MESIN JAHIT IBU oleh : Windy Junita
Anak ini kuberi nama Bima, dengan harapan agar diturunkan sifat-sifat mulia dari seorang Bathara Guru dari kisah-kisah lama. Sabar dan bijaksana. Agar tak menurun dari sifat, tingkah dan lakon bapaknya atau juga aku, ibunya. Setiap kali orang lain memanggilnya Bima, maka itu adalah satu doa yang aku kirimkan kepada Sang Pencipta. Jadikanlah dia bijaksana seperti Bima. Bimaku memiliki mata segaris seperti bapaknya, seperti juga kebanyakan orang asli desa kami di dataran tinggi Dieng. Meski baru berusia 3 tahun, pipinya tampak tirus, tubuhnya kecil kurus. Kadang aku malu pada diriku sendiri, kenapa anak semata wayangku, Bimaku tak berpipi cabi dan bertubuh montok seperti bayi-bayi yang sering muncul di TVRI. Setiap kali pikiran-pikiran itu muncul, keinginanku untuk bekerja kembali penuh. Aku akan berangkat ke sawah lebih pagi dan bekerja lebih giat. Agar Bima bisa makan apapun yang dia sukai dan menjadi lebih gemuk dan sehat. Bagaimanapun Bima dalam kisah lama memiliki tubuh yang subur. Bima bukanlah anak biasa, dia istimewa. Setahun lalu, kutemukan keistimewaan lain pada kelindan tubuhnya. Ketika rambutnya mulai tumbuh lebat dan panjang, muncul jalinan mengikal yang tak bisa disisir. Aku berteriak tertahan, takut malah membuatnya terkejut. “Bapak.. bapak. Rambutnya Bima pak. Bima gimbal” Suamiku tahu-tahu sudah berdiri disampingku sambil memelototi rambut Bima. Wajahnya tampak cerah, bibirnya yang jarang tersenyum membentuk lengkungan ke atas dengan sempurna. Aku tertular senyumnya. Kami berpandangan sesaat sambil mengadu senyum. Dia bahagia karena Bima istimewa. Aku bahagia karena dia tersenyum. Bima masih terpaku pada gambar hitam putih di TV.
Di wilayah kami, ada suatu anomali tentang anak-anak istimewa. Pada anak-anak tertentu, akan tumbuh rambut gimbal di beberapa titik secara tibatiba, meski tak ada keturunan dari orang tua ataupun sebab tertentu. Karena tidak semua anak yang mengalaminya, maka kami percaya bahwa anak-anak berambut gimbal itu merupakan anak-anak terpilih. Dan suamiku senang karena Bima terpilih sehingga membuatnya menjadi istimewa, padahal dari dulu aku sudah sering bilang padanya bahwa anak kami memang istimewa. -Setahun berlalu, rambut gimbal Bima sudah memanjang. Tampak kusut dan kusam dengan beberapa telur kutu yang menempel putih. Dia sudah lama bisa memanggilku ibu meski masih memanggil bapaknya dengan kata “apak”. Pagi ini suamiku mendekatinya ketika sedang sibuk menggali tanah mencari cacing. Dia memanggilku ikut mendekat. “Gimbalnya minta apa?” Bima menoleh, tatapannya tampak bingung. Suamiku kembali mengulang pertanyaannya. Tiba-tiba Bima tersenyum sambil menjawab. “ikin aket” (bikin jaket) Aku memandang suamiku dengan takjub. Dia melihat ke arahku, meski tak bisa kutangkap apa maksud tatapannya. Bima dengan jelas menunjuk kepadaku sambil berujar demikian. Seketika tubuhku tertegun, Bima tak pernah sekalipun melihatku menjahit. Siang itu juga, suamiku pergi ke kota untuk membeli kain. Jaket Bima yang lama memang sudah kekecilan. Warna merah tua di sepanjang kerah baju memudar membuatnya berwarna merah muda kusam. Desa kami yang dingin membuat jaket adalah baju wajib yang harus dimiliki dan paling sering dipakai. Kuambil meteran di laci mesin jahit yang berdebu. Mesin peninggalan ibu ini tak pernah kugunakan semenjak aku menikah. Suamiku menyuruhku bekerja di sawah dan melarangku menjahit.
Kuukur panjang badan, lingkar dada dan pinggang Bima sambil menyuapinya makan. Dia merengek-rengek tanda tak menyukai makanan yang aku berikan. Tapi dia harus tetap makan, agar menjadi lebih gemuk dan montok. Setelah selesai mengukur, Bima kutidurkan agar lebih leluasa menggambar pola baju di selembar koran bekas. Kuraba-raba ilmu yang tersisa ketika masih perawan, ketika kesibukanku hanya sebatas membantu ibu memenuhi pesanan jahitan para tetangga. Lekuk dan panjang lengan, bentuk kerah baju dan ukuran saku. Jaket Bima nanti akan kubuat agak besar beberapa ukuran, agar bisa digunakan hingga beberapa tahun ke depan. Akan kubelikan resleting paling bagus dan kuat yang berwarna emas. Dan tutup kepala untuk mencegahnya kedinginan saat malam tiba. Beberapa bordir hewan akan menempel di bagian depan sebagai hiasan, selain juga sarana belajarnya menghapal nama-nama hewan. “Bu, aku mau makan” Seketika aku menoleh, suamiku sudah beridiri di depan meja makan sambil membuka tudung meja, kosong melompong. Aku terkesiap, kepalaku dengan otomatis mendongak ke arah jam dinding. Sudah pukul 6 sore. Dan aku belum memasak. Bima, lalu Bima kemana? Tidurkan dia dari tadi? “Bima?” hanya itu yang keluar dari mulutku. Kakiku melangkah ke dalam kamar. Seketika hatiku tenang melihatnya masih terlentang pulas di ranjang kami. Kemudian aku teringat suamiku. Ketika kembali ke dapur, dia sudah pergi. Entah kemana, padahal aku belum menyiapkan makan untuknya, dan dia lapar. Tapi kepalaku sedikit pusing. -Suamiku baru pulang ketika malam telah larut. Tubuhnya menguarkan aroma rokok bercampur apek. Aku pura-pura tertidur dan menunggunya pulas, pintu depan belum terkunci. “Jaket Bima tak usah kau jahit. Biar kubawa ke kota saja”
“Kenapa?” “Karena kau tak seharusnya menjahit. Bekerjalah seperti biasa” “Tapi itu permintaan pertama Bima, kita harus memenuhinya pak. Bima bisa sakit” “Tapi kau tak boleh menjahit lagi.” “Kenapa? Aku masih ingat sedikit-sedikit caranya. Dan lagi, aku tak mau Bima kenapa-napa. Bukankah bapak juga tahu kalau permintaan pertama kali anak rambut gimbal adalah permintaan para leluhur. Permintaan yang sakral dan harus dipenuhi.” Suamiku hanya menghela nafas, dia tak mendebat lagi. Dengan kesal aku melangkah ke ruang depan, biar kukunci dulu pintunya. -Aku terbangun ketika mendengar Bima menangis. Kasur basah kuyup, rupanya Bima mengompol. Kubangunkan dia dan kulepas bajunya, menyuruhnya menunggu di kamar mandi sedangkan aku membersihkan dan menjemur kasur. Kulihat istriku sudah berada di depan mesin jahitnya. Memandangi kain oranye yang kubeli dari kota kemarin. Tangannya bergerak mengambil gunting dan menaruh lagi. Mengambil meteran pengukur dan menaruhnya lagi. Sengaja kualihkan pandanganku dan lekas menjemur kasur. Bima sudah menunggu di kamar mandi. Ketika semua pekerjaan rumah selesai dan aku harus berangkat bekerja, kudekati istriku yang masih berkutat di depan mesin jahitnya. Tangannya masih bergerak-gerak seperti tadi. “Bima” kubisikkan nama anak kami di samping telinganya perlahan. Gerakan tangannya melambat. Ku ulang beberapa kali hingga dia menoleh ke arahku. “Bima?” wajahnya nampak bingung, namun segera berganti khawatir. Dia langsung berjalan menuju kamar kami.
“Bima ada di depan, sedang mencari cacing” Wajahnya berubah lega. Dia melihat ke arah jam dinding dan melihatku dengan wajah bersedih. “Sudah kubuatkan sarapan untukmu. Aku berangkat dulu, sudah waktunya menjemur tembakau” Dia mengangguk dan tersenyum menatapku. “Kepalaku pusing. Aku mau istirahat dulu. Ajak Bima bersamamu” Dia masuk ke kamar. Aku memandangi mesin jahit kusam di pojok. Mungkin sebaiknya dia tak perlu menjahit lagi. -Bima membangunkanku ketika hari sudah menjelang sore. Dia mengeluh kelaparan. “Bapak mana?” Bima tak menjawab dan terus merengek. Aku keluar kamar dan mendapati suamiku sedang menggotong mesin jahit keluar rumah. “Loh mesin jahitnya mau dibawa kemana pak?” “Biar bapak titipkan ke bu Lastri” “Pak, aku kan sedang menjahit jaket Bima?” “Nanti biar bapak jahitkan jaketnya ke kota” Aku terkejut, namun nadanya tampak tegas dan tak bisa ditawar. Bima mulai menangis disampingku. Aku kebingungan. “Lalu Bima bagaimana? Lagipula jahitanku sudah akan selesai” aku tak digubrisnya. “Pak, bapak!” “Diam! Memangnya mana hasil jahitanmu? Ini? Ini kain masih utuh bu. Ibu belum melakukan apa-apa”
Aku tercengang mengamati kain di tangan suamiku yang masih utuh. Kucari-cari pola baju di atas koran yang seharusnya sudah jadi, bukankah kemarin sudah kubuat? Bukankah tadi pagi aku sudah memotong kain itu sesuai pola yang ada? Namun kepalaku mulai pusing. Suamiku memapahku duduk. Bima masih terus menangis. Berhari-hari kemudian aku kembali sibuk bekerja di sawah. Sudah waktunya panen tembakau, seluruh desa sibuk tak terkecuali. Mesin jahit ibuku sudah tak ada lagi di rumah. Bima baik-baik saja meskipun lebih sering rewel. Suamiku tak pernah lagi membahas permintaan gimbal Bima. Namun sepulangnya bermain dengan anak tetangga sore ini, Bima menangis, badannya panas. Aku langsung merasa bahwa ini semua salah kami, salahku karena tak bisa menjahitkan jaket untuk Bima. Salah suamiku melarangku menjahit. Kami membawa Bima pergi ke mantri yang memberinya beberapa butir paracetamol. Ke orang pintar di dusun kami yang langsung bertanya apakah keinginan gimbal sudah ditanyakan, suamiku langsung menjawab belum. Kami bertengkar hebat yang menghasilkan mesin jahit kembali ke rumah kami. Aku bertekad menyelesaikan jaket Bima dan membuatnya sembuh. -Dia terus menangis dan berteriak memintaku membawa kembali mesin jahit itu. Aku membawanya dengan berat hati. Seketika sakit panas Bima sedikit turun. Saat mesin itu kembali, dia langsung menghampiri mesin itu. Meski tidak bekerja, karena saat itu dia sedang hilang. Kemudian aku mencoba cara lain. Setiap kali dia terpaku di depan mesin jahit, maka aku akan mengerjakan sedikit demi sedikit pakaian itu sesuai dengan panduan yang ada di buku istriku. Sementara Bima ku titipkan ke tetangga, aku dan istriku menjahit jaket permintaan gimbal Bima. Beberapa waktu ketika kain sudah kupotong, istriku tak lagi hanya melamun sambil menggerak-gerakkan tangan, dia mulai menangis lirih. Aku tahu semua cerita masa lalunya sedang meresap masuk dan kembali
menghantui. Masa lalu yang tak bisa diingatnya dalam alam sadar. Yang selalu hadir di sekeliling mesin jahit ini. -Jaket Bima sudah setengah jadi, kain sudah terpotong semua meski tak sama kanan kiri dan salah di beberapa titik. Tak apalah yang penting Bima sembuh. Selama beberapa hari Bima kutitipkan dulu ke tetangga karena suamiku sibuk bekerja di sawah. Rasanya memang aneh ketika waktu cepat sekali berlalu tapi jaket ini tak juga selesai. Sejak aku mulai menjahit, pikiranku sering sekali tiba-tiba hilang kendali dan muncul kelebatan aneh. Awalnya aku sering bingung namun lama-kelamaan kelebatan itu malah menenggelamkanku ke dalamnya. Seorang gadis sedang menjahit ketika beberapa orang mendobrak paksa rumah gadis. Dia terkejut dan ketakutan hingga tenggorkannya menolak mengeluarkan suara. 4 pemuda menelentangkannya dan mencuri mahkota sang gadis. Si ibu yang datang karena suara gaduh tak sempat berteriak setelah menerima sabetan clurit tepat diperutnya. Suara sang gadis muncul kembali dan berteriak namun tak menghasilkan apapun. Keempat pemuda melampiaskan nafsu hewaninya kepada sang gadis. Bayangan itu terus berulang dan muncul tenggelam. Setiap kali tersadar, aku sudah berada di ranjang dengan mata merah sehabis menangis. Setiap kali itu pula suamiku berada di sampingku dengan bekas-bekas air mata di wajahnya. Hingga jaket itu selesai aku sadar kenapa suamiku menjauhkan aku dari mesin jahit itu. -Jaket itu selesai meski dengan tangan yang miring sebelah dan lengan yang terlalu kecil. Istriku berhasil melalui semua masa lalunya dan berangsurangsur menerimanya sebagai salah satu potongan cerita miliknya di masa lalu.
Namun, meski jaket sudah jadi, panas Bima tak juga turun. Istriku memutuskan membuat lagi karena beranggapan para leluhur tak menyukainya. Aku berpikir penyebabnya adalah karena jaket itu bukan benar-benar buatan istriku. Benar saja, saat istriku selesai membuat jaket, panas Bima turun. Setelah ini kami memutuskan untuk mengadakan ruwatan gimbal untuk mencukur rambut gimbal Bima. -Aku menyesal tak mampu mengingat bagaimana ibuku meninggal selama ini. Tapi Bima sudah sembuh. Entah mana yang lebih bijaksana, pesan leluhur dalam helaian rambut gimbal anakku, kebijaksanaan sang bathara guru dalam namanya, atau justru suamiku.