Model Kurikulum di Kabupaten Jeneponto
Bab I
Pendahuluan
65
Latar Belakang
M
asyarakat pesisir sejauh ini dianggap sebagai bagian dari kelompok masyarakat termiskin. Untuk itu program pemberdayaan masyarakat
pesisir merupakan keharusan bagi pembangunan sumber daya pesisir secara komprehensif. Salah satu gagasan untuk proses pemberdayaan tersebut adalah melalui pengembangan
sumber
daya
manusia
yang
pada
gilirannya mampu mengelola sumber daya lingkungan pesisir yang mereka geluti selama ini. Meskipun beragam proses dan program dalam pemberdayaan masyarakat pesisir, namun pengembangan sumber daya manusia menjadi salah satu pendekatan yang strategis. Hal ini salah satunya
dijawab
dengan
pengembangan
kurikulum
pengembangan kapasitas masyarakat pesisir. Salah satu mandat penting dalam pemberdayaan warga negara, termasuk masyarakat pesisir agar memiliki peran partisipasi yang berarti dalam proses bernegara dan bermasyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan yang relevan
dan
menjawab
kebutuhan
mereka
menuju
pemberdayaan untuk kemandirian. Untuk itu perlu disusun kurikulum berbasis kebutuhan yang menjadi model dan
66
membuka
peluang
pengembangan,
modifikasi,
dan
implementasinya di tingkat lapangan.
Pemberdayaan nelayan melalui budidaya rumput laut di Kac. Binamu, Kab Jeneponto, Sulawesi Selatan
Pendidikan untuk pengembangan masyarakat pesisir dapat dilakukan melalui kajian di lapangan yang memperhatikan karakteristik dan kebutuhan spesifik masyarakat pesisir. Untuk itu dilakukan kajian lapangan guna memetakan profil dan kebutuhan pengembangan kapasitas pendidikan bagi masyarakat pesisir. Kajian lapangan merupakan bagian dari proses partisipatif, yang membuka ruang bagi calon warga belajar guna pemberdayaan masyarakat pesisir menjawab kebutuhan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lingkungannya.
Hal
ini
sejalan
dengan
nafas
67
pemberdayaan itu sendiri, bahwa kebutuhan pendidikan dan pengembangan kurikulumnya dikembangkan melalui proses diskusi dan kajian kebutuhan partisipatif. Masyarakat pesisir memiliki karakteristik yang beragam. Meskipun secara umum biasanya mereka memiliki mata pencaharian sebagai nelayan dengan beragam tingkat teknologi yang digunakan, namun sesungguhnya aspek ekonomi produktif yang terjadi tidak sederhana. Untuk konteks Jeneponto, interaksi ekonomi juga dipengaruh oleh ikatan
sosial
dan
sebaliknya.
Selain
itu
dengan
perkembangan dan perubahan kecenderungan ekonomi, mata pencaharian mereka juga tidak hanya sejenis, namun lebih beragam, misalnya dengan mengkombinasikannya dengan budidaya rumput laut yang memiliki nilai ekonomis tinggi.
Pemberdayaan
berbasis
ekonomi
masyarakat
pesisir juga tidak bisa lepas dari peran kelompok perempuan.
Untuk
konteks
Jeneponto,
perempuan
memiliki peran penting dalam pengelolaan keuangan dan budidaya rumput laut, terutama pengolahan paska panen. Inilah yang mendasari bahwa kajian lapangan untuk menyusun pemberdayaan
kebutuhan masyarakat
penyusunan pesisir
dilakukan
kurikulum dengan
memetakan konteks lokal. Kajian lapangan ini dilakukan dengan menggunakan peggabungan beragam pendekatan yakni diskusi terfokus dengan kelompok nelayan dan
68
masyarakat
pesisir
termasuk
perempuan,
diskusi
mendalam dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Lembaga Pendidikan Pelatihan dan Keterampilan Nurul Bahari dan dialog terstruktur dengan Kepala Desa Pabiringa, Kecamatan Binamu Kabupaten Jeneponto.
Landasan Hukum
P
endidikan pesisir
pemberdayaan
merupakan
nonformal.
pengembangan
untuk
bagian
dari
masyarakat pendidikan
Dengan demikian, landasan hukum model
kurikulum
pemberdayaan
masyarakat pesisir sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional : Pasal 1 ayat (12) Pendidikan Nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang; ayat (19) kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai
pelajaran serta cara
tujuan,
isi,
dan
bahan
yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
69
Pasal 5 ayat (1) setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu; dan ayat (5) menyatakan bahwa, setiap warga negara berhak mendapatkan kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat; Pasal 13 ayat (1) jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Pasal
26
ayat
diselenggarakan
(1)
bagi
pendidikan warga
nonformal
masyarakat
yang
memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan
formal
dalam
rangka
mendukung
pendidikan sepanjang hayat; ayat (2) PNF berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional; ayat (3) PNF meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini,
pendidikan
kepemudaan,
pendidikan
pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan
keterampilan
dan
pelatihan
kerja,
pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukkan
untuk
mengembangkan
kemampuan
70
peserta
didik.
dilaksanakan
Pendidikan untuk
dan
pelatihan
meningkatkan
kerja
kemampuan
peserta didik dengan penekanan pada penguasaan keterampilan
fungsional
yang
sesuai
dengan
kebutuhan dunia kerja. Pasal
36
ayat
(1)
pengembangan
kurikulum
dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional; ayat (2) kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi
sesuai
dengan
satuan
pendidikan,
potensi daerah, dan peserta didik. 2. Peraturan Pemerintah nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 1 ayat (3) pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang; ayat (13) kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai
pelajaran serta cara
tujuan,
isi,
dan
bahan
yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. 3. Peraturan Pemerintah nomor 17 tahun 2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan
71
pasal 1 ayat (31) pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang pasal 100 ayat (3) penyelenggaraan program PNF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: pendidikan kecakapan hidup; pendidikan anak usia dini;
pendidikan
kepemudaan;
pendidikan
pemberdayaan perempuan; pendidikan keaksaraan; pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja; dan pendidikan kesetaraan pasal 111 ayat (1) pendidikan pemberdayaan perempuan
merupakan
pendidikan
untuk
meningkatkan harkat dan martabat perempuan; ayat (2) program pendidikan pemberdayaan perempuan berfungsi
untuk
meningkatan
kesetaraan
dan
keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara melalui: a. peningkatan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia; b. penguatan wawasan kebangsaan dan cinta tanah
air;
c.
penumbuhkembangan
etika,
kepribadian, dan estetika; d. peningkatan wawasan dan
kemampuan
dibidang
ilmu
pengetahuan,
teknologi, seni, dan/atau olahraga; e. penumbuhan sikap kewirausahaan, kepemimpinan, keteladanan,
72
dan kepeloporan; dan f. peningkatan keterampilan vokasional; ayat (3) pendidikan pemberdayaan perempuan bertujuan: a. meningkatkan kedudukan, harkat, dan martabat perempuan hingga setara dengan
laki-laki;
b.
meningkatkan
akses
dan
partisipasi perempuan dalam pendidikan, pekerjaan, usaha, peran sosial, peran politik, dan bentuk amal lain dalam kehidupan; c. mencegah terjadinya pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang melekat pada perempuan; 4. Instruksi Presiden No. 4 Tahun 1995 tentang Gerakan Nasional
Memasyarakatkan
Kewirausahaan.
Ini
dan
memberikan
melaksanakan
gerakan
membudayakan
kewirausahaan
masing
dengan
sesuai
tanggungjawabnya
di
Membudayakan arah
dalam
memasyarakatkan di
tugas, bawah
sektor
dan
masing-
kewenangan koordinasi
dan
Menteri
Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil. Melalui gerakan ini diharapkan budaya kewirausahaan akan menjadi bagian dari etos kerja masyarakat dan bangsa, sehingga
dapat
melahirkan
wirausahawan-
wirausahawan baru yang handal, tangguh dan mandiri. 5. Surat Keputusan Bersama Menteri Negara Koperasi dan UKM
dan
Menteri
02/SKB/MENEG/VI/2000
Pendidikan dan
No.
Nasional
No.
4/U/SKB/2000
73
tertanggal
29
Juni
2000
tentang
Pendidikan
Perkoperasian dan Kewirausahaan. Tujuan dari SKB adalah (a) memasyarakatkan dan mengembangkan perkoperasian dan kewirausahaan melalui pendidikan, (b) menyiapkan kader-kader koperasi dan wirausaha yang profesional, (c) menumbuhkembangkan koperasi, usaha kecil, dan menengah untuk menjadi pelaku ekonomi yang tangguh dan profesional dalam tatanan ekonomi kerakyatan. 6. Pidato Presiden pada Nasional Summit Tahun 2010 telah
mengamanatkan
perlunya
penggalakan
jiwa
kewirausahaan dan metodologi pendidikan yang lebih megembangkan kewirausahaan. 7. RPJMN 2010 – 2014, prioritas 2: pendidikan yaitu: Peningkatan
Akses
pendidikan
yang
berkualitas,
terjangkau, relevan, dan efisien menuju terangkatnya kesejahteraan hidup rakyat, kemandirian, keluhuran budi
pekerti,
Pembangunan
dan
karakter
bidang
bangsa
pendidikan
yang
kuat.
diarahkan
demi
tercapainya pertumbuhan ekonomi yang didukung keselarasan
antara
ketersediaan
tenaga
terdidik
dengan kemampuan: 1) menciptakan lapangan kerja atau kewirausahaan, 2) menjawab tantangan kebutuhan tenaga kerja.
74
8. Instruksi Presiden No. 6 tahun 2009 tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif.
Prinsip Pengembangan Kurikulum
P
engembangan masyarakat beberapa
kurikulum pesisir
prinsip
perlu agar
pemberdayaan memperhatikan kurikulum
yang
dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi serta peluang yang pada kelompok sasaran di Jeneponto. Adapun prinsip pengembangan kurikulum yang dimaksud sebagai berikut:
1. Relevansi Kurikulum pemberdayaan masyarakat pesisir yang dikembangkan
harus
sesuai
dengan
kebutuhan,
kepentingan, keinginan, peluang dan potensi yang dimilki oleh subyek sasaran (kelompok nelayan di masyarakat diberdayakan). pemberdayaan
pesisir
Jeneponto
Dalam sebaiknya
yang
menyusun diawali
dengan
akan
kurikulum analisis
konteks dengan melakukan pantauan, kunjungan atau pengamatan yang cermat untuk memperoleh gambaran
75
tentang
karakteristik
kelompok
sasaran
yang
merupakan prioritas untuk dibantu atau diberdayakan. Setelah memperoleh gambaran yang jelas, dilanjutkan dengan penentuan subyek sasaran pemberdayaan.
2. Fleksibilitas Kurikulum yang dikembangkan hendaknya memberikan peluang
dan
kesempatan
bagi
pelaksana
untuk
melakukan penyesuaian dengan kondisi lingkungan, budaya dan kehidupan masyarakat dan kelompok sasarannya.
3. Kontinuitas Kurikulum yang dikembangkan agar menunjukkan dan memprogramkan
suatu
kegiatan
yang
bersifat
berkelanjutan. Berkelanjutan maksudnya suatu kegiatan yang dirancang merupakan kelanjutan, peningkatan dan atau pengembangan kegiatan yang mendahuluinya. Disamping itu dalam pelaksanaan kegiatan tergambar tentang pendampingan dan pembinaan yang bersfat kontinu.
4. Efisiensi dan Efektifitas Penyusunan pemberdayaan
model
pengembangan
masyarakat
ini
dilakukan
kurikulum dengan
76
mendayagunakan waktu, biaya dan sumber-sumber pendidikan
secara
optimal
untuk
mencapai
hasil
pendidikan yang optimal, termasuk didalamnya bisa ditindaklanjuti
dalam
berbagai
pemberdayaan
menggunakan
bentuk
media
dan
aktivitas metode
ramah kondisi lokal.
5. Berorientasi Tujuan Prinsip berorientasi tujuan berarti bahwa sebelum bahan/materi ditentukan, langkah yang perlu dilakukan terlebih dahulu adalah menentukan tujuan. Hal ini dilakukan agar semua kegiatan yang dilakukan betulbetul terarah kepada tercapainya tujuan pendidikan yang sudah ditetapkan. Dengan demikian kurikulum yang akan dikembangkan harus berdasarkan pada tujuan-tujuan yang telah disepakati bersama.
6. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Kurikulum yang dikembangkan harus mengantisipasi dan mempersiapkan sasaran memiliki kemampuan untuk
menyesuaikan
perkembangan
ilmu
diri
dan
mengimbangi
pengetahuan
dan
arus
teknologi
khususnya di bidang teknologi informasi yang semakin maju.
77
7. Berbasis Muatan Lokal Kurikulum yang dikembangkan harus memuat atau berisikan hal-hal yang perlu dikembangkan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan serta memperhatikan nilai-nilai budaya yang berlaku
dimana kurikulum
dikembangkan.
8. Pendekatan Menyeluruh dan Kemitraan Penyusunan
model
pengembangan
kurikulum
ini
dikembangkan didasarkan pada kemampuan kelompok sasaran bersifat menyeluruh melalui kerjasama yang harmonis antara berbagai pihak terkait kegiatan
Kemitraan dilakukan oleh berbagai pihak baik dari pemerintah maupun organisasi masyarakat sipil dan organisasi berbasis komunitas
78
pemberdayaan
masyarakat,
baik
dari
kalangan
pemerintah maupun organisasi masyarakat sipil dan organisasi berbasis komunitas.
9. Penguatan Masyarakat Pengembangan kurikulum diarahkan agar masyarakat tidak hanya memiliki kemampuan ekonomi, tetapi juga sosial politik. Kemampuan ekonomi memungkinkan masyarakat mandiri atau tidak tergantung dengan pihak luar.
Sedangkan
kemampuan
sosial
budaya
memungkinkan masyarakat mampu membela haknya. Penguatan
masyarakat
bisa
diartikan
sebagai
kemampuan untuk mengelola lingkungannya tanpa intervensi orang luar, mampu mengadakan tawar menawar dengan orang luar, memiliki peluang dan kontrol terhadap lingkungan serta mampu memberikan pertimbangan terhadap orang luar jika mengarah pada proses perusakan lingkungan.
79
Bab II
Analisis Konteks
80
A
nalisis
konteks
mengacu
ini
pada
dikembangkan
dengan
pendalaman
konsep
pemberdayaan masyarakat pesisir untuk kawasan
Jeneponto, dan kajian lapangan ke wilayah desa pesisir di Kabupaten Jeneponto, yang dilakukan dengan melakukan diskusi terfokus dengan kelompok masyarakat pesisir termasuk perempuan, diskusi mendalam dengan lembaga pemerintah lokal terutama desa dan lembaga pendamping, juga
dilengkapi
dengan
wawancara
serta
observasi
lingkungan masyarakat pesisir, termasuk model mata pencaharian yang mereka lakukan.
Aspek Sosial-Ekonomi
K
abupaten
Jeneponto
kabupaten kesejahteraan
dengan relatif
merupakan taraf tertinggal
salah
satu
pertumbuhan dibanding
kabupaten lainnya dalam wilayah Propinsi Sulawesi Selatan. Salah satu indikator umum yang menunjukkan seperti terlihat dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Selama kurun waktu 1999 sampai 2009, Kabupaten Jeneponto hanya mengalami perkembangan IPM rata-rata 59,0 yaitu terendah di Sulawesi Selatan (BPS, 2010).
81
Wilayah
Kabupaten
Jeneponto
relatif
tidak
memiliki
kesamaan umum dengan karakter topografis Propinsi Sulawesi Selatan. Pada umumnya wilayah Sulawesi Selatan mengalami musim barat berlangsung dalam bulan September
sampai
dengan
Februari,
sedangkan
Kabupaten Jeneponto mengalami musim barat antara bulan Desember sampai Maret, sehingga musim hujan relatif cukup pendek. Karena itu, wilayah ini dikenal pula sebagai daerah kering. Pengaruh musim tersebut cukup berpengaruh pada seluruh aktivitas wilayah pertanian dan wilayah pesisir dan taraf kesejahteraan masyarakat. Pada dasarnya masyarakat pesisir Jeneponto sebagian besar adalah nelayan yang dilakukan oleh laki-laki. Dalam perkembangan berikutnya, yakni 10 (sepuluh) tahun yang lalu
terbuka
alternatif
mata
pencaharian selain
nelayan
tradisional, yakni sebagai
petani
budidaya rumput laut yang dikenalkan
awalnya
oleh pihak pemerintah bersama
Budidaya rumput laut dan tambak garam sebagai alternatif mata pencaharian para nelayan tradisional di Kab. Jeneponto
82
dengan investor. Sebagiannya lagi juga mengusahakan tambak ikan bandeng, tambak garam dan hanya sebagian kecil wilayah pesisir yang diusahakan sebagai lahan pertanian (padi). Masyarakat
nelayan
Jeneponto
merupakan
nelayan
tradisional dengan keterampilan dan pengetahuan yang diterapkan generasi.
secara Namun
turun seiring
temurun
selama
dengan
beberapa
perubahan
pem-
bangunan, di Jeneponto juga mulai berkembang sekolah formal yang diarahkan untuk pengembangan sumberdaya manusia yang mampu mengelola sumberdaya laut. Hal ini terlihat dari adanya SMK Perikanan di wilayah Jeneponto yang bisa diharapkan untuk mencetak tenaga terampil dalam hal budidaya dan penganekaragaman pengolahan hasil laut. Ada beberapa level dan jenis nelayan di Jeneponto, yakni yang disebut nelayan dengan alat pancing (nelayan kecil) dan nelayan dengan perahu (disebut nelayan besar). Pengelompokan jenis nelayan sesuai dengan piranti yang mereka gunakan juga menunjukkan strata ekonomi dan sosialnya.
Namun
secara
umum
mayoritas
nelayan
bukanlah pemilik piranti melaut yang dibutuhkan. Sejak bergenerasi
sebenarnya
kebutuhan
nelayan
melaut
disediakan oleh kelompok yang lebih kaya di masyarakat yang dikenal dengan juragan. Mereka ini bisanya juga
83
dikenal sebagai tokoh masyarakat. Dengan kekayaannya, kelompok inilah yang mampu menunaikan haji bahkan hingga berulang kali. Nelayan dengan alat pancing biasanya menggunakan perahu kayu (sampan) kecil (leppaleppa) yang bisa dipakai secara individual, dan bukan berkelompok. Kalaupun dipakai bersama, biasanya maksimal hanya dua orang dan itupun karena ikatan keluarga (misalnya kerabat atau anaknya yang membantu proses memancing di laut). Nelayan jenis ini juga memiliki keterbatasan jangkauan melaut,
dan
dengan
demikian
juga
hasil
yang
didapatkannya. Nelayan jenis pancing ini melakukan kegiatannya berdasarkan naluri dan pengetahuan lokal, misalnya dengan adanya jenis pohon tertentu yang diyakini di sekitarnya hidup banyak ikan, maka perahu akan diarahkan ke tempat tersebut. Pengetahuan lainya adalah sistem keamanan di perahu. Peralatan yang disiapkan hanya jerigen plastik yang dapat digunakan sebagai ‘pelampung’ awak perahu bila dibutuhkan. Kebutuhan melaut biasanya disediakan oleh juragan (pemilik perahu), termasuk juga bila dibutuhkan adalah menyediakan bahan bakar. Sementara peralatan lain yang dibutuhkan adalah layar atau mesin perahu. Mesin perahu memang digunakan untuk mengantikan fungsi layar, terutama ketika menggunakan perahu dari fiber. Peserta
84
FGD menyatakan bahwa perahu fiber lebih dipilih dari pada perahu kayu. Alasannya, karena perahu ini lebih ringan dan perawatannya relatif lebih mudah. Sementara di sisi lain ada kemungkinan harga perahu kayu juga semakin mahal (dan langka) karena semakin berkurangnya bahan baku kayu yang dibutuhkan. Selain itu juga menurunnya jumlah orang yang ahli membuat perahu kayu. Kalaupun ada biasanya dipesan dari daerah Bulukumba yang memang secara tradisional memiliki keterampilan membuat phinisi. Selain adanya kelompok nelayan dan juragan, sebenarnya ada kelompok di tengahnya. Ini hanya terjadi pada kelompok nelayan dengan perahu besar yang dioperasikan secara berkelompok. Pimpinan kapal disebut punggawa sedang
anggota
rombongan
nelayan
disebut
sawi.
Keduanya memiliki tanggungjawab dalam pembagian tugas di kapal yang berbeda. Perbedaan ini pada gilirannya mempengaruhi proporsi pembagian hasil melaut yang mereka dapatkan. Model pembagian ini berlangsung bertahun-tahun berdasarkan ‘kesepakatan sosial’ yang ada tanpa ada gugatan dari pihak manapun. Kelompok nelayan dengan perahu besar ini bisa digunakan secara berkelompok hingga 10 orang, dan mereka melaut dalam beberapa hari. Perahu ini juga dimiliki oleh juragan dengan mekanisme yang sama dengan nelayan dengan
85
sampan kecil. Nelayan jenis ini tidak menggunakan pancing namun jaring. Dengan demikian volume ikan yang didapat lebih banyak. Namun perlu diingat bahwa hasil ini harus dibagi dengan juragan dan seluruh anggota yang lain.
Menurut
salah
satu
peserta
FGD
persentase
pembagain itu seperti berikut: -
15% untuk juragan pemilik perahu
-
10% untuk nakhoda perahu (karena
Nelayan sedang melaut dengan menggunakan jaring, alat tangkap tradisional
biasanya dialah yang memiliki keahlian mengarahkan posisi perahu dan pengetahuan mengenai area yang terdapat banyak ikan) -
Sisanya 75% dibagi 2: separohnya untuk juragan perahu, dan separohnya untuk seluruh awak perahu.
Sistem kerjasama antara nelayan dan pemilik perahu adalah hubungan hutang, yang bisa bersifat ‘permanen’. Ini diindikasikan
bahwa
meskipun
nelayan
memiliki
pengetahuan mengenai jumlah hutang (misalnya harga
86
pokok kapal) namun mekanisme pengangsuran yang tidak teratur menjadikan ikatan ini bisa berlangsung seumur hidup. Nelayan menyatakan bahwa ini disebabkan juragan senang
dengan
nelayan
karena
rajin
membayar
(mengangsur hutangnya). Namun analisis kritis mengenai pola ketergantungan harus dilakukan. Pola angsuran yang tidak
teratur
misalnya
diindikasikan
dengan
jumlah
(nominal) yang tidak tetap tergantung pada kemampuan nelayan mengangsur pada saat itu. Selain itu, karena melaut juga mengalami musim paceklik (musim buruk sekitar 3 - 4 bulan/tahun) maka kebutuhan sehari-hari keluarga juga bisa dipinjam dari juragan perahu. Ikatan ekonomi (dan eksploitasi) dengan juragan juga ditunjukkan dengan model penjualan ikan kepada mereka. Ada prosentase tertentu yang diterapkan dari hasil tangkapan ikan yang didapat oleh nelayan. Kelompok petani rumput laut merupakan komunitas berbasis usaha produktif yang relatif baru. Dari FGD dan wawancara
mendalam
dengan
masyarakat
pesisir
ditemukan bahwa adanya kelompok petani rumput laut seiring dengan perkembangan perubahan usaha nelayan ke budiaya rumput laut yang marak dalam sepuluh (10) tahun belakangan. Berbeda dengan nelayan yang memiliki keahlian secara temurun, bertani rumput laut membutuhkan ketrampilan
87
tertentu. Awalnya beberapa orang mendapat pengenalan komoditas
ini
lewat
sosialisasi
dan
pelatihan,
lalu
berkembang meluas ke masyarakat lainnya secara belajar sambil melihat dan mencoba. Beberapa
masyarakat
pesisir
memiliki
pengetahuan
memiliki cara pemeliharaan rumput laut, termasuk cara menghilangkan gulma lainnya. Mereka juga memiliki pengetahuan untuk budidaya ketika dibutuhkan upaya lebih keras, misalnya saat pasang surut air laut. Berbeda dengan kelompok nelayan yang semuanya lakilaki, dan tidak ada perempuan yang terlibat kecuali saat penyiapan perbekalan melaut, dalam kegiatan produktif budidaya rumput laut, perempuan juga terlibat. Beberapa jenis pekerjaan seperti mengikat bibit ke tali, penjemuran dan pemanenan biasanya dilakukan oleh perempuan, termasuk
juga
penjualan
dan
berinterkasi
dengan
pedagang pengumpul yang datang. Sebagai petani rumput laut, juga mendapatkan modal dari juragan dengan system yang hampir sama dengan system pada nelayan dan perahunya. Modal ini biasanya untuk peralatan budidaya (tali, paranet dan terpal untuk proses penjemuran,
botol
plastik
bekas
minuman
untuk
pelampung ikatan rumput yang ditanam).
88
Baik untuk ikan hasil nelayan maupun rumput laut tidak memiliki
kendala
dalam
pemasaran.
Bagi
nelayan
pemasaran yang utama adalah kembali ke juragan yang akan menjualnya di pasar. Sementara pada kelompok petani rumput laut, pedagang datang langsung ke tempat. Dalam kajian ini ditemukan, nelayan dan petani rumput laut memiliki keterikatan penjualan hasil mereka kepada juragan
yang
memberikan
pinjaman.
Seringkali
ini
merupakan penghasilan rutin sang juragan, bahkan ada pengakuan beberapa orang bahwa juragan tidak perlu bekerja dan hanya tinggal menunggu hasil di rumah. Wajar dengan demikian bila terjadi ‘ikatan’ yang memakan waktu sangat lama (puluhan tahun) untuk mengulur waktu/masa pelunasan oleh peminjam yang bisa ‘membebaskan
Masyarakat pesisir yang mata pencahariannya budidaya rumput laut, pekerjaannya dapat melibatkan perempuan sehingga menambah pengetahuannya
89
mereka dari ‘jeratan’ ini. Masyarakat pesisir yang diwawancarai sangat sedikit memiliki
pengalaman
berorganisasi.
Meskipun
telah
banyak program pemerintah yang mensyaratkan adanya kelompok, namun sejatinya organisasi kelompok tidaklah eksis, karena tidak ada struktur dan mekansime kerjanya. Kelompok yang ada hanya dibentuk untuk merespon program pemerintah dan sangat berpotensi untuk tidak berfungsi pada saat masa program berakhir. Kelompok dengan basis ekonomi pun tidak terbentuk. Kegiatan sederhana semacam simpan pinjam misalnya tidak terdapat di wilayah dan responden penelitian ini. Terutama perempuan miskin pesisir, hampir tidak memiliki kelompok kegiatan, baik sosial keagamaan, maupun kegiatan ekonomi bersama. Kalaupun ada kegiatan yang mereka sebut sebagai gotong royong untuk mengikat bibit rumput laut misalnya, sifatnya adalah buruh harian. Dalam
konteks
perubahan
masyarakat
nelayan
di
Kabupaten Jeneponto dapat menjurus pada hal-hal berikut: (1) perubahan teknologi penangkapan (motor layar), membawa perubahan terhadap peranan punggawa-sawi dan pembagian hasil, yaitu cenderung mengakibatkan proporsi bahagian hasil pada anggota-anggota lainnya (sawi) menjadi lebih kecil; (2) masyarakat nelayan
90
(Jeneponto) yang memiliki kepadatan penduduk relatif tinggi
dan
banyaknya
tenaga
kerja
yang
tersedia,
berdampak terhadap kemungkinan terjadinya persaingan berat dikalangan kelompok sawi ke depan; (3) berkenaan dengan penggunaan teknologi (transformasi), masalahnya adalah bagaimana agar tetap dapat menyerap banyak tenaga kerja dan menghasilkan punggawa-sawi baru sesuai tuntutan perkembangan; dan (4) kesempatan menjadi punggawa besar atau pemimpin bagi generasi berikutnya, tidak terbatas secara ketat. Relasi sosial ekonomi berbasis patron-klien ini berlangsung intensif dan dalam jangka panjang. Relasi sosial ekonomi akan berakhir jika terjadi persoalan yang tidak bisa diatasi di antara mereka, sehingga pihak nelayan pemilik dan nelayan buruh harus melunasi utang-utangnya kepada pedagang perantara. Sedemikian dalamnya relasi patronklien mendasari aktivitas ekonomi nelayan, sehingga aktivitas ekonomi nelayan serupa ini kerapkali disebut sebagai organisasi ”ekonomi patron-klien”. Selain di sektor ekonomi, relasi-relasi patron-klien juga terjadi intensif di kampung-kampung nelayan yang tingkat kemiskinannya tinggi. Sebagai contoh, dalam jaringan sosial berbasis hubungan ketetanggaan, orang-orang yang mampu (pedagang, nelayan pemilik, atau pihak lainnya) dan memiliki sumber daya ekonomi lebih dari cukup akan
91
membantu
tetangganya
yang
kekurangan.
Biasanya
bantuan tersebut berupa barang-barang natura, makanan, informasi, pakaian, dan upah jasa. Mereka yang telah ditolong itu akan membalas kebaikan tersebut dengan kesiapan menyediakan jasa tenaganya untuk membantu patron. Aktualisasi relasi patron-klien ini merupakan upaya menjaga kerukunan bersama, sehingga efek negatif kesenjangan sosial di kalangan masyarakat nelayan dapat diminimalisasi. Masyarakat pesisir Jeneonto yang hidup sebagai nelayan secara umum memilki masa paceklik selama 3 - 4 bulan tiap tahunnya. Masa ini adalah waktu saat hasil tangkapan ikan sangat minim yang disebabkan oleh musim. Pada masa demikian nelayan jenis pancing hampir tidak melakukan kegiatan melaut. Sementara pada kelompok nelayan perahu besar, dibutuhkan waktu dan jarak melaut yang lebih jauh bila hendak mendapat hasil yang relatif baik. Namun seringkali juga upaya ini tidak membuahkan hasil yang cukup memuaskan. Pendapatan nelayan jenis pancing ini sangat terbatas. Selain karena pendapatan berdasar harian (melaut mulai subuh hingga jam 12.00 siang), juga masih dipotong untuk pelunasan hutang ke juragan. Dalam
diskusi FGD
terungkap bahwa rata-rata penghasilan nelayan jenis ini adalah Rp.15.000 – Rp.30.000/hari. Sementara nelayan
92
perahu memiliki peluang untuk mendapatkan hasil lebih besar, disebutkan biasanya hingga mencapai Rp.300.000. Namun
perlu
diteliti
lebih
lanjut
mengenai
proses
pembagian. Namun masa mujur seperti ini sangat jarang terjadi. Komoditas rumput laut sangat menarik masyarakat pesisir untuk dikelola karena daya tarik ekonomisnya, termasuk bila dibandingkan dengan hasil dari nelayan/mencari ikan. Contohnya, sekitar 5 tahun yang lalu harga rumput kering mencapai Rp.17.000/kilo, namun ada kecenderungan menurun dalam 2 tahun terakhir, termasuk tahun lalu mencapai Rp.9.000/kilo dan tahun ini hanya Rp.4.000 – Rp.5.000 per kilo. Namun sejauh ini petani tidak mendapat informasi penyebab penurunan harga rumput kering. Sinyalir yang ada, penurunan harga disebabkan semakin banyaknya rumput karena semakin banyaknya petani yang melakukan budidaya ini. Menariknya usaha rumput laut secara ekonomis bahkan memotivasi kepala keluarga (orangtua)
untuk
melibatkan
lebih
banyak
anggota
keluarganya untuk melakukan usaha yang sama. Meskipun tidak ada angka konkrit, kajian ini mendapati pengakuan responden bahwa tingginya angka putus sekolah (hanya SD, dan tidak tamat SMP) karena ‘godaan” penghasilan dari budidaya rumput laut. Dalam kajian ini ditemukan bahwa satu keluarga bisa mengelola luasan laut sebesar
93
20 m x 100 m untuk budidaya rumput laut. Bahkan bisa lebih bila memiliki modal untuk pembelian peralatan dan ongkos buruh (yang membantu). Luasan laut yang bisa dikelola keluarga tanpa tambahan tenaga kerja sekitar 20 m x 50 m, dan lebih dari itu biasanya memang dibutuhkan tenaga kerja tambahan yang dibayar harian. Hasil budidaya laut, ikan dan rumput laut se-jauh ini hanya dijual
mentah.
Hampir
tidak
ada usaha unBudidaya rumput laut meningkatkan ekonomi keluarga nelayan dan pekerja anak sehingga angka putus sekolah pun meningkat
tuk pengolahan yang
menjadi-
kan
kenaikan
nilai jual. Baik nelayan maupun petani rumput laut sangat memiliki sedikit pengetahuan mengenai system penetapan harga komoditas
yang
dijual.
Termasuk
tidak
mengetahui
penetapan harga oleh pemerintah bila ada. Sejauh kajian ini dilakukan memang tidak ada mekanisme kontrol harga dari pemerintah untuk melindungi masyarakat miskin pesisir dari tekanan tengkulak. Yang berjalan adalah mekanisme pasar secara murni.
94
Yang menarik diamati: adanya tren meningkatnya jumlah hasil produksi budidaya rumput laut. Meskipun ada penurunan harga. Indepth interview dengan keluarga petani ditemukan bahwa dari tahun ke tahun ada peningkatan jumlah hasil. Analisisnya, ada penambahan luasan bentangan (area laut) yang dikelola karena adanya penambahan sumberdaya manusia (dari keluarga) yang terlibat, sementara tidak ada batasan ‘luasan’ pemanfaatan laut untuk budidaya. Sementara untuk hasil nelayan ada kecenderungan kuat penurunan volume maupun nilai hasil sebagai nelayan (ikan). Bisa jadi karena hasilnya tidak terlalu ekonomis, namun disebutkan semakin berkurangnya area yang bisa dipancing atau dijaring karena semakin banyaknya jumlah nelayan dan beralihnya beberapa luasan menjadi area budidaya rumput laut. Daya tarik rumput laut bahkan telah berkontribusi
pada
tidak
befungsinya
TPI
(tempat
pelelangan ikan) yang ada di kelurahan Pabiringan ini. TPI yang dibangun pemerintah daerah dengan dana besar karena sarananya yang cukup lengkap, menurut informasi, sebelum
lima
tahun
yang
lalu
merupakan
daerah
persandaran kapal ikan yang besar dan ramai. Tidak jarang nelayan dari Bulukumba juga melakukan transaksi di TPI ini. Namun saat kajian ini dilakukan, hanya beberapa ruangan untuk kegiatan administratif yang masih berfungsi,
95
sementara TPI banyak digunakan masyarakat luas sebagai tempat penjemuran rumput laut. Bahkan pesisirnya telah digunakan sebagai area budidaya. Menurut beberapa warga kelurahan, kapal ikan tiak mungkin lagi bersandar di TPI ini karena akan ada potensi terjerat tali-tali rumput laut yang dibudidayakan. Petani rumput dan nelayan sangat sedikit memiliki ketrampilan penanganan/pengolahan paska panen agar meningkatkan
nilai
tambah
komoditasnya.
Misalnya
pengolahan ikan menjadi ikan asap, ikan asin, abon dll. Hanya pengenalan oleh LSM mengenai hal ini, namun berjalan dengan sangat terbatas. Demikian halnya dengan pengolahan rumput laut, mereka tidak memilii ketrampilan untuk pengolahan. Kalaupun ada pabrik pengolahan di kota Jeneponto, mereka hanya berharap anggota keluarga mereka bisa menjadi buruh/pegawainya. Mereka hanya memahami
bahwa
pabrik
tersebut
menjadi
tujuan
pengolahan bahan mentah yang mereka hasilkan. Rendahnya pendidikan dan keterampilan yang dimiliki petani dan nelayan menjadikan mereka tidak banyak memiliki pilihan mata pencaharian. Bila sebagai nelayan sedang musim paceklik, demikian juga sebagai petani rumput laut mereka mencari kerja serabutan sebagai buruh termasuk tenaga kerja konstruksi (kuli bangunan) di luar
96
desa. Namun tidak sedikit yang tidak memiliki pekerjaan apapun ketika tidak bisa melaut. Sebagian besar responden tidak memiliki pengalaman menyimpan uang sebagai bentuk persediaan keluarga untuk masa depan anggota keluarga, atau sebagai cadangan ketika memiliki kebutuhan mendadak/mendesak. Alasan
yang
mereka
kemukakan
adalah
karena
penghasilan yang mereka dapatkan hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Namun bila diteliti mendalam, kemudahan mereka mendapatkan hutang/pinjaman dari juragan menyebabkan mereka juga tidak terbiasa/belajar menabung sebagai cadangan keluarga. Dengan
pendampingan
LSM,
masyarakat
pesisir
(responden) berencana membentuk koperasi dengan beragam kegiatan termasuk pemupukan modal dengan simpan pinjam, penebasan hasil panen aggota dan pengadaan sarana produksi. Mereka telah menetapkan nominal untuk memulai kegiatan simpan pinjam sebagai entry untuk kegiatan ekonomis lainnya. Namun sejauh penelitian ini dlakukan mereka mengakui bahwa rencana mereka belum terlaksana. Alasannya, simpanan pokok yang disepakati nyatanya tidak bisa dipenuhi. Ada masalah memilih mekanisme pembayaran/pelunasan simpanan ini. Dengan pendekatan bulanan, bisa jadi susah dipenuhi oleh (calon) anggota, karena penghasilan mereka yang harian.
97
Mestinya mekanisme pembayaran disesuaikan kondisi penghasilan anggota. Akses modal yang dikenal dan dilakukan oleh masyarakat selain dengan juragan adalah program pinjaman modal P2KP (sekarang disebut PNPM Mandiri). Namun karena rendahnya
kesadaran
bahwa
program
ini
harus
dikembalikan (hutang) dan anggapan bahwa semua program bantuan adalah gratis, maka warga pesisir di wilayah penelitian ini memiliki rekam jejak sebagai kelompok dengan tingkat kemacetan pengembalian yang sangat tinggi. Saat ini PNPM Mandiri tidak memberikan program permodalan ke daerah ini karena kemacetan tersebut. Kelemahan
masyarakat
dalam
mengelola
keuangan
keluarga juga ditunjukkan dengan rendahnya capaian pelunasan pajak (PBB) warga. Lurah tempat kajian ini dilakukan menyatakan bahwa capaian pajak warga jauh di bawah 50% target (total target sekitar 51 juta/tahun). Lebih jauh dinyatakan bahwa bila mencapai 50% saja sudah sangat baik. Padahal besaran pajak yang harus dibayarkan tidak lebih dari kisaran Rp.4.000 – Rp.50.000 per keluarga. Sebuah angka yang mestinya bisa dipenuhi. Ada indikasi potensi ekonomi budidaya rumput laut juga disadari oleh pemerintah. Ini diindikasikan adanya:
98
a. Pengakuan dari pemerintah kelurahan (study) yang menyataan
bahwa
rumput
laut
(dan
olahannya)
diharapkan dan direncanakan menjadi ikon (produksi unggulan) bagi daerahnya. Di kelurahan ini saat ini mayoritas penduduknya menjadikan usaha ini sebagai mata pencaharian utama. b. Adanya
beberapa
perusahaan/pabrik
pengolahan
rumput laut menjadi bahan olahan lainnya. Salah satunya (belum beroperasi) bahkan disinyalir dibangun oleh dana pemerintah kabupaten. c. Pengembangan kapasitas/bantuan teknis dan peralatan dari dinas teknis (dinas kelautan), termasuk pelatihan pengolahan yang dilaksanakan oleh LSM dengan dana dari kementerian kelautan.
Aspek Budaya
M
asyarakat pesisir Kabupaten Jeneponto pada umumnya nelayan
selama tangkap.
ini
menekuni
kegiatan
Keterbatasan
wilayah
penangkapan dan teknologi penangkapan yang serba sederhana menjadi bentuk kehidupan nyata dan berakar dalam sistem sosial masyarakat nelayan. Keterbatasan dan kesederhanaan mendorong terjadinya pembagian
99
peran
di
antara
kelompok
nelayan.
Setiap
peran
senantiasa diarahkan untuk menjaga kestabilan dalam berbagai bentuk tolong menolong dan kerjasama di antara sesama kelompok nelayan. Bentuk tolong menolong dan kerjasama yang berlangsung terus menerus lalu kemudian mengakar sebagai nilai budaya. Nilai yang terlembagakan tersebut yang dikenal masyarakat sebagai apa yang disebut hubungan pinggawa - sawi di kalangan masyarakat nelayan. Dalam perkembangannya masyarakat nelayan Kabupaten Jeneponto
sebagaimana
umumnya
terjadi
pada
masyarakat nelayan lainnya di Indonesia, mengalami proses dialektika sebagai akibat terjadinya perkembangan teknologi. Hal itu, berpengaruh pada perubahan pekerjaan dari nelayan tangkap ke petani rumput laut, meski masih dalam jumlah yang relatif sedikit.
Aspek Ekologis
B
ila
pengembangan
dan
pemberdayaan
masyarakat pesisir diarahkan dalam kerangka kemandirian, sudah seharusnya keberlanjutan
penghidupan mereka menjadi salah aspek yang penting.
100
Pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan menjadi salah satu jaminan penghidupan yang berkelanjutan pula. Ini termasuk pada masyarakat Jeneponto. Daya tarik budidaya rumput laut secara ekonomis telah menimbulkan potensi kerusakan dan tidak terkontrolnya kondisi ekologis lautan yang dikelola. Dengan tidak adanya batasan luasan laut yang dikelola, yang sementara ini hanya bergantung pada kemampua permodalan yang dimiliki maka ke depan akan berpotensi adanya kerusakan ekologis yang belum dipikirkan mekanisme peremajaan atau pemulihannya. Diakui oleh Lurah (kelurahan lokasi pelaksanaan asesmen lapangan) bahwa telah ada beberapa kasus konflik antar petani rumput laut berkenaan dengan batas wilayah yang dikelola (luasan). Kasus konflik ini juga melibatkan kekerasan fisik. Ke depan bisa diindikasikan potensi konflik akan semakin besar karena tekanan ekonomi dan kebutuhan konsumtif keluarga. Menarik saat didiskusikan mengenai
potensi mekanisme pengaturan pengelolaan
luasan budidaya rumput laut, misalnya lewat kesepakatn warga yang diwadahi dengan PERDES. Ini menjadi menarik terutama ketika potensi masuknya investor yang bisa mengancam keberlanjutan usaha petani rumpt laut. Contohnya masuknya usaha perhotelan akan berpotensi reklamasi beberapa area pantai dengan tujuan wisata, juga
101
masuknya/adanya pabrik pengolahan rumput laut di dekat area pantai/pesisir bisa berpotensi mereka melakukan bubidaya sendiri daripada membeli hasilnya dari petani. Atau setidaknya mengembangkan system kemitraan dan bapak angkat. Dengan system ini sebenarnya relasi ketergantungan seperti yang terjadi antara nelayan dengan juragan bisa terulang dengan bentuk yang berbeda. Dan hal ini seringkali tidak disadari masyarakat. Komitmen pemerintah
yang
bepihak
pada
masyarakat
dan
sumberdayanya menjadi sangat krusial. Dengan model pembudidayaan rumput laut dengan pembibitan yang hampir tidak mengenal bahan tambahan lain (external input) terutama yang bersifat kimiawi sedikit berdampak pada kerusakan habitat laut yang menjadi lahan pokok budidaya. Namun yang perlu diperhatikan adalah
sampah
yang
menganggu
proses
dan
perkembangan budidaya rumput laut. Di sisi lain, tidak adanya batasan luasan laut yang bisa dikelola oleh satuan keluarga yang diatur dalam regulasi baik aturan formal pemerintah maupun norma kesepakatan dalam masyarakat, ke depan akan berpotensi pada kondisi ekosistem laut. Ini disebabkan dalam jangka panjang kehidupan biota lain dalam laut menjadi terganggu karena keberadaan rumput laut di atasnya. Sistem budidaya dengan
pergiliran
karena
pengaruh
musim
bisa
102
mengurangi kondisi ini. Misalnya bila ombak besar, besar kemungkinan
budidaya
rumput
laut
tidak
maksimal,
disebabkan oleh hanyutnya rumput dll., ini menjadi bisa dikatakan sebagai masa jeda budidaya, dan biota laut lainnya bisa kembali berkembang bagi keseimbangan ekosistem laut. Yang perlu dicermati adalah, berkembangnya budidaya laut, telah pula mengurangi aktifitas TPI, karena tidak mampunya kapal bersandar di dermaga (terganggu jarringjaring rumput laut). Jaring ini dengan jumlah dan jangkuan yang luas juga akan menganggu perkembangan biota laut lainnya.
Bagaimanapun
mengalami
perubahan
juga karena
ekosistem kondisi
laut
ini,
akan
termasuk
perubahan fungsi pantai bagi budidaya rumput laut. Selain itu, dengan tumbuh pesatnya budidaya laut oleh masyarakat
pesisir
dan
potensi
ekonominya
bagi
perekonomian lokal, telah menjadikan pemerintah banyak mengundang
investor
(seperti
pendirian
pabrik)
pengeloaan rumput laut. Termasuk dalam hal ini adalah pendirian pabrik yang berlokasi tepat di bibir pantai. Bisa dibayangkan bila produksi olahan berada juga di tempat yang sama, maka limbah pengolahan menjadi hal yang perlu diperhatikan.
103
Aspek Potensi Pengembangan SDM
M
asyarakat
pesisir
Jeneponto,
terutama
kelompok perempuan memiliki akses yang sangat terbatas pada beberapa pelatihan untuk
usaha maupun lainnya sebagai pengembangan kapasitas. FGD dan wawancara mendalam mengindikasikan adanya persepsi yang kuat dari masyarakat mengenai ‘budaya bantuan’ pada program-program yang diluncurkan kepada mereka. Ini merupakan ‘tinggalan jejak buruk’ mental dan pendekatan keproyekan yang menggunakan pendekatan bantuan
langsung.
pengembangan
Bantuan
kapasitas
pendampingan
belum
menjadi
dan
perspektif
sebagian besar responden dalam penelitian ini. Ada
beberapa
lembaga
yang
potensial
dalam
pendampingan dan pemberdayaan masyarakat nelayan. Pertama adalah pihak pemerintah dari dinas teknis seperti dinas kelautan yang diharapkan memainkan peran dalam pelatihan budidaya hasil laut, termasuk membangun jaringan pasar. Lembaga lainnya adalah LSM yang memiliki
komitmen
dan
kompetensi
pemberayaan
masyarakat pesisir. Namun dalam kajian ini tidak banyak institusi yang bisa dijajaki peluangnya dalam mengambil
104
peran pemberdayaan ini. Satu-satunya LSM yang terlibat dalam kajian ini menunjukkan adanya kemauan dan komitmen dalam pemberdayaan. Namun sayang lembaga ini belum memiliki sumberdaya manusia yang memiliki kompetensi yang dibutuhkan, termasuk kesiapan paket pemberdayaan, pelatihan dan pendampingannya. Dibutuhkan kajian lebih mendalam mengenai institusiinstitusi baik pemerintah, LSM maupun organisasi di level masyarakat yang potensial. Ditemukan kasus di lapangan adanya bantuan peralatan produksi bagi pengolahan hasil laut yang disasarkan pada kelompok perempuan lewat pendampingan
LSM.
Peralatan
bantuan
dari
dinas
pemerintah ini tidak dilengkapi dengan kajian kebutuhan, akibatnya bantuan ini tidak terpakai. Selain itu karena bantuan ini juga tidak dilengkapi pelatihan pengunaannya, dengan
daya
operasi
menggunakan
listrik
tanpa
manual/pedoman penggunaan, pendamping dari LSM mengakui
bahwa
hal
ini
juga
salah
satu
yang
mempengaruhi alasan tidak dimanfaatkannya peralatan bantuan tersebut. Kajian lapangan ini juga menemukan persepsi yang menarik. Pada kelompok masyarakat lebih muda (laki-laki maupun perempuan) yang telah terlibat dalam usaha rumput laut keluarga mengakui bahwa usaha ini sangat menjanjikan secara ekonomi. Masa puncak harga rumput
105
laut
kering
sekitar
Rp.17.000/kg.
7
Meskipun
tahun ada
yang
lalu
mencapai
kecenderungan
harga
menurun dalam lima tahun terakhur (yang terakhir mencapai Rp.9.000/kg), namun rumput laut bisa diolah menajdi beragam produk yang akan meningkatkan nilai jualnya. Untuk hal inipun telah banyak peluang lembagalembaga pendidikan (keterampilan semacam SMK) yang membaca potensi ini dengan membuka jurusan budidaya dan pengolahan hasil laut. Menariknya, bagi kalangan muda ketika wawancara dilakukan, lebih memilih jurusan komputer bila mereka melanjutkan sekolah semacam SMK. Ini merupakan gejala umum pada banyak lulusan sekolah formal yang lebih tertarik menjadi pekerja di lembaga formal dibanding mengembangkan usaha lewat kewirausahaan dengan mengolah potensi sumberdaya alam lokal yang melimpah.
Pengembangan kewirausahaan dengan mengolah potensi sumber daya alam lokal
106
Salah satu potensi dalam pengembangan sumberdaya manusia dalam rangka pemberdayaan masyarakat pesisir adalah melihat potensi yang bisa dimainkan oleh kelompok perempuan. Masyarakat pesisir Jeneponto juga tidak lepas dari peran perempuan dalam pengembangan ekonomi keluarga berbasis potensi pesisir ini. Secara umum perempuan pesisir sebagaimana perempuan di wilayah lain juga memiliki peran utama dalam kerja-kerja domestik. Ini terutama terlihat pada keluarga nelayan. Hampir semua kegiatan produktif melaut dan persiapannya dilakukan oleh laki-laki. Maraknya usaha produktif budidaya rumput laut telah membuka peluang bagi perempuan untuk terlibat pada kegiatan produktif. Pada keluarga petani rumput laut, perempuan biasa terlibat membantu persiapan penanaman rumput laut, seperti pengikatan pada tali tumbuhnya rumput laut dan proses penjemuran ketika panen tiba. Lakilaki turun ke laut melakukan budidaya dan pemanenan. Dalam
keluarga
nelayan,
peran
perempuan
sangat
terbatas pada peran reproduktif dan domestik. Hampir tidak terlibat apapun pada kegiatan produktif. Sementara pada keluarga petani rumput laut, peran perempuan lebih luas. Mereka bisa mengikat bibit pada bentangan tali tampar media budidaya, melakukan penjemuran dan pengumpulan
107
serta melakukan komunikasi dengan pedagang yang datang memborong. Baik pada keluarga nelayan maupun keluarga petani rumput laut, pemasaran hasil biasanya menjadi peran yang dimainkan laki-laki. Hanya sedikit jumlah perempuan yang terlibat dalam proses penjualan hasil, yakni di komoditas rumput laut dengan berinteraksi pada pedangang yang datang ke desa. Kalaupun tidak sebagai petani rumput laut, perempuan juga bisa mendapatkan upah sebagai buruh ikat rumput saat hendak dibudidayakan di laut. Mereka dibayar secara harian. Kegiatan perempuan berbasis keluarga semacam PKK, juga berjalan sangat elitis. Hanya dikelola oleh kelompok kecil kelurahan. Hampir semua responden perempuan tidak memiliki pengetahuan mengenai kegiatan PKK di wilayahnya.
Mereka
juga
tidak
keagamaan. Ketua penggerak
memiliki
kegiatan
PKK adalah seorang
pekerja sebuah lembaga (memiliki jam kerja formal) sehingga sedikit memiliki waktu dan kesempatan untuk mengelola PKK. Namun perlu dikaji mendalam tim penggerak lainnya dalam memerankan perempuan secara sosial maupun ekonomi produktif di lingkunganya.
108
Kegiatan sosial di luar rumah yang dilakukan perempuan masih
terkait
dengan
peran
domestiknya,
misalnya
penyuluhan KB, posyandu dll.
Perempuan memiliki peran dengan adanya alternatif mata pencaharian budidaya rumput laut
Perempuan yang telah mendapat pelatihan pengolahan biasanya memiliki peran di sisi pengolahan ini, misalnya pengabonan ikan, dll. Namun pengabonan juga sangat terbatas karena jenis ikan yang diolah terbatas, dan sebagian besar hasil ikan juga telah habis terjual mentah ke pasar (ingat hubungan dengan juragan). Ditemukan juga perempuan yang mulai mengenal usaha produktif
alternatif
dalam
hal
pengolahan,
misalnya
109
pengolahan rumput laut menjadi penganan (dodol) dan olahan ikan menjadi abon. Pengenalan teknologi dan usaha ini merupakan hal baru yang dikenalkan lewat pelatihan dan pendampingan teknis dari LSM maupun dinas perindustrian kabupaten. Dari kelompok perempuan pembuat dodol, keterampilan yang mereka miliki hanya bersumber dari pelatihan teknis yang mereka dapatkan dari dinas teknis yang terakses berkat kerjasama yang dibangun LSM, termasuk adanya bantuan peralatan produksi. Namun kemampuan mereka dalam pengembangan olahan pangan tersebut belum berkembang
jauh
hingga
ke
fungsi
peningkatan
pendapatan. Mereka tidak memiliki keterampilan menyusun rencana usaha, bahkan penetapan harga. Sejauh kajian ini dilakukan, pemasaran produk yang telah dikembangkan juga lebih banyak dilakukan oleh LSM pendamping. Perempuan desa pesisir memiliki kegiatan pengumpulan uang (arisan) secara berkelompok berdasar lingkungan (dusun). Jumlah uang yang dikumpulkan dalam kegiatan ini relative besar, yakni Rp.300.000/bulan/orang. Jumlah yang bisa dikumpulkan para perempuan lewat kegiatan arisan ini cukup mengejutkan mengingat upaya LSM dalam memulai koperasi untuk nelayan (lelaki) dengan simpanan pokok sebesar Rp.150.000 yang sudah disepakati dengan sistem pembayaran diangsur pun belum juga terlaksana. Ini
110
menunjukkan bahwa manajemen keuangan lebih banyak dilakukan kelompok perempuan.
111
Bab III
Struktur dan Muatan Kurikulum
112
Struktur
S kelompok
ebagaimana dikemukakan di depan bahwa kurikulum pemberdayaan kelompok masyarakat pesisir ini disusun berdasarkan kajian lapangan dengan melakukan diskusi terfokus dengan masyarakat
pesisir
terutama
kelompok
masyarakat dampingan Lembaga Pendidikan Pelatihan dan Keterampilan Nurul Bahari yang telah mendampingi kelompok
masyarakat
pesisir
di
Jeneponto.
Untuk
mendalami konteks capaian atau daya serap dari materi pengembangan
kapasitas
yang
ada,
penyusunan
kurikulum inipun dilengkapi dengan dialog di lapangan dengan penerima manfaat (kelompok dampingan Lembaga Pendidikan Pelatihan dan Keterampilan Nurul Bahari sehingga bisa didapat gambaran mengenai alur logis pemberdayaan diprioritaskan
dan sesuai
pilihan-pilihan dengan
bidang
kemampuan
yang belajar
perempuan tersebut. Sebagaimana
bahan
pembelajaran
atau
pendidikan
lainnya, kurikulum inipun diharapkan menjawab tiga hal kunci dalam rangka pengembangan kapasitas untuk pemberdayaan:
113
1. Penguatan pengetahuan. Kurikulum yang disusun dipastikan memuat materi, dan metodologi yang akan menambak pengetahuan dan informasi kepada peserta didik. 2. Penguatan ketrampilan. Disadari bahwa kurikulum pendidikan
ini
diarahkan
untuk
perempuan
yang
notabene memiliki kemampuan (daya serap) relatif rendah dan tidak terbiasa dengan struktur pendidikan formal,
serta
kesadaran
bahwa
pemberdayaan
masyarakat pesisir juga diarahkan untuk menguatkan mereka
dalam
kecakapan
hidup
mandiri,
maka
“kurikulum” harus secara sadar memuat materi yang diarahkan untuk memberi keterampilan baru atau menguatkan ketrampilan hidup yang selama ini telah dimiliki. 3. Penguatan kesadaran. Setiap proses pendidikan secara paripurna juga diarahkan untuk membangun karakter dan merubah perilaku peserta didik. Demikian halnya dengan pendidikan yang akan disasar oleh kurikulum ini. Beberapa materi dan metodologi dalam pendidikan pemberdayaan masyarakat pesisir ini akan diarahkan
untuk
pendidikan pengetahuan,
penyadaran.
pemberdayaan, memberi
Dengan berarti
ketrampilan
demikian
memberikan baru
dan
membangun kesadaran kritis.
114
Berdasarkan tiga tujuan besar tersebut, maka struktur kurikulum disusun berdasarkan alur logis pemberdayaan perempuan, yakni bidang-bidang penguatan, sebagai berikut:
1. Bidang Pengembangan Organisasi Bidang ini berisi mulai dari pemetaan diri, kebutuhan membangun jaringan, penyusunan organisasi dan meknisme
kerjanya,
serta
membangun
kerangka
program sesuai tujuan organisasi. Dalam hal ini termasuk: 1.1. Penyadaran
diri
(konsep
diri,
konsep
dasar
pemetaan potensi diri dan bagi masyarakatnya, pemetaan kebutuhan spesifik masyarakat pesisir, laki-laki dan perempuan, dll) 1.2. Motivasi Berkelompok 1.3. Membangun Organisasi (menetapkan visi dan tujuan kelompok, membangun kriteria keanggotaan dan aturan, menyusun rencana kerja, dll) 1.4. Memilih dan memulai kegiatan awal (pengikat organisasi) 1.5. Membangun kader terutama untuk membangun jiwa kepemimpinan dan keterwakilan kelompok dalam membangun jejaring dengan lembaga lain.
115
Memotivasi masyarakat untuk membangun Organisasi dalam rangka pengembangan kapasistas pemberdayaan
2. Bidang Pengembangan Ekonomi Bidang Ekonomi diarahkan sebagai strategi utama pembedayaan masyarakat pesisir mengingat mereka adalah kelompok miskin. Selain itu bidang ekonomi dipilih sebagi pengikat dengan tujuan mudah terukurnya capaian kegiatan ini. Bidang penguatan ekonomi juga menjadi kritikal bagi penguatan di bidang lainnya. Termasuk dalam bidang ini adalah: 2.1. Mekanisme
(aturan)
pengembangan
ekonomi
(sistem pembukuan, sistem kredit dll) 2.2. Pengembangan kewirausahaan dan jaringan pasar (mengingat bahwa pendampingan ekonomi tidak seterusnya
bisa
dilakukan
oleh
lembaga
116
pendamping. Namun secara jangka panjang harus diarahkan menjadi sistem lokal yang dimiliki oleh kelompok,
termasuk
kemampuan
mengakses
sumber ekonomi lokal) 2.3. Pengembangan sebagai
Keuangan
mekanisme
Mikro
membangun
(ini
penting
permodalan
dalam usaha produktif kelompok). Dalam hal ini penting dipetakan juga mengenai pengelolaan keuangan keluarga berbasis gender, sehingga sasaran
penguatan
permodalan
bagi
usaha
produktif lewat keuangan mikro bisa optimal. 2.4. Pengembangan usaha produktif olahan hasil laut, dalam hal ini bisa olahan pangan seperti dodol rumput laut, atau abon ikan,
kerupuk ikan, atau
pemanfaatan limbah ikan campuran pakan ternak.
3. Bidang Pelestarian Lingkungan dan Sumberdaya Alam Bidang Pelestarian Lingkungan dan Sumberdaya Alam menjadi penting terutama bagi kelestarian ekosistem laut dan daya dukungnya bagi penghidupan masyarakat pesisir. Dalam bidang ini ada dua unsur pokok yang akan dibahas:
117
3.1. Pelestarian kawasan pesisir. Bagian ini akan membahas bentuk
mengenai
rencana
manfaat,
aksi
tatacara
masyarakat
dan dalam
melestarikan kawasan pesisir agar terus produktif. 3.2. Perancangan Mekanisme Pengelolaan Wilayah Budidaya. Bagian ini penting mengingat bahwa sejauh ini tidak ada aturan batasan luasan laut (kapling) yang boleh dikelola oleh suatu keluarga petani rumput laut dan nelayan. Pembatasan hanya dilakukan secara kesepakatan dan oleh kemampuan
permodalan.
Ke
depan,
dengan
semakin banyaknya pelaku usaha (masyarakat yang bisa tertarik dalam bidang ini) maka akan berpotensi konflik. Dalam bentuk kelompok berbasis wilayah (hamparan laut),
maka
kesepakatan dan nisme
meka-
Budidaya Rumput Laut
kon-
118
trol sebagai cikal bakal aturan for-mal perlu dibahas dan difasilitasi. Dengan demikian selain kelestarian dan produktifitas terjaga dengan model pembatasan jangkauan budidaya (tidak eksploitatif) juga sebagai upaya masyarakat memberdayakan diri dalam membangun aturan kolektif.
4. Bidang Pengembangan Budidaya Rumput Laut Bidang
Pengem-bangan
Budi-daya
Rumput
laut
meskipun pada dasarnya masuk dalam kategori pengembangan ekonomi, dalam pemisahan bi-dang ini sebagai penguat adanya kebutuhan pendidikan teknis bagi kelompok masyarakat pesisir. Bidang ini penting dilakukan mengingat teknik budidaya yang selama ini dilakukan
hanya
berdasar
pengalaman
dasar.
Masyarakat pesisir yang membudidayakan rumput laut perlu mendapat pengetahuan dan keterampilan dalam mengenal dan memilih bibit yang baik dan berkualitas tinggi serta memiliki nilai jual yang tinggi pula.
Muatan
B
idang-bidang yang terstruktur di atas selanjutnya dituangkan dalam bentuk muatan kurikulum guna menetapkan kompetensi yang dikehendaki serta
indikator capaiannya. Perlu diingat bahwa struktur bidang
119
di atas dipilih berdasar kajian kebutuhan lapangan bagi pemberdayaan masyarakat pesisir,
termasuk kelompok
perempuan dan diskusi mendalam untuk mengungkap pengalaman pendampingan pemberdayaan masyarakat pesisir
yang
Pelatihan
dilakukan
dan
oleh
Lembaga
Pendidikan
Keterampilan Nurul Bahari. Termasuk
dalam hal ini adalah penyusunan berdasarkan alur logis (sekuensial). Namun demikian, bukan berarti bahwa satu bidang harus diselesaikan dengan tuntas lalu melangkah pada bidang selanjutnya. Sebagaimana ilmu sosial lainnya yang
dinamis,
demikian
halnya
pendidikan
untuk
pemberdayaan masyarakat pesisir. Mengingat hal tersebut, maka penerapan struktur bidang sangat bersifat spiral dan elastis. Muatan kurikulum disusun dengan muatan materi dasar dan
indikator
kebutuhan
capaian untuk
yang
diharapkan
pengembangan
menjawab
pengetahuan,
keterampilan dan perubahan sikap. Seluruh muatan kurikulum ini diarahkan untuk pemberdayaan dengan indikator perubahan mendasar bagi kondisi dan posisi masyarakat pesisir: 1. Peningkatan akses dan kontrol masyarakat pesisir termasuk perempuan terhadap sumber daya guna penghidupan
yang
berkelanjutan.
Dalam
hal
ini
120
termasuk sumber daya fisik, pengetahuan, ikatan sosial dan sumber daya ekonomi lainnya 2. Peningkatan partisipasi masyarakat pesisir termasuk perempuan
dalam
proses-proses
pengambilan
keputusan di masyarakat baik dalam lembaga informal terutama lembaga formal terutama untuk penetapan wilayah budidaya (pemanfaatan laut dan pesisir) yang berkesinambungan
dengan
mengiliminasi
potensi
konflik di masa mendatang, serta kerentanan karena perubahan eksternal lainnya. 3. Peningkatan kesadaran kritis dalam menyikapi hak baik telah dipenuhi maupun yang diabaikan oleh negara (ini biasanya diwadahi dalam hak hukum) terutama untuk proteksi usaha produktif dengan adanya pasar terbuka dan
masuknya
perlindungan
investor,
hukum
dan
sehingga
memastikan
kebijakan
untuk
hak
pengelolaan sumber penghidupan masyarakat pesisir termasuk perempuan.
121
KURIKULUM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PESISIR BERBASIS EKONOMI PRODUKTIF DI KABUPATEN JENEPONTO
NO 1
BIDANG
KOMPETENSI
Pengembangan Organisasi
Mampu membangun institusi untuk penguatan diri dan kelompok dengan tujuan yang jelas dan kegiatan yang positif untuk mencapai tujuan bersama
MATERI
INDIKATOR
1.1. Pemetaan Diri a. Mendeskripsikan konsep diri, kelebihan dan kekurangan serta kebutuhannya baik oleh laki-laki maupun perempuan b. Terampil menyusun kebutuhan prioritas diri dan dalam kelompok baik kelompok laki-laki maupun kelompok perempuan c. Terampil menggunakan kelebihan untuk memajukan diri d. Menyusun rencana aksi dengan hasil menghimpun kelebihan diri laki-laki dan perempuan, meningkatkan konsep diri untuk maju dan berubah
NO
BIDANG
KOMPETENSI
MATERI
INDIKATOR
1.2. Konsep Berkelompok/ Bekerja Bersama
a. Mendeskripkasikan arti, manfaat dan tujuan berkelompok laki-laki dan kelompok perempuan, menetapkan tujuan secara bersama, menetapkan kriteria keanggotaan b. Terampil menyusun tujuan, mekanisme kerja dan kegiatan bersama untuk mencapai tujuan kelompok masing-masing c. Mengembangkan rencana sesuai mekanisme kerja kelompok dan mendorong semua pihak dalam kelompok masing-masing untuk melakukan hal yang sama a. Mendeskripsikan arti dan manfaat kader bagi kesinambungan kegiatan kelompok masyarakat pesisir jangka panjang dan dengan kemampuan mandiri b. Terampil memilih wakil dan calon pemimpin kelompok masyarakat pesisir untuk lebih dikenal dan bekerjasama dengan lembaga lain. c. Mengembangkan rencana pengembangan
1.3. Pembentukan Kader
123
NO
BIDANG
KOMPETENSI
MATERI
INDIKATOR diri dan terus belajar sebagai wakil masyarakat pesisir yang handal dan kader mampu memfasilitasi proses pengorganisasian kelompok
2
Pengembangan Ekonomi
Mampu membangun kegiatan ekonomi produktif diawali skala mikro termasuk semua perangkat pendukungnya (permodalan, analisis usaha, jaringan pasar) dan memanfaatkan peluang yang ada guna kemandirian masyarakat pesisir secara ekonomi
2.1.Pemetaan Peluang/ Analisis Sosial
a. Mendiskripkasikan bentuk kegiatan pengembangan usaha yang akan dilakukan baik secara individu maupun kelompok b. Mendiskripkasikan peluang untuk bekerjasam pengembangan usaha yang ada di wilayahnya c. Terampil membangun usaha produktif dan memanfaatkan peluang dari sumber yang ada di sekitarnya d. Mengembangkan rencana usaha produktif untuk memulai kemandirian ekonomi masyarakat pesisir sebagai bagian dari perbaikan kondisi masyarakat yang terpinggirkan baik yang dikelola oleh lakilaki maupun oleh perempuan
124
NO
BIDANG
KOMPETENSI
MATERI
INDIKATOR
2.2.Pembukuan Keuangan (sistem simpan pinjam)
a. Mendeskripkasikan macam-macam buku pencatatan keuangan kelompok dan kegunaannya b. Terampil melakukan pembukuan keuangan kelompok dan menghitung keuntungan kegiatan produktif yang dilakukan sebagai bentuk pemantauan serta mekanisme pembagiannya kepada anggota c. Mengembangkan rencana perbaikan usaha produktif berdasar catatan perkembangan keuangan yang ada di kelompok 2.3. a. Mendeskripsikan proses pengolahan hasil Pengembang laut (rumput laut dan ikan: seperti dodol an Usaha rumput laut dan abon ikan) Olahan b. Terampil melakukan olahan dan Berbasis diversifikasi produk hasil laut Hasil Laut c. Mengembangankan usaha olahan produk hasil laut untuk alternative pendapatan 2.4. a. Mendeskripkasikan arti dan mafaat jiwa Kewirausahaa kewirausahaan bagi masyarakat pesisir n dan untuk kemandirian
125
NO
BIDANG
KOMPETENSI
MATERI Jaringan Pasar
2.5. Pengembang an Lembaga Keuangan
3
Pelestarian lingkungan dan
Mampu melakukan kegiatan (aksi)
3.1. Pelestarian kawasan
INDIKATOR b. Terampil melakukan pengembangan inovasi usaha (diversifikasi produk dan perbaikan kualitas dengan memanfaatkan sumber daya alam dan ramah lingkungan) , termasuk analisis usaha dan pengembangan pasar c. Mengembangkan rencana upaya perluasan usaha dan pasar sesuai hasil analisis a. Mendeskripksikan manfaat adanya lembaga keuangan sebagai wadah menabung dan mengakumulasi modal usaha b. Terampil mengembangkan LKM sebagai alternatif paling mudah dalam sumber modal dan melakukan kerjasama dengan LKM lain yang ada di wilayahnya c. Memanfaatkan LKM dengan mekanisme yang ada sebagai lembaga keuangan kelompok dengan mekanisme yang mudah a. Mendeskripsikan fungsi dan manfaat pelestarian kawasan pesisir
126
NO
BIDANG sumber daya alam
4.
Pengembangan budi daya rumput laut
KOMPETENSI sebagai bentuk kepedulian dalam melestarikan lingkungan dan pemanfaatan sumber daya alam
Mampu melakukan proses budi daya dan penanganan paska panen
MATERI pesisir
3.2. Perancangan Kesepakatan Wilayah Pengelolaan Budidaya
4.1. Penentuan pemilihan lokasi
INDIKATOR b. Terampil mempraktekkan proses tahapan pelestarian kawasan pesisir c. Mengembangkan rencana kegiatan pelestarian kawasan pesisir berdasarkan analisis kebutuhan dan kondisi lingkungan a. Mendeskripsikan makna dan manfaat kesepakatan Wilayah Pengelolaan Budidaya bagi kelangsungan ekologis b. Terampil menyusun aturan kesepakatan dan mekanisme mengenai pembagian dan batasan wilayah pengelolaan budidaya c. Melakukan sosialisasi dan dialog terukur guna penetapan kesepakatan sebagai aturan formal lokal bagi batasan wilayah budidaya guna berdasarkan ketentuan ekologis dan hukum yang berlaku a. Mempertimbangkan ketepatan pemilihan lokasi dengan melihat perlakuan tertentu terhadap kondisi ekologi perairan laut yang selalu dinamis. b. Memperhatikan faktor-faktor dalam
127
NO
BIDANG
KOMPETENSI
MATERI
4..2. Metoda budi daya rumput laut
INDIKATOR
a.
b. 4.2. Manajemen budi daya rumput laut
a. b. c. d.
penentuan lokasi budidaya rumput laut, yaitu resiko, pencapaian, ekologis, higienis, sosial ekonomi Menentukan pilihan metoda budi daya rumput laut berdasarkan pada posisi tanaman terhadap dasar perairan (metoda lepas dasar, metoda rakit apung, metoda long line, metoda jalur dan metoda keranjang atau kantung) Terampil dalam pembibitan dan penanaman rumput laut Terampil dalam usaha perawatan selama masa pemeliharaan Mengetahui fasilitas budidaya yang digunakan Terampil membedakan hama dan penyakit yang mengganggu dalam proses budidaya Mempertimbangkan umur, cuaca, cara panen yang berpengaruh terhadap kualitas produk yang dihasilkan.
128
Bab IV
Profil LPPK Nurul Bahari
L
embaga Pendidikan, Pelatihan dan Keterampilan (LPPK) Nurul Bahari merupakan lembaga pendidikan nonformal yang terlibat aktif dalam pengembangan
model kurikulum masyarakat pesisir di Kabupaten Jeneponto. Keterlibatan lembaga ini diawali pada saat identifikasi kebutuhan lapangan dengan memberikan informasi tentang permasalahan
kehidupan
pemberdayaan
masyarakat.
nelayan
dan
Program
aktivitas
pemberdayaan
masyarakat pesisir di Kelurahan Pabiringa, Kecamatan Binamu sebagai wilayah pendampingan lembaga itu belum terprogram, meskipun sudah melakukan jejaring dengan lembaga lain. Jejaring ini lebih fokus pada budidaya rumput laut, belum merambah lebih jauh untuk meningkatkan nilai tambah komoditas, jaringan pasar, jiwa kewirausahaan dan membangun organisasi masyarakat agar bisa menggaet akses sumber daya lainnya yang lebih besar dan bermakna Oleh karena itu, program pemberdayaan masyarakat pesisir dengan
menggunakan
dikembangkan
lembaga
model ini
kurikulum
dengan
ini
membuat
akan rencana
aksinya. Berikut dipaparkan profil LPPK Nurul Bahari dan rencana aksi program pemberdayaan.
Visi
M
enjadi lembaga kursus dan pelatihan yang berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan dunia industri dan bisnis
130
dalam membentuk sumber daya manusia yang briliant, profesional, beriman dan bertaqwa.
Misi
1. Mencetak siswa yang Briliant dan SDM yang memiliki keterampilan,
kepribadian
yang
menyenangkan
dan
professional 2. Menjadi pusat pengembangan riset dan program bermutu yang diminati masyarakat dan dunia industri 3. Menciptakan kurikulum yang komprehensif, integrative, dan
relavan
(link
and
match)
serta
infrastruktur
pembelajaran yang kreatif
131
4. Berkontribusi meningkatkan standar kualitas pendidikan nasional 5. Membangun
profesionalisme
manajemen
lembaga,
program kemitraan, dan instruktur yang berkualitas 6. Membentuk SDM yang berjiwa wirausaha, berakhlak mulia, beriman dan bertaqwa 7. Membangun jaringan dan kerjasama secara lokal dan nasional, baik dengan industri, sekolah, perguruan tinggi dan pemerintah
Tujuan
1. Terselenggaranya berbagai program kursus dan pelatihan; 2. Meningkatnya status kecerdasan perorangan, keluarga, komunitas dan masyarakat; 3. Tertanggulanginya berbagai masalah keterbelakangan pendidikan kecakapan hidup masyarakat.
Strategi
1. Memberikan ilmu pengetahuan dan keterampilan kepada warga belajar mengenai budidaya rumput laut, pengolahan rumput laut dan pengolahan ikan
132
2. Memberikan pendampingan usaha kepada warga belajar agar mereka bisa berwirausaha secara mandiri 3. Memberikan pembinaan kepada warga belajar baik secara individu maupun secara kelompok 4. Memberikan modal usaha kepada warga belajar
Program Kegiatan Pemberdayaan
P
rogram pemberdayaan yang telah dilaksanakan di lembaga ini belum untuk pemberdayaan jangka panjang.
Kegiatan-kegiatan yang menjadi unggulan lembaga ini mengarah pada proses pemberdayaan jangka panjang dengan melakukan jejaring dengan lembaga lain. Kegiatankegiatan
berikut
merupakan
kegiatan
yang
sudah
dilaksanakan di lembaga ini, yaitu: 1.
Pendidikan kesetaraan Paket A dan Paket B
2.
Keaksaraan fungsional dan usaha mandiri
3.
Pelatihan budidaya rumput laut
4.
Pengolahan rumput laut
5.
Pengolahan ikan
6.
Kursus komputer, bahasa Inggris dan Sempoa
Program pemberdayaan untuk
jangka panjang akan lebih
menjadi fokus kegiatan oleh lembaga ini, yaitu pemberdayaan dengan menyiapkan kemampuan dan kemauan masyarakat
133
sendiri dalam membangun potensinya.
Rencana aksi
program pemberdayaan masyarakat pesisir disusun sebagai berikut:
Pemetaan analisis potensi lokal pada komunitas nelayan maupun berdasar gender
Analisis kebutuhan prioritas oleh kelompok berdasarkan kapasitas yang mereka miliki.
Identifikasi kebijakan yang berkaitan atau mempengaruhi penghidupan berkelanjutan bagi masyarakat pesisir, terutama untuk kegiatan produktif.
Penetapan program kegiatan pemberdayaan berdasarkan hasil identifikasi kebutuhan
Penyusunan kurikulum program dengan acuan model kurikulum
yang
dikembangkan
oleh
tim
peneliti/perekayasa dari Pusat Kurikulum dan Perbukuan.
134
Bab V
Penutup
135
P
engembangan masyarakat
model
pesisir
kurikulum
berbasis
pemberdayaan
ekonomi
produktif
merupakan upaya untuk mendorong kemandirian
dengan meningkatkan kapasitas individu dan kelompok. Pengembangan kurikulum di
daerah Jeneponto maupun
Cirebon sebagai daerah model dikaitkan pada 3 isu, yaitu (1) dinamika yang menyebabkan tumbuhnya mobilitas sosial; (2) transformasi sosial
yang
dapat membentuk
kelompok-
kelompok sosial baru di kalangan masyarakat pesisir; dan (3) terciptanya program pembangunan kepada kelompok sasaran yang sejalan dengan realitas sosial, budaya dan ekonomi mereka.
Model kurikulum ini diharapkan menjadi acuan daerah atau lembaga
yang
hendak
mengembangkan
program
pemberdayaan masyarakat dengan diawali membangun dari yang mereka miliki dan butuhkan serta kemampuan kelompok sasaran dalam menjangkau perubahan. Model kurikulum ini melengkapi panduan pengembangan kurikulum yang disusun oleh tim peneliti dan perekayasa dari Pusat Kurikulum dan Perbukuan
sebagai
rambu-rambu
dan
acuan
dalam
menyusun kurikulum di daerah atau lembaga. Diharapkan untuk
menyusun
kurikulum
ini,
lembaga
atau
daerah
memperhatikan kebutuhan, kepentingan, potensi dan peluang yang ada pada kelompok sasaran.
136
DAFTAR PUSTAKA Akma, Sugeng Raharjo dan Ilham. 2008. Materi Pelatihan Teknologi
Budidaya
Rumput
Laut.
Tanakar,
Sulawesi Selatan: Balai Budidaya Air Payau. Hasan, Said Hamid. 1995 . Pendidikan Ilmu Sosial . Jakarta: Dirjendikti, Depdikbud Republik Indonesia. Hasanudin, Basri.1985. ”Beberapa Hal Mengenai Struktur Ekonomi Masyarakat Pantai”, dalam A.S. Achmad dan
S.S.
Acip
(Peny.).
Komunikasi
dan
Pembangunan. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, hal. 105-110. Kluckhon, Clyde 1984. “Cermin bagi Manusia”, dalam Parsudi Suparlan
(Ed.).
Manusia,
Kebudayaan,
dan
Lingkungannya. Jakarta: Rajawali Pers, hal. 69-109. Kusnadi. 2002. Keberdayaan Nelayan dan Dinamika Ekonomi Pesisir. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Mubyarto, & Loekman Soetrisno, Michael Dove. 1984. Nelayan
dan
Kemiskinan,
Studi
Ekonomi
Antropologi di Dua Desa Pantai. Jakarta: Rajawali Press. Nana
Syaodih
S.
1998.
Prinsip
dan
Landasan
Pengembangan Kurikulum. Jakarta: P2LPTK.
137
PNPM
LMP
Sumatera.
2010.
Membangun
Kapasitas
Bersama dalam Silabus Pelatihan pada Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Lingkungan Mandiri Perdesaan (PNPM-LMP) Pusat
Kurikulum.
2010.
Pemberdayaan
Model
Kurikulum
Perempuan
Pendidikan Berbasis
Kewirausahaan di Pedesaan. Jakarta. Pusat
Kurikulum
(2007).
Model
Kurikulum
Pendidikan
Layanan Khusus SMP/MTs yang Memiliki Peserta Didik dengan Sosial Ekonomi Rendah.Jakarta www.sobatbaru.blogspot.com/2009/03/pengertian-inovatifkreatif-dan.html (diakses pada tanggal 6 Oktober 2012 pukul 05.40) http://www.scribd.com/doc/16733299/Konsep-Produktivitas (diakses pada tanggal 6 Oktober 2012 pukul 05.50)
138