MOBILITAS SIRKULER DI INDONESIA (Dampak Sosial-Ekonomi Terhadap Keluarga Yang Ditinggalkan) Oleh: Kelompok 3 (Mincie H Ubro, Restu Krisnata, Wiji Nogroho)
1.1.
Latar Belakang Mobilitas penduduk memiliki kaitan erat dengan pembangunan sebab
mobilitas penduduk merupakan bagian integral dari proses pembangunan secara keseluruhan. Artiya tidak ada pembangunan tanpa mobilitas penduduk dan begitu pula sebaliknya tidak ada mobilitas penduduk tanpa adanya pembanguan. Tinggi rendahnya mobilitas penduduk penduduk di suatu daerah akan berpengaruh terhadap strategi pembangunan yang dipilih, sehingga pembangunan akan betul-betul meningkatkan kesejahteraan seluruh penduduk atau masyarakat yang mendukung pembangunan tersebut. Pada pihak lain intensitas dari pembangunan di suatu daerah juga berpengaruh terhadap mobilitas penduduk, arus mobilitas penduduk ke daerah tersebut akan besar apabila intensitas pembangunannya tinggi, dan begitu juga sebaliknya. Mobilitas penduduk telah ada sejak manusia itu ada di permukaan bumi, mobilitas dilakukan untuk mempertahankan hidup dan disebabkan karena adanya kesenjangan antara satu wilayah dengan wilayah yang lain. Dimana pada dasarnya mobilitas penduduk adalah pergerakan penduduk secara geografis yang melewati batas wilayah dalam periode tertentu dengan tujuan baik untuk memenuhi kebutuhan ekonomi maupun kebutuhan sosial lainnya. Beberapa ahli, Lee (1966), Todaro (1979), Titus (1982) dalam Mantra (1989), berpendapat bahwa motivasi seseorang untuk pindah adalah motif ekonomi. Motif tersebut berkembang karena adanya ketimpangan ekonomi antar daerah. Todaro menyebutkan motif utama tersebut sebagai pertimbangan ekonomi yang rasional. Mobilitas ke perkotaan mempunyai dua harapan yaitu memperoleh pekerjaan dan harapan memperoleh pendapatan yang lebih tinggi daripada yang diperoleh dipedesaan. Dengan demikian mobilitas desa kota sekaligus mencerminkan adanya ketidakseimbangan antara desa dan kota, oleh karena itu, arah pergerakan penduduk juga cenderung menuju kota yang memiliki kekuatan-kekuatan ekonomi yang lebih besar dan diharapkan mampu memenuhi kebutuhan ekonomi mereka. 1
Pola perpindahan penduduk Indonesia telah diwarnai oleh mobilitas permanen (menetap di daerah tujuan) dan non permanen (yang tidak menetap di daerah tujuan) dengan arah yang berubah (Ananta dan Chotib, 1996). Pada kota-kota besar yang menjadi daerah tujuan mobilitas permanen telah terjadi perambatan pada daerah sekitar kota tersebut, yang menyebabkan menurunnya tingkat migrasi masuk pada kota besar tersebut dan meningkatnya migrasi masuk ke daerah sekitarnya. Menurunnya migrasi masuk pada kota besar tersebut diimbangi dengan meningkatnya mobilisasi non permanen baik sirkuler maupun ulang alik (commuting) yang berasal dari daerah sekitarnya. Secara sosiologis, migrasi atau mobilitas dari desa-kota tidak sekedar gerak yang berkenaan dengan lintasan batas-batas geografi. Lebih mendasar lagi, gerak ini merupakan wahana melintasi batas-batas budaya agraris-tradisional dengan budaya industrial–modern. Migrasi berasal dari desa, di mana wujud kesatuan atas dasar tinggal dekat dan atas dasar keturunan masih dijunjung tinggi. Kehidupan sosial dan ekonomi bertumpang tindih dalam tindakan kolektif karena adanya saling ketergantungan ekologi maupun proses-proses biologi dalam berproduksi. Interaksi antar tetangga rumah, tetangga dusun dan
tetangga desa berlangsung dengan
berhadapan muka dan bersifat mendalam. Waktu senggang yang digunakan untuk membangun hubungan silaturahmi dan bercengkerama dengan masyarakatnya cukup besar dan dipandang sebagai kebutuhan mendasar. Peningkatan mobilitas non permanen pada kota besar dan sekitarnya, disebabkan karena naiknya harga lahan di perkotaan karena permintaan yang tinggi menyebabkan pemukiman penduduk yang terjangkau menjauh dari pusat kota dan terus bergeser keluar, selanjutnya terjadi pembangunan skala besar dan kota-kota baru. Fenomena mobilitas sirkuler menjadi hal yang umum bagi penduduk yang mempunyai ketidakcocokan geografis antara tempat tinggal dan tempat kegiatan. Tempat tinggal yang terjangkau semakin jauh dari pusat kegiatan di kota berakibat penduduk akan dihadapkan pada perjalanan yang cukup jauh (panjang) sehingga memutuskan untuk memondok/menetap untuk beberapa bulan. Hal inilah yang kemudian disebut mobilitas sirkuler. Informasi mengenai mobilitas sirkuler di Indonesia masih minim dan studistudi yang tersedia masih terbatas jumlah, pola dan karekteristiknya pada cakupan wilayah yang kecil. Oleh karena itu tulisan ini bermaksud untuk memberikan
2
gambaran umum tentang mobilitas sirkuler di Indonesia ditinjau dari berbagai literatur yang ada.
1.2.
Mobilitas Penduduk Manusia sebagai makhluk sosial senantiasa terus bergerak, melewati batas
sosial maupun kewilayahan untuk meningkatkan kemampuan dan kapasitasnya dalam upaya menuju kesejahteraan (Tirtosudarmo, 2009). Mengacu pada Swanson dan Siegel (2004), dilihat dari konsep demografi, mobilitas mengacu pada perpindahan penduduk secara kewilayahan, fisik maupun geografi. Berbeda dengan konsep sosiologi dimana mobilitas dilihat dari sudut pandang perubahan status, misalnya pekerjaan. Para demografer menggunakan istilah yang lebih dikenal yakni migrasi yang didefinisikan sebagai mobilitas melewati batas wilayah administrasi maupun politik, misalnya negara, kota atau kabupaten. Pembangunan yang tidak merata, terutama antara desa-kota, mendorong terjadinya perpindahan penduduk melewati batas kewilayahan dari desa ke kota baik karena alasan pendidikan, pekerjaan maupun perkawinan. Pergerakan penduduk ini ada yang semula karena pindah sementara di tempat tujuan untuk beberapa hari, tetapi terus menetap. Bahkan hanya sementara saja yaitu gerakan harian, mingguan, bulanan dan tahunan, kemudian kembali ke tempat asal.
→ Mobilitas Penduduk (MP)
→
MP vertical (Perubahan Status)
↑ →
↓
MP horisontal (MP geografis)
→
MP Permanen (migrasi)
→ →
MP non permanen (MP Sirkuler)
→
Ulang-alik (commuting)
→
Menginap/ Mondok
→
Skema Bentuk - Bentuk Mobilitas Penduduk Sumber : Mantra ( 2000, hal 230)
3
Terkait mobilitas penduduk Mantra (1983) membagi jenis mobilitas menjadi 2 (dua) yakni; mobilitas permanen dan mobilitas non permanen; perbedaan antara mobilitas permanen dan mobilitas non permanen didasarkan pada ada tidaknya niatan untuk menetap di daerah tujuan. Menurut Mantra (2000), mobilitas permanen adalah gerak penduduk yang melintasi batas daerah asal ke daerah lain dengan ada niatan untuk menetap di daerah tujuan. Sebaliknya mobilitas penduduk non permanen adalah gerak penduduk dari suatu daerah ke daerah yang lain dengan tidak ada niatan menetap di daerah tujuan. Namun, jika hanya melihat pada niatan menetap akan muncul permasalahan pada pengukuran jenis mobilitas permanen atau non permanen. Hugo (1978) dalam Oberai (1987) mengadopsi batasan 6 (enam) bulan seseorang menetap pada suatu wilayah secara terus menerus tanpa kembali ke daerah asal termasuk dalam mobilitas permanen (long term migration). Sedangkan mereka yang melakukan mobilitas yang tinggal di suatu wilayah tertentu tapi kembali (melakukan kunjungan) ke daerah asal sebelum 6 (enam) bulan masuk dalam kategori mobilitas non permanen. Mantra (1989) sendiri membagi mobilitas penduduk non permanen menjadi 2 (dua) yaitu; (1) ulang alik (commuting) dan (2) menginap atau mondok (circulation) di daerah tujuan. Perbedaan antara ulang alik (commuting) dan menginap atau mondok (circulation) adalah pada batas waktu kembali ke daerah asal. Untuk mobilitas ulang alik (commuting), suatu studi di Indonesia oleh Mantra tahun 1981 mendefinisikannya dengan batasan kembali ke daerah asal pada hari itu juga atau pada batas waktu lebih dari 6 (enam) jam dan kurang 1 (satu) hari (Oberai, 1987). Sedangkan definisi mobilitas menginap atau mondok (circulation) adalah dilihat dari lamanya meninggalkan daerah asal lebih dari 1 (satu) hari tetapi kurang dari 6 (enam) bulan (Mantra, 2000). Mobilitas dengan menginap atau mondok (circulation) ini oleh Hugo (1978) dalam Oberai (1987) disebut sebagai migrasi sirkuler (circular migrants). Oberai (1987) memasukan para pelaku mobilitas non permanen (circulation) pada kelompok temporary migrants dimana mereka melakukan perubahan tempat aktivitas (kerja) di luar wilayah yang biasa ditinggali. Mobilitas tipe ini mempunyai ciri perpindahan dengan tujuan jangka pendek dengan intensitas yang tinggi kembali ke daerah asal. Keputusan seseorang untuk melakukan migrasi merupakan suatu keputusan yang telah dirumuskan secara rasional, yakni seseorang mempunyai harapan untuk 4
memiliki income yang lebih tinggi dibandingkan daerah asal (Todaro, 2006). Lebih lanjut menurut Mantra (1999) keputusan untuk melakukan mobilitas penduduk dapat dijelaskan melalui teori kebutuhan dan tekanan (need dan stress), apabila kebutuhan tidak dapat terpenuhi maka terjadi tekanan atau stress. Kondisi yang disebabkan terjadinya tekanan atau stress dapat dibagi 2 (dua) yaitu (a): masih dalam batas toleransi dan masih bisa menyesuaikan dengan kondisi lingkungan sehingga memutuskan tidak pindah; (b) apabila tekanan atau stress yang dialami di luar batas toleransinya, seseorang mulai memikirkan untuk pindah ke daerah lain dimana kebutuhannnya dapat terpenuhi.
Kebutuhan (need) dan aspirasi ↓ ↓ Terpenuhi
↓ Tidak terpenuhi (stres) ↓
↓
↓ Dalam batas toleransi ↓
↓ Di luar batas toleransi ↓
Tidak Pindah
Tidak pindah
Pindah
↓ Mobilitas nonpermanen ↓ ↓ Komuter (ulang-alik)
↓ Menginap/ mondok
Hubungan antara Kebutuhan dan Pola Mobilitas Penduduk Sumber : Mantra (2000, hal 233)
Bentuk mobilitas non permanen diungkapkan pula oleh Zelinsky (1971) dalam teori transisi mobilitas penduduk, dimana Zelinsky menunjukan adanya pola hubungan antara pembangunan ekonomi dan tipe mobilitas penduduk, yakni pola pertumbuhan mobilitas penduduk merupakan proses dari modernisasi. Zelinsky membagi transisi mobilitas menjadi 5 (lima) tahapan, mulai dari tahap masyarakat tradisional, dimana mobilitas permanen dan non permanen sangat sedikit dan terbatas hingga tahap masyarakat pasca industri dimana mobilitas permanen menurun dan mobilitas non permanen semakin meningkat akibat teknologi komunikasi. Namun 5
pada kenyataannya meningkatnya mobilitas non permanen, terutama di Negara Asia, tidak harus sampai pada masa masyarakat pasca industri. Hal ini terutama diakibatkan meningkatnya moda transportasi maupun komunikasi. Skeldon (1990) dalam sudibia (2007)
mengembangkan transisi mobilitas
pemikiran zenlinsky menjadi 7 (tujuh) tahap, yaitu : (1) masyarakat pra-transisi; (2) masyarakat transisi awal; (3) masyarakat transisi menengah; (4) masyarakat transisi akhir; (5) masyarakat mulai maju; (6) masyarakat mau lanjut; (7) masyarakat super maju. Mobilitas sirkuler merupakan pergerakan penduduk yang bersifat sementara dan ada niatan dari mobilisan untuk tinggal dalam jangka waktu tertentu di daerah lain. Seperti yang diungkapkan Steel (dalam Mantra, 1985) yang menyatakan bahwa “apabila seseorang yang berpindah dari daerah lain tetapi sejak semula sudah bermaksud kembali ke daerah asal, maka perpindahan tersebut dapat dianggap sebagai mobilitas sirkuler bukan migran”. Perilaku migran juga menunjukan hal yang berbeda, dimana migran permanen memboyong seluruh anggota keluarga dan menetap di tempat tujuan, sedangkan para migran sirkuler meskipun bekerja di tempat tujuan, tetapi keluarga umumnya masih tinggal di daerah asal. Dengan kata lain, para migran sirkuler meninggalkan daerah asalnya hanya untuk mencari nafkah, tetapi mereka menganggap tempat tinggal permanen mereka adalah tetap di daerah asal, di mana istri dan anak-anaknya tinggal (Jellinek, 1986 dalam Haryono, 1999) 1.3.
Faktor – Faktor Penyebab Mobilitas Sirkuler Adanya perbedaan yang berarti antara perkotaan dan perdesaan dari segi
ekonomi dan kesempatan kerja akan menyebabkan mobilisasi. Makin tinggi perbedaan maka makin tinggi pula orang akan melakukan mobilisasi. Alasan utama meraka melakukan mobilisasi adalah alasan ekonomi. Seperti disampaikan sebelumnya, bahwa keputusan bermigrasi cenderung diakibatkan motif ekonomi, demikian juga mobilitas sirkuler di banyak negara Asia, pada umumnya disebabkan kemiskinan di daerah perdesaan merupakan faktor penting yang menjadi pendorong para migran meninggalkan desanya menuju daerah-daerah yang memiliki lebih banyak kesempatan ekonomi (Oberai, 1983). Hal ini menunjukan pendapatan yang rendah di sektor pertanian, produktivitas rendah dan gejala 6
underemployment yang parah. Pilihan menentukan keputusan melakukan mobilitas non permanen disebabkan oleh adanya dua kekuatan yang ada di daerah asal yakni kekuatan sentripetal (bersifat mengikat seseorang untuk tetap tinggal) dan sentrifugal (bersifat mendorong seseorang meninggalkan daerah asal). Kekuatan sentripetal antara lain: keterikatan pada warisan, menunggu orang tua yang sudah lanjut, adanya kegotongroyongan, dan daerah asal sebagai tempat kelahiran nenek moyang. Sedangkan kekuatan sentrifugal antara lain: terbatasnya pasar kerja dan terbatasnya fasilitas pendidikan (Mantra, 1999 dalam Sudibia, 2007).
Kekuatan sentripetal (+) MP nonpermanen Daerah Asal
O
O
Daerah Tujuan
MP sirkuler (-) Kekuatan sentrifugal Kekuatan Sentrifugal dan Sentripetal yang seimbang, dan Keputusan Melakukan Mobilitas Non Permanen Sumber. Mantra (2000, hal 240),
Keputusan untuk melakukan mobilitas akan sulit jika kedua kekuatan tersebut sama besar. Akibatnya muncul pilihan dimana para penduduk tetap melakukan mobilitas (sirkuler) keluar daerah asal untuk alasan ekonomi ataupun sosial lainnya namun masih dapat menjaga hubungan yang erat dengan daerah asal dengan intensitas kembali ke daerah asal yang lebih cepat. Hubungan sosial para pelaku mobilitas sirkuler tetap terjaga, demikian juga informasi yang dibawa dari tempat tujuan menjadi daya tarik bagi penduduk daerah asal untuk memutuskan melakukan mobilitas sirkuler. Keputusan melakukan mobilitas sirkuler selain faktor ekonomi dijelaskan dalam terori Altruism and The Dynastic Model oleh MoonJoong Tcha (1996), yang menggabungkan aspek ekonomi dan non ekonomi, dimana keputusan diambil sebagai langkah akibat tingginya besarnya faktor altruistic orang tua terhadap anak (altruism 7
diartikan sebagai sifat ingin menyenangkan atau memperhatikan kepentingan orang lain). Semakin besar faktor altruistic orang tua terhadap anak, semakin besar peluang migrasi meskipun dengan kompensasi yang lebih kecil, karena utilitas anak lebih penting dan memiliki bobot yang lebih besar. Dilihat dari perilakunya, Haryono (1999) menunjukan bahwa para pelaku mobilitas sirkuler selalu mengembangkan dan memelihara jaringan sosial terutama mereka dari desa yang sama. Jaringan sosial seperti ini merupakan strategi untuk menjalankan pekerjaan maupun mengembangkan usaha terutama pada awal beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Tak heran jika jenis pekerjaan bahkan tempat kerja pelaku mobilitas sirkuler cenderung seragam untuk daerah asal yang sama akibat pola recruitment dari jaringan sosial yang baik. Senada dengan penelitian Romdiati dan Noveria (2008) di Surabaya misalnya pelaku mobilitas sirkuler dari Lamongan banyak bekerja di sektor makanan jadi (pecel lele, soto, dll), mereka yang berasal dari Solo berdagang bakso bagi laki-laki atau jamu bagi perempuan, sedangkan dari Madura banyak bekerja sebagai pengumpul barang bekas (pemulung). Kondisi ini masih sejalan dengan penelitian terdahulu oleh Universitas Gadjah Mada (1986) di 6 (enam) kota besar di Indonesia bahwa sebagian besar (86 persen) para pelaku mobilitas sirkuler memperoleh pekerjaan melalui kawan, kerabat atau saudara yang telah berada di daerah tujuan sebelumnya sehingga jenis pekerjaan dari daerah asal yang sama cenderung homogen. Pada mobilitas sirkuler internasional, penelitian di Iban Kalimantan Barat tahun 1997 oleh Wadley, laki-laki melakukan mobilitas sirkuler melintasi batas negara menuju Malaysia dan Brunei selain dikarenakan gaji yang lebih tinggi juga akibat nilai tukar yang lebih stabil. Kondisi hidup yang buruk dalam hubungannya dengaan bahaya alam yang kritis seperti kekeringan, banjir kelaparan, cenderung mendorong orang untuk bergerak mencari penghidupan yang lebih baik di daerah perkotaan. Dengan demikian rumah tangga pedesaan memaksimalkan kesempatan mereka untuk bertahan hidup dengan mengirimkan beberapa anggota keluarga untuk mencari sumber-sumber pendapatan lain yang tidak mereka dapatkan di tempat tinggal mereka. Andresson, (2001) dalam Beguy, et (2007) Peningkatan Prasarana transportasi dan komunikasi juga mempengaruhi mempengaruhi migrasi (Mantra, 2000). Dengan tersedianya sarana transportasi seperti angkutan umum dan pembangunan sarana jalan, pelaku mobilitasi cenderung 8
meningkat, terutama mobilitas sirkuler. Berkenan dengan berkembangnya teknologi dan informasi maka memungkinkan untuk masyarakat pedesaan mencari informasi, dimana dengan informasi tersebut maka mendorong masyarakat untuk berpindah atau mencari kehidupan yang lebih baik maupun memperoleh fasilitas yang lebih memadai. Keputusan untuk melakukan mobilitas dilihat dari masing-masing individu tergantung dari banyaknya informasi yang didapat di berbagai daerah tujuan. Banyaknya informasi yang ada serta serta penerimaan informasi berbeda antara individu, sehingga keputusan yang diambilpun akan berbeda. Hasil ini sejalan dengan teori migrasi Competing Destinations Model Pasquale yang di kemukakan oleh A. Pellegrini and A. Stewart Fotheringham, 2002.
1.4.
Karakteristik Pelaku Mobilitas Sirkuler Motivasi penduduk untuk melakukan mobilitas sirkuler dipahami sebagai
harapan untuk meningkatkan kondisi perekonomian rumah tangga yang ditinggalkan. Untuk itu mereka berusaha untuk menekan pengeluaran selama berada di daerah tujuan. Misalnya dengan tinggal di tempat dengan sewa yang murah, bahkan menumpang pada keluarga atau para pelaku mobilitas sirkuler sebelumnya. Jaringan sosial (networking) dan kepercayaan (trust) terhadap sesama pelaku berkontribusi positif dalam beradaptasi dengan lingkungan baru (Haryono, 1999). Jaringan sosial (networking) dan kepercayaan (trust) pada dasarnya merupakan bagian dari modal sosial (Fukuyama, 2000), sehingga dapat dikatakan pelaku mobilitas sirkuler mempunyai modal sosial yang tinggi terutama mereka yang berasal di daerah asal yang sama. Dampak buruknya ketika mereka menempati wilayah yang tidak layak huni dan sempit (akibat terlalu banyak orang yang tinggal dalam satu rumah), maupun wilayah kumuh memberikan permasalahan tersendiri bagi daerah tujuan. Belum lagi kebanyakan pelaku mobilitas sirkuler tidak merespon kebijakan pemerintah terkait administrasi kependudukan (Romdiati dan Noveria, 2008). Salah satu karakteristik pelaku mobilitas sirkuler sesuai beberapa penelitian (UGM; 1986,Hidayat;1991, Romdiati dan Noveria; 2008) berpendidikan rendah (SD atau SMP) dan didominasi kaum laki-laki. Kebanyakan dari mereka bekerja di sektor informal dibandingkan sektor formal karena memerlukan keahlian khusus. Dilihat 9
dari struktur umur mereka merupakan kelompok umur produktif (antara 15-44 tahun) dan berasal dari rumah tangga miskin di desa. Kulu dan Milewski (2006); Lututala (1995) dalam Beguy (2007) menyatakaan bahwa perubahan dalam kehidupan pendidikan, keluarga dan profesional dianggap sebagai alasan utama mengapa orang harus bergerak dari tempat asal ke daerah baru. Lututala (1993) menemukan bahwa sekolah (sekolah menegah dan perguruan tinggi) adalah motif utama migrasi pertama Republik Demokratik Kongo, karena akses pendidikan seringkali jauh dari tempat tinggalnya. Juga ketika lulus dari sekolah menyebabkan orang muda untuk pindah ke daerah lain dimana kesempatan kerja sesuai dengan keahlian mereka Karakter lain dari pelaku non permanen adalah mempunyai hidup hemat yang lebih kuat. Mereka terpaksa menginap dengan fasilitas seadanya karena upaya menabung atau menyisihkan uang untuk dibawa atau dikirim kedaerah asal. Hal ini sebagai akibat dari alasan mereka pergi dari daerahnya untuk mencari pekerjaan yang dapat meningkatkan kehidupan keluarga. Conell et al (1976) dalam Saefullah (1996) yang menyimpulkan bahwa upaya pelaku mobilitas tersebut merupakan refleksi dari kemiskinan dan sulitya kesempatan untuk menabung di daerah asal. Menurut Ananta, 1995 karakteristik mobilitas sirkuler adalah : a. Kelompok penduduk potensial, dimana umumnya pelaku mobilitas sirkuler terdiri dari kelompok umur yang potensial, kebanyakan berumur antara 20 -40 tahun. Orang orang tersebut masih mempunyai idealis penuh dan semangat dan punya peranan besar dalam kegiatan-kegiatan pembangunan. b. Dominasi penduduk laki-laki: sebagian besar pelaku mobilitas sirkule terdiri dari penduduk laki-laki, salah satu factor yang menyebabkan adalah kehidupan sosial budaya yang menyangkut kebebasan peremppuan untuk bepergian hal ini disebabkan juga karena laki-laki dianggap bertanggung jawab terhadap keluarga, mempunyai peluang yang lebih besar untuk melakukan mobilitas sirkuler untuk mencukupi kebutuhan perkenomian keluarga yang ditinggalkan. c. Pendidikan rendah: akibat pendidikan yang ditamatkan rendah berdampak pada sektor-sektor utama sebagai tujuan para migran, yakni sektor informal. Pekerjaan di sektor informal tidak memerlukan keahlian khusus. Disamping itu mereka dapat keluar masuk dengan mudah untuk mencari pekerjaan yang cocok dan menguntungkan.
10
d. Kelompok keluarga miskin: dapat dipahami bahwa keputusan untuk melakukan mobilitas sirkuler banyak dipengaruhi faktor ekonomi. Tidak heran jika kebanyakan dari mereka berasal dari kelompok keluarga miskin di daerah asalnya. e. Bersikap hemat: demi mengumpulkan uang yang semaksimal mungkin di daerah tujuan, mereka mengurangi pengeluaran dengan berhemat. Misalnya tempat tinggal seadanya maupun konsumsi yang minimal. Hal ini ditujukan untuk memaksimalkan penghasilan yang diterima di daerah tujuan guna keperluan remitan (pengiriman ke keluarga yang ditinggalkan).
1.5.
Konsep Definisi Keluarga dan Sosial Ekonomi
1.5.1.
Konsep dan Defenisi Keluarga Dalam Undang-Undang RI nomor 52 tahun 2009 tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga mendefinisikan keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri atau suami, istri dan anak, atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya. Atau dengan kata lain defenisi keluarga merupakan suatu kelompok yang terdiri dari dua orang atau lebih yang direkat oleh ikatan darah, perkawinan, adopsi serta tinggal bersama. Pengertian keluarga di atas secara sosiologis menunjukkan bahwa dalam keluarga itu terjalin suatu hubungan yang sangat mendalam dan kuat, bahkan hubungan tersebut bisa disebut hubungan lahir batin. Bentuk keluarga sangat berbeda antara satu masyarakat dan masyarakat lainnya. Bentuk ini dapat dilihat dari jumlah anggota keluarga, yaitu keluarga batih (nuclear family) dan keluarga luas (extended family). a. Keluarga Batih (Nuclear Family) Keluarga batih ialah kelompok orang yang terdiri dari ayah, ibu dan anakanaknya yang belum memisahkan diri dan membentuk keluarga tersendiri. Keluarga ini bisa juga disebut sebagai keluarga conjugal (conjugal family), yaitu keluarga yang terdiri dari pasangan suami istri bersama anak-anaknya. b. Keluarga Luas (Extended Family) Keluarga luas, yaitu keluarga yang terdiri dari semua orang yang berketurunan dari kakek dan nenek yang sama termasuk keturunan masing-masing istri dan suami. Dengan kata lain, keluarga luas ialah keluarga batih ditambah kerabat lain yang memiliki hubungan erat dan senantiasa dipertahankan. Sebutan keluaraga yang 11
diperluas (Extended Family) digunakan bagi suatu sistem yang masyarakatnya menginginkan beberapa generasi yang hidup dalam suatu atap rumah tangga. Kondisi berbeda ini tentunya mempunyai dampak yang berbeda terhadap keputusan untuk melakukan mobilitas non permanen. Demikian pula dengan dampak yang akan diterima ketika ditinggalkan salah satu keluarga yang melakukan mobilitas non permanen. Baik itu penggunaan remitan hasil kiriman dari para migrant maupun kehidupan bermasyarakat di daerah yang ditinggalkan.
1.5.2.
Konsep dan Definisi Sosial Ekonomi Konsep sosial ekonomi tidak dapat dilihat secara bersama-sama namun dapat
dilihat sebagai suatu gabungan antara definisi sosial dan ekonomi itu sendiri. Definisi dalam tulisan ini mengenai kondisi sosial diantaranya pendidikan. Sementara kondisi ekonomi dapat dilihat dari aspek perumahan, konsumsi rumah tangga, asset, maupun modal usaha.
1.6.
Dampak Sosial Ekonomi Terhadap Keluarga Daerah Asal Migrasi Sirkuler banyak terjadi di Indonesia dan dapat memberikan dampak
sosial ekonomi terhadap keluarga yang ditinggalkan di daerah asal. Sebagian besar pelaku migran sirkuler adalah laki-laki. Ketidakdaan kepala rumah tangga dalam kurun waktu tertentu mempengaruhi rumah tangga yang ditinggalkan. Terjadi perubahan dan pengaturan peranan dan struktur keluarga sehingga peranan berupa kegiatan-kegiatan eksternal yang biasanya diperankan oleh laki-laki sebagai kepala rumah tangga mulai bergeser dan di perankan oleh wanita. Di dalam rumah tangga, peranan wanita bertumpu pada rumah tangga dan melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, sedangkan di luar rumah tangga, peranan wanita bertumpu pada status posisi kepala rumah tangga, seperti pencari nafkah tambahan ataupun hubungan sosial dalam upaya tetap menjalin hubungan dan peranan serta dalam kegiatan-kegiatan masyarakat. Para istri yang ditinggal suami melakukan migran menyadari bahwa memelihara, membesarkan dan membina anak adalah tugas dan tanggungjawab orang tua. Istri yang ditinggalkan suami, tentu memiliki tugas dan tanggung jawab yang lebih besar terhadap anak dalam memelihara, membesarkan dan membina
anak jika dibandingkan
seandainya ada suami di rumah. Pada saat tidak ada suami, maka istri mengambil alih tanggungjawab suami di rumah. Hal ini sesuai dengan Hugo 1990, bahwa terpisahnya antara suami dan istri untuk jangka waktu yang lama, menyebabkan wanita dan anak-anak kadang12
kadang mengambil
alih peran-peran yang selama ini secara tradisional tidak pernah
dilakukannya. Dengan adanya migrasi sirkuler, maka suami tidak ikut memelihara, membesarkan dan mendidik anaknya. Anak-anak kadang mencari-cari dan menanyakan bapaknya terutama waktu ada masalah misalnya sakit, waktu dimarahi ibunya atau berkelahi dengan sesama anak-anak. Pada saat itu, anak-anak mengharapkan adanya kasih sayang dan perlindungan dari bapaknya sementara bapaknya bermigran. Hal ini berdampak negatif terhadap kondisi psyikologi anak seperti menjadi kurang perhatian terhadap tugas dan tanggungjawab bapak terhadap anak, sehingga dapat mempengaruhi sosialisai anak dengan lingkungan.
Bagi para pelaku migran sirkuler, setelah kembali sebagian dari pendapatan mereka selain untuk keluarga tetapi meraka juga turut berpartisipasi dalam memberikan bantuan – bantuan kepada kegiatan – kegiatan sosial/keagamaan pada daerah asal Kontribusi para pelaku migrasi sirkuler terhadap kehidupan sosial berkaitan erat dengan penyelenggaraan berbagai kegiatan adat/upacara di daerah asalnya. (Sudibia, 2007). Remitan merupakan hasil dari yang didapatkan dari daerah tujuan baik berupa uang ataupun barang yang dikirimkan pada keluarga yang ditinggalkan di daerah asal. Para pelaku mobilitas sirkuler mengirimkan uang atau barang dalam jangka waktu tertentu, misalnya sebulan atau setiap menerima gaji. Bahkan beberapa mengantarkan langsung ke daerah asal selain untuk bertemu keluarga dan menjalin hubungan sosial daerah asal (Hidayat 1991). Mereka biasanya pulang ke daerah secara teratur misalnya satu bulan atau dua bulan sekali, atau setidaknya pada waktu hari besar keagamaan misalny Idul Fitri, Idul Adha atau Natal. Selain itu bagi yang mempunyai lahan pertanian tujuan pulang ke daerah asal untuk mengambil hasil panen. Intensitas pulang ke daerah asal pada penelitian di Surabaya oleh Romdiati dan Noveria (2008) menunjukan bahwa 27 persen pelaku mobilitas sirkuler pulang ke daerah asal minimal satu kali dalam sebulan. Pengiriman uang dalam jangka waktu lama dan terus menerus akan meningkatkan kondisi sosial ekonomi rumah tangga yang ditinggalkan. Terlihat dari penelitian di Kabupaten Wonogiri oleh Hidayat (1991), perubahan terlihat pada meningkatnya konsumsi rumah tangga, kualitas perumahan, sarana rumah tangga, pendidikan anak, hingga akumulasi modal baik dalam bentuk usaha maupun kepemilikan tanah. Sejalan dengan penelitian tahun 1986 oleh UGM di 6 (enam) kota besar di Indonesia, bahwa rumah tangga yang mengirim pelaku mobilitas sirkuler 13
mengalami peningkatan secara ekonomi, baik dilihat dari keadaan makanan dan pakaian, maupun perumahan. Kontribusi remitan tidak hanya dirasakan anggota keluarga yang ditinggalkan namun juga oleh komunitas daerah asal. Secara alami akan memicu perekonomian dan pembangunan daerah asal lebih baik. Penelitian di Kabupaten Ngawi oleh Subidia tahun 1985 menunjukan perbaikan ekonomi terlihat dari semakin merata distribusi pendapatan di daerah asal dilihat dari koefiesien Gini yang makin menurun dari 0,4461 menjadi 0,3022 (Subidia, 2004). Hasil pengiriman remitan untuk daerah asal di Bali misalnya, untuk kegiatan sosial antara lain membangun fasilitas desa, atau sumbangan perayaan hari besar keagamaan. Disamping uang atau barang transfer knowledge dan informasi dan perkembangan di kota menjadi hal yang positif. Melihat besarnya pengaruh remitan terhadap perbaikan ekonomi baik untuk keluarga di daerah asal maupun secara kewilayahan wajar jika kejadian mobilitas sirkuler semakin tinggi di Indonesia. Mobilitas sirkuler juga dapat berdampak juga pada peningkatan ketrampilan migran / human capital dan kesehatan. Seperti yang diungkapkan oleh Thom (2009) menyatakan bahwa migrasi sementara dapat meningkatkan ketrampilan, dimana jika migran belajar ketrampilan yang berharga ketika mereka sementara bekerja maka mampu mentransfer ketrampilan tersebut untuk bekerja kembali di daerah asal. Lebih lajut dikatakan bahwa jika peningkatan ketrampilan tidak terjadi, itu dapat menunjukan bahwa migrasi sirkuler skala besar mungkin menguntungkan perekonomian dan meningkatkan saham dari human capital. Sisi negatif mobilitas sirkuler terkait kesehatan, seperti di Negara Afrika, diantaranya dapat mendorong penularan HIV di daerah asal mereka karena menjembatani populasi melalui praktekpraktek seksual dan narkoba. Ojeda, Burgos, et ( 2011)
1.7.
Beberapa Hasil Penelitian Mobilitas Sirkuler di Indonesia
1.7.1. Mobilitas Sirkuler Penduduk di Ujung Pandang (Sulawesi Selatan). Studi Mobilitas Penduduk di Enam Kota Besar di Indonesia editor. Dr Ida Bagus Mantra Hasil penelitian menunjukan bahwa penduduk Selawesi Selatan bahwa migrasi sirkuler didominasi oleh penduduk berumur 15 -64 tahun, dengan tingkat
14
pendidikan yang yang rendah dimana pekerjaan utama adalah petani halini didukung dengan kondisi daerah sulawese selatan sebagai daerah agraris. Factor yang mendorong mereka melakukan migrasi antara lain: karena penghasilan yang rendah di daerah asal sehingga iningi memperoleh penghasilan yang tinggi di kota, mempunyai lahan pertanian yang sempit, bahka ada yang tidak ada mempunyai lahan pertanian, serta menambah pengalaman. Dampak yang terlihat dari hasil penelitian ini antara lain : 1. Dampak Migrasi Terhadap Daerah Asal Terhadap derah asal, migran diharapkan ntuk memberikan sumbangan pemikiran, gagasan atau pendapat dalam hal tertentu dari pengalaman migran sendiri selama tinggal di kota. Dalam hal ini migran dapat memberikan pendapat dalam perbaikan dan peningkatan berbagai aspek kehidupan di desa seperti bidang sosial, pendidikan, keamanan, ekonomi dan sebagainya. 2.
Dampak Migrasi Terhadap Keluarga Hasil penelitian menunjukkan menyatakan bahwa mutu makanan keluarga di
desa selama migran bekerja di kota menjadi “lebih baik”. Demikian pula dalam hal perbaikan pakain keluarga dan kehidupan rumah tangga. Namun ada pula aspek yang ternyata tidak mengalami perbaikan selama migran bekerja ke kota, yaitu : tempat tinggal. Pada aspek tersebut migran belum merasakan pengaruhnya, tetapi tidak ada yang menyatakan bahwa keadaan tempat tinggalnya menjadi lebih buruk. Hal sama juga terjadi pada aspek kebutuhan pendidikan, bantuan sosial, alat hiburan dan alat transportasi dimana jumlah migran yang belummerasakan pengaruhnya yang ositif nampak lebih banyak dibanding yang menyatakan ada pengaruh yang lebih baik. Pendapatan migran masih terbatas dialokasikan pada aspek perbaikan makanan sehari-hari dan pakaian keluarga, begitu pula terhadap perbaikan kehidupan rumah tangga. 3.
Keberhasilan Menyalurkan Tenaga Kerja Dambaan seorang migran ke kota adalah untuk memperoleh pekerjaan agar
mereka dapat meningkatkan taraf hidupnya bersama keluarga yang ditinggalkan di desa. Ternyata para responden berhasil membantu migran-migran baru untuk memperoleh pekerjaan walaupun pekerjaan tersebut hanya pekerjaan kasar, antara lain sebagai tukang becak (angkutan), buruh bangunan dan buruh industri. 4. Pemberian atau Pengiriman Uang dan Barang
15
Pemberian atau pengiriman unag kepad suami atau istri, orang tua atau mertua dan kepada orang lain di luar keluarga inti maupun di luar orang tua dan mertua. Cara menyampaikan unag trsebut pun ternyata ama berbeda-beda. Namun cara yang peling sering adalah menyampaikan secara langsung saat migran pulang ke desa. Cara lain adalah dengan menitipkan kepada kawan/keluarga yang sedang pulang ke desa, ada yang mengirim lewat pos, menitipkan pada sopir kendaraan umum.
1.7.2. Stusi Kasus Dampak Migrasi Sirkuler terhadap peningkatan status sosial ekonomi keluarga yang ditinggalkan di Kabupaten Wonogiri. Menurut data empiris penduduk di wilayah kabupaten Wonogiri memiliki tingkat migrasi yang tinggi. Berdasarkan sensus penduduk tahun 1971 dan 1980 menunjukan bahwa, provinsi Jawa tengah memiliki tingkat migrasi yang sangat tinggi jjika dibandingkan denngan provinsi-provinsi lain. Di mana pada tahun 1970 sebesar 24,8 persen migrasi keluar daan meningkat pada tahun 1980 menjadi 28, 9 persen. Tingginya tingkat migrasi sirkuler tersebut disebabkan karena tingkat kesejahteraan ekonomi. Rendahnya tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat tersebut disebabkan lingkungan fisik yang umumnya kurang dapat dipakai sebagai gantungan hidup.
Tabel 1. Faktor-Faktor yang mendorong Migran Sirkuler dari ketiga desa sampel melakukan Migrasi Sirkuler Desa – Kota. Faktor-Faktor Yang Mendorong
Jumlah
Persen
Karena di ajak teman
11
12,22
Ingin mencari pengalaman
1
1,11
Didesa tidak mempunyai pekerjaan
6
6,67
Ingin
69
76,67
3
3.3
90
100
mencari
tambahan
penghasilan Ingin memanfaatkan waktu luang Jumlah Sumber :
Zainal Hidayah ( Dampak Migrasi Sirkuler terhadap peningkatan Status Sosial Ekonomi Keluarga yang di tinggalkan, 1991 )
16
Penelitian yang mengambil sampel desa karjo Lor, Desa Pule, dan Desa Nambangan di kabupaten wonogiri menujukan bahwa
faktor – faktor yang
menyebabkan mereka (para migran) melakukan migrasi sirkuler dapat dilihat pada tabel 1. Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa Faktor-Faktor yang mendorong Migran Sirkuler di desa karjo Lor, Desa Pule, dan Desa Nambangan di kabupaten wonogiri yang paling tinggi adalah ingin mencari tambahan penghasilan. Dampak yang ditimbulkan dari pengiriman uang ke desa adalah meningkatnya stataus sosial ekonomi keluarga. Dimana semakin besar uang pengiriman uang yang mengalir ke keluarga, mengakibatkan semakin meningkat status ekonomi keluarga di ke tiga desa pada kabupaten wonogiri. Peningkatan status sosial ekonomi keluarga tersebut terlihat dengnan semakin luasnya kepemilikan lahan pertanian, besarnya pengeluaran rumah tangga, besarnya kualitas rumah yang dimiliki didesa dan lengkapnya sarana prasarana rumah tangga yang dimiliki.
Tabel 2. Pola Penggunaan kiriman uang paling banyak yang dikeluarkan untuk berbagai keperluan oleh keluarga migran sirkuler di ketiga desa sampel kabupaten Wonogiri. Jenis Kebutuhan
Jumlah
Persen
Kebutuhan hidup sehari-hari
39
44,83
Biaya Pendidididan anak
42
48,27
Biaya pertanian
-
-
Biaya selaamatan
-
-
Simpanan / tabungan
3
3,45
Membangun / memperbaiki rumah
3
3,45
87
100
S
Jumlah
s sumber :
Zainal Hidayah ( Dampak Migrasi Sirkuler terhadap peningkatan Status Sosial
Ekonomi Keluarga yang di tinggalkan, 1991 )
17
Hasil penelitian dari ke tiga sampel desa di wonogiri pada tabel diatas dapat terlihat bahwa dampak dari
biaya pengiriman / remitan yang dikeluarkan oleh
keluarga migrasi sirkuler yang paling tinggi untuk keperluan biaya pendidikan dan keperluan hidup sehari-hari. Ini menggambarkan bahwa penghasilan pokok yang diperoleh dari mata pencaharian di bidang pertanian tidak sepenuhnya mampu memberikan sumbangan yanag cukup berarti bagi kebutuhan hidup keluarga.
1.7.3. Penelitian Refiani mengenai Faktor Dampak Migrasi Sirkuler Di Daerah Asal Kasus Desa Pamijahan, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji fenomena gerak penduduk, khususnya migrasi sirkuler dan dampaknya terhadap daerah asal. Penelitian ini dilakukan di Desa Pamijahan yang merupakan salah satu desa di Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Mayoritas penduduk Desa Pamijahan bekerja di sektor non pertanian karena banyak penduduk yang tidak memiliki lahan pertanian selain itu, sebagian penduduk bekerja di luar desa dengan melakukan migrasi sirkuler ke kota. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa ada faktor pendorong dan faktor penarik yang mempengaruhi penduduk Desa Pamijahan melakukan migrasi sirkuler ke Kota. Faktor-faktor pendorong terdiri dari faktor pendapatan rendah, tidak dimilikinya lahan pertanian, dan sulit kesempatan kerja. Faktor-faktor penarik berupa. Dampak Dari hasil penelitian yang dilakukan di Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat, menunjukan dampak dari mobilitas sirkuler antara lain : 1.
Dampak Terhadap Keluarga dan Peran Wanita Pada kasus Desa Pamjahan, kebanyakan rumah tangga baik migran maupun
nonmigran menggantungkan sumber pendapatannya dari penghasilan suami. Tingkat pendapatan migran setelah melakukan migrasi menjadi lebih baik daripada sebelum melakukan migrasi. Tingkat pendapatan penduduk migran yang lebih besar daripada non migran menyebabkan adanya perubahan tingkat kesejahteraan pada keluarga migran. Dari hasil bekerja di Kota mereka akhirnya mampu mengontrak rumah atau membangun rumah membeli barang-barang hiburan untuk fasilitas di rumah seperti tv, tape/radio dan kendaraan, kemudian mampu membayar iuran yang diwajibkan oleh desa. Dari 30 rumah tangga migran dan non migra, ada 16,7 persen rumah tangga yang istrinya ikut membantu menambah pendapatan rumah tangga. Hal ini 18
menunjukkan
bahwa
mayoritas
rumah
tangga
migran
dan
non
migran,
pendapatannyan bergantung pada suami. Uang yang dibawa tersebut lebih banyak dimanfaatkan untuk kebutuhan pokok seperti kebutuhan pangan, baru kemudian untuk biaya pendidikan ana-anak. Dapa disimpulkan bahwa endapatan responden yang melakukan sirkuasi masih terbatas digunakan ntuk kebutuhan sehari-hari. 2.
Peran Wanita Dalam Sosialisasi dan Pembagian Kerja Pada kasus Desa Pamijahan, terjadi perubahan peran wanita (istri) dalam
rumah tangga migran sirkuler. Untuk peran internal rumah tangga, karena pentingnya suami berada di rumah, maka istri lebih banyak bersama anak-anaknya dan memperhatikan kebutuhan anak-anaknya. Seperti masalah pendidikan, istri lebih banyak berperan dalam memutuskan urusan pendidikan anak dan mengajari anaknya belajar. Ada 76,7 persen responden rumah tangga migran yang memiliki anak hanya dilakukan oleh istri. Untuk peran eksternal, istri rumah tangga migran lebih dominan dalam kegiatan sosial di lingkungan desa, contohnya untuk menghadiri rapat di balai desa yang selalu hadir adala istri. Selain itu, jika ada acara gotong royong di desa atau mengurus keperluan kelurahan, maka istri yang lebih banyak berperan karena suaminya sering tidak ada di desa. Semua responden pada rumah tangga migran sirkuler, wanita lebih berperan dalam mengatur anak-anaknya dan melakukan peran sosial. Berbeda dengan rumah tangga yang suaminya tidak melakukan sirkulasi, fungsi sosial lebih dominan dilakukan oleh suami dan perhatian terhadap pendidikan anak-anak dilakukan secara bersama-sama. 3.
Dampak terhadap Pertanian` Meskipun penduduk desa cukup banyak yang melakukan migrasi sirkuler ke
kota, tampaknya tidak mengurangi ketersediaan tenaga di bidang pertanian, karena penduduk migran maupun bukan kigran banyak yang sudah tidak memiliki lahan pertanian. Karena itu, pekerjaan di sketor pertanian tidak menjadi pekerjaan andalan bagi penduduk desa. Penduduk yang melakukan migrasi sirkuler tampak tidak mempunyai pengaruh terhadap peningkatan teknik pertanian di desa, karena mereka melakukan sirkulasi hanya untuk mencari nafkah. Perkembangan pertanian diperoleh dari penyuluhan pertanian, meskipun sebenarnya jarang dilakukan penyuluhan pertnian, sehingga pertanian di desa tidak maju. Faktor ini juga yang menyebabkan hasil pertanian di desa kurang memberikan kontribusi bagi pendapatan desa. 19
4.
Dampak Terhadap Sosial Budaya Sifat kekeluargaann dan gotong royong pad penduduk desa masih sangat baik.
Meskipun cukup banyak penduduk desa yang melakukan migrasi sirkuler ke kota, tidak membawa pengaruh buruk gerhadap norma agama dan budaya yang berlaku di desa ini. Hal ini karena dipengaruhi oleh latar belakang agama yang sudha cukup kuat pada penduduk migran. Tetapi untuk kegiatan sosial seperti gotong royong, penduduk migran sangat jarang ikut terlibat karena mereka sering di kota. Karena itu, pada keluarga miran biasanya istri lebih sering menggantikan suami untuk hadir pada kegiatan sosial.Pelaku migran yang tidak mengikuti kegiatan sosial hanya di kenai biaya sumbangan sebagai ganti dari ketidakhadiran mereka. Karena jarang terlibat kegiatan sosial di desa, penduduk migran menjadi jarang bergaul dengan masyarakat di desanya. Di saat mereka pulang ke desa hanya sekedar untuk menemui keluarga dan istirahat, sehingga penduduk migran sering tidak mengetahui perkembangan kabar di desa. Perubahan perilaku hanya ditemukan pada pemuda yang melakukan sirkulasi ke kota, namun hanya sebagian kecil saja. Perubahan tesebut seperti cara berpakaian dan rambut yang mengikuti trend di kota, dan sikap yang kurang sopan terhadap orang tua. Tetapi pada migran sirkuler yang telah menikah, tidak ditemukan perubahan sikap yang negatif.
5.
Dampak Terhadap Pembangunan Desa (Non Pertanian) Pembangunan di Desa Pamijahan banyak di bantu oleh pemerintah dan dana
swadaya
masyarakat.
Adanya
penduduk
yang bersirkulasi
ke
kota
tidak
mempengaruhi pembangunan secara langsung, dalam arti kurangnya kontribusi dana untuk pembangunan desa. Meraka yang mencari nafkah di kota belum mampu menyumbang untuk pembangunan Desa. Walaupun penduduk migran belum dapat berkontribusi untuk dana pembngunan, namun memiliki peran penting dalam mentransfer informasi mengenai kota. Sering mereka yang berjasa memberikan informasi lowongan kerja dan mengajak teman di desanya yang masih menganggur untuk mencoba bekerja di kota.. Karena itu, dapat dikatakan bahwa secara tidak langsung penduduk migran telah membantu mengurangi pengangguran di desanya dengan memberikan informasi lowongan kerja di kota pada penduduk desa.
20
Referensi Beguy, Donatien. Philippe Bocquier and Eliya Msiyaphazi Zulu. Circular Migration Patterns and Determinants in Nairobi Slum Settlements. Demographic Research: Volume 23, Article 20. Fukuyama, Francis. 2000. Social Capital and Civil Society: IMF Working Paper WP/00/74. IMF Institute. Haryono, Tri Joko S. 1999. Jaringan Sosial Migran Sirkuler: Studi Pada Migran Sirkuler Asal Desa Kepatihan, Kecamatan Selogiri, Kabupaten Wonogiri yang Bermigrasi ke Jakarta. Jakarta: Tesis Universitas Indonesia. Hugo, Graeme J. 1982. Circular Migration in Indonesia. Population and Development Review, Vol 8. No 1 (Mar, 1982) pp 59-83. http://www.jstor.org/stable/1972690 Hidayat, Zainal. 1991. Dampak Migrasi Sirkuler Terhadap Peningkatan Status Sosial Ekonomi Keluarga yang Ditinggalkan: Studi Kasus di Ketiga Desa Sampel Kabupaten Wonogiri. Jakarta: Tesis Universitas Indonesia. Mantra, Ida Bagus. 1983. Migrasi Penduduk di Indonesia: Suatu Analisa Hasil Sensus Penduduk 1971 dan 1980. Yogyakarta: PPSK UGM. Mantra, Ida Bagus. 1989. Mobilitas Penduduk Sirkuler dari Desa ke Kota di Indonesia. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan, UGM. Mantra, Ida Bagus. 2000. Demografi Umum, Edisi Kedua. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. Oberai, A.S. 1987. Migration, Urbanisation and Development in Background Papers for Training in Population, Human Resources and Development Planning, Paper No.5. Geneva: International Labour Office. Refiani Elvira, 2006. Faktor Penyebab dan dampak Migrasi Sirkuler di daerah asal, 2006. Skripsi ; Intitut Pertanian Bogor, 2006. Romdiati, Haning dan Mita Noveria. 2008. Mobilitas Penduduk Musiman di Kota Surabaya: Dampaknya Terhadap Lingkungan Permukiman Kumuh. Jurnal Kependudukan Indonesia Vol III No. 1, 2008. Jakarta: LIPI. Saefullah, 1996. Mobilitas Internal Non Permanen dalam Mobilitas Penduduk di Indonesia. Editor Ananta, Tjiptoherijanto, Chotib. Lembaga Demografi FEUI dan kantor Menteri Negara Kependudukan/BKKBN. Siegel, Jacob S and David A Swanson. 2004. The Methods and Materials of Demography, 2nd Edition. London: Elsevier Academic Press. Sudibia, I Ketut. 2007. Mobilitas Penduduk Nonpermanen dan Kontribusi Remitan Terhadap Kehidupan Ekonomi dan Sosial Rumah Tangga di Daerah Asal. Piramida: Jurnal Kependudukan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Vol III. No.1 Juli 2007. Denpasar: PPK dan PSDM Universitas Udayana. 21
Thom, Kevin. 2009. Three Essay On Circular Mexican Migration. Maryland: A Dessertation to The Johns Hopkins University. Tirtosudarmo, Riwanto. 2009. Mobility and Human Development in Indonesia: Human Development Research Paper 2009/19 June 2009. UNDP. Todaro, Michael P dan Stephen C. Smith. 2006. Pembangunan Ekonomi, Edisi 9, Jilid 1. Jakarta: Erlangga. UGM dan KLH. 1986. Studi Mobilitas Sirkuler Penduduk ke Enam Kota Besar di Indonesia: Laporan Akhir Buku I. Yogyakarta: UGM dan KLH. Undang-Undang RI Nomor 52 Tahun 1999 Tentang Wadley, Reed Lee. 1997. Circular Labor Migration and Subsistence Agriculcure: A Case of The Iban in West Kalimantan, Indonesia. Proquest Dissertation & Theses 1997. Arizona State University. Zelinsky, Wibur. 1971. The Hypothesis of the Mobility Transition: Geographical Review Vol. 61No.2 (Apr 1971) pp:219-249 http://www.jstor.org/stable/21
22