BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian Penelitian dilakukan dengan desain potong lintang dan merupakan suatu uji diagnostik.27
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian -
Penelitian dimulai bulan Desember 2013 sampai sampel minimal terpenuhi.
-
Penelitian dilaksanakan ruang rawat inap RS. H.Adam Malik dengan persetujuan Komisi Etik Penelitian FK USU.
-
Pengambilan dan pemeriksaan sampel dilaksanakan oleh Instalasi Mikrobiologi Klinik RS. H.Adam Malik.
3.3 Populasi Terjangkau 3.3.1 Populasi target Populasi target merupakan seluruh pasien dengan infeksi. 3.3.2 Populasi terjangkau Populasi terjangkau yaitu seluruh pasien dengan infeksi yang dilakukan kultur bakteri di RS. H. Adam Malik
3.4 Sampel Penelitian Sampel penelitian merupakan pasien dengan infeksi dan dijumpai pertumbuhan bakteri dari hasil kultur bakteri yang dilakukan di RS. H.Adam Malik
3.5 Kriteria Inklusi 1. Usia di atas 18 tahun 2. Pasien dengan infeksi dan dilakukan kultur bakteri 3. Subjek menerima informasi serta memberikan persetujuan ikut serta dalam penelitian secara sukarela dan tertulis (informed concent)
Universitas Sumatera Utara
3.6 Kriteria Eksklusi 1. Pasien yang sudah diketahui menderita ESBL dari fasilitas kesehatan lain sewaktu masuk rumah sakit. 2. Pasien dengan hasil kultur dijumpai lebih dari satu jenis bakteri. 3. Pasien dengan hasil kultur tidak dijumpai pertumbuhan bakteri.
3.7
Besar Sampel Rumus perhitungan besar sampel untuk penelitian uji diagnostik:
n1 = n2 ≥
(Z
) Sen(1 − Sen) 2
(1−α / 2 )
d 2P
Dimana : Z (1−α / 2 )
Sen
= deviat baku alpha. untuk α = 0,05 maka nilai baku normalnya 1,96 = Sensitivitas yang diinginkan dari alat yang diuji nilai diagnostiknya
ditetapkan sebesar 0,85 (85%) d
= presisi ditetapkan sebesar 0,15 (15 %)
P
= prevalensi ESBL 0,24 (24 %)6
Maka sampel minimal untuk masing-masing kelompok sebanyak 46 orang.
3.8 Cara Penelitian 1. Seluruh pasien yang memiliki hasil kultur bakteri baik dari spesimen darah, urin, sputum, atau pus positif dilakukan pengumpulan data berupa usia, jenis kelamin, diagnosis, asal spesimen, dan hasil kultur. 2. Seluruh pengambilan spesimen kultur dan pemeriksaannya dilakukan oleh Laboratorium Mikrobiologi RS. H. Adam Malik, Medan. 3. Dilakukan perhitungan skor Duke Model (seperti tertera di atas) 4. Hasil kultur akan dibagi menjadi dua yaitu kelompok kasus dan kontrol. Kelompok kasus adalah semua sampel dengan hasil kultur dijumpai pertumbuhan bakteri ESBL positif dan kelompok kontrol adalah semua sampel dengan hasil kultur dijumpai pertumbuhan kuman selain bakteri ESBL.
Universitas Sumatera Utara
5. Selanjutnya dilakukan analisa uji diagnostik untuk mengetahui akurasi Duke model score dalam memprediksi adanya infeksi ESBL pada pasien rawat inap.
3.9 Definisi Operasional a. Usia b. Jenis kelamin c. Bakteri ESBL
d. Pengumpulan spesimen
: berdasarkan yang tertera pada rekam medis dengan satuan tahun : berdasarkan yang tertera pada rekam medis dengan hasil pria atau wanita : bakteri yang mengahasilkan enzim ESBL yaitu enzim yang dapat menghidrolisis penisilin, cephalosporin generasi I, II, III dan aztreonam (kecuali cephamycin dan carbapenem) a. Spesimen darah , dilakukan pada pasien dengan sepsis, prosedurnya berupa : i. Bersihkan lokasi yang akan diambil darah dengan alkohol 70% (swab) dari tengah memutar ke tepi, biarkan kering ii. Tusukkan jarum ke dalam pembuluh darah, tarik penghisap semprit dengan menggunakan tangan kiri hingga darah masuk ke dalam semprit 10 ml iii. Tekan bekas tusukan dengan kapas iv. Desinfektan septum tutup botol kultur dan isikan darah ke dalam botol media yang sesuai b. Spesimen urin dilakukan pada pasien dengan infeksi saluran kemih, prosedurnya berupa : i. Urin porsi tengah Urin diambil oleh penderita sendiri setelah mendapat penjelasan yaitu: 3.9.1.1 Penderita harus mencuci tangan dengan sabun dan dikeringkan dengan handuk kemudian tanggalkan pakaian dalam 3.9.1.2 Untuk wanita, bersihkan labia dan vulva dengan kasa steril dengan arah dari depan ke belakang kemudian bilas dengan air hangat dan keringkan dengan kasa steril 3.9.1.3 Untuk laki-laki, jika tidak disunat tarik preputium kebelakang 3.9.1.4 Keluarkan urin, aliran urin pertama dibuang, aliran selanjutnya ditampung dalam wadah yang sudah disediakan , pengumpulan urin selesai sebelum urin habis kemudian tutup wadah. 3.9.1.5 Jika tidak mampu melakukan sendiri , hal ini dilakukan dengan bantuan perawat ii. Urin kateter
Universitas Sumatera Utara
1. Lakukan disinfeksi dengan alkohol 70% pada bagian selang kateter yang terbuat dari kare (jangan bagian yang terbuat dari plastik) 2. Aspirasi urin dengan menggunakan semprit sebanyak kurang lebih 10 ml 3. Masukkan ke wadah steril dan tutup rapat iii. Urin aspirasi suprapubik 1. Aspirasi dilakukan pada kandung kemih yang penuh, lalukan desinfeksi kulit didaerah suprapubik dengan povidone iodine 10% kemudian bersihkan sisanya dengan kapas alkohol 70% 2. Aspirasi tepat di titik suprapubik menggunakan semprit 3. Ambil urin sebanyak 20 ml dengan cara aspetik, dan masukkan kedalam wadah steril c. Spesimen Sputum, dilakukan pada pasien dengan pneumonia, prosedurnya berupa : i. Sebelum pengambilan spesimen pasien diminta berkumur dengan air. Bila memakai gigi palsu, sebaiknya dilepas ii. Pasien berdiri tegak atau duduk tegak, pasien diminta untuk menarik napas dalam, 2-3 kali kemudian keluarkan napas bersamaan dengan batuk yang terkuat dan berulang kali sampai sputum keluar iii. Sputum yang dikeluarkan ditampung langsung di dalam wadah dengan cara mendekatkan wadah ke mulut, sputum yang berkualitas baik akan tampak kental purulen dengan volume cukup 3-5 ml, kemudian tutup wadah d. Spesimen pus, dilakukan pada pasien dengan luka purulen atau ulkus, atau Infeksi luka operasi, prosedurnya berupa : i. Bersihkan luka dengan lain kasa yang telah dibasahi dengan NaCl fisiologis sebanyak 3 kali untuk menghilangkan kotoran dan eksudat yang mongering ii. Buka kapas lidi dan usapkan bagian kapasnya pada luka tanpa menyentuh bagian tepi luka, lakukan 2 kali dengan menggunakan 2 kapas lidi iii. Kapas lidi dapat diinokulasikan langsung pada agar atau masukkan kedalam tabung media transpor e. Spesimen pus, dilakukan pada pasien dengan abses, prosedurnya berupa :
Universitas Sumatera Utara
i. Lakukan tindakan aseptik, tusukkan jarum dan hisap dengan semprit steril cairan eksudat atau pus, cabut dan tutup dengan kapas steril ii. Teteskan cairan aspirasi pada kapas lidi, Kapas lidi dapat diinokulasikan langsung pada agar atau masukkan kedalam tabung media transfor, sisa eksudat dapat dimasukkan dalam wadah steril. e. Kultur bakteri
Kultur dilakukan dengan cara materi urin, sputum dan pus pasien dikultur di medium plat agar darah dan McConkey lalu dieramkan pada suhu 37°C selama 24 jam. Materi darah dimasukkan ke dalam botol Fan Aerob Culture Bottles (BacT/ALERT) untuk, diinkubasikan di inkubator BacT/ALERT pada suhu 37°C. Botol yang menunjukkan pertumbuhan kuman kemudian dilakukan pengecatan Gram dan dilakukan isolasi primer di medium plat agar darah dan McConkey, dieramkan pada suhu 37°C semalam. Dari koloni yang tumbuh diambil untuk membuat suspensi inokulum dalam 0,45% NaCl fisiologis steril, lalu kekeruhan suspensi disesuaikan dengan standar 0,5 McFarland. Kemudian suspensi inokulum tersebut diisikan ke dalam kartu uji Vitek2 compact sesuai dengan instruksi dari bioMerieux: GN untuk identifikasi batang Gram negatif dan AST-N100 untuk uji kepekaan bakteri batang Gram negatif terhadap antibiotika.34 f. Antibiotik Beta :golongan antibiotik dengan gugus inti asam 6laktam amidinopenisilanat, yang termasuk didalamnya adalah penisilin dan sefalosporin I sampai IV g. Antibiotik : golongan antibiotik dimana ada atom fluor pada cincin Fluorokuinolon kuinolonnya, yang termausk didalamnya adalah siprofloksasin, norfloksasin, ofloksasin. h. Imunosupresan : Obat yang memiliki efek menekan sistem imun tubuh, seperti: (i) glukokortikoid (ekuivalen dengan prednison 20 mg/ hari atau lebih setidaknya dalam 2 minggu), (ii)atau lebih dari 48 jam memakai takrolimus, sirolimus, siklosporin, mikofenolat, atau globulin anti timosit, (iii) obat-obatan kemoterapi yang termasuk ke dalam agen alkilating. i. Sepsis : Keadaan klinis berkaitan dengan adanya infeksi dengan manisfestasi minimal 2 dari 4 gejala SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome) yaitu Suhu > 38°C atau < 36 °C , Denyut jantung > 90 Kali per menit, Frekwensi pernapasan > 20 kali per menit atau PaCO < 32 mm Hg, leukosit > 12.000/mm3 atau < 4.000/mm3 atau peningkatan neutrofil > 10%. 35,36
Universitas Sumatera Utara
j. Pneumonia
k. Infeksi Saluran Kemih
l. Infeksi Luka Operasi
3.10
: Infeksi akut yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus respiratorik dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat. Diagnosis ditegakkan dari klinis berupa baruk, sesak napas, demam dan dari pemeriksaan fisik dijumpai adanya infiltrat paru serta dari pemeriksaan penunjang adanya leukositosis, infiltrat pada foto toraks, dan pertumbuhan bakteri pada kultur sputum.37,38 : Adanya Mikroorganisme di dalam urin, ditandai dijumpainya bakteri > 105 cfu/ml pada kultur urin porsi tengah dan urin kateter, serta dijumpai bakteri dalam jumlah berapapun pada kutur urin suprapubik.39 : Infeksi yang muncul dalam 30-90 hari setelah prosedur operasi yang dapat melibatkan kulit, jaringan sub kutan, jaringan ikat dalam (fasia dan otot), organ dari bagian yang diinsisi atau dimanipulasi selama operasi.40
Analisa Statistik Untuk menampilkan gambaran deskriptif data dasar pasien digunakan sistem tabulasi. Uji
t atau mann-Whitney U test digunakan untuk perbadingan data kontiniu antara kasus dan kontrol. Uji X2 atau Fisher Exact test untuk perbandingan data variabel antara kasus dan kontrol. Uji Diagnostik digunakan untuk sensitivitas, spesifisitas, positive predictive values (PPV), negative predictive values (NPV), akurasi, dan dianalisi kurva ROC (Receiver Operating Characteristic).
3.11 Kerangka Operasional
Universitas Sumatera Utara
Gambar 3.1 Kerangka Operasional
Universitas Sumatera Utara
BAB IV HASIL
4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Karakteristik Subjek Penelitian dan Infeksi Penelitian ini diikuti oleh sebanyak 92 pasien, yang terbagi dengan pasien ESBL dan pasien non-ESBL masing-masing berjumlah 46 orang yang telah memenuhi kriteria inklusi. Kebanyakan kedua kelompok berjenis kelamin laki-laki, 26 orang (56,5%) di kelompok pasien ESBL dan 24 orang (52,2%) di kelompok pasien non-ESBL. Rerata umur kelompok pasien ESBLadalah 49,8 tahun (SD = 14,81 tahun) dan kelompok pasien non-ESBL 51,15 tahun (SD = 16,04 tahun). Tabel 4.1. Karakteristik Responden Karakteristik Jenis kelamin Laki-laki Umur, rerata (SD), tahun
Komorbid Anemia Penyakit ginjal Peptic ulcer disease Diabetes Tumor Heart Disease Penyakit paru obstruktif kronik AIDS Stroke
ESBL n=46(%)
Non-ESBL n=46 (%)
26 (56,5) 49,8 (14,81)
24 (52,2) 51,15 (16,04)
0,676
31(67,4) 13 (28,3) 9 (19,6) 8 (17,4) 8 (17,4) 7 (15,2) 5 (10,9) 4 (8,7) 2 (4,3)
25 (54,3) 7 (15,2) 3 (6,5) 4 (8,7) 13 (28,3) 1 (2,2) 2 (4,3) 2 (4,3) 1 (2,2)
0,200 0,129 0,063 0,216 0,214 0,026 0,238 0,398 0,557
P
Spesimen dari pasien paling banyak diambil dari spesimen sputum, di kedua kelompok. Jenis bakteri yang ditemukan di kelompok pasien ESBL adalah E. coli dari 17 pasien (37%), K. pneumonia dari 27 pasien (58,7%) dan lainnya dari 2 pasien (4,3%) yaitu Klebsiella ozaena dan Klebsiella oxytoca.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 4.2 Karakteristik Infeksi Karakteristik Spesimen kultur Sputum Urin Pus Swab Tinja Cairan pleura Darah Broncoalveolar lavage Cairan asites
Bakteri K.pneumonia E.coli K.ozaena K.oxytoca Acinetobacter baumanii Staphylococcus spp Enterococcus spp Streptococcus spp Lainnya 4.1.2
ESBL n=46 (%) 15 14 9 3 2 2 1
(32,6) (30,4) (19,6) (6,5) (4,3) (4,3) (2,2) -
27 (58,7) 17 (37) 1 (2,2) 1 (2,2) -
Non-ESBL n=46 (%) 15 8 7 3 4 2 6 1
(32,6) (17,4) (15,2) (6,5) (8,7) (4,3) (13) (2,2)
P 1,000 0,143 0,582 1,000 0,153 0,398 0,557 0,110 0,315
1 (2,2) 11 (23,9) 10 (21,7) 7 (15,2) 6 (13) 11 (23,9)
Duke Model Score Mayoritas di kelompok pasien ESBL merupakan pasien dengan riwayat pengguna
antibiotik beta laktam dan atau florokuinolon dalam 3 bulan terakhir yaitu sebanyak 34 orang (73,9%) sedangkan di kelompok pasien non-ESBL pengguna antibiotik hanya 14 orang (30,4%). Tiga puluh empat orang di kelompok pasien ESBL pernah dirawat di fasilitas kesehatan sedangkan pada kelompok pasien non-ESBL hanya 7 orang pasien. Lebih dari 70 % persen pasien di kedua kelompok merupakan pasien rujukan dari fasilitas kesehatan lain. Riwayat penggunaan kateter urin lebih banyak dijumpai pada kelompok ESBL yaitu 36 orang (78,3%) dibandingkan pada kelompok non-ESBL hanya 9 orang (19,6%). Namun riwayat menggunakan immunosupresan tidak berbeda antara pasien ESBL (89,1%) dan pasien non-ESBL (91,3%) secara bermakna.
Tabel 4.3 Duke Model Score Item Duke Model Score
ESBL n (%)
Non-ESBL n (%)
P
Universitas Sumatera Utara
Mendapat antibiotik beta laktam dan atau florokuinolon dalam 3 bulan terakhir Tidak ada Ada Riwayat dirawat sebelumnya dalam 12 bulan terakhir Tidak ada Ada Riwayat rujukan dari fasilitas kesehatan lain Tidak Ya Riwayat menggunakan kateter 30 hari terakhir Tidak ada Ya Riwayat penggunaan immunosupresan 3 bulan terakhir Tidak Ya a
12 (26,1) 34 (73,9)
32 (69,6) 14 (30,4)
0,0001a
12 (26,1) 34 (73,9)
39 (84,8) 7 (15,2)
0,0001a
3 (6,5) 43 (93,5)
12 (26,1) 34 (73,9)
0,011a
10 (21,7) 36 (78,3)
37 (80,4) 9 (19,6)
0,0001a
41 (89,1) 5 (10,9)
42 (91,3) 4 (8,7)
1,000b
b
Chi Square, Fisher’s Exact Dari tabel 4.3 diketahui bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok
ESBL dan non-ESBL dalam hal riwayat penggunaan antibiotikbeta laktam dan atau florokuinolon dalam 3 bulan terakhir (P=0,0001), riwayat dirawat dalam 12 bulan terakhir (P=0,0001), rujukan dari fasilitas kesehatan lain (P=0,011), riwayat menggunakan kateter 30 hari terakhir (P=0,0001),. Oleh karena itu, bila dijumpai hal tersebut saat anamnesis pasien infeksi kemungkinan besar pasien tersebut terkena infeksi ESBL. Pada kelompok ESBL yang memiliki skor 0,2, dan 3 tidak ada seorangpun, sedangkan untuk skor ≥4, ≥5, ≥6, ≥7, ≥8, ≥9, ≥10, ≥11, ≥12, ≥13, ≥14, dan ≥16 berturut turut adalah 46, 45, 43, 43, 42,29, 24, 18,18, 1, dan 1 orang. Pada kelompok non-ESBL untuk skor 13, 14, dan 16 tidak ada seorangpun, sedangkan untuk skor 0,≥2, ≥3, ≥4, ≥5, ≥6, ≥7, ≥8, ≥9, ≥10, ≥11, dan ≥12 berturut-tururt adalah 46, 41, 41, 39, 23, 13, 11, 8, 1, 1, 1, dan 1 orang. Hal ini dapat dilihat pada gambar 4.1
Universitas Sumatera Utara
Gambar 4.1 Grafik antara skor Duke Model Score dan Jumlah pasien 4.1.3 Nilai Diagnostik Duke Model Score untuk Memprediksi Infeksi ESBL Berdasarkan analisis statistik diketahui bahwa skor 2,3, dan 4 memiliki sensitivitas tinggi 100% namun spesifisitasnya rendah yaitu berturut-turut 0%, 10,9%, dan 15,2%. Sedangkan skor 12, 13, 14, dan 16 memiliki spesifisitas yang tinggi 100% dengan sensitivitas yang rendah yaitu berturut-turut 39,1%, 22,0%, 0% dan 0%. Untuk skor 5, 6, 7, dan 8 memiliki sensitivitas cukup tinggi (di atas 90%) yaitu 97,8%, 93,5%, 93,5%, dan 91,3% dengan spesifitas berturut-turut 50,0%, 71,7%, 76,1%, dan 82,6%. Skor 9, 10, dan 11 memiliki spesifitas yang cukup tinggi yaitu 97,8% tetapi sensitivitasnya rendah yaitu berturut-turut 63,50%, 52,2%, dan 39,1%. Skor 1 dan 15 tidak dijumpai pada Duke Model Score.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 4.4 Sensitivitas dan Spesifisitas Duke Model Score Score
Sensitivitas(%)
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 16
100 100 100 97,8 93,5 93,5 91,3 63,0 52,2 39,1 39,1 22,0 0,0 0,0
Spesifisitas (%) 0,0 10,9 15,2 50,0 71,7 76,1 82,6 97,8 97,8 97,8 100 100 100 100
Berdasarkan kurva sensitivitas dan spesifisitas pada gambar 4.2 maka diperoleh nilai Cut Off yang terbaik untuk Duke Model Score adalah titik skor 8. Dengan menggunakan cut off point 8 maka didapatkan nilai sensitivitasDuke Model Score adalah 91,3% dan spesifisitas 82,6%.
Gambar 4.2 Kurva Sensitivitas dan Spesifisitas Duke Model Score terhadap Infeksi ESBL
Tabel 4.5
Sensitivitas, Spesifisitas, Positive dan Negative Predictive Value dari Duke Model Score terhadap Infeksi ESBL
Universitas Sumatera Utara
Infeksi ESBL
Sensiti Spesifi
Ya
Tidak
Fitas
sitas
91,3%
82,6%
Duke
≥8
42
8
Score
<8
4
38
NPP
NPN
RKP
RKN
84%
90,5%
5,25
0,11
Nilai Prediksi Positif (NPP) Duke Model Score adalah sebesar 84% dan Nilai Prediksi Negatif (NPN) adalah 90,5%. Sedangkan untuk rasio kemungkinan positif adalah 5,25 dan rasio kemungkinan negatif adalah 0,11. Duke Model Score dalam studi ini memiliki kemampuan untuk memprediksi seorang penderita akan mengalami infeksi ESBL atau tidak. Dari hasil analisis menggunakan kurva ROC diperoleh bahwa area di bawah kurva (AUC) ROC adalah 93,1 % (95% CI: 88,1% - 98,1%; p = 0,0001).
Gambar 4.2. Kurva ROC dari Duke Model Score terhadap Infeksi ESBL 4.1.4
Kepekaan Bakteri ESBL terhadap Antibiotik Bakteri ESBL di RS. H. Adam Malik ternyata sudah resisten 100% terhadap beberapa
antibiotik antara lain: seftriaxon, sefotaxim, seftazidim, amoxicillin, bahkan amoxicillinclavulanat dan ampisilin-sulbactam. Dimana clavulanat dan sulbactam merupakan suatu anti Β-
Universitas Sumatera Utara
lactamase. Terhadap dua golongan Β-lactam/Β-lactamase inhibitor lainnya yaitu piperasilintazobactam dan cefoperazone-sulbactam, bakteri ESBL juga memiliki sensitivitas yang rendah yaitu 52,2% dan 4%. Terhadap antibiotik golongan kuinolon seperti levofloxacin, bakteri ESBL memiliki sensitivitas yang rendah yaitu 26,1% dan terhadap ciprofloxacin memiliki sensitivitas 17,4%. Terhadap antibiotik golongan aminoglikosida yaitu gentamisin sensitivitas bakteri ESBL rendah yaitu 43,5%. Sedangkan terhadap amikasin, ESBL memiliki sensitivitas yang sangat baik yaitu 100%. Bakteri ESBL memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap golongan karbapenem seperti imipenem 91,7%, ertapenem 95,2% dan meropenem 95,7%. Antibiotik lainnya seperti cotrimoxazole memiliki efikasi yang buruk yaitu 21,7% sedangkan terhadap tigeciclin, bakteri ESBL masih memiliki sensitivitas yang baik yaitu 89,1%. (tabel 4.6)
Universitas Sumatera Utara
Tabel 4.6.Kepekaan Antibiotik Terhadap ESBL Antibiotik
β-Laktam Amoxicilin Β-laktam/β-laktamase inhibitor Ampisilin-sulbactam Amoxicillin-clavulanat Piperasilin-tazobactam Cafoperazon-sulbactam Sefalosporin Seftriaxon Sefotaxim Seftazidim Kuinolon Levofloxacin Ciprofloxacin Aminoglikosida Amikasin Gentamisin Karbapenem Imipenem Ertapenem Meropenem Lainnya Cotrimoxazol Tigeciclin
Sensitif (%) 0 0 0 52,2 4 0 0 0 26,1 17,4 100 43,5 91,7 95,2 95,7 21,7 89,1
Universitas Sumatera Utara
BAB V PEMBAHASAN
5.1 Proporsi bakteri ESBL Pada penelitian ini didapatkan bahwa 100% dari isolat E.coli adalah bakteri ESBL dan 96,4% dari K.pneumoniae adalah bakteri ESBL. Hal ini sesuai dengan beberapa penelitian sebelumnya dimana proporsi bakteri E. coli yang menjadi bakteri ESBL lebih besar dibandingkan K. pneumonia. Penelitian Kulkarni dkk tahun 2013 diketahui bahwa dari 15,9% isolat K.pneumonia yang dijumpai merupakan bakteri ESBL dan 40,7% isolat E.coli merupakan bakteri ESBL.25Di RS H Adam Malik Medan, dari data tahun 2012- 2013 diketahui bahwa terjadi peningkatan persentase bakteri E. coli yang menjadi ESBL yaitu di atas 2% sedangkan peningkatan infeksi K. pneumonia yang merupakan ESBL hanya berada di bawah 1%. Penelitian ini memperoleh hasil dimana K. pnemoniae lebih banyak menyebabkan infeksi dibandingkan E.coli
yaitu infeksi ESBL K.pneumonia 58,7% dan ESBL E.coli 37% dari
keseluruhan infeksi ESBL. Hal ini serupa dengan hasil penelitian MYSTIC Study tahun 2008 melibatkan 12 negara, diperoleh kejadian ESBL E.coli 1,5% sedangkan ESBL K.pneumonia 2,44,4%. Penelitian Chien D dkk tahun 2008 kejadian ESBL E.coli 26% dan ESBL K.pneumonia 53% dari infeksi bakteri gram negatif multi drugs resisten.39
5.2 Kepekaan Bakteri ESBL terhadap Antibiotik Pilihan antibiotik pada pasien dengan infeksi ESBL menjadi berkurang dengan adanya kemampuan bakteri tersebut menghidrolisis beberapa antibiotik.
Karbapenem merupakan
antibiotik pilihan pada infeksi ESBL, yang termasuk dalam golongan karbapenem adalah imepenem, meropenem, erapenem, dan doripenem. Dari penelitian oleh Muharrmi dkk, diperoleh karbepenem (imipenem dan meropenem) 100% sensitif terhadap ESBL.25Hasil serupa juga diperoleh pada penelitian oleh Kulkarni dkk, Aminzadeh dkk, imepenem 100% sensitif terhadap ESBL.24,26Chien Lye dkk meneliti pada 47 pasien ESBL yang diterapi dengan ertapenem, memiliki respon yang baik pada 96% pasien.27Penelitian Auer dkk, ertapenem 100%
Universitas Sumatera Utara
sensitif terhadap infeksi saluran kemih ESBL E.coli.28 Pada penelitian ini diperoleh sensitivitas bakteri ESBL cukup tinggi terhadap karbapenem yaitu: 91,7% sensitif imipenem, 95,7% sensitif meropenem, dan 95,2 sensitif ertapenem. Penelitian ini menegaskan kembali bahwa karbapenem merupakan golongan antibiotik pilihan dalam mengatasi bakteri ESBL.Imipenem dan meropenem memiliki profil yang hampir sama. Pada meningitis meropenem merupakan pilihannya. Ertapenem pada beberapa penelitian lebih baik dari pada meropenem dan imipenem dan penggunaannya hanya sekali sehari.10Doripenem merupakan golongan karbapenem terbaru yang lebih poten dan dapat digunakan untuk infeksi Pseudomas aurigenosa. Penelitian yang membandingkan kombinasi karbapenem dengan antibiotik golongan lain dibandingkan karbapenem tunggal diperoleh hasil yang tidak berbeda. Penelitian oleh Paterson, penggunaan karbapenem sebagai terapi inisial untuk ESBL selama 5 hari memiliki angka mortalitas yang lebih rendah.33 Adapun dosis standar pada dewasa meropenem 1 gram setiap 8 jam intravena, imipenem 500 mg 4 kali sehari intravena, ertapenem 1 gr setiap 24 jam intravena.22 Resistensi terhadap karbapenem mulai muncul dengan nama Klebsiella Producing Carbapenemases (KPC) dan New Delhi Metalo Beta Lactamase (NDM) sehingga penggunaanya haruslah rasional.33 Yang menarik dari hasil kepekaan antibiotik terhadap ESBL pada penelitian inil, dijumpai tingkat sensitivitas yang buruk terhadap antibiotik golongan β-lactam/β-lactamase inhibitor yang merupakan suatu anti terhadap enzim β-lactamase. Terhadap piperasilintazobactam hanya memiliki sensitivitas 52,2%, terhadap cefoperazon-sulbactam hanya 4% sensitif, sedangkan terhadap Amoxicillin-clavulanat dan Ampisilin-sulbactam 100% resisten. Pada penelitian di Amerika Serikat dari hasil MYSTIC Study,diperoleh 72,5% ESBL E.coli dan 38,5% ESBL K.pneumoniasensitif terhadap piperasilin-tazobactam, sedangkan di Eropa 80% ESBL E.coli dan 42,1% ESBL K.pneumoniasensitif terhadap piperasilin-tazobactam.34Penelitian Aminzadeh dkk, bakteri ESBL sensitif 100% terhadap piperasilin-tazobactam.24 Hal ini mungkin dapat diakibatkan adanya perbedaan genotip dari bakteri ESBL. Beberapa genotip ESBL TEM resisten terhadap antibiotik β-lactamase inhibitor. Varian TEM ini ada yang resisten terhadap asam klavulanat dan sulbaktam. Selaian itu, SHV-10 juga resisten terhadap β-lactamase inhibitor.11Diduga tingginya resistensi terhadap β-lactamase inhibitorpada penelitian ini, diakibatkan bakteri ESBL pada penelitian ini berasal dari genotip ini, walaupun tidak dilakukan pemeriksaan lanjutan.
Universitas Sumatera Utara
Siprofloksasin memiliki kemampuan eradikasi ESBL yang rendah. Resistensi ini diduga akibat hilangnya porin bakteri untuk masuknya kuionolon dan aktifnya efluks kuinolon keluar sel.6,23 Dari penelitian Muharni dkk, diperoleh hanya 29,6% sensitif terhadap ESBL.25MYSTIC Study di Amerika Serikat Siprofloksasin 20% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 36,8% terhadap ESBL K.pneumonia.34Penelitian Kulkarni dkk, siprofloksasin 30,2% sensitif terhadap ESBL.26 Pada penelitian ini diperoleh 17,4% bakteri ESBLsensitif terhadap siprofoksasin sedangkan 26,1% sensitif terhadap levofloksasin. Gentamisin memiliki efikasi yang bervariasi. Penelitian Kulkarni dkk, bakteri ESBL 19,4% sensitif terhadap gentamisin.26 Penelitian Aminzadeh dkk, bakteri ESBL 85,2% resisten terhadap gentamisin.24 Pada penelitian ini 43,5% bakteri ESBL sensititif terhadap gentamisin. Sedangkan untuk amikasin, penelitian Kulkarni dkk memperoleh bakteriESBL 70,4% sensitif terhadap amikasin.26Penelitian Aminzadeh dkk, bakteri ESBL 81,1% sensitif terhadap amikasin.24Pada penelitian ini, amikasin masih 100% sensitif terhadap ESBL. Sehingga dari hasil uji kepekaan terhadap ESBL tersebut diketahui ada beberapa antibiotik yang dapat digunakan untuk melawan infeksi ESBL yaitu amikasin, imipenem, ertapenem, meropenem dan tigeciclin. Selain berkurangnya pilihan antibiotik yang dapat diberikan untuk infeksi ESBL, untuk memperoleh hasil kultur mikroorganisme dan tes kepekaannya terhadap antibiotik memerlukan waktu 3-5 hari, hal ini sering mengakibatkan keterlambatan pemberian antibiotik yang tepat. Hal ini akan mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien dengan infeksi ESBL. Oleh karena itu, identifikasi pasien dengan resiko tinggi terkena infeksi bakteri ESBL sangat diperlukan. Dengan adanya identifikasi awal yang tepat terhadap adanya infeksi ESBL ini akan sangat membantu dalam hal pemberian terapi antibiotik empirik pada pasien dengan infeksi.
5.3 Duke Model Score Untuk memprediksi adanya infeksi bakteri ESBL dikembangkan berbagai instrumen, salah satunya adalah Duke Model Score. Duke Model Score ini terdiri dari adanya penggunaan antibiotik golongan laktam dan atau fluorokuinolon dalam 3 bulan terakhir (skor 3), riwayat rawatan rumah sakit sebelumnya dalam 12 bulan terakhir (skor 2), pasien rujukan dari fasilitas
Universitas Sumatera Utara
kesehatan lain (skor 4), penggunaan kateter urin sebelumnya (skor 5) dan penggunaan immunosupresan 3 bulan sebelumnya (skor 2). Riwayat penggunaan antibiotik sebelumnya memang telah teridentifikasi sebelumnya oleh beberapa peneliti sebagai faktor risiko untuk infeksi bakteri ESBL. Rupp dkk tahun 2013 dan kemudian disusul oleh Demirdag dkk tahun 2010 telah mengemukakan penggunaan antibiotik sebagai faktor risiko infeksi bakteri ESBL.5,20 Penggunaan antibiotik (terutama antibiotik betalaktam spektrum luas) secara intensif dalam dua dekade terakhir dianggap sebagai penyebab munculnya mutasi pada strain Enterobacteriaceae penghasil beta laktamase.4 Pada penelitian ini 73,9% pasien ESBL memiliki riwayat pemakaian antibiotik sebelumnya, hal ini mungkin disebabkan karena RS. H. Adam Malik merupakan pusat rujukan, dan pasien telah diberikan terapi antibiotik sebelumnya di fasilitas kesehatan yang merujuk. Riwayat dirawat sebelumnya dan dirujuk dari fasilitas kesehatan lain merupakan item yang dimodifikasi dari faktor risiko yang diajukan oleh Rupp dkk (lama rawatan inap) dan Demirdag dkk (masa rawat inap di atas tujuh hari).5,20 Hal ini dihubungkan dengan risiko terinfeksi dari kolonisasi bakteri ESBL yang terjadi di rawat inap.5 Pada penelitian ini, 73,9% pasien ESBL mempunyai riwayat dirawat sebelumnya, dan 93,5% merupakan pasien rujukan dari fasilitas kesehatan lain. Hal ini juga dikarenakan RS. H. Adam Malik merupakan pusat rujukan. Penggunaan kateter urin secara tegas telah teridentifikasi sebagai faktor risiko infeksi bakteri ESBL.5,20 Kateter urin yang tidak dipasang secara baik menjadi tempat kolonisasi bakteri ESBL yang baik.5 Pada penelitian ini, 78,3% mempunyai riwayat menggunakan kateter urin. Riwayat penggunaan immunosupresan yang secara bermakna berhubungan dengan infeksi bakteri ESBL pada penelitian sebelumnya oleh Steven dkk tahun 2013, ternyata tidak konsisten berhubungan dengan infeksi ESBL pada penelitian ini. Dimana hanya 10,9% pasien ESBL yang mempunyai riwayat penggunaan immunosupresan. Penggunaan immunosupresan pada penelitian ini dijumpai pada pasien penyakit paru obstruktif kronik yang menggunakan kortikosteroid, dan pasien leukemia myeloid kronik yang menggunakan obat kemoterapi. Adapun perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh angka malignansi dan penyakit autoimmun yang lebih tinggi di negara-negara maju seperti tempat penelitian dimana Duke model score dihasilkan, yaitu di Duke University Hospital, Durham, North Carolina.
Universitas Sumatera Utara
Pada penelitian ini diperoleh nilai Cut Off untuk Duke Model Score adalah nilai 8. Dengan menggunakan cut off point skor 8 maka didapatkan nilai sensitivitas Duke Model Score adalah 91,3% dan spesifisitas 82,6%, dengan PPV 84%. Penelitian yang dilakukan Steven dkk tahun 2013, Duke Model Score dengan skor 8 atau lebih dapat memprediksi infeksi ESBL dengan spesifisitas 95% dan Positive Predictive Value (PPV) 79%, namun sensitivitasnya hanya 50%. Skor yang pernah dilaporkan sebelumnya untuk memprediksi infeksi bakteri ESBL pada pasien rawat inap adalah Italian Score yang diajukan oleh Tumbarello dkk tahun 2011 yang itemnya berupa pemakaian antibiotik beta laktam dan atau fluorokuinolon (skor 2), rawat inap sebelumnya (skor 3), rujukan dari fasilitas kesehatan lainnya (skor3), Charlson Comorbidity Score ≥4 (skor 2), pemakaian kateter urin sebelumnya (skor2), dan usia≥70 tahun (skor2). Akan tetapi pada saat dianalisa dan divalidasi oleh Steven dkk tahun 2013 di Duke University Hospital, didapatkan bahwa beberapa item pada Italian Score secara spesifik berhubungan dengan kasus infeksi ESBL, kecuali Charlson Comorbidity Score ≥4 dan usia ≥70 tahun. Dan Steven dkk juga menemukan bahwa terapi immunosupresan secara signifikan berhubungan dengan infeksi ESBL, sehingga dilahirkanlah sebuah sistem skoring baru yang lebih sederhana (karena tidak mengandung item Charlson Comorbidity Score di dalamnya), yang dikenal dengan Duke Model Score.10 Oleh karena itu adanya anamnesis dan pemeriksaan yang teliti pada saat pasien masuk ke rumah sakit dapat membantu klinisi memprediksi adanya infeksi ESBL dengan melakukan anamnesis ada tidaknya penggunaan antibiotik golongan beta laktam dan atau fluorokuinolon, riwayat rawatan rumah sakit sebelumnya, pasien merupakan rujukan dari fasilitas kesehatan lain, penggunaan kateter urin sebelumnya dan riwayat penggunaan immunosupresan. Adapun beberapa kelemahan penelitian ini, pertama, tidak dilakukan pemantauan outcome pasien dengan infeksi ESBL tersebut. Kedua,penelitian ini
tidak melakukan
pemeriksaan genotip ESBL yang mana genotip ESBL ini berpengaruh pada kepekaan antibiotik. Oleh karena itu penelitian lebih lanjut masih sangat diperlukan.
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan 1. Duke Model Score dapat digunakan sebagai prediktor adanya infeksi ESBL. 2. Jika Duke Model Score≥ 8, dapat dipertimbangkan pemberian antibiotik anti ESBL di RS. H. Adam Malik
5.2 Saran 1. Pasien infeksi yang dirawat sebaiknya dilakukan penghitungan Duke Model
Score untuk
memprediksi infeksi bekteri ESBL. 2. Untuk melawan infeksi bakteri ESBL di RS.H. Adam Malik harus digunakan antibiotik yang masih sensitif terhadap ESBL yaitu amikasin, imipenem, ertapenem, meropenem dan tigeciclin. 3. Diperlukan penelitian multicenter untuk memperoleh nilai cutoff yang dapat digunakan di semua wilayah serta penelitian untuk melihat outcome pasien-pasien yang terinfeksi ESBL. 4. Selain itu diperlukan juga penelitian terhadap genotip bakteri ESBL karena pada penelitian ini dijumpai adanya resistensi yang tinggi terhadap antibiotik anti-ESBL.
Universitas Sumatera Utara