Metode Penetapan Awal Ramadhan dan Syawal Rukyat or Hisab; Local or Global ? (Lanjutan) Rukyat Hilal (melihat datangnya bulan baru) Kedatangan bulan Ramadhan senantiasa disambut hangat oleh kaum muslimin. Ramadhan, bulan penuh rahmat dan berkah serta ampunan Allah SWT. Di bulan ini Allah SWT menjanjikan amal perbuatan manusia akan dilipatgandakan pahalanya. Di bulan ini pula terdapat malam lailatul qadar yang bernilai lebih dari seribu bulan. Namun amat disayangkan, soal menyambut kehadiran bulan yang mulia itu, selalu menjadi ganjalan/masalah bagi kaum muslimin di seluruh penjuru dunia. Kejanggalan, keanehan, menyangkut soal perbedaan pendapat penetapan awal Ramadhan dan 1 Syawal di satu wilayah atau seluruh dunia Islam, masih juga belum mampu dituntaskan. Di Indonesia, persoalan itu telah menjadi kronis, meskipun Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama telah berupaya mengkompromikan berbagai pendapat sekitar masalah tersebut. Malah masyarakat sudah terbiasa mendengar adanya perbedaan pendapat tentang masalah tersebut. Tentu saja keadaan itu aneh dan mengherankan. Melangkah ke kawasan Asia Tenggara, keanehan semacam itu juga muncul. Bagaimana mungkin, kaum muslimin di Indonesia dapat melakukan shaum Ramadhan pada hari yang berbeda dengan saudara-saudaranya di Malaysia, Brunei, dan Singapura. Maka, keempat menteri agama di negara ASEAN tersebut sejak beberapa tahun yang lalu, melakukan dialog secara intensif, berupaya menyelesaikan masalah itu. Tentu saja ini langkah maju dari upaya kaum muslimin menggalang persatuan dan kesatuan umat. Namun, soal itu bukan hanya menyangkut kawasan Asia Tenggara. Seluruh dunia Islam seakan ditantang, mungkinkah mereka bersatu dalam persoalan ini: berpuasa Ramadhan dan ber’Idul Fitri pada hari yang sama, sebagaimana mereka berpuasa Arafah dan ber’Idul Adha pada hari yang sama? Secara normatif, sekitar tiga belas abad lalu, tiga imam madzhab: Maliki, Hanafi, dan Hambali, telah menggariskan, wajib atas kaum muslimin, di manapun berada, memulai shaum/puasa Ramadhan pada hari yang sama. Dasar penetapannya tak lain adalah "rukyatul hilal" (penyaksian bulan sabit). Menurut Imam Malik, apabila penduduk kota Basrah (Irak) melihat bulan sabit Ramadhan, lalu berita itu sampai ke Kufah, Madinah, dan Yaman maka wajib atas kaum muslimin berpuasa berdasarkan rukyat tersebut. Atau melakukan qadha puasa jika berita itu datangnya terlambat. (lihat Tafsir Qurthubi, jilid II hal 296). Sementara dalam kitab "ad-Darul Mukhtar wa Raddul Mukhtar" jilid II hal 131-132,
dari Imam al-Hashfaky, tercantum pendapat madhzab Hanafi yang menyatakan "Bahwasanya perbedaan mathla’ tidak dapat dijadikan pegangan. Begitu juga melihat bulan sabit di siang hari, sebelum dhuhur, atau menjelang dhuhur. Dalam soal ini, penduduk negeri Timur (dari Madinah) harus mengikuti (rukyat kaum muslimin) yang ada di belahan barat (dari Madinah) jika rukyat mereka dapat diterima (sah menurut syara’)." Dari madzhab Ibnu Hambal menegaskan, apabila rukyat telah terbukti, di suatu tempat yang jauh atau dekat, maka seluruh kaum muslimin harus melakukan shaum Ramadhan. (Mughniyul Muhtaj, jilid II hal 223-224). Sebagian pengikut madzhab Maliki, seperti Ibnu al-Mujizuun, menambahkan syarat, rukyat itu harus diterima olah seorang Khalifah (kepala negara kaum muslimin). "Tidak wajib atas penduduk suatu negeri mengikuti rukyat negeri lain, kecuali hal itu telah terbukti dan diterima olah al-imamul a’dham (Khalifah). Setelah itu seluruh kaum muslimin wajib berpuasa. Sebab, seluruh negeri bagaikan satu negeri. Dan keputusan Khalifah berlaku bagi seluruh kaum muslimin." (Nailul Authar, jilid II hal 218). Pendapat para imam madzhab tersebut didasarkan pada berbagai hadits Rasulullah saw. Diantaranya sabda Rasul yang diriwayatkan Imam al-Hakim : "Sesungguhnya Allah telah menjadikan bulan sabit sebagai tanda awal bulan. Jika kalian melihatnya (bulan sabit Ramadhan), berpuasalah. Dan jika kalian melihatnya (bulan sabit Syawal), berbukalah. Apabila penglihatanmu terhalang, maka genapkanlah hitungannya menjadi 30 hari. Ketahuilah, setiap bulan tidak pernah lebih dari 30 hari." (lihat Mustadrak jilid I hal 423). Menurut Imam al-Hakim yang dibenarkan oleh adz-Dzahabi, hadits itu shahih dari segi sanad berdasarkan kriteria Imam Bukhari dan Muslim, meskipun keduanya tidak meriwayatkan hadits tersebut. Lafadz hadits di atas bersifat umum, mencakup seluruh kaum muslimin, di manapun berada. Jika penduduk negerinegeri Timur jauh melihat bulan sabit Ramadhan, maka rukyat mereka wajib diikuti oleh kaum muslimin yang berada di negeri-negeri belahan Barat, tanpa kecuali. Karena itu, wajib kaum muslimin melakukan puasa pada hari yang sama. Puasa Kaum Muslimin di masa Rasulullah SAW, wilayah negeri Islam mencakup seluruh jazirah Arab. Luasnya kurang lebih 1.200.000 mil persegi, sebanding dengan empat kali luas Jerman dan Prancis. Dengan luas yang sebesar itu, dengan kendaraan onta, untuk menyampaikan berita dari sebelah utara ke sebelah selatan Jazirah Arab, diperlukan waktu berbulan-bulan. Menurut Abu Fida’ (672-732), kala itu untuk melintasi Jazirah Arab diperlukan tempo 7 bulan 11 hari. Itulah faktor penghambat tersebarnya berita rukyat ke segenap penjuru wilayah. Kecuali jika terjadi di kota Mekkah dan Madinah. Jika terjadi rukyat di suatu wilayah, maka Rasul segera menerima kabar itu, setelah terbukti keislaman si pembawa berita, walaupun datangnya di siang hari. Dikabarkan, suatu saat, penduduk Madinah berbeda pendapat tentang penentuan akhir Ramadhan. Esok harinya, datang dua orang Badui (orang Arab kampung) yang menyatakan kesaksiannya, bahwa mereka telah melihat bulan sabit, kemarin
sore. Rasul lalu memerintahkan seluruh kaum muslimin berbuka dan esok harinya mereka melakukan sholat ‘Idul Fitri. Bahkan pernah, datangnya berita tentang rukyat itu pada sore hari. Dan Rasulullah tetap menerima kabar itu. Anas bin Malik meriwayatkan "Beberapa pamanku dari orang-orang Anshar shahabat Nabi menceritakan kepadaku bahwa suatu hari meraka terhalang melakukan rukyat bulan Syawal. Maka esok paginya, kami tetap berpuasa. Kemudian pada petang hari (menjelang maghrib), datang serombongan orang dan bersaksi di hadapan Rasul bahwa mereka telah melihat bulan sabit. Maka Rasulullah memerintahkan kaum muslimin langsung berbuka, dan esok harinya melakukan sholat ‘Id." (lihat Nailul Authar, jilid II hal 211). Kebiasaan yang dilakukan Rasulullah, selalu mencari rukyat pada sore hari saat terbenamnya matahari. Beliau juga memerintahkan kaum muslimin di seluruh wilayah mereka untuk melakukan rukyat, baik di Madinah, Mekkah, Bahrain, dan wilayah-wilayah lain. Imam Ahmad meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw bersabda: "Berpuasalah jika melihat bulan (Ramadhan) dan berbukalah jika melihat bulan (Syawal). Jadikanlah rukyat sebagai dasar penentuan waktu manasik haji. Dan jika langit mendung (terhalang pandangannya), maka genapkanlah 30 hari." (Nailul Authar, jilid IV hal 212). Dalam soal penetapan waktu manasik haji, Rasulullah senantiasa memerintahkan wali (penguasa) kota Mekkah mencari rukyat. Amir Mekkah al-Harits bin Hatib meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah memerintahkan kami untuk menetapkan waktu manasik haji berdasarkan rukyat. Jika penduduk Mekkah tidak mendapatkan rukyat, sementara ada dua orang saksi yang adil (dari daerah lain) yang menyatakan menemukan, maka penentuan waktu manasik haji didasarkan atas kesaksian kedua orang tersebut. (lihat Sunan Abu Dawud hadits no. 2338). Jadi dari berbagai hadits Rasul tersebut, dapat dipahami, bahwa dalam penentuan awal dan akhir Ramadhan, juga waktu manasik haji, Rasul saw sama sekali tidak menyinggung soal batas-batas wilayah lokal dalam menerima rukyatul hilal. Hanya saja, soal penyampaian dan penyebarluasan berita rukyat dari satu wilayah ke wilayah lain, kala itu, memang menjadi soal yang tidak sederhana. Memang ada sebuah hadits yang tidak populer yang diriwayatkan oleh alGhasyani dan al-Harbi –perawi yang kurang masyhur- yang menyebut, bahwa Rasul juga mentolerir keberadaan rukyat lokal. Suatu saat, penduduk Nejd mengabarkan kepada Rasul, bahwa rukyat mereka sehari lebih dulu dari rukyat penduduk Madinah. Dan Rasul menyatakan, bahwa setiap negeri mengikuti rukyatnya masing-masing. Hadits itu seakan-akan mengesankan, adanya kontradiktif dengan hadits-hadits sebelumnya yang menegaskan, seluruh kaum muslimin harus melakukan puasa Ramadhan dan ‘Id pada hari yang sama. Padahal tentu tidak demikian. Andaikata hadits al-Ghasyani dan al-Harbi itu dapat diterima, maka persoalan sarana komunikasi dan transportasi saat itu dijadikan faktor penghambat tersebarnya informasi rukyat antar berbagai wilayah. Wajar, kalau persoalan perbedaan pendapat rukyat, saat itu, dapat diterima.
Tetapi Islam datang bukanlah untuk suatu bangsa dan masa tertentu, tetapi untuk memenuhi kebutuhan semua bangsa di setiap masa dengan fasilitas dan suasana yang ada. Oleh karena itu tatkala syari’at Islam memerintahkan untuk mencari rukyat di tempat masing-masing yang dijadikan patokan untuk berpuasa dan berbuka, maka syari’at Islam dalam hal ini memberikan jalan keluar bagi sulitnya menyebarkan informasi melalui transportasi darat maupun udara yang cepat. Dan disebabkan belum terdapatnya alat-alat komunikasi yang dapat memudahkan penyebaran berita antar negeri pada malam atau siang yang sama, maka adanya perbedaan penetapan awal puasa Ramadhan bisa saja terjadi. Walaupun demikian syari’at Islam mengharuskan atas seluruh kaum muslimin di seluruh daerah dan negeri mereka untuk berpuasa dan berbuka pada hari yang sama. Hukum ini dahulu sulit untuk diterapkan terhadap negeri-negeri yang jauh disebabkan tidak adanya alat-alat komunikasi yang dapat sampai pada malam yang sama. Sebagai contoh, perjalanan dengan onta dari Mekkah ke Madinah yang jaraknya 497 km, diperlukan tempo 12 hari. Untuk menempuh jarak 1200 km dari Mekkah ke Baitul Maqdis memerlukan 1 bulan penuh. Apalagi ke negerinegeri yang jauh seperti Andalusia, India, Afghanistan, dan negeri-negeri lain di Eropa, Afrika, atau Asia, tidak diragukan lagi penyampaian berita ke negeri-negeri ini memerlukan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun bila dengan onta. Tetapi sekarang hal itu dapat dilakukan dengan hanya memerlukan waktu beberapa jam (dengan pesawat), beberapa detik dengan alat komunikasi telepon, telex dan fax atau jaringan komputer dunia (semacam internet, dll). Oleh karena itu hukum penyatuan awal puasa dan ‘Id pada hari yang sama, lebih cocok diterapkan saat ini, dibandingkan dengan masa sebelumnya, disebabkan adanya alat-alat transportasi dan komunikasi yang canggih. Memang syari’at Islam diturunkan untuk memecahkan setiap persoalan. Pelaksanaannya, sesuai dengan fasilitas dan kemudahan yang dimiliki kaum muslimin di setiap masa. Soal Mathla’ inilah persoalan yang sering menjadi alasan bagi bolehnya terjadi perbedaan hari penentuan awal Ramadhan dan ‘Id. Istilah perbedaan mathla’ menunjukkan terbit dan terbenamnya matahari, bintang, bulan, fajar, di suatu tempat mendahului tempat yang lain, dan sebaliknya. Perbedaan mathla’ disebabkan perbedaan letak suatu negeri atau tempat dilihat dari garis lintang atau bujur. Untuk negeri-negeri yang berbeda garis lintangnya, perbedaan waktu itu memang ada. Tidak demikian halnya dengan negeri-negeri yang terletak pada garis bujur yang berdekatan. Sangat mungkin beberapa negeri melakukan rukyat pada saat yang sama pada malam hari, walaupun terdapat perbedaan waktu masing-masing negeri itu tentang lahirnya bulan. Negeri-negeri seperti Tanzania, Kenya, Ethiopia, Somalia, Yaman, Saudi Arabia dan Irak yang semuanya terletak antara 30 derajat bujur timur dan 40 derajat bujur timur, sangat mungkin melakukan rukyat bersama. Jika tidak ada penghalang pandangan atau awan. Dan jika awan menghalangi pandangan, toh masih mungkin melakukan rukyat dari atas awan dengan menggunakan pesawat terbang sehingga diperoleh gambaran garis ufuk yang lebih jelas. Dengan cara itu, sangatlah mungkin melakukan rukyat tatkala lahirnya bulan di langit setelah terbenamnya matahari.
Demikian juga negeri-negeri seperti India, Pakistan, Afghanistan, beberapa negeri persemakmuran (bekas Soviet), Srilanka dan Iran sangat mungkin melakukan rukyatul hilal bersama. Sebagaimana halnya dengan Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura, China dan sebagian besar negeri persemakmuran yang semuanya berada pada garis bujur yang berdekatan, melakukan langkah serupa. Perbedaan mathla’ memang diungkapkan oleh beberapa tokoh madzhab Syafi’i. Namun dalam soal ini, pendapat tiga imam madzhab (Maliki, Hanafi dan Hambali) lebih mendekati kebenaran dan sesuai dengan fakta-fakta yang berkembang. Terbukti, lahirnya bulan sabit (di luar angkasa), dapat terjadi pada waktu (hari) yang sama untuk seluruh penjuru dunia. Hanya saja, terjadi perbedaan dalam melihatnya (dari bumi), tergantung pada perbedaan letak masing-masing negeri. Maka, jika sebagian kaum muslimin telah melihat bulan sabit (Ramadhan), lalu memberitahukan kepada yang lain, seluruh kaum muslimin terikat dengan rukyat tersebut. Tak ada alasan perbedaan mathla’. Lahirnya bulan terjadi di satu tempat pada waktu yang sama di seluruh dunia. Nash-nash hadits telah menegaskan kewajiban itu. Walaupun yang melihatnya itu hanya satu atau dua orang. Ibnu Umar meriwayatkan "Masyarakat beramai-ramai mencari rukyat (bulan Ramadhan). Lalu aku memberitahukan kepada Rasulullah, bahwa aku telah melihatnya. Beliau lalu melakukan puasa dan seluruh masyarakat juga melakukannya." (Nailul Authar, jilid IV hal 209). Fakta menunjukkan, garis lintang yang melingkari khatulistiwa berjarak 40.075 km. Berarti jarak terjauh antara dua titik di permukaan bumi tak lebih dari 20.037,5 km. Jadi waktu paling lama untuk perbedaan mathla’ hilal tak lebih dari 12 jam 22 menit. Karena itu jika sebagian kaum muslimin melihat bulan dan mengumumkan berdasarkan syara’, maka kaum muslimin yang berada di wilayah bagian Timur akan turut mengikuti rukyat tersebut. Mereka akan melakukan shaum Ramadhan jika datangnya berita hari masih malam. Jika datangnya kabar rukyat itu waktu siang, maka mereka mengqadha puasa, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah dan para sahabatnya. Namun kini persoalannya tidak sesederhana itu. Masalahnya sering berkisar pada persoalan politik. Yakni, persatuan negeri-negeri Islam itu sendiri. Pemimpinpemimpin negeri Arab dan negeri Islam lain, belum memberikan jalan bagi adanya persatuan kaum muslimin. Sehingga setiap muslim lebih terikat dengan penetapan penguasa negerinya masing-masing. Mereka pun tak terikat lagi dengan pendapat madzhab Syafi’i yang menyatakan perbedaan mathla’ terjadi pada jarak 24 farsakh (sekitar 120 km). Sebab, kenyataannya pendapat madzhab Syafi’i itu tidak sesuai dengan fakta ilmiah yang ada. Sekarang, ilmu pengetahuan dan teknologi telah jauh berkembang. Pendapat madzhab Syafi’i itu memang ditetapkan berdasarkan qiyas jarak melakukan shafar. Bukan berdasarkan nash atau fakta yang ada sekarang. Padahal selisih waktu pada jarak 24 farsakh (120 km) itu tak lebih dari 4 menit ! Karena itu, di era globalisasi dan perkembangan alat-alat komunikasi serta transportasi yang begitu canggih saat ini, isolasi dan ketertutupan diri apalagi fanatisme daerah kaum muslimin tiap negeri, sudah bukan masanya lagi. Di jaman
onta dulu, bisa saja itu terjadi. Tambahan lagi, nash-nash hadits Rasulullah dengan tegas menyatakan, kaum muslimin harus melakukan puasa dan berbuka (‘Idul Fitri), jika bulan sabit sudah terlihat. Sementara orang-orang Barat sibuk menyatukan kekuatannya, menggalang potensi mereka, tentu sangatlah naif jika kaum muslimin yang kini jumlahnya lebih dari satu milyar jiwa itu masih sibuk mempertahankan keterpecah-belahannya. Mengawali dan mengakhiri Ramadhan pada hari yang sama, adalah satu langkah awal menuju persatuan ummat. Bila para pemimpin kaum muslimin menyadari tanggung jawabnya dalam mewujudkan persatuan ummat Islam seluruh dunia, tentulah proses itu akan lebih cepat terjadi. Insya Allah. "Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi wanita yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka" (terj. QS. Al-Ahzab : 36) Hisab (penghitungan bulan kalender) Dalam masalah penentuan awal bulan dengan cara hisab, di Indonesia sekurangnya ada dua versi yang berkembang, yaitu hisab berdasarkan wujudul hilal dan hisab berdasarkan imkanur rukyat. Hisab berdasarkan wujudul hilal pada prinsipnya menetapkan masuk awal bulan baru jika hilal telah terbentuk (setelah ijtimak) dan saat itu masih berada di atas ufuk saat matahari terbenam. Versi ini tidak mempermasalahkan apakah hilal tersebut bisa diamati atau tidak. Pada hisab berdasarkan imkanur rukyat, masuknya awal bulan baru ditetapkan jika pada saat matahari terbenam, hilal masih berada di atas ufuk dan telah memenuhi kriteria bisa diamati. Departemen Agama mengambil kriteria tinggi minimum hilal bisa diamati adalah 2 derajat. Kriteria Departemen Agama ini sebenarnya masih banyak dipertanyakan oleh sebagian ahli. Sebagai perbandingan, M. Ilyas dari International Islamic Calendar Program (IICP), yang banyak berkecimpung dalam masalah penanggalan hijriah, menetapkan kriteria tinggi minimal hilal sebesar 4 derajat. Sementara itu, sebagian orang masih meragukan ketelitian metode penentuan awal bulan lewat hisab. Padahal sebenarnya, saat ini perhitungan gerak bulan dan matahari dalam falak / astronomi telah memiliki ketelitian yang tinggi. Ini dapat dibuktikan saat pengamatan gerhana dan okultasi bintang oleh bulan, dimana hasil perhitungan dan hasil pengamatan hanya berbeda dalam orde detik. Sehingga, secara prinsip, penentuan awal bulan dengan hisab akan memberikan hasil yang bisa diandalkan. Hanya saja, sayangnya masalah penentuan awal bulan bukan melulu masalah falak / astronomi, tapi juga masalah fikih. Perbedaan Kriteria Tidak tepat bila masih ada yang berpendapat bahwa perbedaan penentuan awal Ramadan, Idul Fitri, dan Iduladha karena perbedaan metode hisab (perhitungan astronomis) dengan rukyat (pengamatan). Varian untuk masing-masing metode bisa juga menyebabkan perbedaan. Bahkan dalam banyak kasus perbedaan yang
terjadi di Indonesia dalam 5 tahun terakhir, lebih banyak karena perbedaan kriteria daripada perbedaan antara hisab dan rukyat. Kriteria itu bisa diterapkan baik pada hisab maupun rukyat yang terpandu hisab. Muhammadiyah menggunakan hisab dengan kriteria wujudul hilal dan prinsip "wilayatul hukmi" (hisab-nya berlaku untuk seluruh daerah dalam satu wilayah hukum, yaitu seluruh Indonesia). Bila hilal telah berada di atas ufuk pada saat maghrib di mana pun di Indonesia, maka dapat diputuskan besoknya masuk tanggal 1 untuk seluruh Indonesia. Persis yang menggunakan hisab juga punya keputusan yang berbeda karena kriterianya berbeda. Sebelumnya Persis menggunakan kriteria MABIMS dengan syarat masuknya tanggal bila tinggi bulan lebih dari 2 derajat dan umur bulan lebih dari 8 jam. NU menggunakan metode rukyat untuk mengambil keputusan awal bulannya, walaupun mereka juga melakukan hisab untuk membuat kalender dan membantu rukyat-nya. Sejak beberapa tahun belakangan, NU telah menggunakan kriteria imkanur rukyat (kemungkinan untuk rukyat) yang bisa digunakan untuk menolak kesaksian hilal. Kriteria imkanur rukyat yang digunakan adalah kriteria yang telah disepakati di Indonesia, yaitu tinggi bulan minimal 2 derajat dan umur bulan minimal 8 jam. Persoalannya adalah masyarakat pengikutnya yang kadang-kadang menjadi bingung. Maka dalam masalah perbedaan hari raya (Idulfitri atau Iduladha) perlu difahami dulu sumber perbedaannya dan ikuti mana yang paling menentramkan hati. Bila tidak bisa memutuskan sendiri, jalan terbaik adalah mengikuti keputusan pemerintah yang merupakan hasil optimal dari berbagai pendapat yang berkembang di masyarakat. Apalagi ada perintah di dalam Alquran untuk mengikuti pemerintah (ulil amri) setelah mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya. Kesimpulan Secara keseluruhan versi pemikiran yang berkaitan dengan penetapan awal bulan Qomariyah adalah sebagai berikut. Pertama, versi hisab wujudul hilal. Versi ini berprinsip jika menurut perhitungan (hisab), hilal dinyatakan sudah di atas ufuk, hari esoknya dapat ditetapkan sebagai tanggal baru tanpa harus menunggu hasil melihat hilal pada tanggal 29. Prinsip tersebut selama ini dipegang oleh Muhammadiyah. Kedua, versi rukyat dalam satu negara (rukyah fi wilayatil hukmi). Prinsip versi ini berpegang pada hasil rukyat (melihat bulan tanggal satu) pada setiap tanggal 29. Jika berhasil melihat hilal, hari esoknya sudah masuk tanggal baru. Namun, jika tidak berhasil melihat hilal, bulan harus disempurnakan 30 hari (diistikmalkan) dan hanya berlaku dalam satu wilayah hukum negara. Keberadaan hisab dipergunakan sebagai alat bantu dalam melakukan rukyat. Prinsip ini yang dipegangi Nahdlatul Ulama selama ini.
Ketiga, versi hisab imkanurrukyah (hisab yang menyatakan hilal sudah mungkin dapat dilihat). Inilah versi yang dipegangi pemerintah dengan standar imkanurrukyah 2 derajat dari ufuk. Keempat, versi rukyat internasional atau rukyat global yang berprinsip jika di negara mana pun menyatakan melihat hilal, maka hal itu berlaku untuk seluruh dunia tanpa memperhitungkan jarak geografis. Kelima, versi hisab Jawa Asapon yang berpedoman pada kalender Jawa Islam yang diperbaharui dengan ketentuan Tahun Alif jatuh pada Selasa Pon. Versi ini dianut oleh Keraton Yogyakarta. Keenam, versi hisab Jawa Aboge yang berpedoman pada kalender Jawa Islam yang lama dengan ketentuan Tahun Alif jatuh pada Rabu Wage. Versi ini yang dianut oleh mayoritas pemeluk Islam Kejawen seperti di Dusun Golak Ambarawa. Ketujuh, versi mengikuti Makah yang berprinsip kapan Makah menetapkan, maka penganut versi ini mengikutinya. Di sini tampak mempertimbangkan letak dan jarak geografis. Di antara banyak versi tersebut, yang sering mencuat dan membikin ramai suasana adalah jika terjadi perbedaan penetapan antara versi hisab wujudul hilal yang dipegang Muhammadiyah, versi rukyat satu negara yang dipegang Nahdlatul Ulama, versi hisab imkanurrukyah yang dipegang pemerintah, dan versi rukyat internasional atau rukyat global. Bagaimana Kita Menyikapi ? Berkaitan dengan perbedaan penetapan Idul Adha sekarang, yang terpenting kita yakin dan konsisten dengan keyakinan masing-masing. Sebab, ini masalah ijtihadiyyah, tiap-tiap versi pemikiran mempunyai dasar ijtihad sendiri. Wallahu A’alam Bisshowab