MODEL INTEGRASI WISATA-PERIKANAN DI GUGUS PULAU BATUDAKA KABUPATEN TOJO UNA-UNA PROVINSI SULAWESI TENGAH
DWI SULISTIAWATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model Integrasi WisataPerikanan di Gugus Pulau Batudaka Kabupaten Tojo Una-Una Provinsi Sulawesi Tengah adalah hasil karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, April 2011
Dwi Sulistiawati NIM C261060031
ABSTRACT DWI SULISTIAWATI. Model of Tourism-Fisheries Integration on Batudaka Islands Tojo Una-Una Regency Central Sulawesi Province. Under supervision of LUKY ADRIANTO, ISMUDI MUCHSIN, and A. MASYAHORO. Social and ecological characteristics are very important for small-island management and development. The objectives of the study are: 1) to analyze marine ecological character interactions and to estimate resource carrying capacity, and 2) to formulate tourism-fisheries integration on Batudaka islands. The DPSIR (drivers- pressures - states - impacts - responses) framework was used in scoping biodiversity management issues and problems. Data were analyzed using spatial analysis with GIS (Geographic Information System) approach, TEF (Touristic Ecological Footprint) and FEF (Fisheries Ecological Footprint), HANPP (Human Appropriation of Net Primary Productivity), CLSA (Coastal Livelihood System Analysis), supply-demand approach for economic valuaion and dynamic simulation using Stella software. Results of the study showed that the suitability index obtained on the category of tourism (diving, snorkeling) and fisheries (reef fishes, seagrass) were in accordance with the carrying capacity utilization of 23 195 tourists per year. Rate of marine fisheries exploitation was 0.04 ha/capita (local scale/Una-Una district), or 0.3 ha/capita (regional scale/Tojo Una-Una regency). This supported HANNP to higher regional level appealed by local level. The available CLSA strategies were alternative employment creation, proximity to capital source, new technological introduction, market, collectivity and solidarity action on society. Analysis of supply demand obtained a consumer surplus value of US$ 21 817 per individual per year and the region’s economic value of US$ 58 273. The model of tourism-fisheries integration indicated that ecological surplus can be maintained at the level of 5 917 tourists on the end simulation with surplus fisheries area, as sustainable indicator on tourism and fisheries activity. Key words: tourism, fisheries, Batudaka islands, integration model
RINGKASAN DWI SULISTIAWATI. Model Integrasi Wisata-Perikanan di Gugus Pulau Batudaka Kabupaten Tojo Una-Una Provinsi Sulawesi Tengah. Dibimbing Oleh : LUKY ADRIANTO, ISMUDI MUCHSIN, dan A. MASYAHORO. Gugus Pulau Batudaka terletak di Kepulauan Togean Teluk Tomini yang ditetapkan sebagai Kawasan Pelestarian Sumberdaya Alam dengan status Taman Nasional Kepulauan Togean (TNKT). Kawasan ini memiliki potensi sumberdaya alam pulau-pulau kecil (PPK) yang dimanfaatkan untuk aktivitas ekonomi masyarakat. Meningkatnya aktivitas masyarakat seperti kegiatan wisata, dan perikanan menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan terhadap ekosistem yang mengancam eksistensi dan keberlanjutan sumberdaya PPK. Pengembangan Gugus Pulau Batudaka dapat dilakukan apabila penataan ruang dalam rangka optimalisasi pemanfaatan sumberdaya dilakukan dengan baik, yaitu memperhatikan karakteristik pulau kecil terkkait interaksi sifat ekologis perairan tehadap keterkaitan kesesuaian pemanfaatan ruang, daya dukung kawasan melalui integrasi wisata-perikanan, dan pengelolaan yang efektif, lestari serta dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan tersebut. Tujuan umum penelitian adalah mendesain pemanfaatan ruang kawasan berbasis sistem sosial ekologi secara berkelanjutan. Tujuan khusus penelitian adalah (1) Menganalisis interaksi sifat ekologis perairan dan mengestimasi daya dukung lingkungan dan sumberdaya kawasan yang dimanfaatkan bagi kegiatan wisata dan perikanan berkelanjutan, dan (2) Merumuskan pengelolaan wisata-perikanan yang terintegrasi secara spasial di Gugus Pulau Batudaka. Penelitian dilakukan di Gugus Pulau Batudaka pada bulan Oktober 2008– Juni 2010 dalam wilayah administratif Kecamatan Una-Una Kabupaten Tojo UnaUna Provinsi Sulawesi Tengah. Wilayah penelitian yakni kawasan pulau yang memiliki kegiatan pemanfaatan wisata dan perikanan di Gugus Pulau Batudaka dengan 15 stasiun pengamatan biofisik dan pengambilan data sosial ekonomi 6 desa. Jenis data yang dikumpulkan yakni data biofisik kimia perairan, sosial ekonomi (wisatawan, nelayan dan masyarakat setempat) dan kelembagaan (institusi), serta data citra satelit. Data tersebut bersumber dari data primer (dilakukan dengan metode wawancara dan pengukuran/pengamatan langsung di lapangan dan laboratorium) dan sumber data sekunder dari instansi terkait. Penggalian isu dan permasalahan difokuskan pada pendekatan DPSIR (Drivers– Pressures–States–Impacts–Responses) untuk mengetahui keterkaitan faktor-faktor penyebab terjadinya tekanan terhadap ekosistem dan dampak berupa respon ekologi, sosial, dan ekonomi yang dibutuhkan untuk pengelolaan Gugus Pulau Batudaka. Ketiga respon tersebut dihitung dengan analisis kesesuaian pemanfaatan ruang (GIS) yang dapat memberikan gambaran dampak aktivitas utama masyarakat terhadap tata guna lahan dan kondisi perairan di Gugus Pulau Batudaka; Penilaian pemanfaatan wisata dan perikanan dalam hubungannya dengan kapasitas area di kawasan tersebut menggunakan pendekatan Ecological Footprint Analysis/EFA, HANPP (Human Appropriation of Net Primary Production), CLSA (Coastal Livelihood System Analysis) serta valuasi ekonomi pemanfaatan gugus pulau yang diintegrasikan dengan optimasi model dinamik untuk kegiatan wisata dan perikanan secara berkelanjutan.
Penilaian dampak pembangunan dan aktivitas masyarakat terhadap kondisi ekosistem Gugus Pulau Batudaka meliputi faktor pengarah (driving force) yaitu aktivitas masyarakat maupun proses ekonomi yang menpengaruhi kualitas dan kuantitas ekosistem sepeti konsumsi, produksi, pemukiman, perpindahan penduduk. Pressure atau tekanan pada ekosistem akibat faktor pengarah tersebut, yakni polusi, limbah, ekstraksi sumberdaya alam, penggunaan lahan. State merupakan indikator status yang menggambarkan kondisi sistem dan tipe maupun karakteristik secara fisik, kimiawi, dan biologi. Impact merupakan akibat tekanan pada kondisi ekosistem, kesehatan masyarakat dan kondisi kehidupan atau dengan kata lain bagaimana kondisi perubahan ekosistem yang diakibatkan hasil aplikasi tekanan yang terjadi. Penilaian tekanan yang terjadi di Gugus Pulau Batudaka menggunakan kerangka DPSIR maka pada aspek ekologi ditekankan bahwa penyusunan tata ruang di kawasan tersebut harus sesuai dengan daya dukung, memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan sehingga dalam penyusunannya harus melibatkan partisipasi masyarakat dan stakeholder yang memanfaatkan sumberdaya pesisir serta pada aspek kebijakan, arahan penyusunan tata ruang harus bersesuaian dengan pembangunan berkelanjutan. Hasil analisis kesesuaian wisata dan daya dukung ekologis kawasan Gugus Pulau Batudaka masih layak untuk mendukung kegiatan wisata dengan kategori sangat sesuai (79 ha) untuk wisata selam, sangat sesuai (129 ha) untuk wisata snorkeling dan kategori sangat sesuai (845 ha) untuk penangkapan ikan karang dan kategori sesuai (2 858 ha) untuk kegiatan budidaya rumput laut serta dengan daya dukung sebanyak 21 817 wisatawan/tahun yang ditunjang pemanfaatan wilayah perairan untuk perikanan yang rendah yaitu sebesar 0.04 ha/kapita (skala lokal) dan 0.3 ha/kapita untuk skala regional dan didukung hasil analisis HANNP untuk level regional lebih tinggi dibanding lokal. Hasil CLSA bahwa mata pencahariannya dikategorikan sebagai usaha sumberdaya perikanan (produksi, pengolahan, distribusi, pemasaran), usaha pemanfaatan sumberdaya lainnya (pariwisata, penelitian) dan usaha pendukung lainnya (transportasi, indutri perdagangan, usaha penyedia konsumsi rumah tangga nelayan). Pengaruh aktivitas masyarakat terhadap ekosistem pesisir terutama terjadi perubahan pada ekosisitem terumbu karang akibat terjadinya penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan (bom dan bius). Kebutuhan masyarakat pesisir Gugus Pulau Batudaka adalah bagaimana meningkatkan taraf hidup dari usaha yang dilakukan melalui tambahan pengetahuan dan keterampilan serta diversifikasi usaha sebagai alternatif mata pencaharian serta modal, dengan pilihan insentif dari pemerintah. Strateginya yakni penciptaan lapangan kerja alternatif, mendekatkan dengan sumber modal, teknologi, pasar serta aksi solidaritas di masyarakat. Hasil valuasi ekonomi untuk wisata memperoleh nilai surplus konsumen sebesar US$ 21 813 per individu per tahun dan nilai ekonomi kawasan wisata kawasan Gugus Pulau Batudaka sebesar US$ 58 273. Hasil simulasi integrasi wisata dan perikanan di Gugus Pulau Batudaka menunjukkan surplus ekologis (0.02 kali dari kapasitas area tangkapan) dapat menampung wisatawan sebanyak 5 917 wisatawan pada akhir tahun simulasi, didukung kebutuhan area sumberdaya perikanan yang surplus sebagai indikator keberlanjutan bagi kegiatan wisata perikanan. Kata Kunci: Wisata, Perikanan, Gugus Pulau Batudaka, Model Integrasi vi
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2011 Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
MODEL INTEGRASI WISATA-PERIKANAN DI GUGUS PULAU BATUDAKA KABUPATEN TOJO UNA-UNA PROVINSI SULAWESI TENGAH
DWI SULISTIAWATI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup 1. Dr. Ir. Sonny Koeshendrajana, M.Sc. 2. Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc.
Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka 1. Dr. Sudirman Saad 2. Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri
Judul Disertasi
: Model Integrasi Wisata–Perikanan di Gugus Pulau Batudaka Kabupaten Tojo Una-Una Provinsi Sulawesi Tengah
Nama
:
Dwi Sulistiawati
NRP
:
C261060031
Program Studi
:
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc. Ketua
Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin Anggota
Dr. Ir. A. Masyahoro, M.Si. Anggota Diketahui,
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA.
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr
Tanggal Ujian : 21 Maret 2011
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga Disertasi yang berjudul “Model Integrasi Wisata-Perikanan di Gugus Pulau Batudaka Kabupaten Tojo Una-Una Provinsi Sulawesi Tengah” dapat diselesaikan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr.Ir. Luky Adrianto, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing, Prof.Dr.Ir. Ismudi Muchsin dan Dr.Ir. A. Masyahoro, M.Si selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis mulai dari penyusunan Proposal Penelitian sampai penulisan Disertasi ini,
juga
kepada Dr. Ir. Sonny Koeshendrajana, M.Sc,
Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc. selaku Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup, Dr. Sudirman Saad dan Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri selaku Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka, Ketua Program Studi SPL, Dosen dan Mahasiswa Program Studi SPL yang telah memberikan masukan yang sangat berarti bagi perbaikan Disertasi ini. Ucapan terima kasih kami sampaikan pula kepada Rektor Universitas Tadulako yang telah memberikan izin tugas belajar dengan beasiswa BPPS Dikti, Lembaga Penelitian Universitas Tadulako yang memfasilitasi dan membantu percepatan penyelesaian studi pascasarjana seluruh staf pengajarnya di seluruh perguruan tinggi melalui pemberian bantuan dana penelitian, Hibah Penelitian Dikti (Hibah Doktor dan Penelitian Strategis Nasional), Pemda Provinsi Sulawesi Tengah, dan bantuan penulisan disertasi dari Coremap II. Penulis menyadari bahwa Disertasi penelitian ini masih banyak kekurangannya, untuk itu penulis memohon masukan dari berbagai pihak.
Bogor, April 2011 Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Palu Provinsi Sulawesi Tengah pada tanggal 30 Agustus 1969 sebagai anak kedua dari pasangan H. Supandi Abd. Aziz dan H. Muznah. Pendidikan Sarjana ditempuh di Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, lulus pada tahun 1993. Pada tahun 1996 penulis melanjutkan pendidikan Magister Pertanian di Program Studi Ilmu Peternakan Universitas Gadjah Mada dan menamatkannya pada 1998. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana IPB diperoleh pada tahun 2006. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Penulis bekerja sebagai staf pengajar tetap pada Fakultas Pertanian Universitas Tadulako sejak tahun 1994. Bidang keilmuan yang penulis geluti adalah nutrisi ternak berbasis ikan dan bidang penelitian yang ditekuni sejak penulisan tesis sampai disertasi dan penelitian-penelitian hibah strategis, serta berbagai kegiatan di tingkat nasional difokuskan pada kajian nutrisi ikan dan manajemen sumberdaya pesisir dan lautan. Karya ilmiah berjudul “Manajemen Konflik Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (Kasus di Teluk Palu Sulawesi Tengah)” telah diterbitkan dalam Prosiding Konferensi Sains Kelautan dan Perikanan Indonesia I yang diterbitkan oleh Masyarakat Sains Kelautan dan Perikanan Indonesia (MKSPI) tahun 2007. Sebuah artikel berjudul “Penilaian Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Berdasarkan Produktivitas Primer di Kecamatan Una-Una dan Kabupaten Tojo Una-Una Provinsi Sulawesi Tengah” Jurnal Kebijakan dan Riset Sosial ekonomi Kelautan dan Perkanan, “Penilaian Integrasi Dampak Biodiversitas Laut (Kasus di Gugus Pulau Batudaka Provinsi Sulawesi Tengah)” pada Jurnal Mutiara. Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari disertasi penulis.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xix DAFTAR TABEL ................................................................................................ xxi DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xxiv 1 PENDAHULUAN .............................................................................................. 1 1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah .................................................................................. 5 1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian .............................................................. 8 1.4 Ruang Lingkup Penelitian ......................................................................... 8 1.5 Kebaruan (Novelty) ................................................................................... 9 2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 11 2.1 Batasan dan Definisi Pulau-Pulau Kecil (PPK) ..................................... 11 2.2 Sistem Ekologi dan Ekonomi Pulau-Pulau Kecil.................................... 13 2.3 Konservasi Sumberdaya Pulau-pulau Kecil ............................................ 20 2.4 Model Keberlanjutan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil ............................ 27 2.4.1 Pendekatan DPSIR (Drivers-Pressures-States-Impacts-Responses) ...... 27 2.4.2 Pendekatan Ruang Ekologis (Ecological footprint Analysis) ................. 30 2.4.3 Pendekatan HANPP (Human Appropriation of Net Primary Production) .......................................................................................................................... 32 2.4.4 Pendekatan Keberkelanjutan Mata Pencaharian(Coastal Livelihood System Analysis-CLSA) ......................................................................... 34 2.4.5 Konsep Pemodelan Dinamik Integrasi Wisata Perikanan ....................... 38 2.5 Integrasi Wisata dalam Pengelolaan Pesisir Terpadu ............................. 41 2.6 Integrasi Perikanan dalam Pengelolaan Pesisir Terpadu......................... 44 2.7 Konsep Model Integrasi Wisata-Perikanan dalam Pengelolaan Daerah Konservasi ............................................................................................... 47 2.7.1 Wisata...................................................................................................... 49 2.7.2 Perikanan ................................................................................................. 50 2.8 Penelitian Terdahulu ............................................................................... 51 3 METODOLOGI PENELITIAN ....................................................................... 55 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................. 55 3.2 Metode Penelitian .................................................................................... 55 3.3 Metode Pengumpulan Data ..................................................................... 55 3.3.1 Jenis Data ................................................................................................ 55 3.3.2 Metode Pengambilan Data ...................................................................... 57 3.4 Metode Analisis Data .............................................................................. 64 3.4.1 Pendekatan DPSIR (Drivers–Pressures–States–Impacts–Responses) ... 65 3.4.2 Analisis Kesesuaian Pemanfaatan ........................................................... 65 3.4.3 Analisis Daya Dukung (Ecological Footprint Analysis) ........................ 70 3.4.4 HANPP (Human Appropriation of Net Primary Productvity)................ 75 3.4.5 Analisis Mata Pencaharian Masyarakat Pesisir (Coastal Livelihood System Analysis-CLSA) ......................................................................... 76 3.4.6 Valuasi Ekonomi Pemanfaatan Gugus Pulau .......................................... 76 3.4.7 Analisis Dinamik Strategi Pengelolaan ................................................... 80 4 SISTEM SOSIAL EKOLOGI WILAYAH PENELITIAN ............................. 91 4.1 Pendekatan DPSIR (Drivers-Pressures-States-Impacts-Responses) ...... 92
4.1.1 Faktor-faktor Sosial Ekonomi (Socio-economic Drivers) ....................... 92 4.1.2 Tekanan Lingkungan (Enviromental Pressures) ..................................... 95 4.1.3 Perubahan Kondisi Lingkungan (Environmental State Changes) ........... 96 4.1.4 Dampak (Impact) ................................................................................... 101 4.1.5 Kebijakan (Policy Response Options) ................................................... 106 4.2 Sistem Ekologi ....................................................................................... 109 4.2.1 Batas Sistem Ekologi ............................................................................. 109 4.2.2 Kondisi Morfologi ................................................................................. 115 4.2.3 Kondisi Iklim ......................................................................................... 118 4.2.4 Kondisi Oseanografi Perairan ................................................................ 119 4.3 Sistem Sosial Ekonomi dan Kelembagaan ........................................... 124 4.3.1 Sistem Sosial ......................................................................................... 124 4.3.2 Kegiatan Ekonomi ................................................................................. 126 4.3.3 Kelembagaan ......................................................................................... 134 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 137 5.1 Analisis Kesesuaian Pemanfaatan ......................................................... 137 5.1.1 Karakteristik Lingkungan Perairan Gugus Pulau Batudaka .................. 137 5.1.2 Analisis Kesesuaian Pemanfaatan Spasial Gugus Pulau Kecil ............. 141 5.1.3 Analisis Eksisting Zonasi Kawasan Konservasi Gugus Pulau Batudaka ........................................................................................................................ 160 5.2 Analisis Daya Dukung Pemanfaatan Gugus Pulau Kecil ...................... 172 5.2.1 Daya Dukung Wisata ............................................................................. 172 5.2.2 Daya Dukung Perikanan ........................................................................ 176 5.3 Analisis HANPP (Human Appropriation of Net Primary Production). 180 5.3.1 Profil Metabolik..................................................................................... 180 5.3.2 HANPP (Human Appropriation of Net Primary Productvity) .............. 184 5.4 Analisis Keberkelanjutan Mata Pencaharian (Coastal Livelihood System Analysis-CLSA) ..................................................................................... 186 5.4.1 Kondisi Sumberdaya Alam dan Mata Pencaharian Masyarakat ........... 186 5.4.2 Analisis Pengaruh Masyarakat Pesisir terhadap Kondisi Sumberdaya Pesisir dan Laut Gugus Pulau Batudaka ............................................... 189 5.4.3 Identifikasi Kebutuhan Masyarakat Pesisir Gugus Pulau Batudaka ..... 200 5.4.4 Pemilihan Insentif .................................................................................. 205 5.4.5 Menyusun Strategi Pilihan Mata Pencaharian. ...................................... 206 5.5 Valuasi Ekonomi Pemanfaatan Gugus Pulau ........................................ 208 5.5.1 Wisata .................................................................................................... 208 5.5.2 Perikanan ............................................................................................... 217 5.6 Analisis Skenario Pengelolaan Gugus Pulau ......................................... 218 5.6.1 Sub Model Wisata ................................................................................. 219 5.6.2 Sub Model Perikanan ............................................................................ 222 6 KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 233 6.1 Kesimpulan ............................................................................................ 233 6.2 Saran ...................................................................................................... 233 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 235
xviii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka pemikiran model integrasi wisata-perikanan Gugus Pulau Batudaka 7 2 Perbandingan antara paradigma pengelolaan saat ini dengan pengelolaan berdasarkan pendekatan ekosistem (Nganro dan Suantika 2009) .................... 16 3 Model DPSIR yang diperluas : turunan indikator lingkungan untuk mengevaluasi keberlanjutan pengelolaan sumberdaya alam (Turner et al. 2000) .... 28 4 Pendekatan ECCO untuk optimalisasi pemanfaatan sumberdaya di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil (dimodifikasi dari Moffat dan Hanley 2001) .... 31 5 Keterkaitan antara sistem sosial ekologi pulau-pulau kecil (Modifikasi Erb et al. 2007)............................................................................................................ 34 6 Kerangka konseptual untuk analisis keberlanjutan mata pencaharian (DFID 1999 dalam Clark dan Carney 2008).................................................... 35 7 Kerangka makro pengembangan mata pencaharian alternatif (Ellison dan Allis 2001) ................................................................................... 36 8 Langkah-langkah mendisain CLSA (Emmerton 2001) ................................... 37 9 Interaksi Komponen Minimal Model keberlanjutan Pariwisata T = wisatawan, E = lingkungan, C = modal (Casagrandi dan Rinaldi 2002) .. 44 10 Pendekatan dinamik EF perikanan untuk kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil (Adrianto dan Matsuda 2004) ................................................................. 47 11 Konsep sederhana keseimbangan di dalam pengelolaan wilayah pesisir (Kay dan Alder 2005) ...................................................................................... 48 12 Lokasi pengambilan contoh biofisik dan sosial ekonomi ............................... 58 13 Kerangka sampling sosial ekonomi ................................................................. 63 14 Tahapan penelitian model integrasi wisata-perikanan di Gugus Pulau Batudaka .......................................................................................................................... 64 15 Struktur model integrasi pengelolaan wisata dan perikanan di Gugus Pulau Batudaka........................................................................................................... 80 16 Causal loop daya dukung wisata ..................................................................... 82 17 Causal loop populasi ........................................................................................ 83 18 Causal loop produksi perikanan lokal.............................................................. 85 19 Causal loop produksi perikanan regional ........................................................ 85 20 Causal loop daya dukung perikanan ................................................................ 87 21 Causal loop model integrasi wisata-perikanan di Gugus Pulau Batudaka ..... 88 22 Pendekatan DPSIR sebagai indikator dalam keberlanjutan pengelolaan Gugus Pulau Batudaka ..................................................................................... 91 23 Jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur produktif Tahun 2003-2008 di Kecamatan Una-Una .................................................................................... 93 24 Peta analisis hasil Citra Landsat 7 ETM+ Tahun 2000 .................................... 98 25 Peta analisis hasil Citra Landsat 7 ETM+ Tahun 2010 .................................... 99 26 Persentase rata-rata fraksi subtrat di lokasi penelitian (Hasil Analisis Lab. Ilmu Tanah UNTAD 2009) ..................................................................................... 112 27 Curah hujan dan hari hujan rata-rata Tahun 2002-2008 (BPS Kab. Tojo Una-Una 2003-2009) ..................................................................................... 118 28 Grafik pasang surut di Gugus Pulau Batudaka .............................................. 121
29 Aksesibilitas ke Kepulauan Togean .............................................................. 127 30 (a) Korelasi antara variabel dan sumbu faktorial utama ................................. 138 (b) Sebaran titik stasiun pada sumbu faktorial utama .................................... 138 31 Analisis temporal kesesuaian wisata selam berdasarkan empat waktu .......... 142 32 Hasil overlay wisata selam di Gugus Pulau Batudaka ................................... 144 33 Analisis temporal kesesuaian wisata snorkeling berdasarkan empat waktu... 146 34 Hasil overlay wisata snorkeling di Gugus Pulau Batudaka ............................ 148 35 Sebaran terumbu karang di Gugus Pulau Batudaka ....................................... 149 36 Hasil overlay kesesuaian penangkapan ikan karang di Gugus Pulau Batudaka ........................................................................................................................ 151 37 Analisis temporal kesesuaian budidaya rumput laut berdasarkan empat waktu ........................................................................................................................ 153 38 Hasil overlay kesesuaian budidaya rumput laut di Gugus Pulau Batudaka ... 155 39 Hasil overlay pemanfaatan wisata (selam, snorkeling) di Gugus Pulau Batudaka ......................................................................................................... 158 40 Hasil overlay pemanfaatan perikanan (penangkapan ikan karang, budidaya rumput laut) di Gugus Pulau Batudaka ........................................................... 159 41 Hasil overlay pemanfaatan wisata-perikanan di Gugus Pulau Batudaka ....... 161 42 Peta rencana zonasi kawasan Kepulauan Togean (RDTR Kepulauan Togean 2007) ............................................................................................................... 164 43 Zonasi Gugus Pulau Batudaka berdasarkan RDTR Kepulauan Togean ........ 165 44 Hasil overlay pemanfaatan wisata (selam, snorkeling) dengan zonasi RDTRKP di Gugus Pulau Batudaka................................................................................ 167 45 Hasil overlay penangkapan ikan karang, budidaya rumput laut, dan zonasi RDTRKP di Gugus Pulau Batudaka ............................................................... 169 46 Hasil overlay wisata-perikanan dan zonasi RDTRKP di Gugus Pulau Batudaka ......................................................................................................... 171 47 Perbandingan EF wisatawan dan KS wisata .................................................. 175 48 Perbandingan EF perikanan dan KS perikanan .............................................. 179 49 HANPP perikanan lokal dan regional ............................................................ 185 50 Komposisi keluarga yang bekerja di sektor perikanan (Bappeda Touna Touna 2009).................................................................................................... 188 51 Perubahan sumberdaya Gugus Pulau Batudaka dalam 10 tahun terakhir ...... 192 52 Banyaknya usaha industri di Kecamatan Una-Una (BPS 2009) .................... 194 53 Grafik hasil CLSA di Gugus Pulau Batudaka ................................................ 202 54 Kurva penawaran wisata di kawasan Gugus Pulau Batudaka ........................ 210 55 Kurva permintaan wisata di kawasan Gugus Pulau Batudaka ....................... 212 56 Kondisi kesetimbangan pasar aktivitas wisata ............................................... 215 57 Kunjungan wisman ke Kepulauan Togean (Disbudpar 2010)........................ 216 59 Model dinamik jumlah wisatawan, EF dan BC .............................................. 221 60 Diagram alir sektor populasi .......................................................................... 222 61 Diagram alir sektor produksi .......................................................................... 224 62 Diagram alir sektor ecological footprint ........................................................ 226 63 Hasil simulasi EF perikanan ........................................................................... 227 64 Model integrasi wisata-perikanan di Gugus Pulau Batudaka ........................ 228 65 Model dinamik integrasi wisata-perikanan..................................................... 228 xx
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Keterbatasan (limitation) yang ada di metode penelitian ................................... 9 2 Karakteristik geografi, geologi, biologi dan ekonomi pulau kecil, pulau besar, dan benua ............................................................................................... 13 3 Potensi kemampuan, pemanfaatan jasa, dan ancaman pada ekosistem di sub-wilayah pesisir pulau-pulau kecil .............................................................. 17 4 Fungsi ekologis barang dan jasa dari ekosistem terumbu karang .................... 19 5 Perbandingan nilai ekonomi yang dihasilkan oleh beberapa tipe ekosistem dan jasa utama yang diperankan ............................................................................. 19 6 Perkiraan nilai ekonomi sumberdaya perikanan .............................................. 20 7 Pengembangan strategi untuk peningkatan pendapatan pada kegiatan perikanan berkelanjutan ................................................................................... 51 8 State of the art dan tinjauan hasil penelitian terdahulu .................................... 53 9 Jenis data biofisik yang digunakan dalam penelitian ....................................... 56 10 Jenis data sosial ekonomi yang digunakan dalam penelitian ........................... 57 11 Ukuran sampel responden sosial ekonomi ....................................................... 62 12 Matriks kesesuaian area untuk wisata kategori selam...................................... 67 13 Matriks kesesuaian area untuk wisata ketegori snorkeling .............................. 67 14 Matriks kesesuaian perairan untuk ikan karang ............................................... 68 15 Matriks kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut .................................... 68 16 Tropik Level berbagai jenis ikan untuk Gugus Pulau Batudaka ...................... 74 17 Produksi ikan di Kecamatan Una-Una Tahun 2005-2008 ............................... 75 18 Keterkaitan tujuan dengan metode penelitian .................................................. 90 19 Kondisi kualitas perairan Gugus Pulau Batudaka ............................................ 96 20 Hasil klasifikasi Citra Landsat 7 ETM+ Tahun 2000 dan 2010 .................... 100 21 Penggunaan lahan Kecamatan Una-Una Tahun 2007 .................................... 102 22 PDRB Kabupaten Tojo Una-Una berdasarkan harga berlaku per kecamatan (Rp) ................................................................................................................ 105 23 Hasil tekanan terhadap ekosistem pesisir Gugus Pulau Batudaka berdasarkan kerangka DPSIR ........................................................................ 108 24 Sebaran terumbu karang di Gugus Pulau Batudaka (%) ................................ 110 25 Lokasi terumbu karang terbaik di Kecamatan Una-Una ............................... 110 26 Jumlah tegakan, kerapatan relatif, frekuensi relatif, dominasi relatif dan indeks nilai penting pada tiap tingkatan pohon ........................................................ 113 27 Data jenis dan kelimpahan lamun di Gugus Pulau Batudaka ........................ 114 28 Persentase bentuk permukaan tanah dan ketinggian menurut desa ............... 115 di Kecamatan Una-Una Kabupaten Tojo Una–Una Tahun 2008................... 115 29 Pola angin di Kepulauan Togean ................................................................... 119 30 Karakteristik arus di Pulau Batudaka Kabupaten Tojo Una-Una .................. 120 31 Parameter demografi Kecamatan Una-Una (BPS Touna 2002-2009) ........... 124 32 Pencapaian kapal motor menuju Gugus Pulau Batudaka melalui laut ........... 128 33 Jumlah sarana dan prasarana akomodasi di Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una ...................................................................................... 129 33 Karakteristik responden wisatawan di Gugus Pulau Batudaka ...................... 130 34 Kronologi pembentukan pengelolaan kelembagaan Kepulauan Togean ...... 136
35 Akar ciri dan persentase ragam pada kedua komponen utama untuk pengamatan di 15 Stasiun Biofisik ................................................................. 137 36 Kontribusi variabel terhadap sumbu utama karakteristik perairan Gugus Pulau Batudaka ............................................................................................... 139 37 Luasan perairan untuk kategori kesesuaian wisata selam .............................. 143 38 Luasan perairan untuk kategori kesesuaian wisata snorkeling ....................... 145 39 Luasan perairan untuk kategori kesesuaian penangkapan ikan karang .......... 150 40 Luasan perairan untuk kategori kesesuaian rumput laut ................................ 152 41 Luasan untuk kegiatan wisata ......................................................................... 156 42 Luasan untuk kegiatan perikanan ................................................................... 157 43 Luasan untuk kegiatan wisata-perikanan ........................................................ 160 44 Luasan rencana zonasi Gugus Pulau Batudaka berdasarkan RDTR .............. 163 Kepulauan Togean Tahun 2007...................................................................... 163 45 Luasan kesesuaian kegiatan wisata-perikanan dalam zonasi RDTR Kepulauan Togean .......................................................................................... 163 46 Persentase kesesuaian kegiatan wisata-perikanan dalam zonasi RDTR Kepulauan Togean .......................................................................................... 168 47 Built-up land footprint (EF lahan buatan) ...................................................... 172 48 Footprint konsumsi sandang dan pangan ....................................................... 173 49 Total ecological footprint (EF) dan biocapacity (BC) Gugus Pulau Batudaka ........................................................................................................................ 173 50 Kebutuhan ruang ekologis sistem akuatik lokal dan regional ........................ 177 51 Perbandingan kebutuhan ruang ekologis untuk perikanan antara Gugus Pulau Batudaka dengan daerah lain ................................................................ 178 52 Parameter demografi Kecamatan Una-Una dan Kabupaten Tojo Una-Una... 180 53 Laju tangkap dan estimasi produksi beberapa alat tangkap yang beroperasi di perairan Kecamatan Una-Una Tahun 2009 ................................................ 181 54 Luas area dan produksi perikanan menurut kecamatan di Kabupaten Tojo Una-Una Tahun 2008 ..................................................................................... 181 55 Hasil tangkapan ikan demersal di perairan Kabupaten Tojo Una-Una (ton) 182 56 Perhitungan exosomatic energy lokal dan regional ........................................ 184 57 Kategori dan jenis usaha masyarakat Gugus Pulau Batudaka ........................ 189 58 Kondisi aset kapital di Gugus Pulau Batudaka............................................... 190 59 Kondisi aset alam di Gugus Pulau Batudaka .................................................. 191 60 Pendidikan dan kesehatan sebagai indikator aset manusia di Gugus Pulau Batudaka ......................................................................................................... 193 61 Kondisi aset sosial di Gugus Pulau Batudaka ................................................ 195 62 Kondisi aset keuangan di Gugus Pulau Batudaka .......................................... 197 63 Kondisi aset buatan di Gugus Pulau Batudaka ............................................... 199 64 Kinerja aktivitas masyarakat Gugus Pulau Batudaka ..................................... 201 65 Perubahan aset alam di Gugus Pulau Batudaka ............................................. 203 66 Tekanan alam pesisir dan laut pada masyarakat Gugus Pulau Batudaka ....... 204 68 Biaya operasional pengusaha wisata di Gugus Pulau Batudaka..................... 209 66 Biaya perjalanan wisatawan, pendapatan dan jarak ke kawasan Gugus Pulau Batudaka ............................................................................................... 211 67 Kondisi keseimbangan pasar wisata di kawasan Gugus Pulau Batudaka ...... 216 68 Volume dan nilai produksi kerapu dari tiga alat tangkap .............................. 217 xxii
69 Nilai dugaan parameter pada model integrasi wisata-perikanan di Gugus Pulau Batudaka ............................................................................................. 218 70 Proyeksi jumlah wistawan, EF dan BC selama 10 tahun .............................. 220 71 Parameter yang digunakan untuk sektor populasi penduduk ........................ 223 72 Parameter yang digunakan untuk sektor produksi ........................................ 225 73 Estimasi konsumsi impor dan konsumsi riil di Gugus Pulau Batudaka ....... 225 74 Proyeksi jumlah penduduk, produksi ikan, konsumsi domestik dan EF perikanan ........................................................................................................ 226 75 Proyeksi jumlah wisatawan, EF wisata, jumlah penduduk, laju konsumsi .... 229 domestik dan EF perikanan ............................................................................ 229 76 Hasil analisis statistik berdasarkan persyaratan validasi................................ 231
xxiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Produksi ikan di perairan Kabupaten Tojo Una-Una (ton)............................ 247 2 Matrik korelasi hasil PCA karakteristik lingkungan perairan Gugus Pulau Batudaka ......................................................................................................... 249 3 Karakteristik beberapa lokasi spot penyelaman di Gugus Pulau Batudaka.... 250 4 Ecologial Footprint sistem akuatik di perairan Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una ....................................................................................... 252 5 Ecologial Footprint sistem akuatik di perairan Kabupaten Tojo Una-Una.... 253 6 HANPP sistem akuatik di Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una....... 254 7 Hasil perhitungan analisis penawaran ............................................................ 256 8 Hasil perhitungan analisis permintaan............................................................ 257 9 Rekap kunjungan wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara di Kabupaten Tojo Una-Una ............................................................................... 259 10 Jumlah wisatawan yang mengunjungi Kepulauan Togean berdasarkan asal begara Tahun 2006-2009 ................................................................................ 259 11 Hasil identifikasi responden wisatawan ........................................................ 260 12 Series hasil tangkapan dan upaya penangkapan ikan dari beberapa jenis alat tangkap di perairan Gugus Pulau Batudaka (lokal) ........................................ 262 13 Series hasil tangkapan dan upaya penangkapan ikan dari beberapa jenis alat tangkap di perairan Kabupaten Tojo Una-Una (regional) .............................. 263 14 Estimasi konsumsi ikan impor dan konsumsi nyata di Gugus Pulau Batudaka ........................................................................................................................ 264 15 Formulasi model integrasi wisata dan perikanan di Gugus Pulau Batudaka.. 265
1
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gugus Pulau Batudaka dengan luas daratan sebesar 30 075 ha dan perairan sebesar 61 038 ha (4 mil dari pantai), secara administrasi termasuk wilayah Kecamatan Una-Una dengan jumlah penduduk 13 106 jiwa (BPS Touna 2009), terletak di Kepulauan Togean Teluk Tomini. Gugus Pulau Batudaka merupakan bagian Kawasan Pelestarian Sumberdaya Alam dengan status Taman Nasional Kepulauan Togean (TNKT) yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. SK 418/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004 yakni seluas 362 605 ha sebagai Kawasan Pelestarian Alam dengan fungsi Taman Nasional. Manfaat yang telah diperoleh dari kawasan ini selain sebagai obyek wisata, juga merupakan tempat/areal pemancingan tradisional etnis Bajo sejak dulu. Hal ini berkaitan dengan tradisi bapongka, yaitu suatu pola penangkapan ikan yang dilakukan secara berkelompok (beberapa keluarga) yang memerlukan waktu sekitar dua bulan menjajaki terumbu karang yang satu ke terumbu karang lainnya hingga kembali lagi ke terumbu karang semula (Damanik et al. 2006). Pemanfaatan sumberdaya alam laut dan pesisir di Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una pada sektor perikanan masih dilakukan dalam skala kecil, mereka masih sangat mengandalkan kekuatan unit ekonomi keluarga dan penggunaan peralatan tangkap tradisional (misalnya : pancing, jaring, bubu). Jenis biota seperti teripang, lobster, penyu dan ikan hiu merupakan obyek penangkapan nelayan-nelayan setempat.
Penangkapan ikan karang semakin
marak dilakukan saat diperkenalkannya perdagangan ikan karang hidup untuk keperluan ekspor. Pengusaha ikan hidup pertama kali masuk di Kepulauan Togean sekitar tahun 1992, dan sedikitnya terdapat 4 perusahaan perdagangan ikan hidup yang beroperasi di Kepulauan Togean (CII 2006). Pada Tahun 2009 ekspor ikan hidup Kecamatan Una-Una sekitar 500 kg/bulan (DKP Kec. Una-Una 2010). Berbagai jenis ikan karang yang bernilai ekonomis (ekspor) juga merupakan aset yang potensial dari perikanan karang. Berdasaran hasil penelitian yang dilakukan Balai Riset Perikanan Laut (BRPL) pada tahun 2003-2004 di
2
daerah Pagimana dan Bualemo (Kab. Banggai) sebagai pusat pendaratan ikan karang dari sekitar Kepulauan Togean, diperoleh jenis dominan yang tertangkap pancing adalah ikan kakap dan ikan kerapu, masing-masing sekitar 7% dan 13% dari total pendaratan; gurita/suntung batu merupakan target penangkapan lain dan memberi kontribusi sekitar 17%. Ikan karang yang paling dominan tertangkap dikelompokan dengan nama ’daging putih’ (Lethrinidae) sebesar 34% dari total hasil tangkapan. Selain itu, terdapat ikan lolosi (Caesio erithrogaster) yang cukup banyak didaratkan (kira-kira 15%), namun jenis ini diduga merupakan hasil tangkapan secara ilegal (pengeboman atau pembiusan) (BRPL 2005). Kepulauan Togean juga memiliki potensi yang besar pada sektor pariwisata khususnya bagi wisatawan mancanegara (wisman) yang ingin menikmati pemandangan bawah laut. Sejak 20 tahun lalu, Kepulauan Togean telah didatangi oleh wisman, dan makin berkembang pada pertengahan tahun 90an. Sejak saat itu beberapa investor melihat Kepulauan Togean sebagai tempat potensial untuk mengembangkan usaha jasa wisata, terutama penyediaan tempat penginapan dan penyewaan peralatan selam Scuba Diving dan Snorkeling. Pada Tahun 2003, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata mencanangkan Kepulauan Togean sebagai Kawasan Ekowisata Bahari Unggulan Nasional (CII 2006). Beberapa atraksi wisata alam, seperti pembuatan jalur tracking di hutan Malenge serta pembuatan jembatan kayu menyusuri hutan bakau di Desa Lembanato. Berkaitan dengan kegiatan-kegiatan tersebut, tahun 1999 JET (Jaringan Ekowisata Togean) dianugerahi British Airways Award untuk kategori Highly Recommended Tourism for Tomorrow. Data kunjungan wisatawan manca negara (wisman) yang mengunjungi Kepulauan Togean pada tahun 1995 hanya 1 500 orang dan meningkat menjadi 5 000 orang tahun 1996, tahun 1999 sekitar 8 000 orang dengan lama menginap 5-10 hari. Kunjungan wisatawan menurun tajam lebih dari 80% pada tahun 2000 ketika terjadi kerusuhan Poso, namun meningkat kembali pada tahun 2004 (Disbudpar Kab. Touna 2006). Data tahun 2005 jumlah wisatawan yang berkunjung ke Kepulauan Togean berjumlah 5 000 orang (Kasim 2007). Selanjutnya dinyatakan bahwa lama tinggal wisman 4-7 hari dengan rata-rata pengeluaran Rp. 79 190/hari serta sumber informasi
3
diperoleh dari iklan, teman dan pameran (masing-masing sebesar 63%, 21% dan 17%). Taman Nasional Kepulauan Togean (TNKT) merupakan Taman Nasional yang tergolong baru dalam pengelolaannya masih menghadapi banyak tantangan utamanya yang bersumber dari konflik kepentingan para pihak dalam kegiatan di antaranya penangkapan ikan, pemanfaatan kawasan hutan, pemanfaatan area wisata.
Konflik kepentingan kawasan wisata, budidaya perikanan, budidaya
kerang mutiara dan area pemancingan juga merupakan hal yang perlu mendapatkan pemecahan, disamping efek lain dari kegiatan-kegiatan tersebut misalnya polusi, dari buangan limbah rumah tangga (padat dan cair). Laapo (2010) melaporkan Selat Batudaka telah tercemar ringan yang terkait dengan meningkatnya aktivitas masyarakat termasuk wisata dan kegiatan pemanfaatan lain (perikanan dan transportasi). Penangkapan
ikan
dengan
cara
yang
merusak
seperti
dengan
menggunakan bahan peledak (bom), peracunan dengan menggunakan sianida dan pengambilan hasil laut dengan pembiusan menggunakan kompresor sangat mengancam kehidupan dan sumberdaya perairan taman nasional karena berakibat rusaknya habitat (terumbu karang dan mangrove) dan sumberdayanya sendiri (ikan dan invertebrata). Ancaman di daratan cenderung terus meningkat, tekanan terhadap hutan tropis dataran rendah dan hutan bakau untuk memenuhi kebutuhan areal pemukiman, perkebunan/ pertanian, infrastruktur dan kebutuhan kayu pertukangan maupun kayu bakar. Pengelolaan kawasan ini dapat dikatakan kurang optimal, dimana sejak ditetapkannya sebagai TNKT hingga saat ini belum ada zonasi kawasan yang jelas dalam pengelolaannya. Dalam perkembangannya kemudian, kawasan ini ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam Laut Pulau Togean dan Pulau Batudaka melalui Peraturan Pemerintah RI No. 26 Tahun 2008 tentang Tata Ruang Wilayah Nasional pada tanggal 10 Maret 2008. Kebijakan pengelolaan kawasan tersebut pada dasarnya diarahkan untuk pencapaian tujuan pembangunan, yaitu pendayagunaan potensi sumberdaya pesisir dan laut untuk meningkatkan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat serta untuk tetap menjaga kelestarian kawasan tersebut.
Sampai saat ini,
4
pengelolaannya belum dilakukan secara efektif yaitu hampir semua kawasan muncul fenomena pemanfaatan yang bersifat sektoral, dan eksploitatif. Pengurangan luas hutan, konversi hutan mangrove, perusakan habitat terumbu karang, menurunnya kualitas obyek wisata laut serta penangkapan hasil laut secara berlebih (overfishing) juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pemanfaatan sumberdaya alam untuk kepentingan ekonomi dan kebutuhan sosial penduduk. Pengelolaan Kepulauan Togean yang kurang efektif tersebut didorong oleh bererapa faktor seperti kurangnya kapasitas kelembagaan dalam mengatasi isu dasar pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, juga berbagai kepentingan sektor dunia usaha maupun masyarakat setempat. Sebelum menjadi Taman Nasional, kebijakan pengelolaan sumberdaya alam di kawasan tersebut sebagian besar berada pada pemerintah Kabupaten Tojo Una-Una (Touna). Sebagai kabupaten baru, pemda Kabupaten Touna memiliki kepentingan sangat besar terhadap Kepulauan Togean, baik bagi pertumbuhan ekonomi kawasan maupun pembangunan kualitas hidup penduduk setempat (Manaf 2007). Semua pihak yang berkepentingan memegang dasar hukum dan kebijakan dari instansi yang berwenang. Setiap kebijakan yang dikeluarkan memuat tujuan dan sasaran yang sering berbeda sehingga muncul gap atau pun tumpang tindih dalam pelaksanaannya di lapangan. Kebijakan pemanfaatan dan penyelesaian masalah yang selama ini dilakukan secara sektoral dan parsial yaitu setiap instansi menyusun perencanaan sendiri sesuai dengan tugas dan fungsi sektornya sehingga kurang mengakomodasi kepentingan sektor lain, daerah, masyarakat setempat dan lingkungannya. Perbedaan tersebut memicu konflik pemanfaatan dan kewenangan termasuk aspek penegakan hukum, yang belum mampu menjamin pemanfaatan jasa lingkungan secara berkelanjutan sesuai tingkat kebutuhan pihak-pihak (stakeholders) yang berkepentingan. Mengingat luasnya Kepulauan Togean dan pertimbangan pemanfaatan ruang untuk kegiatan pariwisata, perikanan, pemukiman terpadat dan sentra ekonomi berada di Gugus Pulau Batudaka maka wilayah penelitian dibatasi di kawasan tersebut. Berdasarkan latar belakang di atas maka dilakukan penelitian
5
Model Integrasi Wisata-Perikanan di Gugus Pulau Batudaka Kabupaten Tojo Una-Una Provinsi Sulawesi Tengah.
1.2 Perumusan Masalah Secara alami kawasan pesisir Gugus Pulau Batudaka memiliki ekosistem antara lain terumbu karang, mangrove, dan padang lamun Ketiga komponen ekosistem tersebut pada saat ini mengalami penurunan daya dukung seperti rusaknya ekosistem terumbu karang di kawasan tersebut yang diakibatkan oleh aktivitas penangkapan ikan sebagian nelayan dengan menggunakan bahan peledak (CII 2005) yang sangat mengancam perkembangbiakkan dan pertumbuhan terumbu karang termasuk biota ikan. Ancaman lain adalah banyaknya pohon mangrove yang ditebang untuk lahan pertanian (kelapa dan coklat) oleh penduduk setempat dan pemukiman (Wallace 1999). Pembukaan lahan ini memberikan kontribusi terhadap abrasi pantai, yang pada gilirannya akan mengakibatkan terbentuknya deposit sedimen yang dapat menyebabkan kerusakan bahkan kematian terumbu karang dan padang lamun. Zamani et al. (2007) melaporkan bahwa secara spasial luasan terumbu karang di Kepulauan Togean dari hasil klasifikasi citra tahun 2001 dibandingkan hasil klasifikasi citra tahun 2007 menunjukkan bahwa terjadi penurunan luasan karang dari 11 064 ha pada tahun 2001 turun menjadi 9 768 ha pada tahun 2007 atau selama 6 tahun terjadi penurunan luas terumbu karang sebesar 1 296 ha (11.72%). Perbandingan hasil pengamatan MRAP pada tahun 1998 dengan hasil survey lapang pada tahun 2007 dengan menggunakan metode LIT (Line Intercept Transect), penurunan luas ini tidak selalu menyebabkan terjadinya penurunan persentase penutupan terumbu karang pada setiap stasiun pengamatan. Luasan mangrove dari 5 323 ha pada tahun 2001 turun menjadi 5 051 ha pada tahun 2007, atau selama 6 tahun terjadi penurunan luas mangrove sebesar 272 ha (5.1% dari luas pada tahun 2001). Ekosistem padang lamun di Kepulauan Togean relatif lebih sedikit bila dibandingkan dengan ekosistem karang maupun ekosistem mangrove, pada tahun 2001 seluas 281 ha dan pada tahun 2007 terjadi penurunan menjadi 190 ha. atau selama 6 tahun terjadi penurunan sebesar 92 ha (32.6%). Penurunan ini mengakibatkan berbagai dampak baik fisik seperti abrasi
6
dan sedimentasi, maupun dampak biologi seperti hilangnya zonasi mangrove dan habitat fauna mangrove.
Selain itu, tangkap lebih terhadap penyu, kimah,
teripang, ikan napoleon juga terjadi dan semuanya diperuntukkan bagi kepentingan ekonomi dan kebutuhan sosial penduduk. Namun, beberapa lokasi obyek wisata memiliki kualitas dan kuantitas terumbu karang yang baik dibanding kawasan yang dimanfaatkan untuk kegiatan perikanan (Zamani et al. 2007). Kebijakan pengelolaan sumberdaya Kepulauan Togean khususnya di Gugus Pulau Batudaka yang dilakukan selama ini belum memberikan hasil yang nyata terhadap kesejahteraan masyarakat lokal dari sisi sosial ekonomi kegiatan wisata bahari karena kurangnya melibatkan masyarakat. Penetapan kawasan ini menjadi taman nasional juga menimbulkan keresahan masyarakat saat ini. Disamping itu, masih banyak terjadi kegiatan pemanfaatan sumberdaya yang sifatnya merusak. Hal ini menunjukkan ketidakberhasilan TNKT, pemerintah setempat dan masyarakat lokal dalam menangani berbagai permasalahan pengelolaan kawasan baik dalam penetapan zonasi maupun pemanfaatannya untuk berbagai kegiatan. Berdasarkan uraian di atas, permasalahan pokok yang perlu dijawab yaitu : 1 Bagaimana interaksi sifat ekologis perairan tehadap keterkaitan kesesuaian pemanfaatan ruang serta berapa besar daya dukung lingkungan di zona pemanfaatan Gugus Pulau Batudaka untuk kegiatan wisata dan perikanan; 2 Bagaimana pengelolaan yang efektif dan lestari dalam pemanfaatan untuk wisata dan perikanan yang terintegrasi secara spasial di kawasan tersebut. Adapun kerangka pemikiran integrasi wisata-perikanan dalam pengelolaan Gugus Pulau Batudaka tertera pada Gambar 1.
7
Sistem Sosial Ekologi Gugus Pulau Batudaka
Potensi Sumberdaya dan Sosial Ekonomi PPK
Pemanfaatan Gugus Pulau Batudaka (Wisata, Perikanan dan lainnya)
Pengelolaan PPK
Pendekatan DPSIR : Analisis faktor-faktor penyebab tekanan terhadap ekosistem di Gugus Pulau Batudaka Sistem Sosial Ekologi
Daya dukung (EFA) Analisis Sosial (CLSA, HANPPP) Valuasi ekonomi : - Wisata - Perikanan
Permasalahan : - Interaksi ekologis terhadap keterkaitan kesesuaian pemanfaatan ruang dan daya dukung lingkungan antara wisata dan perikanan? - Pengelolaan lestari?
Feedback Analysis
Kesesuaian ruang (GIS)
Model Dinamik No (-)
Sesuai Yes (+)
Verifikasi dan Validasi No (-)
Sesuai Yes (+) Kebijakan PPK Berkelanjutan
Pemanfaatan Ruang Optimal
Model Integrasi Wisata-Perikanan di Gugus Pulau Batudaka
Gambar 1 Kerangka pemikiran model integrasi wisata-perikanan Gugus Pulau Batudaka
8
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian Tujuan utama penelitian adalah mendesain pemanfaatan ruang kawasan Gugus Pulau Batudaka berbasis sistem sosial ekologi secara berkelanjutan. Tujuan khusus penelitian : 1
Menganalisis interaksi sifat ekologis perairan dan mengestimasi daya dukung lingkungan dan sumberdaya kawasan Gugus Pulau Batudaka yang dapat dimanfaatkan bagi kegiatan wisata dan perikanan berkelanjutan;
2 Merumuskan pengelolaan wisata-perikanan yang terintegrasi secara spasial di Gugus Pulau Batudaka. Manfaat penelitian adalah : 1
Tersedianya data dan informasi tentang kesesuaian pemanfaatan ruang untuk kegiatan wisata dan perikanan sesuai daya dukung lingkungan di Gugus Pulau Batudaka;
2 Sebagai salah satu acuan bagi pengambil kebijakan dalam perumusan dan pengimplementasian pengelolaan PPK di Kepulauan Togean; 3
Sebagai salah satu contoh pendekatan aplikasi model integrasi wisataperikanan dalam pengelolaan PPK di Indonesia.
1.4 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian adalah : 1
Penelitian difokuskan pada pendekatan DPSIR (Drivers–Pressures– States–Impacts–Responses) untuk mengetahui keterkaitan faktor-faktor penyebab terjadinya tekanan terhadap ekosistem dan kesesuaian pemanfaatan ruang (GIS) yang memberikan gambaran dampak aktivitas utama masyarakat terhadap tata guna lahan dan kondisi perairan di Gugus Pulau Batudaka;
2 Penilaian intensitas penggunaan wisata dan perikanan dalam hubungannya dengan kapasitas area di kawasan tersebut menggunakan pendekatan Ecological Footprint Analysis/EFA, HANPP (Human Appropriation of Net Primary Production), CLSA (Coastal Livelihood System Analysis) serta valuasi ekonomi pemanfaatan Gugus Pulau yang diintegrasikan dengan optimasi model dinamik untuk kegiatan wisata dan perikanan secara berkelanjutan.
9
1.5
Kebaruan (Novelty) Kebaruan dari penelitian berdasarkan kerangka pendekatan sistem sosial
ekologi
dengan
mengintegrasikan
faktor
metabolisme
sosial
yang
direpresentasikan berdasarkan daya dukung ekologis (EF, HANPP) dan analisis temporal kesesuaian menghasilkan adaptif zoning bagi pemanfaatan wisata dan perikanan sebagai alat bantu desain tata letak pemilihan kawasan wisata, perikanan di PPK. Inti dari kerangka pemikiran-analisis (Core of Analytical Framework) yakni pendekatan sistem sosial ekologi menggunakan DPSIR untuk penggalian isu dan permasalahan pemanfaatan Gugus Pulau Batudaka yang dijabarkan melalui respon sosial, ekonomi, dan ekologi menggunakan metode analisis yang sesuai, maka keterbatasan (limitation) dalam penelitian tertera pada tabel berikut. Tabel 1 Keterbatasan (limitation) yang ada di metode penelitian No. 1
Metode DPSIR
2
Kesesuaian pemanfaatan (GIS)
3
TEF, FEF
4 5
HANPP CLSA
6
Valuasi ekonomi
7
Analisis dinamik
Keterbatasan Tidak semua unsur yang difokuskan pada masalah penelitian dapat tercakup dengan cepat dan mudah, terutama semua komponen masyarakat tidak dapat duduk bersama yang berimplikasi pada kebutuhan maupun penurunan respon (sosial, ekonomi, dan ekologi). Pemanfaatan ruang untuk kegiatan budidaya rumput laut memerlukan analisis temporal yang lebih detail berkaitan waktu pemeliharaan. Ketersediaan data sekunder untuk wisata dan perikanan yang terbatas. Data produksi ikan di kawasan studi Implementasi pengembangan mata pencaharian masyarakat berbasis insentif Ketersediaan data primer dan sekunder untuk wisata, perikanan Kelambatan waktu (delay time) pertumbuhan populasi penduduk dan ikan tidak dipertimbangkan dalam model karena hal tersebut merupakan kajian tersendiri;
10
11
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Batasan dan Definisi Pulau-Pulau Kecil (PPK) Secara umum pulau-pulau kecil atau gugusan pulau-pulau kecil adalah kumpulan pulau-pulau yang secara fungsional saling berinteraksi dari sisi ekologis, ekonomi, sosial dan budaya, baik secara individual maupun secara sinergis dapat meningkatkan skala ekonomi dari pengelolaan sumberdayanya. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menyatakan bahwa pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2 000 km2 beserta kesatuan ekosistemnya. Secara ekologis pulau kecil terpisah dari pulau induk (mainland island), memiliki batas fisik yang jelas dan terpencil sehingga bersifat insular, memiliki sejumlah biota endemik, keanekaragaman biota yang tipikal dan bernilai ekonomis tinggi. Pulau kecil memiliki daerah tangkapan air (water catchment area) relatif kecil sehingga sebagian besar aliran permukaan dan sedimen akan langsung masuk ke laut. Kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat bersifat khas dibandingkan dengan pulau induknya (DKP 2001). Ada tiga kriteria tentang batasan PPK yaitu : 1) batasan fisik pulau (luas pulau), 2) batasan ekologis, proporsi spesies endemik dan terisolasi, dan 3) keunikan budaya. Selain kriteria tersebut, indikasi besar-kecilnya pulau terlihat dari kemandirian penduduknya dalam memenuhi kebutuhan pokok (Dahuri 1998). Bengen dan Retraubun (2006) menggolongkan pulau berdasarkan proses geologinya : 1. Pulau Benua (Continental Island), terbentuk sebagai bagian dari benua dan setelah itu terpisah dari daratan utama, tipe batuan kaya akan silika. Biota yang terdapat dalam tipe ini sama dengan yang terdapat di daratan utama; 2. Pulau Vulkanik (Volcanic Island), terbentuk dari kegiatan gunung berapi yang timbul perlahan-lahan dari dasar laut ke permukaan. Tipe batuan dari ini adalah basalt, silika (kadar rendah); 3. Pulau Karang Timbul (Raised Coral Island) terbentuk oleh terumbu karang yang terangkat ke atas permukaan laut karena proses geologi. Jika
12
proses ini berlangsung terus, maka karang yang timbul ke permukaan laut berbentuk teras-teras seperti sawah di pegunungan; 4. Pulau Daratan Rendah (Low Island), adalah pulau dengan ketinggian daratannya dari muka laut rendah. Pulau-pulau dari tipe ini paling rawan terhadap bencana alam, seperti angin taufan dan tsunami; 5. Pulau Atol (Atolls) adalah pulau karang yang berbentuk cincin, umumnya adalah pulau vulkanik yang ditumbuhi oleh terumbu karang yang berbentuk fringing reef
kemudian menjadi barrier reef dan akhirnya
menjadi pulau atol. Hehanusa (1993) membuat klasifikasi PPK di Indonesia berdasarkan morfologi dan genesis pulau yaitu : (1) Pulau Berbukit dan, (2) Pulau Datar. Pulau Berbukit terdiri atas : Pulau Vulkanik, Pulau Tektonik, Pulau Teras Terangkat, Pulau Petabah (monadnock) dan Pulau Gabungan. Pulau Datar terdiri atas : Pulau Aluvium, Pulau Koral dan Pulau Atol yang memiliki luas daratan lebih kecil dari 50 km2. Ongkosongo (1998) lebih menekankan pada proses pembentukan pulau tersebut, yaitu: 1
Penurunan muka laut, contohnya, P. Akat, P. Sekikir, P. Abang Besar di Kepulauan Riau;
2
Kenaikan muka laut, contohnya Kepulauan Lingga, P. Batam, P. Karimun Kecil, juga di Kepulauan Riau;
3
Tektonik, zona penunjaman (subduction), contohnya P. Christmas, P. Nias
4
Tektonik, zona pemekaran (spreading), contohnya Kepulauan Hawai;
5
Amblesan daratan, contohnya P. Digul;
6
Erosi, contohnya P. Popole di Jawa Barat;
7
Sedimentasi contohnya : pulau-pulau di Segara Anakan, P. Bengkalis;
8
Volkanisme, contohnya P. Krakatau, P. Ternate, P. Manado Tua;
9
Biologi, biota terumbu karang dan asosiasinya, contoh di Kep. Seribu;
10 Biologi, Biota lain (mangrove, lamun dan lain-lain), contohnya P. Karang Anyar, P. Klaces, dan P. Mutean di Segara Anakan; 11 Pengangkatan Daratan, contohnya P. Manui di Sulawesi Tengah; 12 Buatan Manusia, contohnya Lapangan Udara Kansai Osaka Jepang; 13 Kombinasi berbagai proses, contohnya P. Rupat.
13
Karakteristik PPK yang dibandingkan dengan pulau besar dan benua berdasarkan karakteristik geografis, geologi, biologi, dan ekonomi (Tabel 2). Tabel 2 Karakteristik geografi, geologi, biologi dan ekonomi pulau kecil, pulau besar, dan benua Pulau Kecil Jauh dari benua Dikelilingi oleh laut luas
Area kecil Suhu udara stabil Iklim sering berbeda dengan pulau besar terdekat
Umumnya karang atau vulkanik Sedikit mineral penting Tanahnya porous/ permeabel Keanekaragaman hayati teresterial rendah, namun memiliki sejumlah spesies endemik yang bernilai ekologis tinggi Keanekaragaman hayati laut tinggi, dengan laju pergantian jumlah jenis tinggi akibat perubahan lingkungan Tinggi pemijahan massal hewan laut bertulang belakang Sedikit sumberdaya daratan Sumberdaya laut penting Jauh dari pasar
lebih
Pulau Besar Karakteristik Geografis Dekat dari benua Dikelilingi sebagian oleh laut yang sempit Area besar Suhu udara agak bervariasi Iklim mirip benua terdekat
Karakteristik Geologi Sedimen atau metamorphosis beberapa mineral penting Beragam tanahnya Karakteristik Biologi Keanekaragaman hayati sedang
Pergantian rendah
Benua Area sangat besar Suhu udara bervariasi Iklim musiman
Sedimen atau metamorfosis beberapa mineral penting Beragam tanahnya Keanekaragaman tinggi
hayati
agak
Pergantian spesies biasanya rendah
Sering pemijahan massal hewan laut bertulang belakang Karakteristik Ekonomi Sumberdaya daratan agak luas Sumberdaya laut lebih penting Lebih dekat pasar
Sedikit pemijahan massal hewan laut bertulang belakang
spesies
Sumberdaya daratan luas Sumberdaya laut tidak penting Pasar relatif mudah
sering
Sumber : Modifikasi Salm et al. (2000) dalam Bengen dan Retraubun (2006)
2.2 Sistem Ekologi dan Ekonomi Pulau-Pulau Kecil Menurut Briguglio (1995) karakteristik PPK yang unik yaitu berukuran kecil, terisolasi, ketergantungan, rentan dan secara ekonomi hal ini tidak menguntungkan karena akan menimbulkan keterbatasan sokongan sumberdaya, ketergantungan kisaran diversifikasi produk, keterbatasan
mempengaruhi
perubahan harga produk, keterbatasan kompetensi lokal dan pengembangan skala
14
ekonomi. Faktor isolasi akan mengakibatkan tingginya biaya transpor per unit serta ketidakpastian suplai, namun beberapa pulau yang telah dikembangkan untuk pariwisata seperti di Kepulauan Maldive, Fiji, Karibia, keterbatasan tersebut dapat diatasi secara ekonomi (Ghina 2003). Maldive yang telah berkembang sebagai negara pariwisata bahari dikunjungi sekitar 500 000 turis setiap tahunnya. Kepulauan Karibia mampu mengembangkan pariwisata bahari berbasis pulaupulau kecil dengan kontribusi 12% bagi PDB dari kunjungan 100 juta turis setiap tahunnya.
Pulau kecil Newfoundland (Kanada), dan Texel (Belanda),
dikembangkan sebagai sumber energi berbasis tenaga matahari dan angin, budidaya perikanan dan pertanian, serta pariwisata. PPK cenderung rentan terhadap bencana alam. Sifat rentan dimaksudkan karena memiliki kerapuhan ekologis (ecological fragility). Ghina (2003) merangkum dari berbagai sumber mengenai karakteristik pengelolaan PPK berdasarkan sifat kerentanannya yaitu karena keterpencilan, ukuran fisik kecil, kerapuhan dan keunikan ekologis, pertumbuhan populasi manusia yang cepat dan kepadatan tinggi, sumber alam yang terbatas terutama daratannya, ketergantungan tinggi pada sumberdaya laut, peka dan mudah terekspose akibat bencana alam, peka terhadap naiknya permukaan air laut dan perubahan iklim. Karakteristik lainnya yakni pasar domestik kecil, ketergantungan barang ekspor dan impor yang tinggi, ketidak-mampuan untuk mempengaruhi harga internasional, tingginya biaya/unit pengangkutan, marginal, ketidakpastian persediaan barang, harus menyimpan sejumlah besar barang, kerentanan perdagangan : ketergantungan tinggi pada pajak perdagangan, industri domestik yang rentan, ketergantungan pada pilihan/preferensi perdagangan, pembatasan pada kompetisi domestik, berbagai kesulitan dalam menarik investasi langsung dari luar, peluang investasi dan jasa komunikasi terbatas,
permasalahan
administrasi pemerintahan,
ketergantungan pada keuangan eksternal. Kaly et al. (2004) menambahkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan kerentanan tersebut karena bencana alam, masalah perbatasan, migrasi, kerusuhan, pemisahan secara geografis, pemanfaatan ekonomi, pasar internal yang kecil dan kerusakan sumberdaya. Prinsip utama pembangunan PPK secara terpadu dan berkelanjutan, harus mempertimbangkan kriteria ekologi, ekonomi, dan sosial (Kay dan Alder 2005).
15
Hal ini didasarkan pada karakteristik dan dinamika PPK yang merupakan suatu sistem dinamis saling terkait antara sistem komunitas manusia dengan sistem alam sehingga kedua sistem inilah yang bergerak dinamik dalam kesamaan besaran, untuk itu diperlukan integrasi pengetahuan dalam implementasi pengelolaan PPK. Integrasi inilah yang dikenal dengan paradigma Social Ecological System (SES) (Adrianto dan Aziz 2006). Pemikiran alternatif yang memberikan penjelasan bagaimana sistem ekonomi bekerja dalam sebuah delineasi ekosistem sangat diperlukan. Arus pemikiran utama ecological economics (EE) yang berkaitan dengan nilai lebih (surplus value) dalam konteks keterbatasan ekosistem yakni memfokuskan diri pada hubungan yang kompleks, non-linier dengan waktu yang lebih panjang antara sistem alam dan sistem ekonomi. Komitmen normatif dari arus pemikikan utama EE adalah berusaha mewujudkan terciptanya “masyarakat yang bukan tanpa batas” (frugal society), dalam arti bahwa kehidupan masyarakat berada dalam keterbatasan sistem alam baik sebagai penyedia sumberdaya maupun penyerap limbah (Adrianto 2004). Paradigma SES membicarakan unit ekosistem seperti wilayah pesisir PPK, ekosistem mangroves, terumbu karang dan lainnya berasosiasi dengan struktur dan proses sosial yang ada di mana aspek sistem alam (ekosistem) dan sistem manusia tidak dapat dipisahkan. Pengelolaan pendekatan ekosistem di pesisir dan PPK dapat dinyatakan sebagai suatu simbiosis pandangan yang respek kepada sistem alam, yang mengintegrasikan pandangan ekonom, enjinir, dan ekolog, untuk bersama-sama untuk melindungi fungsi sistem alam untuk secara terus menerus menghasilkan jasa-jasa ekosistemnya. Begitu pula sebaliknya para ekonom/enjinir senantiasa membutuhkan ekolog, dengan maksud jika terjadi penurunan jasa sumberdaya alam maka akan menghasilkan pula penurunan nilai ekonomi ekosistem tersebut dan berimplikasi pada penurunan kesejahteraan sosial. Kedua pandangan ini dapat dianalogikan sebagai suatu potret perpaduan pandangan Charles Darwin (ekolog)– Adam Smith (ekonom). kolaboratif, dalam suatu area geografik dengan multifaktor eksternal/internal yang terkait indikator kunci pengelolaan pendekatan ekosistem adalah membangun keberlanjutan keseimbangan ekologis dan sosioekonomi. Pendekatan ini menjadi prinsip dasar pemandu dalam strategi perencanaan untuk wilayah Pesisir PPK. Pemangku kepentingan terlibat secara
16
kolaboratif dalam perencanaan, sehingga bagi mereka akan bermanfaat dan dapat mengerti dan memprediksi adaptasi pengelolaan ke depan (Nganro dan Suantika 2009). Pemilihan pendekatan ekosistem ini berdasarkan kompleksitas sebagai proses interaksi, interkoneksi, jejaring, dinamik dan adaptif.
Perubahan
paradigma tersebut tertera pada Gambar 2.
Gambar 2 Perbandingan antara paradigma pengelolaan saat ini dengan pengelolaan berdasarkan pendekatan ekosistem (Nganro dan Suantika 2009) Pengelolaan pesisir pulau-pulau kecil dengan ’Konsep Ekosistem’ adalah lebih tepat dewasa ini digunakan sebagai falsafah dasar untuk pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia, karena merupakan konsep induk dengan perspektif lebih luas, integratif, mencakup proses interaksi dinamika lingkungan hidup, ruang, wilayah, kawasan dan lain-lain, secara saintifik terukur dan terprediksi, dan telah diadopsi luas oleh negara-negara maju di dunia dan negara-negara lain anggota PBB, khususnya yang tergabung dalam Small Islands Development States/SIDS (Bass and Dalal-Clayton 1995). Informasi ekologis dalam Tabel 3 menunjukkan bahwa di wilayah pesisir perairan laut dangkal (perairan teritorial) dari pantai sampai kedalaman 200 m, merupakan wilayah yang paling produktif karena pengaruh kontribusi interaksi dari darat, tetapi perairan ini sangat rentan dari dampak degradasi akibat aktivitas manusia. Adapun produktivitas di perairan laut Zona Ekonomi Eksklusif (kedalaman >200 m) sangat dipengaruhi oleh produktivitas perairan dangkal.
17
Tabel 3 Potensi kemampuan, pemanfaatan jasa, dan ancaman pada ekosistem di sub-wilayah pesisir pulau-pulau kecil Subwilayah
Penjelasan
Potensi Kemampuan Jasa Ekosistem
Pemanfaatan Ekosistem
1) Pantai berpasir
di pantai terbuka, jauh dari muara sungai (estuari) terbuka kena ombak
tempat penyu
rekreasi konservasi
Kaya biodiversitas
Rekreasi
di perairan jernih, perairan dangkal, kedalaman 200 m; sangat peka kekeruhan, kenaikan suhu, pencemaran, sedimentasi; Jika terumbu karang hidup sehat meluas, pertanda banyak ikan tuna.
sangat produktif, tempat berbiak, berlindung ikan kerapu, tuna, kakap, udang, penyu, biota laut lain, rumput laut
Konservasi, pariwisata, perikanan perlindungan pantai, pulau- pulau kecil dari gelombang besar dan kenaikan muka laut
tangkapan ikan berlebih, racun ikan, pemboman, penambangan karang, erosi dari penggundulan vegetasi di darat
4) Padang lamun rumput laut
terdapat di antara terumbu karang dan mangrove (bakau)
sumber makanan, farmasi, kosmetik, industri biotek, dan sumber energi biofuel.
Tangkapan ikan berlebih, perusakan karang dan mangrove, pencemaran minyak, sedimentasi
5) Pantai berlumpur
terdapat di sekitar muara sungai (estuari), atau delta pertemuan air tawar dan laut (perairan payau) terdapat di sekitar muara sungai, tempat berlumpur, bau sulfur, perangkap debris sampah, kaya nutrisi, pencegah erosi, pelindung pantai sepenuhnya mangrove atau didominasi tumbuhan nipah
sangat produktif, tempat berbiak, tumbuh, berlindung ikan, udang, kepiting dan biota laut lain, kaya nutrisi alami produktivitas biologis tinggi, kaya siklus nutrisi. sangat produktif, kaya nutrisi, berbiak ikan, udang, kepiting, kaya udang, kepiting, udang; tempat beberapa mamalia, reptil, burung; produksi primer sangat tinggi
Konservasi
perusakan habitat, pencemaran minyak.
jalur pelayaran, akuakultur, perikanan tradisionil sumber kayu untuk konstruksi, reklamasi lahan, akuakultur, pariwisata, industri biotek dan perlindungan bentuk pantai sumber kayu, rumah tradisional, reklamasi lahan basah, tempat akuakultur dan sumber gula atau bioethanol
sampah, pencemaran banjir, sedimentasi
pariwisata, tangkap budidaya.
pencemaran
2) Pantai berbatu 3) Terumbu karang
6) Estuari/ Delta 7)Mangrove (hutan bakau)
8) Hutan rawa pasang surut
9) Laguna
10) PulauPulau Kecil
agak tertutup, sedikit terbuka, jalan masuk dari laut dapat berubah-ubah Terdiri dari gosong karang, pulau karang muncul, atol, vulkanik; pulau benua; ukuran luas kurang dari 2 000 km2. Jumlah seluruh Indonesia > 17 000 ragam pulau-pulau.
Sumber : Bass dan Dalal-Clayton (1995)
bersarang
siklus nutrisi tinggi, tempat makan ikan, udang, kepiting saat pasang naik, perangkap sedimen produktivitas ikan, udang, kepiting, tempat berbiak secara alami biota laut lain masing-masing pulau dianggap mempunyai ekosistem unik.
Jasa
navigasi, ikan,
pariwisata, pemukiman, stasiun pengamat, pertanian subsisten, marikultur sumber bioindustri masa depan, termasuk biofood & biofuel.
Ancaman perusakan habitat, tambang pasir, tumpahan minyak Erosi pantai
tumpahan minyak, pestisida-pupuk dari pertanian, pembabatan kayu mangrove, pembukaan tambak berlebihan tumpahan minyak pestisida-pupuk berlebih dari pertanian, pembabatan nipah/bakau
air tanah minim, intrusi air laut; limbah; penduduk padat; Penebangan vegetasi, pemanasan global, lenyapnya pulau- pulau kecil akibat kenaikan muka laut 15-19 mm/tahun.
18
Keberadaan ekosistem yang sehat pasti akan menghasilkan jasa-jasa ekosistem. Indikasi ini sesungguhnya mengandung komponen-komponen jasa yang diperlukan untuk kehidupan manusia dan mahluk lainnya di wilayah pesisir. Jasa-jasa ekosistem tersebut dapat menjadi motor penggerak keberlanjutan kegiatan ekonomi masyarakat. Jasa-jasa ekosistem sehat yang dapat diperoleh masyarakat (Millennium Ecosystem Assessment 2005), meliputi: (1) Keamanan dalam hal kenyamanan individu masyarakat karena makanan tercukupi; akses terpenuhi untuk memperoleh sumberdaya hayati laut; aman dari bencana karena lingkungan disekitarnya tidak rusak; (2) Kebutuhan dasar masyarakat terpenuhi untuk berkehidupan, misalnya mata pencaharian mudah karena ikan melimpah; makanan bergizi terpenuhi; pemukiman sehat; akses mudah untuk mendapatkan barang-barang yang diperlukan; (3) Kondisi kesehatan masyarakat baik, kuat, sehat, mudah mendapatkan air dan udara bersih; (4) Hubungan sosial baik, saling menghormati dan mempunyai kemampuan saling membantu satu dengan lainnya. Holling (1986) menyatakan bahwa tantangan pengelolaan sumberdaya alam saat ini adalah semakin besarnya perubahan ekologis dan sosial yang menyebabkan munculnya kejutan-kejutan dan ketidakpastian yang semakin tinggi. Pesisir dan pulau kecil merupakan sebuah sistem dimana aspek ekologi dan aspek sosial terkait sangat erat dan merupakan sebuah sistem yang terintegrasi. Kedua aspek ini memiliki kompleksitas dan terus berubah dimana keduanya bersifat nonlinier dan menempati batas tertentu dalam dinamikanya (Folke et al. 2002). Pengelolaan
pesisir
dan
PPK
sebagaimana
dengan
pengelolaan
sumberdaya lain umumnya masih didasarkan pada asumsi adanya daya dukung ekosistem untuk menghasilkan produksi dan jasa lingkungan secara terus menerus, dan kegiatan produksi dapat dikontrol sepenuhnya. Gunderson et al. (1995) menyatakan bahwa simplifikasi lansekap darat dan laut untuk produksi sumberdaya tertentu dalam jangka pendek memang dapat menyuplai kebutuhan pasar, tetapi dengan pengorbanan penurunan diversitas umumnya pengelola sumberdaya berupaya untuk mengontrol proses perubahan pada lansekap tersebut untuk menstabilisasi output dari ekosistem dan mempertahankan pola konsumsi manusia (Holling dan Meffe 1996).
19
Pentingnya keberadaan ekosistem terumbu karang bagi manusia dapat dilihat dalam fungsi ekologisnya bagi biota laut dan lingkungan sekitarnya. Adapun produk barang dan jasa yang menghasilkan manfaat/ nilai ekonomi (Tabel 4). Tabel 4 Fungsi ekologis barang dan jasa dari ekosistem terumbu karang Barang dan Jasa Sumberdaya terbarui
Fungsi Ekologis Produk makanan laut, material dasar dan obat-obatan, material dasar lainnya (seperti rumput laut), bahan souvenir dan perhiasan, koleksi karang dan ikan hidup untuk perdagangan akuarium Penambangan terumbu karang Pasir untuk bangunan dan jalan Jasa struktur fisik Perlindungan garis pantai, membentuk daratan, mendukung pertumbuhan mangrove dan lamun, pembangkitan pasir karang Jasa biotik (di dalam ekosistem) Merawat habitat, pustaka genetik dan biodiversitas, regulasi fungsi dan proses ekosistem, merawat daya lentur kehidupan Jasa biotik (antar ekosistem) Mendukung kehidupan ”mobile link’, ekspor produksi organik seperti jaring makanan (food web) pelagis Jasa bio-geo-kimia Fiksasi Nitrogen, Kontrol neraca CO2/Ca, asimilasi limbah Jasa informasi Memantau dan rekaman polusi, pengawasan iklim Jasa sosial dan budaya Dukungan rekreasi, turisme, nilai estetika dan inspirasi artistik, kelangsungan mata pencaharian masyarakat, dukungan budaya, nilai spiritual dan reliji Sumber : diadopsi dari Moberg dan Folke (1999)
Potensi Ekonomi Sumberdaya Ekosistem Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil seperti yang diinformasikan oleh Costanza et al. (1997) tentang perkiraan kasar “Global Economic Values of Annual Ecosystem Services” tertera pada Tabel 5. Tabel 5 Perbandingan nilai ekonomi yang dihasilkan oleh beberapa tipe ekosistem dan jasa utama yang diperankan Tipe Ekosistem Estuari Rawa Padang lamun Mangrove/intertidal Danau, Sungai Terumbu Karang Hutan Tropis Pesisir Hutan subtropics Laut terbuka Padang rumput Lahan tanaman Padang pasir Tundra Kutub Urban
Nilai per Ha (US$/tahun) 22 832 19 580 19 004 9 990 8 498 6 075 2 007
Nilai Global (milyar $/tahun) 4 100 3 231 3 801 1 649 1 700 375 3 813
1 610 302 252 232 92 -
4 283 894 8 381 906 128 -
Sumber : Costanza et al. (1997)
Jasa Utama Siklus nutrient Suplai air dan gangguannya Siklus nutrien, makanan Penanganan lembah dan gangguannya Regulasi air Wisata Regulasi iklim, Siklus nutrien, material kasar Siklus nutrient Regulasi iklim, siklus nutrient Siklus nutrient Penanganan limbah Makanan 1 925 Juta Ha 74.3 Juta Ha 1 640 Juta Ha 332 Juta Ha
20
Tabel 6 Perkiraan nilai ekonomi sumberdaya perikanan Komoditi Perikanan Tangkap Laut Tangkap Perairan Umum Budidaya Laut (Mariculture) Budidaya Tambak Budidaya Air Tawar Industri Biotek Laut Total Nilai
Potensi (Ribu Ton/tahun) 5 006 356 46 700 1 000 1 039 -
Perkiraan Nilai (US$ Juta/tahun) 15 101 1 068 46 700 10 000 5 195 4 000 82 064
Sumber : Adrianto dan Wahyudin (2007)
Berdasarkan data LIPI, terdapat luas ekosistem terumbu karang di Indonesia sekitar 85 700 ha. Perhitungan kasar dapat ditaksir potensi wisata laut pada ekosistem ini mencapai US$ 520.6 Juta per-tahun. Terumbu karang di Perairan Nusantara ini mencakup fringing reef seluas 14 542 km2; barrier reefs (50 223 km2); oceanic platform reefs (1 402 km2) dan atolls (19 540 km2). Pada World Ocean Conference (WOC) di Manado 2009, menyebutnya Perairan Nusantara (terutama di Wilayah Indonesia Timur) sebagai Coral Triangle of the World, karena terdapat biodiversitas karang 500-600 spesies yang terbesar di dunia sehingga di wilayah perairan ini menjadi pusat produktivitas ikan tuna dunia. Selanjutnya, luas perairan dangkal nasional yang cocok untuk budidaya laut (rumput laut, ikan kerapu, kakap, baronang, kerang) sekitar 24.5 juta ha (DKP 2002). Jika ditaksir kasar berdasarkan nilai yang dihitung oleh Costanza et al. (1997), maka dapat diperkirakan potensi nilai ekonomi ekosistem perairan tersebut (as coastal shelf) adalah sekitar US$ 39.4 Milyar per tahun (Nganro dan Suantika 2009). 2.3 Konservasi Sumberdaya Pulau-pulau Kecil Dalam Agenda 21 disebutkan bahwa untuk pengembangan pulau kecil diperlukan pengelolaan yang terintegrasi untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan serta perlindungan atas habitat dan sumberdaya alam. Dalam arti, skema pengelolaan membutuhkan penyatuan dalam hal dimensi ekologi, sosialekonomi dan budaya, sosial politik dan kelembagaan. Prasyarat dalam dimensi ekologi :
21
1 Aktivitas harus didasari perimbangan ekologi dan perencanaan spatial serta perencanaan penggunaan lahan merupakan puncak aktivitas yang sangat penting; 2 Kegiatan yang ada saat ini dan di masa mendatang harus terencana dan dikelola agar limbah yang dihasilkan di bawah kapasitas asimilasi lokal; 3 Sumberdaya alam yang dapat diperbaharui tidak dieksploitasi di atas kapasitas regenerasi. Dimensi sosial ekonomi dan budaya, pembangunan harus menyediakan kebutuhan dasar manusia dan pelayanannya dalam kerangka kapasitas regenerasi ekosistem asli. Dimensi sosial politik, aktivitas masa depan harus menjamin pengikutsertaan luas dari masyararakat dan bentuk partisipasi aktif pada setiap pengambilan keputusan. Dimensi kelembagaan, instansi pemerintah bertanggung jawab dalam integrasi dan koordinasi
pembangunan kepulauan kecil dengan
undang-undang maupun peraturan yang menjamin pelaksanaan yang bijaksana setiap aktivitas pembangunan yang dijalankannya. Instansi ini perlu menjabarkan tingkatan kompensasi masalah lingkungan dan pengelolaan sumberdaya alam, serta mempunyai kemampuan untuk berkerjasama dengan pihak luar (Cincin-Sain et al. 2002). Departemen Kelautan dan Perikanan (2001) telah menetapkan kebijakan mencakup 3 (tiga) aspek penting sebagai implementasi pengelolaan pulau kecil dan wilayah pesisir secara terpadu, yaitu : 1 Kebijakan tentang hak-hak atas tanah dan wilayah perairan pulau kecil. Aspek yang paling penting dalam kebijakan ini adalah bahwa untuk PPK dan wilayah perairannya yang dikuasai/dimiliki/ diusahakan oleh masyarakat hukum adat, maka kegiatan pengelolaan sepenuhnya berada di tangan masyarakat hukum adat itu sendiri. Oleh sebab itu, setiap kerjasama pengelolaan pulau-pulau kecil antara masyarakat hukum adat dengan pihak ketiga harus didasarkan pada kesepakatan yang saling menguntungkan dengan memperhatikan daya dukung lingkungan dan kelestarian sumberdaya. 2 Kebijakan pemanfaatan ruang pulau kecil. Dalam pemanfaatan ruang pulau faktor penting yang perlu diperhatikan di antaranya adalah :
22
a Tingkat kerentanan terhadap bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan ekologi, b Ketersediaan sarana prasarana, kawasan konservasi, endemisme flora dan fauna termasuk didalamnya yang terancam punah, c Karakter sosial, budaya, dan kelembagaan masyarakat lokal, d Tata guna lahan dan pemintakatan (zonasi) laut, e Tingkat pengelolaan suatu pulau kecil harus sebanding dengan skala ekonominya agar dapat diperoleh tingkat efisiensi yang optimal. 3 Kebijakan pengelolaan pulau kecil dan wilayah pesisir. Beberapa aspek penting dalam pengelolaan PPK yang perlu dipertimbangkan di antaranya adalah : keseimbangan/stabilitas lingkungan, keterpaduan kegiatan antar wilayah darat dan laut sebagai satu kesatuan ekosistem dan efisiensi pemanfaatan sumberdaya. Selain itu, pemerintah harus menjamin bahwa pantai dan perairan pulau-pulau kecil merupakan akses yang terbuka bagi masyarakat. Pengelolaan PPK yang dilakukan oleh pihak ketiga harus memberdayakan masyarakat lokal, baik dalam bentuk penyertaan saham maupun kamitraan lainnya secara aktif dan memberikan keleluasaan aksesibilitas terhadap PPK tersebut. Secara umum, pengelolaan pembangunan harus mengacu pada kaídah pembangunan
yang
berkelanjutan.
Beller
(1990)
menyatakan
bahwa
pembangunan berkelanjutan di pulau kecil bergantung kepada seberapa besar jumlah penduduknya dapat mempertahankan kondisi sumberdaya alam, termasuk energi dan air, serta lingkungan ekosistem baik biofisik maupun tata nilai budaya. Salah satu upaya awal untuk mendorong dan mempertahankan dinamika pembangunan yang berkelanjutan di wilayah pesisir dan laut adalah melalui pengelolaan kawasan yang mempertimbangkan kondisi sumberdaya alam dan pemanfaatan yang tidak melebihi kapasitas daya dukung lingkungan yang dimilikinya. Konsep daya dukung lingkungan yang paling mendasar adalah menjelaskan hubungan antara ukuran populasi dan perubahan dalam sumberdaya dimana populasi tersebut berada. Hal tersebut diasumsikan bahwa terdapat suatu ukuran populasi yang optimal yang dapat didukung oleh sumberdaya tersebut. Daya dukung merupakan satu sistem manajemen diarahkan pada pemeliharaan atau restorasi dari ekologis dan kondisi sosial yang bisa diterima, disesuaikan
23
dengan sasaran manajemen area dimana tak satu pun sistem diarahkan pada manipulasi dari taraf penggunaannya (Hall dan Lew 1998), serta berkaitan dengan wisata maka daya dukung wisata adalah jumlah maksimum orang yang berkunjung pada satu tujuan wisata dalam waktu yang sama tanpa merusak lingkungan fisik, ekonomi, dan sosial (WTO 1992). Pembangunan merupakan suatu proses terjadinya perubahan dalam meningkatkan taraf kehidupan manusia tidak terlepas dari aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam tersebut.
Perubahan–perubahan yang terjadi dalam suatu
sumberdaya suatu kawasan, baik yang diakibatkan oleh aktivitas manusia, maupun yang terjadi secara alami (natural process) merupakan wujud dinamika adanya proses kehidupan di kawasan tersebut yang berdampak kepada kestabilan pada semua ekosistem kehidupan. Perencanaan pembangunan pada suatu kawasan pesisir harus didasari dengan konsep–konsep model kajian yang strategis dan efektif untuk menjamin keberlanjutan melalui pendekatan sistem ekologi, ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat pesisir. Pembangunan berkelanjutan menjadi paradigma utama dalam khasanah dunia pengelolaan wilayah pesisir pada akhir abad 20 yang mendasari konsep berkelanjutan yaitu integritas lingkungan, efisiensi ekonomi, dan keadilan sosial (Kay dan Alder 2005).
Konsep
pengelolaan wilayah pesisir di dalam filosofinya mengenal prinsip keseimbangan antara pembangunan dan konservasi. Menurut The Encyclopedia Americana, konservasi diartikan sebagai manajemen lingkungan yang dilakukan sedemikian rupa sehingga menjamin pemenuhan kebutuhan sumberdaya alam bagi generasi yang akan datang. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya menyatakan bahwa konservasi didefinisikan sebagai manajemen biosfer secara berkelanjutan untuk memperoleh manfaat bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Kawasan pelestarian alam untuk kawasan laut dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Kawasan ini memiliki 2 (dua) bentuk kawasan perlindungan, yaitu Kawasan Taman Nasional dan Kawasan Taman
24
Wisata Alam. Kawasan Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam laut yang memiliki ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Taman Wisata Alam adalah kawasan pelestarian alam laut dengan tujuan utama pemanfaatannya bagi kepentingan parawisata dan rekreasi alam. IUCN (1994) menyatakan kawasan dilindungi (protected area) adalah suatu areal, baik darat maupun laut yang secara khusus diperuntukkan bagi perlindungan, pemeliharaan keanekaragaman hayati, budaya yang terkait dengan sumberdaya alam tersebut, dan dikelola melalui upaya-upaya yang legal atau upaya-upaya efektif lainnya.
Marine protected area (MPA) pertama kali
diperkenalkan pada tahun 1935 ketika didirikannya The Fort Jefferson National Monument di Florida seluas 18 850 ha wilayah laut dan 35 ha wilayah pesisir, menjadi pendorong bagi pembentukan MPA berikutnya. The Fort Jefferson National Monument telah mendapat perhatian khusus pada The World Congress on National Park tahun 1962. Selanjutnya, pada tahun 1982 kesatuan kerja dari MPA meliputi perpaduan antara wilayah laut, pesisir dan perairan tawar di daratan. MPA memiliki perbedaan bentuk, ukuran, karakteristik pengelolaan dan dibentuk berdasarkan perbedaan tujuan. Secara umum terdapat empat jenis MPA, yaitu: konservasi kawasan, konservasi jenis, konservasi jenis peruaya dan Marine Management Area (MMA) atau Area Terkelola Laut (IUCN 1991). Pengelolaan MPA mendapat perhatian khusus pada The World Congress on National Park and Protected Area yang ke-4 tahun 1992 di Caracas, yang tertuang dalam Action 3.5 meliputi: (1) Menggolongkan daerah pesisir-laut sebagai perlindungan alam di berbagai wilayah yang telah memberi sumbangan pada sistem global; (2) Melaksanakan program pengelolaan wilayah pesisir dan memastikan keberhasilan pengelolaan perlindungan alam daratan dan laut; (3) Mengembangkan dan menerapkan program pengelolaan MPA secara terpadu (IUCN 1994). Pada prinsipnya MPA berperan untuk memenuhi tujuan dari World Conservation Strategy, yaitu memadukan aktivitas konvervasi dengan nonkonservasi secara simultan, sehingga dapat meningkatkan manfaat dari pengguna. Aktivitas konservasi bertujuan untuk : (1) memelihara proses ekologis dan
25
melindungi sistem penyangga kehidupan, (2) mempertahankan/pengawetan keanekaragaman jenis beserta ekosistemnya, dan (3) pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, sedangkan aktivitas non-konservasi digunakan sebagai obyek penelitian, sarana pendidikan tentang flora-fauna dan ekosistemnya, sarana dan parasarana wisata alam. Tujuan pengembangan MPA adalah melakukan konservasi dan pemanfaatan sumberdaya hayati laut secara berkelanjutan, terutama yang terkait dengan keberlanjutan sumberdaya perikanan dan mengurangi dampak perubahan global climate (iklim dunia). Konservasi wilayah pesisir dan PPK menurut UU Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, adalah upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan PPK serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan sumberdaya pesisir dan PPK dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamanya.
Kawasan konservasi di wilayah pesisir dan PPK adalah
kawasan pesisir dan PPK dengan ciri khas tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan pengelolaan wilayah pesisir dan PPK secara berkelanjutan. Pengelolaan sumberdaya hayati pesisir dan laut secara berkelanjutan dilakukan dengan menyeimbangkan prinsip-prinsip perlindungan, pelestarian dan kepentingan pemanfaatan secara tepat dalam konteks sesuai dengan kondisi sosial, budaya dan ekonomi masyarakat setempat, terutama masyarakat setempat yang telah memiliki akses turun-temurun terhadap kawasan konservasi tersebut. Bentuk-bentuk pengembangan konservasi di Indonesia dilakukan dengan pendekatan wilayah berupa konsep pengembangan Kawasan Konservasi Laut (KKL) skala besar, KKL skala kecil, KKL daerah dan konsep MMA. Pengelolaan kawasan konservasi laut skala besar, seyogyanya dikelola dengan melibatkan seluruh pihak yang berkepentingan, atau pengelolaan bersama/pendekatan comanagement.
Menurut CIT (2004), manajemen adaptif adalah suatu proses
formal “pembelajaran dari yang dikerjakan”, dimana aktivitas manajemen yang dirancang sebagai percobaan untuk menguji perbedaan asumsi manajemen dan hipotesis. Adaptive Co-Management (ACM) adalah suatu pendekatan kolaboratif ke manajemen adaptif yang melibatkan pemerintah, penasehat dan perencana yang dengan tegas dalam penetapan isu, pengembangan rencana dan luaran
26
manajemen. ACM bermakna sebagai hak tanggung-jawab, penetapan pihak yang terkait untuk belajar dalam suatu masa melalui tindakan sedemikian sehingga mereka dapat memodifikasi keputusan masa depan (“bagian yang adaptif”). Menurut Kay dan Alder (2005) zonasi didasarkan pada konsep pemisahan dan pengontrolan pemanfaatan yang tidak sesuai secara spasial, merupakan suatu sarana yang dapat diterapkan dalam berbagai situasi dan dapat dimodifikasi untuk disesuaikan dengan berbagai lingkungan ekologi, sosial ekonomi dan politik. Sebagian ahli berpendapat bahwa zonasi adalah sebagai pembagian kawasan (lindung dan budidaya) berdasarkan potensi dan karakteristik sumberdaya alam untuk kepentingan perlindungan dan pelestarian serta pemanfaatan guna memenuhi kebutuhan manusia secara berkelanjutan (Dahuri et al. 2003). Pekerjaan penataan ruang merupakan kegiatan yang cukup kompleks karena bersifat multi sektor, multi proses, dan multi disiplin. Beberapa aspek yang harus dikaji dalam penyusunan tata ruang pesisir PPK, yaitu aspek ekologi (biofisik), sosial
ekonomi,
budaya
dan
kebijakan.
Dalam kaitan
dengan
sistem
pengelolaannya, kawasan taman nasional ditata dalam sistem zonasi, yaitu pembagian ruang berdasarkan peruntukan dan kepentingan pengelolaan, seperti zona inti, zona pemanfaatan dan zona lainnya sesuai peruntukannya.
Pada
prinsipnya, sistem zonasi adalah pengaturan ruang untuk mengatur/mengelola jenis-jenis kegiatan manusia di dalam taman nasional laut, sehingga dapat saling mendukung dan diharapkan dapat mengakomodasikan semua kegiatan masyarakat di sekitar taman nasional tersebut. Pengelolaan kawasan konservasi laut skala kecil melalui pendekatan partisipatif (community-based), dalam hal ini masyarakat harus dilibatkan mulai dari identifikasi isu dan masalah sampai pada evaluasi dan monitoring. Persoalan sumberdaya dan lingkungan pada dasarnya terletak pada kenyataan manusia dapat melalui sebuah proses pembelajaran (learning process) secara evolusioner antar waktu sehingga manusia melakukan kegiatan ekonomi pada level terbaik pada suatu waktu sesuai dengan daya dukung lingkungan. Sistem manusia dan sistem alam pada dasarnya adalah proses berubahnya postulat dunia kosong (empty world) ke Postulat dunia penuh (full world). Postulat dunia kosong yakni dunia relatif kosong dari manusia dan infrastruktur, sedangkan
27
sumberdaya alam dan aset sosial berlimpah, atau dengan kata lain dunia dengan jumlah penduduk dan artefak yang sedikit namun penuh dengan sumberdaya alam sehingga fokus pembangunan pada pertumbuhan dan ekspansi, kompetisi bebas, siklus limbah terbuka (open waste cycles). Postulat dunia penuh berkaitan dengan kebutuhan
manusia
untuk
perbaikan
kualitas
hubungan
antara
unsur
pembangunan, aliansi kerjasama dan aliran tertutup daur limbah (recycled “closed loop” waste flows) (Costanza 2001; Adrianto 2005) Perubahan dari postulat dunia kosong ke dunia penuh menggambarkan bahwa pertumbuhan eonomi memiliki keterbatasan hingga suatu titik ekonomi menuju kondisi stabil (steady state ekonomi) (Costanza 2009). Arus pemikiran utama pembangunan ekonomi saat ini seringkali dipisahkan dari kenyataan lain yang muncul dari sistem alam. Pentingnya perhatian pada sistem alam menjadi alasan yang kuat bagi kebutuhan analisis dan pengelolaan lingkungan yang inovatif (Adrianto 2005). 2.4 Model Keberlanjutan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil 2.4.1 Pendekatan DPSIR (Drivers-Pressures-States-Impacts-Responses) Elliot et al. (2002) menyatakan penunjukan kawasan konservasi menimbulkan konflik dengan masyarakat setempat dalam hal pemanfaatannya. Berkaitan dengan pemantauan dan pengaturan keberlanjutan pengelolaan, diperlukan tools untuk menilai tingkat tekanan terhadap ekosistem yang diakibatkan oleh aktivitas manusia pada lingkungan dengan menggunakan model DPSIR/Drivers – Pressures – States – Impacts – Responses.
Model ini
diperkenalkan oleh European Environment Agency (EEA) yaitu konsep hubungan sebab akibat berdasarkan indikator lingkungan dengan menggunakan kategori berbeda (RIVM 1995). Model DPSIR bertujuan mengidentifikasi aspek-aspek atau parameter-parameter kunci pada suatu sistem dan memantau tingkat keberlanjutan dari pengelolaan (Bowen dan Riley 2003). Selanjutnya dinyatakan bahwa DPSIR merupakan suatu kerangka kerja untuk menentukan indikatorindikator tekanan pembangunan oleh manusia yaitu mengamati perubahanperubahan pada faktor sosial, ekonomi dan lingkungan pada suatu periode waktu tertentu. Isu-isu utama yang dipadukan dengan indikator pembangunan wilayah pesisir diukur dalam ukuran skala yakni skala spasial dan temporal. Isu-isu spasial
28
berkaitan dengan kondisi geografis atau luasan area yang di dalamnya termasuk perkembangan individu, rumah tangga, desa, kecamatan, kabupaten, nasional, regional maupun secara global.
Isu-isu temporal adalah berkaitan dengan
perubahan berdasarkan waktu pada saat indikator-indikator yang ada dipantau berdasarkan suatu interval waktu. Model DPSIR ini dapat digunakan untuk permasalahan pengelolaan biodiversity yang kompleks akibat dari kerusakan habitat/menurunnya spesies yang berhubungan dengan aktivitas sosial ekonomi masyarakat dalam skala ruang dan waktu. Penekanan ini juga memberikan gambaran penting hubungan antara perubahan ekosistem dan dampak perubahannya terhadap kondisi kesejahteraan masyarakat (Turner et al. 2000). Perubahan indikator lingkungan yang relevan terlihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Model DPSIR yang diperluas : turunan indikator lingkungan untuk mengevaluasi keberlanjutan pengelolaan sumberdaya alam (Turner et al. 2000) Model DPSIR ini dikembangkan untuk mengevaluasi masalah kerentanan di pulau kecil berdasarkan dengan tujuan, dimulai dengan definisi dan identifikasi tujuan sebagai indikator yang dibutuhkan. Berhubungan kerentanan penilaian, tujuan yang ada dapat mengurangi kerentanan alami yang ada. Langkah-langkah berikut merupakan pengembangan dari indikator kerentanan :
29
1
Ruang lingkup, berupa analisis yang menyangkut target sistem indikator, kebutuhan, persepsi, dan kapasitas untuk memahami dan menginterpretasikan hasil tersebut dibutukan ruang dan wilayah serta batasan waktu.
2 Pemilihan kerangka indikator yang sesuai, yang meliputi daerah (lingkungan, ekonomi, masyarakat); tujuan (kebutuhan dasar manusia, kemakmuran ekonomi); sektor publik (perumahan, kesehatan, pendidikan); isu (polusi industri, tingkat pengangguran); sebab akibat (kondisi-kondisi, tekanan, reaksi), dan kombinasi faktor-faktor yang ada; 3
Kriteria pemilihan berkaitan dengan kebenaran, perhitungan yang mudah, ketelitian, dan keefektifan biaya untuk mengumpulkan dan memproses data;
4 Identifikasi indikator potensial berkaitan dengan kerangka dan kriteria pemilihan; 5 Pemilihan indikator akhir berkaitan dengan tingkatan sebelumnya 6
Evaluasi pelaksanaan indikator berkaitan dengan langkah-langkah sebelumnya (Bowen dan Riley 2003). Melalui penggunaan model DPSIR dimungkinkan untuk pemahaman
mengenai suatu dampak yang ditimbulkan terhadap ekosistem dalam pengelolaan wilayah pesisir, yakni : 1) alasan mengapa dampak itu terjadi; 2) alternatif kemungkinan terjadinya tekanan oleh faktor-faktor pengarah (drivers) pada suatu lingkungan pesisir seperti hal-hal yang dikaitkan dengan berbagai parameter penilaian; 3) kebijakan-kebijakan politis apa yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah berkaitan dengan kondisi dan tingkat kerentanan lingkungan yang dipengaruhinya.
Setiap parameter yang telah dikelompokkan sebagai
drivers oleh peneliti ditentukan oleh kesesuaian dan kapasitas lingkungan yang ada. Pengembangan resiliensi/daya lenting sistem sosial ekologi merupakan kunci bagi pembangunan yang keberlanjutan (Berkes dan Seixas 2005).
Resiliensi
berhubungan dengan gabungan dinamika sistem manusia dan lingkungan yang menghindari penekanan atau pemisahan dari faktor lingkungan dan sosial, serta mempertimbangkan sepenuhnya kompleksitas dinamika yang ada di dalamnya (Berkes 2007) sehingga sangat sesuai dengan konsep ICM (Integrated Coastal Management) yang merupakan paradigma pengelolaan yang digunakan saat ini.
30
2.4.2 Pendekatan Ruang Ekologis (Ecological footprint Analysis) Kegiatan pemanfaatan sumberdaya harus selalu memperhatikan daya dukung lingkungan untuk keberlanjutannya. digunakan untuk
Banyak pendekatan yang dapat
menilai keberlanjutan dari kegiatan pemanfaatan sumberdaya
alam. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah Analisis Ruang Ekologis (Ecological Footprint Analysis) yang menunjukkan pemanfaatan sumberdaya alam oleh manusia dalam kehidupannya sehari-hari, untuk menghitung penggunaan lahan bioproduktif yang digunakan untuk menyokong populasi dunia yang dinyatakan dalam satuan hektar. Konsep ecological footprint pertama kali diperkenalkan oleh Wackernagel dan Rees pada tahun 1996 dalam bukunya yang berjudul Our Ecological Footprint: reducing Human Impact on the Earth, dijelaskan bahwa setiap manusia memerlukan lahan untuk konsumsi pangan dan papan (footprint pangan dan papan), untuk bangunan, jalan, dan infrastruktur lainnya, dan untuk kebutuhan energi (energy footprint), maka harus ada lahan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Jumlah footprint tersebut yang disebut ecological footprint diri kita (Lyndhurst 2003).
Indikator Ecological
footprint disebut juga indikator ecospace didefinisikan untuk menjawab seberapa besar area produktif dari daratan dan perairan (sebagai sumberdaya) bagi keberlajutan hidup manusia secara langsung untuk standar kehidupan dan dengan teknologi (Wackernegel dan Rees 1996). Analisis footprint di suatu wilayah penangkapan ikan dapat dihitung berdasarkan hasil tangkapan maksimum berbagai jenis ikan (Gulland 1991). Hasil tangkapan tersebut dikonversi dengan produktivitas primer berdasarkan trophic level berbagai jenis ikan yang tertangkap (Ewing et al. 2008; WWF 2008). Kebutuhan
ruang
ekologis
adalah
perbandingan
Primary
Productivity
Requirements/PPR dengan produktivitas primer sistem perairan (Pauly dan Christensen 1995). Menurut Moffat (2000) salah satu model ekologi-ekonomi yang dapat digunakan untuk menganalisis sebuah sektor dalam kerangka pembangunan kawasan pesisir secara berkelanjutan ini adalah pendekatan dinamika sistem (system dynamics) yang diiniasi oleh Forrester Tahun 1961 (Forrester 1994) Pendekatan tersebut menitikberatkan pada pemodelan perilaku antar variabel
31
(variable behavior) dalam sebuah sistem yang dalam studi ini adalah sistem pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan pesisir dan pulau kecil. Salah satu pendekatan dinamika sistem dalam kerangka pembangunan kawasan pesisir dan pulau kecil berkelanjutan adalah pendekatan model ECCO/Enhanced Carrying Capacity Option (Moffat dan Hanley 2001). Model ini memfokuskan diri pada identifikasi beberapa ukuran keberlanjutan yang kemudian digabungkan dengan kerangka model ekonomi makro. Dalam konteks pembangunan sumberdaya pesisir dan PPK, model ECCO lebih cocok karena konsep daya dukung tidak dapat dilepaskan sebagai input balance bagi pembangunan sektor ini. Pengembangan kawasan pesisir dan PPK harus mempertimbangkan faktor ketersediaan sumberdaya dan kelayakan ekologis.
Kerangka pemodelan dinamika sistem untuk pengembangan sektor
perikanan dan kelautan dalam konteks model ECCO tertera pada Gambar 4.
Gambar 4 Pendekatan ECCO untuk optimalisasi pemanfaatan sumberdaya di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil (dimodifikasi dari Moffat dan Hanley 2001) Gambar diatas memperlihatkan bahwa optimasi pemanfaatan sumberdaya ke-n di kawasan pesisir dan PPK harus mempertimbangkan 4 (empat) variabel utama yaitu :
32
(1) populasi; (2) sumberdaya alam (dapat pulih dan yang tidak dapat pulih); (3) kegiatan ekonomi (investasi dan perdagangan), dan (4) kondisi lingkungan (indeks polusi). Sementara itu, terkait dengan pembangunan pesisir dan PPK melalui UU No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, pemerintah telah mengatur bahwa pemanfaatan PPK dan perairan di sekitarnya dilakukan berdasarkan kesatuan ekologis dan ekonomi secara menyeluruh dan terpadu dengan pulau besar di dekatnya serta diprioritaskan untuk salah satu atau lebih kepentingan berikut : (1) konservasi; (2) pendidikan dan pelatihan; (3) penelitian dan pengembangan; (4) budidaya laut; (5) pariwisata; (6) usaha perikanan dan kelautan dan industri perikanan secara lestari; (7) pertanian organik, dan/atau; (8) peternakan. Dalam konteks ini, pengembangan kawasan pesisir dan pulau kecil sebagai kawasan pariwisata dan perikanan merupakan salah satu pilihan utama bagi pemanfaatan sumberdaya pesisir dan pulau kecil. 2.4.3 Pendekatan HANPP (Human Appropriation of Net Primary Production) Perkembangan ilmiah yang terintegrasi berkaitan dengan interaksi sistem ekologi dan sosial yang kompleks antara manusia dan lingkungan melalui kombinasi lingkungan dan ilmu-ilmu sosial (Haberl et al. 2001; Berkes dan Folke 2002). Masyarakat sebagai penggabungan struktur alami dan sistem berbudaya, merupakan suatu unit sosial berfungsi untuk reproduksi suatu populasi manusia, baik
secara fisik
maupun budaya, di dalam suatu wilayah sehingga terkait
dengan kedua sistem tersebut untuk memenuhi kebutuhan manusia melalui pemanfaatan sumberdaya alam (Fischer-Kowalski 2001). Aplikasi dari konsep metabolisme biologi ke sistem sosial tergantung pada keberlanjutan material dan energi dalam rangka pemeliharaaan struktur
33
internalnya (Fischer-Kowalski dan Haberl 1993; Ayres dan Ayres 2002). Haberl et al. (2001); Fischer-Kowalski et al. (2001); memandang metabolisme sosial sebagai sistem ekonomi berkaitan dengan aliran material dan energi yang diubah dalam bentuk nilai barang dan jasa yang dikonsumsi manusia, menghasilkan limbah, panas dan emisi lain yang dibuang ke lingkungan. Proses aliran material dan energi dimetabolisme dalam sistem alam. Dampaknya terhadap lingkungan dapat diukur besarannya melalui kebutuhan sejumlah material dari dan kembali ke lingkungannya (EUROSTAT 2000). “Profil Metabolik” suatu daerah atau negara-negara dewasa ini disajikan dalam bentuk statistik berupa MEFA (Material and Energy Flow Accounting) dan HANPP (Human Appropriation of Net Primary Production), perubahan tata guna lahan, waktu tenaga kerja dan ketersediaan air, kondisi geografi, tingkat pembangunan, pertambahan penduduk, ketersedian teknologi, kebijakan dan regulasi lingkungan merupakan bentuk profil metabolik masyarakat (MartinezAlier 2008). Profil metabolik suatu daerah dapat digambarkan secara statistik melalui pendekatan HANPP berupa perkembangan ekonomi, geografi, kepadatan penduduk, hubungan eksternal komersil, perubahan teknologi dan peraturan lingkungan yang menjelaskan profil metabolik spesifik, hal ini berhubungan antara masing-masing profil metabolik dan konflik ekologi pada skala yang berbeda (lokal, regional, nasional dan internasional) (Martines-Alier 2005). Pendekatan HANPP digunakan untuk menilai dampak manusia terhadap fungsi ekosistem yaitu tekanan tata guna lahan dan jasa ekosistem (produksi dan jasa pendukung). Masyarakat sebagai kombinasi dari struktur alam dan budaya, merupakan unit sosial yang berfungsi reproduksi manusia baik secara fisik maupun budaya. Metabolisme sosial merupakan proses yang kompleks yang secara fungsional dari berbagai macam aktivitas manusia (Fischer-Kowalski et al. 2001). Secara rasional, tata guna lahan sejauh ini memberikan pengaruh secara global terhadap perubahan siklus biogeokimia sehingga diperlukan identifikasi aktivitas manusia dan jumlah dampak yang ditimbulkan pada ekosistem dan menganalisisnya sebagai faktor penggerak/ drivers sosial ekonomi (Erb et al. 2009). Sistem sosial ekologi untuk pulau-pulau kecil tertera pada Gambar 5.
34
Gambar 5 Keterkaitan antara sistem sosial ekologi pulau-pulau kecil (Modifikasi Erb et al. 2007) Karakterisitik sistem sosial ekologi PPK dapat dipelajari dengan mengetahui investasi sistem sosial ke sistem ekologi dan sebaliknya seberapa besar jasa sistem ekologi memberikan manfaat pada sistem sosial yang terkait dengan pemanfaatan ruang.
Pemanfaatan ruang pesisir PPK berdasarkan
karakteristik dan daya dukungnya sehingga pengembangan setiap kawasan PPK disesuaikan dengan potensi dan kebutuhan kawasan pengembangan. 2.4.4 Pendekatan Keberkelanjutan Mata Pencaharian(Coastal Livelihood System Analysis-CLSA) Konsep Coastal Livelihood Analysis/ CLA dikembangkan dalam rangka pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan, dimana aspek sistem alam (ekosistem) dan sistem manusia tidak dapat dipisahkan, yaitu CLA merupakan sebuah pendekatan untuk strategi identifikasi mata pencaharian alternatif
bagi
masyarakat pesisir terkait dengan tujuan umum pengelolaan pesisir dan laut untuk keberlanjutan sistem sumberdaya itu sendiri (Adrianto 2005). Secara etimologis, makna ’livelihood’ meliputi aset atau modal (alam, manusia, finansial, sosial dan fisik/buatan), aktivitas di mana akses atas aset dimaksud dimediasi oleh
35
kelembagaan dan relasi sosial) yang secara bersama mendikte hasil yang diperoleh oleh individu maupun keluarga (Saragih et al. 2007).
Pendekatan
CLSA tersebut tertera pada Gambar 6.
Gambar 6 Kerangka konseptual untuk analisis keberlanjutan mata pencaharian (DFID 1999 dalam Clark dan Carney 2008) Gambar di atas menunjukkan bahwa identifikasi kerentanan merupakan aspek penting dalam kerangka CLSA dimana masyarakat pesisir biasanya rentan terhadap kerusakan sumberdaya. Hubungan antara manusia, sumberdaya alam, keuangan dan kapital sosial merupakan hubungan timbal balik yang tidak dapat terpisahkan.
CLSA merupakan upaya mengurangi pemanfaatan sumberdaya
pesisir dan laut yang memberikan alternatif tambahan pendapatan sekaligus mejaga kelestarian sumberdaya alam. Dalam konteks ini, menurut Ellison dan Allis (2001) kerangka makro dari pengembangan masyarakat pesisir terkait dengan identifikasi mata pencaharian alternatif disajikan pada Gambar 7.
36
G Gambar 7
Kerangka makro m pengeembangan mata pencaharrian alternatiif (Allison dan Allis 20011)
L Langkah-lan ngkah penen ntuan mata pencaharian n masyarakaat berbasis pada sistem m insentif (E Emerton 2001 1), terdiri ataas 5 (lima tahhap) yaitu: masyarakatt dan Step 1 : Mengum mpulkan infformasi tenttang mata pencaharian p kondissi sumberdaaya alam.
Dalam tahaap ini, inforrmasi tentanng kondisi kunci k
sosial ekonomi masyarakat m peesisir dan koondisi sumb berdaya alam m pesisir dann laut merup pakan salah satu s faktor penting p yangg harus dikuumpulkan dan pada saat yang bersam maan interak ksi antara masyarakat m peesisir dan su umberdaya aalam (ekosisstem) diidenntifikasi. Step 2 : Menganaalisis pengarruh masyaraakat pesisir terhadap t konndisi sumberrdaya pesisirr dan laut, melalui ideentifikasi akktivitas masy yarakat pesisir yang seecara langsuung berkontrribusi terhaadap kerusakkan sumberdaya pesisirr dan laut perlu p dilakuukan. Pada saat yang bersamaan b ddilakukan pu ula identifikkasi faktor yang memppengaruhi (d driven factorrs) aktivitass tersebut, baik b dalam perspektif sosial s maupu un ekonomi. Step 3 : Mengideentifikasi keebutuhan maasyarakat peesisir. Ada dua d aspek utama u yang harus h dilakukkan pada tah hap ini. Pertaama adalah identifikasi i kkebutuhan siistem
37
insentif yang diperlukan oleh masyarakat khususnya dalam kerangka konservasi sumberdaya pesisir dan lautan. Kedua adalah peluang penerapan sistem insentif dalam konservasi sumberdaya pesisr dan lautan. Step 4 : Memilih sistem insentif yang tepat untuk pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat. Dalam konteks tahap ini, identifikasi dan pemilihan sistem insentif menjadi faktor penting. Sistem insentif harus disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat pesisir seperti yang telah dilakukan pada tahap sebelumnya. Step 5 : Implementasi sistem insentif mata pencaharian terpilih (Gambar 8). Pemilihan faktor insentif menjadi faktor penting, dimana harus disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat pesisir.
Step 1. Mengumpulkan informasi tentang karakteristik mata pencaharian masyarakat dan kondisi SDA
Step 5. Implementasi pengembangan mata pencaharian masyarakat berbasis insentif
Step 2. Menganalisis pengaruh masyarakat terhadap kondisi sumberdaya alam
Step 4. Memilih sistem insentif ekonomi yang tepat untuk konservasi berbasis masyarakat
Step 3. Identifikasi sistem insentif terkait dengan pengembangan mata pencaharian masyarakat
Gambar 8
Langkah-langkah mendisain CLSA (Emmerton 2001)
Mata pencaharian alternatif dapat dikembangkan dengan langkah berikut (DKP 2006) yaitu : 1) Menganalisis kegiatan ekonomi seluruh masyarakat (menurut jenis kelamin, umur, pendidikan, ketrampilan, pendapatan, besarnya keluarga,
preferensi,
pilihan)
untuk
menilai
kebutuhan
mereka;
2)
Mengidentifikasi berbagai program pemulihan pendapatan (perseorangan dan per
38
kelompok) melalui konsultasi dengan pengusaha dan analisis kelayakan pasar dan keruangan: 3) Menguji program pelatihan dan pengembangan pendapatan dengan masyarakat terpilih atas dasar percobaan; 4) Merumuskan kerangka pengawasan kelembagaan dan anggaran; 5). Memacu pemasaran produk di dalam dan di luar tempat relokasi; 6) Mengevaluasi program dan memberi bantuan teknis tambahan. 2.4.5 Konsep Pemodelan Dinamik Integrasi Wisata Perikanan Model secara terminologi penelitian operasional diartikan sebagai suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah obyek atau situasi aktual (Eriyatno 1999). Model memperlihatkan hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik (sebab akibat).
Suatu model merupakan seperangkat anggapan
(asumsi) mengenai suatu sistem yang rumit, sebagai usaha untuk memahami dunia nyata yang memiliki sifat beragam sehingga mempelajari sistem sangat diperlukan pengembangan model guna menemukan peubah-peubah (variabel) penting dan tepat, serta menemukan hubungan-hubungan antar peubah di dalam sistem tersebut. Pengelompokkan model yakni berupa model ikonik seperti yang berdimensi dua (foto, peta, cetak biru), atau tiga dimensi (prototip mesin, alat), model analog (kurva permintaan, kurva distribusi frekuensi statistik, diagram alir), dan model simbolik seperti persamaan (equation). Kenyataannya suatu model dapat bersifat statik dan dinamik. Model statik memberikan informasi tentang peubah-peubah model hanya pada titik tunggal dari waktu, sedangkan model dinamik mampu menelusuri jalur waktu dari peubah-peubah model. Permodelan sistem merupakan salah satu metode analisis dalam pemecahan suatu masalah dengan mengabstraksikan dari suatu objek pada situasi yang aktual ke dalam konsep dan stukturisasi model. Tahapan dalam membangun model simulasi komputer menurut Djojomartono (1993) adalah 1) Identifikasi dan defenisi sistem. Tahap ini mencakup pemikiran, definisi, karakteristik yang bersifat dinamik atau stokastik dari masalah yang dihadapi dan memerlukan pemecahan dan mengapa perlu dilakukan pendekatan sistem terhadap masalah tersebut. Batasan dari permasalahannya juga harus dibuat untuk menentukan ruang lingkup sistem; 2) Konseptualisasi sistem. Tahap ini mencakup pandangan yang lebih dalam lagi terhadap struktur sistem dan mengetahui dengan jelas pengaruh–pengaruh penting yang akan beroperasi di dalam sistem. Struktur dan
39
kuantitatif dari model digabungkan bersama, sehingga akhirnya kedua-duanya akan mempengaruhi efektivitas model; 3) Formulasi model. Tahap ini biasanya model dibuat dalam bentuk kode-kode yang dapat dimasukkan ke dalam komputer. Penentuan akan bahasa komputer yang tepat merupakan bagian pokok pada tahap formulasi model; 4) Simulasi model. Tahap simulasi komputer digunakan untuk menyatakan dan menentukan bagaimana semua peubah dalam sistem berperilaku terhadap waktu. Tahapan ini perlu menetapkan periode waktu simulasi; 5) Evaluasi model. Berbagai uji dilakukan terhadap model yang telah dibangun untuk mengevaluasi keabsahan dan mutunya. Uji berkisar memeriksa konsistensi logis, membandingkan keluaran model dengan data pengamatan, atau lebih jauh menguji secara statistik parameter–parameter yang digunakan dalam simulasi. Analisis sensitivitas dapat dilakukan setelah model divalidasi; 6) Penggunaan model dan analisis kebijakan. Tahap ini mencakup aplikasi model dan mengevaluasi alternatif yang memungkinkan dapat dilaksanakan. Konsep model awal merepresentasikan secara kualitatif seluruh aspek relevan dari sistem yang dibangun (Forrester 1994; Grant et al. 1997) untuk model integrasi wisata-perikanan di Gugus Pulau Batudaka dengan tahapan berikut ini. 1 Penetapan tujuan, dimulai pertanyaan yang ingin dijawab dalam pemodelan. Bagaimana skenario pemanfaatan ruang berdasarkan keterkaitan antara kesesuaian pemanfaatan dan daya dukung kawasan melalui integrasi wisata dan perikanan. 2 Batasan sistem yang dibangun Sistem yang dibangun berdasarkan kesesuaian pemanfaatan ruang dan daya dukung secara ekologis untuk wisata dan perikanan. 3 Pengelompokan komponen yang dibatasi Komponen sistem dikelompokkan menjadi tujuh kategori komponen sistem yaitu : - Variabel Keadaan (State Variables) Variabel ini mencerminkan titik akumulasi materi di dalam sistem seperti populasi penduduk, populasi wisatawan, total footprint, biomassa ikan. - Variabel Pendorong (Driving Variables)
40
Variabel pendorong mempengaruhi tetapi tidak dipengaruhi oleh bagian lainnya dari sistem integrasi wisata-perikanan yakni laju pertumbuhan intrinsik - Konstanta (Constants) Konstanta adalah nilai numerik yang menerangkan ciri suatu sistem yang tidak berubah atau yang dapat digambarkan tidak berubah dibawah semua kondisi yang disimulasikan oleh model seperti yield factor (YF), laju (kelahiran, kematian, emigrasi, imigrasi). - Variabel Pembantu (Auxiliary Variables) Variabel ini muncul sebagai bagian perhitungan yang menentukan tingkat alih materi atau nilai variabel yang lain, dan mencerminkan konsep yang menunjukkan secara eksplisit di dalam model. Variabel pembantu mungkin juga menggambarkan suatu produk akhir dari perhitungan seperti biocapacity (BC), komponen footprint (built-up, energy, food and fibre), fraksi tangkapan, rasio biomassa ikan, produksi lokal/regional per area. - Alih Materi dan Informasi (Material and Information Transfers) Sebuah alih materi mencerminkan peralihan secara fisik materi selama periode tertentu : (1) antara dua variabel keadaan, (2) antara sebuah sumber (source) dan variabel keadaan, atau (3) antara variabel keadaan dengan sebuah muara (sink). Misalnya menghitung ecological footprint pada sub-model wisata (alih materi biocapacity dari jumlah wisatawan di Gugus Pulau Batudaka ke ecological footprint) atau menghitung produksi lokal/regional pada sub-model perikanan (alih materi individu dari biomassa ikan di daerah penangkapan lokal/regional ke produksi lokal/regional). - Sumber dan Muara (Sources and Sinks) Sumber dan muara
menggambarkan masing-masing adalah titik asal mula
(awal) dan titik akhir alih materi masuk dan keluar dari sistem. 4 Identifikasi hubungan antar komponen Tahapan dari perumusan model konseptual mencakup identifikasi hubungan antar komponen sistem yang sedang dipelajari sebagai dasar pemahaman analisis sistem yang lebih luas.
41
5 Penggambaran model konseptual Penggambaran model konseptual pada umumnya berupa bentuk diagram kotak dan panah. Diagram model konseptual juga menyediakan sebuah kerangka kerja yang membantu kuantifikasi berikutnya dari model tersebut karena persamaan dapat dikaitkan secara langsung terhadap bagian tertentu dari model konseptual.
Model
konseptual tersebut dapat digunakan sebagai landasan
kebijakan, perubahan struktur, dan strategi pengelolaan sistem tersebut. Analisis sistem dinamik bertujuan untuk mengidentifikasi berbagai elemen penyusun sistem, memahami prosesnya serta memprediksi berbagai kemungkinan keluaran sistem yang terjadi akibat adanya perubahan di dalam sistem itu sendiri, sehingga didapatkan berbagai alternatif pilihan yang menguntungkan secara optimal. 2.5
Integrasi Wisata dalam Pengelolaan Pesisir Terpadu Wisata (tourism) merupakan kegiatan perpindahan/perjalanan orang secara
temporer dari tempat biasa mereka menetap/bekerja ke tempat luar guna mendapatkan kenikmatan dalam perjalanan atau ditempat tujuan (Holloway dan Plant 1989 dalam Yulianda 2007). Dalam perkembangannya sekitar tahun 1980an, konsep ekowisata dipopulerkan sebagai perjalanan wisata berbasis pada alam yang mengandung dimensi learning dan pesan pembangunan berkelanjutan (Weaver 2001),
sedangkan menurut UU Nomor 10 tahun 2009 Tentang
Kepariwisataan, wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara. Kegiatan wisata yang memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut sebagai obyek wisata disebut wisata bahari. Wisata bahari merupakan aktivitas berkenaan dengan rekreasi yang melibatkan jalan/cara perjalanan seseorang dari suatu tempat kediaman ke tempat lain dengan fokus lingkungan laut (Orams 1999). Sesungguhnya wisata bahari merupakan kegiatan yang memadukan antara dua sistem yang kompleks yaitu sistem pariwisata (didominasi oleh sistem kegiatan manusia) dan ekosistem alam laut.
Berbagai kegiatan wisata bahari yang
umumnya dilakukan wisatawan di antaranya adalah, berenang, berselancar, snorkeling, diving, beachcombing, berdayung. Menurut Wong (1998) terdapat
42
delapan macam pola wisata bahari dan empat pola di antaranya, yaitu “Beachhuts/bungalows”, “Beach hotels”, “Island-resort”, dan “Coastal-resort” adalah lazim dijumpai di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Pemahaman tentang pengembangan wisata bahari berada di dalam lingkup pengembangan usaha wisata tirta, seperti yang dijelaskan di dalam pasal 14 UU No. 10 tahun 2009 Tentang Kepariwisataan, yakni usaha wisata tirta merupakan usaha yang menyelenggarakan wisata dan olahraga air, termasuk penyediaan sarana dan prasarana serta jasa lainnya yang dikelola secara komersial di perairan laut, pantai, sungai dan waduk. Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 36 Tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam, bahwa Wisata alam adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati gejala keunikan dan keindahan alam di kawasan suaka margasatwa, taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam. Pariwisata berbasis pulau-pulau kecil di Indonesia menjadi potensi yang sangat prospektif untuk dikembangkan mengingat kekayaan sumberdaya dan keanekaragaman hayati laut yang tertinggi di dunia, serta keindahan alam pulaupulau kecil tentu saja menjadi daya tarik tersendiri bagi pengembangan pariwisata, khususnya pariwisata bahari.
Ekowisata (eco-tourism) sebagai kegiatan wisata
yang bertanggung jawab yang berbasis utama pada kegiatan wisata alam, yang dilakukan pada skala kecil untuk pengunjung wisata (Wood 2002). Ekowisata PPK (Bengen dan Retraubun 2006) berpijak pada : (1) Partisipasi masyarakat lokal dalam perencanaan dan pengelolaan; (2) Pengelolaan berkelanjutan pada perlindungan sumberdaya alam, lingkungan; (3) Kolaborasi antara pemangku kepentingan (stakeholders) Gunn (1993) mengemukakan bahwa suatu kawasan wisata yang baik dan berhasil
bila secara optimal didasarkan kepada empat aspek yaitu: (1)
mempertahankan kelestarian lingkungannya, (2) meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan tersebut, (3) menjamin kepuasan pengunjung, dan (4) meningkatkan keterpaduan dan kesatuan pembangunan masyarakat di sekitar kawasan dan zona pengembangannya.
43
Atas dasar karakteristik PPK, maka arahan peruntukan dan pemanfaatan pariwisata memiliki kriteria sebagai berikut (Bengen 2002): (1) Berjarak aman dari kawasan perikanan, sehingga dampak negatif yang ditimbulkan tidak menyebar dan mencapai kawasan perikanan. (2) Berjarak aman dengan kawasan lindung, sehingga dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan di kawasan pariwisata tidak menyebar dan mencapai kawasan lindung. (3) Sirkulasi massa air di kawasan pariwisata perlu lancar. (4) Pembangunan sarana dan prasarana periwisata tidak mengubah kondisi pantai, dan daya dukung PPK yang ada, sehingga proses erosi atau sedimentasi dapat dihindari. Davis dan Tisdell (1996) mengemukakan bahwa daya dukung (Carrying Capacity) di dalam tourism didefinisikan sebagai maksimum jumlah turis yang dapat ditoleransi tanpa menimbulkan dampak tidak dapat pulih dari ekosistem dan pada saat yang sama dan tidak mengurangi kepuasan kunjungan. Penentuan daya dukung pada tourism dapat dibedakan dua macam yaitu (1) melihat kemampuan fisik wilayah tujuan wisata untuk menerima kunjungan sebelum dampak negatif timbul (biophysical component) dan (2) menemukan level dimana arus turis mengalami penurunan akibat keterbatasan kapasitas yang muncul dari tingkah laku (behaviour) turis itu sendiri (behavioral component) (Savariades 2000). Selain daya dukung sumberdaya, dituntut pula perubahan perilaku manusia untuk mengeksploitasi sumberdaya yang ada dalam pemenuhan kebutuhannya karena semua faktor tergantung pada
perbedaan pola dan dinamika konsumsi
masyarakat, infrastruktur, teknologi (Seidl dan Tisdell 1999). Casagrandi dan Rinaldi (2002) menggunakan model wisata minimal yang sederhana karena tidak dapat mewakili sistem spesifik tertentu secara detil, namun model ini berisi fitur-fitur utama dari beberapa sistem. Model ini menunjukkan suatu lokasi generik dan hanya memiliki tiga variabel yaitu: wisatawan,T(t) yang berada dalam suatu area pada waktu t, kualitas lingkungan alam E(t) dan modal C(t) yang ditujukan sebagai struktur untuk aktivitas wisatawan. C(t) menunjukkan asset nyata (berupa investasi) dan tidak digabung dengan jasa pelayanan yang disediakan bagi wisatawan (Gambar 9).
44
Gambar 9 Interaksi Komponen Minimal Model keberlanjutan Pariwisata T = wisatawan, E = lingkungan, C = modal (Casagrandi dan Rinaldi 2002) Model pengembangan wisata yang optimal (Gambar 9) dengan mempertimbangkan tiga aspek yaitu lingkungan (Environmental/E), sosial (Tourist/T) dan ekonomi (Capital/C), dimana wisatawan (T) dan fasilitas wisata (memberikan dampak negatif bagi kualitas lingkungan (E).
Pengaruh positif
kualitas lingkungan dan fasilitas wisata dapat menarik wisatawan serta dapat menumbuhkan investasi penyediaan fasilitas baru bagi pengunjung yang berhubungan dengan keuntungan kegiatan wisata. 2.6
Integrasi Perikanan dalam Pengelolaan Pesisir Terpadu Sejak Food and Agricultural Organization (FAO) menerbitkan “Code of
Conduct for Responsible Fisheries” (CCRF)/ Kode Etik Perikanan yang Bertanggung Jawab pada tahun 1995 maka telah terjadi pergeseran paradigma tentang pendekatan pengelolaan perikanan, yang sebelumnya menggunakan pendekatan konvensional dimana pendekatan yang dipakai lebih sektoral sehingga sedikit mengabaikan kaidah-kaidah ekologis.
FAO menyebutkan bahwa
meskipun pendekatan ekosistem bukan merupakan hal yang baru dalam pengelolaan perikanan namun masih belum banyak pembelajaran dalam pendekatan ini, sehingga diperlukan melakukan penelitian pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan baik secara konsep maupun teknis. Pengelolaan sumberdaya perikanan dapat didefinisikan sebuah proses yang terpadu antara pengumpulan informasi, melakukan analisis, membuat perencanaan, melakukan konsultasi, pengambilan keputusan, menentukan alokasi sumberdaya, serta perumusan dan pelaksanaan, bila diperlukan menggunakan penegakan hukum dari
45
aturan dan peraturan yang mengendalikan kegiatan perikanan dengan tujuan untuk menjamin keberlanjutan produksi dari sumberdaya dan tercapainya tujuan perikanan yang lainnya (FAO 1995). Dokumen CCRF tersebut terdiri dari satu bab umum dan enam bab khusus yang terdiri dari pengelolaan perikanan, operasi penangkapan, budidaya, integrasi perikanan dalam pengelolaan pesisir, pasca panen, dan penelitian perikanan. Pasal 6 ayat (4), disebutkan bahwa "Keputusan - keputusan yang mengenai konservasi dan pengelolaan perikanan haruslah didasarkan atas bukti - bukti dan informasi ilmiah terbaik yang tersedia, disamping juga perlu mempertimbangkan pengetahuan tradisional mengenai sumberdaya dan habitatnya, serta faktor faktor lingkungan, sosial, dan ekonomi yang relevan". Integrasi
perikanan
kedalam pengelolaan
pesisir
untuk
membantu
pencapaian pemanfaatan sumberdaya pesisir yang makin langka secara rasional khususnya ditujukan pada masalah tentang bagaimana sektor perikanan dapat diintegrasikan ke dalam perencanaan pengelolaan pesisir sehingga interaksi antara perikanan dan sektor lain dapat diperhitungkan dalam membuat kebijakan dan penerapan pengelolaan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir. FAO (1996) telah membuat panduan (Article 10 in CCRF) untuk menjelaskan pentingnya perikanan yang bertanggung jawab. Artikel 10 berhubungan dengan Integrasi Fisheries ke dalam Coastal Management untuk membantu pencapaian pemanfaatan
sumberdaya
yang
makin
langka.
Secara
khusus,
dengan
mengarahkan pada permasalahan bagaimana sektor perikanan dapat terintegrasi ke dalam perencanaan pengelolaan pesisir sehingga interaksi-interaksi antara sektor perikanan dan sektor-sektor lain dapat dipertimbangkan di dalam penetapan kebijakan dan prakteknya dalam pengelolaan sumberdaya pesisir. Potensi sumberdaya dan jasa lingkungan yang prospektif untuk dikembangkan di kawasan PPK adalah pariwisata dan sumberdaya perikanan (Bengen dan Retraubun 2006) yang paling banyak berhubungan dengan ekosistem karang. Adanya jenis-jenis ikan yang hidup di ekosistem karang merupakan daya tarik yang sangat kuat bagi manusia, baik untuk kegiatan penelitian (scientific interest), untuk penyelaman (wisata bahari) ataupun untuk diambil untuk dikonsumsi dan dijadikan ikan hias akuarium.
Berdasarkan penelitian Pusat
46
Pengembangan Oseanologi (P2O) LIPI yang dilakukan pada tahun 2000 bahwa kondisi terumbu karang Indonesia saat ini 41.8% dalam keadaan rusak; 28.3% dalam keadaan sedang; 23.7% dalam kondisi baik, dan hanya 6.2% masih dalam keadaan sangat baik (DKP 2004). Kondisi terumbu karang berhubungan erat dengan keberadaan ikan karang di suatu perairan. Semakin rusak kondisi terumbu karang di perairan Indonesia dapat berdampak kemerosotan terhadap produksi ikan karang di Indonesia. Diperkirakan dari 12 000 jenis ikan laut sebanyak 7 000 spesies hidup di daerah terumbu karang atau di sekitarnya, di perairan dekat pantai (Subani dan Barus 1989). Selanjutnya dinyatakan bahwa sumberdaya perikanan demersal merupakan sumberdaya yang poorly behaved, karena makanan utamanya adalah plankton, kelimpahan sumberdaya ini sangat berfluktuasi dan tergantung kepada faktor-faktor lingkungan perairannya. Sumberdaya ikan demersal termasuk jenis-jenis ikan sidentari yang banyak terdapat di perairan pantai (inshore), baik perairan yang bersubstrat pasir, berbatu dan berlumpur. Pemanfaatan sumberdaya ikan demersal di Indonesia sampai saat ini masih berkisar pada usaha perikanan rakyat berskala kecil (small scale fisheries) dan penggunaan alat tangkap yang masih sangat sederhana. Lazimnya perikanan model ini dikenal dengan istilah perikanan artisanal (Eidman 1991). Produksi perikanan demersal yang merupakan bagian dari usaha perikanan skala kecil sebagian besar didistribusikan pada pasar lokal (local market) dan pasar regional (regional market). Potensi perikanan demersal tersebut dapat memberikan kontribusi bagi pendapatan masyarakat dan pendapatan daerah, maka pemanfaatannya harus dikendalikan dengan tetap mempertahankan kelangsungan sumberdaya ikan dalam jangka panjang melalui tindakan antisipasi terhadap tekanan penangkapan. Kondisi riil sumberdaya perikanan tangkap hubungannya dengan tingkat pemanfaatan yang terjadi dapat dianalisis dalam bentuk CPUE yaitu hubungan antara hasil tangkapan (kg) per upaya tangkap (trip) dari masing-masing jenis ikan yang akan menghasilkan parameter biologi (konstanta laju pertumbuhan intrinsik dari ikan = r), teknologi penangkapan (konstanta kemampuan tangkap dari alat = q), lingkungan (kemampuan daya dukung dari perairan = K), estimasi upaya tangkap optimum, sediaan ikan, pertumbuhan, dan produksi hasil tangkapan
47
sebagai pembanding. Hasil penelitian Laapo et al. (2007) menunnjukkan bahwa penentuan besarnya potensi lestari sumberdaya ikan karang dan upaya penangkapan optimum di perairan Tojo Una-Una untuk menentukan nilai parameter biologi, teknologi, dan lingkungan menggunakan pedekatan Model Equilibrium Schaefer sebagai model yang paling baik dibandingkan dengan yang lain. Perilaku variabel populasi dan produktivitas perikanan dapat dianalisis dengan menggunakan pendekatan sistem dinamik, untuk mengestimasi tingkat pemanfaatan optimal sumberdaya perikanan di kawasan pesisir PPK. Pendekatan dinamik untuk pemanfaatan sumberdaya perikanan tetera pada Gambar 10.
Sistem Dinamik Produktivitas Hasil
Sistem Dinamik Populasi
Sistem Dinamik Konsumsi
Sistem Dinamik Ecological Footprint Perikanan
Gambar 10 Pendekatan dinamik EF perikanan untuk kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil (Adrianto dan Matsuda 2004) Pendekatan sistem dinamik EF perikanan dibangun dari tiga sub ststem yaitu populasi, sektor hasil perikanan dan konsumsi nyata. Submodel populasi dihitung berdasarkan model verhulst, Submodel sektor hasil perikanan berdasarkan model logistik Gompertz dan Submodel konsumsi nyata berdasarkan Haberl (2001). 2.7 Konsep Model Integrasi Wisata-Perikanan dalam Pengelolaan Daerah Konservasi Konsep pengelolaan wilayah pesisir berbeda dengan konsep pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir yang mengelola semua orang dan segala sesuatu yang ada di wilayah pesisir. Contoh dari pengelolaan yang berbeda dengan
48
pengelolaan wilayah pesisir : pengelolaan perikanan, pengelolaan hutan pantai, pendidikan dan kesehatan, namun contoh-contoh tersebut tidak melihat wilayah pesisir sebagai target. Fokus utama dari konsep pengelolaan wilayah pesisir adalah pada karakteristik wilayah dari pesisir itu sendiri yakni inti dari konsep pengelolaan wilayah pesisir adalah kombinasi dari pembangunan adaptif, lingkungan, ekonomi, dan terintegrasi dengan sistem sosial. Selanjutnya konsep pengelolaan wilayah pesisir didalam filosofinya mengenal prinsip keseimbangan antara pembangunan dan konservasi. Pembangunan berkelanjutan berdasarkan prinsip-prinsip lingkungan juga memasukkan konsep keseimbangan (Gambar 11) ketergantungan waktu dan keadilan sosial (Kay and Alder, 2005).
Gambar 11 Konsep sederhana keseimbangan di dalam pengelolaan wilayah pesisir (Kay dan Alder 2005) Pembangunan berkelanjutan menjadi paradigma utama dalam khasanah dunia pengelolaan wilayah pesisir pada akhir abad 20. Young pada tahun 1992 memperkenalkan sejumlah tema yang mendasari konsep berkelanjutan, yakni integritas lingkungan, efisiensi ekonomi, dan keadilan sosial (Kay dan Alder 2005). Prinsip pembangunan berkelanjutan untuk pengelolaan wilayah pesisir : 1. Instrumen ekonomi lingkungan telah menjadi instrumen pengambilan keputusan, yang memasukkan parameter lingkungan untuk melihat ke depan melalui analisis biaya manfaat; 2. Isu lingkungan di dalam pembangunan berkelanjutan seperti konservasi keanekaragaman hayati menjadi perhatian utama dalam pengambilan keputusan; 3. Kualitas hidup manusia pada saat sekarang dan masa yang akan datang sangat diperhatikan dalam pembangunan berkelanjutan. Kata integrasi menjadi begitu penting dalam pengelolaan wilayah pesisir. Beberapa kelompok integrasi yang harus dilakukan di dalam pengelolaan wilayah
49
pesisir (Cicin-Sain 2002) adalah : integrasi antar sektor di wilayah pesisir, integrasi antar kawasan perairan dan daratan di dalam zonasi pesisir, integrasi antar pengelola tingkat pemerintahan, integrasi antar negara, dan integrasi antar berbagai disiplin. Keterpaduan merupakan aspek yang sangat esensial dalam sistem pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, yang tidak hanya menjamin kecocokan secara internal antara kebijakan dan program aksi, antara proyek dan program, tetapi juga menjamin keterkaitan antara perencanaan dan pelaksanaan. Berdasarkan jenis keterpaduan dapat dibedakan atas tiga jenis keterpaduan, yaitu keterpaduan sistem, keterpaduan fungsi dan keterpaduan kebijakan (Chua 1993). Keterpaduan sistem memasukkan pertimbangan dimensi spasial dan temporal sistem sumberdaya pesisir dalam persyaratan fisik perubahan lingkungan, pola pemanfaatan sumberdaya dan penataan sosial ekonomi. Keterpaduan ini menjamin bahwa isu-isu relevan yang muncul dari hubungan secara fisik-biologi, sosial dan ekonomi ditangani secara cukup, sertan membutuhkan berbagai ketersediaan informasi yang dibutuhkan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir. Keterpaduan fungsional berkaitan dengan hubungan antara berbagai kegiatan pengelolaan seperti konfirmasi antara program dan proyek dengan tujuan dan sasarannya, mengupayakan tidak terjadinya duplikasi antar lembaga yang terlibat, tetapi saling melengkapi. Penyusunan zonasi pesisir yang mengalokasikan pemanfaatan sumberdaya secara spesifik merupakan salah satu bentuk efektif dari keterpaduan fungsional. Keterpaduan kebijakan sangat esensial untuk menjamin konsistensi dari program pengelolaan pesisir terpadu dalam konteks kebijakan pemerintah pusat dan daerah serta untuk memelihara koordinasi. Tujuan akhir adalah mengintegrasikan program pengelolaan pesisir secara terpadu ke dalam rencana pembangunan ekonomi nasional dan daerah. Kebijakan dan strategi penyuluhan pesisir harus dapat mengadopsi perubahan yang terjadi di wilayah pesisir dan konsisten dengan tujuan pembangunan ekonomi nasional. 2.7.1 Wisata Pendekatan pembangunan wisata berkelanjutan dengan memelihara sumberdaya alam, budaya dan sumberdaya lain untuk satu penggunaan berkepanjangan di masa mendatang, namun masih bermanfaat bagi generasi
50
sekarang. Pendekatan ini adalah penting karena pembangunan wisata bergantung kepada atraksi dan aktivitas terkait ke lingkungan alami, warisan bersejarah dan pola budaya dari daerah tersebut. Apabila sumberdaya alam ini terdegradasi atau punah, maka daerah wisata tersebut tidak menarik bagi wisatawan dan pariwisata tidak akan berhasil. Satu hal yang penting dari manfaat wisata adalah bila dikembangkan melalui konsep keberlanjutan ini dapat membantu dan membayar biaya konservasi dari satu kawasan sumberdaya alam dan budaya tersebut (WTO 1994). Perencanaan wisata dan implementasi yang tidak konsisten dilakukan dapat mengakibatkan perkembangan wisata akan ‘menghancurkan’ sumberdaya dan menjadi tidak berkelanjutan. Oleh karena itu diperlukan membuat industri wisata sadar akan pentingnya menyatukan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan pada perencanaan dan bertambahnya kunjungan yang terus menerus seharusnya tidak lagi menjadi kriteria utama untuk pengembangan wisata. Hal penting yang diperlukan adalah pendekatan pengembangan wisata yang integratif yang bertujuan memproteksi lingkungan, menjamin bahwa wisata menguntungkan penduduk lokal dan membantu pelestrian warisan budaya di negara tujuan wisata (WTO 2000). Kode etik tersebut meliputi ketentuan yang mencakup aturan bagi daerah tujuan wisata, pemerintah, penyelenggara tour, pengembang, biro perjalanan, pekerja dan bagi para wisatawan. Industri wisata yang berkelanjutan yaitu menggunakan sumberdaya alam yang berkelanjutan, penurunan konsumsi berlebihan dan sampah, mempertahankan keberagaman, integrasi wisata ke dalam perencanaan, ekonomi pendukung, pelibatan komunitas lokal, konsultasi pemegang saham dan masyarakat, pelatihan staf, tanggung jawab pemasaran wisata dan pelaksanaan penelitian (Farsari dan Prastacos 2001). 2.7.2 Perikanan Pengelolaan sumberdaya dan partisipasi masyarakat di PPK memberikan dampak yang baik dengan melibatkan masyarakat, seperti pengalaman pengelolaan pada Pulau Pohnpei di Micronesia, dengan konsep integrasi pengelolaan kawasan pesisir harus menyesuaikan dengan kondisi-kondisi geografi dan sosial di PPK. Pengelolaan dan perencanaan PPK sebagai fokus strategi dengan melibatkan partisipasi masyarakat mengacu
pada
tiga
dimensi:
dalam usaha perencanaan yang
spatial-ecological,
structural-political
dan
51
processural-temporal.
Dimensi spatial-ecological berdasarkan pertimbangan
geografi mengingat PPK mempunyai ukuran kecil, konsep yang holistik suatu kawasan pesisir semua pulau-pulau yang terfokus mengenai ruang (Dahl 1997). Keterpaduan dalam pengelolaan daerah konservasi dapat didekati dengan pemodelan sistem secara spasial, sehingga diperlukan penataan dan penempatan setiap kegiatan pembangunan di wilayah pesisir dan laut secara tepat dan akurat berdasarkan potensi dan kemampuan lahan pesisir (Kusumastanto 2004). Sebagai contoh, pengembangan strategi yang dapat dilakukan untuk mendukung penguatan progran mata pencaharian alternatif pada kegiatan perikanan berkelanjutan (Smith et al 2005) tertera pada Tabel 7. Tabel 7 Pengembangan strategi untuk peningkatan pendapatan pada kegiatan perikanan berkelanjutan No. 1
Strategi mata pencaharian Bertahan/survival
2
Diversifikasi semi subsisten
3
Spesialisasi sebagai nelayan
4
Akumulasi diversifikasi
Fungsi mata pencaharan perikanan Subsisten (produksi makanan dan pendapatan) Nutrisi (protein, mikronutrien, vitamin) Konsumsi sendiri-nutrisi dan keamanan pangan Tenaga kerja dalam pertanian Sumber keruangan Diversifikasi untuk : - Tenaga kerja dan konsumsi rokok - pengurangan resiko - strategi perlawanan terhadap schok Pasar (produksi dan pendapatan) Akumulasi Akumulasi Retensi dari strategi akumulasi diversifikasi Rekreasi
Sumber : Smith et al (2005)
2.8 Penelitian Terdahulu Kajian pemanfaatan wisata-perikanan di kawasan pulau-pulau kecil banyak dilakukan dengan mengacu pada konsep pendekatan ekosistem (Bass dan Dalal-Clayton 1995).
Pengelolaan dan pembangunan PPK dilakukan dengan
pendekatan yang bersifat spesifik lokasi (site spesifik) sesuai dengan karakteristik masing-masing PPK tersebut. Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu, sustainability/ keberlanjutan pengelolaan PPK merupakan suatu konsep pengelolaan yang memperhatikan keberlanjutan sumberdaya alam berdasarkan sifat strong sustainability maupun weak sustainability. Keberlanjutan berdasarkan
52
weak sustainability merupakan konsep dasar aset/modal ekonomi (mesin, lahan, tenaga kerja, dan pengetahuan) dan aset alam (sumberdaya alam dan lingkungan) sebagai total aset, aset buatan sebagai bagian dari aset alam. Strong sustainability memuat tiap jenis aset secara terpisah, menilai keberlanjutan terhadap daya dukung sumberdaya alam, melindungi ekosistem kritis (Ayres et al. 2000; Bergh 2000). Beberapa kajian dengan konsep strong sustainability yang relevan dengan penelitian ini tertera pada Tabel 8.
53
Tabel 8 State of the art dan tinjauan hasil penelitian terdahulu No. Peneliti
Pendekatan Isu dan Kesesuaian Penelitian Permasalahan Pemanfaatan
Daya Dukung Ekologi Air Tawar, Yulianda et al. (2009) Yulianda et al. (2009)
Daya Dukung Sosial Deskriptif
1
Manafi (2010)
EkologiEkonomi
Deskriptif
GIS, LIT (sekunder)
2
Kasnir (2010)
EkologiSosial
Deskriptif
GIS, LIT
3
Laapo (2010)
EkologiEkonomi
Deskriptif
GIS, LIT
Yulianda et Deskriptif al. (2009), Indeks Pencemaran
4
Sulistiawati SES (2011)
DPSIR
GIS, LIT Temporal
EFA (TEF, FEF)
Deskriptif
HANPP, CLSA
Daya Tinjauan Dukung Ekonomi TEV Optimasi pemanfaatan ruang secara spasial untuk pariwisata dan perikanan (ecovalue space) Valuasi Optimasi pemanfaatan ruang secara Ekonomi spasial untuk minawisata bahari menggunakan Linier Goal programming/ LGP dan Multi Dimension Scale/MDS) Valuasi Optimasi pengelolaan ekowisata Ekonomi menggunakan LGP, MDS, dan analisis dinamik dapat dicapai dengan menerapkan kebijakan terpadu antara program konservasi sumberdaya ekowisata (fee konservasi), kegiatan ekowisata berbasis terumbu karang, mangrove dan budaya (diversifikasi kegiatan ekowisata dan peningkatan harga produk ekowisata bahari), peningkatan kenyamanan, partisipasi masyarakat lokal, peningkatan penyediaan infrastruktur penunjang, pembatasan dan distribusi kunjungan wisman pada lokasi dan waktu tertentu. Valuasi Integrasi pemanfaatan ruang secara Ekonomi spasial dan temporal untuk wisataperikanan
54
55
3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Gugus Pulau Batudaka pada bulan Oktober 2008 –
Juni 2010 dalam wilayah administratif Kecamatan Una-Una Kabupaten Tojo UnaUna Provinsi Sulawesi Tengah. 3.2
Metode Penelitian Penelitian dirancang menggunakan pendekatan sistem sosial ekologi
(SSE) berdasarkan integrasi pengetahuan untuk menilai sistem dinamis yang terkait antara sistem komunitas manusia dengan sistem alam (Erb et al. 2008) dalam implementasi pengelolaan Gugus Pulau Batudaka.
Identifikasi
permasalahan dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan DPSIR
(Drivers–Pressures–States–Impacts–Responses),
untuk
mengetahui
keterkaitan faktor-faktor penyebab terjadinya tekanan terhadap ekosistem sehingga dapat digunakan untuk mengukur intensitas penggunaan sumberdaya oleh manusia dan aktivitas (wisata dan perikanan) menghasilkan limbah di kawasan Gugus Pulau Batudaka. Penilaian terhadap tekanan ekosistem dianalisis berdasarkan pada pendekatan keseluruhan sistem dan integrasi ekosistem yang berkaitan dengan struktur, komposisi dan fungsinya (Turner et al. 2000). Penelitian diarahkan untuk memperoleh data kondisi saat ini dan data optimal pengelolaan wisata dan perikanan di Gugus Pulau Batudaka. 3.3 Metode Pengumpulan Data 3.3.1 Jenis Data 3.3.1.1 Data Biofisik Data biofisik yang dikumpulkan dalam penelitian meliputi data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui metode observasi dan pengukuran secara langsung di lapangan terhadap objek penelitian, sedangkan data sekunder dikumpulkan dengan cara penelusuran berbagai literatur dan pustaka pada instansi terkait sesuai materi yang dikaji (Tabel 9).
56
Tabel 9 Jenis data biofisik yang digunakan dalam penelitian Komponen Biofisik Komponen Biologi Tutupan Komunitas karang (%)
Metode Pengumpulan Data
Sumber Data
Alat/bahan digunakan
LIT/Line Intercept Transect
Insitu, Bappeda, BKSDA, CII, Citra Landsat Insitu, Bappeda, BKSDA, CII Insitu, Bappeda, BKSDA, CII, Laporan Penelitian Insitu, Bappeda, BKSDA, CII, Laporan Penelitian Insitu, Bappeda, BKSDA, CII, Laporan Penelitian
Fin, Masker, Snorkel, GPS
English et al. (1994)
yang
Jenis Terumbu Karang (Genus) Jenis Ikan Karang (Genus)
Fin, Masker, Snorkel, GPS Fin, Masker, Snorkel, GPS
Visual Sensus Ikan
Mangrove (Spesies)
Transek Kuadran
Lamun
Transek Kuadran
Komponen Fisik-kimia Tipe pantai
Observasi
Insitu
Penutupan lahan pantai
Observasi
Insitu
Keterlindungan dari arus, angin dan gelombang
Observasi
Insitu
Ketersediaan air tawar
Observasi
Insitu
Material dasar perairan (fraksi substrat, %) Kedalaman perairan (m)
Observasi
Insitu, analisis Lab.
Observasi
Insitu, Peta Bathimetri
Pasang surut (cm)
Observasi
Insitu, Laporan
Arus (cm/detik)
Observasi
Insitu, Bappeda
Suhu 0C
Observasi
Insitu
Kecerahan perairan (cm)
Observasi
Insitu
Sechhi Disk, GPS, Daftar Isian
Salinitas (‰)
Observasi
Insitu
Refraktometer, , GPS, Daftar Isian
pH
Observasi
Insitu
Oksigen terlarut/DO (dissolved Oxygen (ppm)
Observasi
Insitu
pH meter, Daftar Isian DO meter, Daftar Isian
Meteran, Daftar Isian
GPS,
Meteran, Daftar Isian
GPS,
Meteran, GPS, Daftar Isian Meteran, GPS, Daftar Isian GPS, Daftar Isian
Meteran, GPS, Daftar Isian GPS, Daftar Isian, kantong plastik Tali, pemberat Meteran, GPS, Daftar Isian Papan Berskala, Daftar Isian Current-meter, drift float, GPS, Daftar Isian Thermometer GPS, Daftar Isian
GPS, GPS,
57
3.3.1.2
Data Sosial Ekonomi Pengumpulan data primer sosial ekonomi yang dilakukan melalui
wawancara terhadap stakeholders yang terkait dengan materi penelitian. Data sekunder diperoleh melalui penelurusan penelitian yang bersumber dari Dinas/Instansi/Lembaga terkait tertera pada Tabel 10. Tabel 10 Jenis data sosial ekonomi yang digunakan dalam penelitian Komponen Sosek
Metode Pengumpulan Data*
Sumber Data
Komponen Sosial Kependudukan
Pustaka
BPS Kab. Touna
Mata pencaharian
Wawancara
Kuesioner
Kunjungan Wisatawan
Wawancara, pustaka
Bappeda dan BPS Kab. Touna Disbudpar kabupaten dan provinsi, pengelola wisata nelayan, masyarakat
Pengelola Wisata Pengelola Wisata Pengelola Wisata, Disbudpar kabupaten dan provinsi Nelayan, masyarakat
Kuesioner Kuesioner
Nelayan, masyarakat, DKP UPTD kecamaan, kabupaten dan provinsi
Kuesioner Kuesioner
Daerah penangkapan Ikan Survey, wawancara (fishing ground) Komponen Ekonomi Biaya operasional wisata Kunjungan wisatawan Data wisatawan
Wawancara Wawancara Wawancara, pustaka
Biaya operasional penangkapan
wawancara
Harga ikan Data produksi ikan
Survey, wawancara Wawancara, Pustaka
Alat/bahan yang digunakan
Kuesioner
Kuesioner
Kuesioner
Keterangan : * Moleong (2005)
3.3.2 Metode Pengambilan Data 3.3.2.1 Metode pengambilan Contoh Biofisik Lokasi pengambilan data komponen fisik-kimia perairan ada 15 (lima belas) stasiun pengamatan
(Gambar 12) dan yang ditentukan secara sengaja
(purposive sampling) dengan pertimbangan lokasi stasiun penelitian adalah yang mempunyai keterwakilan pemanfaatan wisata dan perikanan berdasarkan
58
Gambar 12 Lokasi pengambilan contoh biofisik dan sosial ekonomi
59
pengamatan pada empat titik waktu yakni peralihan musim barat (Oktober 2008), musim barat (Desember 2008), peralihan musim timur (Mei 2009) dan musim timur (Agustus 2009). Pengamatan terumbu karang dan ikan dilakukan pada stasiun 6, 8 dan 10, selain dengan pertimbangan keterwakilan pemanfaatan tersebut, juga berdasarkan gambaran kondisi dan penyebaran terumbu karang dari hasil pengolahan citra awal. Kebutuhan data primer biofisik untuk ekosistem terumbu karang dilakukan secara horisontal (sejajar garis pantai) menggunakan Line Intercept Transect 100 m dari reef flat sampai reef slope berdasarkan kedalaman 3 m dan 10 m (Supriharyono 2007), persentase tutupan, keanekaragaman jenis dan keseragaman (English et al. 1997). Demikian pula pengamatan ikan karang ditentukan dengan metode Sensus Visual Ikan Karang (Coral Reef Fish Visual Census) (English et al. 1997). Pengumpulan data biofisik pada ekosistem mangrove pada stasiun 2, 3, 12, 13 dan Umpagi (Desa Bomba).
Pada setiap stasiun pengamatan ditetapkan
transek kuadran dengan cara menarik garis lurus dari arah laut tegak lurus garis pantai sepanjang zonasi hutan mangrove (Bengen 2001; Fachrul 2007). Pada setiap transek kemudian diletakkan secara acak petak-petak sampel (plot) berbentuk bujur sangkar berukuran 10 x10 m2 untuk kelompok pohon (diameter > 10 cm) yang ditempatkan di sepanjang garis transek, jarak antar kuadran ditetapkan secara sistematis terutama berdasarkan perbedaan struktur vegetasi. Kelompok tiang (diameter 2-10 cm) diambil pada petak berukuran 5x5 m2. Kelompok semai (diameter <2 cm) diambil pada petak 1x1 m2 yang ditempatkan pada petak kelompok tiang. Pada setiap petak sampel dilakukan determinasi setiap jenis tumbuhan mangrove yang ada, dihitung induvidu tiap jenis, dan ukuran lingkar batang setiap pohon mangrove yang ada, parameter lingkungan (suhu, salinitas, DO dan pH), tipe substrat, dampak kegiatan manusia pada setiap stasiun (Bengen 2001). Identifikasi lamun pada stasiun 2, 5 dan Umpagi (Desa Bomba) ditentukan dengan metode transek kuadran yang ditarik dari pantai menuju ke arah tubir pada ekosistem lamun secara tegak lurus garis pantai sampai batas terumbu karang. Pada masing-masing transek diletakkan plot berukuran 1 x 1 m2, jarak antar
60
plot 10 m dan antar transek berjarak 100 m (Fachrul 2007),dengan kriteria berdasarkan KMNLH No. 200 Tahun 2004 Tentang Kriteria Baku Kerusakan dan Penentuan Status Padang Lamun, untuk kondisi baik/kaya (dominan) dengan penutupan >60%, rusak : kurang kaya/kurang sehat (sedang) dengan penutupan 30-59.9% dan miskin (sedikit) dengan penutupan <29.9%. Komponen fisik-kimia yakni tipe pantai, penutupan lahan pantai, keterlindungan dari arus dan gelombang, ketersedian air tawar, material dasar perairan dilakukan dengan mengobservasi komponen tersebut di lokasi penelitian. Fraksi substrat di lokasi mangrove diambil masing-masing sebanyak + 300 g pada stasiun 2, 3, 12, 13 dan Umpagi (Desa Bomba) dan komposisi fraksi dianalisis di laboratorium. Pengukuran pasang surut dengan menggunakan tiang skala semi permanen untuk memperoleh data perubahan elevasi muka air. Tiang skala ditempatkan di daerah yang tetap tergenang air laut pada saat surut terendah. Pengamatan dilakukan dengan pembacaan secara langsung ketinggian air pada tiang skala, dicatat secara kontinyu setiap 1 jam selama 39 jam (metode Doodson) dan minimal selama 15 hari untuk mengamati harmoni pasut (Ongkosongo 1989). Pengukuran kecepatan arah arus dilakukan pada setiap stasiun pengamatan dengan menggunakan layang-layang arus (drift float) untuk arus permukaan dan current meter untuk mengukur kecepatan arus kedalaman. Pengukuran kecepatan dan arah arus ditempatkan di sekitar penempatan transek, diukur setiap jarak 10 m (Richards 1998). Suhu permukaan perairan diukur dengan menggunakan termometer batang. Sampel air laut dimasukkan ke dalam gelas piala, selanjutnya termometer batang. dimasukkan kedalam sampel air. Air raksa dalam termometer batang menunjukkan nilai suhu permukaan perairan dalam satuan oC. Kecerahan adalah ukuran transparansi perairan yang diamati secara visual dengan alat bantu secchi disk. Pengukuran kecerahan dilakukan pada saat cuaca cerah antara pukul 09.00– 15.00 dan matahari tidak tertutup awan. Prinsip kerja refraktometer adalah pembiasan cahaya dari larutan sampel pada skala refraktometer yang menunjukkan nilai salinitas. Alat dikalibrasi dengan menggunakan aquadest sebelum digunakan dengan cara pada meja objek diitetesi
61
aquadest, kemudian diamati pada skala lensa (tepat pada angka nol). Larutan sampel (air laut) ditetesi pada meja objek dan dicatat nilai salinitas yang ditunjukkan pada skala lensa. dalam satuan ‰. Derajat keasaman/pH air laut diukur dengan menggunakan pH meter. Alat ini memiliki sensor, dengan cara sensor dimasukkan kedalam wadah berisi sampel air laut. Selanjutnya pembacaan nilai pH yang terdapat pada layar. Pengukuran oksigen terlarut di dalam air laut dilakukan dengan metoda elektrokimia yakni elektroda yang terdiri dari katoda dan anoda yang terendam
dalam larutan
elektrolit (larutan garam) menggunakan DO-meter. 3.3.2.2 Metode Pengambilan Contoh Sosial Ekonomi Data primer sosial ekonomi dilakukan dengan menggunakan metode survei melalui teknik wawancara. Wawancara dimaksudkan untuk memperoleh informasi mengenai kondisi wilayah penelitian dan persepsi atau sudut pandang stakeholders yang terlibat langsung (responden) yang dianggap mempunyai kemampuan dan mengerti permasalahan yang
terkait dengan
pemanfaatan
sumberdaya pesisir di kawasan tersebut, yaitu dengan responden terdiri dari kelompok wisatawan (lokal dan mancanegara), pengelola wisata, nelayan, tokoh masyarakat, pemerintah dan stakeholders lainnya.
Pengumpulan data primer
dibantu dengan daftar pertanyaan terstruktur (kuesioner) yang telah dipersiapkan sebelumnya. Prosedur pemilihan dan penentuan jumlah responden tertera pada Gambar 13. Responden untuk wisatawan dibagi menjadi dua kategori, yaitu wisatawan mancanegara (wisman) dan wisatawan domestik atau nusantara (wisnus). Jumlah Wisnus sebagai responden dalam penelitian ini sebanyak 18 orang dan wisman sebanyak 25 orang. Pemilihan responden wisatawan dilakukan pada beberapa lokasi, dengan pertimbangan di lokasi tersebut telah ada aktivitas wisata. Pelaksanaannya secara accidental sampling, yaitu sampel yang diambil dari siapa saja yang kebetulan ada dan bersedia menjadi responden (Soeratno dan Arsyad 1993). Jumlah desa di Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una adalah 13 desa dan lokasi pengambilan contoh sosial ekonomi ada 6 (enam) desa (Gambar 13) yaitu Desa Wakai, Bambu, Siatu, Bomba, Malino dan Kulingkinari.
Jumlah
62
contoh diambil dengan pertimbangan keterwakilan wilayah yaitu desa-desa yang ada di Gugus Pulau Batudaka secara sengaja (purposive sampling) yang diambil langsung untuk setiap kelompok responden sesuai dengan tujuan penelitian dan berdasarkan kriteria tertentu (Adrianto 2007), yakni lokasi penelitian adalah desa yang mempunyai potensi dalam pemanfaatan wisata dan perikanan serta responden yang dipilih berdasarkan pertimbangan : responden dari unsur masyarakat adalah penduduk dewasa yang sekurang-kurangnya telah menetap selama 3 tahun dan memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut di Gugus Pulau Batudaka. Responden terdiri atas tokoh masyarakat, tokoh agama, PNS, nelayan, petani, pedagang. Pengusaha wisata/pemilik guesthouse sebanyak 4 orang . Unit populasi sebagai dasar penentuan responden dari unsur masyarakat dan nelayan adalah Kepala Keluarga (KK) yang tinggal di Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una. Jumlah KK di 6 desa tersebut pada tahun 2008 (BPS Kec. Una-Una 2009) sebanyak 1 637 KK dengan profesi sebagai nelayan sekitar 50% atau 818 orang, maka berdasarkan perhitungan rumus jumlah sampel (responden) dari persamaan Slovin (1960) yang diacu dalam Sevilla et al. (1993), yaitu :
n
N .............................................................................................. (1) 1 Ne 2
di mana, n = ukuran sampel N = ukuran populasi e = persentase ketidaktelitian karena pengambilan contoh (10%) diperoleh jumlah sampel masyarakat sebanyak 94 orang (Tabel 11) dan 46 orang nelayan. Tabel 11 Ukuran sampel responden sosial ekonomi No.
Desa
1 2 3 4 5 6
Wakai Bambu Bomba Kulingkinari Malino Siatu
Populasi Rumah Tangga
Jumlah
619 330 285 254 92 93 1 637
Ukuran Sampel 35 19 16 14 5 5 94
63
Data Sosial Ekonomi Jenis Responden Pemanfaat Sumberdaya
Pengambil Kebijakan
PEMDA Masyarakat
N1=1637
Nelayan
N2=818
Wisman
Wisnus
Pengusaha Wisata Purposive sampling
N3
N4
Estimasi Proporsi
N5= 4
N6=8
Ukuran sampel Jumlah unit Responden
n = 94
n=46
n =25
n = 18
Accidental Sampling
Random Sampling
n=8
n=4
Sensus Pemilihan responden
n=231
Gambar 13 Kerangka sampling sosial ekonomi
n =12
64
3.4 Metode Analisis Data
Secara umum analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara bertahap. Tahap I, Deskriptif, dengan mengidentifikasi permasalahan menggunakan pendekatan DPSIR sehingga terpetakannya potensi dan pemanfaatan ruang untuk wisata dan perikanan di Gugus Pulau Batudaka. Tahap II, Kondisi pembatas berdasarkan kelayakan pemanfaatan secara ekologi, ekonomi, sosial kelembagaan. Tahap III, Kolaborasi kondisi pembatas (analisis kelayakan pemanfaatan ruang dan daya dukung lingkungan) yang diintegrasikam dengan optimasi model dinamik. Tahap IV, Implementasi strategi model integrasi wisata-perikanan di Gugus Pulau Batudaka, dan tahapan penelitian tertera pada Gambar 14. Mulai
Identifikasi Permasalahan Pendekatan DPSIR
Tahap I Deskriptif
Tahap II
Wisata
Perikanan
I N P U T
Analisis Kesesuaian Pemanfaatan (GIS)
Kondisi Pembatas Analisis Kelayakan Pemanfaatan : - Ekologi (Ecological Footprint análysis) - Sosial/kelembagaan (HANPP dan CLSA) - Valuasi Ekonomi
Tahap III Kolaborasi
Tahap IV
P R O S E S
Dynamic Modelling (Stella)
Perumusan Model Integrasi
Implementasi Verifikasi dan Validasi Model
Selesai
Gambar 14 Tahapan penelitian model integrasi wisata-perikanan di Gugus Pulau Batudaka
O U T P U T
65
3.4.1
Pendekatan DPSIR (Drivers–Pressures–States–Impacts–Responses)
Pendekatan DPSIR untuk mengetahui keterkaitan faktor-faktor penyebab terjadinya tekanan terhadap ekosistem sehingga dapat digunakan untuk menilai intensitas penggunaan sumberdaya oleh manusia dan aktivitas (wisata dan perikanan) di kawasan Gugus Pulau Batudaka.
Penilaian tekanan terhadap
ekosistem dianalisis berdasarkan pendekatan keseluruhan sistem dan integrasi ekosistem yang berkaitan dengan struktur, komposisi dan fungsinya berdasarkan indikator ruang meliputi bentang alam, tata guna air, dan biodiversity (Turner et al. 2000). 3.4.2 Analisis Kesesuaian Pemanfaatan
Analisis variasi spasial karakteristik kualitas perairan antara stasiun pengamatan digunakan suatu pendekatan analisis statistik multivariabel yaitu Analisis Komponen Utama (Principal Components Analysis/PCA) (Bengen 2000). Analisis ini bermanfaat untuk mereduksi variabel yang berukuran besar ke dalam variabel baru berukuran sederhana dan berguna untuk menduga suatu fenomena sekaligus melihat hubungan antar variabel karakteristik perairan. Melalui analisis tersebut diperoleh informasi yang lebih lengkap mengenai gambaran setiap lokasi pengamatan memiliki karateristik fisika-kimia yang dianggap memenuhi syarat untuk kegiatan pemanfaatan tersebut antara lain kecerahan, salinitas, suhu, pH, dan DO. Analisis PCA dalam penelitian ini menggunakan software XLSTAT 2010. Penentuan kesesuaian pemanfaatan di Gugus Pulau Batudaka berdasarkan Geographic Information System (GIS) menggunakan ArcGIS ver. 9.2. Secara umum terdapat empat tahapan analisis kesesuaian pemanfaatan yang dilakukan, yaitu (1) penyusunan peta kawasan, (2) penyusunan matrik kesesuaian, (3) pembobotan dan pengharkatan, dan (4) analisis spasial untuk kesesuaian wisata dan perikanan. (1) Penyusunan peta kawasan Gugus Pulau Batudaka Penyusunan peta Gugus Pulau Batudaka menggunakan : (1) Data citra Landsat 7 Enhanced Thematic Mapper (ETM+) tanggal 17 Oktober 2000, dan 12 April 2007 dari BTIC Biotrop, 13 Juli 2000, 16 Juli 2001, 13 Desember 2009, 19 Maret 2010 dan 13 Oktober 2010 (http://glovis.usgs.gov/) (2) Peta Rupabumi
66
Indonesia 1:50.000 wilayah Gugus Pulau Batudaka Lembar 2215-13~14, 221541~42 Tahun 1992 dari Bakosurtanal; (3) Peta informasi bathimetri 1:75.000 perairan Pulau-Pulau Togian-Dishidros Tahun 2008; (4) Data Landuse diperoleh dari pengolahan citra tersebut yang membagi wilayah studi dalam kelas penggunaan lahan untuk pemukiman, terumbu karang, mangrove, padang lamun; (4) Pemanfaatan kegiatan mengacu pada zonasi kawasan yang dirinci dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kepulauan Togean (Bappeda Touna 2007). Proses pengolahan citra Landsat TM untuk pemetaan terumbu karang, mangrove, lamun dengan menggunakan model transformasi Lyzenga (1978) menggunakan software ER Mapper versi 7.0. Klasifikasi penutup lahan dilakukan dengan cara interpretasi visual yaitu dengan cara mendelineasi kenampakankenampakan yang sama ke dalam satu kelas penggunaan atau penutup lahan dengan menggunakan data tutupan lahan yang sudah ada. Penyusunan peta kawasan dengan melakukan query terhadap data GIS dengan menggunakan prinsip-prinsip kawasan sehingga informasi spasialnya dapat diketahui. (2) Membuat matriks kesesuaian tiap kegiatan yang ada Penyususnan matriks kesesuaian setiap kegiatan wisata dan perikanan selengkapnya diuraikan sebagai berikut. 3.4.2.1 Wisata
Identifikasi dilakukan dengan mempertimbangkan faktor pembatas (parameter) setiap jenis kegiatan pemanfaatan ruang untuk kegiatan wisata, yaitu: 1 Mempunyai keindahan alam yang menarik untuk dilihat dan dinikmati, sehingga
memberikan rasa relaksasi dan memulihkan semangat daya
produktivitasnya; 2 Memiliki keaslian panorama alamnya (pantai berpasir, terumbu karang, ikan hias) dan keaslian budaya; 3 Keunikan ekosistemnya; 4 Di lokasi wisata tidak ada gangguan binatang buas, arus berbahaya, angin besar dan topografi dasar laut yang curam; 5 Tersedianya sarana dan prasarana (mudah dijangkau, baik melalui darat maupun laut, dan kemungkinan pengembangan aksesibilitas cukup baik, dekat dengan restoran, tempat penginapan, dan ketersediaan air bersih).
67
Pemanfataan ruang berdasarkan parameter biofisik untuk kegiatan wisata yakni jenis wisata minat khusus yang memiliki aktivitas yang berkaitan dengan kelautan baik di atas permukaan laut maupun kegiatan yang dilakukan di bawah permukaan laut/selam (scuba diving). Matrik kesesuaian kegiatan wisata di Gugus Pulau Batudaka difokuskan pada kegiaatan wisata selam dan snorkeling, terinci pada Tabel 12, dan 13. Tabel 12 Matriks kesesuaian area untuk wisata kategori selam No.
Parameter
Bobot
S1 (3)
Kelas Kesesuaian (Skor) S2 (2) N(1)
1
Kecerahan perairan (m)
25
>10
6-10
<6
2
Tutupan komunitas karang (%)
25
>75
50-75
<50
3
Jenis life form (unit)
15
>12
7-12
<7
4 5 6
Jenis ikan karang (Genus) Kedalaman terumbu karang (m) Kecepatan arus (cm/det)*
15 10 10
>100 5-15 0-15
50-100 15-30 15-50
<50 >30, <5 >50
Keterangan: S1 : Sangat Sesuai; S2 : Sesuai N : Tidak Sesuai (Not Suitable); Modifikasi Yulianda (2007) * : dinamik berdasarkan musim
Tabel 13 Matriks kesesuaian area untuk wisata ketegori snorkeling No. 1 2
Parameter
Bobot
Kecerahan perairan (m) Tutupan komunitas karang (%)
20 20
S1 (3) <6 >75
Kelas Kesesuaian (Skor) S2 (2) N(1) 6-10 >10 50-75 <50
3
Jenis life form (unit)
15
>12
7-12
<7
4 5
Jenis ikan karang (genus) Kedalaman terumbu karang (m)
15 10
>100 1-5
50-100 5-10
<50 >10
6
Lebar hamparan datar karang (m)
10
>500
50-500
<50
7
Kecepatan arus (cm/det)*
10
0-15
1-50
>50
Keterangan: S1 :Sangat Sesuai; S2 : Sesuai; N : Tidak Sesuai (Not Suitable); Modifikasi Yulianda (2007) * : dinamik berdasarkan musim
3.4.2.2 Perikanan
Kesesuaian ruang untuk perikanan tangkap dilakukan untuk spesies tertentu yang dominan sebagai spesies yang bernilai ekonomis penting. Berdasarkan analisis terhadap hasil tangkapan ikan, diketahui bahwa spesies ekonomis penting yang dominan di Gugus Pulau Batudaka adalah ikan lolosi, ikan kakap dan rumput laut sehingga dibatasi untuk kesesuaian penangkapan ikan karang dan budidaya rumput laut. Kriteria yang diperlukan untuk daerah kegiatan perikanan dari aspek alokasi penetapan ruang terinci dalam Tabel 14 dan 15.
68
Tabel 14 Matriks kesesuaian perairan untuk ikan karang No.
Parameter
1 2 3 4 5 6 7
Bobot
Kedalaman perairan (m) Topografi dasar perairan Kecerahan perairan (m) Perubahan cuaca Kondisi terumbu karang Pencemaran Kelimpahan ikan target (ind/350 m2)
20 10 10 10 20 10 20
Kelas Kesesuaian (Skor) S1 (3) S2 (2) N(1) >5 3-5 <3 Curam landai-curam landai > 10 5 – 10 <5 Jarang sedang sering Baik sedang buruk tidak ada sedikit ada > 200 100 – 200 < 100
Keterangan: S1 : Sangat Sesuai; S2 : Sesuai; N : Tidak Sesuai (Not Suitable); modifikasi DKP (2006)
Tabel 15 Matriks kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut No.
Parameter
Bobot
1 2 3 4 5 6 7 8
Kedalaman perairan (m) Material dasar perairan Kecerahan (m) DO (ppm) Arus (cm/dt)* Suhu (0C)* Salinitas (‰)* pH*
20 15 15 10 20 10 10 10
S1 (3) 3-15 karang berpasir >10 >7 21-30 28-30 30-32 8.2-8.7
Kelas Kesesuaian (Skor) S2 (2) 2-3 atau >15-40 pasir- pasir berlumpur 5-10 5-7 11-<21 atau >30-45 25-28 atau 30-33 25-<30 atau >32-35 7.0-8.2 atau 8.7-9
N(1) <2 atau >40 lumpur <5 <5 <11 atau >45 <25 atau >33 <25 atau >35 <7
Keterangan: S1 : Sangat Sesuai; S2 : Sesuai; N : Tidak Sesuai (Not Suitable); * : dinamik berdasarkan musim Modifikasi Wijaya (2007)
(3) Memberikan pembobotan dan pengharkatan Pada tahap awal dilakukan pembobotan terhadap beberapa parameter yang berpengaruh terhadap pengembangan wisata dan perikanan menggunakan matriks pembobotan (Tabel 12-15). Proses pemberian bobot dan skor dilakukan melalui pendekatan Indeks Overlay Model (Bonham dan Carter 1994) yaitu : n
S
i '
S
j 1 n
j 1
di mana Si’ = Sj = Wj = n =
j
W
W
j
.........................………....…………………….......... (2)
j
Indeks kesesuaian dari kategori ke-i, i = 4 kategori; Skor parameter ke-j; Bobot parameter ke-j; Jumlah parameter
Pembobotan dilakukan secara bertahap, di mana overlay dilakukan terlebih dahulu pada parameter yang berbobot paling tinggi kemudian hasilnya dioverlay kembali dengan parameter yang berbobot lebih rendah dan seterusnya. Selain itu setiap tema akan dibagi menjadi beberapa kelas yang diberi skor berdasarkan
69
tingkat kesesuaiannya dan hasilnya diperoleh ”nilai akhir” atau ”matriks atribut” yang merupakan hasil perkalian antara bobot dengan skor kelas. Kelas kesesuaian pada penelitian ini, dibagi kedalam 3 (tiga) kategori berdasarkan FAO (1976) dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001) yaitu : Kategori (S1) : Sangat Sesuai (highly suitable). Daerah ini tidak mempunyai pembatas yang serius untuk menerapkan perlakuan yang diberikan atau hanya mempunyai pembatas yang tidak berarti atau tidak berpengaruh secara nyata terhadap penggunaannya dan tidak akan menaikkan masukan tingkatan perlakuan yang diberikan. Kategori (S2) : Sesuai (suitable) Daerah ini mempunyai pembatas-pembatas yang agak serius untuk mempertahankan tingkat perlakuan yang harus diterapkan. Pembatas ini akan meningkatkan masukan/tingkat perlakuan yang diperlukan. Kategori (N) : Tidak Sesuai (Not Suitable) Daerah ini mempunyai pembatas permanen sehingga mencegah segala kemungkinan perlakuan pada daerah tersebut. Pada kegiatan ini diperoleh range nilai kesesuaian lahan antara 0-500. Range ini selanjutnya dibagi dalam 3 kelas, sehingga pembagian nilai kesesuaian berikut ini. Nilai 100-233 (N) = tidak sesuai Nilai 234-367 (S2) = sesuai Nilai 368-500 (S1) = sangat sesuai (4) Melakukan analisis spasial untuk mengetahui kesesuaian setiap kegiatan yang ada di Gugus Pulau Batudaka Tahapan dalam analisis spasial ini adalah setelah penyusunan matriks kesesuaian berdasarkan kriteria dan persyaratan masing-masing, yang dilanjutkan dengan kegiatan overlay.
Proses pembobotan semua kegiatan berdasarkan
matriks kesesuaian di atas dilakukan untuk kondisi peralihan musim barat (Oktober 2008), musim barat (Desember 2008), peralihan musim timur (Mei 2009) dan musim timur (Agustus 2009), hal ini dilakukan agar hasil akhir dapat mewakili kondisi musim. Hasil kesesuaian yang diperoleh dioverlay (tumpang susun) untuk mendapatkan daerah kesesuaian pada kondisi musim tersebut serta dioverlay dengan Rencana Zonasi Kawasan berdasarkan RDTR Kepulauan
70
Togean.
Selanjutnya dilakukan analisis beberapa faktor yang mempengaruhi
kesesuaian lahan yang diperoleh, yakni : (a) Keterlindungan perairan Memperhatikan keberadaan terumbu karang sebagai pelindung dan pemecah ombak di perairan wilayah pesisir, daerah teluk dan perairan yang terlindung pulau yang besar ombak dan arusnya relatif rendah dan tenang; (b) Wilayah konservasi atau jalur hijau pantai Memperhatikan keberadaan hutan mangrove dan sumberdaya alam pesisir lainnya yang perlu dilestarikan; (c) Aksesibilitas Meperhatikan sarana/prasarana, jaringan jalan dan bentuk pantai. Hasil
analisis
ini
digunakan
sebagai
bahan
pertimbangan
dalam
merekomendasikan daerah yang berpotensi untuk dikembangkan usaha wisata dan perikanan serta pengembangan potensi wilayah pesisir Gugus Pulau Batudaka. 3.4.3 Analisis Daya Dukung (Ecological Footprint Analysis)
Daya dukung pemanfaatan sumberdaya Gugus Pulau Batudaka untuk kawasan wisata dan perikanan dilakukan dengan menggunakan pendekatan Ecological Footprint Analysis (EFA). Daya dukung menjadi fokus perhitungan EFA, agar pemanfaatan sumberdaya alam menjadi optimal terhadap kondisi populasi dan aktual kegiatan ekonominya. Secara teoritis, EFA bertujuan mengekspresikan kesesuaian area yang produktif secara ekologi terhadap kebutuhan penduduk atau tingkat ekonomi tertentu melalui indeks keruangan (Haberl et al. 2001; Adrianto 2006). 3.4.3.1 Daya Dukung Wisata
EFA untuk aktivitas wisata atau Touristic Ecological Footprint (TEF) :
TEF TEFb TEFe TEFc TEFp TEFf TEFs …….....…….… (3) di mana : TEF= total footprint wisatawan ke Gugus Pulau Batudaka (ha/orang/th) TEFb = jumlah agregat komponen built-up land TEFe = agregat fossil energy land; TEFc = agregat konsumsi food and fibre dari arable land/crop land; TEFp = agregat konsumsi food and fibre dari pasture land;, TEFf = agregat konsumsi food and fibre dari forest land; TEFs = agregat konsumsi food and fibre dari sea space.
71
TEF dari perjalanan wisatawan dengan memanfaatkan sumberdaya dan lahan Gugus Pulau Batudaka (built-up land), dibagi beberapa komponen yaitu transportasi, akomodasi, dan aktivitas (Gossling et al. 2002; Li Peng dan Guihua 2007).
TEFb TEFt TEFa TEFea
…………..………………..……..
(4)
di mana : TEFb = footprint built-up land (ha/orang/tahun) TEFt = footprint transportasi (ha/orang/tahun) TEFa = footprint akomodasi (ha/orang/tahun) TEFea = footprint energi untuk akomodasi (ha/orang/tahun) Komponen built-up land untuk transportasi adalah semua perjalanan yang berhubungan dengan wisata yang menuju dan kembali dari Gugus Pulau Batudaka, dengan mempertimbangkan kebutuhan infrastruktur (jalan dan pelabuhan). Total area perjalanan wisata adalah total area yang dibutuhkan untuk infrastruktur dalam proses perjalanan. Area yang dibutuhkan tiap wisatawan disebut Built-up land dari komponen transportasi, dihitung dengan membagi total area perjalanan dengan jumlah kedatangan wisatawan (domestik, mancanegara) (Disbudpar Sulteng 2008). TEFt
tj xi
tp xi
……………………………..…...……………..…...….. (5)
di mana TEFt = ecological footprint wisata komponen transportasi (ha/orang/th); tj = luasan area untuk infrastruktur jalan (ha) tp = luasan area untuk infrastruktur pelabuhan) (ha) xi = jumlah wisatawan tahun ke-i (orang/th) Footprint perjalanan wisatawan untuk akomodasi terdiri dari area yang diperlukan untuk akomodasi (guesthouse) dan fossil energy land. Total area akomodasi wisata adalah total area yang dibutuhkan untuk infrastruktur (guesthouse, homestay, dll). Total area diperoleh dengan mengalikan luas area setiap jenis infrastruktur dengan jumlah infrastruktur yang tersedia. Footprint dari built-up land dari akomodasi dihitung dengan membagi total area kebutuhan akomodasi dengan jumlah kedatangan wisatawan pada tahun 2007.
72
n
TEFa
a n 1
n
….......………………….………….………….
(6)
xi
di mana TEFa = ecological footprint wisata komponen akomodasi (ha/orang/th); an = luasan area infrastruktur akomodasi (guesthouse, homestay) (ha), xi = jumlah wisatawan tahun ke-i (orang/th) Footprint energi dari komponen akomodasi dihitung
dengan mengalikan
penggunaan energi (penerangan) tiap guesthouse dengan jumlah guesthouse kemudian dibagi dengan jumlah wisatawan. Aktivitas meliputi kunjungan ke lokasi yang spesifik untuk tujuan wisata bawah laut, rekreasi pantai, olah raga dll. Dalam hal ini, Footprint aktivitas wisatawan yang berhubungan dengan ruang laut (luas yang dibutuhkan untuk wisatawan untuk selam/diving dan snorkeling) dan dianggap merupakan bagian dari buil-up land.
Luasan untuk kegiatan wisata tersebut di Gugus Pulau
Batudaka diperoleh dari hasil analisis kesesuaian lahan menggunakan GIS. Fossil energy land untuk menghitung penggunaan energi (penerangan).
Ketersedian energi dihitung berdasarkan data produksi listrik (PLN dan Non PLN) di Kecamatan Una-Una yaitu sebesar 661 KWH (Bappeda Touna 2007), selanjutnya dikonversi dalam satuan Joule atau sebesar 2.38 GJ/ha/tahun. Konsumsi sandang dan pangan untuk wisata merupakan footprint berdasarkan lahan pertanian (crop land), hutan (forest land), produktivitas ruang laut (sea space) dan padang rumput (pasture land) dihitung degan asumsi bahwa kualitas dan jumlah makanan yang dikonsumsi seharian di rumah (Li Peng dan Guihua 2007), sehingga footprint sandang pangan dalam Living Planet Report 2008 (WWF 2008) dapat digunakan untuk menghitung data footprint nasional yang dominan mengunjungi lokasi ini (Perancis, Belanda dan Indonesia). Jumlah sumbangan rata-rata tahunan untuk konsumsi sandang dan pangan adalah 5 hari yang merupakan rata-rata lama tinggal di Gugus Pulau Batudaka. Kategori ruang yang berbeda terhadap total footprint dijumlahkan dengan cara mengalikan area yang ada (hasil GIS) dengan equivalent factors, yang menggambarkan produktivitas relatif rata-rata dunia (ha) dalam tipe lahan yang berbeda.
Equivalent factors dapat digunakan dalam perhitungan biocapacity,
dinyatakan dalam satuan global hektar (gha) (Gossling et al. 2002; WWF 2008).
73
Dalam konteks ini, pemanfaatan sumberdaya secara optimal tercapai apabila nilai EF sama dengan nilai kapasitas biologis (biocapacity) dari sumberdaya alam yang dianalisis. Sementara itu biocapacity (BC) dapat dihitung dengan menggunakan rumus BC (Lenzen dan Murray 2001) :
BCi AiYF ......................................…………………………....….. (7) di mana : BCi = biocapacity ruang ke-i yang diperlukan untuk wisata Ai = luas land cover ruang ke-i (ha); YF = yield factor land cover. Yield factor land cover yang digunakan dalam perhitungan biocapacity pada
pendekatan ecological footprint di sini, didasarkan pada setiap tipe land use (Lenzen dan Murray 2001; WWF 2008). Selanjutnya daya dukung lingkungan (CC/carrying capacity) dihitung dengan rumus :
CCi
BCi EFi
…………....………..………………………………….... (8)
di mana CCi = carrying capacity ke-i untuk wisata (orang) BCi = biocapacity ruang ke-i untuk wisata (ha) EFi = ecological footprint wisata ke-i (ha/orang) 3.4.3.2 Daya Dukung Perikanan
Pendekatan ecological footprint/EF secara statis (Moffat 2000) dengan memperhitungkan
kebutuhan
produktivitas
primer
(Primary
Productivity
Requirements/PPR) (Pauly dan Christensen 1995; Wada 1999 dalam Adrianto dan
Matsuda 2004). Secara teoritik, sistem perairan dibagi menjadi 6 yaitu : (1) sistem perairan terbuka (Open Oceanic System), (2) Sistem Upwelling, (3) Tropical Shelves, (4) Non Tropical Shelves, (5) Coastal and Coral System dan (6) Freshwater System (sungai dan danau) (Pauly dan Christensen 1995).
Selanjutnya dinyatakan produktivitas primer (PP/ primary productivity) untuk masing-masing sistem tersebut adalah : (1) 103, (2) 973, (3) 310, (4) 310, (5) 890 dan (6) 290 gC/m2/th. Kebutuhan produktivitas primer tiap jenis ikan dapat dihitung berdasarkan tabel referensi tiap kelompok ikan berdasarkan rata-rata trohpic level (TL) dari sistem perairan. Untuk Gugus Pulau Batudaka ada dua
sistem yaitu Tropical Shelves dan Coastal and Coral System. Tropik level untuk kedua sistem tersebut tertera pada Tabel 16.
74
Tabel 16 Tropik Level berbagai jenis ikan untuk Gugus Pulau Batudaka Sistem Perairan Tropical shelves
Kelompok Spesies Small Pelagics Misc. teleosteans Jack, Mackerel Tuna, bonitos, bilifishes Squids, cuttlefish, octopuses Shrimps, prawn Lobster, crabs, other Sharks, rays, and chimaeras Bivalves and other mollusca Misc. Marine fishes Herrings, sardines and anchovies Seaweeds Jack, Mackerel Diadromous Fishes Shrimps, prawn Turtles
Coastal and Coral System
Tropic Level 2.8 3.5 3.3 4.0 3.2 2.7 2.6 3.6 2.1 2.8 3.2 1.0 3.3 2.8 2.6 2.4
Sumber : Pauly and Christensen (1995).
PPR spesies ikan dihitung berdasarkan Pauly dan Christensen (1995) yaitu :
PPRi
Ci 10(TLi1) ………..………………………..…..…………... (9) 9
di mana : PPRi = kebutuhan produksivitas primer spesies ikan ke-i; C = hasil tangkapan spesies ikan ke-i, C dibagi 9 sebagai konversi berat atom C (Wada 1999 dalam Adrianto dan Matsuda 2004); TL-i = rata-rata jumlah transfer tropic level produktivitas primer hasil tangkapan ke-i. Estimasi EF sumberdaya perikanan secara statis dimulai dengan produksi utama biomassa ikan di Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una (Tabel 17) dan di perairan Kabupaten Tojo Una-Una (Lampiran 1). Jika rata-rata efisiensi transfer adalah 10% (Pauly dan Christensen 1995) maka ruang ekologis sistem perairan untuk Gugus Pulau Batudaka dapat dihitung dengan formula (Wada 1999 dalam Adrianto and Matsuda 2004) sebagai berikut. n
EFa
PPR
ia
i 1
PPa
……..…………………………………....………… (9)
di mana : EFa = ruang ekologis sistem perairan a; PPRia = kebutuhan produktivitas primer spesies i di sistem perairan a; PPa = produktivitas primer sistem perairan a; n = jumlah ikan
75
Tabel 17 Produksi ikan di Kecamatan Una-Una Tahun 2005-2008 Nama Indonesia/lokal
Kerapu sunu
Nama Inggris
Grouper Giant sea pearch/Baramundi Frigate mackerel
Kakap Tongkol Teri/lureh/ rono
Commerson's anchovy (Anchovies)
Ekor Kuning/lolosi Teripang
Spotted spanish mackerel (Indopasific king mackerel) Redbely yellow tail fusilier Sea cucumber
Kepiting bakau Udang Barong
Mud carb Spiny lobster
Gurita
Octopuses
Tenggiri
Nama Ilmiah
Volume (kg)* 2005
2006
Sistem
2007
2008
Perairan
Trophic Level
Plecrtopormus leopardus
4 346
5 348
4 229
3 461
2
2.8
Lutjanus sp.
7 963
7 880
5 753
8 060
2
2.8
Auxis sp. Stolephorus commersonii (Stolephorus sp.)
15 200
12 000
12 600
15 060
1
4.0
6 850
7 700
6 685
4 500
1
2.8
450
250
450
150
1
4.0
Caesio cuning
6 220
5 150
4 160
3 831
2
2.8
Stichopus sp Scylla serata Penulirus sp Octopus
2 070
839
624
1 319
2
2.4
80 585
175 75
145 560
185 115
2 2
2.6 2.6
300
230
830
280
2
3.2
Scomberomorus guttatus
Sumber : * Data Primer Terolah, DKP Kec. Una-Una 2006-2009 Keterangan : 1) Tropical Shelves; 2) Coastal and Coral System
3.4.4 HANPP (Human Appropriation of Net Primary Productvity)
Analisis metabolisme sosial ekologis gugus pulau kecil dapat dilakukan menggunakan pendekatan HANPP yang dikembangkan Haberl et al. (2004). Profil metabolik masyarakat lokal dan regional dapat digambarkan secara statistik melalui pendekatan HANPP berupa pertambahan dan kepadatan penduduk, produksi perikanan laut, serta tata guna ruang perairan. HANPP dapat menggambarkan ekstraksi sumberdaya perikanan pada ekosistem di Gugus Pulau Batudaka berdasarkan kebutuhan produktivitas primer (Primary Productivity Requirements/ PPR). Formula HANPP :
HANPP PPRo PPRh
..................................................................... (10)
di mana : HANPP = Kebutuhan produktivitas primer untuk perikanan (kJ); PPRO = potensial kebutuhan produktivitas primer (kJ) diperoleh dari PPR spesies ikan dihitung berdasarkan Pauly dan Christensen (1995) dikalikan energi spesies ikan (kJ/100 g); PPRh = produksi tiap spesies ikan (volume of landing, kg) dikalikan energi spesies ikan (kJ/100 g) (Adrianto dan Matsuda 2004). Selanjutnya efisiensi tiap spesies ikan dapat dihitung dengan membandingkan HANPP dengan PPRh.
76
3.4.5 Analisis Mata Pencaharian Masyarakat Pesisir (Coastal Livelihood System Analysis-CLSA)
Analisis sosial dan budaya dengan melibatkan masyarakat dilakukan dengan metode pengkajian CLSA merupakan salah satu penilaian yang objektif dalam menentukan keberlanjutan mata pencaharian masyarakat pesisir (Adrianto, 2005).
Tahapan yang dilakukan adalah: (1) Pengumpulan informasi tentang mata pencaharian masyarakat dan kondisi sumberdaya alam; (2) Menganalisis pengaruh masyarakat pesisir terhadap kondisi sumberdaya alam; (3) Identifikasi kebutuhan masyarakat pesisir Gugus Pulau Batudaka; (4) Pemilihan insentif; (5) Menyusun strategi pilihan mata pencaharian. 3.4.6
Valuasi Ekonomi Pemanfaatan Gugus Pulau
Perhitungan nilai ekonomi sumberdaya pesisir pulau-pulau kecil (PPK) dimulai dari analisis supply merupakan identifikasi potensi dan kondisi sumberdaya yaitu tipologi PPK meliputi tipe ekosistem, tipe spesies dan komunitas yang ada di dalamnya yang dilakukan penilaian ekonomi berbasis pada teknik valuasi yang relevan untuk setiap sub-tipologi tersebut (Huttche et al. 2002; Adrianto 2005).
Teknik penilaian ekonomi penelitian ini melalui
identifikasi manfaat dan biaya (benefit dan cost) kegiatan wisata dan perikanan. 3.4.6.1 Wisata
Manfaat objek wisata dan barang-barang lingkungan lainnya digunakan pendekatan valuasi ekonomi objek wisata yakni Travel cost method (TCM). TCM atau metode valuasi dengan biaya perjalanan merupakan salah satu teknik penilaian yang secara konsep dapat dipergunakan untuk: (1) menilai daerah tujuan wisata alam; (2) dilakukan dengan cara survei biaya perjalanan dan atribut lainnya terhadap respon pengunjung suatu obyek wisata; (3) biaya perjalanan total merupakan biaya perjalanan, makan, dan penginapan; serta (4) surplus konsumen merupakan nilai ekonomi lingkungan obyek wisata tersebut (Kusumastanto2000).
77
Penawaran (supply) wisata pada dasarnya merupakan gambaran dari kuantitas dan kualitas dari jasa yang ditawarkan oleh pihak pengelola wisata pada tingkat harga tertentu. Jasa yang ditawarkan berupa atraksi wisata pada berbagai tingkat harga, ditentukan oleh beberapa faktor seperti: harga atraksi wisata itu sendiri; harga atraksi wisata yang lain; biaya pengelolaan dan tingkat teknologi yang digunakan (Sukirno, 2002). Laju pertumbuhan penawaran produk wisata akan tergantung dari biaya dan jumlah produk yang ditawarkan, sehingga untuk menduga laju penawaran produk wisata atau mengestimasi kurva penawaran produk wisata bahari diturunkan dari fungsi biaya (khususnya biaya jangka pendek). Beberapa atribut yang mempengaruhi laju penawaran dapat diperoleh melalui analisis regresi linear berganda menggunakan Excel dan kurva penawaran dengan menggunakan bantuan perangkat lunak Mapple 9.5. Hubungan penawaran/derived supply kunjungan wisata diperoleh dengan melakukan regresi pada variabel yang dinilai berpengaruh terhadap jumlah kunjungan
Perhitungan penawaran wisata terkait dengan kegiatan pelayanan
wisata oleh perusahaan yang berkonsekuensi pada biaya produksi. Total biaya (TC) yang dikeluarkan perusahaan wisata merupakan fungsi penawaran yang nilainya tergantung dari jumlah kunjungan turis (V) atau secara matematis dituliskan TC = f(V). Pada umumnya peubah yang dimasukkan dalam fungsi hanyalah peubah yang memiliki pengaruh yang sangat kuat. Peubah yang paling berpengaruh dalam hal ini diantaranya adalah biaya konsumsi dan akomodasi (V1) biaya pemeliharaan fasilitas wisata (V2) sebagai peubah bebas dan peubah tidak bebasnya adalah Total cost (TC) yakni biaya operasional yang dikeluarkan pengusaha untuk melayani wisatawan atas semua atraksi/produk wisata yang disuguhkan, sehingga fungsi penawaran produk wisatanya adalah :
TC = β0 + β1 Ln V1 + β2 (V2)2 ............................................. (11) di mana : TC V1 V2 β0 β1 β2
= Total biaya operasional pengusaha wisata (US$) = Biaya konsumsi dan akomodasi (US$) = Biaya pemeliharaan setiap kunjungan wisatawan (US$) = nilai variabel dari total biaya operasional = nilai variabel dari biaya konsumsi dan akomodasi = nilai variabel dari biaya pemeliharaan setiap kunjungan
78
Permintaan (demand) umumnya diartikan jumlah dari suatu barang atau jasa yang dapat dibeli oleh konsumen pada berbagai kemungkinan harga, dalam jangka waktu tertentu dengan anggapan hal-hal lain tetap sama atau ceteris paribus. Permintaan wisata umumnya diapresiasikan dalam bentuk daftar volume
atau tingkat kunjungan yang dilakukan pada berbagai tingkat biaya perjalanan. Keinginan seseorang untuk melakukan rekreasi dipengaruhi oleh banyak faktor seperti umur, pendidikan, pendapatan, pekerjaan, waktu luang yang dimilikinya, dan tempat tinggal (Sukirno 2000). Analisis permintaan (demand) untuk wisata dapat digunakan pendekatan Travel Cost Method (TCM) berdasarkan Fauzi (2004) dan Adrianto (2006). TCM
merupakan metode yang mengkaji biaya yang dikeluarkan tiap individu untuk mendatangi tempat wisata di sekitar lokasi penelitian. Prinsip yang mendasari adalah bahwa biaya yang dikeluarkan untuk berwisata ke suatu area dianggap sebagai ’harga’ akses area tersebut. Jarak merupakan faktor yang menentukan biaya perjalanan untuk mengunjungi suatu kawasan wisata. Pendekatana zonasi dapat digunakan bila data mengenai jumlah pengunjung berdasarkan zona (jarak ke kawasan wisata) tersedia. Namun, bila data jumlah pengunjung menurut zona tidak tersedia maka dapat dilakukan pendekatan individu untuk menghitung consumer surplus.
Analisis biaya perjalanan yang digunakan di sini adalah
dengan pendekatan individu, dengan tahapan (Fauzi 2004; Adrianto 2006; Sobari 2007; Yudasmara 2010) : (1) Mengindentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kunjungan wisata ke lokasi tersebut (seperti biaya perjalanan, pendapatan, jarak ke lokasi wisata, umur, tingkat pendidikan ; (2) Mengumpulkan data tentang faktor-faktor yang sangat mempengaruhi permintaan, dalam penelitian diperoleh biaya perjalanan, pendaatan, jarak ke lokasi wisata merupakan faktor yang sangat mempengaruhi kunjungan wisata; (3) Menentukan derived demand diperoleh dengan melakukan regresi pada variabel yang dinilai berpengaruh terhadap jumlah kunjungan. Pada umumnya peubah yang dimasukkan dalam fungsi hanyalah peubah yang memiliki pengaruh yang sangat kuat. Peubah yang paling berpengaruh adalah biaya perjalanan (TC), pendapatan (Y) dan jarak ke lokasi wisata (D). Untuk model
79
zonasi, dilakukan regresi untuk masing-masing zona sehingga diperoleh fungsi permintaan atas kunjungan wisata untuk masing-masing zona. Fungsi permintaan atas kunjungan wisata untuk model zonasi adalah sebagai berikut :
lnVi 0 1 lnTCi 2 lnYi 3 ln Di …………………….… (12) di mana : Vi = trip kunjungan individu ke-i; TCi = biaya perjalanan individu ke-i; Yi = pendapatan individu ke-i; Di = jarak ke lokasi wisata dari lokasi asal individu ke-i; β0 = nilai parameter dari trip kunjungan; β1 = nilai parameter dari biaya perjalanan; β2 = nilai parameter dari pendapatan; β3 = nilai parameter dari jarak ke lokasi wisata; (4)
Menghitung consumer surplus
Setelah mendapatkan kurva permintaan, selanjutnya dapat diperkirakan manfaat ekonomi yang diperoleh dari kunjungan wisata. Manfaat ekonomi tersebut diukur dari surplus konsumen wisatawan. Surplus konsumen adalah perbedaan antara keinginan masyarakat untuk membayar dengan apa yang dibayarkan konsumen, dihitung dengan langkah-langkah berikut : (a) Masukkan rata-rata peubah bebas ke dalam persamaan (12); (b) Selanjutnya CS dihitung dengan menggunakan formula di bawah ini :
CS j _
Vi
1
........................................................................................ (13)
di mana : CSi = consumer surplus individu ke-i; Vi = jumlah kunjungan individu ke-i; β1 = nilai parameter dari total biaya perjalanan (5) Menghitung total benefit (nilai rekreasi) lokasi wisata Dalam model zonasi, maka Total Benefit (TB) diperoleh dengan menjumlahkan benefit per zona dengan formula berikut :
TB
n
CS i 1
di mana : TB CSi TV n
i
TV ....................................................... (14)
= total manfaat ekonomi lokasi wisata = consumer surplus individu i = total kunjungan per tahun (diambil data sekunder) = jumlah pengunjung
80
3.4.6.2 Perikanan
Manfaat dari kegiatan perikanan (Gordon 1954 dalam Ruslan 2005) di Gugus Pulau Batudaka dapat dihitung secara matematis : ……....……..……………....................…...…......…
(15)
P nY Pn X n ………..……....….…….……..…………...……..
(16)
TR TC
di mana : π = keuntungan; TR = total revenue (penerimaan total); TC = total cost (biaya total); Pn = harga per satuan produk ikan (Rp/kg); Y = pendapatan dari total produksi ikan (kg); Xn = jumlah input yang digunakan (unit).
3.4.7 Analisis Dinamik Strategi Pengelolaan
Struktur dasar dari model integrasi wisata-perikanan di Gugus Pulau Batudaka yang dibangun mekanismenya dimulai dari masukan, proses, keluaran dan umpan balik. Mekanisme kerja berkelanjutan yang menunjukkan adanya perubahan menurut waktu atau bersifat dinamis.
Perubahan tersebut akan
menghasilkan petunjuk kerja model yang dapat diamati perilakunya. Adapun struktur model dalam penelitian ini tertera pada Gambar 15. EKOSISTEM
SUB MODEL WISATA
SUB MODEL PERIKANAN
MODEL INTEGRASI OPTIMAL
ARAHAN KEBIJAKAN
Gambar 15 Struktur model integrasi pengelolaan wisata dan perikanan di Gugus Pulau Batudaka
81
Konsep model awal merepresentasikan secara kualitatif seluruh aspek relevan dari sistem yang akan dibangun (Grant et al. 1997) dengan tahapan sebagai berikut : 1 Penetapan tujuan, yaitu untuk megestimasi daya dukung lingkungan berbasis ekologi kawasan terkait dengan dinamika kegiatan wisata dan perikanan. 2 Batasan sistem yang dibangun pada model integrasi wisata- perikanan adalah : - Sub model wisata - Sub model perikanan Selanjutnya komponen-komponen yang didalam sub model tersebut ditentukan dan dikelompokan sesuai fungsinya. 3
Identifikasi hubungan antar komponen. Secara kualitatif, struktur model yang dibangun digambarkan dalam diagram alir (Causal loop diagram/CLD) untuk memahami bagaimana proses, informasi dan strategi dari struktur sistem yang dibangun (Gambar 16-20). Secara kuantitatif, struktur model yang dibangun diuraikan masing-masing
sebagai berikut.
3.4.7.1 Sub Model Daya Dukung Wisata
Perumusan model wisata Gugus Pulau Batudaka pada kondisi ecological footprint 10 tahun ke depan dan prediksi pertumbuhan jumlah wisatawan sebagai
dasar dalam membangun causal loop dan model dinamik yang diacu dari Solarbesain (2009), yang merupakan pengembangan konsep dan hasil perhitungan touristic ecological footprint (TEF) dan biocapacity secara manual (Lihat Sub
3.3.2) Hal ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar kemampuan Gugus Pulau ini dengan segala sumberdaya yang ada di dalamnya untuk mendukung jumlah wisatawan yang datang berkunjung di kawasan tersebut. Causal loop model konseptual dari TEF tertera pada Gambar 16.
82
+ Luas Pengnp
+ Luas Pelab
EF Jalan
+
Luas Jalan
+
+
Total EF W isata
+
Existing Pasture Land
+ +
+
EF Energi
+
EF Sandang Pangan
+
Existing Built-up
+ Forest Land
Biocapacity
Konsumsi Energi
+
+
-
+ Existing Energy
+
+ +
+ + Pasture Land
Existing Fishing Ground
Existing Pasture Land
Gambar 16 Causal loop daya dukung wisata 3.4.7.2 Sub Model Perikanan
Pendekatan secara konseptual untuk pemanfaatan sumberdaya perikanan di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki karakteristik yang khas dimana aliran cadangan sumberdaya ikan (flow of fish stock) menjadi faktor penting dalam keberlanjutan kegiatan ini, sehingga dinamika sumberdaya perikanan menjadi titik sentral bagi optimasi pemanfaatan sumberdaya perikanan di kawasan ini, selain faktor populasi dan degradasi lingkungan. Sektor Populasi
Verhulst model untuk variabel populasi penduduk di Gugus Pulau Batudaka diberikan sebagai berikut :
N r r0 1 ……….....………………...…………....….……………(16) K di mana r = laju pertumbuhan penduduk ro = laju pertumbuhan awal; N = jumlah populasi penduduk pada waktu tertentu (orang);
+
+
+
+
+
Area W . Pantai
EF Aktivitas
+
Total Turis Existing Cropland
+
+
EF BuiltUp
+
Area Snorkeling
+ +
+
+
Area Selam
+
EF Pelabuhan
+
Lama W isata
EF Penginapan
+
Jumlah energi Sea Space
Forest Land
83
K = batas atas jumlah populasi (orang) Laju pertumbuhan populasi penduduk akan turun pada saat jumlah penduduk
(populasi) sebesar N dan akan sama dengan 0 ketika N = K, di mana parameter K adalah batas atas dari pertumbuhan populasi. Dinamika populasi selanjutnya dinyatakan secara formal sebagai berikut :
N dN rN r0 N 1 .....................................................................(17) dt K Persamaan di atas memiliki solusi :
N
t
N
0
N 0K K N 0 e ro t
................................................ (18)
di mana Nt = populasi pada saat t (orang); N0 = populasi awal (orang); K = populasi maksimal (orang); r0 = pertumbuhan bersih populasi setelah mempertimbangkan fertility, mortality, dan migration multiplier. Causal loop model konseptual dari sektor populasi tertera pada Gambar 17. Emigrasi +
+
Kelahiran
+
Populasi Penduduk
+
+
+
+
-
-
-
-
Kematian
+
Imigrasi
Gambar 17 Causal loop populasi Sektor Produksi Perikanan
Dasar pemikiran untuk sektor produksi perikanan adalah seberapa besar sumberdaya perikanan mendukung konsumsi dan kehidupan penduduk di gugus Pulau Batudaka. Variabel terpenting dalam analisis dinamika perikanan adalah variabel produksi perikanan (yields). Tidak seperti sumberdaya lainnya, cadangan
84
sumberdaya perikanan tidak dapat diestimasi secara langsung. Produktivitas perikanan dapat diduga dengan menggunakan pendekatan model kuantitatif . Dalam literatur perikanan, terdapat 2 tipe model fungsional yang sering digunakan dalam pendugaan produktivitas perikanan yaitu model logistik dan model Gompertz (Tai et al. 2001). Model logistik diberikan sebagai berikut :
X dX rX t 1 t dt K
ht .………..…………………..……...…….. (19)
sedangkan model Gompertz diformulasikan sebagai berikut :
K dX rX t ln dt Xt
ht .....……………….……………..…….....….. (20)
di mana r = intrinsic growth rate, K = daya dukung lingkungan; ht = laju penangkapan (harvest rate) yang biasanya diasumsikan sebagai ht = qEtXt, di mana q adalah koefisien tangkap (catchability coefficient), E adalah tingkat upaya tangkap (fishing effort), dan X adalah biomassa ikan. Untuk menyelesaikan model di atas dan menduga parameter-parameter r, K dan q, digunakan pendekatan model Schnute untuk menyusun persamaan surplus produksi. Pendekatan Schnute tersebut adalah :
CPUET 1 r CPUEt CPUEt 1 q Et Et 1 ..................... (21) Ln r Kq 2 CPUEt Dengan menggunakan pendekatan sistem dinamik, perilaku variabel populasi dan produktivitas perikanan akan dianalisis untuk mengestimasi tingkat pemanfaatan optimal sumberdaya perikanan. Causal loop model konseptual dari sub-sub model produksi perikanan skala lokal (Kecamatan Una-Una) dan regional (Kabupaten Tojo Una-Una) tertera pada Gambar 18-19.
85
Area lokal + +
Pertumbu han Marjinal
+
+
Produksi Ikan lokal per area
+
Biomassa Ikan
-
-
Produksi Ikan Lokal
+ Fraksi Tangkapan
-
Kematian Ikan
Koefisien Tangkap
+
+
Jumlah armada
+
+
Gambar 18 Causal loop produksi perikanan lokal Area regional + +
Pertumbu han Marjinal
+
+
Produksi Ikan lokal per reg
+
Biomassa Ikan
-
Produksi ikan reg
-
+ Fraksi Tangkapan
-
Kematian Ikan
Koefisien Tangkap
+
+
Jumlah trip
+
+
Gambar 19 Causal loop produksi perikanan regional Sektor Daya Dukung Perikanan
Model dasar daya dukung perikanan berdasarkan Ecological Footprint dinamik dapat diformulasikan dengan persamaan : EFij
DEij Ylokij
IM ij Yregij
EX ij Ylokij
...................................…..…….………… `(22)
di mana : EFij = ecological footprint perikanan di pulau ke-i (ha/orang); DEij = produksi domestik perikanan ke-i (kg/orang); IMij = produksi perikanan yang diimpor dari pulau lain (kg/ ha); EXij = produksi perikaan yang diekspor ke pulau lain (kg/ ha); Ylok ij = yield (produktivitas) perikanan lokal di pulau ke-i (kg/ha); Yreg ij = yield (produktivitas) perikanan regional di pulau ke-i (kg/ha).
86
Elemen dasar dari model tersebut dalam literatur Ecological Footprint disebut konsumsi riil (Apparent Consumption) yang digunakan untuk mengukur konsumsi sesungguhnya terhadap sumberdaya (Haberl 2001). ACt DEt IMt EXt ............................................................................ (23)
di mana : ACt = konsumsi riil (kg) DEt = produksi domestik (kg) IMt = jumlah produksi perikanan yang diimpor pada tahun ke- t (kg) EXt = jumlah produksi perikanan yang diekspor pada tahun ke-t (kg) Impor produk perikanan dapat diestimasi rumus seperti yang diuraikan Adrianto dan Matsuda (2004) :
IM t CPpot CPact t Pt b ………………………....................… (24) di mana IMt = estimasi impor ikan pada tahun ke-t (kg); CPpot = konsumsi ikan potensial pada tahun ke-t (kg/orang); CPact = konsumsi ikan aktual kapita pada tahun ke-t (kg/orang); Pt = populasi pada tahun ke-t (orang); t = waktu; b = koefisien penangkapan. Adapun causal loop model konseptual dari sektor daya dukung perikanan tertera pada Gambar 20.
87
+
+
Data Domestik +
+
Impor EF +
+
Produksi Regional
Laju Konsumsi Domestik
Total EF
-
Produksi Lokal -
EF Perikanan
Area Lokal
Ekspor EF +
+ Data Impor
+
+
Faktor Ekivalen
Data Ekspor
+ Area Regional Gambar 20 Causal loop daya dukung perikanan 3.4.7.3 Analisis Integrasi Wisata Perikanan
Integrasi Wisata-Perikanan digambarkan dalam diagram alir seperti yang tertera pada Gambar 21.
88
+ + Luas Pengnp
+ Luas Pelab
Area Selam
+
+
+
EF Jalan +
+ EF BuiltUp
+ +
Luas Jalan
+
Total EF Wisata Existing Built-up
+
Existing Pasture Land
+ + Existing Pasture Land
+
Existing Fishing Ground
+
Pasture Land
Laju Konsumsi Domestik
+
-
-
-
Kematian
+
-
+
+
Produksi Regional
Imigrasi
Produksi Lokal
+
-
Total EF
-
+
+ Data Impor
Area Lokal
Ekspor EF
EF Perikanan
Faktor Ekivalen
+
Data Ekspor +
+ +
Area Regional +
Forest Land
+
+
Petumbuhan Marginal 2
+ +
+
+
Biomassa Ikan 2
Kematian Ikan 2
+
Impor EF
Sea Space
+
+
+
Jumlah energi
+
EF Sandang Pangan
+
Forest Land
Biocapacity
+ Existing Energy
+
+
Populasi Penduduk
+
+
+
EF Energi
+
+
Kelahiran Konsumsi Energi
+
+ Total Turis
Existing Cropland
+
+
Data Domestik
+
+
+
+
+
+
+
Area W. Pantai
EF Aktivitas
+
+
+ Emigrasi
Area Snorkeling
+
+
EF Pelabuhan
+
Lama Wisata
EF Penginapan
+
+
-
Produksi Ikan Regional per area
Produksi Ikan Regional +
+
-
Jumlah armada
Fraksi Tangkapan 2
+
Pertumbu han Marjinal
Koefisien Tangkap 2 +
+
+
Produksi Ikan lokal per area
+
Biomassa Ikan
-
Kematian Ikan
Produksi Ikan Lokal
+
+
Gambar 21 Causal loop model integrasi wisata-perikanan di Gugus Pulau Batudaka
Jumlah trip
Koefisien Tangkap
+ + Fraksi Tangkapan +
+
89
3.4.7.4 Verifikasi dan Validasi Model
Prediksi alur proses dari pemanfaatan ruang Gugus Pulau Batudaka dianalisis menggunakan software Stella®Research 8.0.2 untuk memperoleh model optimal berdasarkan kesesuaian pemanfaatan dan daya dukung. Tahapan verifikasi model sebagai pembuktian bahwa model komputer yang telah disusun pada tahap sebelumnya mampu melakukan simulasi dari model abstrak yang dikaji (Eriyatno 1999). Adapun tahapan yang dilakukan adalah tahap analisis perilaku model dan evaluasi model. Pada tahap analisis perilaku model, model simulasi komputer digunakan untuk menyatakan serta menentukan bagaimana semua peubah dalam model berperilaku terhadap waktu. Dalam model dinamik ini, yang akan diamati secara cermat adalah bagaimana informasi dari peubahpeubah model dalam sistem pemanfaatan ruang untuk wisata dan perikanan di Gugus Pulau Batudaka berperilaku terhadap semua titik pada jalur waktu. Informasi ini akan sangat berguna dalam proses pengujian atau evaluasi model dan mengestimasi kualitas luaran (output) dari operasi model tersebut. Pada tahap evaluasi model, berbagai uji harus dilakukan terhadap model yang telah dibangun untuk mengevaluasi atau validasi suatu model. Keabsahan suatu model dapat dilihat melalui proses secara iteratif berupa pengujian secara berturut-turut sebagai proses penyempurnaan model. Uji ini berkisar dari memeriksa konsistensi logis sampai membandingkan luaran model dengan data pengamatan, atau lebih jauh menguji secara statistik parameter yang digunakan di dalam simulasi model (Masyahoro et al. 2004). Verifikasi model untuk mengetahui apakah model yang dibangun dengan cara yang benar, sedangkan validasi model untuk mengetahui apakah model yang dibangun adalah model yang benar. Penentuan cara pengujian yang paling tepat untuk memvalidasi suatu model dilakukan melalui pendekatan (1) berdasarkan asumsi model, yakni pemeriksaan secara kritis atas asumsi-asumsi dasar yang dibuat pada model yang dibangun, (2) berdasarkan model behavior, yakni hanya menguji kesesuaian antara perilaku model dengan perilaku sistem nyata, (3) berdasarkan asumsi dan perilaku model, yakni pemeriksaan asumsi, dan menguji kesesuaian perilaku model dengan sistem nyata (Murthy et al. 1990).
90
Sintesis dari keseluruhan analisis berdasarkan kerangka pikir penelitian tertera pada tabel berikut. Tabel 18 Keterkaitan tujuan dengan metode penelitian No. 1
Tujuan Menganalisis interaksi sifat ekologis perairan dan mengestimasi daya dukung lingkungan dan sumberdaya kawasan Gugus Pulau Batudaka yang dapat dimanfaatkan bagi kegiatan wisata dan perikanan berkelanjutan
2
Merumuskan pengelolaan wisata-perikanan yang terintegrasi secara spasial di Gugus Pulau Batudaka.
Metode Analisis Kesesuaian Pemanfaatan (GIS) Analisis Kelayakan Pemanfaatan : - Ekologi (Ecological Footprint análysis) - Sosial/kelembagaan (HANPP dan CLSA) - Valuasi Ekonomi Analisis Dinamik
91
4 SISTEM SOSIAL EKOLOGI WILAYAH PENELITIAN
Secara Geografis Gugus Pulau Batudaka Kepulauan Togean terletak di tengah Teluk Tomini yang memanjang dari barat ke timur pada posisi koordinat 0021’-0035’LS dan 121˚35’-121˚58’BT Kepulauan Togean terdiri atas 4 wilayah kecamatan yaitu Una Una, Togean, Walea Besar dan Walea kepulauan, dengan jumlah desa keseluruhan mencapai 47 desa. Gugus Pulau Batudaka masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Una-Una. Berdasarkan hasil Survei BRKP tahun 2007, Kecamatan Una-Una memiliki 254 pulau dan pulau yang besar adalah Pulau Batudaka dan Pulau Una-Una Ekosistem pesisir dan laut merupakan penunjang bagi kelangsungan hidup penduduk Gugus Pulau Batudaka. Kondisi ekosistem yang mulai terdegradasi di beberapa wilayah perairan pesisir dan laut, baik sebagai akibat dari kegiatan manusia maupun secara alami, memberikan kontribusi kehilangan (loss) dari rente sumberdaya yang harusnya diterima oleh mayarakat.
Indikator keberlanjutan
pengelolaan Gugus Pulau Batudaka mengacu pada penilaian dampak biodiversity pada model DPSIR (Bin et al. 2009), secara lengkap tertera pada Gambar 22. PERUBAHAN KONDISI LINGKUNGAN/ ENVIRONMENTAL STATES CHANGES(S)
Populasi penduduk, Ekonomi (permintaan wisaya, kegiatan perikanan)
Konversi lahan (pembukaan mangrove untuk pemukiman dan tambak) sampah domestik
Abrasi dan sedimentasi, polusi air, kehilangan habitat, menurunnya keanekaraga man hayati
Peningkatan
Dampak sosial, ekonomi dan ekologi
Respon sosial, Respon ekonomi, Respon ekologi
Gambar 22 Pendekatan DPSIR sebagai indikator dalam keberlanjutan pengelolaan Gugus Pulau Batudaka
P e n g u ra n g a n
Pengurangan
RESPONSES (R)
DAMPAK/ IMPACTS (I)
Keb u tu h an
TEKANAN LINGKUNGAN/ ENVIROMENTAL PRESSURES (P)
P e n g u ra n g a n
FAKTOR PENGGERAK/ DRIVERS (D)
92
Kondisi ekosistem Gugus Pulau Batudaka dipengaruhi oleh faktor demografi maupun aktivitas ekonomi seperti permintaan wisata, kegiatan perikanan mengakibatkan terjadinya tekanan berupa konversi lahan, peningkatan sampah domestik dan polutan lainnya sehingga status lingkungan berubah dengan terjadinya abrasi, sedimentasi, pengayaan nutrien perairan, kehilangan hábitat, penurunan keanekaragaman hayati mangrove yang berdampak pada ekosistem dan sosial ekonomi serta implikasi kebijakan sesuai arahan penyusunan tata ruang wilayah pesisir PPK yakni aspek ekologi berdasarkan daya dukung lingkungan, memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan, aspek sosial ekonomi budaya yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 4.1 Pendekatan DPSIR (Drivers-Pressures-States-Impacts-Responses)
Penilaian dampak pembangunan dan aktivitas masyarakat terhadap kondisi ekosistem Gugus Pulau Batudaka berdasakan analisis DPSIR. Faktor pengarah (driving force) yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu aktivitas masyarakat maupun proses ekonomi yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas ekosistem sepeti konsumsi, produksi, transportasi, pemukiman, perpindahan penduduk.
Pressure atau tekanan pada ekosistem akibat faktor pengarah tersebut adalah pemanfaatan sumberdaya alam baik untuk wisata maupun perikanan, penggunaan lahan. State merupakan indikator status yang menggambarkan kondisi sistem dan tipe maupun karakteristik secara fisik, kimiawi, dan biologi. Impact merupakan akibat tekanan pada kondisi ekosistem yang memberikan dampak sosial, ekonomi dan ekologi. Response adalah berbagai tindakan yang dilakukan oleh masyarakat baik induvidual maupun secara kolektif untuk mengatasi dampak lingkungan, mengoreksi kerusakan yang ada atau mengkonservasi sumberdaya alam, meliputi penetapan peraturan, pengeluaran biaya penelitian, pendapat masyarakat dan preferensi konsumen, perubahan strategi manajemen dan lain-lain (Pinter et al. 1999; Mattei 2007). 4.1.1 Faktor-faktor Sosial Ekonomi (Socio-economic Drivers) 4.1.1.1 Demografi Kependudukan
Faktor-faktor driver pada kawasan Gugus Pulau Batudaka antara lain yang berkaitan dengan kondisi demografi kependudukan (pertumbuhan,
93
kepadatan dan tingkat ketergantungan penduduk) yang mempengaruhi hubungan fungsional terhadap kerentanan ekosistem pesisir gugus pulau. Jumlah penduduk di Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una dalam periode Tahun 2001-2008 mengalami pertumbuhan sebesar 2% per tahun, yaitu dari 11 325 jiwa pada Tahun 2001 menjadi 13 106 jiwa pada tahun 2008, terdiri atas 3 547 rumah tangga dengan sebaran rata-rata per rumah tangga sebanyak 4 jiwa dengan kepadatan 44 jiwa/km2 (BPS Touna 2009). Sementara pertumbuhan penduduk rata-rata di Kabupaten Tojo Una - Una berdasarkan hasil perhitungan penduduk dari tahun 2001-2005 adalah 0.04 atau 4% per tahunnya dan pertumbuhan penduduk menurut kecamatan yang berada di daratan Pulau Sulawesi berkisar antara 4%-7% (Bappeda Touna 2007). Penduduk Kecamatan Una-Una pada Tahun 2008 sebagian besar termasuk dalam kelompok umur produktif (15-55 tahun) sebesar 60%, dan kelompok umur muda (0-15 Tahun) 32% dan kelompok umur tua (>55 tahun) sebesar 8%, dengan jumlah penduduk yang sementara bersekolah (SD-SMA) sebesar 23% (BPS 2009). 9000 8000 7000 6000 5000 Produktif
4000
Non Produktif
3000 2000 1000 0 2003
Gambar 23
2004
2005
2006
2007
2008
Jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur produktif Tahun 2003-2008 di Kecamatan Una-Una
Klasifikasi penduduk menurut kelompok umur di Kecamatan Una - Una terbagi atas penduduk usia produktif terdiri atas kelompok usia 15-55 tahun dan penduduk usia non produktif yang tergolong dalam usia 0-14 tahun dan 55 tahun keatas (Gambar 23). Pengklasifikasian penduduk berdasarkan kelompok umur
94
memberikan gambaran mengenai tingkat ketergantungan penduduk usia non produktif terhadap penduduk usia produktif pada Tahun 2008. Usia produktif di Kecamatan Una-Una yaitu sejumlah 7 819 jiwa dengan jumlah usia non produktif 5 286 jiwa sehingga angka ketergantungannya mencapai 68%. Semakin besar penduduk usia non produktif maka akan semakin besar pula tingkat ketergantungan terhadap penduduk produktif dan sebaliknya. Besarnya kelompok usia produktif ini merupakan faktor driver yang mempengaruhi kualitas ekosistem di kawasan ini. 4.1.1.2 Permintaan Wisata
Berdasarkan analisis pasar wisata Sulawesi Tengah tahun 2008 bahwa 50% kunjungan wisatawan mancangara (wisman) menurut minat wisata adalah wisata selam, dan obyek wisata selam yang dikunjungi sebesar 64% ke Kepulauan Togean dengan pengunjung terbanyak yaitu 78% berasal dari Eropa (Jerman, dan Italia) dan trend kunjungan tertinggi bulan Agustus-Desember dimana 60% wisman memiliki lama tinggal 5–10 hari, 23% dengan lama tinggal 11-15 hari dan 9% memiliki lama tinggal >15 hari dengan minat terbesar karena kondisi alam, laut dan menyelam. Peningkatan tersebut berkaitan dengan aktivitas liburan di negara-negara Eropa (Disbudpar Prov. Sulteng 2009).
Pintu kedatangan
wisatawan ke Gugus Batudaka Kepulauan Togean adalah dari Gorontalo, Makassar, dan Balikpapan, dengan tipe perjalanan wisman adalah individual dan bersama keluarga.
Motif wisman sebagian besar adalah wisata selam ini
berkonsekuensi terhadap daerah yang mampu menyediakan pelayanan wisata selam dam aksesibilitas ke obyek tersebut. Pelayanan wisata selam di Gugus Pulau Batudaka disediakan oleh 2 pengusaha yaitu di Wakai Cottage (Desa Wakai) dan Retreat Island Cottage’s (Pantai Tipae Desa Bomba), juga tersedia sarana penginapan di Desa Wakai dan Desa Bomba (Pantai Tipae dan Pulau Poya). Aksesibilitas pencapaian menuju tempat wisata ke kawasan ini dari Kota Ampana menuju Bomba (3-4 kali seminggu), Wakai (4-5 kali seminggu), dan dari Gorontalo ke Wakai (sekali seminggu). Kebutuhan wisman atau pasar dalam hal ini adalah daya tarik obyek wisata beserta sarana penunjang merupakan faktor driver dalam pengelolaan Gugus Pulau Batudaka.
95
4.1.1.3 Kegiatan Perikanan
Pemanfaatan sumberdaya alam laut dan pesisir di Gugus Pulau Batudaka masih dilakukan dalam skala kecil (unit ekonomi keluarga) dan nelayan di sini kebanyakan adalah nelayan tradisional dengan alat tangkap sederhana seperti pancing, jaring, dan bagan. Usaha budidaya perikanan di kawasan ini relatif sedikit yaitu Karamba Jaring Tancap (ikan hidup seperti kerapu, napoleon ikan karang lain karamba jaring apung (bandeng), budidaya rumput laut, dan teripang. Usaha pembukaan tambak berkaitan dengan pencarian lahan berusaha, hal ini merupakan faktor driver di kawasan ini. Jumlah tenaga kerja (10 tahun keatas) pada Tahun 2008 sebanyak 78% (1 266 orang) di Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una bergerak di bidang pertanian termasuk perikanan, dengan kepemilikan perahu motor sebanyak 369 buah dan perahu tidak bermotor 438 buah dengan alat tangkap berupa pancing 807 buah dan bagan 48 buah. Kegiatan perikanan tersebut juga memberikan kontribusi terhadap kondisi ekosistem di Gugus Pulau Batudaka. 4.1.2 Tekanan Lingkungan (Enviromental Pressures)
Pressure atau tekanan pada lingkungan/ekosistem akibat faktor-faktor pengarah/drivers
tersebut
yaitu
perkembangan
penduduk
yang
pesat
mengakibatkan kebutuhan lahan pemukiman dan lahan berusaha (perikanan dan pertanian) juga semakin meningkat.
Kebutuhan akan pemukiman dan
prasarananya seperti jalan mendorong pembukaan lahan mangrove di Desa Taningkola dan untuk tambak di Luangon Desa Bambu. Pesatnya pertambahan penduduk juga memberi tekanan yang besar pada upaya konservasi yang telah dilakukan selama ini, seperti kesadaran masyarakat menangani sampah domestik masih kurang, hal ini ditunjukkan dengan kebiasaan membuang sampah ke laut. Dalam beberapa kasus masyarakat cenderung melakukan pemanfaatan sumberdaya hayati dengan cara yang tidak ramah lingkungan, cara yang dipakai cukup sederhana tapi efek kerusakan dan kehancuran eksosistem yang diakibatkan sistem ini sangat besar, misalnya penggunaan bom dan racun dalam penangkapan ikan maupun fauna lain yang dilindungi dan kemudian diselundupkan keluar Gugus Pulau Batudaka yang merupakan kawasan Taman Nasional Kepulauan
96
Togean. Selain tekanan karena penduduk dan kegiatan perikanan tersebut, adanya aktivitas wisata pun memberikan kontribusi terhadap kualitas perairan Indikator stress terhadap tekanan lingkungan yang terjadi di kawasan Gugus Pulau Batudaka adalah a) konversi lahan, khususnya hutan mangrove untuk pemukiman dan tambak, b) jumlah sampah domestik dan polutan lainnya yang cenderung meningkat akibat pertambahan jumlah penduduk, aktivitas wisata dan perikanan (terutama yang menggunakan perahu bermotor). 4.1.3 Perubahan Kondisi Lingkungan (Environmental State Changes)
Faktor status ekosistem berhubungan dengan kondisi perubahan kualitas perairan, perubahan lingkungan pesisir berupa dampak fisik seperti abrasi dan sedimetasi, polusi air/pengayaan nutrien perairan, kehilangan habitat dan menurunnya biodiversity/ keanekaragaman hayati. Indikator referensi yang berkaitan dengan status ekosistem di Gugus Pulau Batudaka yakni kualitas perairan seperti yang tertera pada Tabel 19. Kondisi lingkungan perairan di Gugus Pulau Batudaka relatif sesuai. Hal ini ditunjukkan dengan hasil pengukuran di lapangan dibandingkan dengan baku mutu lingkungan untuk kegiatan perikanan dan pariwisata menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup (KMNLH) No. 51 Tahun 2004. Tabel 19 Kondisi kualitas perairan Gugus Pulau Batudaka Parameter pH Salinitas (‰) DO (mg/L) BOD (mg/L) PO4 (mg/L) NO3 (mg/L) Keterangan : *
Baku Mutu KMNLH Wisata bahari Biota Laut 7.00-8.50 7.00-8.50 <34 <34 >5 >5 10 20 0.015 0.001*** 0.008 5.0***
Kondisi/Status
Keteragan
7.20-8.08* 29.5-34.5* 6.41-8.16* 2.90-3.05** 0.0070-0.0078** 2.13-3.84**
Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai
Data Primer, semua stasiun biofisik (2009)
** Stasiun 5, 6, 7, Hasil Analisis Laboratorium Terpadu Fakultas Pertanian UNTAD (2009); *** US EPA (1973)
Secara umum kondisi kualitas perairan di Gugus Pulau Batudaka masih relatif baik sehingga memungkinkan untuk aktifitas kegiatan wisata dan perikanan. Kandungan nitrat dalam suatu perairan menjadi indikator kesuburan perairan tersebut. Dalam keadaan cukup oksigen terlarut (aerob), nitrogen dapat
97
diikat oleh organisme renik (bakteri) yang kemudian diubah menjadi nitrat sehingga tingginya nitrat di perairan diduga karena banyaknya organisme renik yang melakukan aktivitas tersebut sehingga menjadi subur. Kandungan nitrat di perairan untuk lokasi budidaya rumput laut sebaiknya antara 0.1–0.7 mg/l (Aslan 1998), di luar kisaran tersebut maka nitrat menjadi pembatas pertumbuhan fitoplankton. Kadar nitrat yang normal di perairan laut berkisar antara 0.01–50 mg/L (Brotowidjoyo et al. 1995). Ditinjau dari indikator lingkungan, dari lima parameter kimia yang digunakan (pH, Salinitas, BOD, Fosfat dan Nitrat), satu parameter yaitu nitrat telah berada diatas baku mutu yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004. Hal ini dipengaruhi adanya aktivitas masyarakat yang membuang sampah domestik ke laut maupun adanya pembukaan lahan mengakibatkan peningkatan nitrat di perairan. Sumber amonia di perairan adalah hasil pemecahan nitrogen organik (protein dan urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat dalam tanah dan air, juga berasal dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota akuatik yang telah mati) yang dilakukan oleh mikroba dan jamur yang dikenal dengan istilah ammonifikasi (Effendie 2004). KMNLH (2004) memberikan Nilai Ambang Batas (NAB) nitrat untuk wisata baharí dan biota laut, namun tidak memberikan NAB untuk karang. Hal ini disebabkan nitrat merupakan nutrisi bagi organisme perairan, sehingga diperkirakan tidak memberikan dampak negatif bagi pertumbuhan dan perkembangan karang. Indikator referensi perubahan lingkungan berupa dampak fisik seperti abrasi dan sedimetasi serta kehilangan habitat dan menurunnya keanekaragaman hayati, hal ini tergambar dari hasil Citra Landsat 7 ETM+ tahun 2000 dibandingkan dengan Tahun 2010 (Gambar 24-25). Selama kurun waktu 10 tahun di Gugus Pulau Batudaka terjadi peningkatan luasan mangrove, karang hidup dan penurunan lamun (Tabel 20).
98
Gambar 24 Peta analisis hasil Citra Landsat 7 ETM+ Tahun 2000
99
Gambar 25 Peta analisis hasil Citra Landsat 7 ETM+ Tahun 2010
100
Tabel 20 Hasil klasifikasi Citra Landsat 7 ETM+ Tahun 2000 dan 2010 Hasil Klasifikasi Karang Hidup Karang Mati Pecahan Karang Lamun Kerapatan Rendah Lamun Kerapatan Tinggi Pasir Tidak Teridentifikasi Mangrove
Tahun
Perubahan Luasan
2000 2010 --------------------- (ha) --------------------1 192 1 781 588 1 112 1 761 649 369 256 -113 231 193 -38 267 112 -155 1 691 658 -1 033 487 441 -46 1976 2031 55
% 49 58 -31 -16 -58 -61 -9 3
Sumber : Hasil olahan data Primer (2011)
Luasan karang hidup di Gugus Pulau Batudaka dalam waktu 10 tahun mengalami peningkatan 49% atau sekitar 5%/tahun. Peningkatan luasan karang hidup dan karang mati juga diikuti penurunan pecahan karang. Hasil ini ditunjang dengan pengamatan pada stasiun Karangan Timur Tahun 2009 memiliki tingkat penutupan karang hidup rata-rata 59%, dan CEPI (Collaborative Environmental
Project in Indonesia) pada Tahun 2000 mengamati penutupan karang hidup pada stasiun yang sama sekitar 50% (Allen et al. 2002). Peningkatan luasan karang hidup ini juga ditemukan seperti pada kawasan lain yakni adanya indikasi pertumbuhan dan perkembangan koloni karang muda dari berbagai spesies, terutama Acropora berbentuk ACT (Acropora tabulate) dengan rataan diameter koloni 10-30 cm/th yang rusak akibat pemanfaatan di TWAL 17 Pulau Riung NTT (Sahetapi dan Manuputty 2003). Luasan lamun menurun sekitar 16-58% atau sekitar 2-6%/tahun. Hal yang sama ditunjukkan dengan hasil analisis spasial pada luas ekosistem padang lamun di Kepulauan Togean pada tahun 2001 dan tahun 2007 terjadi penurunan sekitar 5.5%/tahun (Zamani et al. 2007). Luasan mangrove meningkat 3% atau sekitar 0.3%/tahun, walaupun hasil penelitian Zamani et al. (2007) menunjukkan penurunan luasan mangrove sekitar 1%/tahun (Citra Tahun 2001 dan 2007) di kawasan Kepulauan Togean. Pembukaan areal mangrove di Gugus Pulau Batudaka di Desa Taningkola dan Luangon Desa Bambu sekitar tahun 2000. Hal ini dapat mengakibatkan berbagai
101
dampak fisik seperti abrasi pantai pada daerah yang lebih terbuka (di Taningkola) dan sedimentasi akibat penebangan mangrove dan pembukaan hutan untuk areal perkebunan (Taningkola, dan Bambu), maupun dampak biologi seperti berkurangnya frekuensi, densitas dan dominasi mangrove yang terjadi di Luangon (Desa Bambu).
Adhiasto (2001) melaporkan mangrove di Desa Bambu
didominasi oleh tegakan Bruguiera gymnorrhyza dengan frekuensi mencapai 100%, namun dengan adanya pembukaan tambak di Desa Bambu dan pemukiman di Desa Taningkola menyebabkan zonasi tersebut terbuka dan terjadi perubahan zonasi karena zonasi yang terbuka tersebut akan ditumbuhi semak dan anak pohon dari Genus Rhizophora. Berdasarkan Laporan Pemantauan Ekosistem wilayah pesisir Teluk Tomini Tahun 2008 bahwa status kerusakan lingkungan laut Kecamatan Una-Una cenderung masih baik dan terlindungi, namun ekosistem mangrove yang rusak sebagian besar diakibatkan alih fungsi lahan mangrove menjadi tambak tradisional, pewarna jaring, kayu bakar, perkebunan campuran (kelapa, palawija), lahan pemukiman baru, sebagian kecil disebabkan oleh proses alam seperti abrasi, banjir. 4.1.4 Dampak (Impact)
Proses
perubahan
fungsi
ekosistem
Gugus
Pulau
Batudaka
konsekuensinya berdampak pada kesejahteraan manusia yang berkaitan dengan produktivitas, kesehatan, kenyamanan dan perubahan nilai kondisi yang ada. Indikator dampak akibat
tekanan akivitas pembangunan di kawasan tersebut
dikelompokkan sebagai dampak terhadap ekosistem dan sosial ekonomi. 4.1.4.1 Dampak Ekosistem
Pendekatan sistem secara keseluruhan terhadap integrasi ekosistem yang berkaitan dengan struktur, komposisi dan fungsi ekosistem pesisir Gugus Pulau baik kualitatif maupun kuantitatif.
Integrasi ekosistem berdasarkan indikator
ruang meliputi Lanscape, wáter regim dan biodiversity (Turner et al. 2000). (1) Bentang Alam/Landscape Struktur wilayah Gugus Pulau Batudaka dengan topografi dataran adalah datar sampai berombak dengan sedikit bagian yang berbukit yaitu 28% daratan, 51% bagian berbukit dan 21% pegunungan. Komposisi penggunaan lahan di Kec.
102
Una-Una pada Tahun 2007 (Tabel 21) dengan penggunaan lahan terbesar untuk konversi hutan produksi dan perkebunan. Kawasan permukiman relatif rendah mengingat jumlah penduduk yang kecil dengan tingkat pertumbuhan penduduk 2%/tahun.
Kecenderungan di kawasan ini terjadi pembukaan lahan tidak
produktif untuk perkebunan, pembukaan mangrove untuk permukiman dan jalan di Desa Taningkola dan untuk tambak di Luangon Desa Bambu. Tabel 21 Penggunaan lahan Kecamatan Una-Una Tahun 2007 Guna Lahan
Dermaga Hutan Lindung Hutan Produksi Terbatas Hutan Produksi Tetap Hutan Produksi yang dapat dikonversi Kawasan Pantai Kawasan Perkebunan Kawasan Permukiman Kawasan Pertanian Lahan Kering Lahan Terbuka Rawa Semak Belukar Sungai Terumbu Karang Total
Luasan (Ha) 0.42 3 985.92 17.52 3 604.28 9 533.46 27.18 8 015.94 206.15 2 662.50 141.58 1 456.70 2 473.65 810.57 3 988.21 36 924.08
%
0.00 10.79 0.05 9.76 25.82 0.07 21.71 0.56 7.21 0.38 3.95 6.70 2.20 10.80 100.00
Sumber : RTRW Kab. Tojo Una-Una (Bappeda Touna 2007)
Peningkatan jumlah penduduk mendorong masyarakat untuk membuka ruang untuk pemukiman dan untuk usaha (wisata dan perikanan).
Hal ini
mengakibakan perubahan struktur tata guna lahan daratan termasuk pantai dan laut dalam arti terjadi pengurangan luasan hutan dan kawasan mangrove. Perubahan ini menunjukkan bahwa tekanan demografis dan ekonomis telah berdampak pada perubahan tata guna lahan baik struktur lanscape, komposisi maupun fungsi di Kawasan Gugus Pulau Batudaka. (2) Tata guna Air/Wáter Regime Struktur rejim air berkaitan dengan hidrologi (pergerakan, distribusi dan kualitas air di muka bumi). Daerah Gugus Pulau Batudaka dihubungkan dengan perairan laut dan PPK dengan kedalaman 0–200 m. Secara keseluruhan daratan dan perairan kawasan ini
merupakan satu kesatuan dari Kepulauan Togean.
103
Pulau Batudaka memiliki 3 sungai yaitu Sungai Taningkola (panjangnya 1 km), Sungai Tinompo (1 km) dan Sungai Malintang (3 km), yang berasal dari dua gunung yaitu Gunung Pina’at (100 m) dan Gunung Papoko (92 m). Tekstur tanah di Gugus Pulau Batudaka termasuk sedang sampai kasar dengan drainase cukup baik. Peningkatan pertumbuhan penduduk juga berimplikasi terhadap peningkatan konsumsi air. Sumber air bersih di Gugus Pulau Batudaka berasal dari mata air, air sungai maupun sumur gali untuk memenuhi kebutuhan air di 13 desa yang ada di daerah tersebut. Berkurangnya debit air di Desa Kulingkinari dan Molowagu akibat mesin pompa rusak, sehingga kebutuhan air bersih menjadi terbatas, terutama bagi penduduk pulau kecil lainnya yang tidak memiliki sumber air tawar seperti pulau Taufan menjadi lebih jauh untuk memperoleh air. Komposisi rejim air berkaitan dengan biogeokimia air yaitu berhubungan dengan siklus nutrien di bumi dimana proses ekosistem dan fungsinya berhubungan dengan barang dan jasa yang dapat diukur dalam nilai ekonomi (pada bagian Analisis Valuasi Ekonomi). (3) Biodiversity Struktur Biodiversity/keanekaragaman hayati berhubungan dengan struktur rantai
makanan. Pengurangan salah satu
tingkatan
trofik level dapat
mempengaruhi keseimbangan dalam rantai makanan. Komposisi keanekaragaman hayati berhubungan dengan spesies kunci dan payungnya. Gugus Pulau Batudaka memiliki keanekaragaman hayati cukup tinggi, baik di laut maupun darat. Pengamatan terumbu karang (Data primer 2009) dan hasil penelitian Zamani et
al. (2007) di Gugus Pulau Batudaka ditemukan 8 genus terumbu karang. Hasil Marine Rapid Assessment Program (MRAP) di Kepulauan Togean, yang dilakukan oleh CII bekerjasama dengan Lembaga Oceanografi LIPI dan Universitas Hasanuddin, tahun 1998 lalu berhasil mengidentifikasi sedikitnya 262 spesies karang yang tergolong kedalam 19 familia pada 25 stasiun terumbu karang yang tersebar di Kepulauan Togean. Hasil MRAP juga mencatat adanya jenis karang endemik Togean, yaitu Acropora togeanensis pada 3 titik pengamatan terumbu karang di Gugus Pulau Batudaka. Berdasarkan hasil penelitian Wallace
et al.(1998) dari total 91 jenis Acropora yang ditemukan di Indonesia (merupakan tertinggi di dunia), 78 diantaranya terdapat di Kepulauan Togean.
104
Pengamatan jenis ikan terumbu karang di Gugus Pulau Batudaka ditemukan sebanyak 17 genus (Data Primer 2009), sedangkan Zamani et al. (2007) menemukan sebanyak 21 famili dan 112 spesies ikan, untuk Kepulauan Togean tercatat 596 spesies ikan yang termasuk dalam 62 familia. Jenis
Paracheilinus togeanensis dan Escenius sp diduga kuat merupakan endemik yang hanya bisa ditemukan di Kepulauan Togean. Selain itu juga tercatat 555 spesies moluska dari 103 familia, 336 gastropoda, 211 bivalvia, 2 cephalopoda, 2 scaphopoda dan 4 spesies chiton. Menurut data BKSDA (2006) luas hutan mangrove Kepulauan Togean diperkirakan sekitar 4 800 ha yang tersebar di beberapa pulau besar seperti Talatakoh, Togean, Batudaka, dan sebagian pulau Walea Bahi, khusus Gugus Pulau Batudaka sekitar 2 031 ha (Data Primer 2010).
Survey oleh CII dan
Yayasan Pijak tahun 2001 mengidentifikasi 33 spesies mangrove di Kepulauan Togean yang terdiri dari 19 spesies mangrove sejati (true mangrove) dan 14 spesies mangrove ikutan (associate mangrove). Ke-33 jenis mangrove tersebut dikelompokkan dalam 26 genus dan 21 familia. Fauna yang teridentifikasi hidup di hutan mangrove sedikitnya 50 spesies yang tergolong dalam 47 genus, yaitu golongan Aves (10 genus), Pisces (10 genus), Amphibia (2 genus), Reptilia (3 genus), Mamalia (2 genus), dan Benthos (20). Fungsi keanekaragaman hayati berkaitan dengan transfer energi antara trofik level. Keberadaan hutan mangrove (hutan bakau) di Gugus Pulau Batudaka selain menjaga keutuhan garis pantai juga menyokong potensi perikanan dan ekosistem terumbu karang yang menjadi andalan kehidupan masyarakatnya. Meski memiliki luasan yang tidak terlalu besar, namun hutan mangrove memiliki fungsi penting bagi Gugus Pulau Batudaka yang merupakan kawasan pulau-pulau kecil. Berdasarkan indikator ruang terhadap integrasi ekosistem maka tekanan aktivitas manusia akan memberikan dampak terhadap sistem alam Gugus Pulau Batudaka yaitu ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang. Kurangnya kesadaran masyarakat akan mempengaruhi ekosistem alamiah gugus pulau, juga berkaitan dengan pembangunan berwawasan lingkungan yakni kerentanan ekosistem akan menurun sejalan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat.
105
4.1.4.2 Dampak Sosial Ekonomi
Salah satu indikator yang menjelaskan mengenai kondisi perekonomian suatu daerah adalah PDRB. PDRB merupakan dasar penyusunan nilai tambah yang mampu diciptakan akibat timbulnya berbagai aktivitas ekonomi dalam suatu wilayah tertentu dan besarannya menggambarkan kemampuan suatu daerah dalam mengelola sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang dimiliki.
PDRB
perkapita merupakan gambaran nilai tambah yang bisa diciptakan oleh masingmasing penduduk akibat adanya aktivitas produksi. Indikator ini menggambarkan tingkat kemakmuran suatu daerah, makin tinggi PDRB perkapita makin tinggi kemakmuran penduduk daerah tersebut. Kecamatan Una-Una menyumbangkan PDRB sebesar 7.12% terhadap Kabupaten Tojo Una-Una per tahunnya (Tabel 22), yang terbesar berasal dari lapangan usaha pertanian (43.56%) sedangkan sektor perikanan hanya menyumbang sebesar 3.2%, jasa-jasa (16.96%) dan perdagangan, hotel, restauran (12.73%) (BPS Touna 2009). Tabel 22 PDRB Kabupaten Tojo Una-Una berdasarkan harga berlaku per kecamatan (Rp) Lapangan No. Usaha 1 Tojo 2 Tojo Barat 3 Ulu Bongka 4 Ampana Tete 5 Ampana Kota 6 Una Una 7 Togean 8 Walea Kepulauan PDRB Kabupaten
2000 2 973 664 2 996 271 1 991 688 2 899 271 2 819 113 1 290 901 1 368 178 1 581 096 17920 182
2001 3 282 062 3 298 613 2 202 589 3 312 788 3 226 923 1 397 453 1 368 178 1 851 096 19939702
2002 3 498 024 3 506 848 2 394 815 3 639 922 3 695 014 1 498 624 1 368 178 1 581 096 21 182 521
2003 3 801 114 3 804 176 2 602 356 3 963 233 4 001 559 1 623 390 1 368 178 1 581 096 22745102
2004 4 144 071 4 137 688 2 828 983 4 308 329 4 388 472 1 762 129 1 368 178 1 581 096 24 518 946
Sumber : BPS Touna (2005)
Aktivitas penduduk dan pembangunan di wilayah daratan dapat menekan fungsi ekosistem melalui pembuangan limbah domestik dan kebutuhan lahan untuk pemanfaatan penduduk sehingga akan mempengaruhi kualitas perairan dan ekosistem pesisir Gugus Pulau Batudaka baik langsung maupun tidak langsung seperti yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya. Oleh karena itu, diperlukan berbagai upaya untuk menentukan batas optimasi penggunaan lahan aktivitas ekonomi yang tidak berdampak buruk pada ekosistem pulau-pulau kecil.
106
Berdasarkan optimasi tersebut dapat dirancang berbagai strategi yang berpihak pada konservasi dan keberlanjutan pembangunan di Gugus Pulau Batudaka. Kondisi ekosistem baik akan menghasilkan produktivitas yang baik pula dan secara langsung meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan pendapatan per kapita masyarakat menyebabkan kerentanan ekosistem meningkat atau
menurun,
hal
ini
tergantung
pada
kebijakan
lingkungan
yang
diimplementasikan, kerentanan akan menurun apabila kebijakan pro pada konservasi sumberdaya pulau-pulau kecil. Pengembangan kelenturan (resilience) ekososio sistem merupakan kunci bagi pembangunan yang keberlanjutan (Berkes dan Seixas 2005). Kelenturan berhubungan dengan gabungan dinamika sistem manusia dan lingkungan yang menghindari penekanan atau pemisahan dari faktor lingkungan dan sosial serta mempertimbangkan sepenuhnya kompleksitas dinamika yang ada di dalamnya (Berkes 2007) sehingga sangat sesuai dengan konsep ICM (integrated coastal management) yang merupakan paradigma pengelolaan yang digunakan saat ini. 4.1.5 Kebijakan (Policy Response Options)
Kebijakan yang dipilih berkaitan dengan pembangunan di Gugus Pulau Batudaka antara lain Rencana Tata Ruang Wilayah dan pembangunan yang melibatkan masyarakat.
Gugus Pulau Batudaka secara administrasi masuk
wilayah Kecamatan Una-Una Kabupaten Tojo Una-Una (Touna), dan merupakan wilayah Taman Nasional Pulau Togean dengan implementasi kebijakan mengacu pada RTRW Kabupaten Touna (Bappeda Touna 2007) dan dituangkan dalam RDTR Kepulauan Togean maupun Peraturan Daerah Kawasan Kepulauan Togean (BKSDA 2006) yang mengatur perwilayahan pembangunan berwawasan lingkungan. Implementasi kebijakan tersebut hanya bersifat simbolik apabila pelibatan masyarakat secara menyeluruh tidak terlaksana dengan baik.
Hal ini
menimbulkan konflik yang berkepanjangan seiring dengan pemanfaatan sumberdaya alam Gugus Pulau Batudaka. Mengingat, sebelumnya terjadi konflik masyarakat dengan pengusaha budidaya mutiara, disusul dengan dengan ditetapkannya kawasan tersebut menjadi Taman Nasional, walaupun sampai sekarang belum ada penetapan zonasi, masyarakat setempat beranggapan adanya
107
TNKT maka hak-hak untuk memanfaatkan sumberdaya alam menjadi terbatas/dilarang seperti hasil tangkapan lola/kimah dan teripang akan dibuang ke laut oleh pihak keamanan bila diambil dari zona terlarang TNKT, juga masyarakat kesulitan memperoleh izin untuk memanfaatkan rotan maupun kayu untuk rumah. Di sisi lain, Pemerintahan Daerah dengan kewenangannya berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 untuk mengelola sumberdaya alam meliputi eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengeloaan kekayaan laut. Kesemua permasalahan tersebut dapat diatasi apabila semua pihak terkait duduk bersama untuk memikirkan arah pembangunan yang akan dilaksanakan di kawasan tersebut. Pentingnya pelibatan masyarakat yang merupakan aktor dan obyek pembangunan, mengingat sampai saat ini masyarakat Gugus Pulau Batudaka masih menerapkan kearifan lokalnya dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Kearifan lokal tersebut dapat dijadikan acuan dalam pengelolaan sumberdaya alam, sehingga konflik yang terjadi dapat diatasi dan ekosistem alami dapat terjaga. Berdasarkan kerangka DPSIR diatas, pada aspek ekologi ditekankan bahwa penyusunan tata ruang wilayah pesisir pulau-pulau kecil di kawasan Gugus Pulau
Batudaka
harus
sesuai
dengan
daya
dukung
lingkungan
serta
memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan. Aspek sosial ekonomi budaya, pembuatan tata ruang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sehingga dalam penyusunannya melibatkan partisipasi masyarakat dan stakeholder yang berkaitan langsung dengan pemanfaatan sumberdaya pesisir.
Aspek kebijakan, arahan penyusunan tata ruang harus
bersesuaian dengan pembangunan pemerintah. Aplikasi kerangka DPSIR terhadap faktor-faktor pengarah (Driving
forces), tekanan dan konflik penggunaan area laut kawasan Gugus Pulau Batudaka secara detail diuraikan pada Tabel 23, yakni beberapa kelompok memanfaatkan daerah ini (masyarakat, pengusaha wisata dan perikanan) serta terdapat kepentingan pemerintah berupa respon dalam mengelola kawasan ini.
108
Tabel 23 Hasil tekanan terhadap ekosistem pesisir Gugus Pulau Batudaka berdasarkan kerangka DPSIR Indikator
Penyebab/Akibat
Faktor Penggerak (Drivers)
Demografi
Permintaan Wisata Kegiatan Perikanan Tekanan (Pressures)
Konversi Lahan Sampah Domestik dan polutan lainnya
Keadaan (States)
Abrasi Sedimentasi
dan
Polusi air/ pengayaan nutrien perairan
Deskripsi dan Hubungan Fungsional terhadap kerentanan ekosistem Pertumbuhan, kepadatan dan tingkat ketergantungan penduduk yang tinggi sebagai faktor pengarah/ drivers. Kerentanan ↑ sejalan dengan jumlah penduduk ↑, perluasan pembukaan lahan usaha dan kebutuhan lahan pemukiman kebutuhan wisman atau pasar dalam hal daya tarik obyek wisata beserta sarana penunjang Kerentanan ↑ sejalan dengan kebutuhan lahan untuk pertambakan dan aktivitas penangkapan ikan Pembukaan hutan mangrove untuk pemukiman dan tambak. Kerentanan ↑ sejalan dengan kebutuhan lahan permukiman dan usaha pertambakan Peningkatan sampah domestik dan polutan lainnya akibat peningkatan penduduk dan aktivitas wisata dan perikanan. Kerentanan ↑ sejalan dengan jumlah sampah dan polutan yang meningkat Penebangan mangrove dan pembukaan hutan untuk areal perkebunan menyebabkan sedimentasi berakibat ekosistem mangrove, lamun, terumbu karang rusak/berkurang dan pada daerah yang terbuka terjadi abrasi pantai. Kerentanan ↑ sejalan dengan usaha perluasan pembukaan lahan Sedimentasi berlebihan dan sampah (padat maupun cair) berkontribusi akibat aktivitas manusia pengayaan nutrien perairan. Kerentanan ↑ sejalan dengan jumlah polutan yang meningkat Penebangan mangrove menyebabkan zonasi terbuka, sehingga tumbuh semak dan tanaman lainnya. Kerentanan ↑ sejalan dengan usaha pembukaan lahan
Kehilangan habitat dan penurunan keanekaragaman hayati Dampak Dampak Ekosistem Proses perubahan fungsi ekosistem Gugus Pulau (Impacts) Batudaka berdampak pada kesejahteraan manusia yang berkaitan dengan produktivitas, kesehatan, kenyamanan dan perubahan nilai kondisi yang ada Dampak Sosial Peningkatan pendapatan per kapita setiap tahunnya. Ekonomi Kerentanan ↑atau ↓, tergantung pada kebijakan lingkungan yang diimplementasikan Tanggapan Rencana Tata Kerentanan ↓ jika kebijakan dilaksanakan dengan baik (Responses) Ruang Wilayah Kerentanan ↓ atau ↑ tergantung pada kemampuan menjaga keseimbangan ekosistem Pembangunan Kerentanan ↓ jika masyarakat dilibatkan dalam melibatkan pembangunan PPK yang berkelanjutan masyarakat Keterangan : ↑ meningkat, ↓ menurun Sumber : Data Primer (2009)
109
4.2
Sistem Ekologi
4.2.1 Batas Sistem Ekologi
Luas wilayah Gugus Pulau Batudaka menurut desa sebesar 298.07 km2 (BPS Touna 2009). Gugus Pulau Batudaka memiliki berbagai tipe ekosistem baik di darat maupun di laut, mulai dari hutan dataran rendah (low-land forest), hutan bakau (mangrove), padang lamun (sea grass bed), pantai berbatu (rocky beach) serta terumbu karang (coral reefs). Pulau Batudaka memiliki pantai dengan tebing-tebing karang yang lebih panjang dibanding Pulau Togean, terutama di bagian tengah dan barat. Vegetasi di Pulau Batudaka umumnya didominasi oleh pohon kelapa (Cocus nucifera), semak dan mangrove. Pohon kelapa (Cocus
nucifera) banyak dibudidayakan oleh masyarakat dan merupakan vegetasi yang dominan di pulau ini. Selain itu juga terdapat kayu besi (Intsia bijuga), Garuga
floribunda, Sterculia macrocarpa, Dysoxylum aliaceum,
beberapa
jenis
Sapotaceae dan ditemukan satu jenis yang langka yaitu Kibatalia macgregori, yang hanya terdapat di Pulau Sebuyan Philiphina. Hal ini berbeda dengan Pulau Togean yang banyak ditumbuhi pohon buah-buahan, uru (elmerrillia ovalis), aren (Arengga pinnata), siuri (Koodersiodendron pinnatum) (Sidiyasa 2000). 4.2.1.1 Ekosistem Terumbu Karang
Ekosistem terumbu karang merupakan salah satu potensi laut yang dimiliki oleh Gugus Pulau Batudaka. Perkembangan terumbu karang di Gugus Pulau Batudaka mengalami pengaruh oseanografi dimana terumbu karang terkonsentrasi di sekeliling pulau. Rataan terumbu karang yang terhampar panjangnya hingga mencapai +1500 meter dari garis pantai hingga tubir terumbu. Terumbu karang memiliki tipe terumbu tepi atau terumbu pantai, dan karang tumbuh pada kedalaman 1-10 meter, Pertumbuhan terumbu tersebut di bagian barat 50 meter (sementara makin ke timur makin dalam sampai 100 meter). Rataan terumbu (reef flat) dibentuk oleh terumbu hidup ditemukan di beberapa tempat dan hampir tidak pernah melebihi 200 meter dari garis pantai (BKSDA 2006).
Selanjutnya merupakan hamparan teras pasir halus yang dihuni oleh
organisme penggali pasir (infauna) dan lamun (Sea Grass). Pada keadaan surut terendah, karang-karang di rataan terumbu dan di daerah tubir terekspose di udara dan terkena terikan matahari langsung sehingga menyebabkan sebagian karang
110
mengalami kematian, walaupun sebagian besar dapat beradaptasi dengan kondisi seperti ini. Sebaran terumbu karang di Gugus Pulau Batudaka (Tabel 24) terdiri dari berbagai jenis, antara lain karang batu (hard coral/HC), karang lunak (soft
coral/SC), serta sponges dan algae. Terumbu karang di sekitar Gugus Pulau Batudaka memiliki tingkat penutupan karang hidup rata-rata 73% (HC: 52-80%, SC; 3-14%). Hal ini menunjukkan terumbu karangnya dalam kondisi sedang dan didominasi oleh jenis karang arcopora dan non-acropora dengan bentuk pertumbuhan (live form) dominan branching dan masif. Tabel 24 Sebaran terumbu karang di Gugus Pulau Batudaka (%) Lokasi Stasiun
HC
SC
SP
14 (Tambangoni) 6 (Taufan Selatan) 15 (Karangan Timur)
79.83+5.67 77.00+1.67 52.33+3.61
3.17+0.50 14.33+1.33 6.33+0.42
0 0 0
Sumber : Keterangan :
Data Primer (2009) HC = Hard Coral SC = Soft Coral SP = Sponge ALG/OT = Algae/Other
R DC S
ALG /OT 0 0 0
R
DC
S
1.17+0.52 0 0
10.83+0.87 8.33+2.00 41.33+1.41
5.00+0.87 0.33+0.10 0
= Rubble = Dead Coral = Sand
Pengamatan terhadap ikan karang pada tiga stasiun ditemukan sebanyak 8-17 genus yang didominasi genus Lutjanus dan Pterocaesio. Keanekaragaman jenis-jenis ikan karang tinggi pada perairan Tambangoni dan Taufan. Hal ini disebabkan jenis terumbu karang pada daerah tersebut masih tinggi (Tambangoni 80% HC, 3% SC; Taufan 77% HC dan 14% SC) dan belum banyak ditemukan kerusakan yang berarti akibat aktivitas manusia. Berdasarkan hasil survei MRAP 2001 ditemukan 4 lokasi terbaik kondisi terumbu karang di Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una dengan jumlah spesies ikan karang yang tinggi seperti tertera pada Tabel 25 berikut ini. Tabel 25 Lokasi terumbu karang terbaik di Kecamatan Una-Una Lokasi Southern Batudaka Island Western Batudaka Island Northern-east side Una Una Island Pasir Tengah Atoll
Spesies Terumbu Karang 83 62 69 84
Sumber : MRAP (2001) dalam Zamani et al. (2007)
Spesies Ikan
Kondisi
216 208 161 202
Baik Baik Sedang Sedang
111
Eksistensi terumbu karang di perairan Gugus Pulau Batudaka Kepulauan Togean telah berasosiasi dengan banyak organisme penting dan bernilai ekonomis tinggi seperti berbagai jenis kima (Tridacna spp), kerang kepala kambing (Cassis
cornuta), dan teripang (Holothurian). Tridacna spp terutama jenis yang berukuran besar seperti kima raksasa (Tridacna gigas), kima air (T. derasa), kima cina
(Hippopus porcellanus), dan kima sisik (T. Scuamosa) merupakan species laut yang langka atau terancam punah dan termasuk species yang dilindungi
(endangered species IUCN; Apendiks I dan II CITES; UU No. 5 Tahun 1990). Selain itu, beberapa jenis karang bernilai ekonomis untuk biota hiasan aquarium
(aquarium ornament) banyak ditemui di lokasi ini, antara lain Lobophyllia, Goniopora, Pectinia, Euphyllia, Plerogyra dan Physogyra (Bappeda Touna 2007). 4.2.1.2 Ekosistem Mangrove
Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai yang tumbuh subur menyebar tidak merata di seluruh pesisir di Gugus Pulau Batudaka. Keberadaan hutan bakau terutama ditemui di pantai yang mempunyai topografi dangkal dan terlindung sedangkan di pantai-pantai curam yang berdinding batu tidak ditumbuhi mangrove. Mangrove dapat ditemui mulai dari pantai utara bagian utara dan selatan pulau Batudaka dengan ketebalan mangrove mencapai 500 m. Vegetasi ini didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur, berlempung atau berpasir. Jenis tekstur substrat di ekosistem mangrove Gugus Pulau Batudaka pada keseluruhan pengamatan adalah lempung berpasir dan lempung liat berdebu dengan komponen fraksi substrat terdiri dari liat, debu, pasir halus dan pasir kasar. Komponen fraksi substrak pada stasiun mangrove tertera pada Gambar 26.
112
70 60 50 Pasir Kasar
40
Pasir Halus
30
Debu
20
Liat
10 0 Umpagi
Taningkola
Sope
Luangon
Gambar 26 Persentase rata-rata fraksi subtrat di lokasi penelitian (Hasil Analisis Lab. Ilmu Tanah UNTAD 2009) Hasil analisis terhadap substrat berdasarkan kelas tekstur tanah (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2001) menunjukkan bahwa kandungan lumpur diperoleh persentase tertinggi pada stasiun pengamatan di Luangon/Desa Bambu dan Taningkola bertekstur lempung liat berdebu yang didominasi fraksi liat dan debu berkisar diatas 90%, Stasiun Sope (Desa Una-Una) dan Umpagi (Desa Bomba) mempunyai tekstur lempung berpasir yang didominasi pasir yang berkisar diatas 50%. Mangrove dapat tumbuh pada substrat berpasir, berkerikil, koral maupun tanah gambut (Kusmana et al. 2005). Stasiun Sope dan Umpagi didominasi Rhizopora spp disusul Bruguiera spp, hal ini sesuai dengan Yulianda
et al (2009) pertumbuhan komunitas vegetasi. mangrove umumnya mengikuti pola zonasi yaitu yang paling dekat laut dengan subtrak berpasir sering ditumbuhi avicennia spp yang berasosiasi dengan Sonneratia yang tumbuh pada lumpur dan lebih ke arah darat (Stasiun Luangon dan Taningola) didominasi Rhizopora spp disusul Bruguiera spp dan Xylocarpus spp. Brower et al. (1990) menyatakan bahwa suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman spesies yang tinggi apabila terdapat banyak spesies dengan jumlah individu masing-masing spesies relatif merata, dengan kata lain, apabila suatu komunitas hanya terdiri dari sedikit spesies dengan jumlah individu yang tidak merata maka komunitas tersebut mempunyai keanekaragaman yang rendah. Hasil identifikasi mangrove di Gugus Pulau Batudaka tertera pada Tabel 26.
113
Tabel 26 Jumlah tegakan, kerapatan relatif, frekuensi relatif, dominasi relatif dan indeks nilai penting pada tiap tingkatan pohon Spesies Magrove Taningkola Rhizopora apiculata Avicennia alba Bruguiera gymnorrhiza Jumlah Sope Rhizopora apiculata Bruguiera gymnorrhiza Jumlah Luangon Rhizopora apiculata Rhizopora mucronata Bruguiera gymnorrhiza Xylocarpus granatum Soneratia alba Lumnitzera littorea Aegiceras corniculatum Jumlah Umpagi Rhyzophora apiculata Rhyzophora mucronata Bruguiera gymnoriza Avicennia alba Xylocarpus granatum Jumlah Sumber : Data Primer (2009)
Jumlah Tegakan Pohon Anakan
Semai
Kerapatan Relatif (%) Pohon Anakan Semai
Frekuensi Relatif (%) Pohon Anakan Semai
Dominasi Relatif (%) Pohon Anakan
Indeks Nilai Penting Pohon Anakan Semai
15 2 7 24
11 7 9 27
88 16 83 187
62.50 8.33 29.17 100.00
40.74 25.93 33.33 100.00
47.06 8.56 44.39 100.00
37.50 25.00 37.50 100.00
37.50 25.00 37.50 100.00
37.50 25.00 37.50 100.00
34.67 29.23 36.11 100.00
16.07 43.09 40.84 100.00
134.67 62.56 102.77 300.00
94.31 94.02 111.67 300.00
84.56 33.56 81.89 200.00
10 7 17
17 12 29
121 54 175
58.82 41.18 100.00
58.62 41.38 100.00
69.14 30.86 100.00
50.00 50.00 100.00
50.00 50.00 100.00
50.00 50.00 100.00
38.41 61.59 100.00
46.74 53.26 100.00
147.24 152.76 300.00
155.37 144.63 300.00
119.14 80.86 200.00
4 5 4 1 1 1 1 17
8 9 10 5 2 2 2 38
25 12 52 8 6 4 8 115
23.53 29.41 23.53 5.88 5.88 5.88 5.88 100.00
21.05 23.68 26.32 13.16 5.26 5.26 5.26 100.00
21.74 10.43 45.22 6.96 5.22 3.48 6.96 100.00
23.08 23.08 23.08 7.69 7.69 7.69 7.69 100.00
21.43 21.43 21.43 14.29 7.14 7.14 7.14 100.00
18.75 18.75 18.75 18.75 6.25 6.25 12.50 100.00
17.76 14.26 26.69 11.97 7.82 10.40 11.11 100.00
10.26 13.71 9.92 9.86 21.69 14.80 19.76 100.00
64.37 66.75 73.29 25.55 21.39 23.97 24.68 300.00
52.74 58.82 57.66 37.30 34.10 27.20 32.17 300.00
40.49 29.18 63.97 25.71 11.47 9.73 19.46 200.00
13 8 3 1 1 26
16 12 4 0 2 34
34 25 15 6 3 83
50.00 30.77 11.54 3.85 3.85 100.00
47.06 35.29 11.76 0.00 5.88 100.00
40.96 30.12 18.07 7.23 3.61 100.00
27.27 27.27 27.27 9.09 9.09 100.00
30.00 30.00 20.00 10.00 10.00 100.00
27.27 27.27 27.27 9.09 9.09 100.00
17.21 13.95 36.85 13.33 18.66 100.00
29.97 27.55 29.00 0.00 13.48 100.00
94.48 72.00 75.66 26.26 31.60 300.00
107.03 92.85 60.76 10.00 29.36 300.00
68.24 57.39 45.35 16.32 12.71 200.00
114
Tabel 26 menunjukkan bahwa pada stasiun Taningkola (terdapat 3 jenis mangrove) dan Sope (2 jenis) memiliki nilai Indeks Nilai Penting yang paling tinggi untuk jenis Rhizopora apiculata disusul Bruguiera gymnorrhiza, sedangkan Stasiun Luangon (7 jenis) memiliki nilai Indeks Nilai Penting yang paling tinggi untuk jenis Bruguiera gymnorrhiza disusul Rhizopora mucronata dan Rhizopora
apiculata. Kondisi ini menggambarkan bahwa untuk kategori jenis Rhizopora apiculata, Rhizopora mucronata dan Bruguiera gymnorrhiza memberikan pengaruh atau peranan yang sangat besar dalam komunitas mangrove di kawasan Gugus Pulau Batudaka. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh CII
(Conservation International for Indonesia), ditemukan 33 spesies mangrove di Kepulauan Togean yang terdiri dari 19 spesies mangrove sejati (true mangrove) dan 14 spesies mangrove ikutan (asociate mangrove). Semua jenis mangrove tersebut dikelompokkan dalam 26 genus dan 21 familia (Adhiasto 2001). 4.2.1.3 Padang Lamun
Ekosistem padang lamun di Kepulauan Togean relatif sedikit bila dibandingkan dengan ekosistem karang maupun ekosistem mangrove. Jenis dan kelimpahan lamun tersebut tertera pada Tabel 27. Tabel 27 Data jenis dan kelimpahan lamun di Gugus Pulau Batudaka No
Jenis-jenis
1
Enhalus acoroides (Pama)
2
Thalassia hemprichii
3
Halophila ovalis
4
Cymodocea serrulata
5
Halodule uninervis
Nama Pulau/lokasi Stasiun P.Batudaka*
P.Poya**
Umpagi**
Sope**
+++
+++
+++
+++
++
-
+
+
+
++
+
++
+++
+++
+++
+++
++
-
-
++
Keterangan : * = RTRW Kabupaten Tojo Una-Una (Bappeda Touna 2007) ** = Data Primer (2009) : - = Tidak ditemukan; + = Ada, sedikit; ++ = Ada, sedang; +++ = Ada,dominan
Terdapat 5 (lima) jenis lamun, yaitu: Thallasia hemprichii, Enhalus
acoroides, Halophila ovalis, Halodule uninervis dan Cymodocea rotundata. Dari ke-5 jenis lamun yang terdapat di sekitar perairan Gugus Pulau Batudaka, jenis lamun Enhalus acoroides, Cymodocea serrulata merupakan jenis yang dominan. Hasil analisis spasial CII menunjukkan luas ekosistem padang lamun di Kepulauan Togean pada tahun 2001 seluas 281.3 ha dan pada tahun 2007 terjadi
115
penurunan menjadi 189.69 ha, atau dalam kurun waktu 6 tahun terjadi penurunan sebesar 91.61 ha (32.57%). Kawasan yang mengalami penurunan luas padang lamun adalah Pulau Malenge dan perairan di sebelah barat Pulau Batudaka. Kawasan yang mengalami penurunan luas padang lamun ini ternyata juga merupakan kawasan yang mengalami penurunan luas terumbu karang. 4.2.2 Kondisi Morfologi
Gugus Pulau Batudaka masuk dalam wilayah di Kecamatan Una-Una dengan luas daratan 298.08 km2 dan ketinggian 0-85 meter dari permukaan air laut. Topografi dataran adalah datar sampai berombak dengan sedikit bagian yang berbukit. Bagian wilayah yang datar berada di sekitar pantai, sedangkan ke arah daratan atau jauh dari pantai kondisi topografi berombak dan sedikit bagian berbukit. Tekstur tanah sedang sampai kasar dengan drainase cukup baik. Kondisi tanah termasuk subur karena berbagai macam tanaman dapat tumbuh di daerah ini. Persentase bentuk permukaan tanah serta ketinggian desa di Kecamatan UnaUna tertera pada Tabel 28. Tabel 28 Persentase bentuk permukaan tanah dan ketinggian menurut desa di Kecamatan Una-Una Kabupaten Tojo Una–Una Tahun 2008 Persentase Bentuk Permukaan Tanah No.
Desa
1 Kulingkinari 2 Molowagu 3 Bomba 4 Tumbulawa 5 Taningkola 6 Bambu 7 Una – Una 8 Lembanya 9 Wakai 10 Tanjung Pude 11 Malino 12 Siatu 13 Kambutu Kecamatan Una-Una
Dataran 10 5 15 80 10 20 70 45 50 50 10 28.08
Perbukitan
Pegunungan
35 60 75 80 15 80 40 30 35 35 75 50 55 51.15
65 30 20 5 5 10 40 20 15 25 35 20.80
Ketinggian Permukaan Laut (m) 2 85 10 10 8 15 3 4 3 3 75 5 3 3
Sumber : BPS Touna (2009)
Litologi pulau Batudaka (BKSDA 2006) terdiri atas : (1) Batu gamping terumbu koral dan klastik (Ql), batu gamping terumbu ini berwarna putih, bagian atas telah mengalami pelapukan, berukuran butir pasir
116
sedang hingga kasar, tersusun sebagian besar oleh koral dan cangkang moluska. (2) Konglomerat, batu pasir, batu lempung dan lensa batu gamping (Tmpb) yang terubah kuat dan lensa-lensa batu gamping. Geologi Pulau Batudaka mempunyai jenis litologi yang didapat berdasarkan hasil
Grab Sample di sepanjang lokasi pengamatan Pulau Una Una adalah : pecahan karang dan sedikit pasir halus berwarna coklat muda berisi pecahan karang. Material yang ada diduga berasal dari hasil proses pelapukan serta erosi batuan yang ada di permukaan yang dipengaruhi oleh kondisi iklim, hempasan gelombang dan material-material yang tertransportasi oleh media air melalui sungai-sungai yang mengalir sampai ke laut. Struktur geologi yang berkembang pada daerah ini adalah struktur lipatan monoklin. Geomorfologinya terdiri dari 4 satuan geomorfologi dengan 5 subsatuan geomorfologi, dengan penjelasan sebagai berikut: (1) Satuan Geomorfologi Bentuk Lahan Asal Struktural (S) dengan subsatuan
Geomorfologi Blok Pegunungan, lereng tidak teratur, pipih, runcing, pola memanjang (S1). Subsatuan ini terdapat di bagian Timur dengan penyebaran berarah Barat laut-Tenggara. Lahan ini mempunyai morfologi, topografi pegunungan, dengan pinggir tajam dan banyak dilalui oleh sistem patahan atau kelurusan dan berkesan terkotak-kotak dengan lereng curam sampai terjal. Litologi yang mendominasi satuan ini adalah : konglomerat, batupasir, batu lempung dan lensa batu gamping yang terubah kuat dan lensa-lensa batu gamping. Subsatuan ini memiliki kelerengan berkisar antara 15 hingga 30% dengan beda tinggi antara 50 sampai dengan 150 m. Ketinggian (elevasi) subsatuan ini berkisar antara 25 hingga 100 m di atas permukaan laut. (2) Satuan Geomorfologi Bentuk Lahan Asal Kars (K) dengan Subsatuan
Geomorfologi Perbukitan Kars, dengan puncak membulat (K2). Subsatuan ini penyebarannya hampir diseluruh Pulau Batudaka, lahan ini mempunyai morfologi perbukitan (hillock), dengan puncak membundar (kubah), dengan topografi rendah, Litologi yang mendominasi satuan ini adalah: batugamping klastik, batugamping terumbu berwarna putih, bagian atas telah mengalami pelapukan, berukuran butir pasir sedang hingga kasar, tersusun sebagian besar
117
oleh koral dan cangkang moluska. Subsatuan ini memiliki kelerengan berkisar antara 0 hingga 2% dengan beda tinggi antara 25 sampai dengan 150 m. Ketinggian (elevasi) subsatuan ini berkisar antara 0 hingga 100 m di atas permukaan laut. (3) Satuan Geomorfologi Bentuk Lahan Asal Fluvial (F) dengan Subsatuan
Geomorfologi Dataran Banjir (F16). Subsatuan ini terletak di bagian Utara penyebarannya setempat memanjang timur laut–Barat daya di sepanjang pesisir pantai. Bentuk lahan morfologi ini merupakan terbentuknya dataran banjir terdiri dari proses fluvial, yakni adanya luapan sungai pada musim penghujan dan menggenangi daerah sekitar yang lebih rendah dalam beberapa hal tergantung intensitas dan lamanya hari hujan. Litologi yang menempati satuan ini adalah: batu batu gamping terumbu koral dan klastik batu gamping terumbu ini berwarna putih, bagian atas telah mengalami pelapukan, berukuran butir pasir sedang hingga kasar, tersusun sebagian besar oleh koral dan cangkang moluska. Subsatuan ini memiliki kelerengan berkisar antara 0 hingga 2% dengan beda tinggi antara 0 sampai dengan 10 m. Ketinggian (elevasi) subsatuan ini berkisar antara 0 hingga 4 m di atas permukaan laut. (4) Satuan Geomorfologi Bentuk Lahan Asal Marine (M) dengan 2 Sub satuan
yaitu:
Subsatuan Geomorfologi Terumbu karang (M1). Subsatuan ini
terdapat di bagian Selatan penyebarannya di sekitar pesisir pantai. Bentuk lahan seperti ini mempunyai ciri pengenal karang lunak, masih berada di bawah muka air laut, dengan berbagai macam tipe serta pola tumbuh. Litologi yang mendominasi satuan ini adalah : batugamping terumbu dan batugamping klastik. Subsatuan ini memiliki kelerengan berkisar antara 0 hingga 2% dengan beda tinggi antara 0 sampai dengan 1 m. Ketinggian (elevasi) subsatuan ini berkisar antara 0 hingga 5 m di atas permukaan laut. Subsatuan
Geomorfologi Pulau Karang (M3). Subsatuan ini terdapat di bagian Utara dan Selatan penyebarannya dekat dengan pantai dan membentuk pulau-pulau kecil. Bentuk lahan seperti ini merupakan pulau yang terbentuk karena munculnya karang ke atas permukaan akibat pengangkatan atau muka air laut turun setelah masa Meosin, sehingga mencapai keadaan seperti saat ini, akibat air yang turun maka karang menjadi mati dan lapuk sehingga menjadi
118
pulau. Litologi yang mendominasi satuan ini adalah: batu gamping klastik, batugamping terumbu berwarna putih, bagian atas telah mengalami pelapukan, berukuran butir pasir sedang hingga kasar, tersusun sebagian besar oleh koral dan cangkang moluska. Subsatuan ini memiliki kelerengan berkisar antara 0-20% dengan beda tinggi antara 0-30 m.
Ketinggian
(elevasi) subsatuan ini berkisar antara 0-25 m di atas permukaan laut (BKSDA 2006). 4.2.3 Kondisi Iklim
Gugus Pulau Batudaka Kepulauan Togean beriklim laut tropis dengan sifat iklim musiman dipengaruhi oleh dua musim yang tetap, yakni musim barat dan musim timur.
Musim kemarau terjadi antara bulan Agustus dan November,
sedangkan musim hujan terjadi sekitar Desember dan Juli. Daerah sekitar Teluk Tomini memiliki bulan basah selama 7-9 bulan dengan bulan kering berlangsung selama 3 bulan. Temperatur berkisar antara 17-32oC, kelembaban udara antara
12 10 8 6 4 2 0
11 7
10
10 8
6
Hari hujan curah hujan (mm)
7
9
8 6
6 3
500 400 300 200 100 0
Curah Hujan (mm)
Hari Hujan
74-82% dan kecepatan angin berkisar 3-6 knot (BRPL 2005).
Bulan
Gambar 27 Curah hujan dan hari hujan rata-rata Tahun 2002-2008 (BPS Kab. Tojo Una-Una 2003-2009) Berdasarkan data Stasiun Pengamatan Gunung Colo di Wakai Tahun 2002-2008, hari hujan tertinggi di Kecamatan Una-Una terjadi pada bulan Maret yaitu selama 11 hari, sedangkan curah hujan tertinggi terjadi antara bulan MaretAgustus dan Desember-Januari.
Curah hujan berkisar 52-398 mm/bulan.
Berdasarkan klasifikasi Koppen, kawasan Kepulauan Togean termasuk tipe iklim
119
Alpha, sedang menurut klasifikasi Schmidt-Fergusson termasuk tipe A, yaitu hujan berlangsung sepanjang tahun dan jarang terjadi bulan kurang curah hujan. Arah angin secara umum dari Gugus Pulau Batudaka Kepulauan Togean akan mengikuti musim yang ada di Indonesia, yaitu musim Barat dan musim Timur. Kecepatan angin paling rendah terjadi pada bulan November-Desember yang mencapai 4.3 knot dengan arah rata-rata 330º. Kecepatan angin musiman terjadi pada bulan Juli-Agustus dengan arah 270º (Tabel 29) Tabel 29 Pola angin di Kepulauan Togean Bulan Jan Feb Mar April Mei Juni Juli Agt Sep Okt Nov Des
Pola Angin Angin bergerak ke arah selatan dengan kecepatan rata-rata 2 m/d (angin utara) Angin bergerak ke arah selatan dengan kecepatan rata-rata 3 m/d Angin bergerak ke arah selatan dengan kecepatan rata-rata 3 m/d Angin bergerak ke arah selatan dengan kecepatan rata-rata 3 m/d Angin bergerak ke arah barat daya dengan kecepatan rata-rata 3 m/d Angin bergerak ke arah barat dengan kecepatan rata-rata 3 m/d Angin bergerak ke arah barat laut dengan kecepatan rata-rata 4 m/d Angin bergerak ke arah utara dengan kecepatan rata-rata 3 m/d (angin selatan) Angin bergerak ke arah utara dengan kecepatan rata-rata 3 m/d Angin bergerak ke arah utara dengan kecepatan rata-rata 3 m/d Angin bergerak ke arah utara dengan kecepatan rata-rata 2 m/d Angin bergerak ke arah timur laut dengan kecepatan rata-rata 1 m/d
Suhu 28.0º C 28.5º C 28.0º C 29.0º C 29.5º C 28.5º C 28.5º C 28.5º C 29.0º C 29.5º C 28.0º C 28.5º C
Sumber : Bappeda Touna (2007) .
4.2.4 Kondisi Oseanografi Perairan 4.2.4.1 Arus
Kecepatan arus maksimum di perairan pesisir Gugus Pulau Batudaka terjadi pada sisi selatan pulau yang berbatasan langsung dengan daratan utama Sulawesi. Besarnya kecepatan arus di sisi pulau ini disebabkan massa air yang bergerak melalui selat di antara Kepulauan Togean dengan daratan Sulawesi. Laut Sulawesi merupakan salah satu perairan Arus Lintas Indonesia (ARLINDO) yaitu arus yang bergerak melintasi perairan Indonesia akibat perbedaan tinggi muka laut antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Arus ini berasal dari Samudera Pasifik dan kecepatannya sangat dipengaruhi sistem arus ekuatorial akibat hembusan angin Pasat Timur Laut di Samudera Pasifik. Musim timur terjadi bulan Juni–Agustus dan arus permukaan bergerak dari arah laut seram menuju barat yang sebagian memasuki Teluk Tomini. Pola arah arus di Pulau Batudaka cenderung bergerak ke arah Barat Daya dengan kisaran sudut 85o-350o.
Arus ini bergerak dengan kecepatan rata-rata
120
0.654 meter/detik. Secara umum pola dan kecepatan arus tahunan yang terjadi di perairan sekitar Kepulauan Togean antara 20 cm/detik hingga 50 cm/detik. Pola arus di perairan ini selain dipengaruhi oleh pergerakan pasang surut, juga dipengaruhi oleh pola arus utama di perairan laut Sulawesi (Bappeda 2007). Karakteristik arus di
Pulau Batudaka tertera pada Tabel 30. Tabel 30 Karakteristik arus di Pulau Batudaka Kabupaten Tojo Una-Una No.
1 2 3 4
Waktu Stasiun 08:00 11:05 08:35 11:40 09:00 12:00 10:00 13:00
Waktu 00'06.3" 00'07.4" 00'09.4" 00'11.0" 00'06.5" 00'07.6" 00'07.0" 00'08.0"
Karakteristik Arus Kec. (m/dtk) Arah (o) 0.794 235 0.676 250 0.532 230 0.455 350 0.769 260 0.658 85 0.714 175 0.625 210 Kecepatan Rata-Rata = 0.654
Sumber : Bappeda Touna (2007)
4.2.4.2 Gelombang
Gelombang adalah pergerakan naik dan turunnya air dengan arah tegak lurus permukaan air laut yang membentuk kurva/grafik sinusoidal. Gelombang laut disebabkan oleh angin. Angin di atas lautan mentransfer energinya ke perairan, menyebabkan riak-riak, alun/bukit, dan berubah menjadi gelombang. Gelombang di perairan Gugus Pulau Batudaka Teluk Tomini secara umum tingginya berkisar 1-2 meter. Selama Musim Barat (Desember-Pebruari), Musim peralihan Barat ke Timur (Maret-Mei) dan musim peralihan Timur ke Barat (September-Nopember) tinggi gelombang maksimum sekitar 1.5 meter, sedangkan tinggi gelombang pada Musim Timur (Juni-Agustus) adalah sekitar 2 meter (BRKP 2004). 4.2.4.3 Pasang Surut
Pasang surut (pasut) merupakan proses naik turunnya permukaan air laut secara periodik karena adanya gaya tarik benda-benda angkasa, terutama bulan dan matahari. Pasut dapat terjadi sehari sekali (pasut tunggal) atau diurnal, dua kali sehari (pasut ganda) atau semi-diurnal dan pasut yang berlaku keduanya atau
121
dikenal pasut campuran, dapat berupa pasut campuran dominasi ganda dan dominasi tunggal (Pariwono 1997). 2,0
Nilai Pasut (meter)
1,5
1,0
0,5
0,0 1
30 59 88 117 146 175 204 233 262 291 320 349 378 407 436 465 494 523 552 581 610 639 668 697 726 Jam
Gambar 28 Grafik pasang surut di Gugus Pulau Batudaka Secara umum, berdasarkan data DISHIDROS-AL dan pengamatan fluktuasi pasang surut pantai Gugus Pulau Batudaka memiliki tipe pasang surut campuran yang cenderung bersifat harian ganda (mixed prevailing semi diurnal). Dalam satu hari terjadi 2 kali air pasang dan 2 kali air surut. Sifat khas dari naik turunnya permukaan air laut ini terjadi dua kali sehari sehingga terdapat dua periode pasang tinggi dan dua periode pasang rendah. Pasang dengan tinggi maksimum terjadi pada bulan baru dan bulan penuh, sedangkan pasang dengan tinggi minimum terjadi pada waktu perempatan bulan pertama dan perempatan bulan ketiga. Tunggang pasang surut (tidal range) di Pulau Batudaka mencapai maksimum 1.6 m dan perairan Kepulauan Togean mencapai 2.1 m. Pasang surut dengan tipe sedemikian memiliki periode gelombang pasut sekitar 12 jam (BRKP 2004; Bappeda Touna 2007). 4.2.4.4 Kecerahan
Menurut Effendie (2004) kecerahan adalah ukuran transparansi perairan yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk atau lebih dikenal dengan sebutan kecerahan. Nilai kecerahan dinyatakan dengan satuan meter dan hasilnya sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengamatan, kekeruhan dan padatan tersuspensi serta ketelitian orang yang melakukan pengukuran.
122
Kecerahan merupakan jarak yang dapat ditembus cahaya matahari ke dalam perairan. Semakin jauh jarak tembus cahaya matahari, semakin luas daerah yang memungkinkan terjadinya fotosintesa. Kecerahan ini berbanding terbalik dengan kekeruhan (Nybakken 1988). Kecerahan perairan Gugus Pulau Batudaka mencapai nilai 2-16 m, artinya sampai kedalaman 2-16 m di bawah permukaan air laut objek/benda masih bisa dilihat dengan mata telanjang secara langsung. Nilai kecerahan sangat rendah di stasiun Luangon dan selat Batudaka mempunyai nilai terendah dan stasiun lain memiliki nilai tingkat kecerahan hingga 100%. 4.2.4.5 Suhu Perairan
Pengamatan suhu perairan di Gugus Pulau Batudaka antara 30-310C. Suhu Rata-rata di Gugus Pulau Batudaka adalah 30.80C. Berdasarkan RTRW Kabupaten Tojo Una-Una, suhu perairan Kepulauan Togean berkisar antara 28310C dengan suhu rata-rata 29.550C. Kisaran suhu tersebut dalam kisaran yang normal untuk perairan dan sesuai untuk kehidupan biota air. Distribusi vertikal suhu di perairan Togean menunjukkan bahwa terjadi penurunan suhu dari permukaan hingga kedalam 40 m dengan perbedaan suhu sekitar 20C. Pola perubahan suhu secara vertikal di 16 stasiun relatif sama. Hasil penyelaman di lapang menunjukkan bahwa terumbu karang masih banyak ditemukan di kedalaman sekitar 40 m (Zamani et al. 2007). 4.2.4.6 Salinitas Perairan
Salinitas merupakan konsentrasi total ion yang terdapat di perairan. Salinitas menggambarkan padatan total di dalam air, setelah semua karbonat dikonversi menjadi oksida, semua bromide dan iodida digantikan oleh klorida, dan semua bahan organik telah diokasidasi (Effendie 2004). Pada perairan pesisir, nilai salinitas sangat dipengaruhi oleh masukan air tawar dari sungai. Perairan laut Gugus Pulau Batudaka relatif sedikit masukan air sungai yaitu hanya terdapat 2 sungai yakni Sungai Taningkola yang panjangnya sekitar 1 km dan Sungai Malintang + 3 km (BPS 2009). Salinitas perairan di lokasi pengamatan berkisar antara 29.5-34.5‰ dengan ratarata 32.08‰.
123
Hasil penelitian BRPL tahun 2004, menunjukkan bahwa salinitas di perairan Togean pada musim timur bervariasi antara 33.90-35.00‰. Umumnya salinitas di bagian utara lebih rendah dibandingkan dengan bagian selatan perairan Togean. Secara spasial terlihat perbedaan, umumnya salinitas di wilayah yang lebih dekat dengan muara sungai lebih rendah dibandingkan dengan wilayah lain, dengan perbedaan salinitas sekitar 0.3‰. Pola distribusi vertikal salinitas menunjukkan bahwa salinitas semakin meningkat dengan meningkatnya kedalaman dimana pada kedalaman sekitar 40 meter mengalami peningkatan sekitar 0.3‰ (Zamani et al. 2007). 4.2.4.7 Derajat Keasaman/pH
Air laut mempunyai kemampuan menyangga yang sangat besar untuk mencegah perubahan pH. Perubahan pH sedikit saja dari pH alami akan memberikan
petunjuk
terganggunya
sistem
penyangga.
Hal
ini
dapat
menimbulkan perubahan dan ketidak seimbangan kadar CO2 yang dapat membahayakan kehidupan biota laut. pH air laut permukaan di Indonesia umumnya bervariasi dari lokasi ke lokasi antara 6.0–8.5. pH perairan Gugus Pulau Batudaka berkisar antara 7–8 dengan nilai rata-rata 7.76. Tidak terlihat perbedaan pH yang signifikan antara lokasi pengamatan dan kisaran pH perairan tersebut tergolong normal untuk biota air. 4.2.4.8 Oksigen Terlarut(DO/Dissolved Oxygen)
Oksigen terlarut dalam air dapat berasal dari proses difusi dari udara dan hasil dari proses fotosintesis oleh fitoplankton dan tanaman air lainnya. Oksigen terlarut merupakan unsur penting yang diperlukan dalam melakukan proses respirasi dan menguraikan zat organik oleh mikroorganisme. Oksigen terlarut (disolved oxygen) di dalam perairan merupakan zat yang utama bagi kehidupan akuatik, terutama ikan, mikroorganisme dan tumbuhan air termasuk rumput laut (Levina 1984).
Menurunnya kadar O2 terlarut dapat mengurangi efisiensi
pengambilan O2 oleh biota laut yang dapat menurunkan kemampuan biota tersebut untuk hidup normal dalam lingkungannya. Kadar O2 terlarut di perairan Indonesia berkisar antara 4.5 dan 7.0 ppm.
124
Nilai oksigen terlarut perairan Gugus Pulau Batudaka antara 6-8 mg/l dengan rata-rata 7.21 mg/l. Menurut Suseno (1974) perairan yang mengandung oksigen terlarut 5.0 ppm pada suhu 20-30oC, dapat dikatakan sebagai perairan yang cukup baik untuk kehidupan biota laut. 4.3 Sistem Sosial Ekonomi dan Kelembagaan 4.3.1 Sistem Sosial 4.3.1.1 Demografi
Jumlah penduduk di Gugus Pulau Batudaka termasuk Pulau Una-Una pada Tahun 2008 seluas 38 797.13 ha mencapai 13 106 jiwa terdiri atas 3 459 rumah tangga dengan sebaran rata-rata rumah tangga sebanyak 4 jiwa dengan kepadatan 43 jiwa/km2 atau 0.43 jiwa/ha (BPS Touna 2009). Berdasarkan Tabel 23, jumlah penduduk Kecamatan Una-Una dalam periode tahun 2001-2008 mengalami pertumbuhan 2% per tahun (Tabel 31). Tabel 31 Parameter demografi Kecamatan Una-Una (BPS Touna 2002-2009) No. 1 2 3 4 5 6 7
Parameter
Nilai
Unit
Jumlah Penduduk 2008 Kepadatan Penduduk Rumah Tangga (RT) Sebaran rata-rata Rumah Tangga Sex Rasio Laki-laki/Perempuan Tingkat Ketergantungan penduduk (Usia Non Produktif terhadap Usia Produktif) Tingkat Pertumbuhan Penduduk Tahun 2001-2008
13 106 42 3 547 4 104 68
Jiwa Jiwa/km2 RT Jiwa/RT
2
%/Tahun
%
Keterangan : Hasil analisis (2010)
4.3.1.2 Pendidikan
Tingkat pendidikan di lokasi penelitian kondisinya relatif kurang baik yaitu ditunjukkan dengan tingginya penduduk tidak tamat SD serta rendahnya yang berpendidikan Perguruan tinggi. Penduduk Kepulauan Togean yang tamat SD 39.86%, SLTP 14.45%, SLTA 8.0% dan Perguruan Tinggi 0.38% (Dinas Perikanan dan Kelautan 2004). Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan pendidikan di Kecamatan Una-Una telah dibangun gedung Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Umum (SMU). Kecamatan Una-Una memiliki fasilitas TK sebanyak 2 unit, SD 19 unit, SMP 1
125
unit dan SMU/SMK 1 unit. Dari 13 106 jiwa penduduk di Kecamatan Una-Una, sebanyak 10 255 orang merupakan tenaga kerja berusia di atas 10 tahun dan 1 156 orang tenaga kerja di luar sektor pertanian (BPS Touna 2009). 4.3.1.3 Pengetahuan Lokal
Pengelolaan sumberdaya perikanan di Gugus Pulau Batudaka yang menggunakan
kearifan
tradisional
yaitu
menyangkut
pengetahuan
atau
pemahaman masyarakat adat kebiasaan tentang manusia dan bagaimana relasi yang baik di antara manusia dengan alam serta di antara semua penghuni komunitas ekologi.
Penduduk gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una
memiliki latar belakang etnis yang beragam seperti Bajo, Bobongko, Togian, Kaili, Bare’e, Taa, Gorontalo, dan Bugis. Masyarakat Bajo dan Bobongko lebih menyebar tapi umumnya terkonsentrasi pada beberapa desa tertentu. Desa-desa Bajo antara lain terdapat di Pulau Salaka, Siatu, Taufan, Kulingkinari; sementara etnis Bobongko menetap di Tumbulawa dan tersebar di beberapa desa lainnya. Etnik Bobongko telah mulai memeluk agama Kristen dan Islam. Adat-istiadat yang dijadikan norma dalam pergaulan adalah adat Bobongko yang sudah mulai mendapatkan pengaruh dari kepercayaan yang baru terutama nilai-nilai agama Kristen dan Islam, sehingga tradisi upacara selalu dikaitkan dengan agama walaupun nilai budaya kepercayaan leluhur masih dapat ditemukan dalam tradisi Bobongko terutama dalam pesta panen dan upacara perkawinan dan kematian (Bappeda Touna 2007).
Selain itu, masyarakat di kawasan ini bersifat terbuka
dalam menerima budaya lain misalnya penduduk dari etnik Togean mengenakan pakaian dari suku Jawa pada prosesi pernikahannya.
Namun, budaya yang
bertentangan dengan agama Islam, masyarakat setempat lebih bersifat preventif, seperti dengan semakin meningkatnya wisatawan mancanegara yang datang dan berbusana terbuka membuat masyarakat meminta pengelola wisata untuk memindahkan lokasi cottage yang terletak pada jalur masuk pelayaran menuju Desa Bomba ke lokasi lain (Pulau Poya). Masyarakat kawasan ini, ini masih memiliki sistem pemanfaatan SDA yang diperoleh secara turun-temurun dengan menerapkan beberapa aturan serta praktek pengelolaan sumberdaya alam yang ramah lingkungan dan berdampak positif terhadap kelestarian alam.
Masyarakat Bajo juga biasa melakukan
126
bapongka, yaitu suatu kegiatan melaut yang dilakukan secara berkelompok.
Mereka biasanya pergi untuk beberapa hari (atau minggu) untuk mengumpulkan hasil laut yaitu beberapa jenis ikan yang terkait dengan ekosistem terumbu karang seperti Lolosi (Caesio sp) dan juga teripang. Pengetahuan lokal lainnya yang diyakini suku bajo adalah melarang masyarakatnya melakukan penangkapan terhadap “Tuturuga” (penyu) dan tidak boleh semena-mena terhadap jenis ikan tertentu seperti paus dan lumba-lumba. Hal ini berkaitan dengan anggapan mereka tentang “penunggu laut”, bahwa bila menangkap
Tuturuga
atau
mengganggu
paus
dan
lumba-lumba
akan
mendatangkan penyakit. Selain itu, kepercayaan masyarakat akan adanya mahluk halus yang mendiami hutan bakau disebut dengan “pongko lolap” memberikan pengaruh untuk tidak berlama-lama di dalam hutan. Tempat tersebut dijadikan tempat keramat oleh masyarakat. Kepercayaan ini mulai memudar ketika adanya pendatang
yang
mengenalkan
chainsaw
dan
menebang
wilayah
yang
dikeramatkan tersebut, sehingga masyarakat menjadi lebih berani untuk masuk ke wilayah hutan bakau (Adhiasto 2001). 4.3.2 Kegiatan Ekonomi
Pemanfaatan sumberdaya alam laut di Gugus Pulau Batudaka memberikan nilai ekonomi yang paling besar
pada sektor perikanan maupun pariwisata
dibandingkan sektor pertanian dan perkebunan. Kontribusi perikanan yang menonjol berasal dari perdagangan ikan hidup (khususnya jenis kakap dan kerapu), teripang, ikan-ikan pelagis, ikan teri, dan ikan garam. Di sektor pariwisata, kepulauan Togean juga memiliki potensi yang besar khususnya bagi wisatawan yang ingin menikmati pemandangan bawah laut, ataupun jungle
trecking. Infrastruktur ekonomi yaitu sarana yang dapat mendukung berlangsungnya kegiatan perekonomian di wilayah Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una yang dapat menunjang perkembangan perekonomian wilayah baik dalam lingkup lokal maupun regional. Sarana ekonomi ini berupa fasilitas perdagangan dan jasa. Jenis fasilitas perdagangan yang terdapat di Kecamatan Una-Una yaitu pasar, toko, warung dan kios. Fasilitas perdagangan menyebar di seluruh desa di kecamatan Una -Una dengan jumlah bervariasi. Aktivitas pasar dilakukan di Desa
127
Wakai Setiap hari serta untuk desa Kulingkinari, bomba dan bambu merupakan pasar mingguan.
Fasilitas jasa yang terdapat di Kecamatan Una-Una adalah
bengkel, servis radio, tukang jahit, tukang kayu/batu, dan salon. Jumlah tertinggi dari masing-masing fasilitas tersebut yaitu jumlah bengkel 10 unit, servis radio 5 unit, tukang jahit 16 unit, tukang kayu/batu 187 unit, dan salon 1 unit. Transportasi udara dapat melalui pintu masuk dari Makassar, Balikpapan, dan Manado lewat Gorontalo, Palu, dan Luwuk (Gambar 29), yang dilanjutkan melalui darat menuju Ampana. Aksessibilitas ke Gugus Pulau Batudaka hanya dapat dilakukan dengan trasportasi laut (dari Ampana, Poso, Parigi, Gorontalo, Manado) menggunakan kapal penumpang. Lama perjalanan dari Ampana ke Kecamatan Wakai yaitu ± 5 jam dan menggunakan speedboat dengan waktu tempuh akan lebih pendek yaitu ± 2 jam. Wisatawan yang berkunjung ke Kepulauan Togean umumnya melalui Pelabuhan Parigi (jaraknya + 90 mil), Ampana (+ 48 mil) dan Gorontalo (+ 83 mil). Selain itu, ada pula Kapal Perintis Pelni Sangiang satu bulan sekali ke Wakai dengan rute Gorontalo-Wakai-PosoWakai-Gorontalo-Ternate dst (Tabel 32). Airport
MAUTONG
425 km
GORONTALO
379 km
MANADO Airport
+ 83 Mill
+ 130 Mill
1 JAM 25 MENIT 300 km 1 JAM 35 MENIT
TOGEAN + 90 Mill
PARIGI + 48 Mill
60 km Airport
+ 120 Mill
+ 70 Mill
PALU 161 km
Airport
79 km
POSO
307 km
AMPANA
LUWUK
1 JAM 10 MENIT 1 JAM
KETERANGAN : UDARA DARAT LAUT
KOTA MAKASSAR KEPULAUAN TOGEAN Airport
Gambar 29 Aksesibilitas ke Kepulauan Togean
128
Tabel 32 Pencapaian kapal motor menuju Gugus Pulau Batudaka melalui laut Dari-Ke Gorontalo-WakaiAmpana Ampana-WakaiGorontalo
Armada/Kapal Waktu Puspitasari Hari Kamis, Minggu 10.00 di Wakai Hari Senin, 10.00 Wita dari Ampana
Gorontalo-Wakai-Ampana Ampana-Wakai-Gorontalo
Tuna Tomini
Rabu, Sabtu, 09.00 Wita di Wakai Hari Kamis, Minggu 10.00 Wita
Ampana-Wakai
Lumba-lumba Duta Samudera
Selasa,Sabtu Hari Senin, Rabu, Sabtu10.00 Wita
Ampana-Bomba
Nusantara I, II Surya Indah Karya Mandiri Lumba-lumba Duta Samudera
Hari Minggu, Selasa, Kamis 09.30 Wita
Bomba- Ampana
Nusantara I, II Surya Indah Karya Mandiri
Hari Senin, Rabu, Sabtu 08.30-09.00 Wita
Kulingkinari- Ampana
Nusantara I, II Surya Indah Karya Mandiri
Hari Senin, Rabu, Sabtu 09.00-10.00 Wita
Ampana-Kandala-LindoKambutu-Bambu-dst
Arjuna
Hari Senin, Rabu, Sabtu Hari Selasa, Kamis, Minggu
Wakai- Ampana
Sumber : Data Primer (2010)
4.3.2.1 Wisata
Kepulauan Togean juga memiliki potensi yang besar di sektor pariwisata, khususnya bagi wisatawan yang ingin menikmati pemandangan bawah laut. Sejak lebih dari 20 tahun lalu Kepulauan Togean telah didatangi oleh wisatawan mancanegara, dan makin berkembang pada pertengahan tahun 90-an. Kebanyakan dari mereka adalah wisatawan lepas (backpacker) yang datang ke Indonesia tanpa melalui Biro Perjalanan Wisata (BPW), sehingga beberapa investor mulai melirik Togean sebagai tempat potensial untuk mengembangkan usaha jasa wisata, terutama penyediaan tempat penginapan dan penyewaan peralatan SCUBA Diving dan snorkeling.
129
Atraksi wisata bahari (snorkeling dan diving) dan menikmati indahnya pasir putih di Gugus Pulau Batudaka yaitu di Pulau Taufan, Pantai Capatana (Desa Kulingkinari), Pantai Tipae, Pulau Poya (Desa Bomba), Pulau Tangkubi dan Pasir putih Lindo (Desa Tumbulawa) serta Pantai Bambu (Desa Bambu), juga memiliki potensi wisata lainnya seperti tracking dan Pengamatan Burung Allo (bird watching) di Tumbulawa, air terjun Tanimpo di Desa Una-Una, seni budaya dan
masyarakat adat yang dapat dinikmati di Gugus Pulau Batudaka (Disbudpar Touna 2006). Sarana dan prasarana pariwisata di Gugus Pulau Batudaka bertujuan untuk memberikan pelayanan dalam mendukung sektor perekonomian daerah dan untuk menarik kunjungan wisata ke daerah-daerah tujuan wisata berupa tersedianya sarana dan prasarana penunjang pariwisata antara lain akomodasi yang berupa perhotelan serta aksesibilitas pencapaian menuju tempat wisata. Akomodasi yang tersedia di Gugus Pulau Batudaka tertera pada Tabel 33. Tabel 33 Jumlah sarana dan prasarana akomodasi di Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una Akomodasi
-
Reatreat Cottage’s Poyalisa Bungalows Wakai Cottage’s Wakuna Cottage’s Penginapan Surya Penginapan Sederhana Penginapan Taurus
Tahun Berdiri 1990an 1990an 1990an 1990 1990 1990 2003
Lokasi
-
Pulau Tipae, Desa Bomba 15 kamar Pulau Poyalisa, Desa Bomba 5 kamar Desa Wakai 10 kamar Desa Wakai 10 kamar Desa Wakai, 5 kamar Desa Wakai 5 kamar Desa Wakai, Sempiniti 5 kamar
Sumber : Disbudpar Kabupaten Tojo Una-Una (2006), Data Primer (2010)
Identifikasi Wisatawan.
Jumlah
responden
wisatawan
mancanegara
sebanyak 25 orang dan wisatawan domestik 18 orang. Gambaran profil wisatawan yang mengunjungi Gugus Pulau Batudaka tertera pada Tabel 33. Gugus Pulau Batudaka (Wakai, Pulau Poya, Pantai Tipae)
merupakan
tujuan utama bagi wisatawan domestik sedangkan bagi wisatawan mancanegara daerah tersebut bukan sebagai tujuan utama. Kunjungan wisatawan mancanegara ke daerah ini merupakan persinggahan dari kunjungan utama mereka di kawasan wisata lain atau juga merupakan bagian dari paket wisata
untuk menikmati
seluruh wisata yang ada di Pulau Sulawesi. Adanya kenyataan ini berarti kawasan
130
ini merupakan kawasan wisata yang mulai diminati oleh wisatawan mancanegara, sehingga untuk ke depan perlu adanya peningkatan dalam promosi agar dapat menjadi tujuan utama dari kunjungan wisatawan yang berkunjung. Tabel 33 Karakteristik responden wisatawan di Gugus Pulau Batudaka Parameter Tujuan Wisata -Utama -Persinggahan Tujuan Kunjungan -Berwisata -Penelitian/Pend -Tugas instansi -Lain-lain Frekuensi Kunjungan -Pertama kali -Kedua kali -Ketiga kali -Lebih dari tiga kali Pekerjaan -Pelajar/mhsw -PNS -Swasta -Wiraswasta Sumber Informasi -Biro perjalanan -Media cetak TV/Radio -Teman -Internet Aktivitas Wisata -Menikmati pemandangan alam -Diving -Snorkeling
Wisatawan Domestik (orang)
Wisatawan Mancanegara (orang)
Persentase
8 10
5 20
18.60 81.40
7 8 2 1
22 2 0 0
64.29 28.57 4.76 2.38
8 4 4 2
17 6 2 0
60.47 23.26 11.63 4.65
1 4 9 4
4 0 14 7
11.63 9.30 53.49 25.58
0 12 4 2
9 0 15 1
20.93 27.91 44.19 6.98
9 6 3
6 10 9
34.88 37.21 27.91
Sumber : Analisis Data (2010)
Sumber informasi wisata ke kawasan ini bagi para wisatawan domestik umumnya mengetahuinya dari media cetak, TV/Radio, sedangkan bagi wisatawan mancanegara, umumnya mengetahui dari Teman, biro-biro perjalanan melalui paket-paket wisata, dan ada juga yang dari internet. Motivasi kunjungan bagi wisatawan untuk berwisata ke daerah ini yang terutama adalah karena potensi alamnya (39.53%) serta lingkungan yang sepi dan alami (60.47%), sedangkan faktor yang paling menarik dari kawasan ini menurut wisatawan adalah karena alam dan terumbu karangnya (100%). Untuk faktor yang lain seperti masyarakat dan
makanan, menurut wisatawan tidak ada kekhasan tersendiri, jadi serupa
131
dengan daerah lain. Sementara fasilitas penginapan justru dirasa kurang memadai bagi wisatawan, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Persentase jenis pekerjaan wisatawan yang terbesar adalah sebagai pegawai swasta/wiraswasta, baik pada wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara. Kondisi ini dapat menjadi gambaran bahwa masyarakat yang bermatapencaharian sebagai pegawai swasta/wiraswasta, secara keuangan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk berwisata di daerah tersebut, disamping kebutuhan untuk bersantai dari rutinitas pekerjaan yang dijalani. Aktivitas wisatawan yang terbanyak adalah berperahu, biasanya wisatawan berperahu untuk menyeberang ke pulau-pulau kecil atau juga untuk berkeliling menikmati pemandangan di sekitar perairan gugusan pulau-pulau kecil yang ada di lokasi penelitian (35%), aktivitas menyelam (37%) dan snorkeling (28%).
Aktivitas wisata snorkeling dan diving, secara umum lebih banyak
dilakukan oleh wisatawan mancanegara dibandingkan wisatawan domestik. Hal ini dapat disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya adalah dibutuhkan ketrampilan khusus untuk melakukan kedua aktivitas wisata tersebut, disamping itu juga biaya yang dikeluarkan cukup mahal. Contohnya, untuk melakukan satu kali dive atau penyelaman selama 45 menit dikenakan biaya sebesar US$ 25 dan malam hari US$ 31, snorkeling selama 6 jam US$ 20 ke Pulau Taufan, atau ke Atol Pasir Tengah.
Kurangnya permintaan wisatawan ke kawasan ini dapat
disebabkan oleh berbagai hal, di antaranya adalah kurangnya sarana dan prasarana wisata, kurangnya promosi dalam menawarkan obyek wisata yang ada di kawasan ini. Hal ini diungkapkan oleh Douglass (1970) permintaan wisata di alam terbuka dipengaruhi oleh selera, alternatif wisata, atraksi, tingkat pendapatan, kondisi masyarakat, ketersediaan waktu, waktu perjalanan dan penawaran wisata yang ditawarkan kepada pengunjung. 4.3.2.2 Perikanan
Sentra perikanan di Gugus Pulau Batudaka terdapat di Wakai. Pemanfaatan sumberdaya alam laut dan pesisir di Gugus Pulau Batudaka masih dilakukan dalam skala kecil (unit ekonomi keluarga) dan nelayan di sini kebanyakan adalah nelayan tradisional dengan alat tangkap sederhana seperti pancing dan jaring. Jumlah alat penangkap ikan pada tahun 2008 yaitu bagan
132
sebanyak 48 unit dan pancing sebanyak 807 unit dengan kapal penangkap ikan berupa perahu motor sebanyak 369 unit dan perahu tidak bermotor 438 unit BPS (2009). Usaha pengangkapan ikan di lokasi penelitian menggunakan alat tangkap berikut ini. (1) Pancing Alat ini digunakan untuk menangkap jenis-jenis ikan karang khususnya ikan kerapu dan ikan ekor kuning. Ikan kerapu yang tertangkap berukuran 1-2 ekor/kg dengan harga jual Rp. 25 000/kg.
Operasi penangkapan ikan
dilakukan pada siang hari dengan daerah penangkapan (fishing ground) berjarak 3-4 mil dari pantai dengan hasil yang diperoleh 7-10 ekor/trip. Nelayan pancing menjual hasil tangkapannya ke pedagang pengumpul yang ada di Gugus Pulau Batudaka sebelum dijual ke pedagang besar di Ampana, Poso maupun Palu. (2) Jaring Alat tangkap ini digunakan oleh nelayan untuk menangkap ikan kembung, tongkol dan cakalang dengan hasil tangkapan 15-30 keranjang/trip, kemudian dijual seharga Rp. 5 000/ikat untuk pasar lokal (1 ikat 6-8 ekor, tiap keranjang 5-8 ikat). Pengoperasian alat tangkap ini pada siang menjelang malam hari. Daerah pemasaran umumnya Ampana dan untuk konsumsi lokal. (3) Bagan Alat tangkap ini digunakan untuk menangkap ikan-ikan pelagis kecil, dengan operasi penangkapan dilakukan pada malam hari. Hasil tangkapan yang diperoleh rata-rata 4-7 keranjang/trip. Bagan yang ada di Gugus Pulau Batudaka adalah bagan dua perahu dengan panjang perahu 4–6 m. Daerah penangkapannya sekitar 3–4 mil dari pemukiman nelayan dan biasanya melakukan penangkapan pada daerah yang perairannya tenang. Tangkapan semua jenis ikan teri saat turoh (malam dalam satu bulan di mana bulan tidak muncul di langit/bulan gelap, atau pada malam tersebut, ikan teri biasanya naik. Nelayan yang beroperasi di Gugus Pulau Batudaka rata-rata mendapatkan 20–30 kg ikan teri basah dari berbagai ukuran dalam sekali operasi sepanjang turoh. Hasil itu belum dihitung pendapatan dari tangkapan ikan jenis lain, seperti temba jawa (Decapterus sp), katombo (Carangidae) dan cakalang (Katsuwonus pelamis)
133
Beberapa jenis ikan banyak ditangkap di sekitar perairan Gugus Pulau Batudaka antara lain ikan kakap, cakalang, kerapu sunu, ketombo, layang, lolosi dan lain-lain. Jenis biota seperti teripang, lobster, dan gurita juga merupakan obyek penangkapan nelayan-nelayan setempat. Aktivitas perekonomian lainnya adalah penangkapan ikan pelagis, yang sudah dilakukan dalam 15 tahun terakhir oleh masyarakat di kawasan ini. Penangkapan ikan pelagis dilakukan dengan menggunakan rakit yang diikat jangkar dan diletakkan di laut dalam (istilah daerah “rompong”). Jenis ikan yang menjadi sasaran penangkapan antara lain tuna, layang dan cakalang. Nelayan di Gugus Pulau Batudaka berasal dari suku Bajo, Ta’a, Togian, Bugis, Babongko, Gorontalo, Bare’e dan Saluan. Tingkat pendidikan nelayan tersebut sebagian besar lulusan SD dengan kemampuan keterampilan sebagai nelayan diperoleh secara turun-temurun dari orang tua mereka atau nelayan lain yang sudah berpengalaman melakukan penangkapan ikan, yakni menyelam untuk menangkap ikan karang dan mutiara sampai kedalaman 30 m tanpa alat selam yang memadai. Pengembangan usaha budidaya perikanan di Gugus Pulau Batudaka masih terbatas dan relatif sedikit penduduk yang memiliki usaha tersebut, yaitu : (1) Budidaya Karamba Jaring Apung (KJA) Usaha ini dimiliki sebagian penduduk yang bekerja pada pemilik modal besar untuk mengembangkan usahanya, usaha ini hanya digunakan untuk penampungan ikan hidup yang memiliki nilai ekonomis tinggi seperti ikan kerapu dan ikan napoleon.
Setelah ikan terkumpul baru dijual kepada
pengusaha yang melakukan penangkaran lebih besar. Selain itu, ada juga budidaya ikan kerapu bebek yang semula dilakukan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Poso di Desa Taningkola. Budidaya kerapu dikelola dalam bentuk keramba-keramba, perdesa masing-masing memiliki 2 unit keramba. Pengelolaan budidaya ini dilakukan oleh perorangan dengan hasil produksi 2 ton per bulan. (2) Budidaya kerang mutiara Usaha ini dikembangkan oleh PT. Tamatsu dengan melibatkan beberapa tenaga kerja lokal. Kegiatan budidaya mutiara berada di perairan yang cukup
134
tenang, namun adanya konflik dengan masyarakat Bomba, Siatu, Tumbulawa karena merasa akses terhadap lokasi pemancingan tradisional mereka tertutup oleh areal budidaya maka usaha ini pindah ke daerah lain. (3) Budidaya rumput laut Terdapat di Desa Tumbulawa, Taningkola, Kulingkinari, Wakai dan Desa Siatu. Budidaya rumput laut di Desa Taningkola memiliki kawasan budidaya seluas 10 ha dengan hasil produksi ±10 ton pada bulan kering yang dikelola secara tradisional oleh masyarakat setempat. Di Desa Siatu luas kawasan budidaya yaitu 2 ha dengan produksi ±2 ha, sedangkan budidaya rumput laut di Desa Wakai produksinya mencapai 15 ton per bulan dengan luas kawasan budidaya 20 ha. / (4) Budidaya Teripang. Budidaya teripang saat ini terdapat di Desa Bomba, Desa Taningkola dan Desa Tumbulawa. Pengelolaan budidaya teripang tersebut diusahakan oleh masyarakat sekitar dengan cara tradisional. Bibit yang digunakan diperoleh dari alam yaitu sekitar 500 kg/bulan pada masing-masing desa. Pemerintah memberikan bantuan untuk pengelolaan budidaya teripang semi intensif. 4.3.3 Kelembagaan 4.3.3.1 Pemerintahan
Kabupaten Tojo Una-Una merupakan kabupaten yang baru dimekarkan dari Kabupaten Poso sesuai Undang-undang No 32 Tahun 2003 pada Tanggal 18 Desember 2003. Pengelolaannya mengacu pada Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kepulauan Togean 2008-2027 yang dibuat oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Tojo Una-Una dan juga berdasarkan arahan Peraturan Pemerintah RI No 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Wilayah Kabupaten Tojo Una-Una terdiri atas wilayah kepulauan dan daratan yang terdiri atas 8 kecamatan, 6 kelurahan dan 118 desa (termasuk desa persiapan). Secara Administratif Kepulauan Togean terdiri dari 4 wilayah kecamatan, yaitu Una- Una (ibu kota Wakai), Togean (Lebiti) Walea Kepulauan (Popolii), dan Walea Besar (Pasokan) dengan jumlah desa keseluruhan mencapai 43 desa yang masing-masing dipimpin oleh Kepala Desa. Secara administratif Kecamatan Una-Una terdiri dari 13 desa definitif.
Desa-desa ini tersebar di
135
beberapa pulau seperti Batudaka, Una-Una dan Salaka yang semuanya masih dalam Kepulauan Togean. Masing-masing desa dikepalai oleh seorang kepala desa yang dibantu oleh seorang sekretaris desa dan beberapa orang perangkat desa. Pemerintahan Kecamatan Una-Una dipusatkan di Pulau Batudaka yaitu dengan ibukota kecamatan di Wakai. 4.3.3.2
Kronologi Pembentukan Taman Nasional Kepulauan Togean
Usulan Kepulauan Togean menjadi kawasan konservasi telah dimulai sejak tahun 1989 ketika Gubernur Sulawesi Tengah mengirim surat rekomendasi kepada Menteri Kehutanan dan Perkebunan agar 100 000 hektar kawasan laut Kepulauan Togean ditetapkan sebagai Taman Wisata Laut. Dokumen lain dari tahun 1989 sampai 2008 dari berbagai usulan kawasan ini tertera pada Tabel 34. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Provinsi Sulawesi Tengah nomor 136/1028/Bappeda tahun 1996, kawasan hutan di Kepulauan Togean dibagi menjadi Hutan Lindung, Area Penggunaan Lain, Hutan Produksi yang dapat dikonversi, Hutan Produksi dan Hutan Produksi Terbatas. Gubernur Sulawesi Tengah pada tanggal 21 Pebruari 2004 mengusulkan kepada Menteri Kehutanan untuk penetapan kawasan Kepulauan Togean, seluas 411 373 ha di Kepulauan Togean Sebagai Taman Wisata Laut, kemudian juga didukung pernyataan Bupati Tojo Una Una, Sulawesi Tengah 27 Pebruari 2004. Berkaitan dengan usulan tersebut, tim khusus terdiri gabungan antar instansi yaitu Badan Planologi Kehutanan (BAPLAN), Puslitbang Kehutanan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan
Conservation International Indonesia, datang ke Kepulauan Togean untuk mengadakan peninjauan lapangan dan merekomendasikan Kepulauan Togean sebagai Taman Nasional Laut. Pada tanggal 19 Oktober 2004 telah ditetapkan sebagai Taman Nasional melalui
Keputusan
Menteri
Kehutanan No. SK 418/Menhut-II/2004. Pada
tanggal 10 Maret 2008 dengan keluarnya Peraturan Pemerintah RI No. 26 Tahun 2008 tentang Tata Ruang Wilayah Nasional, Taman Nasional Kepulauan Togean tidak ada lagi dan arahan kawasan lindung yang tertuang dalam Lampiran PP tersebut sebagai Taman Wisata Alam Laut Pulau Togean dan Pulau Batudaka. Walaupun Kabupaten Tojo Una-Una telah memiliki RTRW Kabupaten dan
136
RDTR Kepulauan Togean, sampai saat ini zonasi tata ruang TNKT belum ada, karena masih adanya konflik antara masyarakat, LSM, TNKT dan Pemerintahan Daerah Setempat. Tabel 34 Kronologi pembentukan pengelolaan kelembagaan Kepulauan Togean TAHUN
1989
1990
1992
1993 1997
2003
DASAR KEBIJAKAN Surat Gubernur Sulawesi Tengah no. 503/391/DINHUT/89 tanggal 30 Agustus 1989 kepada Menteri Kehutanan RI merekomendasikan kawasan Kepulauan Togean Seluas 100.000 hektar Taman Wisata Laut (TWL) RePPProT mencantumkan Kepulauan Togean sebagai Suaka Margasatwa yang mencakup seluruh kawasan (darat dan laut) Surat Keputusan Gubernur KDH I Sulawesi Tengah No. 188.14/0840/Dephut/90 tanggal 10 Pebruari 1990 tentang Penunjukkan Sementara Kepulauan Togean seluas 100.000 sebagai Taman Wisata Alam Laporan Kantor Kementerian Negara Kependuduka dan Lingkungan Hidup Tahun 1992 (Country Study on Biological Diversity) yang mengusulkan status Kepulauan Togean sebagai Cagar Alam Laut seluas 100.000 hektar. BAPPENAS dalam Biodiversity Action Plan for Indonesia tahun 1993 mengusulkan status Kepulauan Togean sebagai Cagar Alam Multiguna. Surat Keputusan Gubernur KDH I Sulawesi Tengah No. 556/138/DIPARDA/1997 tanggal 18 Marer 1997 tentang Penetapan Obyek/Kawasan Daya Tarik Wisata di Provinsi Sulawesi Tengah, pada salah satu point lampirannya menunjuk Taman Laut Kepulauan Togean sebagai obyek/kawasan daya tarik wisata bahari. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI mencanangkan Kepulauan Togean sebagai Kawasan Ekowisata Bahari Unggulan Nasional Surat Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah No. 556/38/Dishut/GST tanggal 21 Pebruari 2003 tentang usul penetapan Taman Wisata Laut (TWL) Kepulauan Togean seluas 411.373 hektar di Kabupaten Tojo Una-Una Provinsi Sulawesi Tengah. Surat Bupati Tojo Una-Una No. 558.1/0144/B-TU perihal dukungan atas Usulan Taman Wisata Laut Kepulauan Togean
Surat Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah No. 556/38/DISHUT tanggal 14 Oktober 2004 tentang usulan 2004 penetapan Taman Nasional Kepulauan Togean seluas 411.373 hektar di Kabupaten Tojo Una-Una Provinsi Sulawesi Tengah.55 Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. SK 418/MenhutII/2004tanggal 19 Oktober 2004 tentang perubahan fungsi dan penunjukkan kawasan Hutan Lindung, Hutan Produksi Terbatas, Hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi yang dapat dikonversi, dan wilayah perairan laut Kepulauan Togean di Kabupaten Tojo Una-Una Provinsi Sulawesi Tengah seluas + 362.605 ha sebagai Kawasan Taman Nasional Kepulauan Togean. 2008* Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 26 Tahun 2008 tanggal 10 Maret 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional Sumber : CII (2006), * PPRI (2008)
STATUS Taman Wisata Alam Laut (Usulan) Suaka Margasatwa (Usulan) Taman Wisata Alam Laut (Penunjukkan sementara)
Cagar Alam Laut (Usulan) Cagar Alam Multiguna (Usulan) Taman Laut Kepulauan Togean (Penetapan sebagai obyek Wisata Bahari di Sulawesi Tengah) Daerah tujuan Ekowisata Bahari Unggulan Nasional (Pencanangan) Taman Wisata Laut (usulan) Taman Wisata Laut (Dukungan pada usulan Gubernur) Taman Nasional (Perubahan atas usulan Taman Wisata Laut)
Taman Nasional Kepulauan Togean (Penunjukkan)
Taman Wisata Alam Laut Pulau Togean dan Pulau Batudaka
137
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1
Analisis Kesesuaian Pemanfaatan
5.1.1 Karakteristik Lingkungan Perairan Gugus Pulau Batudaka
Identifikasi kesesuaian kegiatan wisata dan perikanan menggunakan analisis komponen utama (Principal Component Analysis/PCA). Melalui analisis tersebut (Lampiran 2) diperoleh informasi yang lebih lengkap mengenai gambaran setiap lokasi pengamatan memiliki karateristik fisika-kimia yang dianggap memenuhi syarat untuk kegiatan pemanfaatan tersebut antara lain kecerahan, salinitas, suhu, pH, dan DO yaitu diperoleh ragam sumbu utama hingga kedua mencapai 77.18%.
Hal ini berarti 77.18% dari data hasil analisis dapat
diterangkan hingga sumbu kedua dan memiliki akar ciri (eigenvalue) secara berurutan adalah 2.8002, dan 1.0587 (Tabel 35). Tabel 35 Akar ciri dan persentase ragam pada kedua komponen utama untuk pengamatan di 15 Stasiun Biofisik
Eigenvalues Nilai Eigen (akar ciri) Ragam Kumulatif
Komponen Utama Sumbu 1 Sumbu 2 2.8002 1.0587 0.5600 0.2117 0.5600 0.7718
Hasil analisis kontribusi variabel diperoleh total ragam sebesar 77% pada dua sumbu utama yaitu sumbu 1 dan sumbu 2, dengan ragam masing-masing sebesar 56%, dan 21% (Gambar 30). Korelasi antara variabel dengan sumbu utama dapat dilihat pada lingkaran korelasi, yaitu dengan koordinat variabel atau representasi dari variabel pada sumbu utama yang ditunjukkan dengan jauh dekatnya variabel tersebut terhadap sumbu utama. Semakin dekat variabel dengan sumbu utama semakin besar pula korelasi dan interpretasi dari setiap variabel tersebut dengan melihat sebaran individu pada sumbu utama. Pada sumbu 1 memperlihatkan adanya korelasi kuat positif terhadap variabel suhu, pH, dan dan DO, sedangkan variabel kecerahan, salinitas berkorelasi negatif terhadap sumbu utama. Keterkaitan hubungan antara variabel pada ke-15 stasiun pengamatan dapat tertera pada Tabel 36.
138
Correlations circle on axes 1 and 2 (77% ) 1,5
-- axis 2 (21% ) -->
1 Kecerahan
0,5
pH T
0
S
-0,5
DO
-1
-1,5 -1,5
-1
-0,5
0
0,5
1
1,5
-- axis 1 (56% ) -->
(a)
Biplot on axes 1 and 2 (77% ) 3 2,5
6
‐‐ axe 2 (21% ) ‐‐>
2 1,5 Kecerahan 4 15 7 9
1 0,5 0
5 pH
13
‐0,5 S
‐1
14
8
2
‐1,5
10
1 T 3 11 12
DO
‐2 ‐4
‐2
0 ‐‐ axe 1 (56% ) ‐‐>
2
4
(b) Gambar 30 (a) Korelasi antara variabel dan sumbu faktorial utama (b) Sebaran titik stasiun pada sumbu faktorial utama .
139
Tabel 36 Kontribusi variabel terhadap sumbu utama karakteristik perairan Gugus Pulau Batudaka Variabel Kecerahan Salinitas Temperatur (suhu) pH DO
Faktor Utama ke-i -0.6931 -0.7229 0.8657 0.7130 0.7346
Faktor Kedua ke-i 0.6016 -0.4572 0.1371 0.4689 -0.4990
Tabel 36 memperlihatkan bahwa suhu, pH dan DO berkorelasi positif dengan faktor utama (karakteristik lingkungan perairan) dan berkurangnya kecerahan (69.31%) dan salinitas (72.29%) akan mempengaruhi kualitas perairan bagi kegiatan wisata dan perikanan di kawasan Gugus Pulau Batudaka. Hasil analisis ini menunjukkan basis faktor karakteristik lingkungan perairan yang mempengaruhi kesesuaian pemanfaatan ruang untuk kegiatan wisata dan perikanan. Hasil pengukuran kualitas air pada 15 stasiun pengamatan, menunjukkan bahwa tingkat kecerahan berfluktuatif berkisar 2.04-16.05m, salinitas berkisar 33.88-31.38 ppt, suhu antara 30.49-31.26ºC, pH berada pada kisaran 7.51-7.70, dan pada oksigen terlarut berkisar 6.82-7.31 ppm.
Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa tingkat kecerahan tinggi pada stasiun 4, 6, 7 dan 15. Ini disebabkan substratnya umumnya berpasir sehingga padatan terlarut dan tersuspensi mudah mengendap, Tingginya tingkat salinitas pada 15 stasiun ini disebabkan lokasi penelitian umumnya hanya memiliki sungai-sungai dengan debit air yang kecil dan curah hujan yang minimal sehingga kurang pengenceran air laut dan terjadi penguapan yang tinggi. Suhu dan pH tidak berfluktuasi disebabkan pada umumnya perairan ini memiliki intensitas cahaya matahari yang tinggi, dengan laut yang rata-rata dalam maka hanya lapisan permukaan saja yang lebih banyak terkena sinar matahari. Oksigen terlarut menunjukkan nilai yang relatif hampir sama dan dalam kisaran yang layak. Secara keseluruhan menunjukkan kisaran parameter kualitas air pada lokasi penelitian adalah optimal. Variabel suhu dengan salinitas dan kecerahan memiliki korelasi negatif, hal ini disebabkan kenaikan salinitas perairan tidak mempengaruhi suhu perairan. Pada lokasi penelitian rata-rata nilai suhu tertinggi 31oC terdapat pada Stasiun
140
1-6, 9-13 dan 15, sedangkan terendah 30oC terletak pada Stasiun 7, 8 dan 14. Kecenderungan lokasi yang memiliki suhu yang lebih tinggi disebabkan kondisi cuaca pada saat pengukuran lebih terik dan sebaliknya pada lokasi dengan kecenderungan nilai suhu yang rendah. Kondisi cuaca pada daerah Gugus Pulau Batudaka sangat fluktuatif, khususnya pada saat memasuki musim pancaroba. Bengen dan Retraubun (2006) menyebutkan bahwa perubahan suhu perairan dipengaruhi oleh perubahan cuaca atau iklim, sedangkan perubahan salinitas dipengaruhi oleh angin muson yaitu musim hujan dan musim kemarau. Hasil identifikasi komponen utama untuk kegiatan wisata, penangkapan ikan karang, dan budidaya rumput laut di kawasan ini diperoleh bahwa daerah bagian Utara, Barat dan Selatan Pulau Batudaka lebih dicirikan dengan salinitas yang lebih tinggi, bagian terlindungi pulau lain dicirikan salinitas yang rendah, dan parameter fisik-kimia lainnya (pH, oksigen terlarut, suhu dan kecerahan) tidak menjadi faktor pembatas tersebut, kecuali kegiatan perikanan dimana variabel kecerahan dan suhu dipengaruhi oleh cuaca dapat mempengaruhi budidaya tersebut terutama pada musim hujan. Suhu dapat mempengaruhi fotosintesa di laut baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh secara langsung yakni suhu berperan untuk mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam proses fotosintesa. Tinggi suhu dapat menaikkan laju maksimum fotosintesa, sedangkan pengaruh secara tidak langsung yakni dalam mengubah struktur hidrologi kolom perairan yang dapat mempengaruhi distribusi fitoplankton (Tomascik et al., 1997). Di Indonesia, suhu udara rata-rata pada siang hari di berbagai tempat berkisar antara 28.2-34.60C dan pada malam hari suhu berkisar antara 12.8-30.00C.
Keadaan suhu tersebut
tergantung pada ketinggian tempat dari atas permukaan laut. Suhu air umumnya beberapa derajat lebih rendah dibanding suhu udara di sekitarnya. Secara umum, suhu air di perairan Indonesia sangat mendukung bagi pengembangan budidaya perikanan (Cholik et al, 2005). Kisaran nilai rata-rata salinitas tertinggi 32-34 ppm terdapat pada Stasiun 2, 4, 7, 8, 9, 14 dan 15, sebaliknya kisaran nilai terendah 29-31 ppm terdapat di Stasiun 1, 3, 5, 6, 10, 11, 12 dan 13. Daerah dengan kisaran salinitas yang tinggi umumnya terdapat pada daerah yang terletak jauh dari daratan induk dan berada pada daerah yang tidak terlindung dari pengaruh gelombang dan arus yang masuk
141
ke Teluk Tomini, sebaliknya kisaran salinitas yang rendah cenderung lebih dekat dengan daratan Pulau Batudaka. Hal ini disebabkan daerah tersebut masih mendapat pengaruh dari aliran Sungai Taningkola dan Sungai Malintang terutama pada musim hujan, serta lokasi tersebut lebih terlindung dengan adanya pulau sebagai penghalang (khususnya stasiun 10, 11 dan 12). Kedalaman perairan dimana proses fotosintesis sama dengan proses respirasi disebut kedalaman kompensasi. Kedalaman kompensasi biasanya terjadi pada saat cahaya di dalam kolom air hanya tinggal 1% dari seluruh intensitas cahaya yang mengalami penetrasi di permukaan air. Kedalaman kompensasi sangat dipengaruhi oleh kekeruhan dan keberadaan awan sehingga berfluktuasi secara harian dan musiman (Effendie 2003). Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan, yang ditemukan secara visual dengan menggunakan secchi
disk. Nilai kecerahan dinyatakan dalam satuan meter, nilai ini sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan dan padatan tersuspensi serta ketelitian seseorang yang melakukan pengukuran. Pengukuran kecerahan sebaiknya dilakukan pada saat cuaca cerah (Effendie 2003). Untuk budidaya perikanan laut, kecerahan air yang dipersyaratkan adalah > 3 m (KMLH 2004). 5.1.2 Analisis Kesesuaian Pemanfaatan Spasial Gugus Pulau Kecil
Analisis kesesuaian lahan diarahkan pada peruntukan kawasan wisata bahari (selam dan snorkeling), perikanan tangkap yang dominan (ikan karang), pengembangan budidaya rumput laut. Selain karakteristik lingkungan perairan (suhu, pH, DO, kecerahan, salinitas) juga kedalaman, arus, kemiringan pantai dan substrak dasar perairan menjadi pembatas dalam penentuan kesesuaian berdasarkan matrik kesesuaian kegiatan wisata-perikanan di Gugus Pulau Batudaka. 5.1.2.1 Wisata Selam
Berdasarkan analisis spasial dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan cara tumpang susun (overlay) diperoleh hasil analisis kesesuaian lokasi untuk wisata selam berdasarkan pengamatan pada empat titik waktu (Gambar 31) yakni peralihan musim barat (Oktober 2008), musim barat (Desember 2008), peralihan musim timur (Mei 2009) dan musim timur (Agustus
142
Gambar 31 Analisis temporal kesesuaian wisata selam berdasarkan empat waktu
143
2009).
Hasil overlay tersebut diperoleh luas wilayah perairan Gugus Pulau
Batudaka berdasarkan kesesuaian lokasi untuk wisata selam, yaitu dari total luas sebesar 61 038 ha, maka 62-78 ha (sekitar 0.11%) digolongkan sangat sesuai, 893927 ha (1.49%) dikategorikan sesuai, dan 60 047-60 067 ha (98.39%) dikategorikan tidak sesuai (Tabel 37). Rendahnya luasan kategori kelas sesuai (S1) karena adanya faktor pembatas yang tidak memenuhi sebagai kategori tersebut. Pembatas ini terutama adalah kecepatan arus yang memenuhi syarat wisata selam di perairan kawasan ini sehingga memberikan luasan yang berbeda tiap musimnya. Tabel 37 Luasan perairan untuk kategori kesesuaian wisata selam Bulan Oktober Desember Mei Agustus
Sangat Sesuai 63 63 77 78
Luasan (ha) Sesuai 927 916 894 911
Tidak Sesuai 60 048 60 059 60 067 60 049
Sumber : Analisis Data (2010)
Analisis temporal pemanfaatan wisata selam menghasilkan luasan dengan kategori sesuai yang tidak jauh berbeda selama setahun. Hal ini berarti kawasan Gugus Pulau Batudaka untuk kegiatan wisata selam dapat dilakukan sepanjang tahun.
Hasil analisis spasial (Gambar 32) diperoleh ruang yang sesuai untuk
wisata selam, dicirikan dengan karakteristik sebagai berikut : kecerahan cukup optimal yaitu lebih dari 10 m. Tutupan komunitas karang diatas 75%, life form lebih dari 12 jenis ikan karang lebih dari 100 jenis, kecepatan arus cukup bagus yaitu berkisar antara 0–15 cm/dtk dan kedalaman cukup memadai yakni berkisar yakni berkisar 6–15 m. Lokasi penyelaman dengan kategori baik di Barrier Reef (Barat P. Batudaka), moderat antara lain di Atol Pasir Tengah, Goa-Goa, Taufan, Tj. Capatana, Bambu, Lindo dan kategori jelek di Donut Reef/ Sebelah selatan Selat Batudaka (Yusuf dan Allen 2001). Secara rinci kondisi karakteristik spot penyelaman tersebut tertera pada Lampiran 3.
144
Gambar 32 Hasil overlay wisata selam di Gugus Pulau Batudaka
145
5.1.2.2 Wisata Snorkeling
Hasil overlay untuk wisata snorkeling berdasarkan pengamatan pada empat titik waktu (Gambar 33) yakni peralihan musim barat (Oktober 2008), musim barat (Desember 2008), peralihan musim timur (Mei 2009) dan musim timur (Agustus 2009) diperoleh luas wilayah perairan berdasarkan kesesuaian lokasi untuk Wisata tersebut, yaitu dari total luas sebesar 61 038 ha, maka 73-627 ha (sekitar 0.42%) digolongkan sangat sesuai, 983-1516 ha (2.22%) sesuai, dan 59 384-59 479 ha (97.36%) dikategorikan tidak sesuai (Tabel 38). Rendahnya luasan kategori kelas sangat sesuai (S1) karena adanya faktor pembatas yang tidak memenuhi sebagai kategori tersebut. Pembatas ini antara lain adalah faktor kondisi kedalaman yang memenuhi syarat wisata snorkeling, lebar hamparan datar dan kondisi terumbu karang, di perairan Gugus Pulau Batudaka. Tabel 38 Luasan perairan untuk kategori kesesuaian wisata snorkeling Bulan
Oktober Desember Mei Agustus
Sangat Sesuai 627 180 74 137
Luasan (ha) Sesuai 983 1 448 1 485 1 516
Tidak sesuai 59 427 59 409 59 479 59 385
Sumber : Analisis Data (2010)
Analisis temporal terhadap kegiatan wisata snorkeling menunjukkan bahwa luasan dengan kategori sesuai pada musim peralihan timur (Bulan Mei) paling rendah dibandingkan musim lainnya dan cenderung mulai musim barat sampai musim timur (Nopember-Agustus) luasannya lebih
rendah dibanding
musim peralihan barat (September-Oktober). Rendahnya luasan kategori sesuai pada Bulan Mei, selain dipengaruhi oleh arus, yakni arus pada kedalaman 5 m pada bulan Mei (Stasiun 6, 8 dan 10) sebesar 0.53-0.76 m/detik, ditunjang dengan curah hujan yang tinggi pada bulan April-Mei (BPS 2009). Hal ini berarti perlu pengaturan jumlah wisatawan yang melakukan kegiatan snorkeling untuk kenyamanan dan keamanan dalam beraktivitas wisata tersebut, disamping alternatif lain yang dapat ditawarkan yakni menikmati atraksi-atraksi lain seperti rekreasi pantai, berjemur, olah raga pantai, berjalan ke hutan sambil melihat burung khas Sulawesi.
146
Gambar 33 Analisis temporal kesesuaian wisata snorkeling berdasarkan empat waktu
147
Hasil analisis spasial diperoleh ruang yang sesuai untuk snorkeling, dicirikan dengan kecerahan cukup optimal yaitu lebih dari 10 m, tutupan komunitas karang di atas 75%, life form lebih dari 12 jenis, ikan karang lebih dari 100 jenis, kecepatan arus cukup bagus yaitu berkisar antara
0-15 cm/dtk,
kedalaman cukup memadai yaitu berkisar antara 0-5 m dan lebar hamparan datar karang diatas 500 m. Luasan yang berbeda untuk kegiatan snorkeling kategori sesuai pada masing-masing musim sangat dipengaruhi oleh kecepatan arus yaitu pada musim timur sampai musim barat memiliki arus yang cukup kuat. Pola arus di perairan Gugus Pulau Batudaka selain dipengaruhi oleh pasut, juga dipengaruhi oleh arus utama di perairan Teluk Tomini. Pada musim timur, arus permukaan datang dari arah timur/tenggara (laut Seram) mengalir ke arah barat (bagian dalam teluk), sebaliknya pada musim barat, dari barat ke timur.
Hasil
pengukuran kecepatan arus permukaan pada stasiun biofisik di Gugus Pulau Batudaka sebesar 0-0.3 m/detik. Pola arah arus di Pulau Batudaka cenderung bergerak ke arah Barat Daya dengan kisaran sudut 85o-350o. Arus ini bergerak dengan kecepatan rata-rata 0.654 m/detik (Bapedda Touna 2007). Menurut Wong (1991) parameter arus dalam kegiatan wisata bahari sangat penting karena pergerakan air laut secara kontinyu dapat membawa material dan membahayakan bagi penyelam dan perenang. Kecerahan perairan merupakan syarat utama yang harus dipenuhi dalam kegiatan wisata snorkeling. Perairan yang jernih mengundang rasa keingintahuan yang tinggi untuk melihat keindahan bawah laut sehingga semakin cerah suatu perairan maka keindahan yang dapat dinikmati wisatawan juga akan semakin tinggi. Persentase penutupan komunitas karang, jenis life form, jenis ikan karang, kedalaman dan lebar hamparan dasar karang juga menjadi hal penting karena merupakan daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Secara umum, kondisi karang, ikan laut hias di dasar laut sangat indah dan masih alami, hanya beberapa lokasi (seperti di Sebelah Timur P. Taufan) yang karangnya rusak akibat pengeboman oleh manusia. Kesesuaian kawasan untuk kegiatan snorkeling terdapat hampir di semua pesisir Pulau Batudaka (Gambar 34) dan sebaran kondisi penutupan terumbu karang tertera pada Gambar 35.
148
Gambar 34 Hasil overlay wisata snorkeling di Gugus Pulau Batudaka
149
Persentase Tutupan
90,00 80,00
HC
70,00 60,00
SC
50,00
SP
40,00
R
30,00
DC
20,00 S
10,00 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Stasiun
Gambar 35 Sebaran terumbu karang di Gugus Pulau Batudaka Lokasi Snorkeling dengan kategori sangat baik di Barrier Reef (Barat P. Batudaka), P. Tambangoni, Taufan Selatan, kategori baik pada Taufan Barat, Taufan Timut, Atoll Pasir Tengah, Atoll Goa-Goa, Karangan Barat, Karangan Timur, kategori sedang antara lain di P. Taufan, Tj. Capatana, Bambu, Lindo dan Donut Reef (sebelah timur P. Batudaka). 5.1.2.3
Kesesuaian Penangkapan Ikan Karang
Hasil overlay untuk penangkapan ikan karang yang tertangkap di Gugus Pulau Batudaka sama berdasarkan pengamatan pada empat titik waktu yakni peralihan musim barat (Oktober 2008), musim barat (Desember 2008), peralihan musim timur (Mei 2009) dan musim timur (Agustus 2009). Kesesuaian lokasi untuk penangkapan ikan karang di wilayah Gugus Pulau Batudaka dari total luas perairan sebesar 61 038 ha, maka 407 ha (sekitar 0.67%) digolongkan sangat
150
sesuai, 40 493 ha (66.34%) dikategorikan sesuai, dan 20 138 ha (32.99%) dikategorikan tidak sesuai (Tabel 39). Tabel 39 Luasan perairan untuk kategori kesesuaian penangkapan ikan karang No.
1 2 3
Kelas Kesesuaian
Sangat Sesuai Sesuai Tidak Sesuai
Luas (ha)
407 40 493 20 138
Sumber : Analisis Data (2010)
Analisis temporal terhadap penangkapan ikan karang menunjukkan tidak ada perbedaan waktu untuk kegiatan tersebut, dengan kata lain dapat melakukan penangkapan sepanjang tahun (Gambar 36). Luasan kategori kelas sangat sesuai (S1) dipengaruhi oleh adanya faktor pembatas yang tidak memenuhi sebagai kategori tersebut.
Pembatas ini antara lain adalah faktor kedalaman >5 m,
topografi dasar perairan landai, kecerahan perairan >10 m, Jarang terjadi perubahan cuaca, kondisi terumbu karang baik, tidak ada pencemaran dan kelimpakan ikan target >200 individu/350 m2. Lokasi penangkapan ikan karang dengan kategori baik terdapat di reef yang mengelilingi Gugus Pulau Batudaka. Terumbu karang merupakan ekosistem yang khas di suatu wilayah pesisir dan termasuk ekosistem dominan yang terdapat sebuah pulau kecil. Semakin rusaknya kondisi terumbu karang di perairan Indonesia dapat berdampak kemerosotan terhadap produksi ikan karang. Keberadaan ekosistem terumbu karang dapat menunjang berbagai kehidupan komponen organisme, salah satunya adalah komunitas ikan karang yang merupakan organisme target tangkapan bagi nelayan. Penurunan nilai tutupan karang menyebabkan suatu pengurangan yang drastis pada ikan karang yaitu menurunkan keanekaragaman ikan sekitar 15% baik di area tertutup maupun terbuka bagi penangkapan ikan (open to fishing) sehingga diindikasikan bahwa terumbu karang yang sehat dapat meningkatkan persentasi tutupan karang yang menjamin keberadaan ikan karang dan mendukung keanekaragaman ikan karang (Jones et al. 2004).
151
Gambar 36 Hasil overlay kesesuaian penangkapan ikan karang di Gugus Pulau Batudaka
152
5.1.2.4 Kesesuaian Budidaya Rumput Laut
Hasil overlay untuk budidaya rumput laut berdasarkan pengamatan pada empat titik waktu (Gambar 37) yakni peralihan musim barat (Oktober 2008), musim barat (Desember 2008), peralihan musim timur (Mei 2009) dan musim timur (Agustus 2009) diperoleh luas wilayah perairan Gugus Pulau Batudaka berdasarkan kesesuaian lokasi untuk budidaya rumput laut, yaitu dari total luas sebesar 61 038 ha, maka tidak ada ruang yang digolongkan sangat sesuai (0%), 9 537-16 013 ha (9.42%) dikategorikan sesuai, dan 45 024-51 500 ha (90.58%) dikategorikan tidak sesuai (Tabel 40). Luasan kategori kelas sangat sesuai (S1) dipengaruhi oleh adanya faktor pembatas yang tidak memenuhi sebagai kategori tersebut. Pembatas ini antara lain adalah faktor kedalaman 3-15 m, arus 21-30 cm/detik, rumput laut dapat hidup baik pada dasar perairan yang stabil yang terdiri dari potongan karang mati bercampur dengan pasir karang, kecerahan 80-100%, suhu perairan berkisar 28-300C, salinitas 30-32 ‰ dan pH 8.2-8.7. Tabel 40 Luasan perairan untuk kategori kesesuaian rumput laut Bulan
Sangat Sesuai
Oktober Desember Mei Agustus
-
Luasan (ha) Sesuai 7 499 4 513 5 242
Tidak sesuai 53 538 56 524 61 038 55 796
Sumber : Analisis Data (2010)
Analisis temporal untuk kesesuaian pemanfaatan budidaya rumput laut menunjukkan kawasan Gugus Pulau Batudaka tidak ada yang sangat sesuai untuk kegiatan ini, namun kegiatan budidaya rumput laut dapat dilakukan mulai musim timur sampai musim barat, pada peralihan musim timur (Maret-Mei) dapat melakukan penanaman rumput laut untuk bibit saja. Budidaya rumput laut tidak dilakukan jika kondisi cuaca dan lingkungan yang tidak mendukung misalnya pada musim barat di mana curah hujan tinggi dan angin yang bergerak kencang sehingga mengakibatkan gelombang yang tinggi. Gelombang yang tinggi akan menyebabkan tempat budidaya rumput laut menjadi tidak aman karena tali-tali pengikat rumput laut putus dan thallus rumput laut patah . Iklim di kawasan ini dipengaruhi oleh musim (Barat, Timur dan peralihan kedua musim tersebut), yakni perubahan cuaca setiap tahunnya yang dipengaruhi
153
Gambar 37 Analisis temporal kesesuaian budidaya rumput laut berdasarkan empat waktu
154
oleh angin. Pada musim angin, menyebabkan gelombang besar sehingga membantasi pergerakan masyarakat dalam beraktivitas. Kondisi arus yang cukup kuat kurang menguntungkan secara teknis bagi kegiatan budidaya rumput laut. Kemiringan pantai dari sisi Timur-Selatan Pulau Batudaka lebih curam dibandingkan dengan bagian utara pulau tersebut bagian barat dimana tidak ada pulau-pulau penghalang. Hal ini mempengaruhi besarnya arus dan gelombang yang masuk ke Teluk Tomini, yang penting dalam menentukan zona kesesuaian untuk rumput laut. Lokasi budidaya rumput laut harus terlindung dari arus (pergerakan air) dan hempasan ombak yang terlalu kuat, apabila hal ini terjadi maka arus dan ombak akan merusak dan menghanyutkan tanaman ini. Lokasi budidaya rumput laut dengan kategori baik terdapat di reef yang mengelilingi Gugus Pulau Batudaka. Pemilihan lokasi merupakan hal yang sangat menentukan berhasil tidaknya suatu usaha budidaya, yakni yang sesuai dengan ekobiologi (persyaratan tumbuh) rumput laut. Kawasan sesuai (S2) dapat dilakukan kegiatan budidaya rumput laut di kawasan ini dicirikan dengan dijumpainya faktor pembatas yang cukup berarti untuk mempertahankan pengelolaan rumput laut secara berkelanjutan. Faktor pembatas tersebut adalah : (i) lokasi pada perairan dengan kondisi pergerakan arus dan gelombang pada musim tertentu (barat, timur maupun peralihan kedua musim tersebut) bersifat ekstrim, sehingga pada peralihan musim timur tidak dapat dilakukan usaha budidaya tersebut, (ii) kualitas/kesuburan perairan tidak cukup mendukung pertumbuhan rumput laut, sehingga pertumbuhan lebih lambat, (iii) lokasi yang cukup jauh dari pemukiman, sehingga memerlukan tambahan biaya untuk pengangkutan. Faktor ekologi lainnya yang berpengaruh terhadap budidaya rumput laut, adalah: (1) Kedalaman air, pada surut terendah lahan budidaya masih terendam air minimal 50 cm, supaya rumput laut tidak mengalami kekeringan karena terkena sinar matahari secara langsung dan sekitar 210 cm saat pasang tinggi; (2) Salinitas perairan yang tinggi dengan kisaran 28-34‰ dengan nilai optimum 32‰ untuk itu
155
Gambar 38 Hasil overlay kesesuaian budidaya rumput laut di Gugus Pulau Batudaka
156
hindari lokasi dari sekitar muara sungai (Zatnika 1985);
rumput laut dapat
mentolerir salinitas antara 25.5-34.5 ‰ (De Castro dan Guanzon, 1993); (3) Suhu air yang sesuai untuk budidaya rumput laut berkisar 27-30°C (Zatnika 1985); (4) Kecerahan yang ideal dengan angka transparansi sekitar 1.5 m (Zatnika 1985); (7) Keasaman (pH), Kisaran pH antara 7-9; (6) Aman dari predator dan competitor, lokasi budidaya bukan merupakan tempat berkumpulnya predator rumput laut, seperti ikan, penyu, bulu babi, dan herbivor lainnya, sehingga kerusakan tanaman dapat ditekan, di samping juga dapat menghemat biaya pemeliharaan dan perlindungan terhadap hama tanaman; dan (7) Untuk keamanan dan keberlanjutan budidaya maka lokasi yang dipilih bukan merupakan tempat yang menjadi jalur pelayaran (Anggadiredja 2006). Lokasi budidaya rumput laut di Gugus Pulau Batudaka (Gambar 38) berdasarkan empat waktu (musim barat, peralihan timur, timur dan peralihan barat) dengan kategori sesuai bersyarat, sehingga dalam pengusahaan budidaya rumput laut harus diperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan rumput laut dan pemanfaatan ruang laut untuk kegiatan lainnya agar usaha ini berhasil. Namun demikian, pembatas utama dalam usaha rumput laut di Gugus Pulau Batudaka adalah kecepatan arus. Rumput laut membutuhkan kecepatan arus yang tinggi (20-30 cm/detik), sedangkan kecepatan arus aktual di kawasan ini sebesar 0-30 cm/detik sehingga mempengaruhi lokasi yang sesuai untuk kegiatan tersebut. 5.1.2.5 Kawasan Wisata
Hasil overlay kegiatan wisata (selam dan snorkling) di Gugus Pulau Batudaka tertera pada Tabel 41 dan Gambar 39. Tabel 41 Luasan untuk kegiatan wisata No
1 2 3
Kegiatan Wisata
Selam Snorkeling Selam-Snorkeling
Luas (ha)
539 3 892 688
Sumber : Analisis Data (2010)
Analisis spasial pemanfataan ruang untuk kegiatan wisata snorkeling menempati ruang yang lebih besar dibanding selam dan sekitar 688 ha yang dapat
157
dilakukan untuk kedua kegiatan tersebut.
Besarnya luasan tersebut sangat
dipengaruhi kondisi sumberdaya alam terutama tutupan karang, jenis life form karang, jenis ikan karang dan parameter fisik seperti kecerahan, kedalaman, kecepatan arus. Berdasarkan analisis temporal untuk kegiatan wisata di Gugus pulau Batudaka dapat dilakukan sepanjang tahun, dan tentu saja perlu memperhatikan kondisi cuaca untuk kenyamanan dan keamanan dalam beraktivitas wisata. Hal yang perlu dilakukan adalah meningkatkan atraksi yang ditawarkan pada wisatawan seperti menikmati atraksi-atraksi lain seperti rekreasi pantai, berjemur, olah raga pantai, berjalan ke hutan sambil melihat burung khas Sulawesi. 5.1.2.6 Kawasan Perikanan
Hasil overlay kegiatan perikanan (penangkapan ikan karang dan budidaya rumput laut) untuk Gugus Pulau Batudaka tertera pada Tabel 42 dan Gambar 40. Tabel 42 Luasan untuk kegiatan perikanan No
1 2 3
Kegiatan Perikanan
Penangkapan ikan karang Budidaya rumput laut Penangkapan ikan karang-Budidaya rumput laut
Luas (ha)
3209 38 2824
Sumber : Analisis Data (2010)
Analisis spasial pemanfataan ruang untuk kegiatan penangkapan ikan karang menempati ruang yang lebih besar dibanding rumput laut dan sekitar 2 824 ha yang dapat dilakukan untuk kedua kegiatan tersebut. Besarnya luasan tersebut sangat dipengaruhi kondisi terumbu karang, kelimpahan ikan target, pencemaran dan parameter fisik lainnya.
Berdasarkan analisis temporal untuk kegiatan
penangkapan ikan karang di Gugus pulau Batudaka dapat dilakukan sepanjang tahun, dan tentu saja perlu memperhatikan kondisi cuaca untuk kenyamanan dan keamanan dalam kegiatan penangkapan. Pada musim peralihan timur tidak direkomendasian untuk
melakukan kegiatan produksi budidaya rumput laut
mengingat besarnya faktor pembatas dalam usaha tersebut.
158
Gambar 39 Hasil overlay pemanfaatan wisata (selam, snorkeling) di Gugus Pulau Batudaka
159
Gambar 40 Hasil overlay pemanfaatan perikanan (penangkapan ikan karang, budidaya rumput laut) di Gugus Pulau Batudaka
160
5.1.2.7 Kawasan Wisata-Perikanan
Hasil overlay kegiatan wisata-perikanan untuk Gugus Pulau Batudaka tertera pada Tabel 43 dan Gambar 41. Tabel 43 Luasan untuk kegiatan wisata-perikanan No
Kegiatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Selam Snorkeling Wisata-ikan karang Ikan karang Rumput laut Perikanan (ikan karang-rumput laut) Selam-ikan karang Snorkeling ikan karang Snorkeling-rumput laut Snorkeling-perikanan
Luas (ha)
30 196 688 2 021 38 2 173 509 753 2 2 942
Sumber : Analisis Data (2010)
Analisis spasial seperti tabel diatas, terlihat bahwa pemanfataan ruang bersama untuk kegiatan wisata-perikanan terutama untuk selam-snorkelingpenangkapan ikan karang.
Hal tersebut karena ketiga kegiatan tersebut
memanfaatkan ekosistem terumbu karang yang ada di Gugus Pulau Batudaka. Pemanfaatan ruang tersebut sangat penting berkaitan dengan penataan lokasi pemanfaatan kawasan berdasarkan daya dukung dan kapasitas kawasan sehingga diharapkan kegiatan yang ada baik wisata dan perikanan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 5.1.3 Analisis Eksisting Zonasi Kawasan Konservasi Gugus Pulau Batudaka
Gugus Pulau Batudaka masuk dalam kawasan Taman Nasional Kepulauan Togean (TNKT) dan berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.56/MenhutII/2006 disebutkan bahwa zona taman nasional adalah wilayah di dalam kawasan taman nasional yang dibedakan menurut fungsi dan kondisi ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat, terdiri atas : Zona Inti, Zona Rimba, Zona Perlindungan Bahari untuk wilayah perairan; Zona Pemanfaatan; Zona lain, antara lain : Zona Tradisional, Zona Rehabilitasi, Zona Religi, budaya dan sejarah serta Zona Khusus.
161
Gambar 41 Hasil overlay pemanfaatan wisata-perikanan di Gugus Pulau Batudaka
162
Arahan zonasi kawasan konservasi Gugus Pulau Batudaka yang terdapat dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kepulauan Togean (Bappeda Touna 2007 (Gambar 42) dan secara rinci untuk Gugus Pulau Batudaka tertera pada Gambar 43 dengan peruntukkan zonasi tersebut, meliputi : a Zona Inti untuk perlindungan ekosistem, pengawetan flora dan fauna khas beserta habitatnya yang peka terhadap gangguan dan perubahan, sumber plasma nutfah dari jenis tumbuhan dan satwa liar, untuk kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya. Zona ini memiliki luas sebesar 489 ha di daratan dan 639 ha di perairan laut. b Zona Rimba dan Perlindungan Bahari untuk kegiatan pengawetan dan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan alam bagi kepentingan penelitian, pendidikan konservasi, wisata terbatas, habitat satwa migran dan menunjang budidaya serta mendukung zona inti. Luasan Zona Rimba sebesar 6 900 ha dan Zona Perlindungan Bahari sebesar 8 679 ha c Zona Pemanfaatan untuk pengembangan pariwisata alam dan rekreasi, jasa lingkungan, pendidikan, penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan, kegiatan penunjang budidaya. Zona ini memiliki luas sebesar 177 ha di daratan dan 1 074 ha di perairan laut. d
Zona Tradisional untuk pemanfaatan potensi tertentu taman nasional oleh masyarakat setempat secara lestari melalui pengaturan pemanfaatan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Zona ini memiliki luas sebesar 15 558 ha di daratan dan 4 058 ha di perairan laut.
e
Zona Rehabilitasi untuk mengembalikan ekosistem kawasan yang rusak menjadi atau mendekati kondisi ekosistem alamiahnya. Zona ini memiliki luas sebesar 637 ha di daratan dan 4 454 ha di perairan laut.
f
Zona Khusus untuk kepentingan aktivitas kelompok masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut sebelum ditunjuk/ditetapkan sebagai taman nasional dan sarana penunjang kehidupannya, serta kepentingan yang tidak dapat dihindari berupa sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik. memiliki luas sebesar 370 ha (Tabel 44).
Zona ini
163
Tabel 44 Luasan rencana zonasi Gugus Pulau Batudaka berdasarkan RDTR Kepulauan Togean Tahun 2007 Zona
Luasan (ha)
Zona Inti Zona Khusus Zona Pemanfaatan Zona Perlindungan Bahari Zona Rehabilitasi Zona Rimba Zona Tradisional Total Sumber : Analisis Data (2010)
Pengelolaan
zonasi
1 128 370 1 251 8 679 5 091 6 900 19 616 43 036
dilakukan
Luasan di Darat (ha) 489 370 177 0 637 6 830 15 558 24 061
dengan
Luasan di Perairan (ha) 639 0 1 074 8 679 4 454 70 4 058 18 975
memperhatikan
berbagai
pemanfaatan berdasarkan tujuan dan sasaran perlindungan seperti yang dirumuskan dalam Rencana Detail Tata Ruang Kepulauan Togean/RDTRKP Tahun 2007 yakni kegiatan-kegiatan apa saja yang dapat dikembangkan di kawasan tersebut. Berdasarkan analiss kesesuaian pemanfaatan spasial di Gugus Pulau Batudaka maka dilakukan rezonasi pemanfaatan wisata dan perikanan (overlay pemanfatan wisata (Selam dan Snorkeling), kegiatan perikanan (penangkapan ikan karang dan budidaya rumput laut), wisata-perikanan dengan rencana zonasi RDTRKP) tertera pada Tabel 45 dan Gambar 44-46. Tabel 45 Luasan kesesuaian kegiatan wisata-perikanan dalam zonasi RDTR Kepulauan Togean No
Zona
1
Zona Inti
2
Zona Pemanfaatan
3
Zona Perlindungan Bahari
4 5
Zona Rehabilitasi Zona Tradisional
Luas (ha) 639
1 051 8 679 4 454 4 058
Kesesuaian Pemanfaatan Total 18 881 Sumber : Analisis Data (2010)
Kesesuaian Wisata Selam Snorkeling Selam-Snorkeling Selam Snorkeling Selam-Snorkeling Selam Snorkeling Selam-Snorkeling Selam Snorkeling Selam-Snorkeling Selam Snorkeling Selam-Snorkeling
Luas (ha) 0.2 20.4 2.0 102.5 276.0 91.3 492.5
Kesesuaian Perikanan Ikan Karang Rumput Laut I Karang-Rumput L Ikan Karang Rumput Laut I Karang-Rumput L Ikan Karang Rumput Laut I Karang-Rumput L Ikan Karang Rumput Laut I Karang-Rumput L Ikan Karang Rumput Laut I Karang-Rumput L
Luas (ha) 855.7 0.0 44.7 758.1 0.0 862.4 460.2 19.0 3,000.3
164
Gambar 42 Peta rencana zonasi kawasan Kepulauan Togean (RDTR Kepulauan Togean 2007)
165
Gambar 43 Zonasi Gugus Pulau Batudaka berdasarkan RDTR Kepulauan Togean
166
Zona inti Gugus Pulau Batudaka untuk perairannya seluas 639 ha dengan kegiatan yang boleh dilakukan di dalam Zona Inti hanyalah kegiatan penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan menunjang budidaya (Peraturan Menteri Kehutanan No. P 56/Menhut-II /2006).
Berdasarkan PP
No.60/Tahun 2007) untuk mencegah kehilangan sumberdaya laut yang lebih parah, maka ditempuh upaya perlindungan (konservasi) yaitu dengan menyisihkan lokasi-lokasi yang memiliki potensi keanekaragaman jenis hewan maupun tumbuhan, keunikan dan gejala alam, beserta ekosistemnya menjadi beberapa zona antara lain zona inti (daerah larang ambil), yakni zona dengan lokasi tersebut tidak dapat lagi dimanfaatkan secara umum, karena zona ini menjadi lokasi ekologis yang mensuplai energi dan plasma nutfah ke wilayah sekitarnya. Upaya ini selain melindungi sumberdaya yang masih tersisa, juga memberikan kesempatan bagi ekosistem untuk pulih dari kerusakan. Luasan Zona Pemanfaatan sebesar 1 051 ha dengan kegiatan wisata seluas 22.6 ha (2.15% Zona Pemanfaatan) dan kegiatan perikanan seluas 900.4 ha (85.67% Zona Pemanfaatan). Kegiatan yang dapat dilakukan di zona ini yakni pengusahaan pariwisata alam, pembangunan sarana dan prasarana pengelolaan, penelitian, pendidikan, wisata alam dan kegiatan dengan memanfaatkan zona ini secara optimal dengan cara-cara yang legal, misalnya untuk kegiatan budidaya laut, kegiatan penangkapan ikan, dan pemanfatan kondisi/jasa lingkungan. Luasan Zona Perlindungan Bahari sebesar 8679 ha. Kegiatan yang dapat dilakukan yaitu pembangunan sarana dan prasarana sepanjang untuk kepentingan penelitian, pendidikan, dan wisata alam terbatas.
Luasan Zona Rehabilitasi
sebesar 4 454 ha. Zona ini berfungsi untuk mengembalikan ekosistem kawasan yang rusak menjadi atau mendekati kondisi ekosistem alamiahnya. Alokasi penentuan Zona Rehabilitasi selain mempertimbangkan ekosistem yang direhabilitasi, juga melibatkan partisipasi masyarakat. Luasan Zona Tradisional sebesar 4 058 ha yang sesuai dengan kegiatan perikanan seluas 1 621 ha (39.93% Zona Tradisional). Kegiatan pemanfaatan potensi dan kondisi sumberdaya alam sesuai dengan kesepakatan dan ketentuan yang berlaku. Hasil overlay kesesuaian pemanfaatan wisata-perikanan dengan zonasi RDTR Kepulauan Togean untuk kegiatan perikanan (penangkapan ikan
167
Gambar 44 Hasil overlay pemanfaatan wisata (selam, snorkeling) dengan zonasi RDTRKP di Gugus Pulau Batudaka
168
karang dan budidaya rumput laut) mempunyai proporsi paling besar dibanding wisata dalam pemanfaatan ruang perairan di Gugus Pulau Batudaka (Tabel 46 dan Gambar 48). Tabel 46 Persentase kesesuaian kegiatan wisata-perikanan dalam zonasi RDTR Kepulauan Togean Zona
Luasan Zona (%)
Inti Pemanfaatan Perlindungan Bahari Rehabilitasi Tradisional
100.00 12.18 100.00 100.00 60.07
Wisata (%)
Perikanan (%)
0 2.15 0 0 0
0 85.67 0 0 39.93
Sumber : Analisis Data (2011)
Rencana zonasi RDTRKP kurang tersosialisasi dengan baik, sehingga umumnya masyarakat Gugus Pulau Batudaka tidak mengetahui adanya pembagian zona-zona tersebut khususnya di kawasan perairannya. Bedasarkan hasil analisis diatas, zonasi dalam RDTRKP perlu dilakukan kajian ulang, khususnya untuk zona rehabilitasi sesuai fungsinya untuk mengembalikan fungsi ekosistem secara alami, namun sebagian besar merupakan wilayah yang dekat pemukiman, alur pelayaran, daerah penangkapan tradisional, dan dimanfaatkan untuk kegiatan wisata. Arahan Rencana pengelolaan zonasi wilayah pesisir Kepulauan Togean mencakup tahapan kebijakan pengaturan (Bappeda Touna 2007) sebagai berikut : 1 Pemanfaatan dan pengusahaan zonasi wilayah perairan pesisir dilaksanakan melalui pemberian izin pemanfaatan dan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3). Izin pemanfaatan diberikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan kewenangan masing-masing instansi terkait. 2 Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) diberikan di kawasan perairan budidaya atau zona perairan pemanfaatan umum kecuali yang telah diatur secara tersendiri. 3 Pengaturan pengelolaan wilayah pesisir dimulai dari perencanaan, pemanfaatan, pelaksanaan, pengendalian, pengawasan, pengakuan hak dan pemberdayaan masyarakat, kewenangan, kelembagaan, sampai pencegahan dan penyelesaian konflik. Pengelolaan wilayah pesisir dilakukan dengan memperhatikan keterkaitan ekologi, keterkaitan ekonomi, dan keterkaitan sosial budaya dalam satu bioekoregion dengan pulau
169
Gambar 45 Hasil overlay penangkapan ikan karang, budidaya rumput laut, dan zonasi RDTRKP di Gugus Pulau Batudaka
170
induk atau pulau lain sebagai pusat pertumbuhan ekonomi sehingga zonasi ini dapat diakomodir pemerintah daerah Kabupaten Tojo Una-Una. Terumbu karang merupakan daya tarik utama bagi wisatawan dalam melakukan aktivitas wisata bahari, terutama menyelam dan snorkeling, serta merupakan lokasi penangkapan ikan bagi masyarakat setempat. Berdasarkan analisis kesesuaian maupun secara aktual, kegiatan wisata dan perikanan maka harus menjadi perhatian dalam rangka pengelolaaan zonasi wilayah pesisir Gugus Pulau Batudaka. Melalui peta hasil zonasi ini dapat diperkirakan kegiatan apa saja yang dapat dilakukan pada zona-zona tersebut terutama dalam rangka mengembangkan wilayah Gugus Pulau Batudaka. Pemanfaatan yang ada saat ini belum mengakomodasi bentuk pengendalian pemanfaatan ruang sesuai zonasi, yakni pada zona-zona yang seharusnya membutuhkan pengendalian justru dimanfaatkan untuk kegiatan wisata, perikanan, dan beberapa areal mangrove yang terkonversi menjadi pemukiman, dan tambak. Hal tersebut sangat berbahaya untuk waktu mendatang apabila tidak segera dilakukan pengendalian pemanfaatan ruang terutama untuk zona-zona yang seharusnya menjadi daerah konservasi/ perlindungan laut. Jika merujuk pada hasil analisis, perlu dilakukan upaya pengendalian pemanfaatan ruang sehingga bahaya yang mungkin terjadi di waktu yang akan datang dapat diatasi sedini mungkin. Selanjutnya untuk lebih memperdalam materi zonasi perlu dilakukan konsultasi publik, yakni masyarakat berperan dalam melakukan evaluasi terhadap hasil zonasi dari analisis yang telah dilakukan pada daerah yang bermasalah dengan pemanfaatan ruang pesisir PPK. Penggunaan ruang/wilayah yang multiuse menimbulkan kompetisi, konflik, dan perbedaan kepentingan, sehingga dengan penzonasian yang berfungsi untuk menclusterkan kegiatan yang sesuai dan memisahkan yang tidak sesuai. Pengalokasian ruang laut belum menjadi kebijakan dalam perencanaan pembangunan, dan penzonaan ini didasarkan aktivitas dan fungsi-fungsinya. Pemanfaatan yang direkomendasikan oleh RDTR Kepulauan Togean kurang memperhatikan kesesuaian lahan dalam pemanfaatan ruang wilayah pesisir di Gugus Pulau Batudaka. Dengan melihat hasil komparasi ini sebaiknya perlu dilakukan revisi RDTR Kepulauan Togean dengan beberapa pertimbangan terutama terkait dengan perlindungan dan daya dukung lingkungan di pesisir Gugus Pulau Batudaka.
171
Gambar 46 Hasil overlay wisata-perikanan dan zonasi RDTRKP di Gugus Pulau Batudaka
172
5.2 Analisis Daya Dukung Pemanfaatan Gugus Pulau Kecil Analisis daya dukung ini menggunakan Ecological Footprint Analysis, ditujukan untuk pengembangan wisata dan perikanan dengan memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut Gugus Pulau Batudaka secara lestari berdasarkan luas total kawasan yang sesuai untuk kegiatan tersebut. Analisis Tapak Ekologis merupakan konsep untuk mencermati pengaruh (impact) manusia terhadap cadangan kekayaan dan kemampuan dukung bumi (terutama SDA yang terbarukan) yang masih tersisa, dan seberapa besar pengaruh konsumsi manusia terhadap ketersediaannya (Wackernagel 2001). Biocapaciy/BC digunakan untuk melihat seberapa besar pengaruh manusia maupun sekelompok manusia terhadap kapasitas kekayaan sumberdaya alam terbarukan di bumi atau disebut juga areal potensial secara ekologis di Gugus Pulau Batudaka. . 5.2.1 Daya Dukung Wisata Total ecological footprint/EF tiap wisatawan yang mengunjungi Gugus Pulau Batudaka terdiri dari jumlah agregat komponen built-up land, fosil energy land, food dan fibre consumption (meliputi pasture land, arable land, forest land dan sea space) dengan rata-rata waktu tinggal selama 5 hari. Asal wisatawan terbesar yang berkunjung di Gugus Pulau Batudaka pada Tahun 2008 berasal dari Indonesia, Perancis dan Belanda. Komponen dari EF tersebut tertera pada tabel di bawah ini. Tabel 47 Built-up land footprint (EF lahan buatan) Kategori Jalan Pelabuhan Akomodasi Aktivitas Total Footprint
ha/cap/tahun 0.00122 0.00003 0.00008 0.01847 0.01980
Persentase (%) 6.18 0.14 0.39 93.29 100.00
Sumber : Analisis Data (2011)
Berdasarkan tabel diatas, diperoleh bahwa rata-rata pemanfaatan lahan untuk wisata sebesar 185 m2 tiap wisatawan/tahun. Hal ini berarti built-up land yang dihasilkan oleh aktivitas wisata sebesar 93.29%, artinya sumberdaya dan ruang untuk
173
aktivitas wisatawan yang sedikit tiap tahunnya sehingga permintaan built-up perkapita menjadi besar.
Footprint dari komponen food and fibre consumption
sebesar 3 007 m2 yang dimanfaatkan setiap wisatawan untuk konsumsi sandang dan pangan selama berwisata di Gugus Pulau Batudaka (Tabel 48). Tabel 48 Footprint konsumsi sandang dan pangan Asal Wisatawan
Cropland
Pasture
Forest
Fishing Ground
(ha/cap/th)
(ha/cap/th)
(ha/cap/th)
(ha/cap/th)
Indonesia Perancis Belanda Rata – rata Area dalam satuan global
0.0379 0.0970 0.0924 0.0758 0.1992
0.0000 0.1280 -0.0120 0.0387 0.0193
Total EF sandang dan pangan
0.3007
0.0182 0.0591 0.0583 0.0452 0.0601
0.0800 0.0850 0.0000 0.0550 0.022
Sumber : Analisis Data (2011)
Footprint konsumsi sandang dan pangan dengan rata-rata kunjungan wisatawan selama 5 hari adalah 0.3007 ha atau 3 007 m2 lahan yang dimanfaatkan untuk konsumsi sandang dan pangan selama berwisata di Gugus Pulau Batudaka. Secara ringkas keenam komponen utama ruang produktif dalam perhitungan EF tertera pada Tabel 49. Tabel 49 Total ecological footprint (EF) dan biocapacity (BC) Gugus Pulau Batudaka Eqivalen Tipe Faktor Footprint Komponen (gha/ha) (ha/cap/th) 1.33 0.0001 Energy Land 2.64 0.0198 Built-up land 2.64 0.0758 Cropland 0.50 0.0387 pasture land 1.33 0.0452 forest land 0.40 0.0550 Seaspace 0.2345 Total EF tiap wisatawan Total EF semua wisatawan 2 498.38 Daya Dukung Sumber : Analisis Data (2011)
Area dalam Ruang global (gha/cap/th)
0.0001 0.0523 0.2000 0.0193 0.0601 0.0220 0.3538 3 769.63
Existing area (ha)
2.38 19.54 453.28 173.30 1839.60 2610.00 5098.10
YF
1.30 1.00 1.70 2.20 1.30 0.60
Biocapacity (ha)
Biocapacity (gha)
3.09 19.54 770.58 381.26 2391.47 1566.00 5131.96
4.11 51.60 2034.34 190.63 3180.66 626.40 6087.74
0.48
0.57
21 887
Hasil perhitungan EF menunjukkan bahwa rata-rata perjalanan wisatawan ke Gugus Pulau Batudaka memerlukan 0.23 ha lahan atau sekitar 2 345 m2 untuk
174
keperluan sumberdaya bagi wisatawan ke daerah tersebut dan dilihat dari sudut pandang global, maka perjalanan ke Gugus Pulau Batudaka memerlukan lebih dari 0.48 ha rata-rata ruang dunia untuk keperluan sumberdaya. Perhitungan Biocapacity menunjukkan bahwa komponen forest land memberikan kontribusi yang sangat besar bagi ketersediaan lahan produktif Gugus Pulau Batudaka sebesar 2 391 ha, sedangkan komponen energy land memberikan kontribusi yang sangat kecil 3.09 ha. Hal ini disebabkan wilayah daratan lebih luas dibandingkan terumbu karangnya
dan
kecilnya ketersediaan energi berhubungan dengan jumlah penduduk yang relatif sedikit di wilayah tersebut. BC untuk tiap wisatawan secara lokal 0.48 ha/kapita dan 0.57 gha/kapita, berdasarkan laporan WWF (2009) BC yang tersedia untuk Indonesia sebesar 1.4 gha/kapita dan secara global 2.1 gha/kapita,dengan demikian kondisi BC Gugus Pulau Batudaka sekitar sepertiga kali BC nasional dan global, kondisi kegiatan wisata di Gugus Pulau Batudaka mengalami yang disebut sebagai ecological reserve artinya area produktif secara biologi atau area potensial secara ekologis masih cukup untuk menampung jumlah wisatawan yang datang berwisata. Pendekatan TEF ini menghasilkan jumlah wisatawan minimal berdasarkan perhitungan input-output sumberdaya (kebutuhan akan sumberdaya di pulau) baik di lahan daratan dan perairan per tahun dengan dengan rata – rata lama kunjungan wisata 5 hari, dan bila penyebaran wisatawan berdasarkan musim puncak kedatangan wisatawan (Disbudpar 2008) maka Gugus Pulau Batudaka pada bulan Agustus dapat menampung sekitar 1 933 orang/bulan, namun fasilitas akomodasi yang ada hanya dapat menampung sekitar 200 orang/bulan. Jika menggunakan pendekatan kehatihatian (precautionary approach) dalam pengelolaan sumberdaya, maka pendekatan TEF yang digunakan untuk menghitung daya dukung wisata di Gugus Pulau Batudaka dikaitkan dengan penentuan kebijakan pengelolaan, banyaknya wisatawan yang diperkenankan mengunjungi kawasan Gugus Pulau Batudaka setiap tahun harus mengacu pada hasil pendekatan TEF. Daya dukung (CC) pada tourism dapat dibedakan dua cara yaitu (1) melihat kemampuan fisik wilayah tujuan wisata untuk menerima kunjungan sebelum dampak negatif timbul (biophysical component) dan (2) menemukan level dimana arus turis
175
m mengalami penurunan p a akibat keterbbatasan kapaasitas yang muncul darri tingkah laaku ( (behaviour) turis itu senndiri (behaviooral componnent) (Savariiades 2000).. Pada Gambbar 4 disajikan 47, n gambaran luasan EF wisatawan w d dengan luasaan kesesuaiaan wisata haasil a analisis GIS (KS).
Gambar 47 4 Perbandiingan EF wiisatawan dann KS wisata Total Ef tiap wiisatawan yaang mengunjjungi Guguss Pulau Battudaka sebessar 0 0.2345 ha/kapita. Jika jumlah j turiss yang menggunjungi Guugus Pulau Batudaka B paada T Tahun 2009 9 sebanyak 628 6 orang (D Disbudpar 2010) 2 maka luasan EF sebesar s 138.95 h ha. Bila diibandingkan dengan luaasan wisata dengan kateegori sesuaii untuk wisaata s selam, snork keling dan rekreasi r panttai di Guguss Pulau Batuudaka (hasill analisis GIIS) y yakni sebesaar 277 ha maaka kondisi ini i disebut undershoot u a artinya pemaanfaatan ruaang E wisata leebih kecil daari luasan wissata kategorii sesuai sehiingga ada ruaang dan wakktu EF d dimana sum mberdaya meemiliki kesem mpatan untuuk memperbaiki dan meempertahankkan f fungsi eko ologisnya. Daya D dukuung di daalam wisataa
(Touriism Carryiing
C Capacity/TC CC) didefinisikan sebagai maksimum m jumlah tuuris yang daapat ditolerannsi t tanpa menim mbulkan dam mpak tidak dapat pulih dari ekosisstem/lingkunngan dan paada s yang sam saat ma dan tidakk menguranggi kepuasan kunjungan (Davis ( and Tisdell T 1996)).
176
5.2.2 Daya Dukung Perikanan Kegiatan pemanfaatan sumberdaya harus selalu memperhatikan daya dukung lingkungan
untuk
keberlanjutannya.
Penilaian
keberlanjutan
dari
kegiatan
pemanfaatan sumberdaya alam dapat digunakan Analisis Ruang Ekologis (Ecological Footprint Analysis/EFA), merupakan suatu konsep daya dukung yang menjelaskan hubungan didasarkan pada tingkat pemanfaatan terhadap suatu sumberdaya dan luas lahan yang tersedia/biocapacity (Adrianto dan Matsuda 2004). Pendekatan ini dapat diketahui berapa maksimal penggunaan sumberdaya dengan luas lahan yang tersedia sehingga keberadaan ekosistem tetap lestari (Adrianto 2006). Analisis footprint di suatu wilayah penangkapan ikan dapat dihitung berdasarkan hasil tangkapan maksimum berbagai jenis ikan (Gulland 1991). Hasil tangkapan tersebut dikonversi dengan produktivitas primer berdasarkan trophic level berbagai jenis ikan yang tertangkap (Ewing et al. 2008; WWF 2008). Indikator Ecological footprint disebut juga indikator ecospace didefinisikan untuk menjawab seberapa besar area produktif dari daratan dan perairan (sebagai sumberdaya) bagi keberlajutan hidup manusia secara langsung untuk standar kehidupan dan dengan teknologi (Wackernegel 1996). Hal tersebut diasumsikan bahwa terdapat suatu ukuran populasi yang optimal yang dapat didukung oleh sumberdaya tersebut (Adrianto dan Matsuda 2004). Produksi biomassa ikan di Gugus Batudaka Kecamatan Una-Una di dominasi oleh ikan tongkol, ikan lolosi dan ikan kakap (Tabel 14), sementara di Kabupaten Tojo Una-Una didominasi ikan tongkol, ikan kembung, ikan layar, ikan selar dan ikan teri (Lampiran 1) Hasil perhitungan untuk indikator EF sistem perikanan di Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una (EF Lokal) dan Kabupaten Tojo UnaUna (EF Regional) untuk periode 2005-2008 (Tabel 50) dan dan pehitungannya dapat dilihat pada Lampiran 4 dan 5.
177
Tabel 50
Kebutuhan ruang ekologis sistem akuatik lokal dan regional
Karakteristik Kecamatan Una-Una PPR Coastal and Coral System (kg)) PPR Tropical Shelves (kg Jumlah Penduduk (jiwa) EF (km2/kapita) Kebutuhan ruang (km2) Cakupan (kali) Kabupaten Tojo Una-Una PPR Coastal and Coral System (ton) PPR Tropical Shelves (ton) Jumlah Penduduk (jiwa) EF (km2/kapita) Kebutuhan ruang (km2) Cakupan (kali)
2005
2006
2007
2008
1 794 782 132 131 12 287 0.05
1 419 475 131 672 12476 0.04
1 513 960 101 287 12811 0.04
1 726 988 109 591 13 106 0.04
5 938 20
4 727 16
4 998 17
5 694 19
116 196 20 706 125 691 0.3 3 981 70
108 625 19 406 126 918 0.3 3 722 65
148 920 117 74.0 129 708 0.4 4 936 86
155 573 17 665 131 283 0.4 5 217 91
Keterangan : Luas Kecamatan Una-Una 298 km2, Kabupaten Una-Una 5 722 km2 Sumber : Analisis data (2010)
EF lokal rata-rata sebesar 0.04 ha/kapita atau membutuhkan area seluas 53.39 ha atau sekitar 19 kali luas daratan Kecamatan Una-Una, sementara EF regional sebesar 0.3 ha/kapita atau membutuhkan area seluas 4 464.02 ha atau sekitar 78 kali luas daratan Kabupaten Tojo Una-Una. Rendahnya kebutuhan ruang lokal disebabkan kecilnya jumlah produksi perikanan Kecamatan Una-Una, hal ini berhubunan erat dengan alat tangkap yang digunakan hanya berupa pancing, jarring ingsang, bubu dan bagan, sedangkan untuk alat tangkap yang digunakan di Kabupaten Tojo Una-Una lebih beragam. Produksi
perikanan/jumlah
tangkapan,
populasi
penduduk
sangat
mempengaruhi besarnya kebutuhan ruang ekologis bagi kegiatan perikanan. Berdasarkan analisis ruang ekologis pemanfaatan sumberdaya pesisir untuk perikanan di Gugus Pulau Batudaka, dapat disimpulkan bahwa kebutuhan ruang perairan sekitar 53.39 ha dengan pemanfaatan wilayah perairan untuk perikanan yang rendah yaitu sebesar 0.04 ha/kapita (skala lokal) dan 4 464.02 ha dengan pemanfaatan wilayah
178
perairan untuk perikanan sekitar 0.3 ha/kapita
untuk skala regional.
Hal
ini
menunjukkan bahwa masih terdapat ruang ekologis yang dapat dilakukan untuk kegiatan pemanfaatan perikanan dan merupakan indikator keberlanjutan bagi kegiatan perikanan di kawasan tersebut. Tabel 51 Perbandingan kebutuhan ruang ekologis untuk perikanan antara Gugus Pulau Batudaka dengan daerah lain Negara/Daerah/Pulau Sumberdaya Global(a) Hongkong (b) Guernsey UK(c) Japan (d) Yoron Islands Japan (e) Gugus Pulau Batudaka Kabupaten Tojo Una-Una
EF untuk Perikanan 0.30 0.20 1.41 1.90 0.014 0.0004 0.003
Kebutuhan Area 2.3 x 106 14 220 km2 84 000 km2 2 87 168 km 5 339 km2 446 402 km2
sumber : a) WWF (2002) ; b) Warren-Rhodes and Koenig (2001); c) Chambers et al. (2000); d) Wada (1999); e) Adrianto and Matsuda (2004)
Dibandingkan dengan daerah lain, EF perikanan Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una maupun Kabupaten Tojo Una-Una lebih kecil dibanding Hongkong (0.2 km2/kapita), Guernsey UK (1.41 km2/kapita) maupun Yoron Island Japan (0.014 km2/kapita).
Tabel 49 mempresentasikan perbandingan EE untuk
perikanan lokal mapun regional dengan beberapa daerah lain di dunia. EF merupakan penilaian total wilayah bioproduktif yang dibutuhkan untuk keberlanjutan di bumi yang menggambarkan aktivitas manusia dengan menghitung tiga fungsi ekosistem meliputi suplai sumberdaya, absorbs limbah dan ruang untuk infrastruktur (Haberl et al. 2004). Pada Gambar 48, disajikan gambaran luasan EF perikanan dengan luasan kesesuaian penangkapan ikan karang hasil analisis GIS (KS)
179
Gambar 488 Perbandinngan EF periikanan dan KS K perikanann EF perikanan p lookal sebesarr 0.04 ha/kaapita. Jika jumlah pennduduk Guggus P Pulau Batud daka Kecamaatan Una-Unna pada Tahhun 2009 sebbanyak 131006 orang (BP PS 2 2009) maka luasan EF perikanan p s sebesar 5.5 ha. h Bila dibbandingkan dengan luassan d dengan kateegori sesuai untuk penaangkapan ikkan karang di d Gugus Puulau Batudaaka ( (hasil analisiis GIS) yaknni sebesar 8445 ha maka kondisi k ini disebut d underrshoot artinnya p pemanfaatan n ruang EF F perikanan lebih kecil dari luasaan kategori sesuai unttuk p penangkapan n ikan karang sehinggga ada ruaang dan waaktu dimanaa sumberdaaya m memiliki keesempatan unntuk mempeerbaiki dan mempertahaankan fungssi ekologisnyya. P Pengelolaan n wilayah peesisir dan puulau-pulau kecil k sangat penting, dissebabkan olleh b beberapa faaktor antaraa lain konndisi wilayaah yang dipengaruhi d oleh konddisi o oseanografi, , memiliki karateristik suumberdaya yang y berbedda antara satuu dengan yaang l lainnya. Hall tersebut meerupakan baahan pertimbbangan bagi para pengam mbil kebijakkan d dalam meneentukan priooritas pemannfaatan sum mberdaya yanng sesuai dengan d konddisi e ekosistem setempat s dann kemampuuan daya duukung lingkkungan sertaa kemampuuan l lahan.
180
5.3
Analisis HANPP (Human Appropriation of Net Primary Production)
5.3.1 Profil Metabolik Profil metabolik masyarakat lokal dan regional dapat digambarkan secara statistik melalui pertambahan dan kepadatan penduduk (Tabel 52). Tabel 52 Parameter demografi Kecamatan Una-Una dan Kabupaten Tojo Una-Una Parameter Jumlah Penduduk 2008 Kepadatan Penduduk 2008 Rumah Tangga (RT) 2008 Sebaran rata-rata Rumah Tangga Sex Rasio Laki-laki/Perempuan Tingkat Ketergantungan penduduk (Usia Non Produktif terhadap Usia Produktif) Pertumbuhan Penduduk Tahun 2001-2008 Tingkat Kelahiran penduduk Tahun 2008 Tingkat Kematian Penduduk Tahun 2008
Lokal
Regional
Unit
13 106 42 3 547 4 104 67.60
131 283 23 33 872 4 104 70.24
Jiwa Jiwa/km2 RT Jiwa/RT
2.0 0.013 0.005
2.39 0.0086 0.0034
%/Tahun
%
Sumber : BPS (2002-2009)
Hasil registrasi penduduk tahun 2001-2008, penduduk Kecamatan Una-Una peningkatan 2%/tahun, sedangkan Kabupaten Tojo Una -Una mengalami peningkatan 2.39% setiap tahunnya, dengan tingkat kelahiran dan kematian yang lebih rendah dibanding tingkat pertumbuhan penduduk. Salah satu pendorong tingginya pertumbuhan penduduk adalah arus migrasi masuk yang cukup signifikan, sebagian besar adalah pendatang yang mencari nafkah di daerah ini. Produksi hasil tangkapan nelayan di laut tidak terlepas daripada keadaan alam, yang berkaitan dengan musim penangkapan ikan. Hasil tangkapan melimpah pada musim puncak dan pada musim panceklik, dimana keadaan alam ditandai dengan angin kencang (musim timur dan barat) hasil tangkapan menurun bahkan tidak sedikit nelayan tidak mendapatkan hasil. Laju tangkap dan estimasi produksi beberapa alat tangkap yang beroperasi di perairan Kecamatan Una-Una (Tabel 53). Berdasarkan jumlah alat tangkap yang ada di kecamatan Una-Una maka estimasi produksi perikanan pada Tahun 2009 sebesar 1 698.67 ton (DKP Kecamatan Una-Una 2010).
181
Produksi perikanan laut Kecamatan Una-Una pada Tahun 2008 sebesar 1 123 ton (BPS Touna 2009), sedangkan menurut Bappeda Touna (2009) sebesar 1 759.68 ton. Tabel 53 Laju tangkap dan estimasi produksi beberapa alat tangkap yang beroperasi di perairan Kecamatan Una-Una Tahun 2009 No
Alat Tangkap
1 2 3 4
Pancing Jaring Ingsang Bagan Bubu
Jumlah (unit)
Trip/tahun
317 211 11 158
96 120 96 48
Laju Tangkap ratarata (kg/trip)
10 50 100 3
Estimasi Produksi rata-rata (ton/tahun)
304.32 1266.00 105.60 22.75
Sumber : DKP UPTD Kecamatan Una-Una (2010)
Hal ini menunjukkan bahwa teknologi yang digunakan masih tergolong sederhana dan didominasi penggunaan perahu tanpa motor sehingga berdampak pada hasil penangkapan yang tidak maksimal.
Pada tingkat regional dimana hasil
tangkapan nelayan tidak semua didaratkan ke TPI-TPI Kabupaten Tojo Una-Una namun lebih banyak didaratkan ke TPI di Gorontalo, Poso maupun Pagimana Kabupaten Luwuk. Jumlah TPI di Kabupaten Tojo Una-Una sebanyak 3 buah yang bertempat di Kecamatan Ampana Kota, Kecamatan Tojo dan Kecamatan Walea Kepulauan tetapi dari ketiga TPI tersebut belum ada yang difungsikan secara maksimal. Luas area dan produksi perikanan menurut kecamatan di Kabupaten Tojo Una-Una tertera pada Tabel 54. Tabel 54 Luas area dan produksi perikanan menurut kecamatan di Kabupaten Tojo Una-Una Tahun 2008 Perairan Umum NO
Kecamatan
Tojo Barat 1 Tojo 2 Ulubongka 3 Ampana Tete 4 Ampana Kota 5 Una-una 6 Togean 7 Walea Kepulauan 8 Walea Besar 9 Kab. Tojo Unauna Sumber: BPS (2009)
Luas (Ha) 0 5.10 0 0.70 0 10.40 0 0 0 16.20
Produksi (Ton) 0 0 0 0 0 1.40 0 0 0 1.40
Perairan Kolam Luas (Ha) 0 7.50 13.02 3 19.15 0 0 0 0 42.67
Produksi (Ton) 0 0.60 0.40 0.30 1.20 0 0 0 0 2.50
Budidaya Tambak Luas (Ha) 4.10 120.00 0 0 0 20.90 0 0 0 145.00
Produksi (Kg) 400 1 300 0 0 0 2 800 0 0 0 4 500
Perikanan Laut Produksi (Ton) 6 383 1 901 953 2 817 55 099 1 123 2 083 852 558 71 773
182
Produksi perikanan laut terbesar terdapat di Kecamatan Ampana Kota yaitu sebesar 55 099 ton, yang disusul oleh Kecamatan Tojo Barat yaitu sebesar 6 383 ton, artinya sebagian besar hasil tangkapan nelayan dari kecamatan kepulauan di Teluk Tomini didaratkan di kecamatan tersebut. Kecamatan Una-Una memberikan kontribusi sebesar 1.56% dari seluruh produksi perikanan laut di Kabupaten Tojo Una-Una. Jenis ikan dominan yang dtangkap nelayan pada kedalaman kurang dari atau sama dengan 10 m adalah kelompok ikan demersal dan ikan karang, sedangkan pada kedalaman lebih dari 10 m, jenis ikan dominan yang ditangkap adalah kelompok pelagis dan beberapa jenis ikan pada kelompok ikan demersal dan Karang. Berdasarkan jumlah hasil tangkapan ikan, jumlah tangkapan tertinggi per tahun diperoleh nelayan di wilayah pulau yang mengoperasikan alat tangkap purse seine dan bagan yakni untuk jenis ikan pelagis kecil, sedangkan jumlah tangkapan terendah diperoleh nelayan yang mengoperasikan alat tangkap bubu dan pancing ulur untuk ikan karang dan demersal. Produksi ikan yang tertangkap di Kabupaten Tojo UnaUna tertera pada Lampiran 2. Jumlah hasil tangkapan ikan demersal tersebut tertera pada Tabel 55. Tabel 55 Hasil tangkapan ikan demersal di perairan Kabupaten Tojo Una-Una (ton) NO JENIS IKAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Bawal Hitam Bawal Putih Kakap Kakap merah Kerapu Sunu Kurisi Sunglir Tenggiri Tenggiri Papan
2003 1.36 1.20 56.80 53.76 73.44 8.40 18.56 23.36 20.24
2004 1.20 1.00 49.50 46.80 63.90 7.30 16.20 20.30 17.60
2005 1.20 1.00 52.50 49.80 67.90 8.30 17.20 21.30 18.60
TAHUN 2006 2007 1.80 8.00 2.80 13.50 15.10 26.70 16.10 34.70 101.60 464.20 5.80 22.10 7.90 24.00 22.40 96.00 8.90 28.20
2008 2009 10.00 1.28 11.50 0.92 23.60 48.24 41.00 44.73 507.00 62.54 15.60 7.50 15.00 15.46 50.00 19.14 15.00 16.66
Sumber : DKP Prov Sulteng (2010)
Data hasil perikanan tangkap ikan demersal menunjukkan bahwa kerapu sunu dan kakap merupakan jenis yang dominan penting dengan kecenderungan yang fluktuatif dari tahun ke tahun.
183
Upaya pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap pada perairan Kabupaten Tojo Una-Una meliputi total jam dan hari kerja melaut, jumlah trip per bulan dan per tahun, jumlah hasil tangkapan per trip dan dalam tahun. Jumlah jam kerja melaut pada setiap trip melaut berkisar antara 7-24 jam kerja, sedangkan hari kerja melaut yang diperlukan pada setiap trip penangkapan ikan berkisar 1.0-2 hari.
Trip
penangkapan ikan sepanjang tahun selalu berbeda di setiap musim, namun antara nelayan di pesisir dengan pulau hampir tidak ada perbedaan dalam jumlah jam dan hari melaut. Musim penangkapan ikan di wilayah penelitian terbagi atas dua musim yakni musim puncak dan paceklik.
Musim puncak (surplus ikan) umumnya
berlangsung selama 8-10 bulan (September/Oktober sampai April/Mei). Jumlah trip penangkapan ikan tertinggi pada musim puncak dilakukan oleh unit usaha purse seine yakni 25 trip per bulan. Musim paceklik (kekurangan ikan) umumnya berlangsung selama 2-4 bulan (Mei/Juni sampai Agustus/September). Jumlah trip penangkapan ikan pada musim paceklik pada setiap unit usaha penangkapan yakni berkisar antara 2-12 trip per bulan. Trip terendah terjadi pada unit usaha Bagan antara 2 - 5 trip per bulan (Laapo et al. 2006). Tinggi rendahnya jumlah trip penangkapan ikan, selain dipengaruhi oleh keadaan musim (perubahan iklim dan cuaca), juga dipengaruhi oleh harga ikan, hari kerja melaut, sarana penangkapan dan ketersediaan tenaga kerja melaut. Jam dan hari kerja melaut yang lebih lama menyebabkan jumlah trip per bulan dan tahun menjadi lebih kecil jumlahnya. Pada kondisi iklim dan cuaca yang tidak kondusif dan tidak menentu, hasil tangkapan menurun, nelayan lebih memilih untuk tidak melaut oleh karena biaya yang dikeluarkan akan lebih besar daripada hasil penjualan ikan. Pada kondisi yang sama, harga ikan mengalami peningkatan, sehingga ada insentif bagi nelayan untuk melaut terutama bagi nelayan yang mengusahakan alat tangkap dengan wilayah perairan maksimum 4 mil. Ketersediaan sarana penangkapan, tenaga kerja melaut dan sarana penunjang berpengaruh pada peningkatan aktivitas dan mobilitas melaut secara intensif.
184
5.3.2 HANPP (Human Appropriation of Net Primary Productvity) Tiga langkah dalam menghitung HANPP perikanan atau disebut pula sebagai Exosomatic energy di Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una (tingkat lokal) dan Kabupaten Una-Una (tingkat regional) yaitu (1) menghitung
potensi kebutuhan
produktivitas primer (2) Produktivitas aktual (produksi tiap spesies ikan (volume of landing) (DKP Prov. Sulteng 2005-2008); (3) kandungan energi tiap spesies ikan (Adrianto 2004), perhitungannya secara lengkap tertera pada Lampiran 5. Hasil analisis HANPP tersebut tertera pada Tabel 56 dan Gambar 50. Tabel 56 Perhitungan exosomatic energy lokal dan regional Tahun
Lokal 2005 2006 2007 2008 Ratarata Regional 2005 2006 2007 2008 Ratarata
Produksi Aktual/NPP
PPR (kJ)
HANPP (kJ)
Colonizing Efficiency
(kJ) 159 367 245 141 073 720 132 943 895 138 459 890
(kJ) 9 010 184 221 7 146 220 211 7 570 285 074 8 559 664 732
(kJ) 8 850 816 976 7 005 146 491 7 437 341 179 8 421 204 842
(%) 1.80 2.01 1.79 1.64
55.54 49.66 55.94 60.82
142 961 188
8 071 588 559
7 928 627 372
1.81
55.49
Rasio HANPP NPP
(MJ) 31 623 085 33 942 042 31 815 755 36 261 576
(MJ) 1 164 740 859 1 251 164 735 1 338 174 994 2 183 193 633
(MJ) 1 133 117 774 1 217 222 693 1 306 359 239 2 146 932 057
(%) 2.79 2.79 2.44 1.69
35.83 35.86 41.06 59.21
33 410 614
1 484 318 555
1 450 907 941
2.43
42.99
Sumber : Data Primer Terolah (2010)
Hasil perhitungan exosomatic energy pada tingkat lokal (kecamatan) bahwa rata-rata exosomatic energy perikanan dari Tahun 2005-2008 sebesar 7.93x109 kJ dengan efisiensi koloni ikan yang tertangkap sebesar 1.81 dan rasio HANPP-NPP sebesar 55.50, sedangkan tingkat regional sebesar 1.45x1012 kJ dengan efisiensi koloni ikan yang tertangkap sebesar 2.43 dan rasio HANPP-NPP sebesar 42.99. Hasil ini menunjukkan bahwa dalam memenuhi kebutuhan produktivitas primer yang merupakan sebuah proses energi dari luar pelaku sebagai penggabungan faktor manusia dan alam untuk nelayan lokal mempunyai nilai efisiensi yang rendah, artinya
185
mereka memerlukan energi yang lebih besar dalam memenuhi kebutuhan produktivitas primernya dibandingkan nelayan regional. Pada ekosistem global, rasio HANPP dengan NPP potensial sekitar 40 di seluruh dunia (Martines-Alier 2005); HANPP menghitung secara luas dominasi manusia atau kolonisasi sosial ekonomi dari suatu ekosistem, tingginya rasio tersebut menggambarkan dominasi manusia terhadap ekosistem dimana pengurangan produktivitas aktual (NPP) yang besar sebagai indikasi kurang efisiennya dalam pengelolaan sumberdaya perikanan (Haberl et al. 2004). Perbandingan HANPP lokal dan regional tertera pada Gambar 49.
Gambar 49 HANPP perikanan lokal dan regional HANPP perikanan besarnya tergantung dari banyak hasil tangkapan tiap jenis ikan dan kandungan energi tiap energi ikan. Gambar diatas mengindikasikan secara proporsional bila dibandingkan kebutuhan produktivitas primer potensial (NPPo) dengan HANPP maka untuk tingkat regional lebih tinggi dibandingkan tingkat lokal, sehingga pengaturan pengelolaan pemanfaatan sumberdaya lebih ditekankan pada penentuan alokasi sumberdaya, peningkatan SDM perikanan, peningkatan teknologi, pengaturan yang mengendalikan kegiatan perikanan dengan tujuan untuk menjamin keberlanjutan produksi dari sumberdaya dan tercapainya tujuan perikanan yang lainnya sesuai yang diamanatkan dalam CCRF atau Kode Etik Perikanan yang Bertanggung (FAO 1995).
186
5.4
Analisis Keberkelanjutan Mata Pencaharian (Coastal Livelihood System Analysis-CLSA) Analisis keberlanjutan Mata Pencaharian bagi masyarakat Pesisir dikenal pula
sebagai Mata Pencaharian Alternatif (MPA) merupakan usaha pengganti yang mempunyai
potensi untuk dikembangkan dalam meningkatkan
pendapatan
masyarakat. Pengembangan MPA berkelanjutan memegang peranan penting dalam menjamin kesejahteraan dan ekonomi masyarakat Pesisir Gugus Pulau Batudaka. Ada lima sumber kehidupan yang dimiliki oleh setiap individu atau unit sosial di dalam upayanya mengembangkan kehidupannya disebut sebagai aset kapital yakni: modal alam, manusia, keuangan, fisik, dan sosial. Keberhasilan penghidupan masyarakat bertumpu pada nilai pelayanan yang mengalir dari stok modal total tersebut. Lima bentuk modal ini tidak memiliki karakteristik yang sama. Modal alami merupakan elemenelemen biofisik seperti air, udara, tanah, sinar matahari, hutan, mineral, dan lain-lain. Aset-aset yang terjadi secara alami ini bisa diperbaharui. Modal manusia merupakan faktor yang sangat penting, karena manusia sekaligus merupakan objek dan subjek pembangunan. Modal keuangan adalah media pertukaran dan dengan demikian ini merupakan fungsi sentral ekonomi pasar. Modal fisik adalah aset buatan manusia seperti perumahan, jalan, dan bentuk modal fisik lainnya atau modal keras yang membentuk lingkungan. Modal sosial adalah produktif yang memungkinkan pencapaian tujuan tertentu yang tidak mungkin dicapai tanpa itu. Dalam kerangka Sustainable Livelihood, modal sosial memerlukan jaringan-jaringan sosial dan hubungan-hubungan dengan manusia (Coleman 1990).
5.4.1 Kondisi Sumberdaya Alam dan Mata Pencaharian Masyarakat Sumberdaya alam pesisir dan laut yang terkandung di kawasan Gugus Pulau Batudaka cukup beragam sehingga wilayah ini menjadi sumber penciptaan usaha wisata dan perikanan yang dapat dikembangkan. Potensi tersebut, secara garis besar di bagi menjadi tiga kelompok, yaitu (a) sumberdaya yang dapat pulih (renewable recources) seperti sumberdaya perikanan baik tangkap maupun budidaya, (b) sumberdaya tidak dapat pulih (unrenewable recources) seperti tambang, (c) jasa-jasa lingkungan seperti wisata dan transportasi.
187
(1) Perikanan Tangkap Perikanan tangkap merupakan kegiatan yang menggunakan teknologi untuk mendapatkan sumberdaya ikan laut.
Berdasarkan tujuan penangkapannya maka
perikanan tangkap dapat dibagi menjadi kegiatan penangkapan sumberdaya ikan pelagis dan ikan demersal (termasuk ikan karang). Perikanan laut baik tangkap maupun budidaya di pesisir dan laut adalah jenis pengusahaan sumberdaya dan mejadi sumber penghidupan
masyarakat.
Permintaan sumberdaya ikan hidup,
terutama ikan demersal dari pasar internasional memicu meningkatkan aktivitas pemanfaatan melalui teknologi budidaya. Selain aspek ekonomi, kegiatan ini juga bermanfaat untuk melestarikan sumberdaya perikanan. Kawasan ini merupakan salah satu wilayah sumber penangkapan yang kaya akan keanekaragaman hayati (biodiversity) ikan-ikan karang, karena kawasan ini merupakan wilayah coral reef triangle dengan biodiversity terumbu karang terbesar di dunia. Potensi perairan kawasan ini masih cukup besar utuk penyediaan bahan baku industri
perikanan, baik yang dikonsumsi di dalam negeri maupun yang
diekspor ke luar negeri. Potensi perikanan terdiri dari berbagai jenis produk penangkapan ikan laut, budidaya pantai dan ikan tambak. Penangkapan ikan laut sebagian besar berupa ikan cakalang, tongkol, kakap, lolosi, kerapu, teri, teripang, gurita, dan beberapa jenis ikan kering. Penduduk Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una sebanyak 82% merupakan keluarga pertanian dan keluarga yang bekerja di subsektor perikanan laut (nelayan pengusaha dan buruh) sebanyak 95.23% (Bappeda 2009), secara rinci dapat dilihat pada Gambar 50. (2) Perikanan Budidaya Luas daratan Gugus Pulau Batudaka sekiar 300.75 km2 dan luas perairannya 61.038 ha, dimana pantai-pantainya (termasuk perairan pesisir) dapat digunakan untuk kegiatan dapat digunakan untuk berbagai macam kegiatan seperti budidaya perikanan di perairan dangkal/marikultur (budidaya alga : rumput laut, budidaya kerang-kerangan, teripang, sistem karamba baik jarring tancap (KJT), Jaring Apung
188
(KJA) : umumnya ikan karang), penangkapan perikanan pantai (bagan, bubu dan lain-lain), serta kegiatan lain seperti pariwisata, transportasi.
tambak 0.12%
budidaya laut 2%
karamba 3%
Nelayan Buruh 12%
Nelayan pengusaha 83%
Gambar 50 Komposisi keluarga yang bekerja di sektor perikanan (Bappeda Touna 2009) (3) Jasa-Jasa Lingkungan Potensi jasa-jasa lingkungan Pesisir dan laut kawasan Gugus Pulau Batudaka antara lain wisata bahari, jasa transportasi dan pelayaran laut. Jenis mata pencaharian masyarakat Gugus Pulau Batudaka secara umum terkait dengan sektor perikanan dan kelautan secara langsung terkait dengan keberadaan sumberdaya alamnya dan usaha lain yang masih terkait dengan sumberdaya pesisir dan laut adalah usaha jasa pariwisata dan transportasi (Tabel 57). Jenis usaha atau mata pencaharian utama yang digeluti masyarakat di Gugus Pulau Batudaka pada dasarnya dapat digolongkan menjadi 4 kategori, yaitu (1) nelayan penangkap ikan, (2) pedagang atau pengumpul, (3) pengusahaan pelayaran, dan (4) usaha pemenuhan kebutuhan rumah tangga nelayan. Merujuk pada pengertian CLSA, maka analisis peluang dan potensi usaha yang dilakukan adalah jenis usaha di luar dari mata pencaharian utama masyarakat yang dapat memberikan pendapatan alternatif masyarakat.
189
Tabel 57 Kategori dan jenis usaha masyarakat Gugus Pulau Batudaka Kategori Usaha Jenis Usaha Usaha Sumberdaya Perikanan Produksi Penangkapan ikan (berbagai jenis alat tangkap) Budidaya Perikanan : Budidaya ikan karang Rumput laut Teripang Mutiara Bandeng Ikan air tawar Pengolahan Pengawetan ikan (penggaraman dan pengeringan) Distribusi Penampungan ikan segar dan ikan hidup Usaha angkutan hasil perikanan Pemasaran Pedagang Perantara Pedagang ekspor Pemasaran produk hasil olahan Usaha Pemanfaatan Sumberdaya Lainnya Pariwisata Penyedia sarana wisata (penginapan, rumah makan, transportasi dan peralatan bantu wisata) Jasa pandu wisata Jasa konservasi dan Pelestarian SD Penelitian Kegiatan penelitian dalam pemanfaatan SD Usaha pendukung Lainnya Transportasi Usaha transportasi umum bagi penduduk pulau Industri & perdagangan Pengrajin perahu sarana produksi prikanan Alat penangkapan ikan Usaha penyedia Warung serba ada (kelontong), warung makan, jasa telekomunikasi Konsumsi Rumah Tangga Nelayan
5.4.2 Analisis Pengaruh Masyarakat Pesisir terhadap Kondisi Sumberdaya Pesisir dan Laut Gugus Pulau Batudaka Pengumpulan informasi tentang mata pencaharian masyarakat dan kondisi sumberdaya alam di Gugus Pulau Batudaka merupakan faktor penting sebagai kondisi kunci sosial ekonomi masyarakat pesisir dan kondisi sumberdaya alam pesisir dan laut untuk menilai interaksi antara masyarakat pesisir dan sumberdaya alam (ekosistem). Tahapan selanjutnya dalam CLSA adalah analisis pengaruh masyarakat pesisir melalui identifikasi aktivitas masyarakat pesisir yang secara langsung berkontribusi terhadap kerusakan sumberdaya pesisir dan laut dalam perspektif sosial maupun ekonomi. Analisis pengaruh masyarakat terhadap kondisi sumberdaya di Gugus Pulau Batudaka secara lengkap tertera pada Tabel 58.
190
Tabel 58 Kondisi aset kapital di Gugus Pulau Batudaka Aset kapital (AK)
Alam Manusia Sosial Keuangan Buatan Jumlah
Wakai
14 19 9 8 22 72
Bambu
15 18 10 6 14 63
Bomba
16 18 10 7 16 67
Kulingkinari
Malino
14 14 10 7 13 58
17 14 10 6 13 60
Siatu
11 12 9 6 12 50
Kisaran Skor
0-24 0-33 0-27 0-15 0-33 0-120
Sumber : Analisis Data (2011)
5.4.2.1 Aset Alam Sumberdaya alam merupakan persediaan alam yang menghasilkan daya dukung dan nilai manfaat bagi penghidupan masyarakat. Sumberdaya alam juga meliputi keuntungan strategis dari suatu kondisi geografis khususnya kawasan pesisir, selain sentra penghasil ikan, juga menarik sebagai obyek wisata yang membawa pengaruh bagi pendapatan masyarakat sekitarnya. Sumberdaya alam sangat besar manfaat dan penting keberadaannya bagi masyarakat yang penghidupannya bergantung pada alam seperti; petani, nelayan, pengumpul hasil hutan. Sumberdaya alam sangat erat kaitannya dengan konteks kerentanan, banyak bencana alam yang merusak penghidupan masyarakat merupakan proses alam seperti; banjir, gempa, tsunami. perubahan cuaca serta musim, yang mempengaruhi produktvitas alam. Berdasarkan Tabel 59 menunjukkan bahwa Desa Siatu memiliki skor aset alam yang rendah dibandingkan desa-desa lainnya. Rendahnya skor aset alam mencerminkan buruknya kondisi sumberdaya alam, kondisi ini mempengaruhi penentuan perkembangan sistem sosial ekonomi suatu komunitas masyarakat yang mayoritas mengantungkan kehidupan di sektor pertanian dan perikanan yang memiliki tingkat ketergantungan tinggi dengan sumberdaya alam. Skor yang tinggi diperoleh Desa Malino yang berarti bahwa sumberdaya alam yang tersedia mempunyai produktivitas yang tinggi dalam menunjang penghidupan masyarakatnya.
191
Tabel 59 Kondisi aset alam di Gugus Pulau Batudaka No.
1 2 3 4 5 6 7 8
Aset Alam
Ekosistem pesisir Oceanografi Pantai Air bersih Lahan (pekarangan, Perkebunan) Pertanian Perikanan Peternakan Jumlah
Skor Wakai
Bambu
Bomba
Kulingkinari
Malino
Siatu
Kisaran Skor
1 2 1 2
2 2 2 2
2 2 2 2
2 1 2 1
2 2 2 3
2 2 1 1
0-3 0-3 0-3 0-3
2 2 2 2 14
2 2 2 1 15
2 2 2 2 16
2 2 2 2 14
2 2 2 2 17
1 1 2 1 11
0-3 0-3 0-3 0-3 0-24
Keterangan : 0 = tidak ada, 1 = buruk, 2 = sedang, 3 = baik Sumber : Analisis Data (2010)
Hasil observasi dan diskusi kelompok terarah (Focus Group Discussions) yang melibatkan masyarakat lokal secara partisipatif di Gugus pulau Batudaka diperoleh gambaran tentang seluruh komponen asat alam di lokasi penelitian, meliputi : (1) ekosistem pesisir, (2) oceanografi, (3) pantai, (4) air bersih, (5) lahan (pekarangan dan perkebunan), (6) pertanian, (7) perikanan, (8) peternakan. Kondisi aset alam sangat menentukan keberlanjutan penghidupan masyarakat di Gugus Pulau Batudaka. Skor kurang dari 16 dari asset alam perlu mendapat perhatian khusus karena berhubungan dengan daya dukung dan nilai manfaat bagi penghidupan masyarakat. Indikasi kerusakan aset alam ditunjukkan dengan : (1) perubahan ekosistem pesisir secara alami maupun akibat aktivitas manusia. Responden menyatakan sebesar 86.47% berhubungan dengan sumberdaya alam di Gugus Pulau Batudaka (mangrove, lamun, terumbu karang, pantai sungai, laut maupun pulau-pulau kecil/PPK) dan kondisi sumberdaya tersebut sebesar 16.26% mengalami perubahan akibat aktivitas manusia. Perubahan sumberdaya Gugus Pulau Batudaka dalam waktu 10 tahun terakhir sebesar 11.7% (Gambar 51) dengan perubahan tersebut terutama terjadi pada terumbu karang.
192
40 30 20 10 0
G Gambar 51 Perubahan sumberdaya s Gugus Pulauu Batudaka dalam 10 tahhun terakhir Aktivitas yang y merusak terumbu karang teruutama disebbabkan penggambilan hasil laut l dengan menggunaka m an bom dan bius. Untukk daerah di sebelah utarra Gugus Pulau Batudaka aktivitas a tersebut dalam m 5 tahun teerakhir telahh berkurangg namun untuk daerah sebelah barat Pulau P Batuddaka pada Bulan B Marett-April 20100 terjadi pembooman di pesisir Desa Bambu. B Ekkosistem maangrove, lam mun, sungaii, secara umum m masih baik k, namun kebbutuhan akann pemukimaan dan prasarrananya sepeerti jalan mendoorong pembu ukaan lahan mangrove untuk u tambakk di Luangonn Desa Bambbu. 5.4.2.22 Aset Man nusia Aset manu usia berupa kemampuann, keteramppilan dan kaapasitas sum mberdaya manussia (Dharmaawan 2006).
Sumberddaya manusiia adalah koomponen teerpenting
dalam m penghidup pan, pengetaahuan dan kemampuan k n yang dim milikinya diipperlukan untuk mengolah empat asset penghiddupan lainnnya. Manusia juga memiliki m mpuan untuk k mengembaangkan strategi pemanfaaatan tiap-tiaap jenis sum mberdaya kemam secaraa optimal, sekaligus s peerilaku mannusia sangat mempenggaruhi keberrlanjutan sumbeerdaya lainn nya. Faktor penting p yangg menentukan kondisi aset a manusia adalah pendiddikan dan keesehatan (Tabbel 60). Indikator sumberdayaa manusia di d Gugus Puulau Batudaaka
melipuuti aspek
pendiddikan (fisik dan sosial seperti keteerampilan, pengetahuan, p , kemampuaan untuk berusaaha) dan keesehatan yaang memunngkinkan seseorang meelaksanakan strategi penghidupan sertaa mencapai tujuan pennghidupan mereka. m
Inndikator fisik relatif
kurangg, hal ini terrcermin darii ketersediaaan sarana daan prasaranaa untuk tingkkat SMP
193
terdapat di Desa Wakai dan Bambu, untuk SMA hanya ada di Desa Wakai. Hal ini mempengaruhi secara langsung terhadap pendidikan masyarakat. Indikator sosial untuk pendidikan menunjukkan cenderung lemah terlihat dari kesadaran dan partisipasi yang kurang dalam pendidikan.
Hasil analisis terhadap 94 responden
diperoleh struktur umur adalah >30 sebesar 20%, 30-40 tahun sebesar 33%, 41-50 tahun sebesar 24% dan >50 tahun sebesar 22% dengan rataan tingkat pendidikan yang diperoleh adalah 7.22 tahun setara dengan kelas 1 SMP atau lulus SD. Hal ini berarti bahwa responden memiliki produktivitas masih tinggi karena berada dalam struktur usia produktif dengan taraf pendidikan yang rendah yaitu lulusan SD. Tabel 60 Pendidikan dan kesehatan sebagai indikator aset manusia di Gugus Pulau Batudaka No.
1 a a1 a2 b b1 b2 b3 b4 2 a b c d e
Skor
Aset manusia
Pendidikan Fisik Sarana Prasarana Biaya Sekolah Sosial Kesadaran Partisipasi Pendidian masyarakat Ketrampilan berusaha Kesehatan Sarana Prasarana Tenaga Ahli Pelayanan Kesadaran masyarakat Partisipasi masyarakat Jumlah
Kisaran Skor
Wakai
Bambu
Bomba
Kulingkinari
Malino
Siatu
2 2
2 2
1 2
1 2
1 2
1 2
0-3 0-3
2 1 1 2
1 1 1 2
2 1 1 2
1 1 1 1
1 2 1 1
1 1 1 1
0-3 0-3 0-3 0-3
2 2 2 1 2 19
2 1 2 2 2 18
2 2 2 1 2 18
2 1 1 1 2 14
1 0 1 2 2 14
1 0 1 1 2 12
0-3 0-3 0-3 0-3 0-3 0-33
Keterangan : 0 = tidak ada, 1 = buruk, 2 = sedang, 3 = baik; Analisis Data (2010)
Dalam hal ketrampilan berusaha, menunjukkan kemampuan yang cukup baik untuk Desa Wakai, Bambu dan Bomba. Hal ini dilihat dari industri yang berkembang di wilayah ini yakni industri kecil dan kerajinan rumah tangga (Gambar 52) berupa usaha pengawetan ikan (penggaraman dan pengeringan), pengrajin perahu, pembuatan atap rumah, gula merah dan makanan.
194
60 50 40 30
Industri kecil
20
Kerajinan RT
10 0 Wakai
Bambu
Bomba
Kulingkinari
Malino
Siatu
Gambar 52 Banyaknya usaha industri di Kecamatan Una-Una (BPS 2009) Aset manusia dari aspek kesehatan yang teridentifikasi meliputi : (1) Sarana dan prasarana, (2) Tenaga ahli, (3) Pelayanan, (4) Kesadaran masyarakat, (5) Partisipasi masyarakat. Pada tahun 2008 terdapat 1 unit puskesmas di Desa Wakai, 1 unit puskesmas pembantu (Pustu) di Desa Kulingkinari dan Bomba dan unit pos KB telah ada di semua desa. Tenaga dokter (1 orang) hanya terdapat di Desa Wakai, mantri/bidan ada di Desa Bambu, Bomba dan Kulingkinari serta dukun bayi telah ada di semua desa. Terkait dengan sarana dan prasarana serta tenaga ahli di bidang kesehatan dapat menggambarkan kualitas pelayanan kesehatan sangat kurang terutama di Desa Kulingkinari, Malino dan Siatu. Potensi manusia baik yang diperoleh sebagai hasil pengembangan diri, melalui pendidikan maupun potensi yang terkait dengan kualitas kesehatan, daya tahan, kecerdasan dan faktor-faktor genetis lainnya merupakan bagian dari sumberdaya yang tak ternilai. Di tingkat rumah tangga, ukuran sumberdaya manusia meliputi jumlah dan mutu tenaga kerja yang ada. Tingkat sumberdaya manusia di tiap keluarga bervariasi sesuai tingkat keterampilan, pendidikan, kepemimpinan dan kondisi kesehatan. Dalam hal partisipasi masyarakat terhadap kesehatan di semua desa temasuk dalam kategori sedang/cukup sedangkan kesadaran masyarakat terhadap kesehatan masih buruk/kurang.
Hal ini ditunjukkan dengan kesadaran
masyarakat menangani sampah domestik dengan kebiasaan membuang sampah ke laut, tingginya kasus meninggal akibat diare Selain itu, juga kegiatan penangkapan ikan dengan menyelam pada kedalamam 20-30 m tanpa peralatan yang memadai
195
menyebabkan pemuda ataupu kepala keluarga yang merupakan tulang punggung rumah tangga tersebut mengalami kelumpuhan. 5.4.2.3 Aset Sosial Aset sosial yang dimaksudkan dalam pendekatan CLSA adalah sumberdaya sosial yang bermanfaat dan digunakan masyarakat untuk mencapai tujuan penghidupan mereka, yang umumnya bersifat intangible tidak mudah untuk diukur karena berkaitan dengan perubahan struktur dan proses, namun memiliki nilai manfaat bagi masyarakat. Kondisi aset sosial terebut tertera pada Tabel 61. Tabel 61 Kondisi aset sosial di Gugus Pulau Batudaka No
1 2 3 4 5
Skor
Aset Sosial
Sistem pengelolaan SDP Lembaga Sosial Jaringan Sosial Adat budaya Tingkat Konflik
Wakai
Bambu
Bomba
Kulingkinari
Malino
Siatu
1 2 2 2 2 9
2 2 2 2 2 10
2 2 2 2 2 10
2 2 2 2 2 10
2 2 2 2 2 10
1 2 2 2 2 9
Kisaran Skor
0-3 0-3 0-3 0-3 0-3 0-15
Keterangan : 0 = tidak ada, 1 = buruk, 2 = sedang, 3 = baik Sumber : Analisis Data (2011)
Aset sosial yang teridentifikasi, meliputi (1) sistem pengelolaan sumberdaya pesisir, (2) lembaga sosial, (3) jaringan sosial, (4) adat dan budaya dan (5) tingkat konflik. Secara keseluruhan aset sosial di Gugus Pulau Batudaka hampir sama. Di antara aset-aset kapital, aset sosial merupakan aset yang paling berkaitan dengan perubahan struktur dan proses. Aset sosial memiliki nilai manfaat bagi penghidupan masyarakat, namun perlu juga diwaspadai kemungkinan negatif yang dapat berkembang, atau dampak yang mungkin dirasakan oleh sekelompok orang. Ikatan dan relasi sosial yang ada mungkin didasarkan pada hubungan hirarkis yang sangat ketat, dan mungkin pula membatasi atau menghalangi seseorang untuk berupaya keluar dari kemiskinan. Aset sosial dapat terganggu oleh intervensi dari luar, yang memaksakan kepentingan tertentu tanpa mempertimbangkan relasi dan ikatan sosial
196
yang telah terbina sebelumnya dalam masyarakat. Intervensi dari luar dapat berupa tekanan kekuatan atau kekuasaan untuk memaksakan kepentingan, atau motif ekonomi tertentu yang mengakibatkan konflik dalam masyarakat dani bentuk-bentuk kekerasan terjadi dalam situasi semacam itu.
Pemanfaatan ruang perairan bagi
masyarakat Bomba, Siatu, Tumbulawa dengan adanya usaha budidaya mutiara yang menutup akses terhadap areal pemancingan tradisional, maka konflik yang terjadi memaksa perusahaan tersebut memindahkan lokasi usahanya ke daerah lain. Masyarakat memiliki kemampuan untuk menumbuhkan atau memperbaiki asset sosial. Hubungan yang baik di antara masyarakat dapat memperkuatnya, sebaliknya sumberdaya sosial dapat menurun apabila anggota masyarakat mulai mengabaikan peran dan fungsinya atau tidak mentaati aturan. Aset sosial membutuhkan hubungan timbal balik terus menerus dan pengembangan aset sosial dapat
dilakukan
melalui
penguatan
lembaga-lembaga
lokal,
baik
melalui
pengembangan kapasitas maupun mendorong perubahan lingkungan yang kondusif. Selain mempunyai nilai-niai tersendiri, aset sosial sangat diperlukan oleh masyarakat miskin pada situasi dan kondisi tertentu, misal: membantu menopang penghidupan mereka pada saat salah satu tulang punggung keluarga meninggal, memberikan perlindungan pada saat situasi tidak aman atau tidak stabil, atau dapat pula menggantikan atau menutupi kekurangan sumberdaya yang dimiliki keluarga miskin. Gotong royong membangun rumah misalnya, dapat menutupi kekurangan tenaga atau keahlian tertentu yang tidak dimiliki keluarga miskin. 5.4.2.4 Aset Keuangan Aset keuangan/finansial berhubungan dengan sumber-sumber keuangan yang dapat digunakan dan dimanfaatkan masyarakat dalam mencapai tujuan penghidupan masyarakat Gugus Pulau Batudaka, meliputi (1) Lembaga keuangan informal. (2) Lembaga keuangan formal, (3) pendapatan, (4) tabungan, dan (5) proyek bantuan. Kondisi asset keuangan di Gugus Pulau Batudaka tertera pada tabel berikut.
197
Tabel 62 Kondisi aset keuangan di Gugus Pulau Batudaka No.
Skor
Aset Keuangan
Kisaran Skor
Wakai
Bambu
Bomba
Kulingkinari
Malino
Siatu
2
1
2
2
1
1
0-3
1 2 1 2 8
0 2 1 2 6
0 2 1 2 7
0 2 1 2 7
0 2 1 2 6
0 2 1 2 6
0-3 0-3 0-3 0-3 0-15
1 Lembaga Keuangan Informal 2 Lembaga Keuangan Formal 3 Pendapatan 4 Tabungan 5 Proyek Bantuan
Keterangan : 0 = tidak ada, 1 = buruk, 2 = sedang, 3 = baik Sumber : Analisis Data (2011)
Lembaga keuangan formal bank tidak ada di daerah ini dan terdapat 1 unit koperasi di Desa Wakai.
Lembaga keuangan non formalnya, umumnya dapat
ditemukan di tiap desa, yakni masyarakat perorangan yang memiliki kemampuan modal lebih, sehingga masyarakat lain yang memerlukan modal untuk melaut dapat meminjam dan memberikan hasil tangkapannya sebagai pengembalian hutangnya. Penghasilan rata-rata responden sebesar Rp. 1 945 745/bulan, dengan penghasilan <1 juta sebesar 4%, 1-2 juta sebesar 73%, dan >3 juta sebesar 3%.
Hal ini
menggambarkan penghidupan masyarakat di Gugus Pulau Batudaka cukup baik, ditunjang dari sumberdaya alamnya baik dari hasil laut maupun hasil perkebunan (kelapa). Aset keuangan merupakan sumberdaya yang paling fleksibel, dapat ditukar dengan berbagai kemudahan sesuai sistem yang berlaku, juga dapat digunakan secara langsung untuk memenuhi kebutuhan penghidupan. Aset keuangan dapat berupa (1) cadangan atau persediaan; meliputi sumber keuangan berupa tabungan, deposito, atau barang bergerak yang mudah diuangkan, yang bersumber dari milik pribadi, juga termasuk sumber keuangan yang disediakan oleh bank atau lembaga perkreditan. (2) Aliran dana teratur; sumberdana ini meliputi uang pensiun, gaji, bantuan dari negara, kiriman dari kerabat yang merantau. Aset keuangan bersifat serbaguna, namun tidak dapat memecahkan persoalan kemiskinan secara otomatis. Ada kemungkinan
198
masyarakat tidak dapat memanfaatkannya karena beberapa hal; masyarakat yang tidak memiliki cukup pengetahuan dan keahlian, sementara untuk meningkatkan keterampilan dan keahlian mereka juga dibutuhkan uang yang tidak sedikit, atau mungkin masyarakat terhambat oleh struktur dan kebijakan yang kurang menguntungkan, pasar tidak berkembang, sehingga usaha kecil mati atau merugi. Hal semacam itu perlu menjadi pertimbangan dalam merencanakan bentuk dukungan keuangan bagi masyarakat. Pilihan bentuk tabungan juga perlu dipertimbangkan, mungkin masyarakat kurang cocok dengan tabungan konvensional, atau mereka lebih cocok menabung dalam bentuk barang atau ternak misalnya. 5.4.2.5 Aset Buatan/fisik Aset buatan merupakan infrastruktur fisik penopang pembangunan berupa prasarana dasar dan fasilitas lain yang dibangun untuk mendukung proses penghidupan masyarakat. Prasarana yang dimaksud meliputi pengembangan lingkungan fisik yang membantu masyarakat dalam melaksanakan tugas kehidupan lebih produktif. Prasarana umumnya merupakan fasilitas umum yang digunakan tanpa dipungut biaya langsung, terkecuali prasarana tertentu seperti listrik. Kekurangan prasarana tertentu dapat dijadikan salah satu ukuran kemiskinan. Kelangkaan akses terhadap fasilitas air bersih dan energi sangat merugikan kesehatan manusia. Selain itu, masyarakat akan disibukan dengan kegiatan yang tidak produktif seperti mencari kayu bakar atau sumber air bersih, yang dapat menghalangi masyarakat untuk memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan serta kesempatan untuk meningkatkan penghasilan. Kondisi asset buatan di Gugus Pulau Batudaka tertera pada Tabel 63. Ketersediaan dermaga dan pasar di Gugus Pulau Batudaka termasuk kategori sedang/cukup, namun untuk jalan dan jembatan masih kurang. Kebutuhan air bersih masih kurang, khususnya Desa Kulingkinari kebutuhan air bersih diperoleh dari desa tetangganya (Bomba, Malino). Jaringan listrik (PLN dan Non PLN) yang menyala mulai jam 6 sore sampai jam 12 malam, dengan jaringan telepon tersedia di Desa Wakai yang dapat menjangkau beberapa desa di sekitarnya.
Tempat beribadah
199
seperti masjid, gereja telah tersedia di desa-desa yang ada pemeluk agama tersebut, juga rumah permanen. Analisis terhadap responden adalah
22% memiliki kondisi
rumah baik, sedang 63%, dan kurang baik 14% dengan kriteria semi permanen dan tidak memiliki MCK. Hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan sumberdaya di Gugus Pulau Batudaka cukup memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Tabel 63 Kondisi aset buatan di Gugus Pulau Batudaka No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Aset Buatan Dermaga Jalan Air bersih MCK Pasar Jembatan PPI Jaringan Listrik Jaringan Telepon Rumah Permanen Tempat Ibadah
Skor Wakai
Bambu
Bomba
3 1 3 2 2 2 0
2 1 2 1 2 1 0
2 1 2 2 2 1 0
2 1 1 1 2 1 0
2 1 2 1 2 0 0
Kisaran Skor Siatu 2 0-3 1 0-3 2 0-3 1 0-3 1 0-3 1 0-3 0 0-3
2
1
2
2
1
1 0-3
3
0
0
0
0
0 0-3
2
2
2
1
2
1 0-3
2 22
2 14
2 16
2 13
2 13
2 0-3 12 0-33
Kulingkinari
Malino
Keterangan : 0 = tidak ada, 1 = buruk, 2 = sedang, 3 = baik Sumber : Analisis Data (2010)
Peningkatan kualitas penghidupan masyarakat memerlukan pendekatan penghidupan berkelanjutan, yakni menekankan pentingnya penyediaan dan akses terhadap sarana/prasarana sehingga masyarakat memanfaatkannya untuk mencapai tujuan penghidupan mereka. Penyediaan barang atau alat produksi secara langsung dapat menimbulkan masalah, antara lain disebabkan oleh beberapa alasan; menimbulkan ketergantungan dan menggangu mekanisme pasar, mengganggu perhatian terhadap pentingnya perubahan struktur dan proses, serta berpeluang terjadi salah sasaran atau hanya menguntungkan kelompok tertentu.
200
5.4.3
Identifikasi Kebutuhan Masyarakat Pesisir Gugus Pulau Batudaka Secara umum respon yang dilakukan oleh masyarakat pesisir Gugus Pulau
Batudaka terhadap kondisi sumberdaya pesisir dan dimana hampir seluruh masyarakat melakukan respon membuat kelompok nelayan, menangkap lebih jauh dari kondisi yang ada sebelumnya karena sumberdaya yang mulai menurun, kemudian keinginan melakukan perbaikan lingkungan, walaupun ini hanya merupakan harapan yang belum diikuti dengan berbagai tindakan nyata dari mereka sendiri, namun paling tidak harapan ini menjadi bahan arahan kebijakan bagi pemerintah daerahnya. Hampir seluruh responden menyatakan perlunya menjaga kelestarian lingkungan pesisir dan laut untuk kelanjutan pencaharian mereka. Masyarakat Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una sekitar 50% berprofesi sebagai nelayan sekaligus petani, 7%
PNS dan tenaga kerja di luar
pertanian, 2% usaha jasa dan pemenuhan kebutuhan rumah tangga nelayan, 23% siswa dan 18% sisanya kelompok usia dini dan lanjut usia (BPS Kecamatan UnaUna 2009).
Kondisi perairan yang fluktuatif, menyebabkan sebagian besar
masyarakat memiliki pekerjaan ganda, terutama memanfaatkan sumberdaya laut maupun daratan.
Kebutuhan masyarakat pesisir Gugus Pulau Batudaka adalah
bagaimana meningkatkan taraf hidup dari usaha yang dilakukan melalui tambahan pengetahuan dan keterampilan serta diversifikasi usaha sebagai alternatif mata pencaharian serta modal. Budidaya perikanan telah banyak disosialisasikan pemerintah, namun banyak kendala yang ditemui dalam pelaksanaannya sehingga beberapa anggota masyarakat yang telah membudidayakan komoditas tersebut tidak berlanjut. Budidaya teripang belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Pemeliharaan/pembesaran ikan dalam kolong rumah banyak diusahakan masyarakat sebelum dijual ke pedagang penggumpul. Pemeliharaan bandeng di danau asin (Pulau Taufan), maupun ikan air tawar (Patoyan) memberikan prospek yang baik dimasa mendatang. Demikian pula budidaya rumput laut, untuk Desa Siatu, Bomba, Wakai, belum memberikan hasil yang menggembirkan.
Namun, daerah lain seperti Tumbulawa, Kulingkinari,
201
Taningkola cukup berhasil usaha budidaya ini, dan mereka membutuhkan sentuhan teknologi dalam rangka meningkatkan nilai tambah rumput laut. Skor aset kapital secara umum adalah kurang optimal, hal ini terkait berbagai kondisi yang bersifat alami dan secara langsung mempengaruhi kinerja aktivitas masyarakat, yang tercermin pada kesempatan, kesulitan, penghargaan ekonomi dan sosial, serta dampak lingkungan dari seluruh aktivitas masyarakatnya (Tabel 64). Tabel 64 Kinerja aktivitas masyarakat Gugus Pulau Batudaka Aktivitas Rumah Tangga Ekonomi-Produktif Sosial-Politik Ibadah Rekreasi Konservasi
Kesempatan
Kesulitan
xxx x xx xxx xx xxx
xxx xxx xx
x x xxx
Penghargaan Ekonomi Sosial xx xx xx 0 xx x
xx xx xx xxx xx xxx
Dampak Lingkungan -0 xxx
Keterangan : -: sangat buruk, - : buruk, 0 : tidak ada, x : rendah, xx : sedang, xxx : tinggi, xxxx : sangat tinggi Sumber : Analisis Data (2010)
Kondisi aset penghidupan masyarakat Gugus Pulau Batudaka (aset kapital) secara keseluruhan tertera pada Gambar 53. Kekuatan aset kapital Desa Wakai paling besar, diikuti Desa Bomba, Bambu, Malino, Kulingkinari dan yang terendah Desa Siatu.
Penguasaan/pemilikan/akses terhadap asset kapital terbatas menyebabkan
masyarakat Desa Siatu harus mencari cara untuk memperoleh dan memaksimalkan penggabungan aset-aset yang benar-benar mereka miliki dengan cara yang inovatif guna mempertahankan hidup.karena kepemilikan sumber daya alam yang juga lebih sedikit, akses pada sumberdaya finansial dan infrastruktur yang kecil dan juga sosial kapital yang kecil.
202
Buatan
Wakai
Bambu
Alam 25 20 15 10 5 0
Alam 20 15 10 5 0
Keuangan
Manusia
Sosial
Buatan
Keuangan
Buatan
Keuangan
Manusia
Sosial
Buatan
Buatan
Keuangan
Alam 20 15 10 5 0
Keuangan
Malino Alam 20 15 10 5 0
Sosial
Kulingkinari
Bomba Alam 20 15 10 5 0
Manusia
Manusia
Sosial
Siatu Alam 15 10 Manusia
Buatan
5
Manusia
0
Sosial
Keuangan
Sosial
Gambar 53 Grafik hasil CLSA di Gugus Pulau Batudaka
203
Kesempatan yang paling luas adalah aktivitas rumah tangga, ibadah dan konservasi, namun memiliki tingkat kesulitan yang tinggi terkait faktor alam seperti (letak geografis yang jauh dari pusat fasilitas seperti pabrik es, PPI, pasar). Kesulitan yang tinggi juga terjadi pada aktivitas ekonomi produktif yakni pada pertanian, wisata, dan perikanan tangkap karena kelangkaan lapangan pekerjaan atau sedikitnya kesempatan kerja.
Kesadaran yang tinggi untuk aktivitas konservasi walaupun
memperoleh penghargaan ekonomi yang rendah, secara keseluruhan kondisi ini, masyarakat dapat memperoleh insentif sesuai konstelasi CLSA (Adrianto 2005). Dinamika aset alam sebagai Coastal Livelihood System dalam kurun waktu 20 tahun tertera pada Tabel 65. Tabel 65 Perubahan aset alam di Gugus Pulau Batudaka No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Faktor kunci Hutan bakau Hutan Alam Jumlah rumah Air Bersih Areal Pertanian Tangkapan Ikan laut Abrasi Hasil Pertanian Tambak Kelapa
1995 xxx xxx x xx x xxx x xx 0 xxx
2000 xxx xx xx xx xx xxx x xx x xxx
Tahun 2005 xx xx xx xx xx xxx x xxx x xxx
2010 xx xx xx xx xxx xxx xx xx x xx
Keterangan : 0 = tidak ada/habis, x = sedikit, xx = sedang, xxx = banyak Sumber : Analisis Data (2010)
Proses interaksi sistem alam dan sosial terakumulasi pada dinamika perubahan aset alam.
Sistem alam pesisir Gugus Pulau Batudaka menyediakan
berbagai barang dan jasa, yang mendukung perkembangan sistem sosial, juga membatasi ataupun menghancurkan perkembangan sistem sosial ekologi dalam bentuk berbagai tekanan (Tabel 66) . Tekanan alam yang teridentifikasi di Gugus Pulau Batudaka adalah (1) abrasi, (2) sedimentasi, (3) musim, dan (4) Badai.
Tekanan tersebut mempengaruhi
204
penghidupan masyarakat yang menimbulkan dampak/resiko berupa kehilangan asset, pekerjaan,
pendapatan,
meningkatkan
ketidakpastian berusaha.
biaya
operasional
penangkapan
dan
Kerentanan dalam masyarakat merupakan hal yang
dianggap mengganggu atau dapat merugikan penghidupan mereka, berkaitan dengan “sense of problem” yang penting untuk diketahui, khususnya pada konteks masyarakat yang telah memiliki kesadaran tinggi untuk mengantisipasi perubahan, atau pada konteks masyarakat sangat rentan dan membutuhkan dukungan. Pengetahuan masyarakat tentang konteks kerentanan membantu memahami prioritas dan upaya dalam mensikapi setiap perubahan, dan pada konteks dukungan yang lebih tepat diberikan. Pemahaman ini penting untuk mengetahui potensi dan pengalaman masyarakat dalam mengantisipasi dan mengelola perubahan, atau bahkan mungkin terdapat mekanisme yang telah dibangun oleh masyarakat untuk melindungi penghidupan masyarakat. Tabel 66 Tekanan alam pesisir dan laut pada masyarakat Gugus Pulau Batudaka No Tekanan Alam 1 Abrasi
Kelompok Rentan Pemilik pinggir pantai Petambak Nelayan Petani
Dampak/Resiko Kehilangan asset secara permanen Kehilangan pekerjaan Kehilangan pendapatan
2
Nelayan
Kehilangan pendapatan
Nelayan
Meningkatkan ketidakpastian Meningkatkan resiko penangkapan Meningkatkan biaya operasional Kehilangan pendapatan
Semua
Meningkatkan ketidakpastian Meningkatkan biaya operasional Kehilangan pendapatan Kehilangan asset hingga nyawa
3
4
Sedimentasi
Musim
Badai
Sumber : Analisis Data (2010)
Pada situasi-situasi tertentu mungkin masyarakat sangat bergantung pada dukungan dari pemerintah. Pemahaman ambang batas kemampuan masyarakat
205
menghadapi perubahan sangat diperlukan, terutama bagi pihak-pihak terkait untuk meningkatkan sensitifitas mereka terhadap ancaman atau gangguan yang dialami masyarakat, yaitu kapan dukungan atau bantuan langsung perlu diberikan sehingga pemilihan insentif menjadi tepat guna. 5.4.4 Pemilihan insentif Pilihan insentif bagi masyarakat Gugus Pulau Batudaka hampir seluruhnya mengharapkan dari pemerintah, sehingga pengembangan mata pencaharian alternatif ini diarahkan untuk mengalihkan profesi nelayan atau sebagai tambahan pendapatan. Berbagai program, proyek dan kegiatan pemerintah telah dilakukan untuk mengentaskan kemiskinan. Motorisasi armada nelayan skala kecil adalah program yang dikembangkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk meningkatkan produktivitas dan daerah ini juga memperolehnya. Pada tahun 2009, Kecamatan Una-Una memperoleh 25 unit motor tempel 5.5 PK yang didistribusikan pada 5 desa. Program motorisasi ini membawa dampak positif, dilihat dari bertambahnya jumlah perahu bermotor di Gugus Pulau Batudaka. Saat ini bila ada program pemerintah untuk mengadakan armada kapal/perahu nelayan, atau bila ada rencana investasi oleh nelayan, selalu pengadaan motor penggerak perahu menjadi permintaan nelayan. Demikian pula di bidang pariwisata, melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi telah melakukan berbagai program terkait dalam pengembangan pariwisata di kawasan Kepulauan Togean. Mulai tahun 2006, Pemerintah meresmikan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri dengan tujuan meningkatkan keberdayaan dan kemandirian
masyarakat
dalam
menanggulangi
kemiskinan
dan
perluasan
kesempatan kerja. PNPM bukan program yang baru, namun merupakan wadah bagi terintegrasinya
program-program
penanggulangan
kemiskinan
yang
berbasis
pemberdayaan masyarakat dan diperluas secara nasional. Untuk tahun 2007, dua program diintegrasikan, yaitu Program Pengembangan Kecamatan dan PNPM Mandiri merupakan instrumen program untuk pencapaian Millenium Development Goals (MDGs). Program Pengembangan Kecamatan merupakan salah satu upaya
206
Pemerintah Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan, memperkuat institusi lokal, dan meningkatkan kinerja pemerintah daerah. Program diimplementasikan melalui pengelolaan di tingkat kecamatan dalam bentuk pemberian dana bergulir untuk usaha ekonomi produktif dan penyediaan prasarana dan sarana yang menunjang kegiatan ekonomi, yang kesemuanya itu diarahkan sebagai upaya peningkatan kemampuan masyarakat (capacity building investment). Program pemberdayaan masyarakat ini berada di bawah binaan Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Departemen Dalam Negeri (Depdagri) (Hadi 2009). Kecamatan Una-una tahun 2010 memperoleh Rp 3 milyar dengan pembiayaan program berasal dari Pemerintah Pusat (APBN), Pemerintah Daerah (APBD), dan swadaya masyarakat. Hall (2001) menyatakan bahwa salah satu strategi pengelolaan wisata pesisir berkelanjutan yakni dengan pemberlakuan insentif keuangan (financial incentives) seperti pajak, harga, subsidi, dan bantuan yang diperuntukkan bagi pembangunan infrastruktur wisata dan pemberdayaan masyarakat lokal. 5.4.5 Menyusun Strategi Pilihan Mata Pencaharian. Strategi pilihan mata pencaharian dapat dilakukan melalui : (1) Penciptaan lapangan kerja alternatif sebagai sumber pendapatan lain bagi keluarga melalui diversifikasi pendapatan nelayan untuk dikembangkan, yang diarahkan bukan saja untuk nelayan tetapi juga untuk anggota keluarganya, khususnya istri atau perempuan nelayan yang memang besar potensinya. Pengembangan mata pencaharian alternatif bukan saja dalam bidang perikanan, seperti pengolahan, pemasaran, atau budidaya ikan, juga diarahkan ke kegiatan non-perikanan; (2) mendekatkan masyarakat dengan sumber modal dengan penekanan pada penciptaan mekanisme mendanai diri sendiri (self financing mechanism). Masyarakat pesisir, khususnya nelayan dan pembudidaya ikan sangat sulit untuk memperoleh modal. Sifat bisnis perikanan yang musiman, ketidakpastian serta resiko tinggi sering menjadi alasan keengganan bank menyediakan modal bagi bisnis ini. Sifat bisnis perikanan seperti ini yang disertai dengan status nelayan yang umumnya rendah dan tidak mampu secara ekonomi membuat mereka sulit
207
untuk memenuhi syarat-syarat perbankan yang selayaknya diberlakukan seperti perlu adanya collateral, insurance dan equity; (3) mendekatkan masyarakat dengan sumber teknologi baru yang lebih berhasil dan berdaya guna. Teknologi yang digunakan masyarakat pesisir, khususnya nelayan, pada umumnya masih bersifat tradisional, maka produktivitas rendah. Upaya meningkatkan pendapatan dilakukan melalui perbaikan teknologi, mulai dari teknologi
produksi
hingga
pasca
produksi
dan
pemasaran.
Dengan
mempertimbangkan sifat dan karakteristik masyarakat; (4) mendekatkan masyarakat dengan pasar, Pasar adalah faktor penarik dan bisa menjadi salah kendala utama bila pasar tidak berkembang, maka membuka akses pasar adalah cara untuk mengembangkan usaha karena bila tidak ada pasar maka usaha sangat terhambat perkembangannya. Pengembangan pasar bagi produkproduk yang dihasilkan masyarakat pesisir maka upaya yang dilakukan adalah mendekatkan masyarakat dengan perusahaan-perusahaan besar khususnya eksportir komoditas perikanan, untuk mendapatkan jaminan pasar dan harga, pembinaan terhadap masyarakat terutama dalam hal kualitas barang bisa dilaksanakan, serta bantuan modal bagi pengembangan usaha.
Meskipun
hubungan seperti ini sudah ada, secara umum boleh dikatakan bahwa masyarakat masih menghadapi pasar yang tidak sempurna strukturnya, monopoli ketika masyarakat membeli faktor produksi serta monopsoni ketika masyarakat menjual produk yang dihasilkan. Struktur pasar yang tidak menguntungkan masyarakat ini disebabkan karena informasi yang kurang mengenai harga, komoditas, kualitas, kuantitas serta kontinyutas produk. Kelangkaan informasi ini begitu rupa sehingga umumnya masyarakat hanya menghasilkan produk-produk yang serupa sehingga akhirnya membuat kelebihan pemasokan dan kejatuhan harga; (5) membangun solidaritas serta aksi kolektif di tengah masyarakat. Kelima pendekatan ini dilaksanakan dengan memperhatikan aspirasi, keinginan, kebutuhan, pendapatan, dan potensi sumberdaya yang dimiliki masyarakat (Nikijuluw 2001).
208
Strategi lain, pembelajaran dari keberhasilan alternatif mata pencaharian di Aceh, yaitu 1) diperlukan fasilitator/petugas penyuluh lapang (dengan pengetahuan teknis yang memadai) yang tinggal bersama masyarakat binaannya sehingga permasalahan
teknis
dalam
pengusahaan
alternatif
mata
pencaharian;
2)
penggabungan pemberian modal usaha (misal untuk budidaya perikanan) yang dikaitkan dengan kegiatan rehabilitasi (penanaman mangrove) dipandang sangat mendidik sehinga masyarakat merasa ikut memiliki/bertanggung jawab akan hasil rehabilitasinya; 3) pemberian berbagai pelatihan untuk meningkatkan keterampilan tentang teknik rehabilitasi, budidaya perikanan maupun alternatif usaha lainnya; 4) kegiatan rehabilitasi (melalui pemulihan ekosistem mangrove) akan dapat melindungi pemukiman dari bencana badai maupun air pasang dan memulihkan sumber mata pencaharian masyarakat pesisir (Wetland 2009). Budidaya rumput laut merupakan mata pencaharian alternatif yang berkembang di masyarakat Gugus Pulau Batudaka dan untuk daerah Lindo Desa Tumbulawa, kegiatan ini telah menjadi mata pencaharian utama, karena telah merasakan hasil yang lebih baik dibandingkan usaha penangkapan ikan dan secara langsung dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat. 5.5 Valuasi Ekonomi Pemanfaatan Gugus Pulau Analisis supply dapat digunakan untuk valuasi nilai ekonomi sumberdaya pesisir pulau-pulau kecil (PPK) melalui identifikasi potensi dan kondisi sumberdaya yaitu tipologi PPK meliputi tipe ekosistem, tipe spesies dan komunitas yang ada di dalamnya berbasis pada teknik valuasi sesuai tipe-tipe tersebut. 5.5.1 Wisata 5.5.1.1 Analisis Penawaran Wisata Suatu penawaran akan melukiskan jumlah maksimum yang siap disediakan pada setiap kemungkinan harga dalam jangka waktu tertentu. Laju pertumbuhan penawaran produk wisata akan tergantung dari biaya dan jumlah produk yang ditawarkan, sehingga untuk menduga laju penawaran wisata atau mengestimasi kurva penawaran wisata bahari diturunkan dari fungsi biaya (khususnya biaya jangka pendek).
Fungsi penawaran produk wisata yang diperoleh dengan meregresikan
209
peubah terikat biaya operasional pengusaha wisata (TC/total cost) terhadap peubah bebas biaya konsumsi dan akomodasi (V1), serta biaya pemeliharaan (V2). (Tabel 68). Tabel 68 Biaya operasional pengusaha wisata di Gugus Pulau Batudaka Nama Usaha Wakai Cottoge Poya Cottage Island Retreat Penginapan Surya Uraian
Q (orang) 420 704 428 290
Konsumsi/V1 (US$) 103700 76000 78000 58750 157000 117500
TC (US)
58625
R dan R2 F-hit dan significance F Konstanta Nilai variabel biaya konsumsi dan akomodasi Nilai variabel biaya pemeliharan Jumlah sampel (n)
Pemeliharaan/V2 (US$) 26700 19250 38500
41125
17500 Keterangan 0.9998 dan 0.9996 13896 dan 0.0006 0.4870 0.7233 0.2874 4
Sumber : Analisis Data (2011)
Model penawaran wisata tersebut diperoleh dengan menggunakan pendekatan logaritma natural sebagai berikut: Ln TC = 0.4870 + 0.7233 LnV1 + 0.2874 LnV2 Model regresi di atas diuji dengan menggunakan uji F untuk mengetahui sejauh mana ketepatan model yang menjelaskan hubungan nyata antara biaya operasional usaha wisata dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Hasil uji F menunjukkan F hitung 13 896 > F tabel 9.55 pada selang kepercayaan 95%. Nilai F hitung yang lebih besar daripada F tabel berarti menolak H0 (H0 : β1 = β2 = βi = 0), yang berarti menerima H1 (H1 : minimal ada satu βi ≠ 0), yaitu setidaknya ada satu peubah bebas dalam fungsi penawaran tersebut yang berpengaruh nyata terhadap biaya operasional usaha wisata. Selain itu, nilai koefisien determinasi (R2) juga menunjukkan nilai sebesar 0,9996, berarti peubah bebas yang digunakan dalam model (biaya konsumsi dan akomodasi, pemeliharaan) mampu menjelaskan keragaman peubah tak bebas, yaitu total biaya operasional pengusaha wisata sebesar 99.96%. Hasil regresi yang didapatkan dapat
210
digunaakan untuk membangunn kurva pennawaran daari kegiatan wisata di kawasan Guguss Pulau Battudaka.
Kuurva penawaaran produkk wisata kaw wasan Guguus Pulau
Batudaaka tertera pada p Gambarr 54 berikut ini.
P Total Biaya B (TC C)
(Biaya Operasionall) Gambar 54 ` Kurva pennawaran wisaata di kawasan Gugus Puulau Batudakka a membeerikan penjelasan tentanng biaya opeerasional peengusaha Kurva di atas d P wisataa dengan Q pada sumbuu X dengan tingkatan haarga yang diinotasikan dengan pada sumbu Y pada waktuu tertentu, artinya setiiap besarann biaya opeerasional penguusaha akan dipresentasik d kan oleh tinngkatan hargga tertentu dari d biaya konsumsi k dan akkomodasi seerta pemelihharaan fasiliitas wisata. Semakin tiinggi harga P maka biaya operasionall yang dikeeluarkan peengusaha juuga meningkkat. Kurva tersebut mengggambarkan biaya operrasional pengusaha denggan besarann nilai tertenntu pada sumbuu X akan meempengaruhii nilai dari harga h P yangg berada padda sumbu Y. Nilai P pada kurva k di atas tergambaar terus meningkat seirring dengann peningkataan biaya operassional pengu usaha wisataa sampai koondisi tertenntu, sehinggaa untuk menngetahui
211
posisi dimana harga diinginkan oleh pasar atau kecocokan harga yang ditawarkan pihak pengelola wisata maka harus diketahui tingkatan permintaan dari wisatawan agar terjadi harga keseimbangan pasar (price equilibrium). 5.5.1.2 Analisis Permintaan Wisata Metode yang digunakan untuk menghitung biaya perjalanan adalah melalui individual travel cost method/TCM. Hasil analisis permintaan wisata di kawasan Gugus Pulau Batudaka Kepulauan Togean melalui metode TCM dengan menghitung biaya perjalanan yang dikeluarkan individu untuk melakukan kegiatan wisata di kawasan ini. Fungsi permintaan wisata yang diperoleh dengan meregresikan peubah terikat biaya perjalanan (TC), pendapatan (Y) dan jarak ke lokasi wisata (D) dengan jumlah kunjungan (V) (Tabel 66), kemudian digunakan untuk membangun kurva permintaan dan surplus konsumen kegiatan wisata yang kemudian menjadi nilai manfaat wisata kawasan ini. Tabel 66 Biaya perjalanan wisatawan, pendapatan dan jarak ke kawasan Gugus Pulau Batudaka Negara
Jumlah Kunjungan 77 80 61 23 34 17 18 17 15 458
Italia Prancis Belanda Spanyol Jerman Swiss Inggris Belgia USA Lokal Uraian R dan R2 F-hit dan significance F Konstanta Nilai variabel biaya perjalanan Nilai variabel pendapatan Nilai variabel jarak Jumlah sampel (n) Sumber : Analisis Data (2011)
Biaya Perjalanan (US$) 1049 1041 942 986 972 1036 1116 959 1056 267
Pendapatan (US$) 30400 33200 38500 30100 34200 41100 35100 35300 45800 3700 Keterangan 0.8639 dan 0.7464 5.8861 dan 0.0321 26.2728 -3.4082 -1.0981 1.2707 10
Jarak (km) 12554 13480 13264 12491 12890 13113 13644 13296 17304 515
212
Berdasarkaan hasil yang diperoleh,, terlihat bahhwa jumlah wisatawan, tertinggi berasaal dan Peran ncis sebesar 80 jiwa denngan rata-ratta biaya perjjalanan sebeesar US$ 1 041 per orang, sedangkan s juumlah wisattawan terenddah berasal dari d USA sebesar 15 d biayaa perjalanan rata-rata sebbesar US$ 1 056 per oraang. Tingginnya biaya jiwa dengan perjalaanan wisataw wan suatu negara, n sebennarnya bukaan merupakaan penghalanng orang untuk berwisata. Hal H ini dapatt dilihat dari data wisataawan asal Perancis, yaknni jumlah wasan Guguus Pulau kedataangan wisataawan yang berasal darii negara terssebut ke kaw Batudaaka ketiga paling p banyaak, padahal biaya perjalanan indiviidunya palinng tinggi dibanddingkan den ngan wisataw wan dari neggara lain. Arrtinya ada faktor f lain yang y ikut memppengaruhi oraang dalam berwisata, b saalah satunyaa adalah mottivasi. Menuurut hasil survei, motivasi kunjungan k w wisatawan unntuk berwisaata ke kawassan ini bukann karena biaya perjalanan yang y murah, namun keunnikan alam yang y ditawaarkan mempeengaruhi minat wisatawan untuk u berkuunjung. Kurvva permintaaan wisata kaawasan Guguus Pulau Batudaaka tertera pada p Gambarr 55.
P (hargga)
(jumlah wisatawan) w Gambar 55 Kurv va permintaan wisata di kawasan k Guggus Pulau Batudaka Tingkat ku unjungan wiisatawan ke kawasan Gugus G Pulau Batudaka berkaitan b s seoranng wisatawann berkunjung ke lokasi tersebut. t Hall ini juga dengann seberapa sering menceerminkan tin ngkat kepuaasan dan tinngkat kesukkaan wisataw wan terhadaap lokasi tersebuut. Fungsi permintaan p w wisatawan kee kawasan Gugus G Pulauu Batudaka diperoleh d
213
dengan meregresikan peubah terikat jumlah kunjungan (Q) terhadap peubah bebas biaya perjalanan (TC), pendapatan invidividu (I) dan jarak (D) dengan menggunakan pendekatan logaritma natural, maka diperoleh model permintaan sebagai berikut: LnQ = 26.2728 – 3.4082 LnTC – 1.0981 LnY + 1.2707D Model regresi di atas diuji dengan menggunakan uji F untuk mengetahui sejauh mana ketepatan model yang menjelaskan hubungan nyata antara tingkat kunjungan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Hasil uji F menunjukkan F hitung 5.88 > F tabel 4.76 pada selang kepercayaan 95%. Nilai F hitung yang lebih besar daripada F tabel berarti menolak H0 (H0 : β1 = β2 = βi = 0), yang berarti menerima H1 (H1 : minimal ada satu βi ≠ 0), yaitu setidaknya ada satu peubah bebas dalam fungsi permintaan tersebut yang berpengaruh nyata terhadap jumlah kunjungan. Selain itu, nilai koefisien determinasi (R2) juga menunjukkan nilai sebesar 0.7464, berarti peubah bebas yang digunakan dalam model (biaya perjalanan, pendapatan invidividu dan jarak) mampu menjelaskan keragaman peubah tak bebas, yaitu jumlah kunjungan sebesar 74.64%. Model permintaan yang diperoleh juga dapat menunjukkan hubungan yang berlawanan antara jumlah kunjungan dan biaya perjalanan. Berdasarkan hasil perhitungan regresi di atas, nilai terhadap permintaan sebesar -3.4082 dapat diartikan apabila terjadi perubahan biaya perjalanan sebesar 0.05 atau 5% maka akan menurunkan tingkat kunjungan sebesar 3.41%. Tanda negatif menunjukkan bahwa pada fungsi permintaan tersebut terdapat hubungan terbalik antara biaya perjalanan dengan tingkat kunjungan. Apabila terjadi kenaikan biaya perjalanan menuju kawasan Gugus Pulau Batudaka, maka akan menyebabkan penurunan tingkat kunjungan wisatawan ke kawasan tersebut. Hal ini sesuai dengan hukum permintaan yang menyatakan bahwa semakin tinggi harga suatu komoditas maka semakin rendah tingkat permintaannya.
Yoeti (1997) berpendapat, bahwa
salah satu faktor yang mempengaruhi permintaan adalah harga. Kenyataan ini juga sesuai dengan pendapat Gaspersz (2000) tentang hukum permintaan (law of demand) yang menyatakan bahwa kuantitas produk yang diminta akan meningkat apabila harga menurun dan kuantitas produk yang diminta akan menurun apabila harga
214
meningkat (dengan asumsi nilai-nilai dari peubah lain yang mempengaruhi permintaan produk tersebut dianggap konstan atau ceteris paribus. Hasil regresi yang didapatkan dapat digunakan untuk membangun kurva permintaan dan menentukan surplus konsumen dari kegiatan ekowisata bahari di kawasan Gugus Pulau Batudaka. Surplus konsumen pada penelitian ini merupakan selisih antara tingkat kesediaan membayar dari wisatawan dengan biaya atau harga yang harus dikeluarkan untuk memperoleh kepuasan dalam menikmati jasa alam (Yudasmara 2010) berupa obyek wisata di kawasan Gugus Pulau Batudaka. Tingkat kepuasan wisatawan yang berkunjung ke lokasi tersebut dapat dilihat dari intensitas kunjungannya. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin sering seorang wisatawan berkunjung ke kawasan ekowisata Gugus Pulau Batudaka mencerminkan semakin puas terhadap lokasi wisata tersebut. Pada kurva permintaan jumlah wisatawan yang berkunjung ke kawasan Gugus Pulau Batudaka yang dinotasikan dengan Q pada sumbu X dengan tingkatan harga yang dinotasikan dengan P pada sumbu Y pada waktu tertentu, namun penjelasan kurva permintaan berbeda dengan penawaran dimana semakin rendah nilai harga yang ditawarkan maka jumlah wisatawan akan semakin meningkat atau sebaliknya semakin tinggi harga yang ditawarkan maka jumlah kunjungan wisatawan semakin berkurang. Hal ini dapat dilihat pada kurva di atas, dimana harga pada tingkat sekitar 910 nilai Q = 0 (tidak ada wisatawan yang datang) sedangkan bila harga berada pada level 300 maka nilai Q sekitar ± 1 400 orang. Selain itu, dari kurva permintaan diperoleh hasil perhitungan surplus konsumen sebesar US$ 21 813 per individu per tahun atau Rp 207 223 500 per individu per tahun dengan nilai tukar rupiah terhadap dollar sebesar Rp 9 500. Nilai surplus konsumen didapatkan nilai ekonomi kawasan ekowisata kawasan Gugus Pulau Batudaka yang diperoleh berdasarkan jumlah wisatawan yang berkunjung tahun 2007 adalah sebesar US$ 58 273 atau Rp. 553 593 500.
Nilai ekonomi ini merupakan nilai riil pemanfaatan
ekowisata di kawasan ini dan nilai tersebut akan meningkat bila jumlah wisatawan yang berkunjung ke kawasan ini bertambah banyak. Hal ini dapat terjadi apabila potensi dan kondisi daya tarik wisata yang ada di kawasan ini dapat dipertahankan,
215
d disertai den ngan peninggkatan saraana prasaranna pendukuung wisata dan kualittas m manajemenn nya. Setellah hasil kuurva penawaaran dan perrmintaan dipperoleh makka dapat dicari p perpotongan n kedua kurrva tersebut,, untuk menngetahui konndisi keseim mbangan passar a aktivitas wissata di kawasan Gugus Pulau P Batudaaka (Gambarr 56).
P (harga)
(jum mlah wisataw wan) Gambar 56 Kondisi kesetimbanga k an pasar aktiivitas wisataa va Kurv
keseimbbangan
di
atas
mem mberikan
p penjelasan,
bahwa
tittik
k keseimbanga an aktivitas wisata di kaawasan Guggus Pulau Baatudaka beraada pada levvel h harga (P) 37 70 dan nilai Q (jumlah wisatawan) w sebesar 640 orang o dengaan nilai surpllus k konsumen sebesar s US$$ 21 813 per p individu per tahun. Nilai surplus konsum men d didapatkan juga nilai ekonomi e kaawasan wisaata kawasann Gugus Puulau Batudaaka s sebesar US$ $ 58 273. Nilai N ekonom mi ini meruppakan nilai riil r pemanfaaatan wisata di k kawasan saaat ini dan nilai n tersebuut akan menningkat bilaa jumlah wiisatawan yaang b berkunjung ke kawasann ini bertam mbah banyakk atau masiih ada keseempatan unttuk m menambah jumlah j kunjjungan wisaatawan menggingat jumlaah kunjunggan wisataw wan p pada kondissi keseimbanngan baru seebesar 640 orang, o jumlaah wisatawaan yang massih m mampu ditaampung olehh kawasan atau batas daya dukunng kawasan Gugus Pullau
216
Batudaka adalah sebesar 21 887 orang. Kondisi keseimbangan pasar wisata tertera pada Tabel 67. Tabel 67 Kondisi keseimbangan pasar wisata di kawasan Gugus Pulau Batudaka No 1 2 3 4
Parameter Harga Jumlah wisatawan7 Surplus Konsumen Nilai ekonomi
Nilai 370 640 21 813 58 273
Satuan US$ Orang US$ US$
Sumber : Analisis Data (2011).
Gugus Pulau Batudaka memiliki karakteristik obyek wisata yang spesifik, dimana peminatnya juga terbatas pada wisatawan yang mempunyai ketertarikan tersendiri terhadap obyek wisata berupa panorama alam yang ditawarkan di kawasan ini dengan atraksi yang dominan berupa selam dan snorkeling. Jumlah kunjungan wisatawan berdasarkan asal negara dari tahun 2006-2009 tertera pada Gambar 57. 300 250 200 150 100 50 0
2009 2008
swedia
Kanada
Chech
Austria
Slovenia
Australia
USA
Swiss
Belgia
Italia
Inggris
Spanyol
Jerman
Belanda
Prancis
2007 2006
Gambar 57 Kunjungan wisman ke Kepulauan Togean (Disbudpar 2010) Berdasarkan informasi dari masyarakat dan pengelola penginapan yang ada di lokasi penelitian, biasanya jumlah wisatawan mancanegara yang cukup banyak terjadi pada bulan Juli dan Agustus. Hal ini disebabkan pada bulan tersebut merupakan masa libur musim panas bagi wisatawan yang berasal dari negara-negara Eropa, dan juga masa libur musim dingin bagi wisatawan yang berasal dari Australia dan New Zealand, sedangkan pada bulan-bulan yang lainnya, permintaan rata-rata per-hari hanya sekitar lima sampai sepuluh orang saja.
217
5.5.2 Perikanan Jenis-jenis ikan yang tertangkap di Gugus Pulau Batudaka antara lain ikan tongkol, tenggiri, teri, ekor kuning, kerapu, kakap, dan beberapa jenis ikan lainnya. Adapun jenis ikan yang dihitung nilai produktivitasnya dalam penelitian ini adalah ikan kerapu karena ikan tersebut memiliki habitat menetap di terumbu karang, bernilai ekonomis tinggi, disamping dukungan ketersediaan data sekundernya. Besaran jumlah hasil tangkapan ikan kerapu hampir tidak tergantung kepada musim, kecuali pada musim-musim dimana terjadi gelombang besar (musim barat) nelayan sedikit mengurangi aktivitas penangkapannya.
Harga ikan kerapu pada bulan
Pebruari 2009-Pebruari 2010 sebesar Rp 25 000/kg. Hasil valuasi ekonomi ikan kerapu tertera pada Tabel 68. Tabel 68 Volume dan nilai produksi kerapu dari tiga alat tangkap No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Variabel Produksi/trip/tahun Pendapatan/trip/tahun Tenaga Kerja Trip (hari) Trip/tahun BBM/unit BBM/tahun/unit Harga BBM/tahun Umpan (kg/tahun) Harga umpan Biaya/trip Pendapatan bersih
Pancing 2 017 50 427 500 2 1 96 3 288 2 016 000 73 365 000 47 575 43 479 267
J. Insang 2 193 54 812 500 2 1 120 4 480 3 360 000
Bubu 175 4 385 000 2 1 48 2 96 672 000
48 000 45 692 500
34 000 2 081 000
Sumber : Analisis Data (2010)
Berdasarkan Tabel diatas, pendapatan bersih nelayan yang menggunakan alat tangkap jaring ingsang dan pancing lebih tinggi dibanding bubu, masing-masing sebesar Rp. 3 623 273/bulan (pancing), Rp. 3 808 125/bulan (jaring ingsang), Rp. 173 416/bulan (bubu). Nelayan di Gugus Pulau Batudaka umumnya menggunakan kombinasi alat tangkap tersebut, seperti pancing-bubu sehingga tidak diperhitngkan penggunaan umpan pada alat tangkap bubu.
218
5.6 Analisis Skenario Pengelolaan Gugus Pulau Skenario pengelolaan wisata-perikanan di Gugus Pulau Batudaka ditujukan untuk arahan kebijakan dari model integrasi optimal berdasarkan kondisi saat ini. Nilai-nilai atribut yang digunakan untuk membangun model integrasi wisataperikanan secara lengkap tertera pada Tabel 69. Tabel 69 Nilai dugaan parameter pada model integrasi wisata-perikanan di Gugus Pulau Batudaka Submodel dan parameter Sub Model Wisata 1. Jumlah wisatawan 2. Yield Factor (YF) Built-up Cropland Energy Fishery Forest Pasture 3. Komponen : - Foot Built-up : luas jalan, pelabuhan, penginapan -Foot aktivitas : luas area selam, snorkeling, rekreasi pantai - Foot energy : jumlah energi - Food &Fibre : cropland, pasture, forest, Sea space 4.
Lama wisata
Sub model Perikanan Sektor populasi 1. Jumlah penduduk (jiwa) 2. Laju kelahiran 3. Laju kematian 4. Laju imigrasi 5. Laju emigrasi Sektor Produksi (lokal dan regional) 1. Biomassa ikan (X) Lokal Regional 2. Laju pertumbuhan intrinsik (r) Lokal Regional 3. Koefisien tangkap (q) Lokal Regional 4. Daya dukung (K) Lokal Regional
Nilai Dugaan
Keterangan
3000 1.00 1.70 1.30 0.60 1.30 2.20 18.36 0.43 1.16 18.70 129.40 68.69 2.38 4532.85 1733.00 18395.95 2610.00 5
Disbudpar Prov. (2008) Lenzen dan Murray (2001); WWF (2008)
Hasil analisis manual komponen TEF, luasan area dari hasil analisis GIS
Hasil analisis kuesioner wisatawan (2010)
13 500 0.012 0.003 0.029 0.014
Hasil proyeksi tahun 2010
137.911 12 864 0.365 0.043 0.00001 0.00002 14.28 2103
Hasil analisis, rumus (20)
Hasil analisis berdasarkan BPS Touna (2004-2009)
Hasil analisis rumus (21)
219
Submodel dan parameter
Nilai Dugaan
Sektor Footprint perikanan 1. Data ekspor 2. Data impor 3. Data konsumsi domestik 4. Faktor ekivalen laut (YF) 5. Luas perairan regional 6. Luas perairan lokal 7. Total EF perikanan
5.58 17.28 300.56 0.06 338 575 61 052 0.34
Keterangan
Hasil analisis rumus (29) Lenzen dan Murray (2001) Hasil analisis GIS Hasil analisis GIS Hasil analisis FEF, rumus (9)
5.6.1 Sub Model Wisata Keberlanjutan aktifitas wisata di Gugus Pulau Batudaka membutuhkan ruang dan sumberdaya dimana prediksi wisatawan yang datang setiap tahunnya untuk keperluan alokasi ruang dan sumberdaya agar dapat dilakukan pengelolaan secara efektif. Diagram alir TEF (Touristic ecological Footprint) tertera pada Gambar 58. Mulai Data : -Jumlah wisatawan -Luasan jalan, pelabuhan (GIS) -Luasan tata guna lahan (GIS) -Akomodasi wisata -Produksi listrik
Tentukan persamaan TEF, BC
Sesuai
Tidak
Hitung : -Agregrat kmponen footprint -Biocapacity
Tidak Sesuai ? TEF = BC Ya
Cetak : Pemanfaatan optimal TEF = BC
Gambar 58 Diagram alir TEF
Selesai
220
Tabel 70 Proyeksi jumlah wistawan, EF dan BC selama 10 tahun
Tahun 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 Final
Jumlah EF tiap Biocapacity wisatawan wisatawan Wisatawan EF Total Biocapacity (orang) (ha/tahun) Total (ha) (ha/kapita/tahun) (ha) 3 000 759 5 132 0.25 1.71 7 372 1 698 5 132 0.23 0.70 10 806 2 435 5 132 0.23 0.47 13 503 3 014 5 132 0.22 0.38 15 620 3 469 5 132 0.22 0.33 17 283 3 826 5 132 0.22 0.30 18 589 4 106 5 132 0.22 0.28 19 615 4 327 5 132 0.22 0.26 20 420 4 500 5 132 0.22 0.25 21 052 4 635 5 132 0.22 0.24 21 549
Total BC dan EF pada tabel diatas dari keseluruhan wisatawan dan untuk wisatawan per tahun (kapita/ha/tahun) yang mengunjungi Gugus Pulau Batudaka dengan jumlah wisatawan awal sebanyak 3 000 orang pada tahun 2010 dan kondisi ruang ekologis (BC) sekitar 5 132 ha, maka pada tahun pertama Gugus Pulau Batudaka dapat menampung 7 372 orang dengan lahan yang dibutuhkan sebesar 1 698 ha dengan kebutuhan lahan untuk setiap wistawan (per kapita) 0.23 ha. Sampai tahun kedua peningkatan jumlah wisatawan cenderung tinggi disebabkan oleh luasnya lahan produktif masih tersedia. Pada tahun selanjutnya, wisatawan yang dapat ditampung di Gugus Pulau Batudaka terjadi sedikit peningkatan dan cenderung stabil sehingga pemanfaatan lahan untuk tiap wisatawan juga tidak mengalami perubahan yang signifikan. Peningkatan wisatawan yang berkunjung di Gugus Pulau Batudaka akan meningkatkan total luas lahan yang dimanfaatkan sebagai akibat dari konsumsi yang dilakukan, namun tidak sampai melebihi BC. Model dinamik dari penjelasan diatas tertera pada Gambar 59. Peningkatan jumlah wisatawan berhubungan dengan konsumsi terhadap sumberdaya di Gugus Pulau Batudaka dan secara langsung mempengaruhi peningkatan EF total, namun perubahan EF total tersebut tiap tahunnya sangat kecil. Hal ini dapat dilihat dari EF per kapita tiap wisatawan yang cenderung tetap dan
221
masih dibawah BC. Hasil perhitungan manual EF total minimal dapat menampung jumlah wisatawan sebesar 21 887 orang, sedangkan perhitungan model dinamik jumlah wisatawan dalam kurun waktu 10 tahun mendatang, Gugus Pulau Batudaka dapat menampung sekitar 21 549 orang. TEF merupakan pendekatan yang digunakan dalam menghitung kemapuan kawasan dalam menampung jumlah wisatawan di gugus Pulau Batudakan berdasarkan biocapacity yang tersedia dan konsumsi terhadap sumberdaya dalam satuan luas area baik di lahan daratan dan perairan per tahun untuk rata-rata lama kunjungan 5 hari.
Gambar 59 Model dinamik jumlah wisatawan, EF dan BC BC merupakan daya dukung ruang secara ekologis untuk menunjang tingkat konsumsi dari wisatawan terhadap suberdya yang ada di Gugus Pulau Batudaka. Pertambahan jumlah wisatawan yang mengunjungi kawasan tersebut setiap tahun akan diikuti peningkatan EF dari pulau tersebut karena permintaan akan ruang. Kondisi BC yang konstan, maka jumlah wisatawan setiap tahun akan bertambah secara eksponensial hingga mencapai relatif konstan karena EF masih berada dibawah BC dan bila EF melampaui BC menandakan kegiatan wisata tidak berkelanjutan (unsustainable). Hal ini berarti Gugus Pulau Batudaka masih dapat menerima kehadiran wisatawan dalam jumlah banyak dan dalam jangka waktu yang lama.
222
5.6.2 Sub Model Perikanan Sub model perikanan tersusun atas : sektor populasi, sektor produksi, dan sektor ecological footprint. Diagram alir sub model perikanan tertera pada Gambar 60-62. 5.6.2.1 Sektor Populasi Sumber daya manusia adalah seluruh kemampuan atau potensi penduduk yang berada di dalam suatu wilayah tertentu beserta karakteristik atau ciri demografi, sosial dan ekonominya yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembangunan. Karakteristik demografi merupakan aspek kuantitatif sumberdaya manusia yang dapat digunakan untuk menggambarkan jumlah dan pertumbuhan penduduk, penyebaran dan komposisi penduduk. Parameter yang digunakan sub model populasi diestimasi menggunakan data populasi pada Tabel 71.
Gambar 60 Diagram alir sektor populasi
223
Tabel 71 Parameter yang digunakan untuk sektor populasi penduduk No
Desa
Tahun 2004
2005
2006
2007
2008
910
945
924
930
987
1021
1.253
1.235
1.239
1197
1
Kulingkinari
2
Molowagu
3
Bomba
738
811
829
834
736
4
Tumbulawa
988
998
992
1.057
1214
5
Taningkola
1329
1. 386
1.375
1.371
1069
6
Bambu
1389
1.116
1.187
1.229
1268
7
Una-Una
1447
1.455
1.146
1.447
1370
8
Lembanya
459
489
513
510
572
9
Wakai
1989
2.232
2.324
2.355
2765
10
Tanjung Pude
385
388
397
572
592
11
Malino
286
345
381
364
379
12
Siatu
373
391
398
410
422
13
Kambutu
449
473
475
493
535
11763
12287
12476
12811
13106
Lahir 131 Mati 9 533 Emigrasi 393 Imigrasi Laju kelahiran Laju Kematian Laju Emigrasi Laju Imigrasi Sumber :BPS (2004-2009), Analisis Data (2011)
103 48 237 86
143 30 365 192
185 36 331 110
170 71 333 92
Jumlah
0.0117 0.0031 0.0290 0.0143
5.6.2.2 Sektor Produksi Estimasi kemampuan sumberdaya Gugus Pulau Batudaka dalam menopang kehidupan penduduknya, khususnya sumberdaya perikanan terbarui, dalam hal ini produkivitas berhubungan dengan stok ikan yang dipengaruhi faktor alam dan manusia (Adrianto dan Matsuda 2004). Perhitungan stok ikan di perairan Gugus Pulau Batudaka (lokal) dan perairan Kabupaten Tojo Una-Una (regional) membutuhkan data series (tahun 2007-2009) baik produksi ikan maupun data upaya penangkapan (DKP Kec. Una-Una 2010; DKP Prov Sulteng 2010) yang dikumpulkan selama penelitian sehingga diperoleh nilai perkiraan jumlah produksi dan jumlah
224
upaya penangkapan ikan. Estimasi potensi sumberdaya ikan hasil tangkapan lokal dan regional dilakukan dengan cara menganalisis data total hasil tangkapan dan upaya penangkapan ikan, serta perhitungannya terdapat pada Lampiran 11 dan 12. Adapun diagram alir produksi lokal dan regional tertera pada Gambar 63.
Gambar 61 Diagram alir sektor produksi Berdasarkan data hasil tangkap per unit usaha/CPUE dengan menggunakan model Schunete dapat diestimasi parameter sektor produksi dan biomassa ikan (Lampiran 12 dan 13) dihitung Gompertz (Tabel 72).
dengan model fungsi pertumbuhan ikan dari
225
Tabel 72 Parameter yang digunakan untuk sektor produksi Parameter Laju pertumbuhan intrinsik (r) Koefisien tangkap (q) Daya dukung (K) Biomassa ikan (X)
Produksi Lokal 0.365 0.00001 90 469 kg 137 911 kg
Produksi Regional 0.043 0.00002 1 071 ton 12 863 ton
Sumber : Analisis Data (2011)
5.6.2.3 Sektor Ecological Footprint Pada sektor ini, ecological footprint perikanan sebagai stok dan sebagai variabel adalah konsumsi domestik, konsumsi ekspor dan konsumsi impor. Menurut Folke (1996) pengertian konsumsi disini adalah total suplai atau produksi dari konsumsi manusia dan limbah yang dihasilkan. Berdasarkan data dari BPS yaitu jumlah penduduk dan ekspor ikan, dan konsumsi ikan per kapita dari DKP, namun karena data impor tidak tersedia, maka dapat diestimasi menggunakan rumus ikan impor (rumus 35), sehingga konsumsi riil dapat dihitung (Tabel 73). Diagram alir sektor ecological footprint tertera pada Gambar 63. Tabel 73 Estimasi konsumsi impor dan konsumsi riil di Gugus Pulau Batudaka Tahun
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Konsumsi Aktual Loka11 (ton)
245 255 241 261 294 312 333 370
Penduduk
11325 11346 11710 11592 12287 12476 12811 13206
Konsumsi Potensial1 (ton)
253.68 256.87 264.65 261.75 301.03 323.63 362.30 395.92
Estimasi impor2 (ton)
9.06 1.59 24.01 0.46 6.76 11.35 29.21 26.15
Estimasi Impor konsumsi dari hasil tangkap3 (ton)
11.51 2.02 30.49 0.59 8.58 14.42 37.10 33.21
Expor4 (ton)
Konsumsi Riil (ton)
2.53 0.10 10.70 4.80 7.80 5.70 4.04 9.00
254 257 260 257 295 321 366 394
Rata-Rata 288.90 12094.13 302.48 13.57 17.24 5.58 Keterangan : 1 Perhitungan berdasarkan data konsumsi ikan/kapita/tahun (DKP 2010) 2 IMt = (Konsumsi potensial – Konsumsi Akttual) x Penduduk tahun t 3 Koefisien tangkap, 27% dari total produksi (Wada 2002) 4 Data ekspor ikan BPS Kab. Tojo Una-Una (2005, 2009)
300.56
226
Gambar 62 Diagram alir sektor ecological footprint Hasil simulasi ecological footprint perikanan yakni populasi penduduk, produktivitas tangkapan ikan dan EF perikanan tertera pada Tabel 74 dan Gambar 65. Tabel 74 Proyeksi jumlah penduduk, produksi ikan, konsumsi domestik dan EF perikanan Tahun 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 Final
Jumlah penduduk 13 500 13 824 14 156 14 496 14 843 15 200 15 565 15 938 16 321 16 712 17 113
Produksi lokal (ton)
Produksi regional (ton)
307 291 277 265 254 245 236 229 222 216
4 545 4 070 3 645 3 265 2 925 2 621 2 349 2 105 1 887 1 692
Sumber : Hasil analisis (2011)
konsumsi domestik (ton) 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02
EF Perikanan (ha/kapita/th) 0.02 0.02 0.02 0.02 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03
227
Gambar 63 Hasil simulasi EF perikanan Hasil simulasi (Gambar 63) terlihat bahwa populasi penduduk di Gugus Pulau Batudaka cenderung meningkat berdasarkan input (kelahiran dan emigrasi) dan output (kematian dan imigrasi). Pada awal tahun simulasi, jumlah total penduduk sekitar 13 500 jiwa dan pada 10 tahun kemudian menjadi 17 113 jiwa. Hasil simulasi peningkatan jumlah penduduk diiringi penurunan laju konsumsi domestik dan sektor produksi (lokal dan regional). 5.6.2.4 Penggambaran model konseptual Model konseptual wisata-perikanan digambarkan dalam model dinamik lengkap yang tertera pada Gambar 64 dan tren hasil simulasi tertera pada Gambar 65, serta proyeksi jumlah wisatawan, EF wisata, jumlah penduduk, konsumsi domestik dan EF perikanan pada Tabel 75.
228
data domestik
Lama wisata
f aktor ekiv alen laut
Konsumsi Domestik EF
Emigrasi
EF Perikanan
data impor Laju Emigrasi
Total EF
Luas Area DivLuas e Area Snork Luas Pelab
Jml Penduduk Luas Penginapan ha
Impor EF Luas Wst Pantai
Foot Pelabuhan
kelahiiran
Data Ekspor
Kematian
Foot Penginapan
YF Energy
Produksi Lokal
produkai regional
Luas Jalan ha
Ekspor EF Foot Jalan
Foot Builtup ha\kap\th
Foot Aktiv itas
Laju Kematian
kons Energy GJ\kap
Imigrasi
Laju Kelahiran
Areal lokal Areal Regional
Exist area ha Laju imigrasi
BC Energy ha f oot Energy ha\kap\th
Jml Wisatawan
YF Built up
Jml Energy GJ\ha\th Exist Builtup ha
BC Buit up
EF ha\cap\th Total BC ha Area Fishing Ground Lokal
Area Fishing Ground Regional YF Cropland
BC Cropland
Pasture ha\kap\th
Exist sea area ha BC Pasture
Foot Food & Fibre
YF Fishery
Pertumbhan Marginal
BC Forest
YF Forest exist pasture area ha
Biomassa Ikan 2
Biomassa Ikan
Exist Crop area ha
YF Pasture
Produksi lokal per area
Produksi Regional per area
BC sea space
f orest ha\kap\th
produksi Regional
Pertumbhan Marginal 2
produksi Lokal
cropland\ha\kap\th Sea space ha\kap\th
Laju pertmbuhan Intrinsik 2
Laju pertmbuhan Intrinsik
Koef isien Tangkap 2
Koef isien Tangkap
exist f orest area ha Kematian 2
Kematian 3
Fraksi Tangkapan
Fraksi Tangkapan 2
Day a DUkung 2
Day a DUkung
Fraksi Kematian Normal 2
Fraksi Kematian Normal
Jumlah Trip 2
Jumlah Trip
Rasio Biomassa Ikan
Rasio Biomassa Ikan 2
Gambar 64 Model integrasi wisata-perikanan di Gugus Pulau Batudaka
Gambar 65 Model dinamik integrasi wisata-perikanan
229
Tabel 75 Proyeksi jumlah wisatawan, EF wisata, jumlah penduduk, laju konsumsi domestik dan EF perikanan Tahun
Jumlah wisatawan
EF wisata (ha/tahun)
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 Final
3 000 3 955 4 751 5 365 5 805 6 094 6 251 6 296 6 247 6 117 5 917
4 177 4 336 4 518 4 691 4 844 4 975 5 086 5 181 5 262 5 332
Laju Jumlah EF perikanan KonsumsiDomestik Penduduk (ha/th) (ton) 13 500 0.02 0.02 13 824 0.02 0.02 14 156 0.02 0.02 14 496 0.02 0.02 14 843 0.02 0.03 15 200 0.02 0.03 15 564 0.02 0.03 15 938 0.02 0.03 16 321 0.02 0.03 16 712 0.02 0.03 17 113 0.03
Sumber : Hasil analisis (2011)
Hasil simulasi menunjukkan peningkatan penduduk dengan masuknya wisatawan di Gugus Pulau Batudaka dengan penurunan laju konsumsi domestik yang konstan. Integrasi EF wisata dan perikanan pada awal tahun simulasi, estimasi EF perikanan atau kebutuhan sumberdaya perikanan membutuhkan area seluas 0.02 ha/tahun yang meningkat menjadi 0.03 ha/tahun pada akhir tahun simulasi. Dengan asumsi produktivitas area laut hanya sebesar 8.2% (Pauly dan Christensen 1995; Wackernagel and Rees 1996; Warren-Rhodes dan Koenig 2001) atau 214 ha, maka konsumsi ikan di Gugus Pulau Batudaka mengalami surplus pada akhir tahun simulasi dengan kebutuhan area sebesar 0.03 kali kebutuhan area laut produktif. Hasil dinamik integrasi EF ini menunjukkan keberlajutan surplus ekologis (0.03 kali dari kapasitas area tangkapan). Hal ini sejalan dengan perhitungan EF secara statis bahwa masih terdapat ruang ekologis yang dapat dilakukan untuk kegiatan pemanfaatan perikanan yakni pemanfaatan wilayah perairan untuk perikanan yang rendah yaitu sebesar 0.04 ha/kapita (skala lokal) dan 0.3 ha/kapita untuk skala regional. Hal ini menunjukkan bahwa Gugus Pulau Batudaka dapat menampung wisatawan sebanyak maksimal 6 247 wisatawan pada tahun ke-7 dan pada akhir
230
tahun simulasi menjadi 5 917
wisatawan
dengan sumberdaya yang ada dan
didukung kebutuhan area sumberdaya perikanan yang surplus, sebagai indikator keberlanjutan bagi kegiatan wisata perikanan di kawasan tersebut. Hasil simulasi integrasi wisata-perikanan pada akhir tahun tersebut menghasilkan jumlah kunjungan wisatawan dan populasi penduduk pada akhir tahun simulasi sebesar 23 030 kapita/tahun (4 326 wisatawan/tahun) dengan tren penurunan wisatawan seiring dengan peningkatan populasi penduduk setelah tahun ke-7 simulasi. Penggunaan pendekatan kehati-hatian (precusionary approach) dalam penggunaan sumberdaya yakni lahan potensial yang tersedia di Gugus Pulau Batudaka (ruang untuk wisata 0.93 ha/tahun dan perikanan 0.03 ha/tahun), maka bila dikaitkan dengan kebijakan pengelolaan dengan jumlah kunjungan wisatawan yang belum melampai daya dukung kawasan maka kegiatan yang dapat dilakukan adalah promosi dan meningkatkan atraksi wisata. 5.6.2.5 Verifikasi dan Validasi Model Verifikasi dan validasi model untuk mengetahui apakah model yang dibangun dengan cara yang benar dan sah sebagai perwakilan dunia nyata (Murthy et al. 1990). Uji verifikasi dan validasi pada model integrasi wisata-perikanan dilakukan terhadap struktur model integrasinya. Model dinamik kinerja integrasi wisata-perikanan mengadopsi teori sistem penilaian kinerja pemanfaatan ruang untuk wisata (Solarbesain 2009) dan perikanan (Adrianto dan Matsuda 2004) yang telah dikaji secara akademis merupakan model yang dibuat melalui pengembangan dari beberapa model sistem penilaian pemanfaatan ruang perairan secara spasial dan temporal (Moffat 2000; Warren-Rhodes dan Koenig 2001; Adrianto dan Matsuda 2004). Oleh karena itu validasi teoritis untuk model sistem penilaian kinerja pada penelitian ini berdasarkan rujukan teoritis yang digunakannya. Simulasi model ini bertujuan untuk memprediksi pemanfaatan ruang wisata perikanan berdasarkan nilai variabel keadaan (state variable) stok dari data primer dan sekunder. Model divalidasi dengan membandingkan perfomansi model dari hasil analisis basis model dari beberapa level (stok) sumberdaya dengan hasil analisis data
231
pengamatan dan sekunder melalui pengujian secara statistik. Level sumberdaya yang digunakan untuk validasi model adalah jumlah wisman dan jumlah penduduk. Persyaratan statistik yang diuji adalah nilai β (intercept), besaran koefisien determinasi (R2), dan rata-rata nilai prediksi dari level (Y). Nilai statistik untuk uji validasi model disajikan pada Tabel 76. Tabel 76 Hasil analisis statistik berdasarkan persyaratan validasi Nilai hasil analisis dinamik No. 1. 2.
Jenis persyaratan statistik Jumlah penduduk (X) terhadap kunjungan wisman (Y) Jumlah penduduk dan wisman (X) terhadap EF wisata (Y)
Intercept
R2
- 5 821
0.6565
Rataan Y predik 5 436
3 061
0.8869
4 840
Nilai hasil analisis data lapangan Rataan Y Intercept R2 predik - 11 688 0.9057 2 767 342
0.9401
3 396
Tabel 76 menunjukkan bahwa baik persyaratan nilai intercept maupun rata-rata nilai prediksi level (kunjungan wisman dan EF wisata) umumnya menunjukkan nilai yang relatif sama, kecuali pada nilai koefisien determinasi (R2) jumlah penduduk (X) terhadap kunjungan wisman (Y) dari analisis data analisis dinamik lebih rendah dibanding data lapangan. Perbedaan ini terkait dengan penggunaan data kunjungan wisman` (Lampiran 9) menunjukan bahwa pada kondisi ril lapangan, variasi nilai kunjungan wisman dipengaruhi oleh berbagai faktor lain yang tidak dimasukan dalam model ini. Nilai intercept yang diperoleh relatif sama yakni tanda negatif untuk hubungan jumlah penduduk (X) terhadap kunjungan wisman (Y) dan tanda positif untuk jumlah penduduk dan wisman (X) terhadap EF wisata (Y) untuk seluruh dimensi sehingga hasil analisis dalam penelitian ini dianggap valid. Model dinamik integrasi wisata-perikanan yang dibuat mampu untuk melakukan sebuah proses simulasi sebagai kajian model dunia abstrak mengikuti dari perilaku realitas dunia nyata yang dikaji sehingga model dinamik integrasi wisata-perikanan tersebut telah memenuhi prosedur verifikasi dan validasi model.
232
233
6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka hal-hal yang dijadikan sebagai kesimpulan dalam penelitian ini adalah: 1
Pemanfaatan sumberdaya untuk wisata (selam, snorkeling) dan perikanan (budidaya rumput laut) dilakukan berdasarkan kesesuaian temporal karena kesesuaian ruangnya yang bersifat dinamik. Integrasi wisata-perikanan di Gugus Pulau Batudaka dapat menampung sebanyak 21 887 wisatawan/tahun yang memanfaatkan ruang untuk perikanan sebesar 0.04 ha/kapita (skala lokal) dan 0.3 ha/kapita (skala regional) dan didukung hasil analisis HANNP, CLSA dan valuasi ekonomi sehingga Gugus Pulau Batudaka dapat dikembangkan menjadi kawasan wisata dan perikanan. 2
Keberlanjutan sistem sosial ekologi di kawasan ini dapat menampung wisatawan rata-rata setiap tahun sebanyak 4 326 orang yang memanfaatkan ruang untuk wisata (0.93 ha/tahun) dan ruang untuk perikanan (0.3 ha/tahun).
6.2 Saran Saran untuk keberlanjutan pengelolaan kawasan ini adalah : 1
Perlu adanya perubahan zonasi di Gugus Pulau Batudaka berdasarkan kebutuhan masyarakat, kesesuaian ruang dan daya dukung kawasan.
2
Pengembangan Gugus Pulau Batudaka sebagai kawasan wisata dengan menerapkan
prinsip
kehati-hatian
(precautionary
approach)
dalam
pengelolaan sumberdaya, maka untuk meningkatkan jumlah kunjungan wistawan dapat dilakukan dengan mengoptimalkan potensi obyek wisata saat ini (wisata selam, dan snorkeling) yang didukung oleh ketersediaan infrastruktur penunjang melalui peningkatan atraksi wisata dan kegiatan promosi.
234
235
DAFTAR PUSTAKA Adhiasto. 2001. Laporan penelitian mangrove di Kepulauan Togean. Conservation International Indonesia – Yayasan Pijak. Palu. Adrianto, L. 2004. Reformasi pemikiran ekonomi : perlunya reintegrasi ilmu alam dengan ilmu ekonomi. http://io.ppi-jepang.org/article.php?id=4 (Diakses 18 Mei 2007) Adrianto L, and Y. Matsuda 2004. Fishery Resources Appropriation in Yoron Island, Kagoshima Prefecture, Japan : A Static and Dynamic Analysis. Kagoshima University. Japan. Adrianto, l., 2005. Konsep dan pengertian ekonomi sumberdaya pesisir dan Laut. Working Paper. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Adrianto L. 2005. Analisis Sosial Ekonomi dalam Strategi Konservasi Sumberdaya Pesisir dan Laut: Sebuah Pendekatan (Coastal Livelihood Analysis). Working Paper. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Adrianto, L. 2006. Sinopsis Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam. Working Paper. Pusat Kajian Pesisir dan Lautan. IPB, Bogor. Adrianto, L and N. Aziz. 2006. Valuing the social-ecological interactions in coastal zone management : a lesson learned from the case of economic valuation of mangrove ecosystem in Barru Sub-District, South Sulawesi Province. Seminar in Social-Ecological System Analysis. 12 June 2006. ZMT, Bremen University, Bremen. Adrianto, L. 2007. Teknik pengambilan data untuk Contingent Valuation Method. Modul yang disampaikan pada kegiatan pelatihan teknik dan metode pengumpulan data valuasi ekonomi. Bogor, 05-09 Maret 2007. Kerjasama PKSPL-IPB dengan BAKOSURTANAL, Bogor. Adrianto, L dan Y. Wahyudin, 2007. Pengantar Ekonomi Sumberdaya Perairan. Makalah Seminar Kelautan di Makassar 7-8 Juni 2007. Allison, E.H., and F. Ellis, 2001. The livelihoods approach and management of smallscale fisheries. Marine Policy, 25 (5):377-388 Anggadiredja, J.T., 2006. Rumput Laut. Penebar Swadaya. Jakarta. Aslan, L.M., 1988. Budidaya Rumput Laut. Kanisius Yogyakarta. Ayres, R.U. and L.W. Ayres, 2002. Handbook of Industrial Ecology. Cheltenham, UK and Lyme, US. Edward Elgar. Ayres, R.U., JC.J.M van den Bergh, 2000. Weak versus strong sustainability : economic, natural science and consilience. Environmental Ethichs, forthcoming. Bappeda Touna-Kabupaten Tojo Una-Una 2007. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Tojo Una-Una. Ampana. Bappeda Touna-Kabupaten Tojo Una-Una 2007. Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kepulauan Togean. Ampana.
236
Bappeda Touna-Kabupaten Tojo Una-Una. 2009. Survei sosial ekonomi daerah Kabupaten Tojo Una-Una (SUSEDA) 2009. Bappeda & PM Kabupaten Tojo Una-Una, Ampana. Barton, D.N. 1994. Economic factors and valuation of tropical coastal resources. University of Bergen, Norway. Bass, S and B. Dalal-Clayton, 1995. Small Island States and Sustainable Development: Strategic Issues and Experience. Environmental Planning Issues, 8:35-42 Bengen, D.G., 2000. Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB, Bogor. Bengen, D.G., 2001. Sinopsis ekosistem dan sumberdaya alam pesisir dan Laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB, Bogor. Bengen, D.G., 2002. Pengembangan konsep daya dukung dalam pengelolaan lingkungan pulau-pulau kecil. Laporan Akhir Kerjasama antara Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dengan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB, Bogor. Bengen, D.G. dan A.S.W. Retraubun, 2006. Menguak realitas dan urgensi pengelolaan berbasis eko-sosio sistem pulau-pulau kecil. Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut. Bogor, Indonesia. Bergh, J.C. and J.M. van den, 2001. Themes, Approaches, and differences with environmental economics. Ecological Economics : rev version. p 1-38 Berkes, F and C. Folke, 2002. Back to The Future : Ecosystem Dynamic and Local knowledge. In Panarchy understanding transformations in Human and Ntaural system. (Gunderson and Holling eds). Island Press, WashingtonCavelo-London. p 121-146 Berkes. F, and C.S.Seixas, 2005. Building resilience in lagoon social-ecological systems: a local-level perspective. Ecosys. 8:967-974 Berkes, F., 2007. Understanding uncertainty and reducing vulnerability : lessons from resilience thinking. Springer Science Nat Hazards. 41:283–295 Beller, W., 1990. How to sustain a small island. In : Beller, W., P. d”Alaya dan P. Hein (eds.) : Sustainable developtment and environmental management of small islands. Man and Biosphere Series : Vol 5 UNESCO and Parthenon Group, Paris. p:15-22 Bin, C., H. Hao, Y. Weiwei, Z. Senlin, W. Jinkeng, J. Jinlong, 2009. “Marine biodiversity conservation based on integrated coastal zone management (ICZM) a case study in Quanzhou Bay, Fujian, China”. Ocean & Coastal Management 52:612–619 BKSDA-Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Tengah, 2006. Rencana Pengelolaan 25 Tahun Taman Nasional Kepulauan Togean 2005-2030. BKSDA Sulteng Dirjen Perlindungan Konservasi Alam Departemen Kehutanan, Palu. BPS-Biro Pusat Statistik Kabupaten Poso, 2004. Kabupaten Poso dalam Angka 2003. Poso.
237
BPS-Biro Pusat Statistik Kabupaten Tojo Una-Una, 2004. Laporan Tahunan. Ampana. BPS-Biro Pusat Statistik Kabupaten Tojo Una-Una, 2004-2008. Kecamatan Una-Una dalam Angka. Ampana. BPS-Biro Pusat Statistik Kabupaten Tojo Una-Una, 2009. Kabupaten Tojo Una-Una dalam Angka 2008. Ampana. BRPL-Balai Riset Perikanan Laut, 2005. Teluk Tomini: ekologi, potensi sumberdaya, profil perikanan dan biologi beberapa komoditi yang penting. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Jakarta. Briguglio, L., 1995. Small island state and their economic vurnerabilities. World Development 23:1615-1623. BRKP-Badan Riset Kelautan dan Perikanan, 2004. Profil sumberdaya kelautan dan perikanan Teluk Tomini. Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta Bonham GF, and Carter, 1994. Geographic information system for geoscientist; modeling with GIS. Pergamon. Ottawa, Ontario, Canada. Bowen, R.E. and C. Riley, 2003. Socio-economic indicators and integrated coastal management. Ocean & Coastal Management 46:299–312. Brotowidjoyo, M.D., D. Tribowo, dan E. Mubyarto, 1995. Pengantar Lingkungan Perairan dan Budidaya Air, Liberty, Yogyakarta. Brower, J., Z. Jerold and C. Von Ende, 1990. Field laboratory and method for general ecology. 3th ed. W.m.C. Brow Publishers, USA. Casagrandi, R. and S. Rinaldi. 2002. A Theoretical approach to tourism sustainability. Conservation. Ecology, 6 (1):13-21. Chambers, N., C. Simmons and M. Wackernagel, 2000. Sharing nature’s interest : ecological footprint as an indicator of sustainability. Earthscan Publicaton, London. Cholik, F., 2005. Review of Mud Crab Culture Research in Indonesia, Central Research Institute for Fisheries, PO Box 6650 Slipi, Jakarta. Chua, T. E., 1992. Integrative Framework and Methods for Coastal Area Management. ICLARM, Manila. Chua, T.E., 1993. Essential Elements of Integrated Coastal Zone Management. Ocean & Coastal Management. ELsevier Science Publishers Ltd, England Printed in Northern Ireland. Cicin-Sain, B., P. Bernal, V. Vandeweerd, S. Belfiore and K. Goldstein, 2002. A guide to oceans, coasts and islands at the World Summit on sustainable development. Integrated Management from Hilltops to Oceans. World Summit on Sustainable Development Johannesburg, South Africa August 26September 4. CII-Conservation International for Indonesia, 2005. Konservasi berbasis masyarakat melalui daerah perlindungan laut di Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah. Palu. CII-Conservation International for Indonesia, 2006. Laporan monitoring dan evaluasi kondisi biologi daerah perlindungan laut berbasis masyarakat di Kabalutan dan Teluk Kilat Taman Nasional Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah. Palu
238
CIT-Coast Information Team, 2004. Ecosystem Based Management Planning Handbook. Cortex Consultants Inc., 3A–1218 Langley St. Victoria. Clark, C. W., 1985. Bioeconomic Modelling and Fisheries Management. John Wiley and Sons. Toronto Canada. Clark, J. and D. Carney, 2008. Sustainable Livelihoods Approaches – What have we learnt?: A review of DFID’s experience with Sustainable Livelihoods. ESRC Research Seminar Paper, London. Costanza, R., J.Cumbeland, T. Maxwell, 1997. An Introduction to Ecological Economics. St.Lucie, Boca Raton, Florida Costanza, R., 2001. Vision, values, valuation, and the need for an ecological economics. BioScience 51 (6):459-468 Costanza, R., 2009. A new development model or a “full world” Development 52 (3):369–376 Dahl, C., 1997. Integrated coastal resources management and community participation in a small isl setting. Ocean & Coastal Management, 36 (13):23-45 Dahuri, R., 1998. Pendekatan ekonomi-ekologi pembangunan pulau-pulau kecil berkelanjutan. Dalam Prosiding Seminar dan Lokakarya Pengelolaan pulauPulau Kecil di Indonesia. Jakarta, 7-10 Desember 1998. Kerjasama DEPDAGRI, TPSA, BPPT, CRMP (USAID), PKSPL-IPB, Bogor. Hal : B32B34. Dahuri, R J. Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu, 2003. Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan secara terpadu. PT. Pradnya Paramita, Jakarta Dahuri, R., 2003. “Keanekaragaman hayati laut” aset pembangunan Indonesia berkelanjutan. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Daniel, M., 2003. Metode penelitian sosial ekonomi. Dilengkapi beberapa alat analisa dan penuntun penggunaan. PT Bumi Aksara, Jakarta. Damanik, R., B. Prasetyamartati dan A. Satria, 2006. Menuju konservasi laut yang pro rakyat dan pro lingkungan. WALHI, Jakarta. Davis D, and C. Tisdell, 1995. Recreational scuba-diving and carrying capacity in marine protected areas. Ocean and coastal Management, 26 (1):19-40. Dharmawan, A.H., 2006. Pendekatan-Pendekatan Pembangunan Pedesaan dan Pertanian: Klasik dan Kontemporer. Makalah. Apresiasi Perencanaan Pembangunan Pertanian Daerah bagi Tenaga Pemandu Teknologi Mendukung Prima Tani”, Hotel Jaya-Raya, Cisarua Bogor, 19-25 November 2006. Disbudpar-Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tojo Una-Una, 2006. Informasi obyek dan daya tarik wisata Kabupaten Tojo Una-Una. Ampana. DKP-Departemen Kelautan dan Perikanan, 2001. Pedoman umum pengelolaan pulau-pulau kecil berkelanjutan dan berbasis masyarakat. Ditjen Pesisir dan Pulau Pulau Kecil, Jakarta. DKP-Departemen Kelautan dan Perikanan, 2004. Pedoman Umum Pengelolaan Terumbu Karang. DKP Coral Reef Rehabilitation and Management Program. Jakarta. DKP-Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Selayar, 2006. Studi Pengembangan mata pencaharian alternatif. DKP Pemkab Selayar-Coremap II Kab. Selayar.
239
DKP-Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tojo Una-Una, 2005. Profil investasi perikanan dan kelautan Kabupaten Tojo Una-Una, Ampana. DKP-Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi Tengah, 2010. Laporan statistik tangkap 2003-2009. Palu. DKP Unit Pelaksana Teknis Kecamatan Una-Una, 2010. Laporan data potensi perikanan tangkap dan produksi kelautan dan perikanan. Wakai. Djojomartono, M., 1993. Pengantar Umum Analisis Sistem. Pelatihan Analisis Sistem dan Informasi Pertanian. Kerjasama BPP Teknologi-Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor. Eidman, E., 1991. Pengaruh hukum adat terhadap sistem bagi hasil perikanan : Kasus di Muara Angke. Tesis. IPB, Bogor. Effendie, I., 2003. Pengantar Akuakultur. Penebar Swadaya. Jakarta. Elliot, G., B. Mitchell, B. Wiltshire, A. Manan and S. Wismer, 2000. Community participation in marine protected area management : Wakatobi National Park, Sulawesi, Indonesia. Coastal Management, 29:295–316 Emmerton L., 2001. Community-Based Incentives for Nature Conservation. IUCN. English S, C Wilkinson, V Baker. 1997. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Australian Institute of Marine Science. Townsville. Erb, K-H., V. Gaube, F. Krausmann, C. Plutzar, A. Bondeau, H. Haberl, 2007. A comprehensive global 5min resolution land-use dataset for the year 2000 consistent with national census data. Journal of Land Use Science 2 (3):191224 Erb, K-H., E., F. Krausmann, V. Gaube, S. Gingrich, A. Bondeau, M. FischerKowalski and H. Haberl, 2009. Analyzing the global human appropriation of net primary production-processes, trajectories, implications. An introduction. Ecological Economics 69:250–259 Eriyatno, 1999. Ilmu Sistem. Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. IPB Press. Bogor. Ewing, B., S. Goldfinger, M. Wackernagel, M. Stechbart, S. M. Rizk, A. Reed, and Justin Kitzes, 2008. The Ecological Footprint ATLAS 2008. Global Footprint Network, Oakland. EUROSTAT, 2000. Towards environmental pressure indicator for the EU. Office for Official Publications of the European Communities, Luxembourg. Fachrul, M.F., 2007. Metode Sampling Bioekologi. PT. Bumi Aksara, Jakarta. FAO-Food and Agriculture Organisation of the United Nations, 1995. Code of conduct for fisheries. Rome. FAO-Food and Agriculture Organisation of the United Nations, 1996. Integration of fisheries into coastal area management. Fishery Development Planning Service, Fisheries Department. FAO Technical Guidelines for Responsible Fisheries. No. 3. Rome. Fauzi, A., 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
240
Ferdaña, Z. and M.W. Beck, 2007. Putting life into ecosystem-based management theory : a planning application using spatial information on marine biodiversity and fisheries. Proceedings of Coastal Zone 07 July 22 to 26, 2007 Portland, Oregon. Farsari, Y., and P. Prastacos, 2001. Sustainable tourism indicators for Mediterranean established destinations. Tourism Today, 1 (1):103-121 Fischer-Kowalski, M. and H. Haberl, 1993: Metabolism and Colonization. Modes of Production and the Physical Exchange between Societies and Nature. In: Innovation -The European Journal of Social Sciences 6 (4):415-442 Fischer-Kowalski, M., C. Amann, Beyond IPAT and K. Curves, 2001. globalization as a vital factor in analysing the environmental impact of socio-economic metabolism, Population and Environment, 23 (1):42-50 Folke, C., Carpenter, S.R., Walker, B.H., Scheffer, M., Elmqvist, T., Gunderson, L.H., Holling, C.S., 2002. Regime shifts, resilience and biodiversity in ecosystem management. Annual Review in Ecology, Evolution and Systematics 35:557–581 Forrester, JW., 1994. System Dynamics, System Thinking, and Soft OR. System Dinamic Review, 10 (2):254-256 Gaspersz, V., 2000. Ekonomi Manajerial Pembuatan Keputusan Bisnis. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Ghina, F., 2003. Sustainable development in small islan developing : The case of the Maldvies. Environment, Development and Sustainability 5:139–165 Gossling, S., C. B. Hansson, O. Horstmeier, and S. Saggel, 2002. Ecological footprint analysis as a tool to assess tourism sustainability. Ecological Economics 43: 199-211 Grant, W.E., E.K. Pedersen, and S.L. Marin, 1997. Ecology and natural resource management system analysis and simulation. John Willey & Sons Inc, New York, Singapore, Toronto. Gulland, J.A., 1991. Fish Stock Assessment. A. Manual of Basic Methods. John Wiley & Sons. Chichester-New York-Brisbane-Toronto-Singapure Gulland, J.A., 1991. Fish Stock Assessment. A. Manual of Basic Methods. John Wiley & Sons. Chichester-New York-Brisbane-Toronto-Singapure. Gunderson L. H., C. S. Holling, and S. S. Light, 1995. Barriers and bridges to the renewal of ecosystems and institutions. Columbia University Press, New York. Gunn, C.A., 1993. Tourism planning. Basics, Concepts, Cases. Third Edition. Taylor & Francis Publisher. Hall, M.C., and A. A. Lew (eds.), 1998: Sustainable Tourism: A Geographical Perspective. Harlow: Longman. Hall, M.C., 2001. Trends in ocean and coastal tourism: the end of the last frontier? Ocean & Coastal Management, 44:601–618 Hardjowigeno, S., Widiatmaka, A.S., Yogaswara, 2001. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna Tanah. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian IPB. Bogor
241
Haberl, H., E. Karl-Heinz, F. Krausmann. 2001. How to calculate and interpret ecological footprints for long periods of time : the case of Austria 1926-1995. Ecological Economics 38:25-45 Haberl, H., M. Wackernagel, F. Krausmann, Erb. K-H, C. Monfreda. 2004. Ecological footprints and human appropriation of net primary production: a comparison. Land Use Policy 21:279–288 Hehanusa, P.E., 1993. Morphogenetic classification of small islands as a basic for water resources planning in indonesia, Prog. Reg. Work, on Small Island Hydrology. UNESCO-ROSTSEA, RIWRD-LIPI and Batam Industrial Development Authority, Jakarta. Holling, C.S., 1986. The resilience of terrestrial ecosystems: local surprise and global change. In : Clark, WC, Munn RE (eds) Sustainable development of the biosphere. Cambridge University Press, Cambridge. Holling, C. S., and G. K. Meffe, 1996. Command and control and the pathology of natural resource management. Conservation Biology 10:328-337 Holling, C.S., 2001. Understanding the Complexity of Economic, Ecological, and Sosial Systems. Ecosystem (2001) 4:390-405 Hutabarat A, F. Yulianda, A. Fahrudin, S. Harteti, dan Kusharjani, 2009. Pengelolaan pesisir dan laut secara terpadu. Edisi I Pusdiklat Kehutanan, Deptan, SECEN-KOREA International Cooperation Agency, Bogor. IUCN-International Union fo The Conservation`of Nature, 1991. Caring for the earth : a strategy for sustainable living. IUCN, UNEP and WWF (United Nation Environment Programme and World Wide Fund for Nature) Gland and Cambridge. IUCN-Internacional Union fo The Conservation`of Nature, 1994. United Nation list of national park and protected area. Switzerland : IUCN Gland and Cambridge. Jones, GP, I.M. Mark, S. Maya dan V.E. Janelle, 2004. Coral Decline Threatens Fish Biodiversity in Marine Reserves. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America 101(21):8251–8253 Kay, R., and J. Alder, 2005. Coastal planning and management. E & FN Spon, London and New York. Kaly, U.L., C.R. Pratt and J. Mitchell, 2004. The environmental vulnerability index (EVI) 2004. SOPAC Technical Report 384. Kasim, H., 2007. Analisis pengaruh mutu layanan kepariwisataan terhadap loyalitas wisatawan di kawasan Kepulauan Togean. Tesis. Program pascasarjana Universitas Tadulako. Palu. Kasnir, M., 2010. Penatakelolaan minawisata bahari di Kepulauan Spermonde Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Propinsi Sulawesi Selatan. Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. Kusmana, C., S. Wilarso, I. Hilwan, P. Pamoengkas, C. Wibowo, T. Tiryana, A. Triswanto, Yunasfi dan Hamzah, 2005. Teknik Rehabiliasi Mangrove. Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. Kusumastanto, T., 2004. Konsep pengelolaan pesisir dan laut pasca tsunami Aceh. Paper disampaikan pada Working Group for Aceh recovery, IPB.
242
Laapo A., A. Masyahoro, dan J. Nilawati, 2007. Estimasi potensi ekonomi sumberdaya perikanan tangkap di perairan kab. Tojo Una-Una. Jurnal Agroland 14(2):140-144 Laapo, A., 2010. Optimasi pengelolaan ekowisata bahari pulau-pulau kecil (Kasus gugus pulau Togean Taman Nasional Kepulauan Togean). Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. Lenzen M, and S.A.Murray, 2001. A modified ecological footprint method and its application to Australia. Ecol. Econ. 37:229-255 Levina, HG., 1984. The Use the Seaweeds for Monitoring Control Water Alga as Ecological Indicator, Academic Press London. Li Peng and Y. Guihua, 2007. Ecological footprint study on tourism itinerary products in Shangri-La, Yunnan Province, China. Acta Ecologica Sinica 27 (7):2954-2963 LP3L-Lembaga Pengkajian Pengembangan Pesisir dan Laut Talinti, 2004. Selayang pandang “gambaran umum” Kepulauan Togean. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Sulawesi Tengah, Palu. Lyndhurst, B., 2003. London’s ecological footprint a review. GLA Economics. Greater London Authority, London. Lyzenga, D.R., 1978. Passive Remote-Sensing Techniques for Mapping Water Depth and Bottom Features. Applied Optics, 17:379-383 Manaf, F., 2007. Kebijakan lahirnya TNKT dinilai tak populis. http://www.alamsulawesi.net/news.php?hal=1&id=173 (Diakses 25 Januari 2008) Mennecke, B.E., 2000. Understanding the Role of Geographic Information Technologies in Business: Applications and Research Directions. Journal of Geographic Information and Decision Analysis, 1 (1):44-68 Manafi, M.R., 2010. Rancangbangun Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Berbasis Pemanfaatan Ruang (Kasus Gugus Pulau Kaledupa, Kabupaten Wakatobi). Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. Martinez-Alier, J., 2005. Social metabolism and ecological distribution conflicts. Australian New Zealand Society for Ecological Economics, Massey University, Palmerston North. Martinez-Alier, J., 2008. Social Metabolism and pattern material use Mexico, South America and Spain. Thesis. ICTA, UAB Barcelona. Masyahoro, A., I. Jaya, dan D. Manurung, 2004. Aplikasi model surplus produksi dalam pendugaan potensi sumberdaya ikan pelagis kecil di perairan Kabupaten Parigi Moutong, Teluk Tomini. Agroland 11 (3):289-297 Mattei, F.E.E., 2007. Capacity Building Workshop on Problem Analysis and Creative System Modelling. Yaella Depietri, Alessandra Sgobbi, NetSyMod MEA, 2005. Millennium Ecosystem Assessment Synthesis Report, 2005. www.millenniumassessment.org (Diakses 25 Januari 2008) MPP-EAS, 1999. Manual on economic instrumen for coastal and marine resource management. GEF/UNDP/IMO Regional Programme for the Prevention and Management of Marine Pollution in the East Asian Seas, Quezon City
243
Moberg, F., and C. Folke, 1999. Ecological good and services of coral reef ecosistems. Ecological Economic. 29:215-233 Moffat, I., 2000. Ecological footprint and sustainable development. Ecological Economic 32 (3):359-362 Moffat, I., N. Hanley, and M.D. Wilson, 2001. Measuring and modeling sustainable development. New York: Parthenon. Moleong, L.J., 2005. Metodologi penelitian kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung. Murthy, D.N.P., N.W. Page, and E.Y.Rodin, 1990. Mathematical Modelling. Pergamon Press, New York. Nugroho, I., 2004. Ecotourism. Buku Ajar. Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Widyagama, Malang. Nganro, N.R. dan G. Suantika, 2009. Urgensi Ecosystem Approach dan pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil. Pengembangan Wilayah Pesisir Sebagai Solusi Kehidupan Bangsa Indonesia Kedepan, 24-25 Juli 2009. Makalah Round Table Discussion Majelis Guru Besar - ITB, Bandung. Nybakken, J., 1988. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. Penerbit PT. Gramedia Jakarta. Penterjemah Eidman, Koesoebiono, D.G. Bengen, M. Hutomo dan S. Sukardjo Okey, T.A., S. Banks, A.F. Born, R.H. Bustamante, M. Calvopiña, G.J. Edgar, E. Espinoza, J.M. Fariña, L.E. Garske, G.K. Recke, S. Salazar, S. Shepherd, V. Toral-Granda, P. Wallem, 2004. A trophic model of a Galápagos subtidal rocky reef for evaluating fisheries and conservation strategies. Ecological Modelling 172:383–401 Nikijuluw, V.W.H., 2001. Populasi dan Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir serta Strategi Pemberdayaan Mereka Dalam Konteks Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Secara Terpadu. Makalah pada Pelatihan Pengelolaan Pesisir Terpadu. Proyek Pesisir, Hotel Permata, Bogor, 29 Oktober 2001. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB, Bogor. Niu, X., R. Ma, T. Ali, and R. Li, 2005. Integration of Mobile GIS and Wireless Technology for Coastal Management and Decision-Making Photogrammetric Engineering & Remote Sensing 71(4):453–459 Ongkosongo, O.S.R. dan Suyarso, 1989. Pasang-Surut. P3O-LIPI. Jakarta Ongkosongo, O.S.R., 1998. Permasalahan dan pengelolaan pulau-pulau kecil. Dalam Prosiding Seminar dan Lokakarya Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia. Jakarta, 7 -10 Desember 1998. Kerjasama DEPDAGRI, TPSA, BPPT, CRMP, PKSPL-IPB, Bogor. Orams, M.B., 1999. Marine tourism, development, impacts and management. London. Routledge. Ostrom, E., W. Reid, J. Rockström, H. Savenije and U. Svedin, 2002. Resilience and sustainable development : building adaptive capacity in a world of transformations. Scientific Background Paper on Resilience for the process of the World Summit on Sustainable Development. The Environmental Advisory Council to the Swedish Government.
244
Pariwono, J.I., 1997. Dinamika Perairan Pantai di Daerah Laut dan perikanan (pesisir) Mangrove. Makalah. Pelatihan dan Pengembangan Ekosistem Mangrove Secara Terpadu dan Berkelanjutan, Proyek Pengembangan Pusat Studi Lingkungan Dirjen Dikti Depdikbud, Malang. Patterson, T., T.Gulden, K. Cousin, dan E. Kraev, 2004. Integrating Environmental, Social and Economic System: A Dynamic Model of Tourism in Dominica. Ecological Modeling 175:121-136 Pauly, D. and V. Christensen, 1995. Primary production required to sustain global fisheries. Nature 374:255-257 Pinter, L., D.R. Cressman, and K. Zahedi, 1999. Capacity Building fot Integrated Environmental assessment and Reporting: Trainning Manual. UNEP, IISD and Ecologistics International Ltd. Rais, J., B. Sulistiyo, S. Diamar T. Gunawan, M. Sumampouw, T.A. Soeprapto, I. Suhardi, A. Karsidi dan M.S. Widodo, 2004. Menata ruang laut terpadu. PT. Pradnya Paramita, Jakarta. Richards, P.R., 1998 Manual of Standard Operating Procedures for Hydrometric Surveys in British Columbia Resources Inventory Committee. BC-Canada RIVM, 1995 A General Strategy for Integrated Environmental Assessment at the European Environmental Agency. Bilthoven. Ruslan, D., 2005. Model analisis ekonomi dan optimasi pengusahaan sumberdaya perikanan. Jurnal Sistem Teknik Industri 6 (3):48-53 Sahetapy, D., dan J. Manupputy, 2003. Komposisi, kemiripan dan status terumbu karang Taman Wisata Alam Laut (TWAL) 17 Pulau Riung di pesisir utara Flores Tengah, Nusa tenggara Timur. Ichthyos 2 (2):83-88 Saragih, S., J. Lassa, dan A. Ramli, 2007. Kerangka penghidupan berkelanjutansustainable livelihood framework. Hivos Aceh Program, Banda Aceh. Saveriades A., 2000. Establishing the social tourism carrying capacity for the tourist resorts of the east coast of the Republic of Cyprus. Journal of Tourism Management, 21:147-156 Seidl, I., and C. Tisdell, 1999. Carrying capacity reconsidered: from Malthus’ population theory to cultural carrying capacity. Ecological Economics, 31:395–408 Sevilla, C.G., PG. Twila, R.P. Bella and U.G. Gabriel, 1993. Pengantar metode penelitian (terjemahan). Universitas Indonesia, Jakarta. Shewchuck, M., 2007. Developing An Ecosystem Approach. United Nations. Sidiyasa, K., 2000. Laporan survey vegetasi dan tumbuhan di Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah. Wanariset Samboja (tidak dipublikasikan). Smith, L.E.D., S.N. Khoa and K. Lorenzen, 2005. Livelihood functions of inland fisheries: policy implications in developing countries. Water Policy 7:359– 383 Sobari, M.P., 2007. Teknik pengambilan data untuk Travel Cost Method. Modul kegiatan pelatihan teknik dan metode pengumpulan data valuasi ekonomi, Bogor, 05-09 Maret 2007. Kerjasama PKSPL-IPB dengan BAKOSURTANAL.
245
Soeratno dan L. Arsyad, 1993. Metodelogi penelitian untuk ekonomi dan bisnis. Unit Penerbit dan Percetakan Akademi Manajemen Perusahaan YKPN. Yogyakarta. Solarbesain, S., 2009. Pengelolaan sumberdaya pulau kecil untuk ekowisata bahari berbasis kesesuaian dan daya dukung (Studi kasus Pulau Matakus, Kabupaten Maluku Tenggara Barat Provinsi Maluku) Tesis. IPB, Bogor. Subani W, dan H.R. Barus, 1989. Alat Penangkapan ikan dan udang laut di Indonesia. Ed Khusus Jurnal Penelitian Perikanan Laut. Jakarta. Sukirno, S., 2002. Pengantar Teori Mikroekonomi. Edisi Ketiga. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Supriharyono, 2007. Pengelolaan ekosistem terumbu karang. Djambatan, Jakarta. Sunarto, 1998. Perencanaan dan Pengembangan Wisata Sungai, Danau dan Pantai. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Tai, Y. Z., M.N. Kusairi, Ishak H.A., R.A. Mustapha and Y. Matsuda, 2001. Valuing fisheries resources Change in The Straits of Malacca : Resources accounting approach. Working Paper. University of Putra Malaysia, Kuala Lumpur. Tomascik, T., A.J. Mah, A. Nontji dan M.K. Moosa, 1997. The ecology of Indoneia seas. Part 1-2. Periplus Editions, Singapore. Turner, R.K. and W.N. Adger, 1995. Coastal zone resources assessment guidelines. LOICZ Reports & Studies No. 4. Manila. Turner, R.K., R. Brouwer, S. Georgiou and I. J. Bateman, 2000. Ecosystem functions and services : an integrated framework and case study for environmental evaluation. The Centre for Social and Economic Research on the Global Environment (CSERGE),UK. Yoeti, O,A., 1997. Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata, Pradnya Paramita, Jakarta. Yudasmara, G.A., 2010. Model pengelolaan ekowisata bahari di kawasan Pulau Menjangan Bali Barat. Disertasi. IPB, Bogor. Yulianda, F., 2007. Ekowisata bahari sebagai alternatif pemanfaatan sumberdaya pesisir berbasis konservasi. Makalah. Seminar Sains 21 Pebruari 2007. Departemen MSP FPIK IPB, Bogor Yulianda, F., A. Fachrudin, A.A. Hutabarat dan Kusharjani. 2009. Ekologi Ekosistem Perairan. Pusdiklat Kehutanan-DEPHUT RI, SECAM-Korea International Cooperation Agency, Bogor. Yusuf, S and G.R. Allen, 2001. Condition of Coral Reefs in the Togean and Banggai Islands, Sulawesi, Indonesia. In : A Marine Rapid Assessment of the Togean and Banggai Islands, Sulawesi, Indonesia (G.R. Allen and S.A. McKenna (eds.). Conservation International Center for Applied Biodiversity Science Department of Conservation Biology, Washington. US EPA-United States Environmental Protection Agency, 1973. Water quality criteria 1992. EPA R3-73-033 Vallega A., 2001. Sustainable ocean governance – a geographical perspective. (Ocean Management and Policy Series). Routledge. London Wallace, C.C., 1999. The Togian Islands: coral reefs with a unique coral fauna and an hypothesised Tethys Sea signature. Coral Reefs 18:162
246
WALHI, 2006. CO-Management : memanipulasi legitimasi rakyat atas sumberdaya pesisir dan laut (Diakses 25 Januari 2008) http://www.walhi.or.id/kampanye/pela/0603_comanajemen_ps/ Wackernagel, M., and W. Rees, 1996. Our ecological footprint. Reducing human impact on the earth. Gabriola Island, BC: New Society Publishers. Wackernagel, M., and D. Yount, 2000. Footprint for sustainability : the next steps. Environmental Development an Sustainability 2:21-42 Wackernagel, M., 2001. Using ecological footprint analysis for problem formulation, policy development and communications. Advancing sustainable resource management. Oakland, USA www.rprogress.org (Diakses 25 Januari 2008) Warren-Rhodes, K., and A. Koenig, 2001. Ecosystem appropriation by Hong Kong and its implication for sustainable development. Ecological Economic 39: 347-359 Weaver, D.B., 2001. Ecotourism as mass tourism: contradiction or reality? Hotel and Restaurant Administration Quarterly 42 (2):104-112 Wetlands, 2009. Menghijaukan tambak-tambak di Aceh dengan mangrove: menyelamatkan pesisir. Green Coast for nature and people after tsunami. Http://www.wetland.or.id (Diakses 2 Januari 2010) Wijaya, N.I., 2007. Analisis kesesuaian lahan dan pengembangan kawasan perikanan budidaya di wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur. Tesis. IPB, Bogor. Wong, P.P., 1998. Coastal tourism development in Southeast Asia : relevance and lessons for coastal zone management. Ocean & Coastal manag. 38:89-109 Wong, P.P., 1991. Coastal tourism in Southeast Asia. ICLARM, Education Series 13, Manila. Wood, E.M., 2002. Ecotourism Principles, Practices and Policies for Sustainability. United Nations environment Programme, Paris. WTO-World Tourism Organization, 1992. Guidelines : Development of National Park and perotected area. Madrid. WTO-World Tourism Organization, 1994. National and Regional Tourism Planning: Methodologies and Case Studies, World Tourism Organisation, Madrid. WWF, 2008. Guidebook to the national footprint accounts 2008. Global Footprint Network, Oakland. Zamani, N.P., Jonson L. Gaol, H. Madduppa, R.E. Arhatin, K.S. Putra, M. Khazali, K. Anwar, dan L. Zulkah, 2007. Profil sumberdaya pesisir Kepulauan Togean. Conservation Internasional Indonesia, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Pemerintah Daerah Kabupaten Tojo Una-Una Sulawesi Tengah, Taman Nasional Kepulauan Togean. Zatnika, A., 1985. Uji Coba Budidaya Rumput Laut di Nusa Dua Bali. Laporan Penelitian. BPPT. Jakarta.
247
Lampiran 1 Produksi ikan di perairan Kabupaten Tojo Una-Una (ton)
1
Nama Indonesia Cumi
Squid (Common squid)
Loligo spp
1
3.2
14.10
13.16
13.10
53.50
2
Gurita
Octopuses
Octopus
9.30
4.90
Kepiting bakau
Mud carb
Scylla serata
2.50
2.52
2.50
2.00
4
Udang Barong
Spiny Lobster
Penulirus spp
0.40
0.42
0.40
0.40
5
Teripang
Sea cucumber
Stichopus spp
36.90
35.07
34.90
1.50
6
Alu – Alu
Obtuse barracuda (Great barracuda)
Sphyraena spp (Sphyraena barracuda)
19.10
20.80
18.10
0.00
7
Bawal Hitam
Black pomfret
Formio niger (Parastromateus niger)
1.20
1.36
1.20
10.00
8
Bawal Putih
Pampus argenteus
1.00
1.20
1.00
11.50
9
Belanak
Mugil cephalus (Valamugil seheli)
4.40
0.00
11.50
12.08
10.50
0.00
11
Cakalang
Skipjack tuna, Striped tuna
Katsuwonus pelamis
510.70
548.64
477.70
3000.00
12
Cucut
Dog fish, shark
Carcharhinida,Scyliohinidae,
10.10
10.48
9.10
9.05
13
Daun Bambu
Queen fishes
Chorinemus spp
12.70
13.44
11.70
0.00
14
Ekor Kuning
Caesio cuning
200.60
215.44
187.60
30.00
15
Gerot – Gerot
4.64
3.80
0.00
Golok – Golok
9.40
9.68
8.40
0.00
17
Gulamah
2 2.8 2 2.8 2 2.8
3.80
16
Redbely Yellowtail Fusilier Bloched grunt (Saddle grunt, Spotted javelinfish) Wolf herring (Dorab wolf-herring)
2.8 2.8 4.0 2.8 2.8 2.8
5.04
Biji Nangka
2 2 1 1 2 2
4.40
10
White pomfret (Silver pomfret) Mangrove mullets (Blue-spot mullet, Bluetail mullet) Yellow-stripe goatfish)
3.2 2.4 2.6 2.4 2.8 2.8 2.8
9.31
3
1 2 1 2 2 2 2
10.30
5.20
6.00
5.20
0.00
18
Ikan lain
1
2.8
221
237.76
207.00
2200.00
19
1 2 1 1 2
2.8 2.8 2.8 2.8 2.8
5.50
6.32
5.50
35.00
574.30
616.00
536.30
12.20
52.50
56.80
49.50
23.60
700.20
751.36
654.20
1000.00
67.90
73.44
63.90
507.00
No
Nama Inggris
Nama Ilmiah
Mullidae (Upeneus vittatus)
Pomadasys spp (Pomadasys maculatus) Chirocentrus dorab
Ikan Terbang
Silver pennah croaker (Croaker) All fishes other than those listed above or below Flying fishes
Pennahia argentata (Nibea albiflora)
Cypselurus spp
20
Julung – Julung
Garfish and Hallfbeaks
Thylosurus spp and Hemirhamphuss spp
21
Kakap
Giant sea pearch/Baramundi
Lutjanus sp.
22
Kembung
Striped mackerel (Short-bodied mackerel)
Restrelliger brachysoma
23
Kerapu
Grouper
Epinephelus spp
2005
SA
2006
2007
2008
248
Nama Indonesia Kerong – Kerong
Banded grunter (Jarbua terapon, Largescale terapon)
25
Kurisi
Treadfin bream (Ornate threadfin bream)
26
Kuwe
Great trevally, Dusky jack (Bigeye trevally)
Therapon spp (Terapon jarbua, Terapon Theraps) Nemipterus nematophorus (Nemimterus hexodon) Caranx sexfasciatus
27
Layang
Layang scad (Shortfin scad)
Decapterus macrosoma
28
Layur
Hairtail
Trichiurus savala
29
Lemuru
Indonesia oil sardine (Bali sardinella)
Sardinella longiceps (Sardinella Lemuru)
30
Lencam
Orangestriped emperor (Emperors)
Lethrinus spp
31
Madidihang
Yellowfin tuna
Thunnus albacares
32
Giant sea catfish
Arius thalassinus
Blood snaper (Red snappers)
Lutjanus sanguineus
34
Manyung Merah/ Bambangan Nomei
Bombay duck
Harpodon nahereus
35
Pari
Sting ray
Gymnara sp
36
Peperek
Splended pony fish
Leiognatidae
37
Selar
Yellowstripe trevally (Yellowstripe scad)
Selaroides leptolepis
38
Sunglir
rainbow runner
Elegatis bipinnulatus
39
Swanggi
Big eyes
Priacanthus spp
40
Tembang
Sardinella fimbriata
41
Tenggiri
Scomberomorus guttatus
42
Teri
Fringescalle sardine Spotted spanish mackerel (Indo-pasific king mackerel) Commerson's anchovy (Anchovies)
43
Tetengkek
Hardtail scad (Torpedo scad)
Megalaspis cordyla
No 24
33
Nama Inggris
Nama Ilmiah
Stolephorus commersonii (Stolephorus spp)
44
Tongkol
Frigate mackerel
Auxis sp
45
Tuna
Tunas
Thunnus spp
Keterangan : SA = Sistem Akuatik, 1 = Tropical Shelves; 2= Coastal and Coral System
2005
SA
2006
2007
2008
2 2.8
0.00
0.00
0.00
120.00
2 2 1 1 2 2 1 2
2.8 2.8 2.8 2.8 3.2 2.8 4.0 2.8
8.30
8.40
7.30
15.60
51.10
55.20
48.10
0.00
1163.70
1249.28
1087.70
700.00
2 2 1 2 1 2 2 1
2.8 2.8 3.5 2.8 2.8 2.8 2.8 3.2
1 1 2 1 1
4.0 2.8 2.8 4.0 4.0
4.40
5.12
4.40
0.00
18.80
20.40
17.80
17.30
10.30
10.64
9.30
0.00
0.00
0.00
504.00
0.00
3.50
4.00
3.50
0.00
49.80
53.76
46.80
41.00
5.90
6.72
5.90
0.00
3.70
4.24
3.70
3.32
21.70
23.76
20.70
0.00
1189.70
1276.88
1111.70
40.00
17.20
18.56
16.20
15.00
17.40
18.80
16.40
0.00
470.20
504.56
439.20
400.00
39.90
43.56
37.90
65.00
791.80
849.68
739.80
300.00
21.30
23.36
20.30
0.00
980.70
1052.88
916.70
612.00
429.40
461.04
401.40
400.00
249
Lampiran 2 Matrik korelasi hasil PCA karakteristik lingkungan perairan Gugus Pulau Batudaka Kecerahan Kecerahan S T pH DO
1 0.2510 -0.5007 -0.2216 -0.6466
S 0.2510 1 -0.6041 -0.5304 -0.3080
T -0.5007 -0.6041 1 0.5867 0.4851
pH -0.2216 -0.5304 0.5867 1 0.3248
DO -0.6466 -0.3080 0.4851 0.3248 1
Eigenvalues dan eigenvectors (berdasarkan matrik korelasi) : Eigenvalues 1 2 3 Value 2.8002 1.0587 0.4759 % of variability 0.5600 0.2117 0.0952 Cumulative % 0.5600 0.7718 0.8670 Vectors : 1 2 3 Kecerahan -0.4142 0.5847 0.1216 S -0.4320 -0.4444 0.6529 T 0.5173 0.1333 -0.1079 pH 0.4261 0.4558 0.7149 DO 0.4390 -0.4850 0.1905
4 0.3788 0.0758 0.9427 4 0.4097 -0.3482 -0.5201 -0.0069 0.6636
5 0.2864 0.0573 1.0000 5 0.5513 0.2615 0.6576 -0.3157 0.3090
Korelasi antara variabel dengan komponen utama : faktor 1 faktor 2 faktor 3 Kecerahan -0.6931 0.6016 0.0839 S -0.7229 -0.4572 0.4504 T 0.8657 0.1371 -0.0744 pH 0.7130 0.4689 0.4932 DO 0.7346 -0.4990 0.1314
faktor 4 0.2521 -0.2143 -0.3201 -0.0043 0.4084
faktor 5 0.2950 0.1399 0.3519 -0.1689 0.1654
Stasiun (Coordinates of observations )` pada sumbu utama : Stasiun Sumbu 1 Sumbu 2 Sumbu 3 1 2.1352 0.1809 0.2509 2 -0.8091 -0.9748 0.5287 3 1.2200 -0.3866 0.4822 4 -1.6646 0.7703 0.7753 5 0.4942 1.3067 0.6831 6 -0.4044 2.4132 -0.1232 7 -1.4002 0.4207 -0.2326 8 -1.0685 -0.8047 -0.7070 9 -1.0234 0.0444 -1.4929 10 3.6475 0.5870 -0.9944 11 1.4083 -1.1250 -0.4044 12 1.3719 -1.5325 0.3684 13 0.4886 -0.3490 1.1667 14 -2.8703 -1.1600 -0.1938 15 -1.5252 0.6096 -0.1069
Sumbu 4 -0.5436 -0.2677 0.2200 -0.2278 -0.6661 0.2857 1.4361 1.0259 -0.7271 0.1596 -0.2287 0.0317 0.5963 -0.6246 -0.4696
Sumbu 5 -0.1957 0.6906 0.1796 0.0722 -0.6277 -0.1671 0.6268 -1.0731 0.8756 -0.1978 0.0479 0.1247 0.2392 -0.8968 0.3018
250
Lampiran 3 Karakteristik beberapa lokasi spot penyelaman di Gugus Pulau Batudaka Lokasi Atoll Pasir Tengah
BarierBarat Batudaka
Capatana Selatan
Capatana
Karakteristik Waktu dan durasi penyelaman Rataan kedalaman, jarak pandang Suhu dan arus Diskripsi Lokasi Status Waktu dan durasi penyelaman Rataan kedalaman, jarak pandang Suhu dan arus Deskripsi lokasi Status Waktu dan durasi penyelaman Rataan kedalaman, jarak pandang Suhu dan arus Deskripsi lokasi Status Waktu dan durasi penyelaman Rataan kedalaman, jarak pandang Suhu dan arus Deskripsi lokasi Status
Nilai 730 jam, 80 menit 3 -36 m, 10-15 m 310C , Tenang Lingkungan atoll dengan slop kemiringan bagian luar yang curam, tutupan karang 58% pada 4-5 m, 57% 9-12 m, 56% 18-21 m moderat (RCI 186.76) 1100 jam, 70 menit 3 -50 m, + 10 m 30-310C, Tenang Terumbu karang penghalang luar dengan tutupan karang 62% pada 4-5 m, 33% 1112 m, 17% 18-21 m, peningkatan coralline algae dan sponge di bawah kedalaman 10 m Baik (RCI 199.25) 1545, 70 menit 1-35 m, 10 m 30-310C, Tenang Terumbu karang penghalang dengan slope bagian luar dan karang terpi pada bagian dalam laguna, tutupan karang 65% pada 5-6 m, 57% 9-10 m, 65% 18-21 m Moderat (RCI 168) 1030 jam, 70 menit 3-40 m, 10-15 m 30-320C, Tenang Terumbu karang penghalang dengan slope bagian luar dan karang terpi pada bagian dalam laguna, tutupan karang 55% pada 5-7 m, 47% 13-15 m, 50% pada 20 m Moderat (RCI 178)
251
Lokasi Lindo
Bambu
Selat Batudaka luar bagian selatan
Karakteristik Waktu dan durasi penyelaman Rataan kedalaman Suhu Deskripsi lokasi Status Waktu dan durasi penyelaman Rataan kedalaman Suhu Deskripsi lokasi Status Waktu dan durasi penyelaman Rataan kedalaman, jarak pandang Suhu dan arus Diskripsi lokasi Status
Keterangan : RCI = Reef Condition Index Sumber : Yusuf and Allen (2001)
Nilai 745 jam, 70 menit 1 – 23 m, 5 – 7 m 310C, Tenang Terumbu karang tepi sepanjang teluk lapisan bawah dominan pasir, tutupan karang 38% pada 4-5 m, 26% 13-14 m, 0% dibawah 20 m Moderat (RCI 174,36) 1345 jam, 70 menit 3-26 m, 7-10 m 31-330C, Tenang Terumbu karang tepi sepanjang teluk lapisan bawah dominan pasir, tutupan karang 35% pada 5-6 m, 37% 10-12 m, 54% 20-23 m Moderat (RCI 173.46) 1430 jam, 80 menit 3-23 m, 7 - 8 m 31-320C, Tenang Terumbu karang tepi yang dominan karang mati pada lapisan bawah dengan tutupan karang 33% pada 5-6 m, 29% 10-11 m, 25% 20-21 m Jelek (RCI 142.42)
252
Lampiran 4 Ecologial Footprint sistem akuatik di perairan Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una Sistem Aquatik
PPR (kg)
Primary productivity (kgC/m2/tahun)
Ecological Footprint (m2/tahun)
Ecological Footprint (m2/kapita)
Ecological Footprint (km2/kapita)
Tahun 2005 Tropical Shelves Coastal and Coral
1 794 82.43
0.31
5,789,620.73
471.20
0.000471
132 130.78
0.89
148,461.55
12.08
0.000012
5,938,082.28
483.28
0.000483
Total 2
Area yang dibutuhkan (km )
5,938.08
Cakupan (kali)
19.92
Tahun 2006 Tropical Shelves Coastal and Coral
1 419 475.06
0.31
4 578 951.79
367.02
0.000367
131 671.55
0.89
147 945.56
11.86
0.000012
4 726 897.35
378.88
0.000379
Total Area yang dibutuhkan (km2)
4 726.90
Cakupan (kali)
15.86
Tahun 2007 Tropical Shelves Coastal and Coral
1 513 959.46
0.31
4 883 740.19
381.21
0.000381
101 287.19
0.89
113 805.83
8.88
0.000009
4 997 546.02
390.10
0.000390
Total Area yang dibutuhkan (km2)
4,997.55
Cakupan (kali)
16.77
Tahun 2008 Tropical Shelves Coastal and Coral Total
1 726 987.57
0.31
5 570 927.64
425.07
0.000425
109 590.75
0.89
123 135.68
9.40
0.000009
5 694 063.32
434.46
0.000434
2
Area yang dibutuhkan (km ) Cakupan (kali) Keterangan : a. EF Sistem Akuatik = PPR/PP (m2/tahun) b. Jumlah penduduk Kecamatan Tojo Una-Una Tahan 2005-2008 (BPS 2006-2009) c. Konversi 1 m2 = 0.000001 km2 d. Luas Kecamatan Una-Una 298 km2
5,694.06 19.10
253
Lampiran 5 Ecologial Footprint sistem akuatik di perairan Kabupaten Tojo UnaUna Sistem Aquatik
Tahun 2005 Tropical Shelves Coastal and Coral Total Area yang dibutuhkan (km2) Cakupan (kali) Tahun 2006 Tropical Shelves Coastal and Coral Total Area yang dibutuhkan (km2) Cakupan (kali) Tahun 2007 Tropical Shelves Coastal and Coral Total Area yang dibutuhkan (km2) Cakupan (kali) Tahun 2008 Tropical Shelves Coastal and Coral Total Area yang dibutuhkan (km2) Cakupan (kali)
PPR (kg)
116 195 563.9 20 705 749.1
Primary productivity (kgC/m2/tahun)
Ecological Footprint (m2/tahun)
0.31 0.89
374 824 399.7 23 264 886.6 398 089 286.3
Ecological Footprint (m2/kapita)
2 982.11 185.10 3 167.21
Ecological Footprint (km2/kapita)
0.00298 0.00019 0.00317 398 089.29 69.57
108 624 881.3 19 405 960.6
0.31 0.89
350 402 843.0 21 804 450.1 372 207 293.0
2 760.86 171.80 2 932.66
0.00276 0.00017 0.00293 372 207.29 65.05
148 920 086.4 11 773 995.4
0.31 0.89
480 387 375.3 13 229 208.5 493 616 583.7
3 703.61 101.99 3 805.60
0.00370 0.00010 0.00381 493 616.58 86.27
155 573 115.8 17 664 515.1
0.31 0.89
501 848 760.6 19 847 769.8 521 696 530.4
3 822.65 151.18 3 973.83
Keterangan : a. EF Sistem Akuatik = PPR/PP (m2/tahun) b. Jumlah penduduk Kabupaten Tojo Una-Una Tahan 2005-2008 (BPS 2006-2009) c. Konversi 1 m2 = 0.000001 km2 d. Luas Kabupaten Una-Una 5 722 km2
0.00382 0.00015 0.00397 521 696.53 91.17
254
Lampiran 6 HANPP sistem akuatik di Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una Nama Ikan
Trophic Level
Volume of Landing
PPR
(kg)
(kg)
Energi * (kJ/100 g)
Harvest
PPR
HANPP
(kJ)
(kJ)
(kJ)
Kerapu sunu
2.8
4,229
29,644.48
335
14,165,475.00
99,309,005.44
85,143,530.44
Kakap
2.8
5,753
40,332.20
335
19,272,550.00
135,112,855.22
115,840,305.22
Tongkol
4.0
12,600
1,400,000.00
477
60,102,000.00
6,678,000,000.00
6,617,898,000.00
6,685
Teri/lureh/rono
2.8
Tenggiri
4.0
Ekor Kuning/lolosi
2.8
Teripang
2.4
Kepiting
2.6
Udang Barong
2.6
Gurita Tahun 2005
3.2
46,866.11
335
22,394,750.00
157,001,466.56
134,606,716.56
450
50,000.00
791
3,559,500.00
395,500,000.00
391,940,500.00
4,160
29,164.25
142
5,907,200.00
41,413,235.84
35,506,035.84
624
1,741.57
318
1,984,320.00
5,538,207.20
3,553,887.20
145
641.39
414
600,300.00
2,655,374.83
2,055,074.83
560
2,477.11
414
2,318,400.00
10,255,240.71
7,936,840.71
830
14,616.24
318
2,639,400.00
46,479,634.36
43,840,234.36
132,943,895.00
7,571,265,020.15
7,438,321,125.15
Jumlah
1,615,483.35
Kerapu sunu
2.8
Kakap
2.8
Tongkol
4.0
Teri/lureh/rono
5,348
37,492.89
335
17,915,800.00
125,601,173.25
107,685,373.25
7,880
55,243.82
335
26,398,000.00
185,066,799.77
158,668,799.77
12,000
1,333,333.33
477
57,240,000.00
6,360,000,000.00
6,302,760,000.00
2.8
7,700
53,981.91
335
25,795,000.00
180,839,385.57
155,044,385.57
Tenggiri
4.0
250
27,777.78
791
1,977,500.00
219,722,222.22
217,744,722.22
Ekor Kuning/lolosi
2.8
5,150
36,104.78
142
7,313,000.00
51,268,789.56
43,955,789.56
Teripang
2.4
839
2,341.64
318
2,668,020.00
7,446,403.60
4,778,383.60
Kepiting
2.6
175
774.10
414
724,500.00
3,204,762.72
2,480,262.72
Udang Barong
2.6
75
331.76
414
310,500.00
1,373,469.74
1,062,969.74
3.2
230
4,050.28
318
731,400.00
12,879,898.68
12,148,498.68
141,073,720.00
7,147,402,905.10
7,006,329,185.10
Gurita Tahun 2006
Jumlah
1,551,432.28
255
Nama Ikan
Trophic Level
Volume of Landing
PPR
(kg)
(kg)
Energi * (kJ/100 g)
Harvest
PPR
HANPP
(kJ)
(kJ)
(kJ)
Kerapu sunu
2.8
4,229
Kakap
2.8
5,753
40,332.20
335
19,272,550.00
135,112,855.22
115,840,305.22
Tongkol
4.0
12,600
1,400,000.00
477
60,102,000.00
6,678,000,000.00
6,617,898,000.00
Teri/lureh/rono
2.8
6,685
46,866.11
335
22,394,750.00
157,001,466.56
134,606,716.56
Tenggiri
4.0
Ekor Kuning/lolosi Teripang
2.4
Kepiting
2.6
Udang Barong
2.6
Gurita Tahun 2007
2.8
3.2
29,644.48
335
14,165,475.00
99,309,005.44
85,143,530.44
450
50,000.00
791
3,559,500.00
395,500,000.00
391,940,500.00
4,160
29,164.25
142
5,907,200.00
41,413,235.84
35,506,035.84
624
1,741.57
318
1,984,320.00
5,538,207.20
3,553,887.20
145
641.39
414
600,300.00
2,655,374.83
2,055,074.83
560
2,477.11
414
2,318,400.00
10,255,240.71
7,936,840.71
830
14,616.24
318
2,639,400.00
46,479,634.36
43,840,234.36
132,943,895.00
7,571,265,020.15
7,438,321,125.15
Jumlah
1,615,483.35
Kerapu sunu
2.8
3,461
24,263.82
335
11,594,350.00
81,283,780.97
69,689,430.97
Kakap
2.8
8,060
56,505.74
335
27,001,000.00
189,294,213.98
162,293,213.98
Tongkol
4.0
15,060
1,673,333.33
477
71,836,200.00
7,981,800,000.00
7,909,963,800.00
4,500
31,547.87
335
15,075,000.00
105,685,355.20
90,610,355.20
150
16,666.67
791
1,186,500.00
131,833,333.33
130,646,833.33
3,831
26,857.75
142
5,440,020.00
38,138,006.37
32,697,986.37
1,319
3,681.31
318
4,194,420.00
11,706,562.98
7,512,142.98
185
818.33
414
765,900.00
3,387,892.02
2,621,992.02
115
508.69
414
476,100.00
2,105,986.93
1,629,886.93
280
4,930.78
318
890,400.00
15,679,876.65
14,789,476.65
138,459,890.00
8,560,915,008.44
8,422,455,118.44
Teri/lureh/rono
2.8
Tenggiri
4.0
Ekor Kuning/lolosi Teripang
2.8 2.4
Kepiting
2.6
Udang Barong
2.6
Gurita
3.2
Tahun 2008
Jumlah
Keterangan : * Adrianto (2004)
1,839,114.28
256
Lampiiran 7 Hasill perhitungann analisis pennawaran
:=d0+d1*Q Q+d2*Q^2; > TC:
> Sup pply:=dif ff(TC,Q); > plo ot(Supply y,Q=0..2000);
257
L Lampiran 8 Hasil perhiitungan anallisis permintaan :> lna:=b b0+b2*rat ta_ln(X2) )+b3*rata a_ln(X3); ; > a:=exp( (lna);
> b:=b1; > demand: :=(Q/a)^( (1/b);
> plot(de emand,Q=0 0..10000);
258
> U:= =int(dema mand,Q=0..Vrata); > P:= =(Vrata/a a)^(1/b); > C:= =P*Vrata; ; > CS: :=U-C; > Nil lai_Ekono omi:=CS*N/L; D:> plot({dem p mand,Supp ply},Q=0. ..2000);
> dem mand=Supp ply;
> sol lve(deman nd=Supply,Q);
259
Lampiran 9 Rekap kunjungan wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara di Kabupaten Tojo Una-Una Tahun
Jumlah Wisatawan Nusantara
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Jumlah
Mancanegara
5 315 11 484 17 314 12 860 49 418 84 291 86 109 100 213
923 2 540 1 650 3 040 2 715 2 125 2 243 3 122
6 239 11 748 17 479 15 900 52 133 86 416 88 352 103 335
Sumber : Disbudpar Prov. Sulteng (2008)
Lampiran 10 Jumlah wisatawan yang mengunjungi Kepulauan Togean berdasarkan asal begara Tahun 2006-2009 Asal Negara Prancis Belanda Jerman Spanyol Inggris Italia Belgia Swiss USA Australia Slovenia Austria Chech Kanada Swedia Polandia Lainnya Jumlah
2006 32 29 8 13 5 8 5 7 7 3 4 3 2 4 1 2 1 134
Sumber : Disbudpar Prov. Sulteng (2010)
2007 48 32 26 10 13 9 12 10 8 7 4 4 5 2 2 0 28 220
2008 80 61 34 23 18 17 17 17 15 10 8 7 7 6 3 2 29 354
2009 76 17 59 86 20 205 6 56 9 12 12 4 4 10 11 1 40 628
jumlah 236 139 127 132 56 239 40 90 39 32 28 18 18 22 17 5 98 1336
260
Lampiran 11
Hasil identifikasi responden wisatawan
Jumlah responden wisatawan ke lokasi wisata Gugus Pulau Batudaka Wisatawan Domestik Mancanegara Jumlah (orang) Persentase (%)
Jumlah wisatawan ke lokasi wisata (orang) Jumlah Persentase Pulau Poyalisa Pulau Tipae (orang) (%) Wakai (Bomba) (Bomba) 8 4 6 18 41.86 10 6 9 25 58.14 18 10 15 43 41.86 23.26 34.88 100.00
Sumber : Analisis Data (2010).
Wisatawan berdasarkan tujuan wisata Tujuan Wisata Tujuan utama Persinggahan Total
Wisatawan Domestik 8 10 18
Wisatawan Jumlah Mancanegara (orang) 0 8 25 35 25 43
Persentase (%) 18.60 81.40 100.00
Sumber : Analisis Data (2010).
Wisatawan berdasarkan tujuan kunjungan Tujuan kunjungan Berwisata Penelitian/Pend Tugas instansi Lain-lain Total
Wisatawan Domestik 7 8 2 1 18
Wisatawan Mancanegara 22 2 0 1 25
Jumlah (orang) 27 12 2 1 42
Persentase (%) 64.29 28.57 4.76 2.38 100.00
Jumlah (orang) 26 10 5 2 43
Persentase (%) 60.47 23.26 11.63 4.65 100.00
Sumber : Analisis Data (2010).
Wisatawan berdasarkan frekwensi kunjungan Frekwensi Wisatawan kunjungan Domestik Pertama kali 8 Kedua kali 4 Ketiga kali 4 Lebih dari tiga kali 2 Total 18 Sumber : Analisis Data (2010).
Wisatawan Mancanegara 18 6 1 0 25
261
Wisatawan berdasarkan jenis pekerjaan Jenis Pekerjaan Pelajar/ Mahasiswa Swasta PNS Wiraswasta Total
Wisatawan Domestik 1 4 9 4 18
Wisatawan Jumlah Mancanegara (orang) 4 5 0 4 14 23 7 11 25 43
Persentase (%) 11.63 9.30 53.49 25.58 100.00
Sumber : Analisis Data (2010).
Wisatawan berdasarkan sumber informasi wisata Sumber Informasi Biro perjalanan Media TV/cetak Teman Internet Total
Wisatawan Domestik 0 12 4 2 18
Wisatawan Mancanegara 9 0 15 1 25
Jumlah (orang) 9 12 19 3 43
Persentase (%) 20.93 27.91 44.19 6.98 100.00
Sumber : Analisis Data (2010).
Wisatawan berdasarkan aktivitas wisata Jenis Aktivitas Wisata Menikmati pemandangan alam Diving Snorkeling Total
Wisatawan Domestik 9
Wisatawan Mancanegara 6
Jumlah (orang) 15
Persentase (%) 34.88
6 3 18
10 9 25
16 12 43
37.21 27.91 100.00
Sumber : Analisis Data (2010).
Wisatawan berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin Kelompok umur (tahun) 0-15 15-30 30-45 45-60 >60 Total
Laki-Laki (orang) 1 0 7 5 9 22
Sumber : Analisis Data (2010).
Wanita (orang) 0 3 5 9 4 21
Jumlah (orang) 1 3 12 14 13 43
Persentase (%) 2.33 6.98 27.91 32.56 30.23 100.00
262
Lampiran 12 Series hasil tangkapan dan upaya penangkapan ikan dari beberapa jenis alat tangkap di perairan Gugus Pulau Batudaka (lokal) Pancing Effort (trip)
Jaring Insang Effort CPUE (trip)
Bubu Effort (trip)
Tahun
Catch (kg)
2005
17 085
11 426
1.50
21 357
4 857
4.40
4 271
2 798
1.53
2006
15 859
11 582
1.37
19 824
4 852
4.09
3 965
2 810
1.41
2007
14 414
11 050
1.30
18 018
4 699
3.83
3 604
2 853
1.26
2008
14 464
11 321
1.28
18 080
4 942
3.66
3 616
2 908
1.24
2009
15 528
12 109
1.28
19 410
5 072
3.83
3 882
2 605
1.49
6.73
96 689
24 422
19.80
19 338
13 974
1.35
19 338
4 884
3 868
2 795
Total
77 351
Rataan
15 470
CPUE
57 488 11 498
Catch (kg)
3.96
Catch (kg)
CPUE
6.93 1.39
Nilai Fishing Power Index (FPI), Total Effort dan CPUE Standar Tahun
Pancing
FPI Jaring. Insang
Bubu
Standardisasi C.Total (kg) Effort (trip)
CPUE
2005
1
2.94
1.02
42 714
28 565
1.50
2006
1
2.98
1.03
39 647
28 955
1.37
2007
1
2.94
0.97
36 036
27 625
1.30
2008
1
2.86
0.97
36 161
28 303
1.28
2009
1
2.98
1.16
38 820
30 273
1.28
Total
5
14.71
5.15
193 377
143 720
6.73
Rataan
1
2.94
1.03
38 675
28 744
1.35
263
Lampiran 13 Series hasil tangkapan dan upaya penangkapan ikan dari beberapa jenis alat tangkap di perairan Kabupaten Tojo Una-Una (regional)
Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Total Rataan
Catch (ton) 2 484 2 186 2 313 2 338 2 731 2 600 1 905 16 557 2 365
Pancing Effort (trip) 7 044 6 903 7 659 7 040 7 490 8 235 8 926 53 297 7 614
CPUE 0.3527 0.3167 0.3020 0.3321 0.3646 0.3157 0.2135 2.1972 0.3139
Catch (ton) 4 969 4 373 4 626 4 676 5 461 5 199 3 811 33 115 4 731
Jaring Insang Effort CPUE (trip) 71 450 0.0695 76 341 0.0573 82 414 0.0561 85 622 0.0546 88 302 0.0618 90 509 0.0574 92 425 0.0412 587 063 0.3981 83 866 0.0569
Catch (ton) 828.14 728.80 770.99 779.30 910.20 866.50 635.16 5519 788.44
Bubu Effort (trip) 21 643 24 143 24 689 28 643 27 543 29 453 24 353 180 467 25 781
CPUE 0.0383 0.0302 0.0312 0.0272 0.0330 0.0294 0.0261 0.2154 0.0308
Nilai Fishing Power Index (FPI), Total Effort dan CPUE Standar Tahun
Pancing
FPI Jaring. Insang
Bubu
Standardisasi C.Total (ton) Effort (trip)
CPUE
2003
1
0.1972
0.1085
8 281
23 482 0.3527
2004
1
0.1808
0.0953
7 288
23 010 0.3167
2005
1
0.1859
0.1034
7 710
25 529 0.3020
2006
1
0.1644
0.0819
7 793
23 467 0.3321
2007
1
0.1696
0.0906
9 102
24 967 0.3646
2008
1
0.1820
0.0932
8 665
27 450 0.3157
2009
1
0.1932
0.1222
6 352
29 753 0.2135
Total
7
1.2731
0.6952
55 191
177 657 2.1972
Rataan
1
0.1819
0.0993
7 884
25 380 0.3139
264
Lampiran 14 Estimasi konsumsi ikan impor dan konsumsi nyata di Gugus Pulau Batudaka Tahun
Estimasi Impor Konsumsi Konsumsi Konsumsi Konsumsi Estimasi Expor4 konsumsi dari hasil Aktual Loka11 Penduduk potensial1 Potensial Nyata 2 impor (ton) (ton) 3 (ton) tangkap (ton) (ton) (kg/kapita) (ton) 11325 22.40 253.68 9.06 11.51 2.53 254 245 11346 22.64 256.87 1.59 2.02 0.10 257 255 11710 22.60 264.65 24.01 30.49 10.70 260 241 11592 22.58 261.75 0.46 0.59 4.80 257 261 12287 24.50 301.03 6.76 8.58 7.80 295 294 12476 25.94 323.63 11.35 14.42 5.70 321 312 12811 28.28 362.30 29.21 37.10 4.04 366 333 13106 29.98 395.92 26.15 33.21 9.00 394 370
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 RataRata 24.87 302.48 13.57 288.90 12081.63 Keterangan : 1 Perhitungan berdasarkan data konsumsi ikan/kapita/tahun (DKP 2010) 2 IMt = (Kons pot – Kons Akt) x Penduduk tahun t 3 Koef tangkap, 27% dari total produksi (Wada 2002) 4 Data ekspor ikan BPS Kab. Tojo Una-Una (2005, 2009)
17.24
5.58
300.56
265
Lampiran 15 Formulasi model integrasi wisata dan perikanan di Gugus Pulau Batudaka Sector Wisata Jml_Wisatawan(t) = Jml_Wisatawan(t - dt) + (Total_BC_ha - EF_ha\cap\th) * dtINIT Jml_Wisatawan = 3000 INFLOWS: Total_BC_ha = BC_Buit_up+BC_Cropland+BC_Energy_ha+BC_Forest+BC_Pasture+BC_sea_spac e OUTFLOWS: EF_ha\cap\th = (Foot_Builtup_ha\kap\th+Foot_Food_&_Fibre+foot_Energy_ha\kap\th)*Jml_Wisata wan BC_Buit_up = Exist_Builtup_ha*YF_Built_up BC_Cropland = Exist_Crop_area_ha*YF_Cropland_ BC_Energy_ha = Exist_area_ha*YF_Energy BC_Forest = exist_forest_area_ha*YF_Forest BC_Pasture = exist_pasture_area_ha*YF_Pasture BC_sea_space = Exist_sea_area_ha*YF_Fishery cropland\ha\kap\th = 0.0758 Exist_area_ha = 2.38 Exist_Builtup_ha = 19.54 Exist_Crop_area_ha = 453.28 exist_forest_area_ha = 1839.6 exist_pasture_area_ha = 173.3 Exist_sea_area_ha = 2610 Foot_Aktivitas = (Luas_Area_Dive/Jml_Wisatawan/Lama_wisata)+(Luas_Area_Snork/Jml_Wisatawa n/Lama_wisata)+(Luas_Wst_Pantai/Jml_Wisatawan/Lama_wisata) Foot_Builtup_ha\kap\th = Foot_Aktivitas+Foot_Jalan+Foot_Pelabuhan+Foot_Penginapan foot_Energy_ha\kap\th = kons_Energy_GJ\kap/Jml_Energy_GJ\ha\th Foot_Food_&_Fibre = cropland\ha\kap\th+forest_ha\kap\th+Pasture_ha\kap\th+Sea_space_ha\kap\th Foot_Jalan = Luas_Jalan_ha/Jml_Wisatawan/Lama_wisata Foot_Pelabuhan = Luas_Pelab/Jml_Wisatawan/Lama_wisata Foot_Penginapan = Luas_Penginapan_ha/Jml_Wisatawan/Lama_wisata forest_ha\kap\th = 0.0452 Jml_Energy_GJ\ha\th = 2.38 kons_Energy_GJ\kap = 667/Jml_Wisatawan/Lama_wisata Lama_wisata = 5
266
Luas_Area_Dive = 78.7 Luas_Area_Snork = 129.4 Luas_Jalan_ha = 18.36 Luas_Pelab = 0.43 Luas_Penginapan_ha = 1.16 Luas_Wst_Pantai = 68.55 Pasture_ha\kap\th = 0.0387 Sea_space_ha\kap\th = 0.0550 YF_Built_up = 1 YF_Cropland_ = 1.7 YF_Energy = 1.3 YF_Fishery = 0.6 YF_Forest = 1.3 YF_Pasture = 2.2 Total_EF(t) = Total_EF(t - dt) + (Impor_EF + Konsumsi_Domestik_EF Ekspor_EF) * dtINIT Total_EF = 0.34 INFLOWS: Impor_EF = produkai_regional/Jml_Penduduk+data_impor/Jml_Penduduk Konsumsi_Domestik_EF = (Produksi_Lokal_+data_domestik)/(Jml_Penduduk+(Jml_Wisatawan)*(Lama_wisata /365)) OUTFLOWS: Ekspor_EF = Data_Ekspor/Jml_Penduduk Areal_lokal = 61052 Areal__Regional = 338575 data_domestik = 300.56 Data_Ekspor = 5.58 data_impor = 17.24 EF_Perikanan = Total_EF*faktor_ekivalen__laut faktor_ekivalen__laut = 0.06 produkai_regional = Produksi_Regional_per_area/Areal__Regional Produksi_Lokal_ = Produksi_lokal__per_area/Areal_lokal Jml_Penduduk(t) = Jml_Penduduk(t - dt) + (kelahiiran + Emigrasi - Imigrasi Kematian) * dtINIT Jml_Penduduk = 13500 INFLOWS: kelahiiran = Jml_Penduduk*Laju_Kelahiran Emigrasi = Jml_Penduduk*Laju_Emigrasi+((Jml_Wisatawan*(Lama_wisata/365)/Jml_Pendudu k)) OUTFLOWS: Imigrasi = Jml_Penduduk*Laju_imigrasi
267
Kematian = Jml_Penduduk*Laju_Kematian Laju_Emigrasi = 0.029 Laju_imigrasi = 0.014 Laju_Kelahiran = 0.012 Laju_Kematian = 0.003 Biomassa_Ikan_2(t) = Biomassa_Ikan_2(t - dt) + (Pertumbhan_Marginal_2 Kematian_3 - produksi_Lokal) * dtINIT Biomassa_Ikan_2 = 3.38 INFLOWS: Pertumbhan_Marginal_2 = Laju_pertmbuhan_Intrinsik_2 OUTFLOWS: Kematian_3 = Fraksi_Kematian__Normal_2*Rasio_Biomassa_Ikan_2 produksi_Lokal = Biomassa_Ikan_2*Fraksi_Tangkapan_2 Area_Fishing_Ground__Lokal = 61052 Daya_DUkung_2 = 0.501 Fraksi_Kematian__Normal_2 = Laju_pertmbuhan_Intrinsik_2 Fraksi_Tangkapan_2 = Jumlah_Trip_2*Koefisien_Tangkap_2 Jumlah_Trip_2 = 424 Koefisien_Tangkap_2 = 0.005 Laju_pertmbuhan_Intrinsik_2 = 0.308 Produksi_lokal__per_area = produksi_Lokal/Area_Fishing_Ground__Lokal Rasio_Biomassa_Ikan_2 = Daya_DUkung_2*Pertumbhan_Marginal_2 Biomassa_Ikan(t) = Biomassa_Ikan(t - dt) + (Pertumbhan_Marginal - Kematian_2 produksi__Regional) * dtINIT Biomassa_Ikan = 23452 INFLOWS: Pertumbhan_Marginal = Laju_pertmbuhan_Intrinsik OUTFLOWS: Kematian_2 = Fraksi_Kematian__Normal*Rasio_Biomassa_Ikan produksi__Regional = Biomassa_Ikan*Fraksi_Tangkapan Area_Fishing_Ground__Regional = 338575 Daya_DUkung = 7906 Fraksi_Kematian__Normal = Laju_pertmbuhan_Intrinsik Fraksi_Tangkapan = Jumlah_Trip*Koefisien_Tangkap Jumlah_Trip = 399849 Koefisien_Tangkap = 0.00000084 Laju_pertmbuhan_Intrinsik = 0.088 Produksi_Regional_per_area = produksi__Regional/Area_Fishing_Ground__Regional Rasio_Biomassa_Ikan = Daya_DUkung*Pertumbhan_Marginal