1
MODEL MATA PENCAHARIAN MASYARAKAT BERKELANJUTAN PADA KAWASAN MANGROVE DI KOTA SURABAYA
LUTHFIA ZAHRA ZEN
PROGRAM STUDI ILMU PENGELOLAAN HUTAN SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2016
2
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan tesis berjudul Model Mata Pencaharian Masyarakat Berkelanjutan pada Ekosistem Mangrove di Wonorejo, Kota Surabaya adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Maret 2016
Luthfia Zahra Zen E151130041
3
RINGKASAN LUTHFIA ZAHRA ZEN. Model Mata Pencaharian Masyarakat Berkelanjutan pada Ekosistem Mangrove di Wonorejo, Kota Surabaya. Dibimbing oleh DUDUNG DARUSMAN dan NYOTO SANTOSO. Pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) secara lestari untuk kesejahteraan masyarakat, merupakan salah satu hal yang penting dalam upaya penyelamatan ekosistem mangrove. Tujuan mendasar didalam pengelolaan hutan adalah memperoleh manfaat sebesar-besarnya untuk masyarakat. Masyarakat merupakan bagian dari ekosistem yang tidak dapat terpisahkan. Pada hakekatnya sumber daya alam akan lestari, apabila dapat memberikan manfaat bagi masyarakat, terlebih apabila sumber daya tersebut dapat menjadi sumber mata pencaharian utama yang berkelanjutan. Sehingga, SDA akan lestari bergantung pada masyarakat itu sendiri. Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan model mata pencaharian masyarakat secara berkelanjutan pada ekosistem mangrove di Wonorejo. Ekosistem mangrove Wonorejo memiliki permasalahan tersendiri, karenai terletak di pesisir kota metropolitan Surabaya, dimana pembangunan dan pemanfaatan lahan secara besar-besaran dilakukan di wilayah Wonorejo tanpa memperhatikan masyarakat setempat. Penelitian ini ditujukan untuk melihat potensi keberlanjutan mata pencaharian masyarakat sebagai dasar untuk pengelolaan ekosistem mangrove berbasis masyarakat. Mata pencaharian berkelanjutan yang dimaksud adalah jenis mata pencaharian massyarakat yang ada di Wonorejo diantaranya petani tambak, petani mangrove, dan nelayan harian, yang mana mata pencaharian ini dapat dikembangkan sebagai mata pencaharian yang dapat memberikan nilai manfaat ekologi, ekonomi, dan sosial. Sasaran responden dalam penelitian ini adalah masyarakat yang bermatapencaharian pada ekosistem mangrove di Wonorejo dan stakeholder yang terkait dengan total 30 responden terdiri dari: petani tambak (15 responden); nelayan harian (2 responden); petani mangrove (2 responden); LSM (1 responden) Dinas dan lembaga yang tergabung dalam Kelompok Kerja Mangrove Daerah (10 responden). Hasil penelitian menunjukkan bahwa mata pencaharian masyarakat yang dapat dikembangkan menjadi mata pencaharian berkelanjutan adalah petani mangrove, petani tambak dan nelayan harian dengan status cukup berkelanjutan. Mata pencaharian ini dapat dikatakan cukup berkelanjutan berdasarkan hasil analisis RAP-Livelihood pada dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi sarana dan prasarana serta kelembagaan. Pada masing-masing mata pencaharian, masyarakat memiliki kelompok masyarakat yang terbentuk berdasarkan profesi yang ditekuni. Kelompok masyarakat ini memiliki peran yang aktif dalam pengelolaan ekosistem mangrove. Kegiatan kelompok masyarakat di Wonorejo memanfaatkan keterampilan yang dimilikinya diantaranya: pelatihan pembibitan, penanaman yang bekerjasam dengan mitra, fasilitator pendidikan lingkungan, pelatihan pengolahan makanan dari buah mangrove, dan lainnya. Kegiatankegiatan seperti ini tidak hanya memberikan manfaat bagi lingkungan, akan tetapi juga memberikan manfaat bagi masyarakat lainnya dan perekonomian masyarakat.
4
Keberlanjutan mata pencaharian masyarakat pada ekosistem mangrove di Wonorejo bergantung pada peran pemangku kepentingan. Berdasarkan hasil analisis pemangku kepentingan pemeran kunci dari keberlanjutan mata pencaharian di Wonorejo adalah BKSDA Provinsi Jawa Timurr, Dinas Pertanian Kota Surabaya, dan investor. BKSDA Jawa Timur diberikan mandat untuk dapat melakukan pengelolaan secara esensial di wilayah ekosistem mangrove Wonorejo. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011, kawasan ekosistem esensial, memiliki fungsi sebagai konservasi, pendidikan, penunjang ekonomi bagi masyarakat, dan ekowisata. Untuk Dinas Pertanian Kota Surabaya, instansi ini memiliki wewenang dalam pengelolaan lahan yang berada di ekosistem mangrove Wonorejo. Sehingga pengelolaan ekosistem mangrove secara berkelanjutan bisa berjalan dengan baik apabila Dinas Pertanian Kota Surabaya memiliki kebijaksaan yang tepat dalam mengelola dan memberikan izin terhadap pengelolaan lahannya. Sesuai mandat Peraturan daerah Kota Surabaya Nomor 3 Tahun 2007 mengenai tata ruang wilayah. Selain dari kalangan pemerintahan, investor (swasta) juga memiliki pengaruh dan kepentingan yang kuat terhadap pengelolaan ekosistem mangrove di Wonorejo yang berhubungan dengan pembangunan dan infrastruktur. Para pemangku kepentingan yang memilki peran yang strategis dalam melakukan pengelolaan ekosistem mangrove Wonorejo dapat melakukan kerjasama untuk mewujudkan pengelolaan yang berkelanjutan. Pengelolaan secara berkelajutan ini sesuai dengan mandat Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2012, yang mana pengelolaan wilayah pesisir yang mencakup ekosistem mangrove dikelola secara terpadu dan berkelanjutan untuk mensejahterakan masyarakat. Untuk mewujudkan terlaksananya peraturan tersebut dapat dilakukan dengan mensinergikan kepentingan antar golongan. Salah satunya dengan menerapkan konsep ekowisata berbasis mata pencaharian masyarakat. Strategi pengembangan ekowisata mangrove berbasis mata pencaharian masyarakat dilakukan dengan analisis SWOT. Hasil analisis SWOT menunjukkan alternatif strategi yang dirumuskan yaitu dengan memanfaatkan kekuatan untuk mengatasi ancaman. Startegi ini adalah dengan menghentikan alih fungsi lahan yang bersifat komersil (pembangunan perumahan dan bangunan), serta pemanfaatan sumber daya alam dengan memanfaatkan keterampilan yang dimliki oleh masing-masing kelompok masyarakat. Hasil pemilihan strategi tersebut dapat dijadikan pedoman dalam memodelkan mata pencaharian masyarakat berkelanjutan pada ekosistem mangrove di Wonorejo. Berdasarkan potensi yang ada model mata pencaharian masyarakat di Wonorejo akan semakin berkelanjutan apabila memadukan konsep wisata penelitian yang memanfaatkan keterampilan yang dimiliki oleh kelommpok masyarakat petani mangrove serta petani tambak dan wisata alam yang memanfaatkan keindahan alam yang ada. Model pengelolaan ini juga dapat mendukung terlaksanaya Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 3 Tahun 2007. Sehingga, model mata pencaharian ini diharapkan dapat memfasilitasi seluruh kepentingan stakeholder. Kata kunci : mangrove, mata pencaharian, pengelolaan berkelanjutan, RAPFISH.
5
SUMMARY LUTHFIA ZAHRA ZEN. The Sustainable People Livelihood Models in Mangrove Ecosystem at Wonorejo, City of Surabaya. Supervised by DUDUNG DARUSMAN and NYOTO SANTOSO. The sustainability of natural resource utilization for community welfare is an important things for mangrove ecosystem's protection. The fundamental objective in forest management is to obtain maximum benefit for the community. Society is part of an ecosystem that can not be separated. In fact, the natural resources will be sustainable, if it can provide benefits to the community, especially if the resource can be a major source of sustainable livelihood . Thus, the natural resources will depend on the sustainable society itself. This study aims to formulate a model of sustainable community livelihoods in the mangrove ecosystem in Wonorejo. Wonorejo mangrove ecosystem has its own problems, because it located in the coastal metropolis of Surabaya, where development and land use on a large scale in the region Wonorejo done without regard to the local community. This study aimed to assess the potential sustainability of the livelihoods of the people as the basis for community-based management of mangrove ecosystems. Sustainable livelihoods in question is the type of livelihood in Wonorejo including fishpond farmers, mangrove farmers and daily fisherman, which livelihoods can be developed as a livelihood that can provide value ecological, economic, and social aspect. Target respondents in this study is that people who live in the mangrove ecosystem in Wonorejo and stakeholders associated with a total of 30 respondents composed of: fishpond farmers (15 respondents); daily fisherman (2 respondents); mangrove farmers (2 respondents); Non Governmental Organization (1 respondent), Department and agencies that are members of the Working Group on Regional Mangrove (10 respondents). The results showed that the mangrove farmers, fishpond farmers and daily fishermen can be developed into sustainable livelihoods with sufficient status. Those livelihood can be quite sustainable based on the results of the analysis of RAP-Livelihood on the dimensions of the ecological, economic, social, technological and institutional infrastructure. In each of livelihood, people have formed community groups based on professions occupied. These communities have an active role in the management of mangrove ecosystems. Activities of community groups in Wonorejo utilize its skills include: training nursery, planting cooperated with partners, facilitators of environmental education, training of food processing mangrove from fruit, and more. Such activities not only benefit the environment, but also provide other benefits to society and the economy aspect. The sustainability of people's livelihood in the mangrove ecosystem in Wonorejo depend on the role of stakeholders. Based on the results of the stakeholder analysis of the key actors in sustainable livelihood Wonorejo is BKSDA Jawa Timur, Surabaya City Agriculture Office, and investors. BKSDA Jawa Timur given a mandate to be able to do essentially the management of mangrove ecosystems in the region Wonorejo. Based on Government Regulation No. 28 of 2011, essential ecosystem areas has a function as conservation, education, economic support for the community, and ecotourism. Agriculture
6
Department of Surabaya, has the authority in the management of land located in the mangrove ecosystem Wonorejo. So, the management of mangrove ecosystems in a sustainable manner can work well if the Agriculture Department has the right policy to manage and giving the permission to land management. Local regulations as mandated by the city of Surabaya No. 3 of 2007 about spatial territory. Apart from the government circle, investors (private) also had a strong influence and interests of the management of mangrove ecosystems in Wonorejo related to construction and infrastructure. Stakeholders who have a strategic role in managing the mangrove ecosystem in Wonorejo may cooperate to achieve sustainable management . This management accordance with the mandate of this Government Regulation No. 73 of 2012, which includes coastal management of mangrove ecosystems are managed in an integrated and sustainable for the public welfare. To realize the implementation of the legislation, can be done with the synergy of interests among groups. One of them is to apply the concept of ecotourism-based livelihoods. Mangrove ecotourism development strategy based on the people's livelihood is done with SWOT analysis. SWOT analysis shows that an alternative strategy formulated by utilizing the strength to overcome the threat. This strategy is to stop land conversion of a commercial character (construction of housing and buildings), as well as the use of natural resources by utilizing the skills possessed by each community. The election results of these strategies can be used as guidelines to modeling sustainable community livelihoods in the mangrove ecosystem in Wonorejo. Based on the existing potential, models of people's livelihood in Wonorejo will be more sustainable if combining edutourism concept that utilizing the skills possessed by mangrove farmers community, fishpond farmers and also ecotourism that utilizes existing natural beauty. This management model can also support the implementation of Surabaya City Regional Regulation No. 3 of 2007. Thus, the model of livelihoods are expected to facilitate all stakeholders' interests. Key words : mangrove, livelihood, sustainable management, RAPFISH.
7
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
8
MODEL MATA PENCAHARIAN MASYARAKAT BERKELANJUTAN PADA EKOSISTEM MANGROVE DI WONOREJO, KOTA SURABAYA
LUTHFIA ZAHRA ZEN
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan
PROGRAM STUDI ILMU PENGELOLAAN HUTAN SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2016
9
Judul :
Model Mata Pencaharian Masyarakat Berkelanjutan Pada Ekosistem Mangrove di Wonorejo, Kota Surabaya
Nama
: Luthfia Zahra Zen
NIM
: E 151 130 041
Program Studi : Ilmu Pengelolaan Hutan (IPH)
Disetujui: Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Dudung Darusman, MA Ketua
Dr Ir Nyoto Santoso, MS Anggota
Diketahui oleh:
Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan
Dr Tatang Tiryana, SHut MSc
Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Prof. Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc.
Tanggal Ujian: 22 Januari 2016 Dr. Ir. Tatang Tiryana, M.Sc.
Tanggal Lulus:
10
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allahsubhanahu wa ta’ ala atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul Model Mata Pencaharian masyarakat berkelanjutan pada ekosistem mangrove Sebagai Strategi Pengelolaan Berbasis Masyarakat di Kota Surabaya. Tesis ini disusun dan dibuat sebagai salah satu syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Magister Sains pada program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan (IPH), Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penyusunan tesis ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak, untuk itu dengan setulus hati penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang besar kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA dan Dr. Ir. Nyoto Santoso, MSi atas arahan dan bimbingannya selama penulisan dan penyelesaian tesis ini. 2. Dr. Ir. Leti Sundawati, MSc. selaku dosen penguji dan Dr. Ir. Ahmad Budiaman, MSc. selaku pimpinan sidang. 3. Pimpinan, staf pengajar, dan staf administrasi Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan. 4. Kelompok Masyarakat Mina Tani Mangrove Bapak Soni Munchson dan Mas Dadang; Kelompok Masyarakat Trunojoyo Cak Ratno dan Cak Malik; serta Anggota Kelompok Kerja Mangrove Daerah Jawa Timur yang telah memberikan bantuan informasi dan data terkait penelitian. 5. Suami tercinta Imam Fauzi Syamsu, anak tercinta ananda Almamaira Zahreen Fauzi dan Fares Muhammad Fauzi, Ibu dan Bapak tercinta, serta seluruh keluarga atas segala bantuan, dukungan, doa dan kasih sayangnya. 6. Teman-teman seperjuangan di Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan atas segala kerjasama dan persahabatannya. 7. Kepada seluruh pihak yang telah membantu demi kelancaran penelitian. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan tesis ini, sehingga saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Maret 2016
Luthfia Zahra Zen
i
DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian METODE PENELITIAN Kerangka Pikir Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan Penelitian Jenis Data Metode Pengumpulan Data Metode Analisis Data KONDISI UMUM PENELITIAN Kependudukan Pemanfaatan Lahan di Ekosistem Mangrove Ancaman HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Responden Mata Pencaharian Masyarakat pada Ekosistem Mangrove Analisis Keberlanjutan Mata Pencaharian Mayarakat di Ekosistem Manngrove Faktor Pengungkit (Leverage) Keberlanjutan Mata Pencaharian Masyarakat pada Ekosistem Mangrove Faktor Kunci Mata pencaharian Berkelanjutan Strategi Kebijakan Mata Pencaharian Berkelanjutan pada Ekosistem Mangrove Model Kebijakan Pengelolaan Mata Pencaharian Berkelanjutan di Wonorejo KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
i ii ii iii 1 1 2 3 4 4 5 5 8 8 8 8 10 18 18 19 25 26 26 27 32 37 43 45 57 60 60 60 61 63 80
ii
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
14
KUomponen yang diidentifikasi dan metode pengumpulan dan analisisnya Kepentingan dan pengaruh stakeholder pada setiap kuadran Komponen atribut dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi sarana dan prasarana, serta kelembagaan Matriks FSI dan FS Matriks SWOT Jenis pekerjaan penduduk Wonorejo tahun 2014 Jenis tanaman mangrove di Wonorejo Karakteristik responden masyarakat Indeks keberlanjutan mata pencaharian pada ekosistem mangrove Nilai stress dan R2 pada setiap dimensi keberlanjutan mata Pencaharian Faktor kunci keberlanjutan mata pencaharian masyarakat pada ekosistem mangrove di Wonorejo Kepentingan pemangku kepentingan dalam pengelolaan ekosistem mangrove Wonorejo Tingkat kepentingan dan pengaruh para pemangku kepentingan dalam keberlanjutan matapencaharian masyarakat pada ekosistem mangrove Wonorejo Alternatif Strategi SWOT
9 11 13 15 17 19 20 26 33 33 43 50
53 55
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Hubungan mata pencaharian dan keputusan pengelolaan sumber daya hutan berkelanjutan Kerangka pikir penelitian Kondisi landscape lokasi penelitian di Wonorejo, Kota Surabaya Matriks hasil analisis stakeholder Diagram SWOT (Posisi Kuadran) Vegetasi mangrove Ekowisata Wonorejo Perumahan yang dikembangkan di wilayah ekosistem mangrove Wonorejo (a) Wisata pemancingan; (b) rumah makan yang dikembangkan disekitar wilayah ekosistem mangrove Wonorejo Tambak di wilayah ekosistem mangrove Wonorejo Sarana dan prasarana Pencemaran air berupa busa putih yang menutupi Sungai Avoor Kondisi vegetasi tanaman mangrove pada lahan pertambakan Diagram layang dimensi keberlanjutan mata pencaharian masyarakat di Wonorejo Nilai indeks keberlanjutan mata pencaharian masyarakat Wonorejo Nilai indeks keberlanjutan mata pencaharian masyarakat Wonorejo pada masing-masing dimensi
5 7 8 11 16 20 22 23 23 24 24 29 27 34 35 36
iii
17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Tingkat sensitivitas pada dimensi Ekologi Nilai sensitivitas pada dimensi Ekonomi Pendapatan masyarakat pada ekosistem mangrove di Wonorejo Nilai sensitivitas pada dimensi sosial Nilai sensitivitas pada dimensi teknologi dan sarana prasarana Nilai sensitivitas pada dimensi kelembagaan (a) pengenalan mangrove dan produk olahannya; (b) pengenalan mangrove kepada pelajar di surabaya (a) penyadaran masyarakat pesisir romokalisari; (b) pengenalan mangrove untuk ibu PKK (a) pelatihan rehabilitasi ekosistem pulau pulau kecil; (b) penanaman mangrove di Teluk Lamong kerjasama dengan NGO Matrik analisis pemangku kepentingan berdasarkan Reed et al (2009)
37 38 38 40 41 42 46 47 47 53
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kuisioner identifikasi mata pencaharian masyarakat di wilayah ekosistem mangrove Kuisioner identifikasi kepentingan dan pengaruh stakeholder Penilaian atribut dimensi ekologi model mata pencaharian berkelanjutan pada ekosistem mangrove di Wonorejo Penilaian atribut dimensi ekonomi model mata pencaharian berkelanjutan pada ekosistem mangrove di Wonorejo Penilaian atribut dimensi sosial model mata pencaharian berkelanjutan pada ekosistem mangrove di Wonorejo Penilaian atribut dimensi teknologi, sarana, prasarana model mata pencaharian berkelanjutan pada ekosistem mangrove di Wonorejo Penilaian atribut dimensi kelembagaan model mata pencaharian berkelanjutan pada ekosistem mangrove di Wonorejo Matriks penilaian faktor internal pada Analisis SWOT Matriks penilaian faktor eksternal pada Analisis SWOT Peta lokasi penelitian di Kelurahan Wonorejo Kota Surabaya
64 69 71 73 74 75 76 77 78 79
1
1. PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan habitat yang sangat penting bagi sistem penyangga kehidupan, karena kosistem mangrove memiliki potensi yang tinggi sebagai penyedia jasa lingkungan dan sumber ekonomi bagi peningkatan pendapatan di suatu wilayah (Duangjai 2013). Untuk dapat memberikan manfaat yang optimal dalam menyangga kehidupan, ekosistem mangorve perlu dikelola dengan baik. Hal ini dikarenakan, ekosistem mangrove yang memiliki karakteristik sebagai sumber daya milik bersama (Coomon Pool Resources/CPRs). Karakteristik ini cenderung mengalami kerusakan dari waktu ke waktu ( McKean 2000). Berdasarkan alasan tersebut, pengelolaan ekosistem mangrove dapat dilakukan dengan kegiatan perlindungan, pengawetan, serta pemanfaatan. Hal ini tertuang dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 mengenai Konservasi Sumber Daya Alam sebagai unsur-unsur penting dalam melakukan kegiatan konservasi di suatu ekosistem. Unsur penting yang sering diabaikan dalam kegiatan konservasi adalah pemanfaatan. Kegiatan pemanfaatan sering kali dikaitkan dengan kegiatan yang berakibat pada kerusakan ekosistem yang dilakukan oleh masyarakat. Hal ini memang tidak dapat dipungkiri. Kerusakan lingkungan banyak terjadi akibat ulah manusia yang serakah dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang ada disekitarnya. Berdasarkan Suryono (2006) kerusakan ekosistem magrove banyak diakibatkan oleh pemanfaatan sumber daya alam yang pengelolaannya tidak dilakukan secara bijaksana oleh masyarakat. Pemanfaatan ini sebagian besar ditujukan untuk pembuatan tambak. Akan tetapi, masyarakat merupakan bagian dari ekosistem yang tidak dapat terpisahkan. Suatu ekosistem dapat terjaga apabila masyarakatnya sendiri yang menjaganya. Pada hakekatnya suatu lingkungan akan dapat lestari apabila terdapat peran masyarakat yang mempertahankannya (Durand SS et al. 2014). Untuk itu dalam melakukan pengelolaan ekosistem perlu adanya wadah untuk menampung kegiatan masyarakat dalam melakukan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana dan berkelanjutan. Kepentingan masyarakat dalam suatu ekosistem adalah memanfaatkan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya masyarakat membutuhkan mata pencaharian. Masyarakat akan mencari mata pencaharian yang sesuai dengan sumber daya alam di sekitar tempat tinggalnya. Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat 3 yang menyatakan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan unuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Hal ini mengindikasikan bahwa pengelolaan sumberdaya alam dilakukan oleh pemerintah, sehingga pemerintah wajib dan harus mengelola kekayaan alam Indonesia yang tujuan utamanya adalah untuk mensejahterakan masyarakat. Selain itu, secara detil dijelaskan melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2012 mengenai strategi nasional pengelolaan ekosisem mangrove, bahwa ekosisem mangrove merupakan sumberdaya hutan basah wilayah pesisir dan sistem penyangga kehidupan dan kekayaan alam yang
2
nilainya sangat tinggi, oleh karena itu perlu upaya perlindungan, pelesatarian dan pemanfaatan (unsur konservasi) secara lestari untuk kesejahteraan masyarakat. Pelestarian dan pemanfaatan secara lestari untuk kesejahteraan masyarakat, merupakan hal yang sangat penting didalam upaya penyelamatan ekosistem mangrove. Tujuan yang mendasar didalam pengelolaan hutan adalah memperoleh manfaat dari sumber daya alam tersebut sebesar-besarnya untuk masyarakat. Upaya pemerintah dalam melakukan pengelolaan sumber daya alam yang ditujukan untuk mensejahterakan masyarakat sudah dilakukan dalam berbagai bentuk bantuan dan kerjasama. Bantuan-bantuan tersebut dapat berupa langsung maupun tak langsung. Contoh bantuan langsung pemerintah kepada masyarakat sekitar hutan adalah dengan memberikan uang tunai, sedangkan untuk bantuan tidak langsung dapat berupa kerjasama. Kerjasama-kerjasama inilah yang dapat mendorong masyarakat untuk lebih peduli dalam memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan. Sehingga masyarakat dapat mendapatkan pendapatan dari mata pencaharian mereka yang berasal dari sumber daya alam yang ada tanpa harus merusak hutan atau lingkungan sekitar. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2012 juga memiliki misi untuk meningkatkan dan melestarikan nilai penting ekologis, ekonomi dan sosial budaya, yang semata-mata diperuntukkan dalam meningkatkan pendapatan masyarakat dan mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Untuk meningkatkan kesejaheraan masyarakat dapat ditunjang melalui peningkatan nilai manfaat mangrove dan pemanfaatan ekosisem mangrove secara bijaksana. Oleh karena itu, untuk melaksanakan misi tersebut perlu dilakukan pembuatan model pengelolaan ekosistem mangrove secara konservasi dan dapat memberikan peran kepada masyarakat untuk mengelolanya. Dalam hal ini mata pencaharian masyarakat berkelanjutan berbasis ekowisata meruakan salah satu alternatif yang digunakan untuk melakukan konservasi dengan bijaksana, karena dapat melindungi lingkungan dari kerusakan dan dapat memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat. Perumusan Masalah Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan generasi pada saat ini tanpa mengurangi kemampuan sumber daya alam dalam memenuhi kebutuhan generasi yang mendatang (WCED 1987). Pembangunan yang tidak menganut azaz keberlanjutan di wilayah ekosistem mangrove menyebabkan kerusakan pada lingkungan ekologi dan hilangnya mata pencaharian masyarkat yang berasal dari wilayah tersebut. Kerusakan ekosistem ini perlu dilakukan pengelolaan secara bijaksana sesuai konsep konservasi. Pada dasarnya konsep konservasi ini tidak hanya melakukan kegiatan perlindungan terhadap tanaman atau satwanya saja, akan tetapi masyarakat juga merupakan faktor penting sebagai penjaga lingkungan yang perlu dilibatkan dalam pengelolaan ekosistem. Kepentingan masyarakat di dalam suatu ekosistem mangrove adalah memanfaatkan lahan dan sumber daya alam yang berada di ekosistem mangrove sebagai mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk itu, model pengelolaan yang dibutuhkan adalah dengan melakukan pengelolaan yang berkelanjutan
3
Pengelolaan berkelanjutan di indikasikan dengan pembangunan dengan menyeimbangkan antara kepentingan ekologi, ekonomi dan sosial, teknologi, serta kelembagaan (Suyitman 2010). Pemerintah kota Surabaya telah mengintruksikan melalui Peraturan Daerah Nomor 23 Tahun 2007 bahwa ekosistem mangrove diperuntukkan untuk ekowisata dan pendidikan. Konsep ekowisata yang dikelola melalui kerjasama pemerintah daerah dan swasta tersebut banyak dikeluhkan oleh pemerhati lingkungan karena tidak sesuai dengan konsep keberlanjutan. Lingkungan menjadi tercemar, salah satunya adanya kapal-kapal yang dioperasikan diwilayah muara sungai, dan pihak pengelola yang tidak memahami konsep ekowisata sehingga hanya berbasis mencari keuntungan dalam segi ekonomi saja. Untuk itu pemerintah perlu melakukan pengelolaan secara bijaksana dengan memperhatikan segala kepentingan dalam suatu ekosistem, termasuk kepentingan masyarakat dalam hal ini adalah mata pencaharian. Pengaturan peran masyarakat terhadap pengelolaan di kawasan pesisir perlu dilakukan pengintegrasian kepentingan antar multipihak, untuk mewujudkan pengelolaan secara berkelanjutan. Pengelolaan ekosistem mangrove secara berkelanjutan dapat diwujudkan dengan mengetahui peran dan kegiatan yang sesuai untuk menunjang kesejahteraan masyarakat. Faktor terpenting untuk menunjang kesejahteraan masyarakat adalah mata pencaharian masyarakat. Surabaya terutama di Desa Wonorejo merupakan daerah pesisir kota yang lahannya dimanfaatkan untuk berbagai peruntukan. Masyarakat masih banyak yang bergantung pada ekosistem mangrove untuk memenuhi kebutuhan sehari hari. Berbagai mata pencaharian inilah yang menjadi sumber penghidupan masyarakat, sehingga mata pencaharian masyarakat perlu diarahkan pada mata pencaharian yang berkelanjutan. 1. Apa saja jenis usaha masyarakat atau mata pencaharian yang terdapat pada ekosistem mangrove di Wonorejo? 2. Bagaimana sistem mata pencaharian yang sesuai bagi masyarakat pada kawasan mangrove di Wonorejo yang berazaskan pembangunan berkelanjutan, yaitu pada dimensi ekologi, ekonomi dan sosial, teknologi, sarana, dan prasarana, dan kelembagaan? 3. Apa saja faktor kunci yang menentukan keberlanjutan pengembangan model mata pencaharian masyarakat pada kawasan mangrove di Wonorejo? 4. Bagaimana rumusan arah kebijakan dan skenario strategi pengembangan model mata pencaharian masyarakat berkelanjutan di Wonorejo? Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini berdasarkan perumusan permasalahan yang telah diuraikan untuk mendapatkan model mata pencaharian masyarakat berkelanjutan perlu diketahui pula hal-hal sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi jenis usaha atau mata pencaharian masyarakat pada ekosistem mangrove di Wonorejo 2. Menilai sistem mata pencaharian masyarakat berkelanjutan pada ekosistem mangrove di Wonorejo berdasarkan dimensi pembangunan berkelanjutan, yaitu: dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, dan kelembagaan. 3. Mengidentifikasi faktor kunci yang berpengaruh dalam menentukan keberlanjutan pengembangan sistem mata pencaharian masyarakat.
4
4.
Merumuskan arah kebijakan dan skenario strategi pengembangan model mata pencaharian masyarakat di Wonorejo.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran yang bermanfaat untuk: 1. Pemerintah, sebagai referensi atau acuan dalam menyusun kebijakan perencanaan pembangunan berkelanjutan dengan konsep model mata pencaharian masyarakat berkelanjutan. 2. Masyarakat, memberikan kontribusi dan ruang untuk memanfaatkan sumber daya alam dengan mengembangkan mata pencaharian berkelanjutan.
1.
2.
Ruang Lingkup Penelitian Mata pencaharian berkelanjutan merupakan konsep pengembangan yang melibatkan masyarakat lokal untuk berperan aktif dalam pengelolaannya. Peran masyarakat ini dalam hal mata pencaharian yang dapat dikembangkan dalam konsep yang berkelanjutan. Mata pencaharian masyarakat adalah mata pencaharian yang berada pada ekosistem mangrove di Wonorejo
5
2. METODE PENELITIAN Kerangka Pikiran Mata pencaharian masyarakat merupakan faktor terpenting dalam pengelolaan sumber daya hutan pada ekosistem mangrove. Sehingga perlu diketahui mata pencaharian seperti apakah yang dapat menunjang pengelolaan ekosistem mangrove berkelanjutan, yang dapat bersinergi dengan kepentingan pihak lainnya. Seperti halnya yang diungkapkan Kusumastanto et al. (1998) bahwa peran masyarakat sangat penting didalam pengelolaan ekosistem mangrove secara berkelanjutan. Untuk itu, mata pencaharian berkelanjutan merupakan salah satu strategi untuk memberikan peran kepada masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove. Penerapan konsep mata pencaharian berkelanjutan memerlukan implementasi kriteria-kriteria dari pembangunan berkelanjutan. Suyitman (2010) menyatakan bahwa kriteria keberlanjutan peambangunan dapat mencakup lima dimensi, antara lain: (a) ekologi, (b) ekonomi, (c) sosial-budaya, (d) hukumkelembagaan, dan (e) teknologi-infrastruktur. Berikut merupakan hubungan antara mata pencaharian dan keputusan pengelolaan sumber daya hutan berkelanjutan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat Peran serta masyarakat Mata pencaharian Berkelanjutan
Keputusan Pengelolaan
Dimensi yang mempengaruhi
Ekologi
Ekonomi
Sosial
Kelembagaan
Keberadaan vegetasi, dan kelestariannya
Pendapatan masyarakat
Kemitraan, dan kondisi sosial
Kepentingan danPengaru h pemangku kepentingan
Teknologi, Sarana, Prasarana Pengaruh terhadap lingkungan
Gambar 1 Hubungan Mata pencaharian dan keputusan pengelolaan sumber daya hutan berkelanjutan Mata pencaharian masyarakat yang berada di wilayah pesisir kota Surabaya tepatnya di Desa Wonorejo terdapat perbedaan dalam hal kepemilikan lahan. Wilayah ekosistem mangrove merupakan lahan milik negara dan ada pula yang sudah menjadi hak milik swasta. Mata pencaharian yang berada pada tanah negara meliputi nelayan tangkap dan petani mangrove serta terdapat kawasan yang dimanfaatkan untuk sarana ekowisata, bentuk kerjasama antara pemerintah daerah
6
(Dinas Pertanian Kota Surabaya) dan swasta. pada lahan milik yang sudah banyak dikuasai oleh swasta, pemanfaatan lahannya difungsikan sebagai tambak yang dikelola oleh masyarakat (masyarakat menyewa lahan untuk usaha tambak). Lahan milik swasta ini bisa saja sewaktu-waktu diambil oleh pemiliknya dan dikembangkan sebagai perumahan atau pemanfaatan lainnya yang merugikan bagi lingkungan dan masyarakat. Pada penelitian ini, konsep keberlanjutan dalam menentukan model mata pencaharian dipengaruhi oleh dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan kelembagaan. Untuk dimensi ekologi dipengaruhi oleh keberadaan vegetasi mangrove pada lokasi mata pencaharian masyarakat. Untuk dimensi ekonomi dan sosial didasarkan pada kelayakan usaha dari mata pencaharian masyarakat yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat yang berasal dari ekosistem mangrove, dimensi teknologi berdasarkan tehnik dan alat yang digunakan dalam melakukan usaha di wilayah ekosistem mangrove, dan untuk dimensi kelembagaan dilihat seberapa besar peran dan kepentingan masing-masing pemangku kepentingan pada ekosistem mangrove dan mata pencaharian masyarakat di wilayah ekosistem mangrove. Peran dan kepentingan pemangku kepentingan perlu diketahui agar mempermudah izin masyarakat dan dukungan yang bersifat memajukan usaha masyarakat. Tujuan pertama adalah mengidentifikasi jenis usaha atau mata pencaharian masyarakat yang berada pada ekosistem mangrove di Desa Wonorejo, Kota Surabaya. Untuk mengetahui hal ini, dilakukan wawancara dan identifikasi langsung di lokasi penelitian. Selain itu, pada masing-masing mata pencaharian perlu dilakukan identifikasi kepemilikan lahan yang digunakan oleh masyarakat untuk melkaukan kegiatannya. Tujuan kedua dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui status keberlanjutan dari masing-masing mata pencaharian berdasarkan dimensi ekologi, ekonomi dan sosial, teknologi, sarana dan prasarana, serta kelembagaan. Untuk dimensi ekologi dinilai melalui keberadaan vegetasi yang dianalisis menggunakan analisis deskriptif yang ditunjang berdasarkan literatur Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Surabaya 2012. Hasil analisis ini kemudian dijadikan panduan untuk mengukur tingkat kelestarian vegetasi pada masing-masing wilayah usaha masyarakat. Tingkat kelestarian ini merupakan salah satu atribut yang nantinya akan digunakan didalam menentukan indeks keberlanjutan dari dimensi ekologi. Untuk dimensi ekonomi dilinai melalui nilai penggunaan langsung yang bersal dari komoditi mata pencaharian masyarakat. Hasil dari masing-masing nilai ekonomi langsung berdasarkan hasil komoditi ini kemudian akan dijadikan salah satu atribut untuk mengukur pendapatan masyarakat dari hasil mata pencaharian yang berasal dari ekosistem mangrove dan berimplikasi pada kesejahteraan masyarakat (dimensi sosial). Untuk dimensi teknologi, sarana, dan prasarana dipengaruhi oleh tehnik dan alat yang digunakan oleh masyarakat dalam melakukan kegiatannya. Untuk dimensi kelembagaan menggunakan analisis pemangku kepentingan. Pemangku kepentingan ini diantaranya adalah: Masyarakat; pemerintah daerah; pemerintah pusat; LSM atau organisasi masyarakat; perguruan tinggi; serta swasta. Untuk mengetahui tingkat kepentingan pada masing-masing pemangku kepentingan digunakan analisis narasi. Analisis narasi bertujuan untuk mengetaui peran dan kepentingan pada masing-masing pemangku kepentingan terhadap pengembangan mata pencaharian
7
masyarakat yang berkelanjutan di wilayah ekosistem mangrove. Berdasarkan hasil analisis masing-masing dimensi yang digabungkan dengan hasil pengamatan dan wawancara dengan pemangku kepentingan akan digunakan untuk menganalisis indeks keberlanjutan dengan analisis RAP-Liivelihood yang diadaptasi dari analisis RAPFISH (Rapid Appraisal Fisheries). Tujuan ketiga dalam penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor kunci yang berpengaruh dalam menentukan keberlanjutan pengembangan sistem mata pencaharian masyarakat. Dalam mengambil suatu keputusan (tujuan keempat) membutuhkan faktor kunci untuk menyusun suatu strategi (Saaty 1993). Tujuan keempat dalam penelitian ini adalah merumuskan arah kebijakan dan skenario pengembangan sistem mata pencaharian masyarakat. Untuk menjawab bertanyaan ini menggunakan analisi SWOT (strength, weakness, opportunity dan threath). SWOT merupakan Analisis yang didasarkan pada pada logika dengan memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), secara bersamaan meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats) (Rangkuti 1997). SWOT memiliki fungsi untuk perencanaan jangka panjang dalam menetukan suatu strategi untuk mencapai suatu tujuan yang sesuai dengan misi. Dalam hal ini misi dalam penelitian ini adalah untuk menentukan model mata pencaharian masyarakat di wilayah ekosistem mangrove. berikut merupakan kerangka alur pikir penelitian: Ekosistem mangrove
Potensi
Ekologi dan Ekonomi
Ekonomi dan sosial
Ekowisata
Sumber Mata pencaharian Masyarakat Konsep berkelanjutan
Sosial
Ekonomi
Ekologi
Teknologi SR
Analisis RAP-LIVELIHOOD Faktor kunci Model mata pencaharian berkelanjutan
Analisis SWOT Gambar 2 Kerangka penelitian
Kelembagaann
8
Lokasi dan Waktu Penelitian Pemilihan lokasi penelitian mempertimbangkan pemanfaatan peruntukan lahan dan mata pencaharian masyarakat yang ada pada ekosistem mangrove. Lokasi penelitian ini adalah ekosistem mangrove yang terletak di Kelurahan Wonorejo, Kecamatan Rungkut, Kota Surabaya (Gambar 3). Pesisir Wonorejo termasuk kedalam Pantai Timur Surabaya (Purabaya: 7o 15’19,60” LS - 7o 17’13,25” LS 112o 48’35,69” BT - 112o 48’40,72” BT) yang merupakan pusat industri dan pengembangan perumahan. Sehingga pada saat ini wilayah ekosistem mangrove terancam dengan adanya pembanguna-pembangunan yang ditujukan untuk perumahan. Penelitian ini dikasanakan pada bulan Mei 2015 hingga Juli 2015.
Gambar 3 Kondisi landscape lokasi penelitian di Desa Wonorejo, Kota Surabaya Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini berupa kuisioner, kamera digital, tape recorder, program excell dan software Rapfish. Jenis Data Jenis data yang dikumpulkan yaitu pada data ekologi, ekonomi dan sosial dengan rincian: (1) Data Primer meliputi semua informasi kharakteristik masyarakat, mata pencaharian masyarakat pada ekosistem mangrove, sosial ekonomi masyarakat, status lahan pada ekosistem mangrove baik pada lokasi mata pencaharian maupun daerah sekitarnya (status lahan), kondisi mangrove pada setiap daerah mata pencaharian masyarakat (keadaan biofisik), dan peran serta kepentingan pemangku kepentingan pada ekosistem mangrove (2) Data Sekunder meliputi data kependudukan, serta data lain yang menunjang bagi kepentingan penelitian. Metode Pengumpulan Data Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, penelitian ini bersifat eksploratif dan deskriptif karena mengutamakan penemuan fakta dilapangan berdasarkan potensi dan keadaan faktual yang ada di lokasi penelitian (Saaty 1993). Komponen yang ingin diketahui di lokasi penelitian adalah komponen ekologi, ekonomi, sosial,
9
serta pemangku kepentingan. Metode pengambilan contoh pada data biofisik atau komponen ekologi dengan cara purposive sampling pada lokasi ekosistem mangrove yang dijadikan lahan mata pencaharian masyarakat. Penentuan banyaknya plot berdasarkan luas pemanfaatan lahan pada masing masing mata pencaharian, sehingga dalam penentuan banyaknya jumlah plot dapat dilakukan setelah adanya identifikasi luas pemanfaatan lahan dengan ketentuan intesnsitas sampling 10%. Pengambilan contoh untuk data ekonomi dan sosial menggunakan purposive sampling pada masing-masing mata pencaharian. Pengambilan contoh untuk data pemangku kepentingan menggunakan purposive sampling dengan menentukan informasi kunci pada masing-masing pemangku kepentingan. Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan cara: (1) observasi atau pengamatan langsung dilapangan, (2) Wawancara; melakukan komunikasi langsung kepada responden dan informan kunci dengan menggunakan tehnik kuisioner, (3) Pencatatan; mencatat semua data sekunder dari berbagai instansi yang berkaitan dengan penelitian, (4) Studi literatur, yaitu pengumpulan data dari berbagai sumber, diantaranya: jurnal, buku, hasil penelitian, prosiding, atau tulisan ilmiah lainnya. Responden terdiri dari masyarakat yang bermata pencaharian di wilayah ekosistem mangrove dilakukan dengan sensus untuk petani mangrove (2 orang) dan petani mangrove dengan cara purposive sampling (15 orang), pemerintahan dan perguruan tinggi yang tergabung dalam Kelompok Kerja Mangrove Daerah (KKMD) Jawa Timur (10 orang), serta LSM Nol Sampah (1 orang). Responden kunci merupakan pemangku kepentingan yang dipilih secara hati-hati dengan persyaratan tertentu yakni status sosial atau pekerjaan terkait dengan pengelolaan di ekosistem mangrove, sehingga responden yang dipilih benar-benar merupakan responden kunci. Responden kunci penelitian ini adalah ketua dari masing-masing kelompok masyarakat, kalangan pemerintahan, perguruan tinggi dan LSM Nol Sampah dengan total delapan pakar. Berikut merupakan tabel komponen data yang akan diidentifikasi beserta cara pengumpulan dan analisisnya: Tabel 1 Komponen yang diidentifikasi dan metode pengumpulan dan analisisnya No.
Komponen
Dimensi
1
Mata pencaharian Ekologi
Jenis usaha dan status lahan Kondisi vegetasi di lokasi mata pencaharian serta sempadan sungai dan laut Kelayakan usaha (mata pencaharian), pendapatan masyarakat
2
3
Ekonomi dan sosial
4
Teknologi
Tehnik, alat dan sarana
5
Pemangku kepentingan
Pengaruh dan Kepentingan
Jenis Data Data primer Data primer
Data primer dan sekunder Data primer dan sekunder Data primer
Metode Pengumpulan Data Observasi dan wawancara Observasi, literatur dan wawancara
Observasi dan wawancara
Observasi dan wawancara
Observasi dan wawancara
Metode Analisis Data Analisis deskriptif Analisis deskriptif
Nilai ekonomi penggunaan langsung dan Analisis deskriptif Analisis deskriptif
Analisis pemangku kepentingan
10
Metode Analisis Data Analisis Deskriptif Analisis deskriptif dilakukan untuk melengkapi pengetahuan kondisi terkini terkait ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan kelembagaan dilokasi penelitian. Untuk Dimensi ekologi analisis ini diperuntukkan untuk mengetahui kondisi vegetasi dan kualitas air yang ditunjang oleh data literatur berdasarkan Badan Lingkungan Hidup Kota Surabaya 2012. Hal ini dikarenakan tidak adanya perubahan kerapatan tanaman mangrove secara signifikan di Wonorejo. Untuk Dimensi Ekonomi, analisis ini diperuntukkan untuk menjelaskan nilai ekonomi penggunaan langsung komoditi yang dihasilkan dari mata pencaharian masyarakat. Untuk Dimensi teknologi, analisis ini diperuntukkan untuk menjelaskan kondisi teknologi yang digunakan masyrakat dalam melakukan mata pencaharian di ekosistem mangrove, serta untuk dimensi kelembagaan,analisis ini diperuntukkan untuk menjelaskan kondisi pemangku kepentingan yang ditunjukkan berdasarkan hasil analisis pemangku kepentingan (stakeholder). Analisis Ekonomi Penilaian nilai ekonomi pada sumber daya alam bersumber pada nilai langsung (direct use) dan nilai tidak langsung (indirect use). Analisis ekonomi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan nilai penggunaan langsung. Nilai guna langsung adalah nilai kegunaan dari suatu barang dan jasa yang langsung dapat memberikan manfaat, dimanfaatkan atau dikonsumsi (Turner et al. 1994). Nilai guna langsung dihitung berdasarkan nilai jual terhadap komiditi yang berhubungan langsung dengan ekosistem mangrove (berdasarkan mata pencaharian masyarakat). Komoditi yang dihasilkan dari ekosistem mangrove diantaranya: komoditi dari pertambakan (udang windu dan udang vaname, ikan bandeng, serta udang liar); komoditi dari pengolahan buah mangrove; komoditi dari hasil nelayan harian (kepiting). Analisis Pemangku Kepentingan (Stakeholder) Analisis pemangku kepentingan (stakeholder) dilakukan dengan mengidentifikasi kepentingan dan pengaruh pemangku kepentingan kunci terhadap mata pencaharian masyarakat berkelanjutan di kawasan mangrove sebagai upaya dari pengelolaan mangrove berbasis masyarakat.Untuk melakukan identifikasi kepentingan dan pengaruh pemangku kepentingan terhadap suatu objek dilakukan metode yang yang telah dikembangkan oleh Reed et al. (2013). Menurut Reed et al.(2009) untuk mempermudah dalam melakukan identifikasi konflik kepentingan serta pengaruh pemangku kepentingan terhadap objek penelitian perlu dibuat sebuah matriks yang nantinya akan menggambarkan hasil analisis pemangku kepentingan (Gambar 3) dengan tahapan-tahapan sebagai berikut: (1) Mengidentifikasi pemangku kepentingan dan kepentingannya; (2) Membuat kelompok dan kategori para pemangku kepentingan; (3) Menyelidiki hubungan antar pemangku kepentingan.
11
KEPENTINGAN
TINGGI Subject (Kuadran I)
Key players (Kuadran II)
Crowd (Kuadran IV)
Context setter (Kuadran III) TINGGI
RENDAH PENGARUH Gambar 4 Matriks hasil analisis pemangku kepentingan
Berdasarkan hasil terhadap tahapan analisis pemangku kepentingan tingkat kepentingan dan pengaruhnya dikelompokkan menurut jenis indikatornya yang kemudian diidentifikasi sehingga membentuk sebuah koordinat (Gambar 3). Selanjutnya diterjemahkan kedalam matrik resultante (Gambar 3) yang mengidentifikasikan pemangku kepentingan kedalam empat kuadran. Posisi kuadran dapat menggambarkan ilustrasi mengenai posisi dan peranan yang dimainkan oleh masing-masing pemangku kepentingan dalam perencanaan yaitu: 1) Subject (kepentingan tinggi tetapi pengaruh rendah); 2) Key Players (kepentingan dan pengaruh tinggi); 3) Crowd (kepentingan dan pengaruh rendah); 4) Context setter (kepentingan rendah tetapi pengaruh tinggi). Tabel 2 Kepentingan dan pengaruh pemangku kepentingan pada setiap kuadran Pengaruh Rendah Pengaruh Tinggi Kepentingan Tinggi
Kepentingan Rendah
Pemangku kepentingan yang memiliki kepentingan tinggi tetapi pengaruhnya rendah dan walaupun mendukung kegiatan tetapi kapasitas terhadap dampak mungkin tidak ada. Pemangku kepentingan ini dapat menjadi berpengaruh jika membentuk aliansi dengan pemangku kepentingan lainnya.(Kuadran I) Pemangku kepentingan yang memiliki sedikit kepentingan dan berpengaruh terhadap hasil yang diinginkan dan menjadi pertimbangan untuk mengikutsertakan dalam pengambilan keputusan. (Kuadran III)
Pemangku kepentingan yang aktif karena mempunyai kepentingan dan pengaruh yang tinggi terhadap pengembangan suatu proyek. (Kuadran II)
Memiliki pengaruh yang tinggi tetapi sedikit yang kepentingan sehingga dapat menjadi resiko yang signifikan untuk dipantau. (Kuadran IV)
12
Penilaian Komponen Berkelanjutan Penelitian untuk merencanakan model matapencaharian berkelanjutan pada ekosistem mangrove adalah RAP-Livelihood dan SWOT. RAP-Livelihood diadaptasi dari analisis RAP-FISH yang dikembangkan oleh University of British Columbia Kanada untuk menentukan indeks berkelanjutan pada suatu sistem. Indeks berkelanjutan dinilai berdasarkan masing-masing dimensi yaitu: Ekologi; ekonomi; sosial; teknologi sarana dan prasarana; serta kelembagaan. Hasil indeks keberlanjutan berdasarkan analisis RAP-Livelihood kemudian akan dilakukan penentuan alternatif strategi kebijakan dengan analisis SWOT. Analisis Rapfish Penelitian ini menggunakan analisis RAP-Livelihood yang diadaptasi dari analisis RAPFISH (Rapid Apraisal Fisheries) menggunakan teknik ordinasi melalui pendekatan Multi Dimensional Scalling (MDS) untuk menilai indeks dan status keberlanjutan keberadaan mata pencaharian pada ekosistem mangrove. Tahapan pada analisis RAP-Livelihood sebagai berikut: (1) Review atribut (meliputi berbagai kategori dan skoring); (2) Identifikasi dan pendifinisian atribut; (3) Skoring (mengkontruksi reference point untuk good dan bad; (4) Multidemensional Scaling Ordination (untuk setiap atribut); (5) simulasi monte carlo; (6) analisis leverage; (7) analisis keberlanjutan (Fauzi 2013). Pemakaian pendekatan MDS dalam analisis RAPFISH memiliki kelebihan tersendiri dibandingkan dengan metode analisis peubah ganda lainnya. Pendekatan MDS pada hakekatnya merupakan teknik statistik untuk pemetaan persepsi yang melakukan transformasi multidimensi menjadi dimensi yang lebih sederhana (Fauzi dan Anna 2005). Pendekatan MDS pada RAPFISH juga dapat memberikan hasil yang stabil (Pitcher dan Preikshot 2001). Data atribut dari berbagai dimensi yang sudah dipertimbangkan melalui tahapan pertama sampai ketiga yang kemudian dianalisis secara multidimensional akan memberikan gambaran yang lebih jelas untuk pemetaan persepsi keberlanjutan sistem mata pencaharian. Dalam MDS, atribut dari masing masing dimensi dapat dipetakan dalam jarak euclidian dimana atribut yang dipersepsikan memiliki karakteristik yang sama dianggap memiliki jarak Euclidian terdekat. Sebaliknya, obyek atau titik yang tidak sama digambaran dengan titik-titik yang berjauhan. Tititk ini juga akan sangat berguna didalam analisis regresi untuk menentukan nilai stress. Model yang baik ditujukan dengan nilai stress dibawah 0,25. Untuk Teknik penentuan jarak didasarkan pada Euclidian Distance yang kemudian di dalam MDS diproyeksikan ke dalam jarak Euclidian dua dimensi (Fauzi 2002) dan nilai strees dengan formula sebagai berikut: d1.2 = Dimana: d1.2 = jarak Euclidian; X, Y, Z = Atribut; 1,2 = pengamatan d1.2 = a + b D1.2 +e dimana: a = intercept; b= slope; e= error strees
13
Penilaian atribut dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan skala 1 sampai 3. Nilai ini diberikan untuk menilai atribut pada masing-masing dimensi sesuai dengan ketentuan penilaian. Penilaian ini dilakukan oleh responden ahli yang terpilih. responden ahli terdiri dari ketua kelompok masyarakat, pemerintahan, LSM, dan perguruan tinggi di Kota Surabaya. Tahapan selanjutnya adalah Analisis Leverage (analisis sensitivitas). Analisisn leverage diperuntukkan untuk mengetahui efek stabilitas atribut pada suatu dimensi atau untuk mengetahui faktor pengungkit dari atribut suatu dimensi. Atribut yang memilki persentase tertinggi merupakan atribut paling sensitif terhadap keberlanjutan. Selanjutnya adalah Analisis Monte carlo, merupakan metode simulasi statistik untuk mngevaluasi efek dari random error yang disebabkan oleh: dampak kesalahan skoring, dampak keragaman skoring, stabilitas dari MDS dalam running, kesalahan entry data, dan tingginya nilai Sstress dari algoritma ALSCAL. Sistem yang dikaji sesuai dengan kondisi nyata apabila nilai analisis Monte Carlo dan perhitungan nilai indeks keberlanjutan dari MDS tidak lebih dari 1. Output dari analisis RAP-Livelihood adalah untuk mendapatkan indeks berkelanjutan. Nilai indeks berkelanjutan berkisar antara 0 – 100 yang didapat berdasarkan hasil ordinasi MDS dan laveraging. Dalam penelitian ini ada empat kategori status keberlanjutan yaitu: 0 – 25 (buruk atau tidak berkelanjutan); 25.01 – 50 (kurang berkelanjutan); 50.01 – 75 (cukup berkelanjutan); 75.01 – 100 (baik atau sangat berkelanjutan). Untuk melakukan penilaian mata pencaharian berkelanjutan dilakukan terlebih dahulu penetapan atribut. Atribut yang digunakan berdasarkan penelitian pendahuluan untuk mengetahui faktor-faktor apa yang mempengaruhi dalam setiap dimensi keberlanjutan mata pencaharian masyarkat pada ekosistem mangrove di Wonorejo. Berikut merupakan atribut serta kriteria dari masingmasing dimensi (ekologi, ekonomi, sosial, teknologi sarana dan prasarana, serta kelembagaan) berdasarkan penilaiannya: Tabel 3 Komponen atribut dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi sarana dan prasarana, serta kelembagaan No Atribut Dimensi Ekologi 1 Alih Fungsi lahan 2 3 4
5
6 7
Keterangan/ sumber penilaian
Permen No 1 Tahun 2011 (Kesesuaian alih fungsi lahan dan observasi lapangan) Kesesuaian pemanfaatan Permen No 1 Tahun 2011 (Kesesuain alih lahan fungsi lahan dan observasi lapangan) Status kepemilikan lahan Diskusi pakar kualitas air Permenkes No. 416 Tahun 1990 (Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas air), Observasi lapangan, literatur BLH 2012 keberadaan sumber air bagi Permenkes No. 416 Tahun 1990 (Syarat-syarat rumah tangga dan Pengawasan Kualitas air), Observasi lapangan, literatur BLH 2012 tingkat keramahan pada Profil Kelompok Tani, Observasi lapangan lingkungan Kondisi vegetasi/ BLH 2012, Observasi lapangan Persentase luas lahan
14
Tabel 3 Komponen atribut dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi sarana dan prasarana, serta kelembagaan No Atribut Keterangan/ sumber penilaian Dimensi Ekonomi 1 Jarak pasar Observasi lapangan 2 Pemasaran Observasi lapangan 3 Produktivitas Diskusi pakar 4 Harga Diskusi pakar 5 Kemandirian modal Diskusi pakar 6 Pendapatan Analisis pendapatan langsung 7 Biaya produksi Diskusi pakar 8 Kuantitas produk Diskusi pakar 9 Kualitas produk Observasi lapangan 10 Keuntungan Analisis pendapatan langsung, wawancara Dimensi Sosial 1 Dukungan keluarga Diskusi pakar 2 Ketrampilan petani Observasi lapangan, Profil Kelompok Tani 3 Pola komunikasi antar Observasi lapangan anggota 4 Ketersediaan tenaga kerja Observasi lapangan dan diskusi pakar 5 Pemberdayaan petani Observasi lapangan dan diskusi pakar 6 Sistem sosial dalam Observasi lapangan pengelolaan 7 intensitas konflik yang Observasi lapangan, diskusi pakar berkaitan dengan usaha Dimensi Teknologi, sarana, dan prasarana 1 Sarana transportasi Observasi lapangan 2 Sarana jalan Observasi lapangan 3 Kerumitan teknologi Observasi lapangan 4 Sarana pengairan Observasi lapangan 5 Ketersediaan pakan/pupuk Observasi lapangan, diskusi pakar 6 Mutu benih SNI 01-7252-2006 (benih udang vaname),SNI 01-6149-1999 (benih ikan bandeng), SNI 016143-1999(benih udang windu) 7 keramahan teknologi pada Peraturan Pemerintah No. 101 Tahun 2014 lingkungan Dimensi Kelembagaan 1 Kebijakan mengenai Observasi lapangan, RTRW Kota Surabaya kepemilikan lahan 2014 2 lokasi usaha sesuai dengan RTRW Kota Surabaya 2014 peraturan 3 Kebijakan mengenai alih Peraturan Pemerintah No 1 Tahun 2011 dan fungsi lahan observasi lapangan 4 Komitmen pemerintah Diskusi pakar 5 Peran perguruan tinggi Diskusi pakar, observasi lapangan, Profil Kelompok Tani 6 Peran LSM dan Pers Diskusi pakar 7 Peran investor Diskusi pakar 8 Ketersediaan organisasi Diskusi pakar, observasi lapangan kelompok masyarakat 9 Koordinasi antar instansi Diskusi pakar, observasi lapangan yang terkait
15
Analisis SWOT Hasil dari keseluran analisis yang dilakukan untuk mendapatkan model mata pencaharian masyarakat berkelanjutan pada ekosistem mangrove diformulasikan kedalam analisis SWOT. Pemakaian analisis ini diperuntukkan untuk pengambilan keputusan yang terbaik dalam menentukan strategi dan pembuatan model ((Nurmianto et al. 2004) sebagai dasar pengembangan mata pencaharian masyarakat di ekosistem mangrove secara berkelanjutan. Analisis SWOT merupakan Analisis yang didasarkan pada pada logika dengan memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), secara bersamaan meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats) (Rangkuti 1997). SWOT memiliki fungsi untuk perencanaan jangka panjang dalam menetukan suatu strategi untuk mencapai suatu tujuan yang sesuai dengan misi. Perumusan model dengan mempertimbangkan segala dimensi untuk menemukan model yang memiliki guna kemajuan bersama (win-win solution) dapat dikembangkan melalui analisis SWOT (Nurmianto et al. 2004). Dalam hal ini misi dalam penelitian ini untuk mewujudkan win-win solution adalah untuk menentukan model mata pencaharian masyarakat di wilayah ekosistem mangrove. Model yang dikembangkan dengan menggunakan matriks faktor strategi internal (FSI) dan matriks faktor strategi eksternal (FSE) (Tabel 4). Masing– masing faktor diberi bobot tertinggi 1,00 untuk yang paling berpengaruh dan 0,00 untuk yang dianggap tidak penting. Rating peubah yang digunakan dimulai dari angka 1 (sangat buruk), 2 (buruk), 3 (baik) dan 4 (sangat baik). Peubah yang paling berpengaruh, adalah peubah yang memiliki nilai pengaruh paling besar dibandingkan dengan nilai pengaruh peubah-peubah lainnya. Tabel 4 Matriks FSI dan FSE Faktor Internal Kekuatan (Strengths) 1. ..... 2. ..... n. .... Total Kelemahan (Weaknesses) 1. ..... 2. ..... n. .... Total Faktor Eksternal Peluang (Opportunities) 1. ..... 2. ..... n. .... Total Ancaman (Threats) 1. ..... 2. ..... n. ..... Total Sumber: Rangkuti (1997)
Bobot
Rating
Skor
Bobot
Rating
Skor
Matriks FSI dan FSE dapat diketahui posisi alternatif kebijakan mata pencaharian berkelanjutan dalam bentuk posisi kuadran (Gambar 4). Posisi ini
16
yang nantinya akan menjadi alternatif strategi dalam menetukan arahan kebijakan matapencaharian berkelanjutan pada ekosistem mangrove Wonorejo. Posisi ini didapat berdasarkan perhitungan pengalian bobot dan rating. Untuk nilai x dipengaruhi oleh faktor internal (kekuatan dan kelemahan). Untuk nilai y dipengaruhi oleh faktor ekternal (peluang dan ancaman). Penentuan penilaian ini tidak lepas dari peran para ahli dalam memutuskan suatu arahan kebijakan pengelolaan kawasan ekosistem mangrove di Surabaya. Sehingga didapatakan rumusan arahan kebijakan yang strategis berdasarkan faktor internal dan faktor eksternal yang ada. Peluang (O)
Kuadran III
Kuadran I Kekuatan (S)
Kelemahan (W) Kuadran IV
Kuadran II
Ancaman (T) Gambar 5 Diagram SWOT (Posisi Kuadran) Setiap kuadran pada Gambar 4 memperlihatkan posisi usaha sesuai dengan kondisi terkini. Posisi kuadran I (support on agresive strategy) adalah situasi yang paling menguntungkan dikarenakankondisi usaha mempunyai peluang dan kekuatan, kuadran II (support diversivication strategy) menunjukkan bahwa kondisi usaha menghadapi ancaman akan tetapi masih memiliki kekuatan dari segi internal, kuadran III (supporta turnaround oriented stretegy) menunjukkan bahwa kondisi usahatersebut mempunyai peluang yang besar tetapi di lain pihak menghadapi beberapa kendala/kelemahan, dan apabila berada pada kuadran IV (support a defensive strategy) berarti kondisi usahamenghadapi situasi yang paling tidak menguntungkan karena mempunyai ancaman dan kelemahan internal. Selanjutnya dilakukan pemilihan alternatif strategi yang sesuai dengan kondisi yang ada dengan membuat matriks SWOT. Matriks SWOT dibangun berdasarkan hasil analisis faktor–faktor strategis eksternal maupun internal yang disusun empat strategi utama yaitu: SO, WO, ST dan WT (Tabel 5).
17
Tabel 5 Matriks SWOT FSI FSE
Opportunities (O)
Treaths (T) Sumber: Rangkuti (1997)
Strengths (S)
Weaknesses (W)
Strategi SO Menggunakan kekuatan dengan mamanfaatkan peluang
Strategi WO Meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang
Strategi ST Strategi WT Menggunakan kekuatan Meminimalkan untuk mengatasi ancaman kelemahan dan menghindari ancaman
18
3. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Desa Wonorejo terletak di kelurahan Wonorejo dengan luas 731,86 ha (Profil Kecamatan Rungkut 2015) yang berada di Kecamatan Rungkut pada kawasan Pantai Timur Surabaya (Pamurbaya) (Lampiran 9). Kawasan Pantai Timur Surabaya (Pamurbaya) merupakan kawasan lindung. Pamurbaya dikenal sebagai kawasan ruang terbuka hijau di pesisir ibu kota Jawa Timur dan menjadi benteng untuk melindungi Surabaya dari ancaman bencana yang ditimbulkan dari kerusakan lingkungan pesisir, diantaranya: abrasi; intrusi air laut; dan penurunan muka tanah. Kawasan ini terletak pada koordinat 7o 15’19,60” LS - 7o 17’13,25” LS 112o 48’35,69” BT - 112o 48’40,72” BT dengan luas lahan ±2.503,9 Ha. Jenis tanah diwilayah ini adalah tanah alluvial hidromorf (Sumber: Laporan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Kota Surabaya Tahun 2011). Berikut merupakan batasan wilayah kelurahan Wonorejo: Sebelah utara adalah SungaiWonokromo; sebelah timur adalah Selat Madura; sebelah selatan adalah Kelurahan Medokan Ayu; sebelah Barat: Kelurahan Penjaringan Sari (Profil Kecamatan Rungkut 2015). Kawasan Pantai Timur Surabaya umumnya merupakan pantai berlumpur dan berhadapan langsung dengan Selat Madura, wilayah daratan sebagian besar didominasi oleh kegiatan wisata, pemukiman nelayan, perikanan dan ekosistem mangrove, sedangkan untuk wilayah perairannya terbatas untuk kegiatan perikanan tangkap dan alur wisata bahari. Pamurbaya merupakan muara dati tujuh sungai untuk wilayah Kelurahan Wonorejo dialiri 2 sungai besar yaitu Sungai Jagir dan Sungai Avoor. Banyaknya sungai yang mengaliri wilayah ini menyebabkan sedimentasi secara alami (BLH 2012). Kawasan Pantai Timur Surabaya merupakan salah satu wilayah yang difungsikan untuk zona pelestarian mangrove di Kota Surabaya. Luas wilayah hutan mangrove di Pamurbaya berdasarkan Bappeda Kota Surabaya Tahun 2012 adalah 11,20% (493,106 ha) dari keseluruhan luas wilayah Pamurbaya (3 909 ha). Kependudukan Wonorejo Penduduk Wonorejo terdiri dari penduduk tetap dan penduduk musiman. Penduduk tetap merupakan penduduk yang sudah menetap dan tinggal di Wonorejo. Penduduk musiman merupakan penduduk yang datang dengan tujuan untuk bekerja. Wonorejo memiliki penduduk tetap sebesar 15.286 orang, yang terdiri dari laki-kaki 7.725 orang dan perempuan 7.561 orang. Untuk penduduk musiman berjumlah 168 orang yang terdiri dari laki-laki 79 orang dan perempuan 89 orang (Monografi Kelurahan Wonorejo 2014). Penduduk Wonorejo memiliki latar belakang pendidikan mulai dari tamatan Sekolah Dasar sampai sarjana. Sebagian besar masyarakat yang memiliki latar belakang pendidikan tamatan Sekolah Menengah Atas sederajat dan sarjana bekerja di sektor swasta (perusahaan) dan pegawai negeri. Tercatat jumlah penduduk yang bekerja di sektor swasta memiliki angka yang tertiggi (Tabel 6).
19
Tabel 6 Jenis pekerjaan penduduk Wonorejo tahun 2014 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Jenis Pekerjaan Swasta Pelajar/ Mahasiswa Belum Bekerja Ibu Rumah Tangga Dagang Wiraswasta Pegawai Negeri Sipil Pensiunan TNI Nelayan Tani/ Tambak Buruh tani POLRI Jumlah
Orang 5064 3342 2985 1921 782 522 350 267 33 22 20 16 14 15338
Jumlah Persentase (%) 33,016 21,789 19,461 12,524 5,098 3,403 2,282 1,741 0,215 0,143 0,130 0,104 0,091 100
Sumber: Monografi Kelurahan Wonorejo tahun 2014
Penduduk Wonorejo banyak yang bekerja di sektor swasta karena di Wonorejo terletak di wilayah Kecamatan Rungkut. Kecamatan Rungkut merupakan daerah industri di Kota Surabaya. Sehingga penyerapan tenaga kerja di sektor swasta cukup tinggi yaitu sebesar 33,016% dari total penduduk Wonorejo. Potensi penduduk produktif di Wonorejo cukup tinggi, tercatat pelajar atau mahasiswa berjumlah 21,789% dari total penduduk. Usia produktif ini merupakan generasi-generasi yang dimiliki Wonorejo untuk dapat berkreasi dan berinovasi dalam dunia pekerjaan. Salah satunya adalah dengan mengembangkan potensi yang dimilki oleh Wonorejo baik itu dalam segi lokasi yang strategis dalam bidang usaha dan mengembangkan lingkungan yang terpadu (dalam hal ini adalah ekosistem mangrove). sehingga dapat memberikan ruang bagi penduduk yang belum bekerja (19,461%) untuk ikut andil dalam dunia usaha. Penelitian ini berfokus pada masyarakat yang memiliki pekerjaan di wilayah ekosistem mangrove. tercatat terdapat tiga pekerjaan atau mata pencaharian masyarakat yang berada di wilayah ini yaitu buruh tani tambak, petani mangrove, dan nelayan harian. Menurut data monografi Kelurahan Wonorejo 2014 penduduk yang bekerja sebagai petani, nelayan, ataupun buruh tani memiliki persentase yang sangat kecil (di bawah 1%). Dengan jumlah total 56 orang. Apabila dibandingkan dengan temuan dilapangan, jumlah buruh tani tambak tercatat 48 orang. Data ini jelas berbeda dengan kondisi yang ada di lapangan. Sehingga perlu dilakukan survei ulang atau pendataan ulang terkait dengan pekerjaan penduduk di Wonorejo. Pemanfaatan Lahan di Ekosistem Mangrove Potensi yang tinggi pada bidang ekonomi di wilayah ekosistem mangrove Wonorejo menjadikan daerah ini menjadi sektor pembangunan yang melibatkan berbagai macam pemanfaatan. Pemanfaatan lahan yang ada di wilayah ini diantaranya sebagai vegetasi mangrove, perumahan, ekowisata, rumah makan dan
20
pemancingan, pertambakan, serta terdapat bangunan-bangunan yang difungsikan untuk menunjang perlindungan dan pelestarian (bozem dan rumah pompa). (1)
Keberadaan Mangrove di Desa Wonorejo Desa Wonorejo merupakan salah satu desa psisir di Kota Surabaya yang terkenal dengan kepadatan mangrovenya. Berdasarkan hasil penelitian dari BLH 2012 luas lahan mangrove pada tahun 2011 adalah 63,8 ha dengan kerapatan 1600 pohon/ha. Jumlah ini menurun jika dibanding pada tahun sebelumnya yaitu 64,27 ha. Luas vegetasi mangrove di Wonorejo jika dibandingkan dengan keseluruhan luas vegetasi yang ada di Pamurbaya adalah 12,93%. Sebaran mangrove yang ada di Desa Wonorejo berada pada buffer zone laut dan sungai, tanaman ini mengelilingi tambak masyarakat, selain itu vegetasi mangrove juga terdapat di tambak masyarakat (Gambar 6). Jenis tanaman mangrove yang ada di Desa Wonorejo menurut penelitian BLH 2012 (Tabel 6).
(6a)
(6b)
(6c)
Gambar 6 (a) vegetasi mangrove di wilayah buffer zone Pantai Timur Surabaya; (b) vegetasi mangrove di buffer zone sungai; (c) vegetasi mangrove di tambak Tabel 7 Jenis tanaman mangrove di Wonorejo No. Nama Ilmiah Mangrove sejati 1 Acanthus ebracteatus 2 Acanthus ilicifolius 3 Acanthus aureum Lim. 4 Aigiceras floridium 5 Avicennia alba 6 Avicennia marina 7 Avicennia officinalis 8 Excoecaria agallocha 9 Rhizophora mucronata Mangrove ikutan 1 Baringtonia asiatica (L.) Kurz 2 Calophyllum inophyllum L. 3 Calotropis gigantea L. Dryander 4 Cerbera manghas L. 5 Hibiscus tiliaceus L. 6 Ipomoea pes-caprae (L.) Sweet. 7 Morinda citrifolia 8 Passiflora foetida (L.) 9 Ricinus communis Linn. 10 Sesuvium portulacastrum (L.) 11 Terminalia catappa L. 12 Wedelia biflora (L.) DC. Sumber: BLH 2012
Nama Lokal Jeruju putih Jeruju hitam Paku laut Mangekasihan Api-api Api-api daun lebar Api-api putih Buta-buta Bakau hitam Keben Nyamplung Widuri Bintaro Waru laut Katang-katang, tapak kuda Mengkudu Semangka kurung Jarak kepyar Krokot laut Ketapang Seruni laut
21
Selain tanaman mangrove yang disebutkan diatas terdapat pula Xylocarpus granatum di sekitar Sungai Jagir. Tanaman mangrove banyak terdapat disepanjang pesisir pantai dengan ketebalan 10 – 100 m (Gambar 2b), untuk di sepanjang sungai Avoor 10 m – 20 m (Gambar 2a). Mangrove yang berada di wilayah buffer zone merupakan tanaman alami. Terdapat pula tanaman-tanaman baru yang didominasi oleh Rhizophora sp. yang berasal dari proyek penanaman yang dilakukan oleh berbagai perusahaan yang bekerjasama dengan kelompok masyarakat setempat. Keberadaan mangrove tidak hanya di wilayah buffer zone, terdapat tegakan mangrove yang didominasi oleh Avicennia sp dan Rhizophora sp di pematang tambak masyarakat. Tanaman mangrove ini merupakan mangrove yang tumbuh secara alami. Menurut keterangan masyarakat tanaman mangrove masih dipertahankan di wilayah ini karena mereka mengetahui manfaat mangrove sebagai penahan tanggul tambak. akan tetapi masyarakat masih banyak yang belum mengetahui fungsi tanaman mangrove secara lebih luas. Fungsi dan Manfaat Vegetasi Mangrove di Pamurbaya Berdasarkan hasil penelitian BLH (2012), vegetasi mangrove mempunyai fungsi penting bagi kota Surabaya. Fungsi ini memberikan manfaat baik dari segi ekologis dan ekonomi. Berikut ini merupakan fungsi dari vegetasi mangrove yang berada di wilayah Pamurbaya: Fungsi Ekologis Sebagai pelindung yang kuat dan alami dari ancaman abrasi serta dapat menjaga stabilitas garis pantai Penetralisir limbah yang berasal dari laut dan sungai Sebagai tempat berpijah ikan, terutama ikan-ikan kecil untuk dapat berkembang dan sebagai tempat berkembang biak, sumber pakan dari berbagai jenis ikan, udang burung, san satwa liar seperti burung dan buaya. Kemampuan mangrove dalam mengembangkan wilayahnya ke arah laut yang berasal dari sedimentasi dari air sungai dengan membentuk tanah timbul. Kawasan konservasi Bappeko (Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota) Surabaya telah menetapkan Pamurbaya termasuk dalam kawasan konservasi di wilayah timur diarahkan pada wilayah pantai timur. Sebagai habitat satwa liar Berdasarkan survei Badan Lingkungna Hidup Kota Surabaya (2012), keberadaan mangrove di Pamurbaya mampu menarik kedatangan spesies darat liar non ekonomi seperti spesies kelas Arachnida, spesies kelas Aves, spesies kelas Insecta, Mammalia, Reptilia, dan spesies kelas Amphibia. Terdapat pula satwa darat liar non ekonomi yaitu kelas Crustacea, kelas Mollusca, dan kelas Reptilia. Untuk satwa darat liar ekonomi terdapat populasi spesies kelas aves. (Sumber BLH 2012) Fungsi Ekonomi Sebagai tempat objek wisata mangrove (ekowisata). Pengolahan buah mangrove sebagai bahan baku makanan dan sirup. Perikanan tambak udang dan bandeng
22
Penghasil kepiting (Sumber: data primer pengamatan lapangan 2015) (2)
Ekowisata Ekowisata Wonorejo merupakan ekowisata yang memanfaatkan ekosistem mangrove sebagai daya tarik wisatanya. Pemerintah Surabaya yang bekerjasama dengan pihak swasta ingin menjadikan ekowisata ini sebagai kawasan penyangga pantai timur Surabaya dari abrasi pantai sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar ekowisata Wonorejo. Berbagai macam fasilitas yang disediakan oleh pengelola ekowisata yang berkaitan dengan mangrove, diantaranya: hamparan vegetasi mangrove yang dipadukan dengan jalan setapak dari bambu; kegiatan penanaman mangrove bagi para pengunjung serta terdapat kapal boat yang disediakan bagi wisatawan yang ingin menikmati hamparan vegetasi mangrove di sepanjang sungai.
(7a) Sumber: wisatajatim.com
(7b)
Gambar 7 Ekowisata Wonorejo (7a) Jalan setapak bambu; (7b) kapal wisata ekowisata Wonorejo Konsep ekowisata yang seharusnya merupakan bentuk wisata dengan pendekatan konservasi tidak berjalan dengan baik di wilayah ini. Hal ini terlihat dari mulai munculnya berbagai masalah yang ditimbulkan. Salah satunya adalah permasalahan dengan masyarakat. hal ini berawal dari kapal boat yang menimbulkan pencemaran di wilayah sungai. Berdasarkan keterangan masyarakat kapal boat yang dioperasikan untuk wisatawan menimbulkan gelombang besar yang membentur dinding tambak, sehingga hasil udang harian petani tambak berkurang bahkan tidak ada. Selain itu, banyaknya wisatawan yang tidak terkontrol berdampak pada keberadaan burung yang singgah di wilayah mangrove Wonorejo. (3)
Perumahan Lokasi yang strategis dan memiliki potensi dalam bidang ekowisata dan perdagangan, menjadi hal yang menarik perhatian bagi para pengembang untuk melakukan pembangunan perumahan. Pembangunan perumahan ini ditujukan untuk kalangan menengah keatas. Setidaknya ada tiga pengembang yang sedang membangun perumahan di wilayah ini. Pada hakekatnya pengembangan perumahan yang diperuntukkan untuk masyarakat merupakan kegiatan yang baik untuk menunjang ekonomi wilayah tersebut. Dampak yang diberikan untuk perekonomian masyarakat juga cukup
23
tinggi yaitu salah satunya, usaha masyarakat dalam bidang kuliner dan sarana prasarana lainnya. Akan tetapi pengembangan perumahan juga perlu memperhatikan dampak yang terjadi terhadap lingkungan dan mata pencaharian masyarakat. Dampak bagi ekosistem mangrove yaitu semakin terdesaknya habitat vegetasi mangrove yang memiliki nilai ekologis dan nilai ekonomi yang tinggi bagi lingkungan dan masyarakat sekitar. Berdasarkan BLH (2011) terdapat penurunan vegetasi mangrove di Wonorejo akibat adanya alih fungsi lahan sebesar 27,26%. Pada tahun 2015 luas lahan yang bervegetasi mangrove cenderung menurun kembali karena terjadi alih fungsi lahan untuk perumahan. selain berdampak terhadap lingkungan pembangunan perumahan yang dilakukan secara terus menerus berdampak pada pertambakan dan perikanan. Salah satu dampak buruk yang terlihat adalah berkurangnya lahan untuk pertambakan serta berkurangnya vegetasi mangrove yang memiliki manfaat bagi perlindungan dan habitat ikan dan satwa liar.
Gambar 8 Perumahan yang dikembangkan di wilayah ekosistem mangrove Wonorejo (4)
Pemancingan dan Rumah Makan Pemancingan dan rumah makan merupakan usaha yang mulai tumbuh di wilayah Wonorejo. Hal ini dipengaruhi oleh banyaknya wisatawan yang mulai berdatangan untuk menikmati keindahan mangrove di wonorejo. Sehingga banyak pengusaha yang tertarik membuka bisnis dalam bidang ini. Pemancingan merupakan usaha yang dikembangkan sesuai dengan potensi yang dimiliki wilayah tersebut, yaitu pertambakan. Usaha seacam ini banyak dipadukan dengan rumah makan yang menyajikan hasil tangkapan para pemancing ataupun dari tambak yang ada (Gambar 9).
(9a)
(9b)
Gambar 9 (a) Wisata pemancingan; (b) rumah makan yang dikembangkan disekitar wilayah ekosistem mangrove Wonorejo
24
(5)
Pertambakan Sesuai dengan arahan RTRW kota surabaya tahun 2014, kawasan mangrove di peisisr timur Kota Surabaya juga difungsikan sebagai zona budidaya perikanan dengan luas 433 ha. Luas pertambakan ini termasuk di Kelrahan Wonorejo. Berdasarkan profil Kelompok Masyarakat Trunojoyo (Kelompok Petambak) luas lahan pertambakan di Kelurahan kurang lebih 220 ha. Tambak ini berada di sisi timur Wonorejo yang berbatasan dengan buffer zone sungai avoor dan sungai jagir serta serta Selat Madura.
Gambar 10 Tambak di wilayah ekosistem mangrove Wonorejo Lahan tambak di Wonorejo sebagian besar dimiliki oleh warga luar Wonorejo. Penunggu tambak merupakan warga pendatang dari berbagai wilayah di Jawa Timur yang sudah puluhan tahun bekerja di tambak Wonorejo. (6)
Perlindungan dan Pelestarian Pemerintah Kota Surabaya melalui Dinas PU Bina Marga dan Pamatusan, berencana akan menambah jumlah bozem di Surabaya. Pemerintah Kota juga telah melakukan upaya rehabilitasi bozem atau waduk dengan melakukan pengerukan sedimen secara rutin. Bozem di Desa Wonorejo ini berfungsi untuk pengairan tambak, pemancingan dan ekowisata, akan tetapi kondisi bozem yang saat ini belum berfungsi dengan baik (Gambar 8a). Selain bozem, pemerintah juga membangun Rumah Pompa di Desa Wonorejo.
(11a)
(11b)
Gambar 11 Sarana dan prasarana (11a: bozem; 11b: Rumah Pompa) dalam upaya perlindungan dan pelestarian di Desa Wonorejo Rumah Pompa merupakan pompa air yang berfungsi untuk mengatur pasang surut air laut yang mengalir di Sungai Avoor (Gambar 8a). Rumah Pompa ini
25
dibangun kurang lebih dua tahun terakhir ini. Akan tetapi Rumah Pompa yang awalnya ditujukan untuk mengatur keluar masuknya air pasang surut menjadi sumber tercemarnya air sungai. Pencemaran yang terjadi, sudah menjadi sorotan publik. Air yang keluar dari pompa keluar dengan tekanan yang tinggi, sehingga benturan yang terjadi mengakibatkan busa yang begitu melimpah. Busa ini mirip seperti busa sabun yang jumlahnya sangat banyak. Busa ini ada hanya pada saat pompa dinyalakan, akan tetapi busa yang timbul hingga menutupi permukaan sungai yang lebarnya kurang lebih 10 m hingga menuju ke arah laut lepas. Ancaman Alih fungsi lahan untuk kawasan pemukiman Desa wonorejo merupakan lokasi yang strategis untuk pengembangan perumahan dan apartemen. Pasalnya, desa ini merupakan pesisir yang terdapatdi kota besar, sehingga banyak pendatang dan orang-orang yang bekerja di kota besar memilih membeli rumah dari para developer perumahan yang berada di Desa Wonorejo. Hingga pada saat ini terhitung tiga developer besar yang telah mengembangkan perumahan untuk kalangan menengah keatas. Pengembangan pariwisata Potensi yang dimiliki Desa Wonorejo menjadikan wilayah ini berpotensi untuk dikembangkan sebagai ekowisata. Konsep ekowisata yang tidak sejalan dengan konsep kelestarian lingkungan mengakibatkan pencemaran dan bahkan merugikan bagi berbagai pihak. Pencemaran Masalah pencemaran yang terjadi di Desa Wonorejo terkait dengan kualitas air. Air yang menjadi sumber daya yang sangat dibutuhkan bagi masyarakat, terutama petani tambak dan nelayan harian menjadi korban dari adanya pencemaran ini. Hal ini dikarenakan petani tambak sangat bergantung keberadaan air sungai untuk pnegairan tambaknya, dan untuk nelayan harian apabila air tercemar maka, kepiting, udang dan ikanpun akan sulit ditemukan. Pencemaran terjadi disebabkan oleh perahu motor besar yang dioperasikan oleh manajemen ekowisata sehingga tumpahan minyak dan delombang yang membentur dinding sungai dan tambak dapat merusak tempat hidup kepiting, udang dan ikan. Selain itu pencemaran air juga berasal dari limbah rumah tangga dan industri, hal ini dibuktikan oleh adanya busa raksasa yang ditimbulkan oleh rumah pada saat beroperasi. Busa yang dihasilkan sangat banyak dan mengalir di sungai Avoor sampai laut lepas (Gambar 9).
Gambar 12 Pencemaran air berupa busa putih yang menutupi Sungai Avoor
26
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Responden Dalam pendekatan analisis keberlanjutan mata pencaharian, sasaran responden adalah massyarakat Wonorejo yang memilikihubungan langsung terhadap ekosistem mangrove dan instansi yang terkait dengan pengelolaan mangrove. Responden terdiri dari masyarakat sekitar ekosistem mangrove Wonorejo dan instansi yang tergabung dalam Kelompok Kerja Mangrove Daerah Provinsi Jawa Timur. Responden masyarakat merupakan masyarakat yang memiliki pengaruh terhadap ekosistem mangrove baik itu dalam hal pengelolaan ataupun masyarakat yang bermata pencaharian di wilayah ekosistem mangrove, yang kemudian dalam penelitian ini disebut masyarakat mangrove. Berdasarkan wawancara dan pengamatan langsung di lapangan masyarakat mangrove merupakan masyarakat minoritas dengan jumlah kurang lebih hanya 50 orang dari 25 000 jiwa dari keseluruhan penduduk Wonorejo. Responden masyarakat terdiri dari masyarakat yang berprofesi sebagai petani mangrove dengan jumlah responden 2 orang dilakukan dengan sensus, petani tambak dengan jumlah responden 10 orang dan nelayan harian dengan jumlah responden 2 orang ddilakukan dengan purposive sampling dengan jenis kelamin laki-laki. Tabel 8 Karakteristik responden masyarakat No.
1 2
3
Karakteristik Responden
Jenis Kelamin Usia
Jenjang pendidikan
4
Daerah asal
5
Lama Tinggal
Kategori
Kelompok Mata Pencahrian PM (n=2)
PT (n=10)
NH (n=2)
Laki-laki
2
10
2
Perempuan
-
-
-
<25X>65 Tahun
-
-
-
>45-65 Tahun (Produktif)
1
9
-
25-45 Tahun (Sangat Produktif)
1
1
2
SD
-
6
-
SMP
-
3
2
SMA
1
1
-
Perguruan tinggi
1
-
-
Luar Wonorejo
2
7
-
Dalam Wonorejo
-
3
2
<5 Tahun
1
-
-
>10 Tahun
-
-
-
10
2
>15 Tahun 1 Keterangan: PM (Petani mangrove); PT (Petani tambak); NH (Nelayan harian)
Karakteristik jenis kelamin responden 100% adalah laki-laki. Hal ini dikarenakan masyarakat yang bermatapencaharian di wilayah eekosistem mangrove hanya laki-laki saja. Untuk petani mangrove, jumlah responden petani mangrove merupakan keseluruhan anggota aktif sampai pada tahun 2015. Kelompok aktif merupakan kelompok yang ikut aktif dalam setiap program
27
kegiatan yang diadakan, yaitu ketua kelompok dan satu orang anggota memiliki kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan. Kelompok ini diketuai oleh Bapak Soni Muchson, seorang pendatang yang tidak memiliki keterampilan mengenai lingkungan mangrove. Melihat, kerusakan lingkungan yang terjadi disekitarnya, Bapak Soni mulai melakukan rehabilitasi mangrove di sepanjang sungai Wonorejo. Untuk menarik perhatian masyarakat sekitar agar peduli terhadap lingkungan sekitar, Ketua kelompok ini mulai berfikir kreatif untuk memanfaatkan buah mangrove sebagai bahan olahan makanan. Sehingga, Produk-produk inilah yang sampai saat dikenal oleh banyak kalangan dengan sirup bogem mangrove dan berbagai macam olahan makanan lainnya. Pemanafaatan tanaman mangrove mejadi olahan makanan merupakan salah satu strategi untuk memberikan pengajaran kepada masyarakat sekitar akan penting dan manfaat tanaman mangrove bagi lingkungan. Dengan latar belakang masyarakat yang berbeda-beda dan mata pencaharian yang sebgaian besar merupakan pekerja swasta (Monografi Kelurahan Wonorejo 2014), Bapak Soni ingin melibatkan warga di Wonorejo dalam penyelamatan lingkungan di sekitarnya. Untuk itu dalam setiap kesempatan yang ada baik itu dalam rangka kegiatan penanaman dan pengolahan bahan makanan yang berasal dari mangrove mengikutsertakan masyarakat sekitar. Sampai saat ini kegigihan beliau mulai trelihat dengan banyaknya pihak yang mulai peduli terhadap penyelamatan lingkungan di kawasan mangorve di Wonorejo. Responden yang berasal dari kelompok petani tambak berjumlah 10 orang dengan latar belakang pendiidkan yang rendah. responden ini merupakan buruh tani tambak yang merupakan masyarakat pendatang yang sudah puluhan tahun tinggal di Wonorejo. Petani tambak masuk kedalam kelompok masyarakat Trunojoyo yang menaungi para petani tambak yang ada di Wonorejo. Selain petani tambak kelompok ini juga beranggotakan nelayan harian yang pada penelitian ini termasuk kedalam responden sebanyak dua orang. Jumlah responden ini merupakan 25 persen dari total keseluruhan masyarakat yang berprofesi sebagai petani tambak dan nelayan harian. Petani tambak dan nelayan harian yang tergabung dalam kelompok Trunojoyo mulai merasakan akibat kerusakan lingkungan mangrove disekitarnya. Dampak yang paling dirasakan oleh para petani tambak dan nelayan harian adalah semakin berkurangnya produksi ikan yang berasal dari tambak dan lingkungan luar tambak sekitar mangrove. Hal ini berpengaruh terhadap pendapatan masyarakat yang semakin berkurang. Penurunan produksi yang berimbas pada ekonomi masayarakat mendorong kelompok ini mulai melakukan kegiatan rehabilitasi mangrove dan memanfaatkan lingkungan ekosistem mangrove sebagai sarana pendidikan lingkungan bagi pelajar. Mata Pencaharian Masyarakat pada Ekosistem Mangrove 1.
Petani Tambak Petambak Wonorejo tergabung dalam kelompok petani tambak trunojoyo Kelurahan Wonorejo. Jumlah anggota yang termasuk kedalam kelompok tani adalah 58 orang. Anggota kelompok ini 98 % merupakan penunggu tambak sedangkan untuk sisanya yaitu 2% adalah pemilik tambak sekaligus sebagai
28
pengelola tambak. Untuk memudahkan penyebutan dalam penilitian ini responden dari petambak disebut petani tambak. Penunggu tambak yang berada di Desa Wonorejo hanya mengandalkan penghasilan dari panen tambak dan udang harian serta mencari kepiting. Sebagian besar penunggu tambak berasal dari Kelurahan Wonorejo dan sebagian kecil berada dari luar kota seperti dari Jombang, Pasuruan, Tuban dan kota lainnya. Penunggu tambak diberikan hak pengelolaan tambak dengan luasan yang berbeda-beda. Luas areal keseluruhan yang dimanfaatkan untuk pengelolaan tambak di Desa Wonorejo adalah 220 ha dengan jumlah petani tambak 48 orang. Masing-masing luas areal garapan tidak sama antar para petani tambak. Luas minimal tambak untuk satu orang penunggu tambak adalah 1 ha, dan ada pula penunggu tambak yang mengelola tambak seluas 18 ha. Konsep pengelolaan tambak terdapat pemilik tambak yaitu orang yang berhak atas tanah tambak (perusahaan atau perorangan) dan penunggu tambak yaitu orang yang diberi mandat oleh pemilik tambah untuk mengelola tambak. Pembagian keuntungan dari hasil tambak dengan pemilik tambak berbeda-beda, berkisar 10% sampai 25% untuk penunggu tambak. sebagai contoh adalah Pak Darmanto, yang mengelola tambak seluas 12 ha dengan perjanjian pembagian keuntungan 10% untuk penunggu tambak dan 90% untuk pemilik tambak, dengan tambahan uang bulanan sebesar 300 ribu/bulan dari pemilik tambak. berbeda dengan Cak Malik, pembagian keuntungan adalah 25% tanpa adanya uang bulanan dari pemilik tambak. Model pengelolaan tambak yang diterapkan di Desa Wonorejo adalah tambak tradisional, yang merupakan tambak yang dikelola secara manual tanpa adanya alat-alat mekanik ataupun tehnik khusus untuk mengelolanya.Tambak ini sangat dipengaruhi pasang surut air laut yang merupakan sumber pengairan bagi tambak, dengan cara buka tutup pintu tambak. Untuk pemberian pakan ikan, petani tambak masih mengunakan bahan dari alam yaitu ganggang hijau yang tumbuh alami di dalam tambak. Namun demikian ditemukan satu pengelola tambak dengan luas tambak 18 ha yang dikelola oleh Pak Adam menambahkan pakan dari pabrik untuk menunjang pakan alami yaitu ganggang apabila tidak mencukupi untuk pakan ikan. (a)
Kondisi vegetasi Luas keseluruhan lahan mata pencaharian petani tambak kurang lebih 220 ha. Dari luas tersebut 95% tidak terdapat tutupan vegetasi. Vegetasi mangrove hanya berada pada beberapa tambak dengan desain silvofishery dengan tanaman mangrove berada di tanggul tambak yang didominasi oleh tanaman Avicennia sp, Rhizophora sp dan Bruguiera sp, dan ada pula tambak dengan sistem silvofishery dengan tanaman mangrove berada di tengah tambak dengan luas lahan tambak kurang lebih 2 ha (Gambar 13b) yang didominasi oleh tanaman Avicennia sp. Berdasarkan BLH (2012) luas tanaman mangrove yang ada di wilayah tambak ini seluas 13.29 ha dengan luas vegetasi mangrove ini hanya kurang dari 20% dari total luas tambak yang ada. Pada tahun 2015 vegetasi mangrove ini sudah banyak berkurang akibat adanya alih fungsi lahan tambak menjadi pemukiman berupa komplek perumahan yang dikembangkan oleh investor.
29
(13a)
(13b)
(13c)
Gambar 13 Kondisi vegetasi tanaman mangrove pada lahan pertambakan (b)
Kondisi Ekonomi Berdasarkan perhitungan, nilai ekonomi rata-rata pertambak udang dan bandeng adalah Rp 12 000 000 ha/tahun. Nilai ini merupakan nilai penghasilan dari usaha tambak yang nantinya akan dibagi 25% untuk petani tambak. Apabila rata-rata petani mengelola tambak seluas 4 ha maka mereka hanya mampu menghasilkan Rp 741 666,66 /bulan. Selain dari pendapatan pertambakan mereka juga menangkap hasil udang liar dengan rata-rata pendapatan Rp 25 000 – Rp 100 000 / hari. Sehingga para petani sangat mengharapakan pendapatan yang berasal dari udang liar yang ada. Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu, udang liar yang hampir tiap 3ari mereka dapatkan, sudah satu bulan terakhir hampir tidak ada. Hal ini dikarenakan peningkatan pencemaran air sungai. Peningkatan pencemaran air sungai merupakan salah satu faktor penurunan pendapatan petani tambak. Pencemaran air sungai memberikan dampak langsung terhadap kehidupan udang dan kepiting liar yang ada di tambak. Hal ini dikarenakan, sistem teknologi pengairan tambak yang masih sangat sederhana. Teknik ini dilakukan dengan buka tutup pintu tambak secara manual dan hanya mengandalkan keberadaan pasang surut air laut yang mengalir melalui sungai. (c)
Kondisi Sosial Petani tambak memiliki kelompok masyarakat dengan nama Kelompok Tani Trunojoyo yang didirikan masyarakat yang memiliki latar belakang mata pencaharian petani tambak oleh inisiatif Bapak Ratno (ketua kelompok). Kelompok masyarakat ini didukung oleh LSM nol sampah yang bergerak dalam bidang konservasi sumberdaya alam di wilayah pesisir. LSM ini sudah masuk ke wilayah pesisir di Desa Wonorejo dalam kurun waktu 15 tahun terakhir. Hingga saat ini LSM Nol Sampah masih aktif dalam memberikan penyuluhan dan pelatihan kepada Kelompok Tani Trunojoyo. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan keterampilan kepada masyarakat petani tambak. Keterampilan ini nantinya diharapkan dapat memberikan tambahan pendapatan selain dari bidang pertambakan. Sehingga masyarakat juga dapat memanfaatkan sumberdaya alam yang ada, misalnya dengan pembibitan serta penyedia lokasi untuk pendidikan lingkungan dan satwa liar. 2.
Petani Mangrove Petani mangrove merupakan kelompok masyarakat yang menjalani kegiatannya di bidang pemanfaatan buah mangrove. Selain melakukan pengolahan buah mangrove, petani magrove juga melakukan penanaman
30
mangrove di berbagai tempat. Kelompok ini tergabung dalam kelompok mina tani mangrove yang diketuai oleh Soni Muchson, seorang aktivis lingkungan yang memiliki kreativitas yang tinggi dalam melakukan pengolahan makanan dari bahan yang berasal dari tanaman mangrove. Kelompok tani mangrove memiliki jumlah anggota aktif sebanyak 2 orang dibawah pengawasan perguruan tinggi negeri di Surabaya. Kelompok ini akan mempekerjakan masyarakat pada saat panen raya buah mangrove yang akan dijadikan bahan makanan ataupun pada saat melakukan kegiatan pembinaan. Hasil pengolahan tanaman mangrove dijadikan makanan dan minuman diantaranya, sirup mangrove yang berasal dari buah bogem (Sonneratia caseolaris), tepung dari buah Bruguiera yang dijadikan dawet, brownis dan olahan makanan lainnya. Selain makanan, produk dari olahan ini mangrove ini juga dapat menghasilkan teh dari daun Acanthus sp. Pengolahan buah mangrove menjadi bahan baku makanan yang merupakan inovasi ramah lingkungan dan merupakan temuan yang bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Sampai saat ini produk yang berupa sirup mangrove merupakan produk yang diunggulkan dari Kota Surabaya dan sebagai produk khas Desa Wonorejo. Selain itu juga, Bapak Muchson telah mengembangkan dawet yang berasal dari tanaman Bruguiera. Rasa dari dawet ini tidak jauh beda dengan dawet yang biasa dipasarkan, sehingga produk ini layak dan patut dikembangkan untuk dipasarkan secara luas. Kegiatan kelompok petani mangrove tidak hanya melakukan pemanfaatan buah mangrove, kegiatan lainnya adalah pendidikan lingkungan. Tidak jarang kelompok ini dipercaya untuk menjadi pembicara dan memberikan pelatihan dalam pengolahan buah mangrove baik untuk instansi, kelompok, mahasiswa dan siswa yang berasal dari berbagai daerah. Bahkan ketua kelompok ini yaitu Bapak Soni Muchson sudah banyak mendapatkan penghargaan dari berbagai macam kategori dibidang lingkungan, yang salah satunya adalah SCTV Award pada tahun 2013. (a)
Kondisi vegetasi Mata pencaharian sebagai petani mangrove yang memanfaatkan buah mangrove merupakan mata pencaharian yang sangat bergantung dengan keberadaan vegetasi mangrove. Jenis tanaman mangrove yang dimanfaatkan oleh petani mangrove adalah Sonneratia caseolaris, Bruguiera gymnorrhiza, dan Acanthus sp. Jenis tanaman ini mereka dapatkan dari vegetasi yang berada di sepanjang sungai Jagir Desa Wonorejo, namun tidak semua bahan baku buah mangrove berasal dari desa ini. Sonneratia caseolaris atau lebih dikenal dengan bogem merupakan tanaman yang memiliki buah berbentuk bulat berwarna hijau. Tanaman ini tumbuh baik dihabitat ekosistem mangrove. Di tangan Bapak Muchson (Ketua Kelompok Tani Mangrove) buah dari tanaman mangrove ini dimanfaatkan untuk bahan baku sirup. Tanaman ini tumbuh di sekitar Sungai Jagir. Jumlah tanaman yang dimanfaatkan untuk bahan baku olahan sirup hanya 8 tanaman. Selain bogem, di wilayah ini juga, kelompok tani mengambil Acanthus sp. sebagai bahan baku pembuat teh. Untuk tanaman Bruguiera gymnorrhiza, yang dimanfaatkan untuk membuat tepung, kelompok tani mangrove mengambilnya dari desa yang
31
berbeda. Hal ini dikarenakan keterbatasan jenis tanaman Bruguiera sp. yang ada di Desa wonorejo. (b)
Kondisi ekonomi Pendapatan yang dihasilkan dari olahan buah mangrove cukup menjanjikan, terutama dari sirup bogem. Sirup bogem dijual dengan harga Rp. 25.000,00/ botol. Rata-rata produk ini terjual 75 sampai 100 botol per bulan. Keuntungan yang dapat diperoleh dari produksi adalah 75% per botol. Keterbatasan tanaman membuat produksi tidak dapat dipastikan, sehingga dalam memproduksi akan dimasksimalkan pada masa panen raya. Panen raya buah Sonneratia sp berkisar antara bulan juni sampai dengan juli. Pemasaran hasil produk olahan buah mangrove masih dalam kalangan tertentu saja. Produk dijual pada saat acara-acara tertentu, seperti pada saat pelatihan yang dilakukan untuk pelajar ataupun kegiatan-kegiatan lainnya yang sering dilakukan oleh kelompok tani mangrove. Pendapatan petani mangrove, selain dari hasil jual produk olahan mangrove, juga berasal dari proyek-proyek lingkungan yang bekerjasama oleh perusahan atau organisasi-organisasi non pemerintah seperti WWF atau NGO lainnya. Keterampilan dan pengetahuan kelompok mangrove tani seperti inilah yang menjadi daya tarik sendiri untuk mendapatkan peluang dalam menjalankan usahanya dalam pemanfaatan lingkungan secara berkelanjutan. (c)
Kondisi Sosial Petani mangrove memiliki kelompok masyarakat dengan nama kelompok tani mangrove Wonorejo. Kelompok ini memiliki struktur organisasi yang sudah baik yang dipimpin sekaligus sebagai aktor dari penemu olahan buah mangrove yaitu seorang penggiat lingkungan yang tinggal di Desa Wonorejo sejak tahun 1998. Kelompok ini banyak didukung oleh perguruan tinggi yang ada di Kota Surabaya diantaranya Universitas Airlangga dan Intitut Teknologi Sepuluh November, dan pergguruan tinggi dari Kota Malang (Universitas Brawijaya). Perguruan tinggi ini banyak bekerjasama dibidang riset dengan menempatkan mahasiswanya untuk melaksanakan kerja lapangan dan penelitian (skripsi dan tesis) terkait dengan pengolahan buah mangrove dan mempelajari halhal yang berkaitan dengan ekosistem mangrove. Selain dari perguruan tinggi, kelompok tani mangrove ini juga dipercaya oleh berbagai sekolah tingkat SD sampai SMA baik yang didalam Kota Surabaya maupun luar Kota Surabaya untuk mengajarkan siswa-siswanya mengenai lingkungan ekosistem mangrove dan manfaat dari tanaman mangrove. Kerjasama yang dilakukan kelompok petani mangrove dengan perusahaan dan organisasi non pemerintah juga menjadi sorotan yang menarik. Kelompok Petani Mangrove sudah dipercaya oleh banyak pihak dalam jasanya terhadap lingkungan karena keahlian dan keterampilan yang dimilki oleh anggota kelompoknya, sehingga Kelompok tani mangrove ini banyak mendapatkan peluang dalam bentuk kerjasama untuk menyelamatkan lingkungan pada ekosistem mangrove.
32
3.
Nelayan Harian Nelayan harian merupakan mata pencaharian yang memiliki peminat relatif sedikit di Desa Wonorejo. Tercatat, hanya lima orang yang aktif dalam menjalankan mata pencaharian ini di Desa Wonorejo. Faktor yang menyebabkan sedikitnya peminat masyarakat yang bekerja sebagai nelayan harian adalah masyarakat lebih memilih bekerja menjadi buruh bangunan atau pekerjaan lainnya yang berada di kota. Menurut masyarakat pekerjaan di kota lebih menjanjikan sedangkan untuk mencari ikan atau kepiting di sekitar hutan mangrove dan tambak belum tentu memperoleh hasil yang maksimal, seperti kondisi yang saat ini dirasakan oleh nelayan harian. Hasil komoditas yang didapat oleh nelayan harian saat ini memang kurang maksimal. Komoditas yang dihasilkan oleh nelayan harian adalah kepiting dan ikan. Salah satu faktor yang menjadi penyebab berkurangnya komoditas dari kepiting setiap harinya adalah pencemaran air yang terjadi. Pencemaran air ini berdampak buruk pada kualitas tempat hidup bagi kepiting dan ikan lainnya. Untuk saat ini masyarakat hanya dapat memperoleh kepiting 1 kg sampai 2 kg dengan harga perkilonya 80 000 – 100 000 ribu rupiah per kilogramnya. Masyarakat yang bermata pencaharian nelayan tangkap hanya mengandalkan kondisi alam sekitar. Nelayan harian merupakan mata pencaharian ramah lingkungan karena pekerjaan ini tidak menggunakan pestisida atau teknologi yang dapat merusak habitat ekosistem mangrove, dan tidak membutuhkan modal yang besar karena pekerjaan ini hanya membutuhkan lampu baterai (senter) dan tongkat besi yang berfungsi untuk menangkap kepiting Nelayan harian hanya memanfaatkan sumber daya alam berupa kepiting di wilayah ekosistem mangrove untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Analisis Keberlanjutan Mata pencaharian Masyarakat di Ekosistem Mangrove Pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Wonorejo perlu dikelola secara berkelanjutan berbasis masyarakat. Mengingat, wilayah Desa ini termasuk pesisir pantai timur Kota Surabaya yang merupakan salah satu Kota metropolitan di Indonesisa dengan tingkat pembangunan yang sangat tinggi hingga wilayah pesisirnya. Selain itu, ekosistem mangrove di Desa Wonorejo juga memiliki fungsi dan manfaat bagi lingkungan dan masyarakat sekitarnya. Kondisi ekosistem mangrove Wonorejo terus mengalami tekanan baik dari darat maupun dari laut. Kerusakan ekosistem mangrove Wonorejo banyak diakibatkan oleh tekanan dari darat yaitu pencemaran dan pembangunan sedangkan dari laut yaitu abrasi dan pasang rob. Tekanan yang paling parah terjadi pada alih fungsi lahan tambak untuk pembangunan perumahan yang mengakibatkan pencemaran yang semakin parah. Indikasi peningkatan pencemaran terlihat dari penurunan hasil pertambakan, udang liar dan kepiting yang diakibatkan oleh adanya virus, selain itu pencemaran air juga terlihat dari timbulnya buih-buih busa seperti deterjen hingga menutupi permukaan sungai. Pencemaran ini mengakibatkan penurunan pendapatan dari mata pencaharian masyarakat. Mata pencaharian masyarakat yang berhubungan langsung dengan mangrove merupakan suatu wujud dari pemanfaatan ekonomi sumber daya alam yang ada di ekosistem mangrove. Selain itu mata pencaharian masyarakat yang
33
ada di Wonorejo merupakan mata pencaharian yang memang harus dipertahankan keberadaanya. Karena mata pencaharian tidak semata-mata hanya mencari keuntungan ekonomi, tetapi juga dalam hal menjaga kelestarian mangrove yang sudah dijelaskan pada definisi mata pencaharian masyarakat. sehingga mata pencaharian masyarakat pada ekosistem mangrove Wonorejo dapat dilakukan secara berkelanjutan dengan melakukan penilaian terhadap dimensi-dimensi yang terkait. Penilaian mata pencaharian masyakat secara berkelanjutan ditunjukkan berdasarkan hasil pengolahan data analisis RAP-Livelihood, yang merupakan pengembangan analisis keberlanjutan dalam bidang mata pencaharian mangrove. Dalam analisis RAP-Livelihood dipengaruhi oleh lima dimensi keberlanjutan mata pencaharian ekosistem mangrove, yaitu ekologi, ekonomi, sosial, teknologi sarana dan prasarana, serta kelembagaan. Analisis keberlanjutan ini diperuntukkan utnuk mnegetahui status keberlanjutan dari masing-masing dimensi yang nantinya dapat dijadikan acuan dalam pengembangan keberlanjutan mata pencaharian. Status keberlanjutan pada masing-masing dimensi ditunjukkan pada tabel 9 dan tabel 10. Tabel 9 Indeks keberlanjutan mata pencaharian pada ekosistem mangrove Dimensi
Indeks Keberlanjutan Mata Pencaharian PM PT NH Monte Monte Monte MDS Carlo MDS Carlo MDS Carlo
Status Keberlanjutan
Ekologi 65,922 65,663 61,889 61,779 72,465 71,841 Cukup berkelanjutan Ekonomi 59,834 59,476 51,652 51,285 59,419 58,501 Cukup berkelanjutan Sosial 59,593 58,736 63,492 62,655 63,492 63,153 Cukup berkelanjutan Teknologi SP 70,567 69,630 60,412 59,762 66,085 65,339 Cukup berkelanjutan Kelembagaan 57,416 56,800 51,976 51,557 50,411 49,870 Cukup berkelanjutan Rataan 62,666 57,884 62,374 Keterangan: PM: Petanni Mangrove; PT: Petani Tambak; NH: Nelayan Harian
Tabel 10 Nilai stress dan R2 pada setiap dimensi keberlanjutan mata pencaharian Nilai Stress R2
Ekologi 0,143 0,939
Ekonomi 0,154 0,922
Dimesi Sosial 0,137 0,939
Teknologi SP 0,162 0,928
Kelembagaan 0,147 0,923
Secara umum berdasarkan tabel 8 nilai indeks keberlanjutan berada pada posisi 50,411 sampai 72,465 yang menunjukkan bahwa status keberlanjutan dari matapencaharian pada ekosistem mangrove di Wonorejo adalah cukup berkelanjutan. Nilai indeks keberlanjutan memiliki koefisien determinasi (R2) pada seluruh dimensi cukup tinggi yaitu 0,923 sampai 0,939 hal ini menunjukkan bahwa keragaman dari model dapat dijelaskan sebesar 92% sampai 94% oleh atribut-atribut yang disertakan dalam model. Nilai stress menunjukkan nilai dibawah 0,25 yang berarti bahwa model yang dibangun untuk seluruh dimensi keberlanjutan menunjukkan model yang baik (goodness of fit) (Tabel 9) . Selain itu, model yang baik dan memiliki tingkat presisi yang tinggi ditunjukkan oleh perbedaan nilai hasil perhitungan MDS dengan hasil analisis monte carlo.
34
Analisis monte carlo merupakan bagian analisis dari RAP-Livelihood yang ditujukan untuk menguji tingkat kepercayaan nilai indeks total dan masingmasing dimensi. Suatu model memiliki tingkat presisi yang tinggi dan menjadi model yang layak untuk diterapkan apabila memiliki selisih nilai analisis monte carlo dan nilai MDS tidak lebih dari satu. Berdasarkan hasil analisis (Tabel 8) nilai selisih antara analisis monte carlo dan nilai MDS tidak lebih dari satu, hal ini berarti model mata pencaharian berkelanjutan memiliki tingkatan yang baik dan layak untuk diterapkan. Untuk melihat tingkatan indeks keberlanjutan pada masing-masing dimensi yang mempengaruhi model mata pencaharian dapat dilihar pada Gambar 14.
Gambar 14 Diagram layang dimensi keberlanjutan mata pencaharian masyarakat di Wonorejo Berdasarkan Gambar 14 diketahui dimensi keberlanjutan mata pencaharian yang paling tinggi terlihat pada dimensi ekologi dan dimensi teknologi sarana dan prasarana. Akan tetapi, untuk dimensi yang lain hampir memiliki nilai indeks keberlanjutan yang hampir sama dengan status cukup berkelanjutan. Hal ini menunjukkan matapencaharian yang berada pada ekosistem mangrove di Desa Wonorejo masih dapat dipertahankan keberadaannya dan dikembangkan untuk meningkatkan keberlanjutannya Berdasarkan hasil MDS, mata pencaharian masyarakat yang memiliki nilai tertinggi adalah petani mangrove yang diikuti oleh nelayan harian dan petani tambak. Nilai indeks keberlanjutan dari mata pencaharian masyarakat Wonorejo adalah sebagai berikut (Gambar 15).
35
Nilai MDS
Berkelanjutan
Tidak Berkelanjutan
Jenis Mata Pencaharian
Gambar 15 Nilai indeks keberlanjutan mata pencaharian masyarakat Wonorejo Nilai indeks keberlanjutan pada ketiga mata pencaharian masyarakat Wonorejo pada ekosistem mangrove memiliki status cukup berkelanjutan. Nilai indeks berkelanjutan ini meunjukkan bahwa mata pencaharian pada ekosistem mangrove di Wonorejo dapat dikembangkan diwilayah tersebut. Untuk mengembangkan mata pencaharian masyarakat menjadi berkelanjutan memerlukan dukungan dari pemangku kepentingan serta upaya untuk mengatasi permasalahan yang timbul pada setiap dimensi yang mempengaruhi keberlanjutan mata Nilai indeks keberlanjutan dipengaruhi oleh atribut dari masing-masing dimensi. Petani mangrove memiliki prospek keberlanjutan lebih tinggi dibandingkan dengan matapencaharian lainnya. hal ini dipengaruhi lebih sedikitnya permasalahan baik yang diakibatkan ataupun yang ditimbulkan terhadap keberadaan matapencaharian tersebut pada setiap dimensi. Berdasarkan hasil analisis RAP-Livelihood status keberlanjutan pada masing-masing dimensi berada pada status cukup berkelanjutan yang mendekati nilai 50. Hal ini mengindikasikan mata pencaharian masyarakat yang ada saat ini hampir memiliki status tidak berkelanjutan yang berarti mata pencaharian masyarakat cukup menghawatirkan keberadaanya. Salah satunya akibat dari banyaknya konflik. Konflik yang terjadi antar stakeholder salah satu penyebab utama tardahap keberadaan mata pencaharian masyarakat (Data Primer hasil analisis RAP-Livelihood 2015). Konflik ini timbul akibat adanya kepentingan dari masing-masing pemangku kepentingan. Terlebih ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang memiliki karakteristik sebagai sumberdaya milik bersama (McKean 2000), dan Wonorejo merupakan daerah pesisir kota metropolitan. Sehingga sangat memungkinkan mata pencaharian masyarakat Wonorejo semakin terdesak oleh adanya pembangunan, terutama pembangunan perumahan bagi kalangan menengah keatas dan pembangunan lainnya yang bersifat komersil tanpa memperhatikan dampak bagi lingkungan dan masyarakat. Pembangunan yang dilakukan oleh investor, tidak lantas membuat perekonomian masyarakat di Wonorejo tumbuh dengan baik. Hal ini terlihat pada Gambar 15, yang memperlihatkan dimensi ekonomi memiliki rata-rata nilai keberlanjutan yang rendah pada setiap mata pencaharian dibandingkan dengan
36
dimensi lainnya. Efek pembangunan-pembangunan yang ada saat ini banyak memberikan dampak buruk bagi keberlanjutan mata pencaharian masyarakat, salah satunya adalah pencemaran air yang semaikn meningkat. Pencemaran air merupakan salah satu indikator yang sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan mata pencaharian masyarakat di Wonorejo. Masyarakat sangat tergantung dengan kondisi air, terutama masyarakat yang berkerja sebagai petani tambak dan nelayan harian. Karena, sumber air yang digunakan untuk mengairi tambak adalah Sungai Avoor. Apabila sungai ini tercemar maka ikan yang dibudidayakan oleh masyarakat tidak dapat berkembang dengan baik. Selain ikan yang dibudidayakan, pencemaran air juga berpengaruh pada udang dan kepiting yang hidup di sepanjang sungai. Pasalnya, udang liar dan kepiting merupakan salah satu sumber pendapatan bagi petani tambak dan nelayan harian.
Gambar 16 Nilai indeks keberlanjutan mata pencaharian masyarakat Wonorejo pada masing-masing dimensi Berdasarkan gambar diatas petani mangrove dan nelayan harian memiliki nilai keberlanjutan pada setiap dimensi lebih tinggi dibandingkan petani tambak. untuk petani mangrove memiliki nilai dimensi ekonomi; teknologi, sarana, dan prasaran; serta kelembagaan lebih tinggi. Untuk Nelayan harian lebih unggul pada dimensi ekologi dan sosial. Sedangkan untuk petani tambak memiliki nilai lebih rendah pada setiap dimensi dibandingakan mata pencaharian lainnya. Hal ini dipengaruhi adanya permasalahan yang kompleks pada setiap dimensi yang dihadapi oleh petani tambak. Indeks keberlanjutan mata pencaharian pada ekosistem mangrove di DesaWonorejo dipengaruhi oleh berbagai macam atribut dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi sarana dan prasarana, serta kelembagaan. Untuk mengetahui sensitivitas dari artribut dari masing-masing dimensi tersebut menggunakan analisis leverage, yang bertujuuan untuk menentukan faktor kunci yang paling berpengaruh terhadap keberlanjutan matapencaharian.
37
Faktor Pengungkit (Leverage) Keberlanjutan Matapencaharian Masyarakat Pada Ekosistem Mangrove
Atribut
Indeks Keberlanjutan Dimensi Ekologi Atribut yang mempengaruhi keberlanjutan matapencaharian pada dimensi ekologi terdiri dari tujuh atribut diantaranya: kondisi vegetasi, tingkat keramahan mata pencaharian pada lingkungan, pengaruh mata pencaharian terhadap keberadaan sumber air bagi rumah tangga, kualitas air, status kepemilikan lahan, kesesuaian pemanfaatan lahan, dan alih fungsi lahan. Tingkat sensitivitas atribut dimensi ekologi tersaji pada Gambar 17.
Nilai indeks sensitivitas
Gambar 17 Tingkat sensitivitas pada dimensi Ekologi Berdasarkan Gambar 16 mata pencaharian masyarakat yang memiliki nilai tertinggi pada dimensi ekologi adalah nelayan harian yaitu 72,465 dengan status cukup berkelanjutan. Hal ini menunjukkan nelayan harian merupakan matapencaharian yang memiliki dampak dan akibat yang lebih baik pada dimensi ekologi dibandingkan dengan mata pencaharian lainnya. Berdasarkan hasil analisis leverage dari ketujuh atribut yang memiliki sensitivitas tertinggi secara berturut-turut terhadap keberlanjutan ekologi adalah: (1) kulaitas air; (2) status kepemilikan lahan; (3) kesesuaian pemanfaatan lahan; (5) tingkat keramahan pada lingkungan; (6) keberadaan vegetasi; (7) alih fungsi lahan. Kualitas air memiliki tingkat sensitifitas tertinggi hal ini dikarenakan seluruh mata pencaharian yang berhubungan langsung dengan ekosistem mangrove sangat tergantung pada kualitas air yang ada. Kualitas air di Wonorejo sudah mengalami pencemaran yang cukup berat. Terutama pencemaran air di Sungai Avoor, sungai yang menjadi sumber pengairan bagi petani tambak dan nelayan harian. Kondisi sungai ini sangat memprihatinkan, karena seluruh permukaan sungai ini tertutup oleh busa-busa raksasa yang diakibatkan oleh limbah. Sehingga sangat memungkinkan apabila pencemaran air tidak segera diatasi degan baik akan memberikan dampak yang buruk bagi keberlangsungan mata pencaharain masyarakat. Indeks Keberlanjutan Dimensi Ekonomi Atribut yang mempengaruhi keberlanjutan mata pencaharian pada dimensi ekonomi didominasi oleh kondisi pasar dan produk yang dihasilkan oleh usaha masyarakat. Atribut tersebut diantaranya: kelayakan usaha; kualitas produk; kuantitas produk, biaya produk, pendapatan, kemandirian modal; harga;
38
Atribut
produktivitas; pemasaran; dan jarak pasar. Tingkat sensitivitas berdasarkan analisis leverage tersaji pada Gambar 18.
Nilai indeks sensitivitas
Gambar 18 Indeks keberlanjutan dan tingkat sensitivitas pada dimensi Ekonomi Status keberlanjutan dimensi ekonomi matapencaharian masyarakat di DesaWonorejo adalah cukup berkelanjutan dengan nilai 51,625 – 59,834. Nilai ini merupakan batas nilai terbawah dari status keberlanjutan. Hal ini memang sangat dimungkinkan, karena berdasarkan hasil pengamatan dilapangan banyaknya keluhan terkait produksi dan pendapatan yang mereka dapatkan dari mata pencaharaian tersebut. Produk yang semakin lama semakin menurun yang berdampak pada pendapatan masyarakat. Hal ini juga terlihat pada analisis sensitivitas yang mana pendapatan merupakan faktor ekonomi yang paling mempengaruhi nilai keberlanjutan pada mata pencaharian masyarakat. Berikut merupakan tingkat pendapatan petani mangrove, nelayan harian, dan petani tambak:
Gambar 19 Pendapatan masyarakat pada ekosistem mangrove di Wonorejo Pendapatan merupakan tujuan dari masyarakat untuk mempertahankan mata pencaharian agar mendapatkan kelayakan penghidupan. Pada dasarnya kelayakan penghidupan secara ekonomi dapat diartikan dengan pengeluaran dan pendapatan dapat seimbang dalam jangka yang panjang (UNDP 2007). Dengan kata lain suatu
39
mata pencaharian dapat dikatakan berkelanjutan secara ekonomi apabila mata pencaharian tersebut dapat memberikan pendapatan yang layak dan berkesinambungan untuk generasi sekarang dan yang akan datang. Berdasarkan Gambar 19 mata pencaharian yang paling layak berdasarkan pendapatannya secara berturut-turut adalah petani mangrove, nelayan harian dan petani tambak. Sumber pendapatan masyarakat berasal dari penjualan produk dan fasilitator pelatihan dan pendidikan lingkungan mangrove. Berdasarkan analisis sensitivitas, atribut yang memiliki pengaruh yang tinggi terhadap dimensi ekonomi masyarakat selain pendapatan adalah kualitas produk dan pemasaran. Produk petani mangrove merupakan produk yang memiliki kualitas yang baik, karena produk ini merupakan salah satu inovasi baru yang diciptakan oleh masyarakat. Penemuan ini juga didukung oleh perguruan tinggi di Surabaya. Akan tetapi, produk ini kurang berkembang dalam penjulannya. Hal ini dikarenakan pemasarannya yang kurang baik. Petani mangrove hanya menjual produk pada saat acara tertentu saja. Sehingga dalam hal ini, pemerintah perlu memberikan dukungan dalam hal promosi produk dan memberikan ruang untuk dapat memasarkan produk inovasi yang berasal dari mangrove. Apabila produk ini dapat dijual secara masal dan banyak peminatnya, sehingga dapat meningkatkan produktivitas, maka akan memberikan dampak positif bagi penyerapan tenaga kerja. Kualitas produk juga memberikan pengaruh terhadap pendapatan petani tambak. Pendapatan petani tambak semakin tahun semakin berkurang. Faktor utama yang menyebabkan menurunnya pendapatan adalah menurunnya kualitas produk. Menurunnya kualitas produk dipengaruhi oleh komdisi lingkungan, pasalnya, petani tambak di Wonorejo masih menerapkan sistem tambak secara tradisional. Pertambakan tradisional sangat tergantung oleh pengairan yang berasal sungai. Apabila sungai mengalami pencemaran maka akan berdampak pada kualitas ikan dan udang yang diproduksi. Sama halnya dengan nelayan harian, yang hanya mengandalkan keberadaan kepiting liar untuk memperoleh penghasilan. Apabila lingkungan hidup dari kepiting liar rusak, maka tangkapan nelayan harian akan semakin berkurang. Keberlanjutan Matapencaharian Dimensi Sosial Indeks keberlanjutan mata pencaharian pada dimensi sosial berada pada nilai 59.994 – 63.492 (Tabel 9) dengan status cukup berkelanjutan. atribut yang dinilai pada dimensi ini adalah eksistensi kelompok masyarakat pada masingmasing mata pencaharian dan kemampuan masyarakat untuk mempertahankan mata pencaharian di wilayah ekosistem mangrove.
Atribut
40
Nilai indeks sensitivitas
Gambar 20 Nilai sensitivitas pada dimensi sosial. Berdasarkan analisis sensitivitas atribut yang paling mempengaruhi keberlanjutan secara berturut-turut pada dimensi sosial diantaranya: pola komunitas antar anggota; sistem sosial dalam pengelolaan; ketrampilan masyarakat; intensitas konflik, dukungan keluarga; pemberdayaan petani; serta ketersediaan tenaga kerja. Pola komunitas antar anggota menjadi prioritas utama dalam sistem keberlanjutan dimensi sosial. Hal ini terkait dengan bagaimana masyarakat mengelola kelompok masyarakat agar mata pencaharian yang mereka tekuni dapat terus berlangsung. Selain itu hal ini juga didukung oleh keterampilan kelompok dalam mengelola kegiatan usahanya, sehingga selain mata pencaharian pokok yang mereka kerjaan, terdapat pula usaha-usaha lainnya yang dapat menambah pendapatan bagi kelompok. Usaha lain yang mereka manfaatkan berasal dari keterampilan yang masyarakat miliki. Pada mata pencaharian petani mangrove selain mengolah buah-buahan mangrove menjadi bahan baku makanan, kelompok tersebut juga sering melakukan pelatihan, penanaman, dan dosen tamu di perguruan tinggi. Untuk mata pencaharian petani tambak, mereka memanfaatkan lokasinya sebagai pembibitan mangrove dan guide para pelajar yang ingin belajar mengenai ekosistem mangrove. Sehingga dari keterampilan yang dimiliki oleh para kelompok masyarakat ini sangat dimungkinkan untuk dikembangkan menjadi usaha yang lebih menjanjikan dalam hal ekonomi dan ekologi. Keberlanjutan Matapencaharian Dimensi Infrastrustur dan Teknologi Indeks keberlanjutan mata pencaharian pada dimensi infrastruktur dan teknologi memiliki rentan nilai antara 60.41 – 70.56, dengan status cukup berkelanjutan. dimensi teknologi memiliki nilai rata-rata indeks keberlanjutan tertinggi diantara dimensi yang lain. Hal ini dipengaruhi oleh atribut yang didominasi pada pengunaan infrastruktur yang memadai dan keramahan teknologi terhadap lingkungan yang digunakan dalam menjalankan usaha. Meskipun demikian, tingkat keberlanjutan ini harus terus ditingkatkan untuk mendapatkan hasil produksi yang maksimal.
Atribut
41
Nilai indeks sensitivitas
Gambar 21 Nilai sensitivitas pada dimensi teknologi, sarana, dan prasarana Berdasarkan hasil analisis sensitivitas, urutan atribut yang mempengaruhi keberlanjutan mata pencaharian pada dimensi infrastruktur dan teknologi adalah: sarana pengairan; tingkat kerumitan teknologi; mutu benih; ketersediaan pakan; sarana jalan; keramahan teknologi pada lingkungan; dan sarana transportasi. Dalam hal ini berarti atribut segera ditangani untuk meningkatkan keberlanjutan adalah sarana pengairan. Sarana pengairan ini mempengaruhi keberlangsungan ketiga mata pencaharian yang ada, terutama mata pencaharian petani tambak dan nelayan harian. Sarana pengairan petani tambak sangat sedehana dengan teknik buka tutup yang hanya mengandalkan air sungai. Sehingga apabila air sungai mengalami pencemaran, ikan yang ada di dalam tambak akan mati. Sama hal nya dengan nelayan harian, mata pencaharian ini hanya mengandalkan kondisi alam, sehingga kepiting akan dapat bertahan apabila air tidak tercemar. Keberlanjutan Matapencaharian Dimensi Kelembagaan Indeks keberlanjutan mata pencaharian dimensi kelembagaan memiliki rentan nilai 50.411 – 57.416 (Tabel 9), dengan status cukup berkelanjutan. dimensi kelembagaan memiliki nilai rata-rata keberlanjutan paling rendah dibandingkan dengan dimensi lainnya. Nilai keberlanjujtan pada dimensi ini rendah mengindikasikan bahwa persoalan dalam hal kelembagaan diWonorejo tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh banyaknya konflik antar stakeholder dan kurangnya peran stakeholder dalam mendukung keberlanjutan mata pencaharian di Desa Wonorejo. Berdasarkan hasil analisis sensitivitas urutan atribut yang mempengaruhi keberlanjutan matapencaharian masyarakat di wilayah pesisir adalah: Peran LSM dan Pers; peran perguruan tinggi; komitmen pemerintah; peran investor; kebijakna mengenai alih fungsi lahan; ketersediaan organisasi kelompok masyarakat; lokasi usaha sesuai dengan peraturan; koordinasi antar instansi yang terkait dan kebijakan mengenai kepemilikan lahan.
Atribut
42
Nilai indeks sensitivitas
Gambar 22 Nilai sensitivitas pada dimensi kelembagaan Peran LSM dan pers memiliki nilai sensitivitas tertinggi yang mempengaruhi keberadaan matapencaharian masyarakat di Desa Wonorejo. Pada hakekatnya LSM dan pers berperan untuk melindungi kepentingan masyarakat dan lingkungan, sebagaimana perannya untuk mendukung masyarakat di wilayah tersebut. Terlebih, matapencaharian masyarakat di Desa Wonorejo sangat bergantung dengan lingkungan ekosistem mangrove. LSM juga memberikan pengetahuan dan kegiatan yang bertujuan untuk melestarikan lingkungan kepada masyarakat. Sebagai contoh, LSM di Wonorejo memberikan pelatihan kepada kelompok petani tambak dengan pembibitan, pengenalan satwa dan lingkungan mangrove. Pelatihan kepada masyarakat terutama kelompok petani tambak terus dikembangkan sebagai usaha sampingan para masyarakat untuk mengadakan pelatihan bagi pelajar yang ingin mengenal lenih jauh mengenai ekosistem mangrove. Kegiatan-kegiatan LSM dan pers di Wonorejo ditujukan semata-mata untuk menyelamatkan ekosistem mangrove di wilayah pesisir kota. Apabila terjadi pencemaran, kerusakan lingkungan, dan alih fungsi lahan pada ekosistem mangrove, tidak segan para penggiat LSM dan pers ini memunculkan isu mengenai lingkungan di peisisir sehingga pemerintah akan mengkaji ulang mengenai kebijakannya untuk wilayah pesisir. Perguruan tinggi juga salah satu pemangku kepentingan yang mmeiliki peran yang kuat dalam mempertahankan keberadaan matapencaharian di wilayah ekosistem mangrove Desa Wonorejo. Kelompok tani mangrove atau petani mangrove merupakan mata pencaharaian yang sering terjalin kerjasama dengan perguruan tinggi negeri di Surabaya. Dari hasil inovasi olahan buah-buahan mangrove menjadi daya tarik tersendiri bagi para ilmuan untuk terus membantu untuk mengembangkan temuan yang didikembangkan oleh kelompok ini. Peran LSM dan perguruan tinggi yang telah banyak melakukan pengkajian dan penelitian terhap perkembangan dan pengelolaan ekosistem mangrove dapat mempengaruhi keputusan kebijakan pengelolaan yang dibuat oleh pemerintah. Pemerintah memiliki wewenang penuh dalam memutuskan kebijakan pengelolaan terhadap ekosistem mangrove di Wonorejo. Sehingga dibutuhkan komitmen pemerintah yang bijaksana dalam hal pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan.
43
Komitmen pemerintah yang mengacu pada Peraturan Daerah Kota Surabaya No. 3 Tahun 2007 dapat dapat diterapkan untuk mendukung terlaksananya pengelolaan secara berkelanjutan. dalam Perda ini yang mengatur mengenai Tata Ruang Wilayah, bahwasannya wilayah pesisir merupakan suatu wilayah yang didalamnya terdapat kawasan mangrove diperuntukkan untuk kawasan lindung yang berintegrasi sebagai kawasan ekowisata dan ilmu pengetahuan. Bentuk kawasan ekowisata dan ilmu pengetahuan dapat dikembangkan dengan memberikan ruang bagi masyarakat yang memiliki kemampuan dalam hal pengelolaan ekosistem mangrove. Kelompok masyarakat di Desa Wonorejo memiliki latar belakang yang baik dalam hal pengelolaan ekosistem mangrove, baik dalam hal mendukung terwujudnya kelestarian ekosistem maupun dalam hal inovasi terhadap pemanfaatan mangrove. Sehingga pemerintah dan masyarakat dapat bekerjasama dalam melaksakan dan mewujudkan pengelolaan mangrove secara terpadu dan berkelanjutan. Faktor Kunci Mata pencaharian Berkelanjutan Faktor kunci ditentukan berdasarkan atribut hasil sensitivitas faktor pengungkit (leverage) dari masing-masing dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi sarana dan prasarana serta kelembagaan melalui RAP-Livelihood. Berdasarkan hasil analisis tersebut didapatkan faktor kunci yang mempengaruhi keberlangsungan mata pencaharian masyarakat pada ekosistem mangrove di Wonorejo (Tabel 11) Tabel 11 Atibut keberlanjutan mata pencaharian masyarakat pada ekosistem mangrove di Wonorejo No. Dimensi Faktor Kunci Analisis Keberlanjutan 1. Ekologi Kualitas air 2. Ekonomi Pendapatan 3. Sosial Pola komunikasi antar kelompok 4. Teknologi, sarana, dan prasarana Sarana pengairan 5. Kelembagaan Peran pemangku kepentingan Berdasarkan hasil analisis faktor kunci yang mendominasi dan paling berpengaruh terhadap keberlansungan mata pencaharaian masyarakat di wilayah ekosistem magrove pada masing-masing dimensi dantaranya kulaitas air; pendapatan; pola komunikasi antar kelompok; sarana pengairan; serta peran pemangku kepentingan. Pada dimensi ekologi faktor kunci yang paling berpengaruh terhadap keberlanjutan mata pencaharian masyarakat adalah kualitas air. Hal ini dipengaruhi ketergantungan mata pencahrain terhadap kulaitas air yang ada. sehingga pencemaran yang terjadi di wilayah wonorejo berdampak pada produksi ikan, kepiting dan udang. Berdasarkan dataBadan Lingkungan Hidup Kota Surabaya pada tahun 2012 indeks diversitas pencemaran memiliki nilai 2.12 yang berarti pencemaran tergolong ringan. Akan tetapi tingkat pencemaran ini terus meningkat dari tahun ke tahun ketahun. Hal ini dibuktikan dengan adanya busa raksasa yang menyelimuti seluruh permukaan Sungai Avoor.
44
Pada dimensi Ekonomi faktor kunci yang paling berpengaruh terhadap keberlanjutan mata pencaharian masyarakat adalah atribut pendapatan. Pendapatan merupakan tujuan utama masyarakat dalam bekerja. Mata pencaharian dapat berkelanjutan apabila dapat menghasilkan pendapatan yang cukup untuk menghidupi keluarga. Pendapatan yang dihasilkan oleh masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani tambak dan nelayan harian mrnunjukkan nilai dibawah UMR Kota Surabaya pada tahun 2015 yaitu Rp 2 700 000. Pendapatan yang dihasilkan petani tambak sebesar Rp. 1 466 000 dan Rp 2 000 000 untuk nelayan harian. Masyarakat yang memiliki pendapatan dibawah UMR tetap mempertahankan pekerjaannya sebagai petani tambak dan nelayan harian karena beberapa faktor, diantaranya: keahlian yang terbatas dalam pekerjaan lainnya; latar belakang pendidikan; serta persaingan dunia kerja. Pada dasarnya petani tambak dan nelayan harian memilki keterampilan yang cukup baik dalam melakukan pengelolaan tambak, akan tetapi faktor pencemaran lingkungan yang menyebabkan pendapatan mereka menurun dari tahun ke tahun. Untuk itu petani tambak dan nelayan harian membutuhkan bantuan dan kerjasama dengan pemerintahan dalam hal pengembangan pengelolaan tambak secara terpadu, sehingga hasil tambak dapat meningkat dan dapat turut meningkatkan kesejahteraan bagi mereka. Selain itu, petani tambak dan nelayan harian yang tergabung dalam kelompok Trunojoyo memiliki potensi dalam melestarikan lingkungan mangrove. Sehingga, dengan mempertahankan dan memberi ruang bagi masyarakat dalam melakukan pemanfaatan di bidang pertambakan, masyarakat juga dapat dijadikan benteng pertahanan dalam melestarikan ekosistem mangrove di wilayah Wonorejo dengan berbagai kegiatan yang dilakukan dalam bidang lingkungan. Pada dimensi sosial faktor kunci yang mmepengaruhi keberlangsungan mata pencaharian masyarakat adalah pola komunikasi antar kelompok. Wonorejo memiliki dua kelompok masyarakat yang berada di di wilayah ekosistem mangrove yaitu Kelompok Tani Mangrove (petani mangrove) dan Kelompok Trunojoyo (petani tambak dan nelayan harian). Kedua kelompok masyarakat ini memiliki keterampilan, keahlian dan ruang masing-masing dalam melakukan kegiatannya. Pada dimesnsi teknologi, sarana dan prasarana faktor kunci keberlanjutan mata pencaharian masyarakat adalah sarana pengairan. Hal ini dipengaruhi oleh faktor pengairan, terutama untuk pertambakan. Pengairan tambak masyarakat di Wonorejo tergantung pada keberadaan Sunagi Avoor. Sungai merupakan satusatunya sunber air yang digunakn masyarakat untuk mengairi pertambakan mereka. Sehingga apabila sungai ini mengalami pencemaran maka akan menurunkan kulaitas dan produksi ikan. Untuk itu petani tambak memerlukan saran pengairan yang cukup baik untuk tambak mereka. Pada dimensi kelembagaan faktor kunci yang memperngaruhi keberlanjutan mata pencaharian masyarakat adalah peran pemangku kepentingan. berdasarkan analisis RAP Livelihood pemangku kepentingan memiliki nilai sensitivitas yang tertinggi terhadap keberlanjutan mata pencaharian masyarakat. Banyaknya kepentingan di wilayah ekosistem mangrove Wonorejo memicu berbagai konflik dalam pemanfaatan lahan. Untuk mengatasi konflik pemanfaatan lahan inilah, pemangku kepentingan terutama peran pemerintahan selaku pembuat kebijakan dapat melakukan pengelolaan secara bijaksana dan terpadu. pengelolaan
45
ekosistem mangrove hendakanya melibatkan masyarakat yang memiliki kepentingan, dalam hal ini masyarakat yang memiliki mata pencaharian di wilayah ekosistem mangrove. Sehingga masyarakat turut berperan dan berpartisipasi dalam pengelolaan secara terpadu. Strategi Kebijakan Mata Pencaharain Berkelanjutan pada Ekosistem Mangrove di Wonorejo Strategi kebijakan dalam menentukan mata penaharian berkelanjutan berpedoman pada potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang ada di Wonorejo. Potensi sumberdaya alam yang tinggi dalam dimensi ekonomi menimbulkan banyak kepentingan dari berbagai pihak untuk memanfaatkan lahan di wilayah Desa Wonorejo. Wilayah desa yang merupakan pesisir kota besar menjadikan wilayah ini banyak dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan baik dari pemerintah maupun investor (swasta). Selain pemerintah dan swasta, masyarakat juga masih mempertahankan matapencaharian yang sudah dari dulu mereka tekuni. Banyaknya kepentingan dari masing-masing pemangku kepentingan di Wonorejo, diantaranya: masyarakat desa (kelompok tani mangrove, dan kelompok tani petani tambak); pemerintah kota; pemerintah pusat (Kehutanan dan lingkungan); investor; LSM; perguruan tinggi) yang menimbulkan berbagai macam persoalan terkait kepentingan dari masing-masing pemangku kepentingan. Sehingga dalam penentuan strategi kebijkan pengelolaan di Wonorejo terdapat dua poin penting yaitu: (1) potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia; (2) kepentingan pemangku kepentingan 1.
Potensi Sumber Daya Manusia dan Sumber Daya Alam di Wonorejo Ekosistem magrove Wonorejo memiliki berbagai potensi yang dapat dikembangkan menjadi suatu bentuk ekosistem mangrove yang dikelola secara terpadu. Sumber daya manusia dan sumber daya alam merupakan salah satu faktor penting sebagai penunjang dalam menntukan arah pengelolaan suatu lingkungan. Berdasarkan penelitian ini, terdapat dua potensi besar di ekosistem mangrove Wonorejo yang dapat dikembangkan menjadi pengelolaan berbasis masyarakat secara berkelanjutan yaitu kelompok masyarakat dan ekowisata. Kelompok Masyarakat (Sumber Daya Manusia) Kelompok masyarakat merupakan sumber daya manusia yang memiliki potensi untuk dikembangkan di Wonorejo. Kelompok masyarakat Wonorejo merupakan organisasi masyarakat yang diperuntukkan sebagai wadah kegiatan masyarakat yang bergerak dibidang pengelolaan dan pemanfaatan potensi lingkungan mangrove. Terdapat dua kelompok besar masyarakat di Wonorejo yaitu: (a) Kelompok Masyarakat Mina Tani mangrove; (b) Kelompok Masyarakat Trunojoyo. (a)
Kelompok Masyarakat Mina Tani Mangrove Kelompok Masyarakat Mina Tani Mangrove merupakan organisasi masyarakat yang bergerak dalam bidang pelestarian lingkungan magrove. Ciri khas dari kelompok ini adalah pemanfaatan buah-buahan mangrove menjadi produk olahan makanan. Selain itu juga, kelompok ini banyak memberikan pelatihan pengolahan buah mangrove, pembibitan, dan penanaman tanaman
46
mangrove. Kelompok ini tidak hanya bekerja di Kelurahan Wonorejo, mereka juga banyak melakukan kegiatan di berbagai wilayah. Keahlian kelompok masyarakat ini banyak menjadi sorotan dari berbagai kalangan, mulai dari institusi pemerintahan, swasta, perguruan tinggi, sekolah dan LSM. Sehingga banyak dari kalangan ini yang memanfaatkan jasa Kelompok Masyarakat Mina Tani Mangrove untuk bekerjasama dalam melakukan pelatihan, pendidikan, dan penanaman mangrove. Hal inilah yang menjadi daya tarik dari kelompok ini sebagai potensi besar untuk pengembangan lingkungan mangrove, terutama di Wonorejo. Berikut merupakan contoh kegiatan Kelompok Tani Mangrove yang bekerjasama dengan pihak swasta atau pemerintah (Profil Kelompok Tani Mangrove 2014).
Edukasi Kelompok ini menjadi rujukan bagi pelajar, pemerintahan, dan masyarakat dari kelompok tertentu untuk menjadi fasilitator pengetahuan lingkungan mangrove. komunitas-komunitas tersebut tidak hanya berasal dari Suranaya, beberapa tempat di luar jawapun tertarik dengan keterampilan yang dimilki oleh kelompok tani mangrove di Wonorejo ini seperti dari kalimantan, kepulauan riau dan sulawesi. Kegiatan yang ditawarkan dalam wisata edukasi ini adalah pengenalan tanaman mangrove, cara penanaman mangrove, cara pembibitan mangrove dan pengolahan buah mangrove (Gambar 23).
(23a)
(23b)
Sumber: Profil Kelompok Mina Tani Mangrove Wonorejo
Gambar 23 (a) pengenalan mangrove dan produk olahannya untuk smp cita berkat surabaya; (b) pengenalan mangrove kepada pelajar di surabaya Pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir Kegiatan pelatihan juga ditujukan untuk komunitas masyarkat pesisir di wilayah lainnya. Kegiatan ini dilakukan dengan berbagai jenis pelatihan, seperti: budidaya, pembibitan, pengolahan hasil laut maupun non laut (Gambar 24). Kegiatan ini ditujukan sebagai pemberdayaan masyarakat pesisir dalam pengelolaan dan pemanfaatan di wilayah ekosistem mangrove secara bijaksana.
47
(24a)
(24b)
Sumber: Profil Kelompok Mina Tani Mangrove Wonorejo
Gambar 24 (a) pelatihan masyarakat pesisir romokalisari; (b) pengenalan mangrove untuk ibu PKK.
Konservasi Kegiatan konservasi yang dilakukan oleh kelompok tani mangrove Wonorejo salah satunya adalah penanaman. Jangkauan penanaman tidak hanya dilakukan di sekitar Wonorejo. Penanaman juga dilakukan diberbagai daerah diantaranya: pada tahun 2013-2014 penanaman dilakukan di wilayah Kota Surabaya (Greges, Romokkalisari, Teluk lamong, Perak); kota Gresik, Madura (Tajungan, Labuhan, Kecamatan Sepoloh), Banyuwangi (Muncar), serta di Kota malang selatan (Sumbermanjing). Kegiatan penanaman ini banyak bekerjasam dengan instansi dan organisasi-organisasi baik dari dalam negeri maupun luar negeri (Gambar 25).
(25a)
(25b)
Sumber: Profil Kelompok Mina Tani Mangrove Wonorejo
Gambar 25 (a) pelatihan rehabilitasi ekosistem pulau pulau kecil; (b) penanaman mangrove di Teluk Lamong kerjasama dengan NGO Kelompok Masyarakat Trunojoyo Kelompok Masyarakat Trunojoyo merupakan kelompok masyarakat yang sebagian besar memiliki latar belakang pekerjaan sebagai petani tambak dan nelayan harian. Awalnya kelompok masyarakat ini dibentuk dengan tujuan sebagai pengelola dan wadah bagi petani tambak untuk meningkatkan kesejahteraan dalam bentuk koperasi. Seiring dengan berjalannya waktu penuruanan kualitas lingkungan yang berdampak pada penurunan produksi mengakibatkan para petani tambak mulai berfikir akan pentingnya kelestarian lingkungan sebagai penunjang keberlanjutan pekerjaan mereka. Secara tidak langsung kegiatan ini juga memberikan efek domino kepada perkembangan
48
lingkungan pesisir yang lebih baik. Masyarakat petani tambak dapat lebih mengerti manfaat lingkungan dan cara memanfaatan lingkungan pesisir dengan bijak. Berikut merupakan kegiatan diluar pertambakan yang dilakukan Kelompok Trunodjoyo dengan berbagai mitranya: Program pembibitan 150.000 buah Rhizophora apiculata dan Bruguiera gymnorrhiza, yang bekerjasama dengan Sampoerna melalui IDEPTH (2011). Program penanaman 70.000 bibit mangrove (Rhizophora apiculata dan Bruguiera gymnorrhiza) oleh Sampoerna melalui IDEPTH (2012). Mangrove Green Parade oleh UNAIR (2012). Program penanaman 500 bibit mangrove oleh perusahaan elektronik SHARP. Program perawatan tanaman mangrove dari kegiatan penanaman 70.000 bibit mangrove oleh Sampoerna melalui IDEPTH (2013). Pendampingan komunitas burung di Surabaya (UNAIR,ITS,UPN, dll) guna penelitian burung air yang ada pada kawasan tambak di Wonorejo (2000sekarang). Penelitian kerapatan mangrove yang ada di kawasan wonorejo bekerjasama dengan BLH Surabaya (2013). Penelitian pembibitan, penanaman dan pemanfaatan mangrove dengan narasumber dari KESEMAT, yang diselenggarakan oleh IDEPTH (2013). Penanaman 200 bibit mangrove dengan SMA swasta di Surabaya (2013) Program Abdimas Universitas Terbuka, program penanaman 30.000 pohon (Bogor) dan 30.000 bibit mangrove (Surabaya), melalui Yayasan Kanopi Indonesia (2013) Kegiatan lainnya yang sampai saat ini masih sering dilakukan dalam hal penanaman dan pendampingan komunitas burung di Surabaya. Kedua kelompok masyarakat di Wonorejo ini memiliki potensi besar untuk dikembangkan menjadi wisata pendidikan. Konsep wisata pendidikan sesuai dengan potensi alam yang ada dan keahlian atau keterampilan yang dimiliki oleh masing-masing kelompok. Ekowisata (Sumber Daya Alam) Ekowisata pada dasarnya merupakan suatu konsep wisata yang berbasis pada konservasi sumberdaya alam. Menurut Ecotourism Society (1990), ekowisata adalah suatu bentuk perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan penduduk setempat. Dalam definisi tersebut, dapat dijelaskan bahwa penekanan utama dari ekowisata adalah pada upaya konservasi lingkungan yang bermakna luas. Menurut UU Nomor 5 Tahun 1999 telah dijelaskan bahwa pada hakekatnya konservasi mencakup berbagai aspek positif dalam pelestarian lingkungan, yaitu perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan secara berkelanjutan. Berdasarkan dari beberapa definisi tersebut maka dapat di simpulkan bahwa keberhasilan wisata dengan konsep ekowisata dapat dinilai dari berhasil atau tidaknya upaya konservasi yang dilakukan. Wonorejo merupakan salah satu kelurahan di Kota Surabaya yang terletak di wilayah ekosistem mangrove. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi warga
49
Kota Surabaya dalam rangka mencari tempat wisata alam. Sehingga, tepat apabila potensi alam yang dimiliki Wonorejo dapat dikembangkan dalam bentuk ekowisata mangrove. Saat ini Wonorejo telah memiliki ekowisata mangrove dibawah pengelolaan Forum Kemitraan Polisi Masyarakat Nirwana Eksekutif (FKPM NE) Kelurahan Wonorejo, yang bekerjasa sama dengan Pemerintah Desa dan Dinas Pertanian Kota Surabaya. Ekowisata ini disahkan berdasarkan Keputusan Lurah Wonorejo nomor 556/167/436.11.155/2009 tanggal 1 Juli 2009. Berdasarkan pantauan dari aktivis lingkungan (LSM Nol Sampah), ekowisata yang ada saat ini banyak menyalahi aturan konservasi. Wawan Some sebagai koordinator LSM Nol Sampah Wonorejo dan Soni Muchson (Ketua Kelompok Masyarakat Mina Tani Mangrove) juga mengungkapkan ekowisata yang digadang-gadang sebagai langkah konservasi di wilayah ekosistem mangrove Wonorejo tidak lebih hanya menjadi label saja, pasalnya berbagai kegiatan yang dilakukan oleh ekowisata ini justru berdampak buruk bagi lingkungan mangrove di Wonorejo. Hal-hal yang tidak sesuai dengan prinsip ekologi diantaranya: a. Pemakaian perahu yang besar menimbulkan suara yang bising dan gelombang yang relatif besar. Suara mesin perahu yang lalu lalang dari Busem ke muara berpengaruh pada satwa liar terutama burung. Gelombang besar yang dihasilkan berdampak terhadap tepi sungai dan tebing tambak. Bisa menyebabkan erosi. Satu fakta lain yang membuktikan keberadaan perahu ekowisata adalah berkurang dratis jumlah udang dan kepiting yang ditangkap penunggu tambak. Jika sebelumnya penunggu tambak bisa dapat udang sampai 10 kg dari buwung yang dipasang di pintu tambak saat ini hanya bisa maksimal 2 kg bahkan tidak mendapatkan hasil harian udang liar. Mereka juga sudah lagi bisa memasang perangkap kepiting di sungai karena sudah tidak ada lagi. Perahu Ekowisata yang besar menyebabkan gelombang besar dan mengganggu ekosistem b. Pembangunan Gasebo di sisi timur hutan mangrove. Selain melanggar aturan tentang garis sempadan pantai semestinya tidak dilakukan. Karena secara alami hutan mangrove di Pamurbaya akan tumbuh ke arah laut (arah timur). Melihat potensi ekosistem mangrove yang baik untuk dijadikan wisata bagi masyarakat Kota Surabaya serta untuk pengembangan Kelurahan Wonorejo itu sendiri, maka kondisi ekosistem mangrove yang telah ada saat ini perlu ditinjau ulang. Upaya ini penting dilakukan untuk merumuskan kebijakan yang tepat dalam menjawab tantangan sebagaimana dijelaskan diatas dan mengembangkan potensi-potensi yang ada. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, terdapat dua potensi besar di ekosistem mangrove Wonorejo yang dapat dikembangkan menjadi pengelolaan berbasis masyarakat secara berkelanjutan yakni kelompok masyarakat dan ekowisata. Berdasarkan potensi lingkungan dan masyarakat di Wonorejo, konsep ekowisata dapat dilakukan dengan menggabungkan kedua potensi ini. Selain daya dukung lingkungan yang dapat menjadi daya tarik tersendiri, potensi masyarakat sebagai fasilitator pendidikan lingkungan juga dapat menjadi andalan dalam ekowisata di Wonorejo. Sehingga konsep ekowisata dapat dilakukan dengan konsep ekowisata berbasis masyarakat. Ekowisata
50
berbasis masyarakat memiliki tujuan utama yaitu memberikan peran kepada masyarakat untuk dapat ikut serta dalam melakukan pengelolaan lingkungan. 2.
Kepentingan Pemangku kepentingan Kajian terhadap strategi kebijakan matapencaharian masyarakat sebagai arahan dalam pengelolaan ekosistem mangrove berkelanjutan diperuntukkan untuk mengoptimalkan dan menambah nilai manfaat lingkungan ekosistem mangrove. Salah satu faktor penentu pelaksana pengelolaan berkelanjutan dapat berjalan dengan lancar adalah pemenuhan kepentingan pemangku kepentingan. Dalam penentuan kepentingan pemangku kepentingan menggunakan analisis pemangku kepentingan yang dikembangkan oleh Reed et al (2009). Menurut Reed et al.(2009) untuk mempermudah dalam melakukan identifikasi konflik kepentingan serta pengaruh pemangku kepentingan terhadap objek penelitian perlu dibuat sebuah matriks yang nantinya akan menggambarkan hasil analisis pemangku kepentingan (Gambar 2) dengan tahapan-tahapan sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi pemangku kepentingan dan kepentingannya. 2. Membuat kelompok dan kategori para pemangku kepentingan. 3. Menyelidiki hubungan antar pemangku kepentingan. Hasil identifikasi pemangku kepentingan dalam pengelolaan mata pencaharian masyarakat berkelanjutan pada ekosistem mangrove di Wonorejo adalah masyarakat desa (kelompok tani mangrove, dan kelompok petani tambak); pemerintah kota; pemerintah pusat (Kehutanan dan lingkungan); investor; LSM; dan perguruan tinggi. Dalam menentukan pemangku kepentingan ini dipermudah dengan adanya Kelompok Kerja Mangrove Daerah (KKMD). sehingga penyatuan persepsi dan masukan-masukan terhadap kepentingan pada masing-masing pihak tersampaikan. Hanya saja pada rapat berlangsung pihak swasta dan pemerintah kota yang dalam hal ini langsung menangani pemanfaatan lahan di Wonorejo tidak ikut serta (Dinas Pertanian Kota Surabaya). Berdasarkan hasil identifikasi berikut merupakan kepentingan dari masing-masing pemangku kepentingan dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Wonorejo: Tabel 12 Kepentingan pemangku kepentingan dalam pengelolaan ekosistem mangrove Wonorejo Tingkat
Kategori pemangku kepentingan Nasional 1. Kementerian Lingkungan dan dan Kehutanan (UPT Internasional BKSDA Jawa Timur) 2. Lembaga donor Regional Propinsi Jawa Timur
1. Pemerintah Provinsi Jawa Timur (Bagian SDA) 2. Bappeda Provinsi Jawa Timur 3. Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur 4. Perguruan Tinggi Provinsi Jawa Timur (Universitas Brawijaya) 5. Investor (Pengusaha)
Kepentingan Pengembangan pengelolaan ekosistem mangrove ke arah konservatif dengan pembentukan kawasan ekosistem esensial Konservasi dan pemanfaatan jasa lingkungan Perencana pengembangan dan pengelolaan sumber daya alam (ekosistem mangrove) Perencana pengembangan wilayah Pengembangan pengelolaan ekosistem mangrove ke arah konservatif dengan pembuatan kebun bibit mangrove Pengembangan ilmu teknologi di bidang konservasi dan pemanfaatan sumber daya alam Pemanfaatan sumber daya alam untuk kepentingan bisnis dan keberlanjuutan usaha
51
Tabel 12 Kepentingan pemangku kepentingan dalam pengelolaan ekosistem mangrove Wonorejo (lanjutan) Tingkat Regional Kota Surabaya
Lokal
Kategori pemangku kepentingan 1. Bappeda Kota Surabaya 2. Dinas Pertanian Kota Surabaya 3. Perguruan Tinggi di Kota Surabaya (UNAIR, ITS, UNITOMO) 1. Camat
2. Lurah
3. Wisatawan 4. Petani mangrove
5. Petambak
6. Nelayan harian
7. LSM dan Pers
Kepentingan Perencana pengembangan wilayah Perencana pengembangan wilayah Pengembangan ilmu teknologi di bidang konservasi dan pemanfaatan sumber daya alam Perencana pengembangan wilayah untuk penambahan pendapatan dan kemajuan wilayahnya Perencana pengembangan wilayah untuk penambahan pendapatan dan kemajuan wilayahnya Keindahan alam dan pengetahuan lingkungan Memanfaatkan sumber daya alam untuk memperoleh pendapatan dan melestarikan lingkungan Memanfaatkan sumber daya alam untuk memperoleh pendapatan dan melestarikan lingkungan Memanfaatkan sumber daya alam untuk memperoleh pendapatan dan melestarikan lingkungan Memanfaatkan sumber daya alam untuk memperoleh pendapatan dan melestarikan lingkungan serta mempublikasikan isu lingkungan untuk publik
Kepentingan pemangku kepentingan yang mengarah pada kepentingan pemanfaatan sumber daya alam dengan latar belakang hanya untuk mencari keuntungan yang sebesar-sebesarnya menjadi pemicu konflik kepentingan antar pemangku kepentingan. Konflik yang terjadi berawal dari kepentingan investor yang melakukan pembangunan perumahan elit di wilayah ekosistem mangrove Wonorejo. Lahan perumahan ini berasal dari tambak masyarakat yang dijual kepada pihak pengembang perumahan. Tambak ini merupakan tambak yang dimiliki oleh orang luar Desa Wonorejo, masyarakat yang bekerja di tambak hanya sebagai penunggu tambak. Sehingga banyak masyarakat yang kehilangan mata pencaharian sebagai penunggu tambak. Peran investor tidak hanya berhenti pada pengembangan perumahan. Setelah melihat prospek perumahan yang berkembang pesat di wilayah Desa Wonorejo, para investor bekerjasama dengan pemerintah (dinas pertanian) untuk mengembangkan ekowisata mangrove. Pada awalnya konsep ekowisata mangrove berbasis pada pemanfaatan sumberdaya alam untuk pelestarian ekologi dan mengembangkan ekonomi rakyat. Pembuatan ekowisata ini juga melibatkan perguruan tinggi untuk menilai kelayakan lingkungan dan ekonomi. Akan tetapi, menurut masyarakat pemerhati lingkungan yang tergabung dalam kelompok tani dan LSM ekowisata yang dikembangkan hanya berbasis pada ekonomi. Hal ini terbukti dengan pengembangan pembangunannya tidak sejalan dengan prinsip keberlanjutan lingkungan.
52
Dampak kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan oleh ekowisata dalam segi lingkungan dan ekonomi dari matapencaharian masyarakat (petani tambak), ekowisata juga mendorong para investor untuk mengembangkan perumahan elit yang berada pada wilayah ekosistem mangrove. Saat ini terdapat dua perumahan besar yang sedang dalam pembangunan. Dampak pembangunan dalam jangka panjang akan berpengaruh pada keberadaan ekosistem mangrove. Pada prinsipnya ekowisata mangrove merupakan salah satu jalan keluar untuk memanfaatkan dan memaksimalkan potensi dalam bidang ekologi dan ekonomi. Akan tetapi apabila ekowisata hanya dijadikan label wisata berbasis lingkungan oleh para investor untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dalam aspek ekonomi, hal ini justru akan berdampak pada rusaknya lingkungan sekitarnya. Berdasarkan keterangan masyarakat dan LSM, untuk kasus Desa Wonorejo ekowisata yang dikembangkan selain berdampak pada satwa liar juga berdampak pada penghasilan petani tambak. Berdasarkan hal tersebut ekowisata yang ada saat ini harus dilakukan pengkajian ulang terhadap dampak lingkungan oleh para ahli yaitu perguruan tinggi dan pemerintah. Selain itu pemerintah juga diharapkan memberikan peran kepada masyarakat didalam pengelolaan ekowisata tersebut. Pemerintah memiliki peranan yang penting dalam pengelolaan ekosistem mangrove secara berkelanjutan. berdasarkan hasil pertemuan melalui Kelompok Kerja Mangrove, daerah Purabaya yang termasuk didalamnya adalah ekosistem mangrove di Desa Wonorejo, wilayah ini akan direncakanan menjadi kawasan essential. Kawasan essential adalah suatu ekosistem atau kawasan yang memiliki keunikan habitat dan/atau jenis tumbuhan dan satwa liar dan/atau mempunyai fungsi penting sebagai sistem penyangga kehidupan (P67/Menhut-II/2013). Bentuk kawasan essential di Desa Wonorejo masih dalam proses pertimbangan para pemangku kepentingan. Sehingga dengan adanya wacana dan komitmen pemerintah bahwasannya kawasan tersebut akan dilindungi dengan dijadikan kawasan essential diharapkan akan dapat memberikan bentuk pengelolaan yang berkelanjutan pada ekosistem mangrove. Berdasarkan hasil analisis kepentingan pemangku kepentingan (Tabel 12) dapat menjadi acuan untuk menentukan tahapan analisis kedua. Analisis kedua berdasarkan Reed et al (2009) adalah membagi kelompok dan kategori para pemangku kepentingan. Pembagian ini dikategorikan kedalam tingkat kepentingan dan tingkat pengaruh dalam pengelolaan ekosistem mangrove Wonorejo (Tabel 13). Pembagaian kategori kedalam tingkat kepentingan dan tingkat pengaruh akan dijadikan acuan dalam pembuatan matrik analisis pemangku kepentingan (Gambar 26). Matrik ini memberikan gambaran dalam penentuan kelompokkan menjadi: Key player, pemangku kepentingan yang memiliki kepentingan dan pengaruh yang tinggi; Context setters, pemangku kepentingan yang memiliki pengaruh yang tinggi tapi kepentingannya rendah; Subjects, pemangku kepentingan yang memiliki kepentingan yang tinggi tetapi pengaruhnya rendah; dan Crowd, pemangku kepentingan yang memiliki kepentingan dan pengaruh yang rendah.
53
Tabel 13 Tingkat kepentingan dan pengaruh para pemangku kepentingan dalam keberlanjutan matapencaharian masyarakat pada ekosistem mangrove Wonorejo. No.
Kategori pemangku kepentingan
Tingkat kepentingan
Tingkat Pengaruh
Nasional dan Internasional Kementerian Lingkungan dan Kehutanan (UPT 4 4 BKSDA Jawa Timur) 2 Lembaga donor (WWF) 2 2 Provinsi Jawa Timur 3 Pemerintah Provinsi Jawa Timur (Bagian Sumber 2 3 Daya Alam) 4 Bappeda Provinsi Jawa Timur 2 3 5 Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur 2 4 6 Perguruan Tinggi Provinsi Jawa Timur 2 3 (Universitas Brawijaya) 7 Investor (Pengusaha) 3 3 Kota Surabaya 8 Bappeda Kota Surabaya 2 3 9 Dinas Pertanian Kota Surabaya 4 4 10 Perguruan Tinggi di Kota Surabaya (UNAIR, 2 3 ITS,UNITOMO) Lokal 11 Camat 2 3 12 Lurah 2 3 13 Wisatawan 2 3 14 Petani mangrove 5 2 15 Petambak 5 3 16 Nelayan harian 5 2 17 LSM dan Pers 5 2 Keterangan: 1= Rendah; 2= Kurang tinggi; 3= Cukup tinggi; 4= Tinggi; 5= Sangat tinggi 1.
TINGGI
KEPENTINGAN
Subject 1. Petani mangrove 2. Petani tambak 3. Nelayan harian 4. LSM dan pers
Crowd 1. Lembaga donor (WWF) 2. Wisatawan
Key Player 1. BKSDA Jatim 2. Dinas Pertanian Kota Surabaya 3. Investor
Context setter 1. Dishut Jatim 2. Pemprof Jatim 3. Bappeda Jatim 4. Bappeda Kota
RENDAH
5. Perguruan tinggi 6. Camat 7. Lurah
TINGGI PENGARUH
Gambar 26 Matrik analisis pemangku kepentingan berdasarkan Reed et al (2009)
54
Key players yang merupakan pemangku kepentingan yang aktif karena mempunyai kepentingan dan pengaruh yang tinggi terhadap keberlanjutan mata pencaharian masyarakat ekosistem mangrove di Wonorejo. Kelompok ini terdiri dari pemerintah pusat yaitu Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Propinsi Jawa Timur, Dinas Pertanian Kota Surabaya serta investor. Kedua pemerintahan ini memiliki kapasitas besar baik dalam kepentingan dan pengaruhnya terhadap keberlangsungan mata pencaharian masyarakat. BKSDA merupakan salah satu anggota dari KKMD yang berwenang dan bertanggung jawab atas pengelolaan ekosistem mangrove di Wonorejo. UPT ini juga memiliki rencana program kerja untuk menjadikan kawasan ini menjadi kawasan esensial. Kawasan. Context setters/Actors merupakan pemangku kepentingan yang memiliki pengaruh yang tinggi tetapi sedikit kepentingan. Kelompok pemangku kepentingan ini didominasi oleh pemerintahan. Crowd/Bystanders merupakan pemangku kepentingan yang memiliki sedikit kepentingan dan pengaruh terhadap hasil yang diinginkan dan menjadi pertimbangan untuk mengikutsertakannya dalam pengambilan keputusan yang termasuk kedalam kelompok ini yaitu Lembaga donor dan wisatawan. Untuk Subjects merupakan pemangku kepentingan yang memiliki kepentingan tinggi tetapi pengaruhnya rendah. Hal ini menunjukkan pemangku kepentingan tersebut mendukung kegiatan pengelolaan ekosistem mangrove berbasis masyarakat diantaranya petani mangrove, petani tambak, nelayan harian serta LSM dan pers. Arahan Kebijakan Berdasarkan pertimbangan permasalahn yang ada di Desa Wonorejo dan faktor kunci yang mempengaruhi pengelolaan berkelanjutan, penelitian ini memberikan alternatif strategi melalui analisis SWOT. Hasil alternatif strategi didapatkan melalui pertimbangan dari peneliti dan para pakar yang diantaranya masyarakat (kelompok tani), LSM,dan pemerintah (BKSDA dan Dinas kehutanan Jawa Timur yang), para pakar ini sebagian tergabung dalam Kelompok Kerja Mangrove Daerah Provinsi Jawa Timur (KKMD) yang bertanggung jawa atas pengelolaan ekosistem magrove di wilayahnya. Berdasarkan pertimbangan dengan membagi faktor internal kedalam kekuatan serta kelemahan, dan faktor internal kedalam peluang serta ancaman, didapatkan alternatif strategi sebagai berikut:
55
Tabel 14 Alternatif Strategi SWOT
Internal
Eksternal
Peluang (O) 1. Sarana jalan dan transportasi 2. Peran LSM dan pers 3. Peran perguruan tinggi 4. Komitmen pemerintah
Ancaman (T) 1. Sarana pengairan 2. Konflik yang terjadi akibat pembangunan (alih fungsi lahan) 3. Peran investor 4. Koordinasi antar pemangku kepentingan
(a)
Kekuatan (S) 1. Kesesuaian pemanfaatan lahan sebagai usaha masyarakat berkelanjutan 2. Ketrampilan petani dan nelayan 3. Keberadaan kelompok tani (pola komunitas antar anggota) 4. Kualitas produk 5. Ketersediaan pakan Strategi S-O Mengoptimalkan keterampilan masyarakat kedalam bentuk usaha yang berkelanjutan dengan dukungan pemangku kepentingan. Membuat desain matapencaharian berkelanjutan dengan menyatukan kepentingan antar pemangku kepentingan. Strategi S-T - Penghentian alih fungsi lahan tambak menjadi perumahan atau pemanfaatan lainnya yang berbentuk bangunan. - Pemanfaatan sumberdaya alam mengarah pada pengelolaan berbasis masyarakat dengan memanfaatkan keterampilan yang dimiliki oleh masingmasing kelompok tani
Kelemahan (W) 1. Kondisi vegetasi 2. Kualitas air 3. Status kepemilikan lahan 4. Pendapatan 5. Kelayakan usaha 6. Biaya produksi
Strategi W-O Hak kepemilikan lahan dapat diambil alih oleh pemerintah. Hal ini ditujukan agar pengelolaan dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan lingkungan dan masyarakat.
Strategi W-T Memperbaiki kondisi lingkungan yang ada saat ini terutama pada tambak dan sepadan sungai dengan desain pengelolaan ramah lingkungan.
Alternatif strategi peluang dan kekuatan Masyarakat merupakan sumberdaya yang berperan penting bagi keberlangsungan ekosistem mangrove di Desa Wonorejo. Sehingga, kepentingan masyarakat yang dalam hal ini adalah mencari mata pencaharian yang layak untuk mendapatkan pendapatan harus diberikan ruang dengan sebaik-baiknya. Berdasarkan penelitian ini mata pencaharian yang dimiliki masyarakat saat ini berstatus cukup berkelanjutan, yang mana mata pencaharian ini layak untuk dikembangkan di wilayah ekosistem mangrove. Mata pencaharian yang cukup berkelanjutan ini dapat dikembangkan menjadi sangat berkelanjutan apabila dikemas dalam pengelolaan yang strategis dan mendapat dukungan dari pemangku kepentingan. Lingkungan yang medukung dan potensi masyarakat merupakan suatu modal yang baik untuk mendesain pengelolaan yang strategis dan berkelanjutan. Pemerintah yang tergabung ke dalam Kelompok Kerja Mangrove Daerah sudah memerikan komitmen bahwasanya wilayah ekosistem mangrove di Desa Wonorejo akan dijadikan kawasan essential. Sehingga wilayah tersebut memiliki
56
peluang untuk dijadikan daerah essential dengan konsep edutour. Edutour merupakan suatu konsep wisata pendidikan yang memadukan antara potensi masyarakat dan lingkungan yang ada di wilayah tersebut. Masyarakat yang tergabung kedalam kelompok tani memiliki potensi yaitu: (1) Kelompok tani mangrove: kelompok ini memiliki kemampuan untuk pengolahan buah-buahan menjadi bahan makanan dan pengetahuan mengenai cara penanaman mangrove, jenis serta fungsi dari masing-masing jenis mangrove; (2) Kelompok Tani Trunojoyo (Petani tambak): kelompok ini memiliki kemampuan selain memiliki usaha dibidang pertambakan juga melakukan pembibitan mangrove dan sering terlibat dalam pelatihan pengenalan ekosistem mangrove dan satwa liar (sebagai penyedia tempat) yang dibantu oleh LSM setempat (LSM nol sampah). Selain itu terdapat pula ekowisata yang saat ini sudah dikembangkan, didalamnya terdapat jogging track yang sekilingnya merupakan tanaman mangrove. Sehingga desain mata pencaharian berkelanjutan dapat dikembangkan melalui perpaduan konsep wisata lingkungan dan pendidikan. (b)
Alternatif Strategi Peluang dan Kelemahan Faktor kunci yang menjadi kelemahan dari keberlanjutan mata pencaharian ini adalah: kondisi vegetasi dan kualitas air (dimensi ekologi); status kepemilikan lahan (kelembagaan); pendapatan, kelayakan usaha, dan biaya produksi (ekonomi). Sedangkan faktor kunci yang menjadi peluang didominasi oleh dimensi kelembagaan. Sehingga dari hal tersebut alternatif yang dapat diutamakan dengan memanfaatkan peluang yang ada adalah dengan memperjelas status kepemilikan lahan. Status kepemilikan lahan terutama di daerah tambak 98% dimiliki oleh masyarakat diluar Desa Wonorejo. Karena kondidsi tambak yang saat ini kurang memberikan hasil yang maksimal bagi mereka, sehingga memungkinkan para pemegang hak atas tanah menjual kepada para investor yang ingin mengembangkan usahanya dibidang tertentu. Sebelum hal ini terjadi peran pemerintah sangat dibutuhkan. Peran pemerintah yang dibutuhkan adalah dengan mengambil hak kepemilikan lahan. Hak kepemilikan lahan dapat diambil alih oleh pemerintah agar pengelolaan dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya. Pengambil alihan lahan oleh pemerintah ditujukan untuk mempermudah pengawasan dan pengelolaan untuk sebesarbesarnya kepentingan lingkungan dan masyarakat. hal ini sesuai mandat Peraturan Pemerintah No 72 Tahun 2012 mengenai Pengelolaan Ekosistem Mangrove sebagai landasan stategi nasional pengelolaan kawasan pesisir yang mana pengelolaan kawasan ekosistem mangrove dilakukan secara berkelanjutan dan untuk mensejahterakan kehidupan masyarakat. (c)
Alternatif Skenario Kekuatan dan Ancaman Strategi ketiga yaitu dengan penghentian alih fungsi lahan tambak menjadi perumahan atau pemanfaatan lainnya yang berbentuk bangunan dan Pemanfaatan sumberdaya alam mengarah pada pengelolaan berbasis masyarakat dengan memanfaatkan keterampilan yang dimiliki oleh masing-masing kelompok tani. Strategi ini merupakan langkah awal stakeholder untuk merencanakan pengelolaan secara berkelanjutan di wilayah Wonorejo. Dengan pengehentian alih fungsi lahan tambak dan mangrove untuk perumahan dan pembangunan lainnya
57
dapat memberikan ruang bagi masyarakat untuk mengelola lahan di wilayah ini menjadi lahan yang dapat memberikan manfaat penghidupan bagi masyarakat sekitar. Terutama masyarakat yang berprofesi sebagai petani mangrove, petani tambak dan nelayan harian.selain itu juga penghentian laih fungsi lahan juga ditujukan untuk mengembalikan ekosistem mangrove menjadi sarana perlindungan dan pertahanan bagi lingkungan disekitarnya. Alternatif strategi ini merupakan alternatif utama yang dapat dilakukan dalam waktu terdekat. Untuk itu diperlukan peran pemangku kepentingan terutama para pembuat kebijakan agar berperan aktif dalam melakukan pengelolaan secara terpadu dan berkelanjutan. (d)
Alternatif Skenario Kelemahan dan Ancaman Strategi keempat untuk mewujudkan keberlanjutan mata pencaharian masyarakat di Wonorejo adalah dengan memperbaiki kondisi lingkungan yang ada saat ini terutama pada tambak dan sepadan sungai dengan desain pengelolaan ramah lingkungan. hal ini ditujukan untuk mewujudkan pengelolaan secara terpadu dan berkelanjutan. Strategi ini dapat dilakukan dengan mendesain kawasan ini menjadi kawasan wisata yang ramah lingkungan dengan memadukan keindahan mangrove dan tambak. Alternatif Skenario Kebijakan Terpilih Berdasarkan hasil analisis SWOT melaui matriks faktor strategi internal (FSI) dan matriks faktor strategi eksternal (FSE) (Lampiran 8), strategi alternatif kebijakan terpilih adalah pada kuadran tiga. Strategi ini dipilih melalui pendapat 7 pakar yaitu: (1) Badan Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA); (2) Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur; (3) Badan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Timur; (4) Petani mangrove; (5) Petani Tambak; (6) Nelayan Harian; (7) LSM Nol Sampah. Strategi kebijakan yang terpilih yaitu skenario kekuatan dan ancaman. Dalam strategi ini terdapat dua kebijakan penting yaitu: (1) penghentian alih fungsi lahan tambak menjadi perumahan atau pemanfaatan lainnya yang berbentuk bangunan; (2) pemanfaatan sumberdaya alam mengarah pada pengelolaan berbasis masyarakat dengan memanfaatkan keterampilan yang dimiliki oleh masing-masing kelompok tani. Model Kebijakan Pengelolaan Mata Pencaharian Berkelanjutan di Wonorejo Pemerintah memiliki peran yang strategis dalam mennetukan kebijakan pengelolaan di wilayah ekosistem mangrove. Dalam hal ini, berdasarkan hasil anlisis pemangku kepentingan, peran pemerintah yang memungkinkan dapat mempengaruhi keberlanjutan mata pencaharian masyarakat adalah pada posisi pemeran kunci (key player) yaitu BKSDA Provinsi Jawa Timur dan Dinas Pertanian Kota Surabaya. Selain pemangku kepentingan yang berasal dari pemerintahan, pemeran kunci yang mempengaruhi keberlanjutan mata pencaharian masyarakat di Wonorejo adalah investor. Pemangku kepentingan yang berasal dari pemerintahan yaitu BKSDA Jawa Timur memiliki wewenang dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Wonorejo. BKSDA merupakan wakil pemerintah pusat dibawah Kementerian Lingkungan
58
Hidup dan Kehutanan yang diberikan mandat untuk dapat melakukan pengelolaan secara esensial di wilayah ekosistem mangrove Wonorejo. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011, ekosistem mangrove termasuk kedalam kawasan esensial. Kawasan ekosistem ini memiliki fungsi sebagai konservasi, pendidikan, penunjang ekonomi bagi masyarakat, dan ekowisata. Wonorejo memiliki potensi sebagai kawasan ekosistem esensial. Hal ini ditunjang oleh adanya potensi Wonorejo yang dapat dijadikan sebagai sarana pendidikan, ekowisata, dan penunjang perekonomian bagi masyarakat sekitar secara berkelanjutan. Penunjang perekonomian bagi masyarakat merupakan upaya pemerintah untuk melibatkan masyarakat dalam pengelolaan ekossitem mangrove secara terpadu dan berkelanjutan. Sehingga dalam hal ini, Wonorejo memiliki potensi untuk mengembangkan mata pencaharian masyarakat yang dikemas dalam bentuk ekowisata. Kalangan Pemrintahan yang memiliki kepentingan dan pengaruh yang kuat dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Wonorejo selain BKSDA Provinsi Jawa Timur adalah Dinas Pertanian Kota Surabaya. Dinas Pertanian Kota Surabaya memiliki weweang dalam melakukan pengelolaan lahan yang berada di ekosistem mangrove Wonorejo. Sehingga pengelolaan ekosistem mangrove secara berkelanjutan bisa berjalan dengan baik apabila Dinas Pertanian Kota Surabaya memiliki kebijaksaan yang tepat dalam mengelola dan memberikan izin terhadap pengelolaan lahannya. Sesuai mandat Peraturan daerah Kota Surabaya Nomor 3 Tahun 2007 mengenai tata ruang wilayah, menyebutkan bahwa wilayah ekosistem mangrove diperuntukkan sebagai sarana pendidikan dan ekowisata. Berdasarkan peraturan tersebut Dinas Pertanian Kota Surabaya bekerjasaam dengan investor membangun sebuah ekowisata di wilayah Wonorejo. Pengelolaan ekowisata yang dikelola oleh pihak swasta di Wonorejo banyak menimbukkan konflik, baik itu dengan masyarakat maupun LSM. Untuk menghindari konflik tersebut, Dinas Pertanian Kota Surabaya perlu mengkaji ulang terhadap pengelolaan ekowsiata di Wonorejo. Pemerintah harus melibatkan masyarakat, terutama mansyarakat yang memiliki potensi dan keterampilan yang baik terhadap pengelolaan ekossitem mangrove. Karena pada dasarnya ekosistem akan lestari apabila masyarakat sendiri yang akan menjaganya. Selain pemangku kepentingan yang berasal dari kalangan pemerintahan, investor (swasta) juga memiliki pengaruh dan kepentingan yang kuat terhadap pengelolaan ekosistem mangrove. Investor sangat berpengaruh terhadap pembangunan yang ada di suatu daerah. terutama di wilayah yang memiliki lokasi strategis dan perkembangan ekonomi yang baik. Seperti halnya di Wonorejo, potensi alam dan lokasi yang strategis untuk pengembangan perumahan dan investasi bisnis lainnya yang menjanjikan, membuat para investor tertarik untuk mengembangkan wilayah ini. Pembangunan yang dilakukan harus sesuai dengan keperuntukan lahan agar tidak terjadi kerusakan lingkungan. Sehingga diperlukan rencana yang matang dalam melakukan pembangunan agar tidak terjadi kerusakan lingkungan dan dapat memicu konflik antar pemangku kepentingan. Para pemangku kepentingan yang memilki peran yang strategis dalam melakukan pengelolaan ekosistem mangrove Wonorejo dapat melakukan kerjasama untuk mewujudkan pengelolaan yang berkelanjutan. Pengelolaan secara berkelajutan ini sesuai dengan mandat Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2012, yang mana pengelolaan wilayah pesisir yang mencakup ekosistem
59
mangrove dikelola secara terpadu dan berkelanjutan untuk mensejahterakan masyarakat. Untuk mewujudkan terlaksananya peraturan tersebut dapat dilakukan dengan mensinergikan kepentingan antar golongan. Salah satunya dengan menerapkan konsep ekowisata berbasis mata pencaharian masyarakat. Konsep ekowisata berbasis mata pencaharian masyarakat merupakan suatu konsep mata pencaharian yang dilakukan oleh masyarakat yang dikemas dalam bentuk ekowisata. Sehingga pengelola teknis dilapangannya adalah masyarakat itu sendiri. Masyarakat Wonorejo terutama kelompok masyarakat yang tergabung dalam Kelompok Masyarakat Mina Tani Mangrove (petani mangrove) dan Kelompok Masyarakat Trunojoyo (petani tambak) memiliki keterampilan yang tidak semua masyarakat pesisir miliki. Keterampilan kelompok masyakat tersebut menjadi daya tarik tersendiri, sehingga dapat dijadikan peluang dalam pengembangan ekowisata mangrove berbasis masyarakat. Strategi pengembangan ekowisata mangrove berbasis masyarakat dilakukan dengan analisis SWOT. hasil analisis SWOT menunjukkan alternatif strategi yang dirumuskan yaitu dengan memanfaatkan kekuatan untuk mengatasi ancaman. Startegi ini adalah dengan menghentikan alih fungsi lahan yang bersifat komersil (pembangunan perumahan dan bangunan), serta pemanfaatan sumber daya alam dengan memanfaatkan keterampilan yang diliki oleh masing-masing kelompok masyarakat. Hasil pemilihan stratagi tersebut dapat dijadikan pedoman dalam memodelkan mata pencaharian masyarakat berkelanjutan pada ekosistem mangrove di Wonorejo. Berdasarkan potensi yang ada model mata pencaharian masyarakat di Wonorejo akan semakin berkelanjutan apabila memadukan konsep wisata penelitian yang memanfaatkan keterampilan yang dimiliki oleh kelommpok masyarakat petani mangrove serta petani tambak dan wisata alam yang memanfaatkan keindahan alam yang ada. Model pengelolaan ini juga dapat mendukung terlaksanaya Peraturan Daerah Kota Surabaya No. 3 Tahun 2007. Sehingga, model mata pencaharian ini diharapkan dapat memfasilitasi seluruh kepentingan stakeholder.
60
5. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Pengelolaan ekosistem mangrove di Wonorejo dapat dilakukan dengan memanfaatkan mata pencaharian masyarakat sebagai potensi pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Mata pencaharian masyarakat yang dapat dikembangkan di Wonorejo adalah petani mangrove, petani tambak, dan nelayan harian. Status keberlanjutan mata pencaharian masyarakat ini cukup berkelanjutan pada seluruh dimensi. Mata pencaharian yang memiliki nilai keberlanjutan tertinggi adalah petani mangrove, diikuti nelayan harian dan petani tambak. Faktor kunci utama yang berpengaruh terhadap keberlanjutan mata pencaharian masyarakat berkaitan dengan dimensi kelembagaan dan dimensi ekologi. Faktor kunci dimensi kelembagaan yang berpengruh kuat terhadap keberlanjutan mata pencaharian masyarakat adalah peran pemangku kepentingan terutama komitmen pemerintah. Untuk dimensi ekologi faktor kunci yang berpengaruh adalah kualitas air, yang dapat mempengaruhi keberlajutan mata pencaharian masyarakat di Wonorejo. Keberlanjutan mata pencaharian masyarakat di Wonorejo dapat dilakukan dengan strategi menghentikan alih fungsi lahan yang bersifat komersil, serta memanfaatkan potensi wilayah dengan memadukan keterampilan yang dimiliki oleh masing-masing kelompok masyarakat. Model mata pencaharian dapat dilakukan dengan memadukan konsep wisata penelitian dan wisata alam. Saran Guna merealisasikan konsep model mata pencaharian berkelanjutan adalah (1) komitmen pemerintah: peran stakeholder sangat dibutuhkan terutama komimen pemerintah dalam hal pembebasan tanah pada lahan pertambakan. Hal ini diperuntukkan agar pengelolaan ekosistem mangrove dapat sepenuhnya dikelola oleh pemerintah yang bekerjasama dengan masyarakat setempat; (2) penguatan kerjasama kelompok masyarakat dan pemangku kepentingan serta mitra kerja.
61
6. DAFTAR PUSTAKA Duangjai W, Ngamniyom A, Silprasit K, Kroesksakul P. 2013. The Guideline Development for Sustainable LivelihoodIndicators Of Village Marginal Mangrove Forest in the Satun Province, Thailand. Journal Asian Social Science. 9: 191 – 201 . Durand SS, Suksesi K, Rayes ML, Tamod ZE. 2014. Analysis community participation in the manajement of mangrove ecosystems in Bunaken SubDistrict, Manado. Journal of Reseacrhin Environmental and Earth Science. 1(4): 22 – 26 . Fauzi A. 2013. Analisis Keberlanjutan melalui Rapid Aprraisal dan Multidimensional Scaling (RAP+MDS). Bogor (ID): Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor. Fauizi A. 2002. Penilaian depresi sumberdaya perikanna sebagai bahan pertimbangan penentuan kebijakan pembangunan perikanan. Jurnal Pesisir dan Lautan 4 (2).pp: 36-49. Fauzi A dan Anna. 2005. Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan untuk Analisis Kebijakan. Gramedia Pustaka. Jakarta Gittinger JP. 1982. Economic Analysis of Agricultural Project. 2th Edition. The Economic Development Institute of the World Bank. Baltimore and London (UK): The Johns Hopkins University Pers. Knutson P. 2006. The Suistainable Livelihood Approach: A Framework for Knowledge Integration Assesment. Human Ecology Review. 13(1): 90 – 99. Kusumastanto T, Neviati PZ, Rilus AK, Luky A, Nita W, Yudi W. 1998. Penyusunan Konsep Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan yang Berakar pada Masyarakat. Kerjasama Dirjen Bangda Depdagri dengan PKSPL-IPB. Bogor (ID). McKean MA. 2000. Common property: what it is, what is it good, and what makes it work? Di dalam: Gibson C, McKean MA, Ostrom E, eds: People and forest: Communities, institutions and governance. Cambridge MA: MIT Press. Kelurahan Wonorejo. 2014. Monografi Kelurahan Wonorejo. Surabaya (ID) Numianto E, Nasution AH. 2004. Perumusan strategi kemitraan menggunakan Metode AHP dan SWOT. Jurnal Teknik Industri. 6(1):47-60. Pitcher TJ dan Preikshot D. 2001. RAPFISH: A Rapid Appraisal Technique ti Evaluate The Sustainability Status of Fisheries. Fisheries Research 49 Rangkuti F. 1997. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta (ID): PT. Gramedia Pustaka Utama. Reed MS, Graves A, Dandy N, Posthumus H, Huback K, Morris J, Prell CH, Quin CH, Stringer LC. 2009. Who’s in and why? A typology of stakeholder analysis methods for natural resource management. Journal of Environmental Management. 90: 933 – 949. DOI:10.10.1016/j.jenvman 200901.001. Saaty TL. 1993. Pengambilan Keputusan bagi Para Pemimpin. Di dalam: Peniwati, editor. Soetiono, penerjemah. Jakarta (ID): PT Gramedia. Terjemahan dari Decision Making for Leaders The Analytical Hierarchy Process for Decisions in Complex World.
62
Shyamsundar P, Kramer RA, Sharma N.1995. Impact on Villagers. Di dalam : Kramer RA, Sharma N, Munangsinghe M, Editor. Valuing Tropical Forest: Methodology and Case Study of Madagascar. Whasington DC (US): The World Bank. World Bank Environment Paper 13:26 – 32. Sekartjakrarini. 2004. Ekowisata: Batasan dan Pengertian. Dalam Seri Ekowisata. Jakarta (ID): IdeA. Soerianegara I, Indrawan A. 1983. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor (ID): Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Suryono T. 2006. Penilaian ekonomi lingkungan terhadap konversi hutan mangrove menjadi tambak dan pemukiman [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Suyitman. 2010. Model pengembangan kawasan agropolitan berkelanjutan berbasiskan peternakan sapi potong terpadu di Kapubaten Situbondo [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Turner, Pearce, Bateman. 1994. Environmental Economics: An Elementary Intoduction. London (UK). WCED. 1987. Our Common Future. The World Commission on Environment and Development Canada (US)
63
LAMPIRAN
64
Lampiran 1 Kuisioner identifikasi mata pencaharian masyarakat di wilayah ekosistem mangrove KUISIONER PENELITIAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR MODEL MATA PENCAHARIAN MASYARAKAT BERKELANJUTAN PADA EKOSISTEM MANGROVE Oleh: Luthfia Zahra Zen IDENTIFIKASI MATA PENCAHARIAN MASYARAKAT A. Identitas Responden 1. Nama : ……………………………………………. 2. Umur : ……………………………………………. 3. Jenis Kelamin : L / P (lingkari salah satu) 4. Pendidikan terakhir : ……………………………………………. 5. Asal desa : ……………………………………………. 6. Asal Kecamatan : ……………………………………………. 7. Pekerjaan tetap : ……………………………………………. 8. Pekerjaan sampingan : ……………………………………………. 9. Penghasilan/bulan (Rp) : ……………………………………………. 10. Jumlah tanggungan : dalam keluarga 11. Apakah Bapak penduduk : asali Wonorejo, Surabaya? (beri tanda dalam kotak)
……………………………………………. Ya Tidak Jika Tidak, darimana Bapak berasal, sebutkan ……………………………….
B. Status Kepemilikan 1. Kepemilikan Rumah a) Status Rumah, Jumlah Kamar b) Jenis (Permanen, Semi Permanen, Darurat) c) Sanitasi (Toilet dan Kamar Mandi) d) Sumber Air e) Sumber Energi (Bahan Bakar) f) Sumber Listrik 2
Aset yang Dimiliki a) Lahan/ Tanah b) Hasil Pertanian/
: : : : : : : :
……………………………………………. ……………………………………………. ……………………………………………. ……………………………………………. ……………………………………………. ……………………………………………. ……………………………………………. …………………………………………….
: :
……………………………………………. …………………………………………….
65
3
4
5
Perikanan/ Peternakan c) Peralatan Pertanian/ Perikanan/ Peternakan d) Jumlah Bangunan e) Kendaraan f) Barang Berharga Lainnya g) Pendidikan Anak h) Lainnya Kepemilikan Piutang a) Sumber Pinjaman b) Jumlah Pinjaman (Min & Maks) c) Angsuran/ Cicilan d) Bunga/ Tahun e) Aturan Peminjaman f) Pelayanan g) Alasan Peminjaman h) Jarak ke Tempat Peminjaman Proses manakah yang Bapak/Ibu jalani untuk mendapatkan status pemilikan lahan? (beri tanda dalam kotak) Apakah anda mengetahui status kepemilikan lahan di wilayah ekosistem amngrove?
: : : : : : : :
……………………………………………. ……………………………………………. ……………………………………………. ……………………………………………. ……………………………………………. ……………………………………………. ……………………………………………. …………………………………………….
: : : : : : : :
……………………………………………. ……………………………………………. ……………………………………………. ……………………………………………. ……………………………………………. ……………………………………………. ……………………………………………. …………………………………………….
Pembelian Warisan Hak guna usaha (HGU) Lainnya.(sebutkan)…………….
:
Ya Tidak Jika Ya, Bagaimana status kepemilikannya? ……………………………….....................
C. Data Usaha/ Mata pencaharian masyarakat 1.
2. 3.
4.
Usaha apa yang Bapak : lakukan di wilayah ekosistem mnagrove Sejak kapan usaha ini Bapak jalani? Apa komoditi atau : produk yang dihasilkan dari usaha tersebut? Apa saja yang berperan : dalam memajukan usaha tersebut?
…………. ……………..……………..… …………. ……………..……………..… ……………..……………..……………..
pemerintah LSM Swasta Jelaskan?…………….……………..………
66
5.
6.
7.
8. 9.
10.
11.
Apa yang menjadi motiv : atau pertimbangan bapak dalam melakukan usaha tersebut? Apakah ada waktu : tertentu dalam melakukan usaha Kapan anda : memasarkan produk yang anda miliki? Berapa kapasitas hasil : usaha yang anda? Bagaimana proses : pemasaran produksi anda Berapa harga jual dari : setiap produk yang anda produksi Apakah terdapat : kewajiban pajak/restribusi oleh pemerintah daerah dalam memungut/menjual produk anda?
……………..……………..…………………
Ya Tidak Jika Ya, kapan da mengapa ada waktu tertentu? ………………………………....... ……………..……………..……………........ ……………..……………..………………… ……………..……………..………………… ……………..……………..…………………
Ya Tidak Jika Ya, berapa rupiah? Rp……………………………................
D. Biaya pengusahaan 1.
2.
3.
4.
5.
Berapa modal awal yang Bapak keluarkan untuk usaha? Berapa harga bahan baku untuk membuat suatu produk? apakah ada biaya pemeliharaan atau pembaruan alat? Apakah ada biaya sewa lahan untuk usaha Bapak
:
…………. ……………..……………..…
:
……………..……………..……………..
:
:
Apakah ada biaya-biaya : penunjang lainnya dalam melakukan usaha ini
Ya Tidak Jika Ya, berapa rupiah? Rp……………………………................ Ya Tidak Jika Ya, berapa rupiah? Rp……………………………................ Ya Tidak Jika Ya, berapa rupiah? Rp………………………………...........
E. Teknologi Pengusahaan 1.
Apakah ada alat khusus : dalam melakukan usaha
…………. ……………..……………..…
67
2.
anda? Apakah terdapat tehnik : khusus dalam melakukan usaha anda?
……………..……………..……………..
F. Penilaian Budidaya Tambak Berapa luas tambak yang dikelola? Berapa luas per satuan unit tambak? Apakah jenis ikan yang dibudidayakan dalam satu unit tambak? Berapa bibit yang ditebar pada unit tambak? Apa pakan yang digunakan? apa jenisnya? Berapa banyak per unit tambak? Apakah menggunakan obat-obatan atau pestisida untuk membasmi hama penyakit? Apakah disetiap tambaj ada tanaman mangrove? jenis apa? Berapa persentase per unit tambak? Bagaimana pengaturan air tambak?
:
…………. ……………..……………..…
:
……………..……………..……………..
:
…………. ……………..……………..…
:
……………..……………..……………..
:
…………. ……………..……………..…
:
……………..……………..……………..
:
…………. ……………..……………..…
:
……………..……………..……………..
Apakah ada aturan main dalam memasukkan atau membuang air tambak? 10. Apakah ada aturan main bagi petambak untuk melestarikan mangrove? 11. Berapa hasil yang diperoleh dari tambak (udang, ikan bandeng, rumput laut, dll) 12. Bagaimana mekanisme penjualan hasil panen?
:
…………. ……………..……………..…
:
……………..……………..……………..
:
………………………………(ton/ha/thn)
:
……………..……………..……………..
1. 2. 3.
4. 5.
6.
7.
8. 9.
G. Khusus Bagi Masyarakat dengan mata pencaharian penunggu tambak 1.
Berapa upah anda dari :
…………. ……………..……………..…
68
2.
3.
4.
5.
6. 7.
8.
pemilik tambak? Apakah ada pendapatan lain selain dari menunggu tambak? Apakah ada waktu tertentu anda untuk menunggu tambak, kapan? Apakah ada ikan liar atau sejenisnya yang anda dapatkan ketika membuka pintu air tambak? (jika ada lanjut ke pertanyaan berikutnya) Jenis ikan apakah yang pernah atau selalu anda dapat ketika membuka air tambak? Berapa banyak ikan liar yang anda dapatkan? Apakah terdapat tehnik khusus dalam melakukan usaha anda? Apakah ada alat khusus dalam melakukan usaha anda?
:
……………..……………..……………..
:
…………. ……………..……………..…
:
……………..……………..……………..
:
…………. ……………..……………..…
:
……………..……………..……………..
:
…………. ……………..……………..…
:
……………..……………..……………..
69
Lampiran 2 Kuisioner identifikasi kepentingan dan pengaruh stakeholder
IDENTIFIKASI STAKEHOLDERS A. Menurut Anda, Bagaimana tingkat KEPENTINGAN para pemangku kepentingan (stakeholders) berikut dalam kegiatan pengelolaan hutan ekosistem mangrove dan mata pencaharian masyarakat berkelanjutan? Beri tanda dalam kotak yang sesuai dengan kriteria di bawah ini. Keterangan : 1= Rendah, 2= Kurang tinggi, 3=Cukup tinggi, 4= Tinggi, 5= Sangat tinggi No.
Aktor
Tingkat kepentingan pada Ekosistem mangrove 1
1.
Petani mangrove
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Petambak Nelayan tangkap Dinas kehutanan Kota Surabaya Dinas Kehutanan Provinsi Bappeda Kota Surabaya Bappeda Provinsi Kementerian Kehutanan Swasta* Pemerintahan desa LSM* Perguruan tinggi di Kota Surabaya* Perbankan*
No.
Aktor
Petani mangrove
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Petambak Nelayan tangkap Dinas kehutanan Kota Surabaya Dinas Kehutanan Provinsi Bappeda Kota Surabaya Bappeda Provinsi Kementerian Kehutanan Swasta* Pemerintahan desa LSM* Perguruan tinggi di Kota Surabaya* Perbankan*
3
4
5
Tingkat Kepentingan pada Keberlanjutan mata pencaharian mangrove 1
1.
2
2
3
4
5
70
B. Menurut Anda, Bagaimana tingkat PENGARUH para pemangku kepentingan (stakeholders) berikut dalam kegiatan pengelolaan hutan ekosistem mangrove dan mata pencaharian masyarakat berkelanjutan? Beri tanda dalam kotak yang sesuai dengan kriteria di bawah ini. Keterangan : 1= Rendah, 2= Kurang tinggi, 3=Cukup tinggi, 4= Tinggi, 5= Sangat tinggi No.
Aktor
Tingkat Pengaruh pada Ekosistem mangrove 1
1.
Petani mangrove
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Petambak Nelayan tangkap Dinas kehutanan Kota Surabaya Dinas Kehutanan Provinsi Bappeda Kota Surabaya Bappeda Provinsi Kementerian Kehutanan Swasta* Pemerintahan desa LSM* Perguruan tinggi di Kota Surabaya* Perbankan*
No.
Aktor
Petani mangrove
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Petambak Nelayan tangkap Dinas kehutanan Kota Surabaya Dinas Kehutanan Provinsi Bappeda Kota Surabaya Bappeda Provinsi Kementerian Kehutanan Swasta* Pemerintahan desa LSM* Perguruan tinggi di Kota Surabaya* Perbankan*
3
4
5
Tingkat Pengrauh pada Keberlanjutan mata pencaharian mangrove 1
1.
2
2
3
4
5
71
Lampiran 3 Penilaian atribut dimensi ekologi model mata pencaharian berkelanjutan pada ekosistem mangrove di Wonorejo No. 1
Atribut Ekologi Alih lahan
Fungsi
Skor 0; 1; 2; 3
Jenis mata pencaharian PM PT NH 1 1 1
Baik
Buruk
Ketentuan Penilaian
0
1
Permen No 1 Tahun 2011 (Kesesuaian alih fungsi lahan dan observasi lapangan). (0) tidak berpengaruh; (1)
pengelolaan tidak berpihak pada lingkungan dan kepentingan masyarakat; (2) pengelolaan ditujukan untuk kepentingan lingkungan; (3) pengelolaan ditujukan untuk kepentingan lingkungan dan masyarakat. 2
Kesesuaian pemanfaatan lahan
0; 1; 2; 3
3
2
3
3
0
3
Status kepemilikan lahan
0; 1; 2; 3
3
3
3
3
0
4
Kualitas air
0; 1; 2; 3
2
1
1
0
1
Permen No 1 Tahun 2011 (Kesesuain alih fungsi lahan dan observasi lapangan). (0) tidak berpengaruh; (1)
pengelolaantidak berpihak pada lingkungan dan kepentingan masyarakat; (2) pengelolaan ditujukan untuk kepentingan lingkungan; (3) pengelolaan ditujukan untuk kepentingan lingkungan dan masyarakat. Diskusi pakar. (0) tidak berpengaruh; (1) kepemilikan tidak lahan jelas ; (2) kepemilikan lahan jelas dengan status petok; (3) kepemlikan lahan jelas dengan SHM. Permenkes No. 416 Tahun 1990 (Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas air), Observasi lapangan, literatur BLH 2012. (0) tidak berpengaruh; (1) air pengairan
tercemar limbah ; (2) air cukup baik untuk pengairan; (3) air sangat baik untuk pengairan.
72
Lampiran 3 Penilaian atribut dimensi ekologi model mata pencaharian berkelanjutan pada ekosistem mangrove di Wonorejo (lanjutan) No.
Atribut Ekologi
Skor
5
Keberadaan sumber air bagi rumah tangga
0; 1; 2; 3
Jenis mata pencaharian PM 1
PT 1
NH 1
Baik 1
Buruk
Ketentuan Penilaian
0
Permenkes No. 416 Tahun 1990 (Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas air), Observasi lapangan, literatur BLH 2012. (0) tidak berpengaruh; (1) tidak ada
6
Tingkat keramahan pada lingkungan
0; 1; 2; 3
3
2
3
3
0
7
Kondisi vegetasi/ Persentase luas lahan
0; 1; 2; 3
2
1
1
0
2
Keterangan: PM (Petani mangrove); PT (Petani tambak); NH (Nelayan harian)
sumber mata air ; (2) mata air payau; (3) tersedia air bersih Profil Kelompok Tani, Observasi lapangan. (0) tidak berpengaruh; (1) mata pencaharian menimbulkan pencemaran berat bagi lingkungan; (2) mata pencaharian sedikit memberikan kerusakan lingkungan; (3) mata pencaharian tidak memberikan dampak pencemaran BLH 2012, Observasi lapangan. Berdasarkan observasi lapangan/ persentase kerapatan Kategori baik (1) kerpatan rendah; (2) kerapatan sedang; (3) kerapatan tinggi
73
Lampiran 4 Penilaian atribut dimensi ekonomi model mata pencaharian berkelanjutan pada ekosistem mangrove di Wonorejo Jenis mata pencaharian No Atribut Ekonomi Skor Baik Buruk Ketentuan Penilaian PM PT NH 1 Jarak pasar 0; 1; 2; 3 2 3 3 3 0 Melalui obervasi lapangan dan diskusi pakar (1) jauh; (2) cukup jauh (3) dekat 2 Pemasaran 0; 1; 2; 3 2 3 3 3 0 Melalui obervasi lapangan dan diskusi pakar (1) sulit; (2) cukup sulit (3) mudah 3 Produktivitas 0; 1; 2; 3 1 1 2 0 2 Melalui obervasi lapangan dan diskusi pakar (1) minimum; (2) cukup tinggi (3) maksimal 4 Harga 0; 1; 2; 3 3 1 3 2 0 Melalui obervasi lapangan dan diskusi pakar (1) kurang baik bagi petani; (2) cukup baik bagi petani (3) baik/ menguntungkan petani 5 Kemandirian 0; 1; 2; 3 3 2 3 2 0 Melalui obervasi lapangan dan diskusi pakar (1) masih modal bergantung terhadap bantuan; (2) masih mendapat bantuan (3) mandiri/ modal pribadi 6 pendapatan 0; 1; 2; 3 2 1 2 0 2 Melalui obervasi lapangan dan diskusi pakar (1) kurang untuk memenuhi kebutuhan keluarga ; (2) cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga (3) memenuhi kebutuhan keluarga dengan layak 7 Biaya produksi 0; 1; 2; 3 2 1 3 2 0 Melalui obervasi lapangan dan diskusi pakar (1) tinggi; (2) cukup tinggi (3) rendah 8 Kuantitas produk 0; 1; 2; 3 1 1 2 0 2 Melalui obervasi lapangan dan diskusi pakar (1) rendah/ minimum; (2) cukup tinggi (3) tinggi/maksimum 9 Kualitas produk 0; 1; 2; 3 3 2 3 3 0 Melalui obervasi lapangan dan diskusi pakar (1) kurang baik; (2) cukup baik (3) baik 10 Keuntungan 0; 1; 2; 3 3 1 3 2 0 Melalui obervasi lapangan dan diskusi pakar (1) yang dihasilkan kurang menguntungkan; (2) cukup menguntungkan (3) keuntungan tinggi Keterangan: PM (Petani mangrove); PT (Petani tambak); NH (Nelayan harian)
74
Lampiran 5 Penilaian atribut dimensi sosial model mata pencaharian berkelanjutan pada ekosistem mangrove di Wonorejo No
Atribut Sosial
Skor
Jenis mata pencaharian PM PT NH 3 2 2
Baik
Buruk
Ketentuan Penilaian
3
0
(0) tidak berpengaruh ;(1) mendukung ; (2) mendukung dengan peran pasif; (3) setuju dan degan peran aktif (ikut andil dalam pekerjaan). (0) tidak berpengaruh (1) memiliki pengalaman tetapi kurang terampil; (2) memiliki pengalaman dengan keterampilan; (3) memiliki pengalaman, keterampilan, dan pendidikan (0) tidak berpengaruh (1) memiliki organisasi yang jelas; (2) komunikatif antar anggota atau komunitasnya; (3) memiliki kelompok tani atau organisasi dan komunikatif. (0) tidak berpengaruh; (1) menyerap tenaga kerja < 30% masyarakat; (2) menyerap tenaga kerja 30% - 60% ; (3) meyerap tenaga kerja >60%. (0) tidak diberdayakan; (1) kurang diberdayakan; (2) cukup diberdayakan; (3) diberdayakan dengan aktif (1) kurang berjalan dengan baik; (2) cukup berjalan dengan baik; (3) berjalan dengan baik
1
Dukungan keluarga
0; 1; 2; 3
2
Ketrampilan petani
0; 1; 2; 3
3
2
2
3
0
3
Pola komunikasi antar anggota
0; 1; 2; 3
1
2
2
2
0
4
Ketersediaan tenaga kerja
0; 1; 2; 3
2
2
2
2
0
5
Pemberdayaan petani Sistem sosial dalam pengelolaan lingkungan Intensitas konflik yang berkaitan dengan usaha
0; 1; 2; 3
1
1
1
0
1
0; 1; 2; 3
2
2
2
2
0
0; 1; 2; 3
1
2
3
1
0
6
7
Keterangan: PM (Petani mangrove); PT (Petani tambak); NH (Nelayan harian)
(1) sering terjadi konflik; (2) jarang terjadi konflik; (3) tidak ada konflik
75
Lampiran 6 Penilaian atribut dimensi teknologi, sarana, prasarana model mata pencaharian berkelanjutan pada ekosistem mangrove di Wonorejo Atribut Jenis mata pencaharian No Teknologi dan Skor Baik Buruk Ketentuan Penilaian PM PT NH sarana prasarana 1 sarana 0; 1; 2; 3 3 3 3 3 0 (0) tidak berpengaruh; (1) dapat dilalui pejalan kaki; (2) transportasi dapat dilalui pejalan kaki dan motor; (3) dapat dilalui kendaraan roda empat 2 sarana jalan 0; 1; 2; 3 3 3 3 3 0 (0) tidak berpengaruh (1) dapat dilalui pejalan kaki; (2) dapat dilalui pejalan kaki dan motor; (3) dapat dilalui kendaraan roda empat. 3 penggunaan 0; 1; 2; 3 3 2 1 2 0 (0) tidak menggunakan teknologi (1) menggunakan teknologi teknologi sederhana; (2) menggunakan teknologi yang berbasis lingkungan ; (3) menggunakan teknologi yang komplek dan ramah lingkungan. 4 Sarana 0; 1; 2; 3 2 1 1 0 1 (0) tidak menggunakan teknologi (1) menggunakan pengairan teknologi sederhana; (2) menggunakan teknologi yang berbasis lingkungan ; (3) menggunakan teknologi yang komplek dan ramah lingkungan. 5 Ketersediaan 0; 1; 2; 3 3 3 3 3 0 (0) tidak berpengaruh (1) berasal dari bahan kimia; (2) pakan/pupuk berasal dari pakan alam buatan; (3) bersal dari alam. 6 Mutu benih 0; 1; 2; 3 3 2 3 2 0 (0) tidak berpengaruh (1) mutu benih baik; (2) mutu benih baik dan berkualitas tetapi belum divaksinasi ; (3) tidak memerlukan benih/ mutu benih baik dan berkualitas (sudah divaksinasi) 7 keramahan 0; 1; 2; 3 3 2 3 3 0 (0) tidak berpengaruh; (1) mata pencaharian menimbulkan teknologi pada pencemaran berat bagi lingkungan; (2) mata pencaharian lingkungan sedikit memberikan kerusakan lingkungan; (3) mata pencaharian tidak memberikan dampak pencemaran Keterangan: PM (Petani mangrove); PT (Petani tambak); NH (Nelayan harian)
76
Lampiran 7 Penilaian atribut dimensi kelembagaan model mata pencaharian berkelanjutan pada ekosistem mangrove di Wonorejo
No
Atribut kelembagaan
Skor
1
Kebijakan mengenai kepemilikan lahan lokasi usaha sesuai dengan peraturan Kebijakan mengenai alih fungsi lahan
0; 1; 2; 3
2
Jenis mata pencaharian PM PT NH 3 2 2
Baik
Buruk
Ketentuan Penilaian
3
0
Observasi lapangan, RTRW Kota Surabaya 2014, (1)kurang tersedia; (2) cukup tersedia (3) tersedia RTRW Kota Surabaya 2014, (1) tidak sesuai; (2) kurang sesuai (3)sesuai Peraturan Pemerintah No 1 Tahun 2011 dan observasi lapangan, (0) tidak berpengaruh; (1) pengelolaan tidak berpihak pada lingkungan dan kepentingan masyarakat; (2) pengelolaan ditujukan untuk kepentingan lingkungan; (3) pengelolaan ditujukan untuk kepentingan lingkungan dan masyarakat. Wawancara (1) kurang dalam berkomitmen; (2) cukup dalam berkomitmen (3)berkomitmen Wawancara, observasi lapangan, Profil Kelompok Tani (1) kurang berperan; (2) cukup berperan (3)berperan aktif Melalui obervasi lapangan dan diskusi pakar (1) kurang berperan; (2) cukup berperan (3)berperan aktif Melalui obervasi lapangan dan diskusi pakar (1) kurang berperan; (2) cukup berperan (3)berperan aktif Melalui obervasi lapangan dan diskusi pakar (1) tidak memadai (2) kurang memadai (3)cukup memadai
0; 1; 2; 3
3
2
3
3
0
0; 1; 2; 3
1
1
1
0
1
0; 1; 2; 3
1
1
1
0
1
0; 1; 2; 3
3
2
2
3
0
6
Komitmen pemerintah Peran perguruan tinggi Peran LSM
0; 1; 2; 3
3
3
2
3
0
7
Peran investor
0; 1; 2; 3
2
1
1
0
1
8
Ketersediaan organisasi kelompok masyarakat Koordinasi antar instansi yang terkait
0; 1; 2; 3
3
3
3
3
0
0; 1; 2; 3
3
1
1
0
2
3
4 5
9
Keterangan: PM (Petani mangrove); PT (Petani tambak); NH (Nelayan harian)
Melalui obervasi lapangan dan diskusi pakar (1) tidak terkoordinasi; (2) cukup terkoordinasi(3)terkoordinasi dengan baik
77
Lampiran 8 Matriks penilaian faktor internal pada Analisis SWOT No.
Uraian Faktor Internal
Bobot (Setiap Stakeholder)
∑B
Rasio
M
T
N
P
K
D
B
L
4
4
4
4
4
3
4
3
30
2
Kesesuaian pemanfaatan lahan sebagai usaha masyarakat berkelanjutan Ketrampilan petani dan nelayan
4
3
3
3
4
3
3
4
3
Keberadaan kelompok tani
3
3
3
3
3
3
3
4
Kualitas produk
3
3
3
3
3
3
5
Ketersediaan pakan
3
3
3
3
3
3
Rating (Setiap Stakeholder)
∑R
Rasio
Nilai
3
25
0,188
0,044
3
3
28
0,211
0,044
3
3
3
28
0,211
0,039
3
3
3
3
28
0,211
0,039
3
2
2
3
24
0,180
0,034
M
T
N
P
K
D
B
L
0,233
4
4
4
3
3
2
2
27
0,209
4
4
4
4
3
3
3
24
0,186
4
4
4
4
3
3
3
24
0,186
4
4
4
4
3
3
24
0,186
3
4
3
4
KEKUATAN (S) 1
129
133
0,200
KELEMAHAN (W) 1
Kondisi vegetasi
4
3
3
4
4
4
3
4
29
0,187
4
4
4
4
4
4
4
4
32
0,186
0,035
2
Kualitas air
4
4
4
4
4
4
4
4
32
0,206
4
4
4
4
4
4
4
4
32
0,186
0,038
3
Status kepemilikan lahan
4
4
4
4
4
4
4
4
32
0,206
4
4
4
4
4
4
4
4
32
0,186
0,038
4
Pendapatan
4
4
4
4
4
3
3
4
30
0,194
4
4
4
4
4
4
4
4
32
0,186
0,036
5
Kelayakan usaha
3
3
3
3
2
2
2
2
20
0,129
3
3
3
3
2
2
2
2
20
0,116
0,015
6
Biaya produksi
3
3
1
1
1
1
1
1
12
0,077
3
3
3
3
3
3
3
3
24
0,140
0,011
155
172 Nilai Faktor Internal (S-W)
Keterangan : M: Petani Magrove ; T: Petani Tambak ; N: Nelayan Harian ; P: Perguruan Tinggi ; K: BKSDA Jawa Timur ; D: Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur ; B: Bappeda Provinsi Jawa Timur ; L: LSM ; ∑B: Jumlah Bobot ; ∑R: Jumlah Rating
Lampiran 9)
0,173 0,026
78
Lampiran 9 Matriks penilaian faktor eksternal pada Analisis SWOT No.
Uraian Faktor Eksternal
Bobot (Setiap Stakeholder) M
T
N
P
K
D
B
L
∑B
Rasio
Rating (Setiap Stakeholder) M
T
N
P
K
D
B
L
∑R
Rasio
Nilai
PELUANG (O) 1
Sarana jalan dan transportasi
2
2
2
2
3
3
3
2
19
0,196
2
2
2
2
2
2
2
2
16
0,176
0,034
2
Peran LSM dan pers
2
3
3
3
2
2
2
4
21
0,216
2
3
3
3
2
2
2
3
20
0,220
0,048
3
Peran perguruan tinggi
4
3
3
3
3
3
3
3
25
0,258
3
3
3
3
3
3
3
3
24
0,264
0,068
4
Komitmen pemerintah
4
4
4
4
4
4
4
4
32
0,330
4
4
4
4
4
4
4
3
31
0,341
0,112
97
91
0,262
ANCAMAN (T) 1
Sarana pengairan
4
4
4
4
4
4
4
4
32
0,390
4
4
4
4
4
4
4
4
32
0,344
0,134
2
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0,098
3
3
3
2
2
2
2
3
20
0,215
0,021
3
Konflik yang terjadi akibat pembangunan (alih fungsi lahan) Peran investor
1
1
1
2
2
2
3
1
13
0,159
1
1
1
2
2
2
2
1
12
0,129
0,020
4
Koordinasi antar stakeholder
3
3
3
4
4
4
4
4
29
0,354
3
3
3
4
4
4
4
4
29
0,312
0,110
82
93 Nilai Faktor Eksternal (O-T)
Keterangan : M: Petani Magrove ; T: Petani Tambak ; N: Nelayan Harian ; P: Perguruan Tinggi ; K: BKSDA Jawa Timur ; D: Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur ; B: Bappeda Provinsi Jawa Timur ; L: LSM ; ∑B: Jumlah Bobot ; ∑R: Jumlah Rating
0,286 -0,024
79
Lampiran 10 Peta Lokasi Penelitian
80
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bojonegoro pada tanggal 25 Juli 1989 dan merupakan putri keempat dari pasangan Drs. M. Zen Dahlan, M.Pd dan Ngatmining. Penulis menikah dengan Imam Fauzi Syamsu, S.Hut dan dikarunia 2 (dua) anak yang bernama Almamaira Zahreen Fauzi dan Fares Muhammad Fauzi. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Bojonegoro lulus pada tahun 2007 dan melanjutkan ke strata 1 di Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor lulus pada tahun 2011. Pada tahun 2013 penulis melalui beasiswa BPPDN melanjutkan studi strata 2 pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sejak tahun 2010 penulis banyak terlibat dalam penelitian mengenai mangrove, salah satunya penulis juga pernah menjadi peneliti di Wetlands (20112013), dan mewakili Wetlands dalam Rapat koordinasi Kelompok Kerja Mangrove Nasional (KKMN) pada tahun 2012. Sampai saat ini peneliti juga masih aktif dalam penelitian mangrove termasuk sebagai karya ilmiah dalam penyelesaian strata 2.