MIND, BRAIN AND PERFORMANCE Oleh Prof. Dr. Guritnaningsih Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia Pendahuluan Memahami perilaku manusia dengan mengkaji fungsi otak dan berpikir (mind) mulai berkembang pesat sejak tahun 1950-an. Berbagai penelitian berkembang utuk dapat menjelaskan keduanya berkaitan dengan perilaku. Salah satu penelitian yang mengkaji kaitan antara otak dan mind antara lain dilakukan terhadap tikus. Pada tikus-tikus yang aktif diberi stimulasi lingkungan ternyata berat otaknya meningkat dalam waktu tertentu. Pada otak tikus ditemukan enzyme (AchE) yang berkaitan dengan learning dan memory meningkat. Terjadi juga peningkatan jumlah protein, banyaknya cabang dendrite, ketebalan cortex dan sebagainya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa performance dapat ditingkatkan melalui lingkungan, dan manipulasi psychophysiological dari otak dan mind.
Beberapa pendekatan yang mempelajari Mind, Brain dan Performance Studi tentang perilaku manusia dengan mengkaji fungsi otak dan kegiatan berpikir dilakukan mulai giat dilakukan semenjak tahun 1950-an. Pendekatan pada masa itu adalah mempelajari struktur dan pemrosesan informasi (human information processing/HIP), mis. bagaimana informasi yang diterima dapat tersimpan dalam ingatan jangka panjang dan kemudian dapat digunakan kembali untuk menghadapi stimulus. Bagaimana atensi, ingatan jangka pendek, ingatan jangka panjang di proses dalam pikiran individu, Sejak masa itu berkibar aliran psikologi kognitif. Psikologi kognitif mempelajari proses dan struktur kognitif berdasarkan kesimpulan terahadap perilaku partisipan di bawah kondisi tertentu, dimana datanya kemudian digunakan untuk mengembangkan dan menguji teori di dalam psikologi diperoleh pemahaman yang menlandasi sebuah performance, dimana dalam rangkaian proses yang memiliki keunggulan dan yang memiliki kelemahan. Contoh dari penelitian dengan pendekatan HIP adalah memberikan serangkaian tes/ pengukuran yang mengukur masing-masing variabel yang terdapat di dalam bagan alur HIP. Data dari masing-masing pengukuran kemudian dianalisis dan dilakukan interpretasi terhadap proses yang terjadi, misalnya individu memang sudah memiliki kelemahan pada kemampuan memusatkan perhatian (atensi), atau baik di atensi maupun di ingatan jangka endek, tetapi Disampaikan dalam Seminar Nasional Pascasarjana: riset Terkini di Bidang Ilmu Perilaku. Fakultas Psikologi, Universitas Gajah Mada. Yogyakarta, 26 november 2016. Page 1
lemah di dalam ingatan jangka panjang. Mengapa terjadi kelemahan dalam ingatan jangka panjang? Hal ini dapat ditelusiri dari hasil tes. Pendekatan HIP ini sangat membantu untuk meningkatkan proses pembelajaran di dunia pendidikan. Perkembangan selanjutnya juga masih menekankan kepada pengukuran dengan tes-tes psikologi, tetapi yang dikaitkan dengan kerja otak. Bagian otak yang sangat berkaitan dengan fungsi kognitif adalah 1) Cerebellum yang berfungsi untuk menerima pesan dari otot di tubuh, mengomunikasikannya dengan otak, dan kemudian mengirim kembali pesan ke tubuh.; 2) Cerebrum, yang terbagi atas 4 belahan (lobes):a) frontal lobes yang terlibat pada perencanaan dan pergerakan, parietal lobes yang terlibat dengan sensasi, occipital lobe terlibat dengan penglihatan, dan temporal lobe yang terlibat dengan learning, memory dan emosi. Dengan adanya lobus temporal ini, manusia dapat berbicara serta membedakan berbagai bahasa yang digunakan. Berbagai penelitian menemukan bahwa kerusakan pada bagian-bagian tertentu di otak menyebabkan terjadinya gangguan dalam berpikir. Dari hasil pemeriksaan psikologis dilakukan analisis tidak saja terhadap performance individu, tetapi pada mereka yang diduga memiliki masalah dalam otak (brain damage) dapat dianalisis bagian otak mana yang memiliki gangguan. Selanjutnya juga dapat dilakukan upaya untuk mengatasinya. Sebagai contoh, untuk mengetahui dan membantu anak-anak yang mengalami gangguan di otak misalnya, anak ADHD, anak autis, atau anak-anak yang memiliki symptom-symptom dan kesulitan perilaku sebagaimana didiagnosa melalui observasi/tes yang banyak dilakukan akhir-akhir ini adalah mengkaji fungsi eksekutif otak (executive function/EF). Adapun bagian otak yang berkaitan dengan kerja EF adalah prefrontal cortex. Dari tes yang dilakukan dapat diketahui kemampuan individu dalam membuat perencanaan, kemampuan mengorganisasikan informasi, kemampuan melihat detildetil, dsb. Yang semua ini dilakukan dalam working memory. Beberapa isu yang memerlukan diagnosa dengan EF antara lain: • Attentional-deficit hiperactivity disorder (ADHD) • Isu tenang kemampuan belajar (learning) • Mood disorders • Fetal alcohol syndrome (FAS) • Brain damage • Cancer treatment.
Disampaikan dalam Seminar Nasional Pascasarjana: riset Terkini di Bidang Ilmu Perilaku. Fakultas Psikologi, Universitas Gajah Mada. Yogyakarta, 26 november 2016. Page 2
Pendekatan yang membuat kesimpulan tentang otak atau fungsi kognitif dari pertanyaanpertanyaan dalam tes tertulis memiliki beberapa kelemahan, antara lain: 1. Ukuran kecepatan dan ketepatan perilaku merupakan informasi tidak langsung tentang proses dan struktur internal dari fungsi kognitif. 2. Data perilaku biasanya dikumpulkan dalam laboratorium, yang mungkin sifatnya artificial, tidak sebagaimana yang dilakukan sehari-hari. 3. Individu biasanya tidak menyadari proses yang mempengaruhi perilakunya. Biasanya ketika ditanya individu tidak menggali ingatannya tentang proses yang dijalani, tetapi menerapkan teori sebab akibat dan efek yang mungkin timbul dari stimulus yang dihadapi dan respons yang dimunculkan (Nisbett and Wilson , 1977 dalam Eysenck & Keane, 2000). 4. Individu memberikan jawaban dibawah pengaruh “social desirability” Untuk mengatasi beberapa kelemahan tersebut, pengukuran performance yang banyak dilakukan adalah menggunakan eye tracker, yaitu instrumen yang mengukur gerakan mata (eye movement). Dengan menggunakan eye tracker diperoleh informasi antara lain tentang saccade, fixation, dan urutan perjalanan mata, yang kesemua informasi tersebut dapat menggambarkan tentang kesadaran seseorang tentang situasi (situation awareness), dan juga dianalisis tentang fungsi kognitif seperti kemapuan membaca, dan lain sebagainya. Jika psikologi kognitif sebagaimana diuraikan di atas mendapatkan gambaran tentang performance, fungsi kognitif dan otak berdasarkan hasil tes, maka pendekatan yang secara lebih langsung mendeteksi kerja otak adalah cognitive neuropsychology. Pendekatan yang mulai berkembang sekitar tahun 1960-an ini berasumsi bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara bagaimana otak diorganisasikan pada tingkatan fisik, dan cara bagaimana pikiran (mind) dan modul kognitif diorganisasikan. Keduanya memiliki bentuk yang sama (disebut isomorphism). Dengan demikian setiap modul akan memiliki lokasi yang berbeda di otak. Pendekatan ini mengkaji pola performa kognitif pada pasien brain damage. Pada pendekatan ini kerja otak langsung diukur bersamaan dengan dilakukannya pemberian stimulus. Bagian otak yang terkena akan menunjukkan sinyal2 atau mekanisme syaraf yang emndasari proses kognitif, hal mana dapat dimonitor dari luar (brain imaging). Para ahli cognitive neuropsychologist banyak mempelajari tentang ingatan. Misalnya, diketahui bahwa penderita amnesia disebabkan oleh adanya kerusakan pada bagian medial temporal cortex. Pasien amnesia tidak dapat mengingat episodic memory, tetapi masih dapat mengingat kejadian di waktu lampau (procedural memory, working memory, semantic memory), Disampaikan dalam Seminar Nasional Pascasarjana: riset Terkini di Bidang Ilmu Perilaku. Fakultas Psikologi, Universitas Gajah Mada. Yogyakarta, 26 november 2016. Page 3
Mereka juga melihat performance kognitif lainnya yang diakibatkan oleh kerusakan pada otak.
Tantangan bagi studi di Indonesia. Sejauh mana peneliti-peneliti di bidang psikologi yang khususnya berminat pada cabang psikologi kognitif dapat menjelaskan proses kognitif yang mendasari terjadinya perilaku dan kaitannya dengan kerja otak dan berpikir, sementara masih banyak terdapat keterbatasan dalam instrumen pengukuran dan laboratorium yang menggunakan peralatan seperti eye tracker, MRI, EEG dan PET. Diperlukan keterbukaan untuk bekerja sama dengan disiplin ilmu lain, khususnya dibidang kedokteran dan fisiologi. Begitu banyak hal yang dapat diperoleh manfaatnya dengan menngkaji struktur dan kerja otak serta aktivitas berpikir untuk meningkatkan performance individu, misalnya melalui pelatihan-pelatihan, melalui rancangan interaksi antara kerja aspek-aspek kognitif dan lingkungan kerja sebagaimana yang dikembangkan dalam kajian Human Factor.
Sekian.
Referensi: Eysenck, M.W., & Keane, M.T. (2003). Cognitive Psyhology. A Student’s Handbook. 4th Edition. Psychology Press. Hove and New York. Human information processing. Edutechwiki. 23 August 2007.
Rozensweig, M.R. (1984) Experience, memory, and the Brain. American Psychologistt. April 1984. Neuropsychological Studies of Mind and Brain. Diunduh: 20 November 2016. icbs.berkeley.edu.neuropsych_studies_mind_brain
Disampaikan dalam Seminar Nasional Pascasarjana: riset Terkini di Bidang Ilmu Perilaku. Fakultas Psikologi, Universitas Gajah Mada. Yogyakarta, 26 november 2016. Page 4
Abstract
Neuropsychological Correlates of Meditation, Neural Activation and Cognitive Function: A Review of Studies for Future Research and Clinical Application Dr. Yulius Sunardi, SCJ., M.Sc Gajah Mada University
Discovering the neuropsychological correlates between meditation, neural activation and cognitive function has recently been one of the most intriguing research interests. A considerable number of studies have investigated how meditation might activate and alter specific function of central neural system (CNS). Electroencephalographic (EEG) studies of meditation consistently showed an increased power in both theta and alpha bands, while functional magnetic resonance imaging (fMRI) studies indicated consistent activation on frontal and prefrontal areas during the meditation exercises. Separately, numerous studies have also questioned how meditation might have effects on mental states such as emotional stability, stress, and depression and on cognitive processes such as awareness, perceptual sensitivity, and attention. These studies have relatively provided consistent evidence for favorable effects of meditation on one’s mental health and also cognitive functioning. Each individual study has its own contribution to understanding the roles of meditation, neural function, and cognitive function. However, with a considerable number of recent studies in these domains, a comprehensive review integrating the findings of those studies can be very useful. This paper is aimed at reviewing and integrating the findings of these studies, suggesting also insightful thoughts for further use of meditation and future research.
Key Words: Meditation, Neural Activation and Cognitive Function
Disampaikan dalam Seminar Nasional Pascasarjana: riset Terkini di Bidang Ilmu Perilaku. Fakultas Psikologi, Universitas Gajah Mada. Yogyakarta, 26 november 2016. Page 5
Kualitas dan Dinamika Relasi Sosial Avin Fadilla Helmi*) Abstrak Psikologi Sosial sebagai cabang dari disiplin psikologi mengalami perkembangan keilmuan dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Teori-teori Psikologi Sosial lebih berkembang pesat di Amerika dan selanjutnya berkembang di Eropa. Namun perkembangan keilmuan tersebut memiliki dasar filosofis yang berbeda. Perkembangan selanjutnya dikenal dengan istilah two social psychologist. Gerakan anti mainstream yaitu suatu kebutuhan untuk membangun teori dan konsep psikologi sosial yang sesuai dengan nilai dan budaya masyarakat berada, semakin berkembang. Hal ini merupakan dampak dari postmodernism dan alasan lain teori dan konsep Barat. Dominansi teori Barat mulai dipertanyakan karena ketidak mampuan teori-teori tersebut untuk menyelesaikan masalah-masalah sosiaal kontekstual di luar Negara Barat. Bahkan Cross Cultural Psychology pun masih dianggap sebagai imposed factor (Berry & Portinga, 1994). Gerakan akan kesadaran adanya perbedaan dasar filosofis yang berbeda antara nilai-nilai kehidupan Barat dan Timur dalam membentuk sikap, motivasi, dan perilaku menyuburkan gerakangerakan membangun teori dan konsep berdasarkan kearifan lokal. Tantangan bagi ilmuwan Psikologi Sosial di Indonesia adalah membangun teori yang fit dengan kehidupan konteks Indonesia. Indonesia yang merupakan bagian dari masyarakat Asia, dimana Esensi psikologi sosial Asia adalah orientasi pada relasi (Ho, 1993). Konsep relasional adalah alat yang ampuh (powerful tool) yang menjanjikan membebaskan ilmu keperilakuan dari kungkungan tradisi intelektual dan konsep-konsep Barat yang mendominasi. Relasi interpersonal sangat penting tidak hanya secara historis, tetapi juga penting dalam pembentukan karakter manusia Asia sepanjang hidupnya. Bagi orang Asia, kehidupannya tidak lengkap tanpa koeksistensi orang lain. Hal ini berbeda dengan pandangan hidup masyarakat Barat yang cenderung berpusat pada individu. Berikut ini disajikan hasil-hasil penelitian terkini dalam relasi sosial, apakah pertemanan baik tatap muka atau virtual, perkawinan, relasi atasan-bawahan. Ditemukan dimensi yang membentuk konsep tersebut bersifat universal dan sekaligus emik –khas Indonesia. Di masa yang akan datang perlu terus digali konsep-konsep relasi sosial di masyarakat yang selanjutnya dilakukan konstruksi secara konsep dan bahkan teori, dengan menggunakan pendekatan multimethod, multilevel, dan multidisiplin.
*) dosen Fakultas Psikologi UGM dengan minat riset di bidang Relasi Sosial
Disampaikan dalam Seminar Nasional Pascasarjana: riset Terkini di Bidang Ilmu Perilaku. Fakultas Psikologi, Universitas Gajah Mada. Yogyakarta, 26 november 2016. Page 6
RISET-RISET TERKINI DI BIDANG PSIKOLOGI INDUSTRI & ORGANISASI Oleh : Prof. Dr. Hj. Diana Harding, M.Si, Psikolog
Psikologi Industri dan Organisasi (PIO) adalah ilmu Psikologi yang mempelajari perilaku manusia pada setting kerja dan mengaplikasikan prinsip-prinsip Psikologi untuk mengubah perilaku kerja. PIO mempelajari dan menangani masalah perilaku manusia yang timbul dalam proses produksi, distribusi dan konsumsi dari barang atau jasa. PIO berupaya untuk memahami, meramalkan dan mengendalikan perilaku kerja manusia dalam berorganisasi. Karena itu digunakan penelitian-penelitian guna meningkatkan pemahaman akan perilaku manusia di pekerjaannya. Lalu menerapkan pemahaman tersebut guna memperbaiki perilaku kerja, lingkungan kerja ataupun kondisi psikologis manusia sebagai pekerja. Dasar Pandangan PIO adalah bahwa suatu Industri memproduksi barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia dengan mempertimbangkan kesejahteraan fisik dan nilai-nilai pribadi manusia. Suatu Industri hendaknya dapat meningkatkan efektivitas keterlibatan manusia dalam proses produksi dan distribusi barang/jasa. Pemanfaatan potensi manusia dalam proses tersebut hendaknya berlangsung efisien. Dasar pandangan lainnya ialah bahwa suatu Industri harus mampu memelihara nilai-nilai manusiawi (kesehatan, keamanan dan kepuasan kerja) sehingga proses produksi harus dilaksanakan sedemikian rupa agar dapat menghindari terjadinya gangguan fisik dan psikis pada manusia yg terlibat didalamnya. Penelitian PIO menerapkan prinsip-prinsip individu, kelompok dan perilaku organisasi untuk solusi dari masalah-masalah di tempat kerja. Penelitian yang berkembang pada tahun 1970-an lebih banyak berkembang pada upaya untuk mengevaluasi kinerja karyawan. Pada tahun 1980-an hingga tahun 1990-an lebih banyak pengembangannya pada sikap dan persepsi SDM dalam upaya penilaian kinerja, efektivitas organisasi dan individu. Issue-issue mengenai peran gender, usia, pengalaman, dan pendidikan yang merupakan karakteristik personal juga menjadi topik-topik penelitian dalam bidang PIO yang dapat mempengaruhi stres, produktivitas, dan prestasi kerja. Pada tahun 2000 an, pengaruh perkembangan Psikologi Positif yang telah berkembang di Amerika sejak tahun 1998 mulai memberikan pengaruh pada penelitian-penelitian di bidang PIO. Upaya untuk melihat potensi diri individu, kelompok, dan organisasi menjadi faktor yang menjadikan penelitian-penelitian di bidang PIO lebih memandang faktor positif dari individu, kelompok, maupun organisasi yang dapat dikembangkan. Hal ini menjadikan penelitian akan well-being atau kesejahteraan psikologis, semakin banyak diteliti dalam berbagai fenomena industri. Demikian juga mengenai efektivitas organisasi, maupun efektivitas kelompok, menjadi faktor yang marak diteliti hingga saat ini.
Disampaikan dalam Seminar Nasional Pascasarjana: riset Terkini di Bidang Ilmu Perilaku. Fakultas Psikologi, Universitas Gajah Mada. Yogyakarta, 26 november 2016. Page 7
RESILIENSI, PERSPEKTIF LIFE SPAN, DAN PELUANG DALAM PENELITIAN
Dr. Wiwin Hendriani, M.Si. ([email protected])
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga
Abstrak
Lingkungan masyarakat yang dinamis dengan bermacam perubahannya membuat hidup semakin penuh tantangan. Peristiwa traumatik meningkat di berbagai tempat dengan adanya kasuskasus kekerasan, aksi teror, hingga bencana alam yang silih berganti mewarnai ruang-ruang informasi dan menjadi bagian dari keseharian. Resiliensi di tengah situasi krisis ini menjadi kemampuan psikologis yang sangat penting dimiliki individu di berbagai usia. Para ahli bahkan menyebutkannya sebagai salah satu kompetensi mendasar Abad 21. Resiliensi merupakan kompetensi yang paling tepat dalam menyikapi beratnya tantangan hidup (Olson dan DeFrain, 2003) dan memegang peran kunci dalam mencapai perkembangan manusia yang sehat secara mental (Masten, 2001; Reivich dan Shatte, 2002; Cleveland, 2003; Ungar, 2004; Walsh, 2006). Sejak tahun 1950an konsep resiliensi telah dikaji oleh sekian banyak ilmuwan dari berbagai negara. Penelusuran Werner selama kurang lebih 30 tahun pada suku Kauai, di Hawai'i; studi longitudinal lain oleh Garmezy dengan pendekatan epidemiologi; project competence berbasis sekolah yang dilakukan Garmezy, Masten dan beberapa peneliti lain adalah tiga penelitian besar yang menandai perkembangan kajian resiliensi. Ketiganya menjadi rujukan studi-studi lanjutan berikutnya dalam lingkup yang lebih luas. Meski telah ditelusur selama lebih dari 60 tahun, sejumlah catatan masih menunjukkan dibutuhkannya penjelasan lebih rinci tentang bagaimana pencapaian resiliensi pada level individu, keluarga, maupun komunitas, dengan mempertimbangkan keragaman persoalan, karakteristik perkembangan, serta latar belakang budaya. Menindaklanjuti kebutuhan tersebut, materi ini akan memberikan bekal bagi para mahasiswa magister maupun doktoral dalam mengembangkan kajian resiliensi dan topik-topik lain yang beririsan dengan resiliensi. Materi akan dipaparkan secara ringkas dalam tiga bagian, yaitu: (1) Perjalanan kajian resiliensi; (2) Resiliensi dalam perspektif life span; dan (3) Peluang penelitian ke depan.
Kata kunci: Resiliensi, perkembangan manusia, perspektif life span
Disampaikan dalam Seminar Nasional Pascasarjana: riset Terkini di Bidang Ilmu Perilaku. Fakultas Psikologi, Universitas Gajah Mada. Yogyakarta, 26 november 2016. Page 8
BIAS PENGUKURAN, PELUANG RISET PSIKOMETRIK Saifuddin Azwar ABSTRAKSI Psikometrika berbicara mengenai model pengukuran psikologi dan aplikasinya. Oleh karena itu, riset-riset psikometrik pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai riset teoretik dan riset aplikatif. Riset-riset teoretik dalam psikometrika membangun model-model pengukuran, mengembangkan fungsi dan persamaan matematik, dan mengujinya secara empirik. Riset-riset aplikatif menggunakan model dan persamaan tersebut dalam kajian kualitas dan fungsi pengukuran sehingga hasil-hasil pengukuran dapat dinyatakan sebagai valid dan reliabel. Dari sanalah kemudian berkembang ilmu konstruksi tes. Teori pengukuran sejauh ini berangkat dari teori klasik (classical test theori) yang kemudian, sejalan dengan perkembangan fasilitas komputer untuk pengolahan sampel besar, diikuti oleh berkembangnya teori moderen (la t e n t t r ait t h e o r y ) yang salah- satunya populer dengan nama teori respon aiem (item response theory). Kalau teori klasik beroperasi pada tataran skor tes, maka teori laten beroperasi pada tataran aitem sehingga kajian dan pendekatan reliabilitas dan validitas ikut berkembang dengan pesat. Dari kajian mengenai parameter tes klasik seperti reliabilitas konsistensi internal dan validitas criterion - referenced kemudian muncul berbagai kajian mengenai parameter aitem seperti Informasi Aitem, Pseudo Guessing, Differential Item Functioning, dsb. Tidak sebagaimana para ahli psikometrika (psychometrician) yang memang mengembangkan model matematik pengukuran, pada umumnya para peneliti (terutama para mahasiswa yang menulis tesis atau disertasi) melakukan risetnya pada level aplikatif. Dua diantara banyak kajian yang menarik dan belum begitu banyak dilakukan dalam riset adalah mengenai Diff e r e n tial I t e m F u n c tio nin g dan mengenai Validitas Prediktif Differensial. Keduanya bermakna sebagai bias pengukuran.
Disampaikan dalam Seminar Nasional Pascasarjana: riset Terkini di Bidang Ilmu Perilaku. Fakultas Psikologi, Universitas Gajah Mada. Yogyakarta, 26 november 2016. Page 9