Seminar Nasional IDEC 2014 ISBN: xxxx-xxxx Surakarta,20 Mei 2014
Model Kebijakan Distribusi Bantuan Dan Penentuan Jalur Evakuasi Korban Bencana Gunung Merapi Azizah Aisyati1, Aditya Respati2, Wakhid Ahmad Jauhari3 , Pringgo Widyo Laksono 3 1,2,3
Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret Jl. Ir Sutami 36 A Surakarta 57126 Telp: 0271-632110 Email :
[email protected],
[email protected],
[email protected]
ABSTRAKS Proses distribusi bantuan pada saat terjadinya bencana alam seperti, gunung meletus, gempa dan banjir menjadi faktor penting yang harus diperhatikan Pemerintah dan masyarakat yang terkait. Seringkali proses distribusi bantuan tidak direncanakan dengan baik, sehingga memunculkan beberapa masalah seperti pendistribusian bantuan yang tidak merata. Pada kasus meletusnya Gunung Merapi, didapati banyak pengungsi yang tidak mendapatkan bantuan padahal pasokan barang bantuan di gudang logistik masih tersedia cukup. Melihat kenyataan tersebut, proses pendistribusian bantuan perlu direncanakan dengan baik agar distribusi dapat berjalan dengan efisien dan setiap pengungsi mendapatkan bantuan sesuai kebutuhannya. Penelitian ini membahas tentang pengembangan model distribusi bantuan bencana dari gudang pemasok ke lokasi pengungsian. Tahapan penelitian diawali dengan melakukan karakterisasi sistem. Tahapan selanjutnya adalah proses pengembangan model matematis. Setelah model dikembangkan maka selanjutnya dikembangkan cara pencapaian solusi model. Tahap terakhir dari penelitian ini adalah analisis model dan penarikan kesimpulan. Model yang dihasilkan pada penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan kebijakan distribusi bantuan saat bencana yang meliputi: jumlah distribusi barang dari gudang pemasok ke barak permanen, jumlah distribusi barang dari barak permanen ke barak sementara dan alokasi pengungsi dari lokasi bencana ke barak sementara. Kata Kunci: Distribusi Bantuan, Evakuasi, Gunung Merapi, Barak Permanen, Barak Sementara
1. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak pada zona rawan bencana karena secara geologis terletak pada pertemuan tiga lempeng/kulit bumi aktif yaitu lempeng IndoAustralia, lempeng Euro-Asia, dan lempeng Pasifik yang bergerak dan saling bertumbukan sehingga menimbulkan jalur gempa bumi dan rangkaian gunung api aktif(BNPB, 2010). Secara historis letusan gunung api merupakan bencana yang menyebabkan timbulnya korban jiwa terbesar kedua di Indonesia setelah gempa bumi dan tsunami. Gunung Merapi merupakan salah satu gunung berapi yang paling aktif di Indonesia karena siklus meletusnya antara 2 sampai 7 tahun sekali. Gunung yang terletak di perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta ini memiliki potensi bahaya yang besar ketika meletus. Tercatat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada erupsi merapi tahun 2010 jumlah korban meninggal sebanyak 374 jiwa dan jumlah pengungsi sebanyak 279.702 jiwa. Bencana tersebut juga menyebabkan aktivitas warga yang terdampak letusan Merapi menjadi lumpuh dan menerima kerugian materi yang sangat besar. Perencanaan mitigasi yang efektif sangat diperlukan untuk meminimalisasi kerugian yang terjadi saat bencana Gunung Merapi.Mitigasi, menurut Undang - Undang Penanggulangan Bencana Nomor 24 Tahun 2007, merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana,
1
baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Selain itu, juga bertujuan untuk mengurangi dan mencegah risiko kehilangan jiwa serta perlindungan terhadap harta benda. Upaya perencanaan mitigasi pada letusan Gunung Merapi pada tahun 2010 tidak berjalan baik pada lokasi yang terdampak letusan Merapiterutama di wilayahKawasanRawanBencana III (KRB III) di Kabupaten Klaten seperti Desa Balerante, DesaPanggang, Desa Sidorejo, Desa Tlogowatu dan Desa Tegalmulyo. Upaya perencanaan mitigasi tersebut tidak berjalan baik dikarenakan adanya distribusi bantuan logistik yang belum memenuhi kebutuhan korban bencana letusan Gunung Merapi. Hal ini dibuktikan dengan adanya ketidak merataan distribusi bantuan terutama pada barak yang berlokasi di Bawukan dan sekitarnya. Jika hal ini terus berlanjut dan tidak terselesaikan maka akan timbul permasalahan seperti kelaparan dan penyakit. Dari permasalahan di atas perlu dibuat perencanaan mitigasi bencana yang sesuai untuk dapat memenuhi kebutuhan korban bencana letusan Merapi. Dalam usaha memenuhi kebutuhan korban bencana juga diperlukan adanya alokasi bantuan yang tepat dan sesuai agar distribusi merata dan tidak menumpuk di barak tertentu dengan criteria meminimalkan biaya evakuasi dan distribusi. Penelitian-penelitian yang terkait dengan aktivitas perencanaan mitigasi bencana di antaranya adalah penelitian Balcik dan Beamon (2008)denganmengembangkan model yang bertujuan memaksimasi manfaat yang bisa diberikan kepada individu yang terkena dampak bencana dengan menentukan jumlah dan lokasifasilitas. Azlia (2010) mengembangkan model yang bertujuanuntuk menentukan lokasi fasilitas gudang kesiapsiagaan untuk persiapan menghadapi bencana alam dengan mempertimbangkan kerentanan suatu wilayah terhadap bencana, pusat distribusi, serta jumlah persediaan tiap-tiap pusat distribusi yang didirikan.Nugraha dan Halim (2012) mengembangkan model untuk menentukan lokasi barak pengungsian, lokasi gudang pemasok barang bantuan serta cakupan pelayanannya dengan kriteria meminimumkan total biaya. Untuk menjawab solusi permasalahan yang ada, maka perlu dikembangkan model untuk menentukan alokasi evakuasi pengungsi dan distribusi bantuan ke lokasi barak pengungsian dengan criteria meminimalkan total biaya evakuasi dan distribusi sesuai dengan tingkatan status GunungMerapi. Pada penelitian ini akan mengembangkan model dasar dari Nugraha dan Halim (2012). Pada penelitian Nugraha dan Halim (2012) menghasilkan model untuk menentukan lokasi barak pengungsian, lokasi gudang pemasok barang bantuan serta cakupan pelayanannya dengan kriteria meminimumkan total biaya. Padap enelitian tersebut belum menyampaikan model yang sesuai dengan tingkatan aktivitas Gunung Merapi. Tingkatan Gunung Merapi dibagi menjadi 4 yaitu normal, waspada, siaga, dan awas. Status normal menandakan Gunung Merapi tidak ada gejala aktivitas magma. Status waspada menandakan adanya kenaikan aktifitasGunungMerapidiatas level normal. Status siaga menandakan Gunung Merapi sedang bergerak ke arah letusan atau menimbulkan bencana sedangkan status awas menandakan Gunung Merapi segera atau sedang meletus. Penanggulangan bencana letusan Gunung Merapi melibatkan dua tingkatan aktivitas Gunung Merapi yaitu pada tingkatan awas dan siaga serta pasca bencana karena ketiga situasi tersebut terjadi aliran distribusi logistic dan evakuasi pengungsi. Pengembangan model pada penelitian ini akan diterapkan pada tingkatan aktivitas gunung berapi siaga dan awas serta pasca bencana. 2. STUDI LITERATUR a) Humanitarian Logistics Humanitarian logistics atau emergency logistics menurut Thomas dan Kopczak (2005) dapat diartikan sebagai proses perencanaan, penerapan, pengawasan, pengendalian dan pengaliran maupun penyimpanan berbagai barang dan material maupun informasi yang efektif maupun efisien dari sisi biaya, dari titik asal hingga sampai ke titik penggunaan (oleh para korban bencana), dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan para pengguna tersebut. Kebutuhankebutuhan riil berikut ini di dalam kaitannya dengan logistik bencana: 1. Penentuan lokasi pusat distribusi bantuan maupun lokasi pengungsian sementara 2. Penentuan skema alokasi bantuan (baik berupa barang maupun tenaga medis/ paramedis) secara efektif dan efisien 3. Perancangan jaringan distribusi bantuan yang mampu meningkatkan kinerja pemberian bantuan di masa mendatang
2
4.
Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi di dalam membantu meningkatkan efisiensi dan efektivitas dari berlangsungnya tiga aktivitas pertama Thomas dan Kopczak (2005) mengemukakan alasan-alasan berikut mengenai pentingnya logistik bencana: 1. Logistik bencana amatlah krusial dalam kaitannya dengan efektivitas dan kecepatan respons dari program-program bantuan bencana, misalnya kesehatan, makanan, lokasi bagi para pengungsi, air, dan sanitasi 2. Penyediaan dan transportasi bantuan bagi korban bencana merupakan salah satu bagian paling mahal di dalam upaya-upaya pemberian bantuan; dan 3. Data yang tersimpan baik dari berlangsungnya logistik bencana amat berguna sebagai bahan kajian pasca-bencana. 2.2
Model Humanitarian Logistics Penelitian untuk menentukan lokasi fasilitas dan posisi persediaan telah dilakukan Balcik dan Beamon (2008). Penelitian mereka adalah mengembangkan model yang bertujuan memaksimasi manfaat yang bisa diberikan kepada individu yang terkena dampak bencana dengan menentukan jumlah dan lokasi pusat distribusi, serta jumlah persediaan tiap-tiap pusat distribusi yang didirikan. Dengan fungsi tujuan sebagai berikut :
(1) dimana : Probabilitas kejadian dari skenario bencana s Ps dsk : Demand barang jenis k yang dibutuhkan pada skenario bencana s wk : Berat kritis dari barang jenis k αlk : Tingkat cakupan berat fsjk : proporsi permintaan barang jenis k yang sesuai dengan pusat distribusi j dalam skenario bencana s Penelitian lain dilakukan oleh Nugraha dan Halim (2012) dengan mengembangkan model adalah untuk menentukan lokasi barak pengungsian, lokasi gudang pemasok barang bantuan serta cakupan pelayanannya dengan kriteria meminimumkan total biaya. Dengan fungsi tujuan sebagai berikut : =
+
+
( ( ))
(2)
dimana Vk : Jumlah penduduk pada lokasi bencana k (orang) Pi : Kapasitas gudang pemasok i (unit) Raij : Jarak antara lokasi gudang pemasok i ke barak pengungsian j (km) Rbkj : Jarak antara lokasi bencana k ke barak pengungsian j, (km) : Biaya untuk mendistribusikan 1 unit bantuan dari gudang pemasok i ke barak Ha pengungsian j (Rp/unit per km) Hb : Biaya untuk mengevakuasi 1 orang pengungsi dari lokasi bencana k ke barak pengungsian j (Rp/orang per km) Fj : Biaya untuk mendirikan barak pengungsian pada lokasi j (Rp) Uj : Kapasitas barak pengungsian yang akan didirikan pada lokasi j (orang) B : Kebutuhan bantuan untuk 1 orang pengungsi (1 unit/orang) Dengan variabel keputusan 1 jika barak pengungsian didirikan pada lokasi j Zj = 0 jika tidak
3
1
jika barak pengungsian j disuplai oleh gudang pemasok i
0
jika tidak
1
jika barak pengungsian j dipilih untuk mengevakuasi orang dari lokasi bencana k
0
jika tidak
Xij =
Ykj =
Dengan Pembatas ≤
∀ ∈ !, # ∈ $
(3)
= 1
∀ # ∈ $
(4)
=
∀ ∈ !
(5)
− * ≤ 0
∀ ∈ !
(6)
∈
∈
∈
( ( )) . . ≤ /
2 ≥ + − 1 2 ≤ 2 ≤ , , 2 = 60,17
∀ ∈ 0 ∀ ∈ !, # ∈ $, ∈ 0 ∀ ∈ !, # ∈ $, ∈ 0 ∀ ∈ !, # ∈ $, ∈ 0 ∀ ∈ !, # ∈ $, ∈ 0
c)
(7) (8) (9) (10) (11)
Gambaran Sistem Sistem pada manajemen bencana letusan Gunung Merapi sangat ditentukan oleh tingkatan status Gunung Merapi. Tingkatan status Gunung Merapi di bagi menjadi 4. Tingkatan yang pertama yaitu status normal dimana tidak ada gejala aktivitas tekanan magma dan penduduk masih bisa beraktivitas di Kawasan Rawan Bencana (KRB) Gunung Merapi. Tingkatan yang kedua yaitu status waspada, status initerdapat kenaikan aktivitas Gunung Merapi dengan adanya peningkatan aktivitas seismik dan kejadian vulkanis lainnya. Pada status waspada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) akan memberikan sosialisasi terhadap penduduk yang berada di kawasan rawan bencana agar penduduk mengetahui adanya peningkatan aktivitas Gunung Merapi. Tingkatan yang ketiga yaitu status siaga. Status siaga menandakan Gunung Merapi sedang bergerak ke arah letusan atau menimbulkan bencana. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) pada kondisi ini diwajibkan untuk menyiapkan sarana darurat seperti barak sementara untuk pengungsi. BPBD juga memberikan penyuluhan dan ajakan untuk mengungsi ke barak sementara yang sudah disiapkan agar resiko kerugian seperti kehilangan jiwa dan harta benda dapat berkurang. Tingkatan yang terakhir yaitu status awas menandakan Gunung Merapi segera atau sedang meletus. Letusan pembukaan dimulai dengan abu dan asap dan letusan berpeluang terjadi dalam waktu 24 jam. Tindakan yang dilakukan oleh BPBD adalah mengosongkan Kawasan Rawan Bencana terutama Kawasan Rawan Bencana III dan II karena kawasan tersebut sangat berpeluang menerima lava pijar dan awan panas. Selain itu BPBD juga memberikan koordinasi kepada pengungsi yang berada di Kawasan Rawan Bencana III dan II agar mengungsi ke barak permanen yang berada di luar kawasan rawan bencana. Untuk yang berada di kawasan rawan bencana I diharapkan untuk menjauh dari sungai agar tidak terkena banjir lahar dingin. Aliran distribusi bantuan logistik dan evakuasi juga dipengaruhi dari tingkatan status Gunung Merapi. Pada penelitian ini,distribusi bantuan logistik dan evakuasi difokuskan pada status siaga dan awas. Pada Tingkatan status Gunung Merapi siaga aliran distribusi bantuan logistik berawal dari sumbangan organisasi pemerintah, LSM, Masyarkat individual, perusahaan, dan luar negeri diterima dan dicatat oleh Badan Penangulangan Bencana Daerah (BPBD) sebagai gudang pemasok. Kemudian BPBD mengirimkan bantuan logistik ke barak permanen yang berada di luar
4
kawasan rawan bencana. Barak permanen akan menyimpan sebagian dari bantuan logistik tersebut sebagai stok dan sebagian mengirimkan ke barak sementara yang berada di kawasan rawan bencana I. Barak permanen tersebut dapat mengirimkan bantuan logistik ke berbagai lokasi barak sementara dengan memperhatikan kriteria jarak antar barak permanen dengan barak sementara yang paling dekat dan kapasitas bantuan logistik maksimal yang disesuaikan dengan kapasitas manusia dari barak sementara. Aliran evakuasi pada tingkatan status Gunung Merapi siaga berawal dari lokasi-lokasi bencana yang berada di kawasan rawan bencana III dengan penyuluhan dan sosialisasi dari BPBD maka diharapkan penduduk mengungsi ke barak sementara agar mengurangi resiko kerugian yang timbul dari bencana Gunung Merapi. Penduduk dapat memilih barak sementara dengan kriteria jarak terpendek antara tempat tinggal penduduk yang berada di lokasi bencana dengan barak sementara yang telah disiapkan dan kapasitas manusia maksimal yang bisa ditampung dalam barak sementara. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. AliranDistribusi Bantuan Logistik dan Evakuasi pada Status Siaga Keterangan : : Aliran distribusi bantuan logistik : Aliran evakuasi Pada Tingkatan status Gunung Merapi awas hampir sama dengan status Gunung Merapi siaga namun dengan adanya peningkatan tingkatan status Gunung Merapi maka diharapkan pengungsi mengevakuasi dari barak sementara ke daerah yang benar-benar aman yaitu pada barak permanen yang berada di luar kawasan rawan bencana. Barak permanen dapat menampung pengungsi dari beberapa barak sementara dengan memperhatikan kapasitas maksimal dari barak permanen. Sementara itu distribusi bantuan logistik dipusatkan ke barak permanen. Untuk lebih jelas bisa dilihat pada Gambar 2.
5
Gambar 2. AliranDistribusi Bantuan Logistik dan Evakuasi pada Status Awas Keterangan : : Aliran distribusi bantuan logistik : Aliran evakuasi
3. PENGEMBANGAN MODEL Penelitian ini mengembangkan model berdasarkan hasil dari penelitian Nugraha dan Halim (2012) yaitu dengan menambahkan satu tahap distribusi dan evakuasi dengan adanya barak permanen dan barak sementara. Barak permanen merupakan tempat penampungan akhir bagi pengungsi saat tingkatan Gunung Merapi pada status awas. Barak permanen berlokasi di daerah non KRB, didirikan oleh petugas BPBD berupa gedung beserta fasilitas yang berguna bagi pengungsi saat terjadinya letusan Gunung Merapi. Sedangkan barak sementara merupakan tempat penampungan sementara bagi pengungsi saat tingkatan Gunung Merapi pada status siaga dan pasca bencana.Barak sementara sebagian besar berlokasi di KRB III, didirikan oleh petugas BPBD berupa tenda-tenda penampungan yang memiliki sedikit fasilitas. Pada penelitian ini tingkatan status Gunung Merapi yang diamati adalah pada status siaga dan awas. a) Pengembangan Model pada Status Siaga Dilihat dari tingkatan Gunung Merapi pada status siaga. Formulasi awal untuk menentukan minimasi total biaya evakuasi dan distribusi adalah dengan menjumlahkan biaya evakuasi dari lokasi bencana ke barak sementara, biaya distribusi gudang pemasok ke barak permanen, dan biaya distribusi barak permanen ke barak sementara. 1) Biaya Evakuasi dari Lokasi Bencana ke Barak Sementara Biaya evakuasi pada status siaga diperoleh berdasarkan perkalian antara Biaya untuk mengevakuasi 1 orang pengungsi dari lokasi bencana ke barak sementara (Rp/orang per km), jarak tempuh terpendek yang dilalui pengungsi dari lokasi bencana ke barak sementara (km) dan jumlah pengungsi yang berevakuasi ke barak sementara (orang). Jika diketahui titik lokasi bencana adalah l dan titik lokasi barak sementara adalah k sedangkan jumlah penduduk pada lokasi bencana l adalah Vl , jarak antara lokasi bencana l ke barak sementara
6
k dan biaya evakuasi 1 orang pengungsi dari lokasi l ke barak sementara k adalah Hclk, maka kapasitas pengungsi yang dapat ditampung di barak sementara adalah : − * ≤ 0 ∈
= 60,17
Dimana : Uk K
∀# ∈ $
(12)
∀ 9 ∈ :
: Kapasitas barak sementara k (orang) : Jumlah barak sementara 1 jika barak sementara k dipilih untuk mengevakuasi Ylk = orang dari lokasi bencana l 0 jika tidak Total biaya evakuasi pada status siaga didapatkan model sebagai berikut : 2)
; ;
(13)
Biaya Distribusi dari Barak Permanen ke Barak Sementara Biaya distribusi dari barak permanen ke barak sementara pada status siaga diperoleh dengan mengalikan biaya untuk mendistribusikan 1 unit bantuan dari barak permanen j ke barak sementara k (Hbjk), jarak tempuh dari barak permanen ke barak sementara (Rbjk) dan jumlah penduduk yang mengungsi di barak sementara (Vl).
( ))
(14)
1
Jika barak sementara k disuplai barak permanen j
0
jika tidak
Xjk= Variabel keputusan Xjk ini juga harus menyesuaikan dari jumlah penduduk yang mengungsi ke masing-masing barak sementara.Sehingga dibutuhkan pembatas untuk menunjukan bahwa kebutuhan distribusi perunit harus sesuai dengan jumlah penduduk yang mengungsi ke barak sementara dan tidak boleh melebihi kapasitas barak permanen. ( ( )) . . ≤ /
dimana :
Pj B 3)
, = 60,17
∀ ∈ !
(15)
∀ ∈ !, # ∈ $, 9 ∈ :
: Kapasitas Barak Permanen j (unit) : kebutuhan bantuan untuk 1 orang pengungsi (unit/orang)
Biaya Distribusi dari Gudang Pemasok ke Barak Permanen Biaya distribusi dari gudang pemasok ke barak sementara pada status siaga diperoleh dengan mengalikan biaya untuk mendistribusikan 1 unit bantuan dari gudang pemasok ke barak permanen Haij, jarak tempuh dari gudang pemasok ke barak permanen Raij dan jumlah penduduk yang akan mengungsi di barak permanen Vl. Sehingga biaya distribusi dari gudang pemasok ke barak permanen pada status siaga dapat dimodelkan sebagai berikut :
( 2 ( ))
1
(16)
Jika barak permanen j disuplai gudang pemasok i
Zij = 0 jika tidak Batasan untuk menunjukan bahwa kebutuhan distribusi perunit harus sesuai dengan jumlah penduduk yang mengungsi ke barak permanen dan tidak boleh melebihi kapasitas gudang pemasok adalah:
7
( ( 2 ( ))) . . ≤ /
∀ ∈ 0
(17)
, 2 = 60,17 ∀ ∈ 0, # ∈ $, Keterangan : Pi : Kapasitas Gudang Pemasok i (unit) B : kebutuhan bantuan untuk 1 orang pengungsi (unit/orang) Jumlah penduduk yang mengungsi ke barak permanen dinotasikan
dengan
2 ( )). Dimana ∑ merupakan jumlah penduduk yang mengungsi ke barak sementara dan Wkjmerupakan variabel keputusan untuk menentukan barak permanen j dipilih untuk mengevakuasi orang dari lokasi barak sementara k. 1 jika barak permanen j dipilih untuk mengevakuasi Wkj= orang dari lokasi barak sementara k 0
Jika tidak
Dari ketiga komponen yang menyusun total biaya evakuasi dan distribusi digabungkan ke dalam satu fungsi tujuan. Min total biaya = biaya evakuasi dari lokasi bencana ke barak sementara + biaya distribusi barak permanen ke barak sementara + biaya distribusi gudang pemasok ke barak permanen Fungsi Tujuan =
; ;
+
( ))
+
( 2 ( ))
(18)
Pembatas − * ≤ 0
∀# ∈ $
( ( 2 ( ))) . . ≤ /
∀ ∈ 0
∈
( ( )) . . ≤ /
2 , , , = 60,17
∀ ∈ !
∀ ∈ 0 , ∈ !, # ∈ $, 9 ∈ :
b) Pengembangan Model pada Status Awas Formulasi awal untuk menentukan minimasi total biaya evakuasi dan distribusi tingkatan Gunung Merapi pada status awas adalah dengan menjumlahkan biaya evakuasi dari barak sementara ke barak permanen dan biaya distribusi gudang pemasok ke barak permanen. 1) Biaya Evakuasi dari Barak Sementara ke Barak Permanen Biaya evakuasi pada status awas diperoleh berdasarkan perkalian antara biaya untuk mengevakuasi 1 orang pengungsi dari barak sementara ke barak permanen Hdjk , jarak tempuh terpendek yang dilalui pengungsi dari barak sementara ke barak permanen Rbjk dan jumlah pengungsi yang berevakuasi ke barak permanen Vl. Sehingga formulasi biaya evakuasi dari barak sementara ke barak permanen adalah:
8
(= 2 ( ))
(19)
1
jika barak permanen j dipilih untuk mengevakuasi orang dari lokasi barak sementara k
Wkj=
0 Jika tidak Kapasitas pengungsi yang bisa di tampung di masing-masing barak permanen adalah : 2 ( ) − * ≤ 0
∀∈ !
(20)
2 , = 60,17 ∀ # ∈ $ , 9 ∈ : dimana : Uj : Kapasitas barak permanen j (orang) 2)
Biaya Distribusi dari Gudang Pemasok ke Barak Permanen Biaya distribusi dari gudang pemasok ke barak sementara pada status awas sama seperti pada status siaga yaitu diperoleh dengan mengalikan biaya untuk mendistribusikan 1 unit bantuan dari gudang pemasok ke barak permanen Haij, jarak tempuh dari gudang pemasok ke barak permanen Raij dan jumlah penduduk yang akan mengungsi di barak permanen Vl. Sehingga biaya distribusi dari gudang pemasok ke barak permanen pada status awas dapat dimodelkan sebagai berikut :
( 2 ( ))
1
jika barak permanen j disuplai gudang pemasok i
Zij = 0 jika tidak Pembatas untuk menunjukan bahwa kebutuhan distribusi perunit harus sesuai dengan jumlah penduduk yang mengungsi ke barak permanen dan tidak boleh melebihi kapasitas gudang pemasok adalah: ( ( 2 ( ))) . . ≤ /
∀ ∈ 0
, 2 = 60,17 ∀ ∈ 0, # ∈ $, dimana : Pi : Kapasitas Gudang Pemasok i (unit) B : kebutuhan bantuan untuk 1 orang pengungsi (unit/orang) Wkjmerupakan variabel keputusan untuk menentukan barak permanen j dipilih untuk mengevakuasi orang dari lokasi barak sementara k. 1 jika barak permanen j dipilih untuk mengevakuasi Wkj= orang dari lokasi barak sementara k 0 Jika tidak Dari kedua komponen yang menyusun total biaya evakuasi dan distribusi pada status awas digabungkan ke dalam satu fungsi tujuan. Min total biaya = biaya distribusi gudang pemasok ke barak permanen + biaya evakuasi barak sementara ke barak permanen Fungsi Tujuan =
(= 2 ( )) +
( 2 ( ))
9
(21)
Pembatas 2 ( ) − * ≤ 0
∀∈ !
( ( 2 ( ))) . . ≤ /
∀ ∈ 0
2 , , = 60,17
∀ ∈ 0 ,# ∈ $ ,9 ∈ :
4. HASIL PENGEMBANGAN MODEL Pengembangan model yang telah dilakukan menghasilkan model yang mangandung perkalian dua variabel biner sehingga menyebabkan fungsi tidak linear dan model tidak menghasilkan solusi global optimal. Oleh karena itu fungsi harus di linearkan dengan mengganti dua variabel biner dengan variabel biner yang baru (Smith dan Taskin, 2007). a) Model Status Siaga Setelah dilakukan linearisasi model Sehingga fungsi tujuan yang menyusun total biaya evakuasi dan distribusi pada status siaga menjadi : Fungsi Tujuan =
; ; +
> +
?
(22)
Pembatas dari fungsi tujuan yang menyusun total biaya evakuasi dan distribusi pada status siaga menjadi : − * ≤ 0
∀# ∈ $
> . ≤ /
∀ ∈ !
? . ≤ /
∀ ∈ 0
∈
> ≥ + − 1 > ≤ > ≤ > , , = 60,17 @ ≥ + 2 − 1 @ ≤ @ ≤ 2 @ , , 2 = 60,17 ? ≥ + 2 + − 2 ? ≤ ? ≤ 2 ? ≤ ? , , 2 , = 60,17
∀ ∈ !, # ∈ $, 9 ∈ : ∀ ∈ !, # ∈ $, 9 ∈ : ∀ ∈ !, # ∈ $, 9 ∈ : ∀ ∈ !, # ∈ $, 9 ∈ : ∀ ∈ !, # ∈ $, 9 ∈ : ∀ ∈ !, # ∈ $, 9 ∈ : ∀ ∈ !, # ∈ $, 9 ∈ : ∀ ∈ !, # ∈ $, 9 ∈ : ∀ ∈ 0, ∈ !, # ∈ $, 9 ∈ : ∀ ∈ !, # ∈ $, 9 ∈ : ∀ ∈ !, # ∈ $, 9 ∈ : ∀ ∈ 0, ∈ !, # ∈ $, 9 ∈ : ∀ ∈ 0, ∈ !, # ∈ $, 9 ∈ :
b) Model Status Awas Hasil linearisasi model pada status awas adalah menjadi: Fungsi Tujuan = = + ?
Dengan pembatas
− * ≤ 0
∈
∀ ∈ !
10
(23)
? . ≤ /
∀ ∈ 0
≥ + 2 − 1 ∀ ∈ !, # ∈ $, 9 ∈ : ≤ ∀ ∈ !, # ∈ $, 9 ∈ : ≤ 2 ∀ ∈ !, # ∈ $, 9 ∈ : , , 2 = 60,17 ∀ ∈ !, # ∈ $, 9 ∈ : ∀ ∈ !, # ∈ $, 9 ∈ : @ ≥ + 2 − 1 @ ≤ ∀ ∈ !, # ∈ $, 9 ∈ : ∀ ∈ !, # ∈ $, 9 ∈ : @ ≤ 2 @ , , 2 = 60,17 ∀ ∈ !, # ∈ $, 9 ∈ : ? ≥ + 2 + − 2 ∀ ∈ 0, ∈ !, # ∈ $, 9 ∈ : ? ≤ ∀ ∈ !, # ∈ $, 9 ∈ : ∀ ∈ !, # ∈ $, 9 ∈ : ? ≤ 2 ? ≤ ∀ ∈ 0, ∈ !, # ∈ $, 9 ∈ : ∀ ∈ 0, ∈ !, # ∈ $, 9 ∈ : ? , , 2 , = 60,17 c) Penentuan Solusi Optimal pada Kasus Letusan Gunung Merapi Tahun 2010 Pada status siaga penduduk KRB III akan mengungsi ke barak sementara yang telah disediakan. Setiap barak sementara memiliki kapasitas tampung 3200 pengungsi dan 3200 unit bantuan. Jarak antara lokasi bencana dan barak sementara dan jumlah jiwa pada lokasi bencana dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Jarak Lokasi Bencana dari Barak Sementara dan Jumlah Jiwa di KRB III
Jarak Barak Sementara dari lokasi Bencana (km)
Kepurun Bawukan Dompol Keputran Jumlah Jiwa
Balerante 10.3 8 13.3 12.8 1665
Sidorejo 15.4 13.7 6.9 9.6 3977
Lokasi Bencana Panggang Tlogowatu Tegalmulyo 4.7 14.1 16.4 2.3 12.4 14.7 7.5 6.7 8 6.9 8.6 10.6 1440 3463 2157 Sumber : BPBD Klaten, 2012
Lokasi gudang pemasok ditempatkan di kantor BPBD Klaten. Barak permanen di tempatkan di beberapa desa seperti Demak Ijo, Menden, dan Kebondalem Lor. Diketahui masingmasing barak permanen memiliki kapasitas sebesar 4300 orang dan 4300 unit bantuan. Kebutuhan bantuan untuk 1 orang pengungsi sebanyak 1 unit/orang. Jarak antara gudang pemasok dengan barak permanen dijelaskan melalui Tabel 2. Distribusi bantuan pada status Merapi siaga dilanjutkan dari barak permanen ke barak sementara. Bantuan tersebut akan diterima pengungsi di barak sementara dan diketahui jarak antara barak permanen dengan barak sementara adalah seperti pada Tabel 3. Tabel 2. Jarak Gudang Pemasok dengan Barak Permanen (Km) Gudang Pemasok
Demak Ijo 9.4
Barak Permanen (km) Menden Kebondalem Lor 6.3 14.5
Barak Sementara
Tabel 3. Jarak Barak Sementara dengan Barak Permanen (Km)
Kepurun Bawukan Dompol Keputran
Demak Ijo 10.1 11.8 7.9 7.1
Barak Permanen Menden Kebondalem Lor 1.7 8.9 3.2 11.1 1.7 14.1 0.7 11.4
Pada Status awas pengungsi dari barak sementara akan mengungsi ke barak permanen, sedangkan distribusi bantuan hanya dikirim dari gudang pemasok ke barak permanen. Dengan asumsi bantuan yang diterima di barak sementara sudah habis. Diketahui biaya evakuasi adalah sebesar Rp 1500/km/orang dan biaya distribusi sebesar Rp 1500/km/unit. Solusi optimal aliran distribusi dan evakuasi pada Status Siaga menggunakan software Excel Solver adalah seperti pada Gambar 3. Sehingga diperlukan total biaya evakuasi dan distribusi minimum sebesar Rp548.465.700,00. Solusi optimal aliran distribusi dan evakuasi pada
11
Status Siaga menggunakan software Excel Solver adalah seperti pada Gambar 4. Hal ini memerlukan total biaya evakuasi dan distribusi minimum sebesar Rp374.106.900.
Gambar 3. Solusi optimal aliran distribusi dan evakuasi pada Status Siaga
Gambar 4. Solusi optimal aliran distribusi dan evakuasi pada Status Awas
12
5. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: a. Diperoleh model alokasi distribusi dan evakuasi pengungsi dengan mempertimbangkan 2 stage aliran distribusi yaitu dari gudang pemasok ke barak permanen dan dari barak permanen ke barak sementara dan 2 stage aliran evakuasi yaitu dari lokasi bencana ke barak sementara dan barak sementara ke barak permanen tergantung dari tingkatan status gunung Merapi b. Berdasarkan kasus letusan Gunung Merapi Tahun 2010, model menghasilkan total biaya distribusi dan evakuasi pada status siaga sebesar Rp548.465.700 dan pada status awas sebesar Rp374.106.900.
PUSTAKA Azlia, W., 2010, Model Penentuan Lokasi Fasilitas Gudang Kesiapsiagaan untuk Bencana Alam dengan Mempertimbangkan Faktor Kerentanan Wilayah. Tesis Magister. Fakultas Teknologi Industri Institut Sepuluh November Surabaya. Balcik, B.M. & Beamon, B. , 2004, Facility Location in Humanitarian Relief. International Journal of Logistics:Research and Applications Vol. 11, No. 2, April 2008, 101–121 Cozzolino, A., 2012, Chapter 2 :Humanitarian Logistics and Supply Chain Management, SpringerBriefs in Business. Hillier, F. S. and Lieberman, G. J. (2001). Introduction to Operations Research. McGraw-Hill, 8th edition. Nugraha, I.S dan Halim, A. H., 2012, Model Penentuan Lokasi Barak Pengungsian dan Gudang Pemasok Dalam Penanggulangan Bencana Alam. Prosiding Seminar Sistem Produksi X, Bandung. Smith, J.C. dan Taskin, Z.C. (1999). A Tutorial Guide to Mixed-Integer Programming Models and Solution Techniques. Department of Industrial and Systems Engineering, University of Florida, Gainesville, FL 32611 Thomas, A. & Kopczak, L., 2005, From logistics to supply chain management: The path forward in the humanitarian sector, white paper, Fritz Institute, San Francisco, CA. Tondobala, L., 2011, Pemahaman Tentang kawasan Rawan Bencana Dan Tinjauan Terhadap Kebijakan dan Peraturan Terkait. Jurnal sabua Vol. 3, no.1, Mei 2011, 58-63 UU No 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Badan Nasional Penanggulangan Bencana
13