipasi; kearifan lokal. Pengembangan kearifan lokal penggunaan pupuk pestisida nabati untuk menekan dampak pencemaran. Teori: kebijakan public; kearifan lokal. Pengembangan masyarakat pesisir berdasarkan kearifan lokal di Pesisir Kab. Buleleng Bali.. Teori: kearifan lokal; sikap dan perilaku serta perubahan sosial.
Keterangan kritisi teori yang belum digunakan Sisi lain yang belum dikaji adalah teori partisipasi dan kota hijau..serta perubahan sikap dan perilaku. Sisi lain teori yang belum dikaji adalah teori partisipasi dan perubahan perilaku. dan teori sosiologi. Sisi lain yang belum dikaji, adalah teori sosiologi, teori partisipasi dan teori permukiman. Sisi lain yang belum di kaji adalah teori pembentukan persepsi, sikap, perilaku. Sisi lain yang belum dikaji adalah teori lingkungan dan teori partisipasi. Sisi lain teori yang belum di kaji adalah teori sosiologi yang berhubungan dengan inteaksi sosial Sisi lain teori yang belum dikaji adalah teori kota hijau dan pembangunan. Sisi lain teori yang dikaji adalah teori perubahan sosial dan partisipasi. Sisi lain yang belum dikaji adalah teori pemberdayaan masyarakat.
45 3 METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Wilayah Kota Purwokerto Kabupaten Banyumas, meliputi empat kecamatan, 27 kelurahan dan 243.427 jiwa sebagai sumber penghasil sampah. Pertimbangan mengambil lokasi Kota Purwokerto, karena sepengetahuan penulis, di Kota Purwokerto sampai saat ini belum ada yang mengadakan penelitian tentang model partisipasi green community dalam green waste lintas rumah tangga berbasis pola kerigan mendukung kota hijau. Partisipasi green community berbasis pola kerigan upaya mendukung kota hijau (green city) dengan menggunakan analisis kualitatif, statistik, AHP dan sistem dinamik. Pertimbangan teknis, adalah saat ini Kota Purwokerto merupakan salah satu dari 15 kabupaten/kota di Propinsi Jawa Tengah yang sedang melaksanakan program P2KH dimana atribut yang diprogramkan untuk tahun 2015 adalah green community dan green waste. Peta administrasi lokasi penelitian Kabupaten Banyumas pada Gambar 5.
Gambar 5. Peta administrasi lokasi penelitian Kabupaten Banyumas. Rancangan Penelitian Penelitian tentang model partisipasi green community dalam perumusan kebijakan green waste lintas rumah tangga, mendukung kota hijau sebagai berikut : 1. Penelitian Pertama, yaitu mengenai aktor- aktor dominan penggerak green waste menuju terbentuknya green community sehingga dapat membangkitkan partisipasi elemen masyarakat dalam pembangunan Kota Hijau Purwokerto. Hal yang dikaji adalah kondisi lingkungan di daerah penghasil sampah, meliputi: (a) analisis lingkungan sosial,
46 ekonomi dan budaya masyarakat di Kota Purwokerto, (b) analisis pengetahuan, persepsi, sikap, perilaku dan partisipasi masyarakat menuju green community dalam pengelolaan sampah rumah tangga green waste mendukung program P2KH. Pendekatan penelitian bagian (a, b) menggunakan penelitian kuantitatif dengan metode penelitian survey, analisis data menggunakan statistik deskriptif dan inferensial (path analysis). Selanjutnya (c) analisis tentang volume sampah yang dihasilkan tiap hari, menggunakan analisis data skunder, menggunakan statistik deskriptif (d) analisis aktor-aktor dominan penggerak green waste menuju green community, mengggunakan analisis triangulasi. dan (e) analisis penyebab meningkatnya sampah dan hubungannya dengan pertumbuhan penduduk, menggunakan analisis regresi linier berganda, dan digunakan triangulasi analisis interaktif. 2. Penelitian kedua, yaitu transformasi green community berbasis “proyek” menjadi berbasis “komunitas” yang mampu berpartisipasi dalam green waste lintas rumah tangga upaya mendukung P2KH Kota Purwokerto. Pendekatan kualitatif (triangulasi), analisis yang digunakan adalah analisis interaktif. Penelitian ini bersifat eksploratif, yaitu menggali potensi kearifan lokal, sebagai modal sosial dalam bentuk pola kerigan. Penelitian kedua ini, juga didekati pendekatan kualitatif, analisis yang digunakan adalah analisis interaktif dengan triangulasi. Informan adalah angggota green community. Teknik pengambilan informan menggunakan teknik purposive sampling. 3. Penelitian ketiga, yaitu mengenai kebijakan pengelolaan sampah rumah tangga green waste di Kota Purwokerto. Penelitian ini meliputi metode analisis AHP, dengan responden pakar lingkungan yaitu dua orang akademisi, dua orang birokrat dan satu orang green community, dua LSM (LP3SD dan LPPSLH), dua anggota DPRD dan dua wartawan. 4. Penelitian keempat, yaitu membangun model pengelolaan green waste lintas rumah tangga berbasis partisipasi green community di Kota Purwokerto. Penelitian ini meliputi (a) kondisi eksisting pengelolaan persampahan Kota Purwokerto ditinjau dari tiga sub model yaitu, (b) sub-model demografi (penduduk), (c) sub- model jumlah persampahan (sampah domestik yang dihasilkan penduduk Kota Purwokerto dan (d) sub-model partisipasi masyarakat green community dalam pengelolaan sampah rumah tangga. Ketiga Sub- model dibuat secara partial sesuai dengan masing-masing sub model tersebut, selanjutnya ketiga sub model tersebut diintegrasikan menjadi model dalam suatu pembahasan. Selanjutnya, dibahas juga rekomendasi model alternatif strategi kebijakan pengelolaan sampah green waste berbasis partisipasi green community. Model yang dibangun untuk kajian sistem adalah dinamik dengan menggunakan software Powersim. Jenis dan Sumber Data Penelitian Penelitian ini mengambil dua macam jenis data, yaitu data primer dan skunder. Data primer dilakukan dengan melakukan metode (a) wawancara responden, observasi yaitu melihat kondisi secara langsung di lapangan, (b) focus group discusstion, (c) partisipan as observation. Data primer keadaan
47 sosial ekonomi dan budaya, persepsi, sikap, perilaku, dan partisipasi green community diperoleh dari wawancara mendalam (indepth interview) dan wawancara terstruktur yaitu masyarakat Kota Purwokerto. Data untuk pengambilan kebijakan diperoleh dari wawancara terhadap birokrat, ketua bank sampah, green community, akademisi, wartawan, LSM dan DPRD. Pengumpulan data skunder dilakukan melalui pencarian data yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS), Bappeda, DCKKTR , BLHD, UPT TPA “Gunung Tugel”, dokumen hasil penelitian terdahulu, bank sampah, termasuk dari LSM pemerhati lingkungan (green community) dan analisis isi dari koran tentang pengelolaan sampah di Purwokerto. Metode Pengumpulan Data Penelitian. Merode pengumpulan data, banyaknya sampel, informan dan tekhnik sampling, disajikan berikut. 1. Penentuan jumlah sampel pemulung berdasarkan pada perhitungan dengan menggunakan rumus penentuan sampel (Sugiono 2010). ( Z2xPxQ) N = ---------------- (Pedhazur 1997) D2 Keterangan: Z = dengan tingkat kepercayaan 95%= 0,95 dalam tabel (angka 1,96) P = nilai dugaan awal proporsi jawaban variabel utama = 40% = 0,40 Q = 1-p = 1- 0,40 = 0,60; D = margin of error = dipakai dalam hal ini 10% = 0,01 Sampel pemulung 92 dengan multistage atau area random sampling. 2. Responden kepala keluarga (KK) di Kota Purwokerto, jumlah 342 orang dengan
cluster random sampling untuk lokasi dan proposional random sampling untuk KK. Penentuan sampel, yang sudah diketahui jumlah populasinya, digunakan rumus dari Issac dan Michae, sebagai berikut:
Keterangan: 2 dengan dk=1, taraf kesalahan bisa 1%, 5%, 10% ; P=Q=0,5 ; d= 0,05 ; s = jumlah sampel. 3. Anggota green community, diambil secara purposive Sampling. 4. Responden nasabah bank sampah (PAS), jumlah populasi: 433 , diambil sebanyak 195 orang secara simple random sampling. 5. Responden Camat, diambil 1 orang secara purposive sampling. 6. Responden Lurah, dari 27 diambil secara total sampling/ sensus. 7. Responden ketua RW, dari populasi sebanyak 238 RW, diambil sebanyak 89 ketua RW dengan teknik proposional random sampling.
48 8. Respondenketua Rukun Tetangga(RT), dari jumlah populasi 1.152 RT, diambil sebanyak 213 RT, dengan proposioanal random sampling. 9. Respondenpengusaha rongsok, diambil sebanyak 2 pengusaha, dengan teknik purposive sampling. 10. Responden LSM diambil 2, dengan tekhnik Purposive sampling. 11. Responden Dinas;Badan,UPT, LPPM,diambil masing-masing satu, dengan teknik purposive sampling. 12. Responden pengepul, diambil 4 orang, dengan purposive sampling. 13. Responden ketua dasa wisma pengelola sampah diambil 23 dengan tekhnik purposive sampling . 14.Pakar persampahan sebagai penilai untuk analisis AHP, diambil 11 pakar, yaitu Akademisi, Birokrat, ketua Green community, wartawan, LSM, DPRD secara purposive sampling. Berdasarkan uraian di atas, maka disajikan dalam bentuk Tabel 4. Tabel 4. Jumlah unit analisis , jumlah responden dan metode pengumpulan data No. Jumlah Unit analisis Metode pengumpulan data (orang) 1. Kepala rumah tangga:Survey 342 Kuesioner, wawancara 2.
Ketua dasa wisma : Survey
23
Kuesioner, wawancara
3.
Anggota green community
5
4.
Nasabah bank sampah : Survey
195
Kuesioner, wawancara
5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Ketua Rukun Tetangga :Survey Ketua Rukun Warga : Survey Lurah : Survey Camat: Triangulasi Pemulung: Survey Bandar/lapak : Triangulasi Pengusaha rongsok : Triangulasi LSM: Triangulasi DCKKTR : Triangulasi Kantor BLHD : Triangulasi LPPM : Triangulasi UPT sampah : Triangulasi Pakar lingkungan /persampahan :
213 89 27 1 92 4 2 2 1 1 1 1 11
Kuesioner, wawancara Kuesioner, wawancara Kuesioner Wawancara Kuesioner, wawancara Wawancara Wawancara Wawancara Wawancara Wawancara Wawancara Wawancara Kuesioner (AHP)
Wawancara
Definisi Operasional Variabel dan Pengukuran Skala Data Penelitian. 1.
2. 3.
Pembangunan kota hijau adalah kota yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat sekarang, menciptakan keseimbangan lingkungan, sosek tanpa mengabaikan kebutuhan generasi yang akan datang. Skala data ordinal. Kota hijau adalah kota yang berkelanjutan, kota ramah lingkungan dan kota yang berupaya mengurangi limbah atau sampah. Skala data ordinal. Pengelolaan sampah green waste lintas rumah tangga adalah pengelolaan sampah ramah lingkungan di sumber sampah dengan pola 3 R (reduse, reuse dan recycle). Skala data ordinal.
49 4.
Timbunan sampah adalah banyaknya sampah yang timbul hasil dari masyarakat yang dinyatakan dalam satuan volume maupun berat per kapita per hari atau per- luas bangunan atau per- panjang jalan. 5. Sampah adalah berupa barang negatif yang diproduksi manusia bersama adanya barang positif dan jasa. Barang negatif berupa barang yang keberadaanya justeru menimbulkan kerusakan. Skala data ordinal. 6. Daya dukung lahan adalah luas lahan dibagi jumlah penduduk. Skala data interval. 7. Bank sampah adalah program penanganan sampah dengan melibatkan masyarakat sebagai upaya meningkatkan partisipasi masyarakat secara mandiri dengan memanfaatkan sampah bernilai ekonomis. Program bank sampah ini digulirkan Kementerian Lingkungan Hidup. Skala data ordinal. 8. Pengetahuan adalah pemahaman seseorang yang diperoleh baik secara formal maupun informal. Skala data berupa ordinal. 11. Sikap adalah tanggapan seseorang terhadap suatu obyek, yang dinyatakan dalam persetujuan atau tidak terhadap obyek. Skala data ordinal. 12. Perilaku adalah kebiasaan sehari-hari yang dilakukan seseorang dalam mengelola sampah rumah tangga. Skala data ordinal. 13. Partisipasi adalah keterlibatan aktif masyarakat dalam proses pelaksanaan program pengelolaan sampah dalam mendukung P2KH . Partisipasi ditandai dengan keterlibatan masyarakat dalam keanggotaan bank sampah dan juga ditandai dengan jumlah/volume sampah yang dimanfaatkan bank sampah. Skala data sebagian interval dan sebagian ordinal. 14. Model partisipasi green community adalah model yang mengedepankan keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan kota hijau untuk meningkatkan kualitas, kuantitas lingkungan perkotaan. Skala data ordinal. 15.Kearifan Lokal, adalah pengetahuan yang dimiliki masyarakat dalam memandang dunia, lingkungannya, mewujudkan tingkah laku serta kebiasaan yang sesuai dengan lingkungannya. Skala data ordinal. 16. Lokal genius adalah cultural identity atau identitas atau kepribadian budaya bangsa Indonesia menyebabkan bangsa mampu menyerap dan mengolah kebudayaan sesuai watak dan kemampuan sendiri. Skala data ordinal. 17.Pola kerigan, adalah bentuk kearifan lokal brupa kerjabakti komunal masyarakat Banyumas, dalam pengelolaan sampah. Skala data ordinal. 18.Kota hijau (green city): kota berkelanjutan: kota ramah lingkungan adalah kota yang mengurangi limbah/sampah, kota yang menjamin kesehatan lingkungan dan kota yang mensinergikan lingkungan alami dan buatan yang berpihak pada prinsip pembangunan berkelanjutan. Skala data ordinal. 19. Green community,adalah masyarakat pemerhati lingkungan yang dibentuk.masyarakat yang peduli lingkungan, di Kota Purwokerto terbentuk 17 kelompok anggota green community. Konsep Green Community ini yang dipakai dalam penelitian ini. Skala data ordinal. 21.Kebijakan adalah serangkaian aturan dan merupakan solusi atas masalah, dalam hal ini yang berhubungan dengan persampahan. Skala data ordinal.
50 Variabel Penelitian Selanjutnya, model partisipasi masyarakat green community dalam perumusan kebijakan green waste lintas rumah tangga mendukung kota hijau Purwokerto, maka berikut ini disajikan Tabel 5. Tabel 5 Unit analisis, variabel penelitian, indikator dan skala data Unit analisis Tingkat rumah tangga
Variabel Karakteristik kepala keluarga (KK)
Indikator/item .Usia, pendidikan, pendapatn. . Pekerjaan. .Status; kondisi rumah .Jumlah anggota. keluarga .Ukuran rumah tinggal .Luas halaman rumah
Pengetahuan tentang pola kerigan upaya mendukung program pengembangan kota hijau (P2KH). Pengetahuan ttg sampah upaya memahami program kota hijau (P2KH).
Pengetahuan ttg gotong royong (banjir, sampah, lingkungan), pentingnya kerigan bagi pembangunan kota hijau (P2KH) Pengetahuan ttg jenis sampah, bahaya sampah. Pengetahuan ttg cara pembuangan sampah. Pengetahuan ttg TPA Pengetahuan pengelolaan sampah berkelanjutan. Pengetahuan Pola 3R+1p Pengetahuan tentang konsep, indikator pentingnya, tujuan P2KH. Pengetahuan ttg: konsep; pentingnya bagi LH; mahluk hidup, generasi kini, akan datang sec.berkelanjutan Penilaian cara membuang sampah. Penilaian terhadap bahaya dan dampak sampah. Penilaian thd kebiasaan membuang sampah. Tanggapan thd kebiasaan membuang sampah. Tanggapan/respon thd pengelolaan sampah berklj. Tanggapan/respon thd partisipasi masy dlm pengelolaan sampah. .Tingkat Timbunan Sampah (Volume). Cara penanganan sampah di sumber. .Biaya untuk pengel. samph .Teknologi pengelol.sampah.
Pengetahuan ttg kota berkelanjutan; kota hijau; P2KH Pengetahuan ttg pembangunan berkelanjutan; kota hijau Persepsi terhadap pengelolaan sampah upaya mendukung ktota hijau (P2KH)
Sikap erhadap pengelolaan sampah menuju green waste upaya mendukung kota hijau (P2KH).
Perilaku pengelolaan sampah upaya mendukung kota hijau (P2KH).
Skala data . Interval . Ordinal . Ordinal . Ordinal . Interval . Interval . Interval . Semua Ordinal
. Semua Ordinal . Ordinal . Ordinal . Ordinal . Ordinal . Semua Ordinal
. Semua Ordinal
. Ordinal . Ordinal . Ordinal . Ordinal . Ordinal . Ordinal
. Interval . Ordinal . Interval . Ordinal
51 Tabel 5 Unit analisis, variabel penelitian, indikator dan skala data (lanjutan) Unit analisis
Variabel Partisipasi Masyarakatgreen community dalam Pengelolaan Sampah mendukung P2KH
Dawis, RT, RW, Lurah, Camat.
Partisipasi Pengelolaan Sampah mendukung P2KH
Pemulung; Pengepul; Bandar (lapak); Nasabah Bank sampah PAS
Karakteristik/profil
Pabrik/Persh Daur Ulang/Kompos.
Karakteristik/profil
LSM; Bank Sampah ( Green Community)
Karakteristik/profil
Investor/swasta
Karakteristik/profil
Pemda: Instansi Terkait: Dinas; Badan: UPT.
Kapasitas Organisasidalam rangka Pengambilan Kebijakan.
Indikator/item Keterlibatan dalam perencanaan pengelolaan. Keterlibatan dalam pelaksanaan Pengelolaan. Keterlibatan pengawasan. Kebiasaan dalam mengelola Kesediaan memilah .Keterlibatan dlm kebijakan Kendala meningkatkan partisipasi dlm pengel sampah rumah tangga. Upaya penigk. partisipasi dlm pengel sampah .Ketersediaan Pelayanan . . Tingkat Pelayanan. . Tingkat keaktifan anggota . Biaya Pelayanan . Sumber biaya . Sosialisasi . Cara pengl. sampah. . Vol sampah terkumpul/hari . Hubungan/jaringan Usia; Pendapatan, pendidikn .Jumlah tanggungan klg .Lama menjalani profesi. .Jenis barang yang didapat. .Jumlah sampah diperoleh .Harga Barang per kg .Peruntukan Hasil .Jenis .Lama berusaha .Sumber bahan baku . Jumlah Produk .Harga Jual. .Kerjasama. .Pemasaran .Lama terbentuk. .Jenis Kegiatan .Bentuk pelayanan .Pembinaan/pemberdayaan dlm pendampingan masyarkt .Metode dan teknologi .Biaya Proses .Harga Hasil .Pemasaran hasil/produk .Penyerapan tenaga Kerja .Volume sampah .Hubungan sosial .Kepemimpinan., manajmn .Sumberdaya manusia. .Keuangan/ anggaran .Komitmen thd P2KH .Hubungan dgn pihak luar. .Kebijakan Pengel. sampah. .Komitmen thd penanganan sampah dan thd lingkungan.
Skala data . Ordinal . Ordinal . Ordinal . Ordinal . Ordinal . Ordinal . Ordinal . Ordinal . Ordinal . Ordinal . Ordinal . Interval . Ordinal . Interval . Nominal . Interval . Ordinal . Interval . Interval . Interval . Ordinal . Interval . Interval . Nominal . Interval . Nominal . Interval . Interval . Nominal . Ordinal . Interval . Ordinal . Nominal . Ordinal . Ordinal . Ordinal . Interval . Interval . Ordinal . Interval . Interval . Ordinal . Ordinal . Ordinal . Interval . Ordinal . Ordinal . Ordinal . Ordinal . Ordinal
52
Analisis Data Hasil Penelitian Analisis aktor- aktor dominan penggerak green waste lintas rumah tangga menuju terbentuknya green community upaya membangkitkan partisipasi elemen masyarakat dalam pembangunan kota hijau Analisis kualitatif berdasarkan pengolahan analisis isi, indepth interview dan observasi lokasi penelitian. Kondisi sosial budaya, ekonomi, lingkungan, pengetahuan, persepsi, sikap, perilaku, partisipasi, di analisis menggunakan analisis interaktif triangulasi, statistik deskriptif dan inferensial (path analisys) menggunakan software SPSS. Peningkatan volume sampah dan peningkatan penduduk dianalisis dengan mengggunakan statistik deskriptif dan regresi linier berganda. Kearifan lokal (pola kerigan), dianalisis menggunakan triangulasi dengan analsis interaktif. Analisis transformasi green community berbasis “proyek” menjadi green community berbasis “komunitas” dalam partisipasi green waste lintas rumah tangga upaya mendukung kota hijau Purwokerto. Partisipasi green community dalam pengelolaan sampah rumah tangga upaya mendukung Kota Hijau Purwokerto, maka digunakan analisis interaktif dengan pendekatan metode kualitatif triangulasi sumber atau embedded research. Data sekunder dan analisis isi atau content analisys digunakan untuk menganalis pengelolaan sampah yang bersumber dari laporan dinas terkait dan surat kabar. Analisis isi ini, untuk data yang sifatnya kualitatif, maka dianalisis dengan menggunakan analisis interaktif. Analisis formulasi rumusan kebijakan dan strategi green waste serta model green waste lintas rumah tangga berbasis partisipasi green community mendukung P2KH Purwokerto. Penentukan keputusan elemen kunci dianalisis menggunakan AHP, menggunakan software expert choice 2000. Responden merupakan pakar lingkungan dan persampahan sebanyak 11 pakar, yaitu terdiri dari dua akademisi (PPLH), satu green community, dua birokrat di bidang lingkungan, dua wartawan pemerhati lingkungan, dua LSM di bidang lingkungan, perkotaan dan dua anggota DPRD bidang lingkungan dan tata ruang. Kebijakan pengelolaan sampah dianalisis menggunakan metode AHP dengan bantuan program expert choice 2000. Proses ini diharapkan menjadi model penyusunan kebijakan pengelolaan sampah green waste di Kota Purwokerto, secara partisipatif dan berkeadilan. Permodelan pengelolaan sampah green waste berbasis partisipasi masyarakat dianalisis dengan menggunakan sistem dinamik dengan sofware powersim. Model pengelolaan sampah ini terdiri dari tiga sub-model yaitu (a) sub-model demografi/kependudukan, (b) submodel persampahan dan (c) sub-model partisipasi masyarakat. Rekapitulasi metode penelitian, meliputi tujuan penelitian, kegiatan penelitian, sumber dan jenis data, metode pengumpulan data, sumber data, metode/ teknik analisis data penelitian, dapat disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Jenis, metode pengumpulan , sumber data dan teknik analisis data No.
1
Tujuan penelitian
Menganalisis aktor-aktor dominan penggerak green waste lintas rumah tangga menuju terbentuknya green community upaya membangkitkan partisipasi elemen masyarakat mendukung Kota Hijau Purwokerto.
Kegiatan penelitian
Sumber dan jenis data
Analisis profil tingkat rumah kepala keluarga
Primer: usia, tingkat .pendapatan, pendidikan, pekerjaan, kondisi tempat tinggal. Budaya Sekunder: Data Kependudukan; Kantor BPS
Analisis pengelolaan sampah menuju green waste
Primer: sampah yg dihasilkan per KK, tingkat. timbunan vol.sampah, daya tampung TPA, cara pengelolaan sampah, Primer: pengetahuan pengelolaan sampah pola 3 R; dampak sampah thd kesehatan, pengeahuan ttg kota berkelanjutan, Primer: respon atau tanggapan thd pengelolaan sampah dgn pola 3 R
Pengetahuan, persepsi tentang pengelolaan sampah menuju green waste Sikap/tanggapan terhadap pengelolaan sampah menuju green waste
Metode pengumpulan data Survey : kuesioner; wawancara;
Survey: kuesioner, wawancara, observasi
Survey: kuesioner, wawancara, observasi
Survey: kuesioner, wawancara, observasi
Sumber data
Metode analisis data
Responden: kepala keluarga; pemulung; nasabah bank sampah; ketua dawis; ketua RT; Ketua RW; Lurah.
Statistik diskriptif (tabel distribusi; prosentasi; mean; modus); analisis interaktif dengan triangulasi.
Responden: masyarakat (kepala rumah tangga) atau kepala keluarga; pemulung; nasabah Bank Sampah; Ketua Dawis; Ka RT; Ka RW; Lurah. Responden: masyarakat atau kepla keluarga (kepala rumah tangga); Pemulung; nasabah Bank sampah; Ka Dawis; Ka RT; Ka RW; Lurah. Responden: masyarakat (kepala rumah tangga) atau kepala keluarga; Pemulung; nasabah Bank Sampah; Ka Dawis; Ka RT; Ka RW; Lurah.
Statistik diskriptif (tabel distribusi; prosentasi; mean; modus); analisis interaktif.
Statistik diskriptif (tabel distribusi; prosentasi; mean; modus); statistic inferensial (path analisys) analisis interaktif. Statistik diskriptif (tabel distribusi; mean; modus); statistik. inferensial, (path analisys), regresi linier berganda, analisis interaktif.
53 53
54
No.
2.
Tujuan penelitian
Menganalisis transformasi aktor-aktor peduli lingkungan green community berbasis “proyek” menjadi green community berbasis “komunitas” dalam partisipasi green waste upaya mendukung kota hijau.
Kegiatan penelitian
Primer: perilaku dalam mengelola sampah; kesediaan melakukan pola 3 R+1P. Sekunder: BLHD; DKP; PU
Profil dan aktivitas pengusaha daur ulang, rongsok
Primer:Jenis usaha; sumber bahan baku; produk; harga jual produk; pemasaran. Sekunder: Kantor. Primer: bentuk kegiatan; pelayanan; pembinaan; sosialisasi. Primer: teknologi proses; biaya; harga hasil proses; pemasaran; tenaga kerja; vol sampah Primer: bentuk kegiatan; pelayanan; partisipasi; pembinaan. Primer: kepemimpinan; kebijakan; pelayanan; pendanaan; komitmen. Sekunder: DCKKTR; BLHD; Bappeda Primer: data-data dari kegiatan penelitian tentang pengelolalan sampah dan partisipasi.
Wawancara.
Profil Investor/swasta
Profil PTN/Unsoed Memformulasikan strategi kebijakan pengelolaan sampah rumah tangga green waste. Membangun model pengelolaan sampah rumah tangga green waste berbasis partisipasi green community.
Metode pengumpulan data Survey: kuesioner, wawancara, observasi; Partisipan Obervation aktif.
Partisipasi thd pengelolaan sampah rumah tangga (green waste) berbasis kearifan lokal.
Profil LSM
3.
Sumber dan jenis data
Kapasitas organisasi
Sumber data
Metode analisis data
Responden: green community, pengurus Bank Sampah.
Statistik diskriptif (tabel distribusi; prosentasi; mean; modus); statistic inferensial (path analisys), analisis interaktif.
Survey: kuesioner, wawancara, observasi
Responden: Pengusaha daur Ulang
Statistik diskriptif (tabel distribusi; prosentasi; mean; modus), analisis interaktif.
Survey: kuesioner, wawancara, observasi Survey: kuesioner, wawancara, observasi
Responden: Pengurus LSM
Statistik diskriptif (tabel distribusi), analisis interaktif. Statistik diskriptif (tabel distribusi; prosentasi; mean; modus); analisis interaktif. Statistik diskriptif (tabel distribusi); analisis interaktif. Aanalisis interaktif, AHP (Analisis Hierarkhi Proses) dengan Software Expert Choise.
Survey: kuesioner, wawancara, observasi Survey: kuesioner, wawancara, observasi aktif (participant)
Responden: Pengusaha/manajer/pengurus UD “Mapan” dan CV “DJikun” Responden: LPPM Unsoed/UT Responden: Birokrat; LSM ,Akademisi Unsoed dan IAIN; bank sampah, green community, Wartawan, DPRD. Responden: pakar/para akhli dibidang persampahan (Akademisi, Birokrat, Bank Sampah green community)
Analisis Sistem Dinamis dg software Powersim. Dan Analisis isi (content analisys)
54
Tabel 6 Jenis, metode pengumpulan , sumber data dan teknik analisis data (lanjutan….)
55 4 SELAYANG PANDANG SEJARAH KOTA DAERAH PENELITIAN Pendahuluan Kosep kota berdasarkan dokumen sumbe sejarah kuno telah dikenal dengan berbagai nama. Kitab Negarakertagama dan Babad Tanah Jawa, ditemukan istilah kota nagari atau negara yang artinya sama dengan kota (Sugeng 2005). Hal ini merupakan salah satu petunjuk adanya kota-kota di daerah pedalaman yang mempunyai basis ekonomi pertanian. Konsep Purwokerto berasal dari kata purwo yang artinya wiwitan atau asal mula dan kerto yang artinya kemakmuran, jadi Purwokerto artinya asal mula kemakmuran (Hidayat 2012). Pada tanggal 21-23 Februari 1861 Kota Banyumas sebagai ibu kota Kabupaten Banyumas dilanda banjir hebat (Biabur Banyumas), karena meluapnya Sungai Serayu. Bupati Banyumas saat itu Raden Adipati Cokronegoro I menjabat sejak tahun 1631. Pada perkembangan selanjutnya Kabupaten Purwokerto dihapuskan dan digabungkan dengan Kabupaten Banyumas dengan ibu kota di Purwokerto juga menjadi ibu kota Karesidenan Banyumas tahun 1936. Atas prakarsa Adipati Aryo Sujiman Gondosubroto, yaitu Bupati Banyumas ke II, pendopo “Si Panji” 5 Januari 1937 dipindahkan dari Banyumas ke Purwokerto (Purwoko 2004). Undang-undang tentang Pemerintahan daerah telah mengalami beberapa pergantian tidak banyak mempengaruhi pembagian wilayah, yaitu kecamatan dan desa, dalam Kabupaten Banyumas. Kota Purwokerto sebagai tempat kedudukan Pembantu Gubernur Jawa Tengah, untuk wilayah Banyumas dan ibu kota Kabupaten Banyumas terus mengalami pertumbuhan, karena ditunjang oleh letaknya yang strategis dan lingkungan berupa lahan pertanian subur. Luas wilayah Kota Purwokerto adalah 3.585.34 ha terdiri dari tanah sawah kering, perkebunan negara/swasta, perorangan dan lain-lain, termasuk sungai, jalan dan kuburan. Wilayah Kota Purwokerto saat ini terdiri atas 27 kelurahan dan terbagi atas empat wilayah kecamatan yaiitu Kecamatan Purwokerto Utara terdiri tujuh kelurahan, Kecamatan Purwokerto Selatan terdiri tujuh kelurahan, Kecamatan Purwokerto Timur enam Kelurahan dan Kecamatan Purwokerto Barat terdiri tujuh kelurahan. Adapun jumlah rumah tangga sebanyak 68.542 dengan rata-rata anggota rumah tangga sebanyak 3,6. Batas-batas Kota Purwokerto terdiri sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Karanglewas, sebelah utara dengan Kecamatan Sumbang dan Baturraden, sebelah selatan dengan Kecamatan Patikraja dan Sokaraja dan sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Sumbang dan Sokaraja. Kota Purwokerto, secara historis memang banyak melahirkan satria, baik dari jaman perjuangan maupun jaman pembangunan dewasa ini sebagaimana diuraikan Kudori (1991). Di kalangan militer, Banyumas memang memiliki banyak Perwira, yaitu Panglima Besar Jenderal Soedirman (namanya diabadikan menjadi nama Universitas, yaitu Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto), Jenderal Gatot Subroto, Letjen Suprapto, Letjen Susilo Soedarman. Bidang kesehatan tercatat Prof.Dr. Margono Sukaryo sebagai ahli bedah pertama di Indonesia, namanya diabadikan sebagai nama Rumah Sakit Umum
56 (RSU). Perintis bidang koperasi bernama A. Wiria Atmaja. Patih Purwokerto saat itu adalah K.H. Abu Dahdiri perintis berdirinya Departemen Agama. Perintis dunia perbankan adalah Margono Joyohadikusumo (ayah dari Prof.Dr.Sumitro Joyohadikusumo) juga berasal dari wilayah Kabupaten Banyumas. Aspek budaya, wilayah Kota Purwokerto khususnya dan Banyumas umumnya, berbatasan dengan sebaran budaya Jawa dan budaya Sunda (Jawa Barat), sehingga memberikan warna tersendiri bagi budaya Jawa umumnya. Kota ditandai dengan identitas lokal kota tersebut, akan tetapi seiring dengan modernitas, maka kota dengan segala simbol kemajuan ekonomi menjadi Daya tarik sendiri bagi penduduk luar untuk mengadu nasib di kota. Memudarnya identitas lokal kota di Banyumas disebabkan karena sikap dan cara pandang masyarakatnya yang terlalu longgar terhadap modernitas dan pengembangan fisik kota. Di Banyumas, kemunduran disebabkan karena letak alamnya yang tidak memungkinkan, karena adanya perubahan transfortasi dalam perdagangan. Kota Banyumas, mengalami kemunduran sedangkan kota kota di lain tempat justru mengalami kemajuan. Kota Banyumas akhirnya pindah ke Kota Purwokerto sebagai ibu kota kabupaten dan sekaligus ibu kota karesidenan Banyumas pada tahun 1937 ditandai dengan pemindahan pendopo si Panji. Pembahasan Sejarah Perkotaan di Indonesia Studi tentang sejarah perkotaan akhir-akhir ini mengalami perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan studi ini tidak lepas dari pengaruh perkembangan kontemporer tentang masalah sosial, ekonomi dan budaya yang mulai bergeser ke wilayah perkotaan. Kota-kota di Indonesia mulai bergerak menuju sebuah identitas baru meninggalkan identitas yang lama. Perubahan ini hasil aflikasi modernisasi yang mulai bergulir sejak awal abad ke-20 dan perubahan pandangan masyarakatnya tentang modernitas itu sendiri. Kosmopolitanisme yang mengasosiasikan diri pada kepemilikan benda-benda simbol modernitas telah menjadi orientasi baru kehidupan masyarakat perkotaan. Pembangunan infrastruktur dan fisik kota pun disesuaikan untuk memenuhi selera kosmopolit yang baru. Gaya tempo doeloe mulai ditinggalkan karena dianggap kuno dan ketinggalan. Gejala-gejala perubahan ini terutama dirasakan di kota-kota tua, seperti Solo dan Yogyakarta. (Margana at al 2010). Kota Solo pada awal perkembangan memiliki keunikan, karena lahir sebagai ibu kota Mataran dan pusat kebudayaan. Solo menjadi tempat renaissance kebudayaan. Kota Solo mulai memiliki dua wajah yang berdampingan, baik secara fisik maupun kebudayaan, sehingga memberi identitas baru bagi kota Solo. Lunturnya identitas kota di Solo lebih disebabkan karena sikap dan cara pandang penduduknya terlalu longgar terhadap modernitas dan pengembangan fisik kota. Inilah sebagai salah satu bukti lunturnya identitas lokal kota akibat perkembangan jaman dan modernitas masyarakatnya. Lunturnya identitas kota juga dialami oleh Kota Banyumas, ini disebabkan karena letak geografis yang tidak menguntungkan sehingga sulit terjangkau transfortasi. Pada awal abad 20, Kota Banyumas tidak seperti kota-kota di Jawa lain yang mengalami kemajuan, kota ini justru mengalami suatu periode “kemunduran”, karena tidak mampu mempertahankan posisinya. Meskipun pada
57 abad ke-16 telah menjadi ibu kota keresidenan, namun ketika arus modernisasi masuk ke Jawa, kota Banyumas ini tidak tersentuh. Hal ini disebabkan, karena ketiadaan tranportasi yang dapat memperlancar pengiriman barang dan jasa sebagai syarat utama aktivitas ekonomi tidak dinikmati oleh penduduknya. Kelemahan utama Kota Banyumas adalah lokasinya yang dikelilingi pegunungan sehingga pada saat modernisasi transportasi di Hindia Belanda, yang ditandai dengan pembangunan jalur kereta api dan trem, Kota Banyumas justeru tidak tersentuh (Marganda at al. 2010). Lunturnya identitas budaya sebuah kota sebagai akibat dari modernitas, juga dirasakan oleh pelaku budaya. Terhadap modernitas dan juga perubahan cara pandang dan orientasi mengapresiasi seni budaya ini dan para seniman juga mencoba adaptif, melakukan penyesuaian-penyesuaian agar tidak ditinggalkan masyarakat yang telah berubah orientasi. Identitas kota tidak saja ditampakkan dari struktur fisik dan keunikan sejarahnya, tetapi juga gaya hidup dan orientasi sosial budaya para penghuninya. Jika banyak kota arus modernitas telah menjadi penyebab utama lunturnya identitas kota, tetapi di Yogyakarta pada akhir-akhir ini justru tampak sedang mengalami pengayaan identitas. Pengayaan unsur identitas kebudayaan Kota Yogyakarta itu datang dari kelompok minoritas Tionghoa yang diam di kota Yogyakarta. Sejak reformasi digulirkan pada tahun 1998, masyarakat Tionghoa di seluruh Indonesia mulai memperoleh kebebasan untuk mengekspresikan tradisi dan kebudayaannya. Salah satu pembentukan identitas sosial adalah perayaan imlek secara kultural di kalangan warga muslin Cina di Yogyakarta. Akfitas ini merupakan pelestarian identitas sosio-kultural. Ini merupakan simbol kultural baru berupa symbol akulturatif yang akan memperkuat ikatan integrasi sosiokultural yang telah ada. Inilah yang disebut pengkayaan budaya (Ahimsa 2010). Kota dengan segala symbol kemajuan ekonomi dan modernitasnya menjadi daya tarik sendiri bagi penduduk untuk mengadu nasib di perkotaan dikenal dengan urbanisasi. Urbanisasi membawa persoalan-persoalan sosial sendiri seperti kemiskinan, kriminalitas, prostitusi, aborsi dan tuntutan-tuntutan pelayanan pendidikan dan kesehatan. Urbanisasi bergelombang merupakan respon terhadap peluang tenaga kerja. Akibat urbanisasi berlebih inilah yang menimbulkan banyak permasalahan sosial di perkotaan, terkecuali bagi warga yang datang dengan memiliki keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan di kota yang dituju. Runtuhnya Kota Banyumas dan Munculnya Kota Purwokerto Pada awal abad ke-20 merupakan perjalanan pahit bagi Kota Banyumas. Sementara itu bagi kota-kota lain di Indonesia, pergantian abad ini merupakan titik balik untuk menjadi sebuah kota lebih maju dan berkembang. Kota Banyumas justru sebaliknya karena pada periode ini merupakan saat yang tidak mudah untuk bisa menjadi kota lebih maju, bahkan bisa dikatakan terjadi “kemuduran”. Kota Banyumas pada jaman Hindia Belanda mengalami kejayaan sebagai pusat perekonomian dan pemerintahan Karesidenan Banyumas, pada saat model tranportasi sungai masih banyak digunakan di Hindia Belanda. Namun dalam perkembangannya, justru Kota Banyumas tidak dapat mempertahankan posisinya. Era kereta api, justru menyebabkan matinya transportasi Sungai
58 Serayu akhirnya menyebabkan matinya Kota Banyumas. Kelemahan utama Kota Banyumas adalah lokasinya yang dikelilingi pegunungan, sehingga pada saat modernisasi trasnportasi, yang ditandai pembangunan jalur kereta api dan trem, Kota Banyumas tidak tersentuh program tersebut. Kota Banyumas menjadi tempat tinggal Bupati sejak abad ke-16 dan menjadi ibu kota keresidenan sejak masuk ke wilayah kekuasaan colonial, namun tidak cukup menjadikan kota ini bertahan. Perkembangan jaman modern yang mengandalkan teknologi sungguh membutuhkan mobilitas yang tinggi. Sarana transportasi digunakan untuk pengiriman barang dan jasa sebagai syarat utama aktivitas ekonomi. Kejayaan Kota Banyumas pada beberapa abad yang lampai, kini tinggal kenangan dan menjadi cerita turun temurun (Mulyasari 2010). Pemindahan pendopo si Panji KotaBanyumas dimulai pada Januari 1937 (mulyasari 2010). Peristiwa pmindahan pendopo si Panji dari KotaBanyumas ke Kota Purwokerto ini sangat menarik, karena tanpa menyeberangi Sungai Serayu. Hal ini sesuai kepercayaan yang dianut masyarakat Banyumas, yakni pendopo dipindahkan melalui jalan yang sangat jauh memutar. Pengangkutan soko guru si Panji dilakukan kearah timur dengan menyusuri arah Sungai Serayu tanpa menyeberanginya, melalui Wonosobo terus kearah utara melalui Keresidenan Pekalongan kemudian menuju Kota Purwokerto. Setelah dipindahkan ke Kota Purwokerto, pendopo siPanji diubah serambi mukanya. Bentuknya dibuat lebih modern sehingga ruang tamu lebih luas dan pintu gerbang di muka Kabupaten beserta temboknya diberi bentuk baru. Bupati Banyumas pindah ke Kota Purwokerto pada 5 Maret 1937, saat itu dijabat S.M.Gandasubrata, bersama keluarganya, maka pindah ke Kota Purwokerto. Disusul Residen Banyumas, saat itu dijabat Mr.J.Ruys, pindah ke Purwokerto. Sementara itu, agar Kota Banyumas tidak semakin sepi, maka beberapa beberapa fasilitas di Purwokerto dipindahkan ke Banyumas. Namun usaha ini tidak berhasil, karena pada kenyataannya Kota Banyumas tetap sepi. Kondisi Eksisting Kota Purwokerto Kota Purwokerto terletak di bagian selatan Propinsi Jawa Tengah, terdiri atas empat kecamatan dan 27 kelurahan, jumlah penduduknya sebanyak 243.427 jiwa. Adanya jalur regional yang menghubungkan kota-kota di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur melalui Kota Purwokerto menyebabkan kota ini menjadi simpul jalur transportasi dari distribusi. Sistem perkotaan di Jawa Tengah, maka peranan dan fungsi kota Purwokerto sebagai pusat utama wilayah pembangunan poros Cilacap. Berdasarkan letak geografis, wilayah Kota Purwokerto dibagi menjadi tiga kawasan, yaitu: 1. Lingkungan rural atau daerah pedesaan atau pinggiran yang meliputi Kecamatan Purwokerto Utara dan Purwokerto Selatan. 2. Lingkungan urban atau daerah perkotaan yaitu sebagian Kecamatan Purwokerto Utara dan Purwokerto Timur. 3. Lingkungan transisi yaitu Kecamatan Purwokerto Barat. Fasilitas perdagangan yang ada meliputi perusahaan berbagai bidang, perbengkelan, pasar, perhotelan, supermarket/pertokoan, rumah makan, dan home industri. Hidayat (2012) mengemukakan bahwa secara umum Kota Purwokerto sesuai fungsinya terdapat 4 jenis lingkungan kota yaitu:
59 1. Lingkungan perdagangan dan perkantoran yang berlokasi di daerah pusat kota sepanjang jalan regional dan berkembang lancar sepanjang beberapa jalan arteri. 2. Pada bagian tengah kota penggunaan lahannya untuk perumahan, berkembang konsentris terhadap pusat kota. 3. Fasilitas pendidikan dasar dan menengah menyebar di beberapa bagian kota dan masih berlokasi di sekitar pusat kota. 4. Fasilitas sosial yang paling menonjol adalah fasilitas kesehatan yang berlokasi di beberapa pusat kota. Kota Purwokerto menyelenggarakan pemerintahan dan menggerakkan pembangunan perkotaan serta dalam membina masyarakatnya selalu bertolak dari kondisi potensi dan kemungkinan pengembangannya di masa yang akan datang. Adapun potensi yang dimiliki masyarakat Kota Purwokerto dapat dikelompokkan dalam dua aspek yaitu (a) sumberdaya manusia (SDM) dan (b) sumberdaya alam (SDA). Sumberdaya daya manusi adalah merupakan motor penggerak lajunya pembangunan sehingga selalu diupayakan pembinaanya, baik dalam segi kualitas maupun kuantitas. Potensi sumberdaya alam secara geografis disamping memiliki letak strategis sebagai sentral kota terhadap kota-kota lain di wilayah Kabupaten Banyumas, juga dilaluinya jalur regional yang menghubungkan kotakota di Propinsi Jawa Tengah, sehingga memiliki peran sebagai jasa koleksi dan distribusi hasil-hasil pertanian dan industri kecil. Pembangunan Kota Purwokerto, perlu dilakukan secara terarah, terpadu bertahap, berencana dan berkesinambungan. Selain itu juga perlu dilaksanakan dengan prinsip-prinsip yang sehat mental, sehat pengelolaan, berdaya guna dan berhasil guna serta disiplin yang kuat berdasarkan pada strategi wawasan identitas menuju terwujudnya masyarakat Kota Purwokerto yang berketahanan. Surat Keputusan Bupati Banyumas nomor 130/1207/1988 telah menetapkan motto Kota Purwokerto sebagai motivasi yang memacu jalannya Pembangunan, yaitu dengan motto “SATRIA”yang merupakan singkatan atau akronim dari kata “Sejahtera”, “Adil”, “Tertib”, “Rapi”, “Indah” dan “Aman”. Motto Kota Purwokerto yang terkandung dalam ungkapan “Satria” ini sejalan dengan usaha-usaha pembangunan yang sedang dan terus serta akan dilaksanakan pemerintah daerah. Peran Satria sebagai motto etos kerja bagi aparat dan masyarakat Kabupaten Banyumas juga sebagai sasaran atau arah pembangunan. Kedua, “Satria” mempunyai pengertian sifat dan ciri masyarakat Banyumas yang “cablaka” artinya jujur, terbuka (terus terang), tulus, ikhlas mempunyai loyalitas, dedikasi yang tinggi dan berani sebagai watak seorang ksatria. Sosok Bawor sebagai tokoh wayang khas Banyumas menjadi trade mark masyarakat Kota Purwokerto. Pertumbuhan ekonomi nasional dewasa ini mengalami “penurunan yang tajam” bahkan cenderung nilai rupiah terhadap nilai mata uang dollar Amerika sangat terpuruk sekali menembus angka Rp. 14.000 lebih dan dampaknya berpengaruh langsung terhadap perkembangan perekonomian masyarakat Kota Purwokerto. Kota ini mempunyai peranan yang semakin besar dalam kegiatan ekonomi dengan industri kecilnya sebagai “katup pengaman”, sehingga Kota Purwokerto yang diidam-idamkan yaitu masyarakat yang “Gemah Rifah Loh Jinawi tata Tentrem Kerta Raharja”, segera terwujud.
60 Letak Geografis Kota Purwokerto Kota Purwokerto ditinjau dari perkembangan ekologi kota, memiliki kekhasan tersendiri. Kota Purwokerto yang terletak di bagian selatan Propinsi Jawa Tengah memiliki potensi tersendiri. Jalur regional yang menghubungkan kota-kota di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur melalui Kota Purwokerto menyebabkan kota ini menjadi simpul jalur transportasi dan distribusi. Kota Purwokerto secara geografis berada pada posisi lintang 109011 22” – 109015 55” BT dan 7022 46” – 7027 30” LS. Kondisi topografi terletak di kaki “Gunung Slamet” pada ketinggian 75 meter di atas permukaan laut dengan topografi atau keadaan permukaan tanah terbagi beberapa kondisi berikut : a. Daerah relatif datar yaitu tanah dengan kemiringan 0 - 2 persen, terdapat di wilayah kota bagian tengah, timur dan barat. b. Daerah landai yaitu tanah dengan kemiringan 2 - 8 persen terdapat di sebagian besar kota bagian utara dan selatan. c. Daerah agak curam dengan kemiringan tanah antara 8 -15 persen terdapat di sebagian kota bagian selatan dan utara (BAPPEDA 2014). Perkembangan Kota Purwokerto dan tata spasialnya saat ini dibentuk dari kearifan lokal yang melekat di kalangan masyarakatnya serta dinamika relasi kekuasaan terjadi sepanjang sejarah perkembangan kotanya. Kearifan lokal (local wisdom) dibentuk dan tumbuh dari persentuhan panjang. Salah satu bentuk kearifan lokal masyarakat Banyumas dan merupakan modal sosial adalah pola kerigan atau kerjabakti secara komunal. Luas Wilayah dan Tata Guna Lahan Kota Purwokerto Secara administratif luas wilayah Kabupaten Banyumas 1.327,60 km2 atau setara dengan 132.758 ha, sekitar 4,08 persen dari luas wilayah Propinsi Jawa Tengah. Keadaan wilayah antara daratan dan pegunungan dengan struktur pegunungan terdiri dari lembah Sungai Serayu, sebagian dataran tinggi untuk pemukiman dan pekarangan sebagian pegunungan untuk perkebunan dan hutan tropis. Purwokerto dulunya merupakan Kota Administratif, namun sejak diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, tidak dikenal istilah kota Administratif, maka Purwokerto kembali menjadi bagian Kabupaten Banyumas. Namun demikian, Gubernur Jateng, 19 April 2015, pada puncak perayaan hari “Jadi” Kabupaten Banyumas, bahwa sudah saatnya dan layak Kota Purwokerto menjadi Pemerintahan Kota(Pemkot). Luas wilayah per- kecamatan Kota Purwokerto dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Luas wilayah per- kecamatan di kota Purwokerto No. 1 2 3 4
Kecamatan Purwokerto Utara Purwokerto Selatan Purwokerto Timur Purwokerto Barat Jumlah
Sumber : BPS Kabupaten Banyumas 2014
Luas (Ha) 902,39 1.375,99 841,91 739,72 3.859,01
61 Tata guna lahan sebagian besar digunakan untuk bangunan dengan luas 2.216,23 ha (57,43 persen), untuk sawah hanya seluas 1.058,91 ha (27,44 persen). Penggunaan lahan untuk fasilitas lain seluas 583,87 ha (15,13 persen). Tabel 8 menunjukkan wilayah Kecamatan Purwokerto Selatan didominsi pekarangan 65,75 persen, sedangkan Purwokerto Utara didominasi persawahan. Kesimpulan yang didapat, maka wilayah pekarangan lebih banyak digunakan pemukiman dan bangunan lainnya, sedangkan wilayah persawahan merupakan “lumbung” padi. Namun demikian, dalam perkembangannya wilayah Purwokerto Utara sudah banyak beralih fungsi menjadi perumahan elit. Perumahan tersebut seperti Bumi Arca Indah, Saphere regency, Arcawinangun Estat dan Limas Agung Estat serta Bancarkembar Estat. Berikut disajikan Tabel 8 tentang tata guna lahan di Kota Purwokerto diperinci per-kecamatan. Tabel 8 Tata guna lahan per-kecamatan di Kota Purwokerto No.
Kelurahan
Sawah
Pekarangan/
Lain-lain
(ha)
Bangunan (ha)
(ha)
Luas (ha)
1
Purwokerto Seltan
215,49
904,71
255,79
1.375, 99
2
Purwokerto Utara
411,12
418,56
171,71
901,39
3
Purwokerto Barat
251,62
383,89
104,21
739,72
4
Purwokerto Timur
180,68
509,07
152,16
841,91
Jumlah
1.058,91 2.216,23
683,87
3.859,01
Sumber : BPS Kabupaten Banyumas 2014 Kondisi Iklim atau Klimatologi Wilayah Kota Purwokerto Kota Purwokerto termasuk daerah beriklim tropis dengan perbedaan curah hujan yang tidak begitu besar dan dipengaruhi oleh iklim dan musim. Musim kemarau, berlangsung antara bulan April – September dan musim hujan berlangsung selama bulan Oktober- Maret. Berdasarkan catatan curah hujan di 25 statsiun penakaran hujan di Kabupaten Banyumas, tahun 2012, tercatat Kabupaten Banyumas mempunyai iklim tropis basah dengan rata-rata suhu udara 26,30C, suhu minimal 24,40C dan maksimum 30,90C. Rata-rata frekuensi hujan per tahun sebanyak 116 hari dengan curah hujan rata-rata 2.527 mm/tahun, dan rata-rata curah hujan perbulan di Kota Purwokerto adalah 295 mm/bulan. Curah hujan terbesar ada di Baturaden sebanyak 5.320 mm/tahun dan yang paling rendah adalah Jatilawang sebesar 1.316 mm/tahun. Rata-rata tingkat ketinggian 97 dpl, lokasi station penangkar hujan paling tinggi di Baturraden 300 dpl (BPS Kabupaten Banyumas 2014) Kondisi Kependudukan Wilayah Kota Purwokerto Tahun 2013 Kota Purwokerto mempunyai jumlah penduduk sebanyak 243.427 jiwa. Wilayah yang mempunyai jumlah penduduk terbesar adalah Kecamatan Purwokerto Selatan dan terendah Purwokerto Utara, pertumbuhan
62 penduduk tertinggi Purwokerto Selatan 1,38 persen dan terendah Purwokerto Utara 0,97 persen. Jumlah penduduk dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Jumlah penduduk Kota Purwokerto (2008-2013) No . 1.
Kecamatan
Tahun 2009 70 142
Tahun 2010 70.459
Purwokerto Selatan 2. Purwokerto 48.823 49.044 Barat 3. Purwokerto 56.903 57.160 Timur 4. Purwokerto 56.921 57.178 Utara 232 789 233.846 5. Kota Purwokerto Sumber : BPS Kab. Banyumas 2014
Tahun 2011 72.209
Tahun 2012 73.266
Tahun 2013 73 647
50.244
50.716
50 842
58.660
58.148
57881
58.728
60.330
61 061
239.641
242.460
243 427
Tingkat Pendidikan Penduduk Kota Purwokerto. Badan Pusat Statistik (2014) menunjukkan bahwa dari jumlah penduduk yang telah lulus sekolah, maka sebagian besar penduduk Kota Purwokerto berpendidikan lulus sekolah dasar yaitu 45.536 jiwa, sedangkan lulusan perguruan tinggi sebanyak 9395 jiwa. Perkembangan tingkat pendidikan masyarakat Kota Purwokerto dari tahun ke tahun meningkat terus. Tingkat pendidikan penduduk Kota Purwokerto pada tahun 2013 (Tabel 10). Tabel 10 Tingkat pendidikan penduduk Purwokerto tahun 2013 No.
Tingkat Pendidikan
Jumlah (jiwa)
1
Tamat SD
45.536
2
Tamat SLTP
31.527
3
Tamat SMU
43.578
4
Tamat Akademi/Perguruan Tinggi
9.595
Sumber : BPS Kabupaten Banyumas 2014 Mata Pencaharian Penduduk Kota Purwokerto. Penduduk Kota Purwokerto sebagian besar bermata pencaharian sebagai pedagang, sedangkan yang bekerja di bidang pertanian hanya sebesar 7.38 persen, pensiunan 6,23 persen. Kota Purwokerto sebelum tahun 2000 dikenal sebagai kota pensiunan, namun saat ini “julukan” tersebut sudah tidak ada lagi. Kota Purwokerto saat ini berkembang dengan begitu pesat terbukti semakin banyaknya super market, perguruan tinggi, perhotelan, bank, jasa keuangan lainnya. Kota Purwokerto menjadi tujuan dari masyarakat Cilacap, Purbalingga dan Banjarnegara untuk berbelanja ke Kota Purwokerto. Mata pencaharian penduduk Kota Purwokerto pada tahun 2012 (Tabel 11).
63 Tabel 11 Mata pencaharian penduduk kota Purwokerto tahun 2013 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Mata pencaharian Jumlah (jiwa) Petani Pemilik 4.200 Buruh tani 5.863 Pengusaha 9.174 Buruh industri 11.993 Buruh Bangunan 13.689 Pedagang 26.102 Pengangkutan 14.222 PNS/ABRI 17.298 Pensiunan 8.480 Lain-lain 25.221 Jumlah 136.246 Sumber : BPS Kabupaten Banyumas 2014
Presentase (%) 3.08 4.30 6.73 8.80 10.05 19.16 10.44 12.70 6.23 18.51 100
Sarana dan Prasarana Pendidikan Formal Kota Purwokerto. Pendidikan adalah bagian dari status sosial seseorang dan pendidikan merupakan salah satu variabel pendukung peningkatan timbulan sampah. Peningkatan jumlah fasilitas pendidikan di Kota Purwokerto merupakan salah satu faktor meningkatnya timbulan sampah. Meningkatnya pendidikan seseorang, maka semakin meningkat pula status sosialnya , sehingga pola hidupnya semakin meningkat akhirnya terjadi peningkatan volume sampah. Beberapa sarana pendidikan di pesantren di wilayah Purwokerto, berada di bawah Yayasan Muhammadyah atau Nahdatul Ulama (NU), namun keberadaan keduanya berdampingan dengan damai. Sarana pendidikan pada tahun 2012 lebih lengkap dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Sarana pendidikan di Kota Purwokerto tahun 2013 No.
Sarana pendidikan
Jumlah
1
TK (Taman Kanak-kanak)
88
2
SD (Sekolah Dasar)
142
3
SLTP
29
4
SMA/SMK
38
5
PTN/PTS
22
Jumlah
303
Sumber : BPS Kabupaten Banyumas 2014 Tabel 12 menunjukkan bahwa sarana pendidikan di Kota Purwokerto cukup memadai, tidak mengherankan Kota Purwokerto mendapat julukan sebagai kota Pendidikan. BPS Kabupaten Banyumas (2014) menyebutkan bahwa jumlah murid secara umum pada tahun 2010 mengalami peningkatakan disbanding tahun 2009, hanya saja pada pendidikan SD mengalami penurunan
64 0,78 persen. Pada tingkat SD terutama SD yang berstatus swasta jumlah murid mengalami peningkatan, akan tetapi secara umum jumlah sekolah SD mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena ada beberapa SD yang digabung dengan SD terdekat. Jumlah pondok pesantren dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, begitu juga dengan jumlah santeri meningkat sekitar 1,99 persen. Kondisi Eksisting Pengelolaan Sampah Kota Purwokerto Pelayanan Pengelolaan Persampahan Kota Pelayanan pengelolaan sampah di Kota Purwokerto meliputi seluruh kelurahan, sebanyak 27 kelurahann. Salah satu bentuk pelayan persampahan adalah adanya fasilitas TPS, truk, transfer depo mupun kontainer yang tersebar di seluruh wilayah Kota Purwokerto. Tingkat pelayanan sampah yang bisa terangkut ke TPA yaitu 71,75 persen dari total volume timbunan sampah yang dihasilkan pada tahun 2013, sehingga masih ada sampah yang tidak terangkut. Sampah yang tidak dapat terangkut itu terbagi atas sampah yang dikelola masyarakat untuk di daur ulang dan sampah yang dibakar, “dipendem” (ditanam), di buang ke sungai. Lembaga Pengelolaan Persampahan Kota Purwokerto. Secara struktural pelaksanaan teknis operasional pengelolaan sampah dan kebijakan pengelolaan sampah di Kota Purwokerto adalah Dinas Cipta Karya Kebersihan dan Tata Ruang (DCKKTR) dan Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Kabupaten Banyumas. Hal ini tertuang dalam (a) Peraturan Bupati Banyumas Nomor 20 Tahun 2010 tentang tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) Dinas Cipta Karya Kebersihan dan Tata Ruang Kabupaten Banyumas. DCKKTR adalah merupakan salah satu SKPD yang mempunyai tugas dan fungsi dalam bidang penataan dan penyediaan infrastruktur, penataan kawasan kumuh perdesaan dan perkotaan, pengendalian penataan ruang, pembangunan dan penataan bangunan milik pemerintah, penyediaan ruang terbuka hijau dan pengelolaan kebersihan/persampahan. Perencanaan pengelolaan lingkungan, dituangkan pada (b) Peraturan Bupati Banyumas No. 45 Tahun 2011 tentang penjabaran dan fungsi Badan Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Banyumas. BLHD menyelenggarakan fungsi dan tugas sebagai berikut: (1) perumusan kebijakan teknis lingkungan hidup, (2) pemberian dukungan atas penyelenggaran Pemerintahan lingkup lingkungan hidup, (3) pembinaan dan pelaksanaan tugas lingkungan hidup dan (4) pelaksanaan tugas lain yang diberikan Bupati sesuai dengan tupoksi. Teknik Operasional Pengelolaan Persampahan Kota Purwokerto, Aspek Teknis operasional pengelolaan sampah Kota Purwokerto dilakukan oleh DCKKTR yang berkoordinasi dengan BLHD. Tingkat warga, dikoordinir RW untuk di tampung di TPS. Operasional pengangkutan dilakukan oleh DCKKTR melalui UPT Persampahan. Tekhnik operasional pengelolaan sampah terdiri dari beberapa sistem , sebagai berikut. a. Sistem Perwadahan Sampah Kota Purwokerto Sistem perwadahan sampah di Purwokerto dapat dilihat pada Tabel 13.
65 Tabel 13 Lokasi, sumber dan volume perwadahan di Kota Purwokerto. No.
Lokasi
Sumber
Volume (Liter)
1
Jalan raya dan alun-alun
DCKKTR
100
2
Pasar
Dinas Perindustrian
100
dan Perdagangan 3
Terminal
Dinas Perhubungan
40
4
Permukiman
Masyarakat Setempat
40
Sumber :Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Banyumas 2014 Penempatan tong sampah, yang diadakan DCKKTR, BLHD, perusahaan swasta , perbankan, pertokoan, perumahan, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi dan lain sebagainya, jumlahnya sekitar 5.000 tong sampah berikut (Tabel 14). Tabel 14 Penempatan tong sampah Kota Purwokerto No. 1 2 3 4 5. 6.
Lokasi Jl. Jend Sudirman Jl. Perintis Kemerdekaan Kompleks alun-alun Jl. Gatot Subroto Jl. Komplek GOR Jl. OVIS
Jumlah (tong) 2.200 100 144 133 132 525
7. 8. 9. 10.
Jl. Kebondalem Jl. HR Bunyamin Jl. MT Haryono Lokasi lainnya
115 28 32 2.061
Sumber : Hasil lapangan 2014. b.Sistem Pengumpulan Sampah Kota Purwokerto Pengumpulan sampah di wilayah Kota Purwokerto, tergantung sarana prasarana yang dimiliki. DCKKTR dan BLHD memiliki beberapa sarana pengangkutan terdiri 109 unit gerobak dan 38 unit becak sampah. c. Sistem Pemindahan Sampah Kota Purwokerto Sistem pengangkutan sampah di Kota Purwokerto menggunakan berbagai sarana antara lain yaitu, mobil truks pengangkut sampah, gerobak dorong dan “ontel”. Sarana pemindahan sampah lainnya yaitu transfer depo, semi transfer depo, TPS, kontainer dan kontainer annroll. Jumlah sarana dan prasarana ini, dari tahun ke tahun cenderung bertambah terus, walaupun penambahannya tidak signifikan dengan volume sampah yang dihasilkan masyarakat kota tersebut. Mengenai sarana untuk pemindahan sampah di berbagai lokasi dan penempatan nya di wilayah Kota Purwokerto, tercantum pada Tabel 15.
66 Tabel 15 Lokasi transfer depo Kota Purwokerto No. Lokasi 1 Transfer Depo Pekih Kelurahan Sokanegara 2 Transfer Depo Kelurahan Purwokerto Kulon 3 Transfer Depo kelurahan Karang Pucung 4 Transfer Depo Purwokerto Wetan 5 Transfer Depo Kelurahan teluk 6 Transfer Depo Kebondalem Kelurahan Purwokerto Lor Sumber :Badan Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Banyumas 2014 Sesuai Perda No. 6 Tahun 2012 tentang Pengelolaan sampah, Bagian kedua, pasal 16 menyatakan bahwa pengurangan sampah domestic meliputi (a) pembatasan timbulan sampah (b) pendaur ulang sampah rumah tangga dan atau (c) pemanfaatan kembali sampah. Upaya pengurangan sampah di wilayah Kota Purwokerto, secara normatif, memang sudah ada “paying” hukumnya, hanya saja dalam implementasi dan pelaksanaannya perlu dukungan dan partisipasi dari berbagai stakeholder agar bisa berjalan dengan sukses. Ketegasan aparat di lapangan terkait dalam melaksanakan Perda tersebut perlu komitmen dan bersifat adil. Oleh karena itu, perlu adanya insentif dan desinsentif dalam pengelolaan sampah pola 3 R (green waste) , sehingga dapat memotivasi masyarakat Kota Purwokerto. Sarana semi transper depo peletakannya tersebar di Kota Purwokerto, walupun jumlahnya belum memadai (Tabel 16). Tabel 16 Lokasi semi transfer depo Kota Purwokerto No. Lokasi 1 Semi Transfer depo Kelurahan Purwonegoro 2 Semi Transfer depo Kelurahan Kober 3 Semi Transfer depo Kelurahan Karangwangkal 4 Semi Transfer depo Kelurahan Grendeng Sumber :Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Banyumas 2014 Sistem Pengangkutan Persampahan Kota Purwokerto. Sarana pengangkutan sampah di wilayah Kota Purwokerto tidak hanya fasilitas yang bersumber dari DCKKTR dan BLHD Kabupaten Banyumas saja, namun juga berasal dari Disperindag, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, BUMD, Perbankan, Supermarket, Perguruan Tinggi, Kantor Pegadaian, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Dealer mobil dan motor, perusahaan perumahan, perusahaan leasing , Bank Sampah Arcawinangun PAS, Bank sampah “mandiri” Berkoh dan perusahaan swasta lainnya yang ada di wilayah Kota Purwokerto dan peduli terhadap lingkungan. Jenis-jenis sarana pengangkutan sampah yang beroperasi di wilayah Kota Purwokerto sampai dengan tahun 2013, dapat dilihat pada Tabel 17.
67 Tabel 17 Volume sampah yang diangkut ke TPA “Gunung Tugel” No.
Jenis Kendaraan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Dump Truck Drump Truck Drump Truck Drump Truck Drump Truck Drump Truck Drump Truck Feel Drump Truck Drump Truck Drump Truck Drump Truck Pick up Pick up Arm roll Pick up Pick up Drump Truck Drump Truck Drump Truck Pick up
Volume (m3) Terangkut Kendaraan Per-Rit Rit I 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 4 4 5 4 5 8 8 8 4
Rit II 8 8 8 8 8 7 8 7 8 8 8 4 4 5 8 -
Rit III 8 8 8 5 -
Sumber :Badan Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Banyumas 2014 Sistem Pemprosesan Akhir Sampah (TPA) “Gunung Tugel” Sistem pembuangan akhir atau sekarang menjadi tempat pemprosesan akhir sampah dari aspek teknis operasional pengelolaan sampah di Kota Purwokerto , berupa TPA (Tempat Pemprosesan Akhir) yang berada di daerah “Gunung Tugel” Kecamatan Patikraja Kabupaten Banyumas. Retribusi Pelayanan Pengelolaan Persampahan Kota Purwokerto. Retribusi pengelolaan sampah di Kota Purwokerto dikenakan bagi masyarakat yang mendapat pelayanan sampah. Berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Banyumas Nomor 19 tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum di Kabupaten Banyumas Bab IV tentang \Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan mengenai nama, obyek, subyek dan wajib retribusi persampahan, dan besarnya retribusi tarif pelayanan persampahan/kebersihan di Kota Purwokerto. Perda Nomor 6 Tahun 2012 tentang pengelolaan sampah, dapat dijelaskan berikut.
68 1. Kepala Keluarga (KK) Pemukiman : a. Wilayah I besaran tarif Rp. 5.000,00 setiap bulan/rumah tangga. b. Wilayah II besaran tarif Rp. 3.000,00 setiap bulan/rumah tangga. 2. Kegiatan hajatan/hiburan peringatan ulang tahun dikenakan tarif: a. Kegiatan punya kerja/hajatan/hiburan/peringatan ulang tahun atau sejenisnya perseorangan/badan pelaksanaan di dalam gedung milik/dikelola Pemeritah Daerah sebesar Rp. 50.000,00 per hari. b. Kegiatan/hajatan/hiburan/peringatan ulang tahun atau sejenisnya perseorangan di luar gedung sebesar Rp. 100.000,00 per hari. c. Kegiatan hiburan/pertunjukkan/kegiatan olah raga/peribadatan atau kegiatan lainnya di tempat umum/gedung olah raga/alun-alun/stadion olah raga Pemerintah sebesar Rp. 100.000,00 per hari. d. Kegiatan hiburan/ peringatan ulang tahun yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah atau pihak lain yang bersifat sosial keagamaan dengan tidak mencari keuntungan atas kegiatan dikenakan tarif: 1. 50 persen dari ketentuan angka 2 haruf a. 2. 50 persen dari ketentuan angka 2 huruf b, apabila di luar gedung. 3. 50 persen dari ketentuan angka 2 huruf c, apabila di tempat umum/alun-alun/stadion/gelanggang /dikelola pemerintah daerah. 3. Bagi pedagang dan /atau penjual jasa yang menempati ruang milik publik dikenakan tarif retribusi sebagaiberikut: a. Pedagang kaki lima sebesar Rp. 1.000,00 / unit / hari. b. Dokar/delman sebesar Rp. 1.000,00 per uni/ perhari. 4. Bagi pengusaha, perkantoran, restoran /rumah makan, hotel: a. Pengusaha kios dan tempat usaha lainnya di luar lingkungan pasar atau terminal dikenakan tarif sebesar Rp. 10.000,00 per bulan. b. Untuk perkantoran, restoran/rumah makan dan hotel/losmen sebesar Rp. 100.000,00 per bulan. 5. Bagi pengusaha industri diatur sebagai berikut: a. Golongan I, yaitu industri yang mempunyai tenaga kerja lebih dari 50 orang, dikenakan restribusi Rp. 500.000,00 perbulan. b. Golongan II, yaitu industri golongan menengah adalah industri dengan tenaga kerja 11-50 orang retribusi Rp. 300.000,00 perbulan. c. Golongan III, yaitu industri yang mempunyai tenaga kerja 1 9satu) sampai dengan 10 orang sebesar Rp. 100.000,00 per bulan. 6. Kantor instansi pemerintah/kelembagaan diatur sebagaiberikut: a. Instansi pemerintah/pemerintah daerah dengan jumlah pegawai sampai dengan 15 orang Rp. 25.000,00 perbulan/per Instansi/lembaga. b. Instansi pemerintah jumlah pegawai 16 sd 50 orang dikenakan retribusi sebesar Rp. 50.000,00 per bulan/per Instansi/ lembaga. c. Instansi pemerintah/pemerintah daerah dengan jumlah pegawai lebih dari 50 orang retribusi Rp. 75.000,00/ bulan/per Instansi/lembaga. d. Lembaga pemasyarakatan sebesar Rp. 100.000,00 per bulan. e. Balai kesehatan masyarakat/pusat kesehatan masyarakat tidak termasuk golongan limbah bahan berbahaya dan beracun dan sampah infeksius sebesar Rp. 25.000,00. f. Rumah Sakit Umum tidak termasuk golongan limbah bahan berbahaya dan beracun dan sampah infeksius.
69 - Rumah Sakit Umum tipe A, sebesar Rp. 1.500.000,00 per bulan. - Rumah Sakit Umum tipe B, sebesar Rp. 500.000,00 per bulan. - Rumah Sakit Umum tipe C, sebesar Rp. 300.000,00 per bulan. - Rumah Sakit Umum tipe D, sebesar Rp. 200.000,00 per bulan. 7. Untuk asrama /rumah kos diatur sebagai berikut: a. Golongan A dengan penghuni 1-10 orang Rp. 10.000,00 per bulan. b. Golongan B dengan jumlah penghuni 10 - 25 orang sebesar Rp. 20.000,00 perbulan per asrama. c. Golongan C dengan jumlah penghuni lebih dari 25 orang sebesar Rp. 50.000,00 per asrama. 8. Penggunaan jasa pembuangan sampah ditetapkan: a. Mobil truk dengan kapasitas 4 m3 sampai dengan 6 m3 dikenakan tarif retribusi sebesar Rp. 20.000,00 perkali angkut. b. Mobil jenis colt atau truk atau semacam jenis lainnya yang berkapasitas muat lebih dari 6 m3 tarif Rp. 50.000,00 setiap m3. Struktur aliran dana retribusi pengelolaan sampah di Kota Purwokerto Kabupaten Banyumas (DCCKTR 2013) dapat dilihat pada Gambar 7.
UPTD
Petugas Pengumpul Retribusi DCCKTR
Kas Daerah
Petugas dari kelurahan
Petugas dari RT
Permukiman
Gambar 7 Diagram alir biaya pengelolaan sampah permukiman Kondisi Tempat Pemprosesan Akhir Sampah (TPA) “Gunung Tugel” Tempat Pemprosesan Akhir (TPA) sampah “Gunung Tugel” berada di Desa Kedung Randu, Kecamatan Patikraja, TPA ini diresmikan dengan SK Bupati Kabupaten Banyumas Nomor 658.1/712/87. Sebetulnya di Kabupaten
70 Banyumas selain TPA “Gunung Tugel”, ada juga TPA lain tetapi letaknya di luar kota dan diperuntukkan menampung sampah yang bukan dari Kota Purwokerto. TPA tersebut yaitu TPA “Kaliori” dengan areal seluas 5,3 hektar dan sudah terpakai 2 hektar, sedangkan untuk TPA “Gunung Tugel” luanya 5,4 hektar dan sudah terpakai 4,5 hektar. TPA “Gunung Tugel” berdiri tahun 1983 sampai sekarang sudah beroperasi selama 31 tahun, untuk TPA “Kaliori” berdiri tahun 1992 dan sampai saat ini sudah berumur sekitar 22 tahun. TPA “Tipar” berdiri tahun 1994 dan sampai sekarang sudah berumur sekitar 20 tahun. TPA “Gunung Tugel”, dengan luas lokasi 5,4 hektar untuk bagian atas dan 2,0 hektar untuk lokasi bagian bawahnya. TPA “Gunung Tugel” memiliki daya tampung sekitar 1,5 juta meter kubik sampah. Data pengelolaan sampah di TPA “Gunung Tugel” Kota Purwokerto sebagai berikut: 1. Waktu Rencana : 1983 - 2013 2. Luas Area terpakai : + 3,5 Ha 3. Jarak dan Pusat Kota : 10 km 4. Jarak dan permukiman : 100 m 5. Jarak dari badan air : 250 m 6. Metode Pengolahan : open dumping 7. Jarak TPA dengan perumahan / permukiman terdekat : 100 m / 0,1 Km 8. Jarak TPA dengan sungai / badan air terdekat : 50 m / 0,05 Km Awal perencanaan/ design TPA “Gunung Tugel”dengan sistem controlled landfill, akan tetapi dalam perkembangannya, karena situasi dan kondisi, maka pihak pengelola memutuskan menggunakan sistem open dumping, dengan fasilitas melipui sebagaiberikut(a) drainase I dan Zona Penyangga;(b)Saluran pengumpulan lindi; (c) Sisa pengolahan lindi; (d) Ventilasi gas dan sumur Uji; (e) Alat berat (bulldozer). Sampah dari Kota Purwokerto setiap harinya yang masuk di TPA “Gunung Tugel” sekitar 282 m3/hari dari 21 armada pengangkut sampah, berarti dalam satu bulan sekitar 7.800 meter kubik sampah. Sampah yang masuk ke TPA tersebut, terdiri dari sampah organik dan sampah an- organik. Presentase sampah tersebut sampah organik 62,88 persen dan sampah anorganik sebanyak 37,12 persen. Sumber sampah dari Kota Purwokerto yang masuk TPA berasal dari berbagai sumber sampah yaitu dari (a) Rumah tangga; (b) Pertokoan; (c) Pasar; (d) Industri/pabrik; (e) Ruang terbuka; (f) Rumah sakit; (g) Sekolah mulai dari SD sampai dengan Perguruan Tinggi di Kota Purwokerto. Sampah yang masuk ke TPA dilakukan proses pengomposan, rata-rata volume sampah yang dapat di kompos sebanyak 240 m3/bulan atau sekitar 2,4% nya saja dari sampah yang masuk ke TPA. Sampah an-organik tidak ada proses daur ulang di TPA, hanya diambil pemulung lalu dijual ke pengusaha rongsok ataupun ke pengepul yang siap datang setiap harinya ke TPA. Kepala Bidang Kebersihan dan Pertamanan, Zahnir, 23 Maret 2015, mengemukakan : “tumpukan sampah di TPA “Gunung Tugel” menyebabkan munculnya gas metan. Apabila TPA tersebut masih menggunakan sistem tradisional open dumping, tumpukan sampah dibiarkan tanpa ditimbun. Jika
71 dengan menggunakan sistem untuk terkendali akan mengurangi dan mencegah pembakaran gas metan. Setiap dua atau tiga hari sekali tumpukan sampah ditutup menggunakan tanah seperti yang sekarang diterapkan di TPA “Kaliori”. Selain mengurangi resiko kebakaran, metode uruk juga dapat mengurangi potensi pencemaran lingkungan, seperti pencemaran air dan udara. Metode tersebut juga mengurangi longsor sampah”. Sehubungan dengan pernyataan Zahnir (2014), maka Palwoko (2014), Kepala UPT TPA mengemukakan bahwa : “… beberapa tahun lalu sempat terjadi kebakaran cukup besar, kalau muncul percikan api di salah satu titik api akan langsung menghubungi pemadam kebakaran agar api tidak menjalar…”. Kondisi sarana prasaranadi TPA yang digunakan untuk pengelolaan sampah, secara umum terdiri dari: 1. Prasarana jalan dan prasarana drainase 2. Alat berat berupa back hoe (begu) dan bulldozer. 3. Kantor dan papan nama 4. Tempat sampah - pipa : gas ( ventilasi ) dan pipa :lindi 5. Petunjuk zona I – IX dan sumur uji. Sampah organik mengeluarkan gas yang dapat mengganggu kesehatan dan lingkungan, gas yang dikeluarkan tersebut yaitu berupa gas karbon dioksida (CO2) dan gas metan (CH4). Gas yang dikeluarkan dari sampah di TPA, ini, memiliki potensi yang cukup besar atau sumbangan besar terhadap terjadinya efek rumah kaca dan menyebabkan terjadinya pemanasan global. Pemerintah ada rencana pengelolaan sampah pasca penutupan TPA sistem open dumping akan menjadi sanitary landfill, pertimbangan yaitu (a) Perencanaan perluasan TPA, untuk mengikuti arah kontur dan kondisi lahan yang memungkinkan untuk perluasan, (b) Sistem pembuangan dari open dumping dialihkan ke a rah sanitary landfill , karena sistem sanitary landfill biayanya lebih efisien dan jangka waktu penggunaan lebih lama dibandingkan open dumping, (c) Penerapan konsep 3R untuk menuju konsep zero landfill, (d) Program kerjasama dengan masyarakat, swasta dalam green waste. Pelaksanan pengelolaan sampah di TPA “Gunung Tugel” adalah dengan melakukan pengomposan sampah organik, secara teknis sebagai berikut: a. Secara manual pertama di lakukan pemilahan, penumpukan menggunakan erator di sertai siraman dan pemadatan, guna menimbulkan suhu panas pada sampah maksimal bersuhu 70o dan minimal bersuhu 40o, setelah 7 hari diadakan pembalikan untuk menghasilkan pembusukan yang merata, dan dilakukan penyiraman dengan ditambahkan bakter i pembusuk (m4), setelah mencapai 30 hari tinggal pelaksanaan pengeringan selama 10 hari baru dilaksanakan penyaringan dan pengemasan. b. Secara mekanik (dengan mesin) tetap melakukan pemilahan dan pencacahan lalu penimbunan secara tertutup menggunakan bak / kontainer dalam jangka waktu tujuh hari. Setelah tujuh hari kemudian dilakukan pembongkaran dan penumpukan pengeringan, setelah 10 hari dilakukan pengayakan, pengemasan dan siap untuk di pasarkan. c. Pembuatan kompos, yaitu volume sampah yang dibutuhkan untuk selama satu bulan memerlukan waktu adalah satu hari membutuhkan 16 m3 untuk menghasilkan sebanyak delapan m3 kompos, kalau satu bulan 3 membutuhkan 480 m sampah untuk menghasilkan 240 m3 kompos.
72 Teknologi sistem pengolahan sampah yang digunakan di TPA “Gunung Tugel” adalah sistem open dumping, proses sebagai berikut (a) kendaraan pengangkut sampah masuk ke TPA, (b) tenaga pengangkut mencari lahan TPA yang akan ditempati, (c) sampah dibongkar dari kendaraan pengangkut di lokasi yang telah ditentukan setelah itu sampah dibiarkan terbuka, (d) pemulung mencari barang-barang seperti biji buah, botol, kaleng, plastik, seng, (e) sampah yang telah dipilah pemulung didorong dan diratakan bulldozer dan (f) Sampah di urug 2-3 bulan sekali. Pemerintah Kabupaten Banyumas, mempunyai rencana penutupan TPA “Gunung Tugel” dan akan dipindah ke tempat lain yaitu TPA Kaliori, namun sampai saat ini masih beroperasi. Sistem pengolahan open dumping akan diganti dengan sistem sanitary landfill, hal ini berdasarkan pertimbangan Pemda bahwa sistem open dumping ini memakan lahan yang sangat luas dan jangka waktunya lebih pendek. Sistem sanitary landfill keuntungannya adalah jangka waktu pemakaian lahan untuk TPA lebih lama dan ramah lingkungan, namun biaya cukup besar. Sistem pengelolaan sampah dengan open dumping di TPA “Gunung Tugel”, membutuhkan perhatian lebih besar, karena rentan menimbulkan masalah kesehatan dan lingkungan terhadap masyarakat sekitar. Banyak air limbah sampah langsung mengalir ke sungai sehingga menimbulkan penyakit bagi warga. Selain itu juga menimbulkan bau sampah yang menyengat membuat banyak penolakan pengelolaan di berbagai tempat. Akibatnya TPA banyak merugikan masyarakat, sehingga hal ini yang dapat memperburuk penilaian Adipura. Penilaian Adipura didasarkan pengelolaan sampah dan ruang terbuka hijau 95 persen, sedangkan 5 persen berdasarkan penilaian pencemaran. Apabila telah dilakukan penutupan TPA “Gunung Tugel” dari sistem open dumping, maka rencana yang akan dilakukan adalah perencanaan perluasan TPA untuk mengikuti kontur dan kondisi lahan untuk perluasan TPA agar dapat menampung sampah lebih banyak lagi dan tidak mencemari lingkungan yaitu dengan sistem sanitary landfill. Sistem pengelolaan sampah di TPA dengan menggunakan sanitary landfill, keuntungannya biaya yang dikeluarkan lebih efesien dan jangka waktu penggunaannya lebih lama dibandingkan dengan sistem open dumping. Adapun sistem lain dalam pengelolaan sampah adalah dengan penanganan di sumber sampah, hal ini sangat penting agar sampah yang masuk ke TPA akan berkurang, karena telah dilakukan pengolahan di sumber sampah. Konsep pengolahan dengan sistem pola 3 R dalam rangka menuju konsep pengolahan sampah zero waste (nir limbah). Pelaksanaan pengelolaan sampah dengan menggunakan pola 3 R memerlukan partisipasi masyarakat. Pengolahan sampah di TPA “Gunung Tugel”, memang mengalami kendala. Solusi dari sampah yang menumpuk di TPA, maka sampah yang sudah menumpuk banyak akan dilakukan urugan atau diitutupi dengan tanah. Pengendalian lalat, bau dan lindi akibat dari menumpuknya sampah, sudah ada upaya antara lain untuk lalat dilakukan upaya dengan penyemprotan menggunakan obat semprot atau trebon. Mengatasi bau sampah, dilakukan menutup sampah dengan tanah, untuk mengatasi air lindi, maka air sampah dinetralisir dengan kolam licit.
73
5 AKTOR - AKTOR DOMINAN PENGGERAK GREEN WASTE MENUJU TERBENTUKNYA GREEN COMMUNITY Pendahuluan Produksi sampah di Kota Purwokerto dari hari-kehari terus meningkat kuantitas dan kualitasnya, seiring dengan meningkatnya populasi penduduk, perubahan pola konsumsi dan gaya hidup masyarakat. Meningkatnya daya beli dan gaya hidup masyarakat terhadap berbagai jenis bahan pokok dan hasil teknologi memberikan kontribusi terhadap kuantitas dan kualitas sampah yang dihasilkan. Pendekatan partisipatif diperlukan untuk melibatkan semua pihak sejak langkah awal, mulai tahapan analisis masalah, penetapan rencana kerja sampai pelaksanaan dan evaluasinya.Kegiatan partisipatif dapat dikelompokkan pada dua kelompok sasaran, yaitu partisipasi pengambil keputusan dan partisipasi kelompok setempat terkait dalam pengelolaan lingkungan hidup (GTZ 1997). Bab ini membahas tentang aktor-aktor dominan yang dapat menjadi penggerak green waste menuju terbentuknya green community. Kajian meliputi kondisi lingkungan sosial, ekonomi, budaya, faktor kesiapan masyarakat dalam pengelolaan sampah rumah tangga sebagai upaya mendukung terwujudnya Purwokerto sebagai kota hijau. Aktor-aktor yang melakukan upaya green waste, terdiri dari masyarakat, pemerintah, pemerhati lingkungan, pengusaha, pemulung. Aktor lainnya adalah kepala keluarga, pemulung, nasabah bank sampah, pengelola sampah dan pengusaha rongsok. Aktor-aktor yang mampu dan dominan dalam menggerakkan elemen masyarakat dalam menuju green community dan green waste diduga cenderung berbasis kepentingan aktor pemerintah saja. Kepentingan meliputi penilaian Adipura dan kota hijau. Apabila aktor berkomitmen dan peduli terhadap lingkungan, maka keberlanjutannya akan terjaga dan berkesinambungan. Faktor yang diduga mempengaruhi partisipasi dalam pengelolaan sampah seseorang adalah perilaku, sikap, persepsi dan pengetahuan masyarakat dalam pengelolaan sampah rumah tangga, kota hijau dan pola kerigan. Pembahasan Kondisi Lingkungan Sosial Masyarakat Kota Purwokerto Kondisi sosial masyarakat Kota Purwokerto, apabila dilihat dari pendidikan, maka Purwokerto dikenal sebagai salah satu kota pelajar di Pulau Jawa, hal ini dikarenakan cukup banyaknya jumlah sekolah mulai dari taman Kanak- kanak sampai Perguruan Tinggi di kota ini. Hal ini menyebabkan jumlah siswa dan mahasiswa dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang significan juga jumlahnya. Demikian juga untuk jumlah pondok pesantren dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, begitu juga dengan santrinya terjadi kenaikan sekitar 1,99 persen untuk data tahun 2013. Sebuah kewajaran apabila Purwokerto menyandang predikat sebagai kota pelajar, karena memang Purwokerto merupakan kota yang sangat strategis untuk menimba ilmu. Selain itu juga letak geografisnya yang mudah
74 dijangkau dari berbagai kota khususnya di Pulau Jawa, biaya hidup relatif lebih murah jika dibandingkan dengan biaya hidup kota-kota besar lainnya di Indonesia. Kota Purwokerto dilihat dari lingkungan sosialnya, selama ini tergolong kondusif untuk belajar, sehingga tidak mengherankan setiap tahun dibanjiri mahasiswa- mahasiswa pendatang dari seluruh pelosok tanah air. Adapun perguruan tinggi yang ada di Kota Purwokerto, baik PTN maupun PTS adalah sebagaiberikut: (1) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed); (2) SekolahTinggi Agama Islam negeri (STAIN); (3) Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP); (4)Sekolah Tinggi Teknik Wiworotomo Purwokerto; (5) Sekolah Polisi Negara(SPN) Polda Jawa Tengah; (6) Universitas Terbuka Tutorial (UTTP); (7)Politeknik Ma,arif Purwokerto; (8) Politeknik Kesehatan Purwokerto; (8) Universitas Wijaya Kusuma; (9) STIMIK AMIKOM Purwokerto; (10) Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bina Cipta Husada; (11) STIKES Harapan Bangsa; (12) STIE Satria; (13) Politeknik Pratama; (14) Akademi Manajemen RS Kusuma Husada; (15) AKBID YLPP; (16) Akademi Pariwisata Eka Sakti; (17) Akademi Keperawatan Yakpermas; (18) AMIK Bina Sarana Informatika; (19) Akademi Farmasi Kusuma Husada; (20) Politeknik Ma’arif NU; (21) Akademi Kebidanan Perwira Husada Hasil analisis SWOT (Kurniawan 2009), aspek-aspek yang perlu menjadi pertimbangan pemerintah kabupaten adalah dari segi geografis dan demografis. Dari segi geografis, Purwokerto berada pada lokasi yang strategis, yaitu pertemuan jalur selatan- utara. Purwokerto juga memiliki atmosfer dan cuaca yang mendukung proses pembelajaran. Dari segi demografis, Purwokerto memiliki SDM terdidik yang cukup banyak. Banyak tokoh-tokoh pendidikan lahir dari Kota Purwokerto. Kota Purwokerto juga memiliki fasilitas pendidikan yang cukup memadai. Potensi-potensi ini sangat mendukung terwujudnya Kota Purwokerto sebagai kota pendidikan. Aspek kesehatan bagi masyarakat Kota Purwokerto merupakan faktor penting dalam kehidupan dalam meningkatkan kualitas SDM. Ketersediaan sarana kesehatan sangat penting di dalam meningkatkan kesehatan masyarakat. Pada tahun 2012 sudah berdiri rumah sakit baik negeri maupun swasta. Sarana kesehatan di Purwokerto tahun 2013 dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 Sarana kesehatan di kota Purwokerto tahun 2013 No. Sarana kesehatan
Jumlah (unit)
1.
Rumah Sakit Negeri/Swasta
22
2
Puskesmas Keliling
16
3
Puskesmas
6
4
Puskesmas Pembantu
3
5
Posyandu
6
Dokter Praktek Bersama Jumlah
Sumber : BPS Kabupaten Banyumas 2014
352 21 398
75 Jumlah tenaga medis di Kota Purwokerto diantaranya 307 dokter baik dokter umum maupun dokter spesialis, 486 bidan dan 394 paramedis yang lainnya. Peserta KB aktif pada tahun 2010 tercatat sebanyak 229.983 peserta, yang berarti mengalami kenaikan sebesar 2,34 persen dibandingkan dengan tahun 2009. Alat kontrasespsi yang paling diminati masyarakat Kota Purwokerto adalah suntik yaitu sebanyak 135.552 atau 58,92 persen. Keberhasilan sebuah pembangunan tidak saja dilihat dari pembangunan ekonomi saja, tetapi dari kualitas sumberdaya manusia, karena itu sumberdaya manusia (SDM) menempati faktor sentral dalam pembangunan (Lestari 2014). Kinerja pembangunan manusia suatu wilayah/kota khususnya, organisasi dunia yaitu UNDP (United Nations Developmen Programe) merumuskan suatu indikator yang dinamakan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI). IPM mengukur pencapaian pembangunan manusia dari suatu daerah dalam tiga dimensi dasar pembangunan manusia, yaitu (a) dimensi lamanya hidup yang diukur berdasarkan angka harapan hidup pada saat lahir, kemudian (b) dimensi pendidikan yang diukur berdasarkan angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah, (c) dimensi kualitas standar hidup yang diukur dengan pendapatan perkapita riil yang disesuaikan dengan paritas daya beli. Ketiga indikator IPM mempresentasikan kebutuhan pokok manusia yang menyangkut aspek sosial, dalam hal ini adalah aspek kesehatan, pendidikan (angka melek hurup dan rata- rata lama sekolah) dan ekonomi. Asumsi bahwa semakin tinggi angka IPM suatu wilayah maka menunjukkan keadaan wilayah yang bersangkutan semakin baik secara sosial ekonomi. Berdasarkan data dalam pembangunan berbasis gender tahun 2012 disebutkan Angka Harapan Hidup Kota Purwokerto Kabupaten Banyumas tahun 2010 sebesar 69,72 persen sedangkan tahun 2011 sebesar 69,78 persen terjadi kenaikan sebesar 0,06 persen . Aspek sosial lainnya adalah angka melek hurup pada tahun 2010 sebesar 93,98 persen sedangkan tahun 2011 sebesar 94,06 persen , terjadi kenaikan sebesar 0,08 persen IPM tahun 2010 sebanyak 72,60 dan 2011 sebesar 72,96, terjadi kenaikan IPM sebesar 0,36. Terjadi kenaikan cukup baik, walaupun persentasenya relative kecil. Kota Purwokerto dengan tata spasialnya dibentuk dari kearifan lokal yang melekat di masyarakatnya serta dinamika relasi kekuasaan yang terjadi sepanjang sejarah perkembangan kotanya. Kearifan lokal (local wisdom) dibentuk dan tumbuh dari persentuhan panjang masyarakatnya dengan tradisi Jawa non- Keraton yang egaliter khas Banyumasan, modernisasi barat, gerakan anti kolonialisme, nasionalisme dan Islamisasi gradual. Dinamika relasi kekuasaan menyangkut jatuh bangunnya kekuatan sosial dominan yang mengontrol ruang publik, baik fisik maupun sosial. Perkembangan Kota Purwokerto dengan simbul ke-modern-an, telah membawa dampak negatif yang harus ditanggung masyarakatnya. Misalnya “penghancuran” gedung-gedung lama seperti situs lama ISSOLA dan gedung kesenian Shin Hwa She, solidaritas sosial semakin memudar, budaya lama seperti pola kerigan semakin memudar, membawa hilangnya sense of continuity dengan masa lalu yang turut member warna perkembangan kota. Dampak sosial yang timbul dengan perkembangan Kota Purwokerto adalah individualisme, munculnya pengamen, pengemis, gelandangan, PSK, kemacetan, aksi kriminalitas dan munculnya daerah kumuh (slum area).
76 Rencana Tata Ruang Wilayah dan master plan kota, resapan air, akibat komersialisasi berlebihan. menyebabkan terjadinya potensi destruktif secara ekologis dan sosial seringkali masalah ekologi ini diabaikan. Faktor-faktor yang menyebabkan meningkatnya volume sampah Kementerian Kesehatan RI (2014) menyebutkan bahwa dua pertiga penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan pada tahun 2035. Hal ini diakibatkan karena selain pertumbuhan alamiah warga dan urbanisasi, juga diakibatkan perubahan desa menjadi kota, turut menyumbang banyaknya penduduk yang tinggal di perkotaan. Sebuah fenomena umum yang banyak terjadi di negara-negara berkembang dan maju. Meski wajar, lonjakan penduduk perkotaan belum diantisipasi, lemahnya penegakan hukum atas peraturan penataan ruang membuat kota tumbuh merambat, mengokupasi kawasan pendukung yang seharusnya dikonservasi. Sonny, Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, pada tanggal 14 April 2014 (Kompas 2014) mengemukakan tentang pembangunan infrastruktur bahwa: “… pembangunan infrastruktur pendukung perkotaan tidak mampu mengimbangi pertumbuhan kota. Keterlambatan penyediaan infrastruktur kota membuat kota sarat masalah yang menurunkan kualitas hidup warganya…”. Senada dengan pernyataan Sonny,, maka Iwan, selaku Ketua Program Magister Studi Pembangunan (MSP) ITB, tanggal 14 April 2014 (Kompas 2014) mengemukakan sebagaiberikut: “… buruknya perencanaan pembangunan kota mengancam keberlanjutan kota. Kota seharusnya dikembangkan secara kompak, bukan melebar seperti terjadinya di semua kota di Indonesia saat ini. Kota melebar membuat infrastruktur yang dibangun tidak efesien, mahal dan boros energi…”. Pertambahan penduduk dan penambahan pola konsumsi masyarakat di Kota Purwokerto Kabupaten Banyumas menimbulkan bertambahnya volume sampah, jenis, karakteristik sampah yang semakin beragam, sehingga diperlukan sistem pengelolaan sampah ramah lingkungan (green waste). Untuk melaksanakan ketentuan pasal 11 ayat (2), Pasal 12 ayat (2), Pasal 17 ayat (3), Pasal 18 ayat (2), Pasal 24 ayat (3), Pasal 25 ayat (4), Pasal 28 ayat (3), Pasal 29 ayat (3), Pasal 31 ayat (3), Pasal 32 ayat (3) , Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga (Lembaran Negara RI Tahun 2012 Nomor 188, maka PemeKab Banyumas menerbitkan Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas (Perda) Nomor 6 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Sampah. Pertambahan penduduk dan arus urbanisasi perpindahan masyarakat dari desa ke kota yang sangat besar (urbanisasi berlebih) menyebabkan timbunan sampah di TPA semakin meningkat banyak. Purwokerto sebagai salah satu kota yang memiliki potensi pengembangan ekonomi cukup tinggi ternyata sangat menarik banyak warga dari desa. Terlebih Kota Purwokerto memiliki Universitas Jenderal Soedirman, IAIN, Sekolah Polisi Negara Polda Jawa Tengah, tentunya hal ini menjadikan “magnet” yang kuat.
77 Hasil penelitian menunjukkan di Kota Purwokerto banyak berdiri komplek pemukiman baru, sehingga pembangunan perumahan membawa konsekuensi jumlah penduduk berbanding lurus dengan banyaknya sampah yang dihasilkan di Kota Purwokerto. Produksi sampah di Kota Purwokerto dari hari-kehari terus meningkat jumlah dan kualitasnya, seiring dengan meningkatnya populasi penduduk, perubahan pola konsumsi dan gaya hidup masyarakat. Meningkatnya daya beli masyarakat terhadap berbagai jenis bahan pokok dan hasil teknologi serta meningkatnya kegiatan penunjang pertumbuhan ekonomi juga memberikan kontribusi besar terhadap kuantitas dan kualitas sampah yang dihasilkan. Hal ini mengakibatkan permasalahan yang serius bagi Kota Purwokerto di masa sekarang dan masa yang akan datang. Kebutuhan terhadap lahan untuk pembuangan sampah semakin tinggi, sementara lahan yang ada semakin sempit karena digunakan untuk permukiman penduduk, pertokoan, perusahaan, perkantoran dan sebagainya. Masalah sampah mengakibatkan terjadinya pencemaran, kesehatan, banjir dan tingginya biaya lingkungan di masa yang akan datang, sehingga perlu diantisipasi sejak saat ini juga. Peningkatan volume sampah di Kota Purwokerto perlu dicegah dengan cara menekan produksi sampah melalui program 3 R (green waste) yaitu mengurangi (reduce), memanfaatkan kembali (reuce) dan mendaur ulang (recycle) sampah mulai dari sumber sampah yaitu rumah tangga. Upaya menekan laju produksi sampah tidak dapat terjadi, apabila tidak ada perubahan (a) pola konsumsi masyarakat yang saat ini semakin tinggi, akibat meningkatnya, (b) status sosial ekonomi masyarakat yang tidak diimbangi dengan, (c) pola pikir perubahan paradigma terhadap sampah tersebut. Juga (d) rendahnya kesadaran masyarakat dalam berperilaku ramah lingkungan menjadi faktor utama terjadinya pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh menumpuknya timbunan sampah. Penggunaan plastik kemasan yang terus meningkat jumlahnya menjadi ancaman serius bagi lingkungan hidup, hal ini dikarenakan plastik tersebut sukar sekali diuraikan oleh proses alam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 80 persen jenis sampah perkotaan berpotensi untuk dimanfaatkan kembali, sehingga sampah tersebut tidak dianggap sebagai barang buangan semata yang harus diangkut ke TPA. Memilah dan mendaur ulang sampah merupakan gagasan perilaku atau paradigma baru yang tidak mudah untuk di aplikasikan dan memerlukan waktu untuk merubah paradigma masyarakat. Hal ini disebabkan bukan saja karena belum memadainya fasilitas yang menunjang perilaku tersebut, akan tetapi karena masih relative rendahnya tingkat pengetahuan dan sikap masyarakat dalam hal pemilahan dan mendaur ulang (recycle) sampah yang ada menuju green waste atau nir-limbah.. Yayasan Sumber Ilmu (YSI) telah melakukan beberapa inovasi dalam rangka melakukan perubahan tingkat pengetahuan, persepsi, sikap dan perilaku masyarakat dalam pengelolaan sampah rumah tangga. YSI tersebut, melakukan pendekatan kepada masyarakat melalui dunia pendidikan mulai dari guru hingga murid, baik lembaga pendidikan formal maupun pendidikan non-formal. Upaya lain adalah melakukan pendekatan perubahan langsung di masyarakat melalui tabungan sampah yaitu dengan digalakkannya pembentukan bank sampah.
78 Sandra (1982) mengemukakan bahwa jumlah dan kepadatan (densitas) sampah sangat dipengaruhi oleh kondisi geografis, iklim, jumlah penduduk, jumlah fasilitas komersial dan industri, status sosial ekonomi masyarakat dan pola konsumsi. Masyarakat dengan status sosial ekonomi yang tinggi cenderung menghasilkan sampah yang lebih banyak dari pada masyarakat dengan SES yang lebih rendah, tetapi kepadatannya lebih rendah. Senada dengan Sandra, maka Peavy et al (1985) mengemukakan bahwa keanekaragaman aktivitas masyarakat dan status sosial mempengaruhi karakteristik timbunan sampah dan volume sampah yang dihasilkan. Hasil studi BPPT (1990) terhadap karakteristik sampah di DKI Jakarta menunjukkan bahwa kandungan sampah organik di DKI Jakarta jumlahnya mencapai 70 persen dan sisanya 30 persen lagi berupa sampah an-organik. Tchobonoglous (1977) menyatakan bahwa jumlah timbunan sampah yang dihasilkan per orang perhari dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain, yaitu (a) tingkat pendapatan masyarakat, (b) letak geografis dan (c) iklim. Untuk daerah perkotaan dan komersial menurut Peavy, et al (1985) mengemukakan bahwa rata-rata timbunan sampah perorang/ perhari berkisar antara 2,00 – 5,00 liter, sedangkan daerah industri berkisar antara 1,5 – 3,5 liter. Tchobanoglous (1977) menyatakan bahwa masyarakat dengan pendapatan yang lebih tinggi cenderung menghasilkan timbunan sampah yang lebih banyak dibandingkan dengan tingkat pendapatan rendah. Menurut Peavy et al (1985) mengemukakan bahwa ada tujuh faktor yang mempengaruhi jumlah timbunan sampah yaitu (1) lokasi geografis, (2) musim, (3) frekuensi pengumpulan sampah, (4) penggunaan alat penggiling (pencacah sampah) di dapur, (5) perilaku dari masyarakat, (6) volume dari pengangkutan dan pendaur ulangan dan (7) peraturan pemerintah. Ditjen Cipta Karya (1999) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi timbunan sampah adalah sebagaiberikut: 1. Jenis bangunan yang ada, yaitu jenis ini akan menentukan macam jenis dan besar timbunan sampah. Misalnya kantor sering menghasilkan sampah kering (an-organik). 2. Tingkat aktifitas yaitu jumlah sampah yang berhubungan langsung dengan tingkatan aktifitas orang-orang yang mempergunakannya. 3. Iklim yaitu pada daerah penghujan mempunyai tumbuh-tumbuhan yang lebih lebat dari pada daerah beriklim kering. 4. Musim, yaitu setiap penggantian musim, akan berganti pula jenis sampah yang timbul dan berbeda pula volumenya. 5. Letak geografis yaitu buah-buahan daerah tropis biasanya lebih berair dari pada buah-buahan sub-tropis. 6. Letak tofografis, yaitu daerah berelevasi tinggi mempunyai pohon dengan daun lebih kecil. 7. Kepadatan penduduk dan jumlah penduduk, yaitu di kota besar, makin padat penduduknya maka makin besar pula sampah yang timbul, demikian pula sebaliknya. Namun demikian, hal sebaliknya berbeda dengan lahan untuk TPA akan semakin menyempit sehingga daya tampungnya semakin sedikit. 8. Periode sosial ekonomi, yaitu negara dengan tingkat ekonomi baik, negara subur makmur, produksi meningkat, daya beli masyarakat
79 bertambah, maka akan besar pula timbunan sampahnya, dan diikuti dengan sitem pengelolaan sampah yang baik (green waste). 9. Tingkat teknologi, yaitu industri dengan teknologi maju akan mencapai efesiensi maksimal, terutama penggunaan bahan baku. Bahkan sudah menerapkan sistem reuse, reduce dan recycle. Faktor-faktor yang Menyebabkan Meningkatnya Jumlah Penduduk Pemerintah daerah, umumnya kurang memprioritaskan program pengendalian laju pertumbuhan penduduk. Terbukti dari 511 kabupaten/kota di Indonesia, hanya 19 daerah yang membentuk Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah (BKKBD), padahal laju pertumbuhan penduduk 2014 saat ini mencapai 1,5 persen dari target 1,27 persen. Fasli Jalal, selaku Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), tanggal 22 April 2014 mengemukakan bahwa : “… Pemerintah daerah kurang menyadari, laju pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali akan membuat sejumlah sasaran pembangunan tidak tercapai. Padahal dalam Undang-undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga memerintahkan kepada seluruh Pemerintah Kabupaten/Kota wajib membentuk Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah (BKKBD). Keberadaan BKKBD di beberapa daerah terbukti efektif mengendalikan laju pertumbuhan penduduk daerah tersebut. Peran Pemda dalam pengendalian laju pertumbuhan penduduk sangat besar. Sejumlah program dan sasaran BKKBN tidak akan tercapai jika tidak diimplementasikan di tingkat kabupaten/kota. Semua sektor mulai dari pusat, propinsi sampai kabupaten/kota harus mensukseskan program kependudukan….”. Wilayah perkotaan di Indonesia saat ini menghadapi berbagai tantangan yang berkaitan dengan globalisasi, urbanisasi, lingkungan, perubahan iklim, disparitas wilayah dan desentralisasi (Firman 2011). Dari data Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, tercatat bahwa sebelum tahun 2008 jumlah penduduk pedesaan lebih banyak dari penduduk perkotaan. Tahun 2008, merupakan tonggak sejarah perkotaan Indonesia, untuk pertama kalinya dalam sejarah peradaban modern Indonesia, jumlah penduduk perkotaan melebihi jumlah penduduk yang bermukim di wilayah pedesaan yaitu sebesar 50,5 persen . Diprediksi pada tahun 2015 penduduk perkotaan di Indonesia akan mencapai 59,5 persen (BPS, BAPPENAS dan UNFPA 2008). Data lain di Indonesia, memperkirakan pada tahun 2025 diperkirakan 57 persen penduduk ada di perkotaan dan 43 persen tinggal di pedesaan. Sedangkan laju pertumbuhan penduduk di Propinsi Jawa Tengah dari tahun cenderung menurun, yaitu untuk periode tahun 1990-200 sebesar 0,94 persen dan untuk 2000 – 2010 sebesar 0,37 persen , untuk laju pertumbuhan penduduk Nasional, yaitu untuk periode 1990-2000 sebesar 1,49 persen dan periode tahun 20002010 sebesar 1,49 persen, berarti tidak terjadi perubahan laju pertumbuhan penduduk untuk periode tersebut, untuk laju pertumbuhan penduduk Indonesia tahun 2014 masih 1,5 persen dari target 1,27 persen , sedangkan laju kenaikan penduduk Kota Purwokerto 2013 sebesar 0,45 persen.
80 Perkembangan urbanisasi di Kota Purwokerto perlu dicermati, karena dengan adanya urbanisasi ini, maka kecepatan pertumbuhan perkotaan dan pedesaan menjadi semakin tinggi. Faktor - faktor yang dominan mempengaruh jumlah penduduk Purwokerto adalah sebagaiberikut: 1. Mortalitas (kematian) disebabkan beberapa faktor yaitu usia, tempat tinggal, makanan, kebersihan, kesehatan, bencana alam dan kejadian yang tidak terduga lainnya. 2. Fertilitas (kelahiran) , merupakan penyebab utama meningkatnya jumlah penduduk. Hal ini dikarenakan rata-rata pertumbuhan penduduk adalah tingginya angka kelahiran dibandingkan angka kematian. Faktorfaktor yang mempengaruhi tingkat fertilitas penduduk adalah (a) faktor demografi, (b)non-demografi meliputi keadaan ekonomi penduduk, tingkat pendidikan, perbaikan status perempuan, urbanisasi dan industrialisasi, (c) pandangan masyarakat Kota Purwokerto, tidak logis yang menyebabkan pertumbuhan penduduk tinggi seperti “ banyak anak, banyak rejeki”. 3. Faktor penyebab jumlah kelahiran lebih banyak dari jumlah kematian adalah (1) meningkatnya kesadaran penduduk akan pentingnya kesehatan, (2) fasilitas kesehatan yang memadai, (3) meningkatnya gizi penduduk, (4) banyak tenaga medis seperti dokter, bidan dan mantri. 4. Migrasi (Perpindahan), merupakan akibat dari keadaan lingkungan sekitar kurang menguntungkan bagi dirinya. Sebagai akibat dan keadaan alam kurang menguntungkan menimbulkan terbatasnya sumberdaya secara permanen dan sementara. Faktor-faktor yang mempengaruhi migrasi adalah individu, yang terdapat di daerah asal. 5. Faktor lain yang mendorong seseorang mempengaruhi cepatnya pertumbuhan penduduk di Indonesia adalah keyakinan masyarakat yaitu bahwa : “banyak anak, banyak rejeki”. Masalah lingkungan fisik akibat kepadatan penduduk yang tinggi adalah : (a) kerusakan hutan, (b) kekeringan pada musim kemarau, (c) semakin sempitnya lahan pertanian, (d) timbulnya banjir dan (e) menumpuknya volume sampah. Sehubungan dengan meningkatnya jumlah penduduk di wilayah Kota Purwokerto, maka menyebabkan bertambahnya volume sampah perkotaan, baik kualitas maupun kuantitas sampah tersebut. Apabila hal ini tidak diatasi, maka tidak mustahil TPA akan semakin pendek umur operasinya, di satu sisi tidak semua sampah yang dihasilkan masyarakat dapat terangkut petugas, sehingga banyak yang tidak terangkut dan “tercecer” di jalan. Data DCKKTR Banyumas (2014), pada tahun 2013 volume sampah yang dihasilkan tiap hari sudah melampaui daya tampung di TPA “Gunung Tugel”, yaitu sebanyak 279-285 m3/hari, sedangkan sampah yang dapat terambil serta dimanfaatkan ulang melalui pemulung, bank sampah, pengepul rata-rata tujuh persen. Jumlah penduduk Kota Purwokerto 243,341 jiwa, tingkat pertumbuhan penduduk 0,45 persen dan jumlah rumah 33.082 unit, volume sampah dihasilkan per jiwa rata-rata 0,0024 m3/jiwa/hari. Kapasitas TPA “Gunung Tugel” dapat menampung setiap hari sekitar 260 m3/hari, maka apabila dibiarkan terus menerus dan tidak ada solusi dalam pengolahan sampah. Rata-rata produksi sampah yang dihasilkan di wilayah Kota Purwokerto (Tabel 19).
81 Tabel 19 Rata- rata sampah masuk di TPA (2009-2013) (m3) Tahun 2012 34.698 23.368 28.904 29.885
Tahun 2013 36 507 25 202 28 499 27 556
5. Kota Purwokerto 107.137 111.198 116.997 116.855 Sumber Data : UPT Pengelolaan Sampah “Gunung Tugel” 2014
117 764
NO. 1. 2. 3. 4.
KECAMATAN Purwokerto Selatan Purwokerto Barat Purwokerto Timur Purwokerto Utara
Tahun 2009 32.876 22.477 25.794 25.990
Tahun 2010 33.585 23.116 26.949 27.548
Tahun 2011 36.622 24.218 27.965 27.992
Sehubungan dengan itu, maka rata-rata daya tampung sampah di TPA “Gunung Tugel” dari tahun ke tahun menurun. Hal ini disebabkan karena lokasi TPA yang dapat menampung sampah, semakin lama semakin berkurang. Ini dikarenakan semakin menumpuknya volume sampai di tempat tersebut dan proses pengelolaan sampah masih menggunakan sistem open dumping. Daya tampung TPA sampah pada tahun 2009 menunjukkan 399 m3, tahun 2010 sebanyak 323 m3, tahun 2011 sebanyak 284 m3, tahun 2012 sebanyak 253 m3 dan tahun 2013 daya tampung sampah di TPA sebanyak di 214 m3. Berdasarkan data daya tampung sampah di TPA “Gunung Tugel” tersebut dari tahun ke tahun semakin menurun sejalan dengan banyaknya volume sampah yang dihasilkan masyarakat Kota Purwokerto. Perlu upaya pengelolaan sampah rumah tangga di sumber penghasil sampah, melalui pola 3 R dan peningkatan partisipasi masyarakat mendukung program green waste. Solusi untuk mengatasinya yaitu meminimalisasi volume sampah yang masuk ke TPA dengan meningkatkan potensi yang ada di masyarakat. Potensi tersebut antara lain, kearifan lokal pola kerigan dalam pengelolaan sampah menuju green waste dalam bentuk kepedulian masyarakat dengan aksi nyata partisipasi pengelolaan sampah mulai dari sumber penghasil sampah. Sejalan dengan permasalahan di atas, maka Soni Tri Bangun Laksono (2014) Asisten Deputi Peningkatan Peranserta Masyarakat Kementerian Lingkungan Hidup R.I mengemukakan sebagai berikut: “… peranserta masyarakat menjadi kendala utama dalam upaya penanganan persoalan sampai di berbagai daerah. Masyarakat pada umumnya belum tergerak untuk ikut bertanggungjawab terhadap persoalan sampah. Kesadaran untuk membuang sampah pada tempatnya juga masih sangat memperihatinkan. Perlu dipahami masyarakat bahwa persoalan lingkungan yang berasal dari sampah dan kotoran ternak harus ditangani lebih serius. Hal ini karena limbah gas metan yang dihasilkan mempunyai daya rusak terhadap lapisan ozon jauh lebih besar dari pada gas buang kendaraan bermotor. Pengelolaan sampah di tingkat Pemda belum terpilah, sedangkan kemampuan masyarakat dalam pemilahan sampah juga belum maksimal. Tetapi kalau masyarakat belum bisa memilah, proses pengolahan sampah jangan sampai berhenti. Jangan pernah berpikir kalau memilah sampah menjadi proses terpenting dalam pengelolaan sampah. Kalau proses pemilahan sampah dapat dimulai dari rumah tangga, kelompok masyarakat atau di tempat pemprosesan akhir sampah (TPA). Pemerintah Kabupaten/Kota harus merespon inisiatif masyarakat yang sudah memulai pengelolaan sampah terpilah...”.
82 Pernyataan tersebut, menunjukkan begitu pentingnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah rumah tangga, dalam penyediaan, penataan dan pemeliharaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dalam rangka mendukung kota hijau. Tanpa adanya partisipasi masyarakat, maka sebaik apapun program tidak akan berhasil dengan baik. Analisis Pertumbuhan Penduduk, PDRB, Volume Sampah Kota Purwokerto. Hasil penelitian dari LPM ITB dan Puslitbang Perrmukiman Departemen PU tahun 1991, tentang laju timbunan sampah dan kriteria kota berdasarkan volume sampah dan berat sampah dapat disajikan pada Tabel 20. Tabel 20 Laju timbunan sampah untuk kota sedang dan kecil No Sumber Sampah
Satuan
Volume
Berat (kg)
(liter) 1
Rumah permanen
Per orang/hari
2,25 – 2,50
0,350 - 0,400
2
Rumah semi permanen
Per orang/hari
2,00 – 2,25
0,300 – 0,350
3
Rumah non-permanen
Per orang/hari
1,75 – 2,00
0,250 – 0,300
4
Kantor
Per-peg/hari
0,50 – 0,75
0,025 – 0, 100
5
Toko/ruko/supermarket
Permurid/hari
2,50 – 3,00
0,150 – 0, 350
6
Sekolah
Permeter/hari
0,10 – 0,15
0,010 – 0,020
7
Jalan arteri skunder
Permeter/hari
0,10 – 0,15
0,020 – 0,100
8
Jalan kolektor skunder
Permeter/hari
0,10 – 0,15
0,010 – 0,050
9
Jalan local
Permeter/hari
0,05 – 0,10
0,005 – 0,025
10
Pasar
Permeter/hari
0,20 – 0,60
0,100 – 0,300
Sumber: LPM ITB dan Puslitbang Permukiman Departemen PU 1991. Berdasarkan data dari LPM ITB dan Puslitbang PU 1991, penulis menyimpulkan bahwa timbunan sampah tiap lokasi berbeda-beda, hal ini disebabkan karena adanya perbedaan jumlah penduduk, kondisi sosial ekonomi, gaya hidup masyarakat, kawasan permukiman penduduknya dan tipologi pemukiman. Besaran timbunan sampah berdasarkan klasifiklasi kota, maka dapat disajikan pada Tabel 21. Tabel 21 Besaran timbunan sampah berdasarkan klasifikasi kota No. Klasifikasi Kota
Volume Sampah
Berat Sampah
(liter/orang/hari)
(kg/orang/hari)
1.
Kota Sedang
2,75 – 3,25
0,700 – 0,80
2.
Kota Kecil
2,50 – 2,75
0,625 – 0,70
Sumber : SK SNI S-04-1993-03.
83 Tabel 21 menunjukkan bahwa kota sedang memiliki volume sampah tiap orang per harinya lebih banyak dibandingkan dengan kota kecil, demikian pula dengan berat sampah yang dihasilkan tiap orang berbeda beda. Bagi masyarakat bertempat tinggal di kota berkatagori sedang akan lebih berat sampah yang dihasilkan per- orang per harinya dibandingkan dengan masyarakat yang tinggal di kota kecil. Oleh karena itu, maka semakin besar suatu kota, maka semakin banyak penduduknya, semakin banyak pula volume sampah yang dihasilkan. Pertmbahan penduduk di perkotaan diakibatkan karena adanya arus urbanisasi dari desa ke kota, ditambah angka pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi. Hal ini dikarenakan tingkat kesehatan yang tinggi dan adanya peningkatan pemahaman masyarakat terhadap kesehatan. Hasil penelitian dan analisis data dari Isriani (2007) tentang proyeksi laju timbunan sampah dan volume sampah domestik dilakukan proyeksi untuk periode 15 tahun yaitu tahun 2012-2026. Hasil perhitungan laju pertumbuhan timbunan sampah, proyeksi penduduk, PDRB dan volume sampah rumah tangga (Tabel 22) (Isriana 2007). Tabel 22 Hasil proyeksi laju pertumbuhan penduduk, PDRB, timbunan sampah dan volume sampah di kota Purwokerto. Tahun PDRB (Rp.1.000)
Penduduk (1.000 jiwa)
Pertumbuhn PDRB (%)
2012 6.544, 816 2013 6.655, 160 2014 6.765, 504 2015 6.875, 848 2016 6.986, 192 2017 7.096, 536 2018 7.206, 880 2019 7.317, 224 2020 7.427, 568 2021 7.537, 912 2022 7.648, 256 2023 7.758, 600 2024 7.868,944 2025 7.979,288 2026 8.089,632 Sumber: Isriana 2007
242.460,000 246.916,983 249.423,481 251.955,423 254.513,067 257.096,675 259.706,508 262.342,835 265.005,924 267.699,046 270.413,476 273.158,491 275.931,372 278.732,399 281.561,861
1,71 1,69 1,66 1,63 1,60 1,58 1,55 1,53 1,51 1,49 1,46 1,44 1,42 1,40 1,38
Timbunan Sampah (liter/org/hari)
3,117 3,170 3,222 3,275 3,328 3,380 3,433 3,485 3,538 3,590 3,643 3,695 3,748 3,801 3,853
Volume. Timbunan Sampah (m3/hari)
761,991 782,703 803,758 825,159 846,912 869,021 891,493 914,330 937,540 961,127 985,096 1.009.452 1.034,201 1.059,349 1.084,901
Berdasarkan data Isriana 2007 volume timbunan sampah, ternyata semakin besar PDRB suatu wilayah, maka volume sampah semakin banyak pula dan timbunan sampah per orang per hari akan semakin banyak pula. Hal ini dikarenakan adanya perubahan gaya hidup dari masyarakat di wilayah tersebut. Bersama ini, penulis memprediksi volume timbunan sampah yang ada di Kota Purwokerto. Analisis dengan menggunakan regresi liner berganda, diperoleh hasil prediksi terdapat pada Gambar 7.
84
Volume Timbunan Sampah 1200 1000 800 600 Volume Timbunan Sampah
400 200 Th. 2012 Th. 2013 Th. 2014 Th. 2015 Th. 2016 Th. 2017 Th. 2018 Th. 2019 Th. 2020 Th. 2021 Th. 2022 Th. 2023 Th. 2024 Th. 2025 Th. 2026
0
Gambar 7 Prediksi volume timbunan sampah Kota Purwokerto. Gambar 7 menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun terjadi peningkatan volume timbunan sampah , walaupun kenaikannya tidak begitu drastis. Hal ini diduga karena adanya kenaikan jumlah penduduk dan kenaikan pendapatan masyarakat. Oleh karena itu, perlu adanya intervensi atau kontribusi dari masyarakat komunitas hijau dalam bentuk partisipasi dalam pengelolaan sampah rumah tangga, agar sampah yang dibuang ke TPA semakin berkurang. Partisipasi masyarakat dalam bentuk pengelolaan sampah rumah tangga green waste dengan melakukan pemilahan, pewadahan atau dikenal dengan pola 3 R. Oleh karena itu peran aktor komunitas hijau peduli lingkungan, green community dan bank sampah serta dasa wisma pengelola sampah dalam memberdayakan masyarakat dalam pola 3 R perlu lebih ditingkatkan lagi. Selain itu juga perlu mendapat dukungan dari masyarakat dan Pemerintah Daerah. Hal ini penting, karena tanpa partisipasi masyarakat, maka program tidak akan berhasil, oleh karena diperlukan pendekatan sosial, budaya, keagamaan serta lingkungan terhadap masyarakat. Pemberdayaan masyarakat dengan melakukan penyuluhan dan sosialisasi merupakan model generik, oleh karena itu perlu diadakan ruang-ruang partisipasi bagi masyarakat Kota Purwokerto. Pemberdayaan masyarakat sifatnya jangan top down, akan tetapi diupayakan bottom up, sehingga masyarakat merasa dihargai segala upaya dan masukkannya. Untuk itulah, maka dalam peningkatan partisipasi masyarakat, diperlukan ruang-ruang partisipasi dengan menggali berbagai masukan dan keinginan masyarakat serta kearifan local yang ada. Partisipasi akan tumbuh sejalan dengan adanya kebutuhan dari masyarakat itu sendiri. Hubungan antara jumlah penduduk dengan volume timbunan sampah rumah tangga di wilayah Kota Purwokerto, maka dapat disajikan dalam Gambar 8.
85 1,600,000 1,400,000 1,200,000 1,000,000 Penduduk
800,000 600,000
Volume Timbunan Sampah
400,000 200,000 0
Th. Th. Th. Th. Th. Th. Th. Th. 2012 2014 2016 2018 2020 2022 2024 2026
Gambar 8 Prediksi hubungan antara jumlah penduduk dengan volume timbunan sampah kota Purwokerto 2012-2026 Gambar 8 menunjukkan adanya hubungan yang positif antara jumlah penduduk dengan volume timbunan sampah di Kota Purwokerto. Timbunan sampah yang dihasilkan masyarakat Kota Purwokerto pada tahun 2013 terbagi atas sampah organik dan sampah non-organik, komposisi kedua jenis sampah tersebut, maka dapat disajikan pada Gambar 9. Persentase Jenis sampah Kota Purwokerto
37.12 62.88
An-Organik Organik
Gambar 9 Komposisi Jenis Sampah di Kota Purwokerto Tahun 2013 Gambar 9 menunjukkan bahwa jenis sampah organik lebih banyak dibandingkan sampah an-organik . Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu adanya penagani sampah organik ini, dalam bentuk pembuatan kompos, sedangkan untuk sampah an-organik maka peran masyarakat terhadap bank sampah perlu ditingkatkan. Komposisi sampah domestik dan non-domestik dapat disajikan Gambar 10.
86
Persentase 4.6
Kertas 12.5
Plastik Logam
3.5
Karet
4.5
Kain
2.78 2.63 3.8 2.81
62.88
Kayu Kaca/Gelas Lain-lain Sampah Organik
Gambar 10 Komposisi Jenis Sampah Domestik dan Non- Domestik Gambar 10 menunjukkan, yang paling banyak jenis sampah organik, sedangkan untuk jenis non-organik yang paling banyak plastik, yang paling sedikit kayu. Komposisis sampah domestik Kota Purwokerto tahun 2013, maka dapat disajikan pada Gambar 11.
Persentase 11.28
Kertas Plastik
13.69 0.74 1.62 62.83
0.48
Logam Karet
0.36
Kain
4.22 4.88
Kayu Kaca/Gelas
Gambar 11 Komposisi Sampah Domestik Kota Purwokerto 2013 Gambar 11, menunjukkan bahwa jenis sampah yang dihasilkan rumah tangga, pada umumnya adalah sampah organik, sedangkan jenis an-organik yang paling banyak adalah sampah plastik, bekas makanan kemasan, minuman kemasan, pembungkus lainnya. Hal ini menunjukkan adanya perubahan gaya hidup masyarakat yang serba “instans”. Jenis sampah non-domestik yang berasal dari fasilitas umum (rumah sakit, sekolah, ruang terbuka hijau, tempat bisnis, tempat rekreasi, terminal, statsion kereta api dan fasilitas sosial seperti (mesjid, gereja, candi dan sebagainya), maka komposisinya dapat disajikan pada Gambar 12.
87
Kertas 16% Sampah Organik 67%
Plastik 10% Logam 3% Kain Kayu Karet 1% 1% 1% Lain-lain 1%
Kaca/Gelas 0%
Gambar 12 Komposisi Sampah Non- Domestik Kota Purwokerto 2013 Gambar 12, menunjukkan bahwa sampah yang paling banyak jenis kertas, diikuti jenis plastik lalu logam. Paling sedikit jenis kayu dan karet, lalu disusul berturut-turut kain. Jenis sampah an-organik ini dapat diuangkan langsung dengan menyetorkan ke bank sampah, tukang rongsok, pengepul, tukang rombeng dan sebagainya. Terkait hal tersebut sayogianya masyarakat di dalam memandang sampah, tidak hanya sebagai barang yang ”menjijikkan”, tetapi merupakan barang yang mempunyai nilai ekonomi. Kesadaran masyarakat sangat diperlukan, terutama ibu rumah tangga untuk dapat mengelola sampah dengan ramah lingkungan (green waste), agar disamping mengurangi volume sampah yang masuk TPA, juga dapat menambah penghasilan keluarga. Mengingat sampah an-organik yang dihasilkan rumah tangga banyak, maka alangkah baiknya apabila bank sampah melakukan “jemput bola” ke sumber penghasil sampah. Namun demikian, bisa juga bekerjasama dengan komunitas peduli sakan sampah atau dengan dasa wisma pengelola sampah. Kondisi Lingkungan Sosial Ekonomi Masyarakat Kota Purwokerto Aspek sosial-ekonomi daerah sangat menentukan arah pembangunan suatu wilayah/kota. Perencanaan dan pengelolaan kota tidak terlepas dari aspek sosial, ekonomi dan budaya yang berkembang. Maraknya aktifitas ekonomi sangat mempengaruhi wujud dan kehidupan kota. Perkembangan kota tidak dapat dipisahkan dari pengaruh proses globalisasi dan kemajuan teknologi informasi. Kota memiliki kecenderungan terjadinya urbanisasi berlebih yang menyebabkan dinamika penduduk yang komplek dengan menimbulkan banyak permasalahan yang terjadi. Kota Purwokerto, permasalahanya kompleks akibat dari perkembangan ekonomi global dewasa ini. Dampaknya, terjadi peningkatan kualitas dan kuantitas sampah akibat dari perubahan gaya hidup masyarakat Kota Purwokerto. Analisis kualitas lingkungan ekonomi masyarakat kota Purwokerto, berdasarkan hasil penelitian dengan mengambil sampel kepala keluarga sebanyak 342 responden dari populasi sebanyak 3.265 kepala keluarga yang
88 tersebar pada 1.152 rukun tetangga, 27 Kelurahan dari 4 Kecamatan, hasilnya sebagaimana tertera dalam Tabel 23. Tabel. 23 Kondisi sosial ekonomi kepala keluarga No. 1. 2. 3. 4.
Kondisi sosial ekonomi Rendah Sedang/ menengah Tinggi Sangat Tinggi Jumlah Sumber: Hasil lapangan 2014
Frekuensi 44 98 115 85 342
Persentase 12,89 28,63 33,52 24,96 100,00
Tabel 23 menunjukkan bahwa kondisi sosial ekonomi masyarakat penghasil sampah pada umumnya termasuk katagori tinggi dan kondisi sosial ekonomi yang rendah hanya sebagain kecil saja. Kondisi sosial ekonomi masyarakat berpengaruh terhadap jumlah dan jenis sampah yang dihasilkannya, semakin tinggi status sosial ekonomi suatu masyarakat, karena gaya dan pola hidup nya semakin tinggi, maka jenis sampahnya juga akan semakin banyak dan jenis sampahnya berbeda. Masyarakat berpendapatan tinggi, umumnya menggunakan minuman, makanan dalam kemasan, dimana setelah habis maka botolnya /kemasannya langsung dibuang. Sangat jarang sekali mereka membeli produk isi ulang yang memanfaatkan kemasannya secara berulang-ulang, sehingga tidak menimbulkan banyak sampah karena dilakukan reuce. Masyarakat yang berpendapatan rendah, pada umumnya berperilaku sebaliknya, dimana membeli produk isi ulang dan botolnya/kemasannya bisa dipakai berulang ulang atau digunakan untuk kepentingan yang lain, sehingga tidak menjadikan sampah menumpuk. Sejalan dengan hasil penelitian tersebut, maka Tchobonoglous (1977) mengemukakan bahwa: “… jumlah timbunan dan kualitas sampah yang dihasilkan orang perhari dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain yaitu tingkat pendapatan masyarakat, letak geografis dan iklim. Daerah perkotaan dan komersial rata-rata timbunan sampah perorang/hari berkisar antara 2.0 – 5.0 liter, sedangkan pada daerah industri berkisar 1.5 – 3.5 liter. Masyarakat dengan pendapatan yang tinggi cenderung menghasilkan timbunan sampah yang lebih tinggi pula dibandingkan dengan masyarakat dengan tingkat pendapatan yang rendah. Dengan demikian, maka semakin tinggi tingkat status sosial ekonomi masyarakat, maka semakin banyak pula sampah yang dihasilkan, demikian pula sebaliknya…”. Kualitas lingkungan sosial ekonomi masyarakat penghasil sampah di Kota Purwokerto, dapat dilihat dari beberapa dimensi yang ditanyakan kepada respoden yaitu usia pada umumnya berkisar antara 50- 65 tahun (49,12 persen), tingkat pendidikan formal pada umumnya lulus SLTA (43,86 persen), pekerjaan utama umumnya petani pemilik (45,32 persen), sedangkan rata-rata penghasilan tiap bulan umumnya lebih dari Rp. 2.000.000,00 (50 persen). Beban tanggungan keluarga pada umumnya mempunyai beban tanggungan sebanyak tiga orang (47,37 persen), untuk status tempat tinggal pada umumnya rumah tersebut milik sendiri (62,87 persen), luas tempat tinggal pada umumnya antara 36 m2 sd
89 54 m2 dengan kondisi rumah umumnya ada halaman akan tetapi sempit yaitu kurang dari 10 m2 (42,11 persen) dengan kondisi kebersihan rumah pada umumnya termasuk katagori bersih (34,50 persen). Berdasarkan item-item pada dimensi kondisi sosial ekonomi masyarakat penghasil sampah, maka dapat disimpulkan bahwa kondisi sosial ekonominya pada umumnya baik atau tinggi. Sejalan dengan tingkat pendidikan ibu rumah tangga sebagai pengelola sampah di sumber sampah, maka Sulistyorini (2000) mengemukakan bahwa: “… meski tingkat pendidikan ibu rumah tangga cukup tinggi, namun tanpa didukung adanya kesadaran dalam pengelolaan sampah yaitu dalam pemilahan sampah sebelum dibuang, maka hal ini tidak akan banyak mendukung pengelolaan sampah yang berkelanjutan. Oleh karena itu perlu adanya perubahan paradigma baru dalam pengelolaan sampah rumah tangga, yaitu bagaimana menjadikan sampah memmpunyai nilai ekonomi. Sampah yang diproduksi rumah tangga tidak dibuang semua. Sebagian diantaranya harus diolah kembali, sehingga bisa bermanfaat. Dengan demikian selain sampahnya bermanfaat, maka volume sampah yang dibuang juga berkurang. Sampah harus dipilah mana yang organik dan mana sampah yang non-organik…..”. Secara teoritis model Ajzen (2007) menyebutkan bahwa keyakinan terhadap akibat perilaku tertentu merupakan komponen yang berisi aspek pengetahuan, pendidikan tentang perilaku tersebut. Seseorang yang menentang praktek-praktek pengelolaan sampah, akan mengambail tindakan yang searah dengan perepsi dan sikanya tersebut. Misalnya membeli produk yang ramah lingkungan dan kemasannya dapat didaur ulang. Meskipun demikian, adanya faktor ekternal dapat berpengaruh terhadap perilaku yang muncul karena tidak adanya dukungan yang memadai dalam pelaksanaannya (Saribanon 2007). Penilaian terhadap penyebab perilaku individu, perlu diperhatikan tiga hal, yaitu consensus, konsistensi dan keberbedaan (distinctiveness). Berdasarkan data Bappeda Kabupaten Banyumas (2014) tentang rata-rata produk domestik brutto (PDRB) untuk periode tahun 2006 – 2013 terjadi kenaikan yang cukup significan, hal ini menunjukkan bahwa keadaan ekonomi masyarakat Kota Purwokerto khususnya dan umumnya masyarakat Kabupaten Banyumas cukup baik. Kondisi semacam ini dapat dipahami, karena perkembangan kota yang cukup pesat, membawa dampak terhadap perilaku masyarakatnya. Gaya hidup konsumtif menyebabkan kuantitas sampah yang dihasilkan juga semakin meningkat. Kenaikan status ekonomi berkorelasi positif dengan perilaku masyarakat dan pada akhirnya berkorelasi postif dengan banyaknya timbunan sampah rumah tangga. Program green waste lintas rumah tangga menuju terwujudnya kota hijau, sangat diperlukan sekali. Rata-rata produksi PDRB disajikan Tabel 24. Tabel 24
Wilayah
Rata-rata produksi domestik regional brutto (PDRB) kota Purwokerto (2008-2013) (Rp.) Tahun 2008 6.103.440
Tahun 2009 6.213.784
Purwokerto Sumber: Hasil lapangan 2014
Tahun 2010 6.324.128
Tahun 2011 6.434.472
Tahun 2012 6.544.816
Tahun 2013 6.655.160
90 Kota Purwokerto akan dikembangkan sebagai kota perdagangan, industri dan jasa, sedangkan sektor pendidikan tidak menjadi prioritas pembangunan. Melihat keunggulan di sektor pendidikan, Purwokerto memiliki potensi sebagai kota pendidikan. Saat ini telah berkembang ekonomi berbasis pengetahuan, yang menggantikan ekonomi industri sebelumnya. Perkembangan ekonomi di Wilayah Banyumas secara umum, jika di bandingkan kondisi tahun 1980-an, Kota Purwokerto mengalami perkembangan begitu pesat. Gambaran pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Banyumas pada tahun 2009 mencapai Rp. 864.856.921.192,00. Apalagi perkembangan fisik yang ada di Kota Purwokerto dapat dikatakan meningkat dengan tajam, pertokoan di sekitar Kebondalem, Statsiun Timur, Pertokoan Alun-alun, Pasar Wage, semakin ramai. Bahkan saat ini terdapat pusat jajanan kuliner di GOR Satria, pusat oleh-oleh jajanan khas Banyumas seperti getuk goreng di Sukaraja, jenang ketan di Mersi, mendoan di Sawangan. Selain itu berdiri Hotel berbintang seperti Hotel ASTON, Hotel Horison, Hotel Wisata Niaga (Arzal Mutahir et al. 2012) dan pada tahun 2015 berdiri hotel bintang tiga yaitu Hotel Dominic. Berbagai infrastruktur untuk berkembangnya sebuah kota, terpenuhi di Kota Purwokerto. Transportasi di kota ini ada sekitar 344 angkutan kota yang beroperasi,. Angkot itu melayani 31 trayek yang menyusuri jalan-jalan di Kota Purwokerto. Transportasi kota semakin lengkap dengan kehadiran sekitar 200 armada taxi yaitu dari perusahaan Taxi KOBATA dan SATRIA Taxi, sejak empat tahun terakhir. Bahkan Kota Purwokerto nsudah memiliki terminal bus tipe “A”, yaitu terminal terbesar di Propinsi Jawa Tengah yaitu “Bulu Pitu”.. Kota Purwokerto di bidang property dapat dikatakan melebihi kota-kota lain di Jawa Tengah. Perumahan Teluk berdiri pada tahun 1986, ekspansi sektor perumahan semakin meningkat dengan tajam sekali. Hingga tahun 2011, ada sekitar 45 perumahan tumbuh di Kota Purwokerto, dari mulai perumahan sangat sederhana dengan harga property sekitar Rp.60.000.000,00 an sampai ke perumahan elit seperti Permata Hijau, Limas Agung,, Taman Anggrek dengan harga berkisar Rp. 1.300.000.000,00. Sektor keuangan, ada 32 bank lokal/nasional di Kota Purwokerto ini sebagai lembaga yang menjaga likuiditas keuangan daerah dalam upaya untuk menggerakkan perekonomian masyarakat Kota Purwokerto. Hal ini bergerak di antara 15 pasar tradisional, pasar swalayan, ratusan toko/ruko, mini market, super market. Perkembangan ekonomi Kota Purwokerto ini lebih berkembang maju dibandingkan dengan kota-kota di sekitarnya, yaitu Purbalingga, Cilacap, Banjarnegara, Kebumen (BARLINGMASCAKEB). Kota ini menempati urutan ke tiga jumlah uang beredar di Propinsi Jawa Tengah. Sektor keuangan lain adalah mulai tumbuhnya kredit perbankan untuk kendaraan bermotor, baik sepeda motor maupun mobil, mebeler, barang-barang elektronik rumah tangga, komputer tablet, lap top, kamera, hand phone (hp) dan sebagainya. Adanya lembaga keuangan leasing ini, mempermudah masyarakat yang mau mengambil barang seperti kendaraan, mebel, elektronik tanpa harus menyediakan uang pada awal pembelian barang tersebut. Lembaga keuangan leasing di Kota Purwokerto mengalami peningkatan 5 persen setiap tahunnya. Seorang petugas lembaga keuangan leasing kendaran bermotor, Debi, lulusan D3, usia 38 tahun (2014), mengemukakan:
91 “… untuk teman-teman yang bekerja di perusahaan leasing di Kota Purwokerto, sungguh sangat menggiurkan, bahkan dapat dikatakan “surga” bagi lembaga leasing tersebut. Walaupun bunganya tinggi, masyarakat tidak menyadarinya, sehingga merasa senang mereka mengambil motor dengan memakai cara leasing. Masyarakat Kota Purwokerto, pada umumnya termasuk cukup tertib dalam membayar angsuran bulanannya, tidak ada sindikat permainan dalam pengambilan kredit kendaraan. Memang ada yang nunggak atau kredit macet, satu dua, tapi jumlahnya tidak sampai 15% dari jumlah yang mengambil kredit di leasing. Pokoknya menguntungkan usaha leasing di Kota Purwokerto ini pak…”. Lembaga keuangan leasing keberadaanya, menyebabkan masyarakat menjadi lebih mudah memiliki barang dan menjadikan perilaku konsumtif masyarakat di Kota Purwokerto ini. Perilaku konsumtif masyarakat Kota Purwokerto semakin meningkat dengan munculnya pasar- pasar swalayan, dan dalam skala besar merambah seperti Moro Grosir , Rita Super Market, toko swalayan kecil (minimarket) bermunculan, sampai tahun 2013 terdata ada sekitar 37 mini market hadir di Kota Purwokerto. Kota Purwokerto dengan P2KH, maka sejalan dengan itu, menurut Ernawi (2012) mengemukakan bahwa salah satu kendala pelaksanaan P2KH adalah rendahnya kerjasama dan koordinasi antar sektor dalam pengelolaan lingkungan, sehingga diperlukan inovasi dalam pembuatan perencanaan dan kebijakan. Banyaknya aspek yang terkait dan aktor yang terlibat dalam pembangunan infrastruktur yang ada di perkotaan memerlukan perencanaan dan kebijakan yang menyeluruh dan terpadu (holistic) agar dapat berkelanjutan (Sing dan Steinberg 1996; Pandit et al. 2011; Morrisey et al. 2012). Kegagalan pembangunan infrastruktur salah satunya disebabkan oleh sistem penyusunan RTRW yang spasial yang tercipta akibat terfragmentasinya lembaga-lembaga perencanaan di tingkat pemerintah daerah (Miharja 2007). Kota Purwokerto memiliki industri dalam skala kecil seperti industri rokok rumahan, industri mie atau soun kering kecil-kecilan, pabrik pengolah susu, industri peralatan dari logam, industri gula kelapa, industri makanan oleh-oleh seperti getuk goreng, jenang, kripik, getuk, mendoan, dage dan sroto (soto). Selain itu juga terkenal dengan kerajinan batik Banyumas. Perkembangan signifikant terjadi setelah berkembangnya Unsoed dan Universitas Muhammadyah Purwokerto, sejak itu aktivitas ekonomi rakyat yang berkenaan dengan kebutuhan mahasiswa meningkat. Ribuan kamar kos dibangun untuk mahasiswa pendatang, ratusan tempat makan didirikan dan usaha laundry tersebar untuk melayani kebutuhan langsung para mahasiswa. Sarana perdagangan di Purwokerto pada tahun 2013 lebih lengkap dapat dilihat pada Tabel 25 Tabel 25 Sarana perdagangan di Purwokerto tahun 2013 No. 1 2 3
Sarana perdagangan Pasar Toko/kios/warung Warung Makan Jumlah
Sumber : BPS Kabupaten Banyumas 2014
Jumlah 13 2.769 716 3.498
92 Pada akhir tahun 2011 telah berdiri Hotel Bintang 5 Aston dengan 12 lantai, tahun 2013 Hotel Dominic, pertengahan tahun 2013 tampak perubahan significan dalam perdagangan. Bisa dilihat dari dibangunnya Rita Supermall dengan 16 lantai dan 2 basement tepat di selatan alun-alun Purwokerto, dan juga pemekaran Moro menjadi Mega Mall dengan tiga tower.selain itu juga berdiri beratus-ratus mini market seperti Alfa Mart, Indo Maret Tingkat status sosial-ekonomi masyarakat Kota Purwokerto semakin tinggi, menyebabkan gaya hidup meningkat juga. Hal tersebut menyebabkan kualitas dan kuantitas sampah rumah tangga yang dihasilkan setiap orang akan semakin banyak pula. Tingkat status sosial-ekonomi masyarakat berkorelasi positif dengan gaya hidup masyarakat tersebut dan juga berkorelasi positif dengan volume dan kualitas sampah yang dihasilkan tiap-tiap orang. Kondisi Lingkungan Budaya Banyumasan Kota Purwokerto Masyarakat Kota Purwokerto merupakan bagian dari masyarakat Banyumas, dimana masyarakatnya menggunakan bahasa Jawa dengan dialek Banyumasan lebih familier dengan istilah Ngapak. Bahasa ini merupakan bahasa kebanggaan yang patut untuk dilestarikan dan dihargai. Dialek dan budaya masyarakatnya memperkaya keanekaragaman budaya Indonesia. Wikipedia juga turut melestarikan bahasa adat Banyumasan ini dengan menerbitkan Wikipedia bahasa Banyumasan. Kenthongan atau music thek-thek adalah seni musik yang dimainkan dengan alat music bamboo yang dimainkan 20-40 orang. Kebudayaan begalan dan Ronggeng adalah cirri khas kesenian asli Banyumasan keberadaanya saat ini sudah mulai memudar. Kerjabakti pola kerigan, biasa dilakukan masyarakat Banyumas, dan merupakan warisan turun temurun dari nenek moyang, yang merupakan kearifan lokal dan modal sosial, saat ini sudah mulai mengalami kepudaran, tidak saja di kalangan generasi muda dan anak-anak, akan tetapi juga di kalangan generasi tua. Budaya Banyumasan merupakan salah satu entitas kebudayaan di Indonesia yang menjadi satu varian kebudayaan Jawa dan terletak di bagian barat kebudayaan Jawa. Koentjaraningrat (1984) mengemukakan budaya Banyumasan berbeda dengan kebudayaan Jawa dalam logat Banyumasan yang sangat berbeda, bentuk-bentuk organisasi sosial kuno, upacara-upacara sepanjang lingkaran hidup yang khas, folkwore yang khas, dan bentuk-bentuk kesenian daerah yang khas. Sementara Tohari (2007), seorang budayawan Banyumas mengemukakan bahwa budaya masyarakat Banyumas menunjukkan ciri-ciri yang lebih populis, mengarah ke khalayak banyak. Ciri ini berbanding terbalik dengan kharakteristik Mataram yang elitis dan berorientasi ke arah kekuasaan. Tohari (2007) salah satu budayawan Jawa Banyumas, mengemukakan bahwa masyarakat Banyumas mengalami penjajahan secara cultural yang dilakukan oleh raja-raja Jawa sejak era kerajaan Pajang. Dampaknya terjadi hegemoni budaya oleh Mataram Islam (Marwah 2012). Masyarakat Banyumas sudah dikenal secara luas sebagai individu yang diidentikkan dengan karakter yang cablaka atau blakasuta. Karakter ini merupakan karakter inti orang Banyumas yang menjadi ciri khas dan tidak mudah berubah.Kajian Priyadi (2005), model karakteristik khas masyarakat Banyumas disistematiskan dalam 4 lingkaran saling berkaitan dan terintegrasi.
93 a. Lingkaran pertama merupakan lingkaran terdalam yang berisi karakter orang Banyumas yang paling hakiki. Artinya karakter pada lingkaran pertama merupakan karakter inti tidak mudah berubah dan menjadi ciri khas orang Banyumas, yaitu karakter cablaka atau blakasuta b. Lingkaran kedua merupakan karakter khusus yang menyangkut legenda yang hidup di kalangan masyarakat Banyumas. Legenda yang sangat mencolok hidup dalam masyarakat Banyumas adalah legenda Kamandaka dari teks Babad Pasir. Legenda tersebut pengaruhnya sangat luas pada masyarakat di wilayah Banyumas, termasuk Purokerto. c. Lingkaran ketiga merupakan karakter khusus yang terkait dengan sejarah Banyumas . Karakter yang dicerminkan sejarah Banyumas menyangkut peristiwa-peristiwa sejarah yang melekat pada tokoh Banyumasan masa lampau, baik dalam teks babad pasir maupun babad Banyumasan. d. Lingkaran keempat berisi karakter umum yang dijumpai pada masyarakat Banyumas pada umumnya dalam kehidupan sehari-hari. Karakter ini bukan karakter inti sehingga bisa saja karakter umum ini ditemukan pada gejala masyarakat lain. Karakter umum yang dimaksudkan seperti prinsip hijrah untuk sebuah kejayaan, suka memberontak terhadap penguasa, berkonflik internal, budaya afirmatif dan budaya kritis terhadap penguasa. Cablaka memiliki arti sebagai karakter spontan yang ditunjukkan oleh orang Banyumas terhadap apa yang terjadi, dengan menyatakan secara apa adanya dan tidak ditutup-tutupi (Pryadi Sugeng 2005). Cablaka berarti karakter yang mengedepankan keterusterangan. Artinya orang Banyumas lebih sering berbicara apa adanya dan tidak menyembunyikan sesuatu. Cablaka. Disebut juga dengan thuk melong atau blakasuta yang berarti terus terang. Cablaka blakasuta merupakan karakter khas orang Banyumas yang paling hakiki, tidak mudah berubah meskipun mereka sudah berinteraksi dengan orang yang memiliki latar belakang budaya lain. Karakter orang Banyumas cablaka blakasuta, tercermin jiwa egalier dan jiwa yang bebas. Akibat karakter cablaka yang dimiliki, orang lain merasakan bahwa orang Banyumas kalau dilihat dari sisi luar seperti tidak memiliki unggah ungguh atau etika. Perilaku penjorangan, glowehan, ngomong brecuh orang Banyumas sering berlebih-lebihan yang merupakan perwujudan dari karakter cablaka tersebut. Bagi orang Banyumas, seseorang jauh lebih dihargai dalam pergaulan sehari-hari apabila ia menyebut lawan bicara dengan menyebut nama, yang menunjukkan keegaliteran orang Banyumas (Marwah 2012). Tohari (2014), keutamaan mempelajari budaya Banyumas antara lain adalah dalam bahasa, di mana cara mengucapkannya mengarah pada bahasa asli pra-Mataram yaitu ha na ca ra ka. Cara pelafalan tersebut pada masa khir Pajang bergeser menjadi ho no co ro ko. Dari sini muncullah istilah “ngapakngapak” untuk menyebut bahasa Banyumas. Hal ini berbeda dengan bahsa Jawa Solo-Jogya yang mengemukakan vocal “o”. Bahasa Banyumasan juga memberikan penekanan yang kuat pada akhiran “k” pada kata yang diucapkan. Konsonan dengan tajam dan tegas, berbeda dengan pengucapan bahasa SooJogja yang ringan pada akhiran katanya. Sebagian kosakatanya memiliki kekhususan yang tidak dipunyai bahasa jawa Solo-Jogja seperti “gili” yang
94 berarti “dalam” (bahasa Jawa) atau “jalan” (bahasa Indonesia), dan “rogol” yang berarti “tibo” (bahasa Jawa) atau “jatuh” (bahasa Indonesia). Bahasa “ngapak-ngapak” merupakan bahasa Jawa yang lebih asli, temasuk Jawadwipa atau bahasa Jawa awal. Bahasa Solo-Jogja yang dianggap adiluhung adalah hasil perkembangan lanjutan dari bahasa Jawa asli. Bahasa yang demikian tumbuh pada masa kerajaan Pajang (Herusatoto Budiono 2008). Pengaruh bahasa Jawa anyar terhadap bahasa khas Banyumas diakibatkan oleh : (a) pengaruh oleh para gandhek keraton Kesunanan, (b) penyelenggaraan pendidikan bahasa melalui sekolah mulai tahun 1930-an,(c) penggunaan bahasa kesenian wayang ketoprak melafalkan “o” bukan “a” dan (d) pendidikan agama yang melakukan pemaknaan kitab kuning dengan bahasa anyar. Pengaruh ini membawa pergeseran budaya mengarah elitis dibanding populis. Bahasa Banyumasan memiliki kekhasan yaitu (a) memiliki karakter lugu, jujur, apa adanya dan menunjukkan keterbukaan, (b) berkembang di sebaran budaya Banyumas, (c) pengucapan konsonan di akhir kata dibaca jelas, disebut ngapak-ngapak.; (d) dipengaruhi oleh bahasa Jawa dan Sunda. Banyumas untuk merefleksikan karakternya terhadap simbol Bawor membawa pengaruh dan tata nilai. Pertama, dialek Jawa Banyumasan berkembang menjadi bahasa lugas (semblothongan). Dialek Banyumasan minimal bebasan dan kaya ungkapan sarkstik cenderung kasar dan saru. Kedua, Banyumas berkembang menjadi entitas kebudayaan yang egaliter. Relasi antar individu dipandang cukup setara, kurang mengenal kelas (Marwah 2012). Simbol “Bawor” digunakan untuk menyebut keseluruhan sikap orang Banyumas, yang konon lebih dekat dengan tokoh “Cepot” dalam masyarakat Sunda, dari pada “Bagong” di Jawa wetanan. Pengaruh Sunda dapat juga dilihat dari penggunaan tempat-tempat yang diawali “ci” yang berarti “sungai” dalam bahasa Sunda. Daerah atau tempat yang diawali “ ci” banyak ditemukan di sebelah barat sungai Serayu, seperti Cilongok, Cikembulan, Cipendok, Cikebrok, Cikidang, Cihonje, Cilangkap, Cindaga, Cikawung, Cilacap, Cibangkong, Ciberung, Cipete dan sebagainya. Banyumas dapat dikatakan sebagai simbol perpaduan kebudayaan Jawa dan Sunda. . Masyarakat Banyumas, selain dipengaruhi kebudayaan Jawa, juga dipengaruhi kebudayaan Sunda. Dalam historiografi tradisional, pandangan hidup masyarakat Sunda dapat dipelajari dalam naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian (Ajib Rosidi 2010). Naskah ini menyebutkan bahwa sebagai manusia pribadi, orang Sunda harus mempunyai tujuan hidup yang baik dan senantiasa sadar keberadaanya, hanya saja sebagian kecil dari alam semesta. Dalam hubungan dalam masyarakat, hendaknya mengedepankan semangat bekerjasama. Lingkungan alam sekitar yang memberi manfaat dalam kehidupan, hendaknya dijaga kelestarian dan digunakan secara tidak berlebihan. Berkaitan dengan peran dan kedudukan perempuan dalam masyarakat Banyumas, para budayawan maupun akademisi memiliki pandangan yang relative berbeda-beda. Budayawan Banyumas, Ahmad Tohari, Sugeng Priyadi, Mas’dar, Mas’udi,Heddy Shri Ahimsa maupun Cecep Permana dapat dikelompokkan para akhli yang mengakui bahwa nilai-nilai egaliter dalam budaya Banyumas menyangkut keegaliteran terhadap peran dan kedudukan kaum wanita. Soedarmadji dan Yahya Muhaimin, termasuk kelompok para ahli
95 yang memandang bahwa nilai egaliter dalam budaya Banyumas tidak menyentuh cara pandang terhadap perempuan (Marwah 2012). Aspek sopan santun yang terjadi pada masyarakat Banyumas, maka di kalangan masyarakat Jawa, sifat “unggah-ungguh” sangat diperhatikan sekali. Analisis Geerz tentang Keluarga Jawa memperlihatkan bahwa titik tekan pendidikan dalam keluarga Jawa adalah perilaku “sopan/hormat” dan “rukun”. Prinsip sopan santun adalah prinsip hormat (yang umumnya secara hirarkhi; yang muda ke yang tua, murid kepada guru dan sebagainya. Prinsip norma keluarga Jawa juga tercermin pada prinsip rukun, yaitu bagian dari sifat gotong royong (pola kerigan). Gotong royong, yakni aktivitas bersama merupakan salah satu kegiatan sosial yang penting. Di dalam pengelolaan sampah, maka latar belakang sosial ekonomi seseorang juga sangat baerpengaruh, biasanya orang yang berstatus sosial ekonomi tinggi, cenderung mempercayakan pengelolaan sampah kepada pembantu rumah tangganya daripada harus “turun tangan” sendiri. Sebaliknya berbeda dengan ibu-ibu yang berlatar belakang sosial ekonomi rendah, justru segala urusan rumah tangga ditangani sendiri. Kondisi lingkungan budaya masyarakat Banyumas sebagaimana telah dibahas, hal ini sangat berpengaruh dalam pengelolaan sampah rumah tangga, terutama dalam soialisasi pengelolaan sampah rumah tangga menuju paradigma zero waste dengan pola 3 R. Berdasarkan karakter cablaka maka memudahkan untuk melakukan penyuluhan tentang pengelolaan sampah rumah tangga. Terbukti dengan pola kerigan membantu pengelolaan sampah rumah tangga berkelanjutan green waste mendukung terwujudnya kota hijau. Aktor- Aktor Penggerak Green Waste Menuju Terbentuknya Green Community
Aktor-aktor yang menjadi penggerak dalam membangkitkan elemen masyarakat ikut serta dalam berpartisipasi pengelolaan sampah green waste menuju green community, meliputi aktor stakeholder sebagaiberikut: (a) penghasil sampah rumah tangga, (b) pemanfaat sampah (pemulung, nasabah bank sampah, pengusaha rongsok, pengepul), (c) pengelolan sampah (RT, RW, Dasa Wisma dan bank sampah). Partisipasi masyarakat khususnya, dan stakeholders umumnya, sangat penting untuk mendukung kegiatan pengelolaan sampah rumah tangga apalagi didukung kondisi sosial budaya masyarakat setempat, seperti adanya kearifan lokal (pola kerigan) yang merupakan modal sosial. Partisipasi masyarakat adalah segala tindakan baik langsung ataupun tidak, membantu tugas dalam pengelolaan sampah green waste mendukung kota hijau (green city). Partisipasi masyarakat harus disesuaikan dengan masalah sosial budaya setempat yang menyangkut kearifan lokal (local wisdom), sehingga masyarakat merasa tidak terpaksa, tetapi merupakan kesadaran sendiri. Partisipasi masyarakat ini sangat diperlukan, karena dapat mengurangi beban pengelola sampah. Program untuk dapat meningkatkan partisipasi masyarakat secara terpadu, teratur dan bekerjasama dengan aktor-aktor komunitas, stakeholders diperlukan sehingga partisipasi masyarakat tumbuh. Indonesia ada semacam pemahaman bahwa partisipasi masyarakat dalam pembangunan dapat bersifat vertical dan dapat pula bersifat horizontal. Partisipasi vertikal berlangsung bilamana masyarakat berperanserta dalam suatu program dari atas (top down), yaitu masyarakat ditempatkan pada
96 posisi sebagai bawahan. Partisipasi horizontal berlangsung bilamana masyarakat mampu berprakarsa, yaitu setiap masyarakat secara horizontal (setara) satu dengan yang lain berperan serta dalam kegiatan atau upaya pembangunan (Sumardjo at al. 2003). Partisipasi masyarakat Purwokerto, sebelum tahun 1990, dalam upaya membersihkan sampah dan lingkungan di wilayah Kota Purwokerto selalu dilakukan dengan melibatkan partisipasi masyarakat berbasis kearifan lokal (local wisdom) yakni pola kerigan. Pola kerigan ini, semacam kerjabakri dalam kegiatan kemasyarakatan tanpa mengharapkan imbalan uang sebagai konpensiasi keluarnya tenaga. Beberapa kegiatan kerigan yaitu seperti kerigan membangun rumah, kerigan mengolah sawah, kerigan membersihkan kompleks pemakaman umum, kerigan membersihkan sampah rumah tangga di pemukiman masing-masing, kerigan membersihkan sungai, kalen dari sampah, kerigan dalam acara hajatan (mantenan, sunatan, keseripahan) dan sebagainya. Sanksi yang didapat apabila masyarakat tidak melaksanakan pola kerigan ini, adalah sanksi sosial, moral, seperti diasingkan, diacuhkan ketika yang bersangkutan mempunyai acara hajatan, kesripahan (kematian), dan sebagainya. Proses pengelolaan sampah rumah tangga ramah lingkungan (zero waste atau green waste) model Bank Sampah Kaspari, maka Kepala BLHD Banyumas, Pindarto, Februari 2014 mengemukakan: “… proses pengolahan sampah organic model ini sangat efektif dan berdampak ekonomi seperti pengangkutan sampah ke TPA akan lebih sedikit, karena proses sampah organic ini dilakukan di wilayah masing-masing dengan model ini. Disamping itu pemanfaatan sampah organic juga akan menambah kesuburan tanah di sekitar masyarakat pengolah, ada kebersamaan atau solidaritas sosial mekanik, gemainchaf of main, sehingga kearifan lokal, pola kerigan yang dulu tertanam dengan baik di kalangan masyarakat dapat tumbuh kembali dengan bentuk yang lain. Diharapkan model ini menjadikan masyarakat tambah kebersamaannya, dan program P2KH untuk mewujudkan Kota Purwokerto yang hijau akan segera tercapai…”.
Aktor-Aktor Dominan Penggerak Green Waste Lintas Rumah Tangga Aktor Masyarakat Penghasil Sampah Rumah Tangga Kota Purwokerto Undang- undang No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah, mengamanatkan sebuah sistem pengelolaan sampah yang bertumpu pada tanggungjawab para produsen sampah untuk mengurangi timbunan sampah sejak dari rumah tangga (sumber sampah) maupun dari sarana /prasarana/fasilitas umum seperti fasilitas sosial dan fasilitas ekonomi/ industri. Mengacu pada Permen PU nomor 21/PRT/M/2006 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Pengelolaan Persampahan, terutama yang berkaitan dengan kebijakan pengurangan sampah dari sumbernya dengan program 3 R (reduce, reuce, recycle) menuju green waste. Penanggulangan sampah, khususnya sampah yang berasal dari rumah tangga menuntut keterlibatan masyarakat secara langsung. Hal ini merupakan tugas semua pihak dalam mewujudkan upaya pengelolaan sampah tersebut,
97 mengingat kondisi yang ada saat ini baru sekitar kurang dari tiga persen sampah yang dikurangi atau dapat dimanfaatkan masyarakat. Paradigma lama tentang sampah yang mempresepsikan bahwa “ sampah merupakan barang bekas atau sisa yang dianggap tidak terpakai lagi dan harus dibuang. Saat ini sudah sudah tidak begitu lagi, yaitu dalam kenyataannya ada sebagian barang bekas atau sisa yang masih dapat dimanfaatkan lagi dan mempunyai nilai ekonomi. Persepsi dan paradigm harus berubah tentang sampah, justru sampah itu menjadi bahan baku yang dapat menjadikan kesejahteraan bagi masyarakat tertentu. Pengelolaan sampah dengan pola 3 R menuju green waste, dimana R (reduce) merupakan upaya untuk mengurangi timbunan sampah di lingkungan sumber penghasil sampah dan bahkan dapat dilakukan sejak sampah sebelum dihasilkan. Penanganan sampah dari sumber sampah (rumah tangga) dengan pola 3 R ini menuju green waste atau nir-limbah, mengacu konsep yang dianjurkan oleh Dinas Cipta Karya Kebersihan dan Tata Ruang (DCKKTR) Kabupaten Banyumas pada acara sosialisasi Peraturan Persampahan, dimana pengelolaan sampah dengan pola 3 R dapat dilaksanakan oleh setiap orang setiap saat dalam kegiatan sehari-hari di rumahnya. Pengelolaan sampah dengan pola 3 R menuju green waste, misalnya tindakan ini adalah menggunakan produk-produk yang dapat dipakai secara berulang-ulang. R kedua (reuse) yaitu menggunakan kembali bahan atau material agar tidak menjadi sampah yaitu tanpa melalui proses pengelolaan sampah. Contoh sederhana yaitu menggunakan isi kertas yang masih kosong untuk menulis, yaitu dengan bolak-balik. R ketiga (recycle) adalah kegiatan mendaur ulang suatu bahan yang sudah tidak berguna yaitu menjadi sampah, agar dapat dijadikan bahan lain setelah melalui proses daur ulang melalui proses pengolahan sampah. Contoh kegiatan ini adalah menggunakan produk dan kemasan yang dapat di daur ulang dan mudah terurai. Cara ini memerlukan kerjasama dengan berbagai pihak, karena diperlukan lahan dan tenaga yang memadai untuk proses daur ulang (recycle). Daerah Ajibarang Purwokerto Kabupaten Banyumas sebagai contoh, yaitu lahan milik Pemerintah Daerah atau milik Desa/Kelurahan seluas 400 m2 dipakai untuk bangunan yang disebut TPST (Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu) akan sangat membantu suksesnya program pengelolaan sampah ini. Hal ini bisa berjalan karena adanya dukungan masyarakat dalam bentuk partisipasi masyarakat yang tergabung dalam KSM (kelompok swadaya masyarakat) yang bertugas memungut sampah rumah tangga kemudian membawa ke bank sampah untuk kemudian di daur ulang di TPST. Hasil daur ulang akan dapat mendatangkan rupiah jika masyarakat serius menanganinya. Pengolahan sampah di TPST untuk sampah organik akan menghasilkan kompos yang dapat bermanfaat untuk tanaman tertentu selain tanaman pangan, dan untuk sampah an-organik bisa di jual untuk daur ulang. Konsep pengelolaan sampah tersebut bukan tanpa dasar, karena sesuai dengan pasal 28 ayat (1) UUD Negara RI dan UU Nomor 18 tahun 2008, PP Nomor 81 Tahun 2012 serta Perda Kabupaten di Propinsi Jawa Tengah adalah Perda Nomor 6 Tahun 2012 tentang pengelolaan sampah. Matsunaga dan Themelis (2002) mengemukakan bahwa pengelolaan sampah rumah tangga green waste akan menjadi suatu masalah pada wilayah
98 pemukiman yang tingkat kepadatan penduduknya relatif tinggi. Apabila tingkat kepadatan penduduknya relative rendah, atau di bawah 50 jiwa per hektar, maka pengelolaan sampah rumah tangga di perkotaan bisa dilakukan secara swakelola atau oleh masyarakat secara langsung. Hal ini dapat dibuktikan di wilayah perdesaan dimana penduduknya relatif jarang, sehingga pengelolaan sampah rumah tangganya bisa secara langsung oleh masyarakat itu sendiri. Berdasarkan pendapat tersebut, maka pengkajian karakteristik penghasil sampah dibedakan atas wilayah perumahan dengan tingkat kepadatannya cukup tinggi dan wilayah bukan perumahan yang tingkat kepadatanya rendah, namun dalam analisis data ini tidak dibedakan untuk ketiga tipologi pemukiman tersebut. Penghasil sampah rumah tangga adalah masyarakat rumah tangga, dan ini merupakan salah satu stakeholders dalam pengelolaan sampah rumah tangga di perkotaan. Masyarakat penghasil sampah rumah tangga merupakan faktor penting dalam pengelolaan sampah, karena merupakan sumber penghasil sampah rumah tangga terbesar. Apabila rumah tangga sebagai penghasil sampah ini dapat menurunkan volume sampahnya, maka hal ini akan mengurangi beban pengelola sampah di Kota Purwokerto. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 342 responden penghasil sampah rumah tangga, ternyata 12,89 persen berasal dari kalangan ekonomi rendah, 28,63 persen sedang/menengah, 33,52 persen tinggi dan 24,96 persen berasal dari ekonomi sangat tinggi. Pemanfaat sampah rumah tangga dari penghasil sampah, ternyata tidak semua memanfaatkan sampah , hanya 37,39 persen saja sedangkan 62,61 persen tidak memanfaatkan sampah rumah tangga. Rincian warga yang aktif berpartisipasi dalam pengelolaan sampah pada umumnya berasal dari yang berlatar belakang ekonomi menengah ke bawah (28,96 persen), sedangkan 8,43 persen berasal dari kalangan ekonomi atas. Terbukti warga menjadi anggota bank sampah dan memanfaatkan dasa wisma untuk menyetor sampah rumah tangga serta ada juga yang menjual langsung ke tukang rombeng/ rongsok yang lewat depan rumah warga. Pengetahuan Masyarakat tentang Pola Kerigan sebagai kearifan lokal Pola kerigan merupakan bentuk kearifan lokal (local jenius) dari masyarakat Banyumas dan ini merupakan modal sosial masyarakat. Seiring perkembangan jaman dan pembangunan, maka pola kerigan ini semakin lama semakin memudar. Namun demikian, ada sebagian warga masyarakat yang sudah kurang memahami tentang pola kerigan ini, padahal dengan pola kerigan ini terbukti beberapa prestasi Kota Purwokerto telah diraih. Seiring dengan dilupakannya/ditinggalkannya pola kerigan, maka banyak hal dalam kehidupan masyarakat jadi “memudar”. Sebagai contohnya adalah kebersamaan masyarakat semakin berkurang, gemainschaf semakin tidak nampak, bahkan dalam aspek lingkungan hidup, yaitu sebelumnya Adipura ini pernah diraih berturut-turut dua kali. Oleh karena itu, sudah saatnya pola kerigan ini ditumbuhkan kembali di kalangan masyarakat Kota Purwokerto. Hasil penelitian terhadap responden penghasil sampah rumah tangga tentang pengetahuan responden mengenai kearifan local pola kerigan yang ada di Kota Purwokerto, dapat dilihat pada Tabel 26.
99 Tabel 26 Pengetahuan tentang pola kerigan sebagai kearifan lokal No. 1. 2. 3.
Tingkat pengetahuan ttg pola kerigan Frekuensi Rendah/kurang mengetahui 42 Cukup mengetahui tapi kurang paham 134 Cukup luas/cukup menggetahui dan 140 memahami 4. Tinggi/sangat mengetahui , memahami 26 Jumlah 342 Sumber: Hasil lapangan 2014
Persentase 12,28 39,08 40,90 7,73 100,00
Tabel 26 menunjukkan bahwa pola kerigan, maka terlihat pada umumnya tingkat pengetahuannya cukup luas dalam arti cukup mengetahui dan cukup memahami tentang pola kerigan, sedangkan yang sangat paham dan memahami dengan baik tentang pola kerigan sedikit. Variabel tingkat pengetahuan tentang pola kerigan meliputi antara lain yaitu pengetahuan tentang pola kerigan, keterkaitan pola kerigan dengan pengelolaan sampah dan banjir, penyebab terjadinya banjir, urgensi pola kerigan bagi kehidupan dan pengelolaan sampah khusunya dan lingkungan umumnya. Selain itu juga urgensi pola kerigan dalam pengelolaan sampah rumah tangga dalam upaya mendukung program P2KH Purwokerto, juga fungsi pola kerigan dihubungkan dengan solidaritas sosial, realitas sosial yang ada saat ini keberlanjutan pola kerigan di kalangan masyarakat Purwokerto. Pengetahuan pola kerigan dengan pembangunan fisik saat ini, perlu mempertahankan pola kerigan bagi masyarakat Kota Purwokerto dalam pengelolaan sampah rumah tangga menuju green waste. Pola kerigan ini menurut pengetahuan mereka sangat potensial untuk mendukung P2KH Purwokerto karena merupakan wujud dari solidaritas sosial yang merupakan peninggalan nenek moyang mereka, dimana merupakan perwujudan dari kearifan lokal untuk pembangunan Kota Purwokerto sebagai kota hijau. Ratmi, umur 65 tahun, pensiunan PNS (2014), pendidikan Magister Ekonomi, mengemukakan tentang pola kerigan sebagaiberikut: “… pola kerigan…ya..kerja bakti ya pak, memang itu sangat perlu sekali bagi masyarakat Banyumas. Dulu… ketika saya umur 30 an tahun, pola kerigan ini sangat dijunjung oleh masyarakat Banyumas, dan ini sangat penting sekali bagi kebersamaan dan solidaritas masyarakat. Beberapa kegiatan pola kerigan yang saya ingat dulu adalah membersihkan makam umum, membantu “kuriak” merenovasi atau membangun rumah warga, membantu mengolah sawah, panen, membersihkan sungai dari sampah secara bersama-sama, membantu warga yang mengadakan hajatan, keseripahan. Namun sejalan dengan perkembangan jaman, makin ke sini makin jarang dilakukan, semakin memudar, semakin individualis bahkan antara satu tetangga dengan tetangga yang lain juga kurang akrab. Bahkan di perumahan ini sudah individualis sekali, sudah tidak nampak kebersamaan dalam hal-hal tersebut di atas, kalau ada kerjabakti maka sangat jarang sekali yang mau datang, bahkan kalau pertemuan bulanan RT pun yang datang hanya sebagian kecil saja. Nampaknya di kalangan anak-anak muda sudah tidak mengenai lagi yang dinamakan pola kerigan. Untuk itu perlu kiranya ditumbuh kembangkan lagi semangat kebersamaan yang terkandung di dalam pola
100 kerigan, karena itu menjadikan modal sosial dan merupakan kearifan lokal peninggalan nenek moyang secara turun temurun tersebut…” Pengetahuan responden tentang pengelolaan sampah rumah tangga menuju green waste dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27 Pengetahuan tentang pengelolaan sampah rumah No. 1. 2. 3. 4.
Pengetahuan ttg pengelolaan sampah Kurang Mengetahui Cukup Mengetahui tetapi kurang memahami Mengetahui dan memahmi Sangat Mengetahui dan sangat memahami Jumlah
Frekuensi 113 101
Persentase 32,98 29,59
102 26 342
30,00 7,43 100,00
Sumber: Hasil lapangan 2014 Tabel 27 menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat penghasil sampah tentang pengelolaan sampah rumah tangga upaya mendukung P2KH, pada umumnya kurang mengetahui dan kurang memahami arti pentingnya pengelolaan sampah rumah tangga 32,98 persen , sedangkan yang mengetahui dan memahmi ada 30 persen, yang cukup mengetahui dan cukup memahami 29,59 persen sedangkan yang sangat mengetahui dan s angat memahmi tentang cara pengelolaan sampah rumah tangga hanya 7,43 persen. Item-item dalam dimensi tingkat pengetahuan dalam pengelolaan sampah rumah tangga yaitu : tentang jenis-jenis sampah, bahaya sampah, nilai ekonomis dan sosial serta lingkungan dari sampah, pengetahuan tentang caracara pembuangan sampah, pemahaman tentang TPA, TPS, pemahaman tentang pengelolaan sampah berdasarkan pola 3 R, pengelolaan sampah berbasis partisipasi masyarakat, konsep pengelolaan sampah secara berkelanjutan green waste, bahaya sampah bagi kehidupan manusia dan lingkungan, pengetahuan tentang bank sampah. Munaroh umur 43 tahun (2014) , mengemukakan tentang cara pengelolaan sampah rumah tangga sebagaiberikut: “ … sepengetahuan saya cara pengelolaan sampah yang baik adalah di bakar, bagi warga yang mempunyai lahan luas, bagi warga yang lahannya sempit juga bisa, seperti sampah dimasukkan tong atau bekas drum, lalu di bakar. Mengenai jenis-jenis sampah, yang saya tahu hanya sampah kering dan basah, sedangkan bahaya sampah apabila menumpuk dan kehujanan, dapat menimbulkan penyakit, bau, tidak sedap dipandang, mengganggu pemandangan. Saya tidak tahu kalau sampah mempunyai nilai ekonomis, hanya tahunya kertas dan karton, botol diambil pemulung untuk di jual, apa itu yang dinamakan nilai ekonomis ya pak? Kalau saya tahu, mau caranya maka akan saya olah sendiri dan saya jual agar dapat tambahan penghasilan, lumayan kan pak. Tapi bagaimana caranya, tolong di kasih tahu ya pak, juga menjualnya ke mana, katanya ada bank sampah, tapi lokasinya jauh, perlu adanya semacam penampung sampah lah. Pengelolaan sampah berkelanjutan sama sekali tidak tahu pak, demikian juga dengan keberadaan dan manfaat dari bank sampah sampai saat ini saya tidak tahu…”.
101 Pernyataan tentang pengetahuan masyarakat penghasil sampah dalam pengelolaan sampah rumah tangga dalam rarangka mendukung program P2KH Kota Hijau Purwokerto pada umumnya termasuk katagori rendah, dan hanya sebagian kecil saja yang pengetahuannya relatif tinggi. Pengetahuan responden tentang kota hijau atau kota berkelanjutan, maka dapat dilihat pada Tabel 28. Tabel 28 Pengetahuan tentang kota berkelanjutan (kota hijau) No. 1 2 3 4
Pengetahuan tentang kota hijau Tidak Mengetahui Kurang mengetahui dan kurang memahami Mengetahui dan Memahami Sangat mengetahui dan sangat memahami Jumlah
Frekuensi 177 92
Persentase 51,90 26,83
48 25 342
14,18 7,09 100,00
Sumber: Hasil lapangan 2014 Tabel 28, dapat diinterpretasikan bahwa pengetahuan masyarakat penghasil sampah tentang kota hijau atau kota sehat, tentang program pengembangan kota hijau Purwokerto umumnya termasuk katagori rendah atau bahkan tidak mengetahui sama sekali tentang apa itu kota hijau atau P2KH, dan hanya sedikit saja yang sudah mengetahui dan memahmi tentang kota hijau, yang kurang mengetahui dan kurang memahami. Item-item dalam dimensi pengetahuan tentang kota hijau dan P2KH meliputi yaitu pengetahuan tentang konsep kota hijau/kota berkelanjutan/ kota ramah lingkungan dan juga program P2KH Purwokerto, indikator atau ukuran dari Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH). Rendahnya pengetahuan tentang kota hijau, dikarenakan kurangnya sosialisasi yang kurang terhadap masyarakat Kota Purwokerto. Hal ini tidak saja terjadi pada masyarakat berpendidikan rendah, akan tetapi ada juga responden yang berpendidikan tinggi (magister) yang tidak memahami mengenai kota hijau. Wanto (2014), pendidikan Magister dalam bidang Ilmu Sosial, mengemukakan sebagaiberikut: “… kota hijau itu secara harpiah adalah kota yang banyak tanamannya. Akan tetapi sejarah makna dan pengertiannya, saya kurang paham. Apalagi mengenai P2KH yaitu program pengembangan kota hijau, dimana salah satu dari 15 Kota di Jawa Tengah. Kabupaten Banyumas merupakan salah satu termasuk P2KH. Namun hal ini tidak tersosialisasikan kepada masyarakat. Saya saja yang tinggal di Perumahan di Perkotaan dan bekerja sebagai akademisi dalam bidang sosial, terus terang kurang memahami P2KH tersebut….”. Persepsi masyarakat tentang pengelolaan sampah ramah lingkungan (green waste) dapat dilihat pada penjelasan berikut. Persepsi Masyarakat tentang Pengelolaan Sampah Ramah Lingkungan Menuju Green Waste Upaya Mendukung Kota Hijau Kajian tentang persepsi dalam pengelolaan sampah rumah tangga, menuju green waste sangat diperlukan dalam upaya mengoptimalkan partisipasi
102 dalam pengelolaan sampah sesuai dengan persepsi masyarakat yang menggunakannya. Persepsi ini dipengaruhi oleh pengetahuan atau pemahaman seseorang tentang pengelolaan sampah rumah tangga. Persepsi mengenai pengelolaan sampah rumah tangga itu mencakup tentang harapan yang diperoleh dari kegiatan tersebut, aspirasi yaitu keinginan terhadap lingkungan agar bersih dan sehat dari sampah rumah tangga, sebaiknya dipahami secara subyektif. Maksudnya yaitu dengan persepsi ini dapat dikaitkan dengan aspek psikologis (kejiwaan) dan sosiokultural masyarakat. Dengan demikian, maka pengelolaan sampah rumah tangga berkelanjutan menuju green waste agar t ercipta lingkungan yang baik, harus didefinisikan secara umum sebagai lingkungan yang mempunyai imajinasi ideal seseorang atau sekelompok orang. Pandangan ini menyempurnakan pandangan sebelumnya yang hanya mengartikan dari aspek fisik, biologi dan kimia saja (Saribanon 2007). Persepsi tentang pengelolaan sampah rumah tangga terbentuk dengan adanya informasi yang diterima tentang hal tersebut dan juga adanya pengalaman yang pernah dirasakannya. Informasi diseleksi baik atau buruknya, menguntungkan atau merugikan orang tersebut, hal tersebut akan mempengaruhi penafsiran seseorang tentang pentingnya pengelolaan sampah rumah tangga. Namun demikian, sebelumnya aspek pengalaman juga mempengaruhi penafsiaran seseorang, setelah penafsiran terbentuk, maka timbullah persepsi orang tersebut mengenai pengelolaan sampah rumah tangga secara berkelanjutan green waste menuju green community dalam rangka mendukung Purwokerto sebagai kota hijau. Hasil wawancara mengenai persepsi masyarakat Kota Purwokerto dalam pengelolaan sampah rumah tangga green waste upaya mendukung kota hijau Purwokerto, dapat disajikan pada Tabel 29. Tabel 29 Persepsi tentang pengelolaan sampah rumah tangga No. 1 2 3 4
Persepsi tentang pengelolaan sampah Tidak bisa menilai Kurang Baik Baik Sangat Baik Jumlah
Frekuensi 66 86 108 82 342
Persentase 19,40 25,24 31,58 23,78 100,00
Sumber: Hasil lapangan 2014 Tabel 29 menunjukkan bahwa persepsi atau penilaian masyarakat penghasil sampah terhadap pengelolaan sampah rumah tangga sebagai upaya mendukung program pengembangan kota hijau Purwokerto, pada umumnya termasuk katagori relative baik (31,58 persen), sedangkan yang penilaiannya sangat baik ada 23,78 persen serta yang penilaiannya kurang baik ada 25,24 persen sedangkan yang tidak bisa menilai ada 19,40 persen. Berkaitan dengan persepsi, maka Cooley berpendapat bahwa lookingglass self (kosep diri yang berkembang melalui interaksi dengan orang lain, sehingga membentuk persepsi), terbentuk melalui tahap-tahap antara lain yaitu pertama, seseorang mempunyai persepsi mengenai pandangan orang lain terhadapnya. Tahap kedua, seseorang mempunyai persepsi mengenai penilaian orang lain terhadap penampilannya. Tahap terakhir atau ke tiga, seseorang
103 mempunyai perasaan terhadap apa yang dirasakannya sebagai penilaian orang lain terhadapnya itu (Horton dan Hunt 1984:94-97). Wiwik, umur 56 tahun, pekerjaan PNS (2014) Pemerintah Kabupaten Banyumas, mengemukakan kepada peneliti bahwa : “….penilaian saya tentang pengelolaan sampah rumah tangga secara umum ya…baiklah. Hanya saja petugas yang mengumpulkan sampah, biasanya datangnya tidak setiap hari, kadang-kadang 2 hari sekali, selain itu juga tempat sampah biasanya berserakan dari sampah. Hal ini karena pemulung memporak porandakan atau “mengobrak abrik” sampah untuk dipilih yang bisa diambil dijadikan uang. Setelah itu tidak ditata kembali. Untuk pengelompokkan sampah organik dan non-organik sampai saat ini belum dilakukan warga. Memang dari pihak RT sudah ada tempat dua macam tempat sampah, namun dalam prakteknya petugas menjadikan sampah dalam satu gerobak. Jadi ya… percuma dipisahkan. Masukan bagi pengelola sampah, yaitu ketua RT/RW, sayogyanya pengambilan sampah harus dibedakan antara sampah organik dan an-organik. Misalnya sampah organic diambil hari senin, maka sampah an-organik hari selasa dan seterusnya, juga dalam pengumpulan di TPS supaya disediakan dua tempat yang berbeda antara sampah organik dan an-organik….”. Pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa penilaian terhadap pengelolaan sampah di daerah, sudah cukup baik. Namun demikian, masih perlu perbaikan agar pengelolaan sampah bisa ditingkatkan ke arah lebih baik. Persepsi masyarakat yang positif terhadap kegiatan pengelolaan sampah rumah tangga ramah lingkungan , mampu memotivasi masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam pengelolaan sampah. Motivasi masyarakat antara lain motivasi d iri sendiri untuk mendapatkan ilmu dan wawasan, alasan ekonomi, faktor kebersihan, keterbatasan lahan dan pelestarian lingkungan. Selanjutnya, mengenai sikap masyarakat terhadap pengelolaan sampah rumah tangga sebagai upaya mendukung kota hijau, dapat dijelaskan berikut. Sikap Masyarakat Terhadap Pengelolaan Sampah Ramah Lingkungan Menuju Green Waste Upaya Mendukung Terwujudnya Kota Hijau Sikap atau tanggapan masyarakat terhadap pengelolaan sampah rumah tangga, dilatarbelakangi oleh persepsi masyarakat itu sendiri, sedangkan persepsi seseorang secara langsung dipengaruhi juga oleh pengetahuan orang tersebut terhadap sesuatu obyek, dalam hal ini dalam pengelolaan sampah. Persepsi dan sikap masyarakat terhadap pengelolaan sampah rumah tangga (domestic) sangat mempengaruhi perilaku sehari-hari orang tersebut, sehingga terbentuk aktivitas secara komunitas dalam bentuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah rumah tangga menuju green waste (nir-limbah). Sebagaimana dikemukakan teori dari Ajzen (2007) tentang model hubungan antara pengetahuan, persepsi, sikap, niat dan perilaku secara garis besar dapat dikemukakan sebagaiberikut: a. Keyakinan seseorang terhadap akibat dari perilaku akan mempengaruhi sikap orang tersebut terhadap perilaku tertentu. b. Keyakinan secara normative seseorang terhadap akibat dari perilaku tertentu, dapat mempengaruhi norma subyektif tentang perilaku.
104 c. Sikap terhadap perilaku tertentu dan norma subyektif tentang perilaku tertentu dapat mempengaruhi niat untuk melakukan perilaku tertentu. d. Selanjutnya niat seseorang untuk melakukan perilaku tertentu dapat mempengaruhi perilaku tersebut. Demikian pula Perilaku kembali dapat mempengaruhi keyakinan normative terhadap akibat dari perilaku tertentu dan juga dapat mempengaruhi keyakinan terhadap akibat dari perilaku tertentu (Ajzen 2007). Hasil penelitian terhadap 342 responden, mengenai sikap terhadap pengelolaan sampah rumah tangga dapat dilihat pada Tabel 30. Tabel 30 Sikap terhadap pengelolaan sampah mendukung P2KH No. 1 2 3 4
Sikap terhadap pengelolaan sampah Tidak Setuju Kurang Setuju Setuju Setuju Sekali Jumlah
Frekuensi 81 153 75 33 342
Persentase 23,68 44,64 22,22 9,45 100,00
Sumber: Hasil lapangan 2014 Tabel 30 menunjukkan bahwa sikap atau respon masyarakat penghasil sampah terhadap pengelolaan sampah rumah tangga sebagai upaya mendukung program pengembangan kota hijau Purwokerto, hasil penelitian menunjukkan bahwa pada umumnya sikap mereka adalah kurang setuju (44,64 persen), yang menyatakan tidak setuju ada 23,68 persen , sedangkan yang menyatakan setuju ada 22,22 persen serta yang menyatakan setuju sekali ada 9,45 persen. Agus (2014), pekerjaan wiraswasta mengemukakan bahwa: : “…. Dalam pengelolaan sampah dewasa ini, memang banyak kelemahannya, namun dalam perencanaan dan pengawasan pengelolaan sampah yang dilakukan pihak RT/RW warga hanya sebagian saja yang terlibat aktif berpartisipasi, sebagian besar tidak ikut terlibat. Namun demikian, dalam rangka meraih piala Adipura, maka apapun yang dilakukan Pemerintah, saya sebagai warga sangat mendukung demi kemajuan Kota Purwokerto. Untuk pengelolaan sampah yang berkelanjutan, semestinya keterlibatan masyarakat penghasil sampah perlu terlibat aktif. Upaya mendukung kota hijau, saya sangat mendukung sekali, walaupun tidak begitu paham apa itu kota hijau, tapi yang pasti sikap saya sangat mendukung terhadap program yang dilakukan pemerintah dalam pengelolaan sampah rumah tangga secara berkelanjutan….”. Mengkaji perilaku masyarakat dalam pengelolaan sampah rumah tangga menuju green waste upaya mendukung terwujudnya kota hijau, maka dapat dijelaskan berikut ini. Perilaku Elemen Masyarakat Dalam Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Ramah Lingkungan (Green Waste) Upaya Mendukung P2KH Perilaku seseorang dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain faktor-faktor personal dan faktor-faktor situasional dalam kerangka perubahan untuk mencapai tujuan tertentu (Lionberger dan Gwin 1982). Berdasarkan
105 pendekatan interaksionis, bahwa perilaku individu secara umum dipengaruhi faktor dari dalam diri individu itu sendiri (inside factor) yang berbentuk fisik dan faktor dari luar individu (outside factor) berbentuk psikis berupa persepsi, kepribadian, mental, intelektual, ego, keyakinan dan motivasi. Berdasarkan hasil penelitian, tentang perilaku dalam masyarakat dalam pengelolaan sampah green waste menuju terbentuknya aktor green community mendukung kota hijau, dapat dilihat pada Tabel 31. Tabel. 31 Perilaku dalam pengelolaan sampah rumah tangga Perilaku pengelolaan sampah RT No. 1 2 3 4
Tidak sesuai dengan aspek lingkungan Kurang sesuai Sudah sesuai dengan aspek lingkungan Sudah sesuai dan mendukung P2KH Jumlah Sumber: Hasil lapangan 2014.
Frekuensi
Persentase
87 109 97 49 342
25,54 32,16 28,80 13,50 100,00
Tabel 31 menunjukkan bahwa perilaku sehari-hari masyarakat penghasil sampah rumah tangga pada umumnya termasuki kurang sesuai dengan normanorma pengelolaan sampah ramah lingkungan menuju green waste (32,16 persen). Perilaku masyarakat yang sudah sesuai dengan aspek lingkungan, akan tetapi ternyata belum sepenuhnya mendukung P2KH ada 28,80 persen. Perilaku yang sudah sangat baik dan sesuai dengan program green waste mendukung P2KH sebanyak 13,50 persen, namun demikian masih ada perilaku yang memprihatinkan dalam pembuangan sampah rumah tangga yang tidak sesuai dengan kidah-kaidah pengelolaan sampah berkelanjutan (green waste) ada 25,54 persen. Hasil penelitian aktor green community (2014) bahwa pada umumnya tiap orang menghasilkan sampah plastik tiap tahun sekitar 700 lembar, ini akibat perilaku konsumtif karena perubahan gaya hidup, perlu solusi karena sampah plastik ini tidak bisa diurai. Sejumlah ahli sosiologi berusaha meneliti bagaimana perbedaan kelas sosial dalam perilaku. Salah satu perbedaan kelas dijumpai dalam busana yang dipakai, gaya hidup, pola konsumsi. Perbedaan gaya hidup ini tidak hanya dijumpai pada herarki prestise, tetapi juga pada hierarkhi kekuasaan dan privilese. Perbedaan gaya hidup tidak hanya dijumpai pada herarki prestise, tetapi juga pada herarki kekuasaan dan privilese. Ogburn dan Nimkoff (1958) menyajikan suatu sketsa dari majalah life yang menggambarkan bahwa lapisan bawah (low-brow), menengah bawah (lower middle-brow), menengah atas (upper middle – brow) dan atas (high-brow) masing-masing mempunyai selera dalam berpakaian, perlengkapan rumah tangga, makanan, minuman, bacaan, permainan, music dan kegiatan (Polloma 2000) Perilaku kebiasaan sehari-hari responden dalam membuang sampah tersebut, sejalan dengan pendapatnya Harihanto (2001) yang menyebutkan bahwa perilaku dipengaruhi faktor sosial budaya, sosial ekonomi dan lingkungan fisik seperti pendidikan formal dan no-formal, pengetahuan, penghargaan sosial, hukuman, kebudayaan, norma sosial, tekanan lingkungan seperti kemiskinan, diskriminasi dan sebagainya. Selain itu juga dipengaruhi faktor model panutan,
106 input informasi, kohesi kelompok, dukungan sosial (social reinforcement), agama, ekonomi, politik, pola perilaku kelompok (pattern of behavior) serta status dan peranan individu dalam masyarakat. Pembakaran sampah rumah tangga di wilayah pedesaan atau wilayah perkotaan yang memiliki lahan luas, maka dimungkinkan, akan tetapi hal itu membahayakan lingkungan yakni mencemari lingkungan. Yohan Sumaiku (2003) mengemukakan sebagaiberikut: “…. Pembakaran sampah rumah tangga di udara terbuka juga dapat menimbulkan asap yang tebal yang mengandung bahan bahan lainnya, seperti partikel debu yang kecil-kecil yang biasa disebut particulate matter (PM) serta bahan bahan beracun lainnya. Oleh karena itu, tidak disarankan melakukan pembakaran sampah untuk di daerah manapun juga…”. Selanjutnya, untuk mengkaji partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah rumah tangga di Kota Purwokerto sebagaimana dijelaskan berikut ini. Partisipasi Aktor Masyarakat dalam Mengelola Sampah Rumah Tangga Menuju Green Waste Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah di daerah perumahan memiliki dimensi luas. Pada komunitas perumahan yang berstatus sosial ekonomi yang tinggi, pada umumnya motivasi dalam berpartisipasi berkaitan dengan kebutuhan terhadap lingkungan yang aman, nyaman, segar, bersih, hijau, serta untuk mempertahankan nilai property itu sendiri. Meskipun bentuknya adalah dalam bentuk lain tidak berbentuk tenaga, akan tetapi dalam bentuk kesediaan membayar retribusi dalam jumlah uang yang relative tinggi untuk berpartisipasi dalam pengelolaan sampah rumah tangga di perumahan. Teori Maslow berlaku disini, bahwa kebutuhan akan kenyamanan lingkungan berperan dalam upaya pelestarian lingkungan merupakan bagian dari aktualisasi diri setelah kebutuhan mendasar lainnya sudah terpenuhi. Partisipasi dalam pengelolaan sampah green waste berarti masyarakat ikut ambil bagian dalam suatu kegiatan tersebut. Ikut ambil bagian dalam suatu kegiatan pengelolaan sampah, hanya diharapkan dapat diharapkan apabila yang bersangkutan merasa dirinya berkepentingan dan diberi kesempatan untuk mengambil bagian dalam pengelolaan sampah tersebut. Partisipasi masyarakat tidak mungkin optimal, jika masyarakat tidak berkepentingan dan tidak diberi keleluasaan untuk ambil bagian (Huntington dan Nelson 1994). Komunitas perumahan yang berlatar belakang status sosial ekonominya rendah, umumnya sumberdaya manusia (pendidikan, keuangan, pengetahuan) relative terbatas dan tidak ada otoritas, sehingga mengakibatkan kepedulian masyarakat terhadap kesehatan dan kenyamanan lingkungan pada umumnya relative rendah. Oleh sebab itu motivasi perlu ditumbuhkan melalui pendekatan sesuai dengan kebutuhan. Pendekatan melalui tawaran kegiatan ekonomi merupakan pendekatan yang sesuai dengan prioritas dan kebutuhan di permukiman lapisan bawah. Sampah dinilai mempunyai nilai ekonomis, sehingga dapat membantu ekonomi keluarga sehari-hari. Oleh karena itu, keberadaan bank sampah itu sangat penting secara ekonomi di kalangan masyarakat lapisan bawah. Partisipasi
107 masyarakat dalam pegelolaan sampah rumah tangga berbasis kearifan lokal mendukung program pengembangan kota hijau, disajikan Tabel 32. Tabel 32 Partisipasi dalam pengelolaan sampah rumah tangga No. 1 2 3 4
Partisipasi
Tidak ikut berpartisipasi Kurang berpartisipasi Ikut berpartisipasi tapi kurang aktif Berpartisipasi aktif Jumlah Sumber: Hasil lapangan 2014
Frekuensi 139 75 87 41 342
Persentase 40,71 21,90 25,37 12,02 100,00
Tabel 32 menunjukkan bahwa pada umumnya masyarakat penghasil sampah tingkat partisipasi dalam pengelolaan sampah rumah tangga adalah rendah, terbukti 40,71 persen masyarakat tidak ikut berpartisipasi dalam pengelolaan sampah, baik dalam perencanaan kebijakan, pelaksanaan maupun pengawasan pengelolaan sampah. Mereka hanya membayar retribusi sampah, selanjutnya terserah pengelola sampah itu diapakan sampah rumah tangga tersebut. Masyarakat penghasil sampah yang berpartisipasi aktif relative rendah yaitu 12,02 persen , mereka umumnya pengurus RT dan RW serta ada juga masyarakat benar-benar terlibat aktif dalam pengelolaan sampah. Mereka yang aktif itu mereka terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pengelolaan sampah di tingkat RW maupun kelurahan di lingkungannya. Masyarakat yang kurang berpartisipasi relative sedikit dan berpartisipasi tetapi kurang aktif yaitu hanya kadang-kadang saja terlibat dalam perencanaan atau pelaksanaan ataupun pengawasan relative cukup 25,37 persen. Ramlan, 53 tahun (2014), Karyawan swasta, mengemukakan bahwa: : “…kalau saya selama ini tidak pernah ikut berpartisipasi dalam perencanaan, pengawasan maupun pelaksanaan pengelolaan sampah. Partisipasi yang saya lakukan hanya sebatas membayar iuran bulanan untuk sampah sebesar Rp. 10.000,00. Yang penting saya bayar iuran, sampah diambil petugas, entah berapa pembagian yang diatur oleh RW dalam pengelolaan sampah tersebut., yang saya lihat sampah diambil petugas menggunakan gerobak, lalu dibuang ke TPS. Setiap pagi sebelum petugas dating, yaitu sekitar jam 5.30-6.30 biasanya ada pemulung yang mengambil sampah yang bisa di jual mereka, akan tetapi sayangnya seringkali sampah yang terkumpul lalu diobrak abrik pemulung dan tidak dibersihkan lagi. Sekali lagi saya memang tidak ikut berpartisipasi, karena sudah cukup iuran bulanan, lainnya tidak berkepentingan bagi saya….”. Aspek partisipasi masyarakat, Bulle (1999) mengemukakan bahwa partisipasi dalam bentuk iuran pembayaran iuran sampah yang lebih efektif adalah yang dilakukan ibu-ibu rumah tangga, sehingga posisi perempuan dalam partisipasi pengelolaan sampah rumah tangga sangat penting sekali dilibatkan dalam menentukan besarnya retribusi pelayanan sampah rumah tangga. Partisipasi kaum ibu rumah tangga, melalui sosialisasi dengan tofik peningkatan pengetahuann tentang pentingnya pola 3R, pentingnya bank sampah. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kaum ibu rumah tangga
108 berpotensi besar untuk diikutsertakan atau dilibatkan dalam program-program partisipasi dalam pengelolaan sampah rumah tangga (Saraswati 2007). Pendekatan partisipasi dari Etzioni (1964) melalui tipe keterlibatan masyarakat dan tipe pelancaran pengaruh merupakan konsep yang relevan untuk menyusun tingkat partisipasi. Selain itu, pada pengelolaan sampah permukiman berbasis partisipasi masyarakat, setiap komunitas atau masyarakat dalam suatu wilayah permukiman dan kelembagaannya dapat disetarakan dengan sebuah organisasi. Hal ini diduga karena sistem pemilahan sampah memerlukan peran blok leader dan kebersamaan seluruh anggota masyarakat dalam wilayah komunitas tersebut. Pertimbangan lainnya adalah bahwa kelompok-kelompok masyarakat sebagai penggerak sistem pengelolaan sampah merupakan suatu bentuk kelembagaan yang ada dalam masyarakat yang memiliki struktur dan fungsi tertentu, sehingga pendekatan komunitas dalam melakukan analisis tingkat partisipasi masyarakat digunakan teori adaptasi teori organisasi Kompleks dari Etzioni (1964). Teori ini mengkaji partisipasi dari dua aspek yaitu (1) tipe keterlibatan masyarakat dan (2) tipe pelancaran pengaruhnya. Partisipasi masyarakat secara teknis operasional sehari-hari di lapangan dalam pengelolaan sampah rumah tangga adalah sebagaiberikut: a. Proses pemilahan sampah rumah tangga, umumnya masyarakat belum melakukan pemilahan sampah rumah tangga, antara sampah kering dan basah, antara sampah organik dan an-organik, masih dilakukan dalam satu wadah. Hal ini dapat dilihat pada kondisi sampah tercampur yang terkumpul di TPS dan TPA. Kalaupun ada pemilahan hanya pada barang yang sifatnya siap di jual seperti kertas, botol plastik, botol , seng, kardus. b. Proses pewadahan, di lapangan banyak dijumpai wadah tempat sampah yang kondisi wadah tersebut tidak sesuai dengan ketentuan dilihat dari kapasitas volume sampah. Pada umumnya masyarakat rumah tangga cenderung memanfaatkan barang bekas sebagai wadah sampah seperti ember, kaleng bekas cat, kantong plastic, karet ban. Hanya sebagaian kecil saja yang menggunakan tempat sampah sesuai aturan yang disarankan oleh pihak pemerintah, LSM, bank sampah. c. Proses pengumpulan sampah rumah tangga, pada umumnya sering dijumpai untuk daerah permukiman yang masih mempunyai lahan luas, sampah dikumpulkan di lahan terbuka, kemudian dilakukan pembakaran atau bahkan ada yang dibiarkan terlarut dengan air hujan, dijumpai juga volume sampah yang berlebih pada TPS dan kondisi di sekitar TPS menjadi kotor, bau, mengganggu kesehatan lingkungan. d. Proses pengangkutan sampah dari rumah warga ke TPS yang dilakukan petugas RT/RW menggunakan gerobak sampah, dilakukan petugas dengan sembarangan, bahkan kadang-kadang tidak semua sampah diangkut ke TPS. Pengangkutan sampah dari TPS ke TPA, ini mutlak tanggungjawab Pemerintah . Masyarakat cenderung apatis dengan sistem pengangkutan sampah maupun frekuensi pengangkutan sehingga pelayanan pengangkutan kelihatan tidak optimal, sementara sarana pelayanan pengangkutan sampah yang ada pada lembaga pengelola sudah difungsikan secara maksimal. Kadang-kadang sampah di TPS diangkut tiga hari sekali oleh petugas untuk dibawa ke TPA.
109 e. Proses pengolahan sampah, pada umumnya hanya sebagian kecil saja yang telah ikut berpartisipasi. Misalnya bank sampah, komunitas peduli akan sampah. Saat ini masih hanya dalam skala kecil saja, untuk sampah an-organik ditampung di bank sampah dari nasabah bank sampah, sedangkan sampah organic ada sebagian diproses di bank sampah, di Komunitas Peduli Akan Sampah. Proses sampah organik, masih open dumping dan prasarana pengolahan kompos belum dapat dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat. Uraian menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat penghasil sampah pada masing-masing aspek masih relative rendah, maka peranserta atau partisipasi masyarakat Kota Purwokerto dalam pengelolaan sampah rumah tangga pada saat ini umumnya dapat dikatakan partisipasi tidak nyata atau semu. Partisipasi seperti ini artinya kelihatannya berpartisipasi, namun partisipasi tersebut muncul karena kondisi yang tidak bisa dihindarkan masyarakat. Faktor-Faktor Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah Menuju Green Waste Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi partisipasi dalam pengelolaan sampah rumah tangga dalam mendukung program pengembangan kota hijau adalah (a) tingkat sosial ekonomi, (b) tingkat pengetahuan tentang kearifan lokal pola kerigan, (c) tingkat pengetahuan tentang kota hijau, (d) tingkat pengetahuan tentang pengelolaan sampah rumah tangga, (e) tingkat persepsi mengenai pengelolaan sampah rumah tangga, (f) tingkat sikap terhadap pengelolaan sampah rumah tangga, (g) perilaku dalam pengelolaan sampah (Ajzen 2007). Pengetahuan seseorang terhadap pengelolaan persampahan, sangat berpengaruh terhadap persepsi atau penilaian orang tersebut terhadap persampahan, untuk selanjutnya persepsi seseorang berpengaruh terhadap sikap atau respon atau tanggapan orang tersebut terhadap persampaan. Sikap, selanjutnya mempengaruhi perilaku sehari hari orang tersebut terhadap persampahan selanjutnya secara individu perilaku tersebut akan mempengaruhi partisipasi seseorang dalam pengelolaan sampah (Saribanon 2007). Problem sosial itu diakibatkan antara lain karena rendahnya pelibatan masyarakat dan proses internalisasi program serta perilaku masyarakat kurang mendukung sehingga partisipasi menjadi tidak optimal. Program yang ada lebih bersifat top down tidak bersifat bottom up, sehingga masyarakat pada umumnya merasa kurang di uwong kan. Pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang persampahan sangat bervariasi, heterogen, beragam, hal ini menjadi dasar timbulnya kesadaran dan perilaku kolektif . Meskipun demikian, pengetahuan , pemahaman, sikap, perilaku dan kesadaran masyarakat, seperti teorinya Ajzen (2007) pada tingkat tertentu dapat dirubah untuk tujuan paerubahan ke arah yang lebih baik, walaupun memerlukan waktu untuk perubahannya (Sarwono 1995). Penanganan masalah sampah rumah tangga ramah lingkungan menuju green waste, maka harus dimulai dari perubahan tingkat pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan sikap masyarakat dalam pengelolaan sampah yang kemudian diharapkan berimplikasi pada perubahan perilaku dan tindakan masyarakat yang positif sehingga meningkatkan partisipasi dalam pengelolaan sampah.
110 Hasil penelitian terhadap rumah tangga, dari 342 orang responden, terlihat bahwa perbedaan tempat permukiman, yaitu (a) permukiman perumahan elit, yang tergolong warganya berpendidikan tinggi dan status ekonomi tinggi , (b) pemukiman perumahan yang tergolong kelas menengah, dengan (c) permukiman non-perumahan yang tergolong warganya berpendidikan rendah dangan tingkat ekonomi umumnya rendah, terdapat perbedaan pengetahuan, pemahaman, pengalaman, persepsi, sikap dan pada akhirnya mempengaruhi perilaku seseorang dalam pengelolaan sampah rumah tangga, khususnya dalam pembuangan sampah sehingga hal ini dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah di wilayahnya. Ketiga perbedaan tipe pemukiman tersebut, terlihat bahwa aspek lingkungan fisik berhubungan secara significan dengan pola interaksi sosial, pola konsumsi, solidaritas sosial, sehingga secara tidak langsung membentuk pola dengan pendapatnya La Barre (1954) dan Hall (1966) bahwa manusia dengan lingkungan fisiknya, dalam hal ini dengan lingkungan pemukimannya, membentuk suatu lingkungan sosial budaya tertentu termasuk perilaku terhadap sampah dan pengelolan sampah rumah tangga. Pendapat Castells (1997), yang menyatakan bahwa ruang bukan semata-mata gambaran dari suatu komunitas akan merujuk pada kepadatan ruang yang memungkinkan anggota komunitas tersebut untuk saling bertemu dan berinteraksi. Masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah non-perumahan dimana infrastruktur sampah relatif sangat kurang dan lahan masih banyak yang kosong, maka terlihat masih banyak masyarakat yang melakukan pembakaran sampah, membuang ke sungai, danau. Hal ini dilakukan warga dikarenakan minimnya fasilitas pengelolaan sampah, seperti tempat pengumpulan sampah sementara (TPS), gerobak pengangkut sampah, petugas tidak disiplin waktu pengambilan dan tidak semua sampah diangkut petugas. Hal ini bertolak belakang dengan pengelolaan sampah di tempat pemukiman perumahan elit dan menengah, dimana fasilitas sampah cukup memadai , TPS memadai dan petugas aktif mengambil sampah dengan jadwal rutin . Hal-hal tersebut, dikarenakan pembayaran iuran retribusi sampah cukup tinggi, per bulan antara Rp. 50.000,00 sampai dengan Rp. 90.000,00. Hasil penelitian pemukiman yang pada umumnya kurang teratur, pada umumnya masih mempunyai lahan kosong dan adanya aliran sungai di wilayah tersebut, dimana letak pemukimannya berada di wilayah perdesaan. Di wilayah ini , kemampuan ekonomi dan pendidikan warganya pada umumnya masih relative rendah. Retribusi iuran pengelolaan sampah rumah tangga di wilayah itu relative rendah antara Rp. 1.000,00 sd Rp. 10.000,00 per bulan, pengelolaannya dilakukan petugas pengumpul sampah yang ditugasi ketua RT, selanjutnya diserahkan kepada bendahara RT. Hasil analsisis path Analysis, tentang pengaruh antara variabel (X1) tingkat pengetahuan tentang pola kerigan, (X2) tingkat status sosial ekonomi, (X3) tingkat pengetahuan tentang kota hijau (green city), (X4) tingkat pengetahuan tentang pengelolaan sampah rumah tangga (green waste) , (X5) tingkat persepsi tentang pengelolaan sampah rumah tangga, (X6) tingkat sikap atau respon terhadap pengelolaan sampah rumah tangga (green waste), (X7) tingkat perilaku dalam pengelolaan sampah rumah tangga (green waste) dan (Y) tingkat partisipasi dalam pengelolaan sampah menuju green waste.
111 Hasil analisis perhitungan path analisis dalam analisis multivariat, yang menunjukkan pengaruh langsung dan tidak langsung antar variabel, maka disajikan pada Tabel 33. .
Tabel 33 Pengaruh langsung dan tidak langsung antar variabel
Variabel
Pengaruh langsung (%) X5
X1
14
X2
6
X3
4
X6
X7
Pengaruh Tidak Langsung X7 melalui (%)
Pengaruh Tidak Langsung Y melalui (%)
Y
X5
X6
X7
11
2, 66
1,81
1, 14
0,78
0,41
0,76
5,2
0,27
9,12
6,22
3,28
12,96
6,84
0,96
6 X4 X5 X6
48 48
19 27
9,72 36
X7
Sumber: Hasil lapangan (AHP) 2014
Hasil perhitungan path analisys, terlihat bahwa perilaku seseorang memberikan pengaruh langsung terhadap partisipasi dalam pengelolaan sampah rumah tangga 36 persen, pengaruh ini significant pada taraf kepercayaan sebesar 95 persen, artinya pengaruh ini cukup erat dengan tingkat kesalahan maksimal 5 persen. Pengaruh ini arahnya positif, artinya semakin baik perilaku seseorang dalam pengelolaan sampah, maka semakin tinggi pula tingkat partisipasi orang tersebut. Demikian sebaliknya, apabila perilaku sehari-hari dalam pengelolaan sampah rumah tangganya jelek, maka tingkat partisipasi orang tersebut dalam pengelolaan sampahnya akan rendah pula. Sejalan dengan ini Sumardjo (1988) mengemukakan bahwa: “…prasyarat partisipasi adalah adanya kesempatan, kemauan dan kemampuan. Persepsi akan memperlihatkan seberapa jauh seseorang melihat kesempatan, sikap akan menggambarkan kemauan seseorang dan kempuan seseorang digambarkan melalui perilaku…”. Perilaku seseorang dalam pengelolaan sampah rumah tangga menuju green waste, secara langsung dipengaruhi oleh sikap atau respon seseorang terhadap pengelolaan sampah rumah tangga sebesar 27 persen , pengaruh ini significant pada taraf 95 persen dengan arah positip. Ini berarti terdapat pengaruh yang erat antara sikap atau respon seseorang terhadap perilaku dalam pengelolaan sampah dengan tingkat kepercayaan 95 persen.Tingkat kesalahan maksimal lima persen. Pengaruh sikap atau respon terhadap perilaku dalam pengelolaan sampah ini arahnya positif, artinya semakin positif sikap seseorang dalam pengelolaan sampah, maka semakin baik juga perilaku orang tersebut dalam pengelolaan sampah sehari hari, demikian juga sebaliknya semakin jelek
112 atau negarif sikap seseorang maka semakin jelek orang tersebut perilakunya dalam pengelolaan sampah sehari-hari. Perilaku seseorang dalam pengelolaan sampah rumah tangga, selain dipengaruhi langsung oleh sikap atau respon, juga dipengaruhi secara langsung oleh persepsi atau penilaian seseorang mengenai pengelolaan sampah rumah tangga, sebesar 19 persen, pengaruh ini significant pada taraf 95 persen dengan arah positif. Ini berarti terjadi hubungan yang erat antara persepsi terhadap perilaku seseorang dlam pengelolaan sampah sehari-hari. Arah pengaruh juga positif artinya semakin baik persepsi seseorang, maka semakin baik pula perilaku orang tersebut dalam pengelolaan sampah rumah tangga menuju green waste. Demikian juga sebaliknya semakin tidak baik persepsi seseorang tentang pengelolaan sampah, maka semakin jelek pula perilaku orang tersebut dalam pengelolaan sampah rumah tangga sehari-hari. Leonberger dan Gwin (1982) mengemukakan bahwa : perilaku manusia dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain faktor-faktor personal dan faktor-faktor situasional dalam kerangka perubahan untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut pendekatan interaksionis bahwa perilaku individu secara umum dipengaruhi faktor dalam (inside factor) dan faktor luar (outside factor). Partisipasi seseorang dalam pengelolaan sampah rumah tangga green waste, selain dipengaruhi secara langsung oleh perilaku juga dipengaruhi oleh status sosial ekonomi seseorang, terbukti hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh langsung sebesar 11 persen secara significant dengan arah positif. Artinya terdapat pengaruh yang erat antara kedua variabel tersebut, dengan arah positif, semakin tinggi status sosial, maka semakin tinggi juga partisipasi dalam pengelolaan sampah rumah tangga. Demikian juga sebaliknya. Persepsi seseorang dalam pengelolaan sampah rumah tangga menuju green waste dipengaruhi secara langsung oleh pengetahuan tentang pengelolaan sampah rumah tangga sebesar 48 persen , secara significant pada taraf 95 persen dengan arah postif. Ini berarti semakin tinggi pengetahuan seseorang tentang pengelolaan sampah rumah tangga, maka semakin baik pula persepsi nya terhadap pengelolaan sampah tersebut. Tingkat pengetahuan/pemahaman tentang kearifan lokal yaitu pola kerigan, mempunyai pengaruh langsung sebesar 6 persen terhadap persepsi seseorang dalam pengelolaan sampah rumah tangga menuju green waste. Demikian juga dengan pengetahuan tentang kota hijau juga mempengaruhi secara langsung persepsi nya sebesar 4 persen. Pengaruh kedua variabel tersebut relative kecil sekali, dan tidak significant pada 95 persen, namun tetap ada pengaruh langsung terhadap persepsi dalam pengelolaan sampah rumah tangga. Faktor ini tidak dapat diabaikan, karena mempunyai kontribusi pengaruh terhadap perilaku dan partisipasi tidak langsung, karena melatarbelakangi terbentuknya persepsi, sikap dan perilaku dalam pengelolaan sampah sehingga menjadikan terbentuknya partisipasi dalam pengelolaan sampah rumah tangga. Analisis multivariate, dengan koefesien determinan yaitu pengaruh secara bersama sama antara variabel status sosial ekonomi, pengetahuan tentang pola kerigan sebagai kearifan lokal, pengetahuan tentang kota hijau (green city) dan pengetahuan tentang pengelolaan sampah rumah tangga menuju green waste , secara bersama sama terhadap persepsi masyarakat dalam pengelolaan sampah menuju green waste, sebesar 26 persen, sedangkan 74 persen merupakan
113 pengaruh faktor dari luar selain ke empat variabel tersebut di atas yang belum teridentipikasikan dalam penelitian ini. Analisis multivariate yang lain adalah variabel yang mempengaruhi perilaku dalam pengelolaan sampah rumah tangga menuju green waste secara bersama sama antara variabel persepsi dan sikap atau respon sebesar 16 persen, sedangkan pengaruh di luar kedua variabel tersebut, yaitu variabel yang belum terindentifikasi dalam penelitian ini yang dapat mempengaruhi perilaku dalam pengelolaan sampah sebesar 84 persen. Variabel yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah rumah tangga secara bersama-sama antara status sosial ekonomi, pengetahuan tentang pengelolaan sampah rumah tangga dan sikap seseorang terhadap pengelolaan sampah rumah tangga sebesar 15 persen. Pengaruh faktor luar di luar ketiga variabel tersebut yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat secara langsung dan belum teridentifikasi dalam penelitian ini adalah sebesar 85 persen. Model tersebut, terlihat bahwa tingkat persepsi seseorang secara significant mempengaruhi sikap orang tersebut terhadap pengelolaan sampah rumah tangga menuju green waste. Sikap seseorang terhadap pengelolaan sampah rumah tangga menuju green waste dipengaruhi secara significant oleh persepsi tentang persampahan. Namun demikian persepsi tidak dapat secara langsung berkontribusi terhadap perilaku mengelola sampah, akan tetapi melalui sikap terhadap pengelolaan sampah rumah tangga menuju green waste. Sikap seseorang tidak dapat mempengaruhi secara langsung terhadap partisipasi dalam pengelolaan sampah menuju green waste, akan tetapi harus melalui perilaku seseorang dalam pengelolaan sampah rumah tangga menuju green waste.Perilaku seseorang dalam kehidupan sehar-hari dapat mempengaruhi partisipasi dalam pengelolaan sampah rumah tangga. Penelitian Chu et al (2004) dan Saribanon (2007) mengemukakan bahwa salah satu faktor penting dalam mewujudkan terbentuknya partisipasi masyarakat adalah memperkuat respon atau sikap dan juga perilaku dalam pengelolaan sampah rumah tangga. Selain itu juga diperlukan pula peningkatan penilaian atau persepsi tentang pengelolaan sampah, juga yang tidak kalah pentingnya adalah perlu adanya upaya peningkatan pemahaman atau pengetahuan di kalangan masyarakat tentang pola kerigan, pemahaman tentang kota hijau, pemaham tentang pengelolaan sampah rumah tangga (green waste). Perlu diperhatikan juga tingkat status sosial ekonomi masyarakat perlu mendapat perhatian dan perlu ditingkatkan. Model path analysis, sebagian besar masyarakat juga berpendapat bahwa faktor pesepsi dan sikap memegang peran yang sangat penting sebagai kendala dalam meningkatkan perilaku dan partisipasi dalam pengelolaan sampah (green waste). Hal itu terlihat pada pengaruh keduanya yang cukup significant. Berdasarkan hasil penelitian, kendala utama dalam meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah (green waste) adalah umumnya menyatakan kurangnya kesadaran tentang pentingnya pengelolaan sampah secara mandiri (31,2 persen). Hal ini diduga karena pemahaman tentang persampahan masih relative kurang (29,3 persen ) dan tidak berjalannya pola kerigan sebagai kearifan lokal masyarakat Kota Purwokerto (25,7 persen ) dan masih rendahnya pengetahuan mereka tentang kota hijau (13,8 persen). Perlu dirumuskan pola peningkatan pemahaman pengelolaan sampah rumah
114 tangga, melalui penyuluhan secara rutin dan sosialisasi seperti poster, spanduk, banner melalui pertemuan warga yang sudah berjalan selama ini. Penyuluhan mengenai paradigma baru tentang nilai ekonomis sampah, bank sampah, pemilahan sampah dan daur ulang sampah sebagai bentuk pemberian informasi yang bersifat lebih searah, ternyata masih menjadi terminology masyarakat yang bersifat umum. Informasi dan motivasi merupakan dua faktor sangat penting yang sangat dirasakan dan disadari masyarakat Kota Purwokerto upaya mensosialisasikan suatu program dan menodorng masyarakat agar aktif berpartisipasi. Informasi tentang persampahan ini merupakan bagian yang sangat penting untuk membentuk persepsi seseorang dalam membentuk sikap yang positif terhadap pengelolaan sampah rumah tangga menuju green waste. Selanjutnya sikap positif diharapkan akan membentuk perilaku yang baik dalam pengelolaan sampah rumah tangga green waste, sebab persepsi dan sikap merupakan faktor antara atau intervening dalam mempengaruhi perilaku seseorang. Akhirnya diharapkan dapat meningkatkan partisipasi dalam pengelolaan sampah rumah tangga. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Sampah, Bagian Ketiga pasal 18 Tentang Penanganan Sampah menyebutkan bahwa: “… Pemilahan sampah dilakukan oleh (a) setiap orang pada sumber sampah; (b) pengelola kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial dan fasilitas lainnya dan (c) Pemerintah Daerah”. Selanjutnya bunyi yang tercantum pada pasal 19 menyebutkan bahwa : ”… pengumpulan sampah dilakukan oleh (a) pengelola kawasan permukiman termsuk kelompok swadaya masyarakat, kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial dan fasilitas lainnya; dan (b) Pemerintah. Ayat (2) pengelola kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, faslitas umum, fasilitas sosial dan fasilitas lainnya dalam melakukan pengumpulan sampah wajib menyediakan (a) TPS; (b) TPS3R; dan atau (c) alat pengumpul untuk sampah terpilah…”. Pemerintah Kabupaten Banyumas, telah menyediakan payung hukum pengelolaan sampah berdasarkan asas tanggung jawab, asas berkelanjutan, asas manfaat, asas keadilan, asas kesadaran, asas kebersamaan, asas keselamatan, asas keamanan dan asas nilai ekonomi. Hanya saja dalam realisasi pelaksanaan Perda Nomor 6 Tahun 2012 di lapangan, banyak yang belum sesuai dengan isi dari Perda tersebut, sehingga perlu adanya komitmen bersama untuk melaksanakan Peraturan Daerah tersebut. Peraturan Daerah tentang pengelolaan sampah memang sudah ada, hanya saja dalam Implementasinya masih perlu di dukung komitmen dari berbagai pihak agar terjadi keadilan. Misalnya pelaksanaan penghargaan kepada pengelolaan sampah yang baik, dan juga pemberian sanksi kepada masyarakat yang melanggar ketentuan Perda tersebut tanpa pandang bulu. Oleh karena itu, perlu komitmen dari aparat penegak Perda, seperti Satpol
115 Polisi Pamongpraja (PP), agar bisa berjalan dengan baik dalam implementasi Perda tersebut. Partisipasi Aktor Masyarakat Pengelola Sampah Menuju Green Waste Aktor masyarakat pengelola sampah rumah tangga di Kota Purwokerto terdiri dari Ketua Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW), Kelurahan dan Kecamatan. Selain itu juga adanya kelompok green community yaitu bank sampah, dasa wisma pengelola sampah, komunitas peduli akan sampah. Sebagai salah satu stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan sampah, peran kelompok masyarakat pengelola sampah ini dikaji partisipasi atau perannya dalam pengelolaan sampah rumah tangga berbasis kearifan lokal menuju green waste mendukung Kota Hijau Purwokerto. Menurut pendapat Iyer (2001) mengemukakan bahwa pada kegiatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah rumah tangga di Bangalore India, wanita mempunyai peranan yang besar , mulai dari pengumpulan sampah sampai pembuangan sampah. Wanita ikut serta dalam komite persampahan kota, berperan serta dalam pertemuan dan penyuluhan serta berperanserta dalam memberikan motivasi kepada anggota masyarakat. Jumlah wanita yang berperan dalam partisipasi masyarakat dalam kegiatan ini sekitar 60 persen . Sudah lebih 4 tahun pengelola persampahan kota di India bekerja sama dengan organisasi wanita. Perlu kiranya menjadi contoh dalam pengelolaan sampah, disesuaikan dengan kondisi sosial-budaya masyarakat Indonesia. Partisipasi Aktor Dasa Wisma Pengelola Sampah Mendukung Green Waste Aktor dasa wisma sebagai salah satu komunitas atau organisasi terendah di kalangan ibu-ibu, mempunyai andil besar dalam rangka mensukseskan program pemerintah. Banyak program atau kegiatan dari pemerintah yang berhasil, karena adanya dukungan dari dasa wisma. Demikian juga dengan program pemerintah dalam menjadikan Kota Purwokerto sebagai kota hijau, kota sehat, kota bersih dan kota berkelanjutan, maka peranserta dasa wisma sangat penting dan sangat dibutuhkan sekali, termasuk dalam program kebersihan dalam pengelolaan sampah rumah tangga sebagai upaya melaksanakan program 3 R upaya mendukung P2KH Kota Purwokerto. Partisipasi aktor dasa wisma dalam ikut partisipasi pengelolaan sampah sebagai salah satu komunitas hijau, berdasarkan hasil wawancara terhadap 23 responden, diperoleh hasil bahwa pada umunya tingkat partisipasinya relative cukup tinggi (31,58 persen ), sedangkan tingkat partisipasi sebanyak rendah 25,17 persen dan yang tingkat partisipasi tinggi sebesar 24,03 persen serta yang tingkat partisipasi pengelolaan sampahnya sangat tinggi 19,22 persen. Dasa wisma dalam pengelolaan sampah rumah tangga menuju green waste, dalam rangka ikut mendorong partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah pada umumnya selalu mengadakan sosialisasi tentang pengelolaan sampah kepada warga sekitar dalam setiap pertemuan secara rutin sebesar 65,22 persen, dan ada sekitar 26,22 persen melakukan sosiaslisasi secara insedental, dan hanya 4,35 persen saja yang tidak penah melakukan apa-apa terhadap warga dalam pengelolaan sampah, dan 4,35 persen melakukan partisipasi dengan cara memberikan contoh nyata dalam pengelolaan sampa. Mengenai tingkat keaktifan warga dalam pengumpulan sampah ke dasa wisma,
116 secara umum dapat dikatakan tingkat partisipasinya cukup (43,48 persen ), warga yang tergolong aktif sekali sekitar 13,04 persen , yang kurang aktif tercatat sebanyak 26,09 persen dan sisanya merupakan warga yang kadangkadang mengumpulkan sampah dan itupun secara tiak langsung. Hasil penelitian tentang sikap atau pendapat pengurus dasa wisma dalam ikut andil pengelolaan sampah green waste, pada umumnya menyatakan bahwa untuk membantu ekonomi keluarga. Ini dikarenakan sampah mempunyai nilai uang (47,83persen), yang menyatakan membantu program kebersihan lingkungan ada 39,13 persen dan yang menyatakan membantu kemanan lingkungan agar pemulung tidak bisa masuk ke komplek perumahan tersebut sebanyak 8,70 persen dan sisanya hanya ikut-ikutan saja sebanyak 4,35 persen. Jaringan pemasaran dari sampah yang dikumpulkan dari warga lokasi dasa wisma tersebut didasarkan pada kesepakatan pengaruh dengan warganya. Selain itu juga ada kerjasama dengan Bank Sampah Arcawinangun, setiap minggu petugas dari bank sampah datang dengan alat transportasinya ke setiap dasa wisma yang mengelola sampah rumah tangga menuju green waste. Mengenai upaya mendukung program pemerintah daerah Banyumas tentang kota hijau untuk Kota Purwokerto, maka menurut pendapat pengurus Dasa Wisma yang perlu dilakukan adalah perlunya mengaktifkan kembali kegiatan pola kerigan sebagai modal sosial (43,48 persen ), responden yang memberi saran agar pemerintah melibatkan masyarakat dalam setiap program kegiatan (bottom up) sebesar 39,13 persen , menyatakan tidak tahu apa yang perlu dilakukan dalam upaya mendukung kota hijau sebanyak 8,70 persen serta sisanya 8,70 persen mengemukakan antara lain perlu sosialisasi kepada masyarakat ekonomi bawah dalam setiap program kegiatan kota hijau tersebut. Hasil tersebut menunjukkan bahwa umumnya tingkat kesadaran pengurus dasa wisma dalam upaya pengelolaan sampah rumah tangga, relative cukup baik. Berdasarkan data yang ada sebagian kecil dasa wisma Kota Purwokerto yang telah melakukan kegiatan pengelolaan sampah green waste dan bekerja sama dengan bank sampah dalam pengelolaannya. Partisipasi Aktor Rukun Tetangga dan Rukun Warga Pengelola Sampah Aktor pengelola sampah di tingkat organisasi pemerintah terbawah adalah Rukun Tetangga (RT), dalam melaksanakan kegiatannya dilakukan koordinasi dengan Rukun Warga (RW). Hasil penelitian terhadap 213 pengurus RT dan 89 pengurus RW, menunjukkan bahwa pada umumnya pengurus RT selalu mengadakan koordinasi dengan pengurus RW tentang pengelolaan sampah.Kegiatan sosialisasi pengelolaan sampah, sosialisasi bank sampah di wilayahnya (38,97 persen), sedangkan melakukan koordinasi hanya sebatas pengumpulan sampah saja sebesar 19,72 persen. Melakukan kerjasama antara ketua RT dengan PKK dan melibatkan dasa wisma dalam penarikan iuran bulanan sampah sebanyak 30,52 persen, sebanyak 10,80 persen dari pengurus RT menyatakan hanya sebagai koordinator pengumpulan dana saja yang akan disetorkan ke Kelurahan berdasarkan banyaknya rumah yang ada di tiap-tiap RT dan tidak pernah koordinasi dalam kegiatan lain seperti penyuluhan dan sosialisasi tentang pengelolaan sampah dan kota hijau.
117 Iuran retribusi sampah rumah tangga, pada umumnya mengemukakan bahwa kepala keluarga ditarik iuran sampah oleh PKK atau dasa wisma (43,19 persen), yang menyatakan bahwa uang iuran yang terkumpul di Bendahara RT disetorkan ke RW, karena warga ditarik iuran langsung oleh bendahara RT sebanyak 25,82 persen dan yang menyatakan bahwa RW yang mengatur segala sesuatunya tentang iuran retribusi sampah sebanyak 24,88 persen dan sisanya mempunyai jawaban berbeda di luar ketiga jawaban tersebut 6,10 persen. Hubungan antara ketua RT dengan ketua RW dalam pengelolaan sampah menuju green waste pada umumnya menyatakan bahwa koordinasi dilakukan dalam pengumpulan sampah ke TPS (67,78 persen ), dan yang menyatakan koordinasi dalam iuran retribusi sampah sebanyak 24,88 persen dan sebanyak 7,98 persen menyatakan koordinasi dalam kegiatan sosialisasi pengelolaan sampah rumah tangga menuju green waste. . Kerjasama antara RT dengan bank sampah, menunjukkan bahwa terjadi koordinasi dalam pengelolaan sampah rumah tangga ssebesar 38,03 persen , yang menyatakan tidak ada kerjasama selama ini dengan bank sampah sebanyak 30,99 persen dan 3,76 persen menyatakan bahwa kerjasama dilakukan sebatas dalam pengelolaan sampah rumah tangga. Tema sosialisasi yang dilakukan RT bekerjasama dengan bank sampah, umumnya menyatakan tema yang tepat lagi trend adalah tentang bank sampah (38,97 persen) dan yang menyatakan tema tentang cara penanganan sampah rumah tangga ada 30,52 persen , yang menyatakan tema cara pengelolaan sampah rumah tangga dengan pola 3R 19,72 persen dan 10,80 persen menyatakan temanya terserah pengurus saja, tetapi kalau bisa yang mempunyai nilai ekonomi tentang sampah agar dapat membantu perekonomian keluarga. Kegiatan pengurus Rukun Warga, dalam pengelolaan sampah rumah tangga ramah lingkungan menuju green waste di lingkungannya, pada umumnya memberikan sosialisasi tentang cara pembuangan sampah yang benar sesuai aspek-aspek kesehatan dan lingkungan (55,06 persen), selanjutnya yang biasa melakukan tidak melakukan sosialisasi dan hanya menyalurkan iuaran yang disetorkan dari RT ke kelurahan sebanyak 28,09 persen dan sebagian kecil yaitu 16,85 persen yang menyatakan menyalurkan iuran bulanan dari warga untuk disalurkan ke petugas yang biasa ditugasi membuang sampah, dalam hal ini dari pengurus RW adalah partisipasi pasif. Pengurus RW bersifat pasif diduga pengurusnya tidak mau berinovasi atau melakukan terobosan baru untuk pembangunan wilayahnya dalam pengelolaan sampah dan hanya mengerjakan admisnistrasi secara rutin. Dasar pertimbangan penetapan iuran retribusi sampah yang biasa dilakukan warga, ternyata pengurus RW menyatakan bahwa dasarnya per rumah warga yang ditempati, karena apabila rumah ditempati akan menghasilkan sampah (52,81 persen), dan sebagian dari RW ada yang menerapkan dasar penetapannya per-rumah tangga (6,74 persen), dan sebagian menyatakan berdasarkan jumlah anggota keluarga di rumah tersebut 38,20 persen. Hasil penelitian tersebut, memang dasar penetapan iuran retribusi sampah berbeda-beda tergantung dari RW masing-masing. Padahal dalam Perda sudah ditentukan antara lain tentang besaran iuran retribusi sampah dari warga dalam pengelolaan sampah menuju green waste. Khusus warga yang tidak membayar iuran retribusi sampah dari pihak RW diberikan sanksi berupa sampah yang
118 dikumpulkan di depan rumah warga tersebut tidak diangkut oleh petugas dan dibiarkan saja (62,92 persen), dan yang menerapkan sanksi dikenakan denda untuk pembayaran sampah bulan tersebut ada 14,61 persen. Hanya sebagian kecil saja dari RW yang tidak memberikan sanksi kepada warga yang tidak membayar iuran sampah dan dibiarkan saja sebanyak 2,25 persen. RW yang tidak melakukan sanksi ini dikarenakan khawatir diprotes warga dan berbagai pertimbangan lainnya demi kemanusiaan. Terkait hal tersebut, biasanya RW “nomboki” atau “nalangi” (membayari dulu), baru nanti dilunasi bulan berikutnya dari kas RT dimana warga tersebut bermukim. Upaya RW dalam mengajak ibu-ibu dalam berpartisipasi dalam pengelolaan sampah, umumnya melakukan penyadaran melalui penyuluhan dilakukan pengurus RW atau kerjasama dengan bank sampah, bahkan dengan pihak green community (85,39 persen) dan sebagian kecil RW yang didahului dengan mengadakan pelatihan proses pengolahan sampah rumah tangga (10,11 persen) dan sisanya adalah dengan tiak melakukan apa-apa kepada ibu-ibu rumah tangga dengan alasan sudah ditangani dari pihak RT. Hubungan antara ketua RW dan jajarannya dengan pihak kelurahan, umumnya selalu diadakan rapat koordinasi bulanan untuk membahas berbagai aspek kehidupan yang menyangkut kemajuan wilayah kelurahan tersebut termasuk aspek pengelolaan sampah 74,16 persen. Responden yang mengatakan selalu dilakukan pembinaan dari pihak kelurahan kepada RW yang menyangkut aspek tupoksi dari RW ada 23,60 persen dan sisanya mengatakan hanya koordinasi biaanya pekerjaan secara rutin dari RW dan menginformasikan berita yang datangnya dari kecamatan sebanyak 2,25 persen. Aspek kegiatan di lingkungan RW,RT, PKK dan dasa wisma, yang cukup signifikan dalam pengelolaan sampah rumah tangga menuju green waste adalah aspek besaran iuran sampah dan sosialisasi atau penyuluhan tentang pengelolaan sampah rumah tangga green waste, sanksi bagi masyarakat yang tidak membayar iuran bulanan, partisipasi ibu-ibu rumah tangga dalam pengelolaan sampah dan hubungannya PKK, dasa wisma dengan RT. Pelaksanaan sosialisasi dan penyuluhan tentang pengelolaan sampah rumah tangga dengan pola 3 R menuju green waste, ada beberapa RT, Dawis dan PKK bekerjasama dengan Bank Sampah PAS Arcawinangun. Pengelolaan sampah, kaum ibu merupakan sosok yang sangat berperan penting, maka sosialisasi dan penyuluhan lebih difokuskan kepada ibu rumah tangga. Menurut Saraswati (2007) mengemukakan bahwa hampir dalam setiap situasi, perempuan adalah manajer rumah tangga, oleh karena itu perempuan bertanggungjawab atas pengelolaan sampah rumah tangga di dalam rumah 3 R. Aktor pengelola sampah rumah tangga pada umumnya dilakukan oleh rukun tetangga, umumnya dikoordinir oleh ketua RW. Oleh karena itu, maka ketua RW mempunyai hubungan erat secara setruktural dengan ketua RT dalam bentuk pembinaan, penetapan besaran iuran bulanan untuk sampah, sanksi bagi warga yang tidak membayar iuran sampah. Kesemuanya itu dengan memperhatikan aspirasi warga RT. Bulle (1999) mengemukakan bahwa pembayaran iuran sampah pada umumnya dilakukan oleh ibu-ibu rumah tangga sehingga perempuan berperan penting untuk dilibatkan dalam penentuan besarnya retribusi pelayanan sampah di tingkat RW.
119 Aspek partisipasi ibu-ibu PKK RT, dasa wisma, para pembantu rumah tangga perlu lebih ditingkatkan melalui sosialisasi dan penyuluhan dalam pengelolaan sampah rumah tangga, termasuk topik peningkatan pengetahuan tentang pentingnya pola 3 R, bank sampah. Mengacu pada pendapatnya Iyer (2001) mengemukakan bahwa di Bangalore India, ada proyek pengelolaan sampah dengan berbasiskan partisipasi masyarakat penghasil sampah rumah tangga. Hasil penelitian menyebutkan bahwa, ibu-ibu mempunyai peranan yang sangat penting dan besar dalam hal mengumpulan sampah, pewadahan, pemilahan. Para wanita di India, ikut terlibat dan berpartisipasi dalam sebuah komite persampahan kota, berperanserta dalam pertemuan-pertemuan dan penyuluhan serta memberikan motivasi kepada masyarakat lain di luar ibu-ibu tersebut. Jumlah wanita yang berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan proyek ini ada sekitar 60 persen. Di India sudah ada kerjasama antara pengelola sampah kota dengan organisasi wanita dan sudah cukup lama sekitar 20 tahun (Saraswati 2007). Kelembagaan dasa wisma, PKK, RT dan RW merupakan lembaga yang sangat potensial sekali dalam hal pengelolaan sampah rumah tangga dan merupakan community based organization. Pada tingkat ini hubungan dengan masyarakat bersifat langsung, berbeda dengan organisasi Kelurahan dan Kecamatan tidak berhubungan langsung dengan masyarakat. Oleh karena itu, karena aspek partisipasi masyarakat dan budaya yang melekat pada masyarakat, dalam pengelolaan sampah green waste , maka peran PKK, dasa wisma, RT, RW perlu lebih ditingkatkan lagi dan perlu mendapat perhatian dari pihak pemerintah. Hasil penelitian tentang program penghijauan di Perumahan Bersole Indah, upaya langkah kecil dalam P2KH yang dilakukan ibu-ibu rumah tangga. Ibu-ibu rumah tangga di Perumahan Bersole Indah, Kelurahan Karangpucung RT 02/ RW 09 Kota Purwokerto, melakukan penghijauan dan penanaman pohon di sepanjang jalan-jalan Perumahan tersebut. Tingkat keberhasilan penghijauan yang dilakukan ibu-ibu tersebut mencapai 95 persen, hal ini terlihat dari pohon-pohon yang semakin membesar dan menghijau semenjak enam bulan penanamannya, memang terdapat beberapa pohon yang mati akan tetapi matinya pohon-pohon tersebut dikarenakan faktorfaktor non-teknis, seperti tertabrak mobil, bukan karena perawatan yang tidak maksimal. Keberhasilan penanaman mencapai sembilan persen itu jelas tidak akan tercapai apabila tidak ada partisipasi aktif komunitas ibu-ibu yang turut merawat serta memelihara pohon-pohon yang sudah ditanam. Itulah salah satu contoh partisipasi ibu-ibu rumah tangga dalam pengelolaan lingkungan hidup di wilayah Kota Purwokerto dalam upaya mendukung tercapainya kota hijau (green city) Purwokerto. Aktor-Aktor Masyarakat Pemanfaat Sampah Mendukung Green Waste Aktor-aktor masyarakat pemanfaat sampah rumah tangga terdiri dari (1) pemulung, (2) nasabah bank sampah, (3) bank sampah, (4) bandar (lapak), (5) pengusaha daur ulang. Peranan masyarakat pemanfaat sampah rumah tangga dalam mereduksi volume sampah yang harus diangkut ke tempat pembuangan akhir sampah (TPA) cukup signifikan. Aktor stakeholders dalam pengelolaan sampah kelompok ini perlu dikaji potensi dan kendala dalam kegiatan
120 pemanfaatan sampah. Informasi yang diperoleh dapat dan akan dijadikan bahan dalam penyusunan model pengelolaan sampah rumah tangga berbasis kearifan lokal yaitu berbentuk pola kerigan mendukung Kota Hijau. Pengolahan sampah rumah tangga ramah lingkungan (green waste), memang memerlukan kesadaraan masyarakat yang tinggi, namun berbagai kendala yang timbul untuk penerapannya antara lain meliputi : a. Pengetahuan atau pemahaman masyarakat mengenai pengelolaan dan pengolahan sampah berkelanjutan dan berwawasan lingkungan masih sangat perlu untuk ditingkatkan lagi. b. Berdasarkan hasil penelitian, memang pada umumnya tidak semua rumah tangga mau melakukan proses pengelolaan sampah rumah tangga, seperti pemilahan, pewadahan dan sebagainya, dengan alasan kesibukan dan waktu yang sangat terbatas. c. Pengelolaan sampah organik, yaitu dengan pengomposan ini memerlukan biaya investasi yang tinggi untuk pengadaan pengomposan tersebut. Di satu sisi hasil yang diperoleh tidak sebanding dengan biaya yang sudah dikeluarkan, karena pemasaran komposnya sangat sulit dipasarkan. d. Pengomposan ini perlu peningkatan keterampilan melalui pelatihanpelatihan kepada masing-masing rumah tangga, serta bimbingan teknis sampai masyarakat atau rumah tangga tersebut dapat mandiri dalam proses pengomposan sampah organik tersebut. e. Keberlanjutan hasil kompos sampah organik, maka perlu dilakukan solusi pemasarannya dan bahan daur ulang dari sampah tersebut. f. Sampah sisa yang tidak dapat dilakukan proses 3 R untuk sampah organik dan an-organik serta tidak dapat di tampung di bank sampah, rongsok, maka perlu di buang ke TPA dengan volume yang sekecil mungkin, sehingga umur TPA semakin panjang. Partisipasi aktor pemulung sebagai pemanfaat sampah rumah tangga. Karakteristik sosial ekonomi aktor pemulung Pemulung beraktifitas sejak mengurangi, memanfaatkan kembali dan mendaur ulang sampah ketika masyarakat, dunia usaha, pemerintah, LSM belum peduli. Aktivitas ini disebut 3 R sampah, dengan konsentrasi sampah non-organik, porsinya 30 persen dari total sampah kota. Oleh karena itu pemulung pantas disebut “pelopor 3 R” sampah, aktivitas ini memberi turunan perlapakan, pencucian dan pencacahan plastik, daur ulang, pabrikan terus berkembang menjadi kekuatan bisnis dan memiliki networking luas di dalam dan luar negeri di bidang persampahan (Sony 2008). Pemulung yang ada di Kota Purwokerto saat ini memang belum ada data yang pasti, hal ini dikarenakan secara administrasi tidak terdaftar atau tidak tercatat warga yang bermata pencaharian sebagai pemulung. Namun demikian, peneliti berusaha menelusuri jumlah pemulung yang ada di Kota Purwokerto dengan mendata dari perusahaan rongsok, pengepul yang menjadi mitra pemulung dan juga dari TPA “Gunung Tugel”. Hasil penelitian, didapat data pemulung di Kota Purwokerto dari tahun 2009 sampai dengan 2013. Terdata tahun 2009 ada 338 orang, tahun 2010 terdata 342 orang, tahun 2011 terdata 339, tahun 2012 terdata 323 orang dan pada tahun 2013 terdata sebanyak 288 pemulung. Data tersebut, menunjukkan
121 terjadi penurunan jumlah pemulung. Hal ini disebabkan karena semakin banyaknya anggota bank sampah dan sampah yang didapat pemulung semakin berkurang, karena masyarakat sudah pada tahu manfaat nilai ekonomi dari sampah tersebut sehingga jumlah sampah yang diperoleh pemulung semakin berkurang, karena harus “bersaing” dengan nasabah bank sampah. Barang yang diperoleh pemulung berkurang sehingga penghasilannya akan semakin berkurang. Hal ini menunjukkan hal yang positif, karena kesadaran terhadap lingkungan dari masyarakat semakin baik. Barang yang diperoleh pemulung paling banyak adalah kertas, kardus, plastik, logam, bekas kemasam makanan dan minuman. Jenis barang ini paling mudah dijual ke lapak. Logam besi yang paling mahal harganya, namun untuk mendapatkannya relative jarang., sedangkan karet sulit sekali di jual. Kaca sangat laris sekali dan harganya cukup tinggi. Harga jual barang sampah yang di dapat di TPA, harganya relative lebih rendah dibandingkan dengan harga barang yang diperoleh di tempat perumahan. Harga barang sampah tidak ada harga standar baku, karena tergantung pada lapak, dan lapak pun tergantung dari perusahaan yang menerima sampah an-organik. Harga ditentukan lapak, berdasarkan perusahaan yang ada di Surabaya atau Jakarta, tempat tujuan sampah yang dikirim. Upaya pihak rongsok/lapak menjalankan usahanya, biasanya berupaya mengikat para pemulung dengan memberikan pinjaman lunak kepadanya. Hal ini dapat dimaklumi, karena bahan baku lapak/pengusaha rongsok pada umumnya dari pemulung, tanpa pemulung maka tidak akan mendapat barang. Pengusaha memahami bahwa pemulung kondisi ekonominya sangat memperihatinkan, sehingga aspek ini yang menjadi perhatian para pengusaha rongsok/lapak sampah. Istilah yang dipakai pemulung adalah “ ijon sampah”. Pembinaan pemulung di TPA “Gunung Tugel” pernah dilakukan oleh LPPM Universitas Terbuka (UT), dengan melakukan kerajinan tangan dari barang bekas (sampah an-organik), akan tetapi tidak bisa berjalan dengan baik. karena adanya kendala dalam pemasaran. Pembinaan pemulung yang lain di Kota Purwokerto sampai saat ini belum ada. Para pemulung lebih menyukai cara kerja secara individual dibandingkan dengan kelompok. Pemulung yang berada di TPA “Gunung Tugel” dan di wilayah kompleks perumahan penduduk padat maupun pemulung yang beroperasi di wilayah pemukiman perdesaan, pada umumnya didominasi pemulung berjenis kelamin laki-laki sebanyak 64 persen, sedangkan pemulung perempuan 36 persen. Umur pemulung ini juga berpengaruh terhadap kekuatan pemulung dalam pengumpulan sampah. Sebagai contoh, pemulung yang masih muda, sangat potensial untuk mendapatkan sampah dalam jumlah banyak, karena kekuatannya, hal ini berbeda dengan pemulung yang sudah “sepuh”. Tingkat keuletan dalam mencari sampah, ternyata pemulung wanita lebih “telaten” (rajin) dibandingkan dengan pemulung laki-laki. Hasil penelitian terhadap 92 pemulung yang “beroperasi” seperti di wilayah perumahan dengan penduduknya rata-rata berstatus sosial ekonomi tinggi, perumahan kelas sosial ekonomi menengah dan perumahan dengan masyarakatnya yang berstatus ekonomi rendah, lokasi non-perumahan, pertokoan, lokasi di wilayah jalan utama, diperoleh data tentang usia pemulung disajikan Tabel 34.
122 Tabel 34 Usia pemulung di Kota Purwokerto No
Usia pemulung (tahun)
1. 2. 3. 4.
Kurang dari 18 Antara 18 sd 49 Antara 50 sd 65 Di atas 65 Jumlah
Frekuensi 3 24 55 10 92
Presentase (%) 3,26 26,09 59,78 10,87 100,00
Sumber: Hasil lapangan 2014 Tabel 34 menunjukkan bahwa pada umumnya usia pemulung didominasi usia produktif dan hanya sebagian kecil saja pemulung berusia “sepuh” atau di atas 65 tahun. Hal ini dapat dimaklumi, karena pekerjaan pemulung lebih menekankan pada aspek tenaga dibandingkan dengan pikiran. Pekerjaan sebagai pemulung tidak menuntut tingkat pendidikan formal, yang tinggi, karena yang penting kuat terhadap bau sampah dan sehat secara fisik. Untuk itu, maka pendidikan formal pemulung dapat disajikan pada Tabel 35. Tabel 35 Pendidikan formal pemulung No
Usia pemulung (tahun)
1.
Tidak Tamat SD
61
66,30
2.
Lulus SD/SR
20
21,74
3.
Lulus SLTP
5
5,43
4.
Lulus SLTA
6
6,52
92
100,00
Jumlah
Frekuensi
Presentase (%)
Sumber: Hasil lapangan 2014 Tabel 35 menunjukkan bahwa pendidikan formal para pemulung, pada umumnya tidak tamat Sekolah Dasar dan hanya sebagian kecil saja yang berpendidikan lulus SLTA. Profesi sebagai pemulung ini memang tidak perlu pendidikan tinggi, pokoknya asal tahan bau. Pemulung di TPA, yaitu Karman, usia 54 tahun (2014) menuturkan sebagaiberikut: “… begini pak, saya menjadi pemulung berbekal kemauan untuk mendapatkan uang, karena orang tua saya tidak mampu secara ekonomi, sehingga saya hanya lulus SD. Pemulung ini tidak perlu pendidikan tinggi-tinggi kok pak, karena tidak digunakan disini. Awalnya saya tidak kuat terhadap bau sampah yang menyengat, mual, mau muntah, jijik. Akan tetapi, lama kelamaan karena sudah terbiasa ya… rasa mual itu sudah tidak ada lagi. Kayaknya Tuhan maha adil, saya walaupun berkecimpung dengan sampah yang menjadi sumber penyakit, alhamdulilaah saya jarang sakit pak. Saya senangnya menjadi pemulung ini, solidaritas sosial dengan sesame pemulung sangat kuat sekali pak. Memang perlu adanya semacam koperasi agar kesejahteraannya bisa meningkat….”.
123 Pekerjaan utama para pemulung di luar profesi sebagai pemulung, ternyata sangat bervariasi, ada yang bekerja sebagai wiraswasta, petani, buruh dan sebagainya. Rustam, usia 56 tahun mengemukakan (2014) sebagaiberikut: “… kulo (saya) mempunyai pekerjaan lain diluar pemulung, sebagai buruh bangunan, tapi tidak setiap hari menjadi buruh, karena tergantung adanya yang membawa, yaitu mandor. Kalau hasil sebagai buruh bisa Rp. 30.000,00 per hari ditambah makan satu kali. Penghasilan cukup bagi kami, hanya saja tidak setiap saat, kalau proyek habis dan belum ada yang ngajak, maka saya bekerja sebagai pemulung di komplek pertokoan, dengan jam operasi pada malam hari, lumayan hasilnya bisa Rp. 20.000,00 sd Rp. 25.000,00 setipa malam, tergantung cuaca dan milik kok pak.., pokoknya kalau pemulung itu bebas tidak ada yang mengatur…”. Pekerjaan selain sebagai pemulung atau pekerjaan sampingan di luar profesi sebagai pemulung, maka dapat dilihat Tabel 36. Tabel 36 Pekerjaan pemulung (di luar profesi pemulung) No 1. 2. 3. 4.
Pekerjaan Selain Pemulung
Pensiunan Wiraswasta Petani Buruh Jumlah Sumber: Hasil lapangan 2014
Frekuensi 2 5 52 33 92
Presentase (%) 2,17 5,43 56,52 35,88 100,00
Tabel 36 menunjukkan bahwa pada umumnya pemulung mempunyai pekerjaan sampingan, sebagian besar sebagai petani dan yang menjadi buruh bangunan serta asisten rumah tangga (pembantu, pencuci pakaian) bahkan sebagian kecil sebagai pensiunan.Seorang pemulung berstatus sebagai pensiunan, yaitu Yatno, usia 63 tahun (2014) mengemukakan pandangannya sebagaiberikut: “… begini pak, saya menekuni sebagai pemulung di wilayah Perumahan Berkoh ini sudah 4 tahun jalan. Awalnya hanya mengisi waktu luang saja, karena kalau bengong saja nanti cepat sakit-sakitan, tapi setelah menjalani sebagai pemulung, ternyata asyik juga pak. Maksud saya disamping hasilnya cukup untuk menambah biaya hidup, juga banyak pengalaman yang bisa saya petik.Sebetulnya gaji pensiunan saya….ya dibilang cukup, ya cukup, tapi dibilang kurang ya …. bisa juga. Isteri saya tidak bekerja, anak saya 5 orang, dan 4 orang sudah berkeluarga dan mandiri, hanya satu orang yang masih menjadi tanggungan saya, karena dia itu sakit-sakitan, sehingga saya harus mencari tambahan penghasilan agar bisa menutup untuk memenuhi pengeluaran tersebut. …”. Lamanya menjadi pemulung memang bervariasi, paling lama 17 tahun dan beroperasi tetap di wilayah TPA. Pemulung yang paling banyak beroperasi antara 3 tahun sampai 17 tahun. Pemulung di komplek perumahan, ada yang sudah menekuni selama 10 tahun, dan sekarang ini menggunakan sepeda untuk operasionalnya, membeli koran bekas, kardus, kertas bekas kantor.
124 Lamanya pemulung beroperasi bekerja sebagai pemulung di Wilayah Kota Purwokerto, dapat dilihat pada Tabel 37. Tabel 37 Lama bekerja sebagai pemulung No
Lama Bekerja sebagai Pemulung
1. 2. 3. 4.
Kurang dari 12 bulan Antara 12 bulan sd 24 bulan Di atas 24 bulan sampai 36 bulan Antara 36 bulan sd 204 bulan (17 tahun) Jumlah
Frekuensi 3 12 19 58 92
Presentase (%) 3,24 13,04 20,65 63,07 100,00
Sumber: Hasil lapangan 2014 Tabel 37 menunjukkan bahwa lama menjalani sebagai pemulung paling lama adalah 17 tahun bekerja sebagai pemulung, sedangkan yang paling sebentar adalah pemulung bekerja baru 9 bulan. Pengalaman menjadi pemulung, antara yang lama dengan yang baru dilihat dari kondisi ekonominya tidak jauh berbeda dan tidak berpengaruh secara signifikan. Adapun mengenai jam operasional pemulung bekerja sehari-hari dalam rangka mencari sampah, maka dapat disajikan pada Tabel 38. Tabel 38 Jam kerja pemulung di kota Purwokerto No
Jam Kerja sebagai Pemulung
1.
Malam Hari setelah Isha (20.00 sd 23.00)
2.
Frekuensi
Presentase (%)
7
7,61
Pagi hari sekitar Jam 5.00 sd 7.00
16
17,39
3.
Pagi Hari sekitar Jam 6.00 sd 9.00
24
26,09
4.
Siang Hari sekitar Jam 9.00 sd 12.00
45
48,91
Jumlah
92
100,00
Sumber: Hasil lapangan 2014 Tabel 38 tentang jam kerja para pemulung, ternyata yang paling banyak beroperasi pada siang hari jam 9.00 sd 12.00 ada sebanyak 48,91 persen , dan yang beroperasi pagi hari yaitu jam 6.00 sd 9.00 ada 26,09 persen, dan yang beroperasi mulai jam 5.00 sampai jam 7.00 pagi ada 17,39 persen , pemulung yang beroperasi pada malam hari setelah sholat Isha, yaitu antara jam 2.00 sd 23.00 ada sebanyak 7,61 persen. Responden Maman, umur 49 tahun (2014), megemukakan tentang jam operasional sebagai berikut: “… saya berangkat operasi pada malam hari setelah sholat Isha, daerah operasi saya adalah di wilayah pertokoan. Saya memilih malah hari, karena daerah pertokoan biasanya membuang sampah an-organik pada malam hari selepas jam operasional took tutup. Operasi saya sampai sekitar jam 23.00 malam, pada saat itu banyak penyapu di jalan sekitar pertokoan. Mereka membersihkan jalan atau menyapu. Pemulung yang beroperasi pada malam hari cukup banyak, barang-
125 barang masih banyak. Pernah suatu ketika saya menemukan kalung emas senilai 8 gram di tong sampah, dan karena nemu saya jual, walau harga di bawah pasaran. Kalau operasi malam, ketika ada “preman” penguasa wilayah tersebut, maka saya selalu ngasih uang rokok sebagai “ijin operasional. Penghasilan sampah lebih banyak apabila operasi malam hari. Hal ini berbeda apabila operasi di wilayah perumahan, biasanya dilakukan pagi hari sekitar jam 5.00, itupun biasanya kami “dicurigai”, karena masuk kompleks perumahan, dimana petugas ronda masih ada, akan tetapi kalau sudah kenal, yah….mereka tidak mempermasalahkan. Itulah suka dukanya operasi pada malam dan subuh…”. Partisipasi Aktor Pemulung dalam Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Pengelolaan sampah menjadi tanggungjawab dari berbagai pihak, yaitu masyarakat, pemulung, pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), pengusaha persampahan, akademisi. Jalan keluar dari lingkaran masalah sampah selayaknya harus dimulai dari sudut pandang atau paradigma dan cara masyarakat memandang masalah sampah ini. Selama ini, masyarakat sudah terbiasa memandang dan menganggap bahwa sampah merupakan benda yang tidak berguna, bau, kotor dan cost oriented. Pandangan atau paradigma seperti ini perlu diubah, dimana sampah merupakan barang yang bernilai ekonomi dan bisa mendatangkan uang. Selama ini yang menganggap sampah bernilai ekonomi itu hanyalah para pemulung dan tukang rongsok saja. Saat ini, sudah selayaknya paradigma yang demikian dirubah, sehingga semua masyarakat mempunyai pandangan bahwa sampah mempunyai nilai ekonomi, sehingga keberadaannya perlu dikelola dengan baik agar tidak mencemari lingkungan. Perlu peranserta atau partisipasi dari semua pihak dalam pengelolaan sampah, khususnya sampah rumah tangga. Identik pengelolaan sampah rumah tangga adalah ibu rumah tangga, atau pembantu. Oleh karena itu perlu kiranya adanya penyadaran kepada pengelola sampah tersebut. Berikut ini jenis sampah yang sering diperoleh pemulung sebagai mana tercantum pada Tabel 39. Tabel 39 Jenis sampah yang sering diperoleh pemulung No
Jenis sampah
1. 2. 3. 4.
Kertas, plastic Logam Kertas, plastik, logam, kaca Kertas, plastik, logam, kaca, karet, botol, kain Jumlah
Frekuensi 24 3 61 4 92
Presentase (%) 26,09 3,26 66,30 4,35 100,00
Sumber: Hasil lapangan 2014 Tabel 39 menunjukkan bahwa umumnya pemulung itu memperoleh jenis sampah berupa kertas, plastik, logam dan kaca dan hanya sebagian kecil saja yang memperoleh berupa kertas, plastik, logam, karet, kaca, botol dan kain. Sampah yang harganya cukup tinggi adalah logam dan kaca, akan tetapi untuk mendapatkannya relatif cukup sulit, sedangkan barang yang umum di peroleh di
126 daerah operasi adalah kertas, plastik dan botol. Kertas berminyak, stereoform, jenis tersebut tidak laku karena tidak dapat didaur ulang (recycle). Perilaku pemulung dalam pemilahan sampah rumah tangga, maka tidak semua pemulung berperilaku baik, ada yang asal ambil dan berserakan sampahnya dibiarkan.Untuk lebih jelasnya tentang perilaku pemulung dalam pemilihan sampah rumah tangga, maka dapat dilihat pada Tabel 40. Tabel 40 Perilaku pemulung dalam pemilihan sampah rumah tangga No
Perilaku pemulung dalam pemilihan sampah
Frekuensi
Presentase (%)
1.
Dipilih dari tempat sampah, tanpa menata kembali
59
64,13
2.
Dipilih dari tempat sampah, kadang ditata kembali
16
17,39
3.
Dipilih dari tempat sampah, selalu ditata kembali
7
7,61
4.
Dipilih dari tempat sampah, selalu ditata kembali,
10
10,87
92
100,00
dibersihkan di sekitar tempat sampah tersebut. Jumlah
Sumber: Hasil lapangan 2014 Tabel 40 menunjukkan bahwa perilaku para pemulung dalam pemilihan sampah rumah tangga, umumnya sampah yang ada di wadah sampah dipilih tanpa menata kembali, jadi berserakan begitu saja. Sedangkan para pemulung yang memilih di tempat sampah, dan selalu ditata kembali dan tempat sekitarnya dibersihkan sebagian kecil saja dan mereka yang memilih sampah lalu mereka selalu menata kembali akan tetapi disekitarnya tidak dibersihkan ada 7,61 persen. Sampah yang di dapat pemulung, setiap hari berbeda beda volumenya, tergantung cuaca dan keadaan. Banyaknya sampah yang disetor ke pengepul atau rongsok tiap harinya, dapat dilihat pada Tabel 41. Tabel 41 Banyaknya sampah yang disetor pemulung ke lapak/pengepul. No
Banyaknya sampah yg disetor Pemulung (kg)
1. 2. 3. 4.
1 sd 3 4 sd 6 7 sd 9 10 lebih Jumlah
Frekuensi 13 23 23 33 92
Presentase (%) 14,13 25,00 25,00 35,87 100,00
Sumber: Hasil lapangan 2014 Tabel 41 menunjukkan bahwa, pada umumnya pemulung menyetor sampah ke pengepul/lapak setiap kali setor sebanyak 10 kilogram lebih, bahkan ada yang sampai 25 kg setiap kali setor ke lapak/pengepul dan hanya sedikit saja pemulung yang menyetor sampah ke pengepul/lapak 1 sampai 3 kg.
127 Banyaknya sampah yang diperoleh pemulung dari lokasi pengambilan sampah, itu tergantung di wilayah mana pemulung beroperasi, misalnya pemulung yang biasa beroperasi di wilayah pertokoan, perumahan elit, perumahan yang padat penduduknya, tentu saja akan berbeda hasil sampah yang diperoleh dibandingkan apabila pemulung beroperasi di wilayah pemukiman pedesaan dan yang jumlah penduduknya relative tidak padat. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian (Dewi 2008) yang menyebutkan bahwa volume sampah memiliki nilai sebanding dengan sifat konsumsi sehari-hari masyarakat. Jenis sampah yang dihasilkan sangat tergantung pada jenis material yang dikonsumsi. Peningkatan jumlah penduduk dan gaya hidup masyarakat akan sangat berpengaruh terhadap volume sampah beserta komposisinya. Jumlah sampah yang diperoleh pemulung menunjukkan besarnya pendapatan yang diperoleh pemulung. Semakin banyak jumlah sampah anorganik yang di peroleh, maka semakin banyak uang yang didapatnya. Hasil penelitian menunjukkan tentang pendapatan pemulung sebagaimana tercantum pada Tabel 42. Tabel 42 Pendapatan rata-rata pemulung setiap kali setor ke lapak/tengkulak No
Pendapatan rata-rata pemulung setiap setor lapak
Frekuensi
1. 2. 3. 4.
Kurang dari Rp. 10.000,00 Antara Rp. 10.000,00 sampai kurang Rp. 20.000,00 Antara Rp. 20,000,00 sampai kurang Rp. 30.000,00 Antara Rp. 30.000,00 sampai dengan Rp. 70.000,00 Jumlah
3 19 35 35 92
Presentase (%) 3,26 20,65 38,04 38,04 100,00
Sumber: Hasil lapangan 2014 Tabel 42 menunjukkan bahwa umumnya pendapatan pemulung rata-rata setiap kali setor ke pengepul/lapak sebesar antara Rp. 30.000,00 sampai dengan Rp. 70.000,00 dan hanya sebagian kecil saja yang berpendapatan rata-rata kurang dari Rp. 10.000,00 tiap kali setor ke pengepul atau lapak. Frekuensi pemulung menyetorkan sampah ke lapak/pengepul/pengusaha rongsok, dapat dilihat pada tabel 43. Tabel 43 Frekuensi pemulung menyetorkan sampah ke lapak/pengepul/rongsok No
Frekuensi setor sampah ke lapak/pengepul
1. 2. 3. 4.
Satu minggu 1 kali Satu minggu 2 kali Satu minggu 3 kali Satu minggu 4 kali sampai 6 kali Jumlah
Frekuensi 12 16 35 29 92
Presentase (%) 13,04 17,39 38,04 31,52 100,00
Sumber: Hasil lapangan 2014 Tabel 43 menunjukkan bahwa para pemulung itu menyetor hasil perolehan sampahnya ke lapak atau pengepul pada umumnya dalam satu minggu 3 kali setor dan sebagian kecil pemulung hanya 2 kali setor sampah
128 dalam satu minggu dan yang paling sedikit adalah para pemulung yang setor sampahnya satu kali dalam satu minggu. Pemulung menyetorkan perolehan sampah ke lapak/ pengepul/rongsok umumnya satu minggu tiga kali. Pemulung tidak ada yang setor ke Bank Sampah. Alasan pemulung, karena tidak menjadi anggota Bank Sampah. Mereka berpendapat disamping tidak tahu adanya bank sampah dan fungsinya, juga kebutuhan mereka untuk keperluan sehari hari.Apabila semua barang hasil perolehan (sampah) di setorkan ke bank sampah, maka mereka kehilangan penghasilan untuk kehidupan sehari-hari, karena uangnya di tabung di bank sampah. Selain itu juga sebagian pemulung mempunyai pinjaman uang dari pengepul/ pengusaha rongsok/lapak, sehingga dia diharuskan setor sampah setiap hari untuk mencicil uang pinjaman tersebut (semacam sistem “ijon” sampah). Sistem ijon ini dilakukan pengusaha rongsok/lapak dengan maksud agar adanya keterikatan antara pemulung dengan lapak, karena keberadaan pemulung bagi lapak merupakan “asset” yang sangat penting sekali. Semakin banyak pemulung yang “terjerat” sistem ijon sampah, maka semakin banyak sampah yang diperoleh pengusaha lapak tersebut. Perolehan pemulung dari hasil pengumpulan sampah an-organik, digunakan bermacam- macam, seperti keperluan sehari-hari membeli sembako (sembilan bahan makanan pokok), untuk jajan sekolah dan biaya beli peralatan sekolah anaknya untuk membeli “lawuh” dan ada juga untuk mencicil hutang dan lain sebagainya. Peruntukkan hasil penjualan sampah dapat disajikan Tabel 44. Tabel 44 Peruntukkan hasil penjualan sampah bagi pemulung No
Peruntukan hasil penjualan sampah
Frekuensi
Presentase (%)
1.
Makan sehari-hari
17
18,48
2.
Tambahan beli sembako
55
59,78
3.
Biaya sekolah anak
3
3,26
4.
Biaya sehari-hari, dan sebagian (30%) di tabung
17
18,48
Jumlah
92
100,00
Sumber: Hasil lapangan 2014 Tabel 44 menunjukkan bahwa hasil dari penjualan sampah dari pemulung pada umumnya diperuntukkan untuk membeli tambahan sembako dan untuk pemenuhan biaya sehari hari sedangkan yang ditabung ada sebagian kecil. Hal ini menunjukkan bahwa, sampah merupakan hasil utama bagi para pemulung untuk kehidupan sehari-hari. Keberadaan dasa wisma sebagai komunitas peduli akan sampah di beberapa wilayah di Kota Purwokerto, menjadikan berkurangnya hasil sampah yang diperoleh pemulung. Hal ini dikarenakan, dasa wisma tersebut menampung sampah an-organik lalu disetorkan ke Bank Sampah Arcawinangun untuk dijual dan hasilnya diberikan kepada anggota dasa wisma penyetor sampah. Namun demikian keberadaan dasa wisma tersebut tidak semua pemulung merasa “tersaingi” dalam pengumpulan sampah rumah tangga. Pendapat pemulung tentang keberadaan dasa wisma pengelola sampah, tercantum pada Tabel 45.
129 Tabel 45 Pendapat pemulung keberadaan dasa wisma pengelola sampah No
Pendapat terhadap dasa wisma pengelola sampah
Frekuensi
1. 2. 3. 4.
Tidak Tahu (tidak berpendapat) Tidak masalah, biasa saja, rejeki di tangan Alloh Mengurangi Pendapatan Pemulung Harus bekerja lebih aktif lagi dan memperluas daerah operasi Jumlah
17 29 45 1
Presentase (%) 18,48 31,52 48,91 1,09
92
100,00
Sumber: Hasil lapangan 2014 Partisipasi Aktor Masyarakat Anggota Bank Sampah (green community) Paradigma tentang “pilah sampah sejak di rumah tangga”, merupakan semboyan yang disosialisasikan Bank Sampah PAS Arcawinangun. Hendri (2014), koordinator bank sampah dan ketua green community serta penggagas berdirinya bank sampah tersebut, menyerukan “gerakan sampah” tentang memilah, menabung. Penelitian terhadap 192 aktor nasabah bank sampah , terbagi atas nasabah pada dua bank sampah yaitu Bank Sampah “Arcawinangun” PAS dan Bank Sampah “Mandiri” Berkoh. Partisipasi nasabah bank sampah dalam pengelolaan sampah rumah tangga, dapat dilihat pada Tabel 46. Tabel 46 Partisipasi nasabah bank sampah No
Partisipasi nasabah dalam pengelolaan sampah
1.
Aktif menabung sampah dan memberikan masukan ke Bank Sampah dalam Pengelolaan Sampah Aktif mengumpulkan dan menabung sampah Kadang-kadang saja mengumpulkan sampah Tidak pernah mengumpulkan sampah, akan tetapi diserahkan kepada Pembantu/PRT Jumlah
2. 3. 4.
Frekuensi 27
Presentase (%) 15,22
81 32 55
41,30 16,59 26,89
195
100,00
Sumber: Hasil lapangan 2014 Tabel 46 menunjukkan bahwa umumnya nasabah bank sampah aktif mengumpulkan dan menabung sampah an-organik, sebagian kecil tidak aktif mengumpulkan sampah secara rutin. Tiap nasabah bank sampah, menyetor sampahnya berbeda beda, hal itu tergantung dari sampah yang dihasilkan dari rumah tangga. Sampah yang terkumpul juga, tergantung kepada kondisi sosial ekonomi dan pola hidup. Semakin tinggi tingkat sosial ekonomi masyarakat, maka semakin konsumtif serta semakin banyak jumlah anggota dalam keluarga tersebut, maka sampah yang dihasilkan banyak. Tabel 47 menunjukkan banyaknya sampah yang disetor ke bank sampah oleh tiap-tiap angggota bank sampah.
130 Tabel 47 Banyaknya sampah yang disetor nasabah ke bank sampah. No
Banyaknya sampah yg disetor Nasabah (kg)
1. 2. 3. 4.
1 sd 3 4 sd 6 7 sd 9 10 lebih Jumlah
Frekuensi 57 104 28 6 195
Presentase (%) 29,23 53,33 14,36 3,08 100,00
Sumber: Hasil lapangan 2014 Tabel 47 menunjukkan bahwa nasabah Bank Sampah Arcawinangun PAS dan Bank Sampah Berkoh, pada umumnya mereka itu menyetor sampah ke bank sampah PAS adalah 4 - 6 kg setiap setor sampah ke bank sampah dan hanya sebagian kecil saja yang setor 10 kg lebih setiap setor. Nasabah bank sampah yang rajin memilah sampah biasanya dilakukan asisten rumah tangga, sedangkan masyarakat ekonomi rendah, cenderung sampah yang disetor sedikit. Tabel 48 menunjukkan tentang rata-rata nasabah melakukan transaksi. Tabel 48 Rata-rata nasabah bank sampah setiap nabung di bank sampah No
Rata-rata nasabah setiap nabung di Bank sampah
Frekuensi
Presentase (%)
1.
Kurang dari Rp. 10.000,00
50
25,64
2.
Antara Rp. 10.000,00 sampai kurang Rp. 20.000,00
108
55,38
3.
Antara Rp. 20,000,00 sampai kurang Rp. 30.000,00
31
15,90
4.
Antara Rp. 30.000,00 sampai dengan Rp. 70.000,00
6
3,08
195
100,00
Jumlah
Sumber: Hasil lapangan 2014 Tabel 48 menunjukkan bahwa nasabah rata-rata nabung di bank sampah dari hasil penjualan sampah umumnya antara Rp. 10.000,00 - Rp. 20.000,00 dan sebagian kecil antara Rp. 30.000,00 - Rp. 70.000,00 setiap kali setor. Tabel 49 menunjukkan frekuensi setor sampah ke bank sampah. Tabel 49 Frekuensi nasabah setor sampah ke bank sampah No
Frekuensi nasabah setor ke bank sampah
1.
Satu minggu 1 kali
149
76,41
2.
Satu minggu 2 kali
34
17,44
3.
Satu minggu 3 kali
7
3,59
4.
Satu minggu 4 kali sampai 6 kali
5
2,56
195
100,00
Jumlah
Sumber: Hasil Lapangan 2014
Frekuensi
Presentase (%)
131 Tabel 49 menunjukkan bahwa sebagian besar nasabah bank sampah menyetor satu minggu satu kali dan sebagian kecil menyetor sampah dalam satu minggu antara 4 - 6 kali. Bagi nasabah yang menyetor sampah satu kali dalam satu minggu, pada umumnya mereka itu mempunyai pembantu dan dikumpulkan dulu sampah an-organiknya, lalu baru disetorkan ke bank sampah, ada yang melalui dasa wisma RT, komunitas peduli akan Sampah atau langsung diambil petugas dari bank sampah. Hasil tabungan di bank sampah, peruntukkannya disimpan ditabung dan diambil satu tahun sekali digunakan untuk tambahan biaya mudik pulang kampung. Seorang petugas toko mini market “Alfa Mart”, Kirman, usia 37 tahun (2014) mengemukakan tentang hasil tabungan bank sampah sebagaiberikut: “ …. begini pak, saya ditugaskan manajer mini market untuk mengurus sampahsampah dari mini market seperti kardus, kertas, kaleng, plastik untuk dikumpulkan lalu disetorkan ke bank sampah. Kalau dulu barang-barang berupa sampah tersebut saya buang, akan tetapi dengan adanya bank sampah dan adanya penjelasan dari bank sampah tersebut, akhirnya manajer menyuruh saya menjadi anggota nasabah bank sampah, atas nama mini market. Alhamdulillah hasilnya setiap tiga bulan bisa untuk insentif karyawan mini market ini, memang karyawannya hanya 6 orang, lumayan pak untuk tambahan. Hal ini menjadikan kami tambah semangat lagi dalam bekerja…”. Peruntukkan hasil tabungan dari sampah an-organik yang dilakukan para nasabah bank sampah sebagian besar untuk tabungan saja, untuk tambahan biaya mudik lebaran dan tambahan beli sembako bahkan untuk bayar PLN, PDAM tercantum dalam Tabel 50. Tabel 50 Peruntukkan hasil tabungan sampah No
Peruntukkan tabungan nasabah bank sampah
Frekuensi
Presentase (%)
1.
Disimpan Untuk Tabungan saja
94
48,21
2.
Tambahan beli Sembako
34
17,44
3.
Bayar PLN, PDAM
24
12,31
4.
Untuk Tambahan Biaya Mudik Hari Raya Idul Fitri
43
22,05
Jumlah
92
100,00
Sumber: Hasil lapangan 2014 Partiisipasi Aktor Masyarakat Pemerhati Lingkungan/ LSM Lingkungan Sampel aktor LSM pemerhati lingkungan sebanyak dua (LP3SD dan LPPSLH). Kegiatan LSM dibidang persampahan sebagian besar berupa penyuluhan tentang pengelolaan sampah, sosialisasi tentang pola 3 R, sosialisasi tentang pentingnya pola kerigan dalam pengelolaan lingkungan, melakukan pelatihan pembuatan kompos dan pelatihan manajemen pengelolaan bank sampah. Kendala kegiatan ini adalah keterbatasan fasilitas dan dana serta respon masyarakat yang belum banyak mendukung.
132 LSM pada umumnya berpendapat bahwa merubah sikap dan perilaku masyarakat pengelolaan sampah memerlukan waktu yang lama dan perlu adanya pemahaman dan kesadaran serta persepsi yang baik dari masyarakat tentang pentingnya pengelolaan sampah rumah tangga, bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan sekitar. Pandangan masyarakat yang masih berpandangan bahwa sampah adalah barang buangan yang harus diganti dan dibuang, harus dirubah pelan-pelan dengan pandangan bahwa sampah mempunya nilai guna dan nilai ekonomi. Perubahan pemahaman ini akan terjadi apabila masyarakat sudah memahami dan mau melakukan system pengumpulan, pewadahan, pemilahan tentang sampah dan pada akhirnya mau melakukan pola 3 R. Reduce adalah mengurangi jumlah sampah, reuse menggunakan kembali benda yang masih bisa digunakan kembali dan recycle berupa mengubah sampah menjadi benda berguna dan dapat digunakan kembali. Permasalahan utama dalam pengelolaan sampah rumah tangga adalah pola 3 R merupakan sesuatu yang baru. Sampai saat ini belum ada perangkat hukum yang mengatur penghargaan bagi yang melakukan dan hukuman bagi yang tidak melakukan.. Kondisi semacam ini menyebabkan sumber penghasil sampah pada umumnya kurang tertarik untuk melakukan pemilahan sampah antara sampah organik dan sampah non-organik dalam pembuangan sampah rumah tangga, Untuk LSM pemerhati lingkungan, pada umumnya berpendapat bahwa mewujudkan kegiatan pengelolaan sampah dengan pola 3 R membutuhkan waktu yang cukup lama. Selanjutnya untuk mempercepat pelaksanaan program 3 R tersebut, maka perlu adanya keselarasan antara masyarakat penghasil sampah, pengelola sampah dan LSM atau bank sampah. Tokoh masyarakat misalnya budayawan, akademisi, kiyai, tokoh agama Kristen, lurah, ketua dasa wisma, posyandu dll, selama ini hanya berperan sebagai corong atau penyambung lidah dari pemerintah saja ketika pemerintah akan melaksanakan kegiatan terkait pengelolaan sampah, untuk itu perlu adanya ekoliterasi dan ekososial serta adanya ruang-ruang partisipasi masyarakat. . Simpulan Permasalahan utama dalam pengelolaan sampah rumah tangga adalah pola 3 R merupakan sesuatu yang baru. Sampai saat ini belum ada perangkat hukum yang mengatur penghargaan (reward) bagi yang melakukan dan hukuman (funishment) bagi yang tidak melakukan pola 3 R tersebut. Selain itu sistem pengelolaan sampah yang dilakukan Dinas Kebersihan Cipta Karya Kebersihan dan Tata Ruang (DCKKTR) belum mendukung program 3R. Adapun lembaga yang sudah mendukung program 3 R adalah, LSM Pemerhati lingkungan dan bank sampah (komunitas hijau). Untuk pemulung, memang merupakan “laskar” pelopor 3R, akan tetapi masih banyak (64,13 persen) berperilaku belum mendukung program 3 R. Partisipasi warga sebagai sumber penghasil sampah, dalam pengelolaan sampah rumah tangga ternyata baru 40,71 persen yang sudah ikut berpartisipasi. Kondisi ini menyebabkan sumber penghasil sampah pada umumnya kurang tertarik untuk melakukan pemilahan sampah antara sampah organik dan sampah non-organik dalam pembuangan sampah rumah tangga, LSM umumnya berpendapat bahwa mewujudkan pengelolaan sampah dengan pola 3 R membutuhkan waktu yang cukup lama, untuk mempercepat pelaksanaan program itu, maka perlu adanya keselarasan
133 antara masyarakat penghasil msampah, pengelola sampah dan LSM pemerhati lingkungan atau bank sampah. Pemerhati lingkungan yang lain, yaitu para pakar lingkungan, akademisi dan perencana kota sebagai aktor pengelolaan persampahan di Kota Purwokerto sangat berperan dalam proses perencanaan persampahan. Peran tersebut yaitu sebagai pihak menudukung kegiatan atau program seperti program pengembangan kota hijau (P2KH) termasuk pengelolaan sampah rumah tangga menuju green waste di Kota Purwokerto. Aktor dominan yang dapat menggerakkan elemen masyarakat dalam green waste lintas rumah tangga, adalah aktor bank sampah, green community yang sangat berkomitmen terhadap sampah serta yang paling dominan adalah aktor masyarakat peduli akan sampah (PAS). Aktor pemerintah, sifatnya hanya mendukung dan tidak dominan bisa menggerakkan elemen masyarakat karena keterbatasan waktu dari aparat birokrasi tersebut. Berdasarkan uraian peran setakeholders, maka dapat disimpulkan bahwa partisipasi aktor stakeholders dalam pengelolaan sampah rumah tangga di Kota Purwokerto masih bersifat normative saja, memang ada sebagian kecil yang sudah bersifat aktif, akan tetapi jumlahnya relatif sedikit. Oleh karena itu, dalam peningkatan partisipasi masyarakat, maka perlu adanya upaya penyadaran dengan melakukan pemberdayaan masyarakat. Hal tersebut dikenal dengan istilah “model generik”, perlu ada ruang partisipasi dalam upaya menyadarkan masyarakat terhadap pengelolaan sampah rumah tangga. Model generik ini merupakan rekoreksi terhadap kebijakan yang ada dan ini membanggakan masyarakat sehingga merasa tidak equal. Aktor masyarakat peduli akan sampah dan green community dalam upaya menggerakkan elemen masyarakat menuju green community perlu kiranya dilakukan pendekatan dengan metode kegamaan bekerjasama dengan tokoh agama masing-masing. Selain itu juga pendekatan sosial dengan membayangkan keberadaan TPA di wilayah masyarakat tersebut dengan bebrbagai dampak yang terjadi. Hal ini bias menjadikan timbulnya solidaritas mekanik di kalangan masyarakat tersebut. Pendekatan lain yang juga sangat penting, adalah ekoliterasi yaitu pemberdayaan masyarakat dengan menumbuh kembangkan kesadaran terhadap lingkungan sekitar masyarakat tersebut sesuai budaya, agama yang ada di masyarakat tersebut. Ekoliterasi ini dilakukan dengan aktivitas ekodesain sebagai upaya pemberdayaan masyarakat. Kegiatan ini bekerjasama dengan stakeholders terkait dan yang berkomitmen mendukung perubahan paradigma dalam pengelolaan sampah green waste lintas rumah tangga. Aktor pengusaha rongsok dan pemulung juga mempunyai peranan cukup penting dalam mendukung kota hijau, akan tetapi kedua aktor tersebut bukan merupakan aktor dominan penggerak masyarakat dalam pengelolaan sampah. Namun mereka berperan sebagai pemanfaat sampah saja. Pemulung ini dikenal dengan istilah “laskar 3 R”, sedangkan pada era tahun 1980-an, pemulung dikenal dengan istilah “laskar mandiri”. Oleh karena itu keberadaan pemulung dan pengusaha rongeok tersebut sangat diperlukan dalam pemanfaatan sampah an-organik mendukung terwujudnya kota hijau. Untuk sampah organik, dalam rangka menuju zero waste, maka perlu direncanakan kegiatan urban farming. Ini dalam rangka revitalisasi ruang terbuka hijau, yaitu berupa taman dinding, taman atap dan taman vertikal, sebagaimana telah dilaksanakan di Kota Jakarta.
134
6. TRANSFORMASI GREEN COMMUNITY BERBASIS “PROYEK” MENUJU GREEN COMMUNITY BERBASIS “KOMUNITAS” DALAM PARTISIPASI GREEN WASTE UPAYA MEWUJUDKAN KOTA HIJAU
Pendahuluan Permasalahan Kota Purwokerto adalah permasalahan yang kompleks yang tidak bisa ditangani secara parsial yang sekedar berbasis proyek, tetapi harus secara komprehensif melalui perencanaan yang matang dengan visi yang menjangkau jauh ke depan secara berkesinambungan atau sustainable. Penanganan permasalahan perkotaan secara berkelanjutan dan terpadu antara masyarakat, pemerintah, pemerhati lingkungan dan stakeholder terkait. Kota hijau (green city) dibentuk oleh Kementerian Pekerjaan Umum, dan dituangkan dalam Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH). P2KH ini terdiri dari delapan indikator, salah satu indikatornya adalah pengelolaan sampah pola 3 R (green waste) dan ini berhubungan dengan partisipasi elemen masyarakat menuju green community. Permasalahan pengelolaan sampah sebenarnya bukan masalah teknologi saja, akan tetapi implementasi dari teknologi itu sendiri, yaitu menyangkut aspek sosial yang dapat menyebabkan masalah sosial. Problem sosial yang muncul dalam bentuk (a) rendahnya kesadaran kolektif masyarakat terhadap pengelolaan sampah. Problem sosial tersebut muncul lebih karena (b) rendahnya upaya pelibatan masyarakat dan (c) proses internalisasi sejak awal dikembangkan suatu program. Kajian aspek sosial yang berkaitan dengan upaya menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah, perlu segera dilakukan. Atas dasar inilah, menjadi dasar munculnya kesadaran perilaku dan kesadaran masyarakat pada tingkat tertentu dapat dirubah untuk tujuan perubahan (Saribanon 2007). Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah harus terus menerus ditingkatkan, sebab tanpa melibatkan partisipasi masyarakat, pengelolaan sampah akan terus membebani pemerintah dan tekanan terhadap lingkungan akan semakin bertambah. Untuk itu, perlu dicari pendekatan yang efektif dalam melibatkan masyarakat, juga memberikan pemahaman bahwa sebenarnya sampah merupakan sumberdaya yang dapat memberikan nilai ekonomi. Kholil (2005) mengemukakan bahwa sebagian besar model pengelolaan sampah perkotaan di Indonesia hanya menekankan pada aspek lingkungan dan ekonomi saja, padahal dalam sistem terpadu, partisipasi masyarakat merupakan faktor kunci berjalannya sistem tersebut. Perubahan paradigma pengelolaan sampah rumah tangga dari paradigma lama yaitu “end of pipe” menjadi paradigma baru dalam penanganan sampah yang diarahkan ke pengurangan di sumber sampah menuju nir limbah, zero waste atau green waste. Dalam bab ini dibahas bagaimana transformasi dari green community pada awal terbentuknya berdasarkan proyek P2KH yang dibentuk pemerintah daaerah sehingga sifatnya berbasis proyek semata dan top down. Namun dalam perjalanan waktu dan dalam perkembangannya menjadi berbasis sosiologis. Partisipasi green community berbasis sosiologi ini, dalam arti berbasis komunal, kesinambungannya (sustainability) akan lebih terjaga dibandingkan dengan
135 keberadaan green community berdasarkan proyek. Bab ini juga membahas tentang partisipasi green community sebagai aktor peduli terhadap lingkungan, dalam pengelolaan sampah rumah tangga green waste berbasis kearifan lokal dalam bentuk pola kerigan upaya mendukung terwujudnya kota hijau. Pembahasan Strategi Kota Purwokerto menuju Kota Hijau (Green City) Kota Purwokerto beberapa tahun terakhir mulai berbenah dan kini telah mengalami banyak perubahan, khususnya dari sisi tata kota. Salah satu yang nampak adalah penambahan ruang terbuka hijau (RTH), serta fasilitas pendukung kota yang nyaman, kota pendidikan, kota berlibur (city of holiday). RTH terus diperluas, yang awalnya sekitar Sembilan persen dari total wilayah perkotaan, kini bertambah dengan revitalisasi alun-alun Kota Purwokerto, lalu revitaisasi eks terminal lama seluas 1,8 hektar menjadi RTH dan menjadi Taman Rekreasi Andhang Pangrenan (TRAP). TRAP ini menjadi ikon baru dan pusat sosialisasi Kota Purwokerto. Saat ini Kota Purwokerto memiliki 15 persen RTH, yaitu RTH publik 10 persen dan RTH privat 5 persen, untuk sosialisasi dilakukan melalui masyarakat, pemuda dan pelajar. Seorang pejabat Dinas Cipta Karya Kebersihan dan Tata Ruang (DCKKTR), Andrie Soebandriyo (2014) mengemukakan kepada peneliti tentang kota hijau bahwa: “…. kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan Pemkab Banyumas dalam mendukung P2KH antara lain adalah revitalisasi RTH yang telah ada yaitu alunalun kota Purwokerto dan taman hutan kota (Taman Satria), revitalisasi alun-alun di setiap Eks kewedanan, dan lapangan sepakbola di setiap desa. Setelah itu Pemkab Banyumas kembali menambah dua RTH yaitu Taman “Balai Kemambang” dibangun di atas lahan 1,2 ha di desain menjadi taman air yang dilengkapi kolam seluas 2.000 meter persegi, mengelilingi bangunan utama taman . Sementara Taman Kota “Arcawinangun” seluas 5.400 meter persegi dibangun menjadi taman edukasi yang menekankan konsep green open space…”. Selanjutnya, seorang Pejabat lain di Lingkungan Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang (DCKKTR), Zahnir (2015), mengemukakan: “… trotoar merupakan salah satu elemen green transportation dalam pembangunan kota hijau menjadi semakin urgent untuk dibangun/direhabilitasi. Hal itu karena semakin meningkatnya populasi kendaraan bermotor di Kota Purwokerto menyebabkan resiko keamanan/kecelakaan para pejalan kaki menjadi tinggi. Selain itu juga merupakan usaha meningkatkan keamanan para pejalan kaki. Fungsi trotoar juga sebagai salah satu bentukan fisik yang mempercantik wajah kota. Pembangunan RTH dan trotoar telah ditanda tangani kontraknya, dalam rangka one step to green, yaitu (a) pembangunan RTH Taman Balai Kemambang Karangkobar tahap II, (b) trotoar jln Bambang Suprapto, (c) trotoar jln. Gerilya tahap II, (d) trotoar jl. Dr. Angka tahap II, (e) trotoar Jln. Dr. HR.Bunyamin tahap I, (f) trotoar Jln. RA.Wiraatmaja tahap II...”. Kota Purwokerto selama ini dianggap sebagai kota yang belum ramah terhadap pemakai sepeda dan kegiatan bersepeda, padahal selain menyehatkan
136 badan, bersepeda juga bisa menghilangkan stress. Bersepeda juga merupakan upaya untuk merubah perilaku masyarakat menjadi lebih ramah lingkungan sekaligus menjadikan kota bebas dari polusi kendaraan menuju kota hijau. Kepala Bidang lalu lintas dan Angkutan Jalan, Dishubkominfo, Agus Sriyono (2014) mengemukakan bahwa: “… di Kota Purwokerto telah disiapkan sekitar 5 km jalur sepeda, kesemua jalur ini berada di pusat kota, yaitu di sepanjang jalan Jenderal Soedirman, Jalan Dr.Angka, Jalan Mesjid, Jalan Ahmad Yani, Jalan Prof.Dr. Suparno, Jalan Prof.Dr.Soeharso dan jalan Kesatrian. Latar belakang dibuatnya jalur sepeda ini sesuai dengan amanah Undang-undang Nomor 22 tahun 2009 Tentang lalu Lintas dan Angkutan Jalan, khususnya pasal 62 ayat 1 dan 2 tentang pemberan kemudahan berlalu lintas bagi pesepeda dan hak pesepeda atas fasilitas pendukung keamanan, keselamatan, ketertiban dan kelancaran…”. Kota Purwokerto dapat dijadikan kota yang lebih hijau atau green city, melalui penanaman pohon, yaitu di setiap ruas jalan utama kota ditanami pohon-pohon peneduh, seperti pohon tabubuya di ruas jalan Jenderal Sudirman, pohon kenari di Jalan Gatot Subroto, pohon flamboyant di Jalan Dr. Angka, pohon eboni di Jalan Bank dan pohon angsana di Jalan Jenderal Ahmad Yani. Di wilayah pedesaan juga tidak luput dari perhatian Pemda bersama dengan green community, yakni di setiap desa yang mempunyai nama yang berasal dari unsur-unsur pohon dilakukan penanaman pohon sesuai nama desanya. Misalnya Desa Kedungrandu ditanami pohon randu, desa Kedungringin ditanami pohon beringin, Desa Karangsalam ditanami pohon salam. Desa Karang jambu ditanami pohon jambu, Desa Karangkadri ditanami pohon kandri, Desa Kelapagading ditanami pohon kelapa gading, Desa Purwojati ditanami pohon jati, Desa Karangduren pohon durian dan Desa Karangjengkol ditanami pohon jengkol. Beberapa waktu yang lalu, Kelurahan Arcawinangun mendapat penghargaan sebagai kelurahan terhijau di Propinsi Jawa Tengah, apalagi di sana juga sudah ada green community, dan tanaman hijau yang dibangun dan menjadi taman edukasi (pendidikan). Berdasarkan uraian tersebut, maka dengan penghargaan Kelurahan Arcawinangun sebagai kota hijau, menjadikan modal bagi Kota Purwokerto untuk mengembangkan hal ini agar cepat terwujud Purwokerto sebagai Kota Hijau dan kota bersih dari sampah. Pelaksanaan Program Pengembangan Kota Hijau di Kota Purwokerto Kota hijau merupakan kota yang ramah lingkungan dengan memanfaatkan secara efektif dan efesien terhadap sumberdaya air dan energi, mengurai limbah menerapkan transportasi terpadu, menjamin kesehatan lingkungan, mensinergikan lingkungan alami dan buatan, berdasarkan perencanaan dan perancangan kota sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. P2KH merupakan inisiatif untuk mewujudkan kota hijau (green city) secara inklusif dan komprehensif untuk mewujudkan delapan atribut atau indikator kota hijau yang meliputi yaitu (1) perencanaan dan perancangan kota yang ramah lingkungan; (2) ketersediaan ruang terbuka hijau (RTH); (3) konsumsi air yang efektif; (4) pengelolaan air yang efektif; (5) pengelolaan limbah dengan prinsip 3 R; (6) bangunan hemat energi atau bangunan hijau; (7)
137 penerapan sistem transportasi ramah lingkungan; (8) peningkatan peran serta masyarakat sebagai komunitas hijau (green city). Pada tahap inisiasi yaitu periode tahun 2012 – 2014, kegiatan P2KH di Kota Purwokerto khsusnya difokuskan pada perwujudan 3 atribut P2KH yaitu: 1. Green planning and design Atribut green planning and design, dalam implementasinya di Kabupaten Banyumas akan diwujudkan dengan melakukan kegiatan penyusunan Peta Hijau dan penyusunan master plan RTH Perkotaan Purwokerto yang menjadi panduan Pemerintah Kabupaten Banyumas dalam memenuhi amanat penyediaan RTH perkotaan sebesar 30% dari luas Perkotaan Purwokerto dengan berbagai program yang berkesinambungan. 2. Green open space Atribut green open space di Kabupaten Banyumas diwujudkan dengan menyusun DED RTH di Kelurahan Arcawinangun beserta pembangunan fisiknya dalam rangka meningkatkan kualitas dan kuantitas RTH yang ada di Perkotaan Purwokerto. Pembangunan RTH ini, komunitas hijau akan dilibatkan agar muncul berbagai faktor yang mengandung kreatifitas dan inovasi yang sesuai dengan kharakteristik serta potensi wilayah tersebut dalam rangka memenuhi fungsi RTH yang berfungsi ekologis dan ekonomi. Salah satu kegiatan dari green open space adalah hampir finalnya DED RTH 3. Green community Atribut green community, yaitu keikutsertaan masyarakat dalam penyediaan penataan dan pemeliharaan RTH menjadi penting, karena masyarakat akan menjadi penerima manfaat yang utama sekaligus membangun rasa kepemilikann (sense of ownership terhadap RTH). Sebagai salah satu contoh adalah Arcawinangun yang dibangun tahun 2012 oleh Pemerintah Pusat melalui satuan kerja yang ada di Provinsi Jawa Tengah. DED RTH di Kelurahan Arcawinangun mengadopsi enam elemen dalam P2KH. Ke 6 elemen tersebut antara lain meliputi: (a) green open space, Green open space diimplementasikan dengan membangun taman yang didominasi oleh ruang hijau dengan memanfaatkan vegetasi-vegetasi lokal serta vegetasi-vegetasi yang disukai oleh hewan-hewan seperti kupu-kupu dan sebagainya. Untuk perkerasan jalan digunakan grass block agar semakin banyak area di RTH yang mampu menyerap air hujan. (b) green transportation, DED ini tidak ada area untuk parker kendaraan bermotor, karena dalam mengusung tema green transportation ini diharapkan seminimal mungkin adanya tranportasi yang dapat menimbulkan polusi udara seminim mungkin (ramah lingkungan). Bentuk fisik dari green transportasi dalam taman ini antara lain trotoar untuk pejalan kaki, jogging track dan jalan sehat untuk refleksi kaki dengan mempersiapkan jalan yang dibuat dari batu-batu kecil serta parkir dan alur sepeda. Juga diadakan car free day Jalan Jend. Soedirman Timur setiap hari minggu dan ini sudah berjalan. (c) green water, Konsep green water diharapkan bisa direalisasikan dengan diusungnya rencana pembuatan sumur resapan, biopori, drinking stand dan sprinkler
138 yang bisa menggunakan air limbah dan diharapkan bisa mencapai minimal 15 unit.
sumur
resapan yang ada
Anggota green community, Eko,54 tahun, PNS (2014), mengemukakan kepada peneliti bahwa: “…kami dari green community berupaya selalu mendekati pejabat di kantorkantor, lembaga, agar mau membuat sumur resapan, biopori utuk kepentingan lingkungan dengan memberi beberapa penjelasan dan kami juga membantu cara membuatnya. Dari upaya tersebut, Alhamdulillah sudah ada 9 kantor, lembaga termasuk di Unsoed yang telah membuat beberapa sumur resapan dan 6 rumah warga, sedangkan lubang biopori sudah terbuat 67 tersebar di 12 titik yang sering terkena banjir pada saat hujan tiba . Upaya ini terus kami lakukan juga pendekatan kepada masyarakat, RT, RW, Kelurahan agar bersedia membuat sumur resapan dengan mengetahui manfaat bagi lingkungan hidup masyarakat.Target kami di akhir tahun ini ada penambahan 500 sumur resapan dan 5.000 lubang biopori. Semoga upaya ini terus bisa tambah berhasil pak…..”. (c) green waste, Konsep green waste di taman ini mengusung tema utama penanganan sampah yaitu 3 R. Bentuk fisik yang akan dibangun masih dalam proses perencanaan akan tetapi salah satu contoh yang bisa diterapkan adalah pemanfaatan bekas bantalan kereta api sebagai tempat duduk di Taman tersebut. Upaya lain adalah mendidik pemulung di TPA “Gunung Tugel”, PKK mulai dari tingkat kelurahan sampai Dinas-dinas di Pemkab Banyumas dengan memanfaatkan sampah an-organik seperti bekas botol, plastik untuk dijadikan mainan, kiasan, dompet dan sebagainya yang bermanfaat dan mempunyai nilai ekonomis. Kendala yang timbul adalah pemasaran hasil dari kreatifitas pembuatan barang-barang tersebut. Suprapti, 53 tahun, PNS (2014), aktifis di Green Community yang berfokus dalam pemanfaatan sampah an-organik sebagaiberikut: “… kami sudah mengadakan sosialisasi, penyuluhan dan pelatihan di kalangan Pemulung di Gunung Tugel, dan juga kepada ibu-ibu di Darma Wanita di tiap-tiap Dinas di Pemkot Banyumas. Hasil pelatihan, yang sudah banyak diproduksi adalah di kalangan pemulung di Gunung Tugel, hanya saja pemasarannya yang mendapat kesulitan. Kami sedang memikirkan akan bekerja sama dengan pihak Dinas Pariwisata Kabupaten Banyumas. Untuk konsumen langsung, kami sudah menyediakan semacam galeri kecil-kecilan dan juga menjual di obyek wisata Baturraden, Owabong, langsung menjajakan barang tersebut untuk hari-hari libur, dan hasilnya memang cukup lumayan,. Tapi di satu sisi masih ada konsumen yang beranggapan bahwa barang-barang itu jijik karena terbuat dari sampah ….” (d) green energy, Pemanfaatkan sinar matahari diharapkan bentukan fisik seperti panel surya untuk lampu taman dan penerangan dengan tenaga surya bisa diimplementasikan sebagai jalan untuk mengurangi pemanfaatan energy dari PLN maupun sumber energi lainnya yang menimbulkan pencemaran seperti generator diesel.
139 (e) gren building. Bangunan dengan fungsi peneduh diusahakan dibangun dengan mengusung tema ramah lingkungan. Bangunan yang direncanakan antara lain pergola, pos jaga serta toilet dengan tanaman rambat diatasnya. Transformasi Green Community Berbasis “Proyek” Menuju Green Community Berbasis “Komunitas” dalam Green Waste Transformasi Green Community Upaya Pengelolaan Sampah Green Waste Perkembangan penduduk di kawasan perkotaan yang diakibatkan adanya arus urbanisasi serta penurunan kondisi dan kualitas lingkungan perkotaan, mengakibatkan munculnya berbagai macam permasalahan kota di Indonesia termasuk di Kota Purwokerto. Untuk itu dilakukan pembentukan forum komunitas hijau (green community) Kota Purwokerto, merupakan salah satu elemen terpenting program pengembangan kota hijau (P2KH). Program pengembangan kota hijau (P2KH) dilaksanakan pada hari Senin tanggal 11 Juni 2012 bertempat di Bappeda Kabupaten Banyumas dihadiri berbagai komunitas atau kelompok warga peduli lingkungan yang berada di sekitar Kota Purwokerto dan dihadiri juga oleh Narwin sebagai Ketua kelompok masyarakat pinggir hutan. Pengurus forum komunitas hijau (green community)terpilih Hendri Budi Nursetyo (2014) sebagai ketua. Pada kesempatan itu, Hendri, menyampaikan pendapatnya sebagaiberikut: “… ruang terbuka hijau (RTH) bukan hanya sekedar untuk dijadikan sebagai tempat “nongkrong” saja yang enak bagi masyarakat Kota Purwokerto, akan tetapi untuk dipelihara artinya siapapun mempunyai kewajiban untuk menjaga dan memelihara RTH tersebut agar tidak rusak dan bisa berkelanjutan….”. Dedy (2014), panitia penyelenggara pembentukan forum kota hijau (green community), mengemukakan: “…. Konsep pengembangan kota hijau merupakan salah satu alternative solusi yang ditawarkan dalam berkontribusi terkait dengan permasalahan perubahan iklim kota hijau merupakan respon terhadap permasalahan perubahan global…”. P2KH di Kabupaten Banyumas, salah satu tahapan yang harus dilakukan adalah pembentukan komunitas hijau (green community). Sekitar 17 komunitas pecinta lingkungan adalah (BLH 2014). 1. UPL MPA (Unit Pecinta Lingkungan Mahasiswa Pecinta Alam) Unsoed 2. ISAPMAS (Ikatan Sepeda Antik Purwokerto Banyumas) 3. Biodivercity Society (Pecinta/Pengamat Burung) Purwokerto 4. Komunitas Mapping Banyumas 5. Mapala Bisakpala (Mahasiswa Pecinta Alam) BINA SARANA INFORMATIKA 6. Kompleet Banyumas (Komunitas Peduli Gunung Slamet) 7. KSM Adipati Mersi (Komunitas bank Sampah) 8. MIPL AMIKOM (Mahasiswa Pecinta Alam) 9. KSM Tunas Harapan Karangsalam Baturraden (Komunitas bank Sampah) 10. Komunitas Arsitek Barlingmascakeb 11. Satria Reptil (Komunitas Pecinta Reptil) 12. Mapala Satria UMP (Mahasiswa Pecinta Alam)
140 13. Caprapala Fakultas Peternakan Unsoed (Mahasiswa Pecinta Alam) 14. Bio Explorer Fakultas Biologi Unsoed (Mahasiswa Pecinta Alam) 15. Bank Sampah Mandiri (Kecamatan Purwokerto Lor) 16. LPPSLH Purwokerto (LSM Peduli Lingkungan) 17. Komunitas Perempuan Tanam dan Pelihara Pohon Perum Basole Indah. Pembentukan forum komunitas hijau (green community) sebagai upaya mendukung program P2KH, termasuk program green waste, maka terbentuk kepengurusan dari berbagai komunitas peduli lingkungan di wilayah Kabupaten Banyumas sebagaiberikut (BLH 2014) : Ketua : Hendri Budi N (Komunitas Bank Sampah Arcawinangun PAS) Wakil Ketua : Timur Sumardiyanto (Biodivercity Sociaty) Sekretaris : Buyah Prihanton (KSM Tunas Harapan Karangsalam) Bidang- Bidang: Bidang Advokasi Lingkungan : Sugeng Amin (Bag Hukum Setda Banyumas) Bidang Pelestarian Hijau dan SDH : Tatik Setyaningsih (Fapet Unsoed) Bidang Pendidikan : Anhari (LPPSLH LSM) Bidang Persampahan : Satiman (KSM Adipati Mersi) Bidang Sungai : H.A. Wahyudi (Biodevercity Society). Secara umum tujuan dibentuknya green community adalah sebagai mitra pemerintah dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas lingkungan di kota Purwokerto, dalam menuju green waste upaya mendukung terwujudnya kota hijau (gren city) dengan ikut partisipasi secara aktif, mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan di bidang lingkungan. Awal terbentuknya green community di Kabupaten Banyumas program awal dari pengembangan kota hijau Purwokerto antara lain adalah: 1. Penyusunan master plan RTH Perkotaan Purwokerto 2. Penyusunan green map (Peta Hijau) Perkotaan Purwokerto 3. Penyusunan DED Taman Kota di Kelurahan Arcawinangun Green community Kabupaten Banyumas, dibentuk dengan harapan program-program lingkungan yang ada pada program pengembangan kota hijau (P2KH) di Kabupaten Banyumas, khususnya Kota Purwokerto upaya mewujudkan kota hijau, bisa berjalan dengan lebih terprogram, terarah dan mengena sasaran serta semakin tingginya minat masyarakat dalam menjadikan environment care sebagai sebuah lifestyle. Program P2KH ini, memang memiliki 8 atribut dilaksanakan secara bertahap meliputi tiga tahap. Atribut tersebut yaitu meliputi : (1) green planning and design, (2) green open space, (3) green community, (4) green water, (5) green water, (6) green transfortation, (7) green energy dan (8) green building. Pelaksanaan P2KH di Indonesia, terbagi atas 3 tahap, yaitu pada tahap 1 (pada periode tahun 2010-2014) meliputi atribut green planning and design, green open space dan green community. Tahap 2 (pada periode tahun 20122020) meliputi atribut green building, green energy dan green waste. Tahap 3 (pada periode tahun 2017-2025) meliputi atribut green water dan green tranfortation (DPU 2008). Demikian juga pelaksanaan kegiatan P2KH di Kabupaten Banyumas, dalam hal ini di Kota Purwokerto, mengikuti tahap-tahap yang telah di atur oleh kementrian Pekerjaan Umum (dulu DPU). Hal ini penting, agar sinkron dengan 60 kota/kabupaten lain di Indonesia yang melaksanakan kegiatan program P2KH.
141 Bank Sampah Upaya Menuju Green Waste (zero waste) Mendukung P2KH Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup hingga akhir tahun 2013 telah berdiri 1.443 bank sampah di 56 kota yang tersebar di 19 provinsi di seluruh Indonesia. Terbentuknya bank sampah, maka telah terdata lebih dari 2.000.000 kilogram sampah per bulan dapat diolah dan di daur ulang. Bank sampah adalah merupakan sebuah sistem pengelolaan sampah yang mengatur bagaimana sampah dapat dikelola sehingga tidak mencemari lingkungan dan juga mendapatkan nilai secara ekonomi. Proses bekerjanya bank sampah, yaitu dimulai sejak dari sumber sampah (cara memilah), lalu diproses di bank sampah, dilakukan pencatatan sampah, selanjutnya dilakukan pengelolaan sampah. Sampah yang masuk di bank sampah, maka pemanfaatan hasil dalam dari sampah yang masuk ke bank sampah tersebut, dinilai dalam bentuk uang rupiah dan disimpan dalam buku tabungan. Hubungan antara pengurus bank sampah dengan nasabah, sama seperti bank-bank lainnya, hanya saja kalau bank lain nasabah setor uang, akan tetapi di bank sampah nasabah setor dalam bentuk sampah. Sistem yang ada bank sampah adalah alur pengelolaan sampah, khususnya an-organik sejak dari sumbernya dikelola secara kolektif baik oleh dasa wisma maupun oleh komunitas peduli akan sampah. Sistem pengelolaan di bank sampah dikelola dengan cara yang sistematis yaitu dari pengumpulan di sumber sampah hingga dapat dimanfaatkan kembali, dan dicatat hasilnya dalam satuan (kg, Rp). Pengelolaan sampah terus berkembang dari paradigma lama yaitu memandang dan menganggap bahwa sampah merupakan benda yang tidak berguna, kotor dan cost oriented, harus berubah ke paradigma baru. Pengetahuan masyarakat tentang pemilahan sampah cara lama kemudian berkembang menjadi lebih baik dan tersistem dengan dikelola terkoordinir oleh green community dan dinyatakan dengan istilah sistem bank sampah. Menteri Lingkungan Hidup, Balthasar Kambuaya (Periode 2009-2014) mengemukakan bahwa masyarakat dunia saat ini, khususnya di kawasan Asia dan Pasifik memiliki kemajuan cepat dalam pengelolaan sampah, dalam upaya mewujudkan manfaat dari penerapan pola 3 R untuk pengelolaan limbah dan sampah. Beberapa negara di kawasan ini sudah mengadopsi penerapan prinsip 3 R dalam bentuk kebijakan peraturan pemerintah dalam pengelolaan sampah, strategi pengelolaan sampah dan melakukan proyek percontohan dalam skala regional maupun nasional. Forum ini sangat bermanfaat dalam meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan kesadaran serta terjalinnya sinergi dalam kegiatan antar negara di Asia Pasifik (Kambuaya 2014). Kambuaya menyampaikan dalam acara Fifth Regional 3 R Forum in Asia and The Pasific di Surabaya yang dilaksanakan pada tanggal 25-27 Februari 2014. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup R.I, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Lingkungan Hidup Jepang dan United Nations Centre for Regional Development (UNCRD). Beberapa aktifitas pengurangan sampah yang telah dikembangkan di Indonesia sebagai proyek percontohan pengelolaan sampah dengan melaksanakan sistem pola 3 R atau green waste di beberapa provinsi di Indonesia. Demikian juga dengan Kementerian Pekerjaan Umum telah membangun kurang lebih 525 fasilitas pengolahan sampah dengan sistem 3 R pada periode 2010-2014.
142 Menteri Pekerjaan Umum yang diwakili Dirjen Cipta Karya menegaskan bahwa forum tersebut merupakan peluang yang baik dalam proses pertukaran pengalaman best practices dan gagasan-gagasan tentang pengembangan koalisi dan kemitraan pengelolaan sampah dengan sistem 3 R. Salah satu bank sampah yang telah melaksanakan asuransi kesehatan, dan menjadi pioneer adalah Bank Sampah Malang (BSM). Program inilah yang perlu dikembangkan di seluruh Indonesia dari manfaat bank sampah. Bank Sampah Malang (BSM) adalah lembaga yang berbadan hukum koperasi bekerjasama dengan Pemerintah Kota Malang dan CSR PT PLN Distribusi Jawa Timur. BSM ini didirikan sebagai wadah untuk membina, melatih, mendampingi sekaligus membeli dan memasarkan hasil dari kegiatan pengelolaan sampah dari masyarakat Kota Malang dalam rangka pengurangan sampah di TPS/TPA dan pemberdayaan ekonomi masyarakat dengan memanfaatkan sampah rumah tangga dengan program 3R serta perubahan perilaku masyarakat menuju lingkungan Kota malang yang ber BSM (Bersih, Sejuk dan Manfaat). Selain itu, BSM membuka ilmu persampahan yang mempunyai nilai ekonomis sesuai pengalaman BSM yang diperoleh selama ini, sehingga bagi Pemerintah atau komunitas lingkungan maupun organisasi pemberdayaan ekonomi masyarakat dapat magang ke BSM. Program yang dilaksanakan adalah seminar, semiloka, workshop, pelatihan. BSM bekerjasama dengan Indonesia Medika dalam program sehat dengan sampah atau asuransi kesehatan dengan bayar sampah. Secara tekhnis pelaksanaan asuransi kesehatan ini adalah sebagaiberikut bahwa asuransi kesehatan ini dengan membayar sampah senilai Rp. 10.000,00/bulan, yang dapat disetorkan sampahnya ke Bank Sampah Malang atau klinik Medika Griya Sehat. Fasilitas yang diberikan dengan asuransi kesehatan dengan membayar sampah meliputi: (a) pemeriksaan dan pengobatan gratis, (b) Konsultasi kesehatan gratis lewat telepon, (c) mendapatkan panduan kesehatan keluarga, (d) konsultasi kesehatan ke Griya Sehat, (f) mendapatkan rehabilitasi medic, (g) pendampingan perkembangan anak, (h) memonitor penyakit kronis, (i) rehabilitasi pasca sakit dan kontroling kesembuhan. Bertepatan dengan hari “peduli sampah nasional”, Badan Lingkungan hidup (BLHD) Kabupaten Banyumas dalam upaya meningkatkan perbaikan dari pencemaran lingkungan, maka pada hari Jumat 21 Februari 2014 mengadakan kegiatan lounching bank sampah diadakan di Perkantoran Kompleks GOR Satria Purwokerto. Kegiatan ini terlambat, karena sebelumnya sudah ada. Kegiatan yang dilakukan BLHD Kabupaten Banyumas ini dihadiri dari berbagai unsur kedinasan, sekolah, tokoh masyarakat, tokoh lingkungan atau penggiat lingkungan, budayawan, TNI/Polri, dan kegiatan ini mendapat respon yang positif. Kegiatan ini juga dilakukan proses penanganan sampah organik dengan model KASPARI. Model KASPARI mempunyai nilai kebersamaan, efisien, dan tentunya akan meningkatkan pemanfaatan bahan organik di wilayah Kota Purwokerto, hanya saja programnya belum terealisir. Pada Februari 2014 BLHD Kabupaten Banyumas akan membentuk 40 unit bank sampah di wilayah Kota Purwokerto sebagai percontohan untuk masyarakat, dan diharapkan untuk tahun berikutnya yaitu 2015 akan lebih banyak terbentuk bank sampah. Bank sampah di Kota Purwokerto yaitu Bank Sampah SUMBER BERKAH yang ada di kompleks perkantoran GOR
143 menjadi salah satu contoh yang dipamerkan pada acara tersebut, juga Bank Sampah Arcawinangun PAS (BLHD 2014). Selanjutnya, dalam pengelolaan sampah di bank sampah, maka Dwi Pindarto, Kepala BLHD Kabupaten Banyumas (2014) , mengemukakan tentang proses pengolahan sampah organik dengan mempraktekan model KASPARI pada tanggal 21 Februai 2014 sebagaiberikut: “…proses pengelolaan sampah ini sangat efektif dan berdampak ekonomi bagi masyarakat dan juga Pemda seperti pengangkutan sampah ke TPA akan lebih sedikit, karena proses sampah organik dilakukan di wilayah masing-masing dengan proses model KASPARI. Disamping hal itu, pemanfaatan sampah organic juga akan menambah kesuburan tanah di sekitar masyarakat. Ada nilai kebersamaan dalam proses pengolahan sampah ini. Hal ini merupakan salah satu upaya mendukung pencapaian Kabupaten Banyumas dalam penilaian Adipura tahun 2014 ini dan upaya ini harus didukung oleh semua masyarakat dan perlu peran serta masyarakat Kota Purwokerto….”. Latar Belakang Sejarah Berdirinya Bank Sampah PAS (Peduli Akan Sampah)
Bank Sampah PAS (Peduli Akan Sampah) terletak di Perumahan Arcawinangun Estat Kota Purwokerto. Bank Sampah PAS berdiri pada tanggal 27 Desember 2010 dengan dikelola oleh Henri Budi, dengan menjalin kerjasama dengan Dinas Cipta Karya Kebersihan dan Tata Ruang (DCKKTR) serta Badan Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Banyumas. Bank Sampah PAS Arcawinangun, sampai saat ini memiliki nasabah 547 orang/kelompok, namun masih terbatas pada 17 kelurahan, sampah yang ditampung pada bank sampah ini masih terbatas pada sampah an-organik dengan volume sampah rata-rata sekitar 48 ton/tahun dengan komposisi 53 persen sampah plastic, 33 persen kertas, 10 persen kaca dan empat persen logam, dengan omset per-tahunnya mencapai Rp. 25.000.000,00. Pendiri bank sampah PAS, Hendri (41 tahun) yang juga ketua green community Kabupaten Banyumas (2014), mengemukakan bahwa: “… bank sampah PAS tidak hanya bermain pada persoalan sampah semata, akan tetapi kami adalah sebuah perusahaan yang modalnya dikumpulkan dari masyarakat. Hanya bedanya kami memakai investasi mereka dalam bentuk sampah. Tabungan dari sampah, kami putarkan dalam bentuk usaha tabung gas dan pembuatan paving blok. Hasilnya sebagian untuk kesejahteraan nasabah bank sampah dan sebagian untuk modal usaha bank sampah…” Proses pembentukan kegiatan ini, Hendri bersama teman-temannya, awalnya melakukan pemetaan swadaya untuk menganalisis potensi maupun permasalahan yang ada saat ini di Kelurahan Arcawinangun Kecamatan Purwokerto Utara. Selama delapan bulan, Hendri dan teman-temannya melakukan pemetaan permasalahan tersebut, dan akhirnya menemukan beberapa permasalahan sosial. Satu diantaranya adalah permasalahan sampah. Menurut Hendry ada tiga titik penimbunan sampah yang ada di wilayah Kelurahan Arcawinangun, dan menimbulkan dampak negative yaitu mendatangkan pencemaran lingkungan. Padahal di wilayah Kelurahan Arcawinangun saat itu, belum ada satupun tempat pembuangan akhir sampah yang legal.
144 Hendri (2014) menuturkan kepada peneliti sebagaiberikut: “… kami melakukan pengecekan tanah dan air, ternyata ditemukan air sudah berwarna kuning dan timbul penyakit berupa gatal-gatal. Pasalnya sampah di titik penimbunan tersebut sudah berasal dari berbagai daerah di luar Arcawinangun, oleh karena itu maka dicari solusinya. Untuk itu, maka saya membuka internet. Ketika saya berselancar di dunia maya, maka menemukan sebuah artikel tentang bank sampah yang telah dinisiasi di Bantul Yogyakarta. Melalui artikel tersebut, akhirnya membawa saya beserta pemerintah Kelurahan Arcawinangun studi banding ke bank sampah yang ada di Bantul. Ternyata memang bisa diaplikasikan di Purwokerto, tentunya dengan beberapa perubahan yang disesuaikan dengan kultur daerah Arcawinangun...”. Selanjutnya Hendri (2014) mengemukakan juga kepada peneliti bahwa: “…hingga akhirnya pada tanggal 27 Desember 2010 bank sampah PAS menggelar louncing meski pada saat itu belum memiliki kantor sendiri. Bank sampah PAS tidak hanya berkonsentrasi pada permasalahan sampah saja, tapi juga bergerak semacam perusahaan yang modalnya dikumpulkan dari masyarakat. Hanya bedanya bank sampah ini memakai investasi masyarakat dalam bentuk sampah. Selanjutnya dijelaskan juga cara menabung maka di bank sampah PAS terbilang mudah, yaitu warga yang telah menjadi nasabah, cukup menabung sampah setiap Minggu. Sampah yang diterima dipisah dulu dalam empat jenis yaitu (a) logam, (b) kaca, (c) kertas dan (d) plastic. Setiap sampah yang ditabung ditimbang dan dihargai dengan uang. Nilai uang itulah yang dimasukkan ke dalam buku tabungan nasabah. Hasil tabungan nasabah dikumpulkan kemudian diputar dan hasilnya akan kembali ke nasabah untuk kesejahteraan mereka. Setiap nasabah boleh mengajukan kredit setiap hari Selasa atau melakukan penarikan tabungan setiap hari, selain hari Selasa dan Minggu…”. Kegiatan lainnya dari bank sampah PAS, adalah perputaran uang Bank Sampah PAS, digunakan untuk mengelola unit usaha berupa agen penjualan gas dan pembuatan paving. Keuntungannya nanti bisa pula digunakan untuk kepentingan masyarakat, seperti bantuan pendidikan siswa miskin atau permasalahan sosial lainnya. Nasabah bank sampah PAS sampai saat ini, telah mencapai angka lebih dari 500 orang. Namun tidak hanya mereka yang tergabung di dalamnya, akan tetapi bank sampah PAS juga mendampingi komunitas- komunitas masyarakat mandiiri, sehingga mereka mampu mengelola sampahnya sendiri. Untuk manajemenennya, didampingi oleh Hendri, selaku ketua bank sampah, selain itu juga komunitas mandiri diberi reward sebesar 25 persen operasional mereka dari Bank Sampah PAS Arcawinangun. Pengelolaan sampah di Bank Sampah PAS Arcawinangun , maka ada dua hal yang perlu menjadi acuan yang perlu diperhatikan setiap anggota, sebagaiberikut: 1. Tanggung jawab dengan apa yang sudah dikeluarkan. Sebagai contoh ketika membeli makanan, maka tidak boleh hanya memikirkan soal isinya saja, namun juga kemasannya. Jangan habis manis, sepah dibuang, akan tetapi
145 harus bertanggungjawab atas kemasannya, jangan dibuang seenaknya. Apabila kemasan dibuang tanpa di daur ulang, maka hal ini hanya memindahkan sampah saja. 2. Soal paradigma pengelolaan sampah. Masyarakat harus mulai merubah paradigma dalam memandang sampah, yaitu bukan lagi sampah tersebut merupakan benda yang tidak terpakai, namun merupakan benda yang memiliki nilai ekonomi. Sampah juga hasil pemikiran, mungkin bagi kita plastik bekas sudah tidak berguna, namun ternyata bisa di daur ulang dan menjadi benda lagi yang masih bermanfaat. Target utama bank sampah PAS adalah orang-orang kaya, karena biasanya mereka lebih banyak memiliki benda yang masih layak digunakan, namun sudah dibuang, ini berlaku juga untuk orang lain. Sebelum mendirikan bank sampah PAS, Hendri sudah menjalin mitra dengan berbagai pengepul sampah kelas besar, sehingga sampah yang terkumpul tidak akan menumpuk namun dapat segera tersalurkan. Bank sampah ini sangat efektif untuk dikembangkan secara lebih luas di Kota Purwokerto khususnya dan di Kabupaten Banyumas pada umumnya, untuk mengurangi sampah yang diangkut ke TPA. Selama ini, sebelum berdirinya bank sampah pengelolaan sampah rumah tangga adalah dari sumber (rumah tangga/masyarakat) langsung dibuang ke tong sampah dan selanjutnya diambil oleh petugas menggunakan gerobak, baik dari partisipasi masyarakat/RW atau DCKKTR ke TPA “Gunung Tugel”. Belum ada proses pengelolaan sampah dengan menggunakan metode 3R dari sumber. Sampah yang diangkut ke TPA setiap harinya rata-rata mencapai 2.675 meter kubik untuk tingkat Kabupaten Banyumas (TPA “Gunung Tugel”, TPA “Tipar Kidul”, TPA “Kemutug Lor”, TPA “Kalibagor”). Sampah di Kota Purwokerto tidak semua terangkut ke TPA, karena berbagai hal, seperti keterbatasan sumberdaya baik armada pengangkutan maupun tenaga kerja. Sampah yang tidak terangkut sebagian dikelola sendiri masyarakat dengan cara dibakar maupun dibuang ke sungai. Pejabat di Dinas Cipta Karya Kebersihan dan Tata Ruang (DCKKTR), Sinung (2014) menjelaskan bahwa : “…begini pak sebenarnya petugas DCKKTR telah berulang kali menyosialisasikan langkah-langkah pengelolaan sampah rumah tangga berbasis masyarakat termasuk konsep memilah dan mendaur ulang, akan tetapi tingkat kesadaran masyarakat dalam mengelola sampah rumah tangga sejak dari lingkungan rumah masih kurang. Sehingga volume sampah di TPA tetap saja bertumpuk banyak. Oleh karena itu faktor kesadaran dan peranserta atau partisipasi masyarakat dalam berbagai tahapan dalam pengelolaan sampah rumah tangga sangat diharapkan sekali. Hal ini penting dalam rangka menjaga lingkungan tetap bersih, dan mendukung Purwokerto sebagai Kota Hijau….”. Senada dengan petugas DCKKTR, secara terpisah pengamat Tata Ruang Kota Purwokerto, Sunardi (2014) mengemukakan bahwa: “… berkaitan dengan pengelolaan sampah rumah tangga, pada masyarakat yang tingkat budayanya tinggi, sampah yang diproduksi memang banyak sesuai dengan tingkat ekonomi masyarakatnya. Barang yang masih bisa digunakan dan sedikit
146 kotor langsung dibuang, semestinya setiap rumah tangga tidak memproduksi sampah, semisal kurang memungkinkan, pisahkan antara sampah yang organic dengan non-organik. Dan juga para pembantu rumah tangga, diupayakan membantu memilah sampah rumah tangga, karena sampah juga mempunyai nilai ekonomis sehingga dapat dimanfaatkan untuk menambah penghasilan…”. Masyarakat sadar terhadap lingkungan (green community) telah mulai memilah sampah pada sampah basah dan sampah kering, akan tetapi oleh petugas pengambil sampah dengan gerobak dicampur kembali. Hal ini dikarenakan, proporsi warga yang memilah dan yang tidak memilah hanya sebagian kecil yang memilah, juga fasilitas gerobak belum ada pemisahnya. Beberapa warga dalam lingkup rumah tangga ada yang peduli dan telah berupaya mengumpulkan sampah kering untuk dijual, akan tetapi belum maksimal, karena belum ada administrasi menabung dan mereka belum mengetahui potensi ekonomi dari sampah tersebut. Terbentuknya Bank Sampah Arcawinagun PAS pada Desember akhir 2010 telah membantu untuk mensosialisasikan kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan ari pencemaran, terutama sosialisasi tentang pengelolaan sampah dan pemanfaatan sampah kembali melalui sistem daur ulang dengan pola 3 R. Selama berproses dalam gerakan lingkungan ini, Hendri pun, selaku Ketua Bank Sampah Arcawinangun dan ketua Green Community, ternyata Hendry mampu meraih peringkat ke lima dalam lomba habitat cipta karya Propinsi dan meraih proyek senilai Rp. 100.000.000,00 yang digunakan untuk member bantuan pengaspalan jalan di Kelurahan Arcawinangun. Berdasarkan modal hasil inilah, akhirnya Hendri mendapat kepercayaan dari Dinas Cipta Karya Kebersihan dan Tata Ruang (DCKKTR) dan Badan Lingkungan Hidup (BLHD) Banyumas. Bahkan atas prakarsa Hendri dengan bekerjasama dengan pemerintah berhasil mewujudkan taman edukasi hayati di Lapangan Arcawinangun. Di taman ini ada vegetasi atau flora asli Banyumas yang mulai punah dengan ditunjukkan dalam bentuk foto ataupun secara nyata. Secara sosial, ternyata sebagian besar masyarakat Kota Purwokerto belum peduli terhadap pengelolaan sampah walaupun ada yang peduli dalam pengelolaan sampah, sifatnya masih sangat individual dan belum terorganisir secara terpadu, sehingga intensitas kebersamaan masih rendah. Secara ekonomis, belum ada nilai ekonomis terhadap pengelolaan sampah, selain masyarakat belum paham terhadap pengelolaan sampah yag mempunyai nilai ekonomis dengan pola 3R dan sebagian besar kesadaran terhadap pengelolaan sampah masih rendah. Hal ini dikarenakan masyarakat masih menganggap bahwa sampah merupakan sisa dari sebuah proses yang tidak diinginkan mempunyai nilai ekonomis. Secara lingkungan, masih adanya masyarakat yang membuang sampah bukan pada tempatnya terutama di sungai/saluran dan dibakar yang mengakibatkan lingkunganan menjadi bau, kotor, polusi (pencemaran) udara, banjir, timbulnya berbagai penyakit dan rusaknya ekosistem. Di wilayah Kota Purwokerto saat ini sudah berdiri sekitar empat cabang bank sampah, yaitu di Mersi, Pabuaran, Purwokerto Loor, dan Karangsalam. Keempat cabang itu merupakan cabang dari Bank Sampah Arcawinangun, dan beberapa waktu lalu dilakukan louncing pendirian Bank Sampah di sekitar GOR “Satria” Kota Purwokerto. Bank sampah berfungsi sebagai tempat
147 pengelolaan sampah an-organik, dan dengan adanya bank sampah, masyarakat diajak untuk mengelola sampah dan tidak membuang secara sembarangan. Bahkan ada bank sampah sudah memulai mengelola sampah rumah tangga di samping sampah an-organik juga mengelola sampah organik untuk di olah menjadi kompos. Kendalanya adalah pemasaran hasil kompos tersebut. Pentingnya Bank Sampah PAS Dalam Pengelolaan Sampah Undang-undang Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah beserta Peraturan Pemerintah (Perpu) Nomor 81 Tahun 2012, Peraturaqn Daerah (Perda) Kabupaten Banyumas Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pengelolaan sampah, mengamanatkan bahwa perlunya paradigma baru yang mendasar dalam pengelolaan sampah yaitu dari paradigma kumpul-angkut-buang menjadi pengolahan yang bertumpu pada pengurangan sampah dan penanganan sampah di sumbernya. Kegiatan pengurangan sampah bermakna agar seluruh lapisan masyarakat baik pemerintah, dunia usaha (swasta), pendaur ulang, pemerhati lingkungan, dan pemanfaatan kembali sampah dikenal dengan sebutan 3 R, melalui upaya-upaya cerdas, efesien dan terprogram (Kemen LH 2012). Kegiatan 3 R ini dalam prakteknya masih menghadapi kendala utama yaitu rendahnya kesadaran masyarakat untuk memilah sampah. Salah satu solusi untuk mengatasi masalah tersebut yaitu melalui pengembangan bank sampah yang merupakan kegiatan bersifat social engineering yang mengajarkan masyarakat untuk memilah sampah serta menumbuhkan kesadaran masyarakat dalam pengolahan sampah secara bijak dan pada gilirannya akan mengurangi sampah yang diangkut ke TPA. Pembangunan bank sampah harus menjadi momentum awal membina kesadaran kolektif masyarakat untuk memulai memilah, mendaur-ulang dan memanfaatkan sampah, karena sampah mempunyai nilai jual yang cukup baik, sehingga pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan menjdi budaya baru bangsa Indonesia (KemenLH 2012). Peran bank sampah menjadi sangat penting dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 81 tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga, yang mewajibkan produsen melakukan kegiatan pola 3R dengan cara menghasilkan produk dengan menggunakan kemasan yang mudah diurai oleh proses alam dan menimbulkan sampah sedikit mungkin menggunakan bahan baku produksi yang dapat di daur ulang (recycle) dan diguna ulang (reuse) atau menarik kembali sampah dari produk dan kemasan untuk didaur ulang dan diguna ulang. Bank sampah dapat berperan sebagai dropping point bagi produsen untuk produk dan kemasan produk yang masa pakainya telah usai. Sehingga sebagian tanggungjawab pemerintah dalam pengelolaan sampah juga menjadi tanggungjawab pelaku usaha. Dengan menerapkan pola ini, diharapkan volume sampah yang dibuang ke TPA berkurang. Penerapan prinsip pola 3 R sedekat mungkin dengan sumber sampah diharapkan dapat menyelesaikan masalah sampah perkotaan secara terintegrasi dan terpadu sehingga tujuan akhir kebijakan Pengelolaan Sampah Indonesia dapat dilaksanakan dengan baik (Kementrian Lingkungan Hidup 2012). Data di Bank Sampah Kota Purwokerto, setiap minggu menampung sekitar dua kuintal sampah an-organik, terdiri dari sampah kaca serta kertas sekitar 2550 kg, hasil pengelolaan sampah diperoleh uang Rp. 1.300.000,00 setiap
148 minggunya. Perkembangan kuantitas sampah yang dikelola bank sampah mulai tahun 2011 hingga sampai tahun 2013 di Kota Purwokerto dapat disajikan pada Tabel 51. Tabel 51 Kuantitas sampah dikelola Bank Sampah Kota Purwokerto (2011 – 2013 (Satuan kg/tahun) Bank sampah wilayah
Tahun 2011
Arcawinangun PAS
2.215,6
Mandiri “Berkoh” Kota Purwokerto
Tahun 2012 21.833,3
-
-
2.215,6
54
Tahun 2013 1.621,1 26.412,1
21.833,3 43
28.033,2
Sumber : Bank Sampah Kota Purwokerto 2014
Tabel 51 menunjukkan bahwa sampah an-organik yang termanfaatkan dan yang menghasilkan uang masyarakat Kota Purwokerto semakin lama semakin bertambah. Hal ini sejalan dengan kesadaran warga akan pandangan terhadap sampah, dimana sampah tidak hanya dipandang sebagai barang yang “menjijikkan” saja akan tetapi juga mempunyai nilai ekonomi yang keberadaannya perlu diperhatikan. Sejalan dengan kuantitas sampah yang dikelola Bank Sampah di Kota Purwokerto ini, maka berikut ini disajikan tentang anggota (nasabah) bank sampah pada tahun 2011 sampai dengan 2013, tersaji pada Tabel 52. Tabel 52 Nasabah Bank Sampah Kota Purwokerto (2011-2013) (orang/thn) Bank Sampah
Tahun 2011
Tahun 2012
Tahun 2013
286
485
43
Mandiri “Berkoh”
-
-
644
Kota Purwokerto
286
485
687
Arcawinangun PAS
Sumber : Bank Sampah Kota Purwokerto, 2014
Tabel 52 menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun terjadi kenaikan jumlah nasabah Bank Sampah di Kota Purwokerto, ini menunjukkan tingkat masyarakat kesadaran semakin meningkat. Namun untuk bank sampah Arcawinangun PAS terjadi penurunan dari tahun 2012 ke 2013, hal ini disebabkan karena adanya “konfliks” diantara pengurus bank sampah tersebut. Sesuai dengan pendapatnya Sunyoto (2012) bahwa sikap adalah fungsi kepentingan. Demikian kondisi Bank Sampah Arcawinangun, karena sudah berkembang dan adanya kepentingan diantara pengurus, maka terjadi “intrik” diantara pengurus, sehingga terjadi konfliks sosial. Akhirnya terjadi perubahan manajemen di Bank Sampah Arcawinangun, namun karena pengurus yang baru kurang professional dalam mengelola bank sampah tersebut, maka nasabah Bank Sampah Arcawinangun “berbondong-bondong mengundurkan diri dari keanggotaan sebagai bank sampah.
149 Partisipasi Green Community dalam Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Green Waste Berbasis Kearifan Lokal Mendukung Kota Hijau Purwokerto. Peran serta tidak hanya bermakna bagaimana keterlibatan pemanfaat dan skeholder (pemangku kepentingan), namun juga keterlibatan mereka dalam keseluruhan proses manajemen (Utomo et al 2003). Secara umum peran serta atau partisipasi masyarakat akan muncul sejalan dengan peningkatan keberdayaan masyarakat. Pada masyarakat yang telah mandiri maka partisipasi masyarakat akan muncul dengan sendirinya. Namun untuk tercapainya tingkaan tersebut dibutuhkan waktu yang cukup lama dan ini tentunya melalui berbagai upaya. Partisipasi masyarakat ini sangat penting dalam melaksanakan suatu program pengelolaan sampah rumah tangga dengan menggali kembali kearifan lokal masyarakat Banyumas berupa pola kerigan. Green community, walaupun dibentuk berdasarkan kepentingan pemerintah atau proyek P2KH, namun ada beberapa aktor yang berkomitmen untuk menjadikan green community dalam green waste ini suatu kebutuhan masyarakat. Terbukti, walaupun saat ini dukungan sarana prasarana dari pemerintah sangat kurang, namun aktor tersebut tetap berkomitmen dengan turun ke masyarakat. Aktor tersebut dalam green waste melakukan penyuluhan, kerjabakti (pola kerigan), pembinaan terhadap komunitas peduli akan sampah. Untuk menghindari kejenuhan, maka pihak aktor green community melakukan simulasi dan praktek pengelolaan sampah green waste serta memberikan doorprize berupa barang-barang kerajinan dari sampah an-organik kepada peserta penyuluhan. Aktifitas aktor-aktor green community berbanding terbalik dengan aktor birokrat yang jarang turun ke masyarakat untuk melakukan pertemuan tentang green waste, bank sampah, kota hijau dan sebagainya. Pertemuan hanya dilakukan pada saat menjelang dilakukan penilaian Adipura, setelah itu jarang bahkan dapat dikatakan tidak ada pertemuan dengan masyarakat sebagai penghasil sampah. Green community dalam menggerakkan partisipasi masyarakat menurut Sastropoetro (1996) salah satu caranya adalah dengan memberikan respon dan menunjukkan berbagai alternative kegiatan yang memungkinkan pelibatan masyarakat. Ada lima jenis partisipasi masyarakat yaitu: 1. Partisipasi dalam bentuk buah pikiran 2. Partisipasi dalam bentuk keterampilan (keahlian) 3. Partisipasi dalam bentuk tenaga 4. Partisipasi dalam bentuk harta/benda (dukungan alternative di samping modal masyarakat) 5. Partisipasi dalam bentuk uang Secara lebih spesifik Draha (1993) mengelompokkan partisipasi masyarakat dalam bentuk-bentuk sebagaiberikut: 1. Partisipasi dalam bentuk menerima informasi 2. Partisipasi dalam pemberian tanggapan terhadap informasi yang diterima, baik bermaksud menolak maupun menerima dengan syarat tertentu. 3. Partisipasi dalam merencanakan pembangunan 4. Partisipasi dalam pelaksanaan operasional pembangunan
150 5. Partisipasi dalam menerima hasil-hasil pembangunan 6. Partisipasi dalam menilai pembangunan. Realisasi di lapangan, peranserta atau partisipasi masyarakat Green Community Kota Purwokerto dalam pengelolaan sampah rumah tangga berbasis kearifan lokal pola kerigan mendukung P2KH Kota Purwokerto berikut ini. Partisipasi Masyarakat Green Community Aspek Kelembagaan Aspek kelembagaan, meskipun di kalangan Pemerintah Kota Purwokerto sudah ada bentuk kerjasama dengan pemerintah daerah sekitar Kota Purwokerto melalui Lembaga Kerjasama Regional Management tentang Pengelolaan Sampah secara Bersama (Joint Management). Pelayanan Persampahan di Wilayah Perkotaan BARLINGMASCAKEB (Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, Kebumen), namun tidaklah mencerminkan adanya partisipasi masyarakat secara kelembagaan, karena kerjasama ini hanya antar Kabupaten Banyumas dengan Pemda (Government to Government). Kota Purwokerto memang sudah memiliki beberapa Lembaga Swadaya Mayarakat (LSM) pemerhati lingkungan yang telah berpartisipasi dalam pengelolaan sampah ramah lingkungan menuju green waste yaitu Bank Sampah PAS Arcawinangun, Bank Sampah Mandiri Berkoh, Komunitas Sampah Sukanegara, Komunitas Sampah Mersi. Kabupaten Banyumas sudah terbentuk green community yang bertujuan tidak saja dalam pengelolaan sampah ramah lingkungan (green waste) akan tetapi juga dalam pengelolaan lingkungan. Secara kelembagaan dan struktural ada beberapa lembaga (pemerintah dan non-pemerintah) khususnya kecamatan, kelurahan belum difungsikan secara optimal partisipasinya dalam pengelolaan persampahan ramah lingkungan. Terbukti selama ini hanya difungsikan dalam kegiatan himbauan dan sosialisasi mengenai kebijakan dalam pengelolaan kebersihan secara umum termasuk kebersihan lingkungan hidup sehingga hanya sebagai “corong” saja. Partisipasi Green Community dalam Aspek Sampah Mendukung Green Waste.
Pendanaan
Pengelolaan
Aspek pendanaan, partisipasi masyarakat hanya sebatas pada partisipasi pasif, dalam arti melalui iuran pembayaran retribusi sampah yang telah ditetapkan Kota Purwokerto Pemerintah Kabupaten Banyumas. Secara operasional biaya pengelolaan sampah tidak pernah tercukupi dari iuran retribusi masyarakat, tetap saja harus didukung dari dana APBD Kabupaten Banyumas. Berdasarkan informasi dari salah satu pejabat di Bagian Keuangan DCKTR Pemkab Banyumas mengemukakan bahwa: “…. untuk pembiayaan pengelolaan sampah, terbagi atas dari APBD dan Retribusi (warga, perusahaan, RS, Pasar dll). Saat ini biaya pengelolaan sampah yang bersumber dari retribusi warga adalah 60%, sedangkan 40% didukung dari APBD Kabupaten Banyumas. Ada anggapan bahwa masalah pengelolaan sampah merupakan tugas Pemerintah dan bukan tugas masyarakat sehingga warga tidak perlu repot-repot dengan membayar iuran lebih banyak. Pemikiran yang demikian nampaknya perlu diluruskan, karena memang pihak pemerintah mempunyai tanggungjawab, namun masalah sampah ini tidak bisa dibebankan sepenuhnya kepada pemerintah saja. Hal ini dikarenakan untuk kepentingan semua
151 masyarakat. Oleh karena itu perlu partisipasi aktif dari masyarakat, pemulung, pengusaha/investor swasta, Akademisi, pemerhati lingkungan…”. Partisipasi Green Community pada aspek Pemberdayaan Masyarakat Partisipasi green community dalam menggerakkan masyarakat dengan menggerakan kembali kearifan lokal yang ada berupa pola kerigan atau kerja bakti di kalangan masyarakat. Pola kerigan yang di tumbuhkan kembali, tentu saja bisa di revitalisasi dengan menyesuaikan kondisi dan situasi yang ada saat ini. Hal ini penting agar kebersamaan berupa gemainschaf dan gesellscaft dapat terjaga terus, sehingga program yang ada dapat berjalan dengan baik. Ketua green community, Hendri (2014), mengemukakan sebagaiberikut: “… wah… pola kerigan dalam kerjabakti itu penting sekali dihidupkan kembali dalam pengelolaan sampah di perkotaan. Walaupun saat ini perlu adanya revitalisasi, namun hal ini perlu diberdayakan kembali, karena saat ini di perkotaan sudah semakin memudar. Lewat pola kerigan ini yang merupakan kearifan lokal dan modal sosial masyarakat, maka kebersamaan akan semakin meningkat, di kalangan masyarakat yang saat ini semakin individualis. Sudah terbukti mas, pada jaman dulu, lewat pola kerigan ini beberapa prestasi sudah dapat diraih Kota Purwokerto, ini berkat kebersamaan masyarakat Kota Purwokerto. Saat ini kami dari green community berupaya menghidupkan dan menumbuh kembangkan kembali pola kerigan dalam pengelolaan sampah rumah tangga di kalangan masyarakat…”. Kegiatan Partisipasi green community dalam aspek pemberdayaan masyarakat lainnya, yaitu melakukan pembinaan kepada komunitas bank sampah, agar menjadi bank sampah, dalam hal manajemen bank sampah, pengelolaan sampah rumah tangga. Seperti dikemukakan Hendri ketua Green Community, bahwa: “ sudah beberapa komunitas yang telah dilakukan pembinaan tentang pengelolaan sampah, seperti komunitas bank sampah Berkoh (sekarang menjadi Bank Sampah Mandiri PAS), Komunitas Bank Sampah Sokanegara, Komunitas Bank Sampah Perumahan Limas Agung, Arcawinangun, Ledug, Komunitas Bank Sampah di Sumbang. Alhamdulillah semua itu berkat kerjasama yang baik antara green community, yang membidangi persampahan dengan masyarakat peduli akan sampah. Untuk selanjutnya kami menunggu dan berperan aktif dalam melaksanakan kegiatan ini kerjasama dengan komunitas-komunitas lainnya….”. Partisipasi secara teknis operasional lainnya dari green community adalah melakukan kegiatan penyuluhan tentang pengelolaan sampah rumah tangga kepada ibu-ibu PKK di setiap perumahan, dengan bekerjasama dengan ketua RT dan Ketua PKK di masing-masing perumahan. Salah satu pengurus green community, Agus (2014) mengemukakan, bahwa: “…penyuluhan ini dilakukan dikarenakan masih banyaknya tumpukan sampah organik dan an-organik yang dibuang ke sungai, sehingga sungai semakin dangkal dan aliran airnya menjadi terganggu. Selain itu juga tumpukan sampah yang ada akan semakin akan menyebabkan pencemaran sungai pada akhirnya
152 terjadi perubahan biota serta munculnya ancaman bagi kelangsungan kehidupan manusia jika cemarannya sampai pada tahap cemaran logam berat….”. Kegiatan Partisipasi green community lainnya adalah melakukan penyuluhan tentang pengelolaan sampah dengan pola 3 R upaya mewujudkan green waste dan juga tentang sosialisasi adanya bank sampah serta sampah yang mempunyai nilai ekonomis. Sosialisasi selalu bekerjasama dengan dasa wisma di setiap pemukiman yang mengajukan. Beberapa dasa wisma, PKK, RT, Kelompok Pecinta Akan sampah, Komunitas Hijau yang ada di wilayah Kelurahan yang sudah meminta dan sudah dilakukan sosialisasi tentang pengelolaan sampah dengan Pola 3R menuju green waste, adalah Arcawinangun, Ledug, Mersi, Berkoh, Sokabaru dan Kembaran. Sebagaimana dikemukakan ketua green community, yang saat itu juga sebagai ketua Bank Sampah PAS Arcawinangun, Hendri sebagaiberikut: “… sudah banyak kerjasama dengan beberapa dasa wisma, komunitas bank sampah, RT dan RW di wilayah Kota Purwokerto, tentang sosialisasi dan penyuluhan mengenai pengelolaan sampah berkelanjutan dengan pola 3 R di kalangan ibu-ibu dasa wisma, warga RT/RW, anggota Komunitas Peduli Sampah dan ibu-ibu PKK baik tingkat RT sampai Kelurahan. Sosialisasi dilakukan pada saat pertemuan kelompok tersebut, sehingga tidak mengganggu waktu mereka, dilakukan hampir setiap dua bulan sekali, ini tergantung undangan yang kami terima dari kelompok tersebut. Secara umum, mereka sangat antusias….”. Partisipasi lain dari green community Kabupaten Banyumas adalah membantu melakukan survey public dalam rangka mengetahui persepsi dan respon masyarakat terhadap penataan alun-alun Kota Purwokerto. Sebagaimana diketahui, bahwa ketika akan dilakukan penataan tanaman, pohon dan peruntukkan dari alun-alun, maka terjadi demo besar-besaran dari masyarakat, baik masyarakat pedagang yang ada di sekitar alun-alun, budayawan yang mengkaitkan keberadaan pohon dengan budaya Banyumas, maupun masyarakat luas. Bupati Mardjoko (2012) bersama jajarannya tetap bertahan akan melakukan penataan alun-alun dalam rangka mendukung Purwokerto sebagai kota hijau. Bupati dan jajarannya melakukan dialog berkali-kali dengan masyarakat, akan tetapi selalu mengalami jalan buntu. Oleh karena itu, green community mengusulkan kepada pihak Pemda untuk menggali persepsi dan respon dari masyarakat tentang penataan alu-alun tersebut. Hal ini penting agar dapat merespon masukan dari masyarakat, agar program bisa berjalan dengan baik dan budaya masyarakat serta sosial ekonomi juga tidak terabaikan. Hasil survey green community terhadap responden dari berbagai strata sosial ekonomi, menunjukkan bahwa umum masyarakat Kota Purwokerto bisa menerima penataan pohon, rumput dan tata ruang dari alun-alun. Hal ini bisa dilihat dari respon masyarakat yang menyatakan senang dengan penataan alun-alun Kota Purwokerto karena bisa menghias “kecantikan” wajah Kota Purwokerto 39,6 persen, sedangkan yang menyatakan sedih dan kecewa karena banyak pohon yang ditebang dan tidak bisa berjualan di alun-alun
153 27,8 persen dan yang menyatakan biasa saja, tidak mempermasalahkan penataan alun-alun tersebut atau “cuek” sebanyak 27,5 persen. Sebagian besar masyarakat 96,6 persen merasa seharusnya masyarakat dalam perencanaan penataan alun-alun ini dilibatkan, agar merasa memiliki keberadaan alun-alun tersebut dan merasa di “uwongkan”. Selanjutnya menyatakan bahwa mayoritas responden merasa Bupati sebagai pihak yang paling bertanggungjawab atas penataan alun-alun 86,7 persen dibandingkan dengan DPRD yang hanya 3,1 persen. Masyarakat juga berharap bahwa pasca penataan alun-alun tersebut, maka menjadikan alunalun menjadi lebih indah dan bersih 42,8 persen dan lebih ramai 30,4 persen. Harapan ini terkait dengan pandangan masyarakat tentang fungsi alun-alun sebagai pusat pemerintahan 55,8 persen dan tempat rekreasi 40,6 persen. Green community menyimpulkan bahwa masyarakat pada umumnya sangat peduli terhadap penataan alun-alun dan penataan ruang Kota Purwokerto. Mengingat tingginya kepedulian masyarakat Kota Purwokerto terhadap penataan kota, maka diharapkan pemerintah daerah dalam setiap program lingkungan agar melibatkan peranserta masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan yang berkaitan dengan penataan ruang publik. Hal ini penting agar masyarakat merasa di uwongkan oleh pemerintah, sehingga merasa memiliki alun-alun tersebut. Partisipasi Green Community dalam Pelaksanaan Pengelolaan Sampah Ramah Lingkungan upaya mewujudkan green waste. Partisipasi masyarakat yang dianggap paling dominan penting dalam pengelolaan sampah adalah terletak pada aspek teknis operasional di lapangan. Hal ini dikarenakan bentuk pengelolaan sampah ke depan diharapkan dimulai dari sumber sampah atau keluarga rumah tangga penghasil sampah lebih berperan dalam melakukan pengelolaan sampah mulai dari tahap memilahan, pewadahan, pengumpulan, pengangkutan dan pengelolaan sampah. Pendekatan partisipasi dari Etzioni (1964) yaitu partisipasi melalui tipe keterlibatan masyarakat dan tipe pengaruh merupakan konsep yang relevan untuk menyusun tingkat dari partisipasi tersebut. Partisipasi green community dalam pengelolaan sampah ramah lingkungan menuju green waste menuju kota hijau sejalan dengan program Kodam IV/ Diponegoro telah mengembangkan program “Jumat Bersih”, “Sabtu Hijau” dan “Minggu Sehat”. Melalui program tersebut Pangdam Diponegoro 2014 (saat itu) Mayjen TNI Sunindyo mengemukakan: “… jajaran Kodam IV Diponegoro, akan membeli seluruh sampah di tingkat RT/RW Semarang, Solo, Purwokerto dan selanjutnya sampah btersebut kembali diolah oleh para serdadu. Pencanangan dilakukan pada tanggal 27 januari 2014. Selanjutnya beliau mengemukakan bahwa seluruh Koramil akan menyediakan bank sampah. Lalu tiap-tiap sampah akan dipilah. Sampah organic dijadikan pupuk sedangkan sampah non-organik akan dikemas ulang. Peluncuran awal di Kota Semarang, selanjutnya diikuti di Kota Solo dan Kota Purwokerto. Pengembangan itu diharapkan bisa menuntaskan masalah sampah di masyarakat, sejatinya sampah pun masih bisa diolah kembali. Program pengelolaan sampah yang sudah lama berjalan adalah di kalangan TNI Kopassus di Cijantung
154 Jakarta.”Demikian Pangdam IV Diponegoro mengakhiri penuturannya di sela – sela pameran alutsista di car free day (CFD) Semarang (Suara Merdeka 2014). Pangdam IV Diponegoro (2014) beserta jajarannya, telah bekerjasama dengan green community dalam pengelolaan sampah ramah lingkungan menuju green waste. Green community melakukan koordinasi dengan TNI-AD yang ada di Kota Purwokerto untuk mensinkronkan program green community dalam pengelolaan sampah green waste dengan program Kodam IV Diponegoro upaya mendukung Purwokerto Kota Hijau. Kegiatan partisipasi secara teknis operasional lainnya dari green community adalah pada setiap minggu pertama setiap bulan, komunitas hijau (green community) bersama masyarakat sekitar Sungai “Kranji”, warga sungai hulu “Kranji” (Desa Melung). Bersama warga Kelurahan Mersi, Kelurahan Arcawinangun beserta SKPD Pemerintah Kabupaten Banyumas, bahkan kerjasama dengan pihak KORAMIL bersama-sama membersihkan sampah Sungai yang ada di Sungai “Kranji” mmenuju terwujudnya green waste terutama yang berada di sekitar bendungan depan SMPN1 Purwokerto maupun di bawah jembatan jalan Jenderal Soedirman Kota Purwokerto. Program ini disebut Serangan Fajar Green Community (Komunitas Hijau) dalam rangka menuju pengelolaan sampah green waste dan sudah berjalan dengan baik, bahkan yang ikut terlibat dalam kegiatan ini semakin banyak. Wahyudi (2014) dari biodiversity community, yang membidangi masalah sungai dalam kepengurusan green community (forum komunitas hijau) mengemukakan kepada peneliti sebagaiberikut: “… program serangan fajar ini merupakan suatu inisiatifnya untuk melakukan kegiatan bersih Sungai Kranji dalam rangka membuat langka kecil untuk menggugah masyarakat Purwokerto agar lebih mencintai sungai sekaligus memberikan pemahaman kepada masyarakat agar selalu menjaga kebersihan sungai dari sampah. Diharapkan dengan serangan pajar ini akan segera ditindaklanjuti di wilayah lain dengan sekaligus membentuk komunitaskomunitas pecinta sungai sekaligus dalam mengembangkan program-program yang berkaitan dengan Kota Hijau Purwokerto. Gerakan ini merupakan awal dari berbagai kegiatan masalah sungai di Komunitas Hijau (green community)…” Kegiatan partisipasi secara teknis operasional lainnya dari green community adalah mengenai Penghijauan di Perumahan Barsole Indah, ini merupakan langkah kecil dalam Program P2KH Purwokerto. Green community (komunitas hijau) bersama-sama ibu-ibu Perumahan Basole Indah, Kelurahan Karangpucung pada umat tanggal 9 desember 2012 melakukan penghijauan dan penanaman pohon disepanjang jalan-jalan perumahan tersebut. Program P2KH Purwokerto tahun 2012, maka kegiatan ini merupakan salah satu role model pengembangan komunitas hijau diberbagai lokasi di Perkotaan Purwokerto. Menurut penuturan seorang pejabat di DCKKTR yang membidangi bidang penataan ruang dan lingkungan hidup, yaitu Kuat Sudaryanto (2014) mengemukakan kepada peneliti bahwa : ”… tingkat keberhasilan program komunitas hijau (green community) di Perumahan Barsole Indah mencapai 95%, hal ini di lapangan terlihat dari pohonpohon yang semakin membesar dan menghijau semenjak 6 bulan penanamannya.
155 Memang terdapat beberapa pohon yang mati, akan tetapi matinya dikarenakan faktor non-teknis seperti tertabrak mobil, bukan karena perawatan yang tidak maksimal. Keberhasilan penanaman yang mencapai 95% ini jelas tidak akan tercapai jika tidak ada peran serta aktif komunitas hijau (green community) yang ada dalam turut merawat serta memelihara pohon-pohon yang sudah ditanam. Ini merupakan keberhasilan dari komunitas hijau dalam kegiatan tersebut dan ini patut diacungi jempol bagi teman-teman di komunitas hijau yang bekerjasma dengan warga di Perumahan Barsole Indah, patut diapresiasi semoga menjadi contoh untuk wilayah di perumahan lainnya…”. Kegiatan partisipasi green community dalam penghijauan Kota Purwokerto. Pihak green community berkerjasama dengan pihak BLHD, melakukan penghijauan. Secara teknis adalah pohon diperoleh dari masyarakat atau pengusaha yang mengurus ijin lingkungan , setiap pengusaha yang mau melakukan ijin lingkungan diminta kontribusi untuk menyumbang bibit pohon, sebetulnya mereka harus menanam, namun karena mereka kesulitan memilih lokasi maka pihak BLHD mengkoordinirnya. Setelah lokasi diketahui, maka pihak green community bersama masyarakat melakukan penanaman atau penghijauan di lokasi yang telah ditentukan. Tercatat 12.000 pohon ditanam di lokasi penghijauan berkat kerjasama antara pihak perusahaan, BLHD, green community dan masyarakat. Partisipasi green community dalam pelaksaan kegiatan persiapan meraih penghargaan piala Adipura. Kegiatan green community dalam ikut berpartisipasi persiapan Purwokerto menjadi Kota Adipura, maka melakukan kerjasama dengan BLHD Kabupaten Banyumas, membentuk posko adipura bertempat di Gedung Kantor BLHD. Ini penting, agar segala masukan dari masyarakat Kota Purwokerto dapat ditampung dan ditindaklanjuti secara teknik operasional. Posko Adipura yang diprakarsai oleh green community dan BLHD ini, dalam kegiatannya selalu melibatkan masyarakat Kota Purwokerto. Seperti melakukan kegiatan Jumat “bersih” bersama-sama masyarakat dan juga TNI-AD melakukan bersih-bersih di sekitar pertokoan secara bergiliran. Partisipasi green community dalam pembentukan bank sampah. BLHD Kabupaten Banyumas mentargetkan setiap RT ada satu bank sampah. Pelaksanaannya kerjasama dengan pihak green community. Sebelum dibentuk bank sampah yang baru, maka green community selalu melakukan sosialisasi tentang bank sampah. Pelatihan management dalam pengelolaan bank Sampah dilakukan green community setelah masyarakat memahaminya. Tahun 2015 ini baru berdiri empat bank sampah, target tahun 2016 tiap kelurahan berdiri satu bank sampah. Partisipasi green community dalam pembentukan bank sampah, yaitu meliputi sosialisasi, penyuluhan dan pelatihan management tentang bank sampah mendukung terwujudnya pengelolaan sampah green waste. Partisipasi green community dalam pengelolaan sampah rumah tangga menuju green waste, salah satu contoh kota yang komitmennya kuat dalam pengelolaan sampah ramah lingkungan menuju green waste adalah Kota Surabaya. Gerakan komunal yang didukung komitmen pemerintah Kota Surabaya, itu menurunkan volume timbunan sampah dalam jumlah yang sangat significant. Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharani, yang menjadi tuan
156 rumah dalam deklarasi “Menuju Indonesia Bersih 2020” pada tanggal 24 Februari 2014 (Kompas 2014), mengemukakan sebagaiberikut: ”… gerakan komunal masayarakat dapat mengurangi volume sampah hingga 30 persen oleh karena itu perlu gerakan komunal tentang komunitas peduli akan sampah atau komunitas hijau (green community) agar persoalan sampah dapat teratasi. Karena persoalan sampah bukan hanya tugas pemerintah saja, akan tetapi semua warga, baik PNS, TNI, POLRI, swasta, inverstor, budayawan, mahasiswa, siswa, akademisi dan sebagainya harus ikut berpartisiasi dalam pengelolaan sampah menuju kota hijau…”. Nirwono (2014), pengamat tata kota mengemukakan (Kompas 2014): “… pengelolaan sampah dapur (rumah tangga) memungkinkan dilakukan secara komunal. Itu akan lebih mudah, jika dilakukan di permukiman yang dikelola pengembang atau perumahan. Selanjutnya, hal yang sama bisa dilakukan di pasar dengan mengolah sampah buah atau sayur. Kompos bisa dimanfaatkan untuk memelihara taman kota. Selanjutnya dia mengemukakan bahwa di Pasar Induk Kramatjati, Jakarta, 50 ton sampah 99% merupakan sampah organic dan dihasilkan setiap harinya tidak pernah diolah. Setiap hari lima truk besar mengangkut sampah ke TPA Bantargebang, Bekasi. Padahal apabila dioalah, maka akan mengurangi truk mengangkut sampah, mengurangi volume sampah di TPA, memperpanjang umur TPA dan juga mempunyai nilai ekonomi yang dapat menambah pendapatan keluarga atau komunitas…”. Rencana kegiatan green community dalam pengelolaan sampah ramah lingkungan menuju green waste adalah meniru kegiatan yang dilakukan di Kota Bandung. Kegiatan tersebut yaitu mendirikan posko hijau (green Posco) dalam rangka membangkitkan ekonomi sampah kota. Potensi sampah di Kota Purwokerto yang mendekatai 300 meter kubik per hari, maka green community sepakat perang terhadap sampah kota Purwokerto. Hendri (2014) ketua green community Kota Purwokerto, mengemukakan: “… begini pak, ketika saya akan mendirikan Bank Sampah di Arcawinangun PAS, maka saya studi banding ke Bank Sampah di Kota Bantul Yogyakarta, dan hasilnya cukup significant. Bahkan bisa menularkan ke beberapa komunitas peduli akan sampah menjadi membentuk Bank Sampah. Nah… sekarang, saya belajar ke Kota Bandung dan Surabaya. Kota Surabaya sangat baik sekali dalam penanganan lingkungannya termasuk sampahnya. Juga di Kota Bandung, menjadikan inspirasi kepada saya dalam rangka membentuk Jaringan Posko HIjau (JPH) didalamnya dalam pengelolaan sampah., dengan merangkul beberapa pengusaha, investor, LSM dalam penanganan sampah tersebut…”. Mengacu pengelolaan sampah ramah lingkungan green waste di Kota Bandung, yaitu beberapa assosiasi pengusaha, asosiasi profesi dan LSM sepakat untuk mendirikan Jaringan Posko Hijau (JPH), sebagai gerakan untuk menggalang partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah secara baik dan benar. Selain itu juga dimaksudkan untuk menciptakan lingkungan yang sehat. JPH juga bertujuan menciptakan suatu nilai tambah yang layak dan pengelolaan sampah yang benar dengan demikian dijadikan alternative penciptaan lapangan kerja dan peningkatan ekonomi bagi masyarakat. Demikian salah satu
157 pemikiran dalam deklarasi pendirian JPH yang diantaranya didukung Assosiasi Pengusaha Kecil dan Menengah Indonesia (APPKMI) Jabar. Assosiasi Konsultan Non-Konsrtuksi Indonesia (ASKINDO), Assosiasi kelompok UUPKS (AKU) Jabar, Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Kota Bandung dan Forum RW Kota Bandung. JPH ini merupakan kelanjutan dan Gerakan Darurat Penanganan Sampah Kota (GDPS), yang didirikan 22 Februari 2005, tepatnya sehari setelah terjadinya bencana longsor di TPA “Lewigajah”. Namanya dirubah karena tujuannya lebih luas ujar pendiri insisiator pendirian GDPSK dan JPH , Somson Garsoni (2014), setelah deklarasi JPH. Somson Garsoni, salah satu inisiator pendiri GDPSK dan JPH (Pikiran Rakyat 2014) mengemukakan bahwa: “… dalam setahun terakhir ini lewat beberapa sosialisasi mengenai pengelolaan sampah yang ramah lingkungan, GDPSK telah berhasil mendorong pembentukan 22 Instalasi pengelolaan sampah Kota (IPSK) di tingkat komunal RW, 500 di tingkat RT dan 30 IPSK di lingkungan industry. Pengelolaan sampah ini harus berjalan secara simultas di tiap-tiap ;evel pengolahan. Pengelolaan di rumah tangga, komunal, industry dan TPA pembenahannya harus dilakukan bersama. Ini memerlukan tingkat teknologi berbeda-beda. Saya optimis, jika pengolahan sampah bisa dilakukan secara simultan di tiap-tiap titik level bisa meningkatkan perekonomian secara significan. Misalnya jika semua sampah di Kota Bandung, Kota Cimahi, Bandung Raya, diarahkan pengolahannya menjadi kompos, paling tidak akan memunculkan bisnis sampah baru, senilai Rp. 450.000.000 per hari, ini sangat bernilai tinggi….”. Berikut ini dikemukakan gambaran kasus pengelolaan sampah di Kota Bandung yang memerlukan peranserta dan partisipasi masyarakat dalam pengelolalan sampah tersebut. Hal ini dikemukakan pada saat Acara “Seminar Memperingati Hari Bumi yang digagas oleh Kompas dan Pemerintah Kota Bandung pada hari Rabu tanggal 23 April 2013 di Graha Kompas Gramedia, yang bertemakan “Gotong Royong Kurangi Sampah dari Sumbernya”. Kota Bandung setiap hari 2.500.000 jiwa masyarakat Kota Bandung menghasilkan sampah rata-rata sebanyak 1.500.000 kg (1.500 ton) sampai dengan 1.600.000 kg (1.600 ton). Dari sebanyak itu, yang tidak dapat terangkut dan terolah setiap hari oleh petugas sampah ke TPA sebanyak 150.000 kg (150 ton) sampai dengan 200.000 kg (200 ton) sampah. Sampah hasil produksi masyarakat Kota Bandung yang dapat terangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti hanya 1.100.000 kg (1.100 ton) sampai dengan 1.200.000 kg (1.200 ton). Sedangkan sebanyak 150 ton (150.000 kg) sampai dengan 250 ton (250.000 kg) yang dapat diolah warga, dan sebanyak 150 ton (150.000 kg) sampai 250 ton (250.000 kg) sampai lainnya diduga menumpuk di tempat pembuangan sampah liar atau di bantaran sungai, ini merusak citra Kota Bandung. Kondisi ini rentan membuat Kota Bandung kembali terpuruk dalam penanganan sampah. Tanpa partisipasi masyarakat, maka pemerintah Kota Bandung tidak mungkin bisa menyelesaikan masalah sampah tersebut. Pengelolaan sampah juga menyedot anggaran sangat tinggi, tahun 2013 Pemkot Bandung mengeluarkan dana Rp. 87.000.000.000,00 untuk membersihkan dan
158 mengangkut sampah serta menyewa lahan TPA Sarimukti. Ratusan truk diperlukan untuk mengangkut kapasitas setiap truk hanya bisa mengangkut 5.000 kg (5 ton) sampah (Cecep 2014). Sehubungan dengan kondisi sampah yang ada saat ini di Kota Bandung, maka selanjutnya Cecep (Pikiran Rakyat 2014), selaku Direktur Utama Perusahaan Daerah Kebersihan Kota Bandung mengemukakan sebagaiberikut: “… karena itu, maka peran serta masyarakat Kota Bandung sangat berperan sekali dalam mengurangi beban sampah Kota Bandung. Pemilahan sejak di rumah atau di lingkungan tempat tinggal untuk meringankan pengelolaan dan penumpukan sampah. Oleh karena tanpa partisipasi masayarakat maka kebersihan tidak akan tercapai…”. Hal senada disampaikan oleh Muhammad Satori (2014), Koordinator Forum Gerakan Masyarakat Cinta Cikapundung (FGMCC) atau coordinator green community mengemukakan sebagaiberikut: “… sebenarnya kemandirian masyarakat di Kota Bandung dalam pengelolaan sampah green waste saat ini sangat tinggi. Seperti contohnya kemandirian 47 komunitas peduli kebersihan Sungai Cikapundung. Ini bisa menjadi tenaga dan modal ideal untuk membuat Kota bandung bersih dari sampah. “Kemandirian ini perlu kelembagaan dan koordinasi kuat di Kota Bandung. Sebagai contoh yang sudah berhasil adalah Kota Surabaya dengan Wali Kota Rismawati yang sudah menerapkan hal ini dan sudah berhasil…”. Eric Atthauriq (Pikiran Rakyat 2014), selaku Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bandung mengemukakan sebagaiberikut: “… pihak BLHD terus menerus menjalin komunikasi untuk mewujudkan kerjasama serta koordinasi antara Pemerintah dan Masyarakat Peduli Lingkungan. Ini menjadi kunci berjalannya penanganan sampah geen waste di Kota Bandung. Kami terus menerus mewujudkannya dengan menerapkan kurikulum lingkungan, peraturan daerah (Perda) tentang pengelolaan sampah, hingga menggagas pedoman BUDAYA bersih di perkantoran dan perumahan…”. Pendapat senada disampaikan oleh Ria Ismaria (2014), selaku Konsultan Lingkungan Kota Bandung, mengemukakan sebagaiberikut: “ … dukungan semua pihak pada kemandirian masyarakat harus terus didorong oleh semua stakeholders, masyarakat peduli lingkungan (green community)bisa menjadi semangat bagi masyarakat lainnya untuk melakukan kegiatan yang sama dalam pengelolaan sampah agar dapat mengurangi tumpukan sampah di Kota Bandung, dan ini juga berlaku bagi kota-kota lainnya yang mengalami nasib sama dalam pengelolaan sampah…”. Pengelolaan sampah oleh Pemda yang mengalami kesulitan saat ini adalah Pemerintah Kota (Pemkot) Tegal, Propinsi Jawa Tengah, dimana Pemda terancam kesulitasn dalam mengelola sampah, karena sewa lahan masyarakat untuk TPA di Kelurahan Muareja, Kecamatan Tegal Barat akan berakhir pada Oktober 2015 dan tidak bisa diperpanjang lagi. Padahal TPA pengganti belum
159 ada. Inilah kendala Pemkot yang ada dalam pengelolaan sampah yang memerlukan partisipasi masyarakat. Kendala yang dihadapi pembuangan sampah ke TPA Bantargebang Bekasi, dirasakan Pemda DKI. Pemkot Bekasi ada kerjasama dengan DKI. Namun dalam praktek di lapangan ada kendala, sehingga beberapa truk pengangkut sampah dari DKI ditahan di DCKKTR Bekasi. Truk ini melanggar kesepakatan , sehingga menimbulkan pencemaran lingkungan perkotaan bagi wilayah Bekasi dan mendapat protes dari masyarakat Bekasi yang dilewati truk pengangkut sampah dari DKI. Hal inilah akhirnya menyebabkan terjadinya “ketegangan” di kedua belah pihak. Partisipasi Green Community pada aspek Kerjasama Antar Lembaga Upaya Menuju Green Waste. Kegiatan partisipasi green community lainnya adalah melakukan kerja sama dengan pihak BLHD dan DCKKTR Kabupaten Banyumas, untuk melibatkan stakeholder pengusaha ataupun BUMD agar mau berpartisipasi dalam penyediaan fasilitas tempat pengumpulan sampah untuk ditempatkan di tiap-tiap jalan protokol. Kegiatan ini cukup berhasil terbukti ada beberapa ribu tong sampah yang sudah terpasang di setiap trotoar pinggir jalan utama di Kota Purwokerto. Stakeholder yang telah berpartisipasi dalam penyediaan tong sampah dan sudah terpasang adalah merupakan hasil kerjasama dengan sebagai berikut:: (a) BLHD; (b) Skiva; (c) PT.Biotaraka; (d) Alfa Market; (e) BNI46; (f) BRI; (g) Rajawali Theatre; (h) Radar Banyumas; (i) PT. Indosat; (j) Kantor Pegadaian; (k) Developer Sapphiere Regency; (l) Pujiro Group; (m) Rita Supermarket; (n) Griya Satria Developer dan (o) BKM Satria Sokasari. Namun demikian, terlihat sudah ada beberapa tong sampah yang dirusak masyarakat, bahkan ada tong sampah yang masih bersih, ataupun tong sampah yang diperuntukkan sampah organic dan non-organik, tetapi dalam prakteknya dicampur sehingga menyulitkan para petugas sampah. Hal ini menunjukkan, bahwa kesadaran masyarakat akan kebersihan dan pengelolaan sampah yang berkelanjutan (green waste) sangat kurang sekali. Alhasil, tong sampah masih belum dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat Kota Purwokerto. Disatu sisi, petugas kebersihan dari Dinas Cipta Karya kebersihan dan Tata Ruang (DCKKTR) dalam mengumpulkan sampah juga masih dicampur, sehingga kurang mendukung terhadap pemisahan sampah antara organic dan non-organik. Perlu adanya kesadaran di kalangan petugas dengan mengadakan berbagai penyuluhan kepada mereka agar paham dan menyadari pentingnya pemisahan sampah organik dan non-organik tersebut. Seorang pejabat di Dinas Cipta Karya, Zahrin (2015), mengemukakan sebagaiberikut: “…. Memang partisipasi dari stakeholders cukup baik pak, hanya saja kesadaran masyarakat Kota Purwokerto masih belum sesuai yang diharapkan. Bisa dilihat tong-tong sampah tersebut banyak yang masih kosong, kalupun isi, maka isinya banyak yang tercampur. Padahal kalau dilihat dari nominal harga tong seharga Rp. 400.000,00 untuk satu buah tong sampah terpasang. Oleh karena itu penting sekali peran serta masyarakat, untuk itu kesadaran masyarakat perlu ditingkatkan….”.
160 Penanggungjawab Bank Sampah “Mandiri” Berkoh , Zulhan (2014), mengemukakan tentang keberadaan tong-tong sampah yang berada berbagai di jalan di Kota Purwokerto sebagaiberikut: “….. wah… percuma pak, banyak tong sampah di jalan-jalan kota Purwokerto, apabila mental dan kesadaran masyarakatnya terhadap sampah masih rendah. Yang penting, sebetulnya pemahaman dan persepsi serta sikap masyarakat perlu dirubah dulu, baru diadakan tong-tong sampah. Atau perlu diterapkan sanksi terhadap masyarakat yang membuang sampah di sembarang tempat. Memang harus dipaksakan masyarakat tersebut agar mau mentaati peraturan dalam pengelolaan sampah. Contoh di Singapura, masyarakatnya tertib dalam lalu lintas, dalam pembuangan sampah dan sebagainya. Masyarakat Indonesia yang berkunjung ke Singapur juga mereka ternyata bisa patuh juga dalam pembuangan sampah. Ini berarti bisa, hanya saja sistemnya perlu di pertegas untuk Indonesia agar bisa mencontoh di Singapura. Memang merubah sikap dan perilaku memerlukan waktu yang cukup lama, tapi kalau tidak dimulai sekarang , maka kapan lagi….”. Tempat-tempat sampah (tong sampah) yang telah dibangun BLHD dan Stakeholders yang ada di Kota Purwokerto sekarang ini kondisinya banyak yang rusak. Sehingga BLHD Banyumas telah memprogramkan penambahan atau penggantian tempat sampah yang baru dengan cepat. Kepala BLHD Kabupaten Banyumas, Gernadus Dwi Pindarto (2014) mengemukakan sebagaikerikut: “… dalam upaya menuju Kota Purwokerto sebagai Kota Adipura, kami BLHD telah mempersiapkan 150 tempat sampah baru untuk mengganti tempat sampah yang lama yang telah ada, yang kondisinya rusak maupun yang hilang. Jika lebih, maka kami akan tetap pasang sebagai tambahan agar seluruh sudut kota terdapat tempat sampah. Selama ini BLHD telah menempatkan 353 tempat sampah dari bahan plastic besar yang tersebar di jalur-jalur ramai orang berkerumun atau di dekat pemukiman penduduk. Dari jumlah tersebut hanya 334 tempat sampah yang masih utuh dan masih pula digunakan masyarakat. Dengan begitu, sedikitnya ada 20 tempat sampah yang hilang/rusak dan perlu diganti. Karena ada 150 tempat sampah baru, maka 20 tempat sampah yang rusak atau hilang bisa langsung digant, maka setidaknya ada 130 tempat sampah baru sebagai tambahan yang akan ditempatkan di lokasi baru agar seluruh sudut Kota Purwokerto ada tempat sampah dan masyarakat tidak membuang sampah sembarangan. Kami optimis predikat untuk mendapatkan Adipura tahun 2015 ini akan tercapaii….”.. Kegiatan partisipasi green community dalam teknis operasional yaitu mensosialisasikan bank sampah, dengan melakukan Kerjasama bank sampah dengan SMP Negeri 5 Purwokerto dan dengan BLH Kabupaten Banyumas. Pada tanggal 27 Februari 2014 sampai 12 Maret 2014 bertempat di Aula SMP Negeri 5 Purwokerto telah dilakukan gambar pameran poster dengan tema bank sampah. Tema ini merupakan kerjasama antara SMP Negeri 5 dengan bank sampah. Sedkitnya ada 52 lembar poster dalam kertas karton lebar dan juga spanduk, berhasil dipamerkan dalam kegiatan ekstrakulikuler ini.
161 Pengampu mata pelajaran ekstrakulikuler, Cipto Pratomo (2014), mengemukakan bahwa kegiatan pameran ini bermaksud untuk turut serta mensosialisasikan kepada warga sekolah dan masyarakat Kota Purwokerto yang berkunjung nonton pameran tentang pentingnya mengikuti program Pemda Banyumas, khususnya program BLHD tentang Bank Sampah yakni program kebersihan lingkungan untuk mengubah sampah menjadi rupiah. Sejak tanggal 21 Februari 2014 oleh BLH Kabupaten Banyumas, Dwi Pindarto selaku Kepala BLHD, bertempat di kompleks GOR Satria telah dicanangkan sebagai awal dimulainya beroperasi bank sampah. Walaupun sebelumnya sudah ada berdiri beberapa bank sampah secara mandiri. Dwi Pindarto (2014) mengemukakan bahwa siapapun orang yang ingin mendapatkan modal dari bank , bisa diberi khusus jika kegiatan pemanfaatan sampah untuk usaha mandiri ini harus didukung dan pihak BLHD mendukung melalui berbagai poster. Selanjutnya menyatakan bahwa sengaja mengajak anak didiknya untuk membuat gambar poster dengan tema bank sampah, ini menjadikan para siswa semakin paham pentingnya menjaga kebersihan lingkungan hidup. Bank sampah keberadaanya , selain lingkungan menjadi bersih, juga sampah yang terkumpul dan bisa dikelola untuk hal-hal bermanfaat. Misalnya untuk pupuk atau bahan kerajinan kebutuhan rumah tangga juga semakin baik. Kami minta nantinya di setiap Kecamatan berdiri bank sampah, ujar Cipto Pratomo, umur 52 tahun (2014). Dukungan diberikan kepala SMP Negeri 5, (2014) , mengatakan kepada peneliti : “… kami bangga dengan adanya program bank sampah, kami siap ikut mendukung dan mensuksesan program-program tentang bank sampah ini. Bila siswa kami nantinya dilibatkan, maka kami punya masa yang cukup banyak untuk mensuksesan program bank sampah ini, dengan mensosialisasikan hal tersebut. Pameran bergambar desain poster yang berjumlah 52 lembar ini, selain bertemakan bank sampah, juga menggunakan bahasa lokal Jawa berdialek banyumas ngapak-ngapak. “Ini juga disesuaikan dengan keinginan Pemkab banyumas yang mencanangkan Kamis Ngapak-ngapak, yaitu setiap kamis seluruh pegawai atau karyawan Pemda Banyumas untuk menggunakan bahasa Jawa Banyumasan selama kerja di kantor. Intinya pemda Banyumas ingin mengaktifkan kembali kearifan lokal seperti pola kerigan. Poster yang menggunakan bahasa lokal Banyumasan diantaranya adalah: Berbunyi : “Bank sampah, Papan nyulap Runtah dadi Rupiah” atau “Yuh nyipen runtah maring Bank Sampah” dan kalimat poster “Gagian padha melu nyengkuyung Bank Sampah”. Risky Rofiq, siswa SMPN 5 mengaku sangat senang karena bisa ambil bagian mensosialisasikan adanya program bank sampah. Kami juga ingin nantinya di Sekolah-sekolah ada program semacam ini agar kami langsung bisa turut menjadi nasabah bank sampah juga bisa ikut menabung sekaligus merawat kebersihan lingkungan….”. Demikian salah satu bentuk kegiatan dari green community dalam pengelolaan sampah rumah tangga menuju green waste, khususnya bank sampah dalam upaya mensosialisasikan keberadaan bank sampah dan menyadarkan siswa SMP Negeri 5 Purwokerto tentang pentingnya menjaga kebersihan lingkungan dengan menggunakan pola kerigan. Inilah salah satu bentuk partisipasi green community dalam pengelolaan sampah rumah tangga berbasis
162 kearifan lokal ramah lingkungan menuju green waste upaya mendukung kota hijau Purwokerto. Partisipasi Green Community Menjaga Keseimbangan Lingkungan Partispasi green community dalam menjaga keseimbangan lingkungan adalah dengan melakukan DED Taman Kota Arcawinangun, lokasi di Kelurahan Arcawinangun Purwokerto Timur. Luas taman kota ini adalah 5.400 meter persegi, dan dibangun menjadi taman edukasi yang menekankan pada konsep green open space. Didi Rudwianto, Ketua Bappeda Kabupaten Banyumas (saat ini menjadi Assiten Sekda Bidang Pembangunan, sebelumnya menjabat kepala BLHD ) (2014), mengemukakan: “… Kabupaten Banyumas saat ini sudah mencapai 15% RTH, yaitu RTH public 10% dan RTH privat lima persen . Kemudaian untuk sosialisasi dilakukan melalui masyarakat komunitas hijau (green community). Kelurahan Arcawinangun baru saja mendapat penghargaan sebagai kelurahan Terhijau di Provinsi Jawa Tengah. Hal ini merupakan salah satu keberhasilan dari green community dalam membina masyarakat Arcawinangun, karena green community menata taman di Arcawinangun ini menjadi taman edukasi..”. Guru Besar Pemerhati Ekonomi Lingkungan dari Unsoed, Agus Suroso, (2014) mengemukakan kepada peneliti saat seminar lingkungan bahwa : “… kegiatan kampanye public yang dilakukan green community tentang penataan ruang sangat bagus sekali dan pada dasarnya pihak Unsoed sangat mendukung apa yang dilakukan green community . Karena memang green waste, green energy, green transportation, itu memang syarat untuk menjadi kota modern. Unsoed menunggu kerjasama dari pemerintah untuk mewujudkan semangat green living..”. Senada dengan hal tersebut, seorang Kepala UPT Persampahan Dinas Cipta Karya Kebersihan dan tata Ruang (DCKKTR) Kabupaten Banyumas (2014) , mengemukakan bahwa: “… program pembuatan taman yang pertama dilaksanakan adalah Taman Balai Kambang di Arcawinangun dan di Jatilawang. Selanjutna, di Kota Purwokerto sudah berdiri Taman kota yang juga menjadi tempat rekreasi masyarakat Kota Purwokerto, yaitu Taman “Andhang Pangrenan” (TRAP), 2014. Taman-taman tersebut, pada hari-hari biasa yaitu sore hari dan pada hari libur, padat dikunjungi oleh masyarakat Kota Purwokerto Untuk selanjutnya, karena Banyumas ada 24 kawasan perkotaan, maka seharusnya minimal mempunyai duapuluh embat buah taman. Tata ruang itu juga harus disesuaikan perkembangan kota yang ada. Hal ini merupakan tantangan dari Pemerintah, masyarakat dan green community untuk mendorong tercapainya sejumlah taman tersebut dalam rangka mendukung program pengembangan kota hijau Kota Purwokerto…”. Partisipasi green community dalam pelaksaan menjaga keseimbangan lingkungan, yaitu melaksanakan kegiatan dengan keikutsertaan masyarakat ( green community) dalam penyediaan, penataan dan pemeliharaan RTH menjadi
163 penting, karena masyarakat akan menjadi penerima manfaat utama sekaligus membangun rasa kepemilikan (sense of ownership) terhadap RTH. Dalam kegiatan P2KH ini, juga diharapkan mampu menciptakan kesadaran akan pentingnya RTH dan perubahan gaya hidup yang lebih peduli lingkungan dan mewujudkan dalam praktek yang lebih luas. Salah satu kegiatan adalah DED Taman “Balai Kemambang”, dengan luas 1,2 Hektar, di desain menjadi taman air. Beberapa RTH lainnya yang sudah ada saat ini dalam upaya mendukung terwujudnya kota hijau dengan program P2KH adalah : a. TRAP “Andang Pangrenan” luas 1,8 hektar b. Taman “Satria” (Berkoh) c. Taman “Soedirman” (Karanglewas) d. Baturraden Botanical Garden (QUOTE) Taman yang direncanakan Pemda bersama green communit y adalah : a. Taman KEHATI (berisi aneka tanaman langka) b. Taman Buah (direncanakan seperti mekarsari di Bogor) c. Rita Theme park (konsepnya alam) Partisipasi green community dalam pembuatan lubang resapan biopori. Di beberapa titik seperti di Arcawinangun, Karangwangkal, Mersi, dilakukan pembuatan lubang resapan biopori, untuk pembuatan lubang resapan biopori, dilakukan di sekolah-sekolah SD, SMP dan SMA serta membuat lubang resapan biopori , juga di kantor/Dinas di wilayah Kota Purwokero. Lubang resapan biopori, umumnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hal tersebut masih kurang, dikarenakan ketidak tahuan akan manfaat lubang resapan biopori tersebut. Khusus untuk masyarakat dilakukan penyuluhan tentang pentingnya sumur resapan dan lubang resapan biopori untuk lingkungan, dan dilakukan juga pelatihan pembuatan sumur resapan dan lubang resapan biopori. Kegiaatan pembuatan sumur resapan lubang biopori, sebagai percontohan di lingkungan Unsoed oleh Program Magister Ilmu Lingkungan di LPPM. Partisipasi Aktor Green Community dalam Melestarikan Alam “Gunung Slamet” mendukung Upaya Terwujudnya Green Waste Gregorius Magnus Finesca, Kompas Nusantara, Jumat, 2 Mei 20014 halaman 24 mengemukakan tentang kegiatan Forum Silaturahmi Peduli Lingkungan (FSPL) “Gunung Slamet” (analisis isi). FSPL merupakan suatu forum silaturahmi peduli lingkungan yang anggotanya terdiri dari gabungan kelompok pecinta alam, kelompok pecinta lingkungan disebut juga sebagai forum green community di wilayah Kabupaten Banyumas, Purbalingga, Cilacap, berdiri pada tahun 2012. Kegiatan yang sudah berjalan selama dua tahun ini adalah menggelar kegiatan “Bersih Slamet” sebagai salah satu upaya pelestarian alam lingkungan gunung setinggi 3.432 meter di atas permukaan laut tersebut. Aktivitasa nyata meliputi pembersihan dari sampah pengunjung, pendaki “Gunung Slamet” tersebut, saat ini aktifitas “Gunung Slamet” kondisinya sangat membahayakan. Tanggal 1 April 2014 sttatus nya ditetapkan “waspada” (level II), menarik untuk dikunjungi. Masifnya pendakian dengan banyak jalur membuat gunung itu dipenuhi sampah dan mengancam kelestariannya sehingga keberlanjutannya terganggu..
164 “ Gunung Slamet” merupakan gunung tertinggi kedua di Pulau Jawa, saat ini kondisi lingkungannya sangat memperihatinkan, menjadi “lautan” sampah yang diselenggarakan pecinta lingkungan alam “palsu”. Sekelompok pemuda yang tergolong dalam green community, Forum Silaturahmi Peduli Lingkungan Gunung Slamet (FSPL), rela bermandi peluh, menyusuri jalur-jalur pendakian demi memunguti berton-ton sampah an-organik yang ditinggalkan oleh pecinta alam “palsu” tersebut. Sejumlah strategi digagas agar pendaki gunung “jera” mengotori gunung “Slamet”. Demi satu misi, menjaga “Gunung Slamet” tetap lestari (Gregorius 2014). Partisipasi green community FSPL ini dengan melakukan aksi nyata berupa bersih-bersih “Gunung Slamet” dari Sampah an-organik, kampanye tentang pengelolaan sampah dan lingkungan kepada pengunjung dan pendaki gunung, merencanakan sistem depositi sampah bekerjasama dengan Dispora dan masyarakat sekitar “Gunung Slamet”. Setyanto, usia 34 tahun, seorang anggota FSPL dari green community Banyumas, menuturkan tentang kondisi sampah di “Gunung Slamet” tersebut, saat ini sebagaiberikut: “…. sampah di sepanjang jalur pendakian sudah memperihatinkan. Mungkin banyak orang melihat upaya ini seperti menggarami air laut, tetapi kami yakin pendaki yang melihat jerih payah kami ini ke depannya akan berpikir ulang sebelum membuang sampah di gunung. Sebenarnya tidak hanya di jalur pendakian saja, namun sampah juga dibuang seenaknya sendiri dalam beberapa shelter (tempat berlindung), mulai dari pos I hingga pos VII, dan banyak pendaki juga membuang sampah dalam hutan….”. Pernyataan yang sama disampaikan juga oleh Aji, umur 29 tahun, seorang aktivis FSPL “Gunung Slamet” (2014), mengungkapkan bahwa: “…mencermati data pendakian dan estimasi jumlah logistic yang dibawa setiap pendaki, sampah disepanjang jalur pendakian akan menumpuk terus. Satu pendaki sedikitnya membawa logistic 5-8 bungkus mie instan, 3-5 bok susu, 10=15 kemasan kopi, 2 kaleng sarden, 3 bungkus tisu basah, 3 rol tisu kering, 3 botol air mineral dan 1 bungkus rokok. Dalam sweeping Maret 2014, belasan anggota PSPL :Gunung Slamet” setidaknya berhasil mengumpulkan dan membawa turun 57 kantong besar penuh berisi sampah an-organik. Setiap kantong berisi 15-20 kg sampah, sehingga jumlahnya sekitar 1.140 kg (1,14 ton) sampah yang dibawa turun anggota FSPL (green community)…”. Dodo, ketua FSPL “Gunung Slamet” (2014), mengemukakan: “….tim FSPL itu menuruni gunung dengan memanggul kantong bekas itu. Sampah itu dibawa ke TPA. Relawan juga terpaksa membongkar tempat sampah dari bambu yang berada di Pos 1. Keberadaan tempat sampah di jalur pendakian sama saja mengijinkan pendaki membuang sampah di tempat itu. Padahal yang diharapkan, “Gunung Slamet” bersih dari sampah. Artinya sampah juga tidak boleh ditimbun karena bisa mencemari. Sampah an-organik seperti plastik, kaleng, bekas botol kaca dan steryoform, adalah barang yang sangat sulit diurai tanah, air dan makhluk bawah tanah. Racun dari partikel plastik yang masuk ke
165 tanah akan membunuh hewan pengurai dalam tanah, seperti cacing. Adapun kantong plastik mengganggu jalur air yang terserap dalam tanah. Yang pasti timbunan tanah an-organik akan menurunkan kesuburan tanah karena plastik menghalangi sirkulasi udara di dalam tanah dan ruang gerak hewan pengurai… ”. Pendaki “Gunung Slamet” yang jumlahnya mencapai puluhan ribu orang pertahun, semestinya turut andil dalam pelestarian “Gunung Slamet”. Oleh karena itu, komunitas FSPL ikut mempromosikan kampanye pendakian tanpa mengotori gunung. Hal ini disadari relawan sampah bahwa harus ada langkah preventif mencegah pendaki mengoootori gunung. FSPL mulai menerapkan aturan semacam system deposit untuk penangan sampah anorganik upaya mewujudkan pebgelolaan sampah green waste. Sistem Deposit Sampah yang digagas green community , dikemukakan Dodo, juga selaku ketua FSPL, mengemukakan tentang deposit sampah adalah sebagaiberikut: :…teknik pelaksanaan deposit sampah adalah dengan cara sebagaiberikut yaitu pendaki yang akan naik ke puncak gunung diminta menjaminkan barang atau uang di Pos Pendakian Blambangan. Jaminan itu bisa diambil kembali dengan menyerahkan sampah yang dihasilkannya sendiri di gunung tersebut. Namun rencana ini baru akan dikoordinasikan dengan Dinas Pariwisata Pemuda dan Olah raga (Dinparpora), selaku pengelola jalur pendakian “Gunung Slamet”. Tim FPSL “Gunung Slamet” sadar, menjadi pencinta alam lingkungan harus lebih dari sekedar penikmat alam, bahkan di benak mereka terpatri bahwa sebagai seorang pencinta gunung sekaligus seorang pencinta alam, mereka rela meninggalkan gunung untuk selama-lamanya, itu bisa melestarikan lingkungan. ...”. Rencana solusi penanganan sampah di ” Gunung Slamet” yang digagas green community bersama-sama FPSL , nampaknya sependapat dan mendapat sambutan postif dari Kepala Dinparpora, Prayitno, mengemukakan bahwa: “… saya sangat apresiatif sekali terhadap rencana penanganan sampah di Gunung Slamet oleh teman-teman FSPL atau green community, karena pengelola juga tidak akan mungkin membawa turun sampah dari para pendaki. Gerakan ini harus dimulai untuk memantik kepedulian pendaki lain…”. Berdasarkan data dari Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (KSDA) Jawa Tengah dan dari Pos Pendakian “Gunung Slamet” di Kutabawa, laporan data kondisi Januari 2014, tentang deskripsi ekologi “Gunung Slamet” . Berdasarkan data yang ada, tercatat sebagaiberikut bahwa ketinggian berada pada 3.432 meter di atas permukaan laut, dengan status gunung aktif. Wilayah gunung ini meliputi 5 wilayah Kabupaten, yaitu Banyumas, Purbalingga, Brebes, Pemalang dan Kabupaten Pekalongan. Luas sisa hutan saat ini mencapai 52.617 ha, dengan sepertiganya yaitu sekitar 20.000 ha berupa hutan lindung. “Gunung Slamet” ini selalu ramai dikunjungi pendaki dari berbagai daerah, dari kalangan siswa, mahasiswa, umum, setiap tahun jumlah kunjungannya meningkat terus. Berdasarkan data yang ada bahwa jumlah pendaki ke “Gunung Slamet”, setiap tahun sebanyak sekitar 50.000 orang dengan jalur pendakian melalui Kaliwadas Kabupaten Brebes, Bambangan Kabupaten Purbalingga dan jalur Baturraden Kabupaten Banyumas.
166 Adapun untuk fauna endemic yang ada di “Gunung Slamet” meliputi elang Jawa, macan tutul surili Jawa, owa Jawa, rekretan, kucing hutan dan kijang. Sedangkan flora endemik meliputi anggrek permata, kantong semar, palem jawa dan pinang Jawa. Kekayaan alam ini harus dijaga, dilestarikan agar tidak tercemar, sehingga tetap menjadi daya tarik bagi pengunjung, pendaki gunung dan juga kelstarian ekosistem yang ada di dalamnya tetap terjaga dengan baik, konservasi tetap terjaga. Sampah an-organik yang ditinggalkan pengunjung, pendaki agar dibersihkan, dikelola dengan baik dan ini merupakan tanggung jawab semua untuk menjaganya. Perlu ditumbuhkan kesadaran kepada semua pihak agar ikut berperanserta dalam menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan “Gunung Slamet” agar terjaga kesinambungan dan berwawasan lingkungan. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kondisi kualitas lingkungan “Gunung Slamet” saat ini menurun, oleh karena itu perlu partisipasi semua pihak tanpa kecuali agar dapat menjaga kualitas lingkungan menuju ke tingkat lebih baik. Berdasarkan analisis isi, salah satu kemunitas masyarakat yang peduli terhadap lingkungan “Gunung Slamet” adalah FSPL green community “Gunung Slamet”. Komunitas ini telah melakukan aksi nyata secara rutin dengan cara sebagaiberikut (a) bersih-bersih sampah an-organik di “Gunung Slamet” yang berasal dari para pengunjung, pendaki, (b) merencanakan suatu kampanye pelestarian lingkungan dan pembersihan sampah, (c) menggagas Sistem Deposit Sampah bekerjasama dengan Dispora dan masyarakat sekitar “Gunung Slamet”. Oleh karena itu perlu adanya dukungan baik moril maupun materil dari pihak Pemerintah Banyumas, Brebes, Purbalingga, Pemalang dan juga dari Pemprop Jawa Tengah, karena ini untuk kepentingan bersama ummat manusia dan seluruh ekosistem yang ada di dalamnya, sehingga kelestarian lingkungan di “Gunung Slamet” akan terjaga dengan baik (Kompas 2014). Partisipasi Pengusaha Rongsok/Pengepul /lapak dalam Pengelolaan Sampah Upaya Mendukung Terwujudnya Green Waste Pemerintah Daerah Kabupaten Banyumas dalam pengelolaan sampah sudah melakukan kerjasama dengan pihak swasta/investor. Bentuk kerjasama yang dilakukan adalah pihak perusahaan melakukan pekerjaan penyapuan dan pengangkutan sampah secara sendiri pada lingkungan industrinya dan lingkungan pertokoan serta perumahan karyawan di industri tersebut, kerjasama dengan PT “Aries” dari Kota Semarang dalam melakukan pengolahan sampah organik di TPA “Gunung Tugel”. Namun dalam pembuangan sampah, pihak perusahaan harus bekerjasama dengan pemerintah daerah dalam pembuangan sampah ke TPA “Gunung Tugel”, sesuai tarif yang telah diatur dalam Perda Kabupaten Banyumas. Upaya pemerintah daerah dalam pengelolaan sampah, yaitu keberadaan pengepul/pengusaha rongsok, bank sampah juga sangat memberikan andil yang cukup besar dan significan dalam pengelolaan sampah rumah tangga. Pihak perusahaan rongsok/pengepul, bank sampah melakukan pembelian sampah-sampah an-organik yang memungkinkan bisa di daur ulang, seperti plastik, kertas, karton, besi bekas, karet, botol bekas minuman dan sebagainya. Keberadaan pengepul, pengusaha rongsok dan bank
167 sampah ini juga sangat ditentukan dengan adanya bahan mentah sampah, dari para pemulung dan nasabah bank sampah. Pengelolaan sampah an-organik, maka keberadaan pemulung, nasabah bank sampah, keberadaan tukang rombeng besar andilnya bagi kebersihan lingkungan. Secara langsung mempunyai andil dalam upaya meraih penghargaan Adipura dan mendukung program pengembangan Kota Hijau Purwokerto, tanpa pemulung, maka sampah akan menumpuk dan bisa mengganggu keindahan serta kesehatan masyarakat Kota Purwokerto. Perusahaan di Kota Purwokerto juga ikut berpartisipasi dalam pengelolaan sampah, baik melalui program CSR maupun melalui bantuan langsung kepada masyarakat. Penelitian mengambil sampel dua perusahaan rongsok di ada di Kota Purwokerto, dengan pertimbangan perusahaan tersebut termasuk katagori besar dan sangat peduli terhadap lingkungan. Perusahaan Rongsok UD “Mapan”, dipimpin dan merangkap sebagai pemilik adalah bernama Slamet, terletak wilayah Kelurahan Purwokerto Wetan Kota Purwokerto. Tujuan awal berdirinya perusahaan ini adalah semata mata bisnis sampah non-organik untuk di daur ulang, akan tetapi dalam perkembangannya, selain bertujuan bisnis semata akan tetapi juga ikut berpartisipasi dalam mengurangi pencemaran lingkungan. Awal berdirinya perusahaan ini yaitu pada tahun 1995, Slamet bekerja di Perusahaan rongsok sampah milik pamannya, pada saat itu usia Slamet 35 tahun. Slamet terkenal pekerja yang rajin, ulet dan jujur. Pamannya Slamet memberi kepercayaan berupa pinjaman uang untuk modal usaha rongsok. Modal tersebut digunakan untuk merintis membeli barang-barang bekas, berupa kardus bekas, kertas koran, botol, karet. Saat itu, usaha rongsok milik Slamet masih belum berkembang, karena masih belum banyak relasi dan kepercayaan rekanan yang ada. Modal pinjaman dari teman-teman yang masih mempercayainya, maka Slamet mulai merintis dari awal lagi, sampai sekarang. Alhamdulilaah bisa berkembang dengan cukup pesat, saat ini perusahaannya mempunyai asset barang-barang untuk memfasilitasi usaha rongsok sampah ini, yaitu berupa: a. Mobil truks gandeng merek Mersi untuk ekspedisi sebanyak 10 unit, dengan harga masing-masing unit Rp. 700 juta. b. Lahan perusahaan berupa tanah yaitu (a) milik sendiri 100 ubin, (b) kontrak lahan 200 ubin, ukuran 1 ubin adalah 14 meter persegi. c. Karyawan jumlahnya fluktuatif tergantung banyak sedikitnya barang yang akan dikirm dan yang diperoleh. Jumlah karyawan berkisar antara 100 orang sampai dengan 150 orang. Pembayaran gajinya, pada umumnya sifatnya borongan, bisa per kg barang atau bisa juga per truks barang yang mau diangkut. System pembayaran ini, sesuai dengan kesepakatan antara pihak perusahaan dengan karyawan tersebut. Perusahaan UD “Mapan”, yang dimilikinya, mendapat barang atau bahan baku adalah dari berbagai penjual secara legal, adapun sumber bahan baku yang diterima berasal dari: a. Pemulung yang berada di TPA b. Pemulung Pemukiman c. Pemulung Pertokoan d. Tukang rombeng atau pengumpul sampah
168 e. f. g.
Kantor, Sekolahan, tukang poto copy Bank sampah, Komunitas hijau Perorangan Jenis Barang bekas (sampah) yang diterima Perusahaan UD “Mapan” ini berupa kertas bekas, kardus, botol bekas minuman kemasan, karet, besi, kaleng, barang bekas terbuat dari besi maupun seng. Barang atau sampah yang tidak diterima oleh Perusahaan ini, karena sifatnya sulit didaur ulang (recycle) di alam ini. Solusi agar barang-barang tersebut dapat diatasi dan tiak mencemari lingkungan adalah bisa dikurangi dengan penggunaan kembali dan dengan pengurangan pemakaian (reduce). Harga barang rongsokan selalu fluktuatif, ini dikarenakan tergantung pada perusahan yang mau menerima barang tersebut, atau tergantung harga pasar. Adapun harga yang berlaku saat ini di Kota Purwokerto, khususnya di Perusahaan UD Mapan (2014) adalah: a. Jenis kertas, harganya bermacam-macam (kertas dari TPA, kertas buram, kertas HVS (polos dan garis), kertas Koran, kertas karton. Harganya per kg berkisar antara Rp. 850,00 sd Rp. 900,00/kg. b. Jenis logam, harganya bervariasi (besi, kaleng, seng, besi cor, besi kelas II). Harganya berkisar antara Rp. 1.500 sd Rp. 3.600,00/kg. Adapun Jenis Barang yang ada dan ditampung di Perusahaan UD Mapan ini terdiri dari (a) plastik, (b) beling, (c) besi, (d) seng, (e) kertas, sedangkan Komposisi barang yang laku saat ini yaitu berupa kertas (40 persen), palstik sebesar (40 persen) dan 20 persen (kaleng, beling, besi). Jenis barang tersebut disebabkan karena perubahan perilaku konsumtif masyarakat. Misalnya dulu aqua, kecap, teh botol, dan minuman lainnya, terbuat dari botol beling, akan tetapi sekarang sudah diganti kemasannya terbuat dari plastic dan bisa diisi ulang. Jaringan pemasaran barang rongsok dari UD “Mapan” dikirim ke Kota Jakarta dan Kota Surabaya. Kedua kota tersebut merupakan perusahaan atau pabrik daur ulang. Perusahaan UD “Mapan”, rata-rata tiap hari mengirim barang ke Jakarta dan Surabaya, atau kalau lagi sepi barang minimal satu minggu sekali. Setiap kali kirim barang omsetnya mencapai Rp. 70.000.000,00 dari omset sebesar 70 juta tersebut maka keuntungan bersih yang diperoleh Perusahaan adalah sebanyak 5 persen atau sekitar Rp. 3.500.000,00. Pendapatan dalam satu bulan, UD “Mapan” menurut Slamet minimal sebesar Rp. 14.000.000,00, dan maksimal Rp. 50.000.000,00 . Sistem pembayaran barang, dilakukan dengan pembayaran sifatnya tunai , yaitu ada barang langsung dibayar. Harga sesuai pasaran yang berlaku saat itu, memang bersifat fulktuastif tergantung pasar.Berapa banyakpun barang yang dikirim ke Perusahaan daur ulang di Jakarta dan Surabaya pasti dibeli, hanya saja kesulitan yang timbul adalah mendapatkan barang baku terebut dari pemulung, dan bank sampah. Oleh karena itu kami selalu pro aktif dan menerjunkan petugas sebagai penampung barang dekat dengan sumber barang tersebut. Barang yang dikirim dari Perusahan UD “Mapan”, lalu diproses oleh perusahaan daur ulang (recycle) yang ada di Kota Surabaya dan Kota Jakarta. Hasil proses daur ulang lalu oleh Perusahaan tersebut dikirim ke Luar Negeri yaitu ke Amerika Serikat dan Korea. Peruntukkan barang hasil daur ulang (recycle) tersebut maka porsinya adalah 70 persen dikirim ke Amerika Serikat dan Korea sedangkan 30 persen dikirim diberbagai kota yang ada di Indonesia.
169 Perusahaan dituntut menjalin hubungan baik dengan pemulung, bank sampah dan komunitas peduli sampah, maka ada upaya menjalin hubungan sosial dengan masyarakat sekitar tempat perusahaan berada. Ini penting agar mendapat dukungan dan tidak diganggu masyarakat sekitar yang tidak bertanggung jawab. Partisipasi perusahaan rongsok ini dalam pengelolaan sampah ini termasuk baik, apabila dilihat dari bidang lingkungan dan termasuk salah satu bagian dari green community. Bisnis ini selain mencari uang juga ikut serta menjaga kelestarian lingkungan. Bisa dibayangkan apabila tidak ada pengusaha rongsok, maka sampah an-organik bisa menumpuk dan mencemari lingkungan. Sungguhpun usaha dianggap mengganggu keindahan kota, tapi justru ikut serta mensukseskan program pengembangana kota hijau (P2KH) dengan menampung barang-barang bekas. Sekarang ini, barang rongsok ditampung dalam gudang dengan tertutup dibenteng pagar dan tidak nampak dari luar sehingga tidak mengganggu lingkungan sekitar. Aspek pencemaran, ternyata tidak mencemari lingkungan sekitar dan tidak mengganggu sumur masyarakat. Oleh karena itu perlu didukung semua pihak yaitu pemerintah daerah, permbankan, masyarakat, pemerhati lingkungan, pemulung, investor/pengusaha, legislative, wartawan agar perusahaan rongsok ini bisa tetap berjalan dengan baik. Bahkan bisa berkembang dengan cara bisa mengolah sampah sendiri untuk dapat di daur (recycle). Perda No 6 Tahun 2012 Bab VI Tentang Perizinan pada Pasal 11, ayat 1, menyebutkan bahwa : “… setiap orang yang melakukan kegiatan usaha pengelolaan sampah wajib memiliki izin dari Bupati kecuali yang dilakukan oleh kelompok swadaya masyarakat”, sedangkan pada ayat 2 menyebutkan bahwa :”… usaha pengelolaan sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari (a) usaha pengangkutan sampah; (b) usaha pemilahan dan/atau pengolahan sampah; (c) usaha pemilahan dan/ pengolahan sampah di TPA.”. Untuk perijinan ini, pada psal 11 ayat 4 menyatakan bahwa “ permohonan untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud diajukan kepada Bupati melalui perangkat daerah yang membidangi urusan perijinan. Ayat (2) menyebutkan bahwa Bupati dapat melimpahkan kewenangan penerbitan izin kepada perangkat daerah yang membidangi perijinan…”. Perusahaan rongsok yang lain adalah perusahaan rongsok di Kelurahan Karangklesem Kota Purwokerto dikelola “Siti”. Perusahaan ini tidak hanya menampung sampah an-organik saja seperti kertas, botol bekas minuman, plastik, karton, besi, karet dan sebagainya, akan tetapi juga sudah merambah ke usaha daur ulang (recycle) plastic. Plastik diolah menjadi butir-butir plastik setelah itu baru dikirim ke kota-kota besar di seluruh wilayah Indonesia terutama Bandung, Jakarta dan Surabaya. Bahan material diperoleh dari pemulung, untuk itu maka harus pandaipandai bekerjasama dengan para pemulung agar mau menjual hasilnya ke perusahaan tersebut. Strategi yang dilakukan agar pemulung mau menjual sampah/ rongsok kepada perusahaan ini, maka dilakukan semacam “ijon sampah”, yaitu pemulung dipinjami uanng akan tetapi mengembalikannya dalam bentuk sampah. Tiap minggu harus setor sampah kepada perusahaan ini, dengan harga yang telah disepakati kedua belah pihak. .
170 Usaha proses daur ulang sampah plastik tersebut, perusahaan ini setiap minggunya, mengirim hasil olah daur ulang plastik minimal enam ton dan diangkut dengan menggunakan truk besar atau tronton gandeng di kirim ke Perusahaan besar yang berada di Kota Surabaya dan Jakarta. Barang yang ditampung perusahaan ini tidak hanya rongsokan dari pemulung dan komunitas hijau yang berasal dari Kota Purwokerto saja, tetapi juga dari berbagai daerah. Pemasok sampah rongsok juga berasal dari luar Kota Purwokerto seperti Kroya, Cilacap, Jatilawang, Wangon, Rawalo, Patikraja, Purbalingga, Banyumas dan Banjarnegara. Masing-masing wilayah tersebut di atas, ada semacam komunitas sampah yang menampung barang-barang bekas tersebut dengan harga yang telah disepakati. Setiap hari barang rongsokan yang diterima dan dibeli perusahaan ini, bisa mencapai 3 ton. Hasil pengolahan rongsokan ini setiap bulan bisa mendapatkan hasil minimal Rp. 5.000.000,00, bahkan penghasilannya bisa mencapai Rp. 10.000.000,00 setiap bulannya kalau lagi “bagus” harganya dan kalau barangnya juga banyak. Penghasilan tersebut, diperoleh bersama 30 orang karyawannya dengan gaji rata-rata antara Rp. 800.000,00 sd Rp. 1.200.000,00 per bulannya. Demikian partisipasi aktor pengusaha rongsok sampah an-organik dan pengusaha daur ulang, sebagai salah satu komunitas peduli akan sampah (PAS) upaya mewujudkan green waste. Hal ini dilakukan juga dalam rangka bisnis persampahan dan sebagai upaya membantu pelestarian lingkungan hidup. Oleh karena itu, maka sayogianya pemerintah daerah berupaya membantu pengusaha rongsok dalam perijinan dan sarana permodalan, sehingga keberadaannya akan semakin dibutuhkan masyarakat. Aktifitas pengusaha tersebut secara tidak langsung dapat membantu masyarakat sehingga mengurangi pengangguran. Hal ini secara tidak disadari dan langsung perusahaan ini mendukung program pemerintah Kota Purwokerto dalam bidang lingkungan dan kesejahteraan masyarakat dan mendukung kota hijau. Kota Purwokerto menjadi kota yang bersih, aman, nyaman dan bebas dari banjir. Target pada tahun 2017 Purwokerto “Bebas Sampah” akan tercapai sehingga dapat menarik wisatawan untuk berkunjung ke Kota Purwokerto. Bertambah banyaknya wisatawan baik mancanegara maupun nusantara, maka pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan masyarakat dan pendapatan Daerah Kabupaten Banyumas. Perusahaan ini sering membantu masyarakat sekitar ketika mengadakan kegiatan seperti Peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia. Bantuan berupa material untuk melakukan pengecatan, kebersihan dan lain sebagainya. Kerjasama lainnya adalah merekrut karyawan dari masyarakat sekitar, sebagai upaya menjalin hubungan baik dengan masyarakat sekitar. Kegiatan lainnya adalah melakukan pembagian sembako ketika menjelang Hari Raya Idul Fitri kepada masyarakat sekitar perusahaan tersebut. Berdasarkan uraian tersebut, maka perusahaan rongsok ini sebenarnya sudah menjalankan kegiatan membantu pemerintah dalam program lingkungan hidup. Hanya saja keberadaanya sering “diganggu”, karena dianggap “mengotori” lingkungan, sehingga mengurangi keindahan dan kebersihan lingkungan. Hal inilah perlu adanya kerjasama antara pemerintah, perusahaan dan masyarakat agar penilaian yang demikian bisa berubah.
171
Simpulan Green community awal terbentuknya, pada dasarnya dibentuk karena kepentingan “proyek”, yaitu salah satu syarat program pengembangan kota hijau (P2KH). Oleh karena itu, keberadaan green community lebih mengarah ke istilah teknologi bukan istilah sosiologi. Artinya green community ini dibentuk oleh pemerintah terkait adanya “proyek”, sehingga kesinambungannya (sustainability) dipertanyakan dan tidak akan bertahan lama/”langgeng”. Namun demikian, dalam perkembangannya, ternyata adanya komitmen dari beberapa aktor pemerhati lingkungan, yaitu secara berangsur-angsur dan sedikit demi sedikit bergeser menuju ke green community berbasis “komunitas”. Hal ini dikarenakan adanya kesadaran bahwa green community ini layak dan sangat diperlukan bagi masyarakat Kota Purwokerto. Walaupun hal tersebut melalui proses dan memerlukan waktu lama serta komitmen tinggi dari aktor-aktor dominan tersebut dalam menggerakkan elemen masyarakat green waste menuju green community. Perubahan perilaku memerlukan perubahan sikap dan persepsi atau pandangan terhadap kegiatan lingkungan tersebut, untuk itu maka diperlukan adanya pemahaman yang “benar” tentang kelestarian lingkungan hidup atau tentang pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Masyarakat perlu adanya contoh nyata dari para pemimpin yang ada di Kabupaten Banyumas ini. Hal ini penting agar masyarakat bias “meniru” perilaku yang berwawasan lingkungan, khususnya dalam pengelolaan sampah pola 3 R (green waste). Green community yang melakukan kegiatan berbasis “komunitas” adalah dengan menggali kembali potensi lokal dalam bentuk pola kerigan yang ada di masyarakat Kota Purwokerto dalam berbagai kegiatan. Kegiatan tersebut dengan menerapkan kearifan lokal pola kerigan sebagai salah satu modal sosial dalam berbagai kegiatan pengelolaan lingkungan. Pola kerigan inilah yang bisa menyebabkan keberadaan green community akan eksis dan berkesinambungan (sustainable). Melalui pola kerigan ini akan tumbuh kebersamaan diantara warga Kota Purwokerto. Aktivitas green community dalam menggerakkan elemen masyarakat untuk berpartisipasi pengelolaan sampah rumah tangga green waste memiliki dimensi yang luas dan partisipasi masyarakat berkaitan dengan kebutuhan akan lingkungan yang bersih, segar, asri, tertib, nyaman, hijau. Partisipasi terbentuk karena adanya faktor pendorong yaitu kebutuhan (needs), harapan, motif dan dorongan moral serta budaya lokal . Pengelolaan sampah rumah tangga menuju green waste di permukiman penduduk menitik bertakan partisipasi masyarakat, maka perlu mengacu pendekatan dari Elzioni. Pendekatan ini mengkaji partisipasi masyarakat dalam dua aspek, yaitu tipe 1 keterlibatan masyarakat dan tipe dua tipe pelancaran pengaruhnya. Ketiga tipe tersebut sangat relevan diterapkan dalam pengelolaan sampah green waste lintas rumah tangga di Kota Purwokerto. Partisipasi masyarakat dalam penanganan sampah rumah tangga menuju green waste sangat diperlukan terutama dalam proses perwadahan. Partisipasi actor masyarakat akan muncul beberapa faktor pendorong, antara lain motif dan ganjaran, ketersediaan sarana dan prasarana, dorongan moral serta
172 sosial budaya. Meskipun green community telah mengupayakan berbagai partisipasi dalam pengelolaan sampah, namun perlu lebih dioptimalkan lagi, terutama dalam menggali potensi lokal yang ada seperti pola kerigan sebagai modal sosial. Partisipasi green community dalam pengelolaan sampah ramah lingkungan (green waste) , melalui kontak dengan pihak lain sebagai salah satu titik awal perubahan sosial. Perubahan sosial yang dimaksud adalah dalam menyerap dan memberi tanggapan terhadap informasi dalam arti menerima, menyetujui, menerima dengan syarat, maupun menolaknya, partisipasi dalam pelaksanaan operasional pembangunan. Partisipasi green community selama ini sudah menunjukkan hasil yang cukup baik, namun masih perlu ditingkatkan lagi. Satu sisi pihak pemerintah daerah Kabupaten Banyumas, selama ini dinilai masyarakat masih kurang mendukung dalam bidang sarana prasarana untuk kegiatan green community ini. Padahal keberadaan green community ini sangat penting sekali dalam mewujudkan kota hijau. Implementasi Perda No 6 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah ramah lingkungan menuju green waste , selama ini belum tegas implementasinya. Untuk itu, koordinasi antara masyarakat, stakeholders, pengusaha, green community dan pemerintah daerah, supaya “bahu membahu” secara terpadu agar cepat terwujud Kota Hijau Purwokerto. Memang dalam penyadaran masyarakat, upaya memberdayakan masyarakat perlu semacam ruang partisipasi, agar masyarakat merasa di “orang”kan. Sebagaimana diketahui bahwa sikap dan partisipasi seseorang akan timbul sejalan dengan kebutuhannya, dalam arti sikap adalah fungsi dari kepentingan. Orang tidak akan ikut berpartisipasi dalam pengelolaan sampah rumah tangga, apabila orang tersebut tidak mempunyai kepentingan terhadap lingkungan tempat dia berada. Oleh karena itu perlu adanya ekoliterasi dan diimplementasikan dalam kegiatan ekodesain dalam green waste lintas rumah tangga. Hal ini juga perlu didukung dengan pendekatan agama dan pendekatan sosial agar menyentuh pribadi masing-masing sehingga timbul rasa solidaritas sosial mekanik dan gemainschaf of main serta gemainschaf of locality. Transformasi green community dalam green waste lintas rumah tangga sudah berjalan dengan baik. Pada awal berdirinya green community dibentuk berdasarkan “proyek” yaitu adanya P2KH yang digulirkan Kementerian Pekerjaan Umum. Perkembangan selanjutnya, ternyata komitmen aktor-aktor pemerhati lingkungan green community ini, tidak lagi hanya untuk menjalankan proyek pemerintah saja, namun sudah berkomitmen menjadikan Purwokerto bersih dari sampah dengan melibatkan elemen masyarakat Kota Purwokerto. Hal ini terbukti, banyaknya elemen masyarakat yang berkomitmen menjadi kelompok peduli akan sampah di berbagai rumah tangga. Hal ini menjadikan koreksi kepada kebijakan dan cara kerja Pemerintah Daerah Kabupaten Banyumas. Transformasi aktor green community berbasis komunitas ini atau berbasis sosiologi ini keberadannya dapat terjaga dengan baik dan bisa berkelanjutan (sustainble), dibandingkan dengan green community apabila berdasarkan “proyek” atau kepentingan pemerintah saja. Green community yang demikian, maka keberadaannya tidak dapat terjaga dan tidak sustainable serta tidak “berakar” ke masyarakat karena sifatnya “instans”.
173
7 STRATEGI KEBIJAKAN DAN MODEL GREEN WASTE LINTAS RUMAH TANGGA BERBASIS PARTISIPASI GREEN COMMUNITY Pendahuluan Strategi alternatif perumusan kebijakan green waste dan membangun model green waste lintas rumah tangga berbasis partisipasi green community merupakan bahasan utama dalam bab ini. Kebijakan adalah solusi dari masalah dan merumuskan masalah yaitu bagaimana mendeskripsikan fakta yang bersifat sangat subyektif karena sangat tergantung dari instrument yang digunakan. Oleh karena itu masalah terletak pada pelaku dalam kesehariannya mengambil keputusan sebagai dasar bertindak. Masalah kebijakan pengelolaan sampah kota ramah lingkungan green waste di Indonesia, seringkali diselesaikan dengan cara teknis yaitu dengan membakarnya, tanpa disadari, polusi yang timbul dari sampah jenis plastik dan bahan organik yang terbakar beresiko menurunnya derajat kesehatan manusia.. Masalah persampahan di Kabupaten/Kota di Indonesia, semakin rumit, sementara sebagian pemda, dalam faktanya masih “jalan di tempat” dan deadline pengelolaan sampah open dumping semakin dekat (pemda harus segera tinggalkan pada tahun 2013 sebagaimana UU No. 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah). Tentu diharapkan adanya sebuah terobosan (kerjasama segenap stakeholders dan berbagai actor, dalam menciptakan sebuah sistem pengelolaan sampah ramah lingkungan (green waste) yang berpihak kepada masyarakat), melalui perubahan paradigma tentang kelola sampah, dimana masyarakat sebagai produsen sampah terbesar harus terlibat serta dalam pengelolaan sampah yang difasilitasi oleh pemerintah dan badan usaha (CSR) dan dicari akar permasalahannya. Penanganan sampah secara berjenjang dengan terdesentralisasi dimulai di level rumah dengan memilah kemudian menyediakan container berdasarkan jenis sampah dan mendaur ulang jenis plastic, kertas, logam serta sisanya berupa sampah un-degradable dan sampah klinis dikelola di TPA. Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (green waste). Permendagri No 33 Tahun 2010. serta kebijakan lainnya, namun tata kelola (Governance) masih rendah dilihat dari efektivitas dan efisiensi dan akuntabilitas. Untuk memahami proses penyusunan /memperbaiki/mengubah kebijakan, maka IDS mengeluarkan 3 pendekatan yang saling terkait yaitu naratif kebijakan, aktor jaringan (stakeholders atau aktor yang mempengaruhi terjadinya naratif kebijakan dan politik/kepentingan (political will). Pengelolaan sampah di Indonesia diatur dengan kebijakan pemerintah, mulai dari pemerintah pusat (UU, PP), Perda Prov , sampai Kabupaten/Kota . Penurunan kulitas lingkungan akibat sampah, dikarenakan ketidaksesuaian antara perencanaan pengelolaan dengan implementasinya dan pengawasan. Ini menunjukkan bahwa kebijakan pengelolaan sampah (tata kelola) belum efektif, penegakan hukum lemah dan kebijakan lintas sektor tidak terpadu. Dunn (2000) mengemukakan bahwa tujuan kebijakan dapat tercapai manakala
174 kebijakan tersebut ditanggapi positif oleh masyarakat, sehingga dapat merubah perilaku masyarakat dalam pengelolaan sampah ramah lingkungan (green waste). UU No. 18 Tahun 2008 tentang pengelolaan sampah sudah diberlakukan di seluruh Indonesia, mengamanatkan kepada pemerintah beserta pihak-pihak terkait untuk proaktif dan lebih responsive terhadap permasalahan sampah dan kebijakan-kebijakan yang strategis dan partisipatif bagi masyarakat, sesuai dengan Permendagri No. 33 Tahun 2010 . Setiap rumah tangga sebagai penghasil sampah tidak bisa lagi mengabaikan urusan sampah. Pengelolaan sampah tidak dapat diselesaikan hanya oleh pemerintah dengan metode kumpul-angkut-buang ke TPA saja, akan tetapi harus dilakukan secara komprehensif dan terpadu dari hulu sampai ke hilir agar memberikan manfaat secara ekonomi, sehat bagi masyarakat dan aman bagi lingkungan serta dapat merubah perilaku masyarakat. Selama ini, program-program pemerintah terlalu menitikberatkan kepada asfek fisik semata, sehingga tidak berhasil. Akar permasalahannya adalah perlu perubahan paradigma dari policy analisis pemerintah dalam pengelolaan sampah yang berorientasi fisik, saatnya berubah ke paradigma budaya dengan memperhatikan perilaku dalam upaya penanganan atau pengelolaan sampah ramaah lingkungan secara terpadu berbasis komunitas dan zero waste (Kholill, 2005). Berdasarkan beberapa kajian, bahwa pengelolaan sampah rumah tangga dalam beberapa tahun terakhir ini tidak lepas dari dampak perubahan tatanan sosial ekonomi budaya dan politik serta tatanan Pemerintahan Negara Indonesia dalam era reformasi, otonomi daerah serta adanya krisis ekonomi yang telah melanda wilayah seluruh Indonesia. Perubahan arah kebijakan pembangunan infrastruktur perkotaan, menguatnya ego otonomi daerah, menurunya kapasitas pembiayaan daerah, menurunya daya beli dan kepedulian masyarakat dalam menjaga kebersihan lingkungan merupakan pemicu terjadinya degredasi kualitas lingkungan perkotaan termasuk pengelolaan sampah rumah tangga ramah lingkungan (green waste) mendukung kota hijau. Kebijakan pemerintah mengenai sampah dinilai kurang memperhatikan pengelolaan lingkungan yang berkesinambungan. Pengelolaan sampah di berbagai daerah pada umumnya hanya mengacu pada paradigma pengelolaan sampah yang instans dengan pendekatan akhir (end of pipe). Pengelolaan sampah hanya memperhatikan TPA tanpa melalui proses di sumbernya melalui 3 R green waste. Sampah yang ada dan berasal dari masyarakat pada umumnya tidak diproses dan dilakukan kegiatan pemanfaatan secara ekonomis terhadap sampah yang muncul. Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan sampah umumnya hampir semuanya berakir di Tempat Pemprosesan Akhir (TPA) sampah, sehingga menyebabkan beban TPA menjadi sangat berat dan umur TPA semakin cepat berkurang. Selain itu disebabkan karena belum dilakukannya upaya pengurangan volume sampah secara sungguh-sungguh sejak dari sumber penghasil sampah, termasuk pemisahan sampah bahan beracun berbahaya yang dihasilkan rumah tangga. Kebijakan Pengelolaan sampah apabila tidak direvisi dan tidak patuh pada prinsip pembangunan berkelanjutan, maka untuk masa depan akan tetap saja, oleh karena itu untuk masa depan perlu ada perubahan Kebijakan yang
175 outputnya menjadikan sampah tidak menjadi masalah (Zero waste) dan patuh terhadap paradigma pembangunanberkelanjutan (Sustainable) Penanganan sampah rumah tangga di kota-kota besar di Indonesia sampai saat ini masih menggunakan pendekatan lama, yaitu penanganan sampah dimulai dari perwadahan (on site handling), pengumpulan (collection), pemindahan (transpers), pengangkutan (transport) dan pembuangan (disposal). Seiring dengan semakin meningkatnya jumlah timbunan sampah ke TPA dengan system sanitary landfill menjadi tidak tepat lagi. Oleh karena itu disamping system sanitary landfill tersebut memerlukan lahan luas, juga biaya operasional sangat mahal. Untuk system sanitary landfill tersebut memerlukan biaya operasional Rp. 1.000.000,00 per ton (Bebasari 2002). Memperhatikan berbagai acuan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, maka Pemda harus menyediakan pelayanan sistem pengelolaan sampah berdasarkan kaidahkaidah teknis, ekonomis, sosial budaya dan ramah lingkungan (green waste). Pembahasan Metode Analisis AHP Sebagai Alternatif Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan Sampah menuju Terwujudnya Kota Hijau. Pemerintah Daerah sebagai pengelola kebijakan dalam pengelolaan sampah rumah tangga di perkotaan, perlu segera mengambil langkah untuk perbaikan pelayanan. Pelayanan persampahan dapat menimbulkan kepuasan bagi masyarakat, maka ini berarti telah terpenuhi prinsip penting dalam pelayanan yaitu best value for money. Prinsip ini berarti masyarakat yang telah mengeluarkan biaya retribusi untuk memperoleh pelayanan, mendapatkan tegen prestatie seimbang dengan biaya yang dikeluarkan tadi. Jika prinsip best value for money telah terpenuhi, maka dapat dikatakan bahwa kinerja pelayanan pemerintah daerah dalam melakukan pelayanan telah mencapai derajat yang optimal (Kristyanto 2007). Banyak faktor yang mempengaruhi pembuatan kebijakan Pemerintah. Proses pembentukan kebijakan pemerintah yang rumit dan sulit harus diantisipasi sehingga akan mudah dan berhasil sewaktu diimplementasikan di lapangan. Analisis kebijakan pemerintah diambil dari berbagai macam disiplin dan profesi yang tujuannya bersifat deskriptif, evaluative dan prospektif (Dunn 2003). Kebijakan pemerintah dalam pengelolaan sampah green waste lebih banyak pertimbangan politik, kepentingan berbagai stakeholders dibandingkan masalah ekologi. Davis ( 1993) mengemukakan bahwa kebijakan yang dikeluarkan pemda bukalah berdiri sendiri (single decision) dalam proses kebijakan sistem politik di daerah, akan tetapi merupakan bagian dari proses antar hubungan, sehingga kebijakan dapat dikatakan sebagai alat Pemerintah untuk mencapai tujuan. Kebijakan pemerintah daerah dalam hal pengelolaan sampah, akan lebih banyak pertimbangan politis dan hubungan antar stakeholders yang harus dijaga pemerintah demi mencapai tujuan dan sasaran serta keberlanjutan dari penguasa. Kadang-kadang kepentingan rakyat banyak “dikorbankan” demi kepentingan para penguasa tersebut yang berifat politis dan ekonomis. Pengelolaan persampahan ini dapat menjadikan kebutuhan bagi stakeholder, maka dibutuhkan adanya “paying” hukum yang mengatur
176 mengenai aturan main serta hak dan kewajiban, termasuk implikasi dari penyelenggaraan kerjasama, sanksi dan diperlukan juga adanya sikap pro aktif dan kesadaran dari pemerintah untuk terus memperbaiki berbagai dimensi terkait dengan pengelolaan persampahan di Kota Purwokerto. Realisasi di lokasi lapangan menunjukkan bahwa bentuk pengelolaan persampahan kota bersama partisipasi elemen masyarakat berbasis kearifan lokal, dapat ditinjau dari aspek-aspek pengelolaan persampahan meliputi aspek regulasi atau peraturan/ kebijakan berbentuk UU, PP, Perda, aspek pembiayaan dan aspek kelembagaan. Lebih jelasnya maka dapat diuraikan sebagaiberikut: 1. Aspek Regulasi atau peraturan. Pada saat melakukan survey dengan mewawancara masyarakat (sumber penghasil sampah, pemanfaat sampah, pemerhati lingkungan) dalam kaitannya dengan partisipasi dalam penerbitan peraturan/regulasi yang dikeluarkan Pemda Kabupaten Banyumas. Hasil menunjukkan sebagian besar menyatakan tidak ikut terlibat baik dalam perencanaan, juga dalam pengawasan atau monitoring dan evaluasi (MONEV). Hanya terlibat dalam pelaksanaan pengelolaan sampah dalam bentuk iuran retribusi dan pengelolaan sampah rumah tangga. Untuk itu agar dapat terwujud partisipasi aktif masyarakat, maka perlu melibatkan masyarakat dalam penerbitan peraturan daerah (Perda) tentang pengelolaan sampah, sesuai porsi dan kapasitasnya agar mereka merasa “memiliki”. Seperti contoh terbentuknya Peraturan Pemerintah (PP) nomor 81 Tahun 2912 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah sejenis sampah rumah tangga (lembaran negara Republik Indonesia tahun 2012 Nomor 188, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia. Terbitnya Peraturan Derah (Perda) Kabupaten Banyumas nomor 6 Tahun 2012 tentang Pengelolaan sampah, dan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Banyumas Nomor 10 Tahun 2011 tentang Rencana tata Ruang Wilayah Kabupaten Banyumas (RTRW) Tahun 2011-2031 (lembaran daerah Kabupaten Banyumas Tahun 2011 Nomor 3 Seri E). Perda no. 6 tahun 2012 tentang pengelolaan sampah pada Bab V tentang Hak dan Kewajiban pada Bagian kesatu pada pasal 9 ayat 1 disebutkan bahwa: “ Setiap orang berhak : ( a) mendapatkan pelayanan dalam pengelolaan sampah secara baik dan berwawasan lingkungan dari Pemerintah Daerah dan atau pihak lain yang diberi tanggungjawab untuk (b) berpartisipasi dalam pengembilan keputusan, penyelenggaraan dan pengawasan di bidang pengelolaan sampah; (c) memperoleh informasi yang benar, akurat dan tepat waktu mengenai penyelenggaraan pengelolaan sampah; (d) mendapatkan perlindungan dan kompensasi karena dampak negative dari kegiatan TPA sampah dan (e) memperoleh pembinaan agar dapat melaksanakan pengelolaan saampah secara baik dan berwawasan lingkungan”. 2. Aspek Pembiayaan/Pendanaan. Pada peraturan tentang pembiayaan, hendaknya terakomodasi masukan masyarakat agar sistem pembiayaan yang dikeluarkan sesuai dengan kemampuan masyarakat, seperti Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Banyumas nomor 38 tahun 1995 tentang Kebersihan dan Keindahan
177 Lingkungan besarnya Retribusi Pengelolaan Sampah dan SK Bupati Banyumas Nomor 180/1008/1996 tentang petunjuk pelaksanaan perda No. 38 tahun 1995. Pembiayaan dapat diatur menjadi pembagian beban kepada masyarakat secara pribadi dalam bentuk restribusi, masyarakat komunal atau kelembagaan dalam bentuk penanaman modal, dan beban biaya menjadi tanggungjawab pihak pemerintah. Perda tentang besarnya retribusi pengelolaan sampah, sampai saat ini belum terbit yang baru selain Perda nomor 38 Tahun 1995. 3. Aspek Kelembagaan Secara kelembagaan, pemerintah daerah dapat kerjasama dengan masyarakat untuk membentuk lembaga baru yang dibutuhkan dalam pengelolaan sampah, dengan memaksimalkan potensi masyarakat yang ada. Lembaga-lembaga yang telah ada antara lain (a) green community, (b) Bank Sampah Arcawinangun PAS, (c) Bank Sampah PAS Mandiri, (d) Komunitas Peduli Akan Sampah Mersi dan Sukanegara, (e) LSM Peduli akan sampah, (f) Bank Sampah “Sumber Berkoh”, (f) Lembaga Swadaya Masyarakat LPPSLH di Jatisari, (g) LPPM UT, (h) UPL PTN/PTS, (i) Forum Silaturahmi Peduli Lingkungan (FSPL) “Gunung Slamet” dan sebagainya. Lembaga-lembaga tersebut menjadi acuan untuk pendirian lembaga-lembaga persampahan yang lain dalam upaya mendukung tercapainya Kota Purwokerto sebagai kota hijau (green city). Secara umum masalah kebijakan selalu dianalisis secara instan dengan menggunakan pendekatan rasional tanpa ditelaah apa, siapa dan mengapa masalah ditetapkan. Asumsi yang menyatakan bahwa pembuat kebijakan mempunyai informasi yang lengkap tentang masalah yang dihadapi. Mengenai pertimbangan teknis, hukum, sosial dan ekonomi, pada umumnya tidak terpenuhi. Peraturan perundangan seringkali lahir dengan logika sendiri dan tidak sejalann dengan persoalan di lapangan, hanya memenuhi kebutuhan administrasi agar aman dan mudah menjalankan tugasnya. Kelemahan substansi peraturan harus diperbaharui, sehingga menjadi biaya tinggi, perlu adanya reduksi isi dan cakupan kebijakan menghadirkan beberpa kenyataan yang menyebabkan kepemerintahan dan kebijakan tidak efektif (policy failure). Secara umum, kebijakan selama ini tidak mampu membangun subyek, tapi hanya mewujudkan obyek kekuasaan. Politik pembuatan kebijakan telah melanggengkan suatu diskursus. Untuk memperbaiki kebijakan di bidang pengelolaan sampah rumah tangga di masa depan, maka tergantung generasi kritis dalam diskursus dalam mengembangkan ilmu pengetahuan di bidangnya. Kasus kebijakan pengelolaan sampah di Indonesia, digunakan pendekatan evaluasi proses perumusan kebijakan yang telah dikembangkan oleh institute Development Studies (IDS, 2006). Pemerintah sebagai aktor yang menrumuskan undang-undang dan Peraturan Pemerintah, berdasarkan pengertian isi atau teks berbeda pendapat dengan kelompok yang berdasarkan pendekatan masalah, seperti swasta, akademisi, LSM, birokrat Lokal, Legislatif, dan wartawan. Pemerintah, secara tekstual berorientasi pengelolaan sampah adalah ramah lingkungan dan berorientasi pertumbuhan ekonomi. Masyarakat yang suaranya biasanya diwakili LSM dan Akademisi, mengharapkan agar pemerintah segera dapat menyelesaikan permasalahan pengelolaan sampah,
178 karena berkaitan langsung dengan kehidupan manusia. Kebijakan yang diharapkan adalah yang memihak kepada rakyat. Kebijakan pengelolaan sampah ramah lingkungan (green waste) merupakan kewenangan daerah otonom atau desentralisasi. Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1987 dan UU No. 33 Tahun 2004 mengenai Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, semakin memperkuat posisi daerah otonom dalam pengelolaan sampah di daerah sendiri. Hal ini sudah teratur dalam UU No. 18 tahun 2008 dan Permendagri No. 33 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pengelolaan Sampah. Pemerintah merupakan lingkup masalah (1) dalam proses pembuatan kebijakan, sedangkan lingkup, (2) adalah kapasitas menggunakan kebijakansebagai dasar pelayanan publik yang berkualitas dan lingkup masalah (3) meliputi interaksi sosial dalam kebijakan difahami dan dijalankan atau tidak dijalankan oleh pelaksana dan subyek kebijakan (Kartodihardjo 2012). Penentuan prioritas alternative kebijakan dalam Pengelolaan sampah rumah tangga di Kota Purwokerto, maka dianalisis dengan menggunakan metode AHP dengan software expert choice. Metode AHP ini dilaksanakan melalui wawancara dengan para pemangku kepentingan (stakeholders). Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menyelesaikan suatu masalah dalam AHP adalah dekomposisi, perumusan komparatif, sintesis prioritas dan konsistensi logika. Pada metode AHP dilakukan pembobotan nilai yang berpengaruh terhadap pemilihan kriteria, berdasarkan peran pemangku kepentingan (stakeholders) yang meliputi pemangku kepentingan ekonomi, sosial, lingkungan. Pembobotan setiap level didasarkan pada hasil wawancara dengan pemangku kepentingan yang terlibat dalam penentuan alternative kebijakan pengelolaan sampah rumah tangga di kota Purwokerto mendukung Kota Hijau. Pemangku kepentingan (stakeholders) yang terlibat adalah Pemerintah, pengusaha (investor), Pemulung, Bank Sampah/LSM dan masyarakat, wartawan. Semua stakeholderstersebut saling terkait dalam pengelolaan sampah rumah tangga, sehingga apabila bisa terpadu, maka kebijakan dalam pengelolaan sampah rumah tangga akan berjalan dengan efektif (Marimin 2005). Hasil Analisis Data Penilaian Tingkat Kepentingan Hasil analisis data berdasarkan penilaian tingkat kepentingan masingmasing kelompok pemangku kepentingan seperti aktor pemerintah daerah, pengusaha, pemulung, bank sampah dan masyarakat (level 2) terhadap aspek biaya, kota bersih dari sampah dan pendapatan (level 3) berdasarkan hasil proses AHP dapat dilihat pada lampiran. Hasil penilaian tingkat kepentingan, maka dapat dilihat pada Tabel 53. Tabel 53 Nilai prioritas kelompok pemangku kepentingan No
Pemangku kepentingan
1 2 3 4 5
Pemerintah (PEMDA) Pengusaha /Investor swasta Pemulung Bank Sampah/LSM Masyarakat
Sumber : Hasil lapangan 2015
Bobot kepentingan 0,272 0,098 0,057 0,146 0,426
Prioritas 2 4 5 3 1
179 Hasil analisis menggunakan metode AHP, dapat diketahui bahwa pemangku kepentingan yang paling berpengaruh terhadap penentuan alternative kebijakan pengelolaan sampah rumah tangga ramah lingkungan (green waste) di Kota Purwokerto dalam rangka mendukung kota hijau prioritas pertama adalah maasyarakat. Hasil secara berturut-turut adalah sebagai berikut prioritas pertama adalah masyarakat dengan bobot nilai 0,426, pemangku kepentingan yang menjadi prioritas kedua adalah Pemerintah dengan bobot nilai 0,272, pemangku kepentingan yang menjadi prioritas ketiga adalah bank sampah/LSM dengan bobot nilai 0,146, selanjutnya pemangku kepentingan yang menjadi prioritas keempat adalah pengusaha /investor swasta dengan bobot nilai 0,098 dan pemangku kepentingan yang mempunyai peran paling rendah adalah pemulung dengan bobot nilai 0,05. Hasil pembobotan nilai dapat disimpulkan bahwa pemangku kepentingan masyarakat yang paling tinggi terhadap penentuan alternative kebijakan pengelolaan sampah green waste di Kota Purwokerto. Masyarakat merupakan pemangku kepentingan yang mempunyai peran penting dalam pengelolaan sampah rumah tangga. Kerjasama dan koordinasi yang baik antara pemangku kepentingan, sangat diperlukan sekali agar tidak terjadi “ benturan” dalam pengelolaan sampah rumah tangga. Berdasarkan hasil proses AHP tentang nilai pembobotan antar pemangku kepentingan, maka dapat dilihat pada Tabel 54. Tabel 54 Nilai pembobotan pada level kriteria masing-masing stakeholders No
Pemangku kepentingan (level 2)
Aspek kriteria (level 3)
Bobot (Nilai)
1.
Pemerintah (Pemda)
2.
Pengusaha/Investor swasta
3.
Pemulung
4.
Bank sampah/LSM
5.
Masyarakat
Biaya Kota Bersih dari Sampah Pendapatan Biaya Kota Bersih dari sampah Pendapatan Biaya Kota Bersih dari Sampah Pendapatan Biaya Kota Bersih dari Sampah Pendapatan Biaya Kota Bersih dari Sampah Pendapatan
0,237 0,671 0,091 0,250 0,647 0,103 0,330 0,550 0,121 0,222 0,686 0,092 0,209 0,704 0,088
Sumber: Hasil lapangan 2015 Berdasarkan hasil analisis pendapat seluruh pemangku kepentingan terhadap level kriteria (level 3) dengan menggunakan metode AHP dengan software eksper choice, maka menunjukkan bahwa tingkat kepentingan kota bersih dari sampah merupakan prioritas pertama yang dipilih oleh semua pemangku kepentingan (stakeholders) dalam pengelolaan sampah rumah tangga mendukung kota hijau Purwokerto. Berdasarkan tabel 58 , pemangku kepentingan Pemerintah mempunyai bobot nilai 0,671, Pengusaha atau investor swasta bobot nilai 0,647, Pemulung bobot nilai 0,550, Bank Sampah/LSM
180 mempunya bobot nilai 0,686 dan pemangku kepentingan Masyarakat mempunyai bobot nilai 0,704. Hasil proses AHP tentang Gabungan Pembobotan Nilai pada Level Aspek, dapat dilihat (lampiran). Selanjutnya untuk analisis hasil AHP tentang gabungan pembobotan nilai pada level aspek (Tabel 55). Tabel 55 Nilai pembobotan pada level kriteria No 1. 2. 3.
Kriteria (level 3) Biaya Kota Bersih dari Sampah Pendapatan
Bobot (nilai) 0,2292 0,6773 0,0927
Prioritas 2 1 3
Sumber : Hasil lapangan 2015 Tabel 55 menunjukkan bahwa pengelolaan sampah rumah tangga ramah lingkungan (green waste) mendukung kota hijau (green city) Purwokerto cenderung lebih mementingkan pada aspek kriteria kota bersih dari sampah untuk kepentingan pengelolaan sampah khsususnya dan lingkungan hidup pada umumnya di wilayah Kota Purwokerto. Selain kota bersih dari sampah yang diutamakan, juga berupaya untuk menghindari terjadinya konfliks sosial (baik vertikal maupun horizontal) di Kota Purwokerto dalam pengelolaan sampah berbasis parisipasi masyarakat. Disamping itu juga berupaya tetap memperhatikan aspek atau kriteria biaya yang diperlukan untuk pengelolaan sampah (retribusi sampah). Juga memperhatikan aspek pendapatan masyarakat, faktor ini juga penting diperhatikan, agar supaya terhindar dari konfliks kepentingan diantara para pemangku kepentingan (stakeholders) dalam pengelolaan sampah rumah tangga. Purwokerto sebagai kota hijau akan cepat terwujud dan disisi lain, penghargaan dari Pemerintah berupa “ Adipura” secara berturut-turut dapat diraih oleh Kota Purwokerto. Disatu sisi, juga perlu diperhatikan kearifan lokal yang ada di kalangan masyarakat Kota Purwokerto, yaitu dengan mengaktifkan kembali potensi budaya berupa kearifan lokal yang merupakan modal sosial, yaitu berupa pola kerigan yang telah terbukti keberhasilannya, memberantas Demam Berdarah Dengue (DBD) Alternatif Kebijakan Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Lingkungan (Green Waste) Mendukung Kota Hijau Purwokerto.
Ramah
Kebijakan adalah solusi atas masalah, dan kebijakan ini seringkali tidak efektif akibat tidak cermat dalam merumuskan suatu masalah, padahal apabila masalah dirumuskan dengan benar, maka sudah menjawab separuh dari persoalan. Masalah bukan hanya merefleksikan nilai-nilai (value), tetapi juga komitmen etis yang dimiliki, yakni yang kita percayai seharusnya tidak terjadi (John Dewey). Adapun ciri-ciri penting dari masalah kebijakan adalah (1) saling ketergantungan, (2) subyektivitas dari masalah kebijakan, (3) sifat buatan dari masalah, (4) dinamika masalah kebijakan. Para analis kebijakan selama ini berkeyakinan bahwa segala sesuatu yang diputuskan para pembuat kebijakan, dianggap sebagai perwujudan pemikiran rasional dan memisahkan keputusan-keputusan tersebut dari implementasinya. Sebagaimana sering dikemukakan bahwa “kebijakan sudah bagus, pelaksanaanya buruk”.
181 Keyakinan tersebut patut dipertanyakan, karena banyak hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan kebijakan. Secara umum naskah suatu kebijakan dilahirkan oleh suatu proses yang tidak menentu. Kebijakan adalah solusi atas masalah, dan seringkali tidak efektif akibat tidak cermat dalam merumuskan masalah. Kebijakan sebagai obat seringkali tidak manjur, bahkan bisa mematikan, akibatnya diagnose masalah atau penyakitnya keliru . Masalah sebenarnya tidak terkait dengan subyek, tetapi diturunkan dari kerangka pikir dan diikat oleh ketidak mampuan subyek (pelaku) ,serta masalah itu adalah subyektif (Dunn 2000). Proses pembuatan kebijakan dipengaruhi oleh berbagai kelompok kepentingan dengan menggunakan pendekatan kekuasaan dan kewenangan. Hal yang krusial dalam pembuatan kebijakan adalah apa dan siapa yang terlibat dalam pembuatan kebijakan tersebut. Grindle dan Thomas (1991) membahas perdebatan secara luas di dalam politik yang melibatkan kelompok kepentingan dan membedakannya dalam dua kelompok dengan terpusat di dalam pemerintahan dan terpusat di masyarakat. Secara tradisional proses pembuatan penyusunan kebijakan bersifat linier dan bersifat rasional, akan tetapi dalam kenyataannya proses penyusunan kebijakan sulit untuk dipahami, dalam proses penyusunan terkadang berubah. Proses penyusunan kebijakan merupakan chaos dan implementasinya tidak rasional. Hal ini dikarenakan, bahwa proses penyusunan kebijakan merupakan (a) proses politik, (b) bersifat incremental, komplek dan sulit menentukan kebijakan yang optimal, (c) konfliks kepentingan stakeholders, (d) implementasinya selalu terjadi proses “negoisasi” dan (e) sering mengeluarkan perspektif kemiskinan dan marginalisasi Implementasi kebijakan pengelolaan sampah rumah tangga sebagai upaya mendukung kota hijau Purwokerto, maka harus dilakukan secara terpadu. Prosesnya yaitu dimulai dari dukungan berbagai perangkat hukum dan peraturan pemerintah, peraturan perundang-undangan, peraturan daerah. Kebijakan pengelolaan sampah secara umum dapat memberikan kepastian hukum dalam perencanaan dan pemanfaatan serta pengawasan bagi Pemerintah Daerah (Pemda), Pengusaha/investor /swasta, Pemullung, Bank Sampah/LSM, wartawan dan Masyarakat. Menurut Helmi (2002) dasar kebijakan baru dalam pengelolaan sampah bersifat partisipatif dari masyarakat, desentralisasi dan mengacu pada prinsip-prinsip efisiensi ekonomi, kesejahteraan, keadilan dan keberlanjutan (sustainable). Berdasarkan analisis kebijakan ada dua tahap analisis yaitu (a) pengembangan kebijakan alternative dan (b) analisis kebijakan alternative. Pengembangan kebijakan alternative adalah suatu proses berfikir kreatif untuk menciptakan ide-ide baru untuk mempengaruhi sistem agar mencapai tujuan yang diinginkan, baik dengan cara mengubah parameter maupun struktur modelnya. Analisis kebijakan alternative dilakukan untuk memilih satu kebijakan terbaik dari beberapa alternative kebijakan yang ada, dengan mempertimbangkan perubahan sistem lama ke sistem yang baru serta perubahan yang lebih baik untuk di masa yang akan datang (Kholil 2005). Pemerintah Daerah dalam mengatur Pengelolaan Sampah dan Tata Ruang di Kota Purwokerto telah mengeluarkan Perda nomor 10 Tahun 2012
182 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) , dan Perda No. 6 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Sampah di Wilayah Kabupaten Banyumas, Hasil analisis AHP diperoleh beberpa alternative kebijakan yang dapat dilakukan Pemerintah Daerah, dalam rangka pengelolaan sampah rumah tangga upaya mendukung kota hijau Purwokerto dan nilai prioritas alternatif kebijakan pengelolaan sampah rumah tangga, dapat dilihat Tabel 56. Tabel 56 Nilai prioritas alternatif kebijakan pengelolaan sampah rumah tangga kota Purwokerto. No Alternatif
Bobot
Prioritas
1.
Penegakan Hukum
0,119
3
2.
Partisipasi Green Community
0,411
1
3.
Pole 3 R (reduce, reuse, recycle)
0,402
2
4.
Pemilahan Sampah Rumah Tangga
0,067
4
Sumber : Hasil lapangan 2015 Tabel 56 menunjukkan bahwa partisipasi green community dalam pengelolaan sampah rumah tangga mendukung Purwokerto sebagai kota hijau merupakan prioritas pertama dengan nilai pembobotan 0,411. Prioritas alternative kedua adalah penerapan pola 3 R yaitu reduce, reuse dan recycle dengan nilai pembobotan 0,402, sedangkan yang merupakan prioritas ketiga adalah penegakan hukum dengan nilai pembobotan 0,119 dan terakhir yang menjadi prioritas keempat adalah pemilahan sampah rumah tangga dengan nilai pembobotan 0,067. Alternative kebijakan dalam pengelolaan sampah rumah tangga menjadi pioritas utama adalah partisipasi green community. a. Hasil AHP Prioritas Pertama adalah Partisipasi Green Community Pengelolaan sampah ramah lingkungan (green waste) menjadi prioritas utama dalam pengelolaan sampah, karena tanpa keteribatan atau peranserta yang baik dari masyarakat. Oleh karena itu, maka program pengelolaan tidak akan dapat berhasil. Sebagaimana dinyatakan seorang kepala Dinas Kebersihan DKI, Unu Nurdin (Kompas 2014) bahwa :“…masalah sampah tidak akan ada habis-habisnya, masalah sampah tidak bisa hanya diselesaikan secara teknis semata. Akan tetapi ada beberapa aspek yang harus diperhatikan, antara lain aspek sosial yaitu aspek masyarakat dan partisipasi masyarakat atau peranserta masyarakat, tata ruang, serta financial. Selain masalah sarana dan prasarana pengelolaan sampah seperti truk pengangkut sampah, optimasliasai petugas kebersihan dan masalah penegakan hukum terhadap pelanggar aturan dalam pengelolaan sampah rumah tangga….” Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah rumah tangga ramah lingkungan (green waste) di permukiman memiliki dimensi yang luas. Pada pemukiman penduduk di kalangan masyarakat yang berstatus sosial ekonominya tinggi, umumnya motivasi dalam berpartisipasi yang berkaitan dengan pengelolaan sampah relatif tinggi dalam bentuk yang lain. Partisipasi
183 mereka berkaitan dengan kebutuhan akan lingkungan yang bersih, segar, asri, tertib, nyaman, hijau dalam rangka mempertahankan hasil property itu sendiri. Bentuknya adalah kesediaan membayar retribusi dalam jumlah uang relatif tinggi untuk mengelola sampah di permukiman penduduk yang berlatar belakang status sosial ekonomi yang tinggi. Teori Maslow menyebutkan sebagaiberikut: “… bahwa kebutuhan akan kenyamanan lingkungan dan berperanserta dalam upaya pelestarian lingkungan merupakan bagian dari aktualisasi diri setelah kebutuhan mendasar lainnya terpenuhi. Pada komunitas di permukiman lapisan menengah, umumnya motivasi dalam berpartisipasi berkaitan dengan tumbuhnya kesadaran untuk berperanserta dalam perbaikan kualitas lingkungan, yang pelaksanaannya masih memerlukan dukungan, sehingga dapat menjembatani aktualisasi dari tumbuhnya kesadaran tersebut. Pada komunitas di permukiman lapisan status sosial ekonomi rendah, umumnya sumberdaya relative terbatas dan tidak adanya otoritas, sehingga mengakibatkan kepedulian masyarakat kurang terhadap kesehatan dan kenyamanan lingkungan. Oleh sebab itu motivasi perlu ditumbuhkan melalui pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Pendekatan melalui tawaran kegiatan ekonomi merupakan pendekatan yang sesuai dengan prioritas dan kebutuhan masyarakat di permukiman lapisan bawah….”. Berdasarkan uraian di atas, pendekatan partisipasi dari Elzioni (1964) melalui tipe keterlibatan masyarakat dan tipe pelancaran pengaruh merupakan konsep yang relevan untuk menyusun tipologi partisipasi. Selain itu, pada pengelolaan sampah rumah tangga di permukiman penduduk dengan menitikbertakan partisipasi masyarakat, maka perlu mengacu pendekatan dari Elzioni. Teori ini mengkaji partisipasi masyarakat dalam 2 aspek, yaitu tipe 1 keterlibatan masyarakat dan tipe 2 tipe pelancaran pengaruhnya. Peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah rumah tangga, maka perlu meningkatkan kesadaran masyarakat dengan terlebih dahulu meningkatkan kemampuan dan kemampuannya melalui (capacity development) di bidang lingkungan. Hal ini sejalan dengan pendapatnya Bloom (1971) dan Checkland (1990) bahwa : “…. Peningkatan pengetahuan masyarkat akan merubah sikap mental dan perilakunya dan perubahan ini dapat menjadi unsur pendorong dalam berpartisipasi….”. Partisipasi masyarakat dapat meningkatkan efisiensi biaya khususnya biaya pemilahan, pengumpulan dan pengangkutan sampah ke TPA serta biaya proses pengolahan sampah. Bila dilihat dalam proses penangananya, dalam upaya pengelolaan sampah rumah tangga dapat dibagi dalam 3 katagori yaitu: (1) Penanganan sampah di sumber sampah (rumah tangga) dengan melibatkan masyarakat sebagai sumber utama penghasil sampah. (2) Penanganan sampah di TPS (3) Penanganan sampah di TPA. Partisipasi masyarakat dalam penanganan sampah rumah tangga sangat diperlukan sekali terutama dalam proses perwadahan. Hal ini sejalan dengan
184 pandangan Hanna dan Munasinghe (1995); Ostrom (1992); Mitchel, Setiawan dan Rahmi (1997) dan Ife (1986) yang menyatakan bahwa: “….. partisipasi masyarakat akan muncul beberapa faktor pendorong, antara lain motif dan ganjaran (reward), ketersediaan sarana dan prasarana, dorongan moral serta budaya...”. Fakto r meningkatnya tingkat kesehatan masyarakat, maka akan dapat menyebabkan meningkatnya angka harapan hidup atau umur harapan hidup masyarakat. Berarti dengan kata lain, usia masyarakat akan semakin panjang. Demikian pula dengan laju tingkat pertumbuhan penduduk dan tingkat konsumsi masyarakat secara umum b erdampak pula terhadap peningkatan volume sampah rumah tangga. Selain itu juga dapat berdampak terhadap perubahan komposis i dan karakteristik dari sampah yang dihasilkan terutama semakin banyaknya penggunaan plastik, stereform, kertas, produk-produk kemasan dan komponen bahan yang mengandung B3 (bahan beracum berbahaya) serta non-bio degradable. Oleh karena itu, maka diperlukan partisipasi masyarakat green community atau komunitas hijau dalam pengelelolaan sampah rumah tangga dalam mendukung kota hijau Purwokerto. Kondisi untuk tingkat pelayanan pemerintah dalam pengelolaan sampah secara nasional saat ini hanya mencapai sekitar kurang dari 40 persen dengan kualitas pelayanan yang belum memadai. Kondisi tersebut masih jauh dari standar pelayanan minimal yang diharapkan telah ditetapkan yaitu minimal sekitar 60 persen dengan pelayanan pengumpulan/pengangkutan minimal 2 kali dalam satu minggu (BPS 2000). Lingkungan masyarakat yang tidak mendapatkan akses pelayanan serta tidak cukup memiliki lahan untuk proses pengolahan sampah rumah tangga. Masyarakat cenderung membuang sampah rumah tangganya di sembarang tempat dan melakukan pembakaran sampah secara terbuka. Paradigma baru dalam pengelolaan sampah harus dipahami dan diikuti oleh masyarakat dan semua pihak terkait, yaitu sampah harus dapat dikurangi bahkan kalau bisa zero waste (nirlimbah(), digunakan kembali (reuce) dan dapat didaur ulang (recycle). Hal ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru. karena sudah banyak dilakukan berbagai negara dan berhasil meningkatkan effesiensi pengelolaan sampah dengan significant. Prosesnya yaitu dengan mengurangi sampah sejak dari sumber sampah, sehingga beban pengelolaan sampah akan berkurang. Strategi kebijakan pengelolaan sampah rumah tangga berbasis kearifan lokal mendukung program Kota Hijau Purwokerto, yang dapat dilaksanakan diantaranya adalah Pengurangan sampah rumah tangga dari sumber penghasil sampah ramah lingkungan menuju green waste. Upaya mengurangi sampah rumah tangga dari sumber sampah dengan ramah lingkungan menuju green waste merupakan salah satu usaha dalam pengelolaan sampah rumah tangga. Memanfaatkan sampah rumah tangga yang mempunyai nilai ekonomis dengan menjadi nasabah bank sampah. Pengurangan volume sampah tersebut selain dapat menghemat lahan atau memperpanjang umur TPA juga dapat mengurangi jumlah angkutan sampah dan menghasilkan kualitas bahan daur ulang yang cukup baik karena tidak tercampur dengan sampah lain. Potensi pengurangan sampah dari sumbernya dapat mencapai 50 persen dari total volume sampah yang dihasilkan. Pengurangan sampah dapat dilakukan dengan beberapa langkah yaitu antara lain adalah (a) peningkatan
185 pemahaman masyarakat tentang pola 3 R, (b) penerapan sistem insentif dan disinsentif tentang pengelolaan sampah, (c) koordinasi BLHD dan DKKTR, Bank sampah (Green Community), LSM (d) peningkatan pemahaman tentang pola kerigan, (e) penegakan hukum yang tegas bagi pelanggar dalam pengelolaan sampah, (g) peningkatan partisipasi green community dalam pengelolaan sampah rumah tangga, Berikut ini dijelaskan tentang langkah-langkah tentang pengurangan sampah rumah tangga menuju zero waste. a. Peningkatan pemahaman masyarakat tentang pola 3 R Pengurangan sampah rumah tangga dapat dilakukan dengan cara meningkatkan pemahaman tentang pola 3 R dan sampah B3 rumah tangga. Mengingat upaya pengurangan volume sampah di sumber penghasil sampah, maka ini sangat erat kaitannya dengan perilaku masyarakat itu sendiri. Upaya penyadaran dan peningkatan pemahaman untuk mendorong perubahan akan perilaku masyarakat dalam pengelolaan sampah rumah tangga. Upaya tersebut, dapat dilakukan secara berjenjang melalui promosi, sehingga dapat memberi gambaran mengenai nilai pengurangan sampah dari sumbernya. Kampanye dilakukan terus menerus, maka dapat membangun suatu komitmen sosial. Pengurangan sampah di sumbernya dilakukan salah satunya dengan mekanisme pola 3R, Reduce adalah upaya ini diharapkan dapat mengurangi pola hidup konsumtif serta senantiasa menggunakan bahan tidak sekali pakai yang ramah lingkungan. Reuce adalah upaya memanfaatkan bahan sampah melalui pengurangan yang berulang agar tidak langsung menjadi sampah. Recycle adalah upaya penanganan sampah yang dihasilkan dari rumah, dan dilakukan pemilahan serta pemanfaatan/ pengolahan di tempat. Selain itu diperlukan juga penanganan sampah B3 seperti lampu neon, kemasan pestisida dan batu baterai. Tindak lanjut dari strategi ini adalah pelaksanaan promosi dan kampnye 3 R serta pemberian contoh nyata secara luas melalui berbagai media massa untuk menjangkau berbagai kalangan. b. Penerapan sistem insentif dan disinsentif dalam pengelolaan sampah Upaya pengurangan sampah di sumber sampah perlu didukung dengan adanya regulasi tentang pemberian insentif yang dapat mendorong dan memotivasi masyarakat. Untuk itu senantiasa melakukan kegiatan pengelolaan sampah dengan pola 3 R. Insentif dapat berupa (a) pengurangan biaya retribusi sampah, (b) pemberian kupon voucer untuk belanja barang yang mendukung program 3 R yaitu antara lain pengganti kantong plastic, (c) pemberian penghargaan pengelolaan sampah tingkat kelurahan. Pengelolaan penerapan mekanisme insentif dan disinsentif harus diawali dengan kesiapan sistem pengelolaan sampah kota yang cukup memadai. c. Koordinasi BLHD, DCKKTR, bank sampah (green community) Keterlibatan bank sampah dalam pengelolaan sampah, per;lu mendapat dukungan dari BLHD dan DCKKTR. Ini penting agar terjadi sinkronisasi dalam berbagai program. BLHD dan Cipta Karya diperlukan adanya koordinasi yang baik dalam pelaksanaan pengelolaan sampah agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan, sehingga dapat dihindari “gesekan” antar instansi di lapangan. Oleh karena itu perlu ditingkatkan lagi koordinasi dalam pengelolaan sampah antara BLHD selaku yang berwenang dalam regulasi dan berbagai pembinaan dalam pengelolaan sampah dan DCKKTR selaku penanggung jawab secara teknis di lapangan dalam pengelolaan sampah serta green community ujung
186 tombak dalam pengelolaan masyarakat penghasil sampah.
sampah yang bersentuhan
langsung
dengan
d. Peningkatan pemahaman tentang pola kerigan sebagai kearifan lokal Pada jaman dahulu membersihkan sampah dan lingkungan di wilayah Kota Purwokerto selalu dilakukan dengan melibatkan partisipasi masyarakat berbasis pola kerigan. Komitmen dan dukungan pemerintah pada waktu itu terlihat tinggi dan partisipasi masyarakat berbasis pola kerigan meningkat. Hal ini menjadikan Kota Purwokerto pada tahun 1995 dan 1998 secara berturut-turut berhasil meraih penghargaan piala “Adi Pura”. Lewat pola kerigan itu pula tahun 1998 Kota Purwokerto mendapat penghargaan dar i WHO karena berhasil membebaskan daerah itu dari serangan demam berdarah dengue (DBD). Waktu itu masyarakat menjabarkan kearifan lokal (kerigan) tersebut dalam wujud piket bersama memberantas sarang nyamuk. Ini merupakan bentuk kepedulian dan partisipasi masyarakat. Setelah pola kerigan ini ditinggalkan baik oleh masyarakat maupun pemerintah, dan komitmen pemerintah daerah dinilai semakin menurun, terlihat pemerintah dan masyarakat tidak lagi memperhatikan aspek sosial akan tetapi lebih memperhatikan aspek teknik semata dalam pengelolaan sampah. Akibatnya penilaian “Adipura” pada tahun 2013, Kota Purwokerto menurun peringkat ke 30 dari 35 (BLHD 2013), namun tahun 2014 piagam “Adipura” dapat di raih kembali Kota Purwokerto melalui peningkatan pola kerigan. Perlu interaksi yang intens dengan masyarakat, dikemukakan Goffman (1979) bahwa individu yang berjumpa orang lain akan mencari ineraksi dengan memakai bahasa dan khayalan teater ini lebih mudah dipahami. Goffman : The Presentation of Self in Everday Life (1959) menyatakan bahwa individu yang berjumpa orang lain akan mencari informasi mengenai orang yang dijumpainya atau menggunakan informasi yang telah dimilikiinya, dengan memanfaatkan informasi tersebut untuk mendefinisikan situasi. b. Hasil analisis AHP yang menjadi prioritas ke dua adalah Peningkatan Pola 3 R menuju green waste. Pemikiran konsep pengelolaan sampah green city dengan zero waste adalah pendekatan serta penerapan sistem dan teknologi pengolahan sampah perkotaan skala kawasan pemukiman secara terpadu. Sasaran green waste dengan zero waste adalah melakukan penanganan sampah perkotaan skala kawasan sehingga dapat mengurangi volume sampah sesedikit mungkin, serta terciptanya industri kecil daur ulang yang dikelola oleh masyarakat atau pemerintah daerah setempat. Konsep zero waste yaitu penerapan prinsip 3 R dan prinsip pengolahan sedekat mungkin dengan sumber sampah dengan maksud untuk mengurangi beban pengangkutan (transport cost). Peningkatan pola 3 R ini bertujuan mereduksi jumlah sampah yang harus di buang ke TPA. Pencapaian target reduksi sampah dilakukan dengan sosialisasi 3 R dan partisipasi masyarakat dengan meningkatkan kearifan lokal dalam bentuk pola kerigan. Mengurangi ketergantungan terhadap TPA, maka alternative kebijakan kedua adalah dengan peningkatan pola 3 R. Program ini melakukan penanganan secara preventif dengan melibatkan masyarakat penghasil sumber sampah utama. Mendukung kebijakan ini adalah
187 perlu melakukan capacity development upaya meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat dalam pengelolaan sampah rumah tangga. Penanganan sampah rumah tangga dengan konsep zero waste diantaranya (a) sistem pengolahan sampah rumah tangga secara terpadu, (b) peranserta masyarakat dalam penanganan sampah, (c) teknologi pengomposan sampah, (d) daur ulang sampah plastik dan kertas, (e) teknologi pembakaran sampah dan insenerator, (f) teknologi pengolahan sampah organik dan nonorganik, (g) peluang dan tantangan usaha sampah organik melalui bank sampah c. Hasil AHP yang menjadi prioritas ke tiga adalah Penegakan Hukum Hukum adalah pegangan yang pasti, positif dan pengarah bagi tujuan program yang akan dicapai. Semua perikehidupan diatur dan harus tunduk pada prinsip-prinsip hukum, sehingga dapat tercipta masyarakat yang teratur, tertib dan berbudaya disiplin. Hukum dipandang selain sebagai pengatur ketertiban masyarakat tetapi juga sebagai sarana memperbaharui dan mengubah masyarakat kearah kehidupan lebih baik (Siahaan 2004). Penyebab belum bersihnya Kota Purwokerto adalah masih rendahnya pengetahuan, sikap dan perilaku hidup bersih dan sehat sejak dini serta tidak dilakukannya penerapan sanksi hukum . Dasar program gerakan sosial dalam pengelolaan sampah dan lingkungan umumnya tercantum dalam UU No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah, UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Rencana Tata Ruang, UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 50 Tahun 2007 Tentang Kerjasama Antar Daerah dan Permendagri No. 33 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pengelolaan Sampah. Adapun yang menjadi mitra dalam gerakan sosial dalam Go Green Program, adalah Pemerintah, PKK, Dasa wisma, LSM, Mahasiswa/ Pelajar, Pengusaha, Akademisi secara terpadu. Peningkatan sistem pengelolaan sampah rumah tangga dapat dilakukan dengan cara melakukan penegakan hukum dan dengan melengkapi peraturan pemerintah yang ada, maka diberlakukan beberapa hal yaitu:: 1. Penegakan hukum dan pemberlakuan sanksi terhadap pelanggar pengelolaan sampah sebagai upaya pembinaan bagi masyarakat, aparat dan pemangku kepentingan terkait. 2. Melengkapi dan meningkatkan produk hukum yang diperlukan bagi penyelengaraan pengelolaan sampah. 3. Lemahnya penegakan hukum terhadap para pelanggaran pembuangan sampah, merupakan tantangan aparat penegak hukum dalam penerapan Perda agar dapat dilaksanakan secara sungguh-sungguh tanpa kecuali atau tanpa pandang bulu. Kelemahan lainnya yang masih dilakukan oleh hampir semua stakeholders persampahan adalah belum adanya langkah strategis untuk menyelesaikan masalah persampahan. Beberapa kelemahan antara lain adalah: 1. Dinas Cipta Karya Kebersihan dan Tata Ruang selaku pengelola kebersihan belum optimal dalam melakukan pengangkutan sampah dari TPS ke TPA, sehingga banyak sampah rumah tangga yang tidak terangkut. Akhirnya “berceceran” mengganggu kebersihan lingkungan.
188 2. Masyarakat ada yang tidak membayar retribusi sampah bahkan ada yang membuang sampah di sembarang tempat bahkan dibakar. 3. Legislatif selaku pembuat Peraturan Daerah belum menyetujui penyediaan anggaran untuk pengelolaan sampah yang optimal, sehingga pihak Pemda selalu mengalami kekurangan anggaran pengelolaan sampah. 4. Dalam implementasinya, pemerintah belum sepenuhnya melaksanakan peraturan persampahan yang ada di masyarakat. Berdasarkan uraian AHP, maka dapat disajikan struktur khirarkhi dari alternative kebijakan pengelolaan sampah upaya mendukung kota hijau Purwokerto, disajikan dalam Gambar 13. AKTOR
KRITERIA
ALTERNATIF
Pemda
Pengusaha
Pemulung
(0,272) (0,272)
(0,098)
(0,057)
Biaya (0,229)
Penegakan Hukum (0,119)
Kota Bersih (0,677)
Partisipasi GC (0,411)
Masyarakat (0,426)
LSM/BS (0,146)
Pendapatan(
0,093)
Pola 3 R (0,402)
Pemilahan sampah (0,067)
Gambar 13 Hierarki model alternatif kebijakan pengelolaan sampah
Permodelan Analisis Sistem Dinamik Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Berbasis Partisipasi Green Community Causal Loop (Diagram Sebab Akibat) Causal loop merupakan jalannya penentuan sistem yang menunjukkan akumulasi energi, materi dan informasi dari sistem, serta proses transportasi input menjadi output. Sistem dinamik dalam partisipasi pengelolaan sampah rumah tangga, variabel utama yang mempengaruhi volume sampah pemukiman/ perumahan adalah jumlah penduduk. Variabel lain yang mempengaruhi diagram causal loop adalah sampah organik dan sampah an-organik, pemanfaatan sampah an-organik, bank sampah, partisipasi/peranserta masyarakat green community. Variabel-variabel penyusun model dinamik pengelolaan sampah rumah tangga selanjutnya dicari hubungan antara variabel yang terjadi antar variabel penyusun model pengelolaan sampah rumah tangga bisa bersifat positif dan bisa pula bersifat negatif. Model pengelolaan sampah rumah tangga green wate dengan partisipasi green community berbasis kearifan lokal pola kerigan mendukung kota hijau
189 Purwokerto terdiri dari tiga sub model, yaitu (1) sub model demografi; (2) sub model jumlah/volume sampah rumah tangga (persampahan) dan (3) sub model partisipasi masyarakat green community. Ketiga sub-model tersebut, lalu diintegrasikan menjadi model partisipasi green community dalam pengelolaan sampah upaya minimalisasi jumlah sampah ke TPA”Gunung Tugel”. Lingkungan hidup menjadi rusak dikarenakan aktivitas manusia yang kurang bertanggungjawab dalam memperlakukan lingkungan. Pencemaran sampah rumah tangga diakibatkan karena banyaknya orang yang berperilaku membuang sampah di selokan, sehingga terjadi banjir. Oleh karena itu, perlu adanya perubahan perilaku dalam membuang sampah. Maka dari itu, perlu adanya gerakan sosial (green pace) dalam pengelolaan sampah. Menteri Pekerjaan Umum (Djoko Kirmanto 2012) ) mengemukakan bahwa. “ …. guna mengatasi sampah, pemerintah menargetkan dalam kurun waktu lima tahun sebanyak 250 TPA selesai dibangun dan direvitalisasi di seluruh Indonesia yang telah ditetapkan dalam RPJPM diharapkan 2014 selesai dan untuk program tersebut Kemen PU telah menganggrkan Rp.800 Milliar sebagai peruntukan mengatasi sampah lewat pembangunan TPA”. Peran gerakan sosial dalam aktivitas aktor dalam pengelolaan sampah ramah lingkungan (green waste) sangat significant, tetapi yang utama adalah bagaimana merubah sikap dan perilaku masyarakat dalam membuang sampah dan peran aktor-aktor seperti LSM, swasta, pemerintah, akademisi, masyarakat, pemulung, legislatif, wartawan sangat penting dalam menunjang keberhasilan program gerakan sosial ini. Dasar kegiatan atau program gerakan sosial adalah UU No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah, UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Rencana Tata Ruang, UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 50 Tahun 2007 Tentang Kerjasama Antar Daerah dan Permendagri No. 33 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pengelolaan Sampah. Adapun yang menjadi mitra dalam gerakan sosial go green program, adalah Pemerintah Kabupaten/Kota, PKK, dasa wisma, LSM, Mahasiswa/ Pelajar, Dinas, Pengusaha/Kadin/Aspindo, Akademisi, Komunitas Pecinta Lingkungan secara terkoordinasi dan terpadu. Pengurangan sampah yang masuk ke TPA dengan mengurangi sampah dari sumber penghasil sampah, maka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Kompas 2006) mengemukakan bahwa : “…kita harus meminimalkan jumlah sampah. Kurangi penggunaan plastic. Jangan buang kertas yang masih dapat digunakan dan dijadikan sampah sebagai pupuk organic. Kita pun perlu mengubah pandangan, bahwa sampah bukanlah barang yang harus dibuang dan dimusnahkan. Sampah, dari kacamata tertentu adalah sumberdaya yang dapat digunakan dan dimanfaatkan. Saya berharap masingmasing Pemda dapat mengembangkan inisiatif dan gagasan inovatif dalam mengembangkann program-program lingkungan hidup yang benar-benar dapat bermanfaat bagi masyarakat…”. Kebijakan pengelolaan sampah di Indonesia masa lalu menekankan aspek-aspek yang bersifat fisik dan proyek semata. Baik institusi level pusat
190 maupun daerah berbuat pada penyediaan bak, gerobak, truk sampah, alat-alat berat, pembangunan TPA dan sebagainya. Implementasi suatu kebijakan, maka pihak pemegang kekuasaan perlu pendekatan kepada masyarakat, bahkan secara tidak langsung perlu adanya “ pemaksaan” agar pihak pelaksana mau melaksanakan kebijakan tersebut. Senada dengan kebijakan pemegang politik, maka Kornblum (1989:459) mengemukakan bahwa politik menentukan siapa dan memperoleh apa, bilamana dan bagaimana. Menurut Weber, kekuasaaan adalah the posiibility of imposing ones will upon the behavior of others. Kemungkinan untuk memaksakan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk perubahan perilaku masyarakat dapat dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari (Bendx 1960). Kebijakan pengelolaan sampah rumah tangga green waste untuk masa depan pada intinya adalah menjadikan sampah itu “tidak menjadi masalah” dikenal dengan istilah nir-limbah (zero waste) di masa depan. Beberapa langkah strategis dalam mengoptimalkan kebijakan dan merubah paradigma lama tentang kebijakan pengelolaan sampah rumah tangga menjadi paradigma baru untuk masa depan, maka dapat dilakukan melalui beberapa langkah berikut yaitu: 1. Merevitalisasi konsep desentralisasi layanan persampahan sebagai sarana pendekatan terhadap penyelenggaraan pelayanan masyarakat dengan cara pengurangan sampah semaksimal mungkin dimulai dari sumbernya dan mengedepankan peran dan partisipasi aktif dari seluruh komponen sebagai mitra pengelolaan sampah green waste. 2. Mengembangkan pola kemitraan strategis dengan pihak swasta melalui penyederhanaan jalur birokrasi bagi pihak swasta yang berminat untuk berinvestasi dalam pengelolaan sampah green waste. 3. Meningkatkan pembinaan, pemahaman masyarakat secara intensif dan berkelanjutan upaya 3R (reduce, reuse, recycle) terkait dengan kebijakan pengelolaan persampahan serta menerapkan sistem insentif dan desinsentif. 4. Peningkatan cakupan pelayanan dan kualitas sistem pengelolaan dengan memaksimumkan pemanfaatan sarana maupun prasarana persampahan. Strategi tersebut akan efektif apabila pemerintah daerah mempunyai komitmen yang tinggi terhadap kondisi sosial ekonomi dan budaya yang ada di masyarakat Kota Purwokerto. Hal ini sangat penting, sebagai upaya meningkatkan potensi lokal yang ada di masyarakat Banyumas, dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat tersebut dengan modal sosial yang ada. Strategi ini, akhirnya menjadikan sampah yang masuk ke TPA menjadi zero waste sehingga umur TPA menjadi panjang. Untuk itu perlu diformulasikan model pengelolaan sampah berbasis partisipasi green community. Untuk membangun model sistem dinamik tentang pengelolaan sampah berbasis partisipasi masyarakat, maka dibagi dalam tiga submodel yaitu (a) sub-model penduduk/demografi, (b) sub-model persampahan dan (c) sub-model partisipasi dalam pengelolaan sampah. Membangun model tersebut, maka diperlukan causal loop (diagram sebab akibat). Berikut ini disajikan causal loop model partisipasi dalam pengelolaan sampah rumah tangga ramah lingkungan menuju green waste berbasis partisipasi green community (Gambar 14).
191
PARTISIPASI
PENDUDUK angka pertumbuhan +
+
+ PENDUDUK
+ +
Fraksi rekruitmen
+
R1
Pertumbuhan
+ ANGGOTA BA NK SA MPA H
+
B3
pengaruh partisipas i
-
daya tarik
R2
kapasitas tersedia
+
+
daya dukung pddk
+
+
SAMPAH pemanf aatan
+
BA NK SA MPAH
Gambar 15per Diagram causalsampah loopy gModel Pengelolaan Sampah Berbasis sampah org dihasilkan Berbasis Partisipasi GC +
+
+
+
+
rasio dimanf aatkan
+ Gambar loopSAmodel dalam pengelolaan sampah daya 15 Causal + MPA H partisipasi B4 SA MPA H AN tampung
ORGA NIK -
rasio tdk dimanf aatkan
+ + rasio daya dukung lahan
-
daya dukung lahan
+
luas w ilayah
+
Sampah organik
+ tak dimanf aatkan
+
Gambar 14 Causal Loop model pengelolaan sampah berbasis partisipasi. Permodelan diperlukan untuk memudahkan melakukan estimasi besarnya efektivitas, supaya peningkatan partisipasi green community terhadap pengelolaan sampah rumah tangga yang harus dikelola oleh Pemerintah Daerah. Model pengelolaan sampah berbasis partisipasi green community dan kearifan lokal masyarakat Kota Purwokerto mendukung kota hijau, terdiri dari tiga sub model meliputi (1) sub model demografi Kota Purwokerto; (2) sub-model produksi jumlah sampah masyarakat Kota Purwokerto (persampahan) dan (3) sub- model partisipasi masyarakat green community dalam pengelolaan sampah rumah tangga Ketiga sub model tersebut, diintegrasikan menjadi satu model partisipasi masyarakat green community dalam pengelolaan sampah rumah tangga dengan penurunan jumlah sampah yang masuk/dibuang ke TPA. Sub-model/sub-sistem pengelolaan sampah rumah tangga (persampahan), bekerja satu causal loop positif saja (B4), dalam hal ini sampah rumah tangga yang dihasilkan oleh setiap warga/orang di Kota Purwokerto. Sampah rumah tangga ini dibatasi adanya daya dukung lahan, selanjutnya sampah rumah tangga dipilah antara sampah organik dansampah an-organik. Perkembangannya, mulai tahun 2010 di Kota Purwokerto berdiri Bank Sampah Arcawinangun PAS yang mengelola sampah an-organik. Tahun selanjutnya berdiri bank sampah “Mandiri” Berkoh yang diprakarsai oleh Nahdatul Ulama (NU) bekerjasama dengan LPPM STAIN Purwokerto, kommunitas sampah di beberapa wilayah. Keberadaan bank
192 sampah ini akhirnya mendapat perhatian dan dukungan dari Pemerintah Kabupaten Banyumas. Pada awal 2014 BLHD mentargetkan setiap kelurahan berdiri satu bank sampah, sehingga sampah yang termanfaatkan masyarakat semakin banyak dan sampah yang masuk ke TPA semakin sedikit. Ternyata sampai bulan Juli 2015 belum tercapai target tersebut. Kegiatan bank sampah ini dalam perkembangan waktu menjadi daya tarik masyarakat untuk bergabung menjadi anggota bank sampah. Semakin lama, semakin memasyarakat keberadaan masyarakat dan semakin sadar nilai ekonomi dan lingkungan dari sampah r umah tangga, sehingga semakin banyak masyarakat yang menjadi nasabah bank sampah. Banyaknya nasabah bank sampah menunjukkan semakin tingginya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah rumah tangga. Akibatnya sampah yang disetorkan ke bank sampah semakin banyak dan sampah an-organik yang dikelola bank sampah akan semakin banyak, akhirnya tabungan nasabah semakin banyak. Paradigma masyarakat mulai berubah, dulu masyarakat menganggap bahwa sampah itu merupakan sesuatu yang tidak berguna, namun sekarang menjadi sesuatu yang bernilai ekonomi. Hasil tabungan sampah di bank sampah, sangat membantu masyarakat secara ekonomi dan juga secara lingkungan. Secara ekonomi hasil tabungan sampah digunakan untuk membayar PLN, PDAM, keperluan sehari-hari, ada juga yang dijadikan insentif tiga bulanan untuk karyawannya.. Validasi Model Sistem Dinamik Validasi model adalah usaha penyimpulan apakah suatu model sistem tersebut merupakan perwakilan syah dari suatu realitas yang dikaji, sehingga dapat menghasilkan kesimpulan yang meyakinkan (Eriyatno 1998). Validasi merupakan proses interaktif sebagai proses penyempurnaan model computer (Muhammad et al. 2001; Eriyatno 1998). Uji validasi model sistem dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kelayakan suatu model yang dibangun, apakah sudah merupakan perwakilan dari realitas yang dikaji dapat menghasilkan kesimpulan yang meyakinkan. Proses validasi model dilakukan dengan uji kinerja/output suatu model (Muhammad et al. 2001). Pengujian model menggunakan uji validasi struktur bertujuan untuk memberi keyakinan bahwa struktur model yang dibangun dapat dikatakan valid secara ilmiah. Struktur model pengurangan sampah di sumber sampah rumah tangga melalui optimalisasi partisipasi masyarakat green community berbasis kearifan lokal menggambarkan interaksi antara komponen jumlah penduduk penghasil sampah, jumlah volume sampah rumah tangga yang dihasilkan dan pengurangan sampah melalui pemanfaatan sampah oleh masyarakat. Hal ini dikarenakan tumbuhnya partisipasi masyarakat green community dalam kegiatan pemilahan dan daur ulang serta sistem 3 R sampah, harus sesuai dengan kondisi dan situasi dari sistem nyata/factual yang ada di masyarakat tersebut (Saribanon 2007). Hubungan antara variabel bebas/peubah populasi penduduk dan beban sampah yang dihasilkan masyarakat harus bersifat korelasi positif. Demikian juga hubungan antara variabel partisipasi green community dengan beban
193 sampah yang dibuang ke TPA harus bersifat korelasi negatif. Kedua kondisi tersebut, harus terbukti running dari model yang dibangun tersebut. Pengujiannya dilakukan sub model demografi yang menggambarkan dinamika perkembangan populasi di Kota Purwokerto. Variabel yang terlibat dalam sub- model demografi adalah jumlah penduduk, pertambahan penduduk, pengurangan penduduk, kelahiran, kematian, urbanisasi, kelahiran, kematian, jumlah sampah yang dibuang penduduk dan fraksi pembuangan sampah. Selanjutnya, terlihat bahwa beban sampah pemukiman yang dihasilkan oleh penduduk merupakan hasil perkalian antara jumlah penduduk yang menghasilkan sampah dengan fraksi beban sampah penduduk dan satuannya dalam ton per tahun. Hasil pengujian menunjukkan bahwa sub- model yang dibangun memperlihatkan hasil yang bersesuaian dengan kondisi sistem aktual. Oleh karena itu, maka berdasarkan uji validitas dapat disimpulkan bahwa submodel yang dibangun dapat digunakan untuk mewakili mekanisme kerja sistem dinamik yang riil dalam pengelolaan sampah rumah tangga. Model ini dibangun untuk kajian sistem dinamik adalah model simbolik (model matematika).Permodelan sistem dinamik ini dilakukan dengan menggunakan bantuan software Powersim. Pada penelitian ini sub model/subsistem yang dibangun adalah meliputi tiga yaitu (a) sub-sistem/sub-model demografi, (b) sub-sistem/sub-model persampahan; dan (c) sub-sistem/submodel Partisipasi green community. Ketiga subsistem/sub-model ini berintegrasi menjadi sebuah model atau sistem yaitu model partisipasi masyarakat green community dalam pengelolaan sampah rumah tangga green waste mendukung kota hijau. Sub-sistem atau Sub-model Demografi (Penduduk) Kota Purwokerto Penduduk Kota Purwokerto pada tahun 2010 berjumlah 233.846 jiwa, dengan tingkat pertumbuhan 0,43 persen , maka pada tahun 2013, jumlah penduduk menjadi 243.427 jiwa. Sub- sistem demografi, variabel penduduk dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk dan dibatasi oleh daya dukung penduduk. Berdasarkan Apsari (2005) tentang klasifiklasi tingkat kepadatan penduduk dalam suatu wilayah seperti ruang terbuka hijau, fasilitas sosial dan fasilitas umum. Tingkat kepadatan penduduk adalah sebagai berikut : A. Tingkat Kepadatan Sangat Tinggi : jumlah penduduk lebih besar sama dgn 600 jiwa/ha( x ≥ 600 jiwa/ha). B. Tingkat Kepadatan Tinggi : jumlah penduduk 400 jiwa/ha sampai 600 jiwa/ha( 400 ≤ x < 600 jiwa/ha). C. Tingkat Kepadatan Sedang : jumlah penduduk lebih dari 200 jiwa/ha sampai kurang dari 400 jiwa/ha ( 200 ≤ x < 400 jiwa/ha) D. Tingkat Kepadatan Rendah : jumlah penduduk kurang dari 200 jiwa/ha ( x < 200 jiwa/ha). Berdasarkan kriteria tersebut di atas, maka kondisi saat ini penduduk Kota Purwokerto yaitu pada tahun 2013 adalah sebanyak 243.427 jiwauntuk luas lahan seluas 3.859,01 hektar. Data tersebut, maka apabila dibagi antara jumlah penduduk dengan luas wilayah (ha) maka per hektarnya (ha) banyak penduduk Kota Purwokerto adalah sebanyak 63 jiwa/ha. Kondisi seperti ini termasuk katagori tingkat kepadatan rendah. Hal ini berdasarkan kriteria dari teori Meta Kevin Lynch yang ditulis pada Kompas 23 september 2008,
194 disebutkan bahwa Kota Purwokerto sama kondisinya dengan Kota Blitar yang ada di Jawa Timur, yakni termasuk katagori kota kecil, dengan tingkat kepadatan penduduk yang ideal yaitu sebanyak 75 jiwa/hektar atau setara dengan 289.425 jiwa. Tingkat pertumbuhan 0,45 persen , maka estimasi atau prediksi pada tahun 2025, penduduk kota Purwokerto masih berada di bawah daya dukung ideal (kondisi daya dukung yang ideal bagi Kota Purwokerto, adalah bila kepadatan penduduknya berada pada kisaran sebanyak 75 orang/ha atau jumlah penduduk sebesar 289.425 jiwa. Hasil estimasi terdapat kepadatan penduduk Kota Purwokerto pada tahun 2025, berkisar 74 jiwa/ha dengan jumlah penduduk sebanyak 284.974 jiwa. Hasil simulasi jumlah penduduk Kota Purwokerto pada tahun 2010 sampai 2025, dan dihubungkan dengan daya dukung penduduk , maka dapat disajikan pada Gambar 15.
Penduduk (Jiwa)
290.000 2
2
2
2 1
280.000 270.000 1 260.000 250.000
1 2
Penduduk day a_dukung_pddk
1
240.000 1 2.010 2.015 2.020 2.025
Tahun Gambar 15 Hasil simulasi jumlah penduduk 2010-2025 Gambar 15 menunjukkan bahwa daya dukung lahan yang ada di Kota Purwokerto cenderung tetap sedangkan jumlah penduduk dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2025 diperkirakan cenderung naik/meningkat terus. Tahun 2025 jumlah penduduk Kota Purwokerto, diperkirakan akan mendekati batas daya dukung lahan secara maksimal. Oleh karena itu, diperlukan adanya intervensi/kontribusi masyarakat dan juga dari pemerintah daerah agar terjadi perlambatan pertumbuhan penduduk sehingga tidak mendekati daya dukung maksimal. Mengenai keterkaitan antara jumlah penduduk dengan tingkat kepadatan untuk periode tahun 2010- 2025 dinyatakan dalam (jiwa/hektar), disajikan Tabel 57.
195 Tabel 57 Jumlah dan tingkat kepadatan penduduk (jiwa/ha) Purwokerto tahun 2010 – 2025 Tahun 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025
Jumlah penduduk ( jiwa) 233.846 236.680 239.583 242.558 245.607 248.734 251.940 255.230 258.606 262.072 265.632 269.288 273.047 276.911 280.885 284.974
Kepadatan penduduk (jiwa/ha) 61 61 62 63 64 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74
Uji Validasi Sub-sistem atau Sub-model Demografi Kota Purwokerto Penelitian ini, pengujian validitas kinerja/output dilakukan salah satunya terhadap sub model Perumbuhan penduduk (demografi) yang menjadi sumber sampah rumah tangga yang dominan yang masuk ke TPA. Pada submodel demorafi Kota Purwokerto, terdiri dari 2 (dua) causa/l loop, yaitu loop positif R1 dan loop negatif B3. Pada loop R1, penduduk akan bertambah banyak jika pertumbuhan penduduk bertambah tinggi .Jika penduduk Kota Purwokerto bertambah banyak, dengan demikian maka pertumbuhan penduduk semakin tinggi pula. Pada loop ke 2, penduduk yang bertambah banyak, maka akan mengurangi kapasitas kota untuk menampung penduduk Kota Purwokerto. Hal ini dipengaruhi oleh daya dukung penduduk kota Purwokerto. Namun demikian, jika kapasitas lahan sebagai daya dukung yang tersedia di wilayah Kota Purwokerto tersebut, maka akan semakin sedikit. Dengan demikian, maka pertumbuhan penduduk di wilayah Kota Purwokerto akan semakin berkurang/kecil/rendah, demikian pula dengan sebaliknya. Hasil simulasi terhadap sub model demografi selaku penghasil sampah, menunjukkan adanya kemiripan antara data aktual/referensi/empirik dengan data simulasi/prediksi. Pola penyimpangan antara data referensi/empiric dengan simulasi/ prediksi, maka digunakan uji Average Mean Error (AME). Berdasarkan data pertumbuhan penduduk aktual, maka dapat dibuat simulasi pertumbuhan penduduk tersebut untuk waktu tertentu. Hasil pengujian sub model demografi menunjukkan bahwa adanya kesesuaian antara perkembangan jumlah penduduk secara empiric dengan fraksi pertumbuhan penduduk dalam kondisi sistem yang nyata atau riil.
196 Kisimpulkan bahwa sub-model/sub-sistem demografi yang dibangun dapat digunakan untuk mewakili mekanisme sistem yang nyata. Uji Validasi yang dilakukan dalam penelitian ini, adalah validasi kinerja atau output model dengan cara sebagai berikut.: 1. Membandingkan perilaku grafik hasil simulasi dengan data referensi. Pada gambar 17, perilaku yang ditunjukkan oleh hasi l simulasi serupa dengan data referensi/empirik 2. Menghitung nilai AME (Average mean error), yaitu perbedaan yang ditunjukkan antara data referensi dan hasil simulasi. Rumus yang digunakan adalah:
Nilai AME tidak boleh lebih dari 10 persen (Muhammadi et al, 2010) Berdasarkan perhitungan, nilai AME validasi pertumbuhan penduduk sebesar: 0,69 persen. Keterangan : Si : rata-rata simulasi atau prediksi; Ai : rata-rata aktual/referensi Data perbandingan pertumbuhan penduduk data empirik/referensi dan data simulasi untuk tahun 2010-2025, maka untuk kepentingan simulasi pertumbuhan penduduk antara data referensi/empirik dan data hasil simulasi untuk Kota Purwokerto, maka dapat dilihat pada Tabel 58 dan Gambar 18. Tabel 58 Pertumbuhan penduduk data empirik/referensi dan data simulasi periode 2010- 2025 (dalam satuan Jiwa) Tahun
Data Penduduk Empirik/ Referensi (jiwa)
Data Simulasi (jiwa)
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025
233.846 239.641 242.460 243.341 247.648 250.778 253.909 257.039 260.170 263.300 266.430 269.561 272.691 275.822 278.952 282.082 239.822
233.846 236.680 239.583 242.558 245.607 248.734 251.940 255.230 258.606 262.072 265.632 269.289 273.047 276.911 280.885 284.974 238.167
197 Tabel 58 menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk berdasarkan data referensi/empirik dan data hasil simulasi, terlihat pada Gambar 16. Untuk melihat perbandingan jumlah penduduk Kota Purwokerto pada periode 2010 - 2013, berdasarkan penduduk referensi dan hasil simulasi, maka dapat dilihat pada Gambar 16. 290,000
Jumlah Penduduk (Jiwa)
280,000 270,000
260,000 250,000 240,000
Penduduk referensi
230,000
Penduduk simulasi
220,000 210,000 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025
200,000
Tahun
Gambar 16. Penduduk data referensi dan data hasil simulasi (2010-2025) Perilaku model pertumbuhan penduduk yang dihasilkan dari model ini, menunjukkan tren perilaku yang serupa/menyerupai. Jika dihitung nilai AME nya diperoleh nilai sebesar 0,69 persen. Sehingga dapat dikatakan bahwa model ini valid atau dapat diterima. Perilaku model jumlah penduduk dapat disajikan pada Gambar 17 dan data penduduk disajikan pada Tabel 59.
Jumlah Penduduk (Jiwa)
246,000 244,000 242,000 240,000 238,000
Penduduk referensi
236,000
Penduduk simulasi
234,000 232,000 230,000 2010
2011
2012
2013
Tahun
Gambar 17 Perilaku model antara data referensi dan hasil simulasi jumlah penduduk
198 Perilaku model pertumbuhan penduduk Kota Purwokerto, dalam sistem permodelan system dinamik dalam analisis penelitian ini, yaitu dengan melihat kondisi penduduk actual (nyata) yang ada saat ini di Kota Purwokerto dan jumlah penduduk hasil simulasi pada tahun 2010 – 2013 dapat disajikan Tabel 59. Tabel 59 Jumlah penduduk aktual/referensi dan jumlah penduduk hasil simulasi tahun 2010-2013 Tahun 2010 2011 2012 2013
Penduduk Referensi 233.846 239.641 242.460 243.341
Simulasi 233.846 236.680 239.583 242.558
Sub-sistem atau Sub-model Persampahan Rumah Tangga Sub-sistem atau sub-model persampahan rumah tangga, variabel yang mempengaruhi pertambahan jumlah/volume sampah adalah sampah yang dihasilkan oleh penduduk atau rumah tangga (sumber penghasil sampah rumah tangga). Hal ini terjadi keterkaitan model, dimana jika penduduk meningkat maka jumlah sampah pun akan semakin meningkat pula (terjadi korelasi positif). Demikian juga sebaliknya, apabila jumlah penduduk menurun, maka jumlah sampah juga akan terjadi penurunan, dengan demikian dapat dikatakan terjadi korelasi yang sangat erat dan dapat dikatakan signifikan diantara kedua variabel tersebut. Hasil perhitungan sampah yang dihasilkan tiap penduduk, diperoleh jumlah rata-rata sampah yang dihasilkan di Kota Purwokerto adalah sebesar 0,4289 m3/jiwa/tahun. Nilai ini diperoleh dari jumlah sampah yang dihasilkan masyarakat dibagi dengan jumlah penduduk secara keseluruhan. Model ini diasumsikan semua orang menghasilkan sampah dan tidak membedakan factor usia penduduk dalam menghasilkan sampah. Hal ini dengan alasan bahwa dalam penyusunan sistem dinamik salah satu tujuannya adalah untuk menyederhanakan permasalahan yang rumit dan kompleks menjadi sesuatu yang sederhana dan mudah dipahami untuk mencapai suatu tujuan tertentu. (Hartrisari 2007). Oleh karena itu, agar tetap dapat memodelkan dari dunia nyata maka model partisipasi pengelolaan sampah rumah tangga ramah lingkungan menuju green waste (dengan menerapkan pola 3 R di masyarakat penghasil sampah ) di Kota Purwokerto ini, maka harus dilakukan uji validasi. Perilaku model pertumbuhan penduduk dan produksi sampah yang dihasilkan di Kota Purwokerto berdasarkan data tahun 2010 sampai dengan tahun 2025 disajikan dalam Gambar 18, maka akan menghasilkan trend yang serupa.
199
300,000.00
250,000.00
200,000.00 Produksi Sampah Simulasi Penduduk simulasi
150,000.00
100,000.00
50,000.00
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025
0.00
Tahun
Gambar 18 Hubungan antara jumlah penduduk dan produksi sampah di kota Purwokerto (2010 - 2025). Sebuah lingkungan mempunyai daya dukung terhadap penduduknya. Dalam hal ini yang menjadi daya dukung atau pembatas adalah keterbatasan luas wilayah. Kota Purwokerto mempunyai luas wilayah 3.859,01 ha dengan tata guna lahan untuk sawah, pekarangan/ bangunan dan lain-lain. Daya dukung tersebut lalu dibandingkan dengan jumlah penduduk yang ada di wilayah Kota Purwokerto sebagai pemanfaat lahan tersebut. Berikut ini disajikan tata guna lahan per- Kecamatan di wilayah Kota Purwokerto, pada tahun 2013 sebagaimana tercantum di dalam Tabel 60. Tabel 60 Tata guna lahan per-kecamatan di kota Purwokerto Sawah
Pekarangan/
Lain-lain
(Ha)
Bangunan (Ha)
(Ha)
Purwokerto Selatan
215,49
904,71
255,79
1.375, 99
2
Purwokerto Utara
411,12
418,56
171,71
901,39
3
Purwokerto Barat
251,62
383,89
104,21
739,72
4
PurwokertoTimur
180,68
509,07
152,16
841,91
Jumlah
1.058,91
2.216,23
683,87
3.859,01
No.
Kelurahan
1
Sumber: BPS Kabupaten Banyumas 2014.
Luas (Ha)
200 Hasil perhitungan, diperoleh rasio kebutuhan lahan untuk sampah adalah sebesar 1,4 persen dari luas total wilayah atau 54,03 ha. Bila ketinggian sampah yang digunakan adalah 6 meter, maka total sampah yang dapat ditampung adalah 3.241.568,4 m3. Nilai ini digunakan sebagai pembatas atau daya dukung lingkungan terhadap sampah yang dihasilkan oleh penduduk. Hasil simulasi sampai dengan tahun 2025, bila kondisi ini tidak terjadi perubahan, maka sampah yang dihasilkan belum melebih ambang batas. Namun demikian tetap sampah ini perlu dikelola dengan baik, agar tidak terjadi degradasi lingkungan dan penurunan kualitas hidup masyarakat Kota Purwokerto. Kalau hal ini dapat diatasi, maka kualitas lingkungan akan tetap terjaga dengan baik sehingga lingkungan tetap baik dan berkelanjutan. Mulai Desember tahun 2010, masyarakat Kota Purwokerto sudah mulai berpartisipasi dalam mengelola sampah rumah tangga, dalam bentuk kelembagaan yaitu dengan terbentuknya bank sampah Arcawinangun PAS (Peduli Akan Sampah). Bank sampah ini awalnya digagas oleh Hendri, S.Pn selaku ketua Green Community Kabupaten Banyumas dan mengalami perkembangan sangat pesat. Namun demikian, dalam perjalanan waktu pada tahun 2013 mengalami “konfliks” dalam tubuh bank sampah tersebut. Namun semuanya dapat diatasi dan kembali berkembang, walaupun sempat terjadi “kemunduran” sehingga jumlah anggotanya menurun.. Selanjutnya tahun berikutnya diikuti dengan berdiri bank sampah Mandiri Berkoh. Bank sampah ini bekerjasama dengan LPPM STAIN selanjutnya BLHD juga membentuk bank sampah Mandiri di sekitar GOR “Satria” Purwokerto. Pada awalnya sampah rumah tangga dipilah antara sampah organik dan sampah an-organik. Sampah rumah tangga yang dikelola oleh masyarakat adalah sampah an- organik. Pengelolaan sampah rumah tangga di Bank Sampah, tercatat rasio pemanfaatan sampah rumah tangga sampai saat ini adalah berkisat 65 persen , sedangkan sisanya (35 persen) tidak dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Mulai tahun 2015 sudah direncanakan pengelolaan sampah organik untuk dijadikan pupuk tanaman dan dilakukan kerjasama dengan pihak ke tiga dalam pemasarannya. Hal ini penting, karena banyak terjadi, ketika pupuk organic sudah tersedia, maka masyarakat kesulitan memasarkannya. Untuk itulah, maka pihak bank sampah memfasilitasi hasil pengolahan pupuk organik tersebut. Tahun 2011 mulai terkumpul sampah dan dimanfaatkan menjadi nilai ekonomis dari sampah atau dijual ke rongsokan , pengepul atau komunitas hijau. Namun tidak semua sampah an-organik ini dapat dimanfaatkan masyarakat, karena tidak semua masyarakat memanfaatkan sampah an-organik ini karena berbagai alasan. Berdasarkan data yang ada, maka tercatat jumlah sampah yang terkumpul dapat dilihat Tabel 61. Hasil perhitungan matematik, harga rata-rata sampah an-organik di bank sampah sebesar Rp 1.186/kg sampah. Penghasilan secara ekonomis yang diperoleh masyarakat dari sampah an-organik ini cukup besar, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penghasilan bank sampah di Kota Purwokerto berdasarkan hasil simulasi sampai dengan tahun 2025, berdasarkan hasil sistem dinamik, maka dapat dilihat sebagaimana tercantum pada Tabel 61.
201 Tabel 61 Hasil simulasi jumlah sampah terkumpul di bank sampah Tahun
Sampah (m3)
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025
111.198,00 114.095,40 115.852,90 117.500,30 119.173,10 120.891,10 122.658,60 124.478,10 126.352,10 128.283,10 130.273,50 132.326,40 134.444,50 136.631,00 138.889,40 141.223,20
Sampah_an org (m3)
Pemanfaatan Akumulasi_Bank (m3/tahun) Sampah (m3)
25.244,00 56.864,87 64.899,14 68.737,09 70.870,36 72.337,16 73.556,45 74.695,99 75.823,25 76.965,83 78.135,63 79.338,32 80.577,19 81.854,64 83.172,80 84.533,76
820,43 14.415,24 16.451,93 17.424,85 17.965,64 18.337,47 18.646,56 18.935,43 19.221,19 19.510,84 19.807,38 20.112,26 20.426,32 20.750,15 21.084,31 21.429,31
0,00 820,43 15.235,67 31.687,60 49.112,46 67.078,09 85.415,56 104.062,10 122.997,60 142.218,80 161.729,60 181.537,00 201.649,20 222.075,60 242.825,70 263.910,00
Penghasilan (Rp) 0 973.030 18.069.509 37.581.499 58.247.375 79.554.618 101.302.857 123.417.678 145.875.103 168.671.438 191.811.292 215.302.847 239.155.991 263.381.603 287.991.282 312.997.269
160,000.00 140,000.00
Sampah (m3)
120,000.00
Volume
100,000.00 Sampah_an_ org (m3)
80,000.00 60,000.00 40,000.00
Pemanfaatan (m3/tahun)
20,000.00
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025
0.00
Tahun
Gambar 19 Hubungan antara jumlah sampah, sampah an-organik dan pemanfaatan di Kota Purwokerto (2010 - 2025).
202 Uji Validasi Sub-sistem atau Sub-model Persampahan menuju Green Waste Penyusunan sub-model persampahan di wilayah Kota Purwokerto, maka selanjutnya dalam penelitian uji validitas kinerja / output model yang lain adalah sub- mode l pengelolaan sampah rumah tangga (persampahan). Submodel persampahan, maka dalam uji ini perlu dilakukan perbandingan data emfirik/data aktual dengan data hasil simulasi tentang produksi sampah rumah tangga. Sub model tersebut, tercantum pada Tabel 62 dan Gambar 20. Tabel 62 Perbandingan data empirik dan data simulasi produksi sampah Tahun
Data Empirik/ Referensi (m3/tahun)
Data Simulasi (m3/tahun)
2010 111.198,00 111.198,00 2011 116.855,00 114.095,40 2012 116.855,00 115.852,90 2013 117.764,00 117.500,30 2014 119.173,10 2015 120.891,10 2016 122.658,60 2017 124.478,10 2018 126.352,10 2019 128.283,10 2020 130.273,50 2021 132.326,40 2022 134.444,50 2023 136.631,00 2024 138.889,40 2025 141.223,20 Mean 115.704 114.662 AME 0,91
Ratarata Sampah
Pemilahan Sampah Organik
Pemilahan sampah AnOrganik
Laju Timbunan Sampah
0,4755 0,4882 0,4820 0,4839
277.338,20 342.090,00 407.142,50 474.076,60
38.048,01 36.950,37 65.310,19 77.246,90
38.224,98 38.402,47 39.513,28 40.272,71
0,4824
900 Jumlah anggota (orang)
800 700 600 500
Anggota Bank Sampah Referensi
400
Anggota Bank Sampah Simulasi
300 200 100 0 2010
2011
2012
Tahun
Gambar 20 Anggota bank sampah referensi dan anggota bank sampah simulasi
203 Validasi perilaku yang dilakukan pada variabel sampah, dan Bank Sampah. Pada variabel Sampah, perilaku model penambahan sampah menunjukkan trend perilaku yang serupa, dengan nilai AME sebesar 0,91 persen. Berdasarkan hasil AME tersebut, maka dapat dikatakan bahwa model produksi sampah ini valid. Perilaku model disajikan pada Gambar 22 dan data produksi sampah referensi/factual yang diperoleh dari penduduk penghasil sampah rumah tangga dan produksi sampah hasil simulasi, dapat disajikan pada Gambar 21 dan juga pada Tabel 63.
Volume sampah (m3)
120,000 118,000 116,000 114,000
Produksi Sampah Referensi
112,000 110,000
Produksi Sampah Simulasi
108,000 106,000 2010
2011
2012
2013
Tahun
Gambar 21 Perilaku model produksi sampah refferensi dengan simulasi (m3)
Tabel 63 Produksi sampah referensi/aktual dengan produksi sampah hasil simulasi (m3)
Tahun
Sampah
2010
Referensi 111.198
Simulasi 111.198,00
2011
116.997
114.095,40
2012
116.855
115.852,90
2013
117.764
117.500,30
Uji validasi tentang variabel bank sampah dengan memperhatikan produksi sampah yang dikelola oleh bank sampah, maka menunjukkan trend perilaku yang serupa. Oleh karena itu, maka jika dihitung diperoleh nilai AME nya diperoleh sebesar 9,08 persen yakni kurang dari 10 persen , sehingga dapat dikatakan bahwa model bank sampah ini dapat dikatakan dapat diterima atau valid.
204 Hubungan antara perilaku produksi bank sampah dengan hasil simulasi (dalam satuan m3) periode 2010 sampai dengan 2013, maka dapat disajikan dalam bentuk grafik. Perilaku model disajikan pada Gambar 22 dan data penduduk disajikan pada Tabel 65. 35000
Volume (m3)
30000 25000 20000
Bank Sampah Referensi
15000
Bank Sampah Simulasi
10000 5000 0 2010
2011
2012
2013
Tahun
Gambar 22 Perilaku produksi bank sampah referensil dengan hasil simulasi (m3)
Data tentang produksi bank sampah berdasarkan data referensi dan hasil simulasi sebagaimana tercantum pada Tabel 64. Tabel 64 Produksi bank sampah referensi/aktual dengan produksi bank sampah hasil simulasi (m3) Tahun
Bank Sampah Simulasi 0,00
2010
Referensi 0,00
2011
2.215,6
820,43
2012
21.833,3
15.235,67
2013
28.033,2
31.687,60
Sub-model Partisipasi Green Community dalam Green Waste. Sub-model partisipasi Green Community dalam pengelolaan sampah rumah tangga ramah lingkungan (green waste), yang menjadi dasar adalah dinyatakan dengan data banyaknya anggota bank sampah. Masyarakat yang ingin berperan serta dalam pengelolaan sampah rumah tangga green waste , harus menjadi anggota bank sampah terlebih dahulu. Berdasarkan data maka jumlah anggota pada awalnya tercatat adalah 286 orang. Partisipasi masyarakat ini dimodelkan dengan operasional sebagai banyaknya masyarakat yang menjadi nasabah bank sampah. Namun demikian, adanya manfaat yang dihasilkan dari bank sampah ini, menjadi daya tarik bagi anggota lainnya untuk ikut bergabung. Sehingga pada tahun berikutnya anggota bank sampah pun
205 bertambah, karena mereka sudah mengetahui manfaat dari hasil pengelolaan sampah rumah tangga menuju green waste tersebut. Bila waktu simulasi diperpanjang sampai dengan tahun 2025, maka jumlah anggota bank sampah dapat dilihat pada Gambar 24 dan Tabel 69. Banyaknya orang yang menjadi anggota bank sampah (nasabah) ini akan mempengaruhi jumlah sampah yang dapat dimanfaatkan atau dikelola di Bank Sampah Kota Purwokerto. Untuk lebih jelasnya, maka dapat disajikan Gambar 23. Anggota Bank Sampah (orang)
7,000.00 6,000.00 5,000.00 4,000.00 3,000.00 2,000.00 1,000.00 0.00
Tahun
Gambar 23 Hasil simulasi anggota bank sampah tahun 2010 – 2025 Tabel 65 Hasil simulasi anggota bank sampah tahun 2010 – 2025 Tahun
Anggota bank sampah di Kota Purwokerto (orang)
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025
0 257 518 800 1132 1507 1943 2427 2917 3413 3917 4427 4944 5468 6000 6539
206 Uji Validasi Sub-sistem atau Sub-model Partisipasi Green Community Validasi dari sub-sistem atau sub-model partisipasi Green Community dalam pengelolaan sampah rumah tangga green waste , dilakukan uji validasi. Hasil simulasi terhadap sub model partisipasi green community dalam pengelolaan sampah rumah tangga ramah lingkungan (green waste) dengan indikator banyaknya anggota bank sampah, volume sampah yang dikelola bank sampah, menunjukkan adanya kemiripan antara data empirik dengan data simulasi sampai dengan tahun 2008. Berdirinya bank sampah wilayah di Kota Purwokerto mulai pada tahun 2010 dan selanjutnya semakin lama semakin berkembang dan jumlah anggota bank sampah semakin banyak. Pola penyimpangan antara data empirik/referensi dengan hasil simulasi, maka digunakan uji validasi AME. Berdasarkan nilai AME tersebut, maka model dinamik yang dikembangkan dapat dinyatakan valid dan dapat diterima secara akademik (Muhammadi et al 2001). Dapat dilihat pada Gambar 24.
Anggota Bank Sampah (orang)
900 800 700 600 500
Anggota Bank Sampah Referensi
400 300
Anggota Bank Sampah Simulasi
200 100 0 2006
2007
2008
Tahun
Gambar 24 Anggota bank sampah referensi dan simulasi Variabel yang digunakan dalam uji validasi model ini adalah jumlah anggota bank sampah. Dalam uji validasi menunjukkan trend perilaku yang “serupa”. Selanjutnya, jika dihitung AME, maka diperoleh nilai sebesar 7,4 persen ,sehingga model perilaku bank sampah ini valid atau dapat diterima. Perilaku model disajikan pada Gambar 25 dan pada Tabel 70.
207
Anggota Bank Sampah (orang)
. 1000 800 600
Anggota Bank Sampah Referensi
400
Anggota Bank Sampah Simulasi
200 0 2010
2011
2012
Tahun
Gambar 25 Perilaku bank sampah referensi dan hasil simulasi Perbandingan jumlah anggota bank sampah pada data aktual/ referensi dan data hasil simulasi pada tahun 2010 – 2013, maka dapat dilihat pada Tabel 66. Tabel 66 Perbandingan data bank sampah referensi dan hasil simulasi Tahun
Anggota Bank Sampah Referensi Simulasi
2010 2011 2012 2013
0 286 485 687
0,00 257 518 800
Analisis Kecenderungan Sistem Dinamis Analisis kecenderungan sistem ditunjukkan untuk mengeksploitasi perilaku sistem dalam jangka panjang menuju ke depan, melalui simulasi model (Saribanon 2007). Dalam penelitian ini, perilaku simulasi sistem pengelolaan sampah ditetapkan selama 15 (lima belas) tahun, yaitu dimulai tahun 2010 – 2025. Pertimbangan peneliti dalam penentuan ditetapkannya simulasi 15 tahun, berdasarkan pertimbangan bahwa dalam kurun waktu tersebut merupakan periode yang dianggap tepat dan “strategis” dalam pengelolaan sampah rumah tangga di Kota Purwokerto. Simulasi tersebut, mengoperasionalkan beberapa variabel yang disimulasikan yaitu (a) penduduk penghasil sampah rumah tangga; (b) volume sampah rumah tangga yang dibuang ke TPA; (c) Partisipasi green community yang ditandai dengan jumlah anggota bank sampah dan jumlah sampah yang dikelola oleh bank sampah di Kota Purwokerto.. Peningkatan jumlah sampah rumah tangga tersebut di Kota Purwokerto, diakibatkan karena pertambahan jumlah penduduk urbanisasi dari tahun ke tahun terus meningkat. Hal ini menyebabkan peningkatan volume sampah rumah tangga dipengaruhi oleh tingkat pendapatan dan gaya hidup masyarakat
208 serta pola pengelolaan sampah yang dilakukan masyarakat, stakeholder terkait dan pemerintah daerah. Pengelolaan sampah dengan sekenario pola 3 R (green waste) dengan partisipasi green community dalam bentuk bank sampah yang dilakukan di sumber sampah atau yang dekat dengan sumber sampah, menunjukkan jumlah sampah yang masuk ke TPA semakin menurun/rendah. Meningkatnya jumlah sampah disebabkan oleh karena semakin banyak sampah rumah tangga yang tidak dikelola masyarakat dan langsung dibuang ke TPA, sehingga daya tampung sampah di TPA semakin rendah dan umur TPA semakin sedikit. Namun demikian, setelah dilakukan program partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah dengan pola 3 R menuju green waste dan dengan keterlibatan masyarakat dalam bank sampah, maka jumlah sampah yang masuk ke TPA semakin rendah. Kontribusi / Intervensi Model Partisipasi Green Community Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Ramah Lingkungan Menuju Green Waste. Permodelan dengan menggunakan sistem dinamik, maka perlu dilakukan suatu kontribusi/ intervensi suatu model. Kontribusi/ intervensi ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu sebagaiberikut (1) intervensi struktural adalah intervensi yang dilakukan dengan mengubah struktur model dan (2) intervensi fungsional adalah intervensi yang dilakukan dengan meningkatkan nilai variabel tertentu ke dalam model partisipasi dalam pengelolaan sampah tersebut dinamakan intervensi./kontribusi. Model partisipasi aktor green community menuju green waste, dilakukan kontribusi/ intervensi fungsional. Intervensi dengan mengubah variabel pemanfaatan bank sampah (dalam banyaknya sampah yang dimanfaatkan di bank sampah) dan rekruitmen banyaknya anggota/nasabah bank sampah. Aktivitas yang dilakukan dalam kontribusi/intervensi model partisipasi dalam pengelolaan sampah rumah tangga green waste meliputi kegiatan : 1. Melakukan aktivitas pelatihan (termasuk workshop), dengan tujuan jika masyarakat diberi pelatihan untuk meningkatkan kemampuan mengelola atau memanfaatkan sampah rumah tangga ramah lingkungan (green waste) yaitu jenis sampah an- organik, maka menyebabkan lebih banyak sampah jenis an- organik yang dapat dijual atau dimanfaatkan. Dengan adanya intervensi/kontribusi berupa aktivitas pelatihan tersebut, maka dapat meningkatkan jumlah/ volume sampah yang dapat dimanfaatkan atau dijual oleh Bank Sampah di Kota Purwokerto. 2. Melakukan aktivitas promosi ( dalam bentuk lieflet, brosur, spanduk, baliho, film dan sebagainya) dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah rumah tangga (green waste). Hal ini dilakukan secara aktif dan terus menerus untuk menarik masyarakat agar terjadi kesadaran (“revolusi mental”) untuk menjadi anggota / nasabah bank sampah. Bila promosi dilakukan terus menerus dengan sangat aktif dan inovatif , maka akan menarik masyarakat menjadi anggota bank sampah. Ini menyebabkan peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah rumah tangga dengan menjadi anggota bank sampah. Hal ini akan menambahkan pemanfaatan sampah an- organik dibank sampah, sehingga masyarakat juga menjadi lebih sejahtera.
209 Sampah yang masuk ke TPA menjadi lebih sedikit sehingga menyebabkan umur TPA menjadi lebih panjang dan pencemaran lingkungan akan semakin berkurang melalui partisipasi masyarakat. Sampah yang dapat dimanfaatkan bank sampah, jika dilakukan pelatihan tentang pengelolaan sampah rumah tangga kepada masyarakat untuk periode 2010 sampai 2025 tercantum pada Gambar 26 dan Gambar 27. 600,000.00
Volume (m3)
500,000.00 400,000.00 300,000.00
Bank Sampah (Tanpa Intervensi)
200,000.00
Bank Sampah (Intervensi)
100,000.00 0.00 20102012201420162018202020222024 Tahun
Gambar 26 Sampah dimanfaatkan bank sampah, hasil Intervensi /
Anggota Bank Sampah (orang)
16,000.00 14,000.00 12,000.00 10,000.00 8,000.00
Anggota Bank Sampah (Tanpa Intervensi)
6,000.00
Anggota Bank Sampah (Intervensi)
4,000.00 2,000.00 0.00 2010 2012 2014 2016 2018 2020 2022 2024 Tahun
Gambar 27 Anggota bank sampah tanpa intervensi dan dengan intervensi
210 Kepentingan penyusunan intervensi baik intervensi struktural maupun fungsional, maka dilakukan dilakukan nilai variabel bank sampah yaitu mengenai data sampah dan data tentang anggota bank sampah, baik tanpa intervensi/kontribusi maupun dengan interfensi/kontribusi. Penyusunan submodel partisipasi, maka diperlukan diagram alir tentang partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah rumah tangga ramah lingkungan (green waste) . Sub-model partisipasi green community, maka berikut disajikan datadata dalam bentuk tabel tentang kuantitas sampah an-organik yang dikelola di bank sampah dan jumlah anggotanya bank sampah. Berdasarkan data bank sampah tanpa referensi (dinyatakan dalam m3) dan hasil interfensi/kontribusi dan juga anggota bank sampah. Berdasarkan hasil simulasi tanpa interfensi dan dengan interfensi untuk periode tahun 2010-2025 sebagaimana tercantum pada Tabel 67. Tabel 67 Sampah di bank sampah dan anggota bank sampah tanpa dan dengan intervensi/kontribusi Bank Sampah (m3) Tahun 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025
Tanpa Intervensi 0,00 820,43 15.235,67 31.687,60 49.112,46 67.078,09 85.415,56 104.062,10 122.997,60 142.218,80 161.729,60 181.537,00 201.649,20 222.075,60 242.825,70 263.910,00
Intervensi 0,00 8.040,21 28.187,18 59.653,73 88.948,34 116.926,40 167.959,20 194.208,90 232.943,20 266.519,00 303.321,90 339.401,00 376.653,20 414.205,90 452.500,00 491.355,00
Anggota Bank Sampah (orang) Tanpa Intervensi 0,00 257 518 800 1.132 1.507 1.943 2.427 2.917 3.413 3.917 4.427 4.944 5.468 6.000 6.539
Intervensi 0,00 514 1.035 1.681 2.473 3.416 4.371 5.338 6.318 7.311 8.318 9.338 10.372 11.420 12.484 13.562
Kepentingan penyusunan permodelan tersebut di atas, maka sangat diperlukan adanya diagram alir yang menunjukkan model partisipasi dalam pengelolaan sampah rumah tangga green waste sebelum dilakukan intervensi/kontribusi dan diagram alir setelah atau dengan dilakukan intervens/kontribusii tercantum pada (lampiran 4 dan 5).
211
Simpulan Proses kebijakan akan selalu dipengaruhi aktor dan kepentingan dari sebuah wacana tertentu. Sebuah wacana yang sama, para aktor-aktor pendukung seperti pemerintah atau birokrat lokal, swasta, LSM, akademisi, DPRD, wartawan, green community juga memiliki kepentingan masing-masing yang dapat mempengaruhi proses kebijakan dan politik dalam pengelolaan sampah rumah tangga ramah lingkungan (green waste). Arena kebijakan pendekatan yang digunakan meliputi kekuasaan, pasar dan pendekatan masyarakat, yang saling berbeda dan mempunyai kepentingan berbeda pula. Pembuatan kebijakan, perlu memahami kondisi sosial budaya masyarakat (mitos; belief, fatalisme) setempat. Kesalahan dalam pelaksanaan kebijakan, biasanya dialamatkan pada lemahnya “political will”, terbatasnya sumberdaya , anggaran, serta lemahnya manajemen. Alternatif kebijakan Pemda dalam pengelolaan sampah green waste mendukung kota hijau adalah memprioritaskan terhadap partisipasi green community, disusul pola 3R, lalu penegakan hukum dan keempat adalah pemilahan sampah di sumber penghasil sampah. Untuk mewujudkan kebijakan tersebut, maka perlu dilakukan secara terpadu dari berbagai stakeholders. Kriteria yang digunakan dalam perumusan kebijakan green waste, yang menjadi prioritas pertama adalah terwujudnya kota bersih, lalu prioritas ke dua adalah faktor biaya, karena masyarakat akan merasakan dari biaya tersebut dan prioritas ke tiga adalah pendapatan. Pertimbangan kebijakan dari aspek aktor pelaku kebijakan pengelolaan sampah green waste lintas rumah tangga dalam mewujudkan kota hijau, prioritas utama adalah masyarakat. Masyarakat ini akan sangat merasakan dampaknya secara langsung dari kebijakan tersebut dan jumlahnya sangat banyak. Prioritas kedua yang perlu diperhatikan dalam perumusan kebijakan adalah pemerintah daerah, ini penting karena pemda merupakan pemegang regulasi dan juga yang bertanggungjawab terhadap implementasi dari kebijakan tersebut. Prioritas ke tiga adalah LSM, bank sampah, karena komunitas ini sangat dekat dengan masyarakat dan merupakan “coorong” dari masyarakat. Prioritas ke empat adalah pengusaha di bidang persampahan/lingkungan, dan terakhir yang perlu diperhatikan adalah pemulung. Pemulung ini memang keberadaannya sering dipandang “sebelah mata”, padahal pemulung ini merupakan pelopor sistem 3 R, kalau dulu disebut “laskar mandiri” dalam pengelolaan sampah. Pengelolaan sampah green waste intinya menjadikan sampah tidak menjadi masalah, di masa depan. Langkah strategis dalam mengoptimalkan kebijakan dan merubah paradigma pengelolaan sampah di masa depan (green waste). Mengembangkan pola kemitraan strategis dengan pihak perusahaan/ swasta melalui penyederhanaan jalur birokrasi bagi pihak swasta yang berminat untuk berinvestasi dalam pengelolaan sampah menuju green waste. Permodelan dalam pengelolaan sampah rumah tangga berbasis partisipasi green community, terdiri dari tiga sub-model, yaitu demografi (kependudukan), persampahan dan sub-model partisipasi green community. ketiga sub-model tersebut telah diuji validasi dengan kinerja/output model dengan menghitung AME. Hasil ke tiga uji validasi untuk ketiga sub-model ini, dinyatakan valid dan dapat diterima.
212
8 PEMBAHASAN UMUM Partisipasi aktor masyarakat dalam pengelolaan sampah rumah tangga ramah lingkungan green waste lintas rumah tangga menuju green community, secara strategis dipengaruhi langsung oleh pengetahuan tentang pengelolaan sampah rumah tangga. Pengetahuan ini juga berpengaruh secara langsung terhadap persepsi dan sikap terhadap pengelolaan sampah rumah tangga green waste. Partisipasi aktor pemerhati lingkungan terhadap pengelolaan sampah green waste upaya membangkitkan semangat berpartisipasi masyarakat menuju green community dalam pembangunan kota hijau, meliputi beberapa aktor yaitu komunitas peduli akan sampah, bank sampah, dasa wisma, pengelola sampah. Aktor pemerhati lingkungan ini menyatakan bahwa pada umumnya kesadaran masyarakat terhadap pola 3 R dalam pengelolaan sampah green waste masih kurang, oleh karena itu perlu adanya sosialisasi secara terus menerus kepada masyarakat. Partisipasi aktor peduli lingkungan green community yang tergabung forum silaturahmi peduli lingkungan (FSPL) “Gunung Slamet”, dalam kegiatan bersih-bersih “Gunung Slamet” dari sampah. Program ini sebagai salah satu upaya pelestarian alam lingkungan. Aktivitas nyata meliputi pembersihan dari sampah pengunjung, pendaki “Gunung Slamet”. Masifnya pendakian dengan banyak jalur membuat gunung itu dipenuhi sampah dan mengancam kelestariannya. Transformasi green community dalam green waste lintas rumah tangga saat ini sudah mulai berjalan ke arah “komunitas”. Awal berdirinya green community dibentuk pemerintah (top down) berdasarkan “proyek” yaitu adanya proyek pengembangan kota hijau (P2KH). P2KH digulirkan Kementerian Pekerjaan Umum sebagai solusi permasalahan kota yang kompleks. Perkembangan masyarakat seiring dengan berjalannya waktu, ternyata komitmen aktor-aktor pemerhati lingkungan green community ini, tidak lagi hanya untuk menjalankan “proyek” pemerintah saja, namun sudah berkomitmen menjadikan Purwokerto bersih dari sampah dengan melibatkan elemen masyarakat Kota Purwokerto sebagai suatu kebutuhan masyarakat. Hal ini terbukti, banyaknya elemen masyarakat membentuk komunitas peduli akan sampah di berbagai lintas rumah tangga. Hal ini menjadikan koreksi kepada kebijakan dan cara kerja Pemerintah Daerah Kabupaten Banyumas selama ini. Transformasi green community berbasis “komunitas” ini keberadannya dapat terjaga dan diharapkan berkelanjutan (sustainable), dibandingkan green community berdasarkan “proyek”. Strategi kebijakan Kota Purwokerto Pemerintah Kabupaten Banyumas dalam mendukung kota hijau adalah melakukan (a) pembentukan green community, (b) Pendirian bank sampah tiap-tiap RT dalam rangka mendukung green waste, (c) mendirikan beberapa RTH berupa taman yaitu Taman Balai “Kemambang”, TRAP “Andang Pangrenan, Taman “Satria”, Taman “Soedirman”, Baturraden Botanical Garden, (d) pembenahan trotoar untuk pejalan kaki agar nyaman, (e) penanaman pohon di pinggir jalan utama dan jalan lainnya, (f) pembenahan RTH di alun-alun Kota Purwokerto.
213 Kendala koordinasi pada tahap pelaksanaan pengelolaan sampah, terjadi karena belum optimalnya pola pengawasan dari DCTKTR terhadap pihak Kelurahan/RT/RW. Pada tahap monev, koordinasi antar SKPD belum optimal karena terbatasnya perangkat monev yang telah dikembangkan di Kabupaten Banyumas. Ditinjau dari aspek kebijakan ada beberapa kelemahan pada Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas No. 2 Tahun 1995 tentang kebersihan dan keindahan Lingkungan. Kondisi penegakan hukum atas kewajiban yang diatur pada tersebut juga masih lemah. Kapasitas seksi persampahan, yaitu pelayanan bidang kebersihan DCKKTR dalam pembinaan masyarakat masih kesulitas untuk memastikan agar masyarakat Kabupaten Banyumas mulai membiasakan diri untuk menjalankan pola pengurangan sampah dan menjalankan proses pengomposan. Hal ini terjadi karena seksi pemanfaatan sampah masih merasa kesulitan untuk memperlihatkan manfaat ekonomi dari sampah. Selain itu, kondisi dimana belum adanya sarana dan prasarana yang sepenuhnya mendukung pengolahan sampah organik dan an-organik dapat dijalankan secara efektif telah menjadi kendala dalam proses pembinaan yang dilakukan kepada masyarakat. Pemerintah Kabupaten Banyumas dalam pengelolaan sampah rumah tangga green waste telah melakukan kerjasama dengan pihak swasta. Bentuk kerjasama adalah perusahaan tersebut melakukan penyapuan dan pengangkutan sampah tersendiri pada lingkungan industri dan perumahan karyawan. Akan tetapi pembuangan akhirnya bekerjasama dengan pemerintah Kabupaten Banyumas yaitu TPA milik pemerintah dengan mengenakan retribusi khusus kepada perusahaan penghasil sampah tersebut. Kerjasama dilakukan dengan beberapa perusahaan pengelolaan sampah green waste , maka keberadaan para pengepul rongsok juga cukup memberikan andil terhadap pengelolaan sampah. Para pengepul melakukan pembelian sampah yang memungkinkan dapat di daur ulang (recycle). Sementara beberapa perusahaan juga ikut berpartisipasi dalam pengelolaan sampah baik melalui program CSR maupun bantuan langsung kepada masyarakat, namun jumlahnya rmasih relatif sedikit. DCKKTR dan BLHD sebagai pihak utama yang bertanggungjawab dalam pengelolaan persampahan di Kabupaten Banyumas perlu melakukan beberapa langkah yaitu: Pertama, program kampanye dan sosialisasi secara masal untuk meraih komitmen serta kepedulian masyarakat hingga timbul inisiatif dari masyarakat tersebut untuk menangani persampahan secara terpadu. Kedua, mensinergikan program-program dan kegiatan yang dimiliki oleh pemerintah kabupaten melalui SKPD terkait. Program dan kegiatan yang telah dilaksanakan oleh pihak swasta khususnya melalui CSR sehingga dapat saling melengkapi dan mendorong terwujudnya pengelolaan sampah terpadu di Pemda Banyumas. Ketiga, memanfaatkan program CSR dari pihak perusahaan-perusahaan besar yang ada di Kota Purwokerto untuk mereplikasi berbagai program yang telah diprakarsai oleh Pemda dalam mengurangi timbunan sampah, seperti program composing, bank sampah dan sebagainya. Keempat, adanya dukungan dari Pemda Banyumas untuk mendorong masyarakat dalam meningkatkan kemampuan untuk berperan serta dalam pengelolaan sampah. Contoh penyerahan unit composing yang
214 selama ini masih dikelola oleh DCKKTR dan BLHD kepada masyarakat dengan pengawasan dan stimulus-stimulus dari Pemda Banyumas. Kelima, memberdayakan dan meningkatkan peranserta masyarakat dalam pengelolaan sampah di Kota Purwokerto baik yang bergerak dalam penanganan sampah organik (composing) maupun an-organik. Program ini, nantinya sampah yang masuk ke TPA benar-benar hanya berupa sampah residu yang tidak dapat diolah secara sederhana. Keenam, penyadaran tentang resiko dampak dari sampah terhadap kesehatan masyarakat dengan memanfaatkan forum-forum warga seperti pertemuan PKK, dasa wisma, pertemuan RT, pengajian, selapanan dan lain-lain. Ketujuh, membentuk komunitas hijau peduli sampah untuk kegiatan pengelolaan sampah rumah tangga di tiap-tiap Rukun Tetangga. Kedelapan, membentuk iuran rutin tingkat dasa wisma/PKK/RT sebagai upaya membuat fasilitas pengelolaan sampah green waste di tingkat RT. Kesembilan, pelibatan masyarakat dalam penyusunan perencanaan pengelolaan sampah rumah tangga di tingkat kelurahan. Kesepuluh, pelibatan dalam pengelolaan fasilitas sampah komunal atau off site. Green community dalam kerjasama dengan pihak DCKKTR dan BLHD dan stakeholder terkait, dalam pelaksannaanya selama ini, relative bias birokrasi. Terbukti pelaksanaan kegiatan, lebih condong penanganan hanya pada wilayah pemukiman elit, lokasi perkantoran, wilayah jalan protocol, pasar dan pertokoan yang lebih dominan menggambarkan “wajah” Kota Purwokerto. Hal ini dikarenakan, aparat birokrasi yang hanya ingin menjadikan wilayah kota lebih bagus untuk wilayah tertentu saja. Masyarakat yang ada di wilayah ini, lebih banyak berpartisipasi dalam bentuk materi, uang, sedangkan partisipasi dalam bentuk tenaga jarang terjadi, hal ini dikarenakan kesibukan masingmasing penghuninya. Program pemerintah dalam green waste lintas rumah tangga bersama green community untuk wilayah kumuh, slum area, relative kurang perhatian. Terbukti banyak bantuan stakeholder seperti tong sampah, bak sampah, gerobak sampah sangat minim sekali di”gulirkan” untuk wilayah slum area ini. Masyarakat yang berada di wilayah ini, kurang perhatian terhadap program green waste dan green community upaya mendukung kota hijau. Hal ini dikarenakan, tidak berkepentingan dengan program P2KH ini, yang dipentingkan adalah bagaimana mendapatkan uang untuk “makan” sehari-hari, sedangkan masalah sampah kurang mereka pikirkan. Di satu sisi, aparat birokrasi juga tidak begitu respek untuk wilayah kumuh ini, disamping masyarakatnya yang kurang mampu juga karena tidak berkepentingan langsung dengan program kota hijau ini. Masyarakat yang tidak mampu secara ekonomi yang berada di daerah seperti slum area, banyak diantara mereka penduduk “gelap”, karena tidak mempunyai KTP. Penghuninya terdiri antara lain pengamen, pengemis, PSK, Waria dan pemulung. Daerah ini dikenal dengan istilah “Kampung Dayak”. Wilayah ini pernah menjadi daerah binaan sebuah LSM pemerhati lingkungan, namun karena keterbatasan dana, maka kegiatan ini saat ini tidak berjalan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka sudah semestinya pihak pemerintah daerah bekerjasama dengan masyarakat peduli lingkungan untuk melakukan semacam “pembinaan” kepada mereka untuk dilakukan pelatihan keterampilan sebagai bekal kehidupan mereka.
215
9 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan pembahasan dan analisis , maka dapat disimpulan yaitu: Aktor- aktor dominan penggerak green waste menuju terbentuknya green community sehingga dapat membangkitkan partisipasi elemen masyarakat dalam pembangunan Kota Hijau Purwokerto. Aktor tersebut meliputi aktor masyarakat/komunitas peduli akan sampah (PAS), komunitas hijau, bank sampah dan dasa wisma pengelola sampah. Faktor sosial dan ekonomi masyarakat cukup berpengaruh secara positif terhadap perilaku dalam green waste lintas rumah tangga, sedangkan Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah dipengaruhi oleh perilaku dan sikap serta pemahaman masyarakat dalam pengelolaan sampah rumah tangga. Faktor-faktor yang menyebabkan meningkatnya kualitas dan kuantitas sampah rumah tangga adalah (a) meningkatnya pertumbuhan penduduk, (b) meningkatnya tingkat ekonomi masyarakat, (c) perubahan pola konsumsi dan gaya hidup masyarakat, (d) kurangnya kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah menuju green waste. Kualitas lingkungan budaya masyarakat Kota Purwokerto saat ini cukup kondusif, walaupun terjadi semacam “degredasi” budaya oleh karena itu perlu revitalisasi seperti pola kerigan, untuk budaya di kalangan generasi muda. Bahasa familier digunakan adalah dialek Ngapak, dengan karakter masyarakatnya yang cablaka atau blakasuta dengan simbol “Blawor” yang merupakan simbol masyarakat Banyumas. Kondisi budaya yang demikian, berperan terhadap sosialisasi dalam pengelolaan sampah. Kelembagaan eksisting pada partisipasi dalam pengelolaan sampah rumah tangga di Kota Purwokerto menuju green waste atau zero waste (nirlimbah), meliputi yaitu (a) partisipasi masyarakat penghasil sampah, pada umumnya kurang mendukung pola 3 R., (b) partisipasi pemulung umumnya tidak mendukung ke perilaku green waste, (c) partisipasi lapak, pengepul, prusahaan rongsok, umumnya sudah berpartisipasi dalam pengelolaan sampah, (d) partisipasi nasabah bank sampah, umumnya cukup baik, terbukti banyaknya tabungan tiap minggu yang disetor ke bank sampah. Transformasi green community berbasis proyek menuju green community berbasis “komunitas” yang mampu berpartisipasi dalam green waste lintas rumah tangga upaya mendukung P2KH. Pada awal berdirinya green community, memang berdasarkan kebutuhan proyek semata yaitu P2KH (top down). Perkembangan waktu, maka green community ternyata layak sebagai kebutuhan komunitas. Hal ini menunjukkan green community telah mengalami perubahan paradigma yakni kota bersih dan hijau merupakan suatu kebutuhan dan kewajiban semua manusia bukan karena P2KH Oleh karena itu terjadi transformasi paradigma green community yang semula berbasis “proyek” menjadi berbasis “komunitas”. Paradigma green community berbasis komunitas ini keberadaanya atau keberlanjutannya bisa terjaga sedangkan green community berbasis proyek, keberadaanya tidak lama yakni setelah proyek
216 selesai, maka green community juga bubar. Partisipasi aktor green community dalam pengelolaan sampah rumah tangga green waste , yaitu: a. Partisipasi green community dalam pengelolaan sampah rumah tangga (green waste) sampai saat ini sudah cukup baik. b. Partisipasi aktor pemerhati lingkungan (LSM) , komunitas peduli akan sampah, bank sampah, dasa wisma pengelola sampah umumnya sudah cukup mendukung green waste, namun kesadaran masyarakat akan pola 3 R dalam pengelolaan sampah masih kurang. c. Partisipasi green community yang tergabung Forum Silaturahmi Peduli Lingkungan “Gunung Slamet”, dalam kegiatan bersih-bersih “Gunung Slamet” dari sampah, sudah sangat mendukung pelestarian alam. Strategi alternatif kebijakan green waste lintas rumah tangga dan membangun model green waste lintas rumah tangga berbasis partisipasi green community mendukung terwujudnya kota hijau. Hasil AHP menunjukkan bahwa aktor yang paling utama harus diperhatikan adalah masyarakat, disusul pemerintah, lalu bank sampah dan keempat adalah pengusaha serta terakhir adalah pemulung. Peringkat alternatif pertama adalah partisipasi green community, lalu pola 3 R, selanjutnya penegakan hukum terakhir pemilahan sampah rumah tangga dari an-organik dan organik. Peringkat kriteria untuk semua aktor, secara umum yang utama adalah kebersihan lingkungan dari sampah menyusul kedua adalah biaya dan prioritas terakhir adalah pendapatan. Koordinasi tahap perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi belum cukup optimal dan belum mendorong efektivitas pengelolaan sampah secara signifikan. Beberapa kendala yang timbul di lapangan dalam koordinasi antar lembaga pada tahap perencaaan antara lain yaitu (a) belum adanya kesepakatan bahwa pengelolaan sampah rumah tangga merupakan salah satu aspek prioritas, (b) kesadaran masyarakat umumnya masih belum terbangun secara optimal. Untuk turut serta mengusulkan rencana program pengelolaan sampah dalam daftar usulan kegiatan prioritas dan kondisi penegakan hukum atas kewajiban yang diatur pada tersebut juga masih lemah. Perusahaan sudah ikut berpartisipasi dalam pengelolaan sampah., namun beberapa kendala penyebab terhambatnya p pengelolaan sampah, yaitu: a. Kesadaran masyarakat masih belum terbangun secara optimal untuk turut serta mengusulkan rencana program pengelolaan sampah domestik dalam usulan kegiatan prioritas yang dihasilkan pada proses musrenbang kelurahan dan kecamatan di Kota Purwokerto. b. Belum adanya sinkronisasi di lapangan oleh petugas antara aturan yang ada di Perda Nomor 6 Tahun 2012 dengan pelaksanaannya. c. Belum memadainya pedoman sosialisasi tentang pengelolaan sampah rumah tangga ramah lingkungan (green waste) yang dimiliki BLHD. d. Belum efektifnya pola sosialisasi tentang pedoman pengelolaan sampah rumah tangga yang sesuai dengan kaidah berkelanjutan (green waste).. e. Kendala tahap monev yaitu koordinasi antar SKPD belum optimal. Pada aspek kebijakan penegakan Perda saat ini masih lemah, hal ini disebabkan karena (a) belum efektifnya upaya pembinaan dan sosialisasi untuk pengetahuan kesadaran dan kepatuhan berbagai pihak terhadap Perda pengelolaan sampah ramah lingkungan green waste dan (b) masih
217 berkembangnya keyakinan keliru pola pengelolaan sampah rumah tangga green waste, seharusnya dijalankan berbagai stakeholder. Model pengelolaan sampah berbasis partisipasi green community diperinci tiga sub-model yaitu sub-model demografi/kependudukan, sub-model persampahan dan sub-model partisipasi. Ketiga sub- model itu sudah di validasi dengan cara menghitung nilai AME dan hasilnya ketiga sub-model tersebut dinyatakan valid atau dapat diterima. Aktivitas yang dilakukan dalam kontribusi/ intervensi model partisipasi meliputi kegiatan melakukan aktivitas pelatihan termasuk workshop , promosi secara aktif melalui ekoliterasi dan ekodisain sebagai upaya perubahan paradigma baru pola 3 R dalam pengelolaan sampah. Saran 1. Mengingat keterbatasan penelitian ini, maka perlu dilakukan lebih lanjut entang model pengelolaan sampah lintas rumah tangga di Kota Purwokerto yang dilakukan Pemkab Banyumas yang berpihak pada member penghargaan kepada masyarakat pemerhati lingkungan atau green community dan implikasi dari Perda dalam pengelolaan sampah. Oleh karena itu, perlu dilakukan peraturan daerah (Perda) tentang pemberian insentif dan disinsentif untuk menunjang kegiatan pengelolaan sampah melalui program 3 R menuju green waste oleh masyarakat penghasil sampah rumah tangga. 2. Agar pengelolaan sampah ramah lingkungan berbasis partisipasi masyarakat efektif, maka sayogianya dilakukan perbaikan dan dilakukan penguatan atau revitalisasi manajemen pengelolaan sampah. Untuk pemerintah daerah maupun lembaga yang ada di masyarakat (seperti LSM, PKK, Posyandu, dasa wisma, komunitas hijau dan sebagainya). 3. Kearifan lokal dalam bentuk pola kerigan, sebagai salah satu modal sosial, yang sudah berhasil dalam pemberdayaan masyarakat dalam penanganan lingkungan, akan tetapi beberapa tahun ini sudah ditinggalkan dan memudar. Untuk itu, maka sayogyanya dilakukan peningkatan partisipasi atau peranserta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan khususnya sampah rumah tangga dengan menghidupkan kembali pola kerigan sebagai kearifan lokal. 4. Mengingat Kota Purwokerto sedang giat-giatnya melaksanakan P2KH upaya mewujudkan kota hijau, maka partisipasi masyarakat perlu ditingkatkan dengan peningkatan sosialisasi pengelolaan sampah program 3 R (reduce, reuce, recycle) menuju green waste kepada masyarakat. Program ini diharapkan benar-benar dapat dilaksanakan oleh seluruh lapisan masyarakat. 5. Agar upaya green community dapat ditempuh melalui upaya memberdayakan masyarakat, maka perlu dilakukan berbagai cara. antara lain meningkatkan frekuensi pelatihan dan promosi dalam pengelolaan sampah ramah lingkungan (green waste) , sehingga partisipasi masyarakat semakin meningkat dalam keikutsertaan di bank sampah. 6. Pemerintah penting sekali melibatkan masyarakat green community I dalam pengelolaan sampah ramah lingkungan atau green waste.
218 Pelibatan dilakukan mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan serta dalam pengambilan keputusan dalam pengelolaan sampah rumah tangga green waste sebagai upaya mendukung P2KH Purwokerto. 7. Perubahan karakter dan revolusi mental serta revolusi moral dalam pengelolaan sampah rumah tangga perlu diperhatikan, dalam arti perlu adanya perubahan pola pikir dari negatifisme kearah positifisme. 8. Program revolusi mental dalam pengelolaan sampah green waste, maka sayogianya melakukan pendekatan keagamaan dengan metode “dosa sosial” yang bisa diterima berbagai pihak yang bersifat universal., 9. Meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap lingkungan khususnya pengelolaan sampah green waste atau nir-limbah atau zero waste. Maka perlu metode ekoliterasi dengan implementasi dalam bentuk ekodesain sesuai karakteristik sosial budaya masyarakat. 10. Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya penyadaran masyarakat model “generik”, untuk itu perlu dilakukan “ruang-ruang” partisipasi masyarakat agar menghasilkan kesadaran berpartisipasi yang menmbanggakan dalam pengelolaan sampah rumah tangga. 11. Upaya mendukung forum komunikasi hijau (green cummunity) menuju green waste di Kota Purwokerto, maka perlu adanya dukungan fasilitas dalam melaksanakan program-program green community. Program yang dilaksanakan terutama dalam rangka menuju green waste dapat berjalan dengan lancar tanpa kendala secara teknis sehingga pengelolaan sampah dapat berjalan dengan berkelanjutan (green waste). Hal ini dapat tercapai dan akhirnya terwujud Kota Hijau Purwokerto. 12. Perubahan manajemen dari dinas terkait upaya pengelolaan sampah menuju green waste, diupayakan dari yang dekat dengan masyarakat penghasil sampah. Hal ini diperlukan agar bisa menjadi motivator yang baik dalam pengelolaan sampah rumah tangga menuju green waste. 13. Perlu kerjasama dengan POSYANDU dalam pemberian motivasi kepada masyarakat memberikan “insentive” kepada petugas Posyandu. 14. Penegakan hukum yaitu pemberian sanksi terhadap pelanggaran pengelolaan sampah green waste tanpa pandang bulu, untuk itu diperlukan petugas yang mempunyai komitmen tinggi. 15. Pengelolaan sampah green waste mendukung Kota Purwokerto menjadi kota hijau perlu direalisasikan. Hal ini perlu didukung rencana pembentukan program asuransi kesehatan sampah dan juga deposit sampah untuk masyarakat Kota Purwokerto. Program acara Festival Purwokerto Bersih, seperti yang dilakukan di Kota Tangerang dengan Festival Tangerang Bersih perlu direalisasikan. 16. Pengelolaan sampah menuju green waste upaya zero waste, maka perlu adanya“terobosan” baru dengan adanya perencanaan urban farming. Pelaksanaannya memanfaatkan sampah organik untuk dijadikan pupuk pada tanaman yang ditanam di pot-pot, bekas botol minuman. Penempatannya dilakukan antara lain di dinding bangunan, di kawatkawat pinggir jalan, di setiap rumah pribadi di kompleks perumahan, di setiap gedung pemerintah maupun non-pemerintah. Hal ini sebagai upaya revitalisasi RTH melalui (a) taman atap, (b) taman vertikal dan (c) taman dinding.
219 . DAFTAR PUSTAKA
Adeney, Bernard T. 1995. Etika Sosial Lintas Budaya. Yogyakarta. Penerbit Buku Kanisius. Ayatrohaedi. 1996. Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta. Penerbit Pustaka Jaya. Anshoriy. 2008.Kearifan lingkungan dalam perpektif budaya Jawa. Jakarta: Penerbit Buku Yayasan Obor Indonesia (YOI). Arifin HS. 2009. Community Participatory Based Toward Green City: Practice Learning From"Kotaku Hijau" (Green City) Competition. Proceeding of the International Symposium of Green City, IPB International Convention Center Bogor Indonesia, 10-11 August 2009..33-40. Arifin HS. 2011. Lanscape and urban biodiversity in tropical Indonesian cities. Landscape and Ecol Eng.J. (Springer) Vo. 7 (1): 33-43. Ajib R. 2010. Mencari sosok Manusia Sunda. Jakarta. Pustaka Jaya. [BLHD] Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Banyumas. 2012. Purwokerto: Badan Lingkungan Hidup Banyumas. Arizal M, Luthfi M. 2012. Sebuah Kota: Purwokerto Dulu dan Kini. Purwokerto. Fisip Unsoed. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Banyumas.2014. KabupatenBanyumas Dalam Angka. Purwokerto: Badan Pusat Statistik. Budihardjo E, Sujarto D.2005. Kota Berkelanjutan. Bandung: PT.Alumni. Budimanta A. 2005. Memberlanjutkan Pembangunan di Perkotaan melalui Pembangunan Berkelanjutan dalam Soegijoko, B.T. (Ed). Pembangunan Kota Indonesia dalam Abad 21: Konsep dan Pendekatan Pembangunan Perkotaan di Indonesia. Jakarta: Edisi 2. YSS-URDI. Bebassari S. 2004. Pengelolaan Sampah Pemukiman berbasis Masyarakat. Didalam Pelatihan Teknologi Pengolahan Sampah Kota Secara terpadu menuju Zero Waste Jakarta [Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Bendix, Reinhard. 1960. Max Weber : An Intelectual Portrait. Garden City, New York: Double-day & Company. Chan K.1998. Mass Communication and Pro-enviromental Behavior: Waste Recycling in Hongkong. Journal of Enviromental and Behavior. Vol.52 No.5, Mei 1998 : 317-325. Chiu PY, Huang CC, and JF. Chiu. 2004. Reexamining the decomposition and crossover effects in expanded theory of planned behavior Models-A studi of household waste recycling behavior. The Journal of Solid Waste Technology and Management. Vol.30 No.1, Juni 2004: 37-51. CSI. 2003. Community-based waste management in Jakarta. Environmental and Development in coastal regions and in small islan. Coastal Region and
220 Small Island (CSI) . http://www.unesco.org/csi/pub/paper/mega10 .htm. [Januari 2003]. Dadan S, Dalhar. 2011. Kota Humanis (Model Partisipasi, Transpormasi dam Adaptasi Sosial Budaya Masyarakat dalam Penataan Kota Purwokerto. Jurnal Interaksi, Vo.8 No.2. Purwokerto. Fisip. Universitas Jenderal Soedirman. Devi. 2011. Penerapan Sistem 3 R dalam Pengelolaan Sampah Rumah Tangga. Jurnal Ilmu Lingkungan. Vol. 6No.3. April 2007 : 62-72. Semarang: Universitas Diponegoro. Devito JA. 1997. Komunikasi Antar Manusia Kuliah dasar. Ed. Maulana A [Penerjemah]. Terjemahan dari : The Interpersonal Communication Book. Jakarta. Professional Books. Dewi. 2008. Penanganan dan Pengelolaan Sampah Domestik. Jakarta: PT. Penebar Swadaya. Djajadiningrat ST, Herndriaani Y, Famiola M. 2011. Ekonomi Hijau (Green Economy). Bandung: Penerbit Rekayasa Sains. [DPU] Departemen Pekerjaan Umum. Direktorat Jenderal Penataan Ruang. 2005. Jakarta: Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 494/PRT/M/2005 tentang kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Perkotaan. [DPU] Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta. Direktorat Jenderal Penataan Ruang. 2008. Bandarlampung: Rencana Tata Ruang Kawasan Perotaan. Eriyatno. 2007. Riset kebijakan Metode Penelitian Untuk Pasca Sarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor Press. Ernawi IS. 2011. Sambutan disampaikan pada Workshop Green City 2011. Perundang-undangan Bidang Penataan Ruang dan Konsep Rencana Aksi Hijau. Bogor: IPB International Convention Center. Ernawi IS. 2012. Sekapur Sirih. Buletin Tata Ruang. Bogor: Badan Koordinasi Penataan Ruang nasional. BKPRN. Januari-Februari. Etziobi A. 1964. Complex Organizations a Sociological Reader. Holt Rinehart and Winston. NY. Goffman, Erving. 1959. Asylums : Essays on the Social Situation of Mental Patients and Other Innates. New York: Anchor Books. Gultom. 2003. Pengelolaan Sampah Padat Perkotaan Secara Terpadu. Jakarta:Jurnal Limbah. Vol.8 No.1, Februari 2003: 15-26. Gregorius MF. 2014. Merawat Gunung Slamet, Melestarikan Semesta. Jakarta. PT.Kompas , Jumat. 2 Mei 2014: 24. Harianto. 2001. Persepsi, Sikap dan Perilaku Masyarakat terhadap Air Sungai (Kasus DAS Kaligarang Jawa Tengah) [Disertasi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Hartrisari. 2007. Sistem Dinamik Konsep Sistem dan Pemodelan untuk Industri dan Lingkungan. Bogor: SEAMEO BIOTROP.
221 Hidayat A.C. 2012. Sejarah Kota Purwokerto dan Satria. Purwokerto. Huntington SP, J. Nelson. 1994. Partisipasi Politik di Negara berkembang. S. Simamora [Penterjemah]. Jakarta: Penerbit Rinek Cipta. Herusatoto B. 2008. Banyumas: Sejarah, Budaya, bahasa dan Watak. Yogyakarta. LKIS. Horton, Paul B dan Chester L, Hunt. 1984. Sociology. Edisi keenam. International Student Edition. Tokyo: McGraw-Hill. Ibrahimm LD. 2006. Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Perkotaan dalam Mewujudkan konsep Green City. Dalam Seminar Nasional: Mengoptimalkan PeranPublic ParticipationmenujuGreen City. Depok: 30 November 2006. Indro EP. 2007. Studi Pengembangan Teknis TPA Gunung Tugel Kota Purwokerto Kabupaten Banyumas Dengan Sistem Sanitary Landfill [Thesis].Semarang. Universitas Diponegoro. Iyer A. 2001. Community Participation in Waste management, Experiences of a Pilot Project in Bangalore india, Case Study Report. Urban Waste Expertise Program (UWEP). The netherland. http://www.waste.nl Kartodihardjo H. 2011. Kepemerintahan dan kebijakan Kehutanan: Soal diskursus dan reduksi Ilmu Pengetahuan. S.Ps. IPB. Bogor. Koentjaraningrat. 1990. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta. Penerbit PT Gramedia. Koentjaraningrat. 1999. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta. Penerbit Djambatan. Kholill. 2008. Pengembangan Model Kelembagaan Pengelola Sampah Kota dengan Model ISM (Studi Kasus di Jakarta Selatan). Jurnal Trnasdisiplin Sosiologi, Komunikasi dan Ekologi Manusia. Bogor: FEMA IPB. Vol.2 No. 4, Oktober 2009: 37-47. Kuswartojo T. 2006. Asas Kota Berkelanjutan dan Penerapannya di Indonesia. Jakarta: Jurnal Teknologi Lingkungan. Vol. 7 No.1. Juni 2006: 1-6. Kristiyanto T. 2007. Pengelolaan Persampahan Berkelanjutan Berdasarkan Peran Serta Masyarakat Kota Kebumen [Thesis]. Semarang: Universitas Diponegoro. Kornblum W. 1988. Sociology in a Changing Word. New York: Holt, Rinehart and Winston. Letari S. 2014. Perempuan dalam Tradisi Nyumbang di Pedesaan Jawa: Potret Dinamika Monetisasi Desa.[Disertasi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Marimin. 2005. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria majemuk. Jakarta : Gramedia Widiasarana Indonesia. Marganda S, Nursam M. 2010. Kota-kota di Jawa: Identitas, Gaya Dan Permasalahan Sosial. Yogyakarta. Penerbit CV. Ombak.
222 Marwah S. 2012. Representasi Politik Perempuan di Banyumas: Antara Kultur dan Realitas Politik (Studi di Lembaga Legislatif Empat Kabupaten Periode 20092014). [Disertasi]. Jakarta. Universitas Indonesia. Mulyasari PN. 2010. Runtuhnya Suatu Kejayaan : Kota Banyumas 19001937.Yogyakarta. Penerbit CV. Ombak. Morrissey A, Browne. 2004. A methodology for summunity based waste management decisions. The Journal of Solid Waste Technology and Management. Vo.30 No.3, Januari 2004: 170-182. Moeliono I.2004. Partisipasi manipulatif: Catatan Reflektif tentang Pendekatan PRA dalam Pembangunan Masyarakat. Jakarta:http://www.balaidesa.or.id/prapa.htm.18. Mulyo H. 2010. Model Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Persampahan Kota Berbasis Partisipasi Masyarakat (Studi Kasus Kota Bandung). [Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Munasinghe M. 1993. Environmental Economic ND Sustainable Development. World Bank. Washington. DC.USA. Ndraha T. 1990. Pembangunan Masyarakat Mempersiapkan Masyarakat Tinggal Landas. Bandung: CV. Rineka Cipta. Pramudya B. 2011. Pendekatan Sistem Dalam Pengelolaan Lingkungan. Program Pasca Sarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Pranadji T. 2012. Modal Sosial Untuk Pengelolaan Ekosistem dan Lingkungan. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Jakarta: Kementrian Pertanian Republik Indonesia. Priyadi S. 2005. Babad Pasir dan Babad banyumasan: Kajian tentang Pola Struktur Histografi Banyumas, Model Karakter Manusia Banyumas, dan Sistem Nilai Budaya Lokal Banyumas [Hibah Bersaing]. Jakarta. Dikti. Poloma M, Margaret. 2000. Sosiologi Kontemporer. Jakarta. PT. RajaGrafindo Persada. Rakhmat J. 2000. Rekayasa Sosial Reformasi, Revolusi atau Manusia Besar?. Bogor: Penerbit PT. Remaja Rosdakarya. Rijatno. 2010. Kajian Minimisasi Dalam Pengelolaan Sampah Perkotaan. Jakarta: Jurnal Tarumanegara.ac.id/index.php/ts/article/view/564.Vol.11No.3. Maret 2011: 75-99. Ritzer G. 1995. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: Penerbit CV.Rakawali Press. Robert P, Rovertz J, George C. 2009. Environment and the City. Routledge. London Saaty TL. 1993. Pengambilan Keputusan bagi Para Pemimpin. Jakarta: Penerbit PT Pustaka Binanam Pressindo.
223 Sahely H, Kennedy CA. and Adams BJ. 2005. Developing sustainability Criteria for urban infrastruktur system. Canadian Journal of Civil Engineering. 32 (1): 72-85. Saraswati E. 2007. Model Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Persampahan Kota berbasis Partisipasi Masyarakat (Studi Kasus Kota Bandung). [Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Saribanon N. 2007. Perencanaan Sosial Partisipatif Dalam Pengelolaan sampah Permukiman Berbasis Masyarakat (Kasus Di Kotamadya Jakarta Timur). [Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Susilo. 2012. Model Pengendalian Lingkungan Dalam Pembangunan Kota Baru Berkelanjutan. Studi Kasus Pengembangan Kota Bumi Serpong Damai. [Disertasi]. Bogor: Insitut Pertanian Bogor. Soetarto E. 2003. Paradigma Kritis dalam Kebijakan Sosial. Bogor: Brighten Institute Press. Suhono. 2008. Model Kebijakan Pembangunan Infrastruktur Terpadu Dalam Pengembangan Wilayah Perkotaan Berkelanjutan: Studi kasus Wilayah Kedungsepur Jawa Tengah. [Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Sumardjo, Saharudin. 2003. Tajuk Modul: Metode-metode Partisipatif dalam Pengembangan Masyarakat. Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi. Sekolah Pasca Sarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Sujarto D. 2011. Pembangunan Kota baru di Indonesia : konsep dan Proses Pelaksanaanya. Dalam Soegijoko, B.T. (Ed.). Pembangunan Kota Indonesia dalam Abad 21: Konsep dan Pendekatan Pembangunan Perkotaan di Indonesia. Edisi 2. Jakarta: YSS-URDI. Surjandari. 2009. Pengelolaan Sampah Untuk Mengurangi Beban Penumpukan. Surabaya. Jurnal Teknik Industri. Vol. 11. No.2, Mei 2009: 35-47. Surabaya: Universitas Petra Press. Sony T L, Suyoto B. 2008. Pemulung 3 R sang Pelopor Sampah. Koalisi LSM Untuk Persampahan Nasional PIDUS Zero Waste Indonesia. Jakarta. Sztompka P. 2004. Sosiologi Perubahan Sosial. Alimandan [Penerjemah]. Terjemahan dari: The Sociology of Social Change. Jakarta: PT. Prenada. Techobanoglous GT. Hilary and A.P.Samuel. 1993. Integreted Solid Waste Management. Mcgraw Hill. New York. Tubbs SL, Moss. 2001. Human Communication Prisnsip-prinsip Dasar. Mulyana D. [Penerjemah]. Terjemahan dari : Human Communication. Bandung. Penerbit CV. Remaja Rosdakarya. Tohari A. 2007 Kamus Dialek Banyumas Indonesia (edisi terbaru). Purwokerto. Penerbit yayasan Swarahati banyumas. Uphoff N. 2005. Analytical Issues in Measuring Empowerment at the Community and local level. In : Nelayan D. (Ed): Measuring Empowerment Cross Discilinary Perspective. The World Bank, Washington DC.
224 Widyarti M, Setyawan BI, Arifin HS dan Yuwono AS. 2011. Kajian dan rekonstruksi konsep ecovillage dan ecohouse pada pemukiman Baduy Dalam Berdasarkan Community Sustainbility Assesment. Makalah Sekolah Pasca Sarjana PS. Keteknikan dan teknologi Informasi. Bogor. S.Ps. IPB. Wheeler SM.2000. Planning For Metropolitan Sustainability. Journal of Planning Education and Research (JPER).Vol. 10 No. 20, Februari 2012 :133-145. Yogiesti. 2012. Pengelolaan Sampah Terpadu Berbasis Masyarakat di Kota Kediri. Jurnal-agriunhas.com/index.php. Vol.12. No.2, Januari 2012: 12-22. Makasar: Lembaga Penelitian Universitas Hasanudin. Zain AFM, Syahbana, G.2011. Green Policy makalah disampaikan pada Workshop Green City 2011. Perundang-undangan Bidang Penataan Ruang dan konsep Rencana Aksi Hijau. Bogor: IPB International Convention Cenre Fakultas Teknik Universitas Diponogoro. 2006. Buku Perencanaan Teknis Pengembangan TPA Gunung Tugel Kecamatan Patikraja Kabupaten Banyumas. Peraturan Daerah Banyumas Nomor 42 Tahun 2008 tentang Tugas, Fungsi, dan Tata Kerja Dinas Cipta Karya, Kebersihan, dan Tata Ruang Kabupaten Banyumas. Undang-Undang Republik Indonesia Pengelolaan Sampah.
Nomor 18 Tahun
2008 tentang\
225
LAMPIRAN
226
Lampiran 1 Path analisys untuk variabel yang dioperasionalkan
Gambar 28 Hubungan geometrik antar variabel
Lampiran 2 Persamaan path analisys LISREL Estimates (Maximum Likelihood) X5 = 0.14*X1 - 0.057*X2 - 0.036*X3 + 0.48*X4, Errorvar.= 0.74 , R² = 0.26 (0.050) (0.050) (0.049) (0.047) 2.92
-1.13
-0.75
10.17
(0.057) 12.98
X6 = 0.48*X5, Errorvar.= 0.77 , R² = 0.23 (0.048)
(0.059)
10.08
12.98
X7 = 0.19*X5 + 0.27*X6, Errorvar.= 0.84 , R² = 0.16 (0.057) (0.057)
(0.065)
Y = 0.36*X7 + 0.11*X1 + 0.063*X4, Errorvar.= 0.85 , R² = 0.15 (0.051) (0.050) (0.051) 7.02
2.25
1.25
(0.065) 12.98
227
Tabel 68 Hasil kriteria kesesuaian model Path Goodness-of-fit
Cutt-off-value
Significance Probability(Pvalue) RMR(Root Mean Square Residual) RMSEA(Root Mean square Error of Approximation) GFI(Goodness of Fit) AGFI(Adjusted Goodness of Fit Index) CFI (Comparative Fit Index) NFI (Normed Fit Index )
0.89052
0,05 0,05 atau
Hasil
0,1
0.018
Keterangan Good Fit Good Fit
0,08
0.000
Good Fit
0,90
1.00
Good Fit
0,90
0.99
Good Fit
0,95 0,95
1.00 0.98
Good Fit Good Fit
Lampiran 3 Matrik korelasi bivariat dan multivariate antar variabel DATE: 3/26/2014 TIME: 10:29 L I S R E L 8.30 BY Karl G. Jöreskog & Dag Sörbom This program is published exclusively by Scientific Software International, Inc. 7383 N. Lincoln Avenue, Suite 100 Chicago, IL 60646-1704, U.S.A. Phone: (800)247-6113, (847)675-0720, Fax: (847)675-2140 Copyright by Scientific Software International, Inc., 1981-99 Use of this program is subject to the terms specified in the Universal Copyright Convention. Website: www.ssicentral.com The following lines were read from file D:\PATHED~1\EDY.SPJ: Observed Variables X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 Y Correlation Matrix From File D:\PATHED~1\EDY.COR
228
Sample Size = 342 Relationships Path Diagram X5 = X1 X2 X3 X4 X6 = X5 X7 = X5 X6 Y = X1 X4 X7 options ME=ML AD=OFF IT=300 End of Problem Sample Size = 342 Correlation Matrix to be Analyzed X5
X6
X7
Y
X1
X2
-------- -------- -------- -------- -------- -------X5
1.00
X6
0.48
1.00
X7
0.32
0.36
1.00
Y
0.20
0.15
0.37
X1
0.14
-0.01
0.03
0.13
1.00
X2
-0.03
0.01
0.00
0.04
0.31
1.00
X3
-0.07
-0.01
-0.03
0.01
0.16
0.23
X4
0.49
0.27
0.17
0.13
0.04
-0.02
1.00
Correlation Matrix to be Analyzed X3
X4
-------- -------X3
1.00
X4
-0.08
1.00
Number of Iterations = 4 LISREL Estimates (Maximum Likelihood) X5 = 0.14*X1 - 0.057*X2 - 0.036*X3 + 0.48*X4, Errorvar.= 0.74 , R² = 0.26
229
(0.050) (0.050) (0.049) (0.047) 2.92
-1.13
-0.75
10.17
(0.057) 12.98
X6 = 0.48*X5, Errorvar.= 0.77 , R² = 0.23 (0.048)
(0.059)
10.08
12.98
X7 = 0.19*X5 + 0.27*X6, Errorvar.= 0.84 , R² = 0.16 (0.057) (0.057) 3.34
(0.065)
4.70
12.98
Y = 0.36*X7 + 0.11*X1 + 0.063*X4, Errorvar.= 0.85 , R² = 0.15 (0.051) (0.050) (0.051) 7.02
2.25
1.25
(0.065) 12.98
Correlation Matrix of Independent Variables X1
X2
X3
X4
-------- -------- -------- -------X1
1.00 (0.08) 12.98
X2
X3
X4
0.31
1.00
(0.06)
(0.08)
5.40
12.98
0.16
0.23
1.00
(0.06)
(0.06)
(0.08)
2.83
4.07
12.98
0.04
-0.02
-0.08
1.00
(0.05)
(0.05)
(0.05)
(0.08)
0.75
-0.28
-1.52
12.98
Goodness of Fit Statistics Degrees of Freedom = 12 Minimum Fit Function Chi-Square = 6.52 (P = 0.89) Normal Theory Weighted Least Squares Chi-Square = 6.47 (P = 0.89)
230
Estimated Non-centrality Parameter (NCP) = 0.0 90 Percent Confidence Interval for NCP = (0.0 ; 2.68) Minimum Fit Function Value = 0.019 Population Discrepancy Function Value (F0) = 0.0 90 Percent Confidence Interval for F0 = (0.0 ; 0.0080) Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0.0 90 Percent Confidence Interval for RMSEA = (0.0 ; 0.026) P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) = 1.00 Expected Cross-Validation Index (ECVI) = 0.18 90 Percent Confidence Interval for ECVI = (0.18 ; 0.19) ECVI for Saturated Model = 0.21 ECVI for Independence Model = 1.15 Chi-Square for Independence Model with 28 Degrees of Freedom = 372.59 Independence AIC = 388.59 Model AIC = 54.47 Saturated AIC = 72.00 Independence CAIC = 427.27 Model CAIC = 170.51 Saturated CAIC = 246.05 Root Mean Square Residual (RMR) = 0.018 Standardized RMR = 0.018 Goodness of Fit Index (GFI) = 1.00 Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) = 0.99 Parsimony Goodness of Fit Index (PGFI) = 0.33 Normed Fit Index (NFI) = 0.98 Non-Normed Fit Index (NNFI) = 1.04 Parsimony Normed Fit Index (PNFI) = 0.42 Comparative Fit Index (CFI) = 1.00 Incremental Fit Index (IFI) = 1.02 Relative Fit Index (RFI) = 0.96
231
Critical N (CN) = 1372.61 The Problem used 19616 Bytes (= 0.0% of Available Workspace) Time used:
Lampiran 4
0.016 Seconds
Diagram alir model partisipasi dalam pengelolaan sampah dengan intervensi
PARTISIPASI
PENDUDUK
day a_tarik
rasio_penambahan
day a_dukung_pddk rasio_day a_dukung
pertum_pddk
Anggota_Bank_sampah
Penduduk
rekruitmen
pertumbuhan_pddk
partisipasi luas_wilay ah Promosi
kepadatan_pddk
SAMPAH
rasio_sampah_an_org
sampah_per_org
harga_rata2_sampah rasio_pemanfaatan
sampah_y g_dihasilkan Penghasilan Sampah_an_org
Sampah
Bank_Sampah
tinggi_sampah pemilahan
pnambahan_smp
pembuangan
day a_tampung
f raksi_dd_lahan
luas_wilay ah sampah_organik
day a_dukung_lahan
pemanf aatan
tak_dimanf aatkan
Pelatihan
rasio_tak_termanf aatkan
rasio_sampah_org
Gambar 29 Diagram alir model partisipasi dalam pengelolaan sampah green waste dengan intervensi
232
Lampiran 5 Diagram alir model partisipasi dalam pengelolaan sampah tanpa intervensi
PARTISIPASI
PENDUDUK
day a_tarik day a_dukung_pddk rasio_day a_dukung pertum_pddk
Penduduk
Anggota_Bank_sampah
rekruitmen
pertumbuhan_pddk luas_wilay ah
rasio_penambahan
partisipasi
kepadatan_pddk harga_rata2_sampah
SAMPAH
rasio_sampah_an_org
sampah_per_org
sampah_y g_dihasilkan Penghasilan Sampah
Sampah_an_org
tinggi_sampah
Bank_Sampah pemilahan
pnambahan_smp
pembuangan
day a_tampung
f raksi_dd_lahan
luas_wilay ah sampah_organik
day a_dukung_lahan
pemanf aatan
tak_dimanf aatkan
rasio_pemanfaatan
rasio_tak_termanf aatkan
rasio_sampah_org
Gambar 30 Diagram alir model partisipasi dalam pengelolaan sampah green waste tanpa intervensi
233
Lampiran 6 Hasil proses AHP Peringkat Alternatif
Gambar 31 Peringkat alternatif prioritas pengambilan kebijakan
Peringkat Aktor
Gambar 32 Peringkat aktor prioritas pengambilan keputusan
234
Kriteria berdasarkan Aktor1
Gambar 33 Peringkat kriteria berdasarkan aktor 1 pengambilan keputusan
Kriteria berdasarkan Aktor 2
Gambar 34 Peringkat kriteria berdasarkan aktor 2 pengambilan keputusan
235
Kriteria berdasarkan Aktor 3
Gambar 35 Peringkat kriteria berdasarkan aktor 3 pengambilan keputusan
Kriteria berdasarkan Aktor 4
Gambar 36 Peringkat kriteria berdasarkan aktor 4 pengambilan keputusan
236
Kriteria berdasarkan Aktor 5
Gambar 37 Peringkat kriteria berdasarkan aktor 5 pengambilan keputusan
Tabel 69 Peringkat kriteria berdasarkan aktor dalam AHP Output horizontal Peringkat kriteria berdasarkan aktor Aktor Kriteria Score (%) Peringkat A1 A2 A3 A4 A5 K1 2 0.237 0.25 0.33 0.222 0.209 0.2292 23 K2 1 0.671 0.647 0.55 0.686 0.704 0.6773 68 K3 3 0.091 0.103 0.121 0.092 0.088 0.0927 9 Bobot 0.272 0.098 0.057 0.146 0.426 Inconsistency 0.05 0.03 0.03 0.07 0.05 Nilai konsistensi < 0,1 maka dapat disimpulkan Konsisten
237
Lampiran 7 Daftar responden pakar lingkungan hidup untuk AHP Tabel 70 Daftar responden pakar lingkungan hidup dan persampahan No. Nama responden pakar lingkungan 1. Drs. Tri Bangun L. Sony, M.Si
2.
Dr. Sulthon, S.Ag., M.Ag
3.
Hendri Budi N, S.Pn
4..
Drs. Zahnir, M.Pd, M.Si
5.
Dra. Hj. Ratni Zulaikha, MS
6.
Dr. Hj. Endang Widyastuti, MS.
7.
Drs. Bambang Sigap Sumanteri, MM
8.
Drs. Nasihin Masha
9.
Bangkit Ari Sasongko, S.Ag
10. 11
Muffarihan, S.Pt Yatin, SE, MM
Instansi lembaga Assiten Deputi Urusan Pengendalian Pencemaran Limbah Domestik dan Usaha Skala Kecil Kementerian Lingkungan Hidup (Deputi KLH RI) Dosen IAIN Purwokerto, Pemerhati Lingkungan dan Persampahan Ketua Forum Green Community Kabupaten Banyumas dan Ketua Bank sampah PAS Arcawinangun Kepala Bidang Kebersihan dan Pertamanan DCKKTR Direktur LSM LP3SD (Lembaga Penelitian, Pendidikan, Pengabdian Kepada Masyarakat dan Sumberdaya Alam) Purwokerto- Wakil Ketua Pimpinan Daerah Aisyah Purwokerto.. Kepala Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) LPPM Unsoed Wakil Redaktur Pelaksana dan Wartawan Senior Pada Surat Kabar Harian “Kompas” Jakarta. Ketua Dewan Redaksi dan Wartawan Senior Pada Surat Kabar Harian “Republika” Jakarta Direktur LSM-LPPSLH (Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya dan Lingkungan Hidup) Purwokerto. Anggota Komisi A Fraksi PKS DPRD Anggota Komisi A Fraksi PKB DPRD
238
Lampiran 8 Persamaan sistem dinamik dengan software powersim Persamaan matematika dari sistem dinamik untuk model dapat dirumuskan sebagai berikut. init
Anggota_Bank_sampah = 0
flow
Anggota_Bank_sampah = +dt*rekruitmen
doc
Anggota_Bank_sampah = Jumlah masyarakat yang menjadi anggota
unit
Anggota_Bank_sampah = jiwa
init
Bank_Sampah = 0
flow
Bank_Sampah = +dt*pemanfaatan
doc
Bank_Sampah = Sampah an organik yang dapat dimanfaatkan
unit
Bank_Sampah = m3
init
Penduduk = 233846
flow
Penduduk = +dt*pertumbuhan_pddk
doc
Penduduk = jumlah penduduk Purwokerto tahun 2010
unit
Penduduk = jiwa
init
Sampah = 111198
flow
Sampah = -dt*pembuangan -dt*pemilahan ;+dt*pnambahan_smp
doc
Sampah = jumlah sampah di Kota Purwokerto pada tahun 2006
unit
Sampah = m3/tahun
init
Sampah_an_org = 25244
flow
Sampah_an_org = -dt*tak_dimanfaatkan -dt*pemanfaatan; +dt*pemilahan
doc
Sampah_an_org = Jumlah sampah an organik yang dihasilkan di
kota Purwokerto unit
Sampah_an_org = m3
init
sampah_organik = 42762
flow
sampah_organik = +dt*pembuangan
doc
sampah_organik = Jumlah sampah organik yga dihasilkan di kota Purwokerto
unit
sampah_organik = m3/tahun
aux
pemanfaatan = Sampah_an_org*rasio_pemanfaatan*partisipasi
doc
pemanfaatan = penambahan sampah an- organik yang dimanfaatkan
239
di Bank Sampah unit
pemanfaatan = m3/tahun
aux
pembuangan = Sampah*rasio_sampah_org
doc
pembuangan = sampah organik yang dibuang atau yang tidak dikelola
unit
pembuangan = m3/tahun
aux
pemilahan = Sampah*rasio_sampah_an_org
unit
pemilahan = m3/tahun
aux
pertumbuhan_pddk = Penduduk*pertum_pddk*rasio_daya_dukung
doc
pertumbuhan_pddk = pertumbuhan penduduk setiap tahunnya
unit
pertumbuhan_pddk = jiwa/tahun
aux penambahan_smp= sampah_yg_dihasilkan+((Sampah+sampah_yg_dihasilkan)*((sampah_yg_dihasilk an+Sampah)/daya_tampung)) doc
pnambahan_smp = penambahan sampah yang dihasilkan penduduk setiap tahunnya
unit
pnambahan_smp = m3/tahun
aux
rekruitmen = (Penduduk*daya_tarik*rasio_penambahan)
doc
rekruitmen = rasio jumlah penduduk yang mejadi anggota bank sampah
unit
rekruitmen = jiwa/tahun
aux
tak_dimanfaatkan = Sampah_an_org*rasio_tak_termanfaatkan
doc
tak_dimanfaatkan = penambahan sampah an organik yang tidak dapat
dimanfaatkan lagi unit
tak_dimanfaatkan = m3/tahun
aux
daya_dukung_lahan = (fraksi_dd_lahan*luas_wilayah)
doc
daya_dukung_lahan = luas untuk penampungan sampah
unit
daya_dukung_lahan = Ha
aux
daya_tampung = (daya_dukung_lahan*tinggi_sampah*10000)
doc
daya_tampung = jumlah maksimal sampah yang dapat ditampung
unit daya_tampung = m3; aux daya_tarik = GRAPH(Penghasilan,10000000,5000000,[0.55,0.57,0.6,0.62,0.66,0.68,0.69,0.72,0 .74,0.75,0.77,0.79,0.81,0.85,0.88,0.93,0.96,0.96"Min:0;Max:1;Zoom"])
240
doc
daya_tarik = daya tarik penduduk untuk menjadi anggota bank sampah
unit
daya_tarik = tidak berdimensi
aux
kepadatan_pddk = Penduduk/luas_wilayah
doc
kepadatan_pddk = jumlah penduduk setiap 1 Ha areal Kota Purwokerto
unit
kepadatan_pddk = jiwa/Ha
aux
partisipasi=
GRAPH(Anggota_Bank_sampah,100,10,[0.05,0.05,0.14,0.2,0.31,0.39,0.46,0.5,0. 44,0.4,0.39"Min:0;Max:1;Zoom"]) doc
partisipasi = pengaruh partisipasi terhadap pengumpulan bank sampah
unit
partisipasi = tidak berdimensi
aux
Penghasilan = Bank_Sampah*harga_rata2_sampah
doc
Penghasilan = jumlah uang yang diperoleh dari penjualan sampah oleh bank sampah
unit
Penghasilan = Rupiah
aux
rasio_daya_dukung = Penduduk/daya_dukung_pddk
doc
rasio_daya_dukung = rasio penduduk dibandingkan daya dukung penduduk
unit
rasio_daya_dukung = tidak berdimensi
aux
sampah_yg_dihasilkan = sampah_per_org*Penduduk
doc
sampah_yg_dihasilkan = jumlah sampah yang dihasilkan penduduk
unit
sampah_yg_dihasilkan = m3
const daya_dukung_pddk = 75*3859 doc
daya_dukung_pddk = kepadatan ideal untuk Purwokerto
unit
daya_dukung_pddk = orang
const fraksi_dd_lahan = 1.4% doc
fraksi_dd_lahan = rasio lahan yang digunakan untuk menampung sampah
unit
fraksi_dd_lahan = tidak berdimensi
const harga_rata2_sampah = 1186 doc
harga_rata2_sampah = Uang yang diperoleh dari 1 kg sampah
241
unit
harga_rata2_sampah = Rp/kg
const luas_wilayah = 3859.01 doc
luas_wilayah = luas wilayah kota Purwokerto
unit
luas_wilayah = Ha
const pertum_pddk = 1.5% doc
pertum_pddk = angka pertumbuhan penduduk Kota Purwokerto
unit
pertum_pddk = tidak berdimensi
const rasio_pemanfaatan = 65% doc
rasio_pemanfaatan = rasio sampah yang dapat dimanfaatkan
unit
rasio_pemanfaatan = tidak berdimensi
const rasio_penambahan = 0.002 const rasio_sampah_an_org = 37.12% doc
rasio_sampah_an_org = rasio sampah an organik dibandingkan total sampah
unit
rasio_sampah_an_org = tidak berdimens
const rasio_sampah_org = 62.88% doc
rasio_sampah_org = rasio sampah organik dibandingkan total sampah
unit
rasio_sampah_org = tidak berdimensi
const rasio_tak_termanfaatkan = 35% doc
rasio_tak_termanfaatkan = rasio sampah yang dapat dimanfaatkan
const sampah_per_org = 0.4289 doc
sampah_per_org = rata-rata jumlah sampah yang dihasilkan setiap penduduk di Kota Purwokerto.
unit
sampah_per_org = m3/jiwa/thn
const tinggi_sampah = 6 doc
tinggi_sampah = Ketinggian tumpukan sampah
unit
tinggi_sampah = m3
242
Lampiran 9 Daftar pertanyaan (kuesioner) untuk responden AHP MODEL PARTISIPASI GREEN COMMUNITY DALAM PERUMUSAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA BERBASIS KEARIFAN LOKAL MENDUKUNG KOTA HIJAU PURWOKERTO Oleh: EDY SUYANTO PENGOLAHAN DATA : AHP TUJUAN AKTOR KRITERIA ALTERNATIF TUJUAN (GOAL) : Prioritas Alternatif Kebijakan Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Berbasis Kearifan Lokal Mendukung Kota Hijau Purwokerto. AKTOR (A): 1. Pemerintah (Pemda) 2. Pengusaha/Investor swasta 3. Pemulung 4. Bank sampah/ LSM 5. Masyarakat KRITERIA (K): 1. Biaya 2. Kota Bersih 3. Pendapatan ALTERNATIF(ALT) 1. Penegakan Hukum 2. Partisipasi Green Community (GC) 3. Pola 3 R (Reduce; Reuse; Recycle) 4. Pemilahan Sampah PENILAI (PAKAR): Expert : 11 orang 1. Legislatif (Anggota DPRD) Komisi Lingkungan : 2 orang 2. Birokrat di bidang Lingkungan / Persampahan . : 2 orang 3. Akademisi di Bidang Lingkungan
: 2 orang
4. Wartawan Pemerhati Lingkungan
: 2 orang
5. Ketua Green Community
: 1 orang
6. LSM Bidang Lingkungan
: 2 orang
243
Matrik Penilaian LEMBAR PERTANYAAN (KUESIONER) (Mohon diisi dengan memberi Nilai 1;2;3;4;5;6;7;8; 9 dan kebalikannya ) Nam a Instansi Jabatan Pakar
: : : : (a) Birokrat; (b) Akademisi; (c) DPRD; (d) LSM; (e) Green Community; (f) Wartawan.
Matrik 1, yaitu membandingkan tingkat kepentingan elemen-elemen aktor berdasarkan sasaran (goal) Prioritas Alternatif Kebijakan Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Mendukung Kota Hijau Purwokerto. 1. Dari beberapa aspek berikut ini, manakah menurut Bapak/Ibu Prioritas Alternatif Kebijakan Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Mendukung Kota Hijau Purwokerto? (Bandingkan beberapa aspek pada kolom 1 dengan beberapa aspek di baris yang sama pada kolom berikutnya) Pakar : A1 (Pemerintah)
AKTOR 1.Pemerintah (A1)
A2 (Pengusaha)
A3 (Pemulung)
A4 (Bank Sampah)
A5 (Masyarakat)
1
2.Pengusaha/investor (A2)
1
3.Pemulung (A3) 4.Bank Sampah/LSM (A4) 5.Masyarakat (A5)
1 1 1
Matrik 2, yaitu membandingkan tingkat kepentingan elemen-elemen tujuan berdasarkan aktor Pemerintah 2. Dari beberapa aspek berikut ini, manakah menurut Bapak/Ibu Prioritas Kriteria Kebijakan Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Mendukung Kota Hijau Purwokerto Berdasarkan AKTOR PEMERINTAH (Bandingkan beberapa aspek pada kolom 1 dengan beberapa aspek di baris yang sama pada kolom berikutnya)
244
Pakar : KRITERIA K1 (Biaya)
K1 (Biaya)
K2 (Kota Bersih)
K3 (Pendapatan)
1
K2 (Kota bersih sampah)
1
K3 (Pendapatan)
1
Matrik 3, yaitu membandingkan tingkat kepentingan elemen-elemen tujuan berdasarkan aktor Pengusaha/investor Swasta 3. Dari beberapa aspek berikut ini, manakah menurut Bapak/Ibu Prioritas Kriteria Kebijakan Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Mendukung Kota Hijau Purwokerto Berdasarkan AKTOR PENGUSAHA/INVESTOR SWASTA (Bandingkan beberapa aspek pada kolom 1 dengan aspek di baris yang sama pada kolom berikutnya)
Pakar : KRITERIA K1 (Biaya)
K1 (Biaya)
K2 (Kota Bersih)
K3 (Pendapat an)
1
K2 (Kota Bersih)
1
K3 (Pendapatan )
1
Matrik 4, yaitu membandingkan tingkat kepentingan elemen-elemen tujuan berdasarkan aktor Pemulung 4. Dari beberapa aspek berikut ini, manakah menurut Bapak/Ibu Prioritas Kriteria Kebijakan Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Mendukung Kota Hijau Purwokerto Berdasarkan AKTOR PEMULUNG
(Bandingkan
beberapa aspek pada kolom 1 dengan beberapa aspek di baris yang sama pada kolom berikutnya)
245
Pakar : KRITERIA K1 (Biaya)
K1 (Biaya)
K2 (Kota Bersih)
K3 (Pendapatan)
1
K2 (Kota Bersih)
1
K3 (Pendapatan)
1
Matrik 5, yaitu membandingkan tingkat kepentingan elemen-elemen tujuan berdasarkan aktor Bank Sampah/ LSM 5. Dari beberapa aspek berikut ini, manakah menurut Bapak/Ibu Prioritas Kriteria Kebijakan Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Mendukung Kota Hijau Purwokerto Berdasarkan AKTOR BANK SAMPAH
/ LSM
(Bandingkan beberapa aspek pada kolom 1 dengan beberapa aspek di baris yang sama pada kolom berikutnya)
Pakar : KRITERIA K1 (Biaya)
K1 (Biaya)
K2 (Kota Bersih)
K3 (Pendapat an)
1
K2 (Kota Bersih) K3 (Pendapatan)
1 1
Matrik 6, yaitu membandingkan tingkat kepentingan elemen-elemen tujuan berdasarkan aktor Masyarakat 6. Dari beberapa aspek berikut ini, manakah menurut Bapak/Ibu Prioritas Kriteria Kebijakan Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Mendukung Kota Hijau Purwokerto Berdasarkan AKTOR MASYARAKAT (Bandingkan beberapa aspek pada kolom 1 dengan beberapa aspek di baris yang sama pada kolom berikutnya)
246
Pakar : KRITERIA
K1 (Biaya)
K1 (Biaya)
K2 (Kota Bersih)
K3 (Pendapat an)
1
K2 (Kota Bersih)
1
K3 (Pendapatan)
1
Matrik 7, yaitu membandingkan tingkat kepentingan elemen-elemen alternatif berdasarkan kriteria Biaya 7. Dari beberapa aspek berikut ini, manakah menurut Bapak/Ibu Strategi Alternatif Kebijakan Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Mendukung Kota Hijau Purwokerto Berdasarkan Tingkat Kepentingan Elemen-elemen Alternatif Berdasarkan KRITERIA BIAYA? (Bandingkan beberapa aspek pada kolom 1 dengan beberapa aspek di baris yang sama pada kolom berikutnya)
Pakar : ALTERNATIF ALT 1 (Penegakan Hukum)
ALT 1
ALT 2
ALT 3
ALT 4
1
ALT 2 (Partisipasi GC) ALT 3 (Pola 3 R) ALT 4 (Pemilahan Sampah)
1 1 1
Matrik 8, yaitu membandingkan tingkat kepentingan elemen-elemen alternatif berdasarkan Kriteria kota bersih
8. Dari beberapa aspek berikut ini, manakah menurut Bapak/Ibu Strategi
Alternatif Kebijakan Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Mendukung Kota
247
Hijau Purwokerto Berdasarkan Tingkat Kepentingan Elemen-elemen Alternatif Berdasarkan KRITERIA KOTA BERSIH? (Bandingkan beberapa aspek pada kolom 1 dengan beberapa aspek di baris yang sama pada kolom berikutnya)
Pakar : ALTERNATIF ALT 1 (Penegakan Hukum)
ALT 1
ALT 2
ALT 3
ALT 4
1
ALT 2 (Partisipasi GC)
1
ALT 3 (Pola 3 R)
1
ALT 4 (Pemilahan Sampah)
1
Matrik 9, yaitu membandingkan tingkat kepentingan elemen-elemen alternatif berdasarkan kriteria Pendapatan 9. Dari beberapa aspek berikut ini, manakah menurut Bapak/Ibu Strategi Alternatif Kebijakan Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Mendukung Kota Hijau Purwokerto Berdasarkan Tingkat Kepentingan Elemen-elemen Alternatif
Berdasarkan
KRITERIA
PENDAPATAN?
(Bandingkan
beberapa aspek pada kolom 1 dengan beberapa aspek di baris yang sama pada kolom berikutnya)
Pakar : ALTERNATIF ALT 1 (Penegakan Hukum) ALT 2 (Partisipasi GC) ALT 3 (Pola 3 R) ALT 4 (Pemilahan Sampah)
ALT 1
ALT 2
ALT 3
ALT 4
1 1 1 1
248
RIWAYAT HIDUP PENULIS Edy Suyanto lahir 21 Juli 1960 di Tasikmalaya, Jawa Barat, sebagai anak pertama dari 6 bersaudara dari pasangan ibu Epon Pondasyah (Tasikmalaya) dan bapakSuharmadi Purn. TNI-AD (Yogyakarta). Sejak Sekolah Dasar, SMPN sampai dengan SMAN 1 diselesaikan di Tasikmalaya. Pendidikan S1 ditempuh di Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) Universitas Gadjah Mada (19811986). Pendidikan S2 ditempuh di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dengan mengambil Jurusan Antar Bidang Program Studi Ilmu Lingkungan (1990-1993) dengan beasiswa dari Dikti. Tahun 2011 penulis diterima S3 (Program Doktor) di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, dengan beasiswa BPPS DIKTI. Penulis sejak Januari tahun 1987 sampai sekarang bekerja sebagai staf pengajar di Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed)pada Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) dengan pegangan mata kuliah pokok Sosiologi Lingkungan, juga menjadi staf pengajar dan komisi disiplin ilmu di Program Studi Ilmu Lingkungan pada program Magister Sains Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana Unsoed (2005-2009).Di samping itu pernah menjadi Sekretaris Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Lemlit Unsoed periode (1994-1995), Komisi Disiplin Ilmu pada program MSIL PPs Unsoed periode ( 2007-2010), Sekretaris Jurusan Sosiologi Fisip Unsoed periode (1995-1997), Ketua Jurusan Sosiologi Fisip Unsoed Periode (1997- 2001) dan periode (20012003), Pembantu Dekan II (Bidang Administrasi Umum dan Keuangan) Fisip Unsoed Periode (2003-2007) dan periode (2007-2011).Selama menjadi dosen, penulis mengikuti dan memperoleh beberapa kompetisi penelitian mulai dari Peneliti Muda, Loan, Kajian Wanita, Ford Foundation-Kerjasama dengan PPK UGM (sudah diterbitkan dalam bentuk buku oleh Gama Press), ADB dan Hibah Due Like Dikti. Penelitian untuk Disertasi ini juga telah didukung pendanaannya melalui Hibah Disertasi Doktor dari Dikti Anggaran Tahun 2015. Penulis menikah dengan Dr. Hj. Soetji Lestari, M.Si dan memiliki satu orang anak laki-laki yang bernama Febri Argyan Shafwan .