MODEL KONSEPTUAL PENGEMBANGAN LANSKAP WISATA BUDAYA DI KAWASAN SUNGAI CODE, KOTA YOGYAKARTA
Lis Noer Aini
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Arsitektur Lanskap
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005
ABSTRAK LIS NOER AINI. Model Konseptual Pengembangan Lanskap Wisata Budaya di Kawasan Sungai Code, Kota Yogyakarta. Dibimbing oleh SITI NURISJAH, LILIK BUDI PRASETYO dan INDUNG SITTI FATIMAH. Pembangunan dan perkembangan kota-kota besar telah menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan ini cenderung berorientasi hanya terhadap manfaat ekonomi serta kurang memperhatikan keberlanjutan sumberdaya alam penumpunya, bahkan aspek budaya yang terkait dengan lahan tersebut. Hal ini juga berlaku bagi kota Yogyakarta. Sungai Code merupakan salah satu sumberdaya alam yang terletak di tengah kota Yogyakarta, selain mempunyai makna fisik dan ekologis juga mempunyai makna budaya. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis kelayakan kawasan sungai Code sebagai salah satu kawasan wisata budaya di kota Yogyakarta. Rencana pengembangan kawasan sungai Code ini sebagai kawaasan wisata budaya berkelanjutan diharapkan dapat mendukung kelestarian kawasan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian budaya lokal. Lanskap sungai Code terbentuk sesuai dengan kondisi fisik lingkungan dan sosial budaya serta ekonomi penduduknya. Kondisi sosial budaya dan sosial ekonomi di kawasan ini mempunyai peluang wisata yang potensial di beberapa beberapa wilayah. Penataan kondisi fisik dilakukan untuk mendukung terbentuknya kawasan wisata budaya dan ekonomi dengan meminimalisir kerusakan yang terjadi. Rencana pengembangan kawasan sungai Code menjadi kawasan wisata budaya dikembangkan menjadi 2 ruang wisata, yaitu: ruang wisata budaya dan ruang pendukung wisata. Pada masing-masing ruang juga dilengkapi fasilitas penunjang kegiatan wisata sesuai peruntukannya dengan menjaga kondisi fisik kawasan dan tatanan lanskapnya. Sedangkan sistem wisata yang terbentuk adalah sistem wisata budaya masyarakat pinggiran sungai, sistem wisata budaya kraton Pakualaman dan sistem wisata ekonomi berbasis budaya.
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Model Konseptual Pengembangan Lanskap Wisata Budaya di Kawasan Sungai Code, Kota Yogyakarta, adalah hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Desember 2005 Lis Noer Aini NIM: A.352020021
Hak cipta milik Lis Noer Aini, tahun 2005 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa ijin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya Dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya
Judul Tesis : Model Konseptual Pengembangan Lanskap Wisata Budaya di Kawasan Sungai Code, Kota Yogyakarta Nama : Lis Noer Aini NIM : A.352020021
Diset ujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA. Ketua
Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. Anggota
Ir. Indung Sitti Fatimah, M.Si. Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Arsitektur Lanskap
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, M.S.
Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.
Tanggal Ujian: 26 Oktober 2005
Tanggal Lulus:
PRAKATA Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Model Konseptual Pengembangan Lanskap Wisata Budaya di Kawasan Sungai Code, Kota Yogyakarta” pada Program Studi Arsitektur Lanskap Institut Pertanian Bogor. Tesis ini membahas tentang peluang pengembangan lanskap wisata budaya di kawasan sungai Code, kota Yogyakarta dan rencana pengembangan lanskapnya. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA; Bapak Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. dan Ibu Ir. Indung Sitti Fatimah, Msi.; selaku pembimbing atas arahan, perhatian dan bimbingannya. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Direktorat Pendidikan Tinggi yang telah memberikan biaya pendidikan pascasarjana melalui BPPS, Rektor Universitas
Muhammadiyah
Yogyakarta
dan
Dekan
Fakultas
Pertanian
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta atas kesempatan, ijin dan bantuan biaya pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB. Terima kasih dan penghargaan yang tulus penulis sampaikan kepada Ketua Departemen Arsitektur Lanskap dan seluruh staf pengajar atas bantuan, bimbingan dan perhatiannya selama ini. Kepada keluargaku, suamiku Dudy Setianugraha, ST, anakku Hanif Abyan Dzaki Nugraha, Bapak – Ibu Fathol Arifin, Bapak – Mamah Sulman, Mbak Ina, Mase, Fifi, Nuris, Ita, Anton, Mas Ony, Andree, Ai’, Hafez, Fafa, terima kasih atas segala pengertian, do’a dan kasih sayang yang telah diberikan dengan tulus. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Kepala Bappeda, Kepala Dinas Pengairan, Kepala Tata Kota, Kepala Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Kota Yogyakarta dan pegawainya, atas penyediaan data. Demikian juga kepada Camat dan Lurah wilayah bantaran sungai Code beserta staf, terima kasih atas ijin dan bantuannya. Kepada Bapak Totok Pratopo, Ketua Forum Komunikasi Code Utara (FKCU), dan masyarakat bantaran sungai Code terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan atas segala informasi dan bantuan selama penelitian. Terimakasih juga penulis juga penulis sampaikan kepada Ir. Gunawan Budiyanto, M.P., teman-teman di Program Studi Agronomi Fakultas Pertanian UMY dan keluarga besar Fakultas Pertanian UMY, atas semua perhatian dan
pengertiannya. Bu Pangesti, Isti, Merry, Awiek, Atha dan teman-teman ARL terutama angkatan 2002, terima kasih atas dorongan, do’a dan kebersamaannya selama ini. Kepada pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan atas segala bantuan dan kerjasama yang telah terjalin dengan baik. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Amien.
Bogor, Desember 2005 Lis Noer Aini
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 24 Juli 1973 dari pasangan Bapak Fathol Arifin dan Ibu Hamisurah. Penulis merupakan putri ke tiga dari enam bersaudara. Pernikahan penulis dengan Dudy Setianugraha, ST dikaruniai seorang putra Hanif Abyan Dzaki Nugraha. Pendidikan sarjana ditempuh pada Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiyah Yoigyakarta (UMY), lulus pada tahun 1997. Kesempatan melanjutkan program Magister Sains diperoleh pada tahun 2002 pada Program Studi Arsitektur Lanskap Sekolah Pascasarjana IPB Bogor. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Direktorat Pendidikan Tinggi melalui BPPS dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Sejak tahun 2000 hingga sekarang penulis mengabdikan diri sebagai staf pengajar pada Program Studi Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
DAFTAR ISI Halaman PRAKATA ...................................................................................................... v DAFTAR ISI ...................................................................................................
viii
DAFTAR TABEL ............................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................
xi
PENDAHULUAN Latar Belakang ....................................................................................... Tujuan Penelitian .................................................................................... Manfaat Penelitian .................................................................................. Sasaran Penelitian ................................................................................. Kerangka Pikir ........................................................................................
1 3 3 3 3
TINJAUAN PUSTAKA Lanskap Budaya ..................................................................................... Lanskap Sungai ...................................................................................... Pemukiman Tepian Sungai .................................................................... Pelestarian Lanskap Budaya .................................................................. Pariwisata ............................................................................................... Wisata Budaya ....................................................................................... Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata ................................................
7 8 11 15 15 17 18
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................. Jenis Data Penelitian .............................................................................. Metode dan Analisis Data ...................................................................... Perencanaan Model Konseptual Pengembangan Kawasan .................. Batasan istilah ........................................................................................
22 22 24 29 29
KEADAAN UMUM KOTA YOGYAKARTA Kondisi Geografis dan Administrasi ....................................................... Kondisi Iklim .......................................................................................... Kondisi Penduduk .................................................................................. Kondisi Ekonomi Wilayah ....................................................................... Kondisi Pariwisata .................................................................................. Obyek Wisata .........................................................................................
31 34 34 37 38 40
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Fisik Kawasan Sungai Code ...................................................... Topografi ...................................................................................... Hidrologi ....................................................................................... Zona Perlindungan Kawasan ...................................................... Kondisi Kehidupan Masyarakat sebagai Aset Wisata Budaya ............... Keragaman Sosial Budaya sebagai Sumber Obyek dan Atraksi Wisata ..............................................................................
41 43 47 50 54 54
Kondisi Sosial Ekonomi sebagai Faktor Pendukung Kegiatan Wisata Budaya ........................................................... Zona Wisata Budaya ................................................................... Peluang Pengembangan Kawasan Sungai Code sebagai Kawasan Wisata Budaya ....................................................................... Keinginan Penduduk terhadap Pariwisata .................................. Arahan Pengembangan Kota ...................................................... Pengembangan Kawasan Wisata Budaya ................................... Model Konseptual Lanskap Wisata Budaya ........................................... Konsep Pengembangan Sistem Wisata Budaya ......................... Konsep Pengembangan Lanskap Wisata Budaya .......................
56 63 74 76 79 82 83 83 89
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ................................................................................................ Saran ......................................................................................................
94 94
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
95
DAFTAR TABEL
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28.
Halaman Lokasi Penelitian ...................................................................................... 22 Jenis Data dalam Penelitian ..................................................................... 24 Kriteria Penilaian Kawasan Wisata .......................................................... 26 Kriteria Penilaian Wisata Ekonomi Berbasis Budaya ............................... 26 Kriteria Penilaian Atraksi Wisata............................................................... 27 Pembagian Wilayah Kota Yogyakarta ...................................................... 33 Kondisi Iklim di Kota Yogyakarta .............................................................. 34 Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Menurut Kecamatan Tahun 1990 – 2001................................................................................... 35 Karakteristik Kemiskinan Kota Yogyakarta .............................................. 35 Kegiatan Penduduk menurut Umur .......................................................... 36 Komposisi Perumahan di Kota Yogyakarta .............................................. 36 Kepadatan Penduduk di Kota Yogyakarta menurut Kecamatan Tahun 1990 dan 2001 .............................................................................. 37 Pendapatan Regional per Kapita dan Laju Pertumbuhan Atas Dasar Harga Berlaku dan Konstan .................................................. 38 Jumlah Kunjungan wisata ke Kota Yogyakarta ........................................ 39 Persentase Tingkat Hunian Kamar dan Pemakaian Tempat Tidur Hotel di DIY .............................................................................................. 39 Perkembangan Lama Menginap Tamu di DIY ......................................... 40 Kondisi Kemiringan Wilayah Studi ........................................................... 43 Kedalaman dan Kelulusan Air di Kawasan Studi ..................................... 47 Kepadatan Penduduk di Wilayah Studi ................................................... . 56 Karakteristik Kemiskinan di Wilayah Studi ............................................... 57 Kondisi Sosial Masyarakat Bantaran Sungai Code .................................. 61 Jumlah Kunjungan Wisata ke Kota Yogyakarta ....................................... 64 Nilai Hasil Skoring terhadap Potensi Pengembangan Wisata Budaya Di Kawasan Sungai Code ........................................................................ 65 Nilai Hasil Skoring terhadap Potensi Atraksi Budaya Di Kawasan Sungai Code ............................................................................................ 66 Nilai Hasil Skoring terhadap Potensi Pengembangan Wisata Ekonomi Di Kawasan Sungai Code ........................................................................ 72 Pendapat dan Harapan R esponden terhadap Wisata Sungai Code ........ 77 Keinginan masyarakat tidap wilayah untuk menjadikan wilayahnya sebagai kawasan wisata (dalam %) ......................................................... 78 Fasilitas Pendukung Wisata di Kawasan Sungai Code ........................... 89
DAFTAR GAMBAR
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36.
Halaman Kerangka Pikir Penelitian ....................................................................... 6 Tipe umum sungai dan penentuan lebar daerah sempadan sungai ...... 10 Kecenderungan pembangunan perumahan di sempadan sungai .......... 14 Skema Time-Budget ............................................................................... 20 Komponen Fungsi dan Sisi Persediaan Wisata ..................................... 21 Lokasi Penelitian .................................................................................... 23 Peta Administratif Kota Yogyakarta ....................................................... 32 Kondisi Bantaran Sungai Code .............................................................. 41 Kondisi Bantaran Sungai Code .............................................................. 42 Posisi Kota Yogyakarta terhadap Gunung Merapi ................................. 43 Peta Topografi ........................................................................................ 45 Ilustrasi penanaman vegetasi di permukiman penduduk ....................... 46 Ilustrasi penanaman vegetasi untuk mempertahankan keberadaan air tanah ............................................................................. 48 Longsornya talud sungai Code .............................................................. 49 Ilustrasi penanaman vegetasi pada terasering ....................................... 49 Peta Perlindungan Kawasan .................................................................. 53 Orientasi kehidupan masyarakat terhadap sungai Code ....................... 55 Peta Kepadatan Penduduk .................................................................... 58 Kepadatan Perumahan di Bantaran Sungai Code ................................. 60 Rumah Susun Sewa di Bantaran Sungai Code ..................................... 60 Penataan kawasan di Code Utara oleh Romo JB Mangunwijaya ......................................................................... 60 Pemukiman Penduduk di Bantaran Sungai Code Utara ........................ 68 Upacara Merti Code ............................................................................... 68 Kompleks Pakualaman .......................................................................... 68 Peta Potensi Wilayah Pengembangan Wisata Budaya .......................... 69 Peta Potensi Atraksi Wisata Budaya ...................................................... 70 Peta Potensi Wilayah Pengembangan Wisata Ekonomi berbasis budaya .................................................................................................... 73 Peta Potensi Pengembangan Wisata di Kawasan Sungai Code ........... 74 Peta Rencana Tata Ruang Kota Yogyakarta ......................................... 81 Konsep kawasan Wisata Sungai Code .................................................. 84 Posisi kawasan sungai Code terhadap tempat wisata lain di sekitar kota Yogyakarta ..................................................................................... 86 Potensi dan akses Wisata Budaya Kawasan Sungai Code .................. 87 Konsep Jalur Wisata Kawasan Sungai Code ......................................... 88 Konsep pengembangan lanskap wisata budaya di kawasan sungai Code ........................................................................................... 91 Ilustrasi pengembangan wisata di kawasan sungai Code ...................... 92 Ilustrasi pengembangan wisata di kawasan sungai Code ...................... 93
PENDAHULUAN Latar Belakang Yogyakarta, merupakan salah satu kota budaya di Indonesia yang menjadi tujuan wisata yang potensial. Hal ini terlihat dari tingginya jumlah wisatawan baik wisatawan nusantara maupun wisatawan manca negara yang datang ke kota ini setiap tahunnya. Kondisi dan peninggalan budaya yang terdapat di sekitar kota Yogyakarta menjadi daya tarik tersendiri bagi pengembangan wisata budaya. Berkembangnya kota Yogyakarta sebagai kota tujuan wisata kedua setelah Bali berpengaruh terhadap perekonomian, kondisi lingkungan, kependudukan dan sosial budaya kota ini. Akan tetapi perkembangan penduduk dan peningkatan urbanisasi telah memberikan konsekuensi terjadinya alih fungsi lahan bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat seperti perumahan, perdagangan /tempat usaha dan prasarana lainnya. Gejala yang muncul kemudian adalah terjadinya perebutan/persaingan lahan untuk mendapatkan lokasi di sekitar pusat-pusat kegiatan untuk memperoleh berbagai kemudahan (Nasution 1992). Perkembangan penduduk telah menjadikan kebutuhan akan tempat tinggal yang dekat dengan tempat mencari nafkah/pekerjaan semakin mendesak. Akibatnya, bantaran sungai menjadi salah satu alternatif tempat tinggal karena bantaran sungai merupakan daerah yang mempunyai nilai lahan rendah walaupun resikonya tinggi. Kondisi ini juga terjadi di kota Yogyakarta. Sungai Code, sungai yang terletak di tengah kota Yogyakarta dan berdekatan dengan jalur wisata seperti Kraton, Malioboro, Tugu, Monumen Jogja Kembali dan Kaliurang ini juga mengalami hal yang sama. Keadaan yang demikian telah menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan (Puspar UGM 2003) Penggunaan daerah bantaran sungai menjadi daerah pemukiman penduduk telah memunculkan masalah tersendiri. Selain kondisi bantaran sungai menjadi terkesan kumuh juga penataan lingkungan tidak diperhatikan yang mengakibatkan rusaknya lingkungan di daerah bantaran sungai. Di samping itu, penggunaan lahan di bantaran sungai sebagai tempat hunian lebih banyak dilakukan oleh masyarakat menengah ke bawah yang mempunyai penghasilan relatif rendah. Akibatnya kondisi lingkungan di bantaran sungai tidak diperhatikan. Beragamnya penghasilan dan perbedaan pendapatan masyarakat di daerah bantaran sungai dapat menimbulkan konflik sosial dan lingkungan. Selain itu, latar belakang masyarakat, aktivitas manusia dan nilai budaya juga dapat menjadi pemicunya (Mooney et al 2002). Kondisi ini juga terjadi di daerah bantaran sungai yang telah mengalami degradasi kondisi lingkungan, budaya dan sosial masyarakatnya. Salah satu alternatif yang dapat dikembangkan untuk mengurangi konflik dan meningkatkan penghasilan masyarakat di perkampungan-perkampungan yang ada di wilayah bantaran sungai adalah dengan menjadikannya kawasan
tersebut sebagai kawasan wisata. Selain akan meningkatkan penghasilan masyarakat, dibuatnya kawasan tersebut sebagai kawasan wisata dapat menjadikan kawasan yang sebelumnya berkesan kumuh, dan tidak mendukung arsitektur dan makna kota menjadi lebih tertata dan degradasi lingkungan yang terjadi pun akan dapat diminimalisir. Disamping itu, pengembangan wisata di wilayah sungai ini juga akan mendukung pengembangan ekonomi kota. Pengembangan wisata pada suatu kawasan harus memperhatikan hubungan timbal balik antara pengunjung dan aset wisata, termasuk komunitas yang ada disekitarnya (Gunn 1994). Salah satu bentuk kawasan yang dapat dikembangkan sebagai kawasan wisata adalah permukiman di sepanjang sungai Code, kota Yogyakarta. Kampung Code yang terletak di tengah kota Yogyakarta dapat dijadikan sebagai kawasan wisata alternatif di Yogyakarta. Disamping letaknya yang sangat strategis dengan aksesibilitas yang mudah, adanya potensi wisata di wilayah tersebut, juga karena telah terjadinya degradasi lingkungan di kawasan bantaran sungai Code akibat pertambahan penduduk yang akhirnya membuat wilayah ini menjadi wilayah permukiman penduduk yang tidak tertata. Selain itu, titik-titik kawasan wisata di Yogyakarta sudah terlalu penuh dan jenuh.
Lingkup wilayah Code yang saat ini bisa dikembangkan sebagai kawasan wisata budaya adalah kawasan Code bagian Utara meliputi Kelurahan Cokrodiningratan dan Kelurahan Terban yang dikaitkan dengan kawasan disekitarnya (Harian Kedaulatan Rakyat 2003). Penataan kawasan permukiman Code menjadi daerah permukiman yang layak telah diawali oleh Romo JB. Mangunwijaya pada tahun 1990-an. Penataan perumahan dilakukan dengan desain sederhana, murah tetapi mempunyai nilai estetika yang tinggi. Hal ini memberikan daya tarik tersendiri di samping juga menjadi atraksi wisata yang potensial. Studi ini dilakukan untuk mendukung terbentuknya kawasan wisata alternatif di kota Yogyakarta. Oleh karena itu, perlu dilakukan perencanaan penataan kawasan Code sebagai salah satu alternatif wisata di Yogyakarta sehingga dapat meminimalkan kerusakan dan penghilangan unsur-unsur alam dan budaya di kawasan tersebut sehingga mampu memberikan manfaat ekologi, sosial dan ekonomi secara langsung kepada masyarakat.
Tujuan Penelitian 1. Mengidentifikasi dan menganalisis kelayakan kawasan sungai Code untuk pengembangan kawasan wisata budaya di kota Yogyakarta. 2. Mengembangkan lanskap sungai Code sebagai kawasan wisata budaya berkelanjutan yang secara ekologis mendukung kelestarian sungai Code, secara ekonomi berpeluang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan secara sosial budaya dapat melestarikan kebudayaan lokal masyarakat setempat.
Manfaat Penelitian
1. Sebagai masukan dalam upaya meningkatkan pendapatan daerah kota Yogyakarta melalui penataan lanskap untuk pengembangan wisata budaya sungai Code. 2. Sebagai bahan masukan kepada pemerintah kota Yogyakarta dalam penataan kawasan fungsional dan kultural masyarakat. 3. Sebagai bahan masukan bagi masyarakat setempat untuk meningkatkan kesejahteraan.
Sasaran Penelitian Sasaran dari penelitian ini adalah sebagai salah satu upaya untuk melestarikan kebudayaan masyarakat lokal, meningkatkan penghasilan dan kesejahteraan masyarakat serta menjaga kelestarian lingkungan sungai Code. Kerangka Pikir Kota Yogyakarta merupakan salah satu kota budaya di Indonesia yang menjadi daerah tujuan wisata (DTW) kedua setelah Bali. Kondisi kota tidak dapat dipisahkan dengan keadaan sosial masyarakat dan kondisi alamnya. Demikian juga kota Yogyakarta yang mempunyai nilaI budaya cukup tinggi. Salah satu kawasan di kota Yogyakarta yang mempunyai pola lanskap yang spesifik adalah daerah bantaran sungai. Kehidupan masyarakat dan pemukiman yang terbentuk di daerah bantaran sungai mempunyai pola tersendiri dan umumnya berorientasi terhadap bentukan fisik sungai tersebut. (Malanson 1995) Bantaran sungai Code merupakan salah satu bantaran sungai yang berada di tengah-tengah kota budaya. Lanskap bantaran sungai ini mempunyai dua elemen utama, yaitu kondisi fisik dan pola kehidupan masyarakatnya. Meningkatnya jumlah penduduk telah menyebabkan perubahan kondisi lingkungan yang ada di wilayah bantaran sungai Code dan perubahan ini cenderung menuju kepada perubahan negatif. Kondisi ini terutama disebabkan penggunaan daerah bantaran sungai sebagai daerah permukiman penduduk yang intensif dan tanpa mengikuti kaidah lingkungan bantaran sungai. Hal ini disebabkan oleh nilai lahan yang rendah sehingga kawasan ini lebih banyak dimanfaatkan oleh masyarakat menengah ke bawah. Dari hal tersebut, maka perlu dilakukan penataan di kawasan ini sehingga degradasi lingkungan dapat diminimalisir. Sebagai salah satu kota tujuan wisata, kondisi fisik dari bantaran sungai perlu ditata kembali sesuai dengan kondisi dan kaidah fisiknya, yaitu daerah lindung, penyangga atau budidaya. Apabila hal ini tidak memungkinkan, dilakukan upaya untuk mengurangi resiko kerusakan lingkungan yang terjadi.
Pola kehidupan masyarakat bantaran sungai, mencerminkan kondisi sosial budaya dan sosial ekonomi masyarakat. Kondisi sosial budaya masyarakat dapat dilihat dari kehidupan sehari-hari yang dilakukan oleh masyarakat setempat dan juga budaya yang telah diyakininya selama turun temurun. Sedangkan kondisi sosial ekonominya tercermin dari pekerjaan yang dilakukan dan penghasilan yang diperoleh setiap bulannya. Pola kehidupan masyarakat tersebut dapat membentuk zona wisata yang selanjutnya berpeluang tinggi kedepannya dapat dijadikan sebagai kawasan wisata. Zona wisata yang terbentuk tersebut merupakan zona wisata budaya yang menggambarkan pola dan kegiatan kehidupan masyarakat sehari-hari dan budaya yang dipercayai secara turun menurun. Sedangkan zona wisata ekonomi dapat terbentuk dari penggalian potensi ekonomi yang bisa dikembangkan dan dibentuk sebagai wisata belanja dan pendukungnya. Perpaduan antara zona perlindungan kawasan secara fisik dan zona wisata
budaya
masyarakat
lokal
akan
menghasilkan
suatu
potensi
pengembangan sebagai kawasan wisata. Adanya keinginan masyarakat bagi pengembangan kawasan menjadi kawasan wisata dan didukung dengan teori konsep wisata budaya akan membentuk suatu model konseptual pengembangan wisata budaya di bantaran sungai Code. Terbentuknya suatu model konseptual untuk pengembangan wisata budaya di bantaran sungai Code akan memberikan keuntungan dan nilai lebih sebagai wisata alternatif bagi kota Yogyakarta yang merupakan kota budaya. Gambar 1 memperlihatkan alur dan kerangka pikir penelitian ini.
KOTA BUDAYA YOGYAKARTA
KAWASAN SUNGAI CODE
TAPAK
PEMAKAI
KONDISI FISIK
POLA KEHIDUPAN MASYARAKAT
TANAH, IKLIM, KEMIRINGAN
SOSIAL BUDAYA
KOND. HIDROLOGIS
SOSIAL EKONOMI
ZONA PERLINDUNGAN KAWASAN
ZONA PERUNTUKAN WISATA
LINDUNG
SOSIAL – BUDAYA
PENYANGGA
SOSIAL – EKONOMI
BUDIDAYA
PELUANG PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA BUDAYA SUNGAI CODE
KEINGINAN MASYARAKAT
KONSEP WISATA BUDAYA
TATA RUANG KOTA
MODEL KONSEPTUAL PENGEMBANGAN LANSKAP WISATA BUDAYA SUNGAI CODE
Gambar 1 Kerangka Pikir Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA Lanskap Budaya Lanskap adalah bentang alam yang memiliki karakter tertentu, yang beberapa unsurnya dapat digolongkan menjadi unsur utama atau unsur mayor dan unsur penunjang atau unsur minor. Unsur utama atau unsur mayor adalah unsur yang relatif sulit untuk diubah, sedangkan unsur penunjang atau minor adalah unsur yang relatif kecil dan mudah untuk diubah (Simonds 1983). Menurut Forman dan Godron (1986) lanskap dapat didefinisikan sebagai suatu area yang heterogen yang tersusun dari kelompok ekosistem yang saling berinteraksi yang berulang dalam bentuk yang serupa. Sedangkan Porteous (1996) menyatakan bahwa lanskap adalah bagian dari alam yang membutuhkan kesenangan dan pendidikan untuk mengapresiasikannya. Tipe lanskap berdasarkan apresiasi dibagi menjadi pegunungan, alam bebas, pedesaan, taman dan lanskap perkotaan. Budaya dapat diartikan kedalam beberapa hal, terutama bila dikaitkan dengan peninggalan kebudayaan dan wisata (Jamieson 2000), yaitu: 1. Budaya dapat berupa bangunan atau benda peninggalan sejarah, nilai, kebiasaan dan pola kehidupan masyarakat yang didalamnya termasuk bentuk bangunan, kesenian, adat-istiadat, kebiasaan hidup dan kerajinan masyarakat lokal. 2. Budaya juga dapat berupa bentukan fisik atau geografi suatu wilayah. 3. Digunakannya kembali budaya baik yang berbentuk bangunan maupun kebudayaan masyarakat lokal. Lanskap budaya (cultural landscape) adalah segala sesuatu yang berada di ruang luar yang dekat dan dapat dilihat. Menurut definisi ini, lingkungan lanskap budaya adalah semua yang sudah mendapat campur tangan atau diubah oleh manusia (Lewis 1978 dalam Melnick 1983). Selain itu juga berarti istilah yang menunjukkan suatu kawasan lanskap yang tersusun oleh budaya manusia. Budaya adalah cipta, karya dan karsa manusia yang mempengaruhi kehidupannya. Dengan demikian lanskap budaya adalah segala bagian dari muka bumi yang sudah mengalami campur tangan atau diubah oleh manusia. Tishler (1998) dalam Roslita (2001) mengutarakan bahwa lanskap alami yang dibentuk oleh aktivitas manusia membentuk suatu lanskap budaya. Lanskap budaya merupakan tempat di alam yang memiliki hubungan yang
signifikan dengan kegiatan manusia, merefleksikan jejak penting kebudayaan manusia, menyediakan informasi penting mengenai nenek moyang. Lanskap budaya menurut Sauers (1978) dalam Tishler (1982) adalah suatu kawasan geografis yang menampilkan ekspresi lanskap alami oleh suatu kebudayaan tertentu, dimana budaya adalah agennya, kawasan alami sebagai medianya dan lanskap budaya sebagai hasilnya. Lanskap Sungai Lanskap sungai adalah suatu kawasan yang berada di sepanjang aliran sungai dengan segala kehidupan dan elemen yang ada, termasuk struktur dan fungsi yang ada di dalam lingkungan tersebut (Malanson 1995). Artinya, lanskap sungai merupakan semua bagian yang ada di daerah sungai termasuk juga berbagai sendi kehidupan yang ada yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan sungai itu sendiri. Lanskap sungai tidak terlepas dengan daerah aliran sungai (DAS) yang menjadi induknya. Daerah Aliran Sungai (DAS) oleh Syahril (1996) diartikan sebagai suatu ruang wilayah atau kawasan yang dibatasi oleh topografi pemisah (punggung bukit) yang berfungsi sebagai daerah resapan air hujan atau daerah yang menampung, menyimpan dan mengalirkan air hujan yang jatuh di atasnya, baik dalam bentuk aliran permukaan, aliran bawah permukaan dan aliran bawah tanah melalui suatu system jaringan sungai dan bermuara ke danau atau lautan. Syahril juga menyatakan bahwa DAS pada dasarnya merupakan satu kesatuan ruang wilayah (meliputi: wilayah hulu, tengah, hilir) dan sumberdaya yang terdiri dari unsur abiotik (tanah, air, udara) dan biotik (vegetasi, binatang dan organisme lainnya) yang saling berinteraksi dan saling bergantung satu sama lain sehingga membentuk satu kesatuan sistem yang disebut ekosistem DAS. Ditinjau dari segi ekosistem, menurut Soemarwoto (1978), DAS merupakan suatu unit ekosistem yang terdiri dari sub sistem – sub sistem, antara lain sub sistem air, tanah, vegetasi dan manusia termasuk makhluk hidup lainnya dengan produksi utamanya adalah hasil air dan hasil lainnya. Keempat sub sistem tersebut merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan. Sebagai contoh terjadinya kekeringan di musim kemarau dan banjir di musim penghujan merupakan indikator terjadinya ketidakseimbangan keempat sub sistem tersebut. Keadaan ini dapat disebabkan karena DAS tidak mampu lagi untuk meresapkan air hujan yang jatuh diatasnya karena tidak berfungsinya sistem vegetasi. Pada
umumnya, terjadinya kerusakan vegetasi disebabkan oleh: (1) tekanan penduduk, (2) tekanan sosial dan (3) tekanan pembangunan. Menurut Sugandy (1984), suatu wilayah dalam DAS dari kemiringan lahannya dapat dikelompokkan menjadi 5 (lima) kawasan sesuai dengan klasifikasi berikut: 1. Kemiringan lahan 0 – 8 % digunakan untuk kegiatan perkotaan, baik untuk permukiman maupun perkantoran dan kegiatan industri yang keseluruhannya mempunyai sifat kawasan budidaya perkotaan. 2. Kemiringan lahan 8 – 15 % diperuntukkan bagi kegiatan pedesaan baik untuk permukiman atau pertanian yang secara keseluruhan berfungsi sebagai kawasan budidaya wilayah pedesaan. 3. Kemiringan lahan 15 – 25 % diperuntukkan sebagai kawasan budidaya dan kawasan penyangga. 4. Kemiringan lahan 25 – 45 % diperuntukkan sebagai kawasan penyangga. 5. Kemiringan lahan di atas 45 % diperuntukkan sebagai kawasan lindung. Lanskap tergantung pada preferensi budaya dan keinginan manusia yang relatif nyata dengan proses lingkungan yang alami dan pengaruh kebudayaan. Jika daerah bantaran sungai merupakan lanskap, artinya ekologinya juga seperti kebudayaan yang ada dan keberadaannya dibuat untuk perubahan yang dramatis, dimana ahli ekologi dapat terlibat dalam pengelolaannya (Décamps 2001). Berbicara tentang lanskap bantaran sungai tidak terlepas dari ekologi sungai yang ada dan pola kehidupan yang ada di sepanjang sungai tersebut. Ekologi merupakan kondisi seimbang yang unik dan memegang peranan penting dalan konservasi dan tata guna lahan serta pengembangan untuk menekan masalah yang timbul sebagai akibat dari perubahan global yang disebabkan oleh manusia (Forman and Godron 1996). Ekologi sungai terkait dengan bagian-bagian sungai yang ada, termasuk sempadan, bantaran dan badan sungai itu sendiri. Gambar 2 menunjukkan tipe umum sungai dan penentuan lebar daerah bantaran sungai (Maryono 2003).
Gambar 2 Tipe umum sungai dan penentuan lebar daerah sempadan sungai (Maryono 2003) Menurut Maryono (2003), sempadan sungai sering disebut sebagai bantaran sungai. Namun sebenarnya ada perbedaan karena bantaran sungai merupakan daerah pinggir sungai yang tergenangi air saat banjir sehingga bantaran sungai disebut juga bantaran banjir. Sedangkan sempadan sungai merupakan daerah bantaran banjir ditambah lebar longsoran tebing sungai (sliding) yang mungkin terjadi, lebar bantaran ekologis, dan lebar keamanan yang diperlukan terkait dengan letak sungai seperti areal permukiman dan non permukiman). Sempadan sungai merupakan daerah ekologi dan sekaligus hidrologis sungai yang penting. Sempadan sungai tidak dapat dipisahkan dengan badan sungai (alur sungai) karena secara hidrolis dan ekologis merupakan satu kesatuan. Secara hidrolis, sempadan sungai merupakan daerah bantaran banjir yang berfungsi memberikan kemungkinan luapan air banjir ke samping kiri dan kanan sungai sehingga kecepatan air ke hilir dapat dikurangi, energi air dapat diredam di sepanjang sungai, serta erosi tebing dan erosi dasar sungai dapat dikurangi secara simultan. Disamping itu sempadan sungai merupakan daerah tata air sungai yang padanya terdapat mekanisme inflow ke sungai dan outflow ke air tanah. Proses inflow – outflow tersebut merupakan proses konservasi hidrolis sungai dan air tanah pada umumnya. Secara ekologis, sempadan sungai merupakan habitat dimana komponen ekologi sungai berkembang. Komponen vegetasi sungai secara natural akan mendapatkan pupuk dari sedimentasi periodis dari hulu dan tebing, selanjutnya komponen vegetasi ini akan berfungsi sebagai pemasok nutrisi untuk komponen fauna sungai dan sebaliknya. Proses ini merupakan pendukung keberlangsungan ekosistem sungai yang memiliki sifat terbuka hulu-hilir. Dengan ekosistem
sempadan sungai yang subur, maka system konservasi air di sepanjang sungai dapat terjaga. Lebih jauh, komponen vegetasi sungai secara hidrolis berfungsi sebagai retensi alamiah sungai. Dengan demikian, air sungai dapat secara proporsional dihambat lajunya ke hilir. Dampaknya dapat mengurangi banjir dan erosi di sepanjang sungai. Jika sistem ekologi dan hidrolis sempadan sungai ini terganggu, misalnya dengan adanya bangunan diatasnya, proyek pentalutan sungai, pelurudan, dan sudetan yang mengubah areal sempadan, serta adanya penanggulan, maka fungsi ekologis dan hidrolis yang sangat vital tersebut akan rusak. Penentuan sempadan sungai didasarkan pada pertimbangan kontur geografis – morfologis masing-masing penggal sungai, pertimbangan hidrologis seperti muka air banjir, longsoran tebing sungai serta factor ekologis dan keamanan. Menurut Keputusan Presiden (Keppres) No. 32 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 47 Tahun 1997, penetapan lebar sempadan pada sungai besar diluar permukiman minimal 100 m dan pada anak sungai besar minimal 50 m di kedua sisinya. Untuk daerah permukiman, lebar bantaran adalah sekedar cukup untuk jalan inspeksi 10 – 15 m. PP No. 47 tahun 1997 juga menetapkan
bahwa
lebar
sempadan
sungai
bertanggul
diluar
daerah
permukiman adalah lebih dari 5 m sepanjang kaki tanggul. Sedang lebar sempadan sungai yang tidak bertanggul diluar permukiman dan lebar sempadan sungai bertanggul dan tidak bertanggul di daerah permukiman, ditetapkan berdasarkan pertimbangan teknis dan sosial ekonomis oleh pejabat berwenang. Pemukiman Tepian Sungai Pemukiman adalah kelompok unit kediaman orang-orang atau kelompok manusia pada suatu wilayah termasuk kegiatan-kegiatan serta fasilitas-fasilitas sebagai akibat dari proses terbentuknya permukiman ini (Wayong 1981). Sedangkan
preferensi
bermukim
adalah
keinginan
atau
kecenderungan
seseorang untuk bermukim atau tidak bermukim di suatu tempat (Sinulingga 1999). Preferensi bermukim seseorang dalam memilih tempat tinggal dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu (1) kondisi lingkungan pemukiman, (2) ketersediaan fasilitas kota, (3) transportasi dan (4) lapangan kerja. Selanjutnya Koestoer (1997) mengemukakan bahwa pilihan terhadap lokasi tempat tinggal sangat ditentukan oleh faktor sosial dan faktor fisik.
Ditinjau dari segi sosial, Jayadinata (1992) menyatakan bahwa pilihan tempat tinggal dilakukan untuk berdekatan dengan tetangga dan dapat hidup bergotong-royong. Sedangkan bila ditinjau dari segi ekonomi, maka tempat tinggal dipilih karena kedekatan dengan tempat kerja dan kemudahan dalam mencapai prasarana sosial dan atau ekonomi, berdekatan dengan jalan, sekolah, pasar, tempat ibadah dan lainnya. Berkaitan dengan pemilihan lokasi, Luhst (1997) menyebutkan bahwa kualitas kehidupan yang berupa kenyamanan, keamanan dari suatu rumah tinggal sangat ditentukan oleh lokasinya, dalam arti daya tarik suatu lokasi ditentukan oleh dua hal, yaitu: 1. Aksesibilitas yaitu daya tarik dari suatu lokasi dikarenakan akan memperoleh kemudahan dalam hal pencapaian ke berbagai pusat kegiatan seperti perdagangan, pendidikan, industri dan jasa pelayanan, rekreasi, pelayanan pemerintahan atau bahkan perpaduan semua kegiatan tersebut. 2. Kenyamanan lingkungan yaitu berkaitan dengan kualitas hunian seperti keamanan, udara yang sejuk dan jauh dari kebisingan. Perumahan
di
pinggiran
sungai
merupakan
cerminan
adanya
keterbatasan lahan kota sehingga tidak semua masyarakat dapat menikmati fasilitas yang memadai dan dapat tinggal di lahan yang sesuai (Evers 1982). Masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar tepian sungai merupakan masyarakat yang secara struktural sudah tidak dapat lagi diwadahi sehingga walaupun lahan yang mereka tempati kondisinya tidak landai, area tepi sungai tersebut tetap dihuni (Guinness 1986). Bila dilihat dari proses terbentuknya permukiman tersebut diatas, maka masyarakat yang memanfaatkan lahan tepian sungai secara hierarkhis dari sisi pekerjaan / kegiatannya berada pada tingkat bawah (Nareswari 1998). Kondisi fisik bangunannya relatif sederhana dan terbentuk secara spontan. Permukiman di bantaran sungai ini secara fisik merupakan sebuah kampung dengan posisi yang terendah dibanding dengan kawasan lainnya (Guinness 1986). Istilah kampung mempunyai 3 makna yaitu (a) makna yang menunjang pada komunitasnya yaitu komunitas urban yang dapat berarti sebagai orang yang lahir, besar atau menetap di kampong, (b) menunjang pada suatu yang bersifat slum yang diartikan sebagai tempat bagi orang-orang yang miskin dan tidak berpendidikan, dan (c) makna yang menyatakan bahwa kampong merupakan suatu daerah yang dibatasi oleh batas administrasi tertentu, misalnya rukun kampong (Sullivan 1980). Ciri kampung dapat dilihat dari populasinya dimana sebagian besar masyarakatnya berpendapatan rendah, berstatus
migran, kehidupan mereka merupakan transisi antara lingkungan kota dan desa serta dalam memenuhi kebutuhan rumahnya diperoleh dari bahan dan teknologi yang murah (Dharoko 1996 dalam Zaim 2004). Menurut Pramono (2003) dalam Zaim (2004), bila dilihat berdasarkan bentuknya, permukiman dapat digolongkan menurut beberapa pendekatan, yaitu: 1. Permukiman formal yaitu kompleks perumahan yang dibangun oleh perusahaan swasta / pengembang perumahan. 2. Permukiman kampung baru yaitu kompleks perumahan yang dibangun dan dikembangkan sendiri oleh kebanyakan warga pendatang setelah membeli tanah dari warga / penduduk asli. 3. Permukiman kampung lama yaitu kompleks perumahan yang tetap dipertahankan dan dikembangkan sendiri oleh sebagian besar penduduk asli atau penduduk lama. Perumahan tepian sungai sebagai salah satu permukiman spontan terbentuk dari kondisi awal fisik bangunan yang terlihat relatif sangat sederhana (Nareswari 1998). Kondisi awal terbentuknya permukiman spontan cenderung merupakan suatu lingkungan hunian yang kumuh. Judohusodo dalam Hidayati (1997) mengemukakan ciri perkampungan kumuh sebagai bentuk hunian yang tidak berstruktur, tidak berpola, minim atau tidak tersedianya fasilitas umum, sarana dan prasarana permukiman yang kurang baik serta bentuk fisik/ lingkungan yang tidak layak untuk dihuni (seperti secara berkala terkena banjir). Gambar 3 menunjukkan kecenderungan pembangunan perumahan di sempadan sungai.
Gambar 3 Kecenderungan pembangunan perumahan di sempadan sungai
(Maryono 2003) Bagi kelompok miskin di kota-kota yang tidak terancam oleh aksi-aksi penggusuran, terdapat bukti bahwa ternyata mereka mampu memperbaiki kondisi perumahan mereka sendiri (Gilbert dan Gugler 1996). Beberapa lokasi permukiman yang awalnya merupakan kumpulan gubug di kaki bukit, tepian sungai atau lainnya berangsur-angsur dapat mencapai status perumahan biasa. Secara bertahap gubug-gubug
tersebut
berubah
menjadi
bagian-bagian
permukiman yang mapan. Menurut Turner (1967) dalam Gilbert dan Gugler (1996), ada beberapa faktor yang menentukan kemampuan kelompok miskin untuk dapat membangun dan mengkonsolidasikan permukiman spontan, yaitu: 1. Faktor jaminan waktu dalam proses konsolidasi. Tanpa keyakinan yang tinggi bahwa penduduk pada perumahan spontan akan mendapat ijin terhadap suatu lahan, maka tidak ada keluarga yang mau menginvestasikan waktu dan uangnya untuk proses konsolidasi perumahan. Jaminan tersebut merupakan sikap dari otoritas pemerintah bersama sejumlah tekanan politik. 2. Faktor ketersediaan tanah, yaitu keadaan pasaran tanah dan kebijakan pemerintah. Jika invasi ditolerir oleh pemerintah, maka akan lebih banyak keluarga yang mendapatkan tanah dengan menginvasi daerah-daerah terlarang. 3. Tingkat penyediaan infrastruktur dan pelayanan untuk berbagai komunitas spontan. Dalam hal ini peran dari agen-agen masyarakat seperti perusahaan listrik, telepon, air dan lainnya sangat menentukan proses dari konsolidasi. Pelestarian Lanskap Budaya Kegiatan pelestarian adalah kegiatan konservasi. Konservasi diartikan sebagai segenap proses pengelolaan suatu tempat agar makna kultural yang dikandungnya terpelihara dengan baik. Konservasi dapat meliputi seluruh kegiatan pemeliharaan sesuai dengan situasi dan kondisi setempat (Sidharta dan Budihardjo 1989). Motif pelestarian adalah melindungi warisan budaya kita yang mempunyai nilai budaya. Bila peninggalan masa lalu tidak dilindungi dengan peraturan-peraturan, maka proses-proses perubahan alami akan mengubah atau bahkan melenyapkannya, ditambah lagi pembangunan yang semakin pesat. Melalui proses identifikasi lanskap maka dapat diketahui informasi mengenai lanskap tersebut dan pengaruhnya terhadap kelompok budaya yang ada. Hal ini memerlukan ahli khusus dari banyak disiplin ilmu yang berbeda, yaitu
arsitektur lanskap, arkeologi, antropologi budaya, geografi budaya dan arsitektur sejarah. Menurut Jamieson (2000) kebudayaan harus dipelihara dan dilestarikan. Motivasi
pemeliharaan
dan
pelestarian
budaya
meliputi:
pembaharuan,
revitalisasi dan pengembangan komunitas, pendidikan, keberlanjutan, rekreasi, patriotisme, nostalgia, keragaman/wisata, identitas, kualitas hidup, pendapatan, dan pengembangan ekonomi. Wisata dan pengembangan ekonomi merupakan hal yang paling penting dari semua motivasi pemeliharaan dan pelestarian budaya. Pariwisata Pariwisata diartikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan perjalanan untuk rekreasi, pelancongan dan turisme. Pariwisata adalah industri yang kelangsungan hidupnya sangat ditentukan oleh baik buruknya lingkungan. Selanjutnya disebutkan bahwa tujuan pariwisata pada hakekatnya adalah untuk mendapatkan rekreasi (Soemarwoto 1996). Suyitno (2001) menyatakan bahwa wisata merupakan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang yang bersifat sementara untuk menikmati obyek dan atraksi di tempat tujuan, namun tidak semua perjalanan dapat dikatakan sebagai wisata. Untuk membedakannya, wisata pada umumnya mempunyai karakteristik sebagai berikut: 1. Bersifat sementara, bahwa dalam jangka waktu pendek pelaku wisata akan kembali ke tempat asalnya. 2. Melibatkan beberapa komponen wisata, misalnya sarana transportasi, akomodasi, restoran, obyek wisata, toko cinderamata, dan lain-lain. 3. Umumnya dilakukan dengan mengunjungi obyek dan atraksi wisata, daerah atau bahkan Negara secara berkesinambungan. 4. Memiliki tujuan tertentu yang intinya untuk mendapatkan kesenangan. 5. Tidak untuk mencari nafkah di tempat tujuan, bahkan keberadaannya dapat memberikan kontribusi pendapatan bagi masyarakat atau daerah yang dikunjungi, karena uang yang dibelanjakannya dibawa dari tempat asal. Menurut Wahab (1987), pengertian pariwisata mengandung tiga unsur, yaitu: 1. Manusia (unsur insani sebagai pelaku kegiatan pariwisata) 2. Tempat (unsur fisik yang sebenarnya tercakup dalam kegiatan itu sendiri)
3. Waktu (unsur tempo yang dihabiskan dalam perjalanan itu sendiri selama berdiam di tempat tujuan) MacKinnon et al (1986) menyatakan bahwa faktor-faktor yang membuat suatu kawasan menarik bagi pengunjung adalah: 1. Letak/jarak kawasan terhadap kota. 2. Aksesibilitas ke kawasan tersebut mudah dan nyaman. 3. Keaslian, keistimewaan/kekhasan kawasan. 4. Atraksi yang menonjol di kawasan tersebut misalnya atraksi yang berkaitan dengan kegiatan religi dan budaya. Atraksi tersebut dikembangkan dengan 7 unsur
kebudayaan
masyarakat
(Kuntjaraningrat
1974).
Tujuh
unsur
kebudayaan masyarakat tersebut adalah: 1) sistem religi, 2) sistem kemasyarakatan, 3) sistem mata pencaharian, 4) kesenian, 5) bahasa, 6) peralatan dan perlengkapan hidup, 7) sistem pengetahuan. 5. Daya tarik dan keunikan serta penampilan kawasan. 6. Fasilitas, sarana dan prasarana di lokasi yang mendukung bagi wisatawan. Wisatawan adalah individu atau kelompok yang mempertimbangkan dan merencanakan tenaga beli yang dimilikinya untuk melakukan perjalanan rekreasi berlibur. Pada umumnya wisatawan tertarik dengan mot ivasi perjalanan yang dilakukan, selain itu untuk menambah pengetahuan. Pelayanan yang didapatkan dari suatu tujuan wisata kemungkinan dapat menarik pengunjung dimasa yang akan datang. Gunn (1994) menyatakan bentuk wisata dikembangkan dan direncanakan berdasarkan hal-hal berikut: 1. Kepemilikan atau pengelola areal wisata tersebut yang dapat dikelompokkan ke dalam tiga sektor yaitu badan pemerintah, prganisasi nirlaba dan perusahaan komersial. 2.
Sumberdaya, yaitu alam dan budaya.
3. Perjalanan wisata/lama tinggal. 4. Tempat kegiatan, di dalam ruangan atau di luar ruangan. 5. Wisata utama/wisata penunjang. 6. Daya dukung tapak dengan tingkat penggunaan pengunjung, yaitu intensif, semi intensif dan ekstensif. Wisata Budaya
Wisata adalah perpindahan orang untuk sementara dalam jangka waktu tertentu ke tujuan-tujuan di luar tempat dimana mereka biasa tinggal dan bekerja. Pelaku wisata atau wisatawan pergi ke suatu obyek wisata didasari motivasi yang bersifat rekreatif (motif tamasya dan rekreasi) dan non – rekreatif (motif kebudayaan, olahraga, bisnis, spiritual, kesehatan dan interpersonal) (Gunn 1994). Wisata budaya adalah wisata dengan kekayaan budaya sebagai obyek wisata yang ditekankan pada aspek pendidikan dan pengalaman dengan menggabungkan kesenian dan warisan alam, sosial dan sejarah. Obyek wisata budaya merupakan tempat yang diwariskan dari kegiatan manusia di masa lalu dengan cara mengubah nilai-nilai alami yang ada dan disesuaikan dengan kebutuhan mereka sehingga kawasan tersebut menjadi lebih harmonis, menyenangkan dan mempunyai nilai keindahan (Inskeep 1991). Obyek wisata budaya merupakan tempat yang diwariskan dari kegiatan manusia di masa lalu dengan cara mengubah nilai-nilai alami yang ada dan disesuaikan dengan kebutuhan mereka sehingga kawasan tersebut menjadi lebih harmonis, menyenangkan dan mempunyai keindahan (Haber 1995). Sedangkan Soekadijo (1996) menyatakan, suatu obyek dapat menjadi tujuan wisata budaya karena memiliki atraksi wisata yang terdiri dari sumberdaya kepariwisataan dalam bentuk budaya, yang dapat berupa peninggalan-peninggalan atau tempattempat bersejarah (artifact) maupun perikehidupan/adat istiadat yang berlaku di dalam masyarakat (kebudayaan hidup). Sedangkan Gunn (1994) menyatakan bahwa kategori sumberdaya budaya meliputi tapak pra sejarah; tapak sejarah; tempat berbagai etnik dan tempat suatu pengetahuan dan pendidikan; lokasi industri; pusat perbelanjaan dan pusat bisnis; tempat pementasan kesenian, museum dan galeri; tempat hiburan, kesehatan, olahraga dan keagamaan. Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Perencanaan suatu lokasi rekreasi atau pariwisata dapat dilakukan dengan analisis terhadap permintaan dan penawaran pariwisata (Gold 1980). Tersedianya rekreasi merupakan gambaran tentang ruang, fasilitas dan pelayanan, sedangkan permintaan rekreasi merupakan gambaran tentang kegiatan dan perilaku rekreasi. Perencanaan merupakan suatu alat yang sistematis dan dapat digunakan untuk menentukan awal suatu keadaan, dan merupakan cara terbaik untuk mencapai keadaan tersebut (Gold 1980). Menurut Laurie (1990) di dalam
perencanaan tapak terdapat penyesuaian tapak dengan program. Persyaratan program harus dilengkapi dan dihubungkan satu dengan lainnya, disertai imajinasi serta kepekaan terhadap replikasi analisis tapak. Perencanaan multidimensi onal bertujuan untuk mengintegrasikan semua aspek pendukung, meliputi aspek sosial, ekonomi, antropologi serta fisik yang terpusat pada masa lalu, sekarang dan yang akan datang (Gunn 1994). Dalam peningkatan/pengembangan wisata yang harus diperhatikan adalah bagaimana menarik turis sekaligus dapat mempertahankan lingkungan. Oleh karena itu perencanaan bertujuan agar terdapat integritas/hubungan timbal balik antara pengunjung dan aset wisata termasuk yang dilindungi serta komunitas disekitarnya (Gunn 1994). Lanskap budaya, seperti halnya lanskap yang lain tidak berdiri sendiri, tetapi secara estetis, ekologi dan fungsional berkaitan dengan lingkungan sekitarnya membentuk kesatuan organ yang luas. Sehingga dalam perencanaan lanskap budaya perlu dipertimbangkan nilai-nilai budaya yang ada di dalamnya agar keberadaannya tetap lestari (Anagnostopoulos 1985). Proses produksi wisata dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor makro dan faktor mikro (Suyitno 2001). Faktor makro meliputi: 1. Faktor ekonomi, mencakup seluruh aspek dalam sektor ekonomi seperti kondisi moneter, tingkat pendapatan rata-rata penduduk, tingkat daya beli masyarakat, fasilitas perbankan dan lain-lain. 2. Faktor sosial budaya, meliputi aspek-aspek yang menyangkut kondisi sosial masyarakat serta pola dan pandangan hidupnya. 3. Faktor geografi, merupakan faktor yang berkaitan dengan kondisi alam suatu daerah atau negara. 4. Faktor teknologi, termasuk didalamnya fasilitas informasi dan perkembangan teknologi sehingga dapat mempermudah perjalanan dan informasi wisata di suatu daerah atau negara. 5. Prasarana dan sarana wisata, seperti tempat wisatanya, jalur interpretasi, tempat parker, bandara, hotel dan sebagainya. 6. Sumberdaya Manusia, mencakup semua personal yang terlibat dalam perencanaan, penyelenggaraan dan tindak lanjut dari suatu wisata. 7. Pemerintah, terkait dengan kebijakan, keamanan, politik, birokrasi dan lainlain. Sedangkan aspek mikro dari proses produksi wisata meliputi:
1. Wisatawan. Wisatawan mempunyai peran ganda yaitu sebagi konsumen dan komponen produksi wisata. Sebagai konsumen wisata karena wisatawan yang menjadi obyek dari wisata. Sebagai komponen produksi wisata karena wisatawan terlibat langsung dalam proses pembentukan wisata. 2. Waktu. Waktu memberikan pengaruh yang besar terhadap berlangsungnya sebuah wisata karena memungkinkan terselenggaranya sebuah wisata. 3. Harga. Berkaitan dengan kelas wisata yang dijual. Apakah kelas ekonomi, deluxe, standar maupun budget class. Perencanaan lanskap kawasan wisata harus memperhatikan berbagai aspek. Keberlanjutan wisata sangat dibutuhkan dalam pengembangan suatu kawasan wisata. Wisata merupakan multy sectoral in nature, yauti merupakan kombinasi
berbagai
komponen
dan
aspek
pengetahuan
yang
harus
diintegrasikan dalam suatu kesatuan dinamika. Determinan yang sangat signifikan mempengaruhi berbagai aspek dalam wisata adalah ruang (space) dan waktu (time). Waktu akan selalu mempengaruhi karakteristik setiap komponen dan aspek yang terlibat dalam wisata. Fokus analisa wisata dari variabel waktu adalah time-budget dari setiap individu atau populasi dalam memanfaatkan waktu, yang polanya dapat dibedakan menjadi 3 kelompok, yaitu: 1) existence time, 2) subsistence time, dan 3) leisure time (Avenzora 2003). Gambar 4 menunjukkan skema time-budget dari fokus analisa wisata.
Common Behavior Existence Time
Existence Activities
- Exclusive Behavior - The Have’s Behavior Meet the Tourism Criteria
TIME
Subsistence Time
Subsistence Activities
Incidental Need on Duty Traveling TOURISM Common Behavior
A Trip Cross The Hometown Border
Recreation Leisure Activities Leisure Time
Additional Existence Additional Subsistence
Hobbies
Recreation in the Hometown Border
Gambar 4 Skema Time-Budget (Avenzora 2003)
Sustainable tourism dibutuhkan untuk menjaga kesinambungan dan mempertahankan kondisi wilayah untuk keberlangsungan wisata itu sendiri. Menurut Inskeep (1991), sustainable tourism merupakan industri wisata yang mempertimbangkan berbagai aspek penting dalam pengelolaan seluruh sumberdaya yang ada guna mendukung wisata tersebut baik secara ekonomi, sosial dan estetika untuk memelihara keutuhan budaya, ekologi, keragaman biologi dalam sistem kehidupan. Sedangkan Gunn (1994) menyatakan bahwa pengembangan sustainable tourism merupakan perubahan positif dari sosial ekonomi yang tidak merusak sistem ekologi dan sosial dimana masyarakat dan kehidupan sosialnya berada. Inskeep (1991) mengemukakan bahwa tujuan dari sustainable tourism adalah: 1. Untuk pengembangan pengetahuan dan pemahaman bahwa wisata dapat mengubah lingkungan dan ekonomi. 2. Untuk kemajuan pengembangan industri wisata. 3. Untuk perbaikan kualitas hidup suatu kawasan. 4. Untuk memberikan kualitas pengalaman pengunjung yang tinggi. 5. Untuk memelihara kualitas lingkungan sebagai obyek yang dapat diandalkan. Menurut Low Choy dan Heillbronn (1996) dalam Lewaherilla (2002), ada 5 faktor batasan utama dalam penentuan prinsip utama wisata, yaitu: 1. Lingkungan. Wisata bertumpu pada lingkungan alam, budaya yang relatif belum tercemar atau terganggu. 2. Masyarakat. Wisata harus memberikan manfaat ekologi, sosial dan ekonomi langsung kepada masyarakat. 3. Pendidikan dan pengalaman. Wisata harus dapat meningkatkan pemahaman akan lingkungan alam dan budaya dengan adanya pengalaman yang dimiliki. 4. Berkelanjutan. Wisata dapat memberikan sumbangan positif bagi lingkungan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. 5. Manajemen.
Wisata
harus
dikelola
dengan
baik
dan
menjamin
keberlangsungan lingkungan alam, budaya yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan sekarang maupun generasi yang akan datang.
Perencanaan wisata harus memperhatikan sumberdaya alam, budaya dan lingkungan supaya tidak terjadi degradasi. Potensi wisata yang ada juga harus didukung oleh faktor-faktor lain yang terkait seperti transportasi, pelayanan, promosi, informasi dan atraksi. Atraksi yang bagus dan etnik apabila tidak didukung ole h keempat faktor yang lain akan tidak mempunyai arti. Gambar 5 menunjukkan keterkaitan masing-masing komponen fungsi dari sisi sediaan wisata (Gunn 1994). Atraksi
Service
Transportasi
Promosi
Informasi
Gambar 5 Komponen Fungsi dari Sisi Persediaan (Gunn 1994)
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di kota Yogyakarta, meliputi 12 kelurahan dari 6 (enam) kecamatan. Lokasi penelitian merupakan suatu kawasan permukiman di wilayah sungai Code yang berada di tengah-tengah kota Yogyakarta. Unit analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah kelurahan, luas keseluruhan kelurahan dalam penelitian adalah 7,34 Km² (20,92%) dari 32,5 Km² (luas keseluruhan kota Yogyakarta). Sedangkan panjang sungai Code yang melintasi wilayah kota Yogyakarta 8,7 Km. Pengambilan data dilakukan selama 6 bulan mulai bulan Juli 2004 sampai Desember 2004. Tabel 1 dan Gambar 6 menunjukkan wilayah yang dijadikan lokasi penelitian. Tabel 1 Lokasi Penelitian No. Kecamatan 1. Jetis
Kelurahan 1. Cokrodiningratan 2. Gowongan
2.
Gondokusuman
1. Terban 2. Kotabaru
3.
Danurejan
1. Tegalpanggung 2. Suryatmajan
4.
Gondomanan
1. Ngupasan 2. Prawirodirjan
5.
Pakualaman
1. Purwokinanti
6.
Mergangsan
1. Wirogunan 2. Keparakan 3. Brontokusuman Jenis Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang dikumpulkan langsung di lapangan melalui wawancara dan kuesioner yang diberikan langsung kepada responden. Data sekunder merupakan data yang diperoleh melalui kantor pemerintah. Jenis dan informasi data yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.
Gambar 6 Lokasi Penelitian
36
Tabel 2 Jenis Data dalam Penelitian No. 1.
Data / Informasi Peta Rupa Bumi Lembar Yogyakarta Skala 1:25.000 ta hun 2000
Sumber BAKOSURTANAL
Jenis Data Sekunder
2.
Peta Penggunaan Lahan Skala 1:70.000
BAPPEDA Kota Yogyakarta
Sekunder
3.
Peta RTRW Kota Yogya Skala 1:10.000
BAPPEDA Kota Yogyakarta
Sekunder
4.
Kondisi fisik wilayah sungai Code (jenis tanah, kemiringan lahan, iklim, hidrologi)
BAPPEDA Kota Yogyakarta
Sekunder
5.
Sistem Kehidupan Masyarakat (jumlah penduduk, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, penghasilan)
Kantor kelurahan di wilayah studi, Masyarakat
Primer Sekunder
6.
Kondisi Sosial Masyarakat wilayah studi (karakteristik kemiskinan, kegiatan penduduk, kondisi perumahan, pendapatan perkapita, kepadatan penduduk)
Kantor kelurahan di wilayah studi, Masyarakat
Primer Sekunder
7.
Kepariwisataan Daerah (jumlah kunjungan wisata, jenis kegiatan wisata, sistem pengelolaan, kebijakan)
BPS, Diparda
Sekunder
8.
Pengembangan Wisata (potensi obyek, atraksi, akses, fasilitas, masyarakat)
Masyarakat
Primer
Metode dan Analisis Data Metode diartikan sebagai jalan atau cara yang harus ditempuh guna memperoleh pengetahuan tentang suatu hal (sasaran kajian), baik yang lalu, kini maupun yang akan datang, yang dapat terjadi dan yang akan terjadi (Ndraha 1996). Sedangkan penelitian ini adalah suatu kajian yang merupakan perencanaan kawasan sungai Code untuk dijadikan kawasan wisata budaya.
Metode Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei yang dianalisis secara deskriptif, spasial dan menggunakan skoring. Analisis deskriptif dimaksudkan untuk memberikan penjelasan dan uraian berdasarkan data dan informasi yang diperoleh selama penelitian. Menurut Nawawi (1995), metode deskriptif
diartikan
sebagai
prosedur
pemecahan
masalah
dengan
37
menggambarkan keadaan subyek/obyek penelitian berdasarkan fakta-fakta yang tampak dan usaha mengemukakan hubungan satu dengan yang lain di dalam aspek yang diselidiki. Sedangkan Arikunto (1989) menyatakan riset deskriptif yang bersifat eksploratif bertujuan untuk menggambarkan suatu keadaan atau status
fenomena.
Metode
penelitian
ini
digunakan
untuk
mendukung
perencanaan lanskap yang dilakukan. Analisis Data Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif, dan analisis spasial. 1. Analisis deskriptif, dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif digunakan untuk menentukan kawasan lindung, penyangga dan budidaya berdasarkan kriteria Sugandy (1984) dan model lanskap yang dikembangkan. Sedangkan analisis secara kuantitatif dilakukan untuk menentukan obyek wisata dengan menggunakan skoring. Analisis penentuan obyek wisata yang dapat dikembangkan di kawasan sungai Code dilakukan dengan metode skoring berdasarkan kriteria MacKinnon et al. (1986) dengan beberapa modifikasi yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan penelitian, yaitu: a. Letak/jarak kawasan terhadap pusat kota. b. Aksesibilitas ke kawasan tersebut mudah dan nyaman. c. Keaslian, keistimewaan/kekhasan kawasan. d. Atraksi, yang dikembangkan Koentjaraningrat (1990) dengan 7 unsur kebudayaan
masyarakat,
yaitu:
1)
sistem
religi,
2)
sistem
kemasyarakatan, 3) sistem mata pencaharian, 4) kesenian, 5) bahasa, 6) peralatan dan perlengkapan hidup dan 7) sistem pengetahuan. e. Daya tarik dan keunikan serta penampilan kawasan. f.
Fasilitas, sarana dan prasarana di lokasi yang mendukung bagi wisatawan. Untuk menetapkan obyek wisata terpilih yang potensial untuk
dipromosikan sebagai kawasan wisata alternatif di kota Yogyakarta, dilakukan proses evaluasi obyek wisata. Penentuan obyek wisata yang potensial dilakukan dengan cara scoring. Evaluasi ini dilakukan dengan menilai letak, aksesibilitas, keaslian, atraksi, daya tarik dan fasilitas pendukung. Nilai skor ditentukan dengan nilai 1 sampai 4. Skor 1 untuk kriteria sangat buruk, 2 untuk kriteria buruk, 3 untuk kriteria baik dan 4 untuk
38
kriteria sangat baik. Dasar pemberian skor dapat dilihat pada Tabel 3, Tabel 4 dan Tabel 5. Tabel 3 Kriteria Penilaian Kawasan Wisata Nilai No.
Faktor
1.
Letak dari pusat wisata
2.
Aksesibilitas
3.
1 (sangat buruk) Jarak > 1 km
2 (buruk)
3 (baik)
4 (sangat baik)
Jarak 500 m – 1000 m
Jarak 50 – 500 m
Jarak < 50 m
Jalan tanah
Jalan batu
Jalan aspal, lebar < 3 m
Jalan aspal, lebar > 3 m
Keaslian
Lanskap dan budaya asli sudah berubah sama sekali
Dominan budaya luar wilayah studi
Dominan budaya asli wilayah studi
Lanskap dan budaya asli wilayah studi
4.
Atraksi
Terdapat ( > 5 lokasi) sama dengan di tempat lain
Terdapat (3 – 5 lokasi) sama dengan di tempat lain
Terdapat ( < 3 lokasi) sama drengan di tempat lain
Hanya terdapat di wilayah studi
5.
Daya tarik
Terdapat ( > 5 lokasi) sama dengan di tempat lain
Terdapat (3 – 5 lokasi) sama dengan di tempat lain
Terdapat ( < 3 lokasi) sama dengan di tempat lain
Hanya terdapat di wilayah studi
6.
Fasilitas Pendukung
Prasarana dan sarana kurang tersedia
Prasarana dan sarana tersedia, kondisi kurang baik
Prasarana dan sarana tersedia, kondisi baik
Prasarana dan sarana tersedia, kondisi sangat baik
Tabel 4 Kriteria Penilaian Wisata Ekonomi Berbasis Budaya Nilai No.
Faktor
1.
Letak dari pusat wisata
2.
Aksesibilitas
3.
1 (sangat buruk) Jarak > 1 km
2 (buruk)
3 (baik)
4 (sangat baik)
Jarak 500 m – 1000 m
Jarak 50 – 500 m
Jarak < 50 m
Jalan tanah
Jalan batu
Jalan aspal, lebar < 3 m
Jalan aspal, lebar > 3 m
Atraksi
Terdapat ( > 5 lokasi) sama dengan di tempat lain
Terdapat (3 – 5 lokasi) sama dengan di tempat lain
Terdapat ( < 3 lokasi) sama drengan di tempat lain
Hanya terdapat di wilayah studi
4.
Daya tarik
Terdapat ( > 5 lokasi) sama dengan di tempat lain
Terdapat (3 – 5 lokasi) sama dengan di tempat lain
Terdapat ( < 3 lokasi) sama dengan di tempat lain
Hanya terdapat di wilayah studi
5.
Fasilitas Pendukung
Prasarana dan sarana kurang tersedia
Prasarana dan sarana tersedia, kondisi kurang baik
Prasarana dan sarana tersedia, kondisi baik
Prasarana dan sarana tersedia, kondisi sangat baik
39
Tabel 5 Kriteria Penilaian Atraksi Budaya Nilai No.
Faktor
1.
Sistem Religi
2.
Sistem Kemasyarakat an
3.
1 (sangat buruk) Tidak ada upacara keagamaan
2 (buruk)
3 (baik)
4 (sangat baik)
Ada upacara keagamaan, tetapi tidak dilakukan
Ada upacara keagamaan, jarang dilakukan
Ada upacara keagamaan, secara periodik dilakukan
Tidak ada yang spesifik
Asimilasi, sistem masyarakat modern lebih dominan
Asimilasi, sistem masyarakat lokal yang dominan
Sistem masyarakat lokal yang dilakukan
Sistem Mata Pencaharian
Tidak ada mata pencaharian yang spesifik
Ada (< 3) mata pencaharian yang spesifik
Ada (3 – 5) mata pencaharian yang spesifik
Ada (> 5) mata pencaharian yang spesifik
4.
Kesenian
Tidak ada kesenian yang dapat ditonjolkan
Ada (< 3) kesenian yang dapat ditonjolkan
Ada (3 – 5) kesenian yang dapat ditonjolkan
Ada (> 5) kesenian yang dapat ditonjolkan
5.
Bahasa
Tidak ada bahasa asli
Asimilasi, bahasa asing yang dominan
Asimilasi, bahasa asli yang dominan
Selalu menggunakan bahasa asli
6.
Peralatan & Perlengkapan Hidup Sistem Pengetahuan
Tidak ada yang spesifik
Ada 1 yang spesifik
Ada 2 – 3 yang spesifik
Lebih dari 3 yang spesifik
Masyarakat terbelakang
75% masyarakat terbelakang
50% masyarakat terbelakang
25% masyarakat terbelakang
7.
Selanjutnya dilakukan penjumlahan nilai skor pada masing-masing kriteria. Nilai skor dimasukkan ke dalam kriteria kesesuaian sebagai kawasan wisata mulai dari kawasan yang sangat potensial sampai ke kawasan yang tidak potensial. Penentuan kelas kesesuaian sebagai berikut: ∑ skor maksimal – ∑ skor minimal Selang kelas kesesuaian = ___________________________ ∑ kriteria kesesuaian Kriteria masing-masing kawasan wisata adalah sebagai berikut: -
Kawasan Wisata Budaya
Skor maksimal 24, skor minimal 6, jumlah kriteria kesesuaian 4. Dari hasil tersebut maka skor 6 – 10 merupakan kawasan yang tidak potensial sebagai kawasan wisata budaya; 11 – 15 kurang potensial; 16 – 19 potensial dan 20 – 24 sangat potensial.
40
-
Kawasan Wisata Ekonomi berbasis budaya Skor maksimal 20, skor minimal 5, jumlah kriteria kesesuaian 4. Dari hasil tersebut maka skor 5 – 8 merupakan kawasan yang tidak potensial sebagai kawasan wisata ekonomi berbasis budaya; 9 – 12 kurang potensial; 13 – 16 potensial dan 17 – 20 sangat potensial.
-
Atraksi Budaya
Skor maksimal 28, skor minimal 7, jumlah kriteria kesesuaian 4. Dari hasil tersebut maka skor 7 – 12 merupakan kawasan yang atraksi budayanya tidak potensial; 13 – 17kurang potensial; 18 – 22 potensial dan 23 – 28 sangat potensial. 2. Analisis spasial, dilakukan untuk menentukan tataruang lanskap dan tataruang wisata di kawasan studi menggunakan sistem informasi geografi dan secara manual berdasarkan konsep wisata Gunn (1994). Proses analisis spasial dilakukan dengan cara: -
Membagi kawasan sungai Code ke dalam zonasi perlindungan kawasan berdasarkan kemiringan lahan sehingga diperoleh kawasan lindung, kawasan penyangga dan kawasan budidaya.
-
Memetakan hasil skoring kriteria kawasan wisata budaya sehingga diperoleh kawasan yang berpotensi dan kawasan yang kurang potensi untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata budaya.
-
Memetakan hasil skoring kriteria kawasan wisata ekonomi berbasis budaya sehingga diperoleh kawasan yang berpotensi dan kawasan yang kurang potensi untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata ekonomi berbasis budaya.
-
Memetakan hasil skoring kriteria atraksi wisata budaya sehingga diperoleh kawasan yang mempunyai potensi dan kawasan yang kurang mempunyai potensi atraksi wisata budaya.
-
Meng-overlay-kan kawasan wisata budaya, kawasan wisata ekonomi dan atraksi wisata budaya yang ada wilayah sungai Code sehingga diperoleh kawasan yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata budaya dan kawasan wisata ekonomi berbasis budaya.
-
Meng-overlay-kan kawasan wisata bud aya dengan zonasi perlindungan kawasan sehingga terbentuk suatu kawasan yang dapat dikembangkan sebagai kawasan wisata budaya dengan memperhatikan kondisi fisik kawasan.
41
Perencanaan Model Konseptual Pengembangan Kawasan Metode
perencanaan
lanskap
yang
digunakan
adalah
metode
perencanaan dengan pendekatan sisi sediaan wisata yang meliputi atraksi, servis,
transportasi,
informasi
dan
promosi
(Gunn
1994).
Rencana
pengembangan lanskap wisata budaya dalam bentuk tata ruang wisata dan touring system (jalur wisata). Pembuatan model konseptual dilakukan berdasarkan deskripsi kawasan dengan meng-overlay-kan zona perlindungan kawasan dan zona wisata sehingga akan diperoleh peta yang menunjukkan potensi pengembangan kawasan wisata di kawasan sungai Code. Pengembangan potensi yang ada diarahkan kepada pengembangan wisata budaya yang ada di kawasan tersebut. Hasil penelitian yang akan diperoleh berupa model grafis/arsitektural dalam skala planning untuk penataan kawasan Sungai Code, Kota Yogyakarta.
Batasan Istilah Lanskap Bantaran Sungai adalah suatu kawasan yang berada di sepanjang aliran sungai dengan segala kehidupan dan elemen yang ada, termasuk struktur dan fungsi yang ada di dalam lingkungan tersebut Pariwisata adalah
industri yang memanfaatkan lingkungan, budaya
maupun aset wisata lainnya dengan tujuan agar wisatawan mendapatkan rekreasi. Wisata Budaya adalah kegiatan wisata dengan atraksi utamanya adalah sumberdaya budaya, meliputi tapak (pra sejarah dan bersejarah), tempat berbagai etnik dan tempat suatu pengetahuan dan pendidikan, lokasi industri, pusat perbelanjaan, pusat bisnis, tempat pementasan seni, museum, galeri, tempat hiburan, kesehatan, olah raga dan keagamaan. Obyek Wisata Budaya adalah tempat yang diwariskan dari kegiatan manusia di masa lalu dengan cara mengubah nilai-nilai alami yang ada dan disesuaikan dengan kebutuhan mereka sehingga kawasan tersebut menjadi harmonis, menyenangkan dan mempunyai daya tarik tertentu. Sistem Kehidupan masyarakat adalah suatu sistem yang terkait dengan nilai dan norma kehidupan sosial yang dianut dan dikembangkan oleh suatu masyarakat. Tata Ruang Wisata adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang wisata, baik direncanakan maupun tidak.
42
Lanskap Wisata Budaya adalah suatu kawasan geografis dimana ditampilkan ekspresi lanskap alami oleh suatu kebudayaan tertentu dan telah memiliki permintaan secara ekonomi terhadapnya untuk kebutuhan wisata budaya. Zona Kawasan Lindung, yaitu zona perlindungan kawasan yang dilindungi, dalam artian tidak boleh diubah dan dibiarkan sesuai dengan kondisi aslinya. Zona Kawasan Penyangga yaitu zona perlindungan kawasan yang bisa diperbaiki keadaannya sehingga bisa dikembalikan pada kondisi yang lebih baik, digunakan sebagai batas antara kawasan lindung dan kawasan budidaya. Zona Kawasan Budidaya, yaitu zona perlindungan kawasan yang dapat diubah dan dimanfaatkan oleh manusia. Zona Wisata Sosial Budaya, yaitu zona wisata budaya yang didasarkan pada kehidupan sehari-hari masyarakat setempat dan kebudayaan yang ada. Zona Wisata Sosial Ekonomi , yaitu zona wisata berorientasi pada penghasilan yang lebih baik, tanpa ataupun dengan mempertimbangkan kondisi budaya yang ada Konsep Wisata Budaya adalah konsep wisata yang didasarkan pada kebudayaan suatu wilayah, berdasarkan teori wisata yang ada.
43
KEADAAN UMUM KOTA YOGYAKARTA Kondisi Geografis dan Administratif Kota Yogyakarta terletak pada 7 o 49’ 26” – 7o 15’ 24” LS dan 110 o 24’ 19” – 110o 28’ 53” BT pada ketinggian rata-rata 114 m dpl dengan suhu rata-rata sebesar 26,7oC, kelembaban rata-rata sebesar 78%, curah hujan sebesar 2.101 mm/th dengan 119 hari hujan dan kecepatan angin rata-rata sebesar 5 – 16 knot/jam. Kota Yogyakarta berbatasan dengan wilayah kabupaten lain yang ada di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu: Utara
:
Kabupaten Sleman
Timur
:
Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman
Selatan :
Kabupaten Bantul
Barat
Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman
:
Secara umum, kota Yogyakarta merupakan dataran rendah dengan kemiringan yang relatif sama yaitu sekitar 0,5% - 2%, kecuali di beberapa tempat terutama di daerah pinggiran sungai. Ketinggian wilayah dari permukaan laut adalah 114 m dpl dimana sebagian wilayahnya (luas ± 1.657 ha) terletak pada ketinggian kurang dari 100 m, dan sisanya (1.593 ha) berada pada ketinggian antara 100 – 199 m. Terdapat 3 sungai yang melintasi kota Yogyakarta yaitu Sungai Gajah Wong yang mengalir di bagian timur kota, Sungai Code di bagian tengah dan Sungai Winongo di bagian barat kota. Kondisi tanah kota Yogyakarta memungkinkan dan berpotensi untuk ditanami berbagai tanaman pertanian maupun perdagangan. Hal ini disebabkan letak kota Yogyakarta yang berada di dataran lereng gunung Merapi yang didominasi oleh tanah regosol atau tanah vulkanis muda yang subur untuk tanah pertanian. Kota Yogyakarta memiliki luas wilayah paling kecil dibanding daerah tingkat II lainnya di DIY, yaitu 32,5 km2 atau 1,02% luas wilayah Pr opinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Secara
administratif
pemerintahan,
wilayah
kota
Yogyakarta terdiri dari 14 wilayah kecamatan dan 45 kelurahan yang dibentuk berdasarkan
keputusan
MENDAGRI
No.140-263
tentang
pembentukan
kelurahan-kelurahan di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Sejak tahun 1989 Rukun Kampung ditiadakan dan digantikan dengan Rukun Warga dengan jumlah Rukun Warga ada sebanyak 616 buah dan Rukun Tetangga sebanyak 2.518
44
buah. Kecamatan yang terluas adalah kecamatan Umbulharjo, kemudian diikuti oleh kecamatan Gondokusuman dan Kotagede. Pembagian wilayah di kota Yogyakarta dapat dilihat pada Tabel 6. Gambar 7 menunjukkan wilayah administratif kota Yogyakarta.
Gambar 7 Peta Administrasi Kota Yogyakarta
45
Tabel 6 Pembagian Wilayah Kota Yogyakarta No. 1.
Kecamatan Mantrijeron
Kelurahan a. Gedongkiwo b. Suryodiningratan c. Mantrijeron
2.
Kraton a. Patehan b. Kraton c. Kadipaten
3.
Mergangsan a. Brontokusuman b. Keparakan c. Wirogunan
4.
Umbulharjo a. Giwangan b. Sorosutan c. Pandeyan d. Warungboto e. Tahunan f. Muja Muju g. Semaki
5.
Kotagede a. Prenggan b. Purbayan c. Rejowinangun
6.
Gondokusuman a. Baciro b. Demangan c. Klitren d. Kotabaru e. Terban
7.
Danurejan a. Suryatmajan b. Tegalpanggung c. Bausasran
8.
Pakualaman a. Purwokinanti b. Gunungketur
9.
Gondomanan a. Prawirodirjan b. Ngupasan
10.
Ngampilan a. Notoprajan b. Ngampilan
11.
Wirobrajan a. Patangpuluhan b. Wirobrajan c. pakuncen
12.
Gedongtengen a. Pringgokusuman b. Sosromenduran
13.
Jetis a. Bumijo b. Gowongan c. Cokrodiningratan
14.
Tegalrejo a. Tegalrejo b. Bener c. Kricak d. Karangwaru JUMLAH
Luas Wilayah (Km 2) 2,61 0,90 0,85 0,86 1,40 0,40 0,66 0,34 2,31 0,93 0,53 0,85 8,12 0,66 1,53 0,78 0,83 1,38 1,68 1,26 3,07 1,25 0,99 0,83 3,99 0,74 0,71 0,68 1,06 0,80 1,10 0,28 0,35 0,47 0,63 0,30 0,33 1,12 0,67 0,45 0,82 0,37 0,45 1,76 0,44 0,67 0,65 0,96 0,46 0,50 1,70 0,58 0,46 0,66 2,91 0,82 0,70 0,82 0,57 32,5
Sumber : Yogyakarta dalam Angka tahun 2002
Persentase (%) 8,03
4,31
7,11
24,98
9,45
12,28
3,38
1,94
3,45
2,52
5,41
2,95
5,23
8,95
100
46
Kondisi Iklim Wilayah kota Yogyakarta merupakan bagian dari daratan kaki fluvio vulkanik Merapi, yang mempunyai air tanah dan permukaan yang cukup melimpah dengan kedalaman air tanah antara 0,5 m – 20 m. Semakin ke hilir permukaan air tanah semakin dangkal dan tercemar. Pencemaran air kebanyakan disebabkan praktek-praktek sanitasi yang buruk, baik pada lingkungan permukiman maupun non permukiman. Kondisi iklim di kota Yogyakarta juga menunjukkan cukup terjaminnya air di wilayah kota Yogyakarta. Tabel 7 menunjukkan kondisi iklim di kota Yogyakarta. Tabel 7 Kondisi Iklim di Kota Yogyakarta Curah Hujan (mm) 1 Januari 385 2 Februari 324 3 Maret 316 4 April 152 5 Mei 131 6 Juni 57 7 Juli 54 8 Agustus 21 9 September 36 10 Oktober 114 11 November 224 12 Desember 287 Rata-rata 175,1 Sumber: BMG Kota Yogyakarta, 2000 No.
Bulan
o
Suhu ( C) 26,7 27,0 26,7 27,2 27,0 26,4 25,9 26,2 27,0 27,0 27,0 27,0 26,7
Kelembaban (%) 83 83 83 80 79 76 75 72 72 76 79 80 78
Kondisi Penduduk Jumlah penduduk di kota Yogyakarta tersebar pada 14 kecamatan dengan jumlah penduduk pada tahun 1990 sebesar 412.059 jiwa, tahun 2000 sebesar 496.625 jiwa dan pada tahun 2001 berjumlah 502.866 jiwa. Laju pertumbuhan penduduk terbesar dalam kurun waktu 11 tahun (1990-2001) yaitu di kecamatan Kraton (3,15%) dan yang terkecil adalah di kecamatan Wirobrajan. Besarnya laju pertumbuhan penduduk dari masing-masing kecamatan dalam kurun waktu 1990 – 2001 dapat dilihat pada Tabel 8.
47
Tabel 8 Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Menurut Kecamatan Tahun 1990 – 2001 Jumlah Penduduk (Jiwa) No.
Kecamatan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
1990
Kraton 22.807 Danurejan 23.430 Mergangsan 32.188 Gondokusuman 56.561 Jetis 30.603 Kotagede 23.297 Tegalrejo 32.168 Pakualaman 12.181 Mantrijeron 32.845 Umbulharjo 58.026 Gedongtengen 22.825 Gondomanan 17.659 Ngampilan 20.494 Wirobrajan 26.975 Total 412.059 Sumber: Kota Yogyakarta dalam Angka, 2002
2000
2001
31.763 30.431 41.155 72.233 37.552 27.733 38.350 14.608 38.736 65.252 25.915 20.130 22.989 29.778 496.625
32.072 30.614 41.783 72.719 37.812 28.408 39.080 14.790 39.224 66.912 26.118 20.210 23.009 30.115 502.866
Laju Pertumb. (%) 3,15 2,46 2,40 2,31 1,94 1,82 1,79 1,78 1,63 1,30 1,23 1,23 1,06 1,01 1,83
Dari jumlah penduduk seperti yang tertera pada Tabel 7, penduduk yang termasuk kategori penduduk miskin sebagian besar berada di wilayah yang dilalui oleh sungai. Proporsi orang miskin di kota Yogyakarta relatif besar bila dilihat dari jumlah penduduknya, yaitu sekitar 31% KK (1999) dan meningkat lebih kurang 14% dari tahun sebelumnya. Tabel 9 menggambarkan karakteristik kemiskinan di kota Yogyakarta. Tabel 9 Karakteristik Kemiskinan Kota Yogyakarta No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Kecamatan KK Miskin (KK) Umbulharjo 13.023 Jetis 7.231 Tegalrejo 8.798 Mantrijeron 7.703 Gondokusuman 10.149 Mergangsan 7.641 Gedongtengen 5.577 Danurejan 6.231 Kraton 6.023 Wirobrajan 6.530 Kotagede 6.825 Ngampilan 5.287 Gondomanan 4.531 Pakualaman 2.861 TOTAL 101.536 Sumber: Kota Yogyakarta dalam angka, 2000
Orang Miskin (Jiwa) 13.112 13.032 12.153 10.192 11.543 7.642 6.665 6.642 7.254 5.957 5.230 5.045 3.852 3.181 108.374
Permasalahan yang melingkupi kelompok miskin ini terutama adalah masalah rendahnya kualitas sumberdaya manusia dari segi pendidikan dan ketrampilan, rendahnya pendapatan, rendahnya akses kepada sumberdaya ekonomi dan terdapatnya kondisi sosial budaya yang tidak kondusif terhadap sikap produktif. Implikasi peningkatan proporsi KK miskin antara lain ditandai
48
dengan peningkatan jumlah penyandang masalah kesejahteraan sosial, terutama anak terlantar, anak jalanan dan jumlah lansia terlantar. Tabel 10 menggambarkan kegiatan penduduk berdasarkan umur. Tabel 10 Kegiatan penduduk menurut umur Umur (Tahun)
Bekerja (Jiwa)
15 – 19 1.285 20 – 24 302 25 – 29 3.352 30 – 34 4.672 35 – 39 4.280 40 – 44 4.025 45 – 49 3.341 50 – 54 1.845 55 – 59 1.159 60 – 64 628 > 65 761 JUMLAH 22.476 Sumber: Sensus Penduduk 2000, BPS
Cari Kerja (Jiwa) 81 455 658 255 143 74 36 27 0 0 0 1.729
Sekolah (Jiwa) 1.733 2.369 2.433 288 81 23 14 10 3 0 0 3.434
Lainnya (Jiwa) 318 2.325 4.807 5.766 5.287 4.477 3.620 2.590 2.091 1.963 4.481 37.72 5
Kondisi kemiskinan kota yang demikian juga berpengaruh terhadap pada kondisi perumahan yang ada di kota Yogyakarta. Sebagian dari rumah penduduk merupakan rumah semi permanen dan bahkan ada yang merupakan bangunan temporer, seperti pada Tabel 11. Tabel 11 Komposisi Perumahan di Kota Yogyakarta (Buah) No.
Kecamatan
Permanen
1. Umbulharjo 11.430 2. Gondokusuman 6.439 3. Mantrijeron 5.776 4. Kotagede 4.259 5. Tegalrejo 4.840 6. Wirobrajan 3.116 7. Jetis 2.998 8. Danurejan 2.815 9. Mergangsan 2.732 10. Gedongtengen 2.687 11. Ngampilan 1.919 12. Gondomanan 1.842 13. Pakualaman 1.668 14. Kraton 1.351 Sumber: Kota Yogyakarta dalam angka, 2000
Semi Permanen 520 1.316 1.678 470 814 994 1.540 746 2.946 1.332 890 600 378 2.249
Temporer 0 452 239 386 987 408 795 2.350 0 0 114 118 120 883
Kepadatan penduduk terbesar di kota Yogyakarta pada tahun 1990 yaitu di kecamatan Ngampilan dan yang terkecil (jarang penduduknya) yaitu di kecamatan Umbulharjo. Sedangkan pada tahun 2001 kecamatan Ngampilan masih tetap sebagai kecamatan yang terpadat yaitu 28.060 jiwa/km2, dan kecamatan Umbulharjo juga masih sebagai kecamatan dengan tingkat kepadatan penduduk yang terendah yaitu sebesar 8.240 jiwa/km2 . Tabel 12 menggambarkan kepadatan penduduk per kecamatan di kota Yogyakarta.
49
Tabel 12 No.
Kepadatan Penduduk di Kota Yogyakarta Menurut Kecamatan Tahun 1990 dan 2001 Kecamatan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
2
Luas (Km )
Umbulharjo Gondokusuman Kotagede Tegalrejo Mantrijeron Mergangsan Wirobrajan Jetis Kraton Gondomana n Danurejan Gedongtengen Ngampilan Pakualaman Jumlah Sumber : Kota Yogyakarta dalam
8,12 3,99 3,07 2,91 2,61 2,31 1,76 1,7 1,4 1,12 1,1 0,96 0,82 0,63 32,5 angka, 2002
2
Kepadatan Penduduk (Jiwa/km ) 1990 2001 7.146 8.240 14.176 18.225 7.589 9.253 11.054 13.430 12.584 15.028 13.934 18.088 15.327 17.111 18.002 22.242 16.291 22.909 15.767 18.045 21.300 27.831 23.776 27.206 24.993 28.060 19.335 23.476 12.679 15.473
Kondisi Ekonomi Wilayah Pertumbuhan ekononomi kota Yogyakarta pertahun untuk periode 1993 – 1997 sebesar 8.10% dan periode 1998 – 2000 sebesar 6.44%.Turunnya pertumbuhan ekonomi ini diakibatkan adanya krisis ekonomi yang berkepanjangan di Indonesia. Struktur ekonomi Pendapatan Daerah Regional Bruto Kota Yogyakarta lebih banyak dipengaruhi oleh sektor jasa (termasuk pariwisata) sebesar 26.31%; sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 19.46%; sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan sebesar 18.04% dan sektor pengangkutan dan transmigrasi sebesar 15.42%. Sedangkan sektor pertanian dalam skala luas, pertambangan dan penggalian serta listrik, air dan gas memberikan kontribusi yang kecil, yaitu kurang dari 1,2%. Kondisi pendapatan perkapita dan laju pertumbuhan ekonomi per tahun di kota Yogyakarta dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13 Tahun 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 Sumber:
Perdapatan regional per kapita harga berlaku dan konstan
dan laju pertumbuhan atas dasar
Pendapatan Regional per Kapita (Rp) Berlaku Konstan 2.863.401 2.858.423 3.283.288 3.154.390 3.715.458 3.455.265 4.146.571 3.633.649 5.221.773 3.242.391 5.874.084 3.371.403 6.445.723 3.698.525 Bappeda Kota Yogyakarta, 2001
Laju Pertumbuhan Ekonomi (%) 8,57 9,94 9,12 4,76 -11,11 3,62 9,25
50
Kondisi Pariwisata Potensi wisata kota Yogyakarta terutama berasal dari budaya masyarakat kota Yogyakarta sendiri. Segala sendi kehidupan kebudayaan masyarakat di kota Yogyakarta mempunyai daya jual yang cukup tinggi untuk wisatawan mancanegara
dan
wisatawan nusantara.
Selain kebudayaan tradisional
masyarakat, potensi wisata kota Yogyakarta juga mengandalkan wisata belanja, baik yang tradisional maupun modern. Keberadaan museum, bangunan bersejarah dan karakteristik masyarakatnya juga merupakan daya tarik tersendiri bagi kota Yogyakarta. Akan tetapi, dari 129 aset budaya fisik yang telah diinventarisasi, 8% diantaranya dibiarkan saja tanpa ada tindakan pelestarian disamping masih kurangnya sarana untuk mengekspresikan budaya Yogyakarta seperti galeri dan gedung pertunjukan (Yogyakarta dalam angka 2002). Melihat jumlah wisatawan yang berkunjung ke kota Yogyakarta, juga menunjukkan bahwa kota Yogyakarta masih menjadi kota tujuan wisata baik bagi wisatawan mancanegara maupun wisatawan nusantara. Pada tahun 1997, jumlah kunjungan wisatawan nusantara mencapai 1.016.742 jiwa dan wisatawan nusantara 204.938. Pada tahun tersebut merupakan tahun keemasan bagi kunjungan wisatawan ke Yogyakarta. Akibat adanya suksesi kepemimpinan dan krisis moneter yang berkepanjangan, jumlah wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta menurun. Kondisi ini berlanjut sampai tahun 2001, dimana kunjungan wisatawan nusantara sebanyak 529.828 jiwa dan wisatawan mancanegara 46.997. Tahun 2002 kunjungan wisatawan ke Yogyakarta kembali meningkat. Tabel 14 menunjukkan jumlah kunjungan wisata ke kota Yogyakarta.
Tabel 14 Jumlah kunjungan wisata ke Kota Yogyakarta (Jiwa) Tahun Kunjungan Jumlah Wisatawan Wisata Nusantara Mancanegara 1997 1.016.742 204.938 1998 743.739 75.254 1999 803.910 84.386 2000 790.716 64.599 2001 529.828 46.997 2002 816.769 84.490 2003 1.306.253 64.624 Sumber: Kota Yogyakarta dalam angka, Diparda (1997-2003)
Total 1.221.680 818.993 888.296 855.315 576.825 901.250 1.370.877
Keberadaan fasilitas pendukung wisata yang ada di kota Yogyakarta dapat dikatakan memadai. Tingkat hunian penginapan yang cukup tinggi terutama pada
51
saat liburan menjadi salah satu tolok ukur ketersediaan fasilitas pendukung wisata. Sebagian besar wisatawan yang berkunjung ke kota Yogyakarta akan meginap di pusat kota, terutama di sekitar kawasan Malioboro. Perkembangan persentase tingkat hunian hotel dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15
Persentase tingkat hunian kamar dan pemakaian tempat tidur hotel di DIY
Tahun Tingkat Hunian Kamar (%) 1997 38,06 1998 30,52 1999 33,34 2000 40,38 2001 37,52 2002 37,61 2003 39,39 Sumber: DIY dalam angka (1997 – 2003)
Tingkat Pemakaian Tempat Tidur (%) 40,02 32,96 38,82 48,25 41,54 46,95 51,62
Tabel 15 menunjukkan, bahwa tingkat hunian kamar di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengalami fluktuasi. Banyaknya tamu menginap di DIY paling tinggi pada tahun 2000 dengan tingkat hunian hotel sebesar 40,38% dan terendah pada tahun 1998 sebesar 30,52. Rendahnya tingkat hunian di tahun 1998 dikarenakan kondisi politik Indonesia yang tidak stabil akibat suksesi kepemimpinan yang terjadi. Hal tersebut sangat mempengaruhi kunjungan wisata ke DIY umumnya dan kota Yogyakarta khususnya. Disamping itu, juga terjadinya krisis moneter berkepanjangan yang menimpa Indonesia. Kunjungan wisatawan ke kota Yogyakarta juga ditunjukkan dengan lamanya tamu menginap di Yogyakarta (Tabel 16).
Tabel 16
Perkembangan Lama Menginap Tamu di DIY
Jenis Wisatawan Asing Domestik 1997 2.43 2,10 1998 3.44 2,44 1999 3,53 2,32 2000 2,82 2,19 2001 3,28 1,79 2002 3,49 1,75 2003 3,81 1,79 Sumber: DIY dalam Angka (1997 – 2003) Tahun
Rata-rata Lama Menginap (hari) 2,27 2,94 2,93 2,50 2,54 2,62 2,80
Secara umum, wisatawan asing akan lebih lama menginap di Yogyakarta dibanding wisatawan domestik. Wisatawan asing yang berkunjung ke Yogyakarta rata-rata akan menginap selama 3 hari, sedangkan wisatawan domestik
52
menginap selama 1 – 2 hari. Rendahnya lama tinggal wisatawan disebabkan sedikitnya obyek wisata yang ada di kota Yogyakarta, selain juga jenuhnya wisatawan dengan obyek wisata yang telah ada. Selain itu, terutama untuk wisatawan domestik,
kunjungan wisata umumnya hanya dilakukan di akhir
pekan sehingga lama tinggalnya pun menjadi sebentar. Sedangkan untuk wisatawan mancanegara, kunjungan wisata yang dilakukan umumnya untuk jangka waktu yang lebih lama, sehingga masa tinggalnya pun relatif lebih lama.
Obyek Wisata Obyek wisata yang ada di kota Yogyakarta meliputi museum, Kraton Yogyakarta, Taman Sari, kebun binatang, serta kawasan Malioboro dan sekitarnya. Sedangkan peninggalan sejarah seperti candi dan pantai semuanya terletak di luar kota Yogyakarta seperti di kabupaten Sleman, Bantul, Kulonprogo dan Gunung Kidul. Besarnya animo wisatawan untuk berkunjung ke kota Yogyakarta lebih banyak karena wisata belanja yang ada di kawasan Malioboro dan Pasar Beringharjo. Sedangkan wisatawan asing umumnya lebih menyukai wisata budaya seperti yang ada di Jalan Prawirotaman yang merupakan sentra dan showroom bagi berbagai kerajinan asli daerah. Obyek wisata alternatif merupakan salah satu harapan dari wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta, terutama wisatawan asing yang lebih menyukai kondisi alami dan kebudayaan dari daerah setempat.
53
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Fisik Kawasan Sungai Code Sungai Code yang melintas ditengah kota Yogyakarta melewati 12 kelurahan dari 6 kecamatan (Gambar 9). Sungai ini berhulu di kaki Gunung Merapi, yang merupakan tumpuan kehidupan bagi banyak penduduk kota. Sungai Code yang melintasi kota Yogyakarta sepanjang 8,7 Km dan sebagian besar bantaran sungainya sudah digunakan sebagai permukiman penduduk. Gambar 8 menunjukkan kondisi sungai Code.
a
b
c
d
Gambar 8 Kondisi bantaran sungai Code (a) Bantaran sungai Code bagian utara; (b, c) Bantaran sungai Code bagian tengah; (d) Bantaran sungai Code bagian selatan
54
Gambar 9 Peta Kawasan Studi
55
Topografi Wilayah sungai Code mempunyai jenis tanah Regosol dengan kelandaian lereng / tebing sungai yang bervariasi mulai sangat tinggi di bagian utara dan menuju ke selatan semakin landai. Ketinggian kawasan sungai Code antara 100 – 199 m dengan beberapa lokasi yang mempunyai kemiringan cukup terjal. Kondisi kemiringan lahan dari wilayah sungai Code dapat dilihat dalam Tabel 17. Gambar 10 menunjukkan posisi kota Yogyakarta terhadap gunung Merapi. Tabel 17 Kondisi kemiringan kawasan studi Luas (Ha) 0– 2 % 2 – 15 % 15 – 40 % 1. Kec. Jetis 111 55 7 2. Kec. Gondokusuman 340 66 4 3. Kec. Danurejan 96 13 2 4. Kec. Pakualaman 62 3 5. Kec. Gondomanan 50 65 6. Kec. Mergangsan 206 28 Jumlah 865 230 13 Sumber: Kota Yogyakarta dalam angka, BPS (2002) No.
Wilayah Studi
>40 % 1 1
Wilayah kota Yogyakarta Gunung Merapi
Gambar 10 Posisi kota Yogyakarta terhadap gunung Merapi Tabel 17 menunjukkan bahwa wilayah Sungai Code yang mempunyai kelerengan paling tajam di daerah kecamatan Jetis dengan kelerengan lebih dari 40 % sebesar 1 hektar yang tersebar ke beberapa tempat, umumnya di daerah pinggir sungai. Daerah tersebut saat ini umumnya digunakan sebagai tempat permukiman penduduk. Sedangkan kelerengan yang cukup tajam, yaitu antara 15 – 40 % terdapat di 3 kecamatan, yaitu kecamatan Jetis , Gondokusuman dan Danurejan yang rata-rata juga tersebar ke beberapa bagian di daerah bantaran
56
sungai. Sama halnya dengan kondisi kelerengan lebih dari 40 %, pada daerah yang mempunyai kelerengan 15 – 40 % ini juga sebagian besar telah digunakan sebagai tempat tinggal bagi sebagian penduduk di bantaran sungai Code. Rumah-rumah tersebut dibangun di atas talud yang sudah dibuat oleh pemerintah setempat. Pentaludan tersebut telah mengakibatkan perubahan pola aliran air sehingga mengikis dasar talud dan dapat mengancam keberadaan talud itu sendiri (Setiawan dan Utiyati 2003). Penggunaan
kawasan
lindung
sebagai
permukiman
penduduk
membahayakan keberadaan sungai dan permukiman tersebut. Pada wilayah yang mempunyai kemiringan tinggi diusulkan dilakukan pembuatan terasering sehingga laju pergerakan air di permukaan tanah dapat dikurangi. Selain itu, penggunaan tanaman juga dapat dilakukan untuk mengurangi besarnya air yang jatuh ke bumi sehingga erosi permukaan dapat dikurangi juga. Penggunaan tanaman ini juga dapat memperbesar infiltrasi karena tanah tidak tertutup perkerasan sehingga aliran permukaan juga dapat dikurangi.
Pada daerah
permukiman penduduk, untuk mempertahankan kondisi tanah dan air yang ada maka perlu dilakukan penanaman tanaman tahunan di sela-sela permukiman sehingga dapat mengikat air dan mengurangi erosi permukaan yang terjadi. Berdasarkan klasifikasi Sugandy (1984), maka penggunaan lahan di daerah bantaran sungai Code pada beberapa tempat sangat berbahaya. Pada daerah dengan kelerengan lebih dari 25 % seharusn ya sudah dijadikan kawasan penyangga. Pada kelerengan > 45 % maka wilayah tersebut sudah menjadi kawasan lindung. Gambar 11 menunjukkan peta topografi kawasan sungai Code. Pembangunan di daerah lindung ini lebih disebabkan karena terbatasnya lahan permukiman dengan nilai ekonomi yang terjangkau di kota Yogyakarta terutama bagi masyarakat menengah ke bawah. Keterbatasan peluang ekonomi menyebabkan pemukiman di daerah marjinal pinggiran sungai semakin tinggi. Hal yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan aturan yang ketat tentang pembangunan fisik terutama di bantaran sungai selain juga dilakukan perbaikan terhadap kesejahteraan masyarakatnya. Disamping itu, untuk mencegah kerusakan DAS yang lebih besar perlu dilakukan penetapan zona-zona kawasan yang da pat dikembangkan untuk pembangunan dan pelestarian. Pada daerahdaerah yang masih bisa ditanami tanaman, maka dapat dilakukan penanaman tanaman asli kawasan seperti beringin dan bambu. Selain untuk menjaga kelangsungan air dan mencegah erosi yang terjadi, tanaman tersebut juga
57
mempunyai nilai budaya tinggi bagi masyarakat Jawa. Gambar 12 menunjukkan ilustrasi penanaman vegetasi di permukiman penduduk.
Gambar 11 Peta Topografi
58
Gambar 12 Ilustrasi penanaman vegetasi di permukiman penduduk (Samekto, 2002) Semakin ke selatan, kelerengan di daerah bantaran Sungai Code semakin rendah, yaitu antara 0 – 15 %. Dari wilayah studi yang digunakan, kelerengan yang agak tinggi sebagian besar berada tepat di pinggir sungai. Di daerah aliran Sungai Code di bagian selatan, muka air semakin dekat dengan permukiman penduduk, namun lebar sungai semakin besar. Besarnya lebar sungai yang ada di bagian selatan ini tidak diimbangi dengan banyaknya air yang ada di sungai. Hal ini disebabkan karena adanya pendangkalan sungai. Kota Yogyakarta mempunyai curah hujan yang cukup tinggi, yaitu 2101 mm/tahun atau lebih kurang 175 mm/bulan. Curah hujan tinggi terjadi antara bulan Oktober sampai dengan Mei, yaitu lebih dari 100 mm/bulan. Sedangkan pada bulan Juni sampai Agustus, curah hujan yang terjadi rendah (< 60 mm/bulan). Besarnya curah hujan yang terjadi di Yogyakarta dan letak kota Yogyakarta yang berada di kaki gunung Merapi menyebabkan wilayah ini mempunyai ketersediaan air cukup banyak. Sedangkan suhu rata-rata di wilayah studi sebesar 26,7 oC dengan kelembaban sebesar 78%.
59
Hidrologi Kedalaman air tanah di wilayah sungai Code berkisar antara 7 – 15 m di bagian utara dan kurang dari 7 m di bagian selatan. Kelulusan air di wilayah sungai Code sedang sampai besar yang menyebabkan cukup tersedianya air tanah (Tabel 18). Tabel 18 Kedalaman dan kelulusan air di kawasan studi No. 1.
Wilayah Studi Kedalaman Air Tanah (m) Kecamatan Jetis: a. Cokrodiningratan 7 – 15 b. Gowongan 7 – 15 2. Kecamatan Gondokusuman: a. Terban 7 – 15 b. Kotabaru 7 – 15 3. Kecamatan Danurejan: a. Tegalpanggung 7 – 15 b. Suryatmajan 7 – 15 4. Kecamatan Pakualaman: a. Purwokinanti 7 – 15 5. Kecamatan Gondomanan: a. Ngupasan 7 – 15 b. Prawirodirjan 7 – 15 6. Kecamatan Mergangsan: a. Wirogunan 7 – 15 b. Keparakan 7 – 15 c. Brontokusuman 7 – 15 Sumber: Kota Yogyakarta dalam angka, 2002
Kelulusan Air tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi
Besarnya kelulusan air yang terjadi di wilayah sungai Code juga diakibatkan oleh jenis tanah yang dipunyai, yaitu Regosol. Tanah ini mempunyai sifat sedikit mengikat air dan sangat porus. Hal ini menyebabkan besarnya infiltrasi yang terjadi di wilayah ini dan memberikan ketersediaan air tanah yang cukup besar. Untuk menjaga keberadaan air ini perlu dilakukan penanaman pohon sehingga air yang masuk ke dalam tanah dapat diikat oleh akar-akar pohon. Untuk itu pemilihan pohon yang mempunyai akar yang banyak akan lebih baik. Apabila menggunakan beringin dan bambu yang merupakan tanaman asli wilayah akan lebih baik. Selain kedua tanaman tersebut mempunyai perakaran yang kuat dan lebat, juga mempunyai arti budaya yang tinggi bagi masyarakat setempat. Gambar 13 menunjukkan ilustrasi penanaman vegetasi untuk mempertahankan keberadaan air tanah.
60
Gambar 13 Ilustrasi penanaman vegetasi untuk mempertahankan keberadaan air tanah (Samekto, 2002) Bila dilihat dari volume airnya, sungai Code mempunyai volume air yang relatif kecil. Hal ini disebabkan oleh pembangunan talud di sepanjang sungai Code
yang
menyebabkan
matinya
mata
air
di
sekitarnya.
Selain
itu
digunakannya wilayah bantaran sungai Code sebagai daerah pemukiman menyebabkan kualitas air di sungai tersebut rendah dengan kandungan bakteri E. coli cukup tinggi. Debit air sungai Code pun juga tidak begitu besar, yaitu sebesar 300 l/dt (Dinas Pengairan 2004). Kondisi hidrologi saat ini yang tidak mendukung perencanaan kawasan ini sebagai
kawasan
wisata
budaya
ditambah
dengan
jenis
tanah
yang
mempercepat kelulusan air, kemungkinan terjadinya banjir relatif rendah. Namun karena semakin kecilnya daerah resapan air hujan dan tergantikan oleh bangunan dan perkerasan menyebabkan terjadinya aliran permukaan yang cukup besar dan mengakibatkan luapan air sungai ke daerah permukiman penduduk. Disamping itu juga terbatasnya vegetasi yang dapat menahan jatuhnya air hujan dan lajunya aliran permukaan juga menjadi salah satu penyebab meluapnya air dan juga sebagai penyebab longsornya talud di bantaran sungai Code (Gambar 14).
61
Gambar 14 Longsornya talud sungai Code Penataan kawasan yang baikakan mengurangi terjadinya longsor dan kemungkinan banjir yang akan terjadi. Daerah dengan kelerengan tinggi dijadikan daerah lindung dengan pembangunan talud yang dibuat teras-teras untuk mengurangi laju permukaan. Selain itu, penggunaan vegetasi juga dapat dilakukan sehingga dapat mengurangi infiltrasi dan dapat menyimpan air tanah lebih banyak sehingga mata air yang ada dapat terjaga dan dapat menaikkan permukaan air. Gambar 15 menggambarkan ilustrasi penanaman vegetasi di pada teras-teras sungai.
Gambar 15 Ilustrasi penanaman vegetasi pada terasering
62
Kondisi kemiringan lahan yang ada di Daerah Aliran Sungai (DAS) akan membentuk suatu zona perlindungan kawasan yang dibedakan ke dalam zona kawasan lindung, zona kawasan penyangga dan zona kawasan budidaya.
Zona Perlindungan Kawasan Berdasarkan kondisi fisik di wilayah sungai Code, maka wilayah ini dapat dibagi kedalam 3 (tiga) zona perlindungan kawasan, yaitu kawasan lindung, kawasan penyangga dan kawasan budidaya. 1. Kawasan Lindung Kawasan lindung merupakan kawasan yang dilindungi dan dipelihara untuk mencegah kerusakan atau kemusnahan. Menurut Sugandy (1984), kawasan lindung di daerah aliran sungai (DAS) apabila wilayah tersebut mempunyai kelerengan > 45 %. Di wilayah sungai Code, di daerah kecamatan Jetis terdapat beberapa tempat yang mempunyai kelerengan > 45 % yang tersebar di bantaran sungai Code.
Daerah
yang
seharusnya
menjadi
kawasan
lindung
ini,
pada
kenyataannya sudah menjadi daerah terbangun dan digunakan sebagai pemukiman penduduk. Kondisi ini menyebabkan wilayah tersebut rentan terhadap longsor akibat beban yang ditanggung daerah tersebut terlalu besar.
Hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi resiko tersebut adalah dengan mengembalikan kepada fungsi aslinya dan digantikan dengan vegetasi. Akan tetapi, pada daerah yang sudah menjadi daerah budidaya yang demikian, pengembalian suatu wilayah kepada fungsi aslinya akan memicu banyak konflik dan sangat sulit untuk dilakukan. Alternatif yang dapat dilakukan, bangunan tersebut dipertahankan dengan memperkokoh bagian penyangganya supaya kuat dan diimbangi dengan vegetasi sebagai penahan laju aliran air. Selain itu juga perlu adanya aturan jelas untuk mengatur pemanfaatan daerah bantaran sungai untuk mengurangi pemanfaatan kawasan lindung lebih lanjut. 2. Kawasan Penyangga Kawasan Penyangga merupakan zona perlindungan kawasan yang bisa diperbaiki keadaannya sehingga bisa dikembalikan pada kondisi yang lebih baik, digunakan sebagai batas antaran kawasan lindung dan kawasan budidaya. Sugandy (1984) menyatakan bahwa kawasan penyangga di daerah DAS merupakan kawasan yang mempunyai kelerengan antara 15 – 45 % dengan toleransi pada kelerengan 15 – 25 % masih dapat digunakan sebagai daerah budidaya.
63
Penyebaran kawasan penyangga di wilayah sungai Code berada di kecamatan Jetis, Gondokusuman dan Danurejan. Ketiga kecamatan tersebut berada di wilayah sungai Code bagian utara dan umumnya tersebar di daerah bantaran sungai. Pada daerah ini, penggunaan lahan juga lebih banyak digunakan sebagai permukiman. Hal ini terjadi karena terbatasnya lahan budidaya perkotaan di kota Yogyakarta dan tidak bisa mengimbangi laju pertambahan penduduknya sehingga daerah penyangganya pun digunakan sebagai pemukiman penduduk. Untuk mengembalikan fungsi daerah penyangga, walaupun
lokasi
ini
sudah
digunakan
sebagai
pemukiman
penduduk,
penggunaan tanaman di sela-sela perumahan penduduk dan daerah yang memungkinkan ditanami, sebaiknya ditanami de ngan tanaman yang dapat mengikat air dan menahan laju aliran air yang terjadi. Selain itu, adanya aturan yang jelas untuk penataan kawasan dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan kawasan penyangga.
3. Kawasan Budidaya Kawasan Budidaya merupakan kawasan yang dapat diubah dan dimanfaatkan oleh manusia. Kawasan ini umumnya berada pada daerah yang mempunyai kelerengan antara 0 – 15 % (Sugandy 1984). Pada kawasan budidaya ini semua aktifitas masyarakat baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan dapat dilakukan. Pada kawasan ini, daerah terbangun dan budidaya yang lain dapat dilakukan. Daerah perkotaan yang mempunyai wilayah terbangun lebih banyak menempati wilayah dengan kelerengan antara 0 – 8 %, sedangkan daerah pedesaan yang masih banyak vegetasinya menempati areal dengan kelerengan 8 – 15 %. Kondisi di wilayah sungai Code, semua areal dengan kelerengan antara 0 – 15 % tersebar di seluruh kecamatan dan kelurahan yang dilalui sungai Code. Peruntukkan wilayah ini umumnya menjadi areal terbangun seperti pemukiman, perdagangan dan perkerasan yang lain. Sedangkan di bagian selatan wilayah sungai Code (kelurahan Wirogunan, Keparakan dan Brontokusuman) masih terdapat areal persawahan. Pembangunan kota telah mengakibatkan kawasan budidaya perkotaan dan pedesaan menjadi satu menjadi kawasan terbangun. Di bantaran sungai Code, daerah terbangun lebih banyak dibanding yang lain karena terbatasnya lahan yang dapat digunakan. Pembangunan yang ada telah mengubah peruntukan kawasan menjadi daerah pemukiman padat
64
penduduk. Selain itu, ketersediaan ruang terbuka dan ruang terbuka hijau di bantaran sungai Code juga sangat minim, tergantikan oleh perumahan yang semakin banyak. Sepanjang bantaran sungai Code yang ada di wilayah kota Yogyakarta sebagian besar sudah merupakan man-made areas, kalaupun ada ruang publik, rata-rata berada di sepanjang talud yang dibangun di sepanjang sungai Code. Pentaludan sungai di wilayah sungai Code dibutuhkan oleh masyarakat setempat untuk menjaga kestabilan tempat tinggal mereka karena telah berubahnya fungsi kawasan yang ada, terutama kawasan lindung dan penyangga. Namun demikian, karena pembuatan talud yang kurang bijaksana telah membuat berubahnya aliran sungai dan terjadi penggerogotan talud oleh air yang dapat mengancam keberadaan perumahan di bantaran sungai Code. Akibat perubahan fungsi lahan yang terjadi di daerah bantaran sungai Code telah menyebabkan ancaman bagi masyarakat yang tinggal disekitarnya. Kondisi yang demikian dapat diperbaiki dengan membuat talud yang ramah lingkungan sangat dibutuhkan untuk mengurangi resiko banjir dan runtuhnya talud akibat aliran air (Setiawan dan Utiyati 2003) dengan memanfaatkan tanama n sebagai bahan talud. Selain itu, pada daerah-daerah yang mempunyai kelerengan tinggi dapat dibuat teras-teras untuk mengurangi beban talud dan aliran permukaan, serta dikombinasikan dengan pemanfaatan tanaman. Selain itu, harus ada perencanaan yang terintegrasi dari semua wilayah yang dilalui Sungai Code baik di daerah hulu yang merupakan wilayah Kabupaten Sleman sampai di daerah hilir yang merupakan wilayah Kabupaten Bantul. Daerah lindung dapat dilakukan di daerah hulu dan daerah-daerah yang mempunyai kelerengan tinggi untuk menjaga keberadaan aliran sungai serta pembatasan penggunaannya melalui aturan daerah yang jelas. Gambar 16 menggambarkan peta perlindungan kawasan di sungai Code.
65
Gambar 16 Peta perlindungan kawasan
66
Kondisi Kehidupan Masyarakat sebagai Aset Wisata Budaya
Keragaman Sosial Budaya sebagai sumber obyek dan atraksi wisata Masyarakat di kawasan sungai Code, seperti kondisi kota Yogyakarta pada umumnya masih menganut dan menjalankan adat jawa. Kehidupan masyarakat yang ada di wilayah ini sebagian masih melakukan ritual-ritual adat guna kelangsungan hidupnya. Pada beberapa bagian di bantaran sungai Code, sebagian masyarakatnya masih melakukan upacara adat untuk meminta keselamatan dan kelangsungan hidupnya di daerah bantaran. Selain itu, pada acara-acara seperti pernikahan, khitanan dan menjelang bulan puasa masih dilakukan ritual-ritual demi keselamatan dan kelancaran acara yang akan dilakukan. Kehidupan masyarakatnya juga sangat berorientasi kepada keberadaan sungai. Kegiatan sehari-hari masyarakat setempat juga sangat tergantung pada sungai, walaupun ketergantungannya sudah berkurang. Ketergantungan akan air bersih terutama di kawasan Code bagian utara masih memanfaatkan sumbersumber air yang tersisa di pinggiran sungai. Namun demikian, pemanfaatannya sudah lebih modern dengan menampung air tersebut kedalam bak air, bukan lagi menggunakan air sungai. Demikian juga dengan kehidupan bermasyarakatnya. Sungai yang sebelumnya dijadikan bagian belakang dengan menjadikannya daerah buanga n, di beberapa bagian sudah dijadikan halaman depan dengan kehidupan yang berorientasi ke sungai. Tempat-tempat publik yang sangat terbatas lebih banyak berada di pinggiran sungai dan interaksi masyarakat terjadi di tempat tersebut. Kondisi yang demikian telah mengubah budaya sebagian masyarakat dengan pola hidup yang lebih sehat. Pinggiran sungai yang sebelumnya digunakan sebagai kegiatan mandi, cuci dan kakus (MCK) berubah menjadi area publik yang lebih nyaman. Masyarakat bantaran sungai Code memulai kembali kegiatan budaya yang dulu dilakukan oleh nenek moyangnya. Hal ini tercermin dari kegiatan bersih sungai yang disebut sebagai Merti Code yang dilakukan di wilayah Code Utara. Merti Code ini mulai dikembangkan kembali pada tahun 2000 dengan melakukan upacara disekitar sungai Code sebagai acara puncak bersih sungai. Kegiatan sehari-hari masyarakat di bantaran sungai Code, seperti halnya kampung-kampung di Yogyakarta banyak kegiatan sosial kemasyarakatan yang dilakukan. Orientasi kegiatan yang sebelumnya membelakangi sungai, sejak
67
dibuatnya talud dan jalan akses dipinggir talud, orientasi kegiatan sebagian masyarakatnya sudah menghadap ke sungai. Kondisi yang demikian sedikit banyak telah membuat kawasan Code menjadi lebih tertata. Kondisi bantaran sungai Code yang lebih tertata tersebut dapat tetap dilestarikan dengan menjadikannya sebagai kawasan wisata. Kehidupan dan adat-istiadat masyarakat bantaran sungai dapat dikembangkan sebagai potensi wisata. Hal ini dapat menjadi obyek wisata karena adat kebiasaan masyarakat yang khas untuk kawasan pinggiran sungai. Dengan demikian, keasrian dan pola hidup bersih yang sudah mulai diterapkan dapat lestari. Gambar 17 menunjukkan orientasi masyarakat bantaran sungai Code terhadap sungainya.
a
b
d
c
e
Gambar 17 Orientasi masyarakat bantaran sungai Code terhadap sungai Code (a,c) Sungai Code sebagai tempat mandi, cuci; (b,d) Sungai Code sebagai tempat memelihara ternak; (e) Sungai Code untuk menggantungkan hidup sebagai penambang pasir.
68
Kondisi Sosial Ekonomi sebagai Faktor Pendukung Kegiatan Wisata Budaya Kawasan Sungai Code yang berada di tengah-tengah kota merupakan tempat
terkonsentrasinya
banyak
kegiatan
kota,
mempunyai
kepadatan
penduduk yang cukup tinggi dengan kondisi masyarakat yang sangat beragam. Kepadatan penduduk pada masing-masing kelurahan rata-rata diatas 100 jiwa/ha (kepadatan tinggi), kecuali di wilayah kelurahan Kotabaru sebesar 79,798 jiwa/ha (kepadatan sedang). Tabel 19 dan Gambar 18 menunjukkan kepadatan penduduk di wilayah studi. Tabel 19 Kepadatan penduduk di wilayah studi Jumlah Penduduk
Luas Wilayah (Ha)
Kec. Jetis: a. Cokrodiningratan b. Gowongan
13.554 10.540
65,9002 45,9075
205,675 229,592
8 5
Kec.Gondokusuman: a. Terban b. Kotabaru
15.222 5.690
79,7244 71,3050
190,933 79,798
9 12
Kec. Danurejan: a. Tegalpanggung b. Suryatmajan
11.485 6.691
35,0575 27,8675
327,605 240,100
1 4
Kec. Pakualaman: a. Purwokinanti
8.963
33,2200
269,807
2
Kec. Gondomanan: a. Ngupasan b. Prawirodirjan
7.352 10.324
67,0450 45,2625
109,658 228,092
11 6
Kec. Mergangsan: a. Wirogunan 18.039 74,9943 b. Keparakan 11.222 52,7475 c. Brontokusuman 12.675 80,7150 Sumber: Monografi kelurahan yang diolah (2004)
240,538 212,749 157,034
3 7 10
No. 1.
2.
3.
4.
5.
Wilayah Studi
Kpdtn Pnddk (jiwa/ha)
Ranking
6.
Tabel 19 menunjukkan tingginya populasi di bantaran sungai Code. Kepadatan terendah ada di wilayah kelurahan Kotabaru, yaitu 79,798 jiwa/ha dan kepadatan tertinggi di wilayah kelurahan Tegalpanggung yang mencapai 327,605 jiwa/ha. Kotabaru mempunyai kepadatan penduduk yang paling rendah karena di wilayah ini banyak terdapat gedung sekolah, perkantoran, dan stadion olahraga disamping merupakan kawasan pemukiman penduduk yang berpenghasilan tinggi (kawasan elit) dengan rumah yang cukup luas. Bantaran sungai Code yang
69
melalui wilayah Kotabaru ini sebagian besar tidak digunakan sebagai tempat tinggal, melainkan diperuntukkan taman kota. Disamping itu, kondisi fisik bantaran sungai Code di wilayah ini mempunyai kelerengan yang cukup tinggi pula. Sedangkan wilayah Tegalpanggung, sebagian besar besar masyarakatnya hidup di bantaran sungai Code dengan pemukiman penduduk yang saling berimpit dan bersama kelurahan Suryatmajan, paling banyak mempunyai perumahan temporar dari seluruh wilayah kota Yogyakarta yaitu sebesar 2.350 rumah temporar. Kondisi fisik wilayah yang sebagian besar daerah bantaran sungainya landai membuat masyarakat dapat mendirikan bangunan lebih leluasa. Selain itu, akses ke pusat perdagangan dan kegiatan juga relatif dekat. Kondisi ini menunjukkan bahwa di wilayah kecamatan Danurejan yang 2 wilayah kelurahannya dilalui sungai Code mempunyai masalah kependudukan yang cukup besar. Disamping itu banyaknya keluarga miskin yang menempati wilayah bantaran sungai Code (Tabel 20). Kondisi yang demikian juga disebabkan oleh kondisi ekonomi masyarakatnya rendah sehingga akan memilih tempat tinggal yang murah dan dekat dengan pusat kegiatannya. Tabel 20 Karakteristik kemiskinan di wilayah studi No.
Wilayah Studi
1. 2. 3. 4. 5. 6. Sumber:
Kec. Gondokusuman Kec. Mergangsan Kec. Jetis Kec. Danurejan Kec. Gondomanan Kec. Pakualaman Kota Yogyakarta dalam angka, 2002
KK Miskin (KK) Jumlah Persentase (%) 11.543 11,37 7.642 7,53 7.231 7,12 6.642 6,54 4.531 4,46 2.861 2,82
Masalah kemiskinan kota dirasakan oleh 39,84 % kepala keluarga miskin di bantaran sungai Code. Jumlah kepala keluarga miskin ini terbanyak berada di kecamatan Gondokusuman sebesar 11,37 % dan terendah di kecamatan Pakualaman 2,82 % dari keseluruhan jumlah keluarga miskin yang ada di kota Yogyakarta. Masalah kemiskinan ini cukup dirasakan oleh masyarakat sehingga tempat tinggal yang digunakan pun terkesan seadanya. Banyaknya keluarga miskin yang bertempat tinggal di bantaran sungai Code membuat permukiman di bantaran sungai Code ini menjadi kurang tertata.
70
Gambar 18 Peta kepadatan penduduk
71
Menurut Evers (1982), dalam kasus tumbuhnya permukiman di tepi sungai, pertumbuhan penduduk melalui urbanisasi merupakan salah satu sebab pertumbuhan yang besar. Hal ini terkait dengan tidak adanya kemampuan para migran untuk memiliki lahan di kota sehingga cenderung untuk mencari lahan seadanya sebagai tempat tinggal. Daerah bantaran sungai merupakan daerah pilihan karena sewanya relatif masih murah dibandingkan daerah lain. Adanya permintaan tempat tinggal yang cukup tinggi dan dekat dengan pusat kegiatan mengakibatkan perubahan penggunaan ruang kawasan tepi sungai (Zaim 2004). Akibatnya, daerah pinggiran sungai menjadi tempat pemukiman yang padat penduduk (Gambar 19). Padatnya perumahan di bantaran sungai Code membuat pemerintah kota Yogyakarta memberi alternatif rumah tinggal lain berupa rumah susun sewa (Gambar 20). Rumah susun sewa ini dibangun sejak tahun 2000 dan mulai difungsikan pada tahun 2005. Rumah susun ini dimaksudkan untuk mengurangi kepadatan perumahan yang ada di bantaran sungai Code disamping juga memberikan kemudahan bagi warga setempat maupun pendatang yang tidak mempunyai rumah tinggal. Akan tetapi, keberadaan rumah susun tersebut sangat tidak menguntungkan bagi kelangsungan hidup sungai, terutama secara ekologis. Daerah bantaran sungai yang seharusnya menjadi kawasan penyangga dan
kawasan
lindung
seolah-olah
justru
dilegalkan
menjadi
kawasan
permukiman. Selain itu, hal ini justru memperberat beban sungai untuk menopang kehidupan diatasnya. Dari hal diatas, maka perlu penataan yang jelas bagi daerah bantaran sungai. Peraturan pembangunan dan pengembangan kota harus dipertegas untuk mengurangi degradasi lingkungan yang semakin tinggi. Penggunaan vegetasi untuk mengurangi dampak negatif dari degradasi lingkungan tersebut perlu dilakukan. Kondisi kepadatan perumahan di bantaran sungai Code juga memberikan inspirasi bagi sebagian orang untuk menata kawasannya menjadi lebih indah dan memberikan daya tarik tersendiri. Hal ini diawali di bantaran sungai Code wilayah utara, tepatnya di bawah jembatan Gondolayu yang terdapat banyak rumah tinggal dengan arsitektur menarik. Penataan kawasan ini diawali oleh Romo JB. Mangunwijaya di awal tahun 90-an yang membuat sungai Code menjadi nilai lebih dan mempunyai potensi wisata yang menarik (Gambar 21).
72
Gambar 19 Kepadatan perumahan di bantaran sungai Code
Gambar 20 Rumah susun sewa di bantaran sungai Code
Gambar 21 Penataan kawasan di Code Utara oleh Romo JB. Mangunwijaya
73
Masalah kependudukan ini didukung pula oleh penghasilan masyarakat Code yang rata-rata kurang dari 500.000 rupiah/bulan (Tabel 21). Kondisi ini didukung pula dengan tingkat pendidikan masyarakatnya yang sebagian besar lulusa n sekolah menengah. Tabel 21 Kondisi sosial masyarakat bantaran sungai Code Responden (Jiwa) Kondisi Sosial Jumlah Persentase (%) PENDIDIKAN SD 3 4,76 SLTP 12 19,05 SMU 30 47,62 Diploma 3 4,76 Sarjana 15 23,81 Jumlah 63 100 PEKERJAAN
PENGHASILAN PER BULAN
PNS Wiraswasta Pedagang Srabutan Karyawan Swasta LSM Pensiunan Jumlah
> Rp. 1 juta Rp. 500.000 – Rp. 1 juta Rp. 300.000 – Rp. 500.000 < Rp. 300.000 Jumlah Sumber: Data primer yang diolah, 2004 (n =63)
6 30 6 3 12 3 3 63
9,52 47,62 9,52 4,76 19,05 4,76 4,76 100
9 9
14,29 14,29
18 27 63
28,57 42,86 100
Tabel 21 menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat di bantaran sungai Code mempunyai pendidikan setingkat sekolah menengah (66,67 %), dengan jumlah terbesar setingkat SMU (47,62 %). Namun demikian, kesadaran masyarakat akan pendidikan juga sudah mulai tampak dengan tingginya jumlah sarjana yang ada, baik diploma maupun sarjana, yaitu sekitar 28,57 %. Apabila dilihat dari segi pekerjaan, sebagian besar masyarakat di bantaran sungai Code mempunyai pekerjaan sebagai wiraswasta (47,62 %) dengan penghasilan ratarata kurang dari 300.000 rupiah. Tingginya jumlah penduduk yang berprofesi sebagai wiraswasta ini diakibatkan karena minimnya jumlah lapangan pekerjaan disamping juga keinginan sebagian masyarakat yang tidak mau terikat dengan suatu instansi. Wiraswasta yang dilakukan oleh sebagian masyarakat sungai
74
Code adalah pedagang kaki lima di daerah perdagangan yang ada di kota Yogyakarta. Selain itu, industri rumah tangga di beberapa ruas bantaran sungai Code juga tumbuh baik. Di wilayah kecamatan Jetis yang meliputi kelurahan Cokrodiningratan dan Gowongan terdapat industri pembuatan bunga hias (corsage) yang sudah ada sejak tahun 1990-an. Produksi corsage ini sudah mempunyai pasar yang cukup bagus untuk lingkungan kota Yogyakarta. Di daerah kampung Ratmakan Gondomanan, pada tahun 1990-an masih terdapat industri batik. Namun seiring menurunnya kunjungan wisatawan yang datang ke Yogyakarta, industri tersebut secara perlahan mulai hilang. Sampai saat ini masih ada pengrajin tas yang masih bertahan dan dipasarkan di Malioboro dan bahkan di ekspor bila ada pesanan. Selain itu, di kelurahan Suryatmajan terdapat kerajinan perak dan souvenir berupa miniatur icon kota seperti tugu, candi dan sebagainya.. Akan tetapi, penghasilan masyarakat di bantaran sungai Code ini masih dibawah rata-rata Upah Minimum Regional (UMR) kota Yogyakarta (sekitar Rp. 400.000/bln). Hal ini juga yang memicu mengapa banyak masyarakat yang tinggal di bantaran sungai Code dengan kondisi yang seadanya karena wilayahnya yang berada di pusat kota sehingga akses ke mana pun juga mudah. Selain itu, banyaknya masyarakat bantaran sungai Code yang menjadi pedagang kaki lima di sekitar pusat pertokoan dan perkantoran yang letaknya dekat dengan sungai Code, membuat bantaran sungai Code sebagai pilihan tempat tinggal. Kegiatan perekonomian di wilayah sungai Code tidak terlepas dari dekatnya jarak dengan pusat perekonomian di kota Yogyakarta. Di kecamatan Jetis,
banyak
terdapat
hotel
dan
perkantoran
yang
ikut
mendukung
perekonomian rakyat, Selain itu, juga terdapat pasar Kranggan sebagai pasar rakyat yang juga banyak menjual kerajinan masyarakat termasuk batik. Di wilayah Terban yang dekat dekat kampus UGM banyak pedagang kakilima makanan dengan warung tenda dan lesehan, terutama di malam hari. Di wilayah Kotabaru, terdapat lesehan yang disebut angkringan yang cukup terkenal dan banyak dicari orang. Di wilayah Suryatmajan, terdapat jalan Mataram sebagai pusat kerajinan dan daerah pendukung Malioboro. Di daerah Prawirodirjan terdapat tempat hiburan rakyat yang seringkali menampilkan kesenian rakyat yang sudah jarang ditemui lagi. Kondisi sosial budaya kawasan sungai yang spesifik beserta adat-istiadat yang dipertahankan oleh masyarakat setempat merupakan potensi wisata yang
75
potensial. Disamping itu, adanya pusat-pusat kerajinan dan perdagangan khas kota Yogyakarta merupakan daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Oleh karena itu, untuk menjaga kelestariannya, kawasan tersebut dapat dijadikan daerah wisata alternatif di kota Yogyakarta.
Zona Wisata Budaya Kota Yogyakarta, bersama beberapa daerah lain di Indonesia telah ditetapkan sebagai salah satu daerah tujuan wisata di Indonesia. Kebijakan ini merupakan peluang yang sangat besar yang harus dimanfaatkan bagi kepentingan pembangunan pariwisata daerah terutama untuk pengembangan ekonomi masyarakat dan peningkatan penerimaan daerah (Bappeda Kota Yogyakarta 2004). Pendapatan dari sektor pariwisata di kota Yogyakarta cukup besar, terutama dari wisatawan mancanegara yang memberikan pemasukan 3 – 5 kali lebih tinggi dibanding dengan wisatawan nusantara dengan jumlah wisatawan yang lebih sedikit. Pembangunan dan pengembangan sektor pariwisata menjadi sangat penting karena sektor ini telah memberikan peran nyata terhadap kehidupan ekonomi,
sosial,
budaya
dan
kesempatan
kerja
di
kota
Yogyakarta.
Pengembangan pariwisata merupakan upaya mengoptimalkan potensi wisata yang ada. Kepariwisataan yang ada, diarahkan untuk mencapai sasaran pokok sebagai berikut: 1. Meningkatkan pariwisata sebagai sektor andalan 2. Mengembangkan kepariwisataan nusantara 3. Meningkatkan sumberdaya manusia 4. Meningkatkan peran serta masyarakat dan swasta. Jumlah kunjungan wisata ke kota Yogyakarta semakin meningkat dari tahun ke tahun yang kemudian mengalami penurunan sejak terjadinya krisis moneter yang berkepanjangan di Indonesia (Tabel 22).
76
Tabel 22 Jumlah kunjungan wisata ke Kota Yogyakarta Tahun Kunjungan Jumlah Wisatawan Wisata Nusantara Mancanegara 1997 1.016.742 204.938 1998 743.739 75.254 1999 803.910 84.386 2000 790.716 64.599 2001 529.828 46.997 2002 816.769 84.490 2003 1.306.253 64.624 Sumber: Kota Yogyakarta dalam angka, Diparda (1997-2003)
Jumlah Kunjungan Wisata 1.221.680 818.993 888.296 855.315 576.825 901.250 1.370.877
Untuk mempertahankan predikat daerah kunjungan wisata, maka harus terus dilakukan pencarian obyek wisata alternatif untuk menggantikan ataupun mendukung keberadaan obyek wisata yang sudah ada. Hal ini perlu dilakukan untuk mengurangi kejenuhan wisatawan terhadap obyek wisata yang sudah ada. Salah satu alternatif yang dapat dipertimbangkan adalah menjadikan kawasan sungai Code menjadi obyek wisata baru.
1. Wisata Budaya Kondisi wilayah sungai Code sebagai kawasan wisata buda ya dapat dilihat dari pola kehidupan masyarakat. Selain itu, di beberapa bagian masih terdapat bangunan bersejarah peninggalan Belanda yang dapat dikembangkan sebagai daerah tujuan wisata. Selain itu, adanya beberapa upacara adat yang dilakukan di wilayah sungai Code merupakan daya tarik wisata. Tabel 23 menunjukkan potensi kawasan sungai Code sebagai kawasan wisata budaya. Selain potensi wilayah yang didasarkan pada kriteria penentuan kawasan wisata MacKinnon et al. (1986), potensi atraksi budaya dari lokasi yang akan digunakan sebagai tempat wisata alternatif perlu digali. Tabel 20 menunjukkan potensi atraksi wisata budaya berdasarkan kriteria dari Koentjaraningrat (1990) dengan memperhatikan 7 unsur kebudayaan masyarakat.
65
6.
Jumlah
5.
Fasilitas Penunjang
4.
Daya tarik
3.
Keaslian
2.
Atraksi
1.
Aksesibilitas
No.
Nilai hasil skoring terhadap potensi pengembangan wisata budaya di kawasan sungai Code
Letak
Tabel 23
Kec. Jetis a. Cokrodiningratan b. Gowongan
1 2
4 4
3 2
3 2
3 2
3 3
17 15
Potensial untuk tujuan wisata budaya Kurang potensial untuk tujuan wisata budaya
Kec. Gondokusuman a. Terban b. Kotabaru
1 2
4 4
3 3
3 2
3 2
3 3
17 16
Potensial untuk tujuan wisata budaya Potensial untuk tujuan wisata budaya
Kec. Danurejan a. Tegalpanggun g b. Suryatmajan
1 3
4 4
3 2
1 1
1 1
2 3
12 14
Kurang potensial untuk tujuan wisata budaya Kurang potensial untuk tujuan wisata budaya
Kec. Pakualaman a. Purwokinanti
1
4
3
2
1
3
14
Kurang potensial untuk tujuan wisata budaya
Kec. Gondomanan a. Ngupasan b. Prawirodirjan
3 2
4 4
2 2
1 2
1 1
3 3
14 14
Kurang potensial untuk tujuan wisata budaya Kurang potensial untuk tujuan wisata budaya
Kec. Mergangsan a. Wirogunan b. Keparakan c. Brontokusuman
1 1 1
4 4 4
2 2 2
1 1 1
1 1 1
3 2 2
12 11 11
Kurang potensial untuk tujuan wisata budaya Kurang potensial untuk tujuan wisata budaya Kurang potensial untuk tujuan wisata budaya
Wilayah Studi
Sumber: Hasil analisis data primer
Kategori
66
Sistem Pengetahuan
Jumlah
5.
Peralatan dan Perlengkapan Hidup
4.
Bahasa
3.
Kesenian
2.
Sistem Matapencaharian
1.
Sistem Kemasyarakatan
No.
Nilai hasil skoring terhadap potensi atraksi budaya di kawasan sungai Code
Sistem Religi
Tabel 24
Kec. Jetis a. Cokrodiningratan b. Gowongan
3 1
3 2
2 2
3 2
3 3
3 1
4 4
21 15
Atraks i budaya potensial Atraksi budaya kurang potensial
Kec. Gondokusuman a. Terban b. Kotabaru
3 2
3 3
2 2
3 2
3 3
2 3
4 4
20 19
Atraksi budaya potensial Atraksi budaya potensial
Kec. Danurejan a. Tegalpanggung b. Suryatmajan
1 1
2 2
2 1
1 1
3 3
1 1
4 4
14 13
Atraksi budaya kurang potensial Atraksi budaya kurang potensial
Kec. Pakualaman a. Purwokinanti
4
3
2
2
3
2
4
20
Atraksi budaya potensial
Kec. Gondomanan a. Ngupasan b. Prawirodirjan
1 1
2 2
1 1
2 1
3 3
1 1
4 4
14 13
Atraksi budaya kurang potensial Atraksi budaya kurang potensial
1 1 1
2 3 2
1 1 1
1 1 1
3 3 3
1 1 1
4 4 4
13 14 13
Atraksi budaya kurang potensial Atraksi budaya kurang potensial Atraksi budaya kur ang potensial
Wilayah Studi
Kec. Mergangsan a. Wirogunan b. Keparakan c. Brontokusuman Sumber: Hasil analisis data primer
Kategori
6.
67
Tabel 23 menyatakan bahwa kelurahan Cokrodiningratan, Terban dan Kotabaru merupakan wilayah yang mempunyai potensi untuk dijadikan daerah wisata budaya. Wilayah ini sering dinamakan sebagai wilayah Code Utara. Sedangkan
wilayah
kelurahan
Ngupasan,
Purwokinanti,
Gowongan
Prawirodirjan,
Tegalpanggung, Wirogunan,
Suryatmajan,
Keparakan
dan
Brontokusuman kurang mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai daerah wisata budaya. Apabila dilihat letak wilayah dari pusat kota, wilayah studi tidak mempunyai kendala yang berarti karena mudahnya akses menuju ke tengah kota yang didukung dengan keberadaan jalan dan transportasi yang cukup memadai. Apabila dilihat dari kesenian dan daya tarik, wilayah Code Utara mempunyai skor yang lebih tinggi. Hal ini didukung telah mulai dikembangkannya wilayah Code Utara sebagai kawasan wisata budaya oleh pemerintah setempat. Kondisi ini menyebabkan penggalian potensi di wilayah Code Utara benar-benar dilakukan. Dari potensi atraksi budaya yang mungkin dikembangkan (Tabel 24), wilayah Code Utara mempunyai beberapa atraksi yang cukup menarik sehingga wilayah ini mempunyai potensi yang cukup bagus. Selain dari penataan pemukiman yang cukup menarik, juga karena sudah adanya kesadaran masyarakatnya untuk mengembangkan kawasannya dengan mempertahankan nilai-nilai budaya yang ada (Gambar 22). Selain itu, adanya upacara adat bersih sungai yang dinamakan MERTI CODE memberikan atraksi budaya yang cukup bagus (Gambar 23). Merti Code dilakukan secara periodik setahun sekali pada bulan Juni – Agustus dengan kegiatan pendukung yang cukup banyak. Di wilayah Code Selatan, pengembangan wisata budaya kurang potensial. Hal ini disebabkan karena wilayah Code Selatan lebih dekat dengan pusat kota yang me rupakan pusat pemerintahan dan perdagangan. Akan tetapi, di kelurahan Purwokinanti mempunyai potensi atraksi budaya yang cukup bagus. Adanya Pura Pakualaman yang merupakan tempat tinggal wakil raja (patih) merupakan daya tarik tersendiri bagi wisata budaya. Selain itu, di wilayah ini juga mempunyai pola kehidupan bermasyarakat yang spesifik yang sangat berorientasi kepada keberadaan kerajaan. Gambar 24 menggambarkan daya tarik wisata di kelurahan Purwokinanti. Gambar 25 menggambarkan potensi wilayah yang dapat dikembangkan sebagai kawasan wisata budaya. Gambar 26 menunjukkan potensi atraksi wisata yang ada di kawasan sungai Code.
68
Gambar 22 Pemukiman penduduk di bantaran sungai Code Utara
Gambar 23 Upacara Merti Code
Gambar 24 Komplek Pakualaman
69
Gambar 25 Peta potensi wilayah pengembangan wisata budaya
70
Gambar 26 Peta potensi atraksi wisata budaya
71
2. Wisata Ekonomi berbasis Budaya Kondisi kota Yogyakarta yang menjadi daerah tujuan wisata kedua setelah Bali menyebabkan perkembangan pariwisata di kota Yogyakarta meningkat pesat. Kebutuhan akan cenderamata dan barang-barang khas kota Yogyakarta mengakibatkan munculnya pusat-pusat kegiatan wisata ekonomi yang berorientasi budaya. Kawasan sungai Code yang merupakan bagian dari kota Yogyakarta juga mengalami perkembangan kearah ekonomi. Wilayah-wilayah yang mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai wisata ekonomi berbasis budaya meliputi kelurahan Kotabaru, Suryatmajan, Purwokinanti, Ngupasan dan Prawirodirjan. Tabel 25 menggambarkan potensi wisata ekonomi di kawasan sungai Code. Kondisi ini didukung oleh dekatnya wilayah tersebut dengan pusat pemerintahan dan perdagangan. Di wilayah ini terdapat pusat jajanan dan pusat cenderamata khas kota Yogyakarta. Wilayah Suryatmajan terdapat pengrajin batik dan pembuatan kerajinan dari perak dan logam yang lain yang umumnya cukup diminati oleh para wisatawan. Selain itu, di wilayah ini juga sudah terbentuk pusat perdagangan baru berupa kios-kios kecil yang tertata yang merupakan tempat belanja alternatif dari padatnya jalan Malioboro. Wilayah kelurahan lain yang menjadi wilayah studi, potensi untuk dijadikan tempat wisata budaya kurang walaupun di beberapa kelurahan mempunyai skor yang relatif tinggi. Rendahnya skor yang ada di wilayah tersebut karena di beberapa bagian kota Yogyakarta tidak lagi mempunyai kekhasan wilayah dan jauhnya akses dari pusat kota. Gambar 27 menggambarkan wilayah yang mempunyai potensi wisata ekonomi berbasis budaya.
72
5.
6.
Jumlah
4.
Fasilitas Penunjang
3.
Daya tarik
2.
Atraksi
1.
Aksesibilitas
No.
Kategori
Letak
Tabel 25. Nilai hasil skoring terhadap potensi pengembangan wisata ekonomi di kawasan sungai Code
Kec. Jetis a. Cokrodiningratan b. Gowongan
1 2
4 4
2 1
2 2
3 3
12 12
Kurang potensial untuk tujuan wisata ekonomi Kurang potensial untuk tujuan wisata ekonomi
Kec. Gondokusuman a. Terban b. Kotabaru
1 2
4 4
1 2
1 2
3 3
10 13
Kurang potensial untuk tujuan wisata ekonomi Potensial untuk tujuan wisata ekonomi
Kec. Danurejan a. Tegalpanggung b. Suryatmajan
1 3
4 4
2 3
2 3
2 3
11 16
Kurang potensial untuk tujuan wisata ekonomi Potensial untuk tujuan wisata ekonomi
Kec. Pakualaman a. Purwokinanti
1
4
3
3
3
14
Potensial untuk tujuan wisata ekonomi
Kec. Gondomanan a. Ngupasan b. Prawirodirjan
3 2
4 4
2 2
3 2
3 3
15 13
Potensial untuk tujuan wisata ekonomi Potensial untuk tujuan wisata ekonomi
Kec. Mergangsan a. Wirogunan b. Keparakan c. Brontokusuman
1 1 1
4 4 4
1 2 1
1 2 1
3 2 2
10 11 9
Kurang potensial untuk tujuan wisata ekonomi Kurang potensial untuk tujuan wisata ekonomi Kurang potensial untuk tujuan wisata ekonomi
Kelurahan
Sumber: Hasil analisis data primer
73
Gambar 27 Peta potensi wilayah pengembangan wisata ekonomi berbasis budaya
74
Peluang Pengembangan Kawasan Sungai Code sebagai Kawasan Wisata Budaya Peluang pengembangan kawasan sungai Code sebagai kawasan wisata budaya diperoleh dari overlay peta zonasi wisata budaya yang terbentuk dengan peta zonasi kawasan secara fisik. Gambar 28 menggambarkan peluang wisata budaya di kawasan sungai Code.
Gambar 28 Peta potensi pengembangan wisata di kawasan sungai Code
75
Kondisi kawasan sungai Code yang beragam merupakan daya tarik tersendiri. Hal ini merupakan peluang untuk mengembangkan kawasan Code sebagai salah satu kawasan wisata alternatif di kota Yogyakarta.
Dari hasil
analisis terhadap aspek sosial budaya dan sosial ekonomi diperoleh deliniasi potensi kawasan wisata budaya seluas 4,22 km2. Di wilayah Code Utara (Kelurahan Cokrodiningratan, Terban dan Kotabaru) dapat dikembangkan sebagai kawasan wisata budaya. Hal ini didukung oleh adanya bangunan peninggalan Belanda yang masih terawat dengan baik. Selain ini, di wilayah ini juga mempunyai atraksi budaya yang cukup potensial, antara lain kesenian rakyat (ketoprak, wayang, campursari), kehidupan masyarakat (adat istiadat) serta upacara adat yang masih dipertahankan keberadaannya (pernikahan, khitanan, bersih sungai). Upacara bersih sungai yang dilakukan di sungai Code (Merti Code) dilaksanakan secara periodik setahun sekali dan menjadi atraksi wisata budaya yang cukup bagus dan menarik yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat untuk berperan serta. Pengembangan wisata budaya di wilayah ini juga diharapkan dapat mempertahankan
keberadaan
dan
kelestarian
sungai
yang
sebenarnya
merupakan kawasan lindung setempat sempadan sungai. Dengan dijadikannya kawasan ini sebagai kawasan wisata budaya diharapkan dapat mengurangi resiko kerusakan bantaran yang lebih besar. Pe ngembalian fungsi sungai akan sangat besar pengaruhnya terhadap upaya tersebut. Kawasan lindung dan penyangga alam di wilayah ini difungsikan kembali sebagai tempat budidaya tanaman asli wilayah seperti bambu ori (Bambusa sp) dan beringin (Hibiscus sp). Keberadaan bambu ori dan beringin di masa lalu dapat mengurangi ancaman wilayah dari banjir yang terjadi di sungai Code. Selain itu, keberadaan tanaman ini akan menambah ruang terbuka hijau di kota Yogyakarta. Di
Kawasan
Code
bagian
tengah,
terutama
wilayah kelurahan
Suryatmajan, Purwokinanti, Ngupasan dan Prawirodirjan mempunyai potensi wisata ekonomi yang cukup besar. Hal ini didukung dengan jarak ke pusat kota yang relatif dekat sehingga memudahkan akses ke wilayah ini. Pada kawasan ini terdapat pusat jajanan rakyat, sentra kerajinan, sentra souvenir dan pusat belanja. Sebagai penunjang, pada wilayah ini terdapat banyak penginapan dan fasilitas pendukung lainnya. Di kelurahan Purwokinanti, terdapat atraksi budaya yang sangat potensial yang didukung oleh keberadaan Pura Pakualaman yang merupakan istana wakil
76
raja dan mempunyai adat istiadat jawa yang sangat kental. Keberadaan Pura Pakualaman kurang terlihat karena tertutup oleh keberadaan Kraton Yogyakarta. Pengembangan sebagai zona wisata budaya dapat dila kukan dengan menggali potensi lain dari masyarakat, tidak hanya oleh keberadaan istananya sendiri. Sedangkan wilayah yang lain, merupakan daerah yang kurang potensial sebagai kawasan wisata. Hal ini lebih banyak karena jarak dari pusat kota terlalu jauh. Akan tetapi, kawasan ini masih dapat dikembangkan sebagai kawasan wisata dengan memperbaiki akses dan fasilitas yang ada sehingga jarak tidak menjadi faktor pembatas pengembangan wisata. Di wilayah ini terdapat pusat kesenian rakyat dan potensi ekonomi, tetapi kurang didukung oleh masyarakat sekitar sehingga terkesan berdiri sendiri. Untuk itu perlu peningkatan partisipasi masyarakat untuk mengangkat wilayahnya sebagai daerah tujuan wisata budaya berbasis ekonomi. Peluang pengembangan kawasan sungai Code menjadi kawasan wisata harus tetap memperhatikan kondisi kawasan sebagai kawasan lindung dan kawasan budidaya. Potensi yang ada di masing-masing kelurahan diarahkan kepada kondisi kawasan sebagai kawasan lindung atau kawasan budidaya. Pada kawasan lindung, dapat dikembangkan sebagai kawasan wisata budaya seperti upacara adat, jelajah kampung dengan memanfaafkan view dan Merti Code yang tetap menjaga keberadaan kawasan sebagai kawasan lindung. Pada daerah budidaya, pengembangan wisata lebih diarahkan kepada wisata budaya (meliputi jelajah kampung, upacara adat, kesenian rakyat) dan wisata ekonomi berbasis budaya (meliputi sentra kerajinan, pusat jajanan khas). Keinginan Penduduk terhadap Pariwisata Penduduk di bantaran sungai Code pada umumnya mempunyai keinginan untuk meningkatkan taraf hidupnya. Dari 63 responden yang diwawancara, sebagian besar mempunyai tingkat pendapatan yang rendah. Pada dasarnya, apabila ada sumber mata pencaharian yang lain yang dapat mendukung perekonomian keluarga, masyarakat sekitar sungai Code akan berusaha untuk mendapatkannya. Tabel 26 dan 27 memperlihatkan pandangan masyarakat apabila wilayahnya dipergunakan sebagai kawasan wisata.
77
Tabel 26 Pendapat dan harapan responden terhadap wisata sungai Code Jumlah No. Peubah Kategori Jiwa % 1. Bantaran Sungai Code 1. Setuju 58 92,06 dijadikan tempat wisata 2. Tidak Setuju 5 7,94 2. Harapan terhadap wisatawan
1. Menambah penghasilan 2. Mendapat uang (tips) 3. Dapat menjual jasa
3. Model wisata yang diinginkan
1. Wisata budaya 2. Wisata air 3. Wisata kampung 4. Wisata belanja 5. Pusat kerajinan 6. Pusat kesenian 7. Pusat jajanan tradisional Sumber: Data primer yang diolah, 2004 (n=63)
58 11 20
92,06 17,46 31,75
30 48 24 12 27 27 21
47,62 76,19 38,10 19,05 42,86 42,86 33,33
Tabel 26 menyatakan bahwa sebagi an besar masyarakat yang menjadi responden menginginkan wilayahnya menjadi daerah tujuan wisata alternatif di kota Yogyakarta (92,06 %). Sedangkan wisata yang ingin dikembangkan di wilayahnya, sebagian besar menginginkan wisata sungai (76,19 %), kemudian wisata budaya (47,62 %), pusat kerajinan dan kesenian (42,86 %), wisata kampung (38,10 %), pusat jajan tradisional (33,33 %) dan sebagian kecil saja yang menginginkan menjadi kawasan wisata belanja (19,05 %). Berdasarkan Tabel 27 dapat diketahui keinginan masyarakat terhadap wilayahnya apabila dijadikan kawasan wisata. Sebagian besar masyarakat bantaran sungai Code menginginkan wilayahnya dijadikan kawasan wisata air. Keinginan masyarakat untuk menjadikan kawasan sungai Code menjadi wisata sungai karena di wilayah kota Yogyakarta sama sekali belum ada wisata sungai ataupun tempat wisata yang orientasinya ke sungai. Akan tetapi keinginan masyarakat untuk menjadikan wilayahnya sebagai daerah tujuan wisata air sulit dilaksanakan karena rendahnya volume air di sungai Code. Kondisi ini antara lain karena sepanjang sungai Code rata-rata sudah digunakan sebagai permukiman dan dilakukan pentaludan sehingga mata air yang berada di kanan-kiri sungai tertutup oleh perkerasan. Apabila wisata sungai akan diakomodir, maka talud beton yang selama ini sudah ada perlu diganti atau dikombinasi dengan tanaman sehingga banyak sumber air yang muncul kembali dan volume air dapat meningkat.
78
Tabel 27 No. 1.
2.
3.
4.
5.
Keinginan masyarakat tiap wilayah untuk menjadikan wilayahnya sebagai kawasan wisata (dalam %) Wisata Budaya
Wisata Kampung
Kec. Jetis: a. Cokrodiningratan b. Gowongan
71,43 60
100 60
100 100
28,57 20
57,14 40
71,43 60
42,28 40
Kec.Gondokusuman: a. Terban b. Kotabaru
60 60
100 40
100 60
0 40
40 60
60 20
20 20
Kec. Danurejan: a. Tegalpanggung b. Suryatmajan
100 100
20 40
0 20
0 40
33,33 60
66,66 40
66,66 50
Kec. Pakualaman: a. Purwokinanti
83,33
83,33
33,33
16,67
33,33
50
33,33
Kec. Gondomanan: a. Ngupasan b. Prawirodirjan
100 83,33
20 33,33
0 16,67
40 16,67
60 50
40 50
80 33,33
33,33 20 33,33
0 0 0
33,33 0 0
33,33 40 33,33
33,33 20 33,33
33,33 0 0
Kec. Mergangsan: a. Wirogunan 100 b. Keparakan 100 c. Brontokusuman 100 Sumber: Data primer yang diolah, 2004
Wisata Belanja
Pusat Kerajinan
Pusat Kesenian
Pusat Jajanan Tradisional
Wisata Air
Wilayah Studi
6.
79
Keinginan masyarakat di kelurahan Cokrodiningratan, Gowongan, Terban dan Purwokinanti untuk menjadikan wilayahnya sebagai kawasan wisata budaya dapat diakomodir. Hal ini dikarenakan di wilayah ini banyak potensi wisata budaya yang dapat dikembangkan. Selain itu, dari hasil analisis menyatakan bahwa kawasan ini mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata budaya. Wisata kampung yang diinginkan oleh sebagian besar masyarakat di kelurahan
Cokrodiningratan,
Gowongan,
Terban
dan
Kotabaru
dapat
dilaksanakan, karena di kawasan ini terdapat pola permukiman yang spesifik. Selain itu, wilayah Cokrodiningratan dan Terban
sudah disiapkan sebagai
kawasan wisata alternatif yang dicanangkan oleh pemerintah setempat dengan salah satu atraksinya adalah jelajah kampung. Wisata belanja merupakan alternatif wisata yang kurang diinginkan oleh masyarakat di kawasan sungai Code. Keadaan ini lebih disebabkan karena sudah adanya kawasan wisata belanja yang sudah menjadi trade mark kota Yogyakarta, yaitu kawasan Malioboro dan sekitarnya. Kondisi ini menyebabkan masyarakat lebih memilih alternatif wisata yang lain untuk dikembangkan di wilayahnya. Pusat kerajinan, keseninan dan jajanan tradisional juga diinginkan oleh sebagian masyarakat kawasan sungai Code untuk dikembangkan di wilayahnya. Hal ini lebih banyak karena kawasan tersebut sudah mempunyai sentra-sentra kerajinan. Arahan Pengembangan Kota Perencanaan kota Yogyakarta, seperti halnya kota-kota lain di Indonesia juga membagi ke dalam kawasan lindung dan kawasan budidaya. Namun pada kenyataannya karena terbatasnya lahan budidaya sedangkan pertumbuhan penduduk terus bertambah menyebabkan daerah yang seharusnya merupakan kawasan lindung dijadikan kawasan budidaya. Pemekaran kota dan perkembangan penduduk yang cukup pesat menyebabkan kawasan lindung yang ada berubah fungsi menjadi sebagai kawasan permukiman, pusat perdagangan maupun industri. Demikian juga dengan kawasan sungai Code. Sebagian besar wilayah sungai Code, seperti umumnya wilayah di kota Yogyakarta merupakan daerah terbangun. Daerah lindung akhirnya berada di wilayah hulu sungai Code di luar wilayah kota
80
Yogyakarta, yaitu di wilayah kabupaten Sleman walaupun tidak menjamin wilayah lindung tersebut benar-benar difungsikan sebagaimana mestinya. Kondisi tersebut terjadi karena rencana penetapan status kawasan kota tidak diaplikasikan. Lemahnya aturan dan pengawasan pembangunan serta tingginya urbanisasi menyebabkan semakin banyaknya perumahan di kawasan sungai Code. Akibatnya, semakin banyak daerah terbangun di kawasan tersebut yang menyebabkan degradasi lingkungan yang terjadi semakin tinggi. Pengembalian fungsi sungai dan adanya aturan yang tegas untuk pengembangan kota akan membuat kawasan ini lebih tertata. Gambar 29 menunjukkan rencana tata ruang wilayah kota Yogyakarta.
81
Gambar 29 Peta Rencana Tata Ruang Kota Yogyakarta
82
Pengembangan Kawasan Wisata Budaya Pengembangan kawasan sungai Code sebagai kawasan wisata budaya tidak terlepas dari peruntukan kawasan yang ditetapkan pemerintah daerah setempat. Kebijakan pemerintah setempat membagi wilayah kota Yogyakarta ke beberapa zona peruntukan akan mempermudah pengembangan wisata di kawasan sungai Code. Kawasan sungai Code yang mempunyai potensi wisata budaya tinggi merupakan kawasan lindung arkeologi/budaya/sejarah, kawasan penyangga alam dan budaya serta sebagai kawasan budidaya penuh sosial, ekonomi dan budaya. Kawasan ini terletak di kelurahan Cokrodiningratan, Terban, Gowongan dan Kotabaru. Pengembangan kawasan ini sebagai kawasan wisata budaya dapat dilakukan dengan melihat bahwa kebijakan pemerintah terhadap kawasan ini sebagian juga digunakan sebagai kawasan lindung arkeologi/budaya/sejarah dan kawasan penyangga alam dan budaya. Di wilayah ini, masyarakat setempat sudah
mulai
menyadari
mengembangkan
wisata
pentingnya kampung
keberadaan
yang
sungai
berorientasi
kepada
dan
mulai
kehidupan
masyarakat dan sungai Code. Hal inilah yang menyebabkan wilayah ini berkembang sebagai kawasan wisata budaya, selain juga bangunan peninggalan Belanda yang dilestarikan di wilayah ini. Di wilayah kelurahan Gondomanan dan Ngupasan, berdasarkan tata ruang
kota,
sebagian
besar
wilayahnya
merupakan
kawasan
lindung
arkeologi/budaya/sejarah selain juga sebagai kawasan penyangga alam dan budaya. Hal ini disebabkan karena dekatnya wilayah ini dengan kraton Yogyakarta sehingga banyak bangunan dan kegiatan yang sangat berorientasi kraton. Namun dari hasil analisis menunjukkan bahwa daerah ini lebih potensi sebagai kawasan wisata budaya yang berorientasi kepada ekonomi. Kondisi ini lebih disebabkan dekatnya wilayah ini dengan pusat perdagangan kota (Malioboro dan Pasar Beringharjo) sehingga kawasan ini berkembang menjadi kawasan ekonomi walaupun masih berorientasi kepada budaya. Di kawasan ini pusat perdagangan dan kerajinan seperti batik, kerajinan perak dan souvenir serta jajanan khas kota Yogyakarta berkembang pesat. Di
wilayah
kelurahan
Purwokinanti,
berdasarkan
tataruang
kota
merupakan kawasan terbangun dengan beberapa bagian merupakan kawasan lindung arkeologi/budaya/sejarah dan kawasan penyangga alam dan budaya. Penetapan kawasan ini sebagai kawasan lindung karena keberadaan kraton
83
Pakualam yang merupakan tempat tinggal patih pada jaman dulu. Berdasarkan analisis yang dilakukan, wilayah ini merupakan daerah yang mempunyai atraksi budaya tinggi sehingga dapat dikembangkan sebagai kawasan wisata budaya. Keberadaan Pura Pakualaman sangat berpengaruh terhadap tingginya potensi atraksi budaya dengan ritual-ritual budaya jawa yang selalu dilakukan. Namun demikian, dukungan dari masyarakat dan pemerintah untuk menjadikannya kawasan wisata budaya menjadi faktor penentu sehingga budaya yang ada dapat dilestarikan. Kelurahan Prawirodirjan dan Keparakan, berdasarkan tata ruang kota merupakan kawasan lindung alam dan budaya. Namun kenyataannya, daerah ini sudah menjadi daerah terbangun sebagai tempat usaha dan permukiman. Dari analisis wisata yang dilakukan, kawasan ini mempunyai kurang mempunyai potensi wisata. Hal ini lebih disebabkan karena jarak dari pusat perdagangan dan kegiatan yang cukup jauh. Di kawasan ini, pusat perdagangan dan budaya yang terbentuk lebih banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar. Kondisi ini lebih disebabkan karena informasi tentang wilayah ini kalah dibandingkan dengan wilayah yang lain. Di wilayah kelurahan Wirogunan dan Brontokusuman berdasarkan tata ruang kota merupakan kawasan budaya penuh untuk kegiatan sosial, ekonomi dan budaya. Pada kawasan ini sebagian besar merupakan daerah terbangun, walaupun di beberapa tempat masih terdapat lahan pertanian.
Model Konseptual Lanskap Wisata Budaya Konsep Pengembangan Sistem Wisata Budaya 1. Konsep Kawasan Konsep kawasan yang digunakan dalam pengembangan lanskap wisata budaya ini adalah suatu ruang wisata budaya yang berorientasikan kepada kehidupan masyarakat tradisional jawa yang berada di tepian sungai dengan memperhatikan kondisi lingkungan sekitarnya. Daerah yang mempunyai kelerengan tinggi dan digunakan sebagai wisata kampung, pesan ekologis lebih ditekankan sehingga di kawasan ini kelestarian lingkungan dapat dipertahankan. Di kawasan permukiman tradisional, pesan budaya masyarakat pinggiran sungai akan lebih terlihat dengan pola kehidupan sosial budaya dan sosial ekonomi yang terdapat di dalamnya. Di kawasan kraton Pakualaman, pesan budaya
84
kraton yang spesifik diharapkan dapat diterima pengunjung dengan segala ritual budaya dan sendi kehidupan di sekitarnya. Di kawasan yang potensi ekonominya lebih tinggi, pesan ekonomi lebih dominan dengan ekonomi rakyat yang berbasis pada budaya dengan melestarikan budaya masyarakat jawa. Pesan yang ada di masing-masing kawasan diterjemahkan ke dalam sistem wisata yang terbagi dalam tiga unit lanskap, yaitu lanskap budaya bantaran sungai, lanskap budaya kraton dan lanskap ekonomi yang berbasis pada budaya (Gambar 30).
1
3
2
Keterangan: 1. Budaya masyarakat pinggiran sungai 2. Budaya kraton Pakualaman 3. Ekonomi berbasis budaya Gambar 30 Konsep kawasan wisata sungai Code Kawasan wisata sungai Code dapat dikunjungi dari tiga pintu masuk. Pemilihan 3 (tiga) pintu masuk ke dalam kawasan wisata budaya sungai Code terkait dengan letak kawasan sungai Code terhadap kawasan wisata lain yang terletak di sekitar kota Yogyakarta. Sebagai kawasan yang terletak di tengah kota Yogyakarta, diharapkan wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta dapat singgah setelah mengunjungi tempat wisata lain yang ada di sekitar kota Yogyakarta. Kawasan sungai Code terletak tepat di tengah-tengah kota Yogyakarta. Di sebelah barat kawasan sungai Code terdapat kawasan wisata belanja Malioboro dan kraton Yogyakarta. Di sebelah utara terdapat kawasan wisata alam Kaliurang dan kawasan wisata budaya Candi Borobudur. Di sebelah timur
85
kawasan sungai Code terdapat kebun binatang dan kebun raya Gembiraloka dan kawasan wisata budaya Candi Prambanan. Sedangkan di selatan kawasan sungai Code terdapat kawasan wisata alam pantai selatan. Gambar 28 menggambarkan posisi kawasan sungai Code terhadap lokasi wisata lain di sekitar kota Yogyakarta. Keberadaan tiga pintu masuk tersebut merupakan pintu untuk me nuju kawasan wisata budaya sungai Code yang terbagi ke dalam 3 konsep ruang yaitu ruang penerimaan, ruang wisata utama dan ruang pendukung wisata (Gunn, 1994). Ruang penerimaan merupakan pintu masuk yang menuju ruang wisata utama. Pada ruang ini terdapat semua informasi yang dibutuhkan wisatawan untuk berwisata di kawasan sungai Code. Selain itu juga terdapat papan interpretasi yang dapat memberikan kemudahan bagi wisatawan untuk berkunjung ke kawasan sungai Code. Ruang wisata utama merupakan daerah atraksi wisata utama yang disajikan dalam tapak. Pada ruang ini, seluruh atraksi wisata budaya yang ada di kawasan sungai Code disajikan. Selain atraksi, pada ruang wisata utama juga terdapat ruang transisi yaitu ruang yang berfungsi sebagai penyangga fisik dan visual bagi ruang wisata utama, serta fasilitas wisata yang dibutuhkan wisatawan. Ruang pendukung wisata merupakan ruang yang menyediakan fasilitas penunjang wisata dan pengelolaan tapak. Pada ruang ini semua fasilitas wisata budaya terdapat, seperti hotel, area parkir, rambu-rambu dan sebagainya. Potensi pengembangan wisata di kawasan sungai Code juga terkait dengan tempat-tempat wisata yang ada di kawasan ini. Gambar 31 menunjukkan penyebaran titik-titik wisata di sekitar kota Yogyakarta dan letak kawasan sungai Code terhadap titik-titik wisata tersebut. Sedangkan gambar 32 menunjukkan potensi wisata budaya dan akses yang ada di kawasan sungai Code.
86
Gambar 31 Posisi kawasan sungai Code terhadap tempat wisata lain di sekitar kota Yogyakarta
87
3 1 2 4 5 6 7
8 9 13 10 11 12 Keterangan:
Pintu masuk 1. Wisata Kampung 2. Pasar tradisional 3. Banguna n kolonial 4. Pemukim an tradisional
Gambar 32 Potensi dan akses wisata budaya kawasan sungai Code
88
2. Jalur Wisata Jalur wisata yang dibentuk di kawasan sungai Code bertujuan untuk mengkomunikasikan potensi wisata yang ada di kawasan ini beserta obyek dan atraksi yang ada. Pesan yang diberikan kepada pengunjung sangat tergantung kepada minat pengunjung dan wilayah yang dikunjungi. Gambar 33 menunjukkan konsep jalur wisata kawasan sungai Code.
Keterangan: Pintu masuk
Ruang wisata budaya kraton Pakualaman
Ruang penerimaan
Ruang wisata ekonomi pendukung wisata budaya
Ruang wisata budaya masyarakat pinggiran sungai
Sungai Code
Gambar 33 Konsep jalur wisata kawasan sungai Code
Jalur wisata yang dikembangkan di kawasan wisata budaya sungai Code diarahkan untuk memberikan kenyamanan dan pengalaman yang menarik bagi wisatawan. Urutan perjalanan wisata yang dilakukan tergantung keinginan wisatawasan dan waktu yang dimiliki wisatawan untuk berwisata.
89
3. Fasilitas Pendukung Fasilitas pendukung wisata dibutuhkan untuk memberikan kenyamanan kepada wisatawan pada saat berkunjung ke daerah kunjungan wisata. Di kawasan sungai Code, fasilitas pendukung tersebar di seluruh kawasan yang ada baik yang potensial sebagai kawasan wisata budaya maupun pada kawasan yang kurang potensial. Fasilitas pendukung tersebut dapat dilihat pada tabel 28. Tabel 28 Fasilitas pendukung wisata di kawasan sungai Code No. 1.
Ruang Ruang Penerimaan
-
Fasilitas Pusat informasi Papan interpretasi Tempat sampah Toilet Wartel Tempat duduk Brosur
2.
Ruang Wisata Utama
-
Papan interpretasi Pusat informasi Toilet Tempat sampah Tempat parkir Restoran Penginapan Rambu-rambu Brosur Pemandu wisata
3.
Ruang pendukung wisata
-
Papan interpretasi Pusat informasi Tempat parkit Penginapan Restoran Toilet Rambu-rambu Wartel
Konsep Pengembangan Lanskap Wisata Budaya Konsep pengembangan lanskap wisata budaya kawasan sungai Code merupakan gambaran hubungan antara kehidupan masyarakat tepian sungai dan lingkungannya. Pengembangan lanskap di kawasan sungai Code sebagai kawasan wisata budaya membentuk deliniasi kawasan wisata budaya seluas 4,22 km2 yang merupakan lanskap kawasan wisata budaya potensial. Kondisi ini perlu
90
didukung dengan kondisi fisik kawasan yang baik sehingga terbentuk lanskap wisata budaya berkelanjutan demi kelestarian dan perlindungan kawasan. Keberadaan ruang wisata sangat diperlukan dalam pengembangan kawasan wisata sungai Code. Adanya ruang wisata utama memberikan atraksi wisata baru di kota Yogyakarta. Untuk mendukung ruang wisata utama tersebut diperlukan ruang penunjang wisata yang didalamnya juga terdapat ruang penerimaan wisata. Ruang penunjang wisata dapat dikembangkan di kawasan sungai Code yang potensi wisata budayanya kurang selain juga di ruang wisata budaya utamanya. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan pada daerah yang kurang potensi wisatanya juga dikembangkan menjadi kawasan wisata budaya di kawasan sungai Code dengan memperbaiki kekurangan yang ada di wilayah tersebut. Pengembangan wisata budaya sampai pada daerah yang kurang potensi ini akan membuat obyek dan atraksi wisata budaya di kawasan sungai Code semakin banyak dan beragam, dengan mempertahankan kebudayaan masyarakat setempat. Sedangkan ruang penerimaan wisata juga bisa terdapat di ruang wisata utama. Ruang penerimaan ini dibutuhkan untuk memberikan informasi tentang kawasan wisata sungai Code. Sebagai sarana transportasi, selain menggunakan kendaraan bermotor juga dapat menggunakan kendaraan tradisional seperti andong dan becak. Disamping itu juga disediakan persewaan sepeda bagi yang ingin menikmati wisata dengan menggunakan sepeda. Penggunaan pemandu wisata dapat dilakukan untuk memandu dan memberikan informasi secara lengkap mengenai wisata budaya kawasan sungai Code. Penggunaan penduduk lokal sebagai pemandu wisata yang dididik secara profesional dapat memberikan alternatif pekerjaan dan penghasilan tambahan bagi masyarakat setempat. Gambar 34 menunjukkan konsep pengembangan lanskap wisata budaya di kawasan sungai Code. Gambar 35 dan 36 menggambarkan ilustrasi pengembangan wisata di kawasan sungai Code.
91
Gambar 34 Konsep di kawasan sungai Code
pengembangan
lanskap
wisata
budaya
92
a
b
c
d
e
Gambar 35 Ilustrasi penataan kawasan sungai Code (a,b,c) Ilustrasi tracking dan permukiman di bantaran (d) Ilustrasi penanaman vegetasi di kawasan (e) Ilustrasi karamba dan akses ke sungai
sungai; lindung;
93
a
c
b
d
Gambar 36 Ilustrasi penataan bantaran sungai Code (a) Ilustrasi darmaga dan permukiman di bantaran sungai; (b) Ilustrasi wisata perahu; (c) Ilustrasi kafe di bantaran sungai; (d) Ilustrasi pusat perdagangan di bantaran sungai
94
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1.
Peluang pengembangan kawasan sungai Code sebagai kawasan wisata budaya alternatif di kota Yogyakarta cukup tinggi.
2.
Masyarakat mendukung pengembangan wisata di wilayahnya.
3.
Terbentuk ruang pengembangan wisata budaya seluas 4,22 km2 meliputi wisata budaya masyarakat pinggiran sungai, wisata budaya kraton Pakualaman dan wisata ekonomi berbasis budaya.
4.
Bentuk lanskap yang dikembangkan adalah wisata budaya berkelanjutan yang berorientasi kepada kehidupan masyarakat tradisional jawa pinggiran sungai. Saran
1.
Pemerintah kota Yogyakarta perlu mengeluarkan peraturan tentang pengelolaan kawasan Code dan pemeliharaannya sehingga kerusakan bantaran Code dapat diminimalisir.
2.
Pemerintah kota Yogyakarta perlu bekerjasama dengan pemerintah daerah kabupaten Sleman untuk memelihara wilayah hulu sungai Code.
3.
Perlu dilakukan penataan kawasan Code sehingga siap dijadikan kawa san wisata.
4.
Perlu adanya partisipasi masyarakat secara menyeluruh untuk mendukung terciptakan kawasan Code sebagai kawasan wisata alternatif.
95
DAFTAR PUSTAKA Anagnostopoulos GL. Restoration of Historic Landscape. IFLA Year Book 1986/1987:156 – 163. Tokyo. 1985. Avenzora R. Ekoturisme: Pengembangan Wilayah Daerah Penyangga Kawasan Lindung. Makalah pada Bimbingan Teknis ‘Pengembangan Wilayah Daerah Penyangga Kawasan Lindung’. Pusat Pengkajian Perencanaan dan pengembangan Wilayah (P4W) IPB dan Ditjen Bina Bangda Depdagri. 2003 Arikunto S. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik . Bina Aksara. Jakarta. 1989. Bappeda Kota Yogyakarta. Atlas Kota Yogyakarta. 2002. [BPS] Biro Pusat Statistik. Kota Yogyakarta dalam Angka. 1997 – 2003. [BPS] Biro Pusat Statistik. DIY dalam Angka. 1997 – 2003. Décamps H. How a Riparian Landscape Finds Form and Comes Alive. Journals Landscape and Urban Planning 57:169 – 175. 2001. Evert HD. Sosiologi Perkotaan, Urbanisasi dan Sengketa Tanah di Indonesia dan Malaysia. Rasma Agung. LP3ES. Jakarta. 1982. Forman RTT and Godron. Landscape Ecology. New York. Willey and Sons. 1996 Gilbert A and J. Gugler. Urbanisasi dan Kemiskinan di Dunia Ketiga. PT. Tiara Wacana. Yogyakarta. 1996 Gold SM. Recreation Planning and Design. New York: McGraw – Hill Book Co. 1980. Guinness P. Harmony and Hierarchy in A Javanese Kampong . Oxford University Press. Singapure. 1986. Gunn CA. Tourism Planning Basics, Concepts, Cases. Washington DC: Taylor & Francis. 1994. Haber W. Concept, Origin and Meaning of “Landscape” di dalam Droste BVH, Plachter H, Rössler M. editor. Cultural Landscapes of Universal Value. Gustav Fischer Verlag Jena. Stuttgart. New York ini Cooperation with Unesco. 1995. Harian Kedaulatan Rakyat. Mengembangkan Sungai dan Kampung Code sebagai Kawasan Wisata. 13 Juli 2003. Hidayati NA. Tipologi Kampung Kumuh di Kotamadya Malang. Tesis MPKD. UGM. Yogyakarta. 1997.
96
Inskeep E. Tourism Planning: An Integrated and Sustainable Development Approach. VNR Tourism and Commercial Recreation Series. Van Nostrad Reinhold. New York. 1991. [IPB] Institut Pertanian Bogor. Pedoman Penulisan & Penyajian Karya Ilmiah. Bogor: IPB Press. 2004. Jamieson W. The Challenges of Sustainable Community Cultural Heritage Tourism. UNESCO Conference/Workshop Culture, Heritage Management and Tourism. Bhaktapur. 2000 Jayadinata JT. Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan, Perkotaan dan Wilayah. Penerbit ITB. Bandung. 1992. Koentjaraningrat. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia. 1990. Koestoer HR. Perspektif Lingkungan Kota – Desa, Teori dan Kasus. UI Press. Universitas Indonesia. Jakarta. 1997. Laurie M. Pengantar kepada Arsitektur Pertamanan (Terjemahan). Bandung: Intermatra. 1990. Lewaherilla NE. Pariwisata Bahari: Pemanfaatan Potensi Wilayah Pesisir dan Lautan. http:// www.rudyct.tripod.com . Tanggal 27 Oktober 2004. 2002 Libosada Jr CM. Ecotourism in the Phillippines. Phillippines: Geba Printing. 1998. Luhst KM. Real Estate Evaluation. Principles Aplication. USA. 1997. MacKinnon JK, MacKinnon GC, Thorsell J. Managing Protected Areas in The Tropics. International Union for the Concervation of the Nature and Natural Resources. Switzerland. 1986. Malanson GP. Riparian Landscape. New York: Cambridge University Press. 1995. Maryono A. Sempadan Sungai. http:// www.bapedal-jatim.go.id. Tanggal 27 Oktober 2004. 2003 Melnick RZ. Protecting Rural Cultural Landscape: Finding Value in the Countryside. Landscape J.2(2). 1983. Mooney LA, David Knox dan Caroline Schacht. Understanding Social Problems. Wadsworth/Thomson Learning. USA. 2002. Nareswari AM. Kajian Perubahan Ruang dan Bentuk Rumah di Tepi Sungai Code setelah Adanya Talud dan Jalan Inspeksi [Tesis]. Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 1998. Nasution AB. Beberapa Aspek Hukum dalam Masalah Pertanahan dan Permukiman di Kota Besar, dalam Budihardjo, E. 1992. Sejumlah Masalah Permukiman Kota. Alumni. Bandung. 1992.
97
Nawawi H. Metode Penelitian Bidang Sosial. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 1995. Ndraha T. Pedoman Penyusunan Tesis. BKU Program MIP IIP. Jakarta. 1996. Porteous JG. Environmental Aesthetics: Idea, Politics, and Planning. London: Rutledge. 1996 [Puspar UGM] Pusat Studi Pariwisata UGM. Rencana Detail Pengembangan Kawasan Code Utara sebagai Kawasan Wisata. Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Kota Yogyakarta bekerjasama dengan Pusat Studi Pariwisata Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 2003. Roslita. Perencanaan Lanskap Wisata di Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat Provinsi Jambi Menggunakan Sistem Informasi Geografis. [Tesis]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. 2001. Samekto, H. Penggal 3 Kampung Wisata Code Utara. Studio 2 PKB. PS MDKB. Fakultas Teknik Arsitektur. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 2002. Setiawan BB dan Utiyati. Gambaran Umum Permasalahan Sungai Code: Tinjauan Aspek Fisik dan Tata Ruang. Makalah Diskusi Pengelol aan Lingkungan Hidup Kawas an Sungai Code. Yogyakarta. 2003. Sidharta Budihardjo E. Konservasi Lingkungan dan Bangunan Kuno Bersejarah di Surakarta. Gajah Mada University Press. Yogyakarta 1989. Simond JO. Landscape Architecture. New York: McGraw Hill Book Co. 1983. Sinulingga BD. Pembangunan Kota, Tinjauan Regional dan Lokal. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. 1999. Soekadijo RG. Anatomi Pariwisata. Jakarta. 1996. Soemarwoto O. Aspek Ekologi dalam Pengelolaan DAS . Duta Rimba. Manggala Wanabakti. Jakarta. 1978. Soemarwoto O. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta: Penerbit Djambatan. 1996. Sugandy A. Penataan Ruang Wilayah, Daerah dan Kota. Prisma. Yogyakarta. 1984. Sullivan J. Rukun Kampung & Kampung, State Community Relation in Yogya Urban. Disertasi. Program Pascasarjana UGM. Yogyakarta. 1980 Suyitno. Perencanaan Wisata. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. 2001 Syahril. Kajian Tata Ruang DAS Impikasinya Terhadap Ketersediaan Air Kota Sub DAS Jompi Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara. [Tesis] MPKD UGM. Yogyakarta. 1996.
98
Tishler WH. Historic Landscape: An International Preservation Perspective Landscape Plan (9):91 – 108. 1982. Wahab S. Manajemen Kepariwisataan. Jakarta: Pranidya Paramita. 1987. Wayong P. Pola Permukiman Daerah Istimewa Yogyakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Proses Inventarisasi dan Dokumentasi. Yogyakarta. 1981. Wibowo AS. Pariwisata, Ekowisata dan Lingkungan. Jakarta. 2001. Zaim Z. Perubahan Pemanfaatan Ruang Kawasan Perumahan Tepi Sungai: Studi Kasus Ruas Sungai Code Kota Yogyakarta [Tesis].Yogyakarta: Program Pascasarjana, Universitas Gadjah mada. Yogyakarta. 2004.