Miqat dan Mahram Jamaah Haji Indonesia
Iin Solikhin*) *) Penulis adalah Magister Agama (M.Ag.), sebagai Dosen di Jurusan Syari’ah, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Purwokerto. Abstract: Pilgrimage is one of five pillars of Islam that must be performed by wealthy Moslem. There are some rules that must be obeyed; for example, the place to start ihram –consecration for use in the pilgrimage to Mecca— (miqat makani). For Indonesian pilgrim, the place to start ihram actually is Yalamlam. But the fact, Indonesian pilgrim doesn’t start it there. Also, the obligation for female pilgrim to have mahram (male relative accompanying the pilgrimage) that is done by choosing someone to be the mahram must be recheck. It must be understood in accordance with its goals without ignoring the harmful activity. Keyword: ihram, miqat.
Pendahuluan Sebagai makhluk Tuhan, manusia diciptakan tidak hanya untuk menghuni persada bumi ini, tetapi lebih jauh manusia diciptakan untuk mengabdikan diri kepada sang Khaliq. Pengabdian yang dimaksud secara umum adalah melaksana-kan tugas sebagai pemegang amanat Allah di bumi (
khalifah fi al-ardh) dan salah satu bentuk realisasinya adalah ibadah (ritual-ritual) khusus seperti shalat, zakat, puasa, dan haji. Khusus berkenaan dengan ibadah haji, Allah telah mewajibkan dengan firman-Nya: “Allah telah mewajibkan kepada seluruh manusia yang mempunyai kemampuan (istatha’ah) untuk melaksanakan ibadah haji” (Q.S. Ali Imran : 97). Untuk lebih jelas dalam pelaksanaannya, maka Nabi Saw telah memberikan batasan yang harus dilaksanakan supaya ibadah haji yang dilakukan berjalan dengan baik dan benar, sebagaimana disebutkan dalam hadis, artinya: “Jabir berkata: “Aku melihat Rasulullah Saw melempar (jumrah) dari atas kendaraannya pada hari nahr (10 Dzul-hijjah), lalu beliau bersabda: “Hendaklah kalian mengambil petunjuk tentang ibadah hajimu (dariku) karena aku tidak tahu apakah aku akan dapat melaksanakan ibadah haji lagi sesudah tahun ini” (H.R. Muslim).1 Hadis ini diucapkan Nabi Saw pada waktu melaksanakan haji wada’ (perpisahan). Di dalam hadis ini dinyatakan bahwa apa yang harus dilaksanakan dan bagaimana tata cara pelaksanaan ibadah haji tersebut harus meneladani dan mengikuti petunjuk-petunjuk Nabi Saw. Hal ini dimaksudkan agar dalam pelaksanaannya tidak terdapat kekeliruan, yang pada akhirnya menjadikan ibadah haji yang dilakukan seseorang menjadi tidak berguna (sia-sia).
P3M STAIN Purwokerto | Iin Solikhin
1
Ibda` | Vol. 2 | No. 1 | Jan-Jun 2004 | 85-98
Di antara petunjuk Rasulullah untuk ke-sah-an ibadah haji adalah mengatur kapan dan di mana seseorang harus melaksanakan rukun-rukun haji, tak terkecuali dalam hal penentuan tempat-tempat dan waktu pelaksanaan ihram. Penentuan waktu dan tempat seseorang memulai
ihram dan berniat melaksanakan ibadah haji (juga umrah) dikenal dengan sebutan miqat. Sesuai dengan ketentuannya, miqat terbagi menjadi dua, yaitu miqat zamani dan miqat makani.2 Satu hal lagi yang terkait dengan ibadah haji adalah tentang kewajiban bagi seorang perempuan dalam melaksanakan ibadah haji adalah harus didampingi oleh suami atau mahram3nya. Untuk Indonesia, Departemen Agama selaku penyelenggara haji telah menetapkan bahwa bagi jamaah haji perempuan yang tidak berangkat bersama suami atau mahram-nya, maka ditunjuk seorang laki-laki lain (ajnabi) sebagai mahram angkatnya atau terlebih dahulu telah dipercayakan oleh pihak keluarga kepada seorang laki-laki yang dipercaya. Kalau dihubungkan dengan konsep mahram, maka kelihatannya menjadi masalah yang sangat krusial. Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, sengaja persoalan ini diajukan dengan harapan dapat memberikan nuansa dalam pemahaman hukum Islam yang erat kaitannya dengan kemaslahatan umat.
Sekilas tentang Haji Secara leksikal kata haji berarti al-qashd, yang berarti menyengaja/sengaja, sehingga apabila seseorang bermaksud untuk melaksanakan sesuatu (dengan sengaja) berarti ia sudah melakukan haji. Makna terminologi haji adalah bermaksud dengan sengaja ke Makkah dalam rangka menunaikan ibadah-ibadah tertentu,4 ibadah yang dimaksud sudah barang tentu adalah ibadah haji. Ibadah haji diwajibkan kepada setiap orang Islam yang mampu sesuai dengan firman Allah Swt ayat 97. Walaupun dalam ayat ini taklif-nya diwajibkan kepada seluruh manusia, tetapi dengan memperguna-kan takhsis bi al-aql (mengeluarkan sebagian satuan yang dicakup oleh keumuman lafal dengan mempergunakan pertimbangan akal), maka kewajiban itu akhirnya hanya ditujukan kepada orang Islam yang telah balig, berakal dan mampu. Kewajiban haji–seperti dinyatakan dalam firman Allah-juga dikuatkan oleh hadis, antara lain: Artinya: “Dari Ibn Umar r.a. telah bersabda Rasulullah Saw: “Islam itu dibangun dengan lima hal, yaitu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan haji ke Baitullah, dan puasa di bulan Ramadhan” (H.R. Bukhari Muslim). Dari hadis di atas dapat dipahami bahwa haji diwajibkan bagi orang yang sanggup untuk melaksanakannya. Tambahan lagi, kewajiban tersebut hanya berlaku apabila tempat yang dilalui maupun yang akan dituju berada dalam keadaan aman. Hal ini sesuai dengan pedoman bahwa Rasul tidak jadi melaksanakan haji ketika situasi Makkah–pada masa itu didominasi dan diblokir
P3M STAIN Purwokerto | Iin Solikhin
2
Ibda` | Vol. 2 | No. 1 | Jan-Jun 2004 | 85-98
oleh kaum kafir Quraisy–tidak aman. Ini merupakan suatu indikasi bahwa faktor keamanan merupakan syarat ekstern kewajiban ibadah haji. Karena ibadah haji merupakan ibadah yang mempunyai nilai sangat besar di sisi Allah Swt, maka pengaturannya pun ditetapkan oleh Rasul melalui sabda-sabda dan perbuatannya. Salah satu bentuk pengaturan itu adalah seseorang harus memulai ihram sebagai salah satu rukun haji yang disebut juga dengan miqat. Miqat adalah bentuk mufrad dari kata mawaqit yang secara leksikal berarti suatu batas atau ketentuan, sedang menurut istilah (dan inilah yang dimaksud di sini) adalah waktu untuk beribadah haji dan tempat pelaksanaannya–memulai ihram.5 Dari pengertian tersebut, ada dua macam miqat, yaitu miqat zamani dan miqat makani. Miqat
zamani adalah penentuan kapan ibadah haji itu harus dilakukan. Dalam hal ini Allah Swt telah berfirman dalam surah al-Baqarah ayat 189 dan 197 yang menjelaskan bahwa kedudukan bulan sabit sebagai pertanda waktu bagi manusia dan miqat bagi ibadah haji, dan haji tersebut dilakukan dalam beberapa bulan yang telah ditentukan. Ulama sepakat bahwa bulan-bulan yang telah ditentukan tersebut adalah bulan Syawal, Dzulqaidah, dan Dzulhijjah. Akan tetapi, untuk bulan yang terakhir, mereka berselisih pendapat, apakah seluruhnya ataukah sebagian saja. Sebagian mengatakan bahwa keseluruhan dari bulan Dzulhijjah merupakan bulan-bulan haji, seperti pendapat Imam Malik dan Ibn Hazm,6 sedangkan Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan Mazhab Hanafi menetapkan bahwa hanya sepuluh (10) hari pertama saja yang termasuk bulan haji.7 Kelihatannya kelompok pertama lebih menekankan kepada keseluruhan amalan haji seperti melempar jumrah yang dilakukan pada hari ke-tigabelas (13) bulan Dzulhijjah, dan tawaf ifadhah yang dapat dilakukan pada akhir bulan tersebut. Sementara kelompok kedua lebih menekankan kepada inti dari ibadah haji yang puncaknya adalah wukuf di Arafah yang dilakukan pada hari ke-sembilan (9) dan sepuluh (10) bulan Dzulhijjah. Tetapi, yang jelas pendapat-pendapat ini tidak menafikan amalan-amalan haji lainnya seperti melempar jumrah yang justru dilakukan pada hari tasyri’ (11, 12, dan 13 Dzulhijjah). Berkenaan dengan miqat makani –tempat memulai ihram- Rasul telah memberikan petunjuk secara jelas, antara lain: “Dari Ibn Abbas berkata, Rasulullah Saw telah menetapkan Dzulhulaifah sebagai miqat bagi penduduk Madinah, Juhfah bagi penduduk Syam, Qarnul Manazil bagi penduduk Nejed, dan Yalamlam bagi penduduk Yaman. Tempat-tempat itulah miqat bagi mereka dan juga bagi orang asing yang datang ke sana dengan tujuan haji atau umrah. Selain yang telah disebutkan ini, maka miqat mereka dari negeri masing-masing, seperti penduduk Makkah yang ber-miqat dari Makkah” (H.R. Bukhari).8 Di samping itu, hadis lain: “Dari Aisyah r.a. bahwa Nabi Saw telah menetapkan Dzatu ‘Irqin sebagai miqat bagi penduduk Irak” (H.R. Abu Daud dan Nasa’i). Dari hadis di atas, dapat disimpulkan bahwa tempat-tempat memulai ihram adalah: 1) Dzulhulaifah (disebut juga Bir Ali) adalah tempat miqat bagi penduduk Madinah yang berjarak 450 Km atau 9 marhalah dari Makkah; 2) Al-Juhfah –suatu tempat antara Makkah dan Madinahmerupakan miqat bagi mereka yang datang dari Syam (kini Suriah), Mesir, Maghrib atau yang searah yang berjarak (al-Juhfah) sekitar 187 Km dari Makkah; 3) Yalamlam –sebuah bukit di
P3M STAIN Purwokerto | Iin Solikhin
3
Ibda` | Vol. 2 | No. 1 | Jan-Jun 2004 | 85-98
sebelah selatan Makkah- berjarak 94 Km dari Makkah merupakan miqat bagi jamaah haji Yaman dan yang searah, seperti Indonesia, Malaysia, India, Cina, dan Bangladesh; 4) Qarnul Manazil – sebuah bukit di sebelah timur Makkah- yang berjarak 94 Km dari Makkah merupakan miqat bagi jamaah dari Nejed dan yang searah; 5) Dzatu ‘Irqin –sebelah utara Makkah berjarak 94 Km dari Makkah, merupakan miqat bagi penduduk Irak dan yang searah walaupun penetapan Dzatu ‘Irqin ini sebagai miqat diperselisihkan ulama.
Miqat Bagi Jamaah Haji Indonesia Dengan kecanggihan teknologi transportasi, umumnya jamaah haji dari arah selatan dan tenggara, termasuk Indonesia tidak melalui jalur laut dan darat, tetapi dengan pesawat udara. Sebenarnya tidak menjadi permasalahan apabila pesawat udara tersebut mendarat di bandar udara Yaman sehingga dari sana bisa langsung menuju miqat di Yalamlam yaitu miqat yang sama bagi penduduk Yaman. Rute penerbangan jamaah haji Indonesia tidak melalui Yaman, tetapi dari embarkasi pemberangkatan jamaah haji dari seluruh Indonesia, langsung menuju Abu Dhabi -Uni Emirat Arab- dan terus ke Jeddah –Arab Saudi. Jika diikuti miqat jamaah haji dari arah Uni Emirat Arab, maka semestinya miqat mereka adalah Qarnul Manazil. Tetapi, rute pesawat dari Indonesia tidak mendarat di sana, bahkan tidak melintasi-nya. Oleh karena itu, perlu dicarikan di mana sebenarnya miqat bagi jamaah haji asal Indonesia. Untuk hal tersebut MUI (Majelis Ulama Indonesia) dalam salah satu fatwanya menetapkan bahwa miqat makani jamaah haji Indonesia adalah boleh dilakukan dari tanahair atau dari Bandara King Abdul Aziz di Jeddah. Dengan pertimbangannya bahwa jarak dari Bandara King Abdul Aziz dengan Makkah adalah 102 Km melebihi jarak Yalamlam dengan Makkah yang hanya berjarak 94 Km.9 Ketentuan di atas hanya berlaku bagi jamaah haji Indonesia gelombang kedua karena dari Bandara King Abdul Aziz mereka langsung menuju Makkah, sedang bagi jamaah haji gelombang pertama tidak ada masalah karena dari Indonesia mereka langsung menuju Madinah, dan mereka bisa ihram dan ber-miqat di Dzulhulaifah (Bir Ali) sama dengan miqat jamaah haji dari Madinah. Berdasarkan fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) di atas, timbul kesan adanya inisiatif untuk menghilangkan kesulitan dalam pelaksanaan ibadah haji, dan hal ini merupakan hal yang positif. Akan tetapi, patut untuk dipertanyakan karena Rasulullah Saw telah menentukan tempat-tempat tertentu untuk memulai ihram (miqat) yang tidak bisa diubah begitu saja tanpa adanya alasan hukum yang jelas dan kuat. Hal ini mengingat fatwa MUI didasarkan pada penerapan kaidah qiyas dengan illat jarak yang melebihi jarak antara Makkah – Yalamlam. Akan tetapi persoalannya, apakah qiyas yang dilakukan dan diterapkan tersebut tidak berlawanan dengan petunjuk-petunjuk Rasulullah yang secara kualitas penunjukannya qath’i, baik dari segi dalalah, maupun wurud-nya. Apalagi untuk beberapa tahun terakhir, rute perjalanan jamaah haji Indonesia sudah tidak seperti yang dikemukakan di atas, namun dari Indonesia pesawat langsung menuju Jeddah dengan
P3M STAIN Purwokerto | Iin Solikhin
4
Ibda` | Vol. 2 | No. 1 | Jan-Jun 2004 | 85-98
melewati Yaman, bahkan melewati atau melintasi Yalamlam. Namun, MUI tidak mengubah fatwanya (atau ada fatwa baru) untuk menetapkan satu alternatif penetapan miqat tidak lagi di Jeddah, melainkan dilakukan di atas pesawat ketika pesawat melintasi Yalamlam. Pendekatan qiyas yang dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia tidak berdiri sendiri, tetapi diilhami oleh pendapat Imam al-Nawawi tentang kebolehan melakukan miqat bagi orang yang tidak melewati salah satu miqat-pun dengan syarat mempunyai jarak dua (2) marhalah dari Makkah.10 Ketentuan jarak dua (2) marhalah ini berdasarkan kepada ijtihad Umar Ibn alKhaththab yang menetapkan Dzatu ‘Irqin sebagai miqat bagi penduduk Irak. Namun, al-Nawawi mengatakan bahwa hadis yang diriwayatkan oleh Jabir dari Aisyah tentang penetapan Dzatu ‘Irqin itu adalah dhaif (sebab ke-dhaif-an hadis ini bukan disebab-kan dari bersambung atau tidaknya
sanad, melainkan di antara sanad-nya ada nama al-Jauzi yang dikategorikan oleh al-Nawawi kepada rawi yang dhaif). Tentu saja, dalam hal ini tidak memberikan kepastian.11 Menurut penulis, untuk menetapkan miqat dengan menggunakan metode qiyas rasanya perlu kehati-hatian karena hal ini berkenaan dengan ibadah, apalagi kalau diperhatikan hadis secara keseluruhan akan didapati kata-kata pasti yang menujukkan bahwa bagi mereka yang tidak disebutkan dalam hadis tersebut, maka miqat mereka adalah negerinya sendiri dengan mengambil contoh penduduk Makkah yang miqat-nya adalah Makkah itu sendiri. Selain dari itu, ada hal-hal yang perlu untuk dipertimbangkan yaitu dalam kondisi adanya suatu dalil yang qath’i, maka halhal yang bersifat zhanni –dalam hal ini qiyas- tidak bisa untuk diberlakukan. Karena penunjukkan tempat-tempat tertentu dan adanya pengecualian bagi yang tidak disebutkan ber-miqat dari negerinya masing-masing atau dari tempat memulai keberangkatan-nya. Dalam hal ini tentu saja bagi jamaah haji Indonesia miqat-nya diawali di Indonesia sama dengan penduduk Makkah. Apalagi dilihat dari pertimbangan yang dikemukakan dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia, maka
qiyas yang dilakukan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pemberlakuan qiyas, sebagaimana kaidah “tidak ada qiyas terhadap segala sesuatu yang diatur oleh nash”. Selain pertimbangan qiyas, tampaknya Majelis Ulama Indonesia juga lebih menekankan pada prinsip meniadakan kesulitan karena jamaah haji Indonesia sangat kesulitan apabila harus berihram dari tanahair, mengingat begitu jauh jarak tempuh. Apabila hadis tersebut dipahami secara kontekstual, maka untuk penduduk Madinah pada masa Rasulullah –dengan jarak 450 Kmsudah diharuskan untuk berihram. Dapat dibayangkan kesulitan-kesulitan yang mereka lalui dalam perjalanan. Apabila kemudian diambil perbandingan dengan jamaah haji Indonesia, kesulitan tersebut belumlah seberapa (kurang lebih 9 jam) dibanding dengan kesulitan yang didapati pada masa Rasulullah. Oleh karena itu, dengan berubahnya rute perjalanan jamaah haji Indonesia, di mana pesawat sudah dapat melintasi Yalamlam, maka seyogyanya jamaah haji Indonesia harus memulai ihramnya (ber-miqat) ketika melintasi Yalamlam. Karena itulah yang lebih meyakinkan, dan alangkah rugi dan sia-sia pelaksanaan ibadah haji dengan melakukan perbuatan yang didasarkan kepada sesuatu yang zhanni.
P3M STAIN Purwokerto | Iin Solikhin
5
Ibda` | Vol. 2 | No. 1 | Jan-Jun 2004 | 85-98
Mahram bagi Jamaah Haji Wanita Satu hal lagi yang terkait dengan ibadah haji adalah kewajiban bagi wanita untuk melaksanakan ibadah haji. Sehubungan dengan hal tersebut, maka bagi wanita yang telah memenuhi syarat (istitha’ah), baik dari segi fisik, maupun biaya, belum tentu dibolehkan untuk melak-sanakan ibadah haji tanpa didampingi oleh suami atau mahram-nya. Kondisi ini barangkali tidak menjadi permasalahan bagi wanita yang berangkat dengan suami atau didampingi mahramnya. Apabila ada wanita menunaikan ibadah haji tidak didampingi oleh suami ataupun mahramnya, sabda Nabi Saw: “Dari Ibn Abbas r.a. berkata: “Aku mendengar Rasulullah Saw dalam khutbahnya, “janganlah seorang laki-laki dan perempuan ber-khalwat (memencilkan diri berdua), kecuali didampingi oleh mahram-nya, dan janganlah ada seorang perempuan yang melakukan perjalanan kecuali jika didampingi oleh mahram-nya. Lantas seorang sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya isteriku ingin melaksanakan ibadah haji, sedangkan aku (sekarang) sedang bertugas dalam peperangan. Lalu Rasulullah Saw bersabda, “Temanilah isterimu melaksanakan ibadah haji” (H.R. Bukhari dan Muslim). Keberadaan mahram bagi wanita dalam perjalanan–dan dalam hal ini perlu ditetapkan perjalanan yang bagaimana yang harus didampingi mahram–sangat penting. Imam Ahmad mengatakan bahwa keberadaan mahram tersebut adalah untuk menjaga dan melindungi wanita. Begitu juga Imam Syafi’i dan Imam Malik menetapkan adanya pendamping bagi wanita dalam melakukan perjalanan walaupun yang mendampingi itu kaumnya sendiri.13 Namun, dalam pernyataan yang lain al-Syafi’i mengatakan bahwa kewajiban ber-mahram itu ditentukan oleh situasi dan kondisi. Artinya, jika situasi mengkhawatirkan, maka wajib seorang wanita didampingi oleh mahram-nya, namun jika situasi-nya relatif aman, maka mahram bukanlah syarat dalam melakukan perjalanan tersebut. Setidaknya inilah yang dapat ditangkap dari pernyataan di atas. Di samping hadis di atas juga tidak menjelaskan perjalanan yang bagaimana yang harus didampingi oleh mahram, apakah seluruh bentuk perjalanan ataukah tidak? Memang ada hadis yang senada yang menitikberatkan pada lamanya perjalanan, sehingga memunculkan variasi bentuk perjalanan mulai dari satu malam perjalanan sampai dengan tiga hari tiga malam perjalanan. Setidak-tidaknya bentuk perjalanan inilah yang membutuhkan mahram bagi wanita. Berkenaan dengan penunjukkan mahram bagi jamaah haji wanita (di mana Departemen Agama sebagai pihak penyelenggara haji menetapkan bahwa bagi jamaah haji wanita tidak didampingi oleh suami atau mahram-nya, maka ditunjuk seorang laki-laki lain (ajnabi) sebagai
mahram angkatnya atau terlebih dahulu sudah dipercayakan pihak keluarga wanita kepada lakilaki yang dipercaya) walaupun penunjukan tersebut merupakan bentuk pengembangan pemahaman dari konsep mahram bagi jamaah haji wanita dalam hal ini adalah segi perlindungan yang diberikan- penulis menganggap hal tersebut kuranglah bijaksana. Penunjukkan mahram ini dapat menimbulkan fitnah, dan mungkin bisa mengganggu kekhusyukan dalam beribadah. Oleh Karena itu, walaupun di satu sisi ada manfaatnya, tetapi di sisi lain juga membawa ekses yang tidak baik (mafsadat), dan mafsadat-nya itu lebih besar tinimbang
P3M STAIN Purwokerto | Iin Solikhin
6
Ibda` | Vol. 2 | No. 1 | Jan-Jun 2004 | 85-98
manfaat yang ditimbulkannya. Dalam kondisi seperti ini, maka penghindaran dari dari perbuatan yang mafsadat lebih diutamakan daripada mengambil manfaat, sesuai dengan kaidah, “Menolak
mafsadat itu lebih diutamakan daripada mewujudkan kemaslahatan. Apabila terjadi pertentangan antara mafsadat dengan maslahat, maka didahulukan penolakan terhadap mafsadat”. Sebagai alternatif pemecahannya, maka pemahaman terhadap hadis larangan bagi wanita melakukan perjalanan tanpa didampingi oleh mahram-nya, perlu diinterpretasi ulang. Dalam hal ini melalui pendekatan kontekstual yaitu dengan melihat dan memahami hadis tersebut sesuai dengan kondisi dan situasi hadis tersebut diucapkan. Kondisi Arab pada masa Rasul, jauh berbeda dengan kondisi yang ada pada saat sekarang, di mana perjalanan yang dilakukan penuh dengan bahaya karena harus melewati padang pasir yang luas, faktor keamanan yang belum terjamin, dan bahaya-bahaya lainnya. Jangankan wanita, lakilaki saja sering mengalami hal-hal yang membahayakan dalam perjalanannya, apalagi pada masa Rasul pelaksanaan ibadah haji belum dikoordinir secara baik –bentuk personal- seperti sekarang ini sehingga umat Islam dalam menunaikan ibadah haji secara personal dan itu pun dengan menggunakan kendaraan yang sangat sederhana (unta atau kuda), bahkan dengan berjalan kaki. Jadi kiranya wajar, demi menjaga kehormatan dan keselamatan wanita, maka pada kondisi seperti itu Rasul melarang wanita bepergian sendiri. Dengan demikian, illat larangan tersebut adalah kekhawatiran terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan terjadi pada wanita. Sementara itu, untuk masa sekarang pemberangkatan haji (Indonesia) telah dikoordinir serapi mungkin ditambah dengan sarana transportasi yang modern dan itu pun memuat banyak orang dengan tujuan yang sama (yaitu ibadah) –lebih dari itu, untuk beberapa orang jamaah ditunjuk seorang pemimpinnya yang akan mengawasi dan menjaga keselamatan secara umum. Artinya, kekhawatiran terhadap bahaya yang mungkin dialami oleh jamaah haji wanita selama perjalanan boleh dikatakan tidak ada lagi. Dengan demikian, untuk jamaah haji wanita mahram dalam perjalanan hajinya tidak diperlukan lagi sesuai dengan kaidah, Hukum itu tergantung kepada ada
atau tidaknya illat hukum. Pemahaman tersebut dengan melihat illat hukum dan bukan berarti tidak berlakunya hukum kewajiban mahram bagi wanita, tetapi perlu ditegaskan bahwa hukum itu tidak berubah namun yang berubah adalah illat-nya, dan apabila illat itu muncul kembali, maka hukum kewajiban
mahram-pun berlaku kembali, dan begitu sebaliknya sesuai dengan kaidah, “Apabila pengahalang sudah tidak ada, maka diberlakukan kembali hal-hal yang dilarang.” Penggunaan kaidah dan pemahaman kontekstual hadis tersebut didukung oleh riwayat Bukhari dan Muslim dari Adi Ibn Hatim, yaitu: “Kelak akan ada wanita dari kota Hirah (Irak) yang pergi mengunjungi Baitullah tanpa disertai oleh suaminya dengan tidak merasa takut kecuali kepada Allah” (H.R. Bukhari dan Muslim). Riwayat tersebut menurut Yusuf Qardhawi, tidak semata-mata menunjukkan akan terjadinya peristiwa tersebut, namun lebih dari itu menunjukkan diperbolehkannya wanita pergi menunaikan
P3M STAIN Purwokerto | Iin Solikhin
7
Ibda` | Vol. 2 | No. 1 | Jan-Jun 2004 | 85-98
ibadah haji tanpa disertai oleh suami atau mahram-nya bila memang kondisi dan situasinya memungkinkan.14 Berdasar pada apa yang telah dikemukakan di atas, maka penunjukkan mahram bagi jamaah haji wanita (yang tidak disertai mahram atau suaminya) itu tidak sesuai dengan prinsip-prinsip penetapan hukum, dan untuk kondisi yang aman seorang wanita untuk melakukan perjalanan termasuk perjalanan ibadah haji tidak perlu didampingi oleh suami atau mahram-nya.
Kesimpulan Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut. Ibadah haji merupakan kewajiban bagi umat Islam yang telah mempunyai kesanggupan dalam melakukannya. Memberlakukan qiyas untuk menetapkan miqat makani bagi jamaah haji Indonesia di Jeddah tidak lagi sesuai dengan prinsip-prinsip penerapan qiyas. Untuk itu sebagai alternatif jamaah haji Indonesia dalam hal ini harus ber-miqat ketika pesawat melintasi Yalamlam. Penunjukkan mahram bagi jamaah haji wanita tidak sesuai dengan prinsip-prinsip penetapan hukum, dan apabila keadaan aman, maka untuk melakukan perjalanan termasuk perjalanan ibadah haji, wanita tidak perlu didampingi oleh mahram-nya lagi.
Endnotes Imam al-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh al-Imam al-Nawawi, Juz IX Jilid V (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), hal. 44. 1
Miqat zamani adalah masa-masa memulai pekerjaan ihram haji dan amalan haji lainnya. Miqat makani adalah tempat di mana seseorang harus memulai menggunakan pakaian ihram (pakaian tidak 2
berjahit bagi laki-laki, dan pakaian biasa bagi perempuan dengan syarat menutup aurat) dan berniat ketika hendak melakukan ibadah haji atau umrah. Lebih lanjut lihat, Abdul Aziz Dahlan (ed.), Ensiklopedi Islam, cetakan II (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), hal. 237.
Mahram atau mahramat dalam konsep perkawinan adalah perempuan-perempuan yang haram untuk dinikahi. Dilihat dari sisi waktu, maka mahram atau mahramat terbagi menjadi dua, yaitu mahram muaqat yaitu perempuan-perempuan yang haram untuk dinikahi pada waktu-waktu tertentu, seperti ketika sedang ihram; dan mahram muabad, yaitu perempuan-perempuan yang haram dinikahi untuk selamanya baik karena hubungan darah, keluarga maupun persusuan. Lebih lanjut lihat Wahbah al-Zuhailli, Al-Fiqh alIslami wa Adilatuhu, Jilid 5 (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), hal. 235-238. 3
Muhammad Ibn Muflih, al-Mubdi’ fi Syarh al-Mugni’, Juz III (Beirut: al-Maktabah al-Islami, 1980), hal. 83. 4
5
Muhammad Ibn Muflih, al-Mubdi’, hal. 107.
6
Abdul Aziz Dahlan (ed.), Ensiklopedi, hal. 237.
Ibn Syihab al-Din al-Ramli,Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, Juz III (Beirut: Dar al-Ihya, 1992), hal. 256. Ibn Muflih, al-Mubdi’, hal. 114. 7
8
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari (Semarang: Thaha Putera, tt), hal. 142.
P3M STAIN Purwokerto | Iin Solikhin
8
Ibda` | Vol. 2 | No. 1 | Jan-Jun 2004 | 85-98
9
Abdul Aziz Dahlan (ed.), Ensiklopedi, hal. 477.
10
Imam al-Nawawi, Matan al-Idhah fi Manasik al-Hajj (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), hal. 36.
11
Imam al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabiyah, tt), hal. 191-
197. Hadis-hadis tersebut di antaranya diriwayatkan oleh Abu Daud dan Nasa’i, hadis riwayat Muslim dari Abu Zubeir dan di-marfu’-kan dalam riwayat Ibnu Majjah dan Ahmad yang berasal dari Ibn Zubeir dan Ibn Umar. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Daruquthni dari Aisyah, bahwa Rasulullah telah menetapkan Dzatu ‘irqin sebagai miqat bagi penduduk Irak, dan Abdullah Ibn Ahmad juga meriwayatkan seperti hal tersebut. Dalam hal ini Ibn Taimiyyah mengatakan bahwa hadis-hadis ini semuanya marfu’ yang berkategori hasan. Oleh karena itu, wajib untuk diikuti. Lihat Muhammad Ibn Ismail al-Kahlani, Subul al-Salam (Bandung: Dahlan, tt), hal. 187. 12
Dalam hal ini Imam Syafi’i mengatakan bahwa mahram bagi wanita itu dibolehkan dengan menunjuk beberapa orang wanita lain sebagai pen-dampingnya. Imam Malik hanya menetapkan satu orang wanita lain yang dapat dipercaya. Sementara itu, Ibnu Hazm berpendapat bahwa dalam melaksanakan ibadah haji seorang wanita tidak harus didampingi oleh mahram-nya, lihat Ibn Syihab al-Din al-Ramli, op. cit., hal. 250. Ibn Qudamah, al-Mughni, juz III (Riyadh: Maktabah al-Haditsah, tt), hal. 236. 13
Yusuf Qardhawi, Hadyu al-Islam Fatawa Mu’ashirah, Terj. As’ad Yasin, Fatwa-fatwa Kontemporer (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hal. 450. 14
Daftar Pustaka Al-Nawawi, Abu Zakaria Yahya Muhiddin Ibn Syar al-Dimsiqi. Shahih Muslim bi Syarh al-Imam al-
Nawawi. Beirut: Dar al-Fikr, 1981. ___________. Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab. Kairo: Dar al-Fikr al-Arabiyah, tt. ___________. Matan al-Idhah fi Manasik al-Hajj, Beirut: Dar al-Fikr, 1986. Al-Bukhari, Imam Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Ibn Mughirah Ibn Bardizban.
Shahih al-Bukhari. Semarang: Thaha Putera, tt. Abdul Aziz Dahlan, (ed.). Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997. ___________. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1994. Al-Khalani, Muhammad Ibn Ismail. Subul al-Salam. Bandung: Dahlan, tt. Al-Ramli, Syihab al-Din. Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj. Beirut: Dar al-Ihya, 1992. Muhammad Ibn Muflih. Al-Mubdi’ fi Syarh al-Mugni’. Beirut: Al-Maktabah al-Islami, 1980. Ibn Qudamah. al-Mughni. Riyadh: Al-Maktabah al-Haditsah, tt. Yusuf Qardhawi. Hadyu al-Islam Fatawa Mu’ashirah, edisi Indonesia, Fatwa-fatwa Kontemporer. Jakarta: Gema Insani Press, 1995. Wahbah al-Zuhailli. Al-Fiqh al-Islami wa Adilatuhu. Beirut: Dar al-Fikr, 1997.
P3M STAIN Purwokerto | Iin Solikhin
9
Ibda` | Vol. 2 | No. 1 | Jan-Jun 2004 | 85-98