Model Multi Stakeholders Governance Body Dalam Mewujudkan Kebijakan Publik Yang Unggul Novita Tresiana,1 dan Noverman Duadji2 1) 2)
FISIP Unila, Jl. Prof. Soemantri Brojonegoro 1 Bandarlampung FISIP Unila, Jl. Prof. Soemantri Brojonegoro 1 Bandarlampung
surel: 1
[email protected];
2
[email protected]
Abstract. This study aims to: 1) analyze the reasons of failure village government in producing a superior policy; 2) analyze the existing institutions in the community, as the realization of the carrying capacity of a superior policy; and 3) develop a model of institutional strengthening to achieve superior public policy. The data used is the primary and secondary data. Secondary data were obtained from the local government in the form of the relevant documentation. The primary data obtained from interviews, observation, focus group discussions. The data collected, analyzed qualitative descriptive. The research location is Lampung, Lampung Province South, 9 villages. The results showed the failure of development due to the institutional model of village planning meetings is bureaucratic, formalismand the measurement focused on process not the result. There were no institutional support communities and the village planning meetings did not involve stakeholders. Required solutions in the form of representative models of institutional strengthening, known to residents through a deliberative forum in the form of a multi-stakeholders forum Key Words: Multi Stakeholders, Governance Body Abstrak. Penelitian ini bertujuan: 1) menganalisis faktor penyebab kegagalan pemerintah desa dalam menghasilkan sebuah kebijakan yang unggul; 2) menganalisis kelembagaan yang ada di masyarakat, sebagai daya dukung terwujudnya kebijakan yang unggul; 3) mengembangkan model penguatan kelembagaan untuk mewujudkan kebijakan publik yang unggul. Data yang digunakan adalah data data primer dan sekunder. Data sekunder diperoleh dari berbagai dokumentasi. Data primer didapat dari wawancara mendalam, observasi, FGD. Data yang dikumpulkan, dianalisis kualitatif deskriptif. Lokasi penelitian adalah 9 desa di Kabupaten Lampung Selatan, Propinsi Lampung. Hasil penelitian menunjukkan kegagalan pembangunan disebabkan model kelembagaan musrenbang desa yang birokratis, formalism, pengukuran proses bukan hasil, tiada dukungan kelembagaan masyarakat dan tidak melibatkan stakeholder. Diperlukan solusi berupa model penguatan kelembagaan yang representatif, dikenal warga melalui forum deliberatif yang berbentuk forum multistakeholders Kata Kunci : Multi Stakeholders, Kelembagaan Kepemerintahan
Pendahuluan Fenomena kegagalan pemerintah lokal dalam konteks pembangunan desa adalah suatu kondisi dimana pemerintah tidak memiliki kapasitas governability, yang ditandai dengan rendahnya kapasitas pemerintah dalam penyediaan public goods di desa.
Penelitian yang
dilakukan Akadun (2011:190) mendapati beberapa bukti kegagalan disebabkan model partisipasi masyarakat
yang menekankan
model politis dan administratif, belum
mempersiapkan kerangka dan mekanisme bagaimana partisipasi berlangsung, dan belum mengembangkan
model
(2012:162)mempertegas
alternatif
pendapat
diatas
pemberdayaan dengan
masyarakat.
menggambarkan
belum
Mulyawan optimalnya
penyelenggaraan civic governance, yang esensinya merupakan model pembangunan partisipatif, yang memerlukan pengelolaan pembangunan berbasis partisipasi masyarakat.
Fisabililahi,
Vidayani dan Hudalah (2014:218) melalui penelitian melengkapi argumen di atas, dengan mengedepankan pentingnya modal sosial pada setiap aktor yang terlibat dalam partisipasi di desa. Khusus pemerintah lokal, penelitian yang dilakukan oleh Tresiana dan Duadji (2015:1) di Kabupaten Lampung Selatan sebagai lokasi terpilih, mendapati kegagalan pemerintah dalam penyediaan public goods di desa, walau
musrenbang desa yang seyogyanya merupakan
kelembagaanforum deliberatif (musyawarah)yang resmi dan formal sudah tersedia, namun ternyata belum mampu memproduksi kebijakan/program pembangunan yang unggul, yang mampu menyelesaikan persoalan kemiskinan. Studi ini memfokuskan pada musrenbang desa yang merupakan aplikasi dari gagasan deepening democracy, yang dikemukakan oleh UNDP (dalam Nugroho,2012:13), sebagai sebuah gagasan berkarakter bottom up, melibatkan multistakeholder di masyarakat, yang memungkinkan setiap warga berpartisipasi dalam sebuah sistem local governance (Denhardt & Denhardt, 2013:35). Aplikasi gagasan ini ditengarai jika diterapkan di desa, akan merupakan obat mujarab untuk mengatasi kegagalan pembangunan desa. Pemilihan fokus pada musrenbang desa sebagai obyek kajian di dasari pertimbangan: 1) musrenbang desa merupakan forum deliberatif (musyawarah) perumusan kebijakan/program desa yang interaktif, seharusnya disusun bersama antara pemerintah dan masyarakat, 2) tolak ukur keberhasilan musrenbang desa adalah keterlibatan aktif multistakeholders yang ada di desa,
dalam bentuk peran serta, musyawarah, negoisasi, dukungan, sehingga mampu menanggulangi kemiskinan masyarakat, 3)dalam perspektif kebijakan publik, maka musrenbang desa menggambarkan model kebijakan deliberatif yang menekankan pada pelibatan argumentasiargumentasi dari para pihak, musyawarah dan negoisasi dari pihak-pihak diluar pemerintah desa. Model deliberatif inilah yang dianggap sebagai pengejentawahan dari konsep deepening democracy, yang diyakini mampu menghasilkan
excellence public policydan
mampu
menanggulangi kemiskinan masyarakat. Gagasan deepening democracy, adalah sebuah model pendalaman demokrasi melalui keterlibatan
dan peran aktif
semua warga dalam kebijakan/program desa, mulai dari
perumusan, implementasi sampai evaluasi. Kekuatan model ini adalah pada proses demokrasinya, bukan pada hasil/output demokrasi. Hal inilah yang memunculkan ketidakpuasan dan fenomena kegagalan pemerintah dalam penyediaan barang public. Model ini tentunyamasih tetapdiperlukanbagi tumbuh kembangnya demokratisasi, namun sebagaimana dikemukakan Akadun (2011:191), yang lebih penting adalah merevitalisasi model inipada tempat yang tepat dan sesuai untuk menumbuh-kembangkan partisipasi publik dalam setiap proses dan mekanisme musrenbang desa, sehingga dapat dihasilkan sebuah model keberdayaan masyarakat yang dapat berimplikasi kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Karenanya, dalam pemahaman ini, penulis melihat ada logika mata rantai yang terputus yang harus dibenahi, dimana deepening democracyseolah-olah dipandang sebagai tujuan, padahal ia hanya alat dan proses yang dipilih.
Demokrasi yang diharapkan di desa, tentunya
adalah working democracy. Dikemukakan oleh Mulyawan (2002:1), basisnya adalah penguatan civic governance, yang artinya perlu diakhiri dengan tindakan nyata untuk membuka forum interaksi dan diskusi diantara semua local governance stakeholder (pemerintah, civil society, pengusaha), guna menggodok kebijakan dan program pembangunan yang unggul (excellence policy), sehingga kesejahteraan masyarakat desa bisa diwujudkan.
Pada titik inilah, pentingnya
perubahan deepenimg democracy kearah deliberative
democracy (Hajer dan Wagenaar,2003:23-24)perlu dilakukan sehingga excellence policy akan dapat diproduksi oleh local governance stakeholders (Denhardt dan Denhardt, 2013:35). Esensi pokok penulisan ini adalah, akan mendudukan pemahaman yang benar dalam berdemokrasi di desa. Demokrasi haruslah dimaknai sebagai proses awal (primer) untuk mendorong terbukanya upaya interaksi masing-masing stakeholders untuk bersinergi, saling memperkuat, mengawasi (check and balance) dan menegosiasikan kepentingan mereka. Proses lanjutan (sekunder) adalah eksistensi strong governance, substansi kebijakan mengakar dari konteks lokal dalam mengimplementasikan konsensus bersama antar local stakeholders governance sebagai
wujud kuatnya pemerintah
untuk meraih tujuan, yaitu keberhasilan
memproduksi kebijakan/progam yang unggul. Tanpa adanya pemahaman seperti ini, sulit rasanya bagi kebijakan dan program pembangunan mewujudkan kesejahteraan rakyat. Berbagai kenyataan kegagalan pembangunan di Kabupaten Lampung Selatan, mensyaratkan masih perlu upaya serius untuk memperbaiki pelaksanaan musrenbang desa, sehingga kata kunci kebijakan/program unggul ditentukan bagaimana pelaksanaan democratic governance kearah pelaksanaan deliberative policy. Salah satu upaya untuk mengatasi hal tersebut adalah mengembangkan model multistakeholders governance body. Studi ini menjelaskan 3 (tiga) hal, yakni: 1) menganalisis faktor penyebab kegagalan pemerintah dalam menghasilkan sebuah kebijakan yang unggul, yang mampu memecahkan persoalan masyarakat, 2) menganalisis kelembagaan-kelembagaan yang ada di masyarakat, sebagai daya dukung terwujudnya kebijakan yang unggul, 3) mengembangkan model penguatan kelembagaan untuk mewujudkan kebijakan publik yang unggul. Kemanfaatan studi ini adalah memberikan sumbangan dalam pengembangan ilmu kebijakan publik khususnya dalam proses perumusan kebijakan publik yang berorientasi kepada demokratisasi, mengedepankan keterlibatan dan peran aktif multistakeholders dalam proses perumusan. Selain itu juga bermanfaat dalam merekomendasikan kebijakan agar musrenbang desa, dapat dikelola secara
lebih tepat sasaran, tepat metode dan sesuai dengan tujuannya, sehingga produk musrenbang desa tidak berhenti di proses demokratisasi saja, excellence public policymenjadi tujuan dan produk riil dari musrenbang desa. Studi menggunakan metode penelitian kualitatif, untuk mendeskripsikan dan memahami esensi interaksi kehidupan local governance stakeholders. Obyek kajian diarahkan pada upayaupaya yang dilakukan untuk memproduksi excellence policy yang semestinya menjadi prinsip dan harus dilakukan dalam forum musrenbang desa di Kabupaten Lampung Selatan Provinsi Lampung. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data sekunder diperoleh dari pemerintah daerah berupa dokumentasi yang relevan. Data primer didapat dari wawancara dan observasi. Tehnik pengumpulan dilakukan dengan : 1) Observasi; 2) Wawancara mendalam: 3) Dokumen; dan 4) Focus Group Discussion (FGD).Data yang dikumpulkan, dianalisis dengan analisis kualitatif, dengan model interaktif dari Miles dan Huberman (1992:132).
Lokasi
penelitian di lakukan di 9 (sembilan) desa terpilih di Kabupaten Lampung Selatan, yaitu: Desa Karang Anyar, Desa Budi Lestari, Desa Jati Mulyo, Desa Margo Mulyo, Desa Merak Batin, Desa Pancasila, Desa Pemanggilan, Desa Way Galih, Desa Suka Marga.
Gambaran Kemiskinan Kabupaten Lampung Selatan Kabupaten Lampung Selatan menjadi lokasi penelitian ini. Luas wilayah kabupaten 2.007,01 km. . Adapun jumlah penduduk yang bermukim di daerah ini adalah 932.552 jiwa yang terdistribusi kedalam 17 kecamatan dan 256 desa dengan laju pertumbuhan 1,1%. Dilihat dari sisi kemiskinan, pada tahun 2014 tercatat sejumlah 177.740 jiwa atau 19,23% penduduk miskin di kabupaten ini.
Bila ditinjau dari sisi jumlah penduduk yang bekerja, maka lapangan
usaha/pekerjaan utama masyarakatnya tergambar pada tabel Lampung Selatan,2014).
berikut ini (BPS Kabupaten
Tabel 1 Lapangan Usaha/Pekerjaan Penduduk Kabupaten Lampung Selatan No. Penduduk Lapangan Usaha Jumlah/Total Laki-Laki Perempuan 1 Pertanian 83.451 33.289 116.740 2 Industri 62.863 8.272 71.135 3 Jasa 119.815 71.808 191.622 Jumlah/Total 266.129 113.368 379.497 Sumber: Lampung Selatan dalam Angka, BPS Lampung Selatan 2014
Mencermati persoalan diatas, menurut Chambers
(1983:83)
inti dari masalah
kemiskinan masyarakat pedesaan terletak pada masuknya masyarakat kedalam deprivation trap. Pertama, realitas (empiris) observasi lapang dan dokumen kependudukan seperti terlihat pada tabel diatas menunjukan bahwa masyarakat desa di kabupaten ini masih tergolong miskin, dimana dari 366,234 jumlah Kepala Keluarga (KK) yang ada, secara rasio menunjukan 98.98% KK masih berada pada level keluarga pra-sejahtera, sejahtera 1, sejahtera 2 dan sejahtera 3; sementara hanya 1.02% saja yang masuk kategori sejahtera plus. Kedua, kelemahan fisik banyak disebabkan oleh kurangnya kemampuan (daya beli) masyarakat terhadap pemenuhan gizi keluarga dan keterbatasan sarana kesehatan (fasilitas kesehatan, tenaga medis dan obat-obatan). Ketiga, keterasingan/ isolasi lebih disebabkan banyaknya sarana infrastruktur yang rusak dan tidak terawat yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Keempat, kerentanan/kerawanan merupakan kondisi dimana suatu keluarga miskin tidak memiliki kesiapan baik mental maupun material dalam menghadapi situasi yang sulit. Kelima, ketidakberdayaan adalah cerminan dari masyarakat miskin dijadikan obyek, belum ditempatkan sebagai subyek. Tidak sedikit elit disekitar masyarakat miskin yang memfungsikan diri sebagai oknum yang menjaring bantuan (APBDes) yang sebenarnya dipergunakan untuk orang miskin. Tabel 2 Jumlah KK Berdasarkan Pentahapan Kesejahteraan di Kabupaten Lampung Selatan Keluarga Sejahtera (KS) Kabupaten Pra-Sejahtera Total I II III III+ Lampung 105,345 61,216 56,394 30,691 2,346 255,992 Selatan Sumber: Lampung Selatan dalam Angka, BPS Lampung Selatan 2014
Uraian diatas menggambarkan bahwa penyebab terjadinya kemiskinan masyarakat desa lebih banyak disebabkan oleh faktor struktural (policy bias). Untuk mengatasi kondisi ini maka diperlukan langkah dan upaya konkrit dari semua pihak. Langkah dan upaya itu perlu ditujukan ke arah penguatan 8 (delapan) unsur kekuatan dasar sosial masyarakat miskin seperti yang diungkapkan oleh Friedmann (1992:97), yaitu: (1) pertahanan ruang hidup; (2) terciptanya waktu luang; (3) pengetahuan dan keterampilan; (4) informasi yang tepat; (5) organisasi sosial; (6) jaringan sosial; (7) sarana dalam pekerjaan dan lingkungan; (8) sumber keuangan. Kedelapan kekuatan ini akan dapat diwujudkan melalui ketersedian ruang dan partisipasi publik dalam proses formulasi kebijakan (program) pembangunan pada semua level dengan komitmen dan perlindungan nyata dari pemerintah.
Analisis Faktor Penyebab Kegagalan dalam Memproduksi KebijakanYang Unggul Analisis faktor penyebab kegagalan pemerintah desa dalam menghasilkan kebijakan dan program yang unggul difokuskan pada proses dan implementasi musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) desa, sebagai salah satu wadah partisipasi masyarakat. Musrenbang Desa merupakan upaya konkrit yang dilakukan oleh pemerintah sebagai langkah mewujudkan perencanaan partisipatif, dimana masyarakat sebagai salah satu komponen dalam development policy stakeholders. Proses dalam musrenbang desa, diharapkan akan muncul rasa memiliki (sense of belonging), ikut terlibat (sense of participation) dan ikut bertanggungjawab atas berhasilnya usaha-usaha pembangunan (sense of accountability) sehingga pengelolaan pembangunan desa benar-benar mencerminkan community based resource paradigm(dalam Tresiana dan Duadji, 2015:73). Dalam perspektif kebijakan publik,maka musrenbang desa menggambarkan model kebijakan deliberatif (musyawarah) yang memerlukan keterlibatan aktif multistakeholders yang ada di desa, dalam bentuk peran, musyawarah, negoisasi, dukungan. Model kebijakan deliberatif
inilah yang dianggap sebagai pengejentawahan dari konsep
deepening democracy(dalam Nugroho,2012:13), yang diyakini akan menghasilkan excellence
public policy atau kebijakan publik yang unggul (Nugroho, 2012:765), sehingga diharapkan mampu menanggulangi kemiskinan daerah. Musrenbang desa merupakan rangkaian kegiatan penting dalam penyusunan rencana pembangunan nasional yang terpadu.
Kegiatan ini dilakukan setiap tahun,yang tahap
awalnyadilakukan di tingkat desa dan selanjutnya tingkat kecamatan. Usulan disusun dan disampaikan secara berjenjang/bertingkat mulai dari level RT/RW, desa/kelurahan dan kecamatan. Data usulan dari semua desa/kelurahan yang telah terkumpul, akan disusun dan dimusyawarahkan, hasil musyawarah kecamatan ini dituangkan dalam satu dokumen berupa daftar usulan kegiatan kecamatan yang akan diusulkan pada Musrenbang tingkat Kabupaten/Kota. Pada tahap Musrenbang Kabupaten/Kota, semua aspirasi yang masuk melalui musrenbang Kecamatan akan ditampung bersamaan dengan usulan kegiatan dari setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Pada tahap ini SKPD akan melakukan verifikasi terhadap usulan kecamatan sebelum dituangkan dalam daftar usulan kegiatan SKPD. Program /usulan kegiatan yang telah lolos pada tahap verifikasi akan dituangkan dalam Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat daerah (Renja-SKPD), dan selanjutnya sampai tingkat propinsi dan nasional. Proses panjang ini, diharapkan pada tingkat desa maka akan diperoleh manfaat : 1) masyarakat desa mulai belajar diberdayakan otoritas peran dan fungsinya sehingga mereka mulai terlatih bertanggung-jawab atas pelaksanaan dan hasil dari keputusan bersama, 2) kualitas keputusan Musrenbang Desa (RPJM Desa dan RKP Desa) menjadi lebih bermutu karena terkait secara langsung dengan persoalan, kepentingan dan kebutuhan warga desa sehingga akan berdampak pada produktivitas hasil yang dicapai, 3) adanya komitmen kuat masyarakat desa atas keputusan yang mereka ikut buat sendiri sehingga menambah semangat dan kepuasan untuk mewujudkan apa yang mereka ikut putuskan (Tresiana dan Duadji,2015:54). Berbasis hasil wawancara, observasi dan FGD dengan informan-informan terkait di lokasi penelitian terpilih, ditemukan secara umum pelaksanaan musrenbang desa hanya menjadi agenda rutin, tahunan dan masih bersifat formalitas. Secara substantif belum mencerminkan
agenda, persoalan dan kebutuhan warga desa. Pelaksanaan masih didominasi oleh pemerintah daerah, sementara unsur-unsur stakeholders memiliki keterwakilan yang rendah.
Proses
pelaksanaan musrenbang Desa, baru sebatas pada kegiatan pengumpulan data dukung untuk kegiatan Musrenbang Kecamatan dan Musrenbang Kabupaten sehingga program-program yang disusun lebih merupakan rencana pembangunan pemerintah Kecamatan dan pemerintah Kabupaten. Tabel 3 Macam Kelemahan-Kelemahan Musrenbang Desa Nama Desa
Aktor Utama
Kepesertaaan
Karang Anyar
Pemdes
Terbatas
Budi Lestari
Pemdes
Terbatas
Jati Mulyo
Pemdes
Terbatas
Margo Mulyo
Pemdes
Terbatas
Merak Batin
Pemdes
Terbatas
Pancasila
Pemdes
Terbatas
Pemanggilan
Pemdes
Terbatas
Way Galih
Pemdes
Terbatas
Suka Marga
Pemdes
Terbatas
Sifat/ Bentuk
Isi Kegiatan
Pertemuan Formal Pertemuan Formal Pertemuan Formal Pertemuan Formal Pertemuan Formal Pertemuan Formal Pertemuan Formal Pertemuan Formal Pertemuan Formal
Sosialisasi Program Sosialisasi Program Sosialisasi Program Sosialisasi Program Sosialisasi Program Sosialisasi Program Sosialisasi Program Sosialisasi Program Sosialisasi Program
Kepanitiaan
Mekanisme musrenbang
Keberadaan Kelembagaan Lokal
Pemdes
Prosedural
Tdk Ada
Pemdes
Prosedural
Tdk Ada
Pemdes
Prosedural
Tdk Ada
Pemdes
Prosedural
Tdk Ada
Pemdes
Prosedural
Tdk Ada
Pemdes
Prosedural
Tdk Ada
Pemdes
Prosedural
Tdk Ada
Pemdes
Prosedural
Tdk Ada
Pemdes
Prosedural
Tdk Ada
Sumber :Olah Wawancara, dokumen dan Observasi Tahun 2015(dalam Tresiana dan Duadji,2015)
Gambaran kelemahan dari musrenbang desa adalah : 1) pada sisi mekanisme, proses perencanaan partisipatif masih menjadi retorika, dikarenakan aktor yang penting dan dominan dalam penyusunan formulasi perencanaan pembangunan di desa adalah pemerintah desa, 2) pada sisi proses, hanya berisi kegiatan berupa paparan dari kepala desa dan perangkatnya. Peserta hanya diberikan kesempatan untuk bertanya mengenai seputar kegiatan tersebut, tidak ada diskusi dan negoisasi (dialog) antara pemerintah desa dengan peserta tentang isu-isu atau permasalahan serta pemecahan masalah, 3) pada sisi isi/kualitas program, masih rendah dan kurang sistematis dan hanya berisi rekapitulasi kegiatan dan dana yang dibutuhkan. Dari segi tujuan, cara untuk merealisasi kegiatankegiatan dan waktu secara rinci tidak dijelaskan, 4) Keterlibatan stakeholders, tidak terwakili secara menyeluruh, hanya diikuti oleh BPD, Kepala
Desa, Ketua LPMD, Ketua Tim Penggerak PKK dan Tokoh Masyarakat yang mereka kenal, sedangkan dari organisasi kepentingan seperti LSM, organisasi kelembagaan lokal, tokoh adat atau organisasi privat tidak masuk dalam peserta Musrenbang. Idealnya setidaknya dihadiri oleh Perangkat Desa, Anggota BPD,Pengurus LPMD, Kelompok Masyarakat (Karang Taruna, Takmir Mesjid, Kelompok Tani, dsb.),Kader Perempuan (PKK, Posyandu), dan Perwakilan Dukuh dengan mempertimbangkan keseimbangan gender. Hasil wawancara dan observasi terungkap bahwa adanya kelemahan-kelemahan musrenbang desa dikarenakan : Pertama, terungkap bahwa Kepala Desa yang terpilih belum punya pengalaman pemerintahan di desa dan juga
terungkap bahwa dokumen RKP Desa
sebelumnya banyak yang merupakan copypaste dokumen perencanaan dari desa lain; Kedua, terungkap tahapan penjadwalan musrenbangdimulai dari pembentukan tim musrenbang yang akan penyusun RKP Desa, namun didapati tim yang terbentuk secara terburu-buru, tanpa persiapan; Ketiga, Ketiadaan organisir pertemuan dengan warga (forum deliberative tidak ada), padahal hal-hal tersebut bisa disiasati dengan menggunakan acara arisan (Bapak dan Ibu), saat pertemuan selapanan warga. Kelompok wanita sebaiknya difasilitasi forum sendiri, yaitu ketika pertemuan kader-kader PKK dan Posyandu untuk memastikan usulan kelompok perempuan terakomodasi; Keempat, banyak kelembagaan-kelembagaan lokal yang bisa dimanfaatkan untuk menjaring aspirasi warga. Tokoh-tokoh masyarakat memiliki kemampuan untuk menjaring problem-problem yang dirasakan di masyarakat. Kedekatan mereka dengan masyarakat dan ketokohan mereka menjadi kunci keberhasilan untuk menyelsaikan kemandegan dialog (forum warga). Implikasi yang nampak dari pemetaan musrenbang desa, tergambar model perencanaan pembangunan cenderung menyebabkan desa tergantung pada dana pembangunan dari pemerintah daerah, yang modelnya antara satu desa dengan desa lainnya hampir mirip, cenderung dikonotasikan hanya pembangunan fisik (tidak substantif). Inovasi pembangunan tidak terjadi pada model pembangunan yang sesungguhnya dirancang berpola bottom up ini,
tapi pada kenyataannya implementasinya lebih diwarnai pola top down di sisi lain. Akadun (2011:190)melalui penelitiannya, membenarkan pernyataan melalui gambaran musrenbang desa yang lebih kepada kebohongan publik, pelanggaran etika demokrasi. Penyebabnya adalah rendahnya pelibatan pelbagai unsur (stakeholders) di tingkat desa. Praktek-Praktek di lokasi terpilih inibukan saja
menyalahi mekanisme baku yang telah digariskan, namun menjadi
kenyataa ironis ketika program-program yang dilakukan kurang menyentuh masalah yang dihadapi oleh masyarakat di tingkat desa dan inilah yang menjadi akar penyebab kegagalan pembangunan.
Analisis Kelembagaan Yang Menjadi Kebutuhan Masyarakat dan Sebagai Daya Dukung Kebijakan Yang Unggul Secara kontekstual, kehidupan dan lingkungan tata kepemerintahan yang demokratis (democratic governance) merupakan energi pendorong sekaligus merupakan tuas pengungkit terciptanya tatanan masyarakat sipil yang semakin demokratis pula yang ditandai dengan tumbuh dan berkembangnya lembaga grassroots. Lembaga grassroots adalah asosiasi masyarakat sipil yang dibentuk atas dasar kesukarelaan, persamaan latar belakang dan persamaan tujuan pada skala lokal dan domain spesifik di kalangan masyarakat akar rumput (tumbuh dari lapisan bawah). Ia tidak terstruktur sampai ketingkat internasional, bahkan tidak jarang, lembaga grassrootstumbuh hanya pada tingkatan lokal. Hasil penelitian Tresiana dan Duadji (2015:62), secara umum lembaga grassrootsdi Lampung Selatan, mencakup keragaman ruang, aktor, dan bentuk kelembagaan dengan variasi tingkat formalitas, otonomi dan kekuasaannya masing-masing. Arena lembaga grassroots seringkali diwujudkan dalam bentuk organisasi-organisasi seperti lembaga-lembaga amal, organisasi-organisasi pembangunan nonpemerintah, kelompok-kelompok komunitas (perkumpulan, paguyuban, lembaga adat), organisasi-organisasi kaum perempuan, organisasi-organisasi berbasis iman, asosiasi-asosiasi profesional, serikat-serikat buruh, kelompok-kelompok swadaya, gerakan-gerakan sosial, asosiasi-asosiasi bisnis, koalisi-koalisi dan kelompok-kelompok advokasi. Singkatnya, semua
lembaga atau organisasi diluar konteks state organization dan private organizaztiondapat kekelompokan kedalam lembaga grassroots. Tabel 4 Jumlah dan Bentuk Organisasi Grassroots di Kabupaten Lampung Selatan No
Kabupaten
1
Lampung Selatan
BENTUK ORGANISASI/LEMBAGA LEMBAGA LEMBAGA LSM ORMAS BENTUKAN ADAT PEMDA JLH % JLH % JLH % JLH % 66 11.8 120 21.5 7 1.3 365 65.4
TOTAL JLH 558
% 10 0
Sumber: Diolah dari dokumen pencatatan ormas Dinas Kesbangpol, catatan observasi dan angket isian di Kabupaten Lampung Selatan, Mei-Juni 2015 (dalam Tresiana dan Duadji,2015)
Berbasis wawancara, observasi dan dokumentasi, maka pemetaan terhadap indikasi governance body di Kabupaten Lampung Selatan ditemukan, bahwasanya partisipasi warga desa dapat menyumbangkan perubahan relasi kekuasaan dan hubungan kewargaan dengan terbukanya ruang-ruang kekuasaan (spaces of power) yang baru. Keadaan ini memungkinkan kelompok warga yang selama ini terpinggirkan, memiliki ruang untuk memperbaiki representasi non-partai, dengan berbasis pada isu-isu kunci dan partisipasi kewargaan. Ruang-ruang itu terjadi melalui konsolidasi kelompok warga, munculnya kelompok berpengaruh, dan berbagai partisipasi warga, melalui forum warga maupun forum multistakeholders. Dampaknya, ruangruang kekuasaan baru telah mendorong penguasa sebagai pihak kuat mau menyerahkan sebagian kekuasaannya dan percaya bahwa orang biasa memiliki hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Maka disinilah, penulis menempatkan forum wargapaling cocok sebagai ruangruang baru kekuasaan yang didistribusi dalam konteks kewargaan itu. Gaventa dan Valderama (2001:106), melihat lebih dekat bentuk-bentuk ruang dalam mana partisipasi itu terjadi dan berpendapat, bahwa warga harus paham dalam konteks bagaimana ruang-ruang itu diciptakan. Selanjutnya ditegaskan agar membedakan partisipasi atas dasar sejumlah faktor, antara ruang undangan (invited space) yang dibentuk dari atas, baik oleh intervensi donor atau pemerintah, dengan ruang yang dipilih melalui aksi bersama dari bawah (popular space). Karenanya, partisipasi
warga desa melalui forum warga, menunjukkan arah penciptaan ruang-ruang,
dimana warga bicara berdasarkan tematisasi isu-isu yang bersumber pada pengetahuan dan kapasitas mereka. Perhatian dan bentuk responsiveness pemerintah menjadi ruang untuk mendengarkan. Proses
tersebut,
membuktikan tidak ada kekuasaan
yang memiliki
kesempurnaan, sehingga selalu memerlukan interaksi sehari-hari dengan para pemberi mandat untuk mendengarkan suara mereka, dan menjadikan pendapat-pendapat mereka sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan, atau bahkan keputusan itu dibuat bersama. Tabel 5 Pola Afiliasi (Ikatan) Berdasarkan Kecenderungan Orientasi Kegiatan Kelembagaan Lokal di Kabupaten Lampung Selatan No.
Kabupaten
1
Lampung Selatan
Bentuk Organisasi LSM
PP Jlh 0
% 0
BENTUK/POLA PARTISIPASI GM PDP PK Jlh % Jlh % Jlh % 4 6.06 3 4.55 59 89.4
Total
PL Jlh 0
% 0
Jlh 66
% 100
ORMAS 0 0 0 0 0 0 120 100 0 0 120 100 Lembaga 0 0 0 0 7 100 0 0 0 0 7 100 Bentukan Pemda Lembaga 0 0 0 0 0 0 365 100 0 0 365 100 Adat Total 0 0 4 0.72 10 1.79 544 97.5 0 0 558 100 Keterangan: PP: Partisipasi politik; GM: Gerakan massa; PDP: Partisipasi demokratis dalam pemerintahan; PK: Partisipasi komunitas; dan PL: Partisipasi lainnya.
Sumber: Diolah dari dokumen pendataan dan registrasi Kesbangpol dan catatan observasi di Kabupaten Lampung Selatan, Mei-Juni 2015 (dalam Tresiana dan Duadji,2015) Tabel 6 Media dan bentuk/pola partisipasi lembaga dalam perumusan program No
Kabupaten
1
Lampung Selatan
Bentuk Organisasi LSM ORMAS Lembaga Bentukan Pemda Lembaga Adat
Media Partisipasi dan Relasi Otoritas
Bentuk/Pola Partisipasi
Forum Musrenbangdes/kec Public Hearing Forum Musrenbangdes Public Hearing Forum Musrenbangdes/kec
Menjadi peserta aktif Inisiator dan Penggagas Menjadi peserta aktif Inisiator dan Penggagas Menjadi peserta pasif
Musyawarah dan Rapat Adat Pesta Demokrasi
Usulan Program Kegiatan Pernyataan sikap dan penentuan pilihan baik untuk Kepala Pekon maupun Bupati dan Wakil Bupati
Sumber:Diolah dari catatan observasi dan wawancara terhadap lembaga lokal di Kabupaten Lampung Selatan, Mei-Juni 2015 (dalam Tresiana dan Duadji,2015) Tabel 7 Kecenderungan Nilai Lembaga Lokal di Kabupaten Lampung Selatan No
Bentuk Organisasi
Sosial
1
LSM
Orientasi,Kepentingan Elit
2
Ormas
Orientasi Kepentingan Elit
Kecenderungan Nilai Ekonomi Politik dan Pembangunan (Pengembangan Usaha (Tatanan Governance) roduktif) Belum terbangun Issue maker, Negosiasi kepentingan dengan pemerintah Belum terbangun Issue maker, Negosiasi
3
4
Lembaga Bentukan Pemda Lembaga Adat
Penyeimbang kekuatan sosial kemasyarakatan Guyub dan kerukunan, Toleransi Kegotongroyongan, Kekeluargaan, Keterikatan etnik/budaya Kepedulian sosial, Kepatuhan pada tokoh adat
Pemberian bantuan atas nama elit pemerintahan Belum terbangun
kepentingan dengan pemerintah Instrumen kekuatan pemerintah
Partisipasi baru sebatas usulan, pernyataan sikap dan keikutsertaan dalam pesta demokrasi
Sumber: Hasil olah data Observasi, dokumentasi, simulasi dan FGD Tahun 2015 (dalam Tresiana dan Duadji,2015)
Berdasarkan konsep yang dikemukakan oleh Villarin (dalam Gaventa dan Valderama :2001:42) tentang bentuk partisipasi warga, maka dapat dijelaskan bahwa konteks dan substansi partisipasi organisasi atau kelembagaan lokal di Kabupaten Lampung Selatan, pola afiliasi (ikatan) kelembagaan mengikuti kecenderungan orientasi kegiatan. Untuk kasus kelembagaan di Kabupaten Lampung Selatan berhasil diidentifikasi bahwa pola afiliasi LSM sebesar 6,06% kecenderungan orientasi kegiatannya mengarah pada pola partisipasi gerakan massa. Sebesar 4,55% tergolong sebagai Partisipasi demokratis dalam pemerintahan (PDP) dengan bentuk aksi (partisipasi) yaitu mewakili komponen (elemen) masyarakat dalam perencanaan dan penganggaran program pembangunan, baik pada level musrenbang desa/kelurahan, kecamatan maupun di tingkatan kabupaten. Sayangnya pola ini karakternya masih pada partisipasi atas mandat pemerintah daerah, hubungan bersifat spontan dan jangka pendek serta keuntungan yang diperoleh masih sebatas pemenuhan kepentingan dan aliansi elit belum menyentuh persoalan substantif anggota masyarakat (publik) yang lebih luas. Kemudian, sebesar 89,4% dari jumlah LSM yang ada, partisipasinya lebih berorientasi pada partisipasi komunitas (PK). Karakter pola ini masih sebatas pada gerakan pemenuhan hak penyampaian pendapat dan pernyataan sikap sebagai media pengawasan warga atas penyelenggaraan pemerintahan dan implementasi program pembangunan (governance). Sementara untuk 120 Ormas dan 365 lembaga adat yang ada di Kabupaten Lampung Selatan, pola orientasi kegiatannya 100% tertuju pada partisipasi komunitas. Karakter pola ini masih sebatas pada gerakan spontan sebagai upaya pemenuhan hak dan kebebasan
konstitusional warga untuk berkumpul, berserikat dan menyampaikan pendapat atas berbagai macam persoalan komunitas mereka. Sedangkan terhadap 7 lembaga/organisasi bentukan pemerintah daerah, pola afiliasi lebih beroientasi pada partisipasi demokratis dalam pemerintahan (PDP). Oleh karenanya aliansi strategis yang dibangun bersifat psudo (semu) dan secara substantif tidak menyuarakan dan memperjuangkan kepentingan publik yang lebih luas.Dengan demikian, pola afiliasi kelembagaan di Kabupaten Lampung Selatan adalah sebesar 0.51% kecenderungannya kearah gerakan massa, 1.91% mengarah pada partisipasi demokratis dalam pemerintahan (PDP) dan sebesar 97.6% mengarah pada partisipasi komunitas (PK). Secara umum yang menjadi media partisipasi dan relasi otoritas antara kelembagaan lokal dengan pemerintah daerah, salah satunya kecamatan.
adalah forum musrenbang desa dan juga
Adapun bentuk atau pola partisipasinya masih sebatas pada usulan program;
pernyataan sikap, pendapat dan harapan warga. Pola-pola ini tidak atau belum bersifat mengikat. Analisis terhadap lokasi penelitian tergambar bahwa cikal bakal forum populer/merakyat di Kabupaten Lampung Selatan sesungguhnya dapat menjadi kekuatan yang cukup penting dalam politik dan pemerintahan desa. Kemunculan aktivitas forum warga di beberapa desa memiliki potensi untuk membangun kepercayaan dan modal sosial antar kelompok masyarakat sekaligus dapat menjadi partnership antara warga desa dan pemerintah desa. Fisabililahi,Vidayani dan Hudalah (2014:218) mengatakan, dengan dimilikinya komponen modal sosial, yaitu interaksi, kesamaan nilai budaya, jaringan, kepercayaan, solidaritas, hubungan timbal balik diantara warga dan pemerintah, maka bisa menjadi daya dukung keberhasilan, yang untuk itu perlu didukung oleh institutional collective action. Eksistensi forum warga sebagai perwujudan institutional collective action, merupakan media untuk menggerakkan keterlibatan warga dalam konteks pembangunan. Forum ini biasa digunakan oleh warga desa untuk merumuskan masalah bersama, mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi oleh komunitas. Idealisasinya tentunya eksistensi forum warga
merupakan aliansi dari berbagai organisasi non pemerintah (Ornop/LSM), organisasi berbasis komunitas, asosiasi/kelompok sektoral, serta tokoh-tokoh lokal.
Model Pengembangan Kelembagaan Berbasis Multi Stakeholders Governance Body Untuk mewujudkan kebijakan publik yang unggul, maka diperlukan perbaikan model yang bersifat spesifik, sesuai dengan realitas yang dihadapi oleh masyarakat lokal/desa, dengan ruang (body) yang tepat. Harapannya dapat mengoptimasi kebijakan publik yang ada, agar unggul sehingga dapat mengantisipasi kegagalan pemerintah lokal dalam penyediaan public goods.Untuk itu maka model multistkaeholders governance body perlu dilakukan sebagaimana tertera pada gambar 1 dan 2 di bawah ini.
Musrenbang Desa (Deepening Democracy)
Kebijakan/Program Pembangunan Desa yang Unggul
Gambar 1. Gagasan post-factum dari deepening democracy di Desa. (Diadopsi dari Nugroho, 2012:25)
Gambar 2. Model Multistakeholders Governance Body Penetapan model pengembangan kelembagaan berbasis multistkaeholders governance body dihasilkan dari beberapa temuan lapangan, yaitu : 1) Akar masalah kegagalan dalam perumusan kebijakan dikarenakan kelemahan kelembagaan yang ada,yakni musrenbang desa sebagai sebuah kelembagaan yang tidak mengakar, formalistik dan otokratik. Oleh karena itu
untuk mengatasi masalah itu, maka yang perlu disentuh adalah desain kelembagaan musrenbang desa. 2) Aspek governance body yang hidup, berkembang dan telah menjadi kebutuhan masyarakat.
Harapan masyarakat akan kelembagaan, menjadi titik penting aktivitas dan
kesadaran masyarakat dalam berpartisipasi aktif dalam penyusunan program, karena proses interaksi secara egaliter akan lebih terjalin dan terlihat jika hal tersebut menjadi keinginan masyarakat. Akar masalah pertama terletak pada kelembagaan yang diakui secara resmi, yaitu musrenbang sebagai sebuah gagasan pendalaman demokrasi di desa. Pemetaan yang dilakukan oleh Tresiana dan Duadji (2015:77) terhadap forum munsrenbang selama ini ditemukan sejumlah kelemahan di hampir semua levelnya. Proses musrenbang pada level bawah juga mengalami distorsi dalam pelaksanaannya. Fakta-fakta temuan penelitian, menggambarkan musrenbang yang merupakan demokrasi desa, sebagai wujud gagasan deepening democracy, baru dimaknai dan hanya berhenti sampai titik “proses”, bukan “hasil/output”.
Beberapa
karakter yang kerap nampak dalam implementasi deepening democracy sebagaimana disinyalir oleh Nugroho (2012:13) adalah: Pertama, pemahaman dan implementasi demokrasi daerah yang semu (psudo democracy) dimana pada satu sisi terjadi pencanggihan bentuk, tetapi pada sisi yang lain tanpa perubahan atau perkembangan kualitas dari substansi kebijakan yang dibuat dan dijalankan. Kedua, demokrasi dipahami sebagai bagian kulit luar governance, yaitu domain demokratisasi
politik,
dimana
output
keberhasilnnya
tentu
diukur
dari
parameter
penyelenggaraan demokrasi politik (proses tarik menarik pengambilan keputusan) bukan hasil kebijakan public yang unggul. Pada titik inilah yang merupakan kelemahan sekaligus menjadi kritik dari gagasan deepening democracy dalam konteks musrenbang desa. Musrenbang desa seolah-olah dipandang sebagai tujuan, padahal ia hanya alat dan proses yang dipilih.
Demokrasi yang
diharapkan di desa adalah working democray. Artinya setelah musrenbang, yang terpenting
adalah excellence public policy yang merupakan post-factum dari deepening democracy (Nugroho,2012:25) Gambar 1 dan 2di atas merupakan koreksi bentuk perwujudan inti kehidupan desa yaitu, demokrasi
dengan
produk
demokrasi
yang
baik
adalah
kebijakan
yang
unggul
(excellencepolicy), yang dikembangkan dalam konteks dan proses yang demokratis. Oleh karenanya, diperlukan tindakan untuk membuka forum interaksi dan diskusi diantara semua local governance stakeholder (pemerintah, civil society, swasta) untuk menggodok kebijakan dan program pembangunan desa yang unggul (excellence policy) sehingga kesejahteraan masyarakat desa bisa diwujudkan. Hasil bentuk terluar dari kesemuanya adalah pelayanan public yang didasarkan pada tata kelola yang baik, good governance, penguatan civic governance (Mulyawan, 2012:157). Pengembangan deepening democracy kearah deliberative democracy (demokrasi dialog, keterlibatan signifikan warga), perlu segera dilakukan, sehingga excellence policy akan dapat diproduksi oleh local governance stakeholders.
Gagasan deepening democracy, masih
tetapdiperlukanbagi tumbuh kembangnya demokratisasi di desa, namun yang lebih penting adalah mereorintasi, merevitalisasi dan meletakkan gagasan deepening democracypada tempat yang tepat dan sesuai untuk menumbuhkembangkan dialog, partisipasi publik dalam musrenbang desa, sehingga dapat dihasilkan kebijakan dan program pembangunan yang menjadi solusi masalah dan senyatanya berimplikasi kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Untuk menghubungkan mata rantai yang terputus, maka sebuah pengembangan model untuk Kabupaten Lampung Selatan, memerlukan instrumen-instrumen sebagai berikut : 1) perbaikan proses representasi, proses pengambilan keputusan, dan daya ikat keputusan forum reprenstasi dan forum deliberasi warga desa dalam pembuatan kebijakan/program desa publik dan monitoring pembangunan desa; 2) perancangan praktek praktek partisipasi warga di tingkat lokal yang manfaatnya langsung dapat dirasakan baik oleh warga maupun oleh pemerintah yang berkuasa. Instrumen hukum dan kebijakan yang lebih operasional tentunya sangat diperlukan
dalam praktek partispasi warga desa; 3) partisipasi warga tidak dijadikan hanya sebagai alat konsolidasi sumber daya lokal, maka praktek dan kebijakan partisipasi warga desa harus berdampak langsung pada perubahan relasi kekuasaan yang mendorong terjadinya pendalaman demokrasi dan penciptaan keadilan antar kelompok masyarakat, antar gender. Kerjasama ini terutama difokuskan untuk memanfaatkan “ruang baru” partisipasi warga desa yang telah diberikan oleh hukum menjadi praktek. Selanjutnya, berbagai praktek yang pernah ada, masih hidup dan bahkan telah sukses dapat dijadikan rujukan untuk merancang kebijakan partisipasi warga yang lebih operasional. Gagasan model pengembangan dalam rangka penguatan kapasitas pemerintah melalui penguatan kelembagaan, yang merupakan pemanfaatan ruang baru bagi dialog dan keterlibatan masyarakat, berupa model multistakeholders governance bodyselaras dan berkesesuaian dengan pernyataan Siong Neo dan Geraldine (2009:51),
bahwasanya memperkuat pemerintah
dilakukan dengan memperkuat kemampuan pemerintah dalam membangun kebijaka publik yang unggul.
Denhardt dan Denhardt
(2013:254), melalui perspektif layanan publik baru,
memperkuat pendapat di atas, dengan melihat, bahwasanya
pelayanan dimulai dari posisi
penting warga sebagai pemilik pemerintahan dan mampu bertindak bersama dalam memperjuangkan kebaikan yang lebih besar. Pelayanan publik baru,
mengusahakan nilai
bersama dan kepentingan umum melalui dialog yang tersebar luas dan keterlibatan warga . Wujud ruang baru bagi kesuksesan musrenbang desa adalah pembentukan sebuah forum deliberatif, dimana warga bicara berdasarkan tematisasi isu-isu yang bersumber pada pengetahuan dan kapasitas warga. Di sisi lain, perhatian dan bentuk responsiveness pemerintah desa menjadi ruang untuk mendengarkan, sehingga proses tersebut, membuktikan tidak ada kekuasaan yang memiliki kesempurnaan, selalu memerlukan interaksi sehari-hari dengan para warga, untuk mendengarkan suara mereka, dan menjadikan pendapat-pendapat mereka sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan, atau bahkan keputusan itu dibuat bersama. Di sinilah ruang-ruang yang disebut Denhardt dan Denhardt (2013:254) sebagai space of power itu
terjadi. Bentuk forum deliberatif sebagai sebuah gagasan yang popular di desa adalah sebuah Forum Warga dan Forum Stakeholders. Hasil temuan penelitian yang digambarkan oleh Tresiana dan Duadji (2015:79), menunjukkan kehadiran forum warga yang ada di Lampung Selatan dapat digunakan untuk merumuskan masalah bersama, mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi oleh komunitas desa, dan harapan tingginya dapat memberikan rekomendasi untuk melakukan tindakan tertentu, sekaligus sebagai media resolusi konflik di tingkat lokal. Cikal bakal forum warga di Kabupaten Lampung Selatan, didapati merupakan aliansi berbagai organisasi non pemerintah, organisasi berbasis komunitas, asosiasi/kelompok sektoral serta tokoh-tokoh lokal. Forum warga sering melakukan fungsinya dalam mengkoreksi dari distorsi yang terjadi pada sistem pengambilan keputusan di desa. Kemunculan forum warga menjadi ruang baru, karena karakter dan perannya yang unik. Karenanya pengembangan model ini diyakini memiliki potensi untuk membangun kepercayaan dan modal social antar kelompok masyarakat antar kelompok masyarakat sekaligus membangun kepercayaan dan partnership antara masyarakat dan pemerintah desa. Selanjutnya, forum warga ditingkatkan ke forum multistakeholders. Pada tahapan lebih lanjut, forum ini bisa saja membentuk organisasi atau lembaga pelaksana (didorong menjadi organisasi atau lembaga formal) jika memang diperlukan sesuai dengan dinamika dan kebutuhan lokal. Ada beberapa alasan dan keuntungan yag didapat dari forum multi stakeholders sebagaimana dikemukakan oleh Tresiana dan Duadji (2015:81): 1) Partisipasi adalah hak warga yang merupakan bagian dari hak asasi yang melekat dalam diri setiap warga negara. Pengakuan hak ini terdapat dalam kovenan International dan Peraturan Perundangan yang berlaku di negara kita;
2)
Partisipasi masyarakat dan transparansi dalam pemerintahan desa telah terbukti
memberikan sumbangan yang signifikan terhadap peningkatan pelaksanaan good governance, mempermudah pelaksanaan karena trust sudah terbangun; 3) Refleksi pengalaman program/proyek-proyek terdahulu (contohnya PNPM)
yang tidak atau kurang partisipatif
menimbulkan kegagalan; 4) Pelaksanaan partisipasi terbukti meningkatkan kepercayaan
masyarakat; 5) Partisipasi, termasuk dari kelompok perempuan dan marjinal akan menjamin keberlanjutan. Sedangkan keuntungannya adalah : 1) membangun kesepahaman lintas pelaku dan pemangku kepentingan
terhadap perbaikan kinerja kebijakan/program-program
pembangunan desa; 2) Membangun komitmen dan kebersamaan multi stakeholders untuk bersama-sama sebagai tim mendukung berbagai upaya peningkatan program pembangunan desa; 3) Bersama-sama menyepakati hal-hal yang menjadi tolok ukur perbaikan kinerja kebijakan/program pembangunan desa.
Kesimpulan dan Saran Kegagalan pembangunan di
Kabupaten
Lampung Selatan disebabkan model
kelembagaan musrenbang desa sebagai wujud gagasan deepening democracy yang berbasis demokrasi desa, ternyata
tidak mampu menghasilkan
kebijakan/program
yang
unggul.
Penyebabnya adalah pemaknaan musrenbang desa sebagai proses bukan hasil/output, terjadi pencanggihan bentuk, tanpa perubahan,
output keberhasilnnya diukur dari parameter
penyelenggaraan demokrasi politik bukan hasil. Inilah yang menjadi titik kelemahan sekaligus menjadi kritik dari gagasan deepening democracy. Elemen penting untuk ketercapaian excellence public policy, maka diperlukan model pengembangan melalui sebuah kelembagaan yang diharapkan menjadi ruang baru dialog dan keterlibatan masyarakat. Wujud ruang baru bagi kesuksesan hasil musrenbang desa adalah pembentukan sebuah forum deliberatif, berwujud forum multi stakeholders, yang diharapkan menggantikan proses pra musrenbang desa, dan ditempatkan sebagai posisi tertinggi dalam forum musrenbang desa.Saran adalah : 1) pada aspek politik, forum warga/multistkaheolder berjalan efektif jika tersedia
peraturan desa
(Perdes); 2) pada dimensi keanggotaan, diperlukan keterlibatan variasi karakteristik masyarakat dalam forum warga/multistakeholders; 3) pada dimensi sosial, diperlukan trust diantara warga, kepada tokoh masyarakat, tokoh adat dan pemerintah desa; 4) Dikembangkan jaringan sosial yang berdimensi luas, yang meliputi dimensi wilayah, dimensi sektor pembangunan dan lainnya.
Daftar Pustaka Akadun.(2011). Revitalisasi Forum Musrenbang Sebagai Wahana Partisipasi Masyarakat Dalam Perencanaan Pembangunan Daerah.Mimbar, Jurnal Sosial dan Pembangunan Vol. XXVII Nomor 2, Desember, pp.183-191 Chambers, Robert. (1983). Rural Development: Putting the Last First. Longman Inc Denhardt, Janet dan Denhardt, Robert. (2013). Pelayanan Publik Baru : Dari Manajemen Steering Ke Serving. Yogyakarta: Kreasi Wacana Fiisabiilillah, Vidayani dan Hudalah.(2014). Peran Modal Sosial Dalam Kerjasama Antar Daerah Kartamantul. Mimbar, Jurnal Sosial dan Pembangunan Vol. 30 Nomor 2, Desember, pp.209-219 Friedmann, J .(1992). Empowerment:The Politics of Alternative Development. Massachusetts: Blackwell Publisher. Gaventa, J. &Valderama, C. (2001). Participation, Citizenship and Local Government: Background note prepared for workshop on Strengthening participation in local govermance. Institute of Development Studies. Hajer, Maarten, A. and Henderik Wagenaar (eds). (2003). Deliberative Policy Analysis, Understanding Governance in The Network Society. Cambridge: Cambridge University Press. BPS. (2014). Lampung Selatan dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Selatan Miles, Matthew dan Huberman Michael. (1992). Analisis Data Kualitatif : Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru. Jakarta : Universitas Indonesia Press. Mulyawan,Rahman.(2012). Penguatan Civic Governance Melalui Partisipasi Masyarakat Dalam Proses Penyelenggaraan Pemerintahan. Mimbar, Jurnal Sosial dan Pembangunan Vol. 28 Nomor 2, Desember, pp.157-162 Neo, Boon Siong & Chen, Geraldine. (2009). Dynamic Governance: Embedding Culture, Capabilities and Change in Singapore. Singapore: World Scientific Publishing Co. Pte Ltd. Nugroho, Riant . (2012). Public Policy. Jakarta: Elex Media Komputindo Tresiana dan Duadji. (2015). Laporan Akhir Tahun Pertama Penelitian Fundamental: Kegagalan Pemerintah Lokal dalam Pembangunan Era Otonomi Daerah (Kebijakan Deliberatif: Menggagas Multistakeholders Governance Body dalam Musrenbang Desa untuk Mewujudkan Kebijakan/Program.Tidak Dipublikasikan. Sumanto, Hetifah Sj. (2004). Inovasi, Partisipasi dan Good Governance: 20 Prakarsa Inovatif dan Partisipasi di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
BIODATA 1 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5
Nama Lengkap Tempat dan Tanggal Lahir Alamat Kantor Nomor Telepon/Faks Alamat Rumah
1.6 1.7
Nomor Telepon/Faks Alamat Email
Dr. Novita Tresiana, S.Sos, M.Si. Tanjung Karang/18 September 1972 Jl. Sumantri Brojonegoro No. 1 Bandar Lampung 35144 0721-708881/0721-708881 Jl. Bahagia Kompleks Perumahan Indah Sejahtera Blok L/4 Gunung Terang Bandar Lampung 081279093299
[email protected]
BIODATA 2 1.1 1.2 1.3
Nama Lengkap Tempat dan Tanggal Lahir Alamat Kantor
1.4 1.5
Nomor Telepon/Faks Alamat Rumah
1.6 1.7
Nomor Telepon/Faks Alamat Email
Dr. Noverman Duadji, Drs., M.Si Pagaralam, 03-11-1969 Jurusan Administrasi Negara FISIP Universitas Lampung, Jl Soemantri Brodjonegoro No.1 Gedong Meneng Raja Basa Bandar Lampung 35145 0721-708881/0721-708881 Jl Pulau Sebesi Perumahan Indah Sejahtera (PIS) IV Blok M/4 Sukarame Bandar Lampung 081379646665
[email protected]