MITRA KOMPOLNAS Jl. Ciumbuleuit No.94 Bandung-40141 KOMPOLNAS
“IMPLEMENTASI KEWENANGAN PENERBITAN SURAT PERINTAH PENGHENTIAN PENYIDIKAN (SP3) UNTUK MEWUJUDKAN PENYIDIK KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA YANG PROFESSIONAL, GOOD AND CLEAN”
Oleh: Tim Peneliti Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan
Kerjasama antara Komisi Kepolisian Nasional dan Universitas Katolik Parahyangan 2015
Tim Peneliti : 1. 2. 3. 4.
Dr. Anne Safrina K., SH, LL.M. Dr. W.M. Herry Susilowati, SH, MHum. Dr. Tristam P. Moeliono, SH, MH, LL.M. A. Joni Minulyo, SH, MH. 5. Maria Ulfah, SH, M.Hum.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas bimbingan, rahmat serta kasihNya, laporan penelitian ini dapat diselesaikan. Penelitian ini dilakukan atas kerjasama antara Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dengan Fakultas Hukum Universitas
Katolik
Parahyangan
yang
tertuang
dalam
Nota
Kesepahaman
No.B/56/IV/2013/KOMPOLNAS – No.III-KIKS-R/2013-04/112-MOU-E. Kami menyadari bahwa berhasilnya penelitian ini, tidak semata-mata merupakan perjuangan diri kami sendiri, tetapi lebih banyak ditentukan oleh berbagai pihak yang terkait dengan penelitian ini. Dalam penelitian ini kami hendak mengkaji implementasi kewenangan diskresioner (penghentian penyidikan) dengan terbitnya SP3, baik dari sudut pandang hukum acara pidana, hukum administrasi, maupun sudut pandang sosio-legal di wilayah hukum Kota Bandung selama tiga tahun (2012-2015). Hanya tersedia satu sarana untuk mengkoreksi putusan SP3 yang merupakan kewenangan diskresioner penyidik, yaitu forum Pra-Peradilan yang layak untuk dikaji lebih lanjut. Sehubungan dengan hal itu, maka dalam kesempatan ini selayaknya dan sepantasnya dengan segala kerendahan hati, kami haturkan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada berbagai pihak yang telah membantu hingga penelitian ini selesai dikerjakan. Kami menyadari laporan penelitian ini masih jauh dari sempurna, tiada gading yang tak retak, karena itu dengan hati yang terbuka, kami mengharap saran dan masukan dari berbagai pihak yang terkait dengan masalah penelitian ini, demi penyempurnaannya. Kami sampaikan semoga karya yang sederhana ini mampu memberikan arti dan manfaat bagi semua pihak dalam bersama-sama memajukan bangsa ini kearah yang lebih sejahtera. Kiranya Tuhan Yang Maha Kasih memberikan limpahan rahmat dan berkat bagi kita semua.
Bandung, 11 Desember 2015
Tim Peneliti
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ................................................................................................................i TIM PENELITI........................................................................................................................ ii KATA PENGANTAR.............................................................................................................iii DAFTAR ISI............................................................................................................................iv BAB I PENDAHULUAN................................................................................................. 1 A. Latar Belakang……………………………………………………………………….. 1 B. Perumusan/Pembatasan Masalah…………………………………………………….. 3 C. Tujuan, Luaran dan Kontribusi Penelitian………………………………………….... 3 D. Metode Penelitian…………………………………………………………………….. 3 D.1 Spesifikasi Penelitian............................................................................................. 3 D.2 Teknik Pengumpulan dan Sumber Data................................................................ 4
BAB II KEWENANGAN DISKRESIONER KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA....... 6 A. Kewenangan Diskresioner………………………………………………………….... 6 B. Kepolisian RI sebagai bagian dari Pemerintahan…………………………………... 9 C. Profesionalisme Kepolisian ....................................................................................... 13 D. Tugas Pokok dan Fungsi serta Lingkup Kewenangan Kepolisian Negara Indonesia 14 E. Batasan Internal Lainnya dalam Penyelenggaraan Kegiatan Kepolisian………...… 18 F. Batasan dalam Pelaksanaan Diskresi di Bidang Penegakan Hukum Pidana………. 21 G. Penyalahgunaan Kewenangan Diskresioner.............................................................. 22 H. Penyalahgunaan Kewenangan Diskresioner untuk Menetapkan SP3........................ 24
BAB III IMPLEMENTASI KEWENANGAN PENERBITAN SURAT PERINTAH PENGHENTIAN PENYIDIKAN BERDASARKAN HUKUM ACARA PIDANA............ 26 A. Penyelidikan-Penyidikan………………………………………………………….... 26 B. Dasar Hukum Penerbitan SP3…………………………………………………….... 27 C. Alasan Menghentikan Penyidikan (Penerbitan SP3)……………………………..... 28 D. Alasan Penghentian Penyidikan di Luar KUHAP..............……………………..…. 34 E. Prosedur Penyelidikan-Penyidikan dan Gelar Perkara……………………….……. 36 F. Pengaturan Gelar Perkara dan Penerbitan SP3…………………………….……..... 38 G. Upaya Hukum Terhadap SP3…………………………………………….……….. 43
BAB IV PENUTUP............................................................................................................. 48 A. Simpulan…………………………………………………………….…………….. 48 B. Saran……………………………………………………………….…………….... 49
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................... 50
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Dalam sistem peradilan pidana (SPP) Indonesia, umumnya, pihak kepolisian dalam kedudukan sebagai penyelidik-penyidik (atau reserse di Badan Reserse Kriminal/Bareskrim umum atau khusus), yang akan pertama kali berurusan dengan perkara yang ada. Kepolisian sebagai institusi,tidak saja ditugaskan untuk menerima dan mengolah laporan dari masyarakat atau aduan (delik aduan) adanya tindak pidana, namun juga bertugas menindaklanjutinya dengan langkah-langkah tindakan penyelidikan dan penyidikan. Dengan kata lain, Kepolisian merupakan tonggak awal dari berjalan atau tidak berjalannya suatu kasus terkait dengan tindak pidana (umum). Maka dalam hukum acara pidana, tahapan terpenting yang melibatkan kepolisian adalah penyelidikan dan penyidikan. Dalam tahapan itulah semua upaya paksa yang masuk dalam lingkup kewenangan kepolisian sebagai penyelidik/penyidik dapat dipergunakan dalam rangka mengolah dugaan ada/tidaknya tindak pidana yang diajukan kepadanya. Bagaimanapun juga penyelidikan harus dipandang merupakan bagian tidak terpisah dari penyidikan.Walaupun keduanya adalah tahapan tidak terpisahkan, dari ketentuan Pasal 7 KUHAP, terbaca ada satu kewenangan penting yang dimiliki oleh penyidik, yakni kewenangan untuk memutuskan – atas dasar kewenangan diskresioner – melanjutkan atau justru menghentikan penyidikan. Bilamana putusan yang diambil adalah melanjutkan penyidikan, putusan ini biasanya tidak akan memunculkan masalah bagi pihak ketiga, khususnya pelapor atau orang-orang yang merasa dirugikan oleh tindak pidana yang terjadi. Dalam hal ini, penyidik harus menuntaskan pekerjaannya, membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan menyerahkan berkas, barang bukti serta tersangka kepada pihadalam k kejaksaan yang akan memeriksa kelengkapan dan memutus untuk menerima dan melanjutkan, tidak menerima dan mengembalikan berkas untuk dilengkapi kepada penyidik atau menutup perkara.Kendati begitu apa yang lebih kerap menjadi masalah dalam praktik hukum, terutama bagi pelapor dan masyarakat umum, adalah bilamana penyidik memutuskan untuk menghentikan proses penyidikan.
Di sini kita berhadapan dengan proses penerbitan dan pemberlakuan perintah penghentian penyidikan (SP3). Menurut ketentuan hukum acara pidana yang berlaku (Pasal 77 & 78 KUHAP), terhadap SP3 tersebut pihak yang merasa dirugikan (dalam ini pelapor; Pasal 79), dapat mengajukan keberatan, dengan diiringi alasan hukum, ke forum PraPeradilan di Pengadilan Negeri yang memiliki yurisdiksi (kewenangan menuntut). PraPeradilan dilakukan dengan dipimpin oleh hakim tunggal dan dibantu seorang panitera. Forum Pra-Peradilan ini yang harus memeriksa dan memutus tentang keabsahan atau ketidakabsahan penghentian penyidikan yang diputus oleh penyidik. Bilamana keberatan tersebut diterima, hakim akan memerintahkan penyidik untuk membuka kembali perkara dan meneruskan penyidikan. Dari sudut pandang ini, maka bagi pelapor, yang merasa dirugikan, hanya tersedia satu sarana untuk mengkoreksi putusan SP3 yang merupakan kewenangan diskresioner penyidik, yaitu forum Pra-Peradilan yang telah diuraikan di atas. Ditempatkan dalam sistem peradilan pidana yang melibatkan tiga instansi pemerintah (penegak hukum pidana), forum Pra-Peradilan merupakan, salah satu cara, penerapan asas diferensiasi fungsional berupa pengawasan horizontal di antara sesama instansi penegak hukum.1 Sedangkan bagi masyarakat umum dan terutama korban atau keluarga korban, forum Pra-Peradilan justru merupakan satu-satunya sarana kontrol yang tersedia. Dapat dibayangkan sebab itu ada keperluan untuk memahami lebih lanjut hal ihwal kewenangan penyidik untuk menerbitkan SP3 atau secara umum untuk menghentikan atau meneruskan penyidikan. Keduanya secara prinsipil harus dicapai dengan memajukan kepentingan umum. Kendati demikian, tidak banyak tulisan yang menelaah fenomena SP3 ini baik dari sudut pandang hukum acara pidana maupun sudut pandang lain (di luar hukum acara pidana). Bilapun hal ini dibahas, misalnya dalam buku ajar hukum pidana, pembahasan tentang SP3 dan/atau Pra-Peradilan kerap dilakukan selintas. Untuk mengisi kekosongan itu, penelitian terhadap SP3 terlepas dan dalam kaitan dengan Pra-Peradilan ini dilakukan. Penelitian ini dilakukan sebagai studi kasus dengan fokus menelaah implementasi kewenangan diskresioner ini (penghentian penyidikan) di wilayah hukum Kota Bandung selama tiga tahun (20122015).
1
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP-Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, h. 154.
B. Perumusan/Pembatasan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang akan ditelaah adalah sebagai berikut: 1. Dari sudut pandang hukum administrasi: bagaimana mencegah penyalahgunaan kewenangan dalam menerbitkan SP3? -
apakah terdapat atau tidak kriterium yang membatasi, mengatur, penggunaan kewenangan penerbitan SP3?
-
apakah AUPB dapat digunakan sebagai kriterium dalam penerbitan SP3?
2. Dari sudut pandang hukum acara pidana dan dengan menggunakan pendekatan sociolegal: Bagaimana menjelaskan fenomena pemanfaatan kewenangan penerbitan SP3 dalam peraturan dan praktik dalam konteks sosial, politik, ekonomi, sosial-budaya? -
apa kriterium hukum dan non-hukum dipergunakan oleh Kepolisan Negara Republik Indonesia dalam keputusan untuk menerbitkan SP3?
-
bagaimana praktik pemanfaatan kewenangan menerbitkan SP3 oleh para pihak dan penyidik Polri?
C. Tujuan, Luaran dan Kontribusi Penelitian Tujuan utama penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang praktik atau implementasi kewenangan menerbitkan SP3 dan norma-norma (hukum positif-atau aturan kebijakan) apa yang mengatur dan dianggap mengikat kepolisian, khususnya, penyidik ketika menangani perkara pidana dan memutuskan penghentian atau justru melanjutkannya. Luaran (output) dari penelitian ini adalah sumbangan pemikiran tentang bagaimana seharusnya atau sebaiknya penerapan/implementasi kewenangan menerbitkan SP3 dapat dikelola lebih baik dalam rangka mewujudkan penyidik Kepolisian Republik Indonesia yang professional, good and clean.
D. Metode Penelitian D.1 Spesifikasi Penelitian Dengan tujuan seperti di atas, maka penelitian ini pertama menggunakan pendekatan yuridis-dogmatis dan sosio-legal. Dalam penelitian yuridis dogmatis atau normatif, norma yang termuat di dalam peraturan perundang-undangan yang ada (hukum positif), dalam hal ini aturan-aturan dalam hukum acara pidana Indonesia (tertulis maupun tidak tertulis) akan
dideskripsikan untuk kemudian dianalisis.2 Sedangkan melalui pendekatan sosio-legal akan sekaligus dianalisis konteks sosio-politik dari pembentukan dan pengimplementasian norma yang dibaca dari hukum positif yang ada. Studi sosio-legal melakukan studi tekstual terhadap peraturan perundang-undangan dan kebijakan secara kritis untuk menjelaskan problematika filosofis, sosiologis dan yuridis dari hukum tertulis. Kedua pendekatan ini kiranya dapat menjelaskan fenomena SP3 tidak sekadar sebagai masalah membaca dan menafsirkan teks tertulis, namun lebih dari itu, memahaminya dalam konteks teori dan praktik hukum yang lebih luas. Dengan itu pula, kedua pendekatan di atas akan digunakan untuk menemukan dan mengungkap bagaimana kewenangan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dilakukan sebagai wujud pelaksanaan kewenangan diskresioner penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
D.2 Teknik Pengumpulan dan Sumber Data Penelitian ini dibagi dalam dua tahapan: penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Penelitian lapangan baru akan dilaksanakan setelah penelitian kepustakaan selesai dilakukan. Namun hal ini tidak berarti hal ini dilakukan sebagai urutan. Keduanya kerapkali dilakukan secara bersamaan dan saling melengkapi sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Studi kepustakaan akan sekaligus mencakup kegiatan penelusuran sumber-sumber hukum (positif dan tidak tertulis) tentang SP3 dan persoalan yang langsung berkaitan dengannnya.Sumber-sumber hukum primer yang akan ditelaah mencakup: (1)
Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan bersifat otoritatif yang terkait dengan lembaga negara penunjang dan terdiri dari: a. Norma atau kaidah dasar yaitu Undang-undang Dasar I 945. b. Peraturan perundang-undangan; Undang-undang dan Peraturan yang setara, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan Menteri, dan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia yang terkait, termasuk ke dalamnya putusan-putusan Mahkamah Agung baik yang dinyatakan sebagai yurisprudensi tetap, tidak tetap ataupun bukan yurisprudensi. c. Bahan Hukum Sekunder, yang memberikan penjelasan mengenaibahan-bahan hukum primer; seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum yang terkait dengan keberadaan lembaga negara penunjang.
2
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif – Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta, 1980, h. 9-10.
Dalam artian bahwa, meskipun bahan hukum sekunder ini bersifat non-otoritatif, tetapi karena wibawa ilmiah penulisnya, dapat dijadikan sumber hukum formal yang disebut doktrin hukum. (2) Bahan Hukum Tertier, yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder, misalnya kamus, ensiklopedia, bibliografi, artikel, surat kabar dan majalah serta kamus hukum yang relevan. (3) Bahan hukum tidak tertulis dalam arti luas. Sumber hukum ini mencakup aturan-aturan internal yang berlaku dan mengikat lembaga maupun anggota lembaga. Peraturan tidak tertulis mencakup petunjuk pelaksanaan (juklak) atau petunjuk teknis (juknis) – dituangkan dalam wujud Peraturan atau Surat Edaran, termasuk instruksi tertulis – yang sekalipun dimaksudkan hanya mengikat secara internal memiliki pengaruh ke luar, satu dan lain karena mempengaruhi cara actor-aktor memahami, menafsirkan ketentuan perundang-undangan. Untuk melengkapi dan memberikan gambaran yang lebih utuh (komprehensif) perihal praktik SP3, dilakukan pula penelitian lapangan. Informasi dikumpulkan pertama menyelenggarakan focus group discussion (FGD) untuk menemukan dan mengungkap permasalahan apa saja (teoretis maupun praktis) yang muncul dari implementasi kewenangan diskresioner penyidik untuk menetapkan atau tidak menetapkan penghentian penyidikan secara formal maupun informal. Sejumlah FGD telah dilakukan dengan tujuan ini, yaitu yang dilakukan bersama-sama antara tim peneliti dengan pakar-pakar serta praktisi hukum pidana (pengacara) yang langsung bersentuhan dengan praktik penghentian penyidikan. Selain itu dilakukan pula sejumlah wawancara pada narasumber (informan) yang langsung bersentuhan dengan praktik penerbitan SP3. Wawancara dilakukan dengan menggunakan instrumen daftar pertanyaan sebagai pedoman wawancara (interview guide) kepada narasumber atau informan. Untuk mendapatkan informasi berimbang, wawancara dilakukan juga terhadap sejumlah pejabat kepolisian di kantor-kantor kepolisian (polres, polda di Jawa Barat dan kota Cirebon sebagai pembanding) serta perwakilan akademi kepolisian di Semarang. Dengan demikian para informan tersebut dikelompokan menjadi 2 kategori yaitu: 1. Advokat : pengacara, yang beberapa diantaranya juga sebagai dosen hukum pidana (material, formal) dan memiliki pengalaman sebagai saksi ahli di beberapa tempat di Indonesia.
2. Polisi
: dengan pangkat mulai dari Kombes sampai dengan Briptu, dan jabatan mulai dari Ditreskrim sampai dengan anggota unit di reskrim
Informasi data hukum yang terkumpul baik dari hasil penelitian kepustakaan dan lapangan selanjutnya dianalisis dengan metode analisis normatif kualitatif3 untuk kemudian ditarik kesimpulan dengan metode induktif dan deduktif. Normatif karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan-peraturan yang ada sebagai hukum positif. Kualitatif karena merupakan analisis data yang berasal dari informasi-informasi hasil wawancara yang diuraikan oleh narasumber dan responden, yang disajikan secara deskriptif.
3
Maria S.W. Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian,Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1989, h. 25.
BAB II KEWENANGAN DISKRESIONER KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA A. Kewenangan Diskresioner Kepolisian dalam mempertimbangkan penggunaan kewenangan memiliki keleluasaan untuk “bertindak menurut penilainnya sendiri”. Namun sebelum kita melangkah lebih jauh perlu diuraikan terlebih dahulu makna dan lingkup pengertian diskresi.Thomas J, Aaron mengartikan police discretion sebagai:4 “(…) is a power or authority conferred by law to action on the basic of judgement or conscience, and its use is more an idea of morals than law”
Senada dengan itu, Alvina Trend Burrows,5menulis bahwa“discretion is the ability to choose wisely or to judge for ownself”. Sedangkan Laica Marzuki6 mendefinisikan diskresi sebagai suatu kebebasan yang diberikan kepada badan atau perjabat administrasi dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, diemban dalam kaitan menjalankan atau menyelenggarakan urusan pemerintahan (bestuurzorg). Istilah diskresi (discretion atau discretionary powers) tidak dapat dipisahkan dari konsep freies ermessen yang mengandung makna kebebasan bertindak. Menurut Marcus Lukman “freies ermessen merupakan salah satu sarana yang memberikan ruang bergerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi Negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-undang”7 Di sisi lain, Bachsan Mustafa mengemukakan bahwa freies ermessen diberikan kepada pemerintah mengingat fungsi menyelenggarakan kesejahteraan umum yang berbeda dengan fungsi kehakiman untuk menyelesaikan sengketa antara
penduduk
berdasarkan
hukum
yang
berlaku.Keputusan
pemerintah
lebih
mengutamakan pencapaian tujuan atau sasarannya (doelmatigheid) daripada sesuai dengan hukum yang berlaku (rechtmatigheid).8
4
Thomas J. Aaron, Control of Police Discretion, Charles C. Thomas, Spring-field, 1960, h.9 Alvina Trend Burrows, The Basic Dictionary of Amarican English, New York, Rinchart and Winston Inc, 1966, h.226 6 Sadjijono, Bab-bab Pokok Hukum Administrasi,LaksBang, Yogyakarta, 2008, h.72. mengutip Laica Marzuki dalam sambutan buku Abdul Latief, Hukum dan Kebijaksanaan (beleidsregel) Pada Pemerintahan Darah, UII Press, Yogyakarta, 2005. 7 Yopie Morya Immanuel Patiro, mengutip Marcus Lukman,Eksistensi Peraturan Kebijaksanaan dalam bidang Perencanaan dan Pelaksanaan Rencana Pembangunan di Daerah serta Dampaknya Terhadap Pembangunan Materi Hukum Tertulis Nasional, Disertasi, Universitas Padjajaran, Bandung, 1996. 8 Bachsan Mustafa, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara,Citra Aditya Bhakti,Bandung, 1990, h. 55. 5
Dengan demikian, diskresi harus dikaitkan pada kemampuan individu (yang memiliki kewenangan) untuk mempertimbangkan, menilai, memperhitungkan dan memutus tindakan terbaik yang harus diambil dalam situasi-kondisi konkrit tertentu. Kemampuan ini akan sangat dipengaruhi oleh tingkat kecerdasan, pengetahuan, pengalaman, keberanian dan moralitas yang dimiliki oleh setiap individu atau dalam hal ini pejabat Kepolisian. Kemampuan tersebut, namun demikian, tetap harus ditempatkan dalam kerangka menjalankan kewajiban hukum dan lingkup kewenangan pihak yang bersangkutan.Karena pertimbangan atau penilaian tersebut dilakukan oleh individu atas dasar penilaian dan pertimbangannya sendiri, maka tepat dan tidaknya penilaian sangat dipengaruhi oleh moralitas pengambil tindakan.9 Phillipus M Hardjon selanjutnya menyatakan bahwa diskresi pemerintahan harus dibedakan ke dalam kebebasan kebijaksanaan (beleidsvrijheid) dan kebebasan penilaian (beordelingsvrijheid).Kebebasan kebijaksanaan yang juga dimaknai sebagai wewenang dalam arti sempit adalah apabila peraturan perundang-undangan memberikan kewenangan tertentu kepada organ pemerintah, sedangkan organ tersebut bebas untuk (tidak) menggunakannya meskipun syarat-syarat bagi penggunaannya secara sah dipenuhi. Sedangkan kebebasan penilaian disebut juga wewenang diskresi relevan dalam hal hukum sendiri menyerahkan kepada organ pemerintah untuk menilai secara mandiri dan eksklusif apakah syarat-syarat bagi pelaksanaan suatu wewenang secara sah sudah dipenuhi.10 Kekuasaan bebas ini mencakup pula dua kewenangan lainnya, yaitu:11 1.Kewenangan untuk memutuskan secara mandiri dan 2. Kewenangan inteprestasi terhadap norma-norma tersamar (vage norm). Ketiga
kebebasan
tersebut
(discretionary
powers;
beleidsvrijheid
&
beordelingsvrijheid) sudah jelas (harus) diberikan dan dimiliki Kepolisian maupun anggota Kepolisian. Alasan untuk itu akan diuraikan di bawah ini ketika dibahas perihal kedudukan, tugas dan fungsi Kepolisian sebagai bagian dari lembaga pemerintahan yang mengemban fungsi di bidang penjagaan pemeliharaan ketertiban masyarakat, pelayanan masyarakat dan penegakan hukum pidana.
9
Sadjijono, op.cit., h.72. mengutip N.M.Spelt- J.B.J.M. ten Berge dalam Philipus M Hardjon, artikel berjudul “Masalah Pertanahan Dalam Peradilan Tata Usaha Negara”, YURIDIKA Majalah Fakultas Hukum Universitas Airlangga Edisi no 4 Tahun VII, Juli-Agustus, 1993, h. 4. 10 Ibid. 11 Ibid.
B. Kepolisian RI sebagai bagian dari Pemerintahan Sejak ditetapkannya (1) Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, (2) Ketetapan MPR RI No.VI/MPR/2000 (pemisahan TNI dan PolRi) dan (3) Ketetapan MPR RI No.VII/MPR/2000 (Peran TNI dan Peran PolRi) telah terjadi perubahan yang besar pengaruhnya terhadap tempat, kedudukan, fungsi dan tugas kepolisian dalam rangka Negara Kesatuan
Republik
kelembagaan
Indonesia.
Tentara
Nasional
Melalui
perubahan
Indonesia
dari
konstitusi Kepolisian
ditegaskanpemisahan Negara
Republik
Indonesia.Ketentuan Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 hasil amandemen menetapkan: “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat Negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan hukum.”
Selanjutnya UU 2/2002 tentang Kepolisian menegaskan pemisahan kelembagaan di atas dan mengamanatkan pembentukan Kepolisian yang mandiri.Pemisahan dan penegasan ini merupakan akibat terjadinya pergeseran paradigma dalam sistem ketatanegaraan RI pasca keruntuhan Orde Baru yang memberlakukan pendekatan dwi-fungsi ABRI.Semula, ketika kepolisian digabungkan atau dianggap bagian tidak terpisahkan dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), watak militerisme melekat dan dominan pada perilaku Kepolisian.Dengan dipisahkannya Kepolisian dari Tentara Nasional Indonesia (TNI: AL, AU, dan AD), harapannya adalah PolRi mampu – dalam konteks mewujudkan democratic civil society – memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, pelayanan dan tertibnya ketentraman masyarakat dengan menunjung tinggi hak asasi manusia. Sedangkan fungsi pertahanankeamanan (hankam) yang memang sejatinya harus dibedakan dari (fungsi menjagamelindungi) keamanan-ketertiban masyarakat (kamtibmas) seutuhnya diserahkan pada TNI. Perubahan perilaku militeristik PolRi ini menjadi faktor sangat penting, karena Kepolisian, di samping mengemban fungsi lainnya, terutama berwenang menegakan hukum (pidana): law enforcement agency, atau merupakan agen pelaksana “the rule of criminal procedure” (RCP). Untuk melakukan hal itu tentu pendekatan pertahanan-keamanan (security approach) yang melekat pada TNI (yang tugas utamanya menjaga kedaulatan dan keutuhan NKRI) tidak cocok dibebankan pada Kepolisian. Bahkan terhadap kedudukannya sebagai agen Negara (bagian dari masyarakat sipil) yang berhak menyandang senjata diberlakukan aturan (hukum internasional) khusus, yaitu“the rule of criminal code” (RCC)”, yang di dalamnya termuat“Code of Conduct for Law Enforcement Officiall” dan “Basic
Principle on the Use of Force and Fire-arms by Law Enforcement Officials”. Keduanya ditetapkan dalam konggres Perserikatan Bangsa Bangsa Ke-VII dan Ke-VIII tentang “The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders.”12Kode Perilaku dan Prinsip-prinsip tersebut sesungguhnya bukan produk hukum (positif) dalam hukum (publik internasional), namun keberlakuannya tidak dapat diabaikan begitu saja.Hal ini jelas berbeda dengan pengaturan penggunaan senjata bagi angkatan bersenjata (TNI; militer) yang terhadapnya justru berlaku hukum perang dan hanya dapat menggunakan kekuatan bersenjata ketika nyata diputuskan adanya ancaman terhadap pertahanan keamanan, keutuhan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu, ketentuan Pasal 2 UU No.2/2002 menegaskan tugas kepolisian untuk menjalankan salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.Fungsi pemerintahan di sini dengan demikian, harus kita kaitkan dengan fungsi pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Ketentuan Pasal 1 angka 2 UU No. 30/2014 menjelaskan bahwa fungsi pemerintahan
adalah
fungsi
dalam
melaksanakan/menyelenggarakan
administrasi
pemerintahan. Hal ini meliputi fungsi pengaturan, pelayanan, pembangunan, pemberdayaan, dan pelindungan. Administrasi pemerintahan itu sendiri berkenaan dengan tata laksana dalam pengambilan keputusan dan/atau tindakan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan.Singkat kata, Kepolisian Republik Indonesia adalah badan dan/atau pejabat pemerintahan yang melaksanakan fungsi pemerintahan. Argumen bahwa Kepolisian RI adalah bagian dari penyelenggara pemerintahan dikuatkan pula oleh visi dan misi yang ditetapkan. Kepolisian RI mengembangkan visi sebagai berikut: “POLRI mampu menjadi pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat yang selalu dekat dan bersama-sama masyarakat.POLRI sebagai penegak hukum yang profesional dan proposional yang selalu menjunjung tinggi supermasi hukum dan hak asasi manusia.POLRI sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban serta mewujudkan keamanan dalam negeri dalam suatu kehidupan nasional yang demokratis dan masyarakat yang sejahtera.”
Sedangkan misinya adalah: 1. “Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat (meliputi aspek security, surety, safety dan peace) sehingga masyarakat bebas dari gangguan fisik maupun psikis; 12
Yoyok Ucuk Suyono, Hukum Kepolisian – Kedudukan Polri Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945, Laksbang Grafika, Yogyarta, 2013, h.68
2. Memberikan bimbingan kepada masyarakat melalui upaya pre-emtif dan preventif yang dapat meningkatkan kesadaran dan kekuatan serta kepatuhan hukum masyarakat (Law Abiding Citizenship); 3. Menegakkan hukum secara profesional dan proporsional dengan menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak asasi manusia menuju kepada adanya kepastian hukum dan rasa keadilan; 4. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat dengan tetap memperhatikan normanorma dan nilai-nilai yang berlaku dalam bingkai integritas wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia; 5. Mengelola sumber daya manusia POLRI secara profesional dalam mencapai tujuan Polri yaitu terwujudnya keamanan dalam negeri sehingga dapat mendorong meningkatnya gairah kerja guna mencapai kesejahteraan masyarakat; 6. Meningkatkan upaya konsolidasi ke dalam (internal POLRI) sebagai upaya menyamakan visi dan misi POLRI ke depan; 7. Memelihara soliditas institusi POLRI dari berbagai pengaruh eksternal yang sangat merugikan organisasi; 8. Melanjutkan operasi pemulihan keamanan di beberapa wilayah konflik guna menjamin keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; serta 9. Meningkatkan kesadaran hukum dan kesadaran berbangsa dari masyarakat yang Bhinneka Tunggal Ika.”
Baik visi maupun misi Kepolisian Republik Indonesia di atas harus kembali dikaitkan dengan tujuan menjaga dan menjamin tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Apalagi bila dikaitkan dengan motto Kepolisian: melayani dan melindungi (to serve and protect).Sejalan dengan itu, Sadjijono13 menegaskan bahwa keterkaitan antara pelaksanaan tugas kepolisian dengan tata kelola pemerintahan yang baik muncul karena, pertama, Kepolisian sebagai alat negara bertugas melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat serta menegakkan hukum, kedua, dan sebab itu Kepolisian mengemban fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan terhadap masyarakat. Perlu pula diperhatikan fakta bahwa tugas dan wewenang melindungi, mengayomi, menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (internal order) didelegasikan kepada lembaga kepolisian.Seturut struktur ketatanegaraan menurut UUD 1945, lembaga kepolisian berada di bawah lingkup Kementerian (satuan administrasi pemerintahan) yang dipimpin oleh Kepala Pemerintahan
(Presiden
selaku
kepala
eksekutif).Namun
pelaksanaan
tugas
dan
wewenangnya sehari-hari didelegasikan kepada Kepala Kepolisian Negara yang diangkat oleh Presiden.Ini tegas dinyatakan dalam ketentuan Pasal 5 UU 2/2002 yang menyatakan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden, dan adalah Presiden yang secara konstitusional memegang kekuasaan pemerintahan (Pasal 4 Ayat (1) UUD 13
Sadjijono, Prinsip Good Governance dalam Penyelenggaraan Kepolisian di Indonesia, Laks Bang Pressindo, Yogyakarta, 2005, hal. 15.
1945).Konsekuensi dari itu ialah bahwa Kepolisian RI bertanggungjawab langsung kepada Presiden.Artinya Kepolisian harus mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya kepada Presiden.Pendelegasian kekuasaan dari Presiden kepada Kepolisian ditetapkan secara khusus dalam UU No. 2/2002.Pasal 8 ayat (1) UU No. 2/2002 menetapkan: “Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden.”Kewenangan Presiden tersebut diuraikan lebih lanjut dalam UU No. 2/2002. Ditetapkan bahwa Presiden: 1. “mengatur susunan organisasi dan tata kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia disesuaikan dengan pelaksanaan tugas, fungsi dan wewenang kepolisian; 2. menerima pertanggungjawaban atas pelaksaan tugas kepolisian yang dilaksanakan oleh Kapolri; 3. berwenang mengangkat dan memberhentikan Kapolri dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat; 4. Dalam keadaan mendesak, dapat memberhentikan sementara Kapolri dan mengangkat pelaksana tugas Kapolri, yang selanjutnya dimintakan persetujuan kepada Dewan Perwakilan Rakyat; 5. berwenang mengatur tata cara pengusulan dan pengangkatan Kapolri; 6. membawahi selain kepolisian juga Komisi Kepolisian Nasional yang dibentuk oleh Presiden.”
Membawahi atau berada di bawah Presiden mengandung arti di tempat (arah, sebelah, dsb) yang lebih rendah.14 Sedangkan kedudukan (lembaga Negara), mengikuti pandangan Philipus M. Hadjon, berarti:15 posisi suatu lembaga Negara dibandingkan dengan lembaga lain serta posisinya yang dilandaskan pada fungsi utamanya. Beranjak dari itu, kedudukan Kepolisian di bawah Presiden harus dimaknai bahwa posisi lembaga kepolisian berada lebih rendah dari Presiden atau berada dalam lingkup kekuasaan Presiden.Artinya, dan ini kembali perlu ditekankan, lembaga kepolisian tunduk pada Presiden selaku pemegang kekuasaan eksekutif.Tugas wewenang yang melekat pada lembaga kepolisian merupakan tugas dan wewenang Presiden yang didelegasikan kepada lembaga kepolisian.Tanggungjawab akhir sebab itu berada di tangan Presiden selaku Kepala Pemerintahan. Dengan kata lain, lepasnya Kepolisian dari TNI (dahulu ABRI) tidak dapat disikapi sebagai pernyataan kemerdekaan (otonomi penuh) Kepolisian.Lembaga Kepolisian sebagai bagian dari pemerintahan (dan sebab itu adalah aparat/alat perlengkapan Negara) tetap memiliki kewajiban mempertanggungjawabankan kinerjanya kepada masyarakat melalui Presiden sebagai Kepala Pemerintahan (eksekutif).Penekanan pada kata kinerja Kepolisian
14
W.J.S, Poerwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1986, h.100 Philipus M. Hadjon, Lembaga Tertinggi dan Lembaga-lembaga Tinggi Negara Menurut UUD 1945 Suatu Analisa Hukum dan Kenegaraan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, Cetakan keempat, 1995, h.x
15
dan pertanggungjawaban yang kiranya memunculkan dan melatarbelakangi tuntutan bagi Kepolisian untuk “professional, good and clean”.
C. Profesionalisme Kepolisian Satu hal penting di sini ialah perlunya peningkatan profesionalisme. Hal mana harus didukung oleh kecakapan teknis kepolisian yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan serta pengalaman–pengalaman tugas. Menurut Anton Tabah,16 di dunia ini terdapat lima syarat yang harus dipenuhi oleh institusi kepolisian agar professional, yaitu: 1. Well motivated, calon anggota polisi harus memiliki motivasi yang baik yang dapat dipantau sejak awal ketika rekruitmen di institusi kepolisian. Motivasi ini akan memberi warna pemolisian seseorang anggota polisi dalam mengembangkan kariernya. 2. Well educated, untuk mendapatkan polisi yang baik, harus didik untuk menjadi polisi yang baik. Hal ini menyangkut system pendidikan, kurikulum dan proses belajar mengajar yang cukup ketata, disiplin yang ketat di lembaga pendidikan kepolisian. 3. Weel trained, perlu dilakukan pelatihan terus menerus bagi anggota polisi melaui proses managerial yang ketat agar pendidikan dan pelatihan yang sinkron mampu menjawab berbagai tantangan kepolisian yang akan datang. 4. Well equiped, yakni menyangkut penyediaan sarana dan prasarana yang cukup bagi institusi kepolisian, serta penyediaan system dan sarana teknologi kepolisian yang baik agar anggota polisi dapaty menjalankan tugas dengan baik. 5. Welfare, yakni memberikan kesejahteraan kepada anggota polisi dengan baik, menyangkut gaji, tunjangan dan penghasilan lain yang sah dan cukup untuk menghidupi polisi dan keluarganya.
Sejalan dengan itu, Sadjijono mengemukakan bahwa mutu kepolisian yang ideal di Indonesia meliputi:17 1. Motivasi dan moralitas yang baik dari calon anggota yang dapat ditelusuri sejak rekruitmen hingga memasuki masa dinas kepolisian. 2. Dasar pendidikan umum dan pendidikan kepolisian yang memadai , yakni dasar pendidikan umum yang berorientasi pada relevansi kebutuhan tugas, sedangkan pendidikan kepolisian harus sesuai dengan kurikulum yang berorientasi pada tugas utama kepolisianj dan tantangan tugas di masa depan. 3. Melakukan pelatihan secara rutin dan berkelanjutan. 4. Memiliki keahlian dan mampu menggunakan peralatan yang memadai sesuai dengan kemajuan teknologi dan perkembangan masyarakat. 5. Pemberian kesejahteraan yang cukup berdasarkan kebutuhan normal masyarakat, yang berorientasi pada gradasi golongan kepangkatan dan masa berdinas. 6. Pengorganisasian yang efektif yang berorientasi pada tugas dan wewenang serta struktur ketatanegaraan. Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan kepolisian yang benarbenar mandiri. Adanya pengawasan yang baik dalam sistem organisasi.
16
Anton Tabah, Membangun Polri yang Kuat, Mitra Hardhasuma, Jakarta, 2001, h.5-8 Sadjijono, Fungsi Kepolisian dalam Pelaksanaan Good Governance, LaksBang Pressindo, Yogyakarta, 2005, h.236-237. 17
D. Tugas Pokok dan Fungsi serta Lingkup Kewenangan Kepolisian Negara Indonesia Dalam ketentuan Pasal 13 UU 2/2002 (tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia) ditetapkan tugas pokoknya sebagai berikut: a. b. c.
“memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.”
Ketiga tugas yang masih dirumuskan secara umum di atas dapat dirinci ke dalam tugas-tugas khusus sebagai berikut: a. b. c.
d. e. f. g. h. i.
j. k. l.
“melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan; menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan; membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundangundangan; turut serta dalam pembinaan hukum nasional; memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum; melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa; melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya; menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian; melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang; memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
Dalam rangka menyelenggarakan tugas-tugas tersebut di atas, Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j.
“menerima laporan dan/atau pengaduan; membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum; mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat; mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa; mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian; melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan; melakukan tindakan pertama di tempat kejadian; mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang; mencari keterangan dan barang bukti; menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;
k.
mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat; l. memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat; m. menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.”
Sebagai dari kewenangan di atas harus ditempatkan dalam kerangka pelaksanaan tugaskepolisian di bidang pemeliharaan keamanan-ketertiban (kamtibmas) dan pelayanan masyarakat (yan-mas).Sebagian lainnya harus ditempatkan dalam kerangka pelaksanaan tugas Kepolisian di bidang penegakan hukum pidana dalam kerangka sistem peradilan pidana (criminal justice system).Sedangkan satu kewenangan khusus yang sekaligus bersinggungan dengan ketiga bidang kegiatan tersebut menyangkut kewenangan untuk menerbitkan aturan kebijakan (policy regulation atau beleidsregels).Ini kiranya landasan hukum bagi kewenangan Kepala Kepolisian untuk menerbitkan peraturan yang bersifat mengikat secara internal.Peraturan internal atau policy regulation tersebut sejatinya merupakan terjemahan dalam arti pengaturan lebih rinci (atau tafsiran) yang dibuat lembaga Kepolisian atas peraturan perundang-undangan (pengaturan yang bersifat umum-abstrak) yang bersifat memaksa. Selain kewenangan-kewenangan sebagaimana dikemukakan di atas, sesuai dengan peraturan perundang-undangan lain (di luar peraturan perundang-undangan di bidang kepolisian), Kepolisian Negara Republik Indonesia juga berwenang untuk: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k.
“memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya; menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor; memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor; menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik; memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam; memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan; memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian; melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional; melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait; mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian internasional; melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian.”
Khususnya dalam rangka menyelenggarakan tugas-tugas di bidang proses pidana (dalam konteks sistem peradilan pidana Indonesia), ketentuanPasal 14 ayat (1) UU 2/2002, menegaskan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas, antara lain, untuk:
“f. ... g. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuaidengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya; h. menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratoriumforensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian; ...”
Selanjutnya, dalam rangka melakukan kegiatan penyelidikan-penyidikan, ketentuan Pasal 16 (1) UU 2/2002 menetapkan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j.
k.
l.
“melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan; membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan; menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; mengadakan penghentian penyidikan; menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana; memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.”
Kewenangan-kewenangan di atas terkait erat dengan penyelenggaran hukum acara pidana, khususnya di tingkat penyelidikan-penyidikan.Adanya kecurigaan masuk akal (berbasis laporan/pengaduan atau penyelidikan) memberikan kepada kepolisian kewenangan untuk menggunakanm upaya-upaya paksa yang jauh pengaruhnya terhadap kebebasan dan hak dasar warga.Maka itu penghentian penyidikan – bilamana sejumlah upaya paksa telah dilakukan – mendapat sorotan secara khusus, terutama bila upaya paksa tersebut telah menimbulkan
kerugian
atau
ketidaknyamanan
bagi
warga.Atau
sebaliknya
telah
memunculkan sejumlah harapan yang masuk akal bagi korban atau keluarga korban untuk mendapatkan keadilan dan/atau kepastian. Selain itu di sini harus diperhatikan ketentuan terakhir yang menyatakan Kepolisian berwenang untuk “mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab”. Penjelasan Pasal 16 (1) huruf l menyatakan bahwa bunyi ketentuan ini cukup jelas. Namun tentunya dapat dipertanyakan jelas menurut siapa dan dalam konteks apa? Jawaban dari itu
ternyata untuk sebagian dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 16 ayat (2) UU 2/2002 (tentang Kepolisian) yang menyatakan bahwa tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang sejatinya dilaksanakan dengan (a) tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; b. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan; c. harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya (intra-vires);d. pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan e. menghormati hak asasi manusia. Selain itu, cakupan tindakan lain tentu adalah di luar dari apa yang disebutkan secara eksplisit (enumeratif) dalam ketentuan yang sama, sepanjang masih berkaitan dengan kegiatan penyelidikan-penyidikan. Dua persoalan muncul di sini adalah seberapa luaskah kita harus pahami lingkup tindakan lain tersebut dan kedua apakah batasan yang ditetapkan di atas (a s/d e) juga berlaku terhadap pertimbangan anggota kepolisian (penyelidik/penyidik) untuk menggunakan atau tidak menggunakan upaya paksa yang merupakan bagian penting dan tidak terpisahkan dari kegiatan penyelidikan/penyidikan? Dapat dibayangkan bahwa “pintu belakang” berupa pemberian kewenangan untuk melakukan tindakan lain (dalam konteks penyelidikan-penyidikan) dimaksudkan untuk menampung kebutuhan yang mungkin muncul dari kepolisian, misalnya untuk melakukan penyadapan telepon atau telekomunikasi, membayang-bayangi/membuntuti tersangka, menyamar, memelihara dan menggunakan informan dstnya. Sedangkan untuk persoalan kedua dapat diargumentasikan bahwa batasan yang disebutkan berlaku untuk penggunaan tindakan lain tersebut sepatutnya berlaku pula sebagai kriterim bagi pendayagunaan upaya paksa maupun tindakan kepolisian yang disebutkan tegas sebelumnya. Artinya penghentian penyidikan-pun dapat diukur keabsahannya dengan menggunakan kriteria di atas. Sebagaimana diargumentasikan di atas syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam huruf (a) sampai dengan huruf (e) Pasal 16 (2) UU 2/2002 berlaku sebagai koridor dalam melakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan.Selanjutnyabatasan atau koridor ini harus dibaca dalam kaitan dengan Pasal 18 (1) UU 2/2002yang menyatakan: “untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri;
Kegiatan penyelidikan-penyidikan (dan semua upaya paksa serta tindakan lain) sudah sepatutnya dilakukan demi kepentingan umum. Ini berarti bahwa, pada satu pihak, pejabat Kepolisian (termasuk penyelidik-penyidik) harus berani memutus dan mempertanggungjawabkan keputusannya itu yang dibuat berdasarkan penilaiannya sendiri. Pada pihak lain, semua tindakan atau keputusannya harus diambil untuk dan demi pemajuan kepentingan umum – bukan kepentingan pribadi atau segolongan orang. Singkat kata, pejabat penyelidik dan penyidik memiliki kewenangan diskresioner(power of discretion)18 untuk menggunakan atau tidak menggunakan semua upaya paksa atau tindakan lain termasuk memutuskan untuk menghentikan atau justru melanjutkan penyidikan.
E. Batasan Internal Lainnya dalam Penyelenggaraan Kegiatan Kepolisian Di atas telah disebutkan bahwa Kepolisian dalam rangka melaksanakan tugastugasnya di bidang kamtibmas, yan-mas dan penegakan hukum pidana, memiliki kewenangan diskresioner yang demikian luas. Kewenangan diskresioner demikian disebutkan kembali dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) UU No. 2/2002 (Kepolisian Negara Republik Indonesia) yang menyebutkan: “untuk kepentingan umum Pejabat POLRI dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri yang dilakukan dalam keadaan sangat perlu dengan memperhatikan peraturan dan perundang-undangan serta kode etik profesi POLRI”.
Terutama karena Kepolisian (dan anggota-anggotanya) memiliki kewenangan diskresioner dalam melaksanakan tugas-tugasnya itulah, maka diperlukan batasan-batasan yang lebih konkrit dibandingkan batasan umum dan abstrak yang disinggung di atas.Seperti terindikasikan dari ketetentuan di atas batasan atau koridor terpenting (yang berlaku internal) dapat ditemukan dalam wujud Kode Etik Profesi Kepolisian yang diberlakukan bagi setiap anggota kepolisian melalui Peraturan Kapolri Nomor 14 tahun 2011 (Kode Etik Profesi Polri). Peraturan ini mencakup pengaturan etika kepribadian, etika kelembagaan, etika kenegaraan, dan etika dalam hubungan dengan masyarakat.Etika kepribadian mewajibkan setiap anggota Kepolisian untuk bertakwa kepada tuhan YME, menjunjung tinggi sumpah sebagai anggota Polri dan melaksanakan tugas kenegaraan dan kemasyarakatan dengan niat murni.Sedangkan etika kenegaraan memuat kewajiban untuk menjunjung tinggi kepentingan 18
M. Faal, Penyaringan Perkara Pidana oleh Polisi (Diskresi Kepolisian), PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1991, h.5.
bangsa dan negara, menjaga, memelihara, meningkatkan rasa aman dan tentram, menjaga keselamatan umum dan hak milik setiap warga negara serta menjaga keutuhan wilayah hukum RI yang berdasarkan UUD 1945.Selanjutnya etika kelembagaan mencakup kewajiban setiap anggota Kepolisian untuk menjaga citra Polri, menjalankan tugas sesuai dengan visi dan misi lembaga Polri, mengembangkan semangat untuk meningkatkan kinerja dalam pelayanan kepentingan umum dan meningkatkan profesionalisme.Etika hubungan dengan masyarakat mewajibkan setiap anggota Kepolisian menghormati harkat dan martabat manusia melalui perlindungan terhadap HAM, menghindarkan diri dari perbuatan tercela, menegakkan hukum dan meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat.Kode Etik ini merupakan landasan etika moral yang bersumber dan berpijak pada good governance dalam menjalankan pemerintahan. Secara filosofis pemberlakuan Kode Etik Kepolisian merupakan suatu cita-cita dan keinginan untuk mewujudkan kepolisian yang profesional, good, dan clean19 dalam rangka mewujudkan goodgovernance. Selain batasan internal (dalam wujud Kode Etik di atas), terhadap Kepolisian sebagai bagian dari administrasi Negara (pemerintahan) berlaku pula asas-asas hukum tidak tertulis dalam wujud AUPB (asas-asas umum pemerintahan yang baik). AUPB merupakan nilai-nilai etik yang berkembang dan hidup di lingkungan administrasi negara. AUPB mencakup 20 asasasas berikut: 1. Asas fair play; 2. Asas Kecermatan (carefulness); 3. Asas kepastian hukum (legal certainty); 4.Asas keseimbangan (proportionality); 5.Asas persamaan (equality-non discrimination); 6.Asas
kewenangan
(competency)
atau
larangan
bertindak
sewenang-wenang
(detournement de pouvoir); 7.Asas larangan detournement de procedure; 8.Asas motivasi untuk setiap keputusan pemerintah (motivation); 9.Asas meniadakan akibat-akibat keputusan yang batal; 10.Asas penyelenggaraan kepentingan umum (public service).
19
Sekalipun demikian, dalam suatu wawancara dengan salah satu anggota kepolisian menyatakan bahwa persoalan lebih penting bukanlah clean melainkan clear (jelas-terang). Hal ini didapat melalui FGD pada 13 November 2015. 20 Safri Nugraha, Laporan Akhir Tim Kompedium Bidang Hukum Pemerintahan Yang Baik, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jakarta: Desember 2007.
Nilai yang termuat dalam AUPB ini digunakan oleh pejabat administrasi sebagai pegangan ketika melaksanakan fungsinya, serta dapat pula digunakan oleh masyarakat sebagai dasar untuk mengajukan gugatan kehadapan Pengadilan Tata Usaha Negara.21 Bahkan juga dijadikan kriterium oleh Ombudsman untuk menilai kinerja organ-organ pemerintahan. AUPB
awalnya
hanya
digunakan
sebagai
sarana
perlindungan
hukum
(rechtbescherming). Akan tetapi, AUPB hingga saat ini juga dijadikan norma hukum yang tidak tertulis untuk mengukur, menelaah dan menguji keabsahan tindakan pemerintah.22 Bahkan dalam perkembangan selanjutnya ditegaskan keberlakuannya dalam UU 30/2014 (administrasi pemerintahan) dan UU 28/1999 (penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Sebab itu, AUPB wajib dijadikan pedoman perilaku oleh kelembagaan maupun pejabat pemerintah dan dapat digunakan sebagai dasar untuk menentukan apakah tindakan seorang pejabat itu sudah benar atau tidak.23 Sebagai bagian dari Pemerintahan (sipil) tentu Kepolisian dalam menjalankan tugastugasnya di bidang kamtibmas maupun yan-mas wajib memperhatikan, tidak saja Kode Etik yang berlaku khusus baginya, namun secara umum juga AUPB. Beberapa AUPB yang langsung relevan (termuat di dalam Pasal 3 UU 28/1999 maupun Pasal 10 ayat (1) UU 30/2014) dalam mengukur kinerja Kepolisian adalah asas kepastian hukum yang menekankan bahwa di dalam Negara Hukum, perilaku pemerintah harus berdasrkan peraturan perundangundangan, kepatuhan dan keadilan; asas kepentingan umum yang mewajibkan penyelenggara Negara untuk mengutamakan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif; asas keterbukaan yang mewajibkan penyelenggara Negara untuk membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan yang juga penting, rahasia Negara; asas proportionalitas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara Negara; asas profesionalitas yang mewajibkan penyelenggara Negara bekerja berdasarkan keahlian yang dilandaskan Kode Etik serta ketentuan perundang-undangan; dan terakhir asas akuntabilitas yang mewajibkan penyelenggara Negara mempertanggungjawabkan pekerjaan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. 21
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara edisi Revisi, Rajawali Press, Jakarta, 2006, h. 234-235. Ibid, h. 238-239. 23 Philipus M. Hadjon, et.al.,Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the Indonesian an Administrative Law), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1995, h. 270. 22
Singkat kata, kesemua asas ini menuntut pelaksanaan tugas dan fungsi kepolisian yang professional, good and clean. Ini pula kiranya yang menjadi landasan bagi banyak pengaduan atau laporan masyarakat kepada Ombudsman – tidak kepada Divisi ProPam (Profesi dan Pengamanan Kepolisian RI) atau Kompolnas (Komisi Kepolisian Nasional) berkaitan dengan keluhan perihal buruknya kinerja (sikap-tindak maupun tindakan (hukum) anggota Kepolisian maupun Kepolisian sebagai bagian dari lembaga pemerintahan sipil.
F. Batasan dalam Pelaksanaan Diskresi di Bidang Penegakan Hukum Pidana Di samping itu perlu pula diperhatikan adanya policy regulation(beleidsregels) lainnya yang penting dalam memberikan batasan pelaksanaan kewenangan diskresioner Kepolisian.Khususnya berkaitan dengan kegiatan penyelidikan-penyidikan perlu diperhatikan Peraturan Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Standar Operasional Prosedur Pengorganisasian Penyidikan Tindak Pidana. (Perkabareskrim 2/2014). Ketentuan Pasal 3 Perkabareskrim ini menegaskan semua kegiatan penyelidikan-penyidikan (termasuk penghentian perkara maupun tindakan lain) harus memenuhi prinsip-prinsip berikut ini: 1. “Legalitas, yaitu proses penyidikan yang dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundangundangan; 2. Profesional, yaitu penyidik dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenangpenyidikan sesuai kemampuan dan kompetensi yang dimiliki; 3. Prosedural, yaitu proses penyidikan dilaksanakan sesuai mekanisme dan tata cara yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; 4. Transparan, yaitu proses penydikan dilakukan secara terbuka yang dapat diketahui perkembangan penanganannya oleh masyarakat; 5. Akuntabel, yaitu proses penyidikan yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan; 6. Efektif dan efisien, yaitu penyidikan dilakukan secara cepat, tepat, murah dan tuntas.”
Ditambahkan kepada Perkabareskrim 2/2014di atas pedoman standar dalam Lampiran A mengenai Standar Operasional Prosedur Penunjukan Penyidik/Penyidik Pembantu, dan Lampiran B mengenai Standar Operasional Prosedur Pelaksanaan Back Up Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana. Satu bukti nyata dari semangat menjalankan kegiatan penyidikan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku muncul dalam penulisan Pro Justitia pada sisi kiri bagian atas dari Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dan Surat Ketetapan Penghentian Penyidikan (SKPP) atau surat-surat lain yang diterbitkan penyidik Kepolisian RI. Pro Justitia (demi keadilan) sekaligus bermakna untuk/demi hukum atau undang-undang.24 Sementara 24
http://kamuslengkap.com/kamus/hukum/arti-kata/pro+justitia+, diakses 2 Desember 2015.
itu, para penyidik polisi mengemukakan bahwa ketika kepolisian melakukan penyidikan, setiap tindakan Kepolisian harus lurus, berdasarkan fakta, berdasarkan data, terhindar dari kepentingan
pribadi.25
Demi
keadilan,
dengan
demikian,
sekaligusmerujuk
pada
tanggungjawab polisi dalam menjalankan tugasnya.26 Hal ini oleh anggota Badan Reserse Kriminal dimaknai bahwa mereka harus memberikan upaya terbaik dalam rangka memunculkan kejelasan dari perkara yang dipercayakan kepada mereka.27
G. Penyalahgunaan Kewenangan Diskresioner Batasan atau koridor yang disebutkan di atas (asas umum pemerintahan yang baik maupun Kode Etik Kepolisian) diperlukan sebagai panduan bagi anggota Kepolisian untuk menggunakan atau tidak menggunakan kewenangan diskresioner yang ada padanya.Persoalan berikut ialah bagaimana pertanggungjawaban anggota Kepolisian bilamana mereka dengan melanggar semua rambu-rambu yang ada menyalahgunakan kewenangan diskresioner yang ada pada mereka? Indriyanto Seno Adji28 memberikan pengertian penyalahgunaan wewenang dalam konteks “detournement de pouvoir” dan“Freis Ermessen”. Ia menyatakan bahwa penyalahgunaan wewenang dalam hukum administrasi muncul dalam 3 (tiga) wujud yaitu: 1. “Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan; 2. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar diajukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya; 3. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana.”
Sjachran Basah mengartikan penyalahgunaan wewenang atau “detournement de pouvoir” sebagai perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan, tetapi masih dalam lingkungan ketentuan peraturan perundang-undangan.Sedangkan tindakan sewenang-wenang “abus de droit”, yaitu perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar lingkungan ketentuan perundang-undangan.29 Dalam pendapat dari Sjachran Basah terkandung pengertian yang sama untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pengujian pada bagaimana tujuan dari wewenang tersebut diberikan (asas 25
FGD dengan anggota Kepolisian pada 30 Oktober 2015. FGD dengan anggota Kepolisian pada 13 November 2015.. 27 FGD dengan anggota Kepolisian pada 30 Oktober 2015 dan 6 November 2015. 28 Indriyanto Seno Adji II, Op.cit., h. 26 29 Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Peradilan Administrasi di Indonesia, Alumni, Bandung, 1985, h. 223. 26
spesialitas). Beranjak dari ini, dapat disimpulkan bahwa tolok ukur penyalahgunaan wewenang pada jenis wewenang terikat harus menggunakan peraturan perundang-undangan (written rules), atau menggunakan parameter asas legalitas; sedangkan pada kewenangan bebas (diskresi) parameter penyalahgunaan wewenang menggunakan asas-asas umum pemerintahan yang baik, karena asas “wetmatigheid” saja di sini tidaklah memadai.30 Berkaitan dengan itu Indiyanto Seno Adji mengusulkan digunakannya parameter berikut untuk mengukur penyalahgunaan wewenang:31 1. “Unsur menyalahgunakan kewenangan dinilai ada tidaknya pelanggaran terhadap peraturan dasar tertulis atau asas kepatutan yang hidup dalam masyarakat dan negara ini. Kriteria dan parameternya bersifat alternatif. 2. Asas kepatutan dalam rangka melaksanakan suatu kebijakan atau zorgvuldigheid ini ditetapkan apabila tidak ada peraturan dasar ataupun Asas Kepatutan ini diterapkan apabila ada peraturan dasar, sedangkan peraturan dasar (tertulis) itu nyatanya tidak dapat diterapkan pada kondisi dan keadaan tertentu yang mendesak sifatnya.”
Persoalannya adalah apakah semua ini cukup? Karena di dalam hukum administrasi asas legalitas/keabsahan (legaliteit beginsel/wetmatigheid van bestuur) mencakup tiga aspek yaitu: wewenang, prosedur dan substansi. Artinya wewenang, prosedur maupun substansi harus dilandaskan pada peraturan perundang-undangan (asas legalitas), satu dan lain, karena di dalam peraturan perundang-undangan tersebut sudah ditentukan tujuan diberikannya wewenang kepada pejabat administrasi, bagaimana prosedur untuk mencapai suatu tujuan serta menyangkut substansi atau lingkup kewenangannya. Di atas telah dikemukakan bahwa penyalahgunaan wewenang dapat terjadi pada jenis wewenang terikat dan juga bisa terjadi pada jenis wewenang bebas (diskresi).Indikator atau tolok ukur penyalahgunaan wewenang pada jenis wewenang terikat adalah asas legalitas (tujuan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan); sedangkan pada jenis wewenang bebas (diskresi) harus dipergunakan parameter asas-asas umum pemerintahan yang baik, karena asas “wetmatigheid” tidaklah memadai. Di
dalam
praktek
peradilan
sering
dipertukarkan/dicampuradukan
antara
penyalahgunaan wewenang dan cacat prosedur. Seolah-olah cacat prosedur itu inheren (satu bagian tidak terpisahkan) dengan penyalahgunaan wewenang.32 Padahal cacat prosedur tidak 30
Baca Pasal 53 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang telah mengalami dua kali perubahan, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Unndang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. 31 Indriyanto Seno Adji II, Op.cit., h. 35 32 Lihat Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 449/Pid.B/2002 PN.Jkt.Pst tanggal 4 September 2002 yang dikuatkan dengan Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Putusan No. 171/Pid/2002/PT.DKI tanggal 17 Januari
sertamerta berarti penyalahgunaan wewenang.Cacat prosedur mempunyai implikasi pada penyalahgunaan wewenanghanya apabila penggunaan wewenang tersebut menyimpangatau bertentangan
dengan
undangan.Terbuktinya
tujuan
yang
penyalahgunaan
ditetapkan wewenang
dalam membawa
peraturan implikasi
perundanglebih
luas
dibandingkan dengan adanya cacat prosedur, yaitu di samping berakibat pada pencabutan ketetapan (beschikking) bisa berimplikasi pidana jika dengan penyalahgunaan wewenang menimbulkan kerugian negara.
H. Penyalahgunaan Kewenangan Diskresioner untuk Menetapkan SP3 Pertanyaan penutupnya di sini ialah sejauh apakah hal tersebut berguna untuk menelaah keabsahan dari ketetapan SP3?
Apakah itu berarti pihak Kepolisian yang
menerbitkan SP3 dengan menyalahgunakan kewenangan diskresioner atau cacat prosedur dapat dituntut dimuka pengadilan tata usaha negara? Apakah lembaga Pra-peradilan yang merupakan bagian dari sistem peradilan pidana masih satu-satunya jalur hukum yang terbuka untuk mempertanyakan keabsahan dari ketetapan atau keputusan (individual-konkrit) untuk menghentikan penyidikan? Terpikirkan di sini untuk memperluas kewenangan PTUN memeriksa dan memutus SP3. Alasannya adalah Kepolisian merupakan bagian dari administrasi pemerintahan dan harus mempertanggungjawabkan kegiatannya kepada masyarkat umum.
Namun harus
disadari bahwa Kepolisian sebagai lembaga tidak hanya mencakup kegiatan administrasi (layanan publik saja; seperti misalnya pemberian izin gangguan atau surat izin mengemudi atau bahkan mencabutnya), namun juga mencakup kegiatan penegakan hukum pidana. SP3 bagaimana-pun juga harus ditempatkan dalam konteks sistem peradilan pidana – bukan semata-mata sebagai bagian penyelenggaraan kegiatan administrasi pemerintahan. Sebab itu ke atas kewenangan Pra-Peradilan untuk memeriksa keabsahan SP3 yang diatur secara khusus di dalam KUHAP, tidak bisa dan sebaiknya jangan ditambahkan kewenangan PTUN untuk memeriksa dan memutus keabsahan SP3.
Betul bahwa penyidik selain sebagai
penegak hukum juga sekaligus adalah pejabat administrasi. Dalam kedudukannya itu, maka AUPB secara wajar (misalnya asas kecermatan) berlaku terhadapnya. Terlepas dari itu apa yang hendak ditunjukkan di sini ialah bahwa Kepolisian, khususnya penyelidik-penyidik memiliki kewenangan diskresioner yang penggunaannya 2003 dan selanjutnya kedua putusan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung R.I. dalam Putusan No. 572K/Pid/2003 tanggal 12 Februari 2004, dalam Nur Basuki Minarno, h. 82-85
dibatasi oleh sejumlah aturan hukum tidak tertulis, AUPB dan Kode Etik Kepolisian. Di samping itu penyalahgunaan tidak akan terhindarkan. Namun di sini harus diperhatikan pembedaan antara cacat prosedur dengan penyalahgunaan kewenangan. Cacat prosedur – peluang yang selalu terbuka – tidak otomatis meniadakan keabsahan dari tindakan diskresioner Kepolisian. Sedangkan penyalahgunaan kewenangan yang dapat dibuktikan terjadi dengan dilanggarnya aturan-aturan tertulis serta pedoman tidak tertulis lainnya jelas harus dicegah.
BAB III IMPLEMENTASI KEWENANGAN PENERBITAN SURAT PERINTAH PENGHENTIAN PENYIDIKAN BERDASARKAN HUKUM ACARA PIDANA
A. Penyelidikan-Penyidikan Perbedaan antara langkah penyelidikan dan penyidikan diberikan oleh Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP; Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (UU No.8/1981)). Di dalam ketentuan Pasal 1 angka 5 KUHAP ditegaskan bahwa: “penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.
Sedangkan penyelidik yang dimaksudkan di dalam KUHAP pada Pasal di atas adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang untuk melakukan penyelidikan. Selanjutnya ketentuan Pasal 1 angka 2 KUHAP mendefinisikan: “penyidikan sebagai serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”.
Penyidik di sini adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khususuntuk melakukan penyidikan. Untuk yang disebut terakhir PPNS mendapat kewenangan penyidikan berdasarkan sejumlah undang-undang khusus, misalnya UU Lingkungan Hidup, UU Tindak Pidana Korupsi dll. Sekalipun dalam praktik, PPNS pada akhirnya harus menyerahkan laporan akhir mereka pada Kepolisian sebagai penyidik, satu dan lain, karena (dalam sistem peradilan pidana yang berlaku) hanya pihak Kepolisian yang berwenang meneruskan berkas perkara lengkap (dan menyerahkan barang-barang bukti serta tersangka) kepada Kejaksaan untuk ditindaklanjuti pada tahap penuntutan. Perbedaan dan/atau persinggungan lain yang perlu disebutkan berkaitan dengan langkah penyelidikan dan penyidikan berkenaan dengan lingkup kewenangan prosesuil yang sedikit berbeda. Berkenaan dengan penyelidik, kewenangan mereka diatur dalam Pasal 5 KUHAP dan melingkupi : 1. “menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana; 2. mencari keterangan dan barang bukti; 3. menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; 4. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.”
Selain
itu,
atas
perintah
penyidik, penyelidik
dapat
melakukan
tindakan (upaya
paksa) berupa: 1. “penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penahanan; 2. pemeriksaan dan penyitaan surat; 3. mengambil sidik jari dan memotret seorang; 4. membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.”
Selanjutnya ketentuan Pasal 7 KUHAP merinci kewenangan penyidik sebagai berikut : 1. “menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana; 2. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian; 3. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; 4. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; 5. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; 6. mengambil sidik jari dan memotret seorang; 7. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; 8. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; 9. mengadakan penghentian penyidikan; 10. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.”
Kedua ketentuan di atas menunjukkan titik persinggungan dan perbedaan lingkup kewenangan dari penyelidik dengan penyidik. Jelas dari ketentuan di atas bahwa hanya penyidik yang memiliki kewenangan untuk menghentikan penyidikan. Lagipula berdasarkan buku petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP sebagaimana dikutip M. Yahya Harahap, penyelidikan:33 “merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain yaitu penindakan berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum”.
Dari uraian di atas jelas dan nyata bahwa hanya penyidik (dan bukan penyelidik) yang berwenang memutuskan penggunaan atau tidak digunakannya upaya paksa termasuk memutuskan penghentian penyidikan atau justru meneruskannya.
B. Dasar Hukum Penerbitan SP3 Sebagaimana telah diindikasikan di atas dasar hukum kewenangan penerbitan SP3 adalah Pasal 109 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Pasal 7 angka 9). KUHAP (UU 8/1981 dalam Pasal 109 ayat (2) menetapkan alasan formal penerbitan SP3, yaitu: 33
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP-Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, h. 95.
1. “Tidak diperoleh bukti yang cukup, 2. Peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana, atau 3. Penghentian penyidikan demi hukum.”
Ketentuan ini diuraikan lebih lanjut di dalam Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana (selanjutnya disebut Perkap 14/2012) dan Peraturan Kepala Bareskrim (Perkaba) Polri Peraturan Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Standar Operasional Prosedur Pengorganisasian Penyidikan Tindak Pidana (selanjutnya disebut Perkaba 2/2014). Ketentuan Pasal 76 Perkap 14/2012 mengatur bahwa: “(1) Penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf i, dilakukan apabila: a. tidak terdapat cukup bukti; b. peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana; dan c. demi hukum, karena: 1. tersangka meninggal dunia; 2. perkara telah kadaluarsa; 3. pengaduan dicabut (khusus delik aduan); dan 4. tindak pidana tersebut telah memperoleh putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap (nebis in idem). (2) Sebelum dilakukan penghentian penyidikan, wajib dilakukan gelar perkara. (3) Dalam hal dilakukan penghentian penyidikan, penyidik wajib mengirimkan surat pemberitahuan penghentian Penyidikan kepada pelapor, JPU, dan tersangka atau penasihat hukumnya. (4) Dalam hal penghentian penyidikan dinyatakan tidak sah oleh putusan pra peradilan dan/atau ditemukan bukti baru, penyidik harus melanjutkan penyidikan kembali dengan menerbitkan surat ketetapan pencabutan penghentian penyidikan dan surat perintah penyidikan lanjutan.”
Tidak ada perbedaan besar antara KUHAP dengan PerKap ini terkecuali dalam hal penjelasan apa yang dimaksud dengan penghentian penyidikan demi hukum serta penetapan kewajiban kepada penyidik untuk melakukan gelar perkara serta pengiriman pemberitahuan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
C. Alasan Menghentikan Penyidikan (Penerbitan SP3) Sebagaimana diindikasikan di atas alasan-alasan yang dapat digunakan untuk menghentikan penyidikan termuat di dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP jo Pasal 76 ayat (1) Perkap 14/ 2012 adalah sebagai berikut:
Ad. 1. Tidak Terdapat Cukup Bukti Jika penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk menuntut tersangka atau bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk membuktikan kesalahan tersangka dihadapan persidangan, maka penyidik berwenang (atas dasar kewenangan diskresioner) memutuskan penghentian penyidikan. Ukuran kapan dan bilamana dalam penyidikan harus dihentikan adalah tidak terdapat cukup bukti, hal mana ditentukan dari tersedianya tersedianya minimal dua alat bukti yang sah. Dua alat bukti itu yang dimaksud adalah menunjukkan pertama benar telah diperbuat suatu tindak pidana dan kedua adalah tersangka yang merupakan pelaku yang bersalah melakukan tindak pidana tersebut. Penyidik dalam hal ini harus memperhatikan ketentuan Pasal 183 KUHAP yang menegaskan prinsip “batas minimal pembuktian” (sekurang-kurangnya ada dua alat bukti). Alat bukti yang sah berdasarkan ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Sedangkan pengertian “bukti yang cukup” dapat dilihat pula secara otentik di dalam ketentuan Pasal 1 angka 22 PerKap 14/ 2012 yakni: “alat bukti berupa Laporan Polisi dan 2 (dua) alat bukti yang sah, yang digunakan untuk menduga bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana sebagai dasar untuk dilakukan penahanan.”
Jadi jika dipandang oleh penyidik bahwa dalam perkara tersebut alat bukti tidak cukup memadai, penyidikan perkara akan dihentikan. Akan tetapi, jika di kemudian hari Penyidik -atas inisiatif sendiri atau atas desakan/permintaan pihak berkepentingan – dapat dan berhasil mengumpulkan bukti yang cukup memadai, maka perkara yang telah dihentikan dalam dibuka kembali.34Artinya perkara tidak dihentikan secara final.Ini kemungkinan besar juga terkait dengan peluang ditemukannya bukti tambahan atau bukti baru. Persoalannya adalah bagaimana pihak di luar Kepolisian dapat menguji dan/atau menilai apakah penghentian penyidikan terjadi karena alat bukti tidak cukup memadai? Pengujian atas kecukupan alat bukti, namun demikian, sekarang ini dibuka oleh putusan yang dibuat oleh Hakim Sarpin (perkara nomor 04/Pid/Prap/2015/PN Jkt Sel). Ia menetapkan bahwa putusan (kewenangan diskresioner) kepolisian untuk menetapkan status tersangka pada seseorang dapat diajukan ke Pra-Peradilan dan diuji keabsahannya. Dengan demikian, kecukupan alat bukti selain dinilai internal (berdasarkan penilaian/kebijakan Kepolisian), juga dapat dinilai oleh lembaga Pra-Peradilan. Menarik untuk mencermati apakah kemudian dengan perluasan obyek Pra-peradilan di atas melalui putusan hakim, kelak di kemudian hari
34
Id, h. 151.
penetapan penghentian penyidikan atas dasar kurangnya bukti memadai juga dapat diajukan ke hadapan hakim tunggal di Pra-Peradilan. Namun dalam praktik, terungkap bahwa penyidik Kepolisian jarang menggunakan alasan bukti tidak cukup. Alasan mereka enggan menggunakan hal ini ialah mencegah timbulnya kesan (pada atasan yang harus menilai kinerja mereka atau pelapor) bahwa mereka tidak bekerja maksimal dalam mencari dan menemukan alat bukti. Alhasil banyak perkara kemudian seolah-olah dibiarkan, istilah yang digunakan dipetieskan (ice box).35 Istilah ice box dikenal juga dengan cold case yang bermakna bahwa kasus dingin karena tidak diteruskan dan tidak jelas hasil akhir proses penyelesaiannya. 36 Gambaran kasus pidana di Indonesia yang ditangani oleh Kepolisian dalam lima tahun terakhir rata-rata 340.000 kasus per tahun, sedangkan kemampuan penyelesaian kasus (dari hasil penyidikan) rata-rata 55% atau 187.000 kasus, sehingga terdapat 153.000 kasus tersisa yang cold cases.37 Kemungkinan lain juga terbuka banyaknya perkara yang harus ditangani setiap waktunya dan kurangnya personil serta dukungan dana menjadi penghambat Kepolisian untuk dapat bekerja maksimal mencari dan menemukan bukti yang cukup. Ini menghasilkan penumpukan perkara (aduan-laporan) dan pada akhirnya Kepolisian (di tingkat Polsek, Polsek atau Polda) harus menentukan prioritas.38 Perkara yang diprioritaskan ditangani sementara yang lain (dianggap tidak terlalu penting atau mendesak), terkesan atau seolaholah dibiarkan menggantung (dan dihentikan proses penyidikannya) untuk sementara atau selamanya. Walau bagaimanapun juga beragam tindakan di praktik di atas, Syafriadi Cut Ali39 berpendapat bahwa SP3 seharusnya jangan ada kepentingan karena SP3 adalah dasar kepastian hukum bagi masyarakat. Adapun keterangan ahli juga sebaiknya bukan menjadi hal utama dari cukup bukti, karena keduanya rawan rekayasa di dalam praktik sehingga diperlukan alat bukti objektif (seperti petunjuk).
35
FGD dengan anggota Kepolisian pada 30 Oktober 2015, 6 November 2015, dan 13 November 2015. Komisi Kepolisian Nasional, Cold Cases: Apa dan Bagaimana?, KOMPOLNAS, Jakarta, 2015, h. 21. 37 Id, h. 24. 38 FGD dengan Advokat pada 25 Agustus 2015. 39 Sekretaris KOMPOLNAS di acara presentasi hasil penelitian dengan para reviewer yang dilakukan pada 14 Desember 2015 di Hotel Diradja Jakarta. 36
Ad.2 Peristiwa yang Diadukan atau Dilaporkan Ternyata Bukan Perkara Pidana Jika dari hasil penyidikan, Penyidik berpendapat bahwa apa yang disangkakan terhadap tersangka bukan merupakan perbuatan pidana seperti yang diatur dalan KUHP atau aturan pidana lainnya, maka penyidik berwenang untuk menghentikan penyidikan. Namun dalam kenyataan tidak begitu mudah untuk mengetahui apakah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang termasuk dalam lingkup tindak pidana atau justru bukan tindak pidana (masuk ke dalam ruang lingkup hukum perdata atau hukum administrasi).Kesulitan itupun berpengaruh terhadap pertimbangan atau keputusan penyidik untuk melanjutkan atau justru menghentikan penyidikan. Dapat disebut di sini persinggungan antara wan-prestasi atau perbuatan melawan hukum dengan delik penipuan-penggelapan.Kasus-kasus seperti ini kerap muncul dan pengusaha (yang terikat kontrak perdata) acap menggunakan atau “menyalahgunakan” kewenangan penyidik (termasuk ke dalamnya kewenangan untuk menggunakan upaya paksa) sebagai alat menekan pihak debitur atau yang melakukan wan-prestasi. Begitu juga dengan mereka yang merasa mengalami kerugian (materiil atau immaterial) akibat perbuatan melawan hukum (misalnya dikritik melalui social media atau mass media atau media elektronik) yang membuka peluang bagi yang bersangkutan untuk melaporkan pihak yang mencermarkan nama baik atas dasar tindak pidana pencemaran nama baik, atau berdasarkan perbuatan yang tidak menyenangkan, sekadar agar penghina/pencemar dipanggil dan diperiksa polisi atau kemudian, sebagai sasaran akhir, dihukum penjara oleh pengadilan pidana. Kasus perkara perdata dan pidana antara Prita Muliasari vs. RS Omni (dan Kejaksaan) yang terjadi pada 2008-2009 merupakan ilustrasi terbaik dari hal ini. Persoalan lain adalah persinggungan tindak pidana dengan hukum administrasi. Dalam kasus-kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan, penentuan legal/tidak legal perbuatan (artinya juga ada/tidaknya tindak pidana) digantungkan pula pada ada/tidaknya izin (pengecualian terhadap larangan umum) yang diterbitkan pemerintah.Persoalan serupa muncul dalam bidang penataan ruang. Pemanfaatan ruang (untuk bangunan atau keperluan lain) selalu diandaikan telah mendapatkan izin dari pemerintah dan izin ini bahkan bisa disusulkan untuk menghapus sifat dapat dipidananya perbuatan, misalnya dalam wujud membangun tanpa diperlengkapi izin. Dalam hal demikian, penghentian penyidikan atau tidak ditindaklanjutinya laporan masyarakat tentang dugaan adanya pelanggaran hukum pidana kemungkinan besar terjadi karena pihak penyidik atau Kepolisian enggan melakukan
salah langkah atau keraguan perihal ada/tidaknya izin yang menentukan sifat dapat dipidana perbuatan. Di samping itu ditengarai pula bahwa “penyalahgunaan” atau “penggunaan” kewenangan diskesioner Kepolisian untuk tujuan-tujuan lain di luar hukum pidana (kepentingan bisnis, termasuk menagih hutang dari debitur nakal atau menyandera atau sekadar karena ketersinggungan dan demi menjaga kehormatan) terjadi karena macet dan lambannya proses pengadilan perdata.40Tidak turut membantu adalah tidak populernya penyelesaian sengketa di luar pengadilan (mediasi dan arbitrase). Pada saat sama hal ini membuka peluang bagi Kepolisian ‘yang dipergunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan lain di luar hukum pidana’ untuk menjual jasanya. Kewenangan menerapkan upaya paksa (menangkap, menahan dstnya) menjadi komoditi yang dapat ditawarkan kepada konsumen yang mampu membayar – bukan lagi pada pencari keadilan.41 Penyidik dalam hal ini berperan sebagai penjual jasa – entah karena terpaksa atau digoda oleh pengaruh/uang atau lainnya - dan tidak lagi melayani kepentingan umum. Hal tersebut juga didukung dengan pendapat dari Bekto Suprapto42 bahwa Kepolisian memiliki kebudayaannya tersendiri (police sub-culture) yang berbeda dengan lembaga lainnya. Kepolisian dapat bersikap profesional dan bersifat mandiri, namun di dalam kebudayaan tersebut terdapat banyak intervensi (baik dari atasan penyidik maupun pihak luar). Selain itu, terdapat pula pendapat dari Aryanto Sutadi43 bahwa beragam faktor dapat melingkupi penerbitan SP3 yakni faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri dari kebudayaan Kepolisian; kepentingan dari pihak atasan atau teman atau kelompok tertentu; benturan tugas (restorative justice atau tidak); kasus dianggap selesai jika P-21, SP3, atau kasus dilimpahkan ke Kejaksaan. Sedangkan faktor eksternal terdiri dari tekanan politis; tekanan sosial (misal pernah terjadi di suatu daerah: jika kasus terkait santet diusut, maka kantor polisi akan dibakar); benturan hukum. Selain itu kerap juga terdengar istilah dipolitisasi. Dalam hal ini, tindakan penegakan hukum pidana – termasuk yang dilakukan oleh Kepolisian – dianggap sekadar dilakukan untuk kepentingan jangka pendek, yaitu untuk memajukan kepentingan politik dari 40
FGD dengan Advokat pada tanggal 28 September 2015. FGD dengan Advokat pada tanggal 15 September 2015. 42 Reviewer di acara presentasi hasil penelitian yang dilakukan pada 14 Desember 2015 di Hotel Diradja Jakarta.. 43 Reviewer di acara presentasi hasil penelitian yang dilakukan pada 14 Desember 2015 di Hotel Diradja Jakarta. 41
sekelompok orang.Para politisi di Indonesia kerap pula menggunakan “jasa Kepolisian” atau setidak-tidaknya ancaman akan diproses oleh Kepolisian untuk memperkuat posisi tawarnya dihadapan masyarakat atau menghukum anggota masyarakat yang menuduh mereka korupsi. Namun juga sebaliknya dapat terjadi suatu perkara tidak kunjung disidik (dihentikan diam-diam) karena penyidikan akan menghadapkan Kepolisian pada kekuatan politik yang lebih besar. Ini, misalnya terjadi, dalam kasus penghentian penyidikan penembakan mahasiswa Trisakti 1998 dan Tragedi Mei atau kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia lainnya.Selain kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia berat, penghentian (atau setidaknya kemacetan) penyidikan juga besar kemungkinan terjadi bilamana masalah yang muncul begitu kompleks dan (diduga) melibatkan banyak pihak, termasuk pejabat yang tidak lagi berkuasa maupun yang masih berkuasa.44
Ad.3. Perkara Ditutup demi Hukum Jika suatu perkara ditutup demi hukum berarti perkara tersebut tidak dapat diproses lebih lanjut dengan menggunakan proses hukum acara pidana. Alasan-alasan ini dapat dilihat diatur dalam ketentuan Pasal 76 sd 85 KUHP yang mengatur tentang hapusnya kewenangan menuntut pidana dan menjalankan pidana, antara lain, adalah: Nebis in idem Seseorang tidak dapat lagi dituntut untuk kedua kalinya atas dasar perbuatan yang sama, di mana atas perbuatan itu orang yang bersangkutan telah pernah diadili dan telah diputus perkaranya oleh hakim atau pengadilan yang berwenang untuk itu di Indonesia, serta putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap.45Asas nebis in idem ini termasuk salah satu hak asasi manusia yang dilindungi hukum dan sekaligus dimaksudkan untuk tegaknya kepastian hukum. Apabila terhadap seseorang telah dijatuhkan putusan berupa pemidanaan, pembebasan, ataupun pelepasan dari tuntutan hukum, dan putusan itu telah memeperoleh kekuatan hukum yang pasti (in kracht van gewijsde), terhadap orang tersebut tidak lagi dapat dilakukan pemriksaan, penuntutan dan peradilan untuk kedua kalinya atas peristiwa yang bersangkutan.
44
Baca Tempo 30 November-6 Desember 2015 yang mengangkut persoalan tentang permainan kelompok bisnis Riza Chalid dalam pengadaan minyak Pertamina; Tempo 23-29 November 2015 yang mengangkat persoalan lobby yang dilakukan Setya Novanto dengan Direktur Freeport dengan mengatasnaman Presiden-Wakil Presiden RI; Tempo 2-8 November 2015 yang menulis perihal dugaan keterlibatan Surya Paloh dalam perkara korupsi yang melibatkan Gubernur Sumatera Utara; 45 Id, h. 153.
Tersangka meninggal dunia Dengan meninggalnya tersangka, proses penyidikan harus dihentikan.Hal ini sesuai dengan prinsip hukum pidana yang berlaku universal, yakni kesalahan tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang adalah menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari pelaku yang bersangkutan dan tidak dapat diwariskan pada ahli waris ataupun keluarganya. 46 Ini berbeda dari prinsip pertanggungjawaban perdata yang dalam keadaan tertentu dapat beralih menjadi beban para ahli waris. Daluarsa Setelah melampaui tenggang waktu tertentu, terhadap suatu tindak pidana tidak dapat dilakukan penuntutan dengan alasan tindak pidana tersebut telah melewati batas waktu atau daluarsa (Pasal 78 KUHP). Jika terhadap seseorang pelaku tindak pidana telah hapus wewenang untuk menuntut di muka sidang pengadilan, penyidik harus segera menghentikan proses penyidikan. Mengenai cara penghitungan tenggang waktu kedaluwarsa, mulai dihitung dari keesokan harinya sesudah perbuatan tindak pidana dilakukan. Selain itu daluarsa dalam arti waktu yang berlalu sejak terjadinya tindak pidana sudah sedemikian lama juga menjadi alasan penghentian penyidikan, karena dengan berlalunya waktu semakin sulit menemukan alat-alat bukti. Pembiaran yang disinggung di atas dengan cara ini kemudian menghasilkan daluarsa atau setidaknya tidak lagi mungkinnya diperoleh alat bukti cukup.
D. Alasan Penghentian Penyidikan di Luar KUHAP Di dalam praktik, alasan-alasan formal seperti yang disebutkan di atas benar menjadi acuan. Alasan tidak cukup bukti47 sekalipun sewaktu-waktu dapat dibuka kembali kerap muncul bilamana ditemukan bukti baru.48 Di luar itu alasan lain (tidak ditemukan dalam aturan hukum di atas) adalah adanya kesepakatan damai antara kedua belah pihak, yang dilakukan dengan pengaruh sosial-budaya hukum Kepolisian dan masyarakat.49 Apabila diartikan negatif, perdamaian tersebut dapat dilakukan oleh “oknum” Kepolisian dalam hal pelapor sebenarnya memiliki tujuan lain (menagih hutang dan menggunakan Kepolisian 46
Djisman Samosir, Segenggam tetang Hukum Acara Pidana, Nuansa Aulia, Bandung, 2013, h. 108. FGD dengan anggota Kepolisian pada 30 Oktober 2015. 48 Lihat http://nasional.tempo.co/read/news/2009/07/05/063185294/polisi-hentikan-penyidikan-kasus-ijasahpalsu-bupati-lebak, (28 mei 2015) 49 http://www.gatra.com/hukum-1/40054-alasan-polisi-terbitkan-sp3-untuk-ari-sigit.html, (28 Mei 2015). Hal serupa terungkap pula dalam FGD dengan anggota Kepolisian pada 6 November 2015. 47
sebagai penekan; atau sekadar untuk menghukum terlapor karena telah menyinggung harga diri atau sekadar membuat malu pelapor), atau delik yang diperkarakan adalah delik aduan.50 Namun apabila diartikan positif menurut Bekto Suprapto, perdamaian tersebut dapat dilakukan oleh Kepolisian dalam rangka penegakan hukum adat (yang untuk kasus-kasus tertentu berdasarkan wilayah terjadinya) dirasakan lebih adil. Misalnya kasus perang suku di Papua (perang suku dimaknai sebagai perang sesama suku, di mana pelaku dan korban dari satu suku yang sama), lalu Kepolisian menangkap seorang ketua adat untuk diadili. Ketua tersebut tidak mau makan hingga diinfus, anggota lain dari suku yang sama juga turut tidak mau makan. Mereka berkehendak bahwa nyawa yang hilang cukup dengan pemberian sanksi adat berupa 15 ekor babi yang dimasak dan dimakan bersama dengan seluruh anggota tersisa. Melihat situasi yang ada, Kepolisian di Papua melakukan penghentian penyidikan (dihentikan demi hukum, dengan dasar hukum adat yang berlaku di wilayah bersangkutan). Hal ini dianggap hukum lebih progresif dan Kepolisian mampu menggali rasa keadilan bagi masyarakat adat setempat.51 Fenomena tersebut sejalan dengan ajaran sifat melawan hukum material dalam arti negatif yakni adanya alasan pembenar (alasan penghapus sifat melawan hukum) berdasarkan
kriteria undang-undang dan norma-norma kehidupan sosial dalam
masyarakat.52 Maksudnya adalah walaupun suatu perbuatan telah sesuai dengan unsur-unsur di dalam suatu perundang-undangan, namun masih harus dikaji tentang penilaian masyarakat apakah perbuatan itu memang tercela, sehingga pembuatnya tak perlu dijatuhi sanksi hukum pidana dan cukup dengan dikenai sanksi-sanksi dari kaidah hukum lain atau kaidah sosial lain yang ada di masyarakat. Kemungkinan lain adalah bahwa perkara yang bersangkutan adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Dalam kasus-kasus seperti ini, penyidik Kepolisian menerbitkan SP3 dengan alasan, antara lain, pelapor telah berdamai dengan terlapor, karena Pelapor menginginkan keluarganya tetap utuh, terlapor mengakui kesalahan, Terlapor berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya berdasarkan surat pernyataan yang telah ditandatanganinya di hadapan penyidik polisi dan selanjutnya pelapor menarik keterangannya sebagai saksi dan sebagai korban (dan itu berarti juga tidak lagi ada alat bukti yang cukup).53
50
FGD dengan para Advokat pada tanggal 25 Agustus 2015, 15 September 2015, dan 28 September 2015. Reviewer di acara presentasi hasil penelitian yang dilakukan pada 14 Desember 2015 di Hotel Diradja Jakarta. 52 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, h. 90. 53 FGD dengan anggota Kepolisian pada 30 Oktober 2015 dan 6 November 2015. 51
Hal serupa juga didukung dengan fakta kasus yang diterima oleh Bekto Suprapto di wilayah Sulawesi Utara.54 Maka juga terbuka kemungkinan bahwa kecukupan alat bukti akan tergantung dari keberanian korban untuk melaporkan tindak pidana yang dialaminya. Korban perkosaan, misalnya, tidak akan (pernah) disidik perkaranya, bila mereka tidak memberanikan diri melapor atau karena takut (terhadap ancaman, intimidasi dari pelaku atau lainnya) mencabut laporan.Penghentian penyidikan karena itu juga dapat terjadi karena pelapor/korban tidak berani meneruskan perkara dan tidak merasa aman bila perkaranya dilanjutkan ke meja hijau. Seberapa jauh UU Perlindungan Korban dan Saksi (12/2006) mampu mengatasi persoalan ini terletak di luar fokus penelitian ini. Satu cara lain menghentikan penyidikan di luar alasan-alasan di atas adalah ketika perkara masih berada pada tahap penyelidikan. Untuk itu Kepolisian akan menerbitkan Surat Pemberitahuan Perkara Hasil Penyelidikan (SP2HP) Model A2. Pokok surat ini ialah bahwa perkara tidak dapat dilanjutkan ke tingkat penyidikan.Kemungkinan ini terbuka bilamana pengaduan masyarakat sejak semula sudah terang benderang bukan tindak pidana atau perkaranya terlalu “ringan” sehingga bisa diselesaikan langsung oleh Kepolisian, yang kerap juga bertindak sebagai penengah atau juru damai bagi konflik-konflik social yang terjadi dalam masyarakat. Selain itu penghentian penyidikan juga dapat diputuskan sebagai tindakan korektif. Di dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia nomor 12 tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia (PerKap 12/2009) ditetapkan bahwa SP3 dapat ditetapkan sebagai tindakan korektif. Ketentuan Pasal 43 PerKap ini mengatur dalam hal apa penyidik wenang menerbitkan SP3, yaitu: (1) “(…) terdapat temuan atau indikasi terjadinya penyimpangan dalam proses penyidikan, harus dilakukan tindakan koreksi oleh Perwira Pengawas Penyidik dan/atau oleh Atasan Perwira Pengawas Penyidik. (2) Tindakan koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: ... tindakan penghentian kegiatan penyidik; ...”
E. Prosedur Penyelidikan-Penyidikan dan Gelar Perkara
54
Reviewer di acara presentasi hasil penelitian yang dilakukan pada 14 Desember 2015 di Hotel Diradja Jakarta.
Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap penggunaan kewenangan diskresioner untuk penghentian penyidikan adalah prosedur panjang yang harus ditempuh oleh penyidik sebelum dapat menetapkan penghentian perkara. Prosedur tetap itu diatur di dalam Peraturan Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Standar Operasional Prosedur Pengorganisasian Penyidikan Tindak Pidana (Perkabareskrim No. 2/2014) beserta Lampiran A (Standar Operasional Prosedur Penunjukan Penyidik/Penyidik Pembantu), dan Lampiran B (Standar Operasional Prosedur Pelaksanaan Back Up Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana) serta Peraturan Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik IndonesiaNomor 3 Tahun 2014 (Perkabareskrim No. 3/2014) tentang Standar Operasional Prosedur Pelaksanaan Penyidikan Tindak Pidana. Kedua PerKaBareskrim di atas merupakan policy regulation atau beleidsregels yang pada akhirnya menjadi pedoman paling dekat, konkrit, terkini dan paling nyata bagi anggota Kepolisian penyidik dalam memutus menghentikan atau meneruskan perkara. Ini tentu berbanding terbalik dengan AUPB dan Kode Etik Kepolisian yang masih bersifat abstrak dan umum dan belum tentu secara konkrit dan langsung berpengaruh terhadap pelaksanaan kegiatan penyelidikan atau penyidikan. Ini tercermin pula dari aturan-aturan yang termuat di dalamnya yang bersifat teknis-prosedural dan sebab itu dipergunakan sebagai pedoman untuk melakukan kegiatan penyelidikan-penyidikan langkah demi langkah. Ditetapkan di dalam PerKabareskrim di atas bahwa prosedur penangan perkara tindak pidana dilakukan melalui tahapan sebagai berikut: “1. Penyelidikan Pada Pasal 5 ditegaskan bahwa penyelidikan dalam rangka penyidikan tindak pidana, dilakukan sebelum dan setelah adanya laporan polisi dan/atau pengaduan.Penyelidikan harus menjunjung tinggi objektivitas, berdasarkan fakta. Kegiatan dalam penyelidikan meliputi: pengolahan TKP, pengamatan, wawancara, pembuntutan, penyamaran, pelacakan, penelitian dan analisa dokumen. 2. Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) Setelah melalui Gelar Perkara, penyelidikan ditingkatkan menjadi penyidikan dengan diterbitkannya SPDP dari Penyidik kepada Jaksa Penuntut Umum.SPDP dibuat dan dikirimkan setelah terbit Surat Perintah Penyidikan. 3. Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP3) Pasal 11 Peraturan ini menegaskan bahwa penyidikan dapat dihentikan jika tidak cukup bukti, bukan tindak pidana, demi hukum (daluarsa, ne bis in idem, tersangka meninggal dunia, pengaduan dicabut dalam kasus delik aduan).”
Tidak tersebut dalam prosedur di atas namun acap muncul dalam praktik adalah, setelah melalui gelar perkara dan apabila penyelidikan tidak dapat ditingkatkan ke tahap
penyidikan, perkara yang bersangkutan (dinilai) bukan tindak pidana, atau pelapor mencabut aduannya (dalam hal perkara yang bersangkutan adalah delik aduan), maka untuk menghentikan
penyelidikan
perkara
tersebut
Kepolisian
akan
menerbitkan
Surat
Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) model A2. Menerbitkan SP2HP-A2 sebenarnya tidak memiliki dasar hukum (tertulis; peraturan perundang-undangan), berbeda dengan penerbitan SP3. Tidak tersedia pula upaya hukum untuk melawan atau menyanggah validitas atau keabsahan SP2HP-A2 yang menghentikan penyelidikan.Ini berbeda dengan SP3 yang terhadapnya dapat diajukan Pra-Peradilan.Dapat dibayangkan dalam konteks ini bahwa penyelidikan merupakan tahap seleksi perkara yang dilakukan internal oleh penyelidik-penyidik. Hanya kasus-kasus yang dianggap layak untuk diteruskan akan disidik, terhadap yang tidak lolos seleksi tahap pertama ini akan diterbitkan SP2HP-A2. Selain itu, kuat dugaan bahwa alasan adanya SP2HP-A2 terkait dengan adanya pembedaan (dalam KUHAP) antara proses penyelidikan dan proses penyidikan. Transisi dari tahap penyelidikan ke penyidikan perlu diatur lebih lanjut karena KUHAP sendiri tidak memberikan petunjuk tentang itu.Kepolisian beranjak dari kewenangan diskresioner yang dimilikinya mengisi ketiadaan aturan ini dengan membuat beleidsregel di atas. Selain itu, baik bagi penyelidik maupun penyidik perlu ada kejelasan tentang peningkatan status perkara yang ditangani: kapan dan bilamana penyelidikan beralih menjadi penyidikan atau justru layak dihentikan sehingga tidak perlu diserahkan kepada penyidik.
F. Pengaturan Gelar Perkara dan Penerbitan SP3 Pengaturan gelar perkara tidak ada di dalam KUHAP, adanya pengaturan tersebut di dalam Perkap. Gelar perkara diatur di dalam ketentuan Pasal 69 sampai dengan Pasal 72 PerKap tersebut. Ketentuan Pasal 69 PerKap No. 14/ 2012 menyebutkan adanya dua jenis gelar perkara: gelar perkara biasa dan gelar perkara khusus. Perbedaan di antara keduanya adalah gelar perkara biasa dilakukan, antara lain, untuk memutuskan apakah perlu atau tidak diterbitkan SP3.55 Sedangkan ketentuan Pasal 70 ayat (1) PerKap No. 12/2014, gelar perkara biasa dilaksanakan pada tahap: a. “awal proses penyidikan; b. pertengahan proses penyidikan; dan c. akhir proses penyidikan.“
55
FGD dengan anggota Kepolisian pada 30 Oktober 2015 dan 6 November 2015.
Dari ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa gelar perkara setidak-tidaknya dilakukan tiga kali untuk setiap kasus yang sedang ditangani penyidik Kepolisian. Melalui gelar perkara ini ditentukan pula apakah perkara dapat ditingkatkan statusnya dari penyelidikan ke penyidikan, serta apakah penyidikan diteruskan atau kemudian dinyatakan selesai. Dalam bagan sederhana, maka alur penyelidikan-penyidikan oleh Kepolisian dapat digambarkan sebagai berikut:
Gelar Perkara Awal (internal:
Dugaan kasus tindak pidana
Penyelidikan
TERSANGKA
Bukti-Bukti
Penyidikan
Bukti-Bukti Tambahan
Gelar Perkara Akhir (positif/
Gelar Perkara Menengah (internal: positif/ negatif)
positif/ negatif)
negatif)
Selanjutnya ketentuan Pasal 71 ayat (1) PerKap No. 12/2014 menetapkan bahwa gelar perkara khusus akan dilaksanakan bilamana muncul kebutuhan untuk: a. “merespons laporan/pengaduan atau komplain dari pihak yang berperkaraatau penasihat hukumnya setelah ada perintah dari atasan penyidikselaku penyidik; b. membuka kembali penyidikan yang telah dihentikan setelah didapatkan bukti baru; c. menentukan tindakan kepolisian secara khusus; atau d. membukakembali Penyidikan berdasarkan putusan Pra-Peradilan yangberkekuatan hukum tetap.”56
Sedangkan gelar perkara khusus dilakukan jika ada putusan Pra-Peradilan yang menyatakan bahwa SP3 ditolak dan artinya ada perintah pengadilan untuk melanjutkan penyidikan. Kekhususan itu muncul pula dalam ketentuan Pasal 71 ayat (2) PerKap No. 14/ 2012 yang menetapkan gelar perkara khusus akan dilaksanakan terhadap kasus-kasus tertentu dengan pertimbangan: 56
Hal serupa ternyata juga menjadi pengetahuan umum praktis dari mereka yang beracara. Hal ini diketahui dari FGD dengan para Advokat pada tanggal 25 Agustus 2015, 15 September 2015, dan 28 September 2015.
a. b. d. e. f. g. h. i.
“memerlukan persetujuan tertulis Presiden/Mendagri/Gubernur; menjadi perhatian publik secara luas; atas permintaan penyidik; perkara terjadi di lintas negara atau lintas wilayah dalam negeri; berdampak massal atau kontinjensi; kriteria perkaranya sangat sulit; permintaan pencekalan dan pengajuan DPO ke NCB Interpol/DivhubinterPolri; atau pembukaan blokir rekening.”
Apa yang dilakukan dalam gelar perkara adalah penyidik memaparkan hasil penyidikan atau perkembangan penanganan perkara dihadapan atasan atau rekan-rekan kerjanya dengan tujuan mendapat masukan pertimbangan dan arahan kebijakan. Di dalam gelar perkara kadang pula diundang ahli/pakar di bidang terkait dengan perkara yang sedang disidik. Ahli di sini adalah pakar yang memiliki kompetensi khusus di suatu bidang tertentu (hukum maupun non-hukum) dan dianggap mampu memberikan masukan berdasarkan keahliannya.Karena gelar perkara pada prinsipnya adalah untuk kepentingan penyidikan, maka acara ini tidak terbuka untuk umum. Pihak Pelapor atau pengacara seandainyapun diminta hadir, hanya menjadi pengamat belaka.57 Namun demikian, peraturan internal Kepolisian tidak memuat sanksi (-negatif atau administratif)
apabila
“kewajiban”
gelar
perkara
tidak
dijalankannya.
Menurut
ketentuanPasal 83 PerKap No. 14/ 2012, gelar perkara dikembangkan hanya sebagai salah satu metoda (internal) Kepolisian dalam rangka pengawasan dan pengendalian kegiatan penyidikan. Di luar itu, Kepolisian untuk mengawasi dan mengendalikan kegiatan penyidikan (termasuk penggunaan upaya paksa dan pengambilan keputusan menghentikan penyelidikanpenyidikan atau justru meneruskannya) menggunakan metoda lainnya seperti pembuatan dan penelitian laporan, pengawasan melekat, petunjuk dan arahan, serta supervisi langsung/tidak langsung.
Maka dapat pula dimengerti mengapa di dalam praktiknya, keputusan untuk
melakukan atau tidak melakukan gelar perkara (biasa atau khusus) digantungkan pada pertimbangan berat/ringan kasus yang ditangani. Artinya, keputusan untuk melakukan gelar perkara digantungkan pada kebutuhan polisi penyidik sendiri. Pada lain pihak dapat dicermati pula bahwa keleluasaan yang diberikan kewenangan diskresioner penyidik polisi untuk memutuskan atau tidak memutuskan menerbitkan SP3 sekarang dibatasi dengan adanya Gelar Perkara. Penyidik polisi tidak dapat menerbitkan SP3
57
Sebagaimana diceritakan oleh Advokat ketika menangani kasus pencemaran lingkungan di Sukabumi pada FGD tanggal 25 Agustus 2015.
tanpa terlebih dahulu melakukan Gelar Perkara (khusus)58
dan secara nyata hal ini
ditegaskan pula dalam ketentuan Pasal 76 ayat (2) PerKap No. 14/ 2012: “Sebelum dilakukan penghentian penyidikan, wajib dilakukan gelar perkara”.Pertanyaan penting di sini ialah seberapa sering gelar perkara ini harus dilakukan dan atas beban biaya siapa?Hal ini patut dipertanyakan mengingat keterbatasan sumberdaya Kepolisian dan perlunya penanganan perkara secara cepat dan efisien.Selanjutnya seberapa jauh gelar perkara khusus ini terbuka dan perlu diinformasikan kepada pihak pelapor atau (keluarga) korban tindak pidana? Seberapa jauhkah pihak pelapor atau keluarga korban atau mereka yang berkepentingan dengan satu dan lain cara perlu dilibatkan atau mendapat informasi perihal hasil akhir gelar perkara khusus ini?59 Dari uraian di atas keputusan menghentikan penyidikan adalah keputusan resmi yang diperoleh secara kolektif (sebagai hasil akhir dari proses gelar perkara). Artinya, keputusan penghentian penyidikan adalah keputusan resmi dari penyidik (atau lembaga Kepolisian) dengan irah-irah “Pro Justitia” yang bersifat individual-konkrit (untuk perkara A dengan korban atau pihak pelapor dan terlapor tertentu dan tersangka tertentu pula). Namun apakah keputusan ini harus dituangkan dalam bentuk tertulis sebagai surat keputusan (beschikking)? Di dalam praktiknya, suatu penyidikan dapat dihentikan secara formal maupun informal. Penghentian penyidikan secara formal dilakukan dengan terbitnya SP3 sesuai peraturan perundang-undangan. Sedangkan penghentian penyidikan secara informal dilakukan dengan tidak ada penerbitan surat secara khusus, sehingga kasus akan didiamkan (atau sering disebut juga ice box). Surat (keputusan tertulis) juga dianggap tidak perlu bilamana penghentian penyidikan terjadi karena para pihak telah melakukan perdamaian (dan dilanjutkan dengan pencabutan laporan untuk tindak pidana aduan).60
58
FGD dengan anggota Kepolisian pada 30 Oktober 2015, 6 November 2015, dan 13 November 2015. FGD dengan Advokat pada tanggal 15 September 2015 diperoleh informasi bahwa hasil akhir gelar perkara khusus ini sangat penting bagi pihak pelapor, namun sebaliknya tidak penting bagi tersangka. Namun bukankah tersangka-pun berkepentingan dengan keputusan penghentian penyidikan, satu dan lain, karena dengan status tersangka, ia oleh Kepolisian (penyidik) dapat dibebani sejumlah kewajiban (demi kepentingan penyidikan), seperti misalnya larangan bepergian? Pertanyaan inipun didiskusikan dalam FGD dengan Advokat pada FGD tanggal 25 Agustus 2015. Persoalan yang dibahas adalah seberapa jauh dan dalam kapasitas apa (pendengar/pengamat atau boleh memberikan masukan) terlapor dan pelapor dapat dilibatkan dalam gelar perkara yang diselenggarakan untuk memutus SP3 atau tidak. 60 Hasil FGD dengan Advokat, praktisi/pakar hukum pidana dan pihak Kepolisian. Tampak di sini ada konsistensi perilaku dan mengindikasikan pula penerimaan kebiasaan tersebut sebagai “hukum” yang berlaku. Sebaliknya hal sama dikeluhkan anggota Kepolisian (FGD tanggal 6 November 2015) yang mempertanyakan prosedur yang seharusnya ditempuh bilamana antara pihak terlapor dengan pelapor telah menempuh perdamaian (untuk tindak pidana biasa). 59
Sebaliknya keputusan SP3 baru akan dituangkan dalam bentuk surat tertulis (resmi) hanya dalam hal kasus yang ditangani penyidik adalah kasus yang disorot masyarakat banyak (atau mendapat liputan luas dari mass media), misalnya kasus lingkungan hidup. Kemungkinan lain ialah jika pihak yang berkepentingan (pelapor, lembaga swadaya masyarakat atau LBH) secara khusus mendesak dan meminta diterbitkannya SP3 tersebut. Hal ini juga dilakukan atas permintaan khusus (atensi) dari “orang” (pejabat/petinggi yang berkedudukan sebagai pelapor atau tersangka).61SP3 dalam bentuk tertulis tersebut akan dikirimkan kepada pelapor, jaksa penuntut umum, tersangka dan/atau kuasanya.62 Dapat dibayangkan dari uraian di atas bahwa urusan menghentikan penyelidikan (dengan SP2HP-A2) atau penyidikan (dengan atau tanpa melalui gelar perkara dan penerbitan SP3: dalam bentuk SK ataupun tidak) lebih dipandang sebagai urusan internal Kepolisian.Kriteria yang digunakan oleh penyidik dan yang diputuskan dalam gelar perkara kemungkinan besar sangat teknis, tidak dimengerti oleh masyarakat awam atau sebaliknya sangat tidak jelas (kabur) setidaknya bagi awam. Kesulitan lain di sini muncul dari tertib administrasi. Dalam satu kasus pelapor menerima SP2HP-A2 padahal SP3 telah diterbitkan.63Namun seberapa sering dan jauh ketidaktertiban ini berpengaruh terhadap “kepastian dan kejelasan” prosedur penghentian penyelidikan-penyidikan tidak dapat diketahui.Namun diakui pula oleh Kepolisian bahwa masalah procedural ini perlu ditangani dan dibereskan.64 Dari sudut pandang masyarakat atau pengamat luar kerap dipertanyakan mengapa satu kasus
diputus
SP3
sedangkan
lainnya
justru
dilanjutkan
penyidikannya? 65
Pertanggungjawaban penyidik terkesan terutama adalah kepada atasan langsung dan lembaga Kepolisian bukan pada pihak-pihak yang berkepentingan (pelapor/ terlapor atau masyarakat umum) pada penegakan hukum pidana. Bilamana ditengarai ada penyimpangan/ penyalahgunaan wewenang yang dilakukan penyidik, maka pihak yang bersalah (penyidik) harus dikenakan tindakan koreksi dan terhadapnya dikenakan sanksi administrasi atas tindakan pelanggaran yang dilakukannya secara proporsional.
61
FGD dengan para Advokat pada tanggal 15 September 2015 dan 22 September 2015. FGD dengan Advokat pada tanggal 25 Agustus 2015. 63 FGD dengan para Advokat pada tanggal 15 September 2015 dan 22 September 2015. 64 FGD dengan anggota Kepolisian pada tanggal 30 Oktober 2015 dan 6 Nivember 2015. Informan yang terlibat diskusi (anggota Kepolisian) menyarankan agar masalah procedural seharusnya diatur di dalam peraturan perundang-undangan (KUHAP). 65 Sebagaimana dicermati dan muncul dalam FGD dengan para Advokat pada tanggal 15 September 2015 dan 22 September 2015. 62
Dapat dibayangkan bahwa ketentuan di atas dimaksudkan untuk mencegah adanya intervensi (dari korban atau keluarga korban atau pun masyarakat umum) terhadap pengambilan keputusan penyidik berkaitan dengan perkara (kasus pidana) yang sedang ditanganinya. Betul bahwa penyalahgunaan kewenangan tersebut, termasuk dalam hal pemberdayaan upaya paksa, dapat memunculkan reaksi internal dari kepolisian. Namun jangkauan tindakan koreksional – bilapun ada – ditujukan lebih pada penjagaan martabat dan profesionalitas penyidik. Dengan kata lain, sekalipun mungkin dapat memuaskan pihak yang dirugikan, tindakan koreksional (dijatuhkan internal) tidak akan langsung berpengaruh terhadap upaya untuk membuka kembali perkara yang secara tidak sah telah dihentikan penyidikannya Pentingnya pernyataan di atas perihal pertanggungjawaban penyidik atas keputusan untuk menggunakan kewenangan diskresioner (termasuk dalam penetapan SP3 dengan atau tanpa gelar perkara) harus dikaitkan dengan peluang bagi pihak yang dirugikan dengan SP3 (resmi/tidak resmi; tertulis atau tidak) untuk menyanggah keputusan itu (melalui upaya hukum yang tersedia dalam sistem peradilan pidana atau di luar itu) dan dengan demikian memaksa penyidik untuk membuka kembali kasus dan meneruskan penyidikan dan menerima risiko lain dari disanggahnya validitas dari keputusan yang telah dibuat (tuntutan gantirugi dari pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh keputusan penghentian penyidikan).
G. Upaya Hukum Terhadap SP3 Upaya hukum yang tersedia untuk menyanggah SP3 (secara resmi), adalah PraPeradilan. Ketentuan Pasal 1 angka 10 KUHAP menyebutkan bahwa: “Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang: a. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasatersangka; b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; c. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”
Sejalan dengan itu, ketentuan Pasal 77 KUHAP menyatakan: “Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuanyang diatur dalam undang-undang ini tentang : a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan ataupenghentian penuntutan;
b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.” Permintaan untuk memeriksa sah tidaknya suatu penghentian penyidikan (hanya SP3) atau penuntutan menurut ketentuan Pasal 80 KUHAP dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasannya.Ketentuan tersebut harus dibaca bahwa penyidik dapat menuntut Kejaksaan (penuntut umum) bilamana kejaksaan menetapkan penghentian penuntutan. Ini hak yang wajar mengingat persoalan bahwa yang pertama bekerja keras dalam penyidikan adalah Kepolisian yang berhubungan dengan kejaksaan melalui mekanisme pengawasan (P-18 dan P-21). Bilamana Kejaksaan telah menerima pelimpahan berkas perkara, maka harapan wajar dari Kepolisian adalah bahwa terhadap perkara yang sudah disidiknya akan dilanjutkan dengan penuntutan. Sebaliknya agak aneh bilamana penuntut umum melibatkan diri dalam proses PraPeradilan dalam hal penyidik menghentikan penyidikan. Kiranya hanya pihak ketiga yang berkepentingan yang dapat menuntut baik penuntut umum (bila penuntutan dihentikan) maupun penyidik (bila penyidikan dihentikan). Ini harus dikaitkan pula dengan bunyi ketentuan ketentuan Pasal 82 ayat (2) huruf b KUHAP menetapan jika putusan hakim menetapkan bahwa suatu penghentian Penyidikan tidak sah, maka Penyidikan terhadap Tersangka wajib dilanjutkan (Pasal 82 ayat (2) huruf b KUHAP). Syarat utama yang tidak disebutkan dalam ketentuan-ketentuan di atas adalah bahwa pihak berkepentingan sebelum dapat mengajukan permohonan Pra-Peradilan harus mengetahui adanya SP3 dan memahami alasan-alasan mengapa SP3 diterbitkan, satu dan lain, karena permohonan Pra-Peradilan harus dilengkapi dengan alasan-alasan.Artinya bagi pihak yang berkepentingan adanya SP3 tertulis yang disampaikan kepadanya sangat penting.Di dalamnya setidak-tidaknya dapat atau seharusnya dapat ditemukan alasan pertimbangan penyidik menghentikan penyidikan.Sementara itu penghentian penyelidikan maupun penyidikan di luar SP3 tidak terjangkau oleh mekanisme PraPeradilan.Begitu juga dengan persoalan cacat prosedur termasuk penyalahgunaan kewenangan diskresioner penyidik. Kedua hal inipun tidak berada di luar kewenangan Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutusnya melalui forum Pra-Peradilan. Hal lain yang teramati dan perlu disebut adalah kecenderungan bahwa terhadap penghentian penyidikan yang dituangkan dalam SP3 yang kemudian ditolak (dinyatakan
tidak absah dan batal) melaluiPra-Peradilan, oleh peraturan internal Kepolisian, diberikan konsekuensi hukum wajib dibukanya kembali penyidikan. Ketentuan Pasal 76 ayat (4) PerKap No. 14/ 2012 menegaskan : “Dalam hal penghentian penyidikan dinyatakan tidak sah oleh putusan Pra-Peradilan dan/atau ditemukan bukti baru, penyidik harus melanjutkan penyidikan kembali dengan menerbitkan surat ketetapan pencabutan penghentian penyidikan dan surat perintah penyidikan lanjutan.” Dari sudut pandang teori, maka atas perintah pengadilan, Kepolisian wajib mencabut SP3 dengan cara menerbitkan surat ketetapan pencabutan penghentian penyidikan dan surat perintah penyidikan lanjutan. Putusan Pra-Peradilan tidak langsung atau otomatis berlaku.Penyidik atas dasar kekuatan dua surat tersebut akan membuka kasus yang telah dihentikan penyidikannya.
Keterkaitan gelar perkara-SP3 dan PraPeradilan digambarkan di bawah ini:
Internal, eksternal, para pihak
SP3 diterima kasus berhenti
Gelar
SP3
Perkara Akhir
Praperadilan SP3 ditolak
Kasus berlanjut hingga ke JPU Jika ada BUKTI BARU GELAR PERKARA KHUSUS
Persoalannya adalah bahwa dalam praktik, Kepolisian tidak begitu saja akan mengamini dan menerima “kekalahan” di forum Pra-Peradilan. Putusan Pra-Peradilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan (atau tidak sahnya penggunaan upaya paksa) dipahami sebagai serangan terhadap kewibawan Kepolisian atau ketidakpercayaan yang tidak layak terhadap kinerja penyidik.Mungkin juga putusan demikian dimaknai sebagai wujud ketidaktahuan atau ketidakmengertian masyarakat umum atau pihak yang
berkepentingan terhadap “usaha keras dan biaya” yang sudah dicurahkan penyidik. Dilihat dengan cara ini, maka keberatan yang diajukan tidak perlu dan layak ditanggapi serius. Strategi hukum yang kerap dilakukan untuk melawan Putusan Pra-Peradilan adalah dengan mengajukan PeninjauanKembali.66 Kemungkinan besar keengganan menerima putusan Pra-Peradilan yang memutuskan tidak sahnya penghentian penyidikan adalah karena Kepolisian dengan itu harus menerima pula kemungkinan adanya tuntutan gantirugi dan rehabilitasi dari pihak yang dirugikan baik yang diputus (dikabulkan) oleh Hakim PraPeradilan (Pasal 83 angka 3 huruf b dan c KUHAP) atau dalam suatu gugatan terpisah (Pasal 93 KUHAP). Dasar hukum pengajuan PeninjauanKembali adalah novum (bukti baru) atau cacat prosedur.Keduanya dapat diajukan sebagai alasan.Namun argumentasi yang lebih kerapdiajukan ialah Hakim Pra-Peradilan ‘bersalah” menjatuhkan putusan lewat satu hari (hari kedelapan) dari yang disyaratkan peraturan perundang-undangan.Ketentuan Pasal82 KUHAP67 menetapkan: (1) “Acara pemeriksaan praperadilan untuk hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal79, Pasal 80 dan Pasal 81 ditentukan sebagai berikut : a. ...; b. ...; c. pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnyatujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya; d. dalam hal suatu perkara sudah mulai, diperiksa oleh pengadilan negeri,sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada pra peradilanbelum selesai, maka permintaan tersebut gugur;”
Ketentuan ini jelas bertujuan untuk mendorong hakim Pra-Peradilan agar tidak menundanunda persidangan. Karena keterlambatan yang terjadi akanmenghambat/menghalangi dimulainya peradilan pokok perkara, sedangkan bilamana peradilan pokok perkara sudah dimulai, proses Pra-Peradilan akan gugur (Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP). Dapat dibayangkan bahwa strategi yang dapat digunakan untuk menghindari Pra-Peradilan adalah “memaksa” Jaksa dan/atau Kehakiman untuk segera memeriksa perkara pokok.Dalam perkara pokok, strategi yang terbuka bagi pihak yang dirugikan (hanya terdakwa) adalah mengajukan eksepsi atau mencabut Berita Acara Pemeriksaan.Itupun kewajiban memberikan
66 67
FGD dengan Advokat pada 25 Agustus 2015. Peninjauan Kembali terhadap Putusan 10/Pid.Praper/2015/PN.BDG
Praperadilan
Pengadilan
Negeri
Bandung
Nomor
:
jawaban atau bantahan bukan lagi ada pada pundak Kepolisian atau penyidik, namun sudah beralih pada penuntut umum dalam perkara yang bersangkutan.
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan Dari hasil penelitian yang diungkap dalam uraian Bab 2 dan 3 dapat ditarik simpulan sebagai berikut: 1) Kewenangan penyidik dalam kaitannya dengan SP3 mencakup kewenangan diskresioner untuk mengatur lebih rinci prosedur penyelidikan, penyidikan, termasuk SP3. Kewenangan ini dituangkan dalam Perkap dan Perkabareskrim. Petugas Kepolisian khususnya penyelidik dan penyidik harus berpedoman pada KUHAP dan peraturan internal Kepolisian. Namun, petugas Kepolisian di lapangan tetap memiliki kewenangan diskresioner ketika melakukan tugas-tugasnya, termasuk ketika harus memutuskan SP3 menurut KUHAP dan di luar KUHAP. Kewenangan diskresioner Kepolisian tersebut harus dalam koridor hukum yang berlaku. Kriterium yang digunakan untuk tetap dalam koridor hukum adalah AUPB. Hal ini dapat ditemukan dalam prinsip-prinsip yang terdapat pada Pasal 3 Perkabareskrim No.2/2014 yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan oleh Kepolisian dalam penerbitan SP3 untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan dan tindakan sewenang-wenang. 2) Kriterium hukum (prosedur dan alasan) yang dipergunakan oleh Kepolisian Indonesia dalam keputusan untuk menerbitkan SP3 banyak digunakan dalam praktik sesuai KUHAP, Perkap, dan Perkabareskrim yang berlaku. Alasan SP3 yang dapat digunakan berdasarkan aturan tersebut yaitu kurang cukup bukti, bukan tindak pidana, dan demi hukum. Ketiga alasan itu dapat diintepretasikan lebih jauh sesuai dengan kasus yang dihadapi oleh Kepolisian. Oleh karena keterbukaan interpretasi tersebut, maka terbuka peluang dilakukan penghentian penyelidikan serta penyidikan di luar ketentuan yang telah diatur. Sekalipun tetap dapat dibungkus dengan alasan kurang cukup bukti, bukan tindak pidana, dan demi hukum, penelitian yang telah dilakukan menunjukkan SP2HP model A2 dan SP3 dapat dilakukan dengan kriterium non-hukum yang didasarkan pada intervensi politik, ekonomi, sosial-budaya Kepolisian dan masyarakat Indonesia dalam arti luas.
B. Saran 1) a. Bagi Kepolisian : Polisi yang harus mewujudkan professional, good, and clean ketika mengimplementasikan kewenangan diskresionernya saat akan memutuskan penghentian penyidikan wajib memperhatikan asas doelmatigheid dan rechtmatigheid yang merupakan asas penting dalam AUPB. Apabila pejabat terbukti tidak memperhatikan (melanggar) AUPB sehingga terjadi penyalahgunaan
kewenangan
dan
tindakan
sewenang-wenang
atas
penghentian
penyelidikan dan penyidikan, maka perlu ada penjatuhan sanksi administratif bagi pejabat yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang Kepolisian. b. Bagi Kompolnas : Kompolnas sebagai pengawas eksternal Kepolisian disarankan menggunakan asas doelmatigheid dan rechtmatigheid untuk menilai kinerja kepolisian ketika polisi menggunakan kewenangan dalam membuat peraturan tertulis/tidak tertulis dan pelaksanaan kewenangan diskresioner di lapangan berkaitan dengan kegiatan penyelidikan dan penyidikan. Di samping itu, Kompolnas seyogyanya memonitor polisi-polisi yang memperhatikan AUPB dan yang mengabaikan AUPB untuk karir bagi polisi-polisi tersebut, sehingga Kompolnas memiliki data akurat mengenai anggota kepolisian yang professional, good, and clean, serta sebaliknya.
2) a. Bagi Kepolisian: Kepolisian sebagai bagian dari Sistem Peradilan Pidana, ketika menggunakan kewenangan diskresionernya harus memperhatikan tujuan dari hukum pidana untuk membantu mengimplementasi asas doelmatigheid dan rechtmatigheid mengenai penghentian penyelidikan dan penyidikan. b. Bagi Kompolnas: Ketika Kompolnas mengawasi kinerja Kepolisian, khususnya berkaitan dengan implementasi kewenangan diskresioner di bidang penyelidikan/penyidikan, maka hal tersebut harus ditempatkan dalam kerangka tujuan hukum pidana dan Sistem Peradilan Pidana. Kedua hal ini dapat membantu Kompolnas untuk mengukur seberapa jauh Kepolisian sudah bertindak doelmatig dan rechtmatig.
DAFTAR PUSTAKA Buku-Buku: Abdul Latief, Hukum dan Kebijaksanaan (beleidsregel) Pada Pemerintahan Darah, UII Press, Yogyakarta, 2005. Anton Tabah, Membangun Polri yang Kuat, Mitra Hardhasuma, Jakarta, 200. Alvina Trend Burrows, The Basic Dictionary of Amarican English, New York, Rinchart and Winston Inc, 1966. Bachsan Mustafa, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara,Citra Aditya Bhakti,Bandung, 1990. Bibit Samad Irianto, Pemikiran Menuju Polri yang Profesional, Mandiri, Berwibawa dan Dicintai Rakyat. Djisman Samosir, Segenggam tetang Hukum Acara Pidana, Nuansa Aulia, Bandung, 2013. J. Remmelink, Pengantar Hukum Pidana Material I, Yogyakarta: Maharsa, 2014. Komisi Kepolisian Nasional, Cold Cases: Apa dan Bagaimana?, KOMPOLNAS, Jakarta, 2015. Maria S.W. Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian,Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1989. M. Faal, Penyaringan Perkara Pidana oleh Polisi (Diskresi Kepolisian), PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1991. M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP-Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009. Nur Basuki Minarno, 2009, Penyalahgunaan Wewenang Dan Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, diterbitkan Laksbang Mediatama, Palangkaraya. P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997. Philipus M. Hadjon, Lembaga Tertinggi dan Lembaga-lembaga Tinggi Negara Menurut UUD 1945 Suatu Analisa Hukum dan Kenegaraan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, Cetakan keempat, 1995. Philipus M. Hadjon, et.al.,Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the Indonesian an Administrative Law), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1995. Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara edisi Revisi, Rajawali Press, Jakarta, 2006. Sadjijono, Prinsip Good Governance dalam Penyelenggaraan Kepolisian di Indonesia, Laks Bang Pressindo, Yogyakarta, 2005 Safri Nugraha, Laporan Akhir Tim Kompedium Bidang Hukum Pemerintahan Yang Baik, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jakarta: Desember 2007.
Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Peradilan Administrasi di Indonesia, Alumni, Bandung, 1985. Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif – Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta, 1980. Thomas J. Aaron, Control of Police Discretion, Charles C. Thomas, Spring-field, 1960. W.J.S, Poerwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1986. Yopie Morya Immanuel Patiro, mengutip Marcus Lukman,Eksistensi Peraturan Kebijaksanaan dalam bidang Perencanaan dan Pelaksanaan Rencana Pembangunan di Daerah serta Dampaknya Terhadap Pembangunan Materi Hukum Tertulis Nasional, Disertasi, Universitas Padjajaran, Bandung, 1996. Yoyok Ucuk Suyono, Hukum Kepolisian – Kedudukan Polri Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945, Laksbang Grafika, Yogyarta, 2013. Peraturan Perundang-undangan: UUD RI Tahun 1945 Ketetapan MPR RI No.VI/MPR/2000 (Pemisahan TNI dan Polri) Ketetapan MPR RI No.VII/MPR/2000 (Peran TNI dan Peran Polri) UU No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP UU No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) UU No. 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia Peraturan Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Standar Operasional Prosedur Pengorganisasian Penyidikan Tindak Pidana (Perkabareskrim 2/2014) beserta Lampiran A (Standar Operasional Prosedur Penunjukan Penyidik/Penyidik Pembantu), dan Lampiran B (Standar Operasional Prosedur Pelaksanaan Back Up Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana) Peraturan Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2014 (Perkabareskrim 3/2014) tentang Standar Operasional Prosedur Pelaksanaan Penyidikan Tindak Pidana. Putusan Pengadilan: Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 449/Pid.B/2002 PN.Jkt.Pst tanggal 4 September 2002 yang dikuatkan dengan Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Putusan No. 171/Pid/2002/PT.DKI tanggal 17 Januari 2003 dan selanjutnya kedua putusan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung R.I. dalam Putusan No. 572K/Pid/2003 tanggal 12 Februari 2004. Peninjauan Kembali terhadap Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 10/Pid.Praper/2015/PN.BDG Tesis, Disertasi: Marcus Lukman,Eksistensi Peraturan Kebijaksanaan dalam bidang Perencanaan dan Pelaksanaan Rencana Pembangunan di Daerah serta Dampaknya Terhadap Pembangunan Materi Hukum Tertulis Nasional, Disertasi, Universitas Padjajaran, Bandung, 1996
Jurnal: Philipus M Hardjon, artikel berjudul “Masalah Pertanahan Dalam Peradilan Tata Usaha Negara”, YURIDIKA Majalah Fakultas Hukum Universitas Airlangga Edisi no 4 Tahun VII, JuliAgustus, 1993 Artikel Relevan: Tempo 30 November-6 Desember 2015. Tempo 23-29 November 2015. Tempo 2-8 November 2015. http://kamuslengkap.com/kamus/hukum/arti-kata/pro+justitia+ diakses 2 Desember 2015. http://www.gatra.com/hukum-1/40054-alasan-polisi-terbitkan-sp3-untuk-ari-sigit.html (28 Mei 2015). http://nasional.tempo.co/read/news/2009/07/05/063185294/polisi-hentikan-penyidikan-kasus-ijasahpalsu-bupati-lebak (28 Mei 2015)