MODEL KOMUNIKASI RISIKO KESIAPAN MASYARAKAT MENGHADAPI BENCANA GUNUNG API
EDI PUSPITO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
i
iii
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Model Komunikasi Risiko Kesiapan Masyarakat Menghadapi Bencana Gunung Api adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2015 Edi Puspito NIM I362100091
RINGKASAN EDI PUSPITO. Model Komunikasi Risiko Kesiapan Masyarakat Menghadapi Bencana Gunung Api. Dibimbing oleh SUMARDJO, TITIK SUMARTI dan PUDJI MULJONO. Komunikasi mengacu pada tindakan satu orang atau lebih, yang mengirim dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan, terjadi dalam suatu konteks tertentu, mempunyai pengaruh dan ada kesempatan melakukan umpan balik. Dalam komunikasi setidaknya terdapat unsur partisipan, pesan, dan saluran informasi. Komunikasi risiko merupakan proses berbagi makna mengenai bahaya fisik seperti lokasi kerja yang berbahaya, pencemaran lingkungan, penyakit dan lainlain baik melalui komunikasi tatap muka maupun bermedia. Komunikasi risiko membutuhkan kepercayaan yang mencakup kompetensi, obyektivitas, keadilan, konsistensi dan keyakinan. Dengan kata lain keyakinan ini didasarkan pada catatan masa lalu yang baik. Adapun komunikasi risiko kesiapan menghadapi bencana adalah kondisi fisik dan mental seseorang yang mendasari pengelolaan informasi dalam menghadapi risiko bencana gunung api. Perilaku merupakan proses pengolahan informasi melibatkan panca indra dan proses berpikir yang akan ditampilkan dalam bentuk gerak maupun disimpan di dalam memori. Perilaku manusia didasari oleh motivasi atau dorongan, baik dorongan biologis, insting maupun dorongan dari lingkungan. Dalam teori perilaku terencana, keinginan untuk melakukan suatu tindakan didasari atas pengetahuannya, keyakinan atas norma subyektif dan keyakinan mengontrol sumber daya. Bencana alam adalah bencana yang disebabkan oleh faktor alam yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis. Bencana alam identik dengan ketidakmampuan masyarakat terdampak bencana untuk mengatasi sendiri dengan menggunakan sumber daya sendiri, sehingga masyarakat terdampak bencana membutuhkan pertolongan dari pihak lain. Oleh sebab itu peran komunikasi sangat diperlukan dalam penanganan bencana yang membutuhkan peran multi aktor. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana perilaku komunikasi masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api dalam kesiapan menghadapi bencana gunung api. Untuk itu disusun indikator kesiapan menghadapi bencana gunung api yang merujuk pada konsep readiness dari Armenakis, model komunikasi antar manusia dari DeVito, model memori Wough dan Norman, dan teori perilaku terencana dari Fishbein dan Ajzen. Tujuan penelitian ini adalah (a) Menganalisa profil masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api yang beragam jenis dampak bencana gunung api; (b) Menganalisa perilaku komunikasi masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api dalam kesiapan menghadapi bencana gunung api; (c) Menganalisa manfaat komunikasi masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api dalam kesiapan menghadapi bencana gunung api; (d) Menganalisa komunikasi risiko kesiapan menghadapi bencana gunung api pada masyarakat di wilayah rawan bencana
gunung api; (e) Menganalisa faktor-faktor penentu kesiapan masyarakat menghadapi risiko bencana gunung api pada masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api; (f) Merancang strategi komunikasi untuk kesiapan masyarakat menghadapi bencana gunung api di wilayah rawan bencana gunung api. Pendekatan penelitian kuantitatif yang diperkuat kualitatif dengan metode survei dan wawancara mendalam serta pengamatan aktivitas komunikasi masyarakat. Penelitian dilakukan di Desa Dukun Kecamatan Dukun dan Desa Jumoyo Kecamatan Salam Kabupaten Magelang Jawa Tengah, serta Desa Wukirsari Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman DI Yogyakarta. Jumlah sampel sebanyak 200 dibagi secara proporsional pada tiga wilayah, serta masingmasing wilayah terbagi atas laki-laki dan perempuan dengan proporsi yang sama. Penentuan sampel dilakukan secara acak sederhana menggunakan perangkat lunak Microsoft excel. Hasil penelitian antara lain menunjukkan a) laki-laki dan perempuan berbeda nyata pada tingkat pendidikan dan status pekerjaannya, pendidikan responden memiliki hubungan nyata dengan lama tinggal di wilayah rawan bencana dan status pekerjaan; b) masyarakat yang tinggal di wilayah terdampak bencana berbeda memilliki perilaku komunikasi yang berbeda; c) dalam hal manfaat komunikasi, tidak terdapat perbedaan nyata dalam hal manfaat komunikasinya; d) masyarakat di wilayah R3 yang mengalami dampak paling parah memiliki kerentanan paling tinggi dalam hal komunikasi risiko kesiapan menghadapi bencana gunung api; e) penguasaan media yang diarahkan kepada kemanfaatan komunikasi merupakan faktor penentu kesiapan menghadapi bencana gunung api; f) strategi untuk meningkatkan kesiapan menghadapi bencana gunung api diarahkan kepada penguasaan media komunikasi dan manfaat komunikasi agar masyarakat di wilayah bencana gunung api lebih siap menghadapi bencana gunug api. Kata kunci : bencana, komunikasi, kesiapan, risiko, perilaku
SUMMARY EDI PUSPITO. Model of Risk Communication Readiness in Facing Volcanic Disaster. Under supervision of SUMARDJO, TITIK SUMARTI and PUDJI MULJONO.
Communication refers to the act of one person or more, which send and receive messages distorted by interference, occurs in a particular context, has an effect and there is opportunity to give a feedback. There are element in communication; participants, message, and channel information. Risk communication is the process of sharing meaning about the physical dangers such as hazardous work sites, environmental pollution, diseases, etc., either through face-to-face or through mediated communication. Risk communication requires trust which includes competence, objectivity, fairness, consistency and faith. In other words, this belief is based on the past record that is good. Communication of disaster readiness is physical and mental condition of a person's underlying information management of encounter volcano disaster risk. Behavior is a process of information processing that involves sensory and thought processes that will be displayed in the form of motion and kept in memory. Human behavior based on motivation or encouragement, either biological urge, instinct and impulse of the environment. In the theory of planned behavior, a desire to perform an action based on the knowledge, belief of subjective norm and belief to control the resource. The natural disaster is a disaster caused by natural factors that threaten and disrupt the lives and livelihood of the society resulting the emergence of human fatalities, damage of environmental, loss of property and things, and psychological impact. Natural disaster is identical with disaster affected people inability to cope on their own by using their own resources, therefore the disaster affected people need help from others. Therefore, the role of communication is needed in disaster management that requires a multi actor role. Issues raised in this study was how communication behavior of people in disaster prone area mostly for their readiness to face volcano disaster risk. Therefore a paradigm of readiness to face volcano disaster that refers to the concept of readiness by Armenakis, model of communication among people by DeVito, Norman and Wough memory model, and the theory of planned behavior by Fishbein and Ajzenin. The main objective of this study are to: (a) analyze people profile in volcano disaster prone area that has many variations; (b) analyze communication behavior of people in disaster prone area, mainly in readiness to face volcano disaster; (c) analyze the use of people communication media in disaster prone area, mainly in readiness to face volcano disaster; (d) analyze risk communication of readiness to face volcano disaster of people, who live in volcano disaster prone area; (e) analyze determining factors of communication benefit in readiness of people in volcano disaster prone area to face volcano disaster; (f) to design communication strategy for community’s readiness in facing volcanic disaster in volcanic disaster prone areas.
Quantitative research approach reinforced with qualitative approach using survey method and deep interview, and observation to activity of people communication. The study was conducted in Dukun and Jumoyo in Central Java, and Wukirsari in DI Yogyakarta. Total sample of 200 persons divided proportionally into 3 regions, and sample in each region was divided into men and women with the same proportion. Sampling was conducted using simple random method with a software named Microsoft excel. The results of the research are among others showed that: (a) men and women were significantly different at the educational level and occupation status, respondent’s educational level was related significantly with the length of stay in the disaster prone area and with the occupation status; (b) the community who stayed in different disaster exposure revealed different communication behavior; (c) there was no significant difference, in terms of its communication benefit; (d) community in the R3 area, who experienced the most severe disaster effects, showed the highest vulnerability in terms of risk communication for readyness in facing volcanic disaster; (e) the skill in using communication media, which was directed into communication benefit was the determinning factors of readiness in facing volcanic disaster; (f) strategy to improve readiness in facing the volcanic disaster was directed into the skill in using communication media and communication benefit so that the community in the volcanic disaster areas would be more ready in facing volcanic disaster. Keywords: disaster, communication, readiness, risk, behavior
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
MODEL KOMUNIKASI RISIKO KESIAPAN MASYARAKAT MENGHADAPI BENCANA GUNUNG API
EDI PUSPITO
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji luar komisi
:
Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr Ir Djuara P Lubis, MS 2. Dr Ir Sarwititi, MS
Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Prof Dr Ir Euis Sunarti, MS 2. Dr Ir Djuara P Lubis, MS
Judul Disertasi Nama NIM
: Model Komunikasi Risiko Kesiapan Masyarakat Menghadapi Bencana Gunung Api : Edi Puspito : I362100091
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Sumardjo, MS Ketua
Dr Ir Titik Sumarti, MS Anggota
Dr Ir Pudji Muljono, MSi Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Djuara P Lubis, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MscAgr
Tanggal Ujian : 28 Oktober 2014
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2012 ini ialah Komunikasi risiko kesiapan menghadapi bencana gunung api, dengan judul Model Komunikasi Risiko Kesiapan Masyarakat Menghadapi Bencana Gunung Api. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Sumardjo, MS, Ibu Dr Ir Titik Sumarti, MS dan Dr Ir Pudji Muljono, MSi selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada para sesepuh, budayawan, penggiat radio komunitas di wilayah Gunung Merapi serta para relawan di lingkup Jalin Merapi, yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada keluarga dan teman-teman yang telah membantu baik secara moril maupun materiil. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2015 Edi Puspito
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
xvi
DAFTAR GAMBAR
xviii
1
PENDAHULUAN Latar belakang Perumusan Masalah Tujuan penelitian Kegunaan Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 5 6 6 7
2 KERANGKA TEORITIS DAN EMPIRIS Tinjauan Pustaka Kerangka Berpikir Metode Penelitian
10 27 40
3 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN PROFIL MASYARAKAT DI WILAYAH RAWAN BENCANA GUNUNG API Abstrak Pendahuluan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan
49 49 50 51 57
4 PERILAKU KOMUNIKASI Abstrak Pendahuluan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan 5 MANFAAT KOMUNIKASI BAGI MASYARAKAT DI WILAYAH RAWAN BENCANA GUNUNG API Abstrak Pendahuluan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan
58 58 59 60 73
74 74 75 76 89
6 MODEL DAN FAKTOR PENENTU KESIAPAN MENGHADAPI RISIKO BENCANA GUNUNG API Abstrak 90 Pendahuluan 90 Metode 92 Hasil dan Pembahasan 93 Simpulan 102
xv
7 PEMBAHASAN UMUM
103
8 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
113 114
DAFTAR PUSTAKA RIWAYAT HIDUP
116 123
DAFTAR TABEL 1 Masalah dasar dalam hidup yang menentukan orientsai nilai budaya manusia 2 Partisipan komunikasi penurunan risiko masa tanggap darurat letusan Gunung Merapi 2010 3 Klasifikasi media menurut jenis, pengguna, dan sasaran 4 Struktur pengelola sistem informasi bencana 5 Kegiatan komunikasi pada berbagai status bencana 6 Komunikasi dan kesiapan menghadapi perubahan 7 Perbedaan pengetahuan, sikap, keyakinan dan respon yang siap dan yang rentan menghadapi bencana gunung api 8 Perbedaan keterampilan bermedia antara rentan dan siap menghadapi bencana gunung api 9 Perbedaan karakteristik partisipan yang rentan dan yang siap menghadapi bencana gunung api 10 Jumlah kepala keluarga dan proporsi sampel 3 desa lokasi penelitian 11 Indikator kelompok variabel karakteristik individu (X1) 12 Indikator kelompok variabel persepsi terhadap partisipan (X2 13 Dimensi persepsi terhadap partisipan 14 Indikator kelompok variabel penguasaan media komunikasi (X3) 15 Dimensi penguasaan media komunikasi 16 Indikator kelompok variabel keterampilan penggunaan media (X4) 17 Dimensi keterampilan menggunakan media komunikasi 18 Indikator kelompok variabelintervensi media (X5) 19 Dimensi tingkat kepercayaan terhadap intervensi media 20 Indikator kelompok variabelfaktor lingkungan (X6) 21 Dimensi Dukungan Lingkungan 22 Indikator kelompok variabelmanfaat komunikasi (Y1) 23 Dimensi manfaat komunikasi 24 Definisi operasional dan dimensi kelompok variabelsiaga bencana (Y2) 25 Sebaran responden menurut indikator pada variabel karakteristik individu dan menurut wilayah terdampak bencana
11 20 22 27 29 31 32 34 35 41 42 42 43 43 43 44 44 44 45 45 45 46 46 46 53
26
27
28
29 30
31 32 33 34
35 36 37
38 39 40 41 42
43 44 45 46
gunung api , serta hasil uji beda Kruskal Wallis Sebaran responden berdasarkan indikator pada variabel karakteristik individu dan hasil uji beda Mann Whitney berdasarkan jenis kelamin Hasil uji Rank Spearman hubungan antar indikator pada variabel karakteristik individu responden di wilayah rawan bencana gunung api Sebaran responden berdasarkan variabel perilaku komunikasi dan wilayah terdampak bencana, serta hasil uji beda Kruskal Wallis berdasarkan wilayah terdampak bencana berbeda Hasil uji Kruskal Wallis perbedaan persepsi terhadap sumber informasi berdasar jenis kelamin dan status pekerjaan Koefisien korelasi hasil uji Rank Spearman terhadap hubungan persepsi terhadap partisipan dengan tingkat pendidikan formal dan lama tinggal responden di wilayah terdampak bencana Sebaran responden berdasarkan karakteristik individu dan tingkat penguasaan media komunikasi Sebaran responden menurut wilayah terdampak bencana gunung api dan alasan tidak menguasai media komunikasi Hasil uji Kruskal Wallis terhadap perbedaan penguasaan media berdasar jenis kelamin dan status pekerjaan Hasil uji Rank Spearman terhadap hubungan penguasaan media komunikasi dengan tingkat pendidikan formal dan lama tinggal di wilayah rawan bencana gunung api Sebaran responden berdasarkan karakteristik individu dan tingkat keterampilan penggunaan media komunikasi Hasil uji Kruskal Wallis beda jenis informasi yang diakses oleh responden berdasar jenis kelamin dan status pekerjaan Koefisien korelasi hasil uji Rank Spearman hubungan jenis informasi yang diakses dengan tingkat pendidikan dan lama tinggal di wilayah rawan bencana gunung api Sebaran responden berdasar karakteristik individu dan proporsi jenis informasi yang diakses Sebaran tingkat kepercayaan masyarakat terhadap berbagai tayangan di media radio dan TV Sebaran masyarakat berdasar persepsi tentang pengaruh lingkungan terhadap kesiapan menghadapi bencana gunung api Sebaran responden berdasar tingkat manfaat komunikasi dan wilayah penelitian Sebaran tingkat keterampilan komunikasi, tingkat manfaatkomunikasi dan indeks manfaatkomunikasi menurut wilayah penelitian Aktivitas dan karakteristik beberapa akunt twitter Sebaran responden berdasar karakteristik individu dan manfaat komunikasi Hasil uji beda Kruskal Wallis manfaat komunikasi antara lakilaki dan perempuan Hasil uji beda Kruskal Wallis manfaat komunikasi antara warga
54
55
60
62 63
63 64 65 65
66 69 69
70 71 72 76 77 79 81 82 83
47
48 49 50
51 52 53 54
55 56
yang tidak bekerja, bekerja di sektor informal dan yang bekerja di sektor formal Hasil uji Rank Spearman hubungan antara manfaat komunikasi 83 dengan tingkat pendidikan dan lama tinggal di wilayah rawan bencana gunung api Hasil uji Pearson hubungan antara perilaku komunikasi dengan 84 manfaat komunikasi Variabel laten dan indikatornya 92 Sebaran responden dan uji beda Kruskal Wallis berdasar rerata 93 tingkat kesiapan menghadapi bencana gunung api dan wilayah terdampak bencana Sebaran rerata tingkat kesiapan menghadapi bencana gunung 94 api berdasar jenis kelamin Hasil kriteria kesesuaian model SEM komunikasi risiko 96 kesiapan masyarakat menghadapi bencana gunung api Pengaruh antar variabel model komunikasi risiko kesiapan 96 masyarakat menghadapi bencana gunung api Hasil analisis pengaruh faktor lingkungan terhadap manfaat 100 komunikasi dan faktor lingkungan terhadap kesiapan menghadapi bencana Irama kentongan dan maknanya 106 Faktor pendorong dan penghambat komunikasi risiko kesiapan 110 menghadapi bencana gunung api
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Bahaya, kerentanan, risiko, dan bencana (BNPB, 2007) Kebiasaan, adat dan kepribadian Model hipotesis proses pembentukan perilaku Model teori perilaku terencana (Hale dkk, 2002) Komunikasi universal antarmanusia menurut DeVito (2011) Keanggotaan dalam berbagai jaringan komunikasi Alur pikir penelitian perilaku komunikasi masyarakat dalam kesiapan menghadapi bencana gunung api Karakteristik sistem Pengintegrasian media komunikasi dalam sistem informasi bencana (Web) Jalin 25 Merapi Kerangka pikir aktivitas komunikasi risiko menghadapi bencana gunung api Kerangka berpikir hubungan antar variabel model komunikasi risiko kesiapan masyarakat menghadapi bencana gunung api Peta wilayah penelitian model komunikasi risiko kesiapan masyarakat menghadapi bencana gunung api Proporsi jenis pekerjaan sektor informal yang dijadikan sumber matapencaharian oleh masyarakat pada tiga wilayah
3 11 14 16 18 19 23 25 26 28 39 51 54
14 15 16 17 18
19 20 21 22
penelitian Sebaran status pekerjaan laki-laki dan perempuan di wilayah rawan bencana gunung api Sebaran status pekerjaan dan tingkat pendidikan masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api Sebaran tingkat pendidikan masyarakat berdasar lama tinggal di wilayah terdampak bencana gunung api Perbandingan persepsi terhadap partisipan Grafik proporsi tingkat kepercanaan responden terhadap kemasan acara di media massa TV dan radio berdasar wilayah penelitian Konsep model komunikasi risiko kesiapan masyarakat menghadapi bencana gunung api Standarized loading factor model komunikasi risiko kesiapan masyarakat menghadapi bencana gunung api Tabisma, Tabungan Siaga Bencana di Dusun Deles Keterpaduan saluran komunikasi dalam komunikasi risiko kesiapan menghadapi bencana gunung api
55 56 56 61 71
91 95 101 109
1 PENDAHULUAN Latar belakang Bencana gunung api telah mendorong banyak manusia di seluruh dunia terlibat sebagai partisipan komunikasi. Lalu lintas informasi pada saat bencana akan meningkat secara nyata dibanding pada keadaan normal. Situs twitter Jalin Merapi terjadi lonjakan pengikut dari sekitar 800 followers menjadi sekitar 33.000 followers pada saat erupsi Gunung Merapi 2010 (Jalin Merapi 2010). Informasi saat bencana sangat banyak dan beragam, tumpang tindih, dan tidak terkendali. Masyarakat, baik di wilayah bencana maupun diluar wilayah bencana disuguhi beragam informasi dari berbagai media yang berusaha menggambarkan fakta di lapangan. Indonesia secara geografis berada di kawasan "Pacific Ring of Fire" memiliki lebih dari 83 gunung api aktif sehingga berpotensi sering terjadi gempa bumi maupun meletusnya gunung api. Bencana gunung api meskipun memiliki tanda-tanda, namun kejadian dan dampak dari bencana tersebut tidak dapat dihindari. Upaya-upaya menekan risiko bencana gunung api harus senantiasa dilakukan, baik sebelum, selama, maupun setelah terjadi bencana. Mengingat penanganan bencana gunung api membutuhkan peran berbagai pihak, baik masyarakat di wilayah rawan bencana, pemerintah, swasta, LSM, maupun para relawan dan donatur, maka peran komunikasi menjadi sangat penting. Peran komunikasi terutama untuk menyinergikan berbagai bentuk bantuan, baik material maupun non material. Oleh sebab itu agar penanganan bencana berjalan secara efektif, maka perlu dikembangkan sebuah model komunikasi untuk kesiapan masyarakat menghadapi bencana gunung api. Dalam UU No. 24 tahun 2007 dijelaskan bahwa bencana alam adalah bencana yang disebabkan oleh faktor alam yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Menurut Nivolianitou dan Synodinou (2011) bencana alam merupakan gangguan serius terhadap suatu komunitas yang menyebabkan kerugian materi, ekonomi, atau lingkungan hidup yang melampaui batas kemampuan masyarakat yang terdampak untuk mengatasi dengan menggunakan sumber dayanya sendiri. Gunung api merupakan tempat keluarnya magma ke permukaan bumi, umumnya berbentuk kerucut yang terbentuk dari timbunan bahan letusan, seperti lava dan material lepas yang berasal dari bagian dalam bumi. Gunung api dapat menimbulkan bahaya bagi penduduk yang tinggal di sekitar gunung api tersebut. Bahaya paling utama dari letusan gunung api adalah bahaya yang langsung terjadi ketika letusan sedang berlangsung. Jenis bahaya tersebut adalah awan panas, lontaran batu pijar, hujan abu yang lebat, leleran lava, dan gas beracun,sedangkan bahaya sekunder dari letusan gunung api adalah lahar (BNPB, 2008). Salah satu gunung api yang masuk dalam kategori paling aktif di dunia adalah Gunung Merapi yang terletak di perbatasan Propinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta, memiliki ketinggian puncak 2.968 meterdi atas permukaan laut (per 2006) dan memiliki selang letusan sejak tahun 1871 sampai
2
dengan 2001 antara 1 sampai 7 tahun sekali. Portal BBC tanggal 27 Oktober 2010 menyebutkan bahwa korban jiwa pada letusan Gunung Merapi disebabkan oleh luka bakar serius, sementara itu portal Kabupaten Sleman yang dirilis 3 Desember 2010 mengungkapkan korban jiwa yang ditemukan disebabkan sakit maupun karena usia lanjut. Badan Nasional Penanggulangan Bencana menyebutkan paling tidak ada empat faktor utama yang menimbulkan banyak korban dan kerugian akibat bencana, yaitu (a) pemahaman terhadap karakteristik bahaya; (b) sikap/perilaku yang mengakibatkan penurunan kualitas sumber daya alam; (c) kurangnya informasi/peringatan dini yang menyebabkan ketidaksiapan; (d) ketidakberdayaan/ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman bahaya. Meskipun upaya penurunan risiko bencana telah dilakukan oleh pemerintah melalui kementerian/lembaga/instansi terkait serta lembaga/organisasi non pemerintah maupun masyarakat, namun kejadian bencana tetap menunjukkan peningkatan baik intensitas maupun dampak kerugiannya (BNPB 2007). Anwar (2011) mengatakan bencana alam merupakan suatu peristiwa yang tidak mudah diprediksi kapan akan terjadi. Banyak pihak meyakini kejadian bencana alam merupakan salah satu faktor yang bisa menyebabkan suatu komunitas atau individu menjadi jatuh miskin. Hilangnya aset (tempat tinggal, alat produksi, maupun lahan kerja) dalam waktu yang sangat cepat diyakini menjadi faktor penting yang memicu terjadinya kerentanan ekonomi yang bisa mengancam suatu komunitas. Salah satu bencana gunung api adalah letusan Gunung Merapi tahun 2010 yang menimbulkan korban jiwa sebanyak 242 orang meninggal di wilayah Daerah IstimewaYogyakarta dan 97 orang meninggal di wilayah Jawa Tengah (BNPB, 2010). Kerusakan yang diakibatkan oleh erupsi Gunung Merapi berdampak pada sektor permukiman, infrastruktur, telekomunikasi, listrik dan energi, serta air bersih. Di sektor permukiman, akibat erupsi Gunung Merapi tahun 2010 telah mengubur sejumlah dusun di Provinsi DI Yogyakarta dan mengakibatkan ribuan rumah penduduk mengalami kerusakan. Tercatat 2.636 unit rumah rusak berat dan tidak layak huni, 156 rumah rusak sedang, dan 632 rumah rusak ringan, sehingga secara keseluruhan terdapat 3.424 rumah di wilayah Provinsi DI Yogyakarta yang mengalami kerusakan sebagai dampak erupsi Gunung Merapi. Wilayah Provinsi Jawa Tengah, tercatat total 3.705 rumah yang mengalami kerusakan akibat erupsi Gunung Merapi, dengan sebaran 551 rumah rusak berat, 950 rumah rusak sedang, dan 2.204 rumah rusak ringan. Berdasarkan hasil penilaian kerusakan dan kerugian yang diakibatkan erupsi Gunung Merapi, sesuai data tanggal 31 Desember 2010 yang dihimpun Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dampak bencana erupsi Gunung Merapi tersebut telah menimbulkan kerusakan dan kerugian sebesar Rp.3,557 triliun. Kerusakan dan kerugian terbesar terjadi pada sektor ekonomi produktif dengan perkiraan kerusakan dan kerugian mencapai Rp.1,692 triliun (46,64 persen dari total nilai kerusakan dan kerugian), kemudian diikuti sektor infrastruktur sebesar Rp.707,427 miliar atau 19,50 persen, sektor perumahan Rp.626,651 miliar atau 17,27 persen, lintas sektor Rp.408,758 miliar atau 13.22 persen, dan sektor sosial Rp.122,472 miliar atau 3,38 persen (BAPPENAS dan BNPB 2011). Oleh sebab itu untuk mengurangi risiko sebagai dampak bencana Gunung Merapi, banyak kalangan telah memanfaatkan media komunikasi, baik
3
untuk memberikan peringatan dini maupun informasi yang erat kaitannya dalam, saat bencana maupun pasca bencana. Beberapa korban saat erupsi Gunung Merapi disebabkan masyarakat tidak memprediksi hembusan awan panas yang melewati wilayah tempat tinggal. Selain itu adanya kekhawatiran hilangnya harta benda, serta kurangnya antisipasi masyarakat dalam menghadapi perubahan bencana Gunung Merapi menyebabkan mereka terlambat mengungsi. Paradigma sistem penanggulangan bencana saat ini menuntut masyarakat lebih berperan aktif dalam penurunan risiko bencana. Tanggungjawab penurunan risiko bencana tidak hanya pada pemerintah pusat, akan tetapi juga menjadi tanggungjawab pemerintah daerah. Demikian pula ruang lingkup penurunan risiko bencana juga semakin luas dari tanggap darurat diperluas menjadi mitigasi, tanggap darurat, rehabilitas, dan rekonstruksi. Pengelolaan bencana adalah suatu medan yang melibatkan multi aktor, lintas disiplin ilmu, dan antar institusi. Bencana juga tidak mudah dikarantina serta memiliki karakter persoalan yang berbeda satu dengan yang lain. Kepala Pusat Studi Bencana Universitas Gajah Mada (2013) mengatakan karakteristik bencana yang dihadapi masing-masing wilayah berbeda, oleh sebab itu pemetaan risiko bencana hendaknya disajikan secara lengkap dan dapat diakses semua pihak. Selama ini berbagai potensi bantuan bergerak sendiri-sendiri, bahkan relawan yang berasal dari luar wilayah merasa bingung karena tidak ada informasi yang memadai. Akibatnya pertolongan menjadi lamban, terjadi penumpukan logistik di titik-titik tertentu, sedangkan dititik lain terjadi kelangkaan bantuan. Pertolongan dalam bencana berpacu dengan waktu, berhadapan dengan cuaca yang tidak menentu, masing-masing bertindak serampangan, dan sayangnya tidak ada tindaklanjut atas sejumlah masukan temuan lapangan (Chandra, 2011). Bahaya (hazard) Fenomena alam/ buatan yang berpotensi mengancam kehidupan manusia, kerusakan harta benda dan lingkungan
Bencana
Risiko bencana (disaster risk) Potensi kerugian yang timbul akibat bencana
Kerantanan (vulnerability) Kondisi masyarakat yang menyebabkan ketidakmampuan menghadapi bencana
Pemicu
Gambar 1. Bahaya, kerentanan, risiko, dan bencana (BNPB, 2007) Risiko berhubungan dengan ketidakpastian kejadian yang akan datang. Hal tersebut disebabkan kurang atau tidak tersedianya cukup informasi tentang apa yang akan terjadi. Oleh sebab itu risiko dapat diartikan sebagai suatu kerugian yang mungkin dialami oleh seseorang atau sekelompok orang dikemudian hari. Konsep risiko menurut Charette dalam Pramana (2011) berhubungan dengan kejadian di masa datang, melibatkan perubahan, serta melibatkan pilihan dan ketidakpastian bahwa pilihan itu akan dilakukan.
4
Dalam disiplin penanggulangan bencana, risiko bencana adalah interaksi antara tingkat kerentanan wilayah dengan ancaman bahaya (hazard) yang ada. Ancaman bahaya, khususnya bahaya alam sifatnya tetap karena bagian dari dinamika proses alami pembangunan atau pembentukan roman muka bumi baik dari tenaga internal maupun eksternal. Adapun tingkat kerentanan wilayah dapat dikurangi melalui peningkatan kemampuan dalam menghadapi ancaman tersebut (Harjadi dkk 2007). Secara grafis hubungan antara ancaman, kerentanan, risiko dan kejadian bencana dapat dilihat pada Gambar 1. Kerentanan (vulnerability) Kerentanan dalam komunikasi risiko menghadapi bencana dapat disebabkan oleh persoalan internal individu pada masyarakat di wilayah rawan bencana maupun faktor lingkungan, baik lingkungan sosial maupun lingkungan fisik. Persoalan internal individu berupa kondisi fisik yang menghambat kegiatan komunikasi. Permasalahan panca indra sebagai media penerimaan stimulus akan menghambat dalam berkomunikasi. Pemberian maupun penerimaan informasi akan terhambat akibat ketidakmampuan pancaindra menerima stimulus dengan baik. Persoalan internal yang lain adalah kemampuan berbahasa yang buruk, rasa percaya diri yang kurang, kurang memiliki kemampuan memahami orang lain, mudah berprasangka buruk adalah hal-hal yang dapat meningkatkan kerentanan dalam komunikasi risiko menghadapi bencana. Dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang penurunan risiko bencana, untuk mengurangi risiko dilakukan melalui kegiatan fisik, penyadaran, dan peningkatan kemampuan menghadapi bencana. Kesiapan menghadapi bencana dimaksudkan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian, serta langkah-langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Kegiatan tersebut antara lain berupa penyiapan sarana komunikasi, pemasangan alat peringatan dini, penyiapan lokasi evakuasi, pusat informasi, pos komando, dan lain-lain. Perserikatan Bangsa-bangsa menyelenggarakan berbagai program berkaitan dengan penurunan kerentanan yang disebabkan oleh bencana melalui organisasiorganisasi dibawahnya. Melalui program pangan dunia (WFP), organisasi pangan dunia (FAO), organisasi yang mengurusi pengungsi (UNHCR), organisasi internasional untuk migrasi (IOM), program pembangunan PBB (UNDP) dan organisasi yang mengurusi anak-anak (UNICEF). Dalam penyelenggaraan kebencanaan dan kemanusiaan diawasi dan difasilitasi oleh koordinator urusan kemanusiaan (OCHA). Untuk melakukan koordinasi bantuan semua lembaga kemanusiaan, baik di dalam maupun di luar sistem PBB dilakukan oleh IASC. Sebagai upaya menurunkan tingkat kerentanan terhadap bencana, melalui resolusi Majelis Umum PBB no. 63/139 tanggal 11 Desember 2008, telah menetapkan tanggal 19 Agustus sebagai Hari Kemanusiaan Dunia.Tujuan ditetapkannya haru kemanusiaan dunia tersebut adalah untuk meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap aktivitas bantuan kemanusiaan dunia dan pentingnya kerjasama dunia dalam penanganan kemanusiaan. Disamping itu juga sebagai bentuk penghargaan kepada organisasi dan asosiasi yang bekerja dengan atas nama kemanusiaan, serta penghormatan kepada mereka yang meninggal selama menjalankan tugas kemanusiaan. Resolusi PBB No. 44/236 tanggal 22 Desember 1989 menetapkan Hari Rabu pada minggu kedua setiap bulan Oktober
5
sebagai hari pengurangan bencana alam (Internatioan Day for Natural Disaster Reduction). Bentangan yang sangat luas dalam penurunan risiko bencana dan tuntutan adanya peranserta seuluruh partisipan memerlukan suatu strategi komunikasi yang efektif agar kegiatan penurunan risiko bencana dapat berjalan secara optimal. Berdasar hal tersebut maka perlu dirumuskan model komunikasi risiko kesiapan menghadapi bencana gunung api yang dapat meningkatkan kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana gunung api sehingga risiko bencana gunung api dapat dikurangi. Perumusan Masalah Berdasarkan temuan di lapangan, belum optimalnya penurunan risiko bencana meletusnya Gunung Merapi disebabkan oleh banyak faktor. Dalam pendekatan komunikasi faktor tersebut antara lain (a) Simpang siurnya berita yang diterima masyarakat dari berbagai sumber seringkali menimbulkan kekacauan pada penurunan risiko bencana; (b) Pemerintah tidak sepenuhnya mampu melakukan kontrol beredarnya informasi di tengah-tengah masyarakat mengingat banyak kalangan turut serta dalam penyebarluasan informasi, seperti melalui layanan pesan singkat, internet, radio, dan televisi; (c) Masih lemahnya masyarakat dalam mengakses informasi yang diperlukan dalam penurunan risiko bencana (pra, tanggap darurat, dan pasca bencana). Sesuai amanah UU 24 tahun 2007, penanggulangan bencana tidak hanya dilakukan hanya pada saat terjadi bencana (tanggap darurat), melainkan dimulai pada pra bencana sampai dengan pasca bencana. Pada pasal 27 butir a. menyebutkan setiap orang berkewajiban memberikan informasi yang benar kepada publik tentang penanggulangan bencana. Beragamnya informasi yang diperlukan masyarakat menuntut mereka untuk memiliki kemampuan dalam mencari dan berbagi informasi terkait bencana. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah disusun sebagai berikut : 1. Bagaimanakah profil masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api? 2. Bagaimana perilaku komunikasi masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api untuk kesiapan menghadapi bencana gunung api? 3. Sejauhmana manfaat komunikasi bagi masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api untuk kesiapan menghadapi bencana gunung api? 4. Sejauhmana kesiapan masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api menghadapi bencana gunung api, serta faktor-faktor apa saja yang menentukan kesiapan menghadapi bencana gunung api dari perspektif komunikasi? 5. Bagaimana strategi yang harus diterapkan pada masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api untuk meningkatkan kesiapan menghadapi bencana gunung api. Penelitian ini dilakukan untuk menjawab permasalahan tersebut, oleh sebab itu maka dengan pendekatan deduktif dirumuskan karakteristik kesiapan menghadapi bencana gunung api, yaitu menguraikan kondisi masyarakat yang siap dan yang rentan menghadapi bencana gunung api, karakteristik manfaat
6
media komunikasi untuk kesiapan menghadapi bencana gunung api, serta karakteristik partisipan untuk kesiapan menghadapi bencana gunung api yang mendukung dan tidak mendukung kesiapan menghadapi bencana gunung api. Tujuan penelitian Penelitian ini secara umum dilakukan untuk menjawab permasalahan bagaimana kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana gunung api melalui kegiatan komunikasi. Perilaku komunikasi yang diteliti dilihat dari dimensi media komunikasi, partisipan, bentuk pesan, dukungan faktor eksternal, manfaat komunikasi, dan kesiapan menghadapi bencana gunung api dari perspektif komunikasi. Asumsi dasar dari penelitian ini adalah apabila masyarakat memiliki keterampilan yang tinggi dalam berkomunikasi, memiliki persepsi yang baik terhadap partisipan dan intervensi media, ditunjang ketersediaan sarana prasarana, norma dan nilai budaya, maka masyarakat akan memperoleh manfaat komunikasi yang optimal dalam mewujudkan masyarakat yang siap menghadapi bencana gunung api. Berdasarkan pembatasan permasalahan, maka tujuan penelitian ini adalah untuk (1) Menganalisa profil masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api; (2) Menganalisa perilaku komunikasi masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api untuk kesiapan menghadapi bencana gunung api; (3) Menganalisa manfaat komunikasi masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api untuk kesiapan menghadapi bencana gunung api; (4) Menganalisa kesiapan masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api untuk menghadapi bencana gunung api, serta Menganalisa faktor-faktor yang menentukan kesiapan masyarakat menghadapi bencana gunung api dari perspektif komunikasi; dan (5) menyusun model komunikasi risiko kesiapan menghadapi bencana gunung api pada masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai titik awal penyusunan model kesiapan menghadapi bencana gunung api dari perspektif komunikasi. Dalam tatanan praktis, melalui pengetahuan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku komunikasi masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api dalam kesiapan menghadapi bencana gunung api dapat disusun strategi yang efektif bagi peningkatan kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana gunung api. Hasil penelitian ini juga diharapkan berguna untuk menyusun arah pembinaan para agen komunikasi dalam pemanfaatan sumber daya, sarana dan prasarana komunikasi selain untuk kesiapan menghadapi bencana, akan tetapi secara kreatif memanfaatkannya untuk kepentingan yang lebih luas, terutama dalam mengoptimalkan sumber daya yang ada di wilayah rawan bencana gunung api. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan penanggulangan bencana untuk mengurangi risiko bencana gunung api di Propinsi Jawa Tengah maupun di Propinsi Daerah IstimewaYogyakarta.
7
Kebaruan Penelitian tentang kesiapan (readiness) banyak dikaji untuk ruang lingkup managemen dan pendidikan dan belum digunakan untuk mengkaji kesiapan dalam ranah bencana. Penelitian komunikasi yang terkait dengan bencana juga banyak dikaji terutama terkait bagaimana koordinasi antar partisipan dan penggunaan perangkat keras maupun perangkat lunak untuk kepentingan bencana. Penelitian ini menggabungkan dua ranah, yaitu tentang komunikasi dan tentang kesiapan (readiness). Penelitian ini menawarkan sebuah konsep baru tentang kesiapan menghadapi bencana gunung api dari perspektif komunikasi. Hasil akhir dari penelitian ini adalah skenario meningkatkan kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana gunung api dari perspektif komunikasi. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini termasuk ke dalam ruang lingkup penelitian komunikasi. Substansi penelitian ini mengenai komunikasi masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api untuk kesiapan menghadapi bencana gunung api. Penelitian dilakukan di tiga lokasi yang berbeda jenis terdampak bencananya untuk selanjutnya dilakukan pengujian terhadap perbedaan perilaku komunikasi masyarakat pada tiga lokasi tersebut. Pada penelitian ini dilakukan identifikasi terhadap faktor-faktor yang menentukan manfaat komunikasi dan kesiapan masyarakat menghadapi bencana gunung api. Pola penyajian disertasi disusun berdasarkan tujuan penelitian, yaitu : 1. Profil masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api. 2. Perilaku komunikasi masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api untuk kesiapan menghadapi bencana gunung api. 3. Manfaat komunikasi masyarakat untuk kesiapan menghadapi bencana gunung api. 4. Model komunikasi risiko dan faktor penentu kesiapan masyarakat menghadapi bencana gunung api. 5. Strategi peningkatan kesiapan masyarakat menghadapi bencana gunung api yang diulas pada pembahasan umum. Perilaku yang dianalisa meliputi keterampilan dalam penggunaan media komunikasi, penguasaan media komunikasi, persepsi terhadap partisipan dan persepsi terhadap intervensi media. Selain itu dibahas mengenai persepsi masyarakat terhadap dukungan lingkungan untuk komunikasi risiko kesiapan menghadapi bencana gunung api. Daftar Istilah Beberapa istilah dasar yang digunakan dalam disertasi diuraikan berikut ini. (a) Perilaku merupakan respon atas stimulus yang diterima oleh indera, baik yang dapat diamati oleh indera, seperti berbicara dan bergerak atau yang tidak dapat diamati oleh indera, seperti sikap, keyakinan, dan niat.
8
(b) Komunikasi adalah penyampaian informasi dari partisipan yang satu kepada partisipan lainnya sehingga terjadi kesamaan makna antar partisipan. (c) Komunikasi risiko adalah proses berbagi makna mengenai bahaya fisik seperti lokasi kerja yang berbahaya, pencemaran lingkungan, penyakit, dan lain-lain melalui komunikasi tatap muka maupun bermedia. (d) Komunikasi risiko kesiapan menghadapi bencana gunung api adalah kondisi fisik dan mental seseorang yang mendasari pengelolaan informasi dalam menghadapi bencana gunung api. (e) Agen komunikasi adalah orang atau pihak yang berperan sebagai jembatan informasi dari partisipan yang satu kepada partisipan lainnya (f) Media sosial (sosial media) adalah sebuah sarana berkomunikasi secara online, para penggunanya dapat berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi meliputi blog, jejaring sosial, wiki, forum dan dunia virtual. (g) Teknologi informasi adalah teknologi yang digunakan untuk memproses, memanipulasi, dan mengorganisasi atau menata sekelompok data yang memiliki nilai pengetahuan bagi penggunanya (h) Teknologi komunikasi adalah teknologi yang membantu manusia menyalurkan, menyebarkan informasi ke tempat tujuan. (i) Konvergensi media adalah penggabungan atau pengintegrasian media-media yang ada untuk digunakan dan diarahkan ke dalam satu titik tujuan. (j) Komunitas adalah kelompok orang yang hidup di suatu wilayah dan saling berinteraksi, meminati dan berkecimpung di bidang sama, dapat memiliki maksud, kepercayaan, sumber daya, kebutuhan, risiko dan sejumlah kondisi lain yang serupa. (k) Relawan adalah seorang atau sekelompok orang yang memiliki kemampuan dan kepedulian untuk bekerja secara sukarela dan ikhlas dalam upaya penurunan risiko bencana (l) Konvergensi sosial adalah pemanfaatan teknologi untuk berkomunikasi satu sama lain, menemukan dan memahami dunia di sekitar kita, dan untuk belajar. (m) Bencana alam adalah kejadian luar biasa yang disebabkan oleh perubahan rupa muka bumi yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis, yang melampaui batas kemampuan masyarakat yang terdampak untuk mengatasi dengan menggunakan sumber daya sendiri. (n) Gunung api atau gunung berapi adalah bentuk muka bumi dengan ketinggian tertentu yang memiliki lubang tempat keluarnya magma atau material lain ke permukaan bumi. (o) Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. (p) BPBD atau Badan penanggulangan Bencana Wilayah adalah lembaga yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. (q) BPPTKG atau Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian adalah lembaga yang secara struktural di bawah Kementerian Energi dan Sumber daya Mineral yang antara lain bertugas melakukan mitigasi bencana
9
(r) HT atau radio panggil adalah media komunikasi yang menggunakan frekuensi sangat tinggi (verry high frequence/ VHF) (s) Portal berita atau website adalah salah satu menu di internet yang memuat informasi bermakna penting dari bermacam kategori peristiwa. (t) Radio Komunitas adalah stasiun penyiaran media elektronik audio yang dimiliki, dikelola, diperuntukkan, diinisiatifkan dan didirikan oleh sebuah komunitas. Pembiayaan berasal dari swadaya pengelola, iuran anggota komunitas, dan donatur. Jangkauan siaran dinikmati dalam wilayah yang terbatas. (u) Radio streaming atau radio online adalah media elektronik audio yang dapat diakses atau didengarkan melalui internet.
10
2 KERANGKA TEORITIS DAN EMPIRIS Tinjauan Pustaka Komunikasi Risiko Health dan O’Hair (2009) mengatakan perilaku memahami risiko adalah bagaimana manusia secara individu dan dalam kelompok melihat lingkungan mereka dan hal-hal yang mengancam kehidupan mereka berdasarkan cara pandang keseluruhan dunia. Risiko harus dipahami, dikelola dan dikomunikasikan sehingga orang dapat menjalani kehidupan yang sehat dan bahagia. Perkembangan industri telah menimbulkan berbagai risiko baru, sementara kemajuan teknologi informasi dan komunikasi menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang risiko tersebut serta membuka peluang untuk dialog dalam pengambilan keputusan berdasarkan penilaian risiko (Palenchar 2009). Selanjutnya dijelaskan pada awal perkembangannya komunikasi risiko diarahkan untuk kepentingan politik para pejabat pemerintah dan usahawan yang membutuhkan dukungan masyarakat untuk suatu keputusan politik. Komuikasi risiko dikembangkan dari kebutuhan praktis masyarakat industri untuk mengelola teknologi dan untuk melindungi warga dari bahaya teknologi buatan manusia dan bahaya alam. Melihat uraian di atas, awal berdirinya komunikasi risiko bersifat satu arah yaitu dari para ahli sebagai partisipan kunci kepada masyarakat. Palenchar selanjutnya menjelaskan perkembangan selanjutnya, bahwa komunikasi risiko menyoroti pentingnya pendekatan dialogis, membangun hubungan untuk menangani keprihatinan dan persepsi warga masyarakat dan para pekerja. Namun demikian pendekatan dialogis sering terhambat oleh kurangnya lembaga yang responsif terhadap kebutuhan, perhatian, dan pemahaman publik terhadap risiko potensial dan nyata. Geuter dan Stevens (1983) dalam Palenchar (2009) menjelaskan hal penting lain dari sebuah riset adalah pendekatan dimana dalam melihat berbagai fenomena didasarkan pada psikologi kognitif. Sementara itu penelitian tentang risiko, model, sgtrategi, dan teori-teori memiliki implikasi manusia. Reynolds dan Seeger (2005) dalam Palenchar (2009) menjelaskan komunikasi risiko menyangkut tentang produksi pesan yang dirancang khusus untuk memperoleh tanggapan publik, sebagian besar dimediasi melalui saluran komunikasi massa, mengandalkan kredibilitas sebagai elemen mendasar persuasi, dan bertujuan untuk mengurangi bahaya dan meningkatkan keamanan masyarakt. Pembahasan tentang komunikasi risiko telah meluas dalam berbagai disiplin ilmu. Tansey dan Rayner (2009) membahas komunikasi risiko dari perspektif budaya, dimana lembaga-lembaga sosial memberikan pengaruh determinan terhadap penilaian risiko dan tindakan sosial. Nilai-nilai dan keyakinan yang memiliki kekuatan dalam masyarakat tidak dapat dipisahkan dari tindakan kolektif. Tindakan seseorang juga tidak dapat dipisahkan dari pemikiran bagaimana orang lain dalam lingkungannya akan melihat tindakan yang dilakukannya atau apa yang disebut sebagai norma subyektif dalam teori tindakan terencana (Theory of Planed Behavior).
11
Koentjaraningrat (1981) menjelaskan perilaku kelompok merupakan kumpulan dari perilaku-perilaku individu. Koentjaraningrat memetakan perilaku manusia kedalam kebiasaan, adat istiadat, dan kebribadian yang didasarkan atas jumlah individu dan jumlah materi. Pengelompokkan tersebut selanjutnya diilustrasikan sebagaimana Gambar 2.
1 N
Jumlah materi
Jumlah individu
1
N
Kebiasaan (habit)
Adat istiadat (Custom) Sistem sosial (social system)
Kepribadian umum (modal personality)
Kepribadian individu (Individual personality)
Gambar 2. Kebiasaan, adat dan kepribadian Pada bagian lain Koentjaraningrat mengutip kerangka Kuckhohn mengenai lima masalah dasar dalam hidup yang menentukan orientsai nilai budaya manusia sebagaimana Tabel 1. Setiap manusia atau kelompok manusia memiliki orientasi yang berbeda dalam hidupnya, dan hal tersebut akan menentukan perilakunnya sehari-hari. Tabel 1
Masalah dasar dalam hidup yang menentukan orientsai nilai budaya manusia
Masalah dasar dalam hidup Hakekat hidup
Orientasi Nilai Budaya Hidup itu buruk
Hidup itu baik
Hakekat karya
Karya itu untuk nafkah hidup
Persepsi manusia tentang waktu Pandangan manusia tentang alam
Orientasi masa kini
Karya itu untuk kedudukan, kehormatan, dsb Orientasi ke masa lalu
Hakekat hubungan anara manusia dengan sesamanya
Orientasi kolateral (horizontal), rasa ketergantungan kepada sesamanya (berjiwa gotong royong)
Manusia tunduk kepada alam yang dahsyat
Manusia berusaha menjaga keselarasan dengan alam Orientasi vertikal, rasa ketergantungan kepada tokoh-tokoh atasan dan berpangkat
Kuckhohn dalam Koentjaraningrat (1981)
Hidup itu buruk, tetapi manusia wajib berikhtiar supaya hidup itu baik Karya itu untuk menambah karya Orientasi ke masa depan Manusia berhasrat menguasai alam
Individualisme menilai tinggi usaha atas kekuatan sendiri
12
Perilaku Terencana (Theory of Planed Behavior) Perilaku, Sebuah Proses Pengolahan Informasi Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perilaku adalah tanggapan atau reaksi individu yang terwujud digerakan (sikap), tidak saja badan atau ucapan. Perilaku menurut Solso, dkk. (2007) terbentuk dari cara memperoleh dan memproses informasi mengenai dunia, cara informasi tersebut disimpan dan diproses oleh otak, cara kita menyelesaikan masalah, berpikir, dan menyusun bahasa, dan bagaimana proses tersebut ditampilkan dalam perilaku yang dapat diamati. Perilaku pada hakikatnya adalah suatu aktifitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas mencakup berjalan, berbicara, bereaksi, berpikir, persepsi dan emosi. Perilaku juga dapat diartikan sebagai aktifitas organisme baik yang dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung (Notoatmodjo, 2007). Skinner dalam Notoatmodjo (2007), merumuskan perilaku sebagai respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Berdasarkan teori Skinner tersebut maka perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu perilaku tertutup (covert behavior) dan perilaku terbuka (overt behavior). Perilaku tertutup terjadi bila respon terhadap stimulus tersebut masih belum dapat diamati orang lain secara jelas. Respons seseorang masih terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan, dan sikap terhadap stimulus yang bersangkutan. Adapun perilaku terbuka apabila respon terhadap stimulus tersebut sudah berupa tindakan atau praktik yang dapat diamati orang lain. Dengan demikian perilaku terbentuk karena adanya faktor eksternal atau stimulus, yaitu faktor lingkungan, baik lingkungan fisik, maupun non fisik dalam bentuk sosial budaya, ekonomi, maupun politik. Karakteristik individu yang menentukan seseorang merespon stimulus dari luar dapat berupa perhatian, pengamatan, persepsi, motivasi, fantasi, sugesti, dan sebagainya. Dari banyak penelitian yang ada menunjukkan faktor eksternal merupakan faktor yang memiliki peran sangat besar dalam membentuk perilaku manusia karena dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya dimana seseorang itu berada (Notoatmodjo, 2007) Mustofa (2011) dalam makalahnya menjelaskan mengenai terbentuknya perilaku, yaitu perilaku yang diperoleh dari keturunan dalam bentuk instinkinstink biologis (nature) dan perilaku bukan diturunkan melainkan diperoleh dari hasil pengalaman selama kehidupan mereka (nurture). Selanjutnya Mustofa mengutip pendapat George Herbert Mead bahwa keanggotaan seseorang dalam suatu kelompok sosial menghasilkan perilaku bersama yang dikenal dengan nama budaya. Individu-individu yang memegang posisi berbeda dalam suatu kelompok mempunyaui peran yang berbeda pula, sehingga memunculkan perilaku yang juga berbeda. Selanjutnya dijelaskan dalam berperilaku, seseorang sangat dipengaruhi oleh proses kognitif, yaitu proses berpikir bagaimana manusia melihat, mengingat, belajar dan berpikir tentang informasi. Proses kognitif dalam kerjanya meliputi beberapa tahapan dalam merespon hingga terbentuknya suatu tanggapan, pemikiran, dan perilaku. Tahapan tersebut adalah sensasi, persepsi, perhatian, berpikir.
13
(a) Sensasi, yaitu deteksi energi fisik yang dihasilkan atau dipantulkan oleh obyek-obyek fisik yang terjadi ketika energi dalam lingkungan eksternal atau dalam tubuh merangsang reseptor dalam organ-organ panca indra; (b) Persepsi adalah proses dimana individu mengatur dan menginterpretasikan kesan sensoris mereka guna member arti bagi lingkungan mereka; (c) Perhatian adalah konsentrasi yang hanya terfokus pada salah satu alat indra dan stimulus yang diterima sangat menonjol atau tergantung pada kesadaran individu; (d) Berpikir, adalah dimana otak bekerja dan memproses stimulus yang ada hingga menimbulkan respon dan menghasilkan keputusan, atau hasil-hasil yang baru. Berdasar uraian di atas maka informasi dapat didefinisikan sebagai hasil dari pengolahan dan pemberian identitas dari stimulus yang diterima oleh pancaindra yang disimpan dalam memori, dikomunikasikan kepada orang lain, maupun sebagai dasar dalam berperilaku. Stimulus dapat berasal dari alam, benda-benda, hewan, tumbuhan, maupun dari manusia. James, Waugh, dan Norman dalam Solso (2007) mengembangkan model perilaku kognitif didasarkan pada rangkaian peristiwa. Sebuah stimulus memasuki indra, dengan sistem syaraf sensorik dilakukan pendeteksian, selanjutnya stimulus tersebut disimpan dalam memori, dan akan melakukan reaksi terhadap memori tersebut. Perilaku menurut Rogers dan Shoemaker (1986) merupakan suatu tindakan nyata yang dapat dilihat atau diamati. Perilaku tersebut terjadi akibat adanya proses penyampaian pengetahuan suatu stimulus sampai ada penentuan sikap untuk bertindak atau tidak bertindak, dan hal ini dapat dilihat dengan menggunakan panca indra. Perilaku atau tingkah laku adalah kebiasaan bertindak yang menunjukkan tabiat seseorang yang terdiri dari pola-pola tingkat laku yang digunakan oleh individu dalam melakukan kegiatannya. Perilaku terjadi disebabkan adanya stimulus, motivasi, dan tujuan. Perilaku pada dasarnya berorientasi pada tujuan. Dengan kata lain, perilaku pada umumnya dimotivasi oleh keinginan untuk memperoleh tujuan tertentu. Tujuan spesifik tidak selamanya diketahui dengan sadar oleh yang bersangkutan. Dorongan yang memotivasi pola perilaku individu yang nyata dalam kadar tertentu berada dalam alam bawah sadar. Dari uraian tersebut diatas, pembentukan perilaku dapat diilustrasikan pada Gambar 3. Rogers menyatakan bahwa perilaku komunikasi merupakan suatu kebiasaan dari individu atau kelompok di dalam menerima atau menyampaikan pesan yang diindikasikan dengan adanya partisipasi, hubungan dengan sisitem sosial, kekosmopolitan, hubungan dengan agen pembaharu, keterdedahan dengan media massa, keaktifan mencari informasi, dan pengetahuan mengenai hal-hal baru. Gould dan Kolb yang dikutip oleh Ichwanudin (1998), perilaku komunikasi adalah segala aktivitas yang bertujuan untuk mencari dan memperoleh informasi dari berbagai sumber dan untuk menyebarluaskan informasi kepada pihak manapun yang memerlukan. Perilaku komunikasi pada dasarnya berorientasi pada tujuan dalam arti perilaku seseorang pada umumnya dimotivasi dengan keinginan untuk memperoleh tujuan tertentu.
14
Berdasarkan pada definisi perilaku yang telah diungkapkan sebelumnya, perilaku komunikasi diartikan sebagai tindakan atau respon dalam lingkungan dan situasi komunikasi yang ada, atau dengan kata lain perilaku komunikasi adalah cara berfikir, berpengetahuan dan berwawasan, berperasaan dan bertindak atau melakukan tindakan yang dianut seseorang, keluarga atau masyarakat dalam mencari dan menyampaikan informasi melalui berbagai saluran yang ada di dalam jaringan komunikasi masyarakat setempat Hapsari 2007 dalam Panggalo (2013).
Stimulus
Faktor sosial • Keanggotaan dalamorganisasi sosial • Peran dalamorganisasi sosial
Sensasi
Persepsi
Pengetahuan
Perhatian
Tujuan
Berpikir
Perilaku Tertutup • Sikap • Motivasi • Sugesti Terbuka • Berjalan • Berbicara
Gambar 3 Model hipotesis proses pembentukan perilaku
Rogers (1983) mengungkapkan ada tiga variabel perilaku komunikasi yang sudah teruji secara empiris nyata yaitu pencarian informasi, kontak dengan penyuluh, dan keterdedahan pada media massa. Variabel pertama yaitu pencarian informasi masih perlu didampingi dengan penyampaian informasi, sesuai dengan model transaksional yang bersifat saling menerima dan memberi informasi secara bergantian. Dalam mencari dan menyampaikan informasi, seyogyanya juga mengukur kualitas (level) dari komunikasi. Berlo (1960) mendeskripsikan level komunikasi adalah mengukur derajat kedalaman mencari dan menyampaikan informasi yang meliputi (a) sekedar bicara ringan, (b) saling ketergantungan (independen), (c) tenggang rasa (empaty), (d) saling interaksi (interaktif). Kebutuhan seseorang akan informasi mampu menggerakannya secara aktif melakukan pencarian informasi. Berlo (1960) mengungkapkan bahwa perilaku komunikasi seseorang dapat dilihat dari kebiasaan berkomunikasi. Berdasarkan definisi perilaku komunikasi, maka hal-hal yang sebaiknya perlu dipertimbangkan adalah bahwa seseorang akan melakukan komunikasi sesuai dengan kebutuhannya. Halim dalam Panggalo (2013) mengungkapkan bahwa komunikasi, kognisi, sikap, dan perilaku dapat dijelaskan secara lebih baik melalui pendekatan situasional, khususnya mengenai kapan dan bagaimana orang berkomunkasi tentang masalah tertentu.
15
Dorongan Perilaku Setiap perilaku manusia didasari atas dorongan, yaitu apa yang disebut motif (Santoso 2010), baik dorongan biologis, instink, maupun dorongan yang datangnya dari lingkungan sekitar. Atkinson et.al. (1983) memberikan beberapa contoh tentang dorongan manusia untuk berperilaku, misalnya dorongan lapar untuk memperoleh kenyang, sehat, kuat dan sebagainya. Lapar dijelaskan secara panjang lebar bagaimana rasa lapar itu terjadi, bagaimana unsur-unsur makanan tersebut dapat mempengaruhi tubuh manusia sehingga pada akhirnya seseorang memutuskan jenis, jumlah, waktu makan untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam hal berkomunikasi, manusia memiliki beragam tujuan seperti memberi informasi, mendidik, mempelajari, menghibur, menganjurkan, menolak dan sebagainya (Schramm 1993). Sementara itu Lasswell dalam Wiryanto (2000) menjelaskan tentang fungsi komunikasi, yaitu pengawasan lingkungan, hubungan antar bagian dalam masyarakat, serta sosialisasi. Fungsi pengawasan merujuk pada kegiatan pengumpulan, pengolahan, dan penyebarluasan informasi berbagai peristiwa yang terjadi di dalam maupun diluar lingkungan suatu masyarakat. Selanjutnya upaya tersebut diarahkan kepada tujuan mengendalikan situasi yang ada di masyarakat. Beberapa contoh dari aktivitas komunikasi tersebut adalah untuk mencegah kekerasan dan keamanan. Fungsi korelasi merujuk kepada upaya-upaya memahami berbagai persitiwa melalui kegiatan interpretasi atau penafsiran informasi sehingga diperoleh sebuah pemahaman atas peristiwa tersebut. Melalui fungsi korelasi komuniksi diarahkan untuk mencapai konsesus atas sebuah peristiwa. Upaya-upaya untuk mencapai konsensus disebut sebagai propaganda. Fungsi sosialisasi merujuk pada upaya-upaya mendidik dan mewariskan nilai-nilai, norma dan prinsip-prinsip dari satu generasi ke generasi lainnya. Kemampuan berbahasa, tata krama, lagu dan syair merupakan beberapa contoh fungsi sosialisasi. Hale dkk. (2002) mengatakan bahwa Fishbein dan Ajzen telah mengembangkan teori perilaku beralasan (Theory of Reasoned Action/TRA). Dalam teorinya dikatakan bahwa niat adalah prediktor terkuat dari perilaku yang tidak memaksa. Sedangkan niat dipengaruhi oleh sikap, norma subyektif, dan kontrol sumber daya. TRA mendasarkan pemikiran bahwa perilaku seseorang berada dalam kendali pelaku, dan manusia adalah mahluk rasional. Oleh sebab itu setiap perilaku seseorang memiliki latar belakang yang mendorong untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan. Niat perilaku individu dipengaruhi oleh sikap dan norma subyektif. Dalam kerangka teori tindakan beralasan, sikap mengacu pada evaluasi positif atau negatif dari melakukan perilaku tertentu. Pandangan positif atau negatif adalah fungsi kekuatan keyakinan seseorang dan evaluasi keyakinan. Kekuatan keyakinan mengacu pada tingkat kepercayaan dalam keyakinan yang dimiliki. Evaluasi keyakinan mengacu pada sejauh mana seorang individu percaya perilaku atau kondisi yang positif atau negatif. Secara grafis model teori perilaku terencana dapat dilihat pada Gambar 4.
16
Believe strenth
Attitude Believe Evaluation
Normative Belief
Subjective Norm
Behavioral Intenstion
Volitional Behavior
Motivation to comply
Control Belief
Perceived power
Perceived Behavioral Control
Gambar 4 Model teori perilaku terencana (Hale dkk, 2002)
Sikap, Sebuah Kesiapan Merespon Secara Konsisten Sikap menurut Hale dkk (2002) merupakan respon atas perasaan untuk melakukan sesuatu aktifitas komunikasi. Adapun perasaan itu bersumber dari keyakinan perlunya melakukan aktifitas komunikasi yang bersumber dari pengetahuan dan evaluasi atas berbagai informasi. King (2010) mengatakan sikap (attitude) adalah berbagai pendapat dan keyakinan kita mengenai orang lain, obyek, atau gagasan, atau secara sederhana, sikap adalah bagaimana kita merasakan berbagai hal. Dalam bukunya King mengutip beberapa pendapat ahli untuk mengungkapkan hubungan sikap dengan perilaku. Sikap yang dapat mendorong seseorang berperilaku antara lain adalah sikap yang kuat, semakin kuat sikap maka cenderung untuk berperilaku sebagaimana sikapnya. Ketika seseorang menunjukkan kesadaran yang kuat atas sikapya dan ketika seseorang mengulang-ulang dan melatihnya maka sikap tersebut akan semakin menunjukkan perilaku yang akan dilakukan seseorang. Kepentingan seseorang akan sesuatu juga merupakan prediktor kuat terhadap perilaku. Sikap menurut Allport dalam Rahayu (2001) adalah keadaan mental dan taraf dari kesiapan, yang diatur melalui pengalaman yang memberikan pengaruh dinamik atau terarah terhadap respons individu pada semua objek dan situasi yang berkaitan dengannya (upi.edu). Sikap merupakan kesiapan merespon secara konsisten dalam bentuk positif atau negatif terhadap obyek atau situasi. Norma Subyektif, Tekanan Sosial untuk Melakukan atau Tidak Melakukan Norma subyektif berhubungan dengan pandangan seseorang terhadap suatu keadaan atau kejadian, dan perasaan yang timbul apabila seseorang tidak mengikuti pandangan orang lain atas suatu keadaan atau kejadian. Norma subjektif adalah persepsi seseorang mengenai tekanan sosial untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku (Ajzen,1991). Dalam model theory of reasoned action dan theory of planned behavior, norma subjektif adalah fungsi dari
17
normative beliefs, yang mewakili persepsi mengenai preferensi significant others yaitu apakah perilaku tersebut harus dilakukan. Norma subyektif banyak dikaji pada penelitian-penelitian psikologi, seperti penelitian tentang intensi berwirausaha (Andika dan Iskandarsyah, 2012) menunjukkan norma subyektif memiliki pengaruh terhadap intensi berwirausaha mahasiswa. Norma sosial diperoleh dari mendenganrkan saran orang-orang terdekat. Sebuah norma subyektif adalah fungsi dari keyakinan normatif dan motivasi untuk mematuhi perilaku yang diharapkan. Sebuah keyakinan normatif mengacu pada sejauh mana individu memandang perilaku tertentu atau kondisi yang diharapkan dan diinginkan dalam pikiran orang lain yang penting bagi individu. Motivasi untuk mematuhi perilaku yang diharapkan mengacu pada bagaimana memaksa individu untuk memenuhi berbagai harapan. Seseorang akan merasakan bahwa teman-temannya, keluarga, dan rekan kerja berpikir tentang suatu keyakinan yang dapat mempengaruhi niat seseorang melakukan suatu tindakan (Springston dkk 2009) Keyakinan Mengontrol Perilaku Pada tahun 1985 Fishbein dan Ajzen menyempurnakan teorinya dengan menambahkan unsur kontrol perilaku sebagai unsur yang turut berpengaruh kepada niat seseorang untuk melakukan suatu tindakan. Kontrol perilaku yang dikemukakan oleh Fishbein dan Ajzen mengambil konsep tentang self-efficacy Bandura. Konsep self-efficacy berakar dari teori sosial kognitif Bandura, dengan mengacu keyakinan bahwa seseorang dapat berhasil melaksanakan perilaku yang diperlukan untuk mencapai suatu hasil tertentu. Konsep self-efficacy mengarah pada persepsi kemudahan atau kesulitan dalam melaksanakan perilaku tertentu. Hal tersebut terkait dengan kontrol keyakinan, yang mengacu pada keyakinan seseorang adanya faktor yang dapat memfasilitasi atau yang menghambat kinerja perilaku. Unsur Komunikasi Komunikasi menurut DeVito (2011) mengacu pada tindakan oleh satu orang atau lebih, yang mengirim dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan (noise), terjadi dalam suatu konteks terntentu, mempunyai pengaruh tertentu, dan ada kesempatan untuk melakukan umpan balik. Lingkungan (konteks) komunikasi setidak-tidaknya memiliki tiga dimensi, yaitu dimensi fisik, dimensi sosialpsikologis, dan temporan. (a) Lingkungan dimana terjadi komunikasi disebut sebagai lingkungan fisik atau lingkungan nyata; (b) Dimensi sosial psikologis meliputi antara lain tata hubungan status yang terlibat di dalam komunikasi, peran yang dijalankan, serta aturan budaya dimana mereka berkomunikasi. Termasuk di dalam konteks ini adalah rasa persahabatan atau permusuhan, formalitas atau informalitas, serius atau senda gurau; (c) Dimensi temporal (waktu) merupakan waktu dimana komunikasi berlangsung. Secara grafis model komunikasi DeVito dapat dilihat pada Gambar 5.
18
Sumber Penerima
Gangguan
Sumber
Penerima
Gambar 5 Komunikasi universal antarmanusia menurut DeVito (2011) Selanjutnya DeVito mengatakan bahwa tujuan manusia berkomunikasi yaitu untuk penemuan diri, berhubungan, baik dengan keluarga, tetangga, maupun teman kantor, untuk meyakinkan, dan untuk bermain. Komunikasi tersebut dilakukan secara langsung maupun melalui media. Menurut Littlejohn dan Foss (2011) dalam komunikasi dikenal adanya komunikasi intra pribadi, antar pribadi, komunikasi kelompok, komunikasi organisasi dan komunikasi massa. (a) Komunikasi intrapribadi (intrapersonal communication) adalah komunikasi yang terjadi dalam diri seseorang. Komunikasi intra pribadi menekankan bagaimana jalannya proses pengolahan informasi yang dialami seseorang melalui sistem syaraf dan inderanya; (b) komunikasi antar pribadi (interpersonal communication) adalah komunikasi antar perorangan dan bersifat pribadi baik yang terjadi secara langsung (face to face) maupun melalui media (misalnya telepon, surat); (c) komunikasi kelompok (group communication) memfokuskan pembahasannya pada interaksi di antara orang-orang dalam kelompok kecil; (d) komunikasi organisasi (organization communication) mengarah pada pola dan bentuk komunikasi yang terjadi dalam konteks dan jaringan organisasi; (e) komunikasi massa (mass communication) adalah komunikasi melalui media massa yang ditujukan pada sejumlah khalayak yang besar. Dalam disertasinya, Saleh (2006) mengutip tentang fungsi komunikasi menurut Lasswell, yaitu untuk pengamatan terhadap lingkungan; penghubung bagian-bagian yang ada di dalam masyarakat agar masyarakat dapat memberi respon terhadap lingkungan tersebut; dan pemindahan warisan sosial dari satu generasi ke generasi berikutnya. Konsep pengamatan terhadap lingkungan merupakan pengumpulan dan pendistribusian informasi mengenai peristiwaperistiwa yang terjadi dalam suatu lingkungan, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar masyarakat. Komunikasi sebagai penghubung bagian-bagian masyarakat mengandung arti melakukan interpretasi terhadap informasi mengenai lingkungan, dan selanjutnya memberitahukan cara-cara memberikan reaksi terhadap apa yang terjadi. Adapun fungsi komunikasi sebagai pemindahan warisan sosial dari satu generasi ke generasi berikutnya berfokus pada mengkomunikasikan pengetahuan, nilai-nilai, norma-norma sosial dari satu generasi ke generasi berikutnya.
19
Partisipan Komunikasi Risiko Kesiapan Menghadapi Bencana Komunikasi bencana tidak terlepas dari konsep jaringan komunikasi, sebab dalam bencana diperlukan campur tangan partisipan di luar masyarakat yang terkena bencana. Oleh sebab itu komunikasi dalam bencana berfungsi sebagai penghubung antar partisipan, yaitu masyarakat di wilayah bencana dengan masyarakat luas yang berperan dalam penurunan risiko bencana. Rogers dan Kincaid (1981) mengatakan jaringan komunikasi sebagai keterhubungan antar individu-individu melalui arus informasi yang berpola, hubungan yang stabil (Rogers dan Rogers, 1976), melalui jalan tertentu (Muhammad, 2000), saling mempengaruhi, dan untuk mencapai tujuan bersama (Schramm, 1993), serta memiliki kesamaan isu/pesan komunikasi (Jahi, 1993). Hubungan yang terbentuk di dalam masyarakat sangat banyak, dapat berupa hubungan atas dasar saudara, pekerjaan yang sama, hubungan antar tetangga, hubungan antar pelajar atau mahasiswa, dan lain-lain.
Gambar 6 Keanggotaan dalam berbagai jaringan komunikasi (gambar diunduh dari internet) Pada dasarnya manusia memiliki kebebasan untuk bergabung atau terlibat dalam suatu jaringan komunikasi. Keterlibatan tersebut antara lain bergantung pada tujuan yang hendak dicapai dalam berkomunikasi. Oleh sebab itu seseorang tidak hanya terlibat atau bergabung dengan satu jaringan komunikasi saja, melainkan dapat terlibat dan bergabung dengan berbagai jaringan komunikasi. Gambar 6 menunjukkan keanggotaan seseorang dalam berbagai jaringan komunikasi. Seseorang terhubung dalam suatu jaringan komunikasi terkait erat dengan kebutuhan hidupnya. Maslow (1993) mengungkapkan kebutuhan manusia berkembang. Kebutuhan tersebut memiliki tingkatan atau hirarki, mulai dari yang paling rendah (bersifat dasar/fisiologis) sampai yang paling tinggi (aktualisasi diri). Kebutuhan terendah adalah kebutuhan fisik, seperti bernapas, makan, dan minum. Kebutuhan berikutnya adalah rasa aman, seperti kebutuhan rumah, kesehatan di hari tua, dapat menyekolahkan putra-putrinya dan lain-lain. Setelah itu ada kebutuhan sosial untuk berhubungan dengan orang lain. Kemudian baru kebutuhan harga diri, agar dirinya dalam pergaulan sosial bisa dihargai.
20
Kebutuhan akhir adalah kebutuhan untuk aktualisasi diri, kebutuhan untuk melaksanakan karya nyata di tengah masyarakat. Tabel 2
Partisipan komunikasi penurunan risiko masa tanggap darurat letusan Gunung Merapi 2010 Partisipan
Peran dalam penurunan kerentanan bencana
Kegiatan komunikasi
Relawan di lapangan
dukungan keahlian dan tenaga dalam penerimaan dan pendistribusian kebutuhan pengungsi, membantu masyarakat mengungsi
Mengumpulkan dan menyampaikan informasi lapangan, seperti data pengungsi, kebutuhan pengungsi, kondisi di lapangan
Donatur dari pribadi, komunitas, lembaga, CSR, dll
Memberikan bantuan kebutuhan pokok masyarakat, peralatan pendukung, penyediaan jasa, akses fasilitas
Mencari dan mengecek kebenaran informasi
Media koran, televisi, radio, portal berita
Mendistribusikan informasi ke khalayak, Penyeimbang informasi
Mengumpulkan dan menyebarluaskan informasi kepada khalayak
Lembaga internasional
Kebijakan pemberian bantuan internasional
Koordinasi dan pertukaran data
Masyarakat internet : pengunjung web, pengguna twiter, facebook, pengakses internet
Penerima, penyebar, dan pengguna informasi
Pengambilan dan pengiriman informasi secara online
Masyarakat merapi, radio komunitas
Sumber dan penerima informasi
Penerimaan dan penyebarluasan informasi dari lapangan ke khalayak
Lembaga pendukung : Air Putih, Walhi, dll
dukungan pengetahuan, gagasan, infrastruktur dan manajemen informasi bencana
Penyediaan media komunikasi, pengembangan sistem informasi bencana, pemberdayaan masyarakat informasi
Pemerintah pusat, BNPB, BPBD, Pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, dan lembaga pemerintah lainnya
Penyiapan kebijakan penurunan risiko bencana
Koordinasi dan pertukaran informasi
Sumber : hasil penelitian berdasar informan jalin merapi
Dalam kaitannya dengan kapital sosial, Lawang (2005) mengatakan suatu jaringan terdapat ikatan antar simpul (orang atau kelompok) yang dihubungkan dengan media, terdapat kerja antar simpul, menahan beban bersama dan mampu menangkap simpul lebih banyak. Dalam jaringan juga terdapat media, dan norma yang mengatur dan menjaga bagaimana ikatan dan medianya dipelihara dan dipertahankan. Jaringan tersebut dapat terbentuk antar individu, antara individu dan institusi, maupun antar istitusi.
21
Keterhubungan seseorang dalam jaringan dapat dilakukan secara sukarela atau ―paksaan‖ karena terikat status. Sifat tersebut akan mempengaruhi tingkat keterhubungan seseorang dengan jaringan komunikasi. Contoh keterhubungan dalam jaringan komunikasi yang bersifat sukarela antara lain yang berkaitan dengan kesenangan, hobi, atau bermain. Apabila seseorang telah merasa bosan atau tidak lagi menemukan kesenangan dalam jaringan komunikasi, maka setiap saat orang tersebut dapat keluar dari jaringan. Sedangkan keterlibatan dalam jaringan komunikasi yang dipaksakan adalah keterlibatan dalam jaringan komunikasi karena status, misalnya sebagai pegawai, sebagai kepala desa, tokoh masyarakat dan lain sebagainya. Keterlibatan ini terjadi selama masih memiliki status di dalam masyarakat. Dalam penurunan risiko bencana, partisipan yang terhubung dalam jaringan komunikasi antara lain pemerintah, LSM, relawan, masyarakat di wilayah rawan bencana, para donasi, perusahaan mass media, dan lembaga asing. Jalin Merapi, sebuah lembaga non pemerintah yang banyak berperan dalam penurunan risiko bencana Gunung Merapi, telah memetakan partisipan yang terhubung di dalam jaringan komunikasi penurunan risiko bencana Gunung Merapi sebagaimana terlihat pada Tabel 2. Media Komunikasi Risiko Kesiapan Menghadapi Bencana Kecepatan dalam pertukaran informasi dan ketepatan informasi terkait bencana merupakan hal mendasar dalam komunikasi risiko kesiapan menghadapi bencana. Memahami tanda-tanda alam yang dapat mengarah kepada kejadian bencana, tingkat bencana, dan dampak yang dapat ditimbulkan merupakan prasarat agar komunikasi berjalan efektif. Namun demikian pemahaman tentang tanda-tanda bencana menjadi tidak berarti apabila tidak dikomunikasikan dengan partisipan. Perlu diingat kembali bahwa bencana identik dengan kebutuhan akan bantuan pihak lain, oleh sebab itu informasi yang diperoleh harus disebarluaskan dengan cepat dan tepat. Menghadapi ketidakpastian, masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api dituntut untuk menguasai berbagai media komunikasi yang dapat digunakan dalam penanganan bencana. Dalam komunikasi terkait bencana, media komunikasi telah memainkan perannya sebagai penghubung antar partisipan dalam bertukar informasi. Perkembangan media komunikasi telah memberikan lebih banyak pilihan masyarakat untuk memanfaatkannya sesuai dengan kebutuhan dalam berbagai kondisi. Dengan beragamnya media komunikasi masyarakat dapat memiliki alternatif penggunaan media komunikasi apabila satu jenis media komunikasi tidak dapat berfungsi untuk menyampaikan atau mencari informasi terkait bencana. Pemilihan media komunikasi yang digunakan oleh masyarakat untuk mengirim dan menerima pesan sangat tergantung kepada kemampuan dan kemudahan dalam penggunaannya. Beberapa media, pelaku, dan sasaran infomasi pada penurunan risiko bencana dapat dilihat pada Tabel 3. Namun demikian beragamnya media komunikasi serta kemampuan masyarakat memanfaatkan media komunikasi menyebabkan arus informasi dari segala sumber tidak dapat dibendung. Masyarakat memiliki kebebasan untuk mempublikasi informasi baik berdasarkan stimulus dari alam (pengamatan langsung), maupun yang diterima dari partisipan lain (meneruskan informasi). Dalam penyampaian informasi, selain menampilkan fakta, terkadang informasi yang disampaikan tidak sesuai dengan
22
fakta yang ada. Hal tersebut dapat disebabkan oleh kesalahan dalam menginterpretasikan suatu kejadian, kesalahan dalam meneruskan informasi yang diterima, maupun kesalahan dalam menyampaikan informasi. Tabel 3 Klasifikasi media menurut jenis, pengguna, dan sasaran
Sumber : hasil penelitian berdasar informan jalin merapi Coombs (2009) mengatakan dalam komunikasi krisis terdapat dua proses yaitu (a) pengetahuan tentang krisis; dan (b) pengelolaan reaksi partisipan. Komunikasi krisis memberikan cukup informasi untuk membuat keputusan, dan keputusan tersebut kemudian dikomunikasikan kepada partisipan. Pemahaman tim pengelola krisis terhadap partisipan dapat mengelola reaksi partisipan terhadap krisis. Rowan (2009) mengatakan kemampuan komunikasi merupakan bagian integral dari manajemen darurat. Langkah-langkah yang diambil dalam pengelolaan informasi bencana meliputi (a) mengumpulkan informasi untuk Menganalisa ancaman; (b) berbagi informasi; (c) bekerjasama dengan partisipan; (d) berkoordinasi dalam peringatan untuk kewaspadaan; (e) merencanakan dan melakukan evakuasi; (f) mengembangkan dan melaksanakan pendidikan publik. Masing-masing kegiatan membutuhkan orang-orang yang komunikatif, memiliki empati, cerdas, kepemimpinan, dan keterampilan komunikasi yang cukup besar. Meski ancaman bencana tidak dapat dihindari namun risiko bias dikurangi.
23
Dari pemikiran tersebut, upaya meningkatkan kemampuan masyarakat dalam berkomunikasi sangat diperlukan. Masyarakat dituntut mampu mencari informasi, menyebarluaskan informasi, dan menelaah informasi sehingga informasi yang beredar dan dikonsumsi masyarakat merupakan informasi yang benar dan tepat. Permasalahan yang dijawab dalam penelitian ini adalah bagaimana komunikasi masyarakat di wilayah rawan bencana untuk kesiapan menghadapi bencana gunung api. Masalah penelitian tersebut kemudian dikaji dan dicari jawabannya secara deduktif maupun induktif. Penyusunan kerangka berpikir secara deduktif didasarkan atas berbagai teori, antara lain teori pembentukan perilaku, teori tindakan terencana, teori kesiapan perubahan, teori komunikasi, maupun dari hasil penelitian-penelitian sebelumnya. Secara grafis kerangka pikir penelitian perilaku komunikasi masyarakat dalam kesiapan menghadapi bencana gunung api ditampilkan dalam Gambar 7.
Gambar 7
Alur pikir penelitian komunikasi risiko kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana gunung api (gabar diunduh dari internet)
Komunikasi Risiko, Berbagi Makna Antar Partisipan tentang Bahaya Fisik Komunikasi risiko menurut beberapa ahli adalah proses berbagi makna mengenai bahaya fisik seperti lokasi kerja yang berbahaya, pencemaran lingkungan, radiasi, kanker, bahaya merokok, perubahan iklim, kejahatan, bunuh diri, dan terorisme. (Rowan 2009). Komunikasi risiko terjadi dalam pengaruh komunikasi interpersonal, organisasi, dan lingkungan dimensi seperti internet, media cetak, televisi. Komunikasi risiko erat kaitannya dengan faktor kepercayaan. Untuk memahami komunikasi risiko maka penting untuk mempelajari tentang penilaian risiko dan manajemen risiko Peran komunikasi risiko terutama untuk mendorong keterlibatan langsung para partisipan dalam kegiatan kesiapan menghadapi bencana dan kegiatan pada saat tanggap darurat. Kim dan Kang (2010) mengatakan keterpaduan komunikasi antara media lokal, organisasi masyarakat, dan hubungan interpersonal memiliki
24
dampak terhadap kemungkinan terlibat dalam kegiatan selama pra badai dan selama terjadinya badai. Menurut Kim dan Kang, pendidikan dan pengalaman sebagai sumber pengetahuan dasar bencana, serta kemudahan akses ke berbagai sumber daya untuk kesiapan menghadapi bencana, belum cukup untuk untuk menurunkan tingkat risiko bencana secara optimal. Individu juga membutuhkan koneksi dengan sumber pemerintah, keuangan, pusat penyebarluasan informasi, organisasi-organisasi sosial, dan sumber-sumber teknologi untuk dapat mengambil langkah-langkah kesiapan. Pada kenyataanya individu sering mengabaikan pesan krisis atau menunda apa yang harus mereka lakukan. Oleh sebab itu masyarakat juga harus memiliki motivasi yang cukup untuk mengambil tindakan terkait bencana berdasarkan pengetahuan dan sumber daya yang dimiliki. Pendapat senada dikemukakan Quero (2012), program manajemen bencana melibatkan jaringan antar kelembagaan. Partisipan dalam penurunan risiko bencana dapat berasal dari pemerintah pusat, pemerintah wilayah, sektor swasta, organisasi non pemerintah (LSM), kelompok relawan, akademisi, media, dan lembaga donor asing. Dalam bingkai perilaku manusia, motivasi, keterampilan, norma, sikap, dan nilai-nilai mempengaruhi koordinasi antar partisipan dalam kesiapan menghadapi bencana. Asgary dkk (2012) dalam penelitian tentang usaha pemulihan pasca bencana banjir di Pakistan menunjukkan keluarga dan teman merupakan partisipan yang turut mendukung dalam penurunan risiko bencana, khususnya dalam tahap pemulihan. Komunikasi bencana adalah komunikasi yang memadai, yaitu komunikasi berisi informasi yang diperlukan untuk mengambil keputusan yang efektif; informasi tersebut dapat diakses, dan dapat dipahami oleh penggunanya (Fischhof dkk. 2011). Rogers dalam Kim dan Kang (2010) mengatakan komunikasi risiko merupakan intermedia proses, dimana komunikasi interpersonal diperkuat dengan intervensi media massa adalah cara yang paling efektif untuk mengubah perilaku individu dalam krisis. Dari uraian di atas, maka komunikasi risiko kesiapan menghadapi bencana dapat dipandang sebagai kegiatan berbagi informasi dalam suatu jaringan komunikasi bermuatan informasi bencana yang dapat mendorong partisipan berperan dalam kesiapan menghadapi bencana. Sistem informasi penurunan risiko bencana Manfsch dan Park dalam Eriyanto (1998) menguraikan sistem sebagai gugusan dari elemen-elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari tujuan-tujuan. Dalam sistem terdapat kontrol yang bersumber dari umpan balik dan kriteria, serta terjadi penyesuaian dan pengaturan diri. Karena sistem terdiri dari sub-sub sistem yang bekerja sama untuk mencapai tujuan tertentu, maka diperlukan pengaturan dalam sistem tersebut. Pendekatan sistem dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu pendekatan prosedur dan pendekatan komponen. Pendekatan sistem yang menekankan pada prosedurnya mendefinisikan sistem sebagai suatu jaringan kerja dari prosedurprosedur yang saling berhubungan, berkumpul bersama-sama untuk melakukan suatu kegiatan atau untuk menyelesaikan suatu sasaran yang tertentu. Prosedur adalah suatu urut-urutan operasi klerikal (tulis menulis) biasanya melibatkan beberapa orang di dalam satu atau lebih departemen, yang diterapkan untuk menjamin penanganan yang seragam dari transaksi-transaksi bisnis yang terjadi. Berbeda dengan sistem yang menekankan pada prosedurnya, sistem yang
25
menekankan pada komponen atau elemennya mendefinisikan sistem sebagai kumpulan dari elemen-elemen yang berinteraksi untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Lingkungan luas
Lingkungan Penghubung Masukan
Subsistem
Subsistem
Subsistem
Subsistem
Pengolahan
Keluaran
Batas
Sumber : http://abfahtech-sistems.blogspot yang diindonesiakan
Gambar 8 Karakteristik sistem Setiap obyek memiliki karakteristik tertentu yang disebut sebagai identitas. Suatu sistem memiliki sifat-sifat atau karakteristik, di antaranya (a) Memiliki komponen sistem (components) yang saling bekerja sama; (b) Memiliki batas sistem (boundary), yaitu wilayah yang membatasi antara suatu sistem dengan sistem yang lainnya atau dengan lingkungan luarnya. Batas sistem ini memungkinkan suatu sistem dipandang sebagai satu kesatuan. Batas suatu sistem menunjukkan ruang lingkup (scope) dari sistem tersebut; (c) Lingkungan luar sistem (environments), yaitu apapun diluar batas dari sistem yang mempengaruhi operasi sistem. Lingkungan luar sistem dapat bersifat menguntungkan yang harus dijaga, dan yang bersifat merugikan harus dikendalikan, karena dapat menggangu kelangsungan hidup dari sistem; (d) Antarmuka atau penghubung (interface), adalah media penghubung antara satu subsistem dengan subsistem lainnya. Keluaran (output) dari satu subsistem akan menjadi masukan (input) untuk subsistem lainnya dengan melalui penghubung. Dengan penghubung satu subsistem dapat berintegrasi dengan subsistem yang lainnya membentuk satu kesatuan; (e) Masukan (input), adalah energi yang dimasukkan ke dalam sistem. (f) Keluaran (output), adalah hasil dari energi yang diolah dan diklasifikasikan menjadi keluaran yang berguna dan sisa pembuangan; (g) Pengolah (process), suatu sistem dapat mempunyai suatu bagian pengolah yang akan mengubah masukan menjadi keluaran. Suatu sistem produksi akan mengolah masukan berupa bahan baku dan bahan-bahan yang lain menjadi keluaran berupa barang jadi. Sistem akuntansi akan mengolah data-data transaksi menjadi laporan-laporan keuangan dan laporan-laporan lain yang dibutuhkan oleh manajemen; (h) Sasaran (objectives); dan (i) Tujuan (goal), Sasaran sangat menentukan masukan yang dibutuhkan sistem dan keluaran yang akan dihasilkan sistem. Suatu sistem dikatakan berhasil bila mengenai sasaran atau tujuannya. Secara grafis komponen sistem dapat dilihat pada Gambar 8.
26
Gambar 9
Pengitegrasian media komunikasi dalam sistem informasi bencana (Web) Jalin Merapi
Terkait penanganan bencana letusan Gunung Merapi tahun 2010, aspek pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) oleh Jalin Merapi menunjukkan internet, khususnya pemanfaatan sosial media seperti Twitter dan Facebook merupakan senjata utama dalam kecepatan menyampaikan informasi ke publik (Gambar 9). Pemanfaatan infrastruktur radio VHF juga menjadi ujung tombak komunikasi saat bencana, jika telepon, SMS, dan internet memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi pada pihak ketiga sebagai penyedia jasa (provider), maka jalur komunikasi melalui perangkat radio VHF lebih memiliki keleluasaan tersendiri dalam penggunaannya. Dua teknologi infomasi dan komunikasi sekalipun berbeda karakter penggunaan, namun dalam hal penyajian informasi ke publik dua media ini (radio dan internet) dapat dipadukan (konvergensi) menjadi radio streaming, sehingga pada erupsi 2010, di web Jalin Merapi radio streaming menjadi salah satu teknologi andalan. Pola pemanfaatan TIK di Jalin Merapi saat erupsi 2010 mengikuti basis kebutuhan yang sedang berkembang pada jaringan informasi Jalin Merapi saat itu. Pemasangan repeater induk di Gunung Ijo misalnya, pemasangan antena tersebut didasarkan atas kebutuhan membuka jalur komunikasi radio dengan berbagai titik posko pengungsian yang belum terhubung dengan posko induk di media center Jalin Merapi. Gambaran pengelola sistem informasi bencana yang dibangun jalin merapi seperti tertera pada Tabel 4. Pengintegrasian berbagai media komunikasi dilakukan mengingat setiap media memiliki keterbatasan-keterbatasan, disamping kelebihan yang dimiliki. Oleh sebab itu kelemahan media tertentu akan ditutupi oleh kelebihan media yang lain. Dalam penurunan risiko bencana Gunung Merapi, penggunaan media sangat berhubungan dengan peran atau keberadaan para partisipan. Seperti para relawan yang bekerja di lapangan, media komunikasi yang sangat dihandalkan adalah radio komunikasi dan handphone, sedangkan untuk masyarakat di wilayah rawan bencana, kentongan merupakan media komunikasi tradisional yang sangat dibutuhkan, terutama pada saat kondisi bencana.
27
Tabel 4 Struktur pengelola sistem informasi bencana Fungsi
Peran Kelola Informasi
Koordinator
Menjadi koordinator media center dan mengawasi seluruh arus distribusi dan pertukaran informasi. Media yang paling fokus dikelola adalah Twitter.
Pengelola twitter
Mengelola Twitter (moderasi, distribusi Twitter, dokumentasi), memantau perkembangan informasi di beberapa media sosial lain
Pengelola SMS
Mengelola SMS (menjawab SMS masuk, dokumentasi), menjadi Net Kontrol atau memoderasi arus komunikasi di Radio RIG VHF dan melakukan pencatatan (transkrip) ketika ada informasi penting.
Pengelola Facebook
Mengelola (moderasi, update status informasi) Facebook Jalin Merapi
Admin dan editor website
Admin sekaligus editor dan penulis di website Jalin Merapi
Reporter
Melakukan reportase situasi terkini yang terjadi di lapangan terkait berbagai hal seputar bencana merapi, kemudian menyusun konten pemberitaan untuk diunggah di website http://merapi.combine.or.id
Tim Teknis
Memasang pelbagai infrastruktur teknologi komunikasi seperti repeater dan repeater link,Very Small Aperture Terminal (VSAT), CCTV,dan berbagai infrastruktur teknologi komunikasi lainnya.
Relawan pengelola Selama masa erupsi Merapi 2010, terdapat delapan relawan yang data secara bergantian (sesuai waktu yang mereka sediakan) mengambil peran untuk memasukkan data (input data) dari lapangan ke lembar Googledoc untuk kemudian dipublikasikan di website Jalin Merapi.
Sumber : hasil penelitian berdasar informan jalin merapi Sistem informasi merupakan gabungan dari perangkat keras (hardware), seperti komputer, printer, konektor, pemancar; perangkat lunak (software) seperti berbagai aplikasi untuk membangun portal atau web, dan manusia (brainware) sebagai pelaku atau yang mengoperasikan dan memanfaatkan hardware maupun software. Perangkat lunak untuk sistem manajemen bencana yang diperlukan harus mampu untuk memenuhi kebutuhan untuk menolong menyelamatkan jiwa secara efisien dengan menggunakan IT, membantu kerjasama antara berbagai aktor di lapangan, seperti, pemerintah, SATKORLAK, LSM, international NGO, relawan dan juga korban agar dapat secara efektif merespon saat bencana, memberdayakan korban agar dapat membantu diri sendiri secara mandiri, memproteksi data korban untuk menekan kemungkinan penggunaan data secara tidak baik, memberikan solusi yang bebas/free dan open source kepada semua orang (speedy.com) Kerangka Berpikir Kerentanan menurut WHO (2014) derajat kemampuan populasi, individu maupun organisasi dalam mengantisipasi, mengatasi, menangkal dan memulihkan kembali dari dampak bencana. Sementara itu BAPPENAS (2011) kerentanan
28
merupakan suatu kondisi dari suatu komunitas atau masyarakat yang mengarah atau menyebabkan ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman bahaya. Isu dan permasalahan yang masih dihadapi dalam penurunan kerentanan menghadapi bencana di Indonesia adalah keterpaduan partisipan dalam menangani bencana, akurasi data dan informasi tentang kerusakan infrastruktur, kerugian masyarakat, maupun korban belum sepenuhnya optimal, serta aspek pencegahan belum mendapat perhatian yang memadai. Peran pemerintah yang masih sangat dominan dan peran komunitas yang belum optimal, serta pemanfaatan teknologi informasi yang memadai maupun perencanaan penurunan risiko bencana yang tidak komprehensif juga menjadi masalah yang belum dapat ditangani dengan baik (BNPB 2007). Mendasarkan pada penjelasan tersebut maka komunikasi pada berbagai tahapan bencana hendaknya bermuara pada penurunan kerentanan masyarakat terhadap ancaman bencana yang berakibat pada meningkatnya risiko terdampak bencana gunung api. Ancaman bencana bersumber dari aktivitas gunung api, infra struktur pendukung kesiapan menghadapi bencana gunung api, ketersediaan lembaga penurunan risiko bencana, teknologi pendeteksi bencana, mendorong terselenggaranya komunikasi partisipan bencana yang efektif dan evisien dan memberi penyadaran membangun kredibilitas partisipan. Bencana erat kaitannya dengan ketidakpastian waktu kejadian bencana, intensitas bencana, dan tingkat risiko bencana. Bentuk-bentuk kesiapan menghadapi bencana berbeda-beda untuk setiap tahapan becana dan kedudukannya dalam bencana tersebut. Banyak partisipan yang terlibat dan banyak aspek yang harus diketahui agar kegiatan komunikasi dapat berjalan secara efektif dan efisien.
Gambar 10 Kerangka pikir aktivitas komunikasi risiko menghadapi bencana gunung api Siklus bencana gunung api telah mendorong aktivitas komunikasi partisipan yang cenderung meluas dan semakin cepat. Kegiatan komunikasi akan meningkat seiring dengan status gunung api, dan akan mencapai puncaknya pada saat tanggap darurat. Kegiatan komunikasi mulai berkurang seiring dengan status
29
gunung api yang sudah mulai berkurang (Gambar 10). Dinamika kegiatan komunikasi yang selalu berubah menuntut partisipan, baik masyarakat terdampak bencana gunung api maupun partisipan yang membantu dalam penanganan bencana mampu berkomunikasi dalam berbagai situasi dan kondisi agar penanganan bencana dan sesudahnya berjalan efektif dan kehidupan masyarakat segara pulih. Tabel 5 Kegiatan komunikasi pada berbagai status bencana Status bencana Kegiatan komunikasi Tenang Memelihara hubungan dengan partisipan (Komunikasi antar warga dan pemangku kebijakan) Membangun dan memelihara komunikasi dengan desa penyangga Membangun kebercayaan antar anggota kelompok dan antar kelompok warga Memantau secara visual kondisi gunung api Melibatkan diri dalam kegiatan kelompok/ komunitas/ organisasi baik yang ada di wilayah tempat tinggal maupun yang berada di luar tempat tinggal (Forum Pengurangan Risiko Bencana) Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan serta menerapkan komunikasi menghadapi bencana Mempelajari prosedur dan mengikuti kegiatan pelatihan/simulasi penurunan risiko bencana dan partisipan bencana Mengumpulkan dan merekam data-data tentang sumberdaya yang ada di kalangan masyarakat, seperti jumlah keluarga, asset keluarga dan asset bersama, sarana prasarana, jumlah alat transportasi swadaya, dan jalur evakuasi Waspada Meningkatkan kegiatan pemantauan baik secara visual maupun bermedia Meningkatkan koordinasi internal keluarga, lingkungan sosial primer (tetangga, saudara, teman, tokoh masyarakat) Mereview prosedur penanganan bencana (Protap Desa ) Meningkatkan intensitas komuniasi dengan koordinator/pimpinan masyarakat/ petugas pemerintah, komunitas dan partisipan lainya Mengikuti kegiatan sosialisasi penurunan risiko bencana Memastikan media komunikasi berfungsi dengan baik Menyiapkan dokumen-dokumen yang harus diselamatkan
30
Pra Tanggap darurat (Siaga)
Rekonstruksi/ pemulihan
Berkoordinasi dengan petugas, relawan dan partisipan penanganan bencana lainnya Meningkatkan intensitas komunikasi baik dengan kelompok maupun petugas, relawan dan desa penyangga lokasi pengungsian dalam penanganan keadaan darurat Melakukan pertukaran informasi dengan benar dan jelas untuk kemudahan konfirmasi Membangun hubungan dengan partisipan yang baru dikenal seperti latar belakang partisipan dan keahlian Merekam hasil aktivitas komunikasi (catatan kronologi) sebagai bahan evaluasi Memantau perkembangan status gunung api Pertukaran informasi pengungsi (jumlah, asal, lokasi pengungsian, demografi pengungsi) Pertukaran informasi kebutuhan dan ketersediaan fasilitas pengungsian Pertukaran informasi tentang partisipan yang berperan dalam pengunsian Pertukaran informasi tentang prosedur tetap penurunan risiko bencana Pertukaran informasi tentang proses dan partisipan yang terlibat dalam pemulangan pengungsian Pertukaran informasi tentang kondisi kampung halaman dan ketersediaan logistik pasca mengungsi Berkoordinasi dengan kelompok, relawan, petugas, lembaga swadaya masyarakat dan partisipan lainnya dalam pertukaran informasi tentang kerusakan/kerugian Pendokumentasian informasi pasca bencana Pertukaran informasi dengan partisipan tentang Rencana Rehab Record (RR) yang akan dilakukan Memantau perkembangan status gunung api Melakukan pertukaran informasi dengan benar dan jelas Memanfaatkan Budaya Lokal dalam pemulihan trauma pasca bencana
Sumber : peneliti Quero (2012) mengatakan bahwa motivasi, keterampilan, norma, sikap, dan nilai-nilai mempengaruhi koordinasi antar partisipan. Motivasi mempengaruhi cakupan dan tingkat relawan dalam program kesiapsiagaan bencana. Bagi relawan, kesiapan ikut berpartisipasi dalam penanganan bencana berarti kesiapan untuk menghadapi perubahan. Kesiapan perubahan tersebut meliputi kesiapan perubahan kognitif dan kesiapan perubahan afektif.
31
Tabel 6
Komunikasi dan kesiapan menghadapi perubahan
Kondisi Kesiapan rendah/ kurang mendesak
Nomenklatur Program Agresif
Kesiapan rendah/ mendesak
Krisis
Kesiapan tinggi/ kurang mendesak
Pemeliharaan
Kesiapan tinggi/ Sangat mendesak
Respon cepat
Karakteristik yang menonjol Komunikasi persuasif Partisipasi aktif Informasi eksternal Peran agen perubahan Komunikasi persuasif Peran agen perubahan Komunikasi persuasif Partisipasi aktif Informasi eksternal Komunikasi persusif
Sumber : Armenakis, dkk1993 Armenakis dan Harris (2002) dalam Rafferti et.al. (2013) mengidentifikasi beberapa keyakinan yang mendasari kesiapan perubahan individu. Pertama, pesan perubahan harus menciptakan perlunya perubahan. Kedua, pesan perubahan harus memberikan gambaran tentang keberhasilan, dengan mengacu pada kemampuan individu untuk inisiatif melakukan perubahan. Keempat, pesan perubahan hendaknya menumbuhkan keyakinan bahwa organisasi (yaitu, pimpinan dan rekan-rekan) akan memberikan dukungan nyata bagi perubahan dalam bentuk sumber daya dan informasi. Pesan perubahan kelima terkait dengan evaluasi manfaat atau biaya perubahan untuk pekerjaan dan peran setiap individu. Jika seseorang tidak percaya bahwa perubahan memiliki manfaat, maka tidak mungkin bahwa ia akan memiliki evaluasi secara keseluruhan positif atau kesiapan untuk perubahan. Komponen kesiapan perubahan afektif menurut Crites et al. dalam Rafferti et.al. (2013) adalah dalam emosi seperti cinta, kebencian, kegembiraan, kesedihan, kebahagiaan, jengkel, ketenangan, kebosanan, relaksasi, kemarahan, penerimaan, jijik, sukacita, dan duka. Berdasar survei pendahuluan, telaah pustaka dan pengalaman penulis dirumuskan karakteristik seseorang yang tidak memiliki kesiapan dan yang memiliki kesiapan untuk melakukan komunikasi dalam kesiapan menghadapi bencana sebagai Tabel 7. Kesiapan Menghadapi Bencana Mekanisme utama untuk menciptakan kesiapan untuk perubahan adalah pesan untuk perubahan (Armenakis, Harris, Mossholder dalam French, dkk 2005). Penciptaan kesiapan untuk perubahan melibatkan perubahan kognisi individu dalam satu kesatuan orang-orang dalam suatu kelompok/unit. Secara umum pesan kesiapan harus memasukkan dua masalah, yaitu (a) perlunya ada perubahan, yaitu perbedaan antara kondisi saat ini dan kondisi masa depan yang dihapkan; dan (b) efisasi individu dan kolektif (keyakinan dapat menggunakan sumber daya untuk mencapai tujuan tertentu). Nadler dan Thshman dalam Raferti et.al. (2013) mengatakan bahwa kesadaran untuk berubah dapat berasal dari kesadaran adanya kesalahan dalam organisasi.
32
Tabel 7 Perbedaan pengetahuan, sikap, keyakinan dan respon yang siap dan yang rentan menghadapi bencana gunung api Ruang lingkup Pengetahuan isyarat bencana gunung api, bahaya dan manfaat dari isyarat bencana gunung api Keyakinan Menganalisa informasi
Sikap terhadap informasi yang diterima
Keyakinan menyebarluaskan informasi
Keyakinan meminta bantuan
Rentan Mengandalkan pengalaman
Siap Mengikuti informasi aktual karakteristik bencana dan kesiapsiagaan bencana
Didasarkan pada pengalaman dan mudah percaya terhadap informasi yang diterima Panik saat menerima informasi isyarat gunung api meletus yang simpang siur
Memiliki kemampuan dalam menganalisa secara cepat tingkat kebenaran dari informasi yang diterima tentang isyarat gunung api meletus Memiliki sikap tenang pada saat menerima informasi yang simpang siur tentang isyarat gunung api meletus karena dapat melakukan klarifikasi atas informasi yang diterima Memiliki keyakinan mampu menyebarluaskan secara cepat informasi bencana kepada partisipan, baik dilingkungan terdekat maupun diluar lingkungan tempat tinggal Memiliki keyakinan untuk meminta bantuan secara aktif kepada masyarakat luas melalui berbagai saluran komunikasi Memiliki keyakinan dapat berkoordinasi dengan partisipan dalam penanganan bencana gunung api didasari atas pengalaman dan keterlibatan dalam jaringan komunikasi Intensitas komunikasi yang dilakukan secara terus menerus menumbuhkan keyakinan informasi yang diberikan dipercaya oleh partisipan
Penyebarluasan informasi hanya pada lingkungan yang terdekat
Permintaan bantuan hanya pada lingkungan sekitar dan menunggu bantuan orang lain Keyakinan mampu Rasa rendah diri dan berkoordinasi keterbatasan kemampuan berkomunikasi menyebabkan individu sulit berkoordinasi Keyakinan dipercaya oleh Aktivitas komunikasi partisipan yang terbatas menyebabkan partisipan sulit mempercayai informasi yang diberikan Reaksi atas informasi Pasif dalam menanggapi informasi yang diterima
Mengambil inisiatif untuk merespon informasi yang diterima
Namun demikian informasi negatif dapat mengakibatkan reaksi berupa penolakan terhadap perubahan. Oleh sebab itu untuk mengurangi reaksi kontraproduktif, agen perubahan harus memiliki kemampuan untuk membangun kepercayaan target bahwa mereka dapat memperbaiki kesenjangan, yang oleh Bandura disebut sebagai efisasi.
33
Dalam kesiapan menghadapi bencana, pesan perubahan berupa perubahan kondisi alam sekitar gunung api sebagai isyarat bencana. Akurasi informasi sangat penting agar reaksi masyarakat terhadap informasi tidak menimbulkan dampak buruk bagi masyarakat. Upaya kesiapan melibatkan sekumpulan individu yang saling berinteraksi, untuk mengubah keyakinan, sikap, dan niat target. Agen perubahan harus memahami perbedaan antara kesiapan individu dan kesiapan kolektif, serta apa yang mempengaruhi interpretasi kolektif terhadap pesan kesiapan. Menurut teori perbedaan individu, bahwa respon dari satu individu dapat berbeda dari yang lain karena perbedaan struktur kognitif. Sedangkan teori hubungan sosial menunjukkan bahwa respon tergantung pada jaringan yang dimiliki oleh individu. Pemuka pendapat dapat memberikan pengaruh kuat untuk mempengaruhi orang lain untuk kesiapan berubah (Raferti et.al. 2013). Mengingat peran agen perubahan sangat penting, maka seorang agen setidaknya harus memiliki kredibilitas, ketulusan, keahlian, dan dapat dipercaya. Penyampaian pesan akan memberi pengaruh yang nyata apabila agen memiliki reputasi yang baik. Bandura, Fishbein dan Ajzen dalam Armenakis, dkk (1993), strategi yang diterapkan untuk komunikasi dalam rangka kesiapan adalah komunikasi persuasi dan partisipasi. Informasi persuasi terutama menyangkut komitmen, prioritas, dan urgensi upaya perubahan. Pesan hendaknya sederhana, lugas, rasional, dan logis. Komunikasi dapat dilakukan secara tatap muka maupun bermedia dalam bentuk newsletter, atau rekaman pidato. Koran digunakan sebagai media menyampaikan informasi ekternal. Partisipasi aktif dari target sangat diperlukan untuk keberhasilan dalam kesiapan terhadap perubahan. Agen perubahan dapat mengelola peluang bagi anggota organisasi untuk belajar melalui kegiatan mereka sendiri, maupun keterlibatan dalam pelatihan. Media Komunikasi untuk Menghadapi Bencana Gunung Api Innis dalam Littlejohn dan Foss (2011) mengatakan bahwa media komunikasi adalah intisari peradaban dan sejarah diarahkan oleh media yang menonjol pada masanya. McLuhan dalam Littlejohn dan Foss (2011) mengatakan ada perbedaan yang tajam antara media lisan, tulisan, dan elektronik. Media lisan mengharuskan pelaku komunikasi menyimpan informasi dalam pikiran mereka dan memberikannya kembali melalui pembicaraan. Bahasa tulisan memungkinkan seseorang memanipulasi, mengubah, menyunting, dan menyebarluaskan ulang tulisan tersebut. Bahasa tulisan menyebabkan adanya pemisahan antara yang diketahui dan yang mengetahui. Media elektronik, seperti televisi, dapat cepat dan tidak terikat waktu dan tempat karena dapat disiarkan secara luas. Karena media elektronik lebih cepat tersedia daripada media cetak, media elektronik menciptakan ledakan informasi, dan terjadi persaingan yang besar antar berbagai media untuk dilihat dan didengar.
34
Tabel 8
Perbedaan keterampilan bermedia antara rentan dan siap menghadapi bencana gunung api
Ruang lingkup Pengetahuan
Rentan Terbatas pada media komunikasi tradisional Komunikasi dilakukan secara langsung atau menggunakan media tradisional seperti kentongan
Siap Pengetahuan media luas, termasuk konvergensi media Mampu memanfaatkan berbagai media komunkasi, dari yang tradisional sampai media komunikasi modern
Akses ke media
Keterbatasan pengetahuan dan keterampilan menyebabkan akses ke media terbatas
Dapat mengakses berbagai media komunikasi untuk pertukaran informasi
Penguasaan media
Media yang dikuasai terbatas
Kepemilikan alamat/nomor
Alamat partisipan terbatas pada lingkungan tempat tinggal
Memiliki kemampuan dalam penguasaan media, baik meminjam, ataupun memiliki sendiri media Memiliki alamat atau nomornomor telepon partisipan
Pemanfaatan media
Media komunikasi hanya digunakan untuk hiburan atau berhubungan dengan orang lain akan tetapi mengabaikan informasi terkait bencana gunung api
Keterampilan bermedia
Media digunakan untuk berbagai kepentingan, termasuk untuk pertukaran informasi terkait bencana gunung api
Munculnya dunia maya saat ini telah menyediakan ruang bagi penggunanya untuk berkomunikasi secara interaktif dan tidak dibatasi ruang dan waktu. Pertukaran informasi tidak hanya berbentuk teks, suara, gambar, bahkan dalam bentuk gambar bergerak dan langsung saja, namun secara komprehensif dapat dilakukan secara bersamaan. Adanya perkembangan teknologi komunikasi akan menampilkan dua sisi yang saling berseberangan, yaitu sisi baik dan sisi buruk, dan pada akhirnya sebuah media komunikasi akan memiliki nilai sesuai dengan pemanfaatan oleh penggunanya. Kemampuan seseorang menggunakan HP untuk mengirim SMS saja, maka nilai HP tersebut hanya sebatas berkomunikasi jarak jauh dengan tulisan. Penggunaan HP untuk memberi kabar yang tidak benar, maka nilai sebuah HP adalah fasilitator perilaku buruk seseorang. Oleh sebab itu dalam komunikasi siaga bencana, media komunikasi tidak hanya sekedar sarana untuk penyampaikan pesan saja, melainkan sebagai cermin dari penggunanya. Penggunaan media komunikasi untuk kesiapan menghadapi bencana gunung api diarahkan kepada upaya penggunaan berbagai jenis media komunikasi untuk menghubungi para partisipan, dan memperoleh informasi bencana gunung api. Berdasarkan beberapa literatur dan hasil penelitian awal di lokasi, disusun karakteristik penguasaan dan pemanfaatan media komunikasi yang rentan bencana dan mendukung dalam kesiapan menghadapi bencana gunung api sebagaimana Tabel 8.
35
Karakteristik Partisipan dalam Kesiapan Menghadapi Bencana Gunung Api Renn dan Levine (1991) mendefinisikan kepercayaan dalam komunikasi mengacu pada harapan umum bahwa pesan yang diterima adalah benar dan dapat diandalkan dan bahwa komunikator menunjukkan kompetensi dan kejujuran dengan menyampaikan informasi yang akurat, obyektif, dan lengkap. Selanjutnya dijelaskan karena kepercayaan adalah salah satu tujuan utama dalam komunikasi risiko dan prasyarat untuk berbagai tujuan lain, kita perlu pemahaman secara lebih baik tentang makna dan implikasi dari kepercayaan. Seseorang berkomunikasi memiliki harapan akan mendapatkan informasi yang dibutuhkan, dan apa yang dikatakan atau disampaikan dalam bentuk tulisan dapat diandalkan. Tabel 9
Perbedaan karakteristik partisipan yang rentan dan yang siap menghadapi bencana gunung api
Ruang Lingkup
Rentan
Siap
Wawasan
Terbatas dan diperoleh hanya dari turun temurun
Mengikuti perkembangan bencana gunung api, para partisipan, kebijakan, dan lain-lain
Jaringan komunikasi
Jaringan komunikasi terbatas pada lingkungan terdekat
Kemampuan mengakses berbagai media komunikasi memungkinkan terhubung dengan partisipan yang luas
Pemantauan
Pemantauan terbatas pada lingkungan yang terdeteksi oleh indra secara langsung
Pemantauan menjadi hal rutin melalui kegiatan komunikasi dengan memanfaatkan berbagai media
Kemudahan Akses
Akses dilakukan secara langsung
Menghubungi partisipan dilakukan dengan berbagai media
Respons
Cepat akan tetapi terbatas pada lingkungan terbatas
Respon tergantung aktivitas partisipan, akan tetapi respon tidak terbatas pada lingkungan tempat tinggal
Akurasi Informasi
Informasi sangat subyektif tergantung pada indra partisipan Informasi yang diberikan berulang dan tidak memberikan tambahan pengetahuan baru
Lebih akurat, informasi dapat diperoleh dari pihak yang kompeten
Manfaat
Informasi yang diberikan bermanfaat menambah pengetahuan terkini tentang bencana
Meskipun komunikasi risiko sebagian besar ditujukan dalam manajemen situasi, komunikasi risiko merupakan bagian dari proses yang berkelanjutan (Lang et.al. 2001). Selanjutnya dijelaskan kepercayaan kepada sumber dalam komunikasi risiko terbentuk dari pengalaman abadi kepercayaan dari waktu ke waktu. Kepercayaan mencakup aspek kompetensi, objektivitas, keadilan, konsistensi, dan keyakinan. Dengan kata lain keyakinan ini didasarkan pada
36
catatan masa lalu yang baik. Seseorang akan mengubah sikap dan perilaku apabila percaya kepada partisipan. Sebaliknya kredibilitas yang buruk sering dikaitkan antara lain dengan ketidakmampuan, informasi yang tidak lengkap atau tidak jujur. Kredibilitas, bagaimanapun, dapat diperkuat dengan kinerja yang baik, respon cepat untuk permintaan publik atas informasi, harmoni dengan nilai-nilai sosial yang sangat terhormat, ketersediaan komunikasi dengan pihak luar, fleksibilitas untuk merespon situasi krisis atau tuntutan publik, dan keterbukaan informasi termasuk dalam pengalokasian bantuan. Perkembangan teknologi dan metode untuk mendeteksi bencana menyebabkan kepercayaan terhadap kinerja lembaga yang bertanggungjawab untuk mendeteksi bencana merupakan kunci utama untuk respon risiko (Earle dan Cvetkovich dalam Renn 2009). Tingkat kepercayaan seseorang terhadap suatu lembaga akan mempengaruhi respon terhadap risiko, sebaliknya ketidakpercayaan terhadap suatu partisipan bencana akan berdampak pada tindakan menentang risiko. Selanjutnya Renn menjelaskan bahwa kepercayaan tumbuh dari pengalaman. Untuk membantu kepercayaan antara lain dilakukan dengan cara mendengar keluhan masyarakat, dan terlibat dalam komunikasi responsif, umpan balik, atau dialog (Morgan et.al dalam Renn 2009). Waktu (intensitas) keterlibatan partisipan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam manajemen risiko. Kepercayaan dibangun dalam waktu yang panjang. Kepecayaan akan mudah hilang, dan sulit mendapatkan kembali. Enam komponen kepercayaan menurut Renn dan Levine dalam Renn 2009 adalah penilaian atas keahlian partisipan; obyektivitas, yaitu informasi yang sama untuk setiap orang; kewajaran; konsistensi; kejujuran dan keterbukaan; keyakinan, yaitu kesesuaian antara perkataan dan perbuatan. Dari uraian di atas dan hasil penelitian awal di lokasi, maka dirumuskan tentang partisipan yang tidak mendukung dan yang mendukung dalam komunikasi risiko kesiapan menghadapi bencana gunung api sebagaimana Tabel 9. Komunikasi Risiko Kesiapan Menghadapi Bencana Bencana erat kaitannya dengan ketidakpastian waktu kejadian bencana, intensitas bencana, dan tingkat risiko bencana. Bentuk-bentuk kesiapan menghadapi bencana berbeda-beda untuk setiap tahapan bencana dan kedudukannya dalam bencana tersebut. Banyak partisipan yang terlibat dan aspek yang harus diketahui oleh masyarakat. Beberapa lembaga penanggulangan bencana, seperti Federal Emergency Management Agency (FEMA) memberikan pedoman dalam kesiapan menghadapi bencana, meliputi (a) Pengenalan bahaya yang dapat menyerang komunitas, risiko yang dihadapi, dan rencana evakuasi; (b) Memastikan radio dan televisi menyiarkan keadaan yang dapat mengancam komunitas; (c) Menggunakan berbagai media untuk memberikan peringatan, seperti sirine dan telepon; (d) Menyiapkan alat komunikasi bertenaga batere, dan memastikan alat tersebut dalam keadaan siap digunakan; (e) Memastikan bahwa makanan dan minuman tersedia dalam jumlah yang cukup; (f) Memastikan tempat-tempat penampungan; (g) Memastikan prosedur kerjasama untuk setiap komunitas telah dikuasai.
37
Komunikasi harus senantiasa siap menjalankan perannya sebagai penghubung partisipan yang berkepentingan dalam penurunan risiko bencana. Aspek komunikasi yang harus disiapkan terutama menyangkut pengetahuan tentang tanda-tanda bencana, partisipan bencana, media komunikasi bencana, sumber sarana bencana, sumber kebutuhan pokok masyarakat terkena bencana, sarana distribusi bantuan, dan sumber daya manusia. Kegiatan komunikasi harus selalu dilakukan antar partisipan yang berkepentingan untuk memastikan kesiapan mereka dalam menghadapi bencana yang mungkin terjadi. Secara individu, terutama masyarakat di wilayah rawan bencana, pemerintah, dan lembaga-lembaga non pemerintah yang bergerak atau memiliki tanggungjawab dalam penurunan risiko bencana, serta masyarakat luas hendaknya memiliki pengetahuan, sikap, dan keterampilan untuk saling berbagi informasi. Perkembangan teknologi informasi yang terintegrasi dalam sistem bencana telah memungkinkan masyarakat dengan mudah saling berbagi informasi. Namun demikian untuk memanfaatkan teknologi tersebut, partisipan harus memiliki kemampuan yang tinggi, sehingga setiap saat siap menghadapi bencana yang akan terjadi. Dalam konteks bencana, komunikasi terutama penyiaran mendapat peran penting dalam menyebarluaskan informasi mengenai bencana kepada masyarakat yang cepat sekaligus akurat. PP 50 tahun 2005 mewajibkan lembaga penyiaran swasta untuk menyebarluaskan informasi peringatan dini yang berasal dari sumber pemerintah tentang kemungkinan terjadinya bencana. Fakta di lapangan masih dijumpai pemberitaan yang tidak tepat. Sebagai contoh pemberitaan abu vulkanik yang yang disamaartikan dengan wedus gembel oleh media, menyebabkan kepanikan di masyarakat dan bahkan menimbulkan korban akibat kecelakaan lalulintas dan bukan sebagai dampak dari letusan Gunung Merapi. Karus dan Davis dalam Kiousis (1999) mengatakan untuk meyakinkan dan melengkapi informasi, seseorang akan menggunakan beberapa saluran komunikasi, seperti komunikasi massa dan komunikasi interpersonal. Penilaian seseorang terhadap kredibilitas partisipan berkaitan dengan konsistensi dalam mengonsumsi berita/informasi. Sutton et.al. (2007) mengatakan bahwa situasi bencana merupakan kejadian yang tidak rutin dan menghasilkan perilaku yang tidak rutin. Pada saat bencana, orang-orang dan organisasi akan beradaptasi dan menyesuaikan kebutuhan. Ketidakmampuan orang dalam menemukan informasi yang akurat dan relevan akan berdampak pada keadaan stress. Kepercayaan partisipan terhadap partisipan lainnya tergantung pada seberapa mirip nilai-nilai partisipan yang satu dengan nilai-nilai yang dipakai oleh partisipan lainnya. Penilaian tersebut tergantung informasi naratif yang diberikan oleh sumber. Kepercayaan mereka pada kompetensi atau kepercayaan sumber tergantung pada penilaian mereka tentang kualitas informasi yang diberikan oleh sumber di masa lalu. Hal tersebut tergantung pada pengalaman pribadi mereka dari sumber dan/atau laporan yang mereka terima dari orang lain tentang kualitas informasi yang telah diberikannya di masa lalu. Kepercayaan sosial dan keyakinan terhadap sumber bersama-sama menentukan tingkat kerjasama antar partisipan. Niat ini dapat menghasilkan berbagai perilaku kooperatif, seperti mengekspresikan kepercayaan sumber, menerima nasihat tentang tingkat risiko dari sumber (persepsi risiko) dan bertindak atas dasar nasihat itu (penerimaan atau penolakan risiko).
38
Parreren dalam Winkel (2007) mengatakan dalam proses belajar seseorang memiliki tujuan, salah satunya adalah membentuk otomatisme. Bentuk belajar ini terutama meliputi belajar keterampilan motorik, tetapi dapat juga meliputi belajar kognitif. Ciri khas dari hasil belajar terletak dalam otomatisasi sejumlah rangkaian gerak-gerik yang terkoordinir satu sama lain. Keuntungan memiliki kemampuan otomatisme ialah seseorang dapat mencurahkan perhatian pada aktivitas lain, misalnya menyusun karangan sambil mengetik. Belajar adalah hubungan antara stimulus dan respon. Menurut teori ini tingkah laku individu merupakan hubungan antara rangsangan dengan jawaban, atau stimulus-respon. Thorndike mengemukakan tiga hukum dalam belajar, yaitu law of readiness, yaitu belajar akan berhasil apabila kesiapan untuk melakukan sesuatu; law of exercise, yaitu belajar akan berhasil apabila dilakukan dengan banyak belajar dan latihan; dan law of effect, yaitu belajar akan semangat apabila mengetahui hasil belajar yang baik. Weiner (2009) tentang teori kesiapan organisasi untuk berubah mengatakan bahwa kesiapan organisasi merupakan fungsi dari berapa banyak anggota organisasi menghargai perubahan, dan bagaimana perubahan tersebut akan menguntungkan anggota organisasi. Weiner mengatakan bahwa perubahan organisasi merupakan sumbangan dari kesiapan setiap individu dalam organisasi. Keberhasilan dari sebuah perubahan dapat dilihat dari kemampuan tindakan dan tercapainya harapan-harapan, atau penilaian atas pengetahuan, keterampilan, dan sumber daya. Sedangkan kesiapan untuk melakukan perubahan dapat dilihat dari komitmen untuk melakukan perubahan, dan keyakinan akan kemampuan untuk melakukan perubahan tersebut. Rafferti et.al. (2013) mengatakan keyakinan merupakan kunci pokok yang mendasari kesiapan perubahan. Adapun Breckler dan Winggis dalam Rafferti et.al. (2013) menyebutkan sikap, sebagai keseluruhan evaluatif dari elemen kognitif dan efektif yang berperan dalam kesiapan perubahan. Dalam kesiapan perubahan, seluruh individu hendaknya merasakan kesiapan perubahan dengan cara yang sama. Dalam kesiapan perubahan dalam organisasi, dituntut peran seluruh karyawan secara aktif berpartisipasi dalam memfasilitasi, dan berkontribusi pada perubahan terencana yang diprakarsai oleh organisasi. Cunningham et.al. (2002) dalam Rafferti et.al. (2013) kesiapan perubahan di tingkat individu mengacu kepada tuntutan untuk membuktikan perubahan dan perasaan mampu untuk mencapai keberhasilan dalam melakukan perubahan. Dalam kaitannya dengan kesiapan menghadapi bencana meletusnya gunung api, perilaku komunikasi terutama dilakukan untuk pertukaran informasi terkait bencana. Jalin Merapi (jaringan informasi lingkar merapi) dalam kegiatannya berbagi informasi, telah memanfaatkan berbagai media komunikasi, seperti HP, sosial media, radio komunitas, CCTV yang diintegrasikan dalam satu sistem. Oleh sebab itu untuk mengetahui perkembangan kondisi Gunung Merapi dituntut mempunyai keterampilan dan motivasi dalam pemanfaatan jaringan komunikasi online. Berdasarkan kajian berbagai karya ilmiah, jurnal, literatur, maupun bukubuku terkait, maka disusun kerangka berpikir hubungan antar variabel model komunikasi kesiapan masyarakat menghadapi bencana gunung api seperti Gambar 11.
39
Gambar 11
Kerangka berpikir hubungan antar variabel model komunikasi risiko kesiapan masyarakat menghadapi bencana gunung api
Agar variabel-variabel yang diteliti dapat dipahami dan memiliki makna yang sesuai dengan tujuan penelitian, maka perlu dilakukan konseptualisasi yaitu pemberian ketetapan makna sehingga tidak terjadi ambigu atau asosiasi yang berbeda-beda Sevila et.al dalam Taufli (2014). Agar konsep tersebut dapat diukur maka diberikan penjelasan yang bersifat operasional. Pengukuran merupakan kegiatan pemberian angka pada obyek atau kejadian menurut suatu aturan. Dalam pengukuran yang harus diperhatikan adalah terdapat kesamaan yang dekat antara realitas sosial yang diteliti dengan nilai yang diperoleh dalam pengukuran. Suatu instrumen dipandang baik apabila hasilnya mencerminkan secara tepat realitas dari fenomena yang hendak diukur (Singarimbun dan Effendi 1995). Penelitian menggunakan delapan variabel, yaitu karakteristik individu (X1), persepsi terhadap partisipan (X2),penguasaan media komunikasi (X3), keterampilan penggunaan media (X4), intervensi media (X5), dukungan lingkungan (X6), tingkat manfaat komunikasi (Y1), kesiapan menghadapi bencana (Y2) Hipotesa Berdasar kajian teoritis dan kerangka berpikir hubungan antar variabel, hipotesa disusun sebagai berikut : 1. Terdapat perbedaan nyata karakteristik masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api yang jenis dampak bencananya berbeda 2. Terdapat perbedaan nyata perilaku komunikasi dalam menghadapi bencana gunung api antara masyarakat yang tinggal di wilayah terdampak bencana gunung api berbeda
40
3. Terdapat perbedaan nyata manfaat komunikasi dalam kesiapan menghadapi bencana gunung api antara masyarakat yang tinggal di wilayah terdampak bencana gunung api berbeda 4. Terdapat perbedaan nyata kesiapan menghadapi bencana gunung api pada masyarakat di wilayah yang berbeda jenis dampak bencananya 5. Karakteristik individu, persepsi terhadap partisipan, penguasaan media, keterampilan penggunaan media komunikasi, persepsi terhadap intervensi media dan faktor lingkungan berpengaruh langsung dan nyata terhadap manfaat komunikasi dan berpengaruh tidak langung dan nyata terhadap kesiapan menghadapi bencana gunung api 6. Manfaat komunikasi berpengaruh langsung dan nyata terhadap kesiapan menghadapi bencana gunung api. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang diperkuat dengan kualitatif. Untuk memperoleh data kuantitatif digunakan instrumen penelitian berupa angket (questioner), sedangkan data kualitatif diperoleh dari pengamatan terhadap aktivitas komunikasi masyarakat dan wawancara mendalam dengan tokoh-tokoh kunci. Lokasi dan Waktu Penelitian Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) di tiga desa, yaitu Desa Dukun, Kecamatan Dukun dan Desa Jumoyo Kecamatan Salam keduanya masuk wilayah Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah, serta Desa Wukirsari Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman yang masuk wilayah Provinsi Daerah IstimewaYogyakarta. Ketiga desa tersebut adalah wilayah yang terdampak letusan Gunung Merapi tahun 2010 dengan jenis terdampak yang berbeda. Desa Dukun pada saat erupsi Gunung Merapi 2010 terkena debu vulkanik yang merusak tanaman, Desa Jumoyo adalah desa yang selain terdampak debu vulkanik juga terdampak aliran lahar dingin dari Sungai Putih, serta desa Wukirsari merupakan wilayah terdampak luncuran awan panas dan mengalami kerusakan parah. Dalam penelitian ini Desa Dukun disebut wilayah R1, desa Jumoyo sebagai wilayah R2 dan Wukirsari sebagai wilayah R3. Sesuai dengan salah satu teori yang digunakan dalam penelitian ini, stimulus yang diterima oleh seseorang akan mempengaruhi perilaku seseorang. Waktu pelaksanaan penelitian tahap survei pendahuluan telah dilakukan sejak tahun 2012 sampai dengan tahun 2013, sedangkan pengambilan data kuantitatif dilaksanakan pada bulan Juli-Agustus 2013. Pengamatan terhadap perilaku komunikasi tokoh-tokoh kunci di media sosial dilakukan untuk memperkuat pembahasan dalam tulisan ini. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi adalah para orang tua anggota masyarakat yang berada di wilayah rawan bencana Gunung Merapi. Jumlah sampel ditentukan secara proporsional di antara ketiga lokasi penelitian. Dalam satu rumah tangga diambil satu responden, yaitu bapak, ibu, atau anggota keluarga yang sudah dewasa.
41
Jumlah sampel dalam penelitian ditetapkan 200 responden. Penggunaan SEM dengan metode estimasi maximum likelihood memerlukan sampel 100 sampai dengan 150 responden, atau sebanyak lima kali jumlah indikator. Penelitian ini menggunakan 35 indikator, sehingga diperlukan 5 x 35 = 175 responden. Dengan melihat persyaratan di atas, maka 200 responden telah memenuhi uji statistik inferensia (Wijayanto 2008). Pengambilan sampel dilakukan secara acak menggunakan perangkat lunak Microsoft excel. Penentuan jumlah sampel setiap wilayah penelitan dilakukan secara proporsional berdasarkan jumlah kepala keluarga pada ketiga wilayah penelitian. Untuk kepentingan analisis data terpilah maka jumlah sampel laki-laki dan perempuan masing-masing sebesar 50% dari jumlah sampel setiap wilayah. Responden adalah orang tua laki-laki dan perempuan. Dengan asumsi dalam satu keluarga terdiri dari orang tua laki-laki dan orang tua perempuan, maka jumlah responden laki-laki dan perempuan adalah sama. Proporsi jumlah responden setiap wilayah penelitian sebagaimana dilihat pada Tabel 10. Besarnya prosentase responden cukup mewakili populasi dimana karakteristik terdampak bencana untuk setiap wilayah relatif homogen. Tabel 10 Jumlah kepala keluarga dan proporsi sampel 3 desa lokasi penelitian Wilayah
Kepala keluarga (KK)
Proporsi (%)
Sampel (orang)
R1 (Dukun) R2 (Jumoyo) R3 (Wukirsari)
1.421 2.425 3.600
2,7 2,7 2,7
38 66 96
Total
7.446
2,7
200
Definisi Operasional Suatu peubah agar dapat diukur maka terlebih dahulu diberikan pengertian atau definisi (Bungin 2006). Operasionalisasi konsep merupakan landasan membuat kuesioner (Kriyantono 2009). Tujuan memberikan definisi terhadap peubah agar tidak terjadi interpretasi yang salah ataupun interpretasi ganda (Rianse 2009). Definisi operasional dilakukan terhadap setiap variabel dan indikator-indikatornya yang terdiri dari variabel bebas (X) dan variabel terikat (Y). Karakteristik individu (X1) Karakteristik individu adalah ciri-ciri yang melekat pada diri responden yang dapat digunakan untuk membedakan antara responden yang satu dengan responden yang lain.Karakteristik individu yang digunakan sebagai variabel dalam penelitian ini meliputi jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, status sosial dan lama tinggal.
42
Tabel 11 Indikator kelompok variabel karakteristik individu (X1) Kategori Pengukuran
Indikator Jenis kelamin (X11)
Indikator Tampilan fisik responden
Tingkat pendidikan (X12)
Pendidikan dasar (sampai dengan 6 1.Dasar tahun); Pendidikan Menengah (7-12 2.Menengah tahun) 3.Tinggi Pendidikan tinggi (lebih dari 12 tahun) Kegiatan mencari nafkah 1. Tidak bekerja 2. Informal 3. Formal
Status pekerjaan (X13)
Status sosial (X14)
Lama tinggal (X15)
1. Laki-laki 2. Perempuan
Penilaian atas pandangan orang lain 1. Masyarakat biasa terhadap responden 2. Ketua kelompok 3. Tokoh agama 4. Tokoh masyarakat Jumlah tahun sejak awal tinggal 1. Cukup lama sampai dengan saat penelitian 2. Lama 3. Sangat lama
Definisi operasional untuk setiap indikator dalam variabel karakteristik individu adalah sebagai berikut : - Jenis kelamin adalah ciri biologis responden - Tingkat pendidikan adalah lama waktu dalam tahun responden duduk di bangku sekolah - Status pekerjaan adalah kondisi seseorang dalam memanfaatkan waktunya untuk berusaha yang menghasilkan sejumlah penghasilan - Status sosial adalah kedudukan seseorang dalam suatu masyarakat yang dilabelkan oleh anggota masyarakat dimana seorang bertempat tinggal - Lama tinggal adalah kurun waktu dalam tahun seseorang berdomisili di suatu wilayah. Persepsi terhadap partisipan (X2) Persepsi terhadap partisipan adalah kesan yang melekat pada diri responden tentang partisipan, meliputi kemudahan menghubungi, kecepatan merespons, dan akurasi informasi yang diberikan. Tabel 12
Indikator kelompok variabel persepsi terhadap partisipan (X2)
Variabel Persepsi terhadap partisipan (X2)
Indikator Pernyataan responden tentang kemudahan menghubungi, kecepatan mendapat respon, dan tingkat akurasi dari respon atau jawaban dari pemangku kepentingan
Kategori Pengukuran 1. Tidak baik/rendah 2. Cukup baik/sedang 3. Baik/tinggi
43
Dimensi untuk mengukur persepsi terhadap partisipan meliputi partisipan (partisipan) dan macam persepsi. Partisipan yang diteliti dalam penelitian sebanyak 13 pihak atau partisipan, sedangkan macam persepsi terdiri dari kemudahan menghubungi, kecepatan merespon, dan akurasi informasi. Tabel 13 Dimensi persepsi terhadap partisipan partisipan / partisipan
Kemudahan menghubungi
Pengelola Radio Pengelola TV Pengguna HT Petugas BPBD Petugas BPPTK Teman Tetangga Tokoh Masyarakat Penyuluh LSM Lurah Ketua RW Ketua RT
1. Sulit 2. Cukup mudah 3. Mudah
Persepsi Kecepatan merespon
1. Lambat 2. Cukup cepat 3. Cepat
Akurasi informasi
1. Tidak akurat 2. Cukup akurat 3. Akurat
Penguasaan media komunikasi (X3) Penguasaan media komunikasi adalah menjelaskan kemampuan responden mengakses alat untuk berbagi informasi. Alat berbagi informasi tersebut terdiri dari alat berbagi informasi satu arah dan dua arah. Tabel 14
Indikator kelompok variabel penguasaan media komunikasi (X3)
Variabel Penguasaan media komunikasi (X3)
Indikator Pernyataan responden mengenai akses teradap alat berbagi iformasi
Kategori Pengukuran 1. Tidak memiliki 2. Pinjam 3. Milik sendiri
Dimensi variabel penguasaan media komunikasi dilihat dari jenis media dan sifat penguasaan media komunikasi, yaitu tidak memiliki, pinjam, dan milik sendiri. Skor tertinggi diberikan untuk penguasaan media milik sendiri dan yang paling rendah yang tidak memiliki. Tabel 15
Dimensi penguasaan media komunikasi Media
Radio, V, HT, HP, Internet
Penguasaan 1. Tidak memiliki 2. Pinjam 3. Milik sendiri
44
Keterampilan penggunaan media komunikasi (X4) Keterampilan penggunaan media adalah ukuran yang digunakan untuk mengetahui sampai sejauhmana responden terbiasa memanfaatkan alat untuk berbagi informasi.Semakin sering memanfaatkan alat berbagi informal semakin maka terampil. Dimensi pengukuran didasarkan atas 5 jenis media dan 3 jenis informasi dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16
Indikator kelompok variabel keterampilan penggunaan media (X4) Variabel
Indikator
Keterampilan menggunakan media (X4)
Frekuensi mengoperasionalkan dan memanfaatkan media komunikasi
Kategori Pengukuran 1.Tidak pernah 2.Karang-kadang 3.Sering
Jenis media komunikasi meliputi radio, TV, HT, HP, dan internet, sedangkan jenis informasi yang diakses meliputi informasi hiburan, informasi urusan pekerjaan dan informasi bencana. Tabel 17
Dimensi keterampilan menggunakan media komunikasi
Media komunikasi Radio TV HT HP Internet
Mengoperasio nalkan 1. Tidak pernah, 2. Kadangkadang; 3. Sering
Hiburan 1. Tidak pernah, 2. Kadangkadang; 3. Sering
Akses informasi Pekerjaan 1. Tidak pernah 2. Kadangkadang; 3. Sering
Bencana 1. Tidak pernah 2. Kadangkadang; 3. Sering
Persepsi terhadap intervensi media (X5) Persepsi terhadap intervensi media adalah kesan yang melekat pada diri responden tentang kemasan informasi yang disebarluaskan melalui acara-acara yang ditayangkan media massa, meliputi acara berita, dialog, dan himbauan. Tabel 18
Indikator kelompok variabelintervensi media (X5) Variabel
Tingkat kepercayaan terhadap intervensi media (X5) Kesan yang melekat pada diri responden terhadap penayangan acara media massa
Indikator Pernyataan responden tentang kesan pemberitaan media massa tentang informasi terkait bencana
Kategori Pengukuran 1.Tidak percaya/ rendah 2.Kurang percaya/ sedang 3.Percaya/ tinggi
Tingkat kepercayaan terhadap intervensi media diukur berdasarkan jenis media dan kemasan acara, meliputi berita, dialog, dan himbauan.
45
Tabel 19
Dimensi tingkat kepercayaan terhadap intervensi media Kemasan Informasi Bencana Gunung api Berita Dialog Himbauan
Media Radio TV
1. Tidak percaya 2. Kurang percaya 3. Percaya
1. Tidak percaya 2. Kurang percaya 3. Percaya
1. Tidak percaya 2. Kurang percaya 3. Percaya
Faktor Lingkungan (X6) Faktor lingkungan adalah segala sesuatu yang berada diluar diri responden yang menurut persepsi responden turut mempengaruhi perilaku komunikasi risiko kesiapan menghadapi bencana gunung api. Tabel 20
Indikator kelompok variabel faktor lingkungan (X6)
Variabel Faktor Lingkungan (X6) Kondisi di luar diri responden
Indikator Pernyataan responden mengenai dukungan lingkungan terhadap proses komunikasi bencana
Kategori Pengukuran 1.Rendah 2.Sedang 3.Tinggi
Dukungan lingkungan diukur berdasarkan bentuk Dukungan dan tingkat Dukungan. Bentuk Dukungan terdiri dari kebijakan, budaya, sarana prasarana, dan kelembagaan. Tabel 21 Dimensi Dukungan Lingkungan Faktor lingkungan Kebijakan Budaya Sarana/prasarana Lembaga
Dukungan 1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi
Manfaat komunikasi (Y1) Manfaat komunikasi adalah efek positif yang dirasakan oleh responden dari kegiatan komunikasinya. Manfaat komunikasi diukur melalui 5 indikator yaitu memperoleh berita terkini, mempertahankan hubungan, memperluas hubungan, menambah pengetahuan, dan meningkatkan pendapatan.
46
Tabel 22 Indikator kelompok variabelmanfaat komunikasi (Y1) Variabel
Kategori Pengukuran
Indikator
Manfaat Komunikasi (Y1) Efek positif yang dirasakan responden dari kegiatan komunikasinya
Pernyataan responden tentang 1. Rendah keuntungan/ manfaat yang dirasakan 2. Sednag responden dari kegiatan pertukaran 3. Tinggi informasi dengan berbagai partisipan maupun dengan berbagai media
Dimensi pengukuran manfaat komunikasi dilihat dari bentuk dan tingkat manfaatnya. Tabel 23 Dimensi manfaat komunikasi Manfaat komunikasi Memperoleh berita terkini (Y11) Memelihara hubungan (Y12) Memperluas hubungan (Y13) Menambah pengetahuan (Y14) Mendukung perekonomian (Y15)
Tingkat Dukungan 1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi
Komunikasi risiko kesiapan menghadapi bencana gunung api (Y2) Komunikasi risiko kesiapan menghadapi bencana adalah kondisi fisik dan mental responden yang berhubungan dengan keyakinannya melakukan komunikasi dalam menghadapi bencana. Kesiapan tersebut dalam bentuk pengetahuan bencana, keyakinan berkomunikasi, serta sikap apabila mengetahui isyarat bencana. Tabel 24
Definisi operasional dan dimensi kelompok variabel siaga bencana(Y2)
Variabel
Indikator
Kategori Pengukuran
Pengetahuan tentang Isyarat Bencana (Y21)
Kemampuan responden menyebutkan tandatanda bencana gunung api. Kategori pengukurannya adalah banyaknya tanda-tanda yang disebutkan
1. 0 (rendah); 2. 1-3 (sedang); 3. >3 (tinggi)
Tingkat Pengetahuan tentang Bahaya Isyarat Bencana (Y22)
Kemampuan responden menyebutkan bahaya dari tanda-tanda bencana gunung api. Kategori pengukurannya adalah banyaknya tanda-tanda yang disebutkan
1. 0 (rendah); 2. 1-3 (sedang); 3. >3 (tinggi)
Pengetahuan tentang Manfaat Isyarat Bencana (Y23)
Kemampuan responden menyebutkan manfaat dari tanda-tanda bencana gunung api. Kategori pengukurannya adalah banyaknya tanda-tanda yang disebutkan
Sikap terhadap informasi isyarat bencana (Y24)
Ungkapan perasaan responden apabila mengetahui ada isyarat bencana.
1. 0 (rendah); 2. 1-3 (sedang); 3. >3 (tinggi) 1. Tidak tenang/rendah; 2. Cukup Tenang;/ sedang 3. Tenang/ tinggi
47
Lanjutan Tingkat keyakinan mampu menyebarluaskan secara cepat informasi bencana (Y25)
Ungkapan keyakinan responden mampu menyebarluaskan secara cepat informasi bencana.
1. Rendah; 2. Sedang; 3.Tinggi
Tingkat keyakinan mampu secara cepat meminta bantuan (Y26)
Ungkapan keyakinan responden mampu secara cepat meminta bantuan pada saat terjadi bencana.
1. Rendah; 2. Sedang; 3.Tinggi
Tingkat keyakinan mampu berkoordinasi (Y27)
Ungkapan keyakinan responden mampu melakukan koordinasi dengan partisipan pada saat terjadi bencana.
1. Rendah; 2. Sedang; 3.Tinggi
Tingkat keyakinan dipercaya (Y28)
Ungkapan keyakinan responden dipercaya oleh partisipan dalam penyebarluasan informasi bencana.
1. Rendah; 2. Sedang; 3.Tinggi
Tingkat keyakinan mampu mengevaluasi kebenaran infomasi (Y29)
Ungkapan keyakinan responden mampu melakukan evaluasi secara cepat tingkat kebenaran infomasi yang diterima.
1. Rendah; 2. Sedang; 3.Tinggi
Keterampilan dalam merespon informasi isyarat bencana (Y210)
Ungkapan sikap responden apabila mengetahui adanya isyarat bencana gunung api.
1. Menunggu arahan/Rendah; 2. Membantu keluarga/ Sedang; 3. Membantu orang lain Tinggi
Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini merupakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari sumber pertama, yaitu masyarakat yang berdomisili di wilayah rawan bencana Gunung Merapi. Pengumpulan data dilakukan dengan survey menggunakan serangkaian instrumen dan dilakukan oleh peneliti dan fasilitator di lapangan. Pengumpulan data juga dilakukan melalui pengamatan langsung di lapangan, dengan tujuan mengetahui fenomena komunikasi terkait bencana oleh masyarakat di wilayah penelitian. Pengamatan juga dilakukan terhadap komunikasi para penggiat komunikasi/relawan di media twitter. Data sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen dari lembaga sosial masyarakat, perguruan tinggi, pemerintah wilayah, kelompok masyarakat, radio komunitas, dan dari pihak lain yang relevan dengan penelitian. Untuk memperdalam fenomena yang ditemukan di lapangan, maka dilakukan wawancara mendalam (depth interview). Hal tersebut untuk memberikan gambaran atau mendiskripsikan kondisi di lapangan yang tidak mampu dijelaskan atau tidak masuk dalam kelompok variabel yang telah ditentukan. Dokumentasi, yaitu pengumpulan data melalui kegiatan penelusuran dan pencatatan data, dokumen, arsip, atau dokumen lain yang dapat dimanfaatkan sebagai referensi yang relevan dengan penelitian. Untuk memperjelas dalam memahami fenomena di lapangan secara visual, maka dilakukan perekaman gambar dengan foto obyek penelitian. Data primer yang dijaring melalui kuesioner adalah seluruh data yang masuk variabel dalam penelitian ini. Sedangkan data sekunder dihimpun dari berabagai instansi atau organisasi terkait dengan bencana, seperti Kantor Badan
48
Nasional Penanggulangan Bencana, baik Pusat maupun Wilayah, Pemerintah Kabupaten Sleman dan Magelang. Data yang dikumpulkan antara lain berupa data statistik, peraturan perundang-undangan, keadaan wilayah penelitian, dan hasilhasil penelitian terkait. Instrumen untuk mengumpulkan data primer dibuat secara sederhana menggunakan data nominal maupun ordinal dengan tiga skala sehingga memudahkan dalam pengumpulan data dan tidak menimbulkan tafsir atau pemahaman yang berbeda-beda oleh responden. Kuesioner terbagi kedalam dua jenis, yaitu checklist dan pertanyaan terbuka. Analisis Data Pengolahan dan analisis data dilakukan untuk memenuhi tujuan dari penelitian ini, yaitu untuk mendiskripsikan perilaku komunikasi masyarakat dalam kesiapan menghadapi bencana gunung api, menguji hubungan antar peubah maupun faktor penentu komunikasi risiko kesiapan menghadapi bencana gunung api. Perangkat lunak yang digunakan untuk mengolah data adalah MS Excel, perangkat lunak SPSS dan Lisrel. Data untuk variabel karakteristik individu (X1) yang meliputi jenis kelamin, jenis pekerjaan, kedudukan sosial merupakan data nominal, sedangkan lama tinggal dan tingkat pendidikan adalah data interval. Untuk kepentingan analisis, data interval ditransformasi ke dalam bentuk ordinal, yaitu lama tinggal di wilayah rawan bencana gunung api dikategorisasi cukup lama, lama, dan sangat lama. Sementara itu data tingkat pendidikan ditransformasi dan dikategorisasi menjadi dasar, menengah, dan tinggi. Untuk variabel lainnya lainnya merupakan data ordinal. Untuk kepentingan analisis, data ordinal ditransformasikan ke dalam interval. Adapun rumus yang digunakan untuk mentransformasi data dimaksud adalah sebagai berikut : Perolehan skor-skor minimal Nilai indikator =
x 100 Skor maksimal-skor minimal
Untuk melakukan penggolongan atau pengkategorian suatu data interval digunakan rumus sebagai berikut (Azwar 2007) : Rerata ideal Simpangan baku Kategori rendah Kategori sedang Kategori tinggi
X (Mi-1SBi) (Mi+1SBi)
< (Mi-1SBi) ≤ X <(Mi+1SBi) ≤ X
49
3 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN PROFIL MASYARAKAT DI WILAYAH RAWAN BENCANA GUNUNG API Abstrak Lingkungan dimana sekelompok masyarakat tinggal akan mempengaruhi karakter masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut, termasuk dalam berkomunikasi. Disamping adanya perbedaan lingkungan fisik, kondisi seseorang akan mempengaruhi kegiatan komunikasinya. Efektivitas komunikasi salah satunya dipengaruhi oleh adanya gangguan dalam komunikasi yang bersumber dari lingkungan komunikasi maupun partisipan. Memahami profil suatu masyarakat penting dilakukan dalam komunikasi bencana yaitu untuk menyusun strategi komunikasi yang tepat dalam rangka kesiapan menghadapi bencana gunung api. Penelitian yang dilakukan di tiga wilayah terdampak bencana berbeda bertujuan untuk mendiskripsikan gambaran umum lokasi penelitian dan Menganalisa profil masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api. Penelitian kuantitatif yang dilakukan di tiga wilayah terdampak bencana gunung api berbeda mengambil sampel sebanyak 200 yang terbagi secara proporsional berdasarkan jumlah kepala keluarga di tiga wilayah penelitian tersebut. Uji beda dan uji korelasi digunakan untuk Menganalisa, selain tabulasi silang. Hasil penelitian antara lain menunjukkan (1) tidak terdapat perbedaan nyata profil masyarakat pada ketiga wilayah yang berbeda jenis dampak bencananya; (2) berdasar jenis kelamin, laki-laki dan perempuan berbeda sangat nyata dalam hal status pekerjaan dan berbeda nyata dalam hal tingkat pendidikan. Pendahuluan Efektivitas dalam komunikasi dapat dilihat dari sejauh mana pesan dapat dipahami oleh partisipan, yaitu partisipan. Untuk mencapai pemahaman yang sama kadang diperlukan waktu yang cukup lama. Dalam komunikasi gangguan (noise) merupakan penyebab terhambatnya ataupun tidak tercapainya suatu tujuan komunikasi. Gangguan tersebut dapat dikelompokkan dalam gangguan fisik, psikis, dan lingkungan. Dalam pesan dikenal berbagai bentuk pesan yaitu pesan penglihatan, pesan sentuhan, pesan penciuman dan pengecapan maupun pesan pendengaran (Ruben dan Stewart 2013). Melihat bentuk pesan, maka gangguan fisik pada pancaindra akan menjadi penghambat terjadinya kesamaan pemahaman atas pesan yang dikomunikasikan. Komunikasi melibatkan partisipan, yaitu partisipan. Hubungan dan kondisi para partisipan akan mempengaruhi efektivitas komunikasi. Faktor psikologis, perbedaan kepentingan (interest), prasangka (prejudice), stereotip (stereotype), indiskriminasi (indiscrimination) dan rendahnya motivasi (motivation). Hambatan tersebut merupakan unsur-unsur dari kegiatan psikis manusia. Hambatan komunikasi lain yang dapat menurunkan efektivitas komunikasi adalah hambatan sosiokultural, yaitu keragaman etnik, perbedaan norma sosial, kekurangmampuan dalam berbahasa termasuk faktor semantik, dan pendidikan yang kurang merata. Sebagai ontoh hambatan komunikasi adalah faktor usia, dimana secara sosial
50
orang tua akan menarik diri dari kontak sosialdengan banyak individu, interaksi sosial yang semakin sempit dan meminimalkan risiko emosional (King 2010). Manusia memiliki naluri untuk berkelompok yang mendorongnya menyatukan hidupnya dengan orang lain (Bungin 2008). Dalam kehidupan sosialnya manusia melakukan komunikasi, yaitu memaknai apa yang dilakukan orang dalam bentuk pengetahuan, pembicaraan, gerak-gerik, sikap, dan perasaanperasaan dan memberikan respon berdasarkan pengalaman yang pernah dialaminya. Pemahaman tersebut diperlukan untuk menyusun strategi komunikasi yang tepat agar tujuan komunikasi tercapai, sebab proses interaksi memerlukan gaya dan pendekatan berbeda untuk menghindari konflik dengan pihak lain (Toomey dan Oetzel 2003). Interaksi manusia akan berkembang semakin luas. Komunikasi tidak hanya dilakukan melalui tatap muka. Kecepatan dalam pertukaran informasi dan jumlah orang yang saling berkomunikasi menuntut ketersediaan media komunikasi yang dapat mengakomodir kebutuhan tersebut. Disamping hubungan yang semakin luas kebutuhan manusia juga semakin kompleks. Komunikasi tidak hanya menghubungkan antar manusia, akan tetapi bagaimana komunikasi yang dilakukan dapat membahagiakan. Oleh sebab itu orang akan memilih jenis dan bentuk pesan yang dapat memenuhi kebutuhannya. Pemilihan tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi jenis media yang tepat untuk digunakan mengakses informasi yang diperlukan. Berdasar latar belakang tersebut permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah seperti apakah karakteristik individu masyarakat yang bermukin di wilayah yang berbeda? Sesuai dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini maka tujuan penelitian adalah (1) mendiskripsikan gambaran umum wilayah rawan bencana gunung api; (2) Menganalisa profil masyarakat di wilayah terdampak bencana gunung api; (3) Menganalisa perbedaan profil masyarakat yang berada di wilayah rawan bencana gunung api yang berbeda jenis dampak bencananya. Metode Penelitian dilakukan di 3 wilayah dengan jenis terdampak bencana gunung api berbeda, yaitu di Jumoyo Kecamatan Salam dan Dukun Kecamatan Dukun keduanya berada di wilayah Kabupaten Magelang, sedangkan Wukirsari Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman masuk dalam wilayah DI Yogyakarta. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) sesuai tujuan penelitian. Penelitian dilakukan dengan pendekatan kuantitatif yang diperkuat melalui pendekatan kualitatif. Metode yang digunakan adalah survey denganinstrumen berupa daftar pertanyaan terstruktur didasarkan pada indikator-indikator yang digunakan dalam penelitian ini. Untuk memperkuat analisis digunakan data kualitatif yang diperoleh melalui wawancara mendalam (depth interviews) dan pengamatan langsung aktivitas komunikasi masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api. Jumlah sampel adalah sebanyak 200 orang yang terdiri dari 100 laki-laki dan 100 perempuan. Jumlah sampel sebanyak 200 orang didasarkan pada persyaratan penggunaan SEM, untuk uji model yang akan dibahas pada bab berikutnya,dengan metode estimasi maximum likelihood yaitu 100-150 responden, atau sebanyak lima kali jumlah indikator. Penelitian ini menggunakan 35
51
indikator, sehingga diperlukan 5 x 35 = 175 responden. Dengan melihat persyaratan di atas, maka 200 responden telah memenuhi persyaratan uji statistik inferensia (Wijayanto 2008). Pembagian jumlah yang sama antara laki-laki dan perempuan sesuai tujuan penelitian yang ingin Menganalisa profil masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api, salah satunya berdasarkan jenis kelamin lakilaki dan perempuan. Pembagian jumlah sampel setiap wilayah ditetapkan secara proporsional berdasarkan jumlah kepala keluarga. Adapun pemilihan sampel dilakukan secara acak sederhana menggunakan perangkat lunak microsoft excel. Survey pendahuluan telah dilakukan sejak tahun 2012 dengan melakukan pendekatan dengan tokok kunci dan melakukan wawancara untuk memperoleh informasi-informasi yang diperlukan. Pengambilan data kuantitatif dilaksanakan pada bulan Juli-Agustus 2013. Jenis data yang digunakan adalah data nominal, data ordinal dan data interval. Data nominal untuk indikator jenis kelamin, lokasi penelitian, jenis pekerjaan, dan status sosial. Data interval digunakan untuk indikator lama tinggal di wilayah rawan bencana gunung api dan tingkat pendidikan, sedangkan analisis deskriptif, uji beda, maupun uji korelasi digunakan perangkat lunak microsoft excel dan SPSS. Hasil dan Pembahasan Gambaran Umum Lokasi Penelitian Gunung Merapi merupakan salah satu gunung teraktif di dunia. Kawasan Gunung Merapi masuk dalam wilayah kabupaten Magelang, Boyolali dan Klaten Propinsi Jawa Tengah, dan Kabuten Sleman DI Yogyakarta. Gunung Merapi merupakan sumber mata air bagi masyarakat, obyek wisata, laboratorium terbuka, dan kawasan tempat tinggal masyarakat (Dephut 2014). Tempat tinggal sesungguhnya, yaitu secara fisik bertempat tinggal di wilayah Gunung Merapi, namun juga tempat tinggal bagi para pemerhati dimana ingatan, kesan tentang Gunung Merapi selalu melekat dalam ingatan, seperti yang tersirat dalam buku berjudul ―Merapi Omahku‖ (Inandiak dan Dono 2010).
Gambar 12
Peta wilayah penelitian model Komunikasi kesiapan masyarakat Menghadapi risiko bencana gunung api (gambar diunduh dari internet)
52
Peradaban telah lama ada di sekitar wilayah Gunung Merapi. Berbagai peninggalan budaya tersebar di berbagai wilayah dalam bentuk candi-candi, bukubuku sejarah, karya sastra dan sebagainya, ―termasuk tetembangan‖. Pertemuan dengan para pencinta alam bukan hal sulit yang ditemui penulis selama melakukan riset. Perhelatan budaya kerap dilakukan di wilayah merapi. Sejarah juga mencatat setidaknya telah terjadi lebih dari 30 kejadian letusan dalam rentang waktu 1871 sampai dengan 2013 yang memberikan pengalaman terdampak bencana bagi masyarakat yang bermukim di sekitar Gunung Merapi (Adrirachman 2013). Gambar 12 memperlihatkan peta wilayah penelitian, yaitu Wilayah Dukun (R1) merupakan salah satu desa di Kecamatan Dukun yang berada pada radius 1015 kilometer dari puncak merapi yang relatif tidak mengalami kerusakan parah terdampak bencana Gunung Merapi. Kerusakan-kerusakan yang terjadi disebabkan oleh hujan abu vulkanik. Wilayah Jumoyo (R2) merupakan salah satu desa di kecamatan Salam yang berada pada radius 15-20 kilometer dari puncak Gunung Merapi. Sebagian wilayahnya dilalui Sungai Putih, merupakan jalur banjir lahar dingin. Sementara itu Wukirsari (R3) adalah salah satu desa yang masuk dalam wilayah kecamatan Cangkringan. Wilayah Wukirsari berada pada radius 10-15 kilometer dari puncak Gunung Merapi. Pada letusan Gunung Merapi tahun 2010, selain terdampak abu vulkanik, wilayah cangkringan terdampak bencana berupa awan panas. Profil Masyarakat di Wilayah Rawan Bencana Gunung Api Setiap individu memiliki ciri-ciri tersendiri yang membedakannya dari individu yang lain. Ciri-ciri tersebut akan mempengaruhi bagaimana individu merespon stimulus yang diterima dan bagaimana berperilaku. Pada Tabel 25 ditampilkan sebaran karakteristik masyarakat di wilayah penelitian. Status Pekerjaan Sektor informal, terutama pertanian masih menjadi andalan penyedia lapangan kerja bagi masyarakat terutama di R3 (Wukirsari) dan R1 (Dukun). Berbeda dengan kedua wilayah tersebut, masyarakat R2 (Jumoyo) lebih mengandalkan sektor swasta sebagai sumber mata pencaharian. Sektor informal juga telah mampu menekan angka pengangguran terutama di wilayah R1. Adapun tingkat pengangguran tertinggi terdapat pada masyarakat di wilayah R2. Angka pengangguran yang rendah di wilayah R1 terlihat disebabkan kemampuan sektor non formal dalam penyediaan lapangan pekerjaan di wilayah tersebut. Gambar 13 memperlihatkan proporsi status pekerjaan masyarakat di tiga wilayah penelitian. Dari keseluruhan masyarakat yang bekerja di sektor informal, pertanian merupakan sektor yang banyak memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat di R3 dan R1. Sedangkan masyarakat di wilayah R2 lebih banyak mengandalkan usaha mandiri (wiraswasta) sebagai matapencaharian dibanding pertanian. Hal tersebut diduga disebabkan letak geografis ketiga wilayah tersebut yang berbeda. Wilayah R3 yang memiliki wilayah paling luas dan wilayah R1 terletak di wilayah yang lebih tinggi serta jauh dari jalan raya propinsi dibanding wilayah R2 yang dekat dengan jalan raya propinsi dan pusat kota Muntilan.
53
Tingkat Pendidikan Sumber daya manusia di wilayah rawan bencana gunung api telah cukup baik, hal tersebut ditandai dengan tingkat pendidikan masyarakatnya yang sebagian besar telah berpendidikan tingkat menengah. Proporsi masyarakat berpendidikan menengah paling tinggi berada di wilayah R2 (Jumoyo) dibanding wilayah penelitian lain. Kesenjangan tingkat pendidikan paling lebar berada di wilayah R3 (Wukirsaari), karena meskipun proporsi masyarakat yang berpendidikan tinggi paling besar, namun masyarakat yang berpendidikan dasar juga paling tinggi dibanding wilayah lain. Sebaran tingkat pedidikan masyarakat di wilayah penelitian dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25
Sebaran responden menurut indikator pada variabel karakteristik individu dan menurut wilayah terdampak bencana gunung api , serta hasil uji beda Kruskal Wallis
Indikator karakteristik individu Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Mean rank Status pekerjaan Tidak bekerja Informal Formal Mean rank Pendidikan Tingkat Dasar Tingkat Menengah Tingkat Tinggi Mean rank Lama tinggal Cukup lama Lama Sangat lama Mean rank
Wilayah terdampak bencana R1 R2 R3
p
50,0 50,0 100,50
50,0 50,0 100,50
50,0 50,0 100,50
1.000
7,9 68,4 23,7
27,3 47,0 25,8
18,8 58,3 22,9
,462
109,07
96,01
100,20
21,0 73,7 5,3
15,2 81,8 3,0
24,0 64,6 11,5
98,21
101,89
100,45
42,1 50,0 7,9
37,9 57,6 4,5
43,8 40,6 15,6
98,43
100,26
101,48
,924
,954
Lama Tinggal Rerata lama responden tinggal di wilayah rawan bencana gunung api lebih dari 36 tahun, artinya warga memiliki pengalaman terdampak bencana setidaknya sudah 9 kali. Sementara itu warga yang paling lama tinggal di wilayah rawan bencana yaitu selama 86 tahun yang artinya telah mengalami terdampak bencana gunung meletus lebih kurang sebanyak 18 kali. Proporsi warga yang telah sagat lama (di atas 57 tahun) sebesar 10,5 persen. Sebaran lama tinggal masyarakat di wilayah penelitian dapat dilihat pada Tabel 25.
54
120,0 100,0 80,0 60,0 40,0 20,0 0,0
R1
R2
R3
Petani
40,0
16,0
48,4
Wiraswasta
32,0
60,0
28,1
Tidak tetap
28,0
24,0
23,4
Gambar 13 Proporsi jenis pekerjaan sektor informal yang dijadikan sumber matapencaharian oleh masyarakat pada tiga wilayah penelitian Hasil uji beda tingkat pendidikan responden, status pekerjaan dan lama tinggal di wilayah terdampak bencana menunjukkan secara statistik tidak terdapat perbedaan nyata pada tiga wilayah penelitian. Hal tersebut memberikan makna dari sudut pandang karakteristik individu, responden pada tiga lokasi wilayah penelitian relatif sama. Hubungan antar Indikator pada Variabel Karakteristik Individu Kesempatan memperoleh pendidikan formal di wilayah rawan bencana gunung api belum sepenuhnya merata antara laki-laki dan perempuan. Hasil analisis menunjukkan laki-laki memiliki kesempatan untuk mengikuti pendidikan formal yang lebih baik dibanding perempuan. Perbedaan kesempatan tersebut terutama untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah, sedangkan untuk pendidikan tingkat tinggi perbedaan tersebut tidak terlihat nyata. Tabel 26
Sebaran responden berdasarkan indikator pada variabel karakteristik individu dan hasil uji beda Mann Whitney berdasarkan jenis kelamin Jenis kelamin Indikator
Laki-laki
Perempuan
Tingkat pendidikan formal Dasar 07,0 13,5 Menengah 39,0 33,0 Tinggi 04,0 03,5 Jenis pekerjaan Tidak bekerja 03,0 16,5 Kerja informal 34,5 22,0 Kerja formal 12,5 11,5 Lama tinggal di wilayah rawan bencana cukup lama 18,0 23,5 Lama 27,0 21,0 Sangat lama 05,0 05,5 **berbeda sangat nyata pada =0,01 *berbeda nyata pada =0,05
Z
-1,993*
-3,026**
-1,252
55
Pembagian peran dalam rumahtangga di wilayah rawan bencana gunung api masih menempatkan laki-laki berperan sebagai pencari nafkah. Hal tersebut terlihat dari hasil analisis yang memberikan gambaran laki-laki lebih banyak bekerja mencari nafkah dibanding perempuan. Namun demikian perempuan telah banyak mengambil peran ganda, yaitu sebagai ibu rumah tangga dan pencari nafkah dengan bekerja terutama di sektor informal. 120,0 100,0 80,0 60,0 40,0 20,0 0,0
Laki-laki
Perempuan
Tidak bekerja
25,0
23,0
Non formal
69,0
44,0
Formal
6,0
33,0
Gambar 14 Sebaran status pekerjaan laki-laki dan perempuan di wilayah rawan bencana gunung api Kualitas sumber daya manusia di wilayah rawan bencana gunung api semakin baik dilihat dari tingkat pendidikan fomal. Hal tersebut mengindikasikan adanya keberhasilan program pendidikan yang dilaksanakan di wilayah penelitian. Masyarakat semakin besar memiliki kesempatan untuk mengikuti pendidikan formal. Pendidikan menjadi penting sebab hasil uji hubungan yang menghasilkan angka positif dan sangat nyata pada α=0,01. Tabel 27
Hasil uji Rank Spearman hubungan antar indikator pada variabel karakteristik individu responden di wilayah rawan bencana gunung api Karakteristik individu
Indikator
Tingkat Pendidikan
Status pekerjaan
Lama tinggal
Pendidikan formal 1,000 .207** -.376** Status pekerjaan 1,000 -.141* Lama tinggal 1,000 ** Berhubungan sangat nyata pada α=0,01 *berhubungan nyata pada α=0,05 Namun demikian hasil analisis tersebut juga memberikan gambaran adanya kecenderungan masyarakat berpendidikan tinggi memilih bekerja di sektor formal dibanding sektor informal, termasuk pertanian. Fakta tersebut juga dapat dijadikan prediktor akan terjadinya kekurangan tenaga kerja berpendidikan tinggi pada sektor pertanian maupun sektor usaha (wiraswasta)
56
120,0 100,0 80,0
60,0 40,0 20,0 0,0
Dasar
Menengah
Tinggi
Formal
9,8
23,6
66,7
Non formal
68,3
56,9
20,0
Tidak bekerja
22,0
19,4
13,3
Gambar 15
Sebaran status pekerjaan dan tingkat pendidikan masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api
Menjadi sebuah tantangan besar dimasa depan bagaimana sektor pertanian dan sektor usaha (wiraswasta) menjadi sektor menarik bagi pemuda dengan tingkat pendidikan yang baik mengingat sektor pertanian sebagai penyedia kebutuhan pokok bagi masyarakat yang jumlahnya semakin meningkat. 120,0 100,0 80,0 60,0 40,0
20,0 0,0
L3
L2
L1
Tinggi
4,8
6,3
9,6
Menengah
19,0
72,9
84,3
Dasar
76,2
20,8
6,0
Gambar 16
Sebaran tingkat pendidikan masyarakat berdasar lama tinggal di wilayah terdampak bencana gunung api.
Lama tinggal yang berhubungan nyata dan negatif dengan tingkat pendidikan dan status pekerjaan menunjukkan kecenderungan masyarakat yang lebih lama tinggal di wilayah terdampak bencana gunung api cenderung untuk bekerja di sektor informal ataupun tidak bekerja, juga cenderung memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan kecenderungan generasi muda memiliki pendidikan yang lebih baik dan cenderung bekerja di sektor formal.
57
Simpulan Sesuai hasil analisis terhadap karakteristik individu, beberapa simpulan disampaikan sebagai berikut : 1. Tidak terdapat perbedaan nyata dalam hal tingkat pendidikan, status pekerjaan dan lama tinggal masyarakat di tiga wilayah terdampak bencana berbeda. 2. Terdapat perbedaan nyata dalam hal tingkat pendidikan antara laki-laki dan perempuan, dimana tingkat pendidikan warga laki-laki lebih baik dibanding warga perempuan khususnya pada tingkat pendidikan menengah. 3. Terdapat perbedaan sangat nyata dalam hal status pekerjaan antara laki-laki dan perempuan di wilayah rawan bencana gunung api terutama dalam hal pekerjaan sektor informal. 4. Tidak terdapat perbedaan nyata dalam hal lama tinggal di wilayah rawan bencana gunung api antara laki-laki dan perempuan 5. Terdapat hubungan sangat nyata antara lama tinggal di wilayah rawan bencana gunung api dengan tingkat pendidikan, dimana masyarakat yang lebih lama tinggal di wilayah rawan bencana gunung api cenderung memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah 6. Terdapat hubungan sangat nyata antara tingkat pendidikan dengan status pekerjaan, dimana masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi cenderung bekerja di sektor formal
58
4 PERILAKU KOMUNIKASI Abstrak Perilaku komunikasi seseorang dipengaruhi oleh apa yang melekat pada diri orang itu, pengalaman semasa hidupnya dan bagaimana lingkungan membentuk karakter orang tersebut. Seseorang menerima stimulus yang diterima pancaindera yang selanjutnya akan direspon dan diwujudkan dalam bentuk gerak, persepsipersepsi dan media komunikasi yang dimiliki dan digunakannya. Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan perilaku komunikasi masyarakat di tiga wilayah terdampak bencana berbeda. Penelitian ini adalah penelitian survey yang dilakukan pada tiga wilayah terdampak bencana gunung api berbeda. Hasil penelitian menunjukkan (1) perilaku komunikasi berbeda untuk setiap wilayah yang terdampak bencana gunung api berbeda; (2) terdapat hubungan nyata antara tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan lama tinggal di wilayah rawan bencana gunung api dengan perilaku komunikasinya. Pendahuluan Membuka diri serta mengembangkan sikap jujur diyakini sebagai inti untuk membangun suatu hubungan (Stafford 2009). Selanjutnya dikatakan komunikasi yang baik akan meningkatkan hubungan antara dua pihak. Memahami karakteristik individu, seperti gender, akan membantu orang berkomunikasi dengan baik, sebab perbedaan gender akan menampilkan perilaku komunikasi yang berbeda. Bencana erat kaitannya dengan kebutuhan akan bantuan dari pihak lain untuk mengatasi masalah yang ada di masyarakat yang terkena dampak bencana. Membantun hubungan yang baik sangat diperlukan guna menurunkan risiko bencana. Stafford mengutip dari Knapp dan Vangelisti mengatakan putusnya komunikasi disebabkan oleh beberapa hal, seperti salah satu pihak mulai memisahkan diri, ada kecanggungan dalam komunikasi, terpisah jarak, atau salah satu pihak memutuskan untuk berpisah. Memperhatikan hal tersebut maka hendaknya masyarakat yang tinggal di wilayah rawan bencana mengembangkan kemampuannya dalam berkomunikasi dengan partisipan yang mungkin pada saat terjadi bencana akan memberikan bantuan. Masyarakat di wilayah rawan bencana harus menyadari bahwa situasi dapat berubah dengan cepat dan tidak dapat diprediksi. Oleh sebab itu kegiatan komunikasi dengan partisipan harus senantiasa dilakukan. Atas dasar latar belakang di atas permasalahan yang diangkat dalam bab ini adalah bagaimanakan perilaku komunikasi masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api yang berbeda jenis dampak bencananya dalam menghadapi bencana gunung api? Tujuan penelitian adalah (1) mendiskripsikan perilaku komunikasi masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api pada wilayah yang berbeda dampak bencananya; (2) Menganalisa hubungan karakteristik individu dengan perilaku komunikasi.
59
Berdasar latar belakang dan tujuan penelitian, hipotesa yang disusun adalah (1) terdapat perbedaan nyata dalam hal perilaku komunikasi antara masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api yang berbeda jenis dampak bencananya; (2) terdapat hubungan nyata antara karakteristik individu dengan perilaku komunikasinya. Metode Penelitian yang dilakukan adalah penelitian kuantitatif menggunakan metode survey yang diperkuat dengan wawancara mendalam (depth interviews) dan pengamatan langsung terhadap aktivitas komunikasi masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api. Penelitian dilakukan di tiga wilayah dengan jenis terdampak bencana gunung api berbeda, yaitu R2 adalah Desa Jumoyo Kecamatan Salam yang terdampak aliran lahar dingin maupun abu fulkanik, R1 adalah Desa Dukun Kecamatan Dukun yang terdampak abu vulkanik, keduanya berada di wilayah Kabupaten Magelang, sedangkan R3 yaitu Desa Wukirsari Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman di Yogyakarta merupakan wilayah terdampak awan panas. Jumlah sampel sebanyak 200 orang yang terbagi menjadi 100 laki-laki (kepala rumah tangga) dan 100 perempuan (ibu rumah tangga). Pembagian jumlah tersebut sesuai dengan salah satu tujuan penelitian, dengan asumsi satu keluarga terdiri satu kepala rumah tangga dan satu ibu rumah tangga. Jumlah responden setiap wilayah ditetapkan secara proporsional berdasarkan jumlah kepala keluarga pada setiap wilayah. Survey pendahuluan telah dilakukan sejak tahun 2012 dengan melakukan pendekatan dengan tokok kunci dan melakukan wawancara untuk memperoleh informasi-informasi yang diperlukan. Pengambilan data kuantitatif dilaksanakan pada bulan Juli-Agustus 2013. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan menggunakan kuesioner berupa pilihan dan pertanyaan terbuka, sedangkan data sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen yang relevan yang diterbitkan instansi pemerintah maupun lembaga non pemerintah, serta hasil pencarian melalui internet. Jenis data yang digunakan adalah data nominal, data ordinal dan data interval. Data nominal untuk indikator jenis kelamin, lokasi penelitian, jenis pekerjaan, dan status sosial. Data interval digunakan untuk indikator lama tinggal di wilayah rawan becnana gunung api dan tingkat pendidikan. Indikator-indikator tersebut termasuk dalam variabel karakteristik individu. Untuk indikator pada variabel lainnya menggunakan data ordinal. Analisis deskriptif, uji beda, maupun uji korelasi digunakan perangkat lunak Microsoft excel dan SPSS. Untuk keperluan analisis data, maka data ordinal dapat ditransformasikan dalam bentuk interval, begitu pula data interval dapat ditransformasikan dalam bentuk ordinal. Rumus untuk transformasi data tersebut telah dijelaskan pada bab sebelumnya.
60
Hasil dan Pembahasan Perilaku seseorang dapat diketahui melalui pengamatan terhadap aktivitasnya dalam bergerak, berbicara dan melalui pernyataannya tentang apa yang ada dalam pikirannya. Skiner dalam Notoatmodjo (2007) mengatakan perilaku sebagai respon atau reaksi seseorang terhadap rangsangan dari luar. Apa yang dialami seseorang dalam kurun waktu hidupnya akan mempengaruhi perilakunya dikemudian hari, sebab apa yang dialami seseorang akan disimpan dalam memorinya sebagai ―bank data‖ yang akan digunakannya dalam merespon informasi yang diterima. Tabel 28
Sebaran responden berdasarkan variabel perilaku komunikasi dan wilayah terdampak bencana, serta hasil uji beda Kruskal Wallis berdasarkan wilayah terdampak bencana berbeda Variabel
Wilayah terdampak bencana R1 R2 R3 RS MR RS MR RS MR
P
Persepsi terhadap partisipan Penguasaan media Keterampilan bermedia Persepsi terhadap intervensi media Faktor eksternal
61,5 104,5 70,7 134,6 50,3 75,5 54,7 101,1 57,6 97,9 56,7 102,1 60,6 89,1 73,1 121,0 62,6 90,9 76,1 106,9 78,5 114,4 74,5 88,4 73,6 77,0 79,3 98,3 94,7 111,3
,000** ,856 ,001** ,003** ,000**
Keterangan : RS=rerata skor, MR=mean rank **=berbeda sangat nyata pada =0,01 *=berbeda nyata pada =0,05 Persepsi Terhadap Partisipan Masyarakat merasa lebih mudah berkomunikasi dengan orang-orang terdekat, seperti tetangga, teman, Ketua RT dan Ketua RW. Disamping keterjangkauan jarak juga karena sudah mengenal baik partisipan. Masyarakat merasa lebih mengenal dan lebih mudah berkomunikasi dengan partisipan karena aparat pemerintah dan awak media sering terlibat dalam kegiatan yang diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun lembaga non pemerintah. Peran pengguna HT maupun pengelola radio dalam informasi bencana dinilai diperlukan oleh masyarakat terutama di wilayah R2. Dapat dipahami wilayah R2 yang dilalui Sungai Putih sebagai jalur banjir lahar dingin, merupakan wilayah yang memiliki risiko terdampak bencana sepanjang tahun terutama pada saat musim penghujan. Banjir lahar dingin sangat berbahaya bagi para penambang pasir yang banyak beroperasi di sepanjang Sungai Putih.
61
Keterangan : RT/RW=ketua RT/RW, TTg=tetangga, Tmn=Teman, TMs=tokoh masyarakat, Lrh=Lurah, HT=Pengguna, HT Rd=pengelola radio, TV=pengelola TV, BD=petugas BPBD, Pny=penyuluh, KG=petugas BPPTKG, LSM=anggota LSM
Gambar 17 Perbandingan persepsi terhadap partisipan Masyarakat memiliki persepsi yang kurang baik terhadap LSM. Hal tersebut disebabkan karena LSM dinilai kerap memanfaatkan masyarakat untuk kepentingan pribadi atau kelompok. LSM yang memiliki tanggung jawab menyadari akan hal tersebut, sehingga pada saat turun ke masyarakat untuk membangun komunikasi tidak mengatakan dari LSM akan tetapi mengedepankan program dan bukan lembaga. Strategi tersebut dimaksudkan agar masyarakat lebih mudah menerima program yang ditawarkan. Hasil analisis menunjukkan terdapat perbedaan yang sangat signifikan dalam hal persepsi terhadap partisipan oleh masyarakat pada ketiga wilayah penelitian. Perbedaan terutama terlihat di wilayah R2, dimana masyarakat setempat memiliki persepsi terhadap partisipan yang lebih baik dibanding masyarakat di wilayah R1 dan R3. Hubungan Karakteristik Individu dengan Persepsi terhadap Partisipan Pengalaman dengan partisipan dalam komunikasi bencana sangat penting untuk akses informasi lebih lanjut. Luasnya hubungan memungkinkan masyarakat di wilayah rawan bencana memperoleh berbagai informasi yang diperlukan, atau dapat digunakan untuk mengklarifikasi informasi yang diterima. Tinggi skor untuk persepsi terhadap partisipan menunjukkan adanya hubungan yang lebih baik dan lebih luas dengan partisipan komunikasi bencana. Dalam hal pergaulan dengan partisipan komunikasi bencana, laki-laki terlihat lebih luas dibanding perempuan. Perbedaan nyata terlihat antara lain pada persinya pada Ketua RT, Lurah, teman, dan petugas BPPTKG. Adapun berdasar status pekerjaan secara umum tidak terdapat perbedaan nyata dalam hal persepsi terhadap partisipan pada masyarakat yang memiliki status pekerjaan berbeda, kecuali persepsi yang berbeda nyata terhadap pengelola TV dan pengguna HT, dimana masyarakat yang bekerja di sektor formal cenderung memiliki persepsi
62
yang lebih baik dibanding masyarakat yang tidak bekerja dan yang bekerja di sektor non formal. Hasil uji Kruskal Wallis perbedaan persepsi terhadap partisipan berdasar jenis kelamin dan status pekerjaan ditampilkan pada Tabel 29. Tabel 29
Partisipan Rd TV HT BD KG Tmn TTg TMs Pny LSM Lrh RW RT
Hasil uji Kruskal Wallis perbedaan persepsi terhadap partisipan berdasar jenis kelamin dan status pekerjaan Mean rank L P 109,62 91,38 112,00 89,00 104,48 96,53 103,84 97,16 114,57 86,44 107,82 93,18 103,48 97,52 106,72 94,28 104,73 96,27 107,05 93,95 109,48 91,52 104,23 96,78 108,67 92,33
Mean rank TB NF F ,018* 88,94 101,01 108,70 ,002** 101,09 92,41 119,06 ,275 100,50 93,60 116,75 ,182 94,26 104,52 96,11 ,000** 84,42 106,31 99,90 ,045* 94,73 101,57 102,67 ,100 94,35 103,15 99,27 ,077 89,82 99,33 111,93 ,262 99,21 96,70 110,49 ,086 97,35 98,26 108,33 ,012* 98,05 97,30 110,02 ,284 102,62 96,67 107,79 ,007** 96,55 100,82 102,96 P
P ,241 ,014* ,033* ,181 ,082 ,733 ,168 ,111 ,320 ,513 ,324 ,404 ,783
Keterangan : RD=pengelola radio, TV=pengelola TV, HT=Pengguna HT, BD=petugas BPBD, penyuluh KG=petugas BPPTKG, Tmn=Teman, TTg=tetangga, TMs=tokoh masyarakat, Pny=penyuluh, LSM=anggota LSM, Lrh=Lurah, RT/RW=ketua RT/RW, L=laki-laki, P=perempuan, TB=tidak bekerja, NF=sektor informal, F=sektor formal, **berbeda sangat nyata pada =0,01 * berbeda nyata pada =0,05
Pendidikan ternyata memegang peranan penting dalam komunikasi bencana. Masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi cenderung memiliki pergaulan lebih luas yang ditunjukkan adanya hubungan sangat nyata dalam hal persepsi terhadap partisipan. Sementara itu nilai negatif terlihat pada koefisien korelasi antara lama tinggal di wilayah rawan bencana gunung dengan persepsi terhadap partisipan. Fakta ini menunjukkan aktifitas dengan partisipan komunikasi bencana semaki menurun seiring dengan semakin lamanya tinggal di wilayah rawan bencana. Hasil uji Rank Spearman hubungan antara tingkat pendidikan dan lama tinggal di wilayah rawan bencana gunung api dengan persepsi terhadap partisipan dapat dilihat pada Tabel 30. Penguasan Media Komunikasi Penguasaan media komunikasi merupakan prasaran terlaksananya komunikasi bermedia. Dalam teori perilaku terencana Ajzen, penguasaan, dalam hal ini media komunikasi, akan menumbuhkan minat untuk berkomunikasi. Bahkan dalam kondisi tertentu penguasaan atas media komunikasi dapat mendorong spontanitas berkomunikasi.
63
Tabel 30
Koefisien korelasi hasil uji Rank Spearman terhadap hubungan persepsi terhadap partisipan dengan tingkat pendidikan formal dan lama tinggal responden di wilayah terdampak bencana Tingkat Lama Partisipan pendidikan tinggal Pengelola Radio ,254** -,126 Pengelola TV ,265** -,035 ** Pengguna HT ,202 -,140* Petugas BPBD ,092 -,082 ** Petugas BPPTKG ,182 -,158* Teman ,235** -,107 ** Tetangga ,209 -,120 Tokoh masyarakat ,294** -,122 ** Penyuluh ,228 -,104 LSM ,226** -,155* ** Lurah ,282 -,115 * Ketua RW ,149 -,184** ** Ketua RT ,236 -,086 Keterangan : **berhubungan sangat nyata pada =0,01 * berbeda nyata pada =0,05
Pasca bencana meletusnya Gunung Merapi tahun 2010 yang berdampak pada kerusakan sarana-prasarana informasi, setidaknya TV menjadi media komunikasi ―wajib‖ tersedia (kembali) di rumah-rumah warga. Meskipun radio lebih fleksibel dalam penggunaannya, namun tampaknya masyarakat lebih mengutamakan untuk memiliki TV daripada radio. Tabel 31
Sebaran responden berdasarkan karakteristik individu dan tingkat penguasaan media komunikasi
Karakteristik individu Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Status pekerjaan Tidak bekerja Informal Formal Tingkat pendidikan Dasar Menengah Tinggi Lama tinggal Cukup lama Lama Sangat lama
Jenis media TV HT HP
eNet
87,5 82,0
95,5 95,0
24,5 5,0
83,0 70,0
10,5 13,0
74,4 86,3 89,6
91 94,7 100
7,7 15 19,8
71,8 70,8 93,8
7,7 8,4 22,9
68,3 88,5 93,3
87,8 96,9 100
4,9 14,9 40
23,2 89,9 93,3
2,4 10,1 53,3
90,4 84,9 61,9
98,8 95,3 81,0
11,4 20,8 0,0
92,8 75,0 19,0
19,9 7,3 0,0
Radio
64
Media yang diprediksi akan menggantikan radio adalah HP, dan sangat mungkin HP sudah menggantikan TV dan radio, sebab dalam penelitian ini tidak dilakukan survey seluruh anggota keluarga melainkan hanya kepala rumah tangga atau ibu rumah tangga saja. Dengan semakin beragam jenis, merk dan harga yang dapat dimiliki oleh segmen pasar bawah, dimasa datang, dengan jumlah HP yang jauh lebih banyak dibanding media lain, akan lebih berperan membantu warga di wilayah rawan bencana gunung api untuk akses informasi. Hasil analisis menunjukkan tidak ada perbedaan dalam penguasan media komunikasi masyarakat pada tiga wilayah terdampak gunung api. Tingkat penguasaan media komunikasi berdasarkan karakteristik individu dapat dilihat pada Tabel 31. Sesuai fungsinya, media komunikasi membantu penggunanya untuk mengakses informasi yang diperlukan. Sebuah media komunikasi tidak dimiliki apabila dirasa belum diperlukan dalam mendukung aktivitas sehari-hari, disamping ketidakmampuan secara ekonomi. Kendala teknis, yaitu tidak dapat mengoperasikan, turut berperan dalam mempengaruhi seseorang untuk tidak memiliki media komunikasi. Untuk mengakses informasi tidak selalu harus memiliki media komunikasi. Hubungan yang baik dengan orang-orang disekitar juga memberikan peluang untuk memperoleh informasi. Latar belakang tidak dikuasainya media komunikasi dapat dilihat pada Tabel 32. Tabel 32 Sebaran responden menurut wilayah terdampak bencana gunung api dan alasan tidak menguasai media komunikasi Latar belakang Alasan Ekonomi Alasan Teknis Alasan lainnya Total
R1 65,8 31,6 2,6 100,0
Wilayah R2 R3 62,3 61,6 28,3 32,6 9,4 5,8 100,0 100,0
Hubungan Karakteristik Individu dengan Penguasaan Media Untuk mendukung kegiatan komunikasinya seseorang memerlukan media komunikasi, atau dengan kata lain media komunikasi dapat dijadikan indikator aktivitas keseharian pemilik atau penguasanya. Laki-laki di wilayah rawan bencana gunung api cenderung lebih banyak menguasai komunikasi dibanding perempuan, terutama media HT dan HP. Kedua media tersebut diketahui merupakan media yang penggunaanya dapat dilakukan di sembarang tempat dan tidak perlu menetap di suatu lokasi. Dengan demikian dapat dimaknai apabila laki-laki lebih sering bergerak di luar rumah dibanding perempuan. Bila dikaitkan dengan status pekerjaan, maka dapat dipahami laki-laki lebih banyak menguasai media HT dan HP untuk mendukung aktivitas kesehariannya. Hasil uji terhadap perbedaan penguasaan media berdasar status pekerjaan juga terlihat masyarakat yang bekerja, terutama di sektor formal, lebih banyak menguasai media komunikasi. Hasil uji beda penguasaan media komunikasi berdasar jenis kelamin dan status pekerjaan dapat dilihat pada Tabel 33. Apabila diamati terlihat bahwa media yang cenderung lebih banyak dimiliki oleh laki-laki adalah media yang dapat digunakan di sembarang tempat. Apabila dikaitkan dengan aktivitas dalam keseharian maka dapat dimaknai laki-laki lebih banyak bergerak/beraktivitas di luar rumah dibanding perempuan.
65
Tabel 33
Hasil uji Kruskal Wallis terhadap perbedaan penguasaan media, jenis kelamin dan status pekerjaan
Mean rank Mean rank P L P TB NF F 103,47 97,54 ,255 88,69 102,27 105,93 Radio 101,44 99,57 ,579 93,82 100,26 106,50 TV 110,93 90,08 ,000** 92,81 100,89 105,82 HT 107,46 93,54 ,024* 95,09 94,48 119,06 HP 99,41 101,59 ,648 95,38 97,81 110,99 Enet **berbeda sangat nyata pada =0,01 * berbeda nyata pada =0,05 Media komunikasi
P ,070 ,047* ,248 ,003** ,044*
Prasarat mengoperasionalkan media adalah penguasaan terhadap media komunikasi. Semakin beragam media yang dikuasai mengindikasikan adanya kebutuhan informasi yang semakin beragam. Hasil uji statistik menunjukkan tingkat pendidikan berhubungan sangat nyata dengan penguasaan media komunikasi. Hal tersebut bermakna semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin tingkat tingkat penguasaan media komunikasi untuk akses informasi. Sementara itu bila dihubungkan dengan lama tinggal di wilayah rawan bencana gunung api terlihat adanya hubungan nyata dan negatif dengan penguasaan media komunikasi. Hal tersebut bermakna semakin lama tinggal di wilayah rawan bencana gunung api, tingkat penguasaan media komunikasi semakin rendah. Lama tinggal identik dengan umur responden, artinya semakin lama tinggal di wilayah rawan bencana gunung api umur yang bersangkutan semakin tua, oleh sebab itu makna lain dari hasil analisa tersebut adalah semakin tua seseorang semakin rendah tingkat penguasaan media komunikasinya. Pada Tabel 34. terlihat bahwa hubungan yang sangat nyata terutama untuk media HP dan internet (eNet). Tabel 34
Hasil uji Rank Spearman terhadap hubungan penguasaan media komunikasi dengan tingkat pendidikan formal dan lama tinggal di wilayah rawan bencana gunung api
Tingkat Lama pendidikan tinggal ** Radio ,217 -,177* TV ,186** -,177* ** HT ,213 ,018 HP ,594** -,435** eNet ,293** -,250** **berhubungan sangat nyata pada =0,01 * berhubungan nyata pada =0,05 Media komunikasi
66
Keterampilan Menggunakan Media Komunikasi pada Tiga Wilayah Terdampak Bencana Berbeda Masyarakat telah terbiasa memanfaatkan media komunikasi, baik yang menampilkan gambar dan suara, media komunikasi satu arah maupun dua arah. Media komunikasi yang saat ini sering dimanfaatkan adalah TV, radio, dan HP. Pada wilayah dengan tingkat risiko dalam rentang waktu yang lama, yaitu R2, masyarakat memanfaatkan lebih banyak ragam media komunikasi. HT adalah media yang biasa digunakan di wilayah tersebut untuk melakukan pertukaran informasi bencana, terutama informasi tentang kondisi cuaca di wilayah hulu yang dapat memicu terjadinya banjir lahar dingin. Wilayah R2 merupakan salah satu wilayah yang dilalui Sungai Putih sebagai jalur banjir lahar dingin merapi. Aktivitas penambangan pasir di sepanjang jalur tersebut sangat memerlukan informasi kondisi cuaca di wilayah hulu untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya banjir lahar dingin di daerah hilir. Media sosial (twitter) menjadi salah satu media pertukaran informasi yang banyak diakses oleh masyarakat pada saat terjadi bencana letusan Gunung Merapi tahun 2010. Media sosial tersebut juga menjadi arena berbagi pengetahun bencana dan banyak lembaga pemerintah maupun non pemerintah telah memanfaatkannya untuk menyebarluaskan informasi yang diperlukan oleh masyarakat luas. Namun demikian masih sedikit masyarakat wilayah terdampak bencana yang biasa memanfaatkan media tersebut. Sebaran responden berdasar karakteristik individu dan tingkat tingkat keterampilan penggunaan media seperti tampak pada Tabel 35. Tabel 35
Sebaran responden berdasarkan karakteristik individu dan tingkat keterampilan penggunaan media komunikasi
Karakteristik individu Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Tingkat pendidikan formal Dasar Menengah Tinggi Jenis pekerjaan Tidak bekerja Informal Formal Lama tinggal Cukup lama Lama Sangat lama Rerata
Media komunikasi Radio TV HT HP eNet 40,5 52,5 20,5 59,5 37,5 51,0 5,5 41,5
15,5 14,5
28,0 40,2 2,4 12,2 41,7 54,9 14,2 59,0 43,3 53,3 30,0 73,3
1,2 13,2 70,0
41,0 53,8 6,4 37,2 37,6 48,2 14,2 47,3 40,6 58,3 15,6 68,8
6,4 9,3 35,4
40,4 41,1 23,8 38,8
26,5 8,3 0,0 14,0
54,2 12,7 62,0 53,1 16,1 49,5 35,7 0,0 9,5 51,6 10,5 48,7
67
Dorongan atau motivasi memanfaatkan media komunikasi beragam. Jenis informasi merupakan salah salah satu pendorong dalam memanfaatkan media komunikasi. Dalam penelitian ini jenis informasi yang dianalisis adalah informasi hiburan, informasi terkait pekerjaan, dan informasi bencana. Informasi Hiburan Stress merupakan bentuk ketegangan fisik, psikis, emosi maupun mental yang disebabkan antara lain karena beban pekerjaan yang berlebihan, masalah keluarga, masalah kesehatan, atau mendenganr berita buruk. Hiburan yang membuat seseorang tertawa dapat menurunkan dampak stress (McGhee 2014). Menurut Farlex (2000) menghibur mengacu pada tindakan yang memberikan kesenangan, terutama sebagai upaya menghabiskan waktu. Secara spesifik menghibur diartikan sebagai upaya mengalihkan dari hal-hal yang serius dan mengalihkan dari gangguan pikiran. Pendapat senada disampaikan Vorderer (2011) yang mengatakan hiburan menggambarkan pengalaman sementara yang menyenangkan untuk menghabiskan waktu dengan memanfaatkan media. Berbagai media telah dimanfaatkan oleh warga di wilayah rawan bencana gunung api untuk memperoleh hiburan. TV dan radio adalah media utama untuk mengakses hiburan. HP yang sebelumnya memiliki fungsi utama sebagai media komunikasi (berbicara, bertukar pesan) namun ternyata sering dimanfaatkan masyarakat untuk hiburan. Pemanfaatan HP tersebut tampaknya mulai menggantikan peran radio dalam memberikan hiburan bagi masyarakat. Internet telah memberikan penggunanya kesempatan untuk mengakses begitu banyak jenis hiburan, baik berupa tayangan langsung maupun dokumentasi lama yang dapat diakses berulang-ulang. Permainan interaktif juga tersedia dan dapat diakses baik tidak berbayar maupun berbayar. Namun demikian masih sangat sedikit masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api yang memanfaatkan internet sebagai media hiburan. Sementara itu HT semakin diperjelas bukan sebagai media hiburan akan tetapi lebih tepat untuk media bencana. Informasi Terkait Pekerjaan Komunikasi terkait pekerjaan sangat membutuhkan interaksi antar partisipan, oleh sebab itu media yang paling tepat untuk melakukan komunikasi adalah media dua arah, yaitu HP. Hal tersebut dipertegas degan hasil penelitian dimana lebih banyak warga yang memanfaatkan HP dibanding media lain untuk informasi terkait pekerjaan. Informasi Bencana Bermukim di wilayah rawan bencana gunung api berarti hidup dengan risiko terdampak bencana gunung api. Tanda-tanda bencana berubah dari waktu ke waktu, partisipan yang berperan dalam penurunan risiko bencana gunung api sangat beragam dan cenderung bertambah. Adanya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi memberikan peluang masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api memanfaatkannya untuk kegiatan penurunan risiko bencana.
68
Masyarakat memiliki perhatian yang cukup serius terhadap informasi bencana. Hampir seluruh media dimanfaatkan untuk mengakses informasi tersebut, baik radio, TV, HP maupun HT. Namun demikian internet yang banyak digunakan untuk pertukaran informasi bencana, peningkatan pengetahuan tentang bencana, dan berhubungan dengan partisipan bencana justru sangat sedikit masyarakat yang memanfaatkannya. Hubungan Karakteristik Individu dengan Keterampilan Penggunaan Media Komunikasi Laki-laki dan perempuan memiliki peran yang berbeda, dengan peran tersebut perilaku komunikasi keduanya akan berbeda. Laki-laki sebagai pencari nafkah mengharuskannya bergerak di luar rumah, oleh sebab itu laki-laki lebih memerlukan media komunikasi yang mudah dibawa-bawa. Dapat dilihat bahwa keterampilan penggunaan HT dan HP berbeda antara laki-laki dan perempuan. Hal tersebut bermakna laki-laki lebih banyak memanfaatkan media tersebut untuk mendukung aktivitasnya sehari-hari. Pendidikan merupakan faktor penting untuk mendukung keterampilan penggunaan media. Setiap media memiliki karakteristik berbeda bentuk pesannya dan kerumitan menggunakannya. Terdapat kecenderungan seseorang yang memiliki tingkat pendidikan tinggi lebih terampil dalam memanfaatkan media komunikasi. Hal tersebut juga bermakna lebih sering mengoperasionalkan media, lebih banyak informasi yang diakses dan lebih beragam media yang digunakan. Perbedaan terlihat jelas pada penggunaan HT, HP, dan internet dimana warga yang berpendidikan dasar cenderung rendah dalam memanfaatkan media tersebut. Mengoperasionalkan media memerlukan sumber daya baik pengetahuan maupun biaya. HP dan internet adalah media yang dalam pemanfaatannya memerlukan biaya. Semakin tinggi frekuensi penggunaan dan semakin baik kualitas layanan yang diterima akan semakin besar biaya yang harus dikeluarkan. Oleh sebab itu penggunaan media tersebut akan dibatasi dan disesuaikan dengan biaya yang tersedia. Pekerja di sektor formal adalah kelompok yang memiliki pendapatan relatif terukur sehingga rencana alokasi pendapatan tersebut dapat dilakukan. Ketersediaan media internet di tempat kerja juga mendukung aktivitas dalam penggunaan internet sehari-hari. Hal tersebut tampak pada perbedaan dimana pegawai formal cenderung lebih terampil dalam penggunaan HP dan internet. Secara fisiologis kemampuan indera manusia semakin menurun termasuk penurunan kemampuan koginif dan motorik. Hasil penelitian menunjukkan hal tersebut, para lanjut usia yang telah sangat lama tinggal di wilayah rawan bencana gunung api memiliki tingkat keterampilan sangat rendah, bahkan mereka tidak menggunakan HT, HP maupun internet dan hanya mengandalkan radio dan TV untuk akses informasi. Masyarakat akan mengakses informasi sesuai kebutuhan informasinya. Laki-laki cenderung lebih banyak mengakses informasi bencana dibanding perempuan. Meskipun secara diskriptif laki-laki juga lebih banyak mengakses informasi hiburan dan pekerjaan, secara statistik tidak berbeda nyata. Didasarkan atas status pekerjaan, terlihat pekerja di sektor formal memiliki kebutuhan informasi yang lebih banyak dan beragam dibanding responden yang bekerja di sektor informal maupun yang tidak bekerja. Hasil uji beda dalam
69
mengakses jenis informasi berdasar jenis kelamin dan status pekerjaan dapat dilihat pada Tabel 36. Tabel 36
Hasil uji Kruskal Wallis beda jenis informasi yang diakses oleh responden berdasar jenis kelamin dan status pekerjaan
Media komunikasi
Mean rank L P
Hiburan
103,17
97,83
Pekerjaan Bencana
103,90 111,54
97,11 89,46
P ,440 ,296 ,003**
TB
Mean rank IF F
P
98,54
93,82
117,82
,017*
87,44 86,69
96,15 96,25
121,34 121,72
,001** ,003**
L=laki-laki P=perempuan TB=tidak bekerja IF=bekerja di sektor informal F=bekerja di sektor formal p=Aymp.Sig. **=berbeda sangat nyata pada =0,01 *=berbeda nyata pada =0,05 Sementara itu tingkat pendidikan berhubungan sangat nyata dalam hal akses berbagai jenis informasi. Hal tersebut bermakna semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat cenderung akan semakin sering mengakses informasi. Tidak demikian halnya dengan lama tinggal, semakin lama responden tinggal di wilayah rawan bencana gunung api cenderung semakin berkurang frekuensinya untuk mengakses berbagai jenis informasi. Hubungan jenis informasi dan karakteristik individu dapat dilihat pada Tabel 37. Tabel 37
Koefisien korelasi hasil uji Rank Spearman hubungan jenis informasi yang diakses dengan tingkat pendidikan dan lama tinggal di wilayah rawan bencana gunung api
Jenis informasi Hiburan Pekerjaan Bencana
Tingkat pendidikan
Lama tinggal
,351** ,306** ,402**
-,292** -,143* -,198**
** berhubungan sangat nyata pada =0,01 *berhubungan nyata pada =0,05 Berdasarkan keseluruhan aktivitas mencari informasi, perempuan lebih banyak mengakses informasi hiburan dibanding laki-laki. Informasi hiburan juga lebih banyak diakses oleh masyarakat yang berpendidikan lebih rendah, tidak bekerja, serta para lanjut usia yang telah sangat lama tinggal di wilayah rawan bencana. Informasi terkait pekerjaan banyak diakses oleh masyarakat berpendidikan tinggi, pekerja formal, dan telah lama tinggal di wilayah rawan bencana gunung api.
70 Tabel 38
Sebaran responden berdasar karakteristik individu dan proporsi jenis informasi yang diakses
Karakteristik individu
Jenis informasi K H P Total
Jenis kelamin Laki-laki 41,6 18,3 40,1 100,0 Perempuan 49,7 19,0 31,4 100,0 Tingkat pendidikan formal Dasar 64,3 14,3 21,3 100,0 Menengah 45,6 17,4 37,0 100,0 Tinggi 32,7 26,9 40,4 100,0 Jenis pekerjaan Tidak bekerja 53,5 14,3 32,1 100,0 Informal 46,0 17,1 37,0 100,0 Formal 39,9 22,9 37,3 100,0 Lama tinggal Cukup lama 46,3 17,7 36,0 100,0 Lama 41,4 20,4 38,3 100,0 Sangat lama 76,8 7,7 15,5 100,0 H=informasi hiburan P=informasi terkait pekerjaan K=informasi bencana Perhatian pada informasi bencana lebih banyak ditunjukkan oleh laki-laki dibanding perempuan, masyarakat yang berpendidikan lebih tinggi, para pekerja di sektor formal dan informal, serta telah lama tinggal di wilayah rawan bencana gunung api. Proporsi jenis informasi yang diakses berdasar karakteristik individu dapat dilihat pada Tabel 38. Intervensi Media Media elektronik radio dan TV adalah media massa yang efektif untuk informasi bencana. Pada keadaan dimana sebuah gunung api sedang meningkat aktifitasnya, kedua media tersebut senantiasa memberikan informasi kepada masyarakat. Informasi bencana dikemas dalam bentuk siaran berita, dialog, maupun himbauan. Namun demikian informasi yang disiarkan tidak selalu menarik perhatian masyarakat atau selalu akurat. Masyarakat cukup cerdas dalam menilai informasi yang disiarkan melalui media massa, sehingga mereka tahu berita yang benar dan yang diragukan kebenarannya. Faktor yang menumbuhkan kepercayaan warga antara lain adanya berita yang disiarkan langsung dari lapangan, dan masyarakat menilai partisipan adalah ahli dibidangnya. Banyaknya stasiun TV maupun radio dengan pemberitaannya masing-masing kerap membingungkan masyarakat karena berita yang simpang siur. Selain itu dalam mengemas acara dinilai kadang dilebihlebihkan. Kehadiran para ahli sebagai narasumber mendapat apresiasi dari masyarakat.
71 Tabel 39
Sebaran tingkat kepercayaan masyarakat terhadap berbagai tayangan di media radio dan TV
Karakteristik individu
Berita Radio TV
Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Tingkat pendidikan formal Dasar Menengah Tinggi Jenis pekerjaan Tidak bekerja Informal Formal Lama tinggal Cukup lama Lama Sangat lama Total
Dialog Radio TV
Himbauan Radio TV
69,5 63,5
69,5 64,0
69,5 63,5
69,5 64,0
79,5 77,5
78,5 79,5
82,9 81,3 86,7
87,8 83,3 80,0
54,9 68,8 76,7
57,3 69,1 70,0
69,5 80,9 80,0
70,7 81,9 73,3
85,9 82,7 77,1
87,2 83,6 82,3
71,8 64,6 66,7
65,4 68,1 64,6
83,3 76,1 80,2
79,5 78,3 80,2
82,5 82,3 78,6 82,0
81,9 84,4 90,5 84,0
68,7 72,9 28,6 66,5
69,3 69,3 45,2 66,8
77,7 85,4 50,0 78,5
80,1 82,8 57,1 79,0
Di antara tiga kemasan acara, dialog merupakan acara yang paling tidak diminati oleh masyarakat di wilayah terdampak bencana gunung api. Sementara itu kepercayaan terhadap kemasan acara radio dan TV cukup berimbang, dengan kata lain kedua media massa memiliki efektivitas yang relatif sama. Hasil penelitian Havrylets et.al. (2013) mengingatkan kepada awak media maupun konsumen media untuk berhati-hati terhadap efek media yang dapat merugikan, seperti munculnya ketakutan dan kepanikan, maupun efek negatif lainnya. Hubungan Karakteristik Individu dengan Intervensi Media
% responden
Masyarakat di wilayah rawan bencana, baik laki-laki maupun perempuan memiliki persepsi yang relatif sama terhadap tayangan yang disiarkan media massa. Dengan demikiam peluang yang sama untuk memperoleh informasi antara perempuan dan laki-laki tidak berbeda. Secara umum masyarakat juga kurang tertarik dengan acara yang dikemas dalam bentuk dialog. 105,00 100,00 95,00 90,00 85,00 80,00 75,00
Jmy
Dkn Wkr Siar Radio Dialog Radio
Gambar 18
Himbau Radio
Siar TV
Dialog TV
Himbau TV
Grafik proporsi tingkat kepercayaan responden terhadap kemasan acara di media massa TV dan radio berdasar wilayah penelitian
72 Kepercayaan responden terhadap kemasan acara di media massa didasarkan pemikiran antara lain narasumber adalah orang-orang yang ahli di bidangnya. Namun demikian masyarakat tidak sepenuhnya percaya kepada informasi yang diterima dari media massa, hal tersebut disebabkan media terkadang dalam menyajikan informasi terkesan berlebihan. Faktor Lingkungan Faktor lingkungan banyak mendukung kesiapan menghadapi bencana. Aktivitas budaya yang dihadiri oleh masyarakat menjadi media efektif untuk komunikasi. Keberadaan lembaga pemerintah seperti BPPTKG dan BPBD secara bersama-sama dengan lembaga swadaya masyarakat memberikan pendidikan dan pelatihan kepada masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api. Tabel 40
Sebaran masyarakat berdasar persepsi tentang pengaruh lingkungan terhadap kesiapan menghadapi bencana gunung api
Karakteristik individu Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Tingkat pendidikan Dasar Menengah Tinggi Jenis pekerjaan Tidak bekerja Informal Formal Lama tinggal Cukup lama Lama Sangat lama
Faktor lingkungan Kbj
Srp
Bdy
Klb
Total
85,5 85,0
80,0 85,5
89,0 88,5
87,0 83,5
89,0 88,0
72,0 88,2 93,3
72,0 85,1 90,0
78,0 91,0 96,7
70,7 88,9 90,0
73,2 92,0 96,7
88,5 84,1 85,4
84,6 81,9 83,3
87,2 88,9 89,6
79,5 88,5 82,3
87,2 88,1 90,6
86,7 84,9 81,0
83,7 81,3 85,7
91,0 88,0 83,3
89,8 81,8 83,3
91,6 87,0 83,3
Keterangan : Kbj=kebijakan Srp=sarana prasarana Bdy=budaya Klb=kelembagaan
Masyarakat telah merasakan dengan kebersamaan informasi akan mudah didengar, mudah berkoordinasi, saling memahami, dan saling bantu. Adanya lembaga penurunan risiko bencana berbasis masyarakat seperti Pasag Merapi telah menjadi arena berkumpulnya berbagai kelompok masyarakat di sekeliling Gunung Merapi. Keterpaduan budaya dan teknologi dalam bentuk penyebarluasan kegiatan Pasag Merapi di media sosial turut mempermudah proses komunikasi risiko kesiapan menghadapi bencana. Secara umum masyarakat berpendapat bahwa faktor eksternal mendukung dalam kesiapan menghadapi bencana gunung api (Tabel 40) Sosialisasi arti penting menghargai alam ditunjukkan dengan kegiatan budaya sedekah gunung yang mendorong masyarakat agar memahami gejala alam agar dapat hidup berdampingan dengan Gunung Merapi. Dua hal yang dapat dicapai dalam satu kegiatan adalah pelestarian budaya dan penyebarluasan informasi kesiapan menghadapi bencana. Menjadi sulit apabila pembahasan
73 dilakukan secara terpisah-pisah, hal tersebut disebabkan satu kegiatan akan bersinggungan dengan kegiatan lainnya. Kegiatan dialog yang dilakukan oleh instansi pemerintah dengan melibatkan berbagai partisipan, maupun komunikasi di ruang publik menjadi media yang efektif untuk pertukaran informasi. Rasa kekeluargaan yang ditunjukkan dengan kehangatan saat berkomunikasi, dan kebersahajaan dengan dialog tidak di tempattempat tertentu, sudah lazim dilakukan oleh relawan komunikasi bencana. Hubugan yang sudah lama dijalin antara masyarakat dengan Gunung Api telah membentuk kearifan lokal seperti lembaga keuangan berbasis masyarakat, yaitu tabungan siaga bencana (Tabsina) di dusun Deles sebagai upaya antisipasi bencana Gunung Merapi yang diperuntukkan biaya angkut ternak dan biaya saat di pengungsian. Adanya kegiatan Tabsina telah menjadi jembatan komunikasi di antara warga masyarakat di wilayah rawan bencana. Tabsina diharapkan mampu menurunkan tingkat kerentanan masyarakat dalam menghadapi bencana gunung api dan mengurangi ketergantungan terhadap bantuan dari pihak luar. Sarana prasarana jalan menjadi faktor penting yang mendukung kesiapan menghadapi bencana gunung api. Jalur evakuasi menjadi prasarana vital bagi masyarakat. Hal tersebut disampaikan oleh tokoh masyarakat di wilayah Gunung Merapi. Adanya benturan kepentingan antara masyarakat di wilayah Gunung Merapi dan para penambang pasir memerlukan komunikasi yang lebih intensif di antara partisipan. Hubungan Karakteristik Individu dengan Faktor Lingkungan Secara umum proporsi responden laki-laki lebih banyak berpendapat faktor lingkungan, yaitu kebijakan, sarana-prasarana, dan kelembagaan memiliki kontribusi terhadap kesiapan menghadapi bencana gunung api. Manfaat tersebut terkait keikutsertaan masyarakat dalam berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh pemerintah, baik pusat, wilayah, maupun desa. Dengan penjelasan tersebut menunjukkan lakik-laki lebih banyak terlibat dalam berbagai kegiatan bencana dibanding perempuan. Simpulan Berdasarkan uraian di atas, beberapa Simpulan dapat disampaikan sebagai berikut : 1. Terdapat perbedaan nyata dalam hal keterampilan penggunaan media komunikasi antara laki-laki dan perempuan, yaitu dalam penggunaan HT dan HP. 2. Terdapat perbedaan nyata dalam hal perilaku komunikasi masyarakat yang tinggal di wilayah dengan jenis dampak bencana berbeda. 3. Terdapat hubungan sangat nyata antara tingkat pendidikan dengan perilaku komunikasi, dimana masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi perilaku komunikasinya semakin baik 4. Terdapat hubungan nyata antara lama tinggal di wilayah rawan bencana gunung api dengan perilaku komunikasinya, dimama masyarakat yang lebih lama tinggal di wilayah rawan bencana gunung api cenderung komunikasinya kurang baik.
74
5 MANFAAT KOMUNIKASI BAGI MASYARAKAT DI WILAYAH RAWAN BENCANA GUNUNG API Abstrak Manfaat komunikasi merupakan hasil yang dirasakan oleh pelaku komunikasi. Manfaat dapat berupa bertambahnya pengetahuan, selalu memperoleh berita terkini, membangun, membina dan memperluas hubungan atau juga dapat bermanfaat dalam meningkatkan pendapatan. Penelitian ini didisain sebagai penelitian kuantitatif yang diperkuat dengan kualitatif melalui wawancara mendalam dan pengamatan aktivitas komunikasi masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api. Dengan menggunakan sampel sebagaimana diuraikan dalam bab terdahulu, penelitian ini bertujuan (1) Menganalisa manfaat komunikasi masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api; (2) Menganalisa hubungan perilaku komunikasi dengan manfaat komunikasinya. Hasil penelitian ini antara lain (1) tidak terdapat perbedaan manfaat komunikasi pada tiga wilayah terdampak bencana berbeda; (2) perilaku komunikasi memiliki hubungan nyata dengan manfaat komunikasi. Pendahuluan Komunikasi merupakan proses penyampaian pesan dari partisipan yang satu kepada partisipan lainnya agar terjadi kesamaan makna atas pesan tersebut. Pesan juga dapat bersumber dari benda-benda mati maupun dari hewan dan tumbuhan dalam bentuk stimulus yang diterima panca indra (Ruben dan Stewart 2013). Stimulus yang diterima selanjutnya akan diproses dan diberi makna di dalam diri seseorang. Suatu stimulus yang menguat di antara stimulus yang lain akan menimbulkan perhatian. Proses pengolahan stimulus yang terjadi dalam diri kita disebut sebagai komunikasi intra personal atau intra pribadi, yaitu komunikasi yang terjadi pada diri seseorang (Vardiansyah 2004). Aktivitas komunikasi selama hidup akan disimpan di dalam memori yang akan digunakan untuk menerjemahkan dan memberikan respon atas stimulus yang diterima di masa datang (Solso et.al. 2007). Efek positif yang dirasakan oleh pelaku komunikasi merupakan manfaat komunikasi. Proses menawar barang oleh pembeli kepada penjual merupakan kegiatan komunikasi yang bertujuan agar pembeli memperoleh barang yang dikehendaki dengan harga yang paling memuaskan, sebaliknya komunikasi yang dilakukan penjual berharap dagangannya terjual juga dengan harga yang menguntungkan. Masing-masing individu akan merasakan manfaat yang berbeda sesuai kepentingannya. Oleh sebab itu manfaat komunikasi yang dirasakan oleh satu orang akan berbeda dengan orang lain.
75 Bencana identik dengan ketidakmampuan warga terdampak bencana untuk mengatasi sendiri kondisi yang dialami. Dibutuhkan dukungan dari pihak luar untuk membantu mengatasi berbagai persoalan yang muncul pada saat bencana terjadi. Perubahan karakteristik bencana, banyaknya partisipan yang terlibat, prosedur penanganan bencana yang senantiasa berkembang hendaknya dipahami oleh masyarakat yang tinggal di wilayah rawan bencana gunung api. Komunikasi risiko merupakan proses interaktif pertukaran informasi dan pendapat atas risiko antara penilai risiko dan pihak berkepentingan lainnya (Lang et.al. 2001). Komunikasi risiko merupakan bagian integral dan berkelanjutan dari analisis risiko, dan idealnya semua partisipan harus dilibatkan dari awal. Mengenal kelompok-kelompok kepentingan tertentu dan perwakilan mereka harus menjadi bagian dari strategi komunikasi risiko secara keseluruhan. Zahari dan Ariffin (2013) mengatakan Community Based Organization (CBO) sangat berperan dalam menurunkan risiko bencana terutama untuk memastikan anggota komunitas siap menghadapi berbagai kemungkinan apabila terjadi bencana. Atas dasar temuan tersebut maka komunikasi berkelanjutan sangat diperlukan oleh masyarakat yang tinggal di wilayah rawan bencana. Risiko dalam konteks bencana alam selalu melibatkan interaksi antara (perilaku) alam (fisik) dan faktor manusia (Eiser et.al. 2012). Dalam kondisi ketidakpastian pengambilan keputusan tergantung pada pembentukan interpretasi masyarakat oleh pengalaman mereka sendiri, perasaan pribadi dan nilai-nilai, keyakinan budaya dan dinamika interpersonal dan sosial. Selain itu, akses terhadap informasi dan kapasitas untuk perlindungan diri biasanya tidak merata dalam populasi. Adaptasi diperlukan untuk mengurangi masyarakat dari kerentanan mereka terhadap perubahan–perubahan alam (Ahmed 2013). Keterbatasan pengetahuan masyarakat harus disikapi dengan pemberian informasi adanya perubahan-perubahan yang terjadi di sekililing mereka. Berdasar latar belakang tersebut pertanyaan penelitian yang diajukan adalah bagaimana manfaat komunikasi oleh warga di wilayah rawan bencana gunung api dalam kesiapan menghadapi bencana gunung api dan bagaimana hubungan antara perilaku komunikasi masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api dengan manfaat komunikasinya. Adapun tujuan penelitian yang dibahas dalam bab ini adalah (1) Menganalisa manfaat komunikasi pada masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api dalam menghadapi bencana gunung api; (2) Menganalisa hubungan manfaat komunikasi dengan perilaku komunikasi. Hipotesa yang disusun adalah (1) terdapat perbedaan dalam manfaat komunikasi oleh masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api yang berbeda jenis dampak bencananya; (2) terdapat hubungan antara perilaku komunikasi dengan manfaat komunikasi dalam kesiapan menghadapi bencana gunung api. Metode Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dan korelasional yang dilakukan pada masyarakat yang tinggal di wilayah rawan bencana gunung api. Data yang digunakan adalah data primer hasil survey menggunakan kuesioner dan wawancara dengan informan. Untuk analisis deskriptif digunakan perangkat lunak microsoft excell, sedangkan untuk uji beda dan uji korelasional diguna perangkat lunak SPSS.
76 Hasil dan Pembahasan Manfaat Komunikasi Masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api sangat merasakan manfaat berkomunikasi. Hal tersebut ditunjukkan dengan skor rerata manfaat komunikasi sebesar 85,8 (Tabel 41). Manfaat tersebut sangat dirasakan dalam memperoleh berita terkini, memelihara hubungan, menambah pengetahuan dan memperluas pergaulan. Sementara itu masyarakat mendapatkan manfaat komunikasi untuk mendukung perekonomian tidak sebaik manfaat lainnya. Hasil uji beda Kruskal-Wallis menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata tingkat manfaat komunikasi pada ketiga wilayah penelitian, sebab nilai Asymp.Sig. (p) sebesar 0,408 atau lebih besar dari =0,05. Manfaat komunikasi paling dirasakan oleh warga di wilayah R3, terutama dalam hal menambah pengetahuan. Dalam penelitian ini ditetapkan indeks manfaat komunikasi yaitu perbandingan tingkat manfaat komunikasi dengan keterampilan penggunaan media komunikasi. Semakin tinggi nilai indeks manfaat maka komunikasi yang dilakukan masyarakat semakin efektif, atau makin tinggi tingkat ketercapaian tujuan komunikasinya. Tabel 41
Sebaran responden berdasar tingkat manfaat komunikasi dan wilayah penelitian
Manfaat komunikasi
Wilayah R2 R1 R3
Berita terkini Memelihara hubungan Memperluas pergaulan Menambah Pengetahuan Meningkatkan Pendapatan
96,2 90,9 81,1 89,4 71,2
Skor total
85,8 87,6 90,4
98,7 98,7 96,1 90,8 53,9
97,9 97,4 96,4 99,0 61,5
Sebagai contoh seseorang melakukan komunikasi melalui media HP dengan koleganya. Topik pembicaraan yang dilakukan menyangkut hobi, keluarga, situasi terkini kondisi di wilayah Gunung Merapi, dan tentang kerjasama usaha. Dari satu kali penggunaan HP diperoleh manfaat ganda sehingga indeks manfaat komunikasi semakin tinggi. Sebaliknya seseorang yang menggunakan HP hanya sekedar bercakap-cakap, maka manfaat komunikasi sebatas memelihara hubungan saja. Indeks manfaat komunikasi terlihat tinggi untuk wilayah R3. Meskipun rerata keterampilan penggunaan media komunikasinya sebesar 39,1 namun tingkat manfaat komunikasi yang dirasakan oleh masyarakat di R2 sebesar 85,8 sehingga indeks manfaat komunikasnya hanya sebesar 2,2. Sebaran tingkat keterampilan komunikasi, tingkata manfaat komunikasi dan indeks manfaat komunikasi pada tiga wilayah penelitian seperti pada Tabel 42.
77 Tabel 42
Sebaran tingkat keterampilan komunikasi, tingkat manfaatkomunikasi dan indeks manfaatkomunikasi menurut wilayah penelitian
Wilayah Keterampilan Manfaat 39,1 85,8 R2 29,0 87,6 R1 29,8 90,4 R3 Keterangan : Indeks MK (Indeks Manfaat Komunikasi)
Indeks MK 2,2 3,0 3,0
Berkomunikasi untuk Mengetahui Berita Terkini Perkembangan status Gunung Merapi merupakan salah satu informasi penting bagi masyarakat. Partisipan berasal dari BPPTG yang disebarluaskan kepada masyarakat melalui media sosial, radio komunitas, ataupun menjadi bagian pembicaraan interpersonal di antara masyarakat. Informasi juga diperoleh dari hasil pengamatan atau penginderaan kondisi alam yang terjadi di wilayah Gunung Merapi. Isu-isu yang beredar di kalangan masyarakat, seperti kerusakan jalan, kecelakaan di area penambangan pasir, pendaki tersesat, atau berita-berita keluarga adalah informasi yang juga dikonsumsi oleh masyarakat. Adanya teknologi informasi memudahkan informasi tersebar luas secara cepat. Informasi tidak hanya disebarluaskan dengan satu bentuk, namun sudah bervariasi dari hanya sekedar kata-kata, akan tetapi sudah dikombinasi dengan gambar hibup maupun gambar tidak bergerak, sehingga menumbuhkan tingkat kepercayaan yang lebih baik. Dalam komunikasi bencana hal tersebut sangat diperlukan, kata-taka kadang tidak cukup dapat menggambarkan kondisi sebenarnya sehingga berpotensi salah dalam menginterpretasikan kata-kata tersebut. Namun demikian bentuk informasi tersebut hanya dapat diinformasikan menggunakan media yang tepat. Informasi dapat diakses kapan saja dan dimana saja. Berbeda dengan TV atau radio yang informasinya cenderung tidak dapat diulang atau diatur baik waktu dan materi siarannya, maka informasi yang tersedia di internet dapat diakses sewaktu-waktu dan dimanapun. Jenis informasi yang kita perlukan dengan mudah kita dapatkan dengan mesin pencari yang tersedia. Seperti informasi tentang status Gunung Merapi, masyarakat luas dapat mengakses informasi kapan saja dan dimana saja. Update informasi tentang merapi berasal dari berbagai sumber, seperti BPPTKG, BNPB, BPBD, relawan merapi, penggiat radio komunitas, komunitas pendaki dan pengguna twitter. Instansi pemerintah memberikan informasi sesuai tugas dan fungsinya, radio komunitas sesuai ruh-nya melayani anggota pada khususnya dan masyarakat sekitar pada umumnya. Anggota komunitas mengupdate informasi karena ada unsur kesenangan, juga untuk menunjukkan bahwa yang bersangkutan masih menjadi bagian dari kelompok tersebut. Komunikasi untuk Mempertahankan Hubungan Martínez et.al. (2012) mengatakan era baru dari Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) memungkinkan orang untuk berkomunikasi dan berinteraksi satu sama lain dalam perilaku yang baru, berbeda, dan mengubah cara mereka menjalankan kehidupan sehari-hari mereka. Perubahan ini pasti memiliki
78 implikasi nyata bagi perjalanan fisik di era komunikasi elektronik (e-komunikasi). Modalitas yang berbeda membuat jaringan sosial yang berbeda. Setiap jaringan merupakan aliran tertentu perjalanan aktivitas potensial yang dihasilkan oleh interaksi antara individu. Melalui jaringan komunikasi akan didapatkan profil orang yang berbeda yang akan digunakan untuk menetapkan rencana kedepan yang lebih baik. Salah satu alasan orang berkomunikasi adalah untuk mempertahankan jaringan sosial baik yang dilakukan melalui tatap muka maupun bermedia. Komunikasi bermedia tidak memerlukan perjalanan fisik sehingga dapat dilakukan dimana saja dengan jangkauan yang lebih luas. Namun demikian sebagian masyarakat, kekerabatan merupakan pemelihara jaringan komunikasi. Disisi lain biaya komunikasi bermedia yang dianggap mahal oleh sebagian orang menyebabkan komunikasi tatap muka dinilai lebih rasional. Salah satu cara mempertahankan hubungan adalah dengan mengelola konflik. Banyak ragam yang digunakan untuk menghindari terjadinya konflik terbuka atau sebaliknya bagaimana supaya hubungan yang terjalin semakin kuat. Menghindari untuk berargumen atau berdebat adalah sebuah bentuk pengelolaan konflik yang ada di kalangan masyarakat. Kedekatan antara dua orang atau lebih dapat dilihat dari bagaimana menggunakan kata-kata pada saat berbicara ataupun cara bersikap. Kata-kata yang terkesan kasar, atau berbicara dengan posisi duduk dengan telapak kaki di angkat di kursi serta senda gurau terlihat pada kelompok orang yang akrab. ―Sopan santun‖ yang lazim dilakukan pada saat bertamu cenderung tidak ditampilkan, namun demikian upaya mengelola konflik tetap terlihat. Fokus pada pekerjaan, berbicara tentang teknologi, mendiskusikan isu-isu yang berkembang di masyarakat menjadi topik yang sering kali dibicarakan. Berkomunikasi dengan topik ―berat‖ menjadi terasa ringan. Mempertahankan hubungan juga dilakukan melalui media sosial dengan saling memberi komentar yang positif dan terkadang jenaka. Memberi komentar tentang olahraga, kesenian, makanan favorit, atau isu-isu yang ada dimasyarakat dan dinilai akan mendapat komentar menjadi informasi yang diangkat di media sosial. Kombinasi komunikasi bermedia dan tatap muka memiliki efek penguatan hubungan. Saat memulai riset, dilakukan penelusuran informasi melalui internet. Hasil penelusuran tersebut mengarahkan kepada penggiat komunikasi Jalin Merapi. Pembicaraan yang dilakukan melalui telepon, pesan singkat, dan email kemudian ditindaklanjuti dengan kunjungan ke salah satu markas relawan Merapi. Kesan yang diterima seperti sudah saling mengenal lama, dan kepada teman-teman penghubung saya diperkenalkan kepada mereka. Suasana formal sama sekali tidak terlihat, sebab di ruang tamu meskipun ada satu set kursi, namun sebagian memilih duduk di lantai sehingga suasana dekat sangat terasa. Berawal dari perkenalan jarak jauh hingga akhirnya bertatap muka. Sampai dengan saat ini komunikasi masih berjalan melalui media twitter. Komunikasi untuk Memperluas Hubungan Komunikasi untuk memperluas hubungan dilakukan melalui kegiatan bersama antara masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api dengan komunitas dan organisasi non pemerintah maupun melalui komunikasi
79 interpersonal. Kepedulian terhadap lingkungan merapi diwujudkan dalam berbagai aktivitas seperti mendaki, kemah dan penghijauan yang dilakukan bersama antara masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api dengan peserta dari luar wilayah Merapi. Kerjasama pelaksanaan kegiatan antara komunitas dan organisasi non pemerintah di lingkungan Merapi dengan lembaga pemerintah maupun non pemerintah di luar lingkungan Merapi juga telah menjadi jembatan untuk memperluas hubungan. Pendekatan interpersonal yang diikuti dengan kerjasama antar organisasi/lembaga telah menciptakan hubungan baru yang lebih luas. Sebagai contoh Radio Komunitas telah melakukan kerjasama penyiaran dengan radio Kanal KPK dan penyebarluasan informasi program BKKBN. Tabel 43 Aktivitas dan karakteristik beberapa akun twitter Alamat Metro_TV TRANSTV_CORP infoBMKG TVRINasional Jalinmerapi Infopendaki Infobencana BPPTKG Pasagmerapi pmi_diy Berita_RRI CombineRI bpbd_diy Polisi_RI Infest_Jogja JRKIndonesia bpbdjateng KecamatanDukun
Tweet per hari
Unggah foto per hari
Mengikuti
Pengikut
178,98 207,86 6,92 16,99 19,76 59,34 136,39 2,54 247,91 34,51 39,89 2,7 0,37 74,34 7,8 7,54 0,38 9,37
0,48 1,23 2,83 0,01 0,34 7,17 3,34 0,81 2,63 0,64 0,18 0,06 0,03 0,1 0,03 0,18 1,28
87 358 1 92 40 927 4.006 38 289 223 7 475 194 465 325 111 32 44
5.430.000 2.520.000 1.220.000 120.000 83.700 66.200 56.300 35.300 6.878 4.683 3.343 3.171 2.611 1.934 996 768 715 371
Pembuatan program acara dengan merespon isu yang berkembang di masyarakat menjadi pemicu adanya kerjasama antar lembaga terutama yang terkait dengan program tersebut. Semboyan ―Mengudara Melawan Korupsi‖ merupakan perwujudan dari GRKIB (Gerakan Radio Komunitas Untuk Indonesia Bersih) yang kemudian mengarahkan Radio Komunitas bekerja sama dengan KPK. Langkah-langkah yang diambil pasca peresmian kerjasama antara Kanal KPK dan JRKI (Jaringan Radio Komunitas Indonesia) adalah mengadakan diskusi-diskusi yang diikuti oleh anggota JRKI. Komunikasi bermedia memungkinkan seseorang mengembangkan hubungan dengan masyarakat luas, memilih dengan siapa berteman dan mencari teman yang cocok. media sosial membuat kita memperoleh informasi yang kita
80 minati secara otomatis. Media sosial juga memberikan peluang kita untuk tidak lagi berhubungan dengan seseorang yang kita tidak sukai. Twitter sebagai media sosial telah memperlihatkan kemampuan tersebut. Beberapa alamat twitter dan jumlah pengikut dan yang diikuti seperti pada Tabel 43. Ketertarikan pengguna twitter untuk menjadi pengikut dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor partisipan dan faktor informasinya. Alasan kekaguman/ketokohan, sama-sama menjadi anggota komunitas atau menjadi anggota dari suatu organisasi serta karena saling mengenal merupakan contoh alasan menjadi pengikut karena partisipannya. Alasan menjadi pengikut karena informasi yang di-tweet berguna untuk pekerjaan, untuk informasi kesehatan, keagamaan, pendidikan atau sekedar hobi. Ketidaksukaan terhadap suatu topik, gaya bahasa yang tidak disukai, informasi yang dinilai tidak penting, tidak ada hubungannya dengan kegiatan sehari-hari adalah beberapa contoh alasan pengguna tweet tidak menjadi pengikut. Informasi yang dapat dipercaya adalah alasan kuat seseorang menjadi pengikut suatu akunt twitter. Komunikasi untuk Menambah Pengetahuan Manusia memiliki kemampuan terbatas dalam mengindera sebagai pintu masuk pengetahuan. Manusia hidup pada jamannya, dan tidak mengalami hidup pada jaman sebelumnya atau sesudahnya. Manusia hidup juga pada lingkungannya, dan tidak berada di lingkungan lain pada saat yang sama. Untuk mengetahui apa yang terjadi pada masa sebelumnya atau mengetahui apa yang terjadi di luar lingkungannya, orang memerlukan dokumentasi tentang masa dan lingkungan yang lain. Dokumentasi dapat berupa catatan, gambar, suara maupun benda-benda yang dibuat oleh orang lain pada masa lalu atau yang berada di luar wilayah. Agar apa yang terjadi pada masa sekarang, manusia membuat jejak dalam berbagai bentuk agar generasi berikutnya mengetahui apa yang terjadi di jaman sekarang. Komunikasi merupakan estafet pengetahuan, dimana pengetahuan dari satu orang akan disebarluaskan melalui berbagai media, baik cetak maupun elektronik. Untuk berbagi pengetahuan juga semakin mudah. Bahkan pengetahuan dapat diakses kapan saja dan dimana saja, disaat-saat terdesakpun pengetahuan dapat diakses sepanjang media yang mendukung tersedia. Keberanian dan kemauan bertanya dapat menjadi media untuk memperoleh pengetahuan. Komunikasi untuk Mendukung Peningkatan Pendapatan Manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan didasarkan atas kekurangan dan keinginan untuk pertumbuhan dan perkembangan. Maslow menyusun hierarki kebutuhan terdiri dari (1) kebutuhan fisiologis; (2) kebutuhan akan keamanan dan keselamatan; (3) kebutuhan akan kebersamaan, sosial, dan cinta; (4) kebutuhan akan harga diri; (5) kebutuhan akan aktualisasi diri (Ivancevic et.al. 2006). Kalau lapar makan akan cari makanan. Makanan adalah bukan barang bebas dimana untuk mendapatkan makanan tersebut harus melalui jual beli, oleh sebab itu orang agar bisa makan harus memproduksi barang atau
81 jasa yang kemudian dapat dipertukarkan dengan kebutuhannya, yaitu pangan. Untuk menjual barang atau jasa harus ada pembeli, sehingga supaya proses jual beli dapat dilakukan maka harus ada komunikasi antara produsen dan konsumen untuk memperoleh kesamaan persepsi terhadap barang/jasa yang diperjual belikan. Kebutuhan manusia yang beragam membutuhkan orang lain yang mampu menyediakan kebutuhan tersebut dan bersedia untuk dipertukarkan atau melakukan transaksi jugal beli. Semakin beragam kebutuhannya maka diperlukan semakin banyak orang yang menyediakan kebutuhan. Hal tersebut memunculkan kebutuhan untuk berkomunikasi dengan para penyedia barang/jasa. Kemampuan komunikasi sangat diperlukan agar kebutuhan manusia dapat terpenuhi. Tabel 44 Sebaran responden berdasar karakteristik individu dan manfaat komunikasi Manfaat komunikasi Karakteristik individu Laki-laki Perempuan Tingkat pendidikan Dasar Menengah Tinggi Jenis pekerjaan Tidak bekerja Non formal Formal Lama tinggal Cukup lama Lama Sangat lama
Brt
Menhub Lshub
Mp
Pdptn S.Mkom
97,5 97,5
96,5 94,5
93,0 89,5
94,5 94,0
63,5 63,0
97,0 94,0
93,9 98,3 100,0
89,0 96,9 100,0
82,9 92,7 100,0
87,8 95,5 100,0
52,4 66,0 66,7
87,8 97,2 100,0
91,0 99,1 99,0
88,5 97,8 95,8
83,3 93,8 91,7
89,7 96,5 92,7
61,5 60,6 70,8
88,5 97,8 95,8
99,4 97,4 90,5
97,6 94,8 90,5
97,6 87,5 83,3
97,0 92,7 90,5
63,9 67,2 42,9
98,2 94,8 88,1
Keterangan : Brt = memperoleh berita Menhub = memelihara hubugan LsHub = memperluas hubungan Mp = menambah pengetahuan Pdptn = menambah pendapatan SMkom= skor total manfaat komunikasi
Pasar adalah tempat bertemunya penjual dan pembeli dimana terjadi kesepakatan harga di antara keduanya. Pasar secara fisik seperti pasar-pasar yang ada bangunan, terlihat interaksi antara penjual dan pembeli serta barang atau jasa yang diperdagangkan. Barang-barang dapat dipegang, dicium, ditimbang, atau dirasa. Perkembangan teknologi saat ini memungkinkan penjual dan pembeli bertransaksi tanpa tatap muka. Penjual dan pembeli cukup menggunakan internet sebagai ―pasar‖ mereka. Penjual dan pembeli akan saling mempengaruhi agar masing-masing memperoleh kepuasan dari kegiatan jual belinya.
82 Hubungan Karakteristik Individu dan Manfaatkomunikasi Terdapat perbedaan dan hubungan nyata pada beberapa indikator karakteristik individu dengan manfaat komunikasi. Hubungan yang nyata terutama antara tingkat pendidikan dengan manfaat komunikasi. Laki-laki dan perempuan memiliki persepsi yang tidak berbeda secara nyata dalam memperoleh manfaat komunikasi. Tabel 45
Hasil uji beda Kruskal Wallis manfaat komunikasi antara laki-laki dan perempuan
Variabel/indikator
Jenis kelamin Laki-laki Perempuan
Mendapat berita terkini Memelihara jaringan Memperluas pergaulan Meningkatkan pengetahuan Meningkatkan pendapatan
100,98 102,00 103,07 99,66 100,08
Manfaat komunikasi
102,97
100,03 99,01 97,93 101,35 100,92
P ,715 ,393 ,304 ,661 ,911
98,03 ,158
Secara deskriptif perbedaan terlihat paling besar pada manfaat komunikasi untuk mempertahankan hubungan dan memperluas jaringan atau hubungan. Keterlibatan dalam kelompok, dalam kegiatan-kegiatan bersama, berkegiatan dengan orang yang memiliki hobi yang sama mendukung terpeliharanya hubungan dengan orang lainmembangun hubungan yang semakin luas. Hasil uji beda tingkat manfaat komunikasi laki-laki dan perempuan dapat dilihat pada Tabel 45. Para tuna karya atau warga yang tidak bekerja memiliki kecenderungan lebih rendah dalam pemanfaatan komunikasi untuk mendapat berita terkini. Hal tersebut bermakna masyarakat bekerja akan memperoleh senantiasa memperoleh informasi terkini dibanding warga yang tidak bekerja. Secara deskriptif terlihat pekerja sektor informal dan pekerja sektor formal tidak berbeda nyata dalam hal memperoleh manfaat komunikasi untuk mendapat berita terkini. Hasil uji beda tingkat manfaat komunikasi berdasar status pekerjaan dapat dilihat pada Tabel 46. Tingkat pendidikan memiliki hubungan nyata dengan manfaat komunikasi dimana masyarakat yang memiliki pendidikan lebih rendah cenderung kurang mendapat manfaat dari komunikasinya untuk mendapatkan berita terkini, mempertahankan jaringan dan memperluas jaringan. Hal tersebut juga bermakna masyarakat yang berpendidikan lebih rendah cenderung terlambat memperoleh informasi, sulit memperluas hubungan, serta mempertahankan hubungan melalui kegiatan berkomunikasi. Meskipun terdapat perbedaan namun tingkat manfaat komunikasi masyarakat dengan berbagai tingkat pendidikan masih baik.
83 Tabel 46
Hasil uji beda Kruskal Wallis manfaat komunikasi antara warga yang tidak bekerja, bekerja di sektor informal dan yang bekerja di sektor formal
Variabel/indikator Mendapat berita terkini Memelihara jaringan Memperluas pergaulan Meningkatkan pengetahuan Meningkatkan pendapatan
Manfaat komunikasi
Status pekerjaan TB IF F 93,63 102,26 101,95 93,83 103,49 98,88 91,13 104,44 98,83 97,78 103,23 96,27 99,46 96,73 110,22 93,83 103,49 98,88
P ,034 ,096 ,120 ,261 ,331 ,096
Keterangan : TB=tidak bekerja IF=bekerja di sektor informal F=bekerja di sektor formal
Berdasarkan lama tinggal di wilayah rawan bencana gunung api memperlihatkan adanya hubungan yang nyatadengan nilai negatif pada manfaat komunikasi untuk memperoleh berita terkini dan memperluas jaringan. Pada kelompok masyarakat yang telah sangat lama tinggal di wilayah rawan bencana gunung api, yaitu kelompok lanjut usia, cenderung kurang memperoleh berita terkini dan memperluas hubungan. Keterbatasan fisik menjadi salah satu kendala bagi kelompok lanjut usia untuk berkomunikasi baik untuk memperoleh berita terkini maupun memperluas hubungan. Komunikasi pada kelompok masyarakat lanjut usia cenderung terbatas pada lingkungan terdekatnya, seperti keluarga dan tetangga. Secara keseluruhan lama tinggal di wilayah terdampak bencana gunung api memiliki hubungan yang nyata dan bernilai negatif dengan manfaat komunikasi. Tabel 47
Hasil uji Rank Spearman hubungan antara manfaat komunikasi dengan tingkat pendidikan dan lama tinggal di wilayah rawan bencana gunung api
Variabel/indikator Mendapat berita terkini Memelihara jaringan Memperluas pergaulan Meningkatkan pengetahuan Meningkatkan pendapatan Manfaat komunikasi
Tingkat pendidikan .166* .174* .179* ,112 ,094 .215**
Lama tinggal -.158* -,089 -.232** -,066 -,060 -.145*
Keterangan : ** berhubungan sangat nyata pada =0,01 berhubungan nyata pada =0,05
Hubungan ManfaatKomunikasi dengan Perilaku Komunikasi Hasil uji hubungan antara manfaat komunikasi dengan perilaku komunikasi menunjukkan seluruhnya berhubungan nyata pada =0,01 dengan nilai positif. Hal tersebut bermakna semakin baik perilaku komunikasi masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api tingkat manfaat yang diperoleh dari kegiatan komunikasinya semakin tinggi.
84 Tabel 48
Hasil uji Pearson hubungan antara perilaku komunikasi dengan manfaat komunikasi
Pearson Correlation Keterampilan bermedia 0,301** Persepsi terhadap partisipan 0.407** Penguasaan media 0,350** Persepsi terhadap intervensi media 0,397** Faktor lingkungan 0,551** ** berhubungan sangat nyata pada =0,01 * berhubungan nyata pada =0,05 Variabel
Hubungan Manfaat Komunikasi dengan Persepsi terhadap Partisipan Hasil analisis menunjukkan adanya hubungan yang sangat nyata antara persepsi terhadap partisipan dan manfaat komunikasi dalam memperoleh berita terkini, memelihara hubungan, dan menambah penghasilan, namun tidak berhubungan secara nyata dengan menambah pengetahuan dan memperluas hubungan. Analisis sebelumnya juga menunjukkan bahwa orang-orang terdekat merupakan partisipan bagi sebagian besar masyarakat di wilayah rawan bencana Gunung Merapi. Hubungan antara persepsi terhadap partisipan dan manfaat komunikasi bertanda positif yang bermakna semakin tinggi skor persepsi terhadap sumber informai akan semakin tinggi tingkat manfaat komunikasinya. Persepsi terhadap partisipan diukur melalui tiga indikator yaitu kemudahan menghubungi, kecepatan merespon dan akurasi informasi yang diberikan. Kemudahan menghubungi digunakan untuk mengukur kedekatan antara masyarakat dengan partisipan. Hasil pengamatan kedekatan dapat ditunjukkan oleh tiga hal, pertama kedekatan jarak, artinya antara masyarakat dengan partisipan dekat secara fisik. Kecenderungan komunikasi yang dilakukan karena kedekatan fisik adalah komunikasi tatap muka. Contoh kedekatan karena jarak seperti dengan anggota keluarga, tetangga, ketua RT ataupun teman kerja. Kedua kedekatan karena kemudahan menghubungi, baik tatap muka maupun bermedia yang ditunjukkan dengan frekuensi komunikasi. Jaringan informasi lingkar merapi, misalnya, penggiatnya secara fisik terpisah jauh, akan tetapi secara rutin di antara mereka berkomunikasi melalui media, khususnya media sosial. Kedekatan demikian cenderung dilakukan dengan teman yang memiliki aktivitas atau kepentingan yang sama. Ketiga adalah kedekatan karena emosional, seperti adanya kesan yang sangat baik dan mendalam, menyebabkan antara masyarakat dengan partisipan merasa dekat, meskipun jarang berkomunikasi dan bertemu tatap muka. Kedekatan emosional juga dapat disebut sebagai kedekatan potensial, karena akan memudahkan untuk komunikasi berikutnya. Kedekatan secara emosional akan memberikan kepercayaan seseorang untuk berkomunikasi dengan partisipan. Gangguan yang menghambat komunikasi dapat berupa usia yang sudah lanjut dan ketidakpercayaan diri untuk berkomunikasi dengan orang lain. Terdapat responden yang memiliki pendidikan cukup baik namun memiliki perasaan sulit untuk menghubungi orang lain. Pendalaman terhadap kondisi ini menunjukkan yang bersangkutan memiliki sifat tertutup dan tidak secara aktif melakukan
85 komunikasi dengan orang lain. Berbeda halnya dengan para lanjut usia, mereka merasa sulit menghubungi orang lain karena keterbatasan fisik, sehingga komunikasi yang dilakukan adalah dengan orang-orang terdekat atau orang-orang yang kebetulan berkunjung ke rumah yang bersangkutan. Osatuy (2013) mengatakan komunikasi yang dilakukan di media sosial dapat dimanfaatkan untuk menunjukkan kredibilitas partisipan. Setiap partisipan akan berbagi informasi pada situs sosial yang berbeda. Pada situs sosial partisipan cenderung berbagi informasi yang sifatnya informasi pribadi. Setiap situs sosial memiliki perbedaan yang nyata dalam hal informasi yang dibagi, namun secara keseluruhan situs jejaring sosial sangat potensiil untuk berbagi informasi. Hubungan dengan partisipan tidak hanya dilakukan secara tatap muka namun juga bermedia. Kemudahan menghubungi ataupun mendapat respon disebabkan karena masyarakat dan partisipan telah saling kenal dan memiliki kepentingan yang sama. Kemudahan berkomunikasi dengan partisipan, seperti aparat desa, disebabkan karena adanya kepentingan dalam pelayanan keadministrasian. Oleh sebab itu masyarakat yang tidak memiliki kepentingan dengan aparat merasa sulit untuk menghubungi ataupun memperoleh tanggapan. Aparat desa, kecamatan, kabupaten, maupun petugas pengamat gunung api merupakan partisipan penting terutama terkait kebijakan pemerintah dalam penurunan risiko bencana gunung api. Memahami saluran komunikasi yang sering digunakan memungkinkan warga lebih mudah mengakses informasi. Beberapa warga yang ditemui menyatakan kemudahan komunikasi dengan partisipan didukung ketersediaan media komunikasi dan telah dimanfaatkannya media internet oleh partisipan untuk menyebarluaskan informasi. Kemudahan menghubungi partisipan terlihat pada masyarakat yang ikut dalam keorganisasian bencana, seperti radio komunitas. Undangan pertemuanpertemuan dari lembaga pemerintah maupun non pemerintah tidak dilakukan kepada masyarakat secara perorangan, akan tetapi melalui organisasi-organisasi yang ada di wilayah rawan bencana. Oleh sebab itu kegiatan pertemuan sering dihadiri oleh orang-orang yang sama yang merupakan perwakilan dari kelompok atau organisasinya. Mudahnya masyarakat berkomunikasi juga merupakan indikasi adanya hubungan yang senantiasa terpelihara dengan baik. Memperhatikan kondisi tersebut dan dari hasil analisis data menunjukkan kemudahan menghubungi partisipan juga memiliki hubungan yang nyata dengan peningkatan pendapatan. Keterlibatan dalam program-program yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun organisasi non pemerintah telah memberikan kontribusi terhadap pendapatan bagi masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api. Hubungan Manfaat Komunikasi dengan Penguasaan Media Teori perilaku terencana dari Ajzen mengungkapkan penguasaan terhadap sumber daya menjadi faktor yang mempengaruhi niat seseorang untuk melakukan suatu tindakan. Sejalan dengan teori tersebut, dalam penelitian ini penguasaan media berhubungan dengan keinginan masyarakat untuk memperoleh informasi terkini. Penguasaan media yang makin beragam memungkinkan masyarakat mengakses informasi dengan media yang dikuasainya.
86 Namun demikian beberapa media komunikasi kurang tepat digunakan oleh masyarakat pada kondisi Gunung Merapi dalam status aman. Media tersebut adalah HT dan internet. Hasil wawancara dengan informan mengungkapkan meskipun menguasai HT namun pada saat status Gunung Merapi aman media tersebut disimpan. Keterjangkauan HT kepada masyarakat terbatas antar pengguna atau penguasa HT. Namun demikian HT masih digunakan pada proses pencarian pendaki gunung yang tersesat dan pertukaran informasi terkait cuaca di jalur banjir lahar dingin. HT sangat diperlukan dalam proses pencarian pendaki yang tersesat karena di wilayah tertentu sinyal HP tidak dapat diterima. Masyarakat tidak menggunakan sebuah media apabila media tersebut tidak mendukung kegiatannya sehari-hari. Aktivitas luar rumah, meskipun kontribusinya kecil, turut menjadi alasan seseorang memiliki atau tidak memiliki suatu media. Pertimbangan yang tampaknya sangat realistis adalah adanya multifungsi dari suatu media, seperti smart phone, yang memungkinkan seseorang mengakses radio dan TV melalui satu media tanpa harus memiliki kedua media tersebut. Keberagaman dalam penguasaan media memungkinkan seseorang lebih banyak mengakses informasi terkini. Demikian pula dalam mempertahankan hubungan, semakin beragam media komunikasi yang dimiliki cenderung semakin besar kesempatan seseorang berkomunikasi dengan koleganya sehingga hubungan tetap terpelihara. Beberapa media sangat membantu seseorang untuk berkomunikasi terkait pekerjaan, seperti HP. Sebagaimana hasil analisis sebelumnya Pemanfaatan HP sebagai media komunikasi terkait pekerjaan terlihat lebih dominan dibanding media lain. Namun demikian tingkat penguasan media komunikasi tidak berhubungan nyata dengan manfaat komunikasi dalam menambah pengetahuan. Hubungan Keterampilan Penggunaan Media Komunikasi dengan Manfaat Komunikasi Keterampilan penggunaan media komunikasi merupakan indikator untuk mengukur seberapa sering masyarakat mengoperasionalkan berbagai media komunikasi untuk mengakses berbagai informasi. Terdapat kecenderungan masyarakat yang memiliki tingkat keterampilan lebih banyak memperoleh manfaat komunikasi. Membangun dan memelihara jaringan komunikasi sangat diperlukan dalam komunikasi bencana. Intensitas komunikasi dalam jaringan komunikasi akan menumbuhkan keeratan hubungan dan saling pengertian di antara anggota dalam jaringan. Gangguan (noise) dalam komunikasi yang dapat menyebabkan terganggunya kecermatan dalam menerima pesan (Riswandi 2009), seperti perbedaan budaya, perbedaan karakter maupun tidak paham teknologi dapat dikurangi. Secara alami pelaku komunikasi akan melakukan penyesuaianpenyesuaian perilaku komunikasinya. Apabila memiliki kecocokan dan tidak banyak gangguan komunikasi, beberapa orang akan tergabung dalam suatu jaringan komunikasi.
87 Bagi pengusaha, membangun jaringan adalah hal yang sangat penting untuk dilakukan. Membangun jaringan dengan para penyedia bahan baku akan menekan risiko kemacetan produksi. Hubungan dengan para penjual atau konsumen menekan risiko produk tidak terjual. Informasi jadwal pelayaran, jadwal perjalanan kereta, pesawat dan sarana transportasi lain diperlukan untuk menyesuaikan produksi dengan waktu pengiriman. Identitas partisipan bencana, seperti nama, nomor telepon, alamt email, alamat di media sosial dan alamat kantor penting diketahui agar pada saat terjadi bencana upaya-upaya penanggulangnya dapat berjalan secara optimal. Hubungan Manfaat Komunikasi dan Intervensi Media Baran (2003) mendefinisikan komunikasi massa sebagi proses menciptakan kesamaan makna antara media massa dengan pendengar/pemirsa mereka. Dalam komunikasi massa umpan balik tidak dapat dilakukan secara langsung (delayed). Partisipan dapat berasal dari sumber-sumber berita, hiburan, dan lain-lain. Selanjutnya West dan Turner (2009) mengatakan komunikasi massa menyasar khalayak dalam jumlah besar seperti surat kabar, radio, TV,. Selanjutnya disebutkan media komunikasi baru yang terdiri atas teknologi berbasis computer. Teknologi ini termasuk e-mail, internet dan telepon genggam. Para penggiat komunikasi sekaligus pemerhati Gunung Merapi, telah memanfaatkan internet sebagai media untuk penyiaran radio dan TV yang disebut radio/TV streaming. Konteks komunikasi memberikan kemampuan baik kepada partisipan. Partisipan seperti editor membuat keputusan tetang informasi apa yang akan disebarluaskan, sedangkan partisipan lainnya memiliki kendali tentang informasi apa yang akan diterima. Efek komunikasi terhadap pengetahuan warga memiliki perbedaan terkait informasi yang diterima. Komunikasi tatap muka informasi yang diterima cenderung kepada kebutuhan dari partisipan. Lingkup informasi adalah seputar kejadian yang ada di sekitar tempat tinggal. Sementara itu informasi melalui media massa lebih banyak informasi tentang kejadian yang ada di luar wilayah tempat tinggalnya. Namun demikian informasi yang diterima melalui media massa dapat menjadi topik komunikasi tatap muka oleh masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api. Salah satu efek dari komunikasi massa adalah terbentuknya radio komunitas yang ada di wilayah rawan bencana Gunung Merapi. Masyarakat merasa bahwa terdapat informasi yang tidak sesuai dengan kondisi riil setempat atau tidak terinformasikannya kondisi yang terjadi di wilayah rawan bencana gunung api memunculkan gagasan untuk membangun radio komunitas yang dinilai akan lebih akurat dalam pemberitaan. Meskipun demikian hasil penelitian menunjukkan intervensi media dalam bentuk berita, dialog, maupun himbauan telah memberikan pengetahuan yang baik kepada masyarakat. Hasil pengamatan akun sosial pemerhati Gunung Merapi menunjukkan informasi yang disebarluaskan melalui media massa telah memberikan informasi terkini tentang perkembangan status Gunung Merapi. Hasil pengecekan di lapangan tidak selalu pemberitaan di media massa (terutama TV) memberikan gambaran kondisi masyarakat di wilayah Gunung Merapi. Pemberitaan media massa yang terkesan meresahkan masyarakat luas akan tetapi
88 masyarakat di wilayah Gunung Merapi masih merasa aman dan tidak khawatir dengan perkembangan status Gunung Merapi. Hubungan Manfaat Komunikasi dan Faktor Lingkungan Keesing (1974) menguraikan tentang budaya sebagai sistem, yaitu pola perilaku yang diturunkan secara sosial, yang berfungsi untuk mengatur hubungan manusia dengan lingkungan ekologi mereka. Termasuk dalam kategori tersebut adalah teknologi, organisasi ekonomi, pola pemukiman, pengelompokan sosial dan organisasi politik, keyakinan dan praktik keagamaan, dan sebagainya. Selanjutnya dikatakan perubahan budaya pada dasarnya merupakan suatu proses adaptasi dengan alam untuk bertahan hidup. Adanya bencana Gunung Merapi menimbulkan berbagai perubahan, di antaranya rusaknya infrastruktur jalan, jembatan dan sumber-sumber penghidupan. Pembangunan jalan yang dilakukan sampai ke pelosok wilayah merapi telah memberikan kemudahan akses masyarakaat ke berbagai wilayah disekitar tempat tinggalnya. Banyaknya program yang diluncurkan telah memberikan dampak pada percepatan pemulihan perekonomian di wilayah rawan bencana. Hal tersebut terlihat dari pulihnya pemukiman penduduk yang terdampak bencana, berkembangnya jumlah pengguna media komunikasi HT, tumbuhnya usaha baru seperti penambangan pasir dan sebagainya. Dampak lain yang ditimbulkan oleh bencana alam Gunung Merapi adalah tumbuhnya kesadaran untuk membentuk jaringan komunikasi dan pemanfaatan media komunikasi yang mampu memberikan informasi secara konprehensif yang mampu menstimuli lebih banyak indra dan lebih mudah untuk melakukan pertukaran informasi. Penggiat komunikasi lingkar merapi adalah salah satu kelompok yang secara aktif menggunakan media komunikasi tersebut. Beberapa lembaga pemerintah yang menanganai bencana dan kegunungapian maupun keselamatan masyarakat telah menjadikan internet sebagai salah satu media penyebaran informasi bencana. Pembentukan BPBD dan program-program yang dilaksanakan oleh lembaga tersebut telah membantu masyarakat untuk mengetahui informasi perkembangan terkini Gunung Merapi maupun berbagai aktivitas yang berkaitan dengan penurunan risiko bencana Gunung Merapi. Kegiatan yang dilaksanakan oleh berbagai lembaga pemerintah yang kemudian dipublikasi oleh media cetak juga akan disebarluaskan melalui media internet oleh penggiat komunikasi lingkar merapi. Dengan demikian informasi terkini akan lebih luas terdistribusi kepada masyarakat. Kebiasaan masyarakat yang senang berkomunikasi tatap muka dalam berbagai kesempatan memungkinkan informasi-informasi yang berkembang dapat segera tersebarluas di kalangan masyarakat. Tempat berkumpul atau bertemu muka, seperti di acara hajatan, kerja bakti, bertamu, di tempat pembenihan tanaman, warung, tempat bermain menjadi arena penyebarluasan informasi di kalangan masyarakat. Kebiasaan bercakap-cakap dalam waktu yang cenderung lama menumbuhkan kehangatan dan keberagaman informasi yang dipertukarkan.
89 Simpulan Dari hasil penelitian diperoleh beberapa Simpulan sebagai berikut : 1. Tidak terdapat perbedaan nyata dalam hal manfaat komunikasi oleh masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api yang berbeda jenis dampak bencananya 2. Masyarakat telah memperoleh manfaat dari kegiatan komunikasinya baik untuk memperoleh berita terkini, mempertahankan hubungan, memperluas pergaulan dan menambah pengetahuan. Namun masyarakat belum secara optimal memanfaatkan komunikasi untuk menambah pendapatan. 3. Terdapat hubungan nyata antara karakteristik individu dengan manfaat komunikasi, terutama tingkat pendidikan dan lama tinggal di wilayah rawan bencana gunung api, dimana tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung lebih merasakan manfaat komunikasi, sedangkan semakin lama tinggal di wilayah rawan bencana gunung api manfaat komunikasinya semakin menurun. 4. Terdapat hubungan sangat nyata antara perilaku komunikasi dengan manfaat komunikasi baik dalam hal keterampilan bermedia, penguasaan media, persepsi terhadap partisipan, persepsi terhadap intervensi media, maupun faktor lingkungan.
90
6 MODEL DAN FAKTOR PENENTU KESIAPAN MENGHADAPI BENCANA GUNUNG API Abstrak Bencana gunung api merupakan bencana alam yang berdampak pada kerusakan sarana prasarana transportasi, komunikasi, kerusakan lahan pertanian dan komoditas pertanian, kematian serta hilangnya penghidupan masyarakat di wilayah terdampak bencana. Bencana memerlukan bantuan banyak pihak untuk mengatasinya agar risiko dapat dikurangi. Kerjasama masyarakat terdampak bencana dengan partisipan harus dilakukan agar penanganan bencana berjalan efektif dan efisien, oleh sebab itu perlu dibangun kesiapan menghadapi bencana. Tujuan penelitian ini adalah (1) mendiskripsikan kesiapan masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api untuk menghadapi bencana gunung api; (2) Menganalisa perbedaan kesiapan menghadapi bencana gunung api pada wilayah terdampak bencana berbeda; (3) menganalilsis faktor penentu kesiapan masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api untuk menghadapi bencana gunung api. Penelitian kuantitatif ini dilakukan di wilayah terdampak bencana Gunung Api yang berada di wilayah Propinsi Jawa Tengah dan Daerah IstimewaYogyakarta (DIY). Hasil penelitian antara lain menunjukkan tingkat komunikasi mengahadapi bencana dalam kategori sedang. Keterampilan penggunaan media, persepsi terhadap partisipan dan intervensi media merupakan faktor penentu komunikasi risiko kesiapan menghadapi bencana. Pendahuluan Memahami bagaimana masyarakat menafsirkan risiko dan memilih tindakan berdasarkan interpretasi mereka sangat penting untuk menyusun strategi pengurangan risko bencana. Risiko dalam konteks bencana alam selalu melibatkan interaksi antara gejala alam dan faktor manusia. Interpretasi masyarakat dibentuk oleh pengalaman mereka sendiri, perasaan pribadi dan nilainilai, keyakinan budaya dan dinamika interpersonal dan sosial. Selain itu, akses terhadap informasi dan kapasitas untuk perlindungan diri biasanya tidak merata dalam populasi (Eiser 2012). Organisasi berbasis masyarakat memiliki tanggung jawab penting dalam menangani bencana terutama mempersiapkan masyarakat menghadapi berbagai kemungkinan yang terjadi untuk mengurangi risiko. Masyarakat akan membangun kesiapannya berdasarkan pengalaman yang mereka miliki bersama (Zahari dan Ariffin 2013). Karakteristik bencana senantiasa berubah sehingga masyarakat yang berada di wilayah rawan bencana membutuhkan strategi inovatif untuk bertahan hidup. Mengurangi kerentanan terdampak bencana pentingdan perlu adaptasi untuk menyelamatkan masyarakat dari kerentanan mereka terhadap perubahan alam (Ahmed 2013). Terdampak bencana tidak hanya pada saat terjadi bencana namun upaya pemulihan yang memakan waktu lama merupakan bagian yang harus diperhatikan. Membangun kembali infra struktur, saluran air, lahan pertanian,
91 kandang ternak, tempat usaha yang menjadi penghidupan masyarakat terdampak benancana menjadi prioritas pemerintah dalam pemulihan bencana. Dampak psikologis akibat bencana selalu mengikuti pasca kejadian bencana. Kehilangan harta benda, saudara, ternak, rumah dan kemapanan hidup yang sebelumnya dinikmati sudah merenggut kebahagiaan masyarakat.
Gambar 19 Konsep model komunikasi risiko kesiapan masyarakat menghadapi bencana gunung api Masyarakat perlu melakukan analisis biaya yang mungkin timbul akibat kejadian bencana agar mempermudah proses pemulihan dan mendapatkan sumber biaya yang mungkin dapat digunakan. Langkah tersebut perlu dilakukan dalam rangka penurunan risiko bencana. Mengembangkan perilaku usaha merupakan kunci untuk pemulihan jangka pendek (Rose dan Krausmann 2013). Pertolongan pihak lain mutlak diperlukan dalam bencana. Masyarakat di wilayah rawan bencana memiliki keterbatasan sumber daya yang diperlukan dalam kesiapan menghadapi bencana. Kemampuan memberikan informasi kepada masyarakat luas, meminta bantuan, berkoordinasi dan mampu mengendalikan diri pada berbagai situasi merupakan beberapa indikator kesiapan menghadapi bencana. Berdasar latar belakang tersebut, penelitian ini bertujuan untuk : (1) Mendiskripsikan kesiapan masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api dalam menghadapi bencana gunung api; (2) Menganalisa perbedaan kesiapan masyarakat di wilayah terdampak bencana gunung api berbeda dalam menghadapi bencana gunung api; (3) Menganalisa faktor penentu yang mempengaruhi kesiapan masyarakat menghadapi bencana gunung api. Dari latar belakang dan tujuan penelitian yang dibahas dalam bab ini dibuat konsep model komunikasi risiko kesiapan menghadapi bencana gunung api seperti terlihat pada Gambar 6.1
92 Metode Penelitian ini menggunakan metode survei pada satu populasi warga di wilayah rawan bencana Gunung Merapi. Penelitian ini dilakukan di tiga desa, yaitu Desa Wukirsari Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta, Desa Jumoyo Kecamatan Salem Kabupaten Magelang, dan Desa Dukun Kecamatan Dukun Kabupaten Magelang Jawa Tengah. Pemilihan lokasi dilakukan dengan sengaja (purposive) dengan pertimbangan sesuai salah satu tujuan penelitian. Tabel 49 Variabel laten dan indikatornya Variabel laten X1 Karakteristik individu X2 Persepsi terhadap sumber informasi X3 Penguasaan media X4 Keterampilan bermedia
X5 Intervensi media
X6 Faktor lingkungan
Y1 Manfaat Komunikasi
Y2 Komunikasi risiko kesiapan menghadapi bencana
Indikator X11 Lama mengikuti pendidikan formal X12 Lama tinggal di wilayah rawan bencana X21 Kemudahan menghubungi X22 Kecepatan merespon X23 Akurasi informasi X31 Penguasaan media komunikasi X41 Mengoperasionalkan media X41 Akses informasi hiburan X42 Akses informasi pekerjaan X43 Akses informasi bencana X51 Acara berita X52 Acara dialog X53 Acara himbauan X61 Kebijakan X62 Budaya X63 Sarana prasarana X64 Kelembagaan Y11 Mendapat berita terkini Y12 Memelihara hubungan Y13 Memperluas pergaulan Y14 Menambah pengetahuan Y15 Menambah pendapatan Y21 Pengetahuan isyarat bencana gunung api Y22 Pengetahuan bahaya mengabaikan isyarat bencana Y23 Manfaat memperhatikan isyarat bencana Y24 Sikap apabila mendenganr isyarat bencana Y25 Keyakinan menyebarluaskan informasi isyarat bencana Y26 Keyakinan dapat meminta bantuan Y27 Keyakinan dapat berkoordinasi Y28 Keyakinan dipercaya Y29 Keyakinan dapat membedakan informasi yang tidak benar Y210 Tindakan apabila mendenganr isyarat bencana
Jenis data Interval Ordinal
Ordinal Ordinal
Ordinal
Ordinal
Ordinal
Ordinal
Jumlah sampel dalam penelitian ditetapkan 200 responden. Penggunaan SEM dengan metode estimasi maximum likelihood memerlukan sampel 100-150 responden, atau sebanyak lima kali jumlah indikator. Penelitian ini menggunakan 35 indikator, sehingga diperlukan 5 x 35 = 175 responden. Dengan melihat persyaratan di atas, maka 200 responden telah memenuhi uji statistik inferensia (Wijayanto 2008).
93
Pengambilan sampel dilakukan secara acak. Jumlah sampel untuk masingmasing wilayah dihitung secara proporsional berdasarkan jumlah kepala keluarga. Pengumpulan data dilakukan bulan Juli sampai dengan Agustus 2013. Untuk Menganalisa faktor determinan yang mempengaruhi kesiapan menghadapi bencana digunakan SEM dengan perangkat lunak Lisrel 8.7. Hasil dan Pembahasan Tinggal lama di wilayah rawan bencana gunung api dan memiliki pengalaman terdampak bencana telah memberikan bekal pengetahuan kepada masyarakat di wilayah terdampak bencana gunung api tentang isyarat bencana gunung api. Bekal pengetahuan tersebut membantu masyarakat untuk membedakan informasi yang benar dan yang tidak benar tentang informasi bencana gunung api. Pengetahuan tersebut penting agar masyarakat tidak mudah terpengaruh berita-berita yang beredar melalui media massa. Tabel 50
Sebaran responden dan uji beda Kruskal Wallis berdasar rerata tingkat kesiapan menghadapi bencana gunung api dan wilayah terdampak bencana
Indikator komunikasi risiko kesiapan menghadapi bencana
WTB
P
R1
R2
R3
Pengetahuan isyarat bencana
76,3
73,5
68,8
,223
Bahaya mengabaikan isyarat bencana
60,5
67,4
81,8
,000**
Manfaat memperhatikan isyarat bencana
71,1
70,5
78,1
,153
Sikap setelah mendenganr isyarat bencana
36,8
69,7
22,4
,000**
Keyakinan mampu menyebarluaskan informasi
64,5
59,8
45,3
,017
Keyakinan segera meminta bantuan
61,8
44,7
44,8
,062
Keyakinan mampu berkoordinasi
56,6
47,7
34,9
,014*
Keyakinan dipercaya
60,5
50,8
50,5
,444
Keyakinan dapat membedakan informasi yang tidak benar
76,3
80,3
66,1
,030*
Tindakan setelah mendenganr informasi bencana
43,4
25,8
28,6
,022*
Rerata komunikasi risiko kesiapan menghadapi bencana
60,8
59
52,1
0,022*
WTB = wilayah terdampak bencana **=berbeda sangat nyata pada =0,01 *=berbeda nyata pada =0,05
Perbedaan Kesiapan Masyarakat Menghadapi Bencana pada Wilayah dengan Jenis Dampak Bencana Berbeda Pengalaman terdampak bencana yang sangat parah menyisakan kehawatiran yang tinggi bagi warga di wilayah R3. Walaupun masyarakat R1 tidak terdampak bencana separah masyarakat wilayah R3, namun letaknya yang cukup tinggi dan jauh dari jalan raya propinsi (Magelang-Jogja) menyebabkan masyarakat wilayah R1 memiliki kekhawatiran yang juga cukup tinggi. Berbeda dengan masyarakat di kedua wilayah, masyarakat R2 cenderung lebih tenang apabila mendenganr isyarat bencana. Salah satu alasan yang dikemukakan adalah karena wilayah
94 wilayah R2 cukup cajuh dari pucak Merapi dan berada di dekat jalan raya propinsi (Magelang-Yogyakarta). Pengalaman terdampak paling parah, masyarakat wilayah R3 memiliki pengetahuan yang lebih baik dalam hal memahami bahaya mengabaikan isyarat bencana. Hasil penelitian ini memberikan pemahaman masyarakat akan mengukur tingkat bahaya yang mungkin mengancam kehidupan maupu penghidupannya. Hal tersebut yang kemudian cenderung mengabaikan risiko-risiko yang mungkin terjadi. Alam yang selalu berubah akan mengarah kepada perubahan ancaman bencana kepada masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah rawan bencana gunung api. Selain itu bencana alam tidak hanya berdampak kepada masyarakat yang tinggal di wilayah bencana saja, akan tetapi juga berdampak kepada masyarakat yang berada di wilayah luar bencana. Dampak tersebut antara lain adanya pengungsi yang membutuhkan bantuan tempat tinggal, sandang, dan pangan. Disamping itu dukungan moril sangat diperlukan bagi masyarakat yang terdampak bencana. Oleh sebab itu pengetahuan kebencanaan secara komprehensif harus diakses oleh masyarakat di sekitar wilayah rawan bencana gunung api. Perbedaan Kesiapan Laki-laki dan Perempuan dalam Menghadapi Bencana Secara umum masyarakat memiliki kecenderungan untuk mengikuti prosedur evakuasi pada saat bencana, yaitu akan menunggu arahan lebih lanjut apabila ada informasi isyarat bencana. Perilaku tersebut dimaksudkan agar mereka tetap tergabung dalam satu kelompok pada saat mengungsi. Masyarakat juga berpendapat apabila mengikuti arahan, maka koordinasi menjadi lebih mudah dilakukan. Bagi masyarakat yang bersikap ingin membantu orang lain, alasan yang dikemukakan adalah merasa memiliki tanggungjawab sosial, solidaritas atau karena di wilayahnya menjadi tempat pengungsian. Tabel 51
Sebaran rerata tingkat kesiapan menghadapi bencana gunung api berdasar jenis kelamin
Indikator komunikasi risiko kesiapan menghadapi bencana Y21 Y22 Y23 Y24 Y25 Y26 Y27 Y28 Y29
Pengetahuan isyarat bencana Bahaya mengabaikan isyarat bencana Manfaat memperhatikan isyarat bencana Sikap setelah mendenganr isyarat bencana Keyakinan mampu menyebarluaskan informasi Keyakinan segera meminta bantuan Keyakinan mampu berkoordinasi Keyakinan dipercaya Keyakinan dapat membedakan informasi yang tidak benar Y210Tindakan setelah mendenganr informasi bencana Rerata
Jenis kelamin Laki-laki 72,5 73,0 73,5 48,5 60,5 56,0 52,5 59,0
Perempuan 71,0 73,0 75,0 33,0 47,0 40,0 34,0 46,0
p ,670 ,949 ,677 ,005** ,022* ,005** ,001** ,030*
79,5 27,5 60,3
66,0 33,5 51,9
,007** ,121 ,006**
**=berbeda sangat nyata pada =0,01 *=berbeda nyata pada =0,05 Laki-laki pada umumnya memiliki kesiapan yang lebih baik daripada perempuan terutama dalam berkomunikasi dengan pihak luar. Untuk menyebarluaskan informasi bencana, meminta bantuan secara cepat dan mampu
95 berkoordinasi diperlukan sikap tenang dalam menghadapi bencana. Dalam hal ini laki-laki lebih memiliki ketenangan dan mampu mengendalikan diri sehingga dapat berkomunikasi baik dengan pihak lain. Perempuan cenderung lebih emosional dibanding laki-laki yang cenderung lebih rasional. Dalam merespon bencana perempuan cenderung lebih mengutamakan keluarga dibanding laki-laki yang cenderung memilih menunggu arahan lebih lanjut. Hasil uji beda menunjukkan adanya perbedaan sangat nyata terkait sikap menghadapi bencana, dimana laki-laki cenderung lebih tenang dibanding perempuan. Dengan melihat temuan tersebut menegaskan respon setiap masyarakat terhadap bencana gunung api berbeda-beda dan tidak dapat dipaksakan. Namun demikian juga tidak mungkin seluruh masyarakat memiliki pemikiran yang sama, sebab bencana membutuhkan peran yang berbeda-beda dari masyarakat, baik yang tinggal di wilayah terdampak bencana maupun dari masyarakat luas. Saling mengisi diantara peran-peran yang mungkin belum ada, atau mendukung peranperan yang masih dibutuhkan dalam penanggulangan bencana gunung api. Lakilaki, perempuan, anak-anak, dan dewasa dengan segala kondisi yang ada akan saling membantu agar bencana dapat segera diatasi. Hasil Uji Kesesuaian Model Komunikasi Risiko Kesiapan Menghadapi Bencana Gunung Api Sesuai konsep model yang dibangun untuk merepresentasikan hubungan antar konstruk, dari hasil pengolahan data penelitian diperoleh nilai-nilai standarized loading faktor seperti terlihat pada Gambar 20.
Keterangan : InBn=Informasi bencana
Gambar 20 Standarized loading faktormodel komunikasi risiko kesiapan masyarakat menghadapi bencana gunung api
96 Hasil analisis juga terlihat bahwa semua konstruk yang digunakan untuk membentuk sebuah model penelitian telah memenuhi kriteria goodness of fit (Tabel 52). Hal tersebut bermakna model yang dibangun dapat digunakan untuk memberi gambaran keseluruhan populasi. Tabel 52
Hasil kriteria kesesuaian model SEM komunikasi risiko kesiapan masyarakat menghadapi bencana gunung api
Goodness-of-Fit RMSEA GFI CFI IFI
Cutt-off-Value 0,08 0,90 0,90 0,90
Hasil 0,035 0.90 0.97 0.96
Keterangan Good Fit Good Fit Good Fit Good Fit
Berdasar analis T-hitung menunjukkan kecuali karakteristik individu, seluruh variabel laten eksogen secara nyata berpengaruh positif terhadap variabel laten endogen (Y1). Demikina pula Y1 (manfaat komunikasi) berpengaruh positif dan nyata terhadap Y2 (kesiapan mengahadapi bencana gunung api). Namun sebaliknya penguasaan media komunikasi memiliki pengaruh negatif terhadap kesiapan menghadapi risiko bencana. Pengaruh antar variabel model Komunikasi kesiapan masyarakat menghadapi bencana gunung api dapat dilihat pada Tabel 53. Tabel 53
Pengaruh antar variabel model komunikasi risiko kesiapan masyarakat menghadapi bencana gunung api
Pengaruh antar variabel
Betha
|T-hitung|
Pengaruh
``
X1 Karakteristik individu Y1Manfaat komunikasi X2 Keterampilan bermedia Y1Manfaat komunikasi X3 Penguasaan media komunikasi Y1Manfaat komunikasi X3Penguasaan media komunikasi Y1Kesiapan X4 Persepsi terhadap partisipan Y1Manfaat komunikasi X5 Intervensi media Y1Manfaat komunikasi Y1 Manfaat komunikasi Y2 Komunikasi risiko kesiapan menghadapi bencana
0,01
0,18
Tidak Nyata
0,17
2,95
Nyata
0,59
3,49
Nyata
-0,19
-1,64
Tidak Nyata
0,15
2,40
Nyata
0,11
2,30
Nyata
0,58
4,62
Nyata
Hasil uji SEM menunjukkan penguasan media merupakan faktor penentu untuk manfaat komunikasi, dan pengaruh tidak langsung untuk kesiapan menghadapi bencana gunung api. Sedangkan manfaat komunikasi menjadi faktor penentu kesiapan menghadapi bencana gunung api. Namun berdasarkan hasil uji
97 kesesuaian model terlihat penguasaan media komunikasi memiliki pengaruh tidak nyata dan negatif terhadap kesiapan menghadapi bencana gunung api. Karakteristik Individu Karakteristik individu meskipun tidak secara nyata berpengaruh terhadap manfaat komunikasi, namun dapat dikemukakan bahwa pendidikan formal merupakan reflektor yang berinilai positif bagi karakteristik individu. hal tersebut bermakna pendidikan yang semakin baik akan memperbaiki karakteristik individu yang akan memberikan pengaruh yang semakin baiknya manfaat komunikasi. Sebaliknya lama tinggal di wilayah rawan bencana gunung api merupakan reflektor bertanda negatif bagi karakteristik individu. Hal tersebut memberikan makna masyarakat yang makin lama tinggal di wilayah rawan bencana gunung api akan menurunkan manfaat komunikasi. Mustofa (2011) menjelaskan terbentuknya perilaku disebabkan oleh dua faktor yaitu perilaku yang diperoleh dari keturunan (nature) dan perilaku yang diperoleh dari pengalaman selama hidupnya (nurture). Pengalaman yang kemudian disimpan dalam memori otak akan dimanfaatkan untuk merespon informasi yang diterima panca indera. Dalam teori perilaku terencana, pengetahuan akan menentukan niat seseorang untuk melakukan suatu tindakan. Lama tinggal di wilayah rawan bencana gunung api memberikan waktu seseorang memahami lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Semakin lama seseorang tinggal di suatu wilayah, maka dia akan semakin memahami karakteristik lingkungannya. Tinggal di wilayah rawan bencana selama bertahun-tahun akan memberikan pemahaman tentang karakteristik tandatanda bencana gunung api, baik tanda-tanda alam maupun tanda-tanda yang ditampilkan oleh perilaku masyarakat yang tinggal di wilayahnya. Perubahan akan tanda-tanda alam juga telah merubah keyakinan terhadap mitos-mitos bahkan terhadap keyakinan yang ada pada diri seseorang. Perubahan lingkugan fisik, seperti semakin berkurangnya flora dan fauna di wilayah Gunung Merapi telah menyebabkan berkurangnya peran alam dalam memberikan tanda-tanda bencana gunung api. Berkomunikasi dengan masyarakat yang tinggal di wilayah rawan bencana gunung api telah membentuk pola hubungan yang mengarah kepada pembagian peran dalam penanganan bencana. Kelompok lanjut usia sebagai kelompok rentan bencana akan mendapat perhatian dan diprioritaskan untuk ditangani terlebih dahulu pada saat bencana. Pola yang demikian dan berlangsung secara berulang menumbuhkan sikap pasrah para lanjut usia pada situasi bencana, sehingga terdapat kecenderungan kelompok masyarakat tersebut tidak melakukan aktivitas komunikasi bencana. Hasil penelitian juga menunjukkan sikap pasif masyarakat disebabkan karena masyarakat berpikir untuk mempermudah dalam penangan bencana. Hal tersebut sesuai dengan teori perilaku terencana, dimana norma subyektif akan mempengaruhi seseorang untuk berniat melakukan atau tidak melakukan sesuatu tindakan. Bungin (2008) mengutip dalam tulisan Sukanto yang menjelaskan mengenai definisi masyarakat sebagai sekelompok manusia yang hidup dan bekerjasama sudah cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan
98 jelas. Dengan memperhatikan penjelasan tersebut perilaku yang ditampilkan oleh masyarakat merupakan refleksi dari batas-batas yang berlaku di wilayah tersebut. Penguasaan Media Komunikasi Penguasaan media menjadi faktor paling menentukan untuk manfaat komunikasi. Hasil uji SEM memperlihatkan nilai pada standarized loading factor tertinggi dibanding faktor lain yang dianalisa yaitu 0.59. Dengan demikian penguasaan media juga merupakan faktor penentu utama yang tidak langsung berpengaruh terhadap kesiapan menghadapi bencana. Namun demikian hasil uji juga memperlihatkan pengaruh tidak langsung langsung dan negatif dari penguasaan media komunikasi terhadap kesiapan menghadapi bencana gunung api dengan nilai pada standarized loading factor -0,19 lebih kuat dibandingkan dengan pengaruh penguasaan media komunikasi terhadap manfaat komunikasi. Fakta ini mengisaratkan semakin beragam media komunikasi yang dimiliki oleh masyarakat memiliki kecenderungan berpotensi menurunkan tingkat kesiapan masyarakat menghadapi bencana gunung api. Dari penjelasan di atas dapat dimaknai penguasaan media komunikasi harus diarahkan untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada pengguna, yaitu untuk mengetahui informasi terkini, memelihara jaringan, memperluas hubungan, menambah pengetahuan maupun untuk menambah pendapatan. Dengan demikian akan mendorong pada kesiapan menghadapi bencana dan menurungkan risiko terdampak bencana gunung api. Keterampilan Penggunaan Media Komunikasi Kebutuhan berkomunikasi dengan partisipan komunikasi bencana mengharuskan seseorang menggunakan media komunikasi sebagai sarananya. Bentangan luas dalam komunikasi bencana memerlukan media yang dapat membantu seseorang terhubung dengan partisipan komunikasi bencana. Memahami karakteristik setiap media komunikasi dan keterampilan dalam memanfaatkan media tersebut membantu seseorang untuk berkomunikasi secara efektif dan efisien. Bencana identik dengan ketidakpastian dan kecepatan perubahan, baik perubahan lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Lingkungan fisik, seperti kerusakan jaringan komunikasi, menyebabkan beberapa media komunikasi tidak berfungsi. Oleh sebab itu keterampilan penggunaan media komunikasi menjadi persyarakat mutlak untuk kesiapan menghadapi bencana. Mengacu pada konsep kesiapan (readiness) Armenakis, keterampilan penggunaan media komunikasi menjadi satu bagian yang vital seseorang siap untuk menghadapi bencana gunung api. Sesuai hasil analisis SEM, keterampilan penggunaan media komunikasi merupakan faktor penentu utama dalam model komunikasi risiko kesiapan menghadapi bencana gunung api setelah penguasaan media komunikasi. Hal tersebut bermakna penurunan keterampilan dalam penggunaan media akan menurunkan pengaruhnya terhadap manfaat komunikasi dan secara tidak langsung juga akan menurunkan kesiapan menghadapi bencana gunung api. Tingkat keterampilan yang semakin tinggi berarti semakin beragam media komunikasi yang digunakan, semakin beragam informasi yang diakses, dan semakin sering melakukan kegiatan bermedia.
99 Persepsi terhadap Partisipan Persepsi terhadap partisipan menggambarkan luasnya hubungan masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api dengan partisipan komunikasi bencana. Ketidakpastian situasi, keberagaman permasalahan dan lamanya penanganan bencana memerlukan campur tangan banyak pihak dengan beragam latar belakang. Masyarakat harus mampu membangun dan memelihara komunikasi dengan banyak pihak. Tantangan terbesar dalam komunikasi risiko kesiapan menghadapi bencana gunung api adalah bagaimana komunikasi awal dapat memberikan efek kemudahan untuk berkomunikasi pada masa yang akan datang. Dengan kata lain persepsi terhadap partisipan yang semakin baik, dapat diartikan sebagai kemampuan masyarakat dalam membangun dan memelihara komunikasi sekaligus seberapa besar harapan masyarakat terhadap partisipan komunikasi dalam penanganan bencana gunung api. Hasil analisis model memberikan gambaran persepsi terhadap partisipan berpengaruh positif terhadap manfaat komunikasi. Meskipun bukan menjadi faktor penentu yang memiliki pengaruh besar terhadap manfaat komunikasi bila dibandingkan dengan faktor lain, namun kedudukannya dalam komunikasi kesiapan menghadapi bencana gunung api tetap penting. Intervensi Media Budianto (2011) mengatakan media massa akan memberikan gambaran realitas berbagai obyek sosial kepada masyarakat luas. Gambaran yang salah tentang suatu realitas akan menimbulkan reaksi yang salah dari masyarakat. Hal tersebut tidak terlepas dari fungsi media massa sebagai jendela informasi, cermin yang merefleksikan suatu kondisi apa adanya, sebagai filter fenomena mana yang perlu mendapat prioritas perhatian, sebagai forum untuk menampilkan gagasan atau ide-ide dan sebagai partner komunikasi yang memungkinkan terjadinya komunikasi di masyarakat. Dalam model komunikasi risiko kesiapan menghadapi bencana gunung api memperlihatkan intervensi media sebagai salah satu faktor yang berpengaruh terhadap manfaat komunikasi. Pengaruh tersebut lebih besar bila dibanding persepsi terhadap partisipan. Media massa berperan sangat besar dalam pendistribusian informasi kepada masyarakat yang lebih luas, keluar dari batas wilayah bahkan keluar dari batas negara. Sesuai fungsinya, media massa akan membantu masyarakat luas untuk mengetahui perkembangan kondisi di wilayah rawan bencana. Masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api akan sangat terbantu dalam menginformasikan kondisi yang berkembang di wilayahnya. Pada akhirnya media massa dalam bencana akan menjadi penggerak masyarakat luas untuk lebih fokus perhatiannya kepada kondisi di wilayah rawan bencana untuk merencanakan berbagai tindakan yang mungkin diperlukan apabila bencana benar-benar terjadi. Memperhatian reflektor/indikator dalam intervensi media, terlihat masyarakat yang memperhatikan acara dialog dan himbauan merupakan masyarakat yang dapat memanfaatkan komunikasinya lebih baik, dan secara tidak langsung akan lebih siap berkomunikasi dalam menghadapi bencana gunung api.
100 Manfaat Komunikasi Model komunikasi risiko kesiapan menghadapi bencana gunung api memperlihatkan nilai pengaruh yang sangat tinggi dari manfaat komunikasi terhadap kesiapan menghadapi bencana gunung api. Hal tersebut bermakna bahwa masyarakat dalam berkomunikasi hendaknya diarahkan untuk memperoleh berita terkini, membangun dan mempertahankan hubungan, meningkatkan pengetahuan, maupun diarahkan untuk mendukung perekonomian. Kegiatan komunikasi, termasuk dalam pemanfaatan media, tidak hanya digunakan untuk hiburan atau sekedar mengisi waktu luang, namun harus mengembangkan diri agar mampu berinteraksi dengan partisipan yang lebih luas. Hampir seluruh reflektor memperlihatkan nilai tinggi pada standarized loading factor, bahkan untuk reflektor memperoleh berita terkini bernilai 0,91, yang berarti kemampuan masyarakat dalam mempertahankan hubungan akan mempengaruhi kesiapan menghadapi bencana gunung api. Hasil penelitian ini memperlihatkan pentingnya mempertahankan hubungan dan selalu memperoleh berita terkini akan menentukan kesiapan menghadapi becana gunung api. Faktor Lingkungan Faktor lingkungan banyak mendukung kesiapan menghadapi bencana. Hasil uji menunjukkan faktor lingkungan memiliki pengaruh nyata terhadap manfaat komunikasi dan kesiapan menghadapi bencana, dimana pengaruh faktor lingkungan terhadap manfaat komunikasi lebih besar dibanding pengaruh faktor lingkungan terhadap kesiapan menghadapi bencana. Tabel 54 Hasil analisis pengaruh faktor lingkungan terhadap manfaat komunikasi dan faktor lingkungan terhadap kesiapa menghadapi bencana Regresi
R
R square
Sig.
Koefisien regresi
Faktor lingkungan – Manfaat komunikasi
0,519
0,269
0.000*
0,334
Faktor lingkungan – Kesiapan menghadapi bencana
0,260
0,068
0,000*
0,221
Aktivitas budaya yang dihadiri oleh masyarakat menjadi media efektif untuk komunikasi. Keberadaan lembaga pemerintah seperti BPPTKG dan BPBD secara bersama-sama dengan lembaga swadaya masyarakat memberikan pendidikan dan pelatihan kepada masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api. Masyarakat telah merasakan dengan kebersamaan informasi akan mudah diperoleh, mudah berkoordinasi, saling memahami, dan saling bantu. Adanya lembaga penanggulangan bencana berbasis masyarakat seperti Pasag Merapi telah menjadi arena berkumpulnya berbagai kelompok masyarakat di sekeliling Gunung Merapi. Keterpaduan budaya dan teknologi dalam bentuk penyebarluasan kegiatan Pasag Merapi di media sosial turut mempermudah proses komunikasi kesiapan menghadapi bencana. Sosialisasi arti penting menghargai alam ditunjukkan dengan kegiatan budaya sedekah gunung yang mendorong masyarakat agar memahami gejala alam agar dapat hidup berdampingan dengan Gunung Merapi. Dua hal yang dapat
101 dicapai dalam satu kegiatan adalah pelestarian budaya dan penyebarluasan informasi kesiapan menghadapi bencana. Menjadi sulit apabila pembahasan dilakukan secara terpisah-pisah, hal tersebut disebabkan satu kegiatan akan bersinggungan dengan kegiatan lainnya. Kegiatan dialog yang dilakukan oleh instansi pemerintah dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, maupun komunikasi di ruang publik menjadi media yang efektif untuk pertukaran informasi. Rasa kekeluargaan yang ditunjukkan dengan kehangantan saat berkomunikasi, dan kebersahajaan dengan dialog tidak di tempat-tempat tertentu, sudah lazim dilakukan oleh relawan komunikasi kebencanaan.
Gambar 21
Tabisma, Tabungan Siaga Bencana di Dusun Deles (sumber : Jalin Merapi)
Hubungan yang sudah lama dijalin antara masyarakat dengan Gunung Api telah membentuk kearifan lokal seperti lembaga keuangan berbasis masyarakat, yaitu tabungan siaga bencana (Tabsina) di dusun Deles sebagai upaya antisipasi bencana Gunung Merapi yang diperuntukkan biaya angkut ternak dan biaya saat di pengungsian. Adanya kegiatan Tabsina telah menjadi jembatan komunikasi diantara warga masyarakat di wilayah rawan bencana. Sarana prasarana jalan menjadi faktor penting yang mendukung kesiapan menghadapi risiko bencana gunung api. Jalur evakuasi menjadi prasarana vital bagi masyarakat. Hal tersebut disampaikan oleh tokoh masyarakat di wilayah Gunung Merapi. Adanya benturan kepentingan antara masyarakat di wilayah Gunung Merapi dan para penambang pasir memerlukan komunikasi yang lebih intensif di antara pemangku kepentingan.
102 Simpulan Dari uraian hasil penelitian dapat disimpulkan hal sebagai berikut : 1. Secara umum masyarakat memiliki kesiapan menghadapi bencana gunung api yang cukup baik. Dengan pengetahuan tentang bencana yang baik masyarakat mampu membedakan informasi yang benar dan yang tidak benar. 2. Dari perspektif komunikasi, Wukirsari (R3) sebagai wilayah terdampak awan panas dan mengalami kerusakan paling parah memiliki tingkat kesiapan menghadapi bencana gunung api paling rendah. Masyarakat masih sangat khawatir apabila mendengar informasi isyarat bencana. Sementara itu masyarakat Dukun (R1) memiliki tingkat kesiapan menghadapi bencana paling baik, terutama terkait kegiatan komunikasi dengan pihak lain. Sementara itu laki-laki lebih memiliki ketenangan dibanding perempuan apabila ada informasi isyarat bencana. Pada saat terdengar isyarat bencana, perempuan lebih mengutamakan keluarga, sementara laki-laki lebih menunggu arahan lebih lanjut 3. Penguasaan media komunikasi merupakan faktor yang menentukan manfaat komunikasi, dan menjadi faktor tidak langsung penentu kesiapan menghadapi bencana gunung api. 4. Penguasaan media komunikasi yang merupakan faktor penentu untuk manfaat komunikasi, sebaliknya secara langsung akan memberikan pengaruh tidak nyata dan negatif terhadap kesiapan menghadapi bencana gunung api. 5. Manfaat komunikasi merupakan faktor penentu kesiapan menghadapi bencana gunung api dengan nilai pada standarized loading factor sebesar 0.58
103
7 PEMBAHASAN UMUM Kesan yang Baik dan Mendalam Kesan merupakan perasaan atau pendapat tentang sesuatu atau seseorang yang dibentuk dari sedikit bukti (www.oxforddictionaries.com). Kesan baik, menyebalkan, menyenangkan, atau kesan lain terbentuk dari saat-saat pertama penerimaan stimulus. Seperti salah satu iklan parfum pria ―kesan pertama begitu menggoda...‖ menunjukkan bahwa saat-saat pertama berinteraksi merupakan saatsaat penting yang akan mempengaruhi perilaku berikutnya. Bertemu untuk pertama kalinya dengan seseorang diawali dengan ritual saling memperkenalkan diri. Perlu penjajagan beberapa waktu sampai tercipta suasana nyaman. Hubungan yang lebih dekat tentu akan dibangun dalam waktu yang lebih lama, mengingat ada proses evaluasi apakah hubungan yang terbentuk memberikan rasa nyaman dan memenuhi kebutuhan seseorang. Pengalaman bertemu dengan para relawan yang sekaligus sebagai penggiat radio komunitas dan pemerhati komunikasi di Jogjakarta, proses pendekatan tidak perlu berlangsung lama, sebab pertemuan pertama disuguhi dengan perasaan dekat yang seolah telah kenal sangat lama. Perbedaan jarak tampaknya tidak terlihat pada saat pertemuan pertama. Simbol-simbol kedekatan, seperti merokok dan berbagi rokok bersama, duduk di lantai bersama, makan bersama, dan bahkan untuk pergi ke beberapa tempat diantar oleh kawan-kawan baru saya. Bertemu untuk pertama kalinya sudah ditawari untuk menginap di rumah teman-teman baru yaitu para relawan dan penggiat radio komunitas, atau tidur di ―markas‖ mereka dengan beralaskan tikar atau kasur yang sudah lusuh yang sepertinya sudah ditiduri oleh banyak orang sebelum saya. Penerimaan yang begitu mengesankan menumbuhkan kedekatan yang cepat. Apa yang saya rasakan juga dirasakan oleh informan dalam penelitian ini yang juga sebagai tamu di lingkungan relawan dan penggiat radio komunitas. Kesan yang baik begitu melekat di dalam memori otak. Hal tersebut terlihat saat berkunjung ke Bandung, bercerita tentang teman-teman baru di Yogyakarta. Menangkap suasana lingkungan dapat dijadikan sebagai titik awal penilaian terhadap aktivitas orang-orang yang tinggal di dalam lingkungan tersebut. Ekspresi yang kita tampilkan di hadapan mereka akan memberikan efek kesan mereka terhadap kita. Upaya untuk cepat melebur dalam kebiasaa mereka akan mempercepat proses pendekatan yang akan memudahkan proses komunikasi berikutnya. Penguasaan Media Komunikasi Komunikasi dalam kesiapan menghadapi bencana melibatkan partisipan yang luas, yaitu partisipan di lingkungan tempat tinggal dan partisipan di luar lingkungan/wilayah rawan bencana gunung api menuntut penguasaan media komunikasi yang beragam. Disamping itu penguasaan media komunikasi juga harus didukung oleh keterampilan warganya dalam menggunakan media tersebut, sehingga ketersediaan sarana komunikasi dapat digunakan secara optimal.
104 Namun demikian perlu diperhatikan bahwa penguasaan media komunikasi justru akan memberikan pengaruh negatif kepada kesiapan menghadapi bencana gunung api apabila tidak diarahkan untuk memberikan manfaat kepada penggunanya secara komprehensif yaitu untuk memperoleh informasi atau berita terkini, memelihara jaringan, memperluas hubungan, menambah pengetahuan maupun untuk menambah pengetahuan. Pentingnya Keterpaduan Komunikasi Tradisional dan Modern Teknologi komunikasi dan informasi berkembang sangat pesat, namun peran komunikasi tradisional, yaitu tatap muka tetap menentukan keberhasilam dalam komunikasi risiko kesiapan menghadapi bencana alam gunung api. Keterlibatan emosional, dalam perspektif ritual komunikasi menurut Hamad (2013) dilakukan untuk memelihara kebersamaan dan solidaritas komunitas. Selanjutnya disebutkan komunikasi ritual penggunaan pesan adalah untuk berbagi, partisipasi, persahabatan, maupun memelihara keyakinan bersama. Dalam percakapan kolektif anggota kelompok akan lebih menghargai orang lain dan menumbuhkan rasa kebersamaan (Stefenel 2014). Persepsi terhadap orang berbeda etnis yang kurang baik akan mempengaruhi interaksi interpersonal (Kovalenko dan Surudzhii 2014). Selanjutnya persepsi tersebut terbentuk dari pengalaman sebelumnya. Jenis kelamin, umur, pendidikan dan tempat tinggal juga mempengaruhi tampilan dari efek lintas ras. Senada penjelasan di atas, hasil penelitian ini memperlihatkan persepsi terhadap sumber infomrasi menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi komunikasi risiko kesiapan menghadapi bencana gunung api. Namun demikian komunikasi tatap muka menuntut partisipan memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik, terutama dengan orang-orang di luar lingkungan terdekatnya. Tidak jarang komunikasi tatap muka yang melibatkan sekumpulan orang menjadi kurang efektif karena terdapat individu yang pasif dan tidak berani menyampaikan pendapatnya. Selain itu komunikasi tatap muka dibatasi oleh ruang yang sempit dan tidak dapat ditunda, waktu terbatas serta jumlah orang yang cenderung terbatas. Oleh sebab itu diperlukan media komunikasi yang dapat membantu partisipan berkomunikasi dalam ruang yang luas, waktu tidak terbatas serta jumlah partisipannya sangat fleksibel. Seseorang yang memiliki keterampilan dalam penggunaan media akan memiliki kesempatan lebih luas untuk akses informasi dan berkomunikasi dengan banyak pihak sehingga lebih siap menghadapi bencana. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian ini dimana keterampilan komunikasi merupakan faktor kedua paling menentukan setelah penguasaan media komunikasi. Sebagai contoh, keterhandalan media internet telah teruji mampu menyatukan orang-orang dari berbagai belahan dunia terhubung dalam satu jaringan. Internet mampu menghadirkan masa lalu ke masa kini dan dapat dinikmati oleh seluruh manusia pada jaman sekarang serta menjadi pelajaran bagi masyarakat pengguna internet. Namun secara keseluruhan terlihat bahwa penguasaan media komunikasi yang memberikan manfaat besar dalam komunikasi yang paling menentukan kesiapan menghadapi risiko bencana gunung api.
105 Pendekatan Budaya dalam Pengembangan Komunikasi Risiko Kesiapan Menghadapi Bencana Gunung Api Kebudayaan terdiri atas pola, bertingkah laki mantap, pikiran, perasaan, dan reaksi yang diperoleh dan terutama diturunkan oleh simbol-simbol yang menyusun pencapaiannya secara tersendiri dari kelompok-kelompok manusia, termasuk di dalamnya perwujudan benda-benda materi; pusat esensi kebudayaan terdiri dari tradisi, cita-cita atau paham, terutama keterikatan terhadap nilainilai. (Sulaeman 2012). Koentjoraningkrat membagi wujud kebudayaan dalam 3 wujud, yaitu (1) ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan dan sebagainya yang tidak kasat mata; (2) aktivitas berpola dari manusia dalam masyarakatnya; (3) benda-benda hasil karya manusia (Riswandi 2009). Mengembangkan komunikasi risiko kesiapan menghadapi bencana tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat, hal tersebut disebabkan karena luasnya ruang komunikasi yang melibatkan banyak aktor, organisasi, dan kelompok. Komunikasi risiko kesiapan menghadapi bencana menuntuk keterampilan yang tinggi dalam pemanfaatan media, kemampuan dalam komunikasi interpersonal, dan kecermatan dalam membaca situasi. Saat terjadi bencana diperlukan kecepatan, ketepatan dan keterbukaan, dengan kata lain komunikasi menghadapi bencana dilakukan spontan/otomatis. Untuk mencapai taraf otomatis/spontan dalam komunikasi bencana harus dilakukan secara intensif dan berkelanjutan hingga merasuk ke jiwa dan menjadi bagian dari perilaku sehari-hari masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api. Pergeseran Peran Media Komunikasi Tradisional Kentongan sebagai media tradisional tidak lagi banyak dimanfaatkan di wilayah rawan bencana gunung api. Seorang informan mengatakan ada pelarangan penggunaan kentongan, terutama pada saat terjadi bencana. Sejarah yang diteruskan dari generasi ke generasi memberikan informasi, saat terjadi bencana pada tahun-tahun lalu justru mengakibatkan korban yang lebih banyak. Hal tersebut disebabkan pada saat terjadi bencana masyarakat berupaya mendekati suara kentongan, namun ternyata bencana justru melewati wilayah dimana suara kentongan tersebut berasal. Atas dasar itu dari cerita yang diperoleh terdapat larangan penggunaan kentongan untuk info bencana. Informan lain mengatakan penggunaan kentongan dalam bencana tidak lagi menjadi media utama, kentongan digunakan ―sak kobere‖ atau apabila sempat. Adanya instansi yang bertugas melakukan pendeteksian terhadap isyarat bencana gunung api dengan peralatan modern menyebabkan masyarakat merasa lebih tenang dalam menghadapi bencana. Masyarakat dapat mengakses perkembangan status Gunung Merapi setiap saat, sebab BPPTKG selaku instansi yang melakukan pengawasan terhadap perkembangan status Gunung Merapi senantiasa mempublikasi hasil pengamatanya kepada masyarakat melalui media twitter. Informasi tersebut selanjutnya diteruskan secara berantai oleh para follower. Dengan cara tersebut informasi menyebar secara luas dan cepat. Informasi yang disajikan lebih mudah dipahami oleh masyarakat karena selain dengan kalimat, juga dengan gambar yang diambil setiap saat oleh petugas.
106 Tabel 55 Irama kentongan dan maknanya Makna Keadaan aman Keadaan siap/ waspada
Irama ----V---(Doro muluk) 00.00.00 dst.
Kejahatan khusus
000.000.000 dst.
Kejahatan besar
0000000.0-00000000.0000000.0
Bencana alam
0000000000 (titir/gobrok)
Kematian
-----V-----,-----V----(2xDoro muluk)
Keterangan Keadaan aman/ aman kembali Kemungkinan terjadi bencana alam/kejahatan Keadaan mencurigakan/ samarsamar Mempersiapkan diri Ternak hilang, alat komunikasi hilang, ada pencurian biasa/ ringan Perampokan, pencurian dengan perlawanan, pembegalan/ penjambretan, pembunuhan, Banjir biasa/ lahar dingin, angin topan, kebakaran, tanah longsong, gunung meletus, ada binatang buas Ada orang meninggal
Terlepas dari pesatnya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, nilainilai yang terkandung dalam warisan budaya, seperti kentongan, perlu dikomunikasikan dari generasi ke generasi. Setiap media memiliki sejarah penciptaannya. Kentongan sebagai salah satu media komunikasi banyak dipakai di masjid, kelurahan, pos keamanan lingkungan, dan di rumah jagabaya atau petugas keamanan lingkungan. Pada perkembangannya kentongan tidak hanya berfungsi sebagai media komunikasi telah meluas menjadi barang seni sebagai pakangan atau sebagai alat musik. Perkembangan yang baik dalam penggunaan kentongan bertolak belakang dengan pemanfaatan kentongan untuk tanda-tanda bencana. Pentingnya kentongan sebagai media komunikasi ditunjukkan dengan keluarnya Instruksi Gubernur DI Yogyakarta No. 5/INST/1980 tanggal 26 Mei 1980 tentang tanda bunyi kentongan (Sumiyati 2007). Adapun irama kentongan dan maknanya sebagaimana Tabel 55. Peran Komunikasi Semakin Besar dalam Menghadapi Bencana Gunung Api Peran komunikasi dalam kesiapan menghadapi bencana semakin diperlukan. Kegiatan yang berhubungan dengan peningkatan kemampuan masyarakat dalam mengelola informasi sering dilakukan, tidak hanya di lingkungan pemerintah dan lembaga penyiaran, akan tetapi juga kepada masyarakat luas. Selain kesadaran atas keterbatasan dari setiap lembaga, baik pemerintah maupun non pemerintah dalam memberikan informasi dan memberikan pemahaman tentang bencana kepada masyarakat, peran masyarakat dalam memberikan informasi yang cepat dan akurat akan membantu masyarakat memperoleh infomrasi terkini yang benar. Kemampuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) memberikan peluang penggunanya mempublikasi kegiatannya melalui internet. Visualisasi kegiatan yang terekam menggunakan TIK telah memberikan pengaruh kepada pengakses. Banyaknya foto yang diunggah oleh situs tertentu merupakan salah satu bukti yang dapat digunakan untuk melihat betapa visualisasi menjadi sesuatu yang menarik untuk dinikmati.
107 Komunikasi Keluarga Keluarga merupakan sistem sosial terkecil. Setiap anggota dalam keluarga memiliki peran masing-masing. Hasil penelitian memperlihatkan adanya karateristik yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dalam kesiapan menghadapi bencana gunung api. Perbedaan karakteristik tersebut harus disikapi dengan perilaku komunikasi yang mengarah kepada kesiapan keluarga dalam menghadapi bencana gunung api. Perempuan dalam keluarga harus mampu memberikan informasi tentang kebutuhan domestik dalam kesiapan menghadapi bencana kepada seluruh anggota keluarga, demikian pula dengan laki-laki yang cenderung memperoleh informasi yang lebih cepat dan lebih banyak, harus mengkomunikasikan kepada seluruh anggota keluarga berbagai informasi yang dapat meningkatkan kesiapan menghadapi bencana. Semakin lengkap dan semakin terbarukan informasi yang tersebar di dalam lingkungan keluarga pada akhirnya akan meningkatkan kesiapan keluarga dalam menghadapi bencana gunung api. Apabila perilaku tersebut tersebar pada lingkungan yang lebih luas, maka masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api akan semakin siap untuk menghadapi bencana. Strategi Komunikasi untuk Kesiapan Menghadapi Bencana Gunung Api Memperhatikan hasil pengujian model komunikasi risiko kesiapan menghadapi bencana dimana penguasaan dan keterampilan penggunaan media komunikasi, serta manfaat komunikasi sebagai faktor penentu kesiapan menghadapi bencana, maka beberapa hal yang bias dimaknai adalah ― - Penguasaan media komunikasi menjadi sangat penting dalam komunikasi risiko kesiapan menghadapi bencana. Keberagaman media komunikasi yang dikuasai memungkinkan masyarakat dapat mengakses informasi darai berbagai sumber informasi sekaligus melakukan pengujian atas kebenaran informasi yang diterima. - Penguasaan media komunikasi harus diarahkan untuk memberikan manfaat komunikasi secara komprehensif atau tidak parsial. - Keterampilan merupakan salah satu syarat kunci agar seseorang siap menghadapi bencana. Komunikasi bencana tidak dapat hanya mengandalkan komunikasi tatap muka. Kebutuhan akan intervensi dari luar mengharuskan warga yang berada di wilayah rawan bencana gunung api harus membangun dan memelihara komunikasi dengan partisipan yang berada di luar wilayahnya. - Intervensi media dapat dimaknai sebagai simbol keterbukaan. Masyarakat dapat mengakses informasi dengan mudah, membangun keperayaan publik, serta member ruang kepada masyarakat luas untuk melakukan control terhadap aktivitas yang dilakukan oleh partisipan. Bencana berdampak pada masyarakat luas, untuk memulihkannya diperlukan biaya sangat besar dan waktu peulihan sangat lama. Pendekatan bantuan secara personal jelas tidak mungkin, kecuali yang dilakukan oleh sanak keluarga masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api yang tinggal jauh dari tempat tinggal. Oleh sebab itu pendekatan untuk meningkatkan kesiapan menghadapi bencana harus dilakukan melalui pendekatan kelompok dengan tetap memperhatikan budaya setempat.
108 Masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api kurang menyukai kegiatan komunikasi dalam suasana formal. Informan mengatakan, upaya menjaring pendapat masyarakat apabila dilakukan pada forum resmi, di dalam ruangan yang telah diatur sedemikian rupa seperti tempat duduk partisipan dan masyarakat sebagai partisipan, sulit terbangun adanya dialog. Masyarakat kurang memiliki kepercayaan diri (pekewuh) untuk menyampaikan pertanyaan ataupun pendapat. Menjaring pendapat warga akan lebih efektif apabila dilakukan dalam suasana tidak formal dan semi formal. Berkomunikasi dalam ruang publik, bertamu, bercakap-cakap di warung kopi, lesehan dan ruangan lain yang mampu menumbuhkan suasana kebersamaan dan terkesan tidak ada jarak antara partisipan dan masyarakat. Membangun Kepercayaan dalam Komunikasi Risiko Kesiapan Menghadapi Bencana Gunung Api Komunikasi yang dilakukan perwakilan dari masyarakat/kelompok dan organisasi terkait diarahkan untuk membangun saling percaya di antara mereka. Strategi yang diterapkan menggunakan komunikasi tatap muka dan bermedia. Strategi tersebut dimaksudkan agar komunikasi tetap berjalan secara berkesinambungan. Seperti yang disampaikan Lang, Fewtrell, dan Bartram (2001) meskipun komunikasi risiko sebagian besar dijutukan dalam manajemen situasi, komunikasi risiko merupakan bagian dari proses yang berkelanjutan. Kepercayaan kepada sumber dalam komunikasi risiko terbentuk dari pengalaman abadi kepercayaan dari waktu ke waktu. Selanjutnya disebutkan kepercayaan mencakup aspek kompetensi, objektivitas, keadilan, konsistensi, dan iman. Dengan kata lain keyakinan ini didasarkan pada catatan masa lalu yang baik. Seseorang akan mengubah sikap dan perilaku apabila percaya kepada partisipan. Oxford dictionary dan Specer L, Spencer S (1993) menjelaskan kompetensi merupakan ciri seseorang yang membedakan seseorang dengan orang lain, yang mempengaruhi efektivitas kinerja orang tersebut dalam suatu pekerjaan atau situasi. Race dalam Triwiyatno (2014) mendefinisikan kompetensi sebagai kemampuan untuk melakukan tugas secara memadai. Kompetensi mengintegrasikan keterampilan, nilai pribadi dan pengetahuan. Kompetensi dibangun di atas pengetahuan dan keterampilan serta diperoleh melalui pengalaman kerja dan belajar dengan praktek. Hal tersebut bermakna seorang wakil kelompok ataupun wakil organisasi harus mampu menampilkan jati dirinya sesuai peran yang dijalankan, masing-masing harus menunjukkan bahwa dirinya mampu memimpin anggotanya secara baik sehingga tercipta suasana hubungan yang baik di dalam kelompok atau organisasi yang dipimpinnya.
109
Gambar 22 Keterpaduan saluran komunikasi dalam komunikasi Risiko kesiapan menghadapi bencana gunung api*) Beberapa sumber mendefinisikan obyektif sebagai pengungkapan akan sesuatu secara aktual, sesuai bukti, sesuai dengan keadaan sebenarnya, dan tidak dipengaruhi pendapat, selera atau pandangan pribadi. Dengan kata lain obyektif dapat disetarakan dengan nilai kejujuran. Keadilan artinya tidak berpihak, dalam mengambil keputusan didasarkan atas kriteria yang ada, sesuai dengan hak dan kewajiban. Sementara konsistensi identik dengan sikap. Artinya untuk hal yang sama maka reaksinya akan sama, atau untuk stimulus yang sama akan ditanggapi dengan perilaku yang sama. Sebuah sistem akan berjalan dengan biak bila sub sistemnya memberikan kepastian bahwa apa yang akan dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsinya. Untuk dipercaya seseorang harus memiliki keimanan, yaitu segala sesuatu didasarkan atas nilai-nilai Ketuhanan. Seseorang harus memiliki keyakinan bahwa apa yang dilakukannya akan dipertanggungjawabkan kepada Tuhan, setiap perilakunya akan diketahui Tuhan. Keyakinan tersebut akan mendorong seseorang bekerja hanya untuk Tuhan, senantiasa menjunjung tinggi kebenaran, keadilan, selalu termotivasi membantu orang lain sebagai wujud keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pendorong dan Penghambat Komunikasi Risiko Kesiapan Menghadapi Bencana Gunung Api Seseorang akan melakukan atau tidak akan melakukan sesuatu di masa yang akan datang didasarkan atas evaluasinya terkait apa yang akan dilakukannya. Nasrudin et.al. (2013) mencontohkan kesiapan seseorang untuk menggunakan transportasi ramah lingkungan mempertimbangkan perbedaan antara kendaraan yang digunkaan saat ini dan sarana transportasi yang ditawarkan dari aspek kenyamanan dalam mengendarai atau menfaatkannya dan simbol status. Dalam komunikasi risiko kesiapan menghadapi bencana faktor pendorong dan penghambat komunikasi disajikan pada Tabel 56.
110 1. Seseorang yang merasa ikut bertanggung jawab atas keselamatan diri dan orang lain mendorong orang untuk melakukan komunikasi risiko kesiapan menghadapi bencana. Berusaha menenangkan warga yang terpengaruh oleh informasi yang belum pasti, mencari informasi jalur evakuasi, tempat mengungsi, mencari dan mendapatkan sumber-sumber bantuan merupakan perwujudan rasa tanggung jawab atas keselamatan bersama. Rasa tanggung jawab mendorong seseorang lebih aktif berkomunikasi, sebaliknya pemikiran ―sudah ada yang mengurusi‖ menjadikan seseorang cenderung pasif dan pasrah dengan keadaan. 2. Pengetahuan merupakan hal yang menyenangkan, oleh sebab itu orang akan tertarik dengan hal-hal baru. Perubahan karakteristik bencana, perubahan lingkungan fisik maupun lingkungan sosial menarik untuk diperhatikan dan dibicarakan. Diskusi kelompok tentang perubahan-perubahan lingkungan memunculkan gagasan-gagasan baru. Pengetahuan tentang peraturan perundan-undangan akan membantu masyarakat memahami hak dan kewajiban sebagai warga Negara. Tabel 56
Faktor pendorong dan penghambat komunikasi risiko kesiapan menghadapi bencana gunung api Pendorong
Penghambat 1. Merasa bertanggungjawab atas 1. Merasa sudah ada yang keselamatan bersama bertanggung jawab mengurusi 2. Kesadaran akan perubahan karakteristik 2. Merasa di wilayah aman bencana, bencana dapat sewaktu-waktu menimpa 3. Peran dapat dijalankan sesuai kemampuan 4. Memahami manfaat media komunikasi 5. Media komunikasi dapat membantu meningkatkan pendapatan (sebagai barang modal) 6. Teknologi itu menyenangkan
3. Merasa memiliki keterbatasan 4. Media komunikasi tidak mendukung kegiatan sehari-hari 5. Merasa tidak mampu membeli
6. Teknologi dinilai sulit dioperasionalkan 7. Senang berkomunikasi dengan berbagai 7. Minder/tertutup kalangan 8. Alam selalu berubah dan harus senantiasa dipelajari 9. Kesadaran peluang akan muncul dengan melakukan komunikasi
8. Merasa sudah paham dengan situasi lingkungan 9. Menerima keadaan
Sumber : hasil penelitian 3. Setiap manusia diberikan kelebihan dan kekurangan. Dengan kelebihan itu masyarakat dapat memanfaatkan untuk berbagai hal positif, membangun kepercayaan diri dengan berperanserta dalam kegiatan penurunan risiko bencana. Warga yang banyak berpikir tentang kekurangannya akan menjadi minder dan cenderung membatasi komunikasi dengan warga lainnya. komunikasi risiko kesiapan menghadapi bencana gunung api menuntuk masyarakat berkomunikasi dengan banyak pihak. Persoalan pengurangan risiko bencana sangat beragam dan membutuhkan partisipasi seluruh
111
4.
5.
6.
7.
8.
masyarakat. Oleh sebab itu selalu terbuka peluang untuk berperan dalam penurunan risiko bencana. Media komunikasi berkembang sangat pesat dan menawarkan berbagai kelengkapan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan penggunanya. Media komunikasi tidak sebatas dimanfaatkan untuk bertukar informasi, tapi juga untuk hiburan dan simbol status. Teknologi telah menggabungkan media komunikasi sekaligus media informasi, yaitu dapat dimanfaatkan untuk pengolahan data, menikmati gambar, tulisan maupun suara sehingga dapat berfungsi sebagai media kerja dan media belajar. Media komunikasi telah dimanfaatkan dalam banyak bidang, termasuk bidang usaha. Media komunikasi pada akirnya bukan sekedar alat pertukaran pesan tetapi menjadi barang modal yang menguntungkan penggunanya. Beragamnya fitur yang tersedia memungkinkan seseorang melakukan transaksi dimana saja, kapan saja dan dengan siapa saja. Transaksi perbankan, pembelian online, peluang kerja, harga komoditas pertanian, teknologi tepat guna, teknologi pengolahan hasil pertanian dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan nilai tambah dari usaha yang dijalankan. Dunia dalam genggaman, sebuah gambaran teknologi komunikasi dan informasi yang memberikan kesempatan penggunanya mengakses informasi dari seluruh dunia. Menonton pertandingan sepak bola, mendenganrkan lagu, bermain, atau sekedar dijadikan topik pembicaraan dengan teman merupakan kesenangan yang diperoleh dari media komunikasi. Memasukkan gambar pengalaman saat berpetualang, foto keluarga dan foto diri saat ini sudah lazim dilakukan oleh pengguna media komunikasi. Kesenangan-kesenangan tersebut mendorong orang untuk memanfaatkan media komunikasi dan meningkatkan keterampilannya dalam bermedia. Memahami karakter orang, menemukan orang dengan hobi sama, memiliki ketertarikan sama atau memiliki idealisme sama adalah hal yang menyenangkan. Berkomunikasi dengan publik figure atau orang-orang dengan latar belakang budaya berbeda menjadi pengalaman tidak terlupakan. Mengenal seseorang tidak harus dilakukan dengan tatap muka, komunikasi melalui media sosial menjadi alternatif yang banyak digunakan untuk mengenal orang-orang dari berbagai kalangan. Komunikasi akan memunculkan gagasan-gagasan brilian yang ditangkap sebagai peluang. Berbicara tentang batik, tentang pasir, tentang salak, warung internet, pendakian, atau apapun yang menjadi topik pembicaraan bagi orang yang kreatif dapat dijadikan peluang usaha maupun peluang kerja sama. Kemampuan melihat dan mendapatkan peluang usaha melalui kegitan berkomunikasi mendorong seseorang aktif berkomunikasi dengan berbagai pihak.
Dukungan Teori Perilaku Terencana Dalam teori perilaku terencana faktor yang berpengaruh terhadap niat seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu adalah sikap, norma subyektif, dan penguasaan atas sumberdaya, dimana ketiganya masing-masing tidak berdiri sendiri-sendiri. Penelitian ini menemukan fakta dimana penguasaan media akan memberikan pengaruh negatif terhadap kesiapan menghadapi bencana apabila tidak memperhatikan aspek manfaat komunikasi. Apabila penguasaan media komunikasi melalui aspek manfaat komunikasi sehingga pengaruhnya akan menjadi positif terhadap kesiapan menghadapi bencana gunung api.
112 Namun demikian dalam teori perilaku terencana hal perlu mendapat perhatian untuk lebih diperdalam adalah adanya faktor karakteristik individu yang berhubungan dengan perilaku komunikasi. Beberapa hasil analisa dalam penelitian ini memperlihatkan adanya hubungan antara lama tinggal, tingkat pendidikan dan jenis kelamin dengan perilaku komunikasi, termasuk didalamnya penguasaan media komunikasi. Dalam teori perilaku terencana Ajzen tidak secara eksplisit memasukkan karakteristik individu menjadi bagian dari hal yang mendorong seseorang memiliki niat untuk melalakukan suatu tindakan. Beberapa kajian menguatkan penjelasan tersebut dimana obyek penelitian adalah sekelompok orang dengan karakteristik terentu, seperti kelompok dewasa muda/umur (Koo dkk. 2014), pelajar (Kilic dan Kasap 2014), gender (Karimi dkk. 2013), dan petani (Li et.al. 2013). Oleh sebab itu untuk menggunakan teori perilaku terrencana perlu memperhatikan karakteristik individu sebagai faktor yang akan turut berpengaruh terhadap niat seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Alam Membentuk Perilaku Manusia Penelitian ini dilakukan di tiga wilayah yang berbeda terdampak bencananya, dan antara satu wilayah dengan lainnya dipisahkan oleh wilayah lain. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan perilaku komunikasi masyarakatnya dalam menghadapi bencana gunung api. Karakteristik responden masyarakat di ketiga wilayah juga berbeda, baik dalam pekerjaan maupun pendidikan. Keberadaan Gunung Merapi sejak dahulu telah menjadi pusat pertumbuhan kebudayaan. Banyaknya candi-candi di sekitar wilayah Merapi merupakan salah satu bukti adanya kebudayaan masa lampau. Keberadaan keraton Solo dan Yogya, serta berkembangnya pusat-pusat pendidikan telah menjadi magnit bagi masyarakat dari sluruh dunia yang datang baik sebagai turis maupun untuk menimba ilmu. Pendaki, ilmuwan, budayawan, komunitas penggemar mobil/motor petualangan datang ke wilayah Merapi dan berinteraksi dengan masyarakat setempat. Kesan yang membekas di sanubari orang-orang yang pernah berkunjung ke Merapi menjadi pengikat tidak yang menghubungkan masyarakat luas dengan masyarakat yang tinggal di wilayah Merapi. Kondisi tersebut menjadi alasan banyak pihak untuk memperhatikan kondisi Merapi, terutama setelah TV banyak menyiarkan berita tentang merapi pada saat aktivitas Gunung Merapi mulai meningkat.
113
8 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan di Indonesia telah dirasakan oleh masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api dengan tingkat pendidikan yang semakin baik. Namun demikian kesempatan pendidikan belum sepenuhnya merata untuk warga laki-laki dan perempuan, terutama dalam hal mengikuti pendidikan menengah. Perbedaan kesempatan mengikuti pendidikan berdampak pada kesempatan bekerja di sektor formal bagi warga laki-laki lebih besar dibanding perempuan. Wilayah rawan bencana gunung api yang sebagian besar untuk pertanian akan mengalami kekurangan tenaga kerja mengingat ada kecenderungan masyarakat dengan pendidikan lebih tinggi akan memilih bekerja di sektor formal. Hasil penelitian juga menemukan fakta bahwa warga perempuan di wilayah rawan bencana telah banyak yang mengambil peran ganda, yaitu peran domestik mengurus rumah tangga dan peran sebagai pencari nafkah. Dalam perspektif komunikasi, kerentanan dapat dilihat dari perilaku komunikasinya, yaitu keterampilan dalam pemanfaatan berbagai media komunikasi untuk akses informasi terutama informasi kebencanaan. Karakteristik lingkungan tempat tinggal memiliki keterkatian dengan keterampilan komunikasi masyarakat yang tinggal di dalamnya. Demikian pula karakteristik individu, yaitu lama tinggal di wilayah rawan bencana, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan memiliki hubungan dengan keterampilan penggunaan media komunikasi. Penting untuk diperhatikan bahwa perempuan, para lanjut usia, dan masyarakat yang berpendidikan rendah cenderung lebih rentan terdampak bencana. Efektivitas komunikasi merupakan pencapaian tujuan dari komunikasi yang dilakukan oleh dua orang atau lebih berupa kesamaan pemahamam atas sebuah informasi. Oleh sebab itu dalam komunikasi risiko, seseorang harus memiliki tujuan dalam berkomunikasi, sehingga kegiatan komunikasinya akan memberikan manfaat secara optimal yaitu untuk memperoleh berita terkini, mempertahankan hubungan, memperluas pergaulan, menambah pengetahuan maupun untuk meningkatkan pendapatan. Dalam penelitian ini diperoleh fakta yaitu masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi cenderung lebih banyak memperoleh manfaat komunikasi risiko bencana. Hal tersebut terkait dengan perilaku komunikasi yang lebih baik ditunjukkan oleh masyarakat dengan pendidikan sebih tinggi. Komunikasi risiko menghadapi bencana gunung api melibatkan penggunaan beragam media komunikasi, macam informasi maupun partisipan dari berbagai kalangan. Kegiatan komunikasi yang dilakukan masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api diarahkan kepada manfaat yang dapat menurunkan tingkat kerentanan dalam kesiapan menghadapi bencana. Dari berbagai faktor yang dianalisa menunjukkan penguasaan media komunikasi merupakan faktor yang paling menentukan untuk memperoleh manfaat komunikasi dan kesiapan menghadapi bencana gunung api. Namun demikian penguasaan media yang tidak didasari atas kesadaran dan pemahaman tentang manfaat komunikasi justru akan menurunkan tingkat kesiapan menghadapi bencana gunung api.
114 Dalam kesiapan menghadapi bencana gunung api, peran anggota keluarga dalam bencana telah terbentuk secara alami, dimana peran laki-laki lebih banyak dalam urusan luar, sedangkan perempuan urusan domestik. Hal tersebut menyebabkan laki-laki lebih mudah dalam mengakses media komunikasi yang bergerak/portable dibanding perempuan, disamping itu laki-laki cenderung lebih tenang dalam menghadapi bencana. Berdasar hal tersebut harmonisasi peran lakilaki dan perempuan sangat diperlukan dalam menghadapi bencana, sebab keluarga sebagai suatu sistem terkecil, tidak berfungsinya salah satu sub sistem dapat meningkatkan risiko terdampak bencana gunung api. Masyarakat telah menyesuaikan diri dalam penggunaan media komunikasi untuk berbagi informasi bencana. Media tradisional, seperti kentongan yang sebenarnya potensial sebagai media yang efektif di saat-saat krisis, kini tidak lagi menjadi media yang banyak dipakai oleh masyarakat untuk sistem informasi bencana. Perubahan alam telah berdampak pada perubahan akan tanda-tanda bencana gunung api. Masyarakat tidak lagi mengandalkan tanda-tanda alam untuk mendeteksi adanya bencana dan lebih bergantung pada informasi dari lembaga pemerintah yang menangani bencana gunung api. Dengan memperhatikan berbagai temuan hasil penelitian maka strategi yang harus dikembangkan untuk meningkatkan kesiapan masyarakat menghadapi bencana gunung api terutama diarahkan kepada penguasaan berbagai media komunikasi yang dibarengi dengan peningkatan kesadaran tentang manfaat komunikasi untuk kesiapan menghadapi bencana gunung api. Aspek lain yang harus diperhatikan adalah masyarakat diarahkan untuk memiliki hubungan yang baik dengan partisipan dalam komunikasi risiko bencana gunung api. Pemeliharaan hubungan, memperluas jaringan, menambah pengetahuan, selalu memperbaharui informasi, serta memanfaatkan media untuk komunikasi terkait peningkatan pendapatan menjadi faktor penting untuk kesiapan menghadapi bencana gunung api. Saran Berdasar hasil penelitian, beberapa saran disampaikan sebagai berikut : 1. Pemeritah mendorong masyarakat untuk memberikan kesempatan yang sama kepada anggota keluarganya, baik laki-laki maupun perempuan, untuk mengikuti pendidikan yang lebih tinggi. 2. Pembinaan komunikasi risiko bencana gunung api harus memperhatikan karakteristik wilayah rawan bencana dan faktor demografi. 3. Pemerintah agar meningkatkan kesadaran masyarakat akan arti penting manfaat komunikasi dalam kesiapan menghadapi becana gunung api, yaitu untuk memperoleh informasi terkini, memelihara hubungan, memperluas pergaulan, meningkatkan pengetahuan maupun untuk meningkatkan pendapatan masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api. 4. Pemerintah mendorong penguasaan beragam media komunikasi oleh masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api dengan menekankan kesadaran tentang manfaat media komunikasi tersebut. 5. Masyarakat perlu senantiasa diberikan pengetahuan aktual tentang bencana, seperti perubahan karakteristik bencana, termasuk pembagian peran dalam
115 komunikasi risiko kesiapan menghadapi bencana antara laki-laki dan perempuan. 6. Mengupayakan agar flora dan fauna berkembang baik di wilayah rawan bencana gunung api sehingga alam akan kembali memberikan manfaat dalam beruapa tanda-tanda bencana kepada masyarakat. 7. Mempertahankan dan memanfaatkan kearifan lokal terkait isyarat bencana yang sudah mulai ditinggalkan seperti kentongan dan isyarat perilaku flora dan fauna, sebagai materi pembelajaran informasi bencana kepada masyarakat. 8. Penelitian ini dilakukan dari perspektif masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api dan tidak menggambarkan perilaku komunikasi masyarakat yang menjadi jembatan dalam informasi bencana maupun masyarakat pemerhati yang berada di luar wilayah rawan bencana.
116 DAFTAR PUSTAKA Adrirachman 2013. Sejarah-gunung-indonesia. [Internet]. [Diunduh 2013] tersedia pada : Adrirachman.blogspot.com. Ahmed M 2013. Community based approach for reducing vulnerability to natural hazards (cyclone, storm surges) in coastal belt of Bangladesh. Procedia Environmental Sciences 17 ( 2013 ) 361 – 371. [Internet]. Tersedia pada : www.sciencedirect.com Andika N, Madjid I. 2012. Analisis Pengaruh Sikap, Norma Subyektif dan efikasi Diri terhadap Intensi Kewirausahaan pada Mahasiswa Fakultas Ekonomi Syiat Kuala. Eco-Entrepreneurship Seminar dan Call for Paper "Improving Performance by Improving Environment" 2012. Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Semarang [Internet] . Tersedia pada : http://manajemen.unnes.ac.id Anwar ZM. 2011. Perempuan, Bencana Alam dan Ancaman Kemiskinan di Yogyakarta. Yogyakarta (ID): IRE Armenakis AA, Harris SG, Mossholder KW. 1993. Creating Readiness for Organizational Change. [Internet]. Tersedia pada Sage.com Asgary A, Anjum MI, Azimi N. 2012. Disasters Recovery and Business Continuity after the 2010 Flood in Pakistan: Case of Small Bussineses. Elseiver Ltd. [Internet]. Tersedia pada www.sciencedirect.com Atkinson RL, Atkinson RC, Hilgard ER 1983. Pengantar Psikologi. Taufiq N, penerjemah. Jakarta (Id). Penerbit Erlangga Ajzen I, 1991. The Theory of Planed Behavior. Organizational Behavior and Human Decision Processes. University of Massachusetts at Amherst. Massachusetts (US): Academic Press. Inc. Azwar S 2007. Metode Penelitian. Yogyakarta (ID). Pustaka Pelajar [BNPB] Badan Nasional Penanganan Bencana, 2007. Pengenalan Karakteristik Bencana dan Upaya Mitigasinya di Indonesia. Jakarta [ID]: Bakornas PB. [BNPB] Badan Nasional Penanganan Bencana, 2010. Rencana Nasional Penurunan risiko Bencana 2010-2014 (Lampiran Peraturan Kepala Badan Nasioonal Penurunan risiko Bencana No. 3 Tahun 2010 tanggal 12 Januari2010). [BAPPENAS] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dan [BNPB] Badan Nasional Penurunan risiko Bencana. 2011. Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana Erupsi Gunung Merapi Provinsi DI Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah tahun 2011-2013.Jakarta [ID]: BAPPENAS dan BNPB. [BAPPENAS] Badan Perencanaan Pembanguna Nasional. Diunduh 11 Nopember 2014. Kerentanan (Vulnerability). [Internet]. Tersedia pada http://kawasan.bappenas.go.id/index.php?option=com_contentdanview=arti cledanid=65danItemid=64 Baran SJ 2003. Introduction to Mass Communication. (USA) McGrawHill. [BBC]. British Broadcasting Corporation 2010. Korban Merapi naik, 40 ribu mengungsi. [Internet]. Tersedia di : http://www.bbc.co.uk/indonesia. Budianto H, 2011. ―Profokasi Media” di Daerah Rawan bencana. Ishak A, Junaedi F, Budi S, Prabowo A, editor. Dari buku Komunikasi Bencana. Yogyakarta (ID) : ASPIKOM
117 Bungin B 2006. Metodologi Penelitian Kuantitatif Komunikasi, Ekonomi dan Kebijakan Publik serta Ilmu-iomu Sosial Lainnya. Jakarta (ID). Prenada Media Grup. Bungin B 2008. Sosiologi Komunikasi. Jakarta [ID]. Prenada Media Grup Chandra A, 2011. ―Problematika Komunikasi dan Posisi Ilmu Komunikasi dalam Dinamika Perkembangan Manajemen Bencna di Indonesia” di Daerah Rawan bencana. Ishak A, Junaedi F, Budi S, Prabowo A, editor. Dari buku Komunikasi Bencana. Yogyakarta (ID) : ASPIKOM Coombs WT. 2009. Conceptualizing Crisis Communication. Robert LH, Dan OHH, Editor. Handbook of Risk and Crisis Communication. Halaman 99118. New York (USA). Routledge [Dephut] Departemen Kehutanan 2014. [Internet]. Diunduh 9 Juli 2014. Tersedia di http://www.dephut.go.id/uploads/INFORMASI/TN%20INDOENGLISH /TN_GnMerapi.htm. DeVito AJ. 2011. Komunikasi Antar Manusia. Banten [ID]: Kharisma. Eiser JR, Bostrom A, Burton I, Johnston DM, McClure J, Paton D, Pligt JVD, White WP. 2012. Risk interpretation and action: A conceptual framework for responses to natural hazards. International Journal of Disaster Risk Reduction 1 (2012) 5–16. [Internet] diunduh 19 Juli 2014. Tersedia pada : www.elsevier.com/locate/ijdrr. Eriyanto, 1998. Ilmu Sistem. Bogor (ID); IPB Press Farlex 2000, The American Heritage® Dictionary of the English Language, Fourth Edition copyright ©2000 by Houghton Mifflin Company. Updated in 2009. Published by Houghton Mifflin Company. All rights reserved. [Internet]. Tersedia pada http://www.thefreedictionary.com/amused. Fischhoff B, Brewer NT, Downs JS. 2011. Communicating Risk and Benefit. (US): FDA French W, Bell C, Zawacki R, 2005. Organization Development and Transformation : Managing Effective Change. TATA McGraw-Hill.6yh Edition. Hale JL, Householder BJ, Greene KL. 2002. Theory of Reason Action. Dillar JP dan Pfau M, eEditor. The Persuation Handbook Development in Theory and Practioce. Sage Publication Inc. Hanneman GJ, McEver WJ. 1976. Communication Behavior. Massacusset (USA): Addison Wesley Publishing Company Harjadi P, Ratag MA, Karnawati D, Rizal S, Surono, Sutardi, Triwibowo, Sigit H, Wasiati A, Yusharmen, Pariatmono, Triutomo S, Widjaja BW, Amri R. 2007. Pengenalan Karakteristik Bencana dan Upaya Mitigasinya di Indonesia. Triutomo S, Widjaja B, Amin RM. Jakarta (ID): Direktorat Mitigasi Lakhar BAKORNAS PB Havrylets YD, Tukaiev SV, Rizun VV, Makarchuk MY 2013. Comparative Analysis of the Effects of Negative and Neutral TVNews Stories. Procedia Social and Behavioral Sciences 82 ( 2013 ) 421 – 425. [Internet]. Tersedia pada : www.sciencedirect.com Heath RL dan O’Hair HD, 2009. The Significance of Crisis and Risk Communication. Heath RL dan O’Hair HD, editor. Dalam Handbook of Risk and Crisis Communication. New York (US) : Routledge.
118 Hamad I 2013. Komunikasi untuk Kehidupan dalam Komunikasi dan Perilaku Manusia. Hamad I Penerjemah. Diterjemahkan dari Communication and Human Behavior. Jakarta (ID): PT. Rajagrafindo Persada Ichwanudin,1998. Hubungan Perilaku Komunikasi Peserta Kelompok Penggerk Pariwisata dengan Program Sapta Pesona di Kabupaten Sukabumi. [Tesis]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor Idrus M 2009. Metode Ilmu Sosial. Jakarta (ID) : Penerbit Erlangga Inandiak ED, Dono H 2010. Merapi Omahku. Yogyakarta (ID) : Babad Alas Ivancevic JM, Konopaske R, Matteson MT 2006. Perilaku dan Manajemen. Gania G, Penerjemah. Dari buku Organizational Behavior and Management, Seventh Edition. Jakarta (ID): Penerbit Erlangga. Jahi A. 1993. Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan. Jakarta (ID): PT. Gramedia Pustaka Utama Jalin Merapi. 2010. Relawan Berbagi. Nazarudin dkk (Editor). Yogyakarta (ID) : Jalin Merapi Kabupaten Sleman. 2010. Jumlah Korban Meninggal Bencana Erupsi Merapi per Tanggal 2 Desember 2010 mencapai 277 orang. [Internet]. Tersedia pada : http://www.slemankab.go.id/1677 Karimi S et.al. 2013. Understanding role models and gender influences on entrepreneurial intentions among college students. Social and Behavioral Sciences 93 ( 2013 ) 204 – 214. [Internet]. Diunduh 25 Juli 2014. Tersedia pada : www.sciencedirect.com. Keesing RM 1974. Theories of Culture. Institute of Advanced Studies, Australian National University Canberra A.C.T., Australia. [Internet]. Diunduh 26 Juni 2014. Tersedia pada http://luci.ics.uci.edu/..... 03.100174.000445.pdf. Kilic DS, Kasap MY 2014. Survey for describing students’ smoking behavior. Social and Behavioral Sciences 116 ( 2014 ) 298 – 302. [Internet]. Diunduh 25 Juli 2014. Tersedia pada : www.sciencedirect.com. Kim YC dan Kang J. 2010. Communication Neighbourhood Belonging and Household Hurricane Preparedness. New Jersey (US): Blackwell Publishing. [Internet]. Tersedia pada : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ pubmed/19878261 King LA 2010. Psikologi Umum Buku 1. Marwensdy B, penerjemah. Jakarta (ID) : Salemba Humanika Kiousis S. 1999. Public Trust or Mistrust? : Perception of Media Credibility in the Information Age. Austin (US) : University of Texas. [Internet]. Tersedia pada : http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1207/ S15327825MCS 0404_4#.VDNNefmSyuI Koentjoronigrat 1981. Pengantar Ilmu Antropologi. Bandung (ID) : Rineka Cipta Koo KE, Nurulazam MDA, Rohaida MZS, Teo TG, Salleh Z. 2014. Examining The Potential Of Safety Knowledge As Extension Construct For Theory Of Planned Behaviour : Explaining Safety Practices Of Young Adults At Engineering Laboratories And Workshops. Social and Behavioral Sciences 116 ( 2014 ) 1513 – 1518. [Internet]. Diunduh 25 Juli 2014. Tersedia pada : www.sciencedirect.com. Kovalenko A, Surudzhii M 2014. Cross-race Effect: the Role of Social and Individual Faktors in Face Recognition Process. Procedia - Social and
119 Behavioral Sciences 114 ( 2014 ) 136 – 140. [Internet]. Diunduh 21 Juli 2014. Tersedia pada www.sciencedirect.com. Kriyantono R 2009. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta (ID) : Kencana Lang S, Fewtrell L, Bartram J 2001. WHO. Risk Communication [Internet]. Diunduh Juli 2014. Tersedia pada : http://www.who.int/foodsafety/ micro/ riskcommunication/en/. Lawang RMZ. 2005. Kapital Sosial dalam Perspektif Sosiologik. Jakarta (ID): Fisip UI Press. Li X, Li H, Wan X 2013. Farmer’s willingness to convert traditional houses to solar houses in rural areas: A survey of 465 households in Chongqing, China. Energy Policy 63 (2013) 882 –886. [Internet]. Diunduh 25 Juli 2014. Tersedia pada : www.elsevier.com/locate/enpol. Littlejohn SW dan Foss KA. 2011. Teori Komunikasi Edisi 6. Jakarta (ID) : Salemba Humanika. Martínez AJ, Miscione G, Zuidgeest MHP, Maarseveen MFAM 2012. Using Social Network Analysis to profile people based on their e-communication and travel balance. Journal of Transport Geography 24 (2012) 111–122. [Internet]. Tersedia pada : www.e lsevier. com /lo cate/jtrangeo Maslow A, 1993. Motivasi dan Kepribadian. Teori Motivasi dengan Pendekatan Hierarkhi Kebutuhan Manusia. Jakarta (ID): Midas Surya Grafindo. McGhee PE 2014. Use Your Amuse System to Boost Your Immune System Humor Your Tumor. [Internet]. Diunduh 1 April 2014. Tersedia pada : www.LaughterRemedy.com. Muhammad A. 2000. Komunikasi Organsasi. Jakarta (ID): Bumi Aksara Mustofa H. 2011. Perilaku Manusia dalam Perspektif Psikologi Sosial. Jurnal Administrasi Bisnis Volume 7 No. 2. [Internet]. Bandung (ID) : Center for Business Studies, FISIP Upbar. Tersedia pada : repository.upi.edu Nasrudin N, Nor ARM, Nor HM, Abdullah YA 2013. Urban Residenst’ Awarnerss and Readiness for Sustainable Transportation Case Study : Shah Alam, Malaysia. Procedia-Soscial and Behavioral Science 105 (2013) 632643. [Internet]. Diunduh 19 Juli 2014. Tersedia pada : www.sciencedirect.com. Nivolianitou Z,, Synodinou B. 2011. Towards Emergency Management of Natural Disasters and Critical Accidents: The Greek Experience. Sciencedirect. Volume 92, Issue 10, October 2011, Pages 2657–2665. [Internet]. Tersedia pada : www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21729822 Notoatmodjo S, 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta [ID] Rineka Cipta. Osatuy B, 2013. Information sharing on social media sites. Computers in Human Behavior 29 (2013) 2622–2631. [Internet]. Tersedia pada : www.elsevi er.com /locate/comphumbeh Palenchar MJ, 2009. Historical Trends of Risk and Crisis Communication. Heath RL dan O’Hair HD, editor. Dalam Handbook of Risk and Crisis Communication. New York (US) : Routledge. Pramana T. 2011. Manajemen Risiko Bisnis. Surabaya (ID) : CV. Solusi Distribusi.
120 Panggalo F. 2013. Perilaku Komunikasi Antar Budaya Etnik Toraja dan Bugis Makassar di Kota Makassar. [Internet]. Tersedia pada : repositoryunhas.ac.id. Quero RA. 2012. Reframing Coordination Challenges for Public-Provat Partnership in Disaster Preparedness. Manila (PH) : Management and Organisation Department, De La Salle University, 2410Taft Ave., Malate, Manila 1008. [Internet]. Tersedia pada : http://www.sciencedirect.com/ science/article/pii/S187704281204671X Rafferti AE. Jimmieson NL, dan Armenakins AA, 2013. Changes Readiness : a Multy Level Review. [Internet]. Tersedia pada : www.sagepublication Rahayu, 2001. Sikap. [Internet]. Tersedia pada : file.upi.edu/Direktori/FIP Renn O. 2009. Risk Communication : Insight and Requirement fo Designing Succesfull Communication Programs on Health and Environmental Hazards. Strategies for Overcoming Challenges to Effective Risk Communication. Robert L Heath, H Dan O’Hair (edt.). New York (US) : Routledge. Renn O dan Levine D, 1991. Credibility and Trust in Risk Communication. RE Kasperson and PJM Stallen (edt.). Communication Risk to Public, 175-218. © 1991 Kluwer Academic Publishers. Printed in the etherlands. [Internet]. Tersedia pada : http://elib.uni-stutgart.de/opus/volltexte/2010/5477/ pdf/ren67.pdf ) Rianse U 2009. Metodologi Penelitian Sosial dan Ekonomi. Bandung (ID) : Alfabeta Riswandi 2009. Ilmu Komunikasi. Yogyakarta (ID): Graha Ilmu Rogers EM. 1993. Diffusion of Innovations. Ney York (USA) : The Free Press Rogers EM, Rogers RA. 1976. Communication in Organization, a Reference Handbook. William F, Eadie, editor. (UK) Routledge Rogers, Shoemaker. 1986. Memasyarakatkan Ide-ide Baru. Surabaya (ID): Usaha Nasional Rogers EM dan Kincaid DL, 1981. Communication networks: Toward a new paradigm for research. New York (US) : Free Press Rose A, Krausmann E 2013. An economic framework for the development of a resilience index for business recovery. International Journal of Disaster Risk Reduction 5 (2013)73–83. [Internet]. Diunduh 19 Juli 2014. Tersedia pada : www.elsevier.com/locate/ijdrr. Rowan KE, 2009. 21th Century Communication, a Reference Handbook. Edited by William F. Eadie. Sage Publication. Ruben BD dan Stewart LP, 2013. Komunikasi dan Perilaku Manusia. Hamad I, penerjemah. Jakarta (ID): PT. Rajagrafindo Persada. Terjemahan dari : Communication and Human Behavior (Fifth Edition) Saleh A, 2006. Tingkat Penggunaan Media Massa dan Peran Anggota Kelompok Peternak dalam Jaringan Komunikasi Penyuluh [Disertasi]. Bogor (ID) Institut Pertanian Bogor Saleh A, 2012. Tingkat Penggunaan Media Massa dan Peran Komunikasi. [Internet]. Tersedia pada : http://catatanamir13.blogspot.com/ Salim A 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta (ID) : Tiara Wacana Santoso S 2010. Teori-teori Psikologi Sosial. Bandung (ID) : Refika Aditama
121 Schramm W. 1993. Communication Development and Development Process, Princetone (US): Princeton University Press. [Internet]. Tersedia pada : http://library.princeton.edu/research/databases Singarimbun M dan Effendi S. 1995. Metode Penelitian Survei. Jakarta (ID) : Pustaka Solso RL, Maclin OH, Macil MK, 2007. Psikologi Kognitif. Jakarta (ID) : Penerbit Erlangga. Spencer, Lyle dan Spencer, Signe , 1993. ―Competence At Work : Model for Superior Performance‖. Canada (US) : John Wiley dan Son Inc. Springston JK.dkk. 2009. Influence Theories : Rethorical, Persuation, dan Information. Handbook of Risk and Crisis Communication. Routledge, UK. Stafford L. 2009. Spouse and Other Intimate Partnerships. Eadie WF. (Editor): 21st Century Communication a Reference Handbook. Los Angels (US): Sage Publication Stefenel D 2014. How much culture is in conflict communication? A crosscultural approach of two European countries. Procedia - Social and Behavioral Sciences 116 ( 2014 ) 2691 – 2696. [Internet]. Diunduh 20 Juli 2014. Tersedia pada : www.sciencedirect.com. Sulaeman M 2012. Ilmu Budaya Dasar. Bandung (ID): Refika Aditama Sumiyati F, 2007. Makna Lambang dan Simbol Kentongan dalam Masyarakat Indonesia. [Internet]. Tersedia pada : https://www.usd.ac.id/lembaga/lppm/ Sutton J, Palen L, Shklovski I, 2007. Back channels on the Front Lines: Emergent Uses of Social Media in the 2007 Southern California Wildfires. Proceedings of the 5th International ISCRAM Conference .– Washington, DC, USA, May. [Internet]. Tersedia pada : https://www.cs.colorado.edu/ ~palen/Papers/iscram08/BackchannelsISCRAM08.pdf Tansey J, Rayner S, 2009. Cultural Theory and Risk. Heath RL dan O’Hair HD, editor. Dalam Handbook of Risk and Crisis Communication. New York (US) : Routledge. Taufli. 2014. Metode Penelitian untuk Public Relation. [Internet]. Tersedia pada academia.edu Toomey ST, Oetzel JG 2003. Cross-Cultural Concern and Conflict Style. Gudykunst WB . Editor. Cross and Intercultural Communication. California [USA] Sage Publication Triwiyatno J. 2014. Upaya Peningkatan Kompetensi PNS Melalui Perubahan Pola Pikir. [Internet]. Diunduh 25 Juli 2014. Tersedia pada : http://pusdiklat.bkpm.go.id. [UN] United Nation 2014. [Internet]. Diunduh 28 Desember 2014. Tersedia di http://www.un.org/en/globalissues/humanitarian Vorderer P, 2011. It’s all entertainment—sure. But what exactly is entertainment? Communication research, media psychology, and the explanation of entertainment experiences. Elsevier Science B.V. All rights reserved. [Internet]. Tersedia pada : sciendirect.com Walgito B, 2003. Psikologi Sosial (Suatu Pengantar). Yogjakarta (ID) : Penerbit Andi. Weiner BJ. 2009. A Theoryof Organizational Readiness for Change. [Internet]. Tersedia pada : www.ncbi.nlm.nih.gov
122 West R, Turner LH 2009. Pengantar Teori Komunikasi Edisi 3. Setyaningsih N, Editor. Maer MND, penerjemah. Jakarta (ID) : Salemba Humanika WHO, 2014. Environmental health in emergencies. [Internet]. Tersedia pada http://www.who.int/environmental_health_emergencies/vulnerable_groups/ en/. Diunduh 11 Nopember 2014. Wijayanto SH. 2008. Structural Equation Model dengan Lisrel 8.8.Yogyakarta [ID]: Graha Ilmu. Winkel WS, 2007. Psikologi Pengajaran. Yogyakarta (ID) : Media Abadi. Wiryanto, 2000. Teori Komunikasi Massa. Jakarta (ID) : Grasindo Zahari RK, Ariffin RNA 2013. Community-Based Disaster Management in Kuala Lumpur. Procedia - Social and Behavioral Sciences 85 ( 2013 ) 493 – 501. [Internet]. 19 juli 2014. Tersedia pada www.sciencedirect.com. _____oxforddictionaries. [Internet]. Diunduh 25 Juli 2014. Tersedia pada : http://www.oxforddictionaries.com/definition/english/competence.
123
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 4 Desember 1968, anak ke-3 Bapak Sarwedi (almarhum) dan Ibu Sugijarti. Sekolah SMA di Sekolah Menegah Atas Negeri 1 Purwokerto lulus tahun 1987. Melanjutkan pendidikan Diploma 3 pada Jurusan Teknisi Usaha Ternak Unggas Fakultas Politeknik Pertanian Institut Pertanian Bogor hingga lulus pada tahun 1991. Jenjang S1 diselesaikan tahun 1997 pada Fakultas Ekonomi Universitas Gunadarma. Selanjutnya tahun 2005 lulus pendidikan S2 pada Magister Ekonomi dan Studi Pembangunan Universitas Diponegoro. Dari tahun 1993 sampai dengan saat ini bertugas di Inspektorat Jenderal Kementerian Pertanian. Sebagian dari disertasi ini telah diterbitkan secara online dan cetak di dua jurnal internasional dan satu jurnal nasional terakreditasi Dikti. Resident’s Communication Behavior in Three Disaster Prone Areas with Different Disaster Exposure terbit pada International Journal of Humanities and Social Science (www.ijhssnet.com). Use of Communication Media by People with Different Lengths of Stay in Volcanic Disaster Pron Areas terbit di Journal of Humanities and Social Science (www.ripublication.com). Perilaku Komunikasi Perempuan dan Laki-laki di Wilayah Rawan Bencana Gunung Api terbit di Jurnal Mimbar Universitas Islam Bandung (ejournal.unisba.ac.id).