JURNAL ETIKA
Volume 6, November 2014: 13 - 30
13
METANOESIS PAHAM EKONOMI HOMO ECONOMICUS: SEBUAH REFLEKSI KRITIS MENGENAI PEMBALIKAN KEPADA KONSEP EKONOMI LIBERAL KLASIK* Alexander Seran Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta
[email protected]
Abstrak Paham liberal klasik mengenai homo economius dipengaruhi oleh pandangan moral manusia sebagai subjek yang bebas sederajat, seperti yang muncul pada pemikiran Adam Smith dan Immanuel Kant (1724-1804). Kekhasan paham ini adalah masih kentalnya watak ekonomi polis berlatar belakang civilisasi awal masyarakat borjuis Eropa. Namun, kondisi masyarakat modern mengindahkan konteks manusia dalam lingkungan sosial dan alam secara memadai sebagai sebuah proses metaonesis dari antroposentris ke kosmosentris. Itulah salah satu refleksi filsafat sebagai metanoesis, di mana memahami kenyataan dan melihat mata baru terhadap kehidupan dengan pendekatan fenomenologis. Kata kunci: metanoesis, homo economicus, ekonomi liberal
1. Pendahuluan Isu mengenai pemeliharaan dan peningkatan kualitas lingkungan hidup kembali diperbincangkan dalam ruang publik politik. Yang saya maksudkan ruang publik politik batas kemungkinan yang tercipta oleh budaya politik liberal yang memberi setiap kebebasan untuk berkumpul dan berpendapat mengenai apa yang penting untuk sebagai maslahat publik untuk mempengaruhi proses politik dalam penentuan kebijakan-kebijakan
*
Tulisan ini pernah disampaikan pada Konferensi HIDESI ke-XXIV, tanggal 15 - 16 Agustus 2014, dan telah disesuaikan untuk keperluan Jurnal Etika.
Metanoesis Paham Ekonomi Homo Economicus: Sebuah Refleksi Kritis Mengenai Pembalikan Kepada Konsep Ekonomi Liberal Klasik
14
JURNAL ETIKA
Volume 6, November 2014: 13 - 30
publik.1 Wacana dalam ruang publik politik mensyaratkan komunikasi dua arah intra jaringan-jaringan sosial masyarakat warga Negara maupun antar masyarakat dengan para pemangku kewenangan publik yang dalam merumuskan kebijakan publik harus berdasarkan opini yang terbentuk sebagai kehendak masyarakat. Kondisi ruang publik politik ini dinamai sebagai proses demokrasi deliberalif karena pengambilan keputusan yang mengikat secara hukum di akhir bermula dari keinginan yang terbentuk melalui pandangan berbagai kepentingan dalam masyarakat. Dari sekian banyak masalah yang menyangkut maslahat publik, kerusakan lingkungan hidup merupakan masalah yang seharusnya tidak mengecualikan siapa pun untuk terlibat memperjuangkan pemeliharaan dan peningkatan kualitas lingkungan hidup, termasuk mereka yang dengan sengaja atau tidak telah mengakibat kerusakan lingkungan hidup tersebut sebagai ancaman pemusnaan kehidupan yang juga tidak mengecualikan siapa pun. Kepedulian yang mendalam terhadap nasib lingkungan hidup tersebut di era 1970an-1980an diusung oleh para pencinta lingkungan hidup sebagai tema dan program utama pergerakan hijau. Perjuangan para pendukung pergerakan hijau tersebut mencapai titik klimaksnya dalam pemikiran mengenai “green authoritarianism” yakni, sebuah pemikiran tentang tindakan penyelamatan lingkungan hidup melalui system hukum otoritarian. Dasar pemikiran ini adalah penafian kebebasan demi kehidupan karena di era liberalisme modern sistem demokrasi tidak membuahkan penghargaan terhadap kehidupan. Sebaliknya, kebebasan, persamaan, pluralisme, dan efisiesi yang merupakan nilai-nilai demokrasi menjerumuskan alam semesta dan isinya dalam pemusnaan. Menurut para pencinta lingkungan hidup, demokrasi ekonomi dalam iklim liberalisme modern menyatakan egoisme antroposentrik yang hanya bisa diatasi melalui pengejawantahan sistem hukum yang bersumber pada pengakuan terhadap kekuasaan alam secara absolut (green leviathan).2 Dengan demikian hukumhukum ekonomi harus tunduk pada kehendak absolut dari kepentingan ekologi. 1
Konsep “politische Öffentlichkeit” diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi “political public sphere” atau “public sphere in the political realm” oleh Thomas Burger, “Translator’s Note” dalam J. Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society, translated by Thomas Burger with the assistance of Frederick Lawrence (Cambridge, Mass: MIT Press, 1989), hlm. xv. 2 The term anthroposcene connotes a time frame of human activities on a geological scale, but those who identify its challenges also trend to emphasize the need for quick and decisive action to forestall future impacts in the light of positive environmental feedback (with strongly negative consequences). Simon Niemeyer, “A Defense of (Deliberative) democracy in the Anthroposcene” dalam ” dalam Ethical Perspectives: A Quarterly Review, vol. 21.,Nr.1., March, 2014, hlm. 36.
Metanoesis Paham Ekonomi Homo Economicus: Sebuah Refleksi Kritis Mengenai Pembalikan Kepada Konsep Ekonomi Liberal Klasik
JURNAL ETIKA
Volume 6, November 2014: 13 - 30
15
Sudah dapat diramalkan bahwa gagasan mengenai green leviathan merupakan sebuah cita-cita mulia namun tidak realistis untuk diwujudkan. Para pejuang lingkungan hidup akhirnya harus menerima bahwa demokrasi merupakan jalan paling rasional untuk memperjuangkan pemeliharaan dan peningkatan kualitas lingkkungan hidup karena dalam demokrasi perbedaan pandangan mendapatkan lahan untuk berkembang sehingga perjuangan untuk mengutamakan ekologi dalam praksis ekonomi bisa tetap hidup dan terpelihara. Sebaliknya dalam sistem politik otoritarian, tidak ada lagi kegigihan untuk memperjuangkan kepentingan ekologi karena tidak ada perbedaan antara adanya ekologi dan tidak adanya ekologi seperti ikan tidak melihat air sebagai syarat bagi kehidupannya. Lebih jauh, green authoritarianism atau green leviathan merupakan cita-cita hukum yang secara prinsipil pemeliharaan dan peningkatan kualitas lingkungan hidup yang de facto adalah keberagaman hayati. Demokrasi merupakan sistem politik yang memungkinkan pemeliharan dan peningkatan kualitas lingkungan hidup tidak tanpa konflik justru karena dalam sistem demokrasi kebebasan dan persamaan menjadi syarat terbentuknya hubungan yang bersifat interdependensi dan bukan penyeragaman. However, while many authors are struggling with the relationship between democracy and environment, one should not overstate the conflict. Moreover, and looking at the literature, a real defence [defense] for a green autocratic regime seems to be almost nonexistent. Rather a plea for autocratic governance, green authoritarianism appears to be mostly a rhetorical device, a warning for the political consequences if environmental problems are not taken 3 seriously.
Pertanyaannya bagaimana demokrasi sebagai sistem politik dapat digunakan sebagai perintah moral untuk merumuskan sistem hukum yang mampu menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan lingkungan hidup? Dengan kata lain, bagaimana memperjuangkan sistem politik “demokrasi” liberal sebagai sebuah sistem kekuasaan yang melampaui sekaligus menyempurnakan klaim para pencinta alam bahwa pemeliharaan dan peningkatan kualitas lingkungan hidup harus didasarkan pada sebuah sistem hukum yang berlaku absolut sebagai perwujudan green authoritarianism atau green leviathan. Menurut cara pandang politik liberal, pemikiran mengenai green authoritarianism atau green leviathan tidak hanya tidak dapat direalisasikan tetapi juga menentang hakikat lingkungan hidup itu sendiri sebagai realitas keberagaman hayati yang mungkin dipertahankan keberlanjutannya melalui sebuah sistem politik “demokrasi” liberal. 3
Stjin Neuteleers and Bertrand Guillame, “Introduction: Tendencies Towards Environmental Autocracy and Technocracy” dalam Ethical Perspectives: A Quarterly Review, vol. 21.,Nr.1., March, 2014, hlm. 3.
Metanoesis Paham Ekonomi Homo Economicus: Sebuah Refleksi Kritis Mengenai Pembalikan Kepada Konsep Ekonomi Liberal Klasik
16
JURNAL ETIKA
Volume 6, November 2014: 13 - 30
Dengan menerima pemikiran tentang demokrasi sebagai sebuah sistem politik liberal, artikel ini akan membahas konteks historis lahirnya liberalisme dan perkembangannya dalam masyarakat burjuis Eropa dari Abad XIII M – Abad XX M dengan tujuan memperlihatkan bahwa paham homo economicus lahir dan berkembang sebagai buah dari peradaban liberal maka untuk mengoreksi sisi negatif dari paham homo economicus harus menggunakan paradigma hukum liberal. Sistem politik “demokrasi” liberal lahir dari perkawinan sosialisme dan kapitalisme dan bertumbuh menjadi Negara Kesejahteraan Sosial. Dalam Negara Kesejahteraan Sosial itu, politik ekonomi dapat direkonstruksi dari sistem ekonomi laissez-faire yang condong mencerabut ekonomi dari masyarakat kepada sistem ekonomi yang berorientasi sosial untuk memperkuat kehidupan civitas dalam kerja sama yang adil bagi cita-cita pemeliharaan dan peningkatan kualitas lingkungan hidup tanpa secara sadar dan bertanggung jawab.4 2. Liberalisme Liberalisme merupakan sebuah pandangan yang menekankan bahwa kebebasan dan persamaan hak adalah nilai politik yang utama. Negara dan agama diterima sebagai bagian dari pengakuan terhadap liberalisme akan tetapi pemasungan hak-hak individu oleh dan atas nama Negara atau agama ditolak. Civilisasi dalam masyarakat Eropa Abad XIII M mendorong pertumbuhan perdangangan antar masyarakat di bagian utara Italia dan berkembang meliputi bagian utara Eropa dalam Abad XVI M – XIX M. Dengan demikian, liberalisme awal dipengaruhi oleh dan berkembang bersama empat revolusi besar dalam peradaban manusia yakni, Revolusi Ilmu Pengetahuan (Abad XVII M), Revolusi Amerika dan Revolusi Prancis (Abad XVIII M), dan Revolusi Industri (Abad XIX M). Liberalisme awal atau liberalisme klasik sering juga disebut kapitalisme awal atau kapitalisme privat karena pandangan mengenai kebebasan dan persamaan dikaitkan dengan keluarga-keluarga kaum industrialis Eropa yang menguasai modal (capital) yakni, alat-alat produksi, hasil produksi, dan buruh. Keluarga-keluarga kaum industrialis tersebut menempati kelas sosial menengah atas sebagai kaum burjuis yang dibedakan dengan rakyat “pekerja” jelata dan pemerintah. Dengan penguasaan modal tersebut, ekonomi berada dalam ranah privat sebagai hak milik individu (keluarga) lepas dari campur tangan pemerintah/Negara yang mengurusi kepentingan publik melalui kebiajakan-kebijakan politik dan 4
C. Fred Alford, “Is Jürgen Habermas's Reconstructive Science Really Science?” dalam Theory and Society, Vol. 14, No. 3 (May, 1985), pp. 321-340. Published by: Springer. Stable URL: http://www.jstor.org/stable/657118. Accessed: 29/11/2010 21:41.
Metanoesis Paham Ekonomi Homo Economicus: Sebuah Refleksi Kritis Mengenai Pembalikan Kepada Konsep Ekonomi Liberal Klasik
JURNAL ETIKA
Volume 6, November 2014: 13 - 30
17
hukum. Keluarga-keluarga kaum industrialis memperjuangkan dan ingin mempertahankan ekonomi sebagai urusan privat tanpa campur tangan Negara/pemerintah.5 Penumpukan modal di tangan kapitalis mendorong perdangangan luar negeri yang dikendalikan oleh modal. Dengan demikian ukuran kesejahteraan ditentukan oleh besaran volume perdagangan yang didukung oleh modal sehingga melahirkan merkantilisme sebagai sistem ekonomi kapitalis awal yang mencapai puncaknya dalam Abad XVIII M. Provokasi pemikiran ekonomi sosial oleh Jean Charles Leonard Sismonde de Sismondi lahir sebagai reaksi untuk membangun prinsip politik ekonomi baru dengan tujuan mengatasi akibat negatif dari sistem ekonomi merakantilis-kapitalis yang selama 150 tahun tidak memberi hasil bagi kesejahteraan umum.6 Kendati demikian, kritik ekonomi Sismondi tidak mematahkan seluruh kecendrungan negatif kapitalisme hingga tampilnya Adam Smith (1723-1790) dengan teori ekonomi pasar bebas 3. Liberalisme Klasik dan Paham Homo Economicus Rasionalisme dan empirisme yang berkembang dalam Abad XVIII M menyusul Revolusi Ilmu Pengetahuan member pengaruh kuat pada refleksi moral tentang kegiatan metodologi ilmu pengetahuan, praksis politik, dan ekonomi. Kuatnya pengaruh empirisme dalam pemikiran Adam Smith dan Immanuel Kant (1724-1804) tidak bisa dilepaskan dari cara pandang mereka mengenai pentingnya imperative moral dalam praksis ilmu pengetahuan, politik, dan ekonomi. Paham liberalism klasik mengenai homo economicus dipengaruhi oleh pandangan moral tentang manusia sebagai subjek yang bebas dan sederajat. Kendati demikian, pandangan moral keduanya tidak berada pada aras pemikiran metafisika klasik mengenai moralitas. Kant menunjukkan imperatif moral yang mendasari praksis pada kehendak bebas manusia sebagai rasio universal. Menurutnya, pengalaman empiris sebagai titik tolak pengetahuan rasional menentukan tindakan manusia secara otonom. Oleh sebab itu memastikan pengalaman empiris sebagai pengetahuan menjadi dorongan untuk bertindak moral yakni, berlaku/bertindak menurut apa yang diketahui. Batas otonomi subjek adalah menuruti kehendaknya yang bebas sebagai kewajiban tanpa syarat.7 Kehendak bebas sebagai rasio universal bukan perasaan moral yang egoistik karena siapa pun sebagai makluk rasional dalam posisi yang sama akan 5
J. Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society, translated by Thomas Burger with the assistance of Frederick Lawrence (Cambridge, Mass: MIT Press, 1989), hlm. 14. 6 Mark A. Lutz, Economics for the Common Good: Two Centuries of Social Thought in the Humanistic Tradition (London and New York: Roudledge, 1999), Ch. 9, hlm. 192ff. 7 I. Kant. Prolegomena to Any Future of Metaphysics, translated with an introduction by Lewis White Beck (New York, Indianapolis: The Bobbs-Merryll Co.Inc., 1950).
Metanoesis Paham Ekonomi Homo Economicus: Sebuah Refleksi Kritis Mengenai Pembalikan Kepada Konsep Ekonomi Liberal Klasik
18
JURNAL ETIKA
Volume 6, November 2014: 13 - 30
bertindak serupa maka kehendak bebas itu secara nyata berlaku objektif. Dengan kesadaran ini, praksis politik dan ekonomi dikendalikan oleh kehendak bebas atau rasio universal yaitu, merealisasikan otonomi subjek dengan sendirinya menghormati atau respek terhadap hak-hak orang lain sebagai individu dan pribadi. Dengan kata lain, homo economicus, dalam perspektif etika Kantian adalah makluk yang bertindak otonom menurut kewajiban rasio universal. Smith yang juga hidup dalam abad yang sama dipengaruhi oleh rasionalisme dan empirisme dalam pandangan ekonominya. Dalam bukunya, The Theory of Moral Sentiments (1759), Smith hak dan kebebasan alamiah sebagai hukum moral yang melandasi praksis ekonomi. Hak dan kebebasan alamiah adalah kodrat manusia maka tindakan ekonomi akan melahirkan kesejahteraan bagi pelakunya apabila usahanya itu dimaksudkan untuk merealisasikan kepentingan dirinya sendiri (self-interest). Perasaan moral terhadap orang lain (simpati) tidak meniadakan keputusan kita bertindak untuk merealisasikan kepentingan diri sendiri. Apabila seseorang merasakan situasi moral orang lain, apa yang diambil terhadap situasi itu tidak bisa dilepaskan dari tindakan yang bermotif mewujudkan kepentingan diri sendiri. Oleh sebab itu praksis ekonomi harus bertolak dari kodrat alamiah manusia yakni, mewujudkan hak dan kebebasan kodrat. Untuk itu, syarat-syarat untuk bertindak sesuai hak dan kebebasan kodrat itu hubungan pertukaran harus berlangsung spontan menurut kebutuhan para pihak. Hubungan ekonomi itu adalah pasar yang secara internal dikendalikan oleh hukum permintaan dan persediaan. Apabila harga-harga naik berarti barang kebutuhan di pasar menjadi langka maka pelaku pasar bersaing untuk melakukan investasi yang menguntungkan. Pasar adalah dinamika alamiah dari persiangan bebas yang menentukan ekuilibriumnya sendiri tanpa harus dikendalikan oleh keuasaan dari luar mekanisme pasar. Konsep homo economicus dalam perspektif teori pasar bebas adalah makluk yang bertindak adil untuk mewujudkan kepentingan dirinya sendiri. Simpati mempertegas perilakunya untuk merealisasikan hak dan kebebasan alamiahnya tanpa mengendalikan dan menguasai (non intervention) atau menyakiti orang lain (the harm principle). Seluruh proses yang menentukan perilaku manusia hukum pertukaran dalam pasar yang mekanismenya lahir dalam hubungan itu melalui harga yang disepakati dalam transaksi jual beli. Karena mekanisme pasar berlangsung di luar kendali siapa pun maka mempertegas sebuah kenyataan yang oleh Smith disebut tangan gaib (invisible hand). Keyakinan moral ini menjadi dasar argumen Smith dalam bukunya An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (1776) yang menegaskan bahwa kegagalan perilaku ekonomi dalam merkantilisme dan ekonomi sosial terletak pada monopoli kapitalis dan intervensi pemerintah dalam pasar. Kesejahteraan ekonomi dalam logika
Metanoesis Paham Ekonomi Homo Economicus: Sebuah Refleksi Kritis Mengenai Pembalikan Kepada Konsep Ekonomi Liberal Klasik
JURNAL ETIKA
Volume 6, November 2014: 13 - 30
19
The Wealth of Nations adalah kemakmuran individu yang diperoleh dari pasar menyumbang kemakmuran nasional sebagai total welfare yang dapat dirata-ratakan perkapita sebagai indicator pertumbuhan. Imperatif moral untuk kegiatan ekonomi membiarkan mekanisme pasar berlangsung bebas dari intervensi sehingga tidak ada kekerasan berupa monopoli, korupsi, kolusi, dan nepotisme supaya harga-harga menjadi adil sesuai hukum pasar, dan pembagian kerja serta spesialisasi terdorong untuk bertumbuh. Paham homo economicus pada pemikiran moral Kant dan Smith masih kuat dipengaruhi oleh liberalisme klasik yang berkembang dalam ikatan politik civitas sehingga terlihat di situ masih kental watak ekonomi polis yang melatarbelakangi civilisasi awal masyarakat borjuis Eropa. Kendati maslah lingkungan hidup belum menjadi isu ekonomi akan tetapi penempatan ekonomi sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan civitas merangkul pertimbangan mengenai kepedulian lingkungan sosial sebagai bagian dari masalah lingkungan hidup. In an eloquently written paper, Albert Hirschman examined the changing cultural attitudes toward the market during the last two centuries in the West. Before the French revolution, it was commonly believed that commerce was a civilizing and moralizing agent; by polishing and softening human interaction, people become more 8 gentle and cordial.
Pasar dan perdagangan membuat manusia terjalin dengan sesama dalam lingkungan sosial dan dapat diperluas terhadap keterjalinan dengan lingkungan hidup. Menurut Hirschman, perdagangan (commerce) menjelaskan hubungan saling menguntungkan terutama dalam persaingan itu orang menyadari bahwa syarat untuk melakukan pertukaran adalah menghargai yang lain maka sikap sombong dan mau menang sendiri tidak akan bertahan dalam hubungan ekonomi. Perkembangan konsep homo economicus dalam Abad XIX M merupakan lanjutan dari pemikiran Abad XVIII M. A. Comte (1798-1857) mengembangkan pandangan empiris dalam positivisme bahwa apa yang benar sebagai pengetahuan hanyalah apa yang benar-benar terjadi (fakta). Pengaruh positivisme dalam sosiologi dan ekonomi begitu kuat sehingga gejala-gejala sosial dan ekonomi diterangkan menurut cara kerja ilmu alam. Dengan menafaatkan hasil-hasil Revolusi Industri, sosiologi dan ekonomi didorong menjadi ilmu pengetahuan positif maka moralitas yang mendasari setiap gejala sosial dan ekonomi dikesampingkan dalam analisa-analisa sosial. Dalam masa yang sama, J. Stuart Mill (1806-1873) mengembangkan utilitarisme sebagai ilmu ekonomi yang menekankan bahwa setiap tindakan 8
Mark A. Lutz. Op. Cit., hlm. 193.
Metanoesis Paham Ekonomi Homo Economicus: Sebuah Refleksi Kritis Mengenai Pembalikan Kepada Konsep Ekonomi Liberal Klasik
20
JURNAL ETIKA
Volume 6, November 2014: 13 - 30
dapat bernilai apabila mendatangkan manfaat atau kegunaan bagi pelakunya. Mill tidak membicarakan nilai dalam arti moral melainkan dalam arti logis dan ekonomis. Kendati demikian, bisa dilihat “insight” moral dalam pemikiran ekonomi utilitarian tersebut terutama karya-karya Mill yang akhir.9 Dengan itu kelihatan bahwa Mill melanjutkan pemikiran utilitarisme yang tidak bisa dilepaskan dari pertimbangan moral sebagaimana yang dilakukan oleh gurunya, J. Bentham bahwa keadilan merupakan imperatif moral yang mendasari pemahaman mengenai dalil “the greatest good for the greatest number” tidak sekedar maksimasi manfaat dari tindakan melainkan juga pertimbangan keadilan sosial dari sebuah tindakan.10 Baik dalam utilitarisme aturan maupun utilitarisme tindakan pertimbangan keadilan harus menjadi landasan moral untuk sebuah tindakan yang bernilai.11 4. Liberalisme Modern: Penguatan Kapitalisme dan Reaksi Terhadapnya Penguatan kapitalisme melalui positivisme dan utilitarisme secara metodologis menimbulkan reaksi politik yakni, gerakan sosialisme. Kemelaratan buruh di awal Abad XIX M menandai peralihan dari liberalisme klasik ke liberalisme modern yang oleh Karl Polanyi (18861964) disebut sebagai pencerabutan ekonomi dari masyarakat oleh kapitalisme (disembedded economy). Menurut Polanyi, kapitalisme memiliki sisi positif yang harus diselamatkan untuk mengejar kesejahteraan sosial. Oleh sebab itu, ia mengusulkan double movement dalam sistem politik agar keseimbangan ekonomi dan masyarakat dapat tetap terjaga. Sosialisme yang lahir dalam kapitalisme lanjut ini adalah perlawan total terhadap kapitalisme sebagai sistem ekonomi para pengusaha dan kapitalisme sebagai politik hukum Negara. Pemikiran Karl Marx (1818–1883) melahirkan sosialisme sebagai gerakan politik yang bergerak membentuk organisasi-organisasi buruh untuk memperjuangkan keadilan dalam sistem ekonomi yang dikuasai para pengusaha dan organisasi-organisasi buruh militan untuk memperjuangkan komunisme mengantikan sistem politik lama yakni, Negara hukum yang distir oleh kepentingan ekonomi menjadi Negara yang intinya kaum pekerja atau masyarakat tanpa kelas. Persaingan sosialisme dan kapitalisme melahirkan Negara Kesejahteraan Sosial menurut konsep politik “demokrasi” liberal. Hasil perpaduan sosialisme dan kapitalisme dalam 9
Geoffrey Scarre, Utilitarianism (London and New York: Routledge, 1996), Ch. V., hlm. 82ff. 10 Ibid., hlm. 101. 11 Tom L. Beauchamp, Philosophical Ethics: An Introduction to Moral Philosophy (McGraw-Hill, Inc,. 1982), hlm. 92-93.
Metanoesis Paham Ekonomi Homo Economicus: Sebuah Refleksi Kritis Mengenai Pembalikan Kepada Konsep Ekonomi Liberal Klasik
JURNAL ETIKA
Volume 6, November 2014: 13 - 30
21
wujud Negara Kesejahteraan Sosial tetap menimbulkan masalah yakni, tampilnya Negara sebagai regulator sekaligus adalah pelaku ekonomi. Situasi ini melahirkan wujud Negara yang masih jauh dari tuntutan sosialisme dan komunisme sebaliknya kapitalisme dengan mudah menyesuaikan iklim politik “demokrasi” liberal dalam membangun kekuatan yang nyata berhadapan dengan Negara sebagai pelaku ekonomi (state-governed capitalism). Gerakan Marxisme, khususnya neo-Marxisme dalam mazhab Frankfurt, lahir sebagai kritikus paling ulung terhadap Negara sebagai wujud baru pelaku ekonomi kapitalis. Sementara itu secara metodologis, Lingkaran Wina, memaklumatkan manifesto politiknya dalam Abad XX M sebagai gerakan positivism (empirisme) logis. Tujuan gerakan ini adalah melampaui pertentangan metodologi ilmu pengetahuan dengan demikian menghasilkan sebuah bahasa umum yang berlaku sama (unified science) dalam praksis ilmu pengetahuan dan dapat dimanfaatkan untuk mendorong ekonomi dan politik mencapai kematangannya ilmiah yakni, klaim politik dan ekonomi didasarkan kebenaran yang dapat diverifikasi secara faktual. Dengan itu klaim metafisika yang dijadikan alasan moral untuk bertindak benar ditolak sebagai pernyataan-pernyataan yang bersifat meaningless dan nonsense. 5. Homo Economicus dalam Paham Neo-Liberalisme dan NeoKonservatisme Neo-liberalisme adalah pandangan tentang politik ekonomi yang intinya menolak campur tangan pemerintah dalam sistem perekonomian nasional dengan alasan bahwa intervensi pemerintah dalam perekonomian akan mengakibatkan kelesuan ekonomi karena menghambat persaingan bebas. Dalam buku Neoliberal Ideology: History, Concepts, and Policies (2008), Rachel S. Turner mengulas asal-usul neo-liberalisme sebagai kebangkitan kembali liberalisme dalam wajah baru yang lebih radikal dan agresif melampaui pemahaman liberalisme klasik. Negara dan pemimpin Negara seperti Inggris, Amerika Serikat, dan Jerman (Barat) memiliki keyakinan kuat, bahwa neo-liberalisme adalah politik ekonomi yang mampu menciptakan kesejahteraan umat manusia berdasarkan kehendak bebas individu, dan bukan pengaturan yang dilakukan oleh Negara secara berlebihan. Turner mengemukakan bahwa ada empat prinsip neo-liberalisme yakni:12 Pertama, keyakinan neo-liberalisme bahwa pasar dapat mengatur dirinya sendiri. 12
Rachel S. Turner, Neo-liberal Ideology: History, Concepts, and Policies, Edinburg University Press Ltd., 2008, hlm. 4-5.
Metanoesis Paham Ekonomi Homo Economicus: Sebuah Refleksi Kritis Mengenai Pembalikan Kepada Konsep Ekonomi Liberal Klasik
22
JURNAL ETIKA
Volume 6, November 2014: 13 - 30
Using the individualistic methodology of classical economics, neoliberals maintain that unfettered markets produce a natural order in society from the voluntary exchange of goods and services, promoting productive efficiency, social prosperity and freedom. This system coordinates the plans of decentralised agents more expeditiously than central government by accommodating uncertainty, continuous change and scattered knowledge.While the existence of market failure is acknowledged by neoliberals, the existence of government failure, 13 they claim, is even more pronounced.
Kedua, keyakinan neo-liberalisme akan Negara dan pemerintah sebagai sebuah sistem hukum (rule of law) dan bukan sistem kekuasaan. Drawing on a Kantian view of freedom, law and reason, the Rechtsstaat is an instrument of law for the regulation of conflicting relations among autonomous individuals in a market society. The function of this state is to secure social cohesion and stability through 14 the preservation of individual liberties.
Ketiga, keyakinan neo-liberalisme bahwa kesejahteraan manusia sebagai warga Negara dapat diciptakan melalui upaya meminimalkan intervensi Negara. Neoliberals advocate that the liberal state should be strong but minimal: it should embody political authority but at the same time be constitutionally limited. Its roles and responsibilities should be determined by the public interest. Neo-liberalism has modified the principles of pure laissez-faire so as to afford the state the primary responsibilities of securing law and order, providing public goods and 15 reserving the constitutional rules that safeguard the market order.
Keempat, keyakinan neo-liberalisme akan hak milik pribadi versus sistem ekonomi sosial yang dinilainya menegasi prinsip fundamental dari hakikat manusia sebagai individu. The concept goes to the heart of the public–private divide and, consequently, of liberalism itself, by conceptually delineating a sphere of private ownership and autonomy that no state institution may legitimately invade. As the Austrian economist Ludwig von Mises has commented: ‘The Programme of Liberalism, if condensed into a single word, would have to read: property, that is, private ownership of the means of production. All the other demands of liberalism result from 16 this fundamental demand.
13
Ibid. Ibid. 15 Ibid. 16 Ibid. 14
Metanoesis Paham Ekonomi Homo Economicus: Sebuah Refleksi Kritis Mengenai Pembalikan Kepada Konsep Ekonomi Liberal Klasik
JURNAL ETIKA
Volume 6, November 2014: 13 - 30
23
Para akademisi yang mengembangkan gagasan neo-liberalisme di awal Abad XX adalah F.A. Hayek dan Ludwig von Mises (Mazhab Austria); Lionel Robbins (the London School of Economics, LSE); Walter Eucken, Alexander Rüstow dan Franz Böhm (Mazhab Freiburg); Wilhelm Röpke dan Alfred Muller-Armack(Mazhab ordo liberal Jerman); Milton Friedman dan Alan Walters (Mazhab monetaris); serta James Buchanan dan Gordon Tullock (the Virginia school of public choice theory). Para tokoh di atas tidak menerima julukan sebagai neoliberalis dan menyebut diri mereka sebagai kaum liberal. Sedangkan para pendukung neo-liberalisme Amerika Serikat lebih sering disebut neokonservatif atau kaum libertarian meskipun neokonservatisme dan libertarianisme tidak bisa disamakan begitu saja.17 Turner melihat dalam buku F.A. Hayek, The Road to Serfdom kritik neo-liberal terhadap pandangan ekonomi sosial bahwa pandangan tersebut hanya akan menyuburkan kediktatoran dan totalitarisme. Menurut Turner, kesimpulan Hayek dalam bukunya itu diinspirasi oleh pemikiran Alexis de Torquevile dalam buku The Road to Servitude. Oleh sebab itu, perlawanan terhadap teori ekonomi sosial adalah upaya mempertahankan budaya politik liberal.18 Pemikiran neo-liberalisme mengenai mekanisme pasar bebas terlatk pada konsep mengenai ekuilibrium adalah dinamika natural yang terjadi dalam permintaan dan penawaran maka harga merupakan indikator utama dari kesejahteraan ekonomi maka dihindari campur tangan terhadap mekanisme pasar agar stabilitas ekonomi tidak terganggu secara politik. Dalam bukunya, Capitalism and Freedom (1982), Milton Friedman berbicara tentang kenyataan bahwa selamanya campur tangan negara atau pemerintah dalam pasar menimbulkan kekacauan. Bagi Friedman kebebasan ekonomi menentukan politik, bukan sebaliknya. Praksis ekonomi harus diarahkan pada keuntungan yang dapat diperoleh melalui pasar. Oleh sebab itu, tanggung jawab perusahaan adalah menciptakan keuntungan, bukan bermain politik, atau melaksanakan fungsi sosial di luar tujuan ekonomi. In a free-enterprise, private-property system, a corporate executive is an employee of the owners of the business. He has direct responsibility to his employers. That responsibility is to conduct the business in accordance with their desires, which generally will be to make as much money as possible while conforming to the basic rules of the society, both those embodied in law and those embodied in 19 ethical custom.
17
Ibid., hlm. 6-7. Ibid., hlm. 47. 19 http://www.colorado.edu/studentgroups/libertarians/issues/friedman-soc-respbusiness.html 18
Metanoesis Paham Ekonomi Homo Economicus: Sebuah Refleksi Kritis Mengenai Pembalikan Kepada Konsep Ekonomi Liberal Klasik
24
JURNAL ETIKA
Volume 6, November 2014: 13 - 30
Pandangan neo-liberalis mengkondisikan masyarakat sebagai pasar terbuka dan bebas maka batas-batas tradisional mengenai Negara dilampaui sebab praksis ekonomi bebas dari pembatasan kekuasaan politik. Pelaku pasar adalah makluk ekonomi yang tujuannya SATU mencari KEUNTUNGAN. Prinsip ekonomi neo-liberalis adalah maksimasi keuntungan memperkokoh persaingan ekonomi yang tidak selalu konstruktif terhadap cita-cita dasar kebebasan dan persamaan yang dijadikan titik tolak pemikiran neo-liberalisme. Banyak kasus pelanggaran hak-hak asasi manusia terutama pekerja wanita dan anak-anak di bawah umur serta kerusakan lingkungan hidup secara sistematik dan massif. 6. Paradoks Liberalisme dan Rekonstruksi Sitem Politik Demokrasi Liberal Teori rekonstruksi menampilkan jalan tengah mengenai pendekatan ilmiah yang tidak jatuh pada ekstrim atau ekstrim kanan. Isme-isme politik dan ekonomi yang ekstrim menghilangkan keutamaan yang disyaratkan oleh praksis politik dan ekonomi harus merefleksikan kebebasan dan persamaan yang atas satu atau lain cara selalu dijadikan landasan pemikiran politik atau ekonomi. Teori rekonstruksi menaruh perhatian pada dialektika kesadaran manusia yang berkembang secara sintetik kearah yang lebih baik dan komprehensif. Oleh sebab itu, paradoks dan konflik dalam pemikiran dipandang sah sebagai titik tolak untuk melakukan pembaruan dan pelampauan dari cara pandang lama, parsial, dan negatif menjadi cara pandang yang komprehensif dan konstitutif. Pemikiran mengenai kebebasan (moral) dan kekuasaan (hukum), liberalisme dan sosialisme, pasar bebas dan peran politik Negara, dll., lahir dari ibu kandung yang sama, modernisme. Menurut para pemikir kontrak sosial, modernisme merupakan realitas yang bersifat paradoks. Thomas Hobbes membicarakan kodrat manusia modern adalah kebebasan dan persamaan namun keduanya pula menciptakan pembatasan dan perbedaan yang menimbulkan persaingan untuk menang secara egoistik pada taraf kehidupan alamiah. Pada taraf kehidupan masyarakat, kebebasan dan persamaan tidak lagi dipahami secara egoistik melainkan secara kolektif melalui civitas yakni, kehidupan bersama dalam Negara sebagai sebuah sistem kekuasaan hukum.20 Dalam Treatise of Civil Government, John Locke membicarakan kebebasan itu sebagai kenyataan budaya. Pengalaman mengenai kebebasan dihayati dalam kehidupan bersama maka kebebasan itu menjadi persetujuan untuk hidup bersama. Persetujuan menciptakan
20
Thomas Hobbes, Leviathan, introduced by Kenneth Minogue (London: Everyman Library, 1994), hlm. 69ff.
Metanoesis Paham Ekonomi Homo Economicus: Sebuah Refleksi Kritis Mengenai Pembalikan Kepada Konsep Ekonomi Liberal Klasik
JURNAL ETIKA
Volume 6, November 2014: 13 - 30
25
aturan/pembatasan.21 Oleh sebab itu, dalam bukunya, Social Contract, J.J. Rousseau, secara eksplisit mengungkapkan bahwa kebebasan manusia adalah sebuah paradoks yakni, manusia lahir bebas namun di mana-mana ia berada dalam sebuah ikatan. Jadi kebebasan manusia hanya dapat dipahami dalam sebuah tatanan hukum atau norma-norma masyarakat, civitas.22 Kerusakan lingkungan hidup sekarang ini membuktikan paradoks modernisme bahwa manusia sosial tidak jarang mengejar kepentingan dirinya sendiri dengan melakukan perusakan terhadap lingkungan sosial dan alam. Perintah moral mengenai kebebasan dan respek terhadap kepentingan orang lain tidak jarang ditemukan tidak diindahkan dalam kehidupan seharihari. Tali temali kerakusan ekonomi dan kehausan politik tidak jarang terjadi di sekitar sebagai refleksi dari irasionalitas manusia modern mengejar napsu berkuasa dengan tidak ragu-ragu mengorbankan hak asasi orang lain dan kemerosotan lingkungan hidup. Kerusakan lingkungan hidup dengan segala implikasinya bagi keselamatan hidup semua makluk dipertaruhkan oleh penguasa yang mengejar popularitas pertumbuhan ekonomi dengan tega merelakan eksploitasi hutan, tanah, dan air. Reaksi terhadap realitas ini beragam. Jurnal Ethical Perspectives: A Quarterly Review, Vol. 21., No. 1., March, 2014 berisi pandangan-pandangan yang disajikan berdasarkan penelitian para ahli yang pada hakikatnya menekankan pentingnya imperatif moral sebagai landasan untuk perilaku ekonomi dan politik. Semua artikel jurnal dalam jurnal edisi ini menekankan rekonstruksi teori etika untuk menghasilkan pedoman perilaku ekonomi dan politik yang memadai. Dengan kata lain, perubahan sikap terhadap kerusakan ekologi dan praksis ekonomi yang melatarbelakanginya tidak hanya dituntut bagi pelaku ekonomi dan politik melainkan juga pada tataran teori. Sebuah teori etika mengenai imperatif moral harus merefleksikan kepentingan nalar dan praksis. Sebuah imperatif moral yang secara a priori menuntut kewajiban secara logis tanpa memperhatikan konten sosial yang merupakan realitas sosial yang nyata hanya akan menjadi seruan moral yang tak terjamah dalam praksis. Sebaliknya imperatif moral yang diturunkan derajatnya menjadi semata-mata kehendak nyata dari penguasa/masyarakat akan kehilangan kekuatan normatifnya dalam mencegah akibat negatif yang lebih parah dari kerusakan lingkungan hidup di masa depan. Dengan kata lain, imperatif moral tidak sama dengan ketentuan-ketentuan dalam praksis ekonomi dan politik. Sebaliknya, imperatif moral rekonstruktif harus tetapi 21
F. Coplestone, “John Locke” dalam A History of Philosophy: vol. 5, Modern Philosophy, The British Philosophers from Hobbes to Hume (Image Books, 1994), hlm: 132. 22 F. Coplestone, “J.J. Rousseau” dalam A History of Philosophy: vol. 6, Modern Philosophy, From The French Enlightenment to Kant (Image Books, 1994), hlm: 80.
Metanoesis Paham Ekonomi Homo Economicus: Sebuah Refleksi Kritis Mengenai Pembalikan Kepada Konsep Ekonomi Liberal Klasik
26
JURNAL ETIKA
Volume 6, November 2014: 13 - 30
menempati posisinya sebagai perintah akal budi agar manusia bertindak secara bertanggun jawab dalam urusan politik dan ekonomi. Berikut ini adalah model-model teori etika rekonstruktif bagi tindakan ekonomi dan politik yang menghargai kebebasan dan respek terhadap keselamatan lingkungan hidup. Tabel 1: Perbandingan Hasil Penelitian dalam Ethical Perspectives: A Quarterly Review, vol. 21., No. 1., March, 2014 No
Judul
Nama Jurnal
Penulis
1.
A Defense of (Deliberative) democracy in the Anthroposcene
2.
Ends, Means, Beginning Environmental Technocracy, Ecological Deliberation or Embodied Disagreement?
Ethical Perspectives: A Quarterly Review, vol. 21.,No.1., March, 2014, hal. 15-46 Ibid., hlm. 47-72
3.
Climate Change, Neutrality and the Harm Principle
Ibid., hlm. 73-100
Agustine Fragniere
4.
Nature Restoration: Avoiding Technological Fixes, Dealing with Moral Conflicts
Ibid., hlm. 101-132
Glenn Deliege and Martin Drenthen
Keterangan
Simon Niemeyer
Amanda Machin and Graham Smith
Dalam urainnya pada artikel berjudul “A Defense of (Deliberative) democracy in the Anthropocene”, Simon Niemeyer menegaskan bahwa upaya memelihara dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup memerlukan sebuah sistem demokrasi yang melibatkan masyarakat dan pemerintah secara seimbang. Apabila, sistem demokrasi dirumuskan hanya menurut tuntutan para pemerhati masalah lingkungan maka hal itu tidak akan membuahkan hasil. Sebaliknya, kebijakan dan program pemerintah saja tanpa dukungan masyarakat maka sulit untuk membayangkan sebuah perubahan dapat terjadi mengenai pemeliharaan dan peningkatan kualitas lingkungan hidup. Niemeyer meyakini demokrasi sebagai sebuah sistem politik yang bersifat deliberatif sehingga harus ada ruang publik politik untuk wacana dan pembentukan opini bagi pembentukan kebijakan dan program pemeliharaan dan peningkatan kualitas lingkungan hidup menurut prinsip-prinsip tata kelola yang baik. Dalam perspektif ini, peran manusia bukan dikesampingkan melainkan menjadi fokus kegiatan ekonomi yang atas satu atau lain cara Metanoesis Paham Ekonomi Homo Economicus: Sebuah Refleksi Kritis Mengenai Pembalikan Kepada Konsep Ekonomi Liberal Klasik
JURNAL ETIKA
Volume 6, November 2014: 13 - 30
27
berdampak pada lingkungan hidup. Tantangan terhadap hubungan ekonomi dan ekologi terletak pada pemahaman tentang manusia sebagai makluk rasional dan berkehendak bebas. Justru di sini demokrasi menjadi penting untuk memuliakan martabat manusia yang dalam aktivitas ekonominya harus merespon masalah-masalah lingkungan sejauh manusia diposisikan sebagai subjek yang mampu berbicara dan bertindak rasional. Despite the concerns of eco-authoritarianism, in theory, a democracy is supposed to produce better environmental outcomes than its alternatives—it also tentatively appears to be the case in practice. (Ward 2008). Burnell (2012) argues that democracy has the advantage of being capable of being inclusive of a wide range of values in decision making process that also lend themselves to 23 improving environmental values.
Khususnya pemikiran Niemeyer mengenai demokrasi deliberatif diyakini dapat menjadi sarana potensial untuk melakukan transformasi pemikiran dari kegiatan ekonomi yang dilepaskan hubungannya dengan ekologi menjadi aktivitas manusia sebagai bagian dari lingkungan hidup yang harus disokongnya melalui tindakannya secara rasional. Kendati demokrasi deliberatif tidak mudah, pemikiran ini menawarkan jalan keluar yang patut diusahakan. Amanda Machin and Graham Smith, dalam artikel mereka yang berjudul “Ends, Means, Beginning Environmental Technocracy, Ecological Deliberation or Embodied Disagreement?” mengeritik gerakan hijau yang menekankan hanya “green authoritarianism” sebagai tujuan tetapi mengabaikan peran teknologi dan proses demokrasi dalam masyarakat sebagai dua aspek yang saling melengkapi untuk mewujudkan cita-cita pemeliharaan dan peningkatan kualitas lingkungan hidup. Teknologi dan proses demokrasi dalam ruang publik politik menentukan pilihan-pilihan yang memungkinkan perwujudan tujuan masyarakat menyelamatakan lingkungan hidup. Hal ini tidak berarti bahwa teknologi diaminkan begitu saja dalam penggunaannya sebaliknya proses demokrasi tidak semata-mata untuk menyamakan persepsi. Pilihan teknologi dan perbedaan cara pandang merupakan buah demokrasi yang bisa mencegah sikap gegabah dalam pilihan teknologi dan kesewenangan memaksakan kehendak. The more environmental decisions are placed in the hands of experts, whether entirely or partially, explicitly or covertly, the less opening there is for important warnings to be heard and valid alternatives to 24 be seen.
23 24
Ibid., hlm. 24. Ibid., hlm. 52.
Metanoesis Paham Ekonomi Homo Economicus: Sebuah Refleksi Kritis Mengenai Pembalikan Kepada Konsep Ekonomi Liberal Klasik
28
JURNAL ETIKA
Volume 6, November 2014: 13 - 30
Agustine Fragniere, dalam artikelnya yang berjudul “Climate Change, Neutrality and the Harm Principle” menegaskan bahwa prinsip tak melakukan kekerasan “harm principle” tidak secara naïf dimengerti oleh pemerintah dengan tiak melakukan tindakan apa pun. Pemerintah justru melakukan kekerasan hanya dengan bersikap netral terhadap keadaan karena akan dianggap sebagai apatisme dan pelepasan tanggung jawab dalam penyelenggaraan kepentingan umum. Sebaliknya juga penangangan masalah perubahan iklim tidak boleh ditangani secara serampangan dengan mengandalkan pendekatan kekuasaan karena masalah perubahan iklim menyangkut pola hidup yang memerlukan penanganan secara baik melalui mengubah pola hidup. Glenn Deliege dan Martin Drenthen, dalam artikel yang berjudul “Nature Restoration: Avoiding Technological Fixes, Dealing with Moral Conflicts.” Persoalan masyarakat adat dalam lingkungan konservasi sering menimbulkan konflik. Pendekatan teknokratis untuk menyelamatkan lingkungan hidup dalam kaitan dengan masyarakat adat mengharus pendekatan fenomenologis, khususnya pemanfaata hermenutika untuk memahami dan menjelaskan pola hidup masyarakat adat dan memanfaatkan folklore yang hidup sebagai narasi untuk membangkitkan kesadaran mengenai pemeliharaan lingkungan hidup. Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi yang sedang berkembang, seperti negara-negara tetangganya di Asia Tenggara (ASEAN), menunjukkan bahwa proses demokratisasi bertumbuh bersama dan disokong oleh pertumbuhan ekonomi yang sejak tahun 1970an-1980an memanfaatkan eksploitasi sumber daya alam mereka secara besar-besaran. Biaya pembangunan kita sejak itu mengandalkan minyak mentah dan hutan sehingga secara masif mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Peningkatan total pendapatan nasional perkapita menunjukkan kemakmuran secara nasional naik akan tetapi kesejahteraan penduduk secara riil tidak berbanding lurus. Angka pendapatan per kapita secara nasional hanya menjadi sebuah perhitungan kemakmuran nasional secara rata-rata bukan kemakmuran per kapita secara riil. Tetesan kemakmuran itu ke bawah menjadi persoalan keadilan yang pelik untuk diatasi karena kendala dalam sistem birokrasi yang korup dan perilaku pelaku bisnis yang kurang member perhatian pada upah buruh. Semua artikel dalam jurnal di atas menegaskan bahwa pendekatan hukum otoritarian atas nama pandangan “green authoritarianism” atau “green leviathan” sama buruknya dengan pemikiran hukum totalitarian dalam sosialisme dan neo-liberalisme sebagai pemaksaan kehendak. Maka terlepas dari keterbatasan metode, rekonstruksi atas sisi-sisi positif dari berbagai pandangan ekonomi dan politik dapat memastikan kesepakatan rasional sebagai imperatif moral yang lebih sesuai dengan kondisi masyarakat modern yang pluralis untuk memastikan pemeliharaan
Metanoesis Paham Ekonomi Homo Economicus: Sebuah Refleksi Kritis Mengenai Pembalikan Kepada Konsep Ekonomi Liberal Klasik
JURNAL ETIKA
Volume 6, November 2014: 13 - 30
29
lingkungan sebagai kenyataan biodiversity. Oleh sebab itu, “green politics” yang diwacanakan dewasa ini tidak lain adalah upaya demokrasi untuk memperdamaikan ekologi dan ekonomi dalam sebuah sistem politik “demokrasi” liberal yang substansinya adalah tanggung jawab dan keadilan bagi kehidupan bersama sekarang ini dan generasi yang akan datang. Pendekatan autokrasi dan teknokrasi atas lingkungan hidup adalah jalan pintas otoritarianisme yang mereduksi kebebasan menjadi hukum dan manusia menjadi robot. Hukum tanpa kebebasan adalah belenggu kekuasaan dan manusia tanpa pilihan bebas adalah mesin. Dengan kata lain peralihan dari sistem politik ekonomi neo-liberal kepada sistem politik ekonomi liberal adalah pembalikan kepada sistem politik “demokrasi” liberal yang akarnya adalah kebebasan dan respek antar sesama manusia dalam lingkungan sosial sebagai civitas dan manusia dengan lingkungan alam sebagai kesatuan ekologis. 7. Simpulan Sistem politik “demokrasi” liberatif merupakan kondisi yang memungkinkan perumusan perintah moral sesuai dengan kondisi masyarakat modern. Supaya teori etika memiliki kekuatan normatif sebagai pedoman perilaku politik dan ekonomi maka pembaharuan imperatif moral dalam teori etika mengindahkan konteks manusia modern dalam lingkungan sosial dan lingkungan alam secara memadai sebagai sebuah proses metanoisis. Pembalikan, pembaruan, dan pelampauan cara pandang lama yang antroposentris ke cara pandang baru yang kosmosentris merupakan hasil dari cara berpikir dan berperilaku yang didasari oleh pemahaman tentang filsafat sebagai metanoesis. Metanoesis adalah pendekatan fenomenologis mengenai dunia kehidupan sosial dan alamiah untuk memperoleh insight bagaimana memahami kenyataan dan melihat dengan mata baru bagaimana sikap dan perilaku yang memadai terhadap kehidupan.
Daftar Pustaka Alford, C. Fred, “Is Jürgen Habermas's Reconstructive Science Really Science?” dalam Theory and Society, Vol. 14, No. 3, May, (1985): 321-340. diakses 29/11/2010.
. Burger, Thomas. “Translator’s Note” dalam J. Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society, translated by Thomas Burger with the assistance of Frederick Lawrence. Cambridge, Massachusetts: MIT Press. 1989.
Metanoesis Paham Ekonomi Homo Economicus: Sebuah Refleksi Kritis Mengenai Pembalikan Kepada Konsep Ekonomi Liberal Klasik
30
JURNAL ETIKA
Volume 6, November 2014: 13 - 30
Beauchamp, Tom L. Philosophical Ethics: An Introduction to Moral Philosophy. New York: McGraw-Hill, Inc. 1982. Coplestone, Frederick. “John Locke” dalam A History of Philosophy: Vol. 5, Modern Philosophy, The British Philosophers from Hobbes to Hume. New York: Image Books. 1994. __________________ “J. J. Rousseau” dalam A History of Philosophy: Vol. 6, Modern Philosophy, From The French Enlightenment to Kant. New York: Image Books. 1994. Friedman, Milton. “The Social Responsibility of Business is to Increase its Profits“, dalam The New York Times Magazine, September 13, 1970. New York: The New York Times Company. 1970. Hobbes, Thomas. Leviathan, introduced by Kenneth Minogue. London: Everyman Library. 1994. Habermas, Jürgen. The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society, translated by Thomas Burger with the assistance of Frederick Lawrence. Cambridge, Massachusetts: MIT Press. 1989. Kant, Immanuel. Prolegomena to Any Future of Metaphysics, translated with an introduction by Lewis White Beck. New York, Indianapolis: The Bobbs-Merryll Co.Inc. 1950. Lutz, Mark A. Economics for the Common Good: Two Centuries of Social Thought in the Humanistic Tradition. London and New York: Roudledge. 1999 Niemeyer, Simon. “A Defense of (Deliberative) Democracy in the Anthroposcene” dalam ” dalam Ethical Perspectives: A Quarterly Review, Vol. 21, No. 1, March, (2014): 36. Neuteleers, Stjin; and Guillame, Bertrand. “Introduction: Tendencies Towards Environmental Autocracy and Technocracy” dalam Ethical Perspectives: A Quarterly Review, Vol. 21, No. 1, March, (2014): 3. Scarre, Geoffrey, Utilitarianism. London and New York: Routledge. 1996. Turner, Rachel S. Neo-liberal Ideology: History, Concepts, and Policies, Edinburg: Edinburg University Press Ltd. 2008.
Metanoesis Paham Ekonomi Homo Economicus: Sebuah Refleksi Kritis Mengenai Pembalikan Kepada Konsep Ekonomi Liberal Klasik