MODEL MEKANISTIK CEMENT TREATED ASPHALT MIXTURE DAN KINERJANYA PADA IKLIM TROPIS INDONESIA
DISERTASI Karya tulis sebagai salah satu syarat Untuk memperoleh gelar Doktor dari Institut teknologi Bandung
Oleh R. ANWAR YAMIN NIM : 35099038
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2004
ABSTRAK Cement Treated Asphalt Mixtures (CTAM), yaitu campuran aspal porus yang rongga udara atau void-nya diinjeksi (grouting) dengan mortar semen sehingga menghasilkan campuran beraspal yang bersifat semi-kaku. CTAM adalah suatu inovasi baru di bidang campuran beraspal yang belum populer untuk digunakan. Ketidakpopuleran ini disebabkan karena tidak adanya model yang dapat digunakan untuk menentukan besaran mekanistik dan kinerja dari campuran tersebut. Oleh karena itu tujuan dari studi ini adalah untuk mendapatkan model mekanistik CTAM, yaitu model mekanistik modulus kekakuan resilien CTAM, model mekanistik ketahanan CTAM terhadap deformasi permanen dan model mekanistik kelelahan (fatigue) CTAM. Homogenitas, elastisitas dan kinerja CTAM pada iklim tropis Indonesia juga dievaluasi dan dibandingkan dengan campuran beraspal jenis Split Mastic Asphalt (SMA). Tiga jenis aspal yang digunakan dalam penelitian, yaitu aspal minyak pen 60 (AM), aspal minyak pen 60 yang ditambah dengan aspal alam Buton jenis Retona 60 dengan perbandingan 80 : 20 (AA) dan aspal minyak pen 60 yang ditambah dengan 3% lateks KKK-60 (AK). Bahan grouting mortar semen yang digunakan terdiri dari semen Portland Tipe I, pasir, fly ash, air dan resin. Dalam studi ini, kinerja CTAM hanya dievaluasi secara makromekanika dengan menganggap CTAM homogen secara makroskopik. Jenis pengujian yang dilakukan pada CTAM adalah pengujian modulus kekakuan resilien, ketahanan terhadap alur dan ketahanan terhadap beban berulang. Untuk mengetahui kinerja CTAM pada iklim tropis Indonesia pengujian yang sama juga dilakukan pada benda uji CTAM segar (umur 1 bulan) dan pada benda uji CTAM yang dituakan dengan cara mengekspos langsung CTAM tersebut terhadap lingkungan selama 3, 6, 9, 12, 15 dan 18 bulan. Dari penelitian ini diketahui bahwa kesuksesan pembuatan dan kinerja CTAM sangat ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain adalah gradasi, kadar aspal, mortar semen yang digunakan dan metode perencanaannya. Dari pengujian yang dilakukan diketahui bahwa prosedur penentuan kadar aspal optimum campuran aspal porus yang ada pada saat ini tidak dapat dipergunakan untuk menentukan kadar aspal optimum campuran aspal porus untuk CTAM. Hal ini disebabkan karena untuk nilai persyaratan pengaliran aspal dan kehancuran campuran yang sama, nilai kadar aspal aspal porus untuk CTAM yang memiliki kandungan rongga udara di atas 20% tidak didapatkan. Selain itu, diketahui pula bahwa dengan metode yang ada, untuk mendapatkan nilai rongga udara aspal porus di atas 20% kebanyakkan benda uji yang dicoba memiliki nilai kehancuran di atas 20%. Oleh karena itu pada penelitian ini dicoba metode penentuan kadar aspal optimum untuk CTAM yang lain yang disebut dengan metode modifikasi Marshall. Pada metode ini, kadar aspal optimum campuran aspal porus untuk CTAM ditentukan berdasarkan pada persyaratan rongga udara (minimum 25%), pengaliran aspal (maksimum 5%), tebal film aspal (minimum 8 mikron), kepadatan, stabilitas (mininimum 350 kg) dan kelelehan (2 mm sampai 5 mm).
Nilai stabilitas dan kelelehan Marshall didapat melalui prosedur modifikasi Marshall. Dengan metode ini, nilai kadar aspal optimum campuran aspal porus untuk CTAM yang dibuat dengan menggunakan aspal jenis AM, AA dan AK masing-masing adalah 4%, 3,25% dan 3,25%. Pada pembuatan mortar, gradasi pasir, seragam atau menerus, hanya memberikan kontribusi yang kecil pada kuat tekan mortar yang dihasilkan tetapi mempengaruhi viskositas mortar secara signifikan. Penggunaan pasir yang berukuran maksimum 1,16 mm akan menyebabkan terjadinya segregasi pada mortar pada saat pengisian VIM aspal porus dan menghasilkan CTAM yang tidak homogen. Pemakaian abu terbang sebagai pengganti parsial semen sangat mempengaruhi viskositas, waktu pengikatan dan temperatur hidrasi mortar. Pemakaian abu terbang kurang dari 30% terhadap berat semen pada mortar yang dibuat tanpa pemakaian abu batu sebagai filler menyebabkan penyusutan pada mortar sebesar 6% (3 mm). Lamanya waktu yang dibutuhkan mortar untuk mengisi VIM aspal porus jauh lebih kecil dari waktu yang dibutuhkan oleh mortar untuk mengeras sehingga masalah pengerasan mortar saat pengisian tidak akan terjadi sehingga dengan demikian akan dihasilkan CTAM yang relatif homogen. Dan hasil pengujian modulus kekakuan resilien pada variasi periode pembebaban dan temperatur diketahui bahwa modulus kekakuan resilien CTAM masih dipengaruhi oleh temperatur pengujian dan periode pembebanan. Walaupun besamya modulus kekakuan resilien CTAM masih dipengaruhi oleh temperatur tetapi temperatur relatif tidak mempeagaruhi rentang elastis CTAM. Dan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa untuk mendapatkan modulus kekakuan resilien CTAM pada kondisi elastisnya maka pengujian modulusnya harus dilakukan pada periode pembebanan di bawah 3,8 detik. Dan analisa sifat bahan dan kondisi pengujian diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi modulus kekakuan resilien CTAM antara lain adalah modulus kekakuan aspal (Sbit), kadar aspal (KA), rongga udara dalam CTAM (VIMCTAM), volume rongga yang terisi mortar (VFMCTAM), kuat tekan mortar (K) dan temperatur (T). Bila Sbit, VFMCTAM dan K meningkat modulus kekakuan resilien CTAM akan meningkat dan bila KA, VIMcr dan T meningkat maka modulus kekakuan resilien CTAM akan menurun. Dari penelitian ini, didapatkan model mekanistik modulus kekakuan resilien CTAM fungsi dari faktor-faktor yang mempengaruhinya dengan nilai R2 = 0, 698. Dan hasil pengujian ketahanan CTAM terhadap alur diketahui bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi ketahanan CTAM terhadap alur antara lain adalah Sbit, KA, VIMCTAM, VFMCTAM, K dan T. Ketahanan CTAM terhadap alur akan meningkat bila Sbit, K dan VIMCTAM menurun, sebaliknya ketahanan CTAM terhadap alur akan menurun bila KA, VIMCTAM dan T meningkat. Dari penelitian ini, model mekanistik ketahanan CTAM terhadap alur yang didapat, yang dinyatakan oleh deformasi awal (Do), stabilitas dinamis (DS) dan kecepatan
deformasinya (RD) masing-masing memiliki nilai R2 = 0,8; R2 = 0,81 dan R2 = 0,66 Dan hasil pengujian ketahanan CTAM terhadap beban berulang diketahui bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pengujian ketahanan CTAM terhadap beban berulang antara lain adalah Sbit, KA, VIMCTAM, VFMCTAM, K, T dan besarnya tegangan (σ) yang diberikan. Bila Sbit, K dan VFMCTAM meningkat maka ketahanan NfCTAM pada kondisi kontrol tegangan akan meningkat, sebaliknya pada kondisi ini NfCTAM akan menurun bila KA, VIMCTAM, T dan σ meningkat. Dari penelitian ini, didapatkan model mekanistik ketahanan CTAM terhadap beban berulang yang merupakan fungsi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya dengan nilai R = 0,764. Dan hasil pengujian ketahanan CTAM terhadap beban berulang juga diketahui bahwa pada berbagai variasi temperatur dan umur penuaan CTAM bersifat elastis linier yang ditunjukkan oleh rasio nilai rata-rata ε1/ε2 CTAM yang dihasilkan akibat tegangan σ hampir sama nilainya dengan rasio nilai rata-rata σ1/σ2 yang diberikan pada CTAM tersebut. Dari hasil pengamatan retak yang terjadi pada CTAM akibat pengulangan beban yang dialaminya dapat disimpulkan bahwa secara analitis CTAM yang dihasilkan bersifat elastis dan homogen. Kehancuran yang terjadi pada CTAM disebabkan oleh hancurnya atau lepasnya ikatan disepanjang heterophase boundary-nya baik itu pada interface mortar-film aspal maupun pada interface agregat-film aspal, oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa ikatan antara mortar dengan film aspal memiliki kekuatan yang relatif sama dengan ikatan antara film aspal dengan agregat. Model kehancuran CTAM dapat dikatagorikan sebagai kehancuran getas (brittle fracture) karena pada saat CTAM mengalami kehancuran lendutan total yang terjadi relatif kecil (< 10,91 mm secara dengan regangan sebesar 0,0285). Sebagai suatu material yang komposit, yang terdiri dari agregat, aspal dan mortar semen, mekanisme dan kecepatan retak yang terjadi pada CTAM memiliki sifat yang unik. Perkembangan retak ini, baik retak vertikal maupun retak horizontal yang terjadi pada CTAM, tidak selalu mengikuti arah dari retak awalnya (initial crack) tetapi berpola acak mengikuti heterophase boundary-nya. Retak yang terjadi pada CTAM tidak berkembang atau menjalar mengikuti interface mortar-film aspal saja atau interface agregat-film aspal saja tetapi terjadi secara random disepanjang heterophase boundary-nya dan kecepatan perkembangannya tergantung pada besarnya tegangan tarik yang diberikan. Perubahan regangan tarik dan tekan yang terjadi pada struktur perkerasan dengan CTAM sebagai lapis permukaannya sangat sensitif terhadap perubahan ketebalan lapis CTAM itu sendiri dan kurang sensitif terhadap perubahan modulus kekakuan resiliennya (SCTAM). Modulus resilien tanah dasar (Mr) memberikan kontribusi yang kecil pada sensitifitas perubahan regangan tarik di bawah lapis CTAM. Sedangkan perubahan regangan tekan yang terjadi di atas tanah dasarnya lebih sensitif terhadap perubahan ketebalan lapis CTAM dan Mr tanah dasar itu sendiri dari pada SCTAM dan perubahan ketebalan lapis CTAM memberikan pengaruh
terbesar pada sensitifitas perubahan regangan tekan yang terjadi di atas tanah dasar tersebut. Pada CTAM mapun SMA dengan nilai VIM yang relatif sama kecepatan penuaan aspal akibat pengaruh lingkungan adalah relatif sama. Tebal film aspal lebih memberikan pengaruh pada penuaan aspal akibat proses penuaan jangka pendek dan kandungan rongga udara memberikan pengaruh pada penuaan jangka panjang. Akibat penuaan yang dialaminya, kenaikan tingkat kekakuan CTAM pada semua temperatur pengujian adalah lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan tingkat kekakuan yang terjadi pada SMA. Nilai modulus kekakuan resilien SMA pada temperatur 50° C adalah sangat rendah (< 500 MPa) dan hubungannya dengan lamanya waktu penuaan memiliki korelasi yang sangat jelek ( R2 = 0,038). Sedangkan pada temperatur yang sama (50° C), CTAM masih memiliki tingkat kekakuan yang cukup tinggi (> 2000 MPa, setara dengan modulus kekakuan resilien SMA pada temperatur 25° C) dan memiliki korelasi yang baik dengan lamanya waktu penuaan dengan nilai R2 = 0,730. Kenyataan ini merupakan suatu indikasi bahwa CTAM sangat baik untuk digunakan pada daerah bertemperatur tinggi untuk menanggulangi masalah deformasi permanen dan deformasi plastis. Adanya mortar semen yang membentuk jaringan tulangan di dalam CTAM ternyata mampu untuk menahan (mengekang) perpindahan atau relokasi agregataspal yang terkandung di dalam CTAM tersebut sehingga alur yang terjadi pada CTAM akibat beban roda menjadi sangat kecil dibandingan dengan yang terjadi pada SMA. Pada temperatur 25° C, kedalaman alur yang terjadi adalah pada SMA 5 kali lebih besar dari pada yang terjadi pada CTAM, dan akan menjadi 6,5 kali pada temperatur 60° C, sehingga dapat disimpullcan bahwa CTAM lebih tahan dan tidak rentan terhadap deformasi permanen dibandingan SMA terutama pada temperatur tinggi. Retak awal yang terjadi pada SMA, baik retak awal horizontal maupun vertikal, pada semua tingkat tegangan yang diberikan terjadi lebih dahulu dari pada retak awal horizontal maupun vertikal yang terjadi pada CTAM. Cepatnya perkembangan retak pada CTAM dapat diimbangi oleh lambatnya kemunculan retak awalnya, sebaliknya pada SMA cepatnya kemunculan retak awal dapat diimbangi oleh lambatnya perkembangan retaknya sehingga kedua campuran ini ( CTAM dan SMA) memilild ketahanan terhadap beban berulang yang relatif sama walaupun modulus kekakuan resilien CTAM pada temperatur 25° C, 37,5° C dan 50° C masing-masing adalah 3, 6 dan 8 kali lebih besar dari pada tipikal besarnya nilai modulus kekakuan resilien SMA pada umur dan temperatur yang sama. Penelitian yang dilakukan dalam studi ini menghasilkan model persamaan untuk modulus kekakuan resilien CTAM, ketahanan CTAM terhadap alur dan ketahanan CTAM terhadap beban berulang. Model persamaan tersebut adalah : SCTAMj = 8005,531 – 27,822 * T * KA + 6,488 * K - 7,616 * T * VIM CTAM
ABSTRACT Cement Treated Asphalt Mixtures (CTAM) is mixture porous asphalt which its voids are grouting with cement mortar so that the mixture has semi rigid characteristic. This CTAM has not been popular to be used as there is no model to decide the mechanics parameters and performance from this mixture. Therefore, this study has the aim to achieve mechanistics model of CTAM, i. e., stiffness modulus model of CTAM, permanent deformation model of CTAM and fatigue model of CTAM. Homogeneity, elasticity and performance CTAM in Indonesian tropical climate are also evaluated and compared to other mixture asphalt; Split Mastic Asphalt (SMA). There are three kinds of asphalt have been used in this study. They are pen 60 of petroleum asphalt (AM), pen 60 of petroleum asphalt added by Buton asphalt in type of Retona 60 with comparison 80:20 (AA); and pen 60 of petroleum asphalt added by 3% of latex in type of KKK60 (AK). Cement mortar grouting used made from type I Portland cement, sand fly ash, water and resin. In this study, CTAM performance is only evaluated macro mechanically as it is considered CTAM is homogeneous in macroscopic. The testing done on CTAM is stiffness modulus test, rutting and fatigue resistance. To know CTAM performance on Indonesia tropical climate, test is also done on fresh CTAM (1 month) and aged CTAM by direct exploring on CTAM in the environment for 3,6,9,12, 15 and 18 months. From this research, it is known that the successful of making and CTAM performance are determined by many factors, such as, gradation, asphalt content, cement mortar used and its design method The result of testing shown that the existing procedure to determine optimum asphalt content of porous asphalt mixture cannot be used to determine optimum asphalt content of porous asphalt mixture for CTAM. Since for the same requirement value of asphalt drain off and mix abrasion, optimum asphalt content of porous asphalt for CTAM whose voids are more than 20 % cannot be found. Also, it is shown that by existing method to get porous asphalt with voids in mix more than 20 %, a lot of samples have mix abrasion value more than 20 %. Thus, this research used other method for determining the optimum asphalt content of porous asphalt for CTAM called Marshall Modification. In this method optimum asphalt content of porous asphalt for CTAM is determined based on requirement of voids in mix (min 25 %), asphalt drain off (max 5 %), asphalt film thickness (min 8 micron), .density, stability (min 350 kg) and flow (2-5 mm). Stability and Marshall Flow are got through Marshall Modification procedure: By this modification method the optimum asphalt content of porous asphalt for CTAM made by AM, AA, and AK asphalt are 4%; 3.25% and 3.25% respectively. In making mortar, sand gradation, the dense or continuous graded, has only small contribution on mortar strength but influence the viscosity significantly. The use of sand with max size of 1. 16 mm will cause segregation on mortar in the time of grouting of voids in porous asphalt and finally result non-homogeneous CTAM.
The use of fly ash as cement partial substitution much influence on viscosity, setting time and temperature hydration of mortar. The use of fly ash which is less than 30 % of cement weight on mortar without sand will cause shrinkage on mortar of 6% (3 mm). The time of mortar to fill voids of porous asphalt is less than the time for mortar to harden, thus, there is no problem on hardness of mortar when grouting mortar into voids of porous asphalt so that homogeneous CTAM can be resulted. The result from stiffness modulus testing on variation of loading period and temperature shows that CTAM stiffness modulus is still influenced by testing temperature and loading period. Although the stiffness modulus of CTAM is still influenced by temperature but temperature does not influence relatively on CTAM elasticity. From this research it can be concluded that to achieve stiffness modulus of in its elastic condition, stiffness modulus testing should be done on loading period less than 3.8 seconds. Some factors are found through analyses on material characteristics and testing condition on stiffness modulus CTAM. They are stiffness modulus of asphalt (Sbit), asphalt content (KA), voids in mix of CTAM (VIMCTAM), voids filled by mortar (VFMCTAM), strength of mortar (K) and temperature (T). When Sbit, VFMCTAM and K increase stiffness modulus of CTAM will increase and when KA, VIMCTAM and T increase stiffness modulus of CTAM will decrease. From this research, the mechanistics model of CTAM's stiffness modulus gotten as function of its influenced factors as mentioned has R of 0.698. From rutting resistance testing of CTAM, it is known that some factors influenced the rutting resistance of CTAM; they are Sbit, KA, VIMCTAM, VFMCTAM K and T. The rutting resistance of CTAM will increase when Sbit, K and VIMCTAM decrease and when KA, VIMCTAM and T increase the rutting resistance of CTAM will decrease. From this research, the mechanistics model of CTAM's rutting resistance expressed by initial stability (Do), dynamic stability (DS) and rate of deformation (RD) have the value of R2 = 0.8; R2 = 0.81 and R2 = 0.66 respectively. From fatigue testing, some factors are found affect the CTAM fatigue resistance; they are Sbit, KA, VIMCTAM,w VFMCTAM K T and the given stress (σ). On stress control fatigue testing condition, if Sbit, K and VFMCTAM increase so NfCTAM will increase, but NfCTAM will decrease if KA, VIMCTAM T and a increase. From this research, the mechanistics model of CTAM's fatigue resistance gotten expressed as function of its influenced factors as mentioned has R2 of 0.764. The result of fatigue resistance testing conducted on the varied temperature and the age of CTAM known that CTAM has elastics characteristic which is shown by average ratio of σl/σ2 of CTAM caused by a given stress is relative same to the value of average ratio of al/a2 given to the CTAM. Through the observation of crack propagation on CTAM caused by repeating loading, it can be concluded that analytically CTAM has elastics characteristic and homogeneous.
The failure of CTAM caused by destroy or bending-off along its heterophase boundary either on interface of mortar-film asphalt or on interface of aggregate-film asphalt. Therefore, it can be concluded that the bending between mortar and film asphalt has the same strength as bending between film asphalt and aggregate. This failure model of CTAM can be categorized as brittle fracture as . when CTAM destroy the total deflection occur is relatively small (<10.91 mm, equivalent to strain of 0.0285). As a composite material which is consists of aggregate, asphalt and cement mortar, mechanism and crack propagation on CTAM have unique characteristics. The crack propagation on CTAM either horizontal or vertical crack does not follow initial crack but irregular pattern follow its heterophase boundary. The crack on CTAM propagate follow not only to interface mortar film asphalt or to interface aggregate film asphalt but happen randomly along its heterophase boundary and its propagation speed depends on the given stress. The changing of tensile and compressive stress on the pavement with CTAM as its surfacing layer is vary sensitive on the changing of CTAM thickness but not really sensitive on the changing of stress modulus (SCTAM . Resilient modulus of subgrade (Mr) gives small contribution on sensitivity of stress changing under CTAM layer. The changing of stress on subgrade is more sensitive against the changing on the CTAM thickness and MR itself rather than on SCTAM; and the changing of the CTAM thickness gives much influence on the changing of stress which happens on that subgrade. The aging speed caused by environment on the asphalt either contained in CTAM or SMA with the same VIM is same. The film thickness of film asphalt more influence on short term aging and VIM more influence in long term aging. As the aging, the increased level of stiffness modulus of CTAM on all temperature testing is higher than the increased level of stiffness modulus of SMA. The stiffness modulus value of SMA at temperature 50° C is very low (< 500 MPa) and has a bad correlation with the aging period (R2 = 0.038). While on the same temperature (50° C), CTAM has still high value of stiffness modulus (> 2000 MPa, equivalent to stiffness modulus value of SMA at temperature of 25° C) and has a good correlation to the aging period with the value of R2 = 0.730. It is a fact that CTAM is very good to be employed for high temperature areas to overcome the problems of permanent and plastic deformation. The existence of cement mortar which forms a reinforcement nets in CTAM can avoid the movement or relocated of aggregate-asphalt in CTAM, so rutting caused by wheels load is small compared to SMA. On temperature 25° C, the rut depth on the SMA is 5 times greater than on CTAM, and became 6.5 times at temperature of 60° C. To sum up, it can be concluded that CTAM is more durable and not sensitive on permanent deformation compared to SMA, especially on high temperature.
Initial crack on SMA, either horizontal or vertical crack on all level of given stress happens before the same initial crack on CTAM happens. The rapid crack propagation on CTAM can be balanced by the late appear of its initial crack; while on SMA, the rapid appear of initial crack can be balanced by slow motion of its crack propagation. Thus, that mixture (CTAM and SMA) has relative similar fatigue resistance although the stiffness modulus of CTAM at temperature of 25° C; 37,5° C and 50° C are respectively 3, 6 and 8 times more than stiffness modulus of SMA on same age and temperature. The research in this study has resulted to some models equation for stiffnes modulus of CTAM, rutting resistance and fatigue resistance of CTAM. They are: